Jumat, 06 Desember 2024

kematian bayi 3





 i oleh ibu hamil sampai balita melalui 

SK Menkes No. 284/ 2004 tentang Buku KIA (Kesehatan Ibu dan 

Anak). Buku KIA merupakan alat penghubung antara tenaga 

kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan neonatus yang 

berkesinambungan. 

  

Pengadaan dan pendistribusian Buku KIA dilakukan oleh 

pemerintah dengan peran serta dari LSM, organisasi profesi, dan 

swasta serta stakeholder lainnya. 

Informasi yang dicatat meliputi:  

1) Kondisi dan asuhan bayi saat lahir 

2) Keterangan lahir  

ada  2 lembar surat keterangan kelahiran, 1 lembar melekat di 

Buku KIA untuk arsip Ibu dan 1 lembar untuk mengurus akte 

kelahiran. 

1) Hasil pemeriksaan neonatus: KN1, KN2 dan KN3  

2) Catatan penyakit dan masalah perkembangan 

2. Instrumen Pelaporan 

Data yang tercatat pada Register Kohort Ibu dan Register Kohort Bayi 

diteliti/divalidasi dan diolah sebelum direkapitulasi ke dalam format 

pelaporan SP2TP – SIMPUS, untuk diteruskan berjenjang ke Dinas 

Kesehatan Kabupaten/Kota, Provinsi dan Kementerian Kesehatan. 

a. Laporan bulanan (LB 3) 

Format laporan LB 3 merupakan bagian dari SP2TP yang berisi 

cakupan pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk neonatus, 

yang dilaporkan berdasarkan wilayah kerja puskesmas. Sumber 

data cakupan pelayanan kesehatan neonatus didapatkan dari 

register kohort bayi. 

Menurut kebijakan program, ada  indikator kesehatan 

neonatal yang perlu dilaporkan secara berjenjang mulai dari 

tingkat desa/kelurahan sampai ke tingkat pusat, yaitu: 

No Indikator Cara Perhitungan 

1 Cakupan 

kunjungan 

neonatal 1 (KN1) 

Jumlah neonates yang telah memperoleh 1 

kali pelayanan Kungjungan Neonatal pada 

umur 6-48 jam sesuai standar di satu 

wilayah pada kurun waktu tertentu  

 

Seluruh sasaran bayi di satu wilayah kerja 

dalam kurun waktu yang sama 

 

 

 

 

 

X 100% 

2 Cakupan 

kunjungan 

neonatal 

lengkap  

Jumlah neonatus yang telah memperoleh 3 

kali pelayanan Kunjungan Neonatal yaitu 1 

kali pada 6-8 jam, 1 kali pada 3-7 hari dan 1 

kali pada 8-28 hari, sesuai standar di satu 

wilayah kerja pada kurun waktu tertentu  

 

Seluruh sasaran bayi si satu wilayah kerja 

dalam kurun waktu yang sama 

 

 

 

 

 

 

X 100% 

3 Cakupan 

neonates dengan 

komplikasi yang 

ditangani 

Jumlah neonates dengan komplikasi yang 

tertangani 

 

15% X seluruh sasaran bayi di satu wilayah 

kerja dalam kurun waktu yang sama 

 

 

X 100% 

 


b. Laporan Kematian 

Instrumen yang dipakai  untuk melaporkan kasus kematian 

neonatus: 

1) Formulir Pemberitahuan Kematian Perinatal-Neonatal 

Individual/Formulir IKP  

 Formulir ini diisi setiap kali terjadi kematian perinatal-

neonatal oleh bidan/perawat penanggung jawab di desa, BPS, 

RB, puskesmas, dan RS. Formulir yang diisi oleh 

bidan/perawat penanggungjawab di desa, BPS, RB dan 

puskesmas dikirimkan ke puskesmas di tingkat kecamatan. 

Sedangkan formulir yang diisi di RS dikirimkan ke Dinas 

Kesehatan Kabupaten/Kota.  

2) Formulir Daftar Kematian Perinatal-Neonatal di tingkat 

puskesmas/formulir DKP  

 Formulir ini diisi setiap kali ada laporan pemberitahuan 

kematian perinatal-neonatal oleh Bidan Koordinator atau 

Bidan yang ditunjuk. 

