jaga sarana kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dll) sebagai tempat
penyembuhan, bukan menjadi sumber infeksi. Berkaitan dengan hal di atas
maka diperlukan rangkaian program yang berkesinambungan dalam rangka
pencegahan dan pengendalian Infeksi (PPI). Untuk meminimalkan risiko
terjadinya infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
perlu diterapkan pencegahan dan pengendalian infeksi. Rumah Sakit/Klinik
sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan tidak saja memberikan pelayanan
kuratif dan rehabilitatif namun juga memberikan pelayanan preventif dan
promotif ,
Alat Pelindung Diri merupakan salah satu bentuk usaha dalam menanggulangi
risiko akibat kerja. Dalam dunia kerja, pemakaian Alat Pelindung diri sangat
dibutuhkan terutama pada lingkungan kerja yang memiliki potensi bahaya bagi
kesehatan dan keselamatan kerja , pemakaian Alat
Pelindung Diri (APD) merupakan salah satu usaha memutus rantai penularan
infeksi dari bagian kewaspadaan standart .
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 66 tahun 2016 tentang kesehatan
keselamatan kerja di Rumah Sakit, menyatakan bahwa Rumah Sakit
merupakan tempat kerja yang memiliki risiko tinggi terhadap keselamatan dan
kesehatan sumber daya kita rumah sakit, pasien, pendamping pasien,
pengunjung maupun lingkungan Rumah Sakit. Jika memperhatikan isi dari
pasal ini maka jelaslah bahwa Rumah Sakit termasuk dalam kriteria
tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan
dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di
Rumah Sakit, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung Rumah Sakit
Pengurus diwajibkan menyediakan secara cuma-cuma, semua Alat
Perlindungan Diri (APD) yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di
bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki
tempat kerja ini , disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan
menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja
Kepatuhan tenaga kerja dalam pemakaian alat pelindung diri dapat
mengurangi risiko kecelakaan atau penyakit akibat kerja, yaitu dengan patuh
terhadap peraturan yang sudah disepakati perusahaan dalam mengurangi risiko
kecelakaan kerja. Ketidakpatuhan pemakaian APD sangat memengaruhi
kejadian kecelakaan akibat kerja dan penyakit akibat kerja yang akan
memicu 5 jenis kerugian di antaranya yaitu kerusakan, kekacauan
organisasi, keluhan dan kesedihan, kelainan dan cacat, kematian. . Salah satu potensi bahaya di rumah sakit yaitu terpapar penyakit yang
dapat mengganggu kesehatan kerja, terutama bagi perawat, di mana perawat
merupakan seorang yang memiliki kemampuan khusus untuk memberikan
pelayanan kesehatan dan bertanggung jawab dalam pencegahan penyakit baik
pasien maupun dirinya sendiri
Untuk tenaga kesehatan yang melakukan tindakan pelayanan kesehatan
berisiko tinggi seperti tindakan bedah atau tindakan lain yang memiliki risiko
penularan tinggi harus memakai APD yang sudah memenuhi standar mutu
dan keamanan
5.2 Konsep Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri yaitu pakaian khusus atau peralatan yang dipakai petugas
untuk memproteksi diri dari bahaya fisik, kimia, biologi/bahan infeksius. APD
terdiri dari sarung tangan, masker/Respirator Partikulat, pelindung mata
(goggle), perisai/pelindung wajah, kap penutup kepala, gaun pelindung/apron,
sandal/sepatu tertutup (Sepatu Boot)
Alat Pelindung Diri (APD) yaitu seperangkat alat keselamatan yang
dipakai oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya dari
kemungkinan adanya pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap
kecelakaan dan penyakit akibat kerja . Alat Pelindung Diri
(APD) yaitu perangkat alat yang dirancang sebagai penghalang terhadap
penetrasi zat, partikel padat, cair, atau udara untuk melindungi pemakainya
dari cedera atau penyebaran infeksi atau penyakit
Tujuan Pemakaian APD yaitu melindungi kulit dan membran mukosa dari
risiko pajanan darah, cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan
selaput lendir dari pasien ke petugas dan sebaliknya. Indikasi pemakaian
APD yaitu jika melakukan tindakan yang memungkinkan tubuh atau
membran mukosa terkena atau terpercik darah atau cairan tubuh atau
kemungkinan pasien terkontaminasi dari petugas (Estri et al., 2019).
Tujuan alat pelindung diri yaitu untuk menghalangi pajanan bahan infeksius
pada kulit, mulut, hidung atau mata (selaput lender) tenaga kesehatan, pasien
atau pemakaian kesehatan (Kemkes, 2020). pemakaian APD yang efektif
perlu didasarkan pada potensi paparan, dampak penularan yang ditimbulkan
serta memahami dasar kerja setiap jens APD yang dipakai
Melepas APD segera dilakukan jika tindakan sudah selesai di lakukan. Tidak
dibenarkan menggantung masker di leher, memakai sarung tangan sambil
menulis dan menyentuh permukaan lingkungan .
5.3 Jenis – Jenis Alat Pelindung Diri
5.3.1 Gloves/Sarung tangan → proteksi tangan
1. Tujuan pemakaian : Melindungi tangan dari kontak dengan darah,
semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh,
selaput lendir pasien dan benda yang terkontaminasi
2. Jenis sarung tangan : ada tiga jenis sarung tangan, yaitu:
a. Sarung tangan bedah (steril), dipakai sewaktu melakukan
tindakan invasif atau pembedahan.
b. Sarung tangan pemeriksaan (bersih), dipakai untuk melindungi
petugas pemberi pelayanan kesehatan sewaktu melakukan
pemeriksaan atau pekerjaan rutin
c. Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu memproses
peralatan, menangani bahan-bahan terkontaminasi, dan sewaktu
membersihkan permukaan yang terkontaminasi
3. Bahan dasar : Vinyl, Latex atau Nitrile
Umumnya sarung tangan bedah terbuat dari bahan lateks sebab elastis,
sensitif dan tahan lama serta dapat disesuaikan dengan ukuran tangan. Bagi
mereka yang alergi terhadap lateks, tersedia dari bahan sintetik yang
menyerupai lateks, disebut „nitril‟. Sedangkan sarung tangan rumah tangga
terbuat dari karet tebal, tidak fleksibel dan sensitif, namun memberikan
perlindungan maksimum sebagai pelindung pembatas. ada sediaan dari
bahan sintesis yang lebih murah dari lateks yaitu „vinil‟ namun sayangnya tidak
elastis, ketat dipakai dan mudah robek
4. Indikasi Pemakaian Sarung Tangan :
1) Sarung tangan steril
Jika melakukan tindakan steril yang kontak dengan darah atau cairan tubuh
pasien
a. Tindakan operasi
b. Tindakan invasiv
c. Rawat luka
d. Mencampur obat intra vena multidose di farmasi
2) Sarung tangan rumah tangga
Jika melakukkan tindakan yang terkait dengan bahan kimia dan permukaan
lingkungan atau peralatan kesehatan yang terkontaminasi
a. Pembersihan rutin permukaan lingkungan
b. Menangani peralatan atau permukaan lingkungan yang
terkontaminasi
c. Menangani limbah
d. Membersihkan cipratan darah atau cairan tubuh
e. memakai chemical
f. Membersihkan instrument
5. Hal-hal yang harus diperhatikan :
a. Lakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah memakai
sarung tangan
b. pakai sarung tangan berbeda untuk setiap pasien
c. Pahami tehnik memakai dan melepas sarung tangan
d. Sarung tangan tidak boleh reuseable (kecuali sarung tangan
rumah tangga
e. Ganti sarung tangan bila tampak rusak/bocor
f. Segera lepas sarung tangan jika sudah selesai dipakai
g. Buang sarung tangan sesudah dipakai ke tempat pembuangan
sampah sesuai prosedur
h. Pilih jenis sarung tangan sesuai tindakan
5.3.2 Face Protection/Masker → proteksi wajah, mulut,
hidung
1. Tujuan pemakaian : untuk melindungi wajah dan membrane mukosa
mulut dan hidung dari cipratan darah dan cairan tubuh dari pasien
atau permukan lingkungan yang kotor dan melindungi pasien dari
petugas pada saat batuk atau bersin
2. Jenis masker : ada tiga jenis masker, yaitu:
a. Masker bedah, untuk tindakan bedah atau mencegah penularan
melalui droplet
b. Masker Respiratorik, untuk mencegah penularan melalui
airborne
c. Masker rumah tangga dipakai dibagian gizi atau dapur
3. Indikasi Pemakaian Masker : Tindakan yang memungkinkan mata
dan wajah terciprat darah atau cairan tubuh pasien
Indikasi masker bedah
a. Pemakian sehari-hari di pelayanan kesehatan
b. Tindakan non aerosol
c. Indikasi masker Repirator : N 95
d. Tindakan intubasi
e. Pengambilan swab
f. Pertolongan persalinan dll
4. Cara memakai Masker :
a. Memegang pada bagian tali (kaitkan pada telinga jika
memakai kaitan tali karet atau simpulkan tali di belakang
kepala jika memakai tali lepas).
