Ketika ia
menemukan jenazah saudaranya yang tenggelam, ia membungkuk di atasnya dan membangkitkan dia setengahnya. Osiris kembali memiliki hidup
yang cukup untuk membuatnya hamil tetapi kurang kuat untuk tinggal
di bumi. Sebaliknya, ia menjadi raja dunia bawah. Anak lelaki yang lahir dari Isis
setelah Osiris turun ke dunia barunya, Horus, menjadi raja dunia kehidupan.
Sebagai raja makhluk hidup, dewa Horus terkait dengan matahari, bintang, dan bulan; dengan kata lain, ia adalah (seperti yang dinyatakan oleh
ahli ilmu Mesir kuno Rudolf Anthes) “badan angkasa yang tampak jelas baik
pada siang hari maupun malam hari… penguasa tetap langit, yang berbeda
dengan matahari, tidak lenyap pada malam hari.” 4
Kuasa Horus tidak lebur
atau memudar.
Pharaoh-pharaoh Mesir awal mengklaim sebagai penjelmaan Horus di
bumi serta menyandang kekuasaan yang tidak “lenyap di waktu malam”, atau
dengan kematian. Sungguhpun demikian semua raja mati. Maka teologi Mesir
membuat adaptasi terhadap hal yang tak terelakkan. Ketika pharaoh wafat,
ia tidak lagi dipandang sebagai penjelmaan Horus. Sebaliknya ia menjadi
penjelmaan Osiris, baik raja dunia bawah maupun ayah Horus, raja dunia
kehidupan.*∗
Kemudian anak lelaki pharaoh yang wafat menerima peran
sebagai Horus yang menjelma, yang menunjukkan kegunaan praktis dari sistem semacam itu; itu memberikan sebuah cara yang rapi untuk melegitimasikan
penguasa yang menggantikan. Raja yang baru tidaklah hanya anak lelaki
raja yang lama. Dalam arti tertentu ia adalah reinkarnasi dari ayahnya. Para
pharaoh mungkin saja wafat, tetapi kekuasaan rajawi yang nyata tak pernah
runtuh menjadi debu. Raja Mesir pertama-tama dan terutama bukanlah
seorang individu: bukan Narmer, Den, atau Djer. Ia adalah penyandang suatu
Kekuasaan.
Para ahli sosiologi menyebut pengaturan ini “suksesi posisional”. Itu
menjelaskan kecenderungan raja-raja Mesir untuk mengklaim nama-nama
para pendahulu mereka; nama-nama itu bukan sekadar nama, melainkan
penjelasan dari aspek-aspek tertentu martabat raja yang tidak mati.5
Itu
juga sedikit bisa menjelaskan kecenderungan untuk menikahi saudara
perempuan (dan terkadang anak perempuan) sendiri. Ketika seorang pharaoh
menggantikan ayahnya, ibunya (yakni istri pharaoh pendahulunya) dalam
arti tertentu menjadi istrinya juga; bagaimana pun (dalam arti tertentu) ia
telah menjadi ayahnya.6
Baru beberapa abad kemudian Oedipus menghadapi
masalah dalam hal ini. Untuk orang Mesir, keluarga ada tempat yang pasti
untuk mendapatkan istri.
Adjib, raja keempat dari Dinasti Pertama, menambahkan sebuah gelar
keterangan pada gelar rajawinya: sebutan nesu-bit. Walaupun kedua kata
Mesir itu berarti “di atas” dan “di bawah”, nesu-bit tidak mengungkapkan
kekuasaan pharaoh terhadap Mesir Hulu dan Mesir Hilir. Tetapi, nesu-bit
tampaknya mengacu kepada dunia di atas dan dunia di bawah. Nesu adalah
kuasa pemerintahan ilahi, martabat rajawi atas yang beralih dari satu raja ke
raja yang lain; bit adalah penyandang fana dari kuasa itu, raja di bawah.
7
Adjib, raja pertama yang mengklaim gelar itu, mendapat kesulitan untuk
berpegang pada bit; mungkin contoh historis pertama dari protes yang terlalu banyak. Makamnya dikelilingi oleh enam puluh empat orang Mesir yang
dikurbankan, suatu penghormatan terhadap posisinya sebagai penyandang
martabat rajawi atas. Di pihak lain, kuburnya, monumen duniawi untuk raja
di bawah, adalah yang paling jelek di Abydos. Yang lebih buruk lagi, namanya
telah dihapus dari beberapa monumen di mana semula dipahat.
Yang menghapus namanya adalah Semerkhet, pharaoh penerusnya.
Tindakannya menghilangkan nama pendahulunya merupakan usahanya
untuk menulis ulang masa lampau. Jika nama-nama yang digunakan oleh
para pharaoh untuk dirinya sendiri mengungkapkan kuasa abadi mereka
terhadap martabat rajawi di atas, menuliskan nama itu, dengan tanda-tanda
yang berkekuatan magis dari huruf hiroglif, menorehkan nama itu ke dalam
rajutan dunia di bawah. Menghapus nama tertulis seorang pharaoh adalah
menghapusnya dari kenangan duniawi.Usaha untuk menghapus Adjib mengisyaratkan bahwa Semerkhet adalah seorang perebut, dalam sebutan terbaik, dan seorang pembunuh, dalam
sebutan terburuk. Upayanya merebut martabat rajawi di bawah tampaknya
berhasil; ia membangun sebuah makam yang bagus untuknya sendiri, yang
jauh lebih besar daripada makam Adjib, dan menuangkan sedemikian banyak
dupa suci ke dalamnya sehingga minyaknya meresap sedalam satu meter ke
dalam tanah dan masih tercium baunya ketika kubur itu digali pada awal
tahun 1990-an.8
Tetapi usahanya untuk mengklaim nesu, martabat rajawi di
atas, kurang berhasil. “Dalam masa pemerintahannya”, catat Manetho, “terdapat banyak kejadian luar biasa, dan terjadi sebuah malapetaka besar”.
Catatan yang samar maksudnya itu bukan bubuhan dari seorang komentator di masa kemudian. Tetapi tanah di sekitar Nil menunjukkan bahwa
menjelang akhir Dinasti Pertama, luapan sungai Nil berkurang secara dramatis. Pada masa Dinasti Kedua, luapan itu rata-rata satu meter lebih rendah
dibanding pada masa seratus tahun sebelumnya.9
Jika luapan air yang kian
berkurang telah mengakibatkan petani Mesir terjepit dalam himpitan berkurangnya panen, titik pemicu ketidakpuasan mungkin telah timbul tepat
ketika Semerkhet si perebut tengah sibuk menghapus monumen-monumen
Adjib di seluruh Mesir.
Untuk kelangsungan hidupnya bangsa Mesir bertumpu pada perulangan
luapan Nil yang tetap, suatu peristiwa yang dalam detailnya mungkin bervariasi
dari tahun ke tahun, tetapi pada hakikatnya tetap sama. Horus sendiri juga
membawa ciri kombinasi perubahan dan stabilitas yang sama: setiap terbit
dan terbenamnya matahari adalah peristiwa yang berlainan, tetapi setiap pagi
matahari terbit kembali di ufuk Timur. Gelar nesu-bit mengisyaratkan bahwa
raja sendiri telah mulai menampilkan atribut ganda sebagai kuasa abadi yang
tak berubah dan pewujudan duniawinya yang berubah-ubah. Raja, setelah
dikuburkan, datang kembali sebagai anak lelakinya sendiri, serupa tetapi
berlainan. Ia iBarat sebatang tanaman abadi yang muncul kembali dengan
warna bunga yang berbeda tetapi dengan akar yang sama.
