Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 16




  keempat penjuru 


dunia, gembala yang diagungkan, semburan yang kuat yang tak seorang pun 


mampu menahan... ia yang telah menundukkan semua umat manusia... yang 


tangannya telah menaklukkan semua negeri dan mengalahkan semua barisan 


pegunungan.” 7


Mengesampingkan cerita yang berlebihan di atas, Ashurnasirpal memang 


melakukan satu hal yang tidak pernah berhasil dilaksanakan oleh nenek 


moyangnya. Ia melakukan perjuangan ke sungai Efrata dan lalu  menyeberanginya. “Aku menyeberang Efrata dengan luapan airnya dengan kapal 


dari kulit,” ia menulis. “Aku berbaris di sepanjang sisi Gunung Lebanon, 


dan... di Laut Besar aku mencuci senjataku.”8


 Hal itu mirip dengan tandatanda kemenangan yang sama yang telah dicapai Sargon, di Teluk Persia, jauh 


sebelumnya.


Ini membawa dia ke atas hingga perbatasan Israel di sebelah Utara, yang berada di bawah pemerintahan seorang raja bernama Omri. Omri 


tidak mendapatkan banyak peran dalam catatan kitab Injil, yang lebih 


memperlihatkan ketidakpeduliannya akan hukum Tuhan: apa yang kita 


pelajari dari buku 1Raja-Raja yaitu  bahwa Omri merebut tahta di Utara 


dari penuntut yang lain dan bahwa ia lebih jahat dibandingkan raja-raja 


sebelumnya.9


 Tetapi dalam istilah politik, Omri yaitu  seorang pejuang besar 


dan pembangun (ia membangun Samaria menjadi ibu kota baru di Utara), 


dan Raja Israel pertama yang disebut dengan perasaan kagum dalam catatan 


sejarah dari negeri lain; catatan sejarah Mesha, sebuah batu yang ditemukan 


di seberang Sungai Yordan di wilayah suku bangsa yang dikenal sebagai 


Moabites, mengungkapkan kepedihan bahwa Omri “menghina orang Moab 


selama bertahun-tahun.”10 Ia yaitu  seorang penguasa dengan kekuatan yang 


cukup sehingga Ashurnasirpal, yang banyak menundukkan hampir semua 


negara kecil sepanjang daratan hingga pantai dan bahkan menarik upeti dari 


para raja Punisia di Sidon dan Tirus, tidak berusaha menyerang dia.


Sekarang, wilayah Ashurnasirpal membentang hingga Efrata, dari sana 


lewat sebuah jalur sempit hingga pantai Laut Tengah turun ke bawah sejauh 


kota pelabuhan Arvad. Ia tidak pernah benar-benar mengklaim kekuasaan 


atas Sidon dan Tyrus yang raja-rajanya ramah terhadap Israel; dia pun tidak 


menyerang Babilonia sendiri. Ia memang berjalan ke Selatan sepanjang sungai 


Efrata sejauh perbatasan yang saat itu telah diakui oleh Assiria dan Babilonia, 


dan di sana ia mengurung sebuah kota untuk menakut-nakuti orang Babilonia 


(walaupun ia tidak mendesak lebih jauh).


Reputasinya mendahuluinya. Dalam diri Ashurnasirpal di sana muncul, 


tumbuh subur, kesenangan akan kekejaman yang menandai jejak hampir setiap 


raja Assiria yang mengikutinya. “Aku menegakkan sebuah pilar di gerbang 


kota,” Ashurnasirpal menjelaskan, mencatat urusannya dengan kota yang 


telah memberontak dan membunuh gubernur Assiria yang telah dia angkat, 


“dan aku menguliti pemimpin-pemimin yang memberontak melawanku, dan 


membungkus pilar tersebut dengan kulit mereka. Yang lain aku masukkan ke 


tengah-tengah pilar tersebut, sementara sebagian dari mereka aku tusuk pada 


pancang dan kutata di sekitar pilar itu. Di dalam kota, aku menguliti banyak 


lagi yang lain dan membungkus dinding dengan kulit mereka. Sementara 


pejabat-pejabat kerajaan, aku memotong anggota tubuh mereka.” “Pada saatsaat lain, dia membuat variasi dengan membuat tumpukan potongan hidung 


dan telinga, mencungkil mata-mata, dan mengikat kepala-kepala pada pohon 


anggur seluruh kebun di kota yang ditaklukkan agar kelihatan seperti buah yang 


menjijikkan dan membusuk.” Aku membuat tiang makhluk hidup,” katanya, 


suatu penemuan khusus Assiria yang menjijikkan di mana narapidana yang 


masih hidup diletakkan satu di atas yang lain lalu  menutupnya dengan plester untuk membuat sebuah kolom. “Aku memotong telinga mereka dan 


jari-jari mereka, aku mengeluarkan mata banyak dari mereka.... anak-anak 


laki dan perempuan mereka aku bakar di perapian.”12


S S M P T S D P L 


T, Ashurnasirpal II mati dan meninggalkan tahta kepada putranya 


Shalmaneser, urutan ketiga yang memakai nama ini. Shalmaneser III melanjutkan kampanye melawan kawasan Semit Barat sebelah Barat dari Efrata. 


Seperti ayahnya, Shalmaneser menyeberang Efrata ”saat  banjir” (ini kelihatannya menjadi suatu titik kebanggaan), dan maju ke depan ”ke arah pantai 


laut tempat terbenamnya matahari,” di mana ”Aku mencuci senjata-senjataku 


di laut.”13 Akan tetapi, tidak sama dengan ayahnya, ia tidak bergerak mundur 


dari kerajaan Israel di Utara.


Secara berlawanan, Israel nampak lebih kuat dari sebelumnya. Putra Omri, 


Ahab, telah menerima warisan tahta ayahnya, dan—menyaksikan penyebaran 


ancaman Assiria ke arah Timur dan Utara dia—telah merundingkan suatu 


perkawinan strategis dengan putri dari raja Punisia di Sidon. Puteri ini, 


Yezebel, tidak hanya menjadi seorang istri, tetapi bahkan ratu utamanya yang 


sangat memperkuat persekutuan Punisia-Israel untuk melawan angkatan 


perang Assiria.


Untuk semua akal-akalan politis ini, Ahab membuat beberapa tindakan 


yang sangat bodoh. Ia menunjukkan kesediaan yang pintar untuk memuja para 


dewa selain Tuhan bangsa Israel, termasuk Baal, dewa utama bangsa Punisia, 


dan sejumlah bangsa dan kota Semit Barat yang lain; ini seharusnya sudah 


memenangkannya suatu persahabatan, tidak hanya dengan Tyrus dan Byblos, 


tetapi juga kota-kota yang terletak di antara Israel dan barisan depan Assiria 


yang makin maju. Namun daripada menenangkan orang-orangnya sendiri 


dengan mempertahankan pemujaan Yahwe yang hidup juga, ia merestui 


istrinya, orang Punisia, untuk menggeropyok dan membantai semua nabi dari 


Tuhan Abraham. Sedikitnya seratus berhasil lari dan bersembunyi di daerah 


pegunungan di Timur; dari tempat pelarian ini nabi-nabi itu menyerukan 


suatu panggilan bagi bangsa Israel untuk memberontak melawan raja mereka 


yang jahat.


Kepala di antara para peramal musuh Ahab yaitu  nabi Elijah, seorang 


yang bertingkah liar yang mengenakan pakaian kulit binatang yang berhasil lari dari usaha pembunuhan Yezebel dan bertindak semampunya untuk 


mengganggu raja yang jahat itu. Sesungguhnya ia mengurapi seorang pekerja 


muda Israel bernama Yehu untuk dijadikan pilihan Tuhan sebagai raja yang 


berikutnya dan memberi dia ijin ilahi untuk membunuh Ahab, Yezebel, dan 


seluruh penghuni rumah kerajaan.

