Sabtu, 30 November 2024

dunia kuno 1

 


pada suatu saat sekitar 3000 SM. Pada 

awal milenium itu hanya terdapat dua hal yang cukup penting untuk di￾komunikasikan menjelajah ruang dan waktu: perbuatan orang-orang besar 

dan pemilikan sapi, bebijian, dan domba. Di kota-kota Sumer sebuah sastra 

epos besar mulai terbentuk dan sebuah birokrasi berhimpun untuk mengurus 

penghitungan bebijian.

Karena manusia di mana-mana sama saja, maka yang diutamakan perta￾ma-tama adalah birokrasi. Lahirnya tulisan terletak bukan pada pengagungan 

jiwa manusia tetapi pada kebutuhan manusia untuk mengatakan dengan 

pasti: Ini milikku, bukan milikmu. Tetapi sementara para akuntan mengem￾bangkan sandi buatan untuk pengelolaan harta milik, mereka memberikan 

sebuah hadiah kepada para penutur cerita: sebuah cara untuk menampilkan 

tokoh pujaan mereka supaya tetap hidup. Sejak awalnya, kesusasteraan terkait 

dengan perdagangan.

S lukisan gua, orang telah mulai membuat tanda-tanda untuk 

membilang benda-benda. Kita dapat menyebut tanda-tanda itu benih tulisan, 

karena sebuah tanda tidak berarti Di sini ada sebuah tanda, tetapi suatu hal 

lain. Namun tanda-tanda tidak menjangkau lebih jauh dari ruang dan waktu. 

Tanda-tanda tidak memiliki suara kecuali jika pembuat tanda berdiri di sana 

dan menjelaskan: Garis ini adalah seekor sapi; yang ini seeekor kijang antilop; 

sedangkan yang ini adalah anak-anak saya.

Di Sumer penggunaan tanda-tanda maju satu langkah lagi. Sejak masa 

sangat awal orang Sumeria yang memiliki sumber daya yang bernilai (be￾bijian, susu, atau mungkin minyak) memiliki kebiasaan mengikat erat-erat 

karung bebijiannya, memipihkan sebungkal lempung pada simpul talinya, kemudian menerakan cap pada lempung itu. Cap itu, entah persegi empat 

atau bundar, dipahatkan dengan sebuah desain tertentu. Ketika bungkah lem￾pung kering, tanda dari pemiliknya (Ini milikku!) membekas pada lempung. 

Tanda itu mewakili kehadiran pemiliknya dan menjaga bebijian itu sementara 

si pemilik tidak berada di sana.

Cap-cap semacam itu, seperti halnya tanda-tanda yang dibuat oleh pelukis 

gua, bergantung pada pengetahuan yang dikenal masyarakat. Setiap orang 

yang melihat cap harus tahu siapakah yang kehadirannya diwakili oleh tanda 

itu, sebelum tanda itu dapat menyampaikan pesan Ini milik Ilshu. Tetapi, 

berbeda dengan tanda pelukis gua, sebuah cap itu khas. Sebuah tanda dapat 

berarti wanita atau domba, lelaki atau sapi. Sebuah cap—begitu artinya dike￾tahui—hanya dapat mewakili satu orang Sumeria: Ilshu. Ilshu tidak perlu lagi 

berada di sana untuk menjelaskannya. 

Sebuah langkah sudah terlaksana menuju penguasaan ruang.

Barangkali pada waktu yang bersamaan sebuah tipe tanda lain mulai di￾gunakan. Seperti para pelukis gua, orang Sumeria menggunakan tanda-tanda 

dan bilangan untuk mencatat jumlah sapi (atau karung bebijian) yang mereka 

miliki. Bilangan yang menampilkan jumlah milik mereka sering disimpan 

pada bulatan lempung kecil-kecil (”alat penghitung”). Alat-alat penghitung 

itu telah digunakan sejak petani memiliki sapi: mungkin sejak berabad-abad. 

Tetapi suatu saat sebelum 3000 SM orang-orang Sumeria yang paling kaya 

(yang memiliki sangat banyak alat penghitung untuk mencatat) menggelar 

alat-alat penghitung mereka pada selembar lempung tipis, melipat lembar itu 

pada tepiannya dan menerakan sebuah cap pada lipatan. Ketika lempung ke￾ring, bentuknya seperti sebuah amplop.

Sayangnya, satu-satunya cara untuk membuka amplop itu ialah dengan 

memecah lempung, dan dengan demikian (berbeda dengan dengan amplop 

kertas berbantalan) menjadi tidak dapat digunakan. Cara yang lebih hemat 

untuk mencatat berapa banyak alat penghitung yang terdapat di dalam 

amplop ialah dengan mencatat jumlahnya di bagian luar, yang menunjukkan 

berapa banyak alat penghitung yang terdapat di dalam amplop.

Nah, tanda di bagian luar ”amplop” mewakili alat-alat penghitung yang 

ada di dalam amplop, yang ditera dengan tanda-tanda yang mewakili jumlah 

sapi. Dengan kata lain, tanda-tanda di bagian luar berada dua langkah dari 

benda yang diwakili. Hubungan antara benda dan tanda telah mulai berkem￾bang menjadi lebih abstrak.1

Kemajuan berikutnya adalah bergerak melampaui tanda itu sendiri sepe￾nuhnya. Ketika kota-kota Sumeria berkembang, kepemilikan menjadi lebih 

kompleks. Terdapat lebih banyak jenis benda yang dapat dimiliki dan dialih￾kan kepada orang lain. Kini para akuntan memerlukan sesuatu yang lebih dari tanda. Mereka memerlukan piktogram—wakil dari benda-benda yang 

dihitung—dan juga bilangan.

Piktogram yang digunakan semakin menjadi lebih sederhana. Sebabnya 

adalah antara lain karena piktogram itu pada umumnya digambar pada lem￾pung, suatu hal yang tidak memudahkan pencatatan detail yang cermat. Dan 

tentunya diperlukan banyak waktu untuk menggambar seekor sapi, tiap-tiap 

kali gambar sapi dibutuhkan, sementara setiap orang yang melihat palet itu 

mengetahui benar bahwa sebuah persegi empat ditambah sebuah guratan ke￾pala dan ekor berarti sapi; seperti halnya gambar sosok tongkat buatan seorang 

anak tentu saja berarti Mama, walaupun sosok itu sulit dikenali (dan nyaris 

tidak ada rupa manusianya), karena Mama bagaimana pun sedang berdiri di 

sana.

Ini masih tetap merupakan sebuah sistem penandaan, dan belum layak 

disebut tulisan. Di pihak lain, itu merupakan sistem penandaan yang telah 

berkembang menjadi jauh lebih kompleks. 

Kemudian muncul kembali cap, kali ini dengan menyampaikan sebuah 

pesan yang benar-benar baru. Ilshu, yang sebelumnya menggunakan cap 

hanya untuk menandai bebijian dan minyaknya, kini dapat menempatkannya 

pada bagian bawah palet yang mencatat, dengan piktogram, penjualan sapi 

dari tetangga di sebelah kirinya kepada tetangga di sebelah kanannya. Karena 

kedua tetangga tidak saling mempercayai sepenuh-nya, mereka meminta ke￾pada Ilshu untuk hadir pada penjualan itu; ia menerakan capnya pada palet 

itu sebagai saksi atas transaksi tersebut. Pada bagian bawah palet, desain 

Ilshu tidak lagi berbunyi Ilshu tadi berada di sini, atau bahkan Ini milik Ilshu. 

Bunyinya Ilshu, yang tadi berada di sini, menyaksikan transaksi ini dan dapat 

menjelaskannya, jika Anda mempunyai pertanyaan.

