telah mengembangkan aksara mereka sendiri yang khas, mengikuti
pola lama yang telah berkembang ribuan tahun sebelumnya: dari segel pada
barang dagangan sampai piktogram, dari pikotgram sampai aksara piktografik
yang ramping. Bentuk tertua aksara ini tersimpan pada hamparan papan dan
pahatan batu di seluruh Kreta, dan pada umumnya disebut ”Linear A” untuk
membedakannya dari turunannya yang lebih canggih: ”Linear B”, yakni versi
aksara Minos yang menyebar ke utara tempat tinggal orang Mycenas.6
Meskipun memiliki suatu kebudayaan bersama, kedua bangsa itu saling
berperang sejak zaman kuno. Kemenangan Theseus—kemenangan akal
dan peradaban terhadap suatu bangsa yang brutal dan tidak berkembang
—mencerminkan penghinaan orang Yunani di lalu hari terhadap
peradaban-peradaban lain. Herodotus sendiri menyuarakan penghinaan itu
dengan mengatakan bahwa penguasa Yunani, Polycrates, yaitu orang pertama
yang menghimpun sebuah angkatan laut dan mengukuhkan kekuasaannya
atas laut: ”Aku tidak mengakui orang Minos dari Knosso dan siapa pun
yang mendahului orang Minos meraih kekuasaan atas laut”, tulis Herodotus
sebagai catatan samping; ”yang benar yaitu bahwa Polycrates yaitu warga
pertama dari apa yang kita kenal sebagai bangsa manusia yang pertama kali
melakukannya”.7
Ketidaksenangan itu dipertajam oleh persaingan antara kedua bangsa.
Angkatan laut kedua bangsa merondai Laut Tengah, dan kemungkinan besar
kedua armada itu tidak berdampingan secara damai. Perdagangan dengan
Mesir, yang memiliki emas dan gading, terlalu berharga; raja mana pun akan
melihat keuntungan jika melakukan monopoli itu. Dan Kreta membanggakan letaknya yang strategis, tepat di jalur dagang ke selatan ke Mesir.Barang dagangan Minos yang ditemukan di makam-makam Mycenas
mencerminkan keunggulan sementara orang Kreta. Tetapi sesudah letusan
Thera, pengaruh budaya antara Kreta dan Yunani mulai terbalik. Tembikar
dan cangkir khas Mycenas muncul lebih sering di rumah-rumah orang Minos,
dan sekitar tahun 1500, kuburan-kuburan orang Kreta mulai menunjukkan
sebuah desain khas Mycenas yang tidak tampak di pulau itu sebelumnya.8
upeti Athena ke Knossos kini terbalik. Seperti Theseus yang berjaya, kotakota Mycenas telah meraih keunggulan terhadap pulau di sebelah selatan itu.
Sekitar tahun 1450, kota Knossos dijarah, walaupun istananya tetap berdiri. Istana di Mallia dan Phaistos diratakan. Di seluruh Kreta, sebagian kota
ditinggalkan; yang lainnya mengerut secara mendadak, seakan-akan warga
muda mereka telah berperang dan gugur, atau melarikan diri.
Tidak terlihat bekas suatu kebudayaan baru di tempat itu. Kita hanya
dapat menduga bahwa hubungan Mycenas-Minos telah semakin merosot, dari
hubungan yang runcing menjadi perang terbuka. Lestarinya istana Knossos
menandakan bahwa seseorang di dalam kalangan pelaku invasi memerlukan
pusat pemerintahan Minos untuk keperluaannya sendiri; apa pun invasi yang
dipimpin raja Mycenas itu mungkin telah menggunakan Knossos sebagai
markas besarnya sendiri.9
Tetapi kehidupan di Kreta sesudah invasi tidak tampak berubah secara mencolok. Desain pada kuburan-kuburan kurang lebih tetap sama, Linear B tetap
digunakan, tembikar Minos tidak berubah sesaat .10 Pada waktu pengambilalihan, orang Mycenas yang melakukan invasi sangat mirip dengan orang
Minos. Kedatangan mereka lebih menyerupai pengambilalihan oleh saudara
kandung, perubahan resmi kepemimpinan antara dua negara yang sebelumnya telah saling bertukar napas selama berabad-abad. Orang Minos telah
mengalami infiltrasi, berubah dari dalam; Labirin mereka telah dibobol.
G A R I S WA K T U 3 1
CHINA SEMENANJuNG YuNANI
Dinasti Shang (1766-1122)
Tang
T’ai Jia
Chung Ting (Hsiao)
Ho T’an Chia (Hsiang)
Makam-makam kerajaan Mycenas (sek. 1600)
Tsu Yi (Keng, Yen)
Invasi orang Mycenas ke Kreta (sek. 1450)
P’an Keng (Yin) (sek. 1400)
A - Mitanni dan pharaoh Mesir
Tuthmosis IV, yang memeteraikan perjanjian antara kedua negara, tampaknya
merupakan suatu keberhasilan; anak mereka, Amenhotep, menjadi pharaoh
berikutnya.*∗
Dinilai dari lamanya pemerintahannya, Amenhotep III masih berusia belasan tahun saat naik tahta pada tahun 1386. Pemerintahannya ditandai
dengan meningkatnya kedamaian dan kekayaan kota-kota Mesir. Inskripsiinskripsi Amenhotep III tidak mencatat peperangan; yang dilukiskan yaitu
karya besar seorang raja yang memiliki waktu luang yang sangat luas. Menurut
salah satu inskripsi, ia membunuh 102 ekor singa dalam sepuluh tahun pertama pemerintahannya, suatu olahraga kesenangan raja-raja Mesir.1
Sebuah
inskripsi lain mengungkapkan keberhasilannya membunuh lima puluh
enam banteng liar hanya dalam sehari dalam sebuah perburuan ternak liar.
(Tampaknya banteng-banteng dikurung dahulu di dalam sebuah kawasan
berpagar sebelum ia mulai berburu, sehingga menjadi sedikit lebih mudah).2
Perdagangan Mesir berkembang; di antara benda-benda yang ditemukan
di Mycenas terdapat beberapa yang bertuliskan nama Amenhotep III. Dan
walaupun raja itu melakukan perjalanan wajib ke Nubia untuk memadamkan
suatu pemberontakan lain, lingkup pertempuran itu hanya kecil. Cerita dari
istana tentang pertempuran itu menuturkan bahwa Amenhotep,ahli waris Ra, anak lelaki Ra, kesayangan Ra … Baginda memimpin
hingga mencapai kemenangan; ia menyelesaikannya dalam pertempuran pertamanya yang menghasilkan kemenangan.3
Perang yang hanya berlangsung pada saat itu yaitu satu-satunya perang
selama masa pemerintahan Amenhotep. Walaupun ia menggelari dirinya
“Penghantam orang Asia”, itu yaitu promosi belaka; ia sama sekali tidak
pernah menghantam orang Asia. Ia memang tidak perlu melakukan hal itu,
karena ayah dan kakeknya telah mengukuhkan kerajaan untuknya.
