i ibu kota Shang. Kerangkakerangka orakel berjalan mondar-mandir antara ”Tuan dari Barat” dan istana
Shang, yang mengakibatkan tetap terbukanya suatu jalur komunikasi atas
dasar bahasa dan adat-istiadat yang sama.1
Tetapi para bangsawan Zhou
pertama-tama menyatakan kesetiaan kepada tuan mereka sendiri, bukan kepada raja Shang yang jauh tempatnya. saat terjadi pemberontakan, mereka
menunggu perintah dari ’Tuan dari Barat’.
K- menunjukkan dengan sangat jelas bahwa kerajaan
Shang sendirilah yang menyebabkan pemberontakan itu. Mereka meninggalkan kebijaksanaan, padahal kebijaksanaan (bukan keperkasaan militer, seperti
di Barat) yaitu dasar dari kekuasaan mereka. Kaisar Wu-yi, penguasa kelima sesudah Wu Ting, menunjukkan tandatanda awal kemerosotan itu. Pelanggaran-pelanggarannya, menurut Sima
Qian, yaitu pertama-tama pelanggaran melawan dewa: ia membuat berhala
dan ”menyebutnya dewa-dewa surga”, dan bermain lotre dengan berhala-berhala itu. saat ia menang, ia mengejek berhala-berhala itu sebagai penjudi
bodoh.
Ini yaitu suatu pelanggaran serius terhadap tanggung jawabnya sebagai
raja. Dengan semakin besarnya beban yang diberikan pada ritual kerangkaorakel, istana kerajaan telah menjadi pusat pewahyuan dewa yang diturunkan
para leluhur kepada mereka yang masih hidup. Segala pertanyaan kepada para
leluhur disampaikan dengan mengatasnamakan raja; raja menjadi saluran
untuk pesan-pesan yang berasal dari kekuasaan ilahi. Tindakan mengejek kekuasaan-kekuasaan itu dianggap sangat mengejutkan.
Hukumannya setara dengan kejahatannya; Wu-yi disambar petir saat sedang berburu. Ia digantikan oleh anaknya, lalu cucunya, dan di bawah
pemerintahannya (menurut Sima Qian) negaranya semakin tambah merosot.
lalu cicit Chou mewarisi tahta, dan penguasa Shang jatuh.
Chou dianugerahi banyak bakat alami—Sima Qian memujinya sebagai
seorang yang memiliki kekuatan, kecerdasan, kejernihan, dan daya tangkap
yang tajam—tetapi ia menggunakan semuanya untuk hal-hal yang buruk.
”Pengetahuannya cukup untuk melawan keluhan,” tulis Qian. ”dan omongannya cukup untuk menutupi kesalahannya .... Ia memandang setiap orang
lebih rendah daripada dirinya. Ia penggemar anggur, tidak mengekang dirinya untuk kenikmatan, dan gemar akan perempuan.” Kegemaran Chou
akan anggur dan kenikmatan mendorongnya untuk menaikkan pajak agar
ia dapat menyediakan binatang buruan untuk hutan perburuan dan taman hiburannya; kegemarannya kepada perempuan menjadikannya terbius oleh
pengaruh seorang anggota istana yang kejam dan senang berkuasa, yang bernama Ta Chi, dan hanya kata-kata Ta Chi saja yang mau didengarkannya.
Kegemarannya akan tontonan menjadi begitu kuat sehingga ia membangun
sebuah kolam dan mengisinya dengan anggur, menggantungkan daging seperti sebuah hutan di sekeliling kolam itu, dan ”menyuruh orang laki-laki
dan perempuan berkejar-kejaran tanpa busana” mengitari kolam dan masuk
ke hutannya.2.
Perilaku yang aneh itu melahirkan kekuasaan tirani yang mengerikan.
Bangsawan yang diduga tidak setia kepadanya dipaksa berbaring di atas bangku penyiksaan yang merah karena panas. Chou menyuruh seorang pegawai
istana agar dikuliti, dan seorang yang lain dikerat-kerat menjadi lembar-lembar daging dan digantung sampai kering. saat pamannya menyampaikan
keluhan kepadanya, ia berkomentar bahwa karena jantung seorang yang
bijaksana memiliki tujuh kamar, ia perlu memeriksa jantung pamannya
dengan matanya sendiri sebelum nasihat pamannya dipatuhi—lalu
ia melaksanakan ancamannya itu. Kekejamannya semakin parah sampai
”tidak mengenal batas.” Para bangsawan—”keluarga-keluarga dengan seratus
julukan”, yakni mereka yang memiliki nama kehormatan— ”dihinggapi kebencian dan sakit hati.”
Akhirnya ia melangkah terlalu jauh. Pemimpin Zhou bernama Wen, Tuan
dari Barat, sedang berada di ibu kota untuk suatu urusan, dan Chou telah menyiapkan mata-mata untuk menguntitnya. saat mata-mata itu melaporkan
bahwa Tuan dari Barat telah ”diam-diam mengeluh” tentang perilaku raja,
Chou memerintahkan agar Wen ditangkap dan dipenjarakan.*∗
saat mendengar bahwa tuan mereka dipenjarakan, suku Zhou membawa jenis upeti yang kiranya akan melunakkan hati raja: barang-barang
berharga dan perempuan-perempuan cantik. Chou memang tersentuh, dan
membebaskan Wen. Tetapi Tuan dari Barat itu menolak untuk pulang tanpa
melakukam suatu usaha untuk melindungi bawahan Chou yang tertindas
oleh kebrutalan raja mereka. Ia mengatakan kepada Chou bahwa ia memiliki suatu usulan; jika ia mau berjanji untuk menghentikan penggunaan
bangku penyiksaan yang merah karena panas, Wen akan menghadiahinya
tanah Zhou yang subur di sekitar sungai Lo, yang mengalir ke Selatan dan
bermuara di sungai Wei. Chou, yang telah mendapat keuntungan yang sangat
besar dengan memenjarakan Wen, menyetujui usul itu, ia menerima tanah itu
dan mengizinkan Wen pulang.
Keputusan itu ternyata merupakan suatu kesalahan. Wen sangat dicintai
di daerahnya sendiri sebagai raja petempur yang baik hati (seperti yang diperlihatkannya dengan mengorbankan tanahnya sendiri bagi rakyat) dan perkasa
(Mengzi, sejarawan China dan filsuf dari masa sesudah itu, menyebutkan sambil lalu bahwa tingginya tiga meter)3 sesudah pulang ke Barat, diam-diam
ia mulai menghimpun perlawanan terhadap raja. ”Banyak tuan tanah yang
memberontak,” tulis Qian,” dan berpihak kepada Tuan dari Barat.” Mereka
diikuti oleh orang-orang bijak dari istana yang membaca kerangka orakel dan
nubuat dewa; mereka bangkit dalam jumlah besar beserta alat-alat ritual mereka, meninggalkan istana, dan bergerak ke Barat.
Wen, yang pada waktu itu sudah tua renta (usianya seratus tahun, menurut Mengzi), meninggal sebelum ia bisa memimpin pengikut-pengikutnya ke
Shang..4 Tetapi, anaknya, Wu, mengambil alih panji-panjinya. Delapan ratus
tuan tanah berjajar di belakangnya, masing-masing dengan tentaranya sendiri. Bala tentara Zhou yang terdiri dari lima puluh ribu orang bergerak menuju
ke istana Shang di Yin. Dan Chou memerintahkan tentaranya untuk menyambut serangan Zhou: kekuatan tentara Chou tujuh ratus ribu orang.