Itu bukan lagi sebuah tanda semata-mata melainkan sebuah percakapan 

kepada pembaca.

Hingga titik itu, ”tulisan” Sumeria bergantung pada daya ingatan setiap 

orang yang terlibat; itu lebih serupa dengan sebuah tali yang dipilin pada 

jari daripada sebuah sistem simbol yang terkembang. Tetapi kota-kota me￾lakukan perdagangan, ekonomi berkembang, dan kini palet lempung itu 

perlu memuat lebih banyak informasi daripada jumlah dan jenis barang 

yang diperdagangkan. Petani dan pedagang perlu mencatat kapan sawah 

ditanami dan dengan jenis bijian mana; hamba mana yang diutus untuk ber￾belanja; berapa banyak sapi telah dikirim ke Kuil Enlil untuk memperoleh 

karunia ilahi, kalau-kalau para imam keliru menghitungnya; berapa banyak 

upeti yang telah dikirimkan kepada raja, kalau-kalau ia keliru menghitung 

dan meminta lebih lagi. Untuk menyampaikan pesan itu orang Sumeria me￾merlukan tanda-tanda yang berarti kata-kata, bukan hanya benda. Mereka memerlukan sebuah piktogram untuk sapi, tetapi juga tanda untuk terkirim

atau terbeli; sebuah piktogram untuk gandum, tetapi juga tanda untuk di￾tanam atau rusak.

Ketika kebutuhan akan tanda-tanda bertambah banyak, kode tulisan 

dapat mengambil salah satu dari dua arah. Tanda-tanda dapat berlipat￾ganda, dan masing-masing tanda memiliki arti sebuah kata khas lain. 

Atau, piktogram dapat berkembang menjadi sebuah sistem fonetik, sehin￾gga tanda-tanda dapat mewakili bunyi, bagian kata lebih daripada kata 

itu sendiri; dengan demikian ada sejumlah kata yang dapat dibangun 

dari suatu jumlah tanda yang terbatas. Bagaimana pun, apabila seorang 

Sumeria melihat piktogram untuk sapi, bunyinya ikut tampil. Tidaklah 

terlalu jauh bahwa piktogram untuk sapi kemudian menjadi sebuah tanda 

yang mewakili bunyi pertama dalam kata sapi. Itu kemudian dapat digu￾nakan sebagai tanda awal dalam sebuah rangkaian kata yang semuanya 

mulai dengan bunyi sapi.

Selama kurun sekurang-kurangnya enam ratus tahun piktogram Sumeria 

mengambil arah yang kedua dan berkembang menjadi simbol-simbol fonetik.* 

Simbol-simbol itu, yang dibuat pada lempung basah dengan sebuah batang 

penulis yang ujungnya berbentuk baji, memiliki sebuah bentuk yang khas, 

yakni puncak guratan lebih lebar daripada dasar guratan. Bagaimana orang 

Sumeria menamai tulisan mereka tidak dapat lagi diketahui. Hampir tidak 

mungkin mengenali sebuah teknologi yang mengubah dunia pada tahap￾tahapnya yang sangat awal, dan orang Sumeria sendiri tidak berkomentar 

mengenai inovasi mereka sendiri. Tetapi pada tahun 1700 SM seorang sarjana 

Persia Tua bernama homas Hyde menamai tulisan itu cuneiform, yang akan 

kita pergunakan. Nama yang berasal dari kata Latin yang berarti ”berbentuk 

baji” itu tidak menonjolkan sesuatu untuk menyatakan pentingnya tulisan. 

Hyde berpikir bahwa tanda-tanda yang indah pada lempung itu adalah sema￾cam pelisir hiasan.

D M piktogram mulai digunakan sedikit lebih kemudian dibanding di 

Sumeria. Piktogram sudah lazim pada waktu Mesir menjadi sebuah kekaisa￾ran. Pada Palet Narmer, tepat di sebelah kanan kepala Raja Narmer terdapat 

piktogram untuk ikan madulelang; itu adalah nama Narmer yang ditulis di 

atas portretnya.

Piktogram Mesir yang kini kita sebut hiroglif tampaknya tidak berkem￾bang dari sesbuah sistem hitungan. Sangat mungkin orang Mesir belajar 

teknik piktogram dari tetangga mereka di sebelah Timur laut. Tetapi, ber￾beda dengan tanda-tanda cuneiform Sumeria, yang tidak lagi serupa dengan 

piktogram aslinya, hiroglif Mesir mempertahankan bentuknya yang dapat 

dikenali selama kurun yang panjang. Bahkan setelah hiroglif menjadi tanda 

fonetik yang mewakili bunyi dan bukan benda, hiroglif itu tetap dapat dike￾nali sebagai benda: seorang lelaki dengan tangan terangkat, sebuah tongkat 

gembala, sebuah mahkota, seekor elang. Tulisan hiroglif adalah sebuah kan￾tong campuran. Sebagian tanda tetap berupa piktogram, sedang sebagian 

lainnya merupakan simbol fonetik; terkadang sebuah tanda elang mewakili 

suatu bunyi, tetapi di tempat lain semata-mata seekor elang. Jadi, orang Mesir 

mengembangkan sesuatu yang disebut determinan, yakni sebuah tanda yang

diletakkan di samping sebuah hiroglif untuk menunjukkan apakah tanda itu 

adalah sebuah simbol fonetik atau sebuah piktogram.

Tetapi baik tulisan hiroglif maupun cuneiform tidak berkembang menjadi 

sebuah bentuk fonetik penuh: sebuah alfabet.

Bahasa Sumeria tidak pernah mendapat kesempatan untuk itu. Bahasanya 

digantikan oleh bahasa Akadia, bahasa penakluk Sumer, sebelum perkembang￾annya lengkap. Di pihak lain, tulisan hiroglif bertahan selama ribuan tahun 

tanpa kehilangan sifatnya sebagai gambar. Ini mungkin dapat terjadi berkat 

sikap orang Mesir terhadap tulisan. Untuk orang Mesir, tulisan menghasilkan 

ketidakmatian. Tulisan merupakan sebuah bentuk magis, di mana garis-garis 

itu sendiri mengandung kehidupan dan kekuatan. Beberapa hiroglif terlalu 

besar kekuatannya untuk dipahat di suatu tempat magis, dan hanya dapat 

ditulis di suatu tempat yang kurang kekuatannya, agar tidak mendatangkan 

daya-daya yang tidak dikehendaki. Nama seorang raja yang dipahat dengan 

huruf hiroglif pada sebuah monumen atau patung memberinya kehadiran 

yang tetap bertahan setelah ia wafat. Merusak nama seorang raja yang ter￾pahat adalah membunuhnya selama-lamanya.

Orang Sumeria, yang berwatak lebih praktis, tidak memiliki tujuan sema￾cam itu dalam tulisan mereka. Seperti orang Mesir, orang Sumeria memiliki 

dewi pelindung juru tulis: dewi Niaba yang juga merupakan dewi bebijian 

(sejauh dapat kita katakan). Tetapi orang Mesir percaya bahwa tulisan telah 

diciptakan oleh seorang dewa: hoth, dewa juru tulis, yang menciptakannya 

sendiri dengan kekuatan sabdanya sendiri. hoth adalah dewa tulisan, tetapi 

juga dewa kebijaksanaan dan magi. Ia mengukur bumi, membilang bintang, 

dan mencatat perbuatan setiap manusia yang dibawa ke Balairung Orang 

Mati untuk menjalani pengadilan. Bila ia menghitung bebijian, tiada kekeli￾ruan yang ia lakukan.

Sikap terhadap tulisan tersebut melestarikan bentuk hiroglif sebagai gam￾bar, karena gambar itu sendiri dipercayai memiliki kekuasaan sedemikian itu. 

