seluruh hidupnya dalam penyerangan. Pada waktu ia meninggal, orang Ibrani sudah
mendiami daerah dari Beersyeba di Selatan sampai ke Kinnereth, di pesisir
Selatan danau kecil yang lalu dikenal sebagai Laut Galilea, dan ke Barat
sejauh Ramoth-Gilead. Wilayah yang ditaklukkan telah dibagi di antara sukusuku. Yoshua digantikan bukan oleh seorang raja melainkan sejumlah hakim,
yakni nabi-nabi yang menyatakan kepada suku-suku Ibrani—yang kini merupakan bangsa Israel—apa yang dimnta oleh Allah.*∗
Tetapi wilayah luas Kanaan masih belum ditaklukkan. Sebabnya antara
lain yaitu bahwa orang Filistin kini menguasai daerah dari Ekron hingga
sepanjang pantai Laut Tengah, dan mereka tidak bersedia menyerahkan sebidang mana pun kepada para pendatang baru. Pada tahun-tahun saat Israel
diperintah oleh hakim-hakim, orang Israel terus menerus berpreang melawan
orang Filistin.3
Sungguh tidak mungkin menetapkan waktu ”Penaklukan” itu—invasi
orang Ibrani dari daerah Semit Barat di bawah pimpinan Yoshua—secara pasti.
Demikian pula, tidaklah mungkin menetapkan secara mutlak tahun-tahun
saat hakim-hakim Ibrani memimpin tentara Israel melawan tuan-tuan
tanah Pentapolis.**† Tetapi hakim yang paling terkenal, Samson yang memiliki kekuatan adikodrati, barangkali melaksanakan kepemimpinan terhadap
seluruh wilayah itu sekitar 1050: masa berlangsungnya Periode Menengah
Ketiga di Mesir, kekuasaan Aramea di Mesopotamia, dan pemerintahan Zhou
di Timur jauh.
Pada masa Samson, orang Filistin bukan hanya tidak ditaklukkan, tetapi
menyusup ke wilayah Israel. Jauh di Selatan, kedua bangsa telah mulai ber-
baur; Samson bahkan menikahi seorang perempuan Filistin, yang menjadikan
orang tuanya yang saleh sangat berputus asa. (”Apa? Tidak adakah perempuan
yang sesuai di antara bangsa kita sendiri? Mengapa kamu pergi dan mencari
istri dari antara orang tak bersunat?”) Istri Filistin itu ternyata merupakan
suatu kekeliruan; sesudah bertengkar dengan ayah mertuanya, Samson membakar sebuah bentangan luas kebun anggur dan ladang gandum Filistin, dan
dengan demikian menyebabkan orang sebangsanya takut karena memikirkan
pembalasan yang akan diterima. ”Tidakkah kamu tahu bahwa orang Filistin
yaitu penguasa kita?” tanya mereka. ”Apakah gerangan yang kau lakukan?”4
Ini tampaknya menunjukkan bahwa orang Filistinlah, bukan orang Israel,
yang lebih kuat dalam hubungan yang sangat tidak nyaman antara kedua
negara. Tetapi sesungguhnya mereka tidak menguasai tanah Israel. Samson
sendiri menjadi hakim Israel selama dua puluh tahun, dan selama itu ia membunuh ratusan orang Filistin dalam beberapa kali ledakan amarahnya, tetapi
orang Filistin tidak pernah cukup kuat untuk melakukan suatu perang yang
nyata melawan dia. Alih-alih, mereka memerintahkan seorang pelacur bernama Delilah—seorang perempuan yang tinggal ”di lembah Sorek”, atau
dengan kata lain, tepat pada perbatasan antara wilayah Filistin dan daerah
Israel—untuk menyerahkan dia. sesudah ditipu dan ditangkap, Samson dibutakan oleh musuh-musuhnya dan diseret ke Gaza, kota Pentapolis yang
paling kuat; di sana, sesudah dibawa keluar dan dipertontonkan oleh orang
Filistin dalam sebuah festival untuk dewa utama mereka Dagon (dewa ikan,
yang mencerminkan asal usul mereka sebagai sebuah bangsa pelaut Aegea),
ia menggunakan kekuatannya yang sedemikian besar untuk merenggut dan
merobohkan Kuil Dagon sehingga menjatuhi dia sendiri dan tiga ribu musuhnya. ”Demikianlah”, tutur Kitab Hakim-Hakim, ”ia membunuh jauh
lebih banyak orang saat ia mati daripada saat ia hidup”.5
Kemenangan terhadap orang Filistin dengan korban yang sedemikian
besar, seperti kemenangan raja Pyrrhus itu, mencerminkan suatu kebuntuan. Orang Filistin menyerbu desa-desa Israel, orang Israel membakar ladang
orang Filistin, kedua belah pihak menghentikan perburuan satu sama lain
yang aneh karena tertangkap di luar wilayah permainan, dan tak satu kerajaan
pun menang. Secara politis, kedua bangsa itu menderita akibat kepemimpinan
yang sama-sama tidak jelas. Tak ada seorang pemimpin perang Filistin yang
mampu menghimpun bala tentara dari kelima kota Pentapolis di bawah kepemimpinannya, sedang para hakim Israel, walaupun memiliki wibawa teologis,
bahkan memiliki kekuasaan yang lebih kecil: ”Pada masa itu tidak ada raja di
Israel”, yaitu referen yang diulang-ulang dalam Kitab Hakim-Hakim, ”dan
setiap orang di Israel melakukan apa yang dianggapnya benar.”
Akhirnya, karena sudah tidak tahan, orang Israel menutut adanya seorang raja, agar mereka sama dengan ”negara-negara lain”. Agaknya mereka memikirkan Mesir, satu-satunya negara yang rajanya dapat memukul telak orang
Filistin. Mereka ingin menjadikan seorang keturunan Benyamin yang sangat
tinggi bernama Saul sebagai raja dan panglima mereka, agar ia dapat memimpin mereka menuju kemenangan militer.
Ia secara sah dikukuhkan menjadi raja pertama Israel oleh hakim terakhir,
seorang yang sudah tua dan letih bernama Samuel, yang percaya bahwa kedudukan raja merupakan suatu kekeliruan besar. ”Ia akan memaksa anak-anak
lelakimu menjadi prajurit dalam bala tentaranya”, katanya memperingatkan
orang Israel; ”ia akan menyuruh mereka membajak ladangnya, membuat
senjata untuk pasukannya; ia akan mengambil anak perempuanmu untuk bekerja di istananya; ia akan mengambil hasil panenmu yang terbaik, anggur
terbaik dari kebun anggurmu, sepersepuluh dari gandummu, sepersepuluh
dari ternakmu, hamba-hamba dan sapi-sapimu yang terbaik; kamu akan berseru memehon pembebasan dari raja yang telah kalian pilih”.6
Walaupun diberikan peringatan, Saul dielu-elukan sebagai raja dan panglima. Sesaat itu juga ia mulai menyusun serangan melawan orang Filistin.
