tiap wanita di dalam keluarga raja menjadi mandul sampai
Sarai dikembalikan (dan raja itu, Abimelech, “dicegah untuk menyentuh
Sarai”, yang tampaknya mengisyaratkan bahwa bukan hanya wanita-wanita
itu yang direnggut fungsi kodratinya untuk sementara waktu). Sekali lagi
ceritanya terpusat pada identitas ras bangsa yang telah dijanjikan untuk
diciptakan oleh Allah.
Kitab Kejadian ditulis, berdasarkan perhitungan mana pun, jauh setelah
kejadian-kejadian yang digambarkannya, dengan gaya penuturan anakronistis
yang disengaja. Cerita-cerita Alkitab secara khas menggunakan nama-nama
yang tentu dikenal oleh pembaca sezamannya, bukan nama-nama yang digunakan dalam masa lampau sejarah: “Ur Khaldea” adalah salah satu acuan
semacam itu, karena tanah pada ujung Teluk Parsi tidak dikenal sebagai tanah
“orang Khaldea”, paling tidak sebelum pemerintahan raja Ashurnasirpal II dari Assiria (884/883-859 SM).*∗
Abram berurusan dengan “Orang Amori”;
Abimelech, raja Gerar, disebut seorang Filistin. Nama-nama itu mengacu
pada identitas-identitas politis masa kemudian yang berkembang bersamaan
dengan suku-suku Semit Barat yang mengintai daerah dan mulai berperang
untuk mendapatkannya.
Namun, walaupun nama-nama di dalam naskah itu sengaja dibuat anakronistis, kejadian-kejadian di dalam cerita itu sendiri menunjukkan suatu
pemahaman yang jelas tentang perbedaan bukan hanya antara darah Abraham
dan darah Mesir, tetapi antara ras Abraham dan ras Abimelech. Untuk pertama kalinya dapat disebutkan bahwa orang Semit Barat terdiri dari ras yang
berbeda-beda.
Di Sumer, sejak awal zaman, identitas pertama bangsanya bukanlah sebagai “orang Sumeria”. Mereka adalah warga kota Ur, warga Lagash, warga
Uruk, dan masing-masing menyatakan kesetiaan mendasar kepada seorang
dewa tertentu sambil mengakui adanya dewa-dewa lain. Munculnya kekaisaran Akkadia, dengan pembedaannya yang jelas antara orang Sumeria dan
orang Akkadia, telah memunculkan suatu perubahan: dua bangsa di dalam
satu perangkat batas-batas politis, dengan sebuah identitas bersama (“bawahan
Sargon”) yang walaupun demikian tidak menghilangkan perbedaan mereka
yang mendasar. Orang-orang Gut yang menyerbu lebih jauh menegaskan hal
itu: dua bangsa yang berbeda bisa saja memiliki suatu identitas bersama-sama
sebagai bangsa yang berperadaban, yang membedakan mereka dengan tajam
dengan bangsa ketiga.
Kini Abraham, yang mengembara ke barat, menggunakan suatu bahasa
yang sedemikian mirip dengan bahasa orang Semit Barat sehingga ia dapat
berkomunikasi tanpa terlalu banyak kesulitan, dibedakan dengan cara yang
jauh lebih renik. Ia tidak sama dengan Abimelech, seorang Semit Barat lain,
karena suatu pilihan.
Ketika janji Allah akhirnya digenapi dan Ishak lahir, sebuah ras baru tercipta dan
diberi tanda pengenal fisik; Allah memerintahkan Abraham untuk menyunatkan
anak-anak lelakinya, dirinya sendiri, dan keluarganya sebagai tanda pembedaan.
(Barangkali tanda itu akan mengingatkan mereka, pada saat yang penting,
bahwa mereka tidak boleh mencampur darah mereka dengan ras lain.) Setelah
itu, ketika Abraham ingin menemukan seorang istri untuk anak lelakinya, ia
menolak mengizinkan Ishak untuk menikah dengan salah seorang wanita Semit
Barat di sekitarnya. Tetapi ia mengirim haremnya jauh ke Mesopotamia barat
laut untuk mengambil seorang kerabat darah, cucu kemenakannya Ribkah, di
antara kerabat-kerabatnya yang masih tinggal di Haran.
Dari ras lama muncul suatu ras baru.
A H pun berbeda.
Dengan seizin Abraham, Sarai mengusir Hagar yang sedang hamil. Hagar
pergi dari Hebron, melewati Beersheba, ke selatan menuju Mesir. Ia pulang
ke rumahnya.
Tetapi anak lelaki Abram tidak boleh diserap kembali ke dalam kekalutan
Mesir selama Periode Menengah Pertama. Hagar, menurut Kej. 16, berjumpa
dengan seorang utusan Allah di jalan, dan ia juga diberi janji. Mirip dengan
janji yang diberikan kepada Sarai, anak-anak Hagar juga akan menjadi sebuah
bangsa yang terlalu besar jumlahnya untuk dihitung.
Maka Hagar kembali ke rumah tangga Abram; dan bayinya, ketika lahir,
dinamai Ishmael, dan tumbuh menjadi dewasa di dalam rumah tangga ayahnya. Kepadanya, bangsa-bangsa Arab secara tradisional merunut asal-usul
mereka. Menurut Alquran (yang ditulis pada suatu masa yang masih lebih
jauh lagi dibandingkan dengan jarak antara Kitab Kejadian dan kejadian-kejadian yang dilukiskannya), Abram—Ibrahim, menurut ejaan Arab—adalah
orang pertama yang menyembah Allah, Tuhan yang esa, bukan bintangbintang, bulan, atau matahari. Setelah dewasa, Ishmael pergi dengan Ibrahim
ke Arabia, ke kota Mekah di sudut barat daya jazirah Arab, dan bersama-sama
mereka membangun Kakbah, rumah pertama untuk penyembahan kepada
Allah. Ke rumah itulah, Alquran memerintahkan semua pengikut Allah—
”Kaum Kitabi”—untuk berpaling: ”Di mana pun kamu berada”, demikian
bunyi Alquran, ”arahkan wajahmu ke arah itu. ... Dari mana pun kamu bertolak, arahkan wajahmu ke Masjid Suci; di mana pun kamu berada, arahkan
wajahmu ke sana”.10
K kekaisaran neo-Sumeria tempat keluarga Terah telah mengungsi,
keresahan sebelumnya telah mereda menjadi kekaisaran yang mapan.
Shulgi, yang telah menggantikan ayahnya, Ur-Nammu yang ambisius, di
tahta Ur, telah melewatkan bagian pertama masa pemerintahannya dengan menilai situasinya. Setelah dua puluh tahun berkuasa—kurang dari separuh masa
pemerintahan akhirnya—Shulgi mulai menata ulang wilayahnya.11 Penataan
itu mencakup sejumlah penaklukan; Shulgi melanglang ke utara sampai sejauh kota-kota kecil Assur dan Nineveh dan kemudian kembali menyeberang
wilayah Tigris, memasuki daerah orang Elam, dan merebut kembali Susa. Ia
tidak sampai mendesak jauh ke utara ke dataran tinggi Elam, di mana rajaraja Elam dari sebuah dinasti Elam yang telah lama bercokol, yang disebut
Simash, tetap mempertahankan wilayah itu sebagai kekuasaan mereka. Tetapi
ketika pertempurannya berakhir, negosiasi dimulai. Shulgi membuat perjanjian dan kesepakatan dengan sejumlah pangeran kecil dan panglima perang,
menikahkan tiga anak perempuannya dengan para penguasa wilayah-wilayah
yang terletak di daerah-daerah Elam. Ia membagi wilayahnya yang meluas itu
menjadi sejumlah provinsi dan menempatkan gubernur-gubernur yang bertugas melapor kepadanya. Wilayah itu adalah sebuah kekaisaran yang diperintah
berdasarkan hukum dan perjanjian, terikat dengan peraturan-peraturan yang
wajib ditaati oleh bangsanya. Mereka wajib mentaatinya bukan semata-mata
karena Shulgi memiliki tentara yang dapat memaksakan perintah-perintahnya, tetapi karena ia adalah orang pilihan dewa-dewa, yang diangkat oleh
yang ilahi atas kemurahan khusus:
Ibunda Nintu telah membesarkanmu,
Enlil telah menegakkan kepalamu,
Ninlil telah mengasihimu ...
