Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 15




  seluruh hidupnya dalam penyerangan. Pada waktu ia meninggal, orang Ibrani sudah 


mendiami daerah dari Beersyeba di Selatan sampai ke Kinnereth, di pesisir 


Selatan danau kecil yang lalu  dikenal sebagai Laut Galilea, dan ke Barat 


sejauh Ramoth-Gilead. Wilayah yang ditaklukkan telah dibagi di antara sukusuku. Yoshua digantikan bukan oleh seorang raja melainkan sejumlah hakim, 


yakni nabi-nabi yang menyatakan kepada suku-suku Ibrani—yang kini merupakan bangsa Israel—apa yang dimnta oleh Allah.*∗


Tetapi wilayah luas Kanaan masih belum ditaklukkan. Sebabnya antara 


lain yaitu  bahwa orang Filistin kini menguasai daerah dari Ekron hingga 


sepanjang pantai Laut Tengah, dan mereka tidak bersedia menyerahkan sebidang mana pun kepada para pendatang baru. Pada tahun-tahun saat  Israel 


diperintah oleh hakim-hakim, orang Israel terus menerus berpreang melawan 


orang Filistin.3


Sungguh tidak mungkin menetapkan waktu ”Penaklukan” itu—invasi 


orang Ibrani dari daerah Semit Barat di bawah pimpinan Yoshua—secara pasti. 


Demikian pula, tidaklah mungkin menetapkan secara mutlak tahun-tahun 


saat  hakim-hakim Ibrani memimpin tentara Israel melawan tuan-tuan 


tanah Pentapolis.**† Tetapi hakim yang paling terkenal, Samson yang memiliki kekuatan adikodrati, barangkali melaksanakan kepemimpinan terhadap 


seluruh wilayah itu sekitar 1050: masa berlangsungnya Periode Menengah 


Ketiga di Mesir, kekuasaan Aramea di Mesopotamia, dan pemerintahan Zhou 


di Timur jauh.


Pada masa Samson, orang Filistin bukan hanya tidak ditaklukkan, tetapi 


menyusup ke wilayah Israel. Jauh di Selatan, kedua bangsa telah mulai ber-

baur; Samson bahkan menikahi seorang perempuan Filistin, yang menjadikan 


orang tuanya yang saleh sangat berputus asa. (”Apa? Tidak adakah perempuan 


yang sesuai di antara bangsa kita sendiri? Mengapa kamu pergi dan mencari 


istri dari antara orang tak bersunat?”) Istri Filistin itu ternyata merupakan 


suatu kekeliruan; sesudah  bertengkar dengan ayah mertuanya, Samson membakar sebuah bentangan luas kebun anggur dan ladang gandum Filistin, dan 


dengan demikian menyebabkan orang sebangsanya takut karena memikirkan 


pembalasan yang akan diterima. ”Tidakkah kamu tahu bahwa orang Filistin 


yaitu  penguasa kita?” tanya mereka. ”Apakah gerangan yang kau lakukan?”4


Ini tampaknya menunjukkan bahwa orang Filistinlah, bukan orang Israel, 


yang lebih kuat dalam hubungan yang sangat tidak nyaman antara kedua 


negara. Tetapi sesungguhnya mereka tidak menguasai tanah Israel. Samson 


sendiri menjadi hakim Israel selama dua puluh tahun, dan selama itu ia membunuh ratusan orang Filistin dalam beberapa kali ledakan amarahnya, tetapi 


orang Filistin tidak pernah cukup kuat untuk melakukan suatu perang yang 


nyata melawan dia. Alih-alih, mereka memerintahkan seorang pelacur bernama Delilah—seorang perempuan yang tinggal ”di lembah Sorek”, atau 


dengan kata lain, tepat pada perbatasan antara wilayah Filistin dan daerah 


Israel—untuk menyerahkan dia. sesudah  ditipu dan ditangkap, Samson dibutakan oleh musuh-musuhnya dan diseret ke Gaza, kota Pentapolis yang 


paling kuat; di sana, sesudah  dibawa keluar dan dipertontonkan oleh orang 


Filistin dalam sebuah festival untuk dewa utama mereka Dagon (dewa ikan, 


yang mencerminkan asal usul mereka sebagai sebuah bangsa pelaut Aegea), 


ia menggunakan kekuatannya yang sedemikian besar untuk merenggut dan 


merobohkan Kuil Dagon sehingga menjatuhi dia sendiri dan tiga ribu musuhnya. ”Demikianlah”, tutur Kitab Hakim-Hakim, ”ia membunuh jauh 


lebih banyak orang saat  ia mati daripada saat  ia hidup”.5


Kemenangan terhadap orang Filistin dengan korban yang sedemikian 


besar, seperti kemenangan raja Pyrrhus itu, mencerminkan suatu kebuntuan. Orang Filistin menyerbu desa-desa Israel, orang Israel membakar ladang 


orang Filistin, kedua belah pihak menghentikan perburuan satu sama lain 


yang aneh karena tertangkap di luar wilayah permainan, dan tak satu kerajaan 


pun menang. Secara politis, kedua bangsa itu menderita akibat kepemimpinan 


yang sama-sama tidak jelas. Tak ada seorang pemimpin perang Filistin yang 


mampu menghimpun bala tentara dari kelima kota Pentapolis di bawah kepemimpinannya, sedang para hakim Israel, walaupun memiliki wibawa teologis, 


bahkan memiliki kekuasaan yang lebih kecil: ”Pada masa itu tidak ada raja di 


Israel”, yaitu  referen yang diulang-ulang dalam Kitab Hakim-Hakim, ”dan 


setiap orang di Israel melakukan apa yang dianggapnya benar.” 


Akhirnya, karena sudah tidak tahan, orang Israel menutut adanya seorang raja, agar mereka sama dengan ”negara-negara lain”. Agaknya mereka memikirkan Mesir, satu-satunya negara yang rajanya dapat memukul telak orang 


Filistin. Mereka ingin menjadikan seorang keturunan Benyamin yang sangat 


tinggi bernama Saul sebagai raja dan panglima mereka, agar ia dapat memimpin mereka menuju kemenangan militer.


Ia secara sah dikukuhkan menjadi raja pertama Israel oleh hakim terakhir, 


seorang yang sudah tua dan letih bernama Samuel, yang percaya bahwa kedudukan raja merupakan suatu kekeliruan besar. ”Ia akan memaksa anak-anak 


lelakimu menjadi prajurit dalam bala tentaranya”, katanya memperingatkan 


orang Israel; ”ia akan menyuruh mereka membajak ladangnya, membuat 


senjata untuk pasukannya; ia akan mengambil anak perempuanmu untuk bekerja di istananya; ia akan mengambil hasil panenmu yang terbaik, anggur 


terbaik dari kebun anggurmu, sepersepuluh dari gandummu, sepersepuluh 


dari ternakmu, hamba-hamba dan sapi-sapimu yang terbaik; kamu akan berseru memehon pembebasan dari raja yang telah kalian pilih”.6


Walaupun diberikan peringatan, Saul dielu-elukan sebagai raja dan panglima. Sesaat  itu juga ia mulai menyusun serangan melawan orang Filistin.


