Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 13





 udhaliya sendiri mundur ke ibu kotanya, dan melepaskan daerah-daerah 


pinggiran kekaisarannya. Keperkasaan militer Hitti memudar dengan cepat. 


Dalam sebuah surat yang dikirim kepada salah seorang raja taklukan dari 


Ugarit, Tudhaliya mengeluh bahwa kota itu tidak mengirimkan catu jumlah 


tentara yang menjadi kewajibannya kepada angkatan perang Hitti; apakah 


Ugarit tengah mempersenjatai diri untuk memberontak? Sebuah prasasti 


batu lainnya mencatat semua kapal dari kota Karkhemish yang tidak lagi laik 


berlayar.12 Daerah-daerah pinggiran kerajaan Tudhaliya mulai terlepas. 


Sement Itu, Tukulti-Ninurta pulang ke rumah dan menghadapi masalah 


baru di Selatan.


Selama bertahun-tahun Babilon memiliki hubungan yang mendua dengan 


Assiria. Masing-masing kota, pada berbagai kesempatan, mengklaim memiliki 


hak untuk memerintah kota yang lain. Kota Babilon dan Assur bukan hanya 


berimbang dalam hal kekuatan, tetapi merupakan saudara kembar dalam kebudayaan. Keduanya suatu waktu pernah menjadi bagian dari satu kekaisaran, 


di bawah Hammurabi, dan cap hakiki Babilon pada seluruh wilayah itu tetap 


tampak. Assiria dan Babilon memiliki dewa-dewa yang sama, walaupun ter-

kadang dengan nama yang berbeda; dewa-dewa mereka memiliki kisah yang 


sama; dan orang Assiria menggunakan cuneiform Babilon dalam inskripsi dan 


tarikh tahunannya.13


 


Berbagai kemiripan itu membuat raja-raja Assiria pada umumnya enggan 


menjarah dan membakar Babilon, bahkan saat  mereka memiliki kesempatan untuk melakukannya. Tetapi Tukulti-Ninurta tidak begitu cenderung 


menahan diri. Ia sesumbar dalam inskripsi-inskripsinya tentang nasib semua 


orang yang menantangnya: ”Aku mengisi gua-gua dan jurang-jurang dengan 


mayat mereka,” serunya, ”aku menimbun mayat mereka bertumpuk-tumpuk, 


seperti gandum di samping pintu gerbang mereka; kota-kota mereka aku 


lantakkan, dan aku buat menjadi bukit-bukit reruntuhan.”14


 


Karena memperhitungkan kesibukan Tukulti-Ninurta dengan orang Hitti 


di Utara, raja Babilon mencoba mencaplok beberapa daerah yang disengketakan di antara perbatasan Assiria dan Babilon. Kita hampir tidak mengetahui 


apa pun tentang raja ini, Kashtiliash IV, kecuali bahwa ia tidak pandai menilai orang; Tukulti-Ninurta bergerak dan merampok kuil-kuil Babilon. Dalam 


hal itu ia menghancurkan sebuah tradisi lama Assiria yang menghormati 


tempat-tempat suci Babilon. Ia bahkan mengangkut patung dewa-dewa, 


suatu tindakan yang secara khusus berisiko karena pada umumnya dipahami 


bahwa sakrilegi semacam itu akan membuat kesal dewa-dewa Assiria juga. ”Ia 


mengambil dewa agung Marduk dari tempat tinggalnya,” tutur kronik Assiria 


tentang kemenangan itu, ”dan mengangkutnya ke Assur.”15 Dan ia secara 


pribadi menghadapi raja Babilon dalam pertempuran: ”Di tengah pertempuran itu,” demikian dimaklumkan dalam inskripsinya, ”tanganku menangkap 


Kashtiliash, aku injak leher raja itu dengan kakiku seperti sebuah alas kaki. 


..Sumer dan Akkad yang berada di perbatasan paling jauh, kutaklukkan. Di laut 


yang lebih rendah tempat matahari terbit, aku menetapkan batas wilayahku.”16


Ia lalu  memaklumkan dirinya sebagai raja Babilon dan sekaligus Assiria. 


Untuk kedua kalinya, identitas antara kedua kerajaan itu dilebur menjadi satu. 


Tukulti-Ninurta menggelandang Kashtiliash ke Assur dengan ditelanjangi dan dirantai, serta menyerahkan Babilon sendiri kepada seorang gubernur 


Assiria. Itu meluaskan perbatasan kekaisaran Assiria dari bagian Utara daerah 


Semit Barat sampai ke daerah Selatan Mesopotamia. Tukulti-Ninurta, yang 


kini menjadi satu-satunya raja besar di seluruh kawasan itu, mulai menangani 


kegiatan yang lazim dilakukan seorang raja yang besar. Ia membangun kuilkuil baru, memperkuat tembok-tombok kota Assur, dan membangun sebuah 


kota mini kerajaan baru untuk dirinya sendiri, tak jauh di sebelah Utara kawasan bangunan-bangunan kota Assur; kota mini itu memiliki cadangan air 


sendiri, tenaga kerja penjara sendiri, dan dapat diselenggarakan tanpa bantuan persediaan dari ibu kota. Tukulti-Ninurta mengklaim bahwa dewa Assur telah menghendaki agar 


ia membangun sebuah kota baru ”di mana tidak terdapat rumah atau pun 


tempat tinggal”. Tetapi ketergesaannya untuk menarik diri ke balik tembok 


dan menjauhkan diri dari rakyat Assur itu mengisyaratkan adanya gejala 


yang tidak baik. Babilon sendiri telah dikejutkan oleh pennjarahan kuil-kuilnya. ”Ia membunuh orang-orang Babilon dengan pedang,” tutur Kronik 


Babilon, ”harta kota Babilon ia angkut keluar tanpa hormat, dan ia mengangkut dewa besar Marduk ke Assiria.”17 Perusakan itu pun tidak diterima baik 


oleh orang-orang saleh di negerinya sendiri. Kisah epik Assiria yang dipesan 


Tukulti-Ninurta untuk merayakan kemenangan atas Babilon memiliki nada 


defensif yang begitu nyata; kisah itu secara berlarut-larut menjelaskan bahwa 


Tukulti-Ninurta sebenarnya menginginkan perdamaian dengan raja Babilon 


dan berusaha sebaik-baiknya untuk tetap bersahabat dengan Kashtiliash; 


hanya saja, raja Babilon berkukuh untuk masuk ke wilayah Assiria guna mencuri dan membakar, karena itu, dewa-dewa Babilon meninggalkan kota dan 


menyerahkannya kepada Assiria untuk memberikan hukuman.18 Jelaslah 


bahwa raja besar itu mendapat tekanan untuk menjelaskan, bukan hanya 


mengapa ia menjarah Babilon, tetapi mengapa ia mengambil patung-patung 


suci Babilon dan membawanya ke ibu kotanya sendiri. 


Penjelasan itu tidak meyakinkan, dan tindakan sakrilegi Tukulti-Ninurta 


mengakibatkan kejatuhannya. Kronik Babilon menuturkan, dengan meredam 


rasa puasnya, ”Ada pun Tukulti-Ninurta, yang telah melakukan kejahatan terhadap Babilon ... anaknya dan para bangsawan Assiria memberontak, dan 


melemparkannya dari tahtanya [dan memenjarakan dia di dalam kompleks 


istananya sendiri] .... lalu  membunuhnya dengan pedang.”19 Ia memerintah sebagai raja besar selama hampir tiga puluh tujuh tahun.


sesudah  kematiannya, anak lelakinya naik tahta. Dalam upaya untuk menebus kesalahan ayahnya, ia mengirim kembali patung Marduk ke Babilon,20


tetapi hal itu tidak mampu meredakan kemarahan orang Babilon. Babilon 


memberontak hampir sesaat , gubernur Assiria melarikan diri; dan seorang 


bangsawan Kassi lain merebut tahta dan menyatakan kemerdekaan Babilon 


dari kekuasaan Assiria.


