Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 10



 n dan timur, 


ia siap menjepit Avaris di tengah-tengah kedua sayap bala tentaranya.


Manetho, yang dikutip dalam 


tulisan Josephus, melukiskan tahap 


perang berikutnya:


[Orang Hyksos] membangun sebuah tembok mengelilingi seluruh 


[Avaris], tembok yang kuat dan tebal, guna menjaga semua milik mereka 


dan sasaran mereka di suatu tempat yang kuat. Tetapi [Ahmose] melakukan usaha untuk merebutnya dengan kekuatan dan dengan pendudukan, 


dengan empat ratus delapan puluh ribu orang yang mengepungnya. 


saat  ia putus asa untuk dapat merebut tempat itu dengan pendudukan itu, mereka melakukan perjanjian. Mereka akan meninggalkan Mesir 


dan pergi tanpa dicederai ke mana pun mereka kehendaki. sesudah  membuat perjanjian itu mereka pergi beserta seluruh keluarga dan harta benda 


mereka, jumlahnya tidak kurang dari dua ratus empat puluh ribu orang, 


dan bergerak keluar dari Mesir melewati padang belantara.4


Kita perlu membaca cerita ini dengan sedikit bumbu, karena cerita-cerita Mesir melukiskan pertumpahan darah yang lebih besar. Inskripsi makam 


jenderal Ahmose (yang membingungkan karena juga bernama Ahmose) 


melukiskan sekurang-kurangnya tiga pertempuran sengit di Avaris: ”Aku 


berperang di sana dan aku membawa pergi sebuah tangan”, katanya dengan 


bangga. (Para juru tulis Mesir memotong tangan untuk mencacah jumlah 


korban di pihak musuh.) ”Hal itu dilaporkan kepada utusan raja, dan saya 


dianugerahi medali jasa”.5


 Pahatan-pahatan relief Mesir yang memperingati 

peristiwa itu menunjukkan banyak kapal perang, adegan-adegan pertempuran, 


dan kawanan-kawanan orang Hyksos yang dijadikan tawanan. Reruntuhan 


menunjukkan bahwa Avaris dijarah. Istana Hyksos diratakan, dan sebuah 


bangunan baru dibangun di atasnya atas perintah pharaoh Ahmose.6


 Jejakjejak lain dari pendudukan Hyksos dilenyapkan secara sedemikian tandas 


sehingga benar-benar sangat sulit merekonstruksi-kan detail-detail pemerintahan mereka di Mesir Hilir. 


Namun, reruntuhan kota tidak menunjukkan bukti adanya suatu pembantaian besar-besaran, yang sering merupakan tahap terakhir dari sebuah 


pendudukan yang panjang, di Avaris. Demikian pula tidak ada banyak nama 


Semit dalam daftar-daftar budak selama lima puluh tahun berikutnya, sehingga mustahil bahwa banyak orang Hyksos diperbudak. Jadi, mungkin 


saja bahwa sebuah eksodus besar-besaran, khususnya terdiri dari orang-orang 


bukan petempur, menandai berakhirnya kekuasaan Hyksos di Mesir.


Yang kita ketahui, sesudah  Avaris takluk, pharaoh Ahmose meneruskan 


serangan ke utara ke Kanaan, dan akhirnya berhenti di Sharuhen dekat Gaza. 


Di sana, Jenderal Ahmose membantu memimpin sebuah pendudukan lain 


yang berhasil. Ini mungkin merupakan tindak lanjut terhadap pengusiran 


orang Hyksos dari Avaris; andai kata mereka melarikan diri cukup jauh untuk 


bersarang di suatu benteng lain, Ahmose tentu tidak menginginkan mereka 


menghimpun kekuatan kembali di dekat Mesir.7


 Bagaimana pun, Sharuhen 


merupakan bahaya untuk Mesir. Penggalian-penggalian di situs itu menunjukkan bahwa Sharuhen telah menjadi pusat sebuah kerajaan Semit Barat, 


markas terkuat tentara di bagian selatan Kanaan.8


 Menaklukkan Sharuhen 


tidak hanya menjadikan Mesir sedikit lebih aman dari invasi kembali, tetapi 


menjadikan bagian selatan Kanaan bagian sebuah provinsi Mesir.


Menurut inskripsi pada makam Jenderal Ahmose, pendudukan Sharuhen 


berlangsung selama enam tahun.9


 Jika benar demikian, pharaoh Ahmose 


mungkin meninggalkan jenderalnya bertugas di sana dan kembali ke rumah 


untuk mengawasi urusan di Memphis, sebab ia meninggal tidak lama sesudah  


perebutan Avaris.


Ahmose memerlukan dua puluh tahun untuk merebut kembali Mesir Hilir, 


dan baik Manetho maupun Josephus mencatat bahwa masa pemerintahannya 


berlangsung selama dua puluh tahun. Ia tidak menikmati kedudukannya sebagai raja seluruh Mesir untuk waktu yang lama. Tetapi berkat penyatuan 


kembali Mesir yang dilakukannya dan penegakan kembali kekuasaan orang 


Mesir asli atas kerajaan itu, Manetho menyebutnya sebagai raja pertama dari 


Dinasti Kedelapan Belas. Dengan penyatuan kembali itu Mesir memasuki 


suatu tahap baru pembangunan kedamaian dan kemakmuran, kesenian dan 


kesusasteraan: Kerajaan Baru 

G A R I S WA K T U 2 7


 ASIA KECIL/MESOPOTAMIA MESIR


 Anittas (sek.1790) Periode Menengah Kedua (1782-1570)


 Dinasti 13 (1782-1640) 


 


 Kematian Samsuiluna (1712)


 Dinasti 14 (1700-1640) 


 Perebutan oleh orang Hyksos (1663) 


 


 Hattusilis I (1650-1620) 


 Dinasti 15, 16, & 17 


 


 Mursilis I (1620-1590) 


 Kahmose 


 Penaklukan Babilon oleh orang Hitti (1595) 


 Hantili (1590-1560) 


 Kerajaan Baru (1570-1070)


 Dinasti 18 (1570-1293)


 Ahmose I (1570-1546)





S  A, anaknya, Amenhotep I, memegang kendali 


kekuasaan, menekan orang Nubia sampai mereka kembali secara tetap ke 


dalam pangkuan Mesir, dan mengonsolidasikan kemenangan-kemenangan 


ayahnya. Tetapi garis keluarga berhenti di sana. Amenhotep bukan saja tidak 


memiliki anak, tetapi juga tidak menikah selama sebagian besar hidupnya. 


Istrinya yang pertama (dan saudari kandungnya) meninggal pada usia muda, 


dan Amenhotep tidak mengambil istri lagi.1


Pada zaman di mana para pharaoh membanggakan istri yang banyak 


jumlahnya dan lusinan selir, terlihat bahwa selera Amenhotep tidak tertuju 


kepada wanita. Walaupun demikian, tidak wajar jika ia tidak menikah lagi. 


Kebanyakan penguasa kuno yang lebih menyukai pergaulan dengan sesama 


jenis kelamin masih dapat menghasilkan keturunan yang diperlukan untuk 


stabilitas dinasti; Amenhotep I tetap sendirian, sangat soliter, dan menunjuk 


jenderal kepercayaannya untuk menjadi raja sesudahnya. 


Jenderal itu, Tuthmosis, yaitu  juga iparnya. Secara teknis, dia 


yaitu  anggota keluarga kerajaan; namun, pemahkotaannya merupakan 


penyimpangan besar suatu peralihan kekuasaan yang wajar dari ayah kepada 


anak lelakinya. Mummi Ahmose, Tuthmosis I, dan dua keturunan Tuthmosis 


I—anak lelakinya Tuthmosis II dan cicitnya Tuthmosis IV—diawetkan 


dengan sedemikian baik sehingga ciri-ciri mereka dapat dilihat dengan jelas. 


