aneh itu mengisyaratkan bahwa terdapat suatu
ketegangan inheren antara identitas ilahi dan pemerintahan yang berbelaskasihan. Status mirip-dewa pharaoh sesungguhnya terkait dengan kemauannya
untuk memanfaatkannya. Menunjukkan belas kasih adalah menunjukkan
kelemahan. Dalam hal itu, kekuasaan tak terbatas seorang penguasa yang
mirip-dewa secara inheren membatasi dirinya sendiri; kekuasaan itu akan
bertambah besar sampai ke titik di mana entah pharaoh mundur atau rakyat
memberontak.
Dan sesungguhnya itulah yang terjadi pada Dinasti Keempat. Menkaure
wafat secara tiba-tiba dan meninggalkan tahta kepada anaknya Shepseskaf, yang
hanya bertahan di tahta selama empat tahun, dan bahkan tidak dinilai pantas
mendapat sebuah piramida; ia dimakamkan di sebuah makam mastaba, sebuah kubur gaya kuno di tempat pemakaman lama di Saqqara, di mana para pendahulunya dari Dinasti Ketiga terbaring. Berakhirlah Dinasti Keempat.
T dinasti itu berakhir, tetapi terdapat
faktor lain yang mungkin.
Karena raja bersifat ilahi, ia tentu perlu menikahi seorang dewi lain untuk
mempertahankan keilahian ahli warisnya. Wangsa kerajaan tidak mengakui
bahwa seorang manusia lain pun di Mesir ikut mengambil bagian dalam sifat
itu. Jadi, saudari kandung rajalah satu-satunya calon istri yang mungkin baginya.
Sesuai dengan teladan para pendahulunya, Khafre menikahi adik tirinya,
Khamerernebty I; Khamerernebty I melahirkan seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan, Menkaure dan Khamerernebty II. Menkaure, ketika
naik tahta, kemudian menikahi saudari penuhnya, yang sekaligus sepupunya,
karena Khamerernebty I, dengan menikahi saudara tirinya, menjadi bibi tiri
anak perempuannya sendiri. (Ia juga menjadi sekaligus ibu Menkaure dan
ibu mertuanya, suatu peran yang menantang untuk seorang wanita.) Dengan
demikian Shepseskaf adalah anak lelaki ayahnya, cucu-kemenakan neneknya,
dan sepupu pertama ibunya dua pupu.
Pembaca yang jeli mungkin bertanya-tanya, pada tahap ini, mengapa semua
orang itu tidak memiliki tiga kepala. Perkawinan antarsaudara sedarah cenderung mereproduksi suatu kelompok genetik yang terbatas, maka kerusakan
gen sangat mungkin muncul. Di Eropa, ribuan tahun sesudahnya, perkawinan wangsa kerajaan antarsaudara sedarah menghasilkan sejumlah penyakit
dan keterbelakangan. Ferdinand I dari Austria, yang ibunya juga merupakan
sepupu pertama dua pupunya, suka meringkuk di keranjang sampah kertas
dan menggelinding ke ruangan, dan ucapannya yang paling koheren konon
adalah, “Aku adalah kaisar! Aku ingin kue bola!”
Mungkin saja sandi genetik sedikit lebih kuat, pada zaman itu. Mungkin
juga terdapat semacam seleksi-diri; jika Anda memiliki pilihan sejumlah
saudara kandung sebagai pasangan Anda, mungkinlah Anda akan memilih
yang paling kuat dan sehat, dan dengan demikian menghindari gen-gen yang
rusak. Di pihak lain, kemerosotan cepat kekuasaan pharaoh setelah Menkaure
mungkin mengisyaratkan adanya masalah dalam hubungan darah wangsa kerajaan. Patung-patung Menkaure sendiri menunjukkan sebuah kepala yang
bentuknya sedikit aneh dengan mata yang menonjol secara aneh, walaupun
Menkaure sendiri tampaknya memiliki kecerdasan yang utuh. Namun, anak
sulungnya dari saudarinya Khamerernebty II, Pangeran Khuenre, hanya
hidup selama masa yang mencukupi untuk dinyatakan sebagai pewaris, dan
kemudian menderita suatu penyakit yang tidak diketahui sebelum kematian ayahnya; Menkaure sendiri tampaknya mati secara tiba-tiba; dan anak lelaki
kedua Menkaure, Shepseskaf, memiliki masa pemerintahan yang sama sekali
tidak menonjol dan sangat singkat.
Terdapat juga sebuah cerita yang tetap tersimpan (ini sekali lagi diteruskan
melalui Herodotus) bahwa Menkaure jatuh cinta kepada anak perempuannya
sendiri dan memperkosa dia, dan sesudahnya anak perempuan itu menggantung diri karena sedihnya. Herodotus mencatat, “Tetapi ini semua omong
kosong menurut hemat saya”,6
dan mungkin memang demikian; mengingat
maraknya kegemaran inses di dalam keluarga raja Mesir, agak mustahil bahwa
seorang putri raja Mesir memandang hal itu sedemikian mengejutkan seperti
halnya kita, dan cerita itu menuturkan bahwa anak perempuan itu adalah
anak tunggal Menkaure, yang dapat dibuktikan bahwa tidak demikian. Tetapi
legenda perkawinan sedarah itu adalah satu-satunya yang masih ada sebagai
penjelasan untuk berakhirnya dinasti itu.
Para pharaoh dari
Dinasti Kelima tidak ditandai dengan masuknya
darah segar. Pharaoh
pertama dari Dinasti
Kelima, Userkaf, adalah sepupu pertama dua
pupu Menkaure; ia juga
menikahi sepupu keduanya, anak perempuan
Menkaure. Namun, terputusnya pergantian
kekuasaan dari ayah kepada anak juga mengisyaratkan perubahan-perubahan
lain.
Sebuah papyrus yang berasal barangkali dari kurun lima ratus tahun setelah Userkaf, tetapi masih jauh lebih dulu daripada Manetho, mendasarkan
perubahan di dalam dinasti itu pada sebuah nubuat; Khufu diberitahu bahwa
anak lelakinya dan cucu lelakinya akan memerintah, tetapi sesudah itu tahta
akan beralih kepada tiga anak lelaki imam besar dewa matahari Ra, yakni
imam yang melayani di kuil utma dewa matahari di Heliopolis. Anak-anak
yang berkulit emas itu akan diinangi pada kelahiran mereka oleh para dewa
sendiri.7
Dengan kata lain, kekuasaan beralih dari istana ke kuil. Para pharaoh dari
Dinasti Kelima—mungkin ada sembilan, semuanya pada umumnya tidak
menonjol—membangun piramida-piramida yang sangat kecil, tetapi selama
abad itu lima kuil baru dibangun untuk dewa matahari. Kuil yang pertama
dibangun oleh Userkaf sendiri; sebuah perahu untuk digunakan oleh Ra terletak di ujung Selatan kuil, dan di depannya berdirilah sebuah obelisk, sebuah
menara batu yang menjulang ke langit, kediaman Ra. Puncak obelisk adalah
sebuah piramida miniatur bersalut emas yang berkilat-kilat di sinar matahari
seperti sebuah miniatur matahari sendiri.
Selama masa Dinasti Kelima, pharaoh juga menjadi lebih diidentifikasikan dengan dewa matahari. Dahulu ia adalah Horus dan Osiris; kini ia adalah
anak lelaki Ra.8
Wajarlah bahwa hal itu menempatkannya lebih jauh di bawah
kekuasaan imam besar dewa matahari, yang dapat menyampaikan kepadanya
kata-kata ayahnya.
