Sabtu, 30 November 2024

dunia kuno 3



 nuntut hak untuk memerintah, pertama 

kalinya, bukan berdasarkan kekuatan atau kearifan tetapi berdasarkan hak 

darah keturunan.

Raja kesepuluh Kish setelah air bah, Atab, adalah raja pertama yang digan￾tikan oleh anak lelakinya dan kemudian cucu lelakinya. Dinasti tiga generasi 

ini adalah pergantian kuasa berdasarkan darah yang paling awal dalam catatan 

sejarah. Tetapi ketika raja berikut, Etana, baik tahta, ia menghadapi suatu 

kesulitan yang baru sama sekali. 

Tentang Etana, daftar raja hanya mengatakan bahwa ia ”naik ke langit”—

sebuah detail yang diberikan tanpa penjelasan. Untuk mendapatkan penjelasan 

lebih jauh, kita harus mencarinya di sebuah puisi dari masa yang jauh lebih 

kemudian, yang tampaknya menyimpan sebuah cerita Sumeria yang lebih 

tua. Dalam puisi itu, Etana adalah seorang raja yang saleh, berbakti kepa￾da dewa-dewa, tetapi ia dirundung kedukaan besar: ia tidak memiliki anak. 

Dalam doa-doanya ia meratap,

Aku telah memuja dewa-dewa dan menghormat roh-roh para leluhur,

Para penafsir mimpi telah menggunakan dupaku sampai tandas,

 Dewa-dewa telah menggunakan domba-dombaku di pembantaian sampai 

tuntas...

Singkirkanlah maluku dan berilah aku seorang anak lelaki!2

Dalam sebuah mimpi yang menakutkan, Erana melihat bahwa kotanya 

akan menderita jika ia tidak dapat menyediakan pewaris untuk tahtanya:

Kota Kish tersedu-sedan

Di dalamnya para penduduk berkabung...

Erana tak mampu memberimu ahli waris!3

Hampir tanpa catatan, sebuah perubahan besar telah terjadi pada manusia. Tahta 

kerajaan telah menjadi turun temurun. Pemimpin yang mengemban tanggung￾jawab untuk kebaikan rakyat kini menerima tugas itu sejak lahir, tertuju ke 

tugas itu berdasarkan darahnya. Untuk pertama kalinya kita melihat muncul￾nya suatu aristokrasi: sebuah kelompok yang terlahir untuk memerintah.

Dewa-dewa berkasihan kepada Erana dan menunjukkan sebuah jawaban 

kepadanya. Ia harus menunggang seekor rajawali ke langit; di sana ia akan 

menemukan tanaman kelahiran, rahasia untuk memperanakkan seorang anak 

lelaki. Papan inskripsi pecah di sana dan kelanjutan ceritanya hilang. Tetapi 

daftar raja mengatakan bahwa Balih, anak lelaki Erana, naik tahta setelah ke￾matian Etana, jadi kita dapat mengasumsikan bahwa usahanya berhasil.

Ketidaksetaraan telah dibakukan ke dalam darah. Seperti ide tahta kera￾jaan sendiri, ide aristokrasi sejak lahir tidak pernah benar-benar lenyap. 

Karena mereka yang terlahir untuk memimpin harus jelas-jelas mengen￾dalikan sebanyak mungkin wilayah, maka Etana ”menyentosakan wilayah” 

untuk anak lelakinya.

Kota-kota Mesopotamia itu independen, masing-masing diperintah oleh 

seorang pangeran setempat. Tetapi Kish terletak di antara kedua sungai, sebuah 

posisi yang mau tak mau menuntut penegakan suatu adikuasa. Bagaimanapun, 

Sumer tidak memiliki kayu asli; yang ada hanya pohon palem impor, sebuah 

bahan bangunan kelas tiga. Tidak ada batu, tembaga, batu obsidian, yang 

ada hanya lumpur dan sedikit endapan bitumen (aspal, yang digunakan se￾bagai ”bahan bakar ter” untuk obor dan semen). Kayu harus didatangkan 

dari Pegunungan Zagros di sebelah timur laut atau diangkut dari Pegunungan 

Libanon di sebelah barat laut. Tembaga berasal dari pegunungan Arab di sebe￾lah selatan, lapis lazuli dari daerah cadas di utara dan timur; batu dari gurun 

di sebelah barat dan batu obsidian dari sebelah utara jauh. Sebagai bahan 

pertukaran, kota-kota Sumeria menjajakan hasil-hasil dari sebuah masyara￾kat tani: bebijian, pakaian, kulit, gerabah. Pot dan pinggan Sumeria muncul 

di sebuah jalur luas pemukiman-pemukiman kecil dan kota-kota di seluruh 

Eropa timur dan Asia utara.

Sebagian dari perdagangan ini menjelajahi jalur gurun di timur dan barat, 

tetapi sebuah jalur besar berhilir-mudik melalui Tigris dan Efrat; nama lama 

Efrat, yakni Uruttu, berarti ”sungai tembaga”. Lembah Mesopotamia, seper￾ti yang dikemukakan oleh ahli arkeologi Charles Pellegrino, adalah sebuah 

peradaban linear: ”sebuah oase yang panjangnya ribuan mil dan lebarnya

kurang dari sepuluh mil”.4 Jika sebuah kota di bagian hilir bermaksud mengi￾rim dagangan ke daerah hulu di pegunungan Libanon untuk membeli kayu, 

barang-barang itu harus melewati Kish. Raja Kish, yang memungut suatu per￾sentase dari perdagangan yang melewati kotanya, dapat menghiasi sarangnya 

sendiri dengan mencabut sedikit bulu dari pangeran-pangeran lainnya.

Ketika anak lelaki Erana mewarisi tahta, Kish telah menggantikan kota 

tua Eridu di sebelah selatan sebagai kota yang paling berkuasa di dataran itu. 

Pada 2500, raja-raja dari kota-kota lain kadang-kadang mengklaim gelar ”raja 

Kish” seolah-olah itu sudah menjadi gelar kehormatan, yang menyatakan se￾macam kewibawaan terhadap kota-kota Sumeria lainnya.5

Namun, memungut upeti adalah suatu hal, sedang penaklukan yang 

sebenarnya adalah suatu perkara lain. Erana dan wangsanya tidak pernah me￾lebarkan kuasa kekaisaran ke kota-kota Sumer lain. Sulitnya menggerakkan 

tentara bolak-balik di sepanjang dataran itu mungkin telah mencegah raja￾raja Kish untuk benar-benar menaklukkan kota-kota lainnya; atau barangkali 

mereka sama sekali belum memiliki pemikiran tentang kepemimpinan adiraja 

untuk melengkapi ide tahta kerajaan dan aristokrasi. Pembangun kekuasaan 

kekaisaran pertama akan datang dari sebuah bangsa yang sama sekali lain.




Di sebelah tenggara Sumer, di belakang pantai Laut Tengah, pemba￾ngun kekaisaran pertama menyapu seluruh lembah sungai Nil.

Seperti para raja pertama Sumer, Raja Scorpio melayang di perbatasan an￾tara sejarah dan mitos. Ia tidak muncul di daftar raja mana pun; eksistensinya 

hanya sebagai sebuah gambar yang dipahat di pucuk senjata seremonial. Tetapi, 

berbeda dengan raja-raja pertama Sumer, yang menghuni masa lampau nan 

jauh yang kabur, Raja Scorpio hidup nyaris dalam lingkungan sejarah tertulis. 

Ia menggelar usahanya untuk menaklukkan dunianya sekitar 3200 SM.

