Sabtu, 30 November 2024

dunia kuno 4




 elum Hammurabi (s. 1750 SM) bersifat problematis. Bahkan naiknya 

Hammurabi mengandung unsur kekeliruan sekitar lima puluh tahun pada 

kedua sisinya, dan ketika kita kembali ke tahun 7000 SM unsur kekeliruan 

itu mendekati lima atau enam ratus tahun. Sebelum 7000 SM penetapantanggal terjadi dengan bebas-bagi-siapa-saja secara sopan. Menulis tentang se￾suatu yang terjadi dari awal waktu sampai sekitar 4000 SM bertambah rumit 

lagi karena terdapat berbagai sistem yang dianut untuk menandai masa-masa 

”prasejarah”, dan tak satu pun di antaranya yang sejalan dengan lainnya, tam￾bahan lagi sekurang-kurangnya satu di antaranya benar-benar menyimpang.

Saya memilih untuk menggunakan sebutan tradisional SM dan M untuk 

tanggal. Saya mengetahui mengapa banyak sejarawan memilih menggunakan 

sebutan SMM dan MM dalam usaha untuk menghindari penyajian sejarah 

yang seluruhnya didasarkan atas titik pandang Yahudi-Kristiani, tetapi meng￾gunakan SMM sambil tetap menghitung dengan bertolak pada kelahiran 

Kristus menurut hemat saya adalah sia-sia juga.



Belum setelah kematiannya—ketika para raja 

Mesir tengah berjuang untuk mengukuhkan wibawa ilahi mereka sendiri—

raja Sumeria Gilgamesh telah menjadi seorang pahlawan legendaris. Ia telah 

membunuh Raksasa Mahabesar, yang disingkirkan dengan Ketetapan Langit, 

menolak langkah-langkah romantis dewi Inanna, dan melangkah masuk ke 

taman dewa-dewa, di mana keharuman kebakaannya mencengangkan dewa 

matahari sendiri. Berkat Epik Gilgamesh (cerita epik paling tua yang kita ke￾tahui), pribadi Gilgamesh yang historis masih bergema sampai ke zaman kita, 

lima ribu tahun setelah kematiannya.

Hubungan antara Gilgamesh sebagai tokoh kesusastraan dan sebagai 

tokoh historis tidak berbeda dengan hubungan antara tokoh Macbeth dalam 

karya Shakespeare dan Maormor Macbeda yang membayar dengan nyawanya 

kejahatannya membunuh raja dan dan sanak saudaranya sendiri pada tahun 

1056. Kehidupan nyata memberikan semacam papan lenting untuk suatu 

cerita yang luar biasa dan lebih luas daripada kehidupan sendiri; inti dari orang￾nya sendiri tetap hidup, diagungkan, didistorsikan, tetapi pada hakikatnya 

tetap benar.

Jauh lebih mudah mengisolasikan kejadian-kejadian historis dalam 

Macbeth. Salah satu sebabnya adalah bahwa detail-detail kehidupan nyata 

Maormor Macbeda dilukiskan oleh banyak sumber lain. Namun, di luar 

cerita Epik, kehidupan Gilgamesh dicatat hanya oleh beberapa inskripsi, 

yakni daftar raja Sumeria dan satu atau dua puisi. Cerita tentang misi damai 

Agga kepada Gilgamesh yang tanpa hasil, yang dikutip pada bab sebelumnya, 

adalah salah satunya; puisi itu ditulis dalam bahasa Sumeria dan mungkin 

sekali dicerita-kan secara lisan selama beberapa dasawarsa (atau abad) sebelum 

dituliskan pada papan lempung. Eksemplar yang kita miliki berasal dari sekitar 

2100 SM, ketika raja Ur menunjuk seorang juru tulis untuk menuliskan  cerita Gilgamesh. Raja itu, seorang bernama Shulgi, ingin memiliki catatan 

tentang kehidupan raja besar itu karena ia mengklaim Gilgamesh sebagai 

nenek moyangnya (yang mungkin sekali berarti bahwa Shulgi adalah seorang 

perebut tanpa adanya hubungan sama sekali dengan Gilgamesh).1

 Puisi-puisi 

itu berasal dari masa yang jaraknya cukup dekat dengan masa hidup Gilgamesh, 

sehingga kita dapat (dengan hati-hati) mengajukan teori bahwa puisi-puisi 

itu memang mengandung sebagian fakta tentang tindakan-tindakan sang raja 

yang historis.

Cerita Epik juga mengandung hal semacam itu, tetapi memilah-milahnya 

jauh lebih rumit.

Silakan meninjau sebuah percontoh dari Epik Gilgamesh di toko buku 

di tempat Anda, maka Anda akan melihat bahwa Epik itu terdiri dari enam 

cerita yang saling berhubungan, seperti cerita-cerita pendek bersambung 

yang bersama-sama membentuk sebuah novel. Yang pertama adalah “Kisah 

Enkidu”, di mana Gilgamesh berkenalan dengan monster yang dikirim oleh 

dewa-dewa untuk menjinakkannya; yang kedua, “Perjalanan ke Hutan Aras”, 

di mana ia mengalahkan Humbaba; yang ketiga, “Ketetapan dari Langit”, 

di mana Gilgamesh membuat marah dewi Inanna dan Enkidu menderi￾ta karenanya; yang keempat, “Perjalanan Gilgamesh”, di mana ia mencapai 

negeri Utnapishtim yang baka, tokoh Nuh Sumeria yang tetap hidup sete￾lah selamat dari Air Bah Besar; yang kelima, “Cerita tentang Air Bah”, yang 

dituturkan oleh Utnapishtim kepada Gilgamesh; dan yang keenam, “Upaya 

Gilgamesh”, di mana Gilgamesh berusaha secara sia-sia untuk menemukan 

kehidupan abadi—atau sekurang-kurangnya pulihnya masa mudanya—dan 

gagal. Kemudian sebuah catatan akhir meratapi kematian Gilgamesh.

Versi enam bab yang rapi tentang petualangan Gilgamesh ini tidak hanya 

sedikit mengecoh. Epic itu disalin berulang kali ke papan lempung, yang 

wajar saja bila pecah menjadi berkeping-keping. Kepingan-kepingan yang 

tersebar di wilayah Timur Tengah kuno itu ditulis dalam sejumlah bahasa, 

dari bahasa Sumeria hingga bahasa Assyria, dan dibuat antara 2100 dan 612 

SM. Salinan-salinan tertua dalam bahasa Sumeria, yang berasal dari masa 

juru tulis Shulgi, hanya memuat dua cerita pertama dan ratapan penutup. 

Tidak dapat lagi diketahui apakah keempat cerita lainnya merupakan bagian 

dari seluruh rangkaian itu sejak semula dan kemudian hilang, atau apakah 

merupakan tambahan dari masa kemudian. Beberapa bagian dari cerita 

ketiga dan keempat, “Ketetapan dari Langit” dan “Perjalanan Gilgamesh”, 

mulai muncul pada papan lempung bersama kedua cerita pertama antara 

1800 dan 1500 SM, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Akkadia (bahasa 

yang menyusul bahasa Sumeria, yang digunakan oleh mereka yang bermukim 

di dataran sungai ketika kota-kota Sumeria memudar). Sekitar 1000 SM kepingan-kepingan keempat cerita muncul di sepanjang pantai Laut Tengah 

dan tersebar di wilayah Asia Kecil. Cerita air bah, yang sudah terdapat dalam 

berbagai versi jauh sebelum 2000 SM, mungkin dimampatkan ke dalam cerita 

Gilgamesh sebagai cerita kelima, sekurang-kurangnya seribu tahun setelah 

kematian Gilgamesh; cerita itu jelas terlepas dari cerita-cerita lainnya di dalam 

epik. (“Duduklah dan dengarkan cerita yang akan aku tuturkan”, perintah 

Utnapishtim kepada Gilgamesh, dan ia seketika mulai bercerita seakan-akan ia 

tidak memiliki banyak kesempatan untuk menuturkannya sejak ia turun dari 

kapal.) Dan satu-satunya hal yang dapat kita katakan tentang cerita “Upaya 

Gilgamesh”, di mana ia menemukan dan kemudian kehilangan Pohon awet￾muda, ialah bahwa cerita itu telah terhubung dengan cerita lainnya dalam 

Epik pada 626 SM.