Sayangnya, kekuasaan orang Filistin terhadap orang Israel telah meningkat
sampai ke embargo senjata: ”Tidak ada pandai besi di mana pun di Israel”,
tutur 1 Samuel, ”karena orang Filistin mengetahui bahwa jika tidak demikian maka orang Israel akan membuat pedang dan perisai.”7
Sebaliknya, orang
Filistin memiliki keleluasan untuk mengerjakan besi untuk diri mereka
sendiri. Setiap orang Israel yang ingin mengasah bajak atau kampak harus
pergi ke negeri Filistin dan mengupah seorang Filistin untuk melakukan pekerjaan itu.*∗
Akibatnya, saat Saul mengumpulkan petempur dari suku-suku di
bawah panji-panji kerajaan barunya, yang memiliki pedang hanya dia dan
anak lelakinya, putra mahkota Yonathan. Orang lainnya memiliki cangkul
dan garpu rumput. Di pihak lain, orang Filistin menghimpun tiga ribu kereta,
enam ribu penunggang kereta (seorang sebagai sais, dan oang lainnya sebagai
petempur dengan tangan bebas dari memegang kendali), dan tentara yang tak
terbilang jumlahnya: ”sebanyak pasir di pesisir laut.” Kekuatan Israel, yang
kalah jauh jumlahnya dan sama sekali tak bersenjata, tunggang langgang dan
bersembunyi. Saul bersembunyi di Gilgal, di sebelah Utara Yeriko, hanyadengan enam ratus orang yang tersisa. Seterusnya, serbuan orang Israel
melawan kekuatan Filistin berupa serangan gerilya dan pertempuran yang tak
membawa hasil.
Pada salah satu pertempuran semacam itu, yang kali ini berlangsung
berlarut-larut di Lembah Elah, di tepi Barat wilayah Yehuda, pertempuran
berlangsung sedemikian lama sehingga orang Filistin mengusulkan suatu pertarungan lain untuk menyelesaikan sengketa. Dua petarung andal akan diadu,
masing-masing mewakili kedua pihak, dan pemenangnya akan mengambil
alih negara yang kalah.
Orang Filistin tentu menduga bahwa pemimpin baru Israel, Saul, akan
menjawab tantangan itu. Petarung Filistin yaitu seorang raksasa: tingginya
tiga meter, beratnya tidak lumrah tetapi bukannya tidak mungkin (terutama karena sebuah naskah lepas menuliskan tingginya tujuh, bukan sembilan,
kaki), dan Saul sendiri dikenal karena tinggi badannya. Pemilihan Goliath,
yang bersenjatakan lengkap dan yang telah menjadi petempur sejak masa mudanya, yaitu sebuah sikap superioritas yang merendahkan.*†
Saul tidak berniat mengabaikan raksasa itu, tetapi seorang Israel lainnya menerima tantangan itu: Daud, yang termuda dari tiga bersaudara dari
Yehuda yang telah masuk menjadi prajurit bala tentara Saul. Daud, yang
percaya bahwa Allah menyertainya, keluar dengan membawa ketapel, memukul rebah Goliath dengan satu lontaran batu yang tepat mengenai kepalanya,
dan memotong kepala raksasa itu dengan pedangnya sendiri. ”saat orang
Filistin melihat bahwa petarung mereka telah mati”, kata 1 Sam., ”mereka
berbalik dan melarikan diri. lalu orang laki-laki Israel dan Yehuda menyerang maju dan mengejar orang Filistin sampai ke pintu masuk Gath dan
gerbang Ekron. Orang-orang Filistin mati berserakan di sepanjang jalan ke
Gath dan Ekron.”8
Kemenangan itu menjadikan Daud sedemikian populer
sehingga Saul memutuskan untuk menyingkirkan dia, sebagai kemungkinan
pesaing tahtanya.
Demi keamanan dirinya, Daud mengungsi ke wilayah Filistin. Di sana
ia bertindak sebagai agen ganda: ia menjarah kota-kota Filistin yang jauh letaknya, lalu kembali kepada orang Filistin yang menyewanya dengan
membawa rampasan dan menceritakan dengan berapi-api khayalan tentang
pemukiman orang Israel yang telah jatuh ke tangannya. saat Saul terbunuh
dalam suatu benturan yang sangat keras dengan orang Filistin, Daud kembalidan mengklaim mahkota.
Daud bertekad menjadikan kedua belas suku Israel bukan hanya sebuah
bangsa tetapi suatu kerajaan. Salah satu tindakan pertamanya yaitu mengepung kota Yerusalem, yang tetap belum ditaklukkan dan berada di bawah
kekuasaan orang Kanaan Barat yang dalam cerita Alkitab disebut ”orang
Yebus”—suatu campuran yang tidak pasti antara orang Semit Barat dan
imigran dari jazirah Arab.*∗
Daud menaklukkan kota itu dengan memimpin pasukan invasinya masuk melalui saluran air yang dibabah pada cadas di
bawah tembok kota, dan membangunnya kembali sebagai kotanya sendiri.
sesudah kedua belas suku berada di dalam kekuasaannya, ia melebarkan
batas-batasnya; ia bergerak ke tenggara dan menaklukkan orang Edom, sebuah bangsa yang sebelumnya menguasai daerah itu sampai sejauh Laut Merah;
ia mengalahkan suku-suku Moab, di sisi seberang Laut Mati, dan suku-suku
Ammon di sebelah Utara mereka, tepat di seberang Yordan; dan ia secara
meyakinkan mengalahkan orang Filistin yang telah bergerak ke Israel begitu
mereka mendengar bahwa Daud telah memegang kekuasaan. (Mereka tentunya tidak sekadar jengkel bahwa agen ganda mereka berhasil menipu mereka
begitu lama.) Itulah akhir kekuasaan Filistin sebagai suatu kerajaan yang kuat.
Masa kejayaan mereka hanya berlangsung selama satu abad lebih sedikit.
Kerajaan Daud ditandai tidak hanya oleh kekuasaan luas Israel terhadap
hampir seluruh daerah Semit Barat, tetapi juga oleh sesuatu yang tak dapat
dilakukan dengan berhasil oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya: penciptaan hubungan persahabatan dengan pemimpin-pemimpin negara lain.
Aliansinya yang paling produktif ialah dengan raja Tirus, seorang yang
bernama Hiram. Tirus yang terletak di pantai Laut Tengah di sebelah Utara
(di dalam wilayah Lebanon dewasa ini) telah dibangun menjadi suatu kekuatan oleh penduduknya, sebuah suku Semit Barat yang telah melarikan
diri dari tanah asal mereka di Sidon, yang letaknya di pantai lebih jauh lagi
ke Utara, saat Bangsa Laut telah menjarahnya dalam perjalanan mereka ke
Mesir. Orang ”Sidon” itu menetap di Tirus, bersama sebagian
Dari Bangsa Laut dari Aegea yang melakukan invasi; kuil-kuil Tirus, seperti
kuil-kuil orang Filistin, memuja dewa ikan Dagon, dan menyatakan asal-usul
yang sama. Pada masa pemerintahan Daud, Sidon dihuni kembali, dan bangsa-
bangsa yang sama menduduki tidak
hanya Tirus dan Sidon tetapi juga
kota dagang tua Byblos. Campuran
mereka yang khas, yakni campuran
antara orang Semit Barat dan orang
Aegea, menjadi terkenal sebagai
orang Fenisia.9
Tidak terdapat suatu negara
yang disebut Fenisia, atau pun seorang raja besar Fenisia. Kota-kota
yang mandiri di sepanjang pantai
dipersatukan oleh kebudayaan dan
bahasa bersama; sistem tulisan mereka yaitu sistem pertama yang
memuat abjad. Dan mereka secara
praktis memiliki monopoli dagang
untuk satu dari sumber daya setempat yang sangat berharga: kayu aras,
yang mereka tebang dari bukit-bukit
yang berdekatan dan mereka kirim
ke Mesir, Israel, dan lebih jauh lagi.
saat Daud menyerahkan kerajaan kepada anak lelakinya, Solomon (penyerahan yang dilakukan dengan sedikit pertumpahan darah sebelum akhirnya
Solomon menang; Israel belum memiliki tradisi monarki herediter), perdagangan dengan Tirus memungkinkan Solomon untuk memulai program
pembangunan terbesar yang dapat dilihat di daerah Semit Barat.
