Jumat, 06 Desember 2024

infeksi 2

 





p yang menjamin rasio pasien-staf 

yang memadai, penyediaan dan pemakaian  persediaan APD yang teratur, 

kebijakan dan prosedur PPI untuk semua aspek pelayanan kesehatan - dengan 

penekanan pada surveillans infeksi pernapasan akut yang berpotensi 

disebabkan oleh COVID-19 pada petugas kesehatan dan pentingnya mencari 

perawatan medis, dan pemantauan kepatuhan petugas kesehatan, bersama 

dengan mekanisme untuk perbaikan sesuai kebutuhan.  

3.1.5 Pengontrolan Secara Lingkungan dan Engineering  

Pengontrolan ini bertujuan untuk menjamin ventilasi yang memadai di seluruh 

area fasilitas kesehatan sekaligus menjamin pembersihan yang memadai. 

Pemisahan dengan jarak minimal 1 meter harus  dilakukan untuk setiap pasien 

terduga. Pengontrolan ini dapat mengurangi transmisi patogen selama 

perawatan. Pastikan pembersihan dan desinfektan dilakukan dengan konsisten 

dan benar. Pembersihan lingkungan dengan air dan detergen serta desinfektan 

yang biasa dipakai  yaitu sodium hipoklorit. 31 Semua spesimen yang 

dikumpulkan untuk investigasi laboratorium harus dianggap berpotensi 

menular. Petugas kesehatan yang mengumpulkan dan mengangkut spesimen 

klinis harus mematuhi kewaspadaan standar untuk meminimalkan 

kemungkinan paparan ke patogen. 

a. Pastikan petugas mengenakan APD yang memadai. Jika sampel 

diambil dengan prosedur yang dapat menciptakan aerosol, maka 

pakai  masker N95.  

b. Pastikan bahwa semua personel yang mengangkut spesimen dilatih 

dalam praktik penanganan dan prosedur dekontaminasi pada kejadian 

tumpahan yang aman.  

c. Tempatkan spesimen untuk pengangkutan dalam tas spesimen anti 

bocor (wadah sekunder) yang memiliki sealable pocket terpisah 

Bab 3 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasiltas Kesehatan Tingkat Primer 31 

 

untuk spesimen (mis. tas plastik biohazard), dengan label pasien pada 

wadah spesimen (wadah primer), dan formulir permintaan 

laboratorium yang ditulis dengan jelas.  

d. Pastikan bahwa laboratorium fasilitas layanan kesehatan mematuhi 

praktik biosafety dan pengangkutan yang sesuai persyaratan, sesuai 

dengan jenis organisme yang sedang ditangani.  

e. Kirimkan semua spesimen secara manual / diantar langsung jika 

memungkinkan, jangan pakai  sistem tabung pneumatik untuk 

transportasi spesimen.  

f. Dokumentasikan nama lengkap pasien dan tanggal lahir terduga 

COVID-19 dengan jelas pada formulir permintaan laboratorium yang 

menyertai. Beri tahu laboratorium sesegera mungkin bahwa spesimen 

sedang dikirim.  

 

3.2 Pencegahan Dan Pengendalian 

Infeksi 

3.2.1 Instruksi Untuk Pasien  

1. Berikan masker medis pada pasien suspek dan arahkan ke area 

terpisah - ruang isolasi jika tersedia.  

2. Jaga jarak antara pasien suspek dengan pasien lain setidaknya 1 m.  

3. Instruksikan semua pasien untuk menutup hidung dan mulut saat 

batuk atau bersin dengan tisu atau sisi dalam lengan atas yang terlipat 

dan membersihkan tangan sesudah  kontak dengan sekresi pernapasan.  

3.2.2 Kewaspadaan Pencegahan Transmisi Droplet 

1. pakai  masker medis saat bekerja dalam radius 1-2 m dari pasien.  

2. Tempatkan pasien dalam ruang terpisah, atau kumpulkan pasien-

pasien dengan diagnosis etiologi yang sama.  

32 

3. Jika diagnosis etiologi tidak pasti, kelompokkan pasien dengan 

diagnosis klinis yang serupa dan berdasarkan faktor-faktor risiko 

epidemiologis, dengan tetap diberi jarak pemisah.  

4. pakai  pelindung mata (masker wajah atau kacamata) saat 

menangani pasien dalam jarak kontak dekat dengan pasien gangguan 

pernapasan seperti batuk atau bersin. sebab  sekresi dapat tersembur.  

5. Batasi aktivitas pasien keluar ruangan  

3.2.3 Kewaspadaan Pencegahan Kontak  

Kewaspadaa kontak mencegah penularan langsung maupun tidak langsung 

dari kontak dengan permukaan atau peralatan yang terkontaminasi, seperti 

kontak dengan tabung/antarmuka oksigen yang terkontaminasi.  

a. pakai  APD (masker medis, pelindung mata, sarung tangan dan 

jubah) saat memasuki ruangan dan lepaskan APD saat meninggalkan 

ruangan dan bersihkan tangan sesudah  melepas APD.  

b. Jika mungkin, pakai  perlengkapan sekali pakai atau didedikasikan 

khusus untuk COVID-19. Seperti stetoskop, sabuk lengan pengukur 

tekanan darah, oksimeter denyut, dan termometer. 

c. Jika perlengkapan perlu dipakai  bersama dengan pasien lain, 

bersihkan dan disinfeksi sesudah  dipakai  untuk setiap pasien.  

d. Pastikan petugas kesehatan tidak menyentuh mata, hidung, dan mulut 

dengan sarung tangan atau tangan yang kemungkinan terinfeksi.  

e. Jangan mengontaminasi permukaan lingkungan yang tidak langsung 

berhubungan dengan perawatan pasien, seperti gagang pintu dan 

tombol lampu. Hindari gerakan pasien atau transportasi yang tidak 

diperlukan secara medis. Bersihkan tangan.  

3.2.4 Kewaspadaan Pencegahan Penularan Airborne Saat 

Melaksanakan Prosedur Yang Menimbulkan Aerosol  

1. Pastikan petugas kesehatan yang melakukan prosedur yang 

menimbulkan aerosol, seperti hisap lendir terbuka saluran 

pernapasan, intubasi, bronkoskopi dan resusitasi jantung paru 

memakai  APD, termasuk sarung tangan, jubah lengan panjang, 


pelindung mata, dan respirator partikulat yang teruji sesuai (N95 atau 

yang setara, atau perlindungan lebih tinggi).  

2. Fit test yang sudah dijadwalkan tidak sama dengan pemeriksaan 

kerapatan pengguna sebelum pemakaian . Jika mungkin, pakai  

ruang terpisah berventilasi cukup saat melaksanakan prosedur yang 

menimbulkan aerosol, yaitu ruang dengan tekanan negatif dengan 

penggantian udara setidaknya 12 kali setiap jam atau setidaknya 160 

L/detik/pasien di fasilitas berventilasi alami.  

3. Hindari adanya orang yang tidak harus ada di dalam ruangan. Rawat 

pasien di jenis kamar yang sama sesudah  mulai ventilasi mekanis 

dimulai. 

 

3.3 Pencegahan Dan Pengendalian 

Infeksi Untuk Karantina  

Karantina dilakukan terhadap OTG untuk mewaspadai munculnya gejala 

sesuai definisi operasional. Lokasi karantina dapat dilakukan di rumah, fasilitas 

umum, atau alat angkut dengan mempertimbangkan kondisi dan situasi 

setempat. Penting untuk memastikan bahwa lingkungan tempat pemantauan 

kondusif untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan medis yang diperlukan 

orang ini . Idealnya, satu atau lebih fasilitas umum yang dapat dipakai  

untuk observasi harus diidentifikasi dan dievaluasi sebagai salah satu elemen 

kesiapsiagaan menghadapi COVID-19. Evaluasi harus dilakukan oleh pejabat 

atau petugas kesehatan warga .  

