Sabtu, 30 November 2024

dunia kuno 5



s eorang dewa telah berbicara 

secara langsung kepada Anda sama sulitnya untuk ditolak pada waktu itu 

seperti pada waktu kini.

Namun, kesepakatan itu tidak berlangsung lama. Setelah kematian 

Mesilim, raja baru Umma merobohkan stele itu dan menganeksasi daerah 

yang dipertikaikan (yang mengisyaratkan bahwa yang menyebabkan damai 

sementara itu adalah ketakutan kepada Mesilim, bukan hormat kepada dewa 

Sataran). Umma menguasai daerah itu selama dua generasi; kemudian seorang 

raja Lagash yang berjiwa militer bernama Eannatum merebutnya kembali.

Kita mengetahui lebih banyak tentang Eannatum daripada tentang 

banyak raja Sumeria lainnya karena ia sangat gemar inskripsi dan monumen. 

Ia mewariskan salah satu monumen Sumer yang paling terkenal, Stele Burung 

nasar. Pada bilah batu itu skenario-skenario gaya komik menunjukkan 

kemenangan Eannatum terhadap Umma. Barisan demi barisan orang 

Eannatum berjalan, dengan mengenakan topi baja dan bersenjatakan 

perisai serta tombak, menginjak mayat orang-orang mati. Burung-burung 

nasar mencocok bangkai mayat yang telah rusak dan terbang pergi dengan 

membawa kepada mereka. ”Ia menumpuk mayat-mayat itu di dataran￾dataran”, demikian bunyi sebuah inskripsi, ”dan mereka berlutut, menangisi 

nyawa mereka.”3

 Stele Burung Nasar menunjukkan sebuah seni berperang yang maju. 

Pasukan Eannatum tidak hanya bersenjatakan perisai tetapi juga kapak pe￾rang dan pedang sabit; mereka bersenjata seragam, yang menunjukkan bahwa 

konsep sebuah bala tentara yang terorganisasi (dibanding segerombolan pe￾juang lepas) telah berlaku; mereka berjalan dalam barisan yang rapat yang 

kemudian akan terbukti mematikan bagi negara-negara yang dilalui oleh 

Aleksander Agung; dan Eannatum sendiri ditampilkan mengendarai sebuah 

kereta perang, yang ditarik oleh binatang yang agaknya seekor bagal.*∗

Eannatum dari Lagah menggunakan angkatan perang yang terorganisasi 

dengan baik itu untuk menyerang bukan saja Umma tetapi secara praktis se￾tiap kota lainnya di dataran Sumeria. Ia menyerang Kish; ia menyerang kota 

Mari; dengan tetangganya, ia menyerang orang Elam yang melakukan invasi. 

Setelah menjalani hidup yang penuh peperangan, tampaknya ia mati dalam 

pertempuran. Saudara lelakinya mengambil alih tahta menggantikannya.

 Selama tiga atau empat generasi, Lagash dan Umma berperang 

mempertikaikan letak tepatnya garis perbatasan mereka, sebuah pertengkaran 

dalam negeri yang sengit dan berdarah yang sesekali terputus oleh serbuan gerombolan orang Elam yang melanggar masuk. Raja Umma berikutnya 

membakar stele-stele, baik stele Mesilim maupun Stele Burung Nasar yang 

pongah; hal itu pada dasarnya tidak ada maknanya, karena kedua stele itu 

batu belaka, tetapi mungkin melegakan perasaannya. Saudara lelaki Eannatum 

menyerahkan mahkota Lagash kepada anak lelakinya, yang kemudian 

digulingkan oleh seorang perebut.4

Sekitar seratus tahun setelah mulai, pertikaian itu masih berlangsung. 

Lagash waktu itu diperintah oleh seorang raja bernama Urukagina. Urukagina, 

iBarat sosok Jimmy Carter masa Timur Tengah purba, adalah raja pertama 

Sumeria yang memiliki kesadaran sosial. Kekuatan ini sekaligus merupakan 

titik lemahnya.

Perang melawan Umma bukan satu-satunya masalah yang dihadapi Lagash. 

Serangkaian inskripsi dari masa pemerintahan Urukagina menggambarkan ke 

dalam keadaan semacam apa kota itu terpuruk. Kota itu seutuhnya dijalan￾kan oleh imam-imam dan orang kaya yang korup, dan kaum lemah serta 

papa hidup dalam kelaparan dan ketakutan. Wilayah kuil, yang semestinya

digunakan atas nama rakyat Lagash, telah diambil oleh perangkat pegawai 

kuil yang tak berhati nurani untuk kepentingan mereka sendiri, seperti wi￾layah taman nasional yang direbut oleh perambah yang tamak. Para pekerja 

harus mengemis untuk mendapat makanan, dan para magang tidak diupah 

serta mengais di tempat sampah untuk mencari sisa makanan. Para petugas 

menuntut upah tambahan untuk segalanya dari mencukur bulu domba putih 

sampai penguburan jenazah (jika Anda ingin menguburkan ayah Anda, Anda 

perlu menyediakan tujuh gelas besar bir dan 420 potong roti untuk pelaksana 

penguburan). Beban pajak telah menjadi sedemikian tak tertahankan sehingga 

orang tua terpaksa menjual anaknya sebagai budak untuk membayar hutang 

mereka.5

 ”Dari tapal batas sampai ke laut, para pemungut pajak ada”, bunyi 

keluhan pada sebuah inskripsi, suatu pernyataan frustrasi yang mengandung 

gema yang agaknya berasal dari zaman itu.6

Urukagina membubarkan sebagian besar dari pemungut pajak dan 

menurunkan jumlah pajak. Ia meniadakan biaya tambahan untuk pelayanan￾pelayanan dasar. Ia melarang petugas dan imam untuk menyita tanah 

atau harta milik seseorang sebagai pembayaran hutang, dan menawarkan 

pengampunan kepada para penghutang. Ia memangkas birokrasi Lagash, 

yang menggembung karena posisi-posisi yang diciptakan (termasuk di 

antaranya juru perahu kepala, pengawas penangkapan ikan, dan ”penyelia 

gudang gandum”). Tampaknya ia juga membatasi kekuasaan imam dengan 

memisahkan fungsi keagamaan dan fungsi keduniaan, dan dengan demikian 

persis mencegah jenis kekuasaan yang telah memungkinkan Mesilim untuk 

mendirikan stele atas kekuasaan dewa Sataran: ”Di mana pun dari tapal batas 

ke tapal batas lainnya”, demikian tutur penulis kroniknya, ”tak seorang pun 

berbicara lagi tentang imam-hakim ... Imam tidak lagi menyeruak ke kebun 

milik orang rendahan”.7

Cita-cita Urukagina adalah memulihkan Lagash ke keadaan keadilan yang 

diharapkan oleh para dewa. ”Ia membebaskan penduduk Lagash dari riba ... 

kelaparan, pencurian, pembunuhan”, tulis juru kroniknya. ”Ia mengukuhkan 

amagi. Janda dan yatim piatu tidak lagi di bawah kesewenangan yang berkuasa: 

untuk merekalah Urukagina melakukan perjanjian dengan Ningirsu”.8 Amagi: 

tanda cuneiformnya agaknya berarti kebebasan dari ketakutan, kepercayaan 

bahwa hidup warga Lagash dapat diatur dengan suatu undang-undang yang 

pasti dan tak berubah, dan bukan oleh gejolak kemauan yang berkuasa. Hal 

itu, sembari terbuka untuk diperdebatkan, merupakan kemunculan pertama 

gagasan ”kebebasan” dalam bahasa tertulis manusia; amagi, yang secara 

harfiah berarti ”kembali kepada ibu”, menggambarkan keinginan Urukagina 

untuk memulihkan Lagash kepada keadaan yang lebih bersih seperti pada 

masa sebelumnya. Lagash pada masa Urukagina harus menjadi kota yang

mengindahkan keinginan dewa-dewa, khususnya dewa kota Ningirsu. Lagash 

harus menjadi seperti pada masa sebelumnya, kembali ke masa silam yang 

diidealkan. Sudah sejak zaman yang sangat tua, nostalgia akan suatu masa 

silam yang bersinar dan tak pernah ada berjalan seiring dengan reformasi 

sosial.*∗

Dalam hal itu tidak ada banyak keuntungan untuk Urukagina sendiri. 

