nuntut hak untuk memerintah, pertama
kalinya, bukan berdasarkan kekuatan atau kearifan tetapi berdasarkan hak
darah keturunan.
Raja kesepuluh Kish setelah air bah, Atab, adalah raja pertama yang digantikan oleh anak lelakinya dan kemudian cucu lelakinya. Dinasti tiga generasi
ini adalah pergantian kuasa berdasarkan darah yang paling awal dalam catatan
sejarah. Tetapi ketika raja berikut, Etana, baik tahta, ia menghadapi suatu
kesulitan yang baru sama sekali.
Tentang Etana, daftar raja hanya mengatakan bahwa ia ”naik ke langit”—
sebuah detail yang diberikan tanpa penjelasan. Untuk mendapatkan penjelasan
lebih jauh, kita harus mencarinya di sebuah puisi dari masa yang jauh lebih
kemudian, yang tampaknya menyimpan sebuah cerita Sumeria yang lebih
tua. Dalam puisi itu, Etana adalah seorang raja yang saleh, berbakti kepada dewa-dewa, tetapi ia dirundung kedukaan besar: ia tidak memiliki anak.
Dalam doa-doanya ia meratap,
Aku telah memuja dewa-dewa dan menghormat roh-roh para leluhur,
Para penafsir mimpi telah menggunakan dupaku sampai tandas,
Dewa-dewa telah menggunakan domba-dombaku di pembantaian sampai
tuntas...
Singkirkanlah maluku dan berilah aku seorang anak lelaki!2
Dalam sebuah mimpi yang menakutkan, Erana melihat bahwa kotanya
akan menderita jika ia tidak dapat menyediakan pewaris untuk tahtanya:
Kota Kish tersedu-sedan
Di dalamnya para penduduk berkabung...
Erana tak mampu memberimu ahli waris!3
Hampir tanpa catatan, sebuah perubahan besar telah terjadi pada manusia. Tahta
kerajaan telah menjadi turun temurun. Pemimpin yang mengemban tanggungjawab untuk kebaikan rakyat kini menerima tugas itu sejak lahir, tertuju ke
tugas itu berdasarkan darahnya. Untuk pertama kalinya kita melihat munculnya suatu aristokrasi: sebuah kelompok yang terlahir untuk memerintah.
Dewa-dewa berkasihan kepada Erana dan menunjukkan sebuah jawaban
kepadanya. Ia harus menunggang seekor rajawali ke langit; di sana ia akan
menemukan tanaman kelahiran, rahasia untuk memperanakkan seorang anak
lelaki. Papan inskripsi pecah di sana dan kelanjutan ceritanya hilang. Tetapi
daftar raja mengatakan bahwa Balih, anak lelaki Erana, naik tahta setelah kematian Etana, jadi kita dapat mengasumsikan bahwa usahanya berhasil.
Ketidaksetaraan telah dibakukan ke dalam darah. Seperti ide tahta kerajaan sendiri, ide aristokrasi sejak lahir tidak pernah benar-benar lenyap.
Karena mereka yang terlahir untuk memimpin harus jelas-jelas mengendalikan sebanyak mungkin wilayah, maka Etana ”menyentosakan wilayah”
untuk anak lelakinya.
Kota-kota Mesopotamia itu independen, masing-masing diperintah oleh
seorang pangeran setempat. Tetapi Kish terletak di antara kedua sungai, sebuah
posisi yang mau tak mau menuntut penegakan suatu adikuasa. Bagaimanapun,
Sumer tidak memiliki kayu asli; yang ada hanya pohon palem impor, sebuah
bahan bangunan kelas tiga. Tidak ada batu, tembaga, batu obsidian, yang
ada hanya lumpur dan sedikit endapan bitumen (aspal, yang digunakan sebagai ”bahan bakar ter” untuk obor dan semen). Kayu harus didatangkan
dari Pegunungan Zagros di sebelah timur laut atau diangkut dari Pegunungan
Libanon di sebelah barat laut. Tembaga berasal dari pegunungan Arab di sebelah selatan, lapis lazuli dari daerah cadas di utara dan timur; batu dari gurun
di sebelah barat dan batu obsidian dari sebelah utara jauh. Sebagai bahan
pertukaran, kota-kota Sumeria menjajakan hasil-hasil dari sebuah masyarakat tani: bebijian, pakaian, kulit, gerabah. Pot dan pinggan Sumeria muncul
di sebuah jalur luas pemukiman-pemukiman kecil dan kota-kota di seluruh
Eropa timur dan Asia utara.
Sebagian dari perdagangan ini menjelajahi jalur gurun di timur dan barat,
tetapi sebuah jalur besar berhilir-mudik melalui Tigris dan Efrat; nama lama
Efrat, yakni Uruttu, berarti ”sungai tembaga”. Lembah Mesopotamia, seperti yang dikemukakan oleh ahli arkeologi Charles Pellegrino, adalah sebuah
peradaban linear: ”sebuah oase yang panjangnya ribuan mil dan lebarnya
kurang dari sepuluh mil”.4 Jika sebuah kota di bagian hilir bermaksud mengirim dagangan ke daerah hulu di pegunungan Libanon untuk membeli kayu,
barang-barang itu harus melewati Kish. Raja Kish, yang memungut suatu persentase dari perdagangan yang melewati kotanya, dapat menghiasi sarangnya
sendiri dengan mencabut sedikit bulu dari pangeran-pangeran lainnya.
Ketika anak lelaki Erana mewarisi tahta, Kish telah menggantikan kota
tua Eridu di sebelah selatan sebagai kota yang paling berkuasa di dataran itu.
Pada 2500, raja-raja dari kota-kota lain kadang-kadang mengklaim gelar ”raja
Kish” seolah-olah itu sudah menjadi gelar kehormatan, yang menyatakan semacam kewibawaan terhadap kota-kota Sumeria lainnya.5
Namun, memungut upeti adalah suatu hal, sedang penaklukan yang
sebenarnya adalah suatu perkara lain. Erana dan wangsanya tidak pernah melebarkan kuasa kekaisaran ke kota-kota Sumer lain. Sulitnya menggerakkan
tentara bolak-balik di sepanjang dataran itu mungkin telah mencegah rajaraja Kish untuk benar-benar menaklukkan kota-kota lainnya; atau barangkali
mereka sama sekali belum memiliki pemikiran tentang kepemimpinan adiraja
untuk melengkapi ide tahta kerajaan dan aristokrasi. Pembangun kekuasaan
kekaisaran pertama akan datang dari sebuah bangsa yang sama sekali lain.
Di sebelah tenggara Sumer, di belakang pantai Laut Tengah, pembangun kekaisaran pertama menyapu seluruh lembah sungai Nil.
Seperti para raja pertama Sumer, Raja Scorpio melayang di perbatasan antara sejarah dan mitos. Ia tidak muncul di daftar raja mana pun; eksistensinya
hanya sebagai sebuah gambar yang dipahat di pucuk senjata seremonial. Tetapi,
berbeda dengan raja-raja pertama Sumer, yang menghuni masa lampau nan
jauh yang kabur, Raja Scorpio hidup nyaris dalam lingkungan sejarah tertulis.
Ia menggelar usahanya untuk menaklukkan dunianya sekitar 3200 SM.
