keempat penjuru
dunia, gembala yang diagungkan, semburan yang kuat yang tak seorang pun
mampu menahan... ia yang telah menundukkan semua umat manusia... yang
tangannya telah menaklukkan semua negeri dan mengalahkan semua barisan
pegunungan.” 7
Mengesampingkan cerita yang berlebihan di atas, Ashurnasirpal memang
melakukan satu hal yang tidak pernah berhasil dilaksanakan oleh nenek
moyangnya. Ia melakukan perjuangan ke sungai Efrata dan lalu menyeberanginya. “Aku menyeberang Efrata dengan luapan airnya dengan kapal
dari kulit,” ia menulis. “Aku berbaris di sepanjang sisi Gunung Lebanon,
dan... di Laut Besar aku mencuci senjataku.”8
Hal itu mirip dengan tandatanda kemenangan yang sama yang telah dicapai Sargon, di Teluk Persia, jauh
sebelumnya.
Ini membawa dia ke atas hingga perbatasan Israel di sebelah Utara, yang berada di bawah pemerintahan seorang raja bernama Omri. Omri
tidak mendapatkan banyak peran dalam catatan kitab Injil, yang lebih
memperlihatkan ketidakpeduliannya akan hukum Tuhan: apa yang kita
pelajari dari buku 1Raja-Raja yaitu bahwa Omri merebut tahta di Utara
dari penuntut yang lain dan bahwa ia lebih jahat dibandingkan raja-raja
sebelumnya.9
Tetapi dalam istilah politik, Omri yaitu seorang pejuang besar
dan pembangun (ia membangun Samaria menjadi ibu kota baru di Utara),
dan Raja Israel pertama yang disebut dengan perasaan kagum dalam catatan
sejarah dari negeri lain; catatan sejarah Mesha, sebuah batu yang ditemukan
di seberang Sungai Yordan di wilayah suku bangsa yang dikenal sebagai
Moabites, mengungkapkan kepedihan bahwa Omri “menghina orang Moab
selama bertahun-tahun.”10 Ia yaitu seorang penguasa dengan kekuatan yang
cukup sehingga Ashurnasirpal, yang banyak menundukkan hampir semua
negara kecil sepanjang daratan hingga pantai dan bahkan menarik upeti dari
para raja Punisia di Sidon dan Tirus, tidak berusaha menyerang dia.
Sekarang, wilayah Ashurnasirpal membentang hingga Efrata, dari sana
lewat sebuah jalur sempit hingga pantai Laut Tengah turun ke bawah sejauh
kota pelabuhan Arvad. Ia tidak pernah benar-benar mengklaim kekuasaan
atas Sidon dan Tyrus yang raja-rajanya ramah terhadap Israel; dia pun tidak
menyerang Babilonia sendiri. Ia memang berjalan ke Selatan sepanjang sungai
Efrata sejauh perbatasan yang saat itu telah diakui oleh Assiria dan Babilonia,
dan di sana ia mengurung sebuah kota untuk menakut-nakuti orang Babilonia
(walaupun ia tidak mendesak lebih jauh).
Reputasinya mendahuluinya. Dalam diri Ashurnasirpal di sana muncul,
tumbuh subur, kesenangan akan kekejaman yang menandai jejak hampir setiap
raja Assiria yang mengikutinya. “Aku menegakkan sebuah pilar di gerbang
kota,” Ashurnasirpal menjelaskan, mencatat urusannya dengan kota yang
telah memberontak dan membunuh gubernur Assiria yang telah dia angkat,
“dan aku menguliti pemimpin-pemimin yang memberontak melawanku, dan
membungkus pilar tersebut dengan kulit mereka. Yang lain aku masukkan ke
tengah-tengah pilar tersebut, sementara sebagian dari mereka aku tusuk pada
pancang dan kutata di sekitar pilar itu. Di dalam kota, aku menguliti banyak
lagi yang lain dan membungkus dinding dengan kulit mereka. Sementara
pejabat-pejabat kerajaan, aku memotong anggota tubuh mereka.” “Pada saatsaat lain, dia membuat variasi dengan membuat tumpukan potongan hidung
dan telinga, mencungkil mata-mata, dan mengikat kepala-kepala pada pohon
anggur seluruh kebun di kota yang ditaklukkan agar kelihatan seperti buah yang
menjijikkan dan membusuk.” Aku membuat tiang makhluk hidup,” katanya,
suatu penemuan khusus Assiria yang menjijikkan di mana narapidana yang
masih hidup diletakkan satu di atas yang lain lalu menutupnya dengan plester untuk membuat sebuah kolom. “Aku memotong telinga mereka dan
jari-jari mereka, aku mengeluarkan mata banyak dari mereka.... anak-anak
laki dan perempuan mereka aku bakar di perapian.”12
S S M P T S D P L
T, Ashurnasirpal II mati dan meninggalkan tahta kepada putranya
Shalmaneser, urutan ketiga yang memakai nama ini. Shalmaneser III melanjutkan kampanye melawan kawasan Semit Barat sebelah Barat dari Efrata.
Seperti ayahnya, Shalmaneser menyeberang Efrata ”saat banjir” (ini kelihatannya menjadi suatu titik kebanggaan), dan maju ke depan ”ke arah pantai
laut tempat terbenamnya matahari,” di mana ”Aku mencuci senjata-senjataku
di laut.”13 Akan tetapi, tidak sama dengan ayahnya, ia tidak bergerak mundur
dari kerajaan Israel di Utara.
Secara berlawanan, Israel nampak lebih kuat dari sebelumnya. Putra Omri,
Ahab, telah menerima warisan tahta ayahnya, dan—menyaksikan penyebaran
ancaman Assiria ke arah Timur dan Utara dia—telah merundingkan suatu
perkawinan strategis dengan putri dari raja Punisia di Sidon. Puteri ini,
Yezebel, tidak hanya menjadi seorang istri, tetapi bahkan ratu utamanya yang
sangat memperkuat persekutuan Punisia-Israel untuk melawan angkatan
perang Assiria.
Untuk semua akal-akalan politis ini, Ahab membuat beberapa tindakan
yang sangat bodoh. Ia menunjukkan kesediaan yang pintar untuk memuja para
dewa selain Tuhan bangsa Israel, termasuk Baal, dewa utama bangsa Punisia,
dan sejumlah bangsa dan kota Semit Barat yang lain; ini seharusnya sudah
memenangkannya suatu persahabatan, tidak hanya dengan Tyrus dan Byblos,
tetapi juga kota-kota yang terletak di antara Israel dan barisan depan Assiria
yang makin maju. Namun daripada menenangkan orang-orangnya sendiri
dengan mempertahankan pemujaan Yahwe yang hidup juga, ia merestui
istrinya, orang Punisia, untuk menggeropyok dan membantai semua nabi dari
Tuhan Abraham. Sedikitnya seratus berhasil lari dan bersembunyi di daerah
pegunungan di Timur; dari tempat pelarian ini nabi-nabi itu menyerukan
suatu panggilan bagi bangsa Israel untuk memberontak melawan raja mereka
yang jahat.
Kepala di antara para peramal musuh Ahab yaitu nabi Elijah, seorang
yang bertingkah liar yang mengenakan pakaian kulit binatang yang berhasil lari dari usaha pembunuhan Yezebel dan bertindak semampunya untuk
mengganggu raja yang jahat itu. Sesungguhnya ia mengurapi seorang pekerja
muda Israel bernama Yehu untuk dijadikan pilihan Tuhan sebagai raja yang
berikutnya dan memberi dia ijin ilahi untuk membunuh Ahab, Yezebel, dan
seluruh penghuni rumah kerajaan.