Sayangnya, kekuasaan orang Filistin terhadap orang Israel telah meningkat 


sampai ke embargo senjata: ”Tidak ada pandai besi di mana pun di Israel”, 


tutur 1 Samuel, ”karena orang Filistin mengetahui bahwa jika tidak demikian maka orang Israel akan membuat pedang dan perisai.”7


 Sebaliknya, orang 


Filistin memiliki  keleluasan untuk mengerjakan besi untuk diri mereka 


sendiri. Setiap orang Israel yang ingin mengasah bajak atau kampak harus 


pergi ke negeri Filistin dan mengupah seorang Filistin untuk melakukan pekerjaan itu.*∗


Akibatnya, saat  Saul mengumpulkan petempur dari suku-suku di 


bawah panji-panji kerajaan barunya, yang memiliki pedang hanya dia dan 


anak lelakinya, putra mahkota Yonathan. Orang lainnya memiliki cangkul 


dan garpu rumput. Di pihak lain, orang Filistin menghimpun tiga ribu kereta, 


enam ribu penunggang kereta (seorang sebagai sais, dan oang lainnya sebagai 


petempur dengan tangan bebas dari memegang kendali), dan tentara yang tak 


terbilang jumlahnya: ”sebanyak pasir di pesisir laut.” Kekuatan Israel, yang 


kalah jauh jumlahnya dan sama sekali tak bersenjata, tunggang langgang dan 


bersembunyi. Saul bersembunyi di Gilgal, di sebelah Utara Yeriko, hanyadengan enam ratus orang yang tersisa. Seterusnya, serbuan orang Israel 


melawan kekuatan Filistin berupa serangan gerilya dan pertempuran yang tak 


membawa hasil.


Pada salah satu pertempuran semacam itu, yang kali ini berlangsung 


berlarut-larut di Lembah Elah, di tepi Barat wilayah Yehuda, pertempuran 


berlangsung sedemikian lama sehingga orang Filistin mengusulkan suatu pertarungan lain untuk menyelesaikan sengketa. Dua petarung andal akan diadu, 


masing-masing mewakili kedua pihak, dan pemenangnya akan mengambil 


alih negara yang kalah.


Orang Filistin tentu menduga bahwa pemimpin baru Israel, Saul, akan 


menjawab tantangan itu. Petarung Filistin yaitu  seorang raksasa: tingginya 


tiga meter, beratnya tidak lumrah tetapi bukannya tidak mungkin (terutama karena sebuah naskah lepas menuliskan tingginya tujuh, bukan sembilan, 


kaki), dan Saul sendiri dikenal karena tinggi badannya. Pemilihan Goliath, 


yang bersenjatakan lengkap dan yang telah menjadi petempur sejak masa mudanya, yaitu  sebuah sikap superioritas yang merendahkan.*†


Saul tidak berniat mengabaikan raksasa itu, tetapi seorang Israel lainnya menerima tantangan itu: Daud, yang termuda dari tiga bersaudara dari 


Yehuda yang telah masuk menjadi prajurit bala tentara Saul. Daud, yang 


percaya bahwa Allah menyertainya, keluar dengan membawa ketapel, memukul rebah Goliath dengan satu lontaran batu yang tepat mengenai kepalanya, 


dan memotong kepala raksasa itu dengan pedangnya sendiri. ”saat  orang 


Filistin melihat bahwa petarung mereka telah mati”, kata 1 Sam., ”mereka 


berbalik dan melarikan diri. lalu  orang laki-laki Israel dan Yehuda menyerang maju dan mengejar orang Filistin sampai ke pintu masuk Gath dan 


gerbang Ekron. Orang-orang Filistin mati berserakan di sepanjang jalan ke 


Gath dan Ekron.”8


 Kemenangan itu menjadikan Daud sedemikian populer 


sehingga Saul memutuskan untuk menyingkirkan dia, sebagai kemungkinan 


pesaing tahtanya.


Demi keamanan dirinya, Daud mengungsi ke wilayah Filistin. Di sana 


ia bertindak sebagai agen ganda: ia menjarah kota-kota Filistin yang jauh letaknya, lalu  kembali kepada orang Filistin yang menyewanya dengan 


membawa rampasan dan menceritakan dengan berapi-api khayalan tentang 


pemukiman orang Israel yang telah jatuh ke tangannya. saat  Saul terbunuh 


dalam suatu benturan yang sangat keras dengan orang Filistin, Daud kembalidan mengklaim mahkota.


Daud bertekad menjadikan kedua belas suku Israel bukan hanya sebuah 


bangsa tetapi suatu kerajaan. Salah satu tindakan pertamanya yaitu  mengepung kota Yerusalem, yang tetap belum ditaklukkan dan berada di bawah 


kekuasaan orang Kanaan Barat yang dalam cerita Alkitab disebut ”orang 


Yebus”—suatu campuran yang tidak pasti antara orang Semit Barat dan 


imigran dari jazirah Arab.*∗


 Daud menaklukkan kota itu dengan memimpin pasukan invasinya masuk melalui saluran air yang dibabah pada cadas di 


bawah tembok kota, dan membangunnya kembali sebagai kotanya sendiri.


sesudah  kedua belas suku berada di dalam kekuasaannya, ia melebarkan 


batas-batasnya; ia bergerak ke tenggara dan menaklukkan orang Edom, sebuah bangsa yang sebelumnya menguasai daerah itu sampai sejauh Laut Merah; 


ia mengalahkan suku-suku Moab, di sisi seberang Laut Mati, dan suku-suku 


Ammon di sebelah Utara mereka, tepat di seberang Yordan; dan ia secara 


meyakinkan mengalahkan orang Filistin yang telah bergerak ke Israel begitu 


mereka mendengar bahwa Daud telah memegang kekuasaan. (Mereka tentunya tidak sekadar jengkel bahwa agen ganda mereka berhasil menipu mereka 


begitu lama.) Itulah akhir kekuasaan Filistin sebagai suatu kerajaan yang kuat. 


Masa kejayaan mereka hanya berlangsung selama satu abad lebih sedikit.


Kerajaan Daud ditandai tidak hanya oleh kekuasaan luas Israel terhadap 


hampir seluruh daerah Semit Barat, tetapi juga oleh sesuatu yang tak dapat 


dilakukan dengan berhasil oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya: penciptaan hubungan persahabatan dengan pemimpin-pemimpin negara lain.


Aliansinya yang paling produktif ialah dengan raja Tirus, seorang yang 


bernama Hiram. Tirus yang terletak di pantai Laut Tengah di sebelah Utara 


(di dalam wilayah Lebanon dewasa ini) telah dibangun menjadi suatu kekuatan oleh penduduknya, sebuah suku Semit Barat yang telah melarikan 


diri dari tanah asal mereka di Sidon, yang letaknya di pantai lebih jauh lagi 


ke Utara, saat  Bangsa Laut telah menjarahnya dalam perjalanan mereka ke 


Mesir. Orang ”Sidon” itu menetap di Tirus, bersama sebagian


Dari Bangsa Laut dari Aegea yang melakukan invasi; kuil-kuil Tirus, seperti 


kuil-kuil orang Filistin, memuja dewa ikan Dagon, dan menyatakan asal-usul 


yang sama. Pada masa pemerintahan Daud, Sidon dihuni kembali, dan bangsa-

bangsa yang sama menduduki tidak 


hanya Tirus dan Sidon tetapi juga 


kota dagang tua Byblos. Campuran 


mereka yang khas, yakni campuran 


antara orang Semit Barat dan orang 


Aegea, menjadi terkenal sebagai 


orang Fenisia.9


Tidak terdapat suatu negara 


yang disebut Fenisia, atau pun seorang raja besar Fenisia. Kota-kota 


yang mandiri di sepanjang pantai 


dipersatukan oleh kebudayaan dan 


bahasa bersama; sistem tulisan mereka yaitu  sistem pertama yang 


memuat abjad. Dan mereka secara 


praktis memiliki monopoli dagang 


untuk satu dari sumber daya setempat yang sangat berharga: kayu aras, 


yang mereka tebang dari bukit-bukit 


yang berdekatan dan mereka kirim 


ke Mesir, Israel, dan lebih jauh lagi. 


saat  Daud menyerahkan kerajaan kepada anak lelakinya, Solomon (penyerahan yang dilakukan dengan sedikit pertumpahan darah sebelum akhirnya 


Solomon menang; Israel belum memiliki tradisi monarki herediter), perdagangan dengan Tirus memungkinkan Solomon untuk memulai program 


pembangunan terbesar yang dapat dilihat di daerah Semit Barat.


