Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 11



 telah mengembangkan aksara mereka sendiri yang khas, mengikuti 


pola lama yang telah berkembang ribuan tahun sebelumnya: dari segel pada 


barang dagangan sampai piktogram, dari pikotgram sampai aksara piktografik 


yang ramping. Bentuk tertua aksara ini tersimpan pada hamparan papan dan 


pahatan batu di seluruh Kreta, dan pada umumnya disebut ”Linear A” untuk 


membedakannya dari turunannya yang lebih canggih: ”Linear B”, yakni versi 


aksara Minos yang menyebar ke utara tempat tinggal orang Mycenas.6


Meskipun memiliki suatu kebudayaan bersama, kedua bangsa itu saling 


berperang sejak zaman kuno. Kemenangan Theseus—kemenangan akal 


dan peradaban terhadap suatu bangsa yang brutal dan tidak berkembang 


—mencerminkan penghinaan orang Yunani di lalu  hari terhadap 


peradaban-peradaban lain. Herodotus sendiri menyuarakan penghinaan itu 


dengan mengatakan bahwa penguasa Yunani, Polycrates, yaitu  orang pertama 


yang menghimpun sebuah angkatan laut dan mengukuhkan kekuasaannya 


atas laut: ”Aku tidak mengakui orang Minos dari Knosso dan siapa pun 


yang mendahului orang Minos meraih kekuasaan atas laut”, tulis Herodotus 


sebagai catatan samping; ”yang benar yaitu  bahwa Polycrates yaitu  warga 


pertama dari apa yang kita kenal sebagai bangsa manusia yang pertama kali 


melakukannya”.7


Ketidaksenangan itu dipertajam oleh persaingan antara kedua bangsa. 


Angkatan laut kedua bangsa merondai Laut Tengah, dan kemungkinan besar 


kedua armada itu tidak berdampingan secara damai. Perdagangan dengan 


Mesir, yang memiliki emas dan gading, terlalu berharga; raja mana pun akan 


melihat keuntungan jika melakukan monopoli itu. Dan Kreta membanggakan letaknya yang strategis, tepat di jalur dagang ke selatan ke Mesir.Barang dagangan Minos yang ditemukan di makam-makam Mycenas 


mencerminkan keunggulan sementara orang Kreta. Tetapi sesudah  letusan 


Thera, pengaruh budaya antara Kreta dan Yunani mulai terbalik. Tembikar 


dan cangkir khas Mycenas muncul lebih sering di rumah-rumah orang Minos, 


dan sekitar tahun 1500, kuburan-kuburan orang Kreta mulai menunjukkan 


sebuah desain khas Mycenas yang tidak tampak di pulau itu sebelumnya.8


upeti Athena ke Knossos kini terbalik. Seperti Theseus yang berjaya, kotakota Mycenas telah meraih keunggulan terhadap pulau di sebelah selatan itu.


Sekitar tahun 1450, kota Knossos dijarah, walaupun istananya tetap berdiri. Istana di Mallia dan Phaistos diratakan. Di seluruh Kreta, sebagian kota 


ditinggalkan; yang lainnya mengerut secara mendadak, seakan-akan warga 


muda mereka telah berperang dan gugur, atau melarikan diri.


Tidak terlihat bekas suatu kebudayaan baru di tempat itu. Kita hanya 


dapat menduga bahwa hubungan Mycenas-Minos telah semakin merosot, dari 


hubungan yang runcing menjadi perang terbuka. Lestarinya istana Knossos 


menandakan bahwa seseorang di dalam kalangan pelaku invasi memerlukan 


pusat pemerintahan Minos untuk keperluaannya sendiri; apa pun invasi yang 


dipimpin raja Mycenas itu mungkin telah menggunakan Knossos sebagai 


markas besarnya sendiri.9


Tetapi kehidupan di Kreta sesudah  invasi tidak tampak berubah secara mencolok. Desain pada kuburan-kuburan kurang lebih tetap sama, Linear B tetap 


digunakan, tembikar Minos tidak berubah sesaat .10 Pada waktu pengambilalihan, orang Mycenas yang melakukan invasi sangat mirip dengan orang 


Minos. Kedatangan mereka lebih menyerupai pengambilalihan oleh saudara 


kandung, perubahan resmi kepemimpinan antara dua negara yang sebelumnya telah saling bertukar napas selama berabad-abad. Orang Minos telah 


mengalami infiltrasi, berubah dari dalam; Labirin mereka telah dibobol.

G A R I S WA K T U 3 1


 CHINA SEMENANJuNG YuNANI


 Dinasti Shang (1766-1122)


Tang 


 T’ai Jia 


 


 Chung Ting (Hsiao) 


 


 Ho T’an Chia (Hsiang) 


 Makam-makam kerajaan Mycenas (sek. 1600) 


 


 Tsu Yi (Keng, Yen) 


 


 Invasi orang Mycenas ke Kreta (sek. 1450) 


 


 


 P’an Keng (Yin) (sek. 1400) 





A  - Mitanni dan pharaoh Mesir 


Tuthmosis IV, yang memeteraikan perjanjian antara kedua negara, tampaknya 


merupakan suatu keberhasilan; anak mereka, Amenhotep, menjadi pharaoh 


berikutnya.*∗


Dinilai dari lamanya pemerintahannya, Amenhotep III masih berusia belasan tahun saat  naik tahta pada tahun 1386. Pemerintahannya ditandai 


dengan meningkatnya kedamaian dan kekayaan kota-kota Mesir. Inskripsiinskripsi Amenhotep III tidak mencatat peperangan; yang dilukiskan yaitu  


karya besar seorang raja yang memiliki waktu luang yang sangat luas. Menurut 


salah satu inskripsi, ia membunuh 102 ekor singa dalam sepuluh tahun pertama pemerintahannya, suatu olahraga kesenangan raja-raja Mesir.1


 Sebuah 


inskripsi lain mengungkapkan keberhasilannya membunuh lima puluh 


enam banteng liar hanya dalam sehari dalam sebuah perburuan ternak liar. 


(Tampaknya banteng-banteng dikurung dahulu di dalam sebuah kawasan 


berpagar sebelum ia mulai berburu, sehingga menjadi sedikit lebih mudah).2 


Perdagangan Mesir berkembang; di antara benda-benda yang ditemukan 


di Mycenas terdapat beberapa yang bertuliskan nama Amenhotep III. Dan 


walaupun raja itu melakukan perjalanan wajib ke Nubia untuk memadamkan 


suatu pemberontakan lain, lingkup pertempuran itu hanya kecil. Cerita dari 


istana tentang pertempuran itu menuturkan bahwa Amenhotep,ahli waris Ra, anak lelaki Ra, kesayangan Ra … Baginda memimpin 


hingga mencapai kemenangan; ia menyelesaikannya dalam pertempuran pertamanya yang menghasilkan kemenangan.3


 


Perang yang hanya berlangsung pada saat itu yaitu  satu-satunya perang 


selama masa pemerintahan Amenhotep. Walaupun ia menggelari dirinya 


“Penghantam orang Asia”, itu yaitu  promosi belaka; ia sama sekali tidak 


pernah menghantam orang Asia. Ia memang tidak perlu melakukan hal itu, 


karena ayah dan kakeknya telah mengukuhkan kerajaan untuknya.