Raja Scorpio adalah keturunan suatu bangsa Afrika yang dahulu bermukim di kedua sisi lembah Nil. Berabad-abad sebelum kelahirannya—pada
masa Alulim yang melegenda memerintah Sumer yang lebih lembab dan
sejuk—lembah Nil barangkali tak dapat dihuni. Setiap tahun, ketika hujan
deras membasahi pegunungan-pegunungan selatan, air yang terkumpul itu
meluncur dengan deras di sepanjang Nil, ke utara ke Laut Tengah, dan menggenangi daerah di sekitarnya. Banjir itu sedemikian dahsyat sehingga sedikit
saja kelompok pemburu dan pengumpul yang berani berkeliaran. Alih-alih,
mereka menghuni daerah-daerah yang lebih ramah di sebelah timur dan barat:
mereka bermukim dekat dengan pesisir Laut Merah dan berkelana ke Sahara.
Pada tahun-tahun yang lebih lunak dan lebih lembap itu Sahara ditumbuhi
rumput dan berair. Para ahli arkeologi telah menemukan dedaunan, pepohonan, dan sisa-sisa binatang buruan di bawah pasir.
Tetapi pola cuaca panas dan kering yang mengubah dataran Mesopotamia
juga membuat Sahara menjadi kersang. Penduduk Sahara berpindah ke timur,
menuju lembah Nil yang terairi dengan baik. Berkat berkurangnya hujan,
banjir Nil telah menjadi sedang; para pengungsi mengalami bahwa mereka dapat mengatasi banjir tahunan dengan menggali tempat penampungan untuk menyimpan air pada masa banjir serta saluran untuk mengairi ladang
di bulan-bulan kering. Mereka membangun permukiman di kedua tepi, menanam bebijian di lendut gelap yang ditinggalkan oleh banjir, dan berburu
binatang buas di paya-paya: sapi liar, kambing ibex, buaya, kuda nil, ikan dan
burung. Bangsa-bangsa lain datang dari pesisir barat Laut Merah bergabung
dengan mereka. Merekalah penduduk penuh pertama lembah Nil: orangorang Mesir pertama.*
Berbeda dengan Sumer, lembah Nil memiliki binatang buruan dan ikan,
tembaga, emas, rami, papirus—semuanya kecuali kayu. Orang Mesir memang
berdagang ke barat untuk mendapatkan gading, ke timur untuk mendapatkan
kerang, dan ke utara untuk mendapatkan batu semi-berharga, tetapi untuk
kebutuhan hidup mereka hanya memerlukan Nil.
Bengawan Nil, urat nadi Mesir, mengalir melalui sebuah lembah sepanjang
lima ratus mil, di beberapa tempat tebingnya karang dan di tempat lain dataran
rendah. Banjir tahunan berawal di hulunya, di tempat yang kini merupakan dataran tinggi Etiopia, mengalir turun melewati Katarak Kedua menuju Katarak
Pertama, mengalir miring mengitari sebuah kelokan di mana raja-raja pada
suatu ketika akan dikuburkan, dan menderu menuju suatu dataran rendah di
mana sungai itu akhirnya pecah menjadi selusinan sungai kecil: Delta Nil.
Karena Nil mengalir dari selatan ke utara, jelaslah bagi orang Mesir bahwa
setiap sungai lainnya mengalir ke arah belakang. Dinilai dari aksara hiroglif
lebih muda, mereka menggunakan satu kata untuk utara, hilir, dan belakang kepala, dan sebuah kata lain untuk hulu, selatan, dan wajah;
1
seorang Mesir selalu
mencari arah dengan berpaling ke selatan ke arah datangnya aliran Nil. Sejak
masa pemukiman paling awal, orang Mesir mengubur orang mati di pinggir
gurun, dengan kepalanya diarahkan ke selatan dan wajah ke barat ke arah gurun
Sahara. Kehidupan datang dari selatan, tetapi Negeri Orang Mati ke barat arahnya, ke gurun yang mereka tinggalkan ketika rumput dan air lenyap.
Orang Mesir memberi dua nama yang berbeda kepada negeri mereka.
Daerah di mana banjir tahunan meninggalkan endapan lumpur adalah
Kemet, Tanah Hitam; hitam itulah warna kehidupan dan kebangkitan.
Tetapi di seberang Tanah Hitam terbentanglah Deshret, Tanah Merah maut.
Garis antara kehidupan dan kematian sedemikian jelas sehingga seseorang
dapat membungkuk dan meletakkan sebelah tangannya di bumi subur yang
hitam, dan sebelah tangan lainnya di gurun yang merah terbakar mentari.
Kenyataan ganda, suatu eksistensi yang digelar antara dua ekstrem ini
digemakan dalam peradaban Mesir yang bertumbuh. Seperti kota-kota
Sumer, kota-kota Mesir mengalami ”banjir masuk”nya pemukim pada
3200 SM. Nubt (juga disebut Nadaqa), di jalur timur-barat yang mengarah ke tambang-tambang emas, menjadi kota terkuat di selatan, sementara
Hierakonpolis, yang didiami sekurang-kurangnya sepuluh ribu jiwa, terletak tidak jauh dari sana. Sejak cukup awal kota-kota di sebelah selatan
mengidentifi-kasikan diri bukan sebagai terpisah dan berdaulat, tetapi sebagai bagian dari sebuah kerajaan: Kerajaan Putih (juga disebut ”Mesir Hulu”,
karena letaknya di bagian hulu dari arah Laut Tengah), yang diperintah oleh
seorang raja yang mengenakan mahkota silinder Mahkota Putih. Di bagian
utara Mesir (”Mesir Hilir”), kota-kota berhimpun membentuk sebuah aliansi yang disebut Kerajaan Merah; kota Heliopolis dan Buto berkembang
menjadi menonjol. Raja Mesir Hilir mengenakan Mahkota Merah dengan
sebuah sosok kobra melingkar dari sisi muka mahkota (lukisan tertua mahkota itu berasal dari sekitar 4000 SM),2
dan dilindungi oleh seorang dewi
kobra yang meludahkan racun kepada musuh-musuh raja.
3
Kedua kerajaan,
Putih dan Merah, seperti Tanah Merah dan Tanah Hitam, mencerminkan
kenyataan dasar Mesir berikut: dunia terdiri dari kekuatan-kekuatan yang
berimbang dan saling bertentangan.
Berbeda dengan daftar raja Sumeria, yang tampaknya bermaksud mencatat
awal waktu, daftar-daftar raja Mesir paling tua tidak merunut balik ke Kerajaan
Putih dan Kerajaan Merah, maka nama raja-raja mereka hilang. Tetapi untuk
keberadaan Raja Scorpio kita memiliki sejenis kesaksian yang berbeda: sebuah
kepala tongkat kebesaran yang digali di kuil di Hierakonpolis. Di sana, seorang
Raja Putih yang mengenakan Mahkota Putih yang khas merayakan kemenangan
terhadap tentara-tentara Kerajaan Merah (dan memegang sebuah alat irigasi,
yang menunjukkan kekuatannya untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya). Di
sebelah kanannya, sebuah tulisan hiroglif mencatat namanya: Scorpio.
Raja Scorpio sendiri mungkin berasal dari Hierakonpolis, suatu kota ganda.
Hierakonpolis semula merupakan dua kota yang terpisah oleh Nil: Nehken,
di sisi barat, dibaktikan kepada dewa-elang, dan Nekheb di sisi timur dikawal
oleh dewi-hering. Dengan berlalunya waktu, kedua kota yang terpisah itu tumbuh menjadi satu kota, yang dijaga oleh dewi-hering. Barangkali Raja Scorpio,
dengan melihat kedua belah itu bersatu, mulai menyusun rencana untuk menggabungkan Kerajaan Putih dan Kerajaan Merah di bawah satu raja.