Itulah tanggal dari salinan tertua yang masih ada dari keenam cerita Epic 

seutuhnya. Itu berasal dari perpustakaan Ashurbanipal, raja Assyria yang 

berjiwa pustakawan. Ashurbanipal menjadi raja pada 668. Selama masa tiga 

puluh tahun lebih sedikit masa pemerintahannya, ia menghancurkan Babylon, 

membunuh saudara lelakinya sendiri (yang telah menjadi raja Babylon), dan 

dipusingkan oleh seorang nabi Ibrani bernama Yunus yang gigih meneriakkan 

bahwa Nineweh, ibu kota Ashurbanipal, kena kutuk. Ketika wafat pada 626, 

Ashurbanipal juga telah mengoleksikan dua puluh dua ribu papan lempung ke 

dalam perpustakan sejati pertama dunia. Dua belas buah papan di antaranya 

memuat Epik Gilgamesh kurang lebih dalam bentuknya yang ada sekarang.

Jadi, hanya kedua cerita pertama yang, dalam batas-batas kepastian yang 

ada, dapat ditempatkan dalam masa yang tidak jauh jaraknya dari masa kehi￾dupan Gilgamesh. Kesulitan yang diakibatkan oleh kekuatan besar Gilgamesh 

pada bawahan-bawahannya, perjalanannya ke Utara ke hutan aras, dan rata￾pan pada penguburannya: hal-hal itu dapat dipandang sebagai mencerminkan, 

betapa pun terdistorsi, suatu kenyataan sejarah.

Lebih dari itu, hal-hal itu merupakan pusat yang tak diragukan dari epik 

pertama dunia, di mana kematian dialami sebagai sekaligus kehancuran dan 

pembebasan.

Dalam cerita pertama, “Kisah Enkidu”, raja Uruk memerintah secara tirani 

kepada rakyatnya sampai mereka mulai bergumam:

Gilgamesh menyuarakan panggilan perang demi kesenangannya sendiri,

Kepongahannya tidak mengenal batas,

Tidak peduli siang, tidak peduli malam:

Ia merenggut anak lelaki dari haribaan ayahnya,

Walau seorang raja seharusnya menjadi gembala bangsanya.2


Martabat raja yang diberikan oleh dewa-dewa kepada Sumer, wibawa 

kuat yang membantu kota-kota untuk tetap bertahan, telah meluber menjadi 

tirani. Warga Uruk berseru kepada dewa-dewa untuk memohon pembebasan. 

Sebagai jawaban, dewa-dewa membuat suatu ciptaan dari lempung bernama 

Enkidu dan menurunkannya di padang belantara Sumer. Enkidu

tidak mengenal sedikit pun tanah yang diolah,

orang-orang yang berperadaban, atau pun peri hidup mereka, 

tak mengenal sedikit pun kota-kota bertembok yang telah menjadi pusat 

kebudayaan Sumer. Rupanya seperti seorang lelaki yang kuat dan mirip dewa, 

tetapi berbuat seperti binatang, mengembara di padang-padang sambil makan 

rumput dan hidup bersama binatang-binatang; pada kenyataannya, ia adalah 

sebuah karikatur dari para pengembara yang selalu berselisih paham dengan 

penduduk kota.

Ketika Gilgamesh mendengar berita tentang pendatang baru itu, ia mengi￾rim seorang pelacur untuk merayu dia dan dengan demikian menjinakkannya. 

(“Ia bertelanjang bulat-bulat,” tutur puisi itu). Tertaklukkan oleh strategi yang 

cukup lugas itu, Enkidu melewatkan enam hari dan tujuh malam untuk me￾muaskan nafsu kedagingan. Ketika ia pada akhirnya bangkit dan berusaha 

kembali hidup dengan binatang-binatang, hewan-hewan itu melarikan diri; 

ia telah menjadi manusia.

Enkidu menjadi lebih kecil,

menjadi lemah, dan binatang-binatang buas lari dari padanya;

tetapi ia juga menjadi lebih luas,

karena kini kebijaksanaan telah diam padanya, 

kini ia memiliki pikiran manusia.

Karena kini Enkidu telah memiliki pikiran manusia, ia harus pergi ke kota, 

tempat tinggal yang tepat untuknya. Pelacur itu menawarkan untuk mengan￾tarnya ke “kota Uruk yang bertembok kuat, di mana Gilgamesh memerintah 

rakyatnya seperti banteng liar”.

Ketika mereka tiba di Uruk, Gilgamesh tengah mengacaukan sebuah 

pernikahan dengan klaimnya atas hak penguasa, yang telah ia lakukan sela￾ma sekian banyak tahun: ”Raja Uruk minta menjadi lelaki pertama bersama 

mempelai wanita”, catat Epik itu, sebagai “hak kelahirannya”. Enkidu, yang 

menjadi geram terhadap penyalahgunaan kuasa itu, menghalangi langkahnya 

ke ruang tidur mempelai wanita. Keduanya bertarung; pertarungan itu ketat, 

dan lebih ketat daripada yang pernah dikenal Gilgamesh. Dan walaupun sang

raja akhirnya menang, ia juga sedemikian terkesan oleh kekuatan Enkidu se￾hingga keduanya mengangkat sumpah ikatan persahabatan. Itu menjinakkan 

gelora tirani Gilgamesh. Rakyat Urut bernapas lega, ketika damai turun ke 

jalan-jalan mereka.

Pergulatan itu tentu saja lebih dari sekadar pertarungan dengan bergulat. 

Terjalin dalam seluruh cerita itu suatu ambiguitas Sumeria tentang marta￾bat raja. Martabat raja adalah sebuah karunia dewa-dewa demi kelangsungan 

hidup manusia; raja-raja semestinya menegakkan keadilan, mencegah yang 

kuat agar tidak menjerumuskan yang lemah ke dalam kemiskinan dan kela￾paran. Jelaslah bahwa seorang raja yang wajib menegakkan keadilan itu harus 

cukup kuat juga untuk melaksanakan kehendaknya.

Tetapi kekuatan itu juga penuh bahaya, karena mampu menimbulkan pe￾nindasan. Dan ketika hal itu terjadi, rajutan kehidupan kota Sumeria mulai 

melintir dan buyar. Di Uruk, raja adalah hukum, dan jika raja sendiri menjadi 

busuk, kodrat hukum itu sendiri menjadi terdistorsi.

Hal itu cukup menakutkan untuk diulas secara tak langsung belaka. 

Gilgamesh bertarung bukan melawan dirinya sendiri melainkan melawan 

suatu makhluk dari luar tembok. Pergulatan di pintu kamar mempelai wanita 

terjadi melawan gambar cerminan dirinya yang tak beradab; bagaimana pun, 

enkidu telah diciptakan

sedemikian serupa dengannya seperti cerminan dirinya sendiri,

dirinya yang kedua, setara dengan hatinya yang menggelora dengan liar:

biarlah keduanya saling bertarung,

dan biarlah seisi kota menikmati kedamaian. 

Cerita tentang perjalanan Gilgamesh ke hutan aras tidak terlalu berbeda. 

Gilgamesh menunjukkan lagi kecenderungan untuk secara membabibuta 

mengejar kemauannya sendiri.