Sesungguhnya, jauh dari bersifat fonetik, hiroglif dirancang agar tak dapat 

diurai sandinya jika seseorang tidak memiliki kunci untuk maknanya. Para 

imam Mesir, yang menjadi penjaga informasi itu, meronda batas­batas penge￾tahuan mereka guna menjaga agar alat itu tetap di tangan mereka. Sejak saat 

itu penguasaan tulisan dan bacaan merupakan suatu aktus kekuasaan.

Pada kenyataannya, hiroglif sedemikian jauh dari intuitif sehingga ke￾mampuan membacanya mulai pudar bahkan ketika Mesir masih merupakan 

sebuah bangsa. Kita menemukan orang­orang Mesir yang berbahasa Yunani, 

jauh pada tahun 500 M, yang menulis penjelasan panjang mengenai hubungan 

antara tanda dan makna; Horapollo, misalnya dalam karyanya Hieroglyphika, 

menjelaskan berbagai makna hiroglif yang ditulis sebagai seekor burung nasar

dengan berusaha sekuat tenaga (dan tidak tepat) untuk menampilkan hu￾bungan antara tanda dan makna. ”Ketika mereka memaksudkan seorang ibu, 

suatu penglihatan, atau batas-batas, atau irasat”, tulis Horapollo, 

 mereka menggambar seekor burung nasar. Seorang ibu, karena tidak ada 

pejantan dalam spesies binatang ini … burung nasar bermakna penglihatan 

karena dari antara semua binatang burung nasarlah yang memiliki panda￾ngan yang paling tajam. … Itu juga berarti batas-batas, karena ketika suatu 

peperangan akan meletus, burung nasar membatasi tempat di mana pepe￾rangan akan terjadi sambil melayang-layang di atasnya selama tujuh hari. 

[Dan] irasat, karena … burung nasar memperhitungkan jumlah bangkai 

yang akan tersedia sebagai makanannya dari pembantaian itu.2 

Begitu pengetahuan tentang hiroglif lenyap sepenuhnya, tulisan orang 

Mesir tetap gelap sampai sekelompok tentara Napoleon, ketika menggali fon￾dasi untuk sebuah benteng yang Napoleon ingin membangunnya di Delta 

Nil, menemukan sebuah lempeng batu basalt seberat dua ratus kilogram 

dengan inskripsi yang sama yang ditulis dalam hiroglif dengan tulisan Mesir 

yang lebih muda dan juga dalam bahasa Yunani. Batu itu, yang dikenal de￾ngan Batu Rosetta, memberikan kepada spesialis ilmu linguistik kunci yang 

mereka perlukan untuk mulai menguraikan sandinya. Demikianlah institu￾si militer, yang telah menyediakan bahan untuk karya kesusasteraan selama 

berabad-abad, telah membantu penemuan kembali sarana untuk membaca 

puisi-puisi dan cerita-cerita epik paling awal. (Kesusasteraan besar tidak per￾nah terlepas dari peperangan, begitu juga tak dapat membebaskan dirinya dari 

perdagangan).

H dapat melestarikan sifat magis dan misteriusnya hanya karena 

orang Mesir menciptakan sebuah tulisan yang baru dan lebih mudah untuk 

kegunaan sehari-hari. Tulisan hieratik adalah sebuah versi tulisan hiroglif yang 

disederhanakan; di dalamnya tanda-tanda gambar yang cermat diturunkan 

menjadi beberapa garis yang ditorehkan dengan cepat (dalam kata-kata W.V. 

Davies, ”versi kursif” tulisan hiroglif). Tulisan hieratik menjadi sistem pe￾nulisan yang lebih disukai untuk urusan bisnis, para birokrat, dan pelaku 

administrasi. Keberadaannya bergantung pada suatu penemuan lain orang 

Mesir: kertas. Seberapa pun sederhananya, garis-garis itu tidak dapat ditulis 

dengan cepat pada lempung.

Lempung merupakan bahan penulisan tradisional baik bagi orang Sumeria 

maupun orang Mesir selama berabad-abad. Jumlahnya banyak dan dapat 

digunakan kembali. Tulisan yang ditorehkan pada papan lempung yang per￾mukaannya halus dan telah dikeringkan di terik matahari dapat tahan selama 

bertahun-tahun; tetapi jika permukaan papan dibasahi saja maka tulisannya 

dapat diratakan dan diubah, untuk mengoreksi atau mengubah sebuah catat￾an. Sebaliknya, catatan yang harus dilindungi terhadap pengubahan dapat 

dibakar, sehingga tanda-tanda tercetak menjadi sebuah arsip yang tetap dan 

tak dapat diubah.

Tetapi papan lempung itu berat, merepotkan penyimpanan, dan sulit 

untuk dibawa-bawa, serta sangat membatasi jumlah tulisan yang dapat dimuat 

dalam sebuah pesan. (Itu dapat dipikirkan sebagai kebalikan dari kelimpah￾an yang disediakan oleh pemroses kata.) Pada suatu saat sekitar 3000 SM, 

seorang juru tulis Mesir menyadari bahwa papirus yang digunakan sebagai 

bahan bangunan di rumah-rumah Mesir (gelagah yang dilunakkan, digelar 

dengan pola bersilang, diremukkan menjadi bubur, dan kemudian digelar 

supaya kering dalam bentuk lembaran tipis) juga dapat digunakan sebagai 

permukaan untuk menulis. Dengan sebuah kuas dan tinta, tulisan hieratik 

dapat ditorehkan dengan sangat cepat pada papirus.

Nun di Sumer, di mana bahan mentah untuk zat semacam itu tidak terda￾pat, papan lempung terus digunakan selama berabad-abad. Seribu lima ratus 

tahun sesudahnya, ketika Musa memimpin orang-orang Semit keturunan 

Abraham sang pengembara keluar dari Mesir ke padang kering Timur Tengah, 

Allah memahat perintah-perintahNya pada papan batu, bukan kertas. Orang 

Israel harus membuat sebuah kotak khusus untuk papan-papan batu itu, yang 

sulit dibawa-bawa.

Di pihak lain, kertas jauh lebih mudah dibawa. Pesan-pesan dapat digu￾lung, dijejalkan ke bawah baju atau kantung seseorang. Para birokrat yang 

saling berjauhan di lembah Sungai Nil memerlukan suatu metode komuni￾kasi sederhana semacam itu antara bagian Utara dan bagian Selatan; seorang 

utusan yang bepergian melalui Nil dengan membawa papan-papan lempung 

seberat dua puluh kilogram tentu saja merasakan kerepotannya.

Orang Mesir menyambut teknologi yang baru dan efisien itu. Hiroglif 

masih terus dipahat pada dinding batu makam, monumen, dan patung. 

Tetapi surat, tuntutan, perintah serta ancaman ditulis pada papirus—yang 

luruh jika basah, pecah jika menua, dan lebur menjadi tumpukan debu tak 

lama sesudahnya.

Walaupun kita dapat melacak kesulitan-kesulitan keluarga raja Sumeria 

Zimri-Lim pada papan-papan lempung yang dibawa bolak-balik antara kota￾kota Mesopotamia yang terpanggang matahari, tidaklah banyak yang kita 

ketahui mengenai kehidupan sehari-hari para pharaoh dan pegawai-pegawai￾nya setelah papirus ditemukan. Kesedihan dan pesan-pesan mendesak mereka 

hilang; catatan sejarah yang ditulis dengan cermat oleh para juru tulis mereka hilang tanpa bekas, seperti pesan elektronik yang dihapus bersih. Demikianlah, 

lima ribu tahun yang lalu, kita memiliki bukan saja tulisan pertama, tetapi 

juga kemajuan teknologi pertama yang berbalik dan menggigit manusia.