Kemiripan keluarga dalam garis Tuthmosis mencengangkan dan terlihat jelas 


berbeda dengan wajah Ahmose I

Tuthmosis I, yang sudah cukup tua saat  menjadi raja, memerintah hanya 


selama enam tahun. Pada awal masa pemerintahannya, ia sudah merencanakan 


pemakamannya sendiri. Selama beberapa waktu, piramida yang mestinya 


dihormati, menjadi semakin tidak suci lagi bagi orang Mesir pada umumnya. 


Perampok kuburan telah berhasil menerobos masuk ke dalam hampir semua 


piramida di Mesir; bagaimana pun, piramida yaitu  pertanda kekayaan 


yang luar biasa besarnya yang menunjuk ke ruang-ruang pemakaman yang 


dijejali emas. untuk mencegah hilangnya harta di makamnya, Tuthmosis I 


merancang sebuah tempat pemakaman baru dan rahasia: sebuah gua dengan 


dinding-dinding berlukis, yang meriahnya sama dengan kemeriahan bagian 


dalam piramida, tetapi dengan pintu masuk yang tersembunyi. Lembah di 


mana guanya terletak lalu  dikenal sebagai Lembah Raja-Raja.∗


Berbeda dengan para pendahulunya, Tuthmosis I menikah sekurangkurangnya sebanyak dua kali. Istrinya yang paling bermartabat rajawi yaitu  


saudari Amenhotep, anak perempuan Ahmose yang agung, dan ibu dari dua 


anak lelaki dan dua anak perempuan. Tetapi ia juga menikahi seorang istri 


yang lebih bersahaja, yang memberinya seorang anak lelaki.

saat  menjadi pharaoh, Tuthmosis menunjuk anak lelaki sulungnya, 


lalu  anak lelaki keduanya, sebagai pewaris. Keduanya mati sebelum 


dia. Ia tidak berniat menyerah-kan mahkota kepada seorang sahabat yang ia 


percayai, dan satu-satunya pewaris lelakinya yang masih hidup yaitu  anak  yang ia peroleh dari istrinya yang lebih bersahaja. Maka, untuk menguatkan 


kedudukan anak ini di dalam dinastinya, Tuthmosis tidak hanya menunjuk dia 


sebagai pewaris, tetapi mengawinkan dia dengan salah satu anak perempuan 


istri utamanya: putri Hatshepsut. saat  Tuthmosis meninggal, sesudah  


memerintah hanya selama enam tahun, anak lelakinya menjadi Tuthmosis II; 


Hatshepsut menjadi ratu.


Tuthmosis II sepanjang hidupnya menderita akibat kesehatan yang buruk, 


dan kelemahan fisik itu memperumit keadaan karena istrinya sudah siap 


untuk mengambilalih salah satu (atau seluruh) tugasnya. Hatshepsut bersama 


dengan Tuthmosis II yaitu  rekan-penguasa sejak awal masa pemerintahannya. 


Tampaknya hal itu tidak menghasilkan apa pun untuk perkawinan mereka. 


Hatshepsut hanya memiliki  seorang anak dari saudara tirinya, seorang 


anak perempuan. sesudah  melakukan tindak kepahlawanan itu, di mana ia 


agaknya menutup matanya dan memikirkan kebaikan Mesir, Tuthmosisi II 


tampaknya tidak memiliki anak lagi dengan Hatshepsut. Ia lebih menyukai 


didampingi seorang wanita bernama Iset, yang tidak pernah ia nikahi. saat  


Iset melahirkan seorang anak laki-laki, Tuthmosis II langsung mengumumkan 


bayinya yang tidak sah itu sebagai pewarisnya, yang merupakan tamparan 


bagi istrinya.


saat  Tuthmosis II meninggal sebelum berusia tiga puluh lima tahun, 


anak lelaki satu-satunya—yang kini menjadi Tuthmosis III—masih kanakkanak. Sesaat  itu juga Hatshepsut mengklaim haknya sebagai bibi dan ibu 


tiri bayi itu untuk memerintah sebagai walinya.


Selama tiga atau empat tahun pada awal kedudukannya sebagai wali, 


Hatshepsut terlihat dalam pahatan-pahatan, berdiri di belakang Tuthmosisi 


III muda, berperan dengan tepat sebagai pendukungnya. Tetapi sekitar tahun 


1500, Hatshepsut mulai membangun sebuah kuil yang sangat besar: sebuah 


kuil pemakaman, suatu tempat pemujaan yang semula terletak di kaki sebuah 


trotoar dari sebuah piramida, dan yang sekarang sering digunakan sebagai 


monumen utama pemakaman. Menurut teori, kuil itu dibangun untuk 


menghormati dewa matahari Amun. Di sisi timur, kuil itu menghadap langsung ke seberang sungai Nil ke sebuah kuil Amun lainnya yang lebih besar, 


kuil di Karnak.2


 Di sepanjang sebuah tembok, Hatshepsut memerintahkan 


pembuatan sebuah relief terpahat: Amun, yang sungguh menakjubkan, sedang mengunjungi ibu Hatshepsut. Implikasinya yaitu  bahwa Hatshepsut 


telah diciptakan oleh dewa itu sendiri.


Dengan memainkan kedua sisi kartunya sebagai leluhur, ia juga memerintahkan pembuatan sebuah pahatan yang menyatakan bahwa Tuthmosis I, 


ayah duniawinya, telah memerintahkan supaya ia dimahkotai sebagai penguasa 


Mesir sebelum ia meninggal. Pemahkotaan itu telah berlangsung di hadapan seluruh istana pada Tahun Baru dan menunjukkan bahwa Hatshepsut berhak 


mengklaim sebuah nama Horus dan memerintah sebagai Ratu Mesir Hulu 


dan Mesir Hilir.


Karena cerita ini yaitu  sebuah karangan belaka, seseorang dari anggota 


istana mungkin akan melakukan protes. Tetapi tidak ada protes yang tercatat, 


yang berarti bahwa Hatshepsut berhasil meyakinkan pegawai-pegawai penting 


istana bahwa ia akan menjadi penguasa yang lebih baik daripada Tuthmosis 


III, yang kini tengah mendekati usia kenaikan ke tahta. Yang jelas, ia mendapat 


dukungan kuat dari salah seorang lelaki yang paling berkuasa di Mesir, Kepala 


Pelayan Amun: Senenmut. Ia menganugerahkan kepadanya, dalam kurun 


waktu beberapa tahun, sederet gelar yang menyilaukan. Ia menjadi Kepala 


Arsitek, Pelayan Kapal Raja, Penyelia Lumbung Amun, Penyelia Sawah Amun, 


dan juga Penyelia Sapi Amun, Taman Amun, dan Penenun Amun.