Aku akan menaklukkan Raksasa Mahabesar,

Aku akan menegakkan keharuman namaku selamanya

katanya kepada dewan tua-tua Uruk. Mereka mencoba mengekang ambi￾sinya:

Kamu masih muda, Gilgamesh.

Kamu dikendalikan oleh keinginan hatimu.

Raksasa itu tidak seperti manusia yang dapat mati.

Namun, karena Gilgamesh berkukuh, para tua-tua menyerah. Gilgamesh 

dan Enkidu bersiap untuk memerangi raksasa, sementara Enkidu diserahi 

tugas oleh para tua-tua untuk menjaga keselamatan sang raja.

Perjalanan Gilgamesh ke Utara didorong oleh keinginannya akan nama 

harum, hasrat yang juga mendesak dia untuk mendorong rakyatnya ke pe￾perangan. Tetapi sekali lagi, bahaya terhadap kedamaian Uruk ditampilkan 

sebagai sebuah kekuatan dari luar. Yang jahat mengintai, bukan di dalam jiwa 

raja, melainkan di hutan-hutan di Utara.

Di sana pun ada bahaya lain yang mengintai. Dalam cerita yang paling 

awal ini pun Gilgamesh direpotkan oleh kematian. Bahkan sebelum berang￾kat ia merenungkan kefanaannya. Ia terdengar menyerah kepada apa yang tak 

terelakkan:

Siapa yang dapat naik ke langit?

Hanya dewa saja yang hidup untuk selamanya.

Jumlah hari-hari manusia terbilang. 

Tetapi bahkan jika aku jatuh pun aku akan meraih nama harum,

dan nama harum akan tinggal selamanya.

Tetapi kemungkinan bahwa ia akan jatuh dalam peperangan berkembang 

di dalam pikirannya. Dalam perjalanan untuk menyerang Humbaba, Raksasa 

Mahabesar, ia bermimpi tiga kali, dan setiap kali ia terbangun dengan berte￾riak, “Seorang dewa telah lewat; dagingku menggigil!” Mimpi ketiga adalah 

yang paling menakutkan:

Terang siang hari meredup, kegelapan meluas,

Kilat menyambar, api berkobar,

Maut menghujan ke bumi.

Ia menjadi sedemikian takut dan ingin berbalik, tetapi Enkidu meyakin￾kannya untuk terus maju. Kemudian, pada malam menjelang pertempuran 

dengan Humbaba, Gilgamesh tertidur sedemikian lelapnya sehingga Enkidu 

baru berhasil membangunkan-nya sesaat saja sebelum waktu bertempur.

Berlawanan dengan firasat-firasat buruk itu, maut dapat dicegah. Pada akhir 

cerita, Uruk selamat dan Raksasa Mahabesar mati terkapar. Tetapi pengakuan 

Gilgamesh bahwa hari-harinya sudah terbilang dan ketakutan yang muncul 

dari kefanaannya menjadi inti yang membentuk sisa dari cerita Epik itu sen￾diri. Manakala sisa cerita dibalikkan masuk ke dalam cerita, masing-masing 

cerita menampilkan suatu kekhawatiran yang meningkat akan penurunan ke

alam kematian, dan tekad yang kian besar untuk menghindarinya. Gilgamesh 

berangkat ke taman para dewa dengan harapan bahwa ia akan mampu, entah 

bagaimana, untuk mengembalikan Enkidu yang sudah mati; ia mendengar 

cerita tentang air bah sementara ia mencari sebab-sebab kebakaan; ia berhasil 

menemukan Pohon Awet-Muda, yang akan menunda kematian kalau pun 

tidak melenyapkannya, tetapi kemudian ia membiarkan pohon itu dicuri oleh 

seekor ular air. Dalam perjuangannya untuk menghindari kematian ia mem￾buat rencana, berkelana, mengemis, mencari; tetapi tidak pernah berhasil.*∗

Hal itu ternyata merupakan sesuatu yang sangat baik, sejauh menyangkut 

orang-orang Sumeria. Ratapan penguburan yang menutup Epik itu 

merupakan bagian asli dari ceritanya sejak awal mulanya. Bagian itu tidak 

dimuat di dalam salinan Ashurbanipal, agaknya karena orang Assyria 

memandang bagian akhirnya terlalu mengejutkan, terlalu berbeda dengan 

upaya mengejar kebakaan yang ditampilkan pada bagian sebelumnya. Tetapi 

ratapan itu merangkum kekhawatiran orang Sumeria tentang martabat raja 

ke dalam serangkai baris, yang menampilkannya secara lebih lugas daripada 

di bagian lain mana pun.

Engkau diberi martabat raja,

Hidup abadi bukanlah bagian nasibmu.

Engkau memiliki kekuasaan untuk mengikat dan melepaskan,

Kekuasaan terhadap rakyat,

Kejayaan di peperangan.

Tetapi jangan salahgunakan kuasa itu.

Perlakukanlah hamba-hambamu di istana dengan adil.

Raja telah membaringkan dirinya,

Ia telah berangkat ke pegunungan;

Ia tidak akan kembali lagi.

Musuh yang tidak bertangan dan tidak berkaki,

Tak minum air dan tak makan daging,

Menimpa berat-berat padanya.3

 Di Sumer, Gilgamesh dipandang sebagai seorang dewa sejak kurun yang 

sedemikian dekat masa hidupnya sendiri. Tetapi martabat kedewaannya, yang 

agaknya ia peroleh berkat usahanya yang besar untuk kotanya (bagaimana 

pun, adalah tugas baik raja maupun dewa untuk melindungi kota dan mem￾buatnya masyhur) masih dibatasi oleh kematian. Seperti halnya Badar dalam 

mitologi Norwegia yang jauh lebih muda, Gilgamesh bermartabat ilahi, tetapi 

itu tidak begitu saja semakna dengan kebakaan.

Sesungguhnya, daya Gilgamesh yang luar biasa bahkan membuat 

kematian menjadi lebih kekar. Kalau pun ia tetap tinggal jahat, kekuasaannya 

pada akhirnya akan berakhir. Raja Sumer yang paling kuat pun mati. Musuh 

yang tak berkaki dan tak bertangan itulah yang membatasi kekuasaan yang 

menakutkan yang dapat memiliki akibat yang menguntungkan atau pun 

merugikan rakyatnya. Dalam cerita epik pertama dunia, raja Gilgamesh 

mengalahkan, melampaui daya tahan, atau meyakinkan semua musuhnya 

dengan retorika, kecuali musuhnya yang terakhir.

K  M, para pharaoh dari Dinasti Ketiga mulai membuat 

versi mereka sendiri tentang upaya epik untuk mengalahkan kematian.

Dalam suasana yang relatif damai, pharaohh Djoser dari Dinasti Ketiga 

awal melakukan ekspedisi sendiri ke tambang-tambang tembaga dan batu pirus 

di Sinai.*∗

 Birokrasi Mesir mulai mendapat bentuk yang tetap; Mesir dibagi 

ke dalam provinsi-provinsi, masing-masing diawasi oleh seorang gubernur 

yang melapor kepada wangsa kerajaan. Djoser melakukan perannya sendiri 

dalam membangun kekaisaran, dengan mendorong perbatasan Selatan Mesir 

sampai ke Katarak Pertama. Menurut sebuah tradisi dari masa kemudian yang 

dicatat pada sebuah inskripsi di Aswan, ia membaktikan sebagian dari daerah 

yang baru saja ia taklukkan kepada dewa setempat Khnum sebagai pernyataan 

syukur atas berakhirnya masa tujuh tahun paceklik.1

 “Tujuh” mungkin sekadar 

ungkapan tradisional untuk “terlalu lama”; dalam arti mana pun, itu sangat 

jauh untuk mendukung teori bahwa luapan air Nil yang berkurang telah 

menimbulkan kesulitan untuk klaim pharaoh terhadap kuasa ilahi.

