Jumat, 06 Desember 2024

infeksi 3

 









jaga sarana kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dll) sebagai tempat 

penyembuhan, bukan menjadi sumber infeksi. Berkaitan dengan hal di atas 

maka diperlukan rangkaian program yang berkesinambungan dalam rangka 

pencegahan dan pengendalian Infeksi (PPI). Untuk meminimalkan risiko 

terjadinya infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya 

perlu diterapkan pencegahan dan pengendalian infeksi. Rumah Sakit/Klinik 

sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan tidak saja memberikan pelayanan 

kuratif dan rehabilitatif namun  juga memberikan pelayanan preventif dan 

promotif ,

Alat Pelindung Diri merupakan salah satu bentuk usaha  dalam menanggulangi 

risiko akibat kerja. Dalam dunia kerja, pemakaian  Alat Pelindung diri sangat 

dibutuhkan terutama pada lingkungan kerja yang memiliki potensi bahaya bagi 

kesehatan dan keselamatan kerja , pemakaian  Alat 

Pelindung Diri (APD) merupakan salah satu usaha  memutus rantai penularan 

infeksi dari bagian kewaspadaan standart .  

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 66 tahun 2016 tentang kesehatan 

keselamatan kerja di Rumah Sakit, menyatakan bahwa Rumah Sakit 

merupakan tempat kerja yang memiliki risiko tinggi terhadap keselamatan dan 

kesehatan sumber daya kita  rumah sakit, pasien, pendamping pasien, 

pengunjung maupun lingkungan Rumah Sakit. Jika memperhatikan isi dari 

pasal ini  maka jelaslah bahwa Rumah Sakit termasuk dalam kriteria 

tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan 

dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di 

Rumah Sakit, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung Rumah Sakit 

Pengurus diwajibkan menyediakan secara cuma-cuma, semua Alat 

Perlindungan Diri (APD) yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di 

bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki 

tempat kerja ini , disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan 

menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja 

Kepatuhan tenaga kerja dalam pemakaian  alat pelindung diri dapat 

mengurangi risiko kecelakaan atau penyakit akibat kerja, yaitu dengan patuh 

terhadap peraturan yang sudah  disepakati perusahaan dalam mengurangi risiko 

kecelakaan kerja. Ketidakpatuhan pemakaian  APD sangat memengaruhi 

kejadian kecelakaan akibat kerja dan penyakit akibat kerja yang akan 

memicu  5 jenis kerugian di antaranya yaitu  kerusakan, kekacauan 

organisasi, keluhan dan kesedihan, kelainan dan cacat, kematian.  . Salah satu potensi bahaya di rumah sakit yaitu  terpapar penyakit yang 

dapat mengganggu kesehatan kerja, terutama bagi perawat, di mana perawat 

merupakan seorang yang memiliki  kemampuan khusus untuk memberikan 

pelayanan kesehatan dan bertanggung jawab dalam pencegahan penyakit baik 

pasien maupun dirinya sendiri 


 

Untuk tenaga kesehatan yang melakukan tindakan pelayanan kesehatan 

berisiko tinggi seperti tindakan bedah atau tindakan lain yang memiliki risiko 

penularan tinggi harus memakai  APD yang sudah  memenuhi standar mutu 

dan keamanan 

 

5.2 Konsep Alat Pelindung Diri  

Alat pelindung diri yaitu  pakaian khusus atau peralatan yang dipakai petugas 

untuk memproteksi diri dari bahaya fisik, kimia, biologi/bahan infeksius. APD 

terdiri dari sarung tangan, masker/Respirator Partikulat, pelindung mata 

(goggle), perisai/pelindung wajah, kap penutup kepala, gaun pelindung/apron, 

sandal/sepatu tertutup (Sepatu Boot) 

Alat Pelindung Diri (APD) yaitu  seperangkat alat keselamatan yang 

dipakai  oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya dari 

kemungkinan adanya pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap 

kecelakaan dan penyakit akibat kerja . Alat Pelindung Diri 

(APD) yaitu  perangkat alat yang dirancang sebagai penghalang terhadap 

penetrasi zat, partikel padat, cair, atau udara untuk melindungi pemakainya 

dari cedera atau penyebaran infeksi atau penyakit 

Tujuan Pemakaian APD yaitu  melindungi kulit dan membran mukosa dari 

risiko pajanan darah, cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan 

selaput lendir dari pasien ke petugas dan sebaliknya. Indikasi pemakaian  

APD yaitu  jika melakukan tindakan yang memungkinkan tubuh atau 

membran mukosa terkena atau terpercik darah atau cairan tubuh atau 

kemungkinan pasien terkontaminasi dari petugas (Estri et al., 2019). 

Tujuan alat pelindung diri yaitu  untuk menghalangi pajanan bahan infeksius 

pada kulit, mulut,  hidung atau mata (selaput lender) tenaga kesehatan, pasien  

atau pemakaian  kesehatan (Kemkes, 2020). pemakaian  APD yang efektif 

perlu didasarkan  pada potensi paparan, dampak penularan yang ditimbulkan 

serta memahami dasar kerja setiap jens APD  yang dipakai  

Melepas APD segera dilakukan jika tindakan sudah selesai di lakukan. Tidak 

dibenarkan menggantung masker di leher, memakai sarung tangan sambil 

menulis dan menyentuh permukaan lingkungan . 

 


5.3 Jenis – Jenis Alat Pelindung Diri  

5.3.1 Gloves/Sarung tangan → proteksi tangan   

1. Tujuan pemakaian  : Melindungi tangan dari kontak dengan darah, 

semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh, 

selaput lendir pasien dan benda yang terkontaminasi

2. Jenis sarung tangan  : ada  tiga jenis sarung tangan, yaitu:  

a. Sarung tangan bedah (steril), dipakai sewaktu melakukan 

tindakan invasif atau pembedahan. 

b. Sarung tangan pemeriksaan (bersih), dipakai untuk melindungi 

petugas pemberi pelayanan kesehatan sewaktu melakukan 

pemeriksaan atau pekerjaan rutin 

c. Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu memproses 

peralatan, menangani bahan-bahan terkontaminasi, dan sewaktu 

membersihkan permukaan yang terkontaminasi 

3. Bahan dasar : Vinyl, Latex atau Nitrile 

Umumnya sarung tangan bedah terbuat dari bahan lateks sebab  elastis, 

sensitif dan tahan lama serta dapat disesuaikan dengan ukuran tangan. Bagi 

mereka yang alergi terhadap lateks, tersedia dari bahan sintetik yang 

menyerupai lateks, disebut „nitril‟. Sedangkan sarung tangan rumah tangga 

terbuat dari karet tebal, tidak fleksibel dan sensitif, namun  memberikan 

perlindungan maksimum sebagai pelindung pembatas. ada  sediaan dari 

bahan sintesis yang lebih murah dari lateks yaitu „vinil‟ namun  sayangnya tidak 

elastis, ketat dipakai dan mudah robek 

4. Indikasi Pemakaian Sarung Tangan : 

1) Sarung tangan steril 

Jika melakukan tindakan steril yang kontak dengan darah atau cairan tubuh 

pasien 

a. Tindakan operasi 

b. Tindakan invasiv 


 

c. Rawat luka 

d. Mencampur obat intra vena multidose di farmasi 

2) Sarung tangan rumah tangga 

Jika melakukkan tindakan yang terkait dengan bahan kimia dan permukaan 

lingkungan atau peralatan kesehatan yang terkontaminasi 

a. Pembersihan rutin permukaan lingkungan 

b. Menangani peralatan atau permukaan lingkungan yang 

terkontaminasi 

c. Menangani limbah 

d. Membersihkan cipratan darah atau cairan tubuh 

e. memakai  chemical 

f. Membersihkan instrument 

5. Hal-hal yang harus diperhatikan :  

a. Lakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah memakai 

sarung tangan 

b. pakai  sarung tangan berbeda untuk setiap pasien 

c. Pahami tehnik memakai dan melepas sarung tangan 

d. Sarung tangan tidak boleh reuseable (kecuali sarung tangan 

rumah tangga 

e. Ganti sarung tangan bila tampak rusak/bocor 

f. Segera lepas sarung tangan jika sudah  selesai dipakai  

g. Buang sarung tangan sesudah  dipakai  ke tempat pembuangan 

sampah sesuai prosedur 

h. Pilih jenis sarung tangan sesuai tindakan 

 