Alih-alih menjadi penjelmaan duniawi dari seorang dewa, raja kini adalah
anak lelaki seorang dewa, suatu penurunan martabat yang lembut tetapi penuh
makna. Lingkaran kekuasaan ilahi telah meriak keluar, dan pharaoh bukan
lagi saluran pusatnya yang tak dipertanyakan. Dan ide tentang kelestarian
kehadiran pharaoh di bumi setelah kematiannya pun mulai memudar. Selama
masa Dinasti Kelima, seluruh perjalanan roh setelah kematian dituangkan ke
dalam tulisan untuk pertama kali. Pharaoh terakhir dari dinasti itu, Unas,
dimakamkan di sebuah piramida kecil dengan mantra-mantra mendetail
tertulis di sepanjang tembok, yang dimaksudkan untuk memastikan bahwa ia
sampai ke tempat yang ia tuju. Naskah-naskah Piramida itu, yang kemudian
menjadi dekorasi standar untuk kamar pemakaman dinasti pharaoh berikutnya,
dengan jelas menunjukkan bahwa Unas meninggalkan rakyatnya.*∗
”Oh Ra,”
demikian awal Mantra 217, ”Raja Unas ini datang kepadamu, anak lelakimu
datang kepadamu”. Identifikasi Raja Unas dengan Horus dan Osiris disebut
secara sambil lalu. Tetapi perhatian yang lebih besar diberikan kepada
kenyataan bahwa kini ia akan naik bersama Ra, mengangkasa ke langit, dan
”naik ke tempat yang tinggi”, untuk hidup di sana ”dalam pelukan ayah[nya],
Ra yang tinggi dan jauh.” 9
Ketika Unas meninggalkan rakyatnya, tampaknya ia melakukan itu tanpa
keturunan, dan terjadilah suatu pertikaian singkat tentang pewaris tahta.
Dinasti berikutnya yang naik tahta, Dinasti Keenam, bahkan memiliki
wawasan yang lebih kabur lagi tentang keilahiannya sendiri; pharaoh-pharaoh
dari dinasti ini menikahi orang perempuan kebanyakan. Hal itu dapat
memberi keluarga kerajaan suatu kekuatan baru dan mengembalikannya
kepada kekuasaan, tetapi sudah terlambat. Pergantian darah lain telah
bangkit menantang kekuasaan garis silsilah kerajaan. Selama kurun sekitar
seratus tahun, para gubernur dari berbagai provinsi Mesir, para birokrat yang
sebelumnya selalu ditunjuk oleh raja, telah merebut kesempatan pada masamasa kekalutan di Memphis untuk mewariskan kekuasaannya kepada anak
lelakinya.*∗
Akibatnya, pharaoh pertama Dinasti Keenam, Teti, kini memerintah Mesir
yang pada hakikatnya terdiri dari wilayah-wilayah kecil herediter dengan
”keluarga kerajaan” mereka sendiri. Teti sendiri mengambil sebagai namaHorusnya gelar Seheteptawy, yang berarti ”Ia yang mendamaikan Kedua
Daerah”.10 Muncul kembalinya perseteruan Utara-Selatan yang mengejutkan,
sesuatu yang telah tenggelam dari penglihatan di bawah permukaan kesatuan Mesir, hanyalah sebuah tanda dari aliran-aliran yang kini menarik-narik
Mesir. Tanda-tanda lain diberikan sekilas dalam Manetho, yang menambahkan bahwa Teti dibunuh oleh pengawal pribadinya sendiri; keilahian pharaoh
dahulu telah menjadikannya tak dapat disentuh, tetapi hal itu kini telah
patah. Pengganti Teti, Pepi I, harus membasmi sebuah rencana pembunuhan
di haremnya sendiri.11 Anak tertuanya diturunkan dari tahta dan digantikan
oleh seorang anak usia enam tahun bernama Pepi II, yang jelas merupakan
boneka dari suatu faksi istana yang berkuasa.
Pepi II dinyatakan sebagai pemegang kekuasaan selama sembilan puluh
empat tahun, kurun terpanjang dalam sejarah Mesir. Tetapi, alih-alih merupakan suatu masa stabilitas, abad itu merupakan suatu abad ketika pharaoh
memerintah hanya dalam nama saja. Para bangsawan, imam, dan pegawai
istana semakin memecah belah kerajaan di antara mereka sendiri. Pepi II,
raja terakhir Kerajaan Lama Mesir, bertahan dalam kekuasaan untuk masa
yang sedemikian panjang karena ia memiliki kekuasaan nyata yang sedemikian kecil.
Menjelang paruh kedua masa pemerintahan Pepi II yang panjang, Mesir
—yang secara praktis telah terbagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil, yang dipersatukan hanya oleh kesepakatan konvensional bahwa tahta di Memphis
sesungguhnya memerintah seluruh negeri—mulai benar-benar buyar. Cukup
sulit untuk menunjuk satu kejadian yang memicu hal itu, tetapi hampir dapat
dipastikan bahwa limpahan Nil menurun sekali lagi, seperti yang terjadi menjelang akhir Dinasti Pertama. Gurun Barat tampaknya telah melahap tepi-tepi
daerah pertanian Mesir, suatu kejadian yang mungkin telah menyebabkan
rasa panik sampai tingkat tertentu.
Kejadian-kejadian yang terkait dengan akhir Dinasti Keenam itu langka.
Sumber terbaik kita adalah daftar raja Mesir, yang, seperti diutarakan Colin
McEvedy dalam karyanya atlas dunia kuno, melanjutkan masa Pepi II dengan
suatu ”dinasti yang sungguh dungu”: Dinasti Ketujuh dengan tujuh puluh
pharaoh dalam tujuh puluh hari.12 Pengulangan numerik itu tentu bersifat
simbolik. Angka tujuh belum mendapat makna penyelesaian seperti pada
masa sesudahnya dalam tulisan-tulisan suci orang Israel; yang mungkin benar
adalah bahwa para juru tulis yang mencatat daftar raja melipatkan jumlah
dinasti dengan bilangan sepuluh untuk menunjukkan kekalutan menyeluruh.*∗
Setelah Dinasti Keempat yang boros dengan menghambur-hamburkan
nyawa dan harta orang Mesir, lemahnya gen keluarga kerajaan, dan sifat tertutup keilahian pharaoh yang alamiah, bencana kekeringan akhirnya memicu
dorongan terakhir ke jurang keruntuhan. Selama sekitar seratus tahun lebih
sedikit, dinasti yang saling bersaing akan memerintah di berbagai kota, dan
Mesir akan terbagi-bagi di antara raja-raja yang saling berperang. Dinasti
Keenam adalah dinasti terakhir Kerajaan Lama Mesir; keempat dinasti berikutnya akan termasuk ke dalam masa kekacauan yang dikenal sebagai Periode
Antara Pertama.
∗
Bencana yang menimpa Mesir tepat sebelum Eksodus berjumlah sepuluh, dan bencana kesepuluh sebagai bencana yang paling merusak: ini mungkin juga mencerminkan pemahaman angka sepuluh sebagai
pembangat satuan jenis. (Lihat catatan caki pada hlm. 262 untuk sebuah contoh lain.)