C S mati dan dikubur. Tetapi garis-garis hiroglif tahan 

sampai hari ini. Sebuah bentuk tulisan yang lebih muda, yang kita sebut 

Protosinaitik karena terdapat di berbagai tempat di sekitar semenanjung Sinai, 

meminjam hampir separuh tanda-tandanya dari hiroglif Mesir. Selanjutnya, 

tulisan Protosinaitik tampaknya telah meminjamkan beberapa huruf kepada 

orang Fenisia, yang menggunakannya dalam abjad mereka. Kemudian orang 

Yunani memindahkan ke sisi sebelahnya dan meneruskannya kepada orang 

Romawi, dan akhirnya kepada kita; demikianlah tanda-tanda magis orang 

Mesir sesungguhnya telah sangat dekat dengan ketidakmatian dibanding pe￾nemuan fana mana pun yang kita ketahui.



K  S mulai menggunakan cuneiform, mereka berpin￾dah dari suatu ketika dahulu kala ke masa lampau yang dapat diketahui. Mereka 

mulai menuliskan cerita tentang peperangan yang mereka menangkan, perda￾gangan yang mereka negosiasikan, dan kuil-kuil yang mereka bangun. Daftar 

raja kini dapat dipaparkan berdasarkan papan-papan dan inskripsi-inskripsi 

resmi.

Kisah-kisah epik yang sering menyimpan inti dari keberhasilan-keberhasilan 

duniawi di balik busana aneh-aneh seteru-seteru dari dunia roh jahat dan 

kekuasaan-kekuasaan adikodrati tetap memiliki manfaat. Namun kini kita 

dapat mendasarkannya pada cerita-cerita yang dimaksudkan kurang lebih 

sebagai kisah nyata. Itu tidak berarti bahwa inskripsi-inskripsi memunculkan 

suatu obyektivitas yang baru dan menakjubkan; cerita-cerita itu ditulis oleh 

para juru tulis yang digaji oleh raja yang keberhasilan-keberhasilan-nya mereka 

tuliskan, dan wajar saja bahwa itu cenderung membiaskan cerita-cerita itu ke 

arah yang menguntungkan raja. (Menurut inskripsi-inskripsi Asiria, sedikit 

sekali raja Asiria yang kalah dalam perang.) Tetapi dengan membandingkan 

dua raja yang tampak-nya memenangkan perang antara mereka berdua, 

biasanya kita dapat menyimpulkan raja yang mana yang sebenarnya menang.

Di Sumer, di mana peradaban muncul guna memisahkan orang tak berada 

dengan para hartawan, peperangan antarkota meletus secara sporadis sejak se￾kurang-kurangnya 4000 SM. Dari inskripsi-inskripsi di kuil, daftar raja, dan 

suatu kumpulan kisah, kita dapat membangun sebuah cerita dari salah satu 

rangkaian peperangan yang paling awal: kronik peperangan yang pertama.

Pada tahun 2800 SM (kurang lebih), raja Sumeria Meskiaggasher me￾merintah di kota Uruk. Uruk, yang kini dikenal sebagai kota Warka di Irak tenggara, adalah salah satu kota tertua Sumer, yang didiami sejak sekurang￾kurangnya 3500 SM.* Pada zaman Meskiaggasher, Uruk (sejauh dapat kita 

katakan) juga merupakan kota terbesar. Dinding-dindingnya terbentang se￾panjang sembilan kilometer; lima puluh ribu orang bermukim di dalamnya 

dan di sekitarnya. Dua kompleks kuil besar terletak di dalam lingkungan 

gerbang-gerbangnya. Di kompleks yang bernama Kullaba, orang Sumeria 

berkumpul untuk memuja dewa langit An yang jauh dan pendiam; di kom￾pleks Eanna mereka melangsungkan kebaktian yang jauh lebih meriah kepada 

Inanna, dewi cinta dan peperangan yang jauh lebih mudah didekati.**

Tentu suatu hal yang menyakitkan hati bagi Meskiaggasher bahwa ko￾tanya yang besar dan bersejarah itu sesungguhnya bukan permata mahkota 

Sumer. Keharuman itu masih merupakan milik Kish, kota yang rajanya dapat 

mengklaim hak resmi atas kekuasaan. Pada waktu itu Kish telah merentang￾kan wibawa (dan kekuasaannya) atas kota suci Nippur, di mana terdapat 

tempat-tempat pemujaan kepada dewa utama Enlil dan di mana raja-raja dari 

masing-masing kota Sumeria datang untuk menghaturkan korban dan men￾cari pengakuan. Walaupun bukan kota terkuat di Sumer, Kish tampaknya 

memiliki pengaruh yang tidak proporsional terhadap wilayah itu. Seperti 

halnya Kota New York, Kish bukanlah ibu kota politis atau militer, namun 

melambangkan jantung peradaban—khususnya kepada mereka yang berada 

di luarnya.

Meskiaggasher tampaknya bukan seseorang yang dapat dengan rela men￾jadi orang kedua. Mungkin ia merebut tahta Uruk dari penguasanya yang 

sah; dalam daftar raja Sumeria ia digambarkan sebagai putra dewa matahari 

Utu, yang merupakan gaya silsilah yang sering digunakan perebut untuk me￾legitimasikan klaimnya. Dan, seperti yang dituturkan oleh daftar raja, selama 

masa pemerintahannya ia “memasuki laut dan mendaki gunung”. Ini tam￾pak lebih lugas daripada naiknya Etana ke langit. Begitu menguasai Uruk, 

Meskiaggasher membentangkan kuasanya; bukan terhadap kota-kota Sumeria 

lainnya (Uruk tidak cukup kuat untuk menembus Lagash atau Kish begitu saja), melainkan terhadap jalur-jalur perdagangan yang membentang melalui 

laut dan menjelajah pegunungan-pegunungan di sekitarnya.

Penguasaan jalur-jalur perdagangan itu harus dilakukan sebelum ber￾perang. Meskiaggasher memerlukan pedang, kapak, helm dan perisai, tetapi 

dataran-dataran di antara sungai-sungai tidak memiliki logam. Para perajin 

pedang kota Kish dapat mengandalkan untuk memperoleh bahan mentah dari 

Utara, langsung melalui jalur perdagangan sungai; Uruk perlu menemukan 

sebuah sumber bahan mentah itu di sebelah Selatan, yang tidak didapatkan di 

dataran-dataran antara sungai-sungai.

Ada satu sumber di Selatan yang tersedia. Pegunungan Tembaga yang ma￾syhur itu terbujur di Magan—Arabia tenggara, Oman dewasa ini. Pegunungan 

Tembaga (jajaran pegunungan Al-Hajar) yang disebut-sebut dalam papan 

papan cuneiform dari Lagash dan dari tempat lain itu mengandung tambang 

yang dalamnya dua puluh meter, dan tanur-tanur untuk melebur bijih mine￾ral, sejak masa yang sangat tua. 

Tidak terdapat jalur yang mudah ke Magan melewati gurun Arabia. Namun 

di pelabuhan-pelabuhan Magan, perahu-perahu gelagah Sumeria—yang 

didempul dengan aspal sehingga mampu mengangkut dua puluh ton logam— 

dapat memperdagangkan bebijian, wol, dan minyak untuk membeli tembaga. 

Persiapan pertama yang logis untuk peperangan di pihak Meskiaggasher 

ialah memastikan (entah dengan negosiasi entah dengan peperangan) bahwa 

pedagang-pedagang Uruk memiliki jalur yang aman melalui Teluk Oman ke 

Magan.

Tetapi para pandai besi Sumeria memerlukan lebih dari tembaga murni. 