Raja Scorpio adalah keturunan suatu bangsa Afrika yang dahulu bermu￾kim di kedua sisi lembah Nil. Berabad-abad sebelum kelahirannya—pada 

masa Alulim yang melegenda memerintah Sumer yang lebih lembab dan 

sejuk—lembah Nil barangkali tak dapat dihuni. Setiap tahun, ketika hujan 

deras membasahi pegunungan-pegunungan selatan, air yang terkumpul itu 

meluncur dengan deras di sepanjang Nil, ke utara ke Laut Tengah, dan meng￾genangi daerah di sekitarnya. Banjir itu sedemikian dahsyat sehingga sedikit 

saja kelompok pemburu dan pengumpul yang berani berkeliaran. Alih-alih, 

mereka menghuni daerah-daerah yang lebih ramah di sebelah timur dan barat: 

mereka bermukim dekat dengan pesisir Laut Merah dan berkelana ke Sahara. 

Pada tahun-tahun yang lebih lunak dan lebih lembap itu Sahara ditumbuhi 

rumput dan berair. Para ahli arkeologi telah menemukan dedaunan, pepoho￾nan, dan sisa-sisa binatang buruan di bawah pasir.

Tetapi pola cuaca panas dan kering yang mengubah dataran Mesopotamia 

juga membuat Sahara menjadi kersang. Penduduk Sahara berpindah ke timur, 

menuju lembah Nil yang terairi dengan baik. Berkat berkurangnya hujan, 

banjir Nil telah menjadi sedang; para pengungsi mengalami bahwa mere￾ka dapat mengatasi banjir tahunan dengan menggali tempat penampungan  untuk menyimpan air pada masa banjir serta saluran untuk mengairi ladang 

di bulan-bulan kering. Mereka membangun permukiman di kedua tepi, me￾nanam bebijian di lendut gelap yang ditinggalkan oleh banjir, dan berburu 

binatang buas di paya-paya: sapi liar, kambing ibex, buaya, kuda nil, ikan dan 

burung. Bangsa-bangsa lain datang dari pesisir barat Laut Merah bergabung 

dengan mereka. Merekalah penduduk penuh pertama lembah Nil: orang￾orang Mesir pertama.*

Berbeda dengan Sumer, lembah Nil memiliki binatang buruan dan ikan, 

tembaga, emas, rami, papirus—semuanya kecuali kayu. Orang Mesir memang 

berdagang ke barat untuk mendapatkan gading, ke timur untuk mendapatkan 

kerang, dan ke utara untuk mendapatkan batu semi-berharga, tetapi untuk 

kebutuhan hidup mereka hanya memerlukan Nil.

Bengawan Nil, urat nadi Mesir, mengalir melalui sebuah lembah sepanjang 

lima ratus mil, di beberapa tempat tebingnya karang dan di tempat lain dataran 

rendah. Banjir tahunan berawal di hulunya, di tempat yang kini merupakan da￾taran tinggi Etiopia, mengalir turun melewati Katarak Kedua menuju Katarak 

Pertama, mengalir miring mengitari sebuah kelokan di mana raja-raja pada 

suatu ketika akan dikuburkan, dan menderu menuju suatu dataran rendah di 

mana sungai itu akhirnya pecah menjadi selusinan sungai kecil: Delta Nil.

Karena Nil mengalir dari selatan ke utara, jelaslah bagi orang Mesir bahwa 

setiap sungai lainnya mengalir ke arah belakang. Dinilai dari aksara hiroglif 

lebih muda, mereka menggunakan satu kata untuk utara, hilir, dan belakang ke￾pala, dan sebuah kata lain untuk hulu, selatan, dan wajah;

1

 seorang Mesir selalu 

mencari arah dengan berpaling ke selatan ke arah datangnya aliran Nil. Sejak 

masa pemukiman paling awal, orang Mesir mengubur orang mati di pinggir 

gurun, dengan kepalanya diarahkan ke selatan dan wajah ke barat ke arah gurun 

Sahara. Kehidupan datang dari selatan, tetapi Negeri Orang Mati ke barat arah￾nya, ke gurun yang mereka tinggalkan ketika rumput dan air lenyap.

Orang Mesir memberi dua nama yang berbeda kepada negeri mereka. 

Daerah di mana banjir tahunan meninggalkan endapan lumpur adalah 

Kemet, Tanah Hitam; hitam itulah warna kehidupan dan kebangkitan. 

Tetapi di seberang Tanah Hitam terbentanglah Deshret, Tanah Merah maut. 

Garis antara kehidupan dan kematian sedemikian jelas sehingga seseorang 

dapat membungkuk dan meletakkan sebelah tangannya di bumi subur yang 

hitam, dan sebelah tangan lainnya di gurun yang merah terbakar mentari.

Kenyataan ganda, suatu eksistensi yang digelar antara dua ekstrem ini 

digemakan dalam peradaban Mesir yang bertumbuh. Seperti kota-kota 

Sumer, kota-kota Mesir mengalami ”banjir masuk”nya pemukim pada 

3200 SM. Nubt (juga disebut Nadaqa), di jalur timur-barat yang meng￾arah ke tambang-tambang emas, menjadi kota terkuat di selatan, sementara 

Hierakonpolis, yang didiami sekurang-kurangnya sepuluh ribu jiwa, ter￾letak tidak jauh dari sana. Sejak cukup awal kota-kota di sebelah selatan 

mengidentifi-kasikan diri bukan sebagai terpisah dan berdaulat, tetapi seba￾gai bagian dari sebuah kerajaan: Kerajaan Putih (juga disebut ”Mesir Hulu”, 

karena letaknya di bagian hulu dari arah Laut Tengah), yang diperintah oleh 

seorang raja yang mengenakan mahkota silinder Mahkota Putih. Di bagian 

utara Mesir (”Mesir Hilir”), kota-kota berhimpun membentuk sebuah ali￾ansi yang disebut Kerajaan Merah; kota Heliopolis dan Buto berkembang 

menjadi menonjol. Raja Mesir Hilir mengenakan Mahkota Merah dengan 

sebuah sosok kobra melingkar dari sisi muka mahkota (lukisan tertua mah￾kota itu berasal dari sekitar 4000 SM),2

 dan dilindungi oleh seorang dewi 

kobra yang meludahkan racun kepada musuh-musuh raja.

3

 Kedua kerajaan, 

Putih dan Merah, seperti Tanah Merah dan Tanah Hitam, mencerminkan 

kenyataan dasar Mesir berikut: dunia terdiri dari kekuatan-kekuatan yang 

berimbang dan saling bertentangan.

Berbeda dengan daftar raja Sumeria, yang tampaknya bermaksud mencatat 

awal waktu, daftar-daftar raja Mesir paling tua tidak merunut balik ke Kerajaan 

Putih dan Kerajaan Merah, maka nama raja-raja mereka hilang. Tetapi untuk 

keberadaan Raja Scorpio kita memiliki sejenis kesaksian yang berbeda: sebuah 

kepala tongkat kebesaran yang digali di kuil di Hierakonpolis. Di sana, seorang 

Raja Putih yang mengenakan Mahkota Putih yang khas merayakan kemenangan 

terhadap tentara-tentara Kerajaan Merah (dan memegang sebuah alat irigasi, 

yang menunjukkan kekuatannya untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya). Di 

sebelah kanannya, sebuah tulisan hiroglif mencatat namanya: Scorpio.


Raja Scorpio sendiri mungkin berasal dari Hierakonpolis, suatu kota ganda. 

Hierakonpolis semula merupakan dua kota yang terpisah oleh Nil: Nehken, 

di sisi barat, dibaktikan kepada dewa-elang, dan Nekheb di sisi timur dikawal 

oleh dewi-hering. Dengan berlalunya waktu, kedua kota yang terpisah itu tum￾buh menjadi satu kota, yang dijaga oleh dewi-hering. Barangkali Raja Scorpio, 

dengan melihat kedua belah itu bersatu, mulai menyusun rencana untuk meng￾gabungkan Kerajaan Putih dan Kerajaan Merah di bawah satu raja.