G A R I S WA K T U 1 5
INDIA MESIR
Pemuki Dinasti 2 (2890-2696)
Desa-desa petani tumbuh di sepanjang Indus
Kerajaan Lama (2696-2181)
Dinasti 3 (2686-2613)
Djoser
Peradaban Harappa menyebar di sepanjang Dinasti 4 (2613-2498)
Indus dan sampai jauh ke Punjab
Snefru
Khufu
Khafre
Menkaure
Dinasti5(2498-2345)
Perdagangan dengan Mesopotamia Dinasti 6 (2345-2184)
Kematangan peradaban Harappa
Periode Menengah Pertama (2181-2040)
K A, yang kini berada di bawah anak lelaki Sargon
Manisthtushu, bersiap untuk melakukan ekspansi. Berbeda dengan Mesir,
Agade mendapati bahwa musuh-musuhnya yang terbesar masih berada di
luar wilayahnya sendiri.
Inskripsi-inskripsi Manishtushu menegaskan dengan bangga bahwa ia
sama-sama gemar berperang seperti ayahnya. Ia menyombongkan diri dengan
mengatakan bahwa ia telah menaklukkan lebih banyak wilayah untuk kekaisarannya, bahkan sampai menyeberangi Teluk Parsi dengan kapal untuk
berperang melawan “tiga puluh dua raja yang bersatu melawannya“, di mana
“ia mengalahkan mereka dan menghancurkan kota-kota mereka“.1
Mungkin
pernyataan itu mengandung lebih banyak asap daripada api. Meskipun ia memamerkan penaklukannya, daerah-daerah yang tampaknya telah membayar
upeti kepadanya agaknya adalah daerah-daerah yang telah ditaklukkan oleh
Rimush. “Ini bukan omong kosong!“ demikian bunyi akhir sebuah inskripsi
kemenangan. “Ini adalah kenyataan yang sungguh-sungguh!“2
(yang malah
mengesankan sebaliknya, seperti gelar “Raja Yang Sah“ di mulut seorang perebut tahta).
Masa pemerintahan Manishtushu yang berlangsung selama empat belas
tahun dianggap menarik, terutama karena ia menurunkan Naram-Sin Agung,
cucu Sargon yang agung dan raja Akkadia yang akan melebarkan kekaisaran
mencapai wilayah yang paling luas. Seperti kakeknya, Naram-Sin tak hentihentinya berperang. Salah satu stele-nya menyatakan ia merebut sembilan
kemenangan hanya dalam satu tahun; sebuah stele lain, yang namanya
tidak kreatif, Stele Kemenangan, menunjukkan kemenangannya terhadap
sebuah suku di wilayah Elam Barat. Tapal batas Akkadia juga melebar untuk
mencaplok Susa, salah satu dari ibu kota kembar Elam. Tetapi Awan tetap merdeka dan merupakan pusat perlawanan Elam terhadap ancaman dari
Barat yang meningkat.
Dengan mengabaikan kemerdekaan raja Elam, Naram-Sin menyandangkan dirinya gelar ”Raja Keempat Penjuru Dunia” dan ”Raja Alam Semesta”,
dengan cara yang berlebihan, bahkan untuk ukuran Mesopotamia kuno.
Namanya dalam cuneiform terlihat di sebelah sebuah tanda yang menyatakan
keilahian,3
dan Stele Kemenangan menampilkan sosoknya yang besar berdiri
di atas bala tentaranya yang tengah berperang di posisi yang pada pahatanpahatan sebelumnya ditempati oleh para dewa. Naram-Sin tidak memerlukan
seorang dewa untuk merestui peperangannya. Ia dapat melakukannya sendiri.
Sejauh yang kita ketahui, Naram-Sin adalah raja Mesopotamia pertama yang
menduduki status serupa dewa selama hidupnya; itu adalah suatu tindakan
yang menunjukkan kematangan tertentu dalam kekuasaan raja.
Pada masa Naram-Sin, orang Akkadia sendiri telah mencapai kematangan
tertentu sebagai bangsa. Sargon telah menyatukan kota-kota Mesopotamia
yang saling berperang menjadi sebuah kekaisaran, tetapi kebudayaan Akkadia
sendiri tidak pernah sama persis dengan dunia politis Akkadia. Anda dapat
tinggal di kekaisaran Akkadia, dan tunduk kepada raja Akkadia, namun
tetap menjadi orang Sumeria. Anak-anak dan cucu-cucu Sargon menggambarkan kemenangan mereka dalam cuneiform Sumeria (demi mereka yang
ditaklukkan) dan juga dalam cuneiform Akkadia (demi mereka sendiri).
Pegawai-pegawai dan pasukan-pasukan garnisun tinggal di kota-kota Sumer,
tetapi mereka juga merasa menjadi bagian dari suatu kebudayaan yang terpisah dari mereka.
Identitas budaya yang meningkat itu paling terlihat pada masa kekaisaran
berada dalam bahaya terbesar. Nun jauh dari Pegunungan Zagros, perbukitan
cadas di sebelah Timur Tigris menyapu suku-suku Gut dan menghempas ke
tepian kerajaan Naram-Sin.
Kekalutan yang mengancam kemapanan suatu kerajaan bukanlah suatu
hal baru. Tradisi Cina mencatat pergulatan para penguasa melawan kekalutan
di dalam negeri: suatu impuls terhadap penindasan dan eksploitasi yang
kejam. Orang Mesir menuturkan cerita peperangan antarsaudara, sementara
kerajaan di sepanjang Nil terpecah menjadi kerajaan-kerajaan yang terpisahpisah. Gilgamesh memerangi seorang lelaki buas, tetapi musuhnya itu juga
ternyata adalah bayangannya sendiri.
Tetapi Naram-Sin menghadapi sesuatu yang baru: invasi orangorang barbar, orang-orang dari luar daerah, orang-orang lain yang ingin
menghancurkan dan merusak. Pengambilalihan Sumer oleh orang Akkadia
dilakukan dengan cara kekerasan dan kekuatan, tetapi rakyat Sargon
memiliki sebuah bahasa dan aksara sendiri. Pada masa kekuasaan Naram-Sin, kekaisaran Akkadia telah menjadi lebih sebagai suatu bangsa daripada suatu
bala tentara yang berpencar dan sesekali berhenti untuk makan. Kekaisaran
itu mempunyai sejarah sendiri, bapak pendiri sendiri. Baru sekarang sajalah
dapat dikatakan tentang jenis orang yang sangat berbeda, yakni ”orangorang barbar”.
”Tak seorang pun menyebut dirinya sendiri orang barbar”, catat sejarawan David McCullough, ”itu adalah sebutan yang digunakan oleh musuh
terhadap Anda”.4
Kebudayaan orang Akkadia berlawanan dengan dunia orang
Gut yang tersebar di mana-mana, yang—walaupun memiliki satu bahasa yang
sama—tidak meninggalkan inskripsi dan tradisi, bahkan sejarah. Tentu saja
tak satu pun inskripsi Akkadia yang menggunakan kata ”orang barbar”, yang
berasal dari bahasa Yunani dari masa jauh sesudahnya. Tetapi orang Akkadia
melihat, dalam diri gerombolan Gut itu, suatu kekuatan dari luar yang datang
hanya untuk merusak—bukan untuk menegakkan sebuah kebudayaan lain
milik mereka sendiri. Ahli ilmu Assyria Leo Oppenheim telah
Mengemukakan bahwa kebencian semata-mata yang ditemukan dalam
kronik Akkadia tentang invasi orang Gut adalah suatu hal yang baru di dunia
kuno; ia mencatat bahwa itu ” hanya dapat disejajarkan dengan kebencian
orang Mesir kepada orang Hyksos”,5
suatu peristiwa yang terjadi dua ratus
tahun sesudahnya dan merupakan kali pertama Mesir diserbu oleh suatu
bangsa pengembara perusak dari luar. Orang Sumeria menganggap orang Gut
sebagai ular dan kalajengking serta orang hina:
mereka yang bukan bagian Tanah ini:
orang Gut, suatu bangsa yang tak punya kendali,
yang memiliki pikiran manusia, tetapi perasaan anjing,
dan rupanya seperti monyet.