 Instrumen yang dipakai  untuk menelusuri kasus kematian 

neonatus: 

3) Formulir Otopsi Verbal Kematian Perinatal-neonatal (OVP)  

Formulir ini diisi untuk setiap kematian perinatal-neonatal 

yang terlaporkan di tingkat kabupaten. Pengisian dilakukan 

oleh Bidan Koordinator/Bidan yang ditunjuk dari Puskesmas 

Kecamatan tempat domisili kasus yang meninggal. Formulir 

ini dipakai  untuk kepentingan verbal otopsi bagi kematian 

perinatal-neonatal yang terjadi di komunitas. Selain itu, 

formulir ini juga dipakai  untuk mendapatkan informasi 

non-medis seputar kematian perinatal-neonatal, baik untuk 

kematian perinatal-neonatal di masyarakat maupun di 

fasilitas kesehatan. 

4) Formulir Rekam Medik Kematian Perinatal-neonatal (RMP)  

Formulir ini diisi untuk setiap kematian perinatal-neonatal 

yang terjadi di fasilitas kesehatan. Untuk kematian yang 

terjadi di bidan di desa, BPS, RB, dan Puskesmas formulir 

akan diisi oleh Bidan Koordinator/Bidan yang ditunjuk dari 

Puskesmas Kecamatan tempat domisili kasus yang meninggal. 

Sedangkan untuk kasus yang meninggal di RS, formulir akan 

diisi oleh dokter penanggung jawab perawatan dengan 

diketahui oleh direktur RS. Untuk kasus yang meninggal di 

perjalanan dan sampai RS sebagai DOA, maka formulirRMP 

tetap diisi oleh Petugas RS. 

5) Formulir Rekam Medik Kematian Perinatal-neonatal 

Perantara (RMPP) Formulir ini diisi untuk mendapatkan 

informasi layanan kesehatan pada kasus kematian yang 

pernah mendapat perawatan di fasilitas kesehatan lain 

sebelum dirawat di fasilitas kesehatan tempat bayi meninggal. 

  

Instrumen laporan kematian tersebut merupakan sumber data 

yang dipakai  dalam melaksanakan rangkaian kegiatan 

Audit Maternal Perinatal (AMP). 

Pengertian audit maternal perinatal-neonatal tingkat 

kabupaten adalah serangkaian kegiatan penelusuran sebab 

kematian atau kesakitan ibu, perinatal, dan neonatal guna 

mencegah kesakitan atau kematian serupa di masa yang akan 

datang. 

Kematian neonatal adalah kematian bayi lahir hidup yang 

kemudian meninggal sebelum 28 hari kehidupannya, dapat 

dipilah menjadi 2 kelompok, yaitu: 

a) kematian neonatal dini: kematian bayi yang terjadi pada 7 

hari pertama kehidupannya.  

b) kematian neonatal lanjut: kematian bayi yang terjadi pada 

masa 8-28 hari kehidupannya 

Pelaksanaan AMP terdiri dari tujuh langkah berurutan yang 

melibatkan seluruh komponen Tim AMP kab/kota, langkah 1 

dilaksanakan oleh puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya, 

langkah 2 s/d 7 dilaksanakan oleh tim AMP kab/kota. 