Solomon, yang dalam cerita Alkitab dihormati sebagai seseorang yang 


mendambakan kebijaksanaan, menata ulang kerajaan Daud ke dalam dua 


belas distrik administratif yang tidak selalu sesuai dengan wilayah tradisional 


kesukuan; ia ingin memecahkan pembagian kesukuan lama itu dan pertentangan antarsuku yang mungkin diakibatkan olehnya. Ia memperbaharui 


sistem perpajakan dan melebarkan batas kerajaannya ke cakupannya yang 


paling luas. Ia juga membangun sebuah kenisah yang sangat besar: tingginya 


lima belas meter, yang dibangun dengan batu yang ditambang dan diangkut 


dari tempat yang jauh, dibingkai dengan kayu aras berpahat, dilapisi emas di 


tempatnya yang memungkinkan, dan dipenuhi dengan khazanah kekayaan. 


Allah Israel memerlukan sebuah kenisah, dan Solomon ingin membangun 


bagiNya kenisah yang sebaik-baiknya.


Itulah aktivitas Solomon yang biasa. Dalam hal itu ia sangat berbeda dengan ayahnya. Daud yaitu  seorang petempur yang kasar dan tidak

rapi, seorang pemimpin karismatik yang membunuh ratusan orang dengan 


tangannya sendiri, menolak untuk mengeksekusi pengkhianat sampai pengkhianatan mereka terlalu kentara untuk diabaikan, bermain harpa, dan larut 


dalam tarian yang terlalu bersemangat yang memalukan di depan umum. 


Kepribadiannya saja sudah membangkitkan entah kebencian yang mendalam 


atau loyalitas setaraf pengkultusan; tiga pejuangnya suatu saat mengambil risiko kehilangan nyawa dan kemerdekaan mereka dengan menyeruak masuk 


ke wilayah yang dikuasai orang Filistin sekadar untuk memberi Daud minum 


air dari sumber di dekat desa tempat ia dilahirkan.


Solomon sama sekali berbeda. Ia yaitu  tipe eksekutif dengan perhatian 


tetap pada ukuran, seseorang yang bertekad untuk melakukan segalanya lebih 


besar dan lebih baik daripada ayahnya dan mengubah suatu kerajaan yang 


diperoleh dengan darah menjadi suatu kekaisaran yang nyaman dan tertata 


dengan baik. Pada abad yang lebih maju ini mungkin Daud mirip seorang 


penginjil garis depan Amerika yang berbicara dalam berbagai bahasa dan 


terbuai dalam visiun serta terlelap dalam ketidaksadaran; Solomon, seorang 


gembala gereja besar di kota satelit yang menggembalakan jemaahnya yang 


terus bertambah besar di balai auditoriumnya yang kerèn, didasari oleh 


keyakinan bahwa ukuran dan kemakmuran jerih payahnya yaitu  bukti berkat 


dari Allah. Tak seorang raja pun sesudah Solomon yang memiliki kekuasaan 


terhadap orang Israel sebesar kekuasaan yang dimiliki Solomon, namun tak 


seorang pun pernah bersedia mengambil risiko kehilangan nyawanya karena 


cinta mereka kepada Solomon.


Kandang kuda Solomon berisi dua belas ribu kuda, dan istananya yang 


besar menghabiskan 185 kor gandum sehari.10 Kekuasaannya setara dengan 


kekuasaan seorang pharaoh. Sesungguhnya, kerajaannya kini meliputi provinsi Semit Barat yang dahulu menjadi bagian Mesir, dan Solomon bahkan 


berhasil menikahi seorang putri Mesir; sudah lewat masanya di Mesir saat  


pharaoh menjamin bahwa anak perempuan keluarga raja tidak bepergian ke 


kerajaan lain.11 Solomon juga meluaskan koneksi Daud dengan negara-negara 


lain. Selain berniaga dengan Hiram dari Tirus, ia juga mengatur untuk membangun kapal-kapalnya sendiri di Byblos. Ia membuat aliansi perkawinan 


dengan bangsa Kanaan yang jauh, yang tidak dapat ia taklukkan. Ia bahkan 


menerima suatu delegasi dari Arabia: sebuah delegasi yang dipimpin oleh ratu 


yang paling terkenal di antara semua ratu zaman kuno.


” R S mendengar berita tentang keharuman nama 


Solomon”, tutur Raja, ”ia datang untuk menguji kebijaksanaan Solomon; ia 


tiba dengan sebuah kafilah rempah, emas, dan batu berharga”.


Ratu Syeba yaitu  tokoh pertama yang berjuang keras untuk keluar me

lewati badai pasir yang menyelimuti sejarah kuno jazirah Arab, dan nyaris 


satu-satunya wajah dan nama yang masih bertahan dari Arabia pada zaman 


yang sangat kuno. Kafilah-kafilah dagang bertambah sering mendatangi kerajaan-kerajaan Semit Barat, dan ratu Syeba mungkin memimpin kafilah 


semacam itu; ia bukan saja tiba dengan membawa rempah, emas, dan batu 


berharga, tetapi juga pergi dengan membawa ”segala yang ia minta, yang telah 


diberikan kepadanya atas kebaikan hati raja”.12


Terlihat bahwa perdagangan dan manufaktur, kerajinan besi dan pintalan, telah berlangsung di sekitar ujung-ujung jazirah Arab selama kurun 


waktu yang panjang. Bagaimana pun, raja-raja Mesopotamia telah bepergian 


dari tempat mereka di kepala Teluk Persia sampai ke Pegunungan Tembaga 


di Magan, di Arabia Selatan, dua ribu tahun sebelumnya. Lebih ke Utara 


lagi, pantai Arab berperan sebagai pelabuhan muat untuk kapal-kapal yang 


berlayar dari Mesopotamia menuju pelabuhan-pelabuhan di India; pemukiman-pemukiman dagang di situ tumbuh menjadi kota-kota

Bahkan lebih sedikit lagi yang kita ketahui mengenai sudut Selatan Arabia, 


karena inskripsi-inskripsi kuno yang terdapat di sana tidak dapat ditetapkan 


waktunya dengan pasti. Tetapi sangat mungkin bahwa kerajaan Sabea di 


Arabia Selatan mengirim seorang utusan kerajaan untuk berkunjung kepada 


Solomon. Perdagangan antara Israel dan Arabia mungkin berlanjut sesudah  


kunjungan itu; sebuah mazbah kuno dari daerah tepat di sebelah Barat sungai 


Yordan memiliki inskripsi dengan aksara Arab.14 Tetapi semua cerita seputar 


tokoh misterius ratu Syeba, yang mungkin juga ratu orang Sabea, berasal dari 


masa yang jauh sesudahnya; cerita itu tidak menuturkan apa pun tentang 


orang Sabea sendiri.P   menimbulkan keretakan di dalam 


kerajaannya yang akhirnya membuatnya terpecah belah.