Kedua pasukan berhadapan hampir tiga puluh lima kilometer di luar kota
Yin, pada Pertempuran Muye. Sebesar apa pun, tentara kerajaan seharusnya
menghancurkan kekuatan pemberontak yang kecil itu, namun Zhou memiliki dua keunggulan. Yang pertama yaitu keunggulan taktis: para bangsawan
Zhou telah menyediakan tiga ratus kereta perang, sementara bala tentara
kerajaan Shang tidak memiliki sama sekali.5 Tetapi keunggulan kedualah
—moralisme yang dijunjung tinggi oleh pasukan Zhou—yang membalikkan keadaan melawan raja. Para pengikut raja, yang muak karena kekejaman
pemimpin mereka, siap meninggalkan gelanggang. saat barisan Zhou
menghambur menuju mereka, bala tentara Shang di baris terdepan membalik
arah serangan mereka dan mendesak orang-orang yang berada di belakangnya
untuk berbalik, sehingga seluruh pasukan berbalik dan melarikan diri.
Melihat kekalahan yang tak terhindarkan ini, Chou mundur ke istana, di
mana ia mengenakan baju zirah dari batu lumut sebagai persiapan untuk pertahanannya yang terakhir. Tetapi pasukan Zhou membakar istana dari segala
penjuru. Chou mati ditelan api, sebuah akhir yang puitis untuk seseorang
yang menggunakan api untuk menyiksa dan membunuh.
Dalam cerita ini terdapat suatu hembusan ketidaknyamanan perihal pemberontakan Wen. Para sejarawan kuno tidak merayakan kejatuhan sang tiran,
dan Wu tidak menyombongkan diri saat menjadi raja dari cakrawala yang
satu ke cakrawala yang lain, atau menimbun kepala musuh di dekat pintu gerbang. Ia tidak dipuji karena keterampilannya dalam berperang, tetapi karena
memulihkan tata tertib yang benar.
Pemberontakan Zhou tepatnya yaitu bukan suatu ketidaktaatan suatu
pemerintahan rakyat. Bahkan sebelum pemberontakan, raja Shang memiliki
kekuasaan yang ambigu terhadap Zhou. Wen yaitu raja yang mandiri, tetapi raja Shang dapat menjebloskannya ke penjara dan menuntut tebusan. Di
pihak lain, saat Wen menawarkan hadiah tanah kepada Chou, raja mengakuinya dengan senang hati sebagai sebuah hadiah, alih-alih mengamuk dan
mengatakan bahwa ia memang sudah menjadi penguasa tanah itu.
Tetapi para sejarawan kuno masih merasa terpaksa membenarkan tantangan Zhou. Kebudayaan Zhou dan kebudayaan Shang yaitu dua kebudayaan
yang bersaudara, dan pertempuran antara keduanya merupakan suatu hal yang
membingungkan seperti, permusuhan antara Set dan Osiris pada masa-masa
awal bangsa Mesir. Kiranya dianggap perlu untuk menunjukkan bahwa raja
Zhou yang pertama yaitu , bukan seorang bawahan yang tak menghormati
hukum, tetapi seseorang yang bermoral yang berusaha bangkit untuk menggulingkan orang yang tak bermoral dan memulai daur itu kembali. Karena
itu, penetapan tanggal pemerintahan Zhou bukan dimulai dari kemenangan
Wu, tetapi dari ayahnya, yang dipenjara secara tidak adil dan dengan sukarela
mengorbankan tanahnya untuk kebaikan rakyatnya. Dialah, bukan anaknya
yang senang berperang, yang dipandang sebagai raja Zhou yang pertama.
Pemerintahan Shang dianggap berakhir bukan saat gerbang istana yang terbakar, tetapi pada saat para bangsawan dan pembaca orakel bersatu di bawah
kepemimpinan Tuan dari Barat. Dan pengambilalihan oleh Zhou bukanlah
invasi suatu bangsa musuh. Perilaku Chou yang tidak menaati hukum itulah
yang menjadi penyebab kematiannya. Bagi para sejarawan China, kebusukan
selalu datang dari dalam.
Walaupun memiliki moral yang tinggi, Wu dari suku Zhou mengklaim
gelar barunya dengan menghunjamkan sebuah tombak ke kepala Chou yang
sudah hangus dan memancangkannya di depan gerbang kota Yin agar dilihat
oleh semua orang. Orde yang lama telah hancur di dalam api. Orde yang baru
telah tiba.
G A R I S WA K T U 4 2
MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL CHINA
Shalmaneser I Hattusilis III
Tukulti- Tudhaliya IV
Ninurta
Kastiliash V
Assur-nadin-apli
Suppiluliuma II Wu-yi
Dinasti kedua Isin Hattusus diserang
(sek.1180)
Nebukhadnezzar I (1125-1104)
Tiglath-Pileser (1115-1076) Chou
Dinasti Zhou (1087-256)
Ashur-bel-kala (1074-1056) Zhou Barat (1087-771)
Pengambilalihan oleh orang Aram Wen
Wu
W W yaitu raja Zhou pertama, Wen (yang meninggal
sebelum penaklukan terakhir Shang) segera menjadi lambang awal dinasti baru
itu. Lama sesudah itu, Konfusius akan mencatat bahwa walaupun musik yang
digunakan oleh Kaisar Wen untuk merayakan kemenangannya sungguh indah
dan sangat baik, musik kemenangan Kaisar Wu ”walaupun sungguh indah,
tidak sepenuhnya baik.” 1
Pembersihan ibu kota Shang dengan kekerasan
oleh Wu yaitu suatu pelanggaran yang berbahaya terhadap kekuasaan ilahi
kaisar.
Tak seorang pun menginginkan kembalinya Shang, tetapi dinasti Wu yang
baru harus dibenarkan dengan hati-hati. Pada awal pemerintahannya, tutur
Sima Qian, Wu mempersembahkan kurban kepada langit untuk menebus
kesalahan-kesalahan penguasa Shang terakhr; ia ” menyingkirkan perisai-perisai dan kampak bersabit, menyimpan senjata-senjatanya, dan membubarkan
tentaranya, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ia tidak lagi akan
menggunakan semua itu”.2
Suasana damai itu dimaksudkan untuk menebus
kekacauan pada saat kenaikan tahta kekuasaannya.