Setiap akan melakukan karantina maka harus mengkomunikasikan dan 

mensosialisasikan tindakan yang akan dilakukan dengan benar, untuk 

mengurangi kepanikan dan meningkatkan kepatuhan:   

1. warga  harus diberikan pedoman yang jelas, transparan, 

konsisten, dan terkini serta diberikan informasi yang dapat dipercaya 

tentang tindakan karantina 

2. Keterlibatan warga  sangat penting jika tindakan karantina harus 

dilakukan 

3. Orang yang di karantina perlu diberi perawatan kesehatan, dukungan 

sosial dan psikososial, serta kebutuhan dasar termasuk makanan, air 

dan kebutuhan pokok lainnya. Kebutuhan populasi rentan harus 

diprioritaskan. 

4. Faktor budaya, geografis dan ekonomi memengaruhi efektivitas 

karantina. Penilaian cepat terhadap faktor lokal harus dianalisis, baik 

berupa faktor pendorong keberhasilan maupun penghambat proses 

karantina 

Pada pelaksanaan karantina harus memastikan hal-hal sebagai berikut:  

1. Tata cara dan perlengkapan selama masa karantina    

Tatacara karantina meliputi:  

a. Orang-orang ditempatkan di ruang dengan ventilasi cukup serta 

kamar single yang luas yang dilengkapi dengan toilet. jika kamar 

single tidak tersedia pertahankan jarak minimal 1 meter dari 

penghuni rumah lain. meminimalkan pemakaian  ruang bersama dan 

pemakaian  peralatan makan bersama, serta memastikan bahwa 

ruang bersama (dapur, kamar mandi) memiliki ventilasi yang baik.  

b. Pengendalian infeksi lingkungan yang sesuai, seperti ventilasi udara 

yang memadai, sistem penyaringan dan pengelolaan limbah  

c. Pembatasan jarak sosial (lebih dari 1 meter) terhadap orang-orang 

yang di karantina  

d. Akomodasi dengan tingkat kenyamanan yang sesuai termasuk:  

• penyediaan makanan, air dan kebersihan 

• perlindungan barang bawaan 

• perawatan medis 

• komunikasi dalam bahasa yang mudah dipahami mengenai: hak-

hak mereka; ketentuan yang akan disediakan; berapa lama 

mereka harus tinggal; apa yang akan terjadi jika mereka sakit; 

informasi kontak kedutaan  

e. bantuan bagi para pelaku perjalanan  

f. bantuan komunikasi dengan anggota keluarga 


g. jika memungkinkan, akses internet, berita dan hiburan 

h. dukungan psikososial 

i. pertimbangan khusus untuk individu yang lebih tua dan individu 

dengan kondisi komorbid, sebab  berisiko terhadap risiko keparahan 

penyakit COVID-19.  

2. Tindakan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Minimal  

Berikut langkah-langkah pencegahan dan pengendalian infeksi yang harus 

dipakai  untuk memastikan lingkungan aman dipakai  sebagai tempat 

karantina  

a. Deteksi dini dan pengendalian 

1) Setiap orang yang dikarantina dan mengalami demam atau gejala 

sakit pernapasan lainnya harus diperlakukan sebagai suspect 

COVID-19 

2) Terapkan tindakan pencegahan standar untuk semua orang dan 

petugas: 

• Cuci tangan sesering mungkin, terutama sesudah  kontak 

dengan saluran pernapasan, sebelum makan, dan sesudah  

memakai  toilet. Cuci tangan dapat dilkukan dengan 

sabun dan air atau dengan hand sanitizer yang mengandung 

alkohol. Peggunaan hand sanitizer yang mengandung alkohol 

lebih disarankan jika tangan tidak terlihat kotor. Bila tangan 

terlihat kotor, cucilah tangan memakai  sabun dan air 

• Pastikan semua orang yang diobservasi menerapkan etika 

batuk 

• Sebaiknya jangan menyentuh mulut dan hidung;  

3) Masker tidak diperlukan untuk orang yang tidak bergejala. Tidak 

ada bukti bahwa memakai  masker jenis apapun dapat 

melindungi orang yang tidak sakit. 

 

 

 

b. Pengendalian administratif  

Pengendalian administratif  meliputi: 

1) Pembangunan infrastruktur PPI yang berkelanjutan (desain fasilitas) 

dan kegiatan; 

2) Memberikan edukasi pada orang yang diobservasi tentang PPI; 

semua petugas yang bekerja perlu dilatih tentang tindakan 

pencegahan standar sebelum pengendalian karantina dilaksanakan. 

Saran yang sama tentang tindakan pencegahan standar harus 

diberikan kepada semua orang pada saat kedatangan. Petugas dan 

orang yang diobservasi harus memahami pentingnya segera mencari 

pengobatan jika mengalami gejala;  

3) Membuat kebijakan tentang pengenalan awal dan rujukan dari kasus 

COVID19. 

c. Pengendalian Lingkungan  

Prosedur pembersihan dan disinfeksi lingkungan harus diikuti dengan benar 

dan konsisten. Petugas kebersihan perlu diedukasi dan dilindungi dari infeksi 

COVID19 dan petugas kebebersihan harus memastikan bahwa permukaan 

lingkungan dibersihkan secara teratur selama periode observasi: 

1) Bersihkan dan disinfeksi permukaan yang sering disentuh seperti 

meja, rangka tempat tidur, dan perabotan kamar tidur lainnya setiap 

hari dengan disinfektan rumah tangga yang mengandung larutan 

pemutih encer (pemutih 1 bagianhingga 99 bagian air). Untuk 

permukaan yang tidak mentolerir pemutih maka dapat memakai  

etanol 70%. 

2) Bersihkan dan disinfeksi permukaan kamar mandi dan toilet 

setidaknya sekali sehari dengan disinfektan rumah tangga yang 

mengandung larutan pemutih encer (1 bagian cairan pemutih dengan 

99 bagian air). 

3) Membersihkan pakaian, seprai, handuk mandi, dan lain-lain, 

memakai  sabun cuci dan air atau mesin cuci di 60–90°C dengan 

deterjen biasa dan kering 

Bab 3 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasiltas Kesehatan Tingkat Primer 37 

 

4) Harus mempertimbangkan langkah-langkah untuk memastikan 

sampah dibuang di TPA yang terstandar, dan bukan di area terbuka 

yang tidak diawasi 

5) Petugas kebersihan harus mengenakan sarung tangan sekali pakai 

saat membersihkan atau menangani permukaan, pakaian atau linen 

yang terkotori oleh cairan tubuh, dan harus melakukan kebersihan 

tangan sebelum dan sesudah melepas sarung tangan. 

 

3.4 Pencegahan Dan Pengendalian 

Infeksi Di Fasyankes Pra Rujukan  

3.4.1 Penanganan Awal  

lsolasi dan Penanganan Kasus Awal yang sudah dilakukan wawancara dan 

anamnesa dan dinyatakan sebagai PDP ringan diminta untuk isolasi di rumah, 

PDP sedang isolasi di RS Darurat dan PDP berat segera dilakukan isolasi di 

RS rujukan untuk mendapatkan tatalaksana lebih lanjut.   

1. Pasien dalam pengawasan ditempatkan dalam ruang isolasi sementara 

yang sudah ditetapkan, yakni:  

a. Pasien dalam pengawasan menjaga jarak lebih dari 1 meter satu 

sama lain dalam ruangan yang sama.  

b. ada  kamar mandi khusus yang hanya dipakai  oleh pasien 

dalam pengawasan. 

