Kemiskinan merupakan fenomena yang terjadi hampir
di seluruh negara sedang berkembang. Kemiskinan muncul
sebab ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk
menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang
dianggap manusiawi. Kondisi ini memicu menurunnya
kualitas sumber daya manusia sehingga produktivitas dan
pendapatan yang diperolehnya rendah. Lingkaran
kemiskinan terus terjadi, sebab dengan penghasilan
yang rendah tidak mampu mengakses darana pendidikan,
kesehatan, dan nutrisi secara baik sehingga memicu
kualitas sumberdaya manusia dari aspek intelektual dan
fisik rendah, berakibat produktivitas juga rendah.
Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan sejak
kemerdekaan secara signifikan telah berhasil mengurangi
jumlah dan proporsi warga miskin di negara kita . Namun
terpaan krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis
ekonomi memicu keterpurukan ekonomi yang kembali
mencuatkan jumlah dan proporsi warga miskin hampir
setengah dari warga negara kita . Apapun pemicu nya
persoalan kemiskinan tetap menjadi masalah besar yang
perlu mendapat perhatian dan tindakan konkrit melalui
pelaksanaan program-program baik yang bersifat
penyelamatan, pemberdayaan maupun fasilitatif.
Masalah besar yang dihadapi negara sedang
berkembang adalah kemiskinan. Tidak meratanya
distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan
pendapatan yang merupakan awal dari munculnya
masalah kemiskinan. Membiarkan masalah tersebut
berlarut-larut akan semakin memperkeruh keadaan, dan
tidak jarang dapat menimbulkan konsekuensi negatif
terhadap kondisi sosial dan politik.
Masalah kesenjangan pendapatan dan kemiskinan
tidak hanya dihadapi oleh negara sedang berkembang,
namun negara maju sekalipun tidak terlepas dari
permasalahan ini. Perbedaannya terletak pada
proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan
angka kemiskinan yang terjadi, serta tingkat
kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas
wilayah dan jumlah warga suatu negara. Semakin
besar angka kemiskinan, semakin tinggi pula tingkat
kesulitan mengatasinya. Negara maju menunjukkan
tingkat kesenjangan pendapatan dan angka kemiskinan
yang relatif kecil dibanding negara sedang
berkembang dan untuk mengatasinya tidak terlalu
sulit mengingat GDP dan GNP mereka relatif tinggi.
Walaupun demikian, masalah ini bukan hanya menjadi
masalah internal suatu negara, namun telah menjadi
permasalahan bagi dunia internasional, tidak
terkecuali Negara negara kita .
Kesalahan pengambilan kebijakan dalam
pemanfaatan bantuan dan atau pinjaman tersebut,
justru dapat berdampak buruk bagi struktur sosial
dan perekonomian negara bersangkutan.
Demikianlah adanya arus perputaran perekonomian
dari saat kesaat di dalam sebuah perekonomian
swasta. Namun, corak arus itu untuk perekonomian
dimana pemerintah ikut di dalamnya sehingga bukan
perekonomian swasta lagi tidaklah akan menyimpang
dari prinsip itu, mengingat pemerintah merupakan
unsur pengatur dan penyeimbang perekonomian secara
keseluruhan.
1. Kemiskinan
Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan antara
kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan
kelompok masyarakat berpenghasilan rendah serta
tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada
di bawah garis kemiskinan merupakan dua masalah
besar dibanyak negara berkembang, tidak
terkecuali
negara kita .
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat
disebabkan oleh kelangkaan alat
pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses
terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan
merupakan masalah global. Sebagian orang memahami
istilah ini secara subyektif dan komparatif,
sementara yang lainnya melihatnya
dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya
lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah
mapan.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara.
Pemahaman utamanya meliputi: Pertama, gambaran
kekurangan materi, yang biasanya mencakup
kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan,
dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti
ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-
barang dan pelayanan dasar.
Kedua, gambaran tentang kebutuhan sosial,
termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan
ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam
masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan
informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan
dari kemiskinan, sebab hal ini mencakup masalah-
masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi
pada bidang ekonomi. Ketiga, gambaran tentang
kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai.
Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda
melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di
seluruh dunia.
Bebarapa pemicu kemiskinan diantaranya :
a. pemicu individual, atau patologis, yang
melihat kemiskinan sebagai akibat dari
perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si
miskin. Namun lebih tepatnya terletak pada
perbedaan kualitas sumber daya manusia dan
perbedaan akses modal.
b. pemicu keluarga, yang menghubungkan
kemiskinan dengan pendidikan keluarga.
c. pemicu sub-budaya (subcultural), yang
menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan
sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam
lingkungan sekitar;
d. pemicu agensi, yang melihat kemiskinan
sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk
perang, pemerintah, dan ekonomi. sebab ciri
dan keadaan masyarakat dalam suatu daerah
sangat beragam (berbeda) ditambah dengan
kemajuan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang
masih rendah.
e. pemicu struktural, yang memberikan alasan
bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur
social dan kebijakan pemerintah. Kebijakan
dalam negeri seringkali dipengaruhi oleh
kebijakan luar negeri atau internasional antara
lain dari segi pendanaan. Dan yang paling
penting adalah Ketidakmerataannya Distribusi
Pendapatan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
2. Ragam pemikiran tentang kemiskinan
Kemiskinan seperti diungkapkan oleh Suparlan
(1994), dinyatakan sebagai suatu keadaan
kekurangan harta atau benda berharga yang
diderita oleh seseorang atau sekelompok orang.
Akibat dari kekurangan harta atau benda tersebut
maka seseorang atau sekelompok orang itu merasa
kurang mampu membiayai kebutuhan-kebutuhan
hidupnya sebagaimana layaknya. Kekurang mampuan
tersebut mungkin hanya pada tingkat kebutuhan-
kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara, moral dan
etika), atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan sosial (pendidikan, berkomunikasi dan
berinteraksi dengan sesama) atau pada tingkat
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar
(makan-minum, berpakaian, bertempat tinggal
ataurumah, kesehatan dan sebagainya).
Kemiskinan,
dengan demikian terserap ke dalam dan mempengaruhi
hamper keseluruhan aspek-aspek kehidupan manusia.
Kemiskinan yang diderita oleh sekelompok orang
bahkan sebuah masyarakat, menghasilkan suatu
keadaan dimana warga masyarakat yang bersangkutan
merasa tidak miskin bila berada dan hidup diantara
sesamanya. sebab berbagai kegiatan yang dilakukan
dalam kehidupan para warga kelompok tersebut
dirasakan sebagai suatu hal yang biasa (sebagai
fenomena biasa dalam kehidupan keseharian mereka).
Pada kondisi seperti itu tidak ada yang diacu
untuk pamer, sehingga diantara mereka tidak ada
perasaan saling berbeda, yang dapat menimbulkan
perasaan malu. Dalam keadaan demikian, maka
kemiskinan terwujud dalam berbagai cara-cara
mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka untuk
dapat hidup.
Di kalangan masyarakat/kelompok yang berada
dalam kondisi miskin seperti itu, berkembang suatu
pedoman bagi kehidupan mereka yang diyakini
kebenaran dan kegunaannya yang dilandasi oleh
kemiskinan yang mereka derita bersama. Pedoman
atau kiat-kiat untuk menghadapi fenomena miskin
seperti itu kemudian melahirkan model-model
adaptasi mereka menghadapi kemiskinan.
Pada era gencarnya prmbangunan di tahun 1970-
1980, sebuah seminar ilmiah yang diadakan oleh
Himpunan negara kita Untuk Pengembangan Ilmu-ilmu
Sosial (HIPIS), diadakan di Malang tanggal 13-17
November 1979, dengan tema dan hasil yang
monumental sampai saat ini, yaitu ‘Kemiskinan
Struktural’ (Soemardjan, 1980), dimana dalam
pendapatnya dinyatakan bahwa kemiskinan struktural
tidak menunjuk pada individual yang miskin sebab
malas bekerja atau tidak mendapatkan penghasilan,
tetapi lebih banyak sebab struktur sosial
masyarakat yang ada telah membatasi hak-hak mereka
untuk mendapatkan / menggunakan sumber-sumber
pendapatan yang tersedia untuk mereka.