Dengan tingkat kebencian seperti itu di antara Bangsa Israel terhadap
raja mereka sendiri (dan, yang lebih kejam lagi, terhadap istri asingnya),
tidaklah mengherankan jika raja Aram dari Damaskus memilih untuk
memanfaatkan kegelisahan dalam negeri ini sebagai suatu kesempatan untuk
melancarkan serangannya terhadap Israel. Ia mengerahkan tiga puluh dua
panglima perang Aramis, dan dengan gabungan kekuatan dahsyat ini mereka
berangkat menemui pasukan Israel yang relatif kecil: ”Orang Israel berkemah
berseberangan dengan mereka,” penulis 1Raja-Raja menceritakan kepada kita,
”seperti dua kawanan kecil kambing, selagi orang-orang Aramis mengepung
dari pedesaan.”
Meskipun ada perselisihan yang sangat membebani, pasukan bangsa Israel,
yang dipimpin oleh Ahab—yang, meskipun gagal dalam komitmennya,
masih bisa menjadi pemimpin yang andal—berhasil melawan orangorang Aramis dengan hasil akhirnya sama kuat. Raja Damaskus membuat
perjanjian dengan Ahab, suatu perjanjian yang menyatakan perdamaian
antara raja Aramis dan Israel tersebut untuk masa tiga tahun. Pada tahun
ketiga, Shalmaneser berbaris menyerang ke arah perbatasan Israel.
Israel telah siap. Ahab terseret dalam pertikaian dengan tentara-tentara Israelnya sendiri (termasuk pasukan berkuda yang penting), pasukan
Punisia yaitu para sekutunya dari pantai, dan para laki-laki yang dikirim
oleh raja Damaskus, yang tidak ingin menjadi korban penyerangan Assiria
berikutnya. Mereka dipersatukan oleh Mesir; pharaoh ke lima dari Dinasti
ke Dua Puluh Dua, Osorkon II, kelihatannya takut kalau-kalau Assiria,
sekali mereka meneruskan langkahnya menyeberangi negara-negara Semit
Barat, mungkin akan berlanjut ke bawah ke daerah Laut Tengah menuju
Mesir.
Pasukan saling berhantam di kota besar Oarqar pada tahun 853.
Sulit untuk diketahui secara tepat apa yang selanjutnya terjadi.
Shalmaneser III mengklaim mendapatkan kemenangan: ”Aku mengalirkan
darah musuh-musuhku ke dalam lembah dan menyebar mayat-mayat mereka,” ia menyombong, pada sebuah catatan sejarah yang dikenal sebagai
Inskripsi Monolit.14 Tetapi relief-relief bangsa Assiria melukiskan pertempuran menunjukkan suatu pemandangan yang tidak lazim: tentara musuh
menyerbu ke depan di atas tubuh orang-orang Assiria yang mati.” Karena
kebiasaan penggambaran orang Assiria terhadap musuh yang mati dan para
prajurit yang hidup, hal ini mengimplikasikan suatu hasil yang sangat berbeda.
Berlawanan dengan pengakuannya, Shalmaneser tidak maju lebih jauh
lagi ke negara-negara Semit Barat selama sisa waktu tiga puluh tahun pe
merintahannya. Kota-kota Punisia, negara-negara Israel, dan Damaskus
semuanya tetap bebas dari cengkeraman Assiria.
Kemungkinan besar pertempuran berakhir seri, namun cukup mengenaskan
bagi Assiria sehingga Shalmaneser memutuskan untuk mundur. Raja-raja
Semit kembali ke kota-kota mereka, dan para tentara Mesir bergerak kembali
ke tanah air mereka yang dengan segera pecah lagi ke dalam perang saudara;
Mesir, yang sudah disibukkan dengan gangguan dalam negeri, menghilang
untuk beberapa tahun dari kancah percaturan internasional.
Walau demikian, Ahab tidak tinggal diam. Mungkin karena tersanjung
dengan pujian karena pertahanan yang sukses bagi negerinya, Ahab memutuskan, segera sesudah pertempuran Qarqar, bahwa ini yaitu saat yang tepat
untuk berbalik melawan sekutunya, raja Damaskus. Ia mengirim orang ke
Yehoshafat, raja Yuda, dan meminta dia untuk pergi ke Utara bergabung
dengan dia dalam serangan melawan kota perbatasan Ramoth-Gilead, yang
terletak di atas perbatasan Israel, di kawasan Aramis yang dilindungi oleh
perjanjian.
Yehoshafat, anak dari cicit Solomon, menguasai suatu wilayah yang terdiri
dari suku bangsa Yuda yang besar bersama dengan suku bangsa Benyamin
yang kecil, suatu kawasan yang dikenal bersama-sama sebagai ”Yuda.” Ia tidak
punya kekuatan militer mahabesar, tetapi karena Ramoth-Gilead berada nyaris tepat di atas perbatasan antara Utara dan Selatan, persekutuan Yehoshafat
merestui Ahab untuk melakukan manuver menjepit kota tersebut.
Yehoshafat sepakat mengunjungi Ahab untuk mendiskusikan hal tersebut,
namun begitu berada di istana Ahab—yang, karena adanya para nabi yang
diimpor Yezebel serta hulubalang istana dari Tyrus, suasana istana kelihatannya lebih mirip istana Punisia, tidak seperti istana Israel—ia menjadi gelisah.
Para penasihat Punisia, yang juga sebagai dukun dan peramal, meramalkan
kemenangan yang pasti melawan orang-orang Aramis, namun Yehoshafat bertanya apakah Ahab telah mempertimbangkan untuk bertanya pada seorang
Nabi Ibrani, apa kata Yahwe tentang rencana ini.
”Ya.” kata Ahab, ”ada seorang nabi yang bisa kupanggil, tetapi aku tidak
menyukai orang itu; dia tidak pernah berbicara baik tentang aku.”
Yehoshafat mendesak, dan nabi tersebut, Micaiah, dipanggil. saat ditanya apa pendapatnya, dia berkata, ”Serang orang-orang Aramis dan Tuhan
akan memberimu kemenangan.”
Ini yaitu jawaban yang bijaksana tetapi tidak tulus, dan Ahab
mengetahuinya. Ia berkata, ”Berapa kali aku harus meminta kepada anda
untuk mengatakan kebenaran padaku?” dan membuat Micaiah berkata
bahwa penyerangan tidak hanya akan gagal, tetapi Ahab sendiri akan mati
terbunuh.
“Benar, kan?” Ahab berkata pada Yehoshafat. “Sudah aku katakan bahwa
dia tidak pernah bicara baik tentang aku.”
Meskipun ramalannya demikian, Yehoshafat sepakat untuk ikut serta dalam
serangan itu. Peristiwa sesudah itu menyiratkan bahwa ia mungkin memiliki
rencana sendiri dengan pemerintah Aramis. saat pertempuran dimulai,
kereta perang para komandan Aramis melihat jubah kerajaan Yehoshafat dan
langsung menuju padanya, namun saat Yehoshafat berteriak, ”Aku raja
Yuda, bukan raja Israel!” mereka berbalik arah dan membebaskannya.16
Ahab,yang bertempur dengan menyamar, tidak begitu beruntung. Sebuah
panah yang secara acak ditembakkan dari busur musuh mengenainya di selasela sambungan baju zirahnya, dan dia mati.
