Kedua Belas tengah melonggarkan cengkaman raja. Kerusuhan juga terjadi
di utara. Reruntuhan menunjukkan bahwa benteng perbatasan di tapal batas
timur antara Delta dan ”daerah orang Asia” runtuh. Perbatasan itu dahulu
dijaga dengan sedemikian baik sehingga pegawai istana Sinuhe mengalami
kesulitan untuk keluar dari Mesir. Sekarang ”orang Asia”, yakni pengembara
Semit Barat, memasuki Delta dalam jumlah yang kian besar. Sebagian dari
mereka menetap dan hidup berdampingan dengan orang Mesir. Lainnya
tetap mengembara; sekitar tahun 1720, sekitar enam puluh tahun sesudah
Dinasti Ketiga Belas mengawali pemerintahannya yang tidak efektif itu, sekawanan pengembara yang cukup agresif menyerbu dan membakar beberapa
bagian Memphis, ibu kota Mesir lama. Berbeda dengan orang Mesir, mereka
berperang dengan kuda dan kereta, suatu keunggulan yang menyeimbangi
jumlah mereka yang secara relatif kecil.
Walaupun mengalami pelecehan ini, Dinasti Ketiga Belas berhasil menguasai negeri untuk sementara. Tetapi kekuasaan mereka atas Mesir sedemikian
goyah sehingga para sejarawan secara tradisional memandang Dinasti Ketiga
Belas sebagai akhir dari Kerajaan Tengah dan awal dari Periode Menengah
Kedua. Menjelang akhir Dinasti Ketiga Belas kekuasaan pharaoh sudah
sedemikian merosot sehingga muncul wangsa kerajaan kedua. Hampir tidak
ada yang kita ketahui tentang ”Dinasti Keempat Belas” ini selain bahwa dinasti itu berada berdampingan dengan Dinasti Ketiga Belas selama beberapa
tahun. Sementara Dinasti Ketiga Belas bergelayut di ibu kota Kerajaan Tengah
Itj-taway tanpa melakukan sesuatu yang bermanfaat, yang diakui sebagai
Dinasti Keempat Belas mengklaim kekuasaan atas daerah-daerah timur Delta
Nil.
Sekitar tiga puluh atau empat puluh tahun lalu suatu dinasti lain
lagi muncul di samping Dinasti Ketiga Belas dan Keempat Belas. Dinasti
Kelima Belas ini berbasis di kota Avaris yang letaknya di gurun tepat di sebelah timur Delta. Raja pertama Dinasti Kelima Belas, seorang bernama Sheshi,
menyusun pengikutnya menjadi sebuah bala tentara dan mulai memperluas
kekuasaannya ke barat dan ke selatan dengan tekanan. Sekitar dua puluh
tahun lalu , sekitar tahun 1663, Dinasti Kelima Belas telah berhasil
menghancurkan baik Dinasti Ketiga Belas maupun Dinasti Keempat Belas
dan memerintah sebagai adiraja.
Menurut Manetho, Sheshi yaitu seorang asing; ia dan para pengikutnya
berasal dari sebuah suku yang disebut ”Pangeran Gurun”, atau Hikau-khoswet:
orang ”Hyksos”.2
Manetho melukiskan pengambilalihan oleh orang Hyksos
itu sebagai suatu serangan mendadak dan penuh kekerasan oleh serbuan orang
buas terhadap orang Mesir.
Atas dasar apa, saya tidak tahu, suatu ledakan amarah dewa-dewa menimpa kami; dan secara tak terduga, dari daerah Timur, penyerbu yang
berasal dari ras yang tidak dikenal melanda negeri kami dengan keyakinan
akan kemenangan. Dengan kekuatan semata-mata mereka dengan mudah
melumpuhkan penguasa-penguasa negeri; lalu mereka membakar
kota-kota kami tanpa ampun, menghancurkan kuil-kuil dewa-dewa hingga rata dengan tanah, dan memperlakukan penduduk asli dengan sikap
permusuhan yang bengis, membunuh sebagian dan memperbudak istri
dan anak-anak sebagian orang lainnya, dan menunjuk seseorang dari kalangan mereka sebagai raja.3
Manetho, seorang Mesir, mungkin dapat dimaafkan karena mempercayai
leluhur-leluhurnya yang agung hanya dapat dikalahkan oleh suatu serangan
mendadak dan perkasa. Tetapi jejak-jejak yang ditinggalkan penguasa Dinasti
Kelima Belas mengisyaratkan bahwa kebanyakan orang Hyksos sebenarnya
sudah berada di Mesir selama beberapa waktu. Nama-nama Semit mulai
muncul pada inskripsi-inskripsi dan daftar Kerajaan Tengah jauh sebelum
perebutan tahun tahun 1663. Sedemikian banyak orang Semit Barat yang
menetap di kota Avaris (nama ini artinya kira-kira ”Tempat Tinggal Gurun”)
sehingga, selang beberapa lama, kota itu menjadi hampir seluruhnya menjadi
kota Semit. saat Dinasti Ketiga Belas dan Dinasti Keempat Belas membagibagi di antara mereka kepemimpinan Mesir yang sudah lemah, penduduk
Avaris menggunakan kesempatan itu untuk mengklaim sebagian wilayah
untuk mereka sendiri. Serbuan orang asing ke Mesir memang nyata, tetapi itu
terutama merupakan serbuan dari dalam sendiri.
Dengan mengesampingkan gaya hiperbol Manetho, orang Hyksos—yang
walaupun mungkin telah berada di Mesir selama sekurang-kurangnya satu atau
dua generasi—tidak meluluhlantakkan sedemikian banyak kota. Walaupun
nama mereka yaitu nama Semit, mereka telah menggunakan pakaian Mesir
dan kebiasaan Mesir. Bahasa Mesir tetap merupakan bahasa resmi inskripsi dan catatan; orang Mesir mempekerjakan orang Hyksos sebagai petugas
administrasi dan imam.
Walaupun Dinasti Ketiga Belas dan Keempat Belas sudah dihancurkan,
orang Hyksos tidak pernah menjadi penguasa tunggal negeri Mesir. Suatu
garis keturunan raja-raja kecil memerintah, mungkin dengan seizin orang
Hyksos, di daerah barat laut; hanya sedikit saja nama yang masih tersimpan,
tetapi Manetho menyebut mereka Dinasti Keenam Belas. Perkara yang lebih
serius yaitu pemakluman para gubernur Mesir di Thebes, di selatan, bahwa
mereka tidak akan tunduk kepada kekuasaan orang Hyksos dan bahwa kekuasaan Mesir yang sejati kini berpusat di Thebes. Itulah ”Dinasti Ketujuh Belas”
Manetho: Dinasti Kelima Belas, Keenam Belas, dan Ketujuh Belas semua
hidup saling berdampingan.
