n dan timur,
ia siap menjepit Avaris di tengah-tengah kedua sayap bala tentaranya.
Manetho, yang dikutip dalam
tulisan Josephus, melukiskan tahap
perang berikutnya:
[Orang Hyksos] membangun sebuah tembok mengelilingi seluruh
[Avaris], tembok yang kuat dan tebal, guna menjaga semua milik mereka
dan sasaran mereka di suatu tempat yang kuat. Tetapi [Ahmose] melakukan usaha untuk merebutnya dengan kekuatan dan dengan pendudukan,
dengan empat ratus delapan puluh ribu orang yang mengepungnya.
saat ia putus asa untuk dapat merebut tempat itu dengan pendudukan itu, mereka melakukan perjanjian. Mereka akan meninggalkan Mesir
dan pergi tanpa dicederai ke mana pun mereka kehendaki. sesudah membuat perjanjian itu mereka pergi beserta seluruh keluarga dan harta benda
mereka, jumlahnya tidak kurang dari dua ratus empat puluh ribu orang,
dan bergerak keluar dari Mesir melewati padang belantara.4
Kita perlu membaca cerita ini dengan sedikit bumbu, karena cerita-cerita Mesir melukiskan pertumpahan darah yang lebih besar. Inskripsi makam
jenderal Ahmose (yang membingungkan karena juga bernama Ahmose)
melukiskan sekurang-kurangnya tiga pertempuran sengit di Avaris: ”Aku
berperang di sana dan aku membawa pergi sebuah tangan”, katanya dengan
bangga. (Para juru tulis Mesir memotong tangan untuk mencacah jumlah
korban di pihak musuh.) ”Hal itu dilaporkan kepada utusan raja, dan saya
dianugerahi medali jasa”.5
Pahatan-pahatan relief Mesir yang memperingati
peristiwa itu menunjukkan banyak kapal perang, adegan-adegan pertempuran,
dan kawanan-kawanan orang Hyksos yang dijadikan tawanan. Reruntuhan
menunjukkan bahwa Avaris dijarah. Istana Hyksos diratakan, dan sebuah
bangunan baru dibangun di atasnya atas perintah pharaoh Ahmose.6
Jejakjejak lain dari pendudukan Hyksos dilenyapkan secara sedemikian tandas
sehingga benar-benar sangat sulit merekonstruksi-kan detail-detail pemerintahan mereka di Mesir Hilir.
Namun, reruntuhan kota tidak menunjukkan bukti adanya suatu pembantaian besar-besaran, yang sering merupakan tahap terakhir dari sebuah
pendudukan yang panjang, di Avaris. Demikian pula tidak ada banyak nama
Semit dalam daftar-daftar budak selama lima puluh tahun berikutnya, sehingga mustahil bahwa banyak orang Hyksos diperbudak. Jadi, mungkin
saja bahwa sebuah eksodus besar-besaran, khususnya terdiri dari orang-orang
bukan petempur, menandai berakhirnya kekuasaan Hyksos di Mesir.
Yang kita ketahui, sesudah Avaris takluk, pharaoh Ahmose meneruskan
serangan ke utara ke Kanaan, dan akhirnya berhenti di Sharuhen dekat Gaza.
Di sana, Jenderal Ahmose membantu memimpin sebuah pendudukan lain
yang berhasil. Ini mungkin merupakan tindak lanjut terhadap pengusiran
orang Hyksos dari Avaris; andai kata mereka melarikan diri cukup jauh untuk
bersarang di suatu benteng lain, Ahmose tentu tidak menginginkan mereka
menghimpun kekuatan kembali di dekat Mesir.7
Bagaimana pun, Sharuhen
merupakan bahaya untuk Mesir. Penggalian-penggalian di situs itu menunjukkan bahwa Sharuhen telah menjadi pusat sebuah kerajaan Semit Barat,
markas terkuat tentara di bagian selatan Kanaan.8
Menaklukkan Sharuhen
tidak hanya menjadikan Mesir sedikit lebih aman dari invasi kembali, tetapi
menjadikan bagian selatan Kanaan bagian sebuah provinsi Mesir.
Menurut inskripsi pada makam Jenderal Ahmose, pendudukan Sharuhen
berlangsung selama enam tahun.9
Jika benar demikian, pharaoh Ahmose
mungkin meninggalkan jenderalnya bertugas di sana dan kembali ke rumah
untuk mengawasi urusan di Memphis, sebab ia meninggal tidak lama sesudah
perebutan Avaris.
Ahmose memerlukan dua puluh tahun untuk merebut kembali Mesir Hilir,
dan baik Manetho maupun Josephus mencatat bahwa masa pemerintahannya
berlangsung selama dua puluh tahun. Ia tidak menikmati kedudukannya sebagai raja seluruh Mesir untuk waktu yang lama. Tetapi berkat penyatuan
kembali Mesir yang dilakukannya dan penegakan kembali kekuasaan orang
Mesir asli atas kerajaan itu, Manetho menyebutnya sebagai raja pertama dari
Dinasti Kedelapan Belas. Dengan penyatuan kembali itu Mesir memasuki
suatu tahap baru pembangunan kedamaian dan kemakmuran, kesenian dan
kesusasteraan: Kerajaan Baru
G A R I S WA K T U 2 7
ASIA KECIL/MESOPOTAMIA MESIR
Anittas (sek.1790) Periode Menengah Kedua (1782-1570)
Dinasti 13 (1782-1640)
Kematian Samsuiluna (1712)
Dinasti 14 (1700-1640)
Perebutan oleh orang Hyksos (1663)
Hattusilis I (1650-1620)
Dinasti 15, 16, & 17
Mursilis I (1620-1590)
Kahmose
Penaklukan Babilon oleh orang Hitti (1595)
Hantili (1590-1560)
Kerajaan Baru (1570-1070)
Dinasti 18 (1570-1293)
Ahmose I (1570-1546)
S A, anaknya, Amenhotep I, memegang kendali
kekuasaan, menekan orang Nubia sampai mereka kembali secara tetap ke
dalam pangkuan Mesir, dan mengonsolidasikan kemenangan-kemenangan
ayahnya. Tetapi garis keluarga berhenti di sana. Amenhotep bukan saja tidak
memiliki anak, tetapi juga tidak menikah selama sebagian besar hidupnya.
Istrinya yang pertama (dan saudari kandungnya) meninggal pada usia muda,
dan Amenhotep tidak mengambil istri lagi.1
Pada zaman di mana para pharaoh membanggakan istri yang banyak
jumlahnya dan lusinan selir, terlihat bahwa selera Amenhotep tidak tertuju
kepada wanita. Walaupun demikian, tidak wajar jika ia tidak menikah lagi.
Kebanyakan penguasa kuno yang lebih menyukai pergaulan dengan sesama
jenis kelamin masih dapat menghasilkan keturunan yang diperlukan untuk
stabilitas dinasti; Amenhotep I tetap sendirian, sangat soliter, dan menunjuk
jenderal kepercayaannya untuk menjadi raja sesudahnya.
Jenderal itu, Tuthmosis, yaitu juga iparnya. Secara teknis, dia
yaitu anggota keluarga kerajaan; namun, pemahkotaannya merupakan
penyimpangan besar suatu peralihan kekuasaan yang wajar dari ayah kepada
anak lelakinya. Mummi Ahmose, Tuthmosis I, dan dua keturunan Tuthmosis
I—anak lelakinya Tuthmosis II dan cicitnya Tuthmosis IV—diawetkan
dengan sedemikian baik sehingga ciri-ciri mereka dapat dilihat dengan jelas.