2. Petugas kesehatan menginstruksikan pasien dalam pengawasan untuk 

melakukan hal-hal sebagai berikut:   

a. memakai  masker medis ketika menunggu untuk 

dipindahkan ke fasilitas kesehatan yang diganti secara berkala 

atau jika  sudah  kotor.  

b. Tidak menyentuh bagian depan masker dan jika  tersentuh 

wajib memakai  sabun dan air atau pembersih berbahan dasar 

alkohol.   


c. jika  tidak memakai  masker, tetap menjaga kebersihan 

pernapasan dengan menutup mulut dan hidung ketika batuk dan 

bersin dengan tisu atau lengan atas bagian dalam. Diikuti dengan 

membersihkan tangan memakai  pembersih berbahan dasar 

alkohol atau sabun dan air.  

3. Petugas kesehatan harus menghindari masuk ke ruang isolasi 

sementara. jika  terpaksa harus masuk, maka wajib mengikuti 

prosedur sebagai berikut:  

a. Petugas memakai  APD lengkap.   

b. Membersihkan tangan memakai  pembersih berbahan dasar 

alkohol atau sabun dan air sebelum dan sesudah memasuki ruang 

isolasi.  

4. Tisu, masker, dan sampah lain yang berasal dari dari ruang isolasi 

sementara harus ditempatkan dalam kontainer tertutup dan dibuang 

sesuai dengan ketentuan nasional untuk limbah infeksius.   

5. Permukaan yang sering disentuh di ruang isolasi harus dibersihkan 

memakai  desinfektan sesudah  ruangan selesai dipakai  oleh 

petugas yang memakai  alat pelindung diri (APD) yang memadai.   

6. Pembersihan dilakukan dengan memakai  desinfektan yang 

mengandung 0.5% sodium hypochlorite (yang setara dengan 5000 

ppm atau perbandingan 1/9 dengan air). 

3.4.2 Penyiapan Transportasi Untuk Rujukan Ke RS Rujukan  

1. Menghubungi RS rujukan untuk memberikan informasi pasien dalam 

pengawasan yang akan dirujuk.   

2. Petugas yang akan melakukan rujukan harus secara rutin menerapkan 

kebersihan tangan dan mengenakan masker dan sarung tangan medis 

ketika membawa pasien ke ambulans. 

a. Jika merujuk pasien dalam pengawasan COVID-19 maka petugas 

menerapkan kewaspadaan kontak, droplet dan airborne.   

b. APD harus diganti setiap menangani pasien yang berbeda dan 

dibuang dengan benar dalam wadah dengan penutup sesuai 

dengan peraturan nasional tentang limbah infeksius.  


 

3. Pengemudi ambulans harus terpisah dari kasus (jaga jarak minimal 

satu meter). Tidak diperlukan APD jika jarak dapat dipertahankan. 

Bila pengemudi juga harus membantu memindahkan pasien ke 

ambulans, maka pengemudi harus memakai  APD yang sesuai. 

4. Pengemudi dan perawat pendamping rujukan harus sering 

membersihkan tangan dengan alkohol dan sabun.   

5. Ambulans atau kendaraan angkut harus dibersihkan dan didesinfeksi 

dengan perhatian khusus pada area yang bersentuhan dengan pasien 

dalam pengawasan. Pembersihan memakai  desinfektan yang 

mengandung 0,5% natrium hipoklorit (yaitu setara dengan 5000 ppm) 

dengan perbandingan 1 bagian disinfektan untuk 9 bagian air.  

Bagi OTG maupun ODP yang berusia diatas 60 tahun dengan penyakit 

penyerta (seperti hipertensi, diabetes melitus, dll) yang terkontrol dan 

ditemukan diluar fasyankes, dilakukan rujukan ke RS Darurat dengan 

memakai  mobil sendiri, jika tidak tersedia dapat menghubungi petugas 

kesehatan setempat. Jika memakai  mobil sendiri, buka jendela mobil dan 

pasien memakai  masker bedah. 

 

3.5 Pencegahan Dan Pengendalian 

Infeksi Untuk Pemulasaran Jenazah  

Langkah-langkah pemulasaran jenazah pasien terinfeksi COVID-19 dilakukan 

sesuai dengan Pedoman Pemulasaran Jenazah COVID 19 (Kemenkes, 2020) 

sebagai berikut:   

1. Petugas kesehatan harus menjalankan kewaspadaan standar ketika 

menangani pasien yang meninggal akibat penyakit menular.   

2. APD lengkap harus dipakai  petugas yang menangani jenazah jika 

pasien ini  meninggal dalam masa penularan.  

3. Jenazah harus terbungkus seluruhnya dalam kantong jenazah yang 

tidak mudah tembus sebelum dipindahkan ke kamar jenazah.  

4. Jangan ada kebocoran cairan tubuh yang mencemari bagian luar 

kantong jenazah.   

5. Pindahkan sesegera mungkin ke kamar jenazah sesudah  meninggal 

dunia.   

6. Jika keluarga pasien ingin melihat jenazah, diijinkan untuk 

melakukannya sebelum jenazah dimasukkan ke dalam kantong 

jenazah dengan memakai  APD.  

7. Petugas harus memberi penjelasan kepada pihak keluarga tentang 

penanganan khusus bagi jenazah yang meninggal dengan penyakit 

menular. Sensitivitas agama, adat istiadat dan budaya harus 

diperhatikan ketika seorang pasien dengan penyakit menular 

meninggal dunia.   

8. Jenazah tidak boleh dibalsem atau disuntik pengawet.  

9. Jika akan diotopsi harus dilakukan oleh petugas khusus, jika diijinkan 

oleh keluarga dan Direktur Rumah Sakit.   

a. Jenazah yang sudah dibungkus tidak boleh dibuka lagi.   

b. Jenazah hendaknya diantar oleh mobil jenazah khusus.   

c. Jenazah sebaiknya tidak lebih dari 4 (empat) jam disemayamkan 

di pemulasaraan jenazah 

 

3.6 pemakaian  Alat Pelindung Diri  



 

2. Petugas Skrinner di ruang rawat jalan dan IGD yang tidak kontak 

langsung dengan pasien 

a. Pertahankan jarak 1 meter 

b. pakai  masker bedah 

c. Baju kerja 

d. Sepatu tertutup 

e. Lakukan hand hygiene sesuai indikasi 

3. Area Triase IGD 

a. Masker bedah 

b. Baju kerja 

c. Sepatu tertutup 

d. Lakukan hand hygiene sesuai indikasi 

Jika melakukan Tindakan yang berisiko terkena droplet, maka: 

a. pakai  masker bedah 

b. Pelindung mata 

c. Sarung tangan bedah 

d. Gaun kedap air 

e. Sepatu tetutup 

f. Face Shield 

4. Petugas Laboratorium pengambilan sampel COVID-19 

a. Penutup kepala 

b. Pelindung wajah (Face Shield) 

c. Masker N95 

d. Baju hazmat 

e. Pelindung mata (googgle) 

f. Sarung tangan 2 lapis 

g. Gaun kedap air 

h. Pelindung kaki 

i. Sepatu bot 

 

 


Peran Dokter, Perawat dan 

Laboran Dalam Pengendalian 

Infeksi di Rumah Sakit 

 

 

 

Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayanan 

kesehatan kepada warga  memiliki peran yang sangat penting dalam 

meningkatkan derajat kesehatan warga . Oleh sebab  itu rumah sakit 

dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan 

standar yang sudah ditentukan. 

warga  yang menerima pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dan 

pengunjung di rumah sakit dihadapkan pada risiko terjadinya infeksi atau 

infeksi nosokomial yaitu infeksi yang diperoleh di rumah sakit, baik sebab  

perawatan atau datang berkunjung ke rumah sakit. Angka infeksi nosokomial 

terus meningkat (Al Varado, 2000; Aragon, Sole and Brown, 2005) mencapai 

sekitar 9% (variasi 3-21%) atau lebih dari 1,4 juta pasien rawat inap di rumah 

sakit seluruh dunia.  