Dua belas tahun lalu , putranya Yoram mencoba lagi untuk
menaklukkan Ramoth-Gilead. Lagi-lagi, kekuatan Aramis terbukti terlalu
kuat bagi dia. saat terluka dalam pertempuran yang gagal, ia mundur ke
seberang sungai Yordan ke kota di Israel, Yezreel, untuk memulihkan diri dari
lukanya. Segera sesudah itu, seorang nabi Israel pergi menemui Yehu—perwira muda yang dikukuhkan oleh Elijah untuk memusnahkan keluarga Ahab
hampir lima belas tahun sebelumnya—untuk mengatakan kepadanya bahwa
saat akhirnya telah tiba.
Yehu telah lama bersembunyi; akhirnya nabi tersebut, berlari membawa dia ke permukaan (dari semua tempat) di Ramoth-Gilead sendiri, yang
menunjukkan bahwa ia telah meminta perlindungan kepada musuh Israel.
Segera sesudah ia mendengar kabar tentang kelemahan Yoram, ia naik kereta
perangnya, menyandang busur ke atas bahunya, dan dengan bulat tekad berangkat ke Yezreel.
Seperti yang dilakukan Ahab sendiri dalam perang Ramoth-Gilead, Yoram
bukannya bersembunyi, tetapi malahan mengenakan jubah kerajaannya,
menaiki kereta perangnya, dan mengendarainya untuk menyambut tentara
yang datang. Yehu menembakkan panah menembus tubuhnya, dan
melanjutkan perjalanan ke Yezreel.
Pada saat ia sampai di Yezreel, ibu suri ratu Yezebel,—yang kelihatannya
pergi dengan putranya yang terluka—telah mendengar tentang kematian
Yoram serta pembunuhnya yang kian mendekat. Ia mengenakan jubah
kerajaannya dan di jendela ia menunggu kedatangannya. Apakah ia sedang
bersiap-siap untuk mengumpulkan anggota istana di belakangnya, atau ia
melihat kematiannya sudah diambang pintu, tidaklah jelas; namun saat
Yehu berhenti di depan tempat kediaman raja, ibu suri melongok dari jendela
dan berteriak, ”Apakah Anda datang secara damai, wahai pembunuh tuanmu
sendiri?”
Yehu, yang sedang membangun gerakan antikerajaan dengan barisan
pejabat Yoram di belakang dia, berteriak minta bantuan; dan tiga orang
kasim dari dalam rumah ibu suri muncul di belakang perempuan tersebut
dan melemparkannya keluar dari jendela itu. Ia jatuh ke lantai, dan Yehu
menggilas badannya. Anjing-anjing setengah liar yang mengendap-endap di
sekitar kota-kota kuno memakannya, seluruh tubuhnya kecuali tangan, kaki
dan tengkoraknya.
Menurut buku 2 Raja-Raja, Yehu menyapu bersih sisa keluarga Ahab dan
membunuh nabi-nabi Punisia Yezebel.** Ini yaitu satu-satunya dua tinda-
kan yang menandai pemerintahannya: namun pada zamannya, ”Tuhan mulai
mengurangi besarnya negara lsrael.”17 Satu-satunya kekalahan yang direkam
yaitu kekalahan oleh raja Aramis dari Damaskus, yang tidak lagi memberikan dukungan apa pun yang pernah ia tawarkan pada Yehu begitu ia naik
tahta kerajaan Israel, dan mengambil semua yang berada di Timur sungai
Jordan.
Kekalahan yang lebih serius sama sekali tidak disebut di dalam catatan kitab
Injil. Namun demikian, terukir pada monumen kemenangan Shalmaneser
III, Tugu Hitam. Pada tugu tersebut, puluhan raja yang ditaklukkan datang dengan upeti untuk Shalmaneser; pada panel kedua dari salah satu sisi,
Yehu dari Israel menundukkan dahinya ke tanah di depan raja Assiria itu.
Shalmaneser berdiri memandangnya ke bawah, dengan kepalanya dilindungi
dari terik matahari oleh sebuah payung yang dipegang oleh seorang penjaga
yang penjilat. Shalmaneser III mengerahkan angkatan perangnya masuk ke
Israel dan menciptakan gambar dirinya di dalam wilayah Israel; raja Assiria
yang pertama kali masuk Israel, tetapi sama sekali bukan yang terakhir.18
Yehu telah kehilangan sekutu-sekutu lama Ahab. Bangsa Aramis bermusuhan dengannya, dan orang-orang Punisia—yang dibangkitkan amarahnya
oleh pembantaian putri raja mereka Yezebel, anggota istananya, para imam
yang melayani para dewanya, dan keturunan-keturunannya—tidak mau lagi
berperang di pihaknya.” Yehu, yang dipilih untuk membersihkan rumah
Israel, telah membersihkan juga sekutu-sekutunya. Ia tidak punya pilihan
yang tersisa kecuali menyerah.
G A R I S WA K T U 4 7
NEGARA-NEGARA SEMIT BARAT ASSIRIA MESIR
Ashur-bel-kala (1074-1056)
Penaklukkan Aramis
Periode Menengah Ketiga
Samson
Dinasti 21 (Tanis)
Saul
Daud
Dinasti 22 (945-712)
Solomon Sheshonq I
Ashur-dan II (934-912) (945-924M)
Rehoboam (931) Yeroboam Ashurnasirpal II (911-859)
(Yuda) (Israel)
Omri Osorkon II (870-850)
Yehoshafat Ahab
Shalmaneser III (858-824)
Ahaziah
Yoram
Yehu
T Y, raja tua
Babilonia meninggal. Kedua anaknya berebut tahta, dan itu memberikan
kesempatan yang sempurna bagi Shalmaneser dari Assiria untuk menyerang
tetangga Selatan-nya.
Ia menolak. Tentara Assiria berbaris membantu pangeran yang tua itu
untuk mendapatkan kembali tahtanya. “Di tahun kedelapan pemerintahanku,” dalam catatan Shalmaneser III,“ di sana memberontak melawan
Marduk-Zakir-Shumi, saudaranya yang lebih muda...Untuk membalas dendam Marduk-Zakir-Shumi, aku berbaris maju.” Pada saat orang-orang Assiria
mendekat, pangeran pemberontak yang lebih muda itu melarikan diri, “seperti rubah, melalui sebuah lubang di dinding” dan pergi. Orang-orang Assiria
mengikuti dan menangkap dia: “pegawai-pegawai yang memberontak bersamanya, aku potong dengan pedang.” Shalmaneser menyimpulkan.
Dengan berhentinya pemberontakan, Shalmaneser mengunjungi Babilonia
dengan hadiah dan perjodohan antara salah satu putri dari Marduk-zakirshumi dengan putra ke-duanya. Di istananya, ia mengukir suatu relief yang
menggambarkannya sedang berjabat tangan dengan Marduk-zakir-shumi,
dua raja berdiri berdampingan, sebagai satu penguasa yang setara.
