i oleh ibu hamil sampai balita melalui
SK Menkes No. 284/ 2004 tentang Buku KIA (Kesehatan Ibu dan
Anak). Buku KIA merupakan alat penghubung antara tenaga
kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan neonatus yang
berkesinambungan.
Pengadaan dan pendistribusian Buku KIA dilakukan oleh
pemerintah dengan peran serta dari LSM, organisasi profesi, dan
swasta serta stakeholder lainnya.
Informasi yang dicatat meliputi:
1) Kondisi dan asuhan bayi saat lahir
2) Keterangan lahir
ada 2 lembar surat keterangan kelahiran, 1 lembar melekat di
Buku KIA untuk arsip Ibu dan 1 lembar untuk mengurus akte
kelahiran.
1) Hasil pemeriksaan neonatus: KN1, KN2 dan KN3
2) Catatan penyakit dan masalah perkembangan
2. Instrumen Pelaporan
Data yang tercatat pada Register Kohort Ibu dan Register Kohort Bayi
diteliti/divalidasi dan diolah sebelum direkapitulasi ke dalam format
pelaporan SP2TP – SIMPUS, untuk diteruskan berjenjang ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, Provinsi dan Kementerian Kesehatan.
a. Laporan bulanan (LB 3)
Format laporan LB 3 merupakan bagian dari SP2TP yang berisi
cakupan pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk neonatus,
yang dilaporkan berdasarkan wilayah kerja puskesmas. Sumber
data cakupan pelayanan kesehatan neonatus didapatkan dari
register kohort bayi.
Menurut kebijakan program, ada indikator kesehatan
neonatal yang perlu dilaporkan secara berjenjang mulai dari
tingkat desa/kelurahan sampai ke tingkat pusat, yaitu:
No Indikator Cara Perhitungan
1 Cakupan
kunjungan
neonatal 1 (KN1)
Jumlah neonates yang telah memperoleh 1
kali pelayanan Kungjungan Neonatal pada
umur 6-48 jam sesuai standar di satu
wilayah pada kurun waktu tertentu
Seluruh sasaran bayi di satu wilayah kerja
dalam kurun waktu yang sama
X 100%
2 Cakupan
kunjungan
neonatal
lengkap
Jumlah neonatus yang telah memperoleh 3
kali pelayanan Kunjungan Neonatal yaitu 1
kali pada 6-8 jam, 1 kali pada 3-7 hari dan 1
kali pada 8-28 hari, sesuai standar di satu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu
Seluruh sasaran bayi si satu wilayah kerja
dalam kurun waktu yang sama
X 100%
3 Cakupan
neonates dengan
komplikasi yang
ditangani
Jumlah neonates dengan komplikasi yang
tertangani
15% X seluruh sasaran bayi di satu wilayah
kerja dalam kurun waktu yang sama
X 100%
b. Laporan Kematian
Instrumen yang dipakai untuk melaporkan kasus kematian
neonatus:
1) Formulir Pemberitahuan Kematian Perinatal-Neonatal
Individual/Formulir IKP
Formulir ini diisi setiap kali terjadi kematian perinatal-
neonatal oleh bidan/perawat penanggung jawab di desa, BPS,
RB, puskesmas, dan RS. Formulir yang diisi oleh
bidan/perawat penanggungjawab di desa, BPS, RB dan
puskesmas dikirimkan ke puskesmas di tingkat kecamatan.
Sedangkan formulir yang diisi di RS dikirimkan ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
2) Formulir Daftar Kematian Perinatal-Neonatal di tingkat
puskesmas/formulir DKP
Formulir ini diisi setiap kali ada laporan pemberitahuan
kematian perinatal-neonatal oleh Bidan Koordinator atau
Bidan yang ditunjuk.