Bahasanya Semerkhet menghapus nama seorang pharaoh—inilah pertama
kalinya hal itu terjadi, sejauh dapat kita ketahui—tentu merupakan sebuah
penghinaan yang mengejutkan terhadap konsepsi martabat rajawi yang
sedang bersemi ini, sesuatu seperti penemuan mendadak bahwa seorang paus
yang telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan ex cathedra selama bertahuntahun ternyata telah dipilih akibat salah penghitungan suara Dewan Kardinal.*∗
Jika luapan Nil kemudian mulai berkurang, tanpa adanya kepastian kapan surutnya air yang sedemikian nyata itu akan berhenti, salah satu kepastian tak
berubah yang mestinya dilestarikan dalam diri raja juga sekonyong-konyong
berubah. Apakah yang akan terjadi setelah itu: apakah matahari akan berhenti
terbit?
Pemerintahan Semerkhet berakhir dengan sebuah pergolakan di dalam
wangsa kerajaan yang cukup radikal sehingga menyebabkan Manetho mulai
menyebut sebuah “Dinasti Kedua”. Yang paling menyeramkan—bagi para
pharaoh, kalau bukan bagi para pegawai istana—ialah bahwa pemakaman
manusia kurban berhenti.
Tidaklah mungkin bahwa raja-raja Mesir tiba-tiba mengembangkan rasa
hormat terhadap hidup manusia, seperti yang cenderung diisyaratkan oleh
sebagian sejarawan (“Praktik pengorbanan manusia yang sia-sia itu berhenti
bersama Dinasti Pertama”). Yang lebih mungkin, keterpercayaan klaim akan
kekuasaan Horus yang tak dapat diragukan merosot tajam. Raja dari Dinasti
Kedua tidak lagi dapat menuntut kurban manusia, mungkin karena ia tidak
lagi dapat menjamin bahwa dia, dan hanya dia, saja yang menduduki posisi
nesu-bit. Ia tidak lagi dapat menjanjikan bahwa ia memiliki hak yang tak
dapat diragukan untuk mengiringi jiwa-jiwa itu melampaui cakrawala dalam
prosesi rajawi.
Dalam Dinasti Kedua ini, yang pada umumnya dianggap mulai sekitar
2890, terdapat suatu jumlah raja yang tidak tentu yang memerintah. Menyusul
terjadinya kekeringan (bukti bahwa raja tidak pasti memiliki kuasa terhadap
kehidupan dan kematian), pecahlah perang saudara yang berlangsung selama
bertahun-tahun. Perang mencapai puncaknya selama pemerintahan raja
sebelum yang terakhir, Sekemib, ketika sebuah inskripsi mencatat bahwa
pasukan Selatan memerangi “musuh di Utara di kota Nekheb”.10 Nekheb,
kota tua dewi burung bangkai, adalah paruh Timur Hierakonpolis. Letaknya
lebih dari seratus lima puluh kilometer di sebelah Selatan Abydos, masuk jauh
ke Mesir Hulu. Bahwasanya suatu pemberontakan Mesir Hilir dari Utara
yang merambah begitu jauh mengisyaratkan bahwa selama Dinasti Kedua,
wibawa Mesir Hulu terhadap kekaisaran hampirlah patah.
Walaupun Sekemib sendiri berasal dari Selatan, inskripsi-inskripsi yang
memuat namanya mengisyaratkan bahwa ia mungkin bermuka-dua: seorang
simpatisan dari Utara, bahkan mungkin berdarah Utara. Ia bukannya menuliskan gelar-gelarnya dengan tanda dewa Horus di sampingnya, melainkan di
samping tanda dewa Set.
Set, saudara lelaki dan pembunuh Osiris (dan musuh anak Osiris, Horus),
masih tetap lebih populer di Utara. Pada tahun-tahun terakhir ia dilukis
dengan rambut merah dan jubah merah, yang mencerminkan warna Kerajaan
Merah, Mesir Hilir. Ia adalah dewa angin dan badai; pembawa awan dan badai pasir, satu-satunya kekuatan yang mampu menggelapkan matahari dan
menenggelamkannya di cakrawala sebelum waktunya.
Kebencian Set kepada saudaranya Osiris dan kepada anak saudara lelakinya Horus lebih dari sekadar kecemburuan. Bagaimana pun, Set adalah relasi
darah dengan raja para dewa. Ia juga merasa memiliki klaim untuk memerintah seluruh Mesir. Cerita-cerita tua menegaskan kepada orang Mesir bahwa
sesudah pembunuhan itu pun Set dan Horus bertengkar tentang persaingan
klaim untuk menjadi yang terkuat, yang paling jantan, yang paling layak
untuk memerintah bumi. Pada suatu ketika, pertengkaran mereka merosot
menjadi perkelahian. Set berhasil mencungkil mata kiri Horus, tetapi Horus
bisa mengatasi pamannya; ia merenggut buah pelir Set.
Tidak mudah membayangkan sebuah tekad yang lebih samar. Keduanya,
sekaligus saudara dan musuh, berjuang memperebutkan hak untuk mewariskan
suksesi. Horus merenggut kemampuan pamannya untuk melakukan itu
dan akhirnya mewarisi tahta. Tetapi kecemburuan Set telah medorongnya
untuk melakukan kejahatan yang paling tua di dunia, pembunuhan saudara
sendiri.
Kebencian antara Set dan Horus merupakan cerminan permusuhan antara
Utara dan Selatan, antara dua bangsa dengan darah yang sama. Kesetiaan
Sekemib kepada Set dan bukan Horus menunjukkan bahwa pertikaian tentang
siapa yang harus memerintah Mesir sungguh hidup dan nyata. Dan ketika ia
wafat, seorang pemuja Horus bernama Khasekhem naik tahta dan mengangkat pedang. Ia mengerahkan pasukan Selatan dan melalui peperangan yang
sengit mengalahkan musuh dari Utara. Dua patung duduk raja pemenang itu,
keduanya ditemukan di Nekhen (paruh Barat Hierakonpolis), menampilkan
dia dengan mengenakan hanya Mahkota Putih dari Mesir Hulu; di sekeliling
alas tahtanya, potongan-potongan mayat orang-orang Utara mengonggok sebagai yang kalah.
Mesir telah bertahan melewati perang saudaranya yang pertama. Di bawah
Khasekhem, seorang raja yang layak untuk diketahui dengan lebih baik,
Mesir memasuki Dinasti Ketiga, suatu masa damai dan kemakmuran yang
memungkinkan para pembangun piramida Mesir mengembangkan kesenian
mereka.
Dinasti Ketiga memperoleh kekayaan dari usaha Khasekhem untuk
membangun kembali jalur-jalur perdagangan. Penyerbuan bersenjata keluar
dari Delta ditinggalkan, tetapi selama pemerintahan Khasekhem inskripsiinskripsi di kota pantai Byblos, yang melakukan perdagangan besar batang
kayu aras yang ditebang dari lereng-lereng pegunungan di dekatnya, mulai
mencatat kedatangan kapal-kapal dagang Mesir. Itu mungkin terjadi karena
perkawinan politis Khasekhem; ia memperistri seorang putri dari Mesir Hilir, Nemathap, yang nama dan identitasnya tetap hidup karena ia kemudian diberi
kehormatan ilahi sebagai ibu pendiri besar Dinasti Ketiga. Dan kedamaian itu
dapat terjadi tidak hanya berkat kepanglimaan Khasekhem, melainkan berkat
kepiawaiannya dalam menangani masalah Set.