Shulgi, raja Ur.
Terutama, ia adalah kekasih dewi Inanna, yang telah melimpahinya dengan
cinta, antara lain karena keunggulan seksualnya:
Karena ia telah menegakkan rambut di pangkuanku ...
Karena di tempat tidur ia mengucapkan kata-kata yang menyenangkan ...
Nasib baik akan kutetapkan untuknya.12
Ia juga orang kesayangan dewa bulan Nanna. Sebagai ungkapan terima kasih
kepada dewa-dewi pelindungnya, Shulgi membangun ziggurat terbesar di Ur,
padanan neo-Sumeria untuk Piramida Besar; sebuah bangunan raksasa untuk
pemujaan yang dalam bahasa Sumeria dinamakan ”Rumah Yang Pondasinya
Disalut Kengerian”.13 Dan dalam upaya untuk memerintah secara adil, seperti
yang diminta dewa-dewa, Shulgi menetapkan seperangkat hukum baru.
Hukum itu bersifat fragmenter, tetapi menyandang keistimewaan sebagai
undang-undang tertulis pertama dalam sejarah yang menetapkan hukumanhukuman terinci untuk pelanggaran-pelanggaran terinci.14
S S U, Abraham berperang tanpa henti
untuk mengamankan keluarganya. Hidup di Kanaan sungguh keras. Selama
waktu itu, tembok-tembok Yeriko saja dirusak dan diperaiki sampai tujuh
belas kali.15
Abraham telah menurunkan bukan satu melainkan dua bangsa; kedua anak
lelakinya ditandai dengan tanda perjanjian, pemotongan ritual kulit kulup
yang menciptakan suatu perbedaan fisik antara mereka dan orang-orang Semit
lainnya yang memperebutkan daerah keras antara pantai Laut Tengah dan
sungai Yordan.*∗
Tetapi perbedaan itu tidak memberikan keunggulan khusus
bagi mereka dalam hal perebutan wilayah. Ketika Sarah meninggal, hampir
tiga puluh tahun setelah melahirkan Ishak, sukunya masih memiliki daerah
yang sedemikian kecil sehingga Abraham harus membeli sebuah gua dari seorang tuan tanah Semit Barat di dekatnya untuk menguburkan istrinya.
G A R I S WA K T U 1 7
MESIR MESOPOTAMIA
Dinasti 4 (2613-2498) Dinasti Purba III (2600-2350)
Snefru
Khufu Lugulannemundu (sek. 2500)
Khafre Mesilim
Menkaure
Dinasti 5 (2498-2345) Lugalzaggesi Urukagina
(Umma) (Lagash)
Dinasti 6 (2345-2184) Periode Akkadia (2334-2100)
Sargon
Rimush
Invasi Gut
Periode Menengah Pertama (2181-2040)
Jatuhnya Agade (sek. 2150)
Dinasti Ketiga Ur (2112-2004)
Ur-Nammu
Shulgi Abram pergi ke Kanaan
Dinasti 7 & 8 (2181-2160)
Dinasti 9 & 10 (2160-2040)
D -S oleh Dinasti Ketiga
Ur, kekuasaan hukum dan ketertiban sangat baik, tetapi tidak berlangsung
lama.
Setelah masa pemerintahan yang sangat panjang dan sejahtera selama
empat puluh tujuh tahun, Shulgi menyerahkan tahtanya kepada anak lelakinya, yang waktu itu juga sudah cukup berumur; setelah masa pemerintahan
singkat selama delapan tahun, cucu Shulgi, Shu-Sin ganti mewarisi tahta. Di
bawah generasi keempat Dinasti III Ur ini kekaisaran mulai luluh lantak.
Pemerintahan Shu-Sin menghadapi suatu ancaman yang semakin
membesar: orang Amori, kaum pengembara Semit Barat yang kini menjelajahi
tapal batas barat, antara Kanaan dan tapal batas wilayah neo-Sumeria.
Orang Sumeria menyebut mereka ”Martu” (atau ”Amurru”) dan terpaksa
bersaing dengan mereka secara langsung untuk memperebutkan sesuatu yang
persediaannya kian berkurang: tanah subur.
Sudah empat abad—barangkali sejak kurun ribuan tahun—kota-kota di
dataran itu telah menanam gandum dalam jumlah yang cukup untuk menopang
kehidupan penduduk yang semakin banyak melalui irigasi: mereka menggali
saluran dari tepi sungai ke wadah-wadah penampungan, agar air yang pasang
dapat mengalir ke tangki-tangki penampungan, dan dari sana air dapat dialirkan
ke sawah selama masa kekeringan.
Tetapi air sungai Tigris dan Efrat, walaupun cukup segar untuk menopang
kehidupan, sedikit asin. Ketika air yang sedikit payau itu tinggal di wadah
penampungan, air itu menyerap lebih banyak garam lagi dari tanah yang
kaya akan mineral. Air itu kemudian mengalir ke sawah dan terkena sinar
marahari. Sebagian besar meresap ke dalam tanah, tetapi sebagian menguap
dan meninggalkan lebih banyak garam di permukaan tanah daripada yang ada
sebelumnya.
Proses yang disebut salinasi itu akhirnya menyebabkan konsentrasi garam
yang sedemikian besar di tanah sehingga panen mulai gagal.*∗
Gandum
khususnya cukup peka terhadap garam di tanah. Cerita-cerita dari kota-kota
Sumeria menunjukkan terjadinya peralihan berangsur-angsur pada tahuntahun sebelum 2000 SM dari gandum ke jelai yang lebih tahan terhadap
garam. Tetapi suatu ketika jelai pun tidak dapat tumbuh lagi di tanah masin.
Tumbuhan bebijian menjadi langka. Demikian juga daging, karena terdapat
kekurangan bebijian tidak hanya untuk manusia melainkan juga untuk
binatang, yang harus digembalakan semakin jauh saja untuk menemukan
rumput.
Sekitar masa pemerintahan Shu-Sin, seorang juru tulis Sumeria mencatat
bahwa tanah di sawah-sawah tertentu telah ”memutih”.1
Sebuah peribahasa
dari masa itu mengatakan bahwa petani dipusingkan oleh masalah garam
yang meningkat; salah satu peribahasa dari kumpulan masa itu menanyakan,
”Karena para pengemis pun tidak cukup mengetahui cara menyemai barli dengan benar, bagaimana mungkin mereka dapat menyemai gandum?” Sebuah
peribahasa lain mencatat bahwa hanya suatu yang ”jantan” yang muncul
dari sungai saja—mungkin sesuatu yang sangat kuat— akan ”mengonsumsi
garam” di dalam tanah.2
Petani-petani Sumeria bukannya sedemikian asing terhadap pengetahuan
dasar tentang pertanian sehingga seolah-olah mereka tidak memahami masalah itu. Tetapi pemecahan satu-satunya adalah mencegah agar tidak menanam
setiap dua tahun, suatu kebiasaan yang disebut ”pemberaan rumput”— yakni
membiarkan tanah ditumbuhi rumput yang akarnya dalam, dan menurunkan
strata air, dan membiarkan garam meresap lebih dalam ke bawah humus
tanah.3
Sementara itu, apakah yang akan disantap oleh penduduk kota-kota
Sumer? Dan bagaimana beban pajak yang semakin ketat, yang diperlukan
oleh suatu birokrasi yang luas dan sangat tersusun, yang diciptakan oleh
Shulgi dan dipertahankan oleh para pewarisnya itu akan ditanggung?
