sendiri, terdapat sekitar dua puluh ribu orang yang dibagi ke dalam
empat divisi, yakni Amun, Ra, Ptah, dan Set) dan mulai bergerak ke utara.
Perlu waktu sedikitnya dua bulan untuk mencapai kawasan sekitar Kadesh,
tetapi Rameses II merasa tenteram saat penjaga-penjaga pada sebuah
pos luar Hitti, sesudah ditangkap dan diinterogasi, memberitahukan bahwa
pasukan Hitti masih berada jauh di dalam wilayah Hitti, dan tidak mungkin
bergerak mendekati Kadesh dalam waktu dekat. Ia mengatur divisi-divisinya
ke dalam formasi perang, berdasarkan urutan posisi kepentingan dewa-dewa
(pertama Amun, diikuti Ra, Ptah di belakangnya, dan Set paling belakang)
dan mulai bergerak mendekati kota.
Tetapi pos luar itu yaitu sebuah persembunyian. Muwatalli sebenarnya berada tepat di balik Kadesh dengan empat puluh delapan ribu tentara,
baik tentara Hitti maupun tentara bayaran yang disewa untuk keperluan itu.
Hampir tiga ribu orang yang mengendarai kereta, yang masing-masing terdiri
dari seorang sais, seorang pemanah, dan seorang berperisai untuk melindungi
si pemanah saat ia memanah.3
Sementara Rameses tidak menghadap ke
depan, dan membangun kemah tepat di sebelah barat Kadesh dengan pasukan dari divisi pertama, tentara Muwatalli menghambur keluar dari balik
Kadesh seperti badai yang menyapu. Pasukan Hitti bergerak memutar di belakang Amun dan menghabisi divisi kedua, Ra, dan memisahkan Rameses II
beserta lima ribu tentara divisi Amun dari dua divisi lainnya yang berada di
belakang.4
Hampir sejumlah tujuh ribu orang terlibat dalam pertempuran di
luar tembok kota Kadesh.
Sebetulnya secara relatif mudah untuk menghancurkan pasukan Amun
dan sang raja, tetapi tentara Hitti menghadapi suatu masalah. Divisi Amun
berkemah di suatu dataran yang agak sempit, dan saat kereta-kereta perang
menyerbu masuk, mereka berbenturan satu sama lain sehingga bertindihtindih dan bertumpuk-tumpuk.5
Pasukan infanteri Hitti masih lebih besar
jumlahnya daripada pasukan Mesir, tetapi Rameses II telah menyiapkan
pasukan pendukung: ia telah mengirim bala bantuan di sepanjang pantai,
mungkin lewat laut, kalau-kalau pasukan utama mengalami kesulitan di
darat.6
Bala bantuan itu masuk ke medan perang dari utara tepat pada waktu
divisi Ptah tiba untuk menyerang dari selatan, dan pertempuran dua garis
depan itu tampaknya membuat orang Hitti bingung; bala tentaranya, yang
jumlahnya membengkak karena adanya tentara bayaran, kurang berdisiplin
dibandingkan tentara Mesir yang jumlahnya lebih kecil dan diatur dengan
ketat. Muwatalli memang memiliki pasukan cadangan, tetapi ia menahannya
(mungkin karena mencurigai bahwa bala bantuan Mesir yang lain lagi masih
berada di perjalanan). saat kegelapan senja menyelimuti medan perang,
pasukan Hitti mundur untuk mengatur diri kembali.
Pada waktu fajar, pertempuran mulai lagi. Tetapi kali ini tidak ada lagi
kejutan, dan pengalamanan tentara Mesir sungguh menghasilkan buah.
Pertempuran mengalami kebuntuan, dan Muwatalli menawarkan gencatan
senjata.
Rameses II tidak menyepakati perdamaian untuk seterusnya, tetapi
akhirnya ia setuju untuk kembali ke Mesir dengan membawa tawanan dan
barang rampasan, dan membiarkan kota Kadesh tetap di tangan orang Hitti.
Ia lalu bergerak kembali ke Mesir dan memaklumkan kemenangan.
Walaupun hal itu kedengarannya bukan suatu kemenangan telak, tetapi
berubah menjadi demikian kelak, saat Rameses II memerintahkan agar
kisah yang diperindah tentang pertempuran itu diukirkan sekurang-kurang-
nya sembilan kali pada tembok kuil-kuil Mesir, dengan banyak ilustrasi
grafis yang menampilkan orang Mesir tengah membantai orang Hitti. Kisah
pertempuran itu menjadi latihan di sekolah bagi anak-anak untuk melatih
kepenulisan, seperti halnya kemenangan Julius Caesar di Gallia beberapa abad
lalu .7
Pertempuran Kadesh, walaupun kurang lebih berakhir seimbang,
menjadi emblem keunggulan Mesir.
Hal itu menunjukkan seberapa jauh yang telah dicapai Mesir sesudah mengalami kebesaran di masa lalu. Mesir masih berkuasa, tetapi telah menjadi
suatu kekaisaran yang bergantung pada reputasi, sebesar ketergantungannya
pada kekuatan nyata untuk mempertahankan kedudukannya sebagai
pemimpin dunia. Andai kata tentara Mesir benar-benar memiliki kekuatan
yang sedemikian besar seperti yang ditampilkan dalam relief-relief Rameses
II, ia tentu tidak berbalik dan pulang dengan membiarkan Kadesh berada di
tangan orang Hitti. Sebaliknya, Rameses II mencurahkan perhatiannya pada
simbol-simbol kekuasaan; di wilayah yang aman di dalam negerinya sendiri,
ia membangun lebih banyak kuil, patung, dan monumen dibanding pharaohpharaoh sebelumnya. Demikianlah terjadi bahwa Rameses II meraih reputasi
sebagai salah seorang pharaoh terbesar dalam sejarah Mesir, sementara pada
kenyataannya ia kehilangan bagian dari wilayah utara yang telah direbut oleh
Tuthmosis III dua ratus tahun sebelumnya.
K di sebelah Utara itu memiliki kesulitan sendiri. Pada masa itu, orang Hitti tampaknya telah menjalin perjanjian dengan
raja-raja Babilon, jauh di Selatan; sekurang-kurangnya kita bisa menduga demikan, karena Muwatalli mengirim permintaan agar seorang dokter datang
untuk membantunya mengatasi suatu masalah medis pribadi. Masih terdapat
sepucuk surat, yang ditulis oleh saudara Muwatalli sesudah sang raja meninggal, untuk menjawab suatu permintaan dari Babilon agar mengirimkan
dokter, yang telah ditunggu-tunggu kembalinya ke istana Babilon.