Sekitar tiga ratus tahun sebelum Meskiaggasher, mereka telah mulai me￾nambahkan sepuluh persen timah atau arsen pada tembaga mereka, sebuah 

campuran yang menghasilkan perunggu: lebih kuat daripada tembaga, lebih 

mudah dibentuk, dan memiliki ujung yang lebih tajam bila ditumbuk.*

Untuk memperoleh perunggu terbaik, Meskiaggasher memerlukan timah. 

Perunggu yang dibuat dengan arsen sedikit lebih lemah, sedikit lebih keras 

untuk diasah. Bahan itu lama kelamaan juga cenderung menghabiskan perajin￾perajin yang terampil, dan itu bukan cara yang baik untuk membangun bekal 

persenjataan. Maka naiknya Meskiaggasher ke pegunungan mungkin sekali

guna mencari timah, yang terpendam di bawah lembah bercadas Pegunungan 

Zagros, atau bahkan mungkin jauh lebih ke Utara, di Pegunungan Elburz 

yang terjal dan berselimutkan es di seberang Laut Kaspia. Meskiaggasher 

membawa serdadu-serdadunya masuk jauh ke sela-sela pegunungan dan me￾maksa suku-suku di pegunungan untuk menyediakan baginya bahan metal 

yang ia perlukan untuk mengubah tembaga menjadi perunggu.

Kini Uruk sudah dipersenjatai, tetapi Meskiaggasher tidak sempat menyak￾sikan Uruk meraih kemenangan. Setelah ia mangkat, anaknya Enmerkar 

mewarisi tahta.

Enmerkar memiliki tugas yang tidak menyenangkan untuk menjaga nama 

baik ayahnya; tidak mudah melebihi seseorang yang masuk ke laut dan men￾daki pegunungan. Kita mendapatkan sekilas paparan upayanya untuk meraih 

nama harum dalam sebuah kisah epik dari masa yang agak kemudian, yang 

disebut “Enmerkar dan Penguasa Aratta”.

Aratta bukan sebuah kota Sumeria. Letaknya di pegunungan Timur, di 

sebelah Selatan Laut Kaspia. Penduduknya adalah orang Elam, suatu bang￾sa yang menggunakan sebuah bahasa yang sama sekali tidak ada kaitannya 

dengan bahasa Sumeria (dan yang sesungguhnya belum dapat diuraikan san￾dinya). Kota-kota Elam terletak bukan di atas lapisan timah atau tembaga, 

tetapi logam dan batu berharga—perak, emas, lapis lazuli—dan selama be￾berapa tahun telah menukarkan batu semi-berharga kepada orang Sumeria 

untuk mendapatkan bebijian.

Enmerkar, yang berada dalam bayang-bayang orang yang telah memasuki 

laut dan mendaki pegunungan, memutuskan untuk mencari pertengkaran 

dengan lawan dagangnya. Ia tidak memiliki alasan politis yang mendesak 

untuk melakukan itu, tetapi Aratta merupakan suatu taruhan kehormatan 

yang terpilih. Jika ia dapat menaklukkannya, ia akan menguasai sebuah kota 

yang telah sejak lama dikagumi oleh Uruk berkat kekayaan, perajin metal, dan 

para pemotong batunya yang terampil. Keharuman namanya akan terjamin.

Maka ia mengirim sebuah pesan kepada raja Aratta, yang berisi pemaklu￾man bahwa Inanna—yang kebetulan juga merupakan dewa pemimpin di 

Aratta—lebih menyukai Uruk dibanding Aratta, dan bahwa penduduk Aratta 

harus mengakui hal itu dengan mengirimkan kepada Enmerkar emas, perak, 

dan lapis lazuli yang mereka miliki secara cuma-cuma.

Ini merupakan suatu pernyataan perang, dan ditanggapi dengan tantangan. 

Sayangnya, Enmerkar tampaknya menilai kekuatannya terlalu tinggi. Dalam 

kisah epik, setelah terjadi serangkaian pertukaran pesan yang panas antara 

kedua raja, dewi Inanna menyelesaikan pertikaian dengan menegaskan kepada 

Enmerkar bahwa walaupun ia tentu sangat mencintai Uruk tetapi ia juga 

memiliki kasih sayang kepada Aratta dan lebih suka bahwa Enmerkar tidak

meluluhlantakkannya. Pada akhir cerita itu orang-orang Elam dari Aratta 

masih tetap bebas dari kekuasaan Enmerkar.1

Karena cerita itu kita dapatkan dari orang Sumeria, bukan orang Elam, akhir 

cerita yang ambigu ini mungkin mengetengahkan kekalahan telak Sumeria. 

Enmerkar mati tanpa memiliki anak dan tanpa memperluas kekaisaran 

ayahnya, dan mengakhiri dinasti Meskiaggasher secara cukup dini.

Ia digantikan oleh salah seorang rekan pejuangnya, seorang lelaki bernama 

Lugulbanda, bintang dari beberapa cerita epik berkat jasanya sendiri. Setelah 

Lugulbanda, seorang pejuang lain lagi yang tidak ada hubungannya dengan 

Meskiaggasher memegang kekuasaan atas kota itu. Pergantian tahta dari ayah 

ke anak lelakinya tampaknya telah terputus, dan Uruk tidak melakukan usaha 

lagi untuk merebut kekuasaan atas kota-kota lain.

Kemudian, barangkali seratus tahun sesudah itu, Uruk berusaha lagi untuk 

merebut kekuasaan di Sumeria. Uruk memiliki seorang raja baru, seorang le￾laki muda bernama Gilgamesh.

Menurut daftar raja, ayah Gilgamesh sama sekali bukan seorang raja. 

Sangat mungkin ia adalah seorang imam besar di kompleks kuil Kullaba, dan 

secara khusus mengurusi pemujaan kepada dewa An, serta memiliki reputasi 

tertentu. Daftar raja menyebutnya lillu, sebuah kata yang menyiratkan ke￾kuasaan dunia halus. Walaupun raja-raja Sumer dahulu juga sekaligus imam, 

zaman itu sudah berlalu. Selama beberapa tahun telah terjadi pemisahan ke￾kuasaan imam dan kekuasaan politis; Gilgamesh mungkin telah mewarisi 

kekuasaan imam, tetapi ia merebut juga kuasa rajawi yang untuknya ia sama 

sekali tidak memiliki hak.

Dalam sebuah cerita epik yang dikisahkan tidak lama setelah 

pemerintahannya, kita menyaksikan Gilgamesh mengklaim Lugulbanda, 

rekan pejuang Enmerkar, sebagai ayahnya. Jika diterima begitu saja, klaim 

itu tidak waras; Lugulbanda telah menduduki tahta berpuluh-puluh 

tahun (sekurang-kurangnya) sebelum kelahiran Gilgamesh. Tetapi dari 

sudut pandang seseorang yang menuliskan kembali sejarah dirinya sendiri, 

Lugulbanda adalah pilihan yang jitu. Ia merupakan raja-pejuang yang berhasil 

dengan gemilang, seseorang yang piawai untuk mengatasi peperangan sengit 

yang panjang dan muncul dengan keadaan segar serta siap untuk berperang 

di wilayah yang jauh. Pada zaman Gilgamesh, Lugulbanda—yang mungkin 

sudah wafat tiga puluh tahun sebelumnya, atau bahkan lebih—memang 

sedang naik namanya untuk mendapatkan status sebagai pahlawan Sumeria. 

Seratus tahun kemudian, ia akan dipandang sebagai seorang dewa. Dari dia 

Gilgamesh meminjam kegemilangan kuasa duniawi.