Pada kondisi seperti itu kelompok masyarakat
yang berada pada kondisi seperti itu pada umumnya
memiliki kesadaran akan nasibnya yang berbeda
dengan kelompok/golongan lainnya. Dalam kelompok
miskin secara struktur ini, masih menurut
Soemardjan, ada para petani yang tidak bertanah
atau mempunyai garapan yang sangat kecil, sehingga
tidak mencukupi untuk pemenuhan hidupnya. Juga
golongan mereka yang tidak terdidik dan terlatih
yang disebut ‘unskilled labores’ yang terhambat
untuk memasuki pasar kerja, golongan miskin itu
juga meliputi para pengusaha tanpa modal dan tanpa
fasilitas dari pemerintah, atau golongan ekonomi
lemah.
Pembicaraan tentang kemiskinan warga
perkotaan, diungkap oleh Gavin Jones yang menyatakan bahwa sebagai
akibat dari migrasi warga pedesaan ke kota
(khususnya kota-kota di Jawa), telah menambah
jumlah warga miskin yang ada sebab dua hal
yaitu : sebab penambahan secara alamiah (lebih
banyak kelahiran dari pada kematian); dan sebab
adanya migrasi orang desa ke kota yang terus
bertambah (untuk mencari pekerjaan). Gavin Jones
bahkan berteori bahwa bagaimanapun orang-orang
desa yang bermigrasi membandingkan bahwa ada
peluang atau kesempatan kerja yang lebih besar dan
lebih panjang dikota, walau harus tinggal
diperkampungan.
Apa yang dinyatakan Gavin Jones, sebenarnya
ditunjang oleh temuan dua peneliti lainnya.
Peneliti pertama, Graeme Hugo (1986) yang
memfokuskan migrasi sirkuler warga sekitaran
Jakarta antara lain warga kabupaten yang
berdekatan dengan Jakarta, seperti Tangerang,
Bogor, Depok dan Bekasi. Perkembangan industri dan
pembangunan kota di Jakarta sangat menarik minat
para warga di desa-desa kabupaten tadi untuk
pindah dan menetap di Jakarta. Dan secara umum
para migrant dalam teori yang dikemukakan oleh
Graeme Hugo, besarnya angka/jumlah migrant sangat
tergantung pada jarak daerah asal dan kota tujuan,
sarana transportasi yang tersedia, dan kondisi
perkembangan kota tujuan. Sehingga ia kemudian
mengklasifikasi model migrasi ke kota yang ada
yaitu : ‘pindah, merantau, dan pulang balik’.
Temuan kedua merupakan penguatan teori Graeme
Hugo yang dilakukan Lea Jellinek (1986), dalam
tulisannya ‘sistem pondok dan migrasi sirkuler’,
khususnya pada migran warga desa ke kota
Jakarta. Jellinek menganalogikan ‘pondok’ sebagai
sebuah rumah sederhana tempat menginap di
pedesaan. Di Jakarta para migrant mengartikan dan
memfungsikan ‘pondok’ bukan saja sebagai tempat
menginap, tetapi juga menjadi tempat usaha dan
kegiatan kehidupan lainnya. sebab itu dalam
temuan penelitiannya, ratusan pondok-pondok yang
tersebar di seluruh kota menjadi berbagai
pangkalan, tempat usaha kecil berjalan, dan ada
ribuan pengusaha dengan modal kecil hidup
(umumnya para migrant sirkuler) dalam ‘sistem
pondok’ dengan sistem ‘tauke’ yang terstruktur dan
kuat. Pondok juga menampung pendatang baru dari
desa-desa yang sama, dan menyediakan lapangan
kerja sehingga selalu menarik minat bagi
berlangsungnya proses ‘migran sirkuler’.
