ranya untuk membangun dinding di
sekitar pemukiman barunya dengan cara diberi atap, dan bahwa Romulus
membunuhnya dalam suatu amukan yang mengerikan. Apa pun sebabnya,
kota besar yang baru saja dibangun itu dinamakan Romulus, yang membentengi bukit Palatine dan menjadikannya pusat dari kota baru Roma. Menurut
tradisi, tahunnya yaitu 753 SM.
Kisah yang ini hampir seluruhnya samar-samar dan bahkan hampir sama
sekali bukan sesuatu yang nyata. Arkeologi menyatakan bahwa para penghuni
memang membangun rumah-rumah di atas lokasi Roma antara tahun 1000 dan
800 SM, tetapi para penulis bangsa Roma itu yaitu pembual, mengumpulkan
kutipan-kutipan dari cerita orang lain untuk direkayasa sendiri; cerita Romulus
dan Remus berisi suatu tambal sulam dari legenda Yunani yang lebih tua, belum
lagi dari petunjuk-petunjuk Sargon dan Musa.** Livius sendiri, saat menulis
sekitar tahun 30 SM, memulai cerita sejarahnya dengan pernyataan, ”Peristiwaperistiwa sebelum Roma ada, atau dianggap ada, sudah datang kepada kami
dalam cerita tua yang lebih berbentuk puisi yang indah daripada sekadar catatan
sejarah.”12
Barangkali gaung sejarah yang kita dengar secara samar-samar dalam cerita ini
datang dari perjuangan yang berulang-ulang dua laki-laki bersaudara itu. Seribu
tahun lebih awal, perjuangan Osiris dan Pembangun Mesir juga mencerminkan
pertempuran nyata dengan rangkaian suksesi antara saudara-saudara sedarah.
Dalam cerita Romulus, kita mungkin melihat peperangan antara dua orang
yang memiliki hubungan dekat. Peninggalan zaman kuno menunjukkan
bahwa Roma bermula dari dua pemukiman, yang satu di atas bukit Palatinum,
yang lain di atas Esquilinum, masing-masing bukit dipegang oleh suku Latin
yang berbeda.13 Mungkin salah satu suku tadi turun, seperti halnya Romulus,
dari punggung perbukitan Albania, barangkali untuk memberi makan satu penduduk yang berkembang dengan biji-bijian dari dataran Tiberia yang subur.
Kemungkinan besar kelompok yang lain datang dari bukit Sabin. Menurut
Livius, begitu ia menguasai bukit Palatinum, Romulus membangun suatu kota
besar (”perluasan yang cepat dari wilayah yang tertutup sebenarnya terlalu
besar untuk kondisi populasi yang nyata,” Livius menerangkan) dan lalu menghadapi masalah dalam hal mengisi kota itu dengan orang-orang.
Ia membuka gerbang bagi semua pengembara dan buronan (Livius, seorang
pendukung republik yang baik, memiliki beberapa kepentingan dalam hal
pembuktian bahwa warga negara pendiri Roma yaitu ”massa rakyat” seperti
ia tulis, yang memberi kota tersebut ”suatu tambahan nyata yang pertama
bagi kekuatan Kota tersebut, langkah pertama untuk kebesaran di lalu
hari”).14 Orang-orang mengisi dinding itu tetapi ia memiliki suatu masalah; kebesaran Roma ”mungkin hanya bertahan selama satu generasi,” karena
hampir tidak ada wanita.
Hal ini diperburuk oleh kebencian antarsuku yang mirip dengan kebencian antarsaudara kandung: desa yang berdekatan, tampilan ras yang sama
dengan penduduk di Roma, menolak untuk mengirimkan istri karena mereka
”membenci masyarakat yang baru, dan di saat yang sama takut ... akan pertumbuhan dari kekuatan baru di tengah-tengah mereka.”15 Maka Romulus
mengadakan festival yang sangat besar untuk Neptunus dan mengundang
para tetangga (orang-orang Sabin, dari kota dekat yang paling besar). Puncak
perayaannya yaitu saat orang-orang Sabine sedang terlena, orang-orang
Roma menculik semua wanita-wanita muda dan membawa mereka pergi.
Wanita-wanita tersebut, menurut Livius, ”seiring berjalannya waktu kehilangan kemarahan mereka,” karena para suami baru mereka ”merayu dengan
kata-kata manis” (orang bertanya-tanya apa yang mungkin dibuat oleh sejarawan wanita Romawi menyangkut peristiwa ini), tetapi angkatan perang
Sabine berbaris menghadapi Roma untuk membalas dendam dan menerobos
benteng, mengusir para penjaga. Orang-orang Romawi, akhirnya terpaksa
untuk menyerang kota mereka sendiri, maju ke benteng kota; saat dua pasukan saling baku tembak, pahlawan bangsa Sabine, seorang prajurit besar
bernama Mettius Curtius, mengeluarkan seruan perang kepada orang-orangnya. ”Tunjukkan pada mereka bahwa mencuri anak-anak perempuan itu hal
yang berbeda dengan bertempur melawan laki-laki!” ia berteriak, dan saat itulah Romulus langsung menghampiri dia dengan satu kawanan orang Romawi
yang paling kuat di belakangnya, dan Mettius Curtius dengan kudanya berlari
panik terbirit-birit.
Pembantaian sangat mungkin bisa terjadi, tetapi wanita-wanita Sabine lalu membanjiri medan perang dan memposisikan diri di antara pasukan
yang sedang berperang, sambil memohon mereka untuk berhenti berkelahi,
karena baik suami-suami maupun ayah-ayah mereka akan mati jika per
tempuran dilanjutkan. ”Hasil dari permohonan ini benar-benar segera dan
mendalam,” Livius menulis. ”Ketenangan pun terjadi dan tak satu pun lakilaki bergerak. Sesaat lalu , para kapten yang berseteru maju ke depan
untuk mengadakan perdamaian. Tentu saja, mereka melakukan lebih dari itu:
kedua negara dipersatukan di bawah satu pemerintah, dengan Roma sebagai
pusat kekuasaan.” Romulus, keturunan raja-raja Alba Longa dan Titus Tatius,
raja bangsa Sabine, berkuasa secara bersama-sama. (Walaupun tidak terlalu
lama; Tatius terbunuh dalam suatu kerusuhan beberapa tahun lalu , dan
Romulus ”diberitakan tidak lagi merasa sedih atas kematiannya seperti yang
sepantasnya.”)16
Legenda ini, walaupun dalam pengaruh Yunani, mungkin juga
menunjuk pada Romawi kuno sebenarnya yang terdiri dari dua perbukitan, yang satu didiami oleh bangsa Latin dari Sabine dan yang lain oleh
bangsa Latin dari perbukitan Albania. Lebih dari itu, hal ini menunjuk
pada suatu permusuhan yang mendasar di pusat asal-mula Roma. Seperti
Mesir Hulu dan Mesir Hilir, bangsa ini—dengan dasar yang sama, dengan
kebiasaan dan bahasa yang serupa—bagaimana pun juga bermusuhan di
pusat. Bangsa Yunani berusaha menemukan titik tengah; orang-orang Latin
menolak untuk mengenali orang lain dari ras keturunan mereka sendiri.
Dalam penjelmaan yang paling kuno, kota Roma memiliki dua kutub,
dan orang-orangnya hidup dengan punggung saling membelakangi.