Instrumen yang dipakai untuk menelusuri kasus kematian
neonatus:
3) Formulir Otopsi Verbal Kematian Perinatal-neonatal (OVP)
Formulir ini diisi untuk setiap kematian perinatal-neonatal
yang terlaporkan di tingkat kabupaten. Pengisian dilakukan
oleh Bidan Koordinator/Bidan yang ditunjuk dari Puskesmas
Kecamatan tempat domisili kasus yang meninggal. Formulir
ini dipakai untuk kepentingan verbal otopsi bagi kematian
perinatal-neonatal yang terjadi di komunitas. Selain itu,
formulir ini juga dipakai untuk mendapatkan informasi
non-medis seputar kematian perinatal-neonatal, baik untuk
kematian perinatal-neonatal di masyarakat maupun di
fasilitas kesehatan.
4) Formulir Rekam Medik Kematian Perinatal-neonatal (RMP)
Formulir ini diisi untuk setiap kematian perinatal-neonatal
yang terjadi di fasilitas kesehatan. Untuk kematian yang
terjadi di bidan di desa, BPS, RB, dan Puskesmas formulir
akan diisi oleh Bidan Koordinator/Bidan yang ditunjuk dari
Puskesmas Kecamatan tempat domisili kasus yang meninggal.
Sedangkan untuk kasus yang meninggal di RS, formulir akan
diisi oleh dokter penanggung jawab perawatan dengan
diketahui oleh direktur RS. Untuk kasus yang meninggal di
perjalanan dan sampai RS sebagai DOA, maka formulirRMP
tetap diisi oleh Petugas RS.
5) Formulir Rekam Medik Kematian Perinatal-neonatal
Perantara (RMPP) Formulir ini diisi untuk mendapatkan
informasi layanan kesehatan pada kasus kematian yang
pernah mendapat perawatan di fasilitas kesehatan lain
sebelum dirawat di fasilitas kesehatan tempat bayi meninggal.
Instrumen laporan kematian tersebut merupakan sumber data
yang dipakai dalam melaksanakan rangkaian kegiatan
Audit Maternal Perinatal (AMP).
Pengertian audit maternal perinatal-neonatal tingkat
kabupaten adalah serangkaian kegiatan penelusuran sebab
kematian atau kesakitan ibu, perinatal, dan neonatal guna
mencegah kesakitan atau kematian serupa di masa yang akan
datang.
Kematian neonatal adalah kematian bayi lahir hidup yang
kemudian meninggal sebelum 28 hari kehidupannya, dapat
dipilah menjadi 2 kelompok, yaitu:
a) kematian neonatal dini: kematian bayi yang terjadi pada 7
hari pertama kehidupannya.
b) kematian neonatal lanjut: kematian bayi yang terjadi pada
masa 8-28 hari kehidupannya
Pelaksanaan AMP terdiri dari tujuh langkah berurutan yang
melibatkan seluruh komponen Tim AMP kab/kota, langkah 1
dilaksanakan oleh puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya,
langkah 2 s/d 7 dilaksanakan oleh tim AMP kab/kota.
Langkah 1 : Identifikasi Kasus Kematian dan Pelaporan Data
Kematian
Langkah 2 : Registrasi dan anonimasi
Langkah 3 : Pemilihan Kasus dan Pengkajinya, serta
Penjadwalan Pengkajian
Langkah 4 : Penggandaan dan Pengiriman Bahan Kajian
Langkah 5 : Pertemuan Pengkajian Kasus
Langkah 6 : Pendataan dan Pengolahan Hasil Kajian
Langkah 7 : Pemanfaatan Hasil Kajian
Formulir data kematian yang sudah diisi oleh Bidan
Koordinator atau oleh petugas yang ditunjuk oleh Pimpinan
Fasilitas Pelayanan tidak perlu diarsipkan oleh pihak pengisi/
pengirim untuk meminimalkan risiko kegagalan anonimasi
(rahasia). Dokumentasi data pasien di fasilitas pelayanan
adalah rekam medik pasien, dan bukan formulir data
kematian yang diperuntukkan bagi keperluan AMP. Formulir
yang telah diisi dengan lengkap sebelum dikirim harus
diketahui (dibubuhi tanda tangan mengetahui) oleh Kepala
Puskesmas (untuk kejadian kematian di masyarakat) atau
Pimpinan Fasiltas Pelayanan (bila kejadian kematian di
fasilitas pelayanan kesehatan) sebagai penanggungjawab
pengiriman berkas. Berkas dikirim kepada Penanggung jawab
Tim AMP melalui Koordinator Tim Manajemen AMP
Kabupaten/Kota dalam amplop tertutup dengan label
RAHASIA pada sisi kanan atas amplopnya. Pengiriman dapat
dilakukan oleh petugas yang bersangkutan atau oleh kurir
yang ditunjuk oleh pihak penanggungjawab pengiriman.