Seperti burung kecil, mereka menukik ke tanah dalam kawanan besar....
tiada yang lolos dari cakar mereka,
tak seorang pun selamat dari cengkraman mereka.6
Bala tentara Naram-Sin tidak mampu menghalau orang-orang Gut; mereka melanda masuk dan merebut kota demi kota. Pendudukan kota-kota
Akkadia oleh orang-orang Gut memorakporandakan tatanan kehidupan masyarakat.
Utusan tak dapat lagi melewati jalan raya,
perahu kurir tak dapat lagi berlayar di sungai.....
Orang tawanan mengawasi tempat penjagaan,
bandit-bandit memenuhi jalan-jalan....
Mereka menanam kebun untuk mereka sendiri di kota,
bukannya, seperti biasanya, di padang yang luas di luar kota.
Sawah kebun tak menghasilkan bebijian, air banjir tak membawa ikan,
kebun buah tak menghasilkan sirop atau anggur,
awan gemawan tak menurunkan hujan....
Orang jujur tercampur dengan pengkhianat,
pahlawan-pahlawan tergeletak tanpa nyawa di atas pahlawan lain,
darah pengkhianat mengalir menimpa darah orang-orang jujur.7
Penggulingan tata kehidupan oleh orang-orang barbar itu sedemikian
mengguncang-kan sehingga sebuah kisah yang panjang ditulis, pada masa yang
tidak jauh sesudahnya, untuk menceritakan penghancuran itu. Dewa-dewa
marah: ini adalah yang pertama kalinya terjadi, tetapi bukan untuk terakhir
kalinya bahwa invasi-invasi orang barbar memberikan penjelasan itu.
Dalam ”Kutukan terhadap Agade”, Naram-Sin menghancurkan Kuil Besar
Enlil di ibu kotanya dan mencuri emas, perak, dan tembaga. Itu adalah suatu
tindakan sakrilegi yang menyebabkan negerinya terkutuk; ia memuat khazanah itu ke kapal-kapal dan mengangkutnya pergi, dan ”ketika kapal-kapal
meninggalkan galangan, kota itu kehilangan daya pikirnya”.
Ketenangan kota itu hilang: sifatnya yang khas, beradab, dan manusiawi.
Enlil, yang kemudian memutuskan untuk melepas gerombolan Gut sebagai
pembalasan, melanda Agade seperti ”topan bergemuruh yang menaklukkan
seluruh daerah, air bah pasang yang tak dapat ditanggulangi”. Gerombolan
yang hampir tak manusiawi itu adalah alat amarah dewa-dewa. ”Demikianlah
terjadinya”, bunyi akhir cerita. ”Di jalur penghela di tepi kanal, rumput
tumbuh tinggi; di jalan raya, tumbuh rumput perkabungan”. Ruang terang
peradaban telah mulai lenyap.
Dari daftar raja kita mengetahui bahwa para pejuang Gut merebut Uruk,
kediaman leluhur Gilgamesh sebelumnya. Karena mereka berhasil menyerbu
ke Barat sejauh itu, mereka hampir dipastikan mematahkan kekuasaan
Akkadia atas Sumer Selatan.
Ketika Naram-Sin wafat pada tahun 2218, gerombolan Gut telah berhasil
menciutkan kerajaannya menjadi separuh dari luasnya semula. Naram-Sin
mewariskan kekacauan itu kepada anaknya Shar-kali-sharri, yang dihadapkan
pada tugas untuk mencoba mengusir orang-orang barbar itu kembali. Ia
tidak berhasil; Lagash pun jatuh ke tangan orang Gut, dan pada akhir masa
pemerintahan Shar-kali-sharri, bagian Selatan Sumer lepas untuk selamanya.
Orang Gut memasuki beberapa kota di Selatan, tetapi kota-kota lainnya,
termasuk kota-kota di Elam, justru memanfaatkan kesibukan Shar-kali-sharri
menghadapi orang Gut karena akhirnya mereka bisa membebaskan diri dari
keterikatan pada raja Akkadia yang barangkali juga cuma berupa nama.
Daerah-daerah Akkadia sesudah itu tampaknya berada dalam kekalutan.
Suatu ketika pada tahun 2190 setelah Shar-kali-sharri wafat, pusat kerajaan
nyaris masih terjaga keutuhannya. Tetapi daftar raja Sumer menanyakan,
”Siapakah yang menjadi raja? Siapakah yang tidak menjadi raja?” yang berarti
bahwa sebenarnya tak seorang pun mampu mempertahankan kekuasaannya
untuk jangka waktu yang lama.8
Akhirnya, seorang pejuang yang tidak
memiliki hubungan apa pun dengan Sargon merebut tahta, berhasil mempertahankannya selama dua puluh satu tahun, dan kemudian mewariskannya
kepada anak lelakinya.
Tetapi dinasti bukan wangsa-Sargon ini, yang hal-ihwalnya sama sekali
tidak kita ketahui, menyandang kutuk. Inskripsi-inskripsi meratapi jatuhnya
Agade sendiri, sekitar 2150 SM, ketika orang Gut menyerbu dan membobol
tembok-temboknya. Karena kita tidak menemukan reruntuhannya, kita tidak
mengetahui apakah kota itu dijarah atau dibakar. Mungkin karena tidak adanya situs itu sendiri mengisyaratkan kehancuran total. Dan karena kota itu
tidak meninggalkan jejak apa pun pada alam setempat, tempat itu barangkali
sesudahnya tidak digunakan lagi sebagai pemukiman. Kebanyakan situs kota
di Timur Tengah kuno menampakkan lapisan demi lapisan pemukiman yang
berurutan, tetapi suatu kota yang dianggap menanggung kutuk kadang kala
dibiarkan terbengkalai selama berabad-abad.*∗
S setengah abad, ”orang barbar” Gut bercokol di sepanjang
seluruh dataran Mesopotamia. Mereka tak banyak meninggalkan jejak yang
berarti bahwa mereka mengembangkan sebuah kebudayaan milik mereka sendiri: tidak ada tulisan, inskripsi atau patung atau pun pusat pemujaan. Invasi
Gut menghapus sebuah peradaban yang sudah ada tanpa membangun sebuah
kebudayaan lain sebagai gantinya.
Daftar raja menarik sebuah garis tandas antara masa pemerintahan rajaraja Akkadia dan ”raja-raja” Gut, yang dengan jelas tidak memiliki gagasan
tentang cara menetapkan suatu suksesi. Manishtushu memerintah selama
lima belas tahun, Naram-Sin selama lima puluh enam tahun; bahkan anak
Naram-Sin, yang sulit untuk mempertahankan sisa-sisa kerajaan ayahnya dari
gerombolan-gerombolan yang tak henti-hentinya menyerbu, diakui dengan
masa pemerintahan yang stabil selama dua puluh lima tahun. Tetapi orang
Gut yang merebut Agade dan kota-kota di dekatnya adalah massa yang terus
bergerak dan tidak stabil. Seorang raja tanpa nama digantikan oleh dua puluh
satu raja, dan hanya seorang dari mereka yang berhasil mempertahankan
kekuasaan selama lebih dari tujuh tahun; kebanyakan dari mereka hanya memerintah selama satu atau dua tahun, dan raja terakhir memerintah selama
empat puluh hari.