5.3.2 Face Protection/Masker → proteksi wajah, mulut, 

hidung  

1. Tujuan pemakaian  : untuk melindungi wajah dan membrane mukosa 

mulut dan hidung dari cipratan darah dan cairan tubuh dari pasien 

atau permukan lingkungan yang kotor dan melindungi pasien dari 

petugas pada saat batuk atau bersin 

2. Jenis masker  : ada  tiga jenis masker, yaitu: 

a. Masker bedah, untuk tindakan bedah atau mencegah penularan 

melalui droplet  

b. Masker  Respiratorik, untuk mencegah penularan melalui 

airborne  

c. Masker rumah tangga dipakai  dibagian gizi atau dapur 

3. Indikasi Pemakaian Masker : Tindakan yang memungkinkan mata 

dan wajah terciprat darah atau cairan tubuh pasien 

 

Indikasi masker bedah  

a. Pemakian sehari-hari di pelayanan kesehatan  

b. Tindakan non aerosol 

c. Indikasi masker Repirator : N 95  

d. Tindakan intubasi 

e. Pengambilan swab 

f. Pertolongan persalinan dll

 


 

4. Cara memakai  Masker :   

a. Memegang pada bagian tali (kaitkan pada telinga jika 

memakai  kaitan tali karet atau simpulkan tali di belakang 

kepala jika memakai  tali lepas). 

b. Eratkan tali kedua pada bagian tengah kepala atau leher 

c. Tekan klip tipis fleksibel (jika ada) sesuai lekuk tulang hidung 

dengan kedua ujung jari tengah atau telunjuk 

d. Membetulkan agar masker melekat erat pada wajah dan di bawah 

dagu dengan baik 

e. Tekan klip tipis fleksibel (jika ada) sesuai lekuk tulang hidung 

dengan kedua ujung jari tengah atau telunjuk 

f. Periksa ulang untuk memastikan bahwa masker sudah  melekat 

dengan benar 

5.3.3 Head coverings/Pelindung Kepala → proteksi Kepala 

1. Tujuan pemakaian  : mencegah jatuhnya rambut atau kotoran di 

rambut dan kulit kepala petugas terhadap alat-alat daerah steril dan 

juga sebaliknya untuk melindungi kepala/rambut petugas dari 

percikan darah, cairan tubuh , sekresi dan ekskresi

 

2. Prinsipnya : semua rambut masuk kedalam topi 

3. Bahan : single use, reuse → mudah di bersihkan dengan air & 

deterjen/desinfektan 

4. Indikasi antara lain: 

a. Tindakan Operasi 

b. Pemasangan kateter vena sentral 

c. Pertolongan persalinan 

d. Petugas di bagian dapur, dll 

76 

5.3.4 Googles/Kaca mata → proteksi mata 

1. Tujuan pemakaian  : Melindungi mata dan area di sekitar mata 

pengguna atau tenaga medis dari percikan cairan atau darah atau 

droplet 

2. 2. Bahan dasar :   Plastik/Arcylic bening 

3. Indikasi antara lain : Pada saat tindakan operasi, pertolongan 

persalinan dan tindakan persalinan tindakan perawatan gigi dan 

mulut, pencampuran B3 cair, pemulasaraan jenazah, penanganan 

linen terkontaminasidi laundry, di ruang dekontaminasi CSSD 

4. Hal-hal yang harus diperhatikan : 

a. Goggle tahan terhadap air dan goresan 

b. Frame goggle bersifat fleksibel untuk menyesuaikan dengan 

kontur wajah tanpa tekanan yang berlebihan 

c. Ikatan goggle dapat disesuaikan dengan kuat sehingga tidak 

longgar saat melakukan aktivitas klinis 

d. Tersedia celah angin/ udara yang berfungsi untuk mengurangi 

uap air. 

e. Goggle tidak diperbolehkan untuk diperpakai  kembali jika ada 

bagian yang rusak 

 

 

Bab 5 pemakaian  Alat Pelindung Diri (APD) 77 

 

5.3.5 Gown/Aprons/Gaun Pelindung → proteksi kulit dan 

atau pakaian 

1. Tujuan pemakaian  : Melindungi pengguna atau tenaga kesehatan 

dari penyebaran infeksi atau penyakit, hanya melindungi bagian 

depan, lengan dan setengah kaki (Gortap, 2021).  tujuan pemakaian  Gown/apron untuk melindungi baju 

petugas dari kemungkinan paparan atau percikan darah atau cairan 

tubuh, sekresi, eksresi atau melindungi pasien dari paparan pakaian 

petugas pada tindakan steril. 

 

2. Jenis-jenis gaun pelindung:  

a. Gaun pelindung tidak kedap air 

b. Gaun pelindung kedap air 

c. Gaun steril 

d. Gaun non steril 

3. Bahan :  

a. Kain : dapat dipakai  kembali (reuseable)  

b. Plastik : sekali pakai 

c. Kertas : sekali pakai 

Bahan : Non woven, Serat Sintetik (Polypropilen, polyester, polyetilen, dupont 

tyvex) 

4. Indikasi pemakaian  gaun pelindung :  

a. Membersihkan luka 

b. Tindakan drainase 

78 

c. Menuangkan cairan terkontaminasi kedalam lubang pembuangan 

atau WC/toilet 

d. Menangani pasien perdarahan masif  

e. Tindakan bedah 

f. Perawatan gigi 

g. Tindakan penanganan alat yang memungkinkan pencemaran / 

kontaminasi lengan dan pakaian petugas 

5. Hal-hal yang harus diperhatikan : 

a. Tutupi badan sepenuhnya dari leher hingga lutut, lengan hingga 

bagian pergelangan tangan dan selubungkan ke belakang 

punggung. Ikat di bagian belakang leher dan pinggang. 

b. Berwarna terang/ cerah agar jika ada  kontaminan dapat 

terdeteksi/ terlihat dengan mudah. 

c. Tahan terhadap penetrasi cairan, darah, virus 

d. Tahan terhadap aerosol, airborne, partikel padat 

e. Panjang gaun setengah betis untuk menutupi bagian atas sepatu 

boots 

f. Apron lurus dengan kain penutup dada 

g. Berat minimal: 300g/m2 

5.3.6 Sepatu/Boot → proteksi kaki 

1. Tujuan pemakaian  : Melindungi kaki pengguna/tenaga kesehatan 

dari percikan cairan atau darah. Menurut (Kemkes, 2020) melindung 

kaki petugas dari tumpahan/percikan darah atau cairan tubuh lainnya 

dan mencegah dari kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan 

alat kesehatan, sepatu tidak boleh berlubang agar berfungsi optimal.  

 

 

2. Bahan : karet atau bahan tahan air atau bisa dilapisi dengan kain 

tahan air. Menurut (Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat 

Kesehatan, 2020) bahan sepatu/boot terbuat dari Latex dan PVC. 

3. Indikasi pemakaian sepatu pelindung : 

a. Penanganan pemulasaraan jenazah o Penanganan limbah 

b. Tindakan operasi 

c. Pertolongan dan Tindakan persalinan 

d. Penanganan linen 

e. Pencucian peralatan di ruang gizi 

f. Ruang dekontaminasi CSSD (Kemkes, 2020) 

4. Hal-hal yang harus diperhatikan : 

a. Bersifat non-slip, dengan sol PVC yang tertutup sempurna 

b. Memiliki tinggi selutut susaha  lebih tinggi daripada bagian 

bawah gaun 

c. Berwarna terang agar kontaminasi dapat terdeteksi dengan 

mudah 

d. Sepatu boot tidak boleh diperpakai  kembali jika ada bagian 

yang rusak 

e. Disarankan tahan air 

5.4 Prinsip pemakaian  Alat Pelindung 

Diri (APD) 

1. APD dipakai  sesuai dengan risiko paparan : petugas kesehatan 

harus menilai apakah mereka benar atau tidak berisiko terkena darah, 

cairan tubuh, eksresi atau sekresi agar dapat memakai  alat 

pelindung diri sesuai  yang sesuai dengan risiko.  

2. Semua APD yang akan dipakai  harus memenuhi standart 

keamanan, perlindungan dan keselamatan pasien/petugas sesuai 

ketentuan peraturan perundang-undangan. 