Keengganan untuk menyerang Babilonia tidak ada hubungannya
dengan kelemahan; Shalmaneser menghabiskan hampir seluruh masa pemerintahannya dengan operasi militer yang terus menerus. Raja kebangkitan
kembali Assiria ini sangat enggan untuk menyerang kota tertua yang terkenal, dan tidak mau membuat marah Marduk, kepala dewa Babilonia. Sebagai
gantinya, Shalmaneser III menembus jalan Babilonia dan mengirim pasukan
dari Timur, Barat Laut, dan jauh di Selatan, di mana tiga orang baru nantinya
dipaksa untuk memberikan penghormatan kepada Assiria. Di ujung teluk Persia, lima suku bangsa Semit mengklaim daratan
yang dulunya membentuk tepi jauh Selatan kota Sumeria. Suku bangsa
Bit-Amukanni mendominasi tanah di dekat kota tua Sumeria dari Uruk;
Bit-dakkuri berada sedikit lebih ke Utara, dekat Babilonia; dan suku dari BitYakin mendominasi Ur dan tanah berawa di perbatasan teluk itu sendiri. ‘Dua
suku terkecil berada di bawah perlindungan ketiga suku tersebut.** Secara
kolektif, orang-orang Assiria ini mengenal suku-suku tersebut sebagai orangorang Khaldea. Mereka membayar sedikit kesetiaan pada raja dari Babilonia,
namun mereka membayar lebih sedikit lagi di bawah kendali Babilonia.
sesudah membantu Marduk-zakir-shumi mendapatkan tahtanya kembali,
Shalmaneser III berjalan hingga perbatasan Selatan Babilonia dan memaksa
upeti dari suku bangsa Khaldea itu. Upetinya tidaklah kecil, orang-orang
Khaldea mengirim emas, perak, gading, dan kulit gajah, yang menyatakan
bahwa mereka bernegosiasi di Teluk berssama para pedagang sejauh Timur
sampai India. 4 Invasi Shalmaneser secara teoritis yaitu untuk membantu
Babilonia keluar, karena bangsa Khaldea dengan gembira bergabung
dengan sang adik yang pemberontak; namun itu pun tidak membahayakan
Shalmaneser III. Ia mungkin memiliki rasa hormat kepada Babilonia, namun
sekarang ia mengatur perbatasan Utara dan Selatannya, dengan maksud
membatasi pertumbuhan kerajaan.
Lalu, sekitar tahun 840, Shalmaneser berjalan menuju bagian Utara Efrat
dan berbalik ke Barat untuk menyeberang menuju bagian atas daerah yang
tanahnya didominasi oleh bangsa Aram. Di sini, di bagian sudut Timur laut
dari Laut Tengah, terdapatlah suatu kerajaan kecil yang bernama Que.
Que yaitu suatu negeri yang baru, namun sudah didiami oleh ras yang
tua. Tiga ratus tahun sebelumnya, Hitti, ibu kota Hattutas habis terbakar,
dan orang-orang Hittie menyebar. Pusat dari kerajaan tua mereka diduduki
oleh pendatang dari Eropa Selatan yang telah menyeberang melalui selat
Bosforus; saat menetap di Asia kecil, mereka membangun suatu kota besar
di Gordium untuk mereka sendiri dan dikenal sebagai Frigians. Bangsa Hitti
juga telah kehilangan sebagian besar garis pantainya. Bangsa Mycenas, yang
telah tersingkir dari rumah mereka sendiri akibat banjirnya orang Doria, menetap di sepanjang tepi Barat Asia kecil dan juga hingga ke pantai Selatan. Bangsa Hitti yang menyebar mengumpulkan bangsa mereka kembali di
satu-satunya daratan yang masih bisa mereka miliki, di bagian tenggara tanah
mereka sendiri. Di sini mereka memuja dewa-dewa Hitti dan tinggal di sebuah
kerajaan mandiri neo-Hitti yang kecil, yang letaknya di pusat dan dikelilingi
oleh kota-kota yang berbenteng. Karkhemish, di bagian Utara Efrat, yaitu
yang terkuat dari yang lainnya.
Que, kerajaan neo-Hitti lainnya, memiliki lebih sedikit militer namun posisinya sangat strategis melalui pegunungan Taurus, gerbang terbaik menuju
Asia kecil dan juga jalan menuju pertambangan perak Utara dari pegunungan.
Shalmaneser menyerang Que, dan berjalan menuju kotanya, dan mengklaim
pertambangan perak itu menjadi miliknya.5
Ia lalu berbalik ke Timur. Seperti biasanya, bangsa Elam yang berada di
sisi lain dari Tigris yaitu suatu ancaman yang berkesinambungan. Raja dari
kota Elam dapat melihat bahwa Assiria merupakan ancaman yang lebih besar
dibandingkan Babilonia yang lebih kecil, jadi mereka cenderung untuk bersekutu dengan raja Babilonia jika ada pertempuran yang harus diselesaikan.
Shalmaneser yaitu seorang teman Babilonia juga, tapi di zaman kuno Timur
Dekat, teman dari teman Anda biasanya cenderung untuk menjadi musuh
daripada dengan yang lainnya. Persekutuan antara Babilonia dan Elam bisa
menjadi ancaman bagi kekuatan Assiria.
Shalmaneser tidak mencoba untuk menambahkan Elam sebagai bagian
dari kerajaannya, namun ia tetap menuntut upeti dari kota tersebut. Beberapa
kali penggerebekan dilakukan oleh Assiria pada tanah Elam untuk meyakinkan mereka agar membayar upeti. Shalmaneser juga memperkuat posisinya
dengan melakukan perjalanan yang cepat melalui pegunungan Zagros, dengan
tujuan untuk menundukkan orang-orang yang tinggal di seberang pinggir
Utara kota Elam. Sementara dengan Babilonia, ia bisa saja mengklaim untuk
mengendalikan kedua perbatasan kota Elam tersebut.
Para penduduk pegunungan ini mungkin saja sudah terbagi, barangkali
ribuan tahun sebelumnya, begitu juga dengan para pengembara yang sudah
pergi jauh ke tenggara menuju India. Dalam catatan Shalmaneser ia menyebutkan dua suku bangsa: bangsa Parsua, yang menetap di sepanjang Zagros di sisi
Barat Elam, dan Mada, yang masih mengembara di sepanjang Utara.6
Baik Parsua maupun Mada tidak melakukan banyak perlawanan terhadap
Shalmaneser, dan ia kembali pulang dengan menyombongkan bahwa ia telah
bersekutu dengan dua puluh tujuh kepala daerah pegunungan yang berbeda-beda. Ia tidak meletakkan nilai tertentu pada penaklukan ini; Parsua dan
Mada merupakan penyangga terhadap kekuatan Elam. Nama kedua daerah
itu nantinya, kira-kira seabad lalu , dikenal dengan nama yang diberi kan oleh bangsa Yunani: Persia dan Medes.
S III meninggal pada tahun 824, di tengah pemberontakan
yang dilancarkan oleh anaknya sendiri. Di akhir hidupnya Shalmaneser
mencabut hak waris anaknya dan memberikan hak tersebut kepada anaknya
yang kedua. Ia meninggal saat belum selesai memadamkan pemberotakan;
Shamshi-Adad, orang kelima dari nama itu, sekarang secara resmi telah
menjadi raja dari Babilonia, namun ia kurang mendapat suara yang banyak
dari pendukung saudaranya dan harus meninggalkan negaranya sendiri.