Solomon, yang dalam cerita Alkitab dihormati sebagai seseorang yang
mendambakan kebijaksanaan, menata ulang kerajaan Daud ke dalam dua
belas distrik administratif yang tidak selalu sesuai dengan wilayah tradisional
kesukuan; ia ingin memecahkan pembagian kesukuan lama itu dan pertentangan antarsuku yang mungkin diakibatkan olehnya. Ia memperbaharui
sistem perpajakan dan melebarkan batas kerajaannya ke cakupannya yang
paling luas. Ia juga membangun sebuah kenisah yang sangat besar: tingginya
lima belas meter, yang dibangun dengan batu yang ditambang dan diangkut
dari tempat yang jauh, dibingkai dengan kayu aras berpahat, dilapisi emas di
tempatnya yang memungkinkan, dan dipenuhi dengan khazanah kekayaan.
Allah Israel memerlukan sebuah kenisah, dan Solomon ingin membangun
bagiNya kenisah yang sebaik-baiknya.
Itulah aktivitas Solomon yang biasa. Dalam hal itu ia sangat berbeda dengan ayahnya. Daud yaitu seorang petempur yang kasar dan tidak
rapi, seorang pemimpin karismatik yang membunuh ratusan orang dengan
tangannya sendiri, menolak untuk mengeksekusi pengkhianat sampai pengkhianatan mereka terlalu kentara untuk diabaikan, bermain harpa, dan larut
dalam tarian yang terlalu bersemangat yang memalukan di depan umum.
Kepribadiannya saja sudah membangkitkan entah kebencian yang mendalam
atau loyalitas setaraf pengkultusan; tiga pejuangnya suatu saat mengambil risiko kehilangan nyawa dan kemerdekaan mereka dengan menyeruak masuk
ke wilayah yang dikuasai orang Filistin sekadar untuk memberi Daud minum
air dari sumber di dekat desa tempat ia dilahirkan.
Solomon sama sekali berbeda. Ia yaitu tipe eksekutif dengan perhatian
tetap pada ukuran, seseorang yang bertekad untuk melakukan segalanya lebih
besar dan lebih baik daripada ayahnya dan mengubah suatu kerajaan yang
diperoleh dengan darah menjadi suatu kekaisaran yang nyaman dan tertata
dengan baik. Pada abad yang lebih maju ini mungkin Daud mirip seorang
penginjil garis depan Amerika yang berbicara dalam berbagai bahasa dan
terbuai dalam visiun serta terlelap dalam ketidaksadaran; Solomon, seorang
gembala gereja besar di kota satelit yang menggembalakan jemaahnya yang
terus bertambah besar di balai auditoriumnya yang kerèn, didasari oleh
keyakinan bahwa ukuran dan kemakmuran jerih payahnya yaitu bukti berkat
dari Allah. Tak seorang raja pun sesudah Solomon yang memiliki kekuasaan
terhadap orang Israel sebesar kekuasaan yang dimiliki Solomon, namun tak
seorang pun pernah bersedia mengambil risiko kehilangan nyawanya karena
cinta mereka kepada Solomon.
Kandang kuda Solomon berisi dua belas ribu kuda, dan istananya yang
besar menghabiskan 185 kor gandum sehari.10 Kekuasaannya setara dengan
kekuasaan seorang pharaoh. Sesungguhnya, kerajaannya kini meliputi provinsi Semit Barat yang dahulu menjadi bagian Mesir, dan Solomon bahkan
berhasil menikahi seorang putri Mesir; sudah lewat masanya di Mesir saat
pharaoh menjamin bahwa anak perempuan keluarga raja tidak bepergian ke
kerajaan lain.11 Solomon juga meluaskan koneksi Daud dengan negara-negara
lain. Selain berniaga dengan Hiram dari Tirus, ia juga mengatur untuk membangun kapal-kapalnya sendiri di Byblos. Ia membuat aliansi perkawinan
dengan bangsa Kanaan yang jauh, yang tidak dapat ia taklukkan. Ia bahkan
menerima suatu delegasi dari Arabia: sebuah delegasi yang dipimpin oleh ratu
yang paling terkenal di antara semua ratu zaman kuno.
” R S mendengar berita tentang keharuman nama
Solomon”, tutur Raja, ”ia datang untuk menguji kebijaksanaan Solomon; ia
tiba dengan sebuah kafilah rempah, emas, dan batu berharga”.
Ratu Syeba yaitu tokoh pertama yang berjuang keras untuk keluar me
lewati badai pasir yang menyelimuti sejarah kuno jazirah Arab, dan nyaris
satu-satunya wajah dan nama yang masih bertahan dari Arabia pada zaman
yang sangat kuno. Kafilah-kafilah dagang bertambah sering mendatangi kerajaan-kerajaan Semit Barat, dan ratu Syeba mungkin memimpin kafilah
semacam itu; ia bukan saja tiba dengan membawa rempah, emas, dan batu
berharga, tetapi juga pergi dengan membawa ”segala yang ia minta, yang telah
diberikan kepadanya atas kebaikan hati raja”.12
Terlihat bahwa perdagangan dan manufaktur, kerajinan besi dan pintalan, telah berlangsung di sekitar ujung-ujung jazirah Arab selama kurun
waktu yang panjang. Bagaimana pun, raja-raja Mesopotamia telah bepergian
dari tempat mereka di kepala Teluk Persia sampai ke Pegunungan Tembaga
di Magan, di Arabia Selatan, dua ribu tahun sebelumnya. Lebih ke Utara
lagi, pantai Arab berperan sebagai pelabuhan muat untuk kapal-kapal yang
berlayar dari Mesopotamia menuju pelabuhan-pelabuhan di India; pemukiman-pemukiman dagang di situ tumbuh menjadi kota-kota
Bahkan lebih sedikit lagi yang kita ketahui mengenai sudut Selatan Arabia,
karena inskripsi-inskripsi kuno yang terdapat di sana tidak dapat ditetapkan
waktunya dengan pasti. Tetapi sangat mungkin bahwa kerajaan Sabea di
Arabia Selatan mengirim seorang utusan kerajaan untuk berkunjung kepada
Solomon. Perdagangan antara Israel dan Arabia mungkin berlanjut sesudah
kunjungan itu; sebuah mazbah kuno dari daerah tepat di sebelah Barat sungai
Yordan memiliki inskripsi dengan aksara Arab.14 Tetapi semua cerita seputar
tokoh misterius ratu Syeba, yang mungkin juga ratu orang Sabea, berasal dari
masa yang jauh sesudahnya; cerita itu tidak menuturkan apa pun tentang
orang Sabea sendiri.P menimbulkan keretakan di dalam
kerajaannya yang akhirnya membuatnya terpecah belah.
