Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 14




 i ibu kota Shang. Kerangkakerangka orakel berjalan mondar-mandir antara ”Tuan dari Barat” dan istana 


Shang, yang mengakibatkan tetap terbukanya suatu jalur komunikasi atas 


dasar bahasa dan adat-istiadat yang sama.1


 Tetapi para bangsawan Zhou 


pertama-tama menyatakan kesetiaan kepada tuan mereka sendiri, bukan kepada raja Shang yang jauh tempatnya. saat  terjadi pemberontakan, mereka 


menunggu perintah dari ’Tuan dari Barat’. 


K-  menunjukkan dengan sangat jelas bahwa kerajaan 


Shang sendirilah yang menyebabkan pemberontakan itu. Mereka meninggalkan kebijaksanaan, padahal kebijaksanaan (bukan keperkasaan militer, seperti 


di Barat) yaitu  dasar dari kekuasaan mereka. Kaisar Wu-yi, penguasa kelima sesudah  Wu Ting, menunjukkan tandatanda awal kemerosotan itu. Pelanggaran-pelanggarannya, menurut Sima 


Qian, yaitu  pertama-tama pelanggaran melawan dewa: ia membuat berhala 


dan ”menyebutnya dewa-dewa surga”, dan bermain lotre dengan berhala-berhala itu. saat  ia menang, ia mengejek berhala-berhala itu sebagai penjudi 


bodoh. 


Ini yaitu  suatu pelanggaran serius terhadap tanggung jawabnya sebagai 


raja. Dengan semakin besarnya beban yang diberikan pada ritual kerangkaorakel, istana kerajaan telah menjadi pusat pewahyuan dewa yang diturunkan 


para leluhur kepada mereka yang masih hidup. Segala pertanyaan kepada para 


leluhur disampaikan dengan mengatasnamakan raja; raja menjadi saluran 


untuk pesan-pesan yang berasal dari kekuasaan ilahi. Tindakan mengejek kekuasaan-kekuasaan itu dianggap sangat mengejutkan. 


Hukumannya setara dengan kejahatannya; Wu-yi disambar petir saat  sedang berburu. Ia digantikan oleh anaknya, lalu  cucunya, dan di bawah 


pemerintahannya (menurut Sima Qian) negaranya semakin tambah merosot. 


lalu  cicit Chou mewarisi tahta, dan penguasa Shang jatuh.


Chou dianugerahi banyak bakat alami—Sima Qian memujinya sebagai 


seorang yang memiliki kekuatan, kecerdasan, kejernihan, dan daya tangkap 


yang tajam—tetapi ia menggunakan semuanya untuk hal-hal yang buruk. 


”Pengetahuannya cukup untuk melawan keluhan,” tulis Qian. ”dan omongannya cukup untuk menutupi kesalahannya .... Ia memandang setiap orang 


lebih rendah daripada dirinya. Ia penggemar anggur, tidak mengekang dirinya untuk kenikmatan, dan gemar akan perempuan.” Kegemaran Chou 


akan anggur dan kenikmatan mendorongnya untuk menaikkan pajak agar 


ia dapat menyediakan binatang buruan untuk hutan perburuan dan taman hiburannya; kegemarannya kepada perempuan menjadikannya terbius oleh 


pengaruh seorang anggota istana yang kejam dan senang berkuasa, yang bernama Ta Chi, dan hanya kata-kata Ta Chi saja yang mau didengarkannya. 


Kegemarannya akan tontonan menjadi begitu kuat sehingga ia membangun 


sebuah kolam dan mengisinya dengan anggur, menggantungkan daging seperti sebuah hutan di sekeliling kolam itu, dan ”menyuruh orang laki-laki 


dan perempuan berkejar-kejaran tanpa busana” mengitari kolam dan masuk 


ke hutannya.2.


Perilaku yang aneh itu melahirkan kekuasaan tirani yang mengerikan. 


Bangsawan yang diduga tidak setia kepadanya dipaksa berbaring di atas bangku penyiksaan yang merah karena panas. Chou menyuruh seorang pegawai 


istana agar dikuliti, dan seorang yang lain dikerat-kerat menjadi lembar-lembar daging dan digantung sampai kering. saat  pamannya menyampaikan 


keluhan kepadanya, ia berkomentar bahwa karena jantung seorang yang 


bijaksana memiliki  tujuh kamar, ia perlu memeriksa jantung pamannya 


dengan matanya sendiri sebelum nasihat pamannya dipatuhi—lalu  


ia melaksanakan ancamannya itu. Kekejamannya semakin parah sampai 


”tidak mengenal batas.” Para bangsawan—”keluarga-keluarga dengan seratus 


julukan”, yakni mereka yang memiliki nama kehormatan— ”dihinggapi kebencian dan sakit hati.”


Akhirnya ia melangkah terlalu jauh. Pemimpin Zhou bernama Wen, Tuan 


dari Barat, sedang berada di ibu kota untuk suatu urusan, dan Chou telah menyiapkan mata-mata untuk menguntitnya. saat  mata-mata itu melaporkan 


bahwa Tuan dari Barat telah ”diam-diam mengeluh” tentang perilaku raja, 


Chou memerintahkan agar Wen ditangkap dan dipenjarakan.*∗


saat  mendengar bahwa tuan mereka dipenjarakan, suku Zhou membawa jenis upeti yang kiranya akan melunakkan hati raja: barang-barang 


berharga dan perempuan-perempuan cantik. Chou memang tersentuh, dan 


membebaskan Wen. Tetapi Tuan dari Barat itu menolak untuk pulang tanpa 


melakukam suatu usaha untuk melindungi bawahan Chou yang tertindas 


oleh kebrutalan raja mereka. Ia mengatakan kepada Chou bahwa ia memiliki  suatu usulan; jika ia mau berjanji untuk menghentikan penggunaan 


bangku penyiksaan yang merah karena panas, Wen akan menghadiahinya 


tanah Zhou yang subur di sekitar sungai Lo, yang mengalir ke Selatan dan 


bermuara di sungai Wei. Chou, yang telah mendapat keuntungan yang sangat 


besar dengan memenjarakan Wen, menyetujui usul itu, ia menerima tanah itu 


dan mengizinkan Wen pulang.

Keputusan itu ternyata merupakan suatu kesalahan. Wen sangat dicintai 


di daerahnya sendiri sebagai raja petempur yang baik hati (seperti yang diperlihatkannya dengan mengorbankan tanahnya sendiri bagi rakyat) dan perkasa 


(Mengzi, sejarawan China dan filsuf dari masa sesudah  itu, menyebutkan sambil lalu bahwa tingginya tiga meter)3 sesudah  pulang ke Barat, diam-diam 


ia mulai menghimpun perlawanan terhadap raja. ”Banyak tuan tanah yang 


memberontak,” tulis Qian,” dan berpihak kepada Tuan dari Barat.” Mereka 


diikuti oleh orang-orang bijak dari istana yang membaca kerangka orakel dan 


nubuat dewa; mereka bangkit dalam jumlah besar beserta alat-alat ritual mereka, meninggalkan istana, dan bergerak ke Barat.


Wen, yang pada waktu itu sudah tua renta (usianya seratus tahun, menurut Mengzi), meninggal sebelum ia bisa memimpin pengikut-pengikutnya ke 


Shang..4 Tetapi, anaknya, Wu, mengambil alih panji-panjinya. Delapan ratus 


tuan tanah berjajar di belakangnya, masing-masing dengan tentaranya sendiri. Bala tentara Zhou yang terdiri dari lima puluh ribu orang bergerak menuju 


ke istana Shang di Yin. Dan Chou memerintahkan tentaranya untuk menyambut serangan Zhou: kekuatan tentara Chou tujuh ratus ribu orang. 