Sebaliknya, ia membangun. Ia menggali sebuah danau sepanjang satu
setengah kilometer supaya istri utamanya dapat berperahu dengan nyaman
dengan perahu kerajaan bernama Kemilau Aten, sesuai dengan nama dewa
cakram matahari. Ia membangun sebuah istana yang sangat besar untuk dirinya
sendiri; ia membuat bangunan tambahan untuk Kuil Amun di Karnak dan
membangun sebuah kuil perawan untuk dewa matahari di kota Luxor yang
berdekatan; ia mendirikan sebuah kuil pemakaman yang sangat besar untuk
dirinya sendiri, dengan dua patung dirinya dalam sikap duduk pada kedua
sisinya. Patung di sebelah kanan, menurut saksi-saksi purba, mengerang
dengan suara keras pada waktu fajar dan senja: “Patung itu mengeluarkan
suara saat sinar matahari menerpanya”, catat sejarawan Romawi Tacitus.4
Itu
barangkali karena batunya memanas dan menjadi dingin dengan cepat, tetapi
itu menimbulkan ketakutan penduduk setempat. Ia membuka tambangtambang batu baru, membangun sebuah kediaman di Memphis untuk dirinya
sendiri, dan mendirikan tempat pemujaan di beberapa tempat di sepanjang
Nil bagian selatan.5
Dan ia menikahi, dengan sesuka-sukanya, sebanyak
mungkin putri yang dapat ia temukan. Sekurang-kurangnya terdapat tujuh
anak perempuan raja-raja kecil dari Mesopotamia dan daerah Semit Barat
yang datang ke istana Amenhotep III sebagai mempelai.
Hal itu menguntungkan secara politis, tetapi tampaknya juga untuk seleranya. Sebuah papan yang kirimkan kepada gubernur Gaza, yang mengawasi
daerah-daerah Semit Barat di ujung selatan atas nama pharaoh, mencatat.
“Aku telah mengirim ini untuk memberitahukan kepadamu bahwa aku mengutusmu [seorang pejabat istana] … untuk menjemput wanita-wanita cantik
… Seluruhnya empat puluh wanita, masing-masing dengan imbalan empat
puluh keping perak. Ambillah perempuan-perempuan yang sangat cantik,
tetapi pastikan bahwa tak satu pun yang suaranya melengking. lalu
baginda raja, tuanmu, akan mengatakan kepadamu, ‘Baik sekali’.” 6
Seperti ayahnya, Amenhotep III membuat perdamaian terhadap kerajaan Mitanni yang masih kuat dan merupakan suatu ancaman di utara. Raja
Mitanni, Artadama—kakeknya sendiri dari pihak ibu—telah menyerahkan tahta kepada anaknya Sudarna II. saat Amenhotep III naik tahta, Sudarna
telah memerintah kekaisaran Mitanni selama sepuluh atau dua belas tahun.
Amenhotep III mengirim kepada pamannya seorang wanita sebagai
mempelai, dan sebagai gantinya diberi seorang putri kerajaan (mungkin
kemenakannya sendiri). Wanita ini datang dengan 317 pengiring,7
yang
mencerminkan kedudukannya sebagai orang penting di dalam kerajaannya
dan mungkin juga di dalam kerajaan Amenhotep; ia menjadi salah seorang
istri tambahan pharaoh. saat Sudarna II digantikan tidak lama sesudahnya
oleh anak lelakinya, Tushratta (saudara kandung pangeran putri Amenhotep),
Amenhotep III mengirim utusan lagi ke utara untuk menawarkan perkawinan.
Tushratta menyepakati aliansi itu, yang mengikat wangsa kerajaan Mitanni
dan Mesir dengan ikatan ganda, dan mengirim anak perempuannya sendiri
ke selatan. Sekarang, baik saudari maupun anak perempuan Tushratta berada
di dalam harem Mesir,8
dan Tushratta sendiri menjadi ayah mertua, ipar, dan
kemenakan Amenhotep sekaligus, dan dengan demikian melanjutkan tradisi
simpul genealogis Mesir yang tak dapat diretas.
Tetapi tampaknya Amenhotep III juga memainkan kartu ganda terhadap
kemenakan/ayah mertua/iparnya dan kekaisaran kemenakan/ayah mertua/
iparnya. Ia juga menerima secara diam-diam utusan-utusan dari kota Assur,
yang berada di bawah kekuasaan Mitanni sebagai adiraja; raja-bawahan Assur,
Assurnadin-ahhe II, secara diam-diam tengah memperkuat benteng-benteng
kotanya sebagai persiapan untuk memberontak.9
Amenhotep III sama sekali tidak memiliki keuntungan dengan menerima
diplomat Assur. Raja-bawahan Mitanni tidak diperkenankan bernegosiasi
dengan kekuatan asing seakan-akan kerajaan merdeka. Namun, pharaoh
tidak hanya menyambut utusan-utusan itu, tetapi juga mengirim mereka pulang dengan uang untuk pemugaran benteng, dan mendapatkan kepercayaan
Assur dan seorang calon sekutu bila mendapat serangan dari utara.
Kira-kira pada saat yang sama, ia merundingkan suatu perjanjian rahasia dengan raja baru Hitti, musuh sengit orang Mitanni. Raja itu, seorang
lelaki yang masih muda dan energik bernama Suppiluliuma, telah mewarisi
kedudukannya dari suatu garis silsilah panjang leluhur yang sama sekali tidak
menonjol; dia pun juga agak khawatir terhadap orang Mitanni penindas yang
mengancam. saat Amenhotep III mendekatinya untuk menawarkan aliansi
(“Marilah kita tetapkan semata-mata hubungan yang paling bersahabat di
antara kita berdua”, demikian tawaran pharaoh), raja Hitti itu setuju.10
Itu pun bukan akhir dari siasat Amenhotep. Ia juga menikahi anak
perempuan raja Kassi di Babilon, seorang lelaki yang jauh lebih tua daripada
dia sendiri; saat raja itu digantikan oleh anak lelakinya, Amenhotep
mengirim utusan untuk menawar anak perempuan raja itu.Itu yaitu teknik yang telah ia gunakan pada wangsa kerajaan Mitanni.
Tetapi raja Babilon itu secara tak terduga menentang keinginan pharaoh.
Dalam surat-suratnya, ia mengatakan bahwa selama bertahun-tahun ia tidak
pernah mendengar kabar apa pun tentang adik perempuannya:
Sekarang Anda meminta anak perempuanku untuk Anda nikahi. Tetapi,
saudari perempuanku yang telah diberikan ayahku kepada Anda sudah
berada bersama Anda. Dan tidak ada yang mengetahui apakah ia masih
hidup atau sudah mati.11
Amenhotep membalas,
Pernahkah Anda mengirim seorang duta ke sini yang mengenalnya, yang
dapat berbicara kepadanya dan mengenali dia? Anda hanya mengirimkan
orang kebanyakan—seorang gembala keledai sebagai utusan!12
lalu ia mengutarakan dengan tajam bahwa raja Babilonia memiliki
reputasi suka memberikan anak-anak perempuannya dengan sukacita kepada
siapa pun yang menawarkan emas sebagai imbalannya.
Implikasi kasar bahwa yang dipentingkan oleh kerajaan Babilon hanyalah tawaran tertinggi bagi seorang perempuan istana disanggah oleh raja
Babilon, yang ternyata memang tidak mengharapkan kesopanan dari Mesir.
Ia membalas sambil menyarankan agar Amenhotep mengambil seorang putri
Mesir saja sebagai istrinya, tetapi itu tidak ditanggapi dengan gembira oleh
Amenhotep: “Sejak zaman dahulu”, sambar pharaoh, “tak seorang anak perempuan raja Mesir pun diberikan kepada seseorang”.13 Amenhotep bernegosiasi,
membuat siasat, dan menikah untuk menciptakan aliansi, tetapi di benaknya
selalu tertanam kuat bahwa sekutu-sekutunya lebih rendah daripada dirinya.
