s eorang dewa telah berbicara
secara langsung kepada Anda sama sulitnya untuk ditolak pada waktu itu
seperti pada waktu kini.
Namun, kesepakatan itu tidak berlangsung lama. Setelah kematian
Mesilim, raja baru Umma merobohkan stele itu dan menganeksasi daerah
yang dipertikaikan (yang mengisyaratkan bahwa yang menyebabkan damai
sementara itu adalah ketakutan kepada Mesilim, bukan hormat kepada dewa
Sataran). Umma menguasai daerah itu selama dua generasi; kemudian seorang
raja Lagash yang berjiwa militer bernama Eannatum merebutnya kembali.
Kita mengetahui lebih banyak tentang Eannatum daripada tentang
banyak raja Sumeria lainnya karena ia sangat gemar inskripsi dan monumen.
Ia mewariskan salah satu monumen Sumer yang paling terkenal, Stele Burung
nasar. Pada bilah batu itu skenario-skenario gaya komik menunjukkan
kemenangan Eannatum terhadap Umma. Barisan demi barisan orang
Eannatum berjalan, dengan mengenakan topi baja dan bersenjatakan
perisai serta tombak, menginjak mayat orang-orang mati. Burung-burung
nasar mencocok bangkai mayat yang telah rusak dan terbang pergi dengan
membawa kepada mereka. ”Ia menumpuk mayat-mayat itu di datarandataran”, demikian bunyi sebuah inskripsi, ”dan mereka berlutut, menangisi
nyawa mereka.”3
Stele Burung Nasar menunjukkan sebuah seni berperang yang maju.
Pasukan Eannatum tidak hanya bersenjatakan perisai tetapi juga kapak perang dan pedang sabit; mereka bersenjata seragam, yang menunjukkan bahwa
konsep sebuah bala tentara yang terorganisasi (dibanding segerombolan pejuang lepas) telah berlaku; mereka berjalan dalam barisan yang rapat yang
kemudian akan terbukti mematikan bagi negara-negara yang dilalui oleh
Aleksander Agung; dan Eannatum sendiri ditampilkan mengendarai sebuah
kereta perang, yang ditarik oleh binatang yang agaknya seekor bagal.*∗
Eannatum dari Lagah menggunakan angkatan perang yang terorganisasi
dengan baik itu untuk menyerang bukan saja Umma tetapi secara praktis setiap kota lainnya di dataran Sumeria. Ia menyerang Kish; ia menyerang kota
Mari; dengan tetangganya, ia menyerang orang Elam yang melakukan invasi.
Setelah menjalani hidup yang penuh peperangan, tampaknya ia mati dalam
pertempuran. Saudara lelakinya mengambil alih tahta menggantikannya.
Selama tiga atau empat generasi, Lagash dan Umma berperang
mempertikaikan letak tepatnya garis perbatasan mereka, sebuah pertengkaran
dalam negeri yang sengit dan berdarah yang sesekali terputus oleh serbuan gerombolan orang Elam yang melanggar masuk. Raja Umma berikutnya
membakar stele-stele, baik stele Mesilim maupun Stele Burung Nasar yang
pongah; hal itu pada dasarnya tidak ada maknanya, karena kedua stele itu
batu belaka, tetapi mungkin melegakan perasaannya. Saudara lelaki Eannatum
menyerahkan mahkota Lagash kepada anak lelakinya, yang kemudian
digulingkan oleh seorang perebut.4
Sekitar seratus tahun setelah mulai, pertikaian itu masih berlangsung.
Lagash waktu itu diperintah oleh seorang raja bernama Urukagina. Urukagina,
iBarat sosok Jimmy Carter masa Timur Tengah purba, adalah raja pertama
Sumeria yang memiliki kesadaran sosial. Kekuatan ini sekaligus merupakan
titik lemahnya.
Perang melawan Umma bukan satu-satunya masalah yang dihadapi Lagash.
Serangkaian inskripsi dari masa pemerintahan Urukagina menggambarkan ke
dalam keadaan semacam apa kota itu terpuruk. Kota itu seutuhnya dijalankan oleh imam-imam dan orang kaya yang korup, dan kaum lemah serta
papa hidup dalam kelaparan dan ketakutan. Wilayah kuil, yang semestinya
digunakan atas nama rakyat Lagash, telah diambil oleh perangkat pegawai
kuil yang tak berhati nurani untuk kepentingan mereka sendiri, seperti wilayah taman nasional yang direbut oleh perambah yang tamak. Para pekerja
harus mengemis untuk mendapat makanan, dan para magang tidak diupah
serta mengais di tempat sampah untuk mencari sisa makanan. Para petugas
menuntut upah tambahan untuk segalanya dari mencukur bulu domba putih
sampai penguburan jenazah (jika Anda ingin menguburkan ayah Anda, Anda
perlu menyediakan tujuh gelas besar bir dan 420 potong roti untuk pelaksana
penguburan). Beban pajak telah menjadi sedemikian tak tertahankan sehingga
orang tua terpaksa menjual anaknya sebagai budak untuk membayar hutang
mereka.5
”Dari tapal batas sampai ke laut, para pemungut pajak ada”, bunyi
keluhan pada sebuah inskripsi, suatu pernyataan frustrasi yang mengandung
gema yang agaknya berasal dari zaman itu.6
Urukagina membubarkan sebagian besar dari pemungut pajak dan
menurunkan jumlah pajak. Ia meniadakan biaya tambahan untuk pelayananpelayanan dasar. Ia melarang petugas dan imam untuk menyita tanah
atau harta milik seseorang sebagai pembayaran hutang, dan menawarkan
pengampunan kepada para penghutang. Ia memangkas birokrasi Lagash,
yang menggembung karena posisi-posisi yang diciptakan (termasuk di
antaranya juru perahu kepala, pengawas penangkapan ikan, dan ”penyelia
gudang gandum”). Tampaknya ia juga membatasi kekuasaan imam dengan
memisahkan fungsi keagamaan dan fungsi keduniaan, dan dengan demikian
persis mencegah jenis kekuasaan yang telah memungkinkan Mesilim untuk
mendirikan stele atas kekuasaan dewa Sataran: ”Di mana pun dari tapal batas
ke tapal batas lainnya”, demikian tutur penulis kroniknya, ”tak seorang pun
berbicara lagi tentang imam-hakim ... Imam tidak lagi menyeruak ke kebun
milik orang rendahan”.7
Cita-cita Urukagina adalah memulihkan Lagash ke keadaan keadilan yang
diharapkan oleh para dewa. ”Ia membebaskan penduduk Lagash dari riba ...
kelaparan, pencurian, pembunuhan”, tulis juru kroniknya. ”Ia mengukuhkan
amagi. Janda dan yatim piatu tidak lagi di bawah kesewenangan yang berkuasa:
untuk merekalah Urukagina melakukan perjanjian dengan Ningirsu”.8 Amagi:
tanda cuneiformnya agaknya berarti kebebasan dari ketakutan, kepercayaan
bahwa hidup warga Lagash dapat diatur dengan suatu undang-undang yang
pasti dan tak berubah, dan bukan oleh gejolak kemauan yang berkuasa. Hal
itu, sembari terbuka untuk diperdebatkan, merupakan kemunculan pertama
gagasan ”kebebasan” dalam bahasa tertulis manusia; amagi, yang secara
harfiah berarti ”kembali kepada ibu”, menggambarkan keinginan Urukagina
untuk memulihkan Lagash kepada keadaan yang lebih bersih seperti pada
masa sebelumnya. Lagash pada masa Urukagina harus menjadi kota yang
mengindahkan keinginan dewa-dewa, khususnya dewa kota Ningirsu. Lagash
harus menjadi seperti pada masa sebelumnya, kembali ke masa silam yang
diidealkan. Sudah sejak zaman yang sangat tua, nostalgia akan suatu masa
silam yang bersinar dan tak pernah ada berjalan seiring dengan reformasi
sosial.*∗
Dalam hal itu tidak ada banyak keuntungan untuk Urukagina sendiri.