80 

3. Hindari kontak antara APD yang terkontaminasi (bekas) dan 

permukaan pakaian atau lingkungan pelayanan kesehatan, buang 

APD bekas pakai yang sesuai tempat limbah dan standart yang 

ditetapkan  

4. Tidak dibenarkan berbagai APD yang sama antara dua petugas/ 

individu 

5. Lepaskan APD secara keseluruhan jika tidak dipakai  lagi 

6. Lakukan kebersihan tangan setiap kali melepas satu jenis APD, 

ketika meninggalkan pasien untuk merawat pasien lain atau akan 

melakukan prosedur yang lain 

7. Cara memakai  

8. Cara melepaskan 

9. Cara mengumpulkan  

 

 


Rumah sakit sebagai institusi penyedia jasa pelayanan kesehatan perseorangan 

(pelayanan curatif), memiliki berbagai instalasi dan unit penunjang dalam 

kegiatannya melayani pasien. Rumah sakit dalam melakukan aktivitasnya juga 

menghasilkan limbah sebagai hasil samping kegiatan. Limbah yang dihasilkan 

oleh rumah sakit berdasarkan wujudnya terdiri dari limbah padat, cair dan gas. 

Limbah rumah rumah sakit terdiri dari limbah bahan berbahaya dan beracun 

(limbah B3) yang disebut limbah medis, dan limbah yang bukan berbahaya 

dan beracun (limbah non B3) disebut limbah domestik.  

Limbah rumah sakit harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan 

pencemaran di dalam rumah sakit maupun di lingkungan sekitar. Dampak 

pencemaran limbah rumah sakit ialah timbulnya berbagai penyakit pada 

kita  , dan terjadinya kerusakan lingkungan. usaha  pencegahan terhadap 

terjadinya pencemaran limbah rumah sakit yaitu  dengan melakukan 

pengelolaan terhadap limbah menurut kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.  

Pengelolaan limbah rumah sakit mengikuti prinsip-prinsip paradigma 

pengelolaan limbah yaitu minimasi limbah serta penanganan limbah yang 

meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan serta pengolahan 

(pemusnahan) hingga limbah dikembalikan ke lingkungan secara aman.  

 

6.2 Limbah Cair Rumah Sakit 

Rumah sakit menyediakan pelayanan kesehatan perseorangan yaitu bersifat 

kuratif antara lain rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Rumah sakit 

menghasilkan limbah dengan karakteristik yang lebih beragam dibanding 

institusi lainnya. Limbah rumah sakit ialah keseluruhan limbah yang 

dihasilkan dari aktivitas rumah sakit dan kegiatan penunjang baik berwujud 

padat, cair maupun gas. Limbah rumah sakit berdasarkan sifatnya digolongkan 

menjadi limbah medis (limbah B3) dan limbah non medis (limbah domestik).  

Limbah medis didefinisikan oleh

 “Limbah medis yaitu  yang berasal dari pelayanan medis, perawatan, 

gigi, veterinari, farmasi atau sejenis, pengobatan, perawatan, 

penelitian atau pendidikan yang memakai  bahan-bahan beracun 

dan infeksius berbahaya atau bisa membahayakan, kecuali jika 

mendapat perlakukan khusus tertentu.”  

Limbah cair rumah sakit ialah seluruh materi buangan berwujud cair yang 

bersumber dari rumah sakit yang mungkin mengandung mikroorganisme 

pathogen, bahan kimia beracun, dan radioaktivitas 

Air limbah rumah sakit bersumber dari instalasi pelayanan medis, yang 

mencakup rawat Inap, rawat jalan, rawat Intensif, rawat darurat, haemodialisa, 

kamar jenazah dan bedah sentral. Selain dari instalasit pelayanan medis, air 

limbah juga berasal dari instalasi penunjang medis yang mencakup dapur 

pusat, laundry, laboratorium klinik, laboratorium patologi anatomi dan 

radiologi. Sementara dari bagian penunjang non medis di antaranya bagian 

administrasi dan perkantoran, asrama pegawai, rumah dinas serta kafetaria 

(Departemen Kesehatan RI, 2009). Persentase paling tinggi dari limbah cair 

rumah sakit ialah limbah cair domestik, yang berasal dari buangan dapur, 

buangan kamar mandi dan air bekas laundry.  

Air limbah domestik dan limbah klinis mengandung bahan pencemar organik 

yang tinggi sehingga harus diolah secara biologis. Namun air limbah dari 


 

laboratorium yang kandungannya terdiri dari banyak logam berat tidak cocok 

dialirkan ke unit pengolahan biologis sebab  akan mengganggu proses kerja 

pengolahannya sehingga limbah ini  harus diolah secara fisika terlebih 

dahulu sebelum dialirkan ke IPAL (Kementerian Kesehatan RI, 2011).  

Air limbah harus dikelola dengan baik agar parameter nya dapat memenuhi 

syarat nilai baku mutu limbah cair sehingga effluent aman untuk dibuang ke 

lingkungan. Batas maksimum limbah cair dari suatu aktivitas rumah sakit yang 

diperbolehkan dibuang ke lingkungan disebut dengan baku mutu air llimbah 


Fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit wajib melakukan pengolahan 

terhadap limbah yang dihasilkan, limbah medis (B3) dan Non B3 /domestik 

hingga memenuhi syarat baku mutu seperti disajikan dalam tabel 6.1 berikut.  

Tabel 6.1: Baku Mutu Limbah Domestik Fasilitas Pelayanan Kesehatan 

Parameter Konsentrasi Paling Tinggi 

 Nilai Satuan  

Fisika   

Suhu 38 00C 

Zat padat terlarut 2000 mg/L 

Zat padat tersuspensi 200 mg/L 

Kimia    

pH 6-9  

BOD 50 mg/L 

COD 80 mg/L 

TSS 30 mg/L 

Minyak dan lemak MBAS 10 mg/L 

Amonia Nitrogen 10 mg/L 

Total Coliform 5000 (MPN/100 mL) 

Bagi usaha/kegiatan fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan pengolahan 

limbah B3, baku mutu dipersyaratkan sebagai berikut 

Tabel 6.2: Baku Mutu Air limbah bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang 

melakukan pengolahan limbah B3 

Parameter Konsentrasi Paling Tinggi 

 Nilai Satuan  

Kimia   

pH 6-9  

Besi terlarut (Fe) 5 mg/L 

Mangan terlarut (Mn) 2 mg/L 

Barium, (Ba) 2 mg/L 

Tembaga, (Cu) 2 mg/L 

Seng, (Zn) 5 mg/L 

Krom valensi 6, (Cr6+) 0,1 mg/L 

Crom total (Cr) 0,5 mg/L 

Cadmium, (Cd) 0,05 mg/L 

Merkuri (Hg) 0,002 mg/L 

Timbal, (Pb) 0,1 mg/L 

Stanum, (Sn) 2 mg/L 


6.2.1 Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit 

Pengolahan limbah cair rumah sakit dilakukan dengan tujuan menghilangkan 

bahan pencemar atau kontaminan dalam air limbah hingga hasil olahannya 

aman untuk dipakai  kembali dan efluent yang dibuang ke lingkungan, yakni 

ke dlam tanah atau ke dalam air permukaan atau badan air tidak menimbulkan 

gangguan.Pengolahan limbah cair rumah sakit dilakukan dengan tahapan fisik 

dan kimia. Tahapan fisik yaitu  pemisahan cairan dengan padatan melalui 

pengendapan dan penyaringan. Tahapan kimia ialah pengikatan unsur-unsur 

yang tidak dikehendaki yang tidak terpisahkan lewat tahap fisik melalui 

penambahan koagulan.  

1. Pengolahan Pendahuluan (Pre Treatment) 

Sebelum air limbah masuk ke pengolahan primer dilakukan terlebih dahulu 

pre-treatment untuk meringankan kerja proses selanjutnya dalam satu 

rangkaian pengolahan limbah cair yaitu susaha  materi-materi kasar tidak 

memasuki IPAL. Selain itu lemak dan minyak yang ada dalam suatu limbah 

cair dapat dipisahkan lewat pre treatment, serta konsentrasi limbah cair yang 


 

akan diolah dapat diratakan. Pengolahan tahap ini memakai  prinsip gaya 

gravitasi, perbedaan berat jenis, pencampuran mekanis, dan sebagainya.  