Dengan terlihatnya kelemahan Assiria itu, orang Elam (yang tidak pernah 


benar-benar hilang sebagai ancaman) mulai menusuk ke perbatasan Timur 


wilayah Assiria. Mereka menyerbu sampai ke Nippur, dan menggulingkan 


raja yang ditunjuk Assiria di kota itu dalam dua kali serangan.22 Mereka juga 


menyerbu Babilon dengan jumlah pasukan yang cukup besar untuk berarak di jalan-jalan, naik ke tangga ke kuil, dan merenggut patung Marduk 


(lagi), yang lalu  mereka angkut ke Susa dalam kemenangan. (Mereka 


juga mengambil stele hukum Hammurabi, yang tetap berada di Susa sampai lalu  ditemukan oleh para pakar arkeologi beberapa ribu tahun lalu ). Mereka menculik raja Babilon, secara mendadak, dan menggelandangnya 


juga. Raja itu tidak lebih penting daripada patung Marduk atau pun hukum 


Hammurabi, dan hilang sesaat  dari catatan sejarah.


Anak Tukulti-Ninurta, raja Assiria yang sama sekali tidak penting dan bernama Assurnadin-apli, sama sekali tidak berdaya di hadapan keributan itu, 


dan berhasil mempertahankan tahtanya hanya selama tiga tahun. Meskipun 


tidak banyak yang kita ketahui tentang kematiannya, kematian itu tampaknya terjadi secara tidak wajar; ia digantikan bukan oleh anaknya, tetapi oleh 


kemenakannya. Kemenakannya ini mampu mempertahankan tahta selama 


enam tahun saja, sebelum kehilangan tahtanya di tangan paman yang lain, 


yang sesudah  memerintah selama lima tahun juga diturunkan secara paksa 


(dan mungkin dibunuh) oleh seorang perebut yang satu-satunya haknya atas 


tahta itu yaitu  bahwa ia mengklaim dirinya sebagai keturunan jauh dari 


paman buyut Tukulti-Ninurta. 


Di Babilon pun keadaannya tidak jauh lebih baik. Suatu keluarga lain 


dari garis keturunan yang tidak jelas, yang disebut Dinasti Kedua Isin, telah 


merebut tahta sesudah  orang Elam menyingkirkan raja yang berkuasa; keempat raja pertama yang tidak menonjol naik dan jatuh dalam kurun waktu 


lima belas tahun. Ada pun di wilayah orang Hitti, Tudhaliya IV meninggal, 


mungkin karena usia tua (hal yang jarang terjadi waktu itu). Anak-anak dan 


kemenakan-kemenakannya mempertengkarkan tahta Hitti dan sisa-sisa sebuah kekaisaran yang kecil dan tercabik-cabik.


Bahkan di Mesir pun tahta berada di bawah serangan. Mumi Merneptah 


yang telah renta baru saja dikuburkan saat  pergantian kekuasaan tibatiba tersendat; anak lelaki dan wali pendamping Merneptah, Seti II, untuk 


sementara diturunkan dari tahta oleh seorang saudara tirinya dan baru memperolehnya kembali sesudah  tahta itu kosong selama tiga tahun. Ia meninggal 


tak lama sesudahnya dan menyerahkan mahkota kepada anak lelakinya, yang 


(dinilai dari muminya) menderita polio dan meninggal pada usia muda. 


Sesaat  itu ibu tiri dari raja yang mati muda itu, Twosret, mencoba merebut 


kekuasaan, dan daftar raja-raja meredup ke dalam anarki. Kekacauan itu diperparah oleh pengembara penyerbu yang masuk ke Delta, seperti yang pada 


umumnya mereka lakukan saat  pertahanan Mesir melemah. ”Tanah Mesir 


digulingkan dari luar,” tulis sebuah papirus dari masa sesudahnya, ”dan setiap 


orang dilanggar haknya ... tanah Mesir berada di tangan kepala dan penguasa 


kota; masing-masing membantai tetangganya.”22 Dinasti Kesembilan Belas 


berakhir secara tidak terhormat.


Roda telah berputar melenceng; tak seorang pun yang duduk di atas. 


sesudah  serang-menyerang selama beberapa dasawarsa, energi yang dicurahkan demi penaklukan telah menguras kerajaan-kerajaan yang terlibat di dalamnya 


sampai ludes.


G A R I S WA K T U 3 8


 MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL MESIR


   Amenhotep III (sek. 1386-1349)


 Assur-uballit Akhenaten (sek.1349-1334)


 Burnaburiash Kerajaan Tengah 


 Assiria Tutankhamun (sek.1333-1325)


 Ay (sek.1325-1321)


 Adad-nirari I Horemheb (sek.1321-1293)


 Muwatalli Dinasti 19 (1293-1185)


 Shalmaneser I Hattusilis III Rameses II (sek.1278-1212)


 Tukulti- Tudhaliya IV 


 Ninurta


 Kashtiliash IV Merneptah (1212-1202)


 Assur-nadin-apli


 Dinasti kedua Isin





S  di tengah ketidaktentuan pada akhir Dinasti Kesembilan 


Belas, seorang raja yang sama sekali tidak dikenal yang bernama Setnakhte 


naik ke tahta kerajaan Mesir dan memulihan ketertiban. Barangkali ia yaitu  cucu Rameses II; semula ia mungkin hanyalah seorang perwira angkatan 


perang yang membawahi sejumlah pasukan. Siapa pun dia, ia memimpin serangan terhadap penyerbu asal Asia yang mendesak masuk ke Delta, dan ia 


sedemikian berhasil sehingga langkahnya berikutnya yaitu  mengklaim mahkota kerajaan.


Papirus yang sama, yang menceritakan keresahan pada akhir Dinasti 


Kesembilan Belas (sebuah papirus yang berasal dari masa pemerintahan cucu 


Setnakhte) mengakui jasa Setnakhte yang untuk sementara memulihkan 


kekacauan yang terjadi di Mesir: bukan hanya mengusir “orang Asia hina” 


yang lazim itu, tetapi juga memulihkan hukum dan ketertiban sehingga para 


bangsawan daerah tidak lagi berkelahi satu sama lain untuk menguasai daerah, dengan membuka kuil-kuil, yang telah ditutup karena ketakutan atau 


kemiskinan, dan dengan mendudukkan kembali para imam pada tugas mereka.1


 Dan ia tampaknya telah melakukan semua itu dalam rentang waktu tiga 


tahun, lalu  ia meninggal dan mewariskan tahta kepada anaknya.