Karena itu Senenmut menjadi berkuasa, tetapi tidak populer. Hubungan 


Senenmut dengan Hatshepsut kabarnya lebih dari sekadar penasihat, Sebuah 


corat-coret tulisan kasar yang ditemukan pada dinding sebuah gua dekat kuil 


pemakaman Hatshepsut menampilkan seorang Senenmut yang sangat kecil 


dengan penis yang sangat tegak sedang menyusup dengan hati-hati di bagian 


belakang Hatshepsut yang sangat kekar dan sangat maskulin; sebuah komentar kasar mengenai sang pharaoh wanita yang berkuasa dan sang pelayan yang 


ambisius.3


Sesungguhnya Hatshepsut tidak pernah menurunkan Tuthmosis III muda 


dari tahta. Ia sekadar menampilkan diri sebagai yang lebih tua di antara kedua 


penguasa itu. Lebih dari satu patungnya menampilkan sosoknya dengan 


busana kepala kerajaan dan bahkan janggut persegi resmi seorang pharaoh 


yang dimahkotai. Di kuil pemakaman, ia juga meminta agar sosoknya 


ditampilkan dalam pahatan yang sedang merayakan pesta heb-sed, pembaruan 


kekuasaan secara ritual. Tuthmosis III tampil dalam relief itu juga, tengah 


merayakan pesta bersama sang ratu. Tetapi hanya Hatshepsut yang dilukiskan 


sedang melaksanakan ritual berlari yang merupakan inti dari pembaruan 


heb-sed, ritual yang mengakui kemampuan pharaoh untuk membuat air 


berbalik.4


Inskripsi-inskripsi Tuthmosis III sendiri menuturkan di mana ia melewatkan sebagian terbesar masa pemerintahan Hatshepsut: jauh dari Memphis, 


diutus oleh bibinya untuk melakukan suatu serangan, kebanyakan di provinsi 


Mesir utara yang baru, di mana orang-orang Semit Barat bawahan mereka 


selalu mengancam untuk memberontak.


Ia mungkin berharap bahwa Tuthmosis III akan gugur dalam pertempuran. 


Bahwasanya Tuthmosis III tidak gugur, entah karena terluka atau karena 


dibunuh, membuktikan kewaspadaannya, dan juga mengisyaratkan bahwa bala tentaranya mungkin kurang terpesona pada Hatshepsut dibandingkan 


Senenmut dan orang-orang di rumah. Tentu saja Hatshepsut mencurahkan 


hampir seluruh energinya untuk proyek-proyek dalam negeri, terutama 


bangunan; di dunia kuno, jumlah bangunan yang didirikan seorang raja 


dipandang sebagai tolok ukur keberhasilannya, dan Hatshepsut tidak 


ingin kebesarannya diragukan. Sementara itu, tentaranya tidak memiliki 


kemenangan besar— selama hampir dua puluh tahun.5


Dua puluh satu tahun sesudah  kematian suaminya, sementara penguasa 


pendampingnya dan anak tirinya kini sudah memasuki usia dua puluhan 


tahun dan ditempa oleh pertempuran selama bertahun-tahun di pengasingan, Hatshepsut meninggal. Pelayan dan pembantu umumnya Senenmut juga 


meninggal tak lama lalu .


Tidak terdapat bukti langsung bahwa Tuthmosis III terlibat. Tetapi 


tepat sesudah  kematian kedua orang itu Tuthmosis III kembali dari garis 


depan dan mulai dengan ganas menghapus nama ibu tirinya. Gelar-gelarnya 


dihapus dari setiap monumen yang dapat ditemukan. Relief-relief yang 


menampilkan penunjukan ilahi wanita itu dihancurkan. Ia memerintahkan 


supaya patung ibu tirinya dibuang ke tambang batu yang berdekatan. 


Hatshepsut telah memerintahkan pembuatan obelisk-obelisk yang menunjuk 


ke matahari sebagai penghormatan kepada Amun; Tuthmosis III tidak 


menghancurkannya, mungkin karena takut akan amarah dewa itu, tetapi ia 


memerintahkan pembangunan tembok di sekelilingnya agar tidak terlihat.6


 Ia 


juga memerintahkan penghancuran makam Senenmut. Ia berusia tiga puluh 


tahun dan sudah saatnya ia harus mulai bekerja.


Secara teknis, Tuthmosis III telah menjadi raja Mesir selama dua puluh 


dua tahun saat  ia benar-benar meraih tahta. Ambisinya ditimbun selama 


tahun-tahun ketidakberdayaan itu. Pertempuran-pertempurannya dalam 


tahun-tahun berikutnya mirip dengan pertempuran Napoleon dalam hal 


intensitasnya.∗


 Ia menjadi sosok anti-Hatshepsut, dengan melakukan usahausaha terbesar di bidang yang telah diabaikan Hatshepsut.


Tuthmosis III menunjuk seorang juru tulis untuk berangkat bersama 


bala tentaranya dan mencatat pertempuran-pertempurannya. Cerita itu 


sudah lama hilang, tetapi bagian-bagian yang disalin ke dokumen-dokumen 


lain menunjukkan langkah-langkah awal sang pharaoh. Pada tahun yang 


sama dengan kematian Hatshepsut, Tuthmosis III membuat terobosan ke 


Kanaan. Raja Kadesh, yang berada lebih dari setengah jalan di sepanjang 


pantai, menyusun sebuah kelompok sekutu untuk menyerang si penyerbu. Tuthmosis menghadapi mereka di kota Megiddo, yang terletak di sebuah sela 


pegunungan yang melintang dan memisahkan Mesir dari Mesopotamia.


Pertempuran itu kacau balau. Tak lama lalu , sekutu-sekutu yang 


dipimpin oleh raja Kadesh mundur ke kota sedemikian cepatnya sehingga 


prajurit-prajurit tarik-menarik baju menaiki tembok. Orang Mesir berhenti 


untuk menjarah tenda-tenda di luar, yang memungkinkan pihak yang bertahan menutup pintu gerbang Megiddo.


Berbeda dengan orang Assiria, orang Mesir tidak memiliki  pengalaman 


dalam menyerang tembok kota; mereka tidak memiliki menara pendudukan 


atau tangga.7


 Mereka harus membuat musuh mati kelaparan. Tujuh bulan 


penuh kesengsaraan berikutnya, raja Kadesh menyerah, diikuti oleh sekutusekutunya. Bala tentara Mesir kembali ke negerinya dengan kemenangan dan 


harta, baju perang, kereta, kawanan ternak, tawanan, dan bebijian: rampasan 


pertama bala tentara yang sudah dipulihkan, pasca-Hatshepsut. Orang-orang 


yang telah menolak untuk membunuh Tuthmosis III kini mendapatkan ganjaran untuk jerih payah mereka.


Pertempuran itu tampaknya telah membuat penduduk pedesaan takut. 


Pemimpin-pemimpin perang Semit dari kota-kota yang berdekatan mulai 


mengirimkan hadiah-hadiah kepada Tuthmosis III, sambil berusaha sebaikbaiknya untuk berdamai dengan orang muda di selatan yang sedang marah 


itu. Kota-kota yang melawan diserbu dan dijarah dalam pertempuran orang 


Mesir yang berlanjut selama beberapa tahun sesudahnya. Joppa yang terletak di pantai berusaha melakukan negosiasi, tidak menyerah tanpa syarat; 


menurut sebuah cerita lalu  hari, raja Joppa setuju untuk mengunjungi 


komandan Mesir untuk membicarakan syarat-syarat perdamaian, dijamu 


dengan perjamuan makan, lalu  dipukul hingga pingsan dan dijejalkan ke dalam sebuah kamar di belakang. Komandan Mesir itu lalu keluar 


dan mengatakan kepada kusir kereta raja itu bahwa orang Mesir telah memutuskan untuk menyerah kepada Joppa, dan bahwa si kusir harus kembali 


dengan cepat dan menyampaikan kepada ratu Joppa bahwa suaminya masih 


di perjalanan dengan membawa tawanan. Sebuah prosesi yang menggiring 


orang Mesir sebagai tawanan segera terlihat di cakrawala, diikuti oleh keranjang penjarahan dari kamp Mesir. Tetapi setiap keranjang itu berisi seorang 


pejuang bersenjata; saat  ratu Joppa membuka pintu gerbang, para pejuang 


melompat dari keranjang dan memaksa kota itu untuk menyerah.8


 Kota Ardata ditaklukkan dan dijarah dengan cara yang lebih tradisional. 