b. Eratkan tali kedua pada bagian tengah kepala atau leher
c. Tekan klip tipis fleksibel (jika ada) sesuai lekuk tulang hidung
dengan kedua ujung jari tengah atau telunjuk
d. Membetulkan agar masker melekat erat pada wajah dan di bawah
dagu dengan baik
e. Tekan klip tipis fleksibel (jika ada) sesuai lekuk tulang hidung
dengan kedua ujung jari tengah atau telunjuk
f. Periksa ulang untuk memastikan bahwa masker sudah melekat
dengan benar
5.3.3 Head coverings/Pelindung Kepala → proteksi Kepala
1. Tujuan pemakaian : mencegah jatuhnya rambut atau kotoran di
rambut dan kulit kepala petugas terhadap alat-alat daerah steril dan
juga sebaliknya untuk melindungi kepala/rambut petugas dari
percikan darah, cairan tubuh , sekresi dan ekskresi
2. Prinsipnya : semua rambut masuk kedalam topi
3. Bahan : single use, reuse → mudah di bersihkan dengan air &
deterjen/desinfektan
4. Indikasi antara lain:
a. Tindakan Operasi
b. Pemasangan kateter vena sentral
c. Pertolongan persalinan
d. Petugas di bagian dapur, dll
76
5.3.4 Googles/Kaca mata → proteksi mata
1. Tujuan pemakaian : Melindungi mata dan area di sekitar mata
pengguna atau tenaga medis dari percikan cairan atau darah atau
droplet
2. 2. Bahan dasar : Plastik/Arcylic bening
3. Indikasi antara lain : Pada saat tindakan operasi, pertolongan
persalinan dan tindakan persalinan tindakan perawatan gigi dan
mulut, pencampuran B3 cair, pemulasaraan jenazah, penanganan
linen terkontaminasidi laundry, di ruang dekontaminasi CSSD
4. Hal-hal yang harus diperhatikan :
a. Goggle tahan terhadap air dan goresan
b. Frame goggle bersifat fleksibel untuk menyesuaikan dengan
kontur wajah tanpa tekanan yang berlebihan
c. Ikatan goggle dapat disesuaikan dengan kuat sehingga tidak
longgar saat melakukan aktivitas klinis
d. Tersedia celah angin/ udara yang berfungsi untuk mengurangi
uap air.
e. Goggle tidak diperbolehkan untuk diperpakai kembali jika ada
bagian yang rusak
Bab 5 pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) 77
5.3.5 Gown/Aprons/Gaun Pelindung → proteksi kulit dan
atau pakaian
1. Tujuan pemakaian : Melindungi pengguna atau tenaga kesehatan
dari penyebaran infeksi atau penyakit, hanya melindungi bagian
depan, lengan dan setengah kaki (Gortap, 2021). tujuan pemakaian Gown/apron untuk melindungi baju
petugas dari kemungkinan paparan atau percikan darah atau cairan
tubuh, sekresi, eksresi atau melindungi pasien dari paparan pakaian
petugas pada tindakan steril.
2. Jenis-jenis gaun pelindung:
a. Gaun pelindung tidak kedap air
b. Gaun pelindung kedap air
c. Gaun steril
d. Gaun non steril
3. Bahan :
a. Kain : dapat dipakai kembali (reuseable)
b. Plastik : sekali pakai
c. Kertas : sekali pakai
Bahan : Non woven, Serat Sintetik (Polypropilen, polyester, polyetilen, dupont
tyvex)
4. Indikasi pemakaian gaun pelindung :
a. Membersihkan luka
b. Tindakan drainase
78
c. Menuangkan cairan terkontaminasi kedalam lubang pembuangan
atau WC/toilet
d. Menangani pasien perdarahan masif
e. Tindakan bedah
f. Perawatan gigi
g. Tindakan penanganan alat yang memungkinkan pencemaran /
kontaminasi lengan dan pakaian petugas
5. Hal-hal yang harus diperhatikan :
a. Tutupi badan sepenuhnya dari leher hingga lutut, lengan hingga
bagian pergelangan tangan dan selubungkan ke belakang
punggung. Ikat di bagian belakang leher dan pinggang.
b. Berwarna terang/ cerah agar jika ada kontaminan dapat
terdeteksi/ terlihat dengan mudah.
c. Tahan terhadap penetrasi cairan, darah, virus
d. Tahan terhadap aerosol, airborne, partikel padat
e. Panjang gaun setengah betis untuk menutupi bagian atas sepatu
boots
f. Apron lurus dengan kain penutup dada
g. Berat minimal: 300g/m2
5.3.6 Sepatu/Boot → proteksi kaki
1. Tujuan pemakaian : Melindungi kaki pengguna/tenaga kesehatan
dari percikan cairan atau darah. Menurut (Kemkes, 2020) melindung
kaki petugas dari tumpahan/percikan darah atau cairan tubuh lainnya
dan mencegah dari kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan
alat kesehatan, sepatu tidak boleh berlubang agar berfungsi optimal.
2. Bahan : karet atau bahan tahan air atau bisa dilapisi dengan kain
tahan air. Menurut (Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2020) bahan sepatu/boot terbuat dari Latex dan PVC.
3. Indikasi pemakaian sepatu pelindung :
a. Penanganan pemulasaraan jenazah o Penanganan limbah
b. Tindakan operasi
c. Pertolongan dan Tindakan persalinan
d. Penanganan linen
e. Pencucian peralatan di ruang gizi
f. Ruang dekontaminasi CSSD (Kemkes, 2020)
4. Hal-hal yang harus diperhatikan :
a. Bersifat non-slip, dengan sol PVC yang tertutup sempurna
b. Memiliki tinggi selutut susaha lebih tinggi daripada bagian
bawah gaun
c. Berwarna terang agar kontaminasi dapat terdeteksi dengan
mudah
d. Sepatu boot tidak boleh diperpakai kembali jika ada bagian
yang rusak
e. Disarankan tahan air
5.4 Prinsip pemakaian Alat Pelindung
Diri (APD)
1. APD dipakai sesuai dengan risiko paparan : petugas kesehatan
harus menilai apakah mereka benar atau tidak berisiko terkena darah,
cairan tubuh, eksresi atau sekresi agar dapat memakai alat
pelindung diri sesuai yang sesuai dengan risiko.