Sungguh mustahil, dengan jarak hampir lima ribu tahun, untuk mengetahui
apa yang ada dalam benak orangnya, tetapi tindakan-tindakannya
menunjukkan dia sebagai seorang yang diresapi kesalehan yang mengatasi
gagasan keuntungan politis apa pun. Kelurusan moral Urukagina terbukti
merupakan suatu pembunuhan diri politis. Pemangkasan yang ia lakukan
terhadap tindak-tindak penyalahgunaan para imam menjadikannya tidak
populer untuk badan keagamaan. Yang lebih serius, tindakan-tindakannya
demi kaum miskin menjadikannya tidak populer untuk para hartawan kotanya
sendiri. Setiap raja Sumeria memerintah dengan bantuan dewan lapis ganda
para tua-tua dan orang-orang muda, dan dewan tua-tua tentu saja dijejali
dengan kaum pemilik tanah yang kaya di kota itu. Orang-orang ini, para lugal
(”kepala keluarga besar”) kota Lagash, telah dikritik secara sangat pedas dalam
inskripsi-inskripsi Urukagina karena memeras tetangga mereka yang miskin.9
Mereka tidak mungkin menanggung deraan publik itu tanpa rasa dengki.
Sementara itu, tahta Umma, musuh bebuyutan Lagash, telah diwarisi oleh
seorang yang tamak dan ambisius bernama Lugalzaggesi. Ia mengirim pasukannya ke Lagash dan menyerangnya, dan jatuhlah kota Urukagina.
Penaklukan kota tampaknya berjalan dengan gampang, dengan sedikit
sekali perlawanan dari warga kota. ”Ketika Enlil, raja daerah-daerah, telah
menyerahkan kekuasaan daerahnya kepada Lugalzaggesi”, maklumat
dari inskripsi kemenangan itu, ”[dan] telah mengarahkan pandangan
matanya ke daerah dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, [dan]
telah menaklukkan semua bangsa kepadanya ... Tanah itu bergembira ria
di bawah pemerintahannya; semua kepala suku Sumer ... membungkuk di
depannya”.10 Bahasa inskripsi ini mengisyaratkan bahwa imam-imam bukan
saja dari Lagash tetapi juga dari Nippur, kota suci Enlil, bekerja sama dengan
sang penakluk.11 Imam-imam Nippur yang berkuasa tidak mungkin merasa
bergairah dengan penyunatan kekuasaan imami sampai ke daerah Selatan; itu
pasti menjadi preseden yang sangat buruk. Dan seandainya dewan tua-tua
secara nyata tidak membantu penggulingan Urukagina, yang pasti mereka
tidak melawan dengan gigih untuk membelanya. Reformasi yang ia lakukan
telah mendatangkan kesudahan yang dahsyat untuk karier politiknya dan
mungkin juga untuk hidupnya sendiri.
Sebuah cerita yang ditulis oleh seorang juru tulis yang yakin akan kebaikan
Urukagina menjanjikan bahwa raja yang baik itu akan dibalaskan: ”Karena
orang Umma menghancurkan batu bata Lagash”, demikian peringatan juru
tulis itu, ”mereka melakukan dosa kepada Ningirsu; Ningirsu akan memotong
tangan-tangan yang diangkat melawan dia.” Catatan itu berakhir dengan
suatu permohonan kepada dewi pribadi Lugalzaggesi sendiri, bahwa bahkan
dewi itu pun menimpakan akibat dari dosanya kepada Lugalzaggesi.12
Dipacu oleh kemenangan yang mudah terhadap Lagash, Lugalzaggesi
menebarkan jalanya ke sasaran yang lebih luas. Ia menghabiskan dua puluh
tahun untuk merambah jalannya ke seluruh Sumer. Menurut ceritanya sendiri,
wilayahnya terbentang ”dari Laut Bawah, sepanjang Tigris dan Efrat sampai
ke Laut Atas”.13 Menyebutnya sebagai sebuah kekaisaran mungkin merupakan
suatu tindakan yang berlebihan. Sumbar Lugalzaggesi bahwa ia memerintah
sampai ke Laut Atas mungkin suatu acuan kepada suatu serangan tunggal
yang menyeruak jauh ke Laut Hitam.14 Tetapi tidak ada persoalan bahwa
Lugalzaggesi sudah melakukan usaha yang paling ambisius untuk meraih
kota-kota Sumer yang tersebar itu ke dalam kekuasaannya.
Sementara Lugalzaggesi meninjau kekaisaran barunya dengan punggungnya terarah ke Utara, datanglah pembalasan.
D K, seorang petugas minuman bernama Sargon membuat
rencana sendiri untuk membangun sebuah kekaisaran.
Sargon adalah seseorang yang sosoknya antara ada dan tiada. Dalam inskripsi yang mentarikhkan kelahirannya, suara Sargon berkata:
Ibuku seorang yang ditukar saat lahir, ayahku tak kukenal,
Saudara lelaki ayahku gemar akan perbukitan,
Rumahku di dataran tinggi, tempat rerumputan tumbuh.*
Ibuku mengandungku secara diam-diam, ia melahirkan aku dengan sembunyi-sembunyi..
Ia menaruhku di sebuah keranjang gelagah,
Ia mengunci lidah-lidahnya dengan ter.**
Ia membuang aku ke sungai, tetapi aku tidak tenggelam.
Aliran sungai membawaku kepada Akki, si penimba air,
Ia mengangkatku keluar dari air ketika ia membenamkan gucinya ke air,
Ia mengambilku sebagai anak, dan membesarkanku,
Ia menjadikan aku sebagai juru kebunnya.1
Kisah kelahiran ini tidak menuturkan apa pun tentang asal usul Sargon.
Kita tidak mengetahui rasnya atau nama kecilnya. Nama ”Sargon” tidak membantu juga, karena nama itu ia pakai untuk dirinya kemudian. Dalam
bentuk aslinya, Sharrum-kin, nama itu hanya berarti ”raja yang sah” dan (seperti kebanyakan ungkapan protes terhadap keabsahan) menunjukkan bahwa
ia terlahir sama sekali tanpa hak atas klaim sedikit pun.*
Jika ia berasal dari dataran tinggi, mungkin sekali ia seorang Semit, bukan
Sumeria. Orang Semit dari Barat dan Selatan telah berbaur dengan orang
Sumeria di dataran Mesopotamia sejak awal masa pemukiman; seperti yang
telah kita catat sebelumnya, puluhan kata pinjaman dari bahasa Semit muncul dalam tulisan Sumeria yang sangat awal, dan raja-raja Kish yang paling
awal memiliki nama Semit.