ROMA bukanlah satu-satunya kota besar yang berkembang di dataran
subur semenanjung. Para pedagang Yunani, yang mengakar dengan kuat
dalam daerah jajahan perdagangan mereka, telah membuktikan kepada
sanak saudara di kampungnya bahwa pantai Italia yaitu suatu tempat yang
bagus untuk jajahan Yunani. Sementara itu kota-kota Yunani mengalami
tekanan dari dalam. Populasi berkembang (barangkali sebanyak enam kali
lipat, antara tahun 800 dan 700 SM), dan bangsa ini butuh lebih banyak:
lebih banyak logam, lebih banyak batu, lebih banyak biji-bijian, dan lebih
banyak padang rumput.17
Yang terutama yaitu lebih banyak tanah. Kota-kota Yunani dibatasi
oleh pemisah alami: punggung perbukitan, celah di daratan yang berbatubatu, atau samudra. Seperti dataran Mesopotamia, semenanjung Yunani
yaitu ”dataran pertanian yang dibatasi.” ** Tanah biasanya dibagi sama
rata di antara anak-anak laki-laki dalam satu keluarga, ini berarti bahwa
semua tanah keluarga menyusut tak terelakkan, dan penyusutan ini bisa
lebih cepat jika lebih banyak lagi anak laki-laki dilahirkan. Praktis tidak
ada lagi tanah untuk semua anak laki-laki yang lahir di tiap-tiap keluarga
Yunani.
Penyair Yunani Hesiodos, dari daerah Boeotia, lahir sekitar pertengahan
abad kedelapan. Dalam puisinya Kerja dan Hari, ia menguraikan keadaanya
yang sulit: saat ayahnya meninggal, kebun harusnya dibagi antara dia dan
saudara tuanya Perses, tetapi kelihatannya Perses berpendapat bahwa tanah ini
akan terlalu sempit untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya, dan
dengan demikian menyuap hakim yang ditetapkan untuk mengatasi perselisihan seperti ini supaya berhasil mendapatkan segalanya.
Warisan kami dibagi; tetapi ada begitu banyak
yang kamu rebut dan bawa lari sebagai uang suap
bagi para raja yang senang makan suap, orang-orang bodoh yang
ingin menjadi hakim untuk perkara ini.18
Masalah ini yaitu sekunder, tetapi sama-sama mengkhawatirkan, kesulitan
yang dihadapi oleh kota-kota Yunani; sumber daya yang terbatas menyeret
pada tindakan-tindakan putus asa, dan korupsi di antara tuan tanah dan
pejabat sudah pada tingkat bencana.19
Hesiodos rindu akan suatu hari di mana manusia mendapat manfaat dari
jerih payah mereka sendiri, lebih baik daripada melihatnya dicuri oleh orang
yang lebih kuat, saat mereka:
tidak mengetahui baik rasa lapar maupun kehancuran,
tetapi di antara pesta-pesta menikmati hasil dari usaha mereka.
Bagi mereka bumi membawa panen raya; dan bagi mereka
puncak dari pohon ek banyak ditumbuhi biji ek dan di
pertengahan muncul lebah-lebah.
Biri-biri berbulu wol sampai keberatan dengan wolnya,
dan wanita-wanita melahirkan anak yang mirip dengan ayah mereka 20
yang menunjukkan bahwa orang-orang kaya pantas mendapat lebih dari
sekedar tanah.
Hesiodos menuangkan puluhan baris yang menjelaskan bahwa para pekerja mesti mendapatkan apa yang menjadi hak mereka, bahwa petani yang
merencanakan tanamannya secara seksama mesti memanen hasil bumi mereka, bahwa upah harus diberikan tepat waktu, dan bahwa hakim-hakim yang
jahat harus mengharapkan datangnya keadilan ilahi. Tidak satu pun hal ini
terjadi. Dan tidak akan pula terjadi jika melihat ketidakmampuan kota-kota
besar untuk berkembang
Kolonisasi, bukan perombakan, yaitu satu-satunya pemecahan. Di sekitar
tahun 740, para pemimpin kota-kota Yunani mulai mengirim semua adik lakilakinya untuk bertani di tanah baru. Penduduk yang terdahulu datang dari
dua kota yang sama yang telah membangun pos-pos perdagangan di Italia;
Chalcis dan Eretrea mengirim penduduk ke Teluk Naples, di mana mereka
mulai membangun kota Yunani Cumae, kota besar Yunani. Sekitar tahun
733, kota Korintus menaruh kaum ningrat Archias sebagai kepala ekspedisi
ke Sisilia, di mana ia menemukan jajahan yang disebut Sirakusa; tidak mau
kalah, Chalcis dan Eritrea membangun tidak kurang dari empat jajahan
(Naxus, Lentini, Catana, dan Rhegium) dalam kurun waktu dua puluh tahun
ke depan. Sekitar tahun 700 SM, kota-kota di bagian Selatan pantai Italia
hampir kelihatan seperti Yunani.
G A R I S WA K T U 4 9
SEMENANJUNG YUNANI/ASIA KECIL SEMENANJUNG ITALIA
Kebudayaan Fossa, Apulia, Adriatik Tengah,
Golasecca, Este, Villanova, dan Latin
Kebudayaan Arkadia, Doria, Ionia (sek. 900)
Homerus (sek. 800)
Pos-pos perdagangan dibangun di Italia
Pertandingan Olimpiade yang pertama (776)
Pendirian Roma (753)
Romulus
Koloni-koloni Yunani dibentuk di Italia
Di 783, SHALMANESER IV memasuki tahta Assiria dan menguasai selama sembilan tahun. Dalam cara yang sangat tidak khas Assiria, ia
menyombongkan kemuliaannya. Setumpuk catatan mengenai kemenangan
tidak menonjol yang tersisa menyatakan bahwa ia menggunakan banyak waktunya untuk berusaha agar penyerang tetap tertahan di luar Assiria. Damaskus
telah tumbuh menjadi ibu kota besar dari kerajaan Aramis, yang disebut
“Suriah” di dalam catatan-catatan yang sangat kuno, dan orang-orang Suriah
cukup kuat untuk menyerang perbatasan Assiria, dan bukan sebaliknya.1
Dalam salah satu pertempuran terakhir melawan orang Suriah, Shalmaneser
IV bahkan terpaksa membuat suatu persekutuan dengan raja Israel, Jeroboam
II, dalam upaya untuk memukul mereka.2
Ia juga menghadapi musuh baru yang cukup merepotkan dari arah Utara.
Di pegunungan di atas Assiria, orang-orang Hurrian yang pernah menjadi
bagian dari kerajaan Mitanni tua telah membangun kerajaan-suku kecil. Sejak
kejatuhan Mitanni, para tentara penyerang Assiria telah memperlakukan
daerah terpencil Hurrian ini sebagai sumber yang nyaman untuk mencari
logam, kayu, dan budak. Shalmaneser I telah menyombong beberapa abad
sebelumnya bahwa ia menghancurkan lima puluh satu dari pemukimanpemukiman mereka, mencuri barang-barang mereka, dan menculik pria-pria
muda mereka: “Orang-orang muda mereka aku pilih dan ambil untuk
tenaga pelayan,” ia menulis, “upeti berat untuk selamanya aku bebankan atas
mereka.”3
Di hadapan invasi yang terus-menerus dari bawah ini, orang-orang gunung
terpaksa mengorganisasikan diri ke dalam satu kesatuan. Mereka meminjam
tulisan Assiria untuk prasasti mereka, serta kebiasaan-kebiasaan istana Assiria
untuk para raja mereka; kerajaan musuh dipakai sebagai model bagi mereka.Bangsa Assiria menyebut mereka orang Urartu, nama yang masih dilestarikan
sebagai nama gunung yang tinggi dalam wilayah kunonya: Gunung Ararat.