Kemenangannya, yang barangkali terjadi sekitar 3200 SM, berlangsung 

sementara. Sebuah pahatan lain mencatat persatuan kembali kedua kerajaan 

di bawah seorang Raja Putih lain, mungkin seratus tahun sesudahnya. Seperti 

kepala tongkat Raja Scorpio, pahatan itu ditemukan di kuil di Hierakonpolis. 

Dikerjakan pada sebuah palet (sepotong batu rata yang berfungsi sebagai ”kanvas”), pahatan itu menunjukkan seorang raja yang mengenakan Mahkota 

Merah pada bagian depan palet, dan Mahkota Putih pada bagian sebaliknya. 

Sebuah tulisan hiroglif menyebut nama raja itu: Narmer.

Nama Narmer berarti ”Madulelang Menggeram”, atau lebih pui￾tis ”Madulelang Yang Seram”. Itu suatu pujian, karena madulelang adalah 

yang paling pemberani dan paling agresif di antara semua ikan. Pada bagian 

belakang Palet Namer, dalam kedudukannya sebagai Raja Putih, Narmer 

mencengkeram rambut seorang pejuang Kerajaan Merah. Pada bagian depan, 

Narmer—setelah melepas Mahkota Putih dan menggantinya dengan mema￾kai Mahkota Merah—berdefile dengan jaya melewati mayat pejuang-pejuang 

yang sudah dipenggal kepalanya. Akhirnya ia berhasil mereut Kerajaan Merah 

ke bawah kekuasaan Kerajaan Putih.Tampaknya sungguh mungkin bahwa Narmer adalah nama lain untuk 

Menes, yang muncul dalam daftar-daftar raja Mesir sebagai raja manusia 

Mesir.*

 Tentang dia, imam Mesir Manetho menulis: 

Setelah [dewa-dewa] dan setengah dewa.

Datanglah Dinasti Pertama, dengan delapan raja.

Menes adalah yang pertama.

 Ia memimpin bala tentara menyeberangi perbatasan dan meraih kemu￾liaan besar.4

 

Peleburan perbatasan—batas antar kedua kerajaan—menciptakan kekaisaran 

pertama, dan salah satu kekaisaran yang paling lama di dunia: sungguh suatu 

kemuliaan yang bear.

Cerita Manetho terbentuk jauh setelah kejadiannya sendiri. Manetho 

bertugas di kuil dewa matahari Ra di Heliopolis dua puluh tujuh abad sesu￾dahnya; sekitar 300 SM, ia memutuskan sendiri untuk mendamaikan versi 

daftar-daftar raja Mesir yang berbeda-beda menjadi satu dokumen dengan 

menggunakan (catatan-catatan di antaranya) sebuah papirus yang disebut 

Kanon Torino, yang juga mengidentifikasikan Menes (”Orang-orang lelaki”) 

sebagai raja pertama Mesir.** Ketika ia menyusun daftar, Manetho mengatur 

penguasa Mesir sejak 3100 yang jumlahnya banyak itu ke dalam kelompok￾kelompok, dan mengawali satu kelompok baru setiap kali satu wangsa baru 

naik tahta, atau ketika kerajaan berpindah tempat. Ia menyebut kelompok￾kelompok itu dynasteia, sebuah istilah Yunani untuk ”kuasa memerintah”. 

”Dinasti-dinasti” Manetho tidak selalu akurat, tetapi telah menjadi titik-titik 

pedoman tradisional dalam sejarah Mesir.

Bagi Manetho, Dinasti Pertama mulai ketika kedua bagian Mesir disatukan 

di bawah raja pertama seluruh Mesir. Menurut sejarawan Yunani Herodotus, 

Menes/Narmer merayakan kemenangan dengan membangun sebuah ibuko￾ta yang sama sekali baru di Memphis, titik pusat kerajaannya yang baru. 

Memphi berarti ”Tembok Putih”; tembok-temboknya diplaster sehingga ber-

kilat di sinar matahari. Dari kota putih itu penguasa Mesir yang dipersatukan 

dapat mengendalikan baik lembah di sebelah selatan maupun delta di sebelah 

utara. Memphis titik tumpu di mana kedua kerajaan diimbangkan.

Sebuah pemandangan lain yang dipahat pada sebuah kepala tongkat me￾nunjukkan Narmer/Menes memakai Mahkota Merah dan menghadiri suatu 

seremoni yang sangat menyerupai suatu perkawinan; mungkin pendiri Dinasti 

Pertama yang jaya menikahi putri dari Kerajaan Merah guna menyatukan 

kedua kerajaan di dalam tubuh para ahli waris Mahkota Ganda.

Untuk sejarah Mesir selanjutnya, kegandaan asal-usulnya diabadikan 

dalam rajanya. Ia disebut Tuan Kedua Daerah, dan Mahkota Gandanya ter￾diri dari Mahkota Merah Mesir Hilir yang dipasang di atas Mahkota Putih 

Mesir Hulu. Burung hering dari selatan dan ular kobra dari utara, yang satu 

merayap di bumi dan yang lainnya mendiami langit, menjaga kerajaan yang 

dipersatukan. Kekuasaan-kekuasaan yang bertikai telah disatukan menjadi se￾buah kesatuan yang kuat dan seimbang.

Narmer sendiri memerintah selama enam puluh empat tahun, kemu￾dian pergi berburu kuda nil, suatu perburuan yang dilakukan secara tradisi 

oleh raja sebagai suatu pameran kekuasaannya terhadap musuh-musuh yang 

mengancam peradaban. Menurut Manetho, ia dipojokkan oleh kuda nil dan 

terbunuh di sana.


Pada tahun-tahun ketika raja-raja Kish memungut bea dari kapal-kapal 

yang berlayar hilir mudik di sungai Efrat, dan ketika tembok-tembok putih 

Memphis menjulang di pusat Mesir yang seimbang, peradaban besar ketiga 

zaman kuno masih berupa sederetan desa di sebuah dataran sungai. Tidak 

akan terdapat kota-kota besar dan pembangunan kekaisaran di India selama 

sekurang-kurangnya enam ratus tahun.

Orang-orang yang menetap di sepanjang sungai Indus bukanlah penduduk 

kota. Mereka pun bukan penyimpan daftar seperti orang Sumeria. Mereka 

tidak memahat rupa pemimpin mereka pada batu, atau mengabadikan hasil￾hasil mereka pada tablet. Jadi, kita mengetahui sangat sedikit mengenai lima 

abad pertama India.

Kita dapat mencoba menggali kisah epik India untuk mendapatkan petun￾juk. Walaupun ditulis sangat lama kemudian (ribuan, bukan ratusan, tahun 

setelah pemukiman-pemukiman pertama), kisah-kisah itu menyimpan sebu￾ah tradisi yang jauh lebih tua. Namun bahkan dalam tradisi ini pun hanya 

satu raja, dan satu tanggal, yang menonjol dengan jelas. Pada tahun 3102, raja 

Manu yang bijaksana mengepalai mulainya abad ini, dan abadnya masih akan 

berlangsung lebih dari empat ratus ribu tahun.

Jauh sebelum tahun 3102, gembala dan pengembara masuk ke India. 

Sebagian datang dari Asia Tengah melewati celah di pegunungan Utara yang 

kini bernama Celah Khyber. Sebagian lainnya mungkin mendaki menyebe￾rang Himalaya sendiri (kerangka yang ditemukan di sana sini mengisyaratkan 

bahwa jalur ini sama berbahaya dahulu seperti sekarang).