Program sangat penting untuk 

dilaksanakan di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya 

sebagai tempat pelayanan kesehatan disamping sebagai tolak ukur mutu 

pelayanan juga untuk melindungi pasien, petugas juga pengunjung dan 

keluarga dari riesiko tertularnya infeksi sebab  dirawat, bertugas dan 

berkunjung ke suatu Rumah Sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. 

Untuk mencapai Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah 

Sakit perlu keterlibatan lintas professional seperti dokter, Perawat, dan 

Laboran. 

 

4.2 Peran Dokter 

Penyakit infeksi terkait pelayanan kesehatan atau Healthcare Associated 

Infection (HAIs) merupakan salah satu masalah Kesehatan diberbagai negara 

di dunia, termasuk Indonesia. Secara prinsip, kejadian HAIs sebenarnya dapat 

dicegah bila fasilitas pelayanan kesehatan secara konsisten melaksanakan 

program PPI. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi merupakan usaha  untuk 

memastikan perlindungan kepada setiap orang terhadap kemungkinan tertular 

infeksi dari sumber warga  umum dan disaat menerima pelayanan 

kesehatan pada berbagai fasilitas Kesehatan (Kemenkes R1, 2017) 

WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired Infection 

menyatakan bahwa peran dokter dalam pencegahan infeksi di rumah sakit 

yaitu: (1) melindungi pasien dari infeksi pasien lain dan/ atau staf rumah sakit 

yang dicurigai terinfeksi; (2) mematuhi praktik yang disetujui oleh Komite 

Pengendalian Infeksi; (3) memperoleh spesimen mikrobiologi yang sesuai 

ketika dicurigai ada  infeksi; (4) memberi tahu kasus infeksi yang didapat 

di rumah sakit kepada tim, serta menerima pasien yang terinfeksi; (5) 

pemakaian  antibiotik yang sesuai dengan rekomendasi Antimikroba; (6) 

Mengkomunikasikan Teknik pencegahan penularan infeksi kepada pasien, 

pengunjung, dan staf; (7) Membuat protokol pengobatan untuk setiap penyakit 

infeksi dan mengambil langkah untuk pencegahan infeksi kepada pasien 


 

4.2.1 Peran Dokter Dalam Melindungi Pasien Dari Infeksi 

Pasien Lain Dan/Atau Staf Rumah Sakit Yang Dicurigai 

Terinfeksi. 

Kemenkes R1 (2017) mengatakan bahwa pelaksanaan pencegahan dan 

pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan bertujuan untuk 

melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung yang menerima pelayanan 

kesehatanserta warga  dalam lingkungannya dengan cara memutus siklus 

penularan penyakit infeksi melalui kewaspadaan standar dan berdasarkan 

transmisi. Bagi pasien yang memerlukan isolasi, maka akan diterapkan 

kewaspadaan isolasi yang terdiri dari kewaspadaan standar dan kewaspadaan 

berdasarkan transmisi.  

Langkah-langkah penempatan pasien infeksius :  

1. Tempatkan pasien infeksius terpisah dengan pasien non infeksius. 

2. Penempatan pasien disesuaikan dengan pola transmisi infeksi 

penyakit pasien (kontak, droplet, airborne) sebaiknya ruangan 

tersendiri. 

3. Bila tidak tersedia ruang tersendiri, dibolehkan dirawat Bersama 

pasien lain yang jenis infeksinya sama dengan menerapkan system 

cohorting. Jarak antara tempat tidur minimal 1 meter. Untuk 

menentukan pasien yang dapat disatukan dalam satu ruangan, 

dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Komite atau Tim PPI.  

4. Semua ruangan terkait cohorting harus diberi tanda kewaspadaan 

berdasarkan jenis transmisinya (kontak, droplet, airborne).  

5. Pasien yang tidak dapat menjaga kebersihan diri atau lingkungannya 

seyogyanya dipisahkan tersendiri. 

6. Mobilisasi pasien infeksius yang jenis transmisinya melalui udara 

(airborne) agar dibatasi di lingkungan fasilitas pelayanan Kesehatan 

untuk menghindari terjadinya transmisi penyakit yang tidak perlu 

kepada yang lain. 

7. Pasien HIV tidak diperkenankan dirawat bersama dengan pasien TB 

dalam satu ruangan namun  pasien TB-HIV dapat dirawat dengan 

sesama pasien TB.  



4.2.2 Peran Dokter dalam Mematuhi Praktik Yang Disetujui 

Oleh Komite Pengendalian Infeksi 

Untuk dapat melakukan pencegahan dan pengendalian infeksi dibutuhkan 

pendidikan dan pelatihan kepada dokter yang bertugas di pelayanan 

Kesehatan. Pendidikan dan pelatihan pencegahan dan pengendalian infeksi 

diberikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi profesi 

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta petugas fasilitas 

pelayanan kesehatan yang memiliki kompetensi di bidang PPI, termasuk 

Komite atau Tim PPI. Semua dokter di fasilitas pelayanan kesehatan harus 

mengetahui prinsip-prinsip PPI antara lain melalui pelatihan PPI tingkat dasar.  

4.2.3 Peran dokter dalam Memperoleh Spesimen 

Mikrobiologi Yang Dicurigai ada  Infeksi 

Makin cepat agen infeksi pemicu  diketahui melalui pemeriksaan klinis atau 

laboratorium mikrobiologi, semakin cepat pula usaha  pencegahan dan 

penanggulangannya yang dilaksanakan oleh dokter sedini mungkin.  

 

 

Peran dokter dalam Memberi Tahu Kasus Infeksi 

Yang Didapat Di Rumah Sakit Kepada Tim, Serta 

Menerima Pasien Yang Terinfeksi 

Dokter berperan menyampaikan informasi kasus infeksi kepada tim pelayanan 

yang memberikan perawatan kepada pasien. Berikut ini langkah-langkah 

dalam menerima pasien terkonfirmasi terinfeksi :

1. Pasien yang akan masuk ruang isolasi melewati jalur/pintu yang 

dapat mengurangi terpaparnya staffpasien lain atau pengunjung 

2. Dokter atau petugas menerima pasien dan ditempatkan di ruang 

isolasi sesuai dengan infeksi pada pasien 

3. Dokter atau petugas yang merawat memakai  APD sesuai 

indikasi untuk mencegah transmisi 

4. Dokter atau petugas menjelaskan kepada keluarga tentang tata 

laksana perawatan pasien di ruang isolasi 

5. Pasien yang akan masuk harus dilengkapi dengan pemeriksaan 

penunjang (laboratorium, foto thorax ) dan data penunjang sesuai 

dengan ketentuan dokter penanggung jawab perawatan (DPJP) 

6. Pasien yang masuk ruang infeksius akan mendapatkan pelayanan 

sesuai tata laksana pasien infeksius 


Peran dokter dalam pemakaian  Antibiotik yang 

sesuai dengan Rekomendasi Antimikroba 

Permasalahan resistensi yang terus meningkat diberbagai negara termasuk 

Indonesia terutama terjadi akibat pemakaian  antimikroba yang kurang bijak. 

Hal ini berdampak buruk pada pelayanan kesehatan terutama dalam 

penanganan penyakit infeksi. Pelaksanaan program pengendalian resistensi 

antimikroba di pelayanan kesehatan yang melibatkan tim PPI sebagai salah 

satu unsur diharapkan dapat mencegah muncul dan menyebarnya mikroba 

resisten sehingga penanganan penyakit infeksi menjadi optimal. Pencegahan 

munculnya mikroba resisten diharapkan dapat dicapai melalui pemakaian  

antibiotik secara bijak (‘prudent use of antibiotics’) dan pencegahan 

menyebarnya mikroba resisten melalui pelaksanaan kegiatan PPI yang 

optimal. 


pemakaian  antibiotik secara bijak dapat dicapai salah satunya dengan 

memperbaiki perilaku dalam penulisan resep antibiotik. Antibiotik hanya 

dipakai  dengan indikasi yang ketat yaitu dengan penegakan diagnosis 

penyakit infeksi memakai  data klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium 

seperti pemeriksaan darah tepi, radiologi, mikrobiologi dan serologi. Dalam 

keadaan tertentu penanganan kasus infeksi berat ditangani secara multidisiplin.  