Pada masa Djoser, peran pharaoh sebagai peredam perubahan telah 

terbentuk secara kokoh dalam ritual. Sebuah relief menampilkan Djoser 

tengah mengambil bagian dalam sebuah festival yubileum, festival heb-sed, di 

mana raja melakukan lari seremonial mengelilingi sebuah jalur lomba lari. Ia 

diharapkan memenangkan kontes fisik itu, yang mengisyaratkan bahwa dalam 

arti tertentu kekuatannya terkait dengan kebaikan negara. Memenangkan 

lomba heb-sed menegaskan kembali kekuasaan pharaoh untuk melindungi 

Mesir dan menjamin terjadinya pasang surut air secara tetap dan berkala.

Kenyataan bahwa orang Mesir merasakan perlunya suatu festival

pembaharuan mengisyaratkan suatu ketakutan tertentu bahwa kekuasaan 

pharaoh mungkin memudar jika tidak dikuatkan kembali secara ritual. 

Pharaoh tentu saja masih dipandang memiliki semacam martabat ilahi, tetapi 

perjuangan kedua dinasti pertama telah membuat sisi manusiawinya menjadi 

sangat kentara. Ketika suatu gagasan kehilangan sebagian dari daya aslinya yang 

memukau, gagasan itu mulai dikelilingi ritual dan struktur, sebuah penegasan 

pendukung yang tidak perlu sebelumnya. Dalam hal ini, kepemimpinan 

kharismatis digantikan oleh suatu perangkat aturan dan suksesi. Penampakan 

kekuasaan alami mulai dibekukan dalam festival; sisi moral pharaoh terhapus 

dari penglihatan oleh pelaksanaan suatu kehendak nasional.

Ketika akhirnya Djoser wafat, ia tidak dikuburkan di pemakaman 

tradisional di Abydos. Ia telah membangun makamnya sendiri jauh di Utara 

di Saqqara. Ia juga meninggalkan makam tradisional Dinasti Kedua yang 

terbuat dari bata lumpur. Makamnya harus dibuat dari batu dan harus tahan 

selamanya karena makam itu bukan tempat keberangkatan untuk perjalanan 

rohnya ke dunia berikutnya. Makam itu adalah suatu tempat di mana sang 

pharaoh masih hidup.

Di sekeliling makam Djoser ditatalah sebuah kota lengkap untuk rohnya. 

Sebuah jalur heb-sed dibangun di sebelah Selatan, sehingga raja dapat terus 

berlomba-lari yang membuatnya awet muda. Di sekeliling kompleks makam, 

dibuatlah bangunan-bangunan yang menampilkan dalam wujud batu bahan￾bahan untuk membangun rumah Mesir tradisional, yang dipahat agar 

menyerupai anyaman buluh; beberapa pilar dibentuk seperti berkas-berkas 

buluh; bahkan sebuah pagar kayu dengan pintu gerbang setengah terbuka 

dipahat dari batu. Buluh dan kayu itu tak akan lapuk, melainkan tinggal 

selamanya di bumi. Demikian juga roh sang pharaoh. Dalam sebuah bilik 

kecil yang disebut serdab, duduklah sebuah patung Djoser dalam ukuran 

sebenarnya, menghadap ke Timur, berbusana jubah putih dari batu kapur. 

Dinding serdab memiliki dua lubang mata yang dibor, sehingga patung 

pharaoh dapat memandang ke luar ke arah matahari terbit. Di bawah lubang 

mata terdapat sebuah mazbah di mana para imam mempersembahkan 

makanan; Djoser dapat berpesta secara rohani dari aromanya.

Jauh dari melakukan perjalanan ke dunia Osiris (dengan atau tanpa iringan 

pegawai istana yang dikurbankan), sang pharaoh masih sepenuhnya hadir: 

dengan menggunakan bangunan-bangunan, menyantap korban, memudakan 

kembali dirinya dan Mesir dengan jalur lomba heb-sed. Tidak perlu lagi 

mengurbankan pelayan-pelayan untuk kenyamanannya. Orang yang hidup 

tetap dapat melayaninya di kota arwahnya.

Pada pusat kota arwah yang dibangun di atas makam itu sendiri berdiri￾lah piramida pertama Mesir: Piramida Berundak. Enam tingkat balok batu 

tegak menjulang serupa undakan ke ketinggian sekitar tujuh puluh meter. Di 

bawahnya, terdapat lorong-lorong yang menuju ke makam keluarga raja, yang 

digali di tanah di bawah lapisan terbawah.

Tampaknya Imhotep, wazir Djoserlah yang merancang, mendesain, dan 

memimpin pembangunan struktur yang ganjil itu. Manetho menuturkan 

bahwa Imhotep adalah orang pertama dalam sejarah yang mendesain 

sebuah bangunan dari batu yang dipotong-potong. Kita tidak mengetahui 

secara tepat apa yang mengilhami Imhotep untuk menciptakan makam 

gaya baru itu, walaupun para ahli arkeologi mengisyaratkan bahwa bentuk 

Piramida Berundak hanyalah suatu perluasan dari sebuah bentuk Mesir 

purba. Kuburan-kuburan di Abydos beratapkan tutup atau bangunan dari 

tembok batu dan puncaknya berbentuk bujur sangkar, yang disebut mastaba. 

Piramida Berundak pada hakikatnya adalah sebuah mastaba raksasa dengan 

lima mastaba yang lebih kecil yang disusun di atasnya. Mungkin Imhotep 

mendesain sebuah makam mastaba raksasa sebagai pusat kompleks Djoser, 

dan kemudian mulai menyusun mastaba-mastaba lain di atasnya.

Tetapi tidak terdapat alasan yang wajib untuk membuat mastaba bersusun￾susun. Lebih besar kemungkinannya, Imhotep mengambil alih bentuk untuk 

Piramida Berundak dari orang Sumeria, yang menggunakan kuil bertangga 

yang disebut ziggurat untuk kebaktian mereka. Karena luasnya jangkauan 

jalur perdagangan di dunia kuno, orang Mesir tentu melihat kuil-kuil itu 

menjulang di langit Sumeria.

Fungsi ziggurat Sumeria sendiri tidak sepenuhnya jelas. Bangunan itu 

mungkin telah didesain karena suatu kebutuhan. Di tempat-tempat yang 

paling suci di Sumer, seperti di kota tua Eridu, kuil-kuil yang telah merosot 

bangunannya digempur dan disegel secara seremonial di dalam sebuah 

lapisan tanah dan lempung yang dipadatkan. Kemudian sebuah kuil baru 

dibangun di atasnya. Jika itu dilakukan berulang kali, terbentuklah serangkai 

landasan berundak-undak, masing-masing lapisannya dikelilingi sebuah 

tembok penyangga agar tanahnya tidak bergeser. Mungkin saja dalam kurun 

beberapa abad konstruksi berundak menjadi sebuah bentuk tersendiri yang 

akhirnya diterima: dikeramatkan karena usianya, dan bermanfaat karena 

puncak ziggurat tempat para imam melangsungkan ritual yang masih belum 

jelas itu dekat dengan langit.*∗

 Puncak ziggurat mungkin menjadi lapik kaki

bagi para dewa, tempat di bumi di mana mereka dapat meletakkan kaki 

mereka.*†

Kita tidak mengetahui secara pasti apa yang dimaksudkan agar dilaku￾kan oleh roh Djoser dengan Piramida Berundak itu, tetapi inovasi Imhotep 

mendatangkan sejumlah kehormatan baginya. Sebuah patung Imhotep yang 

berasal dari masa pemerintahan Djoser mendaftar gelar-gelarnya pada lapik￾nya; ia adalah Bendahara Raja Mesir Hilir, Orang Pertama sesudah Raja Mesir 