Sebaliknya, ia membangun. Ia menggali sebuah danau sepanjang satu 


setengah kilometer supaya istri utamanya dapat berperahu dengan nyaman 


dengan perahu kerajaan bernama Kemilau Aten, sesuai dengan nama dewa 


cakram matahari. Ia membangun sebuah istana yang sangat besar untuk dirinya 


sendiri; ia membuat bangunan tambahan untuk Kuil Amun di Karnak dan 


membangun sebuah kuil perawan untuk dewa matahari di kota Luxor yang 


berdekatan; ia mendirikan sebuah kuil pemakaman yang sangat besar untuk 


dirinya sendiri, dengan dua patung dirinya dalam sikap duduk pada kedua 


sisinya. Patung di sebelah kanan, menurut saksi-saksi purba, mengerang 


dengan suara keras pada waktu fajar dan senja: “Patung itu mengeluarkan 


suara saat  sinar matahari menerpanya”, catat sejarawan Romawi Tacitus.4


 Itu 


barangkali karena batunya memanas dan menjadi dingin dengan cepat, tetapi 


itu menimbulkan ketakutan penduduk setempat. Ia membuka tambangtambang batu baru, membangun sebuah kediaman di Memphis untuk dirinya 


sendiri, dan mendirikan tempat pemujaan di beberapa tempat di sepanjang 


Nil bagian selatan.5


 Dan ia menikahi, dengan sesuka-sukanya, sebanyak 


mungkin putri yang dapat ia temukan. Sekurang-kurangnya terdapat tujuh 


anak perempuan raja-raja kecil dari Mesopotamia dan daerah Semit Barat 


yang datang ke istana Amenhotep III sebagai mempelai.


Hal itu menguntungkan secara politis, tetapi tampaknya juga untuk seleranya. Sebuah papan yang kirimkan kepada gubernur Gaza, yang mengawasi 


daerah-daerah Semit Barat di ujung selatan atas nama pharaoh, mencatat. 


“Aku telah mengirim ini untuk memberitahukan kepadamu bahwa aku mengutusmu [seorang pejabat istana] … untuk menjemput wanita-wanita cantik 


… Seluruhnya empat puluh wanita, masing-masing dengan imbalan empat 


puluh keping perak. Ambillah perempuan-perempuan yang sangat cantik, 


tetapi pastikan bahwa tak satu pun yang suaranya melengking. lalu  


baginda raja, tuanmu, akan mengatakan kepadamu, ‘Baik sekali’.” 6


Seperti ayahnya, Amenhotep III membuat perdamaian terhadap kerajaan Mitanni yang masih kuat dan merupakan suatu ancaman di utara. Raja 


Mitanni, Artadama—kakeknya sendiri dari pihak ibu—telah menyerahkan tahta kepada anaknya Sudarna II. saat  Amenhotep III naik tahta, Sudarna 


telah memerintah kekaisaran Mitanni selama sepuluh atau dua belas tahun.


Amenhotep III mengirim kepada pamannya seorang wanita sebagai 


mempelai, dan sebagai gantinya diberi seorang putri kerajaan (mungkin 


kemenakannya sendiri). Wanita ini datang dengan 317 pengiring,7


 yang 


mencerminkan kedudukannya sebagai orang penting di dalam kerajaannya 


dan mungkin juga di dalam kerajaan Amenhotep; ia menjadi salah seorang 


istri tambahan pharaoh. saat  Sudarna II digantikan tidak lama sesudahnya 


oleh anak lelakinya, Tushratta (saudara kandung pangeran putri Amenhotep), 


Amenhotep III mengirim utusan lagi ke utara untuk menawarkan perkawinan. 


Tushratta menyepakati aliansi itu, yang mengikat wangsa kerajaan Mitanni 


dan Mesir dengan ikatan ganda, dan mengirim anak perempuannya sendiri 


ke selatan. Sekarang, baik saudari maupun anak perempuan Tushratta berada 


di dalam harem Mesir,8


 dan Tushratta sendiri menjadi ayah mertua, ipar, dan 


kemenakan Amenhotep sekaligus, dan dengan demikian melanjutkan tradisi 


simpul genealogis Mesir yang tak dapat diretas.


Tetapi tampaknya Amenhotep III juga memainkan kartu ganda terhadap 


kemenakan/ayah mertua/iparnya dan kekaisaran kemenakan/ayah mertua/


iparnya. Ia juga menerima secara diam-diam utusan-utusan dari kota Assur, 


yang berada di bawah kekuasaan Mitanni sebagai adiraja; raja-bawahan Assur, 


Assurnadin-ahhe II, secara diam-diam tengah memperkuat benteng-benteng 


kotanya sebagai persiapan untuk memberontak.9


Amenhotep III sama sekali tidak memiliki keuntungan dengan menerima 


diplomat Assur. Raja-bawahan Mitanni tidak diperkenankan bernegosiasi 


dengan kekuatan asing seakan-akan kerajaan merdeka. Namun, pharaoh 


tidak hanya menyambut utusan-utusan itu, tetapi juga mengirim mereka pulang dengan uang untuk pemugaran benteng, dan mendapatkan kepercayaan 


Assur dan seorang calon sekutu bila mendapat serangan dari utara.


Kira-kira pada saat yang sama, ia merundingkan suatu perjanjian rahasia dengan raja baru Hitti, musuh sengit orang Mitanni. Raja itu, seorang 


lelaki yang masih muda dan energik bernama Suppiluliuma, telah mewarisi 


kedudukannya dari suatu garis silsilah panjang leluhur yang sama sekali tidak 


menonjol; dia pun juga agak khawatir terhadap orang Mitanni penindas yang 


mengancam. saat  Amenhotep III mendekatinya untuk menawarkan aliansi 


(“Marilah kita tetapkan semata-mata hubungan yang paling bersahabat di 


antara kita berdua”, demikian tawaran pharaoh), raja Hitti itu setuju.10


Itu pun bukan akhir dari siasat Amenhotep. Ia juga menikahi anak 


perempuan raja Kassi di Babilon, seorang lelaki yang jauh lebih tua daripada 


dia sendiri; saat  raja itu digantikan oleh anak lelakinya, Amenhotep 


mengirim utusan untuk menawar anak perempuan raja itu.Itu yaitu  teknik yang telah ia gunakan pada wangsa kerajaan Mitanni. 


Tetapi raja Babilon itu secara tak terduga menentang keinginan pharaoh. 


Dalam surat-suratnya, ia mengatakan bahwa selama bertahun-tahun ia tidak 


pernah mendengar kabar apa pun tentang adik perempuannya:


 Sekarang Anda meminta anak perempuanku untuk Anda nikahi. Tetapi, 


saudari perempuanku yang telah diberikan ayahku kepada Anda sudah 


berada bersama Anda. Dan tidak ada yang mengetahui apakah ia masih 


hidup atau sudah mati.11


Amenhotep membalas, 


 Pernahkah Anda mengirim seorang duta ke sini yang mengenalnya, yang 


dapat berbicara kepadanya dan mengenali dia? Anda hanya mengirimkan 


orang kebanyakan—seorang gembala keledai sebagai utusan!12


lalu  ia mengutarakan dengan tajam bahwa raja Babilonia memiliki 


reputasi suka memberikan anak-anak perempuannya dengan sukacita kepada 


siapa pun yang menawarkan emas sebagai imbalannya. 


Implikasi kasar bahwa yang dipentingkan oleh kerajaan Babilon hanyalah tawaran tertinggi bagi seorang perempuan istana disanggah oleh raja 


Babilon, yang ternyata memang tidak mengharapkan kesopanan dari Mesir. 