Kedua pasukan berhadapan hampir tiga puluh lima kilometer di luar kota 


Yin, pada Pertempuran Muye. Sebesar apa pun, tentara kerajaan seharusnya 


menghancurkan kekuatan pemberontak yang kecil itu, namun Zhou memiliki dua keunggulan. Yang pertama yaitu  keunggulan taktis: para bangsawan 


Zhou telah menyediakan tiga ratus kereta perang, sementara bala tentara 


kerajaan Shang tidak memiliki sama sekali.5 Tetapi keunggulan kedualah 


—moralisme yang dijunjung tinggi oleh pasukan Zhou—yang membalikkan keadaan melawan raja. Para pengikut raja, yang muak karena kekejaman 


pemimpin mereka, siap meninggalkan gelanggang. saat  barisan Zhou 


menghambur menuju mereka, bala tentara Shang di baris terdepan membalik 


arah serangan mereka dan mendesak orang-orang yang berada di belakangnya 


untuk berbalik, sehingga seluruh pasukan berbalik dan melarikan diri.


Melihat kekalahan yang tak terhindarkan ini, Chou mundur ke istana, di 


mana ia mengenakan baju zirah dari batu lumut sebagai persiapan untuk pertahanannya yang terakhir. Tetapi pasukan Zhou membakar istana dari segala 


penjuru. Chou mati ditelan api, sebuah akhir yang puitis untuk seseorang 


yang menggunakan api untuk menyiksa dan membunuh.


Dalam cerita ini terdapat suatu hembusan ketidaknyamanan perihal pemberontakan Wen. Para sejarawan kuno tidak merayakan kejatuhan sang tiran, 


dan Wu tidak menyombongkan diri saat menjadi raja dari cakrawala yang 


satu ke cakrawala yang lain, atau menimbun kepala musuh di dekat pintu gerbang. Ia tidak dipuji karena keterampilannya dalam berperang, tetapi karena 


memulihkan tata tertib yang benar.

Pemberontakan Zhou tepatnya yaitu  bukan suatu ketidaktaatan suatu 


pemerintahan rakyat. Bahkan sebelum pemberontakan, raja Shang memiliki 


kekuasaan yang ambigu terhadap Zhou. Wen yaitu  raja yang mandiri, tetapi raja Shang dapat menjebloskannya ke penjara dan menuntut tebusan. Di 


pihak lain, saat  Wen menawarkan hadiah tanah kepada Chou, raja mengakuinya dengan senang hati sebagai sebuah hadiah, alih-alih mengamuk dan 


mengatakan bahwa ia memang sudah menjadi penguasa tanah itu. 


Tetapi para sejarawan kuno masih merasa terpaksa membenarkan tantangan Zhou. Kebudayaan Zhou dan kebudayaan Shang yaitu  dua kebudayaan 


yang bersaudara, dan pertempuran antara keduanya merupakan suatu hal yang 


membingungkan seperti, permusuhan antara Set dan Osiris pada masa-masa 


awal bangsa Mesir. Kiranya dianggap perlu untuk menunjukkan bahwa raja 


Zhou yang pertama yaitu , bukan seorang bawahan yang tak menghormati 


hukum, tetapi seseorang yang bermoral yang berusaha bangkit untuk menggulingkan orang yang tak bermoral dan memulai daur itu kembali. Karena 


itu, penetapan tanggal pemerintahan Zhou bukan dimulai dari kemenangan 


Wu, tetapi dari ayahnya, yang dipenjara secara tidak adil dan dengan sukarela 


mengorbankan tanahnya untuk kebaikan rakyatnya. Dialah, bukan anaknya 


yang senang berperang, yang dipandang sebagai raja Zhou yang pertama. 


Pemerintahan Shang dianggap berakhir bukan saat  gerbang istana yang terbakar, tetapi pada saat para bangsawan dan pembaca orakel bersatu di bawah 


kepemimpinan Tuan dari Barat. Dan pengambilalihan oleh Zhou bukanlah 


invasi suatu bangsa musuh. Perilaku Chou yang tidak menaati hukum itulah 


yang menjadi penyebab kematiannya. Bagi para sejarawan China, kebusukan 


selalu datang dari dalam. 


Walaupun memiliki moral yang tinggi, Wu dari suku Zhou mengklaim 


gelar barunya dengan menghunjamkan sebuah tombak ke kepala Chou yang 


sudah hangus dan memancangkannya di depan gerbang kota Yin agar dilihat 


oleh semua orang. Orde yang lama telah hancur di dalam api. Orde yang baru 


telah tiba.

G A R I S WA K T U 4 2


MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL CHINA


  


 Shalmaneser I Hattusilis III


 Tukulti- Tudhaliya IV


 Ninurta


 Kastiliash V


 Assur-nadin-apli


 


 Suppiluliuma II Wu-yi


 Dinasti kedua Isin Hattusus diserang


 (sek.1180) 


 Nebukhadnezzar I (1125-1104)


 Tiglath-Pileser (1115-1076) Chou


 Dinasti Zhou (1087-256)


 Ashur-bel-kala (1074-1056) Zhou Barat (1087-771)


 Pengambilalihan oleh orang Aram Wen


 Wu







W W yaitu  raja Zhou pertama, Wen (yang meninggal 


sebelum penaklukan terakhir Shang) segera menjadi lambang awal dinasti baru 


itu. Lama sesudah  itu, Konfusius akan mencatat bahwa walaupun musik yang 


digunakan oleh Kaisar Wen untuk merayakan kemenangannya sungguh indah 


dan sangat baik, musik kemenangan Kaisar Wu ”walaupun sungguh indah, 


tidak sepenuhnya baik.” 1


 Pembersihan ibu kota Shang dengan kekerasan 


oleh Wu yaitu  suatu pelanggaran yang berbahaya terhadap kekuasaan ilahi 


kaisar.


Tak seorang pun menginginkan kembalinya Shang, tetapi dinasti Wu yang 


baru harus dibenarkan dengan hati-hati. Pada awal pemerintahannya, tutur 


Sima Qian, Wu mempersembahkan kurban kepada langit untuk menebus 


kesalahan-kesalahan penguasa Shang terakhr; ia ” menyingkirkan perisai-perisai dan kampak bersabit, menyimpan senjata-senjatanya, dan membubarkan 


tentaranya, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ia tidak lagi akan 


menggunakan semua itu”.2


 Suasana damai itu dimaksudkan untuk menebus 


kekacauan pada saat kenaikan tahta kekuasaannya.


