dilakukan
untuk pemakaman raja yang telah mati itu.
Anak-anak lelaki raja itu dibunuh. Hanya satu, pangeran muda ZimriLim, yang lolos. Zimri-Lim melarikan diri ke barat ke kota Aleppo milik
orang Semit Barat, di utara Kanaan; beberapa waktu sebelumnya ia telah
menikahi anak perempuan raja Aleppo, dan di hadapan serangan ShamshiAdad ia bersembunyi di tempat ayah mertuanya. Sebaliknya, Shamshi-Adad
mendudukkan anak bungsunya Yasmah-Adad di tahta Mari sebagai gubernur-raja di bawah kendali kekuasaannya.
Shamshi-Adad tidak hanya memerintahkan pembuatan inskripsi-inskripsi
biasa yang mencatat kemenangannya, tetapi juga banyak berkirim berita dengan kedua anaknya. Surat-surat itu, yang ditemukan di antara reruntuhan
Mari, menceritakan bahwa Shamshi-Adad menguasai tidak hanya dataran
yang membujur ke barat tetapi juga sebagian tanah di sebelah timur Tigris—di
tempat-tempat tertentu sampai sejauh Pegunungan Zagros, yang menempel
pada wilayah milik orang Elam—dan ke utara ia menaklukkan baik Arbela
maupun Nineweh. Di bawah Shamshi-Adad, untuk pertama kalinya segitiga
tanah antara sungai Tigris Hulu dan sungai Zab Hilir, yang pada sudut-sudutnya terletak tiga kota, Assur, Arbela, dan Nineweh, menjadi ”Assiria”: pusat
sebuah kekaisaran.
Itulah bentangan terluas, selain Mesir, wilayah kekuasaan seorang raja, dan
Shamshi-Adad tidak berlama-lama untuk mengumandangkan martabatnya
sendiri serta karunia baik dewa-dewa, yang ia rebut hatinya dengan membangun
kuil-kuil yang rumit. ”Akulah Shamshi-Adad, raja alam semesta”, demikian
bunyi salah satu inskripsi persembahan pada sebuah kuil baru, ”pembangun
kuil Assur, yang mencurahkan energinya pada tanah di antara Tigris dan Efrat
... Aku telah mengatapi kuil itu dengan kayu aras, dan di pintu-pintunya aku
memasang daun pintu dari kayu aras, bertatahkan perak dan emas.
Dinding-dinding kuil itu kuletakkan di atas fondasi perak, emas, lapis
lazuli, dan batu; dinding-dindingnya kuminyaki dengan aras, madu, dan
mentega”.9
Kekaisaran Shamshi-Adad dikenal karena bisa mengendalikan pembantupembantunya di birokrasi maupun terhadap orang-orang yang ditaklukkannya
secara ketat. ”Aku menempatkan gubernur-gubernurku di mana-mana”,
catatnya tentang kerajaannya, ”dan aku menetapkan tentara garnisun di
mana-mana”.10 Ia perlu mengkhawatirkan bukan hanya pemberontakan
bawahan-bawahannya; kekaisarannya juga menghadapi ancaman orang Elam,
yang memusatkan pasukan di sisi timur. Petugas yang menjaga bagian timur
jauh wilayah Shamshi-Adad berulang kali menulis untuk memberitahukan
kepadanya bahwa raja Elam memiliki dua belas ribu prajurit yang siap
menyerang.11 Tetapi Shamshi-Adad merancang jumlah bawahan yang cukup
untuk membentuk garnisun-garnisun dan menghimpun suatu kekuatan
pertahanan yang mengesankan, dan serangan orang Elam dapat ditahan
sedikit lebih lama.
Kembali ke selatan, Rim-Sin akhirnya berhasil menaklukkan Isin, yang
telah menjadi saingan Larsa di selatan selama hampir dua ratus tahun.
Dengan berakhirnya dinasti Isin, ia menjadi penguasa selatan yang berdaulat,
seperti halnya Shamshi-Adad yang menjadi penguasa utara. Pada tahun 1794,
kekuasaan yang dipegang kedua orang itu, bersama-sama, meliputi hampir
seluruh dataran Mesopotamia.
P 1792 pemimpin Amori di Babilon meninggal, dan anak lelakinya
Hammurabi menggantikan dia.
Hammurabi, menurut daftar raja Babilonia, adalah cucu dari cicit Sumuabum, orang Amori pertama yang membangun tembok mengelilingi Babilon.
Ia bahkan mungkin seorang kerabat jauh dari Shamshi-Adad, karena daftar
Babilonia mencatat, sebagai leluhur awal para penguasa Babilonia, dua belas
nama orang yang sama yang juga muncul sebagai ”raja yang tinggal di tenda”
pada daftar Shamshi-Adad sendiri; kedua orang ini sama-sama memiliki
leluhur orang Amori pengembara.12
Wilayah masif milik Rim-Sin dan Shamshi-Adad di kedua sisi Babilon
yang menjadi milik Hammurabi bagaikan dua raksasa di sisi-sisi seseorang
yang bersenjata ketapel. Tetapi lokasi Babilon yang sentral itu juga merupakan
kelebihan. Kota itu letaknya terlalu jauh ke selatan sehingga tidak mengkhawatirkan bagi Shamshi-Adad, dan terlalu jauh ke utara Larsa sebagai ancaman
bagi Eim-Sin. Dengan hati-hati Hammurabi mulai mengklaim kekuasaan
atas kota-kota yang berdekatan di Mesopotamia tengah. Tak lama setelah ia
naik tahta, ia telah mengaitkan namanya dengan kota tua Sumeria Kish dan
Borsippa, di selatan di tepi sungai Efrat.13
Jika Hammurabi ingin melebarkan lagi wilayahnya, ia harus berpaling ke
utara atau selatan. Ia berpaling ke selatan; penaklukan Isin oleh Rim-Sin telah
menyebabkan pertahanan kota itu terbengkalai. Pada tahun 1787, lima tahun
setelah naik ke tahta Babilon, Hammurabi menyerang Isin dan merebutnya
dari kekuasaan garnisun Larsa. Ia juga melakukan serangan ke seberang Tigris
dan merebut kota Malgium yang letaknya di ujung paling barat wilayah
Elam.14
Tetapi ia sama sekali belum berusaha merebut pusat kerajaan Rim-Sin.