Ia membalas sambil menyarankan agar Amenhotep mengambil seorang putri 


Mesir saja sebagai istrinya, tetapi itu tidak ditanggapi dengan gembira oleh 


Amenhotep: “Sejak zaman dahulu”, sambar pharaoh, “tak seorang anak perempuan raja Mesir pun diberikan kepada seseorang”.13 Amenhotep bernegosiasi, 


membuat siasat, dan menikah untuk menciptakan aliansi, tetapi di benaknya 


selalu tertanam kuat bahwa sekutu-sekutunya lebih rendah daripada dirinya.


K     , Amenhotep 


III merencanakan pesta yubileumnya yang pertama, pembaharuan kuasanya 


dengan heb-sed.


Dalam yubileum itu, Nil dan airnya kurang diperhatikan dibanding suatu 


zat ilahi lain: matahari. Dewa matahari Ra yaitu  salah satu dewa tertua Mesir, 


dan sejak awal pemerintahannya Amenhotep III telah mengumandangkan 


sembah bakti yang khusus kepadanya. Sebagai salah satu gelar kerajaannya, ia 


telah mengambil gelar “Ra yaitu  dewa kebenaran”, dan inskripsi-inskripsinya 


menyebutnya dengan berbagai rumus sebagai “ahli waris Ra”, “orang pilihan 


Ra”, dan “gambar Ra di Kedua Negeri.Seperti halnya perkawinan Amenhotep, sembah bakti ini merupakan 


suatu kombinasi yang tepat antara selera pribadi dan kecerdikan politis. 


sesudah  kenaikan kekuasaan Dinasti Kelima,∗


 para imam Ra telah mengalami 


kemunduran dengan naiknya imam-imam Amun, dewa-ayah kuno, Tuhan 


di dalam panteon Mesir. Sejak dahulu Amun yaitu  seorang dewa yang tak 


berbentuk; bahkan, salah satu wujudnya yaitu  ketidaknampakan, sebagai 


suatu kehadiran tak terlihat. Ia dijuluki “Yang Tersembunyi”, dan condong 


untuk meminjam identitas, seraya mengklaim kekuasaan dari seorang dewa 


lain untuk menutupi kodrat sebenarnya yang misterius.15 Ini memberikan 


keleluasaan besar kepada para imamnya. Seperti yang terungkap dari gelargelar wazir Hatshepsut, menjadi seorang imam Amun sama dengan mengklaim 


kepemilikan harta kekayaan apa pun milik Mesir.†


Dengan memuja Ra sebagai dewa pribadinya, Amenhotep III membebaskan 


diri dari kekuasaan para imam Amun—dan juga menghindari pemberian 


sumbangan tanah atau kekayaan lebih lanjut ke kuil Amun. Tampaknya dewa 


matahari Ra menunjukkan terima kasihnya dengan menyambut Amenhotep 


III ke dalam panteon; pada sebuah relief dari masa sekitar waktu festival itu, 


anak lelaki Amenhotep membungkuk untuk menghormati ayahnya, yang 


berdiri sangat tinggi di tempat matahari berada.16


Ini agak tidak lazim, karena Amenhotep IV, anak lelaki raja, jarang muncul 


pada monumen ayahnya, seolah-olah Amenhotep III ingin menjauhkan dia 


dari pandangan rakyatnya yang akan datang. Ia telah menunjuk anak muda itu 


untuk suatu kedudukan sebagai wakil raja kerajaan Kush, nama untuk daerah 


Nubia yang jauh di selatan (atau “Nubia Hulu”; kerajaan Kush di Nubia Hulu 


berpusat di sekitar Katarak Ketiga, sedang bagian utara Nubia, “Nubia Hilir”, 


dikenal sebagai Wawa). Mendudukkan ahli waris di tempat yang sedemikian 


jauh mengisyaratkan bahwa Amenhotep III ingin agar penyandang klaim 


berikutnya berada sejauh mungkin dari tahta.


Tetapi ia tidak dapat menghindari masalah itu selamanya. Dalam tahun 


ketiga puluh tujuh pemerintahannya, Amenhotep III mulai menderita 


suatu penyakit yang akhirnya mengantar ke gerbang kematian. Giginya, 


yang tersimpan di dalam muminya, terkena abses yang parah dan tentu 


menyebabkan rasa nyeri yang tak henti-hentinya; mungkin penyakit 


pamungkas ini yaitu  suatu infeksi yang menyebar.17 Kemenakan/ayah 


mertua/iparnya di Mitanni mengirimkan pertolongan berupa sebuah patung 


dewi Ishtar yang telah diambil dari Assur beberapa dasawarsa sebelumnya. 


Kita memiliki ucapan terima kasih Amenhotep, tetapi dewi Mesopotamia itu tampaknya tidak memiliki kuasa di Mesir; tidak lama sesudah  Ishtar melewati 


Delta, Amenhotep III meninggal.


Selama pemerintahannya yang luar biasa panjang, Mesir telah mencapai 


suatu kedamaian dan kemakmuran yang tidak ada padanannya. Amenhotep 


IV, sekembalinya dari pengasingan di Nubia untuk menggantikan tempat 


ayahnya, harus menyesuaikan diri dengan banyak tujuan baru. Ia memilih 


untuk mengalahkan ayahnya dalam hal pemujaan. Amenhotep III memuja 


dewa matahari Ra; Amenhotep IV memulai suatu agama baru, pemujaan terhadap matahari sendiri.


Cakram surya itu disebut “Aten”, dan bukannya tidak dikenal pada masa 


sebelumnya; agama itu hanyalah satu aspek dewa matahari Ra. Tetapi di 


tangan Amenhotep IV cakram surya menjadi sesuatu yang baru. Alih-alih 


seorang dewa yang berbentuk seperti seorang makhluk fana, seperti Osiris dan 


Horus serta Ra sendiri, cakram surya merupakan suatu perwujudan abstrak 


dari yang ilahi sendiri; penampakan suatu kekuasaan tunggal. Di dalam gilang 


kemilaunya, dewa-dewa lain di dalam panteon menjadi lenyap. Matahari 


bukan hanya menjadi kekuasaan utama. Matahari yaitu  satu-satunya 


kekuasaan. Dewa-dewa dalam panteon Mesir memiliki istri dan gundik; Aten 


hanya sendirian dan mencukupi dirinya sendiri. Dewa-dewa dalam panteon 


Mesir tampak dalam wujud makhluk 


fana; Aten tidak memiliki wujud. 


Dewa-dewa dalam panteon Mesir 


memiliki cerita; Aten tidak memiliki 


kisah sama sekali.


Amenhotep IV sudah merambah 


jalan menjadi seorang monoteis.


Pada tahun kelima pemerintahannya, Amenhotep IV memberitahukan 


kepada para imam dan warga istananya bahwa ia telah menerima sebuah 


sabda ilahi: Aten telah menunjukkan 


kepadanya suatu tempat, di mana 


belum pernah didirikan bangunan, 


tempat ibu kota baru harus dibangun 


untuk penghormatan kepada dewa 


itu.