Itu semua sangat etis, tetapi sekaligus juga suatu kebutuhan praktis. Untuk 


mempertahankan tahtanya, Wu harus memerintah berdasarkan pengaruh dan 


siasat, bukan kekuatan belaka. Raja Shang tidak mampu menangkis kekuatan 


para tuan tanah yang bersatu, dan Wu juga harus menghadapi kenyataan-kenyataan berikut: ia memerintah suatu kerajaan yang memiliki banyak tokoh 


kuat yang akan menolak suatu pemerintahan yang terlalu autokratis. Sima 


Qian mengacu kepada ”Tuan-tuan dari Sembilan Negeri”—para bangsawan 


yang memerintah wilayah mereka sendiri, sambil tetap menyatakan loyalitas mereka kepada raja. Tetapi sebenarnya terdapat jauh lebih banyak dari 


sembilan negeri; kitab Record of Rites, yang muncul beberapa abad sesudah  

itu, membilang jumlah yang banyaknya 1763 wilayah yang diperintah sendiri 


pada awal Periode Zhou.*∗3 


Inskripsi-inskripsi yang berisi pemberian hadiah dan sikap loyalitas tampaknya menunjukkan suatu struktur seperti-piramida yang rumit, dengan 


paling tidak sebanyak lima tingkat pejabat meluncur ke bawah dari tahta 


Zhou sampai tingkat kedua tuan-tuan ”tergaji” yang menguasai negara-negara bagian, berlanjut dengan tiga tingkat bangsawan lagi dengan luas wilayah 


dan kekuasaan yang kian menurun.4


Banyak risalah sejarah menyebut para bangsawan itu ”tuan-tuan pemilik 


tanah”. Raja Zhou memang memiliki semacam wewenang atas seluruh negeri; ia tidak ”memiliki” daerah China, seperti yang mungkin dimiliki seorang 


tuan tanah di Abad Pertengahan, tetapi ia memiliki  hak untuk mengelolanya secara benar. Hak pengelolaan itu ia berikan kepada para bangsawannya 


sebagai imbalan atas loyalitas mereka dan (bila diperlukan) dukungan militer mereka. saat  seorang ”tuan” menjadi ”tergaji” oleh raja Zhou, ia tidak 


diberi anugerah tanah; sebaliknya, ia diberi hadiah-hadiah sebagai lambang 


yang menyatakan bahwa raja Zhou telah menganugerahinya sebagian dari ke-

kuasaan yang suci. Yang paling sering, anugerah-anugerah itu berupa bejana 


perunggu berinskripsi. Anugerah perunggu melambangkan baik kekayaan 


maupun kekuasaan; kekuasaan yang cukup untuk mengendalikan para petambang yang menggali bijih logam, perajin yang membuat bentuk-bentuk 


darinya, dan imam yang membuat inskripsi padanya.5


 Kedudukan Zhou di 


puncak tangga kekuasaan itu ditampilkan dengan sembilan bejana upacara 


semacam itu: Sembilan Bejana yang berada di ibu kota Zhou.

Terdapat sebuah perbedaan besar antara hubungan ”feodal” semacam ini 


dan feodalisme yang berlaku pada masa-masa sesudahnya. Salah satunya, 


tuan-tuan feodal pada masa sesudah  itu akan mengklaim kepemilikan nyata 


terhadap suatu daerah, bukan hanya kekuasaan moral atas daerah tersebut. 


Kekuasaan moral dapat lenyap dalam waktu yang sangat cepat. Wu sendiri 


sangat bertumpu pada peri keadilan istananya untuk mendukung kekuasaannya. “Guna menjamin adanya perlindungan dari Langit”, tuturnya kepada 


salah seorang adiknya, tidak lama sesudah  ia meraih tahta, “... kita harus memisahkan orang yang jahat dan menyingkirkan mereka ... Siang dan malam 


kita harus mengganjar dan meneguhkan rakyat untuk menjaga daerah Barat 


kita”.6


 Ia juga berusaha sebaik-baiknya untuk memberikan penghormatan kepada kekuasaan ilahi yang telah dianut oleh Shang sebelumnya. Ia memang memindahkan ibu kotanya ke kota kembar Feng dan Hao yang terbelah oleh 


sungai Fenghe;*∗


 tetapi ia menunjuk anak lelaki Chou, ahli waris tahta yang 


dilengserkan, sebagai salah seorang tuan tanah bawahannya, dengan kekuasaan atas sebuah daerah sentral Shang lama. Menurut Sima Qian, anak itu, 


Lu-fu, diberi ibu kota lama Yin sebagai basis kedudukannya, dan diberi tanggung jawab atas daerah di sekitarnya, karena “Yin baru saja didamaikan, dan 


[keadaannya] belum stabil”. Wu juga merinci bahwa dua dari adiknya harus 


“membantu” mantan pangeran itu; dua pengawas untuk menjaga agar Lu-fu 


membawakan sikapnya dengan baik.7


Begitu Wu meninggal, kerapuhan kekuasaannya menjadi kentara. Anak lelakinya masih muda, maka saudaranya, Tan, mengambil alih tanggung jawab 


sebagai wali. Namun, hampir secepat itu pula kedua saudara yang semestinya 


mengawasi Lu-fu melakukan pemberontakan bersenjata di tengah wilayah 


Shang lama. Mereka berniat mendudukkan Lu-fu kembali di tahta sebagai 


penguasa-boneka mereka.


Tan menghalau bala tentara itu atas nama raja muda dan mengatasi para 


pemberontak dengan jumlah besar. Lu-fu meninggal dalam pertempuran, demikian pula salah seorang dari kedua saudaranya; lalu  Tan berusaha 


sebaik-baiknya untuk mematahkan perlawanan Shang yang masih tersisa 


dengan mendeportasi para tokoh yang tetap loyal kepada Shang yang tinggal 


di sekitar Yin ke bagian-bagian kekaisaran lainnya.8


 Memberikan pengakuan 


kepada kekuasaan ilahi Shang yaitu  terlalu berbahaya.


Cerita-cerita tua menuturkan bahwa sesudah  memerintah sebagai wali 


selama tujuh tahun, Tan dengan sukarela turun dari kewaliannya dan menyerahkan kendali kekuasaan kepada Ch’eng yang baru tumbuh dewasa. 


Barangkali ia memang melakukannya. Di pihak lain, penyerahan kekuasaan 


itu dilaksanakan lebih jauh dengan menguraikan masalah ruwet kenaikan 


Zhou ke tampuk kekuasaan. Raja Ch’eng yang masih muda memegang kekuasaan hanya karena ayahnya yaitu  pembunuh raja. saat  Tan, seseorang 


yang dipuji di seluruh negara berkat kebijaksanaan dan kemuliaannya, dengan 


sukarela menyerahkan kekuasaan kepadanya, kekuasaannya digeser ke suatu 


dasar yang berbeda.9


 Seorang yang mulia menyerahkan kekuasaannya hanya 


kepada seorang lain yang lebih mulia, dan orang itu yaitu  Ch’eng.


Tan tetap menjadi salah seorang menteri raja muda itu. Sebagai ”Adipati 


Zhou”, ia dihargai sebagai orang yang menata negara China ke dalam suatu 


birokrasi yang efisien, mungkin untuk yang pertama kali. Penataan itu meli-

puti pengawasan yang benar terhadap tanah, sebuah sistem pajak, penunjukan 


para pejabat, dan beberapa masalah sehari-hari. Tetapi tugas Adipati Zhou 


yang terpenting ialah menghimpun seluruh tata upacara di sekitar istana ke 


dalam sebuah buku ritual. Agar raja Zhou dapat memerintah tanpa harus 


terus menerus menggunakan tentaranya untuk mendisiplinkan pemberontak, 


kekuasaan ilahinya harus terlihat dengan jelas. Ritual yang mengelilinginya 


akan memperlihatkan otoritas moral, bayangan kasat mata yang ditampilkan 


oleh kekuasaannya yang tidak kasat mata. 


Dengan mapannya kekuasaan pada pusat kerajaannya, kini Ch’eng perlu 


memikirkan daerah-daerah pinggir kerajaannya. Tak ada satu kitab ritual yang 


akan mampu meyakinkan orang-orang yang tinggal berjarak satu hari perjalanan atau lebih jauh dari ibu kota bahwa raja Zhou harus dipatuhi. Itu harus 


dilakukan dengan kekuatan.