(”Ia sudah menikah dengan seorang kerabatku dan memutuskan untuk
tinggal di sini,” kira-kira demikian bunyi surat itu, ”jadi, jangan menuduhku
lagi bahwa aku telah menjebloskannya ke penjara; apa untungnya memenjarakan dokter bagiku?”).8
Hubungan antara orang Hitti dan orang Assiria kurang bersahabat. Raja
baru Assur, Adad-nirari, terus-menerus melancarkan perang ke Utara melewati wilayah yang terpecah akibat pelarian orang Mitanni, dan mengklaim itu
sebagai wilayahnya. Ia juga melakukan perang perbatasan sekurang-kurangnya
satu kali dengan Babilon, di Selatan, dan dalam perang itu Assiria dapat mengklaim banyak bagian dari wilayah Utara Babilon. Penaklukan-penaklukan
itu cukup mengesankan bagi Adad-nirari untuk menyebut dirinya sebagai
Raja Dunia dalam sesuatu yang lalu menjadi tradisi Assiria yang bernilai
tinggi: ”Adad-nirari, pangeran yang gemilang,” demikian bunyi awal sebuah
inskripsi, ”dihormati dewa-dewa, tuan, wali penguasa tanah para dewa, pendiri kota, penghancur penguasa Kassi yang kuat .... yang menghancurkan
semua musuh dari utara maupun Selatan, yang menginjak-injak tanah-tanah
mereka, ... yang menangkap semua orang, memperluas wilayah dan melebarkan perbatasan; raja yang ke bawah duli kakinya Assur ... telah menaklukkan
semua raja dan pangeran.” 9
saat tengah merencanakan suatu stategi melawan ancaman Assiria yang
semakin besar terhadap bagian di Timur negaranya, raja Hitti Muwatalli meninggal, sesudah masa pemerintahan yang panjang. Ia mewariskan tahta kepada
anaknya, yang segera saja melepaskan orang terkuat kedua di istana—saudara
Muwatalli (dan pamannya sendiri)—dari kedudukan-kedudukannya di istana
dan berusaha mengasingkannya. Saudaranya itu, Hattusilis, menolak diasingkan. Ia mengumpulkan pengikutnya, menahan raja dengan pengawalan, dan
menobatkan dirinya sebagai Raja Hattusilis III.
Dokumen paling lama yang masih ada dari masa Hattusilis III yaitu
suatu argumen yang menyentuh hati yang dikenal sebagai ”Apologi”, di mana
ia menjelaskan, dengan kurang lebih logika sirkuler, bahwa (1) dewa-dewa
telah memberinya hak untuk memerintah, dan (2) keberhasilannya dalam
merebut membuktikan bahwa para dewa telah memberinya hak untuk memerintah.10 Itu tidak sepenuhnya meyakinkan bagi bangsa Hitti; catatan
secuil-secuil dari Hattusas menunjukkan bahwa raja menghabiskan sebagian
besar masa pmerintahannya dengan berjuang untuk memenangkan suatu perang saudara.
Sejak cukup dini Hattusilis III menyadari bahwa ia tidak dapat terus menerus memerangi rakyatnya sendiri, orang Mesir di Selatan, dan ancaman orang
Assiria yang semakin meningkat di sebelah tenggara. Raja Assiria, Adad-nirari, telah digantikan oleh Shalmaneser I, yang bahkan lebih agresif daripada
pendahulunya, dan yang sedang berupaya untuk mengambil alih sisa daerah
yang sebelumnya milik orang Mitanni. Tentara Hitti telah bergabung dengan
tentara Aramea dalam suatu pertempuran melawan Shalmaneser I, dan telah
ditekan mundur: ”Aku membunuh tentara yang tak terhitung banyaknya,
yang kalah dan tunggang langgang,” seru Shalmaneser I dengan bangga. ”Aku
memotong kelompok-kelompok mereka, sebanyak 14.400 aku tumbangkan
dan aku jadikan sebagai tahanan hidup”; itu berarti bahwa ia menangkap dan
membutakan mata mereka, suatu tindak kekejaman semena-mena yang menjadi kebiasaan standar dalam hal ihwal peperangan di Assiria. Salmaneser juga
mengklaim telah menaklukkan 180 kota, dan menghancurkan kota-kota itu
menjadi puing: ”Tentara Hitti dan sekutunya Aramaea, aku bantai seperti
domba.”11
Assiria di sebelah Timur tidak mau berdamai, maka Hattusilis berpaling
untuk mengamankan perbatasan Selatan; ia memutuskan untuk menegosiasikan gencatan senjata dengan Mesir.
Itu agak pelik untuk Raja Mesir Rameses II, karena ahli waris yang sah
atas tahta, anak lelaki Muwatalli, telah melarikan diri dari penjara pamannya
dan muncul di istana Mesir untuk meminta suaka.12 (Ia juga telah menulis
surat kepada Raja Assiria, Shalmaneser, dengan permintaan yang sama, tetapi
Shalmaneser tidak berminat untuk memberikan suaka, sehingga ia menolaknya.)
saat dihadapkan dengan kesempatan yang baik untuk mengambil
alih kekaisaran Hitti, Rameses II menolak. Ia mengusir anak Muwatalli,
menyepakati perdamaian dengan sang paman yang telah merebut kekuasaan,
dan bahkan memeteraikan hubungan itu dengan menikahi dua anak
perempuan Hattusilis III. upaya mencari damai memang tak bisa dielakkan;
Rameses II tidak lagi menguasai sebagian besar wilayah Semit Barat yang
sebelumnya menjadi milik Mesir. Raja-raja kecil yang tersebar di sepanjang
pantai Laut Tengah tidak beruntung untuk melihat relief-relief Rameses yang
menjelaskan bahwa Pertempuran Kadesh merupakan sebuah kemenangan
gemilang bagi Mesir. Yang mereka lihat hanyalah bahwa orang-orang Mesir
itu mundur, terpukul, dan sejak saat itu terus-menerus memberontak. Tidak
ada peluang bagi tentara Mesir untuk mencapai daerah Hitti tanpa berjuang
untuk setiap langkah perjalanannya.
Mesir telah dipaksa beraliansi dengan musuhnya. Tetapi Rameses II masih
mengatur kiatnya. Ia memerintahkan agar perjanjian yang menuliskan bahwa
Mesir tidak akan menyerang orang Hitti diukir pada tembok-tembok kuil di
Karnak, dengan catatan pengantar yang menjelaskan bahwa orang Hitti telah
datang kepadanya untuk meminta damai. Dan ia menolak mengirim seorang
putrinya ke utara untuk dinikahkan dengan putra mahkota Hitti, walaupun
ia memiliki banyak anak perempuan; pada waktu itu Rameses II, seorang
laki-laki yang menyukai perempuan, telah memiliki lebih dari seratus anak,
yang berjajar di belakangnya pada relief-relief kuil, seakan-akan ia yaitu Pied
Piper. Putri-putri raja Mesir tidak keluar ke tanah asing.
Versi Hitti mengenai perjanjian damai itu, yang ditemukan di Hattusas,
mencatat bahwa orang Mesirlah yang pertama-tama meminta damai.13
K , jauh dalam usia sembilan puluhan tahun, Rameses II
dapat mengklaim sebagai raja kedua yang paling lama bertahta dalam sejarah
Mesir. Ia telah meninggalkan alur jejaknya di seluruh Mesir; kuil-kuil untuk
dewa Amun dan anggota panteon lainnya, monumen-monumen dan patungpatungnya, kota-kota dan inskripsi-inskripsinya terdapat di mana-mana. Para
pembalsam tubuhnya memiliki sikap tanggap dengan menjejali hidungnya
yang relatif besar itu dengan biji-biji rempah, sehingga pembalutan ketat tubuhnya tidak menjadikan hidungnya rata di wajahnya. Dan dengan demikian
kepribadiannya yang masih tetap terlihat menonjol, bukan hanya dalam suasana pedesaan Mesir, tetapi juga dari muminya.