Unit-unit pengolahan pre treatment terdiri dari 

a. Bar rack/bar screen merupajkan unit ini berfungsi dalam memisahkan 

padatan-padatan yag terbawa oleh air limbah seperti plastik, kayu, 

dan sebagainya yang termasuk sampah-sampah berukuran besar 

untuk tidak mengganggu proses pengolahan lanjut dari air limbah. 

bar rack atau bar screen berupa susunan besi yang dipasang pada 

saluran inlet limbah. 

b. Grit Chamber merupakan unit bangunan terbuat dari beton ini 

berfungsi sebagai pemisah pada air limbah yang mengandung materi 

pasir diskrit secara gravitasi. 

c. Comminutors berupa unit mekanis yang desain untuk melakukan 

pemarutan materi padatan yang masih lolos dari bar rack atau bar 

screen. Unit ini biasanya dibuat jika air limbah mengandung banyak 

padatan berukuran besar seperti sampah. 

d. Fine Screen berupa unit bangunan ini dipasang jika limbah banyak 

mengandung padatan halus atau materi tersuspensi, dengan tujuan 

mencegah terganggunya sistem mekanik/pompa sebab  kerusakan 

pompa dapat terjadi jika materi padatan terangkut dalam sumur 

pompa. 

e. Bak equalisasi merupakan unit yang berguna untuk menampung air 

limbah dari keseluruhan sumber sebelum dipompakan ke unit 

pengolahan lanjut, untuk memberikan kesempatan akumulasi limbah 

dari berbagai sumber. 

2. Pengolahan Primer 

Pengolahan primer yaitu  tahap pertama proses pengolahan limbah cair yang 

bertujuan mengurangi partikel padat di dalam limbah cair. Unit pengolahan 

dibedakan menjadi unit pengendapan dan unit sedimentasi. Prinsip pengolahan 

primer yaitu  pengendapan pada keadaan yang sangat tenang dan 

pembubuhan bahan kimia dalam menetralkan limbah. Unit pengolahan tahap 

pertama yaitu  sebagai berikut 

a. Netralisasi merupakan proses di mana beberapa sifat air limbah yang 

memiliki sifat antagonis digabungkan. Disamping itu unit ini dapat 

pula diterapkan jika ada salah satu limbah yang bersifat ekstrim, 

misalnya air limbah yang terlalu asam atau terlalu basa. Jenis limbah 

yang dihasilkan menentukan jenis bahan yang ditambahkan, apakah 

bahan asam atau basa. Proses ini membantu proses selanjutnya 

khususnya pengolahan secara biologis yang membutuhkan kondisi 

netral. 

b. Penambahan bahan kimia untuk membantu efektivitas proses flotasi 

maupun proses sedimentasi. Pembubuhan bahan kimia (koagulan) 

akan mempercepat proses sedimentasi.  

c. Flotasi (pengapungan) yaitu  mengapungkan limbah dan bahan 

melayang seperti lemak, minyak, dan bahan lainnya, agar air limbah 

dan bahan ini  dapat dipisahkan. Teknologi yang dipakai  ialah 

pengaliran dengan cara Up-Flow, sehingga bahan dapat dipisahkan 

memakai  scrabber. Kemudian materi yang berhasil dipisahkan 

akan diteruskan ke tahapan pengolahan yang lebih lanjut. 

d. Sedimentasi yaitu  proses pada tahap mengendapkan partikel yang 

dapat mengendap secara gravitasi atau melalui penambahan bahan 

koagulan. Tujuan sedimentasi ialah untuk memisah antara partikel 

diskrit dan partikel yang tersuspensi. Proses ini dirancang 

memakai  pola pengendapan konvensional atau melalui 

modifikasi teknologi plate settler atau Tube Setller. 

e. Filtrasi merupakan unit bangunan yang berfungsi mengendapkan 

limbah yang tidak dapat mengendap pada saat proses sedimentasi, 

dan melalui filtrasi ini, flokulan-flokulan dapat dipisahkan. Pada 

proses filtrasi pengolahan secara fisik, pemisahan berlangsung 

dengan porositas media filter serta daya tarik dinding dan adsorbsi 

dari media. Mekanisme kimia berlangsung sebab  ada  reaksi 

kimia antara materi yang akan dipisahkan dengan oksigen pada 

media filter. Sementara mekanisme biologi terjadi sebab  keberadaan 

mikroorganisme aerob dan anaerob dalam filter. 

 


 

3. Pengolahan Kimia 

Pengolahan secara kimia meliputi koagulasi dengan penambahan koagulan, 

flokulasi dengan penambahan flokulan, desinfeksi dengan pembubuhan 

desinfektan. Unit-unit proses pengolahan kimia meliputi :  

a. Unit koagulasi merupakan unit pencampuran bahan kimia dengan 

limbah cair hingga merata kemudian flok inti akan terbentuk melalui 

proses penumbukan cepat. Bangunana atau unit ini ditempatkan 

sebelum unit proses biologi.  

b. Unit flokulasi yaitu unit untuk memberikan kesempatan bagi flok inti 

membesar dengan cara pengadukan lambat, dan ditempatkan sebelum 

unit desinfeksi.  

c. Unit desinfeksi ialah unit yang dirancang dengan tujuan membunuh 

bakteri atau mengurangi keberadaan mikroorganisme patogen di 

dalam suatu air limbah. Penempatan unit ini yaitu  di bagian akhir 

pengolahan limbah.  

 

6.3 Limbah Padat Rumah Sakit 

Limbah padat rumah sakit ialah keseluruhan limbah yang timbul dari aktivitas 

rumah sakit berwujud padat berupa limbah rnedis padat serta non medis padat. 

Limbah medis padat ialah limbah dengan wujud padat yang meliputi limbah 

infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah 

sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan, 

serta limbah yang mengandung logam berat tinggi. Limbah padat non medis 

didefenisikan sebagai limbah berwujud padat sebagai hasil aktivitas bukan 

medis melainkan berasal dari aktivitas dapur, kantor, taman dan halaman yang 

memungkinkan bisa dirnanfaatkan lagi (daur ulang) jika teknologinya tersedia 

Limbah medis padat rumah sakit termasuk 

dalam limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3).  

 


Defenisi Limbah B3 yaitu  

“Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat B3 yaitu  

zat, energi, dan/atau komponen lain yang sebab  sifat, konsentrasi, 

dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, 

dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau 

membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan 

hidup kita  dan makhluk hidup lain” 

Limbah B3 di rumah sakit memiliki karakteristik yang meliputi : 

1. Mudah meledak contohnya kaleng pengharum ruangan, kaleng anti 

nyamuk, tabung gas bertekanan, lampu TL.  

2. Mudah menyala, contohnya oli bekas, filter oli bekas dan kain majun.  

3. Reaktif, contohnya bahan-bahan kimia laboratorium 

4. Infeksius, contohnya sisa-sisa jaringan tubuh, sampah medis, limbah 

pasien covid-19, sludge IPAL 

5. Korosif, contohnya cairan fixer, cairan developer, film rontgent, 

bahan kimia laboratorium 

6. Beracun, contohnya obat-obat kadaluarsa, obat-obat sitotoksis, botol 

sisa desinfektan, aki dan baterai bekas, termometer/tensimeter bekas 

yang mengandung merkuri.  

6.3.1 Pengelolaan Limbah Medis Padat Rumah Sakit 

Pengelolaan Limbah B3 merupakan kegiatan yang mencakup pengurangan 

(minimasi), penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, 

pengolahan, dan/atau penimbunan. 

Pengelolaan limbah B3 pada dasarnya memprioritaskan usaha  minimasi 

melalui hierarki sebagai berikut:  

1. Mengganti bahan yang dapat mereduksi banyaknya B3 dari sisa 

produksi 

2. Recycle (daur ulang) bagi bahan-bahan yang dapat diproses kembali  

3. Menurunkan efek toksik (Detoxify) dan netraliasi cairan berbahaya 

4. Pengurangan Limbah (Reduce) 

5. Pembakaran sempurna limbah B3, dengan kontrol polusi udara  

6. Stabilisasi/Solidify sludge dan debu 

7. Disposal (Penanaman limbah B3),dengan ketentuan yang harus 

dipatuhi 

Sementara penanganan limbah medis padat rumah sakit terdiri dari 

langkah/tahapan sebagai berikut:  

1. Pemilahan 

Limbah medis harus dipilah sebelum dikumpulkan ke tempat penyimpanan 

sementara. Pemilahan dilakukan di tempat di mana limbah dihasilkan atau di 

sumber limbah, misalnya di laboratorium, di ruang rawat jalan, ruang rawat 

inap, dan seterusnya. Perlu diperhatikan bahwa limbah yang akan didaur ulang 

harus dipisah dengan limbah yang tidak didaur ulang 

Pemilahan limbah medis dilakukan berdasarkan karakteristiknya diuraikan 

dalam tabel 6.3 : 

Tabel 6.3: Pemilahan limbah medis di rumah sakit 

Benda Tajam Keras Benda lunak Botol infus/Derigen HD 

Jarum suntik 

Jarum infus 

Pecahan kaca 

Botol obat kaca 

Botol ampul kaca 

Botol infus kaca 

Botol reagen kaca 

Kain kasa dan perban 

Gips/kayu 

Kain majun 

Hand scun 

Masker 

Selang kateter 

Jaringan tubuh 

Alat/bahan yang 

terkontaminasi cairan 

Botol infus 

Derigen HD 

Bekas kemasan B3 laundry 

 

Limbah medis benda tajam keras dan limbah medis benda lunak diangkut ke 

TPS limbah B3, selanjutnya akan diangkut oleh pihak ketiga 

(transportir/pemusnah LB3). Sementara limbah botol infus dan derigen HD 

yang bukan bekas kemasan kemotherapi dan cairan tubuh dan darah diangkut 

ke bank sampah.  