Sisi Timur kekaisarannya mungkin merupakan daerah yang paling merisaukan; sisa-sisa Shang telah dipindahkan ke sana dan perlu diawasi. Maka, 


Adipati Zhou membangun sebuah benteng di sebelah Timur, di suatu titik 


strategis: benteng itu akan mengendalikan bentangan tanah padat di sungai Kuning (yang dapat dijadikan pijakan suatu bala tentara musuh untuk 


menyeberang) dan melindungi akses Timur ke ibu kota Zhou.10 Benteng itu 


menjadi pusat sebuah kota baru: Loyang.*∗


lalu  Ch’eng mengutus saudara-saudaranya untuk membangun 


pusat-pusat pengawasan Zhou yang serupa itu di sepanjang pinggir wilayahnya yang lain. Ini memiliki keuntungan tambahan untuk menjauhkan mereka 


dari ibu kota dan dari godaan untuk mencuri mahkotanya. Akibatnya, lingkaran luar kerajaan Zhou menjadi sekelompok koloni, yang masing-masing 


diperintah oleh seorang kerabat kerajaan. Koloni yang paling luas terletak di 


Jin, Wey, Lu, Qi, dan Yen (kota asli koloni lama Yen terletak di lokasi Peking 


dewasa ini).


Ch’eng tak henti-hentinya berperang untuk menjaga keamanan di tepitepi kekaisaran-nya dari suku-suku yang tinggal di luar tapal batasnya dan 


tidak mengakui kekuasaannya. Tetapi ia waspada untuk mengaitkan penggunaan kekuatan ini dengan hak ilahinya untuk memerintah. ”Mandat dari 


Langit tidak boleh dianggap sebagai anugerah cuma-cuma”, katanya kepada 


para pengikutnya, saat  ia bersiap untuk melakukan kampanye penaklukan daerah sebelah Timur; ia mungkin telah dianugerahi hak untuk memerintah 


berkat kemuliaannya, tetapi langit tidak mengharapkan ia untuk bersantai 


dan hanya menunggu sampai setiap orang mengakuinya. Ia yaitu  raja China 


pertama, sejauh yang kita ketahui, yang menggunakan frase ”Mandat dari 


Langit”.11 Mandat dari Langit memberi Ch’eng hak untuk mengangkat senjata; keberhasilannya dalam peperangan menunjukkan kebenaran Mandat dari 


Langit. Itu suatu penalaran yang melingkar yang telah kita jumpai sebelumnya. 


C’  sekitar tahun 996 SM, sesudah  memerintah selama tiga 


puluh tahun; anak lelakinya, K’ang, mewarisi tahta.


Di bawah pimpinan panglima jenderal Raja K’ang, tepi Utara kerajaan diperlebar lagi. Bala tentara Zhou bergerak menyerang sebuah suku Utara yang 


dikenal sebagai Guifang dan menaklukkan mereka dengan kekuatan penuh. 


”Aku menangkap 13.081 orang”, seru jenderal dengan bangga, ”beserta kuda, 


tiga puluh kereta, 355 sapi dan tiga puluh delapan domba”.12


Jika ini kedengarannya lebih mirip orang Assiria yang meneriakkan 


kesombongannya yang pernah kita dengar, memang demikianlah kenyataannya; 


jauh di tepi-tepi kekaisaran, Mandat dari Langit harus ditunjang oleh pasukan 


bersenjata. Anak lelaki K’ang, Zhao, yang naik tahta sekitar tahun 977, 


mengikuti teladan ayahnya dan merancang suatu kampanye ekspansi lain, 


kali ini ke sebelah Selatan. Tampaknya tindakannya itu diperkuat oleh sebuah 


komet, yang tampak sebagai pertanda kemujuran.


Tetapi komet itu mengecoh. ”Enam bala tentaranya hilang”, tutur Risalah 


Tahunan Bambu,” dan raja mangkat”.13 Cerita Sima Qian sedikit lebih hatihati: ”Pada masa Raja Zhao, pemerintahan rajawi yang agung berkurang”, 


tulisnya.” Raja Zhao melakukan inspeksi ke Selatan dan tidak kembali. ... 


Kematiannya tidak diberitahukan kepada para tuan tanah; pembicaraan 


mengenai kematian itu dilarang. Mereka menahtakan anak lelaki Raja 


Zhao”.14 Ini tidak mengherankan; kematian Zhao mengisyaratkan bahwa 


bagaimana pun ia tidak dilindungi oleh Mandat dari Langit, dan lebih baik 


menyembunyikan hal ini dari para tuan tanah bawahannya.


Dengan hapusnya ”Keenam bala tentara” (bala tentara utama kerajaan 


yang ditempatkan di ibu kota), anak lelaki Zhou, Mu, segera menemukan 


bahwa ia harus merumuskan kembali Mandat itu untuk dapat terus berpegang 


padanya. saat  ia mulai menggunakan kekuatannya yang tersisa melawan 


suatu suku lain di Utara, suku Chuan-Jung, para bangsawannya melakukan 


protes. Mandat dari Langit tidak menjangkau keluar sejauh itu, demikian 


disampaikan kepada Mu. Memang, ia harus memandang kekaisarannya seperti segugus bawang berisi lima lapis: ”Di dalam kerajaan terdapat wilayah   persediaan”, kata bangsawan kepadanya; ”tepat di luar wilayah persediaan terdapat wilayah peringatan; di luarnya, wilayah yang dibawahkan; lalu  


wilayah kekuatan; dan akhirnya wilayah liar”.15


 


Masing-masing wilayah itu memiliki tanggung jawab yang semakin terbatas untuk mengakui Mandat, suatu tanggung jawab yang tercermin dalam 


jenis-jenis persembahan yang dikirim ke ibu kota oleh penduduk dari masing-masing wilayah. Wilayah pusat, ”wilayah persediaan”, diharapkan 


menyerahkan persembahan harian, wilayah peringatan persembahan bulanan, 


wilayah tertakluk persembahan musiman. Kedua lapis luar kerajaan bahkan 


memiliki tanggung jawab yang lebih terbatas lagi. Keduanya tidak menghaturkan persembahan. Wilayah kekuatan membayar upeti sekali setahun; wilayah 


liar menghaturkan upeti hanya satu kali untuk setiap raja—pada pemakaman 


raja. Chuan-Jung letaknya di wilayah liar, dan Mandat tidak mewajibkan agar 


mereka diperlakukan dengan cara yang sama dengan perlakuan kepada orangorang pada pusat kerajaan. Jika menyerang mereka hasilnya sudah pasti akan 


sia-sia.


Mu menerima hal ini dan ”berdamai dengan” Chuan-Jung; alih-alih 


menyerang mereka, ia melakukan perjalanan rajawi ke Utara dan membawa 


pulang banyak hadiah: ”empat serigala putih dan empat kijang putih”. 


Tetapi ada sengatan pada ekor cerita: ”Sejak saat ini”, demikian Sima Qian 


mengakhiri tuturannya, ”mereka yang berada di wilayah liar tidak datang lagi 


untuk memberikan penghormatan”.16


Penalaran yang melingkar tentang Mandat itu telah berbalik dan membelit 


kaki Mu. Mandat membenarkan perang; raja memiliki suatu tanggung jawab 


suci untuk melindungi kekuasaannya yang dianugerahi secara ilahi. Tetapi 


kekalahan dalam perang menimbulkan keraguan atas Mandat itu sendiri. 