Hulu, Penyelenggara Istana dan Imam Agung Heliopolis, pelayan dewa ma￾tahari.2

 Setelah kematiannya, ia juga dihormati sebagai imam terbesar dan 

orang paling bijak di Mesir. Tak lama sesudah itu ia didewakan sebagai dewa 

kedokteran, sebuah bidang usaha lain yang diciptakan manusia untuk me￾nangkis kematian.3

Piramida Berundak, yang pertama di antara piramida-piramida besar 

Mesir, menunjukkan lebih banyak hal daripada sekadar usaha untuk 

mendefiniskan ulang kematian sebagai tidak hadirnya tubuh dan hadirnya 

roh. Itu menunjukkan awal sebuah kerajaan Mesir baru, sebuah kerajaan yang 

damai dan bersatu dengan birokrasi yang tertata. Djoser hanya memerintah 

selama sembilan belas tahun, yang secara relatif merupakan rentang waktu 

yang pendek untuk sebuah proyek bangunan batu yang sedemikian besar. 

Dalam sembilan belas tahun itu batu harus ditambang dengan perkakas dari 

tembaga dan diangkut dari jarak yang cukup jauh; menurut Herodotus, batu 

untuk piramida ditambang dari barisan pegunungan di sebelah Timur Mesir 

dan di sebelah Barat Laut Merah.4

 Piramida sendiri perlu dibangun oleh 

suatu angkatan kerja laki-laki kekar yang terorganisasi yang dapat dibebaskan 

dari pekerjaan bertani dan berperang. Pembangunan piramida memerlukan 

kemakmuran, perdamaian, dan dana pajak; gelar “wazir” atau “kanselir” yang 

disandang Imhotep mengisyaratkan bahwa pengawasan pemungutan pajak 

merupakan bagian dari tugasnya. Untuk pertama kalinya Mesir memiliki 

Penghasilan Dalam Negeri yang resmi.

Hanya sebuah negara yang kuat dan berkecukupan yang dapat mempe￾kerjakan orang di tambang batu dan mampu memberikan makanan serta 

pakaian untuk mereka. Mesir telah mencapai suatu tingkat kemakmuran dan 

keteraturan tertentu. Oleh sebab itu, mulainya abad piramida juga menandai 

awal suatu era baru dalam sejarah Mesir: “Kerajaan Tua Mesir”.

Terdapat sembilan usaha pembangunan piramida yang tetap lestari dalam 

masa dua dinasti Kerajaan Tua pertama, di antaranya ada yang lebih berhasil 

daripada lainnya, tetapi semua menampakkan kepiawaian manusia dan 

sumber daya yang sama. Setelah Djoser, pharaoh berikutnya, Sekhemkher, 

melakukan usaha besar yang sama. Tidak banyak yang kita ketahui mengenai 

Sekhemkher selain bahwa ia tampaknya mengidap perasaan tidak aman; 

dalam suatu pameran klasik “milikku lebih besar”, piramid Sekhemkhet 

dirancang untuk naik setinggi tujuh undakan, bukan enam undakan seperti 

piramida Djoser. Tetapi piramida Sekhemkhet tidak selesai. Ia wafat pada 

tahun keenam masa pemerintahannya dan konstruksi Piramida Tak Selesai 

terhenti pada lapisan pertama.

Raja keempat Dinasti Ketiga, Khaba, juga membangun sebuah piramida. 

Piramida Berlapis Khaba dibangun bukan di Saqqara melainkan beberapa 

kilometer lebih ke Utara, mungkin sudah memasuki daerah Kerajaan 

Hilir, walaupun ketegangan antara kerajaan Utara dan Selatan pada waktu 

itu tampaknya telah reda. Piramida itu (mungkin sekali) dirancang untuk 

memiliki tujuh undakan, sehingga mencapai ketinggian yang lebih besar 

daripada piramida Djoser. Cita-cita yang hendak diraih Khaba melampaui 

daya jangkaunya; piramida ini pun tidak selesai. Piramid terakhir dari Dinasti 

Ketiga, Piramida Meydum, juga tidak selesai; piramida ini dibangun oleh raja 

terakhir Dinasti Ketiga, Huni, dan menurut rencana piramida ini memiliki 

delapan undakan. 

Berbeda dengan kedua piramida sebelumnya, piramida ini diselesai￾kan oleh raja pertama dinasti berikutnya. Dari sudut pandang kita, Dinasti 

Keempat dapat dibedakan dengan Dinasti Ketiga terutama raja-raja Dinasti 

Keempat akhirnya menyelesaikan dengan baik urusan piramida.

Snefru mulai karyanya dengan suatu gebrakan. Pertama, ia menyelesaikan 

Piramida Meydum dan memasukkan beberapa inovasi. Salah satu contoh￾nya, kamar pemakaman pada Piramida Meydum terletak di dalam piramida 

sendiri, bukan di dalam tanah di bawah atau di dekat piramida, seperti yang 

terdapat pada Piramida Berundak, Piramida Lapisan, dan Piramida Tak Selesai 

yang mendahuluinya. Pada Piramida Meydum ia juga membuat sebuah jalur 

pengantar—sebuah jalan lebar yang membentang ke bawah dari piramida ke 

“kuil jenazah”, sebuah bangunan suci di sebelah Timur, menghadap matahari 

terbit, di mana persembahan dapat dilakukan. Kedua inovasi ini tak lama 

kemudian menjadi baku.

Hal yang paling menarik ialah usaha yang tampaknya dilakukan oleh 

Snefru untuk melapisi Piramida Meydum dengan semacam pembungkus. 

Keempat piramida pertama semuanya merupakan piramida berundak, yang 

sisi-sisinya serupa dengan sisi ziggurat yang bertangga-tangga. Tetapi tumpuk￾

an puing di sekeliling Piramida Meydum menunjukkan bahwa para pekerja 

berusaha menutup tangga-tangga dengan sebuah lapisan halus batu-batu yang 

menutup sisi luarnya.5

Andai kata itu berhasil, Piramida Meydum akan menjadi piramida per￾tama bersisi halus yang lazim seperti yang kita kenal. Namun, arsitek Snefru 

(yang kemudian tidak didewakan) tidak memiliki keterampilan yang dimiliki 

Imhotep. Piramida itu runtuh. Bagian inti yang tersisa dari Piramida Meydum 

masih mencuat seperti sebuah kue perkawinan yang separuhnya habis dima￾kan, dikelilingi oleh onggokan batu-batu runtuhan.

Tak seorang pun dimakamkan di piramida yang gagal itu. Demikian 

pula, kuil kecil tak berjendela pada ujung jalur pengantar itu benar-benar 

mengesankan sebagai prestasi yang spektakuler. Beberapa abad sesudahnya 

seorang Mesir yang berjalan melewati kotak kecil yang tak menarik itu 

menulisi “Kuil Indah Raja Snefru”, contoh pertama corat-coret sarkastis 

dalam sejarah.

Snefru tidak menyerah. Tidak banyak yang kita ketahui tentang raja 

pertama Dinasti Keempat ini, selain catatan-catatan tentang ekspedisi yang 

sudah baku ke tambang-tambang di Sinai dan ke pelabuhan-pelabuhan da￾gang di Lebanon. (Terdapat juga sebuah cerita acak pada Papyrus Westcar 

tentang suatu hari ketika Snefru, karena bosan, memerintahkan dua puluh 

gadis yang paling cantik dari haremnya untuk mengantar dia dengan menda￾yung mengelilingi danau istana dengan hanya berpakaian jala ikan.) Tetapi ia 

setidak-tidaknya gigih. Ia bangkit dari eksperimen Meydum yang gagal itu 

dan mulai membuat sebuah piramida baru, kali ini di suatu tempat lain: 

Dahshur, agak jauh di sebelah Selatan Saqqara. 

