Sabtu, 30 November 2024

dunia kuno 2

 



 Ketika ia 

menemukan jenazah saudaranya yang tenggelam, ia membungkuk di atas￾nya dan membangkitkan dia setengahnya. Osiris kembali memiliki hidup 

yang cukup untuk membuatnya hamil tetapi kurang kuat untuk tinggal 

di bumi. Sebaliknya, ia menjadi raja dunia bawah. Anak lelaki yang lahir dari Isis 

setelah Osiris turun ke dunia barunya, Horus, menjadi raja dunia kehi￾dupan.

Sebagai raja makhluk hidup, dewa Horus terkait dengan matahari, bin￾tang, dan bulan; dengan kata lain, ia adalah (seperti yang dinyatakan oleh 

ahli ilmu Mesir kuno Rudolf Anthes) “badan angkasa yang tampak jelas baik 

pada siang hari maupun malam hari… penguasa tetap langit, yang berbeda 

dengan matahari, tidak lenyap pada malam hari.” 4

 Kuasa Horus tidak lebur 

atau memudar.

Pharaoh-pharaoh Mesir awal mengklaim sebagai penjelmaan Horus di 

bumi serta menyandang kekuasaan yang tidak “lenyap di waktu malam”, atau 

dengan kematian. Sungguhpun demikian semua raja mati. Maka teologi Mesir 

membuat adaptasi terhadap hal yang tak terelakkan. Ketika pharaoh wafat, 

ia tidak lagi dipandang sebagai penjelmaan Horus. Sebaliknya ia menjadi 

penjelmaan Osiris, baik raja dunia bawah maupun ayah Horus, raja dunia 

kehidupan.*∗

 Kemudian anak lelaki pharaoh yang wafat menerima peran 

sebagai Horus yang menjelma, yang menunjukkan kegunaan praktis dari sistem semacam itu; itu memberikan sebuah cara yang rapi untuk melegitimasikan 

penguasa yang menggantikan. Raja yang baru tidaklah hanya anak lelaki 

raja yang lama. Dalam arti tertentu ia adalah reinkarnasi dari ayahnya. Para 

pharaoh mungkin saja wafat, tetapi kekuasaan rajawi yang nyata tak pernah 

runtuh menjadi debu. Raja Mesir pertama-tama dan terutama bukanlah 

seorang individu: bukan Narmer, Den, atau Djer. Ia adalah penyandang suatu 

Kekuasaan.

Para ahli sosiologi menyebut pengaturan ini “suksesi posisional”. Itu 

menjelaskan kecenderungan raja-raja Mesir untuk mengklaim nama-nama 

para pendahulu mereka; nama-nama itu bukan sekadar nama, melainkan 

penjelasan dari aspek-aspek tertentu martabat raja yang tidak mati.5

 Itu 

juga sedikit bisa menjelaskan kecenderungan untuk menikahi saudara 

perempuan (dan terkadang anak perempuan) sendiri. Ketika seorang pharaoh 

menggantikan ayahnya, ibunya (yakni istri pharaoh pendahulunya) dalam 

arti tertentu menjadi istrinya juga; bagaimana pun (dalam arti tertentu) ia 

telah menjadi ayahnya.6

 Baru beberapa abad kemudian Oedipus menghadapi 

masalah dalam hal ini. Untuk orang Mesir, keluarga ada tempat yang pasti 

untuk mendapatkan istri.

Adjib, raja keempat dari Dinasti Pertama, menambahkan sebuah gelar 

keterangan pada gelar rajawinya: sebutan nesu-bit. Walaupun kedua kata 

Mesir itu berarti “di atas” dan “di bawah”, nesu-bit tidak mengungkapkan 

kekuasaan pharaoh terhadap Mesir Hulu dan Mesir Hilir. Tetapi, nesu-bit

tampaknya mengacu kepada dunia di atas dan dunia di bawah. Nesu adalah 

kuasa pemerintahan ilahi, martabat rajawi atas yang beralih dari satu raja ke 

raja yang lain; bit adalah penyandang fana dari kuasa itu, raja di bawah.

7

Adjib, raja pertama yang mengklaim gelar itu, mendapat kesulitan untuk 

berpegang pada bit; mungkin contoh historis pertama dari protes yang terla￾lu banyak. Makamnya dikelilingi oleh enam puluh empat orang Mesir yang 

dikurbankan, suatu penghormatan terhadap posisinya sebagai penyandang 

martabat rajawi atas. Di pihak lain, kuburnya, monumen duniawi untuk raja 

di bawah, adalah yang paling jelek di Abydos. Yang lebih buruk lagi, namanya 

telah dihapus dari beberapa monumen di mana semula dipahat.

Yang menghapus namanya adalah Semerkhet, pharaoh penerusnya. 

Tindakannya menghilangkan nama pendahulunya merupakan usahanya 

untuk menulis ulang masa lampau. Jika nama-nama yang digunakan oleh 

para pharaoh untuk dirinya sendiri mengungkapkan kuasa abadi mereka 

terhadap martabat rajawi di atas, menuliskan nama itu, dengan tanda-tanda 

yang berkekuatan magis dari huruf hiroglif, menorehkan nama itu ke dalam 

rajutan dunia di bawah. Menghapus nama tertulis seorang pharaoh adalah 

menghapusnya dari kenangan duniawi.Usaha untuk menghapus Adjib mengisyaratkan bahwa Semerkhet ada￾lah seorang perebut, dalam sebutan terbaik, dan seorang pembunuh, dalam 

sebutan terburuk. Upayanya merebut martabat rajawi di bawah tampaknya 

berhasil; ia membangun sebuah makam yang bagus untuknya sendiri, yang 

jauh lebih besar daripada makam Adjib, dan menuangkan sedemikian banyak 

dupa suci ke dalamnya sehingga minyaknya meresap sedalam satu meter ke 

dalam tanah dan masih tercium baunya ketika kubur itu digali pada awal 

tahun 1990-an.8

 Tetapi usahanya untuk mengklaim nesu, martabat rajawi di 

atas, kurang berhasil. “Dalam masa pemerintahannya”, catat Manetho, “ter￾dapat banyak kejadian luar biasa, dan terjadi sebuah malapetaka besar”.

Catatan yang samar maksudnya itu bukan bubuhan dari seorang komen￾tator di masa kemudian. Tetapi tanah di sekitar Nil menunjukkan bahwa 

menjelang akhir Dinasti Pertama, luapan sungai Nil berkurang secara dra￾matis. Pada masa Dinasti Kedua, luapan itu rata-rata satu meter lebih rendah 

dibanding pada masa seratus tahun sebelumnya.9

 Jika luapan air yang kian 

berkurang telah mengakibatkan petani Mesir terjepit dalam himpitan ber￾kurangnya panen, titik pemicu ketidakpuasan mungkin telah timbul tepat 

ketika Semerkhet si perebut tengah sibuk menghapus monumen-monumen 

Adjib di seluruh Mesir.

Untuk kelangsungan hidupnya bangsa Mesir bertumpu pada perulangan 

luapan Nil yang tetap, suatu peristiwa yang dalam detailnya mungkin bervariasi 

dari tahun ke tahun, tetapi pada hakikatnya tetap sama. Horus sendiri juga 

membawa ciri kombinasi perubahan dan stabilitas yang sama: setiap terbit 

dan terbenamnya matahari adalah peristiwa yang berlainan, tetapi setiap pagi 

matahari terbit kembali di ufuk Timur. Gelar nesu-bit mengisyaratkan bahwa 

raja sendiri telah mulai menampilkan atribut ganda sebagai kuasa abadi yang 

tak berubah dan pewujudan duniawinya yang berubah-ubah. Raja, setelah 

dikuburkan, datang kembali sebagai anak lelakinya sendiri, serupa tetapi 

berlainan. Ia iBarat sebatang tanaman abadi yang muncul kembali dengan 

warna bunga yang berbeda tetapi dengan akar yang sama.