Untuk mempertahankannya, raja hanya pergi berperang dengan membawa 


keyakinan mutlak bahwa ia akan menang. Ia telah memperkuat kekuasaannya di pusat kerajaannya, di mana istananya menyelenggarakan ritual harian 


yang mengakui kedudukannya yang disucikan; tetapi dengan akibat tepi-tepi 


kekaisarannya berlubang sampai akhirnya tepi-tepi itu sobek. G A R I S WA K T U 4 3


 MESOPOTAMIA DAN ASIA KECIL CHINA


  


 Suppiluliuma II Wu-yi


 Dinasti kedua Isin Hattusus dijarah 


 (sek.1180)


 Nebukhadnezzar I (1125-1104)


 Tiglath-Pileser (1115-1076) Chou


 


 Dinasti Zhou (1087-256)


 Ashur-bel-kala (1074-1056) Zhou Barat (1087-771)


 Pengambilalihan Aram Wen


 


 Wu


 Tan (wali)


 Ch’eng


 K’ang (sek. 996-977)


 Zhao


 Mu



S raja-raja zhou tengah bernegosiasi dengan suku-suku di daerah luar, rakyat India menyebar ke sebelah Utara daerah yang mereka ambil. 


Campuran Arya-Harappa itu mengembara semakin jauh dari Indus, dan kini 


tinggal di Doab, daerah di sebelah Timur kota Delhi dewasa ini, suatu lengkungan yang terletak di antara aliran Utara sungai Gangga dan anak sungai 


yang dikenal sebagai Jamuna. Dalam Mahabharata, suatu karya di masa sesudah  itu yang mungkin melestarikan tradisi yang lebih kuno, raja santunu 


sangat mabuk kepayang oleh dewi Gangga dan menikahinya; ini mungkin 


sekali merupakan gambaran dari perjalanan Arya ke lembah sungai Gangga.


Tidak banyak yang kita ketahui mengenai bangsa-bangsa yang berdiam di 


situ sebelum masuknya orang Arya ke tanah air mereka. Rig Weda mengacu 


kepada sebuah bangsa yang disebut dasa yang mendiami kota-kota berbenteng yang diruntuhkan oleh orang Arya yang menyerbu; sebuah bangsa yang 


menjadi hamba dari para penakluk. Dasa kadang-kadang ditafsirkan sebagai 


suatu acuan kepada orang Harappa, tetapi hal itu tidak masuk akal, karena 


kota-kota Harappa telah runtuh sebelum datangnya orang Arya. Dan jika 


”Dasyu” mengacu kepada penduduk asli lembah Gangga, kota-kota berbenteng itu merupakan suatu anakronisme; mereka yaitu  penduduk desa.


Yang paling masuk akal, dasa yaitu  suatu acuan umum kepada sukusuku bangsa lain yang dijumpai dalam penyebaran orang Arya; sebagian dasa 


mungkin bahkan yaitu  orang Arya yang telah bermigrasi secara terpisah ke 


bagian-bagian lain di India.1


 Orang Arya memerangi dasa seperti mereka saling 


berperang sendiri. Tampaknya masuk akal bahwa mereka sesekali menikahi 


orang-orang itu, karena bentuk dasa dan daha yang saling berhubungan itu 


muncul dalam nama-nama raja-raja Arya legendaris. Di sini tidak terdapat 


pembagian sederhana antara orang Arya dan orang lain; hanyalah suatu pola 


yang bergeser dari klan-klan petempur yang bergerak ke Timur dan mengklaim wilayah untuk diri mereka, kadang-kadang dengan mengorbankan pemukim 


lainnya.


Antara tahun 1000 dan 600 SM, daerah-daerah subur di sekitar Gangga 


yaitu  hutan tropis dan paya-paya, yang tertutup semak-semak hijau yang lebat dan misterius.2


 Dongeng-dongeng tertua tentang hutan itu menyebutkan bahwa hutan 


itu dihuni jin, tetapi itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa orang-orang 


yang tinggal di sana memberikan perlawanan yang keras terhadap orang Arya 


pendatang itu. Hutan sendiri merupakan musuh. Hutan harus ditebang, oleh 


sebuah bangsa yang terbiasa melakukannya. Akar-akar, yang lebih besar dan 


lebih dalam dibandingkan dengan yang pernah mereka lihat, harus digali dari 


tanah. Ular berbisa dan binatang yang asing mengendap-endap di semaksemak yang gelap.


Tetapi klan-klan petempur mendesak lebih jauh. Besi—yang sebelumnya 


kebanyakan digunakan untuk senjata, pisau, dan pucuk panah—kini terbukti 


bermanfaat sebagai kapak dan bajak yang tebal. Dalam Satapatha Brahaman 


(salah satu dari komentar prosa yang dilampirkan pada Rig Weda yang bergaya puisi, puisi-puisi suci yang berasal antara tahun 1000 dan 700 SM), kita menemukan sebuah lukisan yang hidup tentang dewa api Agni yang menyebarkan nyalanya ke Timur dan menghanguskan hutan-hutan; sangatlah 


mungkin bahwa ini melukiskan penggundulan drastis hutan-hutan belantara 


dengan api.3


Dalam kurun beberapa abad, hutan-hutan digunduli. Kehidupan bertani 


menetap yang telah menjadi norma di lembah Indus, yang berpusat di sekitar 


dusun-dusun dan kota-kota kecil serta sawah-sawahnya, lambat laun diberlakukan di lembah di mana sebelumnya terdapat hutan belantara yang tak 


berujung.


lalu  pecahlah suatu perang besar. Perang itu terjadi antara bentangbentang Utara Gangga dan bentang-bentang Timur Indus, tepat di sebelah 


Selatan barisan pegunungan Himalaya, di suatu dataran yang bagi para pakar 


geografi dikenal sebagai dataran Indo-Gangga.


Walaupun detail-detail sejarah perang itu hilang ditelan waktu , penyairpenyair masa sesudah  itu menuangkannya sebagai suatu pertarungan epik 


dalam Mahabharata—seperti halnya Perang Troya yang diabadikan oleh 


Homerus, yang menutupi suatu inti kebenaran kuno dengan adat istiadat dan 


kecenderungan-kecenderungan zamannya sendiri.4


 Menurut Mahabharata, 


perang itu timbul dari suatu kekusutan generalogis yang ruwet.*∗


 Raja dari 


klan Kuru telah wafat tanpa keturunan; itu berarti bahwa garis kerajaan Kuru 


hampir punah. Anggota-anggota keluarga raja yang masih tinggal yaitu  


ibunda ratu, kedua istri yang masih hidup (dan tidak memiliki anak) dari raja 


yang wafat, serta kakak lelaki mendiang raja, Bhisma. Namun Bhisma tidak 


berdaya, karena beberapa tahun sebelumnya ia telah mengucapkan ikrar resmi 


yang menakutkan untuk melepaskan segala klaim terhadap tahta adiknya, dan 


ikrar resmi kedua yang menakutkan untuk tetap wadat.


Dalam situasi semacam itu, ibunda ratu memutuskan untuk mengambil 


langkah drastis guna melestarikan garis keluarga. Ia mengumpulkan seorang 


petapa dan orang bijak besar bernama Vyasa—seorang bijak misterius yang 


juga dikenal sebagai Krishna, ”karena warna tubuhnya yang gelap.” 5


 saat  


Vyasa tiba, ibunda ratu meminta pertolongan kepadanya: ia ingin agar Vyasa 


menghamili kedua menantu perempuannya, agar mereka dapat melahirkan ahli waris untuk kerajaan.*†


Vyasa setuju untuk tidur dengan menantu perempuan yang lebih tua. 


(”Jika ia tidak menghiraukan tubuhku, tampangku, pakaianku, dan bau badanku”, katanya sambil lalu.) Putri itu menutup mata, menyerahkan dirinya, 


dan ”pada saatnya” melahirkan seorang anak lelaki yang menjadi ahli waris 


tahta. Tetapi bayi yang dinaminya Dhritarasthra itu buta.