Sejak awalnya piramida ini berbeda. Piramida ini dirancang sebagai pi￾ramida yang sisinya melandai dengan pelapis halus dari batu kapur yang 

membuatnya berkilat di sinar matahari.

Banyak spekulasi diarahkan ke seputar piramida, tetapi salah satu mis￾teri yang lebih mengasyikkan namun belum terpecahkan adalah mengapa 

Snefru, yang tidak mendapat penghormatan sebagai penemu suatu bentuk 

arsitektur baru, menggagas inovasi untuk membuat piramida bersisi rata dan 

bukan berundak. Apakah ini memiliki makna religius tertentu? Apakah ini 

melambangkan sebuah cara berpikir baru tentang piramida—sebagai titik 

pengenal pada pemandangan sekitar, dan bukan sebagai pusat sebuah kom￾pleks untuk roh-roh?

Kita tidak tahu. Tetapi piramida Snefru yang bersisi rata kemudian dike￾nal sebagai Piramida Bongkok karena alasan yang tidak mengenakkan bahwa 

Snefru masih belum mampu menghitung sudut-sudutnya. Piramida itu 

dirancang untuk memiliki sisi-sisi yang rata dan sangat terjal—tetapi semen￾tara pembangunan berlangsung, Snefru dan pimpinan proyeknya tampaknya 

menyadari bahwa perhitungan mereka meleset. Andai kata piramida tetap 

dibangun dengan sudut yang sedemikian lancip, berat batu di atas landasan 

yang secara relatif sempit itu akan menyebabkannya runtuh. Maka mereka 

membuat perubahan cepat dalam sudutnya, dan akibatnya piramida menjadi 

seperti berbahu bongkok; salah satu sisinya membenjol ke kanan.

Piramida ini selesai, tetapi tidak pernah digunakan. Snefru masih belum 

berhasil membangun sebuah tempat peristirahatan abadi yang memuaskan 

hatinya. Menjelang akhir masa pemerintahannya, ia memulai penggarapan 

piramidanya yang ketiga.

Piramida Utara, yang terletak hampir sejauh dua kilometer di sebelah 

Utara Piramida Bongkok, lebih lebar, lebih besar, dan lebih pendek dibanding 

piramida-piramida lain sebelumnya. Sudut Piramida Bongkok berubah ke￾lancipan sudutnya dari 52 derajat ke sudut landai 43 derajat; Piramida Utara 

sejak awalnya dirancang dengan sisi-sisi yang melandai pada sudut 43 derajat. 

Desain Snefru ini sedemikian baik rancangannya sehingga sekarang pun, lebih

dinding atau atap kamar-kamar yang terletak di bawahnya beban batu yang 

beratnya dua juta ton.

Piramida Utara (yang juga dijuluki “Piramida Merah”, karena lapisan luar 

batu kapur mulai mengelupas dan menjadikan batu pasir merah di bawahnya 

berkilat di sinar matahari) barangkali merupakan tempat pemakaman akhir 

Snefru. Para ahli arkeologi menemukan sebuah jenazah di dalamnya dan 

mengirimkannya ke British Museum untuk diidentifikasikan; jenazah itu 

hilang dalam perjalanan dan tak pernah ditemukan kembali.

Di mana pun terdamparnya tubuh Snefru, implikasi dari proyek 

bangunan rangkap tiga itu mengisyaratkan bahwa kepercayaan orang Mesir 

tentang masih hadirnya pharaoh yang wafat telah mengental ke dalam ritual. 

Snefru bertekad membuat sebuah tempat peristirahatan terakhir untuk 

dirinya sendiri yang tidak hanya menjadi tempat yang baik bagi rohnya 

untuk berjalan-jalan setelah kematiannya, tetapi yang juga berbeda dengan 

tempat-tempat berjalan pharaoh-pharaoh yang telah mendahuluinya. Dalam 

arti tertentu, kini kematian sudah dijinakkan. Para pharaoh telah merasuk 

kepercayaan yang cukup menenteramkan bahwa mereka masih akan tinggal 

di tengah rakyatnya. Kini, mereka dapat mengarahkan perhatian pada upaya 

melampaui pharaoh yang telah mendahului.

Bahwasanya Snefru dapat menyelesaikan sebuah piramida dan membangun 

dua lainnya mengisyaratkan bahwa Mesir kini bahkan sudah lebih kaya, lebih 

damai, dan lebih terkendalikan oleh kekuasaan pharaoh daripada sebelumnya. 

Anak lelaki Snefru, Khufu, mewarisi kekuasaannya dan menggunakannya se￾tandas-tandasnya.*∗

 Ia melanjutkan ekspedisi militer yang kurang lebih telah 

menjadi hal yang biasa untuk seorang raja Mesir; ia mengirim ekspedisi ke 

Sinai; berdagang untuk mendapat batu pirus; dan merancang piramidanya 

sendiri.

Menurut Herodotus, Khufu memerintah selama lima puluh tahun. 

Para ahli ilmu Mesir kuno memperkirakan masa pemerintahannya adalah 

setengahnya, tetapi dua puluh lima tahun pun sudah cukup panjang baginya 

untuk memulai proyek bangunan terbesar dalam sejarah. Piramidanya, 

Piramida Besar, dirancang dengan sebuah kompleks lengkap, didasarkan 

pada desain Snefru yang telah disempurnakan: piramida sendiri, sebuah 

jalur pengantar ke bawah menuju sebuah kuil lembah, sebuah kuil untuk 

persembahan di sebelah Timur, dan tiga piramida yang lebih kecil, mungkin 

untuk para permaisuri Khufu.

Piramida yang dibangun di tempat lain, di dataran Giza, itu puncaknya se￾tinggi 160 meter. Sudut kemiringannya 51º52´, lebih tajam daripada Piramida Utara karya Snefru yang berhasil itu tetapi tidak setajam Piramida Bongkok 

yang gagal; pimpinan proyek Khufu telah memetik manfaat dari contoh para 

pendahulunya. Sisi luar Piramida Besar sungguh-sungguh seragam; walaupun 

masing-masing sisi panjangnya sekitar 230 meter, dan seragam dengan sisi 

lainnya dengan batas selisih sebesar 20 sentimeter. Terowongan Utara yang 

mengantar ke Kamar Raja dirancang untuk menunjuk ke Bintang Kutub.

Walaupun tidak banyak yang kita ketahui secara pasti tentang kehidupan 

Khufu, berbagai cerita tentang pemerintahannya sampai juga kepada kita. 

Salah satunya menuturkan bahwa untuk menyediakan air untuk ratusan ribu 

pekerja yang menggarap Piramida Besar, Khufu membangun bendungan per￾tama dunia: Sadd al-Kafara, tiga puluh dua kilometer di sebelah Selatan Kairo. 

Dengan demikian, danau yang terjadi karena bendungan itu, yang bagian ter￾dalamnya mencapai hampir tiga puluh meter, merupakan bak penampungan 

air umum pertama dunia. Sebuah cerita lain mencatat bahwa pembangun 

Piramida Besar itu melecehkan dewa-dewa dan selama bertahun-tahun bersi￾kap mencemoohkan sampai akhirnya ia menyesal dan menulis satu seri Buku 

Suci.6

 Herodotus menulis bahwa 

untuk membangun Piramida Besar 

Khufu “telah menjerumuskan Mesir 

ke dalam suatu kondisi yang me￾nyedihkan … dan memerintahkan 

semua orang Mesir bekerja untuk￾nya.” 7

 Ia menambahkan dengan 

lugas. “Ia orang yang sangat jahat.” 