Pemberian antibiotik pada pasien dapat berupa :  

1. Profilaksis bedah pada beberapa operasi bersih (misalnya kraniotomi, 

mata) dan semua operasi bersih terkontaminasi yaitu  pemakaian  

antibiotik sebelum, selama, dan paling lama 24 jam pasca operasi 

pada kasus yang secara klinis tidak memperlihatkan tanda infeksi 

dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi daerah operasi. Pada 

prosedur operasi terkontaminasi dan kotor,pasien diberi terapi 

antibiotik sehingga tidak perlu ditambahkan antibiotik profilaksis.  

2. Terapi antibiotik empirik yaitu pemakaian  antibiotik pada kasus 

infeksi atau diduga infeksi yang belum diketahui jenis bakteri 

pemicu nya. Terapi antibiotik empirik ini dapat diberikan selama 3-

5 hari. Antibiotik lanjutan diberikan berdasarkan data hasil 

pemeriksaan laboratorium dan mikrobiologi. Sebelum pemberian 

terapi empirik dilakukan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan 

mikrobiologi. Jenis antibiotik empirik ditetapkan berdasarkan pola 

mikroba dan kepekaan antibiotik setempat.  

3. Terapi antibiotik definitif yaitu  pemakaian  antibiotik pada kasus 

infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri pemicu  dan kepekaannya 

terhadap antibiotik. 

Setiap fasilitas perawatan kesehatan harus memiliki program pemakaian  

antimikroba. Tujuannya yaitu  untuk memastikan keefektifan resep, ekonomis 

dan untuk meminimalkan terjadinya mikroorganisme resisten. Kebijakan ini 

harus diimplementasikan melalui komite antimikroba . 

1. Setiap pemakaian  antibiotik harus dapat dibuktikan atas dasar 

diagnosis klinis  

2. Spesimen pemeriksaan bakteriologis harus diperoleh sebelum 

memulai pengobatan antibiotik 


3. Pemilihan antibiotik harus tidak berdasarkan hanya pada sifat 

penyakit dan agen pathogen penyakitnya, namun  pada pola 

sensitivitas, toleransi pasien, dan biaya. 

4. Dokter menerima informasi yang relevan terkait obat yang sudah  

resisten 

5. Agen dengan spektrum sesempit mungkin seharusnya dipakai . 

6. pemakaian  kombinasi antibiotik harus dihindari 

7. pemakaian  antibiotik tertentu mungkin dibatasi. 

8. Dosis yang tepat harus dipakai . Dosis rendah mungkin menjadi 

tidak efektif untuk mengobati infeksi, dan mendorong perkembangan 

strain resisten. Di sisi lain, dosis berlebih memiliki efek yang 

merugikan. 


Peran dokter dalam Mengkomunikasikan Teknik 

Pencegahan Penularan Infeksi Kepada Pasien, 

Pengunjung, Dan Staf 

Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan 

Kesehatan bertujuan untuk melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung 

yang menerima pelayanan kesehatan serta warga  dalam lingkungannya 

dengan cara memutus siklus penularan penyakit infeksi melalui kewaspadaan 

standar dan berdasarkan transmisi. Bagi pasien yang memerlukan isolasi, maka 

akan diterapkan kewaspadaan isolasi yang terdiri dari kewaspadaan standar 

dan kewaspadaan berdasarkan transmisi

Kewaspadaan transmisi dilaksanakan sebelum pasien didiagnosis dan sesudah  

terdiagnosis jenis infeksinya. Jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi sebagai 

berikut: melalui kontak, melalui droplet, melalui udara (Air borne 

Precautions), melalui common vehicle (makanan, air, obat, alat,peralatan) dan 

melalui vektor (lalat, nyamuk,tikus).

 

Gambar 4.3: Kewaspadaan transmisi 

4.2.7 Peran dokter dalam Membuat Protokol Pengobatan 

Untuk Setiap Penyakit Infeksi Dan Mengambil Langkah 

Untuk Pencegahan Infeksi Kepada Pasien  

Pedoman protocol yang dibuat oleh dokter atau perhimpunan profesi dokter 

bersifat multidisiplin untuk memudahkan tenaga medis yang berada di garda 

terdepan untuk mengakses infromasi terkait penanganan penyakit infeksi. 

Pedoman protocol pengobatan penyakit infeksi dapat menjadi landasan untuk 

senantiasa memberikan mutu layanan terbaik bagi fasilitas pelayanan 

kesehatan, tenaga medis, tenaga kesehatan, dan warga . Pedoman protocol 

pengobatan merupakan Living Document. 

 

 


 

4.3 Peran Perawat 

Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan sangat berkaitan dengan 

terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit dan perawat bertanggung jawab 

menyediakan lingkungan yang aman bagi klien terutama dalam pencegahan 

infeksi dalam proses keperawatan. Perawat juga bertindak sebagai pelaksana 

terdepan dalam usaha  pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial 


Jumlah tenaga pelayanan kesehatan yang kontak langsung dengan pasien, jenis 

dan jumlah prosedur invasif, terapi yang diterima, lama perawatan, dan standar 

asuhan keperawatan memengaruhi risiko terinfeksi. Faktor standar asuhan 

keperawatan yang memengaruhi terjadinya infeksi nosokomial yaitu  

klasifikasi dan jumlah ketenagaan yang memiliki kemampuan dalam 

menjalankan dan mempraktikkan teknik aseptik; peralatan dan obat yang 

sesuai, siap pakai dan cukup; ruang perawatan yang secara fisik dan hygiene 

yang memadai; aspek beban kerja dalam pembagian jumlah penderita dengan 

tenaga keperawatan, dan jumlah pasien yang dirawat 

WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired Infection 

menyatakan bahwa peran perawat pelaksana dalam pencegahan infeksi 

nosokomial yaitu: (1) menjaga kebersihan rumah sakit; (2) menjaga kebersihan 

tangan dan alat pelindung diri, (3) melapor kepada dokter jika ada tanda dan 

gejala infeksi ; (4) melakukan isolasi terhadap pasien dengan penyakit 

menular; (5) membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari 

pengujung; (6) mempertahankan keamanan peralatan, dan perlengkapan 

perawatan infeksi.

 Peran Perawat Dalam Menjaga Lingkungan Rumah 

Sakit 

Perawat yang selalu kontak langsung dengan pasien, harus menyadari bahwa 

perawat yaitu  media perantara penularan sekaligus sebagai sumber 

penularan. Oleh sebab  itu, perawat diharapkan dapat menerapkan kebersihan 

personal (personal hygiene) dan segala tindakan yang dilakukan harus higienis. 

Perawat harus pula memperlakukan semua material dan instrumen dengan cara 

higienis 

Menurut kebijakan lokal dan negara pedoman untuk pembuangan materi 

sampah infeksi harus dimiliki oleh seluruh institusi kesehatan. Perawat 

memerlukan penanganan khusus dalam membuang sampah cair yang 

terkontaminasi (misalnya darah, urine,tinja, dan lainnya) sebab  perawat 

memiliki risiko terhadap penanganan infeksi. Pembuangan sampah cair pada 

wastafel dan kemudian disiram, dilakukan oleh perawat dengan memakai  

sarung tangan, kacamata pelindung dan celemek (Kemenkes RI, 2008). 

Sesudah  melakukan tindakan penyuntikan, perawat harus membuang jarum 

pada tempat khusus yang tahan tusukan. Jarum suntik yang sudah  dipakai  

tidak diperbolehkan untuk melepaskan, membengkokkan atau 

mematahkannya. Semua materi sampah yang berasal dari pasien dibuang pada 

tempat sampah khusus . 