Menantang ke utara pun ia belum siap. Setelah memerintah selama sembilan
tahun, ia membuat perjanjian sekutu resmi dengan Shamshi-Adad. Sebuah
papan dari Babilon mencatat sumpah yang diucapkan kedua orang itu;
bahasanya mengisyaratkan bahwa walaupun keduanya terikat oleh sumpah
itu, Hammurabi mengakui Shamshi-Adad sebagai yang lebih unggul. Tentu
saja ia melihat dirinya belum cukup kuat untuk menghadapi raja Assur itu
secara terang-terangan. Diduga bahwa ia bisa melihat masa depan. Dua
tahun kemudian Shamshi-Adad wafat; mungkin karena usia lanjut, walaupun
tanggal kelahirannya (seperti garis asal-asulnya) tetap merupakan misteri.
Pada waktu itu pun Hammurabi tidak serta merta bergerak ke utara ke
wilayah Assiria. Ia mengulur waktu dengan membangun kanal dan kuil, memperkuat kota-kota dan membesarkan bala tentaranya. Ia bahkan membangun
hubungan yang kurang lebih bersahabat dengan anak lelaki Shamshi-Adad,
Yasmah Adad, yang masih memerintah sebagai raja di Mari, dan juga dengan
raja Eshnunna, di utara Babilon. Hubungan dengan kedua raja itu cukup
baik sehingga ia bisa mengirimkan pegawainya sebagai duta (dan mata-mata)
ke istana mereka; ibarat memainkan kedua sisi kartu, ia juga menjalin persahabatan dengan Aleppo, tempat tinggal ahli waris Mari yang sah dalam
pengasingan, dengan menerima suatu delegasi dari raja Aleppo.15
Di selatan, Rim-Sin yakin akan adanya ancaman yang berkembang di tengah Mesopotamia. Hammurabi mungkin saja duduk dengan tenang, tetapi
ia berbahaya. Rim-Sin sudah menciptakan sekutu-sekutu. Ia mengirim berita kepada orang Elam dan raja Malgium di sebelah timur Babilon, kepada
raja Eshnunna di sebelah utara Babilon, bahkan kepada orang Gut yang berdiam di sebelah utara Elam: dengan harapan untuk mengatur suatu gerakan
penjepit yang akan memerangkap Hammurabi baik dari utara maupun dari
selatan.
Sementara itu Hammurabi menunggu, dalam suasana yang relatif damai,
sambil memperkuat pusat kerajaannya untuk menghadapi taufan yang
mendekat.
G A R I S WA K T U 2 0
MESIR MESOPOTAMIA
Periode Menengah Pertama (2181-2040)
Dinasti-dinasti 7 & 8 (2181-2160)
Dinasti-dinasti 9 & 10 (2160-2040) Jatuhnya Agade (sek. 2150)
Kerajaan Tengah (2040-1782)
Dinasti II (2134-1991) Dinasti Ketiga Ur (2112-2004)
Intef I-III Ur-Nammu
Mentuhotep I-III Shulgi Abram pergi ke Kanaan
Jatuhnya Ur (2004)
Dinasti 12 (1991-1782)
Amenhemhet I Dinasti Isin Raja-raja Amori di Larsa
(Larsa) Gungunum (sek. 1930)
(Larsa) Rim-Sin (1822-1763)
(Assur) Shamshi-Adad (1813-1781)
(Babilon) Hammurabi (1792-1750)
S - C masih bertengger di ujung mitos.
∗
Menurut Sima Qian, Sejarawan Besar, Dinasti Xia yang didirikan oleh
Yü menduduki tahta selama empat ratus tahun. Antara tahun 2205 dan 1766,
terdapat tujuh belas raja Xia yang memerintah. Namun, walaupun para pakar
arkeologi telah menemukan reruntuhan sebuah istana dan ibu kota Xia, kita
tidak memiliki bukti langsung dari abad-abad itu tentang tokoh-tokoh yang
dilukiskan Sima-Qian lebih dari lima belas abad setelah kejadiannya.
Jika dipandang sebagai tradisi lisan yang mencerminkan, walaupun secara
samar-samar, suatu urutan pergantian penguasa yang nyata, cerita Dinasti Xia
dan keruntuhannya menunjukkan bahwa pertarungan kekuasaan di China
sangat berlainan dengan benturan-benturan di dataran Mesopotamia. Di
China belum terdapat orang barbar yang menyerbu bangsa yang berperadaban,
tidak terdapat pertarungan antara satu bangsa dengan bangsa lain. Pertarungan
tertinggi adalah antara moralitas seorang raja dan kejahatannya. Ancaman
terhadap tahtanya berasal pertama-tama dari kodratnya sendiri.
Ketiga Raja Bijak yang memerintah tepat sebelum Dinasti Xia telah
memilih pengganti bukan dari anak lelaki mereka melainkan orang-orang
yang bermartabat dan rendah hati. Yü, raja ketiga, memperoleh kedudukannya
berkat kecakapannya semata-mata. Sima Qian mencatat bahwa ia adalah
seorang adipati yang diangkat oleh Raja Bijak ketika berada di hadapannya
untuk memecahkan masalah banjirnya Sungai Kuning yang sedemikian
dahsyat sehingga air itu ”membubung ke langit, sedemikian luas sehingga
menggenangi gunung-gunung dan menutupi bukit-bukit”.1
Yü bekerja
selama tiga belas tahun, sambil merencanakan parit dan kanal, membangun
pematang dan tanggul, menyalurkan banjir sungai Kuning untuk irigasi
dan menjauhi tempat-tempat pemukiman yang terancam banjir, serta
menampilkan dirinya sebagai seorang yang ”cerdas dan tak kenal lelah”.2
Pada
akhir seluruh usahanya, ”dunia menjadi sangat tertata”.3
Yü tidak melindungi
rakyatnya dari kekuatan-kekuatan luar, tetapi dari ancaman yang berasal dari
dalam negeri mereka sendiri.
