Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 6



  aneh itu mengisyaratkan bahwa terdapat suatu 

ketegangan inheren antara identitas ilahi dan pemerintahan yang berbelaska￾sihan. Status mirip-dewa pharaoh sesungguhnya terkait dengan kemauannya 

untuk memanfaatkannya. Menunjukkan belas kasih adalah menunjukkan 

kelemahan. Dalam hal itu, kekuasaan tak terbatas seorang penguasa yang 

mirip-dewa secara inheren membatasi dirinya sendiri; kekuasaan itu akan 

bertambah besar sampai ke titik di mana entah pharaoh mundur atau rakyat 

memberontak.

Dan sesungguhnya itulah yang terjadi pada Dinasti Keempat. Menkaure 

wafat secara tiba-tiba dan meninggalkan tahta kepada anaknya Shepseskaf, yang 

hanya bertahan di tahta selama empat tahun, dan bahkan tidak dinilai pantas 

mendapat sebuah piramida; ia dimakamkan di sebuah makam mastaba, sebuah kubur gaya kuno di tempat pemakaman lama di Saqqara, di mana para penda￾hulunya dari Dinasti Ketiga terbaring. Berakhirlah Dinasti Keempat.

T    dinasti itu berakhir, tetapi terdapat 

faktor lain yang mungkin.

 Karena raja bersifat ilahi, ia tentu perlu menikahi seorang dewi lain untuk 

mempertahankan keilahian ahli warisnya. Wangsa kerajaan tidak mengakui 

bahwa seorang manusia lain pun di Mesir ikut mengambil bagian dalam sifat 

itu. Jadi, saudari kandung rajalah satu-satunya calon istri yang mungkin bagi￾nya.

Sesuai dengan teladan para pendahulunya, Khafre menikahi adik tirinya, 

Khamerernebty I; Khamerernebty I melahirkan seorang anak lelaki dan seo￾rang anak perempuan, Menkaure dan Khamerernebty II. Menkaure, ketika 

naik tahta, kemudian menikahi saudari penuhnya, yang sekaligus sepupunya, 

karena Khamerernebty I, dengan menikahi saudara tirinya, menjadi bibi tiri 

anak perempuannya sendiri. (Ia juga menjadi sekaligus ibu Menkaure dan

ibu mertuanya, suatu peran yang menantang untuk seorang wanita.) Dengan 

demikian Shepseskaf adalah anak lelaki ayahnya, cucu-kemenakan neneknya, 

dan sepupu pertama ibunya dua pupu. 

Pembaca yang jeli mungkin bertanya-tanya, pada tahap ini, mengapa semua 

orang itu tidak memiliki tiga kepala. Perkawinan antarsaudara sedarah cen￾derung mereproduksi suatu kelompok genetik yang terbatas, maka kerusakan 

gen sangat mungkin muncul. Di Eropa, ribuan tahun sesudahnya, perkawi￾nan wangsa kerajaan antarsaudara sedarah menghasilkan sejumlah penyakit 

dan keterbelakangan. Ferdinand I dari Austria, yang ibunya juga merupakan 

sepupu pertama dua pupunya, suka meringkuk di keranjang sampah kertas 

dan menggelinding ke ruangan, dan ucapannya yang paling koheren konon 

adalah, “Aku adalah kaisar! Aku ingin kue bola!”

Mungkin saja sandi genetik sedikit lebih kuat, pada zaman itu. Mungkin 

juga terdapat semacam seleksi-diri; jika Anda memiliki pilihan sejumlah 

saudara kandung sebagai pasangan Anda, mungkinlah Anda akan memilih 

yang paling kuat dan sehat, dan dengan demikian menghindari gen-gen yang 

rusak. Di pihak lain, kemerosotan cepat kekuasaan pharaoh setelah Menkaure 

mungkin mengisyaratkan adanya masalah dalam hubungan darah wangsa ke￾rajaan. Patung-patung Menkaure sendiri menunjukkan sebuah kepala yang 

bentuknya sedikit aneh dengan mata yang menonjol secara aneh, walaupun 

Menkaure sendiri tampaknya memiliki kecerdasan yang utuh. Namun, anak 

sulungnya dari saudarinya Khamerernebty II, Pangeran Khuenre, hanya 

hidup selama masa yang mencukupi untuk dinyatakan sebagai pewaris, dan 

kemudian menderita suatu penyakit yang tidak diketahui sebelum kematian ayahnya; Menkaure sendiri tampaknya mati secara tiba-tiba; dan anak lelaki 

kedua Menkaure, Shepseskaf, memiliki masa pemerintahan yang sama sekali 

tidak menonjol dan sangat singkat.

Terdapat juga sebuah cerita yang tetap tersimpan (ini sekali lagi diteruskan 

melalui Herodotus) bahwa Menkaure jatuh cinta kepada anak perempuannya 

sendiri dan memperkosa dia, dan sesudahnya anak perempuan itu menggan￾tung diri karena sedihnya. Herodotus mencatat, “Tetapi ini semua omong 

kosong menurut hemat saya”,6

 dan mungkin memang demikian; mengingat 

maraknya kegemaran inses di dalam keluarga raja Mesir, agak mustahil bahwa 

seorang putri raja Mesir memandang hal itu sedemikian mengejutkan seperti 

halnya kita, dan cerita itu menuturkan bahwa anak perempuan itu adalah 

anak tunggal Menkaure, yang dapat dibuktikan bahwa tidak demikian. Tetapi 

legenda perkawinan sedarah itu adalah satu-satunya yang masih ada sebagai 

penjelasan untuk ber￾akhirnya dinasti itu.

 Para pharaoh dari 

Dinasti Kelima tidak di￾tandai dengan masuknya 

darah segar. Pharaoh 

pertama dari Dinasti 

Kelima, Userkaf, ada￾lah sepupu pertama dua 

pupu Menkaure; ia juga 

menikahi sepupu kedua￾nya, anak perempuan 

Menkaure. Namun, ter￾putusnya pergantian 

kekuasaan dari ayah kepada anak juga mengisyaratkan perubahan-perubahan 

lain.

 Sebuah papyrus yang berasal barangkali dari kurun lima ratus tahun se￾telah Userkaf, tetapi masih jauh lebih dulu daripada Manetho, mendasarkan 

perubahan di dalam dinasti itu pada sebuah nubuat; Khufu diberitahu bahwa 

anak lelakinya dan cucu lelakinya akan memerintah, tetapi sesudah itu tahta 

akan beralih kepada tiga anak lelaki imam besar dewa matahari Ra, yakni 

imam yang melayani di kuil utma dewa matahari di Heliopolis. Anak-anak 

yang berkulit emas itu akan diinangi pada kelahiran mereka oleh para dewa 

sendiri.7

 Dengan kata lain, kekuasaan beralih dari istana ke kuil. Para pharaoh dari 

Dinasti Kelima—mungkin ada sembilan, semuanya pada umumnya tidak 

menonjol—membangun piramida-piramida yang sangat kecil, tetapi selama

abad itu lima kuil baru dibangun untuk dewa matahari. Kuil yang pertama 

dibangun oleh Userkaf sendiri; sebuah perahu untuk digunakan oleh Ra ter￾letak di ujung Selatan kuil, dan di depannya berdirilah sebuah obelisk, sebuah 

menara batu yang menjulang ke langit, kediaman Ra. Puncak obelisk adalah 

sebuah piramida miniatur bersalut emas yang berkilat-kilat di sinar matahari 

seperti sebuah miniatur matahari sendiri.

Selama masa Dinasti Kelima, pharaoh juga menjadi lebih diidentifikasi￾kan dengan dewa matahari. Dahulu ia adalah Horus dan Osiris; kini ia adalah 

anak lelaki Ra.8

 Wajarlah bahwa hal itu menempatkannya lebih jauh di bawah 

kekuasaan imam besar dewa matahari, yang dapat menyampaikan kepadanya 

kata-kata ayahnya.

