udhaliya sendiri mundur ke ibu kotanya, dan melepaskan daerah-daerah
pinggiran kekaisarannya. Keperkasaan militer Hitti memudar dengan cepat.
Dalam sebuah surat yang dikirim kepada salah seorang raja taklukan dari
Ugarit, Tudhaliya mengeluh bahwa kota itu tidak mengirimkan catu jumlah
tentara yang menjadi kewajibannya kepada angkatan perang Hitti; apakah
Ugarit tengah mempersenjatai diri untuk memberontak? Sebuah prasasti
batu lainnya mencatat semua kapal dari kota Karkhemish yang tidak lagi laik
berlayar.12 Daerah-daerah pinggiran kerajaan Tudhaliya mulai terlepas.
Sement Itu, Tukulti-Ninurta pulang ke rumah dan menghadapi masalah
baru di Selatan.
Selama bertahun-tahun Babilon memiliki hubungan yang mendua dengan
Assiria. Masing-masing kota, pada berbagai kesempatan, mengklaim memiliki
hak untuk memerintah kota yang lain. Kota Babilon dan Assur bukan hanya
berimbang dalam hal kekuatan, tetapi merupakan saudara kembar dalam kebudayaan. Keduanya suatu waktu pernah menjadi bagian dari satu kekaisaran,
di bawah Hammurabi, dan cap hakiki Babilon pada seluruh wilayah itu tetap
tampak. Assiria dan Babilon memiliki dewa-dewa yang sama, walaupun ter-
kadang dengan nama yang berbeda; dewa-dewa mereka memiliki kisah yang
sama; dan orang Assiria menggunakan cuneiform Babilon dalam inskripsi dan
tarikh tahunannya.13
Berbagai kemiripan itu membuat raja-raja Assiria pada umumnya enggan
menjarah dan membakar Babilon, bahkan saat mereka memiliki kesempatan untuk melakukannya. Tetapi Tukulti-Ninurta tidak begitu cenderung
menahan diri. Ia sesumbar dalam inskripsi-inskripsinya tentang nasib semua
orang yang menantangnya: ”Aku mengisi gua-gua dan jurang-jurang dengan
mayat mereka,” serunya, ”aku menimbun mayat mereka bertumpuk-tumpuk,
seperti gandum di samping pintu gerbang mereka; kota-kota mereka aku
lantakkan, dan aku buat menjadi bukit-bukit reruntuhan.”14
Karena memperhitungkan kesibukan Tukulti-Ninurta dengan orang Hitti
di Utara, raja Babilon mencoba mencaplok beberapa daerah yang disengketakan di antara perbatasan Assiria dan Babilon. Kita hampir tidak mengetahui
apa pun tentang raja ini, Kashtiliash IV, kecuali bahwa ia tidak pandai menilai orang; Tukulti-Ninurta bergerak dan merampok kuil-kuil Babilon. Dalam
hal itu ia menghancurkan sebuah tradisi lama Assiria yang menghormati
tempat-tempat suci Babilon. Ia bahkan mengangkut patung dewa-dewa,
suatu tindakan yang secara khusus berisiko karena pada umumnya dipahami
bahwa sakrilegi semacam itu akan membuat kesal dewa-dewa Assiria juga. ”Ia
mengambil dewa agung Marduk dari tempat tinggalnya,” tutur kronik Assiria
tentang kemenangan itu, ”dan mengangkutnya ke Assur.”15 Dan ia secara
pribadi menghadapi raja Babilon dalam pertempuran: ”Di tengah pertempuran itu,” demikian dimaklumkan dalam inskripsinya, ”tanganku menangkap
Kashtiliash, aku injak leher raja itu dengan kakiku seperti sebuah alas kaki.
..Sumer dan Akkad yang berada di perbatasan paling jauh, kutaklukkan. Di laut
yang lebih rendah tempat matahari terbit, aku menetapkan batas wilayahku.”16
Ia lalu memaklumkan dirinya sebagai raja Babilon dan sekaligus Assiria.
Untuk kedua kalinya, identitas antara kedua kerajaan itu dilebur menjadi satu.
Tukulti-Ninurta menggelandang Kashtiliash ke Assur dengan ditelanjangi dan dirantai, serta menyerahkan Babilon sendiri kepada seorang gubernur
Assiria. Itu meluaskan perbatasan kekaisaran Assiria dari bagian Utara daerah
Semit Barat sampai ke daerah Selatan Mesopotamia. Tukulti-Ninurta, yang
kini menjadi satu-satunya raja besar di seluruh kawasan itu, mulai menangani
kegiatan yang lazim dilakukan seorang raja yang besar. Ia membangun kuilkuil baru, memperkuat tembok-tombok kota Assur, dan membangun sebuah
kota mini kerajaan baru untuk dirinya sendiri, tak jauh di sebelah Utara kawasan bangunan-bangunan kota Assur; kota mini itu memiliki cadangan air
sendiri, tenaga kerja penjara sendiri, dan dapat diselenggarakan tanpa bantuan persediaan dari ibu kota. Tukulti-Ninurta mengklaim bahwa dewa Assur telah menghendaki agar
ia membangun sebuah kota baru ”di mana tidak terdapat rumah atau pun
tempat tinggal”. Tetapi ketergesaannya untuk menarik diri ke balik tembok
dan menjauhkan diri dari rakyat Assur itu mengisyaratkan adanya gejala
yang tidak baik. Babilon sendiri telah dikejutkan oleh pennjarahan kuil-kuilnya. ”Ia membunuh orang-orang Babilon dengan pedang,” tutur Kronik
Babilon, ”harta kota Babilon ia angkut keluar tanpa hormat, dan ia mengangkut dewa besar Marduk ke Assiria.”17 Perusakan itu pun tidak diterima baik
oleh orang-orang saleh di negerinya sendiri. Kisah epik Assiria yang dipesan
Tukulti-Ninurta untuk merayakan kemenangan atas Babilon memiliki nada
defensif yang begitu nyata; kisah itu secara berlarut-larut menjelaskan bahwa
Tukulti-Ninurta sebenarnya menginginkan perdamaian dengan raja Babilon
dan berusaha sebaik-baiknya untuk tetap bersahabat dengan Kashtiliash;
hanya saja, raja Babilon berkukuh untuk masuk ke wilayah Assiria guna mencuri dan membakar, karena itu, dewa-dewa Babilon meninggalkan kota dan
menyerahkannya kepada Assiria untuk memberikan hukuman.18 Jelaslah
bahwa raja besar itu mendapat tekanan untuk menjelaskan, bukan hanya
mengapa ia menjarah Babilon, tetapi mengapa ia mengambil patung-patung
suci Babilon dan membawanya ke ibu kotanya sendiri.
Penjelasan itu tidak meyakinkan, dan tindakan sakrilegi Tukulti-Ninurta
mengakibatkan kejatuhannya. Kronik Babilon menuturkan, dengan meredam
rasa puasnya, ”Ada pun Tukulti-Ninurta, yang telah melakukan kejahatan terhadap Babilon ... anaknya dan para bangsawan Assiria memberontak, dan
melemparkannya dari tahtanya [dan memenjarakan dia di dalam kompleks
istananya sendiri] .... lalu membunuhnya dengan pedang.”19 Ia memerintah sebagai raja besar selama hampir tiga puluh tujuh tahun.
sesudah kematiannya, anak lelakinya naik tahta. Dalam upaya untuk menebus kesalahan ayahnya, ia mengirim kembali patung Marduk ke Babilon,20
tetapi hal itu tidak mampu meredakan kemarahan orang Babilon. Babilon
memberontak hampir sesaat , gubernur Assiria melarikan diri; dan seorang
bangsawan Kassi lain merebut tahta dan menyatakan kemerdekaan Babilon
dari kekuasaan Assiria.