Jika pemberaan rumput tidak dilakukan, sawah dapat menjadi sedemikian
beracun sehingga harus ditinggalkan sama sekali, mungkin selama lima puluh
tahun agar membiarkan humus tercipta lagi. Karena itulah serbuan orang
Amori ke sawah-sawah subur Sumer bukan lagi merupakan tindak gangguan
melainkan perkara hidup atau mati. Dataran Mesopotamia tidak memiliki
bentangan sawah yang tanpa batas; itulah yang oleh para pakar antropologi
disebut ”tanah pertanian yang terkepung”, yang dibatasi dengan jelas oleh
pegunungan dan gurun yang mengelilinginya.*†
Semakin langkanya bebijian, penduduk Sumeria secara umum menjadi
lebih lapar, kurang sehat, lebih cenderung bersungut-sungut, dan kurang
mampu mempertahankan diri. Karena tidak menerima seluruh jumlah pajak
bebijian, istana Dinasti III Ur tidak dapat menggaji tentaranya. Orang Amori
yang menyerbu tidak dapat dihalau dengan mudah.
Dalam tiga tahun pertama pemerintahannya, Shu-Sin berangsur-angsur
kehilangan daerah-daerah perbatasannya. Pada tahun keempat, ia sedemikian
kerepotan sehingga ia mencoba suatu strategi yang sama sekali baru, yang
belum pernah ia gunakan sebelum-nya: ia memerintahkan untuk membangun tembok besar sepanjang 250 kilometer melintasi dataran antara Tigris
dan Efrat dalam upaya untuk menangkis orang Amori.
Tembok itu pun sama sekali tidak berguna. Anak lelaki Shu-Sin, Ibbi-Sin,
tak berselang lama bahkan tidak lagi berniat mempertahankan sawah-sawah
yang ada di belakangnya. Kemiskinan, kekacauan, dan invasi menyebabkan
kepingan-kepingan wilayahnya lepas satu demi satu dan jatuh, bukan hanya ke
tangan orang-orang Amori yang menjarah tetapi ke tangan rakyatnya sendiri
yang lapar dan kecewa. Ketika Ibbi-Sin telah bertahta selama dua tahun,
Eshnunna, jauh di daerah utara wilayah kekaisarannya yang masih tersisa,
memberontak dan menolak membayar upeti, dan Ibbi-Sin tidak memiliki
satuan pasukan untuk menaklukkan kembali kota itu. Tahun berikutnya, raja
Elam dari Anshan—sebuah kadipaten yang secara teknis bebas dari kekuasaan
Sumeria tetapi telah menjalin persekutuan dengan Shulgi melalui perkawinan
lima puluh tahun sebelumnya—menolak perjanjian yang sudah berusia
setengah abad itu dan mengusir orang Sumeria kembali keluar dari Susa. Dua
tahun sesudahnya, Umma melepaskan diri; tiga tahun kemudian, pada tahun
kedelapan pemerintahan Ibbi-Sin, kota Nippur yang berprestise tidak lagi
mengakui kekuasaannya.
Hal yang lebih buruk masih akan terjadi. Sementara kekuasaannya
melemah, Ibbi-Sin mulai memberikan otonomi yang kian besar kepada
pemimpin-pemimpin militernya. Pada tahun kesembilan pemerintahannya,
salah seorang dari mereka, seorang keturunan Semit bernama Ishbi-Erra,
membuat siasat sendiri untuk merebut kekuasaan.
Ur menderita kelaparan yang diakibatkan oleh masinnya sawah dan lang-
kanya bebijian serta daging; Ibbi-Sin mengutus Ishbi-Erra, panglima yang
dipercayainya, ke kota Isin dan Kazallu di utara untuk mencari persediaan
makanan. Serangkaian surat yang tersimpan pada papan lempung menyingkapkan strategi Ishbi-Erra. Pertama, Ishbi-Erra menulis kepada rajanya dan
menjelaskan bahwa jika Ibbi-Sin mengirim lebih banyak perahu lagi ke hulu
sungai dan memberi Ishbi-Erra kekuasaan yang lebih besar lagi, ia dapat mengantar bebijian; jika tidak, ia terpaksa harus tinggal di Isin bersama bebijian
itu.
Aku telah membelanjakan dua puluh talenta perak untuk mendapat bebijian, dan itu ada padaku di sini di Isin. Namun, aku telah mendengar
berita bahwa orang Martu telah menyerbu daerah tengah yang terletak di
antara kita. Aku tidak dapat kembali kepada baginda bersama bebijian ini,
jika baginda tidak mengirimkan kepadaku enam ratus perahu dan mempercayakan kepadaku baik Isin maupun Nippur. Jika baginda memenuhi
permintaanku, aku akan membawa untuk baginda bebijian sejumlah yang
cukup untuk lima belas tahun.4
Ini adalah pemerasan mentah-mentah, yang memberi penerangan bagi IbbiSin ketika gubernur Kazallu juga menulis kepadanya sambil mengeluh bahwa,
dengan dalih mengumpulkan bebijian untuk rajanya, Ishbi-Erra telah merebut
Nippur, menjarah sejumlah kota di dekatnya, menetapkan kekuasaan atas beberapa kota lain lagi, dan kini tengah mengancam untuk merebut Kazallu juga.
”Hendaklah baginda ketahui bahwa aku tidak memiliki sekutu”, keluh sang gubernur dengan seluruh perasaannya, ”tak seorang pun yang berada di pihakku”.
Ibbi-Sin tidak berdaya untuk melakukan sesuatu melawan Ishbi-Erra, yang
memiliki sejumlah besar tentaranya dan sebagian besar cadangan pangannya.
Surat balasannya kepada gubernur Kazallu menyatakan kegeraman akibat keputusasaannya:
Aku telah memberimu pasukan untuk kamu gunakan. Kamu adalah gubernur
Kazallu. Jadi, bagaimana mungkin kamu tidak mengetahui apa yang tengah
dirancang Ishbi-Erra? Mengapa kamu tidak ... keluar melawan dia? Sekarang
Ishbi-Erra dapat menyatakan diri sebagai raja. Dan dia bahkan bukan orang
Sumeria. Sumer telah dijengkangkan dan dipermalukan di depan dewan para
dewa, dan semua kota yang berada di bawah tanggung jawabmu telah begitu
saja berpindah ke pihak Ishbi-Erra. Harapan kita satu-satunya adalah bahwa
orang Martu akan menangkap dia.5
Orang Amori tidak menangkap Ishbi-Erra, dan—seperti yang dikhawatirkan Ibbi-Sin—panglima yang membelot itu menyatakan dirinya raja
pertama ”Dinasti Isin”, dengan ibu kota Isin dan wilayah daerah utara yang
semula menjadi bagian kekuasaan Ur. Dinasti Isin akan menahan usaha perebutan orang Amori dan memerintah bagian utara dataran itu selama dua
ratus tahun. Sementara itu, Ibbi-Sin tinggal memiliki kekuasaan atas jantung
kekaisaran yang tengah mengalami disintegrasi, yakni Ur sendiri.