Herodotus, yang mencatat semua 

pharaoh dengan urutan yang keliru, 

sangat tidak dapat diandalkan dalam 

perkara ini, dan Buku-Buku Suci itu 

tidak pernah ditemukan; mungkin 

buku-buku itu tidak pernah ada. 

Tetapi tradisi sifat jahat Khufu, 

yang digemakan oleh lebih dari 

satu sumber, merupakan perkara 

yang menarik. Untuk membangun 

monumennya—sebuah struktur batu 

yang terdiri dari sekitar dua setengah 

juta balok batu, sedang setiap balok 

itu beratnya sekitar dua setengah ton—Khufu mengerahkan salah satu dari 

regu pekerja yang paling besar di dunia. Bahkan jika para pekerja tidak 

diperlakukan sebagai budak yang hina, kemampuan raja untuk menghimpun

suatu jumlah pekerja yang sedemikian besar dengan jelas menggambarkan 

kemampuannya untuk menindas rakyatnya. Piramida itu sendiri merupakan 

tanda kesaksian atas kekuasaan itu.

Cerita-cerita tentang kekejaman Khufu mengisyaratkan bahwa kese￾diaannya untuk menerapkan kuasa untuk keuntungannya sendiri dengan 

mengorbankan rakyatnya tidak berhasil dengan cukup baik. Ambisinya juga 

mendorongnya kepada ketidaksalehan; ia sedemikian sibuk membangun 

sehingga ia menutup kuil-kuil dan menyuruh rakyatnya untuk berhenti mela￾kukan persembahan. Salah satu cerita yang cukup kecut yang dituturkan oleh 

Herodotus menyebutkan bahwa Khufu, ketika mulai kekurangan dana dan 

perlu menghimpun sedikit lebih banyak uang lagi, menempatkan anak pe￾rempuannya di sebuah kamar disertai perintah untuk menghibur siapa pun 

lelaki yang mungkin ingin menengoknya dan menyerahkan dana yang dite￾rima kepadanya; anak perempuan itu berbuat begitu, tetapi ia mengatakan 

kepada setiap lelaki pada saat lelaki itu meninggalkan dia, untuk menum￾puk satu batu di lokasi pekerjaan baginya. Hasilnya adalah Piramida Ratu di 

tengah, yang terletak dekat Piramida Besar dan yang kiranya menampilkan 

semacam rekor dunia dalam hal pelacuran.8

Pada zaman Khufu, tujuan asli dari nekropolis (kota arwah) pertama yang 

dibangun oleh Imhotep telah terkaburkan. Piramida Besar dan monumen-mo￾numen yang menyusulnya merupakan contoh tertua yang masih ada dari apa 

yang kita sebut “arsitektur monumental”— bangunan yang jauh lebih terolah 

dalam hal ukuran atau desainnya daripada yang diperlukan demi kepraktisan. 

Dengan kata-kata ahli arkeologi Bruce Trigger, “Kemampuan untuk mengerah￾kan energi, khususnya dalam bentuk kerja berat orang lain untuk hal tidak 

berkegunaan adalah simbol kekuasaan yang paling dasar dan paling universal 

yang diketahui”.9

 Semakin kurang perlu dan kurang bermanfaat piramida itu, 

semakin nyatalah ia sebagai saksi akan kekuasaan pembangunnya. Rumah roh 

telah menjadi tanda wasiat kekuasaan yang bergemerlapan.

Hampir semua hal yang kita ketahui tentang Khufu terpusat di sekitar 

piramidanya. Hal-hal lain yang ia capai, apa pun wujudnya, telah hilang dari 

sejarah.

P B telah menjadi fokus dari teori yang lebih banyak jumlahnya 

daripada struktur lain (mungkin selain Stonehenge) dalam sejarah. Teori-teori 

tentang piramida berkisar dari yang rasional-namun-sulit-dibuktikan sampai 

yang benar-benar tidak masuk akal. Di antaranya: tata letak Piramida-Piramida 

di dataran Giza menampilkan di bumi konstelasi Orion (mungkin saja, tetapi 

ada terlalu banyak bintang yang kurang untuk menjadikan teori ini meyakin￾kan); Piramida Besar terletak pada pusat geografis bumi (ini hanya berlaku

jika Anda menggunakan proyeksi Mercator, yang agak mustahil bahwa sudah 

lazim digunakan oleh orang Mesir kuno); orang Mesir menggunakan sebuah 

koil energi yang disebut “Koil Caduceus” yang menyadap “kisi-kisi energi 

planeter” dan memungkinkan mereka untuk mengangkat balok-balok batu 

itu ke tempatnya. Yang cukup menggoda, tetapi anakronistis, “panel kontrol 

untuk kisi-kisi itu adalah Tabut Perjanjian.” 10 Telah dikemukakan juga bahwa 

Piramida Besar dibangun oleh penghuni Atlantis, yang berlayar dari benua 

mitis mereka dengan perahu-perahu mitis untuk membangun piramida￾piramida, tanpa sebab yang jelas, dan kemudian meninggalkannya. Teori￾teori lain menegaskan bahwa berbagai perhitungan matematis menunjukkan 

bahwa Piramida Besar adalah suatu “model berskala dari belahan bumi”, dan 

bahwa siapa pun yang telah membangunnya “mengetahui secara tepat jarak 

lingkar planet kita serta durasi tahun sampai ke beberapa angka desimal.” 11

Leluhur teori piramida yang aneh-aneh adalah Erich von Däniken, seorang 

pengusaha hotel berkebangsaan Swiss yang menjadi penulis pada awal tahun 

1960-an dan menerbit-kan sebuah buku yang berjudul Kereta-Kereta Dewa￾Dewa. Däniken menandaskan bahwa piramida-piramida tidak mungkin 

dibangun oleh orang Mesir karena mereka tidak memiliki kemampuan tek￾nologis yang diperlukan; dan, lebih lanjut, bahwa piramida-piramida muncul 

sekonyong-konyong tanpa ada apa pun yang serupa dengannya sebelumnya, 

hal mana berarti bahwa piramida-piramida itu mungkin sekali dibangun oleh 

makhluk alien.

Memang benar bahwa orang Mesir tidak berkecenderungan pada pemikir￾an matematis. Namun, mengamati garis-garis lurus sebuah dasar piramida 

bukan suatu pekerjaan yang terlalu rumit; yang dibutuhkan adalah kalku￾lasi yang memadai, tetapi bukan pemahaman konsep-konsep matematis yang 

lebih tinggi. Tugas memindahkan balok batu memang suatu tugas yang besar, 

tetapi itu pun adalah suatu kesulitan mekanis semata-mata. Herodotus meng￾atakan bahwa balok-balok itu ditarik melalui jalur tanah yang condong, suatu 

tugas yang jauh dari mustahil; berbagai percobaan menunjukkan seratus 

orang laki-laki mampu mengangkat sebuah balok batu seberat dua setengah 

ton dengan sebuah tali papyrus,12 khususnya jika bola-bola mineral dolomit 

keras disisipkan ke bawah batu sebagai penggelinding.

Adapun para penghuni Atlantis dan makhluk alien, perkembangan dari 

piramida-piramida yang gagal sebelum Khufu menunjukkan dengan cukup 

jelas bahwa pembangunan piramida tidak melompat muncul dalam bentuk 

begitu terkembang dari kepala suatu ras alien. Piramida-piramida itu ber￾kembang, dengan tahap-tahap yang mudah dilacak, secara langsung dari kota 

roh asli karya Djoser sampai ke tempat peristirahatan maharaksasa Khufu. 