Dengan terlihatnya kelemahan Assiria itu, orang Elam (yang tidak pernah
benar-benar hilang sebagai ancaman) mulai menusuk ke perbatasan Timur
wilayah Assiria. Mereka menyerbu sampai ke Nippur, dan menggulingkan
raja yang ditunjuk Assiria di kota itu dalam dua kali serangan.22 Mereka juga
menyerbu Babilon dengan jumlah pasukan yang cukup besar untuk berarak di jalan-jalan, naik ke tangga ke kuil, dan merenggut patung Marduk
(lagi), yang lalu mereka angkut ke Susa dalam kemenangan. (Mereka
juga mengambil stele hukum Hammurabi, yang tetap berada di Susa sampai lalu ditemukan oleh para pakar arkeologi beberapa ribu tahun lalu ). Mereka menculik raja Babilon, secara mendadak, dan menggelandangnya
juga. Raja itu tidak lebih penting daripada patung Marduk atau pun hukum
Hammurabi, dan hilang sesaat dari catatan sejarah.
Anak Tukulti-Ninurta, raja Assiria yang sama sekali tidak penting dan bernama Assurnadin-apli, sama sekali tidak berdaya di hadapan keributan itu,
dan berhasil mempertahankan tahtanya hanya selama tiga tahun. Meskipun
tidak banyak yang kita ketahui tentang kematiannya, kematian itu tampaknya terjadi secara tidak wajar; ia digantikan bukan oleh anaknya, tetapi oleh
kemenakannya. Kemenakannya ini mampu mempertahankan tahta selama
enam tahun saja, sebelum kehilangan tahtanya di tangan paman yang lain,
yang sesudah memerintah selama lima tahun juga diturunkan secara paksa
(dan mungkin dibunuh) oleh seorang perebut yang satu-satunya haknya atas
tahta itu yaitu bahwa ia mengklaim dirinya sebagai keturunan jauh dari
paman buyut Tukulti-Ninurta.
Di Babilon pun keadaannya tidak jauh lebih baik. Suatu keluarga lain
dari garis keturunan yang tidak jelas, yang disebut Dinasti Kedua Isin, telah
merebut tahta sesudah orang Elam menyingkirkan raja yang berkuasa; keempat raja pertama yang tidak menonjol naik dan jatuh dalam kurun waktu
lima belas tahun. Ada pun di wilayah orang Hitti, Tudhaliya IV meninggal,
mungkin karena usia tua (hal yang jarang terjadi waktu itu). Anak-anak dan
kemenakan-kemenakannya mempertengkarkan tahta Hitti dan sisa-sisa sebuah kekaisaran yang kecil dan tercabik-cabik.
Bahkan di Mesir pun tahta berada di bawah serangan. Mumi Merneptah
yang telah renta baru saja dikuburkan saat pergantian kekuasaan tibatiba tersendat; anak lelaki dan wali pendamping Merneptah, Seti II, untuk
sementara diturunkan dari tahta oleh seorang saudara tirinya dan baru memperolehnya kembali sesudah tahta itu kosong selama tiga tahun. Ia meninggal
tak lama sesudahnya dan menyerahkan mahkota kepada anak lelakinya, yang
(dinilai dari muminya) menderita polio dan meninggal pada usia muda.
Sesaat itu ibu tiri dari raja yang mati muda itu, Twosret, mencoba merebut
kekuasaan, dan daftar raja-raja meredup ke dalam anarki. Kekacauan itu diperparah oleh pengembara penyerbu yang masuk ke Delta, seperti yang pada
umumnya mereka lakukan saat pertahanan Mesir melemah. ”Tanah Mesir
digulingkan dari luar,” tulis sebuah papirus dari masa sesudahnya, ”dan setiap
orang dilanggar haknya ... tanah Mesir berada di tangan kepala dan penguasa
kota; masing-masing membantai tetangganya.”22 Dinasti Kesembilan Belas
berakhir secara tidak terhormat.
Roda telah berputar melenceng; tak seorang pun yang duduk di atas.
sesudah serang-menyerang selama beberapa dasawarsa, energi yang dicurahkan demi penaklukan telah menguras kerajaan-kerajaan yang terlibat di dalamnya
sampai ludes.
G A R I S WA K T U 3 8
MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL MESIR
Amenhotep III (sek. 1386-1349)
Assur-uballit Akhenaten (sek.1349-1334)
Burnaburiash Kerajaan Tengah
Assiria Tutankhamun (sek.1333-1325)
Ay (sek.1325-1321)
Adad-nirari I Horemheb (sek.1321-1293)
Muwatalli Dinasti 19 (1293-1185)
Shalmaneser I Hattusilis III Rameses II (sek.1278-1212)
Tukulti- Tudhaliya IV
Ninurta
Kashtiliash IV Merneptah (1212-1202)
Assur-nadin-apli
Dinasti kedua Isin
S di tengah ketidaktentuan pada akhir Dinasti Kesembilan
Belas, seorang raja yang sama sekali tidak dikenal yang bernama Setnakhte
naik ke tahta kerajaan Mesir dan memulihan ketertiban. Barangkali ia yaitu cucu Rameses II; semula ia mungkin hanyalah seorang perwira angkatan
perang yang membawahi sejumlah pasukan. Siapa pun dia, ia memimpin serangan terhadap penyerbu asal Asia yang mendesak masuk ke Delta, dan ia
sedemikian berhasil sehingga langkahnya berikutnya yaitu mengklaim mahkota kerajaan.
Papirus yang sama, yang menceritakan keresahan pada akhir Dinasti
Kesembilan Belas (sebuah papirus yang berasal dari masa pemerintahan cucu
Setnakhte) mengakui jasa Setnakhte yang untuk sementara memulihkan
kekacauan yang terjadi di Mesir: bukan hanya mengusir “orang Asia hina”
yang lazim itu, tetapi juga memulihkan hukum dan ketertiban sehingga para
bangsawan daerah tidak lagi berkelahi satu sama lain untuk menguasai daerah, dengan membuka kuil-kuil, yang telah ditutup karena ketakutan atau
kemiskinan, dan dengan mendudukkan kembali para imam pada tugas mereka.1
Dan ia tampaknya telah melakukan semua itu dalam rentang waktu tiga
tahun, lalu ia meninggal dan mewariskan tahta kepada anaknya.