Di sini burung-burung nasar mendarat. Pada tahun 2004, orang Elam
—yang kini telah dipersatukan kembali ke dalam satu wilayah yang bebas
dari orang Sumeria di bawah pemerintahan seorang raja bernama Kindanu
—siap untuk membalas dendam terhadap dominasi selama puluhan tahun.
Mereka menyapu daerah Tigris, meruntuhkan tembok Ur, membakar istana,
meratakan tempat-tempat suci, dan menamatkan masa Sumeria dengan suatu
akhir yang pasti dan tandas. Sawah-sawah yang belum menjadi bera karena
garam dibakar dan Ibbi-Sin sendiri diseret sebagai tawanan ke Anshan.
Puisi-puisi masa sesudahnya berisi ratapan jatuhnya Ur, bukan hanya sebagai kehancuran sebuah kota tetapi suatu kebudayaan yang lengkap:
Mayat-mayat ditumpuk di gerbang-gerbang kota yang megah,
di jalan-jalan tempat dahulu pesta-pesta diselenggarakan berserakan kepala-kepala,
di tempat dahulu tari-tarian ditampilkan, mayat-mayat bertimbuntimbun ...
Di sungai, debu telah menggunung,
tidak ada lagi air yang mengalir disalurkan ke kota,
dataran yang tertutup rumput telah retak-retak seperti tungku pembakaran.6
Jatuhnya Ur menunjukkan bukan hanya kelemahan Ibbi-Sin tetapi, yang
lebih menakutkan lagi, ketidakberdayaan dewa bulan Nanna dan dewa-dewa
pelindung kota-kota yang telah jatuh, dewa-dewa yang tidak dapat melindungi orang-orangnya sendiri.
Bapa Nanna,
nyanyianmu telah berubah menjadi tangisan,
kotamu menangis di hadapanmu, seperti seorang anak hilang di jalan,
rumahmu menjulurkan tangan kepadamu,
sambil berteriak, ”Di manakah kamu?”
Berapa lamakah engkau akan menjauh dari kotamu?7Abram dan Terah telah melarikan diri dari Ur dan dari pemujaan dewa
bulan, karena takut bahwa ia tidak dapat melindungi mereka. Ternyata ia
bahkan tidak dapat melindungi kuilnya sendiri. Dewa alam, seperti sawahsawah Ur sendiri, telah kehilangan dayanya.
Abad orang Sumeria akhirnya telah berlalu. Orang Semit, baik Akkadia
maupun Amori, serta orang Elam telah menguasai dataran, yang tidak akan
pernah lagi sesubur pada masa raja-raja awalnya, ketika air segar mengalir
mengairi sawah-sawah yang hijau.*∗
∗
Dewasa ini pun sekitar 60 persen dari tanah Iraq yang dahulu subur (negara yang kini mengkalim bagian
besar dari Mesopotamia) tidak dapat ditanami akibat dari garam dan zat-zat kimia yang terhimpun selama
berabad-abad.
G A R I S WA K T U 1 8
MESIR MESOPOTAMIA
Dinasti 5 (2498-2345) Lugalzaggesi Urukagina
(Umma) (Lagash)
Dinasti 6 (2345-2184) Periode Akkadia (2334-2100)
Sargon
Rimush
Invasi Gut
Periode Menengah Pertama (2181-2040)
Jatuhnya Agade (sek. 2150)
Dinasti Ketiga Ur (2112-2004)
Ur-Nammu
Shulgi Abram pergi ke Kanaan
Jatuhnya Ur (2004)
Dinasti-dinasti 7 & 8 (2181-21600)
Dinasti-dinasti 9 & 10 (2160-2040)
S tu , Mesir tidak memiliki seorang pharaoh
yang layak menyandang sebutan itu. Abram sudah tiba di tanah itu dalam
masa pemerintahan Dinasti Kesembilan atau Kesepuluh, dua wangsa raja
yang barangkali bertindihan. Menurut Manetho, Dinasti Kesembilan didirikan oleh seorang raja bernama Achthoes, yang memulai suatu garis kerajaan
dan memerintah seluruh Mesir dari Herakleopolis, jauh di selatan. Achthoes,
demikian tuturnya, adalah penguasa paling kejam yang pernah ada di Mesir;
”ia melukai orang-orang di seluruh Mesir”.1
Raja ini, yang muncul pada inskripsi-inskripsi sebagai ”Akhtoy I”, sebenarnya adalah gubernur provinsi yang berpusat di Herakleopolis; tradisi
kebengisannya mungkin berasal dari usahanya untuk merebut seluruh Mesir
dengan kekuatan senjata. Hampir segera setelah kematian Akhtoy (Manetho
mengatakan bahwa ia menjadi gila dan dimakan buaya, alat pembalasan
dewa-dewa), seorang ”pharaoh” lain mempermaklumkan dirinya telah berada
lebih jauh lagi ke selatan. Namanya Intef, dan ia mengklaim memerintah seluruh Mesir dari Thebes.
Manetho mengatakan bahwa Dinasti Kesembilan Akhtoy disusul oleh
Dinasti Kesepuluh, dan kemudian secara mulus oleh Dinasti Kesebelas.
Yang sesungguhnya terjadi ialah bahwa Dinasti Kesembilan, Kesepuluh, dan
Kesebelas memerintah pada waktu yang bersamaan. ”Memerintah” adalah sebuah kata yang terlalu bagus; kelompok-kelompok panglima perang yang tidak
tertib saling berperang untuk meraih hak mengklaim wilayah Mesir secara
nominal, sementara itu gubernur-gubernur provinsi terus berbuat sekehendak
mereka. Sebuah inskripsi dari salah seorang gubernur (atau nomarch; wilayah
yang dikuasai nomarch disebut nome) menunjukkan pengabaian penuh terhadap klaim-klaim kerajaan baik di Herakleopolis maupun di Thebes. ”[Aku] pengawas para imam, pengawas negeri-negeri gurun, pengawas serdadu bayaran, tuan besar nome”, begitulah Ankhtifi berbangga. ”Aku adalah awal
dan puncak bangsa manusia ... Aku telah mengatasi ketakutan-ketakutan para
leluhurku ... Seluruh Mesir Hulu sedang kelaparan dan orang memakan anak
mereka sendiri, tetapi aku tidak mengizinkan seorang pun mati kelaparan di
nome ini ... Tak sekali pun aku mengizinkan seorang yang berkekurangan
pergi dari nome ini ke nome lain. Aku pahlawan yang tiada duanya”.2
Dalam
pandangannya sendiri, paling tidak Ankhtifi adalah padanan seorang pharaoh.
Pergantian dinasti yang disusun rapi oleh Manetho dihasilkan dari tekadnya
untuk memasukkan seluruh kekisruhan itu ke dalam kerangka pergantian
dinasti-dinasti lama. Bahkan lebih dari lima belas abad setelah kejadiannya,
Manetho tidak dapat mengakui bahwa kekuasaan Horus-di-bumi telah
lenyap seluruhnya. Dalam hal itu ia tidak sendirian. Segelintir inskripsi yang
masih ditemukan dari zaman itu menunjukkan bahwa para juru tulis Mesir,
entah mengabaikan kenyataan runtuhnya kerajaan mereka (daftar-daftar raja
kuno lainnya mengemukakan bahwa Dinasti Kesembilan dan Kesepuluh
tidak pernah ada dan masuk dalam pertengahan masa pemerintahan Dinasti
Kesebelas),3
atau berusaha mengatakannya dengan memakai istilah-istilah yang
kurang mengancam. Mesir tidak jatuh ke dalam anarki. Tidak; permusuhan
antara daerah utara dan daerah selatan bukan suatu hal yang baru, dan di masa
lampau selalu muncul seorang pharaoh untuk menyatukan kembali seluruh
keadaan yang kacau itu.