Anaknya mengambil nama Rameses III, guna meneladani pharaoh agung 


yang hidup seratus tahun sebelumnya. Ia membangun sebuah kuil pemakaman yang polanya didasarkan atas kuil pemakaman Rameses II; seperti halnya 


Rameses II, ia menambahkan sejumlah kuil untuk Amun dan menganugerahkan tanah kepada para imam, dengan harapan untuk meraih nama baik agar 


dipilih oleh dewa. ”Engkau, ya Amun, telah mendudukkanku di tahta ayahku, 


seperti engkau menempatkan Horus di tahta Osiris,” demikian doa yang dibuat oleh Rameses III dan dituliskan oleh anaknya. ”Maka, aku membuatkan 


untukmu sebuah rumah dengan menara batu yang menjulang ke langit; aku membangun sebuah tembok di depannya; aku mengisi perbendaharaannya 


dengan emas dan perak, jelai dan gandum; tanah-tanah dan kawanan ternaknya sebanyak pasir di pesisir pantai.”2


 


 Persembahan kepada Amun tidak menangkis datangnya penyerbu. Seperti 


Rameses II, Rameses III harus melakukan pertempuran besar melawan para 


penyerbu dari Utara. Berbeda dengan Rameses II, ia berperang bukan di provinsi-provinsi daerah Semit Barat, melainkan di perbatsan Mesir sendiri.


R III melihat tanda-tanda awal akan terjadinya kerepotan pada tahun 


kelima pemerintahannya, saat  suatu migrasi yang mula-mula penuh damai 


tiba-tiba berkembang menjadi suatu serangan. Suku-suku Libia, orang Afrika 


dari gurun di sebelah Barat, beberapa kali telah mengembara masuk ke Mesir: 


mereka pindah dari tanah merah yang kering ke tanah yang hitam. Sejak 


bencana kaum Hyksos, tidak ada bangsa asing yang diperbolehkan memiliki 


pemerintahan sendiri di dalam wilayah Mesir. saat  orang-orang Libia menunjukkan gelagat untuk berhimpun dan mengangkat seorang raja sendiri, 


Rameses III mengirim tentaranya untuk masuk ke tengah mereka dan melakukan pembantaian besar-besaran. Dengan tercerai-berai orang-orang Libia 


melarikan diri kembali ke gurun, atau dijadikan budak.3 


Baru saja ancaman dari Barat 


tadi ditanggulangi, suatu ancaman 


besar melanda wilayah Timur laut. 


Pengusiran “orang-orang Asia” 


oleh Setnakhte bersifat sementara. 


Daerah Semit Barat merupakan 


suatu carut-marut besar yang mendidih, dari Troya sampai ke Assur 


lalu  Babilon, dengan pemimpin-pemimpin setempat yang 


menandaskan kemerdekaannya, 


wilayah Hitti yang menciut, Assur 


dan Babilon bertengkar, orang 


Elam yang merajalela di sepanjang 


perbatasan Timur, dan—yang lebih 


memperburuk keadaan—meningkatnya migrasi kelompok-kelompok 


suku yang masuk dalam arus yang 


tetap ke sana dari daerah sebelah 


Laut Aegea dan Laut Hitam (daerah 


39.I. Serbuan Bangsa Laut yang dewasa ini kita sebut sebagai daratan Eropa Timur). Para pengembara dunia kuno semakin unggul terhadap kerajaan-kerajaan yang terorganisasi: ”Tanah-tanah asing pecah dan 


menjadi berkeping-keping dalam pertarungan itu,” tulis Rameses III pada 


tembok kuilnya, ”tidak ada negeri yang dapat bertahan di hadapan mereka. 


Dengan tangannya mereka merenggut negara-negara seluas seluruh lingkaran 


bumi.” 4


Sebagian besar dari ”seluruh bumi”, kebetulan, tengah menderita selama 


satu dasawarsa akibat kekeringan, yang datang dan hilang, kekeringan yang 


juga mengakibatkan kelaparan yang barangkali mendorong orang Libia masuk 


ke Delta. Bagi pengembara yang kehausan, Mesir, yang tanahnya selalu terairi, mulai tampak sebagai permata yang diperebutkan seluruh dunia. Tidak 


lama sesudah  Rameses III mulai memerintah, suatu aliansi penyerbu bergerak 


ke wilayahnya. 


Invasi ke Delta bukan barang baru. Tetapi pasukan penyerbu kali ini terdiri dari sejumlah suku yang mencengangkan banyaknya, yang melakukan 


sumpah setia satu sama lain, ditambah suku-suku Afrika, dan pelaut-pelaut 


Mycenas (barangkali pelaut upahan, yang meninggalkan semenanjung Yunani 


saat  kota-kota Mycenas semakin miskin). Sedikit sulit untuk mencocokkan nama-nama yang digunakan Rameses III untuk menyebut para penyerbu, 


dengan nama-nama yang kita gunakan sendiri untuk bangsa-bangsa yang 


berada di wilayah itu. Nama ”Weshesh” yang digunakan Rameses III mungkin yaitu  suku-suku dari Afrika; ”Shekelesh” mungkin sekali orang Aegea; 


”Peleset” yaitu  orang pelaut yang kira-kira berasal dari Aegea, yang mungkin 


datang lewat Pulau Kreta menyusul kekacauan di Mycenas. Orang Peleset 


tampaknya yang bertindak mempersenjatai pasukan itu. Relief-relief Mesir 


tentang para penyerbu itu menampilkan seluruh pasukan bertopi jambul 


dengan gaya Kreta.5


Para penyerbu itu bersama-sama memiliki kekuatan yang menakutkan. 


”Tidak ada yang dapat bertahan di depan tangan mereka,” tulis Rameses III, 


”..... dan mereka datang dengan membawa api, yang siap di depan mereka, 


menuju Mesir.” 6


 Dan mungkin berita yang paling mengkhawatirkan datang 


dari mata-mata yang memberitahukan Rameses III bahwa armada pasukan 


yang bergerak maju menuju Mesir itu diikuti oleh gerobak sapi yang penuh 


anak-anak dan wanita. Suku-suku itu tidak ingin menyerang dan menjarah 


Mesir. Mereka ingin masuk ke Mesir dan mengambil alih.7 


Pasukan Mesir bergerak maju untuk menghadang penyerbu di perbatasan, 


dan memenangkan pertempuran pertama. Relief-relief yang diukirkan pada 


tembok-tembok kuil makam Rameses III mengakui jasa pharaoh yang telah 


memperoleh kemenangan besar. Dalam ukiran itu, pasukan perang Mesir 


yang bergembira dikelilingi timbunan tangan; tentara memiliki  kebiasaan untuk memotong tangan kanan mayat dan membawanya kepada juru tulis, 


sehingga jumlah korban di pihak musuh dapat dihitung dan dicatat secara 


tepat.*∗


 


Namun bahaya yang lebih besar, mengingat ketidaksenangan orang Mesir 


pada ”Bentangan Hijau Besar”, masih akan datang: serbuan dari laut. 


Gelombang kedua serangan itu dipimpin oleh para pelaut yang berpengalaman di dalam aliansi itu, yang mungkin datang dari Aegea. Keterampilan 


mereka di laut begitu besar, sehingga orang Mesir, yang tidak memiliki  


pengalaman di laut dan tidak memiliki  kapal perang, mengenal seluruh 


aliansi itu dengan nama ”Bangsa Laut”.


Lukisan-lukisan Mesir tentang pertempuran itu menampilkan Bangsa 


Laut di atas kapal yang sangat berbeda dengan perahu dayung Mesir, yang dirancang untuk digunakan di sungai. Kapal-kapal itu yaitu  kapal layar, yang digerakkan dengan angin, dengan haluan berhiaskan kepala burung.8 Karena 


mengetahui bahwa orang Mesir tidak akan mampu menghadapi pelaut-pelaut 


berpengalaman yang mengawaki kapal-kapal itu secara seimbang, Rameses III 


memenuhi perahu-perahu sungainya dengan tentara sampai ”diawaki penuh 


dari haluan sampai buritan dengan prajurit yang gagah berani, ”dan menutup 


jalan-jalan masuk ke pelabuhan di Delta dengan perahu-perahu itu, ”bagaikan sebuah tembok yang kokoh”. lalu  ia menjajarkan tentara daratnya 


di sepanjang tebing dengan perintah untuk menghujani kapal musuh yang 


datang dengan panah dan tombak. ”Sebuah tembok baja di pantai mengepung mereka,” tulisnya dengan bangga. 


