Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 7



 tiap wanita di dalam keluarga raja menjadi mandul sampai 

Sarai dikembalikan (dan raja itu, Abimelech, “dicegah untuk menyentuh 

Sarai”, yang tampaknya mengisyaratkan bahwa bukan hanya wanita-wanita 

itu yang direnggut fungsi kodratinya untuk sementara waktu). Sekali lagi 

ceritanya terpusat pada identitas ras bangsa yang telah dijanjikan untuk 

diciptakan oleh Allah.

Kitab Kejadian ditulis, berdasarkan perhitungan mana pun, jauh setelah 

kejadian-kejadian yang digambarkannya, dengan gaya penuturan anakronistis 

yang disengaja. Cerita-cerita Alkitab secara khas menggunakan nama-nama 

yang tentu dikenal oleh pembaca sezamannya, bukan nama-nama yang di￾gunakan dalam masa lampau sejarah: “Ur Khaldea” adalah salah satu acuan 

semacam itu, karena tanah pada ujung Teluk Parsi tidak dikenal sebagai tanah 

“orang Khaldea”, paling tidak sebelum pemerintahan raja Ashurnasirpal II dari Assiria (884/883-859 SM).*∗

 Abram berurusan dengan “Orang Amori”; 

Abimelech, raja Gerar, disebut seorang Filistin. Nama-nama itu mengacu 

pada identitas-identitas politis masa kemudian yang berkembang bersamaan 

dengan suku-suku Semit Barat yang mengintai daerah dan mulai berperang 

untuk mendapatkannya.

Namun, walaupun nama-nama di dalam naskah itu sengaja dibuat ana￾kronistis, kejadian-kejadian di dalam cerita itu sendiri menunjukkan suatu 

pemahaman yang jelas tentang perbedaan bukan hanya antara darah Abraham 

dan darah Mesir, tetapi antara ras Abraham dan ras Abimelech. Untuk per￾tama kalinya dapat disebutkan bahwa orang Semit Barat terdiri dari ras yang 

berbeda-beda. 

Di Sumer, sejak awal zaman, identitas pertama bangsanya bukanlah se￾bagai “orang Sumeria”. Mereka adalah warga kota Ur, warga Lagash, warga 

Uruk, dan masing-masing menyatakan kesetiaan mendasar kepada seorang 

dewa tertentu sambil mengakui adanya dewa-dewa lain. Munculnya kekai￾saran Akkadia, dengan pembedaannya yang jelas antara orang Sumeria dan 

orang Akkadia, telah memunculkan suatu perubahan: dua bangsa di dalam 

satu perangkat batas-batas politis, dengan sebuah identitas bersama (“bawahan 

Sargon”) yang walaupun demikian tidak menghilangkan perbedaan mereka 

yang mendasar. Orang-orang Gut yang menyerbu lebih jauh menegaskan hal 

itu: dua bangsa yang berbeda bisa saja memiliki suatu identitas bersama-sama 

sebagai bangsa yang berperadaban, yang membedakan mereka dengan tajam 

dengan bangsa ketiga.

Kini Abraham, yang mengembara ke barat, menggunakan suatu bahasa 

yang sedemikian mirip dengan bahasa orang Semit Barat sehingga ia dapat 

berkomunikasi tanpa terlalu banyak kesulitan, dibedakan dengan cara yang 

jauh lebih renik. Ia tidak sama dengan Abimelech, seorang Semit Barat lain, 

karena suatu pilihan. 

Ketika janji Allah akhirnya digenapi dan Ishak lahir, sebuah ras baru tercipta dan 

diberi tanda pengenal fisik; Allah memerintahkan Abraham untuk menyunatkan 

anak-anak lelakinya, dirinya sendiri, dan keluarganya sebagai tanda pembedaan. 

(Barangkali tanda itu akan mengingatkan mereka, pada saat yang penting, 

bahwa mereka tidak boleh mencampur darah mereka dengan ras lain.) Setelah 

itu, ketika Abraham ingin menemukan seorang istri untuk anak lelakinya, ia 

menolak mengizinkan Ishak untuk menikah dengan salah seorang wanita Semit 

Barat di sekitarnya. Tetapi ia mengirim haremnya jauh ke Mesopotamia barat 

laut untuk mengambil seorang kerabat darah, cucu kemenakannya Ribkah, di 

antara kerabat-kerabatnya yang masih tinggal di Haran.

 Dari ras lama muncul suatu ras baru.

A  H pun berbeda.

Dengan seizin Abraham, Sarai mengusir Hagar yang sedang hamil. Hagar 

pergi dari Hebron, melewati Beersheba, ke selatan menuju Mesir. Ia pulang 

ke rumahnya.

Tetapi anak lelaki Abram tidak boleh diserap kembali ke dalam kekalutan 

Mesir selama Periode Menengah Pertama. Hagar, menurut Kej. 16, berjumpa 

dengan seorang utusan Allah di jalan, dan ia juga diberi janji. Mirip dengan 

janji yang diberikan kepada Sarai, anak-anak Hagar juga akan menjadi sebuah 

bangsa yang terlalu besar jumlahnya untuk dihitung.

Maka Hagar kembali ke rumah tangga Abram; dan bayinya, ketika lahir, 

dinamai Ishmael, dan tumbuh menjadi dewasa di dalam rumah tangga ayah￾nya. Kepadanya, bangsa-bangsa Arab secara tradisional merunut asal-usul 

mereka. Menurut Alquran (yang ditulis pada suatu masa yang masih lebih 

jauh lagi dibandingkan dengan jarak antara Kitab Kejadian dan kejadian-ke￾jadian yang dilukiskannya), Abram—Ibrahim, menurut ejaan Arab—adalah 

orang pertama yang menyembah Allah, Tuhan yang esa, bukan bintang￾bintang, bulan, atau matahari. Setelah dewasa, Ishmael pergi dengan Ibrahim 

ke Arabia, ke kota Mekah di sudut barat daya jazirah Arab, dan bersama-sama 

mereka membangun Kakbah, rumah pertama untuk penyembahan kepada 

Allah. Ke rumah itulah, Alquran memerintahkan semua pengikut Allah— 

”Kaum Kitabi”—untuk berpaling: ”Di mana pun kamu berada”, demikian 

bunyi Alquran, ”arahkan wajahmu ke arah itu. ... Dari mana pun kamu ber￾tolak, arahkan wajahmu ke Masjid Suci; di mana pun kamu berada, arahkan 

wajahmu ke sana”.10

K  kekaisaran neo-Sumeria tempat keluarga Terah telah mengungsi, 

keresahan sebelumnya telah mereda menjadi kekaisaran yang mapan.

Shulgi, yang telah menggantikan ayahnya, Ur-Nammu yang ambisius, di 

tahta Ur, telah melewatkan bagian pertama masa pemerintahannya dengan me￾nilai situasinya. Setelah dua puluh tahun berkuasa—kurang dari separuh masa 

pemerintahan akhirnya—Shulgi mulai menata ulang wilayahnya.11 Penataan 

itu mencakup sejumlah penaklukan; Shulgi melanglang ke utara sampai se￾jauh kota-kota kecil Assur dan Nineveh dan kemudian kembali menyeberang 

wilayah Tigris, memasuki daerah orang Elam, dan merebut kembali Susa. Ia 

tidak sampai mendesak jauh ke utara ke dataran tinggi Elam, di mana raja￾raja Elam dari sebuah dinasti Elam yang telah lama bercokol, yang disebut 

Simash, tetap mempertahankan wilayah itu sebagai kekuasaan mereka. Tetapi 

ketika pertempurannya berakhir, negosiasi dimulai. Shulgi membuat perjan￾jian dan kesepakatan dengan sejumlah pangeran kecil dan panglima perang, 

menikahkan tiga anak perempuannya dengan para penguasa wilayah-wilayah

yang terletak di daerah-daerah Elam. Ia membagi wilayahnya yang meluas itu 

menjadi sejumlah provinsi dan menempatkan gubernur-gubernur yang bertu￾gas melapor kepadanya. Wilayah itu adalah sebuah kekaisaran yang diperintah 

berdasarkan hukum dan perjanjian, terikat dengan peraturan-peraturan yang 

wajib ditaati oleh bangsanya. Mereka wajib mentaatinya bukan semata-mata 

karena Shulgi memiliki tentara yang dapat memaksakan perintah-perintah￾nya, tetapi karena ia adalah orang pilihan dewa-dewa, yang diangkat oleh 

yang ilahi atas kemurahan khusus:

Ibunda Nintu telah membesarkanmu,

Enlil telah menegakkan kepalamu,

Ninlil telah mengasihimu ...