G A R I S WA K T U 3 4
MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL MESIR
Tuthmosis III (sendiri) (sek.1483-1450)
Saustatar
Eksodus (tanggal paling awal)
Artadama Tuthmosis IV (1419-1386)
Sudarna II
Assur-nadin- Amenhotep III (sek.1386-1349)
ahhe II
Tushrata Suppiluliuma
Assur-uballit Akhenaten (sek.1349-1334)
Kerajaan Tengah Tutankhamun (sek.1333-1325)
Assiria
Ay (sek.1325-1321)
Adad-nirari I Horemheb (sek.1321-1293)
Muwatalli Dinasti 19 (1293-1185)
Shalmaneser II Hattusilis III Rameses II (sek.1278-1212)
N di pantai Barat laut Asia Kecil, berdirilah kota Troya di sebuah sudut jazirah yang tak pernah disentuh oleh kerajaan Hitti, bahkan pada
masa kejayaannya.
Pada tahun-tahun saat Babilon dan Assiria, Washukkanni dan Hattusas
bertempur untuk merebut kekuasaan atas daerah dari kepala Teluk Persia
sampai pantai Laut Tengah, dan ke Utara sampai Laut Hitam, terdapat banyak suku pegunungan, kepala klan gurun, dan kota kuno yang tetap merdeka, bebas dari kekuasaan kerajaan-kerajaan yang giat melebarkan wilayahnya.
Troya yaitu salah satu dari kota-kota itu. Kota itu sudah dihuni hampir dua
ribu tahun sebelumnya, dan rajanya telah membangun tembok-tembok di
sekeliling desanya yang kecil untuk melindung rakyatnya dari cengkraman
pihak-pihak yang serakah di luar kotanya. Selama beberapa abad sebelumnya,
kota itu terbakar, lalu dibangun kembali, menjadi kumuh lalu
dipugar, mengecil lalu berkembang kembali, berulang-ulang kali, dan
meninggalkan lapisan demi lapisan bekas pendudukan.
Pada waktu Rameses II dan Hattusilis III merundingkan perjanjian, Troya
—yang letaknya tidak terlalu jauh di sebelah Barat kerajaan Hitti yang tengah berkembang—berada termasuk dalam wujud inkarnasinya yang ketujuh
(yang oleh para pakar arkeologi disebut ”Troya VIIa”).*
Troya yaitu kota
yang kaya, yang tidak sangat memerlukan makanan dan barang-barang dari
luar; Troya terletak di sebuah dataran yang memiliki banyak lahan pertanian
yang subur.Ada ikan di perairan dekat kota itu, biri-biri di padang rumputnya, dan Troya terkenal dengan kawanan kudanya, yang memakan kelebihan
gandumnya.1
Antara tahun 1260 dan 1230 SM, Troya dilahap api dan perang. Temboktemboknya diruntuhkan, dan terjadilah pembantaian: tulang belulang
manusia berserakan di jalan-jalan dan tidak dikuburkan.
K dari awal peperangan dituliskan lima ratus tahun lalu di dalam
Iliades.
Jika kerangka ceritanya yang berkisar seputar murka dewa dicabut, daging ceritanya sendiri cukup lugas. Menelaus, raja Sparta, sebuah kota Yunani,
menikah dengan seorang putri raja dari Argos, sebuah kota yang terletak di
sebelah Utara Sparta. Putri itu, Helena, menarik pandangan Paris yang mata
keranjang; ia yaitu putra raja Troya, seorang petempur yang cukup berani,
namun ia yaitu suka main perempuan. (Kebetuan hal itu tidak menunjang reputasinya sebagai makhluk maskulin di antara rakyatnya, suatu hal
di mana orang Troya berbeda dengan zaman kita. ”Paris, kamu pria cantik,”
teriak saudara lelakinya kepadanya, ”dasar perayu perempuan.”)2
Paris merayu Helena, lalu memboyongnya ke Troya. Suami Helena, Menelaus,
bertekad membalas dendam, dan mengajak saudaranya, Agamemnon, untuk
membantunya menyerang Troya.
Agamemnon yaitu raja diraja Yunani (nama yang diberikan Homerus
untuk bangsanya sendiri yaitu bangsa Achaea), dan karena itu ia mengajak
semua kota di Yunani untuk menggabungkan pasukan mereka dan berlayar
dengan armada gabungan menuju Troya, untuk membalas dendam atas penghinaan terhadap saudaranya (penghinaan terhadap Helena tidak sedemikian
terlihat di sini). Mereka tiba di pesisir Asia Kecil, tetapi terhalang oleh keperkasaan tentara Troya dan tingginya tembok kota Troya. Berhentilah mereka di
sana, sambil mengepung kota itu selama sepuluh tahun.
Pengepungan kota merupakan drama sentral Iliades, yang merupakan
sepak terjang petempur besar Achilles, yang berasal dari Thessaly (sebuah
daerah pegunungan di bagian Utara semenanjung Yunani). Pada akhir Iliades,
kita telah mengenal banyak hal tentang Achilles, tetapi tentara Yunani masih
berada di luar tembok Troya, dan raja Troya, Priamus, masih menduduki
tahtanya. Perang sendiri terjadi di luar arena. Pada awal kisah epik pendamping, Odyssey, pengepungan sudah selesai, Troya telah dijarah dan tentara
Yunani sedang dalam perjalanan pulang.
Kisah kejatuhan kota Troya di tangan tentara Yunani yang mengepung
diceritakan sepotong-sepotong oleh berbagai penyair Yunani, tetapi tampil dalam bentuk yang paling lengkap jauh sesudahnya, dalam buku kedua
Aeneides karya penyair Romawi, Vergilius:
Terpukul dalam peperangan dan ditindas oleh nasib,
Dan bertahun-tahun telah lewat, pasukan Yunani
membangun sebuah kuda ....
Kuda itu setinggi bukit, dan tulang rusuknya terbuat dari papan kayu
pinus....
..... sambil memilih para petempur lewat undian, dengan diam-diam mereka menempatkan para petempur itu pada sisi kuda yang tersembunyi,
sampai perutnya yang luas dan berongga itu berjejal dengan pasukan prajurit bersenjata.3
saat orang Yunani yang lain dengan gaduh dan kentara pergi menjauh,
orang Troya - yang mengira bahwa kuda itu yaitu persembahan kepada dewi
perang Romawi Minerva—menariknya memasuki kota (tanpa menghiraukan
berbagai tanda buruk). Mereka berpesta-pora dalam kemenangan, terlelap
tidur karena mabuk, dan para petempur Yunani pun turun dari perut kuda.
Mereka menghambur ke kota yang terlelap tidur karena mabuk;
Membunuh para penjaga dan membuka semua gerbang kota guna memberi jalan kepada pasukan utama untuk masuk dan bergabung dalam
rencana penyerangan yang sudah diatur....
... Kota dilahap api; di sini orang Yunani menjadi tuan. 4
Baik Vergilius maupun Homerus melukiskan perang dari abad ketiga belas
itu dengan menggunakan bahasa dan konvensi, baju perang dan senjata, masalah politik dan tokoh-tokoh dari zaman mereka sendiri. Tetapi sekali lagi
sebuah puisi melestarikan inti dari suatu kejadian sejarah. Troya dibakar, penduduknya dibantai atau melarikan diri.