Mereka menemukan iklim hangat dan air di seberang pegunungan. 

Himalaya berperan sebagai tameng terhadap cuaca beku, sehingga bahkan

pada musim dingin suhu udara turun hampir tidak sampai lima puluh derajat. 

Pada musim panas, matahari memanaskan pedesaan Indian sampai menye￾ngat. Tetapi dua sungai besar mencegah subkontinen tersebut dari kegersa￾ngan gurun. Salju dan es yang meleleh mengalir turun dari pegunungan ke 

sungai Indus, yang mengalir dari sebelah Barat Daya melewati India ke Laut 

Arab; gunung-gunung juga mengalirkan air ke sungai Gangga yang terjun 

dari tebing-tebing Himalaya ke Teluk Bengala, jauh di pantai Timur. Pada 

masa tatkala Sahara masih hijau, gurun Thar di sebelah Timur sungai Indus 

juga hijau, dan masih ada satu sungai lagi, yang sudah sejak lama kering, 

mengalir di sana ke Laut Arab.1

Mungkin, dua ribu tahun setelah tanaman pangan ditanam untuk per￾tama kali di Mesopotamia dan Mesir, pengembara-pengembara dari Utara 

menetap di daerah berbukit tepat di sebelah Barat Indus, yang kini bernama 

Balukhistan. Desa-desa kecil bertebaran di sepanjang sungai Indus dan kelima 

cabang dari ujung hulunya: Punjab (panj-ab, ”Kelima Sungai”). Desa-desa lain 

tumbuh di sepanjang Gangga. Lebih jauh di Selatan India, perkakas-perkakas 

yang serupa dengan yang digunakan di Afrika Selatan mengisyaratkan bahwa 

beberapa orang berjiwa pemberani mungkin telah bertolak dari pantai Afrika, 

berlayar ke pantai tenggara India dan menetap di sana.

Terpisah satu dari yang lain oleh rintangan fisik yang besar. Ratusan kilo￾meter dataran dan dua rantai pegunungan, Vindhya dan Satpura, memisahkan 

daerah Utara dari penduduk di daerah Selatan, yang sejarahnya dikenal dari 

masa yang jauh sesudahnya. Ketika cuaca menjadi panas, terbentanglah pasir 

gurun sejauh lima ratus kilometer antara lembah Gangga dan pemukiman￾pemukiman di daerah Barat Laut. Sejak awal sejarah India, penduduk daerah 

Selatan, Timur, dan Barat laut hidup secara mandiri satu dan yang lainnya.

Desa-desa di dekat Indus, di daerah Barat Laut, adalah yang pertama ber￾kembang menjadi kota.

Rumah-rumah paling awal di lembah sungai Indus dibangun di dataran 

sungai, mungkin satu setengah kilometer jauhnya dari sungai, jauh di atas 

garis banjir. Bata lumpur akan lebur di dalam air sungai dan tanaman akan 

hanyut. Kenyataan hidup pertama di lembah Indus—seperti di Mesir dan 

Sumer—ialah bahwa air membawa baik kehidupan maupun kematian.

Itu mengantar kita kepada raja pertama India, Manu Vaivaswata. Sebelum 

Manu Vaivaswata, demikianlah bunyi cerita, enam raja setengah dewa meme￾rintah India. Masing-masing menyandang gelar nama Manu dan memerintah 

selama satu Manwantara, suatu masa yang lebih lama dari empat juta tahun.

Dengan jelas kita berada di dalam alam mitologi, tetapi menurut tradisi, 

mitos mulai bersilangan dengan sejarah dalam pemerintahan Manu ketu￾juh. Manu ini, yang sering disebut ”Manu” semata-mata, terkadang dikenal

dengan nama lengkap Manu Vaivaswata. Pada suatu hari, ketika ia sedang 

membasuh tangannya datanglah seekor ikan menggeliang-geliut kepadanya 

sambil memohon perlindungan terhadap ikan yang lebih besar dan lebih per￾kasa yang memangsa ikan yang lemah, seperti ”yang menjadi kebiasaan di 

sungai”. Manu merasa iba dan menyelamatkan ikan itu.

Setelah berlalunya bahaya bahwa akan dimangsa, ikan itu membalas ke￾baikannya dengan memberi peringatan akan datangnya sebuah bah yang akan 

menyapu langit dan bumi. Maka Manu membuat sebuah kapal kayu dan naik 

ke dalamnya bersama tujuh orang bijak yang disebut Rishi. Ketika air bah 

telah surut, Manu melempar sauh di sebuah pegunungan nun jauh di Utara, 

mendarat dan menjadi raja pertama India masa sejarah; sementara itu, ketu￾juh Rishi itu menjadi ketujuh bintang Biduk. Waktu itu tahun 3102. 

Untuk keperluan rekonstruksi sejarah India, cerita ini lebih mirip asap 

daripada api. Manu Vaivaswata tidak mengklaim eksistensi nyata sebesar Raja 

Scorpio di Mesir, walaupun mereka tampaknya hidup pada abad yang sama 

dan tanggal 3102 yang ketepatannya cukup mengherankan adalah hasil dari 

penetapan balik yang dilakukan oleh sarjana-sarjana sastra sekurang-kurang￾nya dua ribu tahun sesudahnya, ketika tradisi lisan mulai dituliskan. Tetapi 

tanggal itu sendiri muncul dalam banyak tuturan sejarah India; tanggal-tang￾gal yang pasti dalam sejarah India kuno sulit didapat, maka para sejarawan 

yang menyandarkan diri pada tanggal itu berbuat hal itu lebih untuk mencari 

ketenangan daripada kepastian. (”Itulah tanggal pertama yang dapat diper￾cayai dalam sejarah India”, tulis John Keay, ”dan karena merupakan suatu 

tanggal yang ketepatannya sedemikian tak mungkin dibuktikan, tanggal itu 

pantas dihormati”.)2

Satu-satunya kepastian mengenai tahun 3102 ialah bahwa sekitar tang￾gal itu desa-desa di lembah Indus memang mulai berkembang menjadi kota. 

Rumah dua-lantai mulai muncul; para penetap di lembah Indus mulai mem￾buat tembikar dengan jentera dan membuat perkakas dari tembaga. Mereka 

mulai menebang pepohonan hutan dan membakar lempung di tanur. Bata 

bakaran, yang lebih tahan daripada bata yang dikeringkan di terik matahari, 

kurang rentan terhadap air bah yang berpusar-pusar. Setelah tahun 3102 air 

tidak memiliki lagi daya yang sedemikian merusak.

Batu pirus dan lapis lazuli, yang dibawa dari dataran Utara Mesopotamia, 

terhampar di reruntuhan rumah-rumah yang paling kaya. Penduduk kota 

telah meninggalkan dataran untuk berdagang melalui Efrat dan Tigris, dengan 

pedagang-pedagang yang juga menyediakan batu-batu setengah berharga 

untuk raja Kish, Nippur, dan Ur. 

Namun, walaupun kemakmuran dan jangkauan kota-kota Indus bertam￾bah, kisah-kisah India tidak mengabarkan kemajuan melainkan kemunduran.

Air bah telah menyapu bersih abad pendahulu dan mengawali suatu abad 

baru; abad kota adalah Kali Yuga, Abad Besi. Itu mulai ketika Manu turun dari 

pegunungan, dan abad itu adalah abad kekayaan dan industri. Itu juga abad 

ketika kejujuran, tenggang rasa, kasih sayang, dan kebaktian merosot menjadi 

seperempat dari kadar sebelumnya.*

 Pada Abad Besi, demikian peringatan dari 

tulisan-tulisan suci, pemimpin-pemimpin akan menyita barang-barang yang 

menjadi milik bangsanya dengan dalih krisis inansial. Orang yang kuat akan 

mengambil milik orang yang lemah, dan merebut kekayaan yang diperoleh 

dengan susah payah untuk diri mereka sendiri. Orang kaya akan meninggal￾kan ladang serta kawanan hewannya dan menggunakan waktu mereka untuk 

melindungi uang mereka, sehingga mereka lebih menjadi budak dari harta 

duniawi mereka daripada orang-orang merdeka yang tahu cara menggunakan 

dunia ini.

