pada suatu saat sekitar 3000 SM. Pada
awal milenium itu hanya terdapat dua hal yang cukup penting untuk dikomunikasikan menjelajah ruang dan waktu: perbuatan orang-orang besar
dan pemilikan sapi, bebijian, dan domba. Di kota-kota Sumer sebuah sastra
epos besar mulai terbentuk dan sebuah birokrasi berhimpun untuk mengurus
penghitungan bebijian.
Karena manusia di mana-mana sama saja, maka yang diutamakan pertama-tama adalah birokrasi. Lahirnya tulisan terletak bukan pada pengagungan
jiwa manusia tetapi pada kebutuhan manusia untuk mengatakan dengan
pasti: Ini milikku, bukan milikmu. Tetapi sementara para akuntan mengembangkan sandi buatan untuk pengelolaan harta milik, mereka memberikan
sebuah hadiah kepada para penutur cerita: sebuah cara untuk menampilkan
tokoh pujaan mereka supaya tetap hidup. Sejak awalnya, kesusasteraan terkait
dengan perdagangan.
S lukisan gua, orang telah mulai membuat tanda-tanda untuk
membilang benda-benda. Kita dapat menyebut tanda-tanda itu benih tulisan,
karena sebuah tanda tidak berarti Di sini ada sebuah tanda, tetapi suatu hal
lain. Namun tanda-tanda tidak menjangkau lebih jauh dari ruang dan waktu.
Tanda-tanda tidak memiliki suara kecuali jika pembuat tanda berdiri di sana
dan menjelaskan: Garis ini adalah seekor sapi; yang ini seeekor kijang antilop;
sedangkan yang ini adalah anak-anak saya.
Di Sumer penggunaan tanda-tanda maju satu langkah lagi. Sejak masa
sangat awal orang Sumeria yang memiliki sumber daya yang bernilai (bebijian, susu, atau mungkin minyak) memiliki kebiasaan mengikat erat-erat
karung bebijiannya, memipihkan sebungkal lempung pada simpul talinya, kemudian menerakan cap pada lempung itu. Cap itu, entah persegi empat
atau bundar, dipahatkan dengan sebuah desain tertentu. Ketika bungkah lempung kering, tanda dari pemiliknya (Ini milikku!) membekas pada lempung.
Tanda itu mewakili kehadiran pemiliknya dan menjaga bebijian itu sementara
si pemilik tidak berada di sana.
Cap-cap semacam itu, seperti halnya tanda-tanda yang dibuat oleh pelukis
gua, bergantung pada pengetahuan yang dikenal masyarakat. Setiap orang
yang melihat cap harus tahu siapakah yang kehadirannya diwakili oleh tanda
itu, sebelum tanda itu dapat menyampaikan pesan Ini milik Ilshu. Tetapi,
berbeda dengan tanda pelukis gua, sebuah cap itu khas. Sebuah tanda dapat
berarti wanita atau domba, lelaki atau sapi. Sebuah cap—begitu artinya diketahui—hanya dapat mewakili satu orang Sumeria: Ilshu. Ilshu tidak perlu lagi
berada di sana untuk menjelaskannya.
Sebuah langkah sudah terlaksana menuju penguasaan ruang.
Barangkali pada waktu yang bersamaan sebuah tipe tanda lain mulai digunakan. Seperti para pelukis gua, orang Sumeria menggunakan tanda-tanda
dan bilangan untuk mencatat jumlah sapi (atau karung bebijian) yang mereka
miliki. Bilangan yang menampilkan jumlah milik mereka sering disimpan
pada bulatan lempung kecil-kecil (”alat penghitung”). Alat-alat penghitung
itu telah digunakan sejak petani memiliki sapi: mungkin sejak berabad-abad.
Tetapi suatu saat sebelum 3000 SM orang-orang Sumeria yang paling kaya
(yang memiliki sangat banyak alat penghitung untuk mencatat) menggelar
alat-alat penghitung mereka pada selembar lempung tipis, melipat lembar itu
pada tepiannya dan menerakan sebuah cap pada lipatan. Ketika lempung kering, bentuknya seperti sebuah amplop.
Sayangnya, satu-satunya cara untuk membuka amplop itu ialah dengan
memecah lempung, dan dengan demikian (berbeda dengan dengan amplop
kertas berbantalan) menjadi tidak dapat digunakan. Cara yang lebih hemat
untuk mencatat berapa banyak alat penghitung yang terdapat di dalam
amplop ialah dengan mencatat jumlahnya di bagian luar, yang menunjukkan
berapa banyak alat penghitung yang terdapat di dalam amplop.
Nah, tanda di bagian luar ”amplop” mewakili alat-alat penghitung yang
ada di dalam amplop, yang ditera dengan tanda-tanda yang mewakili jumlah
sapi. Dengan kata lain, tanda-tanda di bagian luar berada dua langkah dari
benda yang diwakili. Hubungan antara benda dan tanda telah mulai berkembang menjadi lebih abstrak.1
Kemajuan berikutnya adalah bergerak melampaui tanda itu sendiri sepenuhnya. Ketika kota-kota Sumeria berkembang, kepemilikan menjadi lebih
kompleks. Terdapat lebih banyak jenis benda yang dapat dimiliki dan dialihkan kepada orang lain. Kini para akuntan memerlukan sesuatu yang lebih dari tanda. Mereka memerlukan piktogram—wakil dari benda-benda yang
dihitung—dan juga bilangan.
Piktogram yang digunakan semakin menjadi lebih sederhana. Sebabnya
adalah antara lain karena piktogram itu pada umumnya digambar pada lempung, suatu hal yang tidak memudahkan pencatatan detail yang cermat. Dan
tentunya diperlukan banyak waktu untuk menggambar seekor sapi, tiap-tiap
kali gambar sapi dibutuhkan, sementara setiap orang yang melihat palet itu
mengetahui benar bahwa sebuah persegi empat ditambah sebuah guratan kepala dan ekor berarti sapi; seperti halnya gambar sosok tongkat buatan seorang
anak tentu saja berarti Mama, walaupun sosok itu sulit dikenali (dan nyaris
tidak ada rupa manusianya), karena Mama bagaimana pun sedang berdiri di
sana.
Ini masih tetap merupakan sebuah sistem penandaan, dan belum layak
disebut tulisan. Di pihak lain, itu merupakan sistem penandaan yang telah
berkembang menjadi jauh lebih kompleks.
Kemudian muncul kembali cap, kali ini dengan menyampaikan sebuah
pesan yang benar-benar baru. Ilshu, yang sebelumnya menggunakan cap
hanya untuk menandai bebijian dan minyaknya, kini dapat menempatkannya
pada bagian bawah palet yang mencatat, dengan piktogram, penjualan sapi
dari tetangga di sebelah kirinya kepada tetangga di sebelah kanannya. Karena
kedua tetangga tidak saling mempercayai sepenuh-nya, mereka meminta kepada Ilshu untuk hadir pada penjualan itu; ia menerakan capnya pada palet
itu sebagai saksi atas transaksi tersebut. Pada bagian bawah palet, desain
Ilshu tidak lagi berbunyi Ilshu tadi berada di sini, atau bahkan Ini milik Ilshu.
Bunyinya Ilshu, yang tadi berada di sini, menyaksikan transaksi ini dan dapat
menjelaskannya, jika Anda mempunyai pertanyaan.
Itu bukan lagi sebuah tanda semata-mata melainkan sebuah percakapan
kepada pembaca.