Itu semua sangat etis, tetapi sekaligus juga suatu kebutuhan praktis. Untuk
mempertahankan tahtanya, Wu harus memerintah berdasarkan pengaruh dan
siasat, bukan kekuatan belaka. Raja Shang tidak mampu menangkis kekuatan
para tuan tanah yang bersatu, dan Wu juga harus menghadapi kenyataan-kenyataan berikut: ia memerintah suatu kerajaan yang memiliki banyak tokoh
kuat yang akan menolak suatu pemerintahan yang terlalu autokratis. Sima
Qian mengacu kepada ”Tuan-tuan dari Sembilan Negeri”—para bangsawan
yang memerintah wilayah mereka sendiri, sambil tetap menyatakan loyalitas mereka kepada raja. Tetapi sebenarnya terdapat jauh lebih banyak dari
sembilan negeri; kitab Record of Rites, yang muncul beberapa abad sesudah
itu, membilang jumlah yang banyaknya 1763 wilayah yang diperintah sendiri
pada awal Periode Zhou.*∗3
Inskripsi-inskripsi yang berisi pemberian hadiah dan sikap loyalitas tampaknya menunjukkan suatu struktur seperti-piramida yang rumit, dengan
paling tidak sebanyak lima tingkat pejabat meluncur ke bawah dari tahta
Zhou sampai tingkat kedua tuan-tuan ”tergaji” yang menguasai negara-negara bagian, berlanjut dengan tiga tingkat bangsawan lagi dengan luas wilayah
dan kekuasaan yang kian menurun.4
Banyak risalah sejarah menyebut para bangsawan itu ”tuan-tuan pemilik
tanah”. Raja Zhou memang memiliki semacam wewenang atas seluruh negeri; ia tidak ”memiliki” daerah China, seperti yang mungkin dimiliki seorang
tuan tanah di Abad Pertengahan, tetapi ia memiliki hak untuk mengelolanya secara benar. Hak pengelolaan itu ia berikan kepada para bangsawannya
sebagai imbalan atas loyalitas mereka dan (bila diperlukan) dukungan militer mereka. saat seorang ”tuan” menjadi ”tergaji” oleh raja Zhou, ia tidak
diberi anugerah tanah; sebaliknya, ia diberi hadiah-hadiah sebagai lambang
yang menyatakan bahwa raja Zhou telah menganugerahinya sebagian dari ke-
kuasaan yang suci. Yang paling sering, anugerah-anugerah itu berupa bejana
perunggu berinskripsi. Anugerah perunggu melambangkan baik kekayaan
maupun kekuasaan; kekuasaan yang cukup untuk mengendalikan para petambang yang menggali bijih logam, perajin yang membuat bentuk-bentuk
darinya, dan imam yang membuat inskripsi padanya.5
Kedudukan Zhou di
puncak tangga kekuasaan itu ditampilkan dengan sembilan bejana upacara
semacam itu: Sembilan Bejana yang berada di ibu kota Zhou.
Terdapat sebuah perbedaan besar antara hubungan ”feodal” semacam ini
dan feodalisme yang berlaku pada masa-masa sesudahnya. Salah satunya,
tuan-tuan feodal pada masa sesudah itu akan mengklaim kepemilikan nyata
terhadap suatu daerah, bukan hanya kekuasaan moral atas daerah tersebut.
Kekuasaan moral dapat lenyap dalam waktu yang sangat cepat. Wu sendiri
sangat bertumpu pada peri keadilan istananya untuk mendukung kekuasaannya. “Guna menjamin adanya perlindungan dari Langit”, tuturnya kepada
salah seorang adiknya, tidak lama sesudah ia meraih tahta, “... kita harus memisahkan orang yang jahat dan menyingkirkan mereka ... Siang dan malam
kita harus mengganjar dan meneguhkan rakyat untuk menjaga daerah Barat
kita”.6
Ia juga berusaha sebaik-baiknya untuk memberikan penghormatan kepada kekuasaan ilahi yang telah dianut oleh Shang sebelumnya. Ia memang memindahkan ibu kotanya ke kota kembar Feng dan Hao yang terbelah oleh
sungai Fenghe;*∗
tetapi ia menunjuk anak lelaki Chou, ahli waris tahta yang
dilengserkan, sebagai salah seorang tuan tanah bawahannya, dengan kekuasaan atas sebuah daerah sentral Shang lama. Menurut Sima Qian, anak itu,
Lu-fu, diberi ibu kota lama Yin sebagai basis kedudukannya, dan diberi tanggung jawab atas daerah di sekitarnya, karena “Yin baru saja didamaikan, dan
[keadaannya] belum stabil”. Wu juga merinci bahwa dua dari adiknya harus
“membantu” mantan pangeran itu; dua pengawas untuk menjaga agar Lu-fu
membawakan sikapnya dengan baik.7
Begitu Wu meninggal, kerapuhan kekuasaannya menjadi kentara. Anak lelakinya masih muda, maka saudaranya, Tan, mengambil alih tanggung jawab
sebagai wali. Namun, hampir secepat itu pula kedua saudara yang semestinya
mengawasi Lu-fu melakukan pemberontakan bersenjata di tengah wilayah
Shang lama. Mereka berniat mendudukkan Lu-fu kembali di tahta sebagai
penguasa-boneka mereka.
Tan menghalau bala tentara itu atas nama raja muda dan mengatasi para
pemberontak dengan jumlah besar. Lu-fu meninggal dalam pertempuran, demikian pula salah seorang dari kedua saudaranya; lalu Tan berusaha
sebaik-baiknya untuk mematahkan perlawanan Shang yang masih tersisa
dengan mendeportasi para tokoh yang tetap loyal kepada Shang yang tinggal
di sekitar Yin ke bagian-bagian kekaisaran lainnya.8
Memberikan pengakuan
kepada kekuasaan ilahi Shang yaitu terlalu berbahaya.
Cerita-cerita tua menuturkan bahwa sesudah memerintah sebagai wali
selama tujuh tahun, Tan dengan sukarela turun dari kewaliannya dan menyerahkan kendali kekuasaan kepada Ch’eng yang baru tumbuh dewasa.
Barangkali ia memang melakukannya. Di pihak lain, penyerahan kekuasaan
itu dilaksanakan lebih jauh dengan menguraikan masalah ruwet kenaikan
Zhou ke tampuk kekuasaan. Raja Ch’eng yang masih muda memegang kekuasaan hanya karena ayahnya yaitu pembunuh raja. saat Tan, seseorang
yang dipuji di seluruh negara berkat kebijaksanaan dan kemuliaannya, dengan
sukarela menyerahkan kekuasaan kepadanya, kekuasaannya digeser ke suatu
dasar yang berbeda.9
Seorang yang mulia menyerahkan kekuasaannya hanya
kepada seorang lain yang lebih mulia, dan orang itu yaitu Ch’eng.
Tan tetap menjadi salah seorang menteri raja muda itu. Sebagai ”Adipati
Zhou”, ia dihargai sebagai orang yang menata negara China ke dalam suatu
birokrasi yang efisien, mungkin untuk yang pertama kali. Penataan itu meli-
puti pengawasan yang benar terhadap tanah, sebuah sistem pajak, penunjukan
para pejabat, dan beberapa masalah sehari-hari. Tetapi tugas Adipati Zhou
yang terpenting ialah menghimpun seluruh tata upacara di sekitar istana ke
dalam sebuah buku ritual. Agar raja Zhou dapat memerintah tanpa harus
terus menerus menggunakan tentaranya untuk mendisiplinkan pemberontak,
kekuasaan ilahinya harus terlihat dengan jelas. Ritual yang mengelilinginya
akan memperlihatkan otoritas moral, bayangan kasat mata yang ditampilkan
oleh kekuasaannya yang tidak kasat mata.
Dengan mapannya kekuasaan pada pusat kerajaannya, kini Ch’eng perlu
memikirkan daerah-daerah pinggir kerajaannya. Tak ada satu kitab ritual yang
akan mampu meyakinkan orang-orang yang tinggal berjarak satu hari perjalanan atau lebih jauh dari ibu kota bahwa raja Zhou harus dipatuhi. Itu harus
dilakukan dengan kekuatan.