Anaknya mengambil nama Rameses III, guna meneladani pharaoh agung
yang hidup seratus tahun sebelumnya. Ia membangun sebuah kuil pemakaman yang polanya didasarkan atas kuil pemakaman Rameses II; seperti halnya
Rameses II, ia menambahkan sejumlah kuil untuk Amun dan menganugerahkan tanah kepada para imam, dengan harapan untuk meraih nama baik agar
dipilih oleh dewa. ”Engkau, ya Amun, telah mendudukkanku di tahta ayahku,
seperti engkau menempatkan Horus di tahta Osiris,” demikian doa yang dibuat oleh Rameses III dan dituliskan oleh anaknya. ”Maka, aku membuatkan
untukmu sebuah rumah dengan menara batu yang menjulang ke langit; aku membangun sebuah tembok di depannya; aku mengisi perbendaharaannya
dengan emas dan perak, jelai dan gandum; tanah-tanah dan kawanan ternaknya sebanyak pasir di pesisir pantai.”2
Persembahan kepada Amun tidak menangkis datangnya penyerbu. Seperti
Rameses II, Rameses III harus melakukan pertempuran besar melawan para
penyerbu dari Utara. Berbeda dengan Rameses II, ia berperang bukan di provinsi-provinsi daerah Semit Barat, melainkan di perbatsan Mesir sendiri.
R III melihat tanda-tanda awal akan terjadinya kerepotan pada tahun
kelima pemerintahannya, saat suatu migrasi yang mula-mula penuh damai
tiba-tiba berkembang menjadi suatu serangan. Suku-suku Libia, orang Afrika
dari gurun di sebelah Barat, beberapa kali telah mengembara masuk ke Mesir:
mereka pindah dari tanah merah yang kering ke tanah yang hitam. Sejak
bencana kaum Hyksos, tidak ada bangsa asing yang diperbolehkan memiliki
pemerintahan sendiri di dalam wilayah Mesir. saat orang-orang Libia menunjukkan gelagat untuk berhimpun dan mengangkat seorang raja sendiri,
Rameses III mengirim tentaranya untuk masuk ke tengah mereka dan melakukan pembantaian besar-besaran. Dengan tercerai-berai orang-orang Libia
melarikan diri kembali ke gurun, atau dijadikan budak.3
Baru saja ancaman dari Barat
tadi ditanggulangi, suatu ancaman
besar melanda wilayah Timur laut.
Pengusiran “orang-orang Asia”
oleh Setnakhte bersifat sementara.
Daerah Semit Barat merupakan
suatu carut-marut besar yang mendidih, dari Troya sampai ke Assur
lalu Babilon, dengan pemimpin-pemimpin setempat yang
menandaskan kemerdekaannya,
wilayah Hitti yang menciut, Assur
dan Babilon bertengkar, orang
Elam yang merajalela di sepanjang
perbatasan Timur, dan—yang lebih
memperburuk keadaan—meningkatnya migrasi kelompok-kelompok
suku yang masuk dalam arus yang
tetap ke sana dari daerah sebelah
Laut Aegea dan Laut Hitam (daerah
39.I. Serbuan Bangsa Laut yang dewasa ini kita sebut sebagai daratan Eropa Timur). Para pengembara dunia kuno semakin unggul terhadap kerajaan-kerajaan yang terorganisasi: ”Tanah-tanah asing pecah dan
menjadi berkeping-keping dalam pertarungan itu,” tulis Rameses III pada
tembok kuilnya, ”tidak ada negeri yang dapat bertahan di hadapan mereka.
Dengan tangannya mereka merenggut negara-negara seluas seluruh lingkaran
bumi.” 4
Sebagian besar dari ”seluruh bumi”, kebetulan, tengah menderita selama
satu dasawarsa akibat kekeringan, yang datang dan hilang, kekeringan yang
juga mengakibatkan kelaparan yang barangkali mendorong orang Libia masuk
ke Delta. Bagi pengembara yang kehausan, Mesir, yang tanahnya selalu terairi, mulai tampak sebagai permata yang diperebutkan seluruh dunia. Tidak
lama sesudah Rameses III mulai memerintah, suatu aliansi penyerbu bergerak
ke wilayahnya.
Invasi ke Delta bukan barang baru. Tetapi pasukan penyerbu kali ini terdiri dari sejumlah suku yang mencengangkan banyaknya, yang melakukan
sumpah setia satu sama lain, ditambah suku-suku Afrika, dan pelaut-pelaut
Mycenas (barangkali pelaut upahan, yang meninggalkan semenanjung Yunani
saat kota-kota Mycenas semakin miskin). Sedikit sulit untuk mencocokkan nama-nama yang digunakan Rameses III untuk menyebut para penyerbu,
dengan nama-nama yang kita gunakan sendiri untuk bangsa-bangsa yang
berada di wilayah itu. Nama ”Weshesh” yang digunakan Rameses III mungkin yaitu suku-suku dari Afrika; ”Shekelesh” mungkin sekali orang Aegea;
”Peleset” yaitu orang pelaut yang kira-kira berasal dari Aegea, yang mungkin
datang lewat Pulau Kreta menyusul kekacauan di Mycenas. Orang Peleset
tampaknya yang bertindak mempersenjatai pasukan itu. Relief-relief Mesir
tentang para penyerbu itu menampilkan seluruh pasukan bertopi jambul
dengan gaya Kreta.5
Para penyerbu itu bersama-sama memiliki kekuatan yang menakutkan.
”Tidak ada yang dapat bertahan di depan tangan mereka,” tulis Rameses III,
”..... dan mereka datang dengan membawa api, yang siap di depan mereka,
menuju Mesir.” 6
Dan mungkin berita yang paling mengkhawatirkan datang
dari mata-mata yang memberitahukan Rameses III bahwa armada pasukan
yang bergerak maju menuju Mesir itu diikuti oleh gerobak sapi yang penuh
anak-anak dan wanita. Suku-suku itu tidak ingin menyerang dan menjarah
Mesir. Mereka ingin masuk ke Mesir dan mengambil alih.7
Pasukan Mesir bergerak maju untuk menghadang penyerbu di perbatasan,
dan memenangkan pertempuran pertama. Relief-relief yang diukirkan pada
tembok-tembok kuil makam Rameses III mengakui jasa pharaoh yang telah
memperoleh kemenangan besar. Dalam ukiran itu, pasukan perang Mesir
yang bergembira dikelilingi timbunan tangan; tentara memiliki kebiasaan untuk memotong tangan kanan mayat dan membawanya kepada juru tulis,
sehingga jumlah korban di pihak musuh dapat dihitung dan dicatat secara
tepat.*∗
Namun bahaya yang lebih besar, mengingat ketidaksenangan orang Mesir
pada ”Bentangan Hijau Besar”, masih akan datang: serbuan dari laut.
Gelombang kedua serangan itu dipimpin oleh para pelaut yang berpengalaman di dalam aliansi itu, yang mungkin datang dari Aegea. Keterampilan
mereka di laut begitu besar, sehingga orang Mesir, yang tidak memiliki
pengalaman di laut dan tidak memiliki kapal perang, mengenal seluruh
aliansi itu dengan nama ”Bangsa Laut”.
Lukisan-lukisan Mesir tentang pertempuran itu menampilkan Bangsa
Laut di atas kapal yang sangat berbeda dengan perahu dayung Mesir, yang dirancang untuk digunakan di sungai. Kapal-kapal itu yaitu kapal layar, yang digerakkan dengan angin, dengan haluan berhiaskan kepala burung.8 Karena
mengetahui bahwa orang Mesir tidak akan mampu menghadapi pelaut-pelaut
berpengalaman yang mengawaki kapal-kapal itu secara seimbang, Rameses III
memenuhi perahu-perahu sungainya dengan tentara sampai ”diawaki penuh
dari haluan sampai buritan dengan prajurit yang gagah berani, ”dan menutup
jalan-jalan masuk ke pelabuhan di Delta dengan perahu-perahu itu, ”bagaikan sebuah tembok yang kokoh”. lalu ia menjajarkan tentara daratnya
di sepanjang tebing dengan perintah untuk menghujani kapal musuh yang
datang dengan panah dan tombak. ”Sebuah tembok baja di pantai mengepung mereka,” tulisnya dengan bangga.