Dibandingkan dengan pasukan Assiria, tentara Urartu seperti nyamuknyamuk yang mengeroyok seekor gajah. Tetapi serangan Assiria untuk
mendobrak pertahanan kokoh yang menjaga jalan-jalan pegunungan Urartu
tidak mampu menerobos perbatasan mereka.
Tertahan oleh kedua perbatasan Barat dan Utara, Shalmaneser IV menderita karena rasa malunya saat ia kehilangan Babilonia. Kota ini telah menjadi
semakin merengek, di bawah gubernur Assiria sendiri. Dorong-mendorong
massa para pemimpin militer Khaldea sekarang memperebutkan tahtanya,
dan gubernur Assiria kelihatannya telah melarikan diri.
Di provinsi-provinsi lain yang tersebar luas dari kerajaan Assiria, gubernurgubernur mulai bertindak sebagai raja-raja kecil tanpa berkonsultasi dengan
Caleh; gubernur Mari, dalam catatan sejarahnya sendiri, bahkan menandai
tanggal-tanggal kejadian dalam masa jabatannya dari tahun ke tahun, tanpa
menyebut raja sama sekali.5
Di bawah pemerintahan putra Shalmaneser IV,
lebih dari satu gubernur melakukan suatu upaya bersenjata untuk kemer-
dekaan, memaksa pasukan Assiria untuk bersiaga di kota-kota mereka. Dan
pada masa cucu laki-lakinya, raja Urartu menyombong dalam catatannya
bahwa ia telah “menaklukkan tanah ... Assiria.”6
Sebenarnya Urartu telah berhasil memperluas jajahannya tidak hanya ke
Selatan, ke daerah yang pernah dikuasai Assiria, tetapi juga jauh ke Barat. Di
negeri baru ini, mereka telah membangun benteng pada puncak daratan yang
paling tinggi yang mereka bisa temukan; mereka yaitu manusia gunung,
yang tidak bahagia kecuali jika mereka bisa berdiri pada ketinggian dan melihat sekelilingnya. Perbatasan Urartu kini meliputi sebagian besar dari wilayah
Hitti kuno,** dan Sarduri I dari Urartu dikirim ke Timur untuk membuat
aliansi dengan suku Mada dan Parsua guna melawan Assiria.
Dengan kekuatan yang berbaris melawan dia, satu-satunya yang dapat dilakukan cucu laki-laki Shalmaneser IV, Ashur-Nirari V, yaitu memelihara
jantung kota tetap aman. Bahkan untuk ini saja ia gagal. Dinding Assur bagian dalam, garis pertahanan akhir kota terhadap invasi, telah mulai hancur dan
roboh karena terabaikan. Tidak ada pejabat atau gubernur, bahkan raja, mengirimkan perintah untuk perbaikan; orang Assur mengumpulkan batu-batu
yang jatuh dan memakainya untuk membangun rumah mereka sendiri.7
Seharusnya banyak yang sedikit lebih baik di Caleh, di mana markas besar
kerajaan ditempatkan. Tujuh tahun di dalam pemerintahannya, gubernur
Caleh, seorang yang bernama Pul, memimpin pemberontakan melawan raja.
Pul kemungkinan saudara sepupu raja, terbukti telah diserahi tanggung
jawab untuk memimpin kota kerajaan sendiri, tetapi jika Ashur-Nirari V
mengharapkan kesetiaan hubungan darah, maka ia telah salah perhitungan.
Pul mengambil keuntungan dari kelemahan saudaranya untuk menyatukan
para pendukungnya dan membunuh, tidak hanya Ashur-Nirari V, tetapi juga
keluarganya. Ia mengklaim tahta pada awal bulan Mei, 746. Pada saat naik
tahta, ia mengambil nama baru, nama yang mengingatkan kejayaan Assiria di
masa lalu: Tiglath-Pileser, orang ketiga yang menyandang nama tersebut.**
Hampir pada saat yang bersamaan, seorang raja baru yang kuat juga telah
mengambil tahta di Babilonia.
Nabonassar yaitu seorang Khaldea. Namun ia berhasil mendapatkan
kendali terhadap Babilonia, ia lalu memadamkan pemberontakan
dan menenangkan orang-orang yang tidak senang. Tradisi historis yang
dipelihara oleh orang-orang Yunani menekankan bahwa kekuatan Babilonia
selama pemerintahannya mengizinkan ilmu pengetahuan perbintangan
untuk tumbuh. (Sebenarnya, orang-orang Yunani sedemikian yakin terhadap
dasar-dasar Khaldea tentang pengetahuan astronomi mereka sendiri sehingga
mereka cenderung untuk menggunakan kata-kata “Khaldea” atau “pakar
astronomi” bergantian, suatu pemakaian nama yang menyebar ke seluruh
dunia zaman dulu; untuk alasan inilah buku Daniel menjelaskan bahwa
Nebukhadnezzar II, raja Babilonia dua ratus tahun lalu , memanggil
para “Khaldea” bersama dengan orang-orang bijak di kerajaannya saat
ia perlu nasihat.) Selama tahun-tahun pemerintahannya, tulisan-tulisan
Babilonia pertama dimulai untuk menyimpan daftar yang menghubungkan
pengamatan astronomi dengan catatan cuaca harian, ketinggian permukaan
Tigris dan Efrat, serta harga biji-bijian dan persediaan penting lain: tanda
mengenai bukan hanya tentang kedamaian kota, tetapi juga kota dengan
waktu senggang yang mencari-cari cara untuk lebih sejahtera.8
Segera sesudah ia memegang kendali Assiria, Tiglath-Pileser III menuju
Selatan ke arah Babilonia dan menawarkan dirinya menjadi sekutu
Nabonassar. Ia menghadapi masalah di arah Utara, Timur, dan Barat; ia juga
tidak memerlukan musuh di arah Selatan. Nabonassar menerima persekutuan
tersebut, dan Tiglath-Pileser III mengirim tentara Assiria untuk membantu
raja Babilonia menghapuskan perlawanan bangsa Khaldea dan Aramis
terhadap pemerintahannya.
Tetapi pemimpin-pemimin Khaldea dan Aramea berakhir dengan
membayar upeti ke Tislath-Bawasir, tidak untuk Nabonassar. “Kotakota Babilonia dekat pantai dari Laut Bawah, aku rebut,” Tiglath-Pileser
menyombong dalam catatan tahunannya, “ Aku gabungkan mereka dengan
Assiria, aku menempatkan orang kasimku di sana sebagai gubernur.”9
Di
sebelah Utara Babilonia, di mana orang-orang Aramea pernah ditekan,
Tiglath-Pileser membangun sebuah kota baru bernama Kar Assur, atau
“Dinding Assur.” Dengan jelas kota untuk membantu melindungi Babilonia
terhadap pengembara yang berusaha menyusup ke tanah Nabonassar. Pada
kenyataannya, kota tersebut menjadi suatu pos terdepan Assiria di Babilonia,
yang terdiri dari pejabat-pejabat Assiria, yang dijaga oleh tentara Assiria, dan
yang dipenuhi oleh penaklukan Assiria: “Aku namakan ini Kar Assur,” catatan
Tiglath-Pileser menjelaskan. “Aku tempatkan di situ orang-orang dari negeri
asing, yang kutaklukkan, aku tarik upeti dari mereka, dan aku anggap mereka
sebagai penghuni Assiria.”10 saat Tiglath-Pileser pulang, ia mengumumkan
dirinya (seperti Shamshi-Adad V telah melakukan sebelum dia) sebagai “Raja
Sumer dan Akkad.”