3. Upaya pemerintah dakam mengurangi kemiskinan
Dalam sisitem kapitalistik yang berlaku di
negara kita , penetapan pajak pendapatan/penghasilan
merupakan solusi untuk mengurangi terjadinya
ketimpangan. Dengan mengurangi pendapatan
warga yang pendapatannya tinggi, sebaliknya
subsidi akan membantu warga yang pendapatannya
rendah, asalkan tidak salah sasaran dalam
pemberiannya. Pajak yang telah dipungut apalagi
menggunakan sistem tarif progresif (semakin
tinggi pendapatan, semakin tinggi prosentase
tarifnya), oleh pemerintah digunakan untuk
membiayai roda pemerintahan, subsidi dan proyek
pembangunan. Namun kenyataanya tidaklah demikian.
Pajak tidak hanya dibebankan pada orang kaya
tetapi semua komponen masyarakat tanpa pandang
kaya atau miskin semua dikenai pajak. Inilah yang
memicu permasalahan kemiskinan tak kunjung
selesai.
Seperti inilah sistem atau cara pengenaan
pajak kepada para wajib pajak yang terjadi dalam
sistem kapitalis di negara kita saat ini;
1. Pajak progresif (progressive tax)
Yaitu pajak yang dikenakan semakin berat
kepada mereka yang berpendapatan semakin
tinggi. Contoh : pajak pendapatan, pajak rumah
tangga dan sebagainya
2. Pajak degresif (degressive tax)
Yaitu pajak yang dikenakan semakin berat
kepada mereka yang pendapatannya semakin kecil.
Contoh : pajak penjualan, pajak tontonan dan
sebagainya.
3. Pajak proposional (proposional tax)
Yaitu pajak yang dikenakan berdasarkan
pembebanan (persentase) yang sama terhadap
semua tingkat pendapatan.
Secara lebih rinci langkah-langkah yang
dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah
kemiskinan adalah sebagai berikut :
a. Pembangunan Sektor Pertanian
Sektor pertanian memiliki peranan penting
di dalam pembangunan sebab sektor tersebut
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi
pendapatan masayrakat dipedesaan berarti akan
mengurangi jumlah masyarakat miskin. Terutama
sekali teknologi disektor pertanian.
Menyoroti potensi pesatnya pertumbuhan
dalam sektor pertanian yang dibuka dengan
kemajuan teknologi sehingga menjadi leading
sector (rural – led development) proses ini
akan mendukung pertumbuhan seimbang dengan
syarat, kemampuan mencapai tingkat pertumbuhan
output pertanian yang tinggi serta dengan
menciptakan pola permintaan yang kondusif pada
pertumbuhan.
b. Pembangunan Sumber Daya manusia
Sumberdaya manusia merupakan investasi
insani yang memerlukan biaya yang cukup besar,
diperlukan untuk mengurangi kemiskinan dan
meningkatkan kesejahteraan masyrakat secara
umum, maka dari itu peningkatan lembaga
pendidikan, kesehatan dan gizi merupakan langka
yang baik untuk diterapkan oleh pemerintah.
Bila dikaitkan pada sektor pertanian, akan
lebih berkembang jika kebijakan pemerintah bisa
menitikberatkan pada transfer sumber daya dari
pertanian ke industri melalui mekanisme pasar.
c. Redistribusi Pendapatan secara lebih baik
Negara akan ikut bertanggungjawab terhadap
mekanisme distribusi dengan mengedepankan
kepentingan umum daripada kepentingan kelompok,
atau golongan lebih-lebih kepentingan
perorangan. Dengan demikian, sektor publik yang
digunakan untuk kemaslahatan umat jangan sampai
jatuh ke tangan orang yang mempunyai visi
kepentingan kelompok, golongan dan kepentingan
pribadi.
d. Pembangunan Infrastruktur
Negara akan menyediakan fasilitas-
fasilitas publik yang berhubungan dengan
masalah optimalisasi distribusi pendapatan.
Seperti sekolah, rumah sakit, lapangan kerja,
perumahan, jalan, jembatan dan lain sebagainya.