Sisi Timur kekaisarannya mungkin merupakan daerah yang paling merisaukan; sisa-sisa Shang telah dipindahkan ke sana dan perlu diawasi. Maka,
Adipati Zhou membangun sebuah benteng di sebelah Timur, di suatu titik
strategis: benteng itu akan mengendalikan bentangan tanah padat di sungai Kuning (yang dapat dijadikan pijakan suatu bala tentara musuh untuk
menyeberang) dan melindungi akses Timur ke ibu kota Zhou.10 Benteng itu
menjadi pusat sebuah kota baru: Loyang.*∗
lalu Ch’eng mengutus saudara-saudaranya untuk membangun
pusat-pusat pengawasan Zhou yang serupa itu di sepanjang pinggir wilayahnya yang lain. Ini memiliki keuntungan tambahan untuk menjauhkan mereka
dari ibu kota dan dari godaan untuk mencuri mahkotanya. Akibatnya, lingkaran luar kerajaan Zhou menjadi sekelompok koloni, yang masing-masing
diperintah oleh seorang kerabat kerajaan. Koloni yang paling luas terletak di
Jin, Wey, Lu, Qi, dan Yen (kota asli koloni lama Yen terletak di lokasi Peking
dewasa ini).
Ch’eng tak henti-hentinya berperang untuk menjaga keamanan di tepitepi kekaisaran-nya dari suku-suku yang tinggal di luar tapal batasnya dan
tidak mengakui kekuasaannya. Tetapi ia waspada untuk mengaitkan penggunaan kekuatan ini dengan hak ilahinya untuk memerintah. ”Mandat dari
Langit tidak boleh dianggap sebagai anugerah cuma-cuma”, katanya kepada
para pengikutnya, saat ia bersiap untuk melakukan kampanye penaklukan daerah sebelah Timur; ia mungkin telah dianugerahi hak untuk memerintah
berkat kemuliaannya, tetapi langit tidak mengharapkan ia untuk bersantai
dan hanya menunggu sampai setiap orang mengakuinya. Ia yaitu raja China
pertama, sejauh yang kita ketahui, yang menggunakan frase ”Mandat dari
Langit”.11 Mandat dari Langit memberi Ch’eng hak untuk mengangkat senjata; keberhasilannya dalam peperangan menunjukkan kebenaran Mandat dari
Langit. Itu suatu penalaran yang melingkar yang telah kita jumpai sebelumnya.
C’ sekitar tahun 996 SM, sesudah memerintah selama tiga
puluh tahun; anak lelakinya, K’ang, mewarisi tahta.
Di bawah pimpinan panglima jenderal Raja K’ang, tepi Utara kerajaan diperlebar lagi. Bala tentara Zhou bergerak menyerang sebuah suku Utara yang
dikenal sebagai Guifang dan menaklukkan mereka dengan kekuatan penuh.
”Aku menangkap 13.081 orang”, seru jenderal dengan bangga, ”beserta kuda,
tiga puluh kereta, 355 sapi dan tiga puluh delapan domba”.12
Jika ini kedengarannya lebih mirip orang Assiria yang meneriakkan
kesombongannya yang pernah kita dengar, memang demikianlah kenyataannya;
jauh di tepi-tepi kekaisaran, Mandat dari Langit harus ditunjang oleh pasukan
bersenjata. Anak lelaki K’ang, Zhao, yang naik tahta sekitar tahun 977,
mengikuti teladan ayahnya dan merancang suatu kampanye ekspansi lain,
kali ini ke sebelah Selatan. Tampaknya tindakannya itu diperkuat oleh sebuah
komet, yang tampak sebagai pertanda kemujuran.
Tetapi komet itu mengecoh. ”Enam bala tentaranya hilang”, tutur Risalah
Tahunan Bambu,” dan raja mangkat”.13 Cerita Sima Qian sedikit lebih hatihati: ”Pada masa Raja Zhao, pemerintahan rajawi yang agung berkurang”,
tulisnya.” Raja Zhao melakukan inspeksi ke Selatan dan tidak kembali. ...
Kematiannya tidak diberitahukan kepada para tuan tanah; pembicaraan
mengenai kematian itu dilarang. Mereka menahtakan anak lelaki Raja
Zhao”.14 Ini tidak mengherankan; kematian Zhao mengisyaratkan bahwa
bagaimana pun ia tidak dilindungi oleh Mandat dari Langit, dan lebih baik
menyembunyikan hal ini dari para tuan tanah bawahannya.
Dengan hapusnya ”Keenam bala tentara” (bala tentara utama kerajaan
yang ditempatkan di ibu kota), anak lelaki Zhou, Mu, segera menemukan
bahwa ia harus merumuskan kembali Mandat itu untuk dapat terus berpegang
padanya. saat ia mulai menggunakan kekuatannya yang tersisa melawan
suatu suku lain di Utara, suku Chuan-Jung, para bangsawannya melakukan
protes. Mandat dari Langit tidak menjangkau keluar sejauh itu, demikian
disampaikan kepada Mu. Memang, ia harus memandang kekaisarannya seperti segugus bawang berisi lima lapis: ”Di dalam kerajaan terdapat wilayah persediaan”, kata bangsawan kepadanya; ”tepat di luar wilayah persediaan terdapat wilayah peringatan; di luarnya, wilayah yang dibawahkan; lalu
wilayah kekuatan; dan akhirnya wilayah liar”.15
Masing-masing wilayah itu memiliki tanggung jawab yang semakin terbatas untuk mengakui Mandat, suatu tanggung jawab yang tercermin dalam
jenis-jenis persembahan yang dikirim ke ibu kota oleh penduduk dari masing-masing wilayah. Wilayah pusat, ”wilayah persediaan”, diharapkan
menyerahkan persembahan harian, wilayah peringatan persembahan bulanan,
wilayah tertakluk persembahan musiman. Kedua lapis luar kerajaan bahkan
memiliki tanggung jawab yang lebih terbatas lagi. Keduanya tidak menghaturkan persembahan. Wilayah kekuatan membayar upeti sekali setahun; wilayah
liar menghaturkan upeti hanya satu kali untuk setiap raja—pada pemakaman
raja. Chuan-Jung letaknya di wilayah liar, dan Mandat tidak mewajibkan agar
mereka diperlakukan dengan cara yang sama dengan perlakuan kepada orangorang pada pusat kerajaan. Jika menyerang mereka hasilnya sudah pasti akan
sia-sia.
Mu menerima hal ini dan ”berdamai dengan” Chuan-Jung; alih-alih
menyerang mereka, ia melakukan perjalanan rajawi ke Utara dan membawa
pulang banyak hadiah: ”empat serigala putih dan empat kijang putih”.
Tetapi ada sengatan pada ekor cerita: ”Sejak saat ini”, demikian Sima Qian
mengakhiri tuturannya, ”mereka yang berada di wilayah liar tidak datang lagi
untuk memberikan penghormatan”.16
Penalaran yang melingkar tentang Mandat itu telah berbalik dan membelit
kaki Mu. Mandat membenarkan perang; raja memiliki suatu tanggung jawab
suci untuk melindungi kekuasaannya yang dianugerahi secara ilahi. Tetapi
kekalahan dalam perang menimbulkan keraguan atas Mandat itu sendiri.
