Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 12




  sendiri, terdapat sekitar dua puluh ribu orang yang dibagi ke dalam 


empat divisi, yakni Amun, Ra, Ptah, dan Set) dan mulai bergerak ke utara. 


Perlu waktu sedikitnya dua bulan untuk mencapai kawasan sekitar Kadesh, 


tetapi Rameses II merasa tenteram saat  penjaga-penjaga pada sebuah 


pos luar Hitti, sesudah  ditangkap dan diinterogasi, memberitahukan bahwa 


pasukan Hitti masih berada jauh di dalam wilayah Hitti, dan tidak mungkin 


bergerak mendekati Kadesh dalam waktu dekat. Ia mengatur divisi-divisinya 


ke dalam formasi perang, berdasarkan urutan posisi kepentingan dewa-dewa 


(pertama Amun, diikuti Ra, Ptah di belakangnya, dan Set paling belakang) 


dan mulai bergerak mendekati kota.


Tetapi pos luar itu yaitu  sebuah persembunyian. Muwatalli sebenarnya berada tepat di balik Kadesh dengan empat puluh delapan ribu tentara, 


baik tentara Hitti maupun tentara bayaran yang disewa untuk keperluan itu. 


Hampir tiga ribu orang yang mengendarai kereta, yang masing-masing terdiri 


dari seorang sais, seorang pemanah, dan seorang berperisai untuk melindungi 


si pemanah saat  ia memanah.3


 Sementara Rameses tidak menghadap ke 


depan, dan membangun kemah tepat di sebelah barat Kadesh dengan pasukan dari divisi pertama, tentara Muwatalli menghambur keluar dari balik 


Kadesh seperti badai yang menyapu. Pasukan Hitti bergerak memutar di belakang Amun dan menghabisi divisi kedua, Ra, dan memisahkan Rameses II 


beserta lima ribu tentara divisi Amun dari dua divisi lainnya yang berada di 


belakang.4


 Hampir sejumlah tujuh ribu orang terlibat dalam pertempuran di 


luar tembok kota Kadesh.


Sebetulnya secara relatif mudah untuk menghancurkan pasukan Amun 


dan sang raja, tetapi tentara Hitti menghadapi suatu masalah. Divisi Amun 


berkemah di suatu dataran yang agak sempit, dan saat  kereta-kereta perang 


menyerbu masuk, mereka berbenturan satu sama lain sehingga bertindihtindih dan bertumpuk-tumpuk.5


 Pasukan infanteri Hitti masih lebih besar 


jumlahnya daripada pasukan Mesir, tetapi Rameses II telah menyiapkan 


pasukan pendukung: ia telah mengirim bala bantuan di sepanjang pantai, 


mungkin lewat laut, kalau-kalau pasukan utama mengalami kesulitan di 


darat.6


 Bala bantuan itu masuk ke medan perang dari utara tepat pada waktu 


divisi Ptah tiba untuk menyerang dari selatan, dan pertempuran dua garis 


depan itu tampaknya membuat orang Hitti bingung; bala tentaranya, yang 


jumlahnya membengkak karena adanya tentara bayaran, kurang berdisiplin 


dibandingkan tentara Mesir yang jumlahnya lebih kecil dan diatur dengan 


ketat. Muwatalli memang memiliki pasukan cadangan, tetapi ia menahannya 


(mungkin karena mencurigai bahwa bala bantuan Mesir yang lain lagi masih 


berada di perjalanan). saat  kegelapan senja menyelimuti medan perang, 


pasukan Hitti mundur untuk mengatur diri kembali.

Pada waktu fajar, pertempuran mulai lagi. Tetapi kali ini tidak ada lagi 


kejutan, dan pengalamanan tentara Mesir sungguh menghasilkan buah. 


Pertempuran mengalami kebuntuan, dan Muwatalli menawarkan gencatan 


senjata.


Rameses II tidak menyepakati perdamaian untuk seterusnya, tetapi 


akhirnya ia setuju untuk kembali ke Mesir dengan membawa tawanan dan 


barang rampasan, dan membiarkan kota Kadesh tetap di tangan orang Hitti. 


Ia lalu  bergerak kembali ke Mesir dan memaklumkan kemenangan.


Walaupun hal itu kedengarannya bukan suatu kemenangan telak, tetapi 


berubah menjadi demikian kelak, saat  Rameses II memerintahkan agar 


kisah yang diperindah tentang pertempuran itu diukirkan sekurang-kurang-

nya sembilan kali pada tembok kuil-kuil Mesir, dengan banyak ilustrasi 


grafis yang menampilkan orang Mesir tengah membantai orang Hitti. Kisah 


pertempuran itu menjadi latihan di sekolah bagi anak-anak untuk melatih 


kepenulisan, seperti halnya kemenangan Julius Caesar di Gallia beberapa abad 


lalu .7


 Pertempuran Kadesh, walaupun kurang lebih berakhir seimbang, 


menjadi emblem keunggulan Mesir. 


Hal itu menunjukkan seberapa jauh yang telah dicapai Mesir sesudah  mengalami kebesaran di masa lalu. Mesir masih berkuasa, tetapi telah menjadi 


suatu kekaisaran yang bergantung pada reputasi, sebesar ketergantungannya 


pada kekuatan nyata untuk mempertahankan kedudukannya sebagai 


pemimpin dunia. Andai kata tentara Mesir benar-benar memiliki kekuatan 


yang sedemikian besar seperti yang ditampilkan dalam relief-relief Rameses 


II, ia tentu tidak berbalik dan pulang dengan membiarkan Kadesh berada di 


tangan orang Hitti. Sebaliknya, Rameses II mencurahkan perhatiannya pada 


simbol-simbol kekuasaan; di wilayah yang aman di dalam negerinya sendiri, 


ia membangun lebih banyak kuil, patung, dan monumen dibanding pharaohpharaoh sebelumnya. Demikianlah terjadi bahwa Rameses II meraih reputasi 


sebagai salah seorang pharaoh terbesar dalam sejarah Mesir, sementara pada 


kenyataannya ia kehilangan bagian dari wilayah utara yang telah direbut oleh 


Tuthmosis III dua ratus tahun sebelumnya.


K    di sebelah Utara itu memiliki kesulitan sendiri. Pada masa itu, orang Hitti tampaknya telah menjalin perjanjian dengan 


raja-raja Babilon, jauh di Selatan; sekurang-kurangnya kita bisa menduga demikan, karena Muwatalli mengirim permintaan agar seorang dokter datang 


untuk membantunya mengatasi suatu masalah medis pribadi. Masih terdapat 


sepucuk surat, yang ditulis oleh saudara Muwatalli sesudah  sang raja meninggal, untuk menjawab suatu permintaan dari Babilon agar mengirimkan 


dokter, yang telah ditunggu-tunggu kembalinya ke istana Babilon.