Dengan tingkat kebencian seperti itu di antara Bangsa Israel terhadap 


raja mereka sendiri (dan, yang lebih kejam lagi, terhadap istri asingnya), 


tidaklah mengherankan jika raja Aram dari Damaskus memilih untuk 


memanfaatkan kegelisahan dalam negeri ini sebagai suatu kesempatan untuk 


melancarkan serangannya terhadap Israel. Ia mengerahkan tiga puluh dua 


panglima perang Aramis, dan dengan gabungan kekuatan dahsyat ini mereka 


berangkat menemui pasukan Israel yang relatif kecil: ”Orang Israel berkemah 


berseberangan dengan mereka,” penulis 1Raja-Raja menceritakan kepada kita, 


”seperti dua kawanan kecil kambing, selagi orang-orang Aramis mengepung 


dari pedesaan.”


Meskipun ada perselisihan yang sangat membebani, pasukan bangsa Israel, 


yang dipimpin oleh Ahab—yang, meskipun gagal dalam komitmennya, 


masih bisa menjadi pemimpin yang andal—berhasil melawan orangorang Aramis dengan hasil akhirnya sama kuat. Raja Damaskus membuat 


perjanjian dengan Ahab, suatu perjanjian yang menyatakan perdamaian 


antara raja Aramis dan Israel tersebut untuk masa tiga tahun. Pada tahun 


ketiga, Shalmaneser berbaris menyerang ke arah perbatasan Israel.


Israel telah siap. Ahab terseret dalam pertikaian dengan tentara-tentara Israelnya sendiri (termasuk pasukan berkuda yang penting), pasukan 


Punisia yaitu para sekutunya dari pantai, dan para laki-laki yang dikirim 


oleh raja Damaskus, yang tidak ingin menjadi korban penyerangan Assiria 


berikutnya. Mereka dipersatukan oleh Mesir; pharaoh ke lima dari Dinasti 


ke Dua Puluh Dua, Osorkon II, kelihatannya takut kalau-kalau Assiria, 


sekali mereka meneruskan langkahnya menyeberangi negara-negara Semit 


Barat, mungkin akan berlanjut ke bawah ke daerah Laut Tengah menuju 


Mesir.


Pasukan saling berhantam di kota besar Oarqar pada tahun 853.


Sulit untuk diketahui secara tepat apa yang selanjutnya terjadi. 


Shalmaneser III mengklaim mendapatkan kemenangan: ”Aku mengalirkan 


darah musuh-musuhku ke dalam lembah dan menyebar mayat-mayat mereka,” ia menyombong, pada sebuah catatan sejarah yang dikenal sebagai 


Inskripsi Monolit.14 Tetapi relief-relief bangsa Assiria melukiskan pertempuran menunjukkan suatu pemandangan yang tidak lazim: tentara musuh 


menyerbu ke depan di atas tubuh orang-orang Assiria yang mati.” Karena 


kebiasaan penggambaran orang Assiria terhadap musuh yang mati dan para 


prajurit yang hidup, hal ini mengimplikasikan suatu hasil yang sangat berbeda.


Berlawanan dengan pengakuannya, Shalmaneser tidak maju lebih jauh 


lagi ke negara-negara Semit Barat selama sisa waktu tiga puluh tahun pe

merintahannya. Kota-kota Punisia, negara-negara Israel, dan Damaskus 


semuanya tetap bebas dari cengkeraman Assiria.


Kemungkinan besar pertempuran berakhir seri, namun cukup mengenaskan 


bagi Assiria sehingga Shalmaneser memutuskan untuk mundur. Raja-raja 


Semit kembali ke kota-kota mereka, dan para tentara Mesir bergerak kembali 


ke tanah air mereka yang dengan segera pecah lagi ke dalam perang saudara; 


Mesir, yang sudah disibukkan dengan gangguan dalam negeri, menghilang 


untuk beberapa tahun dari kancah percaturan internasional.


Walau demikian, Ahab tidak tinggal diam. Mungkin karena tersanjung 


dengan pujian karena pertahanan yang sukses bagi negerinya, Ahab memutuskan, segera sesudah  pertempuran Qarqar, bahwa ini yaitu  saat yang tepat 


untuk berbalik melawan sekutunya, raja Damaskus. Ia mengirim orang ke 


Yehoshafat, raja Yuda, dan meminta dia untuk pergi ke Utara bergabung 


dengan dia dalam serangan melawan kota perbatasan Ramoth-Gilead, yang 


terletak di atas perbatasan Israel, di kawasan Aramis yang dilindungi oleh 


perjanjian.


Yehoshafat, anak dari cicit Solomon, menguasai suatu wilayah yang terdiri 


dari suku bangsa Yuda yang besar bersama dengan suku bangsa Benyamin 


yang kecil, suatu kawasan yang dikenal bersama-sama sebagai ”Yuda.” Ia tidak 


punya kekuatan militer mahabesar, tetapi karena Ramoth-Gilead berada nyaris tepat di atas perbatasan antara Utara dan Selatan, persekutuan Yehoshafat 


merestui Ahab untuk melakukan manuver menjepit kota tersebut.


Yehoshafat sepakat mengunjungi Ahab untuk mendiskusikan hal tersebut, 


namun begitu berada di istana Ahab—yang, karena adanya para nabi yang 


diimpor Yezebel serta hulubalang istana dari Tyrus, suasana istana kelihatannya lebih mirip istana Punisia, tidak seperti istana Israel—ia menjadi gelisah. 


Para penasihat Punisia, yang juga sebagai dukun dan peramal, meramalkan 


kemenangan yang pasti melawan orang-orang Aramis, namun Yehoshafat bertanya apakah Ahab telah mempertimbangkan untuk bertanya pada seorang 


Nabi Ibrani, apa kata Yahwe tentang rencana ini.


”Ya.” kata Ahab, ”ada seorang nabi yang bisa kupanggil, tetapi aku tidak 


menyukai orang itu; dia tidak pernah berbicara baik tentang aku.”


Yehoshafat mendesak, dan nabi tersebut, Micaiah, dipanggil. saat  ditanya apa pendapatnya, dia berkata, ”Serang orang-orang Aramis dan Tuhan 


akan memberimu kemenangan.”


Ini yaitu  jawaban yang bijaksana tetapi tidak tulus, dan Ahab 


mengetahuinya. Ia berkata, ”Berapa kali aku harus meminta kepada anda 


untuk mengatakan kebenaran padaku?” dan membuat Micaiah berkata 


bahwa penyerangan tidak hanya akan gagal, tetapi Ahab sendiri akan mati 


terbunuh.

“Benar, kan?” Ahab berkata pada Yehoshafat. “Sudah aku katakan bahwa 


dia tidak pernah bicara baik tentang aku.”


Meskipun ramalannya demikian, Yehoshafat sepakat untuk ikut serta dalam 


serangan itu. Peristiwa sesudah  itu menyiratkan bahwa ia mungkin memiliki  


rencana sendiri dengan pemerintah Aramis. saat  pertempuran dimulai, 


kereta perang para komandan Aramis melihat jubah kerajaan Yehoshafat dan 


langsung menuju padanya, namun saat  Yehoshafat berteriak, ”Aku raja 


Yuda, bukan raja Israel!” mereka berbalik arah dan membebaskannya.16


Ahab,yang bertempur dengan menyamar, tidak begitu beruntung. Sebuah 


panah yang secara acak ditembakkan dari busur musuh mengenainya di selasela sambungan baju zirahnya, dan dia mati.