Untuk membangun kenisah dan istananya, Solomon mengerahkan tiga 


puluh ribu lelaki Israel sebagai pekerja. Pekerja yang dikerahkan itu memang dibayar untuk kerja mereka, tetapi tidak memiliki  pilihan; mereka 


harus menyisihkan waktu sebulan setiap tiga bulan untuk bekerja bagi raja. 


Sementara itu mereka harus tetap merawat ladang dan kebun anggur mereka. 


Setiap distrik harus menyediakan makanan untuk kalangan istana yang sedemikian besar (beserta ribuan kuda, sapi, domba, kambing, rusa, gazele, dan 


unggas milik raja) selama satu bulan dalam setahun. Sementara istana bertambah besar, setiap distrik harus menyisihkan waktu yang semakin panjang 


untuk membayar hutang mereka kepada istana. Di tempat-tempat tertentu 


orang-orang harus bekerja selama hampir setengah tahun untuk memenuhi 


kewajiban mereka kepada raja, dan setengah tahun lainnya untuk menopang 


nafkah mereka sendiri.


Istana yang besar itu berkembang, antara lain karena kecenderungan 


Solomon untuk membuat aliansi politis melalui perkawinan; menurut penulis 


kroniknya, ia memiliki tujuh ratus istri ”keturunan raja” yang dikirim kepadanya untuk memeteraikan aliansi dalam berbagai jenisnya. Namun tidak ada 


dalih yang mencukupi untuk jumlah gundiknya, tiga ratus wanita, yang tidak 


mendukung tujuan politis apa pun; jumlah sebesar itu semata-mata mencerminkan selera Solomon yang sedemikian besar.


Seleranya untuk ukuran yang besar, yang telah mengubah Israel menjadi 


sebuah kerajaan yang cukup penting bagi penguasa-penguasa lain untuk jauhjauh datang mengunjunginya, akhirnya juga sekaligus menghancurkannya. 


Program pembangunan Solomon menjerumuskannya ke dalam hutang yang 


besar, khususnya kepada Hiram, raja Fenisia di Tirus. Karena tidak memiliki cukup uang untuk membayar kayu aras, pinus, dan emas yang ia pesan, 


Solomon melunasi tagihan itu dengan memberikan kepada Hiram ”dua puluh 


kota di Galilea”15 —suatu bagian besar dari daerah pinggir kerajaannya.


Itu bukan suatu situasi yang menguntungkan untuk siapa pun. Hiram, 


sesudah  pergi melihat kota-kota itu, menjulukinya ”Daerah Tanpa Guna.” 


Dan bagian Utara Israel pun mengamuk. Solomon yaitu  seorang raja dari 


Selatan, dari suku Selatan Yehuda yang besar dan kuat; dilihat dari kepentingan gugus-gugus suku kecil di Utara, ia telah membangun terlalu banyak, 


memungut pajak terlalu besar, dan mempekerjakan orang-orangnya terlalu 


berat, tetapi lalu  berusaha mengatasi kesulitannya dengan melepas dua 


puluh kota di bagian Utara, sementara daerah kelahirannya sendiri bahkan ia 


tak mau menyentuhnya.

Pemberontakan dimulai di bawah pimpinan salah seorang pejabat tinggi 


Solomon, seorang dari Utara bernama Yerobeam. saat  seorang nabi dari 


Efraim mengukuhkan Yerobeam sebagai raja, Solomon mendengar berita 


tentang pemberontakan yang berkembang dan mengutus sebuah regu 


pembunuh; Yerobeam melarikan diri ke Mesir dan tinggal di sana sampai 


Solomon yang sudah menjadi tua—dan sudah bertahta selama empat puluh 


tahun—meninggal, dan meninggalkan sebuah negara yang besar, kaya, kuat, 


terpecah-pecah, dan tidak puas.


Yerobeam segera kembali dan membentuk sebuah delegasi untuk menemui 


ahli waris Solomon, Rehabeam dan meminta perubahan: pajak yang lebih 


rendah, kerja rodi yang lebih ringan. lalu , Rehabeam meminta nasihat 


kepada dua dewan yang membantu pemerintahannya, seperti yang banyak 


membantu raja-raja sejak zaman Gilgamesh. Dewan orang tua-tua, yang 


berhati-hati dan berpengalaman, menasihatinya untuk mengubah kebijakan 


Solomon, dengan lebih berperan sebagai gembala daripada sebagai penguasa; 


dewan para muda menyarankan kepadanya untuk menunjukkan kekuasaannya. ”Katakan kepada mereka”, saran orang-orang muda itu, ”bahwa jari 


kelingkingmu masih lebih besar daripada penis ayahmu.”


Rehabeam menyukai saran itu, yang barangkali menyingkapkan adanya 


ganjalan-ganjalan yang masih belum terselesaikan. saat  para utusan itu 


kembali, ia memberikan sambutan yang barangkali merupakan sambutan politis yang paling miskin siasat dalam sejarah: ”Ayahku meletakkan kuk yang 


berat di bahu kalian”, katanya kepada mereka, ”tetapi aku akan membuatnya 


lebih berat lagi”. Akibat politisnya langsung terjadi; suku-suku Utara yang 


sudah tidak puas itu memisahkan diri dan memaklumkan pemimpin mereka 


dari Utara, Yerobeam, sebagai raja.


Hanya suku Yehuda, suku leluhur Daud sendiri, dan suku kecil Benyamin 


tetangganya yang tetap setia kepada cucu Daud. Kerajaan Israel yang bersatu 


telah berlangsung selama hampir dua generasi saja.


L kerajaan Israel tidak luput dari perhatian orang Mesir, yang 


tengah mengalami suatu periode renaisans singkat.


Sejak awal Periode Menengah Ketiga sekitar tahun 1070, Mesir terpecah 


akibat perang saudara. Para imam besar Amun, dengan mengikuti teladan 


Herihor, memerintah dari kota Thebes di sebelah Selatan, sedang para pharaoh 


dari Dinasti 12 memerintah bagian Utara dari kota Tanis di Delta Nil. Para 


pharaoh di kota Tanis memiliki gengsi karena mereka yaitu  keturunan 


darah kerajaan, sedang para imam besar itu memiliki sebagian besar uang, 


berkat besarnya jumlah daerah yang diserahkan kepada Kuil Amun oleh 


para pharaoh terdahulu. Kekayaan mereka sedemikian besarnya sehingga terdengar gaungnya di dalam Iliades: ”Persetan dengan dia”, seru Achilles 


perihal Agamemnon, saat  ia menolak untuk ikut menyerang Troya. ”Aku 


rampas hadiah-hadiah yang diperuntukkan baginya”,


dan untuk dia sendiri, sehelai jerami pun jangan.


Boleh saja ia menawarkan kepadaku sepuluh atau bahkan dua puluh kali 


lipat seluruh miliknya... 


boleh saja ia menjanjikan kepadaku kekayaan ... kota Thebes di Mesir,


kota yang paling kaya di dunia, 


karena padanya ada seratus gerbang yang dapat dilewati dua ratus orang 


sekaligus


dengan kereta dan kuda mereka.16


Para imam menggunakan sebagian dari kekayaan itu untuk mengendalikan 


daerah Selatan; mereka menyewa tentara upahan dari Libia untuk menunjang kekuasaan mereka. ”Angkatan Kepolisian” Libia ini dikenal sebagai 


Meshwesh.17 Sekitar tahun 950, ”Panglima Besar Meshwesh” yaitu  seorang 


petempur Libia bernama Sheshonq, yang memiliki ambisi sendiri. Walaupun 


ia mengepalai bala tentara Utara, ia juga berhasil menciptakan aliansi dengan 


daerah Selatan dengan menikahi salah seorang anak perempuan penguasa 


Tanis, Psusennes II, seorang pharaoh yang masa pemerintahannya selama 


empat belas tahun hampir sepenuhnya gelap. saat  Psusennes II meninggal, Sheshonq menyatakan haknya, atas dasar perkawinan, atas tahta Mesir 


di Tanis. Karena Sheshonq telah meraih keharuman sebagai tangan kuat para 


imam di Thebes, tidak perlu waktu lama untuk menegaskan kekuasaannya 


terhadap ibu kota Mesir lainnya pula.


