Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 9




 Kedua Belas tengah melonggarkan cengkaman raja. Kerusuhan juga terjadi 

di utara. Reruntuhan menunjukkan bahwa benteng perbatasan di tapal batas 

timur antara Delta dan ”daerah orang Asia” runtuh. Perbatasan itu dahulu 

dijaga dengan sedemikian baik sehingga pegawai istana Sinuhe mengalami 

kesulitan untuk keluar dari Mesir. Sekarang ”orang Asia”, yakni pengembara 

Semit Barat, memasuki Delta dalam jumlah yang kian besar. Sebagian dari 

mereka menetap dan hidup berdampingan dengan orang Mesir. Lainnya 

tetap mengembara; sekitar tahun 1720, sekitar enam puluh tahun sesudah  

Dinasti Ketiga Belas mengawali pemerintahannya yang tidak efektif itu, sekawanan pengembara yang cukup agresif menyerbu dan membakar beberapa 

bagian Memphis, ibu kota Mesir lama. Berbeda dengan orang Mesir, mereka 

berperang dengan kuda dan kereta, suatu keunggulan yang menyeimbangi 

jumlah mereka yang secara relatif kecil.

Walaupun mengalami pelecehan ini, Dinasti Ketiga Belas berhasil menguasai negeri untuk sementara. Tetapi kekuasaan mereka atas Mesir sedemikian 

goyah sehingga para sejarawan secara tradisional memandang Dinasti Ketiga 

Belas sebagai akhir dari Kerajaan Tengah dan awal dari Periode Menengah 

Kedua. Menjelang akhir Dinasti Ketiga Belas kekuasaan pharaoh sudah 

sedemikian merosot sehingga muncul wangsa kerajaan kedua. Hampir tidak 

ada yang kita ketahui tentang ”Dinasti Keempat Belas” ini selain bahwa dinasti itu berada berdampingan dengan Dinasti Ketiga Belas selama beberapa 

tahun. Sementara Dinasti Ketiga Belas bergelayut di ibu kota Kerajaan Tengah 

Itj-taway tanpa melakukan sesuatu yang bermanfaat, yang diakui sebagai 

Dinasti Keempat Belas mengklaim kekuasaan atas daerah-daerah timur Delta 

Nil.

Sekitar tiga puluh atau empat puluh tahun lalu  suatu dinasti lain 

lagi muncul di samping Dinasti Ketiga Belas dan Keempat Belas. Dinasti 

Kelima Belas ini berbasis di kota Avaris yang letaknya di gurun tepat di sebelah timur Delta. Raja pertama Dinasti Kelima Belas, seorang bernama Sheshi, 

menyusun pengikutnya menjadi sebuah bala tentara dan mulai memperluas 

kekuasaannya ke barat dan ke selatan dengan tekanan. Sekitar dua puluh 

tahun lalu , sekitar tahun 1663, Dinasti Kelima Belas telah berhasil 

menghancurkan baik Dinasti Ketiga Belas maupun Dinasti Keempat Belas 

dan memerintah sebagai adiraja.

Menurut Manetho, Sheshi yaitu  seorang asing; ia dan para pengikutnya 

berasal dari sebuah suku yang disebut ”Pangeran Gurun”, atau Hikau-khoswet: 

orang ”Hyksos”.2

 Manetho melukiskan pengambilalihan oleh orang Hyksos 

itu sebagai suatu serangan mendadak dan penuh kekerasan oleh serbuan orang 


buas terhadap orang Mesir.


 Atas dasar apa, saya tidak tahu, suatu ledakan amarah dewa-dewa menimpa kami; dan secara tak terduga, dari daerah Timur, penyerbu yang 


berasal dari ras yang tidak dikenal melanda negeri kami dengan keyakinan 


akan kemenangan. Dengan kekuatan semata-mata mereka dengan mudah 


melumpuhkan penguasa-penguasa negeri; lalu  mereka membakar 


kota-kota kami tanpa ampun, menghancurkan kuil-kuil dewa-dewa hingga rata dengan tanah, dan memperlakukan penduduk asli dengan sikap 


permusuhan yang bengis, membunuh sebagian dan memperbudak istri 


dan anak-anak sebagian orang lainnya, dan menunjuk seseorang dari kalangan mereka sebagai raja.3


 


Manetho, seorang Mesir, mungkin dapat dimaafkan karena mempercayai 


leluhur-leluhurnya yang agung hanya dapat dikalahkan oleh suatu serangan 


mendadak dan perkasa. Tetapi jejak-jejak yang ditinggalkan penguasa Dinasti 


Kelima Belas mengisyaratkan bahwa kebanyakan orang Hyksos sebenarnya 


sudah berada di Mesir selama beberapa waktu. Nama-nama Semit mulai 


muncul pada inskripsi-inskripsi dan daftar Kerajaan Tengah jauh sebelum 


perebutan tahun tahun 1663. Sedemikian banyak orang Semit Barat yang 


menetap di kota Avaris (nama ini artinya kira-kira ”Tempat Tinggal Gurun”) 


sehingga, selang beberapa lama, kota itu menjadi hampir seluruhnya menjadi 


kota Semit. saat  Dinasti Ketiga Belas dan Dinasti Keempat Belas membagibagi di antara mereka kepemimpinan Mesir yang sudah lemah, penduduk 


Avaris menggunakan kesempatan itu untuk mengklaim sebagian wilayah 


untuk mereka sendiri. Serbuan orang asing ke Mesir memang nyata, tetapi itu 


terutama merupakan serbuan dari dalam sendiri.


Dengan mengesampingkan gaya hiperbol Manetho, orang Hyksos—yang 


walaupun mungkin telah berada di Mesir selama sekurang-kurangnya satu atau 


dua generasi—tidak meluluhlantakkan sedemikian banyak kota. Walaupun 


nama mereka yaitu  nama Semit, mereka telah menggunakan pakaian Mesir 


dan kebiasaan Mesir. Bahasa Mesir tetap merupakan bahasa resmi inskripsi dan catatan; orang Mesir mempekerjakan orang Hyksos sebagai petugas 


administrasi dan imam.

Walaupun Dinasti Ketiga Belas dan Keempat Belas sudah dihancurkan, 


orang Hyksos tidak pernah menjadi penguasa tunggal negeri Mesir. Suatu 


garis keturunan raja-raja kecil memerintah, mungkin dengan seizin orang 


Hyksos, di daerah barat laut; hanya sedikit saja nama yang masih tersimpan, 


tetapi Manetho menyebut mereka Dinasti Keenam Belas. Perkara yang lebih 


serius yaitu  pemakluman para gubernur Mesir di Thebes, di selatan, bahwa 


mereka tidak akan tunduk kepada kekuasaan orang Hyksos dan bahwa kekuasaan Mesir yang sejati kini berpusat di Thebes. Itulah ”Dinasti Ketujuh Belas” 


Manetho: Dinasti Kelima Belas, Keenam Belas, dan Ketujuh Belas semua 


hidup saling berdampingan.