Dua belas tahun lalu , putranya Yoram mencoba lagi untuk 


menaklukkan Ramoth-Gilead. Lagi-lagi, kekuatan Aramis terbukti terlalu 


kuat bagi dia. saat  terluka dalam pertempuran yang gagal, ia mundur ke 


seberang sungai Yordan ke kota di Israel, Yezreel, untuk memulihkan diri dari 


lukanya. Segera sesudah  itu, seorang nabi Israel pergi menemui Yehu—perwira muda yang dikukuhkan oleh Elijah untuk memusnahkan keluarga Ahab 


hampir lima belas tahun sebelumnya—untuk mengatakan kepadanya bahwa 


saat akhirnya telah tiba.

Yehu telah lama bersembunyi; akhirnya nabi tersebut, berlari membawa dia ke permukaan (dari semua tempat) di Ramoth-Gilead sendiri, yang 


menunjukkan bahwa ia telah meminta perlindungan kepada musuh Israel. 


Segera sesudah ia mendengar kabar tentang kelemahan Yoram, ia naik kereta 


perangnya, menyandang busur ke atas bahunya, dan dengan bulat tekad berangkat ke Yezreel.


Seperti yang dilakukan Ahab sendiri dalam perang Ramoth-Gilead, Yoram 


bukannya bersembunyi, tetapi malahan mengenakan jubah kerajaannya, 


menaiki kereta perangnya, dan mengendarainya untuk menyambut tentara 


yang datang. Yehu menembakkan panah menembus tubuhnya, dan 


melanjutkan perjalanan ke Yezreel.


Pada saat ia sampai di Yezreel, ibu suri ratu Yezebel,—yang kelihatannya 


pergi dengan putranya yang terluka—telah mendengar tentang kematian 


Yoram serta pembunuhnya yang kian mendekat. Ia mengenakan jubah 


kerajaannya dan di jendela ia menunggu kedatangannya. Apakah ia sedang 


bersiap-siap untuk mengumpulkan anggota istana di belakangnya, atau ia 


melihat kematiannya sudah diambang pintu, tidaklah jelas; namun saat  


Yehu berhenti di depan tempat kediaman raja, ibu suri melongok dari jendela 


dan berteriak, ”Apakah Anda datang secara damai, wahai pembunuh tuanmu 


sendiri?”


Yehu, yang sedang membangun gerakan antikerajaan dengan barisan 


pejabat Yoram di belakang dia, berteriak minta bantuan; dan tiga orang 


kasim dari dalam rumah ibu suri muncul di belakang perempuan tersebut 


dan melemparkannya keluar dari jendela itu. Ia jatuh ke lantai, dan Yehu 


menggilas badannya. Anjing-anjing setengah liar yang mengendap-endap di 


sekitar kota-kota kuno memakannya, seluruh tubuhnya kecuali tangan, kaki 


dan tengkoraknya.


Menurut buku 2 Raja-Raja, Yehu menyapu bersih sisa keluarga Ahab dan 


membunuh nabi-nabi Punisia Yezebel.** Ini yaitu  satu-satunya dua tinda-

kan yang menandai pemerintahannya: namun pada zamannya, ”Tuhan mulai 


mengurangi besarnya negara lsrael.”17 Satu-satunya kekalahan yang direkam 


yaitu  kekalahan oleh raja Aramis dari Damaskus, yang tidak lagi memberikan dukungan apa pun yang pernah ia tawarkan pada Yehu begitu ia naik 


tahta kerajaan Israel, dan mengambil semua yang berada di Timur sungai 


Jordan.


Kekalahan yang lebih serius sama sekali tidak disebut di dalam catatan kitab 


Injil. Namun demikian, terukir pada monumen kemenangan Shalmaneser 


III, Tugu Hitam. Pada tugu tersebut, puluhan raja yang ditaklukkan datang dengan upeti untuk Shalmaneser; pada panel kedua dari salah satu sisi, 


Yehu dari Israel menundukkan dahinya ke tanah di depan raja Assiria itu. 


Shalmaneser berdiri memandangnya ke bawah, dengan kepalanya dilindungi 


dari terik matahari oleh sebuah payung yang dipegang oleh seorang penjaga 


yang penjilat. Shalmaneser III mengerahkan angkatan perangnya masuk ke 


Israel dan menciptakan gambar dirinya di dalam wilayah Israel; raja Assiria 


yang pertama kali masuk Israel, tetapi sama sekali bukan yang terakhir.18


Yehu telah kehilangan sekutu-sekutu lama Ahab. Bangsa Aramis bermusuhan dengannya, dan orang-orang Punisia—yang dibangkitkan amarahnya 


oleh pembantaian putri raja mereka Yezebel, anggota istananya, para imam 


yang melayani para dewanya, dan keturunan-keturunannya—tidak mau lagi 


berperang di pihaknya.” Yehu, yang dipilih untuk membersihkan rumah 


Israel, telah membersihkan juga sekutu-sekutunya. Ia tidak punya pilihan 


yang tersisa kecuali menyerah.


G A R I S WA K T U 4 7


 NEGARA-NEGARA SEMIT BARAT ASSIRIA MESIR


 Ashur-bel-kala (1074-1056)


 Penaklukkan Aramis 


 Periode Menengah Ketiga


 Samson 


 Dinasti 21 (Tanis)


Saul 


 Daud 


 Dinasti 22 (945-712)


 Solomon Sheshonq I


 Ashur-dan II (934-912) (945-924M)


 Rehoboam (931) Yeroboam Ashurnasirpal II (911-859)


 (Yuda) (Israel) 


 Omri Osorkon II (870-850)


 Yehoshafat Ahab 


 Shalmaneser III (858-824)


 Ahaziah 


 Yoram 


Yehu









T      Y, raja tua 


Babilonia meninggal. Kedua anaknya berebut tahta, dan itu memberikan 


kesempatan yang sempurna bagi Shalmaneser dari Assiria untuk menyerang 


tetangga Selatan-nya. 


Ia menolak. Tentara Assiria berbaris membantu pangeran yang tua itu 


untuk mendapatkan kembali tahtanya. “Di tahun kedelapan pemerintahanku,” dalam catatan Shalmaneser III,“ di sana memberontak melawan 


Marduk-Zakir-Shumi, saudaranya yang lebih muda...Untuk membalas dendam Marduk-Zakir-Shumi, aku berbaris maju.” Pada saat orang-orang Assiria 


mendekat, pangeran pemberontak yang lebih muda itu melarikan diri, “seperti rubah, melalui sebuah lubang di dinding” dan pergi. Orang-orang Assiria 


mengikuti dan menangkap dia: “pegawai-pegawai yang memberontak bersamanya, aku potong dengan pedang.” Shalmaneser menyimpulkan.


Dengan berhentinya pemberontakan, Shalmaneser mengunjungi Babilonia 


dengan hadiah dan perjodohan antara salah satu putri dari Marduk-zakirshumi dengan putra ke-duanya. Di istananya, ia mengukir suatu relief yang 


menggambarkannya sedang berjabat tangan dengan Marduk-zakir-shumi, 


dua raja berdiri berdampingan, sebagai satu penguasa yang setara. 