Tempat itu yaitu  suatu dataran 


belantara yang kering dan berpasir, di 


sebelah timur Nil, di bawah sebuah 


bukit karang berbentuk setengah lingkaran, dan tiada tanah subur di dekatnya. Itu yaitu  sebuah ceruk yang panasnya terik, di mana dinding-dinding batu mengumpulkan bahang matahari 


sementara bukit karang merintangi aliran angin. Tetapi di sana, Amenhotep 


IV berniat membangun kota Akhet-Aten. Sementara pembangunan dimulai, 


ia juga mengubah namanya sendiri. Sejak tahun kesembilan pemerintahannya, hampir di semua tempat namanya diinskripsikan sebagai Akhen-aten:


pemuja matahari.18


Kini penguasa Mesir tidak lagi sekadar “orang kesayangan Ra”; ia yaitu  


anak Aten, anak lelaki matahari. Aten tidak memiliki dewa lain sebelum 


dirinya, tetapi pharaoh tetap tinggal sebagai satu-satunya penjelmaan 


duniawi dan wakil dari keilahiannya. Kekuasaan Akhen-aten sendiri berasal 


langsung dari pengetahuannya akan Yang Esa. Ia mengalami kesulitan untuk 


menjelaskan hal ini dalam sebuah syahadat panjang yang ia tulis sendiri:


 Engkau terbit di ufuk Langit, O Aten Yang Hidup, Awal segala Kehidupan.... 


saat  engkau terbenam di cakrawala, bumi diliputi kegelapan, seakanakan mati.... Bumi kembali cerah saat  engkau terbit di ufuk.... Betapa 


banyaknya pekerjaanmu! Karyamu itu tersembunyi dari pandangan manusia. Yang Ilahi Satu-satunya, yang tidak tersamai oleh satu makhluk pun.... 


Engkau ada di hatiku, tetapi tidak ada orang lain yang mengenalmu selain 


anak lelakimu, Akhenaten. Engkau telah membuatnya bijaksana seturut 


rencanamu dan dalam kekuasaanmu.19


Begitu ia menetap di ibu kotanya yang baru, Akhenaten memerintahkan 


agar nama Amun dihapus dari semua inskripsi. Para pekerja harus menutupnya dengan semen dan menulisi ulang dengan nama Aten.20 Amun bukan 


dewa sejati; ia yaitu  versi yang terdistorsi dan rusak dari yang ilahi yang 


sejati, dan para imamnya yang berkuasa kini tidak memiliki keberuntungan. 


Penghancuran itu sedemikian tandas sehingga hampir-hampir hanya satu saja 


contoh nama Amun yang masih tinggal.


Dewa-dewa lainnya juga tidak memiliki nasib yang lebih baik. Akhenaten 


memerintahkan pembangunan kuil-kuil baru untuk Aten, dengan pusat yang 


terbuka di mana sinar matahari dapat turun; tetapi kuil-kuil lainnya ditutup, 


para imam diusir dan dilarang melakukan kurban. Tidak ada imam lain 


yang menggantikan mereka. Aten tidak membutuhkan imam dan birokrasi 


keagamaan yang mungkin menghalangi cita-cita pharaoh. Baik dewa maupun 


wakil dewa di bumi bisa menoleransi pembagian kekuasaan.


Walaupun sudah mengubah namanya, Akhenaten tetap anak sejati 


ayahnya.Dalam kurun waktu sekitar seratus tahun sejak pemerintahan Akhenaten, 


suatu pergolakan keagamaan dan politik lain terjadi, saat  keturunan 


Abraham melarikan diri dari Mesir.


Menurut Pentateukh, keturunan Abraham berlipat ganda menjadi sebuah 


bangsa: orang Ibrani, yang hidup sebagai gembala dan pengembara di daerahdaerah Semit Barat sampai kelaparan mengancam untuk membasmi mereka. 


Mereka pergi bersama kawanan ternak mereka ke Mesir yang berlimpah airnya, dan di sana mereka menetap di suatu daerah di utara dan berkembang.


Cerita dalam Alkitab melukiskan bahwa penduduk Mesir merasa tidak 


senang dengan bangsa yang energik dan—tanpa basa-basi—subur itu, yang 


menunjukkan bertambahnya pemukiman mereka perbatasan dan merambah 


ke bagian-bagian lain di negeri itu. Orang Mesir sudah biasa merendahkan 


“orang Asia yang keji” di sebelah utara, dan invasi dari daerah-daerah Semit 


Barat merupakan suatu bahaya yang tetap. Bukan itu saja, Mesir dalam suatu 


masa yang masih diingat telah direbut oleh orang Semit Barat—orang Hyksos, 


yang (seperti orang Ibrani) tinggal di Mesir selama puluhan tahun sebelum 


pergi berpindah. Maka, tidaklah mengherankan bahwa kehadiran suatu bangsa imigran lain yang berkembang membuat mereka khawatir.


Kitab Eksodus menuturkan bahwa pharaoh Mesir menghimpun orang 


Ibrani sebagai pelaku kerja paksa untuk membangun proyek-proyeknya, dan 


(saat  hal itu tidak juga menurunkan jumlah populasi mereka yang berlebih 


itu) memerintahkan supaya semua anak lelaki Ibrani dibuang ke sungai. Ibu 


salah seorang anak menyembunyikan anaknya selama tiga bulan. saat  ibu 


itu melihat bahwa anaknya sulit untuk disembunyikan lebih lama karena ia 


mulai berisik, ia membuat sebuah keranjang dari gelagah, melepanya dengan 


ter, memasukkan bayi itu ke dalamnya, dan menaruhnya di antara tumbuhan 


gelagah di tepi Nil, tepat di dekat tempat di mana para putri Mesir turun 


untuk mandi. Datanglah seorang putri yang diikuti sejumlah dayang dan 


menemukan bayi itu. Ia mengenali bayi itu sebagai anak salah seorang Ibrani, 


namun tetap memutuskan untuk memungutnya. Bayi itu tumbuh menjadi 


besar di istana dengan nama Musa.


Jika kejadiannya seperti itu, pengangkatan seorang anak bayi Ibrani sebagai 


anak seorang putri Mesir tampaknya mustahil terjadi, mengingat adanya permusuhan antara mereka. Tetapi kita mengetahui bahwa para pharaoh sejak 


Tuthmosis IV biasa menikahi anak-anak perempuan dari kerajaan timur 


secara tetap; hal itu berarti sang putri mungkin saja berasal dari keturunan 


orang Semit Barat. Ia mungkin mengetahui kisah Sargon, yang tatkala masih 


bayi mengapung di sungai Efrat.


Ibuku mengandungku secara diam-diam, ia melahirkan aku dalam 


persembunyian. Ia menaruhku di sebuah keranjang gelagah,


ia menutup lidah-lidah keranjang dengan ter.


Ia melemparkan aku ke sungai, tetapi air sungai tidak menenggelamkan


aku.


Cerita kelahiran Sargon berperan sebagai meterai pemilihan, suatu bukti 


keilahian-nya. Ibu bayi Ibrani itu tentu mengetahuinya dan menggunakannya dalam suatu upaya hidup-atau-mati (yang berhasil) untuk menempatkan 


bayinya di dalam garis para pilihan ilahi.


Kenyataannya terjadi sesuai dengan rencana rahasianya. sesudah  dewasa, 


Musa meninggalkan Mesir dan mendengar panggilan Allah Abraham: ia harus 


kembali ke Mesir dan memimpin semua orang Ibrani keluar dari perbudakan, 


kembali ke tanah yang telah dijanjikan Allah kepada keturunan Abraham. 


saat  ia tiba di istana, pharaoh (tentu saja mengenali anak angkat Ibrani yang 


tumbuh menjadi dewasa di istana; mungkin keduanya berusia sebaya) menolak dengan geram. Setiap penolakan diikuti oleh pembalasan ilahi: sepuluh 


wabah penyakit, yang semakin bertambah-tambah buruk, hingga akhirnya 


penolakan orang Mesir runtuh dan pharaoh mengizinkan orang Ibrani pergi.


Eksodus menjadi peristiwa sentral dalam sejarah orang Ibrani, saat penentuan yang menjadi landasan seluruh sejarah bangsa Ibrani. Tetapi hal itu sama 


sekali tidak muncul dalam kronik Mesir.