Alih-alih menjadi penjelmaan duniawi dari seorang dewa, raja kini adalah 

anak lelaki seorang dewa, suatu penurunan martabat yang lembut tetapi penuh 

makna. Lingkaran kekuasaan ilahi telah meriak keluar, dan pharaoh bukan 

lagi saluran pusatnya yang tak dipertanyakan. Dan ide tentang kelestarian 

kehadiran pharaoh di bumi setelah kematiannya pun mulai memudar. Selama 

masa Dinasti Kelima, seluruh perjalanan roh setelah kematian dituangkan ke 

dalam tulisan untuk pertama kali. Pharaoh terakhir dari dinasti itu, Unas, 

dimakamkan di sebuah piramida kecil dengan mantra-mantra mendetail 

tertulis di sepanjang tembok, yang dimaksudkan untuk memastikan bahwa ia 

sampai ke tempat yang ia tuju. Naskah-naskah Piramida itu, yang kemudian 

menjadi dekorasi standar untuk kamar pemakaman dinasti pharaoh berikutnya, 

dengan jelas menunjukkan bahwa Unas meninggalkan rakyatnya.*∗

 ”Oh Ra,” 

demikian awal Mantra 217, ”Raja Unas ini datang kepadamu, anak lelakimu 

datang kepadamu”. Identifikasi Raja Unas dengan Horus dan Osiris disebut 

secara sambil lalu. Tetapi perhatian yang lebih besar diberikan kepada

kenyataan bahwa kini ia akan naik bersama Ra, mengangkasa ke langit, dan 

”naik ke tempat yang tinggi”, untuk hidup di sana ”dalam pelukan ayah[nya], 

Ra yang tinggi dan jauh.” 9

Ketika Unas meninggalkan rakyatnya, tampaknya ia melakukan itu tanpa 

keturunan, dan terjadilah suatu pertikaian singkat tentang pewaris tahta. 

Dinasti berikutnya yang naik tahta, Dinasti Keenam, bahkan memiliki 

wawasan yang lebih kabur lagi tentang keilahiannya sendiri; pharaoh-pharaoh 

dari dinasti ini menikahi orang perempuan kebanyakan. Hal itu dapat 

memberi keluarga kerajaan suatu kekuatan baru dan mengembalikannya 

kepada kekuasaan, tetapi sudah terlambat. Pergantian darah lain telah

bangkit menantang kekuasaan garis silsilah kerajaan. Selama kurun sekitar 

seratus tahun, para gubernur dari berbagai provinsi Mesir, para birokrat yang 

sebelumnya selalu ditunjuk oleh raja, telah merebut kesempatan pada masa￾masa kekalutan di Memphis untuk mewariskan kekuasaannya kepada anak 

lelakinya.*∗

Akibatnya, pharaoh pertama Dinasti Keenam, Teti, kini memerintah Mesir 

yang pada hakikatnya terdiri dari wilayah-wilayah kecil herediter dengan 

”keluarga kerajaan” mereka sendiri. Teti sendiri mengambil sebagai nama￾Horusnya gelar Seheteptawy, yang berarti ”Ia yang mendamaikan Kedua 

Daerah”.10 Muncul kembalinya perseteruan Utara-Selatan yang mengejutkan, 

sesuatu yang telah tenggelam dari penglihatan di bawah permukaan kesatu￾an Mesir, hanyalah sebuah tanda dari aliran-aliran yang kini menarik-narik 

Mesir. Tanda-tanda lain diberikan sekilas dalam Manetho, yang menambah￾kan bahwa Teti dibunuh oleh pengawal pribadinya sendiri; keilahian pharaoh 

dahulu telah menjadikannya tak dapat disentuh, tetapi hal itu kini telah 

patah. Pengganti Teti, Pepi I, harus membasmi sebuah rencana pembunuhan 

di haremnya sendiri.11 Anak tertuanya diturunkan dari tahta dan digantikan 

oleh seorang anak usia enam tahun bernama Pepi II, yang jelas merupakan 

boneka dari suatu faksi istana yang berkuasa.

Pepi II dinyatakan sebagai pemegang kekuasaan selama sembilan puluh 

empat tahun, kurun terpanjang dalam sejarah Mesir. Tetapi, alih-alih meru￾pakan suatu masa stabilitas, abad itu merupakan suatu abad ketika pharaoh 

memerintah hanya dalam nama saja. Para bangsawan, imam, dan pegawai 

istana semakin memecah belah kerajaan di antara mereka sendiri. Pepi II, 

raja terakhir Kerajaan Lama Mesir, bertahan dalam kekuasaan untuk masa 

yang sedemikian panjang karena ia memiliki kekuasaan nyata yang sedemi￾kian kecil.

Menjelang paruh kedua masa pemerintahan Pepi II yang panjang, Mesir 

—yang secara praktis telah terbagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil, yang di￾persatukan hanya oleh kesepakatan konvensional bahwa tahta di Memphis 

sesungguhnya memerintah seluruh negeri—mulai benar-benar buyar. Cukup 

sulit untuk menunjuk satu kejadian yang memicu hal itu, tetapi hampir dapat 

dipastikan bahwa limpahan Nil menurun sekali lagi, seperti yang terjadi men￾jelang akhir Dinasti Pertama. Gurun Barat tampaknya telah melahap tepi-tepi 

daerah pertanian Mesir, suatu kejadian yang mungkin telah menyebabkan 

rasa panik sampai tingkat tertentu.

 Kejadian-kejadian yang terkait dengan akhir Dinasti Keenam itu langka.

Sumber terbaik kita adalah daftar raja Mesir, yang, seperti diutarakan Colin 

McEvedy dalam karyanya atlas dunia kuno, melanjutkan masa Pepi II dengan 

suatu ”dinasti yang sungguh dungu”: Dinasti Ketujuh dengan tujuh puluh 

pharaoh dalam tujuh puluh hari.12 Pengulangan numerik itu tentu bersifat 

simbolik. Angka tujuh belum mendapat makna penyelesaian seperti pada 

masa sesudahnya dalam tulisan-tulisan suci orang Israel; yang mungkin benar 

adalah bahwa para juru tulis yang mencatat daftar raja melipatkan jumlah 

dinasti dengan bilangan sepuluh untuk menunjukkan kekalutan menyelu￾ruh.*∗

 Setelah Dinasti Keempat yang boros dengan menghambur-hamburkan 

nyawa dan harta orang Mesir, lemahnya gen keluarga kerajaan, dan sifat ter￾tutup keilahian pharaoh yang alamiah, bencana kekeringan akhirnya memicu 

dorongan terakhir ke jurang keruntuhan. Selama sekitar seratus tahun lebih 

sedikit, dinasti yang saling bersaing akan memerintah di berbagai kota, dan 

Mesir akan terbagi-bagi di antara raja-raja yang saling berperang. Dinasti 

Keenam adalah dinasti terakhir Kerajaan Lama Mesir; keempat dinasti beri￾kutnya akan termasuk ke dalam masa kekacauan yang dikenal sebagai Periode 

Antara Pertama.

 Bencana yang menimpa Mesir tepat sebelum Eksodus berjumlah sepuluh, dan bencana kesepuluh seba￾gai bencana yang paling merusak: ini mungkin juga mencerminkan pemahaman angka sepuluh sebagai 

pembangat satuan jenis. (Lihat catatan caki pada hlm. 262 untuk sebuah contoh lain.) 