Keengganan untuk menyerang Babilonia tidak ada hubungannya 


dengan kelemahan; Shalmaneser menghabiskan hampir seluruh masa pemerintahannya dengan operasi militer yang terus menerus. Raja kebangkitan 


kembali Assiria ini sangat enggan untuk menyerang kota tertua yang terkenal, dan tidak mau membuat marah Marduk, kepala dewa Babilonia. Sebagai 


gantinya, Shalmaneser III menembus jalan Babilonia dan mengirim pasukan 


dari Timur, Barat Laut, dan jauh di Selatan, di mana tiga orang baru nantinya 


dipaksa untuk memberikan penghormatan kepada Assiria. Di ujung teluk Persia, lima suku bangsa Semit mengklaim daratan 


yang dulunya membentuk tepi jauh Selatan kota Sumeria. Suku bangsa 


Bit-Amukanni mendominasi tanah di dekat kota tua Sumeria dari Uruk; 


Bit-dakkuri berada sedikit lebih ke Utara, dekat Babilonia; dan suku dari BitYakin mendominasi Ur dan tanah berawa di perbatasan teluk itu sendiri. ‘Dua 


suku terkecil berada di bawah perlindungan ketiga suku tersebut.** Secara 


kolektif, orang-orang Assiria ini mengenal suku-suku tersebut sebagai orangorang Khaldea. Mereka membayar sedikit kesetiaan pada raja dari Babilonia, 


namun mereka membayar lebih sedikit lagi di bawah kendali Babilonia. 


sesudah  membantu Marduk-zakir-shumi mendapatkan tahtanya kembali, 


Shalmaneser III berjalan hingga perbatasan Selatan Babilonia dan memaksa 


upeti dari suku bangsa Khaldea itu. Upetinya tidaklah kecil, orang-orang 


Khaldea mengirim emas, perak, gading, dan kulit gajah, yang menyatakan 


bahwa mereka bernegosiasi di Teluk berssama para pedagang sejauh Timur 


sampai India. 4 Invasi Shalmaneser secara teoritis yaitu  untuk membantu 


Babilonia keluar, karena bangsa Khaldea dengan gembira bergabung 


dengan sang adik yang pemberontak; namun itu pun tidak membahayakan 


Shalmaneser III. Ia mungkin memiliki rasa hormat kepada Babilonia, namun 


sekarang ia mengatur perbatasan Utara dan Selatannya, dengan maksud 


membatasi pertumbuhan kerajaan. 


Lalu, sekitar tahun 840, Shalmaneser berjalan menuju bagian Utara Efrat 


dan berbalik ke Barat untuk menyeberang menuju bagian atas daerah yang 


tanahnya didominasi oleh bangsa Aram. Di sini, di bagian sudut Timur laut 


dari Laut Tengah, terdapatlah suatu kerajaan kecil yang bernama Que.


Que yaitu  suatu negeri yang baru, namun sudah didiami oleh ras yang 


tua. Tiga ratus tahun sebelumnya, Hitti, ibu kota Hattutas habis terbakar, 


dan orang-orang Hittie menyebar. Pusat dari kerajaan tua mereka diduduki 


oleh pendatang dari Eropa Selatan yang telah menyeberang melalui selat 


Bosforus; saat  menetap di Asia kecil, mereka membangun suatu kota besar 


di Gordium untuk mereka sendiri dan dikenal sebagai Frigians. Bangsa Hitti 


juga telah kehilangan sebagian besar garis pantainya. Bangsa Mycenas, yang 


telah tersingkir dari rumah mereka sendiri akibat banjirnya orang Doria, menetap di sepanjang tepi Barat Asia kecil dan juga hingga ke pantai Selatan. Bangsa Hitti yang menyebar mengumpulkan bangsa mereka kembali di 


satu-satunya daratan yang masih bisa mereka miliki, di bagian tenggara tanah 


mereka sendiri. Di sini mereka memuja dewa-dewa Hitti dan tinggal di sebuah 


kerajaan mandiri neo-Hitti yang kecil, yang letaknya di pusat dan dikelilingi 


oleh kota-kota yang berbenteng. Karkhemish, di bagian Utara Efrat, yaitu  


yang terkuat dari yang lainnya.


Que, kerajaan neo-Hitti lainnya, memiliki lebih sedikit militer namun posisinya sangat strategis melalui pegunungan Taurus, gerbang terbaik menuju 


Asia kecil dan juga jalan menuju pertambangan perak Utara dari pegunungan. 


Shalmaneser menyerang Que, dan berjalan menuju kotanya, dan mengklaim 


pertambangan perak itu menjadi miliknya.5


Ia lalu berbalik ke Timur. Seperti biasanya, bangsa Elam yang berada di 


sisi lain dari Tigris yaitu  suatu ancaman yang berkesinambungan. Raja dari 


kota Elam dapat melihat bahwa Assiria merupakan ancaman yang lebih besar 


dibandingkan Babilonia yang lebih kecil, jadi mereka cenderung untuk bersekutu dengan raja Babilonia jika ada pertempuran yang harus diselesaikan. 


Shalmaneser yaitu  seorang teman Babilonia juga, tapi di zaman kuno Timur 


Dekat, teman dari teman Anda biasanya cenderung untuk menjadi musuh 


daripada dengan yang lainnya. Persekutuan antara Babilonia dan Elam bisa 


menjadi ancaman bagi kekuatan Assiria.


Shalmaneser tidak mencoba untuk menambahkan Elam sebagai bagian 


dari kerajaannya, namun ia tetap menuntut upeti dari kota tersebut. Beberapa 


kali penggerebekan dilakukan oleh Assiria pada tanah Elam untuk meyakinkan mereka agar membayar upeti. Shalmaneser juga memperkuat posisinya 


dengan melakukan perjalanan yang cepat melalui pegunungan Zagros, dengan 


tujuan untuk menundukkan orang-orang yang tinggal di seberang pinggir 


Utara kota Elam. Sementara dengan Babilonia, ia bisa saja mengklaim untuk 


mengendalikan kedua perbatasan kota Elam tersebut. 


Para penduduk pegunungan ini mungkin saja sudah terbagi, barangkali 


ribuan tahun sebelumnya, begitu juga dengan para pengembara yang sudah 


pergi jauh ke tenggara menuju India. Dalam catatan Shalmaneser ia menyebutkan dua suku bangsa: bangsa Parsua, yang menetap di sepanjang Zagros di sisi 


Barat Elam, dan Mada, yang masih mengembara di sepanjang Utara.6 


Baik Parsua maupun Mada tidak melakukan banyak perlawanan terhadap 


Shalmaneser, dan ia kembali pulang dengan menyombongkan bahwa ia telah 


bersekutu dengan dua puluh tujuh kepala daerah pegunungan yang berbeda-beda. Ia tidak meletakkan nilai tertentu pada penaklukan ini; Parsua dan 


Mada merupakan penyangga terhadap kekuatan Elam. Nama kedua daerah 


itu nantinya, kira-kira seabad lalu , dikenal dengan nama yang diberi kan oleh bangsa Yunani: Persia dan Medes.


S III meninggal pada tahun 824, di tengah pemberontakan 


yang dilancarkan oleh anaknya sendiri. Di akhir hidupnya Shalmaneser 


mencabut hak waris anaknya dan memberikan hak tersebut kepada anaknya 


yang kedua. Ia meninggal saat  belum selesai memadamkan pemberotakan; 


Shamshi-Adad, orang kelima dari nama itu, sekarang secara resmi telah 


menjadi raja dari Babilonia, namun ia kurang mendapat suara yang banyak 


dari pendukung saudaranya dan harus meninggalkan negaranya sendiri.