Namun terdapat 5 (lima) permasalahan dalam
pengentasan kemiskinan yaitu :
1. Lemahnya instusi pengelola program
pengentasan kemiskinan
2. Kebijakan penggunaan data basis keluarga
miskin belum secara operasional dipergunakan
sebagai intervensi program pengentasan
kemiskinan
3. Belum ada mekanisme dan sistem pencatatan
dan pelaporan program pengentasan
kemiskinan
4. Dukungan anggaran operasional pengentasan
kemiskinan yang masih terbatas
Harus ada sinergisitas antara program
pengentasan kemiskinan yang diprogramkan oleh
pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota. Selama ini program
pengentasan kemiskinan oleh pemerintah pusat
tidak maksimal diterapkan oleh pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, sebab
tidak disiapkannya infrastruktur pendukung
untuk program tersebut.
4. Alternatif solusi mengatasi kemiskinan di
negara kita
Program pemerintah yang dijalankan saat ini
dinilai sudah baik secara konsep. Namun belum
bisa dinilai secara menyeluruh sebab hanya
sebagian kecil saja yang terealisasi. Sementara
kemiskinan juga masih dan semakin menjamur.
Memang, tidak bisa disinggung lagi bahwa solusi
kehidupan secara menyeluruh dan sempurna termasuk
permasalahan kemisikinan, hanyalah kembali pada
aturan-aturan sang pembuat kehidupan yakni Allah
SWT. Islam memberikan solusi yang selalu tepat.
Tidak hanya secara konsep, tetapi juga dalam
prakteknya sudah terbukti memberikan hasil yang
gemilang terutama dalam mensejahterahkan
rakyatnya.
Inti pemicu kemiskinan di negara kita dari
dulu hingga kini adalah pemicu struktural.
Ketidakmerataannya distribusi pendapatan yang
dilakukan pemerintah secara struktural yang
memicu kemiskinan ini terjadi berangsur-
angsur.
Program Islam untuk redistribusi kekayaan
terdiri dari tiga bagian. Pertama, sebagaimana
dibahas sebelumnya, ajaran Islam mengarahkan
untuk memberikan pembelajaran atau pemberdayaan
kepada para penganggur untuk bisa mendapatkan
pekerjaan yang bisa memberi penghidupan bagi
mereka,serta untuk memberikan upah yang adil bagi
orang-orang yang sudah bekerja. Kedua, ajaran
Islam menekankan pembayaran zakat untuk
redistribusi pendapatan dari orang kaya kepada
orang miskin yang sebab ketidakmampuan atau
cacat (secara fisik atau mental, atau faktor
eksternal yang diluar kemampuan mereka, misalnya
pengangguran), tak mampu untuk memperoleh
kehidupan standar yang terhormat dengan tangan
mereka sendiri. Ketiga, pembagian harta warisan
dari orang yang telah meninggal kepada beberapa
orang sesuai aturan Islam sehingga menguatkankan
dan mempercepat distribusi kekayaan dalam
masyarakat.
Konsep Islam tentang keadilan distribusi
kekayaan, juga konsep keadilan ekonomi tidak
mengharuskan semua orang mendapat upah dalam
jumlah yang sama tanpa memperdulikan
kontribusinya bagi masyarakat. Islam mentoleransi
adanya perbedaan dalam pendapatan sebab setiap
orang memiliki karakter, kemampuan dan pelayanan
kepada masyarakat yang sama. Namun perlu dicatat
bahwa jaminan terhadap standar hidup yang
manusiawi bagi semua anggota masyarakat melalui
pengaturan zakat.
Pada kenyataannya, apabila ajaran Islam
mengenai halal dan haram dalam memperoleh
kekayaan diikuti, prinsip keadilan bagi pekerja
dan konsumen diterapkan, pengawasan terhadap
redistribusi pendapatan dan kekayaan serta hukum
Islam tentang harta waris ditegakkan, maka tidak
akan terdapat ketidakadilan dalam pendapatan dan
kekayaan dalam masyarakat Muslim.