Begitu upaya pertama Gilgamesh—untuk merebut tahta Uruk—berhasil, 

ia siap untuk tugas yang baru. Dan Kish masih belum tertaklukkan, rajanya

pun menjadi pelindung kota suci Nippur serta mengklaim keunggulan presti￾se tak terjelaskan yang menyakitkan hati itu.

Bila kita mencabut raja muda Uruk itu, Gilgamesh, dari kisah epik yang 

mendahului masa dia dan yang di kemudian hari menjadi terkait dengan di￾rinya, kita masih menyaksikan seorang pribadi yang penuh daya kehidupan. 

Gilgamesh menginginkan segalanya: sahabat-sahabat yang loyal, tahta, gelar 

rajawi, gelar “raja Kish”, dan akhirnya pun ketidakmatian.

Persiapan pertama Gilgamesh, sebelum menyatakan perang kepada 

tetangga-tetangganya, adalah memperkuat tembok-temboknya sendiri. “Di 

Uruk [Gilgamesh] membangun tembok-tembok”, demikian tutur prakata 

Epik Gilgamesh, “sebuah baluarti besar. … Lihatlah itu, masih ada hari ini: 

tembok luarnya … berkilat dengan kemilau tembaga; dan tembok dalamnya 

tidak ada padanannya”.2

Sebutan tembaga adalah tambahan pembangatan dari waktu kemudian. 

Tembok Uruk pada zaman itu tidak terbuat dari batu, apalagi tembaga, tetapi 

dari kayu yang didatangkan dari Utara. Perjalanan Gilgamesh untuk mempe￾roleh kayu dicerminkan dalam Epik itu. Seperti dituturkan di dalamnya, ia 

berkelana ke hutan-hutan aras di Utara untuk mendirikan sebuah monumen 

untuk para dewa, tetapi sebelum ia dapat membangun monumen itu ia harus 

memerangi raksasa hutan: “seorang pejuang besar, balok penjebol” yang di￾kenal sebagai “Sang Jangkung”; atau, dalam bahasa Sumeria, “Humbaba”.3

Sesungguhnya, Gilgamesh memang harus memerangi bukan seorang raksasa 

tetapi suku-suku Elam yang tinggal di hutan dan yang enggan menyerahkan 

sumber daya mereka yang paling berharga dengan gampang-gampangan.

Setelah tembok-tembok diperkuat, Gilgamesh siap untuk mencari perti￾kaian dengan raja Kish.

Raja Kish bernama Enmebaraggesi dan sudah memerintah Kish selama 

bertahun-tahun sebelum si penguasa baru Gilgamesh memerintah Uruk.*Ia 

bukan saja raja Kish, tetapi juga pelindung kota suci Nippur. Sebuah inskripsi 

yang ditemukan di sana menuturkan bahwa Enmebaraggesi membangun di 

Nippur “Rumah Enlil”, sebuah kuil untuk dewa kepala Sumeria penguasa 

udara, angin, dan taufan, yang memegang Papan Nasib dan karenanya meme￾gang kuasa atas nasib semua orang. Enlil, yang dipercayai suka mengirimkan 

banjir ketika ia gusar, bukan seorang dewa yang kepada seseorang dapat 

berbuat sembrono. Tetapi karena kuil yang dibangun oleh Enmebaraggesi menjadi terkenal sebagai kuil kesayangan Enlil, raja Kish sangat yakin akan 

kemurahan hati dewa itu. Agak mustahil bahwa ia terlalu merisaukan penan￾tang muda dari Selatan itu. 

Sementara itu Gilgamesh tengah memobilisasikan kekuatan Uruk. Semua 

perangkat perang diaktifkan: prajurit infanteri berikut perisai kulit, tombak, 

dan kapak mereka; mesin pendudukan yang dibuat dari kayu yang didatang￾kan dari Utara, dengan dihela sapi dan lelaki berpeluh; sebatang kayu aras 

yang dihanyutkan ke hulu di sungai Efrat untuk digunakan sebagai balok 

untuk menjebol gerbang-gerbang Kish. Perang adalah keterampilan yang 

paling berkembang di dunia kuno. Sejak kurun 4000 SM skenario-skenario 

yang dipahat menampilkan pelaga bertombak, pesakitan baik yang hidup 

maupun yang dieksekusi, gerbang yang jebol, dan tembok yang diduduki.

Demikianlah serangan dimulai—dan gagal. Itu kita ketahui karena daftar￾daftar raja mencatat wafat Enmebaraggesi akibat usia lanjut, dan naiknya anak 

lelakinya Agga dengan damai ke tahta Kish.4

Mengapa Gilgamesh mundur?

Dalam semua legenda yang terhimpun di seputar Gilgamesh, sosok sen￾tralnya secara bergelora tetaplah sama: seorang muda, agresif, berapi-api, yang 

memiliki vitalitas nyaris dari seorang manusia super, citra seorang lelaki yang 

tidur selama tiga jam saja semalam dan meloncat bangun dari tempat tidur ke 

pekerjaan, yang terbang dengan pesawat sebelum usia dua puluh lima tahun, 

atau mendirikan dan menjual empat perusahaan pada usia dua puluh delapan 

tahun, atau menulis otobiograi sebelum usia tiga puluh tahun. Yang juga 

merupakan hal yang berulang dalam cerita­cerita itu ialah bahwa vitalitas itu 

meletihkan rakyat gilgamesh. Di dalam tuturan epik­epik, mereka menjadi 

sedemikian letih akibat gerakan­gerakan ke sana ke mari itu sehingga me￾reka berseru memohon pembebasan kepada dewa­dewa. Pada kenyataannya 

mereka barangkali mogok saja; dan karena tidak mendapat dukungan warga 

kotanya gilgamesh terpaksa mundur. 

Bagaimana pun, raja sebuah kota Sumeria bukanlah seorang penguasa mut￾lak. Dalam cerita ekspedisi gilgamesh ke Utara, ia harus meminta persetujuan 

sebuah dewan tetua sebelum ia berangkat. Orang Sumeria, yang perangainya 

dibentuk oleh sebuah wilayah di mana setiap orang perlu memasang kuda￾kuda untuk menangkis pelanggaran tetangganya supaya dapat tetap hidup, 

tampaknya memiliki perasaan yang peka terhadap hak­hak mereka sendiri. 

Mereka adalah orang­orang pertama yang menuliskan kitab hukum mereka, 

dengan menorehkan batas­batas kebebasan orang lain agar tidak mungkin 

terjadi kekeliruan. Agak mustahil bahwa mereka dapat cukup lama mentolerir 

kesewenang­wenangan seorang raja tanpa menolak, dan dalam hal ini, mereka 

menolak untuk pergi berperang lagi. Gilgamesh masih bertekad untuk menaklukkan Kish. Di pihak lain, Agga 

penguasa Kish, cenderung untuk menciptakan perdamaian. Sebuah cerita 

bergaya puisi yang disebut “Gilgamesh dan Agga penguasa Kish” mencatat 

bahwa ia mengirim utusan-utusan kepada Gilgamesh, tampaknya untuk 

membangun hubungan persahabatan.