Untuk mempertahankannya, raja hanya pergi berperang dengan membawa
keyakinan mutlak bahwa ia akan menang. Ia telah memperkuat kekuasaannya di pusat kerajaannya, di mana istananya menyelenggarakan ritual harian
yang mengakui kedudukannya yang disucikan; tetapi dengan akibat tepi-tepi
kekaisarannya berlubang sampai akhirnya tepi-tepi itu sobek. G A R I S WA K T U 4 3
MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL CHINA
Suppiluliuma II Wu-yi
Dinasti kedua Isin Hattusus dijarah
(sek.1180)
Nebukhadnezzar I (1125-1104)
Tiglath-Pileser (1115-1076) Chou
Dinasti Zhou (1087-256)
Ashur-bel-kala (1074-1056) Zhou Barat (1087-771)
Pengambilalihan Aram Wen
Wu
Tan (wali)
Ch’eng
K’ang (sek. 996-977)
Zhao
Mu
S raja-raja zhou tengah bernegosiasi dengan suku-suku di daerah luar, rakyat India menyebar ke sebelah Utara daerah yang mereka ambil.
Campuran Arya-Harappa itu mengembara semakin jauh dari Indus, dan kini
tinggal di Doab, daerah di sebelah Timur kota Delhi dewasa ini, suatu lengkungan yang terletak di antara aliran Utara sungai Gangga dan anak sungai
yang dikenal sebagai Jamuna. Dalam Mahabharata, suatu karya di masa sesudah itu yang mungkin melestarikan tradisi yang lebih kuno, raja santunu
sangat mabuk kepayang oleh dewi Gangga dan menikahinya; ini mungkin
sekali merupakan gambaran dari perjalanan Arya ke lembah sungai Gangga.
Tidak banyak yang kita ketahui mengenai bangsa-bangsa yang berdiam di
situ sebelum masuknya orang Arya ke tanah air mereka. Rig Weda mengacu
kepada sebuah bangsa yang disebut dasa yang mendiami kota-kota berbenteng yang diruntuhkan oleh orang Arya yang menyerbu; sebuah bangsa yang
menjadi hamba dari para penakluk. Dasa kadang-kadang ditafsirkan sebagai
suatu acuan kepada orang Harappa, tetapi hal itu tidak masuk akal, karena
kota-kota Harappa telah runtuh sebelum datangnya orang Arya. Dan jika
”Dasyu” mengacu kepada penduduk asli lembah Gangga, kota-kota berbenteng itu merupakan suatu anakronisme; mereka yaitu penduduk desa.
Yang paling masuk akal, dasa yaitu suatu acuan umum kepada sukusuku bangsa lain yang dijumpai dalam penyebaran orang Arya; sebagian dasa
mungkin bahkan yaitu orang Arya yang telah bermigrasi secara terpisah ke
bagian-bagian lain di India.1
Orang Arya memerangi dasa seperti mereka saling
berperang sendiri. Tampaknya masuk akal bahwa mereka sesekali menikahi
orang-orang itu, karena bentuk dasa dan daha yang saling berhubungan itu
muncul dalam nama-nama raja-raja Arya legendaris. Di sini tidak terdapat
pembagian sederhana antara orang Arya dan orang lain; hanyalah suatu pola
yang bergeser dari klan-klan petempur yang bergerak ke Timur dan mengklaim wilayah untuk diri mereka, kadang-kadang dengan mengorbankan pemukim
lainnya.
Antara tahun 1000 dan 600 SM, daerah-daerah subur di sekitar Gangga
yaitu hutan tropis dan paya-paya, yang tertutup semak-semak hijau yang lebat dan misterius.2
Dongeng-dongeng tertua tentang hutan itu menyebutkan bahwa hutan
itu dihuni jin, tetapi itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa orang-orang
yang tinggal di sana memberikan perlawanan yang keras terhadap orang Arya
pendatang itu. Hutan sendiri merupakan musuh. Hutan harus ditebang, oleh
sebuah bangsa yang terbiasa melakukannya. Akar-akar, yang lebih besar dan
lebih dalam dibandingkan dengan yang pernah mereka lihat, harus digali dari
tanah. Ular berbisa dan binatang yang asing mengendap-endap di semaksemak yang gelap.
Tetapi klan-klan petempur mendesak lebih jauh. Besi—yang sebelumnya
kebanyakan digunakan untuk senjata, pisau, dan pucuk panah—kini terbukti
bermanfaat sebagai kapak dan bajak yang tebal. Dalam Satapatha Brahaman
(salah satu dari komentar prosa yang dilampirkan pada Rig Weda yang bergaya puisi, puisi-puisi suci yang berasal antara tahun 1000 dan 700 SM), kita menemukan sebuah lukisan yang hidup tentang dewa api Agni yang menyebarkan nyalanya ke Timur dan menghanguskan hutan-hutan; sangatlah
mungkin bahwa ini melukiskan penggundulan drastis hutan-hutan belantara
dengan api.3
Dalam kurun beberapa abad, hutan-hutan digunduli. Kehidupan bertani
menetap yang telah menjadi norma di lembah Indus, yang berpusat di sekitar
dusun-dusun dan kota-kota kecil serta sawah-sawahnya, lambat laun diberlakukan di lembah di mana sebelumnya terdapat hutan belantara yang tak
berujung.
lalu pecahlah suatu perang besar. Perang itu terjadi antara bentangbentang Utara Gangga dan bentang-bentang Timur Indus, tepat di sebelah
Selatan barisan pegunungan Himalaya, di suatu dataran yang bagi para pakar
geografi dikenal sebagai dataran Indo-Gangga.
Walaupun detail-detail sejarah perang itu hilang ditelan waktu , penyairpenyair masa sesudah itu menuangkannya sebagai suatu pertarungan epik
dalam Mahabharata—seperti halnya Perang Troya yang diabadikan oleh
Homerus, yang menutupi suatu inti kebenaran kuno dengan adat istiadat dan
kecenderungan-kecenderungan zamannya sendiri.4
Menurut Mahabharata,
perang itu timbul dari suatu kekusutan generalogis yang ruwet.*∗
Raja dari
klan Kuru telah wafat tanpa keturunan; itu berarti bahwa garis kerajaan Kuru
hampir punah. Anggota-anggota keluarga raja yang masih tinggal yaitu
ibunda ratu, kedua istri yang masih hidup (dan tidak memiliki anak) dari raja
yang wafat, serta kakak lelaki mendiang raja, Bhisma. Namun Bhisma tidak
berdaya, karena beberapa tahun sebelumnya ia telah mengucapkan ikrar resmi
yang menakutkan untuk melepaskan segala klaim terhadap tahta adiknya, dan
ikrar resmi kedua yang menakutkan untuk tetap wadat.
Dalam situasi semacam itu, ibunda ratu memutuskan untuk mengambil
langkah drastis guna melestarikan garis keluarga. Ia mengumpulkan seorang
petapa dan orang bijak besar bernama Vyasa—seorang bijak misterius yang
juga dikenal sebagai Krishna, ”karena warna tubuhnya yang gelap.” 5
saat
Vyasa tiba, ibunda ratu meminta pertolongan kepadanya: ia ingin agar Vyasa
menghamili kedua menantu perempuannya, agar mereka dapat melahirkan ahli waris untuk kerajaan.*†
Vyasa setuju untuk tidur dengan menantu perempuan yang lebih tua.
(”Jika ia tidak menghiraukan tubuhku, tampangku, pakaianku, dan bau badanku”, katanya sambil lalu.) Putri itu menutup mata, menyerahkan dirinya,
dan ”pada saatnya” melahirkan seorang anak lelaki yang menjadi ahli waris
tahta. Tetapi bayi yang dinaminya Dhritarasthra itu buta.