Raja-raja Hyksos, karena menyadari keterbatasan mereka sendiri, tampaknya tidak melakukan desakan serius ke selatan. Para penguasa Mesir di
Thebes mengendalikan Mesir sampai sejauh Abydos; di kerajaan selatan ini
tradisi Kerajaan Tengah terus berlangsung, bebas dari pengaruh asing. Tetapi tidak terdapat perdamaian antara keduanya. Manetho menulis, ”Raja-raja
Thebes dan bagian-bagian Mesir lainnya melakukan perlawanan terhadap
pangeran-pangeran asing itu,
dan suatu perang yang mengerikan dan panjang terjadi di antara mereka.”4
Permusuhan jarak jauh antara kedua dinasti itu terungkap dari usaha
yang gigih raja Hyksos kelima, Apepi I, yang mungkin memerintah sekitar
tahun 1630, untuk melakukan perang melawan raja Thebes. Sebuah papyrus
di Museum Inggris menyimpan bagian dari sebuah surat yang dikirimkan
oleh Apepi I jauh ke Thebes dan ditujukan kepada Sequenere, raja Dinasti
Ketujuh Belas yang waktu itu menduduki istana Thebes. ”Musnahkan kuda
nil-kuda nil di Thebes itu”, desak surat itu dengan nada perintah. ”Mereka
mendengkur sepanjang malam, aku dapat mendengar mereka dari Avaris sini,
dan kegaduhan mereka mengganggu tidurku.”5
Sequenere, sembilan ratus kilometer jauhnya dari sana, menganggap
ini sebagai pemakluman perang. Tubuhnya, kini di Museum Kairo, mengisyaratkan bahwa ia pergi dan menghimpun sebuah bala tentara dan mulai
bergerak ke utara. saat ia berjumpa dengan penjaga perbatasan Hyksos, ia
memimpin tentaranya untuk menyerang. Dalam pertempuran itu Sequenere
jatuh, tengkoraknya lumat tergilas gada. saat ia terbaring di tanah, ia ditikam, ditetak dengan belati, tombak, dan kapak. Tubuhnya dibalsam dengan
tergesa-gesa, sesudah proses pembusukan mulai berlangsung; tampaknya pharaoh dari Thebes itu terbaring di medan perang selama beberapa hari sebelum
akhirnya orang Hyksos mundur secukupnya sehingga prajurit-prajurit dari
selatan itu dapat mengemasnya.6
Pertempuran kecil itu tidak berubah menjadi peperangan. Bala tentara
Hyksos dan Thebes tampaknya mundur kembali ke basis mereka. Anak
sulung Sequenere, Kahmose, naik tahta di Thebes dan mulai membuat
rencana untuk membalas dendam kematian ayahnya.
G A R I S WA K T U 2 3
MESOPOTAMIA MESIR
Kerajaan Tengah (2040-1782)
Dinasti Ketiga ur (2112-2004) Dinasti 11 (2134-1991)
ur-Nammu Intef I-III
Abram pergi ke Kanaan Shulgi Mentuhotep I-III
Jatuhnya ur (2004)
Dinasti 12 (1991-1782)
Dinasti Isin Raja-raja Amori di Larsa Amenemhet I
(Larsa) Gungunum (sek. 1930)
Amenemhet III
(Larsa) Rim-Sin (1822-1763) Amenemhet IV
(Assur) Shamshi-Adad (1813-1781) Ratu Sobeknefru
(Babilon) Hammurabi (1792-1750)
Periode Menengah Kedua (1782-1570)
Hammurabi merebut Dinasti 13 (1782-1640)
Ashur dan Eshnunna (1764)
Samsuiluna (1749-1712)
Dinasti 14 (1700-1640)
Perebutan oleh Hyksos (1663)
Dinasti 15, 16, & 17
D sebelah utara Delta Nil, jauh di Laut Tengah, sebuah pulau bergunung-gunung membujur di sebelah tenggara semenanjung yang berserakan
dan belum bernama, yang menjorok dari benua Eropa. Penduduknya mungkin datang dari Asia Kecil jauh sebelumnya; pada masa Hyksos, mereka juga
sudah termasuk di antara negara-negara yang memiliki raja, dan telah membangun istana untuk penguasa mereka yang tak dikenal.
Istana itu terletak di pusat Knossos, suatu pemukiman yang sedikit masuk
ke pedalaman dari pusat garis pantai utara, dan sebuah tempat yang strategis
untuk mengawasi ujung timur dan ujung barat pulau itu. Tidak lama sesudah
istana itu dibangun, terdapat istana-istana lain yang sedikit lebih kecil di tempat-tempat penting lain: di Mallia, di sebelah timur Knossos di pantai utara,
dan Phaistos, sedikit masuk ke daratan dari pantai selatan.1
Karena orang-orang purba itu tidak meninggalkan tulisan, kita tidak
mengetahui secara tepat siapa yang tinggal di istana-istana itu. Tetapi istana-istana itu terletak di pusat kota yang ramai, jaringan jalan dan rumah.
Penduduk kota-kota itu berdagang dengan peradaban-peradaban di seberang
laut. Jambang-jambang gerabah mereka yang berwarna cerah (yang dahulu
mungkin merupakan wadah anggur atau minyak untuk diperdagangkan) telah
ditemukan tidak hanya di pulau-pulau di sekitarnya tetapi juga di sepanjang
sungai Nil dan di pantai Laut Tengah, tempat orang Semit Barat berdiam.
Mereka juga memiliki kebiasaan mengorbankan manusia. Pulau berpegunungan itu secara berkala diguncang gempa; salah satunya meruntuhkan
sebuah kuil yang terletak di gunung yang sekarang bernama Gunung Juktas
dan menghadap ke laut di utara, ke arah penduduk di pedalaman. Kerangka
mereka tak terusik selama hampir tiga ribu tahun, sampai saat para pakar
arkeologi menemukan pemandangan berikut: seorang muda dalam keadaan
terikat dan terbaring ke sisi samping di atas sebuah mazbah dari tanah dan
lempung, sebuah pisau perunggu tertancap pada bagian atas tubuhnya, dan
di depan mazbah itu seorang yang usianya empat puluhan tahun mengenakan
sebuah cincin dan segel upacara. Seorang wanita menelungkup di sudut tenggara.2
Pengorbanan manusia tidak sering dilakukan. Bekas-bekas korban ditemukan hanya di satu tempat lain: sebuah rumah di bagian barat kota Knossos, di
mana dua anak tampaknya tidak hanya dikorbankan tetapi dipotong-potong
dan dibakar bersama siput-siput dalam semacam pesta ritual.3
Reruntuhan
itu tidak menuturkan kepada kita apa makna pengorbanan itu, atau dilema
mengerikan macam apa yang mendorong para imam lelaki dan wanita kota
Knossos ke suatu tindakan pemujaan yang sedemikian ekstrem.
Tetapi kita bisa membuat dugaan yang mendasar.
Sekitar tahun 1720 sebuah gempa meruntuhkan istana lama di Knossos.
Sebuah istana baru dibangun di atasnya dan sebagian mencakup reruntuhannya. Istana kedua ini jauh lebih rumit. Penduduk Knossos telah berkembang
ke tahap di mana mereka membutuhkan seorang raja yang lebih agung.
Orang Yunani, yang menyebut pulau itu Kreta, percaya bahwa seorang
raja yang kuat bernama Minos tinggal di Knossos pada zaman ”Istana Kedua”
itu.
Menurut mitos Yunani, Minos yaitu anak tiri seorang bangsawan Kreta.
Karena ingin memerintah negeri itu, ia mengatakan kepada penduduk Kreta
bahwa ia dapat membuktikan kalau ia dipilih oleh dewa-dewa untuk bermartabat raja; apa pun yang ia minta akan dikabulkan oleh dewa-dewa.
Orang-orang menantang dia untuk membuktikan kesombongannya, maka
Minos memohon kepada Poseidon untuk mengirimkan seekor banteng untuk
dikorbankan. Sesaat itu juga seekor banteng yang gagah muncul dari laut
ke pantai Kreta. Banteng itu sedemikian gagah sehingga Minos merasa sayang
untuk mengorbankannya. Ia menggiringnya ke kandang kawanannya sendiri
dan mengorbankan seekor banteng lain yang lebih kecil sebagai gantinya.