Setelah perang berakhir, Khasekhem mengubah namanya. Tetapi alih-alih
mengambil nama dari Utara yang akan menghormati Set, atau mengklaim
sebuah gelar lain yang memuliakan Horus dari Selatan, ia memilih jalan
tengah. Ia menjadi terkenal sebagai Khasekhemwy, “Penampakan Kedua
Yang Berkuasa”—sebuah nama yang ditulis dengan gambar elang Horus
dan sekaligus binatang Set di atasnya. Untuk sementara, kedua kuasa telah
didamaikan.
Rekonsiliasi itu juga tercermin di dalam mitos-mitos tua juga. Setelah perang antara Horus dan Set, Horus memperoleh kembali matanya yang hilang
dari Set dan memberi-kannya kepada ayahnya, yang kini diteguhkan sebagai
Penguasa Orang Mati, sebagai penghormatan. Tetapi Set juga memperoleh
buah pelir kembali.
Pertikaian antara kedua kekuasaan itu, walaupun imbang, belum sirna.
Horus berhasil mempertahankan kekuasaannya atas Mesir, tetapi Set, yang
kemampuannya untuk memiliki keturunan sebagai pewaris (secara teori,
tentunya) telah pulih, terus merancang sebuah pengambilalihan secara bermusuhan. Dalam sejumlah seri cerita dari masa beberapa abad sesudahnya
Horus dan Set terus melakukan perang kelihaian yang mencakup, antara lain,
sperma Horus dan sehelai selada. Lelucon-lelucon yang hampir selalu melibatkan alat kelamin seseorang menutupi sebuah ancaman yang sebenarnya
ada dan nyata. Kekuatan Set tidak berkurang. Ia tak pernah pergi. Ia selalu
ada, melayang-layang, dan mengancam untuk mengganggu pewarisan nama
nesu-bit yang sudah teratur itu dengan mendesakkan klaimnya sendiri.
Dalam versi-versi cerita Osiris yang lebih kemudian, Set tidak hanya
menenggelamkan saudaranya; ia memereteli anggota badannya dan
menyebarkan potongan-potongannya ke seluruh Mesir dalam upaya untuk
menghapus namanya. Seribu tahun sesudahnya, Set telah menjadi Lucifer
Mesir, pangeran kegelapan bermata merah, si Loki yang mengancam untuk
membakar habis seluruh panteon.
Khasekhemwy, raja yang menyatukan Utara dan Selatan, memiliki sebuah
makam yang besar di Abydos, berlimpahan emas, tembaga, dan marmer. Tetapi
tanpa korban manusia. Tiada pegawai istana yang mengiringinya memasuki
kematian. Perjuangan untuk mendapatkan tahta telah menunjukkan bahwa
pharaoh bukan seorang dewa; orang lain dapat saja mengajukan klaim
terhadap kekuasaannya.
B- , raja Sumeria Alulim memerintah Eridu:
sebuah kota bertembok, sebuah kawasan yang dikeruk pada lembah sungai yang
keras dan tak terdugai yang kemudian akan disebut Mesopotamia oleh orang
Romawi. Naiknya Alulim ke tahta kekuasaan menandai mulainya peradaban
dan masa pemerintahannya berlangsung selama hampir tiga puluh ribu tahun.
Orang Sumeria, yang hidup di suatu dunia di mana yang adikodrati dan
yang terkait dengan materi belum ditempatkan pada kedua sisi lorong yang
berbeda tentu tidak akan tersedak dengan bagian akhir dari kalimat itu. Di
pihak lain, mereka tentu akan merasa bahwa penempatan Alulim pada ”awal
mula peradaban” sangat sulit diterima. Dalam pikiran mereka, mereka sudah
dari semula berperadaban. Tahta kerajaan Alulim, yang dicatat di dalam daftar raja Sumeria (mungkin catatan sejarah tertua di dunia), ”turun dari surga:
dan sudah dalam keadaan sempurna ketika turun ke bumi.
Namun bila memandang ke belakang kita melihat naiknya raja pertama
dalam suatu perspektif yang berbeda. Itu adalah suatu perubahan sejati dalam
kondisi manusia, awal dari suatu hubungan yang sama sekali baru antar bangsa, daerah mereka, dan pemimpin mereka.
Kita tidak dapat menetapkan tanggal kekuasaan Alulim, karena ia tidak
disebut dalam satu dokumen mana pun lainnya dan karena kita tidak mengetahui seberapa tua daftar raja Sumeria itu sendiri. Daftar itu dipahat pada
papan tanah liat pada suatu saat setelah 2100 SM, tetapi di dalamnya tentu
terkandung suatu tradisi yang jauh lebih tua. Yang lebih lagi: kronologi yang
disajikan oleh daftar raja Sumeria tidak sejalan benar dengan masa lampau
seperti yang kita kenal. ”Setelah tahta kerajaan turun dari surga”, demikian
tutur daftar raja itu, ”Alulim berkuasa sebagai raja selama 28000 tahun; [ahli
warisnya] Alalgar berkuasa selama 36000 tahunPanjangnya masa kekuasaan ini mungkin mengisyaratkan bahwa kedua
raja itu adalah setengah dewa, dan diangkat lebih dari mitologi daripada
sejarah; atau mungkin hanya sekadar menyatakan bahwa Alulim dan ahli
warisnya memerintah untuk waktu yang sangat panjang. Menurut orang
Sumeria, terdapat delapan raja yang berkuasa sebelum bencana hebat dalam
sejarah Sumeria terjadi dan ”Air bah melanda seluruh” daerah. Setiap raja
berkuasa selama suatu masa kelipatan dari tiga ribu enam ratus tahun, yang
mengisyaratkan bahwa daftar raja itu menggunakan suatu penghitungan yang
tidak kita ketahui.*
Yang dapat kita lakukan ialah menempatkan raja pertama Sumeria pada
masa lampau yang jauh. Kapan pun Alulim berkuasa, ia hidup di sebuah daerah yang barangkali sangat berbeda dengan Mesopotamia yang kita ketahui
sekarang, dengan dua sungai yang sudah dikenal—Tigris dan Efrat—yang
mengalir ke Teluk Parsi. Para ahli geologi menyatakan bahwa tepat sebelum
awal masa sejarah (tahun 11000 SM, walaupun sangat tidak tepat, memberi
kita titik acuan), es membentang dari selubung kutub jauh di sebelah selatan
dan hampir mencapai Laut Tengah. Dengan banyaknya air yang tertampung
dalam es, tingginya samudera dan laut lebih rendah; ujung utara Teluk Parsi
sendiri mungkin berupa sebuah dataran yang dialiri sungai, dan samudera
menyusuri pantai yang letaknya secara kasar sejajar dengan negara modern
Qatar. Hujan turun secara tetap, sehingga daerah itu cukup terairi.