Strateginya membuahkan hasil. Tentara Bangsa Laut kalang kabut dengan 


jumlah besar prajurit yang menghadapi mereka. ”Mereka diseret, dijungkirbalikkan, dan dilemparkan hingga terkapar di pantai,” demikian bunyi akhir 


inskripsi, ”lalu  dibantai dan ditimbun di kapal perang mereka dari 


haluan sampai buritannya.” 9 Lukisan-lukisan di kuil menampilkan barisan 


tawanan perang, dengan kaki dirantai, berbaris di depan Rameses III yang 


jaya. Ancaman terbesar sesudah  Kadesh telah diredam.


G  yang melintasi seluruh Mesir, yang untuk sementara diturap 


dengan relief-relief kemenangan dan proyek-proyak pembangunan, masih 


mungkin membengkah setiap saat. Rameses III memegang tahta dengan hak 


yang diperoleh dari kudeta ayahnya, dan ia tidak kebal terhadap intrik kekuasaan.


Menjelang akhir masa pemerintahannya, salah seorang dari selirnya merancang komplotan untuk membunuh raja dengan kekerasan massa. Para 


juru tulis yang mencatat hal ihwal selama masa pemerintahan pengganti 


Rameses III mengatakan bahwa selir itu melancarkan suatu kampanye untuk 


”memprovokasi rakyat dan membangkitkan kebencian, agar memberontak 


melawan tuan mereka.”10 Tampaknya ia berharap bahwa pemberontakan 


massa itu tidak hanya akan menumbangkan Rameses III, tetapi juga putra 


mahkota yang telah dipilih—anak Rameses III dari seorang istri lain—sehingga anaknya sendiri dapat menjadi raja.


Persekongkolan harem untuk membunuh pharaoh sering terjadi, tetapi 


yang satu ini tergolong istimewa mengingat jumlah orang yang terlibat di 


dalamnya. Catatan istana mendaftar, di antara yang ikut memberontak yaitu  


dua orang pembawa panji-panji istana, jagal, dan kepala juru tulis kerajaan. 


Pengawas kawanan ternak dituduh membuat patung raja dari lilin, tampaknya 


untuk digunakan dalam suatu upacara voodoo gaya Mesir;11 kepala pelayan ditahan karena menyebarkan pertikaian. Persekongkolan itu tampaknya meluas 


sampai ke Nubia: ”Benemwese, mantan kepala pemanah di Nubia..... ditang kap karena surat yang diterima dari saudara perempuannya, anggota harem, 


yang bunyinya, ’Hasutlah rakyat untuk memberontak!’ ” 12


 Catatan mengenai tuduhan persekongkolan itu telah diakhiri dengan rumusan yang tetap, entah itu ”Ia bunuh diri” atau ”Eksekusi hukuman mati 


untuknya”. Kecuali, ada tiga orang yang hanya dipotong hidung dan kupingnya, dan satu orang yang divonis bebas: seorang pembawa panji-panji 


bernama Hori, yang penuh keheranan selama hidupnya, karena hanya dia 


yang berhasil lolos dari pembersihan itu.13


Pada saat pengadilan yang berlarut-larut itu selesai, sasaran yang dituju 


sudah keluar dari pentas. Rameses III sendiri telah meninggal karena usia 


lanjut.


Selama lebih dari delapan puluh tahun berikutnya, delapan raja bernama 


Rameses memerintah; kebanyakan dari mereka tidak meninggalkan berita dan 


menghadapi kekacauan, sehingga yang tersisa hanyalah potongan-potongan 


catatan dan inskripsi. Mesir masih tetap menguasai wilayah Nubia, tetapi wilayahnya yang lain satu demi satu lepas. Pertambangan di kawasan Sinai tidak aktif 


lagi. Pada akhirnya tambang-tambang emas di Nubia ditinggalkan oleh para 


pekerjanya juga. Pada tahun 1140-an, Mesir bahkan tidak lagi berusaha mempertahankan wilayah kekuasaannya di daerah Semit Barat; benteng perbatasan 


terdepan terletak tak jauh di sebelah Timur Delta.14 Makam-makam di Lembah 


Raja-Raja bukan hanya diungkap, tetapi dirampok oleh pencuri. Orang-orang 


Libia yang berada di dekat Delta mulai menyerang orang Mesir yang menyasar 


ke dekat perbatasan Barat. Seorang pejabat istana bernama Wenamun, saat  


berusaha melakukan perjalanan dengan menyisir pantai untuk menegosiasikan 


harga balok kayu aras di Biblos, diserang dengan tiba-tiba dan uangnya dirampok; para pencuri tidak lagi takut akan pembalasan orang Mesir. Wenamun 


akhirnya tiba di Biblos, tetapi misinya gagal. Raja Biblos tidak bersedia menerima surat kredit Mesir, yang tidak ada lagi nilainya di daerah Utara. ”Aku 


bukan hambamu,” katanya kepada Wenamun, ” juga bukan hamba orang yang 


mengutusmu. Balok-balok itu akan tetap tinggal di pantai.”15


 


Sementara itu, para pendeta dari Amun bertambah kaya. Penahtaan 


kembali Amun sebagai kepala dewa di bawah pemerintahan Tutankhamun 


mengakibatkan pharaoh demi pharaoh memberikan persembahan yang melimpah kepada Kuil Amun. Rameses III memberikan Amun begitu banyak 


tanah, sehingga saat  ia meninggal, para imam Amun menguasai hampir 


sepertiga dari ladang panenan di Mesir.


Penunjukan perwira-perwira militer sebagai imam oleh Horemheb—untuk 


menjaga loyalitas para imam kepada raja—pada akhirnya menjadi bumerang. 


Sekitar tahun kedua belas masa pemerintahan Rameses XI, seorang jenderal bernama Herihor berhasil membuat dirinya ditunjuk sebagai Imam Besar  


Amun. Kini ia menguasai tidak hanya angkatan perang, tetapi juga perbendaharaan harta terbesar di Mesir. saat  ia mulai menuntut macam-macam, 


Rameses XI tampaknya menyetujuinya tanpa melawan. Kurang dari lima 


tahun lalu , Herihor menjadi Wali Raja untuk daerah Kush; tak lama 


lalu , ia mulai menggelari dirinya Wazir Mesir; dan sepuluh tahun sesudahnya, namanya mulai muncul sebagai penguasa-pendamping untuk seluruh 


negara. Gambarnya diukirkan pada tembok kuil di samping gambar Rameses 


XI, dengan ukuran yang sama dan kekuasaan yang sama.16


 


 saat  kedua orang itu meninggal dalam selang waktu lima tahun, tanpa 


meninggalkan keturunan laki-laki dan ahli waris, menantu-menantu mereka 


menggelar perang saudara. Menantu Rameses XI menahtakan diri di Utara, 


sedangkan menantu Herihor mengklaim menerima hak dari para dewa untuk 


memerintah bagian Selatan di kota Thebes.


Kali ini tidak tampak adanya pemersatu besar di cakrawala Mesir. Kerajaan 


Baru telah berakhir. Mesir tetap terpecah-pecah, dan akan segera tenggelam 


ke dalam keruwetan dan peperangan: Periode Menengah Ketiga.