Langkah 1 :  Identifikasi Kasus Kematian dan Pelaporan Data 

Kematian 

Langkah 2 :  Registrasi dan anonimasi 

Langkah 3 : Pemilihan Kasus dan Pengkajinya, serta 

Penjadwalan Pengkajian 

Langkah 4 :  Penggandaan dan Pengiriman Bahan Kajian  

Langkah 5 :  Pertemuan Pengkajian Kasus 

Langkah 6 :  Pendataan dan Pengolahan Hasil Kajian 

Langkah 7 :  Pemanfaatan Hasil Kajian 

Formulir data kematian yang sudah diisi oleh Bidan 

Koordinator atau oleh petugas yang ditunjuk oleh Pimpinan 

Fasilitas Pelayanan tidak perlu diarsipkan oleh pihak pengisi/ 

pengirim untuk meminimalkan risiko kegagalan anonimasi 

(rahasia). Dokumentasi data pasien di fasilitas pelayanan 

adalah rekam medik pasien, dan bukan formulir data 

kematian yang diperuntukkan bagi keperluan AMP. Formulir 

yang telah diisi dengan lengkap sebelum dikirim harus 

diketahui (dibubuhi tanda tangan mengetahui) oleh Kepala 

Puskesmas (untuk kejadian kematian di masyarakat) atau 

Pimpinan Fasiltas Pelayanan (bila kejadian kematian di 

fasilitas pelayanan kesehatan) sebagai penanggungjawab 

pengiriman berkas. Berkas dikirim kepada Penanggung jawab 

Tim AMP melalui Koordinator Tim Manajemen AMP 

Kabupaten/Kota dalam amplop tertutup dengan label 

RAHASIA pada sisi kanan atas amplopnya. Pengiriman dapat 

dilakukan oleh petugas yang bersangkutan atau oleh kurir 

yang ditunjuk oleh pihak penanggungjawab pengiriman. 

  

Pengirim berkas berhak mendapatkan bukti penerimaan 

berkas dari Sekretariat Tim Manajemen AMP Kabupaten/Kota. 

3. PWS KIA (Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak) 

Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) 

adalah alat manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA 

di suatu wilayah kerja secara terus menerus, agar dapat dilakukan 

tindak lanjut yang cepat dan tepat. 

Program KIA yang dimaksud meliputi pelayanan ibu hamil, ibu 

bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi kebidanan, keluarga 

berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan komplikasi, bayi, 

dan balita. Kegiatan PWS KIA terdiri dari pengumpulan, pengolahan, 

analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan informasi ke 

penyelenggara program dan pihak/instansi terkait untuk tindak 

lanjut. 

Data neonatus yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan PWS 

KIA adalah: 

a. Data sasaran: jumlah seluruh bayi 

b. Data pelayanan : 

1) Jumlah neonatus yang mendapatkan pelayanan kesehatan 

pada umur 6 – 48 jam (KN1) 

2) Jumlah neonatus yang mendapatkan pelayanan kesehatan 

lengkap pada umur 0-28 hari (KN1+ KN2+KN3) 

3) Jumlah neonatus dengan komplikasi yang ditangani (NK) 

Sumber data 

• Data sasaran berasal dari perkiraan jumlah sasaran yang 

dihitung berdasarkan rumus (sasaran bayi= CBR atau Angka 

Kelahiran Kasar dikalikan Jumlah Penduduk).  

Bidan/perawat penanggungjawab di desa bersama dukun 

bersalin/bayi dan kader melakukan pendataan dan pencatatan 

sasaran di wilayah kerjanya.  

• Data pelayanan berasal dari Register kohort ibu dan Register 

kohort bayi. 

Pengolahan data antara lain berupa grafik antar waktu atau antar 

wilayah meliputi: 

• Grafik cakupan Kunjungan Neonatus 1 (KN1) 

• Grafik cakupan Kunjungan Neonatus Lengkap (KN L) 

• Grafik cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani 

(NK) 

Analisis data 

• Analisis sederhana dengan membandingkan cakupan KN 1/ KN 

L/NK dengan target atau kecenderungan cakupan dari waktu ke 

waktu 

• Analisis lanjut dengan membandingkan cakupan KN 1/KN 

L/NK dengan indikator terkait. Antara lain: 

  


   KN 1 dengan Persalinan Nakes, Kunjungan Nifas,imunisasi 

HB 0, IMD 

   KN L dengan Kunjungan Nifas,KB 

Rencana Tindak Lanjut 

• Tingkat bidan di desa 

• Tingkat puskesmas 

 

 

 


Bayi baru lahir cenderung memiliki kadar vitamin K dan cadangan 

vitamin K dalam hati yang relatif lebih rendah dibanding bayi yang 

lebih besar. Sementara itu asupan vitamin K dari ASI belum 

mencukupi (0,5 ng/L), sedangkan vitamin K dari makanan 

tambahan dan sayuran belum dimulai. Hal ini memicu  bayi 

baru lahir cenderung mengalami defisiensi vitamin K sehingga 

berisiko tinggi untuk mengalami PDVK. Di beberapa negara Asia 

angka kesakitan bayi karena PDVK berkisar antara 1: 1.200 sampai 

1 : 1.400 Kelahiran Hidup. Angka tersebut dapat turun menjadi 

1:10.000 dengan pemberian profilaksis vitamin K1 pada bayi baru 

lahir.  