Pengirim berkas berhak mendapatkan bukti penerimaan
berkas dari Sekretariat Tim Manajemen AMP Kabupaten/Kota.
3. PWS KIA (Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak)
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA)
adalah alat manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA
di suatu wilayah kerja secara terus menerus, agar dapat dilakukan
tindak lanjut yang cepat dan tepat.
Program KIA yang dimaksud meliputi pelayanan ibu hamil, ibu
bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi kebidanan, keluarga
berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan komplikasi, bayi,
dan balita. Kegiatan PWS KIA terdiri dari pengumpulan, pengolahan,
analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan informasi ke
penyelenggara program dan pihak/instansi terkait untuk tindak
lanjut.
Data neonatus yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan PWS
KIA adalah:
a. Data sasaran: jumlah seluruh bayi
b. Data pelayanan :
1) Jumlah neonatus yang mendapatkan pelayanan kesehatan
pada umur 6 – 48 jam (KN1)
2) Jumlah neonatus yang mendapatkan pelayanan kesehatan
lengkap pada umur 0-28 hari (KN1+ KN2+KN3)
3) Jumlah neonatus dengan komplikasi yang ditangani (NK)
Sumber data
• Data sasaran berasal dari perkiraan jumlah sasaran yang
dihitung berdasarkan rumus (sasaran bayi= CBR atau Angka
Kelahiran Kasar dikalikan Jumlah Penduduk).
Bidan/perawat penanggungjawab di desa bersama dukun
bersalin/bayi dan kader melakukan pendataan dan pencatatan
sasaran di wilayah kerjanya.
• Data pelayanan berasal dari Register kohort ibu dan Register
kohort bayi.
Pengolahan data antara lain berupa grafik antar waktu atau antar
wilayah meliputi:
• Grafik cakupan Kunjungan Neonatus 1 (KN1)
• Grafik cakupan Kunjungan Neonatus Lengkap (KN L)
• Grafik cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani
(NK)
Analisis data
• Analisis sederhana dengan membandingkan cakupan KN 1/ KN
L/NK dengan target atau kecenderungan cakupan dari waktu ke
waktu
• Analisis lanjut dengan membandingkan cakupan KN 1/KN
L/NK dengan indikator terkait. Antara lain:
KN 1 dengan Persalinan Nakes, Kunjungan Nifas,imunisasi
HB 0, IMD
KN L dengan Kunjungan Nifas,KB
Rencana Tindak Lanjut
• Tingkat bidan di desa
• Tingkat puskesmas
Bayi baru lahir cenderung memiliki kadar vitamin K dan cadangan
vitamin K dalam hati yang relatif lebih rendah dibanding bayi yang
lebih besar. Sementara itu asupan vitamin K dari ASI belum
mencukupi (0,5 ng/L), sedangkan vitamin K dari makanan
tambahan dan sayuran belum dimulai. Hal ini memicu bayi
baru lahir cenderung mengalami defisiensi vitamin K sehingga
berisiko tinggi untuk mengalami PDVK. Di beberapa negara Asia
angka kesakitan bayi karena PDVK berkisar antara 1: 1.200 sampai
1 : 1.400 Kelahiran Hidup. Angka tersebut dapat turun menjadi
1:10.000 dengan pemberian profilaksis vitamin K1 pada bayi baru
lahir.