Bahasanya Semerkhet menghapus nama seorang pharaoh—inilah pertama 

kalinya hal itu terjadi, sejauh dapat kita ketahui—tentu merupakan sebuah 

penghinaan yang mengejutkan terhadap konsepsi martabat rajawi yang 

sedang bersemi ini, sesuatu seperti penemuan mendadak bahwa seorang paus 

yang telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan ex cathedra selama bertahun￾tahun ternyata telah dipilih akibat salah penghitungan suara Dewan Kardinal.*∗

Jika luapan Nil kemudian mulai berkurang, tanpa adanya kepastian kapan surutnya air yang sedemikian nyata itu akan berhenti, salah satu kepastian tak 

berubah yang mestinya dilestarikan dalam diri raja juga sekonyong-konyong 

berubah. Apakah yang akan terjadi setelah itu: apakah matahari akan berhenti 

terbit?

Pemerintahan Semerkhet berakhir dengan sebuah pergolakan di dalam 

wangsa kerajaan yang cukup radikal sehingga menyebabkan Manetho mulai 

menyebut sebuah “Dinasti Kedua”. Yang paling menyeramkan—bagi para 

pharaoh, kalau bukan bagi para pegawai istana—ialah bahwa pemakaman 

manusia kurban berhenti.

Tidaklah mungkin bahwa raja-raja Mesir tiba-tiba mengembangkan rasa 

hormat terhadap hidup manusia, seperti yang cenderung diisyaratkan oleh 

sebagian sejarawan (“Praktik pengorbanan manusia yang sia-sia itu berhenti 

bersama Dinasti Pertama”). Yang lebih mungkin, keterpercayaan klaim akan 

kekuasaan Horus yang tak dapat diragukan merosot tajam. Raja dari Dinasti 

Kedua tidak lagi dapat menuntut kurban manusia, mungkin karena ia tidak 

lagi dapat menjamin bahwa dia, dan hanya dia, saja yang menduduki posisi 

nesu-bit. Ia tidak lagi dapat menjanjikan bahwa ia memiliki hak yang tak 

dapat diragukan untuk mengiringi jiwa-jiwa itu melampaui cakrawala dalam 

prosesi rajawi.

Dalam Dinasti Kedua ini, yang pada umumnya dianggap mulai sekitar 

2890, terdapat suatu jumlah raja yang tidak tentu yang memerintah. Menyusul 

terjadinya kekeringan (bukti bahwa raja tidak pasti memiliki kuasa terhadap 

kehidupan dan kematian), pecahlah perang saudara yang berlangsung selama 

bertahun-tahun. Perang mencapai puncaknya selama pemerintahan raja 

sebelum yang terakhir, Sekemib, ketika sebuah inskripsi mencatat bahwa 

pasukan Selatan memerangi “musuh di Utara di kota Nekheb”.10 Nekheb, 

kota tua dewi burung bangkai, adalah paruh Timur Hierakonpolis. Letaknya 

lebih dari seratus lima puluh kilometer di sebelah Selatan Abydos, masuk jauh 

ke Mesir Hulu. Bahwasanya suatu pemberontakan Mesir Hilir dari Utara 

yang merambah begitu jauh mengisyaratkan bahwa selama Dinasti Kedua, 

wibawa Mesir Hulu terhadap kekaisaran hampirlah patah.

Walaupun Sekemib sendiri berasal dari Selatan, inskripsi-inskripsi yang 

memuat namanya mengisyaratkan bahwa ia mungkin bermuka-dua: seorang 

simpatisan dari Utara, bahkan mungkin berdarah Utara. Ia bukannya menu￾liskan gelar-gelarnya dengan tanda dewa Horus di sampingnya, melainkan di 

samping tanda dewa Set.

Set, saudara lelaki dan pembunuh Osiris (dan musuh anak Osiris, Horus), 

masih tetap lebih populer di Utara. Pada tahun-tahun terakhir ia dilukis 

dengan rambut merah dan jubah merah, yang mencerminkan warna Kerajaan 

Merah, Mesir Hilir. Ia adalah dewa angin dan badai; pembawa awan dan badai pasir, satu-satunya kekuatan yang mampu menggelapkan matahari dan 

menenggelamkannya di cakrawala sebelum waktunya.

Kebencian Set kepada saudaranya Osiris dan kepada anak saudara lelaki￾nya Horus lebih dari sekadar kecemburuan. Bagaimana pun, Set adalah relasi 

darah dengan raja para dewa. Ia juga merasa memiliki klaim untuk memerin￾tah seluruh Mesir. Cerita-cerita tua menegaskan kepada orang Mesir bahwa 

sesudah pembunuhan itu pun Set dan Horus bertengkar tentang persaingan 

klaim untuk menjadi yang terkuat, yang paling jantan, yang paling layak 

untuk memerintah bumi. Pada suatu ketika, pertengkaran mereka merosot 

menjadi perkelahian. Set berhasil mencungkil mata kiri Horus, tetapi Horus 

bisa mengatasi pamannya; ia merenggut buah pelir Set.

Tidak mudah membayangkan sebuah tekad yang lebih samar. Keduanya, 

sekaligus saudara dan musuh, berjuang memperebutkan hak untuk mewariskan 

suksesi. Horus merenggut kemampuan pamannya untuk melakukan itu 

dan akhirnya mewarisi tahta. Tetapi kecemburuan Set telah medorongnya 

untuk melakukan kejahatan yang paling tua di dunia, pembunuhan saudara 

sendiri.

Kebencian antara Set dan Horus merupakan cerminan permusuhan antara 

Utara dan Selatan, antara dua bangsa dengan darah yang sama. Kesetiaan 

Sekemib kepada Set dan bukan Horus menunjukkan bahwa pertikaian tentang 

siapa yang harus memerintah Mesir sungguh hidup dan nyata. Dan ketika ia 

wafat, seorang pemuja Horus bernama Khasekhem naik tahta dan mengang￾kat pedang. Ia mengerahkan pasukan Selatan dan melalui peperangan yang 

sengit mengalahkan musuh dari Utara. Dua patung duduk raja pemenang itu, 

keduanya ditemukan di Nekhen (paruh Barat Hierakonpolis), menampilkan 

dia dengan mengenakan hanya Mahkota Putih dari Mesir Hulu; di sekeliling 

alas tahtanya, potongan-potongan mayat orang-orang Utara mengonggok se￾bagai yang kalah.

Mesir telah bertahan melewati perang saudaranya yang pertama. Di bawah 

Khasekhem, seorang raja yang layak untuk diketahui dengan lebih baik, 

Mesir memasuki Dinasti Ketiga, suatu masa damai dan kemakmuran yang 

memungkinkan para pembangun piramida Mesir mengembangkan kesenian 

mereka.

Dinasti Ketiga memperoleh kekayaan dari usaha Khasekhem untuk 

membangun kembali jalur-jalur perdagangan. Penyerbuan bersenjata keluar 

dari Delta ditinggalkan, tetapi selama pemerintahan Khasekhem inskripsi￾inskripsi di kota pantai Byblos, yang melakukan perdagangan besar batang 

kayu aras yang ditebang dari lereng-lereng pegunungan di dekatnya, mulai 

mencatat kedatangan kapal-kapal dagang Mesir. Itu mungkin terjadi karena 

perkawinan politis Khasekhem; ia memperistri seorang putri dari Mesir Hilir, Nemathap, yang nama dan identitasnya tetap hidup karena ia kemudian diberi 

kehormatan ilahi sebagai ibu pendiri besar Dinasti Ketiga. Dan kedamaian itu 

dapat terjadi tidak hanya berkat kepanglimaan Khasekhem, melainkan berkat 

kepiawaiannya dalam menangani masalah Set.