Semenjak adanya pandemi Covid-19, rumah sakit sebagai pemberi pelayanan 

kesehatan perorangan bagi pasien Covid-19 tentu harus mengelola juga limbah 

medis khusus pasien Covid-19. Pemerintah sudah  mengeluarkan beberapa 

peraturan tentang pengelolaan limbah medis Covid-19 yakni :  

1. Kepmenkes RI.No.HK.0.1.07/MENKES/382/2020 tentang Protokol 

kesehatan bagi warga  di tempat dan fasilitas umum dalam 

rangka pencegahan corona virus disease 2019.  

2. Kepmenkes RI.No.537/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Limbah 

Medis FASYANKES dan Limbah dari Kegiatan Isolasi Mandiri di 

warga  dalam rangka Penanganan Covid – 19. 

3. SE Menteri LHK No. 2/PSLB3/3/2020 Tentang Pengelolaan Limbah 

Infeksius (B3) dan sampah rumah tangga dari Penanganan Corona 

Virus Disease 19 (Covid – 19)  

4. SE Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK No. 

S.156/PSLB3/PKPLB3/PLB.2/3/2020 tentang Pengelolaan limbah 

B3 masa darurat Penanganan Covid-19. 

Proses pemilahan pada limbah medis Covid-19 dan vaksin Covid dilakukan 

sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2020) :  

Tabel 6.4: Pemilahan Limbah Covid dan Vaksin Covid 

Benda Tajam  Benda Lunak 

Jarum suntik 

Jarum infus 

Pisau bedah 

Pecahan kaca 

Botol obat kaca 

Botol ampul kaca 

Botol infus kaca 

Botol reagen kaca 

Kain kasa dan perban 

Kain majun 

Hand scun 

Masker 

Semua jenis sampah dalam ruang perawatan pasien Covid-

19 

Semua benda tajam limbah medis covid-19 dimasukkan ke safety box sebagai 

wadah, dan semua limbah medis padat benda lunak dimasukkan ke dalam 

kantong plastik berwarna kuning.  

Pewadahan limbah medis padat rumah sakit dilakukan dengan memenuhi 

syarat meliputi: wadah harus terbuat dari bahan yang kuat, cukup ringan, tahan 

karat, kedap air, serta bagian dalamnya memiliki permukaan yang halus. 

Tempat pewadahan yang terpisah dengan limbah padat non-medis. harus 

tersedia di setiap sumber limbah. Kantong plastik harus diangkat setiap hari 

atau bahkan kurang dari sehari jika 2/3 bagian sudah terisi limbah. Sisa-sisa 

benda tajam ditampung memakai  wadah khusus (safefy box). Limbah 

medis padat infeksius dan sitotoksik yang tidak langsung kontak dengan 

limbah harus segera dibersihkan memakai  larutan disinfektan jika akan 


 

diperpakai  kembali, sementara kantong plastik yang sudah dipakai dan 

kontak langsung dengan limbah tidak boleh diperpakai  kembali 


Tabel 6.5: Pewadahan dan Pelabelan Limbah Padat Rumah Sakit 

Jenis Limbah Warna Kemasan 

Limbah Infeksius :  

Limbah padat: pipa karet, kateter, set 

intravena,  

Kuning Kantong plastik 

kuat/kontainer 

Limbah mikrobiologi dan patologis : limbah 

dari pembiakan di laboratorium, specimen 

jaringan tubuh 

Kuning Kantong plastik 

kuat/kontainer 

Limbah linen kotor : kapas, plester, kain dan 

pembalut kotor 

Kuning Kantong plastik 

kuat/kontainer 

Limah tajam: jarum, syringe, pisau, kaca 

specimen 

Kuning Kantong plastik 

kuat/kontainer 

Limbah medis covid 19 : semua jenis limbah 

yang ada dalam ruang perawatan pasien covid-

Kuning Kantong plastik 

kuat/kontainer 

Limbah bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, 

bahan kimia yang dipakai  dalamdesinfeksi 

dan sebagai insektisida  

Ungu Kantong plastik 

kuat/kontainer 

Limbah dengan kandungan logam berat yang 

tinggi seperti thermometer merkuri pecah dan 

tensimeter pecah 

Coklat Kantong plastik 

kuat/kontainer 

Limbah radioaktif Merah Kantong, box timbal dengan 

simbol radioaktif 

Limabah tabung gas : kaleng bekas 

pengharum ruangan 

- Kantong plastik 

Limbah farmasi : Obat-obatan kadaluarsa Coklat Kantong plastik 

kuat/kontainer 

Limbah sitotoksik : obat-obatan sitotoksik dan 

kemoterapi 

Ungu Kantong plastik 

kuat/kontainer 

 


2. Pengumpulan 

Pengumpulan limbah medis padat dilakukan sesudah  dilakukan pemilahan di 

sumber limbah. Pengumpulan limbah medis dari setiap sumber limbah di 

dalam rumah sakit memakai troli khusus yang tertutup. Limbah wajib dikemas 

pada tempat yang kuat. Penyimpanan limbah medis padat pada TPS yang 

berada di lingkungan rumah sakit harus sesuai dengan iklim tropis. 

Penyimpanan paling lama yaitu  48 jam waktu musim hujan dan 24 jam 

waktu musim kemarau 

3. Pengangkutan 

Tansportasi limbah medis sejak dari lingkungan rumah sakit hingga tempat 

pengolahan /pemusnahan, harus memakai  kenderaan khusus. Saat 

memasukkan limbah medis padat ke dalam kenderaan pengangkut, dipastikan 

terlebih dahulu bahwa limbah diletakkan di dalam kontainer/kemasan yang 

kuat dan tertutup, kantong limbah dalam kondisi aman dari jangkauan kita  

dan binatang. Petugas yang menagani transportasi limbah waib memakai alat 

pelindung diri sesuai standar, yaitu: helm/topi, masker, pelindung mata, 

pakaian panjang (coverall), sepatu boot/pelindung kaki, dan sarung tangan 

khusus (disposable gloves) 

4. Pengolahan, Pemusnahan dan Pembuangan Akhir 

Pengolahan limbah medis padat harus dilakukan pengolahan sebelum dibuang 

ke lingkungan yang bertujuan agar aman ketika akan dikembalikan ke 

lingkungan sehingga tidak menimbulkan pencemaran. Adapun limbah medis 

yang dilakukan pengolahan yaitu  sebagai berikut 

a. Limbah Infeksius dan Benda Tajam  

Pengolahan limbah sangat infeksius (biakan dari laboratorium) harus 

dilakukan secara khusus yaitu secara s terilisasi dengan pengolahan panas dan 

basah di autoclaf. Sementara limbah infeksius lainnya, dengan didesinfeksi 

saja sudah cukup. Pengolahan limbah benda tajam seharusnya dilakukan pada 

Instalasi Pengolah Limbah Padat (IPLP) jika tersedia. Pengolahan dapat pula 

dilakukan secara bersamaan dengan limbah padat infeksius lainnya. Selain 

diolah secara IPLP, tajam juga dapat dilakukan kapsulisasi. Residu insenerasi 

dan desinfeksi yang sudah aman dapat dibuang ke landfill. 