Raja-raja Hyksos, karena menyadari keterbatasan mereka sendiri, tampaknya tidak melakukan desakan serius ke selatan. Para penguasa Mesir di 


Thebes mengendalikan Mesir sampai sejauh Abydos; di kerajaan selatan ini 


tradisi Kerajaan Tengah terus berlangsung, bebas dari pengaruh asing. Tetapi tidak terdapat perdamaian antara keduanya. Manetho menulis, ”Raja-raja 


Thebes dan bagian-bagian Mesir lainnya melakukan perlawanan terhadap 


pangeran-pangeran asing itu,


 dan suatu perang yang mengerikan dan panjang terjadi di antara mereka.”4


Permusuhan jarak jauh antara kedua dinasti itu terungkap dari usaha 


yang gigih raja Hyksos kelima, Apepi I, yang mungkin memerintah sekitar 


tahun 1630, untuk melakukan perang melawan raja Thebes. Sebuah papyrus 


di Museum Inggris menyimpan bagian dari sebuah surat yang dikirimkan 


oleh Apepi I jauh ke Thebes dan ditujukan kepada Sequenere, raja Dinasti 


Ketujuh Belas yang waktu itu menduduki istana Thebes. ”Musnahkan kuda 


nil-kuda nil di Thebes itu”, desak surat itu dengan nada perintah. ”Mereka 


mendengkur sepanjang malam, aku dapat mendengar mereka dari Avaris sini, 


dan kegaduhan mereka mengganggu tidurku.”5


Sequenere, sembilan ratus kilometer jauhnya dari sana, menganggap 


ini sebagai pemakluman perang. Tubuhnya, kini di Museum Kairo, mengisyaratkan bahwa ia pergi dan menghimpun sebuah bala tentara dan mulai 


bergerak ke utara. saat  ia berjumpa dengan penjaga perbatasan Hyksos, ia 


memimpin tentaranya untuk menyerang. Dalam pertempuran itu Sequenere 


jatuh, tengkoraknya lumat tergilas gada. saat  ia terbaring di tanah, ia ditikam, ditetak dengan belati, tombak, dan kapak. Tubuhnya dibalsam dengan 


tergesa-gesa, sesudah  proses pembusukan mulai berlangsung; tampaknya pharaoh dari Thebes itu terbaring di medan perang selama beberapa hari sebelum 


akhirnya orang Hyksos mundur secukupnya sehingga prajurit-prajurit dari 


selatan itu dapat mengemasnya.6


Pertempuran kecil itu tidak berubah menjadi peperangan. Bala tentara 


Hyksos dan Thebes tampaknya mundur kembali ke basis mereka. Anak 


sulung Sequenere, Kahmose, naik tahta di Thebes dan mulai membuat 


rencana untuk membalas dendam kematian ayahnya. 

G A R I S WA K T U 2 3


 MESOPOTAMIA MESIR


 


 Kerajaan Tengah (2040-1782)


 


 Dinasti Ketiga ur (2112-2004) Dinasti 11 (2134-1991)


 ur-Nammu Intef I-III


 Abram pergi ke Kanaan Shulgi Mentuhotep I-III


 


 Jatuhnya ur (2004)


 Dinasti 12 (1991-1782)


 


 Dinasti Isin Raja-raja Amori di Larsa Amenemhet I


 (Larsa) Gungunum (sek. 1930)


 Amenemhet III


 (Larsa) Rim-Sin (1822-1763) Amenemhet IV


 (Assur) Shamshi-Adad (1813-1781) Ratu Sobeknefru


 (Babilon) Hammurabi (1792-1750)


 Periode Menengah Kedua (1782-1570)


 Hammurabi merebut Dinasti 13 (1782-1640)


 Ashur dan Eshnunna (1764) 


 


 Samsuiluna (1749-1712) 


 Dinasti 14 (1700-1640)


 Perebutan oleh Hyksos (1663)


 Dinasti 15, 16, & 17






D sebelah utara Delta Nil, jauh di Laut Tengah, sebuah pulau bergunung-gunung membujur di sebelah tenggara semenanjung yang berserakan 


dan belum bernama, yang menjorok dari benua Eropa. Penduduknya mungkin datang dari Asia Kecil jauh sebelumnya; pada masa Hyksos, mereka juga 


sudah termasuk di antara negara-negara yang memiliki raja, dan telah membangun istana untuk penguasa mereka yang tak dikenal.


Istana itu terletak di pusat Knossos, suatu pemukiman yang sedikit masuk 


ke pedalaman dari pusat garis pantai utara, dan sebuah tempat yang strategis 


untuk mengawasi ujung timur dan ujung barat pulau itu. Tidak lama sesudah  


istana itu dibangun, terdapat istana-istana lain yang sedikit lebih kecil di tempat-tempat penting lain: di Mallia, di sebelah timur Knossos di pantai utara, 


dan Phaistos, sedikit masuk ke daratan dari pantai selatan.1


 


Karena orang-orang purba itu tidak meninggalkan tulisan, kita tidak 


mengetahui secara tepat siapa yang tinggal di istana-istana itu. Tetapi istana-istana itu terletak di pusat kota yang ramai, jaringan jalan dan rumah. 


Penduduk kota-kota itu berdagang dengan peradaban-peradaban di seberang 


laut. Jambang-jambang gerabah mereka yang berwarna cerah (yang dahulu 


mungkin merupakan wadah anggur atau minyak untuk diperdagangkan) telah 


ditemukan tidak hanya di pulau-pulau di sekitarnya tetapi juga di sepanjang 


sungai Nil dan di pantai Laut Tengah, tempat orang Semit Barat berdiam.


Mereka juga memiliki  kebiasaan mengorbankan manusia. Pulau berpegunungan itu secara berkala diguncang gempa; salah satunya meruntuhkan 


sebuah kuil yang terletak di gunung yang sekarang bernama Gunung Juktas 


dan menghadap ke laut di utara, ke arah penduduk di pedalaman. Kerangka 


mereka tak terusik selama hampir tiga ribu tahun, sampai saat  para pakar 


arkeologi menemukan pemandangan berikut: seorang muda dalam keadaan

terikat dan terbaring ke sisi samping di atas sebuah mazbah dari tanah dan 


lempung, sebuah pisau perunggu tertancap pada bagian atas tubuhnya, dan 


di depan mazbah itu seorang yang usianya empat puluhan tahun mengenakan 


sebuah cincin dan segel upacara. Seorang wanita menelungkup di sudut tenggara.2


 


Pengorbanan manusia tidak sering dilakukan. Bekas-bekas korban ditemukan hanya di satu tempat lain: sebuah rumah di bagian barat kota Knossos, di 


mana dua anak tampaknya tidak hanya dikorbankan tetapi dipotong-potong 


dan dibakar bersama siput-siput dalam semacam pesta ritual.3


 Reruntuhan 


itu tidak menuturkan kepada kita apa makna pengorbanan itu, atau dilema 


mengerikan macam apa yang mendorong para imam lelaki dan wanita kota 


Knossos ke suatu tindakan pemujaan yang sedemikian ekstrem.


Tetapi kita bisa membuat dugaan yang mendasar.


Sekitar tahun 1720 sebuah gempa meruntuhkan istana lama di Knossos. 


Sebuah istana baru dibangun di atasnya dan sebagian mencakup reruntuhannya. Istana kedua ini jauh lebih rumit. Penduduk Knossos telah berkembang 


ke tahap di mana mereka membutuhkan seorang raja yang lebih agung.


Orang Yunani, yang menyebut pulau itu Kreta, percaya bahwa seorang 


raja yang kuat bernama Minos tinggal di Knossos pada zaman ”Istana Kedua” 


itu.


Menurut mitos Yunani, Minos yaitu  anak tiri seorang bangsawan Kreta. 


Karena ingin memerintah negeri itu, ia mengatakan kepada penduduk Kreta 


bahwa ia dapat membuktikan kalau ia dipilih oleh dewa-dewa untuk bermartabat raja; apa pun yang ia minta akan dikabulkan oleh dewa-dewa. 