Kestabilan relatif Mesir yang untuk sementara dipersatukan kembali dapat 


dilihat dari tindakan Sheshonq berikutnya: ia menyatakan tekadnya untuk 


merebut kembali sebagian dari daerah yang dahulu menjadi bagian Mesir 


pada masa kejayaannya. Dan karena kini Israel dan Yehuda telah terpecah ke 


dalam bagian-bagian yang lemah dan saling bertikai, ia mengarahkan pandangannya ke daerah-daerah Semit Barat.


Ia bergerak menyusur pantai melalui daerah Filistin yang telah melemah, 


dan mengepung Yerusalem sendiri. ”Pada tahun kelima pemerintahan Raja 


Rehabeam”, kata 1 Raja, ”Raja Sheshonq dari Mesir menyerang Yerusalem. Ia 


mengambil semua harta kenisah Tuhan dan kekayaan istana raja. Ia mengambil segalanya, termasuk semua perisai emas yang telah dibuat Solomon. Maka 


Raja Rehabeam membuat perisai perunggu untuk menggantikannya”.18


Namun, tembok Yerusalem tetap tak diusik. Dengan kata lain, Rehabeam 


mendamaikan penyerangnya dengan kekayaan kenisah. Semua benda berhar ga selain Tabut Perjanjian dibawa ke Mesir. Mungkin sekali, ia sendiri pun 


dipaksa mengucapkan sumpah setia sebagai taklukan, dan secara resmi menjadi bawahan raja Mesir.


Kelegaan di pihak Sheshonq sendiri nampak saat  ia lalu  bergerak 


ke Utara lagi untuk menaklukkan kerajaan Utara. Yerobeam, yang telah bersembunyi di Mesir selama bertahun-tahun sambil menunggu daluwarsanya 


perintah Solomon untuk membunuhnya, kini mendapati dirinya di pihak 


yang salah pada bangsa yang dahulu telah memberinya perlindungan. Ia kalah 


jauh dalam jumlah tentaranya; Sheshnoq telah berhasil menghimpun seribu 


dua ratus kereta dan enam puluh ribu serdadu, yang sebagian besar diambil 


dari Libia dan dari Kush di sebelah Selatan.


Yerobeam melarikan diri, dan dengan demikian harus bertempur lagi 


suatu saat . Sheshnoq mendesak masuk ke Israel sampai sejauh Megiddo, 


lalu  berhenti. Ia telah sampai ke kota yang ditaklukkan oleh Tuthmosis 


III setengah milenium sebelumnya; ia telah mencapai tujuannya, bahwa di 


bawah pemerintahannya Mesir telah diperbaharui; maka, sekarang ia pulang. 


saat  ia meninggal, keturunannya memerintah baik daerah Utara maupun 


Selatan selama beberapa tahun lagi.


Invasi Sheshnoq meninggalkan sebuah kerajaan yang terbagi, ketakutan, 


dan hilang sama sekali keberaniannya. Selama beberapa abad berikutnya, 


keadaannya akan tetap dalam dua bagian: kerajaan Yehuda di Selatan, di 


bawah pemerintahan keturunan Daud; dan kerajaan Utara yang secara kolektif dikenal sebagai Israel, di bawah pemerintah suatu garis raja-raja yang 


tidak stabil dan berpindah-pindah tangan setiap dua atau tiga generasi, saat  


seorang petempur karismatik merebut kekuasaan keluarga kerajaan G A R I S WA K T U 4 5


MESIR DAERAH SEMIT BARAT


 Pemukiman awal kota-kota Filistin 


 Penaklukan (kemungkinan waktu)


 Merneptah (1212-1202) 


 Dinasti 20 (1185-1070)


 Setnakhte (sek. 1185-1182) 


 Rameses III (sek. 1182-1151) 


 Invasi Bangsa Laut


 Rameses IV-XI 


 Herihor (sek. 1080-1074) 


 Periode Menengah Ketiga (1070-664) Samson


 Dinasti 21 (Thebes) Saul 


 Daud


Dinasti 22 (945-712) Solomon


 Sheshnoq I (945-924) 


 Rehobeam (931) Yerobeam


 (Yehuda) (Israel)



Di -  cucu lelaki Raja Wen mengirim saudara lakilakinya untuk membangun pusat kekuatan Zhou, pos terdepan telah tumbuh 


dan menyebar ke dalam kerajaan-kerajaan kecil. Orang yang sekarang menguasai mereka, keturunan saudara-saudara kandung asli kerajaan, yaitu  


sepupu yang kedua, ketiga dan keempat dari keluarga raja; suatu ikatan darah 


yang cukup jauh sehingga hubungannya menjadi formal. Tanah-tanah tersebut saat itu diatur bukan oleh hubungan keluarga, tetapi oleh administrator 


(lebih baik) dan para raja picik (lebih jelek) yang membayar uang tanda kesetiaan mereka kepada raja bukan karena kewajiban hubungan darah, tetapi 


karena tugas.


Tak bisa dihindari, “Raja Sembilan Negara”, yang terpusat di sekitar jajahan 


tua, bertindak dengan lebih mandiri. Dalam sisa peninggalan kota-kota besar 


mereka, pakar arkeologi sudah menggali kapal perunggu yang dicetak dan 


diukir oleh raja-raja dari negeri itu sendiri; kaisar Zhou telah kehilangan kuasanya atas cetakan perunggu yang dulu pernah dipakai sebagai tanda monopoli 


kerajaan.2


 Catatan menunjukkan bahwa para penguasa lokal yang sama ini 


juga mulai merayakan pesta dan upacara keagamaan mereka sendiri. Mereka 


tidak menunggu raja untuk bertindak sebagai juru bicara surga.


Menanggapi itu, administrasi Zhou sendiri nampaknya telah pelan-pelan 


menjadi semakin tertata, semakin tidak tergantung pada kesetiaan pribadi, 


memagari para pejabatnya di dalam dengan aturan-aturan yang makin tegas. 


Pejabat-pejabat istana yang tadinya disebut “tuan”, yang telah melaksanakan 


fungsi pada umumnya dalam menekankan otoritas raja, sekarang dihadiahi 


sebutan khusus: Supervisor Negara memiliki  satu satuan tugas, Supervisor 


Kuda satuan tugas yang lain, Supervisor Pekerjaan satuan tugas yang lain lagi. Birokrasi yang tumbuh ini, seperti Perintah Surga, dimaksudkan untuk melindungi kuasa raja; namun pada saat yang sama juga mengurangi kuasanya, 


dan menyingkap kenyataan bahwa ia tidak bisa memaksakan semua kepatuhan yang tulus di sekelilingnya, hanya dengan memaksakan karakternya..3


Segera, masalah antara raja dan “baginda” (yang disebut “Duke” dalam 


banyak terjemahan) mulai muncul. Putera Mu, Kung, menurut Sima Qian, 


mengambil suatu perjalanan kerajaan untuk mengunjungi raja dari suatu negara kecil bernama Mi. Duke Mi telah mengumpulkan, dalam rumah selirnya, 


tiga gadis cantik dari keluarga yang sama. Bahkan ibunya menemukan hal ini 


berlebihan: “Trio gadis dari satu keturunan yaitu  sesuatu yang berlebihan!” 


hardiknya. “Bahkan seorang raja pun dianggap tidak patut mendapatkan itu, 


apalagi kamu, seorang brengsek pemabuk.”