Nabonassar, ke arah Selatan, menutup mulutnya. Selama raja Assiria mem
biarkannya sendiri untuk memerintah negerinya sendiri, ia kelihatan tidak
terlalu mengkhawatirkan tentang jabatan apa yang disombongkan oleh orang
lain.11 Tiglath-Pileser, sebaliknya, senang membiarkan pelaksanaan Babilonia
sehari-hari ditangani oleh Nabonassar. Ia memiliki bisnis di tempat lain.**
Ia berniat menggantikan gubernur yang suka melawan di provinsi-provinsi
yang jauh dengan pejabat-pejabat yang baru saja ditugaskan, yang dituntut
untuk mengirim laporan secara teratur; untuk tujuan ini ia mengatur sejenis
Kuda Ekspres zaman dulu sehingga pengantar-berita berkuda bisa menyampaikan laporan ke istana dalam waktu yang lumayan cepat.
lalu , dengan teraturnya urusan rumah tangga sendiri, ia memalingkan
perhatiannya ke Utara, di mana orang Urartu sedang berkembang ke seberang
provinsi-provinsi yang pernah menjadi hak milik Assiria. Mereka telah
menaklukkan perjalanan mereka ke arah Barat daya sejauh Karkhemish.
Bahkan kota Arvad jauh di Selatan, yang secara teknis masuk Assiria menurut
perjanjian, kini telah bergabung dengan Urartu sebagai aliansi.12
Tiglath-Pileser mengepung kota itu. Suatu serangan lanjutan, penuh
tumpahan darah di kedua belah pihak. Dua tahun lalu , Arvad akhirnya
jatuh.
Catatan Tiglath-Pileser mengatakan bahwa ia menghabiskan tahun 740
”di Arvad”; raja telah mengambil tempat kediaman sementara di kota yang
ditaklukkan tersebut, menggunakannya sebagai markas besar militer untuk
melanjutkan pertempurannya ke Urartu. Ia mengambil baik Karkhemish
maupun Que keluar dari kendali orang Urartia. Di tahun 735, orang-orang
Assiria telah berbaris masuk ke pusat Urartu, dan raja Urartia, Sarduri I, dan
tentaranya dipaksa ke Utara ke arah ibu kota mereka sendiri. ”Jurang-jurang
dan tebing curam dari pegunungan aku mengisinya dengan [tubuh mereka],”
Tiglath-Pileser III menyombong, dalam bahasa yang sekarang telah menjadi
selazim seperti bahasa jargon pemerintah. Ia menambahkan, dalam sebuah
catatan yang jelas: Sarduri ”untuk menyelamatkan nyawanya, lari pada malam
hari dan tidak lagi muncul ... sampai ke jembatan yang menyeberang ke Efrata,
batas dari tanahnya, aku terus mengejarnya.”13
Di sana ia berhenti. Sarduri berkumpul kembali dan menguasai Urartu
merdeka yang lebih kecil, di wilayah yang pernah menjadi panci bagian Utara
dari kerajaannya. Selatan tetap dalam cengkeraman tangan Assiria.
Penggambaran ulang peta oleh Tiglath-Pileser III memiliki efek dalam
menciptakan negeri baru. Provinsi barunya telah menelan suku bangsa Frigia
dari Timur, di pusat Asia Kecil. Kini suku bangsa dari Barat bergabung kembali dalam satu koalisi, saling merapat, menghadapi musuh dari Timur, ke
dalam kerajaan Frigia. Tiglath-Pileser III secara kebetulan telah menciptakan
bangsa baru di mana raja pertamanya yang benar-benar ada muncul dalam
legenda: Raja Midas.
Siapa pun Midas itu, cerita tentang pengangkatannya telah masuk ke
dalam dongeng pada zaman Alexander Agung, empat ratus tahun lalu . Tiba di Frigia, Alexander menemukan dirinya berhadapan dengan kereta
kuno, dengan kuk terkait pada tiang kereta dengan simpul yang sangat besar.
Ini, ia diberitahu, yaitu kereta dari raja Frigia pertama. Orang-orang Frigia,
tanpa pemimpin, telah meminta suatu ramalan tentang siapa semestinya
yang menjadi raja mereka; ramalan menjawab bahwa manusia pertama yang
mengendarai kereta tersebut yaitu pilihan ilahi, dan sesudah itu seorang petani bernama Midas muncul, menaiki kereta tersebut.** Ia dengan serta-merta
dimahkotai sebagai raja, dan dalam ungkapan terima kasih mempersembahkan kereta itu kepada Zeus.14
Midas, menurut Herodotus, mengirim persembahan untuk firman Delphi,
tentang tahtanya sendiri, satu dari sedikit orang bukan Yunani yang melakukannya.15 Menurut legenda lain, Midas juga menikahi seorang wanita Yunani
dari Cyme. Kedua cerita ini mengungkapkan bahwa orang-orang Frigia, yang
saat itu diatur di bawah seorang raja dan dengan ibu kota yang menyandang
nama dia (Kota Midas; ”Midas” menjadi tradisi nama di kerajaan), melakukan banyak perdagangan dengan kota-kota Ionia di pantai Asia Kecil.
Perdagangan ini membuat Frigia menjadi kaya raya. Dongeng Yunani tua
tentang Midas, di mana ia diberi kemampuan gaib untuk mengubah apa pun
juga yang ia sentuh menjadi emas, melestarikan rasa kagum para pedagang
Ionia atas kekayaan dari raja-raja Frigia; akibat yang menyeramkan, di mana
sentuhan emas Midas berubah menjadi kutukan yang sedalam berkatnya,
mencerminkan kecemburuan mereka terhadap segala kemakmuran ini.
Sementara frigia berkembang, Tiglath-Pileser berkampanye melawan
semua musuh pada umumnya. Ia bergerak ke Timur dan menundukkan
kembali para pemberontak, Parsua dan Mada. Begitu menang, dia melakukan
hal yang sama untuk melawan Barat yang menyusahkan itu. saat raja Israel,
orang yang tak masuk hitungan bernama Menahem, melihat pasukan Assiria di
atas kaki langit, ia mengirim empat puluh ton perak untuk menyogok musuh
tersebut.16 Yuda bahkan lebih kooperatif; raja keturunan David saat itu, Ahaz,
pertama-tama menggerebek kuil Solomon dan mengirim semua benda suci ke
Tiglath-Pileser sebagai tanda kepatuhan, dan lalu menawarkan untuk
menjadi sekutu Assiria melawan Israel.
Dalam pertempuran lanjutan, Israel kehilangan sebagian besar dari daerahnya di Utara oleh Assiria. Kini Tiglath-Pileser menguasai Suriah dan
mengendalikan Israel dan Yuda; Barat tidak lagi menyusahkan.