Demikianlah kita sampai kepada Intef I, yang mengaku sebagai penguasa
Thebes, yang menyebut dirinya ”Raja Mesir Hulu dan Mesir Hilir” dalam
inskripsi-inskripsinya sendiri.4
Ini lebih dari sekadar berlebihan, karena ia
tentu bukan raja Mesir Hilir dan mungkin tidak menguasai sebegitu banyak
daerah Mesir Hulu pula. Sungguhpun demikian, sebutan itu mendudukkan
dia secara kokoh dalam tradisi pharaoh-pharaoh Mesir Hulu yang berhasil
menguasai kembali daerah utara yang gemar memberontak. Tentara Intef berperang, lebih dari satu kali, dengan pasukan dari Herakleopolis, suatu kejadian
ulang perang lama antara utara dan selatan. Sementara itu, para nomarch
yang bersaing saling bertikai, orang Semit Barat memasuki daerah Delta, dan
masa kejayaan lampau Mesir mundur kian jauh. ”Pasukan berperang melawan
pasukan”, tutur sebuah cerita dari masa itu. ”Mesir bertempur di pekuburan,
merusak makam-makam guna membalas dendam. ”5
Kemudian, sekitar pertengahan masa Dinasti Kesebelas, Mentuhotep I
naik tahta di Thebes.
Mentuhotep, yang dinamai seturut dengan nama dewa perang Thebes,
melewatkan dua puluh tahun pertama pemerintahannya dengan merebak jalan ke utara ke Mesir Hilir. Berbeda dengan Narmer dan Khasekhemwy
sebelumnya, ia harus berperang tidak hanya melawan tentara raja utara,
tetapi juga melawan nomarch-nomarch yang terletak di jalur perangnya.
Salah satu kemenangan besarnya ialah melawan gubernur Abydos; keganasan
perebutan itu ditandai sekurang-kurangnya oleh suatu pemakaman massal,
sebuah makam yang berisi enam puluh tentara yang semuanya terbunuh pada
pertempuran yang sama.6
Ketika ia berperang menuju ke utara, tentara-tentara penguasa Dinasti
Kesepuluh di Herakleopolis mundur di depannya. Sesaat sebelum Mentuhotep
sampai di Herakelopolis, raja Dinasti Kesepuluh yang memerintah di sana
wafat. Kekacauan pergantian penguasa mengakibatkan pertahanan kota tak
terurus, dan Mentuhotep masuk ke kota dengan mudah.
Kini ia menguasai Thebes dan Herakleopolis, tetapi Mesir masih jauh dari
bersatu. Nomarch-nomarch tidak ingin melepaskan kekuasaan yang telah
mereka pegang sejak lama; perang melawan provinsi-provinsi masih berlanjut
selama bertahun-tahun. Gambar-gambar pejabat-pejabat istana Mesir pada
waktu itu cenderung menampilkan mereka yang sedang membawa senjata,
bukannya papyrus atau alat kantor lainnya, yang mengisyaratkan bahwa perjalanan ke kantor tetap berbahaya untuk waktu yang cukup lama.7
Tetapi pada tahun kesembilan pemerintahannya, Mentuhotep akhirnya
dapat mengubah penulisan namanya. Tidaklah mengherankan bahwa namaHorus barunya adalah ”Pemersatu Kedua Negeri”. Sesungguhnya, perjuangannya selama empat puluh tahun untuk meraih kekuasaan hampir tidak
ada kaitannya dengan permusuhan utara-selatan; tetapi paradigma lama perang
saudara memberinya sebuah peluang yang lebih baik untuk menokohkan
dirinya sebagai seorang pharaoh besar yang telah menyelamatkan Mesir sekali
lagi.
Manuvernya berhasil. Tidak lama sesudahnya namanya mulai muncul
pada inskripsi-inskripsi di samping nama Narmer sendiri. Ia dielukan sebagai
Narmer kedua, setara dengan raja legendaris yang pertama kali mempersatukan
Mesir Hulu dan Mesir Hilir.
P M merupakan akhir dari Periode Menengah
Pertama dan permulaan periode kejayaan Mesir yang kedua, Kerajaan Tengah.
Menurut Manetho, ia memerintah selama lima puluh tahun.
Walaupun inskripsi-inskripsi makam menampilkan sekurang-kurangnya
lima wanita sebagai istrinya, tidak ada inskripsi dari masa pemerintahannya
yang menyebutkan seorang anak laki-laki.8
Kedua raja yang memerintah setelah itu tidak memiliki hubungan darah dengannya atau antara mereka, dan
raja yang ketiga adalah seorang anggota rakyat jelata: Amenemhet I, yang
sebelumnya mengabdi pada Mentuhotep III sebagai wazir. Tampaknya gagasan garis darah raja ilahi, jika pun dihormati dalam teori, sudah tidak lagi
diwujudkan dalam praktik.
Amenemhet I adalah raja pertama dari Dinasti Kedua belas. Amenemhet,
yang berasal dari daerah selatan (menurut inskripsi-inskripsi, ibunya berasal
dari Elefantin, jauh di daerah Mesir Hulu), langsung menempatkan diri di
dalam garis para pemersatu agung dengan membangun sebuah ibu kota baru,
seperti yang dilakukan Narmer, untuk merayakan kekuasaannya atas negeri
itu. Ia menyebut kota baru yang terletak tiga puluh lima kilometer di sebelah
selatan Memphis itu ”Peraih Kedua Negeri” (”Itj-taway”).9
Baginya kota itu
akan menjadi titik penyeimbang antara utara dan selatan; Memphis, yang
masih tetap merupakan sebuah pusat pemujaan panteon Mesir dan pusat
kuil-kuil Mesir yang paling suci, tidak lagi menjadi tempat di mana pharaoh
tinggal.
Amenemhet juga memerintahkan para juru tulis untuk menulis suatu
”nubuat” tentang dia, sebuah dokumen yang mulai beredar di seluruh Mesir
yang sangat dekat dengan awal masa pemerintahannya. ”Nubuat Nerferti”
ini, yang diduga berasal dari masa pemerintahan Raja Snefru lima ratus tahun
sebelumnya, mulai dengan Raja Snefru yang memikirkan kemungkinan
bahwa Mesir akan jatuh ke tangan penyerbu dari Asia dari arah timur (sebuah
kasus yang jelas berasal dari ramalan tentang suatu kekhawatiran yang terjadi
di masa kemudian dan diperkirakan pada masa yang jauh sebelumnya,
karena kemungkinan ini barangkali tidak pernah dibayangkan oleh Snefru).
Untunglah juru ramal Snefru memiliki sebuah ramalan yang menyenangkan:
Seorang raja akan datang dari Selatan...
Ia akan mengambil Mahkota Putih,
Ia akan memakai Mahkota Merah ...
Orang-orang Asia akan jatuh karena pedangnya,
Pemberontak dilanda amarahnya, pengkhianat digilas kekuasaannya ...