Tampaknya Gilgamesh memandang hal itu sebagai sebuah pertanda kele￾mahan, bukan sebuah tanda perdamaian. Menurut cerita, mula-mula ia me￾ngumpulkan orang tua-tua kota dan menyampaikan kepada mereka pesan 

dari Agga. Namun, alih-alih menyarankan perdamaian, ia mengusulkan 

untuk melakukan serangan lagi: “Terdapat banyak sumur di kawasan itu yang 

perlu diklaim. Jadi, haruskah kita menyerah kepada wangsa Kish? Tidak, se￾baliknya, kita harus meluluhlantakkannya dengan senjata!”5

Dewan orang tua-tua menolak untuk menghancurkan Kish dan 

menyampaikan kepada Gilgamesh untuk merampungkan sumur-sumur 

negerinya sendiri dulu daripada mengejar sumur orang lain. Tetapi Gilgamesh 

malah beralih ke sebuah dewan lain: dewan orang muda-muda (“bertubuh 

kekar”). “Sejak dahulu belum pernah kalian menyerah kepada Kish!”, katanya 

kepada mereka. Setelah ia menambahkan retorika sedikit lagi, mereka siap 

untuk mengelu-elukan dia. “Berdiri siaga mengemban tugas, duduk siap 

melayani, sambil mengawal anak raja [Kish]— siapa yang punya tenaga?” 

seru mereka kepadanya. “Engkau adalah kekasih dewa-dewa, manusia penuh 

kelimpahan!”

“Jangan bertekuk lutut kepada wangsa Kish!

Bukankah kita, orang-orang muda, harus menghancurkan mereka 

dengan senjata?

Dewa-dewa agunglah yang menciptakan Uruk,

Dan tembok-temboknya menyentuh awan.

Pasukan Kish tidaklah seberapa,

Dan prajurit mereka tak berani memandang ke mata kita”.

Mendapat dukungan sedemikian itu Gilgamesh memutuskan untuk me￾nyerang Kish sekali lagi.

Dewan parlemen ganda itu, dewan orang tua-tua (yang bijaksana tetapi 

sudah melewati gairah berperang) dan dewan orang-orang muda (yang ber￾tubuh kekar tetapi kepalanya panas) adalah biasa dalam pemerintahan kota 

Sumeria. Itu bertahan selama berabad-abad di Timur Tengah kuno; pada 

masa yang jauh sesudahnya, anak lelaki raja besar Ibrani Solomon, tatkala 

naik tahta, membagi negerinya dengan mengabaikan nasihat damai dewan 

orang tua-tua tetapi memilih tindakan keras yang disarankan oleh dewan 

orang-orang muda.

Gilgamesh mengambil cara bertindak yang sama, dan mendapatkan seng￾sara. Sekali lagi, serangan ke Kish menjadi berlarut-larut; sekali lagi, penduduk 

Uruk memprotes; dan sekali lagi, Gilgamesh mundur. Itu kita ketahui karena 

bukanlah Gilgamesh yang akhirnya mengalahkan Kish dan mengklaim gelar 

raja Kish dan pelindung kota Nippur, tetapi seorang raja yang lain sama se￾kali: raja Ur.

Ur, yang letaknya jauh di sebelah Selatan Uruk dan sangat jauh dari Kish, 

telah berkembang kekuatan dan kekuasaannya tanpa menyolok selama ber￾puluh-puluh tahun. Rajanya, Mesannepadda, tampaknya memiliki usia yang 

luar biasa panjangnya. Pada waktu serangan kedua Gilgamesh ke Kish berlarut 

dan berakhir dengan mundur, Mesannepadda telah bertahta selama berpuluh 

tahun. Ia jauh lebih tua daripada Gilgamesh, bahkan mungkin lebih tua da￾ripada Enmebaraggesi yang kala itu sudah mangkat. Ia juga ingin merebut 

Kish; dan ia bukan sekutu Uruk.

Tetapi ia bersedia menunggu sebelum melakukan serangan sendiri. Ketika 

Gilgamesh mundur, dan Kish sudah menjadi lemah, Mesannepadda menye￾rang Kish dan menang. Mesannepadda, bukan Gilgamesh, mengakhiri Dinasti 

Pertama Kish dan menguasai kota suci Nippur. Energi super Gilgamesh masih 

terus terkunci di balik tembok-temboknya dan dikekang oleh ketidaksediaan 

rakyatnya untuk mendukung sebuah serangan baru.

Sekali lagi, dinamika pewarisan tahta berlaku. Kish sudah jatuh, ketika 

Enmebaraggesi wafat dan menyerahkan pertahanannya kepada anak lelaki￾nya; kini Gilgamesh ganti menunggu sampai Mesannepadda yang sudah tua 

namun berkuasa itu wafat dan menyerahkan kepada anak lelakinya sendiri, 

Meskiagunna, untuk menjadi penguasa tiga kerajaan Ur, Kish, dan Nippur. 

(Dan mungkin sampai orang tua-tua yang telah melihat dia dua kali kalah 

meninggal juga.) Ketika itulah Gilgamesh melakukan serangan ketiga.

Kali ini ia menang. Dalam sebuah peperangan yang sengit ia mengalahkan 

Meskiagunna, merebut kotanya, dan mengambil wilayah-wilayah lain yang 

telah direbut Meskiagunna dengan perang. Dengan serbuan terakhir akhirnya 

Gilgamesh menjadi penguasa keempat kota besar Sumer: Kish, Ur, Uruk, dan 

kota suci Nippur.

Setelah merencanakan penaklukan Kish selama puluhan tahun, kini 

Gilgamesh menguasai wilayah Sumer yang lebih luas daripada raja mana pun 

sebelum dia. Tetapi hanya untuk beberapa saat. Bahkan energi supramanusiawi 

Gilgamesh tidak dapat melawan usia tua. Ketika ia wafat, tak lama setelah 

kemenangannya, kerajaannya yang meliputi empat penjuru, gelar raja Kish, 

dan semua cerita seputar sosok dirinya yang menjulang tinggi beralih kepada 

anak lelakinya.


K-  M yang saling berperang tidak memiliki 

identitas nasional; masing-masing merupakan kerajaan sendiri. Pada awal 

milenium ketiga, satu-satunya negara di dunia membentang dari pantai 

Selatan Laut Tengah ke arah hulu sungai sekurang-kurangnya sampai kota 

Hierakonpolis. Mesir adalah sebuah kerajaan yang mirip seutas tali bersimpul￾simpul, panjangnya lebih dari enam ratus kilometer, dan sedemikian sempit 

di tempat-tempat tertentu sehingga seorang Mesir dapat berdiri di padang 

gurun yang menandai perbatasan Timurnya dan memandang ke seberang Nil 

ke gurun belantara di seberang perbatasan Baratnya.

Ibu kota negara itu, kota putih Memphis, terletak sedikit di sebelah Selatan 

Delta pada perbatasan antara Kerajaan Hilir dan Kerajaan Hulu kuno. Tempat 

itu tidak memiliki banyak hal lain yang dapat ditakjubi; dataran itu sedemikian 

basahnya sehingga, menurut Herodotus, tugas pertama Narmer adalah mem￾bangun sebuah bendungan untuk menahan air. Bahkan dua ribu lima ratus 

tahun sesudah itu, Herodotus menambahkan, “kelokan Nil itu diawasi secara 

ketat … mereka memperkuat bendungan itu setiap tahun, karena jika sungai 

itu memutuskan untuk membobol tepi-tepinya dan meluap pada tempat itu, 

Memphis akan menghadapi bahaya tergenang sama sekali”.1

Penyatuan yang dilakukan Narmer dan penetapannya atas Memphis se￾bagai ibu kota Mesir yang satu-satunya mengakhiri masa pradinasti Mesir. 