Tanah yang diperintah oleh Yü sepertinya bertindih dengan tanah yang
ditempati oleh kebudayaan pradinasti China yang disebut Longshan*∗
, suatu
bangsa yang membangun desa-desa bertembok di lembah di kelokan selatan
sungai Kuning. Desa-desa itu mungkin sekali dipimpin oleh para patriark,
kepala keluarga yang kuat yang bersekutu dengan patriark desa lain melalui
perkawinan dan sesekali melalui penaklukan. Cerita dari Dinasti Xia awal
mengisahkan tentang ”tuan-tuan tanah” atau ”pangeran” yang mendukung
atau merepotkan raja-raja Xia; ini adalah gelar anakronistik untuk patriarkpatriark Longshan.4
Kita tidak mengetahui letak ibu kota Yü, raja yang berperang melawan
ancaman sungai. Tetapi sekitar tahun 2200 sampai dengan 1766, sebuah
ibu kota Xia tampaknya dibangun tepat di bawah kelokan selatan sungai
Kuning; penggalian di sana telah mengungkap bangunan-bangunan luas yang
tampaknya merupakan istana raja.**†
Erlitou, tepat di bawah kelokan selatan sungai Kuning, terletak di sebuah
lembah yang dibentuk oleh sungai Lo, yang mengalir ke sungai Kuning dari
selatan. Tanah di sekitarnya pada umumnya baik, karena disuburkan oleh
endapan lumpur, dan lingkaran pegunungan yang mengelilingi lembah itu di
ketiga sisinya menjadikan Erlitou begitu mudah dipertahankan sehingga kota
itu tidak memiliki tembok.5
Walaupun terdapat sebuah istana di Erlitou, para pemimpin pemukimanpemukiman bertembok (atau yi) di sepanjang sungai Kuning tampaknya
memiliki kebebasan yang luas, melakukan sendiri perdagangan dengan desadesa lain dan memiliki bala tentara sendiri yang tidak besar.6
Tetapi tradisi
menyebutkan bahwa terdapat sekurang-kurangnya semacam kuasa raja yang
berlaku di sepanjang lembah itu. Mungkin pergulatan Yü melawan banjir
sungai Kuning yang merusak itu menyimpan suatu perubahan naiknya air
sungai di zaman kuno, suatu banjir yang lebih dahsyat; jika begitu, kesulitan
yang lebih besar untuk bertahan hidup di suatu lingkungan yang lebih berat
mungkin telah mendorong desa-desa untuk menerima kewibawaan seorang
pemimpin untuk memersatukan dan melindungi.
Perolehan kekuasaan itu secara turun temurun dimulai dengan Yü, yang
berbuat sekuat tenaga untuk mengikuti teladan para Raja Bijak sebelum dia.
Seperti mereka, ia menolak pewarisan berdasarkan darah dengan memilih
seorang yang bermartabat sebagai penggantinya dengan mengabaikan anak
lelakinya. Sayangnya para patriark desa yang berkuasa tidak setuju dengan
pilihannya dan malahan mendukung anak lelaki Yü, Qi; merekalah yang
menginginkan suatu dinasti turun temurun. Tindakan pemberontakan ini
mengantar pemukiman-pemukiman sungai Kuning dari zaman para Raja
Bijak ke dalam suatu masa pergantian kekuasaan berdasarkan keturunan
darah.
Inovasi ini bukannya tidak ditentang. Satu desa, desa Youhu, sedemikian
gigih menentang penyerahan mahkota dari satu keluarga ke keluarga yang
lain sehingga seluruh desa Youhu memboikot pesta kenaikan tahta Qi. Qi
tidak suka menerima penolakan yang sedemikian berprinsip. Ia mengirim
tentaranya untuk menangkap para pemberontak, mengalahkan resistensi
yang dapat dihimpun oleh Youhu, dan menghancurkan desa itu dengan
menyatakan bahwa ia ”tengah melaksanakan hukuman Langit” terhadap
pemberontakan mereka.7
Kekuatan telah mengalahkan kecakapan.
Tahun-tahun awal pergantian kekuasaan berdasarkan keturunan darah
tidak berlangsung mulus.
Setelah kematian Qi, kelima anak lelakinya memperebutkan kerajaan;
tidak ada kesepakatan yang menjamin peralihan mahkota secara damai dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Anak lelaki yang akhirnya menang menguatkan kekhawatiran Youhu tentang bahaya-bahaya monarki herediter. Ia
langsung saja sibuk berpesta dan main perempuan, alih-alih memerintah.
Melihat hal itu, seorang patriark desa yang berkuasa melakukan serangan ke
istana dan merebut tahta kerajaan. Kemudian ia sendiri pun dibunuh oleh
seorang pegawai istana, yang merebut tahta untuk dirinya sendiri.
Karena tidak adanya pilihan yang bijak terhadap seorang raja oleh raja pendahulunya, kekacauan merajalela. Bahkan pergantian kekuasaan berdasarkan
hubungan darah masih lebih baik dibandingkan kekacauan itu; dan kerabat
darah yang akhirnya dapat menghimpun dukungan yang cukup untuk menentang si perebut kekuasaan adalah Shao Kang, cucu keponakan Qi.
Shao Kang lolos dari pertumpahan darah di ibu kota dan bersembunyi di
desa lain. Dengan dukungan para pengikutnya ia bergerak kembali ke Erlitou,
mengalahkan pegawai yang menduduki tahta, dan mengklaim hak untuk memerintah. Dinasti Xia yang baru saja dimulai, sudah harus diselamatkan.
Sah a , pergantian kekuasaan Xia terbentur-bentur
selama beberapa abad. Tetapi para sejarawan China menuturkan bahwa hak
memerintah yang didasarkan bukan atas kecakapan tetapi garis keturunan
lambat laun memerosotkan derajat orang-orang yang memegang kekuasaan itu.
