elum Hammurabi (s. 1750 SM) bersifat problematis. Bahkan naiknya
Hammurabi mengandung unsur kekeliruan sekitar lima puluh tahun pada
kedua sisinya, dan ketika kita kembali ke tahun 7000 SM unsur kekeliruan
itu mendekati lima atau enam ratus tahun. Sebelum 7000 SM penetapantanggal terjadi dengan bebas-bagi-siapa-saja secara sopan. Menulis tentang sesuatu yang terjadi dari awal waktu sampai sekitar 4000 SM bertambah rumit
lagi karena terdapat berbagai sistem yang dianut untuk menandai masa-masa
”prasejarah”, dan tak satu pun di antaranya yang sejalan dengan lainnya, tambahan lagi sekurang-kurangnya satu di antaranya benar-benar menyimpang.
Saya memilih untuk menggunakan sebutan tradisional SM dan M untuk
tanggal. Saya mengetahui mengapa banyak sejarawan memilih menggunakan
sebutan SMM dan MM dalam usaha untuk menghindari penyajian sejarah
yang seluruhnya didasarkan atas titik pandang Yahudi-Kristiani, tetapi menggunakan SMM sambil tetap menghitung dengan bertolak pada kelahiran
Kristus menurut hemat saya adalah sia-sia juga.
Belum setelah kematiannya—ketika para raja
Mesir tengah berjuang untuk mengukuhkan wibawa ilahi mereka sendiri—
raja Sumeria Gilgamesh telah menjadi seorang pahlawan legendaris. Ia telah
membunuh Raksasa Mahabesar, yang disingkirkan dengan Ketetapan Langit,
menolak langkah-langkah romantis dewi Inanna, dan melangkah masuk ke
taman dewa-dewa, di mana keharuman kebakaannya mencengangkan dewa
matahari sendiri. Berkat Epik Gilgamesh (cerita epik paling tua yang kita ketahui), pribadi Gilgamesh yang historis masih bergema sampai ke zaman kita,
lima ribu tahun setelah kematiannya.
Hubungan antara Gilgamesh sebagai tokoh kesusastraan dan sebagai
tokoh historis tidak berbeda dengan hubungan antara tokoh Macbeth dalam
karya Shakespeare dan Maormor Macbeda yang membayar dengan nyawanya
kejahatannya membunuh raja dan dan sanak saudaranya sendiri pada tahun
1056. Kehidupan nyata memberikan semacam papan lenting untuk suatu
cerita yang luar biasa dan lebih luas daripada kehidupan sendiri; inti dari orangnya sendiri tetap hidup, diagungkan, didistorsikan, tetapi pada hakikatnya
tetap benar.
Jauh lebih mudah mengisolasikan kejadian-kejadian historis dalam
Macbeth. Salah satu sebabnya adalah bahwa detail-detail kehidupan nyata
Maormor Macbeda dilukiskan oleh banyak sumber lain. Namun, di luar
cerita Epik, kehidupan Gilgamesh dicatat hanya oleh beberapa inskripsi,
yakni daftar raja Sumeria dan satu atau dua puisi. Cerita tentang misi damai
Agga kepada Gilgamesh yang tanpa hasil, yang dikutip pada bab sebelumnya,
adalah salah satunya; puisi itu ditulis dalam bahasa Sumeria dan mungkin
sekali dicerita-kan secara lisan selama beberapa dasawarsa (atau abad) sebelum
dituliskan pada papan lempung. Eksemplar yang kita miliki berasal dari sekitar
2100 SM, ketika raja Ur menunjuk seorang juru tulis untuk menuliskan cerita Gilgamesh. Raja itu, seorang bernama Shulgi, ingin memiliki catatan
tentang kehidupan raja besar itu karena ia mengklaim Gilgamesh sebagai
nenek moyangnya (yang mungkin sekali berarti bahwa Shulgi adalah seorang
perebut tanpa adanya hubungan sama sekali dengan Gilgamesh).1
Puisi-puisi
itu berasal dari masa yang jaraknya cukup dekat dengan masa hidup Gilgamesh,
sehingga kita dapat (dengan hati-hati) mengajukan teori bahwa puisi-puisi
itu memang mengandung sebagian fakta tentang tindakan-tindakan sang raja
yang historis.
Cerita Epik juga mengandung hal semacam itu, tetapi memilah-milahnya
jauh lebih rumit.
Silakan meninjau sebuah percontoh dari Epik Gilgamesh di toko buku
di tempat Anda, maka Anda akan melihat bahwa Epik itu terdiri dari enam
cerita yang saling berhubungan, seperti cerita-cerita pendek bersambung
yang bersama-sama membentuk sebuah novel. Yang pertama adalah “Kisah
Enkidu”, di mana Gilgamesh berkenalan dengan monster yang dikirim oleh
dewa-dewa untuk menjinakkannya; yang kedua, “Perjalanan ke Hutan Aras”,
di mana ia mengalahkan Humbaba; yang ketiga, “Ketetapan dari Langit”,
di mana Gilgamesh membuat marah dewi Inanna dan Enkidu menderita karenanya; yang keempat, “Perjalanan Gilgamesh”, di mana ia mencapai
negeri Utnapishtim yang baka, tokoh Nuh Sumeria yang tetap hidup setelah selamat dari Air Bah Besar; yang kelima, “Cerita tentang Air Bah”, yang
dituturkan oleh Utnapishtim kepada Gilgamesh; dan yang keenam, “Upaya
Gilgamesh”, di mana Gilgamesh berusaha secara sia-sia untuk menemukan
kehidupan abadi—atau sekurang-kurangnya pulihnya masa mudanya—dan
gagal. Kemudian sebuah catatan akhir meratapi kematian Gilgamesh.
Versi enam bab yang rapi tentang petualangan Gilgamesh ini tidak hanya
sedikit mengecoh. Epic itu disalin berulang kali ke papan lempung, yang
wajar saja bila pecah menjadi berkeping-keping. Kepingan-kepingan yang
tersebar di wilayah Timur Tengah kuno itu ditulis dalam sejumlah bahasa,
dari bahasa Sumeria hingga bahasa Assyria, dan dibuat antara 2100 dan 612
SM. Salinan-salinan tertua dalam bahasa Sumeria, yang berasal dari masa
juru tulis Shulgi, hanya memuat dua cerita pertama dan ratapan penutup.
Tidak dapat lagi diketahui apakah keempat cerita lainnya merupakan bagian
dari seluruh rangkaian itu sejak semula dan kemudian hilang, atau apakah
merupakan tambahan dari masa kemudian. Beberapa bagian dari cerita
ketiga dan keempat, “Ketetapan dari Langit” dan “Perjalanan Gilgamesh”,
mulai muncul pada papan lempung bersama kedua cerita pertama antara
1800 dan 1500 SM, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Akkadia (bahasa
yang menyusul bahasa Sumeria, yang digunakan oleh mereka yang bermukim
di dataran sungai ketika kota-kota Sumeria memudar). Sekitar 1000 SM kepingan-kepingan keempat cerita muncul di sepanjang pantai Laut Tengah
dan tersebar di wilayah Asia Kecil. Cerita air bah, yang sudah terdapat dalam
berbagai versi jauh sebelum 2000 SM, mungkin dimampatkan ke dalam cerita
Gilgamesh sebagai cerita kelima, sekurang-kurangnya seribu tahun setelah
kematian Gilgamesh; cerita itu jelas terlepas dari cerita-cerita lainnya di dalam
epik. (“Duduklah dan dengarkan cerita yang akan aku tuturkan”, perintah
Utnapishtim kepada Gilgamesh, dan ia seketika mulai bercerita seakan-akan ia
tidak memiliki banyak kesempatan untuk menuturkannya sejak ia turun dari
kapal.) Dan satu-satunya hal yang dapat kita katakan tentang cerita “Upaya
Gilgamesh”, di mana ia menemukan dan kemudian kehilangan Pohon awetmuda, ialah bahwa cerita itu telah terhubung dengan cerita lainnya dalam
Epik pada 626 SM.