Orang Kreta mengelu-elukan Minos sebagai raja. Tetapi Poseidon tidak
senang dengan ketamakan Minos dan mengutuk istrinya Pasiphae dengan
birahi kepada banteng. Dengan bantuan arsitek legendaris Daedalus, Pasiphae
dan banteng itu berhasil melakukan persetubuhan yang aneh di mana seekor
sapi kayu beroda ikut tampil; lalu Pasiphae melahirkan seorang anak
cacat yang mengerikan, sosoknya manusia, wajahnya banteng. Melihat bayi
itu, Minos menyekapnya di sebuah penjara di bawah istana Knossos. Penjara
yang dirancang oleh Daedalus, sebagai hukuman karena menolong Pasiphae,
terdiri dari sedemikian banyak lorong yang berputar-putar sehingga anak
itu—yang dinamai Asterius oleh ibunya, tetapi dikenal sebagai Minotaurus—
tak akan dapat lolos. Di penjara itu, yang diberi nama Labirinth, Minotaurus
tumbuh menjadi dewasa. Minos memberinya makan dengan daging manusia;
sesudah suatu pertempuran dengan penduduk daratan Yunani, ia memerintahkan mereka untuk mengirimkan tujuh pemuda dan tujuh pemudi setiap
tahun sebagai santapan untuk Minotaurus.4
Cerita ini muncul dalam Perpustakaan, sebuah kumpulan cerita Yunani dari
abad kedua SM.
Di balik kabut mitos ini kita mungkin dapat memperoleh
suatu pandangan sekilas tentang suatu peradaban yang tidak meninggalkan
cerita lain.
Minos mungkin saja nama bukan sekadar dari satu orang penguasa legendaris, tetapi suatu garis raja-raja yang memerintah Knossos dan menjadi nama
peradaban purba Kreta. Cerita Minotaurus, beserta pertukaran muatan antara
kota-kota, mencerminkan perdagangan internasional lewat laut yang dilakukan oleh bangsa Minos. Demikian juga peninggalan benda-benda Istana
Kedua yang ditemukan di seputar dunia kuno. Sebuah lidah-lidah tutup jambang dari alabaster yang ditemukan di Knossos ditandai dengan nama raja
Hyksos, dan dinding-dinding istana Hyksos di Avaris memiliki sisa-sisa sebuah fresko yang dilukis dengan gaya Minos. Terdapat hubungan yang tetap
dengan pantai timur Laut Tengah; orang Minos bahkan mungkin berdagang
sampai sejauh Mesopotamia. Beberapa perwujudan bergambar (khususnya
pada segel) Gilgamesh dan pergulatannya dengan Banteng Langit—sebuah
cerita yang mulai muncul pada papan lempung antara tahun 1800 dan 1500
SM, tetap pada puncak peradaban Minos—menampilkan Gilgamesh yang
sedang bergulat dengan seekor banteng setengah manusia yang mengenakan
semacam sabuk gulat. Monster itu memiliki tubuh banteng dan kepala manusia, yang merupakan kebalikan dari deformasi Minotaurus, tetapi kemiripan
antara kedua monster mengisyaratkan bahwa pelaut Minos dan pelaut
Mesopotamia saling bertukar cerita di tempat-tempat singgah.5
Walaupun peradaban Yunani yang tertata rapi, yang darinya Minos secara teori menuntut upeti tahunan yaitu sebuah anakronisme (pada masa
sedini itu hanya terdapat pemukiman tersebar-sebar di semenanjung itu),
kemampuan Minos untuk menuntut pembayaran dari luar negeri mencerminkan kekuatan militer Kreta pada Periode Istana Kedua. Perpustakaan
menyebutkan bahwa Minos yaitu ”orang pertama yang meraih kekuasaan
atas laut; ia melebarkan kekuasaannya ke hampir semua pulau”. Kota-kota
Minos telah ditemukan di sejumlah pulau di dekatnya, di antaranya Melos,
Kea, dan pulau Thera yang kecil dan tidak stabil. Kota-kota itu berperan tidak
hanya sebagai tempat persinggahan dagang tetapi sebagai basis angkatan laut.
Sejarawan Yunani Thucydides menulis bahwa Minos yaitu raja kuno pertama
yang memiliki sebuah angkatan laut. ”Ia menjadikan dirinya penguasa tempat
yang kini disebut Laut Yunani”, kata Thucydides, ”dan menguasai Cyclades
[pulau-pulau Aegea di utara], ke sebagian besar pulau itulah ia mengi-rimkan koloni-koloni pertamanya dengan mengusir orang Caria [pemukim dari
Asia Kecil tenggara] dan menunjuk anak-anak lelakinya sebagai gubernur;
dan dengan demikian melakukan tindakan yang terbaik untuk membasmi
pembajakan di perairan itu, suatu langkah yang diperlukan untuk menjamin
pemasukan untuk keperluannya sendiri”.6
Menurut Herodotus, orang Caria
tetap tinggal di pulau-pulau itu tetapi menjadi bawahan Minos, sekumpulan
pelaut berpengalaman yang biasanya ”mengawaki kapal atas permintaannya”.7
Kekaisaran Minos dibangun di atas air.
Sekitar tahun 1680 Minos mencapai cakupan terluas kekuasaannya. Bajak
laut selalu merupakan masalah di Laut Tengah—Thucydides menjelaskan
bahwa Knossos semula dibangun di pedalaman, jauh dari laut, ”akibat merajalelanya bajak laut”—tetapi angkatan laut Minos membasmi pembajakan,
sekurang-kurangnya di perairan sekitar Kreta. Dengan terciptanya suasana
damai yang baru ini berarti bahwa bangsa-bangsa di sekitar pulau-pulau dan
pantai dapat ”mencurahkan perhatian mereka lebih penuh pada perolehan
kekayaan dan kemapanan hidup”.8
Perdagangan berkembang, bangunanbangunan muncul, lukisan dan pahatan mencapai suatu tahap kecanggihan
baru.
Tetapi terdapat ancaman yang terus membayangi dalam cerita Raja Minos:
monster banteng di bawah istana. Sosok jahat itu, yang tidak terlihat, yaitu
tanda kejahatan yang nampak dari Poseidon. Sosok itu tidak hanya mengancam orang-orang yang menghormati Minos tetapi juga Minos sendiri. Sosok
itu tidak dapat dijinakkan dan selalu lapar sehingga benar-benar merusak fondasi istana dan menuntut pengorbanan yang terus menerus.
Istana di Knossos dihiasi banyak fresko: lukisan dinding yang dibuat dengan menerakan warna-warna cerah yang terbuat dari arang, oker kuning, bijih
besi, dan mineral lainnya langsung ke sebuah lapisan lembab plaster batu
gamping. Dalam fresko-fresko itu banteng-banteng suci menundukkan tanduknya sebagai ancaman sementara para pemuja meloncat melewati tanduk
ke punggung banteng, dan dari sana melompat ke tanah. Pahatan perunggu
yang paling termasyhur dari reruntuhan Knossos menyimpan tarian banteng
yang sama, tidak bergerak pada saat yang paling berbahaya.