Setelah perang berakhir, Khasekhem mengubah namanya. Tetapi alih-alih 

mengambil nama dari Utara yang akan menghormati Set, atau mengklaim 

sebuah gelar lain yang memuliakan Horus dari Selatan, ia memilih jalan 

tengah. Ia menjadi terkenal sebagai Khasekhemwy, “Penampakan Kedua 

Yang Berkuasa”—sebuah nama yang ditulis dengan gambar elang Horus 

dan sekaligus binatang Set di atasnya. Untuk sementara, kedua kuasa telah 

didamaikan.

Rekonsiliasi itu juga tercermin di dalam mitos-mitos tua juga. Setelah pe￾rang antara Horus dan Set, Horus memperoleh kembali matanya yang hilang 

dari Set dan memberi-kannya kepada ayahnya, yang kini diteguhkan sebagai 

Penguasa Orang Mati, sebagai penghormatan. Tetapi Set juga memperoleh 

buah pelir kembali.

Pertikaian antara kedua kekuasaan itu, walaupun imbang, belum sirna. 

Horus berhasil mempertahankan kekuasaannya atas Mesir, tetapi Set, yang 

kemampuannya untuk memiliki keturunan sebagai pewaris (secara teori, 

tentunya) telah pulih, terus merancang sebuah pengambilalihan secara ber￾musuhan. Dalam sejumlah seri cerita dari masa beberapa abad sesudahnya 

Horus dan Set terus melakukan perang kelihaian yang mencakup, antara lain, 

sperma Horus dan sehelai selada. Lelucon-lelucon yang hampir selalu meli￾batkan alat kelamin seseorang menutupi sebuah ancaman yang sebenarnya 

ada dan nyata. Kekuatan Set tidak berkurang. Ia tak pernah pergi. Ia selalu 

ada, melayang-layang, dan mengancam untuk mengganggu pewarisan nama 

nesu-bit yang sudah teratur itu dengan mendesakkan klaimnya sendiri.

Dalam versi-versi cerita Osiris yang lebih kemudian, Set tidak hanya 

menenggelamkan saudaranya; ia memereteli anggota badannya dan 

menyebarkan potongan-potongannya ke seluruh Mesir dalam upaya untuk 

menghapus namanya. Seribu tahun sesudahnya, Set telah menjadi Lucifer 

Mesir, pangeran kegelapan bermata merah, si Loki yang mengancam untuk 

membakar habis seluruh panteon.

Khasekhemwy, raja yang menyatukan Utara dan Selatan, memiliki sebuah 

makam yang besar di Abydos, berlimpahan emas, tembaga, dan marmer. Tetapi 

tanpa korban manusia. Tiada pegawai istana yang mengiringinya memasuki 

kematian. Perjuangan untuk mendapatkan tahta telah menunjukkan bahwa 

pharaoh bukan seorang dewa; orang lain dapat saja mengajukan klaim 

terhadap kekuasaannya.
























B-   , raja Sumeria Alulim memerintah Eridu: 

sebuah kota bertembok, sebuah kawasan yang dikeruk pada lembah sungai yang 

keras dan tak terdugai yang kemudian akan disebut Mesopotamia oleh orang 

Romawi. Naiknya Alulim ke tahta kekuasaan menandai mulainya peradaban 

dan masa pemerintahannya berlangsung selama hampir tiga puluh ribu tahun.

Orang Sumeria, yang hidup di suatu dunia di mana yang adikodrati dan 

yang terkait dengan materi belum ditempatkan pada kedua sisi lorong yang 

berbeda tentu tidak akan tersedak dengan bagian akhir dari kalimat itu. Di 

pihak lain, mereka tentu akan merasa bahwa penempatan Alulim pada ”awal 

mula peradaban” sangat sulit diterima. Dalam pikiran mereka, mereka sudah 

dari semula berperadaban. Tahta kerajaan Alulim, yang dicatat di dalam daf￾tar raja Sumeria (mungkin catatan sejarah tertua di dunia), ”turun dari surga: 

dan sudah dalam keadaan sempurna ketika turun ke bumi.

Namun bila memandang ke belakang kita melihat naiknya raja pertama 

dalam suatu perspektif yang berbeda. Itu adalah suatu perubahan sejati dalam 

kondisi manusia, awal dari suatu hubungan yang sama sekali baru antar bang￾sa, daerah mereka, dan pemimpin mereka.

Kita tidak dapat menetapkan tanggal kekuasaan Alulim, karena ia tidak 

disebut dalam satu dokumen mana pun lainnya dan karena kita tidak menge￾tahui seberapa tua daftar raja Sumeria itu sendiri. Daftar itu dipahat pada 

papan tanah liat pada suatu saat setelah 2100 SM, tetapi di dalamnya tentu 

terkandung suatu tradisi yang jauh lebih tua. Yang lebih lagi: kronologi yang 

disajikan oleh daftar raja Sumeria tidak sejalan benar dengan masa lampau 

seperti yang kita kenal. ”Setelah tahta kerajaan turun dari surga”, demikian 

tutur daftar raja itu, ”Alulim berkuasa sebagai raja selama 28000 tahun; [ahli 

warisnya] Alalgar berkuasa selama 36000 tahunPanjangnya masa kekuasaan ini mungkin mengisyaratkan bahwa kedua 

raja itu adalah setengah dewa, dan diangkat lebih dari mitologi daripada 

sejarah; atau mungkin hanya sekadar menyatakan bahwa Alulim dan ahli 

warisnya memerintah untuk waktu yang sangat panjang. Menurut orang 

Sumeria, terdapat delapan raja yang berkuasa sebelum bencana hebat dalam 

sejarah Sumeria terjadi dan ”Air bah melanda seluruh” daerah. Setiap raja 

berkuasa selama suatu masa kelipatan dari tiga ribu enam ratus tahun, yang 

mengisyaratkan bahwa daftar raja itu menggunakan suatu penghitungan yang 

tidak kita ketahui.*

Yang dapat kita lakukan ialah menempatkan raja pertama Sumeria pada 

masa lampau yang jauh. Kapan pun Alulim berkuasa, ia hidup di sebuah dae￾rah yang barangkali sangat berbeda dengan Mesopotamia yang kita ketahui 

sekarang, dengan dua sungai yang sudah dikenal—Tigris dan Efrat—yang 

mengalir ke Teluk Parsi. Para ahli geologi menyatakan bahwa tepat sebelum 

awal masa sejarah (tahun 11000 SM, walaupun sangat tidak tepat, memberi 

kita titik acuan), es membentang dari selubung kutub jauh di sebelah selatan 

dan hampir mencapai Laut Tengah. Dengan banyaknya air yang tertampung 

dalam es, tingginya samudera dan laut lebih rendah; ujung utara Teluk Parsi 

sendiri mungkin berupa sebuah dataran yang dialiri sungai, dan samudera 

menyusuri pantai yang letaknya secara kasar sejajar dengan negara modern 

Qatar. Hujan turun secara tetap, sehingga daerah itu cukup terairi.