Raja-raja Xia memasuki suatu lingkaran yang akan terus berulang sepanjang
sejarah China: Raja pertama dari suatu dinasti meraih hak memerintah
berkat kebijaksanaan dan keutamaannya. Mereka menyerahkan kekuasaan
kepada anak-anak lelaki mereka, dan seiring dengan waktu anak-anak itu
menjadi malas. Kemalasan menjadi kemerosotan, kemerosotan menjadi
ketidakmenentuan, dan ketidakmenentuan menyebabkan runtuhnya suatu
dinasti. Satu orang baru, yang bijak dan kuat, merebut tahta, mulailah suatu
dinasti baru, dan pola itu terulang kembali. Pada akhir setiap siklus, para
tiran jatuh dan orang-orang utama kembali ke prinsip-prinsip yang mendasari
kerajaan; tetapi mereka tidak dapat mempertahankan prinsip-prinsip itu untuk
kurun yang lama. Kepercayaan yang baik merosot menjadi ketidakpercayaan,
kesalehan menjadi takhayul, kepiawaian menjadi kesombongan dan
keangkuhan diri yang kosong. ”Karena jalannya”, tulis Sima Qian, ”adalah
sebuah siklus; ketika berakhir, siklus itu harus mulai dari awal lagi.”
Sima Qian yang mewarisi kedudukan ayahnya sebagai Kepala Para
Juru Tulis Besar pada abad kedua SM, mungkin memiliki pandangan yang
agak pahit mengenai dunia; setelah menggusarkan sang kaisar dengan satu
atau dua komentar lugas mengenai ayah kaisar, ia disuruh memilih antara
eksekusi atau kastrasi. (Ia memilih yang kedua, agar dapat menyelesaikan sejarahnya; sebuah dedikasi pada pekerjaan yang sangat dahsyat dalam penulisan
sejarah.) Tetapi deskripsinya mengenai siklus sejarah didasarkan pada tradisi
yang panjang dan pengamatan yang lama. Gagasan ideal tentang martabat
raja China adalah pemerintahan yang berdasarkan kebijaksanaan, tetapi
begitu seorang raja dapat mengklaim kekuasaan atas desa-desa di sepanjang sungai Kuning, tak terelakkan lagi timbullah korupsi, penindasan, dan
konflik senjata.
Dalam Dinasti Xia, konflik mencapai puncaknya selama pemerintahan raja
Xia Jie, yang lambat laun kehilangan dukungan dari kerabat istananya karena
menguras khazanah istana untuk membangun istana-istana bagi dirinya. Ia
kehilangan dukungan rakyatnya karena mengambil gundik seorang wanita
yang cantik tetapi tidak disukai orang, kejam dan jahat, serta melewatkan
hari-harinya dengan bercumbu dan minum-minum dengannya, bukannya
memerintah. Ia juga kehilangan dukungan dari penguasa-penguasa desa
karena menangkapi siapa pun yang mungkin menentang kekuasaannya dan
kemudian entah menyekap dia atau membunuhnya. Sima Qian meringkaskan,
Jie ”tidak menyibukkan diri dengan pemerintahan yang baik melainkan
kekuasaan militer”.8
Salah seorang patriark desa yang dipenjarakan dengan tidak semena-mena
adalah seorang lelaki bernama Tang, anggota suku Shang, yang memiliki
kekuasaan yang cukup besar terhadap daerah di sebelah timur Erlitou sehingga
tampak sebagai ancaman. Namun, tak lama sesudah itu Jie (mungkin karena
pikirannya dikaburkan oleh anggur dan bergadang) tampaknya melupakan
keberatannya semula. Ia membebaskan Tang. Tang seketika mulai memperkuat
kedudukannya di antara para pemimpin kota-kota lainnya yang secara
nominal berada di bawah pemerintahan Xia. Sementara ketidakpopuleran
Jie meningkat, Tang sebaliknya menjalani hidup yang penuh kejujuran; Sima
Qian mengatakan bahwa ia ”mengembangkan moralitasnya” (dan tentunya
melakukan banyak upaya diplomasi). Ia bahkan mengerahkan bawahannya
untuk menyerang salah seorang tuan tanah lain yang juga memperlakukan
orang-orang di dekatnya secara sewenang-wenang.
Akhirnya Tang mengklaim hak ilahi untuk membalas kejahatan, dan memimpin para pengikutnya melawan kaisar.9
Jie melarikan diri dari ibu kota, dan
pada tahun 1766 (secara tradisional tahun kenaikannya ke tahta) menjadi
kaisar Shang pertama.
Jie mati di pengasingan. Kata-kata terakhirnya tampaknya adalah,
”Seharusnya aku membunuh Tang ketika aku memiliki kesempatan”.10
Penaklukan yang dilakukan Shang bukanlah penegakan suatu pemerintahan
yang baru sama sekali, melainkan perluasan suatu kekuasaan yang sudah ada
ke istana Erlitou yang sudah melemah. Selama beberapa dasawarsa kekuasaan
wangsa Shang semakin berkembang di sebelah timur ibu kota Xia. Seperti
halnya kebudayaan prasejarah Longshan yang membentang menindih Yangshao, dan Xia tumbuh dengan menindih Longshan, demikian pula negara
Shang terbentang menindih daerah Xia. Pengambilalihan kekuasaan oleh
Tang, yang digelari Tang Sang Pelengkap, adalah suatu urusan dalam negeri.
Kerajaan Xia bertarung dengan dirinya sendiri; ketika jatuh, jatuhnya ke
tangan bangsanya sendiri.
Siklus itu telah dimulai lagi. Pemerintahan Tang adalah suatu contoh
keadilan, di mana ia mengancam tuan-tuan tanah dengan hukuman jika
mereka tidak ”melakukan perbuatan baik kepada rakyatnya”. Seperti pendahulu agungnya, Yü, ia juga menangani masalah banjir; Sima Qian mengatakan
bahwa ia ”mengatur” empat aliran sungai yang merugikan, menciptakan sawah
baru dan desa-desa baru. Dinasti Shang telah mulai dengan kerja keras dan
moralitas: karena jalannya adalah sebuah siklus, dan siklus itu harus dimulai
kembali.