Kemiripan keluarga dalam garis Tuthmosis mencengangkan dan terlihat jelas
berbeda dengan wajah Ahmose I
Tuthmosis I, yang sudah cukup tua saat menjadi raja, memerintah hanya
selama enam tahun. Pada awal masa pemerintahannya, ia sudah merencanakan
pemakamannya sendiri. Selama beberapa waktu, piramida yang mestinya
dihormati, menjadi semakin tidak suci lagi bagi orang Mesir pada umumnya.
Perampok kuburan telah berhasil menerobos masuk ke dalam hampir semua
piramida di Mesir; bagaimana pun, piramida yaitu pertanda kekayaan
yang luar biasa besarnya yang menunjuk ke ruang-ruang pemakaman yang
dijejali emas. untuk mencegah hilangnya harta di makamnya, Tuthmosis I
merancang sebuah tempat pemakaman baru dan rahasia: sebuah gua dengan
dinding-dinding berlukis, yang meriahnya sama dengan kemeriahan bagian
dalam piramida, tetapi dengan pintu masuk yang tersembunyi. Lembah di
mana guanya terletak lalu dikenal sebagai Lembah Raja-Raja.∗
Berbeda dengan para pendahulunya, Tuthmosis I menikah sekurangkurangnya sebanyak dua kali. Istrinya yang paling bermartabat rajawi yaitu
saudari Amenhotep, anak perempuan Ahmose yang agung, dan ibu dari dua
anak lelaki dan dua anak perempuan. Tetapi ia juga menikahi seorang istri
yang lebih bersahaja, yang memberinya seorang anak lelaki.
saat menjadi pharaoh, Tuthmosis menunjuk anak lelaki sulungnya,
lalu anak lelaki keduanya, sebagai pewaris. Keduanya mati sebelum
dia. Ia tidak berniat menyerah-kan mahkota kepada seorang sahabat yang ia
percayai, dan satu-satunya pewaris lelakinya yang masih hidup yaitu anak yang ia peroleh dari istrinya yang lebih bersahaja. Maka, untuk menguatkan
kedudukan anak ini di dalam dinastinya, Tuthmosis tidak hanya menunjuk dia
sebagai pewaris, tetapi mengawinkan dia dengan salah satu anak perempuan
istri utamanya: putri Hatshepsut. saat Tuthmosis meninggal, sesudah
memerintah hanya selama enam tahun, anak lelakinya menjadi Tuthmosis II;
Hatshepsut menjadi ratu.
Tuthmosis II sepanjang hidupnya menderita akibat kesehatan yang buruk,
dan kelemahan fisik itu memperumit keadaan karena istrinya sudah siap
untuk mengambilalih salah satu (atau seluruh) tugasnya. Hatshepsut bersama
dengan Tuthmosis II yaitu rekan-penguasa sejak awal masa pemerintahannya.
Tampaknya hal itu tidak menghasilkan apa pun untuk perkawinan mereka.
Hatshepsut hanya memiliki seorang anak dari saudara tirinya, seorang
anak perempuan. sesudah melakukan tindak kepahlawanan itu, di mana ia
agaknya menutup matanya dan memikirkan kebaikan Mesir, Tuthmosisi II
tampaknya tidak memiliki anak lagi dengan Hatshepsut. Ia lebih menyukai
didampingi seorang wanita bernama Iset, yang tidak pernah ia nikahi. saat
Iset melahirkan seorang anak laki-laki, Tuthmosis II langsung mengumumkan
bayinya yang tidak sah itu sebagai pewarisnya, yang merupakan tamparan
bagi istrinya.
saat Tuthmosis II meninggal sebelum berusia tiga puluh lima tahun,
anak lelaki satu-satunya—yang kini menjadi Tuthmosis III—masih kanakkanak. Sesaat itu juga Hatshepsut mengklaim haknya sebagai bibi dan ibu
tiri bayi itu untuk memerintah sebagai walinya.
Selama tiga atau empat tahun pada awal kedudukannya sebagai wali,
Hatshepsut terlihat dalam pahatan-pahatan, berdiri di belakang Tuthmosisi
III muda, berperan dengan tepat sebagai pendukungnya. Tetapi sekitar tahun
1500, Hatshepsut mulai membangun sebuah kuil yang sangat besar: sebuah
kuil pemakaman, suatu tempat pemujaan yang semula terletak di kaki sebuah
trotoar dari sebuah piramida, dan yang sekarang sering digunakan sebagai
monumen utama pemakaman. Menurut teori, kuil itu dibangun untuk
menghormati dewa matahari Amun. Di sisi timur, kuil itu menghadap langsung ke seberang sungai Nil ke sebuah kuil Amun lainnya yang lebih besar,
kuil di Karnak.2
Di sepanjang sebuah tembok, Hatshepsut memerintahkan
pembuatan sebuah relief terpahat: Amun, yang sungguh menakjubkan, sedang mengunjungi ibu Hatshepsut. Implikasinya yaitu bahwa Hatshepsut
telah diciptakan oleh dewa itu sendiri.
Dengan memainkan kedua sisi kartunya sebagai leluhur, ia juga memerintahkan pembuatan sebuah pahatan yang menyatakan bahwa Tuthmosis I,
ayah duniawinya, telah memerintahkan supaya ia dimahkotai sebagai penguasa
Mesir sebelum ia meninggal. Pemahkotaan itu telah berlangsung di hadapan seluruh istana pada Tahun Baru dan menunjukkan bahwa Hatshepsut berhak
mengklaim sebuah nama Horus dan memerintah sebagai Ratu Mesir Hulu
dan Mesir Hilir.
Karena cerita ini yaitu sebuah karangan belaka, seseorang dari anggota
istana mungkin akan melakukan protes. Tetapi tidak ada protes yang tercatat,
yang berarti bahwa Hatshepsut berhasil meyakinkan pegawai-pegawai penting
istana bahwa ia akan menjadi penguasa yang lebih baik daripada Tuthmosis
III, yang kini tengah mendekati usia kenaikan ke tahta. Yang jelas, ia mendapat
dukungan kuat dari salah seorang lelaki yang paling berkuasa di Mesir, Kepala
Pelayan Amun: Senenmut. Ia menganugerahkan kepadanya, dalam kurun
waktu beberapa tahun, sederet gelar yang menyilaukan. Ia menjadi Kepala
Arsitek, Pelayan Kapal Raja, Penyelia Lumbung Amun, Penyelia Sawah Amun,
dan juga Penyelia Sapi Amun, Taman Amun, dan Penenun Amun.