G A R I S WA K T U 1 5

 INDIA MESIR

Pemuki Dinasti 2 (2890-2696) 

Desa-desa petani tumbuh di sepanjang Indus

 Kerajaan Lama (2696-2181)

 Dinasti 3 (2686-2613)

 Djoser

Peradaban Harappa menyebar di sepanjang Dinasti 4 (2613-2498) 

 Indus dan sampai jauh ke Punjab

 Snefru 

 Khufu

 Khafre

 Menkaure 

 Dinasti5(2498-2345) 

 

 Perdagangan dengan Mesopotamia Dinasti 6 (2345-2184)

 

 Kematangan peradaban Harappa

 Periode Menengah Pertama (2181-2040)







K A, yang kini berada di bawah anak lelaki Sargon 

Manisthtushu, bersiap untuk melakukan ekspansi. Berbeda dengan Mesir, 

Agade mendapati bahwa musuh-musuhnya yang terbesar masih berada di 

luar wilayahnya sendiri.

Inskripsi-inskripsi Manishtushu menegaskan dengan bangga bahwa ia 

sama-sama gemar berperang seperti ayahnya. Ia menyombongkan diri dengan 

mengatakan bahwa ia telah menaklukkan lebih banyak wilayah untuk ke￾kaisarannya, bahkan sampai menyeberangi Teluk Parsi dengan kapal untuk 

berperang melawan “tiga puluh dua raja yang bersatu melawannya“, di mana 

“ia mengalahkan mereka dan menghancurkan kota-kota mereka“.1

 Mungkin 

pernyataan itu mengandung lebih banyak asap daripada api. Meskipun ia me￾mamerkan penaklukannya, daerah-daerah yang tampaknya telah membayar 

upeti kepadanya agaknya adalah daerah-daerah yang telah ditaklukkan oleh 

Rimush. “Ini bukan omong kosong!“ demikian bunyi akhir sebuah inskripsi 

kemenangan. “Ini adalah kenyataan yang sungguh-sungguh!“2

 (yang malah 

mengesankan sebaliknya, seperti gelar “Raja Yang Sah“ di mulut seorang pe￾rebut tahta). 

 Masa pemerintahan Manishtushu yang berlangsung selama empat belas 

tahun dianggap menarik, terutama karena ia menurunkan Naram-Sin Agung, 

cucu Sargon yang agung dan raja Akkadia yang akan melebarkan kekaisaran 

mencapai wilayah yang paling luas. Seperti kakeknya, Naram-Sin tak henti￾hentinya berperang. Salah satu stele-nya menyatakan ia merebut sembilan 

kemenangan hanya dalam satu tahun; sebuah stele lain, yang namanya 

tidak kreatif, Stele Kemenangan, menunjukkan kemenangannya terhadap 

sebuah suku di wilayah Elam Barat. Tapal batas Akkadia juga melebar untuk 

mencaplok Susa, salah satu dari ibu kota kembar Elam. Tetapi Awan tetap merdeka dan merupakan pusat perlawanan Elam terhadap ancaman dari 

Barat yang meningkat.

Dengan mengabaikan kemerdekaan raja Elam, Naram-Sin menyandang￾kan dirinya gelar ”Raja Keempat Penjuru Dunia” dan ”Raja Alam Semesta”, 

dengan cara yang berlebihan, bahkan untuk ukuran Mesopotamia kuno. 

Namanya dalam cuneiform terlihat di sebelah sebuah tanda yang menyatakan 

keilahian,3

 dan Stele Kemenangan menampilkan sosoknya yang besar berdiri 

di atas bala tentaranya yang tengah berperang di posisi yang pada pahatan￾pahatan sebelumnya ditempati oleh para dewa. Naram-Sin tidak memerlukan 

seorang dewa untuk merestui peperangannya. Ia dapat melakukannya sendiri. 

Sejauh yang kita ketahui, Naram-Sin adalah raja Mesopotamia pertama yang 

menduduki status serupa dewa selama hidupnya; itu adalah suatu tindakan 

yang menunjukkan kematangan tertentu dalam kekuasaan raja.

Pada masa Naram-Sin, orang Akkadia sendiri telah mencapai kematangan 

tertentu sebagai bangsa. Sargon telah menyatukan kota-kota Mesopotamia 

yang saling berperang menjadi sebuah kekaisaran, tetapi kebudayaan Akkadia 

sendiri tidak pernah sama persis dengan dunia politis Akkadia. Anda dapat 

tinggal di kekaisaran Akkadia, dan tunduk kepada raja Akkadia, namun 

tetap menjadi orang Sumeria. Anak-anak dan cucu-cucu Sargon menggam￾barkan kemenangan mereka dalam cuneiform Sumeria (demi mereka yang 

ditaklukkan) dan juga dalam cuneiform Akkadia (demi mereka sendiri). 

Pegawai-pegawai dan pasukan-pasukan garnisun tinggal di kota-kota Sumer, 

tetapi mereka juga merasa menjadi bagian dari suatu kebudayaan yang terpi￾sah dari mereka.

Identitas budaya yang meningkat itu paling terlihat pada masa kekaisaran 

berada dalam bahaya terbesar. Nun jauh dari Pegunungan Zagros, perbukitan 

cadas di sebelah Timur Tigris menyapu suku-suku Gut dan menghempas ke 

tepian kerajaan Naram-Sin.

Kekalutan yang mengancam kemapanan suatu kerajaan bukanlah suatu 

hal baru. Tradisi Cina mencatat pergulatan para penguasa melawan kekalutan 

di dalam negeri: suatu impuls terhadap penindasan dan eksploitasi yang 

kejam. Orang Mesir menuturkan cerita peperangan antarsaudara, sementara 

kerajaan di sepanjang Nil terpecah menjadi kerajaan-kerajaan yang terpisah￾pisah. Gilgamesh memerangi seorang lelaki buas, tetapi musuhnya itu juga 

ternyata adalah bayangannya sendiri.

 Tetapi Naram-Sin menghadapi sesuatu yang baru: invasi orang￾orang barbar, orang-orang dari luar daerah, orang-orang lain yang ingin 

menghancurkan dan merusak. Pengambilalihan Sumer oleh orang Akkadia 

dilakukan dengan cara kekerasan dan kekuatan, tetapi rakyat Sargon 

memiliki sebuah bahasa dan aksara sendiri. Pada masa kekuasaan Naram-Sin, kekaisaran Akkadia telah menjadi lebih sebagai suatu bangsa daripada suatu 

bala tentara yang berpencar dan sesekali berhenti untuk makan. Kekaisaran 

itu mempunyai sejarah sendiri, bapak pendiri sendiri. Baru sekarang sajalah 

dapat dikatakan tentang jenis orang yang sangat berbeda, yakni ”orang￾orang barbar”.

 ”Tak seorang pun menyebut dirinya sendiri orang barbar”, catat sejara￾wan David McCullough, ”itu adalah sebutan yang digunakan oleh musuh 

terhadap Anda”.4

 Kebudayaan orang Akkadia berlawanan dengan dunia orang 

Gut yang tersebar di mana-mana, yang—walaupun memiliki satu bahasa yang 

sama—tidak meninggalkan inskripsi dan tradisi, bahkan sejarah. Tentu saja 

tak satu pun inskripsi Akkadia yang menggunakan kata ”orang barbar”, yang 

berasal dari bahasa Yunani dari masa jauh sesudahnya. Tetapi orang Akkadia 

melihat, dalam diri gerombolan Gut itu, suatu kekuatan dari luar yang datang 

hanya untuk merusak—bukan untuk menegakkan sebuah kebudayaan lain 

milik mereka sendiri. Ahli ilmu Assyria Leo Oppenheim telah 

Mengemukakan bahwa kebencian semata-mata yang ditemukan dalam 

kronik Akkadia tentang invasi orang Gut adalah suatu hal yang baru di dunia 

kuno; ia mencatat bahwa itu ” hanya dapat disejajarkan dengan kebencian 

orang Mesir kepada orang Hyksos”,5

 suatu peristiwa yang terjadi dua ratus 

tahun sesudahnya dan merupakan kali pertama Mesir diserbu oleh suatu 

bangsa pengembara perusak dari luar. Orang Sumeria menganggap orang Gut 

sebagai ular dan kalajengking serta orang hina:

mereka yang bukan bagian Tanah ini:

orang Gut, suatu bangsa yang tak punya kendali,

yang memiliki pikiran manusia, tetapi perasaan anjing,

dan rupanya seperti monyet.