(”Ia sudah menikah dengan seorang kerabatku dan memutuskan untuk 


tinggal di sini,” kira-kira demikian bunyi surat itu, ”jadi, jangan menuduhku 


lagi bahwa aku telah menjebloskannya ke penjara; apa untungnya memenjarakan dokter bagiku?”).8


 


Hubungan antara orang Hitti dan orang Assiria kurang bersahabat. Raja 


baru Assur, Adad-nirari, terus-menerus melancarkan perang ke Utara melewati wilayah yang terpecah akibat pelarian orang Mitanni, dan mengklaim itu 


sebagai wilayahnya. Ia juga melakukan perang perbatasan sekurang-kurangnya 


satu kali dengan Babilon, di Selatan, dan dalam perang itu Assiria dapat mengklaim banyak bagian dari wilayah Utara Babilon. Penaklukan-penaklukan

itu cukup mengesankan bagi Adad-nirari untuk menyebut dirinya sebagai 


Raja Dunia dalam sesuatu yang lalu  menjadi tradisi Assiria yang bernilai 


tinggi: ”Adad-nirari, pangeran yang gemilang,” demikian bunyi awal sebuah 


inskripsi, ”dihormati dewa-dewa, tuan, wali penguasa tanah para dewa, pendiri kota, penghancur penguasa Kassi yang kuat .... yang menghancurkan 


semua musuh dari utara maupun Selatan, yang menginjak-injak tanah-tanah 


mereka, ... yang menangkap semua orang, memperluas wilayah dan melebarkan perbatasan; raja yang ke bawah duli kakinya Assur ... telah menaklukkan 


semua raja dan pangeran.” 9


 


saat  tengah merencanakan suatu stategi melawan ancaman Assiria yang 


semakin besar terhadap bagian di Timur negaranya, raja Hitti Muwatalli meninggal, sesudah  masa pemerintahan yang panjang. Ia mewariskan tahta kepada 


anaknya, yang segera saja melepaskan orang terkuat kedua di istana—saudara 


Muwatalli (dan pamannya sendiri)—dari kedudukan-kedudukannya di istana 


dan berusaha mengasingkannya. Saudaranya itu, Hattusilis, menolak diasingkan. Ia mengumpulkan pengikutnya, menahan raja dengan pengawalan, dan 


menobatkan dirinya sebagai Raja Hattusilis III.


Dokumen paling lama yang masih ada dari masa Hattusilis III yaitu  


suatu argumen yang menyentuh hati yang dikenal sebagai ”Apologi”, di mana 


ia menjelaskan, dengan kurang lebih logika sirkuler, bahwa (1) dewa-dewa 


telah memberinya hak untuk memerintah, dan (2) keberhasilannya dalam 


merebut membuktikan bahwa para dewa telah memberinya hak untuk memerintah.10 Itu tidak sepenuhnya meyakinkan bagi bangsa Hitti; catatan 


secuil-secuil dari Hattusas menunjukkan bahwa raja menghabiskan sebagian 


besar masa pmerintahannya dengan berjuang untuk memenangkan suatu perang saudara. 


Sejak cukup dini Hattusilis III menyadari bahwa ia tidak dapat terus menerus memerangi rakyatnya sendiri, orang Mesir di Selatan, dan ancaman orang 


Assiria yang semakin meningkat di sebelah tenggara. Raja Assiria, Adad-nirari, telah digantikan oleh Shalmaneser I, yang bahkan lebih agresif daripada 


pendahulunya, dan yang sedang berupaya untuk mengambil alih sisa daerah 


yang sebelumnya milik orang Mitanni. Tentara Hitti telah bergabung dengan 


tentara Aramea dalam suatu pertempuran melawan Shalmaneser I, dan telah 


ditekan mundur: ”Aku membunuh tentara yang tak terhitung banyaknya, 


yang kalah dan tunggang langgang,” seru Shalmaneser I dengan bangga. ”Aku 


memotong kelompok-kelompok mereka, sebanyak 14.400 aku tumbangkan 


dan aku jadikan sebagai tahanan hidup”; itu berarti bahwa ia menangkap dan 


membutakan mata mereka, suatu tindak kekejaman semena-mena yang menjadi kebiasaan standar dalam hal ihwal peperangan di Assiria. Salmaneser juga 


mengklaim telah menaklukkan 180 kota, dan menghancurkan kota-kota itu

menjadi puing: ”Tentara Hitti dan sekutunya Aramaea, aku bantai seperti 


domba.”11


Assiria di sebelah Timur tidak mau berdamai, maka Hattusilis berpaling 


untuk mengamankan perbatasan Selatan; ia memutuskan untuk menegosiasikan gencatan senjata dengan Mesir. 


Itu agak pelik untuk Raja Mesir Rameses II, karena ahli waris yang sah 


atas tahta, anak lelaki Muwatalli, telah melarikan diri dari penjara pamannya 


dan muncul di istana Mesir untuk meminta suaka.12 (Ia juga telah menulis 


surat kepada Raja Assiria, Shalmaneser, dengan permintaan yang sama, tetapi 


Shalmaneser tidak berminat untuk memberikan suaka, sehingga ia menolaknya.) 


saat  dihadapkan dengan kesempatan yang baik untuk mengambil 


alih kekaisaran Hitti, Rameses II menolak. Ia mengusir anak Muwatalli, 


menyepakati perdamaian dengan sang paman yang telah merebut kekuasaan, 


dan bahkan memeteraikan hubungan itu dengan menikahi dua anak 


perempuan Hattusilis III. upaya mencari damai memang tak bisa dielakkan; 


Rameses II tidak lagi menguasai sebagian besar wilayah Semit Barat yang 


sebelumnya menjadi milik Mesir. Raja-raja kecil yang tersebar di sepanjang 


pantai Laut Tengah tidak beruntung untuk melihat relief-relief Rameses yang 


menjelaskan bahwa Pertempuran Kadesh merupakan sebuah kemenangan 


gemilang bagi Mesir. Yang mereka lihat hanyalah bahwa orang-orang Mesir 


itu mundur, terpukul, dan sejak saat itu terus-menerus memberontak. Tidak

ada peluang bagi tentara Mesir untuk mencapai daerah Hitti tanpa berjuang 


untuk setiap langkah perjalanannya. 


Mesir telah dipaksa beraliansi dengan musuhnya. Tetapi Rameses II masih 


mengatur kiatnya. Ia memerintahkan agar perjanjian yang menuliskan bahwa 


Mesir tidak akan menyerang orang Hitti diukir pada tembok-tembok kuil di 


Karnak, dengan catatan pengantar yang menjelaskan bahwa orang Hitti telah 


datang kepadanya untuk meminta damai. Dan ia menolak mengirim seorang 


putrinya ke utara untuk dinikahkan dengan putra mahkota Hitti, walaupun 


ia memiliki banyak anak perempuan; pada waktu itu Rameses II, seorang 


laki-laki yang menyukai perempuan, telah memiliki lebih dari seratus anak, 


yang berjajar di belakangnya pada relief-relief kuil, seakan-akan ia yaitu  Pied 


Piper. Putri-putri raja Mesir tidak keluar ke tanah asing.


Versi Hitti mengenai perjanjian damai itu, yang ditemukan di Hattusas, 


mencatat bahwa orang Mesirlah yang pertama-tama meminta damai.13 


K , jauh dalam usia sembilan puluhan tahun, Rameses II 


dapat mengklaim sebagai raja kedua yang paling lama bertahta dalam sejarah 


Mesir. Ia telah meninggalkan alur jejaknya di seluruh Mesir; kuil-kuil untuk 


dewa Amun dan anggota panteon lainnya, monumen-monumen dan patungpatungnya, kota-kota dan inskripsi-inskripsinya terdapat di mana-mana. Para 


pembalsam tubuhnya memiliki sikap tanggap dengan menjejali hidungnya 


yang relatif besar itu dengan biji-biji rempah, sehingga pembalutan ketat tubuhnya tidak menjadikan hidungnya rata di wajahnya. Dan dengan demikian 


kepribadiannya yang masih tetap terlihat menonjol, bukan hanya dalam suasana pedesaan Mesir, tetapi juga dari muminya.