Sungguh mustahil, dengan jarak hampir lima ribu tahun, untuk mengetahui 

apa yang ada dalam benak orangnya, tetapi tindakan-tindakannya 

menunjukkan dia sebagai seorang yang diresapi kesalehan yang mengatasi 

gagasan keuntungan politis apa pun. Kelurusan moral Urukagina terbukti 

merupakan suatu pembunuhan diri politis. Pemangkasan yang ia lakukan 

terhadap tindak-tindak penyalahgunaan para imam menjadikannya tidak 

populer untuk badan keagamaan. Yang lebih serius, tindakan-tindakannya 

demi kaum miskin menjadikannya tidak populer untuk para hartawan kotanya 

sendiri. Setiap raja Sumeria memerintah dengan bantuan dewan lapis ganda 

para tua-tua dan orang-orang muda, dan dewan tua-tua tentu saja dijejali 

dengan kaum pemilik tanah yang kaya di kota itu. Orang-orang ini, para lugal

(”kepala keluarga besar”) kota Lagash, telah dikritik secara sangat pedas dalam 

inskripsi-inskripsi Urukagina karena memeras tetangga mereka yang miskin.9

Mereka tidak mungkin menanggung deraan publik itu tanpa rasa dengki.

Sementara itu, tahta Umma, musuh bebuyutan Lagash, telah diwarisi oleh 

seorang yang tamak dan ambisius bernama Lugalzaggesi. Ia mengirim pasu￾kannya ke Lagash dan menyerangnya, dan jatuhlah kota Urukagina.

Penaklukan kota tampaknya berjalan dengan gampang, dengan sedikit 

sekali perlawanan dari warga kota. ”Ketika Enlil, raja daerah-daerah, telah 

menyerahkan kekuasaan daerahnya kepada Lugalzaggesi”, maklumat 

dari inskripsi kemenangan itu, ”[dan] telah mengarahkan pandangan 

matanya ke daerah dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, [dan] 

telah menaklukkan semua bangsa kepadanya ... Tanah itu bergembira ria 

di bawah pemerintahannya; semua kepala suku Sumer ... membungkuk di 

depannya”.10 Bahasa inskripsi ini mengisyaratkan bahwa imam-imam bukan 

saja dari Lagash tetapi juga dari Nippur, kota suci Enlil, bekerja sama dengan 

sang penakluk.11 Imam-imam Nippur yang berkuasa tidak mungkin merasa 

bergairah dengan penyunatan kekuasaan imami sampai ke daerah Selatan; itu 

pasti menjadi preseden yang sangat buruk. Dan seandainya dewan tua-tua 

secara nyata tidak membantu penggulingan Urukagina, yang pasti mereka

tidak melawan dengan gigih untuk membelanya. Reformasi yang ia lakukan 

telah mendatangkan kesudahan yang dahsyat untuk karier politiknya dan 

mungkin juga untuk hidupnya sendiri.

Sebuah cerita yang ditulis oleh seorang juru tulis yang yakin akan kebaikan 

Urukagina menjanjikan bahwa raja yang baik itu akan dibalaskan: ”Karena 

orang Umma menghancurkan batu bata Lagash”, demikian peringatan juru 

tulis itu, ”mereka melakukan dosa kepada Ningirsu; Ningirsu akan memotong 

tangan-tangan yang diangkat melawan dia.” Catatan itu berakhir dengan 

suatu permohonan kepada dewi pribadi Lugalzaggesi sendiri, bahwa bahkan 

dewi itu pun menimpakan akibat dari dosanya kepada Lugalzaggesi.12

Dipacu oleh kemenangan yang mudah terhadap Lagash, Lugalzaggesi 

menebarkan jalanya ke sasaran yang lebih luas. Ia menghabiskan dua puluh 

tahun untuk merambah jalannya ke seluruh Sumer. Menurut ceritanya sendiri, 

wilayahnya terbentang ”dari Laut Bawah, sepanjang Tigris dan Efrat sampai 

ke Laut Atas”.13 Menyebutnya sebagai sebuah kekaisaran mungkin merupakan 

suatu tindakan yang berlebihan. Sumbar Lugalzaggesi bahwa ia memerintah 

sampai ke Laut Atas mungkin suatu acuan kepada suatu serangan tunggal 

yang menyeruak jauh ke Laut Hitam.14 Tetapi tidak ada persoalan bahwa 

Lugalzaggesi sudah melakukan usaha yang paling ambisius untuk meraih 

kota-kota Sumer yang tersebar itu ke dalam kekuasaannya.

Sementara Lugalzaggesi meninjau kekaisaran barunya dengan punggung￾nya terarah ke Utara, datanglah pembalasan.




D  K, seorang petugas minuman bernama Sargon membuat 

rencana sendiri untuk membangun sebuah kekaisaran.

Sargon adalah seseorang yang sosoknya antara ada dan tiada. Dalam in￾skripsi yang mentarikhkan kelahirannya, suara Sargon berkata:

Ibuku seorang yang ditukar saat lahir, ayahku tak kukenal,

Saudara lelaki ayahku gemar akan perbukitan,

Rumahku di dataran tinggi, tempat rerumputan tumbuh.*

Ibuku mengandungku secara diam-diam, ia melahirkan aku dengan sem￾bunyi-sembunyi..

Ia menaruhku di sebuah keranjang gelagah,

Ia mengunci lidah-lidahnya dengan ter.**

Ia membuang aku ke sungai, tetapi aku tidak tenggelam.

Aliran sungai membawaku kepada Akki, si penimba air,

Ia mengangkatku keluar dari air ketika ia membenamkan gucinya ke air,

Ia mengambilku sebagai anak, dan membesarkanku,

Ia menjadikan aku sebagai juru kebunnya.1

Kisah kelahiran ini tidak menuturkan apa pun tentang asal usul Sargon. 

Kita tidak mengetahui rasnya atau nama kecilnya. Nama ”Sargon” tidak membantu juga, karena nama itu ia pakai untuk dirinya kemudian. Dalam 

bentuk aslinya, Sharrum-kin, nama itu hanya berarti ”raja yang sah” dan (se￾perti kebanyakan ungkapan protes terhadap keabsahan) menunjukkan bahwa 

ia terlahir sama sekali tanpa hak atas klaim sedikit pun.*

Jika ia berasal dari dataran tinggi, mungkin sekali ia seorang Semit, bukan 

Sumeria. Orang Semit dari Barat dan Selatan telah berbaur dengan orang 

Sumeria di dataran Mesopotamia sejak awal masa pemukiman; seperti yang 

telah kita catat sebelumnya, puluhan kata pinjaman dari bahasa Semit mun￾cul dalam tulisan Sumeria yang sangat awal, dan raja-raja Kish yang paling 

awal memiliki nama Semit.