 

b. Limbah Farmasi  

Pengolahan limbah farmasi yang jumlahnya tidak besar, dapat memakai  

insenerator pirolitik, sanitary landfill, insenerasi, dan disalurkan ke sarana air 

limbah. Namun jika jumlahnya besar, maka faslitas khusus yang wajib 

dipakai  di antaranya rotary kiln, kapsulisasi di dalam durm logam, serta 

insenerasi. Perlu diperhatikan pihak penghasil limbah, jika limbah padat 

farmasi yang dihasilkan jumlahnya besar maka wajib untuk 

mengembalikannya kepada pihak distributor farmasi. Bilamana limbah padat 

farmasi berjumlah kecil atau sedikit, tidak wajib dikembalikan ke distributor 

namun  dimusnahkan memakai  insenerator dengan suhu > 10000 C.  

c. Limbah Sitotoksis 

Limbah sitotoksis merupakan limbah yang sangat berbahaya sehingga dalam 

pemusnahannya, harus dilakukan secara tepat. Pemusnahan secara landfill 

bukanlah cara yang direkomendasikan bahkan secara tegas tidak 

diperbolehkan. Membuang langsung ke saluran limbah umum juga hal yang 

sangat membahayakan sehingga cara ini pun tidak diperbolehkan. Cara 

pemusnahan yang tepat yaitu  dengan mengembalikannya kepada distributor, 

insenerasi pada temperatur tinggi 12000C, dan degradasi secara kimiawi. 

Obat-Obatan yang belum dipakai namun  kemasannya masih utuh sebab  sudah 

kadaluarsa, wajib dikembalikan kepada distributor jika di rumah sakit tidak 

tersedia IPLP, disertai dengan pemberian keterangan kadaluarsa.  

d. Limbah Bahan kimia 

Limbah bahan kimia dalam hal ini dibedakan menjadi limbah kimia biasa, di 

mana limbah ini tidak dapat diolah kembali (recycle) seperti limbah gula, 

limbah asam amino, dan limbah garam. Sebaiknya limbah jenis ini segera 

dialirkan ke saluran limbah umum dengan syarat harus memenuhi konsentrasi 

materi pencemar, di antaranya bahan melayang, suhu dan pH. Limbah bahan 

berbahaya pada keadaan konsentrasi kecil misalnya sisa bahan kimia dalam 

kemasan, dapat dimusnahkan secara insenerasi, kapsulisasi, boleh juga 

ditimbun (landfill). Lain halnya dengan limbah bahan berbahaya yang 

berjumlah besar, pemusnahannya ditentukan oleh sifat bahaya yang 

dikandung. Ada yang bisa dimusnahkan secara insenerasi namun ada juga 

yang tidak bisa diinsenerasi kecuali jika inseneratornya dilengkapi dengan alat 

pembersih gas. Cara pemusnahan lainnya yaitu  pihak rumah sakit dapat 

mengembalikan limbahnya ke pihak distributor agar diolah dengan cara yang 

lebih aman atau dikirim ke negara lain yang memiliki peralatan yang lebih 

tepat untuk memusnahkan limbahnya.  

e. Limbah dengan kandungan logam berat tinggi  

Limbah medis dengan kandungan logam berat Merkuri atau Cadmium 

misalnya, tidak boleh diinsenerasi atau dilandfill sendiri oleh pihak rumah sakit 

sebab  sangat berbahaya baik bagi kita  di sekitar rumah sakit maupun bagi 

lingkungan. Penanganan terbaiknya ialah dengan mengirim ke negara yang 

memiliki fasilitas pemusnah. Kendalanya yaitu  tidak semua rumah sakit 

mampu mengirimkan limbahnya ke luar negeri, untuk itu ada cara yang lebih 

sederhana yaitu dengan kapsulisasi dilanjutkan dengan landfill. 

f. Kontainer bertekanan 

Penanganan terbaik bagi limbah kontainer bertekanan ialah daur ulang 

(recycle). Jika kontainer masih dalam keadaan utuh dapat diisi ulang kembali 

dengan gas kepada distributornya. Contoh daur ulang dalam hai ini yaitu  

tabung nitrogen oksida digabung dengan peralatan anestesi, tabung nitrogen 

oksida digabung dengan peralatan sterilisasi, serta tabung bertekanan untuk gas 

lainnya seperti Oksigen, Nitrogen, Karbondioksida, dan gas lainnya. Perlu 

diperhatikan bahwa pemusnahan dengan insenerasi tidak boleh dilakukan pada 

limbah kontainer bertekanan sebab  dapat meledak. 

 

 

 

Pengelolaan Gizi dalam 

Pengendalian Infeksi di Rumah 

Sakit 

 

 

 

Gizi dan Infeksi 

Gizi yaitu  aspek fundamental. Gizi yang baik diperlukan di setiap daur 

kehidupan. Terpenuhinya kebutuhan gizi dapat berdampak pada terwujudnya 

kesehatan, Sumber Daya kita  yang berkualitas, produktivitas, hingga 

kemajuan perekonomian suatu bangsa. World Bank melaporkan, terjadinya 

kasus malnutrisi (kurang gizi, defisiensi mikronutrien, dan kelebihan berat 

badan) merugikan ekonomi global. Besaran kerugian mencapai $3,5 triliun per 

tahun, atau $500 per individu (Shekar et al., 2017). Hal ini menciptakan 

hambatan besar bagi usaha  pemerintahan di berbagai negara di dunia untuk 

mengurangi kemiskinan dan meningkatkan produktivitas warga nya.  

Gizi erat kaitannya dengannya banyak komponen, sistem dan proses yang 

terjadi di dalam tubuh kita, termasuk dengan kejadian infeksi. Gizi memiliki 

hubungan yang erat dengan infeksi. Malnutrisi yang terjadi dapat memicu 

infeksi melalui mekanisme penurunan daya tahan tubuh  Istilah malnutrisi diartikan sebagai masalah gizi, baik itu 

mencakup kekurangan gizi maupun kelebihan gizi. Masalah gizi kurang yang 

terjadi secara global, mulai dari kekurangan zat gizi makro misalnya stunting, 

hingga kekurangan zat gizi mikro, seperti vitamin A, yodium, seng, dan besi. 

Kelebihan zat gizi juga merupakan masalah global yang banyak terjadi saat ini. 

Meningkatnya kejadian Penyakit Tidak Menular (PTM) saat ini salah satunya 

disebabkan sebab  peningkatan kejadian obesitas (WHO, 2017). 

Malnutrisi memicu  kerentanan tubuh mengalami peyakit infeksi. 

Malnutrisi dapat mengubah respons imun, masuknya paparan patogen 

(Gambar 7.1) dan memicu  peningkatan kejadian infeksi hingga 

berdampak pada peningkatan mortalitas, terutama pada anak-anak ,Terpenuhinya kebutuhan gizi dengan baik akan membantu 

meningkatkan daya tahan tubuh sehingga terhindar dari penyakit infeksi. sudah  

banyak penelitian yang membuktikan adanya hubungan positif antara gizi 

dengan daya tahan tubuh. 

 

Gambar 71: Mekanisme Terjadinya Infeksi akibat Malnutrisi,

Interaksi kompleks antara infeksi dan malnutrisi menciptakan semacam siklus 

yang saling terkait. Mulai dari terjadinya penurunan aktivitas makrofag, 

penurunan respons inflamasi, hingga penurunan kemampuan tubuh untuk 

membuat antibodi spesifik (Gambar 7.2) 

Malnutrisi dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap infeksi, dan infeksi 

juga dapat berkontribusi pada malnutrisi. Tidak hanya penanganan medis yang 

tepat, asupan gizi yang baik terbukti dapat menurunkan risiko terjadinya 

infeksi dan membantu tubuh kembali dapat membentuk antibodi spesifik 

Selain zat gizi makro seperti karbohidrat, protein, lemak, dan air, kebutuhan 

akan zat gizi mikro yaitu vitamin dan mineral juga harus dipenuhi. Zat 

fitokimia dari bahan pangan yang berperan sebagai antioksidan juga terbukti 

dapat meningkatkan daya tahan tubuh.  

 

7.2 Pelayanan Gizi di Rumah Sakit 

Pelayanan gizi menjadi kesatuan pelayanan di Rumah Sakit (RS). Filosofi 

Hippocrates menyatakan bahwa “let the food be the medicine and the medicine 

be the food”. Secara harfiah makanan tidak diartikan sebagai obat, namun 

kandungan energi dan zat gizi di dalam makanan berperan penting dalam 

usaha  penyembuhan suatu penyakit. Diketahui bahwa ada  interaksi antara 

obat-obatan dengan zat gizi dari makanan yang dikonsumsi pasien. Pemberian 

gizi yang tepat terbukti dapat meningkatkan laju pemulihan pasien dari 

penyakit dan mengurangi jumlah hari rawat pasien di RS .

