Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 40


 -tahun  terakhir 

itu.15  Ketika Ts’ao  akhirnya  mengadakan  serangan,  ternyata  angin  bertiup 

melawannya.  Komandan-komandan  lawan  mengambil  kesempatan  untuk 

melemparkan  senjata  yang  menakutkan  ke  arah  tepi  seberang.  Pertama 

mereka mengirimkan surat meminta Ts’ao menyerah; dan kemudian mereka 

“mengambil  sepuluh  kapal  perang  yang  tertutup,”  menurut  Sima  Guang, 

“mengisinya dengan rumput dan kayu kering, menyirami bagian dalamnya 

dengan  minyak,  lalu  menutupinya  dengan  tirai-tirai  tenda  dan  menancap￾kan  bendera-bendera.”  Kapal-kapalan  itu  dikirimkan  ke  seberang  sungai 

menuju tempat perkemahan Ts’ao dan kapal-kapalnya berlabuh; dan ketika 

mereka sudah hampir sampai ke tepi, serdadu-serdadu dalam perahu-perahu 

ringan di belakangnya menyulutnya. “Apinya sangat ganas, dan anginnya be￾gitu keras sehingga kapal-kapal itu meluncur seperti anak panah,” kata Sima 

Guang. “Keseluruhan armada Utara terbakar, dan api mencapai perkemahan 

di tepi sungai. Dalam waktu sangat singkat asap dan api merentang ke seluruh 

langit dan beribu-ribu orang dan kuda terbakar atau tenggelam atau mati.”16

Orang-orang Ts’ao  yang  melarikan  diri  menghadapi  jalan-jalan  yang  tidak 

dapat dilewati karena lumpur. Mereka mencoba untuk menutupi jalan de- ngan cukup rumput untuk menciptakan permukaan yang keras, tetapi rumput 

itu tenggelam di bawah telapak kaki kuda-kuda, dan lebih banyak orang dan 

hewan mati dalam kubangan itu. 

Jalan  itu  mengakhiri  harapan  Ts’ao  untuk  mempersatukan  China.  Dia 

mundur dengan hanya daerah Utara yang masih tersisa sebagai pengikut raja 

Han, dan meskipun peperangan berlanjut ia tidak lagi menantang saingan￾saingannya. 

Xiandi  sendiri  pasti  menyadari  bahwa  pengakuannya  atas  kekaisaran 

adalah  gadungan.  Ketika  Ts’ao  meninggal  pada  tahun  220,  Xiandi  turun 

tahta, menyerahkan kekuasaan pada putra Ts’ao. Setelah 426 tahun, kerajaan 

Han berakhir. 

China sekarang terpisah menjadi kerajaan-kerajaan yang saling berperang. 

Putra Ts’ao, Ts’ao P’ei, menguasai daratan Han lama di Utara. Di Selatan, 

dua  dinasti  yang  bersaing  didirikan  oleh  dua  musuh  Ts’ao  dalam  Perang 

Karang Merah. Sun Ch’uan di lembah Yangtze, menyombongkan diri sebagai 

pendiri Dinasti Wu dan mempunyai ibu kota kerajaan di Chien-yeh—seka￾rang Nanjing. Liu Pei memerintah di seluruh Barat daya dari ibu kotanya 

sendiri di sungai Min, Chendu, sebagai raja pertama dari Dinasti Shu Han.17

Ketiga kerajaan sudah menggantikan Dinasti Han, dan bahkan kemungkinan adanya perdamaian sudah lewat. Dalam tiga abad selanjutnya tidak terlihat 

apa-apa selain perang yang tiada akhir. 

Di ah barat, Septimius Severus sudah meninggal, dan dua bersaudara 

Carcalla dan Geta terkunci bersama dalam satu jabatan imperial. Mereka tidak 

pernah berteman baik, dan Geta adalah korban dari pemerintahan gabungan 

mereka: Caracalla menyuruh orang membunuhnya di dalam ruangan impe￾rial dan memerintahkan tubuhnya dibakar. 

Sejarah Agustan menyatakan bahwa Caracalla kemudian mengalami masa 

yang sulit untuk mencoba mendapat dukungan Pengawal Praetoria di sisi￾nya: 