Itu merupakan pemberontakan terbesar, seperti pada apa yang telah dicatat oleh Shamshi-Adad V:
Di mana [saudaraku] Assur-danin-apli, di masa Shalmaneser, ayahnya,
bertindak jahat, memberi hasutan, pemberontakan, dan merencanakan
kejahatan, yang menyebabkan bangkitnya pemberontakan di negerinya,
mempersiapkan peperangan, membawa orang-orang Assiria, Utara dan
Selatan, di pihaknya, membuat pidato-pidato yang berani, membawa
kotanya dalam pemberontakan dan menetapkan diri untuk memulai
perselisihan dan peperangan...27 kota, bersama dengan benteng mereka...
memberontak terhadap Shalmaneser, raja dari empat daerah di dunia,
ayahku, dan...telah berpihak ke Assur-danin-apli.7
Satu-satunya raja yang bisa meminjamkan pasukan yang cukup untuk
menghadapi tantangan jumlah yang besar yaitu mertuanya, raja Babilonia.
Maka Shamsi-Adad yang melarikan diri ke Babilonia meminta bantuan kepada Marduk-zakir-shumi. Raja Babilonia setuju, dan menyediakan pasukan
untuk membantu ahli waris Assiria untuk merebut kembali ibu kota miliknya.
Namun Marduk-zakir-shumi membuat suatu kesalahan dalam penilaian.
Dia tidak sepenuhnya mempercayai menantunya, dan memaksa Shamsi-Adad
untuk menandatangani suatu perjajian untuk mendapatkan pasukan dari
Babilonia itu. Perjanjian itu tidak lengkap, namun kelihatannya ShamshiAdad perlu mengakui adanya keunggulan dari Babilonia. Janji itu tidak
membuat Shamshi-Adad mendapat gelar raja, yang mana hanya diberikan
pada Marduk-zakir-shumi sendiri, dan diikuti oleh sumpah di depan para
dewa-dewa babilonia saja, dan kuil dewa Assiria dihapuskan.8
Shamsi-Adad menandatangani perjanjian, menahan amarahnya demi
mendapatkan kembali tahtanya. Ia menerima pasukan yang ditawarkan dan
melakukan serangan yang bertubi-tubi terhadap kotanya sendiri, memenangkan Assur kembali dengan mendobrak dinding pertahanan. Begitu Shamshi-Adad V mendapatkan tahtanya kembali, ia menghormati
perjanjiannya dengan Marduk-zakir-shumi. Entah ia orang yang memegang
janji, atau ia takut terhadap para dewa yang menjadi saksi perjanjian itu.
Namun saat Marduk-zaki-shumi meninggal dan putranya Marduk-balassu-iqbi menggantikan tahtanya, Shamshi-Adad mulai merencanakan suatu
kampanye yang tidak pernah dilakukankan oleh raja keturunan Assiria siapa
pun: menginvasi Babilonia.
Tidak terlalu lama sesudah Marduk-balassu-Iqbi naik tahta, rencana telah
membuahkan hasil. Shamsi-Adad mengorganisasikan pasukan perangnya
untuk maju dan menuju ke Selatan—tidak langsung, tetapi melalui Tigris,
dengan tidak tergesa-gesa yang menandakan bahwa ia tidak terlalu cemas
dengan kakak iparnya yang mengorganisasikan jalannya berperang, ia mencatat bahwa ia tidak hanya mampir ke beberapa desa di sepanjang perjalanan,
namun ia juga berhenti cukup lama untuk berburu singa dan selama itu ia
telah membunuh tiga ekor.9
Marduk-balassu-Iqbi datang untuk bertemu dengannya, dibentengi
dengan beberapa pasukan Khaldea dan Elam. Persekutuan itu segera dihantam,
menurut catatan Shamshi-Adad:
Ia maju melawanku menawarkan pertarungan dan pertempuran ... dengan
dia aku bertarung. Kekalahannya aku raih. Lima ribu pasukannya kuhabisi,
dua ribu lagi kutangkap hidup-hidup, 100 kereta perangnya, 200 pasukan
berkudanya. Tenda rajanya, tempat tidur lipatnya, kuambil darinya...10
yang berarti bahwa tentara Assiria menembus langsung ke pusat garis
pertahanan Babilonia. Di antara tawanan yang digiring ke Babilonia yaitu
rajanya sendiri. Kita tidak memiliki catatan tentang ratu Assiria, kakak
perempuannya, mengatakan kepadanya manakala ia tiba.
Di tempatnya, Shamshi-Adad V menempatkan seorang raja boneka, bekas
petinggi Babilonia yang bertindak sebagai bawahan, bukan raja. Ia yaitu
seorang budak yang tidak menguntungkan yang dengan sesaat mulai
merencanakan pemberontakan. Samshi-Adad V terpaksa kembali sesudah
kurang dari setahun dan membawanya ke penjara di Assiria.11
Pada saat ini, Shamshi-Adad V menyebutkan dirinya, dalam istilah kuno
dan bertentangan dengan zaman, sebagai “Raja dari Sumer dan Akkad.”12 Ini
tidak sama dengan menyebut dirinya sebagai “Raja dari Babilonia.” Bahkan ia
menambahkan bahwa entitas seperti Babilon itu tidak pernah ada; yang ada
hanyalah Assiria, pelindung budaya Babilonia dan dewa-dewa Babilonia yang
sebenarnya. Hinaan bapak mertuanya dibalas.
Tidak lama sesudah itu, Shamshi-Adad, yang sekarang menjadi raja
Babilonia dan Assiria, meninggal di umurnya yang masih muda. Pada saat itu
tahun 811; ia hanya menikmati tahtanya selama lebih dari sepuluh tahun, dan
putranya, Adad-Nirari III, masih kecil. Jadi ratu dari Shamshi-Adad, putri
Babilonia Sammu-Amat, melangkah menuju kekuasaan. Seorang wanita
pada tahta Assiria: itu belum pernah terjadi sebelumnya, dan Summu-Amat
mengetahuinya. Tugu peringatan yang ia bangun untuk dirinya sendiri yaitu
untuk menghubungkannya dengan setiap raja Assiria yang tersedia. Ia tidak
hanya disebut sebagai Ratu Shamshi-Adad dan ibu Adad-nirari, tetapi juga
“anak menantu perempuan dari Shalmaneser, raja dari empat daerah.Sammu-Amat memegang kekuasaannya dengan sangat mengesankan
hingga gemanya tersebar ke dalam ingatan sejarah orang-orang yang tiba di
tempat itu. Orang-orang Yunani mengingat dia, dan memberi nama versi
Yunani, Semiramis. Sejarawan Yunani Ctesias mengatakan bahwa ia yaitu
anak perempuan dari dewi ikan, dan dibangkitkan kembali oleh merpatimerpati, yang menikah dengan raja dari Assiria dan melahirkan seorang anak
yang bernama Ninyas. saat suaminya meninggal, Semiramis dengan licik
mengklaim tahtanya. Cerita kuno itu mengabadikan sebuah gaungan nama Adad-Nirari di
Ninyas, putra ratu yang legendaris, dan itu bukan satu-satunya cerita yang
memberi petunjuk bahwa Sammuamat mendapatkan kekuasannya dengan
cara yang tidak benar-benar tulus. Cerita dari sejarawan lain, Diodorus,
memberitahukan bahwa Semiramis meyakinkan suaminya untuk memberikan kuasa itu hanya untuk lima hari, untuk melihat seberapa baik ia dapat
mengelolanya. saat ia menyetujuinya, istrinya langsung mengeksekusi raja
itu dan mendapatkan mahkota untuk selamanya.