Hingga titik itu, ”tulisan” Sumeria bergantung pada daya ingatan setiap
orang yang terlibat; itu lebih serupa dengan sebuah tali yang dipilin pada
jari daripada sebuah sistem simbol yang terkembang. Tetapi kota-kota melakukan perdagangan, ekonomi berkembang, dan kini palet lempung itu
perlu memuat lebih banyak informasi daripada jumlah dan jenis barang
yang diperdagangkan. Petani dan pedagang perlu mencatat kapan sawah
ditanami dan dengan jenis bijian mana; hamba mana yang diutus untuk berbelanja; berapa banyak sapi telah dikirim ke Kuil Enlil untuk memperoleh
karunia ilahi, kalau-kalau para imam keliru menghitungnya; berapa banyak
upeti yang telah dikirimkan kepada raja, kalau-kalau ia keliru menghitung
dan meminta lebih lagi. Untuk menyampaikan pesan itu orang Sumeria memerlukan tanda-tanda yang berarti kata-kata, bukan hanya benda. Mereka memerlukan sebuah piktogram untuk sapi, tetapi juga tanda untuk terkirim
atau terbeli; sebuah piktogram untuk gandum, tetapi juga tanda untuk ditanam atau rusak.
Ketika kebutuhan akan tanda-tanda bertambah banyak, kode tulisan
dapat mengambil salah satu dari dua arah. Tanda-tanda dapat berlipatganda, dan masing-masing tanda memiliki arti sebuah kata khas lain.
Atau, piktogram dapat berkembang menjadi sebuah sistem fonetik, sehingga tanda-tanda dapat mewakili bunyi, bagian kata lebih daripada kata
itu sendiri; dengan demikian ada sejumlah kata yang dapat dibangun
dari suatu jumlah tanda yang terbatas. Bagaimana pun, apabila seorang
Sumeria melihat piktogram untuk sapi, bunyinya ikut tampil. Tidaklah
terlalu jauh bahwa piktogram untuk sapi kemudian menjadi sebuah tanda
yang mewakili bunyi pertama dalam kata sapi. Itu kemudian dapat digunakan sebagai tanda awal dalam sebuah rangkaian kata yang semuanya
mulai dengan bunyi sapi.
Selama kurun sekurang-kurangnya enam ratus tahun piktogram Sumeria
mengambil arah yang kedua dan berkembang menjadi simbol-simbol fonetik.*
Simbol-simbol itu, yang dibuat pada lempung basah dengan sebuah batang
penulis yang ujungnya berbentuk baji, memiliki sebuah bentuk yang khas,
yakni puncak guratan lebih lebar daripada dasar guratan. Bagaimana orang
Sumeria menamai tulisan mereka tidak dapat lagi diketahui. Hampir tidak
mungkin mengenali sebuah teknologi yang mengubah dunia pada tahaptahapnya yang sangat awal, dan orang Sumeria sendiri tidak berkomentar
mengenai inovasi mereka sendiri. Tetapi pada tahun 1700 SM seorang sarjana
Persia Tua bernama homas Hyde menamai tulisan itu cuneiform, yang akan
kita pergunakan. Nama yang berasal dari kata Latin yang berarti ”berbentuk
baji” itu tidak menonjolkan sesuatu untuk menyatakan pentingnya tulisan.
Hyde berpikir bahwa tanda-tanda yang indah pada lempung itu adalah semacam pelisir hiasan.
D M piktogram mulai digunakan sedikit lebih kemudian dibanding di
Sumeria. Piktogram sudah lazim pada waktu Mesir menjadi sebuah kekaisaran. Pada Palet Narmer, tepat di sebelah kanan kepala Raja Narmer terdapat
piktogram untuk ikan madulelang; itu adalah nama Narmer yang ditulis di
atas portretnya.
Piktogram Mesir yang kini kita sebut hiroglif tampaknya tidak berkembang dari sesbuah sistem hitungan. Sangat mungkin orang Mesir belajar
teknik piktogram dari tetangga mereka di sebelah Timur laut. Tetapi, berbeda dengan tanda-tanda cuneiform Sumeria, yang tidak lagi serupa dengan
piktogram aslinya, hiroglif Mesir mempertahankan bentuknya yang dapat
dikenali selama kurun yang panjang. Bahkan setelah hiroglif menjadi tanda
fonetik yang mewakili bunyi dan bukan benda, hiroglif itu tetap dapat dikenali sebagai benda: seorang lelaki dengan tangan terangkat, sebuah tongkat
gembala, sebuah mahkota, seekor elang. Tulisan hiroglif adalah sebuah kantong campuran. Sebagian tanda tetap berupa piktogram, sedang sebagian
lainnya merupakan simbol fonetik; terkadang sebuah tanda elang mewakili
suatu bunyi, tetapi di tempat lain semata-mata seekor elang. Jadi, orang Mesir
mengembangkan sesuatu yang disebut determinan, yakni sebuah tanda yang
diletakkan di samping sebuah hiroglif untuk menunjukkan apakah tanda itu
adalah sebuah simbol fonetik atau sebuah piktogram.
Tetapi baik tulisan hiroglif maupun cuneiform tidak berkembang menjadi
sebuah bentuk fonetik penuh: sebuah alfabet.
Bahasa Sumeria tidak pernah mendapat kesempatan untuk itu. Bahasanya
digantikan oleh bahasa Akadia, bahasa penakluk Sumer, sebelum perkembangannya lengkap. Di pihak lain, tulisan hiroglif bertahan selama ribuan tahun
tanpa kehilangan sifatnya sebagai gambar. Ini mungkin dapat terjadi berkat
sikap orang Mesir terhadap tulisan. Untuk orang Mesir, tulisan menghasilkan
ketidakmatian. Tulisan merupakan sebuah bentuk magis, di mana garis-garis
itu sendiri mengandung kehidupan dan kekuatan. Beberapa hiroglif terlalu
besar kekuatannya untuk dipahat di suatu tempat magis, dan hanya dapat
ditulis di suatu tempat yang kurang kekuatannya, agar tidak mendatangkan
daya-daya yang tidak dikehendaki. Nama seorang raja yang dipahat dengan
huruf hiroglif pada sebuah monumen atau patung memberinya kehadiran
yang tetap bertahan setelah ia wafat. Merusak nama seorang raja yang terpahat adalah membunuhnya selama-lamanya.
Orang Sumeria, yang berwatak lebih praktis, tidak memiliki tujuan semacam itu dalam tulisan mereka. Seperti orang Mesir, orang Sumeria memiliki
dewi pelindung juru tulis: dewi Niaba yang juga merupakan dewi bebijian
(sejauh dapat kita katakan). Tetapi orang Mesir percaya bahwa tulisan telah
diciptakan oleh seorang dewa: hoth, dewa juru tulis, yang menciptakannya
sendiri dengan kekuatan sabdanya sendiri. hoth adalah dewa tulisan, tetapi
juga dewa kebijaksanaan dan magi. Ia mengukur bumi, membilang bintang,
dan mencatat perbuatan setiap manusia yang dibawa ke Balairung Orang
Mati untuk menjalani pengadilan. Bila ia menghitung bebijian, tiada kekeliruan yang ia lakukan.
Sikap terhadap tulisan tersebut melestarikan bentuk hiroglif sebagai gambar, karena gambar itu sendiri dipercayai memiliki kekuasaan sedemikian itu.