Itulah tanggal dari salinan tertua yang masih ada dari keenam cerita Epic
seutuhnya. Itu berasal dari perpustakaan Ashurbanipal, raja Assyria yang
berjiwa pustakawan. Ashurbanipal menjadi raja pada 668. Selama masa tiga
puluh tahun lebih sedikit masa pemerintahannya, ia menghancurkan Babylon,
membunuh saudara lelakinya sendiri (yang telah menjadi raja Babylon), dan
dipusingkan oleh seorang nabi Ibrani bernama Yunus yang gigih meneriakkan
bahwa Nineweh, ibu kota Ashurbanipal, kena kutuk. Ketika wafat pada 626,
Ashurbanipal juga telah mengoleksikan dua puluh dua ribu papan lempung ke
dalam perpustakan sejati pertama dunia. Dua belas buah papan di antaranya
memuat Epik Gilgamesh kurang lebih dalam bentuknya yang ada sekarang.
Jadi, hanya kedua cerita pertama yang, dalam batas-batas kepastian yang
ada, dapat ditempatkan dalam masa yang tidak jauh jaraknya dari masa kehidupan Gilgamesh. Kesulitan yang diakibatkan oleh kekuatan besar Gilgamesh
pada bawahan-bawahannya, perjalanannya ke Utara ke hutan aras, dan ratapan pada penguburannya: hal-hal itu dapat dipandang sebagai mencerminkan,
betapa pun terdistorsi, suatu kenyataan sejarah.
Lebih dari itu, hal-hal itu merupakan pusat yang tak diragukan dari epik
pertama dunia, di mana kematian dialami sebagai sekaligus kehancuran dan
pembebasan.
Dalam cerita pertama, “Kisah Enkidu”, raja Uruk memerintah secara tirani
kepada rakyatnya sampai mereka mulai bergumam:
Gilgamesh menyuarakan panggilan perang demi kesenangannya sendiri,
Kepongahannya tidak mengenal batas,
Tidak peduli siang, tidak peduli malam:
Ia merenggut anak lelaki dari haribaan ayahnya,
Walau seorang raja seharusnya menjadi gembala bangsanya.2
Martabat raja yang diberikan oleh dewa-dewa kepada Sumer, wibawa
kuat yang membantu kota-kota untuk tetap bertahan, telah meluber menjadi
tirani. Warga Uruk berseru kepada dewa-dewa untuk memohon pembebasan.
Sebagai jawaban, dewa-dewa membuat suatu ciptaan dari lempung bernama
Enkidu dan menurunkannya di padang belantara Sumer. Enkidu
tidak mengenal sedikit pun tanah yang diolah,
orang-orang yang berperadaban, atau pun peri hidup mereka,
tak mengenal sedikit pun kota-kota bertembok yang telah menjadi pusat
kebudayaan Sumer. Rupanya seperti seorang lelaki yang kuat dan mirip dewa,
tetapi berbuat seperti binatang, mengembara di padang-padang sambil makan
rumput dan hidup bersama binatang-binatang; pada kenyataannya, ia adalah
sebuah karikatur dari para pengembara yang selalu berselisih paham dengan
penduduk kota.
Ketika Gilgamesh mendengar berita tentang pendatang baru itu, ia mengirim seorang pelacur untuk merayu dia dan dengan demikian menjinakkannya.
(“Ia bertelanjang bulat-bulat,” tutur puisi itu). Tertaklukkan oleh strategi yang
cukup lugas itu, Enkidu melewatkan enam hari dan tujuh malam untuk memuaskan nafsu kedagingan. Ketika ia pada akhirnya bangkit dan berusaha
kembali hidup dengan binatang-binatang, hewan-hewan itu melarikan diri;
ia telah menjadi manusia.
Enkidu menjadi lebih kecil,
menjadi lemah, dan binatang-binatang buas lari dari padanya;
tetapi ia juga menjadi lebih luas,
karena kini kebijaksanaan telah diam padanya,
kini ia memiliki pikiran manusia.
Karena kini Enkidu telah memiliki pikiran manusia, ia harus pergi ke kota,
tempat tinggal yang tepat untuknya. Pelacur itu menawarkan untuk mengantarnya ke “kota Uruk yang bertembok kuat, di mana Gilgamesh memerintah
rakyatnya seperti banteng liar”.
Ketika mereka tiba di Uruk, Gilgamesh tengah mengacaukan sebuah
pernikahan dengan klaimnya atas hak penguasa, yang telah ia lakukan selama sekian banyak tahun: ”Raja Uruk minta menjadi lelaki pertama bersama
mempelai wanita”, catat Epik itu, sebagai “hak kelahirannya”. Enkidu, yang
menjadi geram terhadap penyalahgunaan kuasa itu, menghalangi langkahnya
ke ruang tidur mempelai wanita. Keduanya bertarung; pertarungan itu ketat,
dan lebih ketat daripada yang pernah dikenal Gilgamesh. Dan walaupun sang
raja akhirnya menang, ia juga sedemikian terkesan oleh kekuatan Enkidu sehingga keduanya mengangkat sumpah ikatan persahabatan. Itu menjinakkan
gelora tirani Gilgamesh. Rakyat Urut bernapas lega, ketika damai turun ke
jalan-jalan mereka.
Pergulatan itu tentu saja lebih dari sekadar pertarungan dengan bergulat.
Terjalin dalam seluruh cerita itu suatu ambiguitas Sumeria tentang martabat raja. Martabat raja adalah sebuah karunia dewa-dewa demi kelangsungan
hidup manusia; raja-raja semestinya menegakkan keadilan, mencegah yang
kuat agar tidak menjerumuskan yang lemah ke dalam kemiskinan dan kelaparan. Jelaslah bahwa seorang raja yang wajib menegakkan keadilan itu harus
cukup kuat juga untuk melaksanakan kehendaknya.
Tetapi kekuatan itu juga penuh bahaya, karena mampu menimbulkan penindasan. Dan ketika hal itu terjadi, rajutan kehidupan kota Sumeria mulai
melintir dan buyar. Di Uruk, raja adalah hukum, dan jika raja sendiri menjadi
busuk, kodrat hukum itu sendiri menjadi terdistorsi.
Hal itu cukup menakutkan untuk diulas secara tak langsung belaka.
Gilgamesh bertarung bukan melawan dirinya sendiri melainkan melawan
suatu makhluk dari luar tembok. Pergulatan di pintu kamar mempelai wanita
terjadi melawan gambar cerminan dirinya yang tak beradab; bagaimana pun,
enkidu telah diciptakan
sedemikian serupa dengannya seperti cerminan dirinya sendiri,
dirinya yang kedua, setara dengan hatinya yang menggelora dengan liar:
biarlah keduanya saling bertarung,
dan biarlah seisi kota menikmati kedamaian.
Cerita tentang perjalanan Gilgamesh ke hutan aras tidak terlalu berbeda.