Menilik cukup mudanya tanggal penulisan peringatan yang mengerikan 

itu, peringatan itu mungkin mencerminkan keprihatinan suatu masyarakat

yang lebih matang—yang sudah memiliki sebuah birokrasi yang besar tetapi 

tidak produktif, yang menguras harta masyarakat. Tetapi para penutur ceri￾ta sendiri menempatkan kemerosotan itu jauh ke tahun 3102, tahun ketika 

desa-desa di sepanjang Indus mulai berkembang menjadi kota.

Manu sendiri, sambil berlutut di dekat air yang segera akan menyapu ber￾sih abad pendahulu dan menimbulkan kemerosotan Kali Yuga, mendapati 

dirinya berbicara dengan seekor ikan kecil yang terpaksa meminta perlindun￾gan terhadap ikan yang lebih besar dan lebih kuat yang memangsa ikan yang 

lemah. Di India, perjalanan menuju peradaban baru saja mulai; tetapi seperti 

di Sumer sendiri, itu suatu perjalanan yang mengantar bangsanya semakin 

menjauh dari firdaus.

Catatan tentang sumber-sumber untuk sejarah India: Para sejarawan tentang India bekerja dalam 

suatu kancah yang penuh muatan politik. Sumber-sumber tertulis, termasuk yang menuturkan 

tokoh mitologis Manu dan Abad Emas, Tembaga, Perak, dan Besi, adalah tradisi lisan yang di￾tuliskan jauh sesudahnya dalam bahasa Sanskerta. Gerakan politik di India yang dikenal sebagai 

”Nasionalisme Hindu” atau ”Hindutva” mengklaim bahwa tradisi ”Hindu” (atau ”Brahmani”) 

yang berasal dari masa kemudian itu secara hakiki berasal dari India sendiri. Banyak sejarawan 

akademik, khususnya Romila Thapar, sebaliknya berpendapat bahwa apa yang kini kita sebut 

”Hinduisme” timbul sebagai percaturan antara tradisi-tradisi asli dan para imigran masa sesu￾dahnya dari Asia Tengah (yang disebut ”penginvasi Aryan”; lihat Bab Dua Puluh Lima dan Tiga 

Puluh Tujuh), dan bahwa tulisan-tulisan bahasa Sanskerta mewakili gagasan sebuah kelompok 

kecil dan elit dari para imigran Aryan. Dalam artian sejarah, itu berarti bahwa cerita tertulis 

tentang Manu dan Abad Besi secara praktis tidak memiliki kesinambungan dengan peradaban￾peradaban paling awal India. Namun, teori invasi orang Aryan terdistorsi pada akhir abad 

kesembilan belas oleh asumsi-asumsi rasis dan agenda-agenda politis, sehingga ”para nasionalis 

Hindu” kini memandang versi mana pun dari teori invasi Aryan sebagai suatu manuver rasis 

ofensif. Sebagai reaksi, para sarjana yang percaya bahwa bukti linguistik mendukung adanya 

suatu invasi dari luar sering menerapkan label ”fundamentalis Hindutva” pada siapa pun yang 

menggunakan mitologi Sanskerta dari masa sesudahnya untuk menerangkan sejarah India 

purba. Manu jelas bersifat mitologis; hubungannya dengan India pada milenium keempat 

tetap sangat tidak jelas.


Jauh di sebelah Timur Mesopotamia dan India pola yang lazim itu ter￾ulang sekali lagi.

Kali ini pemukiman mulai di sekitar sungai Kuning, yang mengalir ke 

Timur dari dataran tinggi yang kini bernama Qing Zang Gaoyuan—Dataran 

Tinggi Tibet—dan bermuara di laut Kuning. lebih jauh ke arah Selatan, 

sungai yangtze juga mengalir ke pantai di sebelah Timur.

Pada masa ketika Sahara hijau dan gurun har dialiri sebuah sungai, ben￾tangan tanah luas antara kedua sungai besar di China mungkin merupakan 

bercak-bercak bentangan air-dan-tanah berupa rawa, danau, dan genangan 

lumpur. Jazirah Shandong yang terletak antara kedua sungai itu hampir 

berupa sebuah pulau. Para pemburu dan pengumpul mungkin mengembara 

melewati paya-paya, tetapi tidak ada alasan yang kuat untuk menetap di dae￾rah yang terendam air.

Kemudian Sahara memanas; banjir Nil berkurang; sungai yang dahulu 

mengaliri Gurun har lenyap; jalinan sungai di Mesopotamia perlahan-lahan 

menjadi dua sungai yang terpisah sementara daratan di antaranya menjadi 

kokoh. Di antara kedua sungai besar di China daratan mengering.

Pada tahun 5000 SM bentangan tanah antara kedua sungai merupakan 

sebuah dataran yang luas dan tempat-tempat yang tinggi ditumbuhi hutan. 

Para pengembara mulai menetap dan menanam padi di tanah yang lembab 

di sekitar sungai. rumah bertambah banyak dan desa-desa bermunculan. 

Arkeologi menyingkapkan gugus-gugus rumah pertama yang mencolok di 

dekat sungai Kuning. Di sana, pemukiman lambat laun menjadi semacam ke￾budayaan: orang-orang yang memiliki adat yang sama, cara yang sama untuk 

membangun rumah, gaya tembikar yang sama, dan mungkin juga bahasa 

yang sama.

Kebudayaan sungai Kuning itu, yang kini kita sebut Yang-shao, bukanlah 

satu-satunya gugus pemukiman di China. Di pantai tenggara China, yang 

menghadap ke Laut China Selatan, muncul suatu kebudayaan lain yang 

disebut Dapenkeng; lebih jauh ke Selatan, di lembah sungai Yangtze, berkem￾banglah kawanan Qinglian.1

 Di bawah kelokan besar Selatan sungai Kuning 

muncullah gugus pemukiman keempat, Longshan. Ekskavasi menunjukkan 

reruntuhan Longshan di atas reruntuhan Yang-shao, dan mengisyaratkan 

bahwa Longshan mungkin telah menguasai dengan damai sekurang-kurang￾nya sebagian dari kebudayaan sungai Kuning.

Hampir tidak ada yang kita ketahui mengenai kehidupan dan adat istia￾dat salah satu pun dari keempat kelompok pemukim itu. Yang dapat kita 

lakukan hanyalah menamai mereka dengan nama yang berbeda karena me￾reka memiliki gaya tembikar yang berbeda-beda dan cara pertanian dan 

pembangunan rumah yang berbeda; sebuah pemukiman Yang-shao mungkin 

dikelilingi parit, sedang sebuah desa Longshan mungkin dipisahkan dari pa￾dang belantara di sekitarnya oleh sebuah tembok tanah. Tetapi selain spekulasi 

yang sangat umum (mungkin penempatan pemakaman di dekat desa di tepi 

Selatan sungai Kuning mengisyaratkan suatu bentuk sangat kuno pemujaan 

nenek moyang; mungkin penyertaan makanan bersama jasad seorang yang 

meninggal menunjukkan kepercayaan akan suatu kehidupan di alam sana 

yang menyenangkan), kita tidak memiliki petunjuk lain: hanya cerita-cerita 

yang mengklaim bercerita tentang awal mula China.