Untuk membangun kenisah dan istananya, Solomon mengerahkan tiga
puluh ribu lelaki Israel sebagai pekerja. Pekerja yang dikerahkan itu memang dibayar untuk kerja mereka, tetapi tidak memiliki pilihan; mereka
harus menyisihkan waktu sebulan setiap tiga bulan untuk bekerja bagi raja.
Sementara itu mereka harus tetap merawat ladang dan kebun anggur mereka.
Setiap distrik harus menyediakan makanan untuk kalangan istana yang sedemikian besar (beserta ribuan kuda, sapi, domba, kambing, rusa, gazele, dan
unggas milik raja) selama satu bulan dalam setahun. Sementara istana bertambah besar, setiap distrik harus menyisihkan waktu yang semakin panjang
untuk membayar hutang mereka kepada istana. Di tempat-tempat tertentu
orang-orang harus bekerja selama hampir setengah tahun untuk memenuhi
kewajiban mereka kepada raja, dan setengah tahun lainnya untuk menopang
nafkah mereka sendiri.
Istana yang besar itu berkembang, antara lain karena kecenderungan
Solomon untuk membuat aliansi politis melalui perkawinan; menurut penulis
kroniknya, ia memiliki tujuh ratus istri ”keturunan raja” yang dikirim kepadanya untuk memeteraikan aliansi dalam berbagai jenisnya. Namun tidak ada
dalih yang mencukupi untuk jumlah gundiknya, tiga ratus wanita, yang tidak
mendukung tujuan politis apa pun; jumlah sebesar itu semata-mata mencerminkan selera Solomon yang sedemikian besar.
Seleranya untuk ukuran yang besar, yang telah mengubah Israel menjadi
sebuah kerajaan yang cukup penting bagi penguasa-penguasa lain untuk jauhjauh datang mengunjunginya, akhirnya juga sekaligus menghancurkannya.
Program pembangunan Solomon menjerumuskannya ke dalam hutang yang
besar, khususnya kepada Hiram, raja Fenisia di Tirus. Karena tidak memiliki cukup uang untuk membayar kayu aras, pinus, dan emas yang ia pesan,
Solomon melunasi tagihan itu dengan memberikan kepada Hiram ”dua puluh
kota di Galilea”15 —suatu bagian besar dari daerah pinggir kerajaannya.
Itu bukan suatu situasi yang menguntungkan untuk siapa pun. Hiram,
sesudah pergi melihat kota-kota itu, menjulukinya ”Daerah Tanpa Guna.”
Dan bagian Utara Israel pun mengamuk. Solomon yaitu seorang raja dari
Selatan, dari suku Selatan Yehuda yang besar dan kuat; dilihat dari kepentingan gugus-gugus suku kecil di Utara, ia telah membangun terlalu banyak,
memungut pajak terlalu besar, dan mempekerjakan orang-orangnya terlalu
berat, tetapi lalu berusaha mengatasi kesulitannya dengan melepas dua
puluh kota di bagian Utara, sementara daerah kelahirannya sendiri bahkan ia
tak mau menyentuhnya.
Pemberontakan dimulai di bawah pimpinan salah seorang pejabat tinggi
Solomon, seorang dari Utara bernama Yerobeam. saat seorang nabi dari
Efraim mengukuhkan Yerobeam sebagai raja, Solomon mendengar berita
tentang pemberontakan yang berkembang dan mengutus sebuah regu
pembunuh; Yerobeam melarikan diri ke Mesir dan tinggal di sana sampai
Solomon yang sudah menjadi tua—dan sudah bertahta selama empat puluh
tahun—meninggal, dan meninggalkan sebuah negara yang besar, kaya, kuat,
terpecah-pecah, dan tidak puas.
Yerobeam segera kembali dan membentuk sebuah delegasi untuk menemui
ahli waris Solomon, Rehabeam dan meminta perubahan: pajak yang lebih
rendah, kerja rodi yang lebih ringan. lalu , Rehabeam meminta nasihat
kepada dua dewan yang membantu pemerintahannya, seperti yang banyak
membantu raja-raja sejak zaman Gilgamesh. Dewan orang tua-tua, yang
berhati-hati dan berpengalaman, menasihatinya untuk mengubah kebijakan
Solomon, dengan lebih berperan sebagai gembala daripada sebagai penguasa;
dewan para muda menyarankan kepadanya untuk menunjukkan kekuasaannya. ”Katakan kepada mereka”, saran orang-orang muda itu, ”bahwa jari
kelingkingmu masih lebih besar daripada penis ayahmu.”
Rehabeam menyukai saran itu, yang barangkali menyingkapkan adanya
ganjalan-ganjalan yang masih belum terselesaikan. saat para utusan itu
kembali, ia memberikan sambutan yang barangkali merupakan sambutan politis yang paling miskin siasat dalam sejarah: ”Ayahku meletakkan kuk yang
berat di bahu kalian”, katanya kepada mereka, ”tetapi aku akan membuatnya
lebih berat lagi”. Akibat politisnya langsung terjadi; suku-suku Utara yang
sudah tidak puas itu memisahkan diri dan memaklumkan pemimpin mereka
dari Utara, Yerobeam, sebagai raja.
Hanya suku Yehuda, suku leluhur Daud sendiri, dan suku kecil Benyamin
tetangganya yang tetap setia kepada cucu Daud. Kerajaan Israel yang bersatu
telah berlangsung selama hampir dua generasi saja.
L kerajaan Israel tidak luput dari perhatian orang Mesir, yang
tengah mengalami suatu periode renaisans singkat.
Sejak awal Periode Menengah Ketiga sekitar tahun 1070, Mesir terpecah
akibat perang saudara. Para imam besar Amun, dengan mengikuti teladan
Herihor, memerintah dari kota Thebes di sebelah Selatan, sedang para pharaoh
dari Dinasti 12 memerintah bagian Utara dari kota Tanis di Delta Nil. Para
pharaoh di kota Tanis memiliki gengsi karena mereka yaitu keturunan
darah kerajaan, sedang para imam besar itu memiliki sebagian besar uang,
berkat besarnya jumlah daerah yang diserahkan kepada Kuil Amun oleh
para pharaoh terdahulu. Kekayaan mereka sedemikian besarnya sehingga terdengar gaungnya di dalam Iliades: ”Persetan dengan dia”, seru Achilles
perihal Agamemnon, saat ia menolak untuk ikut menyerang Troya. ”Aku
rampas hadiah-hadiah yang diperuntukkan baginya”,
dan untuk dia sendiri, sehelai jerami pun jangan.
Boleh saja ia menawarkan kepadaku sepuluh atau bahkan dua puluh kali
lipat seluruh miliknya...
boleh saja ia menjanjikan kepadaku kekayaan ... kota Thebes di Mesir,
kota yang paling kaya di dunia,
karena padanya ada seratus gerbang yang dapat dilewati dua ratus orang
sekaligus
dengan kereta dan kuda mereka.16
Para imam menggunakan sebagian dari kekayaan itu untuk mengendalikan
daerah Selatan; mereka menyewa tentara upahan dari Libia untuk menunjang kekuasaan mereka. ”Angkatan Kepolisian” Libia ini dikenal sebagai
Meshwesh.17 Sekitar tahun 950, ”Panglima Besar Meshwesh” yaitu seorang
petempur Libia bernama Sheshonq, yang memiliki ambisi sendiri. Walaupun
ia mengepalai bala tentara Utara, ia juga berhasil menciptakan aliansi dengan
daerah Selatan dengan menikahi salah seorang anak perempuan penguasa
Tanis, Psusennes II, seorang pharaoh yang masa pemerintahannya selama
empat belas tahun hampir sepenuhnya gelap. saat Psusennes II meninggal, Sheshonq menyatakan haknya, atas dasar perkawinan, atas tahta Mesir
di Tanis. Karena Sheshonq telah meraih keharuman sebagai tangan kuat para
imam di Thebes, tidak perlu waktu lama untuk menegaskan kekuasaannya
terhadap ibu kota Mesir lainnya pula.