Orang-orang menantang dia untuk membuktikan kesombongannya, maka 


Minos memohon kepada Poseidon untuk mengirimkan seekor banteng untuk 


dikorbankan. Sesaat  itu juga seekor banteng yang gagah muncul dari laut 


ke pantai Kreta. Banteng itu sedemikian gagah sehingga Minos merasa sayang 


untuk mengorbankannya. Ia menggiringnya ke kandang kawanannya sendiri 


dan mengorbankan seekor banteng lain yang lebih kecil sebagai gantinya.


Orang Kreta mengelu-elukan Minos sebagai raja. Tetapi Poseidon tidak 


senang dengan ketamakan Minos dan mengutuk istrinya Pasiphae dengan 


birahi kepada banteng. Dengan bantuan arsitek legendaris Daedalus, Pasiphae 


dan banteng itu berhasil melakukan persetubuhan yang aneh di mana seekor

sapi kayu beroda ikut tampil; lalu  Pasiphae melahirkan seorang anak 


cacat yang mengerikan, sosoknya manusia, wajahnya banteng. Melihat bayi 


itu, Minos menyekapnya di sebuah penjara di bawah istana Knossos. Penjara 


yang dirancang oleh Daedalus, sebagai hukuman karena menolong Pasiphae, 


terdiri dari sedemikian banyak lorong yang berputar-putar sehingga anak 


itu—yang dinamai Asterius oleh ibunya, tetapi dikenal sebagai Minotaurus—


tak akan dapat lolos. Di penjara itu, yang diberi nama Labirinth, Minotaurus 


tumbuh menjadi dewasa. Minos memberinya makan dengan daging manusia; 


sesudah  suatu pertempuran dengan penduduk daratan Yunani, ia memerintahkan mereka untuk mengirimkan tujuh pemuda dan tujuh pemudi setiap 


tahun sebagai santapan untuk Minotaurus.4


Cerita ini muncul dalam Perpustakaan, sebuah kumpulan cerita Yunani dari 


abad kedua SM.


 Di balik kabut mitos ini kita mungkin dapat memperoleh 


suatu pandangan sekilas tentang suatu peradaban yang tidak meninggalkan 


cerita lain.


Minos mungkin saja nama bukan sekadar dari satu orang penguasa legendaris, tetapi suatu garis raja-raja yang memerintah Knossos dan menjadi nama 


peradaban purba Kreta. Cerita Minotaurus, beserta pertukaran muatan antara 


kota-kota, mencerminkan perdagangan internasional lewat laut yang dilakukan oleh bangsa Minos. Demikian juga peninggalan benda-benda Istana 


Kedua yang ditemukan di seputar dunia kuno. Sebuah lidah-lidah tutup jambang dari alabaster yang ditemukan di Knossos ditandai dengan nama raja 


Hyksos, dan dinding-dinding istana Hyksos di Avaris memiliki sisa-sisa sebuah fresko yang dilukis dengan gaya Minos. Terdapat hubungan yang tetap 


dengan pantai timur Laut Tengah; orang Minos bahkan mungkin berdagang 


sampai sejauh Mesopotamia. Beberapa perwujudan bergambar (khususnya 


pada segel) Gilgamesh dan pergulatannya dengan Banteng Langit—sebuah 


cerita yang mulai muncul pada papan lempung antara tahun 1800 dan 1500 


SM, tetap pada puncak peradaban Minos—menampilkan Gilgamesh yang 


sedang bergulat dengan seekor banteng setengah manusia yang mengenakan 


semacam sabuk gulat. Monster itu memiliki tubuh banteng dan kepala manusia, yang merupakan kebalikan dari deformasi Minotaurus, tetapi kemiripan 


antara kedua monster mengisyaratkan bahwa pelaut Minos dan pelaut 


Mesopotamia saling bertukar cerita di tempat-tempat singgah.5


Walaupun peradaban Yunani yang tertata rapi, yang darinya Minos secara teori menuntut upeti tahunan yaitu  sebuah anakronisme (pada masa

sedini itu hanya terdapat pemukiman tersebar-sebar di semenanjung itu), 


kemampuan Minos untuk menuntut pembayaran dari luar negeri mencerminkan kekuatan militer Kreta pada Periode Istana Kedua. Perpustakaan


menyebutkan bahwa Minos yaitu  ”orang pertama yang meraih kekuasaan 


atas laut; ia melebarkan kekuasaannya ke hampir semua pulau”. Kota-kota 


Minos telah ditemukan di sejumlah pulau di dekatnya, di antaranya Melos, 


Kea, dan pulau Thera yang kecil dan tidak stabil. Kota-kota itu berperan tidak 


hanya sebagai tempat persinggahan dagang tetapi sebagai basis angkatan laut. 


Sejarawan Yunani Thucydides menulis bahwa Minos yaitu  raja kuno pertama 


yang memiliki sebuah angkatan laut. ”Ia menjadikan dirinya penguasa tempat 


yang kini disebut Laut Yunani”, kata Thucydides, ”dan menguasai Cyclades 


[pulau-pulau Aegea di utara], ke sebagian besar pulau itulah ia mengi-rimkan koloni-koloni pertamanya dengan mengusir orang Caria [pemukim dari 


Asia Kecil tenggara] dan menunjuk anak-anak lelakinya sebagai gubernur; 


dan dengan demikian melakukan tindakan yang terbaik untuk membasmi 


pembajakan di perairan itu, suatu langkah yang diperlukan untuk menjamin 


pemasukan untuk keperluannya sendiri”.6


 Menurut Herodotus, orang Caria 


tetap tinggal di pulau-pulau itu tetapi menjadi bawahan Minos, sekumpulan 


pelaut berpengalaman yang biasanya ”mengawaki kapal atas permintaannya”.7


Kekaisaran Minos dibangun di atas air.

Sekitar tahun 1680 Minos mencapai cakupan terluas kekuasaannya. Bajak 


laut selalu merupakan masalah di Laut Tengah—Thucydides menjelaskan 


bahwa Knossos semula dibangun di pedalaman, jauh dari laut, ”akibat merajalelanya bajak laut”—tetapi angkatan laut Minos membasmi pembajakan, 


sekurang-kurangnya di perairan sekitar Kreta. Dengan terciptanya suasana 


damai yang baru ini berarti bahwa bangsa-bangsa di sekitar pulau-pulau dan 


pantai dapat ”mencurahkan perhatian mereka lebih penuh pada perolehan 


kekayaan dan kemapanan hidup”.8


 Perdagangan berkembang, bangunanbangunan muncul, lukisan dan pahatan mencapai suatu tahap kecanggihan 


baru.


Tetapi terdapat ancaman yang terus membayangi dalam cerita Raja Minos: 


monster banteng di bawah istana. Sosok jahat itu, yang tidak terlihat, yaitu  


tanda kejahatan yang nampak dari Poseidon. Sosok itu tidak hanya mengancam orang-orang yang menghormati Minos tetapi juga Minos sendiri. Sosok 


itu tidak dapat dijinakkan dan selalu lapar sehingga benar-benar merusak fondasi istana dan menuntut pengorbanan yang terus menerus.


Istana di Knossos dihiasi banyak fresko: lukisan dinding yang dibuat dengan menerakan warna-warna cerah yang terbuat dari arang, oker kuning, bijih 


besi, dan mineral lainnya langsung ke sebuah lapisan lembab plaster batu 


gamping. Dalam fresko-fresko itu banteng-banteng suci menundukkan tanduknya sebagai ancaman sementara para pemuja meloncat melewati tanduk 


ke punggung banteng, dan dari sana melompat ke tanah. Pahatan perunggu 


yang paling termasyhur dari reruntuhan Knossos menyimpan tarian banteng 


yang sama, tidak bergerak pada saat yang paling berbahaya. 