Seperti burung kecil, mereka menukik ke tanah dalam kawanan besar....

tiada yang lolos dari cakar mereka,

tak seorang pun selamat dari cengkraman mereka.6

Bala tentara Naram-Sin tidak mampu menghalau orang-orang Gut; me￾reka melanda masuk dan merebut kota demi kota. Pendudukan kota-kota 

Akkadia oleh orang-orang Gut memorakporandakan tatanan kehidupan ma￾syarakat.

Utusan tak dapat lagi melewati jalan raya,

perahu kurir tak dapat lagi berlayar di sungai.....

Orang tawanan mengawasi tempat penjagaan,

bandit-bandit memenuhi jalan-jalan....

Mereka menanam kebun untuk mereka sendiri di kota,

bukannya, seperti biasanya, di padang yang luas di luar kota.

Sawah kebun tak menghasilkan bebijian, air banjir tak membawa ikan,

kebun buah tak menghasilkan sirop atau anggur,

awan gemawan tak menurunkan hujan....

Orang jujur tercampur dengan pengkhianat,

pahlawan-pahlawan tergeletak tanpa nyawa di atas pahlawan lain,

darah pengkhianat mengalir menimpa darah orang-orang jujur.7

Penggulingan tata kehidupan oleh orang-orang barbar itu sedemikian 

mengguncang-kan sehingga sebuah kisah yang panjang ditulis, pada masa yang 

tidak jauh sesudahnya, untuk menceritakan penghancuran itu. Dewa-dewa 

marah: ini adalah yang pertama kalinya terjadi, tetapi bukan untuk terakhir 

kalinya bahwa invasi-invasi orang barbar memberikan penjelasan itu.

Dalam ”Kutukan terhadap Agade”, Naram-Sin menghancurkan Kuil Besar 

Enlil di ibu kotanya dan mencuri emas, perak, dan tembaga. Itu adalah suatu 

tindakan sakrilegi yang menyebabkan negerinya terkutuk; ia memuat kha￾zanah itu ke kapal-kapal dan mengangkutnya pergi, dan ”ketika kapal-kapal 

meninggalkan galangan, kota itu kehilangan daya pikirnya”.

Ketenangan kota itu hilang: sifatnya yang khas, beradab, dan manusiawi. 

Enlil, yang kemudian memutuskan untuk melepas gerombolan Gut sebagai 

pembalasan, melanda Agade seperti ”topan bergemuruh yang menaklukkan 

seluruh daerah, air bah pasang yang tak dapat ditanggulangi”. Gerombolan 

yang hampir tak manusiawi itu adalah alat amarah dewa-dewa. ”Demikianlah 

terjadinya”, bunyi akhir cerita. ”Di jalur penghela di tepi kanal, rumput 

tumbuh tinggi; di jalan raya, tumbuh rumput perkabungan”. Ruang terang 

peradaban telah mulai lenyap. 

Dari daftar raja kita mengetahui bahwa para pejuang Gut merebut Uruk, 

kediaman leluhur Gilgamesh sebelumnya. Karena mereka berhasil menyerbu 

ke Barat sejauh itu, mereka hampir dipastikan mematahkan kekuasaan 

Akkadia atas Sumer Selatan. 

Ketika Naram-Sin wafat pada tahun 2218, gerombolan Gut telah berhasil 

menciutkan kerajaannya menjadi separuh dari luasnya semula. Naram-Sin 

mewariskan kekacauan itu kepada anaknya Shar-kali-sharri, yang dihadapkan 

pada tugas untuk mencoba mengusir orang-orang barbar itu kembali. Ia 

tidak berhasil; Lagash pun jatuh ke tangan orang Gut, dan pada akhir masa 

pemerintahan Shar-kali-sharri, bagian Selatan Sumer lepas untuk selamanya. 

Orang Gut memasuki beberapa kota di Selatan, tetapi kota-kota lainnya, 

termasuk kota-kota di Elam, justru memanfaatkan kesibukan Shar-kali-sharri

menghadapi orang Gut karena akhirnya mereka bisa membebaskan diri dari 

keterikatan pada raja Akkadia yang barangkali juga cuma berupa nama. 

Daerah-daerah Akkadia sesudah itu tampaknya berada dalam kekalutan. 

Suatu ketika pada tahun 2190 setelah Shar-kali-sharri wafat, pusat kerajaan 

nyaris masih terjaga keutuhannya. Tetapi daftar raja Sumer menanyakan, 

”Siapakah yang menjadi raja? Siapakah yang tidak menjadi raja?” yang berarti 

bahwa sebenarnya tak seorang pun mampu mempertahankan kekuasaannya 

untuk jangka waktu yang lama.8

 Akhirnya, seorang pejuang yang tidak 

memiliki hubungan apa pun dengan Sargon merebut tahta, berhasil mem￾pertahankannya selama dua puluh satu tahun, dan kemudian mewariskannya 

kepada anak lelakinya.

Tetapi dinasti bukan wangsa-Sargon ini, yang hal-ihwalnya sama sekali 

tidak kita ketahui, menyandang kutuk. Inskripsi-inskripsi meratapi jatuhnya 

Agade sendiri, sekitar 2150 SM, ketika orang Gut menyerbu dan membobol 

tembok-temboknya. Karena kita tidak menemukan reruntuhannya, kita tidak 

mengetahui apakah kota itu dijarah atau dibakar. Mungkin karena tidak ada￾nya situs itu sendiri mengisyaratkan kehancuran total. Dan karena kota itu 

tidak meninggalkan jejak apa pun pada alam setempat, tempat itu barangkali 

sesudahnya tidak digunakan lagi sebagai pemukiman. Kebanyakan situs kota 

di Timur Tengah kuno menampakkan lapisan demi lapisan pemukiman yang 

berurutan, tetapi suatu kota yang dianggap menanggung kutuk kadang kala 

dibiarkan terbengkalai selama berabad-abad.*∗

S  setengah abad, ”orang barbar” Gut bercokol di sepanjang 

seluruh dataran Mesopotamia. Mereka tak banyak meninggalkan jejak yang 

berarti bahwa mereka mengembangkan sebuah kebudayaan milik mereka sen￾diri: tidak ada tulisan, inskripsi atau patung atau pun pusat pemujaan. Invasi 

Gut menghapus sebuah peradaban yang sudah ada tanpa membangun sebuah 

kebudayaan lain sebagai gantinya.

Daftar raja menarik sebuah garis tandas antara masa pemerintahan raja￾raja Akkadia dan ”raja-raja” Gut, yang dengan jelas tidak memiliki gagasan 

tentang cara menetapkan suatu suksesi. Manishtushu memerintah selama

lima belas tahun, Naram-Sin selama lima puluh enam tahun; bahkan anak 

Naram-Sin, yang sulit untuk mempertahankan sisa-sisa kerajaan ayahnya dari 

gerombolan-gerombolan yang tak henti-hentinya menyerbu, diakui dengan 

masa pemerintahan yang stabil selama dua puluh lima tahun. Tetapi orang 

Gut yang merebut Agade dan kota-kota di dekatnya adalah massa yang terus 

bergerak dan tidak stabil. Seorang raja tanpa nama digantikan oleh dua puluh 

satu raja, dan hanya seorang dari mereka yang berhasil mempertahankan 

kekuasaan selama lebih dari tujuh tahun; kebanyakan dari mereka hanya me￾merintah selama satu atau dua tahun, dan raja terakhir memerintah selama 

empat puluh hari. 