Permasalahan akibat PDVK adalah terjadinya perdarahan otak 

dengan angka kematian 10 – 50% yang umumnya terjadi pada bayi 

dalam rentang umur 2 minggu sampai 6 bulan, dengan akibat 

angka kecacatan 30 – 50%. Secara nasional belum ada data PDVK, 

sedangkan data dari bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM 

(tahun 1990-2000) menunjukkan ada nya 21 kasus, 

diantaranya 17 (81%) mengalami komplikasi perdarahan 

intrakranial (catatan medik IKA RSCM 2000). Selain itu, salah satu 

akibat defisiensi vitamin K terlihat pada kejadian ikutan pasca 

imunisasi (KIPI) berupa perdarahan yang timbul sekitar 2 jam 

sampai 8 hari paska imunisasi. Dari data Komnas KIPI jumlah 

kasus perdarahan paska imunisasi yang diduga karena defisiensi 

vitamin K selama tahun 2003 sampai 2006 sebanyak 42 kasus, 

dimana 27 kasus (65%) diantaranya meninggal.  

Dalam beberapa kali Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak 

(KONIKA), dan Kongres Perhimpunan Hematologi dan Transfusi 

Darah negara kita  (PHTDI) ke VIII tahun 1998 dan ke IX tahun 2001 

telah direkomendasikan pemberian profilaksis vitamin K pada bayi 

baru lahir. Hal ini mendorong dilakukannya kajian oleh Health 

Technology Assesment (HTA) Depkes bekerjasama dengan 

organisasi profesi terhadap pemberian injeksi vitamin K1 profilaksis 

pada bayi baru lahir, yang merekomendasikan bahwa semua bayi 

baru lahir harus mendapat profilaksis vitamin K, regimen vitamin K 

yang dipakai  adalah vitamin K1, dan cara pemberian secara 

intramuskular (Rekomendasi A).  

Di negara kita  selama ini pemberian vitamin K umumnya hanya 

diberikan pada bayi baru lahir yang memiliki risiko saja seperti 

BBLR, bayi lahir dengan tindakan traumatis, bayi lahir dari ibu 

yang mengkonsumsi obat anti koagulan, obat anti kejang dll. 

Berkaitan dengan kasus KIPI yang diduga kuat karena defisiensi 

vitamin K, dimana petugas kesehatan di lapangan tidak mengetahui 

bahwa berbagai kasus KIPI sebenarnya dapat dicegah dengan 

pemberian profilaksis vitamin K1, maka perlu suatu pedoman teknis 

tentang pemberian profilaksis vitamin K1. 

2. Pengertian 

a. Vitamin K 

Vitamin K adalah vitamin yang larut dalam lemak, merupakan 

suatu naftokuinon yang berperan dalam modifikasi dan aktivasi 

beberapa protein yang berperan dalam pembekuan darah, 

seperti faktor II,VII,IX,X dan antikoagulan protein C dan S, serta 

beberapa protein lain seperti protein Z dan M yang belum 

banyak diketahui peranannya dalam pembekuan darah. 

Ada tiga bentuk vitamin K yang diketahui yaitu:  

1) Vitamin K1 (phytomenadione), ada  pada sayuran hijau. 

Sediaan yang ada saat ini adalah cremophor dan vitamin K 

mixed micelles (KMM). 

2) Vitamin K2 (menaquinone) disintesis oleh flora usus normal 

seperti Bacteriodes fragilis dan beberapa strain E. coli. 

3) Vitamin K3 (menadione) yang sering dipakai sekarang 

merupakan vitamin K sintetik tetapi jarang diberikan lagi 

pada neonatus karena dilaporkan dapat memicu  

anemia hemolitik. 

Secara fisiologis kadar faktor koagulasi yang tergantung vitamin 

K dalam tali pusat sekitar 50% dan akan menurun dengan cepat 

mencapai titik terendah dalam 48-72 jam  sesudah  kelahiran. 