G A R I S WA K T U 2 1
MESOPOTAMIA CHINA
Dinasti Xia (2205-1766)
Yü
Qi
Jatuhnya Agade (sek. 2150)
Dinasti Ketiga Ur (2112-2004)
Ur-Nammu Shao Kang
Abram pergi ke Kanaan Shulgi
Jatuhnya Ur (2004)
Dinasti Isin Raja-raja Amori di Larsa
(Larsa) Gungunum (sek. 1930)
(Larsa) Rim-Sin (1822-1763)
(Assur) Shamshi-Adad (1813-1781)
(Babilon) Hammurabi (1792-1750)
Jie
Dinasti Shang (1766-1122)
Tang
S Hammurabi mulai
melihat celah-celah retakan pada kekaisaran di sebelah utaranya.
Ketika Shamshi-Adad meninggal karena usia lanjut pada tahun 1781,
mahkota Assur beralih kepada Ishme-Dagan, yang telah memerintah sebagai
penguasa pendamping ayahnya atas suatu wilayah yang terdiri dari Ekallatum
dan bentangan daerah yang luas ke utara. Kini Ishme-Dagan mengendalikan
seluruh kekaisaran, termasuk kota Mari, tempat adiknya Yasmah-Adad memerintah sebagai wakil.
Ishme-Dagan dan Yasmah-Adad tidak pernah berteman. Anak yang sulung adalah kebanggaan Shamshi-Adad; anak yang bungsu telah menderita
karena pelecehan yang dilakukan ayahnya sejak awal masa ia menjabat gubernur-raja Mari. Surat demi surat, Shamshi-Adad selalu membandingkan kedua
kakak-beradik itu dan isinya selalu melecehkan Yasmah-Adad. ”Kakakmu
telah meraih kemenangan besar di timur”, tulis Shamshi-Adad kepada anak
bungsunya:
[Tetapi] kamu diam saja di tempat sambil merebah di tengah perempuan-perempuan. Tidak bisakah kamu berperilaku seperti seorang lelaki?
Kakakmu telah mengukir keharuman untuk namanya sendiri; kamu harus
berbuat demikian juga di negerimu.1
Yasmah-Adad hampir tidak pernah berhasil menyenangkan hati ayahnya;
surat Shamshi-Adad mencela dia tentang segala hal, mulai dari tidak memilih
seorang pembantu untuk menangani urusan-urusan rumah tangganya
(”Mengapa kamu belum juga menunjuk seseorang untuk urusan itu?”) sampai
dengan tidak mengirim seorang pegawai yang telah dipesan dengan segera. Celaan yang bertubi-tubi itu menguras ketegasan yang mungkin dimiliki oleh
Yasmah-Adad. Kita mengetahui bahwa ia menulis jawaban kepada ayahnya
dengan pikiran yang berkecamuk tentang penunjukkan kembali seorang
pegawai rendah lain: ”Bapak telah memintaku untuk mengirim Sin-iddiman
untuk membantu bapak, dan aku akan melakukan yang bapak katakan”,
demikian ia mengawali. ”Tetapi jika aku menuruti permintaan itu, siapa
yang akan tinggal di sini dan mengurus pemerintahan? Aku menghormati
ayah, dan aku akan senang mengirimnya kepada bapak. Tetapi, bagaimana
jika bapak kemudian datang ke sini dan mengatakan, ’Mengapa kamu tidak
mengatakan bahwa kamu terpaksa membiarkan posisinya kosong? Mengapa
kamu tidak memberitahuku sebelumnya?’ Jadi, dengan ini aku menyampaikan
hal itu, agar bapak dapat memutuskan apa yang seharusnya saya lakukan atas
permintaan bapak”.2
Sementara itu Ishme-Dagan memanasi adiknya dengan laporan tentang
kemenangan-kemenangannya.
Dalam waktu delapan hari aku telah menjadi penguasa kota Qirhadat dan
merebut semua kota di sekelilingnya. Bergembiralah!
Aku menyerang Hatka, dan dalam sehari aku meratakan kota itu dan
menjadikan diriku penguasa di sana. Bergembiralah!
Aku menegakkan menara pendudukan dan tonggak pendobrak untuk
memukul kota Hurara, dan merebutnya dalam tujuh hari. Bergembiralah!3
Tidaklah mengherankan bahwa Yasmah-Adad membencinya.
Setelah kematian Shamshi-Adad, Ishme-Dagan menulis kepada adiknya,
agaknya dalam usaha untuk memperbaiki hubungan. Sayangnya ia mewarisi
nada yang mendikte seperti ayahnya:
Aku telah naik tahta di rumah ayahku, dan aku sangat sibuk, jika tidak
maka aku tentu sudah mengirim surat kepadamu. Sekarang aku ingin
mengatakan—aku tidak mempunyai adik lain selain kamu ... Kamu tidak
perlu gelisah. Selama aku masih hidup, kamu akan tetap duduk di tahtamu.
Ayo kita bersumpah bahwa akan setia satu sama lain sebagai saudara. Oh
ya, jangan lupa mengirimkan kepadaku laporan yang lengkap segera.4
Sulit untuk mengetahui seberapa tulus hubungan persahabatan ini. YasmahAdad yang pembimbang tak lama kemudian menghadapi suatu pendudukan;
Zimri-Lim, pangeran kota Mari, yang dahulu terpaksa melarikan diri ke
barat karena serangan Shamshi-Adad, tengah merencanakan untuk kembali.
Ia diperkuat dengan prajurit-prajurit yang diberikan kepadanya oleh ayah
mertuanya, raja Aleppo. Enam tahun setelah kematian Shamshi-Adad, ZimriLim sudah siap untuk bergerak menyerang Yasmah-Adad.
Tidak ada bala bantuan yang datang dari Assur. Yasmah-Adad menghadapi
pasukan pendudukan itu seorang diri, dan mati di dalam serangan itu.