Shulgi, raja Ur.

Terutama, ia adalah kekasih dewi Inanna, yang telah melimpahinya dengan 

cinta, antara lain karena keunggulan seksualnya: 

Karena ia telah menegakkan rambut di pangkuanku ...

Karena di tempat tidur ia mengucapkan kata-kata yang menyenangkan ...

Nasib baik akan kutetapkan untuknya.12

Ia juga orang kesayangan dewa bulan Nanna. Sebagai ungkapan terima kasih 

kepada dewa-dewi pelindungnya, Shulgi membangun ziggurat terbesar di Ur, 

padanan neo-Sumeria untuk Piramida Besar; sebuah bangunan raksasa untuk 

pemujaan yang dalam bahasa Sumeria dinamakan ”Rumah Yang Pondasinya 

Disalut Kengerian”.13 Dan dalam upaya untuk memerintah secara adil, seperti 

yang diminta dewa-dewa, Shulgi menetapkan seperangkat hukum baru. 

Hukum itu bersifat fragmenter, tetapi menyandang keistimewaan sebagai 

undang-undang tertulis pertama dalam sejarah yang menetapkan hukuman￾hukuman terinci untuk pelanggaran-pelanggaran terinci.14

 

S S   U, Abraham berperang tanpa henti 

untuk mengamankan keluarganya. Hidup di Kanaan sungguh keras. Selama 

waktu itu, tembok-tembok Yeriko saja dirusak dan diperaiki sampai tujuh 

belas kali.15

Abraham telah menurunkan bukan satu melainkan dua bangsa; kedua anak 

lelakinya ditandai dengan tanda perjanjian, pemotongan ritual kulit kulup 

yang menciptakan suatu perbedaan fisik antara mereka dan orang-orang Semit 

lainnya yang memperebutkan daerah keras antara pantai Laut Tengah dan 

sungai Yordan.*∗

 Tetapi perbedaan itu tidak memberikan keunggulan khusus

bagi mereka dalam hal perebutan wilayah. Ketika Sarah meninggal, hampir 

tiga puluh tahun setelah melahirkan Ishak, sukunya masih memiliki daerah 

yang sedemikian kecil sehingga Abraham harus membeli sebuah gua dari se￾orang tuan tanah Semit Barat di dekatnya untuk menguburkan istrinya.

G A R I S WA K T U 1 7

 MESIR MESOPOTAMIA

Dinasti 4 (2613-2498) Dinasti Purba III (2600-2350) 

Snefru

Khufu Lugulannemundu (sek. 2500) 

Khafre Mesilim

 Menkaure

 Dinasti 5 (2498-2345) Lugalzaggesi Urukagina

 (Umma) (Lagash)

 Dinasti 6 (2345-2184) Periode Akkadia (2334-2100)

 Sargon

 Rimush

 Invasi Gut

 Periode Menengah Pertama (2181-2040)

 Jatuhnya Agade (sek. 2150)

 Dinasti Ketiga Ur (2112-2004)

 Ur-Nammu

 Shulgi Abram pergi ke Kanaan

 Dinasti 7 & 8 (2181-2160)

 Dinasti 9 & 10 (2160-2040)





D  -S   oleh Dinasti Ketiga 

Ur, kekuasaan hukum dan ketertiban sangat baik, tetapi tidak berlangsung 

lama.

Setelah masa pemerintahan yang sangat panjang dan sejahtera selama 

empat puluh tujuh tahun, Shulgi menyerahkan tahtanya kepada anak lelaki￾nya, yang waktu itu juga sudah cukup berumur; setelah masa pemerintahan 

singkat selama delapan tahun, cucu Shulgi, Shu-Sin ganti mewarisi tahta. Di 

bawah generasi keempat Dinasti III Ur ini kekaisaran mulai luluh lantak. 

Pemerintahan Shu-Sin menghadapi suatu ancaman yang semakin 

membesar: orang Amori, kaum pengembara Semit Barat yang kini menjelajahi 

tapal batas barat, antara Kanaan dan tapal batas wilayah neo-Sumeria. 

Orang Sumeria menyebut mereka ”Martu” (atau ”Amurru”) dan terpaksa 

bersaing dengan mereka secara langsung untuk memperebutkan sesuatu yang 

persediaannya kian berkurang: tanah subur. 

Sudah empat abad—barangkali sejak kurun ribuan tahun—kota-kota di 

dataran itu telah menanam gandum dalam jumlah yang cukup untuk menopang 

kehidupan penduduk yang semakin banyak melalui irigasi: mereka menggali 

saluran dari tepi sungai ke wadah-wadah penampungan, agar air yang pasang 

dapat mengalir ke tangki-tangki penampungan, dan dari sana air dapat dialirkan 

ke sawah selama masa kekeringan.

Tetapi air sungai Tigris dan Efrat, walaupun cukup segar untuk menopang 

kehidupan, sedikit asin. Ketika air yang sedikit payau itu tinggal di wadah 

penampungan, air itu menyerap lebih banyak garam lagi dari tanah yang 

kaya akan mineral. Air itu kemudian mengalir ke sawah dan terkena sinar 

marahari. Sebagian besar meresap ke dalam tanah, tetapi sebagian menguap 

dan meninggalkan lebih banyak garam di permukaan tanah daripada yang ada 

sebelumnya.

Proses yang disebut salinasi itu akhirnya menyebabkan konsentrasi garam 

yang sedemikian besar di tanah sehingga panen mulai gagal.*∗

 Gandum 

khususnya cukup peka terhadap garam di tanah. Cerita-cerita dari kota-kota 

Sumeria menunjukkan terjadinya peralihan berangsur-angsur pada tahun￾tahun sebelum 2000 SM dari gandum ke jelai yang lebih tahan terhadap 

garam. Tetapi suatu ketika jelai pun tidak dapat tumbuh lagi di tanah masin. 

Tumbuhan bebijian menjadi langka. Demikian juga daging, karena terdapat 

kekurangan bebijian tidak hanya untuk manusia melainkan juga untuk 

binatang, yang harus digembalakan semakin jauh saja untuk menemukan 

rumput.

Sekitar masa pemerintahan Shu-Sin, seorang juru tulis Sumeria mencatat 

bahwa tanah di sawah-sawah tertentu telah ”memutih”.1

 Sebuah peribahasa 

dari masa itu mengatakan bahwa petani dipusingkan oleh masalah garam 

yang meningkat; salah satu peribahasa dari kumpulan masa itu menanyakan, 

”Karena para pengemis pun tidak cukup mengetahui cara menyemai barli de￾ngan benar, bagaimana mungkin mereka dapat menyemai gandum?” Sebuah 

peribahasa lain mencatat bahwa hanya suatu yang ”jantan” yang muncul 

dari sungai saja—mungkin sesuatu yang sangat kuat— akan ”mengonsumsi 

garam” di dalam tanah.2

 

Petani-petani Sumeria bukannya sedemikian asing terhadap pengetahuan 

dasar tentang pertanian sehingga seolah-olah mereka tidak memahami masa￾lah itu. Tetapi pemecahan satu-satunya adalah mencegah agar tidak menanam 

setiap dua tahun, suatu kebiasaan yang disebut ”pemberaan rumput”— yakni 

membiarkan tanah ditumbuhi rumput yang akarnya dalam, dan menurunkan 

strata air, dan membiarkan garam meresap lebih dalam ke bawah humus 

tanah.3

 Sementara itu, apakah yang akan disantap oleh penduduk kota-kota 

Sumer? Dan bagaimana beban pajak yang semakin ketat, yang diperlukan 

oleh suatu birokrasi yang luas dan sangat tersusun, yang diciptakan oleh 

Shulgi dan dipertahankan oleh para pewarisnya itu akan ditanggung?