G A R I S WA K T U 3 4


 MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL MESIR 


 


  


 Tuthmosis III (sendiri) (sek.1483-1450)


 Saustatar


 Eksodus (tanggal paling awal)


 Artadama Tuthmosis IV (1419-1386)


 Sudarna II


 Assur-nadin- Amenhotep III (sek.1386-1349)


 ahhe II 


 Tushrata Suppiluliuma


 Assur-uballit Akhenaten (sek.1349-1334)


 Kerajaan Tengah Tutankhamun (sek.1333-1325)


 Assiria


 Ay (sek.1325-1321)


 Adad-nirari I Horemheb (sek.1321-1293)


 


 Muwatalli Dinasti 19 (1293-1185)


 Shalmaneser II Hattusilis III Rameses II (sek.1278-1212)



N  di pantai Barat laut Asia Kecil, berdirilah kota Troya di sebuah sudut jazirah yang tak pernah disentuh oleh kerajaan Hitti, bahkan pada 


masa kejayaannya.


Pada tahun-tahun saat  Babilon dan Assiria, Washukkanni dan Hattusas 


bertempur untuk merebut kekuasaan atas daerah dari kepala Teluk Persia 


sampai pantai Laut Tengah, dan ke Utara sampai Laut Hitam, terdapat banyak suku pegunungan, kepala klan gurun, dan kota kuno yang tetap merdeka, bebas dari kekuasaan kerajaan-kerajaan yang giat melebarkan wilayahnya. 


Troya yaitu  salah satu dari kota-kota itu. Kota itu sudah dihuni hampir dua 


ribu tahun sebelumnya, dan rajanya telah membangun tembok-tembok di 


sekeliling desanya yang kecil untuk melindung rakyatnya dari cengkraman 


pihak-pihak yang serakah di luar kotanya. Selama beberapa abad sebelumnya, 


kota itu terbakar, lalu  dibangun kembali, menjadi kumuh lalu  


dipugar, mengecil lalu  berkembang kembali, berulang-ulang kali, dan 


meninggalkan lapisan demi lapisan bekas pendudukan.


Pada waktu Rameses II dan Hattusilis III merundingkan perjanjian, Troya 


—yang letaknya tidak terlalu jauh di sebelah Barat kerajaan Hitti yang tengah berkembang—berada termasuk dalam wujud inkarnasinya yang ketujuh 


(yang oleh para pakar arkeologi disebut ”Troya VIIa”).*


 Troya yaitu  kota

yang kaya, yang tidak sangat memerlukan makanan dan barang-barang dari 


luar; Troya terletak di sebuah dataran yang memiliki banyak lahan pertanian 


yang subur.Ada ikan di perairan dekat kota itu, biri-biri di padang rumputnya, dan Troya terkenal dengan kawanan kudanya, yang memakan kelebihan 


gandumnya.1


Antara tahun 1260 dan 1230 SM, Troya dilahap api dan perang. Temboktemboknya diruntuhkan, dan terjadilah pembantaian: tulang belulang 


manusia berserakan di jalan-jalan dan tidak dikuburkan.


K dari awal peperangan dituliskan lima ratus tahun lalu  di dalam 


Iliades. 


Jika kerangka ceritanya yang berkisar seputar murka dewa dicabut, daging ceritanya sendiri cukup lugas. Menelaus, raja Sparta, sebuah kota Yunani, 


menikah dengan seorang putri raja dari Argos, sebuah kota yang terletak di 


sebelah Utara Sparta. Putri itu, Helena, menarik pandangan Paris yang mata 


keranjang; ia yaitu  putra raja Troya, seorang petempur yang cukup berani, 


namun ia yaitu  suka main perempuan. (Kebetuan hal itu tidak menunjang reputasinya sebagai makhluk maskulin di antara rakyatnya, suatu hal 


di mana orang Troya berbeda dengan zaman kita. ”Paris, kamu pria cantik,” 


teriak saudara lelakinya kepadanya, ”dasar perayu perempuan.”)2


 Paris merayu Helena, lalu  memboyongnya ke Troya. Suami Helena, Menelaus, 


bertekad membalas dendam, dan mengajak saudaranya, Agamemnon, untuk 


membantunya menyerang Troya. 


Agamemnon yaitu  raja diraja Yunani (nama yang diberikan Homerus 


untuk bangsanya sendiri yaitu  bangsa Achaea), dan karena itu ia mengajak 


semua kota di Yunani untuk menggabungkan pasukan mereka dan berlayar 


dengan armada gabungan menuju Troya, untuk membalas dendam atas penghinaan terhadap saudaranya (penghinaan terhadap Helena tidak sedemikian 


terlihat di sini). Mereka tiba di pesisir Asia Kecil, tetapi terhalang oleh keperkasaan tentara Troya dan tingginya tembok kota Troya. Berhentilah mereka di 


sana, sambil mengepung kota itu selama sepuluh tahun. 


Pengepungan kota merupakan drama sentral Iliades, yang merupakan 


sepak terjang petempur besar Achilles, yang berasal dari Thessaly (sebuah 


daerah pegunungan di bagian Utara semenanjung Yunani). Pada akhir Iliades, 


kita telah mengenal banyak hal tentang Achilles, tetapi tentara Yunani masih 


berada di luar tembok Troya, dan raja Troya, Priamus, masih menduduki

tahtanya. Perang sendiri terjadi di luar arena. Pada awal kisah epik pendamping, Odyssey, pengepungan sudah selesai, Troya telah dijarah dan tentara 


Yunani sedang dalam perjalanan pulang.


Kisah kejatuhan kota Troya di tangan tentara Yunani yang mengepung 


diceritakan sepotong-sepotong oleh berbagai penyair Yunani, tetapi tampil dalam bentuk yang paling lengkap jauh sesudahnya, dalam buku kedua 


Aeneides karya penyair Romawi, Vergilius: 


Terpukul dalam peperangan dan ditindas oleh nasib,


Dan bertahun-tahun telah lewat, pasukan Yunani 


membangun sebuah kuda ....


 Kuda itu setinggi bukit, dan tulang rusuknya terbuat dari papan kayu 


pinus....


 ..... sambil memilih para petempur lewat undian, dengan diam-diam mereka menempatkan para petempur itu pada sisi kuda yang tersembunyi, 


sampai perutnya yang luas dan berongga itu berjejal dengan pasukan prajurit bersenjata.3


saat  orang Yunani yang lain dengan gaduh dan kentara pergi menjauh, 


orang Troya - yang mengira bahwa kuda itu yaitu  persembahan kepada dewi 


perang Romawi Minerva—menariknya memasuki kota (tanpa menghiraukan 


berbagai tanda buruk). Mereka berpesta-pora dalam kemenangan, terlelap 


tidur karena mabuk, dan para petempur Yunani pun turun dari perut kuda.


 Mereka menghambur ke kota yang terlelap tidur karena mabuk;


 Membunuh para penjaga dan membuka semua gerbang kota guna memberi jalan kepada pasukan utama untuk masuk dan bergabung dalam 


rencana penyerangan yang sudah diatur....


... Kota dilahap api; di sini orang Yunani menjadi tuan. 4


 


Baik Vergilius maupun Homerus melukiskan perang dari abad ketiga belas 


itu dengan menggunakan bahasa dan konvensi, baju perang dan senjata, masalah politik dan tokoh-tokoh dari zaman mereka sendiri. Tetapi sekali lagi 


sebuah puisi melestarikan inti dari suatu kejadian sejarah. Troya dibakar, penduduknya dibantai atau melarikan diri. 