Permasalahan akibat PDVK adalah terjadinya perdarahan otak
dengan angka kematian 10 – 50% yang umumnya terjadi pada bayi
dalam rentang umur 2 minggu sampai 6 bulan, dengan akibat
angka kecacatan 30 – 50%. Secara nasional belum ada data PDVK,
sedangkan data dari bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM
(tahun 1990-2000) menunjukkan ada nya 21 kasus,
diantaranya 17 (81%) mengalami komplikasi perdarahan
intrakranial (catatan medik IKA RSCM 2000). Selain itu, salah satu
akibat defisiensi vitamin K terlihat pada kejadian ikutan pasca
imunisasi (KIPI) berupa perdarahan yang timbul sekitar 2 jam
sampai 8 hari paska imunisasi. Dari data Komnas KIPI jumlah
kasus perdarahan paska imunisasi yang diduga karena defisiensi
vitamin K selama tahun 2003 sampai 2006 sebanyak 42 kasus,
dimana 27 kasus (65%) diantaranya meninggal.
Dalam beberapa kali Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak
(KONIKA), dan Kongres Perhimpunan Hematologi dan Transfusi
Darah negara kita (PHTDI) ke VIII tahun 1998 dan ke IX tahun 2001
telah direkomendasikan pemberian profilaksis vitamin K pada bayi
baru lahir. Hal ini mendorong dilakukannya kajian oleh Health
Technology Assesment (HTA) Depkes bekerjasama dengan
.
organisasi profesi terhadap pemberian injeksi vitamin K1 profilaksis
pada bayi baru lahir, yang merekomendasikan bahwa semua bayi
baru lahir harus mendapat profilaksis vitamin K, regimen vitamin K
yang dipakai adalah vitamin K1, dan cara pemberian secara
intramuskular (Rekomendasi A).
Di negara kita selama ini pemberian vitamin K umumnya hanya
diberikan pada bayi baru lahir yang memiliki risiko saja seperti
BBLR, bayi lahir dengan tindakan traumatis, bayi lahir dari ibu
yang mengkonsumsi obat anti koagulan, obat anti kejang dll.
Berkaitan dengan kasus KIPI yang diduga kuat karena defisiensi
vitamin K, dimana petugas kesehatan di lapangan tidak mengetahui
bahwa berbagai kasus KIPI sebenarnya dapat dicegah dengan
pemberian profilaksis vitamin K1, maka perlu suatu pedoman teknis
tentang pemberian profilaksis vitamin K1.
2. Pengertian
a. Vitamin K
Vitamin K adalah vitamin yang larut dalam lemak, merupakan
suatu naftokuinon yang berperan dalam modifikasi dan aktivasi
beberapa protein yang berperan dalam pembekuan darah,
seperti faktor II,VII,IX,X dan antikoagulan protein C dan S, serta
beberapa protein lain seperti protein Z dan M yang belum
banyak diketahui peranannya dalam pembekuan darah.
Ada tiga bentuk vitamin K yang diketahui yaitu:
1) Vitamin K1 (phytomenadione), ada pada sayuran hijau.
Sediaan yang ada saat ini adalah cremophor dan vitamin K
mixed micelles (KMM).
2) Vitamin K2 (menaquinone) disintesis oleh flora usus normal
seperti Bacteriodes fragilis dan beberapa strain E. coli.
3) Vitamin K3 (menadione) yang sering dipakai sekarang
merupakan vitamin K sintetik tetapi jarang diberikan lagi
pada neonatus karena dilaporkan dapat memicu
anemia hemolitik.
Secara fisiologis kadar faktor koagulasi yang tergantung vitamin
K dalam tali pusat sekitar 50% dan akan menurun dengan cepat
mencapai titik terendah dalam 48-72 jam sesudah kelahiran.