G A R I S WA K T U 3 9


 MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL MESIR


   


 Muwatalli Dinasti 19 (1293-1185)


 Shalmaneser I Hattusilis III Rameses II (sek.1278-1212)


 


 Tukulti- Tudhaliya IV 


 Ninurta


 Kashtiliash IV Merneptah (1212-1202)


 Assur-nadin-apli Dinasti 20 (1185-1070)


 Dinasti kedua Isin Setnakhte (sek.1185-1182)


 Rameses III (sek.1182-1151)


 Serbuan Bangsa Laut


 Rameses IV-XI


 Herihor (sek.1080-1074)


 Periode Menengah Ketiga (1070-664)




S     , kapalkapal Mycenas berlayar dengan tersendat-sendat atau ditiup angin kembali 


ke daratan Yunani, dan di sana mereka menemukan bahwa rumah tangga 


mereka telah menjadi miskin dan bermasalah. Odysseus berperang selama 


sepuluh tahun, dan sesudah  pulang ia menemukan rumahnya dikuasai oleh 


musuh-musuhnya; Agamemnon kembali kepada istrinya dan dibunuh di 


kamar mandi oleh istri dan kekasih istrinya.


Ini hanyalah tanda-tanda awal dari bencana yang akan datang.


Sekitar tahun 1200 SM, serangkaian kebakaran melahap seluruh semenanjung. Sparta, kota di Mycenas, terbakar habis. Kota Mycenas sendiri 


memerangi musuh yang tak dikenal; bentengnya selamat, meskipun rusak, 


tetapi rumah-rumah di luar tembok habis menjadi abu dan tak pernah dibangun lagi.1


 Kota Pylos disapu api. Sejumlah kota lainnya hancur akibat 


suatu gangguan lain. 


Arkeologi mengisyaratkan bahwa kota-kota itu lalu  diduduki oleh 


sebuah bangsa baru, yang tidak memiliki pengetahuan menulis (tidak ada 


satu pun yang ditemukan dalam peninggalannya), tidak memiliki keterampilan membangun dengan batu dan bata, dan tidak memiliki kiat mengolah 


perunggu.2 Para penghuni baru itu datang dari bagian Utara semenanjung 


itu, dan kini berpindah ke Selatan. Para sejarawan dari masa selanjutnya menyebut mereka orang Doria.


Baik Thucydides maupun Herodotus menyatakan bahwa orang Doria 


merebut kota-kota Mycenas dengan kekerasan bersenjata besar-besaran. 


Herodotus menceritakan tentang empat penyerbuan orang Doria ke Attica 


(daerah di sekitar Athena), yang pertama berlangsung pada masa ”Codrus 


menjadi raja Athena”3


 Penulis Yunani dari masa berikutnya, Konon, menyimpan cerita tradisional dari serbuan yang paling awal: Seorang peramal di markas Doria memberitahukan kepada para penyerbu yang ganas itu 


bahwa mereka akan memenangkan 


pertempuran melawan Athena, asalkan mereka tidak membunuh raja 


Athena, Codrus. saat  Codrus 


mendengar hal itu, ia menyamar 


sebagai seorang Athena biasa, meninggalkan kota, dan pergi ke 


markas Doria, di mana ia bertengkar 


dengan tentara-tentara Doria yang 


bersenjata. Dalam perkelahian selanjutnya, ia terbunuh, dan dengan 


itu ia memenuhi ramalan tadi serta 


menyelamatkan kotanya.4


Orang Doria, karena takjub akan 


kebangsawanan yang sedemikian itu, 


mengakhiri pendudukan Athena, 


tetapi mundur hanya untuk sementara waktu. saat  invasi berakhir, 


tutur Thucydides, orang Doria 


telah menjadi ”penguasa Peloponnisos” (bagian paling Selatan semenanjung 


Yunani).5


Baik Thucydides maupun Herodotus menulis tentang suatu serbuan 


penuh kekerasan yang menyebar ke seluruh daerah para pahlawan Yunani 


dan menghancurkannya. Seperti halnya para sejarawan Mesir yang mencatat penyerbuan orang Hyksos, mereka pun tidak dapat menemukan sebab 


apa pun mengapa leluhur-leluhur mereka yang besar harus dikalahkan, kecuali dengan keperkasaan militer yang benar-benar mengunggulinya. Tetapi, 


reruntuhan kota-kota Mycenas menuturkan suatu cerita yang berlainan. Pylos 


dan Mycenas terbakar dengan selang waktu hampir sembilan puluh tahun; 


itu berarti bahwa masuknya orang Doria sendiri menyebar dengan perlahanlahan ke seluruh semenanjung dalam kurun waktu satu abad. Itu hampir 


bukan suatu serangan tiba-tiba; orang Yunani Mycenas memiliki banyak 


waktu untuk mengatur suatu perlawanan.


Namun, pertahanan semacam apa pun yang dibangun oleh prajuritprajurit yang berpengalaman itu akan terlalu lemah untuk melindungi 


mereka—bahkan melawan pendatang baru Doria sekalipun, yang tidak memiliki kecanggihan maupun pengalaman berperang. Bahkan di beberapa 


kota tidak terdapat bukti peperangan sama sekali. Kisah tentang perlawanan orang Athena (di antara kota-kota Mycenas, hanya kota Athena yang bisa 


berbangga karena mampu menghalau para penyerbu) mungkin menyimpan 


suatu kenyataan yang sedikit berbeda: tak seorang pun menyerang Athena. 


Penggalian di kota Athena menunjukkan bahwa tidak ada lapisan penghancuran maupun bekas api.6


 


Meski demikian, penduduk Athena menyusut secara drastis. Pada tahun 


1100 SM, satu setengah abad sesudah perang melawan Troya, sisi Timur 


laut akropolis Athena (bukit cadas tinggi di pusat kota, titik kota yang paling aman dan mudah dipertahankan) telah ditinggalkan oleh penduduknya 


dengan damai. Kota Sparta yang dibakar oleh orang Doria sudah kosong; 


penghuninya telah pergi dari sana beberapa tahun sebelumnya.7


 Orang-orang 


dari Utara itu membanjir ke daerah Selatan yang telah menjadi lemah dan tak 


teratur dengan baik.


Perang melawan Troya tentu memiliki kaitan dengan kemunduran perlahan kota-kota Mycenas, sesuatu yang diberi catatan oleh Thucydides sendiri: 


”kembalinya orang-orang Hellena yang terlambat dari Troya,” katanya, telah 


memicu konflik yang begitu keras sehingga banyak orang Mycenas yang 


terdesak dari kota mereka sendiri. Namun tentu terdapat faktor lain yang 


mempengaruhi. Cuaca buruk yang berlangsung selama dua atau tiga tahun 


berturut-turut, menurunnya hasil panen tepat pada waktu sumber-sumber 


gandum lama yang handal dari Mesir dan Asia Kecil juga dikacaukan oleh peperangan di kedua tempat itu, tentu telah memaksa kota-kota Mycenas untuk 


bersaing guna mendapatkan makanan; kelaparan dapat menyulut perang 


antarkota dan mendesak penduduk kota ke pengasingan. Dan pada kenyataannya lingkar kayu ek Irlandia dan beberapa kayu di Asia Kecil menunjukkan 


tanda-tanda terjadinya kekeringan suatu saat  pada tahun 1150-an.8 


Suatu musuh lain yang lebih menakutkan mungkin telah melanda orang 


Mycenas.