H , kota-kota Yunani telah bersatu menjadi tiga kelompok.
Kota-kota di Mycenas di daratan telah berkumpul, tiga ratus tahun sebelumnya,
di masa pendudukan bangsa Doria. Tetapi mereka juga tidak sepenuhnya
menghilang. Sisa-sisa dari peradaban Mycenas selamat dan masih ada di
daerah yang dikenal sebagai Arkadia, di bagian tengah Selatan semenanjung
Yunani, ”Peloponnese,” di bawah bahu air yang menerobos dari sisi Timur,
hampir membaginya menjadi dua (suatu badan air yang lalu dikenal
sebagai Korinchiakos Kolpos, Teluk Korintus).
Migrasi orang-orang Yunani Mycenas, serta pengunjung dan pengganggu
Mesir, juga telah berlayar menyeberangi Laut Aegea ke pantai Asia Kecil. Di
sini mereka menetap di sepanjang pesisir pantai, di desa yang berkembang
menjadi kota: Smirna, Miletus, Ephesus, dan lain-lain. Campuran dari bahasa
dan cara-cara Mycenas serta Asia menghasilkan suatu budaya yang spesifik
yang sekarang kita sebut Ionian; orang-orang Yunani Ionian lalu kembali menyebar ke seluruh pulau-pulau di dekatnya selama penghunian Doria,
yang menempati pulau antara lain Lesbos, Chios, Samos, dan akhirnya kembali ke pantai Timur Yunani itu sendiri.
Sementara itu orang-orang Doria mendirikan benteng di Selatan dan
Timur semenanjung Peloponnesos, mereka juga menyebar ke bawah pulau
Kreta dan ke Timur sejauh pulau Rhodes dan Karpathos. Dialek Doria sangat
berbeda dengan versi Mycenas, dan dialek keduanya berbeda dengan dialek
Ionia.
Ketiga kelompok ini kurang lebih berasal dari ras yang sama. Bangsa
Ionia masih merupakan satu rumpun dengan Mycenas, dan bangsa Mycenas
dan Doria juga sama-sama dari keturunan Indo-Eropa, keduanya turun dari
pengembara yang bertandang ke Selatan semenanjung Yunani pada abad sebelumnya. sesudah itu, bangsa Yunani juga mencatat kesamaan tersebut dengan mengklaim bahwa bangsa Doria yaitu keturunan dari anak-anak Heracles,
yang telah terusir dari Mycenas dari tanah air mereka sendiri secara paksa dan
lalu harus kembali untuk mengklaim kawasan mereka.14
Tetapi pada saat itu masih belum ada ”Yunani” di sini, hanya orang
Mycenas (”Arkadian,” untuk mencirikan mereka dari nenek moyang), lonian,
dan Doria. Semenanjung Yunani, seperti tanah-tanah ”Semit Barat” sebelum
munculnya kerajaan Israel dan Aramea, merupakan negeri raja-raja dan pemimpin-pemimpin mandiri.
saat gangguan Doria telah hilang jauh ke masa lalu, kota-kota di semenanjung Yunani memasuki masa relatif damai. Selama ini, mereka lebih suka
bertindak sebagai sekutu daripada sebagai musuh, dan bertukar kebiasaan dan
bahkan kadang-kadang bahasa mereka.** Sekitar tahun 800 SM—perkiraan
yang sangat kabur dan umum—perasaan yang tumbuh untuk memiliki satu
identitas budaya yang menuntun ke arah jalinan bersama dari sejumlah tradisi sejarah yang berbeda (kebanyakan dari mereka yaitu orang Mycenasn)
menjadi dua puisi yang berhubungan, yang nantinya diakui oleh seluruh semenanjung sebagai warisan dari setiap kota yang disebut di dalamnya: Iliades
dan Odyssey.
Menurut tradisi Yunani di lalu hari, penggubah puisi ini yaitu
seorang Ionian yang bernama Homerus, yang kemungkinan datang dari
Asia Kecil, kota Smirna, di jantung pemukiman bangsa Ionian, atau dari
pulau Chios yang sedikit keluar dari pantai Ionian. Ada perdebatan yang
masih berlangsung mengenai siapa sebenarnya Homerus itu (atau bukan),
teori yang mengira-ngira bahwa ia yaitu seorang yang jenius dan teori
bahwa karya itu yaitu hasil dari sekumpulan orang jenius yang menulis di bawah satu nama. Puisi-puisi itu sendiri kesannya berasal dari gaya
penceritaan oral: ungkapan dua kata yang muncul terus menerus (segelapanggur, berkaki-lincah, berpipi-cerah, berambut-indah) dan memberikan
cara yang langsung bagi penyair untuk mengisi irama dari sebaris ucapan;
ungkapan formal yang dipakai untuk menutup sebuah adegan (”demikian
ia berkata dengan berbunga-bunga,” ”mereka duduk tenang untuk waktu yang lama dan dalam keheningan”);15 dan yang disebut komposisi cincin,
di mana seorang penyair memberi dirinya suatu tambatan jiwa yang sesuai untuk suatu episode dengan cara memulainya dari tengah-tengah, dan
kembali lagi ke pembukaan, lalu dilanjutkan ke akhir.*
Tak ada yang yakin kapan dongeng-dongeng yang didendangkan dan
dinyanyikan ini dituangkan ke dalam tulisan. Selama masa kegelapan
Yunani, hanya orang-orang Mycenas yang telah menyimpan tulisan apa
pun itu, dan itu pun mereka melakukan dengan sangat sedikit. Tetapi tidak
peduli entah kapan cerita itu dituangkan ke dalam tulisan, mereka jelas
mencerminkan dunia masa pra-8oo SM. Bukan hanya Iliades dan Odyssey,
tapi kebanyakan dari mitologi Yunani yaitu (sebagaimana ahli klasik
Ken Dowden memaparkannya) ”tertulis pada peta geografis Mycenas”;16
detil dari baju baja (sebuah pelindung kepala dengan taring babi hutan)
dan harta mencerminkan dunia sebelum kedatangan orang-orang Doria.17
Di lain sisi, syair kepahlawanan juga menunjukkan pengetahuan tentang
pemukiman di luar negeri yang tidak mungkin dikenal dalam era Mycenas
saat itu.18 Bahasa di cerita kepahlawanan itu sendiri berasal dari abad
kedelapan. Dan nama Priamus, Raja dari Troya, berasal dari bahasa neoHitti yang digunakan oleh penduduk Que dan keturunan kekaisaran Hitti
lainnya yang tersebar.
Cerita-cerita dari Troya dan pahlawan-pahlawan yang memeranginya
menandakan bahwa orang-orang Doria, Arkadia, dan lonia memiliki masa
lalu mistis yang sama. Dalam Iliades, setiap kota mengirimkan kapal dengan
cepat dalam menanggapi panggilan dari Agamemnon, suatu kesatuan tindakan
yang tidak pernah berhasil dicapai oleh. Tetapi cerita itu menunjukkan
awal dari identifikasi yang berkembang di antara kota-kota Yunani yang
membedakan mereka dari orang lain.
Dalam Iliades, untuk pertama kalinya, kami menemukan sebuah kata
untuk orang-orang yang tinggal di luar tiga lingkaran dari Yunani: Homerus
menyebut mereka barbaro-phonoi, “pembicara yang aneh.” 20 Ini yaitu
pembagian yang sederhana dari seluruh bangsa, mereka yang berbicara dengan
dialek Yunani dan mereka yang tidak.