2. Semua APD yang akan dipakai harus memenuhi standart
keamanan, perlindungan dan keselamatan pasien/petugas sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
80
3. Hindari kontak antara APD yang terkontaminasi (bekas) dan
permukaan pakaian atau lingkungan pelayanan kesehatan, buang
APD bekas pakai yang sesuai tempat limbah dan standart yang
ditetapkan
4. Tidak dibenarkan berbagai APD yang sama antara dua petugas/
individu
5. Lepaskan APD secara keseluruhan jika tidak dipakai lagi
6. Lakukan kebersihan tangan setiap kali melepas satu jenis APD,
ketika meninggalkan pasien untuk merawat pasien lain atau akan
melakukan prosedur yang lain
7. Cara memakai
8. Cara melepaskan
9. Cara mengumpulkan
Rumah sakit sebagai institusi penyedia jasa pelayanan kesehatan perseorangan
(pelayanan curatif), memiliki berbagai instalasi dan unit penunjang dalam
kegiatannya melayani pasien. Rumah sakit dalam melakukan aktivitasnya juga
menghasilkan limbah sebagai hasil samping kegiatan. Limbah yang dihasilkan
oleh rumah sakit berdasarkan wujudnya terdiri dari limbah padat, cair dan gas.
Limbah rumah rumah sakit terdiri dari limbah bahan berbahaya dan beracun
(limbah B3) yang disebut limbah medis, dan limbah yang bukan berbahaya
dan beracun (limbah non B3) disebut limbah domestik.
Limbah rumah sakit harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan
pencemaran di dalam rumah sakit maupun di lingkungan sekitar. Dampak
pencemaran limbah rumah sakit ialah timbulnya berbagai penyakit pada
kita , dan terjadinya kerusakan lingkungan. usaha pencegahan terhadap
terjadinya pencemaran limbah rumah sakit yaitu dengan melakukan
pengelolaan terhadap limbah menurut kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Pengelolaan limbah rumah sakit mengikuti prinsip-prinsip paradigma
pengelolaan limbah yaitu minimasi limbah serta penanganan limbah yang
meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan serta pengolahan
(pemusnahan) hingga limbah dikembalikan ke lingkungan secara aman.
6.2 Limbah Cair Rumah Sakit
Rumah sakit menyediakan pelayanan kesehatan perseorangan yaitu bersifat
kuratif antara lain rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Rumah sakit
menghasilkan limbah dengan karakteristik yang lebih beragam dibanding
institusi lainnya. Limbah rumah sakit ialah keseluruhan limbah yang
dihasilkan dari aktivitas rumah sakit dan kegiatan penunjang baik berwujud
padat, cair maupun gas. Limbah rumah sakit berdasarkan sifatnya digolongkan
menjadi limbah medis (limbah B3) dan limbah non medis (limbah domestik).
Limbah medis didefinisikan oleh
“Limbah medis yaitu yang berasal dari pelayanan medis, perawatan,
gigi, veterinari, farmasi atau sejenis, pengobatan, perawatan,
penelitian atau pendidikan yang memakai bahan-bahan beracun
dan infeksius berbahaya atau bisa membahayakan, kecuali jika
mendapat perlakukan khusus tertentu.”
Limbah cair rumah sakit ialah seluruh materi buangan berwujud cair yang
bersumber dari rumah sakit yang mungkin mengandung mikroorganisme
pathogen, bahan kimia beracun, dan radioaktivitas
Air limbah rumah sakit bersumber dari instalasi pelayanan medis, yang
mencakup rawat Inap, rawat jalan, rawat Intensif, rawat darurat, haemodialisa,
kamar jenazah dan bedah sentral. Selain dari instalasit pelayanan medis, air
limbah juga berasal dari instalasi penunjang medis yang mencakup dapur
pusat, laundry, laboratorium klinik, laboratorium patologi anatomi dan
radiologi. Sementara dari bagian penunjang non medis di antaranya bagian
administrasi dan perkantoran, asrama pegawai, rumah dinas serta kafetaria
(Departemen Kesehatan RI, 2009). Persentase paling tinggi dari limbah cair
rumah sakit ialah limbah cair domestik, yang berasal dari buangan dapur,
buangan kamar mandi dan air bekas laundry.
Air limbah domestik dan limbah klinis mengandung bahan pencemar organik
yang tinggi sehingga harus diolah secara biologis. Namun air limbah dari
laboratorium yang kandungannya terdiri dari banyak logam berat tidak cocok
dialirkan ke unit pengolahan biologis sebab akan mengganggu proses kerja
pengolahannya sehingga limbah ini harus diolah secara fisika terlebih
dahulu sebelum dialirkan ke IPAL (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Air limbah harus dikelola dengan baik agar parameter nya dapat memenuhi
syarat nilai baku mutu limbah cair sehingga effluent aman untuk dibuang ke
lingkungan. Batas maksimum limbah cair dari suatu aktivitas rumah sakit yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan disebut dengan baku mutu air llimbah
Fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit wajib melakukan pengolahan
terhadap limbah yang dihasilkan, limbah medis (B3) dan Non B3 /domestik
hingga memenuhi syarat baku mutu seperti disajikan dalam tabel 6.1 berikut.
Tabel 6.1: Baku Mutu Limbah Domestik Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Parameter Konsentrasi Paling Tinggi
Nilai Satuan
Fisika
Suhu 38 00C
Zat padat terlarut 2000 mg/L
Zat padat tersuspensi 200 mg/L
Kimia
pH 6-9
BOD 50 mg/L
COD 80 mg/L
TSS 30 mg/L
Minyak dan lemak MBAS 10 mg/L
Amonia Nitrogen 10 mg/L
Total Coliform 5000 (MPN/100 mL)
Bagi usaha/kegiatan fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan pengolahan
limbah B3, baku mutu dipersyaratkan sebagai berikut
Tabel 6.2: Baku Mutu Air limbah bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
melakukan pengolahan limbah B3
Parameter Konsentrasi Paling Tinggi
Nilai Satuan
Kimia
pH 6-9
Besi terlarut (Fe) 5 mg/L
Mangan terlarut (Mn) 2 mg/L
Barium, (Ba) 2 mg/L
Tembaga, (Cu) 2 mg/L
Seng, (Zn) 5 mg/L
Krom valensi 6, (Cr6+) 0,1 mg/L
Crom total (Cr) 0,5 mg/L
Cadmium, (Cd) 0,05 mg/L
Merkuri (Hg) 0,002 mg/L
Timbal, (Pb) 0,1 mg/L
Stanum, (Sn) 2 mg/L
6.2.1 Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit
Pengolahan limbah cair rumah sakit dilakukan dengan tujuan menghilangkan
bahan pencemar atau kontaminan dalam air limbah hingga hasil olahannya
aman untuk dipakai kembali dan efluent yang dibuang ke lingkungan, yakni
ke dlam tanah atau ke dalam air permukaan atau badan air tidak menimbulkan
gangguan.Pengolahan limbah cair rumah sakit dilakukan dengan tahapan fisik
dan kimia. Tahapan fisik yaitu pemisahan cairan dengan padatan melalui
pengendapan dan penyaringan. Tahapan kimia ialah pengikatan unsur-unsur
yang tidak dikehendaki yang tidak terpisahkan lewat tahap fisik melalui
penambahan koagulan.
1. Pengolahan Pendahuluan (Pre Treatment)
Sebelum air limbah masuk ke pengolahan primer dilakukan terlebih dahulu
pre-treatment untuk meringankan kerja proses selanjutnya dalam satu
rangkaian pengolahan limbah cair yaitu susaha materi-materi kasar tidak
memasuki IPAL. Selain itu lemak dan minyak yang ada dalam suatu limbah
cair dapat dipisahkan lewat pre treatment, serta konsentrasi limbah cair yang
akan diolah dapat diratakan. Pengolahan tahap ini memakai prinsip gaya
gravitasi, perbedaan berat jenis, pencampuran mekanis, dan sebagainya.