Strateginya membuahkan hasil. Tentara Bangsa Laut kalang kabut dengan
jumlah besar prajurit yang menghadapi mereka. ”Mereka diseret, dijungkirbalikkan, dan dilemparkan hingga terkapar di pantai,” demikian bunyi akhir
inskripsi, ”lalu dibantai dan ditimbun di kapal perang mereka dari
haluan sampai buritannya.” 9 Lukisan-lukisan di kuil menampilkan barisan
tawanan perang, dengan kaki dirantai, berbaris di depan Rameses III yang
jaya. Ancaman terbesar sesudah Kadesh telah diredam.
G yang melintasi seluruh Mesir, yang untuk sementara diturap
dengan relief-relief kemenangan dan proyek-proyak pembangunan, masih
mungkin membengkah setiap saat. Rameses III memegang tahta dengan hak
yang diperoleh dari kudeta ayahnya, dan ia tidak kebal terhadap intrik kekuasaan.
Menjelang akhir masa pemerintahannya, salah seorang dari selirnya merancang komplotan untuk membunuh raja dengan kekerasan massa. Para
juru tulis yang mencatat hal ihwal selama masa pemerintahan pengganti
Rameses III mengatakan bahwa selir itu melancarkan suatu kampanye untuk
”memprovokasi rakyat dan membangkitkan kebencian, agar memberontak
melawan tuan mereka.”10 Tampaknya ia berharap bahwa pemberontakan
massa itu tidak hanya akan menumbangkan Rameses III, tetapi juga putra
mahkota yang telah dipilih—anak Rameses III dari seorang istri lain—sehingga anaknya sendiri dapat menjadi raja.
Persekongkolan harem untuk membunuh pharaoh sering terjadi, tetapi
yang satu ini tergolong istimewa mengingat jumlah orang yang terlibat di
dalamnya. Catatan istana mendaftar, di antara yang ikut memberontak yaitu
dua orang pembawa panji-panji istana, jagal, dan kepala juru tulis kerajaan.
Pengawas kawanan ternak dituduh membuat patung raja dari lilin, tampaknya
untuk digunakan dalam suatu upacara voodoo gaya Mesir;11 kepala pelayan ditahan karena menyebarkan pertikaian. Persekongkolan itu tampaknya meluas
sampai ke Nubia: ”Benemwese, mantan kepala pemanah di Nubia..... ditang kap karena surat yang diterima dari saudara perempuannya, anggota harem,
yang bunyinya, ’Hasutlah rakyat untuk memberontak!’ ” 12
Catatan mengenai tuduhan persekongkolan itu telah diakhiri dengan rumusan yang tetap, entah itu ”Ia bunuh diri” atau ”Eksekusi hukuman mati
untuknya”. Kecuali, ada tiga orang yang hanya dipotong hidung dan kupingnya, dan satu orang yang divonis bebas: seorang pembawa panji-panji
bernama Hori, yang penuh keheranan selama hidupnya, karena hanya dia
yang berhasil lolos dari pembersihan itu.13
Pada saat pengadilan yang berlarut-larut itu selesai, sasaran yang dituju
sudah keluar dari pentas. Rameses III sendiri telah meninggal karena usia
lanjut.
Selama lebih dari delapan puluh tahun berikutnya, delapan raja bernama
Rameses memerintah; kebanyakan dari mereka tidak meninggalkan berita dan
menghadapi kekacauan, sehingga yang tersisa hanyalah potongan-potongan
catatan dan inskripsi. Mesir masih tetap menguasai wilayah Nubia, tetapi wilayahnya yang lain satu demi satu lepas. Pertambangan di kawasan Sinai tidak aktif
lagi. Pada akhirnya tambang-tambang emas di Nubia ditinggalkan oleh para
pekerjanya juga. Pada tahun 1140-an, Mesir bahkan tidak lagi berusaha mempertahankan wilayah kekuasaannya di daerah Semit Barat; benteng perbatasan
terdepan terletak tak jauh di sebelah Timur Delta.14 Makam-makam di Lembah
Raja-Raja bukan hanya diungkap, tetapi dirampok oleh pencuri. Orang-orang
Libia yang berada di dekat Delta mulai menyerang orang Mesir yang menyasar
ke dekat perbatasan Barat. Seorang pejabat istana bernama Wenamun, saat
berusaha melakukan perjalanan dengan menyisir pantai untuk menegosiasikan
harga balok kayu aras di Biblos, diserang dengan tiba-tiba dan uangnya dirampok; para pencuri tidak lagi takut akan pembalasan orang Mesir. Wenamun
akhirnya tiba di Biblos, tetapi misinya gagal. Raja Biblos tidak bersedia menerima surat kredit Mesir, yang tidak ada lagi nilainya di daerah Utara. ”Aku
bukan hambamu,” katanya kepada Wenamun, ” juga bukan hamba orang yang
mengutusmu. Balok-balok itu akan tetap tinggal di pantai.”15
Sementara itu, para pendeta dari Amun bertambah kaya. Penahtaan
kembali Amun sebagai kepala dewa di bawah pemerintahan Tutankhamun
mengakibatkan pharaoh demi pharaoh memberikan persembahan yang melimpah kepada Kuil Amun. Rameses III memberikan Amun begitu banyak
tanah, sehingga saat ia meninggal, para imam Amun menguasai hampir
sepertiga dari ladang panenan di Mesir.
Penunjukan perwira-perwira militer sebagai imam oleh Horemheb—untuk
menjaga loyalitas para imam kepada raja—pada akhirnya menjadi bumerang.
Sekitar tahun kedua belas masa pemerintahan Rameses XI, seorang jenderal bernama Herihor berhasil membuat dirinya ditunjuk sebagai Imam Besar
Amun. Kini ia menguasai tidak hanya angkatan perang, tetapi juga perbendaharaan harta terbesar di Mesir. saat ia mulai menuntut macam-macam,
Rameses XI tampaknya menyetujuinya tanpa melawan. Kurang dari lima
tahun lalu , Herihor menjadi Wali Raja untuk daerah Kush; tak lama
lalu , ia mulai menggelari dirinya Wazir Mesir; dan sepuluh tahun sesudahnya, namanya mulai muncul sebagai penguasa-pendamping untuk seluruh
negara. Gambarnya diukirkan pada tembok kuil di samping gambar Rameses
XI, dengan ukuran yang sama dan kekuasaan yang sama.16
saat kedua orang itu meninggal dalam selang waktu lima tahun, tanpa
meninggalkan keturunan laki-laki dan ahli waris, menantu-menantu mereka
menggelar perang saudara. Menantu Rameses XI menahtakan diri di Utara,
sedangkan menantu Herihor mengklaim menerima hak dari para dewa untuk
memerintah bagian Selatan di kota Thebes.
Kali ini tidak tampak adanya pemersatu besar di cakrawala Mesir. Kerajaan
Baru telah berakhir. Mesir tetap terpecah-pecah, dan akan segera tenggelam
ke dalam keruwetan dan peperangan: Periode Menengah Ketiga.