Seperti halnya cerita-cerita Mahabharata, cerita-cerita China purba di￾tuliskan beberapa ribu tahunan setelah masa yang dideskripsikan. Tetapi 

sejauh cerita-cerita itu melestarikan tradisi-tradisi tua, cerita-cerita itu 

mengisahkan seorang raja awal yang menemukan tata hakiki segala hal. 

Namanya Fu Xi.

Sima Qian, Sejarawan Besar yang mengumpulkan cerita-cerita tradisio￾nal China menjadi sebuah sejarah kepahlawanan, menceritakan bahwa Fu 

Xi mulai memerintah pada tahun 2850. Ia menciptakan Delapan Trigram, 

sebuah pola garis lurus dan garis patah yang digunakan untuk pencatatan, pe￾ramalan, dan penafsiran kejadian. Ketika merenungkan penampilan burung 

dan binatang, Fu Xi

menggambar secara langsung dari dirinya sendiri,

dan secara tidak langsung berdasarkan benda-benda luar.

Demikianlah ia menciptakan Delapan Trigram

untuk mengkomunikasikan keutamaan pengetahuan ilahi

dan mengelompokkan gejala semua benda hidupPola-pola Delapan Trigram didasarkan pada ciri-ciri yang terdapat pada 

cangkang kura-kura. Raja pertama China tidak menyelamatkan rakyatnya 

dari air bah, menerima kuasa dari langit, atau menyatukan dua negeri. Tidak; 

keberhasilannya yang besar adalah, untuk orang China, jauh lebih penting 

lagi. Ia menemukan hubungan antara dunia dan diri, antara pola-pola alam 

dan dorongan pikiran manusia untuk mengatur segala hal di sekitarnya.

Dalam legenda China Fu Xi disusul oleh raja besar kedua, Shennong, yang 

untuk pertama kalinya membuat bajak dari kayu dan menggali tanah. Huai￾nan Tzu mengatakan bahwa ia mengajarkan rakyatnya untuk menemukan 

tanah yang paling baik, menabur, dan menanam kelima bebijian yang me￾nopang kehidupan, mengayaknya, dan makan rerumputan yang baik dan 

menghindari yang beracun. raja Petani disusul oleh raja besar ketiga, mung￾kin yang terbesar dari mereka: Huangdi, Kaisar Kuning.

Menurut tradisi Huangdi diperkirakan memerintah dari tahun 2696 sam￾pai 2598 SM. Dalam masa pemerintahannya ia mula-mula mengalahkan 

saudaranya, raja Nyala Api, dan meluaskan kekuasannya ke daerah kekuasa￾an saudaranya itu. Kemudian panglima perang daerah Selatan Chi you, yang 

tetap setia kepada raja Nyala Api, memberontak melawan Kaisar Kuning 

yang menang. Chi you memiliki karakter yang tidak menyenangkan; ia men￾ciptakan perang, membuat pedang baja pertama, memakan kerakal dan batu 

dengan giginya yang tak terpatahkan, dan memimpin pasukan yang terdiri 

dari pelaku kejahatan dan bersosok raksasa. Ia menyerang pasukan Huangdi 

di medan pertempuran yang tertutup kabut; Huangdi harus menggunakan 

sebuah kereta sihir, yang dilengkapi dengan sebuah kompas, untuk menemu￾kan jalan menuju ke titik pusat pertempuran (yang akhirnya ia menangkan).

Cerita itu anakronistik. Belum terdapat kompas di China pada tahun 2696, 

baik yang magis maupun yang lainnya. Belum terdapat kota juga. Ketika 

Memphis dan Kish berkembang, pemukiman-pemukiman sungai Kuning 

masih berupa gugus-gugus rumah bertiang kayu dan berdinding anyaman 

yang dilabur, dikelilingi parit dan tembok tanah. Orang-orang yang tinggal 

di pemukiman itu sudah belajar menangkap ikan, menanam dan memanen 

bebijian, dan (kita mengasumsikan) memerangi penyerbu. Huangdi, jika ia 

berperang demi kekaisarannya melawan saudaranya dan panglima perang sau￾daranya, memenangkan sebuah kekaisaran yang bukan terdiri dari kota-kota dan pedagang-pedagang yang makmur, tetapi gugus-gugus gubuk pedesaan 

yang dikelilingi sawah yang ditanami padi dan ketan.

Tetapi suatu peralihan terjadi dalam struktur pemerintahan China setelah 

penaklukan yang dilakukan Huangdi. Di Sumer, ide kekuasaan turun-temu￾run sudah cukup kokoh pada waktu itu. Agaknya hal sama muncul hampir 

seketika di China. Huangdi, raja terakhir dari ketiga raja, disusul oleh seorang 

raja bernama Yao. Yao yang penuh kebijak-sanaan (ia adalah yang pertama 

dari Tiga Raja Bijak) agaknya berada di negeri China di mana sudah menjadi 

kebiasaan bahwa seorang raja menyerahkan kekuasaan kepada anak lelakinya. 

Namun Yao melihat bahwa anak lelakinya sendiri tidak layak mewarisi tahta. 

Maka, sebagai penggantinya, ia memilih seorang petani yang miskin namun 

bijaksana bernama Shun, yang terkenal bukan saja karena keutamaannya 

tetapi juga karena baktinya kepada ayahnya. Shun, yang menjadi raja yang 

bijaksana dan adil (dan raja kedua dari Tiga Raja Bijak) mengikuti pola ra￾janya sendiri; ia mengabaikan anak lelakinya dan memilih seorang lelaki yang 

pantas, Yü, sebagai pengganti. Yü, Raja Bijak ketiga, dicatat sebagai orang 

yang mendirikan dinasti pertama China, dinasti Xia. 

Dengan kata lain, di China cerita-cerita tertua tentang pergantian raja me￾nunjukkan bukan suatu perjuangan mati-matian untuk mendapatkan kuasa 

karena warisan darah, tetapi anak lelaki yang ditolak kewarisannya dengan 

mendahulukan keutamaan. Mereka memuliakan kekuasaan rajawi dan seka￾ligus menolak penggunaan kuasa itu yang terlalu menekan. Kekuasaan adalah 

wajar, tetapi tidak ada orang yang boleh mengasumsikan bahwa ia serta merta 

mendapat karunia itu atas dasar martabat kelahiran. Kebijaksanaan, bukannya 

martabat kelahiran, yang menjadikan seseorang layak memerintah. Orang￾orang Kish mungkin berduka karena raja mereka tidak memiliki keturunan. 

Kota-kota di lembah sungai Kuning tidak memiliki kerinduan semacam itu. 







































Suatu saat sekitar 1770 SM, Zimri-Lim, raja kota berbenteng Mari di 

tepi sungai Efrat, merasa sangat kesal kepada anak perempuan termudanya.

Satu dasawarsa sebelumnya Zimri Lim telah menikahkan kakak 

perempuannya Shimatum dengan raja sebuah kota berbenteng lain dan kota 

adiraja yang bernama Ilansura. Itu penjodohan yang bagus, yang dimeriahkan 

dengan pesta agung dan hadiah bertimbun-timbun (sebagian besar dari 

keluarga mempelai lelaki kepada mempelai perempuan). Cucu-cucu Zimri￾Lim kemudian akan berurut menduduki tahta Ilansura, tetapi sementara ini 

raja Ilansura akan menjadi sekutunya, bukannya seorang pesaing di antara 

sekian banyak kota-kota merdeka yang berperang untuk meraih wilayah 

kekuasaan di sepanjang bentangan daerah Efrat yang subur dan terbatas.