Kemudian kadar faktor ini akan bertambah secara perlahan 

selama beberapa minggu tetap berada dibawah kadar orang 

dewasa. Peningkatan ini disebabkan oleh absorpsi vitamin K 

dari makanan. Sedangkan bayi baru lahir relatif kekurangan 

vitamin K karena berbagai alasan, antara lain karena  simpanan 

vitamin K yang rendah pada waktu lahir, sedikitnya transfer 

vitamin K melalui plasenta, rendahnya kadar vitamin K pada 

ASI dan sterilitas saluran cerna.  

Sediaan vitamin K yang ada di negara kita  adalah vitamin K3 

(menadione) dan vitamin K1 (phytomenadione). Yang 

direkomendasikan oleh berbagai negara di dunia adalah vitamin 

K1. Australia sudah mengpakai  vitamin K1 sebagai regimen 

profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir (sejak tahun 1961). Hasil 

kajian  HTA  tentang pemberian profilaksis dengan vitamin K adalah 

vitamin K1 . Selain sediaan injeksi, ada  pula sediaan tablet oral 2 

mg, tetapi absorpsi vitamin K1 oral tidak sebaik vitamin K1 intra 

muskular, terutama pada bayi yang menderita diare. Disamping 

efikasi, keamanan, bioavailabilitas dan dosis optimal, sediaan 

oral untuk mencegah PDVK masih memerlukan penelitian. 

Pemberian vitamin K1 oral memerlukan dosis pemberian selama 

beberapa minggu (3x dosis oral, masing-masing 2 mg yang 

diberikan pada waktu lahir, umur 3-5 hari dan umur 4-6 

minggu), sebagai konsekuensinya maka tingkat kepatuhan 

orang tua pasien merupakan suatu masalah tersendiri. 

b. Pendarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK) 

PDVK dapat terjadi spontan atau pendarahan karena proses 

lain seperti pengambilan darah vena atau pada operasi, 

disebabkan karena berkurangnya faktor pembekuan darah 

(koagulasi) yang tergantung pada vitamin K yaitu faktor II, VII, 

IX dan X. Sedangkan faktor koagulasi lainnya, kadar fibrinogen 

dan jumlah trombosit dalam batas normal. 

c. Manifestasi Klinis  

 Manifestasi klinis yang sering ditemukan adalah perdarahan, 

pucat dan hepatomegali ringan. Perdarahan dapat terjadi 

spontan atau akibat trauma, terutama trauma lahir. Pada 

kebanyakan kasus perdarahan terjadi di kulit, mata, hidung 

dan saluran cerna (muntah atau berak darah). Perdarahan kulit 

sering berupa purpura, ekimosis atau perdarahan melalui bekas 

tusukan jarum suntik. 

 Tempat perdarahan yang utama adalah umbilikus, membran 

mukosa, saluran cerna, sirkumsisi dan pungsi vena. Selain itu 

perdarahan dapat berupa hematoma yang ditemukan pada 

tempat trauma, seperti sefal hematoma. Akibat lebih lanjut 

adalah timbulnya perdarahan intrakranial yang  merupakan 

pemicu  mortalitas atau morbiditas yang menetap. 

 Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi tersering (63%) 

di mana 80-100% berupa perdarahan subdural dan 

subaraknoid. Pada perdarahan intrakranial didapatkan gejala 

peningkatan tekanan intrakranial (TIK) bahkan kadang-kadang 

tidak menunjukkan gejala ataupun tanda. Pada sebagian besar 

kasus (60%) didapatkan sakit kepala, muntah, anak menjadi 

iritabel, ubun-ubun besar menonjol, pucat dan kejang. Kejang 

yang terjadi dapat bersifat fokal atau umum. Gejala yang mudah 

dikenali adalah tangisan bayi yang melengking dengan nada 

tinggi (high pitch cry) yang tidak bisa dihentikan walaupun bayi 

tersebut sudah ditenangkan dengan cara meletakkan dipundak 

sambil dielus-elus punggungnya. Gejala lain yang dapat 

ditemukan adalah fotofobia, edema papil, penurunan 

kesadaran, perubahan tekanan nadi, pupil anisokor serta 

kelainan neurologis fokal. 

3. Tujuan 

a. Tujuan Umum  

Menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian bayi 

akibat PDVK. 

b. Tujuan khusus 

1) Tercapainya target pemberian profilaksis injeksi vitamin K1 

pada bayi baru lahir sedini mungkin yaitu 1-2 jam  sesudah  

lahir. 