[Ia] akan membangun Tembok-Sang-Penguasa
Untuk mencegah orang Asia memasuki Mesir.10
Amenemhet kemudian mulai bertindak untuk mewujudkan nubuat itu.
Dengan bantuan anak lelakinya Senusret, ia memimpin sebuah ekspedisi melawan ”penghuni pasir” yang telah menyusup ke Delta.11 Ia juga membangun
sebuah benteng di sebelah timur Delta untuk menangkis penyusup lain dan
menamainya, tentu saja, Tembok-Sang-Penguasa.
Menjelang akhir masa pemerintahannya, Amenemhet cukup berkuasa
untuk memerintahkan pembangunan sebuah piramida di dekat kota barunya
Itj-taway. Itu hanya sebuah piramida kecil, tetapi merupakan sebuah monumen kembalinya ketertiban yang dulu. Amenemhet tentu merasa dirinya
menapaki jejak para pendahulunya yang agung. Narmer, Khufu, dan Khafre.
Kekuasaan pharaoh tengah menanjak lagi.
Kemudian Amenemhet dibunuh.
S I menulis kisah pembunuhhan ayahnya tak lama sesudahnya,
dengan suara ayahnya sendiri. ”Aku bangun untuk bertarung”, kata arwah
Amenemhet, ”dan sadar bahwa aku diserang oleh pengawal pribadi. Andai
kata aku cepat mengambil senjata dengan tanganku, tentulah pengkhianat
itu dapat kupukul mundur ... Tetapi tak ada seorang pun yang kuat di dalam
gelap, tak seorang pun dapat bertarung seorang diri... luka menimpa diriku
ketika aku tidak bersamamu, anakku”.12
Beberapa detail tambahan termaktub di dalam sebuah cerita dari waktu
yang tidak jauh sesudahnya, yakni ”Kisah Sinuhe”. Menurut cerita ini, Senusret
sedang melakukan peperangan di daerah selatan, ”negeri orang Libia”, gurun
di sebelah barat Nil, di mana para penghuni-gurun telah lama mengganggu
perbatasan Mesir. Ketika mendengar berita tentang pembunuhan ayahnya,
Senusret meninggalkan pasukannya dan terbang seperti burung hantu kembali ke utara ke Itj-taway, suatu perjalanan yang jauh dan sulit. Ketika putra
mahkota itu sudah dekat, pejabat istana Sinuhe melarikan diri dari istana
ke daerah orang Asia karena ia yakin bahwa ia akan dicurigai terlibat dalam
kejahatan itu.
Pelarian ke Kanaan adalah suatu tindakan yang sungguh putus asa untuk
seorang Mesir. Sinuhe menghadapi perjalanan yang sulit; ia harus menyelinap
melewati benteng Tembok-Sang-Penguasa (”Aku merunduk di tengah semaksemak, karena takut bahwa para penjaga di benteng ... akan melihatku”)
dan mengarungi gurun pasir selama tiga puluh hari. Akhirnya ia sampai ke
Kanaan, yang ia sebut ”Yaa”, dan mendapati sebuah tanah yang berlimpah
susu dan madu. ”Ada buah ara”, serunya, ”dan pohon anggur; anggurnya
lebih berlimpah daripada air, madunya tidak sedikit, tanahnya pun subur”.
Lama sesudahnya, Sinuhe kembali ke tanah kelahirannya untuk diberi
pengampunan oleh Senusret, yang telah menduduki tempat ayahnya dan
membuat Mesir menjadi lebih kuat dan lebih kaya. Namun, agar pendengar
tidak mendapat kesan bahwa tanah Kanaan itu suatu tempat yang baik untuk
dihuni, Sinuhe menyatakan bahwa sebelum ia kembali masuk ke masyarakat
Mesir yang sopan, ia harus diperadabkan kembali setelah bertahun-tahun
tinggal di antara orang Asia; itu suatu proses panjang yang tampaknya
meliputi pencukuran seluruh tubuhnya, karena pengasingan di tengah orang
Semit Barat telah menjadikannya kumal.
S , setelah membalaskan pembunuhan ayahnya dengan
mengeksekusi pengawal pribadi ayahnya, memiliki masa pemerintahan sendiri
yang sejahtera. Ia mengangkat anak lelakinya sebagai penguasa-pendamping
beberapa tahun sebelum wafatnya, suatu kebiasaan yang menjadi lazim di
antara para pharaoh Dinasti Kedua belas. Pendampingan itu membuat
peralihan kekuasaan dari satu pharaoh ke pharaoh berikutnya menjadi lebih
mudah dan lebih mulus. Pendampingan itu juga merupakan suatu konsesi
tata cara; penetapan suatu pendampingan tentu mengalir di depan tradisi
lama kematian seorang raja dan kelahirannya kembali di dalam diri anak
lelakinya. Tetapi pada masa itu pharaoh sudah jelas lebih berupa manusia
daripada dewa. Statusnya yang berubah dicerminkan dalam patung-patung
raja Dinasti Kedua belas, yang berupa gambar manusia nyata dan sangat
berbeda dengan wajah-dewa kaku para penguasa Dinasti Keempat.
Pergantian kekuasaan berlanjut; Mesir, yang berada dalam keadaan
relatif damai, telah mewujudkan dirinya kembali seperti kemakmuran masa
sebelumnya. Anak lelaki Senusret digantikan oleh cucunya, kemudian cicitnya,
Senusret III, yang mudah diingat karena tubuhnya yang kekar (agaknya
tingginya lebih dari dua meter) dan patung-patungnya yang langsung dapat
dikenali, yang menampilkan dia dengan wajah bergaris, mata lebar dengan
pelupuk tebal, dan telinga yang cukup menjorok sehingga tutup kepalanya
tertahan ke belakang. Ia membangun lebih banyak benteng di Nubia daripada
pharaoh lainnya; menurut catatannya sendiri, jumlahnya sekurang-kurangnya
tiga belas. Benteng-benteng itu besar dan tinggi, seperti kastil-kastil Abad
Pertengahan dengan menara dan baluarti serta parit keliling. Salah satu yang
paling luas, benteng di Buhen, di dekat Katarak Kedua, memiliki tembuk dari
batu lumpur setebal tiga meter, lima menara tinggi, sebuah gerbang pusat yang
masif dengan pintu ganda dan sebuah jembatan gantung yang menyeberangi
sebuah parit pelindung. Di dalam benteng itu terdapat ruang yang cukup luas
untuk sebuah kota, jalan-jalan dan sebuah kuil.13
Orang Mesir yang tinggal di Buhen tidak tidur di luar tembok itu, di
mana orang Nubia mungkin menemukan mereka. Selama pertempuranpertempuran sengit Senusret, orang Mesir telah membunuh orang laki-laki
Nubia, membawa wanita dan anak-anak ke utara sebagai budak, membakar
sawah, dan menghancurkan sumur. Orang Nubia sedemikian membenci penguasanya sehingga tidak dapat hidup berdampingan dengan mereka.
Tetapi perlakuan biadab terhadap provinsi Mesir yang paling ribut itu
menghentikan perlawanannya untuk sementara. Pada waktu Senusret III mewariskan Mesir kepada anak lelakinya sendiri, wilayah Mesir dalam keadaan
damai. Mesir telah mulai berdagang kembali dengan Byblos untuk mendapat
kayu aras. Tambang-tambang di Sinai dieksploitasi sepenuh-penuhnya. Dan
air luapan Nil berada di titik tertingginya dibanding tahun-tahun terdahulu.
Kerajaan Tengah berada pada puncak kejayaan, walaupun yang duduk di
tahtanya seorang manusia biasa dan bukan seorang dewa.