K , Amenhotep
III merencanakan pesta yubileumnya yang pertama, pembaharuan kuasanya
dengan heb-sed.
Dalam yubileum itu, Nil dan airnya kurang diperhatikan dibanding suatu
zat ilahi lain: matahari. Dewa matahari Ra yaitu salah satu dewa tertua Mesir,
dan sejak awal pemerintahannya Amenhotep III telah mengumandangkan
sembah bakti yang khusus kepadanya. Sebagai salah satu gelar kerajaannya, ia
telah mengambil gelar “Ra yaitu dewa kebenaran”, dan inskripsi-inskripsinya
menyebutnya dengan berbagai rumus sebagai “ahli waris Ra”, “orang pilihan
Ra”, dan “gambar Ra di Kedua Negeri.Seperti halnya perkawinan Amenhotep, sembah bakti ini merupakan
suatu kombinasi yang tepat antara selera pribadi dan kecerdikan politis.
sesudah kenaikan kekuasaan Dinasti Kelima,∗
para imam Ra telah mengalami
kemunduran dengan naiknya imam-imam Amun, dewa-ayah kuno, Tuhan
di dalam panteon Mesir. Sejak dahulu Amun yaitu seorang dewa yang tak
berbentuk; bahkan, salah satu wujudnya yaitu ketidaknampakan, sebagai
suatu kehadiran tak terlihat. Ia dijuluki “Yang Tersembunyi”, dan condong
untuk meminjam identitas, seraya mengklaim kekuasaan dari seorang dewa
lain untuk menutupi kodrat sebenarnya yang misterius.15 Ini memberikan
keleluasaan besar kepada para imamnya. Seperti yang terungkap dari gelargelar wazir Hatshepsut, menjadi seorang imam Amun sama dengan mengklaim
kepemilikan harta kekayaan apa pun milik Mesir.†
Dengan memuja Ra sebagai dewa pribadinya, Amenhotep III membebaskan
diri dari kekuasaan para imam Amun—dan juga menghindari pemberian
sumbangan tanah atau kekayaan lebih lanjut ke kuil Amun. Tampaknya dewa
matahari Ra menunjukkan terima kasihnya dengan menyambut Amenhotep
III ke dalam panteon; pada sebuah relief dari masa sekitar waktu festival itu,
anak lelaki Amenhotep membungkuk untuk menghormati ayahnya, yang
berdiri sangat tinggi di tempat matahari berada.16
Ini agak tidak lazim, karena Amenhotep IV, anak lelaki raja, jarang muncul
pada monumen ayahnya, seolah-olah Amenhotep III ingin menjauhkan dia
dari pandangan rakyatnya yang akan datang. Ia telah menunjuk anak muda itu
untuk suatu kedudukan sebagai wakil raja kerajaan Kush, nama untuk daerah
Nubia yang jauh di selatan (atau “Nubia Hulu”; kerajaan Kush di Nubia Hulu
berpusat di sekitar Katarak Ketiga, sedang bagian utara Nubia, “Nubia Hilir”,
dikenal sebagai Wawa). Mendudukkan ahli waris di tempat yang sedemikian
jauh mengisyaratkan bahwa Amenhotep III ingin agar penyandang klaim
berikutnya berada sejauh mungkin dari tahta.
Tetapi ia tidak dapat menghindari masalah itu selamanya. Dalam tahun
ketiga puluh tujuh pemerintahannya, Amenhotep III mulai menderita
suatu penyakit yang akhirnya mengantar ke gerbang kematian. Giginya,
yang tersimpan di dalam muminya, terkena abses yang parah dan tentu
menyebabkan rasa nyeri yang tak henti-hentinya; mungkin penyakit
pamungkas ini yaitu suatu infeksi yang menyebar.17 Kemenakan/ayah
mertua/iparnya di Mitanni mengirimkan pertolongan berupa sebuah patung
dewi Ishtar yang telah diambil dari Assur beberapa dasawarsa sebelumnya.
Kita memiliki ucapan terima kasih Amenhotep, tetapi dewi Mesopotamia itu tampaknya tidak memiliki kuasa di Mesir; tidak lama sesudah Ishtar melewati
Delta, Amenhotep III meninggal.
Selama pemerintahannya yang luar biasa panjang, Mesir telah mencapai
suatu kedamaian dan kemakmuran yang tidak ada padanannya. Amenhotep
IV, sekembalinya dari pengasingan di Nubia untuk menggantikan tempat
ayahnya, harus menyesuaikan diri dengan banyak tujuan baru. Ia memilih
untuk mengalahkan ayahnya dalam hal pemujaan. Amenhotep III memuja
dewa matahari Ra; Amenhotep IV memulai suatu agama baru, pemujaan terhadap matahari sendiri.
Cakram surya itu disebut “Aten”, dan bukannya tidak dikenal pada masa
sebelumnya; agama itu hanyalah satu aspek dewa matahari Ra. Tetapi di
tangan Amenhotep IV cakram surya menjadi sesuatu yang baru. Alih-alih
seorang dewa yang berbentuk seperti seorang makhluk fana, seperti Osiris dan
Horus serta Ra sendiri, cakram surya merupakan suatu perwujudan abstrak
dari yang ilahi sendiri; penampakan suatu kekuasaan tunggal. Di dalam gilang
kemilaunya, dewa-dewa lain di dalam panteon menjadi lenyap. Matahari
bukan hanya menjadi kekuasaan utama. Matahari yaitu satu-satunya
kekuasaan. Dewa-dewa dalam panteon Mesir memiliki istri dan gundik; Aten
hanya sendirian dan mencukupi dirinya sendiri. Dewa-dewa dalam panteon
Mesir tampak dalam wujud makhluk
fana; Aten tidak memiliki wujud.
Dewa-dewa dalam panteon Mesir
memiliki cerita; Aten tidak memiliki
kisah sama sekali.
Amenhotep IV sudah merambah
jalan menjadi seorang monoteis.
Pada tahun kelima pemerintahannya, Amenhotep IV memberitahukan
kepada para imam dan warga istananya bahwa ia telah menerima sebuah
sabda ilahi: Aten telah menunjukkan
kepadanya suatu tempat, di mana
belum pernah didirikan bangunan,
tempat ibu kota baru harus dibangun
untuk penghormatan kepada dewa
itu.