G A R I S WA K T U 3 9
MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL MESIR
Muwatalli Dinasti 19 (1293-1185)
Shalmaneser I Hattusilis III Rameses II (sek.1278-1212)
Tukulti- Tudhaliya IV
Ninurta
Kashtiliash IV Merneptah (1212-1202)
Assur-nadin-apli Dinasti 20 (1185-1070)
Dinasti kedua Isin Setnakhte (sek.1185-1182)
Rameses III (sek.1182-1151)
Serbuan Bangsa Laut
Rameses IV-XI
Herihor (sek.1080-1074)
Periode Menengah Ketiga (1070-664)
S , kapalkapal Mycenas berlayar dengan tersendat-sendat atau ditiup angin kembali
ke daratan Yunani, dan di sana mereka menemukan bahwa rumah tangga
mereka telah menjadi miskin dan bermasalah. Odysseus berperang selama
sepuluh tahun, dan sesudah pulang ia menemukan rumahnya dikuasai oleh
musuh-musuhnya; Agamemnon kembali kepada istrinya dan dibunuh di
kamar mandi oleh istri dan kekasih istrinya.
Ini hanyalah tanda-tanda awal dari bencana yang akan datang.
Sekitar tahun 1200 SM, serangkaian kebakaran melahap seluruh semenanjung. Sparta, kota di Mycenas, terbakar habis. Kota Mycenas sendiri
memerangi musuh yang tak dikenal; bentengnya selamat, meskipun rusak,
tetapi rumah-rumah di luar tembok habis menjadi abu dan tak pernah dibangun lagi.1
Kota Pylos disapu api. Sejumlah kota lainnya hancur akibat
suatu gangguan lain.
Arkeologi mengisyaratkan bahwa kota-kota itu lalu diduduki oleh
sebuah bangsa baru, yang tidak memiliki pengetahuan menulis (tidak ada
satu pun yang ditemukan dalam peninggalannya), tidak memiliki keterampilan membangun dengan batu dan bata, dan tidak memiliki kiat mengolah
perunggu.2 Para penghuni baru itu datang dari bagian Utara semenanjung
itu, dan kini berpindah ke Selatan. Para sejarawan dari masa selanjutnya menyebut mereka orang Doria.
Baik Thucydides maupun Herodotus menyatakan bahwa orang Doria
merebut kota-kota Mycenas dengan kekerasan bersenjata besar-besaran.
Herodotus menceritakan tentang empat penyerbuan orang Doria ke Attica
(daerah di sekitar Athena), yang pertama berlangsung pada masa ”Codrus
menjadi raja Athena”3
Penulis Yunani dari masa berikutnya, Konon, menyimpan cerita tradisional dari serbuan yang paling awal: Seorang peramal di markas Doria memberitahukan kepada para penyerbu yang ganas itu
bahwa mereka akan memenangkan
pertempuran melawan Athena, asalkan mereka tidak membunuh raja
Athena, Codrus. saat Codrus
mendengar hal itu, ia menyamar
sebagai seorang Athena biasa, meninggalkan kota, dan pergi ke
markas Doria, di mana ia bertengkar
dengan tentara-tentara Doria yang
bersenjata. Dalam perkelahian selanjutnya, ia terbunuh, dan dengan
itu ia memenuhi ramalan tadi serta
menyelamatkan kotanya.4
Orang Doria, karena takjub akan
kebangsawanan yang sedemikian itu,
mengakhiri pendudukan Athena,
tetapi mundur hanya untuk sementara waktu. saat invasi berakhir,
tutur Thucydides, orang Doria
telah menjadi ”penguasa Peloponnisos” (bagian paling Selatan semenanjung
Yunani).5
Baik Thucydides maupun Herodotus menulis tentang suatu serbuan
penuh kekerasan yang menyebar ke seluruh daerah para pahlawan Yunani
dan menghancurkannya. Seperti halnya para sejarawan Mesir yang mencatat penyerbuan orang Hyksos, mereka pun tidak dapat menemukan sebab
apa pun mengapa leluhur-leluhur mereka yang besar harus dikalahkan, kecuali dengan keperkasaan militer yang benar-benar mengunggulinya. Tetapi,
reruntuhan kota-kota Mycenas menuturkan suatu cerita yang berlainan. Pylos
dan Mycenas terbakar dengan selang waktu hampir sembilan puluh tahun;
itu berarti bahwa masuknya orang Doria sendiri menyebar dengan perlahanlahan ke seluruh semenanjung dalam kurun waktu satu abad. Itu hampir
bukan suatu serangan tiba-tiba; orang Yunani Mycenas memiliki banyak
waktu untuk mengatur suatu perlawanan.
Namun, pertahanan semacam apa pun yang dibangun oleh prajuritprajurit yang berpengalaman itu akan terlalu lemah untuk melindungi
mereka—bahkan melawan pendatang baru Doria sekalipun, yang tidak memiliki kecanggihan maupun pengalaman berperang. Bahkan di beberapa
kota tidak terdapat bukti peperangan sama sekali. Kisah tentang perlawanan orang Athena (di antara kota-kota Mycenas, hanya kota Athena yang bisa
berbangga karena mampu menghalau para penyerbu) mungkin menyimpan
suatu kenyataan yang sedikit berbeda: tak seorang pun menyerang Athena.
Penggalian di kota Athena menunjukkan bahwa tidak ada lapisan penghancuran maupun bekas api.6
Meski demikian, penduduk Athena menyusut secara drastis. Pada tahun
1100 SM, satu setengah abad sesudah perang melawan Troya, sisi Timur
laut akropolis Athena (bukit cadas tinggi di pusat kota, titik kota yang paling aman dan mudah dipertahankan) telah ditinggalkan oleh penduduknya
dengan damai. Kota Sparta yang dibakar oleh orang Doria sudah kosong;
penghuninya telah pergi dari sana beberapa tahun sebelumnya.7
Orang-orang
dari Utara itu membanjir ke daerah Selatan yang telah menjadi lemah dan tak
teratur dengan baik.
Perang melawan Troya tentu memiliki kaitan dengan kemunduran perlahan kota-kota Mycenas, sesuatu yang diberi catatan oleh Thucydides sendiri:
”kembalinya orang-orang Hellena yang terlambat dari Troya,” katanya, telah
memicu konflik yang begitu keras sehingga banyak orang Mycenas yang
terdesak dari kota mereka sendiri. Namun tentu terdapat faktor lain yang
mempengaruhi. Cuaca buruk yang berlangsung selama dua atau tiga tahun
berturut-turut, menurunnya hasil panen tepat pada waktu sumber-sumber
gandum lama yang handal dari Mesir dan Asia Kecil juga dikacaukan oleh peperangan di kedua tempat itu, tentu telah memaksa kota-kota Mycenas untuk
bersaing guna mendapatkan makanan; kelaparan dapat menyulut perang
antarkota dan mendesak penduduk kota ke pengasingan. Dan pada kenyataannya lingkar kayu ek Irlandia dan beberapa kayu di Asia Kecil menunjukkan
tanda-tanda terjadinya kekeringan suatu saat pada tahun 1150-an.8
Suatu musuh lain yang lebih menakutkan mungkin telah melanda orang
Mycenas.