Jika pemberaan rumput tidak dilakukan, sawah dapat menjadi sedemikian 

beracun sehingga harus ditinggalkan sama sekali, mungkin selama lima puluh 

tahun agar membiarkan humus tercipta lagi. Karena itulah serbuan orang 

Amori ke sawah-sawah subur Sumer bukan lagi merupakan tindak gangguan 

melainkan perkara hidup atau mati. Dataran Mesopotamia tidak memiliki

bentangan sawah yang tanpa batas; itulah yang oleh para pakar antropologi 

disebut ”tanah pertanian yang terkepung”, yang dibatasi dengan jelas oleh 

pegunungan dan gurun yang mengelilinginya.*†

 

Semakin langkanya bebijian, penduduk Sumeria secara umum menjadi 

lebih lapar, kurang sehat, lebih cenderung bersungut-sungut, dan kurang 

mampu mempertahankan diri. Karena tidak menerima seluruh jumlah pajak 

bebijian, istana Dinasti III Ur tidak dapat menggaji tentaranya. Orang Amori 

yang menyerbu tidak dapat dihalau dengan mudah.

Dalam tiga tahun pertama pemerintahannya, Shu-Sin berangsur-angsur 

kehilangan daerah-daerah perbatasannya. Pada tahun keempat, ia sedemikian 

kerepotan sehingga ia mencoba suatu strategi yang sama sekali baru, yang 

belum pernah ia gunakan sebelum-nya: ia memerintahkan untuk memba￾ngun tembok besar sepanjang 250 kilometer melintasi dataran antara Tigris 

dan Efrat dalam upaya untuk menangkis orang Amori.

Tembok itu pun sama sekali tidak berguna. Anak lelaki Shu-Sin, Ibbi-Sin, 

tak berselang lama bahkan tidak lagi berniat mempertahankan sawah-sawah 

yang ada di belakangnya. Kemiskinan, kekacauan, dan invasi menyebabkan 

kepingan-kepingan wilayahnya lepas satu demi satu dan jatuh, bukan hanya ke 

tangan orang-orang Amori yang menjarah tetapi ke tangan rakyatnya sendiri 

yang lapar dan kecewa. Ketika Ibbi-Sin telah bertahta selama dua tahun, 

Eshnunna, jauh di daerah utara wilayah kekaisarannya yang masih tersisa, 

memberontak dan menolak membayar upeti, dan Ibbi-Sin tidak memiliki 

satuan pasukan untuk menaklukkan kembali kota itu. Tahun berikutnya, raja 

Elam dari Anshan—sebuah kadipaten yang secara teknis bebas dari kekuasaan 

Sumeria tetapi telah menjalin persekutuan dengan Shulgi melalui perkawinan 

lima puluh tahun sebelumnya—menolak perjanjian yang sudah berusia 

setengah abad itu dan mengusir orang Sumeria kembali keluar dari Susa. Dua 

tahun sesudahnya, Umma melepaskan diri; tiga tahun kemudian, pada tahun 

kedelapan pemerintahan Ibbi-Sin, kota Nippur yang berprestise tidak lagi 

mengakui kekuasaannya.

Hal yang lebih buruk masih akan terjadi. Sementara kekuasaannya 

melemah, Ibbi-Sin mulai memberikan otonomi yang kian besar kepada 

pemimpin-pemimpin militernya. Pada tahun kesembilan pemerintahannya, 

salah seorang dari mereka, seorang keturunan Semit bernama Ishbi-Erra, 

membuat siasat sendiri untuk merebut kekuasaan.

Ur menderita kelaparan yang diakibatkan oleh masinnya sawah dan lang-

kanya bebijian serta daging; Ibbi-Sin mengutus Ishbi-Erra, panglima yang 

dipercayainya, ke kota Isin dan Kazallu di utara untuk mencari persediaan 

makanan. Serangkaian surat yang tersimpan pada papan lempung menying￾kapkan strategi Ishbi-Erra. Pertama, Ishbi-Erra menulis kepada rajanya dan 

menjelaskan bahwa jika Ibbi-Sin mengirim lebih banyak perahu lagi ke hulu 

sungai dan memberi Ishbi-Erra kekuasaan yang lebih besar lagi, ia dapat men￾gantar bebijian; jika tidak, ia terpaksa harus tinggal di Isin bersama bebijian 

itu.

 Aku telah membelanjakan dua puluh talenta perak untuk mendapat be￾bijian, dan itu ada padaku di sini di Isin. Namun, aku telah mendengar 

berita bahwa orang Martu telah menyerbu daerah tengah yang terletak di 

antara kita. Aku tidak dapat kembali kepada baginda bersama bebijian ini, 

jika baginda tidak mengirimkan kepadaku enam ratus perahu dan mem￾percayakan kepadaku baik Isin maupun Nippur. Jika baginda memenuhi 

permintaanku, aku akan membawa untuk baginda bebijian sejumlah yang 

cukup untuk lima belas tahun.4

 

Ini adalah pemerasan mentah-mentah, yang memberi penerangan bagi Ibbi￾Sin ketika gubernur Kazallu juga menulis kepadanya sambil mengeluh bahwa, 

dengan dalih mengumpulkan bebijian untuk rajanya, Ishbi-Erra telah merebut 

Nippur, menjarah sejumlah kota di dekatnya, menetapkan kekuasaan atas be￾berapa kota lain lagi, dan kini tengah mengancam untuk merebut Kazallu juga. 

”Hendaklah baginda ketahui bahwa aku tidak memiliki sekutu”, keluh sang gu￾bernur dengan seluruh perasaannya, ”tak seorang pun yang berada di pihakku”.

Ibbi-Sin tidak berdaya untuk melakukan sesuatu melawan Ishbi-Erra, yang 

memiliki sejumlah besar tentaranya dan sebagian besar cadangan pangannya. 

Surat balasannya kepada gubernur Kazallu menyatakan kegeraman akibat kepu￾tusasaannya:

 Aku telah memberimu pasukan untuk kamu gunakan. Kamu adalah gubernur 

Kazallu. Jadi, bagaimana mungkin kamu tidak mengetahui apa yang tengah 

dirancang Ishbi-Erra? Mengapa kamu tidak ... keluar melawan dia? Sekarang 

Ishbi-Erra dapat menyatakan diri sebagai raja. Dan dia bahkan bukan orang 

Sumeria. Sumer telah dijengkangkan dan dipermalukan di depan dewan para 

dewa, dan semua kota yang berada di bawah tanggung jawabmu telah begitu 

saja berpindah ke pihak Ishbi-Erra. Harapan kita satu-satunya adalah bahwa 

orang Martu akan menangkap dia.5



Orang Amori tidak menangkap Ishbi-Erra, dan—seperti yang dikha￾watirkan Ibbi-Sin—panglima yang membelot itu menyatakan dirinya raja 

pertama ”Dinasti Isin”, dengan ibu kota Isin dan wilayah daerah utara yang 

semula menjadi bagian kekuasaan Ur. Dinasti Isin akan menahan usaha per￾ebutan orang Amori dan memerintah bagian utara dataran itu selama dua 

ratus tahun. Sementara itu, Ibbi-Sin tinggal memiliki kekuasaan atas jantung 

kekaisaran yang tengah mengalami disintegrasi, yakni Ur sendiri.