Jadi, siapa sebenarnya yang berperang melawan Troya? 


Kota itu pasti tidak jatuh pada masa Homerus masih hidup, kapan pun itu. 


Pendapat umum para sarjana memperkirakan masa kehidupan Homerus sekitar 


tahun 800 SM; ia mungkin hidup pada masa yang sedikit lebih awal, tetapi 


mustahil ia hidup jauh sebelumnya pada tahun 1230 SM, yang merupakan 


tanggal kemungkinan paling akhir yang dimungkinkan oleh arkeologi untuk

pembakaran Troya VIIa. Homerus menyajikan cerita dari masa yang lebih 


tua. Detail-detail epik itu menunjukkan seorang penulis yang menciptakan 


fiksi sejarah.. Penerjemah E.V. Rieu mengemukakan, misalnya, bahwa tokoh 


Nestor dalam karya Homerus (raja dari Pylos, kota Mycenas yang dinyatakan 


mengirim enam puluh kapal kepada aliansi anti-Troya) minum dari sebuah 


cangkir yang di bagian atasnya terdapat wujud dua merpati; sebuah cangkir 


serupa itu ditemukan di dalam reruntuhan Mycenas.5


 


Pada tahun 1260 SM, saat  cangkir berujung dua merpati itu digunakan, 


raja-raja Mycenas dari Mycena, Thebes, Athena, dan Pylos telah membangun 


kota mereka menjadi sebuah kerajaan kecil, dikelilingi tembok dan dihubungkan dengan jalan kereta yang mulus. Knossos, yang letaknya di seberang Laut 


Kreta, mungkin dipimpin oleh seorang penguasa Mycenas, tetapi pada tahun 


1350 kota itu telah dihancurkan sama sekali.


 Kota Mycenas kini mengklaim 


sebagai wilayah yang paling luas, diikuti oleh Thebes, Pylos, dan Athena secara rapat. Raja Pylos memerintah daerah yang begitu luas sehingga ia membagi 


menjadi enam belas distrik, dan setiap distrik memiliki seorang gubernur dan 


deputi gubernur yang setiap tahun mengirim pajak berupa perunggu kepada 


raja.6 Pusat-pusat besar itu melakukan perdagangan yang ramai dengan orang 


Hitti dan Mesir, dan tak satu pun dari kedua kerajaan itu berusaha menaklukkan kota-kota di semenanjung Yunani. Orang Hitti sama sekali bukan pelaut 


dan orang Mesir, walaupun biasa berperahu di sungai Nil, tidak menyukai 


laut, yang mereka sebut ”Bentangan Hijau Besar” dan yang pada umumnya 


mereka hindari.7


 


Apa yang memicu pertempuran antara kota-kota Mycenas dan orang Troya 


tidak diketahui secara pasti. Pertikaian itu mungkin memang melibatkan seorang 


putri yang ditawan. Perkawinan diplomatis yang terjadi di seluruh dunia kuno 


menunjukkan negosiasi-negosiasi yang pelik sangat melibatkan harga diri; pihak 


yang mengirim putrinya yaitu  pihak yang lebih rendah, dan siapa yang menerima putri-putri bisa berbangga karena mmiliki kekuasaan yang lebih besar.


Herodotus, yang menulis jauh lalu  hari, juga menceritakan kisah 


penculikan Helena oleh putra Priamus. Dalam karyanya Risalah Sejarah, ia 


mengklaim bahwa telah mendengar cerita itu dari suatu sumber independen: 


orang Persia, yang berpendapat bahwa orang Yunani telah memberikan reaksi 


secara berlebihan. Walaupun orang Persia memandang penculikan perempuan sebagai tindakan kriminal, mereka juga mengklaim bahwa amatlah bodoh meributkan 


hal itu dan menuntut balas untuk perempuan itu, begitu ia diculik; tindakan yang masuk akal, kata mereka, yaitu  tidak memberikan perhatian 


akan hal itu, karena sudah pasti perempuan itu sendiri dengan sukarela 


berpartisipasi dalam penculikan dirinya; kalau tidak, penculikan tentu 


tidak terjadi.8


 


 Observasi ini (yang bisa saja memperlihatkan suatu penghargaan yang lumayan tinggi terhadap kekuatan seorang perempuan, tetapi mungkin justru 


tidak memperlihatkan hal itu) telah membawa Herodotus kepada suatu penjelasan tentang permusuhan yang terus berlangsung antara orang Yunani dan 


orang Persia:


 [Orang] Yunani mengerahkan sebuah pasukan besar karena seorang 


perempuan ... lalu  menyerbu Asia dan menghancurkan Priamus 


beserta pasukannya. Sejak saat itu, orang Persia memandang orang Yunani 


sebagai musuh ... Mereka menandai awal permusuhan terhadap Yunani 


dari kejatuhan Ilium (nama Yunani untuk Troya).9


 


Terdapat suatu anakronisme lain lagi, karena Persia belum ada saat  Troya 


VIIa dijarah. Namun, kisah itu menunjukkan bahwa kota-kota di semenanjung Yunani dan kota-kota di Asia Kecil telah saling membenci sejak lama. 


Robert Graves telah mengemukakan bahwa penculikan itu, meskipun nyata, 


yaitu  tindakan balasan atas serangan orang Mycenas ke daerah Troya pada 


waktu sebelumnya;10 penculikan Helena menghidupkan suatu permusuhan 


yang sudah ada selama beberapa tahun.


Bagaimana pun mulainya permusuhan itu, orang Mycenas memenangkan 


pertarungan, dan Troya jatuh. Tetapi tidak lama lalu , orang Mycenas 


mulai terperosok jauh dari puncak kegemilangannya. Kota-kotanya menciut, 


menjadi kumuh, dan semakin tidak aman.


Kemerosotan itu mungkin sudah mulai sebelum pengepungan Troya. 


Thucydides menuturkan bahwa perang berlangsung selama bertahun-tahun 


karena orang Mycenas yang menyerang tidak memiliki uang untuk mencukupi diri mereka; karena kehabisan makanan, mereka harus menyisihkan 


sebagian waktu untuk bercocok tanam dan melakukan serangan sebagai bajak 


laut ke Aegea, bukannya berperang tanpa berhenti.11


 


Perang dengan Troya justru mempercepat kemerosotan itu. Dalam 


Odysseus, kita membaca bahwa kemenangan atas Troya merupakan suatu 


kemenangan yang menyebabkan nama raja berikutnya, Pyrrhus, digunakan dalam suatu ungkapan (dalam bahasa Inggris): suatu kemenangan yang 


menyengsarakan pemenangnya hampir sebesar kesengsaraan pihak yang dikalahkan. Odysseus menggemakan nada perkabungan. Dalam kata-kata Nestor, 


raja Pylos, meskipun orang Mycenas menang, kisah mereka yaitu  sebuah 


kisah sedih:


Inilah cerita tentang kesengsaraan yang kami alami di tanah itu,


kami, anak-anak Achaea, yang mengamuk secara tak terkendali,


dan tentang akibat yang kami tanggung karenanya....