Ketika iklim menjadi lebih panas dan selubung es mulai meleleh—suatu 

proses yang ditempatkan oleh para ahli geologi pada masa lima ribu tahun 

antara 11000 dan 6000 SM—samudera merayap naik melewati Qatar, dan 

wilayah Bahrain modern. Daerah permukiman mundur mengikuti naiknya 

air. Pada 6000 SM, Britania—yang semula merupakan sebuah tanjung yang 

menjorok dari Eropa—telah menjadi sebuah pulau dan pantai Teluk Parsi 

telah merayap naik ke perbatasan selatan Kuwait. Dataran yang terletak di 

sebelah utaranya tergenang air, bukan air kedua sungai, tetapi air paduan dari 

aliran-aliran yang kuat, yang alurnya masih dapat dilihat dalam foto satelit; 

Kitab Kejadian menggambarkan sebuah sungai dengan ”empat cabang” yang 

mengalir di seluruh dataran itu.2

Namun, walaupun dialiri oleh alur sungai bercabang-cabang itu daerah 

itu bertambah kering. Ketika es surut, suhu naik. Tepat di sebelah utara Teluk 

Parsi, curah hujan berkurang menjadi percikan-percikan jarang yang terjadi 

selama bulan-bulan musim dingin. Pada musim panas angin kering bertiup  menyapu dataran yang tak terlindung itu. Setiap tahun, aliran sungai mem￾bengkak melampaui tepi-tepinya dan menggenangi padang kemudian surut 

kembali ke dasar alur dan meninggalkan endapan. Endapan mulai bertimbun 

di tepi aliran-aliran sungai yang jalin menjalin itu dan memisahkannya satu 

sama lain. Dan Teluk Parsi terus merayap ke utara.

Orang-orang yang tinggal di dataran sebelah selatan, yang terdekat dengan 

Teluk Parsi, mempertahankan hidup dengan mengais-ngais suatu lingkungan 

alam yang berubah-ubah dan tak terdugai. Sekali setahun ladang mereka ter￾genang oleh air yang terlalu besar. Begitu banjir surut, tanah mengering dan 

mengeras. Mereka tidak mempunyai batu, hutan sebagai sumber kayu, atau 

padang rumput yang luas; yang ada hanya gelagah yang tumbuh di sepanjang 

tepi sungai dan banyak lumpur. Lumpur yang dibentuk dan dikeringkan, di￾campur dengan gelagah dan dibakar, menjadi pondasi rumah mereka, bata 

yang membentuk tembok kota, tembikar dan piring mereka. Mereka adalah 

penghuni bumi.*

Bahasa yang digunakan oleh para pemukim itu—bahasa Sumeria—tam￾paknya tidak terkait dengan satu bahasa mana pun lainnya di dunia. Tetapi 

pada waktu orang Sumeria mulai menulis, bahasa mereka dibumbui kata￾kata dari sebuah bahasa lain. Kata-kata Sumeria dibentuk atas dasar suatu 

akar yang terdiri dari satu suku-kata, tetapi lusinan kata dari inskripsi yang 

paling tua memiliki akar dua suku-kata yang tidak lazim: nama kedua sungai 

yang paling besar yang mengaliri dataran, nama-nama petani, nelayan, tukang 

kayu, penganyam dan selusinan bidang pekerjaan lain, bahkan nama kota 

Eridu sendiri. 

Kata-kata itu berasal dari bahasa Semit, dan itu membuktikan bahwa orang 

Sumeria tidak menjadi satu-satunya penghuni di dataran selatan. Kata-kata 

bahasa Semit itu milik sebuah bangsa yang tanah airnya terletak di sebelah 

barat dan sebelah selatan dataran Mesopotamia. Pegunungan di sebelah utara 

dan di sebelah timur Mesopotamia menggen-tarkan para pengembara, tetapi 

perjalanan naik dari jazirah Arab atau bahkan dari Afrika utara merupakan 

pilihan yang jauh lebih sederhana. Itulah yang dilakukan oleh orang Semit; 

mereka masuk bermukim bersama orang Sumeria dan menyumbangkan 

kata-kata bahasa mereka kepada orang Sumeria. Dan bukan kata-kata belaka: 

kata-kata pinjaman dari bahasa Semit hampir semuanya merupakan nama￾nama teknik pertanian (bajak, alur bajak) dan mata pencaharian tenang yang 

menyertai pertanian (pembuat keranjang, perajin kulit, tukang kayu). Orang 

Semitlah yang membawa berbagai keterampilan itu ke Mesopotamia, bukan 

orang Sumeria.*

Jadi, bagaimanakah orang Semit belajar bertani?

Barangkali secara bertahap-tahap, seperti bangsa-bangsa yang berdiam 

di Eropa dan lebih jauh lagi ke utara. Mungkin, ketika lempeng-lempeng 

es surut dan kawanan ternak sumber daging bergerak ke utara dan menjadi 

lebih kurus, para pemburu yang mengikuti gerak kawanan itu menghentikan 

perburuan daging secara purna waktu dan beralih menuai bebijian liar yang 

tumbuh di dataran yang lebih panas, sambil berpindah tempat hanya ketika 

cuaca berubah (seperti yang masih dilakukan oleh penduduk asli Amerika 

Utara di Kanada zaman ini ketika Jacques Cartier tiba di sana). Boleh jadi 

para bekas pengembara itu meningkat lagi dari penuai bebijian liar menjadi 

penanam dan pengembang bebijian liar, dan akhirnya tidak lagi mengembara 

sama sekali serta memilih hidup di desa sepenuhnya. Lelaki dan wanita yang 

kecukupan pangannya menghasilkan jumlah anak yang lebih besar. Sabit 

dan batu penggiling yang ditemukan dari wilayah Turki modern sampai ke 

lembah Nil mengisyaratkan bahwa ketika anak-anak menjadi dewasa, me￾reka meninggalkan desa mereka yang sudah terlalu banyak penduduknya dan 

berpindah ke tempat lain, sambil membawa keterampilan bertani mereka dan 

mengajar-kannya kepada orang-orang lain.

Cerita-cerita kuno menambahkan suatu hal baru lain lagi pada kisah ini: 

ketika orang Sumeria yang kena pengaruh orang Semit menanam tanaman 

pangan di sekitar desa mereka, kehidupan mereka menjadi lebih rumit se￾hingga mereka memerlukan seorang raja guna membantu menguraikan 

masalah-masalah mereka. 

Masuklah Alulim, raja Eridu, dan peradaban pun mulai.

Mudah saja menjadi berlebihan tentang ”awal peradaban”. Bagaimana 

pun, peradaban adalah sesuatu yang memisahkan kita dari kekacauan. Kota 

yang berperadaban memiliki tembok yang memisahkan jalan-jalan yang ter￾atur dari padang belantara di luarnya. Peradaban, seperti yang dijelaskan ahli 

arkeologi Stuart Piggott dalam kata pengantar untuk telaah klasik Sumer kuno 

Max Mallowan, adalah hasil dari suatu ketidakpuasan penuh keberanian ter￾hadap status quo: “Secara sporadis”, tulis Piggott, “muncullah bangsa-bangsa 

yang menemukan kepuasan dan kelegaan dalam inovasi dan perubahan, 

bukan dalam ketaatan kepada tradisi: kalangan-kalangan yang melakukan 

pembaharuan itu adalah mereka yang dapat kita golongkan sebagai pendiri 

peradaban.”

Sesungguhnya, peradaban tampak sebagai hasil dari suatu dorongan 

yang lebih dasar: memastikan bahwa tak seorang pun merebut terlalu ba￾nyak makanan atau air. Peradaban berawal di Sabit Subur, bukan karena itu 

adalah suatu tempat bagaikan Firdaus yang melimpah sumber daya alam￾nya, tetapi karena kawasan itu sedemikian keras perlawanan-nya terhadap 

pemukiman sehingga sebuah desa seberapa pun ukurannya memerlukan 

pengelolaan yang cermat agar tetap bertahan. Para petani harus bekerja￾sama untuk membangun saluran dan bak penampung yang diperlukan 

untuk menyimpan air dari banjir. Seseorang perlu menegakkan pelaksanaan 

kerjasama itu dan mengawasi pembagian adil air yang jumlahnya terbatas. 