Dia mengusulkan agar ia justru memberikan para wanita tersebut kepada 


raja. Duke menolak, dan Raja Kung kelihatannya pulang ke rumah dengan 


damai. Tetapi satu tahun lalu , ia datang dan menghancurkan Mi.4


 Ia 


tidak akan membiarkan satu raja pun di negerinya mengambil kesempatan 


untuk berfoya-foya dalam kemewahan yang lebih besar daripada raja.


Selama pemerintahan penggantinya, Raja Yih, kuasa raja ada di bawah 


ancaman dari luar juga. Catatan Tahunan Bamboo menunjukkan bahwa suku 


bangsa barbar dari luar kawasan Zhou meningkatkan serangan atas ibu kota itu 


sendiri. Mereka tidak pernah mau menerima aturan, baik dari pemerintahan 


Shang maupun Zhou, dan mereka tidak pernah berniat melakukannya.5


Bangsa-bangsa barbar terpukul mundur, tetapi ancaman dari luar digantikan dengan pengkhianatan dari dalam. Saudara Yih, Hsiao, berhasil 


merebut tahtanya. Laporan tentang perebutan tersebut agak samar-samar, 


tetapi Catatan Tahunan Bamboo mengatakan bahwa Raja Yih meninggalkan 


ibu kotanya hanya sejenak, sementara yang menggantikannya yaitu  saudaranya, Hsiao, bukan putranya maupun pewaris sah yang masih hidup, Yi..


Yih meninggal dalam pengasingan; pada akhirnya perampas kuasa Hsiao 


pun meninggal juga, dan Yi berhasil merebut kembali tahtanya dengan bantuan dari suatu koalisi raja-raja yang (dalam istilah Sima Qian) “mentahtakan” 


dia. Tetapi sesudah  kerja sama yang singkat ini, ia pun menghadapi berbagai 


kesulitan dengan raja-raja dari negeri-negeri tersebut. Kambing hitamnya ternyata yaitu  Duke Qi, dari sungai Kuning di Utara, yang telah berkembang 


menjadi suatu negara yang lebih kuat dalam kekuasaannya. Pertentangan 


meningkat menjadi perkelahian; menurut suatu catatan sejarah, Yi akhirnya 


mengirimkan angkatan perang kerajaan dan mencanangkan kampanye melawan Qi. Catatan tahunan Bamboo menambahkan bahwa ia menangkap 


Duke Qi dan menggodok dia dalam panci perunggu.6

Yi meninggal setahun sesudahnya, dan meninggalkan tahta kepada putranya, Li. Pertengkaran antara raja dan para bangsawan berlanjut, dan lebih dari 


satu kali berkembang menjadi perkelahian nyata. Li, yang terpaksa bertempur 


secara terus-menerus melawan ancaman-ancaman terhadap kekuasaannya, berkembang menjadi semakin lalim. Sima Qian menulis bahwa orang-orangnya 


sendiri mulai mengritik dia, dan dalam keputusasaan raja menyuruh seorang 


Penyelidik Agung (“dukun sihir”) untuk menyelidiki dan mendengarkan 


omongan-omongan yang menunjukkan ketidaksetiaan. Kambing hitamnya 


ditangkap dan dieksekusi. “Kritik makin surut,” kata Sima Qian, tetapi para 


tuan tanah feodal tidak pernah lagi datang ke istana .... Raja bahkan menjadi 


lebih ketat lagi. Tak seorang pun di ibu kota berani untuk mengatakan satu 


patah kata pun, mereka hanya saling memandang bila bertemu di jalan.”7


Kemalangan segera mewarnai kebijakan raja yang represif, membuat nasib 


orang di Negeri China lebih menyedihkan dari yang pernah dialami: periode 


kelaparan dan kekeringan, disela dengan banjir karena hujan, menghancurkan 


panenan-panenan mereka. Suatu syair dari ratapan pemerintahan Li tentang 


keadaan kerajaan tersebut:


Hujan kematian dan kekacauan turun dari surga,


menenggelamkan raja dan tahtanya,


cacing menggerogoti dari akar dan saluran ke biji-bijian,


celakalah Daratan Tengah, oleh wabah dan jamur.8


Nyanyian lain yang diwariskan dari tahun-tahun ini berbicara tentang kelaparan, ketidakpuasan, dan pemberontakan.9


Para bangsawan yang masih setia kepada raja memperingatkan Li bahwa 


suatu ledakan akan datang: ”Menghalangi mulut masyarakat lebih berat dibandingkan membendung sungai,” kata Duke Shao kepada raja. ”saat  


sungai yang dibendung membobolkan tanggul sampingnya, tentu itu akan 


menyakiti sejumlah besar manusia.”10


Li, yang tidak peduli, menolak untuk mengundang kembali Penyelidik 


Agung. Pemberontakan pun tiba-tiba meletus; gerombolan manusia berkumpul di sekitar istana dan mengguncangkan gerbang, tetapi Li berhasil lolos, 


keluar dari ibu kota ke arah pedesaan. Ahli warisnya yang masih muda kurang 


beruntung. Terjebak di dalam kota, mencoba mengungsi bersama penasihat 


ayahnya yang setia, Duke Shao. Untuk menyelamatkan jiwa ahli waris ke atas 


tahta, Duke Shao ”menggantikan Ahli waris... dengan anaknya sendiri.”11


Kelihatannya ”raja” pengganti juga terbunuh; dan penasihat yang setia 


tersebut, yang telah mengorbankan keluarganya sendiri untuk rajanya, membesarkan sang pangeran di dalam rumah keluarganya. Kekuasaan dari kerajaan

Zhou dialihkan ke tangan para bupati, sampai Li meninggal di pengasingan 


dan ahli warisnya, Raja Hsuan, mengambil tahta.


Sejauh keterkaitan Sima Qian, siklus sejarah melangkah maju dengan pola 


yang sama. Dari Mu ke depan, para penguasa Zhou pelan-pelan menjadi semakin hancur. Rakyat yang sama-sama mengalami kekeringan, kelaparan, 


dan melihat pelanggaran-pelanggaran para bangsawan dalam hal kekuasaan 


istana, merasa tidak nyaman lagi tinggal di kota itu; tetapi Sima Qian menganggap hal ini sangat penting, yaitu bahwa Li menjadi tamak dan kejam, dan 


putra yang menjadi ahli waris Hsuan berkepala batu dan tidak mengindahkan 


bisikan dari para penasihatnya.


Berkepala batu atau tidak, Hsuan juga menghadapi suatu invasi raksasa dari bangsa-bangsa barbar. Invasi ini telah menjadi suatu gangguan yang 


terus menerus. Ke penjuru Utara dan Barat rangkaian pegunungan, terdapat para suku bangsa pengembara (nomad). Mereka mungkin Indo-Europa, 


dan terlihat semua tidak mirip dengan keturunan penghuni Sungai Kuning 


yang pertama; mereka hidup dengan bekerja sebagai pengembara berkuda, 


mengendarai di atas stepa yang tinggi di punggung kudanya, melakukan perburuan dengan busurnya. saat  lapar, mereka turun menyerang persawahan 


dan lumbung para petani Zhou.