Ibunda ratu, karena bingung saat membayangkan seorang raja yang buta, 


mengutus Vyasa kepada menantu perempuan yang kedua; pada saatnya pun ia 


melahirkan seorang anak lelaki bernama Pandu. Untuk memberikan penunjang, ibunda ratu lalu  mengatakan kepada menantu perempuannya 


yang lebih tua untuk bersetubuh lagi dengan Vyasa, agar ia dapat memiliki 


anak lelaki lagi dalam garis kerajaan. Tetapi sang putri, teringat ”bau memuakkan” itu, mengirim hamba perempuannya sebagai gantinya. Gadis itu 


menjadi hamil dan melahirkan anak ketiga dari Vyasa, seorang anak lelaki 


bernama Vidura.


Kini ada tiga saudara tiri yang berada dalam garis kerajaan. Ketiga-tiganya 


dibesarkan oleh paman mereka, Bhisma yang tetap wadat, yang melatih mereka dalam hal keterampilan sebagai raja. Vidura tumbuh sebagai yang paling 


bijak dan paling saleh; Pandu unggul dalam hal memanah; dan Dhritarasthra, 


walaupun buta, menjadi sangat kekar dan ditunjuk sebagai ahli waris tahta 


Kuru.


Mos Ini menggambarkan klan India Kuru pada titik peralihan: dari 


kehidupan mengembara di mana sebuah jaringan petempur mengawasi 


kepentingan klan, menuju suatu gagasan yang lebih hirarkis berupa posisi 


rajawi, di mana seseorang dari klan dapat mengklaim hak turun temurun 


untuk memerintah seluruh anggota klan lainnya. silsilah ketiga saudara 


yang bersimpul-simpul itu menunjukkan suatu kebudayaan di mana gagasan 


peralihan suatu kekuasaan kerajaan secara langsung memang ada, tetapi tidak 


teratur. struktur posisi kerajaan baru mulai menghancurkan hubungan darah 


yang lama di antara klan-klan mantan pengembara itu, dan penyerahan 


kekuasaan dari ayah kepada anak lelaki—seperti pada zaman Etana—masih cukup baru sehingga memerlukan campur tangan dari yang adikodrati, seperti 


yang ditunjukkan pada bab berikutnya dari cerita itu.


Dhritarasthra, anak lelaki paling tua yang buta, menikahi seorang wanita 


yang saleh dan cantik bernama Gandhari, seorang putri dari klan Gandhara 


di sebelah Utara. Ia menginginkan seratus anak lelaki, agar garis kerajaan 


suaminya terjamin aman untuk selamanya. Maka, ia memohon kepada ayah 


mertuanya Vyasa, yang muncul sekali lagi dan menggunakan kekuasaannya 


untuk membuat suatu kehamilan adikodrati yang berlangsung selama dua 


tahun. saat  anak Gandhara itu akhirnya lahir, ia bukan seorang bayi tetapi 


seonggok daging; Vyasa memotong-motongnya menjadi seratus potong dan 


potongan itu menjadi anak-anak. Secara teknis semua anak lelaki itu sama 


usianya, tetapi yang mereka akui sebagai ”anak tertua” dan ahli waris yang 


nyata yaitu  Duryodhana.


Sementara itu, saudara kedua, Pandu, juga menikah. Guna mengungguli 


kakaknya, ia menikah dengan dua putri dari dua klan tetangga yang berbeda, 


Yadu dan Madra. Istri tuanya melahirkan seorang anak lelaki, Yudhishtra. 


Karena kehamilan Gandhari berlangsung selama dua tahun, Yudhishtra lahir 


sebelum onggok daging bayi Gandhari; demikianlah Yudhistra juga dapat 


mengklaim sebagai ahli waris kerajaan yang paling tua di dalam keluarga.


Sayangnya Pandu telah dibuat menjadi impoten beberapa waktu sebelumnya oleh kutukan seorang bijak yang mudah marah. Ini mengisyaratkan 


bahwa seorang lelaki lain telah menggauli istrinya secara sembunyi-sembunyi 


—dan berulang kali, karena wanita itu lalu  melahirkan dua anak lelaki 


lagi, sementara istri muda Pandu memiliki dua anak kembar.


Dengan kata lain, tidak terdapat suatu kewarisan atas dasar garis darah 


yang jelas dalam seluruh klan Kuru. Jelaslah bahwa gagasan suatu posisi raja 


yang turun temurun sarat dengan berbagai macam ketidakpastian.


Akibat ketidakpastian, timbullah konflik. Baik Dhritarasthra maupun 


Pandu membawa keluarga mereka masing-masing untuk tinggal di istana. 


Tak lama lalu , pecahlah suatu perang saudara antara keseratus anak 


Dhritarasthra (orang ”Kurawa”, yang dipimpin oleh pangeran tertua, 


Duryodhana) dan kelima anak Pandu (orang ”Pandawa”, yang dipimpin oleh 


saudara tertua mereka, Yudhishtra). 


Wilayah yang merupakan ajang pertikaian mereka berpusat di sekitar 


Hastinapura, ibu kota Kuru yang letaknya di tepi hulu sungai Gangga. Kaum 


Kurawa mula-mula unggul, dan merebut kekuasaan atas kota. Sementara itu, 


menurut Mahabharata, kelima anak Pandu semua menikah dengan wanita 


yang sama (suatu kasus langka poliandri)—Drupadi yang cantik, anak perempuan raja Pancala, suatu klan yang tinggal di sebelah Timur.6


Drupadi digambarkan ”berkulit gelap, dan matanya seperti kelopak teratai”7


 —detail fisik yang, dengan letak tanah airnya di sebelah Timur, 


mengisyaratkan bahwa ia yaitu  anak perempuan seorang raja asli setempat. 


Karena Vyasa juga digambarkan berkulit gelap, itu tidak berarti bahwa klan 


Pancala yang ”kulitnya gelap” sama sekali tidak ada kaitannya dengan orang 


Arya. Jelaslah bahwa orang Arya dan klan-klan asli setempat telah saling menikah selama kurun beberapa dasawarsa.8


Tetapi klan-klan di sebelah Timur agaknya memiliki lebih banyak darah 


setempat dan lebih sedikit darah Arya. Orang Arya memiliki nama untuk 


wicara orang-orang yang tinggal di lembah Timur Gangga: namanya mleccha, 


bahasa yang telah diubah dan terdistorsi.9


 Klan Pancala yaitu  salah satu dari 


klan-klan yang paling berdarah asli setempat. Kurawa bersaudara telah membuat aliansi dengan klan-klan Arya lain, tetapi Pandawa bersaudara membuat 


aliansi yang strategis dengan orang-orang asli setempat.


Beberapa tahun sesudah  melakukan aliansi dengan Pancala, kaum 


Pandawa membangun sebuah istana di Indraprastha, di tepi Selatan daerah 


yang diklaim oleh kaum Kurawa. Mereka juga memahkotai kakak sulung 


mereka Yudhishtra sebagai raja, yang merupakan tantangan terbuka terhadap 


kekuasaan raja Kurawa yang memerintah di Hastinapura.