Karena itu Senenmut menjadi berkuasa, tetapi tidak populer. Hubungan
Senenmut dengan Hatshepsut kabarnya lebih dari sekadar penasihat, Sebuah
corat-coret tulisan kasar yang ditemukan pada dinding sebuah gua dekat kuil
pemakaman Hatshepsut menampilkan seorang Senenmut yang sangat kecil
dengan penis yang sangat tegak sedang menyusup dengan hati-hati di bagian
belakang Hatshepsut yang sangat kekar dan sangat maskulin; sebuah komentar kasar mengenai sang pharaoh wanita yang berkuasa dan sang pelayan yang
ambisius.3
Sesungguhnya Hatshepsut tidak pernah menurunkan Tuthmosis III muda
dari tahta. Ia sekadar menampilkan diri sebagai yang lebih tua di antara kedua
penguasa itu. Lebih dari satu patungnya menampilkan sosoknya dengan
busana kepala kerajaan dan bahkan janggut persegi resmi seorang pharaoh
yang dimahkotai. Di kuil pemakaman, ia juga meminta agar sosoknya
ditampilkan dalam pahatan yang sedang merayakan pesta heb-sed, pembaruan
kekuasaan secara ritual. Tuthmosis III tampil dalam relief itu juga, tengah
merayakan pesta bersama sang ratu. Tetapi hanya Hatshepsut yang dilukiskan
sedang melaksanakan ritual berlari yang merupakan inti dari pembaruan
heb-sed, ritual yang mengakui kemampuan pharaoh untuk membuat air
berbalik.4
Inskripsi-inskripsi Tuthmosis III sendiri menuturkan di mana ia melewatkan sebagian terbesar masa pemerintahan Hatshepsut: jauh dari Memphis,
diutus oleh bibinya untuk melakukan suatu serangan, kebanyakan di provinsi
Mesir utara yang baru, di mana orang-orang Semit Barat bawahan mereka
selalu mengancam untuk memberontak.
Ia mungkin berharap bahwa Tuthmosis III akan gugur dalam pertempuran.
Bahwasanya Tuthmosis III tidak gugur, entah karena terluka atau karena
dibunuh, membuktikan kewaspadaannya, dan juga mengisyaratkan bahwa bala tentaranya mungkin kurang terpesona pada Hatshepsut dibandingkan
Senenmut dan orang-orang di rumah. Tentu saja Hatshepsut mencurahkan
hampir seluruh energinya untuk proyek-proyek dalam negeri, terutama
bangunan; di dunia kuno, jumlah bangunan yang didirikan seorang raja
dipandang sebagai tolok ukur keberhasilannya, dan Hatshepsut tidak
ingin kebesarannya diragukan. Sementara itu, tentaranya tidak memiliki
kemenangan besar— selama hampir dua puluh tahun.5
Dua puluh satu tahun sesudah kematian suaminya, sementara penguasa
pendampingnya dan anak tirinya kini sudah memasuki usia dua puluhan
tahun dan ditempa oleh pertempuran selama bertahun-tahun di pengasingan, Hatshepsut meninggal. Pelayan dan pembantu umumnya Senenmut juga
meninggal tak lama lalu .
Tidak terdapat bukti langsung bahwa Tuthmosis III terlibat. Tetapi
tepat sesudah kematian kedua orang itu Tuthmosis III kembali dari garis
depan dan mulai dengan ganas menghapus nama ibu tirinya. Gelar-gelarnya
dihapus dari setiap monumen yang dapat ditemukan. Relief-relief yang
menampilkan penunjukan ilahi wanita itu dihancurkan. Ia memerintahkan
supaya patung ibu tirinya dibuang ke tambang batu yang berdekatan.
Hatshepsut telah memerintahkan pembuatan obelisk-obelisk yang menunjuk
ke matahari sebagai penghormatan kepada Amun; Tuthmosis III tidak
menghancurkannya, mungkin karena takut akan amarah dewa itu, tetapi ia
memerintahkan pembangunan tembok di sekelilingnya agar tidak terlihat.6
Ia
juga memerintahkan penghancuran makam Senenmut. Ia berusia tiga puluh
tahun dan sudah saatnya ia harus mulai bekerja.
Secara teknis, Tuthmosis III telah menjadi raja Mesir selama dua puluh
dua tahun saat ia benar-benar meraih tahta. Ambisinya ditimbun selama
tahun-tahun ketidakberdayaan itu. Pertempuran-pertempurannya dalam
tahun-tahun berikutnya mirip dengan pertempuran Napoleon dalam hal
intensitasnya.∗
Ia menjadi sosok anti-Hatshepsut, dengan melakukan usahausaha terbesar di bidang yang telah diabaikan Hatshepsut.
Tuthmosis III menunjuk seorang juru tulis untuk berangkat bersama
bala tentaranya dan mencatat pertempuran-pertempurannya. Cerita itu
sudah lama hilang, tetapi bagian-bagian yang disalin ke dokumen-dokumen
lain menunjukkan langkah-langkah awal sang pharaoh. Pada tahun yang
sama dengan kematian Hatshepsut, Tuthmosis III membuat terobosan ke
Kanaan. Raja Kadesh, yang berada lebih dari setengah jalan di sepanjang
pantai, menyusun sebuah kelompok sekutu untuk menyerang si penyerbu. Tuthmosis menghadapi mereka di kota Megiddo, yang terletak di sebuah sela
pegunungan yang melintang dan memisahkan Mesir dari Mesopotamia.
Pertempuran itu kacau balau. Tak lama lalu , sekutu-sekutu yang
dipimpin oleh raja Kadesh mundur ke kota sedemikian cepatnya sehingga
prajurit-prajurit tarik-menarik baju menaiki tembok. Orang Mesir berhenti
untuk menjarah tenda-tenda di luar, yang memungkinkan pihak yang bertahan menutup pintu gerbang Megiddo.
Berbeda dengan orang Assiria, orang Mesir tidak memiliki pengalaman
dalam menyerang tembok kota; mereka tidak memiliki menara pendudukan
atau tangga.7
Mereka harus membuat musuh mati kelaparan. Tujuh bulan
penuh kesengsaraan berikutnya, raja Kadesh menyerah, diikuti oleh sekutusekutunya. Bala tentara Mesir kembali ke negerinya dengan kemenangan dan
harta, baju perang, kereta, kawanan ternak, tawanan, dan bebijian: rampasan
pertama bala tentara yang sudah dipulihkan, pasca-Hatshepsut. Orang-orang
yang telah menolak untuk membunuh Tuthmosis III kini mendapatkan ganjaran untuk jerih payah mereka.
Pertempuran itu tampaknya telah membuat penduduk pedesaan takut.
Pemimpin-pemimpin perang Semit dari kota-kota yang berdekatan mulai
mengirimkan hadiah-hadiah kepada Tuthmosis III, sambil berusaha sebaikbaiknya untuk berdamai dengan orang muda di selatan yang sedang marah
itu. Kota-kota yang melawan diserbu dan dijarah dalam pertempuran orang
Mesir yang berlanjut selama beberapa tahun sesudahnya. Joppa yang terletak di pantai berusaha melakukan negosiasi, tidak menyerah tanpa syarat;
menurut sebuah cerita lalu hari, raja Joppa setuju untuk mengunjungi
komandan Mesir untuk membicarakan syarat-syarat perdamaian, dijamu
dengan perjamuan makan, lalu dipukul hingga pingsan dan dijejalkan ke dalam sebuah kamar di belakang. Komandan Mesir itu lalu keluar
dan mengatakan kepada kusir kereta raja itu bahwa orang Mesir telah memutuskan untuk menyerah kepada Joppa, dan bahwa si kusir harus kembali
dengan cepat dan menyampaikan kepada ratu Joppa bahwa suaminya masih
di perjalanan dengan membawa tawanan. Sebuah prosesi yang menggiring
orang Mesir sebagai tawanan segera terlihat di cakrawala, diikuti oleh keranjang penjarahan dari kamp Mesir. Tetapi setiap keranjang itu berisi seorang
pejuang bersenjata; saat ratu Joppa membuka pintu gerbang, para pejuang
melompat dari keranjang dan memaksa kota itu untuk menyerah.8
Kota Ardata ditaklukkan dan dijarah dengan cara yang lebih tradisional.