Sejauh ini, Tiglath-Pileser hanya sedikit menaruh perhatian terhadap
Babilonia, namun kini Nabonassar meninggal dan kota masuk ke dalam
keributan perang saudara. Tiglath-Pileser, yang baru saja menyelesaikan
penaklukan terhadap Damaskus, memperhatikan kekacauan itu dan memutuskan bahwa saatnya telah tiba untuk membuat Babilonia menjadi bagian
dari kerajaannya dan juga bagian dalami nama.
saat Tiglath-Pileser menyeberang perbatasan Utara Babilon dan
bergerak ke arah ibu kota sepanjang sungai Tigris, negeri terbelah menjadi
dua. saat ia mendekati, kota-kota Babilonia sedang berargumentasi apakah
mereka harus mengundi untuk tunduk pada kerajan Assiria atau menyatakan
perang (yang mungkin tanpa sasaran yang jelas) demi kemerdekaan. Kotakota Babilonia Utara cenderung untuk pro-Assiria; tindakan bijaksana untuk
menjadi pro-Assiria jika Anda tinggal tepat di bagian Selatan perbatasan
Assiria, tetapi kemauan mereka untuk melempar undian bagi Tiglath-Pileser
menunjukkan bahwa mereka memiliki simpati lebih pada adat-istiadat dan
dewa-dewa Assiria dibanding dengan tata cara Semit Khaldea yang sedang
berkelahi memperebutkan tahta.
Mengetahui ini, Tiglath-Pileser mengirimkan pejabat ke Babilonia mendahuluinya, dengan instruksi untuk meminta warga negara Babilonia agar
mereka tunduk. Mereka mengirimkan laporan kembali ke Tiglath-Pileser,
dari belakang mengikuti jejak kampanye mereka, dalam sebuah surat yang
ditemukan di Caleh pada tahun 1952:
Kepada tuanku raja, dari para pembantu baginda Samas-Bunaia dan
Nabuieter. Kami datang ke Babilonia pada tanggal dua puluh delapan dan
mengambil kedudukan kami di depan Gerbang Marduk. Kami berbicara
dengan orang-orang Babilonia dan mengatakan, “Mengapa Anda bertindak
melawan kami, untuk kepentingan orang-orang Khaldea? Tempat mereka
jatuh karena anggota-anggota suku Khaldea sendiri. Babilonia, menunjukkan
kebaikan pada orang-orang Khaldea! Raja kami memperhatikan hak Anda
sebagai warga negara Babilonia.” Kepada kami, warga negara berkata, “Kami
tidak percaya raja akan datang,” tetapi mereka akan tunduk, jika raja datang.
Samas-bunaia dan Nabuieter cenderung untuk memilih kesukuan, dan
Babilonia lebih menyenangi Assiria daripada Khaldea.
Kepala suku Khaldea yang sedang menduduki tahta Babilonia melarikan
diri, dan Tiglath-Pileser menyapu melewati kota dan berlanjut ke Selatan,
ke kota tempat ia telah mengasingkan diri: Sapea, sebuah kota dengan tiga
dinding, yang paling pendek tingginya mencapai lima belas kaki dan dua
dinding yang lain bahkan jauh lebih tinggi. Relief Assiria mencatat tentang
pengepungan dan perampasan kota tersebut. Para pemanah, yang menembaki ke bawah dari atas dinding, berjatuhan di muka sergapan orang Assiria
dan tubuh mereka menumpuk ke dalam kali yang mengelilingi kota itu. Para
wanita dan anak-anak yang menangis dibawa ke pengasingan.18
Tiglath-Pileser lalu bergerak ke Babilonia dan memasuki kota besar
dalam kemenangan. Ia mengumumkan dirinya sebagai raja dan bersumpah
setia kepada Dewa Babilonia yang agung, Marduk, selama festival Tahun Baru
728. Orang-orang Khaldea, sesudah begitu ketakutan oleh kejatuhan Sapea,
bergegas ke Babilonia untuk menghormati raja baru mereka.
Di antara mereka ada seorang pemimpin perang lokal bernama MerodachBaladan. Ia yaitu , Tiglath-Pileser membuat catatan khusus, seorang “raja
negara laut yang belum pernah tunduk kepada raja mana pun, ayah-ayahku,
dan belum pernah mencium kaki mereka.” Tetapi sekarang ia bersumpah
setia, dan membawa banyak hadiah yang menyenangkan sebagai upeti; kalung emas, batu mulia, batang kayu berharga, pakaian celup, dan ternak.19
Merodach-Baladan bersumpah setia kepada Assiria dengan jarinya bersilang
di belakang punggungnya, namun Tiglath-Pileser III tidak mengetahui
hal itu.20 Ia dipenuhi kegembiraan yang meluap, raja Babilonia dan Assiria
bersama-sama, dan untuk menunjukkan kuasanya ia mempersembahkan
kurban kepada para dewa Babilonia di setiap kota utama: “Di Sippar, Nippur,
Babilonia, Borsippa, Kutha, Kish, Dilbat, dan Erekh,” ia menulis, “Aku
mempersembahkan kurban yang murni untuk... para dewa yang agung...
dan mereka menerima kepemimpinanku. Tanah [Babilonia] yang luas aku
bawa ke dalam kendaliku, dan menggunakan kekuasaan tertinggi atasnya.”21
Ia yaitu raja Assiria pertama yang muncul dalam daftar raja-raja Babilonia,
juga yang pertama dikenal oleh orang Babilonia sebagai raja mereka sendiri.
Semua sambutan meriah berhasil menyembunyikan dengan rapi fakta bahwa
ia tidak memiliki hak untuk tahta mana pun.
G A R I S WA K T U 5 0
ASSIRIA DAN
TANAH-TANAHDI SEKITARNYA SEMENANJUNG ITALIA
Kebudayaan Fossa, Apulia, Adriatik Tengah,
Golasecca, Este, Villanova,
dan Latin
Ashurnasirpal II (911-859)
Pos-pos perdagangan Yunani dibangun di Italia
Shalmaneser III (858-824)
Shamshi-Adad V (823-812)
Sammu-amat
Adad-mrari III Argishri (Urartu)
Shalmaneser IV (782-770)
Asfaur-Dan III (771-754)
Pendirian Roma (753) Ashur-nirari V (753-746) Nabonassar
Romulus (BabIlon)
Koloni Yunani dibangun di Italia Tiglath-Paeser III Sarduri I (Urartu)
Midas (Frigia)
Di 726, “mengambil tangan Marduk,”
Tiglath-Pileser III meninggal sesudah hampir dua puluh tahun menempati
tahta Assiria.
Ia meninggalkan putranya, Shalmaneser V, dengan perbatasan yang dijaga
dengan baik, dan gabungan pemerintahan atas Assiria dan Babilonia. Tetapi
ke bawah di bagian kepala Teluk, pengikut Khaldea yang enggan, MerodachBaladan, dengan tenang mengumpulkan pengikutnya.
Pemerintahan Shalmaneser V hampir secara total tidak memiliki catatan
sejarah, tetapi ia kelihatannya tidak memperhatikan ancaman Khaldea yang
meningkat. Ia berkonsentrasi pada medan di sebelah Barat. Kampanyenya
menunjukkan keinginan yang besar untuk membawanya benar-benar ke dalam
kendalinya; pasti ini selangkah lebih maju daripada ayahnya yang hebat, yang
menerima upeti dari orang-orang Finisia dan Israel, tetapi memperlakukan
mereka sebagai negara dominasi dan bukan provinsi Assiria. Menurut Josephus,
Shalmaneser V menghabiskan hampir lima tahun untuk mengepung kota Tyrus
di Finisia, yang sebelumnya telah memberi upeti kepada Tiglath-Pileser.1
Ini
juga bukan satu-satunya keunggulan ayahnya yang lebih. Tiglath-Pileser telah
memperkecil Israel menjadi satu negara bawahan; Shalmaneser V memusnahkannya.