Dapat diduga, para pemuja yang mengambil bagian dalam ritual itu yaitu  


muda, atletis, dan siap untuk mati. Cerita Minotaurus mungkin menyimpan 


suatu bentuk pengorbanan manusia yang sangat tua, di mana korban yang 


dibaktikan tidak dibaringkan di atas sebuah mazbah tetapi dilepas di depan 


banteng. Penggalian dari yang disebut sebagai Lapangan Banteng, yakni 


lapangan-lapangan pusat di Knossos tempat tarian banteng tampaknya diselenggarakan, menunjukkan sebuah jaringan pintu, anak tangga, dan lorong 


yang menuju ke lapangan dari bangunan-bangunan di sekitarnya: labirin yang 


asli.9


 Ada kaitan lain antara cerita Minotaurus dan kebiasaan-kebiasaan keagamaan Kreta. Keempat Belas korban itu dimakan oleh Minotaurus; tempat 


pengorbanan yang ditemukan di Knossos menunjukkan semacam perayaan 


ritual atas orang yang mati.


Kemarahan ilahi semacam apakah yang menuntut pengorbanan semacam 


ini?


Dalam versi Yunani tentang cerita Minotaurus dari masa yang jauh sesudah  itu, Poseidon, dewa laut, juga disebut Pengguncang bumi, dan banteng

yaitu  binatang sucinya. Pulau Kreta dan laut di sekelilingnya terus menerus 


diguncang gempa serta gelombang perusak yang menyusulnya. Hanya dengan memohon terus menerus kepada Pengguncang bumi akhirnya ancaman 


yang datang dari laut itu mereda.


Sekitar tahun 1628 gelombang gempa di sekitar Thera yang dekat dari 


sana menjadi semakin sering.


 Pulau itu yaitu  sebuah gunung berapi aktif 


dan lebih dari satu letusan telah terjadi. Tetapi selama beberapa tahun pulau 


itu cukup tenang sehingga satu-satunya kota besar di Thera, Akrotiri, dapat 


berkembang luas dan makmur.10


saat  gelombang gempa pertama kali semakin sering, penduduk Akrotiri 


membangun kembali tembok-tembok yang telah hancur karena gempa. 


saat  guncangan bertambah dahsyat, mereka mulai mengungsi. Penggalian 


dari reruntuhan tidak menyingkapkan satu tengkorak pun, dan benda-benda 


berharga, seperti perhiasan dan perak di kota itu tampaknya telah dikuras.11


Tak lama sesudahnya, gunung berapi di pusat pulau mulai menyemburkan batu apung. Batu apung yang menyalut reruntuhan tampaknya telah 


mengerak, yang berarti bahwa hasil semburan itu terpajan ke udara (sebelum 


disalut oleh abu dari letusan terakhir) selama beberapa waktu—sekitar dua 


bulan sampai dua tahun. Suara gemuruh di Thera terus berlangsung cukup 


lama sementara pulau-pulau di dekatnya mendengarkan dengan gemetar. 


Dua tahun yaitu  waktu yang panjang untuk menunggu suatu bencana yang 


mengancam; cukup lama untuk menyelenggarakan upacara pengorbanan 


yang mengharapkan bencana itu akan menjauh.


lalu  gunung berapi itu benar-benar membalikkan isi pulau itu, 


dengan menyemburkan abu setinggi lima meter ke kota. Batu-batu besar

menyembur dari perut gunung api dan jatuh sebagai hujan bersama dengan 


abu, seperti hujan es raksasa.12 Sebuah retakan terbuka di sisi pulau yang 


meng-akibatkan air laut menghunjam masuk ke dalam kawah yang ditinggalkan oleh gunung api. saat  letusan itu akhirnya reda, Thera bukan lagi 


sebuah pulau bundar dengan sebuah gunung berapi di tengahnya; wujudnya 


menjadi sebuah cincin pulau yang mengelilingi sebuah laut-di tengah pulau, 


sebuah kawah raksasa.


Itulah akhir dari kota Minos Akrotiri, yang tentu akan terkubur di bawah 


abu sampai saat  digali, mulai tahun 1960-an. Tidak jelas seberapa besar 


kerusakan yang diakibatkan oleh letusan raksasa terhadap orang-orang Minos 


di Kreta. Selama beberapa waktu sesudah  letusan Thera, peradaban Minos berlangsung seperti biasa. Namun pada akhirnya populasinya mulai berkurang; 


rumah-rumah semakin terbengkalai; perdagangan terhenti.

Kemunduran itu mungkin berkaitan dengan letusan gunung api.∗


 Indikasiindikasi di Thera sendiri mengisyaratkan bahwa gunung api itu meletus pada 


akhir Juni atau awal Juli, tepat menjelang musim panen.13 Hujan abu yang 


dibawa angin tidak sampai ke ujung barat Kreta, tetapi secara pasti mencapai 


separuh timur pulau, mungkin merusak hasil panen satu musim. Bekas-bekas 


abu di pantai di sekitar Thera mengisyaratkan bahwa letusan itu menyebabkan tsunami yang menenggelamkan pulau-pulau di dekatnya, dan tingginya 


air mungkin masih sepuluh meter saat  menghempas ke pantai-pantai Kreta, 


dua puluh lima menit sesudah  letusan.14 Awan yang besar mungkin menutupi 


matahari selama beberapa waktu. Lalu menyusul badai petir, hujan geledek 


yang keras dan dahsyat, serta turunnya suhu. Selama berbulan-bulan, mat 


ahari terbenam berwarna merah darah yang gelap.


Bahkan andai kata gunung api itu tidak secara langsung menyebabkan 


kemunduran Minos, semua kejadian aneh itu memberi dampak yang sama 


seperti berkurangnya air Nil di Mesir. Tanda-tanda itu menunjukkan bahwa 


Poseidon gusar. Wangsa kerajaan tidak lagi berkenan kepada dewa-dewa. 


Mungkin sekali malapetaka itu hanyalah awal ketidakpuasan dewa-dewa 


yang lebih ekstrem, yang membayang di cakrawala. Pengguncang bumi tidak 


boleh diremehkan; dan ia masih terus membayang di kedalaman, siap untuk 


memusnahkan kemaknuran yang rapuh. Lebih baik menjauhi kemarahan 


yang sedemikian itu secepat mungkin.†

G A R I S WA K T U 2 4


 MESIR KRETA


 Kerajaan Tengah (2040-1782)


 


 Dinasti 11 (2134-1991)


 Intef I-III


 Mentuhotep I-III


 Periode Protopalatial (2000-1720) 


 


 


 Dinasti 12 (1991-1782)


 


 Amenemhet I


 


 Amenemhet III


 Amenemhet IV


 Ratu Sobeknefru


 


 Periode Menengah Kedua (1782-1570)


 Dinasti 13 (1782-1640)


 


 Periode Neopalatial (1720-1550) 


 


 Dinasti 14 (1700-1640) Minos


 Perebutan oleh Hyksos (1663)


 Dinasti 15, 16, & 17


 Letusan Thera (sek. 1628) 


 


 Periode Palatial Akhir (1550-1350)




 kota-kota Harappa dengan 


keseragaman yang ketat menghadapi malapetaka sendiri.


Sekitar tahun 1750 sampai 1700, penduduk Mohenjo-Daro mulai 


melarikan dari dari rumah mereka. Tidak semuanya bisa lolos. Penggalian 


menyingkapkan tengkorak-tengkorak yang tergeletak di jalan dan tidak 


dikubur, sebuah keluarga lengkap terjebak dan terbunuh di rumah mereka, 


sedangkan jasad mereka tidak dikuburkan. Di sana sebuah rumah dilahap api 


dan runtuh. Penduduk yang mengungsi meninggalkan benda-benda berharga 


mereka (alat untuk mencari nafkah, perhiasan, dan perak) agar dapat melarikan diri lebih cepat.1


 Di sebelah utara di Harappa, pemandangan yang sama 


terjadi. Bukti dari situs-situs Harappa yang lebih kecil tidak jelas, tetapi tak 


pelak lagi peradaban Harappa telah punah.