Sungguhpun demikian, terdapat pemilahan nyata antara orang Sumeria
dari Utara dan orang Semit yang kebanyakan tinggal di sebelah Utara. Kedua
ras itu merunut leluhur mereka ke suku yang berlainan, yang mengembara ke
Mesopotamia, lama sebelumnya, dari bagian bumi yang berlainan. Sebuah
bahasa Semit yang terkait dengan bahasa-bahasa yang lebih muda di Israel,
Babylon, dan Assyria, digunakan di daerah Utara; di Selatan, penduduk kotakota Sumeria berbicara dan menulis dalam bahasa Sumeria, sebuah bahasa
yang tidak terkait dengan satu bahasa lain pun yang kita ketahui. Bahkan
di daerah-daerah di mana orang Sumeria dan orang Akkadia berbaur, suatu
pemilahan rasial masih terjadi. Ketika pada satu setengah abad sebelumnya
Lugulannemundu dari Adab mengusir orang Elam dan untuk beberapa waktu
menyatakan dirinya sebagai penguasa atas ”keempat penjuru” Sumer, para
pemimpin ketiga belas kota yang bersatu melawan dia semuanya memiliki
nama Semit.2
Tetapi kisah Sargon tidak menegaskan asal usul Semitnya, karena orang
itu berhati-hati untuk mengaburkan detail-detail asal usul darahnya. Ia
mengklaim bahwa tidak mengenal ayahnya, yang dengan rapi menyingkirkan masalah leluhur yang dina atau pengkhianat. Ibu yang ”ditukarkan saat
ia lahir” juga sama-sama kaburnya. Barangkali wanita itu suatu ketika telah
mengganti identitasnya. Mungkin ia meninggalkan kehidupan duniawi untuk
memeluk peranan keagamaan (sebagian penerjemah memilih untuk menerjemahkan kata itu sebagai ”imam wanita”), atau berhasil naik dari suatu kelas
rendah ke kelas yang lebih tinggi, atau bermukim di antara orang-orang dari
ras yang berbeda.
Apa pun asal-usulnya, ibu yang menukarkannya saat lahir itu tidak berbagi asal usulnya dengan anaknya. Dengan meninggalkan anaknya di sungai, ia menyerahkan identitasnya kepada peluang yang muncul. Peristiwa ditarik
dari air itu pun membawa gema yang bergaung kemudian dalam tulisantulisan, baik karya orang Ibrani maupun orang Kristiani; orang Sumeria berpikir bahwa sungai memisahkan mereka dengan kehidupan setelah mati, dan
bahwa melalui air menghasilkan suatu perubahan kehidupan yang hakiki.
Setelah ditarik dari air, Sargon mengenakan persona dari orang tua angkatnya.
Orang yang menyelamatkannya, Akki, memiliki nama Semit; Sargon menjadi
seorang Semit. Akki bekerja di istana raja Kish; ia membesarkan anak angkatnya untuk menjadi juru kebun raja.
Ketika Sargon sudah tumbuh menjadi dewasa, ia telah naik jauh lebih
tinggi. Menurut daftar raja Sumeria, ia telah menjadi ”petugas minuman UrZababa”, raja Sumeria kota Kish.3
Petugas minuman zaman kuno tidak sekedar penyaji minuman. Inskripsiinskripsi Sumeria tidak melukiskan tugas petugas minuman, tetapi di
Assyria, pada masa yang tidak lama sesudahnya, petugas minuman adalah
orang kedua setelah raja sendiri. Menurut Xenofon, petugas minuman tidak
hanya mencicipi santapan raja tetapi juga membawa segel raja, yang memberinya hak untuk memberikan persetujuan raja. Ia adalah pengatur orang
yang menghadap raja, yang berarti bahwa ia mengendalikan kemungkinan
bertemu dengan raja; petugas minuman raja-raja Persia, tulis Xenofon dalam
Pendidikan Cyrus, ”memegang jabatan untuk menerima ... mereka yang memiliki urusan dengan [raja], dan menolak mereka yang menurut dia tidak
perlu diterima.”4
Petugas minuman memiliki kekuasaan yang sedemikian
besar sehingga ia diminta mencicipi anggur dan makanan raja, bukan untuk
melindungi raja terhadap kemungkinan diracuni (petugas minuman adalah
seorang petugas yang terlalu berharga sebagai perisai nyawa), tetapi supaya
petugas minuman sendiri tidak tergoda untuk meningkatkan kekuasaannya
dengan meracuni tuannya.
Sementara Sargon mengabdi Ur-Zababa di Kish. Lugalzaggesi sibuk
mengirim pasukan penyerang dan mencaplok bagian-bagian dari wilayah
Sumeria ke dalam wilayah kerajaannya. Sementara Sargon membawa piala
raja, Lugalzaggesi menyerang Lagash dan mengusir Urukagina; ia menduduki
Uruk, kota mendiang Gilgamesh, dan mencaploknya ke dalam wilayah kekuasaannya. Sesudah itu, seperti yang dilakukan oleh setiap penakluk Sumeria,
Lugalzaggesi mengarahkan pandangannya ke Kish, kota permata di dataran
itu.
Sebuah fragmen cerita menuturkan apa yang terjadi sesudahnya. ”Enlil”,
tutur fragmen itu, ”memutuskan untuk menghapus kesejahteraan istana”.
Dengan kata lain, Lugalzaggesi adalah penyerang; Enlil adalah dewa pribadinya. Ur-Zababa, ketika mengetahui bahwa pasukan si penakluk tengah mendekati kotanya, menjadi sedemikian takut sehingga ia ”memerciki tungkainya”. Di hadapan serangan yang datang mengancam, ia ”takut seperti ikan
menggelepar di air payau”.5
Ketidaktentuan itu diperparah oleh kecurigaan Ur-Zababa yang semakin
besar terhadap petugas minumannya. Ada sesuatu dalam pembawaan diri
Sargon yang membuat dia bertanya-tanya (dan ada dasar pembenarannya)
apakah orang kedua yang ia percayai sesungguhnya berada pada pihaknya.
Maka ia mengutus Sargon kepada Lugalzaggesi dengan sebuah pesan pada
papan lempung. Pesan itu, yang kelihatannya merupakan suatu usaha untuk
berdamai, sebenarnya mengandung permintaan agar musuhnya membunuh
si pembawa pesan. Lugalzaggesi menolak permintaan itu dan terus maju
menuju Kish.
Bagian cerita ini mungkin layak diragukan. Kisah-kisah tentang Sargon
sangat diperindah oleh raja-raja Assyria sesudahnya, yang mengklaim dia
sebagai leluhur mereka yang agung; tentu saja bagian berikutnya dari cerita itu, di mana istri Lugalzaggesi menyambut Sargon dengan menawarkan
“kewanitaannya sebagai pelindung”, merupakan bagian dari sebuah tradisi
sangat panjang yang menggambarkan para penakluk besar sebagai lelaki yang
seksualitasnya sangat menggoda. Namun, serangan ke kota Kish sendiri mengisyaratkan bahwa Sargon tidak sepenuhnya mendukung rajanya. Lugalzaggesi
melangkah dengan jaya ke kota Kish sementara Ur-Zababa terpaksa melarikan diri. Sargon, yang diperkirakan sebagai tangan kanan Ur-Zababa, tidak
tampak batang hidungnya.