Sesungguhnya, jauh dari bersifat fonetik, hiroglif dirancang agar tak dapat
diurai sandinya jika seseorang tidak memiliki kunci untuk maknanya. Para
imam Mesir, yang menjadi penjaga informasi itu, meronda batasbatas pengetahuan mereka guna menjaga agar alat itu tetap di tangan mereka. Sejak saat
itu penguasaan tulisan dan bacaan merupakan suatu aktus kekuasaan.
Pada kenyataannya, hiroglif sedemikian jauh dari intuitif sehingga kemampuan membacanya mulai pudar bahkan ketika Mesir masih merupakan
sebuah bangsa. Kita menemukan orangorang Mesir yang berbahasa Yunani,
jauh pada tahun 500 M, yang menulis penjelasan panjang mengenai hubungan
antara tanda dan makna; Horapollo, misalnya dalam karyanya Hieroglyphika,
menjelaskan berbagai makna hiroglif yang ditulis sebagai seekor burung nasar
dengan berusaha sekuat tenaga (dan tidak tepat) untuk menampilkan hubungan antara tanda dan makna. ”Ketika mereka memaksudkan seorang ibu,
suatu penglihatan, atau batas-batas, atau irasat”, tulis Horapollo,
mereka menggambar seekor burung nasar. Seorang ibu, karena tidak ada
pejantan dalam spesies binatang ini … burung nasar bermakna penglihatan
karena dari antara semua binatang burung nasarlah yang memiliki pandangan yang paling tajam. … Itu juga berarti batas-batas, karena ketika suatu
peperangan akan meletus, burung nasar membatasi tempat di mana peperangan akan terjadi sambil melayang-layang di atasnya selama tujuh hari.
[Dan] irasat, karena … burung nasar memperhitungkan jumlah bangkai
yang akan tersedia sebagai makanannya dari pembantaian itu.2
Begitu pengetahuan tentang hiroglif lenyap sepenuhnya, tulisan orang
Mesir tetap gelap sampai sekelompok tentara Napoleon, ketika menggali fondasi untuk sebuah benteng yang Napoleon ingin membangunnya di Delta
Nil, menemukan sebuah lempeng batu basalt seberat dua ratus kilogram
dengan inskripsi yang sama yang ditulis dalam hiroglif dengan tulisan Mesir
yang lebih muda dan juga dalam bahasa Yunani. Batu itu, yang dikenal dengan Batu Rosetta, memberikan kepada spesialis ilmu linguistik kunci yang
mereka perlukan untuk mulai menguraikan sandinya. Demikianlah institusi militer, yang telah menyediakan bahan untuk karya kesusasteraan selama
berabad-abad, telah membantu penemuan kembali sarana untuk membaca
puisi-puisi dan cerita-cerita epik paling awal. (Kesusasteraan besar tidak pernah terlepas dari peperangan, begitu juga tak dapat membebaskan dirinya dari
perdagangan).
H dapat melestarikan sifat magis dan misteriusnya hanya karena
orang Mesir menciptakan sebuah tulisan yang baru dan lebih mudah untuk
kegunaan sehari-hari. Tulisan hieratik adalah sebuah versi tulisan hiroglif yang
disederhanakan; di dalamnya tanda-tanda gambar yang cermat diturunkan
menjadi beberapa garis yang ditorehkan dengan cepat (dalam kata-kata W.V.
Davies, ”versi kursif” tulisan hiroglif). Tulisan hieratik menjadi sistem penulisan yang lebih disukai untuk urusan bisnis, para birokrat, dan pelaku
administrasi. Keberadaannya bergantung pada suatu penemuan lain orang
Mesir: kertas. Seberapa pun sederhananya, garis-garis itu tidak dapat ditulis
dengan cepat pada lempung.
Lempung merupakan bahan penulisan tradisional baik bagi orang Sumeria
maupun orang Mesir selama berabad-abad. Jumlahnya banyak dan dapat
digunakan kembali. Tulisan yang ditorehkan pada papan lempung yang permukaannya halus dan telah dikeringkan di terik matahari dapat tahan selama
bertahun-tahun; tetapi jika permukaan papan dibasahi saja maka tulisannya
dapat diratakan dan diubah, untuk mengoreksi atau mengubah sebuah catatan. Sebaliknya, catatan yang harus dilindungi terhadap pengubahan dapat
dibakar, sehingga tanda-tanda tercetak menjadi sebuah arsip yang tetap dan
tak dapat diubah.
Tetapi papan lempung itu berat, merepotkan penyimpanan, dan sulit
untuk dibawa-bawa, serta sangat membatasi jumlah tulisan yang dapat dimuat
dalam sebuah pesan. (Itu dapat dipikirkan sebagai kebalikan dari kelimpahan yang disediakan oleh pemroses kata.) Pada suatu saat sekitar 3000 SM,
seorang juru tulis Mesir menyadari bahwa papirus yang digunakan sebagai
bahan bangunan di rumah-rumah Mesir (gelagah yang dilunakkan, digelar
dengan pola bersilang, diremukkan menjadi bubur, dan kemudian digelar
supaya kering dalam bentuk lembaran tipis) juga dapat digunakan sebagai
permukaan untuk menulis. Dengan sebuah kuas dan tinta, tulisan hieratik
dapat ditorehkan dengan sangat cepat pada papirus.
Nun di Sumer, di mana bahan mentah untuk zat semacam itu tidak terdapat, papan lempung terus digunakan selama berabad-abad. Seribu lima ratus
tahun sesudahnya, ketika Musa memimpin orang-orang Semit keturunan
Abraham sang pengembara keluar dari Mesir ke padang kering Timur Tengah,
Allah memahat perintah-perintahNya pada papan batu, bukan kertas. Orang
Israel harus membuat sebuah kotak khusus untuk papan-papan batu itu, yang
sulit dibawa-bawa.
Di pihak lain, kertas jauh lebih mudah dibawa. Pesan-pesan dapat digulung, dijejalkan ke bawah baju atau kantung seseorang. Para birokrat yang
saling berjauhan di lembah Sungai Nil memerlukan suatu metode komunikasi sederhana semacam itu antara bagian Utara dan bagian Selatan; seorang
utusan yang bepergian melalui Nil dengan membawa papan-papan lempung
seberat dua puluh kilogram tentu saja merasakan kerepotannya.
Orang Mesir menyambut teknologi yang baru dan efisien itu. Hiroglif
masih terus dipahat pada dinding batu makam, monumen, dan patung.
Tetapi surat, tuntutan, perintah serta ancaman ditulis pada papirus—yang
luruh jika basah, pecah jika menua, dan lebur menjadi tumpukan debu tak
lama sesudahnya.
Walaupun kita dapat melacak kesulitan-kesulitan keluarga raja Sumeria
Zimri-Lim pada papan-papan lempung yang dibawa bolak-balik antara kotakota Mesopotamia yang terpanggang matahari, tidaklah banyak yang kita
ketahui mengenai kehidupan sehari-hari para pharaoh dan pegawai-pegawainya setelah papirus ditemukan. Kesedihan dan pesan-pesan mendesak mereka
hilang; catatan sejarah yang ditulis dengan cermat oleh para juru tulis mereka hilang tanpa bekas, seperti pesan elektronik yang dihapus bersih. Demikianlah,
lima ribu tahun yang lalu, kita memiliki bukan saja tulisan pertama, tetapi
juga kemajuan teknologi pertama yang berbalik dan menggigit manusia.