Tempat itu yaitu suatu dataran
belantara yang kering dan berpasir, di
sebelah timur Nil, di bawah sebuah
bukit karang berbentuk setengah lingkaran, dan tiada tanah subur di dekatnya. Itu yaitu sebuah ceruk yang panasnya terik, di mana dinding-dinding batu mengumpulkan bahang matahari
sementara bukit karang merintangi aliran angin. Tetapi di sana, Amenhotep
IV berniat membangun kota Akhet-Aten. Sementara pembangunan dimulai,
ia juga mengubah namanya sendiri. Sejak tahun kesembilan pemerintahannya, hampir di semua tempat namanya diinskripsikan sebagai Akhen-aten:
pemuja matahari.18
Kini penguasa Mesir tidak lagi sekadar “orang kesayangan Ra”; ia yaitu
anak Aten, anak lelaki matahari. Aten tidak memiliki dewa lain sebelum
dirinya, tetapi pharaoh tetap tinggal sebagai satu-satunya penjelmaan
duniawi dan wakil dari keilahiannya. Kekuasaan Akhen-aten sendiri berasal
langsung dari pengetahuannya akan Yang Esa. Ia mengalami kesulitan untuk
menjelaskan hal ini dalam sebuah syahadat panjang yang ia tulis sendiri:
Engkau terbit di ufuk Langit, O Aten Yang Hidup, Awal segala Kehidupan....
saat engkau terbenam di cakrawala, bumi diliputi kegelapan, seakanakan mati.... Bumi kembali cerah saat engkau terbit di ufuk.... Betapa
banyaknya pekerjaanmu! Karyamu itu tersembunyi dari pandangan manusia. Yang Ilahi Satu-satunya, yang tidak tersamai oleh satu makhluk pun....
Engkau ada di hatiku, tetapi tidak ada orang lain yang mengenalmu selain
anak lelakimu, Akhenaten. Engkau telah membuatnya bijaksana seturut
rencanamu dan dalam kekuasaanmu.19
Begitu ia menetap di ibu kotanya yang baru, Akhenaten memerintahkan
agar nama Amun dihapus dari semua inskripsi. Para pekerja harus menutupnya dengan semen dan menulisi ulang dengan nama Aten.20 Amun bukan
dewa sejati; ia yaitu versi yang terdistorsi dan rusak dari yang ilahi yang
sejati, dan para imamnya yang berkuasa kini tidak memiliki keberuntungan.
Penghancuran itu sedemikian tandas sehingga hampir-hampir hanya satu saja
contoh nama Amun yang masih tinggal.
Dewa-dewa lainnya juga tidak memiliki nasib yang lebih baik. Akhenaten
memerintahkan pembangunan kuil-kuil baru untuk Aten, dengan pusat yang
terbuka di mana sinar matahari dapat turun; tetapi kuil-kuil lainnya ditutup,
para imam diusir dan dilarang melakukan kurban. Tidak ada imam lain
yang menggantikan mereka. Aten tidak membutuhkan imam dan birokrasi
keagamaan yang mungkin menghalangi cita-cita pharaoh. Baik dewa maupun
wakil dewa di bumi bisa menoleransi pembagian kekuasaan.
Walaupun sudah mengubah namanya, Akhenaten tetap anak sejati
ayahnya.Dalam kurun waktu sekitar seratus tahun sejak pemerintahan Akhenaten,
suatu pergolakan keagamaan dan politik lain terjadi, saat keturunan
Abraham melarikan diri dari Mesir.
Menurut Pentateukh, keturunan Abraham berlipat ganda menjadi sebuah
bangsa: orang Ibrani, yang hidup sebagai gembala dan pengembara di daerahdaerah Semit Barat sampai kelaparan mengancam untuk membasmi mereka.
Mereka pergi bersama kawanan ternak mereka ke Mesir yang berlimpah airnya, dan di sana mereka menetap di suatu daerah di utara dan berkembang.
Cerita dalam Alkitab melukiskan bahwa penduduk Mesir merasa tidak
senang dengan bangsa yang energik dan—tanpa basa-basi—subur itu, yang
menunjukkan bertambahnya pemukiman mereka perbatasan dan merambah
ke bagian-bagian lain di negeri itu. Orang Mesir sudah biasa merendahkan
“orang Asia yang keji” di sebelah utara, dan invasi dari daerah-daerah Semit
Barat merupakan suatu bahaya yang tetap. Bukan itu saja, Mesir dalam suatu
masa yang masih diingat telah direbut oleh orang Semit Barat—orang Hyksos,
yang (seperti orang Ibrani) tinggal di Mesir selama puluhan tahun sebelum
pergi berpindah. Maka, tidaklah mengherankan bahwa kehadiran suatu bangsa imigran lain yang berkembang membuat mereka khawatir.
Kitab Eksodus menuturkan bahwa pharaoh Mesir menghimpun orang
Ibrani sebagai pelaku kerja paksa untuk membangun proyek-proyeknya, dan
(saat hal itu tidak juga menurunkan jumlah populasi mereka yang berlebih
itu) memerintahkan supaya semua anak lelaki Ibrani dibuang ke sungai. Ibu
salah seorang anak menyembunyikan anaknya selama tiga bulan. saat ibu
itu melihat bahwa anaknya sulit untuk disembunyikan lebih lama karena ia
mulai berisik, ia membuat sebuah keranjang dari gelagah, melepanya dengan
ter, memasukkan bayi itu ke dalamnya, dan menaruhnya di antara tumbuhan
gelagah di tepi Nil, tepat di dekat tempat di mana para putri Mesir turun
untuk mandi. Datanglah seorang putri yang diikuti sejumlah dayang dan
menemukan bayi itu. Ia mengenali bayi itu sebagai anak salah seorang Ibrani,
namun tetap memutuskan untuk memungutnya. Bayi itu tumbuh menjadi
besar di istana dengan nama Musa.
Jika kejadiannya seperti itu, pengangkatan seorang anak bayi Ibrani sebagai
anak seorang putri Mesir tampaknya mustahil terjadi, mengingat adanya permusuhan antara mereka. Tetapi kita mengetahui bahwa para pharaoh sejak
Tuthmosis IV biasa menikahi anak-anak perempuan dari kerajaan timur
secara tetap; hal itu berarti sang putri mungkin saja berasal dari keturunan
orang Semit Barat. Ia mungkin mengetahui kisah Sargon, yang tatkala masih
bayi mengapung di sungai Efrat.
Ibuku mengandungku secara diam-diam, ia melahirkan aku dalam
persembunyian. Ia menaruhku di sebuah keranjang gelagah,
ia menutup lidah-lidah keranjang dengan ter.
Ia melemparkan aku ke sungai, tetapi air sungai tidak menenggelamkan
aku.
Cerita kelahiran Sargon berperan sebagai meterai pemilihan, suatu bukti
keilahian-nya. Ibu bayi Ibrani itu tentu mengetahuinya dan menggunakannya dalam suatu upaya hidup-atau-mati (yang berhasil) untuk menempatkan
bayinya di dalam garis para pilihan ilahi.
Kenyataannya terjadi sesuai dengan rencana rahasianya. sesudah dewasa,
Musa meninggalkan Mesir dan mendengar panggilan Allah Abraham: ia harus
kembali ke Mesir dan memimpin semua orang Ibrani keluar dari perbudakan,
kembali ke tanah yang telah dijanjikan Allah kepada keturunan Abraham.
saat ia tiba di istana, pharaoh (tentu saja mengenali anak angkat Ibrani yang
tumbuh menjadi dewasa di istana; mungkin keduanya berusia sebaya) menolak dengan geram. Setiap penolakan diikuti oleh pembalasan ilahi: sepuluh
wabah penyakit, yang semakin bertambah-tambah buruk, hingga akhirnya
penolakan orang Mesir runtuh dan pharaoh mengizinkan orang Ibrani pergi.
Eksodus menjadi peristiwa sentral dalam sejarah orang Ibrani, saat penentuan yang menjadi landasan seluruh sejarah bangsa Ibrani. Tetapi hal itu sama
sekali tidak muncul dalam kronik Mesir.