Dapat diduga, para pemuja yang mengambil bagian dalam ritual itu yaitu
muda, atletis, dan siap untuk mati. Cerita Minotaurus mungkin menyimpan
suatu bentuk pengorbanan manusia yang sangat tua, di mana korban yang
dibaktikan tidak dibaringkan di atas sebuah mazbah tetapi dilepas di depan
banteng. Penggalian dari yang disebut sebagai Lapangan Banteng, yakni
lapangan-lapangan pusat di Knossos tempat tarian banteng tampaknya diselenggarakan, menunjukkan sebuah jaringan pintu, anak tangga, dan lorong
yang menuju ke lapangan dari bangunan-bangunan di sekitarnya: labirin yang
asli.9
Ada kaitan lain antara cerita Minotaurus dan kebiasaan-kebiasaan keagamaan Kreta. Keempat Belas korban itu dimakan oleh Minotaurus; tempat
pengorbanan yang ditemukan di Knossos menunjukkan semacam perayaan
ritual atas orang yang mati.
Kemarahan ilahi semacam apakah yang menuntut pengorbanan semacam
ini?
Dalam versi Yunani tentang cerita Minotaurus dari masa yang jauh sesudah itu, Poseidon, dewa laut, juga disebut Pengguncang bumi, dan banteng
yaitu binatang sucinya. Pulau Kreta dan laut di sekelilingnya terus menerus
diguncang gempa serta gelombang perusak yang menyusulnya. Hanya dengan memohon terus menerus kepada Pengguncang bumi akhirnya ancaman
yang datang dari laut itu mereda.
Sekitar tahun 1628 gelombang gempa di sekitar Thera yang dekat dari
sana menjadi semakin sering.
Pulau itu yaitu sebuah gunung berapi aktif
dan lebih dari satu letusan telah terjadi. Tetapi selama beberapa tahun pulau
itu cukup tenang sehingga satu-satunya kota besar di Thera, Akrotiri, dapat
berkembang luas dan makmur.10
saat gelombang gempa pertama kali semakin sering, penduduk Akrotiri
membangun kembali tembok-tembok yang telah hancur karena gempa.
saat guncangan bertambah dahsyat, mereka mulai mengungsi. Penggalian
dari reruntuhan tidak menyingkapkan satu tengkorak pun, dan benda-benda
berharga, seperti perhiasan dan perak di kota itu tampaknya telah dikuras.11
Tak lama sesudahnya, gunung berapi di pusat pulau mulai menyemburkan batu apung. Batu apung yang menyalut reruntuhan tampaknya telah
mengerak, yang berarti bahwa hasil semburan itu terpajan ke udara (sebelum
disalut oleh abu dari letusan terakhir) selama beberapa waktu—sekitar dua
bulan sampai dua tahun. Suara gemuruh di Thera terus berlangsung cukup
lama sementara pulau-pulau di dekatnya mendengarkan dengan gemetar.
Dua tahun yaitu waktu yang panjang untuk menunggu suatu bencana yang
mengancam; cukup lama untuk menyelenggarakan upacara pengorbanan
yang mengharapkan bencana itu akan menjauh.
lalu gunung berapi itu benar-benar membalikkan isi pulau itu,
dengan menyemburkan abu setinggi lima meter ke kota. Batu-batu besar
menyembur dari perut gunung api dan jatuh sebagai hujan bersama dengan
abu, seperti hujan es raksasa.12 Sebuah retakan terbuka di sisi pulau yang
meng-akibatkan air laut menghunjam masuk ke dalam kawah yang ditinggalkan oleh gunung api. saat letusan itu akhirnya reda, Thera bukan lagi
sebuah pulau bundar dengan sebuah gunung berapi di tengahnya; wujudnya
menjadi sebuah cincin pulau yang mengelilingi sebuah laut-di tengah pulau,
sebuah kawah raksasa.
Itulah akhir dari kota Minos Akrotiri, yang tentu akan terkubur di bawah
abu sampai saat digali, mulai tahun 1960-an. Tidak jelas seberapa besar
kerusakan yang diakibatkan oleh letusan raksasa terhadap orang-orang Minos
di Kreta. Selama beberapa waktu sesudah letusan Thera, peradaban Minos berlangsung seperti biasa. Namun pada akhirnya populasinya mulai berkurang;
rumah-rumah semakin terbengkalai; perdagangan terhenti.
Kemunduran itu mungkin berkaitan dengan letusan gunung api.∗
Indikasiindikasi di Thera sendiri mengisyaratkan bahwa gunung api itu meletus pada
akhir Juni atau awal Juli, tepat menjelang musim panen.13 Hujan abu yang
dibawa angin tidak sampai ke ujung barat Kreta, tetapi secara pasti mencapai
separuh timur pulau, mungkin merusak hasil panen satu musim. Bekas-bekas
abu di pantai di sekitar Thera mengisyaratkan bahwa letusan itu menyebabkan tsunami yang menenggelamkan pulau-pulau di dekatnya, dan tingginya
air mungkin masih sepuluh meter saat menghempas ke pantai-pantai Kreta,
dua puluh lima menit sesudah letusan.14 Awan yang besar mungkin menutupi
matahari selama beberapa waktu. Lalu menyusul badai petir, hujan geledek
yang keras dan dahsyat, serta turunnya suhu. Selama berbulan-bulan, mat
ahari terbenam berwarna merah darah yang gelap.
Bahkan andai kata gunung api itu tidak secara langsung menyebabkan
kemunduran Minos, semua kejadian aneh itu memberi dampak yang sama
seperti berkurangnya air Nil di Mesir. Tanda-tanda itu menunjukkan bahwa
Poseidon gusar. Wangsa kerajaan tidak lagi berkenan kepada dewa-dewa.
Mungkin sekali malapetaka itu hanyalah awal ketidakpuasan dewa-dewa
yang lebih ekstrem, yang membayang di cakrawala. Pengguncang bumi tidak
boleh diremehkan; dan ia masih terus membayang di kedalaman, siap untuk
memusnahkan kemaknuran yang rapuh. Lebih baik menjauhi kemarahan
yang sedemikian itu secepat mungkin.†
G A R I S WA K T U 2 4
MESIR KRETA
Kerajaan Tengah (2040-1782)
Dinasti 11 (2134-1991)
Intef I-III
Mentuhotep I-III
Periode Protopalatial (2000-1720)
Dinasti 12 (1991-1782)
Amenemhet I
Amenemhet III
Amenemhet IV
Ratu Sobeknefru
Periode Menengah Kedua (1782-1570)
Dinasti 13 (1782-1640)
Periode Neopalatial (1720-1550)
Dinasti 14 (1700-1640) Minos
Perebutan oleh Hyksos (1663)
Dinasti 15, 16, & 17
Letusan Thera (sek. 1628)
Periode Palatial Akhir (1550-1350)
kota-kota Harappa dengan
keseragaman yang ketat menghadapi malapetaka sendiri.
Sekitar tahun 1750 sampai 1700, penduduk Mohenjo-Daro mulai
melarikan dari dari rumah mereka. Tidak semuanya bisa lolos. Penggalian
menyingkapkan tengkorak-tengkorak yang tergeletak di jalan dan tidak
dikubur, sebuah keluarga lengkap terjebak dan terbunuh di rumah mereka,
sedangkan jasad mereka tidak dikuburkan. Di sana sebuah rumah dilahap api
dan runtuh. Penduduk yang mengungsi meninggalkan benda-benda berharga
mereka (alat untuk mencari nafkah, perhiasan, dan perak) agar dapat melarikan diri lebih cepat.1
Di sebelah utara di Harappa, pemandangan yang sama
terjadi. Bukti dari situs-situs Harappa yang lebih kecil tidak jelas, tetapi tak
pelak lagi peradaban Harappa telah punah.