Jadi, siapa sebenarnya yang berperang melawan Troya?
Kota itu pasti tidak jatuh pada masa Homerus masih hidup, kapan pun itu.
Pendapat umum para sarjana memperkirakan masa kehidupan Homerus sekitar
tahun 800 SM; ia mungkin hidup pada masa yang sedikit lebih awal, tetapi
mustahil ia hidup jauh sebelumnya pada tahun 1230 SM, yang merupakan
tanggal kemungkinan paling akhir yang dimungkinkan oleh arkeologi untuk
pembakaran Troya VIIa. Homerus menyajikan cerita dari masa yang lebih
tua. Detail-detail epik itu menunjukkan seorang penulis yang menciptakan
fiksi sejarah.. Penerjemah E.V. Rieu mengemukakan, misalnya, bahwa tokoh
Nestor dalam karya Homerus (raja dari Pylos, kota Mycenas yang dinyatakan
mengirim enam puluh kapal kepada aliansi anti-Troya) minum dari sebuah
cangkir yang di bagian atasnya terdapat wujud dua merpati; sebuah cangkir
serupa itu ditemukan di dalam reruntuhan Mycenas.5
Pada tahun 1260 SM, saat cangkir berujung dua merpati itu digunakan,
raja-raja Mycenas dari Mycena, Thebes, Athena, dan Pylos telah membangun
kota mereka menjadi sebuah kerajaan kecil, dikelilingi tembok dan dihubungkan dengan jalan kereta yang mulus. Knossos, yang letaknya di seberang Laut
Kreta, mungkin dipimpin oleh seorang penguasa Mycenas, tetapi pada tahun
1350 kota itu telah dihancurkan sama sekali.
Kota Mycenas kini mengklaim
sebagai wilayah yang paling luas, diikuti oleh Thebes, Pylos, dan Athena secara rapat. Raja Pylos memerintah daerah yang begitu luas sehingga ia membagi
menjadi enam belas distrik, dan setiap distrik memiliki seorang gubernur dan
deputi gubernur yang setiap tahun mengirim pajak berupa perunggu kepada
raja.6 Pusat-pusat besar itu melakukan perdagangan yang ramai dengan orang
Hitti dan Mesir, dan tak satu pun dari kedua kerajaan itu berusaha menaklukkan kota-kota di semenanjung Yunani. Orang Hitti sama sekali bukan pelaut
dan orang Mesir, walaupun biasa berperahu di sungai Nil, tidak menyukai
laut, yang mereka sebut ”Bentangan Hijau Besar” dan yang pada umumnya
mereka hindari.7
Apa yang memicu pertempuran antara kota-kota Mycenas dan orang Troya
tidak diketahui secara pasti. Pertikaian itu mungkin memang melibatkan seorang
putri yang ditawan. Perkawinan diplomatis yang terjadi di seluruh dunia kuno
menunjukkan negosiasi-negosiasi yang pelik sangat melibatkan harga diri; pihak
yang mengirim putrinya yaitu pihak yang lebih rendah, dan siapa yang menerima putri-putri bisa berbangga karena mmiliki kekuasaan yang lebih besar.
Herodotus, yang menulis jauh lalu hari, juga menceritakan kisah
penculikan Helena oleh putra Priamus. Dalam karyanya Risalah Sejarah, ia
mengklaim bahwa telah mendengar cerita itu dari suatu sumber independen:
orang Persia, yang berpendapat bahwa orang Yunani telah memberikan reaksi
secara berlebihan. Walaupun orang Persia memandang penculikan perempuan sebagai tindakan kriminal, mereka juga mengklaim bahwa amatlah bodoh meributkan
hal itu dan menuntut balas untuk perempuan itu, begitu ia diculik; tindakan yang masuk akal, kata mereka, yaitu tidak memberikan perhatian
akan hal itu, karena sudah pasti perempuan itu sendiri dengan sukarela
berpartisipasi dalam penculikan dirinya; kalau tidak, penculikan tentu
tidak terjadi.8
Observasi ini (yang bisa saja memperlihatkan suatu penghargaan yang lumayan tinggi terhadap kekuatan seorang perempuan, tetapi mungkin justru
tidak memperlihatkan hal itu) telah membawa Herodotus kepada suatu penjelasan tentang permusuhan yang terus berlangsung antara orang Yunani dan
orang Persia:
[Orang] Yunani mengerahkan sebuah pasukan besar karena seorang
perempuan ... lalu menyerbu Asia dan menghancurkan Priamus
beserta pasukannya. Sejak saat itu, orang Persia memandang orang Yunani
sebagai musuh ... Mereka menandai awal permusuhan terhadap Yunani
dari kejatuhan Ilium (nama Yunani untuk Troya).9
Terdapat suatu anakronisme lain lagi, karena Persia belum ada saat Troya
VIIa dijarah. Namun, kisah itu menunjukkan bahwa kota-kota di semenanjung Yunani dan kota-kota di Asia Kecil telah saling membenci sejak lama.
Robert Graves telah mengemukakan bahwa penculikan itu, meskipun nyata,
yaitu tindakan balasan atas serangan orang Mycenas ke daerah Troya pada
waktu sebelumnya;10 penculikan Helena menghidupkan suatu permusuhan
yang sudah ada selama beberapa tahun.
Bagaimana pun mulainya permusuhan itu, orang Mycenas memenangkan
pertarungan, dan Troya jatuh. Tetapi tidak lama lalu , orang Mycenas
mulai terperosok jauh dari puncak kegemilangannya. Kota-kotanya menciut,
menjadi kumuh, dan semakin tidak aman.
Kemerosotan itu mungkin sudah mulai sebelum pengepungan Troya.
Thucydides menuturkan bahwa perang berlangsung selama bertahun-tahun
karena orang Mycenas yang menyerang tidak memiliki uang untuk mencukupi diri mereka; karena kehabisan makanan, mereka harus menyisihkan
sebagian waktu untuk bercocok tanam dan melakukan serangan sebagai bajak
laut ke Aegea, bukannya berperang tanpa berhenti.11
Perang dengan Troya justru mempercepat kemerosotan itu. Dalam
Odysseus, kita membaca bahwa kemenangan atas Troya merupakan suatu
kemenangan yang menyebabkan nama raja berikutnya, Pyrrhus, digunakan dalam suatu ungkapan (dalam bahasa Inggris): suatu kemenangan yang
menyengsarakan pemenangnya hampir sebesar kesengsaraan pihak yang dikalahkan. Odysseus menggemakan nada perkabungan. Dalam kata-kata Nestor,
raja Pylos, meskipun orang Mycenas menang, kisah mereka yaitu sebuah
kisah sedih:
Inilah cerita tentang kesengsaraan yang kami alami di tanah itu,
kami, anak-anak Achaea, yang mengamuk secara tak terkendali,
dan tentang akibat yang kami tanggung karenanya....