Hal itu tidak mengherankan. Keluarnya orang Ibrani yaitu suatu
pelecehan yang tertuju tidak hanya kepada kekuasaan pharaoh dan istananya,
tetapi kepada kekuasaan dewa-dewa Mesir itu sendiri. Wabah itu dirancang
untuk menandaskan ketidakberdayaan panteon Mesir. Nil, aliran darah
Osiris dan darah kehidupan Mesir, diubah menjadi darah dan menjadi cemar
dan beracun; katak, binatang suci untuk Osiris, muncul dalam jumlah yang
sedemikian besar sehingga berubah menjadi wabah; cakram surya tertutup
kegelapan, baik Ra maupun Aten dibuat tak berdaya. Hal semacam itu
bukanlah jenis peristiwa yang tampil pada inskripsi-inskripsi penghormatan
untuk pharaoh mana pun.
Penanggalan paling konservatif untuk Eksodus yaitu tahun 1446,
yang terjadinya menjelang akhir pemerintahan Amenhotep II, kakek buyut
Akhenaten.∗
Perkiraan-perkiraan lainnya menempatkan Eksodus beberapa ratus tahun lalu , di tengah tahun 1200-an dan satu abad lebih sesudah
Akhenaten sendiri. Di sekitar itu terdapat sejumlah kemungkinan, di mana
ada satu cabang kelompok sejarawan mengemukakan bahwa Eksodus itu
lebih berupa keluaran yang terjadi berangsur-angsur dari Mesir kembali ke
daerah orang Semit Barat, dan satu cabang yang lebih kecil lagi berpendapat
bahwa sama sekali tidak terjadi Eksodus.
untuk tujuan kita, cukup dicatat bahwa orang Ibrani lenyap ke gurun dan
dari panggung sejarah antarbangsa untuk beberapa abad. Tahun-tahun itu
dari kacamata sejarah tidak terlihat, tetapi dari sudut pandang teologi yaitu
sentral. Di gurun itulah kitab suci mereka sendiri lahir; dalam kitab itu, Allah
orang Ibrani tampil sebagai satu kekuasaan tanpa padanan, Awal Mula yang
ilahi, Allah yang esa dan yang satu-satunya, yang memberikan kehidupan atas
namanya sendiri.
Dengan gambaran itu pun, Aku orang Ibrani dan dewa Aten dari Mesir
tidak memiliki kesamaan sifat selain sifat mencukupi untuk dirinya sendiri.
Allah orang Ibrani, walaupun tidak antropomorfik, sungguh-sungguh suatu
kepribadian; Aten yaitu suatu kekuasaan. Aten yaitu sang surya, tetapi
Allah orang Ibrani sama sekali tidak dipadankan dengan dunia ciptaan, yang
jelas tidak pernah disamakan dengan matahari atau bulan. Ia sedemikian jauh
melampaui cakram surya, sehingga ia tidak bisa diwakili. Kedua gerakan
monoteis itu berdekatan waktunya—tetapi hanya itu saja kedekatannya.G A R I S WA K T U 3 2
MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL MESIR
MITANNI ASSIRIA HITTI
Kerajaan Baru (1570-1070)
Dinasti 18 (1570-1293)
Ahmose I (sek. 1570-1546)
Telepinus Hatshepsut-Tuthmosis III (sek. 1504-1483)
Parattarna Tuthmosis III (sendiri) (sek. 1483-1450)
Saustatar
Eksodus (tanggal paling awal)
Artadama Tuthmosis IV (1419-1386)
Sudarna II
Assur-nadin- Amenhotep III (sek. 1386-1349)
Ahhe II
Tushratta Suppiluliuma
Akhenaten (sek. 1349-1334)
J , raja Tushratta kian khawatir terhadap bangsa
Hitti. Rajanya yang baru dan energik, Suppiluliuma, tengah membangun
angkatan perangnya di seberang pegunungan Taurus. Tushratta membutuhkan bala bantuan untuk menjauhkan orang Hitti.
Mesir yaitu pilihan yang paling tepat untuk menjadi sekutunya.
Akhenaten, dengan segala perhatiannya yang tercurah pada urusan-urusan
pemujaan dewa, masih tetap merupakan raja dari kekaisaran yang paling
berkuasa di kawasan itu. Kebetulan ia juga kemenakan Tushratta (dan juga
semacam cucu menantu, karena dua generasi wanita Mitanni telah menikah
dengan anggota keluarga kerajaan Mesir). Tushratta menawarkan satu
pasangan lagi, antara pharaoh dan putrinya sendiri; Akhenaten setuju dengan
rencana perkawinan itu, dan putri Tushratta pun dikirimkan ke selatan.
Namun, raja Mitanni merasa semakin terganggu karena perlakuan serampangan kemenakannya itu. Dalam surat-menyurat antara kedua raja, Tushratta
mengeluh bahwa emas yang dikirim ke utara sebagai maskawin mutunya
tidak baik: ”Emas itu tidak tampak seperti emas,” demikian tertulis dalam
salah satu surat. ”Orang-orang saya mengatakan bahwa emas di negara Anda
lebih umum daripada kotoran, dan mungkin, karena Anda begitu mencintai
saya, maka Anda merasa tidak ingin mengirimkan kepada saya sesuatu yang
begitu biasa, dan mengirim kotoran sebagai gantinya.” 1
sesudah mendapat komentar yang tajam itu, sikap Tushratta kepada menantu barunya menjadi semakin risau. Ia mengingatkan Akhenaten bahwa
ayahnya, Amenhotep IV, sangat menghargai persahabatan dengan Tushratta
(yang, karena Akhenaten berusaha mengalahkan bayang-bayang ayahnya dengan sinarnya sendiri, mungkin bukan tindakan yang paling bijaksana);
ia mengeluh bahwa utusannya telah berada di lingkungan istana Mesir selama hampir empat tahun, menunggu pharaoh memberikan perhatian kepada
mereka; tidak lama sesudahnya, ia mengutarakan bahwa ia telah menunggu
selama enam tahun untuk mendapat jawaban atas suatu pertanyaan yang ia
kirim ke Mesir melalui utusan.2
Kendati ada hubungan perkawinan, Akhenaten tengah menjauhi aliansi
dengan orang Mitanni. Ia memiliki prakiraan yang cukup tajam, ke arah
mana angin utara itu tengah bertiup: orang Hitti tengah mempersenjatai
diri, dan mereka kuat, sedangkan Suppiluliuma sendiri yaitu seorang pakar
strategi yang cerdik. Raja Hitti itu telah mengirim hadiah kepada pharaoh,
begitu Akhenaten naik tahta, suatu isyarat kebaikan hati yang bermata ganda,
yang dimaksudkan untuk mengingatkan raja baru itu bahwa perjanjian
rahasia antara Mesir dan Hattusas masih berlaku. ”Seperti halnya ayah Anda
dan saya sungguh-sungguh menginginkan perdamaian di antara kita, ” tulis
Suppiluliuma beberapa saat sesudah itu, ”demikian pula kita, Anda dan saya
harus saling bersahabat..... Marilah kita saling membantu.”3 Menghadapi
pilihan antara dua negara itu, Akhenaten memilih orang Hitti.
Nampaknya Tushratta tidak tahu menahu tentang perjanjian rahasia itu,
tetapi ia dapat segera melihat akibatnya. Suppiluliuma, karena kini yakin
bahwa Mesir tidak akan datang membela orang Mitanni, mulai bergerak
ke arah timur menuju ibu kota Mitanni: Washukkanni. Apabila Tushratta
mencari pertolongan ke selatan, pastilah sia-sia. Istana Akhenaten mempertahankan keagungan dengan diam seribu bahasa.