Kini, Zimri-Lim menjadi raja Mari kembali. Karena terdapat tiga kerajaan
yang besar dan rakus di sebelah timurnya (kerajaan Ishme-Dagan berpusat
di Assur, Hammurabi di Babilon, dan Rim-Sin di selatan), Zimri-Lim
mengetahui bahwa Mari perlu bersekutu dengan kerajaan yang paling kuat
agar dapat bertahan terhadap kedua kerajaan lainnya.
Tetapi sangat tidak jelas yang manakah kiranya kerajaan yang paling kuat.
Salah satu surat Zimri-Lim sendiri saat itu dalam masa pemerintahannya
berbunyi:
Tidak ada seorang raja yang paling kuat. Sepuluh atau lima belas raja
memihak Hammurabi dari Babilon, jumlah yang sama mendukung RimSin dari Larsa, dan jumlah yang sama pula mengikuti raja Eshnunna ...5
Setelah mempelajari medan, akhirnya ia menetapkan Hammurabi sebagai
taruhan yang paling baik.
Hammurabi menerima permintaan bersekutu itu. Tentu saja ia mengarahkan pandangannya kepada kekuatan-kekuatan yang berhimpun melawan
dia. Ishme-Dagan telah merembuk suatu perjanjian dua arah dengan raja
Eshnunna, kota merdeka di sebelah timur Tigris itu, dan negeri Elam. Itu
menimbulkan suatu kekuatan yang layak diperhitungkan. Sejak jatuhnya Ur,
Elam kurang lebih telah menjadi suatu negeri yang bersatu; wilayah-wilayah
selatan beberapa kali jatuh ke tangan berbagai raja Mesopotamia, tetapi
daerah-daerah utara tetap merupakan basis kekuatan Elam. Kini suatu dinasti
baru, dinasti keluarga Eparti, menjadi penguasa seluruh daerah itu dan siap
untuk bergabung dalam peperangan melawan Babilon.*∗
Jauh di selatan, Rim-Sin tampaknya berpikir bahwa lebih baik bergabung
dengan koalisi Assur, Eshnunna, dan Elam yang anti-Hammurabi. Barangkali
kini ia yakin bahwa Hammurabi tidak dapat dikalahkan. Mungkin juga, di
pihak lain, ia sudah terlalu letih dan terlalu tua untuk bergabung dengan
peperangan yang sedemikian jauh ke utara. Kini ia telah bertahta selama ham-
pir enam puluh tahun, lebih lama daripada raja lain Mesopotamia yang dapat
dikenal.
Ishme-Dagan dan raja Eshnunna serta Elam bergerak tanpa dia. Pada
tahun 1764, sembilan tahun setelah Zimri-Lim kembali ke tahta Mari, bala
tentara gabungan itu mulai bergerak melawan Hammurabi.
Hammurabi, dengan tentaranya sendiri yang diperkuat para prajurit
Zimri-Lim, menyapu bersih mereka. Ia merebut Assur dan menjadikannya
bagian dari Babilon; ia mengambil Eshnunna sebagai miliknya; dan walaupun
ia tidak mendesak ke timur sampai sejauh dataran tinggi Elam, ia merebut
Susa dan menjarahnya. Ia juga mengangkut berbagai patung dewi-dewi
Elam dan memindahkannya dengan upacara ke Babilon beserta imamimam perempuan mereka. Tindakan itu adalah bentuk penculikan dan
pemerkosaan yang dilakukan secara sopan dan suci terhadap istri-istri musuh
Anda
Tahun berikutnya, ia balik menyerang Rim-Sin, yang tidak mendapatkan
manfaat dari kenetralannya. Hammurabi justru menggunakan kenetralan itu
sebagai alasan untuk menyerang raja selatan itu. Mengapa Rim-Sin tidak bergabung dengannya melawan penyerbu dari utara? Ketika Rim-Sin tidak dapat
menjawab pertanyaan itu secara memuaskan, ia mengalihkan aliran sebuah
sungai melewati suatu bagian kerajaan Rim-Sin yang penduduknya sangat
padat. Tampaknya Rim-Sin menyerah tanpa banyak melawan, setuju untuk
memberikan penghormatan (dan, menurut catatannya sendiri, ia mengeringkan suatu daerah lain sehingga ia dapat cepat-cepat memindahkan lelaki dan
wanita yang terkena banjir ke tempat itu).
Kemudian Hammurabi berbalik melawan sekutunya sendiri.
Tampaknya Zimri-Lim adalah seorang pejuang yang terlalu tangguh dan
seorang pribadi yang terlalu kuat bagi Hammurabi sehingga ia tidak merasa
nyaman sepenuhnya. Ia tidak menyerang bekas sekutunya itu, tetapi meminta
hak untuk memeriksa (dan mengendalikan) semua surat-menyurat ZimriLim dengan penguasa-penguasa lain. Model penjajahan ini—yakni hak untuk
mengelola hubungan luar negeri suatu negara lain—akan banyak diterapkan
pada abad-abad selanjutnya, ketika tindakan seperti itu pada menghapuskan
kemerdekaan sejati. Zimri-Lim mengetahui hal itu. Dengan geram ia menolak. Hammurabi mengancam akan membalas. Zimri-Lim menantang
dia. Hammurabi bergerak ke Mari dan mulai mengeksekusi tawanan di
luar tembok kota. Ketika gerbang-gerbang kota tetap tertutup, Hammurabi
menduduki kota itu, meruntuhkan tembok-temboknya, mengangkut penduduknya sebagai budak, dan membakarnya.6
Nasib Zimri-Lim tidak diceritakan; demikian pula nasib Shiptu, permaisurinya, dan juga nasib putri-putrinya. Ia mempunyai dua anak lelaki muda, tetapi tak seorang pun muncul kembali di dalam catatan sejarah, baik
Mari maupun Babilon.