Tembok-tembok dihujani batu dan pintu gerbang dihancurkan, dan alangkah
gembiranya pasukan-pasukan Mesir saat menjumpai bahwa gudanggudangnya semua penuh dengan anggur. Mereka bermabuk-mabuk setiap
hari, sampai Tuthmosis III merasa bosan akan pesta pora itu. Ia memerintahkan mereka untuk membakar sawah ladang dan pepohonan buah, dan
menyeret prajurit-prajuritnya ke sasaran berikutnya.9
Tuthmosis III melewatkan hampir dua dasawarsa dengan berperang ke
wilayah-wilayah utara. Ia benar-benar menerobos sampai ke Kadesh dan
memaksa kota itu untuk menyerah; ia mengklaim Aleppo; ia bahkan merebut
Karkemish, yang membawanya ke ujung Asia Kecil. Pada tahun-tahun
terakhir pemerintahannya, Tuthmosis III telah berhasil menebus tahun-tahun
pengasingannya. Mesir pada zamannya membentang hingga hampir ke Efrat,
sebuah tapal batas utara yang tak pernah akan tersamai lagi.
G A R I S WA K T U 2 8
ASIA KECIL/MESOPOTAMIA MESIR
Anittas (sek.1790) Periode Menengah Kedua (1782-1570)
Dinasti 13 (1782-1640)
Kematian Samsuiluna (1712)
Dinasti 14 (1700-1640)
Perebutan oleh orang Hyksos (1663)
Hattusilis I (1650-1620)
Dinasti 15, 16, & 17
Mursilis I (1620-1590)
Kahmose
Penaklukan Babilon oleh orang Hitti (1595)
Hantili (1590-1560)
Kerajaan Baru (1570-1070)
Dinasti 18 (1570-1293)
Ahmose I (sek. 1570-1546)
Hatshepsut-Tuthmosis III (sek. 1504-1483)
Tuthmosis III (sendiri) (sek. 1483-1450)
u M, yang kini meliputi daerah dekat Efrat, tidak
pernah sangat aman. Letaknya terlalu jauh dari Memphis dan terlalu dekat
dengan daerah orang Hitti. Hal itu juga menjadikan tapal batas Mesir terlalu
dekat dengan musuh lain.
Beberapa abad sebelumnya—sekitar tahun 2000 SM—suatu suku pegunungan dari lereng-lereng Zagros telah mulai mengembara ke barat.
Orang-orang itu, bangsa Hurria, menyeberangi Tigris masuk ke pusat
Mesopotamia dan menetap dalam kelompok-kelompok kecil di tepi kotakota. Pada tahun 1700, beberapa kerajaan Hurria kecil yang merdeka terdapat
di wilayah-wilayah utara Mesopotamia, di sebelah utara Assur dan Nineweh,
dan sebagian orang Hurria bahkan telah mengembara lebih jauh lagi ke barat.
Nama-nama Hurria muncul pada catatan-catatan para pedagang dari pos-pos
dagang Assiria, sungguh-sungguh di daerah orang Hitti.1
Orang Hurria bukanlah sebuah bangsa yang terorganisasi, dan barangkali
akan tetap tinggal di desa-desa mereka yang terpencar-pencar dan kota-kota
bertembok, andai kata sekelompok penyerbu baru tidak muncul untuk mengatur mereka. Suatu kelompok sempalan orang Arya yang akhirnya memasuki
India memisahkan diri dari kerabat mereka, kira-kira sebelum bermigrasi ke
selatan, dan bergerak ke barat ke Mesopotamia. saat diterima dengan baik
oleh orang Hurria, mereka tidak hanya menetap di tengah mereka dan berbaur
dengan mereka melalui perkawinan, tetapi mendesak lebih jauh lagi untuk
menjadi kelompok penguasa Hurria: orang maryannu. Orang Maryannu
dan orang Hurria bersama-sama menjadi lapisan atas dan lapisan bawah dari
sebuah kerajaan yang disebut ”orang Mitanni” oleh para penguasa di sekitarnya.
Orang Hurria tidak maju dalam tulisan, sehingga sulit untuk merunut
secara tepat apa yang terjadi di negeri mereka antara tahun 1700 dan 1500. Tetapi pada waktu Tuthmosis III mulai menyerang ke utara, kerajaan
Mitanni telah memiliki ibu kota tetap sendiri di Washukkani, sedikit ke
timur dari wilayah-wilayah utara Efrat yang jauh. Raja maryannu pertama
yang namanya muncul dari kegelapan yaitu Parattarna, yang naik tahta
selama masa kekuasaan Hatshepsut, mungkin sekitar tahun 1500. Di bawah
kepemimpinannya pasukan-pasukan Hurria menyerbu ke Mesopotamia
sampai sejauh Assur. Kota itu, yang telah diserap ke dalam kerajaan Babilon
oleh Hammurabi, hilang kembali dalam pemerintahan Samsuiluna; sejak
saat itu kota itu diperintah oleh siapa pun pemimpin perang yang dapat
mengendalikannya. Kini kota itu menjadi sebuah provinsi kerajaan Mitanni, dan rajanya menjadi seorang adipati yang mengabdi kepada raja
Mitanni.2
Orang Mitanni belum cukup kuat untuk melawan Mesir. Di hadapan
serbuan Tuthmosis III yang kuat, mereka mundur; salah satu monumen kemenangan Tuthmosis III berdiri di tepi timur Efrat, jauh di dalam wilayah
Mitanni. Namun serbuan Mesir ke daerah ini menghasilkan sedikit tawanan
saja. Raja Mitanni dan pasukannya mundur, dengan langkah strategis, menjauhi kerugian yang mungkin terjadi.3
Pada tahun yang sama dengan kembalinya Tuthmosis III ke Mesir
dan meninggal, seorang raja bernama Saustatar naik ke tahta Mitanni di
Washukkanni.∗
Ia mulai membangun kekaisaran sendiri; pasukan-pasukannya menyerbu ke timur sampai ke tepi jauh Tigris, ke barat sampai sejauh
Tarsus di semenanjung Asia Kecil, dan ke selatan sampai sejauh Kadesh.
Klaim ke timur tampaknya tidak terlalu merisaukan orang yang cukup
kuat untuk menolak. Tetapi serbuan ke barat menyebabkan Saustatar berkonflik dengan orang Hitti; dan serbuannya ke selatan, melewati daerah orang
Semit Barat, menyebabkan dia berhadapan langsung dengan para pengganti
Tuthmosis III.
Orang Hitti, yang kini berhadapan dengan seorang raja Mitanni agresif
yang memimpin sebuah bala tentara yang terorganisasi dengan baik, tidak
mengalami abad yang nyaman.
Terjadinya pembunuhan dan perubahan di istana selama bertahun-tahun
membuktikan bahwa setiap penguasa baru Hitti yang naik ke tahta harus
memulai dari awal lagi, dengan menghimpun dukungan di antara pejabatpejabat kerajaannya serta meyakinkan rakyat Hattusas bahwa ia memiliki hak
untuk memerintah. Itu semua menguras waktu dan menyisakan sedikit waktu dan energi saja untuk menjaga tapal-batas kekaisaran. Kota-kota di pinggir
kekaisaran mulai melepaskan diri.4
Tujuh puluh lima tahun sebelum serbuan Saustatar ke barat menerjang
perbatasan wilayah Hitti, seorang Hitti bernama Telepinus telah berusaha memecahkan masalah ini. Telepinus memang tidak berada dalam garis keturunan
kerajaan. Iparnya, yang tidak mengklaim tahta untuk dirinya sendiri, telah
menyewa pembunuh untuk melakukan pembersihan besar-besaran terhadap
keluarga kerajaan. Pembantaian itu memusnahkan tidak hanya semua pangeran yang waktu itu berada dalam urutan menuju tahta, tetapi juga semua
ahli waris dari sebuah keluarga yang sama sekali berbeda yang mungkin akan
mengklaim kekuasaan segera sesudah para penguasa waktu itu disingkirkan.