Di sini letak perbedaan sistem ekonomi
syariah dan konvensional. Sistem ekonomi syariah
tidak bertujuan mengumpulkan harta sebanyak-
banyaknya. Tapi, bagaimana kehidupan lebih baik
bisa dicapai bersama tanpa memandang suku ataupun
RAS. Ekonomi syariah mempunyai prinsip sinergi
(ta'awun). Prinsip ini memungkinkan orang yang
lebih dulu sukses itu membantu sesamanya. Kerja
sama ini memungkinkan umat Islam maju.
Selain itu, ekonomi syariah memiliki sistem
bagi hasil. Sistem ini memungkinkan kerugian dan
keuntungan ditanggung pemodal dan peminjam.
Besarnya tanggungan diatur dalam akad yang sudah
disetujui bersama.
Sistem bagi hasil misalnya bank sebagai
pemodal tidak hanya menagih pinjaman modal. Pihak
bank juga harus membantu peminjam dalam memajukan
usahanya. Sebaliknya pihak peminjam juga harus
bekerja keras memajukan usahanya supaya bisa
cepat mengembalikan pinjaman.
Oleh sebab itu ekonomi syariah dinilai cocok
untuk program pengentasan kemiskinan. Hal ini
sebab masyarakat miskin tidak dipandang sebagai
pihak yang malas. Namun, pihak yang tidak
mendapat akses untuk kehidupan yang lebih baik.
Kemiskinan berawal dari faktor ketimpangan dan
ketidakadilan sosial yang menjadi sebab utama
keluarnya bangsa negara kita dari falsafah pancasila.
Esensi dari falsafah pancasila telah disalahgunakan.
Kita bisa lihat seperti kepercayaan kepada Tuhan
YME, yang diharuskan oleh agama telah berubah
menjadi sumber konflik di tengah tengah kehidupan
masyarakat. Lalu nilai-nilai kemanusiaan, persatuan
dan kerakyatan, sudah jauh dilanggar oleh bangsa
ini, yang mengakibatkan keadilan sosial menjadi jauh
dari kenyataan. Fenomena tersebut dapat dilihat dari
aktifitas sehari-hari yang terjadi di lingkungan
kita antara lain, menjamurnya pasar-pasar modern
(mall, swalayan dll) yang membuat tergusurnya pasar
tradisional sebagai tempat dan sumber penghidupan
masyarakat kecil.
Pemberdayaan ekonomi rakyat menjadi suatu upaya
yang mutlak harus dilakukan. Kemampuan “tahan
banting” terhadap krisis telah terbukti. Mengingat
relatif sulitnya mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi
yang diharapkan dari investasi usaha-usaha besar
maka pemerintah daerah diharapkan untuk lebih
memberdayakan ekonomi rakyat yang merupakan potensi
yang tersembunyi termasuk di dalamnya UKM dan sektor
informal untuk mengatasi masalah pengangguran dan
kemiskinan. Sektor ekonomi rakyat telah terbukti
mampu bertahan di saat krisis, oleh sebab itu
pemerintah jangan menganggap remeh akan keberadaan
sektor ekonomi rakyat, tapi justru harus
diberdayakan sebagai salah satu penyangga
perekonomian nasional.
sebab semua konsep atau solusi yang ada dalam
Islam bersumber dari Dzat Yang Maha Kuasa atas
segala-galanya. Hanya Allah SWT yang mampu
memberikan solusi terbaik bagi kemaslahatan makhluk-
Nya, yakni manusia sebagai pemimpin yang mampu
menegakkan prinsip syari’ah secara kaffah.
kemiskinan merupakan kondisi dimana
seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-
hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat. Konsep yang dipakai BPS dan juga
beberapa negara lain adalah kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar (basic needs approach), sehingga kemiskinan merupakan
kondisi ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan (diukur dari sisi
pengeluaran).
Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita perbulan di bawah Garis Kemiskinan (GK),
yang diperoleh dari hasil survei (sampel). Angka kemiskinan yang
dirilis BPS merupakan data makro dan merupakan hasil Susenas
(Survey Sosial Ekonomi Nasional) yang menunjukkan persentase
penduduk miskin terhadap jumlah penduduk dalam suatu
wilayah.