Kota-kota Sumer yang tua dan berkuasa—yang menurut perkiraan kini
dihuni oleh suatu campuran antara orang Sumeria, Akkadia, dan Gut—tidak
dapat lama-lama menerima pemerintahan orang barbar.
Kebangkitan itu mulai di Lagash, kota terdekat dengan daerah orang Elam.
Pejuang Gudea dari Lagash membebaskan kotanya sendiri dari orang Gut,
merebut kendali atas kota Lagash sebagai raja, dan kemudian mulai membersihkan dan membangun kembali kuil-kuil orang Sumeria, yang tampaknya
telah dirusak entah oleh orang Akkadia atau orang Gut.
Gudea sama sekali tidak muncul dalam daftar raja Sumeria, yang mungkin
sekali berarti bahwa kekuasaannya tidak pernah menjangkau lebih jauh
daripada tapal batas kotanya sendiri. Namun, ia cukup terkesan dengan
kemenangannya sendiri hingga menyebut dirinya ”gembala sejati” rakyatnya.
Ia juga mengklaim, di dalam papan-papan penghormatannya, bahwa ia telah
memulihkan kembali perdagangan dengan orang Elam di pegununganpegunungan, yang mengirim tembaga; dengan India, tempat ”batu-batu
merah” diperoleh; dan bahkan dengan wilayah-wilayah Utara Mesopotamia.
Ia mengklaim bahwa ia
membuat sebuah jalan ke pegunungan-pegunungan aras ... ia membalak
pohon aras dengan kapak raksasa ... seperti ular besar, batang-batang aras
hanyut ke hilir sungai dari pegunungan aras, pohon pinus dari pegunungan
pinus.9
Jika hal itu benar, berarti orang Gut tidak mampu menjaga sungai, yang masih
tetap terbuka untuk perdagangan.
Gudea juga mendatangkan batu dari Magan (Oman, di Arabia) untuk
membangun patung-patung dirinya. Patung-patung itu menampilkan raja
sebagai orang yang berbakti kepada dewa-dewa, tanpa senjata dan memakai
pakaian upacara, sedang kedua tangannya terjalin dengan sikap memohon.
Hampir tak dapat ditemukan sebuah kontras yang lebih besar daripada
keilahian tegap Naram-Sin yang pongah; Gudea tidak ingin menghadapi risiko
amarah dewa-dewa dengan mengulang kesalahan-kesalahan pendahulunya.
Pembebasan Lagash disusul tak lama kemudian oleh pembebasan kota kediaman Gilgamesh Uruk, di mana raja Utuhegal memiliki rencana-rencana
yang lebih besar daripada sekadar membebaskan kotanya sendiri. Ia mengusir
orang Gut dari Uruk, dan kemudian prajurit-prajuritnya (yang sangat setia
kepadanya; menurutnya, para prajurit mengikutinya ”kemana pun ia pergi”)
berbaris keluar dengan pola gugus lingkaran yang membesar: ke Ur, ke Eridu
di sebelah Selatan Ur, mungkin ke Utara sejauh kota suci tua Nippur.
Pembebasan Nippur dari tangan orang Gut melambangkan kebebasan paripurna dataran itu dari gerombolan Gut. Dengan menempatkan tentaranya
sebagai garnisur di kota-kota yang sebelumnya berada di bawah pemerintahan
kalut orang Gut, Utuhegal mulai melukiskan dirinya dalam inskripsi-inskripsi
dengan gelar yang selama bertahun-tahun tidak lagi diklaim oleh seorang pun,
mungkin sejak anak-anak Sargon memerintah kekaisarannya: Raja Keempat
Penjuru. Dalam kisah kemenangannya, ia adalah ”raja yang perintahnya tidak
dapat dibatalkan.” 10 Ia menangkap pemimpin Gut yang paling kuat, seorang
lelaki yang ia gambarkan sebagai seekor ”ular dari pegunungan”, membawa
orang itu ke istananya dengan dirantai, dan dengan suatu sikap tubuh yang
kemudian biasa ditemukan pada relief-relief kekaisaran agung yang akan
muncul di dataran itu—ia ”menghentakkan kakinya di tengkuk orang itu”.11
Tetapi, walaupun Utuhegal mengakhiri kekuasaan para penyerbu, masa
hidupnya tidak cukup panjang untuk menikmati kekuasaannya. Ular yang selama ini berada di bawah jerami tampaknya adalah tangan kanannya sendiri,
Ur-Nammu, yang juga menikah dengan anak perempuan Utuhegal.
Setelah menghalau orang Gut dari Ur, Utuhegal menetapkan Ur-Nammu
sebagai penguasa kota itu disertai pasukan yang telah dipersiapkan. Tak lama
sesudahnya, Ur-Nammu mengirim tentaranya melawan rajanya sendiri.
Daftar raja mencatat bahwa kekuasaan Utuhegal atas daerah yang baru saja
ia bebaskan berlangsung selama tujuh tahun, enam bulan, lima belas hari
—satu-satunya kejadian ketika masa pemerintahan seorang raja dinyatakan
secara lebih rinci tidak hanya dalam tahun saja. Ketelitian itu menimbulkan
dugaan tentang berakhirnya masa pemerintahan Utuhegal secara mendadak
dan mengejutkan: mungkin ia mati di peperangan, di tangan anak menantunya sendiri.
Walaupun dimulai dengan pertumpahan darah, begitu Ur-Nammu
menguasai baik Ur maupun Uruk, perilaku pertamanya bukan sebagai
seorang pemimpin perang melainkan sebagai seorang raja. Sesekali ia
melakukan serangan terhadap orang-orang Gut yang berkeliaran, tetapi
catatan-catatan dari perjanjian-perjanjian yang dilakukan dan aliansi yang
diteguhkan, mengisyaratkan bahwa
kekaisaran Ur-Nammu meluas terutama melalui negosiasi (walaupun
tentu saja prajurit-prajurit yang berdiri
di belakang sang diplomat yang penuh
senyum itu memiliki peran yang besar
dalam keberhasilan Ur-Nammu). Di
daerah yang bukan taklukannya, UrNammu menjalin persahabatan. Ia
mengambil sekutu dengan menikahi
anak perempuan raja kota Mari (kita
tidak memiliki catatan tentang reaksi
istri pertamanya, anak perempuan
Utuhegal yang dibunuhnya, terhadap
strategi). Ia membangun kuil-kuil di
kota-kota di seluruh bentangan dataran
itu, di antaranya sebuah kuil baru
untuk dewa agung Enlil. Bahkan Susa
mengakui keadirajaannya, walaupun
Awan tetap berkuasa.
Di bawah pemerintahan UrNammu, orang Sumeria mengalami
masa renaisans terakhir mereka. Masa
pemerintahannya dalam kekaisaran
neo-Sumeria itu dan pemerintahan
raja-raja yang menggantikan dia,
dikenal sebagai masa Dinasti Ketiga
Ur. Ur-Nammu tidak hanya menjadi
penakluk dataran itu, tetapi juga
pemulih peradaban. Ia membangun
kembali jalan-jalan dan tembok-tembok; ia menggali kanal-kanal untuk
menlaurkan kembali air segar ke kota-kota tempat semula terdapat air payau.