Di sana, yang terbaik dari kami telah dibantai ... dan banyak derita lain
yang kami tanggung di samping semua itu. ...
sesudah kami menjarah kota Priamus yang terjal,
dan telah berangkat dengan kapal kami ...
pada saat itu pun Zeus tengah menyiapkan bagi kami malapetaka yang
menghancurkan. 12
Dengan gontai para pahlawan Mycenas pulang ke rumah dan mendapati
rumah tangga mereka yang buyar, anak-anak dibunuh, para bangsawan menjadi maling, panen dijarah, dan istri diserobot lelaki lain. Kedatangan mereka
justru menambah keresahan: ”kedatangan terlambat” para pahlawan itu ke
rumah mereka, tutur Thucydides, ”menyebabkan banyak revolusi, dan perpecahan terjadi hampir di segala tempat”13 Puncak kejayaan Mycenas telah lewat
dan tak pernah akan datang lagi. G A R I S WA K T U 3 5
MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL MESIR
ASSIRIA HITTI Amenhotep III (sek.1386-1349)
Assur-uballit Akhenaten (sek.1349-1334)
Kerajaan Tengah Tutankhamun (sek.1333-1325)
Assiria
Ay (sek.1325-1321)
Horemheb (sek.1321-1293)
Adad-nirari I
Muwatalli Dinasti 19 (1293-1185)
Shalmaneser IHattusilis III Rameses II (sek.1278-1212)
Serangan orang Mycenas ke Troya VIIa (sek.1260)
S ibu kota Shang ke Yin di bawah P’an Keng yang
cerdik dan luwes, dinasti Shang memerintah secara tersendat-sendat tanpa
banyak berita selama sekitar satu abad. Penguasa berikutnya yang muncul
sebagai seorang tokoh yaitu raja Dinasti Shang yang kedua puluh dua, Wu
Ting, yang memerintah agaknya sekitar tahun 1200 SM.
Wu Ting, menurut sejarah kuno Shu Ching (yang ditulis ratusan tahun
sesudah kejadiannya, tetapi sebelum zaman Sima Qian, yang menggunakannya sebagai salah satu sumbernya), melewatkan masa pendidikannya di antara
”rakyat bawah”, orang miskin dan petani. lalu ia mengawali pemerintahannya tanpa berbicara sama sekali: ”Ia tidak berbicara selama tiga tahun,”
demikian tutur risalah sejarah itu. ”sesudah itu, ia masih cenderung untuk
tidak berbicara, tetapi manakala ia berbicara, kata-katanya penuh dengan
kebijakan yang harmonis. Ia tidak berani menikmati secara berlebihan kenyamanan yang sia-sia, tetapi memimpin dengan cara yang mengagumkan dan
tenang atas daerah-daerah Yin seluruhnya, sampai di semua daerah itu, baik
yang kecil maupun yang besar, tidak ada satu gumam pun.” 1
Tanpa suara, lalu tanpa banyak berbicara: itulah sebuah kebijakan
rajawi yang tak diduga, serupa dengan klaim P’an Keng bahwa ibu kota
yang berpindah-pindah lebih menunjukkan kekuatan daripada kelemahan.
Kekuasaan raja Shang pada masa itu jelas tidak bertumpu pada ragam kekuatan
seperti yang digunakan oleh para penguasa Hitti, Babilon, Assiria, dan Mesir,
beserta arus surat-surat yang mengancam dan membujuk yang tiada hentinya,
pengagungan diri sendiri, penyombongan diri, duta, utusan, dan diplomat.
Kewibawaan Shang memiliki suatu sumber lainTetapi, seperti halnya Wu Ting, sejarah juga hampir tidak memberitakan
tentang kurun waktu beberapa tahun saat Shang berkuasa di Yin. Alih-alih
surat dan prasasti, Shang meninggalkan potongan dan kepingan rumah, tulang, dan perunggu. Itu semua menuturkan tentang cara hidup Shang. Pada
akhirnya, peninggalan-peninggalan itu tidak menyampaikan banyak informasi tentang siapakah sebenarnya para penguasa Shang itu.
Dinasti Shang—bejana, senjata, alat pertanian
dengan keluk dan lekuk yang indah, hiasan—dibuat dari perunggu tercetak.
Itu semua merupakan bukti kewibawaan penguasa Shang. Seperti halnya
pembangunan piramida, pencetakan benda-benda perunggu memerlukan
seorang raja yang dapat memaksa sejumlah besar orang untuk melakukan
suatu pekerjaan berat yang memerlukan banyak tenaga kerja; dalam kasus ini,
menggali bijih logam dari tambang-tambang di daerah perbukitan di sebelah
Utara sungai Kuning Karya para penambang dan perajin itu menghasilkan, dalam kata-kata
seorang sarjana ilmu China kuno, ”salah satu prestasi artistik terbesar manusia”.2
Tidak ada bangsa kuno lain yang mampu mencetak perunggu ke dalam
bentuk-bentuk yang sedemikan canggih.3
Tombak dengan tangkai perunggu dihiasi dengan batu pirus dan bilah
pisau di ujungnya dibuat dari batu giok putih; gesper-gesper perunggu
berhias digunakan sebagai pengikat kendali kuda; topeng-topeng perunggu
menjadikan pemakainya tampak menyeramkan atau lucu. Bejana untuk makanan maupun anggur, yang paling renik di antara desain-desain perunggu
itu, dibentuk serupa naga, banteng, atau makhluk lainnya, dan dirampungkan dengan aneka pola rumit serta tangkai. Sebagian diukiri nama, sebagian
lainnya dengan tanda-tanda untuk menjelaskan kegunaannya. Kadang kala
terdapat inskripsi yang menyatakan suatu tahun atau suatu festival.
Informasi yang tersebar itu, kendati ringkas, menunjukkan bahwa rakyat
Shang telah maju ke tahap penggunaan tulisan. Di China, tulisan berkembang
dalam pola yang sama dengan di Mesopotamia dan Kreta: tulisan mulai digunakan sebagai tanda kepemilikan sejak 4000 tahun SM dan lalu
menjadi lebih kompleks. Namun, aksara China tampaknya telah berkembang
secara mandiri terhadap tulisan di tempat lain di dunia kuno. Tanda-tanda
paling awal dari sungai Kuning yaitu gambar, tetapi tulisan China merupakan tulisan pertama yang bergerak lebih jauh dari tulisan piktorial dengan
mengombinasikan gambar-gambar: memadukan tanda-tanda piktorial (yang
disebut ”ideogram”) ke dalam ”ideogram majemuk” yang mewakili abstraksi
dan gagasan.4
Pada waktu istana Shang dibangun di Yin, ”ideogram majemuk” itu sudah
cukup canggih untuk mencatat jawaban dewa-dewa atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Di reruntuhan ibu kota Shang, para pakar arkeologi
telah mengungkap ratusan tanda yang diukirkan pada tulang; itu digunakan
oleh istana Shang sebagaimana kelak para imam lelaki dan perempuan Yunani
menggunakan jeroan. Seorang lelaki atau seorang perempuan yang mencari
petunjuk pergi ke istana Shang untuk menyampaikan pertanyaan kepada para
imam di sana. Imam mengeluarkan tulang bahu sapi atau domba yang sudah
dibersihkan dan dikeringkan (atau, sesekali cangkang kura-kura), yang berukirkan pola-pola atau bertandakan sebuah inskripsi, lalu menyentuh
tulang atau cangkang itu dengan sebuah titik logam panas. Apabila tulang
itu retak, maka alur retakan pada pola atau inskripsi itu ”dibaca” oleh imam
dan ditafsirkannya sebagai sebuah pesan yang dikirim oleh para leluhur, yang
kini meneruskan kembali kebijakan mereka kepada yang masih hidup. Imam
mengukir hasil pertanyaan itu pada tulang atau cangkang dengan tanda-tanda
yang dikerat dengan pisau dan diisi dengan cat.5
Tulang-tulang peramalan menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan,
siapa pun yang menanyakannya, selalu diajukan atas nama raja.