Itu merupakan pemberontakan terbesar, seperti pada apa yang telah dicatat oleh Shamshi-Adad V:


 Di mana [saudaraku] Assur-danin-apli, di masa Shalmaneser, ayahnya, 


bertindak jahat, memberi hasutan, pemberontakan, dan merencanakan 


kejahatan, yang menyebabkan bangkitnya pemberontakan di negerinya, 


mempersiapkan peperangan, membawa orang-orang Assiria, Utara dan 


Selatan, di pihaknya, membuat pidato-pidato yang berani, membawa 


kotanya dalam pemberontakan dan menetapkan diri untuk memulai 


perselisihan dan peperangan...27 kota, bersama dengan benteng mereka...


memberontak terhadap Shalmaneser, raja dari empat daerah di dunia, 


ayahku, dan...telah berpihak ke Assur-danin-apli.7


Satu-satunya raja yang bisa meminjamkan pasukan yang cukup untuk 


menghadapi tantangan jumlah yang besar yaitu  mertuanya, raja Babilonia. 


Maka Shamsi-Adad yang melarikan diri ke Babilonia meminta bantuan kepada Marduk-zakir-shumi. Raja Babilonia setuju, dan menyediakan pasukan 


untuk membantu ahli waris Assiria untuk merebut kembali ibu kota miliknya.


Namun Marduk-zakir-shumi membuat suatu kesalahan dalam penilaian. 


Dia tidak sepenuhnya mempercayai menantunya, dan memaksa Shamsi-Adad 


untuk menandatangani suatu perjajian untuk mendapatkan pasukan dari 


Babilonia itu. Perjanjian itu tidak lengkap, namun kelihatannya ShamshiAdad perlu mengakui adanya keunggulan dari Babilonia. Janji itu tidak 


membuat Shamshi-Adad mendapat gelar raja, yang mana hanya diberikan 


pada Marduk-zakir-shumi sendiri, dan diikuti oleh sumpah di depan para 


dewa-dewa babilonia saja, dan kuil dewa Assiria dihapuskan.8


Shamsi-Adad menandatangani perjanjian, menahan amarahnya demi 


mendapatkan kembali tahtanya. Ia menerima pasukan yang ditawarkan dan 


melakukan serangan yang bertubi-tubi terhadap kotanya sendiri, memenangkan Assur kembali dengan mendobrak dinding pertahanan. Begitu Shamshi-Adad V mendapatkan tahtanya kembali, ia menghormati 


perjanjiannya dengan Marduk-zakir-shumi. Entah ia orang yang memegang 


janji, atau ia takut terhadap para dewa yang menjadi saksi perjanjian itu. 


Namun saat  Marduk-zaki-shumi meninggal dan putranya Marduk-balassu-iqbi menggantikan tahtanya, Shamshi-Adad mulai merencanakan suatu 


kampanye yang tidak pernah dilakukankan oleh raja keturunan Assiria siapa 


pun: menginvasi Babilonia.


Tidak terlalu lama sesudah  Marduk-balassu-Iqbi naik tahta, rencana telah 


membuahkan hasil. Shamsi-Adad mengorganisasikan pasukan perangnya 


untuk maju dan menuju ke Selatan—tidak langsung, tetapi melalui Tigris, 


dengan tidak tergesa-gesa yang menandakan bahwa ia tidak terlalu cemas 


dengan kakak iparnya yang mengorganisasikan jalannya berperang, ia mencatat bahwa ia tidak hanya mampir ke beberapa desa di sepanjang perjalanan, 


namun ia juga berhenti cukup lama untuk berburu singa dan selama itu ia 


telah membunuh tiga ekor.9


Marduk-balassu-Iqbi datang untuk bertemu dengannya, dibentengi 


dengan beberapa pasukan Khaldea dan Elam. Persekutuan itu segera dihantam, 


menurut catatan Shamshi-Adad: 


Ia maju melawanku menawarkan pertarungan dan pertempuran ... dengan 


dia aku bertarung. Kekalahannya aku raih. Lima ribu pasukannya kuhabisi, 


dua ribu lagi kutangkap hidup-hidup, 100 kereta perangnya, 200 pasukan 


berkudanya. Tenda rajanya, tempat tidur lipatnya, kuambil darinya...10


yang berarti bahwa tentara Assiria menembus langsung ke pusat garis 


pertahanan Babilonia. Di antara tawanan yang digiring ke Babilonia yaitu  


rajanya sendiri. Kita tidak memiliki  catatan tentang ratu Assiria, kakak 


perempuannya, mengatakan kepadanya manakala ia tiba.


Di tempatnya, Shamshi-Adad V menempatkan seorang raja boneka, bekas 


petinggi Babilonia yang bertindak sebagai bawahan, bukan raja. Ia yaitu  


seorang budak yang tidak menguntungkan yang dengan sesaat  mulai 


merencanakan pemberontakan. Samshi-Adad V terpaksa kembali sesudah  


kurang dari setahun dan membawanya ke penjara di Assiria.11


Pada saat ini, Shamshi-Adad V menyebutkan dirinya, dalam istilah kuno 


dan bertentangan dengan zaman, sebagai “Raja dari Sumer dan Akkad.”12 Ini 


tidak sama dengan menyebut dirinya sebagai “Raja dari Babilonia.” Bahkan ia 


menambahkan bahwa entitas seperti Babilon itu tidak pernah ada; yang ada 


hanyalah Assiria, pelindung budaya Babilonia dan dewa-dewa Babilonia yang 


sebenarnya. Hinaan bapak mertuanya dibalas.


Tidak lama sesudah  itu, Shamshi-Adad, yang sekarang menjadi raja

Babilonia dan Assiria, meninggal di umurnya yang masih muda. Pada saat itu 


tahun 811; ia hanya menikmati tahtanya selama lebih dari sepuluh tahun, dan 


putranya, Adad-Nirari III, masih kecil. Jadi ratu dari Shamshi-Adad, putri 


Babilonia Sammu-Amat, melangkah menuju kekuasaan. Seorang wanita 


pada tahta Assiria: itu belum pernah terjadi sebelumnya, dan Summu-Amat 


mengetahuinya. Tugu peringatan yang ia bangun untuk dirinya sendiri yaitu  


untuk menghubungkannya dengan setiap raja Assiria yang tersedia. Ia tidak 


hanya disebut sebagai Ratu Shamshi-Adad dan ibu Adad-nirari, tetapi juga 


“anak menantu perempuan dari Shalmaneser, raja dari empat daerah.Sammu-Amat memegang kekuasaannya dengan sangat mengesankan 


hingga gemanya tersebar ke dalam ingatan sejarah orang-orang yang tiba di 


tempat itu. Orang-orang Yunani mengingat dia, dan memberi nama versi 


Yunani, Semiramis. Sejarawan Yunani Ctesias mengatakan bahwa ia yaitu  


anak perempuan dari dewi ikan, dan dibangkitkan kembali oleh merpatimerpati, yang menikah dengan raja dari Assiria dan melahirkan seorang anak 


yang bernama Ninyas. saat  suaminya meninggal, Semiramis dengan licik 


mengklaim tahtanya. Cerita kuno itu mengabadikan sebuah gaungan nama Adad-Nirari di 


Ninyas, putra ratu yang legendaris, dan itu bukan satu-satunya cerita yang 


memberi petunjuk bahwa Sammuamat mendapatkan kekuasannya dengan 


cara yang tidak benar-benar tulus. Cerita dari sejarawan lain, Diodorus, 


memberitahukan bahwa Semiramis meyakinkan suaminya untuk memberikan kuasa itu hanya untuk lima hari, untuk melihat seberapa baik ia dapat 


mengelolanya. saat  ia menyetujuinya, istrinya langsung mengeksekusi raja 


itu dan mendapatkan mahkota untuk selamanya.