Dalam adegan-adegan pembukaan Iliades, imam kota Troya, Chryses,
memohon dewa Apollo untuk mengirimkan penyakit kepada para penyerang, orang Yunani, sebagai silih atas penculikan puteri Chryses oleh ksatria
Yunani, Agamemnon. Apollo mengabulkan doanya dan meluncurkan panah
berpenyakit ke kapal-kapal musuh. Akibatnya sungguh mematikan:
Ia membuat angin wabah yang membahang
berkecamuk di antara bala tentara: pangkat tinggi dan anak buah
sakit dan mati akibat kejahatan yang dilakukan komandan mereka. 9
Mungkin sekali orang Mycenas yang membangun kemah di pantai diserang
wabah, dan penyakitnya mungkin yaitu pes. Orang Troya tidak mengerti, seperti bangsa-bangsa kuno lainnya, bagaimana penyakit pes mewabah. Tetapi mereka mengetahui bahwa penyakit itu
ada kaitannya dengan binatang pengerat. Dewa Apollo yang menebarkan
penyakit dihormati di Troya dengan nama khas Asia Kecil: ia disebut Apollo
Sminthian, ”Tuan dari Tikus.”10 Iliades juga menuturkan bahwa panah Apollo
Sminthian tidak hanya menimpa manusia, tetapi juga kuda dan anjing; penyebaran penyakit melalui populasi binatang itu merupakan suatu unsur yang
muncul terus menerus dalam cerita-cerita kuno tentang wabah sampar. (”Pes
ini mengamuk tidak hanya di antara binatang piaraan, tetapi bahkan juga
di antara binatang buas,” tulis Gregorius dari Tours, seribu lima ratus tahun
lalu ).11
Para pahlawan Mycenas, saat pulang, kemungkinan juga membawa kematian bersama mereka. Sebuah kapal berisi penumpang yang tidak terserang
pes, dan tengah merapat di suatu pantai yang tidak terinfeksi, masih mungkin
membawa tikus pembawa penyakit itu. Pada kenyataannya, penyakit pes cenderung menyusul bencana kelaparan; pengapalan gandum dari satu tempat
ke tempat lain di dunia membawa tikus dari satu kota ke kota lainnya, dan
menyebarkan penyakit ke daerah-daerah yang sedemikian jauh yang tidak
mungkin terjadi karena penyebab lain.
Wabah, kekeringan, dan perang: itu semua cukup untuk mengguncangkan keseimbangan suatu peradaban, yang dibangun di tempat-tempat kering
bercadas, di ujung tanduk kehidupan. saat kehidupan menjadi sulit, orang
yang tubuhnya kuat akan memutuskan untuk pindah. Demikianlah, bukan
hanya orang Mycenas, tetapi juga orang Kreta dan penduduk kepulauan
Aegea yang keluar dari tanah air mereka dalam kelompok-kelompok kecil,
guna mencari tempat tinggal baru dan menawarkan diri mereka sebagai tentara bayaran. Kita tidak mungkin mengetahui berapa banyak dari Bangsa Laut
yang berperang melawan Mesir itu yang menjadi tentara bayaran. Tetapi, cerita-cerita Mesir menuturkan, bahwa beberapa tahun menjelang serbuan Bangsa
Laut, pharaoh telah menyewa pasukan-pasukan dari Aegea untuk berperang
bagi Mesir melawan orang Libia di gurun di sebelah Barat. Pada pertengahan
abad kesebelas, orang Doria, bukan orang Mycenas, yaitu penguasa daerah
Selatan; dan tentara Mycenas tersedia untuk penawar tertinggi.
Orang Doria yang menetap itu tidak memiliki raja dan istana, pajak dan
upeti, serta perdagangan laut dengan pihak asing. Mereka bertani, bertahan
hidup, dan tidak memiliki keperluan untuk menulis sesuatu. Pendudukan
mereka menenggelamkan semenanjung Yunani pulau ke dalam apa yang kita
sebut sebagai abad kegelapan: kita tidak dapat mengintip cukup jauh ke dalamnya karena tidak ada catatan tertulis.G A R I S WA K T U 4 0
MESIRSEMENANJUNG YUNANI
Dinasti 19 (1293-1185)
Rameses II (sek.1278-1212)
Serangan Mycenas ke Troya VIIa (sek.1260)
Merneptah (1212-1202)
Masuknya orang Doria dari Utara
Dinasti 20 (1185-1070)
Setnake (sek. 1184-1182) Beginning of Greek Dark Age
Rameses III (sek.1182-1151)
Serbuan Bangsa Laut
Rameses IV-XI
Herihor (sek.1080-1074)
Periode Menengah Ketiga (1070-664)
S my meninggalkan kota-kota mereka dan orang
Doria menyusup masuk, gangguan kendala tengah merebak ke Timur, melewati Troya (yang sudah dibangun kembali dalam kondisi kumuh, dihuni
kembali, dan bagaikan hantu dari kejayaannya di masa lalu) dan lebih jauh
lagi ke Timur, ke daerah-daerah yang masih dikuasai oleh orang Hitti.
Pada waktu itu kekaisaran Hitti tidak lebih dari sebuah negara bayangan.
Kemiskinan, kelaparan, dan keresahan yang meluas dari masa pemerintahan
Tudhaliya IV telah menggerogoti tepi-tepi luarnya, dan perebutan tahta terus
berlangsung. saat orang Mycenas tengah merosot, putra termuda Tudhaliya
IV merebut mahkota dari kakaknya dan mengklaim seluruh negara sebagai
miliknya. Ia mengambil nama Suppiluliuma II, dalam usaha untuk menghadirkan kembali pembangun kekaisaran Hitti yang agung dari masa satu
setengah abad sebelumnya.
Inskripsi-inskripsi Suppiluliuma II menyombongkan kemenangannya atas
Bangsa Laut. Ia melancarkan sejumlah perang kapal di lepas pantai Asia Kecil,
dengan menghalau pengungsi dan tentara bayaran dari Mycenas, dan selama
beberapa waktu mampu mempertahankan pantai Selatan bebas dari invasi.
Tetapi ia tidak dapat mewujudkan kembali masa keemasan kekuasaan Hitti,
saat raja yang namanya ia pakai dahulu bahkan hampir berhasil mendudukkan seorang putranya di tahta Mesir.
Bangsa-bangsa pengembara yang sama, yang bergerak ke Mesir—bangsabangsa yang mengungsi karena kelaparan, penyakit pes, kelebihan penduduk,
atau peperangan di negaranya—juga terus masuk ke Asia Kecil. Sebagian datang dari arah kota Troya, menyeberang Laut Aegea dan masuk ke wilayah
Hitti. Yang lain datang dari laut; Siprus, pulau di sebelah Selatan pantai Hitti, tampaknya merupakan tempat singgah bagi mereka. ”Kapal-kapal dari Siprus
berjajar sebanyak tiga kali untuk menggelar pertempuran di tengah laut
melawanku,” tulis Suppiluliuma. ”Aku menghancurkan mereka, menahan
kapal-kapal itu, dan di tengah laut semuanya kubakar. ... [Namun] musuh
dalam jumlah besar datang melawanku dari Siprus,”1
Musuh lainnya menyeberangi Selat Bosforus yang sempit, dari daerah sebelah Utara semenanjung
Yunani yang disebut Thracia; suku-suku itu dikenal sebagai orang Phrygia.