Raja Wu Ting dipuji, oleh sejarawan kuno dari Shu ching, karena kerja
kerasnya, penolakannya terhadap kehidupan yang mewah, dan kepuasan yang
diberikannya kepada rakyat: selama masa ia menjadi raja, ”tak ada orang yang
menggerutu.” Pada saat yang sama, teks filsafat kuno I ching (Kitab Perubahan)
melukiskan bahwa Wu Ting, sambil memujinya, telah pergi selama tiga tahun
untuk melakukan kampanye melawan suku-suku yang memberontak di sebelah Barat laut; dan tujuh ratus tahun lalu , Shih ching (Kitab Madah),
mengakui jasanya yang menguasai suatu daerah yang bukan main luasnya:
Bahkan wilayah di dalam panjangnya empat ribu delapan ratus kilometer. ...
Ia membuka tanah-tanah baru seluas empat laut.
Orang-orang dari keempat laut datang untuk menyatakan hormat,
Menyatakan hormat, rombongan demi rombongan.6
Dua gambaran itu—orang yang rendah hati dan pekerja keras yang peduli akan kepuasan rakyatnya, dan penakluk yang menuntut penghormatan
—menampilkan ketegangan yang aneh. Peranan raja kelihatannya berubahubah, dan para kronikus merasa tidak jelas, apakah ia harus menjadi seorang
pemimpin spiritual, yang berpegang pada keutamaan-keutamaan masa lalu,
atau seorang panglima yang mengemban tanggung jawab atas masa depan
negaranya.
Kita bisa mengatakan, tanpa keraguan, bahwa raja Shang telah menambah lagi kekuasaannya sejak kepindahannya ke Yin. Di pemakaman kerajaan,
tak jauh di sebelah Utara ibu kota kerajaan, raja-raja dimakamkan di dalam
makam yang wujudnya merupakan kebalikan dari piramida di Mesir. Alihalih menjulang ke langit, makam itu berupa ceruk yang besar, yang digali
begitu dalamnya di dalam tanah sehingga pembangunannya pasti memakan
waktu bertahun-tahun. Di dalam ceruk itu terdapat korban manusia; bukan
tubuh utuh para bawahan yang setia yang mau mati karena percaya bahwa
rajanya akan membawa mereka ke seberang cakrawala, tetapi orang yang
dipenggal kepalanya.*∗
Sebuah makam memiliki tujuh puluh tiga tengkorak, yang dibariskan sepanjang empat dinding yang menurun ke dalamnya, dengan
satu gugus berisi lima puluh sembilan kerangka (tanpa kepala) pada dinding
paling Selatan.7 Di Yin sendiri, para pakar arkeologi telah mengungkap bagian
bawah sebuah mazbah di mana pengorbanan itu mungkin dilakukan.
Hal ini mengisyaratkan suatu kekuasaan autokratis yang besar pada pihak
raja, khususnya karena ia dapat menuntut kematian seseorang, bahkan sesudah
ia sendiri mati. Sima Qian secara konstan juga menyebutkan tentang para pejabat istana dan bangsawan yang berkuasa yang memiliki kekuasaan sendiri.
Barangkali wilayah di mana raja Shang melaksanakan kekuasaan mutlaknya
cukup kecil. Di pinggir daerah itu, para bangsawan dan pejabatnya memerintah atas namanya—tetapi bertindak atas kemauannya sendiri. Lebih jauh
keluar, terdapat padang lembah pemukiman, di mana rakyat mengirim upeti
kepada raja untuk menghindari amarahnya, atau sekadar mengetahui bahwa
raja itu ada, atau mungkin tidak mengetahui sama sekali bahwa raja itu ada,
sampai ada orang-orang bersenjata yang berderap masuk ke desa mereka, dan
menyita barang-barang mereka atas nama raja.
Masalah dua gambaran raja yang bertentangan itu sebetulnya sederhana
saja: raja Shang yaitu kepala spiritual dari segenap rakyat, tetapi kekuasaannya yang nyata dan bersifat duniawi berada dalam lingkup wilayah yang lebih
kecil. Wu Ting sendiri tidak dapat memerintah tanpa bantuan. Menurut Sima
Qian, ia melewatkan masa tanpa suara sambil mencari seorang pejabat yang
dapat berperan sebagai tangan kanannya. Akhirnya ia menemukan asisten
yang dicarinya: seorang bijak bernama Fu Yueh, yang bekerja sebagai pekerja
biasa di suatu kota sebelah Timur Yin. Baru saat itulah Wu Ting mengakhiri
keheningannya dan menyandang perannya sebagai penguasa. Raja, meskipun memiliki kebijaksanaan spiritual, harus mempercayai orang lain untuk
melaksanakan pemerintahan atas rakyat: bukan hanya sang asisten yang bijak,
tetapi juga para bangsawan yang pada kenyataannya mengendalikan provinsiprovinsi kerajaan Shang yang letaknya sangat jauh.
Tetapi ini semua hanya spekulasi, karena cerita Wu Ting itu dibangun di
seputar kepingan-kepingan tulang dan perunggu, serta merupakan kisah yang
dituliskan ribuan tahun sesudah kejadiannya sendiri.G A R I S WA K T U 3 6
MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL CHINA
Dinasti Shang, lanj.
Assur-uballit
Kerajaan Tengah
Assiria
Adad-nirari I
Muwatalli
Shalmaneser I Hattusilis III
Serangan Mycenas atas Troya VIIa (sek. 1260)
Wu Ting (sek.1200
S , para penguasa India tidak terlihat
karena tidak muncul di atas permukaan sejarah, walau berada tepat di bawah
pentas. Sesekali sebuah wajah berkelip-kelip di bawah riak sejarah, tetapi ciricirinya tetap tidak jelas.