Kemudian kadar faktor ini akan bertambah secara perlahan
selama beberapa minggu tetap berada dibawah kadar orang
dewasa. Peningkatan ini disebabkan oleh absorpsi vitamin K
dari makanan. Sedangkan bayi baru lahir relatif kekurangan
vitamin K karena berbagai alasan, antara lain karena simpanan
vitamin K yang rendah pada waktu lahir, sedikitnya transfer
vitamin K melalui plasenta, rendahnya kadar vitamin K pada
ASI dan sterilitas saluran cerna.
Sediaan vitamin K yang ada di negara kita adalah vitamin K3
(menadione) dan vitamin K1 (phytomenadione). Yang
direkomendasikan oleh berbagai negara di dunia adalah vitamin
K1. Australia sudah mengpakai vitamin K1 sebagai regimen
profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir (sejak tahun 1961). Hasil
kajian HTA tentang pemberian profilaksis dengan vitamin K adalah
vitamin K1 . Selain sediaan injeksi, ada pula sediaan tablet oral 2
mg, tetapi absorpsi vitamin K1 oral tidak sebaik vitamin K1 intra
muskular, terutama pada bayi yang menderita diare. Disamping
efikasi, keamanan, bioavailabilitas dan dosis optimal, sediaan
oral untuk mencegah PDVK masih memerlukan penelitian.
Pemberian vitamin K1 oral memerlukan dosis pemberian selama
beberapa minggu (3x dosis oral, masing-masing 2 mg yang
diberikan pada waktu lahir, umur 3-5 hari dan umur 4-6
minggu), sebagai konsekuensinya maka tingkat kepatuhan
orang tua pasien merupakan suatu masalah tersendiri.
b. Pendarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK)
PDVK dapat terjadi spontan atau pendarahan karena proses
lain seperti pengambilan darah vena atau pada operasi,
disebabkan karena berkurangnya faktor pembekuan darah
(koagulasi) yang tergantung pada vitamin K yaitu faktor II, VII,
IX dan X. Sedangkan faktor koagulasi lainnya, kadar fibrinogen
dan jumlah trombosit dalam batas normal.
c. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang sering ditemukan adalah perdarahan,
pucat dan hepatomegali ringan. Perdarahan dapat terjadi
spontan atau akibat trauma, terutama trauma lahir. Pada
kebanyakan kasus perdarahan terjadi di kulit, mata, hidung
dan saluran cerna (muntah atau berak darah). Perdarahan kulit
sering berupa purpura, ekimosis atau perdarahan melalui bekas
tusukan jarum suntik.
Tempat perdarahan yang utama adalah umbilikus, membran
mukosa, saluran cerna, sirkumsisi dan pungsi vena. Selain itu
perdarahan dapat berupa hematoma yang ditemukan pada
tempat trauma, seperti sefal hematoma. Akibat lebih lanjut
adalah timbulnya perdarahan intrakranial yang merupakan
pemicu mortalitas atau morbiditas yang menetap.
Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi tersering (63%)
di mana 80-100% berupa perdarahan subdural dan
subaraknoid. Pada perdarahan intrakranial didapatkan gejala
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) bahkan kadang-kadang
tidak menunjukkan gejala ataupun tanda. Pada sebagian besar
kasus (60%) didapatkan sakit kepala, muntah, anak menjadi
iritabel, ubun-ubun besar menonjol, pucat dan kejang. Kejang
yang terjadi dapat bersifat fokal atau umum. Gejala yang mudah
dikenali adalah tangisan bayi yang melengking dengan nada
tinggi (high pitch cry) yang tidak bisa dihentikan walaupun bayi
tersebut sudah ditenangkan dengan cara meletakkan dipundak
sambil dielus-elus punggungnya. Gejala lain yang dapat
ditemukan adalah fotofobia, edema papil, penurunan
kesadaran, perubahan tekanan nadi, pupil anisokor serta
kelainan neurologis fokal.
3. Tujuan
a. Tujuan Umum
Menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian bayi
akibat PDVK.
b. Tujuan khusus
1) Tercapainya target pemberian profilaksis injeksi vitamin K1
pada bayi baru lahir sedini mungkin yaitu 1-2 jam sesudah
lahir.