C S mati dan dikubur. Tetapi garis-garis hiroglif tahan
sampai hari ini. Sebuah bentuk tulisan yang lebih muda, yang kita sebut
Protosinaitik karena terdapat di berbagai tempat di sekitar semenanjung Sinai,
meminjam hampir separuh tanda-tandanya dari hiroglif Mesir. Selanjutnya,
tulisan Protosinaitik tampaknya telah meminjamkan beberapa huruf kepada
orang Fenisia, yang menggunakannya dalam abjad mereka. Kemudian orang
Yunani memindahkan ke sisi sebelahnya dan meneruskannya kepada orang
Romawi, dan akhirnya kepada kita; demikianlah tanda-tanda magis orang
Mesir sesungguhnya telah sangat dekat dengan ketidakmatian dibanding penemuan fana mana pun yang kita ketahui.
K S mulai menggunakan cuneiform, mereka berpindah dari suatu ketika dahulu kala ke masa lampau yang dapat diketahui. Mereka
mulai menuliskan cerita tentang peperangan yang mereka menangkan, perdagangan yang mereka negosiasikan, dan kuil-kuil yang mereka bangun. Daftar
raja kini dapat dipaparkan berdasarkan papan-papan dan inskripsi-inskripsi
resmi.
Kisah-kisah epik yang sering menyimpan inti dari keberhasilan-keberhasilan
duniawi di balik busana aneh-aneh seteru-seteru dari dunia roh jahat dan
kekuasaan-kekuasaan adikodrati tetap memiliki manfaat. Namun kini kita
dapat mendasarkannya pada cerita-cerita yang dimaksudkan kurang lebih
sebagai kisah nyata. Itu tidak berarti bahwa inskripsi-inskripsi memunculkan
suatu obyektivitas yang baru dan menakjubkan; cerita-cerita itu ditulis oleh
para juru tulis yang digaji oleh raja yang keberhasilan-keberhasilan-nya mereka
tuliskan, dan wajar saja bahwa itu cenderung membiaskan cerita-cerita itu ke
arah yang menguntungkan raja. (Menurut inskripsi-inskripsi Asiria, sedikit
sekali raja Asiria yang kalah dalam perang.) Tetapi dengan membandingkan
dua raja yang tampak-nya memenangkan perang antara mereka berdua,
biasanya kita dapat menyimpulkan raja yang mana yang sebenarnya menang.
Di Sumer, di mana peradaban muncul guna memisahkan orang tak berada
dengan para hartawan, peperangan antarkota meletus secara sporadis sejak sekurang-kurangnya 4000 SM. Dari inskripsi-inskripsi di kuil, daftar raja, dan
suatu kumpulan kisah, kita dapat membangun sebuah cerita dari salah satu
rangkaian peperangan yang paling awal: kronik peperangan yang pertama.
Pada tahun 2800 SM (kurang lebih), raja Sumeria Meskiaggasher memerintah di kota Uruk. Uruk, yang kini dikenal sebagai kota Warka di Irak tenggara, adalah salah satu kota tertua Sumer, yang didiami sejak sekurangkurangnya 3500 SM.* Pada zaman Meskiaggasher, Uruk (sejauh dapat kita
katakan) juga merupakan kota terbesar. Dinding-dindingnya terbentang sepanjang sembilan kilometer; lima puluh ribu orang bermukim di dalamnya
dan di sekitarnya. Dua kompleks kuil besar terletak di dalam lingkungan
gerbang-gerbangnya. Di kompleks yang bernama Kullaba, orang Sumeria
berkumpul untuk memuja dewa langit An yang jauh dan pendiam; di kompleks Eanna mereka melangsungkan kebaktian yang jauh lebih meriah kepada
Inanna, dewi cinta dan peperangan yang jauh lebih mudah didekati.**
Tentu suatu hal yang menyakitkan hati bagi Meskiaggasher bahwa kotanya yang besar dan bersejarah itu sesungguhnya bukan permata mahkota
Sumer. Keharuman itu masih merupakan milik Kish, kota yang rajanya dapat
mengklaim hak resmi atas kekuasaan. Pada waktu itu Kish telah merentangkan wibawa (dan kekuasaannya) atas kota suci Nippur, di mana terdapat
tempat-tempat pemujaan kepada dewa utama Enlil dan di mana raja-raja dari
masing-masing kota Sumeria datang untuk menghaturkan korban dan mencari pengakuan. Walaupun bukan kota terkuat di Sumer, Kish tampaknya
memiliki pengaruh yang tidak proporsional terhadap wilayah itu. Seperti
halnya Kota New York, Kish bukanlah ibu kota politis atau militer, namun
melambangkan jantung peradaban—khususnya kepada mereka yang berada
di luarnya.
Meskiaggasher tampaknya bukan seseorang yang dapat dengan rela menjadi orang kedua. Mungkin ia merebut tahta Uruk dari penguasanya yang
sah; dalam daftar raja Sumeria ia digambarkan sebagai putra dewa matahari
Utu, yang merupakan gaya silsilah yang sering digunakan perebut untuk melegitimasikan klaimnya. Dan, seperti yang dituturkan oleh daftar raja, selama
masa pemerintahannya ia “memasuki laut dan mendaki gunung”. Ini tampak lebih lugas daripada naiknya Etana ke langit. Begitu menguasai Uruk,
Meskiaggasher membentangkan kuasanya; bukan terhadap kota-kota Sumeria
lainnya (Uruk tidak cukup kuat untuk menembus Lagash atau Kish begitu saja), melainkan terhadap jalur-jalur perdagangan yang membentang melalui
laut dan menjelajah pegunungan-pegunungan di sekitarnya.
Penguasaan jalur-jalur perdagangan itu harus dilakukan sebelum berperang. Meskiaggasher memerlukan pedang, kapak, helm dan perisai, tetapi
dataran-dataran di antara sungai-sungai tidak memiliki logam. Para perajin
pedang kota Kish dapat mengandalkan untuk memperoleh bahan mentah dari
Utara, langsung melalui jalur perdagangan sungai; Uruk perlu menemukan
sebuah sumber bahan mentah itu di sebelah Selatan, yang tidak didapatkan di
dataran-dataran antara sungai-sungai.
Ada satu sumber di Selatan yang tersedia. Pegunungan Tembaga yang masyhur itu terbujur di Magan—Arabia tenggara, Oman dewasa ini. Pegunungan
Tembaga (jajaran pegunungan Al-Hajar) yang disebut-sebut dalam papan
papan cuneiform dari Lagash dan dari tempat lain itu mengandung tambang
yang dalamnya dua puluh meter, dan tanur-tanur untuk melebur bijih mineral, sejak masa yang sangat tua.
Tidak terdapat jalur yang mudah ke Magan melewati gurun Arabia. Namun
di pelabuhan-pelabuhan Magan, perahu-perahu gelagah Sumeria—yang
didempul dengan aspal sehingga mampu mengangkut dua puluh ton logam—
dapat memperdagangkan bebijian, wol, dan minyak untuk membeli tembaga.
Persiapan pertama yang logis untuk peperangan di pihak Meskiaggasher
ialah memastikan (entah dengan negosiasi entah dengan peperangan) bahwa
pedagang-pedagang Uruk memiliki jalur yang aman melalui Teluk Oman ke
Magan.
Tetapi para pandai besi Sumeria memerlukan lebih dari tembaga murni.