Sayangnya, cucu tidak segera tiba seperti yang diharapkan. Tiga tahun se￾sudah itu Zimri-Lim yang masih berharap untuk menjadikan Ilansura sekutu 

tetapnya mengirimkan kepada raja Ilansura seorang anak perempuan lain￾nya: Kirum, adik perempuan termuda Shimatum. Kirum, seorang yang tajam 

lidahnya dan berambisi, diharapkan mengambil tempatnya yang sah seba￾gai istri kedua dan sahaya bagi kakaknya. Sebaliknya, ia memutuskan untuk 

menawar posisi sebagai istri pertama raja. Ia melibatkan diri dalam urusan po￾litik, memerintah hamba-hamba untuk keperluan pribadinya, merendahkan 

kakaknya, dan secara umum bertingkah sebagai permaisuri di istana—sampai 

saatnya Shimatum melahirkan anak kembar.

Seketika Kirum yang tidak berputra jatuh tempatnya di dalam hirarki ista￾na. ”Tak seorang pun menanyai pendapatku lagi”, keluhnya dalam surat demi 

surat yang ia tulis kepada ayahnya. ”Suamiku telah menarik kembali hamba￾hambaku yang terakhir. Kakakku mengatakan bahwa ia akan berbuat sesuka 

hatinya kepadaku!” 

Mengingat perilaku Kirum terhadap kakaknya pada tahun-tahun awal 

perkawinannya, rasanya mustahil bahwa ”sesuka hatinya” berupa sesuatu 

yang baik; dan memang, dalam surat-surat berikutnya Kirum minta perto￾longan kepada ayahnya. Permintaan ”Bawalah saya pulang, kalau tidak saya 

pasti mati!” meningkat menjadi ”Jika ayah tidak membawaku pulang ke Mari, 

aku akan terjun dari atap yang paling tinggi di Ilansura!”

Zimri-Lim sebenarnya berharap menjadikan raja Ilansura sebagai teman. 

Sayangnya, membiarkan Kirum berada di dalam rumahtangga raja itu tidak 

begitu bermanfaat untuk meningkatkan hubungan baik antara kedua ke￾luarga. Tujuh tahun setelah perkawinan itu, Zimri-Lim berhenti berharap, 

melakukan perjalanan rajawi ke utara dan, menurut tututran catatan ista￾nanya sendiri, ”membebaskan istana Ilansura” dengan memboyong kembali 

Kirum.1

Ribuan tahun yang lalu berbagai kelompok pemburu dan pengumpul 

mengembara di seluruah Asia dan Eropa sambil mengikuti kawanan mamot 

yang memakan rumput liar.Lambat laun es mulai mundur; pola pertumbu￾han rumput pun berubah; kawanan-kawanan bergerak ke utara dan menjadi 

berkurang. Menyusullah beberapa pemburu. Lainnya, karena kekurangan da￾ging yang merupakan inti makanan pokok mereka, menuai rumput-rumput 

liar itu dan pada saat tertentu mulai menanam sendiri beberapa jenis rumput 

itu. Barangkali.

Walaupun buku-buku sejarah dunia biasanya mulai dengan masa pra￾sejarah, saya menduga bahwa masa prasejarah merupakan titik mulai yang 

keliru untuk sejarawan. Para spesialis lain memiliki perlengkapan yang lebih 

baik untuk menyelami kekelaman masa lalu yang sangat jauh. Para spesialis 

arkeologi menggali puing desa-desa yang dibangun dengan tulang mamot; 

para spesialis antropologi berusaha merekonstruksikan suasana desa-desa yang 

telah hilang. Keduanya mencari suatu hipotesis yang berpadanan dengan 

bukti-bukti, sebuah lensa yang dapat menyibakkan kelompok-kelompok ma￾nusia yang bergerak dari timur ke barat, dengan menggantikan daging mamot 

dengan gandum gerst dan menggali ceruk untuk menyimpan kelebihan gan￾dum.

Bagi sejarawan yang berharap untuk tidak sekadar menjelaskan apa yang 

dilakukan orang-orang, tetapi sampai taraf tertentu mengapa dan bagaimana 

mereka melakukannya, masa prasejarah—masa sebelum orang mulai menulis 

dan menuturkan cerita tentang raja mereka, pahlawan mereka, dan mereka 

sendiri—tetap kabur. Apa pun yang disimpulkan oleh spesialis arkeologi ten￾tang kelompok yang disebut ”Manusia neolitik”, saya tidak mengetahui apa 

pun tentang suasana siang dan malam seorang tukang pot neolitik yang mem￾buat pot dengan ujung berbentuk cincin di sebuah desa di Prancis selatan. 

Jejak-jejak para pemburu dan pengumpul (pot, helai batu, tulang manusia 

dan binatang, lukisan di batu karang dan dinding gua) menyingkapkan suatu 

pola hidup, tetapi tidak ada cerita yang muncul. Tidak ada raja atau per￾maisuri pada masa prasejarah. Karena tidak mewujud dalam pribadi-pribadi, 

manusia prasejarah sering tampak seperti blok-blok warna yang berubah-ubah 

pada sebuah peta; mereka bergerak ke utara, bergerak ke barat, sambil men￾ciptakan padang tempat bercocok tanam atau menghimpun suatu kawanan 

dari binatang-binatang yang baru saja dijinakkan. Cerita tentang orang-orang 

tak bernama itu harus dituturkan dengan suara nirpribadi yang mencemari 

banyak buku sejarah: ”Peradaban muncul di kawasan Sabit Subur, di mana 

gandum ditanam untuk pertama kali di tepian sungai Efrat. Perkembangan 

tulisan segera menyusul, dan kota-kota dibangun”.

Setiap kali sang sejarawan terpaksa menampilkan pernyataan-pernyataan 

yang sangat umum tentang ”perilaku manusia”, ia meninggalkan tanah ke￾lahirannya dan berbicara dalam bahasa asing—biasanya dengan bahasa yang 

sama sekali tidak mengalir dan kaku. Jenis sejarah nirpribadi itu (yang banyak 

menggunakan kata kerja pasif) bukan main hambar. Lebih buruk lagi, tidak 

akurat. Sabit Subur tidak memegang monopoli pertanian; berbagai kelompok 

kecil di seluruh Asia dan Eropa mulai bercocok tanam manakala cuaca men￾jadi hangat, dan bagaimana pun juga Sabit Subur sebagian besarnya berupa 

padang belantara.

Para spesialis antropologi dapat berspekulasi tentang perilaku manusia; 

para spesialis arkeologi, tentang pola-pola menetap; para spesialis filsafat dan 

teologi, tentang motivasi ”manusia” sebagai suatu massa tanpa diferensiasi. 

Tetapi tugas sejarawan berbeda: menemukan kehidupan orang-orang tertentu 

yang memberikan daging dan nyawa kepada pernyataan-pernyataan abstrak 

tentang perilaku manusia.

Tidaklah mudah menjadi raja kecil di Timur Tengah masa kuno. Zimri￾Lim melewatkan separuh waktu hidupnya untuk memerangi raja kota-kota 

lain, dan separuh lainnya untuk berusaha mengatasi keruwetan kehidupan 

pribadinya. Permaisurinya Shiptu, seorang yang mahir dan cerdik dalam 

politik, mengurusi kota Mari sementara suaminya pergi ke suatu peperan￾gan lagi. Ia menulis kepada Zimri-Lim di tengah musim panas Laut Tengah, 

”Jangan lupa menjaga dirimu sendiri ketika engkau berada di tengah se￾ngatan matahari!. Pakailah jaket dan jubah yang telah kubuat untukmu!. 