Suku-suku yang menyebut dirinya sebagai orang arya telah menetap di
sepanjang Indus, di sebelah Selatan pegunungan, dan hampir seluruhnya tinggal di bagian Barat benua itu. Mungkin sekali mereka melakukan perkawinan
silang dengan orang-orang yang mereka jumpai di sana. Mereka tumbuh
menjadi lebih makmur daripada kerabatnya yang telah pergi ke Barat dan
meraih kemenangan yang sedemikian singkat seperti orang Mitanni. Dalam
kurun waktu tiga ratus tahun sejak kedatangan mereka, para penyusup itu
telah mengadopsi kehidupan yang polanya jauh lebih serupa dengan kebudayaan Harappa yang telah punah dibandingkan dengan pola hidup nomad
dan kesukuan di masa lalu mereka sebagai pengembara. Kebiasaan mengembara telah mulai lenyap dari ingatan mereka; kata Sanskerta grama, nama
untuk sebuah desa tempat tinggal dan bertembok, aslinya berarti klan yang
mengembara dengan kereta beroda.1
Orang arya tidak meninggalkan banyak jejak dari cara hidup itu, tetapi sekitar tahun 1200 mereka telah mulai memahami makna inkarnasi baru mereka
sebagai sebuah bangsa yang menetap dan memiliki mitos sendiri. Kumpulan
himne India yang paling awal, yakni Rig Weda yang bercorak puisi, digubah
dalam bahasa mereka sendiri. Seperti kebanyakan puisi kuno, puisi-puisi yang
termuat dalam Rig Weda ditulis jauh sesudah puisi-puisi itu diceritakan secara
lisan sambil mengelilingi api unggun, tetapi puisi-puisi itu masih dapat memberikan sekilas pandangan kita tentang dunia yang dibangun oleh orang arya
untuk diri mereka sendiri.*∗
Salah satu sebabnya, isi Rig Weda hampir seluruhnya dikhususkan untuk
menjelaskan kodrat dan tuntutan dewa-dewa India. Setiap bangsa yang memiliki dewa-dewa yang rumit, yang memberikan tuntutan-tuntutan yang rumit,
pasti memerlukan pendeta dan juga pemimpin perang; mereka telah mendekati tahap untuk menjadi masyarakat yang lebih rumit. Pada masa syair-syair
Rig Weda yang lebih muda, para pendeta arya telah menjadi, bukan hanya
spesialis dalam urusan dewa, tetapi juga sebuah kelas spesialis yang turuntemurun. Pendeta menurunkan anak laki-laki yang dilatih untuk menjadi
pendeta, dan menikah dengan putri pendeta yang lain. Himne-himne dalam
Rig Weda merupakan tulisan pertama dari orang arya, dan para pendeta merupakan aristokrat sejati mereka yang pertama.
Orang-orang yang berada dalam proses menjadi orang India dipersatukan
oleh suatu filsafat dan suatu agama yang sama, bukan oleh tatanan politis atau
kekuatan militer.2
Maka, Rig Weda menuturkan banyak hal tentang pemujaan kepada dewa-dewa, tetapi sedikit sekali tentang penyebaran orang arya
ke daerah-daerah yang telah menjadi tempat tinggal mereka. Kumpulan itu
dibagi ke dalam sepuluh daur, yang disebut mandala.3
Setiap mandala berisi
himne-himne pujian kepada dewa-dewa, dan madah yang harus didaraskan
selama pelaksanaan korban atau upacara lainnya. Dewa-dewa India yaitu
dewa-dewa alam, seperti yang lazim pada bangsa-bangsa yang hidup dalam
lingkungan yang keras dan di sepanjang sungai yang ganas (Yahwe Allah
Abraham merupakan perkecualian yang menarik): Varuna, dewa langit, Ratri,
roh malam hari; Agni, dewa api; Parjanya, dewa hujan yang ”merontokkan
pepohonan” dan mencurahkan air kepada ternak, kuda, dan juga manusia;
Mitra, dewa matahari; dan Indra, dewa peredam kekacauan dan penguasa panteon, ”yang mengokohkan bumi yang bergoncang, yang meredakan gunung
saat terganggu .... dikendalikannya kuda, desa, dan segala kereta.”4
(Indra,
Varuna, dan Mitra, secara kebetulan, muncul sebagai saksi dalam sebuah perjanjian antara raja Mitanni dan Suppiluliuma, pembangun kekaisaran Hitti;
hal ini menunjukkan bahwa bukan saja orang Mitanni yaitu orang arya,
tetapi juga orang arya memuja dewa-dewa itu jauh sebelum mereka berpisah
dan pergi melalui jalan yang berbeda ke Barat dan ke Selatan.)
Kitab II sampai VII dari Rig Weda, himne-himne yang paling tua, memberikan gambaran selintas tentang struktur politik dan militer melalui kaca ritual yang remang-remang. Dewa api Agni diakui sebagai yang menyerang
”tembok-tembok dengan senjatanya”, yang mengisyaratkan bahwa saat
orang arya berkembang dan menyebar, mereka memerangi desa-desa bertembok kayu yang mereka jumpai dengan cara membakarnya.5
Salah satu himne
menyebutkan sebuah pertempuran antara orang-orang ”berkulit gelap” dan
orang arya, suatu gambaran yang lalu ditangkap oleh para sarjana, seabad yang lalu, sebagai bukti bahwa sebuah bangsa asli yang lebih rendah
telah dihapuskan oleh orang ”Arya” yang kulitnya cerah. Tetapi, mandala
ketujuh melukiskan suatu pertempuran antara sepuluh raja arya. Orang arya
tampaknya saling menyerang sama banyaknya dengan memerangi penduduk
lain di lembah-lembah sungai dan dataran-dataran di sebelahnya.
Tampaknya keberadaan himne-himne paling awal dalam Rig Weda yaitu saat saat terbentuknya bukan hanya sebuah klan pendeta, tetapi juga
sebuah klan aristokrat petempur (kesatria), sebuah kelas para pemimpin yang
turun-temurun, yang berkuasa dan menurunkan kekuasaan dari ayah kepada
anak lelakinya.6
Namun, kita tidak dapat melangkah lebih jauh lagi; dan
sejauh ini, baik di antara para pendeta maupun para panglima perang itu tak
seorang pun yang diketahui namanya.
G A R I S WA K T U 3 7
MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL INDIA DAN CHINA
Penggubahan lisan Rig Weda dimulai
(sek. 1400)
Assur-uballit
Kerajaan Tengah
Assiria
Adad-nirari I
Muwatalli
Shalmaneser I Hattusilis III
Serangan orang Mycenas ke Troya VIIA (sek.1260)
Wu Ting (sek. 1200)
K B, kekaisaran Hitti yang bertambal-tambal itu mulai terbuka pelipitannya.
Perjanjian antara Mesir dan Hitti masih bertahan; Mesir menguasai daerah
Semit Barat sampai kota Kadesh, sementara orang Hitti mengklaim kota-kota
yang letaknya lebih ke Utara. saat Rameses II meninggal, pada usia sembilan puluhan tahun, anak lelakinya yang paling tua, Merneptah, naik tahta
menggantikannya (ia yaitu anak lelaki ketiga belas Rameses II, karena orang
tua yang tegar itu telah mengalami kematian dua belas anak lelakinya).1 saat
mendengar berita tentang naiknya seorang pharaoh baru, beberapa kota dari
provinsi Utara Mesir menjajal keberuntungannya dengan melakukan pemberontakan, tetapi pasukan Mesir bergerak ke sana dan menggilasnya tanpa
banyak basa-basi.2
Sementara itu, orang Hitti telah dilanda kekeringan. Panen gagal, ternak mati, penduduk-penduduk desa menderita kelaparan. Salah satu surat
yang dikirim dari ibu kota Hitti ke istana Mesir menyarankan, karena pharaoh telah merencanakan pernikahan dengan seorang putri Hitti, bahwa ia
sebaiknya segera datang dan menjemputnya; kandang kuda Hitti tidak lagi
memiliki gandum, dan kawanan ternak yang disisihkan sebagai maskawin
akan mati kelaparan jika tidak segera diambil.3
Hattusilis III telah mengangkat anaknya, Tudhaliya, sebagai Komandan
Pengawal Raja, suatu kedudukan yang membuktikan bahwa ayahnya memiliki kepercayaan penuh kepadanya (ini bukan suatu hal yang sudah pasti di
dalam keluarga kerajaan Hitti).4
saat Hattusilis III meninggal, putranya
menjadi Raja Tudhaliya IV. Ia mewarisi bukan hanya tahta, tetapi juga kelaparan yang kian memburuk sepanjang tahun itu.