Hal itu tidak mengherankan. Keluarnya orang Ibrani yaitu  suatu 


pelecehan yang tertuju tidak hanya kepada kekuasaan pharaoh dan istananya, 


tetapi kepada kekuasaan dewa-dewa Mesir itu sendiri. Wabah itu dirancang 


untuk menandaskan ketidakberdayaan panteon Mesir. Nil, aliran darah 


Osiris dan darah kehidupan Mesir, diubah menjadi darah dan menjadi cemar 


dan beracun; katak, binatang suci untuk Osiris, muncul dalam jumlah yang 


sedemikian besar sehingga berubah menjadi wabah; cakram surya tertutup 


kegelapan, baik Ra maupun Aten dibuat tak berdaya. Hal semacam itu 


bukanlah jenis peristiwa yang tampil pada inskripsi-inskripsi penghormatan 


untuk pharaoh mana pun.


Penanggalan paling konservatif untuk Eksodus yaitu  tahun 1446, 


yang terjadinya menjelang akhir pemerintahan Amenhotep II, kakek buyut 


Akhenaten.∗


 Perkiraan-perkiraan lainnya menempatkan Eksodus beberapa ratus tahun lalu , di tengah tahun 1200-an dan satu abad lebih sesudah  


Akhenaten sendiri. Di sekitar itu terdapat sejumlah kemungkinan, di mana 


ada satu cabang kelompok sejarawan mengemukakan bahwa Eksodus itu 


lebih berupa keluaran yang terjadi berangsur-angsur dari Mesir kembali ke 


daerah orang Semit Barat, dan satu cabang yang lebih kecil lagi berpendapat 


bahwa sama sekali tidak terjadi Eksodus.


untuk tujuan kita, cukup dicatat bahwa orang Ibrani lenyap ke gurun dan 


dari panggung sejarah antarbangsa untuk beberapa abad. Tahun-tahun itu 


dari kacamata sejarah tidak terlihat, tetapi dari sudut pandang teologi yaitu  


sentral. Di gurun itulah kitab suci mereka sendiri lahir; dalam kitab itu, Allah 


orang Ibrani tampil sebagai satu kekuasaan tanpa padanan, Awal Mula yang 


ilahi, Allah yang esa dan yang satu-satunya, yang memberikan kehidupan atas 


namanya sendiri.


Dengan gambaran itu pun, Aku orang Ibrani dan dewa Aten dari Mesir 


tidak memiliki kesamaan sifat selain sifat mencukupi untuk dirinya sendiri. 


Allah orang Ibrani, walaupun tidak antropomorfik, sungguh-sungguh suatu 


kepribadian; Aten yaitu  suatu kekuasaan. Aten yaitu  sang surya, tetapi 


Allah orang Ibrani sama sekali tidak dipadankan dengan dunia ciptaan, yang 


jelas tidak pernah disamakan dengan matahari atau bulan. Ia sedemikian jauh 


melampaui cakram surya, sehingga ia tidak bisa diwakili. Kedua gerakan 


monoteis itu berdekatan waktunya—tetapi hanya itu saja kedekatannya.G A R I S WA K T U 3 2


 MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL MESIR 


 


 MITANNI ASSIRIA HITTI 


 


 Kerajaan Baru (1570-1070)


 


 Dinasti 18 (1570-1293) 


 


 Ahmose I (sek. 1570-1546)


 Telepinus Hatshepsut-Tuthmosis III (sek. 1504-1483)


 Parattarna Tuthmosis III (sendiri) (sek. 1483-1450)


 Saustatar 


 Eksodus (tanggal paling awal)


 Artadama Tuthmosis IV (1419-1386)


 Sudarna II


 Assur-nadin- Amenhotep III (sek. 1386-1349)


 Ahhe II


 Tushratta Suppiluliuma 


 Akhenaten (sek. 1349-1334)




J  , raja Tushratta kian khawatir terhadap bangsa 


Hitti. Rajanya yang baru dan energik, Suppiluliuma, tengah membangun 


angkatan perangnya di seberang pegunungan Taurus. Tushratta membutuhkan bala bantuan untuk menjauhkan orang Hitti.


Mesir yaitu  pilihan yang paling tepat untuk menjadi sekutunya. 


Akhenaten, dengan segala perhatiannya yang tercurah pada urusan-urusan 


pemujaan dewa, masih tetap merupakan raja dari kekaisaran yang paling 


berkuasa di kawasan itu. Kebetulan ia juga kemenakan Tushratta (dan juga 


semacam cucu menantu, karena dua generasi wanita Mitanni telah menikah 


dengan anggota keluarga kerajaan Mesir). Tushratta menawarkan satu 


pasangan lagi, antara pharaoh dan putrinya sendiri; Akhenaten setuju dengan 


rencana perkawinan itu, dan putri Tushratta pun dikirimkan ke selatan.


Namun, raja Mitanni merasa semakin terganggu karena perlakuan serampangan kemenakannya itu. Dalam surat-menyurat antara kedua raja, Tushratta 


mengeluh bahwa emas yang dikirim ke utara sebagai maskawin mutunya 


tidak baik: ”Emas itu tidak tampak seperti emas,” demikian tertulis dalam 


salah satu surat. ”Orang-orang saya mengatakan bahwa emas di negara Anda 


lebih umum daripada kotoran, dan mungkin, karena Anda begitu mencintai 


saya, maka Anda merasa tidak ingin mengirimkan kepada saya sesuatu yang 


begitu biasa, dan mengirim kotoran sebagai gantinya.” 1


sesudah  mendapat komentar yang tajam itu, sikap Tushratta kepada menantu barunya menjadi semakin risau. Ia mengingatkan Akhenaten bahwa 


ayahnya, Amenhotep IV, sangat menghargai persahabatan dengan Tushratta 


(yang, karena Akhenaten berusaha mengalahkan bayang-bayang ayahnya dengan sinarnya sendiri, mungkin bukan tindakan yang paling bijaksana); 


ia mengeluh bahwa utusannya telah berada di lingkungan istana Mesir selama hampir empat tahun, menunggu pharaoh memberikan perhatian kepada 


mereka; tidak lama sesudahnya, ia mengutarakan bahwa ia telah menunggu 


selama enam tahun untuk mendapat jawaban atas suatu pertanyaan yang ia 


kirim ke Mesir melalui utusan.2


Kendati ada hubungan perkawinan, Akhenaten tengah menjauhi aliansi 


dengan orang Mitanni. Ia memiliki prakiraan yang cukup tajam, ke arah 


mana angin utara itu tengah bertiup: orang Hitti tengah mempersenjatai 


diri, dan mereka kuat, sedangkan Suppiluliuma sendiri yaitu  seorang pakar 


strategi yang cerdik. Raja Hitti itu telah mengirim hadiah kepada pharaoh, 


begitu Akhenaten naik tahta, suatu isyarat kebaikan hati yang bermata ganda, 


yang dimaksudkan untuk mengingatkan raja baru itu bahwa perjanjian 


rahasia antara Mesir dan Hattusas masih berlaku. ”Seperti halnya ayah Anda 


dan saya sungguh-sungguh menginginkan perdamaian di antara kita, ” tulis 


Suppiluliuma beberapa saat sesudah  itu, ”demikian pula kita, Anda dan saya 


harus saling bersahabat..... Marilah kita saling membantu.”3 Menghadapi 


pilihan antara dua negara itu, Akhenaten memilih orang Hitti.


Nampaknya Tushratta tidak tahu menahu tentang perjanjian rahasia itu, 


tetapi ia dapat segera melihat akibatnya. Suppiluliuma, karena kini yakin 


bahwa Mesir tidak akan datang membela orang Mitanni, mulai bergerak 


ke arah timur menuju ibu kota Mitanni: Washukkanni. Apabila Tushratta 


mencari pertolongan ke selatan, pastilah sia-sia. Istana Akhenaten mempertahankan keagungan dengan diam seribu bahasa.