Ibunda ratu, karena bingung saat membayangkan seorang raja yang buta,
mengutus Vyasa kepada menantu perempuan yang kedua; pada saatnya pun ia
melahirkan seorang anak lelaki bernama Pandu. Untuk memberikan penunjang, ibunda ratu lalu mengatakan kepada menantu perempuannya
yang lebih tua untuk bersetubuh lagi dengan Vyasa, agar ia dapat memiliki
anak lelaki lagi dalam garis kerajaan. Tetapi sang putri, teringat ”bau memuakkan” itu, mengirim hamba perempuannya sebagai gantinya. Gadis itu
menjadi hamil dan melahirkan anak ketiga dari Vyasa, seorang anak lelaki
bernama Vidura.
Kini ada tiga saudara tiri yang berada dalam garis kerajaan. Ketiga-tiganya
dibesarkan oleh paman mereka, Bhisma yang tetap wadat, yang melatih mereka dalam hal keterampilan sebagai raja. Vidura tumbuh sebagai yang paling
bijak dan paling saleh; Pandu unggul dalam hal memanah; dan Dhritarasthra,
walaupun buta, menjadi sangat kekar dan ditunjuk sebagai ahli waris tahta
Kuru.
Mos Ini menggambarkan klan India Kuru pada titik peralihan: dari
kehidupan mengembara di mana sebuah jaringan petempur mengawasi
kepentingan klan, menuju suatu gagasan yang lebih hirarkis berupa posisi
rajawi, di mana seseorang dari klan dapat mengklaim hak turun temurun
untuk memerintah seluruh anggota klan lainnya. silsilah ketiga saudara
yang bersimpul-simpul itu menunjukkan suatu kebudayaan di mana gagasan
peralihan suatu kekuasaan kerajaan secara langsung memang ada, tetapi tidak
teratur. struktur posisi kerajaan baru mulai menghancurkan hubungan darah
yang lama di antara klan-klan mantan pengembara itu, dan penyerahan
kekuasaan dari ayah kepada anak lelaki—seperti pada zaman Etana—masih cukup baru sehingga memerlukan campur tangan dari yang adikodrati, seperti
yang ditunjukkan pada bab berikutnya dari cerita itu.
Dhritarasthra, anak lelaki paling tua yang buta, menikahi seorang wanita
yang saleh dan cantik bernama Gandhari, seorang putri dari klan Gandhara
di sebelah Utara. Ia menginginkan seratus anak lelaki, agar garis kerajaan
suaminya terjamin aman untuk selamanya. Maka, ia memohon kepada ayah
mertuanya Vyasa, yang muncul sekali lagi dan menggunakan kekuasaannya
untuk membuat suatu kehamilan adikodrati yang berlangsung selama dua
tahun. saat anak Gandhara itu akhirnya lahir, ia bukan seorang bayi tetapi
seonggok daging; Vyasa memotong-motongnya menjadi seratus potong dan
potongan itu menjadi anak-anak. Secara teknis semua anak lelaki itu sama
usianya, tetapi yang mereka akui sebagai ”anak tertua” dan ahli waris yang
nyata yaitu Duryodhana.
Sementara itu, saudara kedua, Pandu, juga menikah. Guna mengungguli
kakaknya, ia menikah dengan dua putri dari dua klan tetangga yang berbeda,
Yadu dan Madra. Istri tuanya melahirkan seorang anak lelaki, Yudhishtra.
Karena kehamilan Gandhari berlangsung selama dua tahun, Yudhishtra lahir
sebelum onggok daging bayi Gandhari; demikianlah Yudhistra juga dapat
mengklaim sebagai ahli waris kerajaan yang paling tua di dalam keluarga.
Sayangnya Pandu telah dibuat menjadi impoten beberapa waktu sebelumnya oleh kutukan seorang bijak yang mudah marah. Ini mengisyaratkan
bahwa seorang lelaki lain telah menggauli istrinya secara sembunyi-sembunyi
—dan berulang kali, karena wanita itu lalu melahirkan dua anak lelaki
lagi, sementara istri muda Pandu memiliki dua anak kembar.
Dengan kata lain, tidak terdapat suatu kewarisan atas dasar garis darah
yang jelas dalam seluruh klan Kuru. Jelaslah bahwa gagasan suatu posisi raja
yang turun temurun sarat dengan berbagai macam ketidakpastian.
Akibat ketidakpastian, timbullah konflik. Baik Dhritarasthra maupun
Pandu membawa keluarga mereka masing-masing untuk tinggal di istana.
Tak lama lalu , pecahlah suatu perang saudara antara keseratus anak
Dhritarasthra (orang ”Kurawa”, yang dipimpin oleh pangeran tertua,
Duryodhana) dan kelima anak Pandu (orang ”Pandawa”, yang dipimpin oleh
saudara tertua mereka, Yudhishtra).
Wilayah yang merupakan ajang pertikaian mereka berpusat di sekitar
Hastinapura, ibu kota Kuru yang letaknya di tepi hulu sungai Gangga. Kaum
Kurawa mula-mula unggul, dan merebut kekuasaan atas kota. Sementara itu,
menurut Mahabharata, kelima anak Pandu semua menikah dengan wanita
yang sama (suatu kasus langka poliandri)—Drupadi yang cantik, anak perempuan raja Pancala, suatu klan yang tinggal di sebelah Timur.6
Drupadi digambarkan ”berkulit gelap, dan matanya seperti kelopak teratai”7
—detail fisik yang, dengan letak tanah airnya di sebelah Timur,
mengisyaratkan bahwa ia yaitu anak perempuan seorang raja asli setempat.
Karena Vyasa juga digambarkan berkulit gelap, itu tidak berarti bahwa klan
Pancala yang ”kulitnya gelap” sama sekali tidak ada kaitannya dengan orang
Arya. Jelaslah bahwa orang Arya dan klan-klan asli setempat telah saling menikah selama kurun beberapa dasawarsa.8
Tetapi klan-klan di sebelah Timur agaknya memiliki lebih banyak darah
setempat dan lebih sedikit darah Arya. Orang Arya memiliki nama untuk
wicara orang-orang yang tinggal di lembah Timur Gangga: namanya mleccha,
bahasa yang telah diubah dan terdistorsi.9
Klan Pancala yaitu salah satu dari
klan-klan yang paling berdarah asli setempat. Kurawa bersaudara telah membuat aliansi dengan klan-klan Arya lain, tetapi Pandawa bersaudara membuat
aliansi yang strategis dengan orang-orang asli setempat.
Beberapa tahun sesudah melakukan aliansi dengan Pancala, kaum
Pandawa membangun sebuah istana di Indraprastha, di tepi Selatan daerah
yang diklaim oleh kaum Kurawa. Mereka juga memahkotai kakak sulung
mereka Yudhishtra sebagai raja, yang merupakan tantangan terbuka terhadap
kekuasaan raja Kurawa yang memerintah di Hastinapura.