H  , kota-kota Yunani telah bersatu menjadi tiga kelompok. 


Kota-kota di Mycenas di daratan telah berkumpul, tiga ratus tahun sebelumnya, 


di masa pendudukan bangsa Doria. Tetapi mereka juga tidak sepenuhnya 


menghilang. Sisa-sisa dari peradaban Mycenas selamat dan masih ada di 


daerah yang dikenal sebagai Arkadia, di bagian tengah Selatan semenanjung 


Yunani, ”Peloponnese,” di bawah bahu air yang menerobos dari sisi Timur, 


hampir membaginya menjadi dua (suatu badan air yang lalu  dikenal 


sebagai Korinchiakos Kolpos, Teluk Korintus).


Migrasi orang-orang Yunani Mycenas, serta pengunjung dan pengganggu 


Mesir, juga telah berlayar menyeberangi Laut Aegea ke pantai Asia Kecil. Di 


sini mereka menetap di sepanjang pesisir pantai, di desa yang berkembang 


menjadi kota: Smirna, Miletus, Ephesus, dan lain-lain. Campuran dari bahasa 


dan cara-cara Mycenas serta Asia menghasilkan suatu budaya yang spesifik 


yang sekarang kita sebut Ionian; orang-orang Yunani Ionian lalu  kembali menyebar ke seluruh pulau-pulau di dekatnya selama penghunian Doria, 


yang menempati pulau antara lain Lesbos, Chios, Samos, dan akhirnya kembali ke pantai Timur Yunani itu sendiri.


Sementara itu orang-orang Doria mendirikan benteng di Selatan dan 


Timur semenanjung Peloponnesos, mereka juga menyebar ke bawah pulau 


Kreta dan ke Timur sejauh pulau Rhodes dan Karpathos. Dialek Doria sangat 


berbeda dengan versi Mycenas, dan dialek keduanya berbeda dengan dialek 


Ionia.


Ketiga kelompok ini kurang lebih berasal dari ras yang sama. Bangsa 


Ionia masih merupakan satu rumpun dengan Mycenas, dan bangsa Mycenas 


dan Doria juga sama-sama dari keturunan Indo-Eropa, keduanya turun dari 


pengembara yang bertandang ke Selatan semenanjung Yunani pada abad sebelumnya. sesudah  itu, bangsa Yunani juga mencatat kesamaan tersebut dengan mengklaim bahwa bangsa Doria yaitu  keturunan dari anak-anak Heracles, 


yang telah terusir dari Mycenas dari tanah air mereka sendiri secara paksa dan 


lalu  harus kembali untuk mengklaim kawasan mereka.14


Tetapi pada saat itu masih belum ada ”Yunani” di sini, hanya orang 


Mycenas (”Arkadian,” untuk mencirikan mereka dari nenek moyang), lonian, 


dan Doria. Semenanjung Yunani, seperti tanah-tanah ”Semit Barat” sebelum 


munculnya kerajaan Israel dan Aramea, merupakan negeri raja-raja dan pemimpin-pemimpin mandiri.


saat  gangguan Doria telah hilang jauh ke masa lalu, kota-kota di semenanjung Yunani memasuki masa relatif damai. Selama ini, mereka lebih suka 


bertindak sebagai sekutu daripada sebagai musuh, dan bertukar kebiasaan dan 


bahkan kadang-kadang bahasa mereka.** Sekitar tahun 800 SM—perkiraan 


yang sangat kabur dan umum—perasaan yang tumbuh untuk memiliki satu 


identitas budaya yang menuntun ke arah jalinan bersama dari sejumlah tradisi sejarah yang berbeda (kebanyakan dari mereka yaitu  orang Mycenasn) 


menjadi dua puisi yang berhubungan, yang nantinya diakui oleh seluruh semenanjung sebagai warisan dari setiap kota yang disebut di dalamnya: Iliades 


dan Odyssey.


Menurut tradisi Yunani di lalu  hari, penggubah puisi ini yaitu  


seorang Ionian yang bernama Homerus, yang kemungkinan datang dari 


Asia Kecil, kota Smirna, di jantung pemukiman bangsa Ionian, atau dari 


pulau Chios yang sedikit keluar dari pantai Ionian. Ada perdebatan yang 


masih berlangsung mengenai siapa sebenarnya Homerus itu (atau bukan), 


teori yang mengira-ngira bahwa ia yaitu  seorang yang jenius dan teori 


bahwa karya itu yaitu  hasil dari sekumpulan orang jenius yang menulis di bawah satu nama. Puisi-puisi itu sendiri kesannya berasal dari gaya 


penceritaan oral: ungkapan dua kata yang muncul terus menerus (segelapanggur, berkaki-lincah, berpipi-cerah, berambut-indah) dan memberikan 


cara yang langsung bagi penyair untuk mengisi irama dari sebaris ucapan; 


ungkapan formal yang dipakai untuk menutup sebuah adegan (”demikian 


ia berkata dengan berbunga-bunga,” ”mereka duduk tenang untuk waktu   yang lama dan dalam keheningan”);15 dan yang disebut komposisi cincin, 


di mana seorang penyair memberi dirinya suatu tambatan jiwa yang sesuai untuk suatu episode dengan cara memulainya dari tengah-tengah, dan 


kembali lagi ke pembukaan, lalu  dilanjutkan ke akhir.*


Tak ada yang yakin kapan dongeng-dongeng yang didendangkan dan 


dinyanyikan ini dituangkan ke dalam tulisan. Selama masa kegelapan 


Yunani, hanya orang-orang Mycenas yang telah menyimpan tulisan apa 


pun itu, dan itu pun mereka melakukan dengan sangat sedikit. Tetapi tidak 


peduli entah kapan cerita itu dituangkan ke dalam tulisan, mereka jelas 


mencerminkan dunia masa pra-8oo SM. Bukan hanya Iliades dan Odyssey, 


tapi kebanyakan dari mitologi Yunani yaitu  (sebagaimana ahli klasik 


Ken Dowden memaparkannya) ”tertulis pada peta geografis Mycenas”;16


detil dari baju baja (sebuah pelindung kepala dengan taring babi hutan) 


dan harta mencerminkan dunia sebelum kedatangan orang-orang Doria.17


Di lain sisi, syair kepahlawanan juga menunjukkan pengetahuan tentang 


pemukiman di luar negeri yang tidak mungkin dikenal dalam era Mycenas 


saat itu.18 Bahasa di cerita kepahlawanan itu sendiri berasal dari abad 


kedelapan. Dan nama Priamus, Raja dari Troya, berasal dari bahasa neoHitti yang digunakan oleh penduduk Que dan keturunan kekaisaran Hitti 


lainnya yang tersebar. 


Cerita-cerita dari Troya dan pahlawan-pahlawan yang memeranginya 


menandakan bahwa orang-orang Doria, Arkadia, dan lonia memiliki  masa 


lalu mistis yang sama. Dalam Iliades, setiap kota mengirimkan kapal dengan 


cepat dalam menanggapi panggilan dari Agamemnon, suatu kesatuan tindakan 


yang tidak pernah berhasil dicapai oleh. Tetapi cerita itu menunjukkan 


awal dari identifikasi yang berkembang di antara kota-kota Yunani yang 


membedakan mereka dari orang lain.


Dalam Iliades, untuk pertama kalinya, kami menemukan sebuah kata 


untuk orang-orang yang tinggal di luar tiga lingkaran dari Yunani: Homerus 


menyebut mereka barbaro-phonoi, “pembicara yang aneh.” 20 Ini yaitu  


pembagian yang sederhana dari seluruh bangsa, mereka yang berbicara dengan 


dialek Yunani dan mereka yang tidak.