Gilgamesh menunjukkan lagi kecenderungan untuk secara membabibuta
mengejar kemauannya sendiri.
Aku akan menaklukkan Raksasa Mahabesar,
Aku akan menegakkan keharuman namaku selamanya
katanya kepada dewan tua-tua Uruk. Mereka mencoba mengekang ambisinya:
Kamu masih muda, Gilgamesh.
Kamu dikendalikan oleh keinginan hatimu.
Raksasa itu tidak seperti manusia yang dapat mati.
Namun, karena Gilgamesh berkukuh, para tua-tua menyerah. Gilgamesh
dan Enkidu bersiap untuk memerangi raksasa, sementara Enkidu diserahi
tugas oleh para tua-tua untuk menjaga keselamatan sang raja.
Perjalanan Gilgamesh ke Utara didorong oleh keinginannya akan nama
harum, hasrat yang juga mendesak dia untuk mendorong rakyatnya ke peperangan. Tetapi sekali lagi, bahaya terhadap kedamaian Uruk ditampilkan
sebagai sebuah kekuatan dari luar. Yang jahat mengintai, bukan di dalam jiwa
raja, melainkan di hutan-hutan di Utara.
Di sana pun ada bahaya lain yang mengintai. Dalam cerita yang paling
awal ini pun Gilgamesh direpotkan oleh kematian. Bahkan sebelum berangkat ia merenungkan kefanaannya. Ia terdengar menyerah kepada apa yang tak
terelakkan:
Siapa yang dapat naik ke langit?
Hanya dewa saja yang hidup untuk selamanya.
Jumlah hari-hari manusia terbilang.
Tetapi bahkan jika aku jatuh pun aku akan meraih nama harum,
dan nama harum akan tinggal selamanya.
Tetapi kemungkinan bahwa ia akan jatuh dalam peperangan berkembang
di dalam pikirannya. Dalam perjalanan untuk menyerang Humbaba, Raksasa
Mahabesar, ia bermimpi tiga kali, dan setiap kali ia terbangun dengan berteriak, “Seorang dewa telah lewat; dagingku menggigil!” Mimpi ketiga adalah
yang paling menakutkan:
Terang siang hari meredup, kegelapan meluas,
Kilat menyambar, api berkobar,
Maut menghujan ke bumi.
Ia menjadi sedemikian takut dan ingin berbalik, tetapi Enkidu meyakinkannya untuk terus maju. Kemudian, pada malam menjelang pertempuran
dengan Humbaba, Gilgamesh tertidur sedemikian lelapnya sehingga Enkidu
baru berhasil membangunkan-nya sesaat saja sebelum waktu bertempur.
Berlawanan dengan firasat-firasat buruk itu, maut dapat dicegah. Pada akhir
cerita, Uruk selamat dan Raksasa Mahabesar mati terkapar. Tetapi pengakuan
Gilgamesh bahwa hari-harinya sudah terbilang dan ketakutan yang muncul
dari kefanaannya menjadi inti yang membentuk sisa dari cerita Epik itu sendiri. Manakala sisa cerita dibalikkan masuk ke dalam cerita, masing-masing
cerita menampilkan suatu kekhawatiran yang meningkat akan penurunan ke
alam kematian, dan tekad yang kian besar untuk menghindarinya. Gilgamesh
berangkat ke taman para dewa dengan harapan bahwa ia akan mampu, entah
bagaimana, untuk mengembalikan Enkidu yang sudah mati; ia mendengar
cerita tentang air bah sementara ia mencari sebab-sebab kebakaan; ia berhasil
menemukan Pohon Awet-Muda, yang akan menunda kematian kalau pun
tidak melenyapkannya, tetapi kemudian ia membiarkan pohon itu dicuri oleh
seekor ular air. Dalam perjuangannya untuk menghindari kematian ia membuat rencana, berkelana, mengemis, mencari; tetapi tidak pernah berhasil.*∗
Hal itu ternyata merupakan sesuatu yang sangat baik, sejauh menyangkut
orang-orang Sumeria. Ratapan penguburan yang menutup Epik itu
merupakan bagian asli dari ceritanya sejak awal mulanya. Bagian itu tidak
dimuat di dalam salinan Ashurbanipal, agaknya karena orang Assyria
memandang bagian akhirnya terlalu mengejutkan, terlalu berbeda dengan
upaya mengejar kebakaan yang ditampilkan pada bagian sebelumnya. Tetapi
ratapan itu merangkum kekhawatiran orang Sumeria tentang martabat raja
ke dalam serangkai baris, yang menampilkannya secara lebih lugas daripada
di bagian lain mana pun.
Engkau diberi martabat raja,
Hidup abadi bukanlah bagian nasibmu.
Engkau memiliki kekuasaan untuk mengikat dan melepaskan,
Kekuasaan terhadap rakyat,
Kejayaan di peperangan.
Tetapi jangan salahgunakan kuasa itu.
Perlakukanlah hamba-hambamu di istana dengan adil.
Raja telah membaringkan dirinya,
Ia telah berangkat ke pegunungan;
Ia tidak akan kembali lagi.
Musuh yang tidak bertangan dan tidak berkaki,
Tak minum air dan tak makan daging,
Menimpa berat-berat padanya.3
Di Sumer, Gilgamesh dipandang sebagai seorang dewa sejak kurun yang
sedemikian dekat masa hidupnya sendiri. Tetapi martabat kedewaannya, yang
agaknya ia peroleh berkat usahanya yang besar untuk kotanya (bagaimana
pun, adalah tugas baik raja maupun dewa untuk melindungi kota dan membuatnya masyhur) masih dibatasi oleh kematian. Seperti halnya Badar dalam
mitologi Norwegia yang jauh lebih muda, Gilgamesh bermartabat ilahi, tetapi
itu tidak begitu saja semakna dengan kebakaan.
Sesungguhnya, daya Gilgamesh yang luar biasa bahkan membuat
kematian menjadi lebih kekar. Kalau pun ia tetap tinggal jahat, kekuasaannya
pada akhirnya akan berakhir. Raja Sumer yang paling kuat pun mati. Musuh
yang tak berkaki dan tak bertangan itulah yang membatasi kekuasaan yang
menakutkan yang dapat memiliki akibat yang menguntungkan atau pun
merugikan rakyatnya. Dalam cerita epik pertama dunia, raja Gilgamesh
mengalahkan, melampaui daya tahan, atau meyakinkan semua musuhnya
dengan retorika, kecuali musuhnya yang terakhir.
K M, para pharaoh dari Dinasti Ketiga mulai membuat
versi mereka sendiri tentang upaya epik untuk mengalahkan kematian.
Dalam suasana yang relatif damai, pharaohh Djoser dari Dinasti Ketiga
awal melakukan ekspedisi sendiri ke tambang-tambang tembaga dan batu pirus
di Sinai.*∗
Birokrasi Mesir mulai mendapat bentuk yang tetap; Mesir dibagi
ke dalam provinsi-provinsi, masing-masing diawasi oleh seorang gubernur
yang melapor kepada wangsa kerajaan. Djoser melakukan perannya sendiri
dalam membangun kekaisaran, dengan mendorong perbatasan Selatan Mesir
sampai ke Katarak Pertama. Menurut sebuah tradisi dari masa kemudian yang
dicatat pada sebuah inskripsi di Aswan, ia membaktikan sebagian dari daerah
yang baru saja ia taklukkan kepada dewa setempat Khnum sebagai pernyataan
syukur atas berakhirnya masa tujuh tahun paceklik.1
“Tujuh” mungkin sekadar
ungkapan tradisional untuk “terlalu lama”; dalam arti mana pun, itu sangat
jauh untuk mendukung teori bahwa luapan air Nil yang berkurang telah
menimbulkan kesulitan untuk klaim pharaoh terhadap kuasa ilahi.