Sungguhpun demikian, terdapat pemilahan nyata antara orang Sumeria 

dari Utara dan orang Semit yang kebanyakan tinggal di sebelah Utara. Kedua 

ras itu merunut leluhur mereka ke suku yang berlainan, yang mengembara ke 

Mesopotamia, lama sebelumnya, dari bagian bumi yang berlainan. Sebuah 

bahasa Semit yang terkait dengan bahasa-bahasa yang lebih muda di Israel, 

Babylon, dan Assyria, digunakan di daerah Utara; di Selatan, penduduk kota￾kota Sumeria berbicara dan menulis dalam bahasa Sumeria, sebuah bahasa 

yang tidak terkait dengan satu bahasa lain pun yang kita ketahui. Bahkan 

di daerah-daerah di mana orang Sumeria dan orang Akkadia berbaur, suatu 

pemilahan rasial masih terjadi. Ketika pada satu setengah abad sebelumnya 

Lugulannemundu dari Adab mengusir orang Elam dan untuk beberapa waktu 

menyatakan dirinya sebagai penguasa atas ”keempat penjuru” Sumer, para 

pemimpin ketiga belas kota yang bersatu melawan dia semuanya memiliki 

nama Semit.2

Tetapi kisah Sargon tidak menegaskan asal usul Semitnya, karena orang 

itu berhati-hati untuk mengaburkan detail-detail asal usul darahnya. Ia 

mengklaim bahwa tidak mengenal ayahnya, yang dengan rapi menyingkir￾kan masalah leluhur yang dina atau pengkhianat. Ibu yang ”ditukarkan saat 

ia lahir” juga sama-sama kaburnya. Barangkali wanita itu suatu ketika telah 

mengganti identitasnya. Mungkin ia meninggalkan kehidupan duniawi untuk 

memeluk peranan keagamaan (sebagian penerjemah memilih untuk mener￾jemahkan kata itu sebagai ”imam wanita”), atau berhasil naik dari suatu kelas 

rendah ke kelas yang lebih tinggi, atau bermukim di antara orang-orang dari 

ras yang berbeda.

Apa pun asal-usulnya, ibu yang menukarkannya saat lahir itu tidak ber￾bagi asal usulnya dengan anaknya. Dengan meninggalkan anaknya di sungai, ia menyerahkan identitasnya kepada peluang yang muncul. Peristiwa ditarik 

dari air itu pun membawa gema yang bergaung kemudian dalam tulisan￾tulisan, baik karya orang Ibrani maupun orang Kristiani; orang Sumeria ber￾pikir bahwa sungai memisahkan mereka dengan kehidupan setelah mati, dan 

bahwa melalui air menghasilkan suatu perubahan kehidupan yang hakiki. 

Setelah ditarik dari air, Sargon mengenakan persona dari orang tua angkatnya. 

Orang yang menyelamatkannya, Akki, memiliki nama Semit; Sargon menjadi 

seorang Semit. Akki bekerja di istana raja Kish; ia membesarkan anak angkat￾nya untuk menjadi juru kebun raja. 

Ketika Sargon sudah tumbuh menjadi dewasa, ia telah naik jauh lebih 

tinggi. Menurut daftar raja Sumeria, ia telah menjadi ”petugas minuman Ur￾Zababa”, raja Sumeria kota Kish.3

Petugas minuman zaman kuno tidak sekedar penyaji minuman. Inskripsi￾inskripsi Sumeria tidak melukiskan tugas petugas minuman, tetapi di 

Assyria, pada masa yang tidak lama sesudahnya, petugas minuman adalah 

orang kedua setelah raja sendiri. Menurut Xenofon, petugas minuman tidak 

hanya mencicipi santapan raja tetapi juga membawa segel raja, yang mem￾berinya hak untuk memberikan persetujuan raja. Ia adalah pengatur orang 

yang menghadap raja, yang berarti bahwa ia mengendalikan kemungkinan 

bertemu dengan raja; petugas minuman raja-raja Persia, tulis Xenofon dalam 

Pendidikan Cyrus, ”memegang jabatan untuk menerima ... mereka yang me￾miliki urusan dengan [raja], dan menolak mereka yang menurut dia tidak 

perlu diterima.”4

 Petugas minuman memiliki kekuasaan yang sedemikian 

besar sehingga ia diminta mencicipi anggur dan makanan raja, bukan untuk 

melindungi raja terhadap kemungkinan diracuni (petugas minuman adalah 

seorang petugas yang terlalu berharga sebagai perisai nyawa), tetapi supaya 

petugas minuman sendiri tidak tergoda untuk meningkatkan kekuasaannya 

dengan meracuni tuannya.

Sementara Sargon mengabdi Ur-Zababa di Kish. Lugalzaggesi sibuk 

mengirim pasukan penyerang dan mencaplok bagian-bagian dari wilayah 

Sumeria ke dalam wilayah kerajaannya. Sementara Sargon membawa piala 

raja, Lugalzaggesi menyerang Lagash dan mengusir Urukagina; ia menduduki 

Uruk, kota mendiang Gilgamesh, dan mencaploknya ke dalam wilayah keku￾asaannya. Sesudah itu, seperti yang dilakukan oleh setiap penakluk Sumeria, 

Lugalzaggesi mengarahkan pandangannya ke Kish, kota permata di dataran 

itu.

Sebuah fragmen cerita menuturkan apa yang terjadi sesudahnya. ”Enlil”, 

tutur fragmen itu, ”memutuskan untuk menghapus kesejahteraan istana”. 

Dengan kata lain, Lugalzaggesi adalah penyerang; Enlil adalah dewa pri￾badinya. Ur-Zababa, ketika mengetahui bahwa pasukan si penakluk tengah mendekati kotanya, menjadi sedemikian takut sehingga ia ”memerciki tung￾kainya”. Di hadapan serangan yang datang mengancam, ia ”takut seperti ikan 

menggelepar di air payau”.5

Ketidaktentuan itu diperparah oleh kecurigaan Ur-Zababa yang semakin 

besar terhadap petugas minumannya. Ada sesuatu dalam pembawaan diri 

Sargon yang membuat dia bertanya-tanya (dan ada dasar pembenarannya) 

apakah orang kedua yang ia percayai sesungguhnya berada pada pihaknya. 

Maka ia mengutus Sargon kepada Lugalzaggesi dengan sebuah pesan pada 

papan lempung. Pesan itu, yang kelihatannya merupakan suatu usaha untuk 

berdamai, sebenarnya mengandung permintaan agar musuhnya membunuh 

si pembawa pesan. Lugalzaggesi menolak permintaan itu dan terus maju 

menuju Kish.

Bagian cerita ini mungkin layak diragukan. Kisah-kisah tentang Sargon 

sangat diperindah oleh raja-raja Assyria sesudahnya, yang mengklaim dia 

sebagai leluhur mereka yang agung; tentu saja bagian berikutnya dari ceri￾ta itu, di mana istri Lugalzaggesi menyambut Sargon dengan menawarkan 

“kewanitaannya sebagai pelindung”, merupakan bagian dari sebuah tradisi 

sangat panjang yang menggambarkan para penakluk besar sebagai lelaki yang 

seksualitasnya sangat menggoda. Namun, serangan ke kota Kish sendiri meng￾isyaratkan bahwa Sargon tidak sepenuhnya mendukung rajanya. Lugalzaggesi 

melangkah dengan jaya ke kota Kish sementara Ur-Zababa terpaksa melari￾kan diri. Sargon, yang diperkirakan sebagai tangan kanan Ur-Zababa, tidak 

tampak batang hidungnya.