Di sini burung-burung nasar mendarat. Pada tahun 2004, orang Elam 

—yang kini telah dipersatukan kembali ke dalam satu wilayah yang bebas 

dari orang Sumeria di bawah pemerintahan seorang raja bernama Kindanu 

—siap untuk membalas dendam terhadap dominasi selama puluhan tahun. 

Mereka menyapu daerah Tigris, meruntuhkan tembok Ur, membakar istana, 

meratakan tempat-tempat suci, dan menamatkan masa Sumeria dengan suatu 

akhir yang pasti dan tandas. Sawah-sawah yang belum menjadi bera karena 

garam dibakar dan Ibbi-Sin sendiri diseret sebagai tawanan ke Anshan.

Puisi-puisi masa sesudahnya berisi ratapan jatuhnya Ur, bukan hanya se￾bagai kehancuran sebuah kota tetapi suatu kebudayaan yang lengkap:

Mayat-mayat ditumpuk di gerbang-gerbang kota yang megah,

 di jalan-jalan tempat dahulu pesta-pesta diselenggarakan berserakan kepa￾la-kepala,

 di tempat dahulu tari-tarian ditampilkan, mayat-mayat bertimbun￾timbun ...

Di sungai, debu telah menggunung,

tidak ada lagi air yang mengalir disalurkan ke kota,

 dataran yang tertutup rumput telah retak-retak seperti tungku pembakar￾an.6

 

Jatuhnya Ur menunjukkan bukan hanya kelemahan Ibbi-Sin tetapi, yang 

lebih menakutkan lagi, ketidakberdayaan dewa bulan Nanna dan dewa-dewa 

pelindung kota-kota yang telah jatuh, dewa-dewa yang tidak dapat melin￾dungi orang-orangnya sendiri.

Bapa Nanna,

nyanyianmu telah berubah menjadi tangisan,

kotamu menangis di hadapanmu, seperti seorang anak hilang di jalan,

rumahmu menjulurkan tangan kepadamu,

sambil berteriak, ”Di manakah kamu?”

Berapa lamakah engkau akan menjauh dari kotamu?7Abram dan Terah telah melarikan diri dari Ur dan dari pemujaan dewa 

bulan, karena takut bahwa ia tidak dapat melindungi mereka. Ternyata ia 

bahkan tidak dapat melindungi kuilnya sendiri. Dewa alam, seperti sawah￾sawah Ur sendiri, telah kehilangan dayanya.

Abad orang Sumeria akhirnya telah berlalu. Orang Semit, baik Akkadia 

maupun Amori, serta orang Elam telah menguasai dataran, yang tidak akan 

pernah lagi sesubur pada masa raja-raja awalnya, ketika air segar mengalir 

mengairi sawah-sawah yang hijau.*∗

 Dewasa ini pun sekitar 60 persen dari tanah Iraq yang dahulu subur (negara yang kini mengkalim bagian 

besar dari Mesopotamia) tidak dapat ditanami akibat dari garam dan zat-zat kimia yang terhimpun selama 

berabad-abad.

G A R I S WA K T U 1 8

 MESIR MESOPOTAMIA

 

 

 Dinasti 5 (2498-2345) Lugalzaggesi Urukagina

 (Umma) (Lagash)

 Dinasti 6 (2345-2184) Periode Akkadia (2334-2100)

 Sargon

 Rimush

 Invasi Gut

 Periode Menengah Pertama (2181-2040)

 Jatuhnya Agade (sek. 2150)

 Dinasti Ketiga Ur (2112-2004)

 Ur-Nammu

 Shulgi Abram pergi ke Kanaan

 

 Jatuhnya Ur (2004)

 Dinasti-dinasti 7 & 8 (2181-21600)

 Dinasti-dinasti 9 & 10 (2160-2040)








S tu  , Mesir tidak memiliki seorang pharaoh 

yang layak menyandang sebutan itu. Abram sudah tiba di tanah itu dalam 

masa pemerintahan Dinasti Kesembilan atau Kesepuluh, dua wangsa raja 

yang barangkali bertindihan. Menurut Manetho, Dinasti Kesembilan didiri￾kan oleh seorang raja bernama Achthoes, yang memulai suatu garis kerajaan 

dan memerintah seluruh Mesir dari Herakleopolis, jauh di selatan. Achthoes, 

demikian tuturnya, adalah penguasa paling kejam yang pernah ada di Mesir; 

”ia melukai orang-orang di seluruh Mesir”.1

Raja ini, yang muncul pada inskripsi-inskripsi sebagai ”Akhtoy I”, se￾benarnya adalah gubernur provinsi yang berpusat di Herakleopolis; tradisi 

kebengisannya mungkin berasal dari usahanya untuk merebut seluruh Mesir 

dengan kekuatan senjata. Hampir segera setelah kematian Akhtoy (Manetho 

mengatakan bahwa ia menjadi gila dan dimakan buaya, alat pembalasan 

dewa-dewa), seorang ”pharaoh” lain mempermaklumkan dirinya telah berada 

lebih jauh lagi ke selatan. Namanya Intef, dan ia mengklaim memerintah se￾luruh Mesir dari Thebes.

Manetho mengatakan bahwa Dinasti Kesembilan Akhtoy disusul oleh 

Dinasti Kesepuluh, dan kemudian secara mulus oleh Dinasti Kesebelas. 

Yang sesungguhnya terjadi ialah bahwa Dinasti Kesembilan, Kesepuluh, dan 

Kesebelas memerintah pada waktu yang bersamaan. ”Memerintah” adalah se￾buah kata yang terlalu bagus; kelompok-kelompok panglima perang yang tidak 

tertib saling berperang untuk meraih hak mengklaim wilayah Mesir secara 

nominal, sementara itu gubernur-gubernur provinsi terus berbuat sekehendak 

mereka. Sebuah inskripsi dari salah seorang gubernur (atau nomarch; wilayah 

yang dikuasai nomarch disebut nome) menunjukkan pengabaian penuh terha￾dap klaim-klaim kerajaan baik di Herakleopolis maupun di Thebes. ”[Aku] pengawas para imam, pengawas negeri-negeri gurun, pengawas serdadu ba￾yaran, tuan besar nome”, begitulah Ankhtifi berbangga. ”Aku adalah awal 

dan puncak bangsa manusia ... Aku telah mengatasi ketakutan-ketakutan para 

leluhurku ... Seluruh Mesir Hulu sedang kelaparan dan orang memakan anak 

mereka sendiri, tetapi aku tidak mengizinkan seorang pun mati kelaparan di 

nome ini ... Tak sekali pun aku mengizinkan seorang yang berkekurangan 

pergi dari nome ini ke nome lain. Aku pahlawan yang tiada duanya”.2

 Dalam 

pandangannya sendiri, paling tidak Ankhtifi adalah padanan seorang phar￾aoh. 

Pergantian dinasti yang disusun rapi oleh Manetho dihasilkan dari tekadnya 

untuk memasukkan seluruh kekisruhan itu ke dalam kerangka pergantian 

dinasti-dinasti lama. Bahkan lebih dari lima belas abad setelah kejadiannya, 

Manetho tidak dapat mengakui bahwa kekuasaan Horus-di-bumi telah 

lenyap seluruhnya. Dalam hal itu ia tidak sendirian. Segelintir inskripsi yang 

masih ditemukan dari zaman itu menunjukkan bahwa para juru tulis Mesir, 

entah mengabaikan kenyataan runtuhnya kerajaan mereka (daftar-daftar raja 

kuno lainnya mengemukakan bahwa Dinasti Kesembilan dan Kesepuluh 

tidak pernah ada dan masuk dalam pertengahan masa pemerintahan Dinasti 

Kesebelas),3

 atau berusaha mengatakannya dengan memakai istilah-istilah yang 

kurang mengancam. Mesir tidak jatuh ke dalam anarki. Tidak; permusuhan 

antara daerah utara dan daerah selatan bukan suatu hal yang baru, dan di masa 

lampau selalu muncul seorang pharaoh untuk menyatukan kembali seluruh 

keadaan yang kacau itu.