Kota-kota Sumer yang tua dan berkuasa—yang menurut perkiraan kini 

dihuni oleh suatu campuran antara orang Sumeria, Akkadia, dan Gut—tidak 

dapat lama-lama menerima pemerintahan orang barbar.

Kebangkitan itu mulai di Lagash, kota terdekat dengan daerah orang Elam. 

Pejuang Gudea dari Lagash membebaskan kotanya sendiri dari orang Gut, 

merebut kendali atas kota Lagash sebagai raja, dan kemudian mulai member￾sihkan dan membangun kembali kuil-kuil orang Sumeria, yang tampaknya 

telah dirusak entah oleh orang Akkadia atau orang Gut.

Gudea sama sekali tidak muncul dalam daftar raja Sumeria, yang mungkin 

sekali berarti bahwa kekuasaannya tidak pernah menjangkau lebih jauh 

daripada tapal batas kotanya sendiri. Namun, ia cukup terkesan dengan 

kemenangannya sendiri hingga menyebut dirinya ”gembala sejati” rakyatnya. 

Ia juga mengklaim, di dalam papan-papan penghormatannya, bahwa ia telah 

memulihkan kembali perdagangan dengan orang Elam di pegunungan￾pegunungan, yang mengirim tembaga; dengan India, tempat ”batu-batu 

merah” diperoleh; dan bahkan dengan wilayah-wilayah Utara Mesopotamia. 

Ia mengklaim bahwa ia

 membuat sebuah jalan ke pegunungan-pegunungan aras ... ia membalak 

pohon aras dengan kapak raksasa ... seperti ular besar, batang-batang aras 

hanyut ke hilir sungai dari pegunungan aras, pohon pinus dari pegunungan 

pinus.9

Jika hal itu benar, berarti orang Gut tidak mampu menjaga sungai, yang masih 

tetap terbuka untuk perdagangan.

Gudea juga mendatangkan batu dari Magan (Oman, di Arabia) untuk 

membangun patung-patung dirinya. Patung-patung itu menampilkan raja 

sebagai orang yang berbakti kepada dewa-dewa, tanpa senjata dan memakai 

pakaian upacara, sedang kedua tangannya terjalin dengan sikap memohon. 

Hampir tak dapat ditemukan sebuah kontras yang lebih besar daripada

keilahian tegap Naram-Sin yang pongah; Gudea tidak ingin menghadapi risiko 

amarah dewa-dewa dengan mengulang kesalahan-kesalahan pendahulunya.

Pembebasan Lagash disusul tak lama kemudian oleh pembebasan kota ke￾diaman Gilgamesh Uruk, di mana raja Utuhegal memiliki rencana-rencana 

yang lebih besar daripada sekadar membebaskan kotanya sendiri. Ia mengusir 

orang Gut dari Uruk, dan kemudian prajurit-prajuritnya (yang sangat setia 

kepadanya; menurutnya, para prajurit mengikutinya ”kemana pun ia pergi”) 

berbaris keluar dengan pola gugus lingkaran yang membesar: ke Ur, ke Eridu 

di sebelah Selatan Ur, mungkin ke Utara sejauh kota suci tua Nippur.

Pembebasan Nippur dari tangan orang Gut melambangkan kebebasan pa￾ripurna dataran itu dari gerombolan Gut. Dengan menempatkan tentaranya 

sebagai garnisur di kota-kota yang sebelumnya berada di bawah pemerintahan 

kalut orang Gut, Utuhegal mulai melukiskan dirinya dalam inskripsi-inskripsi 

dengan gelar yang selama bertahun-tahun tidak lagi diklaim oleh seorang pun, 

mungkin sejak anak-anak Sargon memerintah kekaisarannya: Raja Keempat 

Penjuru. Dalam kisah kemenangannya, ia adalah ”raja yang perintahnya tidak 

dapat dibatalkan.” 10 Ia menangkap pemimpin Gut yang paling kuat, seorang 

lelaki yang ia gambarkan sebagai seekor ”ular dari pegunungan”, membawa 

orang itu ke istananya dengan dirantai, dan dengan suatu sikap tubuh yang 

kemudian biasa ditemukan pada relief-relief kekaisaran agung yang akan 

muncul di dataran itu—ia ”menghentakkan kakinya di tengkuk orang itu”.11

Tetapi, walaupun Utuhegal mengakhiri kekuasaan para penyerbu, masa 

hidupnya tidak cukup panjang untuk menikmati kekuasaannya. Ular yang se￾lama ini berada di bawah jerami tampaknya adalah tangan kanannya sendiri, 

Ur-Nammu, yang juga menikah dengan anak perempuan Utuhegal. 

Setelah menghalau orang Gut dari Ur, Utuhegal menetapkan Ur-Nammu 

sebagai penguasa kota itu disertai pasukan yang telah dipersiapkan. Tak lama 

sesudahnya, Ur-Nammu mengirim tentaranya melawan rajanya sendiri. 

Daftar raja mencatat bahwa kekuasaan Utuhegal atas daerah yang baru saja 

ia bebaskan berlangsung selama tujuh tahun, enam bulan, lima belas hari 

—satu-satunya kejadian ketika masa pemerintahan seorang raja dinyatakan 

secara lebih rinci tidak hanya dalam tahun saja. Ketelitian itu menimbulkan 

dugaan tentang berakhirnya masa pemerintahan Utuhegal secara mendadak 

dan mengejutkan: mungkin ia mati di peperangan, di tangan anak menan￾tunya sendiri.

Walaupun dimulai dengan pertumpahan darah, begitu Ur-Nammu 

menguasai baik Ur maupun Uruk, perilaku pertamanya bukan sebagai 

seorang pemimpin perang melainkan sebagai seorang raja. Sesekali ia 

melakukan serangan terhadap orang-orang Gut yang berkeliaran, tetapi 

catatan-catatan dari perjanjian-perjanjian yang dilakukan dan aliansi yang

diteguhkan, mengisyaratkan bahwa 

kekaisaran Ur-Nammu meluas ter￾utama melalui negosiasi (walaupun 

tentu saja prajurit-prajurit yang berdiri 

di belakang sang diplomat yang penuh 

senyum itu memiliki peran yang besar 

dalam keberhasilan Ur-Nammu). Di 

daerah yang bukan taklukannya, Ur￾Nammu menjalin persahabatan. Ia 

mengambil sekutu dengan menikahi 

anak perempuan raja kota Mari (kita 

tidak memiliki catatan tentang reaksi 

istri pertamanya, anak perempuan 

Utuhegal yang dibunuhnya, terhadap 

strategi). Ia membangun kuil-kuil di 

kota-kota di seluruh bentangan dataran 

itu, di antaranya sebuah kuil baru 

untuk dewa agung Enlil. Bahkan Susa 

mengakui keadirajaannya, walaupun 

Awan tetap berkuasa.

 Di bawah pemerintahan Ur￾Nammu, orang Sumeria mengalami 

masa renaisans terakhir mereka. Masa 

pemerintahannya dalam kekaisaran 

neo-Sumeria itu dan pemerintahan 

raja-raja yang menggantikan dia, 

dikenal sebagai masa Dinasti Ketiga 

Ur. Ur-Nammu tidak hanya menjadi 

penakluk dataran itu, tetapi juga 

pemulih peradaban. Ia membangun 

kembali jalan-jalan dan tembok-tembok; ia menggali kanal-kanal untuk 

menlaurkan kembali air segar ke kota-kota tempat semula terdapat air payau. 

”Kotaku penuh ikan”, serunya, ”udara di atasnya penuh dengan burung. Di 

kotaku ditanam tumbuhan madu.” 12

 Puisi-puisi pujian kepada Ur-Nammu membanggakan bukan saja 

proyek-proyek pembangunan kembalinya, tetapi juga pemulihan tatanan dan 

hukum:

Aku adalah Ur-Nammu,

Aku melindungi kotaku.