Di sana, yang terbaik dari kami telah dibantai ... dan banyak derita lain


yang kami tanggung di samping semua itu. ...


sesudah  kami menjarah kota Priamus yang terjal,


dan telah berangkat dengan kapal kami ...


 pada saat itu pun Zeus tengah menyiapkan bagi kami malapetaka yang 


menghancurkan. 12


Dengan gontai para pahlawan Mycenas pulang ke rumah dan mendapati 


rumah tangga mereka yang buyar, anak-anak dibunuh, para bangsawan menjadi maling, panen dijarah, dan istri diserobot lelaki lain. Kedatangan mereka 


justru menambah keresahan: ”kedatangan terlambat” para pahlawan itu ke 


rumah mereka, tutur Thucydides, ”menyebabkan banyak revolusi, dan perpecahan terjadi hampir di segala tempat”13 Puncak kejayaan Mycenas telah lewat 


dan tak pernah akan datang lagi. G A R I S WA K T U 3 5


 MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL MESIR 


 


 ASSIRIA HITTI Amenhotep III (sek.1386-1349)


 Assur-uballit Akhenaten (sek.1349-1334)


 Kerajaan Tengah Tutankhamun (sek.1333-1325) 


 Assiria 


 


 Ay (sek.1325-1321)


 Horemheb (sek.1321-1293)


 Adad-nirari I 


 


 Muwatalli Dinasti 19 (1293-1185)


 Shalmaneser IHattusilis III Rameses II (sek.1278-1212)


 Serangan orang Mycenas ke Troya VIIa (sek.1260)




S  ibu kota Shang ke Yin di bawah P’an Keng yang 


cerdik dan luwes, dinasti Shang memerintah secara tersendat-sendat tanpa 


banyak berita selama sekitar satu abad. Penguasa berikutnya yang muncul 


sebagai seorang tokoh yaitu  raja Dinasti Shang yang kedua puluh dua, Wu 


Ting, yang memerintah agaknya sekitar tahun 1200 SM. 


Wu Ting, menurut sejarah kuno Shu Ching (yang ditulis ratusan tahun 


sesudah  kejadiannya, tetapi sebelum zaman Sima Qian, yang menggunakannya sebagai salah satu sumbernya), melewatkan masa pendidikannya di antara 


”rakyat bawah”, orang miskin dan petani. lalu  ia mengawali pemerintahannya tanpa berbicara sama sekali: ”Ia tidak berbicara selama tiga tahun,” 


demikian tutur risalah sejarah itu. ”sesudah  itu, ia masih cenderung untuk 


tidak berbicara, tetapi manakala ia berbicara, kata-katanya penuh dengan 


kebijakan yang harmonis. Ia tidak berani menikmati secara berlebihan kenyamanan yang sia-sia, tetapi memimpin dengan cara yang mengagumkan dan 


tenang atas daerah-daerah Yin seluruhnya, sampai di semua daerah itu, baik 


yang kecil maupun yang besar, tidak ada satu gumam pun.” 1 


Tanpa suara, lalu  tanpa banyak berbicara: itulah sebuah kebijakan 


rajawi yang tak diduga, serupa dengan klaim P’an Keng bahwa ibu kota 


yang berpindah-pindah lebih menunjukkan kekuatan daripada kelemahan. 


Kekuasaan raja Shang pada masa itu jelas tidak bertumpu pada ragam kekuatan 


seperti yang digunakan oleh para penguasa Hitti, Babilon, Assiria, dan Mesir, 


beserta arus surat-surat yang mengancam dan membujuk yang tiada hentinya, 


pengagungan diri sendiri, penyombongan diri, duta, utusan, dan diplomat. 


Kewibawaan Shang memiliki suatu sumber lainTetapi, seperti halnya Wu Ting, sejarah juga hampir tidak memberitakan 


tentang kurun waktu beberapa tahun saat  Shang berkuasa di Yin. Alih-alih 


surat dan prasasti, Shang meninggalkan potongan dan kepingan rumah, tulang, dan perunggu. Itu semua menuturkan tentang cara hidup Shang. Pada 


akhirnya, peninggalan-peninggalan itu tidak menyampaikan banyak informasi tentang siapakah sebenarnya para penguasa Shang itu.


   Dinasti Shang—bejana, senjata, alat pertanian 


dengan keluk dan lekuk yang indah, hiasan—dibuat dari perunggu tercetak. 


Itu semua merupakan bukti kewibawaan penguasa Shang. Seperti halnya 


pembangunan piramida, pencetakan benda-benda perunggu memerlukan 


seorang raja yang dapat memaksa sejumlah besar orang untuk melakukan 


suatu pekerjaan berat yang memerlukan banyak tenaga kerja; dalam kasus ini, 


menggali bijih logam dari tambang-tambang di daerah perbukitan di sebelah 


Utara sungai Kuning Karya para penambang dan perajin itu menghasilkan, dalam kata-kata 


seorang sarjana ilmu China kuno, ”salah satu prestasi artistik terbesar manusia”.2


 Tidak ada bangsa kuno lain yang mampu mencetak perunggu ke dalam 


bentuk-bentuk yang sedemikan canggih.3 


Tombak dengan tangkai perunggu dihiasi dengan batu pirus dan bilah 


pisau di ujungnya dibuat dari batu giok putih; gesper-gesper perunggu 


berhias digunakan sebagai pengikat kendali kuda; topeng-topeng perunggu 


menjadikan pemakainya tampak menyeramkan atau lucu. Bejana untuk makanan maupun anggur, yang paling renik di antara desain-desain perunggu 


itu, dibentuk serupa naga, banteng, atau makhluk lainnya, dan dirampungkan dengan aneka pola rumit serta tangkai. Sebagian diukiri nama, sebagian 


lainnya dengan tanda-tanda untuk menjelaskan kegunaannya. Kadang kala 


terdapat inskripsi yang menyatakan suatu tahun atau suatu festival. 


Informasi yang tersebar itu, kendati ringkas, menunjukkan bahwa rakyat 


Shang telah maju ke tahap penggunaan tulisan. Di China, tulisan berkembang 


dalam pola yang sama dengan di Mesopotamia dan Kreta: tulisan mulai digunakan sebagai tanda kepemilikan sejak 4000 tahun SM dan lalu  


menjadi lebih kompleks. Namun, aksara China tampaknya telah berkembang 


secara mandiri terhadap tulisan di tempat lain di dunia kuno. Tanda-tanda 


paling awal dari sungai Kuning yaitu  gambar, tetapi tulisan China merupakan tulisan pertama yang bergerak lebih jauh dari tulisan piktorial dengan 


mengombinasikan gambar-gambar: memadukan tanda-tanda piktorial (yang 


disebut ”ideogram”) ke dalam ”ideogram majemuk” yang mewakili abstraksi 


dan gagasan.4 


 


Pada waktu istana Shang dibangun di Yin, ”ideogram majemuk” itu sudah 


cukup canggih untuk mencatat jawaban dewa-dewa atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Di reruntuhan ibu kota Shang, para pakar arkeologi 


telah mengungkap ratusan tanda yang diukirkan pada tulang; itu digunakan 


oleh istana Shang sebagaimana kelak para imam lelaki dan perempuan Yunani 


menggunakan jeroan. Seorang lelaki atau seorang perempuan yang mencari 


petunjuk pergi ke istana Shang untuk menyampaikan pertanyaan kepada para 


imam di sana. Imam mengeluarkan tulang bahu sapi atau domba yang sudah 


dibersihkan dan dikeringkan (atau, sesekali cangkang kura-kura), yang berukirkan pola-pola atau bertandakan sebuah inskripsi, lalu  menyentuh 


tulang atau cangkang itu dengan sebuah titik logam panas. Apabila tulang 


itu retak, maka alur retakan pada pola atau inskripsi itu ”dibaca” oleh imam 


dan ditafsirkannya sebagai sebuah pesan yang dikirim oleh para leluhur, yang 


kini meneruskan kembali kebijakan mereka kepada yang masih hidup. Imam 


mengukir hasil pertanyaan itu pada tulang atau cangkang dengan tanda-tanda 


yang dikerat dengan pisau dan diisi dengan cat.5


 Tulang-tulang peramalan menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan, 


siapa pun yang menanyakannya, selalu diajukan atas nama raja.