2) Tercapainya target pelayanan kesehatan pada bayi baru 

lahiryang komprehensif di tingkat pelayanan dasar.  

3) Terlindunginya bayi baru lahir terhadap PDVK. 

4) Meningkatnya jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan 

bagi bayi baru lahir. 

4. Pelaksana  

Tenaga kesehatan yang melakukan pertolongan persalinan atau 

petugas pelayanan kesehatan ibu dan anak  di semua unit 

pelayanan kesehatan. 

5. Kebijakan Dan Strategi 

a. Kebijakan 

1) Penyelenggaraan pemberian profilaksis injeksi vitamin K1 

dilaksanakan oleh fasilitas kesehatan pemerintah, swasta 

dan masyarakat yang berbasis hak anak melalui kerjasama 

lintas program dan lintas sektor. 

2) Mengupayakan pemerataan jangkauan pelayanan 

pemberian profilaksis injeksi vitamin K1 pada bayi baru 

lahir. 

3) Mengupayakan kualitas pelayanan kesehatan bagi bayi 

baru lahir yang bermutu. 

4) Mengupayakan kesinambungan penyelenggaraan melalui 

perencanaan program dan anggaran terpadu. 

b. Strategi 

1) Pelayanan pemberian injeksi vitamin K1 profilaksis 

dilaksanakan oleh tenaga kesehatan segera  sesudah  lahir 

atau pada saat Kunjungan Neonatal Pertama (KN1) jika  

persalinan ditolong oleh dukun. 

2) Menerapkan sistem PWS-KIA untuk menentukan prioritas 

kegiatan serta tindakan perbaikan.  


3) Menjamin ketersediaan dana, kecukupan sediaan vitamin 

K1 injeksi dan alat suntik. 

4) Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan secara 

berjenjang. 

 

B. PELAKSANAAN PEMBERIAN INJEKSI VITAMIN K1 PROFILAKSIS 

1. Cara Pemberian 

a. Semua bayi baru lahir harus diberikan injeksi vitamin K1 

profilaksis. 

b. Jenis vitamin K yang dipakai  adalah vitamin K1 

(phytomenadione) injeksi dalam sediaan ampul yang berisi 10 

mg Vitamin K1 per 1 ml. 

c. Cara pemberian profilaksis injeksi vitamin K1 adalah : 

1) Masukkan vitamin K1 ke dalam semprit sekali pakai steril 1 

ml, kemudian disuntikkan secara intramuskular di paha kiri 

bayi bagian anterolateral sebanyak 1 mg dosis tunggal, 

diberikan paling lambat 2 jam  sesudah  lahir. 

2) Vitamin K1 injeksi diberikan sebelum pemberian imunisasi 

hepatitis B0  (uniject), dengan selang waktu 1-2 jam.  

 

 

Phytomenadion (Vitamin K1) 

 

d. Pada bayi yang akan dirujuk tetap diberikan vitamin K1 dengan 

dosis dan cara yang sama. 

e. Pada bayi yang lahir tidak ditolong bidan, pemberian vitamin K1 

dilakukan pada kunjungan neonatal pertama (KN 1) dengan 

dosis dan cara yang sama. 

f.  sesudah  pemberian injeksi vitamin K1, dilakukan observasi. 

Pemberian Vitamiin K1 (paha kiri anterolateral) 

 

2. Persiapan Melakukan Suntikan Intra Muskular 

a. Letakan bayi dengan posisi punggung di bawah 

b. Lakukan desinfeksi pada bagian tubuh bayi yang akan 

diberikan suntikan intramuskular (IM) 

1) Muskulus Kuadriseps pada bagian antero lateral paha 

(lebih dipilih karena resiko kecil terinjeksi secara IV atau 

mengenai tulang femur dan jejas pada nervus skiatikus) 

2) Muskulus deltoideus (Mengandung sedikit lemak atau 

jaringan subkutan sehingga memudahkan penyuntikan). 

Area ini dipakai  hanya untuk pemberian imunisasi 

bukan untuk pemberian obat lain. 

c. Cara Memberikan Suntikan Intra Muskular 

1) Pilih daerah otot yang akan disuntik. Untuk memudahkan 

identifikasi suntikan vitamin K1 di paha kiri dan suntikan 

imunisasi HB0 di paha kanan. 