Telepinus mengamati dengan waspada saat iparnya merancang pemahkotaan dirinya, tetapi lalu mendengar berita bahwa calon raja itu pun merencanakan untuk menyingkirkan Telepinus sendiri, yang dianggap sebagai
suatu ancaman yang memungkinkan. Secara proaktif Telepinus menyingkirkan iparnya ke luar kota dan memaklumkan dirinya sendiri sebagai raja.5
Peristiwa ini mungkin menempatkan Telepinus dalam posisi utama, karena
cerita ini berasal dari catatannya sendiri. Namun, ia sekurang-kurangnya berada pada posisi yang tepat untuk memahami mengapa kekaisaran Hitti tidak
berfungsi: pergulatan dalam negeri sehubungan dengan peralihan kekuasaan
telah mengalihkan perhatian para penguasa dari tugas mereka untuk memerintah. Pada awal masa pemerintahannya ia mulai membereskan hal ini. Dalam
sebuah dokumen yang dikenal sebagai Maklumat Telepinus, ia menggariskan
dan merinci aturan-aturan untuk penyerahan mahkota secara tertib dari satu
generasi kepada generasi berikutnya. Orang Hitti, demikian ia jelaskan dalam
bagian prakata, hanya dapat tetap hidup jika para penguasa dipatuhi dengan
semestinya. ”Seorang pangeran, anak lelaki jajaran pertama [yakni istri utama
raja], harus menjadi raja”, tulisnya. ”Jika tidak terdapat seorang pangeran
dalam jajaran pertama, seorang pangeran dari jajaran kedua [anak lelaki istri
yang lebih rendah] dapat menjadi pewaris tahta. Jika sama sekali tidak terdapat seorang pangeran, suami dari seorang anak perempuan raja dari jajaran
pertama harus menjadi pewaris tahta”.6
Maklumat itu juga menetapkan hukuman-hukuman untuk berbagai
kejahatan, dari praktik sihir sampai pembunuhan, seperti yang telah
dibuat oleh Hammurabi lebih dari dua ratus tahun sebelumnya. Walaupun
terjadi ketidaktetapan pada awalnya, Telepinus terus berusaha menegakkan
pemerintahan hukum di suatu kekaisaran yang telah berjalan hampir
sepenuhnya sebagai sebuah negara militer. untuk pertama kali, orang Hitti
disuguhi tantangan untuk menjadi suatu negara seperti sebuah kerajaan
sejati.
Pada waktu Telepinus meninggal pada tahun 1500, tepat sebelum
Hatshepsut merebut tahta Mesir, kekaisarannya telah sedikit pulih dari keadaan
konflik yang mencabik-cabik pada tahun-tahun sebelumnya. Sayangnya
Maklumat Telepinus, seperti halnya Pedoman Hukum Hammurabi, tidak
memiliki kekuatan yang besar tanpa didukung oleh kepribadian dan
kejenderalannya. Anak lelaki sulungnya telah meninggal sebelum dia, maka
Telepinus (seperti yang ditetapkan) meninggalkan tahta kepada menantunya,
suami anak perempuannya yang tertua. Tetapi tak lama lalu menantu
itu kehilangan tahta karena direbut orang yang membunuhnya, dan selama
kurun ratusan tahun berikutnya kekaisaran Hitti memasuki pergulatan
dalam negeri lagi, dan selama itu hampir tidak ada catatan yang koheren
yang tersimpan. Enam raja saling berebut tahta lalu kehilangan tahta tanpa
meninggalkan bekas, sementara daerah-daerah pinggir kekaisaran mulai lepas kembali. Bala tentara Hitti, yang terpecah belah dan tak terorganisasi, tidak
memiliki daya untuk melawan Tuthmosis III. saat balatentara Tuthmosis
III menyerbu Karkemish, orang Hitti mundur dan melepaskan daerahnya.
Serbuan Sautatar ke wilayah Hitti dimulai tak lama sesudahnya. Bala
tentara Hitti pun tidak dapat melawan orang Mitanni; Saustatar mendesak
ke barat ke Tarsus tanpa banyak kesulitan. Aleppo menyatakan tunduk
kepadanya. Demikian juga kota-kota Hitti Alalakh dan ugarit.
Di tengah semua peristiwa itu rakyat Assur memanfaatkan kesempatan
untuk memberontak melawan penguasa Mitanni. Saustatar, tanpa bersabar sedikit pun, mengirimkan pasukan ke sana untuk mengingatkan warga,
milik siapa kota itu; dengan sebuah tindakan yang bersifat simbolis sekaligus
praktis, ia menyeret gerbang kota yang bertatahkan emas ke ibu kotanya di
Washukkanni.7
B kematian Tuthmosis III menyebar ke daerah-daerah utara yang
dikuasai Mesir, kota-kota orang Semit Barat memberontak. Saustatar melakukan segala upaya untuk mendorong pemberontakan melawan Mesir tersebut,
di antaranya dengan mengirimkan bala tentaranya sendiri untuk membantu
para pemberontak di Kadesh. Anak lelaki Tuthmosis III, Amenhotep II, yang
baru saja ditahtakan, langsung mengirimkan sebuah bala tentara ke utara. Pada
tahun kedua pemerintahannya, ia sudah mendekati perbatasan Mitanni.
Tetapi tidak terjadi pertempuran besar. Pada kenyataannya, di bawah
pemerintahan Saustatar, kerajaan Mitanni telah berkembang menjadi cukup
kuat untuk mempersulit Amenhotep. Ia membuat sebuah perjanjian, daripada menghadapi risiko perang terbuka.
Ia bersikap sebaik mungkin di negerinya agar seakan-akan perjanjian itu
yaitu suatu kemenangan: sebuah inskripsi di Karnak mengklaim bahwa
orang Mitanni merangkak kepadanya dengan tangan dan lutut sambil
memohon damai:
Pemimpin-pemimpin orang Mitanni datang kepadanya sambil menggendong upeti untuk meminta damai kepada Baginda ... Suatu peristiwa yang
luar biasa, yang tidak terdengar lagi sejak zaman purba. Negeri yang tidak
mengenal Mesir ini meminta pengampunan kepada Baginda!8
Tetapi itu yaitu upaya untuk menyelamatkan muka; Amenhotep II
tidak berani menyerang. Tidak ada salinan perjanjian yang tersimpan,
tetapi beberapa abad sesudahnya, sebuah garis perbatasan antara kedua
negara itu masih dipertahankan; garis itu menyusur sepanjang sungai
Orontes. Dalam kurun waktu dua belas tahun, baik Amenhotep II maupun
Saustatar menyerahkan tahta kepada anak lelaki mereka. Di Mesir
Tuthmosis IV dimahkotai; di ibu kota Mitanni, Washukkanni, Artadama
mengambil alih tahta. Sekitar tahun 1425, kedua raja mengukuhkan
kembali perdamaian yang telah disumpahkan oleh kedua ayah mereka.