Orang Harappa tidak dilumpuhkan oleh invasi musuh. Reruntuhan menunjukkan tidak ada senjata yang lepas, tiada jasad berbaju perang, tidak ada 


penghancuran bangunan secara sistematis, dan tidak ada tanda perlawanan 


di seputar kota itu (yang bagaimana pun telah dibangun untuk menghadapi 


situasi semacam itu).2


Runtuhnya berbagai bangunan beserta api (yang mungkin berawal saat  


api dapur terjungkir) itu mungkin disebabkan oleh gempa atau banjir. Jika 


karena banjir, datangnya air tentu mendadak dan biasanya dahsyat. Lapisan 


lumpur menunjukkan bahwa Indus, seperti sungai-sungai lainnya yang mengalir di tengah peradaban-peradaban kuno, membanjir secara berkala dan 


meninggalkan tanah subur dengan pola yang tidak dapat diramalkan.3


 Bata 


bakaran kota mungkin berperan sebagai perlindungan terhadap banjir yang 


luar biasa tinggi. Hanyalah gelombang setinggi tembok yang dapat menyebabkan kerusakan yang ditemukan di kota-kota Harappa.

Pakar hidrologi R. L. Raikes mengemukakan bahwa sebuah bendungan 


lumpur yang terbentuk di sebelah hulu Harappa menghentikan banjir sama 


sekali untuk beberapa waktu (mengakibatkan turunnya kesuburan sawah dan 


mungkin menyebabkan kelaparan ringan di kota), dan lalu  bobol akibat beban air yang terhimpun dan melepaskan banjir besar yang melanda kota 


dengan cepat. Pada kenyataannya, sesuatu seperti itu terjadi pada tahun 1818, 


saat  sebuah bendungan lumpur menghentikan air Indus selama hampir dua 


tahun, dan membentuk sebuah blok sepanjang delapan puluh kilometer dan 


setinggi enam belas meter.4


 Tetapi bekas-bekas lumpur pada kedua kota terbesar Harappa tidak membuktikan adanya banjir dari berbagai kemungkinan 


yang ada. Bagaimana pun, andai kata suatu banjir telah menghancurkan bangunan-bangunan di seluruh kota itu, mengapa tidak dibangun kembali?


Kita harus mengandaikan bahwa suatu bencana alam telah menimpa 


sebuah peradaban yang sudah menderita akibat kebusukan dalam negeri. 


Banyak kerangka menunjukkan bukti adanya penyakit, yang paling umum di 


antaranya yaitu  anemia, yang mungkin disebabkan oleh malagizi.5


 Tebingtebing Indus tidak cenderung mengalami salinasi, tetapi tidak ada sawah yang 


subur; populasi yang meningkat tentu memerlukan hasil panen yang semakin 


banyak pula. Bangunan-bangunan dari bata lumpur itu memerlukan banyak 


kayu kecil sebagai bahan bakar tungku pemasak. Sementara kota-kota tumbuh, para pembangun tentu menebangi pepohonan di area yang semakin 


luas. Barangkali banjir hanyalah sebuah pukulan pamungkas untuk sebuah 


peradaban kota yang sudah terlalu meluas wilayahnya. Dan begitu kota-kota 


mulai mengalami disintegrasi, sistem Harappa tidak mampu memperbaiki 


kemerosotan itu. Barangkali keseragaman yang terlalu ketat melenyapkan 


kesesuaian diri mereka, sekali terusir keluar dari kota-kota mereka yang rapi 


dengan bata-bata yang seragam dan alat-alat yang biasa mereka gunakan, 


mereka sama sekali tidak mampu menata diri mereka kembali dari bawah..


Kota-kota itu tidak seluruhnya ditinggalkan. Sebagian orang tetap tinggal, 


atau kembali, atau mengembara masuk dari pedesaan. Pemukiman sederhana 


di atas lapisan Harappa menunjukkan gerabah yang kasar, penataan yang miskin, dan tidak adanya usaha untuk membangun kembali atau menggunakan 


saluran dan sistem pembuangan air yang rumit di kota-kota itu; kecanggihan 


yang jauh di bawah kecanggihan Harappa. Para pakar arkeologi menyebutnya kebudayaan pasca-Harappa atau Jhukar,6


 dari nama sebuah desa tempat 


gerabah kasar pertama kali dibuat. Tetapi tidak ada lagi kebudayaan yang sesungguhnya. ”Kebudayaan Jhukar” lebih tepat dianggap sebagai orang-orang 


yang mendiami reruntuhan Harappa begitu peradaban Harappa berakhir.


Para penyerbu memang datang ke India dari utara, tetapi mereka baru 


tiba antara tahun 1575 sampai 1500. Mereka yaitu  orang-orang yang telah mengembara di sebelah timur Elam dan di sebelah utara pegunungan di sudut 


barat India (yang kini disebut Pegunungan Hindu Kush). Pada akhirnya mereka melewati sela-sela pegunungan, menuruni lembah-lembah yang terbentuk 


oleh cabang hulu Indus. Kesusateraan mereka sendiri—yang baru ditulis 


seribu tahun lalu —menyebut tempat tinggal mereka yang paling awal 


di India ”Negeri Tujuh Sungai”, yang mungkin berarti bahwa mereka mulamula tinggal di Punjab: cabang-cabang hulu Indus, di mana Indus bercabang 


ke dalam enam cabang yang mengalir ke satu sungai besar (dalam ribuan 


tahun sejak saat itu salah satu cabangnya, Sarasvati, telah menjadi kering).7


Kebudayaan mereka mula-mula hampir bukan merupakan kebudayaan 


sama sekali. Mereka terbiasa hidup dalam kumpulan bergerak yang dikepalai 


oleh pemimpin perang. Maka mereka tidak membangun; mereka tidak menulis; sejauh yang kita ketahui, mereka pun tidak memiliki kesenian; bahasa 


mereka tidak memiliki kata-kata dari dunia pertanian, seperti ”bajak” atau 


”lantai penyesah”.


 Yang dapat mereka lakukan ialah berperang. Mereka paling menonjol 


dalam hal persenjataan: tidak hanya kuda tetapi juga kereta dengan roda 


bertaji, kapak perunggu, dan busur dengan pengatur jarak yang tidak mirip 


sama sekali dengan apa pun yang digunakan oleh orang Harappa.8


 Seperti halnya orang Hyksos di Mesir, yang juga berasal dari dataran gurun, inovasiinovasi perang itu telah membantu mereka dalam merambah jalan menembus 


musuh-musuh yang ada di depan mereka.


Namun, mereka tidak segera mulai menaklukkan lembah Indus. Mereka 


tinggal di antara Tujuh Sungai selama sekurang-kurangnya satu abad 


sebelum pindah lebih jauh ke selatan dan timur. Pada waktu mereka mulai 


memasuki kota-kota Harappa, peradaban Harappa sudah mulai goyah 


dan jatuh. Walaupun mereka mungkin menghalau kawanan penghuni liar 


yang sesekali ditemui, hanya sejauh itu skala penaklukan mereka. Mereka 


memanfaatkan bangunan-bangunan yang ditinggalkan yang mereka 


temukan, karena mereka tidak memiliki bangunan apa pun (bahasa mereka 


juga tidak memiliki satu kata pun yang berarti ”semen”), dan menetap. 