Kemenangannya, yang barangkali terjadi sekitar 3200 SM, berlangsung
sementara. Sebuah pahatan lain mencatat persatuan kembali kedua kerajaan
di bawah seorang Raja Putih lain, mungkin seratus tahun sesudahnya. Seperti
kepala tongkat Raja Scorpio, pahatan itu ditemukan di kuil di Hierakonpolis.
Dikerjakan pada sebuah palet (sepotong batu rata yang berfungsi sebagai ”kanvas”), pahatan itu menunjukkan seorang raja yang mengenakan Mahkota
Merah pada bagian depan palet, dan Mahkota Putih pada bagian sebaliknya.
Sebuah tulisan hiroglif menyebut nama raja itu: Narmer.
Nama Narmer berarti ”Madulelang Menggeram”, atau lebih puitis ”Madulelang Yang Seram”. Itu suatu pujian, karena madulelang adalah
yang paling pemberani dan paling agresif di antara semua ikan. Pada bagian
belakang Palet Namer, dalam kedudukannya sebagai Raja Putih, Narmer
mencengkeram rambut seorang pejuang Kerajaan Merah. Pada bagian depan,
Narmer—setelah melepas Mahkota Putih dan menggantinya dengan memakai Mahkota Merah—berdefile dengan jaya melewati mayat pejuang-pejuang
yang sudah dipenggal kepalanya. Akhirnya ia berhasil mereut Kerajaan Merah
ke bawah kekuasaan Kerajaan Putih.Tampaknya sungguh mungkin bahwa Narmer adalah nama lain untuk
Menes, yang muncul dalam daftar-daftar raja Mesir sebagai raja manusia
Mesir.*
Tentang dia, imam Mesir Manetho menulis:
Setelah [dewa-dewa] dan setengah dewa.
Datanglah Dinasti Pertama, dengan delapan raja.
Menes adalah yang pertama.
Ia memimpin bala tentara menyeberangi perbatasan dan meraih kemuliaan besar.4
Peleburan perbatasan—batas antar kedua kerajaan—menciptakan kekaisaran
pertama, dan salah satu kekaisaran yang paling lama di dunia: sungguh suatu
kemuliaan yang bear.
Cerita Manetho terbentuk jauh setelah kejadiannya sendiri. Manetho
bertugas di kuil dewa matahari Ra di Heliopolis dua puluh tujuh abad sesudahnya; sekitar 300 SM, ia memutuskan sendiri untuk mendamaikan versi
daftar-daftar raja Mesir yang berbeda-beda menjadi satu dokumen dengan
menggunakan (catatan-catatan di antaranya) sebuah papirus yang disebut
Kanon Torino, yang juga mengidentifikasikan Menes (”Orang-orang lelaki”)
sebagai raja pertama Mesir.** Ketika ia menyusun daftar, Manetho mengatur
penguasa Mesir sejak 3100 yang jumlahnya banyak itu ke dalam kelompokkelompok, dan mengawali satu kelompok baru setiap kali satu wangsa baru
naik tahta, atau ketika kerajaan berpindah tempat. Ia menyebut kelompokkelompok itu dynasteia, sebuah istilah Yunani untuk ”kuasa memerintah”.
”Dinasti-dinasti” Manetho tidak selalu akurat, tetapi telah menjadi titik-titik
pedoman tradisional dalam sejarah Mesir.
Bagi Manetho, Dinasti Pertama mulai ketika kedua bagian Mesir disatukan
di bawah raja pertama seluruh Mesir. Menurut sejarawan Yunani Herodotus,
Menes/Narmer merayakan kemenangan dengan membangun sebuah ibukota yang sama sekali baru di Memphis, titik pusat kerajaannya yang baru.
Memphi berarti ”Tembok Putih”; tembok-temboknya diplaster sehingga ber-
kilat di sinar matahari. Dari kota putih itu penguasa Mesir yang dipersatukan
dapat mengendalikan baik lembah di sebelah selatan maupun delta di sebelah
utara. Memphis titik tumpu di mana kedua kerajaan diimbangkan.
Sebuah pemandangan lain yang dipahat pada sebuah kepala tongkat menunjukkan Narmer/Menes memakai Mahkota Merah dan menghadiri suatu
seremoni yang sangat menyerupai suatu perkawinan; mungkin pendiri Dinasti
Pertama yang jaya menikahi putri dari Kerajaan Merah guna menyatukan
kedua kerajaan di dalam tubuh para ahli waris Mahkota Ganda.
Untuk sejarah Mesir selanjutnya, kegandaan asal-usulnya diabadikan
dalam rajanya. Ia disebut Tuan Kedua Daerah, dan Mahkota Gandanya terdiri dari Mahkota Merah Mesir Hilir yang dipasang di atas Mahkota Putih
Mesir Hulu. Burung hering dari selatan dan ular kobra dari utara, yang satu
merayap di bumi dan yang lainnya mendiami langit, menjaga kerajaan yang
dipersatukan. Kekuasaan-kekuasaan yang bertikai telah disatukan menjadi sebuah kesatuan yang kuat dan seimbang.
Narmer sendiri memerintah selama enam puluh empat tahun, kemudian pergi berburu kuda nil, suatu perburuan yang dilakukan secara tradisi
oleh raja sebagai suatu pameran kekuasaannya terhadap musuh-musuh yang
mengancam peradaban. Menurut Manetho, ia dipojokkan oleh kuda nil dan
terbunuh di sana.
Pada tahun-tahun ketika raja-raja Kish memungut bea dari kapal-kapal
yang berlayar hilir mudik di sungai Efrat, dan ketika tembok-tembok putih
Memphis menjulang di pusat Mesir yang seimbang, peradaban besar ketiga
zaman kuno masih berupa sederetan desa di sebuah dataran sungai. Tidak
akan terdapat kota-kota besar dan pembangunan kekaisaran di India selama
sekurang-kurangnya enam ratus tahun.
Orang-orang yang menetap di sepanjang sungai Indus bukanlah penduduk
kota. Mereka pun bukan penyimpan daftar seperti orang Sumeria. Mereka
tidak memahat rupa pemimpin mereka pada batu, atau mengabadikan hasilhasil mereka pada tablet. Jadi, kita mengetahui sangat sedikit mengenai lima
abad pertama India.
Kita dapat mencoba menggali kisah epik India untuk mendapatkan petunjuk. Walaupun ditulis sangat lama kemudian (ribuan, bukan ratusan, tahun
setelah pemukiman-pemukiman pertama), kisah-kisah itu menyimpan sebuah tradisi yang jauh lebih tua. Namun bahkan dalam tradisi ini pun hanya
satu raja, dan satu tanggal, yang menonjol dengan jelas. Pada tahun 3102, raja
Manu yang bijaksana mengepalai mulainya abad ini, dan abadnya masih akan
berlangsung lebih dari empat ratus ribu tahun.
Jauh sebelum tahun 3102, gembala dan pengembara masuk ke India.
Sebagian datang dari Asia Tengah melewati celah di pegunungan Utara yang
kini bernama Celah Khyber. Sebagian lainnya mungkin mendaki menyeberang Himalaya sendiri (kerangka yang ditemukan di sana sini mengisyaratkan
bahwa jalur ini sama berbahaya dahulu seperti sekarang).