Agaknya, sementara Lugalzaggesi tengah merayakan kemenangannya,
Sargon sedang menghimpun sebuah bala tentara sendiri (yang mungkin
diambil dari pasukan Ur-Zababa dengan pemilihan yang cermat selama
bertahun-tahun sebelumnya) dan melangkah menuju Uruk; ini dapat kita
simpulkan karena cerita-cerita tentang pertempuran itu menyatakan bahwa
Lugalzaggesi tidak berada di sana, ketika Sargon pertama kali muncul di cakrawala, dan kotanya direbut secara tak terduga. “Ia memporakporandakan kota
Uruk”, tutur inskripsi kemenangan Sargon, “menghancurkan temboknya dan
berperang melawan penduduk Uruk serta menaklukkan mereka”.6
Lugalzaggesi, ketika mendengar berita tentang serangan itu, meninggalkan Kish dan menuju kembali ke kotanya untuk menghancurkan ancaman
terhadap kekuasaannya itu. Tetapi kini Sargon sudah tak dapat dihentikan.
Ia menghadang Lugalzaggesi di medan, menangkap dia, memasang kuk
pada lehernya, dan mengaraknya sebagai tawanan ke kota suci Nippur. Di
Nippur, ia memaksa raja yang kalah itu untuk melangkah sebagai tawanan
melewati gerbang khusus yang dipersembahkan kepada Enlil: dewa yang
kepadanya Lugalzaggesi telah bersyukur atas kemenangan-kemenangannya, dewa yang telah memberi Lugalzaggesi hak untuk ”menggembalakan” seluruh
wilayah itu. Itu merupakan penghinaan yang pahit. Dua dasawarsa setelah
penaklukan Lagash, kutukan Urukagina akhirnya melayang ke rumah dan
bertengger di sana.
Sargon langsung mengambil gelar sebagai raja Kish. Pada inskripsi yang
sama yang melukiskan penaklukan Lugalzaggesi, ia mencatat bahwa ia melangkah ke Selatan, menaklukkan kota Ur, menghancurkan Umma, dan
menyapu seluruh perlawanan orang Sumeria yang masih tersisa dalam suatu
perjalanan yang menaklukkan semuanya ke Selatan sampai Teluk Parsi. Di
sana ia ”membasuh senjatanya di laut” dalam suatu tindakan kemenangan
yang misterius.
Penaklukan seluruh dataran Mesopotamia yang dilakukan Sargon secara relatif cepat itu mencengangkan, mengingat ketidakmampuan raja-raja
Sumeria untuk mengendalikan suatu wilayah yang lebih luas daripada dua
atau tiga kota. Kombinasi dari kekuatannya sendiri dan kelemahan Sumeria
telah mencondongkan perimbangan untuk keuntungan-nya. Bala tentaranya lebih kuat daripada Sumeria sebagai pihak yang mempertahankan diri,
karena mereka menggunakan busur dan panah secara besar-besaran. Karena
langka-nya kayu, busur merupakan senjata yang tidak lazim di Sumer; Sargon
tampaknya memiliki sebuah sumber kayu eru, yang mengisyaratkan bahwa
sudah sangat dini ia melebarkan jangkauannya ke Pegunungan Zagros, tepat
di sebelah Timur Teluk. Pasukannya tampaknya juga telah mengubah formasi.
Bila Stele Burung Nasar dan Panji-Panji Ur menunjukkan tentara-tentara bersenjata membentuk gugus-gugus, dan bergerak agak serupa dengan barisan
tentara dari masa sesudahnya, tentara Sargon tampak dalam pahatan-pahatan
sebagai pasukan yang lebih ringan, menyandang beban yang lebih enteng dan
lebih lincah dan leluasa bergerak di seluruh medan pertempuran untuk menyerbu dan kemudian membentuk formasi kembali sesuai keinginan.7
Tambahan lagi, orang Sumeria mungkin dilumpuhkan oleh keretakan
dalam kota mereka. Kota-kota Sumeria, tepat sebelum penaklukan itu menderita akibat kesenjangan yang kian besar antara kelompok elite pemimpin
dan pekerja miskin. Penindasan yang dengan sumpah Urukagina hendak perbaiki merupakan gejala wajar dalam suatu masyarakat di mana para aristokrat,
yang merangkul kaum imam, menggunakan kekuasaan keagamaan yang dipadukan dengan kekuasaan duniawi untuk mengklaim sebanyak tiga perempat dari wilayah di kota mana pun untuk mereka sendiri. Penaklukan wilayah
itu yang dilakukan secara relatif mudah oleh Sargon (belum lagi keluhannya
yang tidak habis-habisnya akan latar belakang dirinya yang bukan aristokrat)
mungkin menjelaskan ajakannya yang berhasil kepada anggota masyarakat
Sumeria yang tertindas untuk memihak kepadanya.Apa pun kontribusi kelemahan Sumeria dalam keberhasilan penaklukan
itu, hasilnya adalah suatu hal yang baru. Sargon melakukan sesuatu yang
belum pernah dihasilkan oleh seorang pun raja Sumeria; ia mengubah suatu
koalisi lepas dari beberapa kota menjadi suatu kekaisaran.*
B , wilayah baru itu perlu dikendalikan.
Sebagai bagian dari strateginya untuk memerintah kota-kota yang bertebar luas, Sargon membangun sebuah ibu kota baru, Agade; dari ejaan nama
kota itu, Akkad, dalam bahasa Ibranilah kekaisarannya mendapat nama.**
Sisa-sisa Agade belum ditemukan, tetapi kota itu mungkin terletak di dataran
Sumeria Utara, barangkali di dekat kota Baghdad dewasa ini, di leher botol
di mana terletak kota Sippar. Dari posisi itu, yang sedikit ke Utara dari Kish,
Sargon dapat mengendalikan lalu lintas sungai dan mengawasi kedua ujung
kerajaannya.
Di dalam kerajaan itu orang Sumeria segera merasa seperti hidup sebagai
orang asing di kota mereka sendiri. Orang-orang Sargon adalah orang Semit
dari dataran Utara. Dialek mereka, yang kemudian dikenal sebagai bahasa
Akkadia, adalah bahasa Semit. Adat istiadat dan logat bicara mereka tidak
sama dengan yang digunakan orang Sumeria Selatan. Ketika Sargon merebut
sebuah kota, kota itu menjadi kubu orang Akkadia, yang stafnya terdiri dari
orang Akkadia dan garnisunnya terdiri dari pasukan Akkadia.