Pada masa Djoser, peran pharaoh sebagai peredam perubahan telah
terbentuk secara kokoh dalam ritual. Sebuah relief menampilkan Djoser
tengah mengambil bagian dalam sebuah festival yubileum, festival heb-sed, di
mana raja melakukan lari seremonial mengelilingi sebuah jalur lomba lari. Ia
diharapkan memenangkan kontes fisik itu, yang mengisyaratkan bahwa dalam
arti tertentu kekuatannya terkait dengan kebaikan negara. Memenangkan
lomba heb-sed menegaskan kembali kekuasaan pharaoh untuk melindungi
Mesir dan menjamin terjadinya pasang surut air secara tetap dan berkala.
Kenyataan bahwa orang Mesir merasakan perlunya suatu festival
pembaharuan mengisyaratkan suatu ketakutan tertentu bahwa kekuasaan
pharaoh mungkin memudar jika tidak dikuatkan kembali secara ritual.
Pharaoh tentu saja masih dipandang memiliki semacam martabat ilahi, tetapi
perjuangan kedua dinasti pertama telah membuat sisi manusiawinya menjadi
sangat kentara. Ketika suatu gagasan kehilangan sebagian dari daya aslinya yang
memukau, gagasan itu mulai dikelilingi ritual dan struktur, sebuah penegasan
pendukung yang tidak perlu sebelumnya. Dalam hal ini, kepemimpinan
kharismatis digantikan oleh suatu perangkat aturan dan suksesi. Penampakan
kekuasaan alami mulai dibekukan dalam festival; sisi moral pharaoh terhapus
dari penglihatan oleh pelaksanaan suatu kehendak nasional.
Ketika akhirnya Djoser wafat, ia tidak dikuburkan di pemakaman
tradisional di Abydos. Ia telah membangun makamnya sendiri jauh di Utara
di Saqqara. Ia juga meninggalkan makam tradisional Dinasti Kedua yang
terbuat dari bata lumpur. Makamnya harus dibuat dari batu dan harus tahan
selamanya karena makam itu bukan tempat keberangkatan untuk perjalanan
rohnya ke dunia berikutnya. Makam itu adalah suatu tempat di mana sang
pharaoh masih hidup.
Di sekeliling makam Djoser ditatalah sebuah kota lengkap untuk rohnya.
Sebuah jalur heb-sed dibangun di sebelah Selatan, sehingga raja dapat terus
berlomba-lari yang membuatnya awet muda. Di sekeliling kompleks makam,
dibuatlah bangunan-bangunan yang menampilkan dalam wujud batu bahanbahan untuk membangun rumah Mesir tradisional, yang dipahat agar
menyerupai anyaman buluh; beberapa pilar dibentuk seperti berkas-berkas
buluh; bahkan sebuah pagar kayu dengan pintu gerbang setengah terbuka
dipahat dari batu. Buluh dan kayu itu tak akan lapuk, melainkan tinggal
selamanya di bumi. Demikian juga roh sang pharaoh. Dalam sebuah bilik
kecil yang disebut serdab, duduklah sebuah patung Djoser dalam ukuran
sebenarnya, menghadap ke Timur, berbusana jubah putih dari batu kapur.
Dinding serdab memiliki dua lubang mata yang dibor, sehingga patung
pharaoh dapat memandang ke luar ke arah matahari terbit. Di bawah lubang
mata terdapat sebuah mazbah di mana para imam mempersembahkan
makanan; Djoser dapat berpesta secara rohani dari aromanya.
Jauh dari melakukan perjalanan ke dunia Osiris (dengan atau tanpa iringan
pegawai istana yang dikurbankan), sang pharaoh masih sepenuhnya hadir:
dengan menggunakan bangunan-bangunan, menyantap korban, memudakan
kembali dirinya dan Mesir dengan jalur lomba heb-sed. Tidak perlu lagi
mengurbankan pelayan-pelayan untuk kenyamanannya. Orang yang hidup
tetap dapat melayaninya di kota arwahnya.
Pada pusat kota arwah yang dibangun di atas makam itu sendiri berdirilah piramida pertama Mesir: Piramida Berundak. Enam tingkat balok batu
tegak menjulang serupa undakan ke ketinggian sekitar tujuh puluh meter. Di
bawahnya, terdapat lorong-lorong yang menuju ke makam keluarga raja, yang
digali di tanah di bawah lapisan terbawah.
Tampaknya Imhotep, wazir Djoserlah yang merancang, mendesain, dan
memimpin pembangunan struktur yang ganjil itu. Manetho menuturkan
bahwa Imhotep adalah orang pertama dalam sejarah yang mendesain
sebuah bangunan dari batu yang dipotong-potong. Kita tidak mengetahui
secara tepat apa yang mengilhami Imhotep untuk menciptakan makam
gaya baru itu, walaupun para ahli arkeologi mengisyaratkan bahwa bentuk
Piramida Berundak hanyalah suatu perluasan dari sebuah bentuk Mesir
purba. Kuburan-kuburan di Abydos beratapkan tutup atau bangunan dari
tembok batu dan puncaknya berbentuk bujur sangkar, yang disebut mastaba.
Piramida Berundak pada hakikatnya adalah sebuah mastaba raksasa dengan
lima mastaba yang lebih kecil yang disusun di atasnya. Mungkin Imhotep
mendesain sebuah makam mastaba raksasa sebagai pusat kompleks Djoser,
dan kemudian mulai menyusun mastaba-mastaba lain di atasnya.
Tetapi tidak terdapat alasan yang wajib untuk membuat mastaba bersusunsusun. Lebih besar kemungkinannya, Imhotep mengambil alih bentuk untuk
Piramida Berundak dari orang Sumeria, yang menggunakan kuil bertangga
yang disebut ziggurat untuk kebaktian mereka. Karena luasnya jangkauan
jalur perdagangan di dunia kuno, orang Mesir tentu melihat kuil-kuil itu
menjulang di langit Sumeria.