Aku menghukum orang yang melakukan pelanggaran berat, dan mem￾buat mereka gemetar ...

Penghakimanku menegakkan Sumer dan Akkad di jalur tunggal.

Aku meletakkan kakiku di tengkuk pencuri dan penjahat,

Aku menyekap pelaku kejahatan ...

Aku membuat keadilan bersinar, aku mengalahkan kejahatan ...

Di gurun, jalan-jalan dibuat untuk keperluan pesta perayaan,

Dan dapat dilalui karena aku ...

 Aku adalah gembala yang baik dan domba-dombaku beranak pinak ber￾lipat-lipat.13

Untuk sementara kekalutan telah disingkirkan dan kekuasaan hukum serta 

ketertiban ditegakkan. Selama kurun beberapa waktu kota-kota di dataran 

Sumeria aman. 

G A R I S WA K T U 1 6

 MESIR MESOPOTAMIA

Dinasti Purba II (2800-2600)

 Kerajaan Lama (2696-2181)

 Dinasti 3 (2686-2613) Gilgamesh 

Djoser

 Dinasti 4 (2613-2498) Dinasti Purba III (2600-2350) 

Snefru

Khufu Lugulannemundu (sek. 2500) 

Khafre Mesilim

 Menkaure

 Dinasti 5 (2498-2345) Lugalzaggesi Urukagina

 (Umma) (Lagash)

 Dinasti 6 (2345-2184) Periode Akkadia (2334-2100)

 Sargon

 Rimush

 Invasi Gut

 Periode Menengah Pertama (2181-2040)

 Jatuhnya Agade (sek. 2150)

 Dinasti Ketiga Ur (2112-2004)

 Ur-Nammu






S   S    G, seorang 

warga Ur bernama Terah mengumpulkan hamba-hambanya, ternaknya, istri￾istrinya, anak-anak lelakinya beserta keluarga mereka dan berangkat menuju 

ke barat. Di antara anggota rumah tangga besarnya terdapat Abram, anak 

lelaki Terah, dan Sarai istri Abram, yang bernasib malang karena masih belum 

memiliki anak.*∗

 Terah bukan seorang Sumeria, tetapi mungkin seorang Akkadia, atau 

anggota suatu suku yang terkait dengannya; leluhurnya berasal dari Shem, 

leluhur biblis orang Semit.1

Terah, yang lahir ketika dalam masa pemerintahan Naram-Sin, mungkin 

tidak pernah mengalami kehidupan di Ur yang bebas dari ancaman orang 

Gut. Pada masa kecilnya, Ur telah memanfaatkan kekuasaan raja-raja Akkadia 

yang melemah untuk memerdekakan diri dari kekuasaan Akkadia. Ketika ia 

telah menjadi ayah dari tiga anak lelaki, raja Akkadia terakhir tengah melaku￾kan usaha terakhir untuk mempertahankan tahta; ketika keluarga mudanya 

tumbuh, orang Gut merusak Agade dan menyapu dengan leluasa seluruh da￾taran utara.

 Saat Utuhegal tengah bergerak menuju Ur, untuk merebutnya dan ke￾mudian kehilangan lagi di tangan anak menantunya, Terah dan keluarganya memutuskan (dan hal ini dapat dimengerti) bahwa mereka akan lebih mujur 

jika keluar dari kota. Mereka

berangkat, menurut Kitab Kejadian, menuju ”Kanaan”—ke barat, menuju 

pantai laut Tengah dan menjauh dari orang Gut yang barbar, orang Elam yang 

bernafsu membalas, dan orang Sumeria yang ambisius.

Penjelasan teologis untuk perjalanan dalam Kitab Kejadian 12 adalah 

bahwa Abram telah mendengar suara Allah. Itu bukan seorang dewa Sumeria 

atau Akkadia, tetapi sang Allah: seorang Allah yang menyebut dirinya dengan 

nama yang penuh teka-teki , YHWH, mungkin sebuah bentuk dari 

kata kerja ”ada”.*

Itu tampak sebagai sebuah gagasan baru untuk Abram. Terah dan anak￾anaknya mungkin menjadi pemuja dewa bulan Sin dan anak perempuannya 

Inanna, dewa-dewi pelindung kota Ur, semata-mata karena semua orang ke￾lahiran Ur paling tidak berpura-pura melakukan pemujaan kepada bulan. 

Demikian pula dengan nama-nama keluarga yang menunjukkan suatu 

penghormatan cukup baku kepada panteon Akkadia/Sumeria. Nama Terah 

sendiri mengungkapkan hubungan darah dengan dewa bulan Sin. Sarai, istri 

Abram, adalah juga saudari tirinya, anak perempuan Terah dari seorang istri 

lain; nama Sarai adalah versi Akkadia dari istri Sin, dewi Ningal. Cucu pe￾rempuan Terah, Milcah tampaknya dinamai dengan nama anak perempuan 

Sin, Malkatu.2

 Nama Abram sendiri, yang berarti ”ayah yang luhur”, bersifat 

ambigu. Namun, kita dapat mengandaikan bahwa baik nama Abram maupun 

nama Sarai terkait dengan pemujaan bulan, sebagian karena dalam kelanjut￾an ceritanya, YHWH menamai ulang kedua-duanya sebagai bagian dalam 

pengikatan suatu perjanjian. Kedua nama baru itu, Abraham dan Sarah, men￾gandung suku kata baru ah, suku kata pertama nama perjanjian YHWH, 

sebuah nama yang mengklaim ulang mereka dari kepemilikan Ur dan meng￾alihkan kepemilikan kepada Allah Kitab Kejadian.

Dari Allah ini Abram menerima baik sebuah janji maupun sebuah perin￾tah. Janji itu adalah bahwa Abram akan dijadikan bapa sebuah bangsa besar 

dan akan diberkati; perintahnya adalah agar ia meninggalkan negerinya dan 

bangsanya (kota Ur dan penduduknya yang merupakan campuran orang 

Akkadia, Sumeria, dan orang Semit lain) dan pergi ”ke tanah yang akan 

Kutunjukkan kepadamu”: ke tanah Kanaan, hampir lurus ke barat.*†

 Banyak ras mengklaim bahwa mereka berasal dari seorang leluhur tertentu 

yang direstui dewa, tetapi inilah pertama kalinya hal itu terjadi dalam sejarah 

yang tercatat. Berdasrakan darah, Abram tidak berbeda dengan orang-orang 

Semit di sekelilingnya, dan tidak begitu berbeda dengan bangsa yang mendi￾ami tanah yang ia tuju. Tetapi berdasarkan perintah ilahi, ia dipisahkan dari 

yang lainnya dan memulai sesuatu yang baru: satu orang Semit di antara yang 

lainnya, satu Allah yang muncul di kekalutan politeisme. Ia adalah monoteis 

pertama.

A-    , suatu alur perjalanan yang akan mem￾bawa mereka menyeberangi gurun, suku itu berjalan ke barat laut melalui 

alur Efrat yang lebih mudah. Pada akhirnya alur itu akan membawa mereka 

ke sudut utara pantai Laut Tengah. Tetapi mereka berjalan ke utara sejauh 

sungai Bilikh, yang mengalir ke Efrat tempat mereka seharusnya berbelok ke 

kiri. Sebaliknya, mereka malah berbelok ke timur, mengikuti sungai kecil itu 

sampai ke kota kecil Haran, dan bermukim di sana. Haran terletak di jalur 

perdagangan yang ramai; seperti Ur, kota itu adalah sebuah pusat pemujaan 

bulan, dan mungkin terasa cukup dikenal. Terah beranjak tua, dan Haran 

secara relatif damai.