Orang Harappa tidak dilumpuhkan oleh invasi musuh. Reruntuhan menunjukkan tidak ada senjata yang lepas, tiada jasad berbaju perang, tidak ada
penghancuran bangunan secara sistematis, dan tidak ada tanda perlawanan
di seputar kota itu (yang bagaimana pun telah dibangun untuk menghadapi
situasi semacam itu).2
Runtuhnya berbagai bangunan beserta api (yang mungkin berawal saat
api dapur terjungkir) itu mungkin disebabkan oleh gempa atau banjir. Jika
karena banjir, datangnya air tentu mendadak dan biasanya dahsyat. Lapisan
lumpur menunjukkan bahwa Indus, seperti sungai-sungai lainnya yang mengalir di tengah peradaban-peradaban kuno, membanjir secara berkala dan
meninggalkan tanah subur dengan pola yang tidak dapat diramalkan.3
Bata
bakaran kota mungkin berperan sebagai perlindungan terhadap banjir yang
luar biasa tinggi. Hanyalah gelombang setinggi tembok yang dapat menyebabkan kerusakan yang ditemukan di kota-kota Harappa.
Pakar hidrologi R. L. Raikes mengemukakan bahwa sebuah bendungan
lumpur yang terbentuk di sebelah hulu Harappa menghentikan banjir sama
sekali untuk beberapa waktu (mengakibatkan turunnya kesuburan sawah dan
mungkin menyebabkan kelaparan ringan di kota), dan lalu bobol akibat beban air yang terhimpun dan melepaskan banjir besar yang melanda kota
dengan cepat. Pada kenyataannya, sesuatu seperti itu terjadi pada tahun 1818,
saat sebuah bendungan lumpur menghentikan air Indus selama hampir dua
tahun, dan membentuk sebuah blok sepanjang delapan puluh kilometer dan
setinggi enam belas meter.4
Tetapi bekas-bekas lumpur pada kedua kota terbesar Harappa tidak membuktikan adanya banjir dari berbagai kemungkinan
yang ada. Bagaimana pun, andai kata suatu banjir telah menghancurkan bangunan-bangunan di seluruh kota itu, mengapa tidak dibangun kembali?
Kita harus mengandaikan bahwa suatu bencana alam telah menimpa
sebuah peradaban yang sudah menderita akibat kebusukan dalam negeri.
Banyak kerangka menunjukkan bukti adanya penyakit, yang paling umum di
antaranya yaitu anemia, yang mungkin disebabkan oleh malagizi.5
Tebingtebing Indus tidak cenderung mengalami salinasi, tetapi tidak ada sawah yang
subur; populasi yang meningkat tentu memerlukan hasil panen yang semakin
banyak pula. Bangunan-bangunan dari bata lumpur itu memerlukan banyak
kayu kecil sebagai bahan bakar tungku pemasak. Sementara kota-kota tumbuh, para pembangun tentu menebangi pepohonan di area yang semakin
luas. Barangkali banjir hanyalah sebuah pukulan pamungkas untuk sebuah
peradaban kota yang sudah terlalu meluas wilayahnya. Dan begitu kota-kota
mulai mengalami disintegrasi, sistem Harappa tidak mampu memperbaiki
kemerosotan itu. Barangkali keseragaman yang terlalu ketat melenyapkan
kesesuaian diri mereka, sekali terusir keluar dari kota-kota mereka yang rapi
dengan bata-bata yang seragam dan alat-alat yang biasa mereka gunakan,
mereka sama sekali tidak mampu menata diri mereka kembali dari bawah..
Kota-kota itu tidak seluruhnya ditinggalkan. Sebagian orang tetap tinggal,
atau kembali, atau mengembara masuk dari pedesaan. Pemukiman sederhana
di atas lapisan Harappa menunjukkan gerabah yang kasar, penataan yang miskin, dan tidak adanya usaha untuk membangun kembali atau menggunakan
saluran dan sistem pembuangan air yang rumit di kota-kota itu; kecanggihan
yang jauh di bawah kecanggihan Harappa. Para pakar arkeologi menyebutnya kebudayaan pasca-Harappa atau Jhukar,6
dari nama sebuah desa tempat
gerabah kasar pertama kali dibuat. Tetapi tidak ada lagi kebudayaan yang sesungguhnya. ”Kebudayaan Jhukar” lebih tepat dianggap sebagai orang-orang
yang mendiami reruntuhan Harappa begitu peradaban Harappa berakhir.
Para penyerbu memang datang ke India dari utara, tetapi mereka baru
tiba antara tahun 1575 sampai 1500. Mereka yaitu orang-orang yang telah mengembara di sebelah timur Elam dan di sebelah utara pegunungan di sudut
barat India (yang kini disebut Pegunungan Hindu Kush). Pada akhirnya mereka melewati sela-sela pegunungan, menuruni lembah-lembah yang terbentuk
oleh cabang hulu Indus. Kesusateraan mereka sendiri—yang baru ditulis
seribu tahun lalu —menyebut tempat tinggal mereka yang paling awal
di India ”Negeri Tujuh Sungai”, yang mungkin berarti bahwa mereka mulamula tinggal di Punjab: cabang-cabang hulu Indus, di mana Indus bercabang
ke dalam enam cabang yang mengalir ke satu sungai besar (dalam ribuan
tahun sejak saat itu salah satu cabangnya, Sarasvati, telah menjadi kering).7
Kebudayaan mereka mula-mula hampir bukan merupakan kebudayaan
sama sekali. Mereka terbiasa hidup dalam kumpulan bergerak yang dikepalai
oleh pemimpin perang. Maka mereka tidak membangun; mereka tidak menulis; sejauh yang kita ketahui, mereka pun tidak memiliki kesenian; bahasa
mereka tidak memiliki kata-kata dari dunia pertanian, seperti ”bajak” atau
”lantai penyesah”.
Yang dapat mereka lakukan ialah berperang. Mereka paling menonjol
dalam hal persenjataan: tidak hanya kuda tetapi juga kereta dengan roda
bertaji, kapak perunggu, dan busur dengan pengatur jarak yang tidak mirip
sama sekali dengan apa pun yang digunakan oleh orang Harappa.8
Seperti halnya orang Hyksos di Mesir, yang juga berasal dari dataran gurun, inovasiinovasi perang itu telah membantu mereka dalam merambah jalan menembus
musuh-musuh yang ada di depan mereka.
Namun, mereka tidak segera mulai menaklukkan lembah Indus. Mereka
tinggal di antara Tujuh Sungai selama sekurang-kurangnya satu abad
sebelum pindah lebih jauh ke selatan dan timur. Pada waktu mereka mulai
memasuki kota-kota Harappa, peradaban Harappa sudah mulai goyah
dan jatuh. Walaupun mereka mungkin menghalau kawanan penghuni liar
yang sesekali ditemui, hanya sejauh itu skala penaklukan mereka. Mereka
memanfaatkan bangunan-bangunan yang ditinggalkan yang mereka
temukan, karena mereka tidak memiliki bangunan apa pun (bahasa mereka
juga tidak memiliki satu kata pun yang berarti ”semen”), dan menetap.