Raja Wu Ting dipuji, oleh sejarawan kuno dari Shu ching, karena kerja 


kerasnya, penolakannya terhadap kehidupan yang mewah, dan kepuasan yang 


diberikannya kepada rakyat: selama masa ia menjadi raja, ”tak ada orang yang 


menggerutu.” Pada saat yang sama, teks filsafat kuno I ching (Kitab Perubahan) 


melukiskan bahwa Wu Ting, sambil memujinya, telah pergi selama tiga tahun 


untuk melakukan kampanye melawan suku-suku yang memberontak di sebelah Barat laut; dan tujuh ratus tahun lalu , Shih ching (Kitab Madah), 


mengakui jasanya yang menguasai suatu daerah yang bukan main luasnya:


 Bahkan wilayah di dalam panjangnya empat ribu delapan ratus kilometer. ...


Ia membuka tanah-tanah baru seluas empat laut.


Orang-orang dari keempat laut datang untuk menyatakan hormat, 


Menyatakan hormat, rombongan demi rombongan.6 


Dua gambaran itu—orang yang rendah hati dan pekerja keras yang peduli akan kepuasan rakyatnya, dan penakluk yang menuntut penghormatan 


—menampilkan ketegangan yang aneh. Peranan raja kelihatannya berubahubah, dan para kronikus merasa tidak jelas, apakah ia harus menjadi seorang 


pemimpin spiritual, yang berpegang pada keutamaan-keutamaan masa lalu, 


atau seorang panglima yang mengemban tanggung jawab atas masa depan 


negaranya.


Kita bisa mengatakan, tanpa keraguan, bahwa raja Shang telah menambah lagi kekuasaannya sejak kepindahannya ke Yin. Di pemakaman kerajaan, 


tak jauh di sebelah Utara ibu kota kerajaan, raja-raja dimakamkan di dalam 


makam yang wujudnya merupakan kebalikan dari piramida di Mesir. Alihalih menjulang ke langit, makam itu berupa ceruk yang besar, yang digali 


begitu dalamnya di dalam tanah sehingga pembangunannya pasti memakan 


waktu bertahun-tahun. Di dalam ceruk itu terdapat korban manusia; bukan 


tubuh utuh para bawahan yang setia yang mau mati karena percaya bahwa 


rajanya akan membawa mereka ke seberang cakrawala, tetapi orang yang 


dipenggal kepalanya.*∗


 Sebuah makam memiliki tujuh puluh tiga tengkorak, yang dibariskan sepanjang empat dinding yang menurun ke dalamnya, dengan 


satu gugus berisi lima puluh sembilan kerangka (tanpa kepala) pada dinding 


paling Selatan.7 Di Yin sendiri, para pakar arkeologi telah mengungkap bagian 


bawah sebuah mazbah di mana pengorbanan itu mungkin dilakukan.


Hal ini mengisyaratkan suatu kekuasaan autokratis yang besar pada pihak 


raja, khususnya karena ia dapat menuntut kematian seseorang, bahkan sesudah  


ia sendiri mati. Sima Qian secara konstan juga menyebutkan tentang para pejabat istana dan bangsawan yang berkuasa yang memiliki kekuasaan sendiri. 


Barangkali wilayah di mana raja Shang melaksanakan kekuasaan mutlaknya 


cukup kecil. Di pinggir daerah itu, para bangsawan dan pejabatnya memerintah atas namanya—tetapi bertindak atas kemauannya sendiri. Lebih jauh 


keluar, terdapat padang lembah pemukiman, di mana rakyat mengirim upeti 


kepada raja untuk menghindari amarahnya, atau sekadar mengetahui bahwa 


raja itu ada, atau mungkin tidak mengetahui sama sekali bahwa raja itu ada, 


sampai ada orang-orang bersenjata yang berderap masuk ke desa mereka, dan 


menyita barang-barang mereka atas nama raja.


Masalah dua gambaran raja yang bertentangan itu sebetulnya sederhana 


saja: raja Shang yaitu  kepala spiritual dari segenap rakyat, tetapi kekuasaannya yang nyata dan bersifat duniawi berada dalam lingkup wilayah yang lebih 


kecil. Wu Ting sendiri tidak dapat memerintah tanpa bantuan. Menurut Sima 


Qian, ia melewatkan masa tanpa suara sambil mencari seorang pejabat yang 


dapat berperan sebagai tangan kanannya. Akhirnya ia menemukan asisten 


yang dicarinya: seorang bijak bernama Fu Yueh, yang bekerja sebagai pekerja 


biasa di suatu kota sebelah Timur Yin. Baru saat itulah Wu Ting mengakhiri 


keheningannya dan menyandang perannya sebagai penguasa. Raja, meskipun memiliki kebijaksanaan spiritual, harus mempercayai orang lain untuk 


melaksanakan pemerintahan atas rakyat: bukan hanya sang asisten yang bijak, 


tetapi juga para bangsawan yang pada kenyataannya mengendalikan provinsiprovinsi kerajaan Shang yang letaknya sangat jauh.


Tetapi ini semua hanya spekulasi, karena cerita Wu Ting itu dibangun di 


seputar kepingan-kepingan tulang dan perunggu, serta merupakan kisah yang 


dituliskan ribuan tahun sesudah  kejadiannya sendiri.G A R I S WA K T U 3 6


 MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL CHINA


   


 Dinasti Shang, lanj.


 Assur-uballit 


 Kerajaan Tengah 


 Assiria


 Adad-nirari I 


 Muwatalli 


 Shalmaneser I Hattusilis III


 Serangan Mycenas atas Troya VIIa (sek. 1260)


 


 Wu Ting (sek.1200





S    , para penguasa India tidak terlihat 


karena tidak muncul di atas permukaan sejarah, walau berada tepat di bawah 


pentas. Sesekali sebuah wajah berkelip-kelip di bawah riak sejarah, tetapi ciricirinya tetap tidak jelas.


Suku-suku yang menyebut dirinya sebagai orang arya telah menetap di 


sepanjang Indus, di sebelah Selatan pegunungan, dan hampir seluruhnya tinggal di bagian Barat benua itu. Mungkin sekali mereka melakukan perkawinan 


silang dengan orang-orang yang mereka jumpai di sana. Mereka tumbuh 


menjadi lebih makmur daripada kerabatnya yang telah pergi ke Barat dan 


meraih kemenangan yang sedemikian singkat seperti orang Mitanni. Dalam 


kurun waktu tiga ratus tahun sejak kedatangan mereka, para penyusup itu 


telah mengadopsi kehidupan yang polanya jauh lebih serupa dengan kebudayaan Harappa yang telah punah dibandingkan dengan pola hidup nomad 


dan kesukuan di masa lalu mereka sebagai pengembara. Kebiasaan mengembara telah mulai lenyap dari ingatan mereka; kata Sanskerta grama, nama 


untuk sebuah desa tempat tinggal dan bertembok, aslinya berarti klan yang 


mengembara dengan kereta beroda.1


Orang arya tidak meninggalkan banyak jejak dari cara hidup itu, tetapi sekitar tahun 1200 mereka telah mulai memahami makna inkarnasi baru mereka 