Mereka menemukan iklim hangat dan air di seberang pegunungan.
Himalaya berperan sebagai tameng terhadap cuaca beku, sehingga bahkan
pada musim dingin suhu udara turun hampir tidak sampai lima puluh derajat.
Pada musim panas, matahari memanaskan pedesaan Indian sampai menyengat. Tetapi dua sungai besar mencegah subkontinen tersebut dari kegersangan gurun. Salju dan es yang meleleh mengalir turun dari pegunungan ke
sungai Indus, yang mengalir dari sebelah Barat Daya melewati India ke Laut
Arab; gunung-gunung juga mengalirkan air ke sungai Gangga yang terjun
dari tebing-tebing Himalaya ke Teluk Bengala, jauh di pantai Timur. Pada
masa tatkala Sahara masih hijau, gurun Thar di sebelah Timur sungai Indus
juga hijau, dan masih ada satu sungai lagi, yang sudah sejak lama kering,
mengalir di sana ke Laut Arab.1
Mungkin, dua ribu tahun setelah tanaman pangan ditanam untuk pertama kali di Mesopotamia dan Mesir, pengembara-pengembara dari Utara
menetap di daerah berbukit tepat di sebelah Barat Indus, yang kini bernama
Balukhistan. Desa-desa kecil bertebaran di sepanjang sungai Indus dan kelima
cabang dari ujung hulunya: Punjab (panj-ab, ”Kelima Sungai”). Desa-desa lain
tumbuh di sepanjang Gangga. Lebih jauh di Selatan India, perkakas-perkakas
yang serupa dengan yang digunakan di Afrika Selatan mengisyaratkan bahwa
beberapa orang berjiwa pemberani mungkin telah bertolak dari pantai Afrika,
berlayar ke pantai tenggara India dan menetap di sana.
Terpisah satu dari yang lain oleh rintangan fisik yang besar. Ratusan kilometer dataran dan dua rantai pegunungan, Vindhya dan Satpura, memisahkan
daerah Utara dari penduduk di daerah Selatan, yang sejarahnya dikenal dari
masa yang jauh sesudahnya. Ketika cuaca menjadi panas, terbentanglah pasir
gurun sejauh lima ratus kilometer antara lembah Gangga dan pemukimanpemukiman di daerah Barat Laut. Sejak awal sejarah India, penduduk daerah
Selatan, Timur, dan Barat laut hidup secara mandiri satu dan yang lainnya.
Desa-desa di dekat Indus, di daerah Barat Laut, adalah yang pertama berkembang menjadi kota.
Rumah-rumah paling awal di lembah sungai Indus dibangun di dataran
sungai, mungkin satu setengah kilometer jauhnya dari sungai, jauh di atas
garis banjir. Bata lumpur akan lebur di dalam air sungai dan tanaman akan
hanyut. Kenyataan hidup pertama di lembah Indus—seperti di Mesir dan
Sumer—ialah bahwa air membawa baik kehidupan maupun kematian.
Itu mengantar kita kepada raja pertama India, Manu Vaivaswata. Sebelum
Manu Vaivaswata, demikianlah bunyi cerita, enam raja setengah dewa memerintah India. Masing-masing menyandang gelar nama Manu dan memerintah
selama satu Manwantara, suatu masa yang lebih lama dari empat juta tahun.
Dengan jelas kita berada di dalam alam mitologi, tetapi menurut tradisi,
mitos mulai bersilangan dengan sejarah dalam pemerintahan Manu ketujuh. Manu ini, yang sering disebut ”Manu” semata-mata, terkadang dikenal
dengan nama lengkap Manu Vaivaswata. Pada suatu hari, ketika ia sedang
membasuh tangannya datanglah seekor ikan menggeliang-geliut kepadanya
sambil memohon perlindungan terhadap ikan yang lebih besar dan lebih perkasa yang memangsa ikan yang lemah, seperti ”yang menjadi kebiasaan di
sungai”. Manu merasa iba dan menyelamatkan ikan itu.
Setelah berlalunya bahaya bahwa akan dimangsa, ikan itu membalas kebaikannya dengan memberi peringatan akan datangnya sebuah bah yang akan
menyapu langit dan bumi. Maka Manu membuat sebuah kapal kayu dan naik
ke dalamnya bersama tujuh orang bijak yang disebut Rishi. Ketika air bah
telah surut, Manu melempar sauh di sebuah pegunungan nun jauh di Utara,
mendarat dan menjadi raja pertama India masa sejarah; sementara itu, ketujuh Rishi itu menjadi ketujuh bintang Biduk. Waktu itu tahun 3102.
Untuk keperluan rekonstruksi sejarah India, cerita ini lebih mirip asap
daripada api. Manu Vaivaswata tidak mengklaim eksistensi nyata sebesar Raja
Scorpio di Mesir, walaupun mereka tampaknya hidup pada abad yang sama
dan tanggal 3102 yang ketepatannya cukup mengherankan adalah hasil dari
penetapan balik yang dilakukan oleh sarjana-sarjana sastra sekurang-kurangnya dua ribu tahun sesudahnya, ketika tradisi lisan mulai dituliskan. Tetapi
tanggal itu sendiri muncul dalam banyak tuturan sejarah India; tanggal-tanggal yang pasti dalam sejarah India kuno sulit didapat, maka para sejarawan
yang menyandarkan diri pada tanggal itu berbuat hal itu lebih untuk mencari
ketenangan daripada kepastian. (”Itulah tanggal pertama yang dapat dipercayai dalam sejarah India”, tulis John Keay, ”dan karena merupakan suatu
tanggal yang ketepatannya sedemikian tak mungkin dibuktikan, tanggal itu
pantas dihormati”.)2
Satu-satunya kepastian mengenai tahun 3102 ialah bahwa sekitar tanggal itu desa-desa di lembah Indus memang mulai berkembang menjadi kota.
Rumah dua-lantai mulai muncul; para penetap di lembah Indus mulai membuat tembikar dengan jentera dan membuat perkakas dari tembaga. Mereka
mulai menebang pepohonan hutan dan membakar lempung di tanur. Bata
bakaran, yang lebih tahan daripada bata yang dikeringkan di terik matahari,
kurang rentan terhadap air bah yang berpusar-pusar. Setelah tahun 3102 air
tidak memiliki lagi daya yang sedemikian merusak.
Batu pirus dan lapis lazuli, yang dibawa dari dataran Utara Mesopotamia,
terhampar di reruntuhan rumah-rumah yang paling kaya. Penduduk kota
telah meninggalkan dataran untuk berdagang melalui Efrat dan Tigris, dengan
pedagang-pedagang yang juga menyediakan batu-batu setengah berharga
untuk raja Kish, Nippur, dan Ur.
Namun, walaupun kemakmuran dan jangkauan kota-kota Indus bertambah, kisah-kisah India tidak mengabarkan kemajuan melainkan kemunduran.