Tentu saja hal itu membuat kaum Kurawa marah, khususnya karena
megahnya istana mereka (banyak tiangnya bertatahkan emas yang berkilatkilat seperti bulan, dan balairung besar berhiaskan sebuah akuarium
raksasa ”yang dipermolek dengan teratai... dan dimeriahkan dengan ruparupa burung, juga kura-kura serta ikan”).10 Raja Kurawa Duryodhana
mengunjungi istana para kemenakannya, guna memeriksa tandingannya,
dan malu tersipu-sipu karena kemegahan istana itu; saat ia tiba di sebuah
ruangan besar yang lantainya serupa cermin, ia menyangka bahwa itu air,
lalu menggulung pakaiannya sampai ke pinggang, sampai ia menyadari
kekeliruannya. lalu , saat tiba di sebuah kolam, ia mengira bahwa
itu kaca dan jatuh tercebur. ”Pelayan-pelayan tertawa geli melihat itu”, jelas
Mahabharata. Demikian pula seluruh Pandawa bersaudara, kakek-paman
mereka Bhima, dan ”setiap orang yang ada di sana. ... Dan Duryodhana
tidak dapat memaafkan penghinaan itu”.11
Tetapi perang terbuka antara sesama kemenakan itu belum meletus, dan
Duryodhana memutuskan untuk memberikan tantangan yang lebih cerdik:
ia mengundang kaum Pandawa untuk mengunjungi istananya dan lalu menantang mereka bermain dadu. Yudhishtra setuju untuk bermain
mewakili adik-adiknya dan kehilangan mula-mula permata-permatanya, lalu seluruh hartanya, selanjutnya bala tentaranya, dan sesudah itu ratu
Drupadi. Akhirnya ia mempertaruhkan wilayahnya, dengan menyepakati
bahwa—andai kata ia akhirnya kalah—ia dan adik-adiknya akan meninggalkan Indraprastha dan pergi ke pengasingan selama dua belas tahun.
Dilihat dari sebuah syair dalam Rig Weda (”Istri yang ditinggalkan oleh
sang penjudi itu berduka! Dililit hutang, ketakutan, dan kekurangan uang,
pergilah sang penjudi itu mengembara di malam hari...!”), demam judi dikenal di antara orang India dalam milenium pertama.12 Demam judi yang ini
terbukti mengakibatkan kehancuran bagi mahkota Yudhishtra. Karena tidak
dapat mengelak saat nasib sial berpihak padanya, Yudhishtra kehilangan
segala-galanya. Adik-adiknya mengikutinya dengan enggan ke pengasingan,
sementara Duryodhana dan kaum Kurawa lainnya mengambil alih istana dan
tanah mereka.
Pengasingan itu ke hutan di sebelah Timur, tempat yang penuh misteri dan
tidak kenal akan peradaban itu. Tetapi selama dua belas tahun pengasingan itu
kaum Pandawa menjadi lebih kuat dalam perang. Busur dan anak panah baru
mereka, menurut cerita-cerita itu, tidak dapat patah karena diberkati dewadewa; yang lebih masuk akal, busur dan panah itu dibuat dari kayu baru, kayu
hijau yang sebelumnya tidak dikenal oleh para penduduk Indus.13
Pada tahun ketiga belas, saat kaum Pandawa kembali dari pengasingan,
Duryodhana tidak bersedia mengembalikan istana dan tanah mereka. Melihat
hal itu kemarahan para kemenakan itu pecah menjadi perang terbuka: Perang
Bharata.
Pandawa bersaudara diikuti oleh berbagai kerabat dan klan-klan setempat, termasuk klan Pancala; sedang kaum Kurawa, yang lebih unggul dengan
mengklaim loyalitas paman-paman yang ragu-ragu dan jenderal-jenderal
yang juga terkait dengan kedua klan namun terpecah di antara mereka. Hal
itu membuat bala tentara Kurawa menjadi sedikit lebih besar (sebelas divisi dibandingkan tujuh divisi di pihak Pandawa). Dinilai dari jumlah yang
berdasarkan tradisi ditetapkan untuk suatu ”divisi”, kekuatan Kurawa terdiri
dari sekitar 240.000 kereta dan gajah perang dengan jumlah yang sama, lalu 700.000 kavaleri dan sejuta prajurit infanteri, sedang kekuatan kaum
Pandawa terdiri dari tiga perempat juta prajurit infanteri, 460.000 prajurit
kavaleri, 153.000 kereta, dan gajah perang sejumlah itu juga. Angka-angka
itu tidak masuk akal, tetapi tentunya terjadi suatu pertempuran besar-besaran
saat kedua bala tentara saling berhadapan.
Kisah Mahabharata, seperti kisah Troya tuturan Homerus, tentu saja menerapkan konvensi-konvensi peperangan dari masa sesudahnya yang gayanya
lebih berkembang daripada pertarungan primitif yang terjadi saat itu untuk
meraih kekuasaan. Menurut kisah epik itu, pertempuran dikendalikan oleh
aturan-aturan fair play yang rumit: satu serdadu seorang diri tidak boleh dikeroyok oleh sekelompok serdadu, pertarungan satu lawan satu hanya boleh
dilakukan antara dua orang yang senjatanya sama; pembantaian prajurit yang terluka atau tidak siuman dilarang, demikian pula menyerang dari belakang;
dan setiap senjata memiliki aturan penggunaannya yang rumit yang harus
dipatuhi.
Aturan-aturan kerajaan semacam itu menampilkan perang dengan wajah
yang sangat beradab, tetapi aturan itu muncul dari keprihatinan orang
yang hidup berabad-abad sesudahnya. Bagian yang paling terkenal dalam
Mahabharata, yakni Bhagawad Gita atau Gita Tuan, dengan jelas berkisar seputar jenis dilema perang yang tidak mungkin merisaukan para petempur
dalam mitos tersebut. Dalam bagian itu Khrisna sendiri, yang menyamar sebagai sais kereta pangeran Arjuna dari Pandawa (ia yaitu saudara tengah
dan yang paling terkenal kepiawaiannya), membantu Arjuna memecahkan
sebuah dilema etik. Karena sedemikian banyak kerabatnya sendiri yang berjajar melawan dia dalam perang saudara antara kemenakan itu, haruskah ia
menyerang—ataukah lebih baik membiarkan dirinya dibunuh?
Tetapi pertempuran kuno itu berlangsung antarklan yang belum begitu
jauh dari zaman lama mereka sebagai petempur pengembara. Walaupun meletakkan keprihatinan-keprihatinan etik di mulut para petempur, Mahabharata
sesekali memberikan kilasan pandangan akan adanya kebiadaban. Bhisma,
kakek-paman baik kaum Pandawa maupun kaum Kurawa, berperang di
pihak Kurawa; saat ia membantai pangeran Dushasana dari Pandawa, yang
sebenarnya yaitu kemenakannya sendiri, ia meminum darahnya dan menarikan dendang kemenangan di medan pertempuran sambil meraung-raung
seperti seekor binatang.14
P perang besar itu yaitu Pandawa bersaudara: mereka yang telah
beraliansi dengan penduduk setempat. Tetapi kaum Pandawa meraih kemenangan dengan korban yang sangat besar untuk diri mereka sendiri. Hampir
semua prajurit mereka gugur dalam suatu pembantaian besar-besaran beberapa saat sebelum kaum Kurawa menyerah.