Berbeda dengan pendahulu-pendahulunya, Sargon bisa bertindak kasar
kepada penduduk asli. Ketika Lugalzaggesi menaklukkan Kish, ia mengklaim
sebagai penguasa besar tetapi tidak menyingkirkan pegawai Sumeria, para
lugal, yang menjalankan birokrasi Kish. Bagaimana pun, mereka adalah orang
seasal dia juga dan ia membiarkan mereka tetap menduduki jabatan mereka
sejauh mereka bersedia mengganti sumpah loyalitas. Sargon tidak memiliki
kelunakan semacam itu. Ketika ia menaklukkan sebuah kota, ia mengganti
pemimpin kota itu dengan orangnya sendiri. ”Dari laut di atas sampai laut
di bawah”, demikian bunyi inskripsinya, ”para keturunan Akkad memegang
pimpinan kota.” Orang Akkadia Semit, yang telah lama berbaur dengan orang
Sumeria, kini berkuasa atas mereka. Agade sendiri memiliki garnisun tetap
beranggotakan lima ribu empat ratus prajurit yang ”diberi makan setiap hari”
di depan raja. Ada ribuan lagi tersebar di seluruh Mesopotamia.Setelah dataran Mesopotamia berada dalam kekuasaannya, Sargon
mulai membangun suatu kekaisaran yang terbentang melampaui wilayah
Mesopotamia. Ia memimpin serdadu-serdadu itu dalam pertempuran demi
pertempuran; ”Sargon, raja Kish”, bunyi salah satu papan inskripsinya, ”menang dalam tiga puluh empat pertempuran”.9
Ia menyeberangi Tigris dan
merebut tanah orang Elam, yang sebagai pengganti tampaknya memindahkan
pusat kerajaan mereka dari Aswan ke Susa yang sedikit lebih jauh letaknya,
di mana terletak ibu kotanya. Ia menyerbu terus ke Utara ke kota Mari,
yang dapat ia rebut, dan kemudian masih menyerbu lebih lanjut ke daerah
sebuah suku Semit lain, yang lebih liar dan lebih tidak menetap daripada
sukunya sendiri Akkadia: orang Amorit, yang bermukim di sepanjang daerah
di sebelah Barat Laut Kaspia. Sambil terus berperang di sepanjang Tigris, ia
mencapai dan menaklukkan kota kecil di Utara bernama Assur, yang telah
menjadi pusat pemujaan dewa Ishtar selama barangkali tiga ratus tahun sebelum kelahiran Sargon. Sesudah itu ia bahkan menyerbu lebih jauh ke Utara
dan menguasai kota yang sama kecilnya Nineweh, seratus lima puluhan kilometer lagi. Nineweh adalah sebuah pos luar yang terpencil; dari titik pantau
di Utara itu anak-anak-nya mengawasi seluruh daerah taklukan liar di Utara,
sementara Agade tetap menjadi titik pengawasannya untuk daerah Selatan.10
Sargon mungkin bahkan telah menyerbu Asia Kecil. Sebuah cerita dari
masa yang lebih kemudian, ”Sargon, Raja Peperangan”, melukiskan perjalanannya ke kota Purushkanda, yang penduduknya mengirim pesan kepadanya
untuk meminta pertolongan melawan Nur-daggal, raja setempat yang kejam.
Dalam sanjak-sanjak yang masih ada, Nur-daggal meremehkan kemungkinan
bahwa Sargon akan muncul:
Ia tidak akan datang jauh-jauh ke sini.
Tebing sungai dan air pasang akan menghalangi dia,
Gunung-gemunung akan merintangi jalannya dengan onak dan duri.
Begitu kata-kata itu terlepas dari mulutnya, Sargon menghantam hancur gerbang kotanya:
Nur-daggal belum selesai berbicara,
Ketika Sargon mengepung kotanya,
dan mengangakan gerbangnya seluas satu hektar!11
Apakah Sargon sesungguhnya mencapai Purushkhanda, cerita itu mengungkapkannya. Ia tentu tampak tak dapat dihentikan seperti tank, berada
secara hampir-hampir magis di seluruh wilayah dunia yang diketahui. Ia mengklaim bahwa telah menyerbu jauh ke Barat sampai ke Laut Tengah,12
dan bahkan membanggakan diri dengan mengendalikan kapal-kapal dari
Meluhha (Indus), Magan (di Arabia Selatan), dan Dilmun (di pantai Timur
Teluk).
Untuk mengendalikan bentangan wilayah yang seluas itu diperlukan sebuah bala tentara yang menetap; orang-orang yang “makan roti„ di hadapan
Sardon setiap hari itu mungkin merupakan tentara profesional pertama dalam
sejarah. Mengendalikan bangsa yang bermacam ragam itu dalam kekuasaannya
juga menuntut kadar kecerdikan keagamaan tertentu, yang memang dimiliki
Sargon secara melimpah. Ia memberikan penghormatan kepada cukup banyak dewa setempat yang penting yang ia jumpai, membangun kuil-kuil di
Nippur seperti seorang Sumeria yang baik, dan menjadikan anak perempuannya sebagai imam agung wanita dewi bulan Ur.
Catatan-catatan dari istana Sargon menunjukkan bahwa kekaisaran ini
memiliki birokrasi yang jauh berbeda dengan apa yang sudah dikembangkan sampai saat itu di Sumer. Sargon berusaha menetapkan standar berat dan
ukuran di wilayah kekuasaannya; ia juga menciptakan sebuah sistem pajak
bergaya Mesir, yang dijalankan oleh pegawai negara yang mengelola keuangan
kekaisaran.13 Dan strategi politisnya mencakup lebih dari pajak dan administrasi. Ia membentuk perwakilan dari wangsa penguasa lama di istananya,
sebuah taktik yang akan menjadi baku untuk kekaisaran-kekaisaran yang jauh
lebih muda waktunya; wakil-wakil itu, yang secara mencolok disambut dengan penghormatan berkat asal-usul mereka yang luhur, sebenarnya merupakan sandera untuk kelangsungan baik kota-kota mereka.14
Strategi itu menyibakkan garis lemah yang terus berlanjut di dalam kekaisarannya. Kerajaan yang terbentang luas itu selalu berada di ambang
pemberontakan.
Daftar raja Sumeria menyatakan pemerintahan Sargon berlangsung selama
lima puluh enam tahun. Menjelang akhir pemerintahannya, ketika ia barangkali berusia di atas tujuh puluh tahun, pecahlah sebuah pemberontakan yang
berat. Inskripsi-inskripsi Babilon Tua mencatat bahwa “para tua-tua negeri“,
yang sudah dipangkas kekuasaannya, berkumpul dan menjejali Kuil Inanna
di Kish.
Sargon, tentu saja, mengklaim bahwa ia telah menggilas seketika pemberontakan itu. Tetapi menurut catatan-catatan Babilon Tua (yang diperkirakan
dari masa yang jauh dan pada umumnya anti-Sargon), sekurang-kurangnya
satu pertempuran melawan para pemberontak itu sedemikian jeleknya sehingga orang tua itu akhirnya bersembunyi di sebuah parit sementara para
pemberontak melaju lewat.15 Memang tidak diragukan bahwa, hampir seketika setelah Sargon wafat, anak lelakinya Rimush harus melakukan serangan melawan suatu koalisi pemberontak dari lima kota yang mencakup Ur, Lagash,
dan Umma.16 Rimush berkuasa selama kurang dari sepuluh tahun dan wafat
secara mendadak. Sebuah inskripsi masa kemudian mengatakan bahwa ia dibunuh oleh hamba-hambanya.
Walaupun terdapat pertikaian setelah kematian Sargon itu, keturunan
Sargon tetap menguasai tahta Agade selama lebih dari seratus tahun—jauh
lebih lama daripada dinasti Sumeria mana pun. Kekaisaran Akkadia dipertahankan kesatuannya oleh lebih daripada kharisma saja. Birokrasi dan
administrasi Sargon, seperti yang ada di Mesir, akhirnya menyediakan untuk
Mesopotamia sebuah struktur yang dapat mempertahankan kesatuan bahkan ketika tahta beralih dari ayah yang besar kepada anak lelakinya yang
berjuang.
M”, dari mana kapal-kapal tiba untuk berdagang dengan
Sargon Yang Agung adalah India, di mana suatu peradaban besar telah
tumbuh. Tetapi dari peradaban yang besar itu tidak ada satu tokoh pun yang
masih terkabar.
Dalam kurun tujuh ratus tahun yang terjadi antara Manu Vishnu dan
Sargon, desa-desa di sepanjang Indus telah menjadi sebuah jaringan kota.