Agaknya, sementara Lugalzaggesi tengah merayakan kemenangannya, 

Sargon sedang menghimpun sebuah bala tentara sendiri (yang mungkin 

diambil dari pasukan Ur-Zababa dengan pemilihan yang cermat selama 

bertahun-tahun sebelumnya) dan melangkah menuju Uruk; ini dapat kita 

simpulkan karena cerita-cerita tentang pertempuran itu menyatakan bahwa 

Lugalzaggesi tidak berada di sana, ketika Sargon pertama kali muncul di cakra￾wala, dan kotanya direbut secara tak terduga. “Ia memporakporandakan kota 

Uruk”, tutur inskripsi kemenangan Sargon, “menghancurkan temboknya dan 

berperang melawan penduduk Uruk serta menaklukkan mereka”.6

Lugalzaggesi, ketika mendengar berita tentang serangan itu, meninggal￾kan Kish dan menuju kembali ke kotanya untuk menghancurkan ancaman 

terhadap kekuasaannya itu. Tetapi kini Sargon sudah tak dapat dihentikan. 

Ia menghadang Lugalzaggesi di medan, menangkap dia, memasang kuk 

pada lehernya, dan mengaraknya sebagai tawanan ke kota suci Nippur. Di 

Nippur, ia memaksa raja yang kalah itu untuk melangkah sebagai tawanan 

melewati gerbang khusus yang dipersembahkan kepada Enlil: dewa yang 

kepadanya Lugalzaggesi telah bersyukur atas kemenangan-kemenangannya, dewa yang telah memberi Lugalzaggesi hak untuk ”menggembalakan” seluruh 

wilayah itu. Itu merupakan penghinaan yang pahit. Dua dasawarsa setelah 

penaklukan Lagash, kutukan Urukagina akhirnya melayang ke rumah dan 

bertengger di sana. 

Sargon langsung mengambil gelar sebagai raja Kish. Pada inskripsi yang 

sama yang melukiskan penaklukan Lugalzaggesi, ia mencatat bahwa ia me￾langkah ke Selatan, menaklukkan kota Ur, menghancurkan Umma, dan 

menyapu seluruh perlawanan orang Sumeria yang masih tersisa dalam suatu 

perjalanan yang menaklukkan semuanya ke Selatan sampai Teluk Parsi. Di 

sana ia ”membasuh senjatanya di laut” dalam suatu tindakan kemenangan 

yang misterius.

Penaklukan seluruh dataran Mesopotamia yang dilakukan Sargon se￾cara relatif cepat itu mencengangkan, mengingat ketidakmampuan raja-raja 

Sumeria untuk mengendalikan suatu wilayah yang lebih luas daripada dua 

atau tiga kota. Kombinasi dari kekuatannya sendiri dan kelemahan Sumeria 

telah mencondongkan perimbangan untuk keuntungan-nya. Bala tentara￾nya lebih kuat daripada Sumeria sebagai pihak yang mempertahankan diri, 

karena mereka menggunakan busur dan panah secara besar-besaran. Karena 

langka-nya kayu, busur merupakan senjata yang tidak lazim di Sumer; Sargon 

tampaknya memiliki sebuah sumber kayu eru, yang mengisyaratkan bahwa 

sudah sangat dini ia melebarkan jangkauannya ke Pegunungan Zagros, tepat 

di sebelah Timur Teluk. Pasukannya tampaknya juga telah mengubah formasi. 

Bila Stele Burung Nasar dan Panji-Panji Ur menunjukkan tentara-tentara ber￾senjata membentuk gugus-gugus, dan bergerak agak serupa dengan barisan 

tentara dari masa sesudahnya, tentara Sargon tampak dalam pahatan-pahatan 

sebagai pasukan yang lebih ringan, menyandang beban yang lebih enteng dan 

lebih lincah dan leluasa bergerak di seluruh medan pertempuran untuk me￾nyerbu dan kemudian membentuk formasi kembali sesuai keinginan.7

Tambahan lagi, orang Sumeria mungkin dilumpuhkan oleh keretakan 

dalam kota mereka. Kota-kota Sumeria, tepat sebelum penaklukan itu men￾derita akibat kesenjangan yang kian besar antara kelompok elite pemimpin 

dan pekerja miskin. Penindasan yang dengan sumpah Urukagina hendak per￾baiki merupakan gejala wajar dalam suatu masyarakat di mana para aristokrat, 

yang merangkul kaum imam, menggunakan kekuasaan keagamaan yang di￾padukan dengan kekuasaan duniawi untuk mengklaim sebanyak tiga perem￾pat dari wilayah di kota mana pun untuk mereka sendiri. Penaklukan wilayah 

itu yang dilakukan secara relatif mudah oleh Sargon (belum lagi keluhannya 

yang tidak habis-habisnya akan latar belakang dirinya yang bukan aristokrat) 

mungkin menjelaskan ajakannya yang berhasil kepada anggota masyarakat 

Sumeria yang tertindas untuk memihak kepadanya.Apa pun kontribusi kelemahan Sumeria dalam keberhasilan penaklukan 

itu, hasilnya adalah suatu hal yang baru. Sargon melakukan sesuatu yang 

belum pernah dihasilkan oleh seorang pun raja Sumeria; ia mengubah suatu 

koalisi lepas dari beberapa kota menjadi suatu kekaisaran.*

B , wilayah baru itu perlu dikendalikan.

Sebagai bagian dari strateginya untuk memerintah kota-kota yang berte￾bar luas, Sargon membangun sebuah ibu kota baru, Agade; dari ejaan nama 

kota itu, Akkad, dalam bahasa Ibranilah kekaisarannya mendapat nama.**

Sisa-sisa Agade belum ditemukan, tetapi kota itu mungkin terletak di dataran 

Sumeria Utara, barangkali di dekat kota Baghdad dewasa ini, di leher botol 

di mana terletak kota Sippar. Dari posisi itu, yang sedikit ke Utara dari Kish, 

Sargon dapat mengendalikan lalu lintas sungai dan mengawasi kedua ujung 

kerajaannya.

Di dalam kerajaan itu orang Sumeria segera merasa seperti hidup sebagai 

orang asing di kota mereka sendiri. Orang-orang Sargon adalah orang Semit 

dari dataran Utara. Dialek mereka, yang kemudian dikenal sebagai bahasa 

Akkadia, adalah bahasa Semit. Adat istiadat dan logat bicara mereka tidak 

sama dengan yang digunakan orang Sumeria Selatan. Ketika Sargon merebut 

sebuah kota, kota itu menjadi kubu orang Akkadia, yang stafnya terdiri dari 

orang Akkadia dan garnisunnya terdiri dari pasukan Akkadia.

Berbeda dengan pendahulu-pendahulunya, Sargon bisa bertindak kasar 

kepada penduduk asli. Ketika Lugalzaggesi menaklukkan Kish, ia mengklaim 

sebagai penguasa besar tetapi tidak menyingkirkan pegawai Sumeria, para 

lugal, yang menjalankan birokrasi Kish. Bagaimana pun, mereka adalah orang 

seasal dia juga dan ia membiarkan mereka tetap menduduki jabatan mereka 

sejauh mereka bersedia mengganti sumpah loyalitas. Sargon tidak memiliki 

kelunakan semacam itu. Ketika ia menaklukkan sebuah kota, ia mengganti 

pemimpin kota itu dengan orangnya sendiri. ”Dari laut di atas sampai laut 

di bawah”, demikian bunyi inskripsinya, ”para keturunan Akkad memegang 

pimpinan kota.” Orang Akkadia Semit, yang telah lama berbaur dengan orang 

Sumeria, kini berkuasa atas mereka. Agade sendiri memiliki garnisun tetap 

beranggotakan lima ribu empat ratus prajurit yang ”diberi makan setiap hari” 

di depan raja. Ada ribuan lagi tersebar di seluruh Mesopotamia.Setelah dataran Mesopotamia berada dalam kekuasaannya, Sargon 

mulai membangun suatu kekaisaran yang terbentang melampaui wilayah 

Mesopotamia. Ia memimpin serdadu-serdadu itu dalam pertempuran demi 

pertempuran; ”Sargon, raja Kish”, bunyi salah satu papan inskripsinya, ”me￾nang dalam tiga puluh empat pertempuran”.9