Yang datang bukanlah kawan, tetapi lawan yang lain. Assur, yang menjadi 


bawahan Mitanni selama bertahun-tahun, telah dipersenjatai lagi secara rahasia oleh Mesir; kini bantuan itu memang membuahkan hasil. Raja Assiria, 


Assur-uballit (barangkali cucu raja yang dahulu telah menerima bantuan dari 


Amenhotep III) mengerahkan pasukannya untuk bergabung dengan orang 


Hitti, menyerbu Washukkanni dari selatan.


Tushratta, karena diserang dari arah selatan dan barat, menarik pasukannya 


kembali keluar dari Mesopotamia utara. Assur-uballit segera mengklaim 


daerah itu sebagai wilayah Assur. untuk pertama kalinya sejak penggulingan 


dinasti Shamshi-Adad, Assur menjadi kerajaan.∗


 Bahkan, dalam surat 


berikutnya yang ia kirim ke Mesir, Assur-uballit mengklaim kembali gelar 


Raja Besar (sambil sekaligus meminta pemberian lebih lanjut);† ”Dari Assur-uballit,” demikian bunyi surat itu, ”raja Assiria, Raja Besar, saudaramu. 


Emas di negara Anda seperti kotoran; gampang didapatkan. Mengapa Anda 


begitu berhemat dengannya? Saya sedang membangun sebuah istana baru. 


Tolong, kirimkan emas lebih banyak lagi untuk itu. saat  Assur-nadin-ahhe, 


leluhur saya menulis surat kepada ayah Anda, ia menerima dua puluh talenta 


emas.... Kalau Anda ingin bersahabat dengan saya, segera kirimkan kepada 


saya emas sebanyak itu,” 4


Surat ini, berbeda dengan surat serupa dari Tushratta, tampaknya tidak 


dipandang sebagai penghinaan. Mungkin Akhenaten memang tidak mengharapkan apa-apa lagi dari orang Assiria.


 , Tushratta sangat tidak mujur di garis depan barat. Pasukan 


Hitti tiba di tembok kota Washukkanni jauh lebih cepat daripada yang ia 


perkirakan. Karena tidak siap menghadapi pendudukan, ia melarikan diri 


dari kota dengan beberapa pegawai istana. Tetapi, ternyata ia keliru memilih 


pengiringnya; ia dibunuh oleh salah seorang dari pengikutnya sendiri dalam 


pelarian itu.


Putra sulung dan ahli warisnya, karena menyadari bahwa tidak ada 


gunanya melawan, berbalik kepada musuh, menyerah, dan diperlakukan 


dengan kehormatan. Namun, ia tidak memiliki tahta lagi. Bahkan, sesudah  


kejatuhan kota Washukkanni, tidak ada lagi kerajaan Mitanni sama sekali. 


Orang Hurria mundur, di hadapan pasukan Hitti yang bergerak maju, kembali 


ke seberang sungai Efrat. Di sana, di lereng pegunungan Zagros, tempat asal 


mereka, mereka bertahan: sebuah kerajaan kesukuan yang lemah, yang untuk 


beberapa waktu diabaikan oleh kerajaan-kerajaan besar.


Sementara itu, Suppiluliuma bergerak ke selatan menyusuri Laut Tengah 


sejauh yang dapat ia capai, tanpa memulai pertempuran sama sekali melawan 


orang Mesir. Setiap kota yang ia taklukkan yaitu  bekas milik orang Mitanni, 


bukan milik orang Mesir (walaupun dalam perjalanannya ia memang melintasi tanah yang dikuasai oleh Mesir).5


Akhenaten tidak menolak pembangunan kekaisaran. Tetapi pada saat 


itu, sikapnya yang membiarkan itu bukannya karena persahabatan, tetapi 


karena keperluan. Bala tentara Mesir tidak banyak berperang di bawah 


pemerintahan Amenhotep IV dan lebih sedikit lagi di bawah pemerintahan 


anaknya; tentaranya saat itu sudah tidak siap untuk berperang. Wabah tengah 


menjalar ke seluruh Mesir, bahkan sampai ke pantai Laut Tengah. Akibat 


wabah timbullah kemiskinan. Seorang raja kecil Semit Barat menulis, untuk 


meminta maaf karena sedikitnya tembaga yang ia kirimkan sebagai upeti; 


bahwa jumlah pekerjanya menipis karena berjangkitnya wabah.


Keluarga kerajaan sendiri pun menderita. Sekitar tahun keempat belas pemerintahan Akhenaten, istri utamanya meninggal, disusul istri keduanya 


tak berapa lama lalu . Akhenaten, yang memiliki tiga anak perempuan 


dan tak seorang pun anak lelaki, memutuskan bahwa harapannya yang terbaik 


yaitu  mencoba untuk memperoleh keturunan laki-laki dengan menghamili 


ketiga putrinya.


Strateginya gagal. Semua bayi yang dilahirkan yaitu  perempuan, dan 


bahkan putri keduanya meninggal saat  melahirkan.


Akhenaten menikahkan putri tertuanya dengan seorang sepupu jauh 


kerajaan dan menunjuk anak muda itu sebagai ahli warisnya. Tak lama 


lalu , putri mahkota itu meninggal. Pharaoh sendiri yang sudah tua 


jatuh sakit dan menyusul kematian putrinya. Si ahli waris dimahkotai dan 


bertahta selama beberapa hari saja, lalu  meninggal juga. Tampaknya, 


wabah telah menimpa keluarga kerajaan juga.


   memilih seorang anak lelaki usia sembilan tahun, 


bernama Tutankhaten, sebagai raja. Apakah ia berdarah kerajaan sangat tidak 


jelas; yang pasti ia bukan anak Akhenaten, walaupun ia dibesarkan di lingkungan istana. Pada usia sembilan tahun, ia dijemput dari sekolahnya dan 


didudukkan sebagai pharaoh, dan klaim kekuasaannya dikuatkan dengan 


perkawinan seremonial dengan satu-satunya anak perempuan Akhenaten 


yang masih hidup: putri bungsunya, yang jauh lebih tua daripada dia sendiri 


dan sudah menjadi ibu dari seorang putri (dari ayahnya sendiri).


Tutankhaten dikelilingi oleh sejumlah penasihat dan pejabat istana yang 


telah melihat Mesir kehilangan kekuasaan di bagian utara dan memerangi 


wabah, sementara Akhenaten membangun kuil untuk Aten. Akhenaten sendiri menyaksikan anggota keluarga istananya meninggal satu demi satu. Tahta 


tentulah seperti hukuman mati: kini ia sendiri duduk langsung di bawah 


murka dewa-dewa tua. 


Maka, ia mengabaikan gerakan Suppiluliuma dari utara dan, atas dorongan 


para walinya, ia lebih memperhatikan urusan-urusan yang lebih mendesak. 