Orang-orang yang mendiami kota-kota itu terkait, tidak terlalu jauh, dengan
orang Elam. Seperti halnya orang Amorit dan orang Akkadia merupakan
keturunan dari kelompok orang-orang yang sama yang bermigrasi,
demikianlah para penduduk asli lembah Elam di sebelah Utara Laut Arab
dan orang-orang yang membangun kota-kota di sepanjang Indus tampaknya
berasal dari rumpun asli yang sama.
Hanya itulah seluruh hal yang kita ketahui. Apa yang tersisa dari
peradaban kota Indus, yang pada umumnya disebut ”peradaban Harappa”,
dari kota Harappa (salah satu dari situs-situs paling purbanya yang ditemukan),
terdiri dari reruntuhan kota, berbagai macam cap yang digunakan untuk
mengidentifikasikan barang-barang dagangan, dan inskripsi-inskripsi singkat
yang tak seorang pun bisa membacanya, karena aksaranya belum dapat
diuraikan sandinya. Kedua kota Harappa yang paling luas adalah Harappa
sendiri di cabang Utara Indus dan Mohenjo-Daro, lebih jauh ke Selatan.*∗
Dengan mengerahkan imajinasi kita dapat menggambarkan kota-kota itu
didiami oleh tukang, pedagang, dan pekerja, semuanya tanpa sosok, tetapi
peradaban Harappa sendiri tidak memiliki catatan perang, pendudukan,
pergulatan kekuasaan, atau kisah pahlawan.
Hal itu mungkin tidak merepotkan khususnya para ahli antropologi
dan arkeologi, tetapi merisaukan sejarawan tiada habisnya. ”[Kita memiliki]
sejarah lengkap dengan perkiraan waktu, kota-kota, industri-industri, serta
kesenian”, keluh John Keay, ”tetapi sama sekali tidak memiliki peristiwa yang
tercatat ... [dan] kecuali beberapa tulang yang tidak sangat membantu, tidak
ada sosok manusia.” 1
Kita dapat berspekulasi bahwa kota memiliki raja; salah
satu dari satu-satunya gambaran yang memiliki ciri khas yang ditemukan
di dalam reruntuhan adalah patung seorang lelaki berjanggut, mengenakan
jubah berhias dan tutup kepala, matanya setengah tertutup dan wajahnya
tanpa ekspresi. Mungkin ia adalah raja Mohenjo-Daro, di mana gambarnya
ditemukan. Kota itu memiliki sederetan bangunan yang tampaknya adalah
barak-barak, atau perkampungan hamba, yang menyarankan bahwa seorang
raja atau seorang imam-raja mungkin memerlukan seperangkat staf untuk
melakukan urusan-uruannya.2
Tetapi mungkin tidak ada raja sama sekali. Tidak
ada papan lempung, naskah yang ditulis pada papyrus, atau suatu percontoh
lain dari adanya pencatatan di antara reruntuhan Harappa, walaupun sistem
penulisan (apa pun itu) tampaknya mampu untuk menghasilkannya.3
Dan
cukup sulit membayangkan bagaimana para imam, raja, dan birokrat dapat
melakukan urusan mereka tanpa merasa perlu mencatat hal-hal yang mereka
lakukan.
Dengan atau tanpa birokrasi, pedagang-pedagang Harappa memperdagangkan barang mereka secara meluas. Cap-cap Harappa muncul di
reruntuhan Ur, yang berasal dari masa ketika Sargon memerintah kota itu.
Barangkali kedua peradaban itu bertemu pertama kali di Arab tenggara, di
mana kedua pihak membeli tembaga dari tambang-tambang di Magan, dan
kemudian mulai melakukan perdagangan mereka sendiri. Ur, yang letaknya
dekat ujung Teluk Parsi, merupakan pusat yang masuk akal untuk pertukaran
barang dagangan India dan Akkadia. Pedagang-pedagang India dapat
menghindari barisan pegunungan Kirthar, yang merintangi dataran Utara,
dengan berlayar keluar dari Indus ke Laut Arab, melewati Teluk Oman, ke
Utara ke Teluk Parsi, dan dari sana ke Efrat. Sebuah pos perdagangan Harappa
telah ditemukan di Sutkagen Dor, yang
letaknya hampir di dalam wilayah Elam.
Mungkin sekali kedua kebudayaan
memiliki sekurang-kurangnya suasana
damai untuk melakukan usaha.
Selama beberapa waktu Harappa
dan Mohenjo-Daro dikira sebagai
dua kota Harappa yang satu-satunya.
Tetapi kini lebih dari tujuh puluh
kota Harappa telah ditemukan, yang
tersebar dari muara Indus ke hampir
sepanjang sungai-sungai di Utara, dari
Sutkagen Dor di Barat sampai sungai
Narmada di Timur. Peradaban Harappa
mungkin mencakup wilayah seluas tiga
perempat juta kilometer persegi.4
Kota-kota itu rendah dan luas,
terbuat dari bata lumpur yang dibakar
menjadi keras dalam tungku. Rumahrumahnya, jarang yang lebih tinggi
dari dua tingkat, berderet sepanjang
jalan-jalan yang dirancang dengan
baik, yang cukup lebar untuk dilewati
dua gerobak sapi yang berpapasan.5
Bangunan-bangunan gudang, yang
mungkin merupakan lumbung untuk bahan makanan penduduk, terletak
di dekat kota-kota yang paling besar; Mohenjo-Daro dan Harappa mungkin
menopang kehidupan penduduk yang jumlahnya masing-masing sekitar tiga
puluh ribu jiwa.
Penduduk kota-kota itu tampaknya sangat mementingkan kebersihan.
Jalan-jalan dilengkapi dengan selokan dan sistem penyaluran air limbah;
rumah-rumah pada umumnya dilengkapi dengan kamar mandi; dan salah
satu ciri khas kota-kota besar ialah adanya tempat-tempat mandi besar
seukuran kolam renang yang dikelilingi kamar-kamar kecil, mungkin tempat
berganti pakaian. Tak seorang pun dapat mengatakan dengan pasti apakah
perhatian orang Harappa akan kebersihan bersifat keagamaan atau sematamata pribadi. Reruntuhan kota-kota Harappa tidak meninggalkan untuk para
ahli arkeologi satu bangunan pun yang dapat mereka identifikasikan dengan
pendapat bulat sebagai sebuah kuil.
Ciri paling khas kota-kota Harappa adalah adanya benteng, yakni bagian
dari bangunan yang dikelilingi tembok dan menara penjagaan. Pada umumnya
lebih banyak rumah lagi yang tersebar menjauh dari benteng, kebanyakan ke
arah Timur. Mengelilingi seluruh kota terdapat sebuah tembok tebal lagi yang
terbuat dari bata lumpur. Andai kata tembok itu dibobol, penduduk masih
dapat mengungsi ke benteng, yang merupakan tempat perlindungan terakhir
mereka.
Hal itu membuat kita bertanya-tanya: apakah yang sedemikian ditakuti
orang Harappa sehingga mereka memerlukan lapis tembok? Baik orang
Sumeria maupun orang Elam tidak pernah mengirim pasukan ke Timur sejauh
itu. Juga tidak terdapat bukti akan adanya suku-suku pengembara yang ganas
di wilayah itu. Namun kedua tembok itu tinggi dan tebal, dengan benteng
dan menara penjagaan yang dibangun untuk menghalau musuh.
Mungkin pertahanan yang berlapis itu memberi kita petunjuk tentang
sifat orang Harappa.