, tindakan kebersihan lingkungan rumah sakit 

diperlukan untuk menjamin lingkungan rumah sakit agar tampak bersih. 

Pembersihan rutin dilakukan sebab  mikroorganisme ada  dalam 

lingkungan atau benda yang kotor. Proses pembersihan pada dasarnya 

tergantung oleh tindakan mekaniknya. Seharusnya ada kebijakan yang 

menetapkan frekuensi pembersihan dan alat pembersih yang dipakai  untuk 

dinding, lantai, jendela, tempat tidur, tirai, tabir, perlengkapan, mebel, kamar 

mandi, serta semua peralatan medis yang dapat dipakai  Kembali 


Peran Perawat Dalam Menjaga Kebersihan Tangan  

Menurut Permenkes tahun 2017, mencuci tangan dapat dilakukan jika  

tangan jelas kotor atau terkena cairan tubuh dengan memakai  air mengalir 

atau jika  tangan tidak tampak kotor dapat memakai  alkohol (alcohol-

based handrubs). Kuku petugas kesehatan harus selalu bersih dan terpotong 

pendek, tanpa kuku palsu, dan tidak memakai perhiasan cincin. Perawat wajib 

melakukan cuci tangan secara rutin pada saat melakukan 5 momen, yaitu: 

sebelum dan sesudah berkontak langsung dengan pasien, sebelum melakukan 

tindakan/prosedur terhadap pasien, sesudah  kontak dengan darah dan cairan 

tubuh lainnya, sesudah  kontak dengan lingkungan sekitar pasien 

Menurut WHO (2002), mencuci tangan sering dilakukan dengan tidak optimal 

disebab kan berbagai alasan, misalnya kurangnya peralatan yang sesuai, alergi 

terhadap produk pencuci tangan, tingginya perbandingan jumlah perawat 

dengan pasien, kurangnya pengetahuan perawat tentang risiko dan cara 


mencuci tangan yang baik dan benar, serta terlalu lama waktu yang 

direkomendasikan untuk mencuci tangan (WHO, 2002). 

Menurut Permenkes tahun 2017, teknik mencuci tangan yaitu  sebagai 

berikut: 

1. Teknik mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir  

a. Basahi tangan dengan air bersih yang mengalir. 

b. Tuangkan sabun cair 3-5 cc, untuk menyabuni seluruh 

permukaan tangan sebatas pergelangan. 

c. Gosok kedua telapak tangan hingga merata. 

d. Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan 

kanan dan sebaliknya. 

e. Gosok kedua telapak tangan dengan sela-sela jari 

f. Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci 

g. Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan 

sebaliknya. 

h. Gosok dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan ditelapak 

tangan kiri dan sebaliknya. 

i. Bilas kedua tangan dengan air mengalir. 

j. Keringkan dengan handuk/kertas tisu sekali pakai 

k. pakai  handuk/kertas tisu ini  untuk menutup keran san 

buang ke tempat sampah dengan benar. 

2. Lama waktu yang dibutuhkan sekitar 40-60 detik. 

 

Gambar 4.4: Cara Kebersihan tangan dengan Sabun dan Air 

Diadaptasi dari: WHO Guidelines on Hand Hygiene in Health Care: First 

Global Patient Safety Challenge, World Health Organization, 2009 

3. Teknik mencuci tangan dengan antiseptik berbasis alcohol 

a. Tuangkan 2-3 cc antiseptik berbasis alkohol ke telapak tangan, 

kemudian ratakan ke seluruh permukaan tangan. 

b. Gosokkan kedua telapak tangan. 


c. Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan telapak 

tangan kanan dan sebaliknya. 

d. Gosok kedua telapak dan sela-sela jari tangan. 

e. Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci. 

f. Gosok berputar pada ibu jari tangan kiri dalam genggaman 

tangan kanan dan sebaliknya. 

g. Gosok dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan di telapak 

tangan kiri dan sebaliknya, lalu tunggu hingga kering. 

h. Lama waktu yang dibutuhkan sekitar 20-30 detik. 

 

Gambar 4.5: Cara Kebersihan tangan dengan Alkohol 

Diadaptasi dari: WHO Guidelines on Hand Hygiene in Health Care: First 

Global Patient Safety Challenge, World Health Organization, 2009. 


4.3.3 Peran perawat dalam pemakaian  Alat Pelindung 

Diri 

Menurut Permenkes tahun 2017, Alat Pelindung Diri (APD) merupakan 

pakaian khusus atau peralatan yang di pakai petugas untuk memproteksi diri 

dari bahaya fisik, kimia, biologi/bahan infeksius. Alat Pelindung Diri (APD) 

terdiri dari 

1. Sarung Tangan 

Menurut WHO tahun 2002, sarung tangan dapat dipakai  untuk :

a. Pelindung dari pasien: perawat memakai  sarung tangan dalam 

prosedur pembedahan, perawatan pasien dengan sistem kekebalan 

tubuhnya terganggu, dan prosedur invasif. 

b. Pelindung bagi perawat: perawat memakai  sarung tangan yang 

tidak steril untuk merawat pasien dengan penyakit menular. Sarung 

tangan tidak steril dapat dipakai ketika kontak dengan selaput lendir 

pasien di mana tangan akan mudah terkontaminasi. 

c. Tangan harus dicuci pada saat sarung tangan dibuka atau diganti 

d. Sarung tangan sekali pakai tidak dapat dipakai kembali. 

e. Lateks yaitu  bahan yang paling sering dipakai  untuk sarung 

tangan. Kualitas sarung tangan yang baik harus tidak adanya pori-

pori atau lubang dan durasi pemakaian  sangat bervariasi dari satu 

jenis sarung tangan ke sarung tangan lainnya. 

2. Masker 

Menurut Permenkes tahun 2017, masker dapat dipakai  untuk melindungi 

wajah dan membran mukosa mulut dari cipratan darah dan cairan tubuh dari 

pasien atau permukaan lingukan udara yang kotor dan melindungi pasien atau 

permukaan lingkungan udara dari petugas pada saat batuk atau bersin. Masker 

yang dipakai  harus menutupi hidung dan mulut serta melakukan Fit Test 

(penekanan di bagian hidung).  

ada  tiga jenis masker, yaitu  

a. Masker bedah, dipakai  untuk tindakan bedah atau mencegah 

penularan melalui droplet 


b. Masker respiratorik, dipakai  untuk mencegah penularan melalui 

airbone. 

c. Masker rumah tangga, dipakai  di bagian gizi atau dapur. 

d. Menurut Permenkes tahun 2017, ada beberapa hal yang harus 

dilakukan dalam mengenakan masker, yaitu: 

e. Memegang pada bagian tali (kaitkan pada telinga jika memakai  

kaitan tali karet atau simpulkan tali di belakang kepala jika 

memakai  tali lepas). 

f. Eratkan tali kedua pada bagian tengah kepala atau leher. 

g. Tekan klip tipis fleksibel (jika ada) sesuai lekuk tulang hidung 

dengan kedua ujung jari tengah atau telunjuk. 

h. Membetulkan agar masker melekat erat pada wajah dan di bawah 

dagu dengan baik. 

i. Periksa ulang untuk memastikan bahwa masker sudah  melekat dengan 

benar. 