Demikianlah kita sampai kepada Intef I, yang mengaku sebagai penguasa 

Thebes, yang menyebut dirinya ”Raja Mesir Hulu dan Mesir Hilir” dalam 

inskripsi-inskripsinya sendiri.4

 Ini lebih dari sekadar berlebihan, karena ia 

tentu bukan raja Mesir Hilir dan mungkin tidak menguasai sebegitu banyak 

daerah Mesir Hulu pula. Sungguhpun demikian, sebutan itu mendudukkan 

dia secara kokoh dalam tradisi pharaoh-pharaoh Mesir Hulu yang berhasil 

menguasai kembali daerah utara yang gemar memberontak. Tentara Intef ber￾perang, lebih dari satu kali, dengan pasukan dari Herakleopolis, suatu kejadian 

ulang perang lama antara utara dan selatan. Sementara itu, para nomarch 

yang bersaing saling bertikai, orang Semit Barat memasuki daerah Delta, dan 

masa kejayaan lampau Mesir mundur kian jauh. ”Pasukan berperang melawan 

pasukan”, tutur sebuah cerita dari masa itu. ”Mesir bertempur di pekuburan, 

merusak makam-makam guna membalas dendam. ”5

 

Kemudian, sekitar pertengahan masa Dinasti Kesebelas, Mentuhotep I 

naik tahta di Thebes.

Mentuhotep, yang dinamai seturut dengan nama dewa perang Thebes, 

melewatkan dua puluh tahun pertama pemerintahannya dengan merebak jalan ke utara ke Mesir Hilir. Berbeda dengan Narmer dan Khasekhemwy 

sebelumnya, ia harus berperang tidak hanya melawan tentara raja utara, 

tetapi juga melawan nomarch-nomarch yang terletak di jalur perangnya. 

Salah satu kemenangan besarnya ialah melawan gubernur Abydos; keganasan 

perebutan itu ditandai sekurang-kurangnya oleh suatu pemakaman massal, 

sebuah makam yang berisi enam puluh tentara yang semuanya terbunuh pada 

pertempuran yang sama.6

Ketika ia berperang menuju ke utara, tentara-tentara penguasa Dinasti 

Kesepuluh di Herakleopolis mundur di depannya. Sesaat sebelum Mentuhotep 

sampai di Herakelopolis, raja Dinasti Kesepuluh yang memerintah di sana 

wafat. Kekacauan pergantian penguasa mengakibatkan pertahanan kota tak 

terurus, dan Mentuhotep masuk ke kota dengan mudah.

Kini ia menguasai Thebes dan Herakleopolis, tetapi Mesir masih jauh dari 

bersatu. Nomarch-nomarch tidak ingin melepaskan kekuasaan yang telah 

mereka pegang sejak lama; perang melawan provinsi-provinsi masih berlanjut 

selama bertahun-tahun. Gambar-gambar pejabat-pejabat istana Mesir pada 

waktu itu cenderung menampilkan mereka yang sedang membawa senjata, 

bukannya papyrus atau alat kantor lainnya, yang mengisyaratkan bahwa per￾jalanan ke kantor tetap berbahaya untuk waktu yang cukup lama.7

 

Tetapi pada tahun kesembilan pemerintahannya, Mentuhotep akhirnya 

dapat mengubah penulisan namanya. Tidaklah mengherankan bahwa nama￾Horus barunya adalah ”Pemersatu Kedua Negeri”. Sesungguhnya, per￾juangannya selama empat puluh tahun untuk meraih kekuasaan hampir tidak 

ada kaitannya dengan permusuhan utara-selatan; tetapi paradigma lama perang 

saudara memberinya sebuah peluang yang lebih baik untuk menokohkan 

dirinya sebagai seorang pharaoh besar yang telah menyelamatkan Mesir sekali 

lagi.

Manuvernya berhasil. Tidak lama sesudahnya namanya mulai muncul 

pada inskripsi-inskripsi di samping nama Narmer sendiri. Ia dielukan sebagai 

Narmer kedua, setara dengan raja legendaris yang pertama kali mempersatukan 

Mesir Hulu dan Mesir Hilir.

P M merupakan akhir dari Periode Menengah 

Pertama dan permulaan periode kejayaan Mesir yang kedua, Kerajaan Tengah. 

Menurut Manetho, ia memerintah selama lima puluh tahun.

Walaupun inskripsi-inskripsi makam menampilkan sekurang-kurangnya 

lima wanita sebagai istrinya, tidak ada inskripsi dari masa pemerintahannya 

yang menyebutkan seorang anak laki-laki.8

 Kedua raja yang memerintah sete￾lah itu tidak memiliki hubungan darah dengannya atau antara mereka, dan 

raja yang ketiga adalah seorang anggota rakyat jelata: Amenemhet I, yang  

sebelumnya mengabdi pada Mentuhotep III sebagai wazir. Tampaknya ga￾gasan garis darah raja ilahi, jika pun dihormati dalam teori, sudah tidak lagi 

diwujudkan dalam praktik.

Amenemhet I adalah raja pertama dari Dinasti Kedua belas. Amenemhet, 

yang berasal dari daerah selatan (menurut inskripsi-inskripsi, ibunya berasal 

dari Elefantin, jauh di daerah Mesir Hulu), langsung menempatkan diri di 

dalam garis para pemersatu agung dengan membangun sebuah ibu kota baru, 

seperti yang dilakukan Narmer, untuk merayakan kekuasaannya atas negeri 

itu. Ia menyebut kota baru yang terletak tiga puluh lima kilometer di sebelah 

selatan Memphis itu ”Peraih Kedua Negeri” (”Itj-taway”).9

 Baginya kota itu 

akan menjadi titik penyeimbang antara utara dan selatan; Memphis, yang 

masih tetap merupakan sebuah pusat pemujaan panteon Mesir dan pusat 

kuil-kuil Mesir yang paling suci, tidak lagi menjadi tempat di mana pharaoh 

tinggal.

Amenemhet juga memerintahkan para juru tulis untuk menulis suatu 

”nubuat” tentang dia, sebuah dokumen yang mulai beredar di seluruh Mesir 

yang sangat dekat dengan awal masa pemerintahannya. ”Nubuat Nerferti” 

ini, yang diduga berasal dari masa pemerintahan Raja Snefru lima ratus tahun 

sebelumnya, mulai dengan Raja Snefru yang memikirkan kemungkinan 

bahwa Mesir akan jatuh ke tangan penyerbu dari Asia dari arah timur (sebuah 

kasus yang jelas berasal dari ramalan tentang suatu kekhawatiran yang terjadi 

di masa kemudian dan diperkirakan pada masa yang jauh sebelumnya, 

karena kemungkinan ini barangkali tidak pernah dibayangkan oleh Snefru). 

Untunglah juru ramal Snefru memiliki sebuah ramalan yang menyenangkan:

Seorang raja akan datang dari Selatan...

Ia akan mengambil Mahkota Putih,

Ia akan memakai Mahkota Merah ...

Orang-orang Asia akan jatuh karena pedangnya,

Pemberontak dilanda amarahnya, pengkhianat digilas kekuasaannya ...