Tudhaliya IV mengirim surat ke Mesir untuk meminta bantuan pangan,
dan Merneptah, yang kini menduduki tahta, menghormati perjanjian alian si; inskripsi-inskripsinya sendiri menerangkan bahwa ia mengirim gandum
cukup banyak ”untuk mempertahankan agar daerah itu tetap hidup”5
Sebuah
surat dari Tudhaliya sendiri kepada salah satu kota bawahannya, yang memerintahkan agar membantu pengangkutan gandum itu, menyingkapkan
bahwa satu pengapalan terdiri dari 450 ton.6
Lumbung Hitti kosong.
Seorang raja yang harus meminta bantuan asing untuk mempertahankan
kehidupan rakyatnya berada pada kedudukan yang tidak baik, dan orang
Hitti, yang secara rapuh bertengger di puncak roda yang berputar, tengah berada pada daur turun. Suatu negara yang tidak memiliki persediaan gandum
yaitu negara yang tanpa uang. Sebuah negara tanpa uang mau tak mau akan
menunda pembayaran kepada tentaranya sampai saat terakhir. Tentara yang
kurang gajinya selalu kurang berdisiplin dibandingkan mereka yang berkecukupan makan dan puas. Tentara Hitti di ambang kekalahan.
Tudhaliya yaitu seorang panglima perang yang kompeten dan prajurit
andal, yang pertama kali ikut bertempur dalam angkatan perang ayahnya pada
usia dua belas tahun.7
Tetapi karena kelaparan dan kemiskinan, ia juga harus
mengkhawatirkan tahtanya. Bagaimana pun, ayahnya telah merebut mahkota, dan kerajaan itu penuh dengan lelaki yang berdarah kerajaan. ”Keturunan
Suppiluliuma, keturunan Mursili, keturunan Muwatalli, keturunan Hattusili
itu banyak!” keluhnya dalam sebuah surat.8
Untuk membuktikan kekuasaannya sebagai raja yang memegang hak
penuh, Tudhaliya IV memerintahkan suatu program pembangunan yang paling besar-besaran untuk raja Hitti mana pun: tempat-tempat pemujaan baru;
tambahan untuk kompleks istana yang sudah luas; sebuah kota satelit dekat
ibu kota Hattusas, yang mencakup dua puluh enam kuil baru, dan memperbesar luas kota lama menjadi dua kali lipat.9
Itu lingkup proyek yang
wajar diharapkan dari seorang raja yang besar, dan mungkin dengan meniru
Rameses II, yang baru saja meninggal. Tetapi, meskipun bangunan-bangunan
baru itu menampakkan kekuasaan rajawi Tudhaliya, bangunan-bangunan itu
juga menguras hartanya. Di sebuah kerajaan yang telah menderita kelaparan
dan kemiskinan, Tudhaliya IV menghamburkan uang untuk pembangunan,
dan itu mengakibatkan ia semakin kekurangan uang perak kerajaan yang
untuk dibayarkan pada tentaranya.
Bangsa-bangsa yang ditaklukkan ke bawah kekuasaan Hitti dengan jelas
melihat bahwa tentara Hitti semakin lemah dari tahun ke tahun. Tidak berselang lama sejak ia mulai memerintah, Tudhaliya melihat bahwa dua puluh
dua kota di sepanjang tepi Barat kekaisarannya telah bergabung dalam suatu
aliansi untuk melawannya. Ia bergerak ke Barat dan mematahkan koalisi itu,
tetapi burung nasar sudah terbang berputar-putar.10
Di sebelah tenggara, raja baru Assiria melihat suatu kesempatan untuk melebarkan wilayah. Shalmaneser I telah mencaplok daerah-daerah Mitanni
lama. Kini putranya, Tukulti-Ninurta, melancarkan serangan ke perbatasan
Hitti di sebelah Baratnya.*∗
Tudhaliya membawa pasukan pertahanannya ke daerah musuh, dan kedua
angkatan perang bertemu di padang Erbila. Jika catatan pertempuran Assiria
dapat diandalkan, Tudhaliya konon sama sekali tidak yakin bahwa ia dapat
memenangkan pertempuran. Raja Assiria menulis dalam sebuah surat yang
dikirimkan kepada salah seorang sekutu:
Tudhaliya menulis surat kepadaku demikian, ”Anda telah menangkap pedagang-pedagang yang setia kepadaku. Maka, mari kita berperang;
aku telah siap untuk berperang melawan Anda.”
Aku menyiapkan angkatan perang dan keretaku. Tetapi, sebelum
aku dapat mencapai kotanya, Tudhaliya, raja Hitti mengirim utusan yang
membawa dua batu prasasti berisi kata-kata yang bermusuhan dan satunya lagi berisi kata-kata yang bersahabat. Mula-mula ia menunjukkan
kepadaku kedua prasasti itu, yang berisi tantangan permusuhan. saat
pasukanku mendengarkan kata-kata itu, mereka gerah untuk berperang,
siap untuk langsung menyerang. Utusan tadi melihat hal itu. Maka lalu ia memberikan kepadaku batu prasasti ketiga, yang mengatakan:
”Aku tidak memusuhi raja Assur, saudaraku. Mengapa kita sebagai saudara
memerangi satu sama lain?”
Tetapi aku tetap menggerakkan pasukanku. Ia berhenti dengan
tentaranya di kota Nihrija, maka aku mengirimkan sebuah pesan yang
mengatakan: “Aku akan mengepung kota. Jika Anda benar-benar bersahabat denganku, tinggalkan kota segera.” Tetapi ia tidak menjawab
pesanku.
Maka aku menarik mundur pasukanku sedikit menjauh dari kota.
lalu seorang Hitti pemangkir melarikan diri dari pasukan Tudhaliya
dan sampai ke tempatku. Ia mengatakan, ”Raja mungkin menulis surat
dengan tidak jujur kepada Anda, dengan nada bersahabat, tetapi pasukannya berada dalam formasi tempur; ia sudah siap bergerak”.
Maka aku menyiagakan pasukanku dan bergerak melawan pasukannya; dan aku mendapat kemenangan besar.11
Tukulti-Ninurta lalu sesumbar bahwa ia telah menangkap 28.800
tentara Hitti sebagai tawanan perang, suatu jumlah besar yang tidak masuk
akal. Tetapi ia tentu menawan ribuan orang Hitti dan membawa mereka ke
Assiria. Bangsa yang dikalahkan dan ditempatkan di suatu tanah asing akan
memiliki harga diri yang rendah sebagai bangsa; suatu ras yang dibuang ke
pengasingan tentunya mustahil untuk memberontak.
Penaklukan itu menimbulkan gelora yang cukup besar di Timur Tengah
kuno sampai dimuat dalam kronik-kronik Yunani yang paling tua, di mana
Tukulti-Ninurta (dengan nama Yunani Ninus) tampil sebagai leluhur jauh
penguasa Sardis, nun jauh di Asia Kecil; ini yaitu gambaran yang jauh dan
terdistorsi dari serbuan ganas Tukulti-Ninurta ke wilayah Hitti.*∗
T