Sebuah perjanjian resmi dibuat dan, yang lebih penting lagi, Tuthmosis IV
setuju untuk menikahi salah seorang anak perempuan Artadama.
Sebuah surat yang ditulis oleh cucu Artadama beberapa dasawarsa
sesudahnya menjelaskan bahwa Tuthmosis IV menulis kepada Artadama
”dan meminta bagi dirinya anak perempuan kakek saya ... ia menuliskan
surat itu lima atau enam kali, tetapi ia tidak memberikan anak perempuan
itu; lalu ia menulis kepada kakekku untuk ketujuh kalinya, barulah
[kakekku] menyetujuinya”.10 Ini sama mustahilnya dengan cerita Amenhotep
tentang orang Mitanni yang merendahkan diri untuk meminta damai. Pharaoh
Mesir tidak mengemis meminta putri asing. Tetapi perjanjian dengan Mesir
memberikan Mitanni kehormatan diri yang sama sekali baru. Seperti istana
di Memphis, istana raja Mitanni memandang dirinya berdaulat dan berkuasa,
dengan melimpahkan kemurahan yang ikhlas kepada raja-raja negara lain
yang memohonnya.
Bahkan jika Tuthmosis IV tidak memintanya, persekutuan itu sangat
baik untuk Mesir, yang selanjutnya menguasai daerah taklukannya di Kanaan
dengan persekutuan yang dijanjikan oleh sahabat-sahabat baiknya. Tidak
ada kota Semit Barat, jika melihat kekaisaran yang besar di sebelah selatan
dan kekaisaran yang sama besarnya di utara, yang berani memberontak, dan
suasana damai penuh kewaspadaan mengikutinya
G A R I S WA K T U 2 9
ASIA KECIL/MESOPOTAMIA MESIR
Anittas (sek.1790) Periode Menengah Kedua (1782-1570)
Dinasti 13 (1782-1640)
Kematian Samsuiluna (1712)
Dinasti 14 (1700-1640)
Perebutan oleh orang Hyksos (1663)
Hattusilis I (1650-1620)
Dinasti 15, 16, & 17
Mursilis I (1620-1590)
Kahmose
Penaklukan Babilon oleh orang Hitti (1595)
Hantili (1590-1560)
Kerajaan Baru (1570-1070)
Dinasti 18 (1570-1293)
Ahmose I (sek. 1570-1546)
Telepinus (1525-1500)
Hatshepsut-Tuthmosis III (sek. 1504-1483)
Parattarna (Mitanni) Tuthmosis III (sendiri) (sek. 1483-1450)
Saustatar (Mitanni)
Artadama (Mitanni) Tuthmosis IV (1419-1386)
D T, dinasti Shang tengah memerintah, dengan moralitas yang
jelas, atas wilayah yang dahulu dikuasai oleh dinasti Xia.
Tidak banyak detail yang tersimpan dari tahun-tahun awal Dinasti Shang
itu. Tetapi reruntuhan kota-kota Shang mengungkapkan bahwa dalam separuh pertama pemerintahan dinasti itu—dari awalnya secara tradisional pada
tahun 1766 sampai sekitar 1400—para penguasa Shang tidak memiliki ibu
kota tunggal. Tradisi menyebutkan bahwa ibu kota berpindah tempat sebanyak
lima kali dalam kurun waktu 350 tahun itu. Situsnya tidak dapat diidentifikasikan dengan kepastian penuh, tetapi para pakar arkeologi percaya bahwa
semuanya terletak dalam suatu lingkaran wilayah di sekitar sungai Kuning, di
sebelah timur ibu kota Xia, di daerah yang mungkin sekali merupakan daerah
asal Tang.
Perpindahan-perpindahan itu menyingkapkan suatu dinasti yang, walaupun
berhasil mempertahankan mahkota kerajaan di dalam kalangan keluarga,
belum memerintah dengan kekuasaan yang penuh. Selama pemerintahan
para ahli waris Tang, kekacauan yang menandai tahun-tahun terakhir Dinasti
Xia masih menerpa pemerintahan yang baru bagaikan riak gelombang.
P T Y Y, seorang lelaki yang
naik ke tampuk kekuasaan entah karena ia mendapatkan namanya yang
begitu harum karena kebijaksanaannya, saat ia bertani di luar ibu kota Po,
sehingga Tang memintanya untuk datang dan mengabdi di istana; atau karena
ia mengabdi sebagai juru masak Tang dan memasak makanan-makanan yang
luar biasa lezatnya (Sejarawan Besar Sima Qian mencatat kedua cerita itu).1
Apa pun asal-usulnya, Yi Yin yaitu seorang administrator yang cakap
sekaligus juga seseorang yang tak gampang ditebak dalam istana Tang. Sebuah cerita dari masa lalu mengisyaratkan bahwa ia pada suatu saat
meninggalkan pihak Tang dengan berpindah ke pihak musuh Xia selama
beberapa waktu, sebelum kembali lagi kepada pilihan loyalitasnya semula.2
Yang lebih menghenyakkan lagi, dialah yang memegang kendali istana saat
terjadi kematian susul-menyusul para ahli waris Shang.
saat Tang meninggal, sesudah memerintah selama kurun waktu tiga
puluh tahun dengan layak, Yi Yin masih mengabdi sebagai kepala pegawai
istana. Tang telah menunjuk anak lelaki tertuanya sebagai pewaris, tetapi
orang muda itu ”meninggal sebelum ditahtakan”. Anak lelaki kedua (tentunya
lebih muda dan lebih mudah dikendalikan) naik tahta menggantikannya,
tetapi meninggal sesudah dua tahun; lalu anak lelaki ketiga dan yang
terakhir dimahkotai dan, sesudah empat tahun, meninggal juga. Dengan
mengesampingkan hemofili atau kecenderungan bunuh diri, pola kematian
itu lebih dari sekadar ganjil.
Sima Qian yang menceritakan semua detail itu tidak menyatakan kecurigaan
kepada Yi Yin; dan memang, Yi Yin tidak melakukan usaha langsung untuk
merebut tahta sesudah kematian anak lelaki terakhir. Alih-alih, ia memimpin
kenaikan tahta cucu Tang, T’ai Jia, anak dari anak lelaki tertua yang telah
meninggal enam tahun sebelumnya. Tetapi tindakannya itu mengisyaratkan
kecerdikan, bukan loyalitas. Yi Yin mengetahui bahwa para bangsawan China
tidak akan menerima pentahtaan seorang mantan juru masak (atau mantan
petani); ia bisa meraih jalan ke dalam posisi sebagai raja dengan berbagai cara
kecuali menggunakan namanya. Akibat kematian semua anak lelaki Tang
dalam kurun waktu yang cukup singkat, kini tahta diduduki oleh seorang
anak, dan anak itu ada di bawah asuhan Yi Yin.
Menurut Sima Qian, Yi Yin melewatkan tahun pertama pemerintahan T’ai
Jia dengan menulis perintah-perintah agar dilaksanakan oleh sang raja muda.
Agaknya perintah-perintah itu tidak ditaati: tiga tahun sesudah pemahkotaan
T’ai Jia, ”ia semakin menjemukan dan sewenang-wenang; ia tidak mematuhi
perintah Yi Yin dan mencemarkan nama harum Tang”.3
Karena anak itu
barangkali masih sangat muda, sulit melihat seberapa berkuasanya dia. Ia
malah menolak dengan gusar perintah tuan-boneka itu. Menanggapi itu,
Yi Yin segera menyatakan bahwa tahta kerajaan berada dalam bahaya, dan
mengirim raja muda itu untuk disekap di sebuah istana yang jaraknya empat
puluh kilometer di luar kota. Selama tiga tahun berikutnya Yi Yin mengemban
tugas sebagai administrator atas nama kaisar, dan dalam melakukan tugasnya
itu ia menerima para tuan tanah”.