[Ia] akan membangun Tembok-Sang-Penguasa

Untuk mencegah orang Asia memasuki Mesir.10

Amenemhet kemudian mulai bertindak untuk mewujudkan nubuat itu. 

Dengan bantuan anak lelakinya Senusret, ia memimpin sebuah ekspedisi me￾lawan ”penghuni pasir” yang telah menyusup ke Delta.11 Ia juga membangun 

sebuah benteng di sebelah timur Delta untuk menangkis penyusup lain dan 

menamainya, tentu saja, Tembok-Sang-Penguasa.

Menjelang akhir masa pemerintahannya, Amenemhet cukup berkuasa 

untuk memerintahkan pembangunan sebuah piramida di dekat kota barunya

Itj-taway. Itu hanya sebuah piramida kecil, tetapi merupakan sebuah mon￾umen kembalinya ketertiban yang dulu. Amenemhet tentu merasa dirinya 

menapaki jejak para pendahulunya yang agung. Narmer, Khufu, dan Khafre. 

Kekuasaan pharaoh tengah menanjak lagi.

Kemudian Amenemhet dibunuh.

S I menulis kisah pembunuhhan ayahnya tak lama sesudahnya, 

dengan suara ayahnya sendiri. ”Aku bangun untuk bertarung”, kata arwah 

Amenemhet, ”dan sadar bahwa aku diserang oleh pengawal pribadi. Andai 

kata aku cepat mengambil senjata dengan tanganku, tentulah pengkhianat 

itu dapat kupukul mundur ... Tetapi tak ada seorang pun yang kuat di dalam 

gelap, tak seorang pun dapat bertarung seorang diri... luka menimpa diriku 

ketika aku tidak bersamamu, anakku”.12

 

Beberapa detail tambahan termaktub di dalam sebuah cerita dari waktu 

yang tidak jauh sesudahnya, yakni ”Kisah Sinuhe”. Menurut cerita ini, Senusret 

sedang melakukan peperangan di daerah selatan, ”negeri orang Libia”, gurun 

di sebelah barat Nil, di mana para penghuni-gurun telah lama mengganggu 

perbatasan Mesir. Ketika mendengar berita tentang pembunuhan ayahnya, 

Senusret meninggalkan pasukannya dan terbang seperti burung hantu kem￾bali ke utara ke Itj-taway, suatu perjalanan yang jauh dan sulit. Ketika putra 

mahkota itu sudah dekat, pejabat istana Sinuhe melarikan diri dari istana 

ke daerah orang Asia karena ia yakin bahwa ia akan dicurigai terlibat dalam 

kejahatan itu.

Pelarian ke Kanaan adalah suatu tindakan yang sungguh putus asa untuk 

seorang Mesir. Sinuhe menghadapi perjalanan yang sulit; ia harus menyelinap 

melewati benteng Tembok-Sang-Penguasa (”Aku merunduk di tengah semak￾semak, karena takut bahwa para penjaga di benteng ... akan melihatku”) 

dan mengarungi gurun pasir selama tiga puluh hari. Akhirnya ia sampai ke 

Kanaan, yang ia sebut ”Yaa”, dan mendapati sebuah tanah yang berlimpah 

susu dan madu. ”Ada buah ara”, serunya, ”dan pohon anggur; anggurnya 

lebih berlimpah daripada air, madunya tidak sedikit, tanahnya pun subur”.

Lama sesudahnya, Sinuhe kembali ke tanah kelahirannya untuk diberi 

pengampunan oleh Senusret, yang telah menduduki tempat ayahnya dan 

membuat Mesir menjadi lebih kuat dan lebih kaya. Namun, agar pendengar 

tidak mendapat kesan bahwa tanah Kanaan itu suatu tempat yang baik untuk 

dihuni, Sinuhe menyatakan bahwa sebelum ia kembali masuk ke masyarakat 

Mesir yang sopan, ia harus diperadabkan kembali setelah bertahun-tahun 

tinggal di antara orang Asia; itu suatu proses panjang yang tampaknya 

meliputi pencukuran seluruh tubuhnya, karena pengasingan di tengah orang 

Semit Barat telah menjadikannya kumal.

S , setelah membalaskan pembunuhan ayahnya dengan 

mengeksekusi pengawal pribadi ayahnya, memiliki masa pemerintahan sendiri 

yang sejahtera. Ia mengangkat anak lelakinya sebagai penguasa-pendamping 

beberapa tahun sebelum wafatnya, suatu kebiasaan yang menjadi lazim di 

antara para pharaoh Dinasti Kedua belas. Pendampingan itu membuat 

peralihan kekuasaan dari satu pharaoh ke pharaoh berikutnya menjadi lebih 

mudah dan lebih mulus. Pendampingan itu juga merupakan suatu konsesi 

tata cara; penetapan suatu pendampingan tentu mengalir di depan tradisi 

lama kematian seorang raja dan kelahirannya kembali di dalam diri anak 

lelakinya. Tetapi pada masa itu pharaoh sudah jelas lebih berupa manusia 

daripada dewa. Statusnya yang berubah dicerminkan dalam patung-patung 

raja Dinasti Kedua belas, yang berupa gambar manusia nyata dan sangat 

berbeda dengan wajah-dewa kaku para penguasa Dinasti Keempat.

Pergantian kekuasaan berlanjut; Mesir, yang berada dalam keadaan 

relatif damai, telah mewujudkan dirinya kembali seperti kemakmuran masa 

sebelumnya. Anak lelaki Senusret digantikan oleh cucunya, kemudian cicitnya, 

Senusret III, yang mudah diingat karena tubuhnya yang kekar (agaknya 

tingginya lebih dari dua meter) dan patung-patungnya yang langsung dapat 

dikenali, yang menampilkan dia dengan wajah bergaris, mata lebar dengan 

pelupuk tebal, dan telinga yang cukup menjorok sehingga tutup kepalanya 

tertahan ke belakang. Ia membangun lebih banyak benteng di Nubia daripada 

pharaoh lainnya; menurut catatannya sendiri, jumlahnya sekurang-kurangnya 

tiga belas. Benteng-benteng itu besar dan tinggi, seperti kastil-kastil Abad 

Pertengahan dengan menara dan baluarti serta parit keliling. Salah satu yang 

paling luas, benteng di Buhen, di dekat Katarak Kedua, memiliki tembuk dari 

batu lumpur setebal tiga meter, lima menara tinggi, sebuah gerbang pusat yang 

masif dengan pintu ganda dan sebuah jembatan gantung yang menyeberangi 

sebuah parit pelindung. Di dalam benteng itu terdapat ruang yang cukup luas 

untuk sebuah kota, jalan-jalan dan sebuah kuil.13

Orang Mesir yang tinggal di Buhen tidak tidur di luar tembok itu, di 

mana orang Nubia mungkin menemukan mereka. Selama pertempuran￾pertempuran sengit Senusret, orang Mesir telah membunuh orang laki-laki 

Nubia, membawa wanita dan anak-anak ke utara sebagai budak, membakar 

sawah, dan menghancurkan sumur. Orang Nubia sedemikian membenci pe￾nguasanya sehingga tidak dapat hidup berdampingan dengan mereka.

Tetapi perlakuan biadab terhadap provinsi Mesir yang paling ribut itu 

menghentikan perlawanannya untuk sementara. Pada waktu Senusret III me￾wariskan Mesir kepada anak lelakinya sendiri, wilayah Mesir dalam keadaan 

damai. Mesir telah mulai berdagang kembali dengan Byblos untuk mendapat 

kayu aras. Tambang-tambang di Sinai dieksploitasi sepenuh-penuhnya. Dan

air luapan Nil berada di titik tertingginya dibanding tahun-tahun terdahulu. 

Kerajaan Tengah berada pada puncak kejayaan, walaupun yang duduk di 

tahtanya seorang manusia biasa dan bukan seorang dewa.