Seseorang harus memastikan bahwa para petani, yang menanam bebijian 

lebih banyak daripada keperluan keluarganya, menjual makanan kepada 

orang-orang bukan-petani (pembuat keranjang, perajin kulit, dan tukang 

kayu) yang tidak menanam bebijian sendiri. Hanya di suatu tempat yang 

tidak bersahabat dan liar birokrasi semacam ini—ciri khas sejati suatu pe￾radaban—diperlukan. Di tempat-tempat yang benar-benar subur, yang 

memiliki air berkelimpahan, makanan, buruan, mineral dan kayu, orang￾orang pada umumnya tidak memedulikannya.1

Di kawasan Sabit Subur, ketika desa-desa tumbuh menjadi kota, lebih 

banyak orang yang harus mencukupi nafkahnya dengan lahan kering yang 

jumlahnya sama. Kepemim-pinan yang kuat menjadi lebih perlu daripada 

sebelumnya. Karena tuntutan kodrat menusia, para pemimpin kota memer￾lukan sejumlah sarana untuk menegakkan kuasa: orang-orang bersenjata yang 

mengawasi pelaksanaan keputusan-keputusan pemimpin.

Pemimpin telah berubah menjadi raja.

Untuk orang Sumeria, yang berjuang untuk bertahan hidup di sebuah 

lahan di mana air sesekali menggenangi ladang mereka ketika banjir, atau 

sesekali lenyap sama sekali, sehingga panen tanaman terhampar disengat 

matahari, martabat raja merupakan sebuah anugerah dari dewa-dewa. Tidak 

terdapat taman asli untuk orang Sumeria: kota-kota, yang dilindungi terha￾dap banjir dan penjarah yang kelaparan oleh dinding bata lumpur yang tebal, 

merupakan hunian manusia yang pertama dan terbaik. Kota Eridu, di mana 

tahta kerajaan pertama kali turun dari surga, muncul kembali dalam 

mitos-mitos orang Babilonia seperti Firdaus orang Sumeria yang diciptakan 

oleh raja-dewa Marduk:

Seluruh daerah itu adalah laut....

Kemudian Eridu diciptakan....

Marduk membangun sebuah bingkai dari gelagah di permukaan air.

 Ia menciptakan lumpur dan menuangkannya di dalam batas bingai ge￾lagah itu....

Ia menciptakan manusia.4

Eridu tak lenyap lagi, berbeda dengan Firdaus Kitab Kejadian. Kota suci 

itu tegak sebagai pemisah antara dunia lama orang pemburu serta pengumpul 

dan dunia baru berperadaban.

Tetapi para pemburu dan pengumpul tidak sepenuhnya lenyap. Sejak 

masa-masa awal kerajaan dan pembangunan kota-kota pertama, para petani 

pemukim bertengkar dengan peternak dan gembala yang berpindah-pindah.

Raja kelima dalam daftar Sumeria adalah Dumuzi, yang (sebagaimana di￾ceritakan oleh daftar itu, dengan sedikit nuansa keheranan) adalah seorang 

gembala. Bahwasanya seorang gembala yang menjadi raja merupakan perpa￾duan pihak-pihak yang berlawanan menjadi jelas dalam ”Rayuan Inanna”, 

sebuah cerita yang tokohnya Dunuzi dan dewai Inanna.∗

 Dalam cerita ini 

Dumuzi bukan hanya seorang gembala dan raja tetapi juga memiliki darah 

dewa dalam tubuhnya; walaupun demikian, Inanna menganggap Dumuzi 

tidak layak. ”Gembala itu akan tidur denganmu!” seru dewa matahari Utu, 

tetapi Inanna (yang biasanya memberikan anugerah tanpa banyak keraguan) 

menyanggah:

Gembala itu! Aku tidak akan menikah dengan gembala itu!

Pakaiannya kasar; bulu wolnya tidak halus.

Aku akan menikah dengan si petani.

Petani menanam rami untuk pakaianku.

Petani menanam gandun untuk mejaku.5

Dumuzi gigih merayu. Setelah berbantah sejenak mengenai keluarga siapa 

yang lebih baik, Dumuzi berhasil meraih persetujuan untuk memasuki tempat 

tidur Inanna dengan menawarkan kepadanya susu segar dengan krim; segera 

saja Inanna menawarkan kepada-nya agar ia ”membajak sawahnya yang sudah 

berair”. (Dumuzi menerima tawaran itu.)

Kecondongan Inanna kepada petani menggemakan sebuah ketegangan 

nyata. Ketika dataran di selatan menjadi kering, kota-kota menjamur di


sepanjang tepi sungai. Tetapi, di balik kota-kota itu gurun belantara masih 

menjadi padang penggembalaan domba dan kambing serta tempat bernaung 

para pengembara yang tetap mempertahankan cara hidup mengembara. 

Peternak dan petani saling membutuhkan; peternak memberi petani daging, 

susu segar dan kain wol dengan imbalan bebijian untuk penyangga hidup. 

Tetapi saling membutuhkan tidak menghasilkan sikap saling menghormati. 

Penduduk kota memandang rendah peternak yang kasar dan dekil; peternak 

menertawakan orang kota yang lembek dan merosot. 

Di daerah kota dan raja-raja itu, delapan raja pertama Sumer adalah petani 

dan pengembara sampai malapetaka datang menghantam.



S -  tidak turun. Di padang dekat ujung 

masin Teluk Parsi, seorang wanita tengah menuai bulir-bulir gandum yang 

telah lisut. Di belakangnya, tembok kotanya menjulang di gelaran langit ber￾warna timbal. Tanah di bawah kakinya berbatu. Bak-bak penampung, yang 

pernah terisi penuh dengan air banjir tahunan, kini hanya berisi air lumpur 

setinggi satu inci. Saluran-saluran pengairan kering.

Setetes air mengelukkan debu di lengannya. Ia menengok ke atas meman￾dang awan gemawan yang merayap dari cakrawala menuju bubungan langit. 

Ia berteriak ke arah tembok kotanya, tetapi jalan-jalan sudah dipenuhi manu￾sia, lelaki dan perempuan yang mendorong belanga, kuali, dan kerang yang 

kering ke setiap rongga terbuka. Sangat sering angin badai bertiup menyapu 

dataran saat demi saat.

 Tetapi bukan kali ini. Tetes air melebat dan tercurah. Air mengumpul, 

membentuk genangan, dan membengkak. Di kejauhan, sebuah deru yang 

sangat dikenal menguat dan mengguncang bumi.

B-  yang tidak memiliki sumur yang dalam, bendung￾an, atau persediaan air seperti di kota besar menghabiskan sebagian besar 

waktu mereka untuk mencari air, menemukan air, mengangkut air, menyim￾pan air, menghitung berapa lamanya mereka masih dapat bertahan hidup 

andai kata air tidak ditemukan, dan dengan cemas berdoa agar air jatuh dari 

langit atau membual dari bumi di bawah. Tetapi di Mesopotamia, ketakutan 

tak terduga akan air terdapat bersamaan dengan keprihatinan vital itu. Yang 

jahat dan yang culas meriap di aiar dalam; air dapat membawa kehidupan, 

tetapi bencana tidak jauh di belakangnya.