Anak lelakinya mengganti-kannya sebagai pemegang tahta dan selanjutnya 

digantikan enam raja lagi yang oleh Manetho disebut sebagai Dinasti Pertama 

Mesir; suatu pergantian raja yang nyata dan diformalkan.*∗

Apa yang dilakukan kedelapan raja itu dalam kurun enam ratus tahun 

waktu mereka memerintah Mesir yang disatukan sangatlah tidak jelas. Tetapi 

kita dapat melihat sepintas pertumbuhan sebuah negara tersentralisasi: pem￾bentukan sebuah perangkat istana raja, pengumpulan pajak, dan sebuah 

sistem ekonomi yang memungkinkan Mesir menikmati kemewahan dengan 

menopang kehidupan para warga negara yang tidak menghasilkan maka￾nan: imam-imam purna waktu untuk menyelenggarakan kurban bagi raja, 

perajin logam terampil yang menyediakan perhiasan untuk para bangsawan 

dan wanita istana, para juru tulis yang memegang pencatatan birokrasi yang 

berkembang.2

Raja ketiga dinasti itu, Djer, mengirim serdadu Mesir untuk ekspedisi 

resmi pertama melampaui batas-batas kerajaan Narmer. Pada sebuah cadas 

sekitar 375 kilometer di sebelah Selatan Hierakonpolis, dekat Katarak Kedua, 

sebuah skenario yang dipahat menunjukkan Djer dan pasukannya menang 

atas para tawanan; mungkin sekali mereka ini penduduk asli Nubia Hilir, 

yang tak lama kemudian meninggalkan wilayah itu karena terdesak oleh cuaca 

buruk dan invasi orang Mesir. Pasukan Mesir juga menjelajah ke arah Timur 

laut, sepanjang pantai Laut Tengah, menuju wilayah yang kemudian disebut 

Palestina Selatan.

Den, selang dua raja sesudah itu, dengan waspada meluaskan jangkauannya 

keluar dari perbatasan Mesir. Ia memimpin pasukannya memasuki jazirah 

Sinai, segitiga daratan antara cabang-cabang Utara Laut Merah. Di sana 

Den, menurut sebuah skenario yang dipahat pada makamnya, memukul para 

kepala suku setempat hingga bertekuk lutut, dalam suatu kemenangan yang 

dijuluki “Pertama kalinya daerah Timur dikalahkan”.

Kemenangan-kemenangan itu secara teori diraih atas nama seluruh Mesir, 

baik Utara maupun Selatan. Tetapi pada saat mati, para penguasa Dinasti 

Pertama kembali ke identitas mereka sebagai orang Mesir Hulu. Mereka 

dikuburkan di tanah asal mereka: di Abydos, jauh sekali di sebelah Selatan 

Memphis.

Tempat pemakamannya pun bukan pekuburan sederhana. Orang Mesir 

jelata mungkin masih dikuburkan di tepi gurun di dalam pasir dengan muka dipalingkan ke Barat. Tetapi kaum bangsawan Mesir, kalangan nomor dua 

masyarakat, dimakamkan di sebuah tempat pemakaman besar di atas da￾taran tinggi gurun Saqqara, di sebelah Barat Memphis.*∗

 Dan raja-raja yang 

dimakamkan di Abydos dikubur di dalam ruangan dari bata atau batu yang 

dipendam di tanah dan dikeliling oleh sejumlah besar korban manusia 

benar-benar. Hampir sejumlah dua ratus mayat pengawal mengelilingi Den, 

sedangkan Djer dimakamkan dengan diiringi tiga ratus pegawai dan pelayan 

istana. 

Raja-raja itu mungkin tidak yakin dengan loyalitas daerah Utara, tetapi 

pada saat mati mereka menegakkan kewibawaan mutlak yang mengherankan. 

Seseorang yang dapat menuntut nyawa orang-orang lain sebagai bagian dari 

ritus pemakamannya sendiri telah maju jauh melebihi penggunaan kekuatan 

secara coba-coba yang dilakukan oleh para penguasa Sumeria awal.

Tidaklah mudah menjajaki secara tepat mengapa kekuasaan itu 

diekspresikan dengan cara pengurbanan manusia. Ketika pharaoh-pharaoh 

dari Dinasti Kelima dan Keenam dimakamkan, orang Mesir memahat di 

sepanjang tembok makam mereka sebuah agenda pascapemakaman lengkap 

bagi yang wafat: perjalanan naik dari ruang-ruang gelap pekat di dalam 

piramida ke langit, penyeberangan sungai yang memisahkan kehidupan 

dengan kehidupan setelahnya, sambutan hangat dari dewa-dewa yang sudah 

menunggu. Tetapi “Naskah Piramid” itu berasal, sekurang-kurangnya, dari 

kurun setengah milenium sesudah pemakaman dengan pengurbanan di 

Abydos.

Ketika raja-raja Dinasti Pertama melakukan pemakaman, orang-orang 

Mesir belum pernah membalsam orang mati. Badan raja-raja dibungkus kain, 

yang kadang kala direndam di cairan damar, tetapi hal itu sama sekali tidak 

memiliki daya untuk mengawetkan jenazah mereka.

Namun, kita dapat menarik kesimpulan bahwa raja-raja akan menghampi￾ri matahari dalam perjalanan mereka di langit. Di samping raja-raja di Abydos 

terkubur juga armada perahu kayu, beberapa di antaranya panjangnya tiga 

puluhan meter dalam ceruk-ceruk panjang yang diatapi bata lumpur. Pada 

pahatan-pahatan Dinasti Pertama, dewa matahari ditampilkan tengah me￾nyeberangi langit dengan sebuah perahu.3 Mungkin sang pharaoh dan jiwa 

orang-orang yang dikuburkan bersamanya akan menggunakan perahu mere￾ka untuk mengiringi dia (walaupun salah satu kompleks makam di Abydos 

memiliki bukannya perahu melainkan sekawanan keledai kurban untuk di￾gunakan oleh raja; hal itu meng-isyaratkan bahwa ia sekurang-kurangnya 

mungkin tengah menuju suatu tempat lain).

Jika diandaikan bahwa raja-raja mencapai alam kehidupan lain di sisi lain 

cakrawala, apakah yang akan mereka lakukan di sana?

Mungkin sang pharaoh akan melanjutkan perannya sebagai raja; kita tidak 

memiliki bukti dari Mesir untuk hal itu, tetapi Gilgamesh, begitu ia mati, 

menuju kepada para dewa dunia bawah untuk membantu menyelenggarakan 

tempat itu. Jika para pharaoh pada mulanya diyakini akan melanjutkan peran 

mereka di alam lain, maka pemakaman kurban-kurban pun punya maksud 

tertentu. Bagaimana pun, jika kekuasaan seorang raja berlangsung hanya 

sampai ia mati, ia harus dipatuhi selama ia hidup, tetapi tidak ada alasan yang 

tepat untuk mengikuti dia dalam kematian. Tetapi jika, di pihak lain, ia masih menunggu bawahannya di sisi yang lain, kekuasaannya menjadi mutlak. 

Peralihan ke negeri yang belum dijumpai itu hanyalah sebuah perjalanan dari 

satu tahap loyalitas ke tahap berikutnya.

Karena adanya ketegangan antara daerah Utara dan daerah Selatan, 

raja-raja Dinasti Pertama memerlukan kewibawaan semacam itu untuk men￾jaga keutuhan negara. Dasar teologis untuk kekuasaan raja ditetapkan oleh 

“Teologi Memphis” yang ditulis pada sebuah monumen yang disebut Batu 

Shabaka (kini di Museum Inggris). Batu itu sendiri berasal dari masa yang 

jauh lebih kemudian dalam sejarah Mesir, tetapi cerita yang ditampilkannya 

dipandang oleh banyak ahli ilmu Mesir kuno sebagai hal yang berlaku sejak 

dinasti-dinasti Mesir awal.

Terdapat banyak pengembangan lebih kemudian dari cerita itu, teta￾pi intinya sederhana saja. Dewa Osiris diberi kekuasaan atas seluruh bumi, 

tetapi saudara lelakinya Set, karena iri akan kekuasaannya, berencana untuk 

membunuhnya. Ia menenggelamkan Osiris di Nil. Istri (sekaligus sauda￾ri) Osiris, dewi Isis, berburu mencari suami dan saudaranya itu.