2. Garis Kemiskinan
Garis Kemiskinan merupakan representasi dari rupiah yang
diperlukan atau harga yang dibayarkan agar penduduk dapat
hidup layak secara minimum yang mencakup pemenuhan
kebutuhan minimum makanan (setara dengan 2.100 kilokalori per
kapita per hari) dan non makanan essential.
Garis Kemiskinan yang digunakan oleh BPS terdiri dari dua
komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) yang terdiri
atas 52 jenis komoditi dan Garis Kemiskinan Non
Makanan (GKNM) yang terdiri dari 51 jenis komoditi untuk
perkotaan, dan 47 jenis komoditi untuk perdesaan. Garis
Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari GKM dan GKNM.
Garis Kemiskinan bersifat periodik dan meningkat tiap tahunnya,
sebagaimana gambar berikut:
Perkembangan Garis Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah
Garis Kemiskinan Jawa Tengah periode September 2018
sebesar Rp. 357.600,- per kapita per bulan, meningkat 5,54%
dibandingkan dengan September 2017 yang mencapai
Rp.338.815,- perkapita perbulan.
B. Data – data Kemiskinan
Data terkait kemiskinan dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
kelompok, yaitu data makro dan data mikro yang resmi diterbitkan
secara berkala oleh BPS.
1. Data Makro
Data makro kemiskinan merupakan data yang diperoleh
melalui mekanisme survey (sampel), bersifat kualitatif, memberikan
gambaran umum dan profil suatu daerah, sebagai bahan analisis
untuk pengambilan kebijakan makro penanggulangan kemiskinan,
dan tidak dapat menampilkan secara by name by address. Contoh
data makro adalah data kemiskinan Nasional dan Provinsi yang
diterbitkan 2 kali setahun (periode Maret dan September) dan 1 kali
setahun periode Maret untuk kabupaten/kota dalam Berita Resmi
Statistik BPS.
2. Data Mikro
Data mikro kemiskinan merupakan data yang diperoleh
melalui mekanisme sensus (bersifat menyeluruh), bersifat
kuantitatif, dapat memberikan informasi detail, dan dapat
dipergunakan sebagai intervensi program/kegiatan secara by name
by address. Contoh data mikro adalah data Pendataan Program
Perlindungan Sosial (PPLS) diterbitkan secara periodik 3 tahun
sekali oleh BPS. Contoh lainnya adalah Data Terpadu Penanganan
Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu (DT PFM OTM) yang
merupakan hasil pemutakhiran Basis Data Terpadu (BDT) yang
diterbitkan 2 kali dalam setahun oleh Kementerian Sosial. Data
Mikro digunakan untuk intervensi program/kegiatan
penanggulangan kemiskinan.
Data Terpadu PFM OTM adalah sistem data elektronik yang
memuat informasi sosial, ekonomi, dan demografi serta
karakteristik sekitar 40% rumah tangga dengan status
kesejahteraan terendah yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial.
Data Terpadu PFM OTM digunakan untuk memperbaiki kualitas
penetapan sasaran program-program perlindungan sosial, serta
membantu perencanaan program, memperbaiki penggunaan
anggaran, dan sumber daya program perlindungan sosial. Data
Terpadu PFM OTM merupakan basis data mikro untuk
penanggulangan kemiskinan berdasarkan Basis Data Terpadu
Tahun 2015, yang telah dimutakhirkan Tahun 2018.
C. Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, strategi penanggulangan
kemiskinan dilakukan melalui :
1. Mengurangi Beban Pengeluaran Masyarakat Miskin
Dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan dasar (basic life acsess)
yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, air bersih.
2. Meningkatkan Kemampuan dan Pendapatan Penduduk Miskin.
a) Dilakukan melalui pola pelatihan/keterampilan kewirausahaan
pemula (start up) dan bantuan modal awal;
b) Untuk menentukan penerima manfaat program/kegiatan agar
memperhatikan kriteria yang terdapat pada data BDT 2018,
antara lain : 1) Status kepemilikan usaha di suatu rumah
tangga; 2) Akses terhadap KUR; 3) Kepemilikan lahan; 4)
Kepemilikan asset bergerak; 5) Kepemilikan ternak; 6) Status
pendidikan tertinggi.