Sima Qian mengakhiri cerita dengan suasana yang menyenangkan.
sesudah berada di pengasingan selama tiga tahun, kaisar muda itu ”menyesali kekeliruan-kekeliruannya, menyalahkan dirinya sendiri, dan kembali
berperilaku yang baik”. Agaknya itu berarti bahwa sekarang ia mau dibimbing
oleh Yi Yin, yang menyambutnya kembali dengan baik dan mengembalikan
kekuasaan kerajaan kepadanya. ”Yi Yin”, demikian Sima Qian mengakhiri
cerita, ”berpendapat bahwa ia istimewa”.
Sebuah versi lain dari cerita ini, yang berasal dari sumber-sumber lain,
mungkin lebih mendekati kebenaran; T’ai Jai melarikan diri dari istana tempat
ia disekap, kembali ke ibu kotanya, dan membunuh si raja gadungan.
T tentang pemerintahan keempat belas
raja Shang yang masih tersimpan, tetapi kita mengetahui bahwa di bawah
pemerintahan raja Shang kesepuluh, Chung Ting, keresahan melanda
dinastinya. Chung Ting memindahkan ibu kotanya ke Hsiao. Penggalian
di situs yang diduga sebagai situs Hsiao menyingkapkan sebuah kota yang
dikelilingi sebuah tembok dari tanah yang digilas setinggi tiga puluh meter di
berbagai tempat dan tingginya hampir sepuluh meter. Pembangunan tembok
itu mungkin memerlukan waktu sekitar delapan tahun dengan sepuluh ribu
pekerja.4
Raja Shang itu mungkin tidak memerintah daerahnya seperti seorang
pharaoh Mesir, tetapi ia memiliki kekuasaan yang cukup untuk memaksakan
kerja berat itu kepada sejumlah besar orang.
Kendati pembuatan tembok itu menuntut investasi besar di pihak Shang,
kurang dari dua generasi berikutnya, raja Shang kedua belas memindahkan
ibu kota lagi, kali ini ke Hsiang. Pewarisnya, raja Shang ketiga belas, Tsu Yi,
berkemas dan pindah ke ibu kota yang keempat, Keng. saat Keng hancur
akibat banjir, Tsu Yi memindahkan markas besar Shang ke kota Yen, dengan
demikian ia merupakan satu-satunya raja Shang yang menduduki tiga ibu
kota selama masa pemerintahannya.
Perpindahan ibu kota Shang yang sering itu merupakan teka-teki. Setiap
kerajaan purba lainnya (sejauh yang kita ketahui) berusaha mempertahankan
suatu kota tertentu sebagai ibu kota, dan hanya meninggalkannya jika menghadapi invasi musuh atau bencana alam. Banjir sungai Kuning mungkin saja
sedikit berperan dalam perpindahan ibu kota Shang. Tetapi China pada masa
Shang bahkan masih lebih terisolasi daripada Mesir beberapa abad sebelumnya; China tidak memiliki perdagangan lewat air dengan bangsa lain, dan
tidak ada jalan darat ke luar China.
Sikap permusuhan kepala-kepala desa di daerah yang berdekatan mungkin bisa disamakan dengan invasi dari luar. Sima Qian mengatakan bahwa
tahun-tahun itu yaitu tahun-tahun naik dan jatuhnya kekuasaan. Selama
pemerintahan sejumlah raja Shang, tuan-tuan tanah ”datang untuk membayar upeti”, tetapi penguasa-penguasa lainnya mendapati bahwa tuan-tuan
tanah menjauh dan menolak untuk pergi ke ibu kota untuk menyerahkan
upeti.5
Kekuasaan raja Shang bukanlah tidak dipertanyakan. Barangkali tembok besar dari tanah gilas itu dibangun sebagai perlindungan terhadap warga
negara Shang sendiri.
Sekitar tahun 1400, raja Shang kesembilan belas, P’an Keng, memutuskan
untuk memindahkan ibu kota ke tepi lain sungai Kuning. Para pejabat istana
menolak, bahkan sampai memberontak. Tetapi P’an Keng berkukuh.
Sebuah cerita yang masih tersimpan dari masa pemerintahan P’an Keng
menunjukkan kecerdikannya melestarikan mahkota Shang, bahkan pada
saat menghadapi pergolakan. Terdapat tiga naskah kuno yang berbeda yang
mencatat tanggapn P’an Keng terhadap para pejabat istananya saat mereka
memboikot perintahnya untuk meninggalkan ibu kota lama:
Aku sudah menanyakan kepada [juru ramal] dan memperoleh jawaban:
”Ini bukan tempat untuk kita”. saat raja-raja terdahulu memiliki
hajat penting, mereka mengindahkan perintah dari Langit. Dalam kasus
semacam ini khususnya mereka tidak memegang teguh keinginan untuk
terus menerus beristirahat; mereka tidak pernah tinggal di kota yang sama.
Sampai saat ini ibu kota telah menempati lima daerah.... [Kita harus]
mengikuti teladan zaman dahulu itu ... meneladani tindakan bijak para
raja terdahulu.6
Dalam cerita itu, P’an Keng mengambil jalan untuk memindahkan ibu
kota dari satu kota ke kota lainnya—sebuah sejarah yang tentu menunjukkan
kelemahan—dan menyodorkannya sebagai suatu tradisi yang dimuliakan
karena usia dan diteguhkan oleh restu ilahi. Para leluhurnya tidak dapat
memindahkan kedudukan pemerintahan mereka karena mereka tidak dapat
mengendalikan gejolak di sekeliling mereka. Sebaliknya, mereka sendiri berpindah karena mereka menolak untuk berkubang dalam ”istirahat yang tak
henti-hentinya”. Kesulitan pada masa lalu sekali lagi dikemas sebagai bukti
kekuatan.
Strategi itu berhasil, dan Yin menjadi pusat sebuah istana kuat yang
diperbarui. ”Gaya pemerintahan Yin kembali berkembang”, catat Sima Qian,
”dan semua tuan tanah datang ke istana untuk membayar upeti, karena [P’an
Keng] mengikuti perilaku baik Tang.”7
P’an Keng sendiri, walaupun memaksa
para pengikutnya untuk melakukan migrasi yang tidak dikehendaki, menjadi
tumpahan kasih sayang rakyatnya. sesudah pemerintahannya, adik lelakinya
menggantikan dia, dan pada waktu itu para bangsawan China yang sama yang
”merasa sakit hati, dan tidak mau pindah”, kini ”merindukan P’an Keng”.
Raja-raja Hitti mencabik-cabik kerajaan mereka sendiri dengan bertarung
memperebutkan tahta kekuasaan. Alih-alih melawan, Shang membungkukkan diri. Alih-alih mengangkat senjata melawan seteru, mereka beranjak
dan memindahkan tempat berpijak mereka, dan tetap menduduki tahta
China selama berabad-abad.