Fungsi ziggurat Sumeria sendiri tidak sepenuhnya jelas. Bangunan itu
mungkin telah didesain karena suatu kebutuhan. Di tempat-tempat yang
paling suci di Sumer, seperti di kota tua Eridu, kuil-kuil yang telah merosot
bangunannya digempur dan disegel secara seremonial di dalam sebuah
lapisan tanah dan lempung yang dipadatkan. Kemudian sebuah kuil baru
dibangun di atasnya. Jika itu dilakukan berulang kali, terbentuklah serangkai
landasan berundak-undak, masing-masing lapisannya dikelilingi sebuah
tembok penyangga agar tanahnya tidak bergeser. Mungkin saja dalam kurun
beberapa abad konstruksi berundak menjadi sebuah bentuk tersendiri yang
akhirnya diterima: dikeramatkan karena usianya, dan bermanfaat karena
puncak ziggurat tempat para imam melangsungkan ritual yang masih belum
jelas itu dekat dengan langit.*∗
Puncak ziggurat mungkin menjadi lapik kaki
bagi para dewa, tempat di bumi di mana mereka dapat meletakkan kaki
mereka.*†
Kita tidak mengetahui secara pasti apa yang dimaksudkan agar dilakukan oleh roh Djoser dengan Piramida Berundak itu, tetapi inovasi Imhotep
mendatangkan sejumlah kehormatan baginya. Sebuah patung Imhotep yang
berasal dari masa pemerintahan Djoser mendaftar gelar-gelarnya pada lapiknya; ia adalah Bendahara Raja Mesir Hilir, Orang Pertama sesudah Raja Mesir
Hulu, Penyelenggara Istana dan Imam Agung Heliopolis, pelayan dewa matahari.2
Setelah kematiannya, ia juga dihormati sebagai imam terbesar dan
orang paling bijak di Mesir. Tak lama sesudah itu ia didewakan sebagai dewa
kedokteran, sebuah bidang usaha lain yang diciptakan manusia untuk menangkis kematian.3
Piramida Berundak, yang pertama di antara piramida-piramida besar
Mesir, menunjukkan lebih banyak hal daripada sekadar usaha untuk
mendefiniskan ulang kematian sebagai tidak hadirnya tubuh dan hadirnya
roh. Itu menunjukkan awal sebuah kerajaan Mesir baru, sebuah kerajaan yang
damai dan bersatu dengan birokrasi yang tertata. Djoser hanya memerintah
selama sembilan belas tahun, yang secara relatif merupakan rentang waktu
yang pendek untuk sebuah proyek bangunan batu yang sedemikian besar.
Dalam sembilan belas tahun itu batu harus ditambang dengan perkakas dari
tembaga dan diangkut dari jarak yang cukup jauh; menurut Herodotus, batu
untuk piramida ditambang dari barisan pegunungan di sebelah Timur Mesir
dan di sebelah Barat Laut Merah.4
Piramida sendiri perlu dibangun oleh
suatu angkatan kerja laki-laki kekar yang terorganisasi yang dapat dibebaskan
dari pekerjaan bertani dan berperang. Pembangunan piramida memerlukan
kemakmuran, perdamaian, dan dana pajak; gelar “wazir” atau “kanselir” yang
disandang Imhotep mengisyaratkan bahwa pengawasan pemungutan pajak
merupakan bagian dari tugasnya. Untuk pertama kalinya Mesir memiliki
Penghasilan Dalam Negeri yang resmi.
Hanya sebuah negara yang kuat dan berkecukupan yang dapat mempekerjakan orang di tambang batu dan mampu memberikan makanan serta
pakaian untuk mereka. Mesir telah mencapai suatu tingkat kemakmuran dan
keteraturan tertentu. Oleh sebab itu, mulainya abad piramida juga menandai
awal suatu era baru dalam sejarah Mesir: “Kerajaan Tua Mesir”.
Terdapat sembilan usaha pembangunan piramida yang tetap lestari dalam
masa dua dinasti Kerajaan Tua pertama, di antaranya ada yang lebih berhasil
daripada lainnya, tetapi semua menampakkan kepiawaian manusia dan
sumber daya yang sama. Setelah Djoser, pharaoh berikutnya, Sekhemkher,
melakukan usaha besar yang sama. Tidak banyak yang kita ketahui mengenai
Sekhemkher selain bahwa ia tampaknya mengidap perasaan tidak aman;
dalam suatu pameran klasik “milikku lebih besar”, piramid Sekhemkhet
dirancang untuk naik setinggi tujuh undakan, bukan enam undakan seperti
piramida Djoser. Tetapi piramida Sekhemkhet tidak selesai. Ia wafat pada
tahun keenam masa pemerintahannya dan konstruksi Piramida Tak Selesai
terhenti pada lapisan pertama.
Raja keempat Dinasti Ketiga, Khaba, juga membangun sebuah piramida.
Piramida Berlapis Khaba dibangun bukan di Saqqara melainkan beberapa
kilometer lebih ke Utara, mungkin sudah memasuki daerah Kerajaan
Hilir, walaupun ketegangan antara kerajaan Utara dan Selatan pada waktu
itu tampaknya telah reda. Piramida itu (mungkin sekali) dirancang untuk
memiliki tujuh undakan, sehingga mencapai ketinggian yang lebih besar
daripada piramida Djoser. Cita-cita yang hendak diraih Khaba melampaui
daya jangkaunya; piramida ini pun tidak selesai. Piramid terakhir dari Dinasti
Ketiga, Piramida Meydum, juga tidak selesai; piramida ini dibangun oleh raja
terakhir Dinasti Ketiga, Huni, dan menurut rencana piramida ini memiliki
delapan undakan.
Berbeda dengan kedua piramida sebelumnya, piramida ini diselesaikan oleh raja pertama dinasti berikutnya. Dari sudut pandang kita, Dinasti
Keempat dapat dibedakan dengan Dinasti Ketiga terutama raja-raja Dinasti
Keempat akhirnya menyelesaikan dengan baik urusan piramida.
Snefru mulai karyanya dengan suatu gebrakan. Pertama, ia menyelesaikan
Piramida Meydum dan memasukkan beberapa inovasi. Salah satu contohnya, kamar pemakaman pada Piramida Meydum terletak di dalam piramida
sendiri, bukan di dalam tanah di bawah atau di dekat piramida, seperti yang
terdapat pada Piramida Berundak, Piramida Lapisan, dan Piramida Tak Selesai
yang mendahuluinya. Pada Piramida Meydum ia juga membuat sebuah jalur
pengantar—sebuah jalan lebar yang membentang ke bawah dari piramida ke
“kuil jenazah”, sebuah bangunan suci di sebelah Timur, menghadap matahari
terbit, di mana persembahan dapat dilakukan. Kedua inovasi ini tak lama
kemudian menjadi baku.
Hal yang paling menarik ialah usaha yang tampaknya dilakukan oleh
Snefru untuk melapisi Piramida Meydum dengan semacam pembungkus.
Keempat piramida pertama semuanya merupakan piramida berundak, yang
sisi-sisinya serupa dengan sisi ziggurat yang bertangga-tangga. Tetapi tumpuk
an puing di sekeliling Piramida Meydum menunjukkan bahwa para pekerja
berusaha menutup tangga-tangga dengan sebuah lapisan halus batu-batu yang
menutup sisi luarnya.5
Andai kata itu berhasil, Piramida Meydum akan menjadi piramida pertama bersisi halus yang lazim seperti yang kita kenal. Namun, arsitek Snefru
(yang kemudian tidak didewakan) tidak memiliki keterampilan yang dimiliki
Imhotep. Piramida itu runtuh. Bagian inti yang tersisa dari Piramida Meydum
masih mencuat seperti sebuah kue perkawinan yang separuhnya habis dimakan, dikelilingi oleh onggokan batu-batu runtuhan.
Tak seorang pun dimakamkan di piramida yang gagal itu. Demikian
pula, kuil kecil tak berjendela pada ujung jalur pengantar itu benar-benar
mengesankan sebagai prestasi yang spektakuler. Beberapa abad sesudahnya
seorang Mesir yang berjalan melewati kotak kecil yang tak menarik itu
menulisi “Kuil Indah Raja Snefru”, contoh pertama corat-coret sarkastis
dalam sejarah.