Kestabilan relatif Mesir yang untuk sementara dipersatukan kembali dapat
dilihat dari tindakan Sheshonq berikutnya: ia menyatakan tekadnya untuk
merebut kembali sebagian dari daerah yang dahulu menjadi bagian Mesir
pada masa kejayaannya. Dan karena kini Israel dan Yehuda telah terpecah ke
dalam bagian-bagian yang lemah dan saling bertikai, ia mengarahkan pandangannya ke daerah-daerah Semit Barat.
Ia bergerak menyusur pantai melalui daerah Filistin yang telah melemah,
dan mengepung Yerusalem sendiri. ”Pada tahun kelima pemerintahan Raja
Rehabeam”, kata 1 Raja, ”Raja Sheshonq dari Mesir menyerang Yerusalem. Ia
mengambil semua harta kenisah Tuhan dan kekayaan istana raja. Ia mengambil segalanya, termasuk semua perisai emas yang telah dibuat Solomon. Maka
Raja Rehabeam membuat perisai perunggu untuk menggantikannya”.18
Namun, tembok Yerusalem tetap tak diusik. Dengan kata lain, Rehabeam
mendamaikan penyerangnya dengan kekayaan kenisah. Semua benda berhar ga selain Tabut Perjanjian dibawa ke Mesir. Mungkin sekali, ia sendiri pun
dipaksa mengucapkan sumpah setia sebagai taklukan, dan secara resmi menjadi bawahan raja Mesir.
Kelegaan di pihak Sheshonq sendiri nampak saat ia lalu bergerak
ke Utara lagi untuk menaklukkan kerajaan Utara. Yerobeam, yang telah bersembunyi di Mesir selama bertahun-tahun sambil menunggu daluwarsanya
perintah Solomon untuk membunuhnya, kini mendapati dirinya di pihak
yang salah pada bangsa yang dahulu telah memberinya perlindungan. Ia kalah
jauh dalam jumlah tentaranya; Sheshnoq telah berhasil menghimpun seribu
dua ratus kereta dan enam puluh ribu serdadu, yang sebagian besar diambil
dari Libia dan dari Kush di sebelah Selatan.
Yerobeam melarikan diri, dan dengan demikian harus bertempur lagi
suatu saat . Sheshnoq mendesak masuk ke Israel sampai sejauh Megiddo,
lalu berhenti. Ia telah sampai ke kota yang ditaklukkan oleh Tuthmosis
III setengah milenium sebelumnya; ia telah mencapai tujuannya, bahwa di
bawah pemerintahannya Mesir telah diperbaharui; maka, sekarang ia pulang.
saat ia meninggal, keturunannya memerintah baik daerah Utara maupun
Selatan selama beberapa tahun lagi.
Invasi Sheshnoq meninggalkan sebuah kerajaan yang terbagi, ketakutan,
dan hilang sama sekali keberaniannya. Selama beberapa abad berikutnya,
keadaannya akan tetap dalam dua bagian: kerajaan Yehuda di Selatan, di
bawah pemerintahan keturunan Daud; dan kerajaan Utara yang secara kolektif dikenal sebagai Israel, di bawah pemerintah suatu garis raja-raja yang
tidak stabil dan berpindah-pindah tangan setiap dua atau tiga generasi, saat
seorang petempur karismatik merebut kekuasaan keluarga kerajaan G A R I S WA K T U 4 5
MESIR DAERAH SEMIT BARAT
Pemukiman awal kota-kota Filistin
Penaklukan (kemungkinan waktu)
Merneptah (1212-1202)
Dinasti 20 (1185-1070)
Setnakhte (sek. 1185-1182)
Rameses III (sek. 1182-1151)
Invasi Bangsa Laut
Rameses IV-XI
Herihor (sek. 1080-1074)
Periode Menengah Ketiga (1070-664) Samson
Dinasti 21 (Thebes) Saul
Daud
Dinasti 22 (945-712) Solomon
Sheshnoq I (945-924)
Rehobeam (931) Yerobeam
(Yehuda) (Israel)
Di - cucu lelaki Raja Wen mengirim saudara lakilakinya untuk membangun pusat kekuatan Zhou, pos terdepan telah tumbuh
dan menyebar ke dalam kerajaan-kerajaan kecil. Orang yang sekarang menguasai mereka, keturunan saudara-saudara kandung asli kerajaan, yaitu
sepupu yang kedua, ketiga dan keempat dari keluarga raja; suatu ikatan darah
yang cukup jauh sehingga hubungannya menjadi formal. Tanah-tanah tersebut saat itu diatur bukan oleh hubungan keluarga, tetapi oleh administrator
(lebih baik) dan para raja picik (lebih jelek) yang membayar uang tanda kesetiaan mereka kepada raja bukan karena kewajiban hubungan darah, tetapi
karena tugas.
Tak bisa dihindari, “Raja Sembilan Negara”, yang terpusat di sekitar jajahan
tua, bertindak dengan lebih mandiri. Dalam sisa peninggalan kota-kota besar
mereka, pakar arkeologi sudah menggali kapal perunggu yang dicetak dan
diukir oleh raja-raja dari negeri itu sendiri; kaisar Zhou telah kehilangan kuasanya atas cetakan perunggu yang dulu pernah dipakai sebagai tanda monopoli
kerajaan.2
Catatan menunjukkan bahwa para penguasa lokal yang sama ini
juga mulai merayakan pesta dan upacara keagamaan mereka sendiri. Mereka
tidak menunggu raja untuk bertindak sebagai juru bicara surga.
Menanggapi itu, administrasi Zhou sendiri nampaknya telah pelan-pelan
menjadi semakin tertata, semakin tidak tergantung pada kesetiaan pribadi,
memagari para pejabatnya di dalam dengan aturan-aturan yang makin tegas.
Pejabat-pejabat istana yang tadinya disebut “tuan”, yang telah melaksanakan
fungsi pada umumnya dalam menekankan otoritas raja, sekarang dihadiahi
sebutan khusus: Supervisor Negara memiliki satu satuan tugas, Supervisor
Kuda satuan tugas yang lain, Supervisor Pekerjaan satuan tugas yang lain lagi. Birokrasi yang tumbuh ini, seperti Perintah Surga, dimaksudkan untuk melindungi kuasa raja; namun pada saat yang sama juga mengurangi kuasanya,
dan menyingkap kenyataan bahwa ia tidak bisa memaksakan semua kepatuhan yang tulus di sekelilingnya, hanya dengan memaksakan karakternya..3
Segera, masalah antara raja dan “baginda” (yang disebut “Duke” dalam
banyak terjemahan) mulai muncul. Putera Mu, Kung, menurut Sima Qian,
mengambil suatu perjalanan kerajaan untuk mengunjungi raja dari suatu negara kecil bernama Mi. Duke Mi telah mengumpulkan, dalam rumah selirnya,
tiga gadis cantik dari keluarga yang sama. Bahkan ibunya menemukan hal ini
berlebihan: “Trio gadis dari satu keturunan yaitu sesuatu yang berlebihan!”
hardiknya. “Bahkan seorang raja pun dianggap tidak patut mendapatkan itu,
apalagi kamu, seorang brengsek pemabuk.”