Kebudayaan Harappa yang canggih dan sangat tertata telah digantikan oleh 


suku-suku pengembara dengan kebudayaan yang lebih rendah, teknologi 


lebih rendah, dan tanpa pengalaman mengelola sebuah kota—tetapi jauh 


lebih berpengalaman dalam beradaptasi terhadap lingkungan yang asing.


Kelak, keturunan para penyerbu itu menyebut dirinya arya, suatu 


adjektiva yang memiliki sekurang-kurangnya tujuh terjemahan dalam bahasa Inggris, dari yang berarti ”terhormat” sampai dengan yang lebih tidak 


menyenangkan: ”murni”.∗9 Pada awalnya, peradaban Arya sama sekali tidak 


murni. Walaupun penduduk Harappa dan Mohenjo-Daro telah kehilangan struktur birokratis yang mempersatukan negara Harappa, mereka tidak 


tercerabut dari kelompok besar di India utara, seperti suatu penculikan 


besar-besaran oleh makhluk asing. Mereka tersebar-sebar, tetapi tetap hidup. 


Mereka bercampur dengan orang-orang Arya pendatang baru, meminjamkan kata-kata untuk ”bajak”, ’lantai penyesah” dan ”semen”, dan mungkin 


juga mengajar para bekas pengembara itu cara menggunakan alat-alat yang 


telah dikembangkan oleh peradaban. Kebudayaan Arya yang menyebar luas 


ke utara dirajut dengan benang-benang dari dunia orang Harappa yang 


telah lenyap.

G A R I S WA K T U 2 5


 KRETA INDIA


 Periode Protopalatial (2000-1720)


 Kota-kota Harappa mulai ditinggalkan (1750) 


 


 Periode Neopalatial (1720-1550)


 Minos 


 Letusan Thera (sek. 1628)


 Periode Palatial Akhir (1550-1350) Awal Pendudukan Arya 







Pada waktu Samsuiluna meninggal, sekitar tahun 1712, kekaisaran 


Babilonia dari masa ayahnya Hammurabi (“Babilonia Lama”) telah kehilangan 


sebagian besar dari wilayahnya di selatan dan timur. Elam telah memberontak. Pusat-pusat kekuatan Sumer kuno kebanyakan telah dihancurkan dan 


hampir ditinggalkan. Tanah itu terbengkalai dan gersang; suatu garis baru 


raja-raja yang hal-ihwalnya sama sekali tidak dikenal, yang dinamakan Dinasti 


Tanahlaut, mengklaim kekuasaan atas padang belantara itu. Raja yang bertahta di Babilon masih dapat menjalankan kekuasaannya atas daerah utara 


dan barat, tetapi hanya sejauh Mari. Selewat wilayah Mari, raja Aleppo tetap 


mempertahankan kemerdekaan.


sesudah  Samsuiluna, serangkaian raja yang tidak menonjol mengklaim 


tahta Babilon. Tidak banyak yang diketahui tentang raja-raja itu. Dokumen 


paling mendetail yang masih tersimpan dari istana Babilon, dalam kurun 


waktu ratusan tahun sesudah  Samsuiluna, yaitu  benar-benar sebuah cerita 


tentang perilaku planet Venus saat  terbit dan terbenam.


Mundurnya kekuasaan yang satu bertepatan waktunya dengan menguatnya 


suatu kekuasaan lain. Pada masa orang Semit masih mengembara ke 


Mesopotamia dan lalu  masuk ke Kanaan, sebuah bangsa lain dengan 


sejenis bahasa yang berbeda tinggal lebih jauh ke utara, antara Laut Kaspia dan Laut Hitam. Sebagian dari bangsa-bangsa di utara itu bergerak ke timur 


dan menjadi leluhur orang-orang Arya yang akhirnya masuk ke India. Tetapi 


bangsa-bangsa lainnya telah bergerak ke barat, ke Asia Kecil, dan menetap di 


sejumlah desa di sepanjang pantai.


Sekitar tahun 2300, suku khusus Indo-Eropa ini telah menyebar melewati 


seluruh sisi barat jazirah itu dan di sepanjang sungai Halys.∗


 Mereka melakukan perdagangan yang sehat dengan pulau-pulau di sebelah barat dan juga 


dengan bangsa-bangsa di sebelah timur, khususnya dengan kota Assur; karena 


itu, pedagang-pedagang Assur membangun pos-pos dagang di sini.


Sementara Hammurabi menyapu seluruh Mesopotamia dan mempersatukannya dengan kekuatan, desa-desa orang Indo-Eropa di Asia Kecil 


berhimpun menjadi kerajaan kecil-kecil di bawah pimpinan berbagai 


pemimpin perang. Kita tidak mengetahui siapa pun di antara mereka, jadi 


tidak mungkin menguraikan lebih luas tentang proses ini. Hal yang kita 


ketahui yaitu  bahwa orang Mesir telah mendengar tentang kerajaan-kerajaan 


itu, dan mengenal mereka sebagai satu bangsa saja. Orang Mesir menyebut 


mereka Ht, sebuah sebutan yang diambil dari nama yang digunakan bangsabangsa itu untuk menyebut tanah air mereka: Hatti, wilayah orang Hitti.


Orang Hitti belajar menulis dari para pedagang Assur yang tinggal di dekat 


mereka; inskripsi-inskripsi dan cerita-cerita purba mereka semuanya dalam 


aksara cuneiform yang digunakan oleh orang Assiria kuno. Pada tahun1790 


pemimpin kota Hitti, Kusara, membuat catatan sendiri. Orang Hitti telah 


memasuki dunia sejarah.


Pemimpin itu, Anittas, telah mewarisi sebuah kerajaan kecil yang terdiri 


dari dua kota dari ayahnya, yang berhasil menaklukkan kota Nesa yang terletak 


berdekatan (dan tidak menduga akan ditaklukkan) dengan melakukan suatu 


serangan malam ke sana dan menyandera rajanya. Pada masa pemerintahan 


ayahnya, Anittas menjabat sebagai pegawai Penguasa Menara Penjagaan, suatu 


tugas yang menuntut agar ia terus memantau laporan-laporan dari semua pos 


pengawasan, yang dipasang di sepanjang tapal batas kerajaan kecil itu secara 


berangkai-rangkai dengan menara penjagaan.2


 saat  ayahnya wafat, Anittas 


—yang waktu itu menyebut dirinya hanya sebagai “pangeran Kusara”—memulai perang penaklukan sendiri. Ia berperang melawan kota kuat Hattusas 


yang berdekatan, yang akhirnya ia jarah saat  kota itu terus melawannya.3


 Ia 


juga mengutuk kota itu yang bernasib sama dengan nasib yang mungkin telah 


menimpa Agade: “Di tempat kota itu berada aku telah menaburkan ilalang”, 


serunya. “Semoga Dewa Badai memukul jatuh siapa pun yang menjadi raja 


sesudahku dan mendiami Hattusa kembali!”4


 lalu  ia berpaling ke kota 


Purushkhanda, yang di antara bangsa-bangsa Hitti sejajar dengan kedudukan Nippur di negeri Sumer: ibu kota pemikiran, kota yang penguasanya dapat mengklaim semacam wibawa moral terhadap kota-kota bangsa lain. 


Raja Purushkhanda, mungkin dengan satu mata memandang barisan asap di 


kejauhan yang membubung dari Hattusas, menyerah tanpa perlawanan.