Ini juga benih dari gagasan yang akan terus berputar dengan sendirinya,
makin lama makin ketat, sekitar pola pikir orang Yunani. Sifat manusia itu
bercabang dua; baik itu Yunani atau non-Yunani, dan identitas manusia sebagai orang Yunani yaitu inti dari karakter seperti itu
Kekuatan identifikasi ini memiliki akarnya, secara bertentangan, dari
perpecahan kota-kota di Yunani, di tahun 800 SM silam. Mereka tidak memiliki kesatuan politik, tidak ada tujuan umum, dan tidak banyak menjalani
kebersamaan hidup. Mereka memiliki kota yang berbeda-beda, raja-raja
yang berbeda, pemandangan yang berbeda, namun mereka semua berbicara
dengan beberapa variasi bahasa Yunani. Kemiripan mereka dalam berbicara
dan berbagi kehidupan khayalan masa lalu yaitu benang yang menjalin mereka bersama
G A R I S WA K T U 4 8
ASSIRIA MESIR SEMENANJUNGYUNANI/ASIA KECIL
Kerajaan Neo-Hitti terbentuk
Ashur-bel-kala (1074-1056)
Aramis mengambil alih
Periode Menengah Ketiga
Dinasti 21 (Tanis)
Dinasti 22 (945-712)
Sfaeshonq I (945-924)
AAur-dan 11 (934-912)
Ashimiasirpal II (911-859)
Kebudayaan Arkadia, Doria, Ionia (sek. 900)
Osorkon II (870-850)
Shalmaneser III (858-824)
Shamshi-Adad V (823-812)
Sammu-amat
A semestinya telah menjadi suatu penglihatan
umum bagi orang Yunani yang tinggal dekat air:
Begitulah di atas lapangan tuan rumah bergerak timbul ....
Gumam yang mengumpul menyebar, dengan kaki mereka yang menapak
Memukul pasir yang lepas, dan menebal pada armada;
Dengan tangis menggema panjang mereka mendorong kereta
Agar merapat ke kapal-kapal, dan meluncurkan ke tempat utama.1
Pedagang Yunani berlayar ke seberang Laut Aegea dari pulau ke pulau, ke
pantai Asia Kecil, ke bawah ke arah Kreta, dan kembali ke atas ke daratan.
Pada zaman Homerus, kapal kota-kota Yunani juga melakukan persinggahan
yang rutin di pantai Selatan dari semenanjung ke arah Barat, untuk berdagang dengan orang-orang di sana.
Sebelum tahun 1200 SM, saat kekuasaan orang-orang Mycenas masih
tinggi terhadap wilayah Timur, semenanjung Italia** didiami oleh sedikit
penghuni yang menyebar luas yang bergerak di sepanjang semenanjung, dari
tumit-bot hingga puncak-bot. Meski jarak di antara mereka jauh, mereka
menciptakan semacam panci yang sama, yang menunjukkan bahwa mereka
berasal dari keturunan yang sama. Karena banyaknya tempat yang dihuni di
sepanjang pegunungan Apennini, para pakar arkeologi memasukkan orangorang di sana ke dalam ”peradaban Appenine.”2
Selama Zaman Kegelapan Yunani, budaya Apennine menumbuhkan
cabangnya. Perbedaan mulai kelihatan tidak hanya dalam barang-barang
keramik, tetapi juga dalam senjata dan peralatan perang. Peralatan besi dan
persenjataan pelan-pelan menyebar ke seluruh semenanjung itu. Populasi meningkat; penduduk dari satu tempat hunian kini mungkin sudah berjumlah
ribuan.3
Sebelum tahun 1200, semua orang ”Italia” telah menguburkan yang
mati di antara mereka. Kini di sejumlah besar desa di Utara orang-orang mati
justru mulai dibakar.**
Pada saat kapal-kapal Yunani tiba untuk berdagang, semenanjung merupakan rumah bagi berbagai kebiasaan yang oleh para pakar arkeologi digunakan
untuk membedakan orang-orang awal Italia satu sama lain. Desa-desa yang
masih biasa menguburkan orang mati terbagi menjadi tiga kelompok: Fossa,
yang terdapat di sepanjang pantai Barat bagian bawah terus ke arah ujung kaki
dari bentuk sepatu bot semenanjung Italia; Apulian, sedikit di atas tumit; dan
Adriatik Tengah, sepanjang punggung perbukitan Apennini.4
Orang desa-desa
di Utara yang masih biasa membakar mayat dibagi menjadi empat kelompok:
Golasecca ke arah Barat, yang biasa menguburkan kereta perang dan persenjataan dengan para prajurit mereka; Este ke arah Timur, yang membuat
karya-karya indah dari perunggu; Villanova ke arah Selatan, yang tidak hanya
berkebiasaan membakar orang mati akan tetapi juga menguburkan debunya
dalam kendi; dan Latial, tepat di bawah Villanova, dipisahkan oleh sungai
Tiber.
Orang-orang Latial meletakkan debu mereka tidak hanya di dalam guci,
tetapi di dalam gubuk kecil yang merupakan tiruan rumah orang yang masih
hidup, dijadikan hunian bagi yang mati tersebut. Gubuk-gubug mereka sen-
diri sederhana, dan hunian mereka tidak terlindung; Sejarawan bangsa Roma,
Varro, menerangkan bahwa mereka ”tidak kenal istilah benteng atau gerbang.”
Desa-desa kecil, bertengger di atas perbukitan demi keselamatan, dipersatukan oleh bahasa yang biasa mereka gunakan. Mereka berbicara satu bahasa
yang tidak jelas dinamakan Latin, salah satu dari sedikitnya empat puluh bahasa dan dialek yang berbeda yang digunakan di seluruh semenanjung.”5
Kapal-kapal Yunani mendarat di bagian Selatan pantai Italia dan berdagang logam dan palawija; mereka juga singgah di pulau Selatan yang besar
yang lalu dikenal sebagai Sisilia. Perdagangan yang sukses ini memacu
berkembangnya pos-pos perdagangan di mana pedagang-pedagang Yunani
tidak hanya singgah, tetapi juga tinggal di sana setidaknya beberapa waktu
dalam setahun.6
Sekitar tahun 775, kota bagian Barat-Laut Yunani, yaitu Chalcis, serta kota
bagian Timur yaitu Eretrea mengirim satu kerja sama para pedagang untuk
membangun suatu pos perdagangan sedikit lebih jauh lagi ke Utara, di sisi atas
garis pantai badan air kecil yang kini dikenal sebagai Teluk Napoli. Pos perdagangan ini berada di dekat Villanova, yang oleh orang Yunani disebut Tyrrhenia.
Dengan segera vas-vas Yunani mulai muncul di antara barang-barang kuburan
di makam Villanova; Pahatan Yunani mulai muncul pada relief-relief Villanova
yang berukir.
Chalcis dan Eretria, yang bekerja sama untuk kebaikan timbal balik mereka,
telah menempa hubungan yang bahkan melampaui kebersamaan dialek semata.