Sekitar tiga ratus tahun sebelum Meskiaggasher, mereka telah mulai menambahkan sepuluh persen timah atau arsen pada tembaga mereka, sebuah
campuran yang menghasilkan perunggu: lebih kuat daripada tembaga, lebih
mudah dibentuk, dan memiliki ujung yang lebih tajam bila ditumbuk.*
Untuk memperoleh perunggu terbaik, Meskiaggasher memerlukan timah.
Perunggu yang dibuat dengan arsen sedikit lebih lemah, sedikit lebih keras
untuk diasah. Bahan itu lama kelamaan juga cenderung menghabiskan perajinperajin yang terampil, dan itu bukan cara yang baik untuk membangun bekal
persenjataan. Maka naiknya Meskiaggasher ke pegunungan mungkin sekali
guna mencari timah, yang terpendam di bawah lembah bercadas Pegunungan
Zagros, atau bahkan mungkin jauh lebih ke Utara, di Pegunungan Elburz
yang terjal dan berselimutkan es di seberang Laut Kaspia. Meskiaggasher
membawa serdadu-serdadunya masuk jauh ke sela-sela pegunungan dan memaksa suku-suku di pegunungan untuk menyediakan baginya bahan metal
yang ia perlukan untuk mengubah tembaga menjadi perunggu.
Kini Uruk sudah dipersenjatai, tetapi Meskiaggasher tidak sempat menyaksikan Uruk meraih kemenangan. Setelah ia mangkat, anaknya Enmerkar
mewarisi tahta.
Enmerkar memiliki tugas yang tidak menyenangkan untuk menjaga nama
baik ayahnya; tidak mudah melebihi seseorang yang masuk ke laut dan mendaki pegunungan. Kita mendapatkan sekilas paparan upayanya untuk meraih
nama harum dalam sebuah kisah epik dari masa yang agak kemudian, yang
disebut “Enmerkar dan Penguasa Aratta”.
Aratta bukan sebuah kota Sumeria. Letaknya di pegunungan Timur, di
sebelah Selatan Laut Kaspia. Penduduknya adalah orang Elam, suatu bangsa yang menggunakan sebuah bahasa yang sama sekali tidak ada kaitannya
dengan bahasa Sumeria (dan yang sesungguhnya belum dapat diuraikan sandinya). Kota-kota Elam terletak bukan di atas lapisan timah atau tembaga,
tetapi logam dan batu berharga—perak, emas, lapis lazuli—dan selama beberapa tahun telah menukarkan batu semi-berharga kepada orang Sumeria
untuk mendapatkan bebijian.
Enmerkar, yang berada dalam bayang-bayang orang yang telah memasuki
laut dan mendaki pegunungan, memutuskan untuk mencari pertengkaran
dengan lawan dagangnya. Ia tidak memiliki alasan politis yang mendesak
untuk melakukan itu, tetapi Aratta merupakan suatu taruhan kehormatan
yang terpilih. Jika ia dapat menaklukkannya, ia akan menguasai sebuah kota
yang telah sejak lama dikagumi oleh Uruk berkat kekayaan, perajin metal, dan
para pemotong batunya yang terampil. Keharuman namanya akan terjamin.
Maka ia mengirim sebuah pesan kepada raja Aratta, yang berisi pemakluman bahwa Inanna—yang kebetulan juga merupakan dewa pemimpin di
Aratta—lebih menyukai Uruk dibanding Aratta, dan bahwa penduduk Aratta
harus mengakui hal itu dengan mengirimkan kepada Enmerkar emas, perak,
dan lapis lazuli yang mereka miliki secara cuma-cuma.
Ini merupakan suatu pernyataan perang, dan ditanggapi dengan tantangan.
Sayangnya, Enmerkar tampaknya menilai kekuatannya terlalu tinggi. Dalam
kisah epik, setelah terjadi serangkaian pertukaran pesan yang panas antara
kedua raja, dewi Inanna menyelesaikan pertikaian dengan menegaskan kepada
Enmerkar bahwa walaupun ia tentu sangat mencintai Uruk tetapi ia juga
memiliki kasih sayang kepada Aratta dan lebih suka bahwa Enmerkar tidak
meluluhlantakkannya. Pada akhir cerita itu orang-orang Elam dari Aratta
masih tetap bebas dari kekuasaan Enmerkar.1
Karena cerita itu kita dapatkan dari orang Sumeria, bukan orang Elam, akhir
cerita yang ambigu ini mungkin mengetengahkan kekalahan telak Sumeria.
Enmerkar mati tanpa memiliki anak dan tanpa memperluas kekaisaran
ayahnya, dan mengakhiri dinasti Meskiaggasher secara cukup dini.
Ia digantikan oleh salah seorang rekan pejuangnya, seorang lelaki bernama
Lugulbanda, bintang dari beberapa cerita epik berkat jasanya sendiri. Setelah
Lugulbanda, seorang pejuang lain lagi yang tidak ada hubungannya dengan
Meskiaggasher memegang kekuasaan atas kota itu. Pergantian tahta dari ayah
ke anak lelakinya tampaknya telah terputus, dan Uruk tidak melakukan usaha
lagi untuk merebut kekuasaan atas kota-kota lain.
Kemudian, barangkali seratus tahun sesudah itu, Uruk berusaha lagi untuk
merebut kekuasaan di Sumeria. Uruk memiliki seorang raja baru, seorang lelaki muda bernama Gilgamesh.
Menurut daftar raja, ayah Gilgamesh sama sekali bukan seorang raja.
Sangat mungkin ia adalah seorang imam besar di kompleks kuil Kullaba, dan
secara khusus mengurusi pemujaan kepada dewa An, serta memiliki reputasi
tertentu. Daftar raja menyebutnya lillu, sebuah kata yang menyiratkan kekuasaan dunia halus. Walaupun raja-raja Sumer dahulu juga sekaligus imam,
zaman itu sudah berlalu. Selama beberapa tahun telah terjadi pemisahan kekuasaan imam dan kekuasaan politis; Gilgamesh mungkin telah mewarisi
kekuasaan imam, tetapi ia merebut juga kuasa rajawi yang untuknya ia sama
sekali tidak memiliki hak.
Dalam sebuah cerita epik yang dikisahkan tidak lama setelah
pemerintahannya, kita menyaksikan Gilgamesh mengklaim Lugulbanda,
rekan pejuang Enmerkar, sebagai ayahnya. Jika diterima begitu saja, klaim
itu tidak waras; Lugulbanda telah menduduki tahta berpuluh-puluh
tahun (sekurang-kurangnya) sebelum kelahiran Gilgamesh. Tetapi dari
sudut pandang seseorang yang menuliskan kembali sejarah dirinya sendiri,
Lugulbanda adalah pilihan yang jitu. Ia merupakan raja-pejuang yang berhasil
dengan gemilang, seseorang yang piawai untuk mengatasi peperangan sengit
yang panjang dan muncul dengan keadaan segar serta siap untuk berperang
di wilayah yang jauh. Pada zaman Gilgamesh, Lugulbanda—yang mungkin
sudah wafat tiga puluh tahun sebelumnya, atau bahkan lebih—memang
sedang naik namanya untuk mendapatkan status sebagai pahlawan Sumeria.
Seratus tahun kemudian, ia akan dipandang sebagai seorang dewa. Dari dia
Gilgamesh meminjam kegemilangan kuasa duniawi.
Begitu upaya pertama Gilgamesh—untuk merebut tahta Uruk—berhasil,
ia siap untuk tugas yang baru. Dan Kish masih belum tertaklukkan, rajanya
pun menjadi pelindung kota suci Nippur serta mengklaim keunggulan prestise tak terjelaskan yang menyakitkan hati itu.