3. Gaun Pelindung 

Gaun pelindung dipakai  untuk melindungi baju petugas dari kemungkinan 

paparan atau percikan darah atau cairan tubuh, sekresi, ekakresi atau 

melindungi pasien dari paparan pakaian petugas pada tindakan steril. ada  

beberapa jenis gaun pelindung, yaitu: gaun pelindung tidak kedap air, gaun 

pelindung kedap air, gaun steril, gaun non steril. Gaun pelindung dapat 

dipakai  ketika membersihkan luka, tindakan drainase, menuangkan cairan 

terkontaminasi kedalam lubang pembuangan atau WC/toilet, menangani 

pasien perdarahan masif, tindakan bedah, perawatan gigi. Cara memakai gaun 

pelindung yaitu tutupi badan sepenuhnya dari leher hingga mulut, lengan 

hingga bagian pergelangan tangan dan selubungkan ke belakang punggung, 

ikat di bagian belakang leher dan pinggang

4. Goggle dan Perisai Wajah 

Tujuan pemakaian Goggle dan perisai wajah untuk melindungi mata dan 

wajah dari percikan darah, cairan tubuh, sekresi dan eksresi. Pemakaian 

Goggle dan perisai wajah dilakukan pada saat tindakan operasi, pertolongan 

persalinan, tindakan perawatan gigi dan mulut, pencampuran B3 cair, 

pemulasaraan jenazah, penanganan linen terkontaminasi di laundry, di ruang 

dekontaminasi CSSD. 


5. Sepatu Pelindung 

Tujuan pemakaian sepatu pelindung yaitu  melindugi kaki petugas dari 

tumpahan/percikan darah atau cairan tubuh lainnya dan mencegah dari 

kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan alat kesehatan, sepatu tidak 

boleh berlubang agar berfungsi optimal. Jenis sepatu pelindung seperti boot 

atau sepatu yang menutup seluruh permukaan kaki. Sepatu pelindung 

dipakai  pada saat penanganan pemulasaraan jenazah, penanganan limbah, 

tindakan operasi, pertolongan dan tindakan persalinan, penanganan linen, 

pencucian peralatan di ruang gizi, ruang dekontaminasi CSSD. 

6. Topi Pelindung 

Tujuan pemakaian topi pelindung yaitu  untuk mencegah jatuhnya 

mikroorganisme yang ada di rambut dan kulit kepala petugas terhadap alat-

alat/daerah steril atau membran mukosa pasien dan juga sebaliknya untuk 

melindungi kepala/rambut petugas dari percikapan darah atau cairan tubuh dari 

pasien. Topi pelindung dipakai  pada saat tindakan operasi, pertolongan dan 

tindak persalinan, tindakan insersi CVL, intubasi trachea, penghisapan lendir 

massive, pembersihan peralatan kesehatan. 

 

4.3.4 Peran perawat dalam Melapor Kepada Dokter Jika 

Ada Tanda Dan Gejala Infeksi 

Menurut Darmadi (2011), perawat yaitu  pelaksana terdepan dalam 

pencegahan infeksi nosokomial sebab  perawat berada 24 jam penuh dengan 

pasien. usaha  pencegahan yang harus dilakukan oleh perawat terhadap infeksi 

nosokomial yaitu  sebagai berikut: 

1. Perawat harus mengetahui keadaan umum setiap penderita melalui 

diagnosis penyakit. 

2. Perawat harus mengetahui prosedur, tindakan medis yang dijalani 

oleh pasien serta alat bantu medis yang dipakai  oleh pasien. 

3. Perawat melakukan observasi kepada setiap pasien dengan 

melakukan wawancara, pemeriksaan umum, atau dengan cara 

membaca lembar catatan medis. 


 

4. Perawat harus mengetahui perjalanan penyakit dan perkembangan 

penyakit setiap pasien, apakah sudah membaik atau menjadi lebih 

buruk. 

Menurut Potter and Perry (2005), tanda dan gejala infeksi yang dialami oleh 

pasien dapat berupa adanya merah dan bengkak pada bagian yang terinfeksi, 

nyeri dan ada drainase atau lesi. Infeksi lain yang dapat terjadi yaitu infeksi 

sistemik yang dapat menimbulkan gejala yang lebih besar misalnya 

pembengkakan kelenjar limfe, hilangnya nafsu makan, mual dan muntah. Pada 

saat melakukan pengkajian infeksi perawat harus memakai sarung tangan agar 

terhindar dari penyakit ini . jika  ada  tanda dan gejala infeksi atau 

masalah lain yang berkaitan dengan status kesehatan pasien, perawat harus 

melaporkan hal ini  kepada dokter. 

Dokter akan dapat lebih efektif meresepkan pengobatan atau tindakan yang 

tepat yang akan dilakukan, jika  proses penyakit atau organisme penyakit 

sudah dapat teridentifikasi. Pemberian antibiotik yang spesifik untuk 

mikroorganisme pemicu  penyakit oleh dokter. Sehingga tanda dan gejala 

infeksi maupun masalah lain terkait kesehatan pasien dapat teratasi atau pun 

diminimalkan 

4.3.5 Peran Perawat Dalam Pelaksanaan Isolasi Pasien 

Penyakit Menular 

Menurut Darmadi (2011), asuhan keperawatan secara khusus harus dilakukan 

oleh perawat kepada pasien yang dapat berpotensi menularkan penyakit 

infeksi. Oleh sebab  itu diperlukan ruangan atau kamar tersendiri dan terpisah 

serta penanganan khusus bagi pasien melalui cara isolasi. Tujuan dilakukannya 

tindakan atau usaha  isolasi yaitu  mencegah penyebaran mikroba patogen 

yang bersumber dari pasien, melindungi pasien lainnya maupun petugas dan 

pengunjung dari kemungkinan invasi mikroba patogen. Ruangan atau bangsal 

perawatan khusus untuk penyakit menular harus memenuhi sejumlah 

persyaratan khususnya sebagai ruangan isolasi, antara lain: 

1. Lokasi dari ruangan isolasi harus jauh dari ruangan pasien dengan 

penyakit lain. 

2. Ventilasi di ruangan isolasi harus memadai dan memenuhi standar. 

64 

3. jika  keluar dari ruangan, harus melalui ruangan transisi terlebih 

dahulu untuk menuju pintu keluar, pintu harus selalu dalam keadaan 

tertutup. 

4. Ruangan isolasi termasuk kamar mandi harus dibersihkan setiap hari 

secara berkala. 

5. Petugas ruangan harus mengetahui cara memutuskan mata rantai 

penularan dari penyakit yang sedang dalam proses asuhan 

keperawatan. 

6. Barang yang sudah  dipakai  oleh penderita seperti selimut, bantal, 

sprei dan lain-lain harus dikelola dengan benar dan aman. 

Menurut WHO (2002) ada berbagai cara yang dapat dilakukan ketika merawat 

pasien dengan risiko infeksi yang sangat berbahaya, antara lain: 

1. Pasien ditempatkan di ruangan isolasi. 

2. Ketika memasuki ruangan harus memakai  masker, sarung 

tangan, gaun pelindung, topi, mata pelindung. 

3. Saat masuk dan keluar ruangan harus mencuci tangan. 

4. Membatasi pengunjung dan staf. 

5. memakai  peralatan yang hanya sekali pakai. 

jika  ruangan isolasi tidak tersedia, pasien yang menderita infeksi dengan 

mikroorganisme yang sama dapat ditempatkan dalam satu ruangan. Bila 

ruangan tidak tersedia dan pengelompokkan tindak memungkinkan dapat 

dipisahkan minimal dengam jarak 1 meter anatar pasien yang terinfeksi 

dengan pasien lain dan juga dengan pengunjung. Jika pasien dengan infeksi 

saluran pernafasan harus memakai  masker jika keluar dari ruangan agar 

tidak menularkan ke pasien lain, pengunjung maupun staf 

4.3.6 Peran perawat dalam Membatasi Infeksi Yang Berasal 

Dari Pengunjung 

Infeksi nosokomial dapat bersumber atau berasal dari pasien, petugas rumah 

sakit, atau bisa juga dari pengunjung. Mereka mungkin sudah terkena penyakit 

dan berada dalam masa inkubasi atau pun juga berupa karier kronis. Daya 

Bab 4 Peran Dokter, Perawat dan Laboran Dalam Pengendalian Infeksi 65 

 

tahan tubuh setiap orang berbeda, ada yang kebal dan ada yang langsung 

terkena infeksi dan sakit (Tietjen, Bossemeye and Mclntosh, 2016).  