Di sekitar waktu itu pula, kuil Zeus dan Hera** di kota Olympia, Yunani, mulai
berkembang menjadi besar berkat adanya peziarahan yang ditujukan ke situ oleh
orang-orang Yunani dari tempat-tempat yang cukup jauh. Lebih jauh ke Utara,
di Delphi, tempat suci yang sedikit berbeda -- suatu tempat wahyu, di mana
pendeta wanita atau imam berkonsultasi pada dewa-dewa mengatasnamakan
orang-orang Yunani untuk mencari petunjuk -- juga menarik pengunjungpengunjung dari jauh. Di pulau Delos, kuil Apollo dan dewi perang Artemis
semakin meluas. Tempat-tempat suci ini dengan cepat menjadi ”pan-Hellenic,”
tidak hanya menjadi hak milik bagi kota besar yang terdekat, tetapi juga bagi
semua orang yang berbahasa Yunani. Mereka juga melahirkan persekutuan
Yunani yang pertama. Kota-kota besar bersatu dalam ’amphictyony’, asosiasi
yang berbagi tanggung jawab bersama untuk pemeliharaan dari suatu kuil atau
tempat suci; versi kuno dari suatu koperasi bangunan
Yang sangat menonjol, kota-kota besar Yunani bersatu dalam satu festival
tunggal untuk menghormati dewa Zeus. Yang pertama dari festival-festival
ini diadakan (secara tradisional) di tahun 776, tidak lebih dari setahun jarak
waktunya dari ekspedisi gabungan antara Chalcis dan Eretria, dan para pendoa
bertemu di Olympia.
Olympia telah menjadi pusat agama selama berabad-abad, dan berbagai
macam ras telah lama menjadi bagian dari upacara-upacara kurban maupun
ritual.*
Pada tahun 776, raja dari Elis, kota kecil tepat di sebelah Barat laut
Olympia, dikabarkan telah pergi ke dewa wahyu di Delphi untuk bertanya
bagaimana pertempuran antarkota-kota di Yunani bisa diakhiri. Wahyu
memerintahkan untuk membuat permainan-permainan di Olympia menjadi
suatu festival resmi, dan selama festival gencatan senjata bisa diumumkan.
Sejak itu, menurut sumber informasi yang tertua, permainan-permainan
resmi dipertandingkan di Olympia empat tahun sekali. Selama permainan,
gencatan senjata Olimpia diumumkan di seluruh kawasan Yunani; pada
mulanya hanya untuk satu bulan, lalu diperpanjang menjadi tiga bulan
agar orang-orang Yunan dari jauh bisa pergi ke Olympia dan kembali lagi ke
asalnya dengan aman.7
Permainan-permainan itu sendiri sebenarnya tidak pernah mendatangkan
perdamaian, sebagaimana juga diharapkan raja Elis. Tetapi mereka berhasil
mengingatkan kota-kota di Yunani bahwa mereka sebenarnya disatukan tidak
hanya dengan bahasa yang sama, tetapi juga dengan pemujaan mereka pada
dewa-dewa yang sama, dan peperangan bukanlah satu-satunya hubungan
yang mungkin dimiliki di antara mereka.
M , di tahun 776 seorang raja bernama
Numitor berkuasa di dua kota Latin di semenanjung Italia, dua kota tersebut tepat di Selatan Tiber. Kota pertama yang lebih tua bernama Lavinium;
yang kedua, yang dirancang sebagai koloni saat Lavinium menjadi semakin
padat, bernama Alba Longa yang dibangun di sepanjang perbukitan Alban.
Adik laki-laki Numitor, Amulius yang jahat, meningkatkan serangan
yang memaksa raja untuk melarikan diri sendirian ke pengasingan dan tidak
mampu kembali ke negerinya untuk melindungi keluarganya. Amulius lalu merebut tahtanya, membunuh para putra kakak laki-lakinya, dan
memutuskan bahwa putri kakak laki-lakinya, putri Rhea Silvia, harus menjadi perawan selamanya, demikian caranya mencegah tuntutan akan tahta di
lalu hari oleh cucu-cucu Numitor.
Meskipun demikian, dia (Rhea) tetap menjadi hamil; sejarawan Roma,
Livius, menerangkan bahwa ia mengklaim telah diperkosa oleh dewa Mars,
dan bahwa sementara ”ia sendiri barangkali mempercayai itu, mungkin
dengan berpura-pura seperti itu ia berharap untuk mengurangi akibat kesalahannya.”8
Setidaknya, anak-anak lelakinya yang kembar, begitu dilahirkan,
jelas merupakan ancaman bagi si perampas kekuasaan, karena mereka berada
di jalur ahli waris langsung dari raja yang dibunuh. (Seperti ditambahkan penulis biografi Yunani Plutarkhos, ” ukuran dan ketampanan kedua orang itu
melebihi manusia,” dan itu semakin membuat Amulius.)9
Amulius memerintahkan untuk menenggelamkan cucu kemenakannya ke
dalam sungai. saat Tiber sedang banjir, pelayan yang dikirim untuk menjatuhkan anak-anak bayi tersebut ke dalam air hanya menjatuhkannya dekat
pinggiran sungai, lalu ia pergi. Di sini, menurut legenda, seekor serigala betina menemukan mereka dan membesarkan mereka, namun tidak lama
sesudahnya seorang penggembala raja menemukan mereka dan membawa
mereka ke istrinya untuk dipelihara.
Gembala tersebut bernama Remus dan Romulus yang membesarkan
anak-anak tersebut menjadi dewasa; Plutarkhos mengatakan bahwa Numitor,
di pengasingan, mengirimkan uang untuk pendidikan anak-anak tersebut.
saat mereka telah menjadi besar, mereka menyingkirkan kakek-paman mereka yang jahat, dan Numitor memperoleh kembali kerajaannya.
Dengan kembalinya kakek mereka ke atas tahta, si cucu kembar—yang
saat itu dikenal sebagai ahli waris raja—seperti ditulis Livius, ”tiba-tiba
dipengaruhi oleh suatu desakan untuk mendirikan daerah hunian baru di
tempat mereka mereka dulu dibuang untuk ditenggelamkan saat masih
bayi.”10 Raja menyetujui; Alba akhirnya tumbuh sama besar seperti Lavinium,
dan kota yang ketiga diperlukan. Namun persaingan antara saudara kandung,
Numitor dan Amulius, muncul kembali di kehidupan para cucu lelaki Numitor;
mereka tidak bisa memutuskan siapa yang harus menjadi penguasa utama di
hunian baru mereka, dan mereka meminta para dewa untuk memberikan
suatu tanda. Sejak itu segala sesuatu menjadi semakin memburuk:
Karena tujuan ini Romulus mengambil bukit Palatinum dan Remus
mengambil Aventine sebagai stasiun mereka masing-masing di mana mereka
dapat mengamati tanda-tanda itu. Remus, konon kabarnya, yaitu yang pertama untuk menerima suatu tanda -- enam burung nazar; dan tidak lama
lalu sebelum hal ini dikabarkan ke orang-orang, burung itu muncul
dua kali lipat jumlahnya pada Romulus. Para pengikut masing-masing dari
mereka berdua dengan segera menghormati tuan mereka sebagai raja, di
mana yang satu mendasarkan klaimnya atas prioritas, sementara yang lain
atas jumlah. Kemarahan muncul, dan segera diikuti adu hantam, dan dalam
perkelahian tersebut Remus terbunuh.”11
Livius menerangkan bahwa tradisi yang lain yang ”lebih umum” menganggap bahwa Remus mengejek usaha sauda