Dia mengusulkan agar ia justru memberikan para wanita tersebut kepada
raja. Duke menolak, dan Raja Kung kelihatannya pulang ke rumah dengan
damai. Tetapi satu tahun lalu , ia datang dan menghancurkan Mi.4
Ia
tidak akan membiarkan satu raja pun di negerinya mengambil kesempatan
untuk berfoya-foya dalam kemewahan yang lebih besar daripada raja.
Selama pemerintahan penggantinya, Raja Yih, kuasa raja ada di bawah
ancaman dari luar juga. Catatan Tahunan Bamboo menunjukkan bahwa suku
bangsa barbar dari luar kawasan Zhou meningkatkan serangan atas ibu kota itu
sendiri. Mereka tidak pernah mau menerima aturan, baik dari pemerintahan
Shang maupun Zhou, dan mereka tidak pernah berniat melakukannya.5
Bangsa-bangsa barbar terpukul mundur, tetapi ancaman dari luar digantikan dengan pengkhianatan dari dalam. Saudara Yih, Hsiao, berhasil
merebut tahtanya. Laporan tentang perebutan tersebut agak samar-samar,
tetapi Catatan Tahunan Bamboo mengatakan bahwa Raja Yih meninggalkan
ibu kotanya hanya sejenak, sementara yang menggantikannya yaitu saudaranya, Hsiao, bukan putranya maupun pewaris sah yang masih hidup, Yi..
Yih meninggal dalam pengasingan; pada akhirnya perampas kuasa Hsiao
pun meninggal juga, dan Yi berhasil merebut kembali tahtanya dengan bantuan dari suatu koalisi raja-raja yang (dalam istilah Sima Qian) “mentahtakan”
dia. Tetapi sesudah kerja sama yang singkat ini, ia pun menghadapi berbagai
kesulitan dengan raja-raja dari negeri-negeri tersebut. Kambing hitamnya ternyata yaitu Duke Qi, dari sungai Kuning di Utara, yang telah berkembang
menjadi suatu negara yang lebih kuat dalam kekuasaannya. Pertentangan
meningkat menjadi perkelahian; menurut suatu catatan sejarah, Yi akhirnya
mengirimkan angkatan perang kerajaan dan mencanangkan kampanye melawan Qi. Catatan tahunan Bamboo menambahkan bahwa ia menangkap
Duke Qi dan menggodok dia dalam panci perunggu.6
Yi meninggal setahun sesudahnya, dan meninggalkan tahta kepada putranya, Li. Pertengkaran antara raja dan para bangsawan berlanjut, dan lebih dari
satu kali berkembang menjadi perkelahian nyata. Li, yang terpaksa bertempur
secara terus-menerus melawan ancaman-ancaman terhadap kekuasaannya, berkembang menjadi semakin lalim. Sima Qian menulis bahwa orang-orangnya
sendiri mulai mengritik dia, dan dalam keputusasaan raja menyuruh seorang
Penyelidik Agung (“dukun sihir”) untuk menyelidiki dan mendengarkan
omongan-omongan yang menunjukkan ketidaksetiaan. Kambing hitamnya
ditangkap dan dieksekusi. “Kritik makin surut,” kata Sima Qian, tetapi para
tuan tanah feodal tidak pernah lagi datang ke istana .... Raja bahkan menjadi
lebih ketat lagi. Tak seorang pun di ibu kota berani untuk mengatakan satu
patah kata pun, mereka hanya saling memandang bila bertemu di jalan.”7
Kemalangan segera mewarnai kebijakan raja yang represif, membuat nasib
orang di Negeri China lebih menyedihkan dari yang pernah dialami: periode
kelaparan dan kekeringan, disela dengan banjir karena hujan, menghancurkan
panenan-panenan mereka. Suatu syair dari ratapan pemerintahan Li tentang
keadaan kerajaan tersebut:
Hujan kematian dan kekacauan turun dari surga,
menenggelamkan raja dan tahtanya,
cacing menggerogoti dari akar dan saluran ke biji-bijian,
celakalah Daratan Tengah, oleh wabah dan jamur.8
Nyanyian lain yang diwariskan dari tahun-tahun ini berbicara tentang kelaparan, ketidakpuasan, dan pemberontakan.9
Para bangsawan yang masih setia kepada raja memperingatkan Li bahwa
suatu ledakan akan datang: ”Menghalangi mulut masyarakat lebih berat dibandingkan membendung sungai,” kata Duke Shao kepada raja. ”saat
sungai yang dibendung membobolkan tanggul sampingnya, tentu itu akan
menyakiti sejumlah besar manusia.”10
Li, yang tidak peduli, menolak untuk mengundang kembali Penyelidik
Agung. Pemberontakan pun tiba-tiba meletus; gerombolan manusia berkumpul di sekitar istana dan mengguncangkan gerbang, tetapi Li berhasil lolos,
keluar dari ibu kota ke arah pedesaan. Ahli warisnya yang masih muda kurang
beruntung. Terjebak di dalam kota, mencoba mengungsi bersama penasihat
ayahnya yang setia, Duke Shao. Untuk menyelamatkan jiwa ahli waris ke atas
tahta, Duke Shao ”menggantikan Ahli waris... dengan anaknya sendiri.”11
Kelihatannya ”raja” pengganti juga terbunuh; dan penasihat yang setia
tersebut, yang telah mengorbankan keluarganya sendiri untuk rajanya, membesarkan sang pangeran di dalam rumah keluarganya. Kekuasaan dari kerajaan
Zhou dialihkan ke tangan para bupati, sampai Li meninggal di pengasingan
dan ahli warisnya, Raja Hsuan, mengambil tahta.
Sejauh keterkaitan Sima Qian, siklus sejarah melangkah maju dengan pola
yang sama. Dari Mu ke depan, para penguasa Zhou pelan-pelan menjadi semakin hancur. Rakyat yang sama-sama mengalami kekeringan, kelaparan,
dan melihat pelanggaran-pelanggaran para bangsawan dalam hal kekuasaan
istana, merasa tidak nyaman lagi tinggal di kota itu; tetapi Sima Qian menganggap hal ini sangat penting, yaitu bahwa Li menjadi tamak dan kejam, dan
putra yang menjadi ahli waris Hsuan berkepala batu dan tidak mengindahkan
bisikan dari para penasihatnya.
Berkepala batu atau tidak, Hsuan juga menghadapi suatu invasi raksasa dari bangsa-bangsa barbar. Invasi ini telah menjadi suatu gangguan yang
terus menerus. Ke penjuru Utara dan Barat rangkaian pegunungan, terdapat para suku bangsa pengembara (nomad). Mereka mungkin Indo-Europa,
dan terlihat semua tidak mirip dengan keturunan penghuni Sungai Kuning
yang pertama; mereka hidup dengan bekerja sebagai pengembara berkuda,
mengendarai di atas stepa yang tinggi di punggung kudanya, melakukan perburuan dengan busurnya. saat lapar, mereka turun menyerang persawahan
dan lumbung para petani Zhou.