Kembali ke selatan, Ur-Nammu telah merebut tahta ayah mertuanya dan 

melebarkan kekuasaannya menjadi sebuah kekaisaran neo-Sumeria, tetapi 

jangkauannya ke utara tak pernah sejauh Haran. Sekitar 2094 ia meninggal 

setelah memerintah selama delapan belas tahun; puisi pemakamannya memu￾jinya sebagai seorang gembala rakyat yang bijak dan dapat dipercaya, seorang 

raja yang telah memulihkan Sumer kepada keasliannya, seorang yang layak 

berbagi tahta di alam kemudian dengan Gilgamesh sendiri.3

Anak lelaki Ur-Nammu, Shulgi, menggantikan ayahnya. Tak lama 

sesudahnya—mungkin dalam waktu empat atau lima tahun—Abram mening-

galkan Haran dan melanjutkan kembali perjalanan menuju tanah yang telah 

dijanjikan Allah kepadanya. Ia berjalan ke selatan dan akhirnya sampai ke 

Shechem, di sebelah barat sungai Yordan dan setengah jalan antara kedua 

kumpulan air yang kemudian dikenal sebagai Laut Galilea dan Laut Mati.

Di sana, ia meminta penegasan kembali dari Allah bahwa tanah itu akan 

menjadi miliknya, karena sejauh-jauh ia memandang, tanah itu seluruhnya 

didiami orang Kanaan.

”K” adalah sebuah nama yang anakron untuk tanah yang dalam mile￾nium pertama SM dikenal sebagai Israel, atau sebagai Palestina untuk orang 

Romawi, dan sebagai ”Levant” untuk pejuang Perang Salib. Kata ”orang 

Kanaan” muncul untuk pertama kalinya pada sebuah papan yang ditemu￾kan di Mari, kota bertembok Zimri-Lim, dan berasal dari 1775; papan itu 

tampaknya suatu acuan cercaan kepada bandit-bandit yang mengembara dari 

daerah sekitar sungai Yordan.4

 Pada tahun 2090 SM, tidak terdapat nama 

untuk tanah yang dijanjikan Allah kepada Abram, karena tanah itu tidak 

memiliki baik identitas ras maupun identitas politis. 

Bangsa yang tinggal di sepanjang bentangan pantai timur Laut Tengah 

adalah ”Orang Semit Barat”.*∗

 Kita telah menjumpai kerabat dekat mereka 

nun di Bab I, ketika orang Semit bercampur dengan orang Sumeria pada 

masa awal kota-kota Sumeria. Alih-alih bermukim di dataran Mesopotamia, 

orang Semit Barat terus bergerak. Sementara kerabat mengajar orang Sumeria 

bertani, orang Semit Barat menyebar ke sepanjang pantai dan membangun 

kota-kota sendiri. 

Abram adalah sosok pertama yang muncul dari permukaan sejarah wilayah 

khusus ini. Tanpa adanya suatu kebudayaan yang menyatu, orang Semit Barat 

tidak menghasil-kan catatan kronik, dan apa yang kita ketahui tentang mere￾ka berasal hanya dari reruntuhan kota-kota mereka. Pada tahun 7000 SM, 

petani-petani dengan kambing dan domba yang sudah dijinakkan menghuni 

kota-kota di seluruh daerah itu. Situs-situs seperti Catal Huyuk yang jauh 

di utara dan Yeriko yang jauh di selatan dan dekat dengan Laut Mati, me￾nyandang kehormatan sebagai kota-kota tertua dunia. Yeriko, yang terletak 

di dalam tanah yang akhirnya akan diklaim oleh keturunan Abram, tampil 

menonjol; kebanyakan dari situs-situs Semit Barat adalah desa-desa tanpa 

perlindungan khusus, sampai saat itu, tetapi pada tahun 6800 SM penduduk 

Yeriko telah membangun sebuah tembok batu yang tingginya mengesankan.

Pada sudut tembok, sebuah menara bundar menjulang setinggi sebelas meter 

sehingga para penjaga dapat mengawasi terus-menerus daerah di sekitarnya.

Apa yang diperkirakan oleh penduduk Yeriko bahwa sesuatu akan datang 

pada mereka tidak sepenuhnya jelas. Memang benar bahwa Yeriko terletak di 

suatu situs di mana terdapat aliran air segar yang tetap dan selalu tersedia,5

tetapi bagaimana pun sungai Yordan tidak terlalu jauh dari sana. Walaupun 

demikian, penduduk Yeriko adalah satu-satunya di antara bangsa Semit Barat 

yang membangun pertahanan yang besar terhadap suatu ancaman yang me￾nakutkan dari luar, dan dijaga secara tetap agar ancaman itu tidak sampai 

terjadi tanpa diduga.

Pada waktu Abram tiba,*† kota-kota Semit Barat telah membangun jalur 

perdagangan mereka sendiri, khususnya dengan Mesir. Byblos, yang terletak 

setengah jalan di tepi pantai (dan yang dikenal sebagai Gubla oleh orang 

Akkadia, atau Gebal untuk orang Semit), telah membangun roda ekonom￾inya dari pengiriman balok aras ke Mesir yang ditukar dengan kain linen serta 

logam berharga dari Mesir. Kota Ebla di utara memungut pajak dari kota-kota 

yang mengirim kafilah melalui kota itu.6

 Kota Megiddo yang dibangun di sela 

antara lembah Yordan dan dataran Sharon, telah bertambah besar sekurang￾kurangnya sejak tahun 3500 SM. Shechem, kota tempat Abram pertama kali 

meminta Allah untuk menegaskan janjiNya, sekurang-kurangnya sama tua￾nya, dan mungkin menjadi tempat pemukiman berkat sebuah sumur yang 

jarang menjadi kering. Para pemukim asli Semit Barat disusul oleh berbagai 

pendatang yang masuk dari utara dan selatan; yang paling mencolok adalah 

orang Amorit, bangsa-bangsa pengembara yang menggunakan suatu bahasa 

Semit tersendiri, yang mungkin berasal dari jazirah Arab.

Abram tidak dapat dipersalahkan karena bertanya-tanya bagaimana 

negeri yang terdiri dari campuran bangsa itu akan menjadi miliknya. Walaupun 

demikian, ia tidak mendapat kesempatan lama untuk bertanya-tanya, karena 

belum sampai lima tahun sejak ia tiba di tanah yang dijanjikan kepadanya, ia 

sudah berangkat lagi.

Ia tidak sendirian. Catatan arkeologis menunjukkan bahwa suatu ketika 

antara 2400 dan 2000, kebudayaan orang Semit Barat—yang telah semakin 

bergerak menuju urbanisasi—berbalik menuju suatu gaya hidup yang kurang 

terorganisasi dan lebih bersifat pengembara, dan banyak kota ditinggalkan untuk sementara.*∗

 Suatu perpaduan antara terlalu banyak menanam dan 

kekeringan telah menyebabkan aliran air dan tanah pertanian menjadi susut; 

pemukiman-pemukiman luas yang menyedot banyak air harus menyebar 

untuk bertahan hidup.7

 Selain itu, karena Kerajaan Lama di selatan runtuh, 

maka orang Semit Barat kehilangan tidak saja tanah pertanian, tetapi juga 

rekan dagang mereka yang paling kaya dan paling handal, yakni negeri yang 

dahulu telah melimpahi Byblos dan belasan kota lainnya dengan kekayaan 

melalui perdagangan barang-barang. Kekalutan Kerajaan Lama telah menye￾bar ke utara. Akibatnya, Abram berangkat ke selatan.

 “Kelaparan timbul di negeri itu”, bunyi Kej. 12:10, “maka pergilah 

Abram ke selatan ke Mesir untuk beberapa waktu, sebab kelaparan itu hebat”. 