Tentu saja hal itu membuat kaum Kurawa marah, khususnya karena 


megahnya istana mereka (banyak tiangnya bertatahkan emas yang berkilatkilat seperti bulan, dan balairung besar berhiaskan sebuah akuarium 


raksasa ”yang dipermolek dengan teratai... dan dimeriahkan dengan ruparupa burung, juga kura-kura serta ikan”).10 Raja Kurawa Duryodhana 


mengunjungi istana para kemenakannya, guna memeriksa tandingannya, 


dan malu tersipu-sipu karena kemegahan istana itu; saat  ia tiba di sebuah 


ruangan besar yang lantainya serupa cermin, ia menyangka bahwa itu air, 


lalu menggulung pakaiannya sampai ke pinggang, sampai ia menyadari 


kekeliruannya. lalu , saat  tiba di sebuah kolam, ia mengira bahwa 


itu kaca dan jatuh tercebur. ”Pelayan-pelayan tertawa geli melihat itu”, jelas 


Mahabharata. Demikian pula seluruh Pandawa bersaudara, kakek-paman 


mereka Bhima, dan ”setiap orang yang ada di sana. ... Dan Duryodhana 


tidak dapat memaafkan penghinaan itu”.11


Tetapi perang terbuka antara sesama kemenakan itu belum meletus, dan 


Duryodhana memutuskan untuk memberikan tantangan yang lebih cerdik: 


ia mengundang kaum Pandawa untuk mengunjungi istananya dan lalu  menantang mereka bermain dadu. Yudhishtra setuju untuk bermain 


mewakili adik-adiknya dan kehilangan mula-mula permata-permatanya, lalu  seluruh hartanya, selanjutnya bala tentaranya, dan sesudah itu ratu 


Drupadi. Akhirnya ia mempertaruhkan wilayahnya, dengan menyepakati 


bahwa—andai kata ia akhirnya kalah—ia dan adik-adiknya akan meninggalkan Indraprastha dan pergi ke pengasingan selama dua belas tahun. 


Dilihat dari sebuah syair dalam Rig Weda (”Istri yang ditinggalkan oleh 


sang penjudi itu berduka! Dililit hutang, ketakutan, dan kekurangan uang, 


pergilah sang penjudi itu mengembara di malam hari...!”), demam judi dikenal di antara orang India dalam milenium pertama.12 Demam judi yang ini 


terbukti mengakibatkan kehancuran bagi mahkota Yudhishtra. Karena tidak 


dapat mengelak saat  nasib sial berpihak padanya, Yudhishtra kehilangan 


segala-galanya. Adik-adiknya mengikutinya dengan enggan ke pengasingan, 


sementara Duryodhana dan kaum Kurawa lainnya mengambil alih istana dan 


tanah mereka.


Pengasingan itu ke hutan di sebelah Timur, tempat yang penuh misteri dan 


tidak kenal akan peradaban itu. Tetapi selama dua belas tahun pengasingan itu 


kaum Pandawa menjadi lebih kuat dalam perang. Busur dan anak panah baru 


mereka, menurut cerita-cerita itu, tidak dapat patah karena diberkati dewadewa; yang lebih masuk akal, busur dan panah itu dibuat dari kayu baru, kayu 


hijau yang sebelumnya tidak dikenal oleh para penduduk Indus.13


Pada tahun ketiga belas, saat  kaum Pandawa kembali dari pengasingan, 


Duryodhana tidak bersedia mengembalikan istana dan tanah mereka. Melihat 


hal itu kemarahan para kemenakan itu pecah menjadi perang terbuka: Perang 


Bharata.


Pandawa bersaudara diikuti oleh berbagai kerabat dan klan-klan setempat, termasuk klan Pancala; sedang kaum Kurawa, yang lebih unggul dengan 


mengklaim loyalitas paman-paman yang ragu-ragu dan jenderal-jenderal 


yang juga terkait dengan kedua klan namun terpecah di antara mereka. Hal 


itu membuat bala tentara Kurawa menjadi sedikit lebih besar (sebelas divisi dibandingkan tujuh divisi di pihak Pandawa). Dinilai dari jumlah yang 


berdasarkan tradisi ditetapkan untuk suatu ”divisi”, kekuatan Kurawa terdiri 


dari sekitar 240.000 kereta dan gajah perang dengan jumlah yang sama, lalu  700.000 kavaleri dan sejuta prajurit infanteri, sedang kekuatan kaum 


Pandawa terdiri dari tiga perempat juta prajurit infanteri, 460.000 prajurit 


kavaleri, 153.000 kereta, dan gajah perang sejumlah itu juga. Angka-angka 


itu tidak masuk akal, tetapi tentunya terjadi suatu pertempuran besar-besaran 


saat  kedua bala tentara saling berhadapan.


Kisah Mahabharata, seperti kisah Troya tuturan Homerus, tentu saja menerapkan konvensi-konvensi peperangan dari masa sesudahnya yang gayanya 


lebih berkembang daripada pertarungan primitif yang terjadi saat itu untuk 


meraih kekuasaan. Menurut kisah epik itu, pertempuran dikendalikan oleh 


aturan-aturan fair play yang rumit: satu serdadu seorang diri tidak boleh dikeroyok oleh sekelompok serdadu, pertarungan satu lawan satu hanya boleh 


dilakukan antara dua orang yang senjatanya sama; pembantaian prajurit yang terluka atau tidak siuman dilarang, demikian pula menyerang dari belakang; 


dan setiap senjata memiliki aturan penggunaannya yang rumit yang harus 


dipatuhi.


Aturan-aturan kerajaan semacam itu menampilkan perang dengan wajah 


yang sangat beradab, tetapi aturan itu muncul dari keprihatinan orang 


yang hidup berabad-abad sesudahnya. Bagian yang paling terkenal dalam 


Mahabharata, yakni Bhagawad Gita atau Gita Tuan, dengan jelas berkisar seputar jenis dilema perang yang tidak mungkin merisaukan para petempur 


dalam mitos tersebut. Dalam bagian itu Khrisna sendiri, yang menyamar sebagai sais kereta pangeran Arjuna dari Pandawa (ia yaitu  saudara tengah 


dan yang paling terkenal kepiawaiannya), membantu Arjuna memecahkan 


sebuah dilema etik. Karena sedemikian banyak kerabatnya sendiri yang berjajar melawan dia dalam perang saudara antara kemenakan itu, haruskah ia 


menyerang—ataukah lebih baik membiarkan dirinya dibunuh?


Tetapi pertempuran kuno itu berlangsung antarklan yang belum begitu 


jauh dari zaman lama mereka sebagai petempur pengembara. Walaupun meletakkan keprihatinan-keprihatinan etik di mulut para petempur, Mahabharata 


sesekali memberikan kilasan pandangan akan adanya kebiadaban. Bhisma, 


kakek-paman baik kaum Pandawa maupun kaum Kurawa, berperang di 


pihak Kurawa; saat  ia membantai pangeran Dushasana dari Pandawa, yang 


sebenarnya yaitu  kemenakannya sendiri, ia meminum darahnya dan menarikan dendang kemenangan di medan pertempuran sambil meraung-raung 


seperti seekor binatang.14


P perang besar itu yaitu  Pandawa bersaudara: mereka yang telah 


beraliansi dengan penduduk setempat. Tetapi kaum Pandawa meraih kemenangan dengan korban yang sangat besar untuk diri mereka sendiri. Hampir 


semua prajurit mereka gugur dalam suatu pembantaian besar-besaran beberapa saat sebelum kaum Kurawa menyerah.