Seperti Hammurabi, orang sezamannya, yang waktu itu sedang melakukan serbuan menyeberangi daerah antara Tigris dan Efrat, Anittas telah 


menciptakan sebuah bangsa. “Aku telah menaklukkan setiap daerah di mana 


matahari terbit”, seru Anittas, dengan dada membusung, dan mulai menyebut dirinya bukan lagi “pangeran” tetapi raja besar”.Ia memerintah kerajaannya selama empat puluh tahun penuh, suatu kurun 


yang lebih dari sekadar terpandang untuk seorang raja kuno; ia meninggal 


hanya berselang setahun sesudah  Hammurabi, walaupun tidak ada petunjuk 


bahwa keduanya pernah saling bertukar pesan.

Kerajaan yang dibangun oleh Anittas tetap berpusat di kota tempat 


tinggalnya, Kussara, sampai beberapa generasi sesudahnya, saat  seorang raja 


waktu itu memutuskan untuk mengabaikan kutukan Anittas dan membangun 


kembali Hattusas. Di dekatnya terdapat tujuh sumber air, tanah yang subur 


di sekitarnya, dan sebuah bukit cadas di mana sebuah istana dapat dibangun 


dan mudah dipertahankan. Tempat itu sedemikian bagus untuk dibiarkan 


terbengkalai.


Begitu raja itu memindahkan ibu kotanya dari Kussara ke Hattusas, ia 


dikenal sebagai Hattusilis I: “seorang dari Hattuses”.6


 Ia mulai melakukan 


ekspedisi keluar ke Asia Kecil, memasuki kerajaan-kerajaan orang Semit Barat 


di pantai timur laut Laut Tengah, dan merebut beberapa kota kecil. Anittas 


telah menciptakan bangsa Hitti, tetapi Hattusilis I menjadikannya sebuah 


kekaisaran yang menguasai lebih dari satu bangsa. Ia yaitu  seorang pejuang 


besar, barangkali yang terbesar di dunia pada masanya: kota-kota Harappa 


sedang tenggelam, Hammurabi sudah mati, di Mesir raja-raja Thebes dan 


Avaris saling berperang, dan kerajaan Minos telah lama berlalu.


Kendati meraih banyak keberhasilan, Hattusilis meninggal dalam keadaan 


malang dan nestapa, bukan di Hattusas tetapi kembali di tempat tinggal 


lamanya, Kussara; ia memohon untuk dibawa kembali ke sana tatkala sudah 


dalam keadaan sekarat. Sebuah dokumen Hitti yang disebut Wasiat mencatat 


kata-katanya di ranjang kematian kepada cucunya Mursilis. Hattusilis meledak 


amarahnya dan mengutuk secara kasar anak lelaki dan anak perempuannya 


yang telah menuruti perkataan seorang bangsawan Hitti yang kecewa dan 


membiarkan pikiran mereka diracuni untuk bersekongkol melawannya. 


“Mereka mengatakan kepada kalian: Berontaklah melawan ayah kalian”, keluh 


Hattusilis, “dan mereka menjadi pemberontak, dan mulai bersekongkol”.7


Ia telah mencabut warisan kepada kedua anaknya yang telah dewasa, dan 


mengalihkan warisan kepada kemenakan laki-lakinya. Tetapi pada saat-saat 


terakhir Hattusilis juga menolak kemenakan laki-lakinya. Menurut Wasiat


itu, ia ”tidak memiliki belas kasih ... dingin, dan tanpa ampun ... tidak 


mempedulikan kata-kata raja”. Wataknya itu tampaknya sebagian berasal dari 


kesalahan ibunya; Hattusilis lalu  berpaling kepada wanita itu, saudarinya sendiri, dan dengan murka melontarkan kiasan-kiasan yang bercampur 


aduk; ia menyebut ibunya sebagai ular di rumput yang perutnya seperti sapi.8


Raja tua itu memilih seorang kemenakan lelaki lain bernama Mursilis sebagai 


pewarisnya dan lalu  mati, sesudah  melewatkan seluruh hidupnya dalam 


kemenangan militer dan kekecewaan rumah tangga.


Mursilis, yang baru berusia tiga belas atau empat belas tahun, dikelilingi 


tidak hanya oleh adipati-adipati yang seharusnya mengawasinya, tetapi juga 


oleh sepupu, paman, dan bibi yang amarahnya mendidih karena warisan mereka dibatalkan. Walaupun menghadapi awal yang pelik ini, Mursilis muda 


dapat bertahan sampai usia kenaikan tahta (yang bukan sebuah pesta sederhana 


pada zaman itu). Tampaknya ia beruntung berkat penjaga-penjaganya; salah 


satu adipatinya, pangeran Hitti Pimpira, sangat berkeinginan agar ia menjadi 


bukan seorang raja belaka tetapi seorang raja yang adil dan berbelaskasihan. 


”Berikanlah roti kepada orang yang lapar”, demikian sebuah kronik Hitti 


mencatat Pimpira yang sedang memberikan perintah, ”pakaian kepada orang 


yang telanjang; bawalah orang yang menderita kedinginan ke tempat yang 


hangat.” 9


 


Namun, begitu Mursilis naik tahta, ia lebih menaruh perhatian pada 


penaklukan daerah baru daripada pada pemerintahan yang berbelaskasihan 


yang ia miliki. Sebuah perjanjian dengan Aleppo pada masa yang lebih lanjut, dalam meninjau hubungan-hubungan terdahulu antara kedua pihak yang 


melakukan perjanjian, menguraikan langkah selanjutnya berikut ini: ”sesudah  


Hattusilis, Mursilis sang raja agung, cucu Hattusilis sang raja agung, menghancurkan kerajaan Aleppo dan Aleppo sendiri”.10


Karena terpacu oleh keberhasilannya di Aleppo, Mursilis mulai bergerak 


menuju Babilon. Ia menjumpai berbagai pemimpin perang Kassi di perjalanan, 


tetapi ia entah menaklukkan atau membuat perjanjian dengan mereka. Pada 


tahun 1595, ia tiba di depan tembok Babilon. Letusan yang menyusul lebih 


seperti repetan gas. Babilon, di bawah pemerintahan anak cicit Hammurabi, 


tidak memberikan banyak perlawanan. Menurut cerita Mursilis sendiri, 


ia mengalahkan kota itu, menyandera penduduknya, dan membelenggu 


rajanya.11 Akhir nasib keturunan terakhir Hammurabi itu tidak diketahui. 


Mursilis memutuskan untuk tidak menjadikan Babilon sebagai bagian 


kekaisarannya. Ia telah mencapai tujuannya: seperti kakeknya, ia yaitu  


penakluk terkuat di dunia. Babilon terlalu jauh dari Hattusas untuk dapat 


diperintah secara aman. Alih-alih, Mursilis meninggalkan kota terbengkalai 


dan bergerak pulang ke ibu kotanya dalam kemenangan. saat  ia sudah berada jauh dari sana, pemimpin-peminpin Kassi dari daerah yang berdekatan 


bergerak masuk untuk mengambilalih reruntuhan kota. Kekuasaan Amori di 


Babilon telah berakhir.∗


Mursilis masuk dengan pawai ke Hattusas dengan menyeret baik tawanan 


maupun harta benda di belakangnya. Namun, di balik pengelu-elukan itu 


sebuah rencana pembunuhan sedikit demi sedikit mulai terbentuk.