Unit-unit pengolahan pre treatment terdiri dari
a. Bar rack/bar screen merupajkan unit ini berfungsi dalam memisahkan
padatan-padatan yag terbawa oleh air limbah seperti plastik, kayu,
dan sebagainya yang termasuk sampah-sampah berukuran besar
untuk tidak mengganggu proses pengolahan lanjut dari air limbah.
bar rack atau bar screen berupa susunan besi yang dipasang pada
saluran inlet limbah.
b. Grit Chamber merupakan unit bangunan terbuat dari beton ini
berfungsi sebagai pemisah pada air limbah yang mengandung materi
pasir diskrit secara gravitasi.
c. Comminutors berupa unit mekanis yang desain untuk melakukan
pemarutan materi padatan yang masih lolos dari bar rack atau bar
screen. Unit ini biasanya dibuat jika air limbah mengandung banyak
padatan berukuran besar seperti sampah.
d. Fine Screen berupa unit bangunan ini dipasang jika limbah banyak
mengandung padatan halus atau materi tersuspensi, dengan tujuan
mencegah terganggunya sistem mekanik/pompa sebab kerusakan
pompa dapat terjadi jika materi padatan terangkut dalam sumur
pompa.
e. Bak equalisasi merupakan unit yang berguna untuk menampung air
limbah dari keseluruhan sumber sebelum dipompakan ke unit
pengolahan lanjut, untuk memberikan kesempatan akumulasi limbah
dari berbagai sumber.
2. Pengolahan Primer
Pengolahan primer yaitu tahap pertama proses pengolahan limbah cair yang
bertujuan mengurangi partikel padat di dalam limbah cair. Unit pengolahan
dibedakan menjadi unit pengendapan dan unit sedimentasi. Prinsip pengolahan
primer yaitu pengendapan pada keadaan yang sangat tenang dan
pembubuhan bahan kimia dalam menetralkan limbah. Unit pengolahan tahap
pertama yaitu sebagai berikut
a. Netralisasi merupakan proses di mana beberapa sifat air limbah yang
memiliki sifat antagonis digabungkan. Disamping itu unit ini dapat
pula diterapkan jika ada salah satu limbah yang bersifat ekstrim,
misalnya air limbah yang terlalu asam atau terlalu basa. Jenis limbah
yang dihasilkan menentukan jenis bahan yang ditambahkan, apakah
bahan asam atau basa. Proses ini membantu proses selanjutnya
khususnya pengolahan secara biologis yang membutuhkan kondisi
netral.
b. Penambahan bahan kimia untuk membantu efektivitas proses flotasi
maupun proses sedimentasi. Pembubuhan bahan kimia (koagulan)
akan mempercepat proses sedimentasi.
c. Flotasi (pengapungan) yaitu mengapungkan limbah dan bahan
melayang seperti lemak, minyak, dan bahan lainnya, agar air limbah
dan bahan ini dapat dipisahkan. Teknologi yang dipakai ialah
pengaliran dengan cara Up-Flow, sehingga bahan dapat dipisahkan
memakai scrabber. Kemudian materi yang berhasil dipisahkan
akan diteruskan ke tahapan pengolahan yang lebih lanjut.
d. Sedimentasi yaitu proses pada tahap mengendapkan partikel yang
dapat mengendap secara gravitasi atau melalui penambahan bahan
koagulan. Tujuan sedimentasi ialah untuk memisah antara partikel
diskrit dan partikel yang tersuspensi. Proses ini dirancang
memakai pola pengendapan konvensional atau melalui
modifikasi teknologi plate settler atau Tube Setller.
e. Filtrasi merupakan unit bangunan yang berfungsi mengendapkan
limbah yang tidak dapat mengendap pada saat proses sedimentasi,
dan melalui filtrasi ini, flokulan-flokulan dapat dipisahkan. Pada
proses filtrasi pengolahan secara fisik, pemisahan berlangsung
dengan porositas media filter serta daya tarik dinding dan adsorbsi
dari media. Mekanisme kimia berlangsung sebab ada reaksi
kimia antara materi yang akan dipisahkan dengan oksigen pada
media filter. Sementara mekanisme biologi terjadi sebab keberadaan
mikroorganisme aerob dan anaerob dalam filter.
3. Pengolahan Kimia
Pengolahan secara kimia meliputi koagulasi dengan penambahan koagulan,
flokulasi dengan penambahan flokulan, desinfeksi dengan pembubuhan
desinfektan. Unit-unit proses pengolahan kimia meliputi :
a. Unit koagulasi merupakan unit pencampuran bahan kimia dengan
limbah cair hingga merata kemudian flok inti akan terbentuk melalui
proses penumbukan cepat. Bangunana atau unit ini ditempatkan
sebelum unit proses biologi.
b. Unit flokulasi yaitu unit untuk memberikan kesempatan bagi flok inti
membesar dengan cara pengadukan lambat, dan ditempatkan sebelum
unit desinfeksi.
c. Unit desinfeksi ialah unit yang dirancang dengan tujuan membunuh
bakteri atau mengurangi keberadaan mikroorganisme patogen di
dalam suatu air limbah. Penempatan unit ini yaitu di bagian akhir
pengolahan limbah.
6.3 Limbah Padat Rumah Sakit
Limbah padat rumah sakit ialah keseluruhan limbah yang timbul dari aktivitas
rumah sakit berwujud padat berupa limbah rnedis padat serta non medis padat.
Limbah medis padat ialah limbah dengan wujud padat yang meliputi limbah
infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah
sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan,
serta limbah yang mengandung logam berat tinggi. Limbah padat non medis
didefenisikan sebagai limbah berwujud padat sebagai hasil aktivitas bukan
medis melainkan berasal dari aktivitas dapur, kantor, taman dan halaman yang
memungkinkan bisa dirnanfaatkan lagi (daur ulang) jika teknologinya tersedia
Limbah medis padat rumah sakit termasuk
dalam limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3).
Defenisi Limbah B3 yaitu
“Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat B3 yaitu
zat, energi, dan/atau komponen lain yang sebab sifat, konsentrasi,
dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan
hidup kita dan makhluk hidup lain”
Limbah B3 di rumah sakit memiliki karakteristik yang meliputi :
1. Mudah meledak contohnya kaleng pengharum ruangan, kaleng anti
nyamuk, tabung gas bertekanan, lampu TL.
2. Mudah menyala, contohnya oli bekas, filter oli bekas dan kain majun.
3. Reaktif, contohnya bahan-bahan kimia laboratorium
4. Infeksius, contohnya sisa-sisa jaringan tubuh, sampah medis, limbah
pasien covid-19, sludge IPAL
5. Korosif, contohnya cairan fixer, cairan developer, film rontgent,
bahan kimia laboratorium
6. Beracun, contohnya obat-obat kadaluarsa, obat-obat sitotoksis, botol
sisa desinfektan, aki dan baterai bekas, termometer/tensimeter bekas
yang mengandung merkuri.
6.3.1 Pengelolaan Limbah Medis Padat Rumah Sakit
Pengelolaan Limbah B3 merupakan kegiatan yang mencakup pengurangan
(minimasi), penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan,
pengolahan, dan/atau penimbunan.
Pengelolaan limbah B3 pada dasarnya memprioritaskan usaha minimasi
melalui hierarki sebagai berikut:
1. Mengganti bahan yang dapat mereduksi banyaknya B3 dari sisa
produksi
2. Recycle (daur ulang) bagi bahan-bahan yang dapat diproses kembali
3. Menurunkan efek toksik (Detoxify) dan netraliasi cairan berbahaya
4. Pengurangan Limbah (Reduce)
5. Pembakaran sempurna limbah B3, dengan kontrol polusi udara
6. Stabilisasi/Solidify sludge dan debu
7. Disposal (Penanaman limbah B3),dengan ketentuan yang harus
dipatuhi
Sementara penanganan limbah medis padat rumah sakit terdiri dari
langkah/tahapan sebagai berikut:
1. Pemilahan
Limbah medis harus dipilah sebelum dikumpulkan ke tempat penyimpanan
sementara. Pemilahan dilakukan di tempat di mana limbah dihasilkan atau di
sumber limbah, misalnya di laboratorium, di ruang rawat jalan, ruang rawat
inap, dan seterusnya. Perlu diperhatikan bahwa limbah yang akan didaur ulang
harus dipisah dengan limbah yang tidak didaur ulang
Pemilahan limbah medis dilakukan berdasarkan karakteristiknya diuraikan
dalam tabel 6.3 :
Tabel 6.3: Pemilahan limbah medis di rumah sakit
Benda Tajam Keras Benda lunak Botol infus/Derigen HD
Jarum suntik
Jarum infus
Pecahan kaca
Botol obat kaca
Botol ampul kaca
Botol infus kaca
Botol reagen kaca
Kain kasa dan perban
Gips/kayu
Kain majun
Hand scun
Masker
Selang kateter
Jaringan tubuh
Alat/bahan yang
terkontaminasi cairan
Botol infus
Derigen HD
Bekas kemasan B3 laundry
Limbah medis benda tajam keras dan limbah medis benda lunak diangkut ke
TPS limbah B3, selanjutnya akan diangkut oleh pihak ketiga
(transportir/pemusnah LB3). Sementara limbah botol infus dan derigen HD
yang bukan bekas kemasan kemotherapi dan cairan tubuh dan darah diangkut
ke bank sampah.