Dalam adegan-adegan pembukaan Iliades, imam kota Troya, Chryses, 


memohon dewa Apollo untuk mengirimkan penyakit kepada para penyerang, orang Yunani, sebagai silih atas penculikan puteri Chryses oleh ksatria 


Yunani, Agamemnon. Apollo mengabulkan doanya dan meluncurkan panah 


berpenyakit ke kapal-kapal musuh. Akibatnya sungguh mematikan:


 Ia membuat angin wabah yang membahang 


berkecamuk di antara bala tentara: pangkat tinggi dan anak buah 


sakit dan mati akibat kejahatan yang dilakukan komandan mereka. 9


 


Mungkin sekali orang Mycenas yang membangun kemah di pantai diserang


wabah, dan penyakitnya mungkin yaitu  pes. Orang Troya tidak mengerti, seperti bangsa-bangsa kuno lainnya, bagaimana penyakit pes mewabah. Tetapi mereka mengetahui bahwa penyakit itu 


ada kaitannya dengan binatang pengerat. Dewa Apollo yang menebarkan 


penyakit dihormati di Troya dengan nama khas Asia Kecil: ia disebut Apollo 


Sminthian, ”Tuan dari Tikus.”10 Iliades juga menuturkan bahwa panah Apollo 


Sminthian tidak hanya menimpa manusia, tetapi juga kuda dan anjing; penyebaran penyakit melalui populasi binatang itu merupakan suatu unsur yang 


muncul terus menerus dalam cerita-cerita kuno tentang wabah sampar. (”Pes 


ini mengamuk tidak hanya di antara binatang piaraan, tetapi bahkan juga 


di antara binatang buas,” tulis Gregorius dari Tours, seribu lima ratus tahun 


lalu ).11


Para pahlawan Mycenas, saat  pulang, kemungkinan juga membawa kematian bersama mereka. Sebuah kapal berisi penumpang yang tidak terserang 


pes, dan tengah merapat di suatu pantai yang tidak terinfeksi, masih mungkin 


membawa tikus pembawa penyakit itu. Pada kenyataannya, penyakit pes cenderung menyusul bencana kelaparan; pengapalan gandum dari satu tempat 


ke tempat lain di dunia membawa tikus dari satu kota ke kota lainnya, dan 


menyebarkan penyakit ke daerah-daerah yang sedemikian jauh yang tidak 


mungkin terjadi karena penyebab lain.


Wabah, kekeringan, dan perang: itu semua cukup untuk mengguncangkan keseimbangan suatu peradaban, yang dibangun di tempat-tempat kering 


bercadas, di ujung tanduk kehidupan. saat  kehidupan menjadi sulit, orang 


yang tubuhnya kuat akan memutuskan untuk pindah. Demikianlah, bukan 


hanya orang Mycenas, tetapi juga orang Kreta dan penduduk kepulauan 


Aegea yang keluar dari tanah air mereka dalam kelompok-kelompok kecil, 


guna mencari tempat tinggal baru dan menawarkan diri mereka sebagai tentara bayaran. Kita tidak mungkin mengetahui berapa banyak dari Bangsa Laut 


yang berperang melawan Mesir itu yang menjadi tentara bayaran. Tetapi, cerita-cerita Mesir menuturkan, bahwa beberapa tahun menjelang serbuan Bangsa 


Laut, pharaoh telah menyewa pasukan-pasukan dari Aegea untuk berperang 


bagi Mesir melawan orang Libia di gurun di sebelah Barat. Pada pertengahan 


abad kesebelas, orang Doria, bukan orang Mycenas, yaitu  penguasa daerah 


Selatan; dan tentara Mycenas tersedia untuk penawar tertinggi.


Orang Doria yang menetap itu tidak memiliki  raja dan istana, pajak dan 


upeti, serta perdagangan laut dengan pihak asing. Mereka bertani, bertahan 


hidup, dan tidak memiliki keperluan untuk menulis sesuatu. Pendudukan 


mereka menenggelamkan semenanjung Yunani pulau ke dalam apa yang kita 


sebut sebagai abad kegelapan: kita tidak dapat mengintip cukup jauh ke dalamnya karena tidak ada catatan tertulis.G A R I S WA K T U 4 0


MESIRSEMENANJUNG YUNANI


 Dinasti 19 (1293-1185)


 Rameses II (sek.1278-1212) 


 Serangan Mycenas ke Troya VIIa (sek.1260)


 Merneptah (1212-1202) 


 Masuknya orang Doria dari Utara


 Dinasti 20 (1185-1070) 


 Setnake (sek. 1184-1182) Beginning of Greek Dark Age


 Rameses III (sek.1182-1151) 


 


 Serbuan Bangsa Laut


 Rameses IV-XI 


 Herihor (sek.1080-1074) 


 Periode Menengah Ketiga (1070-664)







S  my meninggalkan kota-kota mereka dan orang 


Doria menyusup masuk, gangguan kendala tengah merebak ke Timur, melewati Troya (yang sudah dibangun kembali dalam kondisi kumuh, dihuni 


kembali, dan bagaikan hantu dari kejayaannya di masa lalu) dan lebih jauh 


lagi ke Timur, ke daerah-daerah yang masih dikuasai oleh orang Hitti.


Pada waktu itu kekaisaran Hitti tidak lebih dari sebuah negara bayangan. 


Kemiskinan, kelaparan, dan keresahan yang meluas dari masa pemerintahan 


Tudhaliya IV telah menggerogoti tepi-tepi luarnya, dan perebutan tahta terus 


berlangsung. saat  orang Mycenas tengah merosot, putra termuda Tudhaliya 


IV merebut mahkota dari kakaknya dan mengklaim seluruh negara sebagai 


miliknya. Ia mengambil nama Suppiluliuma II, dalam usaha untuk menghadirkan kembali pembangun kekaisaran Hitti yang agung dari masa satu 


setengah abad sebelumnya.


Inskripsi-inskripsi Suppiluliuma II menyombongkan kemenangannya atas 


Bangsa Laut. Ia melancarkan sejumlah perang kapal di lepas pantai Asia Kecil, 


dengan menghalau pengungsi dan tentara bayaran dari Mycenas, dan selama 


beberapa waktu mampu mempertahankan pantai Selatan bebas dari invasi. 


Tetapi ia tidak dapat mewujudkan kembali masa keemasan kekuasaan Hitti, 


saat  raja yang namanya ia pakai dahulu bahkan hampir berhasil mendudukkan seorang putranya di tahta Mesir.


Bangsa-bangsa pengembara yang sama, yang bergerak ke Mesir—bangsabangsa yang mengungsi karena kelaparan, penyakit pes, kelebihan penduduk, 


atau peperangan di negaranya—juga terus masuk ke Asia Kecil. Sebagian datang dari arah kota Troya, menyeberang Laut Aegea dan masuk ke wilayah 


Hitti. Yang lain datang dari laut; Siprus, pulau di sebelah Selatan pantai Hitti, tampaknya merupakan tempat singgah bagi mereka. ”Kapal-kapal dari Siprus 


berjajar sebanyak tiga kali untuk menggelar pertempuran di tengah laut 


melawanku,” tulis Suppiluliuma. ”Aku menghancurkan mereka, menahan 


kapal-kapal itu, dan di tengah laut semuanya kubakar. ... [Namun] musuh 


dalam jumlah besar datang melawanku dari Siprus,”1


 Musuh lainnya menyeberangi Selat Bosforus yang sempit, dari daerah sebelah Utara semenanjung 


Yunani yang disebut Thracia; suku-suku itu dikenal sebagai orang Phrygia.