Air bah telah menyapu bersih abad pendahulu dan mengawali suatu abad
baru; abad kota adalah Kali Yuga, Abad Besi. Itu mulai ketika Manu turun dari
pegunungan, dan abad itu adalah abad kekayaan dan industri. Itu juga abad
ketika kejujuran, tenggang rasa, kasih sayang, dan kebaktian merosot menjadi
seperempat dari kadar sebelumnya.*
Pada Abad Besi, demikian peringatan dari
tulisan-tulisan suci, pemimpin-pemimpin akan menyita barang-barang yang
menjadi milik bangsanya dengan dalih krisis inansial. Orang yang kuat akan
mengambil milik orang yang lemah, dan merebut kekayaan yang diperoleh
dengan susah payah untuk diri mereka sendiri. Orang kaya akan meninggalkan ladang serta kawanan hewannya dan menggunakan waktu mereka untuk
melindungi uang mereka, sehingga mereka lebih menjadi budak dari harta
duniawi mereka daripada orang-orang merdeka yang tahu cara menggunakan
dunia ini.
Menilik cukup mudanya tanggal penulisan peringatan yang mengerikan
itu, peringatan itu mungkin mencerminkan keprihatinan suatu masyarakat
yang lebih matang—yang sudah memiliki sebuah birokrasi yang besar tetapi
tidak produktif, yang menguras harta masyarakat. Tetapi para penutur cerita sendiri menempatkan kemerosotan itu jauh ke tahun 3102, tahun ketika
desa-desa di sepanjang Indus mulai berkembang menjadi kota.
Manu sendiri, sambil berlutut di dekat air yang segera akan menyapu bersih abad pendahulu dan menimbulkan kemerosotan Kali Yuga, mendapati
dirinya berbicara dengan seekor ikan kecil yang terpaksa meminta perlindungan terhadap ikan yang lebih besar dan lebih kuat yang memangsa ikan yang
lemah. Di India, perjalanan menuju peradaban baru saja mulai; tetapi seperti
di Sumer sendiri, itu suatu perjalanan yang mengantar bangsanya semakin
menjauh dari firdaus.
Catatan tentang sumber-sumber untuk sejarah India: Para sejarawan tentang India bekerja dalam
suatu kancah yang penuh muatan politik. Sumber-sumber tertulis, termasuk yang menuturkan
tokoh mitologis Manu dan Abad Emas, Tembaga, Perak, dan Besi, adalah tradisi lisan yang dituliskan jauh sesudahnya dalam bahasa Sanskerta. Gerakan politik di India yang dikenal sebagai
”Nasionalisme Hindu” atau ”Hindutva” mengklaim bahwa tradisi ”Hindu” (atau ”Brahmani”)
yang berasal dari masa kemudian itu secara hakiki berasal dari India sendiri. Banyak sejarawan
akademik, khususnya Romila Thapar, sebaliknya berpendapat bahwa apa yang kini kita sebut
”Hinduisme” timbul sebagai percaturan antara tradisi-tradisi asli dan para imigran masa sesudahnya dari Asia Tengah (yang disebut ”penginvasi Aryan”; lihat Bab Dua Puluh Lima dan Tiga
Puluh Tujuh), dan bahwa tulisan-tulisan bahasa Sanskerta mewakili gagasan sebuah kelompok
kecil dan elit dari para imigran Aryan. Dalam artian sejarah, itu berarti bahwa cerita tertulis
tentang Manu dan Abad Besi secara praktis tidak memiliki kesinambungan dengan peradabanperadaban paling awal India. Namun, teori invasi orang Aryan terdistorsi pada akhir abad
kesembilan belas oleh asumsi-asumsi rasis dan agenda-agenda politis, sehingga ”para nasionalis
Hindu” kini memandang versi mana pun dari teori invasi Aryan sebagai suatu manuver rasis
ofensif. Sebagai reaksi, para sarjana yang percaya bahwa bukti linguistik mendukung adanya
suatu invasi dari luar sering menerapkan label ”fundamentalis Hindutva” pada siapa pun yang
menggunakan mitologi Sanskerta dari masa sesudahnya untuk menerangkan sejarah India
purba. Manu jelas bersifat mitologis; hubungannya dengan India pada milenium keempat
tetap sangat tidak jelas.
Jauh di sebelah Timur Mesopotamia dan India pola yang lazim itu terulang sekali lagi.
Kali ini pemukiman mulai di sekitar sungai Kuning, yang mengalir ke
Timur dari dataran tinggi yang kini bernama Qing Zang Gaoyuan—Dataran
Tinggi Tibet—dan bermuara di laut Kuning. lebih jauh ke arah Selatan,
sungai yangtze juga mengalir ke pantai di sebelah Timur.
Pada masa ketika Sahara hijau dan gurun har dialiri sebuah sungai, bentangan tanah luas antara kedua sungai besar di China mungkin merupakan
bercak-bercak bentangan air-dan-tanah berupa rawa, danau, dan genangan
lumpur. Jazirah Shandong yang terletak antara kedua sungai itu hampir
berupa sebuah pulau. Para pemburu dan pengumpul mungkin mengembara
melewati paya-paya, tetapi tidak ada alasan yang kuat untuk menetap di daerah yang terendam air.
Kemudian Sahara memanas; banjir Nil berkurang; sungai yang dahulu
mengaliri Gurun har lenyap; jalinan sungai di Mesopotamia perlahan-lahan
menjadi dua sungai yang terpisah sementara daratan di antaranya menjadi
kokoh. Di antara kedua sungai besar di China daratan mengering.
Pada tahun 5000 SM bentangan tanah antara kedua sungai merupakan
sebuah dataran yang luas dan tempat-tempat yang tinggi ditumbuhi hutan.
Para pengembara mulai menetap dan menanam padi di tanah yang lembab
di sekitar sungai. rumah bertambah banyak dan desa-desa bermunculan.
Arkeologi menyingkapkan gugus-gugus rumah pertama yang mencolok di
dekat sungai Kuning. Di sana, pemukiman lambat laun menjadi semacam kebudayaan: orang-orang yang memiliki adat yang sama, cara yang sama untuk
membangun rumah, gaya tembikar yang sama, dan mungkin juga bahasa
yang sama.
Kebudayaan sungai Kuning itu, yang kini kita sebut Yang-shao, bukanlah
satu-satunya gugus pemukiman di China. Di pantai tenggara China, yang
menghadap ke Laut China Selatan, muncul suatu kebudayaan lain yang
disebut Dapenkeng; lebih jauh ke Selatan, di lembah sungai Yangtze, berkembanglah kawanan Qinglian.1
Di bawah kelokan besar Selatan sungai Kuning
muncullah gugus pemukiman keempat, Longshan. Ekskavasi menunjukkan
reruntuhan Longshan di atas reruntuhan Yang-shao, dan mengisyaratkan
bahwa Longshan mungkin telah menguasai dengan damai sekurang-kurangnya sebagian dari kebudayaan sungai Kuning.
Hampir tidak ada yang kita ketahui mengenai kehidupan dan adat istiadat salah satu pun dari keempat kelompok pemukim itu. Yang dapat kita
lakukan hanyalah menamai mereka dengan nama yang berbeda karena mereka memiliki gaya tembikar yang berbeda-beda dan cara pertanian dan
pembangunan rumah yang berbeda; sebuah pemukiman Yang-shao mungkin
dikelilingi parit, sedang sebuah desa Longshan mungkin dipisahkan dari padang belantara di sekitarnya oleh sebuah tembok tanah. Tetapi selain spekulasi
yang sangat umum (mungkin penempatan pemakaman di dekat desa di tepi
Selatan sungai Kuning mengisyaratkan suatu bentuk sangat kuno pemujaan
nenek moyang; mungkin penyertaan makanan bersama jasad seorang yang
meninggal menunjukkan kepercayaan akan suatu kehidupan di alam sana
yang menyenangkan), kita tidak memiliki petunjuk lain: hanya cerita-cerita
yang mengklaim bercerita tentang awal mula China.