Yang datang bukanlah kawan, tetapi lawan yang lain. Assur, yang menjadi
bawahan Mitanni selama bertahun-tahun, telah dipersenjatai lagi secara rahasia oleh Mesir; kini bantuan itu memang membuahkan hasil. Raja Assiria,
Assur-uballit (barangkali cucu raja yang dahulu telah menerima bantuan dari
Amenhotep III) mengerahkan pasukannya untuk bergabung dengan orang
Hitti, menyerbu Washukkanni dari selatan.
Tushratta, karena diserang dari arah selatan dan barat, menarik pasukannya
kembali keluar dari Mesopotamia utara. Assur-uballit segera mengklaim
daerah itu sebagai wilayah Assur. untuk pertama kalinya sejak penggulingan
dinasti Shamshi-Adad, Assur menjadi kerajaan.∗
Bahkan, dalam surat
berikutnya yang ia kirim ke Mesir, Assur-uballit mengklaim kembali gelar
Raja Besar (sambil sekaligus meminta pemberian lebih lanjut);† ”Dari Assur-uballit,” demikian bunyi surat itu, ”raja Assiria, Raja Besar, saudaramu.
Emas di negara Anda seperti kotoran; gampang didapatkan. Mengapa Anda
begitu berhemat dengannya? Saya sedang membangun sebuah istana baru.
Tolong, kirimkan emas lebih banyak lagi untuk itu. saat Assur-nadin-ahhe,
leluhur saya menulis surat kepada ayah Anda, ia menerima dua puluh talenta
emas.... Kalau Anda ingin bersahabat dengan saya, segera kirimkan kepada
saya emas sebanyak itu,” 4
Surat ini, berbeda dengan surat serupa dari Tushratta, tampaknya tidak
dipandang sebagai penghinaan. Mungkin Akhenaten memang tidak mengharapkan apa-apa lagi dari orang Assiria.
, Tushratta sangat tidak mujur di garis depan barat. Pasukan
Hitti tiba di tembok kota Washukkanni jauh lebih cepat daripada yang ia
perkirakan. Karena tidak siap menghadapi pendudukan, ia melarikan diri
dari kota dengan beberapa pegawai istana. Tetapi, ternyata ia keliru memilih
pengiringnya; ia dibunuh oleh salah seorang dari pengikutnya sendiri dalam
pelarian itu.
Putra sulung dan ahli warisnya, karena menyadari bahwa tidak ada
gunanya melawan, berbalik kepada musuh, menyerah, dan diperlakukan
dengan kehormatan. Namun, ia tidak memiliki tahta lagi. Bahkan, sesudah
kejatuhan kota Washukkanni, tidak ada lagi kerajaan Mitanni sama sekali.
Orang Hurria mundur, di hadapan pasukan Hitti yang bergerak maju, kembali
ke seberang sungai Efrat. Di sana, di lereng pegunungan Zagros, tempat asal
mereka, mereka bertahan: sebuah kerajaan kesukuan yang lemah, yang untuk
beberapa waktu diabaikan oleh kerajaan-kerajaan besar.
Sementara itu, Suppiluliuma bergerak ke selatan menyusuri Laut Tengah
sejauh yang dapat ia capai, tanpa memulai pertempuran sama sekali melawan
orang Mesir. Setiap kota yang ia taklukkan yaitu bekas milik orang Mitanni,
bukan milik orang Mesir (walaupun dalam perjalanannya ia memang melintasi tanah yang dikuasai oleh Mesir).5
Akhenaten tidak menolak pembangunan kekaisaran. Tetapi pada saat
itu, sikapnya yang membiarkan itu bukannya karena persahabatan, tetapi
karena keperluan. Bala tentara Mesir tidak banyak berperang di bawah
pemerintahan Amenhotep IV dan lebih sedikit lagi di bawah pemerintahan
anaknya; tentaranya saat itu sudah tidak siap untuk berperang. Wabah tengah
menjalar ke seluruh Mesir, bahkan sampai ke pantai Laut Tengah. Akibat
wabah timbullah kemiskinan. Seorang raja kecil Semit Barat menulis, untuk
meminta maaf karena sedikitnya tembaga yang ia kirimkan sebagai upeti;
bahwa jumlah pekerjanya menipis karena berjangkitnya wabah.
Keluarga kerajaan sendiri pun menderita. Sekitar tahun keempat belas pemerintahan Akhenaten, istri utamanya meninggal, disusul istri keduanya
tak berapa lama lalu . Akhenaten, yang memiliki tiga anak perempuan
dan tak seorang pun anak lelaki, memutuskan bahwa harapannya yang terbaik
yaitu mencoba untuk memperoleh keturunan laki-laki dengan menghamili
ketiga putrinya.
Strateginya gagal. Semua bayi yang dilahirkan yaitu perempuan, dan
bahkan putri keduanya meninggal saat melahirkan.
Akhenaten menikahkan putri tertuanya dengan seorang sepupu jauh
kerajaan dan menunjuk anak muda itu sebagai ahli warisnya. Tak lama
lalu , putri mahkota itu meninggal. Pharaoh sendiri yang sudah tua
jatuh sakit dan menyusul kematian putrinya. Si ahli waris dimahkotai dan
bertahta selama beberapa hari saja, lalu meninggal juga. Tampaknya,
wabah telah menimpa keluarga kerajaan juga.
memilih seorang anak lelaki usia sembilan tahun,
bernama Tutankhaten, sebagai raja. Apakah ia berdarah kerajaan sangat tidak
jelas; yang pasti ia bukan anak Akhenaten, walaupun ia dibesarkan di lingkungan istana. Pada usia sembilan tahun, ia dijemput dari sekolahnya dan
didudukkan sebagai pharaoh, dan klaim kekuasaannya dikuatkan dengan
perkawinan seremonial dengan satu-satunya anak perempuan Akhenaten
yang masih hidup: putri bungsunya, yang jauh lebih tua daripada dia sendiri
dan sudah menjadi ibu dari seorang putri (dari ayahnya sendiri).
Tutankhaten dikelilingi oleh sejumlah penasihat dan pejabat istana yang
telah melihat Mesir kehilangan kekuasaan di bagian utara dan memerangi
wabah, sementara Akhenaten membangun kuil untuk Aten. Akhenaten sendiri menyaksikan anggota keluarga istananya meninggal satu demi satu. Tahta
tentulah seperti hukuman mati: kini ia sendiri duduk langsung di bawah
murka dewa-dewa tua.
Maka, ia mengabaikan gerakan Suppiluliuma dari utara dan, atas dorongan
para walinya, ia lebih memperhatikan urusan-urusan yang lebih mendesak.