Jumlah musuh terlalu besar bagi mereka, dan bala tentara Hitti terlalu 


kecil. Para pendatang baru bergerak menembus pasukan Suppiluliuma, memorakporandakan pertahanannya dan masuk ke jantung kerajaannya. Ibu 


kota Hattusas dibakar habis; penduduknya melarikan diri; istana kerajaan 


hancur lebur bagaikan abu. 


Bahasa Hitti masih bertahan di beberapa kota yang terpisah-pisah di sekitar pinggir Selatan kekaisaran lama itu; Karkhemish yaitu  kota yang paling 


besar. Di pos-pos luar terakhir Hitti itu dewa-dewa Hitti masih bertahan 


hidup. Tetapi kerajaan yang sebelumnya memuja mereka telah tiada.


K  peradaban berlarut di kawasan sabit Barat—peradaban 


orang Hitti, orang Mycenas, dan orang Mesir—bertepatan waktunya dengan

merebaknya kekuasaan secara mendadak di sebelah Timur. Selama beberapa 


tahun, sementara orang pengembara dan Bangsa Laut menyerbu daerah Barat, 


Assiria dan Babilon bersinar.


Di Assiria, raja Tiglath-Pileser diangkat menjadi raja tak lama sesudah  


penjarahan Hattusas. Kakek buyutnya, kakeknya, lalu  ayahnya, berturut-turut telah memerintah daerah pusat Assiria—sebuah segitiga terbalik, 


dengan kota Assur pada titik dasarnya, yang membentang sampai melewati 


kota Erbila di sebelah Barat dan Nineweh di sebelah Timur. Itu yaitu  suatu 


wilayah kecil yang menyenangkan, subur, dan gampang dipertahankan, dan 


merupakan tanah yang paling kaya akan jagung di seluruh Mesopotamia. 


Ketiga raja itu semua merasa puas dengan kekuasaan, pertahanan, dan penjagaan keamanannya. 


Tiglath-Pileser menginginkan lebih dari itu. Ia yaitu  raja pertama yang 


gemar berperang sejak Shalmaneser, delapan generasi dan seratusan tahun 


sebelumnya. Ia menghadapi para penyerbu dan memanfaatkan serangan mereka untuk merebut daerah baru untuk dirinya sendiri. Dan selama satu masa 


yang singkat—kurang lebih empat puluh tahun—Assiria memperoleh kembali sesuatu yang serupa dengan kegemilangan-nya dahulu. 


Orang Phrygia, yang telah melanda seluruh wilayah Hitti, bergerak mendekati Assiria di sebelah Barat laut. Dalam salah satu kemenangan awalnya, 


Tiglath-Pileser memukul mereka keluar. Inskripsi-inskripsinya berisikan kesombongan bahwa ia telah mengalahkan sebuah bala tentara berkekuatan dua 


puluh ribu orang Phrygia (yang ia sebut ”Mushki”) di lembah sebelah Utara 


sungai Tigris. ”Aku membuat darah mereka mengalir ke jurang dan turun 


dengan deras dari puncak pegunungan,” jelasnya.”Aku memenggal kepala 


mereka dan menimbunnya seperti onggokan gandum.” 2


lalu  ia meneruskan pertempurannya ke Barat laut, menuju langsung 


ke depan gelombang serangan yang mendekatinya. ”[Aku berangkat ke] 


daerah raja-raja yang jauh, yang terletak di pantai Laut Atas, yang tak pernah 


mengalami kekalahan,” tulisnya dalam tarikh tahunannya. ”Aku membawa 


keretaku beserta prajuritku dan mendaki gunung yang terjal, dan melalui 


jalan-jalan kecil mereka yang melelahkan aku membuka jalan dengan 


kampak beliung perungguku supaya bisa dilewati kereta dan pasukanku. 


Aku menyeberang Tigris ... aku memorakporandakan prajurit musuh ... dan 


membuat darah mereka mengalir.”3


 


Selama tiga puluh delapan tahun Tiglath-Pileser berperang. Kota-kota 


yang kian bertambah, yang dikalahkan oleh raja, mengirimkan pajak dan pekerja ke istana Assiria dan menderita di bawah tekanan gubernur-gubernur 


Assiria.4


 Satu di antaranya yaitu  kota Karkhemish; Tiglath-Pileser telah 


merebutnya (menurut inskripsinya sendiri, sekurang-kurangnya) ”dalam satu

hari.” 5 Kota-kota lain menyerah tanpa berperang, dan raja mereka menyambut kedatangan Tiglath-Pileser dengan cara keluar dari istana dan merebahkan 


diri untuk mencium kakinya.6 Tiglath-Pileser sendiri pergi sampai ke pantai 


Laut Tengah, di mana ia pergi berburu lumba-lumba dengan perahu yang 


didayung oleh anak buahnya.7 Pharaoh Mesir—salah seorang dari kedelapan 


Rameses—mengirim buaya kepadanya sebagai hadiah, yang dibawa pulang 


oleh Tiglath-Pileser untuk menambah isi suaka hewan buruannya di Assur.8 


Ia membangun tempat-tempat pemujaan, benteng, dan kuil, semua itu untuk 


menyatakan bahwa akhirnya Assiria memiliki  seorang raja besar lagi.


Nun di sebelah Selatan Assiria, Babilon juga mengalami bangkitnya 


seorang raja besar. 


Babilon dan daerah sekitarnya telah diperintah oleh raja-raja tak bernama sejak Burnaburiash, yang pernah menjalin hubungan dengan raja 


Tutankhamun, dua ratus tahun sebelumnya. Dalam waktu tiga atau empat 


tahun sejak kenaikan Tiglath–Pileser ke tahta Assur, garis keturunan Dinasti 


Kedua Isin yang tidak menonjol itu melahirkan suatu perkecualian genetika 


bernama Nebukhadnezzar.*∗


Sementara Tiglath-Pileser berperang ke Barat dan ke Utara, Nebukhadnezzar 


berpaling ke Timur. Bagaimana pun patung dewa Marduk masih berada di 


tangan orang Elam di Susa; sejak patung itu direbut, seratus tahun sebelumnya, tidak ada raja Babilon yang terbukti cukup kuat untuk merebutnya 


kembali.**†


Invasi pertama Nebukhadnezzar ke Elam dihadang sebuah tembok pasukan Elam. Ia memerintahkan pasukannya untuk mundur, dan membuat 


rencana yang cerdik untuk serangan kedua. Ia akan mengirimkan prajuritnya ke Elam pada puncak musim panas, saat  tak seorang komandan pun 


yang waras akan memaksa pasukannya bergerak kemana pun juga. Pasukan 


Babilon, setibanya di perbatasan Elam, menyergap pengawal perbatasan dan 


memasuki kota Susa sebelum seorang pun sempat membunyikan tanda bahaya. Mereka menyerbu kota, mendobrak pintu kuil, menculik patung dewa 


Marduk, dan bergerak kembali ke Babilon dalam kemenangan.


Alih-alih mencari imam dewa Marduk untuk mengakui kesalahan 


mereka terhadap dewa Marduk, Nebukhadnezzar menyewa juru tulis untuk 


menggubah cerita tentang penyelamatan itu, demikian juga madah-madah 


untuk menghormati Marduk. Cerita, nyanyian, dan persembahan mengalir

dari istana kerajaan ke Kuil Marduk, sampai dewa itu bertahta di puncak 


panteon Babilon; pada masa pemerintahan Nebukhadnezzar I itulah dewa 


Marduk menjadi dewa utama orang Babilon.9


 Dan dengan suatu argumen 


klasik, Nebukhadnezzar memberikan alasan bahwa, karena ia berhasil 


menyelamatkan dewa utama Babilon, maka dewa Babilon itu memberikan 


karunia ilahi kepadanya. Awal Dinasti Kedua yang tidak istimewa sudah 


terlupakan; Nebukhadnezzar telah memiliki hak yang diberikan oleh dewa 


untuk memerintah Babilon.