”Kotaku penuh ikan”, serunya, ”udara di atasnya penuh dengan burung. Di
kotaku ditanam tumbuhan madu.” 12
Puisi-puisi pujian kepada Ur-Nammu membanggakan bukan saja
proyek-proyek pembangunan kembalinya, tetapi juga pemulihan tatanan dan
hukum:
Aku adalah Ur-Nammu,
Aku melindungi kotaku.
Aku menghukum orang yang melakukan pelanggaran berat, dan membuat mereka gemetar ...
Penghakimanku menegakkan Sumer dan Akkad di jalur tunggal.
Aku meletakkan kakiku di tengkuk pencuri dan penjahat,
Aku menyekap pelaku kejahatan ...
Aku membuat keadilan bersinar, aku mengalahkan kejahatan ...
Di gurun, jalan-jalan dibuat untuk keperluan pesta perayaan,
Dan dapat dilalui karena aku ...
Aku adalah gembala yang baik dan domba-dombaku beranak pinak berlipat-lipat.13
Untuk sementara kekalutan telah disingkirkan dan kekuasaan hukum serta
ketertiban ditegakkan. Selama kurun beberapa waktu kota-kota di dataran
Sumeria aman.
G A R I S WA K T U 1 6
MESIR MESOPOTAMIA
Dinasti Purba II (2800-2600)
Kerajaan Lama (2696-2181)
Dinasti 3 (2686-2613) Gilgamesh
Djoser
Dinasti 4 (2613-2498) Dinasti Purba III (2600-2350)
Snefru
Khufu Lugulannemundu (sek. 2500)
Khafre Mesilim
Menkaure
Dinasti 5 (2498-2345) Lugalzaggesi Urukagina
(Umma) (Lagash)
Dinasti 6 (2345-2184) Periode Akkadia (2334-2100)
Sargon
Rimush
Invasi Gut
Periode Menengah Pertama (2181-2040)
Jatuhnya Agade (sek. 2150)
Dinasti Ketiga Ur (2112-2004)
Ur-Nammu
S S G, seorang
warga Ur bernama Terah mengumpulkan hamba-hambanya, ternaknya, istriistrinya, anak-anak lelakinya beserta keluarga mereka dan berangkat menuju
ke barat. Di antara anggota rumah tangga besarnya terdapat Abram, anak
lelaki Terah, dan Sarai istri Abram, yang bernasib malang karena masih belum
memiliki anak.*∗
Terah bukan seorang Sumeria, tetapi mungkin seorang Akkadia, atau
anggota suatu suku yang terkait dengannya; leluhurnya berasal dari Shem,
leluhur biblis orang Semit.1
Terah, yang lahir ketika dalam masa pemerintahan Naram-Sin, mungkin
tidak pernah mengalami kehidupan di Ur yang bebas dari ancaman orang
Gut. Pada masa kecilnya, Ur telah memanfaatkan kekuasaan raja-raja Akkadia
yang melemah untuk memerdekakan diri dari kekuasaan Akkadia. Ketika ia
telah menjadi ayah dari tiga anak lelaki, raja Akkadia terakhir tengah melakukan usaha terakhir untuk mempertahankan tahta; ketika keluarga mudanya
tumbuh, orang Gut merusak Agade dan menyapu dengan leluasa seluruh dataran utara.
Saat Utuhegal tengah bergerak menuju Ur, untuk merebutnya dan kemudian kehilangan lagi di tangan anak menantunya, Terah dan keluarganya memutuskan (dan hal ini dapat dimengerti) bahwa mereka akan lebih mujur
jika keluar dari kota. Mereka
berangkat, menurut Kitab Kejadian, menuju ”Kanaan”—ke barat, menuju
pantai laut Tengah dan menjauh dari orang Gut yang barbar, orang Elam yang
bernafsu membalas, dan orang Sumeria yang ambisius.
Penjelasan teologis untuk perjalanan dalam Kitab Kejadian 12 adalah
bahwa Abram telah mendengar suara Allah. Itu bukan seorang dewa Sumeria
atau Akkadia, tetapi sang Allah: seorang Allah yang menyebut dirinya dengan
nama yang penuh teka-teki , YHWH, mungkin sebuah bentuk dari
kata kerja ”ada”.*
Itu tampak sebagai sebuah gagasan baru untuk Abram. Terah dan anakanaknya mungkin menjadi pemuja dewa bulan Sin dan anak perempuannya
Inanna, dewa-dewi pelindung kota Ur, semata-mata karena semua orang kelahiran Ur paling tidak berpura-pura melakukan pemujaan kepada bulan.
Demikian pula dengan nama-nama keluarga yang menunjukkan suatu
penghormatan cukup baku kepada panteon Akkadia/Sumeria. Nama Terah
sendiri mengungkapkan hubungan darah dengan dewa bulan Sin. Sarai, istri
Abram, adalah juga saudari tirinya, anak perempuan Terah dari seorang istri
lain; nama Sarai adalah versi Akkadia dari istri Sin, dewi Ningal. Cucu perempuan Terah, Milcah tampaknya dinamai dengan nama anak perempuan
Sin, Malkatu.2
Nama Abram sendiri, yang berarti ”ayah yang luhur”, bersifat
ambigu. Namun, kita dapat mengandaikan bahwa baik nama Abram maupun
nama Sarai terkait dengan pemujaan bulan, sebagian karena dalam kelanjutan ceritanya, YHWH menamai ulang kedua-duanya sebagai bagian dalam
pengikatan suatu perjanjian. Kedua nama baru itu, Abraham dan Sarah, mengandung suku kata baru ah, suku kata pertama nama perjanjian YHWH,
sebuah nama yang mengklaim ulang mereka dari kepemilikan Ur dan mengalihkan kepemilikan kepada Allah Kitab Kejadian.
Dari Allah ini Abram menerima baik sebuah janji maupun sebuah perintah. Janji itu adalah bahwa Abram akan dijadikan bapa sebuah bangsa besar
dan akan diberkati; perintahnya adalah agar ia meninggalkan negerinya dan
bangsanya (kota Ur dan penduduknya yang merupakan campuran orang
Akkadia, Sumeria, dan orang Semit lain) dan pergi ”ke tanah yang akan
Kutunjukkan kepadamu”: ke tanah Kanaan, hampir lurus ke barat.*†
Banyak ras mengklaim bahwa mereka berasal dari seorang leluhur tertentu
yang direstui dewa, tetapi inilah pertama kalinya hal itu terjadi dalam sejarah
yang tercatat. Berdasrakan darah, Abram tidak berbeda dengan orang-orang
Semit di sekelilingnya, dan tidak begitu berbeda dengan bangsa yang mendiami tanah yang ia tuju. Tetapi berdasarkan perintah ilahi, ia dipisahkan dari
yang lainnya dan memulai sesuatu yang baru: satu orang Semit di antara yang
lainnya, satu Allah yang muncul di kekalutan politeisme. Ia adalah monoteis
pertama.
A- , suatu alur perjalanan yang akan membawa mereka menyeberangi gurun, suku itu berjalan ke barat laut melalui
alur Efrat yang lebih mudah. Pada akhirnya alur itu akan membawa mereka
ke sudut utara pantai Laut Tengah. Tetapi mereka berjalan ke utara sejauh
sungai Bilikh, yang mengalir ke Efrat tempat mereka seharusnya berbelok ke
kiri. Sebaliknya, mereka malah berbelok ke timur, mengikuti sungai kecil itu
sampai ke kota kecil Haran, dan bermukim di sana. Haran terletak di jalur
perdagangan yang ramai; seperti Ur, kota itu adalah sebuah pusat pemujaan
bulan, dan mungkin terasa cukup dikenal. Terah beranjak tua, dan Haran
secara relatif damai.