 Ia menyeberangi Tigris dan 

merebut tanah orang Elam, yang sebagai pengganti tampaknya memindahkan 

pusat kerajaan mereka dari Aswan ke Susa yang sedikit lebih jauh letaknya, 

di mana terletak ibu kotanya. Ia menyerbu terus ke Utara ke kota Mari, 

yang dapat ia rebut, dan kemudian masih menyerbu lebih lanjut ke daerah 

sebuah suku Semit lain, yang lebih liar dan lebih tidak menetap daripada 

sukunya sendiri Akkadia: orang Amorit, yang bermukim di sepanjang daerah 

di sebelah Barat Laut Kaspia. Sambil terus berperang di sepanjang Tigris, ia 

mencapai dan menaklukkan kota kecil di Utara bernama Assur, yang telah 

menjadi pusat pemujaan dewa Ishtar selama barangkali tiga ratus tahun sebe￾lum kelahiran Sargon. Sesudah itu ia bahkan menyerbu lebih jauh ke Utara 

dan menguasai kota yang sama kecilnya Nineweh, seratus lima puluhan kilo￾meter lagi. Nineweh adalah sebuah pos luar yang terpencil; dari titik pantau 

di Utara itu anak-anak-nya mengawasi seluruh daerah taklukan liar di Utara, 

sementara Agade tetap menjadi titik pengawasannya untuk daerah Selatan.10

Sargon mungkin bahkan telah menyerbu Asia Kecil. Sebuah cerita dari 

masa yang lebih kemudian, ”Sargon, Raja Peperangan”, melukiskan perjalan￾annya ke kota Purushkanda, yang penduduknya mengirim pesan kepadanya 

untuk meminta pertolongan melawan Nur-daggal, raja setempat yang kejam. 

Dalam sanjak-sanjak yang masih ada, Nur-daggal meremehkan kemungkinan 

bahwa Sargon akan muncul:

Ia tidak akan datang jauh-jauh ke sini.

Tebing sungai dan air pasang akan menghalangi dia,

Gunung-gemunung akan merintangi jalannya dengan onak dan duri.

Begitu kata-kata itu terlepas dari mulutnya, Sargon menghantam hancur ger￾bang kotanya:

Nur-daggal belum selesai berbicara,

Ketika Sargon mengepung kotanya,

dan mengangakan gerbangnya seluas satu hektar!11

Apakah Sargon sesungguhnya mencapai Purushkhanda, cerita itu meng￾ungkapkannya. Ia tentu tampak tak dapat dihentikan seperti tank, berada 

secara hampir-hampir magis di seluruh wilayah dunia yang diketahui. Ia mengklaim bahwa telah menyerbu jauh ke Barat sampai ke Laut Tengah,12

dan bahkan membanggakan diri dengan mengendalikan kapal-kapal dari 

Meluhha (Indus), Magan (di Arabia Selatan), dan Dilmun (di pantai Timur 

Teluk).

Untuk mengendalikan bentangan wilayah yang seluas itu diperlukan se￾buah bala tentara yang menetap; orang-orang yang “makan roti„ di hadapan 

Sardon setiap hari itu mungkin merupakan tentara profesional pertama dalam 

sejarah. Mengendalikan bangsa yang bermacam ragam itu dalam kekuasaannya 

juga menuntut kadar kecerdikan keagamaan tertentu, yang memang dimiliki 

Sargon secara melimpah. Ia memberikan penghormatan kepada cukup ba￾nyak dewa setempat yang penting yang ia jumpai, membangun kuil-kuil di 

Nippur seperti seorang Sumeria yang baik, dan menjadikan anak perempuan￾nya sebagai imam agung wanita dewi bulan Ur.

Catatan-catatan dari istana Sargon menunjukkan bahwa kekaisaran ini 

memiliki birokrasi yang jauh berbeda dengan apa yang sudah dikembang￾kan sampai saat itu di Sumer. Sargon berusaha menetapkan standar berat dan 

ukuran di wilayah kekuasaannya; ia juga menciptakan sebuah sistem pajak 

bergaya Mesir, yang dijalankan oleh pegawai negara yang mengelola keuangan 

kekaisaran.13 Dan strategi politisnya mencakup lebih dari pajak dan admi￾nistrasi. Ia membentuk perwakilan dari wangsa penguasa lama di istananya, 

sebuah taktik yang akan menjadi baku untuk kekaisaran-kekaisaran yang jauh 

lebih muda waktunya; wakil-wakil itu, yang secara mencolok disambut de￾ngan penghormatan berkat asal-usul mereka yang luhur, sebenarnya merupa￾kan sandera untuk kelangsungan baik kota-kota mereka.14

Strategi itu menyibakkan garis lemah yang terus berlanjut di dalam ke￾kaisarannya. Kerajaan yang terbentang luas itu selalu berada di ambang 

pemberontakan.

Daftar raja Sumeria menyatakan pemerintahan Sargon berlangsung selama 

lima puluh enam tahun. Menjelang akhir pemerintahannya, ketika ia barang￾kali berusia di atas tujuh puluh tahun, pecahlah sebuah pemberontakan yang 

berat. Inskripsi-inskripsi Babilon Tua mencatat bahwa “para tua-tua negeri“, 

yang sudah dipangkas kekuasaannya, berkumpul dan menjejali Kuil Inanna 

di Kish.

Sargon, tentu saja, mengklaim bahwa ia telah menggilas seketika pembe￾rontakan itu. Tetapi menurut catatan-catatan Babilon Tua (yang diperkirakan 

dari masa yang jauh dan pada umumnya anti-Sargon), sekurang-kurangnya 

satu pertempuran melawan para pemberontak itu sedemikian jeleknya se￾hingga orang tua itu akhirnya bersembunyi di sebuah parit sementara para 

pemberontak melaju lewat.15 Memang tidak diragukan bahwa, hampir seke￾tika setelah Sargon wafat, anak lelakinya Rimush harus melakukan serangan melawan suatu koalisi pemberontak dari lima kota yang mencakup Ur, Lagash, 

dan Umma.16 Rimush berkuasa selama kurang dari sepuluh tahun dan wafat 

secara mendadak. Sebuah inskripsi masa kemudian mengatakan bahwa ia di￾bunuh oleh hamba-hambanya.

Walaupun terdapat pertikaian setelah kematian Sargon itu, keturunan 

Sargon tetap menguasai tahta Agade selama lebih dari seratus tahun—jauh 

lebih lama daripada dinasti Sumeria mana pun. Kekaisaran Akkadia di￾pertahankan kesatuannya oleh lebih daripada kharisma saja. Birokrasi dan 

administrasi Sargon, seperti yang ada di Mesir, akhirnya menyediakan untuk 

Mesopotamia sebuah struktur yang dapat mempertahankan kesatuan bah￾kan ketika tahta beralih dari ayah yang besar kepada anak lelakinya yang 

berjuang.

M”, dari mana kapal-kapal tiba untuk berdagang dengan 

Sargon Yang Agung adalah India, di mana suatu peradaban besar telah 

tumbuh. Tetapi dari peradaban yang besar itu tidak ada satu tokoh pun yang 

masih terkabar.

 Dalam kurun tujuh ratus tahun yang terjadi antara Manu Vishnu dan 

Sargon, desa-desa di sepanjang Indus telah menjadi sebuah jaringan kota. 

Orang-orang yang mendiami kota-kota itu terkait, tidak terlalu jauh, dengan 

orang Elam. Seperti halnya orang Amorit dan orang Akkadia merupakan 

keturunan dari kelompok orang-orang yang sama yang bermigrasi, 

demikianlah para penduduk asli lembah Elam di sebelah Utara Laut Arab 

dan orang-orang yang membangun kota-kota di sepanjang Indus tampaknya 

berasal dari rumpun asli yang sama.