G A R I S WA K T U 1 9

 MESIR MESOPOTAMIA

 

 Periode Menengah Pertama (2181-2040)

 Jatuhnya Agade (sek. 2150)

 Dinasti-dinasti 7 & 8 (2181-2160)

 Dinasti-dinasti 9 & 10 (2160-2040)

 Kerajaan Tengah (2040-1782)

 Dinasti II (2134-1991)

 Intef I-III 

 Mentuhotep I-III 

 Dinasti Ketiga Ur (2112-2004)

 Ur-Nammu

 Shulgi Abram pergi ke Kanaan

 

 Jatuhnya Ur (2004)

Dinasti 12 (1991-1782)

 Amenemhet I




K M  proses menuju kemakmuran kembali, 

dataran Mesopotamia masih dalam kekacauan.*∗

 Setelah menjarah Ur dan 

menggelandang, Ibbi-Sin ke Susa dalam kemenangan, orang Elam telah 

menduduki reruntuhan kota dan tembok berbenteng, siap menggunakannya 

sebagai basis untuk menaklukkan wilayah lain lagi. Tetapi mereka tidak 

memperhitungkan panglima Ishbi-Erra yang berwatak pengkhianat dan 

culas, yang masih menguasai dengan kokoh kota Ishin di utara. Ishbi-Erra 

membutuhkan Ur untuk mewujudkan rencana besarnya untuk membangun 

sebuah dinasti baru Sumeria, seagung dinasti Ur yang telah jatuh.

Ia tidak menghadapi pesaing besar. Setelah Ur dijarah, kebanyakan kota 

yang tersebar dan yang dahulu berada di bawah perlindungan raja-raja Dinasti 

Ketiga tidak mampu bangkit kembali sebagai kota-kota yang berdaulat 

sendiri. Hanya terdapat tiga penantang: dua kota kuno Sumeria yang berhasil 

mempertahankan sekadar kemerdekaan setelah Ur III jatuh, dan orang Elam 

sendiri.

Kota pertama, Eshnunna, terletak jauh di utara, di sepanjang kelokan ke 

kanan sungai Tigris. Segera seketika Ibbi-Sin mulai menghadapi kesulitan, 

Eshnunna mengambil manfaat dari jaraknya yang jauh dari ibu kota dan 

memberontak. Kota itu tentu merupakan ancaman terhadap kekuasaan Ishbi￾Erra, tetapi letaknya pun jauh dari Isin (dan di tengahnya pun terdapat orang


Amori). Di pihak lain, kota kedua Sumer lama yang tetap merdeka, Larsa, 

berada tepat di sebelah selatan dataran yang dikuasai Ishbi-Erra. Kota ini pun 

telah memberontak melawan kekuasaan Ibbi-Sin, tetapi tahta kerajaannya 

diklaim oleh seorang Amori.

 Alih-alih melemahkan kekuatannya dengan berperang melawan Larsa, 

Ishbi-Erra memperkuat Isin, kotanya sendiri, dan membangun bala tentaranya 

sebagai persiapan untuk menyerang kota permata mahkota: Ur.

 Ia tidak tergesa-gesa. Barulah menjelang akhir masa kekuasaannya— 

mungkin sepuluh tahun setelah Ur ditaklukkan oleh orang Elam—ia menyapu 

dari utara, terus melaju melewati Larsa dan menyerang para penduduk Elam. 

Sebuah puisi yang sangat fragmenter mencatat kemenangannya terhadap 

orang Elam dan perebutan Ur dari tangan musuh:

Ishbi-Erra mendekati musuh,

dan mereka tidak luput dari kekuasaannya, di dataran Urim itu.

Dengan sebuah kereta megah,

ia memasuki kota dengan jaya,

ia mengambil emas dan perhiasannya,

dan berita itu disampaikan kepada ... raja Elam.1

Ishbi-Erra harus puas dengan permata mahkota itu; ia tidak sempat menye￾rang baik Larsa maupun Eshnunna. Ia meninggal tidak lama sesudahnya dan 

meninggalkan kepada anak lelakinya kekuasaan atas kerajaan empat kotanya 

Isin, Nippur, Uruk, dan Ur.

S     berikutnya dinasti Ishbi-Erra di Isin dan 

raja Amori di Larsa berperang mati-matian di dataran selatan. Tidak ada yang 

unggul di antara mereka.2

Jauh di utara, kota-kota yang dahulu di bawah pengawasan Dinasti Ketiga 

Ur mulai menegaskan kemerdekaannya. Assur, yang telah direbut pertama￾tama oleh ekspansi Akkadia di bawah Sargon, kemudian direbut oleh kerajaan 

Ur di bawah Shulgi, membangun kembali temboknya, dan mulai berdagang 

dengan orang Semit Barat dekat pantai Laut Tengah; saudagar-saudagar dari 

Assur bahkan membangun koloni-koloni dagang kecil sendiri di ujung timur 

Asia Kecil.3

 Di sebelah barat Assur, kota Mari di utara, di tepi sungai Efrat, 

melakukan hal yang sama. Di antara Assur dan Mari, dan di antara kedua su￾ngai, terdapat wilayah kepala-kepala suku Amori yang berserak-serak dan terus 

berubah, kebanyakan dari mereka menguasai bentangan-bentangan tanah per￾tanian kecil, mengembara, bertengkar, dan menetapkan garis-garis perbatasan 

wilayahnya kembali secara terus menerus.

Sekitar tahun 1930 SM, perimbangan kekuasaan di selatan mulai bergeser. 

Raja kelima Larsa, seorang Amori bernama Gungunum, menduduki tahta 

setelah

Kematian saudara lelakinya dan membuat rencana sendiri untuk 

membangun sebuah kekaisaran. Ia menyerbu Susa dan meninggalkan 

sebuah inskripsi dengan namanya sendiri di sana; ia menyerbu Nippur dan 

merebutnya dari kekuasaan Isin; dan kemudian ia menyerang Ur, kebanggaan 

dinasti Isin. Dari peperangan ini kita memiliki beberapa surat yang penuh 

ketegangan antara raja Isin, Lipit-Ishtar (anak lelaki dari cicit Ishbi-Erra, sejauh 

pengetahuan kita), dan jenderalnya ketika mereka berusaha menghadapi 

pasukan yang kian mendekat. Jenderal menulis, ”Enam ratus pasukan dari 

Gungunum telah tiba; jika baginda tidak mengirim bala bantuan, mereka akan 

segera membangun benteng-benteng dari bata; jangan menunda, baginda!”

Jawaban Lipit-Ishtar mengulangi nada keputusasaan yang dahulu dirasa￾kan oleh Ibbi-Sin ketika menghadapi datangnya serangan Ishbi-Erra delapan 

puluh tahun sebelumnya. ”Jenderal-jenderalku yang lain melayani rajanya 

lebih baik daripada Anda!” tulisnya. ”Mengapa Anda lalai memberitahukan 

semua itu kepadaku? Aku sudah mengirim cepat-cepat kepada Anda dua ribu 

prajurit bertameng, dua ribu pemanah, dan seribu prajurit berkampak. Usir 

musuh keluar dari kamp mereka dan jaga kota-kota di dekatnya. Ini daru￾rat!”4

Bala bantuan terlambat datang, atau terlalu sedikit; pasukan musuh dari 

Larsa mengalahkan Ur. Tak lama sesudahnya Gungunum memaklumkan diri 

sebagai pelindung ilahi kota tua itu dan tengah memerintahkan penulisan 

puisi yang—walaupun leluhurnya adalah orang Amori—menjanjikan kepa￾da dewa bulan bahwa ia ingin sekali memulihkan tata cara lama: ”Engkau, 

Nanna, adalah yang dikasihi oleh raja Gungunum”, bunyi salah satu puisinya. 