Semenjak adanya pandemi Covid-19, rumah sakit sebagai pemberi pelayanan
kesehatan perorangan bagi pasien Covid-19 tentu harus mengelola juga limbah
medis khusus pasien Covid-19. Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa
peraturan tentang pengelolaan limbah medis Covid-19 yakni :
1. Kepmenkes RI.No.HK.0.1.07/MENKES/382/2020 tentang Protokol
kesehatan bagi warga di tempat dan fasilitas umum dalam
rangka pencegahan corona virus disease 2019.
2. Kepmenkes RI.No.537/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Limbah
Medis FASYANKES dan Limbah dari Kegiatan Isolasi Mandiri di
warga dalam rangka Penanganan Covid – 19.
3. SE Menteri LHK No. 2/PSLB3/3/2020 Tentang Pengelolaan Limbah
Infeksius (B3) dan sampah rumah tangga dari Penanganan Corona
Virus Disease 19 (Covid – 19)
4. SE Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK No.
S.156/PSLB3/PKPLB3/PLB.2/3/2020 tentang Pengelolaan limbah
B3 masa darurat Penanganan Covid-19.
Proses pemilahan pada limbah medis Covid-19 dan vaksin Covid dilakukan
sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2020) :
Tabel 6.4: Pemilahan Limbah Covid dan Vaksin Covid
Benda Tajam Benda Lunak
Jarum suntik
Jarum infus
Pisau bedah
Pecahan kaca
Botol obat kaca
Botol ampul kaca
Botol infus kaca
Botol reagen kaca
Kain kasa dan perban
Kain majun
Hand scun
Masker
Semua jenis sampah dalam ruang perawatan pasien Covid-
19
Semua benda tajam limbah medis covid-19 dimasukkan ke safety box sebagai
wadah, dan semua limbah medis padat benda lunak dimasukkan ke dalam
kantong plastik berwarna kuning.
Pewadahan limbah medis padat rumah sakit dilakukan dengan memenuhi
syarat meliputi: wadah harus terbuat dari bahan yang kuat, cukup ringan, tahan
karat, kedap air, serta bagian dalamnya memiliki permukaan yang halus.
Tempat pewadahan yang terpisah dengan limbah padat non-medis. harus
tersedia di setiap sumber limbah. Kantong plastik harus diangkat setiap hari
atau bahkan kurang dari sehari jika 2/3 bagian sudah terisi limbah. Sisa-sisa
benda tajam ditampung memakai wadah khusus (safefy box). Limbah
medis padat infeksius dan sitotoksik yang tidak langsung kontak dengan
limbah harus segera dibersihkan memakai larutan disinfektan jika akan
diperpakai kembali, sementara kantong plastik yang sudah dipakai dan
kontak langsung dengan limbah tidak boleh diperpakai kembali
Tabel 6.5: Pewadahan dan Pelabelan Limbah Padat Rumah Sakit
Jenis Limbah Warna Kemasan
Limbah Infeksius :
Limbah padat: pipa karet, kateter, set
intravena,
Kuning Kantong plastik
kuat/kontainer
Limbah mikrobiologi dan patologis : limbah
dari pembiakan di laboratorium, specimen
jaringan tubuh
Kuning Kantong plastik
kuat/kontainer
Limbah linen kotor : kapas, plester, kain dan
pembalut kotor
Kuning Kantong plastik
kuat/kontainer
Limah tajam: jarum, syringe, pisau, kaca
specimen
Kuning Kantong plastik
kuat/kontainer
Limbah medis covid 19 : semua jenis limbah
yang ada dalam ruang perawatan pasien covid-
Kuning Kantong plastik
kuat/kontainer
Limbah bahan kimia kadaluarsa, tumpahan,
bahan kimia yang dipakai dalamdesinfeksi
dan sebagai insektisida
Ungu Kantong plastik
kuat/kontainer
Limbah dengan kandungan logam berat yang
tinggi seperti thermometer merkuri pecah dan
tensimeter pecah
Coklat Kantong plastik
kuat/kontainer
Limbah radioaktif Merah Kantong, box timbal dengan
simbol radioaktif
Limabah tabung gas : kaleng bekas
pengharum ruangan
- Kantong plastik
Limbah farmasi : Obat-obatan kadaluarsa Coklat Kantong plastik
kuat/kontainer
Limbah sitotoksik : obat-obatan sitotoksik dan
kemoterapi
Ungu Kantong plastik
kuat/kontainer
2. Pengumpulan
Pengumpulan limbah medis padat dilakukan sesudah dilakukan pemilahan di
sumber limbah. Pengumpulan limbah medis dari setiap sumber limbah di
dalam rumah sakit memakai troli khusus yang tertutup. Limbah wajib dikemas
pada tempat yang kuat. Penyimpanan limbah medis padat pada TPS yang
berada di lingkungan rumah sakit harus sesuai dengan iklim tropis.
Penyimpanan paling lama yaitu 48 jam waktu musim hujan dan 24 jam
waktu musim kemarau
3. Pengangkutan
Tansportasi limbah medis sejak dari lingkungan rumah sakit hingga tempat
pengolahan /pemusnahan, harus memakai kenderaan khusus. Saat
memasukkan limbah medis padat ke dalam kenderaan pengangkut, dipastikan
terlebih dahulu bahwa limbah diletakkan di dalam kontainer/kemasan yang
kuat dan tertutup, kantong limbah dalam kondisi aman dari jangkauan kita
dan binatang. Petugas yang menagani transportasi limbah waib memakai alat
pelindung diri sesuai standar, yaitu: helm/topi, masker, pelindung mata,
pakaian panjang (coverall), sepatu boot/pelindung kaki, dan sarung tangan
khusus (disposable gloves)
4. Pengolahan, Pemusnahan dan Pembuangan Akhir
Pengolahan limbah medis padat harus dilakukan pengolahan sebelum dibuang
ke lingkungan yang bertujuan agar aman ketika akan dikembalikan ke
lingkungan sehingga tidak menimbulkan pencemaran. Adapun limbah medis
yang dilakukan pengolahan yaitu sebagai berikut
a. Limbah Infeksius dan Benda Tajam
Pengolahan limbah sangat infeksius (biakan dari laboratorium) harus
dilakukan secara khusus yaitu secara s terilisasi dengan pengolahan panas dan
basah di autoclaf. Sementara limbah infeksius lainnya, dengan didesinfeksi
saja sudah cukup. Pengolahan limbah benda tajam seharusnya dilakukan pada
Instalasi Pengolah Limbah Padat (IPLP) jika tersedia. Pengolahan dapat pula
dilakukan secara bersamaan dengan limbah padat infeksius lainnya. Selain
diolah secara IPLP, tajam juga dapat dilakukan kapsulisasi. Residu insenerasi
dan desinfeksi yang sudah aman dapat dibuang ke landfill.
b. Limbah Farmasi
Pengolahan limbah farmasi yang jumlahnya tidak besar, dapat memakai
insenerator pirolitik, sanitary landfill, insenerasi, dan disalurkan ke sarana air
limbah. Namun jika jumlahnya besar, maka faslitas khusus yang wajib
dipakai di antaranya rotary kiln, kapsulisasi di dalam durm logam, serta
insenerasi. Perlu diperhatikan pihak penghasil limbah, jika limbah padat
farmasi yang dihasilkan jumlahnya besar maka wajib untuk
mengembalikannya kepada pihak distributor farmasi. Bilamana limbah padat
farmasi berjumlah kecil atau sedikit, tidak wajib dikembalikan ke distributor
namun dimusnahkan memakai insenerator dengan suhu > 10000 C.
c. Limbah Sitotoksis
Limbah sitotoksis merupakan limbah yang sangat berbahaya sehingga dalam
pemusnahannya, harus dilakukan secara tepat. Pemusnahan secara landfill
bukanlah cara yang direkomendasikan bahkan secara tegas tidak
diperbolehkan. Membuang langsung ke saluran limbah umum juga hal yang
sangat membahayakan sehingga cara ini pun tidak diperbolehkan. Cara
pemusnahan yang tepat yaitu dengan mengembalikannya kepada distributor,
insenerasi pada temperatur tinggi 12000C, dan degradasi secara kimiawi.