Tembok-tembok dihujani batu dan pintu gerbang dihancurkan, dan alangkah 


gembiranya pasukan-pasukan Mesir saat  menjumpai bahwa gudanggudangnya semua penuh dengan anggur. Mereka bermabuk-mabuk setiap 


hari, sampai Tuthmosis III merasa bosan akan pesta pora itu. Ia memerintahkan mereka untuk membakar sawah ladang dan pepohonan buah, dan 


menyeret prajurit-prajuritnya ke sasaran berikutnya.9


Tuthmosis III melewatkan hampir dua dasawarsa dengan berperang ke 


wilayah-wilayah utara. Ia benar-benar menerobos sampai ke Kadesh dan 


memaksa kota itu untuk menyerah; ia mengklaim Aleppo; ia bahkan merebut 


Karkemish, yang membawanya ke ujung Asia Kecil. Pada tahun-tahun 


terakhir pemerintahannya, Tuthmosis III telah berhasil menebus tahun-tahun 


pengasingannya. Mesir pada zamannya membentang hingga hampir ke Efrat, 


sebuah tapal batas utara yang tak pernah akan tersamai lagi.


G A R I S WA K T U 2 8


 ASIA KECIL/MESOPOTAMIA MESIR


 Anittas (sek.1790) Periode Menengah Kedua (1782-1570)


 Dinasti 13 (1782-1640) 


 


 Kematian Samsuiluna (1712)


 Dinasti 14 (1700-1640) 


 


 Perebutan oleh orang Hyksos (1663) 


 Hattusilis I (1650-1620) 


 Dinasti 15, 16, & 17 


 Mursilis I (1620-1590) 


 Kahmose 


 Penaklukan Babilon oleh orang Hitti (1595) 


 Hantili (1590-1560) 


 Kerajaan Baru (1570-1070)


 Dinasti 18 (1570-1293)


 Ahmose I (sek. 1570-1546)


 Hatshepsut-Tuthmosis III (sek. 1504-1483)


 Tuthmosis III (sendiri) (sek. 1483-1450)





u  M, yang kini meliputi daerah dekat Efrat, tidak 


pernah sangat aman. Letaknya terlalu jauh dari Memphis dan terlalu dekat 


dengan daerah orang Hitti. Hal itu juga menjadikan tapal batas Mesir terlalu 


dekat dengan musuh lain.


Beberapa abad sebelumnya—sekitar tahun 2000 SM—suatu suku pegunungan dari lereng-lereng Zagros telah mulai mengembara ke barat. 


Orang-orang itu, bangsa Hurria, menyeberangi Tigris masuk ke pusat 


Mesopotamia dan menetap dalam kelompok-kelompok kecil di tepi kotakota. Pada tahun 1700, beberapa kerajaan Hurria kecil yang merdeka terdapat 


di wilayah-wilayah utara Mesopotamia, di sebelah utara Assur dan Nineweh, 


dan sebagian orang Hurria bahkan telah mengembara lebih jauh lagi ke barat. 


Nama-nama Hurria muncul pada catatan-catatan para pedagang dari pos-pos 


dagang Assiria, sungguh-sungguh di daerah orang Hitti.1


Orang Hurria bukanlah sebuah bangsa yang terorganisasi, dan barangkali 


akan tetap tinggal di desa-desa mereka yang terpencar-pencar dan kota-kota 


bertembok, andai kata sekelompok penyerbu baru tidak muncul untuk mengatur mereka. Suatu kelompok sempalan orang Arya yang akhirnya memasuki 


India memisahkan diri dari kerabat mereka, kira-kira sebelum bermigrasi ke 


selatan, dan bergerak ke barat ke Mesopotamia. saat  diterima dengan baik 


oleh orang Hurria, mereka tidak hanya menetap di tengah mereka dan berbaur 


dengan mereka melalui perkawinan, tetapi mendesak lebih jauh lagi untuk 


menjadi kelompok penguasa Hurria: orang maryannu. Orang Maryannu 


dan orang Hurria bersama-sama menjadi lapisan atas dan lapisan bawah dari 


sebuah kerajaan yang disebut ”orang Mitanni” oleh para penguasa di sekitarnya.


Orang Hurria tidak maju dalam tulisan, sehingga sulit untuk merunut 


secara tepat apa yang terjadi di negeri mereka antara tahun 1700 dan 1500. Tetapi pada waktu Tuthmosis III mulai menyerang ke utara, kerajaan 


Mitanni telah memiliki ibu kota tetap sendiri di Washukkani, sedikit ke 


timur dari wilayah-wilayah utara Efrat yang jauh. Raja maryannu pertama 


yang namanya muncul dari kegelapan yaitu  Parattarna, yang naik tahta 


selama masa kekuasaan Hatshepsut, mungkin sekitar tahun 1500. Di bawah 


kepemimpinannya pasukan-pasukan Hurria menyerbu ke Mesopotamia 


sampai sejauh Assur. Kota itu, yang telah diserap ke dalam kerajaan Babilon 


oleh Hammurabi, hilang kembali dalam pemerintahan Samsuiluna; sejak 


saat itu kota itu diperintah oleh siapa pun pemimpin perang yang dapat 


mengendalikannya. Kini kota itu menjadi sebuah provinsi kerajaan Mitanni, dan rajanya menjadi seorang adipati yang mengabdi kepada raja 


Mitanni.2


 


Orang Mitanni belum cukup kuat untuk melawan Mesir. Di hadapan 


serbuan Tuthmosis III yang kuat, mereka mundur; salah satu monumen kemenangan Tuthmosis III berdiri di tepi timur Efrat, jauh di dalam wilayah 


Mitanni. Namun serbuan Mesir ke daerah ini menghasilkan sedikit tawanan 


saja. Raja Mitanni dan pasukannya mundur, dengan langkah strategis, menjauhi kerugian yang mungkin terjadi.3


 


Pada tahun yang sama dengan kembalinya Tuthmosis III ke Mesir 


dan meninggal, seorang raja bernama Saustatar naik ke tahta Mitanni di 


Washukkanni.∗


 Ia mulai membangun kekaisaran sendiri; pasukan-pasukannya menyerbu ke timur sampai ke tepi jauh Tigris, ke barat sampai sejauh 


Tarsus di semenanjung Asia Kecil, dan ke selatan sampai sejauh Kadesh.


Klaim ke timur tampaknya tidak terlalu merisaukan orang yang cukup 


kuat untuk menolak. Tetapi serbuan ke barat menyebabkan Saustatar berkonflik dengan orang Hitti; dan serbuannya ke selatan, melewati daerah orang 


Semit Barat, menyebabkan dia berhadapan langsung dengan para pengganti 


Tuthmosis III.


Orang Hitti, yang kini berhadapan dengan seorang raja Mitanni agresif 


yang memimpin sebuah bala tentara yang terorganisasi dengan baik, tidak 


mengalami abad yang nyaman.


Terjadinya pembunuhan dan perubahan di istana selama bertahun-tahun 


membuktikan bahwa setiap penguasa baru Hitti yang naik ke tahta harus 


memulai dari awal lagi, dengan menghimpun dukungan di antara pejabatpejabat kerajaannya serta meyakinkan rakyat Hattusas bahwa ia memiliki hak 


untuk memerintah. Itu semua menguras waktu dan menyisakan sedikit waktu dan energi saja untuk menjaga tapal-batas kekaisaran. Kota-kota di pinggir 


kekaisaran mulai melepaskan diri.4


Tujuh puluh lima tahun sebelum serbuan Saustatar ke barat menerjang 


perbatasan wilayah Hitti, seorang Hitti bernama Telepinus telah berusaha memecahkan masalah ini. Telepinus memang tidak berada dalam garis keturunan 


kerajaan. Iparnya, yang tidak mengklaim tahta untuk dirinya sendiri, telah 


menyewa pembunuh untuk melakukan pembersihan besar-besaran terhadap 


keluarga kerajaan. Pembantaian itu memusnahkan tidak hanya semua pangeran yang waktu itu berada dalam urutan menuju tahta, tetapi juga semua 


ahli waris dari sebuah keluarga yang sama sekali berbeda yang mungkin akan 


mengklaim kekuasaan segera sesudah  para penguasa waktu itu disingkirkan. 