Ketika iklim menjadi lebih panas dan selubung es mulai meleleh—suatu
proses yang ditempatkan oleh para ahli geologi pada masa lima ribu tahun
antara 11000 dan 6000 SM—samudera merayap naik melewati Qatar, dan
wilayah Bahrain modern. Daerah permukiman mundur mengikuti naiknya
air. Pada 6000 SM, Britania—yang semula merupakan sebuah tanjung yang
menjorok dari Eropa—telah menjadi sebuah pulau dan pantai Teluk Parsi
telah merayap naik ke perbatasan selatan Kuwait. Dataran yang terletak di
sebelah utaranya tergenang air, bukan air kedua sungai, tetapi air paduan dari
aliran-aliran yang kuat, yang alurnya masih dapat dilihat dalam foto satelit;
Kitab Kejadian menggambarkan sebuah sungai dengan ”empat cabang” yang
mengalir di seluruh dataran itu.2
Namun, walaupun dialiri oleh alur sungai bercabang-cabang itu daerah
itu bertambah kering. Ketika es surut, suhu naik. Tepat di sebelah utara Teluk
Parsi, curah hujan berkurang menjadi percikan-percikan jarang yang terjadi
selama bulan-bulan musim dingin. Pada musim panas angin kering bertiup menyapu dataran yang tak terlindung itu. Setiap tahun, aliran sungai membengkak melampaui tepi-tepinya dan menggenangi padang kemudian surut
kembali ke dasar alur dan meninggalkan endapan. Endapan mulai bertimbun
di tepi aliran-aliran sungai yang jalin menjalin itu dan memisahkannya satu
sama lain. Dan Teluk Parsi terus merayap ke utara.
Orang-orang yang tinggal di dataran sebelah selatan, yang terdekat dengan
Teluk Parsi, mempertahankan hidup dengan mengais-ngais suatu lingkungan
alam yang berubah-ubah dan tak terdugai. Sekali setahun ladang mereka tergenang oleh air yang terlalu besar. Begitu banjir surut, tanah mengering dan
mengeras. Mereka tidak mempunyai batu, hutan sebagai sumber kayu, atau
padang rumput yang luas; yang ada hanya gelagah yang tumbuh di sepanjang
tepi sungai dan banyak lumpur. Lumpur yang dibentuk dan dikeringkan, dicampur dengan gelagah dan dibakar, menjadi pondasi rumah mereka, bata
yang membentuk tembok kota, tembikar dan piring mereka. Mereka adalah
penghuni bumi.*
Bahasa yang digunakan oleh para pemukim itu—bahasa Sumeria—tampaknya tidak terkait dengan satu bahasa mana pun lainnya di dunia. Tetapi
pada waktu orang Sumeria mulai menulis, bahasa mereka dibumbui katakata dari sebuah bahasa lain. Kata-kata Sumeria dibentuk atas dasar suatu
akar yang terdiri dari satu suku-kata, tetapi lusinan kata dari inskripsi yang
paling tua memiliki akar dua suku-kata yang tidak lazim: nama kedua sungai
yang paling besar yang mengaliri dataran, nama-nama petani, nelayan, tukang
kayu, penganyam dan selusinan bidang pekerjaan lain, bahkan nama kota
Eridu sendiri.
Kata-kata itu berasal dari bahasa Semit, dan itu membuktikan bahwa orang
Sumeria tidak menjadi satu-satunya penghuni di dataran selatan. Kata-kata
bahasa Semit itu milik sebuah bangsa yang tanah airnya terletak di sebelah
barat dan sebelah selatan dataran Mesopotamia. Pegunungan di sebelah utara
dan di sebelah timur Mesopotamia menggen-tarkan para pengembara, tetapi
perjalanan naik dari jazirah Arab atau bahkan dari Afrika utara merupakan
pilihan yang jauh lebih sederhana. Itulah yang dilakukan oleh orang Semit;
mereka masuk bermukim bersama orang Sumeria dan menyumbangkan
kata-kata bahasa mereka kepada orang Sumeria. Dan bukan kata-kata belaka:
kata-kata pinjaman dari bahasa Semit hampir semuanya merupakan namanama teknik pertanian (bajak, alur bajak) dan mata pencaharian tenang yang
menyertai pertanian (pembuat keranjang, perajin kulit, tukang kayu). Orang
Semitlah yang membawa berbagai keterampilan itu ke Mesopotamia, bukan
orang Sumeria.*
Jadi, bagaimanakah orang Semit belajar bertani?
Barangkali secara bertahap-tahap, seperti bangsa-bangsa yang berdiam
di Eropa dan lebih jauh lagi ke utara. Mungkin, ketika lempeng-lempeng
es surut dan kawanan ternak sumber daging bergerak ke utara dan menjadi
lebih kurus, para pemburu yang mengikuti gerak kawanan itu menghentikan
perburuan daging secara purna waktu dan beralih menuai bebijian liar yang
tumbuh di dataran yang lebih panas, sambil berpindah tempat hanya ketika
cuaca berubah (seperti yang masih dilakukan oleh penduduk asli Amerika
Utara di Kanada zaman ini ketika Jacques Cartier tiba di sana). Boleh jadi
para bekas pengembara itu meningkat lagi dari penuai bebijian liar menjadi
penanam dan pengembang bebijian liar, dan akhirnya tidak lagi mengembara
sama sekali serta memilih hidup di desa sepenuhnya. Lelaki dan wanita yang
kecukupan pangannya menghasilkan jumlah anak yang lebih besar. Sabit
dan batu penggiling yang ditemukan dari wilayah Turki modern sampai ke
lembah Nil mengisyaratkan bahwa ketika anak-anak menjadi dewasa, mereka meninggalkan desa mereka yang sudah terlalu banyak penduduknya dan
berpindah ke tempat lain, sambil membawa keterampilan bertani mereka dan
mengajar-kannya kepada orang-orang lain.
Cerita-cerita kuno menambahkan suatu hal baru lain lagi pada kisah ini:
ketika orang Sumeria yang kena pengaruh orang Semit menanam tanaman
pangan di sekitar desa mereka, kehidupan mereka menjadi lebih rumit sehingga mereka memerlukan seorang raja guna membantu menguraikan
masalah-masalah mereka.
Masuklah Alulim, raja Eridu, dan peradaban pun mulai.
Mudah saja menjadi berlebihan tentang ”awal peradaban”. Bagaimana
pun, peradaban adalah sesuatu yang memisahkan kita dari kekacauan. Kota
yang berperadaban memiliki tembok yang memisahkan jalan-jalan yang teratur dari padang belantara di luarnya. Peradaban, seperti yang dijelaskan ahli
arkeologi Stuart Piggott dalam kata pengantar untuk telaah klasik Sumer kuno
Max Mallowan, adalah hasil dari suatu ketidakpuasan penuh keberanian terhadap status quo: “Secara sporadis”, tulis Piggott, “muncullah bangsa-bangsa
yang menemukan kepuasan dan kelegaan dalam inovasi dan perubahan,
bukan dalam ketaatan kepada tradisi: kalangan-kalangan yang melakukan
pembaharuan itu adalah mereka yang dapat kita golongkan sebagai pendiri
peradaban.”