Snefru tidak menyerah. Tidak banyak yang kita ketahui tentang raja
pertama Dinasti Keempat ini, selain catatan-catatan tentang ekspedisi yang
sudah baku ke tambang-tambang di Sinai dan ke pelabuhan-pelabuhan dagang di Lebanon. (Terdapat juga sebuah cerita acak pada Papyrus Westcar
tentang suatu hari ketika Snefru, karena bosan, memerintahkan dua puluh
gadis yang paling cantik dari haremnya untuk mengantar dia dengan mendayung mengelilingi danau istana dengan hanya berpakaian jala ikan.) Tetapi ia
setidak-tidaknya gigih. Ia bangkit dari eksperimen Meydum yang gagal itu
dan mulai membuat sebuah piramida baru, kali ini di suatu tempat lain:
Dahshur, agak jauh di sebelah Selatan Saqqara.
Sejak awalnya piramida ini berbeda. Piramida ini dirancang sebagai piramida yang sisinya melandai dengan pelapis halus dari batu kapur yang
membuatnya berkilat di sinar matahari.
Banyak spekulasi diarahkan ke seputar piramida, tetapi salah satu misteri yang lebih mengasyikkan namun belum terpecahkan adalah mengapa
Snefru, yang tidak mendapat penghormatan sebagai penemu suatu bentuk
arsitektur baru, menggagas inovasi untuk membuat piramida bersisi rata dan
bukan berundak. Apakah ini memiliki makna religius tertentu? Apakah ini
melambangkan sebuah cara berpikir baru tentang piramida—sebagai titik
pengenal pada pemandangan sekitar, dan bukan sebagai pusat sebuah kompleks untuk roh-roh?
Kita tidak tahu. Tetapi piramida Snefru yang bersisi rata kemudian dikenal sebagai Piramida Bongkok karena alasan yang tidak mengenakkan bahwa
Snefru masih belum mampu menghitung sudut-sudutnya. Piramida itu
dirancang untuk memiliki sisi-sisi yang rata dan sangat terjal—tetapi sementara pembangunan berlangsung, Snefru dan pimpinan proyeknya tampaknya
menyadari bahwa perhitungan mereka meleset. Andai kata piramida tetap
dibangun dengan sudut yang sedemikian lancip, berat batu di atas landasan
yang secara relatif sempit itu akan menyebabkannya runtuh. Maka mereka
membuat perubahan cepat dalam sudutnya, dan akibatnya piramida menjadi
seperti berbahu bongkok; salah satu sisinya membenjol ke kanan.
Piramida ini selesai, tetapi tidak pernah digunakan. Snefru masih belum
berhasil membangun sebuah tempat peristirahatan abadi yang memuaskan
hatinya. Menjelang akhir masa pemerintahannya, ia memulai penggarapan
piramidanya yang ketiga.
Piramida Utara, yang terletak hampir sejauh dua kilometer di sebelah
Utara Piramida Bongkok, lebih lebar, lebih besar, dan lebih pendek dibanding
piramida-piramida lain sebelumnya. Sudut Piramida Bongkok berubah kelancipan sudutnya dari 52 derajat ke sudut landai 43 derajat; Piramida Utara
sejak awalnya dirancang dengan sisi-sisi yang melandai pada sudut 43 derajat.
Desain Snefru ini sedemikian baik rancangannya sehingga sekarang pun, lebih
dinding atau atap kamar-kamar yang terletak di bawahnya beban batu yang
beratnya dua juta ton.
Piramida Utara (yang juga dijuluki “Piramida Merah”, karena lapisan luar
batu kapur mulai mengelupas dan menjadikan batu pasir merah di bawahnya
berkilat di sinar matahari) barangkali merupakan tempat pemakaman akhir
Snefru. Para ahli arkeologi menemukan sebuah jenazah di dalamnya dan
mengirimkannya ke British Museum untuk diidentifikasikan; jenazah itu
hilang dalam perjalanan dan tak pernah ditemukan kembali.
Di mana pun terdamparnya tubuh Snefru, implikasi dari proyek
bangunan rangkap tiga itu mengisyaratkan bahwa kepercayaan orang Mesir
tentang masih hadirnya pharaoh yang wafat telah mengental ke dalam ritual.
Snefru bertekad membuat sebuah tempat peristirahatan terakhir untuk
dirinya sendiri yang tidak hanya menjadi tempat yang baik bagi rohnya
untuk berjalan-jalan setelah kematiannya, tetapi yang juga berbeda dengan
tempat-tempat berjalan pharaoh-pharaoh yang telah mendahuluinya. Dalam
arti tertentu, kini kematian sudah dijinakkan. Para pharaoh telah merasuk
kepercayaan yang cukup menenteramkan bahwa mereka masih akan tinggal
di tengah rakyatnya. Kini, mereka dapat mengarahkan perhatian pada upaya
melampaui pharaoh yang telah mendahului.
Bahwasanya Snefru dapat menyelesaikan sebuah piramida dan membangun
dua lainnya mengisyaratkan bahwa Mesir kini bahkan sudah lebih kaya, lebih
damai, dan lebih terkendalikan oleh kekuasaan pharaoh daripada sebelumnya.
Anak lelaki Snefru, Khufu, mewarisi kekuasaannya dan menggunakannya setandas-tandasnya.*∗
Ia melanjutkan ekspedisi militer yang kurang lebih telah
menjadi hal yang biasa untuk seorang raja Mesir; ia mengirim ekspedisi ke
Sinai; berdagang untuk mendapat batu pirus; dan merancang piramidanya
sendiri.
Menurut Herodotus, Khufu memerintah selama lima puluh tahun.
Para ahli ilmu Mesir kuno memperkirakan masa pemerintahannya adalah
setengahnya, tetapi dua puluh lima tahun pun sudah cukup panjang baginya
untuk memulai proyek bangunan terbesar dalam sejarah. Piramidanya,
Piramida Besar, dirancang dengan sebuah kompleks lengkap, didasarkan
pada desain Snefru yang telah disempurnakan: piramida sendiri, sebuah
jalur pengantar ke bawah menuju sebuah kuil lembah, sebuah kuil untuk
persembahan di sebelah Timur, dan tiga piramida yang lebih kecil, mungkin
untuk para permaisuri Khufu.
Piramida yang dibangun di tempat lain, di dataran Giza, itu puncaknya setinggi 160 meter. Sudut kemiringannya 51º52´, lebih tajam daripada Piramida Utara karya Snefru yang berhasil itu tetapi tidak setajam Piramida Bongkok
yang gagal; pimpinan proyek Khufu telah memetik manfaat dari contoh para
pendahulunya. Sisi luar Piramida Besar sungguh-sungguh seragam; walaupun
masing-masing sisi panjangnya sekitar 230 meter, dan seragam dengan sisi
lainnya dengan batas selisih sebesar 20 sentimeter. Terowongan Utara yang
mengantar ke Kamar Raja dirancang untuk menunjuk ke Bintang Kutub.
Walaupun tidak banyak yang kita ketahui secara pasti tentang kehidupan
Khufu, berbagai cerita tentang pemerintahannya sampai juga kepada kita.
Salah satunya menuturkan bahwa untuk menyediakan air untuk ratusan ribu
pekerja yang menggarap Piramida Besar, Khufu membangun bendungan pertama dunia: Sadd al-Kafara, tiga puluh dua kilometer di sebelah Selatan Kairo.
Dengan demikian, danau yang terjadi karena bendungan itu, yang bagian terdalamnya mencapai hampir tiga puluh meter, merupakan bak penampungan
air umum pertama dunia. Sebuah cerita lain mencatat bahwa pembangun
Piramida Besar itu melecehkan dewa-dewa dan selama bertahun-tahun bersikap mencemoohkan sampai akhirnya ia menyesal dan menulis satu seri Buku
Suci.6
Herodotus menulis bahwa
untuk membangun Piramida Besar
Khufu “telah menjerumuskan Mesir
ke dalam suatu kondisi yang menyedihkan … dan memerintahkan
semua orang Mesir bekerja untuknya.” 7
Ia menambahkan dengan
lugas. “Ia orang yang sangat jahat.”