Seperti halnya cerita-cerita Mahabharata, cerita-cerita China purba dituliskan beberapa ribu tahunan setelah masa yang dideskripsikan. Tetapi
sejauh cerita-cerita itu melestarikan tradisi-tradisi tua, cerita-cerita itu
mengisahkan seorang raja awal yang menemukan tata hakiki segala hal.
Namanya Fu Xi.
Sima Qian, Sejarawan Besar yang mengumpulkan cerita-cerita tradisional China menjadi sebuah sejarah kepahlawanan, menceritakan bahwa Fu
Xi mulai memerintah pada tahun 2850. Ia menciptakan Delapan Trigram,
sebuah pola garis lurus dan garis patah yang digunakan untuk pencatatan, peramalan, dan penafsiran kejadian. Ketika merenungkan penampilan burung
dan binatang, Fu Xi
menggambar secara langsung dari dirinya sendiri,
dan secara tidak langsung berdasarkan benda-benda luar.
Demikianlah ia menciptakan Delapan Trigram
untuk mengkomunikasikan keutamaan pengetahuan ilahi
dan mengelompokkan gejala semua benda hidupPola-pola Delapan Trigram didasarkan pada ciri-ciri yang terdapat pada
cangkang kura-kura. Raja pertama China tidak menyelamatkan rakyatnya
dari air bah, menerima kuasa dari langit, atau menyatukan dua negeri. Tidak;
keberhasilannya yang besar adalah, untuk orang China, jauh lebih penting
lagi. Ia menemukan hubungan antara dunia dan diri, antara pola-pola alam
dan dorongan pikiran manusia untuk mengatur segala hal di sekitarnya.
Dalam legenda China Fu Xi disusul oleh raja besar kedua, Shennong, yang
untuk pertama kalinya membuat bajak dari kayu dan menggali tanah. Huainan Tzu mengatakan bahwa ia mengajarkan rakyatnya untuk menemukan
tanah yang paling baik, menabur, dan menanam kelima bebijian yang menopang kehidupan, mengayaknya, dan makan rerumputan yang baik dan
menghindari yang beracun. raja Petani disusul oleh raja besar ketiga, mungkin yang terbesar dari mereka: Huangdi, Kaisar Kuning.
Menurut tradisi Huangdi diperkirakan memerintah dari tahun 2696 sampai 2598 SM. Dalam masa pemerintahannya ia mula-mula mengalahkan
saudaranya, raja Nyala Api, dan meluaskan kekuasannya ke daerah kekuasaan saudaranya itu. Kemudian panglima perang daerah Selatan Chi you, yang
tetap setia kepada raja Nyala Api, memberontak melawan Kaisar Kuning
yang menang. Chi you memiliki karakter yang tidak menyenangkan; ia menciptakan perang, membuat pedang baja pertama, memakan kerakal dan batu
dengan giginya yang tak terpatahkan, dan memimpin pasukan yang terdiri
dari pelaku kejahatan dan bersosok raksasa. Ia menyerang pasukan Huangdi
di medan pertempuran yang tertutup kabut; Huangdi harus menggunakan
sebuah kereta sihir, yang dilengkapi dengan sebuah kompas, untuk menemukan jalan menuju ke titik pusat pertempuran (yang akhirnya ia menangkan).
Cerita itu anakronistik. Belum terdapat kompas di China pada tahun 2696,
baik yang magis maupun yang lainnya. Belum terdapat kota juga. Ketika
Memphis dan Kish berkembang, pemukiman-pemukiman sungai Kuning
masih berupa gugus-gugus rumah bertiang kayu dan berdinding anyaman
yang dilabur, dikelilingi parit dan tembok tanah. Orang-orang yang tinggal
di pemukiman itu sudah belajar menangkap ikan, menanam dan memanen
bebijian, dan (kita mengasumsikan) memerangi penyerbu. Huangdi, jika ia
berperang demi kekaisarannya melawan saudaranya dan panglima perang saudaranya, memenangkan sebuah kekaisaran yang bukan terdiri dari kota-kota dan pedagang-pedagang yang makmur, tetapi gugus-gugus gubuk pedesaan
yang dikelilingi sawah yang ditanami padi dan ketan.
Tetapi suatu peralihan terjadi dalam struktur pemerintahan China setelah
penaklukan yang dilakukan Huangdi. Di Sumer, ide kekuasaan turun-temurun sudah cukup kokoh pada waktu itu. Agaknya hal sama muncul hampir
seketika di China. Huangdi, raja terakhir dari ketiga raja, disusul oleh seorang
raja bernama Yao. Yao yang penuh kebijak-sanaan (ia adalah yang pertama
dari Tiga Raja Bijak) agaknya berada di negeri China di mana sudah menjadi
kebiasaan bahwa seorang raja menyerahkan kekuasaan kepada anak lelakinya.
Namun Yao melihat bahwa anak lelakinya sendiri tidak layak mewarisi tahta.
Maka, sebagai penggantinya, ia memilih seorang petani yang miskin namun
bijaksana bernama Shun, yang terkenal bukan saja karena keutamaannya
tetapi juga karena baktinya kepada ayahnya. Shun, yang menjadi raja yang
bijaksana dan adil (dan raja kedua dari Tiga Raja Bijak) mengikuti pola rajanya sendiri; ia mengabaikan anak lelakinya dan memilih seorang lelaki yang
pantas, Yü, sebagai pengganti. Yü, Raja Bijak ketiga, dicatat sebagai orang
yang mendirikan dinasti pertama China, dinasti Xia.
Dengan kata lain, di China cerita-cerita tertua tentang pergantian raja menunjukkan bukan suatu perjuangan mati-matian untuk mendapatkan kuasa
karena warisan darah, tetapi anak lelaki yang ditolak kewarisannya dengan
mendahulukan keutamaan. Mereka memuliakan kekuasaan rajawi dan sekaligus menolak penggunaan kuasa itu yang terlalu menekan. Kekuasaan adalah
wajar, tetapi tidak ada orang yang boleh mengasumsikan bahwa ia serta merta
mendapat karunia itu atas dasar martabat kelahiran. Kebijaksanaan, bukannya
martabat kelahiran, yang menjadikan seseorang layak memerintah. Orangorang Kish mungkin berduka karena raja mereka tidak memiliki keturunan.
Kota-kota di lembah sungai Kuning tidak memiliki kerinduan semacam itu.
Suatu saat sekitar 1770 SM, Zimri-Lim, raja kota berbenteng Mari di
tepi sungai Efrat, merasa sangat kesal kepada anak perempuan termudanya.
Satu dasawarsa sebelumnya Zimri Lim telah menikahkan kakak
perempuannya Shimatum dengan raja sebuah kota berbenteng lain dan kota
adiraja yang bernama Ilansura. Itu penjodohan yang bagus, yang dimeriahkan
dengan pesta agung dan hadiah bertimbun-timbun (sebagian besar dari
keluarga mempelai lelaki kepada mempelai perempuan). Cucu-cucu ZimriLim kemudian akan berurut menduduki tahta Ilansura, tetapi sementara ini
raja Ilansura akan menjadi sekutunya, bukannya seorang pesaing di antara
sekian banyak kota-kota merdeka yang berperang untuk meraih wilayah
kekuasaan di sepanjang bentangan daerah Efrat yang subur dan terbatas.