Telepinus mengamati dengan waspada saat  iparnya merancang pemahkotaan dirinya, tetapi lalu  mendengar berita bahwa calon raja itu pun merencanakan untuk menyingkirkan Telepinus sendiri, yang dianggap sebagai 


suatu ancaman yang memungkinkan. Secara proaktif Telepinus menyingkirkan iparnya ke luar kota dan memaklumkan dirinya sendiri sebagai raja.5


 


Peristiwa ini mungkin menempatkan Telepinus dalam posisi utama, karena 


cerita ini berasal dari catatannya sendiri. Namun, ia sekurang-kurangnya berada pada posisi yang tepat untuk memahami mengapa kekaisaran Hitti tidak 


berfungsi: pergulatan dalam negeri sehubungan dengan peralihan kekuasaan 


telah mengalihkan perhatian para penguasa dari tugas mereka untuk memerintah. Pada awal masa pemerintahannya ia mulai membereskan hal ini. Dalam 


sebuah dokumen yang dikenal sebagai Maklumat Telepinus, ia menggariskan 


dan merinci aturan-aturan untuk penyerahan mahkota secara tertib dari satu 


generasi kepada generasi berikutnya. Orang Hitti, demikian ia jelaskan dalam 


bagian prakata, hanya dapat tetap hidup jika para penguasa dipatuhi dengan 


semestinya. ”Seorang pangeran, anak lelaki jajaran pertama [yakni istri utama 


raja], harus menjadi raja”, tulisnya. ”Jika tidak terdapat seorang pangeran 


dalam jajaran pertama, seorang pangeran dari jajaran kedua [anak lelaki istri 


yang lebih rendah] dapat menjadi pewaris tahta. Jika sama sekali tidak terdapat seorang pangeran, suami dari seorang anak perempuan raja dari jajaran 


pertama harus menjadi pewaris tahta”.6


Maklumat itu juga menetapkan hukuman-hukuman untuk berbagai 


kejahatan, dari praktik sihir sampai pembunuhan, seperti yang telah 


dibuat oleh Hammurabi lebih dari dua ratus tahun sebelumnya. Walaupun 


terjadi ketidaktetapan pada awalnya, Telepinus terus berusaha menegakkan 


pemerintahan hukum di suatu kekaisaran yang telah berjalan hampir 


sepenuhnya sebagai sebuah negara militer. untuk pertama kali, orang Hitti 


disuguhi tantangan untuk menjadi suatu negara seperti sebuah kerajaan 


sejati.


Pada waktu Telepinus meninggal pada tahun 1500, tepat sebelum 


Hatshepsut merebut tahta Mesir, kekaisarannya telah sedikit pulih dari keadaan 


konflik yang mencabik-cabik pada tahun-tahun sebelumnya. Sayangnya 


Maklumat Telepinus, seperti halnya Pedoman Hukum Hammurabi, tidak 


memiliki kekuatan yang besar tanpa didukung oleh kepribadian dan 


kejenderalannya. Anak lelaki sulungnya telah meninggal sebelum dia, maka 


Telepinus (seperti yang ditetapkan) meninggalkan tahta kepada menantunya, 


suami anak perempuannya yang tertua. Tetapi tak lama lalu  menantu 


itu kehilangan tahta karena direbut orang yang membunuhnya, dan selama 


kurun ratusan tahun berikutnya kekaisaran Hitti memasuki pergulatan 


dalam negeri lagi, dan selama itu hampir tidak ada catatan yang koheren 


yang tersimpan. Enam raja saling berebut tahta lalu kehilangan tahta tanpa 


meninggalkan bekas, sementara daerah-daerah pinggir kekaisaran mulai lepas kembali. Bala tentara Hitti, yang terpecah belah dan tak terorganisasi, tidak 


memiliki daya untuk melawan Tuthmosis III. saat  balatentara Tuthmosis 


III menyerbu Karkemish, orang Hitti mundur dan melepaskan daerahnya.


Serbuan Sautatar ke wilayah Hitti dimulai tak lama sesudahnya. Bala 


tentara Hitti pun tidak dapat melawan orang Mitanni; Saustatar mendesak 


ke barat ke Tarsus tanpa banyak kesulitan. Aleppo menyatakan tunduk 


kepadanya. Demikian juga kota-kota Hitti Alalakh dan ugarit.


Di tengah semua peristiwa itu rakyat Assur memanfaatkan kesempatan 


untuk memberontak melawan penguasa Mitanni. Saustatar, tanpa bersabar sedikit pun, mengirimkan pasukan ke sana untuk mengingatkan warga, 


milik siapa kota itu; dengan sebuah tindakan yang bersifat simbolis sekaligus 


praktis, ia menyeret gerbang kota yang bertatahkan emas ke ibu kotanya di 


Washukkanni.7


B  kematian Tuthmosis III menyebar ke daerah-daerah utara yang 


dikuasai Mesir, kota-kota orang Semit Barat memberontak. Saustatar melakukan segala upaya untuk mendorong pemberontakan melawan Mesir tersebut, 


di antaranya dengan mengirimkan bala tentaranya sendiri untuk membantu 


para pemberontak di Kadesh. Anak lelaki Tuthmosis III, Amenhotep II, yang 


baru saja ditahtakan, langsung mengirimkan sebuah bala tentara ke utara. Pada 


tahun kedua pemerintahannya, ia sudah mendekati perbatasan Mitanni.


Tetapi tidak terjadi pertempuran besar. Pada kenyataannya, di bawah 


pemerintahan Saustatar, kerajaan Mitanni telah berkembang menjadi cukup 


kuat untuk mempersulit Amenhotep. Ia membuat sebuah perjanjian, daripada menghadapi risiko perang terbuka.


Ia bersikap sebaik mungkin di negerinya agar seakan-akan perjanjian itu 


yaitu  suatu kemenangan: sebuah inskripsi di Karnak mengklaim bahwa 


orang Mitanni merangkak kepadanya dengan tangan dan lutut sambil 


memohon damai:


 Pemimpin-pemimpin orang Mitanni datang kepadanya sambil menggendong upeti untuk meminta damai kepada Baginda ... Suatu peristiwa yang 


luar biasa, yang tidak terdengar lagi sejak zaman purba. Negeri yang tidak 


mengenal Mesir ini meminta pengampunan kepada Baginda!8


Tetapi itu yaitu  upaya untuk menyelamatkan muka; Amenhotep II 


tidak berani menyerang. Tidak ada salinan perjanjian yang tersimpan, 


tetapi beberapa abad sesudahnya, sebuah garis perbatasan antara kedua 


negara itu masih dipertahankan; garis itu menyusur sepanjang sungai 


Orontes. Dalam kurun waktu dua belas tahun, baik Amenhotep II maupun 


Saustatar menyerahkan tahta kepada anak lelaki mereka. Di Mesir 


Tuthmosis IV dimahkotai; di ibu kota Mitanni, Washukkanni, Artadama 


mengambil alih tahta. Sekitar tahun 1425, kedua raja mengukuhkan 


kembali perdamaian yang telah disumpahkan oleh kedua ayah mereka. 


Sebuah perjanjian resmi dibuat dan, yang lebih penting lagi, Tuthmosis IV 


setuju untuk menikahi salah seorang anak perempuan Artadama.