sebagai sebuah bangsa yang menetap dan memiliki mitos sendiri. Kumpulan 


himne India yang paling awal, yakni Rig Weda yang bercorak puisi, digubah 


dalam bahasa mereka sendiri. Seperti kebanyakan puisi kuno, puisi-puisi yang 


termuat dalam Rig Weda ditulis jauh sesudah  puisi-puisi itu diceritakan secara 


lisan sambil mengelilingi api unggun, tetapi puisi-puisi itu masih dapat memberikan sekilas pandangan kita tentang dunia yang dibangun oleh orang arya 


untuk diri mereka sendiri.*∗

Salah satu sebabnya, isi Rig Weda hampir seluruhnya dikhususkan untuk 


menjelaskan kodrat dan tuntutan dewa-dewa India. Setiap bangsa yang memiliki dewa-dewa yang rumit, yang memberikan tuntutan-tuntutan yang rumit, 


pasti memerlukan pendeta dan juga pemimpin perang; mereka telah mendekati tahap untuk menjadi masyarakat yang lebih rumit. Pada masa syair-syair 


Rig Weda yang lebih muda, para pendeta arya telah menjadi, bukan hanya 


spesialis dalam urusan dewa, tetapi juga sebuah kelas spesialis yang turuntemurun. Pendeta menurunkan anak laki-laki yang dilatih untuk menjadi 


pendeta, dan menikah dengan putri pendeta yang lain. Himne-himne dalam 


Rig Weda merupakan tulisan pertama dari orang arya, dan para pendeta merupakan aristokrat sejati mereka yang pertama.


Orang-orang yang berada dalam proses menjadi orang India dipersatukan 


oleh suatu filsafat dan suatu agama yang sama, bukan oleh tatanan politis atau 


kekuatan militer.2


 Maka, Rig Weda menuturkan banyak hal tentang pemujaan kepada dewa-dewa, tetapi sedikit sekali tentang penyebaran orang arya 


ke daerah-daerah yang telah menjadi tempat tinggal mereka. Kumpulan itu 


dibagi ke dalam sepuluh daur, yang disebut mandala.3


 Setiap mandala berisi 


himne-himne pujian kepada dewa-dewa, dan madah yang harus didaraskan 


selama pelaksanaan korban atau upacara lainnya. Dewa-dewa India yaitu  


dewa-dewa alam, seperti yang lazim pada bangsa-bangsa yang hidup dalam 


lingkungan yang keras dan di sepanjang sungai yang ganas (Yahwe Allah 


Abraham merupakan perkecualian yang menarik): Varuna, dewa langit, Ratri, 


roh malam hari; Agni, dewa api; Parjanya, dewa hujan yang ”merontokkan 


pepohonan” dan mencurahkan air kepada ternak, kuda, dan juga manusia; 


Mitra, dewa matahari; dan Indra, dewa peredam kekacauan dan penguasa panteon, ”yang mengokohkan bumi yang bergoncang, yang meredakan gunung 


saat  terganggu .... dikendalikannya kuda, desa, dan segala kereta.”4


 (Indra, 


Varuna, dan Mitra, secara kebetulan, muncul sebagai saksi dalam sebuah perjanjian antara raja Mitanni dan Suppiluliuma, pembangun kekaisaran Hitti; 


hal ini menunjukkan bahwa bukan saja orang Mitanni yaitu  orang arya, 


tetapi juga orang arya memuja dewa-dewa itu jauh sebelum mereka berpisah 


dan pergi melalui jalan yang berbeda ke Barat dan ke Selatan.)


Kitab II sampai VII dari Rig Weda, himne-himne yang paling tua, memberikan gambaran selintas tentang struktur politik dan militer melalui kaca ritual yang remang-remang. Dewa api Agni diakui sebagai yang menyerang 


”tembok-tembok dengan senjatanya”, yang mengisyaratkan bahwa saat  


orang arya berkembang dan menyebar, mereka memerangi desa-desa bertembok kayu yang mereka jumpai dengan cara membakarnya.5


 Salah satu himne 


menyebutkan sebuah pertempuran antara orang-orang ”berkulit gelap” dan 


orang arya, suatu gambaran yang lalu  ditangkap oleh para sarjana, seabad yang lalu, sebagai bukti bahwa sebuah bangsa asli yang lebih rendah 


telah dihapuskan oleh orang ”Arya” yang kulitnya cerah. Tetapi, mandala 


ketujuh melukiskan suatu pertempuran antara sepuluh raja arya. Orang arya 


tampaknya saling menyerang sama banyaknya dengan memerangi penduduk 


lain di lembah-lembah sungai dan dataran-dataran di sebelahnya.


Tampaknya keberadaan himne-himne paling awal dalam Rig Weda yaitu  saat saat  terbentuknya bukan hanya sebuah klan pendeta, tetapi juga 


sebuah klan aristokrat petempur (kesatria), sebuah kelas para pemimpin yang 


turun-temurun, yang berkuasa dan menurunkan kekuasaan dari ayah kepada 


anak lelakinya.6


 Namun, kita tidak dapat melangkah lebih jauh lagi; dan 


sejauh ini, baik di antara para pendeta maupun para panglima perang itu tak 


seorang pun yang diketahui namanya.


G A R I S WA K T U 3 7


 MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL INDIA DAN CHINA


   Penggubahan lisan Rig Weda dimulai


 (sek. 1400)


 Assur-uballit


 Kerajaan Tengah


 Assiria


 Adad-nirari I


 Muwatalli


 Shalmaneser I Hattusilis III


 Serangan orang Mycenas ke Troya VIIA (sek.1260)


 


 Wu Ting (sek. 1200)




K     B, kekaisaran Hitti yang bertambal-tambal itu mulai terbuka pelipitannya.


Perjanjian antara Mesir dan Hitti masih bertahan; Mesir menguasai daerah 


Semit Barat sampai kota Kadesh, sementara orang Hitti mengklaim kota-kota 


yang letaknya lebih ke Utara. saat  Rameses II meninggal, pada usia sembilan puluhan tahun, anak lelakinya yang paling tua, Merneptah, naik tahta 


menggantikannya (ia yaitu  anak lelaki ketiga belas Rameses II, karena orang 


tua yang tegar itu telah mengalami kematian dua belas anak lelakinya).1 saat  


mendengar berita tentang naiknya seorang pharaoh baru, beberapa kota dari 


provinsi Utara Mesir menjajal keberuntungannya dengan melakukan pemberontakan, tetapi pasukan Mesir bergerak ke sana dan menggilasnya tanpa 


banyak basa-basi.2


 


Sementara itu, orang Hitti telah dilanda kekeringan. Panen gagal, ternak mati, penduduk-penduduk desa menderita kelaparan. Salah satu surat 


yang dikirim dari ibu kota Hitti ke istana Mesir menyarankan, karena pharaoh telah merencanakan pernikahan dengan seorang putri Hitti, bahwa ia 


sebaiknya segera datang dan menjemputnya; kandang kuda Hitti tidak lagi 


memiliki gandum, dan kawanan ternak yang disisihkan sebagai maskawin 


akan mati kelaparan jika tidak segera diambil.3


 


Hattusilis III telah mengangkat anaknya, Tudhaliya, sebagai Komandan 


Pengawal Raja, suatu kedudukan yang membuktikan bahwa ayahnya memiliki kepercayaan penuh kepadanya (ini bukan suatu hal yang sudah pasti di 


dalam keluarga kerajaan Hitti).4


 saat  Hattusilis III meninggal, putranya 


menjadi Raja Tudhaliya IV. Ia mewarisi bukan hanya tahta, tetapi juga kelaparan yang kian memburuk sepanjang tahun itu.