Kebudayaan Harappa yang canggih dan sangat tertata telah digantikan oleh
suku-suku pengembara dengan kebudayaan yang lebih rendah, teknologi
lebih rendah, dan tanpa pengalaman mengelola sebuah kota—tetapi jauh
lebih berpengalaman dalam beradaptasi terhadap lingkungan yang asing.
Kelak, keturunan para penyerbu itu menyebut dirinya arya, suatu
adjektiva yang memiliki sekurang-kurangnya tujuh terjemahan dalam bahasa Inggris, dari yang berarti ”terhormat” sampai dengan yang lebih tidak
menyenangkan: ”murni”.∗9 Pada awalnya, peradaban Arya sama sekali tidak
murni. Walaupun penduduk Harappa dan Mohenjo-Daro telah kehilangan struktur birokratis yang mempersatukan negara Harappa, mereka tidak
tercerabut dari kelompok besar di India utara, seperti suatu penculikan
besar-besaran oleh makhluk asing. Mereka tersebar-sebar, tetapi tetap hidup.
Mereka bercampur dengan orang-orang Arya pendatang baru, meminjamkan kata-kata untuk ”bajak”, ’lantai penyesah” dan ”semen”, dan mungkin
juga mengajar para bekas pengembara itu cara menggunakan alat-alat yang
telah dikembangkan oleh peradaban. Kebudayaan Arya yang menyebar luas
ke utara dirajut dengan benang-benang dari dunia orang Harappa yang
telah lenyap.
G A R I S WA K T U 2 5
KRETA INDIA
Periode Protopalatial (2000-1720)
Kota-kota Harappa mulai ditinggalkan (1750)
Periode Neopalatial (1720-1550)
Minos
Letusan Thera (sek. 1628)
Periode Palatial Akhir (1550-1350) Awal Pendudukan Arya
Pada waktu Samsuiluna meninggal, sekitar tahun 1712, kekaisaran
Babilonia dari masa ayahnya Hammurabi (“Babilonia Lama”) telah kehilangan
sebagian besar dari wilayahnya di selatan dan timur. Elam telah memberontak. Pusat-pusat kekuatan Sumer kuno kebanyakan telah dihancurkan dan
hampir ditinggalkan. Tanah itu terbengkalai dan gersang; suatu garis baru
raja-raja yang hal-ihwalnya sama sekali tidak dikenal, yang dinamakan Dinasti
Tanahlaut, mengklaim kekuasaan atas padang belantara itu. Raja yang bertahta di Babilon masih dapat menjalankan kekuasaannya atas daerah utara
dan barat, tetapi hanya sejauh Mari. Selewat wilayah Mari, raja Aleppo tetap
mempertahankan kemerdekaan.
sesudah Samsuiluna, serangkaian raja yang tidak menonjol mengklaim
tahta Babilon. Tidak banyak yang diketahui tentang raja-raja itu. Dokumen
paling mendetail yang masih tersimpan dari istana Babilon, dalam kurun
waktu ratusan tahun sesudah Samsuiluna, yaitu benar-benar sebuah cerita
tentang perilaku planet Venus saat terbit dan terbenam.
Mundurnya kekuasaan yang satu bertepatan waktunya dengan menguatnya
suatu kekuasaan lain. Pada masa orang Semit masih mengembara ke
Mesopotamia dan lalu masuk ke Kanaan, sebuah bangsa lain dengan
sejenis bahasa yang berbeda tinggal lebih jauh ke utara, antara Laut Kaspia dan Laut Hitam. Sebagian dari bangsa-bangsa di utara itu bergerak ke timur
dan menjadi leluhur orang-orang Arya yang akhirnya masuk ke India. Tetapi
bangsa-bangsa lainnya telah bergerak ke barat, ke Asia Kecil, dan menetap di
sejumlah desa di sepanjang pantai.
Sekitar tahun 2300, suku khusus Indo-Eropa ini telah menyebar melewati
seluruh sisi barat jazirah itu dan di sepanjang sungai Halys.∗
Mereka melakukan perdagangan yang sehat dengan pulau-pulau di sebelah barat dan juga
dengan bangsa-bangsa di sebelah timur, khususnya dengan kota Assur; karena
itu, pedagang-pedagang Assur membangun pos-pos dagang di sini.
Sementara Hammurabi menyapu seluruh Mesopotamia dan mempersatukannya dengan kekuatan, desa-desa orang Indo-Eropa di Asia Kecil
berhimpun menjadi kerajaan kecil-kecil di bawah pimpinan berbagai
pemimpin perang. Kita tidak mengetahui siapa pun di antara mereka, jadi
tidak mungkin menguraikan lebih luas tentang proses ini. Hal yang kita
ketahui yaitu bahwa orang Mesir telah mendengar tentang kerajaan-kerajaan
itu, dan mengenal mereka sebagai satu bangsa saja. Orang Mesir menyebut
mereka Ht, sebuah sebutan yang diambil dari nama yang digunakan bangsabangsa itu untuk menyebut tanah air mereka: Hatti, wilayah orang Hitti.
Orang Hitti belajar menulis dari para pedagang Assur yang tinggal di dekat
mereka; inskripsi-inskripsi dan cerita-cerita purba mereka semuanya dalam
aksara cuneiform yang digunakan oleh orang Assiria kuno. Pada tahun1790
pemimpin kota Hitti, Kusara, membuat catatan sendiri. Orang Hitti telah
memasuki dunia sejarah.
Pemimpin itu, Anittas, telah mewarisi sebuah kerajaan kecil yang terdiri
dari dua kota dari ayahnya, yang berhasil menaklukkan kota Nesa yang terletak
berdekatan (dan tidak menduga akan ditaklukkan) dengan melakukan suatu
serangan malam ke sana dan menyandera rajanya. Pada masa pemerintahan
ayahnya, Anittas menjabat sebagai pegawai Penguasa Menara Penjagaan, suatu
tugas yang menuntut agar ia terus memantau laporan-laporan dari semua pos
pengawasan, yang dipasang di sepanjang tapal batas kerajaan kecil itu secara
berangkai-rangkai dengan menara penjagaan.2
saat ayahnya wafat, Anittas
—yang waktu itu menyebut dirinya hanya sebagai “pangeran Kusara”—memulai perang penaklukan sendiri. Ia berperang melawan kota kuat Hattusas
yang berdekatan, yang akhirnya ia jarah saat kota itu terus melawannya.3
Ia
juga mengutuk kota itu yang bernasib sama dengan nasib yang mungkin telah
menimpa Agade: “Di tempat kota itu berada aku telah menaburkan ilalang”,
serunya. “Semoga Dewa Badai memukul jatuh siapa pun yang menjadi raja
sesudahku dan mendiami Hattusa kembali!”4
lalu ia berpaling ke kota
Purushkhanda, yang di antara bangsa-bangsa Hitti sejajar dengan kedudukan Nippur di negeri Sumer: ibu kota pemikiran, kota yang penguasanya dapat mengklaim semacam wibawa moral terhadap kota-kota bangsa lain.
Raja Purushkhanda, mungkin dengan satu mata memandang barisan asap di
kejauhan yang membubung dari Hattusas, menyerah tanpa perlawanan.