Sejarah bumi (demikian kata para ahli geologi) ditandai oleh bencana￾bencana besar yang tampaknya membasmi banyak golongan makhluk hidupseluruhnya. Tetapi hanya satu saja yang menggema di dalam kata-kata dan 

cerita-cerita selusinan ras yang berbeda. Kita tidak memiliki sebuah cerita uni￾versal yang mulai dengan kata-kata ”Dan kemudian cuaca menjadi SANGAT, 

SANGAT DINGIN.” Tetapi suatu ketika dalam ingatan bangsa manusia yang 

hidup dan meninggalkan cerita, air mengancam kedudukan manusia yang 

lemah di bumi. Sang sejarawan tidak dapat melupakan Air Bah; itulah hal yang 

paling dekat dengan sebuah cerita universal yang dimiliki bangsa manusia. 

Selain bahwa sebutan mengenai banjir itu singkat saja di dalam daftar 

raja, cerita banjir Sumeria sampai kepada kita hanya secara tidak langsung, 

setelah diterjemahkan ribuan tahun setelah peristiwa itu sendiri ke dalam ba￾hasa Akadia (sebuah bahasa Semitik yang digunakan dalam percakapan di 

Mesopotamia pada masa sesudahnya) dan terimpan di sebuah perpustakan 

Asiria. Enlil, raja para dewata, menjadi sebal karena deru suara manusia di 

bumi menghalanginya tidur; ia meyakinkan para dewa lainnya untuk mem￾basmi umat manusia, tetapi dewa Ea, yang telah bersumpah akan melindungi 

bangsa manusia, membocorkan berita persekongkolan itu kepada orang bijak 

Utnapishtim di dalam mimpi.∗

 Selanjutnya,

dewa-dewa tubir pun bangkit

bendungan-bendungan air di bawahnya ditumpahkan

ketujuh jaksa neraka membakar bumi dengan obor mereka

siang hari berubah menjadi kelam,

bumi dihempaskan bagaikan sebuah cangkir

air tercurah kepada orang-orang bagaikan gelombang peperangan.1

Utnapishtim, yang telah mendapat pemberitahuan, lolos dengan sebuah pe￾rahu bersama keluarganya, beberapa binatang, dan orang lain sebanyak yang 

dapat ia selamatkan.

Versi Babilonia cerita ini disebut ”Puisi Atrahasis” (Atrahasis, jika diter￾jemahkan, berarti semacam ”Orang Super Bijak”). Atrahasis, raja paling arif 

di dunia, diberitahu tentang bencana yang mengancam. Ia membuat sebuah 

bahtera dan—karena mengetahui bahwa ia hanya dapat menyelamatkan sedi￾kit orang saja—mengundang bawahan-bawahannya ke suatu perjamuan besar, 

agar mereka mendapat satu hari terakhir yang penuh kegembiraan sebelum 

datang akhir hidup mereka. Mereka makan dan minum, dan berterima kasih 

kepadanya atas kebaikan hatinya; tetapi Atrahasis sendiri, yang mengetahui 

bahwa perjamuan itu adalah pesta maut, berjalan maju mundur, pedih karena 

sedih dan rasa bersalah.

Maka mereka makan dari sajiannya yang melimpah

dan minum sampai buntal,

tetapi yang ia lakukan hanyalah masuk dan keluar,

kembali masuk dan keluar lagi,

tanpa pernah duduk,

demikian sedih dan galaulah ia.2

 

Bahkan raja yang paling bijaksana di bumi pun tidak selalu dapat menjamin 

kelangsung-an hidup bangsanya di hadapan bencana yang melanda.

Tetapi cerita air bah yang paling dikenal tentulah cerita yang dimuat 

dalam Kitab Kejadian. Allah memutuskan untuk membersihkan ciptaan￾Nya dari kebusukan, maka Ia mengatakan kepada Nuh, ”yang tanpa cela di 

tengah bangsanya”, untuk membuat bahtera yang akan menyelamatkan dia 

dan keluarganya dari kemusnahan. Hujan turun, dan ”sumber-sumber besar 

di tempat dalam membual, dan gerbang-gerbang bah di langit dibuka”, dan 

air menelan bumi.

Tiga kebudayaan, tiga cerita: terdapat terlalu banyak keserupaan detail 

yang tak dapat diabaikan.∗

Ahli-ahli geologi abad kesembilan belas, dengan panduan Kitab Kejadian, 

mencari jejak Air Bah dan sering menemukannya: lapisan geologis tak ter￾atur, kerang di puncak gunung. Tetapi gerakan lambat lempeng-lempeng es 

di atas bumi, sebuah teori yang pertama kali dikemukakan oleh Louis Agassiz 

pada tahun 1840, juga menjelaskan banyak dari bentukan-bentukan geologis 

yang sebelumnya dikaitkan dengan sebuah air bah sejagat. Teori itu lebih seja￾lan dengan kesepakatan ilmiah yang kian berkembang bahwa perkembangan 

alam semesta seragam, bertahap, selalu terkena dampak proses-proses logis 

yang sama, maju secara merata dengan sebuah pola yang mungkin diramal￾kan, yang di dalamnya kejadian-kejadian yang unik dan tak mungkin diulang 

tidak mendapat tempat.3

Tetapi cerita-cerita Air Bah tetap ada. Mahasiswa penyelidik Mesopotamia 

masih terus menekankan adanya banjir benar—bukan sebuah banjir seja￾gat, karena ini tidak lagi layak dihiraukan secara filsafati, tetapi suatu banjir 

di Mesopotamia yang cukup merusak sehingga terus diingat selama ribuan 

tahun. Ahli arkeologi Leonard Woolley, yang terkenal karena penggaliannya di 

Ur, menulis, ”Kehancuran total bangsa manusia tentu saja tidak terjadi, juga 

bukan kehancuran total penduduk delta itu... tetapi kehancurannya cukup

berarti sehingga menjadi sebuah titik tanda dalam sejarah dan mendeinisikan 

suatu masa.”3

 Dalam upaya mencari jejak-jejak sebuah banjir, Woolley (seca￾ra tak mengherankan) menemukannya: sebuah lapisan lumpur setebal tiga 

meter yang memisahkan pemukiman awal Mesopotamia dari pemukiman 

masa sesudahnya. 

Sekitar tujuh puluh tahun kemudian, ahli geologi William Ryan dan 

Walter Pitman mengemukakan bahwa cerita air bah menampilkan bukan 

suatu banjir di Mesopotamia yang merusak melainkan sebuah genangan tetap, 

”banjir yang tak surut... [yang] menghalau sebuah bangsa keluar dari tanah 

tempat tinggal mereka sebelumna dan memaksa mereka menemukan suatu 

tempat tinggal lain.”4 Ketika es mencair dan Laut Tengah naik, Selat Bosforus 

yang waktu itu merupakan sebuah sekat tanah yang kokoh menyeruak ter￾buka. Laut Hitam menggenangi tepi-tepinya dan membentuk dasaran baru 

dan menenggelamkan seterusnya desa-desa yang berada di tepinya; orang￾orang yang lolos berpindah ke selatan dan membawa serta kenangan akan 

bencana itu.

Ada juga jawaban-jawaban yang kurang spektakuler yang dikemukakan. 

Mungkin cerita banjir mewakili semacam kekhawatiran yang merata menge￾nai bencana banjir yang tentu saja merupakan kejadian tetap di dekat sungai 

yang mengalir jalin jemalin di seluruh Mesopotamia.5

 Atau mungkin cerita 

banjir yang mengubah bumi itu mencerminkan pembentukan ulang tempat 

kediaman orang Sumeria ketika Teluk Parsi melebar ke utara dan meneng￾gelamkan desa-desa karena air pasang itu.