2) Tercapainya target pelayanan kesehatan pada bayi baru
lahiryang komprehensif di tingkat pelayanan dasar.
3) Terlindunginya bayi baru lahir terhadap PDVK.
4) Meningkatnya jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan
bagi bayi baru lahir.
4. Pelaksana
Tenaga kesehatan yang melakukan pertolongan persalinan atau
petugas pelayanan kesehatan ibu dan anak di semua unit
pelayanan kesehatan.
5. Kebijakan Dan Strategi
a. Kebijakan
1) Penyelenggaraan pemberian profilaksis injeksi vitamin K1
dilaksanakan oleh fasilitas kesehatan pemerintah, swasta
dan masyarakat yang berbasis hak anak melalui kerjasama
lintas program dan lintas sektor.
2) Mengupayakan pemerataan jangkauan pelayanan
pemberian profilaksis injeksi vitamin K1 pada bayi baru
lahir.
3) Mengupayakan kualitas pelayanan kesehatan bagi bayi
baru lahir yang bermutu.
4) Mengupayakan kesinambungan penyelenggaraan melalui
perencanaan program dan anggaran terpadu.
b. Strategi
1) Pelayanan pemberian injeksi vitamin K1 profilaksis
dilaksanakan oleh tenaga kesehatan segera sesudah lahir
atau pada saat Kunjungan Neonatal Pertama (KN1) jika
persalinan ditolong oleh dukun.
2) Menerapkan sistem PWS-KIA untuk menentukan prioritas
kegiatan serta tindakan perbaikan.
3) Menjamin ketersediaan dana, kecukupan sediaan vitamin
K1 injeksi dan alat suntik.
4) Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan secara
berjenjang.
B. PELAKSANAAN PEMBERIAN INJEKSI VITAMIN K1 PROFILAKSIS
1. Cara Pemberian
a. Semua bayi baru lahir harus diberikan injeksi vitamin K1
profilaksis.
b. Jenis vitamin K yang dipakai adalah vitamin K1
(phytomenadione) injeksi dalam sediaan ampul yang berisi 10
mg Vitamin K1 per 1 ml.
c. Cara pemberian profilaksis injeksi vitamin K1 adalah :
1) Masukkan vitamin K1 ke dalam semprit sekali pakai steril 1
ml, kemudian disuntikkan secara intramuskular di paha kiri
bayi bagian anterolateral sebanyak 1 mg dosis tunggal,
diberikan paling lambat 2 jam sesudah lahir.
2) Vitamin K1 injeksi diberikan sebelum pemberian imunisasi
hepatitis B0 (uniject), dengan selang waktu 1-2 jam.
Phytomenadion (Vitamin K1)
d. Pada bayi yang akan dirujuk tetap diberikan vitamin K1 dengan
dosis dan cara yang sama.
e. Pada bayi yang lahir tidak ditolong bidan, pemberian vitamin K1
dilakukan pada kunjungan neonatal pertama (KN 1) dengan
dosis dan cara yang sama.
f. sesudah pemberian injeksi vitamin K1, dilakukan observasi.
Pemberian Vitamiin K1 (paha kiri anterolateral)
.
2. Persiapan Melakukan Suntikan Intra Muskular
a. Letakan bayi dengan posisi punggung di bawah
b. Lakukan desinfeksi pada bagian tubuh bayi yang akan
diberikan suntikan intramuskular (IM)
1) Muskulus Kuadriseps pada bagian antero lateral paha
(lebih dipilih karena resiko kecil terinjeksi secara IV atau
mengenai tulang femur dan jejas pada nervus skiatikus)
2) Muskulus deltoideus (Mengandung sedikit lemak atau
jaringan subkutan sehingga memudahkan penyuntikan).
Area ini dipakai hanya untuk pemberian imunisasi
bukan untuk pemberian obat lain.
c. Cara Memberikan Suntikan Intra Muskular
1) Pilih daerah otot yang akan disuntik. Untuk memudahkan
identifikasi suntikan vitamin K1 di paha kiri dan suntikan
imunisasi HB0 di paha kanan.