Kembali ke selatan, Ur-Nammu telah merebut tahta ayah mertuanya dan
melebarkan kekuasaannya menjadi sebuah kekaisaran neo-Sumeria, tetapi
jangkauannya ke utara tak pernah sejauh Haran. Sekitar 2094 ia meninggal
setelah memerintah selama delapan belas tahun; puisi pemakamannya memujinya sebagai seorang gembala rakyat yang bijak dan dapat dipercaya, seorang
raja yang telah memulihkan Sumer kepada keasliannya, seorang yang layak
berbagi tahta di alam kemudian dengan Gilgamesh sendiri.3
Anak lelaki Ur-Nammu, Shulgi, menggantikan ayahnya. Tak lama
sesudahnya—mungkin dalam waktu empat atau lima tahun—Abram mening-
galkan Haran dan melanjutkan kembali perjalanan menuju tanah yang telah
dijanjikan Allah kepadanya. Ia berjalan ke selatan dan akhirnya sampai ke
Shechem, di sebelah barat sungai Yordan dan setengah jalan antara kedua
kumpulan air yang kemudian dikenal sebagai Laut Galilea dan Laut Mati.
Di sana, ia meminta penegasan kembali dari Allah bahwa tanah itu akan
menjadi miliknya, karena sejauh-jauh ia memandang, tanah itu seluruhnya
didiami orang Kanaan.
”K” adalah sebuah nama yang anakron untuk tanah yang dalam milenium pertama SM dikenal sebagai Israel, atau sebagai Palestina untuk orang
Romawi, dan sebagai ”Levant” untuk pejuang Perang Salib. Kata ”orang
Kanaan” muncul untuk pertama kalinya pada sebuah papan yang ditemukan di Mari, kota bertembok Zimri-Lim, dan berasal dari 1775; papan itu
tampaknya suatu acuan cercaan kepada bandit-bandit yang mengembara dari
daerah sekitar sungai Yordan.4
Pada tahun 2090 SM, tidak terdapat nama
untuk tanah yang dijanjikan Allah kepada Abram, karena tanah itu tidak
memiliki baik identitas ras maupun identitas politis.
Bangsa yang tinggal di sepanjang bentangan pantai timur Laut Tengah
adalah ”Orang Semit Barat”.*∗
Kita telah menjumpai kerabat dekat mereka
nun di Bab I, ketika orang Semit bercampur dengan orang Sumeria pada
masa awal kota-kota Sumeria. Alih-alih bermukim di dataran Mesopotamia,
orang Semit Barat terus bergerak. Sementara kerabat mengajar orang Sumeria
bertani, orang Semit Barat menyebar ke sepanjang pantai dan membangun
kota-kota sendiri.
Abram adalah sosok pertama yang muncul dari permukaan sejarah wilayah
khusus ini. Tanpa adanya suatu kebudayaan yang menyatu, orang Semit Barat
tidak menghasil-kan catatan kronik, dan apa yang kita ketahui tentang mereka berasal hanya dari reruntuhan kota-kota mereka. Pada tahun 7000 SM,
petani-petani dengan kambing dan domba yang sudah dijinakkan menghuni
kota-kota di seluruh daerah itu. Situs-situs seperti Catal Huyuk yang jauh
di utara dan Yeriko yang jauh di selatan dan dekat dengan Laut Mati, menyandang kehormatan sebagai kota-kota tertua dunia. Yeriko, yang terletak
di dalam tanah yang akhirnya akan diklaim oleh keturunan Abram, tampil
menonjol; kebanyakan dari situs-situs Semit Barat adalah desa-desa tanpa
perlindungan khusus, sampai saat itu, tetapi pada tahun 6800 SM penduduk
Yeriko telah membangun sebuah tembok batu yang tingginya mengesankan.
Pada sudut tembok, sebuah menara bundar menjulang setinggi sebelas meter
sehingga para penjaga dapat mengawasi terus-menerus daerah di sekitarnya.
Apa yang diperkirakan oleh penduduk Yeriko bahwa sesuatu akan datang
pada mereka tidak sepenuhnya jelas. Memang benar bahwa Yeriko terletak di
suatu situs di mana terdapat aliran air segar yang tetap dan selalu tersedia,5
tetapi bagaimana pun sungai Yordan tidak terlalu jauh dari sana. Walaupun
demikian, penduduk Yeriko adalah satu-satunya di antara bangsa Semit Barat
yang membangun pertahanan yang besar terhadap suatu ancaman yang menakutkan dari luar, dan dijaga secara tetap agar ancaman itu tidak sampai
terjadi tanpa diduga.
Pada waktu Abram tiba,*† kota-kota Semit Barat telah membangun jalur
perdagangan mereka sendiri, khususnya dengan Mesir. Byblos, yang terletak
setengah jalan di tepi pantai (dan yang dikenal sebagai Gubla oleh orang
Akkadia, atau Gebal untuk orang Semit), telah membangun roda ekonominya dari pengiriman balok aras ke Mesir yang ditukar dengan kain linen serta
logam berharga dari Mesir. Kota Ebla di utara memungut pajak dari kota-kota
yang mengirim kafilah melalui kota itu.6
Kota Megiddo yang dibangun di sela
antara lembah Yordan dan dataran Sharon, telah bertambah besar sekurangkurangnya sejak tahun 3500 SM. Shechem, kota tempat Abram pertama kali
meminta Allah untuk menegaskan janjiNya, sekurang-kurangnya sama tuanya, dan mungkin menjadi tempat pemukiman berkat sebuah sumur yang
jarang menjadi kering. Para pemukim asli Semit Barat disusul oleh berbagai
pendatang yang masuk dari utara dan selatan; yang paling mencolok adalah
orang Amorit, bangsa-bangsa pengembara yang menggunakan suatu bahasa
Semit tersendiri, yang mungkin berasal dari jazirah Arab.
Abram tidak dapat dipersalahkan karena bertanya-tanya bagaimana
negeri yang terdiri dari campuran bangsa itu akan menjadi miliknya. Walaupun
demikian, ia tidak mendapat kesempatan lama untuk bertanya-tanya, karena
belum sampai lima tahun sejak ia tiba di tanah yang dijanjikan kepadanya, ia
sudah berangkat lagi.
Ia tidak sendirian. Catatan arkeologis menunjukkan bahwa suatu ketika
antara 2400 dan 2000, kebudayaan orang Semit Barat—yang telah semakin
bergerak menuju urbanisasi—berbalik menuju suatu gaya hidup yang kurang
terorganisasi dan lebih bersifat pengembara, dan banyak kota ditinggalkan untuk sementara.*∗
Suatu perpaduan antara terlalu banyak menanam dan
kekeringan telah menyebabkan aliran air dan tanah pertanian menjadi susut;
pemukiman-pemukiman luas yang menyedot banyak air harus menyebar
untuk bertahan hidup.7
Selain itu, karena Kerajaan Lama di selatan runtuh,
maka orang Semit Barat kehilangan tidak saja tanah pertanian, tetapi juga
rekan dagang mereka yang paling kaya dan paling handal, yakni negeri yang
dahulu telah melimpahi Byblos dan belasan kota lainnya dengan kekayaan
melalui perdagangan barang-barang. Kekalutan Kerajaan Lama telah menyebar ke utara. Akibatnya, Abram berangkat ke selatan.
“Kelaparan timbul di negeri itu”, bunyi Kej. 12:10, “maka pergilah
Abram ke selatan ke Mesir untuk beberapa waktu, sebab kelaparan itu hebat”.