T , setelah serangan itu Hammurabi kembali menyerang
Larsa. Kita dapat menduga bahwa Rim-Sin mengurungkan kesediaannya
untuk memberikan penghormatan dan melakukan perlawanan. Setelah
dikepung selama enam bulan, Larsa jatuh.
Kali ini Hammurabi menyandera Rim-Sin dan menyingkirkannya dari
tahta. Pemerintahannya yang berlangsung selama enam puluh tahun telah
selesai. Kini semua kota Sumeria kuno—demikian pula banyak dari bagian
barat dan utara Sumer kuno—menjadi bagian dari kekaisaran yang berpusat
di Babilon. ”Hendaknya semua orang lelaki membungkuk untuk menghormatimu”, tulis para juru tulis Hammurabi. ”Hendaknya mereka merayakan
kemuliaanmu yang besar; hendaknya mereka menyatakan patuh kepada
kekuasaanmu yang tertinggi.”7
Kekaisaran itu bukan kekaisaran yang kacau balau; kekaisaran itu diatur
dengan hukum. Hammurabi berhasil melakukan penaklukan yang terus
bertambah, antara lain dengan menegakkan hukum yang sama ke seluruh
wilayah kekaisaran. Satu-satunya contoh dari hukum itu yang masih ada
ditemukan beberapa abad kemudian di Susa, yang dipahat pada sebuah stele dari
batu hitam. Undang-undang itu dengan jelas dimaksudkan untuk mencakup
sebuah pedoman hukum keadilan ilahi (pucuk stele itu menampilkan
dewa keadilan, yang menyerahkan kekuasaan kepada Hammurabi), tetapi
kehadirannya yang mencolok di kota-kota yang ditaklukkan juga menjamin
pengendalian bangsa yang ditaklukkan. Menurut stele itu sendiri, undangundang itu dilaksanakan dengan setia di Nippur, Eridu, Ur, Larsa, Isin, Kish,
Mari, dan kota-kota lainnya.
Hammurabi bukan pembuat hukum pertama—Ur-Nammu telah
mendahului dia dalam hal ini—tetapi undang-undangnya tentulah yang
paling lengkap yang masih ada dari zaman kuno, dan undang-undang itu
menunjukkan suatu cakupan masalah yang sangat luas.
Hukuman untuk merampok (hukuman mati), terlibat dalam lolosnya
seorang budak (hukuman mati), menculik (hukuman mati), merancang
rumah yang runtuh menimpa kepala seorang lain (hukuman mati), dan
melaksanakan suatu kewajiban kepada raja dengan buruk (hukuman mati)
disertai dengan ketentuan tentang perkawinan (diperlukan sebuah kontrak;
suami dapat memperoleh izin cerai dari hakim, tetapi demikian pula seorang
istri yang telah diperlakukan secara kasar oleh suaminya), melukai (siapa pun
yang membutakan penglihatan seorang yang merdeka juga akan kehilangan
penglihatannya sendiri, tetapi membutakan penglihatan seorang budak hanya
dihukum denda membayar uang perak), masalah warisan (janda dapat mewarisi tanah tetapi tidak dapat menjualnya; mereka harus mempertahankannya
untuk diberikan kepada anak lelaki mereka), masalah pemadaman kebakaran
(jika seorang lelaki pergi untuk memadamkan kebakaran di rumah tetangganya dan mencuri barang milik tetangganya itu ketika asap masih gelap, ia
”harus dilemparkan ke dalam api”).8
Semua undang-undang dan pedoman
hukum Hammurabi itu, yang dikeluarkan dan ditegakkan oleh pusat kekaisaran, dimaksudkan untuk meyakinkan bangsa yang ditaklukkan itu akan
keadilan dan kebenaran pemerintahan Babilonia. Tetapi itu juga dimaksudkan untuk melakukan pengendalian yang ketat terhadap bawahan-bawahan
Hammurabi.9
Pengendalian ketat merupakan ciri dari hampir semua hubungan
Hammurabi dengan wilayahnya. Berkat penaklukan luas yang ia lakukan, ia
mengendalikan semua jalur angkutan kapal dari hulu ke hilir di selatan; kayu
aras dan lapis lazuli, batu dan perak, logam dan perunggu, semuanya harus
melewati titik-titik pemeriksaannya, di mana hanya kapal-kapal yang diberi
paspor kerajaan saja yang diizinkan untuk melanjutkan.10 Ini tidak hanya
menjamin pembayaran penuh semua pajak, tetapi juga memungkinkan raja
untuk mengawasi secara ketat barang-barang yang dibawa ke daerah selatan
yang sering merepotkan. Tidak ada kota di dalam kekaisaran Hammurabi
yang dapat mempersenjatai diri secara rahasia. Hammurabi gemar menyebut
dirinya gembala bangsanya; namun, tampaknya ia lebih mengkhawatirkan
domba-dombanya akan menumbuhkan gigi serigala dan lepas dari kekuasaannya daripada serigala-serigala dari luar yang akan mendekat.
Ia sangat mengetahui bahwa kekaisarannya hanya akan utuh sejauh ia
terlihat menguasai keadaan sepenuhnya. Dalam sebuah surat yang ditulis
kepada salah seorang jenderalnya, kita mengetahui, setelah mengalami ketidakberhasilan di peperangan, ia berusaha mencari cara untuk mengembalikan
patung-patung dewi-dewi Elam ke tanah air mereka, agar mereka merestui
peperangannya. Namun, ia tidak mengetahui cara melakukannya. Ia tidak
mau memaksakan kehendaknya, dan andai kata ia hanya sekadar melepaskan patung-patung itu, orang Elam mungkin akan menganggapnya sebagai suatu
tindakan yang lemah.11
Khususnya di utara dan timur, pemerintahan Hammurabi hampir
sepenuhnya berupa pendiktean dan pemaksaan. Belum sampai sepuluh tahun
sejak mengklaim Eshnunna, ia sudah menyerang kota itu kembali dengan
pengepungan yang berlangsung selama dua tahun penuh dan berakhir dengan
penjarahan, pembakaran, dan perataan kota itu oleh tentara Babilon. Ia
berperang di perbatasan timur; ia berperang dekat Nineweh, di mana terdapat
lebih banyak pemberontak yang berusaha melepaskan diri; ia berperang
hampir sepanjang waktu ia memerintah kekaisaran yang diperolehnya dengan
susah payah. Pada akhir tahun 1749-an, ia sudah berusia lanjut, sakit akibat
perjalanan keras selama bertahun-tahun dan selalu menderita sakit akibat
luka dalam peperangan yang tidak pernah sembuh sepenuhnya. Ia meninggal
hanya lima tahun setelah penghancuran Eshnunna, dan mewariskan kepada
anak lelakinya Samsuiluna suatu carut marut yang besar.