Selama pemerintahan Hsuan, suku yang paling mengancam yaitu  suku 


dari Barat.12 Orang-orang Zhou menyebut mereka ”Xianyun,” yang mungkin 


bukan suatu nama suku; itu sekedar sebutan mereka untuk menunjuk pada 


suatu kesatuan kelompok pengembara yang berbeda-beda yang telah bergabung untuk mencoba mendapatkan sebagian dari harta kemakmuran Zhou 


untuk mereka.13


Dari tahun ke lima hingga tahun ke dua belas dalam pemerintahannya, 


angkatan perang Raja Hsuan berbaris ke luar melawan Xianyun, mempertahankan pusat pemerintahannya dari serangan luar. Mereka yaitu  suku 


bangsa yang lebih mengganggu dibanding penyerbu sebelumnya, antara lain 


karena mereka menggunakan kereta perang di pertempuran, serta peperangan 


melawan mereka berlanjut terus-menerus. Salah satu puisi dari bagian Ode 


Minor (”Xianyun”) dari Shijing meratapi invasi tersebut; seorang prajurit menempelkannya pada papan keluhan di perbatasan.


Kami tidak punya rumah, tidak ada tempat tinggal


Oleh karena Xianyun;


Kami tidak bisa beristirahat atau tinggal tenang


Oleh karena Xianyun...


Tahun-tahun berlalu,


Tetapi bisnis raja tidak pernah berakhir;Kita tidak bisa menjadi baik atau tinggal tenang,


Hati kami terasa sangat pahit.


Lambat-laun Xianyun pun mundur, dari hadangan perlawanan Zhou, 


dan untuk sementara waktu menghilang dalam catatan sejarah. Tetapi kemenangan Hsuan terhadap bangsa barbar tidak membantu sedikit pun untuk 


meningkatkan otoritasnya terhadap rakyatnya sendiri. Tidak lama sesudah 


itu, ia kembali berkelahi dengan para tuan-tuan feodal, dan nasibnya menjadi 


semakin suram: ”Para tuan-tuan itu umumnya memberontak melawan perintah raja,” begitu keterangan salah satu catatan sejarah.14


Di tahun ke empat puluh tujuh dari pemerintahannya, Hsuan meninggal. 


Putranya Yu menerima warisan, dan kejatuhan Zhou semakin dekat dan tak 


dapat dielakkan. Suatu gempa bumi mengguncang ibu kota segera sesudah  Yu 


berkuasa, dan tanah longsor kelihatannya membendung aliran-aliran sungai 


yang mengaliri air bersih ke kota tersebut: ”saat  sumber dari sungai terhalang” begitulah ratapan salah satu penasihat kerajaan, ”negara pasti akan 


binasa.”


Jika tidak ada jalan untuk mengaruniai tanah dan memenuhi keinginan 


manusia akan kebutuhan sehari-hari, maka negara akan binasa lebih cepat!... 


Sekarang perbuatan Zhou persis seperti perbuatannya [Xia dan Shang] di 


tahun-tahun terakhir mereka, dan sungai-sungai serta sumbernya ... terhalang 


.... Tanah longsor dan sungai yang mengering yaitu  tanda negara akan binasa. Dan saat  sungai mengering, tanah longsor pasti akan menyusul. 15


Jelas, Sima Qian menulis, “selama tahun itu, ketiga sungai tersebut mengering dan terjadi tanah longsor.


Persamaan antara tindakan kakek Yu, Li, yang telah menutup mulut 


rakyatnya seperti halnya sungai airnya dihalangi, dan tanah yang longsor 


menutupi mulut sungai dan membendung kota dari aliran air, sangat terlihat 


jelas. Kejahatan Zhou telah menggenangi bumi itu sendiri; dan sebagai 


imbalannya Surga akan mengambil Pemerintahan dari Zhou, sehingga mereka 


tidak lagi memberi kehidupan pada rakyat mereka.


Yu sendiri berubah menjadi tidak bermoral, penguasa yang sekedar mencari kesenangan. sesudah  menjadi ayah dari seorang putra dan ahli waris dari 


istri tuanya, Yu lalu  jatuh hati dengan seorang perempuan dari harem 


dan mencoba untuk mendepak ratu dengan pangeran mahkota atas nama selir 


dan putra haramnya. Penasihat nya menentang usulnya, tetapi Yu meminta 


dengan tegas; dan akhirnya penasihat menyingkir. ”Bencana telah mulai ke lihatan,” Sejarawan Agung mengamati, dalam keputusasaan, ”dan untuk itu 


tidak ada yang bisa kami perbuat.”16


Selir ini, saat itu ratu, telah merobek-robek keluarga kerajaan; maka tidak 


mengherankan, kesenangannya yang utama sifatnya merusak. Dia paling 


senang mendengar sutra dirobek, dan dengan demikian dia memesan potongan-potongan besar kain yang mahal itu untuk dibawa ke istana untuk 


dirobek-robek sekedar untuk menghibur dia.17 Sudah kerjanya pemboros, dia 


juga jarang tersenyum dan tidak pernah tertawa.


Yu mencari segala cara dalam benaknya untuk membuat selirnya senang, 


dan dia memutuskan bahwa ia akan menyalakan semua lentera suar dan 


memukul drum tanda bahaya. Ini yaitu  suatu isyarat yang dipakai untuk 


memperingatkan adanya invasi suku barbar; pada saat kegaduhan tanda itu, 


para hulubalang yang dekat akan menghadirkan angkatan perang mereka dan 


menyerbu ke benteng kota. Saat kedatangan mereka, mereka tidak menemukan satu pun orang barbar. Wajah mereka yang terkejut menjadi sangat lucu 


sehingga sang selir tertawa terbahak-bahak (mungkin untuk yang pertama 


kali).18


Tetapi tidak lama sesudah itu penyerbu barbar pun benar-benar datang. 


Mereka dikenal sebagai Quan Rong; tanah asal mereka yaitu  dari Utara dan 


Barat negeri Zhou. Mereka menggerombol di perbatasan dan mengepung 


kota itu. Dan mereka disatukan dalam serangan ini oleh bukan bangsa barbar: yaitu keluarga istri pertama Raja Yu, yang marah karena telah didepak. 


Ancaman dari luar dan dalam telah menyatu dalam serangan yang menggoncang dinasti.


Raja Yu memerintahkan untuk menyalakan lentera suar, tetapi para pimpinan feodal tersebut hanya mengangkat bahu dan kembali sibuk dengan 


tugas-tugas mereka sendiri. Mereka tidak ingin dianggap seperti orang bodoh 


untuk kedua kalinya sekadar untuk menghibur sekelumit dari khayalannya. 


Yu sendiri, dengan berkelahi sendiri melawan penyerbu, terbunuh dalam pertempuran. Orang-orang barbar merampas istana, menculik sang selir, dan 


pulang ke rumah.


K istana Zhou, yang terjadi pada tahun 771, yaitu  akhir dari dominasi Zhou dari Barat. Namun demikian, ini bukan akhir Dari Dinasti Zhou. 


Beberapa dari orang-orang dekat raja masih setia pada P’ing, putra tertua Yu, 


ahli waris yang telah dicabut hak warisnya demi keuntungan putra haram dari 


selir. Bersama-sama, mereka menyatakan dia sebagai raja.


Namun ibu kota Hao jelas bukan tempat untuk P’Ing. Orang-orang barbar mungkin telah pulang, tetapi perbatasan Barat tidaklah aman, dan Hao 


terlalu dekat dengan batas itu. Raja P’ing memutuskan untuk menarik diri ke Timur, ke tempat yang lebih aman: ke kota Loyang, yang telah dibangun 


berabad-abad sebelumnya oleh Duke Zhou.