Mahabharata sendiri meratapi adegan akhir peperangan yang melibatkan 


pertumpahan darah yang besar. Pada akhir cerita, pangeran Yudhishtra dari 


Pandawa, dalam perjalanan naik ke kehidupan di seberang sana, menceburkan diri ke sungai Gangga yang suci dan surgawi, lalu  muncul kembali 


dengan tubuh manusiawi yang telah terbasuh. ”Melalui pembasuhan itu”, 


tutur cerita, ”ia dibersihkan dari semua kebencian dan kedukaan.” Ia berjumpa lagi dengan adik-adik serta kemenakan-kemenakannya di lingkungan 


surgawi, dan mereka pun sudah dibersihkan dari segala kebencian. Dan di 


sanalah mereka tinggal, kaum Pandawa dan kaum Kurawa itu, sebagai ”pahlawan-pahlawan yang telah dibebaskan dari kemarahan manusiawi”, serta menikmati keberadaan bersama mereka tanpa perseteruan, di suatu dunia 


yang jauh dari ambisi-ambisi para raja.*∗


 

G A R I S WA K T U 4 4


CHINA INDIA


 Wu-yi 


Orang Arya/Harappa mulai mengembara ke Timur


 Chou 


 Dinasti Zhou (1087-256) 


 Zhou Barat (1087-771) 


 


Wen 


Wu 


 Tan (wali) 


 Ch’eng 


 K’ang (sek. 996-977) 


 Zhao 


Mu 


 Perang Bharata









Di p daerah orang Semit Barat, salah satu dari suku-suku pengembara yang telah ikut dalam serangan Bangsa Laut ke Mesir telah menetap di 


dekat Laut Tengah. Pemukiman mereka berkembang menjadi kota-kota, dan 


kota-kota membentuk suatu aliansi yang terorganisasi secara longgar. Kotakota yang paling kuat dalam aliansi itu yaitu  Gaza, Ashkelon, Ashdod, Gath, 


dan Ekron, yang disebut ”Pentapolis”. Orang Mesir menyebutnya Peleset; tetangga-tetangga mereka menyebut mereka Filistin.


Orang Filistin tidak menulis, dan itu berarti bahwa sejarah mereka sampai 


kepada kita dengan dibiaskan melalui kronik-kronik musuh-musuh mereka; 


begitu panjang ceritanya untuk menjelaskan reputasi mereka sebagai orangorang yang bertabiat buruk, kasar, dan pada umumnya tidak beradab. Tetapi 


sisa-sisa peninggalan mereka mengisyaratkan bahwa kebudayaan mereka 


sebagian besar memang pinjaman dari kebudayaan lain. Tembikar Filistin memiliki gaya Mycenas; bahasa asli mereka segera saja tersisih oleh sebuah dialek 


Kanaan; dan bahkan invasi mereka ke Mesir yang gagal itu memberi cita rasa 


khusus pada sup Filistin. Mereka menguburkan jenazah dengan peti berpahat menyerupai sarkofagus Mesir, dengan lidah-lidah dari lempung yang di 


atasnya dipasang bentuk-bentuk wajah serta lengan-lengan tak proporsional 


yang terlalu pendek untuk dilipat. Peti mayat Mesir palsu itu bahkan dihiasi 


hiroglif yang dilukis oleh seseorang yang sering melihat tanda-tanda itu tetapi 


tidak mengetahui apa artinya; hiroglif itu tidak ada artinya.


Betapa pun kuatnya, kelima kota Pentapolis itu tidak memiliki wibawa 


yang mutlak terhadap wilayah Semit Barat Selatan. Hampir sejak menetap di sana, mereka ditantang oleh para pesaing atas tanah itu: keturunan 


Abraham.


sesudah  meninggalkan Mesir, orang Ibrani lenyap dari kancah internasional selama beberapa dasawarsa. Menurut cerita mereka sendiri, mereka mengembara di gurun selama 


empat puluh tahun, suatu rentang waktu yang mencukupi 


bagi suatu generasi baru untuk 


menjadi dewasa. Tahun-tahun 


yang dari sudut sejarah tak kelihatan itu secara teologis sangat 


menentukan. Kitab Eksodus 


menyatakan bahwa Allah mengumpulkan 


orang Ibrani di sekeliling 


Gunung Sinai dan memberikan kepada mereka Sepuluh 


Perintah, yang dipahat pada 


dua loh batu—satu untuk 


masing-masing pihak yang melangsungkan perjanjian, Allah 


sebagai pihak yang besar dan 


orang Ibrani sebagai pihak yang 


kecil.


Itu yaitu  landasan dasar 


identitas nasional orang Ibrani, 


yang mendorong ke arah reorganisasi politis. Bangsa Ibrani 


secara tak resmi merunut asal-usul mereka kepada Abraham dan kedua belas 


cucunya selama berabad-abad. Kini, atas perintah ilahi, Musa, pemimpin mereka, melakukan cacah jiwa dan mendaftar semua klan dan keluarga. Mereka 


dibagi ke dalam dua belas suku, masing-masing disebut dengan nama cucu 


Abraham yang menjadi leluhurnya. Suku Yehuda merupakan suku yang paling besar, yang mencakup hampir sebanyak tujuh puluh lima ribu lelaki 


berusia tempur; suku terkecil yaitu  suku Manasye, dengan anggota sedikit 


kurang dari separuhnya


Pengakuan resmi terhadap kedua 


belas suku yaitu  persiapan untuk 


gerakan berikutnya. Orang Ibrani 


kini telah mengembara jauh ke perbatasan Selatan daerah Semit Barat; 


Musa sudah mati; dan Yosua, ajudan 


dan pembantunya, telah menjadi komandan mereka. Di bawah pimpinan 


Yoshua, suku-suku Ibrani menyatakan klaim terhadap daerah sepanjang 


pantai, “dari Lebanon sampai ke 


Efrat, seluruh negeri Hitti, sampai 


ke Laut Besar di sebelah Barat“.1


Yoshua memimpin pengikutnya 


ke sebelah Timur Laut Mati, sampai 


ke ujung Utaranya, dan menyeberang sungai Yordan: perbatasan resmi 


kerajaan Semit Barat. lalu  ia 


memerintahkan agar semua orang 


Ibrani dewasa disunat, karena ritual 


sunat telah diabaikan selama empat 


dasawarsa di gurun. Tampaknya ini mungkin bukan awal yang paling baik 


untuk suatu kampanye yang akan melibatkan banyak jalan kaki, tetapi Yoshua 


merasa perlu agar orang-orangnya mengetahui apa yang sedang mereka lakukan: penaklukan Kanaan yaitu  pemenuhan janji yang diberikan kepada 


Abraham, orang Yahudi pertama dan orang pertama yang menyunatkan anakanak lelakinya, enam ratus tahun sebelumnya.


Sasaran militer pokok mereka yaitu  Yeriko, benteng pertama di sebelah Barat sungai Yordan yang dikelilingi tembok tinggi dan menara-menara 


penjagaan. Menurut cerita Alkitab dalam Kitab Yosua, pertempuran berakhir sesudah  orang Ibrani mengelilingi tembok-tembok Yeriko satu kali setiap 


hari selama enam hari. Pada hari ketujuh, mereka mengelilinginya tujuh kali 


berturut-turut dan meniup trumpet, maka runtuhlah tembok Yeriko. Orang 


Ibrani menyerbu melewati tembok yang sudah runtuh dan menghancurkan 


segala benda hidup: lelaki, perempuan, anak-anak, sapi, domba, dan keledai.


sesudah  kota diratakan dan dijarah, Yoshua mengutuknya. Dua ratus tahun

sesudah itu Yeriko masih belum ditinggali.2


 Selama enam ratus tahun, penduduk Yeriko telah mengawasi dari menara kota, sambil menunggu munculnya 


musuh yang tak terlawan di cakrawal dan menghantam tembok Yeriko yang 


sangat besar.


Musuh itu akhirnya sudah tiba, tetapi tembok-tembok bahkan sudah 


runtuh. 


Y  dalam usia lanjut sesudah  melewatkan