Untuk ini, ia memiliki beberapa alasan. Raja Israel masa itu, seorang
pegawai bekas angkatan perang bernama Hoshea,” tidak lagi membayar upeti
kepada raja Assiria, padahal ia telah melakukannya dari tahun ke tahun.”2
Matamata Shalmaneser V juga melaporkan kepadanya bahwa Hoshea telah mengirim
utusan “pada So, raja Mesir.” Israel sedang merencanakan peperangan melawan
bangsa Assiria, dan sedang mencari-cari masa untuk persekongkolan. ke dalam keributan Semit Barat hanya mungkin
disebabkan karena negeri ini telah bersatu kembali untuk sementara waktu.
Pada abad sejak pertempuran Qarqar, Mesir terpecah lagi tidak hanya menjadi bagian Utara dan Selatan, tetapi juga menjadi kerajaan Barat dan Timur,
menghasilkan suatu rangkaian pharaoh yang memusingkan dan tiga ibu kota
yang terpisah: Thebes, Tanis, dan kota Delta di pusat Leontopolis. Dalam
waktu yang singkat, ada juga para raja di Herakleopolis dan Hermopolis,
dan sedikitnya ada lima belas keluarga lain yang menuntut semacam pangkat
kepemimpinan, dari “raja” dan “tuan” sampai pada sebutan “kepala” suku.”3
Manetho berusaha untuk mengurangi kekacauan ini menjadi semacam keteraturan dengan mengatur para raja ke dalam Dinasti-Dinasti: Dua Puluh Dua,
Dua Puluh Tiga, dan Dua Puluh-Empat, tetapi ketiga “dinasti” tersebut sebenarnya berkuasa secara bersamaan di kota-kota yang berbeda, dan kekuasaan
daerah dari Dinasti Dua Puluh Dua tetap tinggal dalam dominasi Dinasti
Dua Puluh Lima.
Selama kekacauan ini di bagian atas, daerah-daerah Selatan yang bersebelahan dengan sungai Nil—negara Afrika yaitu Nubia, bagian yang
berpemerintahan Mesir yang biasanya disebut “Kush” oleh tuan-tuan Mesir
—telah mengambil keuntungan dari kesibukan Mesir dengan masalah-masalahnya. Secara teknis, berbagai ‘wakil raja’ (kepala koloni) Mesir semestinya
harus memerintah daerahnya masing-masing, tetapi kenyataannya tak seorang pun memperhatikan dengan benar. Pada saat Mesir memiliki berbagai
dinasti, orang-orang Nubia, yang kini merupakan campuran dari suku asli
Afrika dan orang-orang Mesir yang telah menetap di antara mereka, sebenarnya tidak diperintah oleh ‘wakil raja’ tetapi lebih oleh raja mereka
sendiri. Kerajaan ini, yang penduduknya sendiri disebut Napata, diperintah
oleh salah satu istana Nubia di Jebel Baikal. Yang menunjukkan jejak yang
jelas kepemilikan Mesir: orang-orangnya memuja dewa Amun, dan para
penguasa Nubia mengikuti tradisi lama untuk menikah antarsaudara kandung.4
Pada tahun 727, tepat sebelum Shalmaneser V menerima warisan tahta
ayahnya, yang menjadi raja Napata yaitu orang Nubia asli bernama Piankhe.
Ia telah berada di atas tahta selama dua puluh tahun saat ia mengetahui
bahwa raja-raja Sais, Tanis, Hera-kleopolis, Hermopolis, dan Leonropolis,
gelisah karena wilayah Napata yang semakin membesar telah membentuk
persekutuan untuk mendorong perbatasan Mesir ke bawah hingga masuk ke
dalam wilayah Nubia.4
Ia menyerang balik terhadap sekutu tersebut, menang, dan mengukir
detail dari operasi militernya ke dalam suatu relief yang rinci: dewa Amun
menganugerahi berkat atas Piankhe, raja Mesir yang sesungguhnya, sementara para pimpinan perang mendekatinya dengan kerendahan hati.4
Piankhe tidak mencoba untuk menghapuskan lawannya. Sebagai gantinya, ia memilih untuk melihat Mesir sebagai satu kesatuan kerajaan, dengan
dirinya sebagai Raja Tinggi di atas mereka:
Amun, dewa orang Napata, telah menetapkan aku sebagai pemimpin dari
tanah ini
ia menulis dalam catatan sejarah yang lain,
seperti aku akan berkata kepada seseorang: “Jadilah raja,” dan jadilah
dia raja,
atau: “Kamu tidak akan jadi raja,” dan dia pun tak akan jadi raja
Amun dari Thebes telah menetapkan aku jadi pemimpin Mesir.
Siapa pun yang dilindungi oleh aku tidak memiliki risiko
kotanya ditaklukkan setidaknya jika aku bisa membantu.5
Inilah Mesir yang diminta bangsa Israel untuk bersekutu melawan ancaman Assiria yang begitu besar.
“So dari Mesir”, kepada siapa utusan-utusan Israel memohon, mungkin
bukan Piankhe sendiri; Mesir kini diwarnai dengan “raja-raja” lokal yang
bertindak sebagai wakil Piankhe. Dari semua kemungkinan, utusan-utusan
Israel berakhir dalam persidangan raja Delta bernama Osorkon IV. Hoshea
mungkin tidak mengenal secara persis siapa yang berwenang di Mesir, yang
memiliki suasana politis yang sedemikian rumit sehingga orang Mesir sendiri pun bingung. Dan mungkin Piankhe pun tidak mengetahui bahwa duta
Israel telah datang ke negaranya.
Walaupun demikian, siapa pun yang mendengar ajakannya tidak menjawab; Hoshea ditolak. Perjalanan ke Mesir ternyata merupakan kekeliruan
yang utama. Shalmaneser V, yang telah terganggu oleh pengepungan yang
lama dari pemberontak Tyrus, tidak tertarik untuk memiliki tenggang rasa terhadap perlawanan mana pun dari kota-kota yang telah ditundukkan ayahnya
“Raja Assiria menyerbu keseluruhan daratan,” menurut bacaan II Raja-raja
17:5, “berbaris melawan [ibu kota Israel] Samaria dan mengepungnya selama
tiga tahun.”
Pada posisi ini catatan Assiria berkedip. saat mereka terbuka kembali,
Shalmaneser V - yang hanya lima tahun berada di atas tahta dan melanjutkan
dua pengepungan secara serempak - meninggal. Seorang raja baru telah
mengambil tahta dengan nama raja Sargon II.