Sebuah surat yang ditulis oleh cucu Artadama beberapa dasawarsa 


sesudahnya menjelaskan bahwa Tuthmosis IV menulis kepada Artadama 


”dan meminta bagi dirinya anak perempuan kakek saya ... ia menuliskan 


surat itu lima atau enam kali, tetapi ia tidak memberikan anak perempuan 


itu; lalu  ia menulis kepada kakekku untuk ketujuh kalinya, barulah 


[kakekku] menyetujuinya”.10 Ini sama mustahilnya dengan cerita Amenhotep 


tentang orang Mitanni yang merendahkan diri untuk meminta damai. Pharaoh 


Mesir tidak mengemis meminta putri asing. Tetapi perjanjian dengan Mesir 


memberikan Mitanni kehormatan diri yang sama sekali baru. Seperti istana 


di Memphis, istana raja Mitanni memandang dirinya berdaulat dan berkuasa, 


dengan melimpahkan kemurahan yang ikhlas kepada raja-raja negara lain 


yang memohonnya.


 Bahkan jika Tuthmosis IV tidak memintanya, persekutuan itu sangat 


baik untuk Mesir, yang selanjutnya menguasai daerah taklukannya di Kanaan 


dengan persekutuan yang dijanjikan oleh sahabat-sahabat baiknya. Tidak 


ada kota Semit Barat, jika melihat kekaisaran yang besar di sebelah selatan 


dan kekaisaran yang sama besarnya di utara, yang berani memberontak, dan 


suasana damai penuh kewaspadaan mengikutinya 

G A R I S WA K T U 2 9


 ASIA KECIL/MESOPOTAMIA MESIR


 Anittas (sek.1790) Periode Menengah Kedua (1782-1570)


 Dinasti 13 (1782-1640) 


 


 Kematian Samsuiluna (1712)


 Dinasti 14 (1700-1640) 


 Perebutan oleh orang Hyksos (1663) 


 


 Hattusilis I (1650-1620) 


 Dinasti 15, 16, & 17 


 Mursilis I (1620-1590) 


 Kahmose 


 Penaklukan Babilon oleh orang Hitti (1595) 


 Hantili (1590-1560) 


 Kerajaan Baru (1570-1070)


 Dinasti 18 (1570-1293)


 Ahmose I (sek. 1570-1546)


 Telepinus (1525-1500) 


 Hatshepsut-Tuthmosis III (sek. 1504-1483)


 Parattarna (Mitanni) Tuthmosis III (sendiri) (sek. 1483-1450)


 Saustatar (Mitanni) 


 Artadama (Mitanni) Tuthmosis IV (1419-1386)






D T, dinasti Shang tengah memerintah, dengan moralitas yang 


jelas, atas wilayah yang dahulu dikuasai oleh dinasti Xia.


Tidak banyak detail yang tersimpan dari tahun-tahun awal Dinasti Shang 


itu. Tetapi reruntuhan kota-kota Shang mengungkapkan bahwa dalam separuh pertama pemerintahan dinasti itu—dari awalnya secara tradisional pada 


tahun 1766 sampai sekitar 1400—para penguasa Shang tidak memiliki ibu 


kota tunggal. Tradisi menyebutkan bahwa ibu kota berpindah tempat sebanyak 


lima kali dalam kurun waktu 350 tahun itu. Situsnya tidak dapat diidentifikasikan dengan kepastian penuh, tetapi para pakar arkeologi percaya bahwa 


semuanya terletak dalam suatu lingkaran wilayah di sekitar sungai Kuning, di 


sebelah timur ibu kota Xia, di daerah yang mungkin sekali merupakan daerah 


asal Tang.


Perpindahan-perpindahan itu menyingkapkan suatu dinasti yang, walaupun 


berhasil mempertahankan mahkota kerajaan di dalam kalangan keluarga, 


belum memerintah dengan kekuasaan yang penuh. Selama pemerintahan 


para ahli waris Tang, kekacauan yang menandai tahun-tahun terakhir Dinasti 


Xia masih menerpa pemerintahan yang baru bagaikan riak gelombang.


P T     Y Y, seorang lelaki yang 


naik ke tampuk kekuasaan entah karena ia mendapatkan namanya yang 


begitu harum karena kebijaksanaannya, saat  ia bertani di luar ibu kota Po, 


sehingga Tang memintanya untuk datang dan mengabdi di istana; atau karena 


ia mengabdi sebagai juru masak Tang dan memasak makanan-makanan yang 


luar biasa lezatnya (Sejarawan Besar Sima Qian mencatat kedua cerita itu).1


Apa pun asal-usulnya, Yi Yin yaitu  seorang administrator yang cakap 


sekaligus juga seseorang yang tak gampang ditebak dalam istana Tang. Sebuah cerita dari masa lalu  mengisyaratkan bahwa ia pada suatu saat  


meninggalkan pihak Tang dengan berpindah ke pihak musuh Xia selama 


beberapa waktu, sebelum kembali lagi kepada pilihan loyalitasnya semula.2


Yang lebih menghenyakkan lagi, dialah yang memegang kendali istana saat  


terjadi kematian susul-menyusul para ahli waris Shang. 


saat  Tang meninggal, sesudah  memerintah selama kurun waktu tiga 


puluh tahun dengan layak, Yi Yin masih mengabdi sebagai kepala pegawai 


istana. Tang telah menunjuk anak lelaki tertuanya sebagai pewaris, tetapi 


orang muda itu ”meninggal sebelum ditahtakan”. Anak lelaki kedua (tentunya 


lebih muda dan lebih mudah dikendalikan) naik tahta menggantikannya, 


tetapi meninggal sesudah  dua tahun; lalu  anak lelaki ketiga dan yang 


terakhir dimahkotai dan, sesudah  empat tahun, meninggal juga. Dengan 


mengesampingkan hemofili atau kecenderungan bunuh diri, pola kematian 


itu lebih dari sekadar ganjil.


Sima Qian yang menceritakan semua detail itu tidak menyatakan kecurigaan 


kepada Yi Yin; dan memang, Yi Yin tidak melakukan usaha langsung untuk 


merebut tahta sesudah  kematian anak lelaki terakhir. Alih-alih, ia memimpin 


kenaikan tahta cucu Tang, T’ai Jia, anak dari anak lelaki tertua yang telah 


meninggal enam tahun sebelumnya. Tetapi tindakannya itu mengisyaratkan 


kecerdikan, bukan loyalitas. Yi Yin mengetahui bahwa para bangsawan China 


tidak akan menerima pentahtaan seorang mantan juru masak (atau mantan 


petani); ia bisa meraih jalan ke dalam posisi sebagai raja dengan berbagai cara 


kecuali menggunakan namanya. Akibat kematian semua anak lelaki Tang 


dalam kurun waktu yang cukup singkat, kini tahta diduduki oleh seorang 


anak, dan anak itu ada di bawah asuhan Yi Yin.


Menurut Sima Qian, Yi Yin melewatkan tahun pertama pemerintahan T’ai 


Jia dengan menulis perintah-perintah agar dilaksanakan oleh sang raja muda. 


Agaknya perintah-perintah itu tidak ditaati: tiga tahun sesudah  pemahkotaan 


T’ai Jia, ”ia semakin menjemukan dan sewenang-wenang; ia tidak mematuhi 


perintah Yi Yin dan mencemarkan nama harum Tang”.3


 Karena anak itu 


barangkali masih sangat muda, sulit melihat seberapa berkuasanya dia. Ia 


malah menolak dengan gusar perintah tuan-boneka itu. Menanggapi itu, 


Yi Yin segera menyatakan bahwa tahta kerajaan berada dalam bahaya, dan 


mengirim raja muda itu untuk disekap di sebuah istana yang jaraknya empat 


puluh kilometer di luar kota. Selama tiga tahun berikutnya Yi Yin mengemban 


tugas sebagai administrator atas nama kaisar, dan dalam melakukan tugasnya 


itu ia menerima para tuan tanah”.