Sesungguhnya, peradaban tampak sebagai hasil dari suatu dorongan
yang lebih dasar: memastikan bahwa tak seorang pun merebut terlalu banyak makanan atau air. Peradaban berawal di Sabit Subur, bukan karena itu
adalah suatu tempat bagaikan Firdaus yang melimpah sumber daya alamnya, tetapi karena kawasan itu sedemikian keras perlawanan-nya terhadap
pemukiman sehingga sebuah desa seberapa pun ukurannya memerlukan
pengelolaan yang cermat agar tetap bertahan. Para petani harus bekerjasama untuk membangun saluran dan bak penampung yang diperlukan
untuk menyimpan air dari banjir. Seseorang perlu menegakkan pelaksanaan
kerjasama itu dan mengawasi pembagian adil air yang jumlahnya terbatas.
Seseorang harus memastikan bahwa para petani, yang menanam bebijian
lebih banyak daripada keperluan keluarganya, menjual makanan kepada
orang-orang bukan-petani (pembuat keranjang, perajin kulit, dan tukang
kayu) yang tidak menanam bebijian sendiri. Hanya di suatu tempat yang
tidak bersahabat dan liar birokrasi semacam ini—ciri khas sejati suatu peradaban—diperlukan. Di tempat-tempat yang benar-benar subur, yang
memiliki air berkelimpahan, makanan, buruan, mineral dan kayu, orangorang pada umumnya tidak memedulikannya.1
Di kawasan Sabit Subur, ketika desa-desa tumbuh menjadi kota, lebih
banyak orang yang harus mencukupi nafkahnya dengan lahan kering yang
jumlahnya sama. Kepemim-pinan yang kuat menjadi lebih perlu daripada
sebelumnya. Karena tuntutan kodrat menusia, para pemimpin kota memerlukan sejumlah sarana untuk menegakkan kuasa: orang-orang bersenjata yang
mengawasi pelaksanaan keputusan-keputusan pemimpin.
Pemimpin telah berubah menjadi raja.
Untuk orang Sumeria, yang berjuang untuk bertahan hidup di sebuah
lahan di mana air sesekali menggenangi ladang mereka ketika banjir, atau
sesekali lenyap sama sekali, sehingga panen tanaman terhampar disengat
matahari, martabat raja merupakan sebuah anugerah dari dewa-dewa. Tidak
terdapat taman asli untuk orang Sumeria: kota-kota, yang dilindungi terhadap banjir dan penjarah yang kelaparan oleh dinding bata lumpur yang tebal,
merupakan hunian manusia yang pertama dan terbaik. Kota Eridu, di mana
tahta kerajaan pertama kali turun dari surga, muncul kembali dalam
mitos-mitos orang Babilonia seperti Firdaus orang Sumeria yang diciptakan
oleh raja-dewa Marduk:
Seluruh daerah itu adalah laut....
Kemudian Eridu diciptakan....
Marduk membangun sebuah bingkai dari gelagah di permukaan air.
Ia menciptakan lumpur dan menuangkannya di dalam batas bingai gelagah itu....
Ia menciptakan manusia.4
Eridu tak lenyap lagi, berbeda dengan Firdaus Kitab Kejadian. Kota suci
itu tegak sebagai pemisah antara dunia lama orang pemburu serta pengumpul
dan dunia baru berperadaban.
Tetapi para pemburu dan pengumpul tidak sepenuhnya lenyap. Sejak
masa-masa awal kerajaan dan pembangunan kota-kota pertama, para petani
pemukim bertengkar dengan peternak dan gembala yang berpindah-pindah.
Raja kelima dalam daftar Sumeria adalah Dumuzi, yang (sebagaimana diceritakan oleh daftar itu, dengan sedikit nuansa keheranan) adalah seorang
gembala. Bahwasanya seorang gembala yang menjadi raja merupakan perpaduan pihak-pihak yang berlawanan menjadi jelas dalam ”Rayuan Inanna”,
sebuah cerita yang tokohnya Dunuzi dan dewai Inanna.∗
Dalam cerita ini
Dumuzi bukan hanya seorang gembala dan raja tetapi juga memiliki darah
dewa dalam tubuhnya; walaupun demikian, Inanna menganggap Dumuzi
tidak layak. ”Gembala itu akan tidur denganmu!” seru dewa matahari Utu,
tetapi Inanna (yang biasanya memberikan anugerah tanpa banyak keraguan)
menyanggah:
Gembala itu! Aku tidak akan menikah dengan gembala itu!
Pakaiannya kasar; bulu wolnya tidak halus.
Aku akan menikah dengan si petani.
Petani menanam rami untuk pakaianku.
Petani menanam gandun untuk mejaku.5
Dumuzi gigih merayu. Setelah berbantah sejenak mengenai keluarga siapa
yang lebih baik, Dumuzi berhasil meraih persetujuan untuk memasuki tempat
tidur Inanna dengan menawarkan kepadanya susu segar dengan krim; segera
saja Inanna menawarkan kepada-nya agar ia ”membajak sawahnya yang sudah
berair”. (Dumuzi menerima tawaran itu.)
Kecondongan Inanna kepada petani menggemakan sebuah ketegangan
nyata. Ketika dataran di selatan menjadi kering, kota-kota menjamur di
sepanjang tepi sungai. Tetapi, di balik kota-kota itu gurun belantara masih
menjadi padang penggembalaan domba dan kambing serta tempat bernaung
para pengembara yang tetap mempertahankan cara hidup mengembara.
Peternak dan petani saling membutuhkan; peternak memberi petani daging,
susu segar dan kain wol dengan imbalan bebijian untuk penyangga hidup.
Tetapi saling membutuhkan tidak menghasilkan sikap saling menghormati.
Penduduk kota memandang rendah peternak yang kasar dan dekil; peternak
menertawakan orang kota yang lembek dan merosot.
Di daerah kota dan raja-raja itu, delapan raja pertama Sumer adalah petani
dan pengembara sampai malapetaka datang menghantam.
S - tidak turun. Di padang dekat ujung
masin Teluk Parsi, seorang wanita tengah menuai bulir-bulir gandum yang
telah lisut. Di belakangnya, tembok kotanya menjulang di gelaran langit berwarna timbal. Tanah di bawah kakinya berbatu. Bak-bak penampung, yang
pernah terisi penuh dengan air banjir tahunan, kini hanya berisi air lumpur
setinggi satu inci. Saluran-saluran pengairan kering.
Setetes air mengelukkan debu di lengannya. Ia menengok ke atas memandang awan gemawan yang merayap dari cakrawala menuju bubungan langit.
Ia berteriak ke arah tembok kotanya, tetapi jalan-jalan sudah dipenuhi manusia, lelaki dan perempuan yang mendorong belanga, kuali, dan kerang yang
kering ke setiap rongga terbuka. Sangat sering angin badai bertiup menyapu
dataran saat demi saat.
Tetapi bukan kali ini. Tetes air melebat dan tercurah. Air mengumpul,
membentuk genangan, dan membengkak. Di kejauhan, sebuah deru yang
sangat dikenal menguat dan mengguncang bumi.
B- yang tidak memiliki sumur yang dalam, bendungan, atau persediaan air seperti di kota besar menghabiskan sebagian besar
waktu mereka untuk mencari air, menemukan air, mengangkut air, menyimpan air, menghitung berapa lamanya mereka masih dapat bertahan hidup
andai kata air tidak ditemukan, dan dengan cemas berdoa agar air jatuh dari
langit atau membual dari bumi di bawah. Tetapi di Mesopotamia, ketakutan
tak terduga akan air terdapat bersamaan dengan keprihatinan vital itu. Yang
jahat dan yang culas meriap di aiar dalam; air dapat membawa kehidupan,
tetapi bencana tidak jauh di belakangnya.