G A R I S WA K T U 1 9
MESIR MESOPOTAMIA
Periode Menengah Pertama (2181-2040)
Jatuhnya Agade (sek. 2150)
Dinasti-dinasti 7 & 8 (2181-2160)
Dinasti-dinasti 9 & 10 (2160-2040)
Kerajaan Tengah (2040-1782)
Dinasti II (2134-1991)
Intef I-III
Mentuhotep I-III
Dinasti Ketiga Ur (2112-2004)
Ur-Nammu
Shulgi Abram pergi ke Kanaan
Jatuhnya Ur (2004)
Dinasti 12 (1991-1782)
Amenemhet I
K M proses menuju kemakmuran kembali,
dataran Mesopotamia masih dalam kekacauan.*∗
Setelah menjarah Ur dan
menggelandang, Ibbi-Sin ke Susa dalam kemenangan, orang Elam telah
menduduki reruntuhan kota dan tembok berbenteng, siap menggunakannya
sebagai basis untuk menaklukkan wilayah lain lagi. Tetapi mereka tidak
memperhitungkan panglima Ishbi-Erra yang berwatak pengkhianat dan
culas, yang masih menguasai dengan kokoh kota Ishin di utara. Ishbi-Erra
membutuhkan Ur untuk mewujudkan rencana besarnya untuk membangun
sebuah dinasti baru Sumeria, seagung dinasti Ur yang telah jatuh.
Ia tidak menghadapi pesaing besar. Setelah Ur dijarah, kebanyakan kota
yang tersebar dan yang dahulu berada di bawah perlindungan raja-raja Dinasti
Ketiga tidak mampu bangkit kembali sebagai kota-kota yang berdaulat
sendiri. Hanya terdapat tiga penantang: dua kota kuno Sumeria yang berhasil
mempertahankan sekadar kemerdekaan setelah Ur III jatuh, dan orang Elam
sendiri.
Kota pertama, Eshnunna, terletak jauh di utara, di sepanjang kelokan ke
kanan sungai Tigris. Segera seketika Ibbi-Sin mulai menghadapi kesulitan,
Eshnunna mengambil manfaat dari jaraknya yang jauh dari ibu kota dan
memberontak. Kota itu tentu merupakan ancaman terhadap kekuasaan IshbiErra, tetapi letaknya pun jauh dari Isin (dan di tengahnya pun terdapat orang
Amori). Di pihak lain, kota kedua Sumer lama yang tetap merdeka, Larsa,
berada tepat di sebelah selatan dataran yang dikuasai Ishbi-Erra. Kota ini pun
telah memberontak melawan kekuasaan Ibbi-Sin, tetapi tahta kerajaannya
diklaim oleh seorang Amori.
Alih-alih melemahkan kekuatannya dengan berperang melawan Larsa,
Ishbi-Erra memperkuat Isin, kotanya sendiri, dan membangun bala tentaranya
sebagai persiapan untuk menyerang kota permata mahkota: Ur.
Ia tidak tergesa-gesa. Barulah menjelang akhir masa kekuasaannya—
mungkin sepuluh tahun setelah Ur ditaklukkan oleh orang Elam—ia menyapu
dari utara, terus melaju melewati Larsa dan menyerang para penduduk Elam.
Sebuah puisi yang sangat fragmenter mencatat kemenangannya terhadap
orang Elam dan perebutan Ur dari tangan musuh:
Ishbi-Erra mendekati musuh,
dan mereka tidak luput dari kekuasaannya, di dataran Urim itu.
Dengan sebuah kereta megah,
ia memasuki kota dengan jaya,
ia mengambil emas dan perhiasannya,
dan berita itu disampaikan kepada ... raja Elam.1
Ishbi-Erra harus puas dengan permata mahkota itu; ia tidak sempat menyerang baik Larsa maupun Eshnunna. Ia meninggal tidak lama sesudahnya dan
meninggalkan kepada anak lelakinya kekuasaan atas kerajaan empat kotanya
Isin, Nippur, Uruk, dan Ur.
S berikutnya dinasti Ishbi-Erra di Isin dan
raja Amori di Larsa berperang mati-matian di dataran selatan. Tidak ada yang
unggul di antara mereka.2
Jauh di utara, kota-kota yang dahulu di bawah pengawasan Dinasti Ketiga
Ur mulai menegaskan kemerdekaannya. Assur, yang telah direbut pertamatama oleh ekspansi Akkadia di bawah Sargon, kemudian direbut oleh kerajaan
Ur di bawah Shulgi, membangun kembali temboknya, dan mulai berdagang
dengan orang Semit Barat dekat pantai Laut Tengah; saudagar-saudagar dari
Assur bahkan membangun koloni-koloni dagang kecil sendiri di ujung timur
Asia Kecil.3
Di sebelah barat Assur, kota Mari di utara, di tepi sungai Efrat,
melakukan hal yang sama. Di antara Assur dan Mari, dan di antara kedua sungai, terdapat wilayah kepala-kepala suku Amori yang berserak-serak dan terus
berubah, kebanyakan dari mereka menguasai bentangan-bentangan tanah pertanian kecil, mengembara, bertengkar, dan menetapkan garis-garis perbatasan
wilayahnya kembali secara terus menerus.
Sekitar tahun 1930 SM, perimbangan kekuasaan di selatan mulai bergeser.
Raja kelima Larsa, seorang Amori bernama Gungunum, menduduki tahta
setelah
Kematian saudara lelakinya dan membuat rencana sendiri untuk
membangun sebuah kekaisaran. Ia menyerbu Susa dan meninggalkan
sebuah inskripsi dengan namanya sendiri di sana; ia menyerbu Nippur dan
merebutnya dari kekuasaan Isin; dan kemudian ia menyerang Ur, kebanggaan
dinasti Isin. Dari peperangan ini kita memiliki beberapa surat yang penuh
ketegangan antara raja Isin, Lipit-Ishtar (anak lelaki dari cicit Ishbi-Erra, sejauh
pengetahuan kita), dan jenderalnya ketika mereka berusaha menghadapi
pasukan yang kian mendekat. Jenderal menulis, ”Enam ratus pasukan dari
Gungunum telah tiba; jika baginda tidak mengirim bala bantuan, mereka akan
segera membangun benteng-benteng dari bata; jangan menunda, baginda!”
Jawaban Lipit-Ishtar mengulangi nada keputusasaan yang dahulu dirasakan oleh Ibbi-Sin ketika menghadapi datangnya serangan Ishbi-Erra delapan
puluh tahun sebelumnya. ”Jenderal-jenderalku yang lain melayani rajanya
lebih baik daripada Anda!” tulisnya. ”Mengapa Anda lalai memberitahukan
semua itu kepadaku? Aku sudah mengirim cepat-cepat kepada Anda dua ribu
prajurit bertameng, dua ribu pemanah, dan seribu prajurit berkampak. Usir
musuh keluar dari kamp mereka dan jaga kota-kota di dekatnya. Ini darurat!”4
Bala bantuan terlambat datang, atau terlalu sedikit; pasukan musuh dari
Larsa mengalahkan Ur. Tak lama sesudahnya Gungunum memaklumkan diri
sebagai pelindung ilahi kota tua itu dan tengah memerintahkan penulisan
puisi yang—walaupun leluhurnya adalah orang Amori—menjanjikan kepada dewa bulan bahwa ia ingin sekali memulihkan tata cara lama: ”Engkau,
Nanna, adalah yang dikasihi oleh raja Gungunum”, bunyi salah satu puisinya.