Ini juga benih dari gagasan yang akan terus berputar dengan sendirinya, 


makin lama makin ketat, sekitar pola pikir orang Yunani. Sifat manusia itu 


bercabang dua; baik itu Yunani atau non-Yunani, dan identitas manusia sebagai orang Yunani yaitu  inti dari karakter seperti itu


Kekuatan identifikasi ini memiliki akarnya, secara bertentangan, dari 


perpecahan kota-kota di Yunani, di tahun 800 SM silam. Mereka tidak memiliki kesatuan politik, tidak ada tujuan umum, dan tidak banyak menjalani 


kebersamaan hidup. Mereka memiliki  kota yang berbeda-beda, raja-raja 


yang berbeda, pemandangan yang berbeda, namun mereka semua berbicara 


dengan beberapa variasi bahasa Yunani. Kemiripan mereka dalam berbicara 


dan berbagi kehidupan khayalan masa lalu yaitu  benang yang menjalin mereka bersama



G A R I S WA K T U 4 8


 ASSIRIA MESIR SEMENANJUNGYUNANI/ASIA KECIL


 Kerajaan Neo-Hitti terbentuk


 Ashur-bel-kala (1074-1056) 


 Aramis mengambil alih


 Periode Menengah Ketiga


 Dinasti 21 (Tanis)


 Dinasti 22 (945-712)


 Sfaeshonq I (945-924) 


 AAur-dan 11 (934-912)


 Ashimiasirpal II (911-859)


 Kebudayaan Arkadia, Doria, Ionia (sek. 900)


 Osorkon II (870-850) 


 Shalmaneser III (858-824) 


 


 Shamshi-Adad V (823-812)


 Sammu-amat





A   semestinya telah menjadi suatu penglihatan 


umum bagi orang Yunani yang tinggal dekat air:


Begitulah di atas lapangan tuan rumah bergerak timbul ....


Gumam yang mengumpul menyebar, dengan kaki mereka yang menapak


Memukul pasir yang lepas, dan menebal pada armada;


Dengan tangis menggema panjang mereka mendorong kereta


Agar merapat ke kapal-kapal, dan meluncurkan ke tempat utama.1


Pedagang Yunani berlayar ke seberang Laut Aegea dari pulau ke pulau, ke 


pantai Asia Kecil, ke bawah ke arah Kreta, dan kembali ke atas ke daratan. 


Pada zaman Homerus, kapal kota-kota Yunani juga melakukan persinggahan 


yang rutin di pantai Selatan dari semenanjung ke arah Barat, untuk berdagang dengan orang-orang di sana.


Sebelum tahun 1200 SM, saat  kekuasaan orang-orang Mycenas masih 


tinggi terhadap wilayah Timur, semenanjung Italia** didiami oleh sedikit 


penghuni yang menyebar luas yang bergerak di sepanjang semenanjung, dari 


tumit-bot hingga puncak-bot. Meski jarak di antara mereka jauh, mereka

menciptakan semacam panci yang sama, yang menunjukkan bahwa mereka 


berasal dari keturunan yang sama. Karena banyaknya tempat yang dihuni di 


sepanjang pegunungan Apennini, para pakar arkeologi memasukkan orangorang di sana ke dalam ”peradaban Appenine.”2


Selama Zaman Kegelapan Yunani, budaya Apennine menumbuhkan 


cabangnya. Perbedaan mulai kelihatan tidak hanya dalam barang-barang 


keramik, tetapi juga dalam senjata dan peralatan perang. Peralatan besi dan 


persenjataan pelan-pelan menyebar ke seluruh semenanjung itu. Populasi meningkat; penduduk dari satu tempat hunian kini mungkin sudah berjumlah 


ribuan.3


 Sebelum tahun 1200, semua orang ”Italia” telah menguburkan yang 


mati di antara mereka. Kini di sejumlah besar desa di Utara orang-orang mati 


justru mulai dibakar.**


Pada saat kapal-kapal Yunani tiba untuk berdagang, semenanjung merupakan rumah bagi berbagai kebiasaan yang oleh para pakar arkeologi digunakan 


untuk membedakan orang-orang awal Italia satu sama lain. Desa-desa yang 


masih biasa menguburkan orang mati terbagi menjadi tiga kelompok: Fossa, 


yang terdapat di sepanjang pantai Barat bagian bawah terus ke arah ujung kaki 


dari bentuk sepatu bot semenanjung Italia; Apulian, sedikit di atas tumit; dan 


Adriatik Tengah, sepanjang punggung perbukitan Apennini.4


 Orang desa-desa 


di Utara yang masih biasa membakar mayat dibagi menjadi empat kelompok: 


Golasecca ke arah Barat, yang biasa menguburkan kereta perang dan persenjataan dengan para prajurit mereka; Este ke arah Timur, yang membuat 


karya-karya indah dari perunggu; Villanova ke arah Selatan, yang tidak hanya 


berkebiasaan membakar orang mati akan tetapi juga menguburkan debunya 


dalam kendi; dan Latial, tepat di bawah Villanova, dipisahkan oleh sungai 


Tiber.


Orang-orang Latial meletakkan debu mereka tidak hanya di dalam guci, 


tetapi di dalam gubuk kecil yang merupakan tiruan rumah orang yang masih 


hidup, dijadikan hunian bagi yang mati tersebut. Gubuk-gubug mereka sen-

diri sederhana, dan hunian mereka tidak terlindung; Sejarawan bangsa Roma, 


Varro, menerangkan bahwa mereka ”tidak kenal istilah benteng atau gerbang.” 


Desa-desa kecil, bertengger di atas perbukitan demi keselamatan, dipersatukan oleh bahasa yang biasa mereka gunakan. Mereka berbicara satu bahasa 


yang tidak jelas dinamakan Latin, salah satu dari sedikitnya empat puluh bahasa dan dialek yang berbeda yang digunakan di seluruh semenanjung.”5


Kapal-kapal Yunani mendarat di bagian Selatan pantai Italia dan berdagang logam dan palawija; mereka juga singgah di pulau Selatan yang besar 


yang lalu  dikenal sebagai Sisilia. Perdagangan yang sukses ini memacu 


berkembangnya pos-pos perdagangan di mana pedagang-pedagang Yunani 


tidak hanya singgah, tetapi juga tinggal di sana setidaknya beberapa waktu 


dalam setahun.6


Sekitar tahun 775, kota bagian Barat-Laut Yunani, yaitu Chalcis, serta kota 


bagian Timur yaitu Eretrea mengirim satu kerja sama para pedagang untuk 


membangun suatu pos perdagangan sedikit lebih jauh lagi ke Utara, di sisi atas 


garis pantai badan air kecil yang kini dikenal sebagai Teluk Napoli. Pos perdagangan ini berada di dekat Villanova, yang oleh orang Yunani disebut Tyrrhenia. 


Dengan segera vas-vas Yunani mulai muncul di antara barang-barang kuburan 


di makam Villanova; Pahatan Yunani mulai muncul pada relief-relief Villanova 


yang berukir.


Chalcis dan Eretria, yang bekerja sama untuk kebaikan timbal balik mereka, 


telah menempa hubungan yang bahkan melampaui kebersamaan dialek semata. 