Sejarah bumi (demikian kata para ahli geologi) ditandai oleh bencanabencana besar yang tampaknya membasmi banyak golongan makhluk hidupseluruhnya. Tetapi hanya satu saja yang menggema di dalam kata-kata dan
cerita-cerita selusinan ras yang berbeda. Kita tidak memiliki sebuah cerita universal yang mulai dengan kata-kata ”Dan kemudian cuaca menjadi SANGAT,
SANGAT DINGIN.” Tetapi suatu ketika dalam ingatan bangsa manusia yang
hidup dan meninggalkan cerita, air mengancam kedudukan manusia yang
lemah di bumi. Sang sejarawan tidak dapat melupakan Air Bah; itulah hal yang
paling dekat dengan sebuah cerita universal yang dimiliki bangsa manusia.
Selain bahwa sebutan mengenai banjir itu singkat saja di dalam daftar
raja, cerita banjir Sumeria sampai kepada kita hanya secara tidak langsung,
setelah diterjemahkan ribuan tahun setelah peristiwa itu sendiri ke dalam bahasa Akadia (sebuah bahasa Semitik yang digunakan dalam percakapan di
Mesopotamia pada masa sesudahnya) dan terimpan di sebuah perpustakan
Asiria. Enlil, raja para dewata, menjadi sebal karena deru suara manusia di
bumi menghalanginya tidur; ia meyakinkan para dewa lainnya untuk membasmi umat manusia, tetapi dewa Ea, yang telah bersumpah akan melindungi
bangsa manusia, membocorkan berita persekongkolan itu kepada orang bijak
Utnapishtim di dalam mimpi.∗
Selanjutnya,
dewa-dewa tubir pun bangkit
bendungan-bendungan air di bawahnya ditumpahkan
ketujuh jaksa neraka membakar bumi dengan obor mereka
siang hari berubah menjadi kelam,
bumi dihempaskan bagaikan sebuah cangkir
air tercurah kepada orang-orang bagaikan gelombang peperangan.1
Utnapishtim, yang telah mendapat pemberitahuan, lolos dengan sebuah perahu bersama keluarganya, beberapa binatang, dan orang lain sebanyak yang
dapat ia selamatkan.
Versi Babilonia cerita ini disebut ”Puisi Atrahasis” (Atrahasis, jika diterjemahkan, berarti semacam ”Orang Super Bijak”). Atrahasis, raja paling arif
di dunia, diberitahu tentang bencana yang mengancam. Ia membuat sebuah
bahtera dan—karena mengetahui bahwa ia hanya dapat menyelamatkan sedikit orang saja—mengundang bawahan-bawahannya ke suatu perjamuan besar,
agar mereka mendapat satu hari terakhir yang penuh kegembiraan sebelum
datang akhir hidup mereka. Mereka makan dan minum, dan berterima kasih
kepadanya atas kebaikan hatinya; tetapi Atrahasis sendiri, yang mengetahui
bahwa perjamuan itu adalah pesta maut, berjalan maju mundur, pedih karena
sedih dan rasa bersalah.
Maka mereka makan dari sajiannya yang melimpah
dan minum sampai buntal,
tetapi yang ia lakukan hanyalah masuk dan keluar,
kembali masuk dan keluar lagi,
tanpa pernah duduk,
demikian sedih dan galaulah ia.2
Bahkan raja yang paling bijaksana di bumi pun tidak selalu dapat menjamin
kelangsung-an hidup bangsanya di hadapan bencana yang melanda.
Tetapi cerita air bah yang paling dikenal tentulah cerita yang dimuat
dalam Kitab Kejadian. Allah memutuskan untuk membersihkan ciptaanNya dari kebusukan, maka Ia mengatakan kepada Nuh, ”yang tanpa cela di
tengah bangsanya”, untuk membuat bahtera yang akan menyelamatkan dia
dan keluarganya dari kemusnahan. Hujan turun, dan ”sumber-sumber besar
di tempat dalam membual, dan gerbang-gerbang bah di langit dibuka”, dan
air menelan bumi.
Tiga kebudayaan, tiga cerita: terdapat terlalu banyak keserupaan detail
yang tak dapat diabaikan.∗
Ahli-ahli geologi abad kesembilan belas, dengan panduan Kitab Kejadian,
mencari jejak Air Bah dan sering menemukannya: lapisan geologis tak teratur, kerang di puncak gunung. Tetapi gerakan lambat lempeng-lempeng es
di atas bumi, sebuah teori yang pertama kali dikemukakan oleh Louis Agassiz
pada tahun 1840, juga menjelaskan banyak dari bentukan-bentukan geologis
yang sebelumnya dikaitkan dengan sebuah air bah sejagat. Teori itu lebih sejalan dengan kesepakatan ilmiah yang kian berkembang bahwa perkembangan
alam semesta seragam, bertahap, selalu terkena dampak proses-proses logis
yang sama, maju secara merata dengan sebuah pola yang mungkin diramalkan, yang di dalamnya kejadian-kejadian yang unik dan tak mungkin diulang
tidak mendapat tempat.3
Tetapi cerita-cerita Air Bah tetap ada. Mahasiswa penyelidik Mesopotamia
masih terus menekankan adanya banjir benar—bukan sebuah banjir sejagat, karena ini tidak lagi layak dihiraukan secara filsafati, tetapi suatu banjir
di Mesopotamia yang cukup merusak sehingga terus diingat selama ribuan
tahun. Ahli arkeologi Leonard Woolley, yang terkenal karena penggaliannya di
Ur, menulis, ”Kehancuran total bangsa manusia tentu saja tidak terjadi, juga
bukan kehancuran total penduduk delta itu... tetapi kehancurannya cukup
berarti sehingga menjadi sebuah titik tanda dalam sejarah dan mendeinisikan
suatu masa.”3
Dalam upaya mencari jejak-jejak sebuah banjir, Woolley (secara tak mengherankan) menemukannya: sebuah lapisan lumpur setebal tiga
meter yang memisahkan pemukiman awal Mesopotamia dari pemukiman
masa sesudahnya.
Sekitar tujuh puluh tahun kemudian, ahli geologi William Ryan dan
Walter Pitman mengemukakan bahwa cerita air bah menampilkan bukan
suatu banjir di Mesopotamia yang merusak melainkan sebuah genangan tetap,
”banjir yang tak surut... [yang] menghalau sebuah bangsa keluar dari tanah
tempat tinggal mereka sebelumna dan memaksa mereka menemukan suatu
tempat tinggal lain.”4 Ketika es mencair dan Laut Tengah naik, Selat Bosforus
yang waktu itu merupakan sebuah sekat tanah yang kokoh menyeruak terbuka. Laut Hitam menggenangi tepi-tepinya dan membentuk dasaran baru
dan menenggelamkan seterusnya desa-desa yang berada di tepinya; orangorang yang lolos berpindah ke selatan dan membawa serta kenangan akan
bencana itu.
Ada juga jawaban-jawaban yang kurang spektakuler yang dikemukakan.
Mungkin cerita banjir mewakili semacam kekhawatiran yang merata mengenai bencana banjir yang tentu saja merupakan kejadian tetap di dekat sungai
yang mengalir jalin jemalin di seluruh Mesopotamia.5
Atau mungkin cerita
banjir yang mengubah bumi itu mencerminkan pembentukan ulang tempat
kediaman orang Sumeria ketika Teluk Parsi melebar ke utara dan menenggelamkan desa-desa karena air pasang itu.