Bila kita mencabut raja muda Uruk itu, Gilgamesh, dari kisah epik yang
mendahului masa dia dan yang di kemudian hari menjadi terkait dengan dirinya, kita masih menyaksikan seorang pribadi yang penuh daya kehidupan.
Gilgamesh menginginkan segalanya: sahabat-sahabat yang loyal, tahta, gelar
rajawi, gelar “raja Kish”, dan akhirnya pun ketidakmatian.
Persiapan pertama Gilgamesh, sebelum menyatakan perang kepada
tetangga-tetangganya, adalah memperkuat tembok-temboknya sendiri. “Di
Uruk [Gilgamesh] membangun tembok-tembok”, demikian tutur prakata
Epik Gilgamesh, “sebuah baluarti besar. … Lihatlah itu, masih ada hari ini:
tembok luarnya … berkilat dengan kemilau tembaga; dan tembok dalamnya
tidak ada padanannya”.2
Sebutan tembaga adalah tambahan pembangatan dari waktu kemudian.
Tembok Uruk pada zaman itu tidak terbuat dari batu, apalagi tembaga, tetapi
dari kayu yang didatangkan dari Utara. Perjalanan Gilgamesh untuk memperoleh kayu dicerminkan dalam Epik itu. Seperti dituturkan di dalamnya, ia
berkelana ke hutan-hutan aras di Utara untuk mendirikan sebuah monumen
untuk para dewa, tetapi sebelum ia dapat membangun monumen itu ia harus
memerangi raksasa hutan: “seorang pejuang besar, balok penjebol” yang dikenal sebagai “Sang Jangkung”; atau, dalam bahasa Sumeria, “Humbaba”.3
Sesungguhnya, Gilgamesh memang harus memerangi bukan seorang raksasa
tetapi suku-suku Elam yang tinggal di hutan dan yang enggan menyerahkan
sumber daya mereka yang paling berharga dengan gampang-gampangan.
Setelah tembok-tembok diperkuat, Gilgamesh siap untuk mencari pertikaian dengan raja Kish.
Raja Kish bernama Enmebaraggesi dan sudah memerintah Kish selama
bertahun-tahun sebelum si penguasa baru Gilgamesh memerintah Uruk.*Ia
bukan saja raja Kish, tetapi juga pelindung kota suci Nippur. Sebuah inskripsi
yang ditemukan di sana menuturkan bahwa Enmebaraggesi membangun di
Nippur “Rumah Enlil”, sebuah kuil untuk dewa kepala Sumeria penguasa
udara, angin, dan taufan, yang memegang Papan Nasib dan karenanya memegang kuasa atas nasib semua orang. Enlil, yang dipercayai suka mengirimkan
banjir ketika ia gusar, bukan seorang dewa yang kepada seseorang dapat
berbuat sembrono. Tetapi karena kuil yang dibangun oleh Enmebaraggesi menjadi terkenal sebagai kuil kesayangan Enlil, raja Kish sangat yakin akan
kemurahan hati dewa itu. Agak mustahil bahwa ia terlalu merisaukan penantang muda dari Selatan itu.
Sementara itu Gilgamesh tengah memobilisasikan kekuatan Uruk. Semua
perangkat perang diaktifkan: prajurit infanteri berikut perisai kulit, tombak,
dan kapak mereka; mesin pendudukan yang dibuat dari kayu yang didatangkan dari Utara, dengan dihela sapi dan lelaki berpeluh; sebatang kayu aras
yang dihanyutkan ke hulu di sungai Efrat untuk digunakan sebagai balok
untuk menjebol gerbang-gerbang Kish. Perang adalah keterampilan yang
paling berkembang di dunia kuno. Sejak kurun 4000 SM skenario-skenario
yang dipahat menampilkan pelaga bertombak, pesakitan baik yang hidup
maupun yang dieksekusi, gerbang yang jebol, dan tembok yang diduduki.
Demikianlah serangan dimulai—dan gagal. Itu kita ketahui karena daftardaftar raja mencatat wafat Enmebaraggesi akibat usia lanjut, dan naiknya anak
lelakinya Agga dengan damai ke tahta Kish.4
Mengapa Gilgamesh mundur?
Dalam semua legenda yang terhimpun di seputar Gilgamesh, sosok sentralnya secara bergelora tetaplah sama: seorang muda, agresif, berapi-api, yang
memiliki vitalitas nyaris dari seorang manusia super, citra seorang lelaki yang
tidur selama tiga jam saja semalam dan meloncat bangun dari tempat tidur ke
pekerjaan, yang terbang dengan pesawat sebelum usia dua puluh lima tahun,
atau mendirikan dan menjual empat perusahaan pada usia dua puluh delapan
tahun, atau menulis otobiograi sebelum usia tiga puluh tahun. Yang juga
merupakan hal yang berulang dalam ceritacerita itu ialah bahwa vitalitas itu
meletihkan rakyat gilgamesh. Di dalam tuturan epikepik, mereka menjadi
sedemikian letih akibat gerakangerakan ke sana ke mari itu sehingga mereka berseru memohon pembebasan kepada dewadewa. Pada kenyataannya
mereka barangkali mogok saja; dan karena tidak mendapat dukungan warga
kotanya gilgamesh terpaksa mundur.
Bagaimana pun, raja sebuah kota Sumeria bukanlah seorang penguasa mutlak. Dalam cerita ekspedisi gilgamesh ke Utara, ia harus meminta persetujuan
sebuah dewan tetua sebelum ia berangkat. Orang Sumeria, yang perangainya
dibentuk oleh sebuah wilayah di mana setiap orang perlu memasang kudakuda untuk menangkis pelanggaran tetangganya supaya dapat tetap hidup,
tampaknya memiliki perasaan yang peka terhadap hakhak mereka sendiri.
Mereka adalah orangorang pertama yang menuliskan kitab hukum mereka,
dengan menorehkan batasbatas kebebasan orang lain agar tidak mungkin
terjadi kekeliruan. Agak mustahil bahwa mereka dapat cukup lama mentolerir
kesewenangwenangan seorang raja tanpa menolak, dan dalam hal ini, mereka
menolak untuk pergi berperang lagi. Gilgamesh masih bertekad untuk menaklukkan Kish. Di pihak lain, Agga
penguasa Kish, cenderung untuk menciptakan perdamaian. Sebuah cerita
bergaya puisi yang disebut “Gilgamesh dan Agga penguasa Kish” mencatat
bahwa ia mengirim utusan-utusan kepada Gilgamesh, tampaknya untuk
membangun hubungan persahabatan.
Tampaknya Gilgamesh memandang hal itu sebagai sebuah pertanda kelemahan, bukan sebuah tanda perdamaian. Menurut cerita, mula-mula ia mengumpulkan orang tua-tua kota dan menyampaikan kepada mereka pesan
dari Agga. Namun, alih-alih menyarankan perdamaian, ia mengusulkan
untuk melakukan serangan lagi: “Terdapat banyak sumur di kawasan itu yang
perlu diklaim. Jadi, haruskah kita menyerah kepada wangsa Kish? Tidak, sebaliknya, kita harus meluluhlantakkannya dengan senjata!”5
Dewan orang tua-tua menolak untuk menghancurkan Kish dan
menyampaikan kepada Gilgamesh untuk merampungkan sumur-sumur
negerinya sendiri dulu daripada mengejar sumur orang lain. Tetapi Gilgamesh
malah beralih ke sebuah dewan lain: dewan orang muda-muda (“bertubuh
kekar”). “Sejak dahulu belum pernah kalian menyerah kepada Kish!”, katanya
kepada mereka. Setelah ia menambahkan retorika sedikit lagi, mereka siap
untuk mengelu-elukan dia. “Berdiri siaga mengemban tugas, duduk siap
melayani, sambil mengawal anak raja [Kish]— siapa yang punya tenaga?”
seru mereka kepadanya. “Engkau adalah kekasih dewa-dewa, manusia penuh
kelimpahan!”