Pelakunya yaitu  penyaji minumannya, Hantili, seorang pegawai terpercaya yang kebetulan juga saudara iparnya. saat  Mursili tidak berada di tempat, Hantili semakin terbiasa memerintah atas nama tahta; ia tentu 


tidak menerima kekuasaannya dikurangi secara mendadak. Tidak lama sesudah  Mursilis kembali dari Babilon, Hantili dan seorang pegawai istana lainnya 


membunuh raja, dan Hantili merebut tahta. ”Mereka melakukan suatu perbuatan yang jahat”, tutur kronik Hitti. ”Mereka membunuh Mursilis; mereka 


menumpahkan darah”.12


Hantili berhasil mempertahankan tahtanya selama hampir tiga dasawarsa, 


dan selama itu orang Hitti menempati tempat yang mapan dalam peranan 


mereka sebagai pemain penting di pentas dunia. Tetapi ia telah melakukan 


sebuah preseden yang pantas disayangkan. Begitu Hantili meninggal, seorang 


pegawai istana membunuh anak lelaki Hantili dan semua cucu lelakinya, lalu  merebut tahta. Ia pun ganti dibunuh oleh anak lelakinya sendiri, 


yang lalu  juga dibunuh dan digantikan oleh seorang perebut, yang lalu  menjadi korban pembunuhan juga.


Peralihan kekuasaan Hitti secara dinasti telah mengental menjadi suatu 


permainan tebaslah-raja. Selama masa itu istana raja di Hattusas diperkuat 


oleh sebuah tembok keliling setebal delapan meter.13 untuk para penguasa 


Hitti, kehidupan di dalam lingkungan kerajaan itu sendiri lebih berbahaya 


daripada suatu serangan militer.


G A R I S WA K T U 2 6


 INDIA ASIA KECIL/MESOPOTAMIA


 Anittas (sek.1790)


 Kota-kota Harappa mulai ditinggalkan (1750)


 Kematian Samsuiluna (1712)


 Hattusilis I (1650-1620)


 Mursilis I (1620-1590)


 Penaklukan Babilon oleh orang Hitti (1595) 


 Hantili


 Awal pemukiman orang Ary




S S  T gugur di dalam pertempuran melawan 


orang Hyksos, anak sulungnya Kahmose menduduki tahta.*∗


 Apepi I, raja 


Hyksos yang usia hidupnya paling panjang, masih bertahta dan Kahmose 


perlu membalaskan kematian ayahnya.


Rencana-rencananya harus memperhitungkan kenyataan yang tidak menyenangkan: kerajaannya di Thebes terjepit di antara suatu kekuatan musuh di 


utara, dan sekutu dari kekuatan itu di selatan. Selama masa kekacauan tepat 


sebelum penaklukan Hyksos, para gubernur Mesir di Nubia telah bertindak 


sekehendak mereka. Orang-orang asli Nubia telah naik ke posisi pegawai, dan 


selama bertahun-tahun Nubia telah bertindak seperti sebuah negara merdeka. Alih-alih berusaha menaklukkan mereka, raja-raja Hyksos dari Dinasti 


Kelima Belas membuat perjanjian dengan mereka. Orang Nubia setuju untuk 


membantu kerajaan utara melawan kuasa Mesir di Thebes, yang lalu  


harus berperang di dua garis depan.


Kahmose dari Thebes mengetahui hal ini. saat  ia mulai menggerakkan 


tentaranya ke utara menyusur Nil, ia juga menyebarkan mata-mata ke selatan, 


dengan harapan untuk menghadang setiap usaha Hyksos untuk memanggil 


sekutu Nubia mereka agar ikut berperang. Menurut Kahmose sendiri, strategi 


itu berhasil dengan gemilang. Pada sebuah inskripsi yang dipersembahkan 


kepada dewa matahari Amun, dewa kesayangan orang Hyksos, Kahmose 


mengklaim bahwa ia menaklukkan seluruh daerah menuju Avaris, di mana 


orang Hyksos yang takut akan kedatangannya ”mengintip keluar dari lubang 


pengintai di tembok mereka, seperti bayi kadal.” Sementara itu, tentaranya berhasil menghadang utusan orang Hyksos yang sedang dalam perjalanan 


ke Nubia. Surat yang ia bawa tersimpan dalam catatan Kahmose: ”Kahmose 


telah memutuskan untuk menghancurkan kedua negeri kita, negerimu dan 


negeriku”, kata raja Hyksos kepada sejawatnya di selatan. ”Jadi, datanglah 


ke utara dan jangan takut. Ia sudah berada di sini di daerahku sendiri ... Aku 


akan mengusik dia sampai kau datang, lalu  kau dan aku akan membagi 


berdua kota-kota Mesir.” 1


Tertangkapnya surat itu menjadi sebab untuk berbuat sesumbar di pihak 


Mesir: ”Aku menyuruh supaya surat itu dibawa kembali kepada Apepi”, 


Kahmose menyombongkan diri, ”agar kemenanganku melanda hatinya dan 


melumpuhkan anggota badannya.”2


 lalu  ia bergerak kembali ke Thebes, 


sambil mengklaim kemenangan di sepanjang jalan dan mengatur waktu kedatangannya supaya bertepatan dengan membanjirnya air Nil.


usaha yang terang-terangan untuk mengingatkan setiap orang bahwa ia 


yaitu  raja yang sah atas seluruh Mesir, yang memiliki kuasa dan tanggung 


jawab atas naiknya air, mengisyaratkan bahwa kemenangan Kahmose tidaklah 


segemilang yang diakuinya. Andai kata ia sungguh menggentarkan orang 


Hyksos dengan kekuatannya, sulit dibayangkan mengapa ia tidak melanjutkan untuk mengklaim kembali daerah utara. Sekurang-kurangnya ia dapat 


berusaha menduduki Memphis, pusat kekuasaan kedua Hyksos, tempat orang 


Hyksos tampaknya mengawasi bagian selatan wilayahnya; Avaris letaknya terlalu jauh di utara untuk dapat menjadi pusat administrasi yang efektif untuk 


seluruh negara.


Dari dua hal itu tak satu pun ia lakukan, dan itu menandakan bahwa 


serangannya ke Avaris tidak lebih dari suatu serbuan yang berhasil. Kahmose 


tidak memiliki banyak waktu untuk menindaklanjutinya. Ia meninggal pada 


tahun itu juga, sesudah  memerintah hanya selama tiga tahun; ia mungkin terluka dalam pertempuran dan masih dapat bertahan beberapa waktu sebelum 


akhirnya meninggal akibat lukanya. Karena ia wafat tanpa meninggalkan anak 


lelaki, saudaranya Ahmose mengambilalih tahta. Ia masih sangat muda, dan 


ibunya Ahhotep memerintah sebagai wali.


Kira-kira pada waktu yang sama, Apepi I yang panjang usia itu akhirnya 


meninggal di Avaris. Tahta Hyksos diwarisi oleh seorang raja lain yang 


sosoknya kurang menonjol lagi; tidak ada catatan sezamannya yang mencatat 


banyak hal tentang dia, bahkan para juru tulis pun tidak sependapat mengenai 


namanya. Tampaknya Ratu Ahhotep memanfaatkan kelemahan di utara itu 


untuk menindaklanjuti serangan anak lelakinya dengan suatu serangan baru 


yang dibangun olehnya. Dalam inskripsi-inskripsi, ia disebut sebagai ”dia yang 


memberikan perhatian kepada prajurit-prajuritnya ... telah mendamaikan 


Mesir Hulu dan menghalau para pemberontaknya”.3


 Ia dimakamkan dengan sebuah kapak upacara di dalam peti 


mayatnya, beserta tiga medali, setara 


dengan medali bintang jasa di Mesir.


Dengan keunggulan awal ini 


saat  Ahmose mewarisi tahta, ia 


berhasil memenangkan peperangan 


ke sepanjang daerah menuju Avaris. 


Pada tahun kedua puluh pemerintahannya, ia sudah merebut baik 


Heliopolis (tepat di sebelah selatan 


Avaris) dan Tjaru, kota benteng tapal 


batas timur. Dengan terkuasainya 


basis kekuatan di selata