2) Bersihkan daerah suntikan dengan kasa atau bulatan
kapas yang telah direndam dalam larutan antiseptik dan
biarkan mengering.
3) Yakinkan bahwa jenis dan dosis obat yang diberikan
sudah tepat.
4) Isap obat yang akan disuntikkan kedalam semprit dan
pasang jarumnya.
5) Bila memungkinkan pegang bagian otot yang akan
disuntik dengan mengpakai ibu jari dan jari telunjuk.
6) Dengan satu gerakan cepat, masukkan jarum tegak lurus
melalui kulit.
7) Tarik tuas semprit perlahan untuk meyakinkan bahwa
ujung jarum tidak menusuk dalam vena
8) Bila dijumpai darah:
a) Cabut jarum tanpa menyuntikkan obat
b) Pasang jarum steril yang baru ke semprit
c) Pilih tempat penyuntikkan yang lain
d) Ulangi prosedur diatas
9) Bila tidak dijumpai darah, suntikan obat dengan tekanan
kuat dalam waktu 3-6 detik.
10) Bila telah selesai, tarik jarum dengan sekali gerakan halus
dan tekan dengan bola kasa steril kering
11) Catat tempat penyuntikan untuk memudahkan
identifikasi.
3. Logistik
a. Sediaan Vitamin K1 : Ampul 10 mg/1ml
b. Semprit steril sekali pakai 1 ml dengan jarum 26 G (semprit
tuberculin)
c. Menghitung kebutuhan berdasarkan:
1) Sensus desa (jumlah penduduk)
.
2) Proyeksi angka kelahiran (CBR x Jumlah Penduduk)
menjadi Kebutuhan vitamin K1 sesuai jumlah bayi baru
lahir
d. Penyimpanan sediaan
Sediaan disimpan di tempat yang kering, sejuk dan
terhindar dari cahaya.
C. SUPERVISI, MONITORING DAN EVALUASI
1. Supervisi
Cakupan yang tinggi saja tidak cukup untuk mencapai tujuan akhir
program pemberian injeksi vitamin K1 profilaksis yaitu menurunkan
angka kesakitan dan kematian karena PDVK.
Cakupan yang tinggi harus disertai mutu program yang tinggi pula.
Untuk meningkatkan mutu program, pembinaan dari atas
(supervisi) sangat diperlukan.
Supervisi dilakukan secara berjenjang pada institusi pemerintah
maupun swasta untuk mengukur :
a. Cakupan dan target pemberian injeksi vitamin K1 profilaksis
b. Data PDVK
c. Ketenagaan
d. Logistik dan distribusi
e. Pencatatan dan pelaporan
f. Hasil kerjasama lintas program/sektoral
g. Permasalahan yang ditemukan.
2. Monitoring Dan Evaluasi
Untuk memantau kegiatan pemberian injeksi vitamin K1 profilaksis
pada bayi baru lahir dipakai pemantauan wilayah setempat
kesehatan ibu dan anak (PWS-KIA), melalui indikator cakupan
kunjungan neonatal I (KN1).
Untuk mengetahui hasil ataupun proses kegiatan bila dibandingkan
dengan target atau yang diharapkan, antara lain dengan cara :
Evaluasi Dengan Data Sekunder
Dari angka-angka yang dikumpulkan oleh Puskesmas selain
dilaporkan juga perlu dianalisis. Bila cara menganalisisnya baik dan
teratur, akan memberikan banyak informasi penting yang dapat
menentukan kebijakan program.
a. Menilai dampak pemberian Vitamin K1 injeksi
Adanya penurunan angka kesakitan dan kematian bayi karena
PDVK dari laporan AMP Puskesmas ataupun laporan Rumah
Sakit.
b. Stok Sediaan
Data stok diambil dari pencatatan LPLPO dapat memberikan
gambaran pemakaian dan distribusi.
c. Cakupan per tahun
.