Jumlah musuh terlalu besar bagi mereka, dan bala tentara Hitti terlalu
kecil. Para pendatang baru bergerak menembus pasukan Suppiluliuma, memorakporandakan pertahanannya dan masuk ke jantung kerajaannya. Ibu
kota Hattusas dibakar habis; penduduknya melarikan diri; istana kerajaan
hancur lebur bagaikan abu.
Bahasa Hitti masih bertahan di beberapa kota yang terpisah-pisah di sekitar pinggir Selatan kekaisaran lama itu; Karkhemish yaitu kota yang paling
besar. Di pos-pos luar terakhir Hitti itu dewa-dewa Hitti masih bertahan
hidup. Tetapi kerajaan yang sebelumnya memuja mereka telah tiada.
K peradaban berlarut di kawasan sabit Barat—peradaban
orang Hitti, orang Mycenas, dan orang Mesir—bertepatan waktunya dengan
merebaknya kekuasaan secara mendadak di sebelah Timur. Selama beberapa
tahun, sementara orang pengembara dan Bangsa Laut menyerbu daerah Barat,
Assiria dan Babilon bersinar.
Di Assiria, raja Tiglath-Pileser diangkat menjadi raja tak lama sesudah
penjarahan Hattusas. Kakek buyutnya, kakeknya, lalu ayahnya, berturut-turut telah memerintah daerah pusat Assiria—sebuah segitiga terbalik,
dengan kota Assur pada titik dasarnya, yang membentang sampai melewati
kota Erbila di sebelah Barat dan Nineweh di sebelah Timur. Itu yaitu suatu
wilayah kecil yang menyenangkan, subur, dan gampang dipertahankan, dan
merupakan tanah yang paling kaya akan jagung di seluruh Mesopotamia.
Ketiga raja itu semua merasa puas dengan kekuasaan, pertahanan, dan penjagaan keamanannya.
Tiglath-Pileser menginginkan lebih dari itu. Ia yaitu raja pertama yang
gemar berperang sejak Shalmaneser, delapan generasi dan seratusan tahun
sebelumnya. Ia menghadapi para penyerbu dan memanfaatkan serangan mereka untuk merebut daerah baru untuk dirinya sendiri. Dan selama satu masa
yang singkat—kurang lebih empat puluh tahun—Assiria memperoleh kembali sesuatu yang serupa dengan kegemilangan-nya dahulu.
Orang Phrygia, yang telah melanda seluruh wilayah Hitti, bergerak mendekati Assiria di sebelah Barat laut. Dalam salah satu kemenangan awalnya,
Tiglath-Pileser memukul mereka keluar. Inskripsi-inskripsinya berisikan kesombongan bahwa ia telah mengalahkan sebuah bala tentara berkekuatan dua
puluh ribu orang Phrygia (yang ia sebut ”Mushki”) di lembah sebelah Utara
sungai Tigris. ”Aku membuat darah mereka mengalir ke jurang dan turun
dengan deras dari puncak pegunungan,” jelasnya.”Aku memenggal kepala
mereka dan menimbunnya seperti onggokan gandum.” 2
lalu ia meneruskan pertempurannya ke Barat laut, menuju langsung
ke depan gelombang serangan yang mendekatinya. ”[Aku berangkat ke]
daerah raja-raja yang jauh, yang terletak di pantai Laut Atas, yang tak pernah
mengalami kekalahan,” tulisnya dalam tarikh tahunannya. ”Aku membawa
keretaku beserta prajuritku dan mendaki gunung yang terjal, dan melalui
jalan-jalan kecil mereka yang melelahkan aku membuka jalan dengan
kampak beliung perungguku supaya bisa dilewati kereta dan pasukanku.
Aku menyeberang Tigris ... aku memorakporandakan prajurit musuh ... dan
membuat darah mereka mengalir.”3
Selama tiga puluh delapan tahun Tiglath-Pileser berperang. Kota-kota
yang kian bertambah, yang dikalahkan oleh raja, mengirimkan pajak dan pekerja ke istana Assiria dan menderita di bawah tekanan gubernur-gubernur
Assiria.4
Satu di antaranya yaitu kota Karkhemish; Tiglath-Pileser telah
merebutnya (menurut inskripsinya sendiri, sekurang-kurangnya) ”dalam satu
hari.” 5 Kota-kota lain menyerah tanpa berperang, dan raja mereka menyambut kedatangan Tiglath-Pileser dengan cara keluar dari istana dan merebahkan
diri untuk mencium kakinya.6 Tiglath-Pileser sendiri pergi sampai ke pantai
Laut Tengah, di mana ia pergi berburu lumba-lumba dengan perahu yang
didayung oleh anak buahnya.7 Pharaoh Mesir—salah seorang dari kedelapan
Rameses—mengirim buaya kepadanya sebagai hadiah, yang dibawa pulang
oleh Tiglath-Pileser untuk menambah isi suaka hewan buruannya di Assur.8
Ia membangun tempat-tempat pemujaan, benteng, dan kuil, semua itu untuk
menyatakan bahwa akhirnya Assiria memiliki seorang raja besar lagi.
Nun di sebelah Selatan Assiria, Babilon juga mengalami bangkitnya
seorang raja besar.
Babilon dan daerah sekitarnya telah diperintah oleh raja-raja tak bernama sejak Burnaburiash, yang pernah menjalin hubungan dengan raja
Tutankhamun, dua ratus tahun sebelumnya. Dalam waktu tiga atau empat
tahun sejak kenaikan Tiglath–Pileser ke tahta Assur, garis keturunan Dinasti
Kedua Isin yang tidak menonjol itu melahirkan suatu perkecualian genetika
bernama Nebukhadnezzar.*∗
Sementara Tiglath-Pileser berperang ke Barat dan ke Utara, Nebukhadnezzar
berpaling ke Timur. Bagaimana pun patung dewa Marduk masih berada di
tangan orang Elam di Susa; sejak patung itu direbut, seratus tahun sebelumnya, tidak ada raja Babilon yang terbukti cukup kuat untuk merebutnya
kembali.**†
Invasi pertama Nebukhadnezzar ke Elam dihadang sebuah tembok pasukan Elam. Ia memerintahkan pasukannya untuk mundur, dan membuat
rencana yang cerdik untuk serangan kedua. Ia akan mengirimkan prajuritnya ke Elam pada puncak musim panas, saat tak seorang komandan pun
yang waras akan memaksa pasukannya bergerak kemana pun juga. Pasukan
Babilon, setibanya di perbatasan Elam, menyergap pengawal perbatasan dan
memasuki kota Susa sebelum seorang pun sempat membunyikan tanda bahaya. Mereka menyerbu kota, mendobrak pintu kuil, menculik patung dewa
Marduk, dan bergerak kembali ke Babilon dalam kemenangan.
Alih-alih mencari imam dewa Marduk untuk mengakui kesalahan
mereka terhadap dewa Marduk, Nebukhadnezzar menyewa juru tulis untuk
menggubah cerita tentang penyelamatan itu, demikian juga madah-madah
untuk menghormati Marduk. Cerita, nyanyian, dan persembahan mengalir
dari istana kerajaan ke Kuil Marduk, sampai dewa itu bertahta di puncak
panteon Babilon; pada masa pemerintahan Nebukhadnezzar I itulah dewa
Marduk menjadi dewa utama orang Babilon.9
Dan dengan suatu argumen
klasik, Nebukhadnezzar memberikan alasan bahwa, karena ia berhasil
menyelamatkan dewa utama Babilon, maka dewa Babilon itu memberikan
karunia ilahi kepadanya. Awal Dinasti Kedua yang tidak istimewa sudah
terlupakan; Nebukhadnezzar telah memiliki hak yang diberikan oleh dewa
untuk memerintah Babilon.