3. Mengembangkan dan menjamin keberlanjutan Usaha Mikro
dan Kecil
Dilakukan melalui program/kegiatan terkait fasilitasi
pengembangan kewirausahaan, fasilitasi akses modal/kredit
bersubsidi (jamkrida/ KUR/Mitra 25), pemberdayaan dan
pendampingan berkelanjutan, sertifikasi produk/HAKI, serta
menjaga stabilisasi iklim usaha dan fasilitasi pemasaran.
4. Mensinergikan kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan.
Dilakukan melalui sinergitas dokumen perencanaan sampai
dengan monitoring dan evaluasinya, serta pengembangan
kemitraan dengan melibatkan perguruan tinggi dengan
KKN Tematik, TJSLP/CSR Perusahaan/BUMN/BUMD, serta
mendorong pembangunan kawasan perdesaan.
D. Desa Dampingan
Desa Dampingan merupakan target desa lokasi yang memenuhi
kriteria untuk dilakukan intervensi penanggulangan kemiskinan,
khususnya di 14 kabupaten prioritas (data makro). Pemilihan desa
lokasi yang mendapatkan pendampingan dan/atau pembinaan
didasarkan pada kriteria tingkat kesejahteraan terendah desa yang
merupakan hasil pengolahan data jumlah rumah tangga pada
desil 1 dan desil 2 Basis Data Terpadu (membandingkan tingkat
kesejahteraan desa dalam satu kecamatan).
Desil 1 merupakan rumah tangga/individu dengan kondisi
kesejahteraan sampai dengan 10% terendah di Indonesia, yang
menunjukkan kategori rumah tangga sangat miskin, sedangkan Desil
2 merupakan rumah tangga/individu dengan kondisi kesejahteraan
antara 11% - 20% terendah di Indonesia, yang menunjukkan kategori
rumah tangga miskin.
E. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memberikan
daya (empowerment) atau penguatan (strengthening) kepada
masyarakat. Pemberdayaan masyarakat juga diartikan sebagai
kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam
membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan sehingga
bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam
pembangunan masyarakat ,
Pemberdayaan masyarakat dalam mengembangkan
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa melalui gerakan
“Satu Perangkat Daerah Satu Desa Dampingan Menuju Desa Lebih
Sejahtera“ dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan, sikap,
keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan
sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan
pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas
kebutuhan masyarakat Desa.
Dalam pelaksanaannya pemberdayaan masyarakat dilakukan
dengan prinsip – prinsip sebagai berikut :
1) Partisipasi : peran serta aktif semua masyarakat/kelompok
masyarakat pada setiap tahapan pembangunan desa mulai dari
perencanaan, pelaksanaan dan pelestarian kegiatan
2) Keberlanjutan : menjamin kegiatan tetap dapat dilanjutkan oleh
masyarakat dan pemerintah desa
3) Integrasi : kegiatan dapat dilaksanakan oleh pemerintah desa
dengan disesuaikan kebutuhan desa melalui pencermatan Rencana
Pembangunan Menengah Desa yang pada akhirnya desa mampu
membiayai sendiri
4) Tranparansi : semua masyarakat memiliki akses terhadap segala
informasi dan proses pengambilan keputusan pembangunan desa
sehingga pengelolaan kegiatan dilaksanakan secara terbuka.
5) Prioritas : masyarakat diberikan kesempatan memilih kegiatan yang
diutamakan dengan mempertimbangkan kemendesakan dan
kemanfaatan untuk pengentasan kemiskinan dan upaya perbaikan
lingkungan.
6) Demokratis : masyarakat mengambil keputusan pembangunan desa
dengan musyawarah dan mufakat.
Dengan prinsip – prinsip pemberdayaan tersebut, jika perangkat
daerah dan stakeholder sudah tidak melakukan pembinaan/
pendampingan semua tetap dapat dijalankan oleh masyarakat dan
pemerintah desa.