Di Mesir terdapat air yang lebih banyak; dan, untuk beberapa waktu, ketertiban yang sedikit lebih baik. Dinasti Ketujuh yang “dungu” diikuti oleh suatu
Dinasti Kedelapan, yang sedikit lebih stabil tetapi sama sekali tidak menonjol;
dinasti ini memiliki 27 raja dalam kurun 146 tahun, dan tidak ada satu nama
pharaoh pun yang tinggal.
Namun, sekitar 2160, seorang bangsawan yang berkuasa dari Herakleopolis
bernama Akhtoy telah berhasil menarik seluruh Mesir ke dalam kekuasaannya melalui kekuatan pribadinya, pembentukan sekutu-sekutu secara cerdik,
dan kekerasan murni. Manetho menyebut Akhtoy “lebih mengerikan daripada para pendahulunya”, mungkin sebuah komentar yang mencerminkan
banyaknya pertumpahan darah yang diperlukan untuk penyatuan kembali
sementara itu.8
Selama seratus tahun berikutnya, keturunan Akhtoy—tujuh
raja berturut-turut, termasuk Dinasti Kesembilan dan Dinasti Kesepuluh
menurut Manetho—memerintah Mesir yang telah kehilangan hampir semua
kebesarannya dahulu. Mesir menderita bukan saja akibat kerusuhan di dalam
negeri, tetapi juga dari ketidakmampuannya untuk mempertahankan batasbatasnya terhadap penyerbuan Semit Barat yang tak henti-hentinya menyerbu
Delta Nil dalam kawanan pengembara yang kecil-kecil.
Menurut penanggalan tradisional, Abram tiba di Mesir beserta istri,
hamba-hamba, dan kawanan ternaknya sekitar 2085. Itu tidak terlalu jauh
dari masa Akhtoy III dari Dinasti Kesepuluh, seorang pharaoh yang menulis
tentang para penyerbu Semit Barat:
Orang Asia yang keji! Tempat tinggalnya tertimpa kesulitan, kekurangan
air, dan dipenuhi semak belukar. … Ia tidak pernah menetap di satu tempat
tetapi terpaksa mengembara karena kekurangan dan menjelajahi daerahdaerah dengan berjalan kaki. … Orang Asia itu seperti seekor buaya di
tebing sungai: ia menyergap di jalan yang sepi.9
Permusuhan itu mungkin menjelaskan mengapa Abram, begitu ia tiba di
Mesir, memberitahukan bahwa Sarai adalah adik perempuannya, bukan
istrinya. Menurut Kitab Kejadian, Abram memandangi Sarai, suatu saat
dalam perjalanannya ke Mesir, dan berkata pada dirinya sendiri: Ia cantik,
jadi pharaoh Mesir mungkin akan memerintahkan untuk membunuhku agar
dapat mengambilnya (yang tentu saja mengisyaratkan bahwa orang Semit
memiliki pandangan yang sama rendahnya tentang orang Mesir).
Kekhawatiran Abram menjadi kenyataan. Pharaoh (salah satu di antara
raja-raja Dinasti Kesepuluh yang tanpa nama, tanpa wajah, dan tak menonjol)
mengingini Sarai dan memberi Abram tanda terima kasih karena membawa
adik perempuannya yang cantik ke Mesir. Abram menerima domba, sapi, keledai, unta, dan hamba Mesir. Sementara itu, pharaoh dan rumah tangganya
kurang berada. Kej. 12 menuturkan bahwa kehadiran Sarai di harem pharaoh
mendatangkan kutuk ilahi terhadap rumah tangganya; pharaoh dan seluruh
keluarganya tertimpa sesuatu yang disebut neh-ga. Terjemahan-terjemahannya
dalam bahasa Inggris cenderung menyebutnya, secara sopan, sebagai “wabah”,
mungkin karena berupa luka berair yang menimbulkan rasa nyeri yang hebat.
Hal itu menjadikan pharaoh sama sekali tidak bergairah untuk dikunjungi
seorang wanita pun dari rumah tangganya, apalagi Sarai.
Cerita yang aneh ini menjadi lebih berarti jika ditempatkan di dalam
kelanjutan kisah epik Kitab Kejadian. Setelah lolos dari Mesir (dan pharaoh
yang menolak untuk membunuh Abram, jelas-jelas karena takut akan
pembalasan ilahi selanjutnya), Abram kembali ke Kanaan dan menetap dekat
Hebron, agak jauh di sebelah selatan Shechem. Janji bahwa ia akan menjadi
bapa sebuah bangsa baru tampaknya tidak akan menjadi kenyataan. Pasangan
itu tetap tidak mempunyai anak sampai Sarai menjadi terlalu tua untuk
mengharapkan kehamilannya.
Sekitar dua puluh tahun setelah menerima janji asli dari Allah, Abram
memutuskan untuk melakukan suatu upaya untuk pemenuhan janji itu. Ia
meminjam Hagar, hamba Sarai, sebagai istri kedua dan tidak resmi, dengan
berjanji kepada Sarai bahwa jika Hagar memiliki anak, anak itu akan secara
resmi diakui sebagai keturunan Sarai.
Itu bukan suatu kebiasaan asing di kota-kota Sumeria— kebiasaan itu diatur
dalam seperangkat undang-undang Sumeria yang disebut Papan Nuzi—tetapi kebiasaan itu tidak berlaku untuk Abram. Janji Allah tentang sebuah bangsa
baru itu khusus bukan hanya kepada Abram, tetapi kepada Abram dan Sarai
bersama-sama. Abram akan menjadi bapa sebuah bangsa baru, tetapi hanya
Sarai, bukan sembarang wanita yang subur dan lajang, yang akan menjadi
ibunya. Seperti Allah yang esa sendiri, bangsa baru itu akan menyerupai apa
yang ada sebelumnya, namun sama sekali berbeda dengannya. Allah Kitab
Kejadian memiliki kesamaan sifat dengan sifat-sifat panteon yang terikatalam, tetapi Allah itu mengatasi alam dan tidak dikendalikan olehnya. Bangsa
yang baru itu akan berbeda dengan bangsa-bangsa di sekelilingnya karena ia
diciptakan oleh janji Allah yang esa. Janji itu telah diberikan kepada Abram
dan Sarai, bukan kepada Abram saja. Kontribusi apa pun dari seorang pharaoh
dari Dinasti Kesepuluh atau seorang hamba perempuan Mesir (“Hagar”
adalah sebuah nama Mesir yang artinya kurang lebih “pendatang”; wanita
ini adalah salah satu dari hamba-hamba perempuan yang diberikan kepada
Abram oleh pharaoh yang tertimpa kesulitan) tidak diterima; demikian pula,
Allah yang esa itu tidak akan menerima Enlil atau Ishtar yang singgah untuk
memberikan bantuan. Sesudah episode dengan Hagar itulah Allah mengulangi
janjinya kepada Abram dan menamainya ulang Abraham, yang menunjukkan
kepemilikan ilahinya terhadap lelaki itu serta keturunanannya.
Tak lama sesudahnya, Abraham berjumpa lagi dengan seorang raja bermata keranjang. Kali ini adalah raja yang memerintah Gerar, sebuah kota
di sebelah selatan Hebron, di daerah antara Kanaan dan Mesir yang disebut
Negev. Karena Abraham takut kalau-kalau ia kembali akan disingkirkan begitu saja, ia menegaskan kembali bahwa Sarai adalah adiknya, dan sekali lagi
Sarai dibawa ke harem raja.
Akibatnya, se