Ia menolak nama Tutankhaten dan menamai dirinya Tutankh-Amun, untuk
menunjukkan loyalitasnya kepada Awal Mula purba. Ia mengikuti keinginan para penasihatnya dan memerintahkan agar nama Akhenaten dicungkil
dari monumen-monumen, inskripsi-inskripsinya dihapus dari relief-relief,
patung-patungnya dihancurkan.*∗
Kota besar Aten lalu ganti dikenal
sebagai Amarna. sesudah semua itu selesai, Mesir harus bergerak lagi dan menghadapi bagian
dunia lainnya. Orang Mittani tidak lagi menajdi masalah, tetapi orang Hitti
itu besar dan mengancam di sebelah; Assur-uballit berperilaku seperti kaisar
di kota Assur; dan di bagian selatan Mesopotamia, panglima perang Orang
Kassi, Burnaburiash I, yang memerintah di Babilonia, telah memutuskan
untuk mengajukan protes. Ia menulis surat kepada raja Tutankhamun muda,
guna menyarankan agar raja yang baru berhenti memperlakukan Assuruballit dengan penghormatan. Karena kini orang Mitanni telah melepaskan
kekuasaannya atas Assur, kata Burnaburiash, kota itu berdasarkan hak harus
menjadi milik Babilonia. Dia-lah yang harus menguasai kota itu, bukan
Assur-uballit, dan tidaklah selayaknya Assur-uballit menyebut dirinya sebagai
”Raja Besar”.6 Lagipula, Tutankhamun mestinya tidak lagi menerima utusan
dari Assur, seakan-akan Assur berhak menangani urusan luar negerinya
sendiri. ”Saya tidak mengirim raja-raja kecil Assiria itu kepada Anda,” tulis
Burnaburiash. ”Mengapa, atas kemauan mereka sendiri, mereka datang ke
negara Anda? Kalau Anda mencintai saya, mereka tidak akan mendapat
peluang apapun dari Anda. Kirimkan mereka kepada saya dengan tangan
kosong.”7
Tutankhamun nampaknya tidak memedulikan hal itu, karena utusan dari
Assiria masih terus berdatangan ke istana Mesir. Assur-uballit, yang diperlakukan sebagai raja, mempertahankan kekuasaannya dan membangun bala
tentaranya; bahkan, ia mempertahankan tahtanya selama hampir tiga puluh
tahun.
Pada akhirnya Burnaburiash melepaskan harapan untuk membuat
Mesir berpihak kepadanya melawan Assiria, dan mengambil jalan lain.
Ia mengusulkan agar Assur-uballit mengirim putrinya untuk dikawinkan
dengan putra mahkota Babilonia, Karaindash. Assur-uballit setuju, agaknya
karena ia melihat perkawinan itu sebagai jalan untuk melindungi kekaisaran
barunya terhadap serangan dari selatan. Pesta perkawinan dirayakan dengan
sepantasnya. Karaindash tak lama lalu memiliki keturunan sendiri
sebagai ahli waris, dan kedua negara, Assiria dan Babilonia tinggal secara
berdampingan dalam hubungan damai yang rapuh.
Hubungan damai itu berlangsung hanya sampai saat Burnaburiash meninggal. Sesaat sebelum meninggal, ia memutuskan untuk melewati anaknya dan
lebih mengutamakan cucunya yang berasal dari keturunan setengah Assiria
setengah Babilonia (dan menempatkan Karaindash yang malang pada posisi
sebagai penopang kerajaan). Mungkin ia berharap bahwa anak itu akan memiliki kesempatan untuk mengklaim tahta Assur juga, berdasarkan haknya
sebagai keturunan kerajaan; dan itu akan meletakkan Babilonia dan Assur di
bawah satu mahkota. Tetapi, dengan itu ia sebenarnya telah menjatuhkan hukuman mati kepada cucunya. Orang Kassi yang menjadi anggota bala tentara memberontak.
Sejauh menyangkut kepentingan mereka, raja yang baru itu berdarah campuran dan tidak memiliki hak untuk menduduki tahta Babilonia. Mereka
menyerang istana, membunuh raja yang berdarah separuh Assiria itu, dan
menegakkan sebuah pemerintahan militer.8
Atas peristiwa itu Assur-uballit menyatakan berhak untuk melakukan campur tangan dan meluruskan perkara. Potongan-potongan surat dan
inskripsi yang masih ada tidak memberikan kejelasan sepenuhnya tentang
tindakan apa yang ia lakukan; mungkin ia membunuh pembantai cucunya.
Seorang raja baru dimaklumkan, tetapi tidak mungkin menyebutkan siapa
sebenarnya yang menjadi raja baru, atau apa peranan yang dimainkan Assuruballit dalam pemahkotaannya. Yang dapat kita katakan dengan pasti hanyalah
Assiria tidak mengambil alih pemerintahan Babilonia. Tahta kota itu masih
diduduki oleh seorang raja Kassi, mungkin anak Burnaburiash lainnya yang
lebih muda. Dalam kekacauan itu tampaknya Karaindash terbunuh.
- bukan satu-satunya
perkawinan yang aneh.
sesudah menduduki tahta selama kurang dari satu dasawarsa, Tutankhamun
meninggal secara tak terduga; peristiwa seputar kematiannya tidak akan pernah diketahui, tetapi ia mungkin terkena panah. Ia dimakamkan dengan
upacara megah. Makamnya mungkin tidak lebih kaya akan hiasan dibandingkan makam para leluhurnya, tetapi (berbeda dengan yang lain) makam
itu tetap utuh tak dijarah sampai November 1992.
Ia tidak memiliki anak. Istrinya, Ankhesenamun (seperti suaminya, ia
juga telah mengganti namanya untuk menghormati Amun), pernah hamil
dua kali. Dua kali pula ia melahirkan secara prematur dan bayinya terlahir
mati. Jenazah kedua bayi kecil itu dibalsam dengan cermat dan dimakamkan
bersama ayahnya di dalam makam kerajaan.9
sesudah suaminya mati, tidak ada saudara laki-laki lain di garis keturunan
raja yang masih hidup, dan tidak ada anak dari Tutankhamun yang dapat
ia asuh, Ankhesenamun mulai khawatir tentang masa depannya. Bagaimana
pun, istana Mesir tidak kekurangan orang berambisi yang akan dengan
senang mengambil alih kekuasaan (barangkali sesudah ia sendiri mati secara
tak terduga). Yang terutama di antara mereka yaitu Ay, kakeknya sendiri dari
garis ibu. Ay telah mengabdi Akhenaten sebagai menteri utama, lalu
menjadi penasihat Tutankhamun, dan masih tinggal di lingkungan istana:
seorang tua yang sudah letih dan yang mengetahui di mana semua mayat
dimakamkan. Seorang lainnya yang sama kuatnya dengan dia, walaupun tidak sama-sama disegani seperti dia, yaitu panglima besar tentara, Horemheb, yang
sudah berdinas sebagai militer sejak pemerintahan Amenhotep III. Walaupun
masa dinasnya sudah panjang, usianya masih empat puluhan tahun, karena ia
masuk dinas milter pada usia tiga belas tahun.
Ankhesenamun, karena takut kepada dua orang itu, membuat sebuah rencana yang tidak waras. Ia menulis surat kepada raja Hitti, Suppiluliuma, dan
memintanya agar mengirim salah satu putranya ke Mesir. Kalau raja Hitti
memenuhi permintaannya, ia berjanji akan mengawini putra raja Hitti itu
dan akan menjadikannya pharaoh.