Dengan demikian ia bisa berbaris dengan aman ke arah ibu kota barunya, 


kepala dari Ch’in ... negara kecil yang kerabat rajanya belum secara resmi dikenali oleh tahta … tentara-tentara dikirim untuk mengawal P’Ing. Dengan 


berterima kasih, menurut Shu ching, P’ing mengangkat kepala tersebut menjadi seorang tuan, Duke Ch’in, dan “juga memberi dia lahan tanah yang 


cukup untuk menopang posisi barunya, yang kota pusatnya yaitu  ibu kota 


lama yang telah mereka tinggalkan.”19 Tanah asal Zhou kini berada dalam 


cengkeraman raja-raja kecil; mulai ibu kota baru yang di Timur, bersandar 


pada dukungan dari para duke yang akan setia selama keinginan mereka terpenuhi, kekuasaan. Raja P’ing atas suatu kerajaan yang baru saja mengecil.20


Era Zhou dari Barat telah berakhir; era Zhou Timur dimulai.


G A R I S WA K T U 4 6


 TANAH SEMIT BARAT CHINA


 Dinasti Zhou (1087–256)


 Samson Zhou Barat (1087–771)


 When


 Whu


 Tan (Wali)


Daud Ch’eng


 Solomon K’ang (c. 996-977)


Zhao


 Rehoboam (931) Yeroboam


 (Yehuda) (Israel)


 Mu


 Kung


 Yih (Hsiao)


 Yi


 Li


 Hsuan


 Invasi Xianyun


 Yu


 Zhou Timur (771-221)


 P’ing






Orang aram, suku bangsa yang invasinya terhadap Mesopotamia 


telah mengganggu bisnis sehari-hari di Assiria dan Babilonia, sekarang telah 


menduduki satu rangkaian negara kecil yang merdeka. Yang paling kuat di 


antaranya terpusat di kota Damaskus, di pertengahan dataran yang membentang sepanjang Efrata mulai dari Assiria. Raja Daud telah berhasil membawa 


orang-orang Aramis di Damaskus, paling tidak sebagian di bawah kendalinya: 


penulis kronik menyombongkan bahwa pasukan Israel di bawah Daud «memukul mundur dua puluh dua ribu dari mereka,» dan sesudah  itu menerima 


upeti secara reguler dari mereka.


Sepanjang tahun-tahun yang sama, bangsa Assiria menyebut keseluruhan 


daerah sebelah Barat Efrata dengan nama «Aram», suatu istilah umum untuk 


kota yang diperintah oleh pemimpin-pemimin Aramis, dan umumnya 


hampir tidak memiliki pengharapan untuk melawan mereka. Belum sampai 


pemerintahan cucu David, Rehoboam, serta keretakan Israel menjadi dua 


negara, seorang penguasa Assiria berhasil mengumpulkan pasukannya dan 


menahan tekanan bangsa Aramis. Nama orang tersebut Ashurdan II, dan ia 


yaitu  yang pertama dari para raja Assiria agung yang akan membawa Assiria 


keluar dari zaman kegelapan mereka, masuk ke dalam kebangkitan kembali 


yang baru dan yang terakhir.


Dalam catatannya, Ashurdan menyombongkan bahwa ia membalaskan 


dendamnya pada para pengembara yang «melakukan penghancuran dan pembunuhan» dengan membakar kota-kota Aram yang telah dibangun di atas 


daratan yang pernah dikuasai orang Assiria. Sesungguhnya ia datang untuk 


mendirikan tempat di dekat perbatasan dengan kerajaan Assiria tua. Ia berhasil 


mengepung daerah pedalaman Assiria dengan pasukannya, dan membuatnya 


aman; ia mengembalikan orang-orang kampung Assiria yang telah diusir dari kota mereka oleh «harapan, perut kosong, dan kelaparan»dari pegunungan, 


lalu menampung mereka kembali di tanah mereka sendiri.2


 Namun ia tidak 


mendorong lebih jauh ke Utara atau Timur, tempat orang-orang Aramis 


masih sangat berkuasa.Dan ke arah Selatan, sisa-sisa kumuh Kerajaan Babilonia masih memegang 


kemerdekaannya, seperti dahulu. Tahta Babilonia telah diklaim dari keturunan ke keturunan, dan ibu kotanya telah pindah dari kota ke kota lain, 


dan orang-orang Aram telah menerobos kawasan Babilonia tua sedemikian 


dalam sampai bahasa mereka, suatu dialek Semit yang dikenal dengan nama 


Aramaik, mulai menggantikan bahasa Akkadia yang dulu pernah menjadi bahasa sehari-hari orang-orang Babilonia.3


Tidak sampai tiga generasi lalu , raja besar Assiria memancang 


klaimnya atas julukan itu. Cicit laki-laki Ashurdan, Ashurnasirpal II, akhirnya 


membangun Assiria menjadi sebuah kerajaan lagi.*


 “Ia berkelahi hingga Barat 


Laut Nineweh, dan menjadikan kota tersebut sebagai basis di Utara.4


 Ia 

menyeberang ke tepi Timur sungai Tigris dan membangun sendiri sebuah 


ibu kota baru di lokasi kampung Caleh tua: “Aku telah menjadikannya 


baru sebagai tempat hunian,” ia mengatakan. “Kota Caleh yang dulu telah 


dibangun Shalmaneser, raja Assiria, seorang pangeran yang mendahului aku; 


kota itu telah lapuk dan menjadi reruntuhan, telah menjadi sebuah gundukan 


tanah dan tumpukan puing. Kota besar itu aku bangun jadi baru .... Aku 


bentangkan kebun buah-buahan di dalamnya, buah dan anggur yang aku 


persembahkan bagi Assur, rajaku.... Aku menggali sampai pada permukaan air. 


... Aku membangun dinding daripadanya; dari dasarnya hingga puncaknya, 


aku bangun dan aku selesaikan.”5


Caleh, mulai sekarang, akan menjadi pusat pemerintahannya; Assur sendiri 


semata-mata hanya dijadikan kota upacara adat. Di Caleh ia membangun 


tidak hanya bangunan kantor, tetapi juga sebuah istana yang dihias dengan 


relief-relief para prajurit dan raja yang telah menyerah kepadanya; di pintupintu ke aula tempat ia menerima upeti, ia memasang patung penjaga, banteng 


raksasa bersayap dengan kepala manusia, dengan wajah potret Ashurnasirpal 


sendiri yang dianggap ideal.6


 saat  istana sudah selesai, Ashurnasirpal 


mengadakan suatu perjamuan yang sangat besar untuk merayakannya: 


catatan tentang upacara tersebut menjelaskan bahwa tamu-tamunya dijamu 


dengan seribu kerbau, seribu lembu lokal, dan empat belas ribu biri-biri 


yang diimpor dan digemukkan, seribu domba, lima ratus burung-burung 


piaraan, lima ratus rusa, sepuluh ribu ikan, sepuluh ribu telor, sepuluh ribu 


batang roti, sepuluh ribu sukat bir, sepuluh ribu barel anggur, dan banyak 


lagi. Menurut hitungan Ashurnasirpal, ada 69,574 tamu di meja perjamuan, 


semua merayakan kebesarannya. Di pesta itu, ia di depan umum mengklaim 


sebutan “raja agung, raja dunia, pahlawan yang gagah berani yang melangkah 


maju dengan bantuan Assur; ia yang tidak punya saingan di