Di Mesir terdapat air yang lebih banyak; dan, untuk beberapa waktu, keterti￾ban yang sedikit lebih baik. Dinasti Ketujuh yang “dungu” diikuti oleh suatu 

Dinasti Kedelapan, yang sedikit lebih stabil tetapi sama sekali tidak menonjol; 

dinasti ini memiliki 27 raja dalam kurun 146 tahun, dan tidak ada satu nama 

pharaoh pun yang tinggal.

Namun, sekitar 2160, seorang bangsawan yang berkuasa dari Herakleopolis 

bernama Akhtoy telah berhasil menarik seluruh Mesir ke dalam kekuasaan￾nya melalui kekuatan pribadinya, pembentukan sekutu-sekutu secara cerdik, 

dan kekerasan murni. Manetho menyebut Akhtoy “lebih mengerikan dari￾pada para pendahulunya”, mungkin sebuah komentar yang mencerminkan 

banyaknya pertumpahan darah yang diperlukan untuk penyatuan kembali 

sementara itu.8

 Selama seratus tahun berikutnya, keturunan Akhtoy—tujuh 

raja berturut-turut, termasuk Dinasti Kesembilan dan Dinasti Kesepuluh 

menurut Manetho—memerintah Mesir yang telah kehilangan hampir semua 

kebesarannya dahulu. Mesir menderita bukan saja akibat kerusuhan di dalam 

negeri, tetapi juga dari ketidakmampuannya untuk mempertahankan batas￾batasnya terhadap penyerbuan Semit Barat yang tak henti-hentinya menyerbu 

Delta Nil dalam kawanan pengembara yang kecil-kecil.

Menurut penanggalan tradisional, Abram tiba di Mesir beserta istri, 

hamba-hamba, dan kawanan ternaknya sekitar 2085. Itu tidak terlalu jauh 

dari masa Akhtoy III dari Dinasti Kesepuluh, seorang pharaoh yang menulis 

tentang para penyerbu Semit Barat:


Orang Asia yang keji! Tempat tinggalnya tertimpa kesulitan, kekurangan 

air, dan dipenuhi semak belukar. … Ia tidak pernah menetap di satu tempat 

tetapi terpaksa mengembara karena kekurangan dan menjelajahi daerah￾daerah dengan berjalan kaki. … Orang Asia itu seperti seekor buaya di 

tebing sungai: ia menyergap di jalan yang sepi.9

Permusuhan itu mungkin menjelaskan mengapa Abram, begitu ia tiba di 

Mesir, memberitahukan bahwa Sarai adalah adik perempuannya, bukan 

istrinya. Menurut Kitab Kejadian, Abram memandangi Sarai, suatu saat 

dalam perjalanannya ke Mesir, dan berkata pada dirinya sendiri: Ia cantik, 

jadi pharaoh Mesir mungkin akan memerintahkan untuk membunuhku agar 

dapat mengambilnya (yang tentu saja mengisyaratkan bahwa orang Semit 

memiliki pandangan yang sama rendahnya tentang orang Mesir).

Kekhawatiran Abram menjadi kenyataan. Pharaoh (salah satu di antara 

raja-raja Dinasti Kesepuluh yang tanpa nama, tanpa wajah, dan tak menonjol) 

mengingini Sarai dan memberi Abram tanda terima kasih karena membawa 

adik perempuannya yang cantik ke Mesir. Abram menerima domba, sapi, kele￾dai, unta, dan hamba Mesir. Sementara itu, pharaoh dan rumah tangganya 

kurang berada. Kej. 12 menuturkan bahwa kehadiran Sarai di harem pharaoh 

mendatangkan kutuk ilahi terhadap rumah tangganya; pharaoh dan seluruh 

keluarganya tertimpa sesuatu yang disebut neh-ga. Terjemahan-terjemahannya 

dalam bahasa Inggris cenderung menyebutnya, secara sopan, sebagai “wabah”, 

mungkin karena berupa luka berair yang menimbulkan rasa nyeri yang hebat. 

Hal itu menjadikan pharaoh sama sekali tidak bergairah untuk dikunjungi 

seorang wanita pun dari rumah tangganya, apalagi Sarai.

Cerita yang aneh ini menjadi lebih berarti jika ditempatkan di dalam 

kelanjutan kisah epik Kitab Kejadian. Setelah lolos dari Mesir (dan pharaoh 

yang menolak untuk membunuh Abram, jelas-jelas karena takut akan 

pembalasan ilahi selanjutnya), Abram kembali ke Kanaan dan menetap dekat 

Hebron, agak jauh di sebelah selatan Shechem. Janji bahwa ia akan menjadi 

bapa sebuah bangsa baru tampaknya tidak akan menjadi kenyataan. Pasangan 

itu tetap tidak mempunyai anak sampai Sarai menjadi terlalu tua untuk 

mengharapkan kehamilannya.

Sekitar dua puluh tahun setelah menerima janji asli dari Allah, Abram 

memutuskan untuk melakukan suatu upaya untuk pemenuhan janji itu. Ia 

meminjam Hagar, hamba Sarai, sebagai istri kedua dan tidak resmi, dengan 

berjanji kepada Sarai bahwa jika Hagar memiliki anak, anak itu akan secara 

resmi diakui sebagai keturunan Sarai.

Itu bukan suatu kebiasaan asing di kota-kota Sumeria— kebiasaan itu diatur 

dalam seperangkat undang-undang Sumeria yang disebut Papan Nuzi—tetapi kebiasaan itu tidak berlaku untuk Abram. Janji Allah tentang sebuah bangsa 

baru itu khusus bukan hanya kepada Abram, tetapi kepada Abram dan Sarai 

bersama-sama. Abram akan menjadi bapa sebuah bangsa baru, tetapi hanya 

Sarai, bukan sembarang wanita yang subur dan lajang, yang akan menjadi 

ibunya. Seperti Allah yang esa sendiri, bangsa baru itu akan menyerupai apa 

yang ada sebelumnya, namun sama sekali berbeda dengannya. Allah Kitab 

Kejadian memiliki kesamaan sifat dengan sifat-sifat panteon yang terikat￾alam, tetapi Allah itu mengatasi alam dan tidak dikendalikan olehnya. Bangsa 

yang baru itu akan berbeda dengan bangsa-bangsa di sekelilingnya karena ia 

diciptakan oleh janji Allah yang esa. Janji itu telah diberikan kepada Abram 

dan Sarai, bukan kepada Abram saja. Kontribusi apa pun dari seorang pharaoh 

dari Dinasti Kesepuluh atau seorang hamba perempuan Mesir (“Hagar” 

adalah sebuah nama Mesir yang artinya kurang lebih “pendatang”; wanita 

ini adalah salah satu dari hamba-hamba perempuan yang diberikan kepada 

Abram oleh pharaoh yang tertimpa kesulitan) tidak diterima; demikian pula, 

Allah yang esa itu tidak akan menerima Enlil atau Ishtar yang singgah untuk 

memberikan bantuan. Sesudah episode dengan Hagar itulah Allah mengulangi 

janjinya kepada Abram dan menamainya ulang Abraham, yang menunjukkan 

kepemilikan ilahinya terhadap lelaki itu serta keturunanannya. 

Tak lama sesudahnya, Abraham berjumpa lagi dengan seorang raja ber￾mata keranjang. Kali ini adalah raja yang memerintah Gerar, sebuah kota 

di sebelah selatan Hebron, di daerah antara Kanaan dan Mesir yang disebut 

Negev. Karena Abraham takut kalau-kalau ia kembali akan disingkirkan be￾gitu saja, ia menegaskan kembali bahwa Sarai adalah adiknya, dan sekali lagi 

Sarai dibawa ke harem raja.

Akibatnya, se


Related Posts:

  • dunia kuno 6  aneh itu mengisyaratkan bahwa terdapat suatu ketegangan inheren antara identitas ilahi dan pemerintahan yang berbelaska￾sihan. Status mirip-dewa pharaoh sesungguhnya terkait dengan kemauannya untuk memanfaatk… Read More