Ia menolak nama Tutankhaten dan menamai dirinya Tutankh-Amun, untuk 


menunjukkan loyalitasnya kepada Awal Mula purba. Ia mengikuti keinginan para penasihatnya dan memerintahkan agar nama Akhenaten dicungkil 


dari monumen-monumen, inskripsi-inskripsinya dihapus dari relief-relief, 


patung-patungnya dihancurkan.*∗


 Kota besar Aten lalu  ganti dikenal 


sebagai Amarna. sesudah  semua itu selesai, Mesir harus bergerak lagi dan menghadapi bagian 


dunia lainnya. Orang Mittani tidak lagi menajdi masalah, tetapi orang Hitti 


itu besar dan mengancam di sebelah; Assur-uballit berperilaku seperti kaisar 


di kota Assur; dan di bagian selatan Mesopotamia, panglima perang Orang 


Kassi, Burnaburiash I, yang memerintah di Babilonia, telah memutuskan 


untuk mengajukan protes. Ia menulis surat kepada raja Tutankhamun muda, 


guna menyarankan agar raja yang baru berhenti memperlakukan Assuruballit dengan penghormatan. Karena kini orang Mitanni telah melepaskan 


kekuasaannya atas Assur, kata Burnaburiash, kota itu berdasarkan hak harus 


menjadi milik Babilonia. Dia-lah yang harus menguasai kota itu, bukan 


Assur-uballit, dan tidaklah selayaknya Assur-uballit menyebut dirinya sebagai 


”Raja Besar”.6 Lagipula, Tutankhamun mestinya tidak lagi menerima utusan 


dari Assur, seakan-akan Assur berhak menangani urusan luar negerinya 


sendiri. ”Saya tidak mengirim raja-raja kecil Assiria itu kepada Anda,” tulis 


Burnaburiash. ”Mengapa, atas kemauan mereka sendiri, mereka datang ke 


negara Anda? Kalau Anda mencintai saya, mereka tidak akan mendapat 


peluang apapun dari Anda. Kirimkan mereka kepada saya dengan tangan 


kosong.”7


Tutankhamun nampaknya tidak memedulikan hal itu, karena utusan dari 


Assiria masih terus berdatangan ke istana Mesir. Assur-uballit, yang diperlakukan sebagai raja, mempertahankan kekuasaannya dan membangun bala 


tentaranya; bahkan, ia mempertahankan tahtanya selama hampir tiga puluh 


tahun.


Pada akhirnya Burnaburiash melepaskan harapan untuk membuat 


Mesir berpihak kepadanya melawan Assiria, dan mengambil jalan lain. 


Ia mengusulkan agar Assur-uballit mengirim putrinya untuk dikawinkan 


dengan putra mahkota Babilonia, Karaindash. Assur-uballit setuju, agaknya 


karena ia melihat perkawinan itu sebagai jalan untuk melindungi kekaisaran 


barunya terhadap serangan dari selatan. Pesta perkawinan dirayakan dengan 


sepantasnya. Karaindash tak lama lalu  memiliki keturunan sendiri 


sebagai ahli waris, dan kedua negara, Assiria dan Babilonia tinggal secara 


berdampingan dalam hubungan damai yang rapuh.


Hubungan damai itu berlangsung hanya sampai saat Burnaburiash meninggal. Sesaat sebelum meninggal, ia memutuskan untuk melewati anaknya dan 


lebih mengutamakan cucunya yang berasal dari keturunan setengah Assiria 


setengah Babilonia (dan menempatkan Karaindash yang malang pada posisi 


sebagai penopang kerajaan). Mungkin ia berharap bahwa anak itu akan memiliki  kesempatan untuk mengklaim tahta Assur juga, berdasarkan haknya 


sebagai keturunan kerajaan; dan itu akan meletakkan Babilonia dan Assur di 


bawah satu mahkota. Tetapi, dengan itu ia sebenarnya telah menjatuhkan hukuman mati kepada cucunya. Orang Kassi yang menjadi anggota bala tentara memberontak. 


Sejauh menyangkut kepentingan mereka, raja yang baru itu berdarah campuran dan tidak memiliki hak untuk menduduki tahta Babilonia. Mereka 


menyerang istana, membunuh raja yang berdarah separuh Assiria itu, dan 


menegakkan sebuah pemerintahan militer.8


 Atas peristiwa itu Assur-uballit menyatakan berhak untuk melakukan campur tangan dan meluruskan perkara. Potongan-potongan surat dan 


inskripsi yang masih ada tidak memberikan kejelasan sepenuhnya tentang 


tindakan apa yang ia lakukan; mungkin ia membunuh pembantai cucunya. 


Seorang raja baru dimaklumkan, tetapi tidak mungkin menyebutkan siapa 


sebenarnya yang menjadi raja baru, atau apa peranan yang dimainkan Assuruballit dalam pemahkotaannya. Yang dapat kita katakan dengan pasti hanyalah 


Assiria tidak mengambil alih pemerintahan Babilonia. Tahta kota itu masih 


diduduki oleh seorang raja Kassi, mungkin anak Burnaburiash lainnya yang 


lebih muda. Dalam kekacauan itu tampaknya Karaindash terbunuh.


  - bukan satu-satunya 


perkawinan yang aneh. 


sesudah  menduduki tahta selama kurang dari satu dasawarsa, Tutankhamun 


meninggal secara tak terduga; peristiwa seputar kematiannya tidak akan pernah diketahui, tetapi ia mungkin terkena panah. Ia dimakamkan dengan 


upacara megah. Makamnya mungkin tidak lebih kaya akan hiasan dibandingkan makam para leluhurnya, tetapi (berbeda dengan yang lain) makam 


itu tetap utuh tak dijarah sampai November 1992.


Ia tidak memiliki  anak. Istrinya, Ankhesenamun (seperti suaminya, ia 


juga telah mengganti namanya untuk menghormati Amun), pernah hamil 


dua kali. Dua kali pula ia melahirkan secara prematur dan bayinya terlahir 


mati. Jenazah kedua bayi kecil itu dibalsam dengan cermat dan dimakamkan 


bersama ayahnya di dalam makam kerajaan.9


sesudah  suaminya mati, tidak ada saudara laki-laki lain di garis keturunan 


raja yang masih hidup, dan tidak ada anak dari Tutankhamun yang dapat 


ia asuh, Ankhesenamun mulai khawatir tentang masa depannya. Bagaimana 


pun, istana Mesir tidak kekurangan orang berambisi yang akan dengan 


senang mengambil alih kekuasaan (barangkali sesudah  ia sendiri mati secara 


tak terduga). Yang terutama di antara mereka yaitu  Ay, kakeknya sendiri dari 


garis ibu. Ay telah mengabdi Akhenaten sebagai menteri utama, lalu  


menjadi penasihat Tutankhamun, dan masih tinggal di lingkungan istana: 


seorang tua yang sudah letih dan yang mengetahui di mana semua mayat 


dimakamkan. Seorang lainnya yang sama kuatnya dengan dia, walaupun tidak sama-sama disegani seperti dia, yaitu  panglima besar tentara, Horemheb, yang 


sudah berdinas sebagai militer sejak pemerintahan Amenhotep III. Walaupun 


masa dinasnya sudah panjang, usianya masih empat puluhan tahun, karena ia 


masuk dinas milter pada usia tiga belas tahun.


Ankhesenamun, karena takut kepada dua orang itu, membuat sebuah rencana yang tidak waras. Ia menulis surat kepada raja Hitti, Suppiluliuma, dan 


memintanya agar mengirim salah satu putranya ke Mesir. Kalau raja Hitti 


memenuhi permintaannya, ia berjanji akan mengawini putra raja Hitti itu 


dan akan menjadikannya pharaoh. 