Herodotus, yang mencatat semua
pharaoh dengan urutan yang keliru,
sangat tidak dapat diandalkan dalam
perkara ini, dan Buku-Buku Suci itu
tidak pernah ditemukan; mungkin
buku-buku itu tidak pernah ada.
Tetapi tradisi sifat jahat Khufu,
yang digemakan oleh lebih dari
satu sumber, merupakan perkara
yang menarik. Untuk membangun
monumennya—sebuah struktur batu
yang terdiri dari sekitar dua setengah
juta balok batu, sedang setiap balok
itu beratnya sekitar dua setengah ton—Khufu mengerahkan salah satu dari
regu pekerja yang paling besar di dunia. Bahkan jika para pekerja tidak
diperlakukan sebagai budak yang hina, kemampuan raja untuk menghimpun
suatu jumlah pekerja yang sedemikian besar dengan jelas menggambarkan
kemampuannya untuk menindas rakyatnya. Piramida itu sendiri merupakan
tanda kesaksian atas kekuasaan itu.
Cerita-cerita tentang kekejaman Khufu mengisyaratkan bahwa kesediaannya untuk menerapkan kuasa untuk keuntungannya sendiri dengan
mengorbankan rakyatnya tidak berhasil dengan cukup baik. Ambisinya juga
mendorongnya kepada ketidaksalehan; ia sedemikian sibuk membangun
sehingga ia menutup kuil-kuil dan menyuruh rakyatnya untuk berhenti melakukan persembahan. Salah satu cerita yang cukup kecut yang dituturkan oleh
Herodotus menyebutkan bahwa Khufu, ketika mulai kekurangan dana dan
perlu menghimpun sedikit lebih banyak uang lagi, menempatkan anak perempuannya di sebuah kamar disertai perintah untuk menghibur siapa pun
lelaki yang mungkin ingin menengoknya dan menyerahkan dana yang diterima kepadanya; anak perempuan itu berbuat begitu, tetapi ia mengatakan
kepada setiap lelaki pada saat lelaki itu meninggalkan dia, untuk menumpuk satu batu di lokasi pekerjaan baginya. Hasilnya adalah Piramida Ratu di
tengah, yang terletak dekat Piramida Besar dan yang kiranya menampilkan
semacam rekor dunia dalam hal pelacuran.8
Pada zaman Khufu, tujuan asli dari nekropolis (kota arwah) pertama yang
dibangun oleh Imhotep telah terkaburkan. Piramida Besar dan monumen-monumen yang menyusulnya merupakan contoh tertua yang masih ada dari apa
yang kita sebut “arsitektur monumental”— bangunan yang jauh lebih terolah
dalam hal ukuran atau desainnya daripada yang diperlukan demi kepraktisan.
Dengan kata-kata ahli arkeologi Bruce Trigger, “Kemampuan untuk mengerahkan energi, khususnya dalam bentuk kerja berat orang lain untuk hal tidak
berkegunaan adalah simbol kekuasaan yang paling dasar dan paling universal
yang diketahui”.9
Semakin kurang perlu dan kurang bermanfaat piramida itu,
semakin nyatalah ia sebagai saksi akan kekuasaan pembangunnya. Rumah roh
telah menjadi tanda wasiat kekuasaan yang bergemerlapan.
Hampir semua hal yang kita ketahui tentang Khufu terpusat di sekitar
piramidanya. Hal-hal lain yang ia capai, apa pun wujudnya, telah hilang dari
sejarah.
P B telah menjadi fokus dari teori yang lebih banyak jumlahnya
daripada struktur lain (mungkin selain Stonehenge) dalam sejarah. Teori-teori
tentang piramida berkisar dari yang rasional-namun-sulit-dibuktikan sampai
yang benar-benar tidak masuk akal. Di antaranya: tata letak Piramida-Piramida
di dataran Giza menampilkan di bumi konstelasi Orion (mungkin saja, tetapi
ada terlalu banyak bintang yang kurang untuk menjadikan teori ini meyakinkan); Piramida Besar terletak pada pusat geografis bumi (ini hanya berlaku
jika Anda menggunakan proyeksi Mercator, yang agak mustahil bahwa sudah
lazim digunakan oleh orang Mesir kuno); orang Mesir menggunakan sebuah
koil energi yang disebut “Koil Caduceus” yang menyadap “kisi-kisi energi
planeter” dan memungkinkan mereka untuk mengangkat balok-balok batu
itu ke tempatnya. Yang cukup menggoda, tetapi anakronistis, “panel kontrol
untuk kisi-kisi itu adalah Tabut Perjanjian.” 10 Telah dikemukakan juga bahwa
Piramida Besar dibangun oleh penghuni Atlantis, yang berlayar dari benua
mitis mereka dengan perahu-perahu mitis untuk membangun piramidapiramida, tanpa sebab yang jelas, dan kemudian meninggalkannya. Teoriteori lain menegaskan bahwa berbagai perhitungan matematis menunjukkan
bahwa Piramida Besar adalah suatu “model berskala dari belahan bumi”, dan
bahwa siapa pun yang telah membangunnya “mengetahui secara tepat jarak
lingkar planet kita serta durasi tahun sampai ke beberapa angka desimal.” 11
Leluhur teori piramida yang aneh-aneh adalah Erich von Däniken, seorang
pengusaha hotel berkebangsaan Swiss yang menjadi penulis pada awal tahun
1960-an dan menerbit-kan sebuah buku yang berjudul Kereta-Kereta DewaDewa. Däniken menandaskan bahwa piramida-piramida tidak mungkin
dibangun oleh orang Mesir karena mereka tidak memiliki kemampuan teknologis yang diperlukan; dan, lebih lanjut, bahwa piramida-piramida muncul
sekonyong-konyong tanpa ada apa pun yang serupa dengannya sebelumnya,
hal mana berarti bahwa piramida-piramida itu mungkin sekali dibangun oleh
makhluk alien.
Memang benar bahwa orang Mesir tidak berkecenderungan pada pemikiran matematis. Namun, mengamati garis-garis lurus sebuah dasar piramida
bukan suatu pekerjaan yang terlalu rumit; yang dibutuhkan adalah kalkulasi yang memadai, tetapi bukan pemahaman konsep-konsep matematis yang
lebih tinggi. Tugas memindahkan balok batu memang suatu tugas yang besar,
tetapi itu pun adalah suatu kesulitan mekanis semata-mata. Herodotus mengatakan bahwa balok-balok itu ditarik melalui jalur tanah yang condong, suatu
tugas yang jauh dari mustahil; berbagai percobaan menunjukkan seratus
orang laki-laki mampu mengangkat sebuah balok batu seberat dua setengah
ton dengan sebuah tali papyrus,12 khususnya jika bola-bola mineral dolomit
keras disisipkan ke bawah batu sebagai penggelinding.
Adapun para penghuni Atlantis dan makhluk alien, perkembangan dari
piramida-piramida yang gagal sebelum Khufu menunjukkan dengan cukup
jelas bahwa pembangunan piramida tidak melompat muncul dalam bentuk
begitu terkembang dari kepala suatu ras alien. Piramida-piramida itu berkembang, dengan tahap-tahap yang mudah dilacak, secara langsung dari kota
roh asli karya Djoser sampai ke tempat peristirahatan maharaksasa Khufu.