Di sekitar waktu itu pula, kuil Zeus dan Hera** di kota Olympia, Yunani, mulai 


berkembang menjadi besar berkat adanya peziarahan yang ditujukan ke situ oleh 


orang-orang Yunani dari tempat-tempat yang cukup jauh. Lebih jauh ke Utara, 


di Delphi, tempat suci yang sedikit berbeda -- suatu tempat wahyu, di mana 


pendeta wanita atau imam berkonsultasi pada dewa-dewa mengatasnamakan 


orang-orang Yunani untuk mencari petunjuk -- juga menarik pengunjungpengunjung dari jauh. Di pulau Delos, kuil Apollo dan dewi perang Artemis 


semakin meluas. Tempat-tempat suci ini dengan cepat menjadi ”pan-Hellenic,”


tidak hanya menjadi hak milik bagi kota besar yang terdekat, tetapi juga bagi 


semua orang yang berbahasa Yunani. Mereka juga melahirkan persekutuan 


Yunani yang pertama. Kota-kota besar bersatu dalam ’amphictyony’, asosiasi 


yang berbagi tanggung jawab bersama untuk pemeliharaan dari suatu kuil atau 


tempat suci; versi kuno dari suatu koperasi bangunan

Yang sangat menonjol, kota-kota besar Yunani bersatu dalam satu festival 


tunggal untuk menghormati dewa Zeus. Yang pertama dari festival-festival 


ini diadakan (secara tradisional) di tahun 776, tidak lebih dari setahun jarak 


waktunya dari ekspedisi gabungan antara Chalcis dan Eretria, dan para pendoa 


bertemu di Olympia.


Olympia telah menjadi pusat agama selama berabad-abad, dan berbagai 


macam ras telah lama menjadi bagian dari upacara-upacara kurban maupun 


ritual.*


 Pada tahun 776, raja dari Elis, kota kecil tepat di sebelah Barat laut 


Olympia, dikabarkan telah pergi ke dewa wahyu di Delphi untuk bertanya 


bagaimana pertempuran antarkota-kota di Yunani bisa diakhiri. Wahyu 


memerintahkan untuk membuat permainan-permainan di Olympia menjadi 


suatu festival resmi, dan selama festival gencatan senjata bisa diumumkan. 


Sejak itu, menurut sumber informasi yang tertua, permainan-permainan 


resmi dipertandingkan di Olympia empat tahun sekali. Selama permainan, 


gencatan senjata Olimpia diumumkan di seluruh kawasan Yunani; pada 


mulanya hanya untuk satu bulan, lalu  diperpanjang menjadi tiga bulan 


agar orang-orang Yunan dari jauh bisa pergi ke Olympia dan kembali lagi ke 


asalnya dengan aman.7


Permainan-permainan itu sendiri sebenarnya tidak pernah mendatangkan 


perdamaian, sebagaimana juga diharapkan raja Elis. Tetapi mereka berhasil 


mengingatkan kota-kota di Yunani bahwa mereka sebenarnya disatukan tidak 


hanya dengan bahasa yang sama, tetapi juga dengan pemujaan mereka pada 


dewa-dewa yang sama, dan peperangan bukanlah satu-satunya hubungan 


yang mungkin dimiliki di antara mereka.


M   , di tahun 776 seorang raja bernama 


Numitor berkuasa di dua kota Latin di semenanjung Italia, dua kota tersebut tepat di Selatan Tiber. Kota pertama yang lebih tua bernama Lavinium; 


yang kedua, yang dirancang sebagai koloni saat  Lavinium menjadi semakin 


padat, bernama Alba Longa yang dibangun di sepanjang perbukitan Alban.


Adik laki-laki Numitor, Amulius yang jahat, meningkatkan serangan 


yang memaksa raja untuk melarikan diri sendirian ke pengasingan dan tidak 


mampu kembali ke negerinya untuk melindungi keluarganya. Amulius lalu  merebut tahtanya, membunuh para putra kakak laki-lakinya, dan

memutuskan bahwa putri kakak laki-lakinya, putri Rhea Silvia, harus menjadi perawan selamanya, demikian caranya mencegah tuntutan akan tahta di 


lalu  hari oleh cucu-cucu Numitor.


Meskipun demikian, dia (Rhea) tetap menjadi hamil; sejarawan Roma, 


Livius, menerangkan bahwa ia mengklaim telah diperkosa oleh dewa Mars, 


dan bahwa sementara ”ia sendiri barangkali mempercayai itu, mungkin 


dengan berpura-pura seperti itu ia berharap untuk mengurangi akibat kesalahannya.”8


 Setidaknya, anak-anak lelakinya yang kembar, begitu dilahirkan, 


jelas merupakan ancaman bagi si perampas kekuasaan, karena mereka berada 


di jalur ahli waris langsung dari raja yang dibunuh. (Seperti ditambahkan penulis biografi Yunani Plutarkhos, ” ukuran dan ketampanan kedua orang itu 


melebihi manusia,” dan itu semakin membuat Amulius.)9


Amulius memerintahkan untuk menenggelamkan cucu kemenakannya ke 


dalam sungai. saat  Tiber sedang banjir, pelayan yang dikirim untuk menjatuhkan anak-anak bayi tersebut ke dalam air hanya menjatuhkannya dekat 


pinggiran sungai, lalu  ia pergi. Di sini, menurut legenda, seekor serigala betina menemukan mereka dan membesarkan mereka, namun tidak lama 


sesudahnya seorang penggembala raja menemukan mereka dan membawa 


mereka ke istrinya untuk dipelihara.


Gembala tersebut bernama Remus dan Romulus yang membesarkan 


anak-anak tersebut menjadi dewasa; Plutarkhos mengatakan bahwa Numitor, 


di pengasingan, mengirimkan uang untuk pendidikan anak-anak tersebut. 


saat  mereka telah menjadi besar, mereka menyingkirkan kakek-paman mereka yang jahat, dan Numitor memperoleh kembali kerajaannya.


Dengan kembalinya kakek mereka ke atas tahta, si cucu kembar—yang 


saat itu dikenal sebagai ahli waris raja—seperti ditulis Livius, ”tiba-tiba 


dipengaruhi oleh suatu desakan untuk mendirikan daerah hunian baru di 


tempat mereka mereka dulu dibuang untuk ditenggelamkan saat  masih 


bayi.”10 Raja menyetujui; Alba akhirnya tumbuh sama besar seperti Lavinium, 


dan kota yang ketiga diperlukan. Namun persaingan antara saudara kandung, 


Numitor dan Amulius, muncul kembali di kehidupan para cucu lelaki Numitor; 


mereka tidak bisa memutuskan siapa yang harus menjadi penguasa utama di 


hunian baru mereka, dan mereka meminta para dewa untuk memberikan 


suatu tanda. Sejak itu segala sesuatu menjadi semakin memburuk:


Karena tujuan ini Romulus mengambil bukit Palatinum dan Remus 


mengambil Aventine sebagai stasiun mereka masing-masing di mana mereka 


dapat mengamati tanda-tanda itu. Remus, konon kabarnya, yaitu  yang pertama untuk menerima suatu tanda -- enam burung nazar; dan tidak lama 


lalu  sebelum hal ini dikabarkan ke orang-orang, burung itu muncul

dua kali lipat jumlahnya pada Romulus. Para pengikut masing-masing dari 


mereka berdua dengan segera menghormati tuan mereka sebagai raja, di 


mana yang satu mendasarkan klaimnya atas prioritas, sementara yang lain 


atas jumlah. Kemarahan muncul, dan segera diikuti adu hantam, dan dalam 


perkelahian tersebut Remus terbunuh.”11


Livius menerangkan bahwa tradisi yang lain yang ”lebih umum” menganggap bahwa Remus mengejek usaha sauda