Sayangnya, cucu tidak segera tiba seperti yang diharapkan. Tiga tahun sesudah itu Zimri-Lim yang masih berharap untuk menjadikan Ilansura sekutu
tetapnya mengirimkan kepada raja Ilansura seorang anak perempuan lainnya: Kirum, adik perempuan termuda Shimatum. Kirum, seorang yang tajam
lidahnya dan berambisi, diharapkan mengambil tempatnya yang sah sebagai istri kedua dan sahaya bagi kakaknya. Sebaliknya, ia memutuskan untuk
menawar posisi sebagai istri pertama raja. Ia melibatkan diri dalam urusan politik, memerintah hamba-hamba untuk keperluan pribadinya, merendahkan
kakaknya, dan secara umum bertingkah sebagai permaisuri di istana—sampai
saatnya Shimatum melahirkan anak kembar.
Seketika Kirum yang tidak berputra jatuh tempatnya di dalam hirarki istana. ”Tak seorang pun menanyai pendapatku lagi”, keluhnya dalam surat demi
surat yang ia tulis kepada ayahnya. ”Suamiku telah menarik kembali hambahambaku yang terakhir. Kakakku mengatakan bahwa ia akan berbuat sesuka
hatinya kepadaku!”
Mengingat perilaku Kirum terhadap kakaknya pada tahun-tahun awal
perkawinannya, rasanya mustahil bahwa ”sesuka hatinya” berupa sesuatu
yang baik; dan memang, dalam surat-surat berikutnya Kirum minta pertolongan kepada ayahnya. Permintaan ”Bawalah saya pulang, kalau tidak saya
pasti mati!” meningkat menjadi ”Jika ayah tidak membawaku pulang ke Mari,
aku akan terjun dari atap yang paling tinggi di Ilansura!”
Zimri-Lim sebenarnya berharap menjadikan raja Ilansura sebagai teman.
Sayangnya, membiarkan Kirum berada di dalam rumahtangga raja itu tidak
begitu bermanfaat untuk meningkatkan hubungan baik antara kedua keluarga. Tujuh tahun setelah perkawinan itu, Zimri-Lim berhenti berharap,
melakukan perjalanan rajawi ke utara dan, menurut tututran catatan istananya sendiri, ”membebaskan istana Ilansura” dengan memboyong kembali
Kirum.1
Ribuan tahun yang lalu berbagai kelompok pemburu dan pengumpul
mengembara di seluruah Asia dan Eropa sambil mengikuti kawanan mamot
yang memakan rumput liar.Lambat laun es mulai mundur; pola pertumbuhan rumput pun berubah; kawanan-kawanan bergerak ke utara dan menjadi
berkurang. Menyusullah beberapa pemburu. Lainnya, karena kekurangan daging yang merupakan inti makanan pokok mereka, menuai rumput-rumput
liar itu dan pada saat tertentu mulai menanam sendiri beberapa jenis rumput
itu. Barangkali.
Walaupun buku-buku sejarah dunia biasanya mulai dengan masa prasejarah, saya menduga bahwa masa prasejarah merupakan titik mulai yang
keliru untuk sejarawan. Para spesialis lain memiliki perlengkapan yang lebih
baik untuk menyelami kekelaman masa lalu yang sangat jauh. Para spesialis
arkeologi menggali puing desa-desa yang dibangun dengan tulang mamot;
para spesialis antropologi berusaha merekonstruksikan suasana desa-desa yang
telah hilang. Keduanya mencari suatu hipotesis yang berpadanan dengan
bukti-bukti, sebuah lensa yang dapat menyibakkan kelompok-kelompok manusia yang bergerak dari timur ke barat, dengan menggantikan daging mamot
dengan gandum gerst dan menggali ceruk untuk menyimpan kelebihan gandum.
Bagi sejarawan yang berharap untuk tidak sekadar menjelaskan apa yang
dilakukan orang-orang, tetapi sampai taraf tertentu mengapa dan bagaimana
mereka melakukannya, masa prasejarah—masa sebelum orang mulai menulis
dan menuturkan cerita tentang raja mereka, pahlawan mereka, dan mereka
sendiri—tetap kabur. Apa pun yang disimpulkan oleh spesialis arkeologi tentang kelompok yang disebut ”Manusia neolitik”, saya tidak mengetahui apa
pun tentang suasana siang dan malam seorang tukang pot neolitik yang membuat pot dengan ujung berbentuk cincin di sebuah desa di Prancis selatan.
Jejak-jejak para pemburu dan pengumpul (pot, helai batu, tulang manusia
dan binatang, lukisan di batu karang dan dinding gua) menyingkapkan suatu
pola hidup, tetapi tidak ada cerita yang muncul. Tidak ada raja atau permaisuri pada masa prasejarah. Karena tidak mewujud dalam pribadi-pribadi,
manusia prasejarah sering tampak seperti blok-blok warna yang berubah-ubah
pada sebuah peta; mereka bergerak ke utara, bergerak ke barat, sambil menciptakan padang tempat bercocok tanam atau menghimpun suatu kawanan
dari binatang-binatang yang baru saja dijinakkan. Cerita tentang orang-orang
tak bernama itu harus dituturkan dengan suara nirpribadi yang mencemari
banyak buku sejarah: ”Peradaban muncul di kawasan Sabit Subur, di mana
gandum ditanam untuk pertama kali di tepian sungai Efrat. Perkembangan
tulisan segera menyusul, dan kota-kota dibangun”.
Setiap kali sang sejarawan terpaksa menampilkan pernyataan-pernyataan
yang sangat umum tentang ”perilaku manusia”, ia meninggalkan tanah kelahirannya dan berbicara dalam bahasa asing—biasanya dengan bahasa yang
sama sekali tidak mengalir dan kaku. Jenis sejarah nirpribadi itu (yang banyak
menggunakan kata kerja pasif) bukan main hambar. Lebih buruk lagi, tidak
akurat. Sabit Subur tidak memegang monopoli pertanian; berbagai kelompok
kecil di seluruh Asia dan Eropa mulai bercocok tanam manakala cuaca menjadi hangat, dan bagaimana pun juga Sabit Subur sebagian besarnya berupa
padang belantara.
Para spesialis antropologi dapat berspekulasi tentang perilaku manusia;
para spesialis arkeologi, tentang pola-pola menetap; para spesialis filsafat dan
teologi, tentang motivasi ”manusia” sebagai suatu massa tanpa diferensiasi.
Tetapi tugas sejarawan berbeda: menemukan kehidupan orang-orang tertentu
yang memberikan daging dan nyawa kepada pernyataan-pernyataan abstrak
tentang perilaku manusia.
Tidaklah mudah menjadi raja kecil di Timur Tengah masa kuno. ZimriLim melewatkan separuh waktu hidupnya untuk memerangi raja kota-kota
lain, dan separuh lainnya untuk berusaha mengatasi keruwetan kehidupan
pribadinya. Permaisurinya Shiptu, seorang yang mahir dan cerdik dalam
politik, mengurusi kota Mari sementara suaminya pergi ke suatu peperangan lagi. Ia menulis kepada Zimri-Lim di tengah musim panas Laut Tengah,
”Jangan lupa menjaga dirimu sendiri ketika engkau berada di tengah sengatan matahari!. Pakailah jaket dan jubah yang telah kubuat untukmu!.