Semua penjelasan itu mempunyai kesulitan sendiri. Teori lapisan lumpur 

Leonar Woolley, seperti yang terungkap dari penggalian lebih lanjut, terlalu 

terbatas letaknya untuk sampai memukul penduduk Mesopotamia dengan 

punahnya peradaban mereka. (Tanggalnya pun sekitar 2800 SM, tepat di 

tengah zaman kebudayaan Sumeria.) Sulit digambarkan bagaimana banjir 

pasang dan turun selama berabad-abad, yang setiap kali surut dan datang 

lagi, dapat dibentuk menjadi satu peristiwa malapetaka saja yang mengubah 

wajah bumi untuk seterusnya. Dan walaupun air pasang Teluk Parsi mungkin 

menggenangi desa-desa, naiknya air jarang mencapai tiga puluh sentimeter 

tiap sekitar sepuluh tahun, suatu hal yang mustahil menimbulkan kekhawatir￾an yang sungguh besar.

Teori Pitman dan Ryan—yang didasarkan atas percontoh-percontoh yang 

diambil dari dasar Laut Hitam—lebih meminta perhatian. Tetapi banjir me￾reka bertanggal sekitar 7000 SM, yang meninggalkan sebuah pertanyaan tak 

terjawab: Bagaimanakah cerita-cerita tentang sebuah banjir sejagat masuk ke 

tradisi lisan bangsa sebanyak itu yang, dengan perhitungan mana pun, jauh 

dari Mesopotamia pada tahun 7000 SM?

Di Cina, di mana dua kebudayaan pertanian mandiri—Yang-shao dan 

Longshan—tumbuh pada abad-abad sezaman dengan masa orang Sumeria 

membangun kota-kota mereka, seorang panglima perang pengkhianat me￾ngoyak bubungan langit dan air turun dengan deras menggenangi seluruh 

bumi dan menenggelamkan semua orang; satu-satunya yang selamat adalah 

seorang ratu luhur yang mengungsi ke puncak gunung bersama sekelompok 

kecil pejuang. Di India, seekor ikan memberitahukan kepada raja Manu yang 

bijaksana bahwa sebuah banjir besar akan terjadi dan bahwa ia harus mem￾buat sebuah perahu dan segera menaikinya ketika air mulai naik. ”Genangan 

air menyapu habis ketiga dunia seluruhnya”, kata Rig Veda, ”dan hanya Manu 

saja yang selamat.”6

Yang lebih menggelitik adalah cerita-cerita air bah dari benua Amerika, 

yang sebagian memiliki kemiripan yang mengherankan dengan cerita-cerita 

Mesopotamia (dan tampak-nya mendahului zaman para misionaris Kristiani 

yang membawa serta Kitab Kejadian, walaupun hal itu tidak selalu pasti). 

Dalam versi Maya, ”empat ratus anak lelaki” selamat dari banjir dengan 

berubah menjadi ikan; kemudian, mereka merayakan keselamatan mereka 

dengan mabuk-mabukan, dan pada saat itu mereka naik ke langit dan menja￾di Pleiades. (Pembaca yang jeli akan mencatat kemiripan yang mengherankan 

dengan cerita Nuh, di mana tanda-tanda juga tampak di langit, dan Nuh 

menjadi sangat mabuk ketika ia berada kembali di daratan). Di Peru, seekor 

llama menolak untuk makan; ketika pemiliknya menanyakan mengapa, llama 

itu memberitahu dia bahwa dalam lima hari air akan naik dan menggenangi 

bumi. Lelaki itu naik ke puncak gunung, selamat, dan menumbuhkan pen￾duduk bumi lagi. (Tidak ada wanita yang naik ke gunung bersama dia, suatu

kelalaian yang menyedihkan.) Jika cerita-cerita air bah Amerika itu berkaitan 

dengan cerita Mesopotamia, air bah tidak dapat terjadi pada tahun 7000 SM; 

seperti yang dikemukakan sejarawan John Bright, bencana yang sama-sama 

dialami tentu terjadi sebelum 10.000 SM, ketika para pemburu bermigrasi 

menyeberangi Selat Bering.7

Jadi, apakah yang terjadi?

Air membanjiri dunia manusia; dan seseorang menduga, sebelum air bah 

melanda, malapetaka tengah mendekat.

K   , bumi mengering. Manusia mulai kembali, di se￾buah dunia yang lebih keras daripada sebelumnya. Ada sesuatu yang hilang. 

Dalam Kitab Kejadian, Nuh diberitahu bahwa kini diperbolehkan membunuh 

seekor binatang untuk mendapat daging; dalam cerita air bah Sumeria, para 

dewa menangisi kerusakan dunia yang ada sebelumnya:

Andaikan saja kelaparan yang merusak dunia

Bukannya air bah.

Andaikan saja wabah sampar yang membinasakan manusia

Bukannya air bah.8

Tentu bukan suatu kebetulan bahwa cerita-cerita penciptaan di banyak 

negara berawal dengan air yang melimpah tak beraturan, yang harus surut 

supaya manusia dapat memulai eksistensinya di daratan. Dalam cerita pen￾ciptaan Akadia yang ditemukan pada papan terpecah-pecah bersama dengan 

Epik Gilgamesh, baris-baris awalnya berbunyi:

Ketika di atas langit tidak terangkat:

Dan di bawah di bumi tak sebatang tumbuhan pun tumbuh;

Tubir juga tidak membuka lebar batas-batasnya:

Khaos Tiamat adalah induk dari mereka semua.9

Pada penciptaan dunia, makhluk-laut Tiamat dibunuh dan separuh tubuhnya 

dilontarkan ke langit, agar air masin pembawa maut tidak menutupi daratan 

yang baru kering.

”Pada tahun dan hari awan-awan,” demikian kisah penciptaan Mixtec 

mulai, ”dunia terselubungi kegelapan. Semua benda kacau dan air menutupi 

lendut dan selut yang merupakan wujud bumi waktu itu.”10 ”Sesungguhnya”, 

Satapatha-Brahmana India berkata, ”pada awal mula adalah air, tiada lain￾nya selain laut air.” ”Pada awal mula, di dalam kegelapan, tiada lainnya 

selain air”, mitos Bantu berawal. Dan mungkin yang paling dikenal oleh

mereka yang lahir dalam iman Kristiani atau Yahudi adalah kata-kata Kitab 

Kejadian: ”Pada mulanya, bumi belum terbentuk dan kosong; gelap gulita 

menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permu￾kaan air”.

Tidak dapat diketahui lagi apa yang dimusnahkan oleh air. Tetapi, seperti 

banyak bangsa lainnya, orang Sumeria memiliki sebuah dongeng tentang 

irdaus yang hilang. Dalam puisi Sumerian yang sangat kuno ”Enki dan 

Ninhusag”, irdaus itu dilukiskan sebagai sebuah tempat di mana

Singa tidak membunuh,

Serigala tidak merenggut domba,

Anjing ajak, pelahap anak-anak, tidak dikenal,

Dia yang matanya melukai tidak berkata: ”Mataku melukai.”

Dia yang kepalanya pusing tidak berkata: ”Kepalaku pusing”.11

Tetapi kota impian, yang rimbun dengan pohon buah-buahan dan disegar￾kan oleh aliran sungai yang tak masin karena garam itu telah hilang bagi 

manusia.