Telah lama diduga bahwa kota berbenteng merupakan suatu perkembangan
alami dari desa-desa yang telah berurat berakar di lembah hampir seribu tahun
sebelumnya. Namun terdapat suatu kemungkinan lain. Empat puluh lima
kilometer dari Mohenjo-Daro, di tepi sebelah lain Indus, terdapat sebuah
kota yang dikenal sebagai Kot Diji. Penggalian yang cermat lapisan-lapisan
pemukiman itu menunjukkan bahwa pada abad-abad sebelum kota-kota
Harappa berkembang menjadi besar, tembok-tembok Kot Diji berulangulang diperkuat untuk menahan serangan. Pada tahun-tahun awal kekuasaan
Harappa, tembok-tembok itu masih dibangun kembali. Kemudian suatu
kebakaran besar menghanguskan seluruh kota dan menghancurkan tidak
hanya tembok-tembok kota tetapi bahkan kota itu sendiri. Sebuah kota yang
baru dibangun di atas Kot Diji lama. Kota itu memiliki jalan-jalan yang
lebar, selokan dari bata, rumah-rumah dengan kamar mandi. Itu sebuah kota
Harappa, dan polanya tidak sama dengan pola kota yang terdapat di tempat
itu sebelumnya.6
Kot Diji bukan satu-satunya situs yang tampak menunjukkan suatu
pengambilalihan dengan kekerasan pada masa kota-kota Harappa. Di Amri,
di sisi Indus yang sama dengan letak Mohenjo-Daro tetapi seratus lima puluh
kilometer ke Selatan, sebuah pemukiman yang sangat tua secara mendadak
ditinggalkan oleh separuh dari penduduk desa itu. Di atas reruntuhan lama
muncullah sebuah kota Harappa, dengan jalan-jalan yang lebar, selokan dari
bata, dan rumah-rumah dengan kamar mandi.
Di Kalibangan, jauh di Utara dan tidak begitu jauh dari Harappa, sebuah
kota lama yang masih dalam keadaan baik ditinggalkan oleh penduduknya.
Di atas reruntuhan kota yang ditinggalkan itu muncul sebuah kota Harappa,
dengan jalan-jalan yang lebar, selokan dari bata, dan rumah-rumah dengan
kamar mandi.7
Jejak-jejak dari suatu kejadian peperangan sulit ditemukan. Namun pola
itu mengisyaratkan sesuatu; peradaban Harappa, pada saat menyebar, tidak
selalu berupa sebuah perkembangan organik. Sekurang-kurangnya untuk
sejumlah kota, penyebaran itu terjadi melalui suatu pengambilalihan oleh
suatu segmen orang India yang gemar berperang. Karena menilai orang lain
berdasarkan dirinya sendiri (atau mungkin karena takut akan pembalasan),
mereka membangun tembok berlapis untuk menahan serangan dan
pembalasan.
Pengambilalihan dengan senjata tidaklah istimewa, tetapi persebaran
arsitektur Harappa memang suatu hal yang aneh. Bahkan dalam bentangan
pemukiman seluas tiga perempat juta kilometer persegi, kota-kota Harappa
sungguh serupa secara mencolok. Rancangan besar kota-kota itu sama,
dengan benteng yang terpisah dari gugus-gugus rumah dan toko, dan selalu di
sebelah Barat. Rumah-rumah dan toko-toko, atau ”desa yang rendah”, ditata
di sekitar jalan-jalan yang direncanakan dengan cermat. Tergantung pada
tingkat kepadatan lalu lintas yang diperkirakan harus didukungnya, jalanjalan dirancang sebagai jalan nadi lalu lintas (mau tak mau selebar delapan
meter), jalan biasa (enam meter lebarnya atau tiga perempat lebarnya jalan
nadi), atau jalan samping (empat meter lebarnya, atau setengah dari lebarnya
jalan nadi). Arah jalan-jalan, mau tak mau, lurus dari Utara ke Selatan atau
dari Timur ke Barat, dalam pola kisi-kisi yang terancang. Kota-kota itu
menggunakan patokan berat yang distandarkan, hal yang tidak sedemikian
aneh, karena kekaisaran Akkadia Sargon telah mulai merambah ke arah
yang sama; yang sedikit lebih aneh ialah bahwa upaya penstandaran itu juga
diterapkan untuk bata lumpur yang digunakan sebagai bahan bangunan, yang
mulai menyesuaikan diri dengan dimensi yang tepat sama: 17,5 cm x 15 cm
x 30 cm.8
Hal itu sungguh praktis, seperti yang dapat ditegaskan oleh seseorang
yang telah membuat bangunan Legos, tetapi hal itu juga menegaskan adanya
suatu konformitas yang anehnya cukup kuat, yang ditegakkan dengan suatu
cara yang tak diketahui. John Keay menyebutnya ”keseragaman obsesif”, dan
mencatat bahwa hal itu bahkan diterapkan pada perkakas pembangunan dan
piranti tukang, yang disusun ke dalam sebuah ”piranti terstandar” yang akan
langsung dikenali sedari pantai Laut Arab hingga jauh ke Utara di pelosok
Punjab.
Sangat mungkin bahwa pola kehidupan sehari-hari berbeda dari kota ke
kota. Persebaran peradaban Harappa bukanlah padanan purba yang tepat dari
Invasi Borg.*∗
Tetapi kemiripan di antara kota-kota yang terpisah secara luas
itu tentu menuntut komunikasi yang dekat (kalau bukan pemaksaan), dan
walaupun demikian tak satu pesan pun yang tertinggal bekasnya untuk kita.
Selama periode itu aksara Harappa (apa pun bunyinya) juga terstandar dalam
bentuknya itu dan, mungkin saja, dalam penggunaannya.
Namun itu tidak meninggalkan satu pesan pun untuk kita. Kota-kota
Harappa tinggal tanpa tokoh bersosok. Kalau mereka dapat disamakan
dengan Borg, letaknya ialah pada tiadanya suara yang muncul sebagai Aku
dari hamparan kolektif pengalaman Harappa
G A R I S WA K T U 1 4
MESOPOTAMIA INDIA
Dinasti Purba I (2900-2800)
Desa-desa petani tumbuh di sepanjang Indus
Dinasti Purba II (2800-2600)
Gilgamesh
Peradaban Harappa menyebar di sepanjang
Dinasti Purba III (2600-2350) Indus dan sampai jauh ke Punjab
Lugulannemundu (sek. 2500)
Mesilim
Lugalzaggesi Urukagina
(Umma) (Lagash)
Perdagangan dengan Mesopotamia
Periode Akkadia (2334-2100)
Sargon Kematangan peradaban Harappa
Rimush
S , Mesir tengah mengalami masalah yang sebaliknya: terlalu
banyak tokoh, semuanya ingin diingat untuk selamanya.
Khufu, pembangun Piramida Besar, digantikan mula-mula oleh anak lelaki
sulungnya, yang tidak memerintah cukup lama untuk membangun apa pun
secara khusus, dan kemudian oleh anak lelaki berikutnya, Khafre. Khafre memerintah selama enam puluh enam tahun menurut Manetho dan lima puluh
enam tahun menurut perhitungan Herodotus.*∗
Berdasarkan perhitungan
yang mana pun, ia menduduki tahta untuk waktu yang sangat lama.