Hatiku sangat cemas; tulislah surat dan katakan kepadaku bahwa engkau
aman!” Dan Zimri-Lim membalas: ”Musuh tidak sampai mengancamu
dengan senjata. Semua baik-baik. Harap hatimu tidak cemas lagi.”2 Pada
ribuan lempeng bertulisan huruf paku yang digali dari tepia sungai Efrat,
Zimri-Lim tampil baik sebagai seorang raja Mesopotamia yang khas maupun
sebagai seorang individu: seorang lelaki yang banyak menikah dengan sedikit
bakat saja untuk perilaku kebapaan.
Jadi, alih-alih mulai dengan lukisan di gua atau kelompok anonim orang
nomad yang mengembara di padang, saya memilih untuk memulai buku sejarah ini pada saat ketika kehidupan orang-orang tertentu dan suara manusia
yang dapat didengar muncul dari himpunan manusia prasejarah yang tak berketentuan. Anda akan menemukan sebagian masa prasejarah yang diangkat dari
arkeologi dan antropologi pada bab-bab terdekat berikut ini (dan sejalan dengan
itu, beberapa penggunaan suara nirpribadi yang tak dapat dielakkan). Tetapi
manakala masa prasejarah itu tampil, tujuannya hanyalah untuk menyiapkan pentas bagi tokoh-tokoh yang sedang menunggu di samping pentas.
Saya menggunakan dengan cermat cerita-cerita epik dan mitos untuk
memberi daging pada masa prasejarah itu. Pribadi-pribadi pertama yang
muncul ke permukaan sejarah kuno tampak seperti sebagain manusia dan
sebagian dewa; raja-raja paling awal memerintah selama ribuan tahun, dan
pahlawan-pahlawan pertama naik ke langit dengan sayap rajawali. Sejak abad
ke-18 (sekurang-kurangnya), para sejarawan barat mencurigai cerita-cerita
semacam itu. Karena dilatih dengan sebuah sistem universitas di mana ilmu
pengetahuan dihormati sebagai seakan-akan tak mungkin keliru, para sejarawan sering menempatkan diri mereka sebagai ilmuwan: mencari fakta keras
dan menyingkirkan bahan sejarah yang tampaknya menyimpang dari kebenaran menurut tata alam semesta Newton. Bagaimana pun, suatu dokumen
yang berawal dengan kata-kata seperti daftar raja-raja Sumeria, ”Martabat raja
diturunkan dari surga” tidak mungkin dapat dipercayai sebagai sejarah. Lebih
baik bersandar pada ilmu arkeologi dan merekonstruksikan masa-masa awal
Sumer dan Mesir serta pemukiman lembah Indus pada bukti-bukti fisik yang
dapat diraba.
Tetapi untuk sejarawan yang mengarahkan perhatiannya pada mengapa
dan bagaimananya perilaku manusia, pecahan tembikar dan pondasi rumah
tidak banyaklah gunanya. Benda-benda itu tidak memberikan pintu masuk
ke dalam jiwa. Di pihak lain, cerita epik menyajikan ketakutan dan harapan orang-orang yang menceritakannya—dan hal itu sungguh bernilai untuk
menjelaskan perilaku mereka. Mitos, seperti yang dikatakan sejarawan John
Keay, adalah ”asap sejarah”. Anda mungkin harus banyak mengipasinya sebelum Anda memperoleh selintas nyala api di bawahnya; tetapi bilamana Anda
melihat asap, sangat bijaksanalah bahwa Anda tidak menyatakan bahwa tidak
ada api di sana.
Bagaimana pun, kita perlu mengingat bahwa semua buku sejarah tentang
masa kuno berisi banyak spekulasi. Sungguhpun demikian, spekulasi yang
dikaitkan pada bukti fisik tidaklah lebih terandalkan daripada spekulasi yang
dikaitkan pada cerita-cerita yang dipilih oleh orang-orang untuk melestarikan
dan menuturkannya kepada anak-anak mereka. Setiap sejarawan menyaring
bukti-bukti, menyisihkan yang tampaknya tidak relevan, dan menyusun yang
diperoleh ke dalam suatu pola. Bukti yang disediakan oleh cerita-cerita kuno
tidak kalah penting daripada bukti yang ditinggalkan oleh pedagang pada
suatu jalur dagang. Keduanya perlu dikumpulkan, ditapis, dinilai, dan digunakan. Berkonsentrasi pada bukti fisik dengan menyingkirkan mitos dan
cerita sama dengan melandaskan seluruh penjelasan tentang perilaku manusia pada sesuatu yang dapat diraba, dicium, dilihat, dan ditimbang: itu
menunjukkan suatu pandangan mekanis terhadap kodrat manusia dan suatu
kepercayaan buta kepada metode-metode ilmu pengetahuan untuk menjelaskan misteri-misteri perilaku manusia.
Walaupun demikian, sejarah yang direkonstruksikan atas dasar cerita-cerita yang sangat tua berisi penciptaan teori yang sama besarnya dengan sejarah
yang direkonstruksikan atas dasar puing-puing yang sangat tua. Maka saya
terlah berusaha menunjukkan saat di mana catatan tertulis mulai menjadi lebih banyak dan perkiraan menjadi kurang bersifat perkiraan (”Bagian
Dua”). Para sejarawan tidak selalu peduli untuk memberikan kepada pembaca catatan kewaspadaan semacam ini; banyak yang meloncat dari ”Manusia
zaman mesolitik terus meningkat kemahirannya dalam membuat senjata”
ke ”Sargon membentangkan kekuasaannya ke seluruh Mesopotamia” tanpa
mencatat bahwa kedua pernyataan itu didasarkan pada bukti-bukti yang berlainan jenisnya dan mengandung tingkat keambiguan yang sangat berbeda.
Dalam buku ini kita tidak akan melewatkan banyak waktu di Australia,
atau di kedua benua Amerika, ataupun juga Afrika, namun dengan sebab
yang berbeda. Sejarah lisan kebudayaan-kebudayaan itu, walaupun tua, tidak
terentang ke belakang sama jauhnya dengan daftar raja-raja Mesopotamia
atau papan-papan memorial pertama untuk raja-raja Mesir. Namun, seluruh
gagasan waktu linear yang memberikan kepada kita suatu kerangka sejarah
yang sedemikian rapi itu—prasejarah, sejarah kuno, sejarah zaman madya,
dan seterusnya sampai ke masa mendatang—tidak berasal dari Afrika atau
bangsa Asli Amerika; gagasan itu adalah sebuah ciptaan yang berwajah sangat
Barat (yang tentunya tidak mengurangi kegunaannya). Seperti yang dikemukakan oleh spesialis arkeologi Chris Gosden dalam buku pembuka untuk
prasejarah, bangsa-bangsa asli seperti kaum Aborijin Australia tidak memiliki
konsep asli ”prasejarah”. Sejauh yang dapat kita katakan, mereka berpikir tentang masa lampau dan masa kini sebagai satu hal sampai kedatangan orang
Barat yang membawa serta ”sejarah”—dan pada saat itu prasejarah mereka
sekonyong-konyong berhenti. Kita akan menemui mereka pada saat itu: suatu
pendekatan yang mungkin tidak ideal, namun sekurang-kurangnya menghindari kekerasan terhadap rasa waktu mereka sendiri.
Sebuah catatan tambahan: Menetapkan tanggal untuk sesuatu yang terjadi seb