Mahabharata sendiri meratapi adegan akhir peperangan yang melibatkan
pertumpahan darah yang besar. Pada akhir cerita, pangeran Yudhishtra dari
Pandawa, dalam perjalanan naik ke kehidupan di seberang sana, menceburkan diri ke sungai Gangga yang suci dan surgawi, lalu muncul kembali
dengan tubuh manusiawi yang telah terbasuh. ”Melalui pembasuhan itu”,
tutur cerita, ”ia dibersihkan dari semua kebencian dan kedukaan.” Ia berjumpa lagi dengan adik-adik serta kemenakan-kemenakannya di lingkungan
surgawi, dan mereka pun sudah dibersihkan dari segala kebencian. Dan di
sanalah mereka tinggal, kaum Pandawa dan kaum Kurawa itu, sebagai ”pahlawan-pahlawan yang telah dibebaskan dari kemarahan manusiawi”, serta menikmati keberadaan bersama mereka tanpa perseteruan, di suatu dunia
yang jauh dari ambisi-ambisi para raja.*∗
G A R I S WA K T U 4 4
CHINA INDIA
Wu-yi
Orang Arya/Harappa mulai mengembara ke Timur
Chou
Dinasti Zhou (1087-256)
Zhou Barat (1087-771)
Wen
Wu
Tan (wali)
Ch’eng
K’ang (sek. 996-977)
Zhao
Mu
Perang Bharata
Di p daerah orang Semit Barat, salah satu dari suku-suku pengembara yang telah ikut dalam serangan Bangsa Laut ke Mesir telah menetap di
dekat Laut Tengah. Pemukiman mereka berkembang menjadi kota-kota, dan
kota-kota membentuk suatu aliansi yang terorganisasi secara longgar. Kotakota yang paling kuat dalam aliansi itu yaitu Gaza, Ashkelon, Ashdod, Gath,
dan Ekron, yang disebut ”Pentapolis”. Orang Mesir menyebutnya Peleset; tetangga-tetangga mereka menyebut mereka Filistin.
Orang Filistin tidak menulis, dan itu berarti bahwa sejarah mereka sampai
kepada kita dengan dibiaskan melalui kronik-kronik musuh-musuh mereka;
begitu panjang ceritanya untuk menjelaskan reputasi mereka sebagai orangorang yang bertabiat buruk, kasar, dan pada umumnya tidak beradab. Tetapi
sisa-sisa peninggalan mereka mengisyaratkan bahwa kebudayaan mereka
sebagian besar memang pinjaman dari kebudayaan lain. Tembikar Filistin memiliki gaya Mycenas; bahasa asli mereka segera saja tersisih oleh sebuah dialek
Kanaan; dan bahkan invasi mereka ke Mesir yang gagal itu memberi cita rasa
khusus pada sup Filistin. Mereka menguburkan jenazah dengan peti berpahat menyerupai sarkofagus Mesir, dengan lidah-lidah dari lempung yang di
atasnya dipasang bentuk-bentuk wajah serta lengan-lengan tak proporsional
yang terlalu pendek untuk dilipat. Peti mayat Mesir palsu itu bahkan dihiasi
hiroglif yang dilukis oleh seseorang yang sering melihat tanda-tanda itu tetapi
tidak mengetahui apa artinya; hiroglif itu tidak ada artinya.
Betapa pun kuatnya, kelima kota Pentapolis itu tidak memiliki wibawa
yang mutlak terhadap wilayah Semit Barat Selatan. Hampir sejak menetap di sana, mereka ditantang oleh para pesaing atas tanah itu: keturunan
Abraham.
sesudah meninggalkan Mesir, orang Ibrani lenyap dari kancah internasional selama beberapa dasawarsa. Menurut cerita mereka sendiri, mereka mengembara di gurun selama
empat puluh tahun, suatu rentang waktu yang mencukupi
bagi suatu generasi baru untuk
menjadi dewasa. Tahun-tahun
yang dari sudut sejarah tak kelihatan itu secara teologis sangat
menentukan. Kitab Eksodus
menyatakan bahwa Allah mengumpulkan
orang Ibrani di sekeliling
Gunung Sinai dan memberikan kepada mereka Sepuluh
Perintah, yang dipahat pada
dua loh batu—satu untuk
masing-masing pihak yang melangsungkan perjanjian, Allah
sebagai pihak yang besar dan
orang Ibrani sebagai pihak yang
kecil.
Itu yaitu landasan dasar
identitas nasional orang Ibrani,
yang mendorong ke arah reorganisasi politis. Bangsa Ibrani
secara tak resmi merunut asal-usul mereka kepada Abraham dan kedua belas
cucunya selama berabad-abad. Kini, atas perintah ilahi, Musa, pemimpin mereka, melakukan cacah jiwa dan mendaftar semua klan dan keluarga. Mereka
dibagi ke dalam dua belas suku, masing-masing disebut dengan nama cucu
Abraham yang menjadi leluhurnya. Suku Yehuda merupakan suku yang paling besar, yang mencakup hampir sebanyak tujuh puluh lima ribu lelaki
berusia tempur; suku terkecil yaitu suku Manasye, dengan anggota sedikit
kurang dari separuhnya
Pengakuan resmi terhadap kedua
belas suku yaitu persiapan untuk
gerakan berikutnya. Orang Ibrani
kini telah mengembara jauh ke perbatasan Selatan daerah Semit Barat;
Musa sudah mati; dan Yosua, ajudan
dan pembantunya, telah menjadi komandan mereka. Di bawah pimpinan
Yoshua, suku-suku Ibrani menyatakan klaim terhadap daerah sepanjang
pantai, “dari Lebanon sampai ke
Efrat, seluruh negeri Hitti, sampai
ke Laut Besar di sebelah Barat“.1
Yoshua memimpin pengikutnya
ke sebelah Timur Laut Mati, sampai
ke ujung Utaranya, dan menyeberang sungai Yordan: perbatasan resmi
kerajaan Semit Barat. lalu ia
memerintahkan agar semua orang
Ibrani dewasa disunat, karena ritual
sunat telah diabaikan selama empat
dasawarsa di gurun. Tampaknya ini mungkin bukan awal yang paling baik
untuk suatu kampanye yang akan melibatkan banyak jalan kaki, tetapi Yoshua
merasa perlu agar orang-orangnya mengetahui apa yang sedang mereka lakukan: penaklukan Kanaan yaitu pemenuhan janji yang diberikan kepada
Abraham, orang Yahudi pertama dan orang pertama yang menyunatkan anakanak lelakinya, enam ratus tahun sebelumnya.
Sasaran militer pokok mereka yaitu Yeriko, benteng pertama di sebelah Barat sungai Yordan yang dikelilingi tembok tinggi dan menara-menara
penjagaan. Menurut cerita Alkitab dalam Kitab Yosua, pertempuran berakhir sesudah orang Ibrani mengelilingi tembok-tembok Yeriko satu kali setiap
hari selama enam hari. Pada hari ketujuh, mereka mengelilinginya tujuh kali
berturut-turut dan meniup trumpet, maka runtuhlah tembok Yeriko. Orang
Ibrani menyerbu melewati tembok yang sudah runtuh dan menghancurkan
segala benda hidup: lelaki, perempuan, anak-anak, sapi, domba, dan keledai.
sesudah kota diratakan dan dijarah, Yoshua mengutuknya. Dua ratus tahun
sesudah itu Yeriko masih belum ditinggali.2
Selama enam ratus tahun, penduduk Yeriko telah mengawasi dari menara kota, sambil menunggu munculnya
musuh yang tak terlawan di cakrawal dan menghantam tembok Yeriko yang
sangat besar.
Musuh itu akhirnya sudah tiba, tetapi tembok-tembok bahkan sudah
runtuh.
Y dalam usia lanjut sesudah melewatkan