Obat-Obatan yang belum dipakai namun kemasannya masih utuh sebab sudah
kadaluarsa, wajib dikembalikan kepada distributor jika di rumah sakit tidak
tersedia IPLP, disertai dengan pemberian keterangan kadaluarsa.
d. Limbah Bahan kimia
Limbah bahan kimia dalam hal ini dibedakan menjadi limbah kimia biasa, di
mana limbah ini tidak dapat diolah kembali (recycle) seperti limbah gula,
limbah asam amino, dan limbah garam. Sebaiknya limbah jenis ini segera
dialirkan ke saluran limbah umum dengan syarat harus memenuhi konsentrasi
materi pencemar, di antaranya bahan melayang, suhu dan pH. Limbah bahan
berbahaya pada keadaan konsentrasi kecil misalnya sisa bahan kimia dalam
kemasan, dapat dimusnahkan secara insenerasi, kapsulisasi, boleh juga
ditimbun (landfill). Lain halnya dengan limbah bahan berbahaya yang
berjumlah besar, pemusnahannya ditentukan oleh sifat bahaya yang
dikandung. Ada yang bisa dimusnahkan secara insenerasi namun ada juga
yang tidak bisa diinsenerasi kecuali jika inseneratornya dilengkapi dengan alat
pembersih gas. Cara pemusnahan lainnya yaitu pihak rumah sakit dapat
mengembalikan limbahnya ke pihak distributor agar diolah dengan cara yang
lebih aman atau dikirim ke negara lain yang memiliki peralatan yang lebih
tepat untuk memusnahkan limbahnya.
e. Limbah dengan kandungan logam berat tinggi
Limbah medis dengan kandungan logam berat Merkuri atau Cadmium
misalnya, tidak boleh diinsenerasi atau dilandfill sendiri oleh pihak rumah sakit
sebab sangat berbahaya baik bagi kita di sekitar rumah sakit maupun bagi
lingkungan. Penanganan terbaiknya ialah dengan mengirim ke negara yang
memiliki fasilitas pemusnah. Kendalanya yaitu tidak semua rumah sakit
mampu mengirimkan limbahnya ke luar negeri, untuk itu ada cara yang lebih
sederhana yaitu dengan kapsulisasi dilanjutkan dengan landfill.
f. Kontainer bertekanan
Penanganan terbaik bagi limbah kontainer bertekanan ialah daur ulang
(recycle). Jika kontainer masih dalam keadaan utuh dapat diisi ulang kembali
dengan gas kepada distributornya. Contoh daur ulang dalam hai ini yaitu
tabung nitrogen oksida digabung dengan peralatan anestesi, tabung nitrogen
oksida digabung dengan peralatan sterilisasi, serta tabung bertekanan untuk gas
lainnya seperti Oksigen, Nitrogen, Karbondioksida, dan gas lainnya. Perlu
diperhatikan bahwa pemusnahan dengan insenerasi tidak boleh dilakukan pada
limbah kontainer bertekanan sebab dapat meledak.
Pengelolaan Gizi dalam
Pengendalian Infeksi di Rumah
Sakit
Gizi dan Infeksi
Gizi yaitu aspek fundamental. Gizi yang baik diperlukan di setiap daur
kehidupan. Terpenuhinya kebutuhan gizi dapat berdampak pada terwujudnya
kesehatan, Sumber Daya kita yang berkualitas, produktivitas, hingga
kemajuan perekonomian suatu bangsa. World Bank melaporkan, terjadinya
kasus malnutrisi (kurang gizi, defisiensi mikronutrien, dan kelebihan berat
badan) merugikan ekonomi global. Besaran kerugian mencapai $3,5 triliun per
tahun, atau $500 per individu (Shekar et al., 2017). Hal ini menciptakan
hambatan besar bagi usaha pemerintahan di berbagai negara di dunia untuk
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan produktivitas warga nya.
Gizi erat kaitannya dengannya banyak komponen, sistem dan proses yang
terjadi di dalam tubuh kita, termasuk dengan kejadian infeksi. Gizi memiliki
hubungan yang erat dengan infeksi. Malnutrisi yang terjadi dapat memicu
infeksi melalui mekanisme penurunan daya tahan tubuh Istilah malnutrisi diartikan sebagai masalah gizi, baik itu
mencakup kekurangan gizi maupun kelebihan gizi. Masalah gizi kurang yang
terjadi secara global, mulai dari kekurangan zat gizi makro misalnya stunting,
hingga kekurangan zat gizi mikro, seperti vitamin A, yodium, seng, dan besi.
Kelebihan zat gizi juga merupakan masalah global yang banyak terjadi saat ini.
Meningkatnya kejadian Penyakit Tidak Menular (PTM) saat ini salah satunya
disebabkan sebab peningkatan kejadian obesitas (WHO, 2017).
Malnutrisi memicu kerentanan tubuh mengalami peyakit infeksi.
Malnutrisi dapat mengubah respons imun, masuknya paparan patogen
(Gambar 7.1) dan memicu peningkatan kejadian infeksi hingga
berdampak pada peningkatan mortalitas, terutama pada anak-anak ,Terpenuhinya kebutuhan gizi dengan baik akan membantu
meningkatkan daya tahan tubuh sehingga terhindar dari penyakit infeksi. sudah
banyak penelitian yang membuktikan adanya hubungan positif antara gizi
dengan daya tahan tubuh.
Gambar 71: Mekanisme Terjadinya Infeksi akibat Malnutrisi,
Interaksi kompleks antara infeksi dan malnutrisi menciptakan semacam siklus
yang saling terkait. Mulai dari terjadinya penurunan aktivitas makrofag,
penurunan respons inflamasi, hingga penurunan kemampuan tubuh untuk
membuat antibodi spesifik (Gambar 7.2)
Malnutrisi dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap infeksi, dan infeksi
juga dapat berkontribusi pada malnutrisi. Tidak hanya penanganan medis yang
tepat, asupan gizi yang baik terbukti dapat menurunkan risiko terjadinya
infeksi dan membantu tubuh kembali dapat membentuk antibodi spesifik
Selain zat gizi makro seperti karbohidrat, protein, lemak, dan air, kebutuhan
akan zat gizi mikro yaitu vitamin dan mineral juga harus dipenuhi. Zat
fitokimia dari bahan pangan yang berperan sebagai antioksidan juga terbukti
dapat meningkatkan daya tahan tubuh.
7.2 Pelayanan Gizi di Rumah Sakit
Pelayanan gizi menjadi kesatuan pelayanan di Rumah Sakit (RS). Filosofi
Hippocrates menyatakan bahwa “let the food be the medicine and the medicine
be the food”. Secara harfiah makanan tidak diartikan sebagai obat, namun
kandungan energi dan zat gizi di dalam makanan berperan penting dalam
usaha penyembuhan suatu penyakit. Diketahui bahwa ada interaksi antara
obat-obatan dengan zat gizi dari makanan yang dikonsumsi pasien. Pemberian
gizi yang tepat terbukti dapat meningkatkan laju pemulihan pasien dari
penyakit dan mengurangi jumlah hari rawat pasien di RS .