Semua penjelasan itu mempunyai kesulitan sendiri. Teori lapisan lumpur
Leonar Woolley, seperti yang terungkap dari penggalian lebih lanjut, terlalu
terbatas letaknya untuk sampai memukul penduduk Mesopotamia dengan
punahnya peradaban mereka. (Tanggalnya pun sekitar 2800 SM, tepat di
tengah zaman kebudayaan Sumeria.) Sulit digambarkan bagaimana banjir
pasang dan turun selama berabad-abad, yang setiap kali surut dan datang
lagi, dapat dibentuk menjadi satu peristiwa malapetaka saja yang mengubah
wajah bumi untuk seterusnya. Dan walaupun air pasang Teluk Parsi mungkin
menggenangi desa-desa, naiknya air jarang mencapai tiga puluh sentimeter
tiap sekitar sepuluh tahun, suatu hal yang mustahil menimbulkan kekhawatiran yang sungguh besar.
Teori Pitman dan Ryan—yang didasarkan atas percontoh-percontoh yang
diambil dari dasar Laut Hitam—lebih meminta perhatian. Tetapi banjir mereka bertanggal sekitar 7000 SM, yang meninggalkan sebuah pertanyaan tak
terjawab: Bagaimanakah cerita-cerita tentang sebuah banjir sejagat masuk ke
tradisi lisan bangsa sebanyak itu yang, dengan perhitungan mana pun, jauh
dari Mesopotamia pada tahun 7000 SM?
Di Cina, di mana dua kebudayaan pertanian mandiri—Yang-shao dan
Longshan—tumbuh pada abad-abad sezaman dengan masa orang Sumeria
membangun kota-kota mereka, seorang panglima perang pengkhianat mengoyak bubungan langit dan air turun dengan deras menggenangi seluruh
bumi dan menenggelamkan semua orang; satu-satunya yang selamat adalah
seorang ratu luhur yang mengungsi ke puncak gunung bersama sekelompok
kecil pejuang. Di India, seekor ikan memberitahukan kepada raja Manu yang
bijaksana bahwa sebuah banjir besar akan terjadi dan bahwa ia harus membuat sebuah perahu dan segera menaikinya ketika air mulai naik. ”Genangan
air menyapu habis ketiga dunia seluruhnya”, kata Rig Veda, ”dan hanya Manu
saja yang selamat.”6
Yang lebih menggelitik adalah cerita-cerita air bah dari benua Amerika,
yang sebagian memiliki kemiripan yang mengherankan dengan cerita-cerita
Mesopotamia (dan tampak-nya mendahului zaman para misionaris Kristiani
yang membawa serta Kitab Kejadian, walaupun hal itu tidak selalu pasti).
Dalam versi Maya, ”empat ratus anak lelaki” selamat dari banjir dengan
berubah menjadi ikan; kemudian, mereka merayakan keselamatan mereka
dengan mabuk-mabukan, dan pada saat itu mereka naik ke langit dan menjadi Pleiades. (Pembaca yang jeli akan mencatat kemiripan yang mengherankan
dengan cerita Nuh, di mana tanda-tanda juga tampak di langit, dan Nuh
menjadi sangat mabuk ketika ia berada kembali di daratan). Di Peru, seekor
llama menolak untuk makan; ketika pemiliknya menanyakan mengapa, llama
itu memberitahu dia bahwa dalam lima hari air akan naik dan menggenangi
bumi. Lelaki itu naik ke puncak gunung, selamat, dan menumbuhkan penduduk bumi lagi. (Tidak ada wanita yang naik ke gunung bersama dia, suatu
kelalaian yang menyedihkan.) Jika cerita-cerita air bah Amerika itu berkaitan
dengan cerita Mesopotamia, air bah tidak dapat terjadi pada tahun 7000 SM;
seperti yang dikemukakan sejarawan John Bright, bencana yang sama-sama
dialami tentu terjadi sebelum 10.000 SM, ketika para pemburu bermigrasi
menyeberangi Selat Bering.7
Jadi, apakah yang terjadi?
Air membanjiri dunia manusia; dan seseorang menduga, sebelum air bah
melanda, malapetaka tengah mendekat.
K , bumi mengering. Manusia mulai kembali, di sebuah dunia yang lebih keras daripada sebelumnya. Ada sesuatu yang hilang.
Dalam Kitab Kejadian, Nuh diberitahu bahwa kini diperbolehkan membunuh
seekor binatang untuk mendapat daging; dalam cerita air bah Sumeria, para
dewa menangisi kerusakan dunia yang ada sebelumnya:
Andaikan saja kelaparan yang merusak dunia
Bukannya air bah.
Andaikan saja wabah sampar yang membinasakan manusia
Bukannya air bah.8
Tentu bukan suatu kebetulan bahwa cerita-cerita penciptaan di banyak
negara berawal dengan air yang melimpah tak beraturan, yang harus surut
supaya manusia dapat memulai eksistensinya di daratan. Dalam cerita penciptaan Akadia yang ditemukan pada papan terpecah-pecah bersama dengan
Epik Gilgamesh, baris-baris awalnya berbunyi:
Ketika di atas langit tidak terangkat:
Dan di bawah di bumi tak sebatang tumbuhan pun tumbuh;
Tubir juga tidak membuka lebar batas-batasnya:
Khaos Tiamat adalah induk dari mereka semua.9
Pada penciptaan dunia, makhluk-laut Tiamat dibunuh dan separuh tubuhnya
dilontarkan ke langit, agar air masin pembawa maut tidak menutupi daratan
yang baru kering.
”Pada tahun dan hari awan-awan,” demikian kisah penciptaan Mixtec
mulai, ”dunia terselubungi kegelapan. Semua benda kacau dan air menutupi
lendut dan selut yang merupakan wujud bumi waktu itu.”10 ”Sesungguhnya”,
Satapatha-Brahmana India berkata, ”pada awal mula adalah air, tiada lainnya selain laut air.” ”Pada awal mula, di dalam kegelapan, tiada lainnya
selain air”, mitos Bantu berawal. Dan mungkin yang paling dikenal oleh
mereka yang lahir dalam iman Kristiani atau Yahudi adalah kata-kata Kitab
Kejadian: ”Pada mulanya, bumi belum terbentuk dan kosong; gelap gulita
menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air”.
Tidak dapat diketahui lagi apa yang dimusnahkan oleh air. Tetapi, seperti
banyak bangsa lainnya, orang Sumeria memiliki sebuah dongeng tentang
irdaus yang hilang. Dalam puisi Sumerian yang sangat kuno ”Enki dan
Ninhusag”, irdaus itu dilukiskan sebagai sebuah tempat di mana
Singa tidak membunuh,
Serigala tidak merenggut domba,
Anjing ajak, pelahap anak-anak, tidak dikenal,
Dia yang matanya melukai tidak berkata: ”Mataku melukai.”
Dia yang kepalanya pusing tidak berkata: ”Kepalaku pusing”.11
Tetapi kota impian, yang rimbun dengan pohon buah-buahan dan disegarkan oleh aliran sungai yang tak masin karena garam itu telah hilang bagi
manusia.