Seperti Hammurabi, orang sezamannya, yang waktu itu sedang melakukan serbuan menyeberangi daerah antara Tigris dan Efrat, Anittas telah
menciptakan sebuah bangsa. “Aku telah menaklukkan setiap daerah di mana
matahari terbit”, seru Anittas, dengan dada membusung, dan mulai menyebut dirinya bukan lagi “pangeran” tetapi raja besar”.Ia memerintah kerajaannya selama empat puluh tahun penuh, suatu kurun
yang lebih dari sekadar terpandang untuk seorang raja kuno; ia meninggal
hanya berselang setahun sesudah Hammurabi, walaupun tidak ada petunjuk
bahwa keduanya pernah saling bertukar pesan.
Kerajaan yang dibangun oleh Anittas tetap berpusat di kota tempat
tinggalnya, Kussara, sampai beberapa generasi sesudahnya, saat seorang raja
waktu itu memutuskan untuk mengabaikan kutukan Anittas dan membangun
kembali Hattusas. Di dekatnya terdapat tujuh sumber air, tanah yang subur
di sekitarnya, dan sebuah bukit cadas di mana sebuah istana dapat dibangun
dan mudah dipertahankan. Tempat itu sedemikian bagus untuk dibiarkan
terbengkalai.
Begitu raja itu memindahkan ibu kotanya dari Kussara ke Hattusas, ia
dikenal sebagai Hattusilis I: “seorang dari Hattuses”.6
Ia mulai melakukan
ekspedisi keluar ke Asia Kecil, memasuki kerajaan-kerajaan orang Semit Barat
di pantai timur laut Laut Tengah, dan merebut beberapa kota kecil. Anittas
telah menciptakan bangsa Hitti, tetapi Hattusilis I menjadikannya sebuah
kekaisaran yang menguasai lebih dari satu bangsa. Ia yaitu seorang pejuang
besar, barangkali yang terbesar di dunia pada masanya: kota-kota Harappa
sedang tenggelam, Hammurabi sudah mati, di Mesir raja-raja Thebes dan
Avaris saling berperang, dan kerajaan Minos telah lama berlalu.
Kendati meraih banyak keberhasilan, Hattusilis meninggal dalam keadaan
malang dan nestapa, bukan di Hattusas tetapi kembali di tempat tinggal
lamanya, Kussara; ia memohon untuk dibawa kembali ke sana tatkala sudah
dalam keadaan sekarat. Sebuah dokumen Hitti yang disebut Wasiat mencatat
kata-katanya di ranjang kematian kepada cucunya Mursilis. Hattusilis meledak
amarahnya dan mengutuk secara kasar anak lelaki dan anak perempuannya
yang telah menuruti perkataan seorang bangsawan Hitti yang kecewa dan
membiarkan pikiran mereka diracuni untuk bersekongkol melawannya.
“Mereka mengatakan kepada kalian: Berontaklah melawan ayah kalian”, keluh
Hattusilis, “dan mereka menjadi pemberontak, dan mulai bersekongkol”.7
Ia telah mencabut warisan kepada kedua anaknya yang telah dewasa, dan
mengalihkan warisan kepada kemenakan laki-lakinya. Tetapi pada saat-saat
terakhir Hattusilis juga menolak kemenakan laki-lakinya. Menurut Wasiat
itu, ia ”tidak memiliki belas kasih ... dingin, dan tanpa ampun ... tidak
mempedulikan kata-kata raja”. Wataknya itu tampaknya sebagian berasal dari
kesalahan ibunya; Hattusilis lalu berpaling kepada wanita itu, saudarinya sendiri, dan dengan murka melontarkan kiasan-kiasan yang bercampur
aduk; ia menyebut ibunya sebagai ular di rumput yang perutnya seperti sapi.8
Raja tua itu memilih seorang kemenakan lelaki lain bernama Mursilis sebagai
pewarisnya dan lalu mati, sesudah melewatkan seluruh hidupnya dalam
kemenangan militer dan kekecewaan rumah tangga.
Mursilis, yang baru berusia tiga belas atau empat belas tahun, dikelilingi
tidak hanya oleh adipati-adipati yang seharusnya mengawasinya, tetapi juga
oleh sepupu, paman, dan bibi yang amarahnya mendidih karena warisan mereka dibatalkan. Walaupun menghadapi awal yang pelik ini, Mursilis muda
dapat bertahan sampai usia kenaikan tahta (yang bukan sebuah pesta sederhana
pada zaman itu). Tampaknya ia beruntung berkat penjaga-penjaganya; salah
satu adipatinya, pangeran Hitti Pimpira, sangat berkeinginan agar ia menjadi
bukan seorang raja belaka tetapi seorang raja yang adil dan berbelaskasihan.
”Berikanlah roti kepada orang yang lapar”, demikian sebuah kronik Hitti
mencatat Pimpira yang sedang memberikan perintah, ”pakaian kepada orang
yang telanjang; bawalah orang yang menderita kedinginan ke tempat yang
hangat.” 9
Namun, begitu Mursilis naik tahta, ia lebih menaruh perhatian pada
penaklukan daerah baru daripada pada pemerintahan yang berbelaskasihan
yang ia miliki. Sebuah perjanjian dengan Aleppo pada masa yang lebih lanjut, dalam meninjau hubungan-hubungan terdahulu antara kedua pihak yang
melakukan perjanjian, menguraikan langkah selanjutnya berikut ini: ”sesudah
Hattusilis, Mursilis sang raja agung, cucu Hattusilis sang raja agung, menghancurkan kerajaan Aleppo dan Aleppo sendiri”.10
Karena terpacu oleh keberhasilannya di Aleppo, Mursilis mulai bergerak
menuju Babilon. Ia menjumpai berbagai pemimpin perang Kassi di perjalanan,
tetapi ia entah menaklukkan atau membuat perjanjian dengan mereka. Pada
tahun 1595, ia tiba di depan tembok Babilon. Letusan yang menyusul lebih
seperti repetan gas. Babilon, di bawah pemerintahan anak cicit Hammurabi,
tidak memberikan banyak perlawanan. Menurut cerita Mursilis sendiri,
ia mengalahkan kota itu, menyandera penduduknya, dan membelenggu
rajanya.11 Akhir nasib keturunan terakhir Hammurabi itu tidak diketahui.
Mursilis memutuskan untuk tidak menjadikan Babilon sebagai bagian
kekaisarannya. Ia telah mencapai tujuannya: seperti kakeknya, ia yaitu
penakluk terkuat di dunia. Babilon terlalu jauh dari Hattusas untuk dapat
diperintah secara aman. Alih-alih, Mursilis meninggalkan kota terbengkalai
dan bergerak pulang ke ibu kotanya dalam kemenangan. saat ia sudah berada jauh dari sana, pemimpin-peminpin Kassi dari daerah yang berdekatan
bergerak masuk untuk mengambilalih reruntuhan kota. Kekuasaan Amori di
Babilon telah berakhir.∗
Mursilis masuk dengan pawai ke Hattusas dengan menyeret baik tawanan
maupun harta benda di belakangnya. Namun, di balik pengelu-elukan itu
sebuah rencana pembunuhan sedikit demi sedikit mulai terbentuk.