Selama beberapa tahun kelompok-kelompok kecil pengembara—orang
Kassit—menjelajahi Pegunungan Zagros, menyeberang Tigris, dan masuk
ke pusat Mesopotamia. Catatan Babilon sesekali menyebut mereka sebagai
pekerja berpindah, pekerja imigran murah yang menyewakan tenaga.
Tahun kesembilan pemerintahan Samsuiluna dikenal sebagai tahun ”ketika bala tentara Kassit datang”; para pekerja itu telah mempersenjatai diri
dan menyerang perbatasan timur laut. Eshnunna telah berperan sebagai penahan para penyerbu. Dengan lenyapnya kota itu, mereka melanda daerah tepi
kekaisaran dalam jumlah yang semakin besar.
Bersamaan dengan itu, Samsuiluna tengah menghadapi pemberontakanpemberontakan yang dibasmi ayahnya sampai akhir masa hidupnya.; Uruk,
Isin, Larsa, dan Ur, semuanya memberontak secara bergantian, sehingga tentara kerajaan didatangkan untuk menggiring kota-kota itu kembali ke dalam
pangkuan Babilon. Dalam proses itu Ur dihancurkan sedemikian tandasnya
sehingga kota itu tidak didiami lagi selama berabad-abad berikutnya; beberapa waktu sesudahnya, Nippur mengalami nasib yang sama.12
Selagi masih berperang di berbagai garis depan, Samsuiluna menemukan
suatu ancaman baru di sebelah timur. Orang Elam mempunyai seorang
raja baru yang gemar berperang, Kutir-Nahhunte I; sepuluh tahun setelah
serangan orang Kassit dimulai, Kutir-Nahhunte menyeberangi Tigris dengan
bala tentaranya. Jajaran pasukan Babilon yang tidak besar mundur dari
wilayah Elam, masuk kembali ke wilayah mereka sendiri, dan akhirnya benarbenar kembali ke Babilon sendiri. Kekalahan tentara Babilon ini sedemikian
menggema sehingga seribu tahun sesudahnya musuh Babilon, Assiria, masih
mengejek orang Babilon karenanya.
Samsuiluna tidak dapat mengendalikan kekaisaran dengan ketat seperti
ayahnya sementara ia tengah berusaha memerangi ancaman-ancaman itu.
Pada tahun1712, akhir dari pemerintahannya, ia telah kehilangan seluruh
daerah selatan. Tanpa adanya pejuang yang tak henti-hentinya berperang di
belakangnya, pedoman hukum Hammurabi tidak kuasa mempertahankan
kesatuan wilayah kekaisaran yang sedemikian luas.
G A R I S WA K T U 2 2
MESOPOTAMIA CHINA
Dinasti Ketiga Ur (2112-2004)
Ur-Nammu Shao Kang
Abram pergi ke Kanaan Shulgi
Jatuhnya Ur (2004)
Dinasti Isin Raja-raja Amori di Larsa
(Larsa) Gungunum (sek. 1930)
(Larsa) Rim-Sin (1822-1763)
(Assur) Shamshi-Adad (1813-1781)
(Babilon) Hammurabi (1792-1750)
Jie
Hammurabi merebut Dinasti Shang (1766-1122)
Ashur dan Eshnunna (1764)
Tang
Samsuiluna (1749-1712)
Kemakmuran Kerajaan Tengah berlangsung selama suatu kurun yang
secara relatif singkat. Pemerintahan anak lelaki Senusret III, Amenemhet III,
merupakan titik puncaknya. Ketika ia meninggal, kekuasaan pharaoh untuk
mempertahankan keamanan negeri melawan penyerbu dan persatuan dalam
negerinya mulai pudar.
Sekali lagi air Nil sampai menyentuh kaki pharaoh. Setelah mencapai titik
tertingginya selama masa kejayaan pemerintahan Amenemhet III, luapan Nil
mulai berkurang tahun demi tahun.1
Seperti yang sudah-sudah, susutnya air
Nil dan merosotnya kekuasaan raja di Mesir terjadi bersamaan.
Kesulitan yang terkait dengan pergantian kekuasaan ada hubungannya
dengan kemerosotan itu juga. Amenemhet III memerintah selama empat
puluh lima tahun; ketika ia mati, pewarisnya yang sah tidak hanya sudah tua,
tetapi juga tidak berputra. Amenemhet IV, yang telah menunggu sepanjang
usianya untuk naik tahta, meninggal hampir seketika ia dimahkotai, dan istrinya, Ratu Sobeknefru, menggantikannya. Hanya sedikit detail saja yang
masih tersimpan dari masa pemerintahan sang ratu; tetapi di Mesir kuno,
duduknya seorang wanita di atas tahta adalah sebuah tanda adanya suatu kesulitan serius di istana.
Manetho memulai suatu dinasti baru setelah Ratu Sobeknefru, karena
tidak ada seorang pewaris lelaki di jajaran istana. Raja yang akhirnya naik
tahta untuk mengawali Dinasti Ketiga Belas adalah seseorang dengan sosok
yang tidak jelas, seperti bayangan yang didukung oleh segelintir orang yang
bahkan lebih kabur lagi.
Jauh di Nubia, para gubernur yang mengawasi daerah-daerah selatan atas
nama tahta semakin bertindak secara mandiri; daerah Nubia yang telah diinjak Senusret III dengan keganasan yang sedemikian besar selama Dinasti