“Jangan bertekuk lutut kepada wangsa Kish!
Bukankah kita, orang-orang muda, harus menghancurkan mereka
dengan senjata?
Dewa-dewa agunglah yang menciptakan Uruk,
Dan tembok-temboknya menyentuh awan.
Pasukan Kish tidaklah seberapa,
Dan prajurit mereka tak berani memandang ke mata kita”.
Mendapat dukungan sedemikian itu Gilgamesh memutuskan untuk menyerang Kish sekali lagi.
Dewan parlemen ganda itu, dewan orang tua-tua (yang bijaksana tetapi
sudah melewati gairah berperang) dan dewan orang-orang muda (yang bertubuh kekar tetapi kepalanya panas) adalah biasa dalam pemerintahan kota
Sumeria. Itu bertahan selama berabad-abad di Timur Tengah kuno; pada
masa yang jauh sesudahnya, anak lelaki raja besar Ibrani Solomon, tatkala
naik tahta, membagi negerinya dengan mengabaikan nasihat damai dewan
orang tua-tua tetapi memilih tindakan keras yang disarankan oleh dewan
orang-orang muda.
Gilgamesh mengambil cara bertindak yang sama, dan mendapatkan sengsara. Sekali lagi, serangan ke Kish menjadi berlarut-larut; sekali lagi, penduduk
Uruk memprotes; dan sekali lagi, Gilgamesh mundur. Itu kita ketahui karena
bukanlah Gilgamesh yang akhirnya mengalahkan Kish dan mengklaim gelar
raja Kish dan pelindung kota Nippur, tetapi seorang raja yang lain sama sekali: raja Ur.
Ur, yang letaknya jauh di sebelah Selatan Uruk dan sangat jauh dari Kish,
telah berkembang kekuatan dan kekuasaannya tanpa menyolok selama berpuluh-puluh tahun. Rajanya, Mesannepadda, tampaknya memiliki usia yang
luar biasa panjangnya. Pada waktu serangan kedua Gilgamesh ke Kish berlarut
dan berakhir dengan mundur, Mesannepadda telah bertahta selama berpuluh
tahun. Ia jauh lebih tua daripada Gilgamesh, bahkan mungkin lebih tua daripada Enmebaraggesi yang kala itu sudah mangkat. Ia juga ingin merebut
Kish; dan ia bukan sekutu Uruk.
Tetapi ia bersedia menunggu sebelum melakukan serangan sendiri. Ketika
Gilgamesh mundur, dan Kish sudah menjadi lemah, Mesannepadda menyerang Kish dan menang. Mesannepadda, bukan Gilgamesh, mengakhiri Dinasti
Pertama Kish dan menguasai kota suci Nippur. Energi super Gilgamesh masih
terus terkunci di balik tembok-temboknya dan dikekang oleh ketidaksediaan
rakyatnya untuk mendukung sebuah serangan baru.
Sekali lagi, dinamika pewarisan tahta berlaku. Kish sudah jatuh, ketika
Enmebaraggesi wafat dan menyerahkan pertahanannya kepada anak lelakinya; kini Gilgamesh ganti menunggu sampai Mesannepadda yang sudah tua
namun berkuasa itu wafat dan menyerahkan kepada anak lelakinya sendiri,
Meskiagunna, untuk menjadi penguasa tiga kerajaan Ur, Kish, dan Nippur.
(Dan mungkin sampai orang tua-tua yang telah melihat dia dua kali kalah
meninggal juga.) Ketika itulah Gilgamesh melakukan serangan ketiga.
Kali ini ia menang. Dalam sebuah peperangan yang sengit ia mengalahkan
Meskiagunna, merebut kotanya, dan mengambil wilayah-wilayah lain yang
telah direbut Meskiagunna dengan perang. Dengan serbuan terakhir akhirnya
Gilgamesh menjadi penguasa keempat kota besar Sumer: Kish, Ur, Uruk, dan
kota suci Nippur.
Setelah merencanakan penaklukan Kish selama puluhan tahun, kini
Gilgamesh menguasai wilayah Sumer yang lebih luas daripada raja mana pun
sebelum dia. Tetapi hanya untuk beberapa saat. Bahkan energi supramanusiawi
Gilgamesh tidak dapat melawan usia tua. Ketika ia wafat, tak lama setelah
kemenangannya, kerajaannya yang meliputi empat penjuru, gelar raja Kish,
dan semua cerita seputar sosok dirinya yang menjulang tinggi beralih kepada
anak lelakinya.
K- M yang saling berperang tidak memiliki
identitas nasional; masing-masing merupakan kerajaan sendiri. Pada awal
milenium ketiga, satu-satunya negara di dunia membentang dari pantai
Selatan Laut Tengah ke arah hulu sungai sekurang-kurangnya sampai kota
Hierakonpolis. Mesir adalah sebuah kerajaan yang mirip seutas tali bersimpulsimpul, panjangnya lebih dari enam ratus kilometer, dan sedemikian sempit
di tempat-tempat tertentu sehingga seorang Mesir dapat berdiri di padang
gurun yang menandai perbatasan Timurnya dan memandang ke seberang Nil
ke gurun belantara di seberang perbatasan Baratnya.
Ibu kota negara itu, kota putih Memphis, terletak sedikit di sebelah Selatan
Delta pada perbatasan antara Kerajaan Hilir dan Kerajaan Hulu kuno. Tempat
itu tidak memiliki banyak hal lain yang dapat ditakjubi; dataran itu sedemikian
basahnya sehingga, menurut Herodotus, tugas pertama Narmer adalah membangun sebuah bendungan untuk menahan air. Bahkan dua ribu lima ratus
tahun sesudah itu, Herodotus menambahkan, “kelokan Nil itu diawasi secara
ketat … mereka memperkuat bendungan itu setiap tahun, karena jika sungai
itu memutuskan untuk membobol tepi-tepinya dan meluap pada tempat itu,
Memphis akan menghadapi bahaya tergenang sama sekali”.1
Penyatuan yang dilakukan Narmer dan penetapannya atas Memphis sebagai ibu kota Mesir yang satu-satunya mengakhiri masa pradinasti Mesir.