Tudhaliya IV mengirim surat ke Mesir untuk meminta bantuan pangan, 


dan Merneptah, yang kini menduduki tahta, menghormati perjanjian alian si; inskripsi-inskripsinya sendiri menerangkan bahwa ia mengirim gandum 


cukup banyak ”untuk mempertahankan agar daerah itu tetap hidup”5


 Sebuah 


surat dari Tudhaliya sendiri kepada salah satu kota bawahannya, yang memerintahkan agar membantu pengangkutan gandum itu, menyingkapkan 


bahwa satu pengapalan terdiri dari 450 ton.6


 Lumbung Hitti kosong.


Seorang raja yang harus meminta bantuan asing untuk mempertahankan 


kehidupan rakyatnya berada pada kedudukan yang tidak baik, dan orang 


Hitti, yang secara rapuh bertengger di puncak roda yang berputar, tengah berada pada daur turun. Suatu negara yang tidak memiliki persediaan gandum 


yaitu  negara yang tanpa uang. Sebuah negara tanpa uang mau tak mau akan 


menunda pembayaran kepada tentaranya sampai saat terakhir. Tentara yang 


kurang gajinya selalu kurang berdisiplin dibandingkan mereka yang berkecukupan makan dan puas. Tentara Hitti di ambang kekalahan.


Tudhaliya yaitu  seorang panglima perang yang kompeten dan prajurit 


andal, yang pertama kali ikut bertempur dalam angkatan perang ayahnya pada 


usia dua belas tahun.7


 Tetapi karena kelaparan dan kemiskinan, ia juga harus 


mengkhawatirkan tahtanya. Bagaimana pun, ayahnya telah merebut mahkota, dan kerajaan itu penuh dengan lelaki yang berdarah kerajaan. ”Keturunan 


Suppiluliuma, keturunan Mursili, keturunan Muwatalli, keturunan Hattusili 


itu banyak!” keluhnya dalam sebuah surat.8


 


Untuk membuktikan kekuasaannya sebagai raja yang memegang hak 


penuh, Tudhaliya IV memerintahkan suatu program pembangunan yang paling besar-besaran untuk raja Hitti mana pun: tempat-tempat pemujaan baru; 


tambahan untuk kompleks istana yang sudah luas; sebuah kota satelit dekat 


ibu kota Hattusas, yang mencakup dua puluh enam kuil baru, dan memperbesar luas kota lama menjadi dua kali lipat.9


 Itu lingkup proyek yang 


wajar diharapkan dari seorang raja yang besar, dan mungkin dengan meniru 


Rameses II, yang baru saja meninggal. Tetapi, meskipun bangunan-bangunan 


baru itu menampakkan kekuasaan rajawi Tudhaliya, bangunan-bangunan itu 


juga menguras hartanya. Di sebuah kerajaan yang telah menderita kelaparan 


dan kemiskinan, Tudhaliya IV menghamburkan uang untuk pembangunan, 


dan itu mengakibatkan ia semakin kekurangan uang perak kerajaan yang 


untuk dibayarkan pada tentaranya.


Bangsa-bangsa yang ditaklukkan ke bawah kekuasaan Hitti dengan jelas 


melihat bahwa tentara Hitti semakin lemah dari tahun ke tahun. Tidak berselang lama sejak ia mulai memerintah, Tudhaliya melihat bahwa dua puluh 


dua kota di sepanjang tepi Barat kekaisarannya telah bergabung dalam suatu 


aliansi untuk melawannya. Ia bergerak ke Barat dan mematahkan koalisi itu, 


tetapi burung nasar sudah terbang berputar-putar.10


Di sebelah tenggara, raja baru Assiria melihat suatu kesempatan untuk melebarkan wilayah. Shalmaneser I telah mencaplok daerah-daerah Mitanni 


lama. Kini putranya, Tukulti-Ninurta, melancarkan serangan ke perbatasan 


Hitti di sebelah Baratnya.*∗


 


Tudhaliya membawa pasukan pertahanannya ke daerah musuh, dan kedua 


angkatan perang bertemu di padang Erbila. Jika catatan pertempuran Assiria 


dapat diandalkan, Tudhaliya konon sama sekali tidak yakin bahwa ia dapat 


memenangkan pertempuran. Raja Assiria menulis dalam sebuah surat yang 


dikirimkan kepada salah seorang sekutu:


Tudhaliya menulis surat kepadaku demikian, ”Anda telah menangkap pedagang-pedagang yang setia kepadaku. Maka, mari kita berperang; 


aku telah siap untuk berperang melawan Anda.”


Aku menyiapkan angkatan perang dan keretaku. Tetapi, sebelum 


aku dapat mencapai kotanya, Tudhaliya, raja Hitti mengirim utusan yang 


membawa dua batu prasasti berisi kata-kata yang bermusuhan dan satunya lagi berisi kata-kata yang bersahabat. Mula-mula ia menunjukkan 


kepadaku kedua prasasti itu, yang berisi tantangan permusuhan. saat  


pasukanku mendengarkan kata-kata itu, mereka gerah untuk berperang, 


siap untuk langsung menyerang. Utusan tadi melihat hal itu. Maka lalu  ia memberikan kepadaku batu prasasti ketiga, yang mengatakan: 


”Aku tidak memusuhi raja Assur, saudaraku. Mengapa kita sebagai saudara 


memerangi satu sama lain?”


Tetapi aku tetap menggerakkan pasukanku. Ia berhenti dengan 


tentaranya di kota Nihrija, maka aku mengirimkan sebuah pesan yang 


mengatakan: “Aku akan mengepung kota. Jika Anda benar-benar bersahabat denganku, tinggalkan kota segera.” Tetapi ia tidak menjawab 


pesanku.


Maka aku menarik mundur pasukanku sedikit menjauh dari kota. 


lalu  seorang Hitti pemangkir melarikan diri dari pasukan Tudhaliya 


dan sampai ke tempatku. Ia mengatakan, ”Raja mungkin menulis surat 


dengan tidak jujur kepada Anda, dengan nada bersahabat, tetapi pasukannya berada dalam formasi tempur; ia sudah siap bergerak”. 


Maka aku menyiagakan pasukanku dan bergerak melawan pasukannya; dan aku mendapat kemenangan besar.11


 Tukulti-Ninurta lalu  sesumbar bahwa ia telah menangkap 28.800 


tentara Hitti sebagai tawanan perang, suatu jumlah besar yang tidak masuk 


akal. Tetapi ia tentu menawan ribuan orang Hitti dan membawa mereka ke 


Assiria. Bangsa yang dikalahkan dan ditempatkan di suatu tanah asing akan 


memiliki  harga diri yang rendah sebagai bangsa; suatu ras yang dibuang ke 


pengasingan tentunya mustahil untuk memberontak.


Penaklukan itu menimbulkan gelora yang cukup besar di Timur Tengah 


kuno sampai dimuat dalam kronik-kronik Yunani yang paling tua, di mana 


Tukulti-Ninurta (dengan nama Yunani Ninus) tampil sebagai leluhur jauh 


penguasa Sardis, nun jauh di Asia Kecil; ini yaitu  gambaran yang jauh dan 


terdistorsi dari serbuan ganas Tukulti-Ninurta ke wilayah Hitti.*∗


T