Tidak ada salinan surat di Mesir, yang mengisyaratkan bahwa ini yaitu
rencana rahasia. Surat yang masih tinggal hanya yang ditemukan di reruntuhan
Hatussas, ibu kota Hitti:
Suami saya meninggal, dan saya tidak memiliki anak. Sedang baginda
memiliki banyak putra. Apabila baginda mau memberikan salah satu
dari putra baginda, saya akan menjadikannya suami saya. Saya tidak bisa
mengangkat salah satu dari pembantu-pembantu saya dan menjadikannya
sebagai suami .... dan saya takut.10
Itu semua sama sekali tak terduga dan Suppiluliuma pun kaget sekali. Ia
memang memiliki hubungan baik dengan Mesir, meskipun tidak sedemikian
baik. Menurut catatannya sendiri, ia mengirim sejumlah mata-mata ke selatan
untuk menyelidiki apakah Ankhesenamun bersungguh-sungguh.11 saat
mereka melaporkan bahwa itu benar dan memang tidak ada ahli waris yang
kelihatan, Suppiluliuma pun menyetujui usulan itu dan menyiapkan salah
seorang dari putra-putranya untuk menempuh perjalanan ke selatan.
Sang pangeran tak pernah sampai ke Mesir. Ia disambut di perbatasan
oleh panitia penyambutan yang diatur oleh Horemheb; tampaknya
Ankhesenamun, dengan persetujuan Suppiluliuma, telah membocorkan rencananya. Horemheb yang sudah berdinas sebagai tentara selama beberapa
dasawarsa tentu mengetahui bahwa serangan frontal selalu lebih berisiko daripada peluang yang muncul secara kebetulan. Dalam perjalanan melalui Delta
menuju perkawinannya, pangeran dari Hitti itu tewas secara tak terduga.
Perundingan apa yang lalu berlangsung di Mesir tidak diketahui.
Namun, segera sesudah itu, Ay mengawini cucunya Ankhesenamun dan lalu naik tahta. Tindakan pertamanya yaitu menulis surat kepada
Suppiluliuma, yang menyangkal keterlibatannya dalam kematian putra raja
Hitti itu (dan dengan cermat melemparkan tanggung jawab atas hal itu pada
Horemheb). Suppiluliuma mungkin tidak mempercayai hal itu, tetapi ia tidak
memiliki peluang untuk membalaskan kematian anaknya. Sebelum ia sampai ke selatan dengan pasukannya, wabah menyerang perkemahan tentara Hitti,
dan raja Hitti terbesar itu meninggal.
Ay meninggal tidak lama sesudahnya karena usia tua belaka. Ia telah memerintah selama kurang dari empat tahun. Segera sesudah Ay dimakamkan,
Horembeb menyatakan dirinya sebagai pharaoh. Apa yang terjadi dengan
putri Ankhesenamun tetap tinggal misteri. sesudah perkawinannya dengan
kakeknya yang sudah tua, catatan Mesir tidak pernah menyebutnya lagi.
G A R I S WA K T U 3 3
MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL MESIR
MITTANI ASSIRIA HITTI
Kerajaan baru (1570-1070)
Dinasti 18 (1570-1293)
Telepinus Ahmose I (sek.1570—1546)
Parattarna Hatshepsut-Tuthmosis III (sek.1504—1483)
Saustatar Tuthmosis III (sendiri) (sek.1483—1450)
Eksodus (tanggal paling awal)
Artadama Tuthmosis IV (1419—1386)
Sudarna II
Assur-nadin- Amenhotep III (sek.1386-1349)
ahhe II
Tushratta Suppiluliuma
Assur-uballit Akhenaten (sek.1349-1334)
Kerajaan Tengah Tutankhamun (sek.1333-1325)
Assiria
Ay (sek.1325—1321)
Horemheb (sek.1321—1293)
H menduduki tahta Mesir selama dua puluh delapan tahun. Ia
menyelesaikan pemugaran kuil Amun, yang sudah dimulai oleh Tutankhamun;
ia memerintahkan untuk meratakan sisa kuil Aten; dan ia membentuk kembali dewan imam kuil Amun dengan menunjuk rekan-rekan lamanya dari
kalangan tentara menjadi imam-imam. Karena ia yaitu pejabat tertinggi tentara Mesir, ia merasa cukup yakin bahwa kedisiplinan tentara akan mencegah
segala kecenderungan bagi para pejabat militer-imam untuk merebut kekuasaan.1 lalu ia meninggal, pada usia 80-an tahun, sesudah mengalami
pemerintahan lima orang pharaoh.
Ia tidak memiliki anak laki-laki, maka ia mengangkat seorang anggota
militer menjadi ahli warisnya. Tentara itu, Rameses I, yaitu pharaoh pertama
yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah (nyata atau rekaan) dengan
satu pun garis kerajaan sebelumnya. Ia juga tidak jauh lebih muda daripada
Horemheb, dan meningal sesudah menduduki tahta selama satu tahun, tanpa
melakukan sesuatu yang penting.
Namun, dari awal yang tidak menonjol inilah Dinasti Kesembilan Belas
Mesir yang besar itu memulai riwayatnya.*
Rameses I menurunkan tahtanya
kepada putranya, Seti (yang dikenang terutama karena membangun kuil di
setiap tempat yang memungkinkan); Seti mengalihkan mahkotanya kepada
putranya, Rameses II. Rameses II menjadi terkenal karena panjangnya masa
pemerintahannya, jumlah proyek pembangunannya, kekuatan legendaris
angkatan perangnya, dan karena secara kebetulan dapat bertahan sesudah melewati pertempuran terbesar di dunia.
S putera Suppiluliuma dan wafatnya raja besar Hitti akibat wabah, perjanjian Hitti–Mesir menjadi berantakan. Sepanjang perbatasan
kedua negara, sering terjadi bentrokan bersenjata. Pada saat Rameses II naik
tahta, mahkota Hitti telah beralih kepada cucu Suppiluliuma, Muwatalli, dan
Mesir telah kehilangan kedaulatan di wilayah paling utara; kota Kadesh yang
dikuasai Mesir selama lebih dari satu abad, telah jatuh ke tangan orang Hitti.
Pada usia dua puluh lima tahun, pharaoh yang baru itu sudah mengalami
kehidupan sebagai orang dewasa selama sekurang-kurangnya sepuluh tahun.
Ia telah menikah untuk pertama kali pada usia sekitar lima belas tahun, dan
telah menjadi bapak dari sekurang-kurangnya tujuh anak. Ia telah berperang
sekurang-kurangnya dalam dua dari serangan ayahnya ke daerah Semit Barat.2
Ia tidak menunggu terlalu lama sebelum memulai pertempuran melawan
orang Hitti, musuhnya. Pada tahun 1275, tidak lebih dari kira-kira tiga tahun
sesudah naik tahta, ia mulai merencanakan serangan untuk merebut kembali
kota Kadesh. Kota itu telah menjadi lebih daripada sebuah garis depan belaka;
itu yaitu sebuah bola yang ditendang bolak-balik antara kekaisaran-kekaisaran. Kadesh terlalu jauh ke utara untuk dikendalikan dengan mudah oleh
Mesir, dan terlalu jauh ke selatan untuk diurus dengan mudah oleh orang
Hitti. Kekaisaran mana pun yang mengklaim kota itu dapat berbangga karena
memiliki kekuatan yang lebih unggul.
Menjelang akhir tahun 1275, Rameses II mendengar dari mata-matanya
bahwa Muwatalli sama sekali tidak berada di dekat Kadesh. Itu yaitu keadaan
yang tepat untuk melancarkan serangan, maka Rameses II mengumpulkan
tentara yang jumlahnya belum pernah didengar sebelumnya (menurut ce
ritanya