Menurut tuturan Herodotus, Khafre ”berperilaku dengan cara yang sama”
dengan perilaku ayahnya. Seperti Khufu, ia mencurahkan begitu banyak
energi untuk membangun sehingga ia melalaikan dewa-dewa dan tidak membuka kembali tempat-tempat pemujaan. ”Orang Mesir sedemikian membenci
Chephren [Khafre] dan Cheops [Khufu] sehingga mereka sungguh-sungguh
tidak suka menyebutkan nama mereka”, tambah Herodotus.1
Tindakan kejam
mana pun yang digunakan Khufu dalam membangun piramidanya diulang
kembali selama pemerintahan anaknya. Piramida Khafre sendiri, yang disebut Piramida Kedua, hanya sepuluh meter lebih rendah daripada Piramida
Besar. Tetapi dengan lihai Khafre membangunnya di lahan yang lebih tinggi,
sehingga pengunjung yang tidak begitu memperhatikan akan terkecoh dan
mengira bahwa Piramida Kedua lebih tinggi.
Ia juga meninggalkan sebuah monumen spektakuler lain: Sphinx, sebuah
pahatan misterius dari batu kapur, sebagian singa dan sebagian elang, dengan
wajah manusia (mungkin gambaran Khafre sendiri, walaupun terdapat banyak
perdebatan tentang hal ini). Makhluk raksasa itu menatap ke Timur. Benda
itu biasanya diacu sebagai sebuah patung yang dibuat dari ”cadas hidup”, yang semata-mata berarti bahwa patung itu dipahat pada sebuah cadas yang sudah
menonjol di tempat itu, dan bukan dibangun di tempat lain dan kemudian
dipindahkan ke sana.
Asal usul sosok sphinx sama sekali tidak diketahui. Kelak, orang Yunani
mengisahkan cerita-cerita yang bagus tentang sosok ini, yang sama sekali
tidak beredar pada milenium ketiga. Khafre sendiri bahkan mungkin telah
menciptakan sosok itu, karena satu-satunya sphinx yang mungkin lebih tua*∗
adalah sebuah sphinx kecil wanita yang ditemukan di reruntuhan makam
anak sulungnya Djedefre yang tidak selesai. Tidak ada kemungkinan untuk
mengetahui apakah sphinx ini berasal dari zaman Djedefre, atau diletakkan
di sana kemudian.2
Seperti halnya Piramida Besar, Sphinx juga telah memunculkan teori-teori
sinting sendiri: ia berasal dari 10.000 SM dan dibangun oleh suatu peradaban
maju yang telah lenyap; ia dibangun oleh makhluk Atlanta (atau alien); ia
menampilkan sebuah tanda zodiak, atau sebuah titik pusat energi global.
Penjelasan yang begitu melantur sama sekali tidak perlu. Elang diidentifi-
kasikan dengan Horus, sedang singa diidentifikasikan dengan matahari dan
dengan demikian dengan dewa matahari Ra, dan dewa sejawat Ra yakni Amun
(ini adalah suatu dewa setempat yang kemudian diidentifikasikan dengan Ra,
terkadang sebagai dewa majemuk Amun-Ra). Memiliki sebuah patung setengah singa, setengah elang, yang menjaga tempat di mana jiwa Anda akan
berada secara abadi, adalah mengklaim perlindungan dewa-dewa Mesir yang
paling berkuasa. Menambahkan wajah Anda sendiri pada patung itu adalah
mengklaim identitas mereka. Nama “sphinx” adalah sebuah lafal rusak dalam
bahasa Yunani; nama Mesir aslinya untuk sosok itu adalah mungkin “shesepankh”, atau “gambar yang hidup”.3
Barangkalai Khafre perlu menciptakan sebuah bukti baru keilahiannya,
karena, seperti yang diisyaratkan oleh Herodotus, orang Mesir telah menjadi
jemu dengan tuntutan para penguasa mereka yang menekan. Sesungguhnya,
Khafre adalah pembangun terakhir sebuah opiramida besar dan penguras
terakhir energi rakyatnya. Anak lelakinya Menkaure dipaksa berhemat dan
mengubah perilaku.
Herodotus menuturkan bahwa, sesuai dengan tradisi Mesir, Menkaure
membuka kembali kuil-kuil dan tempat-tempat pemujaan Mesir, mengangkat
rakyatnya dari kesengsaraan yang telah ditimpakan kepada mereka oleh para
pendahulunya, dan memerintah rakyatnya dengan murah hati.*∗
Piramida
Menkaure merupakan bukti tambahan dari adanya perubahan: Piramida
Ketiga tingginya hanya tujuh puluh tujuh meter, separuh ukuran piramida
Khufu. Bangunan itu masih memerlukan penggunaan sumber daya yang luas,
tetapi tidak lagi menuntut jam kerja manusia seperti yang diperlukan untuk
piramida-piramida sebelumnya.
Perilaku Menkaure yang relatif baik hati, demikian jelas Herodotus, timbul dari kesadaran; ia “tidak menyetujui apa yang telah dilakukan ayahnya.
”
4
Mungkin Menkaure memang menolak arsitektur monumental dari ayah
dan kakeknya. Namun, sebesar itu pula kemungkinannya bahwa ia sekadar
mematuhi apa yang tak dapat dihindari: merosot-nya kemampuan pharaoh
dari Dinasti Keempat untuk menuntut ketaatan massa besar pekerja Mesir
sebesar yang diperlukan untuk membangun sebuah Piramida Besar. Jika ia
curiga bahwa terdapat ancaman pemberontakan, maka penghematan publik,
yang mengarah kepada perilaku belas kasih, bukan saja lihai tetapi bahkan tak
dapat dielakkan.
Bangunan itu pun tahan. Piramida-piramida besar Dinasti Keempat, yang telah menjadi wakil seluruh sejarah Mesir untuk sedemikian banyak mahasiswa, menjulang sebagai obyek menarik di bentangan pemandangan Mesir;
tidak ada pharaoh selanjutnya yang melebihinya. Para pharaoh telah menguji
batas-batas kekuasaan ilahi mereka, dan telah mencapai akhirnya. Menkaure
tidak dapat memaksakan pelayanan tanpa bertanya yang sama dengan yang
dilakukan ayah dan kakeknya.
Penemuan batas-batas kekuasaan ilahi tampaknya telah menyebabkan kemerosotan yang meningkat dalam kekayaan pharaoh, seakan-akan pengakuan
Menkaure tentang keterbatasannya telah memicu Mesir turun ke lereng yang
licin dan berakhir dalam suatu genangan anarki.
Cerita tradisional tentang pemerintahan Menkaure, yang disampaikan
kepada Herodotus oleh imam-imam di Memphis, mengisyaratkan bahwa
Menkaure merasa terjepit. Dewa-dewa begitu tidak puas dengan pemerintahan
Menkaure sehingga mereka mengirim sebuah pesan kepadanya: Menkaure
akan mati sebelum tahun ketujuh pemerintahannya berakhir. Terhadap hal
itu Menkaure menjadi geram. Ia merasa sangat tidak adil bahwa Khufu dan
Khafe, yang telah
Menutup tempat-tempat pemujaan, mengabaikan dewa-dewa, dan menghancurkan kehidupan banyak orang, telah hidup selama begitu banyak
tahun, sedangkan seseorang yang takut akan dewa seperti dirinya akan
mati demikian cepat. Pesan kedua datang dari peramal, yang menjelaskan
bahwa justru karena ia seorang yang takut akan dewa itulah hidupnya
akan dipersingkat—bahwa ia tidak berperilaku seperti yang semestinya.
Mesir ditentukan untuk menderita selama seratus lima tahun, dan kedua
pendahulunya telah memahami hal itu, sedangkan dia tidak.5
Kisah hukuman yang sangat