Sima Qian mengakhiri cerita dengan suasana yang menyenangkan. 


sesudah  berada di pengasingan selama tiga tahun, kaisar muda itu ”menyesali   kekeliruan-kekeliruannya, menyalahkan dirinya sendiri, dan kembali 


berperilaku yang baik”. Agaknya itu berarti bahwa sekarang ia mau dibimbing 


oleh Yi Yin, yang menyambutnya kembali dengan baik dan mengembalikan 


kekuasaan kerajaan kepadanya. ”Yi Yin”, demikian Sima Qian mengakhiri 


cerita, ”berpendapat bahwa ia istimewa”.

Sebuah versi lain dari cerita ini, yang berasal dari sumber-sumber lain, 


mungkin lebih mendekati kebenaran; T’ai Jai melarikan diri dari istana tempat 


ia disekap, kembali ke ibu kotanya, dan membunuh si raja gadungan.


T    tentang pemerintahan keempat belas 


raja Shang yang masih tersimpan, tetapi kita mengetahui bahwa di bawah 


pemerintahan raja Shang kesepuluh, Chung Ting, keresahan melanda 


dinastinya. Chung Ting memindahkan ibu kotanya ke Hsiao. Penggalian 


di situs yang diduga sebagai situs Hsiao menyingkapkan sebuah kota yang 


dikelilingi sebuah tembok dari tanah yang digilas setinggi tiga puluh meter di 


berbagai tempat dan tingginya hampir sepuluh meter. Pembangunan tembok 


itu mungkin memerlukan waktu sekitar delapan tahun dengan sepuluh ribu 


pekerja.4


 Raja Shang itu mungkin tidak memerintah daerahnya seperti seorang 


pharaoh Mesir, tetapi ia memiliki kekuasaan yang cukup untuk memaksakan 


kerja berat itu kepada sejumlah besar orang. 


Kendati pembuatan tembok itu menuntut investasi besar di pihak Shang, 


kurang dari dua generasi berikutnya, raja Shang kedua belas memindahkan 


ibu kota lagi, kali ini ke Hsiang. Pewarisnya, raja Shang ketiga belas, Tsu Yi, 


berkemas dan pindah ke ibu kota yang keempat, Keng. saat  Keng hancur

akibat banjir, Tsu Yi memindahkan markas besar Shang ke kota Yen, dengan 


demikian ia merupakan satu-satunya raja Shang yang menduduki tiga ibu 


kota selama masa pemerintahannya.


Perpindahan ibu kota Shang yang sering itu merupakan teka-teki. Setiap 


kerajaan purba lainnya (sejauh yang kita ketahui) berusaha mempertahankan 


suatu kota tertentu sebagai ibu kota, dan hanya meninggalkannya jika menghadapi invasi musuh atau bencana alam. Banjir sungai Kuning mungkin saja 


sedikit berperan dalam perpindahan ibu kota Shang. Tetapi China pada masa 


Shang bahkan masih lebih terisolasi daripada Mesir beberapa abad sebelumnya; China tidak memiliki perdagangan lewat air dengan bangsa lain, dan 


tidak ada jalan darat ke luar China.


Sikap permusuhan kepala-kepala desa di daerah yang berdekatan mungkin bisa disamakan dengan invasi dari luar. Sima Qian mengatakan bahwa 


tahun-tahun itu yaitu  tahun-tahun naik dan jatuhnya kekuasaan. Selama 


pemerintahan sejumlah raja Shang, tuan-tuan tanah ”datang untuk membayar upeti”, tetapi penguasa-penguasa lainnya mendapati bahwa tuan-tuan 


tanah menjauh dan menolak untuk pergi ke ibu kota untuk menyerahkan 


upeti.5


 Kekuasaan raja Shang bukanlah tidak dipertanyakan. Barangkali tembok besar dari tanah gilas itu dibangun sebagai perlindungan terhadap warga 


negara Shang sendiri.


Sekitar tahun 1400, raja Shang kesembilan belas, P’an Keng, memutuskan 


untuk memindahkan ibu kota ke tepi lain sungai Kuning. Para pejabat istana 


menolak, bahkan sampai memberontak. Tetapi P’an Keng berkukuh.


Sebuah cerita yang masih tersimpan dari masa pemerintahan P’an Keng 


menunjukkan kecerdikannya melestarikan mahkota Shang, bahkan pada 


saat menghadapi pergolakan. Terdapat tiga naskah kuno yang berbeda yang 


mencatat tanggapn P’an Keng terhadap para pejabat istananya saat  mereka 


memboikot perintahnya untuk meninggalkan ibu kota lama:


 Aku sudah menanyakan kepada [juru ramal] dan memperoleh jawaban: 


”Ini bukan tempat untuk kita”. saat  raja-raja terdahulu memiliki  


hajat penting, mereka mengindahkan perintah dari Langit. Dalam kasus 


semacam ini khususnya mereka tidak memegang teguh keinginan untuk 


terus menerus beristirahat; mereka tidak pernah tinggal di kota yang sama. 


Sampai saat ini ibu kota telah menempati lima daerah.... [Kita harus] 


mengikuti teladan zaman dahulu itu ... meneladani tindakan bijak para 


raja terdahulu.6


 


Dalam cerita itu, P’an Keng mengambil jalan untuk memindahkan ibu 


kota dari satu kota ke kota lainnya—sebuah sejarah yang tentu menunjukkan

kelemahan—dan menyodorkannya sebagai suatu tradisi yang dimuliakan 


karena usia dan diteguhkan oleh restu ilahi. Para leluhurnya tidak dapat 


memindahkan kedudukan pemerintahan mereka karena mereka tidak dapat 


mengendalikan gejolak di sekeliling mereka. Sebaliknya, mereka sendiri berpindah karena mereka menolak untuk berkubang dalam ”istirahat yang tak 


henti-hentinya”. Kesulitan pada masa lalu sekali lagi dikemas sebagai bukti 


kekuatan.


Strategi itu berhasil, dan Yin menjadi pusat sebuah istana kuat yang 


diperbarui. ”Gaya pemerintahan Yin kembali berkembang”, catat Sima Qian, 


”dan semua tuan tanah datang ke istana untuk membayar upeti, karena [P’an 


Keng] mengikuti perilaku baik Tang.”7


 P’an Keng sendiri, walaupun memaksa 


para pengikutnya untuk melakukan migrasi yang tidak dikehendaki, menjadi 


tumpahan kasih sayang rakyatnya. sesudah  pemerintahannya, adik lelakinya 


menggantikan dia, dan pada waktu itu para bangsawan China yang sama yang 


”merasa sakit hati, dan tidak mau pindah”, kini ”merindukan P’an Keng”.


Raja-raja Hitti mencabik-cabik kerajaan mereka sendiri dengan bertarung 


memperebutkan tahta kekuasaan. Alih-alih melawan, Shang membungkukkan diri. Alih-alih mengangkat senjata melawan seteru, mereka beranjak 


dan memindahkan tempat berpijak mereka, dan tetap menduduki tahta 


China selama berabad-abad.