2) Bersihkan daerah suntikan dengan kasa atau bulatan 

kapas yang telah direndam dalam larutan antiseptik dan 

biarkan mengering. 

3) Yakinkan bahwa jenis dan dosis obat yang diberikan 

sudah tepat. 

4) Isap obat yang akan disuntikkan kedalam semprit dan 

pasang jarumnya. 

5) Bila memungkinkan pegang bagian otot yang akan 

disuntik dengan mengpakai  ibu jari dan jari telunjuk. 

6) Dengan satu gerakan cepat, masukkan jarum tegak lurus 

melalui kulit. 

7) Tarik tuas semprit perlahan untuk meyakinkan bahwa 

ujung jarum tidak menusuk dalam vena 

8) Bila dijumpai darah: 

a) Cabut jarum tanpa menyuntikkan obat 

b) Pasang jarum steril yang baru ke semprit 

c) Pilih tempat penyuntikkan yang lain 

d) Ulangi prosedur diatas 

9) Bila tidak dijumpai darah, suntikan obat dengan tekanan 

kuat dalam waktu 3-6 detik. 

10) Bila telah selesai, tarik jarum dengan sekali gerakan halus 

dan tekan dengan bola kasa steril kering 

11) Catat tempat penyuntikan untuk memudahkan 

identifikasi.  

3. Logistik 

a. Sediaan Vitamin K1 :  Ampul 10 mg/1ml 

b. Semprit steril sekali pakai 1 ml dengan jarum 26 G (semprit 

tuberculin) 

c. Menghitung kebutuhan berdasarkan: 

1) Sensus desa (jumlah penduduk) 

2) Proyeksi angka kelahiran (CBR x Jumlah Penduduk) 

menjadi Kebutuhan vitamin K1 sesuai jumlah bayi baru 

lahir 

d. Penyimpanan sediaan  

Sediaan disimpan di tempat yang kering, sejuk dan 

terhindar dari cahaya. 

 

C. SUPERVISI, MONITORING DAN EVALUASI 

1. Supervisi 

 Cakupan yang tinggi saja tidak cukup untuk mencapai tujuan akhir 

program pemberian injeksi vitamin K1 profilaksis yaitu menurunkan 

angka kesakitan dan kematian karena PDVK. 

 Cakupan yang tinggi harus disertai mutu program yang tinggi pula. 

Untuk meningkatkan mutu program, pembinaan dari atas 

(supervisi) sangat diperlukan. 

 Supervisi dilakukan secara berjenjang pada institusi pemerintah 

maupun swasta untuk mengukur : 

a. Cakupan dan target pemberian injeksi vitamin K1 profilaksis 

b. Data PDVK  

c. Ketenagaan 

d. Logistik dan distribusi 

e. Pencatatan dan pelaporan 

f. Hasil kerjasama lintas program/sektoral 

g. Permasalahan yang ditemukan. 

 

2. Monitoring Dan Evaluasi 

Untuk memantau kegiatan pemberian injeksi vitamin K1 profilaksis 

pada bayi baru lahir dipakai  pemantauan wilayah setempat 

kesehatan ibu dan anak (PWS-KIA), melalui indikator cakupan 

kunjungan neonatal I (KN1). 

Untuk mengetahui hasil ataupun proses kegiatan bila dibandingkan 

dengan target atau yang diharapkan, antara lain dengan cara : 

Evaluasi Dengan Data Sekunder 

Dari angka-angka yang dikumpulkan oleh Puskesmas selain 

dilaporkan juga perlu dianalisis. Bila cara menganalisisnya baik dan 

teratur, akan memberikan banyak informasi penting yang dapat 

menentukan kebijakan program. 

a. Menilai dampak pemberian Vitamin K1 injeksi 

 Adanya penurunan angka kesakitan dan kematian bayi karena 

PDVK dari laporan AMP Puskesmas ataupun laporan Rumah 

Sakit. 

b. Stok Sediaan 

 Data stok diambil dari pencatatan LPLPO dapat memberikan 

gambaran pemakaian dan distribusi. 

c. Cakupan per tahun