Kita sendiri masih dibuat terpukau oleh air, dan banjir yang disebabkannya pada bentangan yang kering dan tertata tempat kita hidup. Ingatlah saja
akan obsesi kita yang masih segar tentang Titanic; anjungan mulai miring, air
merayap naik, dan para opsir kapal yang memiliki irasat pasti akan datangnya
malapetaka tidak dapat berbuat apa pun untuk mencegahnya. Cerita tentang air
yang dalam masih terus menakutkan dan menarik untuk kita; seakan-akan, seperti yang dikemukakan ilsuf Richard Mouw, ”gambar-gambar yang berasosiasi
dengan ’air dalam yang marah’ memiliki daya yang lestari di dalam imajinasi
manusia, yang tidak memiliki kaitan sedikit pun dengan geograi kita”.12
Tetapi ini adalah bidang para ahli teologi dan ahli ilsafat. Sang sejarawan hanya dapat mengamati bahwa pemfermentasian bir tampaknya telah
ada bersama dengan adanya pertanian, dan bahwa anggur tertua dunia (yang
ditemukan di sebuah situs desa di wilayah Iran dewasa ini) berasal dari milenium keenam. Sejak manusia mulai menanam bebijian, ia sudah berusaha
meraih kembali, walaupun hanya sementara, dunia yang lebih menyenangkan
dan lebih ramah yang tak dapat lagi ditemukan di peta.
S A B, daftar raja Sumeria menceritakan kepada kita bahwa
kota Kish—di sebelah utara, dikelilingi ladang jagung—menjadi pusat baru
kerajaan. Daftar itu mulai lagi dengan sebuah seri raja-raja yang pada umumnya dikenal sebagai ”Dinasti Pertama Kish”. Penguasa pertama Kish adalah
seorang lelaki bernama Gaur; kemudian naiklah yang disebut dengan nama
megah Gulla-Nidaba-annapad; sesudah itu, bertahtalah sebanyak sembilan
belas raja sampai pada Enmebaraggesi, raja keduapuluh dua sesudah air bah.
Berkat inskripsi-inskripsi kita mengetahui bahwa enmebaraggesi memerintah sekitar 2700, tahun pertama yang dapat kita tetapkan untuk seorang raja
Sumeria.
Masih tinggal masalah penggambaran sejarah Sumer antara air bah Sumeria
(kapan pun kejadiannya) dan 2700 SM. Sesudah air bah, raja-raja tidak lagi
bertahta dalam kurun kelipatan dari tiga ribu enam ratus tahun bersih. Alihalih, masa pemerintahan silih berganti secara tidak rata dan menjadi semakin
singkat. Seluruhnya terdapat 22.985 tahun, 3 bulan, dan 3 hari antara air
bah dan waktu sebelum Enmebaraggesi naik tahta—tokoh yang manfaatnya untuk sejarah tidak sebesar yang mungkin diisyaratkan oleh ketepatan
masa kekuasannya. (Para sarjana sastra Sumeria condong menyebut raja-raja
sebelum air bah ”mitis” dan raja-raja sesudah air bah ”nyaris historis”, suatu
pemilahan yang tidak meyakinkan saya.)
Kebanyakan dari kedua puluh dua raja yang memerintah sebelum
Enmebaraggesi dilukiskan dengan sebuah frase tunggal: nama, lamanya masa
memerintah, itu saja. Satu-satunya kekecualian terletak sedikit lebih jauh
dari pertengahan daftar itu, ketika Etana, raja ketiga belas setelah air bah, sekonyong-konyong digambarkan secara berbeda dengan para pendahulunya
yang lukisannya datar saja.Etana, yakni dia yang naik ke langit,
Ia yang menyentosakan seluruh bumi,
Bertahta selama 1560 tahun sebagai raja;
Sedangkan Balih, anak lelaki Etana,
Bertahta selama 400 tahun.
Di sini terdapat unsur sejarah yang lebih besar daripada yang mungkin tampak pada awalnya.
K - mulai ada lagi, lembah telah memiliki bentuk serupa dengan wujudnya sekarang. Ujung Teluk Parsi telah maju ke utara. Aliran
sungai jalin jemalin yang dahulu membasahi lembah, karena cabang-cabangnya didorong menjauh oleh lumpur yang terus bertambah, telah menjadi dua
sungai besar yang airnya didapat dari anak-anak sungai yang berkelok-kelok.
Dewasa ini kedua sungai itu kita sebut Efrat dan Tigris, nama yang berasal
dari orang Yunani; pada masa lebih awal, sungai di sebelah barat disebut
Uruttu, sedang sungai di sebelah timur yang lebih deras dan lebih keras dinamai dengan sebutan cepatnya laju sebuah anak panah: Idiglat.1∗
Di antara kedua sungai itu tumbuhlah kota-kota. Ilmu arkeologi menyatakan bahwa para 3200 SM kelompok-kelompok besar penduduk desa berubah
seluruhnya cara hidupnya dan masuk ke kota-kota bertembok dalam suatu
gejala yang disebut ”membanjir masuk”.
Transisi itu tidak selalu damai. Kitab Kejadian dan cerita air bahnya yang
serupa memberikan sekilas pandangan yang menggelitik tentang perubahan
mendadak itu: Ketika Nuh mulai lagi, keturunannya menyebar ke seluruh
daerah itu. Di Shinar, nama Semit untuk dataran Mesopotamia selatan,
pembangunan kota digalakkan ke tingkat yang cukup tinggi. Terbawa oleh
keterampilan mereka sendiri, para penduduk kota memutus-kan untuk membangun sendiri sebuah menara yang menjulang ke langit, yang akan menjadi
bagi mereka sebuah tempat kebanggaan bukan saja di atas bumi tetapi melebihi Allah sendiri. Tindak kepongahan ini menyebabkan kekacauan bahasa,
keterasingan, dan bahkan peperangan.
Menara Babel, seperti air bah Kitab Suci, terletak di masa lampau yang
tak tertanggali. Tetapi ini membuka bagi kita sebuah jendela ke suatu dunia
di mana kota-kota dari bahan lumpur, bertembok dan bermenara, menyebar
ke seluruh Mesopotamia.1
Selusinan kota bertembok, masing-masing dikelilingi kawasan pinggiran yang terbentang sampai sepanjang sepuluh kilometer,
saling mendesak untuk meraih kekuasaan: Eridu, Ur, Uruk, Nippur, Adab,
Lagash, Kish, dan lebih banyak lagi. Barangkalai ada sebanyak empat puluh
ribu jiwa yang tinggal di pusat-pusat perkotaan kuno itu.
Tiap-tiap kota dilindungi oleh seorang dewa yang kuilnya menarik para
peziarah dari pedesaan di sekitarnya. Tiap-tiap kota juga menebarkan jaring kekuasaannya keluar ke daerah pedesaan, dan ingin menguasai semakin banyak
lahan. Para gembala dan peternak kawanan datang ke kota untuk menyampaikan persembahan kepada dewa-dewa, dan berjual beli—serta membayar pajak
yang dituntut oleh para imam dan raja. Mereka meng andalkan kota untuk berdagang dan beribadat, tetapi kota pun menuntut sebanyak yang diberikannya.
Struktur egaliter kelompok yang semula pemburu-pengumpul telah hancur.
Kini yang ada adalah sebuah hirarki: pertama kota, kedua pedesaan.
Sepuluh generasi (atau sekitar itu) setelah air bah, hirarki mendapat bentuk baru. Orang-orang lelaki me