 Hanya itulah seluruh hal yang kita ketahui. Apa yang tersisa dari 

peradaban kota Indus, yang pada umumnya disebut ”peradaban Harappa”, 

dari kota Harappa (salah satu dari situs-situs paling purbanya yang ditemukan), 

terdiri dari reruntuhan kota, berbagai macam cap yang digunakan untuk 

mengidentifikasikan barang-barang dagangan, dan inskripsi-inskripsi singkat 

yang tak seorang pun bisa membacanya, karena aksaranya belum dapat 

diuraikan sandinya. Kedua kota Harappa yang paling luas adalah Harappa 

sendiri di cabang Utara Indus dan Mohenjo-Daro, lebih jauh ke Selatan.*∗

Dengan mengerahkan imajinasi kita dapat menggambarkan kota-kota itu

didiami oleh tukang, pedagang, dan pekerja, semuanya tanpa sosok, tetapi 

peradaban Harappa sendiri tidak memiliki catatan perang, pendudukan, 

pergulatan kekuasaan, atau kisah pahlawan.

Hal itu mungkin tidak merepotkan khususnya para ahli antropologi 

dan arkeologi, tetapi merisaukan sejarawan tiada habisnya. ”[Kita memiliki] 

sejarah lengkap dengan perkiraan waktu, kota-kota, industri-industri, serta 

kesenian”, keluh John Keay, ”tetapi sama sekali tidak memiliki peristiwa yang 

tercatat ... [dan] kecuali beberapa tulang yang tidak sangat membantu, tidak 

ada sosok manusia.” 1

 Kita dapat berspekulasi bahwa kota memiliki raja; salah 

satu dari satu-satunya gambaran yang memiliki ciri khas yang ditemukan 

di dalam reruntuhan adalah patung seorang lelaki berjanggut, mengenakan 

jubah berhias dan tutup kepala, matanya setengah tertutup dan wajahnya 

tanpa ekspresi. Mungkin ia adalah raja Mohenjo-Daro, di mana gambarnya 

ditemukan. Kota itu memiliki sederetan bangunan yang tampaknya adalah 

barak-barak, atau perkampungan hamba, yang menyarankan bahwa seorang 

raja atau seorang imam-raja mungkin memerlukan seperangkat staf untuk 

melakukan urusan-uruannya.2

 Tetapi mungkin tidak ada raja sama sekali. Tidak 

ada papan lempung, naskah yang ditulis pada papyrus, atau suatu percontoh

lain dari adanya pencatatan di antara reruntuhan Harappa, walaupun sistem 

penulisan (apa pun itu) tampaknya mampu untuk menghasilkannya.3

 Dan 

cukup sulit membayangkan bagaimana para imam, raja, dan birokrat dapat 

melakukan urusan mereka tanpa merasa perlu mencatat hal-hal yang mereka 

lakukan.

Dengan atau tanpa birokrasi, pedagang-pedagang Harappa memper￾dagangkan barang mereka secara meluas. Cap-cap Harappa muncul di 

reruntuhan Ur, yang berasal dari masa ketika Sargon memerintah kota itu. 

Barangkali kedua peradaban itu bertemu pertama kali di Arab tenggara, di 

mana kedua pihak membeli tembaga dari tambang-tambang di Magan, dan 

kemudian mulai melakukan perdagangan mereka sendiri. Ur, yang letaknya 

dekat ujung Teluk Parsi, merupakan pusat yang masuk akal untuk pertukaran 

barang dagangan India dan Akkadia. Pedagang-pedagang India dapat 

menghindari barisan pegunungan Kirthar, yang merintangi dataran Utara, 

dengan berlayar keluar dari Indus ke Laut Arab, melewati Teluk Oman, ke 

Utara ke Teluk Parsi, dan dari sana ke Efrat. Sebuah pos perdagangan Harappa 

telah ditemukan di Sutkagen Dor, yang 

letaknya hampir di dalam wilayah Elam. 

Mungkin sekali kedua kebudayaan 

memiliki sekurang-kurangnya suasana 

damai untuk melakukan usaha.

Selama beberapa waktu Harappa 

dan Mohenjo-Daro dikira sebagai 

dua kota Harappa yang satu-satunya. 

Tetapi kini lebih dari tujuh puluh 

kota Harappa telah ditemukan, yang 

tersebar dari muara Indus ke hampir 

sepanjang sungai-sungai di Utara, dari 

Sutkagen Dor di Barat sampai sungai 

Narmada di Timur. Peradaban Harappa 

mungkin mencakup wilayah seluas tiga 

perempat juta kilometer persegi.4

Kota-kota itu rendah dan luas, 

terbuat dari bata lumpur yang dibakar 

menjadi keras dalam tungku. Rumah￾rumahnya, jarang yang lebih tinggi 

dari dua tingkat, berderet sepanjang 

jalan-jalan yang dirancang dengan 

baik, yang cukup lebar untuk dilewati

dua gerobak sapi yang berpapasan.5

 Bangunan-bangunan gudang, yang 

mungkin merupakan lumbung untuk bahan makanan penduduk, terletak 

di dekat kota-kota yang paling besar; Mohenjo-Daro dan Harappa mungkin 

menopang kehidupan penduduk yang jumlahnya masing-masing sekitar tiga 

puluh ribu jiwa. 

Penduduk kota-kota itu tampaknya sangat mementingkan kebersihan. 

Jalan-jalan dilengkapi dengan selokan dan sistem penyaluran air limbah; 

rumah-rumah pada umumnya dilengkapi dengan kamar mandi; dan salah 

satu ciri khas kota-kota besar ialah adanya tempat-tempat mandi besar 

seukuran kolam renang yang dikelilingi kamar-kamar kecil, mungkin tempat 

berganti pakaian. Tak seorang pun dapat mengatakan dengan pasti apakah 

perhatian orang Harappa akan kebersihan bersifat keagamaan atau semata￾mata pribadi. Reruntuhan kota-kota Harappa tidak meninggalkan untuk para 

ahli arkeologi satu bangunan pun yang dapat mereka identifikasikan dengan 

pendapat bulat sebagai sebuah kuil.

Ciri paling khas kota-kota Harappa adalah adanya benteng, yakni bagian 

dari bangunan yang dikelilingi tembok dan menara penjagaan. Pada umumnya 

lebih banyak rumah lagi yang tersebar menjauh dari benteng, kebanyakan ke 

arah Timur. Mengelilingi seluruh kota terdapat sebuah tembok tebal lagi yang 

terbuat dari bata lumpur. Andai kata tembok itu dibobol, penduduk masih 

dapat mengungsi ke benteng, yang merupakan tempat perlindungan terakhir 

mereka. 

Hal itu membuat kita bertanya-tanya: apakah yang sedemikian ditakuti 

orang Harappa sehingga mereka memerlukan lapis tembok? Baik orang 

Sumeria maupun orang Elam tidak pernah mengirim pasukan ke Timur sejauh 

itu. Juga tidak terdapat bukti akan adanya suku-suku pengembara yang ganas 

di wilayah itu. Namun kedua tembok itu tinggi dan tebal, dengan benteng 

dan menara penjagaan yang dibangun untuk menghalau musuh.

Mungkin pertahanan yang berlapis itu memberi kita petunjuk tentang 

sifat orang Harappa.