Pelayanan gizi merupakan suatu usaha yang dilakukan dalam rangka
memperbaiki, meningkatkan keadaan gizi dan dietetik baik untuk kelompok,
individu atau klien yang merupakan suatu rangkaian kegiatan terencana untuk
mencapai status kesehatan optimal dalam kondisi sehat atau sakit
Pelayanan gizi di RS yaitu Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) yang
dilakukan untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Masalah gizi pada
pasien secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi proses
penyembuhan. Cenderung terjadi peningkatan kasus penyakit yang terkait gizi
(nutrition-related disease) pada semua kelompok rawan gizi, yaitu ibu hamil,
bayi, anak, remaja, hingga lanjut usia (Lansia) yang memerlukan
penatalaksanaan gizi secara khusus. Hal ini memicu dibutuhkan
pelayanan gizi yang bermutu untuk dapat mencapai dan mempertahankan
status gizi optimal dan mempercepat penyembuhan pasien. Pelayanan gizi di
RS meliputi penyelenggaraan asuhan makanan, penelitian, dan pengembangan
gizi terapan.
Proses pelayanan gizi untuk pasien rawat inap ditampilkan pada Gambar
10.2.1. Pelayanan gizi untuk pasien rawat inap dimulai dengan melakukan
skrining gizi. Skrining dilakukan untuk mengetahui risiko malnutrisi pada
pasien. Pasien dengan risiko malnutrisi akan menjalani asuhan gizi. Pasien
yang tidak berisiko malnutrisi akan dipantau untuk dilakukan skrining
Kembali secara periodik. Proses asuhan gizi dikenal dengan ADIME, yaitu
A: Asesmen gizi;
D: Diagnosis gizi;
I: Intervensi gizi;
M: Monitoring; dan
E: Evaluasi gizi.
Pelayanan gizi pasien rawat jalan (Gambar 7.4) sedikit berbeda dengan asuhan
gizi untuk pasien rawat inap.
Gambar 7.4: Alur Pelayanan Pasien/Klien Rawat Jalan (PGRS, 2013)
Asuhan gizi pasien/klien rawat jalan biasa disebut juga dengan layanan
konseling gizi. Konseling gizi dilakukan dengan tujuan untuk membantu klien
dalam usaha merubah perilaku yang berkaitan dengan gizi sehingga
meningkatkan status gizi dan kesehatan klien
Konseling dilakukan oleh ahli gizi yang disebut juga dengan konselor.
Konselor gizi yaitu ahli gizi yang tersertifikasi, dapat membantu klien
mengenali masalah, memahami pemicu terjadinya masalah gizi dan
membantu klien memecahkan masalahnya . Konseling gizi pada klien/pasien mengacu pada konsep PAGT
dan juga menerapkan ADIME.
Pengelolaan Gizi dalam
Pengendalian Infeksi di RS
sudah dibahas sebelumnya bahwa pelayanan gizi di RS meliputi
penyelenggaraan asuhan makanan, penelitian, dan pengembangan gizi terapan.
Penyelenggaraan asuhan makanan pasien merupakan salah satu usaha
pengelolaan gizi. Pengelolaan gizi untuk pasien sangat penting untuk
mendukung kesembuhan penyakit. Pengelolaan gizi pasien dilakukan dengan
pemberian terapi gizi yang tepat dan kegiatan penyelenggaraan makanan/ food
service yang terstandar. Penyelenggaraan makanan di RS khususnya ditujukan
untuk pasien rawat inap, namun sesuai kebijakan manajemen RS dapat juga
diberikan untuk karyawan, tenaga kesehatan lainnya di RS ini hingga
pengunjung RS. Penyelenggaraan makanan rumah sakit meliputi kegiatan
perencanaan: menu; kebutuhan bahan makanan; anggaran, penerimaan dan
penyimpanan bahan makanan, pengolahan bahan makanan, distribusi
makanan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan. Seluruh kegiatan harus
dilakukan sesuai Standar Operasional Baku (SOP) yang sudah ditetapkan oleh
manajemen RS
Sebelumnya juga sudah dibahas bahwa ada kaitan yang erat antara infeksi
dengan penyakit atau masalah gizi, termasuk pada pasien RS. Oleh sebab itu
diperlukan SOP yang jelas untuk pengendalian infeks di RS. Pelaksanaan
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
termasuk RS dilakukan untuk melindungi pasien, petugas kesehatan,
pengunjung yang dilayani dan warga di sekitar lingkungan RS dengan
cara memutus siklus penularan penyakit infeksi melalui SOP yang tepat
ada beberapa aspek yang harus diperhatikan terkait pengelolaan gizi
dalam pengendalian infeksi di RS meliputi, yaitu: Personil; Fasilitas sanitasi;
Peralatan makan; Kegiatan pengolahan makanan; dan Penanganan Alat makan
disposable infeksius.
Personil
Rumah sakit memiliki tanggung jawab memberikan yang bergizi dan makanan
yang aman untuk pasien dan karyawan. Higiene dan sanitiasi harus
diperhatikan sesuai dengan standar, termasuk untuk pengendalian infeksi.
Pencegahan infeksi di bagian gizi sebagai bagian pelayanan makanan
membutuhkan personel yang sehat, peralatan yang dirawat dengan baik, bahan
makanan yang tidak terkontaminasi, dan kesadaran yang tinggi tentang higiene
dan sanitasi yang layak. Adapun panduan pencegahan dan pengendalian
infeksi untuk personil pelayanan makanan di instalasi gizi yaitu sebagai
berikut :
1. Personil pelayanan makanan yang bekerja di bagian instalasi gizi RS
harus menerapkan higiene perorangan, yaitu menjaga kebersihan
tangan tangan dengan mencuci tangan memakai sabun atau
cairan antiseptik lainnya. Mencuci tangan dilakukan sebelum bekerja,
sesudah selesai memakai toilet, sebelum dan sesudah makan,
sesudah kontak dengan peralatan yang tidak bersih, kontak dengan
lingkungan kerja, pakaian kotor, kain lap, dan sesudah menangani
makanan mentah.
Di area perawatan pasien, personil yang bertugas mendistribusikan makanan
ke pasien dapat membersihkan tangan dengan cairan antiseptik berbasis
alkohol yang tersedia di area rawat inap. Personel makanan tidak boleh
membersihkan tangan mereka di wastafel yang dipakai untuk menyiapkan
makanan atau mencuci peralatan.
2. Personil layanan gizi dan makanan yang bersentuhan langsung
dengan makanan memakai sarung tangan plastik atau karet
sekali pakai. Sarung tangan harus dilepas sesudah meninggalkan area
kerja dan mencuci tangan. Saat kembali ke area kerja, personil
Kembali mencuci tangan dan memakai sarung tangan yang baru.
Sarung tangan harus diganti dan dicuci dengan sabun dan air setiap
kali menyentuh permukaan yang berpotensi kotor seperti permukaan
kasir, lantai, tempat sampah, kotak kardus, dll.
3. Personil layanan gizi dan makanan diharuskan untuk melaporkan
kepada supervisor tentang informasi kesehatannya terutama terkait
dengan penyakit yang menular melalui makanan. Dapat dilaporkan
gejala termasuk: muntah, diare, sakit kuning, sakit tenggorokan
dengan demam atau lesi berisi nanah seperti bisul, atau luka
terinfeksi yang terbuka atau mengalir. Paparan virus yang dilaporkan
antara lain Norovirus, Hepatitis A, Shigella spp., Cryptosporidium,
dan Salmonella. Personel Layanan Gizi dan Makanan harus bebas
dari penyakit menular seperti hepatitis A, kulit lesi, bisul, infeksi
saluran pernafasan atau diare.