Hatiku sangat cemas; tulislah surat dan katakan kepadaku bahwa engkau 

aman!” Dan Zimri-Lim membalas: ”Musuh tidak sampai mengancamu 

dengan senjata. Semua baik-baik. Harap hatimu tidak cemas lagi.”2 Pada 

ribuan lempeng bertulisan huruf paku yang digali dari tepia sungai Efrat, 

Zimri-Lim tampil baik sebagai seorang raja Mesopotamia yang khas maupun 

sebagai seorang individu: seorang lelaki yang banyak menikah dengan sedikit 

bakat saja untuk perilaku kebapaan.

Jadi, alih-alih mulai dengan lukisan di gua atau kelompok anonim orang 

nomad yang mengembara di padang, saya memilih untuk memulai buku seja￾rah ini pada saat ketika kehidupan orang-orang tertentu dan suara manusia 

yang dapat didengar muncul dari himpunan manusia prasejarah yang tak ber￾ketentuan. Anda akan menemukan sebagian masa prasejarah yang diangkat dari 

arkeologi dan antropologi pada bab-bab terdekat berikut ini (dan sejalan dengan 

itu, beberapa penggunaan suara nirpribadi yang tak dapat dielakkan). Tetapi 

manakala masa prasejarah itu tampil, tujuannya hanyalah untuk menyiap￾kan pentas bagi tokoh-tokoh yang sedang menunggu di samping pentas.

Saya menggunakan dengan cermat cerita-cerita epik dan mitos untuk 

memberi daging pada masa prasejarah itu. Pribadi-pribadi pertama yang 

muncul ke permukaan sejarah kuno tampak seperti sebagain manusia dan 

sebagian dewa; raja-raja paling awal memerintah selama ribuan tahun, dan 

pahlawan-pahlawan pertama naik ke langit dengan sayap rajawali. Sejak abad 

ke-18 (sekurang-kurangnya), para sejarawan barat mencurigai cerita-cerita 

semacam itu. Karena dilatih dengan sebuah sistem universitas di mana ilmu 

pengetahuan dihormati sebagai seakan-akan tak mungkin keliru, para sejara￾wan sering menempatkan diri mereka sebagai ilmuwan: mencari fakta keras 

dan menyingkirkan bahan sejarah yang tampaknya menyimpang dari kebe￾naran menurut tata alam semesta Newton. Bagaimana pun, suatu dokumen 

yang berawal dengan kata-kata seperti daftar raja-raja Sumeria, ”Martabat raja 

diturunkan dari surga” tidak mungkin dapat dipercayai sebagai sejarah. Lebih 

baik bersandar pada ilmu arkeologi dan merekonstruksikan masa-masa awal 

Sumer dan Mesir serta pemukiman lembah Indus pada bukti-bukti fisik yang 

dapat diraba.

Tetapi untuk sejarawan yang mengarahkan perhatiannya pada mengapa 

dan bagaimananya perilaku manusia, pecahan tembikar dan pondasi rumah 

tidak banyaklah gunanya. Benda-benda itu tidak memberikan pintu masuk 

ke dalam jiwa. Di pihak lain, cerita epik menyajikan ketakutan dan hara￾pan orang-orang yang menceritakannya—dan hal itu sungguh bernilai untuk 

menjelaskan perilaku mereka. Mitos, seperti yang dikatakan sejarawan John 

Keay, adalah ”asap sejarah”. Anda mungkin harus banyak mengipasinya sebe￾lum Anda memperoleh selintas nyala api di bawahnya; tetapi bilamana Anda 

melihat asap, sangat bijaksanalah bahwa Anda tidak menyatakan bahwa tidak 

ada api di sana.

Bagaimana pun, kita perlu mengingat bahwa semua buku sejarah tentang 

masa kuno berisi banyak spekulasi. Sungguhpun demikian, spekulasi yang 

dikaitkan pada bukti fisik tidaklah lebih terandalkan daripada spekulasi yang 

dikaitkan pada cerita-cerita yang dipilih oleh orang-orang untuk melestarikan 

dan menuturkannya kepada anak-anak mereka. Setiap sejarawan menyaring 

bukti-bukti, menyisihkan yang tampaknya tidak relevan, dan menyusun yang 

diperoleh ke dalam suatu pola. Bukti yang disediakan oleh cerita-cerita kuno 

tidak kalah penting daripada bukti yang ditinggalkan oleh pedagang pada 

suatu jalur dagang. Keduanya perlu dikumpulkan, ditapis, dinilai, dan di￾gunakan. Berkonsentrasi pada bukti fisik dengan menyingkirkan mitos dan 

cerita sama dengan melandaskan seluruh penjelasan tentang perilaku ma￾nusia pada sesuatu yang dapat diraba, dicium, dilihat, dan ditimbang: itu 

menunjukkan suatu pandangan mekanis terhadap kodrat manusia dan suatu 

kepercayaan buta kepada metode-metode ilmu pengetahuan untuk menjelas￾kan misteri-misteri perilaku manusia.

Walaupun demikian, sejarah yang direkonstruksikan atas dasar cerita-ceri￾ta yang sangat tua berisi penciptaan teori yang sama besarnya dengan sejarah 

yang direkonstruksikan atas dasar puing-puing yang sangat tua. Maka saya 

terlah berusaha menunjukkan saat di mana catatan tertulis mulai menja￾di lebih banyak dan perkiraan menjadi kurang bersifat perkiraan (”Bagian 

Dua”). Para sejarawan tidak selalu peduli untuk memberikan kepada pemba￾ca catatan kewaspadaan semacam ini; banyak yang meloncat dari ”Manusia 

zaman mesolitik terus meningkat kemahirannya dalam membuat senjata” 

ke ”Sargon membentangkan kekuasaannya ke seluruh Mesopotamia” tanpa 

mencatat bahwa kedua pernyataan itu didasarkan pada bukti-bukti yang ber￾lainan jenisnya dan mengandung tingkat keambiguan yang sangat berbeda.

Dalam buku ini kita tidak akan melewatkan banyak waktu di Australia, 

atau di kedua benua Amerika, ataupun juga Afrika, namun dengan sebab 

yang berbeda. Sejarah lisan kebudayaan-kebudayaan itu, walaupun tua, tidak 

terentang ke belakang sama jauhnya dengan daftar raja-raja Mesopotamia 

atau papan-papan memorial pertama untuk raja-raja Mesir. Namun, seluruh 

gagasan waktu linear yang memberikan kepada kita suatu kerangka sejarah 

yang sedemikian rapi itu—prasejarah, sejarah kuno, sejarah zaman madya, 

dan seterusnya sampai ke masa mendatang—tidak berasal dari Afrika atau 

bangsa Asli Amerika; gagasan itu adalah sebuah ciptaan yang berwajah sangat 

Barat (yang tentunya tidak mengurangi kegunaannya). Seperti yang dike￾mukakan oleh spesialis arkeologi Chris Gosden dalam buku pembuka untuk 

prasejarah, bangsa-bangsa asli seperti kaum Aborijin Australia tidak memiliki 

konsep asli ”prasejarah”. Sejauh yang dapat kita katakan, mereka berpikir ten￾tang masa lampau dan masa kini sebagai satu hal sampai kedatangan orang 

Barat yang membawa serta ”sejarah”—dan pada saat itu prasejarah mereka 

sekonyong-konyong berhenti. Kita akan menemui mereka pada saat itu: suatu 

pendekatan yang mungkin tidak ideal, namun sekurang-kurangnya menghin￾dari kekerasan terhadap rasa waktu mereka sendiri.

 Sebuah catatan tambahan: Menetapkan tanggal untuk sesuatu yang ter￾jadi seb


Related Posts:

  • dunia kuno 3 nuntut hak untuk memerintah, pertama kalinya, bukan berdasarkan kekuatan atau kearifan tetapi berdasarkan hak darah keturunan.Raja kesepuluh Kish setelah air bah, Atab, adalah raja pertama yang digan￾tikan ole… Read More