Anak lelakinya mengganti-kannya sebagai pemegang tahta dan selanjutnya
digantikan enam raja lagi yang oleh Manetho disebut sebagai Dinasti Pertama
Mesir; suatu pergantian raja yang nyata dan diformalkan.*∗
Apa yang dilakukan kedelapan raja itu dalam kurun enam ratus tahun
waktu mereka memerintah Mesir yang disatukan sangatlah tidak jelas. Tetapi
kita dapat melihat sepintas pertumbuhan sebuah negara tersentralisasi: pembentukan sebuah perangkat istana raja, pengumpulan pajak, dan sebuah
sistem ekonomi yang memungkinkan Mesir menikmati kemewahan dengan
menopang kehidupan para warga negara yang tidak menghasilkan makanan: imam-imam purna waktu untuk menyelenggarakan kurban bagi raja,
perajin logam terampil yang menyediakan perhiasan untuk para bangsawan
dan wanita istana, para juru tulis yang memegang pencatatan birokrasi yang
berkembang.2
Raja ketiga dinasti itu, Djer, mengirim serdadu Mesir untuk ekspedisi
resmi pertama melampaui batas-batas kerajaan Narmer. Pada sebuah cadas
sekitar 375 kilometer di sebelah Selatan Hierakonpolis, dekat Katarak Kedua,
sebuah skenario yang dipahat menunjukkan Djer dan pasukannya menang
atas para tawanan; mungkin sekali mereka ini penduduk asli Nubia Hilir,
yang tak lama kemudian meninggalkan wilayah itu karena terdesak oleh cuaca
buruk dan invasi orang Mesir. Pasukan Mesir juga menjelajah ke arah Timur
laut, sepanjang pantai Laut Tengah, menuju wilayah yang kemudian disebut
Palestina Selatan.
Den, selang dua raja sesudah itu, dengan waspada meluaskan jangkauannya
keluar dari perbatasan Mesir. Ia memimpin pasukannya memasuki jazirah
Sinai, segitiga daratan antara cabang-cabang Utara Laut Merah. Di sana
Den, menurut sebuah skenario yang dipahat pada makamnya, memukul para
kepala suku setempat hingga bertekuk lutut, dalam suatu kemenangan yang
dijuluki “Pertama kalinya daerah Timur dikalahkan”.
Kemenangan-kemenangan itu secara teori diraih atas nama seluruh Mesir,
baik Utara maupun Selatan. Tetapi pada saat mati, para penguasa Dinasti
Pertama kembali ke identitas mereka sebagai orang Mesir Hulu. Mereka
dikuburkan di tanah asal mereka: di Abydos, jauh sekali di sebelah Selatan
Memphis.
Tempat pemakamannya pun bukan pekuburan sederhana. Orang Mesir
jelata mungkin masih dikuburkan di tepi gurun di dalam pasir dengan muka dipalingkan ke Barat. Tetapi kaum bangsawan Mesir, kalangan nomor dua
masyarakat, dimakamkan di sebuah tempat pemakaman besar di atas dataran tinggi gurun Saqqara, di sebelah Barat Memphis.*∗
Dan raja-raja yang
dimakamkan di Abydos dikubur di dalam ruangan dari bata atau batu yang
dipendam di tanah dan dikeliling oleh sejumlah besar korban manusia
benar-benar. Hampir sejumlah dua ratus mayat pengawal mengelilingi Den,
sedangkan Djer dimakamkan dengan diiringi tiga ratus pegawai dan pelayan
istana.
Raja-raja itu mungkin tidak yakin dengan loyalitas daerah Utara, tetapi
pada saat mati mereka menegakkan kewibawaan mutlak yang mengherankan.
Seseorang yang dapat menuntut nyawa orang-orang lain sebagai bagian dari
ritus pemakamannya sendiri telah maju jauh melebihi penggunaan kekuatan
secara coba-coba yang dilakukan oleh para penguasa Sumeria awal.
Tidaklah mudah menjajaki secara tepat mengapa kekuasaan itu
diekspresikan dengan cara pengurbanan manusia. Ketika pharaoh-pharaoh
dari Dinasti Kelima dan Keenam dimakamkan, orang Mesir memahat di
sepanjang tembok makam mereka sebuah agenda pascapemakaman lengkap
bagi yang wafat: perjalanan naik dari ruang-ruang gelap pekat di dalam
piramida ke langit, penyeberangan sungai yang memisahkan kehidupan
dengan kehidupan setelahnya, sambutan hangat dari dewa-dewa yang sudah
menunggu. Tetapi “Naskah Piramid” itu berasal, sekurang-kurangnya, dari
kurun setengah milenium sesudah pemakaman dengan pengurbanan di
Abydos.
Ketika raja-raja Dinasti Pertama melakukan pemakaman, orang-orang
Mesir belum pernah membalsam orang mati. Badan raja-raja dibungkus kain,
yang kadang kala direndam di cairan damar, tetapi hal itu sama sekali tidak
memiliki daya untuk mengawetkan jenazah mereka.
Namun, kita dapat menarik kesimpulan bahwa raja-raja akan menghampiri matahari dalam perjalanan mereka di langit. Di samping raja-raja di Abydos
terkubur juga armada perahu kayu, beberapa di antaranya panjangnya tiga
puluhan meter dalam ceruk-ceruk panjang yang diatapi bata lumpur. Pada
pahatan-pahatan Dinasti Pertama, dewa matahari ditampilkan tengah menyeberangi langit dengan sebuah perahu.3 Mungkin sang pharaoh dan jiwa
orang-orang yang dikuburkan bersamanya akan menggunakan perahu mereka untuk mengiringi dia (walaupun salah satu kompleks makam di Abydos
memiliki bukannya perahu melainkan sekawanan keledai kurban untuk digunakan oleh raja; hal itu meng-isyaratkan bahwa ia sekurang-kurangnya
mungkin tengah menuju suatu tempat lain).
Jika diandaikan bahwa raja-raja mencapai alam kehidupan lain di sisi lain
cakrawala, apakah yang akan mereka lakukan di sana?
Mungkin sang pharaoh akan melanjutkan perannya sebagai raja; kita tidak
memiliki bukti dari Mesir untuk hal itu, tetapi Gilgamesh, begitu ia mati,
menuju kepada para dewa dunia bawah untuk membantu menyelenggarakan
tempat itu. Jika para pharaoh pada mulanya diyakini akan melanjutkan peran
mereka di alam lain, maka pemakaman kurban-kurban pun punya maksud
tertentu. Bagaimana pun, jika kekuasaan seorang raja berlangsung hanya
sampai ia mati, ia harus dipatuhi selama ia hidup, tetapi tidak ada alasan yang
tepat untuk mengikuti dia dalam kematian. Tetapi jika, di pihak lain, ia masih menunggu bawahannya di sisi yang lain, kekuasaannya menjadi mutlak.
Peralihan ke negeri yang belum dijumpai itu hanyalah sebuah perjalanan dari
satu tahap loyalitas ke tahap berikutnya.
Karena adanya ketegangan antara daerah Utara dan daerah Selatan,
raja-raja Dinasti Pertama memerlukan kewibawaan semacam itu untuk menjaga keutuhan negara. Dasar teologis untuk kekuasaan raja ditetapkan oleh
“Teologi Memphis” yang ditulis pada sebuah monumen yang disebut Batu
Shabaka (kini di Museum Inggris). Batu itu sendiri berasal dari masa yang
jauh lebih kemudian dalam sejarah Mesir, tetapi cerita yang ditampilkannya
dipandang oleh banyak ahli ilmu Mesir kuno sebagai hal yang berlaku sejak
dinasti-dinasti Mesir awal.
Terdapat banyak pengembangan lebih kemudian dari cerita itu, tetapi intinya sederhana saja. Dewa Osiris diberi kekuasaan atas seluruh bumi,
tetapi saudara lelakinya Set, karena iri akan kekuasaannya, berencana untuk
membunuhnya. Ia menenggelamkan Osiris di Nil. Istri (sekaligus saudari) Osiris, dewi Isis, berburu mencari suami dan saudaranya itu.