Tidak ada salinan surat di Mesir, yang mengisyaratkan bahwa ini yaitu  


rencana rahasia. Surat yang masih tinggal hanya yang ditemukan di reruntuhan 


Hatussas, ibu kota Hitti:


 Suami saya meninggal, dan saya tidak memiliki  anak. Sedang baginda 


memiliki  banyak putra. Apabila baginda mau memberikan salah satu 


dari putra baginda, saya akan menjadikannya suami saya. Saya tidak bisa 


mengangkat salah satu dari pembantu-pembantu saya dan menjadikannya 


sebagai suami .... dan saya takut.10


Itu semua sama sekali tak terduga dan Suppiluliuma pun kaget sekali. Ia 


memang memiliki hubungan baik dengan Mesir, meskipun tidak sedemikian


baik. Menurut catatannya sendiri, ia mengirim sejumlah mata-mata ke selatan 


untuk menyelidiki apakah Ankhesenamun bersungguh-sungguh.11 saat  


mereka melaporkan bahwa itu benar dan memang tidak ada ahli waris yang 


kelihatan, Suppiluliuma pun menyetujui usulan itu dan menyiapkan salah 


seorang dari putra-putranya untuk menempuh perjalanan ke selatan.


Sang pangeran tak pernah sampai ke Mesir. Ia disambut di perbatasan 


oleh panitia penyambutan yang diatur oleh Horemheb; tampaknya 


Ankhesenamun, dengan persetujuan Suppiluliuma, telah membocorkan rencananya. Horemheb yang sudah berdinas sebagai tentara selama beberapa 


dasawarsa tentu mengetahui bahwa serangan frontal selalu lebih berisiko daripada peluang yang muncul secara kebetulan. Dalam perjalanan melalui Delta 


menuju perkawinannya, pangeran dari Hitti itu tewas secara tak terduga. 


Perundingan apa yang lalu  berlangsung di Mesir tidak diketahui. 


Namun, segera sesudah  itu, Ay mengawini cucunya Ankhesenamun dan lalu  naik tahta. Tindakan pertamanya yaitu  menulis surat kepada 


Suppiluliuma, yang menyangkal keterlibatannya dalam kematian putra raja 


Hitti itu (dan dengan cermat melemparkan tanggung jawab atas hal itu pada 


Horemheb). Suppiluliuma mungkin tidak mempercayai hal itu, tetapi ia tidak 


memiliki peluang untuk membalaskan kematian anaknya. Sebelum ia sampai ke selatan dengan pasukannya, wabah menyerang perkemahan tentara Hitti, 


dan raja Hitti terbesar itu meninggal.


Ay meninggal tidak lama sesudahnya karena usia tua belaka. Ia telah memerintah selama kurang dari empat tahun. Segera sesudah  Ay dimakamkan, 


Horembeb menyatakan dirinya sebagai pharaoh. Apa yang terjadi dengan 


putri Ankhesenamun tetap tinggal misteri. sesudah  perkawinannya dengan 


kakeknya yang sudah tua, catatan Mesir tidak pernah menyebutnya lagi.


G A R I S WA K T U 3 3


MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL MESIR


 MITTANI ASSIRIA HITTI


 Kerajaan baru (1570-1070)


 Dinasti 18 (1570-1293)


 Telepinus Ahmose I (sek.1570—1546)


 Parattarna Hatshepsut-Tuthmosis III (sek.1504—1483)


 Saustatar Tuthmosis III (sendiri) (sek.1483—1450)


 Eksodus (tanggal paling awal)


 Artadama Tuthmosis IV (1419—1386)


 Sudarna II


 Assur-nadin- Amenhotep III (sek.1386-1349)


 ahhe II 


 Tushratta Suppiluliuma 


 Assur-uballit Akhenaten (sek.1349-1334) 


 Kerajaan Tengah Tutankhamun (sek.1333-1325)


 Assiria 


 Ay (sek.1325—1321)


 Horemheb (sek.1321—1293)



H menduduki tahta Mesir selama dua puluh delapan tahun. Ia 


menyelesaikan pemugaran kuil Amun, yang sudah dimulai oleh Tutankhamun; 


ia memerintahkan untuk meratakan sisa kuil Aten; dan ia membentuk kembali dewan imam kuil Amun dengan menunjuk rekan-rekan lamanya dari 


kalangan tentara menjadi imam-imam. Karena ia yaitu  pejabat tertinggi tentara Mesir, ia merasa cukup yakin bahwa kedisiplinan tentara akan mencegah 


segala kecenderungan bagi para pejabat militer-imam untuk merebut kekuasaan.1 lalu  ia meninggal, pada usia 80-an tahun, sesudah  mengalami 


pemerintahan lima orang pharaoh. 


Ia tidak memiliki  anak laki-laki, maka ia mengangkat seorang anggota 


militer menjadi ahli warisnya. Tentara itu, Rameses I, yaitu  pharaoh pertama 


yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah (nyata atau rekaan) dengan 


satu pun garis kerajaan sebelumnya. Ia juga tidak jauh lebih muda daripada 


Horemheb, dan meningal sesudah  menduduki tahta selama satu tahun, tanpa 


melakukan sesuatu yang penting.


Namun, dari awal yang tidak menonjol inilah Dinasti Kesembilan Belas 


Mesir yang besar itu memulai riwayatnya.*


 Rameses I menurunkan tahtanya

kepada putranya, Seti (yang dikenang terutama karena membangun kuil di 


setiap tempat yang memungkinkan); Seti mengalihkan mahkotanya kepada 


putranya, Rameses II. Rameses II menjadi terkenal karena panjangnya masa 


pemerintahannya, jumlah proyek pembangunannya, kekuatan legendaris 


angkatan perangnya, dan karena secara kebetulan dapat bertahan sesudah  melewati pertempuran terbesar di dunia.


S  putera Suppiluliuma dan wafatnya raja besar Hitti akibat wabah, perjanjian Hitti–Mesir menjadi berantakan. Sepanjang perbatasan 


kedua negara, sering terjadi bentrokan bersenjata. Pada saat Rameses II naik 


tahta, mahkota Hitti telah beralih kepada cucu Suppiluliuma, Muwatalli, dan 


Mesir telah kehilangan kedaulatan di wilayah paling utara; kota Kadesh yang 


dikuasai Mesir selama lebih dari satu abad, telah jatuh ke tangan orang Hitti.


Pada usia dua puluh lima tahun, pharaoh yang baru itu sudah mengalami 


kehidupan sebagai orang dewasa selama sekurang-kurangnya sepuluh tahun. 


Ia telah menikah untuk pertama kali pada usia sekitar lima belas tahun, dan 


telah menjadi bapak dari sekurang-kurangnya tujuh anak. Ia telah berperang 


sekurang-kurangnya dalam dua dari serangan ayahnya ke daerah Semit Barat.2


Ia tidak menunggu terlalu lama sebelum memulai pertempuran melawan 


orang Hitti, musuhnya. Pada tahun 1275, tidak lebih dari kira-kira tiga tahun 


sesudah  naik tahta, ia mulai merencanakan serangan untuk merebut kembali 


kota Kadesh. Kota itu telah menjadi lebih daripada sebuah garis depan belaka; 


itu yaitu  sebuah bola yang ditendang bolak-balik antara kekaisaran-kekaisaran. Kadesh terlalu jauh ke utara untuk dikendalikan dengan mudah oleh 


Mesir, dan terlalu jauh ke selatan untuk diurus dengan mudah oleh orang 


Hitti. Kekaisaran mana pun yang mengklaim kota itu dapat berbangga karena 


memiliki kekuatan yang lebih unggul.


Menjelang akhir tahun 1275, Rameses II mendengar dari mata-matanya 


bahwa Muwatalli sama sekali tidak berada di dekat Kadesh. Itu yaitu  keadaan 


yang tepat untuk melancarkan serangan, maka Rameses II mengumpulkan 


tentara yang jumlahnya belum pernah didengar sebelumnya (menurut ce

ritanya