Kita sendiri masih dibuat terpukau oleh air, dan banjir yang disebabkan￾nya pada bentangan yang kering dan tertata tempat kita hidup. Ingatlah saja 

akan obsesi kita yang masih segar tentang Titanic; anjungan mulai miring, air 

merayap naik, dan para opsir kapal yang memiliki irasat pasti akan datangnya 

malapetaka tidak dapat berbuat apa pun untuk mencegahnya. Cerita tentang air 

yang dalam masih terus menakutkan dan menarik untuk kita; seakan-akan, se￾perti yang dikemukakan ilsuf Richard Mouw, ”gambar-gambar yang berasosiasi 

dengan ’air dalam yang marah’ memiliki daya yang lestari di dalam imajinasi 

manusia, yang tidak memiliki kaitan sedikit pun dengan geograi kita”.12

 Tetapi ini adalah bidang para ahli teologi dan ahli ilsafat. Sang sejara￾wan hanya dapat mengamati bahwa pemfermentasian bir tampaknya telah 

ada bersama dengan adanya pertanian, dan bahwa anggur tertua dunia (yang 

ditemukan di sebuah situs desa di wilayah Iran dewasa ini) berasal dari mi￾lenium keenam. Sejak manusia mulai menanam bebijian, ia sudah berusaha 

meraih kembali, walaupun hanya sementara, dunia yang lebih menyenangkan 

dan lebih ramah yang tak dapat lagi ditemukan di peta.




S A B, daftar raja Sumeria menceritakan kepada kita bahwa 

kota Kish—di sebelah utara, dikelilingi ladang jagung—menjadi pusat baru 

kerajaan. Daftar itu mulai lagi dengan sebuah seri raja-raja yang pada umum￾nya dikenal sebagai ”Dinasti Pertama Kish”. Penguasa pertama Kish adalah 

seorang lelaki bernama Gaur; kemudian naiklah yang disebut dengan nama 

megah Gulla-Nidaba-annapad; sesudah itu, bertahtalah sebanyak sembilan 

belas raja sampai pada Enmebaraggesi, raja keduapuluh dua sesudah air bah. 

Berkat inskripsi-inskripsi kita mengetahui bahwa enmebaraggesi memerin￾tah sekitar 2700, tahun pertama yang dapat kita tetapkan untuk seorang raja 

Sumeria.

Masih tinggal masalah penggambaran sejarah Sumer antara air bah Sumeria 

(kapan pun kejadiannya) dan 2700 SM. Sesudah air bah, raja-raja tidak lagi 

bertahta dalam kurun kelipatan dari tiga ribu enam ratus tahun bersih. Alih￾alih, masa pemerintahan silih berganti secara tidak rata dan menjadi semakin 

singkat. Seluruhnya terdapat 22.985 tahun, 3 bulan, dan 3 hari antara air 

bah dan waktu sebelum Enmebaraggesi naik tahta—tokoh yang manfaat￾nya untuk sejarah tidak sebesar yang mungkin diisyaratkan oleh ketepatan 

masa kekuasannya. (Para sarjana sastra Sumeria condong menyebut raja-raja 

sebelum air bah ”mitis” dan raja-raja sesudah air bah ”nyaris historis”, suatu 

pemilahan yang tidak meyakinkan saya.)

Kebanyakan dari kedua puluh dua raja yang memerintah sebelum 

Enmebaraggesi dilukiskan dengan sebuah frase tunggal: nama, lamanya masa 

memerintah, itu saja. Satu-satunya kekecualian terletak sedikit lebih jauh 

dari pertengahan daftar itu, ketika Etana, raja ketiga belas setelah air bah, se￾konyong-konyong digambarkan secara berbeda dengan para pendahulunya 

yang lukisannya datar saja.Etana, yakni dia yang naik ke langit,

Ia yang menyentosakan seluruh bumi,

Bertahta selama 1560 tahun sebagai raja;

Sedangkan Balih, anak lelaki Etana,

Bertahta selama 400 tahun.

Di sini terdapat unsur sejarah yang lebih besar daripada yang mungkin tam￾pak pada awalnya.

K  - mulai ada lagi, lembah telah memiliki bentuk seru￾pa dengan wujudnya sekarang. Ujung Teluk Parsi telah maju ke utara. Aliran 

sungai jalin jemalin yang dahulu membasahi lembah, karena cabang-cabang￾nya didorong menjauh oleh lumpur yang terus bertambah, telah menjadi dua 

sungai besar yang airnya didapat dari anak-anak sungai yang berkelok-kelok. 

Dewasa ini kedua sungai itu kita sebut Efrat dan Tigris, nama yang berasal 

dari orang Yunani; pada masa lebih awal, sungai di sebelah barat disebut 

Uruttu, sedang sungai di sebelah timur yang lebih deras dan lebih keras dina￾mai dengan sebutan cepatnya laju sebuah anak panah: Idiglat.1∗

Di antara kedua sungai itu tumbuhlah kota-kota. Ilmu arkeologi menyata￾kan bahwa para 3200 SM kelompok-kelompok besar penduduk desa berubah 

seluruhnya cara hidupnya dan masuk ke kota-kota bertembok dalam suatu 

gejala yang disebut ”membanjir masuk”.

Transisi itu tidak selalu damai. Kitab Kejadian dan cerita air bahnya yang 

serupa memberikan sekilas pandangan yang menggelitik tentang perubahan 

mendadak itu: Ketika Nuh mulai lagi, keturunannya menyebar ke seluruh 

daerah itu. Di Shinar, nama Semit untuk dataran Mesopotamia selatan, 

pembangunan kota digalakkan ke tingkat yang cukup tinggi. Terbawa oleh 

keterampilan mereka sendiri, para penduduk kota memutus-kan untuk mem￾bangun sendiri sebuah menara yang menjulang ke langit, yang akan menjadi 

bagi mereka sebuah tempat kebanggaan bukan saja di atas bumi tetapi mele￾bihi Allah sendiri. Tindak kepongahan ini menyebabkan kekacauan bahasa, 

keterasingan, dan bahkan peperangan.

Menara Babel, seperti air bah Kitab Suci, terletak di masa lampau yang 

tak tertanggali. Tetapi ini membuka bagi kita sebuah jendela ke suatu dunia 

di mana kota-kota dari bahan lumpur, bertembok dan bermenara, menyebar

ke seluruh Mesopotamia.1

 Selusinan kota bertembok, masing-masing dikeli￾lingi kawasan pinggiran yang terbentang sampai sepanjang sepuluh kilometer, 

saling mendesak untuk meraih kekuasaan: Eridu, Ur, Uruk, Nippur, Adab, 

Lagash, Kish, dan lebih banyak lagi. Barangkalai ada sebanyak empat puluh 

ribu jiwa yang tinggal di pusat-pusat perkotaan kuno itu.

Tiap-tiap kota dilindungi oleh seorang dewa yang kuilnya menarik para 

peziarah dari pedesaan di sekitarnya. Tiap-tiap kota juga menebarkan jaring ke￾kuasaannya keluar ke daerah pedesaan, dan ingin menguasai semakin banyak 

lahan. Para gembala dan peternak kawanan datang ke kota untuk menyampai￾kan persembahan kepada dewa-dewa, dan berjual beli—serta membayar pajak 

yang dituntut oleh para imam dan raja. Mereka meng andalkan kota untuk ber￾dagang dan beribadat, tetapi kota pun menuntut sebanyak yang diberikannya. 

Struktur egaliter kelompok yang semula pemburu-pengumpul telah hancur. 

Kini yang ada adalah sebuah hirarki: pertama kota, kedua pedesaan.

Sepuluh generasi (atau sekitar itu) setelah air bah, hirarki mendapat ben￾tuk baru. Orang-orang lelaki me


Related Posts:

  • dunia kuno 2  Ketika ia menemukan jenazah saudaranya yang tenggelam, ia membungkuk di atas￾nya dan membangkitkan dia setengahnya. Osiris kembali memiliki hidup yang cukup untuk membuatnya hamil tetapi kurang kuat untu… Read More