D raja perkasa itu Babilonia dan Assiria kurang lebih seimbang
dalam hal kekuatan. Perselisihan perbatasan sesekali meletus menjadi perang.
Sejumlah kota garis depan Assiria diserang oleh tentara Babilon dan TiglathPileser menuntut balas dengan mengirim pasukan ke Babilon dan membakar
istana raja.10 Hal ini kedengarannya lebih serius daripada kenyataannya.
Babilon letaknya begitu dekat dengan perbatasan Assiria sehingga sebagian
besar kantor pemerintahannya telah dipindahkan ke tempat lain. Kota itu
yaitu tempat yang disucikan, tetapi tidak lagi menjadi pusat kekuasaan. Dan
Tiglath-Pileser, sesudah tujuannya terpenuhi, pulang ke negaranya dan tidak
lagi mengusik Babilon. Ia tidak bermaksud menyulut suatu perang besarbesaran. Kedua kerajaan seimbang kekuatannya, dan terdapat ancaman yang
lebih serius yang harus mereka hadapi.
Gerakan bangsa-bangsa dari Utara dan Barat belum berhenti. TiglathPileser terus-menerus bertempur di perbatasan melawan para pengembara
yang mengalir itu, yang dengan cepat meluas seperti suku Amori, hampir
seribu tahun sebelumnya. Orang-orang itu yaitu orang Semit Barat yang
telah mendiami bagian Barat laut daerah Semit Barat sebelum mereka terdesak oleh gelombang masuknya orang-orang dari daerah yang lebih jauh
ke Barat. Orang Assiria menyebut mereka orang Aram, dan menurut cerita
Tiglath-Pileser sendiri, ia melakukan sekitar dua puluh delapan serangan ke
Barat, semuanya ditujukan untuk memukul balik invasi orang Aram itu.
Baik Babilon maupun Assiria pun tidak kebal terhadap kelaparan dan
kekeringan, kegagalan panen dan wabah penyakit pes yang menyerang
daerah-daerah lain di dunia telah yang dikenal. Catatan istana melukiskan
bahwa tahun-tahun terakhir pemerintahan Tiglath-Pileser diwarnai dengan
keputusasaan dan kelaparan, waktu saat rakyat Assiria sudah menyebar ke
berbagai pegunungan di sekitarnya untuk mencari makanan.11
Babilon juga menghadapi keadaan yang sulit, dan penderitaan di kota
bertambah parah saat masa pemerintahan Nebukhadnezzar selama dua
puluh tahun mendekati akhirnya. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi kota
itu dilukiskan dalam Epik Erra, sebuah puisi panjang di mana dewa Marduk
mengeluh karena patungnya tidak dikilapkan, kuilnya tidak dipugar, tetapi ia
tidak dapat meninggalkan Babilon cukup lama untuk membereskan hal itu,
sebab setiap kali meninggalkan kota, terjadilah sesuatu yang mengerikan pada
kota itu. Sesuatu mengerikan yang sedang dihadapi saat itu yaitu ulah jahat
dewa lain, Erra, yang membayangi kota; dari sifatnya sendiri dewa ini selalu
menyengsarakan kota itu: ”Aku akan menghancurkan daerah ini dan menganggapnya reruntuhan,” katanya. ”Aku akan membabat binatang ternak, aku
akan merobohkan orang-orangnya.” Babilon sendiri, yang meringkuk digulung angin, telah menjadi seperti suatu ”kebun buah-buahan rimbun yang
berlimpah” yang buahnya telah layu sebelum masak. ”Celakalah Babilon,”
kata Marduk yang berkabung,” aku telah menanaminya dengan benih seperti
bungkul pinus, tetapi kelimpahannya tak pernah menghasilkan panen.” 12
Kekeringan dan kegagalan panen mengisyaratkan kelaparan; jatuhnya manusia dan ternak, kedatangan panah Apollo Sminthian yang terulang kembali.
Penyakit dan kelaparan tidak mampu sedikit pun memperbaiki pertahanan
kedua kota itu. Pada waktu putra Tiglath-Pileser menggantikan ayahnya, masalah orang Aram telah menjadi begitu gawat sehingga ia terpaksa menjalin
perjanjian dengan raja baru Babilon. Kedua kerajaan bersama-sama berharap
mampu mengalahkan musuh bersama meraka.
Usaha itu gagal. Tak lama sesudah itu, orang Aram menyerbu dengan ganas
ke seluruh Assiria, merebut semuanya, kecuali pusat dari kekaisaran itu sendiri. Mereka juga menyerbu Babilon; anak Nebukhadnezzar, raja besar itu,
kehilangan tahtanya yang direbut oleh seorang Aram.
Orang Aram, seperti halnya orang Doria, tidak menulis. Demikianlah, sementara Mesir jatuh ke dalam kekacauan serta terpecah-pecah, dan kegelapan
menjalar ke seluruh semenanjung Yunani, kabut serupa itu bergulung dari
daerah-daerah Hitti lama untuk menyelimuti Mesopotamia. Daerah di antara
kedua sungai itu memasuki abad kegelapannya sendiri, dan selama sekitar
seratus tahun tidak ada sejarah yang muncul dari kegelapan itu.
G A R I S WA K T U 4 1
SEMENANJUNG YUNANI MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL
Shalmaneser I Hattusilis III
Serangan orang Mycena Ke Troya
VIIa (sek.1260) Tukulti- Tudhaliya IV
Ninurta
Kastiliash V
Masuknya orang Doria masuk dari Utara Assur-nadin-apli
Suppiluliuma II
Awal Abad Kegelapan Yunani Dinasti kedua Isin Hattusas dijarah
(sek.1180)
Nebukhadnezzar I (1125-1104)
Tiglath-Pileser (1115-1076)
Ashur-bel-kala (1074-1056)
Pengambilalihan orang Aram
L , Wu Ting telah menyerahkan tahtanya kepada
putranya, sesudah ia memerintah selama enam puluh tahun. Kerajaan Shang
terus berlangsung, selama beberapa tahun, dari saudara kepada saudara, atau
dari ayah kepada anaknya, dalam damai. Pusat kekaisaran Shang yaitu sungai
Kuning, dan ibu kota Shang masih berada di kota Yin.
Namun, pada waktu kerajaan-kerajaan Mesopotamia mulai runtuh, kerajaan di China juga mengalami krisis.
Krisisnya sangat berbeda dengan yang dihadapi oleh Nebukhadnezzar I
atau Tiglath-Pileser. Raja-raja Shang dan rakyatnya tidak berurusan dengan
invasi—suku-suku asing yang tidak dikenal; musuh kerajaan Shang yaitu
sepupu-sepupu di antara rakyatnya sendiri.
Tepat di sebelah Barat daerah Shang, tinggallah suku Zhou di seberang
lembah sungai Wei. Mereka tepatnya tidak menjadi bawahan raja Shang,
walaupun pemimpinnya—”Tuan dari Barat”—memberikan penghormatan resmi kepada kekuasaam mahkota raja. Bagaimana pun, wilayah mereka
terletak sejauh hampir enam ratus kilometer dar