G A R I S WA K T U 3 0
MESIR CHINA
Dinasti Shang (1766-1122)
Tang
T’ai Jia
Dinasti 14 (1700-1640)
Perebutan oleh orang Hyksos (1663)
Dinasti 15, 16, & 17
Chung Ting (Hsiao)
Kahmose Ho T’an Chia (Hsiang)
Kerajaan Baru (1570-1070)
Dinasti 18 (1570-1293) Tsu Yi (Keng, Yen)
Ahmose I (sek. 1570-1546)
Hatshepsut-Tuthmosis III (sek. 1504-1483)
Tuthmosis III (sendiri) (sek. 1483-1450)
Tuthmosis IV (1419-1386) P’an Keng (Yin) (sek. 1400)
S M dari Kreta tenggelam ke dalam kebobrokan
dan kekacauan yang semakin besar, kota-kota di semenanjung di sebelah utara
pulau itu tumbuh menjadi semakin besar.
Pada tahun 1600, orang Mycenas telah mulai menguburkan para penguasa
mereka di makam-makam yang dilengkapi dengan kekayaan, di tempat
yang tinggi di sebuah bukit pusat. Siapa pun para raja itu, mereka memiliki
kekuasaan yang cukup besar terhadap rakyatnya untuk diperlakukan penuh
kehormatan pada saat wafat. Tetapi kekuasaan mereka tidak menjangkau lebih
jauh daripada tembok-tembok Mycenas. Istana raja di Mycenas memiliki
padanan, sebuah istana kedua yang dengan megah mendominasi kota Thebes,
di sebelah timur laut; terdapat sebuah istana ketiga di Pylos, di pantai barat
daya, dan istana keempat dibangun di Athena, sedikit di seberang bentangan
daratan yang pendek.1
Kota-kota di semenanjung Yunani, yang terpisah satu
sama lain oleh barisan pegunungan, memiliki pemerintahan yang mandiri
sejak awal masa sejarahnya.*∗
Meskipun memiliki kemandirian, kota-kota itu memiliki hubungan
dagang, bahasa, dan kebudayaan yang sama di antara mereka. Dari kota
Mycenas itulah, kota terbesar di semenanjung itu, kebudayaan Yunani mendapat namanya; sejauh menyangkut bidang perhatian sejarawan, kota
Thebes, Athena, dan Pylos semuanya dihuni oleh orang Mycenas.
Sebuah tradisi yang disimpan oleh sejarawan Yunani Plutarkhos (antara
lain) menuturkan bahwa orang Minos dan orang Mycenas sudah bertikai
sejak masa awal. Salah seorang putra Minos, yang mengembara di semenanjung utara itu dengan alasan yang tidak jelas, dibunuh oleh orang Mycenas;
sebagai pembalasan untuk darah anaknya, Minos memerintahkan agar kotakota Mycenas menyediakan anak-anak lelaki dan perempuan hidup sebagai
santapan manusia-banteng di bawah istana Knossos.
Menurut Plutarkhos, beban itu ditanggung oleh kota Athena di pantai
tenggara. Selama dua tahun orang Athena mengirimkan anak-anak lelaki dan
perempuan mereka kepada Minotaurus. Namun pada tahun ketiga para orang
tua di Athena menggerutu dengan kebencian yang semakin besar pada raja
mereka Aegeus, yang tampaknya tidak berdaya menghadapi raja tiran Minos.
Di depan kemarahan rakyatnya yang kian membesar, pangeran Theseus—
anak lelaki sulung Aegeus—melangkah maju; ia mau bergabung dengan kapal
upeti ketiga, sebagai anak lelaki ketujuh dari mereka, dan berusaha melawan
Minotaurus.Aegeus, tanpa berharap bahwa anaknya akan kembali, tetap menambahkan
pada kapal upeti berlayar hitam itu sebuah layar tambahan berwarna putih.
Theseus berjanji untuk menaikkan layar putih itu jika ia berhasil mengalahkan
Minotaurus dan pulang tanpa cedera. Jika ia gugur, seperti anak laki-laki
lainnya, sebagai korban nafsu Minotaurus, nakhoda akan menurunkan layar
hitam yang tergulung, agar ayahnya mengetahui kabar buruk itu sebelum
kapal tiba di pelabuhan.
Begitu sampai di Kreta, Theseus dan korban-korban lainnya dikirim ke
Labirin, untuk diburu melalui lorong-lorong itu oleh Minotaurus, sampai
mereka dimakan atau mati karena kehabisan napas karena tidak dapat
menemukan jalan keluar. Tetapi Theseus terlihat oleh mata anak perempuan
Minos, Ariadne. Wanita ini memberinya secara diam-diam segulung tali;
saat Theseus dibawa ke labirin itu, ia meletakkan gulungan itu di tanah
di gerbang Labirin dan mengikuti gulungan itu menggelinding pelan-pelan
menuju pusat labirin yang ada di bawah. Ia sampai ke sarang monster itu dan
membunuh Minotaurus, lalu merunut kembali tali itu sampai ke luar
(sesudah terpikir olehnya sebelumnya untuk mengikatkan ujung tali ke tiang
pintu).
lalu ia mengumpulkan tawanan lainnya dan melarikan diri pulang,
sesudah sebelumnya ”membor banyak lubang di dasar kapal-kapal Kreta
untuk menghalangi pengejaran mereka”.2
Tetapi karena tenggelam dalam
kemenangan itu, Theseus lupa mengganti layar kapalnya. saat melihat
pertanda buruk segitiga hitam di cakrawala, Agaeus terjun dari sebuah
tebing di dekat Athena ke laut. Theseus tiba, dengan kemenangan, di kota
yang penuh ratapan; laut kehijauan yang berada tepat di luar kota lalu
dikenal sebagai Laut Aegea, untuk mengenang ayahnya.
Ada serpihan-serpihan sejarah yang berkilau dari faset-faset mitos ini.
Keterampilan orang Mycenas di laut terpampang dalam diri Theseus, yang
meremukkan dasar kapal dan menakhodai kapal untuk pulang. Di dalam
Iliades, yang ditulis sekitar delapan abad sesudahnya, kota Mycenas diakui
jasanya dengan mengirimkan seratus kapal ke armada gabungan Yunani:
suatu jumlah kapal yang sedemikian besar yang menjadikan raja Mycenas
salah seorang pemimpin terkuat pada ekspedisi melawan orang Troya. Tetapi
pada zaman Homerus, Mycenas yaitu sebuah kota yang terbengkalai tanpa
kuasa.3
Kumpulan kapal-kapal dalam Iliades melestarikan sebuah tradisi yang
jauh lebih tua tentang kekuatan angkatan laut Mycenas.
Kemungkinan besar kapal-kapal Mycenas dimuati barang-barang dagangan, bukan upeti-upeti hidup. Tembikar Mycenas menyebar sampai sejauh
Karkhemish, dan ke timur laut sejauh Masat, di sebelah utara Hattusas; kapalkapal Mycenas berlayar ke selatan sampai ke Mesir, di mana sebuah cangkir
dari Mycenas dikuburkan sezaman dengan seorang pejabat Tuthmosis III.4
Tetapi perdagangan Mycenas terjadi terutama dengan orang Minos dari
Kreta. Makam-makam kerajaan Mycenas, tempat-tempat penguburan yang
dinamakan Lingkungan Makam Raja, dipenuhi tembikar Minos, lukisan yang
dibuat dengan gaya Minos, dan gambar-gambar orang Mycenas dengan busana
Minos. Perisai prajurit-prajurit Knossos yang terbuat dari kulit lembu dilukis
dengan totol-totol yang meniru kulit binatang; perisai Mycenas memiliki pola
yang sama.5
Dan dari orang Minoslah orang Mycenas belajar menulis. Orang
Minos