”Ia akan memulihkan kotamu bagimu; ia akan membawa pulang untukmu 

bangsa Sumer dan bangsa Akkad yang tersebar-sebar; di kotamu Ur, kota 

tua itu, kota kekuasaan ilahi yang agung, rumah yang tak pernah menjadi 

kecil, semoga Gungunum hidup selamanya!”5

 Dengan mengklaim hak untuk 

memulihkan warisan seorang lain, strategi ini akan dipakai oleh penakluk￾penakluk lain sesudah dia.

Pengganti Gungunum mewarisi Larsa dan Ur, dan memutuskan untuk 

memasukkan kota Nippur ke dalam wilayah kekuasaannya. Ketika raja Isin 

(seorang perebut kekuasaan; keturunan Ishbi-Erra telah kehilangan tahta 

menyusul bencana yang menimpa Ur) menolak, kedua kota itu membangkitkan 

kembali persaingan lamanya. Sekali lagi Larsa dan Isin terlibat peperangan 

yang berlangsung selama bertahun-tahun, kali ini terhadap kota Nippur yang 

malang, yang berpindah tangan sekurang-kurangnya sebanyak delapan kali

selama masa peperangan itu. Sementara itu kota-kota lainnya di dataran itu 

—Isin, Larsa, Uruk (yang kini diperintah oleh seorang pemimpin Amori), 

Eshnunna, Assur, Mari—selama beberapa tahun berada dalam kewaspadaan 

yang tinggi terhadap satu sama lain, tetapi dalam posisi netral disertai kesiagaan 

senjata.

Suatu kota baru muncul bergabung dengan mereka ketika seorang 

pemimpin Amori lainnya menetap di desa Babilon di tepi sungai dan 

memutuskan untuk menjadikan desa itu markasnya. Pemimpin itu, Sumu￾abum, membangun tembok mengelilingi pemukiman itu dan membuatnya 

menjadi sebuah kota, dengan dirinya sebagai raja dan anak-anak lelakinya 

sebagai ahli waris. Inskripsi-inskripsi yang ia tinggalkan, yang memperingati 

masa pemerintahannya, menyebutnya (seperti Gilgamesh dahulu) sebagai 

pembangun agung kotanya: tahun kedua pemerintahannya digambarkan 

sebagai ”Tahun ketika tembok dibangun”, dan tahun kelima sebagai ”Tahun 

ketika kuil agung Nannar dibangun”.6

Selain Sumu-abum, tak satu kota lain pun dikaruniai kepemimpinan yang 

menonjol. Raja kecil digantikan raja kecil tanpa meninggalkan banyak jejak. 

Isin mengalami suatu peralihan kekuasaan yang merepotkan ketika rajanya 

yang kesembilan, Erra-imitti, diberitahu oleh seorang peramal setempat bahwa 

malapetaka mengancam. Erra-imitti memutuskan untuk mencegah bencana 

yang akan datang itu dengan melakukan suatu ritual kambing-hitam yang 

dikenal di Assiria pada masa setelah itu; ia mengambil salah seorang pekerja 

istana, seorang pengurus lahan, untuk menjadi raja sehari. Pada akhir masa 

yang diwajibkan, raja semu itu akan dieksekusi secara seremonial. Dengan 

cara itu ramalan yang mengerikan telah terjadi, karena malapetaka telah me￾nimpa raja, dan raja yang sebenarnya akan lolos tanpa cedera.

Sayangnya, seperti yang dituturkan oleh kronik yang melestarikan peristiwa 

itu, begitu pengurus lahan itu dimahkotai untuk sementara, Erra-imitti pergi 

menyantap semangkuk sup dan mati ketika mencecapnya.7

 Sup saja tentu tidak 

bisa langsung menyumbat pernapasan; mungkin ada orang yang memberikan 

racun berkeliaran di istana. Dengan wafatnya raja, pengurus lahan itu menolak 

menyerahkan tahta dan memerintah selama dua puluh empat tahun.

Perang dengan Larsa terus berlangsung selama masa itu dan Larsa yang 

menjadi lemah karena peperangan yang tiada hentinya merupakan sasaran 

yang empuk ketika orang Elam ingin tampil kembali ke permukaan secara 

tidak penuh. Sekitar tahun 1834, seorang pemimpin pejuang dari Elam barat 

laut menghimpun suatu bala tentara dan menyerbu ke seberang Tigris. Ia 

merebut Larsa dan— tak lama sesudahnya—merebut juga Ur dan Nippur. 

Ia menyerahkan Larsa kepada anak lelakinya yang muda, Rim-Sin, sebagai 

perkawakilannya.

Lingkungan baru Rim-Sin itu kumuh dan malang akibat peperangan 

selama bertahun-tahun; Rim-Sin mulai berusaha mengembalikan Larsa ke￾pada kejayaannya semula. Kita tidak mengetahui secara tepat bagaimana ia 

menjalani tahun-tahun awal pemerintahannya, tetapi kita mengetahui bahwa 

pada tahun 1804, delapan belas tahun setelah ia naik ke tahta Larsa, tiga kota 

merasa cukup khawatir akan kekuatan Larsa yang terus berkembang sehingga 

mereka bersatu mengabaikan perbedaan-perbedaan historis mereka untuk 

melawan ancaman itu. Raja Isin, penguasa Amori kota Uruk, dan pemimpin 

Amori Babilon mengirim sebuah bala tentara gabungan melawan Rim-Sin.

Rim-Sin menggilasnya dan menyerang Uruk, yang ia duduki sebagai 

wujud pembalasan. Raja Babilon dan raja Isin mundur untuk mempertim￾bangkan langkah mereka berikutnya.

 Pada saat itu raja Eshnunna memutuskan untuk memanfaatkan kekacauan 

di selatan guna meluaskan wilayahnya ke utara. Ia menyusur Tigris, memukul 

raja Amori di Assur dari tahtanya, dan mempercayakan kota itu kepada anak 

lelakinya sebagai perwakilannya supaya diurus . Tetapi sebelum ia sempat 

merencanakan serangan selanjutnya, seorang penyerbu muncul di luar tem￾bok Assur yang rusak.

Pejuang itu, seorang lelaki bernama Shamshi-Adad, barangkali adalah 

seorang Amori, seperti layaknya lelaki bersenjata pada masa itu. Daftar 

raja Assiria (yang mencatat peralihan tahta raja-raja Assur, yang bentuknya 

sama dengan daftar Sumeria) menuturkan bahwa Shamshi-Adad telah mele￾watkan beberapa tahun di Babilon, kemudian telah berangkat dari Babilon 

dan ”merebut kota Ekallatum”, sebuah benteng militer yang letaknya tepat 

di sebelah utara Assur, di tepi seberang Tigris, dan barangkali mengabdi 

pada Assur sebagai penjaga pos luar.8

 Di sana ia tinggal selama tiga tahun, 

agaknya sambil merencanakan usaha merebut kekuasaan. Kemudian ia 

menyerang Assur, menurunkan wakil kepala Eshnunna, dan naik sendiri ke 

atas tahta.*∗

Kemudian ia mulai membangun sebuah kekaisaran yang akan menjadi 

cerminan kerajaan Larsa di utara, yang kini tengah berkembang ke selatan 

di bawah Rim-Sin. Shamshi-Adad menunjuk anak sulungnya Ishme-Dagan 

untuk memerintah Ekallatum dan daerah-daerah barat laut Assur, kemu￾dian merebut daerah antara Tigris dan Efrat. Ia menyerang ke barat sampai 

ke Mari, mengalahkan pasukan pertahanan Mari dan mengeksekusi raja 

Mari; salah seorang pegawai Shamshi-Adad menulis kepadanya, tidak lama

sesudah itu, untuk menanyakan seberapa besar upaya yang perlu