Ketika memasuki ruang perawatan khusus, pengunjung harus memakai  

alat pelindung seperti masker, gaun pelindung, sarung tangan untuk mencegah 

penularan infeksi. Cara lain yang dapat dilakukan ialah dengan membatasi 

jumlah pengunjung yang berarti mengurangi risiko terjadinya penularan 

infeksi (WHO, 2002). Ada peraturan atau kebijakan dari Rumah Sakit untuk 

menegakkan disiplin jam kunjung bagi keluarga dan pengunjung lainnya 

(Darmadi, 2011). 

 

4.4 Peran Laboran 

Salah satu peran dari laboran yaitu  melakukan penilaian risiko. Penilaian 

risiko yaitu  satu proses untuk mengevaluasi risiko yang disebabkan oleh 

agen, prosedur dan personil terhadap kemungkinan dan konsekuensi dari 

paparan atau pelepasan bahan bahaya di tempat kerja serta menentukan 

langkah-langkah pengendalian risiko yang tepat untuk mengurangi risiko ke 

tingkat yang dapat diterima. Penilaian risiko harus mempertimbankan : 

Kandungan / jumlah kuman, cara Transmisi, jenis pekerjaan/prosedur yg akan 

memproduksi aerosol, frekuensi prosedur yg dapat menimbulkan aerosol, 

beban kerja laboratorium dan SDM yang ada, lokasi laboratorium, epidemilogi 

penyakit dan populasi pasien, tingkat kemampuan & kompetensi petugas 

laboratorium dan status kesehatan petugas laboratorium  

Sebelum kegiatan pengambilan spesimen dilaksanakan, harus memperhatikan 

universal precaution atau kewaspadaan universal untuk mencegah terjadinya 

penularan penyakit dari pasien ke petugas kesehatan maupun lingkungan 

sekitar (Kemenkes R1, 2017) : 

1. Cuci tangan memakai  sabun/desinfektan sebelum dan sesudah 

tindakan 

2. memakai  Alat Pelindung Diri (APD), minimal yang harus 

dipakai  : jas laboratorium, sarung tangan karet dan masker 

disposable 

3. Higiene personal : hindari makan, minum dan pemakaian  kosmetik 

di tempat kerja; jangan memakai perhiasan, jam dan cincin; selama 

66 

penanganan dan pemeriksaan spesimen : disposable latex rubber atau 

sarung tangan plastik; Gown harus menutupi baju petugas; cuci 

tangan 

4. Setiap spesimen harus dianggap infeksius 

5. Waspadai HIV, Hepatitis B dan C 

6. pakai  APD yang benar sesuai area kerja 

Menurut Mardiana and Rahayu, (2017) cara pengelolaan spesimen yaitu  

sebagai berikut:  

1. Pengambilan Spesimen 

Hal-hal yang harus diperhatikan pada pengambilan spesimen yaitu  : Teknik 

atau cara pengambilan. Pengambilan spesimen harus dilakukan dengan benar 

sesuai dengan standard operating procedure (SOP) yang ada. Cara 

menampung spesimen dalam wadah/penampung. Seluruh sampel harus masuk 

ke dalam wadah (sesuai kapasitas), jangan ada yang menempel pada bagian 

luar tabung untuk menghindari bahaya infeksi. Wadah harus dapat ditutup 

rapat dan diletakkan dalam posisi berdiri untuk mencegah spesimen tumpah  

2. Penyimpanan Spesimen 

Penyimpanan spesimen dilakukan jika pemeriksaan ditunda atau spesimen 

akan dikirim ke laboratorium lain. Lama penyimpanan harus memperhatikan, 

jenis pemeriksaan, wadah dan stabilitasnya. Hindari penyimpanan whole blood 

di refrigerator. Sampel yang dicairkan (sesudah  dibekukan) harus dibolak-balik 

beberapa kali dan terlarut sempurna. Hindari terjadinya busa. Simpan sampel 

untuk keperluan pemeriksaan konfirmasi / pengulangan. Menyimpan spesimen 

sebaiknya dalam lemari es dengan suhu 2-8ºC, suhu kamar, suhu -20ºC, -

70ºC atau -120ºC agar tidak terjadi sampai terjadi beku ulang. Untuk jenis 

pemeriksaan yang memakai  spesimen plasma atau serum, maka plasma 

atau serum dipisahkan dulu baru kemudian disimpan. Memberi bahan 

pengawet pada spesimen. Menyimpan formulir permintaan lab di tempat 

tersendiri. Waktu penyimpanan spesimen dan suhu yang disarankan : Kimia 

klinik : 1 minggu dalam refrigerator. Imunologi : 1 minggu dalam refrigerator. 

Hematologi : 2 hari pada suhu kamar. Koagulasi : 1 hari dalam refrigerator 

Toksikologi : 6 minggu dalam refrigerator Blood grouping : 1 minggu dalam 

refrigerato. 

 

Bab 4 Peran Dokter, Perawat dan Laboran Dalam Pengendalian Infeksi 67 

 

3. Pengiriman Spesimen 

Sebelum mengirim spesimen ke laboratorium, pastikan bahwa spesimen sudah  

memenuhi persyaratan seperti yang tertera dalam persyaratan masing-masing 

pemeriksaan. jika  spesimen tidak memenuhi syarat, spesimen ini perlu 

diambil/dikirim ulang. Pengiriman spesimen disertai formulir permintaan yang 

berisi data yang lengkap. Pastikan bahwa identitas pasien pada label dan 

formulir permintaan sudah sama. Spesimen hendaknya secepatnya dikirim ke 

laboratorium. Penundaan pengiriman spesimen ke laboratorium dapat 

dilakukan selambat-lambatnya 2 jam sesudah  pengambilan spesimen. 

Penundaan pengiriman specimen terlalu lama akan memicu  perubahan 

fisik dan kimiawi yang dapat menjadi sumber kesalahan dalam pemeriksaan. 

Pengiriman sampel sebaiknya memakai  wadah khusus, misalnya berupa 

kotak atau tas khusus yang terbuat dari bahan plastik, gabus (styro-foam) yang 

dapat ditutup rapat dan mudah dibawa .

Petugas laboran bertanggung jawab untuk (WHO, 2002): 

1. Menangani spesimen pasien untuk memaksimalkan kemungkinan 

diagnosis pasien 

2. Mematuhi pedoman pengambilan spesimen yang sesuai, transportasi, 

dan penanganan specimen 

3. Memastikan praktik laboratorium memenuhi dengan benar standar 

4. Memastikan praktik laboratorium yang aman untuk mencegah infeksi 

pada staf 

5. Selalu memperhatikan sterilisasi, desinfeksi dalam bekerja 

 

pemakaian  Alat Pelindung Diri 

(APD) 

 


Penularan infeksi yang sering terjadi di lingkungan pelayanan medis, sangat 

berisiko terpapar ke tenaga kesehatan, pasien, pengunjung dan karyawan. 

Infeksi nosokomial yaitu  suatu infeksi yang diperoleh/dialami pasien selama 

dirawat di Rumah Sakit, puskesmas, dan layanan kesehatan lainya. Infeksi 

Nosokomial terjadi sebab  adanya transmisi mikroba pathogen yang 

bersumber dari lingkungan rumah sakit dan perangkatnya. Akibat lainnya yang 

juga cukup merugikan yaitu  hari rawat penderita yang bertambah, beban 

biaya menjadi semakin besar, serta merupakan bukti bahwa manajemen 

pelayanan medis rumah sakit kurang membantu 

Pelaksanaan Kewaspadaan Universal merupakan langkah penting untuk 

men


Related Posts:

  • infeksi 2 p yang menjamin rasio pasien-staf yang memadai, penyediaan dan pemakaian  persediaan APD yang teratur, kebijakan dan prosedur PPI untuk semua aspek pelayanan kesehatan - dengan penekanan pada surveil… Read More