Selama pemerintahan Hsuan, suku yang paling mengancam yaitu suku
dari Barat.12 Orang-orang Zhou menyebut mereka ”Xianyun,” yang mungkin
bukan suatu nama suku; itu sekedar sebutan mereka untuk menunjuk pada
suatu kesatuan kelompok pengembara yang berbeda-beda yang telah bergabung untuk mencoba mendapatkan sebagian dari harta kemakmuran Zhou
untuk mereka.13
Dari tahun ke lima hingga tahun ke dua belas dalam pemerintahannya,
angkatan perang Raja Hsuan berbaris ke luar melawan Xianyun, mempertahankan pusat pemerintahannya dari serangan luar. Mereka yaitu suku
bangsa yang lebih mengganggu dibanding penyerbu sebelumnya, antara lain
karena mereka menggunakan kereta perang di pertempuran, serta peperangan
melawan mereka berlanjut terus-menerus. Salah satu puisi dari bagian Ode
Minor (”Xianyun”) dari Shijing meratapi invasi tersebut; seorang prajurit menempelkannya pada papan keluhan di perbatasan.
Kami tidak punya rumah, tidak ada tempat tinggal
Oleh karena Xianyun;
Kami tidak bisa beristirahat atau tinggal tenang
Oleh karena Xianyun...
Tahun-tahun berlalu,
Tetapi bisnis raja tidak pernah berakhir;Kita tidak bisa menjadi baik atau tinggal tenang,
Hati kami terasa sangat pahit.
Lambat-laun Xianyun pun mundur, dari hadangan perlawanan Zhou,
dan untuk sementara waktu menghilang dalam catatan sejarah. Tetapi kemenangan Hsuan terhadap bangsa barbar tidak membantu sedikit pun untuk
meningkatkan otoritasnya terhadap rakyatnya sendiri. Tidak lama sesudah
itu, ia kembali berkelahi dengan para tuan-tuan feodal, dan nasibnya menjadi
semakin suram: ”Para tuan-tuan itu umumnya memberontak melawan perintah raja,” begitu keterangan salah satu catatan sejarah.14
Di tahun ke empat puluh tujuh dari pemerintahannya, Hsuan meninggal.
Putranya Yu menerima warisan, dan kejatuhan Zhou semakin dekat dan tak
dapat dielakkan. Suatu gempa bumi mengguncang ibu kota segera sesudah Yu
berkuasa, dan tanah longsor kelihatannya membendung aliran-aliran sungai
yang mengaliri air bersih ke kota tersebut: ”saat sumber dari sungai terhalang” begitulah ratapan salah satu penasihat kerajaan, ”negara pasti akan
binasa.”
Jika tidak ada jalan untuk mengaruniai tanah dan memenuhi keinginan
manusia akan kebutuhan sehari-hari, maka negara akan binasa lebih cepat!...
Sekarang perbuatan Zhou persis seperti perbuatannya [Xia dan Shang] di
tahun-tahun terakhir mereka, dan sungai-sungai serta sumbernya ... terhalang
.... Tanah longsor dan sungai yang mengering yaitu tanda negara akan binasa. Dan saat sungai mengering, tanah longsor pasti akan menyusul. 15
Jelas, Sima Qian menulis, “selama tahun itu, ketiga sungai tersebut mengering dan terjadi tanah longsor.
Persamaan antara tindakan kakek Yu, Li, yang telah menutup mulut
rakyatnya seperti halnya sungai airnya dihalangi, dan tanah yang longsor
menutupi mulut sungai dan membendung kota dari aliran air, sangat terlihat
jelas. Kejahatan Zhou telah menggenangi bumi itu sendiri; dan sebagai
imbalannya Surga akan mengambil Pemerintahan dari Zhou, sehingga mereka
tidak lagi memberi kehidupan pada rakyat mereka.
Yu sendiri berubah menjadi tidak bermoral, penguasa yang sekedar mencari kesenangan. sesudah menjadi ayah dari seorang putra dan ahli waris dari
istri tuanya, Yu lalu jatuh hati dengan seorang perempuan dari harem
dan mencoba untuk mendepak ratu dengan pangeran mahkota atas nama selir
dan putra haramnya. Penasihat nya menentang usulnya, tetapi Yu meminta
dengan tegas; dan akhirnya penasihat menyingkir. ”Bencana telah mulai ke lihatan,” Sejarawan Agung mengamati, dalam keputusasaan, ”dan untuk itu
tidak ada yang bisa kami perbuat.”16
Selir ini, saat itu ratu, telah merobek-robek keluarga kerajaan; maka tidak
mengherankan, kesenangannya yang utama sifatnya merusak. Dia paling
senang mendengar sutra dirobek, dan dengan demikian dia memesan potongan-potongan besar kain yang mahal itu untuk dibawa ke istana untuk
dirobek-robek sekedar untuk menghibur dia.17 Sudah kerjanya pemboros, dia
juga jarang tersenyum dan tidak pernah tertawa.
Yu mencari segala cara dalam benaknya untuk membuat selirnya senang,
dan dia memutuskan bahwa ia akan menyalakan semua lentera suar dan
memukul drum tanda bahaya. Ini yaitu suatu isyarat yang dipakai untuk
memperingatkan adanya invasi suku barbar; pada saat kegaduhan tanda itu,
para hulubalang yang dekat akan menghadirkan angkatan perang mereka dan
menyerbu ke benteng kota. Saat kedatangan mereka, mereka tidak menemukan satu pun orang barbar. Wajah mereka yang terkejut menjadi sangat lucu
sehingga sang selir tertawa terbahak-bahak (mungkin untuk yang pertama
kali).18
Tetapi tidak lama sesudah itu penyerbu barbar pun benar-benar datang.
Mereka dikenal sebagai Quan Rong; tanah asal mereka yaitu dari Utara dan
Barat negeri Zhou. Mereka menggerombol di perbatasan dan mengepung
kota itu. Dan mereka disatukan dalam serangan ini oleh bukan bangsa barbar: yaitu keluarga istri pertama Raja Yu, yang marah karena telah didepak.
Ancaman dari luar dan dalam telah menyatu dalam serangan yang menggoncang dinasti.
Raja Yu memerintahkan untuk menyalakan lentera suar, tetapi para pimpinan feodal tersebut hanya mengangkat bahu dan kembali sibuk dengan
tugas-tugas mereka sendiri. Mereka tidak ingin dianggap seperti orang bodoh
untuk kedua kalinya sekadar untuk menghibur sekelumit dari khayalannya.
Yu sendiri, dengan berkelahi sendiri melawan penyerbu, terbunuh dalam pertempuran. Orang-orang barbar merampas istana, menculik sang selir, dan
pulang ke rumah.
K istana Zhou, yang terjadi pada tahun 771, yaitu akhir dari dominasi Zhou dari Barat. Namun demikian, ini bukan akhir Dari Dinasti Zhou.
Beberapa dari orang-orang dekat raja masih setia pada P’ing, putra tertua Yu,
ahli waris yang telah dicabut hak warisnya demi keuntungan putra haram dari
selir. Bersama-sama, mereka menyatakan dia sebagai raja.
Namun ibu kota Hao jelas bukan tempat untuk P’Ing. Orang-orang barbar mungkin telah pulang, tetapi perbatasan Barat tidaklah aman, dan Hao
terlalu dekat dengan batas itu. Raja P’ing memutuskan untuk menarik diri ke Timur, ke tempat yang lebih aman: ke kota Loyang, yang telah dibangun
berabad-abad sebelumnya oleh Duke Zhou.