Pelayanan gizi merupakan suatu usaha  yang dilakukan dalam rangka 

memperbaiki, meningkatkan keadaan gizi dan dietetik baik untuk kelompok, 

individu atau klien yang merupakan suatu rangkaian kegiatan terencana untuk 

mencapai status kesehatan optimal dalam kondisi sehat atau sakit 

Pelayanan gizi di RS yaitu  Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) yang 

dilakukan untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Masalah gizi pada 

pasien secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi proses 

penyembuhan. Cenderung terjadi peningkatan kasus penyakit yang terkait gizi 

(nutrition-related disease) pada semua kelompok rawan gizi, yaitu ibu hamil, 

bayi, anak, remaja, hingga lanjut usia (Lansia) yang memerlukan 

penatalaksanaan gizi secara khusus. Hal ini memicu  dibutuhkan 

pelayanan gizi yang bermutu untuk dapat mencapai dan mempertahankan 

status gizi optimal dan mempercepat penyembuhan pasien. Pelayanan gizi di 

RS meliputi penyelenggaraan asuhan makanan, penelitian, dan pengembangan 

gizi terapan. 


Proses pelayanan gizi untuk pasien rawat inap ditampilkan pada Gambar 

10.2.1. Pelayanan gizi untuk pasien rawat inap dimulai dengan melakukan 

skrining gizi. Skrining dilakukan untuk mengetahui risiko malnutrisi pada 

pasien. Pasien dengan risiko malnutrisi akan menjalani asuhan gizi. Pasien 

yang tidak berisiko malnutrisi akan dipantau untuk dilakukan skrining 

Kembali secara periodik. Proses asuhan gizi dikenal dengan ADIME, yaitu  

A: Asesmen gizi;  

D: Diagnosis gizi;  

I: Intervensi gizi;  

M: Monitoring; dan  

E: Evaluasi gizi.  

Pelayanan gizi pasien rawat jalan (Gambar 7.4) sedikit berbeda dengan asuhan 

gizi untuk pasien rawat inap.  

 

Gambar 7.4: Alur Pelayanan Pasien/Klien Rawat Jalan (PGRS, 2013) 

Asuhan gizi pasien/klien rawat jalan biasa disebut juga dengan layanan 

konseling gizi. Konseling gizi dilakukan dengan tujuan untuk membantu klien 

dalam usaha  merubah perilaku yang berkaitan dengan gizi sehingga 

meningkatkan status gizi dan kesehatan klien 

Konseling dilakukan oleh ahli gizi yang disebut juga dengan konselor. 

Konselor gizi yaitu  ahli gizi yang tersertifikasi, dapat membantu klien 

mengenali masalah, memahami pemicu  terjadinya masalah gizi dan 

membantu klien memecahkan masalahnya . Konseling gizi pada klien/pasien mengacu pada konsep PAGT 

dan juga menerapkan ADIME. 

 

 Pengelolaan Gizi dalam 

Pengendalian Infeksi di RS 

sudah  dibahas sebelumnya bahwa pelayanan gizi di RS meliputi 

penyelenggaraan asuhan makanan, penelitian, dan pengembangan gizi terapan. 

Penyelenggaraan asuhan makanan pasien merupakan salah satu usaha  

pengelolaan gizi. Pengelolaan gizi untuk pasien sangat penting untuk 

mendukung kesembuhan penyakit. Pengelolaan gizi pasien dilakukan dengan 

pemberian terapi gizi yang tepat dan kegiatan penyelenggaraan makanan/ food 

service yang terstandar. Penyelenggaraan makanan di RS khususnya ditujukan 

untuk pasien rawat inap, namun sesuai kebijakan manajemen RS dapat juga 

diberikan untuk karyawan, tenaga kesehatan lainnya di RS ini  hingga 

pengunjung RS. Penyelenggaraan makanan rumah sakit meliputi kegiatan 

perencanaan: menu; kebutuhan bahan makanan; anggaran, penerimaan dan 

penyimpanan bahan makanan, pengolahan bahan makanan, distribusi 

makanan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan. Seluruh kegiatan harus 

dilakukan sesuai Standar Operasional Baku (SOP) yang sudah  ditetapkan oleh 

manajemen RS  

Sebelumnya juga sudah dibahas bahwa ada  kaitan yang erat antara infeksi 

dengan penyakit atau masalah gizi, termasuk pada pasien RS. Oleh sebab  itu 

diperlukan SOP yang jelas untuk pengendalian infeks di RS. Pelaksanaan 

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, 

termasuk RS dilakukan untuk melindungi pasien, petugas kesehatan, 

pengunjung yang dilayani dan warga  di sekitar lingkungan RS dengan 

cara memutus siklus penularan penyakit infeksi melalui SOP yang tepat 


 

ada  beberapa aspek yang harus diperhatikan terkait pengelolaan gizi 

dalam pengendalian infeksi di RS meliputi, yaitu: Personil; Fasilitas sanitasi; 

Peralatan makan; Kegiatan pengolahan makanan; dan Penanganan Alat makan 

disposable infeksius. 


Personil  

Rumah sakit memiliki tanggung jawab memberikan yang bergizi dan makanan 

yang aman untuk pasien dan karyawan. Higiene dan sanitiasi harus 

diperhatikan sesuai dengan standar, termasuk untuk pengendalian infeksi. 

Pencegahan infeksi di bagian gizi sebagai bagian pelayanan makanan 

membutuhkan personel yang sehat, peralatan yang dirawat dengan baik, bahan 

makanan yang tidak terkontaminasi, dan kesadaran yang tinggi tentang higiene 

dan sanitasi yang layak. Adapun panduan pencegahan dan pengendalian 

infeksi untuk personil pelayanan makanan di instalasi gizi yaitu  sebagai 

berikut : 

1. Personil pelayanan makanan yang bekerja di bagian instalasi gizi RS 

harus menerapkan higiene perorangan, yaitu menjaga kebersihan 

tangan tangan dengan mencuci tangan memakai  sabun atau 

cairan antiseptik lainnya. Mencuci tangan dilakukan sebelum bekerja, 

sesudah  selesai memakai  toilet, sebelum dan sesudah makan, 

sesudah  kontak dengan peralatan yang tidak bersih, kontak dengan 

lingkungan kerja, pakaian kotor, kain lap, dan sesudah  menangani 

makanan mentah.  

Di area perawatan pasien, personil yang bertugas mendistribusikan makanan 

ke pasien dapat membersihkan tangan dengan cairan antiseptik berbasis 

alkohol yang tersedia di area rawat inap. Personel makanan tidak boleh 

membersihkan tangan mereka di wastafel yang dipakai  untuk menyiapkan 

makanan atau mencuci peralatan. 

2. Personil layanan gizi dan makanan yang bersentuhan langsung 

dengan makanan memakai  sarung tangan plastik atau karet 

sekali pakai. Sarung tangan harus dilepas sesudah  meninggalkan area 

kerja dan mencuci tangan. Saat kembali ke area kerja, personil 

Kembali mencuci tangan dan memakai  sarung tangan yang baru. 

Sarung tangan harus diganti dan dicuci dengan sabun dan air setiap 

kali menyentuh permukaan yang berpotensi kotor seperti permukaan 

kasir, lantai, tempat sampah, kotak kardus, dll. 

3. Personil layanan gizi dan makanan diharuskan untuk melaporkan 

kepada supervisor tentang informasi kesehatannya terutama terkait 

dengan penyakit yang menular melalui makanan. Dapat dilaporkan 

gejala termasuk: muntah, diare, sakit kuning, sakit tenggorokan 

dengan demam atau lesi berisi nanah seperti bisul, atau luka 

terinfeksi yang terbuka atau mengalir. Paparan virus yang dilaporkan 

antara lain Norovirus, Hepatitis A, Shigella spp., Cryptosporidium, 

dan Salmonella. Personel Layanan Gizi dan Makanan harus bebas 

dari penyakit menular seperti hepatitis A, kulit lesi, bisul, infeksi 

saluran pernafasan atau diare.  

4. Personil layanan gizi dan makanan memakai  Alat Pelindung Diti 

(APD) yang sesuai standar.  Alat Pelindung Diri (APD) dipakai  

untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuh pekerja dari bahaya 

penyakit atau kecelakaan akibat kerja. APD disesuaikan dengan 

masing- masing jenis pekerjaan di unit instalasi gizi(Kemenkes RI, 

2020). 

a. Petugas gizi di ruang penerimaan, pengemasan makanan dan 

pendistribusian makanan: 

• Masker bedah 

• Sarung tangan/hand scoon 

• Topi 

• Apron/celemek 

b. Nutrisionis/dietisien di ruang perawatan yang melakukan asuhan 

gizi pada pasien dapat memakai : 

• Masker bedah 

• Sarung tangan/hand scoon 

• Topi 

• Gown  

5. Personil Layanan Gizi dan Makanan diberikan pelatihan secara 

berkala terkait higiene dan sanitasi serta pengetahuan tentang

penyakit menular yang dapat memicu terjadinya infeksi dari dan pada 

makanan. 