Telah lama diduga bahwa kota berbenteng merupakan suatu perkembangan 

alami dari desa-desa yang telah berurat berakar di lembah hampir seribu tahun 

sebelumnya. Namun terdapat suatu kemungkinan lain. Empat puluh lima 

kilometer dari Mohenjo-Daro, di tepi sebelah lain Indus, terdapat sebuah 

kota yang dikenal sebagai Kot Diji. Penggalian yang cermat lapisan-lapisan 

pemukiman itu menunjukkan bahwa pada abad-abad sebelum kota-kota 

Harappa berkembang menjadi besar, tembok-tembok Kot Diji berulang￾ulang diperkuat untuk menahan serangan. Pada tahun-tahun awal kekuasaan 

Harappa, tembok-tembok itu masih dibangun kembali. Kemudian suatu 

kebakaran besar menghanguskan seluruh kota dan menghancurkan tidak

hanya tembok-tembok kota tetapi bahkan kota itu sendiri. Sebuah kota yang 

baru dibangun di atas Kot Diji lama. Kota itu memiliki jalan-jalan yang 

lebar, selokan dari bata, rumah-rumah dengan kamar mandi. Itu sebuah kota 

Harappa, dan polanya tidak sama dengan pola kota yang terdapat di tempat 

itu sebelumnya.6

 Kot Diji bukan satu-satunya situs yang tampak menunjukkan suatu 

pengambilalihan dengan kekerasan pada masa kota-kota Harappa. Di Amri, 

di sisi Indus yang sama dengan letak Mohenjo-Daro tetapi seratus lima puluh 

kilometer ke Selatan, sebuah pemukiman yang sangat tua secara mendadak 

ditinggalkan oleh separuh dari penduduk desa itu. Di atas reruntuhan lama 

muncullah sebuah kota Harappa, dengan jalan-jalan yang lebar, selokan dari 

bata, dan rumah-rumah dengan kamar mandi.

 Di Kalibangan, jauh di Utara dan tidak begitu jauh dari Harappa, sebuah 

kota lama yang masih dalam keadaan baik ditinggalkan oleh penduduknya. 

Di atas reruntuhan kota yang ditinggalkan itu muncul sebuah kota Harappa, 

dengan jalan-jalan yang lebar, selokan dari bata, dan rumah-rumah dengan 

kamar mandi.7

 Jejak-jejak dari suatu kejadian peperangan sulit ditemukan. Namun pola 

itu mengisyaratkan sesuatu; peradaban Harappa, pada saat menyebar, tidak 

selalu berupa sebuah perkembangan organik. Sekurang-kurangnya untuk 

sejumlah kota, penyebaran itu terjadi melalui suatu pengambilalihan oleh 

suatu segmen orang India yang gemar berperang. Karena menilai orang lain 

berdasarkan dirinya sendiri (atau mungkin karena takut akan pembalasan), 

mereka membangun tembok berlapis untuk menahan serangan dan 

pembalasan.

 Pengambilalihan dengan senjata tidaklah istimewa, tetapi persebaran 

arsitektur Harappa memang suatu hal yang aneh. Bahkan dalam bentangan 

pemukiman seluas tiga perempat juta kilometer persegi, kota-kota Harappa 

sungguh serupa secara mencolok. Rancangan besar kota-kota itu sama, 

dengan benteng yang terpisah dari gugus-gugus rumah dan toko, dan selalu di 

sebelah Barat. Rumah-rumah dan toko-toko, atau ”desa yang rendah”, ditata 

di sekitar jalan-jalan yang direncanakan dengan cermat. Tergantung pada 

tingkat kepadatan lalu lintas yang diperkirakan harus didukungnya, jalan￾jalan dirancang sebagai jalan nadi lalu lintas (mau tak mau selebar delapan 

meter), jalan biasa (enam meter lebarnya atau tiga perempat lebarnya jalan 

nadi), atau jalan samping (empat meter lebarnya, atau setengah dari lebarnya 

jalan nadi). Arah jalan-jalan, mau tak mau, lurus dari Utara ke Selatan atau 

dari Timur ke Barat, dalam pola kisi-kisi yang terancang. Kota-kota itu 

menggunakan patokan berat yang distandarkan, hal yang tidak sedemikian 

aneh, karena kekaisaran Akkadia Sargon telah mulai merambah ke arah

yang sama; yang sedikit lebih aneh ialah bahwa upaya penstandaran itu juga 

diterapkan untuk bata lumpur yang digunakan sebagai bahan bangunan, yang 

mulai menyesuaikan diri dengan dimensi yang tepat sama: 17,5 cm x 15 cm 

x 30 cm.8

 Hal itu sungguh praktis, seperti yang dapat ditegaskan oleh seseorang 

yang telah membuat bangunan Legos, tetapi hal itu juga menegaskan adanya 

suatu konformitas yang anehnya cukup kuat, yang ditegakkan dengan suatu 

cara yang tak diketahui. John Keay menyebutnya ”keseragaman obsesif”, dan 

mencatat bahwa hal itu bahkan diterapkan pada perkakas pembangunan dan 

piranti tukang, yang disusun ke dalam sebuah ”piranti terstandar” yang akan 

langsung dikenali sedari pantai Laut Arab hingga jauh ke Utara di pelosok 

Punjab.

 Sangat mungkin bahwa pola kehidupan sehari-hari berbeda dari kota ke 

kota. Persebaran peradaban Harappa bukanlah padanan purba yang tepat dari 

Invasi Borg.*∗

 Tetapi kemiripan di antara kota-kota yang terpisah secara luas 

itu tentu menuntut komunikasi yang dekat (kalau bukan pemaksaan), dan 

walaupun demikian tak satu pesan pun yang tertinggal bekasnya untuk kita. 

Selama periode itu aksara Harappa (apa pun bunyinya) juga terstandar dalam 

bentuknya itu dan, mungkin saja, dalam penggunaannya.

Namun itu tidak meninggalkan satu pesan pun untuk kita. Kota-kota 

Harappa tinggal tanpa tokoh bersosok. Kalau mereka dapat disamakan 

dengan Borg, letaknya ialah pada tiadanya suara yang muncul sebagai Aku

dari hamparan kolektif pengalaman Harappa

G A R I S WA K T U 1 4

 MESOPOTAMIA INDIA

Dinasti Purba I (2900-2800)

 Desa-desa petani tumbuh di sepanjang Indus 

 Dinasti Purba II (2800-2600)

 Gilgamesh 

 Peradaban Harappa menyebar di sepanjang

 Dinasti Purba III (2600-2350) Indus dan sampai jauh ke Punjab

 Lugulannemundu (sek. 2500) 

 Mesilim 

 Lugalzaggesi Urukagina 

 (Umma) (Lagash) 

 Perdagangan dengan Mesopotamia

 Periode Akkadia (2334-2100)

 Sargon Kematangan peradaban Harappa

 Rimush







S , Mesir tengah mengalami masalah yang sebaliknya: terlalu 

banyak tokoh, semuanya ingin diingat untuk selamanya.

Khufu, pembangun Piramida Besar, digantikan mula-mula oleh anak lelaki 

sulungnya, yang tidak memerintah cukup lama untuk membangun apa pun 

secara khusus, dan kemudian oleh anak lelaki berikutnya, Khafre. Khafre me￾merintah selama enam puluh enam tahun menurut Manetho dan lima puluh 

enam tahun menurut perhitungan Herodotus.*∗

 Berdasarkan perhitungan 

yang mana pun, ia menduduki tahta untuk waktu yang sangat lama.

Menurut tuturan Herodotus, Khafre ”berperilaku dengan cara yang sama” 

dengan perilaku ayahnya. Seperti Khufu, ia mencurahkan begitu banyak 

energi untuk membangun sehingga ia melalaikan dewa-dewa dan tidak mem￾buka kembali tempat-tempat pemujaan. ”Orang Mesir sedemikian membenci 

Chephren [Khafre] dan Cheops [Khufu] sehingga mereka sungguh-sungguh 

tidak suka menyebutkan nama mereka”, tambah Herodotus.1

 Tindakan kejam 

mana pun yang digunakan Khufu dalam membangun piramidanya diulang 

kembali selama pemerintahan anaknya. Piramida Khafre sendiri, yang dise￾but Piramida Kedua, hanya sepuluh meter lebih rendah daripada Piramida 

Besar. Tetapi dengan lihai Khafre membangunnya di lahan yang lebih tinggi, 

sehingga pengunjung yang tidak begitu memperhatikan akan terkecoh dan 

mengira bahwa Piramida Kedua lebih tinggi.