”Ia akan memulihkan kotamu bagimu; ia akan membawa pulang untukmu
bangsa Sumer dan bangsa Akkad yang tersebar-sebar; di kotamu Ur, kota
tua itu, kota kekuasaan ilahi yang agung, rumah yang tak pernah menjadi
kecil, semoga Gungunum hidup selamanya!”5
Dengan mengklaim hak untuk
memulihkan warisan seorang lain, strategi ini akan dipakai oleh penaklukpenakluk lain sesudah dia.
Pengganti Gungunum mewarisi Larsa dan Ur, dan memutuskan untuk
memasukkan kota Nippur ke dalam wilayah kekuasaannya. Ketika raja Isin
(seorang perebut kekuasaan; keturunan Ishbi-Erra telah kehilangan tahta
menyusul bencana yang menimpa Ur) menolak, kedua kota itu membangkitkan
kembali persaingan lamanya. Sekali lagi Larsa dan Isin terlibat peperangan
yang berlangsung selama bertahun-tahun, kali ini terhadap kota Nippur yang
malang, yang berpindah tangan sekurang-kurangnya sebanyak delapan kali
selama masa peperangan itu. Sementara itu kota-kota lainnya di dataran itu
—Isin, Larsa, Uruk (yang kini diperintah oleh seorang pemimpin Amori),
Eshnunna, Assur, Mari—selama beberapa tahun berada dalam kewaspadaan
yang tinggi terhadap satu sama lain, tetapi dalam posisi netral disertai kesiagaan
senjata.
Suatu kota baru muncul bergabung dengan mereka ketika seorang
pemimpin Amori lainnya menetap di desa Babilon di tepi sungai dan
memutuskan untuk menjadikan desa itu markasnya. Pemimpin itu, Sumuabum, membangun tembok mengelilingi pemukiman itu dan membuatnya
menjadi sebuah kota, dengan dirinya sebagai raja dan anak-anak lelakinya
sebagai ahli waris. Inskripsi-inskripsi yang ia tinggalkan, yang memperingati
masa pemerintahannya, menyebutnya (seperti Gilgamesh dahulu) sebagai
pembangun agung kotanya: tahun kedua pemerintahannya digambarkan
sebagai ”Tahun ketika tembok dibangun”, dan tahun kelima sebagai ”Tahun
ketika kuil agung Nannar dibangun”.6
Selain Sumu-abum, tak satu kota lain pun dikaruniai kepemimpinan yang
menonjol. Raja kecil digantikan raja kecil tanpa meninggalkan banyak jejak.
Isin mengalami suatu peralihan kekuasaan yang merepotkan ketika rajanya
yang kesembilan, Erra-imitti, diberitahu oleh seorang peramal setempat bahwa
malapetaka mengancam. Erra-imitti memutuskan untuk mencegah bencana
yang akan datang itu dengan melakukan suatu ritual kambing-hitam yang
dikenal di Assiria pada masa setelah itu; ia mengambil salah seorang pekerja
istana, seorang pengurus lahan, untuk menjadi raja sehari. Pada akhir masa
yang diwajibkan, raja semu itu akan dieksekusi secara seremonial. Dengan
cara itu ramalan yang mengerikan telah terjadi, karena malapetaka telah menimpa raja, dan raja yang sebenarnya akan lolos tanpa cedera.
Sayangnya, seperti yang dituturkan oleh kronik yang melestarikan peristiwa
itu, begitu pengurus lahan itu dimahkotai untuk sementara, Erra-imitti pergi
menyantap semangkuk sup dan mati ketika mencecapnya.7
Sup saja tentu tidak
bisa langsung menyumbat pernapasan; mungkin ada orang yang memberikan
racun berkeliaran di istana. Dengan wafatnya raja, pengurus lahan itu menolak
menyerahkan tahta dan memerintah selama dua puluh empat tahun.
Perang dengan Larsa terus berlangsung selama masa itu dan Larsa yang
menjadi lemah karena peperangan yang tiada hentinya merupakan sasaran
yang empuk ketika orang Elam ingin tampil kembali ke permukaan secara
tidak penuh. Sekitar tahun 1834, seorang pemimpin pejuang dari Elam barat
laut menghimpun suatu bala tentara dan menyerbu ke seberang Tigris. Ia
merebut Larsa dan— tak lama sesudahnya—merebut juga Ur dan Nippur.
Ia menyerahkan Larsa kepada anak lelakinya yang muda, Rim-Sin, sebagai
perkawakilannya.
Lingkungan baru Rim-Sin itu kumuh dan malang akibat peperangan
selama bertahun-tahun; Rim-Sin mulai berusaha mengembalikan Larsa kepada kejayaannya semula. Kita tidak mengetahui secara tepat bagaimana ia
menjalani tahun-tahun awal pemerintahannya, tetapi kita mengetahui bahwa
pada tahun 1804, delapan belas tahun setelah ia naik ke tahta Larsa, tiga kota
merasa cukup khawatir akan kekuatan Larsa yang terus berkembang sehingga
mereka bersatu mengabaikan perbedaan-perbedaan historis mereka untuk
melawan ancaman itu. Raja Isin, penguasa Amori kota Uruk, dan pemimpin
Amori Babilon mengirim sebuah bala tentara gabungan melawan Rim-Sin.
Rim-Sin menggilasnya dan menyerang Uruk, yang ia duduki sebagai
wujud pembalasan. Raja Babilon dan raja Isin mundur untuk mempertimbangkan langkah mereka berikutnya.
Pada saat itu raja Eshnunna memutuskan untuk memanfaatkan kekacauan
di selatan guna meluaskan wilayahnya ke utara. Ia menyusur Tigris, memukul
raja Amori di Assur dari tahtanya, dan mempercayakan kota itu kepada anak
lelakinya sebagai perwakilannya supaya diurus . Tetapi sebelum ia sempat
merencanakan serangan selanjutnya, seorang penyerbu muncul di luar tembok Assur yang rusak.
Pejuang itu, seorang lelaki bernama Shamshi-Adad, barangkali adalah
seorang Amori, seperti layaknya lelaki bersenjata pada masa itu. Daftar
raja Assiria (yang mencatat peralihan tahta raja-raja Assur, yang bentuknya
sama dengan daftar Sumeria) menuturkan bahwa Shamshi-Adad telah melewatkan beberapa tahun di Babilon, kemudian telah berangkat dari Babilon
dan ”merebut kota Ekallatum”, sebuah benteng militer yang letaknya tepat
di sebelah utara Assur, di tepi seberang Tigris, dan barangkali mengabdi
pada Assur sebagai penjaga pos luar.8
Di sana ia tinggal selama tiga tahun,
agaknya sambil merencanakan usaha merebut kekuasaan. Kemudian ia
menyerang Assur, menurunkan wakil kepala Eshnunna, dan naik sendiri ke
atas tahta.*∗
Kemudian ia mulai membangun sebuah kekaisaran yang akan menjadi
cerminan kerajaan Larsa di utara, yang kini tengah berkembang ke selatan
di bawah Rim-Sin. Shamshi-Adad menunjuk anak sulungnya Ishme-Dagan
untuk memerintah Ekallatum dan daerah-daerah barat laut Assur, kemudian merebut daerah antara Tigris dan Efrat. Ia menyerang ke barat sampai
ke Mari, mengalahkan pasukan pertahanan Mari dan mengeksekusi raja
Mari; salah seorang pegawai Shamshi-Adad menulis kepadanya, tidak lama
sesudah itu, untuk menanyakan seberapa besar upaya yang perlu