Piramida-piramida itu hadir sebagai tanda wasiat, bukan dari kedatangan makhluk alien, tetapi dari keengganan orang Mesir untuk melepaskan kekuasaan di hadapan kematian. Gilgamesh pergi ke pegunungan dan tidak kembali
lagi. Tetapi bagi orang Mesir, yang selalu dapat melihat rumah roh raja mereka
membayang di kejauhan, kekuasaan pharaoh selalu tetap hadir.
Sulit membayangkan orang Sumeria, dengan rasa kebebasannya yang
sangat peka itu, memberikan kepada seorang penguasa kekuasaan sebesar
yang diberikan kepada para pharaoh di Mesir. Para warga Sumeria tentu
akan memberontak seandainya mereka diminta berpeluh-peluh selama dua
puluh tahun dengan menggarap sebuah monumen untuk kebesaran penguasa
mereka. Sedang raja Sumeria pun tidak menikmati keleluasaan untuk bisa
memaksakan ketaatan semacam itu. Koalisi empat kota pada masa Gilgamesh
adalah bentuk terdekat dengan sebuah kerajaan bersatu yang dialami Sumeria,
dan koalisi itu pun berlangsung hanya lebih panjang sedikit dari usia hidup
Gilgamesh. Anak lelakinya Ur-Lugal mewarisi kerajaannya dan berhasil menjaga keutuhannya, tetapi kota-kota itu telah menjadi lemah karena pertikaian
yang terus menerus. Dan sementara Mesir tidak menghadapi suatu ancaman
langsung dari luar perbatasannya, hal yang sama tidak terjadi di Sumeria. Di
sebelah Timur, orang Elam menunggu kesempatan.
Orang Elam sudah lama mendiami kota-kota kecil mereka sendiri di
sebelah Timur Teluk, sama masanya dengan masa ketika orang Sumeria
menduduki dataran Mesopotamia. Asal usul pertama mereka, seperti halnya
asal usul bangsa yang sangat kuno, tidak diketahui, tetapi kota-kota mereka
berkembang tidak hanya di sebelah Selatan Laut Kaspia tetapi juga sepanjang plato gurun garam besar yang terbentang di sebelah Timur Pegunungan
Zagros.
Sejak sekitar 2700 orang Elam juga mempunyai raja. Kota kembar Susa
dan Awan menjadi pusat peradaban mereka. Awan (yang lokasi tepatnya tidak
diketahui) merupakan kota yang lebih penting di antara keduanya. Sejauh
seorang raja memiliki yurisdiksi atas penghimpunan pajak dari seluruh Elam,
demikianlah raja Awan, tidak berbeda dengan sejawat Sumerianya di kota
Kish.Inskripsi-inskripsi dari dua abad sesudah masa Gilgamesh memberi kita
suatu gambaran tentang adanya sejumlah persaingan yang sedang berkembang.
Orang Elam dan kota-kota di dataran Sumeria—Uruk dan Kish, tetapi juga
kota Ur, Lagash, dan Umma, yang kini bertambah kekuatannya—bertarung
dalam suatu rentetan peperangan untuk mendapatkan posisi pertama. Daftar raja Sumeria kekurangan beberapa nama dan karena cenderung
mendaftar raja-raja dari berbagai kota yang memerintah pada waktu yang bersamaan seakan-akan mereka susul-menyusul, tidaklah mudah membangun
sebuah kronologi yang tepat. Kita mengetahui bahwa suatu ketika setelah
anak lelaki Gilgamesh mewarisi kerajaan dari ayahnya, kota Uruk ditaklukkan
oleh Ur, dan bahwa Ur kemudian ”ditaklukkan dalam peperangan dan kerajaan dipindahkan ke Aswan”. Itu tampaknya mengisyaratkan adanya invasi
Elam dengan kekuataan besar; dan sesungguhnya raja-raja dari dinasti Kish
berikutnya memiliki nama Elam.
Sama sekali tidak semua kota Sumer jatuh ke kekuasaan orang Elam. Suatu
ketika setelah invasi orang Elam, raja dari sebuah kota Sumeria lain, Adab
—yang kedudukannya hampir tepat ditengah dataran Mesopotamia—mengerahkan orang-orangnya kepadanya dan menantang kekuasaan Elam.
Raja itu, Lugulannemundu, memerintah sekitar 2500 SM. Untuk
mengusir orang Elam, ia menyerang sebuah koalisi besar tiga belas kota yang
dikuasai orang Elam. Menurut inskripsi kemenangannya sendiri, ia menang;
ia menyebut dirinya raja ”keempat penjuru” (dengan kata lain, seluruh dunia)
dan menyatakan bahwa ia ”memaksa semua daerah untuk membayar upeti
tetap kepadanya [dan] mendatangkan damai kepada bangsa-bangsa itu ... [ia]
memulihkan Sumer”.1
Jika ia benar-benar melakukan penaklukan itu, ia mempersatukan sebuah
kekaisaran sementara yang lebih luas daripada kekaisaran Gilgamesh. Tetapi
karya-karya besar Lugulannemundu yang mungkin telah menyelamatkan
Sumer dari orang Elam dan melestarikan eksistensinya sebagai suatu kebudayaan mandiri sedikit lebih lama, tidak memicu imajinasi orang-orang
sezamannya. Tidak ada puisi epik yang menggemakan penaklukan itu.
Kerajaannya pun tidak berlangsung lebih lama daripada kerajaan Gilgamesh.
Peristiwa penting berikutnya di dataran Sumeria adalah suatu pertikaian
perbatasan antara kota Lagash dan Umma; suatu pertikaian biasa yang menjemukan atas sebentang tanah yang tidak istimewa yang pada akhirnya akan
menyebabkan kebudayaan Sumeria berakhir.
I- yang mencatat awal pertikaian itu baru ditulis dua atau
tiga generasi setelah masa pemerintahan Lugulannemundu, tetapi kerajaannya telah lebur. Raja-raja Sumeria memerintah dengan kekuatan senjata dan
kharisma. Kerajaan mereka tidak memiliki birokrasi yang tertata untuk menunjang mereka. Ketika mahkota beralih dari pejuang yang dinamis kepada
anak lelakinya yang kurang memiliki talenta, maka kerajaan-kerajaan itu mau
tidak mau runtuh.
Kerajaan Lugulannemundu runtuh sedemikian cepatnya sehingga kota
kedudukannya Adab bahkan tidak lagi merupakan sebuah kekuasaan di atas
panggung Sumeria. Ketika Lagash bertingkai dengan Umma, seorang raja
lain—raja Kish, yang dahulu pernah naik namanya—melangkah masuk.
Kedua kota yang terpisah oleh jarak sembilan puluh kilometer itu telah saling melanggar wilayah satu sama lain. Raja Kish, Mesilim menengahi dan
memberitahukan bahwa Sataran, dewa jaksa Sumeria, telah menunjukkan
kepadanya batas-batas yang sebenarnya yang harus ditaati oleh kedua kota
itu. Ia mendirikan sebuah stele (tonggak berinskripsi) untuk menandai garis
itu: ”Mesilim, raja Kish”, bunyi sebuah inskripsi yang memperingati kejadian
itu, ”menetapkan ukurannya sesuai dengan sabda Sataran”.2
Kedua kota tampaknya menyetujui keputusan itu; klaim bahwa s