4. Personil layanan gizi dan makanan memakai Alat Pelindung Diti
(APD) yang sesuai standar. Alat Pelindung Diri (APD) dipakai
untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuh pekerja dari bahaya
penyakit atau kecelakaan akibat kerja. APD disesuaikan dengan
masing- masing jenis pekerjaan di unit instalasi gizi(Kemenkes RI,
2020).
a. Petugas gizi di ruang penerimaan, pengemasan makanan dan
pendistribusian makanan:
• Masker bedah
• Sarung tangan/hand scoon
• Topi
• Apron/celemek
b. Nutrisionis/dietisien di ruang perawatan yang melakukan asuhan
gizi pada pasien dapat memakai :
• Masker bedah
• Sarung tangan/hand scoon
• Topi
• Gown
5. Personil Layanan Gizi dan Makanan diberikan pelatihan secara
berkala terkait higiene dan sanitasi serta pengetahuan tentang
penyakit menular yang dapat memicu terjadinya infeksi dari dan pada
makanan.
Fasilitas Sanitasi
usaha pencegahan dan pengendalian infeksi pada pengelolaan gizi di RS
membutuhkan fasilitas sanitasi yang memadai, di antaranya:
1. Untuk mendukung perilaku hygiene personil, RS harus dilengkapi
dengan wastafel cuci tangan yang memadai, lengkap dengan air
mengalir yang bersih, sabun dan handuk sekali pakai atau kertas tisu.
2. Toilet dilengkapi dengan jamban dan tidak boleh berdekatan dan
langsung berhubungan dengan area pengolahan makanan. Toilet
sebaiknya terpisah dengan toilet umum untuk pengunjung RS.
3. Tersedia tempat sampah tertutup yang terpisah antara sampah basah
(organik) dengan sampah kering (anorganik), termasuk sampah yang
termasuk kategori infeksius.
Peralatan
ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait peralatan yang
dipakai untuk kegiatan penyelenggaraan makanan sebagai usaha
pencegahan dan pengendalian infeksi pada pengelolaan gizi di RS yaitu:
1. Talenan terpisah untuk makanan / daging mentah dan mentah
diperlukan, dan diberi kode warna sesuai dengan makanan yang
disiapkan. Makanan olahan tidak boleh dipotong di papan yang sama
dengan makanan mentah makanan. Talenan yang dipakai untuk
menyiapkan makanan harus terbuat dari plastic dan mudah
dibersihkan.
2. Semua peralatan dan perkakas harus dirancang sedemikian rupa agar
halus, mudah dibersihkan, dan tahan lama dan disimpan dalam
kondisi baik. Semua peralatan plastik, porselen, dan barang pecah
belah yang sudah kehilangan lapisan atau ada bagian yang sudah
terkelupas atau retak harus dibuang.
3. Semua peralatan makan dan minum yang dapat dipakai kembali
harus dibersihkan dan disterilkan secara menyeluruh.
4. Semua penggiling makanan, pemotong dan pengaduk harus
dibersihkan, disterilkan, dikeringkan dan disimpan dengan baik.
5. Wadah dan peralatan sekali pakai harus dibuang sesudah dipakai .
6. Mesin pencuci piring harus dikeringkan dan disiram sesudah
dipakai . Mesin dipelihara dan dioperasikan sesuai dengan instruksi
pabrik.
7. Penumpukan dan penyimpanan piring dan alat-alat yang dicuci harus
dilakukan oleh personel terpisah untuk mencegah kontaminasi ulang
pada alat yang sudah dicuci.
8. Meja pemanas makanan harus mempertahankan makanan panas pada
suhu 140°F atau lebih dan tidak boleh mencemari makanan yang
disimpan di dalamnya melalui percikan atau kondensasi.
9. Lemari pendingin memiliki suhu di bawah 41°F dan tidak dipakai
untuk mendinginkan makanan namun untuk menjaga makanan dingin
tetap dingin. Lemari pendingin dibersihkan setiap hari.
10. Pisau harus dibersihkan dan dikeringkan sebelum disimpan dalam
lemari.
Kegiatan Pengolahan Makanan
Pengolahan makanan juga harus diperhatikan dalam usaha pencegahan dan
pengendalian infeksi pada pengelolaan gizi di RS. Mulai dari pemilihan,
penyimpanan, pengolahan, dan penyimpanan bahan makanan, hingga
penyajian dan distribusi makanan. Beberapa hal yang dapat diperhatikan
dalam proses pengolahan makanan untuk pencegahan dan pengendalian
infeksi dapat dilihat pada Tabel 7.1
Tabel 7.1: usaha Pencegahan dan Pengendalian Infeksi pada Pengolahan
Makanan
Kegiatan Hal yang perlu diperhatikan
Pemilihan bahan makanan
- Memilih bahan makanan dalam keadaan baik, segar, dan
tidak rusak.
- Tidak berjamur.
- Memperhatikan tanggal kadaluarsa pada produk
kemasan dan kemasan tidak dalam keadaan rusak.
Kegiatan Hal yang perlu diperhatikan
Penyimpanan bahan
makanan
- Sistem First in First Out (FIFO) atau First Expired First
Out (FEFO)
- Memisahkan bahan makanan basah dan kering.
- Menyimpan bahan makanan pada suhu yang tepat
(Tabel 10.3.4.2)
- Tempat penyimpanan memiliki ventilasi yang baik,
tidak lembab, bebas bakteri, serangga, dan hewan
pengerat.
- Area peyimpanan tidak berdekatan dengan area
pengolahan limbah dan bahan-bahan berbahaya.
Pengolahan bahan
makanan
- Peralatan pengolahan terbuat dari bahan tara pangan
(Food Grade)
- Kebersihan alat pengolahan selalu dijaga
- Pengaturan suhu dan waktu pengolahan yang tepat
sehingga aman dan tidak merusak kandungan gizi bahan
makanan yang diolah.
- Bahan makanan dicuci dengan air bersih dan mengalir.
- Memisahkan alat untuk makanan matang dan bahan
mentah agar tidak terjadi kontaminasi silang dan
memicu keracunan makanan.
Penyimpanan makanan
- Disimpan di tempat tertutup
- Tidak tercampur dengan bahan makanan mentah bila
disimpan di lemari pendingin yang sama.
- pakai meja uap atau peralatan lain untuk menjaga
suhu makanan tetap di atas 570C setiap saat.
- Simpan makanan yang belum akan disajikan ke pasien
pada suhu -50C s.d 10C.
Distribusi, penyajian
makanan, dan clear up
- Didistribusikan memakai troli makanan dengan
pengaturan suhu yang tepat.
- Saat clear up, personil layanan makanan dan gizi
bertanggung jawab membersihkan meja dan
memindahkan nampan sesudah pasien selesai makan.
- Membuang sisa makanan pasien.
- Menjaga kebersihan tangan sebelum masuk dan sesudah
meninggalkan setiap kamar pasien
Penanganan Alat Makan Disposible Infeksius
Dilakukan penanganan khusus pada alat makan untuk pasien dengan penyakit
infeksius. Hal ini dilakukan sebagai usaha pencegahan dan pengendalian
infeksi pada pengelolaan gizi di RS. Prosedur penanganan mengacu pada
PMK Nomor 27 Tahun 2017 Kemenkes yang membahas tentang Pedoman
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Tabel 7.2: Suhu Penyimpanan Bahan Makanan (Kemenkes RI, 2011)
Bahan Makanan Jangka Waktu pemakaian < 3 hari ≤ 1 minggu >1 minggu
Daging, udang, ikan,
dan hasil olahannya 50 s.d 00C 100 s.d -50C > -100C
Telur, susu, dan hasil
olahannya 50 s.d 70C -50 s.d 00C > -50C
Sayur, buah dan
minuman 100C 100C 100C
Pengambilan alat makan dilakukan tiga kali/hari sesudah selesai makan
makanan utama. Pengambilan dilakukan oleh Petugas Cleaning Service.
Petugas Cleaning Service mendapatkan pelatihan sebelumnya untuk
menangani bahan dan alat infeksius. Petugas harus memakai APD saat
masuk ke ruang rawat pasien untuk mencegah terjadinya penularan. Berikut
Langkah-langkah penanganan alat makan disposable infeksius
Gambar 7.5: Langkah-Langkah Penanganan Alat Makan Disposable
Infeksius