Jika Shalmaneser V telah meninggal dalam pertempuran, penulis RajaRaja mungkin sudah berkata demikian. Kemungkinan besar Sargon II,
penggantinya, yaitu putra Tiglath-Pileser yang lebih muda, yang mengambil
keuntungan dari kelemahan saudaranya untuk merebut kekuasaan;
pengepungan yang panjang dan kelihatannya gagal itu tidak mungkin menjadi
populer di antara angkatan perang, dan Shalmaneser V juga telah menjadikan
dirinya tidak populer di tempatnya sendiri dengan cara berusaha untuk
memperkenalkan suatu kewajiban kerja paksa kepada orang-rang Assur. Ini
belum pernah diterima dengan baik.6
Sargon II menjanjikan warga negara Assur pembebasan pajak, dengan
cara meyakinkan mereka untuk melupakan kematian saudaranya secara tibatiba: “Shalmaneser tidak takut pada raja semesta,” ia berkata kepada mereka,
dalam catatan resmi tahunan. “Dia mengangkat tangannya untuk berbuat
jahat terhadap kota itu; ia membebankan iuran feodal dan pelayanan pada
penduduk kota tersebut, dengan kasar, dan menganggap mereka sebagai
pengikut perkemahannya, lalu sesudah itu raja dari para dewa, dengan
kemarahan di hatinya, melemparkan aturannya. Aku, Sargon, dengan
kepalaku terangkat tinggi ke atas .... bahwa orang Assur dibebaskan dari pajak
itu aku yang mengubah .... dari ‘panggilan untuk berperang’ di wilayah itu,
panggilan ke pengadilan dari pemberi tugas, dari pajak, tol, dan uang iuran
bagi semua kuil Assiria, aku bebaskan mereka.”7
Ia juga memecahkan pengepungan yang menemui jalan buntu. Dalam tahun
pertama dari catatan tahunannya, 721, ia menaklukkan Samaria, mengakhiri
cepat-cepat suatu sergapan yang telah berlangsung jauh terlalu lama. Dan
lalu , dengan suatu kebengisan yang belum pernah ditunjukkan oleh satu
pun dari pendahulunya, Sargon II menghapus status politis Israel dari peta.
Ia mengambil Hoshea sebagai tawanan, memasukkannya ke dalam penjara,
dan lalu mulai beroperasi mendeportasi orang-orang Israel, tanggapan
yang khas Assiria terhadap negara bawahan yang bersikeras ingin merdeka.
Deportasi yaitu semacam pemusnahan bangsa, bukan pembunuhan manusia,
tetapi harga diri sebuah bangsa. Catatan Sargon sendiri menyebutkan bahwa
ia mengeluarkan 27,290 orang Israel dari tanah tumpah darah mereka, dan
menempatkan mereka di daerah Asia Kecil terus hingga wilayah orang-orang
Medes.8
Orang-orang Israel ini menjadi dikenal sebagai “sepuluh suku yang
hilang,” bukan karena mereka hilang, tetapi karena identitas mereka sebagai
keturunan Abraham dan penyembah Yahwe di usir ke dalam daerah liar yang
baru tempat mereka kini dipaksa untuk membuat rumah mereka.
Bangsa Israel yang tersebar yang masih tinggal di kerajaan Utara kini
merasakan ancaman untuk diasingkan ke tempat lain. “Bangsa di negaranya
tanganku telah menaklukkan, aku menetap di dalamnya,” Sargon II menyebutkan.9
Kacau balau bangsa Israel dan bangsa yang lain ini lambat laun
berkembang menjadi budaya mereka sendiri; ini merupakan campuran dari
agama yang berbeda-beda serta keturunan sehingga bangsa Yahudi pada abad
pertama SM disebut orang “Samaria,” dan diremehkan sebagai manusia blasteran.
I bukan akhir segalanya. saat orang-orang Aramea dari Suriah dan
Hamath bergabung untuk menantang raja Assiria, SARGON II menemui
mereka di kota Qarqar. Kali ini, seratus tahun sesudah persilisihan besar
antara kekuatan-kekuatan di Qarqar, tidak ada keraguan akan hasilnya. Raja
Hamath diseret dengan rantai ke Assur, komandan Suriah “melarikan diri
sendiri seperti seorang gembala yang telah diambil biri-birinya,” dan Sargon
mengepung dan membakar Qarqar.’10
Dengan sepenuhnya mengendalikan Barat, ia menyeberang Mediterania
sejauh pulau Siprus—yang ditempati oleh campuran penghuni Yunani Ionia
dan Finisia dari pantai—dan memaksanya membayar upeti kepadanya. Ia juga
membangun sendiri ibu kota baru, Dur-Sharrukin (”Kota Sargon”), sebelah
Timur Laut dari Nineweh, persis di luar kaki bukit dari Pegunungan Taurus
di mana orang Urartu masih menunggu dengan ketakutan.
Tentara Urartia bisa dengan mudah turun dari tempat tinggi mereka,
menyerang dan lalu mundur kembali ke celah-celah gunung di mana
benteng mereka terlihat - berbaris ke dalam pegunungan di belakang mereka
merupakan tantangan yang sulit. Dan orang Urartu telah berkembang
menjadi kerajaan yang canggih dan dijaga dengan baik. Riwayat Sargon
sendiri mengatakan, secara mengagumkan, tentang Rusas, raja Urartu, dan
jaringan saluran serta sumur-sumur yang ia bangun; tentang kumpulan
kuda yang diberi makan dan dijaga dengan baik, dibesarkan dalam lembah
terlindung sampai mereka diperlukan untuk berperang; efisiensi yang hebat
dari komunikasi Urartu, dengan menara pengintai yang dibangun tinggi pada
puncak gunung, menjaga tumpukan bahan bakar yang bisa dinyalakan dengan
segera. Satu mercusuar, dinyalakan, bersinar di atas puncak gunung menjadi
suatu api unggun besar yang nampak sebagai kilatan ke pos berikutnya di
kejauhan, di mana api unggun berikutnya dapat dinyalakan. Mereka bersinar
bagaikan “bintang di atas puncak gunung,” dalam kata-kata Sargon sendiri,
dan menyebarlah kabar tentang penyerangan yang lebih cepat dari kecepatan
pembawa berita.11
Pada tahun 714, Sargon siap untuk menyerbu pegunungan, dalam
suatu kampanye yang berbahaya dan penuh risiko yang ia putuskan untuk
dipimpinnya sendiri. Alih-alih berbaris langsung ke Utara ke arah wilayah
Urartu, yang akan membawa pasukannya melawan benteng Urartu yang
paling kuat, ia memimpin pasukannya ke Timur ke arah Zagros, dengan niat
untuk menjangkau daratan yang relatif datar di sisi yang lain dan bergerak ke
arah perbatasan Timur Urartu yang lebih lemah.
Sargon sendiri menulis riwayat kampanye ini, dalam wujud surat resmi
kerajaan kepada dewa Assur dan kawan-kawan ilahinya, memberitahu mereka
semua peperangan yang diperjuangkan bagi mereka (niscaya satu surat dibacakan keras-keras kepada para dewa dan didengarkan oleh kebanyakan warga
Assur). Pasukan berangkat di awal musim panas, mengarungi Zab Hulu dan
Hilir, dan sampai segera di Pegunungan Zagros.12 Di sini orang-orang yang
dari dataran rendah tersebut sampai pada tanjakan yang menjulang dan tidak
biasa, tertutup hutan tebal di mana musuh yang tak dikenal menunggu:
[Kami lalu datang di] pegunungan tinggi, di mana pohon-pohon
dengan segala jenis tumbuhan terjalin; tengah-tengah dari kekacauan pegunungan, celah-celah pegunungan mereka bergerak ketakutan; di atas seluruh
keteduhan yang terbentang, seperti suatu hutan aras; di mana ia yang menginjak jejak mereka tak melihat sinar matahar
Hutan pohon aras di atas lereng gunung, seperti hutan tempat Gilgamesh
berkelana bertahun-tahun yang lalu, melindungi musuh yang lebih mengerikan sebab tak kelihatan.