D   raja perkasa itu Babilonia dan Assiria kurang lebih seimbang 


dalam hal kekuatan. Perselisihan perbatasan sesekali meletus menjadi perang. 


Sejumlah kota garis depan Assiria diserang oleh tentara Babilon dan TiglathPileser menuntut balas dengan mengirim pasukan ke Babilon dan membakar 


istana raja.10 Hal ini kedengarannya lebih serius daripada kenyataannya. 


Babilon letaknya begitu dekat dengan perbatasan Assiria sehingga sebagian 


besar kantor pemerintahannya telah dipindahkan ke tempat lain. Kota itu 


yaitu  tempat yang disucikan, tetapi tidak lagi menjadi pusat kekuasaan. Dan 


Tiglath-Pileser, sesudah  tujuannya terpenuhi, pulang ke negaranya dan tidak 


lagi mengusik Babilon. Ia tidak bermaksud menyulut suatu perang besarbesaran. Kedua kerajaan seimbang kekuatannya, dan terdapat ancaman yang 


lebih serius yang harus mereka hadapi.


Gerakan bangsa-bangsa dari Utara dan Barat belum berhenti. TiglathPileser terus-menerus bertempur di perbatasan melawan para pengembara 


yang mengalir itu, yang dengan cepat meluas seperti suku Amori, hampir 


seribu tahun sebelumnya. Orang-orang itu yaitu  orang Semit Barat yang 


telah mendiami bagian Barat laut daerah Semit Barat sebelum mereka terdesak oleh gelombang masuknya orang-orang dari daerah yang lebih jauh 


ke Barat. Orang Assiria menyebut mereka orang Aram, dan menurut cerita 


Tiglath-Pileser sendiri, ia melakukan sekitar dua puluh delapan serangan ke 


Barat, semuanya ditujukan untuk memukul balik invasi orang Aram itu. 


Baik Babilon maupun Assiria pun tidak kebal terhadap kelaparan dan 


kekeringan, kegagalan panen dan wabah penyakit pes yang menyerang 


daerah-daerah lain di dunia telah yang dikenal. Catatan istana melukiskan 


bahwa tahun-tahun terakhir pemerintahan Tiglath-Pileser diwarnai dengan 


keputusasaan dan kelaparan, waktu saat  rakyat Assiria sudah menyebar ke 


berbagai pegunungan di sekitarnya untuk mencari makanan.11


Babilon juga menghadapi keadaan yang sulit, dan penderitaan di kota 


bertambah parah saat  masa pemerintahan Nebukhadnezzar selama dua 


puluh tahun mendekati akhirnya. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi kota 


itu dilukiskan dalam Epik Erra, sebuah puisi panjang di mana dewa Marduk


mengeluh karena patungnya tidak dikilapkan, kuilnya tidak dipugar, tetapi ia 


tidak dapat meninggalkan Babilon cukup lama untuk membereskan hal itu, 


sebab setiap kali meninggalkan kota, terjadilah sesuatu yang mengerikan pada 


kota itu. Sesuatu mengerikan yang sedang dihadapi saat itu yaitu  ulah jahat 


dewa lain, Erra, yang membayangi kota; dari sifatnya sendiri dewa ini selalu 


menyengsarakan kota itu: ”Aku akan menghancurkan daerah ini dan menganggapnya reruntuhan,” katanya. ”Aku akan membabat binatang ternak, aku 


akan merobohkan orang-orangnya.” Babilon sendiri, yang meringkuk digulung angin, telah menjadi seperti suatu ”kebun buah-buahan rimbun yang 


berlimpah” yang buahnya telah layu sebelum masak. ”Celakalah Babilon,” 


kata Marduk yang berkabung,” aku telah menanaminya dengan benih seperti 


bungkul pinus, tetapi kelimpahannya tak pernah menghasilkan panen.” 12


Kekeringan dan kegagalan panen mengisyaratkan kelaparan; jatuhnya manusia dan ternak, kedatangan panah Apollo Sminthian yang terulang kembali. 


Penyakit dan kelaparan tidak mampu sedikit pun memperbaiki pertahanan 


kedua kota itu. Pada waktu putra Tiglath-Pileser menggantikan ayahnya, masalah orang Aram telah menjadi begitu gawat sehingga ia terpaksa menjalin 


perjanjian dengan raja baru Babilon. Kedua kerajaan bersama-sama berharap 


mampu mengalahkan musuh bersama meraka.


Usaha itu gagal. Tak lama sesudah  itu, orang Aram menyerbu dengan ganas 


ke seluruh Assiria, merebut semuanya, kecuali pusat dari kekaisaran itu sendiri. Mereka juga menyerbu Babilon; anak Nebukhadnezzar, raja besar itu, 


kehilangan tahtanya yang direbut oleh seorang Aram.


Orang Aram, seperti halnya orang Doria, tidak menulis. Demikianlah, sementara Mesir jatuh ke dalam kekacauan serta terpecah-pecah, dan kegelapan 


menjalar ke seluruh semenanjung Yunani, kabut serupa itu bergulung dari 


daerah-daerah Hitti lama untuk menyelimuti Mesopotamia. Daerah di antara 


kedua sungai itu memasuki abad kegelapannya sendiri, dan selama sekitar 


seratus tahun tidak ada sejarah yang muncul dari kegelapan itu.

G A R I S WA K T U 4 1


 SEMENANJUNG YUNANI MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL


  


 Shalmaneser I Hattusilis III


 Serangan orang Mycena Ke Troya 


 VIIa (sek.1260) Tukulti- Tudhaliya IV 


 Ninurta


Kastiliash V


Masuknya orang Doria masuk dari Utara Assur-nadin-apli


 Suppiluliuma II


 Awal Abad Kegelapan Yunani Dinasti kedua Isin Hattusas dijarah 


 (sek.1180)


 Nebukhadnezzar I (1125-1104)


 Tiglath-Pileser (1115-1076)


 Ashur-bel-kala (1074-1056)


Pengambilalihan orang Aram





L   , Wu Ting telah menyerahkan tahtanya kepada 


putranya, sesudah  ia memerintah selama enam puluh tahun. Kerajaan Shang 


terus berlangsung, selama beberapa tahun, dari saudara kepada saudara, atau 


dari ayah kepada anaknya, dalam damai. Pusat kekaisaran Shang yaitu  sungai 


Kuning, dan ibu kota Shang masih berada di kota Yin.


Namun, pada waktu kerajaan-kerajaan Mesopotamia mulai runtuh, kerajaan di China juga mengalami krisis. 


Krisisnya sangat berbeda dengan yang dihadapi oleh Nebukhadnezzar I 


atau Tiglath-Pileser. Raja-raja Shang dan rakyatnya tidak berurusan dengan 


invasi—suku-suku asing yang tidak dikenal; musuh kerajaan Shang yaitu  


sepupu-sepupu di antara rakyatnya sendiri.


Tepat di sebelah Barat daerah Shang, tinggallah suku Zhou di seberang 


lembah sungai Wei. Mereka tepatnya tidak menjadi bawahan raja Shang, 


walaupun pemimpinnya—”Tuan dari Barat”—memberikan penghormatan resmi kepada kekuasaam mahkota raja. Bagaimana pun, wilayah mereka 


terletak sejauh hampir enam ratus kilometer dar