Piramida-piramida itu hadir sebagai tanda wasiat, bukan dari kedatangan makhluk alien, tetapi dari keengganan orang Mesir untuk melepaskan kekua￾saan di hadapan kematian. Gilgamesh pergi ke pegunungan dan tidak kembali 

lagi. Tetapi bagi orang Mesir, yang selalu dapat melihat rumah roh raja mereka 

membayang di kejauhan, kekuasaan pharaoh selalu tetap hadir.




Sulit membayangkan orang Sumeria, dengan rasa kebebasannya yang 

sangat peka itu, memberikan kepada seorang penguasa kekuasaan sebesar 

yang diberikan kepada para pharaoh di Mesir. Para warga Sumeria tentu 

akan memberontak seandainya mereka diminta berpeluh-peluh selama dua 

puluh tahun dengan menggarap sebuah monumen untuk kebesaran penguasa 

mereka. Sedang raja Sumeria pun tidak menikmati keleluasaan untuk bisa 

memaksakan ketaatan semacam itu. Koalisi empat kota pada masa Gilgamesh 

adalah bentuk terdekat dengan sebuah kerajaan bersatu yang dialami Sumeria, 

dan koalisi itu pun berlangsung hanya lebih panjang sedikit dari usia hidup 

Gilgamesh. Anak lelakinya Ur-Lugal mewarisi kerajaannya dan berhasil men￾jaga keutuhannya, tetapi kota-kota itu telah menjadi lemah karena pertikaian 

yang terus menerus. Dan sementara Mesir tidak menghadapi suatu ancaman 

langsung dari luar perbatasannya, hal yang sama tidak terjadi di Sumeria. Di 

sebelah Timur, orang Elam menunggu kesempatan.

Orang Elam sudah lama mendiami kota-kota kecil mereka sendiri di 

sebelah Timur Teluk, sama masanya dengan masa ketika orang Sumeria 

menduduki dataran Mesopotamia. Asal usul pertama mereka, seperti halnya 

asal usul bangsa yang sangat kuno, tidak diketahui, tetapi kota-kota mereka 

berkembang tidak hanya di sebelah Selatan Laut Kaspia tetapi juga sepan￾jang plato gurun garam besar yang terbentang di sebelah Timur Pegunungan 

Zagros.

Sejak sekitar 2700 orang Elam juga mempunyai raja. Kota kembar Susa 

dan Awan menjadi pusat peradaban mereka. Awan (yang lokasi tepatnya tidak 

diketahui) merupakan kota yang lebih penting di antara keduanya. Sejauh 

seorang raja memiliki yurisdiksi atas penghimpunan pajak dari seluruh Elam, 

demikianlah raja Awan, tidak berbeda dengan sejawat Sumerianya di kota 

Kish.Inskripsi-inskripsi dari dua abad sesudah masa Gilgamesh memberi kita 

suatu gambaran tentang adanya sejumlah persaingan yang sedang berkembang. 

Orang Elam dan kota-kota di dataran Sumeria—Uruk dan Kish, tetapi juga 

kota Ur, Lagash, dan Umma, yang kini bertambah kekuatannya—bertarung 

dalam suatu rentetan peperangan untuk mendapatkan posisi pertama. Daftar raja Sumeria kekurangan beberapa nama dan karena cenderung 

mendaftar raja-raja dari berbagai kota yang memerintah pada waktu yang ber￾samaan seakan-akan mereka susul-menyusul, tidaklah mudah membangun 

sebuah kronologi yang tepat. Kita mengetahui bahwa suatu ketika setelah 

anak lelaki Gilgamesh mewarisi kerajaan dari ayahnya, kota Uruk ditaklukkan 

oleh Ur, dan bahwa Ur kemudian ”ditaklukkan dalam peperangan dan kera￾jaan dipindahkan ke Aswan”. Itu tampaknya mengisyaratkan adanya invasi 

Elam dengan kekuataan besar; dan sesungguhnya raja-raja dari dinasti Kish 

berikutnya memiliki nama Elam.

Sama sekali tidak semua kota Sumer jatuh ke kekuasaan orang Elam. Suatu 

ketika setelah invasi orang Elam, raja dari sebuah kota Sumeria lain, Adab 

—yang kedudukannya hampir tepat ditengah dataran Mesopotamia—me￾ngerahkan orang-orangnya kepadanya dan menantang kekuasaan Elam.

Raja itu, Lugulannemundu, memerintah sekitar 2500 SM. Untuk 

mengusir orang Elam, ia menyerang sebuah koalisi besar tiga belas kota yang 

dikuasai orang Elam. Menurut inskripsi kemenangannya sendiri, ia menang; 

ia menyebut dirinya raja ”keempat penjuru” (dengan kata lain, seluruh dunia) 

dan menyatakan bahwa ia ”memaksa semua daerah untuk membayar upeti 

tetap kepadanya [dan] mendatangkan damai kepada bangsa-bangsa itu ... [ia] 

memulihkan Sumer”.1

Jika ia benar-benar melakukan penaklukan itu, ia mempersatukan sebuah 

kekaisaran sementara yang lebih luas daripada kekaisaran Gilgamesh. Tetapi 

karya-karya besar Lugulannemundu yang mungkin telah menyelamatkan 

Sumer dari orang Elam dan melestarikan eksistensinya sebagai suatu ke￾budayaan mandiri sedikit lebih lama, tidak memicu imajinasi orang-orang 

sezamannya. Tidak ada puisi epik yang menggemakan penaklukan itu. 

Kerajaannya pun tidak berlangsung lebih lama daripada kerajaan Gilgamesh. 

Peristiwa penting berikutnya di dataran Sumeria adalah suatu pertikaian 

perbatasan antara kota Lagash dan Umma; suatu pertikaian biasa yang men￾jemukan atas sebentang tanah yang tidak istimewa yang pada akhirnya akan 

menyebabkan kebudayaan Sumeria berakhir.

I- yang mencatat awal pertikaian itu baru ditulis dua atau 

tiga generasi setelah masa pemerintahan Lugulannemundu, tetapi kerajaan￾nya telah lebur. Raja-raja Sumeria memerintah dengan kekuatan senjata dan 

kharisma. Kerajaan mereka tidak memiliki birokrasi yang tertata untuk me￾nunjang mereka. Ketika mahkota beralih dari pejuang yang dinamis kepada 

anak lelakinya yang kurang memiliki talenta, maka kerajaan-kerajaan itu mau 

tidak mau runtuh.

Kerajaan Lugulannemundu runtuh sedemikian cepatnya sehingga kota 

kedudukannya Adab bahkan tidak lagi merupakan sebuah kekuasaan di atas 

panggung Sumeria. Ketika Lagash bertingkai dengan Umma, seorang raja 

lain—raja Kish, yang dahulu pernah naik namanya—melangkah masuk. 

Kedua kota yang terpisah oleh jarak sembilan puluh kilometer itu telah sa￾ling melanggar wilayah satu sama lain. Raja Kish, Mesilim menengahi dan 

memberitahukan bahwa Sataran, dewa jaksa Sumeria, telah menunjukkan 

kepadanya batas-batas yang sebenarnya yang harus ditaati oleh kedua kota 

itu. Ia mendirikan sebuah stele (tonggak berinskripsi) untuk menandai garis 

itu: ”Mesilim, raja Kish”, bunyi sebuah inskripsi yang memperingati kejadian 

itu, ”menetapkan ukurannya sesuai dengan sabda Sataran”.2

 Kedua kota tam￾paknya menyetujui keputusan itu; klaim bahwa s

Related Posts:

  • dunia kuno 4 elum Hammurabi (s. 1750 SM) bersifat problematis. Bahkan naiknya Hammurabi mengandung unsur kekeliruan sekitar lima puluh tahun pada kedua sisinya, dan ketika kita kembali ke tahun 7000 SM unsur kekeliruan&nbs… Read More