Sargon menggerakkan orang-orangnya untuk menebas jalan melewati
hutan dengan perkakas tembaga, sampai pasukan telah mencapai tanah
datar di Timur. Di sini orang-orang Medes, yang terikat oleh perjanjian (dan
ketakutan) untuk memberi makan pada rombongan Assiria, menawarkan air
dan biji-bijian.
Dengan tambahan pasukan, Sargon memimpin mereka ke Utara untuk
bertemu pasukan Urartu di lereng-lereng gunung tepat di sebelah Selatan kota
modern Tabriz.** Ia telah memilih medan perang dengan baik; jauh sekali
jaraknya dari garis benteng yang membentang yang melindungi perbatasan
Selatan. Tetapi untuk menjangkaunya, pasukan Assiria telah bergerak sejauh
lebih dari empat ratus delapan puluh kilometer, pada musim panas, melalui
hutan yang menghalang dan batu karang di jalan yang curam, sedikit air dan
sedikit makanan. Mereka kehabisan tenaga sampai pada titik untuk memberontak:
Pasukan Assur yang terganggu, yang telah jauh-jauh datang, sangat lelah
dan lamban untuk menanggapi, yang telah menyeberang pegunungan terjal berkali-kali hingga tidak terhitung, dengan gangguan luar biasa untuk
mendaki dan turun, semangat mereka berubah menjadi pemberontak.
Aku tidak bisa memberi kelegaan atas keletihan mereka, tidak ada air
untuk memuaskan kehausan mereka.14
Sargon ditangkap: ia telah mencapai sasarannya, dan menemukan dirinya tak berdaya. Sementara pasukan Urartu, di bawah komando Rusas
sendiri, telah berkumpul untuk menemuinya.
Dengan pasukannya yang menolak untuk mengikutinya, ia mengumpulkan pengawal pribadinya yang berada di sekitar mereka dan memimpin
mereka dalam suatu serangan bunuh diri yang kalut pada sayap yang terdekat dari kekuatan Rusas. Sayap tersebut mundur di hadapan keputusasaan
yang membabi buta; dan menurut riwayatnya sendiri, pasukan Sargon, melihat ia mencampakkan dirinya ke dalam barisan, memberanikan diri dan
mengikutinya masuk. Pasukan Urartu ragu-ragu, bubar, dan mulai mundur.
Pengunduran diri berubah menjadi kekalahan. Pasukan Assiria mengejar
musuh yang berantakan ke arah Barat, melewati Danau Urmia dan ke dalam
wilayah mereka sendiri. Rusas meninggalkan usahanya untuk mempertahankan ibu kotanya, Turushpa, dan lari ke pegunungan.
Di sini, catatan riwayat Sargon menyatakan, secara singkat, bahwa pasukan
Assiria kembali pulang. Ia mungkin telah mencurigai bahwa pasukan Assiria
akan memberontak selamanya jika ia ngotot untuk mengejar raja lebih jauh
ke pedalaman yang asing dari kerajaan Urartu yang tertutup pepohonan.
Malahan, pasukan kembali ke Selatan dan, di perjalanan, merampok dan
menjarah kota Mushashir, di mana kuil utama dari ketua dewa Urartu berdiri.15 saat berita ini sampai ke Rusas yang berada dalam posisi mundur
jauh, ia putus asa ”Kemegahan Assur menguasai dia,” tulis Sargon dalam
catatannya, ”dan dengan pisau besinya sendiri ia menikam dirinya tepat di
jantung, bagaikan seekor babi, dan mengakhiri hidupnya.”16
Kerajaan yang mengganggu di sebelah Utara telah dibuat bertekuk lutut,
dan Sargon bergerak pulang dalam kemenangan. Saat itu bulan November,
dan ia tidak dapat terus memburu sisa-sisa kekuatan Urartu lebih jauh ke
dalam pegunungan tanpa memperhatikan risiko terjebak oleh musim dingin,
yang bisa menutup jalan lewat celah gunung dengan es dan salju. Serangan
Urartu terjadi selama kurang dari enam bulan.17
Kini ia hampir berada di puncak dunia. Ia menerima duta besar dari Mesir
dan Ethiopia; hadiah-hadiah dan utusan-utusan berdatangan bahkan dari
“raja Dilmun,” yang, menurut catatan Sargon sendiri, “hidup seperti ikan.”18
Ungkapan itu artinya mungkin yaitu ia berasal dari suku Sabea dari Arab,
yang rajanya pernah mengunjungi Solomonn dua abad sebelumnya. Ia diakui
sebagai maharaja dari hampir seluruh bumi, kecuali di daerah tepat di sebelah
Selatan.
Ke bawah di Babilonia, sementara itu suatu peristiwa sedang terjadi.
Merodach-baladan, ketua suku Bit-Yakin dari Khaldea, telah mengumpulkan
pengikut-pengikutnya yang setia di kota Ur. Hampir segera sesudah kematian Shalmanaser V, Merodach-baladan bernapas lega, bergerak ke Babilonia,
mengusir pesaing-pesaingnya, dan menjadi raja.** Ia telah melihat tiga kali
pergantian kerajaan Assiria dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, dan
menjadi yakin bahwa ia dapat menghabisi Sargon II pula. Untuk mewu-
judkan kenyataan ini, ia mengirim utusan ke Timur, dengan sebagian besar
dari kekayaannya yang luar biasa untuk membeli dukungan Elame melawan
Assiria.19
Ia memerlukan sekutu dari luar; negara Merodach-baladan yang baru
tidak semuanya mendukungnya. Terutama di Utara, orang-orang Babilonia
cenderung untuk mendukung perasaan Assiria dan tidak menyukai orangorang Khaldea. Merodach-baladan mencoba untuk melakukan pendekatan
dengan sebuah strategi yang nantinya akan ditiru Napoleon pada dua milenium sesudahnya; ia mengumumkan bahwa ia yaitu pembebas bangsa,
yang akan memulihkan tradisi Babilonia yang telah lama diinjak-injak oleh
penjajah dari Utara. Seandainya orang-orang Assiria segera tiba di luar benteng kota, mungkin taktik ini tidak akan jalan. Akan tetapi Sargon sedang
disibukkan oleh Barat, negara-negara Laut Tengah - jajahannya yaitu Mesir
dan Arab, dan musuh-musuhnya orang Urartu. Ia tidak punya banyak waktu
untuk Merodach-baladan pada mulanya, dan hampir selama sepuluh tahun,
raja Khaldea ini berhasil bergerak (dan menggertak) menuju kendali sepenuhnya atas Babilonia dan sisa-sisa tanah lainnya.
Namun pada tahun 710, Sargon memiliki waktu senggang untuk
kembali ke Selatan. Dan di daerah Elam, raja yang berpengalaman—seorang
jenderal yang sepakat untuk menjadi sekutu Merodach-baladan baru saja
meninggal; kemenakannya Shutruk-Nahhunte yang masih muda dan belum
berpengalaman saat itu menaiki tahta. Maka Sargon II menyerang Babilonia
pertama-tama dengan bergerak ke Timur ke Elam.
Shutruk-Nahhunte segera melarikan diri menuju ke pegunungan untuk
berlindung; Sargon, yang t