Pelakunya yaitu penyaji minumannya, Hantili, seorang pegawai terpercaya yang kebetulan juga saudara iparnya. saat Mursili tidak berada di tempat, Hantili semakin terbiasa memerintah atas nama tahta; ia tentu
tidak menerima kekuasaannya dikurangi secara mendadak. Tidak lama sesudah Mursilis kembali dari Babilon, Hantili dan seorang pegawai istana lainnya
membunuh raja, dan Hantili merebut tahta. ”Mereka melakukan suatu perbuatan yang jahat”, tutur kronik Hitti. ”Mereka membunuh Mursilis; mereka
menumpahkan darah”.12
Hantili berhasil mempertahankan tahtanya selama hampir tiga dasawarsa,
dan selama itu orang Hitti menempati tempat yang mapan dalam peranan
mereka sebagai pemain penting di pentas dunia. Tetapi ia telah melakukan
sebuah preseden yang pantas disayangkan. Begitu Hantili meninggal, seorang
pegawai istana membunuh anak lelaki Hantili dan semua cucu lelakinya, lalu merebut tahta. Ia pun ganti dibunuh oleh anak lelakinya sendiri,
yang lalu juga dibunuh dan digantikan oleh seorang perebut, yang lalu menjadi korban pembunuhan juga.
Peralihan kekuasaan Hitti secara dinasti telah mengental menjadi suatu
permainan tebaslah-raja. Selama masa itu istana raja di Hattusas diperkuat
oleh sebuah tembok keliling setebal delapan meter.13 untuk para penguasa
Hitti, kehidupan di dalam lingkungan kerajaan itu sendiri lebih berbahaya
daripada suatu serangan militer.
G A R I S WA K T U 2 6
INDIA ASIA KECIL/MESOPOTAMIA
Anittas (sek.1790)
Kota-kota Harappa mulai ditinggalkan (1750)
Kematian Samsuiluna (1712)
Hattusilis I (1650-1620)
Mursilis I (1620-1590)
Penaklukan Babilon oleh orang Hitti (1595)
Hantili
Awal pemukiman orang Ary
S S T gugur di dalam pertempuran melawan
orang Hyksos, anak sulungnya Kahmose menduduki tahta.*∗
Apepi I, raja
Hyksos yang usia hidupnya paling panjang, masih bertahta dan Kahmose
perlu membalaskan kematian ayahnya.
Rencana-rencananya harus memperhitungkan kenyataan yang tidak menyenangkan: kerajaannya di Thebes terjepit di antara suatu kekuatan musuh di
utara, dan sekutu dari kekuatan itu di selatan. Selama masa kekacauan tepat
sebelum penaklukan Hyksos, para gubernur Mesir di Nubia telah bertindak
sekehendak mereka. Orang-orang asli Nubia telah naik ke posisi pegawai, dan
selama bertahun-tahun Nubia telah bertindak seperti sebuah negara merdeka. Alih-alih berusaha menaklukkan mereka, raja-raja Hyksos dari Dinasti
Kelima Belas membuat perjanjian dengan mereka. Orang Nubia setuju untuk
membantu kerajaan utara melawan kuasa Mesir di Thebes, yang lalu
harus berperang di dua garis depan.
Kahmose dari Thebes mengetahui hal ini. saat ia mulai menggerakkan
tentaranya ke utara menyusur Nil, ia juga menyebarkan mata-mata ke selatan,
dengan harapan untuk menghadang setiap usaha Hyksos untuk memanggil
sekutu Nubia mereka agar ikut berperang. Menurut Kahmose sendiri, strategi
itu berhasil dengan gemilang. Pada sebuah inskripsi yang dipersembahkan
kepada dewa matahari Amun, dewa kesayangan orang Hyksos, Kahmose
mengklaim bahwa ia menaklukkan seluruh daerah menuju Avaris, di mana
orang Hyksos yang takut akan kedatangannya ”mengintip keluar dari lubang
pengintai di tembok mereka, seperti bayi kadal.” Sementara itu, tentaranya berhasil menghadang utusan orang Hyksos yang sedang dalam perjalanan
ke Nubia. Surat yang ia bawa tersimpan dalam catatan Kahmose: ”Kahmose
telah memutuskan untuk menghancurkan kedua negeri kita, negerimu dan
negeriku”, kata raja Hyksos kepada sejawatnya di selatan. ”Jadi, datanglah
ke utara dan jangan takut. Ia sudah berada di sini di daerahku sendiri ... Aku
akan mengusik dia sampai kau datang, lalu kau dan aku akan membagi
berdua kota-kota Mesir.” 1
Tertangkapnya surat itu menjadi sebab untuk berbuat sesumbar di pihak
Mesir: ”Aku menyuruh supaya surat itu dibawa kembali kepada Apepi”,
Kahmose menyombongkan diri, ”agar kemenanganku melanda hatinya dan
melumpuhkan anggota badannya.”2
lalu ia bergerak kembali ke Thebes,
sambil mengklaim kemenangan di sepanjang jalan dan mengatur waktu kedatangannya supaya bertepatan dengan membanjirnya air Nil.
usaha yang terang-terangan untuk mengingatkan setiap orang bahwa ia
yaitu raja yang sah atas seluruh Mesir, yang memiliki kuasa dan tanggung
jawab atas naiknya air, mengisyaratkan bahwa kemenangan Kahmose tidaklah
segemilang yang diakuinya. Andai kata ia sungguh menggentarkan orang
Hyksos dengan kekuatannya, sulit dibayangkan mengapa ia tidak melanjutkan untuk mengklaim kembali daerah utara. Sekurang-kurangnya ia dapat
berusaha menduduki Memphis, pusat kekuasaan kedua Hyksos, tempat orang
Hyksos tampaknya mengawasi bagian selatan wilayahnya; Avaris letaknya terlalu jauh di utara untuk dapat menjadi pusat administrasi yang efektif untuk
seluruh negara.
Dari dua hal itu tak satu pun ia lakukan, dan itu menandakan bahwa
serangannya ke Avaris tidak lebih dari suatu serbuan yang berhasil. Kahmose
tidak memiliki banyak waktu untuk menindaklanjutinya. Ia meninggal pada
tahun itu juga, sesudah memerintah hanya selama tiga tahun; ia mungkin terluka dalam pertempuran dan masih dapat bertahan beberapa waktu sebelum
akhirnya meninggal akibat lukanya. Karena ia wafat tanpa meninggalkan anak
lelaki, saudaranya Ahmose mengambilalih tahta. Ia masih sangat muda, dan
ibunya Ahhotep memerintah sebagai wali.
Kira-kira pada waktu yang sama, Apepi I yang panjang usia itu akhirnya
meninggal di Avaris. Tahta Hyksos diwarisi oleh seorang raja lain yang
sosoknya kurang menonjol lagi; tidak ada catatan sezamannya yang mencatat
banyak hal tentang dia, bahkan para juru tulis pun tidak sependapat mengenai
namanya. Tampaknya Ratu Ahhotep memanfaatkan kelemahan di utara itu
untuk menindaklanjuti serangan anak lelakinya dengan suatu serangan baru
yang dibangun olehnya. Dalam inskripsi-inskripsi, ia disebut sebagai ”dia yang
memberikan perhatian kepada prajurit-prajuritnya ... telah mendamaikan
Mesir Hulu dan menghalau para pemberontaknya”.3
Ia dimakamkan dengan sebuah kapak upacara di dalam peti
mayatnya, beserta tiga medali, setara
dengan medali bintang jasa di Mesir.
Dengan keunggulan awal ini
saat Ahmose mewarisi tahta, ia
berhasil memenangkan peperangan
ke sepanjang daerah menuju Avaris.
Pada tahun kedua puluh pemerintahannya, ia sudah merebut baik
Heliopolis (tepat di sebelah selatan
Avaris) dan Tjaru, kota benteng tapal
batas timur. Dengan terkuasainya
basis kekuatan di selata