G A R I S WA K T U 3 0


MESIR CHINA


 Dinasti Shang (1766-1122)


 Tang 


 


 T’ai Jia


 Dinasti 14 (1700-1640) 


 Perebutan oleh orang Hyksos (1663) 


 Dinasti 15, 16, & 17 


 Chung Ting (Hsiao)


 


 Kahmose Ho T’an Chia (Hsiang) 


 


 Kerajaan Baru (1570-1070)


 Dinasti 18 (1570-1293) Tsu Yi (Keng, Yen)


 Ahmose I (sek. 1570-1546) 


 


 Hatshepsut-Tuthmosis III (sek. 1504-1483) 


 Tuthmosis III (sendiri) (sek. 1483-1450) 


 


 Tuthmosis IV (1419-1386) P’an Keng (Yin) (sek. 1400)







S  M dari Kreta tenggelam ke dalam kebobrokan 


dan kekacauan yang semakin besar, kota-kota di semenanjung di sebelah utara 


pulau itu tumbuh menjadi semakin besar.


Pada tahun 1600, orang Mycenas telah mulai menguburkan para penguasa 


mereka di makam-makam yang dilengkapi dengan kekayaan, di tempat 


yang tinggi di sebuah bukit pusat. Siapa pun para raja itu, mereka memiliki 


kekuasaan yang cukup besar terhadap rakyatnya untuk diperlakukan penuh 


kehormatan pada saat wafat. Tetapi kekuasaan mereka tidak menjangkau lebih 


jauh daripada tembok-tembok Mycenas. Istana raja di Mycenas memiliki 


padanan, sebuah istana kedua yang dengan megah mendominasi kota Thebes, 


di sebelah timur laut; terdapat sebuah istana ketiga di Pylos, di pantai barat 


daya, dan istana keempat dibangun di Athena, sedikit di seberang bentangan 


daratan yang pendek.1


 Kota-kota di semenanjung Yunani, yang terpisah satu 


sama lain oleh barisan pegunungan, memiliki pemerintahan yang mandiri 


sejak awal masa sejarahnya.*∗


Meskipun memiliki kemandirian, kota-kota itu memiliki hubungan 


dagang, bahasa, dan kebudayaan yang sama di antara mereka. Dari kota 


Mycenas itulah, kota terbesar di semenanjung itu, kebudayaan Yunani mendapat namanya; sejauh menyangkut bidang perhatian sejarawan, kota 


Thebes, Athena, dan Pylos semuanya dihuni oleh orang Mycenas.


Sebuah tradisi yang disimpan oleh sejarawan Yunani Plutarkhos (antara 


lain) menuturkan bahwa orang Minos dan orang Mycenas sudah bertikai 


sejak masa awal. Salah seorang putra Minos, yang mengembara di semenanjung utara itu dengan alasan yang tidak jelas, dibunuh oleh orang Mycenas; 


sebagai pembalasan untuk darah anaknya, Minos memerintahkan agar kotakota Mycenas menyediakan anak-anak lelaki dan perempuan hidup sebagai 


santapan manusia-banteng di bawah istana Knossos.


Menurut Plutarkhos, beban itu ditanggung oleh kota Athena di pantai 


tenggara. Selama dua tahun orang Athena mengirimkan anak-anak lelaki dan 


perempuan mereka kepada Minotaurus. Namun pada tahun ketiga para orang 


tua di Athena menggerutu dengan kebencian yang semakin besar pada raja 


mereka Aegeus, yang tampaknya tidak berdaya menghadapi raja tiran Minos. 


Di depan kemarahan rakyatnya yang kian membesar, pangeran Theseus— 


anak lelaki sulung Aegeus—melangkah maju; ia mau bergabung dengan kapal 


upeti ketiga, sebagai anak lelaki ketujuh dari mereka, dan berusaha melawan 


Minotaurus.Aegeus, tanpa berharap bahwa anaknya akan kembali, tetap menambahkan 


pada kapal upeti berlayar hitam itu sebuah layar tambahan berwarna putih. 


Theseus berjanji untuk menaikkan layar putih itu jika ia berhasil mengalahkan 


Minotaurus dan pulang tanpa cedera. Jika ia gugur, seperti anak laki-laki 


lainnya, sebagai korban nafsu Minotaurus, nakhoda akan menurunkan layar 


hitam yang tergulung, agar ayahnya mengetahui kabar buruk itu sebelum 


kapal tiba di pelabuhan.


Begitu sampai di Kreta, Theseus dan korban-korban lainnya dikirim ke 


Labirin, untuk diburu melalui lorong-lorong itu oleh Minotaurus, sampai 


mereka dimakan atau mati karena kehabisan napas karena tidak dapat 


menemukan jalan keluar. Tetapi Theseus terlihat oleh mata anak perempuan 


Minos, Ariadne. Wanita ini memberinya secara diam-diam segulung tali; 


saat  Theseus dibawa ke labirin itu, ia meletakkan gulungan itu di tanah 


di gerbang Labirin dan mengikuti gulungan itu menggelinding pelan-pelan 


menuju pusat labirin yang ada di bawah. Ia sampai ke sarang monster itu dan 


membunuh Minotaurus, lalu  merunut kembali tali itu sampai ke luar 


(sesudah  terpikir olehnya sebelumnya untuk mengikatkan ujung tali ke tiang 


pintu).


lalu  ia mengumpulkan tawanan lainnya dan melarikan diri pulang, 


sesudah  sebelumnya ”membor banyak lubang di dasar kapal-kapal Kreta 


untuk menghalangi pengejaran mereka”.2


 Tetapi karena tenggelam dalam 


kemenangan itu, Theseus lupa mengganti layar kapalnya. saat  melihat 


pertanda buruk segitiga hitam di cakrawala, Agaeus terjun dari sebuah 


tebing di dekat Athena ke laut. Theseus tiba, dengan kemenangan, di kota 


yang penuh ratapan; laut kehijauan yang berada tepat di luar kota lalu  


dikenal sebagai Laut Aegea, untuk mengenang ayahnya.


Ada serpihan-serpihan sejarah yang berkilau dari faset-faset mitos ini. 


Keterampilan orang Mycenas di laut terpampang dalam diri Theseus, yang 


meremukkan dasar kapal dan menakhodai kapal untuk pulang. Di dalam 


Iliades, yang ditulis sekitar delapan abad sesudahnya, kota Mycenas diakui 


jasanya dengan mengirimkan seratus kapal ke armada gabungan Yunani: 


suatu jumlah kapal yang sedemikian besar yang menjadikan raja Mycenas 


salah seorang pemimpin terkuat pada ekspedisi melawan orang Troya. Tetapi 


pada zaman Homerus, Mycenas yaitu  sebuah kota yang terbengkalai tanpa 


kuasa.3


 Kumpulan kapal-kapal dalam Iliades melestarikan sebuah tradisi yang 


jauh lebih tua tentang kekuatan angkatan laut Mycenas.

Kemungkinan besar kapal-kapal Mycenas dimuati barang-barang dagangan, bukan upeti-upeti hidup. Tembikar Mycenas menyebar sampai sejauh 


Karkhemish, dan ke timur laut sejauh Masat, di sebelah utara Hattusas; kapalkapal Mycenas berlayar ke selatan sampai ke Mesir, di mana sebuah cangkir 


dari Mycenas dikuburkan sezaman dengan seorang pejabat Tuthmosis III.4


 


Tetapi perdagangan Mycenas terjadi terutama dengan orang Minos dari 


Kreta. Makam-makam kerajaan Mycenas, tempat-tempat penguburan yang 


dinamakan Lingkungan Makam Raja, dipenuhi tembikar Minos, lukisan yang 


dibuat dengan gaya Minos, dan gambar-gambar orang Mycenas dengan busana 


Minos. Perisai prajurit-prajurit Knossos yang terbuat dari kulit lembu dilukis 


dengan totol-totol yang meniru kulit binatang; perisai Mycenas memiliki pola 


yang sama.5


 Dan dari orang Minoslah orang Mycenas belajar menulis. Orang 


Minos