Dengan demikian ia bisa berbaris dengan aman ke arah ibu kota barunya,
kepala dari Ch’in ... negara kecil yang kerabat rajanya belum secara resmi dikenali oleh tahta … tentara-tentara dikirim untuk mengawal P’Ing. Dengan
berterima kasih, menurut Shu ching, P’ing mengangkat kepala tersebut menjadi seorang tuan, Duke Ch’in, dan “juga memberi dia lahan tanah yang
cukup untuk menopang posisi barunya, yang kota pusatnya yaitu ibu kota
lama yang telah mereka tinggalkan.”19 Tanah asal Zhou kini berada dalam
cengkeraman raja-raja kecil; mulai ibu kota baru yang di Timur, bersandar
pada dukungan dari para duke yang akan setia selama keinginan mereka terpenuhi, kekuasaan. Raja P’ing atas suatu kerajaan yang baru saja mengecil.20
Era Zhou dari Barat telah berakhir; era Zhou Timur dimulai.
G A R I S WA K T U 4 6
TANAH SEMIT BARAT CHINA
Dinasti Zhou (1087–256)
Samson Zhou Barat (1087–771)
When
Whu
Tan (Wali)
Daud Ch’eng
Solomon K’ang (c. 996-977)
Zhao
Rehoboam (931) Yeroboam
(Yehuda) (Israel)
Mu
Kung
Yih (Hsiao)
Yi
Li
Hsuan
Invasi Xianyun
Yu
Zhou Timur (771-221)
P’ing
Orang aram, suku bangsa yang invasinya terhadap Mesopotamia
telah mengganggu bisnis sehari-hari di Assiria dan Babilonia, sekarang telah
menduduki satu rangkaian negara kecil yang merdeka. Yang paling kuat di
antaranya terpusat di kota Damaskus, di pertengahan dataran yang membentang sepanjang Efrata mulai dari Assiria. Raja Daud telah berhasil membawa
orang-orang Aramis di Damaskus, paling tidak sebagian di bawah kendalinya:
penulis kronik menyombongkan bahwa pasukan Israel di bawah Daud «memukul mundur dua puluh dua ribu dari mereka,» dan sesudah itu menerima
upeti secara reguler dari mereka.
Sepanjang tahun-tahun yang sama, bangsa Assiria menyebut keseluruhan
daerah sebelah Barat Efrata dengan nama «Aram», suatu istilah umum untuk
kota yang diperintah oleh pemimpin-pemimin Aramis, dan umumnya
hampir tidak memiliki pengharapan untuk melawan mereka. Belum sampai
pemerintahan cucu David, Rehoboam, serta keretakan Israel menjadi dua
negara, seorang penguasa Assiria berhasil mengumpulkan pasukannya dan
menahan tekanan bangsa Aramis. Nama orang tersebut Ashurdan II, dan ia
yaitu yang pertama dari para raja Assiria agung yang akan membawa Assiria
keluar dari zaman kegelapan mereka, masuk ke dalam kebangkitan kembali
yang baru dan yang terakhir.
Dalam catatannya, Ashurdan menyombongkan bahwa ia membalaskan
dendamnya pada para pengembara yang «melakukan penghancuran dan pembunuhan» dengan membakar kota-kota Aram yang telah dibangun di atas
daratan yang pernah dikuasai orang Assiria. Sesungguhnya ia datang untuk
mendirikan tempat di dekat perbatasan dengan kerajaan Assiria tua. Ia berhasil
mengepung daerah pedalaman Assiria dengan pasukannya, dan membuatnya
aman; ia mengembalikan orang-orang kampung Assiria yang telah diusir dari kota mereka oleh «harapan, perut kosong, dan kelaparan»dari pegunungan,
lalu menampung mereka kembali di tanah mereka sendiri.2
Namun ia tidak
mendorong lebih jauh ke Utara atau Timur, tempat orang-orang Aramis
masih sangat berkuasa.Dan ke arah Selatan, sisa-sisa kumuh Kerajaan Babilonia masih memegang
kemerdekaannya, seperti dahulu. Tahta Babilonia telah diklaim dari keturunan ke keturunan, dan ibu kotanya telah pindah dari kota ke kota lain,
dan orang-orang Aram telah menerobos kawasan Babilonia tua sedemikian
dalam sampai bahasa mereka, suatu dialek Semit yang dikenal dengan nama
Aramaik, mulai menggantikan bahasa Akkadia yang dulu pernah menjadi bahasa sehari-hari orang-orang Babilonia.3
Tidak sampai tiga generasi lalu , raja besar Assiria memancang
klaimnya atas julukan itu. Cicit laki-laki Ashurdan, Ashurnasirpal II, akhirnya
membangun Assiria menjadi sebuah kerajaan lagi.*
“Ia berkelahi hingga Barat
Laut Nineweh, dan menjadikan kota tersebut sebagai basis di Utara.4
Ia
menyeberang ke tepi Timur sungai Tigris dan membangun sendiri sebuah
ibu kota baru di lokasi kampung Caleh tua: “Aku telah menjadikannya
baru sebagai tempat hunian,” ia mengatakan. “Kota Caleh yang dulu telah
dibangun Shalmaneser, raja Assiria, seorang pangeran yang mendahului aku;
kota itu telah lapuk dan menjadi reruntuhan, telah menjadi sebuah gundukan
tanah dan tumpukan puing. Kota besar itu aku bangun jadi baru .... Aku
bentangkan kebun buah-buahan di dalamnya, buah dan anggur yang aku
persembahkan bagi Assur, rajaku.... Aku menggali sampai pada permukaan air.
... Aku membangun dinding daripadanya; dari dasarnya hingga puncaknya,
aku bangun dan aku selesaikan.”5
Caleh, mulai sekarang, akan menjadi pusat pemerintahannya; Assur sendiri
semata-mata hanya dijadikan kota upacara adat. Di Caleh ia membangun
tidak hanya bangunan kantor, tetapi juga sebuah istana yang dihias dengan
relief-relief para prajurit dan raja yang telah menyerah kepadanya; di pintupintu ke aula tempat ia menerima upeti, ia memasang patung penjaga, banteng
raksasa bersayap dengan kepala manusia, dengan wajah potret Ashurnasirpal
sendiri yang dianggap ideal.6
saat istana sudah selesai, Ashurnasirpal
mengadakan suatu perjamuan yang sangat besar untuk merayakannya:
catatan tentang upacara tersebut menjelaskan bahwa tamu-tamunya dijamu
dengan seribu kerbau, seribu lembu lokal, dan empat belas ribu biri-biri
yang diimpor dan digemukkan, seribu domba, lima ratus burung-burung
piaraan, lima ratus rusa, sepuluh ribu ikan, sepuluh ribu telor, sepuluh ribu
batang roti, sepuluh ribu sukat bir, sepuluh ribu barel anggur, dan banyak
lagi. Menurut hitungan Ashurnasirpal, ada 69,574 tamu di meja perjamuan,
semua merayakan kebesarannya. Di pesta itu, ia di depan umum mengklaim
sebutan “raja agung, raja dunia, pahlawan yang gagah berani yang melangkah
maju dengan bantuan Assur; ia yang tidak punya saingan di