 Fasilitas Sanitasi 

usaha  pencegahan dan pengendalian infeksi pada pengelolaan gizi di RS 

membutuhkan fasilitas sanitasi yang memadai, di antaranya: 

1. Untuk mendukung perilaku hygiene personil, RS harus dilengkapi 

dengan wastafel cuci tangan yang memadai, lengkap dengan air 

mengalir yang bersih, sabun dan handuk sekali pakai atau kertas tisu.  

2. Toilet dilengkapi dengan jamban dan tidak boleh berdekatan dan 

langsung berhubungan dengan area pengolahan makanan. Toilet 

sebaiknya terpisah dengan toilet umum untuk pengunjung RS. 

3. Tersedia tempat sampah tertutup yang terpisah antara sampah basah 

(organik) dengan sampah kering (anorganik), termasuk sampah yang 

termasuk kategori infeksius.  

Peralatan  

ada  beberapa hal yang harus diperhatikan terkait peralatan yang 

dipakai  untuk kegiatan penyelenggaraan makanan sebagai usaha  

pencegahan dan pengendalian infeksi pada pengelolaan gizi di RS  yaitu: 

1. Talenan terpisah untuk makanan / daging mentah dan mentah 

diperlukan, dan diberi kode warna sesuai dengan makanan yang 

disiapkan. Makanan olahan tidak boleh dipotong di papan yang sama 

dengan makanan mentah makanan. Talenan yang dipakai  untuk 

menyiapkan makanan harus terbuat dari plastic dan mudah 

dibersihkan. 

2. Semua peralatan dan perkakas harus dirancang sedemikian rupa agar 

halus, mudah dibersihkan, dan tahan lama dan disimpan dalam 

kondisi baik.  Semua peralatan plastik, porselen, dan barang pecah 

belah yang sudah  kehilangan lapisan atau ada  bagian yang sudah 

terkelupas atau retak harus dibuang. 

3. Semua peralatan makan dan minum yang dapat dipakai  kembali 

harus dibersihkan dan disterilkan secara menyeluruh. 

4. Semua penggiling makanan, pemotong dan pengaduk harus 

dibersihkan, disterilkan, dikeringkan dan disimpan dengan baik. 

5. Wadah dan peralatan sekali pakai harus dibuang sesudah  dipakai . 

6. Mesin pencuci piring harus dikeringkan dan disiram sesudah  

dipakai . Mesin dipelihara dan dioperasikan sesuai dengan instruksi 

pabrik.  

7. Penumpukan dan penyimpanan piring dan alat-alat yang dicuci harus 

dilakukan oleh personel terpisah untuk mencegah kontaminasi ulang 

pada alat yang sudah dicuci. 

8. Meja pemanas makanan harus mempertahankan makanan panas pada 

suhu 140°F atau lebih dan tidak boleh mencemari makanan yang 

disimpan di dalamnya melalui percikan atau kondensasi.  

9. Lemari pendingin memiliki suhu di bawah 41°F dan tidak dipakai  

untuk mendinginkan makanan namun untuk menjaga makanan dingin 

tetap dingin. Lemari pendingin dibersihkan setiap hari. 

10. Pisau harus dibersihkan dan dikeringkan sebelum disimpan dalam 

lemari.  



 Kegiatan Pengolahan Makanan 

Pengolahan makanan juga harus diperhatikan dalam usaha  pencegahan dan 

pengendalian infeksi pada pengelolaan gizi di RS. Mulai dari pemilihan, 

penyimpanan, pengolahan, dan penyimpanan bahan makanan, hingga 

penyajian dan distribusi makanan. Beberapa hal yang dapat diperhatikan 

dalam proses pengolahan makanan untuk pencegahan dan pengendalian 

infeksi dapat dilihat pada Tabel 7.1 

Tabel 7.1: usaha  Pencegahan dan Pengendalian Infeksi pada Pengolahan 

Makanan

Kegiatan Hal yang perlu diperhatikan 

Pemilihan bahan makanan 

- Memilih bahan makanan dalam keadaan baik, segar, dan 

tidak rusak. 

- Tidak berjamur. 

- Memperhatikan tanggal kadaluarsa pada produk 

kemasan dan kemasan tidak dalam keadaan rusak. 


 

Kegiatan Hal yang perlu diperhatikan 

Penyimpanan bahan 

makanan 

- Sistem First in First Out (FIFO) atau First Expired First 

Out (FEFO) 

- Memisahkan bahan makanan basah dan kering. 

- Menyimpan bahan makanan pada suhu yang tepat 

(Tabel 10.3.4.2) 

- Tempat penyimpanan memiliki ventilasi yang baik, 

tidak lembab, bebas bakteri, serangga, dan hewan 

pengerat. 

- Area peyimpanan tidak berdekatan dengan area 

pengolahan limbah dan bahan-bahan berbahaya. 

Pengolahan bahan 

makanan 

- Peralatan pengolahan terbuat dari bahan tara pangan 

(Food Grade) 

- Kebersihan alat pengolahan selalu dijaga 

- Pengaturan suhu dan waktu pengolahan yang tepat 

sehingga aman dan tidak merusak kandungan gizi bahan 

makanan yang diolah. 

- Bahan makanan dicuci dengan air bersih dan mengalir. 

- Memisahkan alat untuk makanan matang dan bahan 

mentah agar tidak terjadi kontaminasi silang dan 

memicu  keracunan makanan.  

Penyimpanan makanan 

- Disimpan di tempat tertutup 

- Tidak tercampur dengan bahan makanan mentah bila 

disimpan di lemari pendingin yang sama. 

- pakai  meja uap atau peralatan lain untuk menjaga 

suhu makanan tetap di atas 570C setiap saat. 

- Simpan makanan yang belum akan disajikan ke pasien 

pada suhu -50C s.d 10C. 

Distribusi, penyajian 

makanan, dan clear up 

- Didistribusikan memakai  troli makanan dengan 

pengaturan suhu yang tepat. 

- Saat clear up, personil layanan makanan dan gizi 

bertanggung jawab membersihkan meja dan 

memindahkan nampan sesudah  pasien selesai makan. 

- Membuang sisa makanan pasien. 

- Menjaga kebersihan tangan sebelum masuk dan sesudah  

meninggalkan setiap kamar pasien  


 Penanganan Alat Makan Disposible Infeksius 

Dilakukan penanganan khusus pada alat makan untuk pasien dengan penyakit 

infeksius. Hal ini dilakukan sebagai usaha  pencegahan dan pengendalian 

infeksi pada pengelolaan gizi di RS. Prosedur penanganan mengacu pada 

PMK Nomor 27 Tahun 2017 Kemenkes yang membahas tentang Pedoman 

di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 


Tabel 7.2: Suhu Penyimpanan Bahan Makanan (Kemenkes RI, 2011) 

Bahan Makanan Jangka Waktu pemakaian  < 3 hari ≤ 1 minggu >1 minggu 

Daging, udang, ikan, 

dan hasil olahannya 50 s.d 00C 100 s.d -50C > -100C 

Telur, susu, dan hasil 

olahannya 50 s.d 70C -50 s.d 00C > -50C 

Sayur, buah dan 

minuman 100C 100C 100C 

Pengambilan alat makan dilakukan tiga kali/hari sesudah  selesai makan 

makanan utama. Pengambilan dilakukan oleh Petugas Cleaning Service. 

Petugas Cleaning Service mendapatkan pelatihan sebelumnya untuk 

menangani bahan dan alat infeksius. Petugas harus memakai  APD saat 

masuk ke ruang rawat pasien untuk mencegah terjadinya penularan. Berikut 

Langkah-langkah penanganan alat makan disposable infeksius 

 

Gambar 7.5: Langkah-Langkah Penanganan Alat Makan Disposable 

Infeksius 






 


Related Posts:

  • infeksi 3 jaga sarana kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dll) sebagai tempat penyembuhan, bukan menjadi sumber infeksi. Berkaitan dengan hal di atas maka diperlukan rangkaian program yang berkesinambungan dalam rangka&n… Read More