Ia juga meninggalkan sebuah monumen spektakuler lain: Sphinx, sebuah 

pahatan misterius dari batu kapur, sebagian singa dan sebagian elang, dengan 

wajah manusia (mungkin gambaran Khafre sendiri, walaupun terdapat banyak 

perdebatan tentang hal ini). Makhluk raksasa itu menatap ke Timur. Benda 

itu biasanya diacu sebagai sebuah patung yang dibuat dari ”cadas hidup”, yang semata-mata berarti bahwa patung itu dipahat pada sebuah cadas yang sudah 

menonjol di tempat itu, dan bukan dibangun di tempat lain dan kemudian 

dipindahkan ke sana.

Asal usul sosok sphinx sama sekali tidak diketahui. Kelak, orang Yunani 

mengisahkan cerita-cerita yang bagus tentang sosok ini, yang sama sekali 

tidak beredar pada milenium ketiga. Khafre sendiri bahkan mungkin telah 

menciptakan sosok itu, karena satu-satunya sphinx yang mungkin lebih tua*∗

adalah sebuah sphinx kecil wanita yang ditemukan di reruntuhan makam 

anak sulungnya Djedefre yang tidak selesai. Tidak ada kemungkinan untuk 

mengetahui apakah sphinx ini berasal dari zaman Djedefre, atau diletakkan 

di sana kemudian.2

Seperti halnya Piramida Besar, Sphinx juga telah memunculkan teori-teori 

sinting sendiri: ia berasal dari 10.000 SM dan dibangun oleh suatu peradaban 

maju yang telah lenyap; ia dibangun oleh makhluk Atlanta (atau alien); ia 

menampilkan sebuah tanda zodiak, atau sebuah titik pusat energi global.

Penjelasan yang begitu melantur sama sekali tidak perlu. Elang diidentifi-

kasikan dengan Horus, sedang singa diidentifikasikan dengan matahari dan 

dengan demikian dengan dewa matahari Ra, dan dewa sejawat Ra yakni Amun 

(ini adalah suatu dewa setempat yang kemudian diidentifikasikan dengan Ra, 

terkadang sebagai dewa majemuk Amun-Ra). Memiliki sebuah patung se￾tengah singa, setengah elang, yang menjaga tempat di mana jiwa Anda akan 

berada secara abadi, adalah mengklaim perlindungan dewa-dewa Mesir yang 

paling berkuasa. Menambahkan wajah Anda sendiri pada patung itu adalah 

mengklaim identitas mereka. Nama “sphinx” adalah sebuah lafal rusak dalam 

bahasa Yunani; nama Mesir aslinya untuk sosok itu adalah mungkin “shese￾pankh”, atau “gambar yang hidup”.3

Barangkalai Khafre perlu menciptakan sebuah bukti baru keilahiannya, 

karena, seperti yang diisyaratkan oleh Herodotus, orang Mesir telah menjadi 

jemu dengan tuntutan para penguasa mereka yang menekan. Sesungguhnya, 

Khafre adalah pembangun terakhir sebuah opiramida besar dan penguras 

terakhir energi rakyatnya. Anak lelakinya Menkaure dipaksa berhemat dan 

mengubah perilaku.

Herodotus menuturkan bahwa, sesuai dengan tradisi Mesir, Menkaure 

membuka kembali kuil-kuil dan tempat-tempat pemujaan Mesir, mengangkat 

rakyatnya dari kesengsaraan yang telah ditimpakan kepada mereka oleh para 

pendahulunya, dan memerintah rakyatnya dengan murah hati.*∗

 Piramida 

Menkaure merupakan bukti tambahan dari adanya perubahan: Piramida 

Ketiga tingginya hanya tujuh puluh tujuh meter, separuh ukuran piramida 

Khufu. Bangunan itu masih memerlukan penggunaan sumber daya yang luas, 

tetapi tidak lagi menuntut jam kerja manusia seperti yang diperlukan untuk 

piramida-piramida sebelumnya.

Perilaku Menkaure yang relatif baik hati, demikian jelas Herodotus, tim￾bul dari kesadaran; ia “tidak menyetujui apa yang telah dilakukan ayahnya. 

4

 Mungkin Menkaure memang menolak arsitektur monumental dari ayah 

dan kakeknya. Namun, sebesar itu pula kemungkinannya bahwa ia sekadar 

mematuhi apa yang tak dapat dihindari: merosot-nya kemampuan pharaoh 

dari Dinasti Keempat untuk menuntut ketaatan massa besar pekerja Mesir 

sebesar yang diperlukan untuk membangun sebuah Piramida Besar. Jika ia 

curiga bahwa terdapat ancaman pemberontakan, maka penghematan publik, 

yang mengarah kepada perilaku belas kasih, bukan saja lihai tetapi bahkan tak 

dapat dielakkan.

Bangunan itu pun tahan. Piramida-piramida besar Dinasti Keempat, yang telah menjadi wakil seluruh sejarah Mesir untuk sedemikian banyak maha￾siswa, menjulang sebagai obyek menarik di bentangan pemandangan Mesir; 

tidak ada pharaoh selanjutnya yang melebihinya. Para pharaoh telah menguji 

batas-batas kekuasaan ilahi mereka, dan telah mencapai akhirnya. Menkaure 

tidak dapat memaksakan pelayanan tanpa bertanya yang sama dengan yang 

dilakukan ayah dan kakeknya.

Penemuan batas-batas kekuasaan ilahi tampaknya telah menyebabkan ke￾merosotan yang meningkat dalam kekayaan pharaoh, seakan-akan pengakuan 

Menkaure tentang keterbatasannya telah memicu Mesir turun ke lereng yang 

licin dan berakhir dalam suatu genangan anarki.

Cerita tradisional tentang pemerintahan Menkaure, yang disampaikan 

kepada Herodotus oleh imam-imam di Memphis, mengisyaratkan bahwa 

Menkaure merasa terjepit. Dewa-dewa begitu tidak puas dengan pemerintahan 

Menkaure sehingga mereka mengirim sebuah pesan kepadanya: Menkaure 

akan mati sebelum tahun ketujuh pemerintahannya berakhir. Terhadap hal 

itu Menkaure menjadi geram. Ia merasa sangat tidak adil bahwa Khufu dan 

Khafe, yang telah

 Menutup tempat-tempat pemujaan, mengabaikan dewa-dewa, dan meng￾hancurkan kehidupan banyak orang, telah hidup selama begitu banyak 

tahun, sedangkan seseorang yang takut akan dewa seperti dirinya akan 

mati demikian cepat. Pesan kedua datang dari peramal, yang menjelaskan 

bahwa justru karena ia seorang yang takut akan dewa itulah hidupnya 

akan dipersingkat—bahwa ia tidak berperilaku seperti yang semestinya. 

Mesir ditentukan untuk menderita selama seratus lima tahun, dan kedua 

pendahulunya telah memahami hal itu, sedangkan dia tidak.5

Kisah hukuman yang sangat

Related Posts:

  • dunia kuno 5s eorang dewa telah berbicara secara langsung kepada Anda sama sulitnya untuk ditolak pada waktu itu seperti pada waktu kini.Namun, kesepakatan itu tidak berlangsung lama. Setelah kematian Mesilim, raja baru Um… Read More