 Kematian ayahnya, ia pergi ke perkemahan Pengawal Praetoria dan menge￾luh di hadapan para serdadu bahwa … adiknya sudah menyiapkan racun 

untuknya, dan bahwa ia tidak dihargai oleh ibunya, dan ia di depan umum 

berterima kasih kepada mereka yang telah membunuh (Geta). Memang, ia 

membayar lebih kepada mereka karena begitu setianya mereka terhadap￾nya. Beberapa dari serdadu itu sangat menyesalkan pembunuhan Geta, 

dan mereka semua mengatakan bahwa mereka tadinya sudah bersumpah 

untuk setia kepada dua putra Severus, dan bahwa mereka harus memper￾tahankan kesetiaan itu pada keduanya. Pintu gerbang (dari perkemahan 

itu) ditutup, dan untuk waktu yang lama kaisar tidak diperkenankan 

masuk. Para serdadu itu hanya bisa ditenteramkan kalau pikiran mereka 

ditenangkan, tidak hanya dengan keluhan dan tuduhan yang diucapkan￾nya melawan Geta, tetapi juga dengan pembayaran uang dalam jumlah 

yang besar.18

Kemudian ia mulai mengadakan pembersihan terhadap mereka yang mung￾kin tidak suka dengan pembunuhan Geta. “Selama masa itu tak terhitung 

banyaknya orang yang terbunuh karena mendukung adiknya,” menurut 

Sejarah, “pembantaian di mana-mana. Bahkan ada pembunuhan di tempat 

peman-dian, dan beberapa terbunuh di tempat makan malam juga.”19 Dio 

Cassius menambahkan bahwa Caracalla bahkan melenyapkan penonton 

peringatan ulang tahun Geta. 

Kemudian ia mengumumkan sebuah undang-undang baru: Semua orang 

bebas di kekaisarannya sekarang adalah warga negara Roma. 

Tiga ratus tahun sebelumnya, Roma dengan sombong pergi berperang 

karena adanya usulan bahwa orang-orang di kota-kota Italia diberi kewar￾ganegaraan. Sekarang undang-undang dikeluarkan tanpa banyak perdebatan 

atau diskusi, dan tanpa protes dari rakyat. Dari satu arah, pemberian kewarganegaraan Roma sudah menjadi lebih 

tidak berarti: Roma sudah bukan sebuah republik, menjadi seorang Romawi 

bukan  masalah  untuk  mendapat  hak  pilih  (yang  merupakan  isu  terbesar 

dalam  masa  Perang  Sosial). Tetapi  dari  arah    lain,  kewarganegaraan  Roma 

sepertinya jauh dari tak berarti. Tembok Hadrianus dan berubahnya status 

kerajaan-kerajaan  yang  dilindungi  (dengan  semacam  kemerdekaan  dan  ke￾banggaan nasionalnya sendiri) menjadi provinsi-provinsi yang diawasi dengan 

ketat, kedua-duanya sama-sama mengarah pada akhir yang tidak terhindar￾kan,  untuk  para  rakyat  yang  terkurung  dalam  perbatasan  Roma.  Mereka 

tidak dapat dibiarkan tetap menjadi sekelompok negara “di bawah kekuasaan 

Roma,” seperti kelereng di dalam guci; kesetiaan mereka yang pertama akan 

selalu tertuju pada identitas mereka yang pertama, dan ketika krisis meme￾cahkan  guci  itu,  kelereng-kelerengnya  akan  berhamburan.  Mereka  harus 

ditarik jauh dari masa lalu, dan diarahkan pada sebuah kesetiaan baru. Mereka 

harus dibuat menjadi Romawi. 

Tetapi  Romawi  tidak  lagi  berarti  mendapat  hak  pilih  dalam  urusan- 

urusan  bangsa  kita. Tidak  juga  berarti  bahwa  Roma  adalah  tempat  lahir  kita; 

kekaisaran sudah bertebaran sampai menjadi begitu banyak negara sehingga ratu￾san warga negara Roma tidak benar-benar pernah menginjakkan kakinya di kota 

yang sekarang menawarkan kepada mereka namanya. Ini bukan bahwa berarti 

kita mengenal cara dengan baik bagaimana orang Romawi menikmati makanan, 

atau menikmati puisi Seneca, atau bahkan bercakap-cakap dalam bahasa Latin. 

Di  tangan Caracalla, identitas  Romawi  berarti  tiga  hal.  Artinya,  seperti 

pengamatan  Epictetus  pada  dasawarsa-dasawarsa  sebelumnya,  bahwa  kita 

patuh  kepada  kaisar.  Itu  artinya,  sebagai  warga  negara  Roma,  kita  mem￾punyai hak-hak tertentu: kalau kita dihukum mati karena suatu perbuatan 

kriminal,  kita  dapat  naik  banding  ke  Roma  (kecuali  jika  kebetulan  kita 

ditangkap dalam suatu pembersihan), perkawinan-perkawinan kita dan kontrak- 

kontrak lain dapat dianggap sah di pengadilan Roma, anak-anak kita terjamin 

akan mendapat warisan mereka di bawah surat wasiat kita. Dan itu berarti 

kita membayar pajak. Caracalla pada saat itu dalam keadaan bangkrut. Uang 

suapnya  sudah  mengeringkan  keuangan  negara,  dan  ia  memerlukan  lebih 

banyak warga negara sehingga ia dapat memungut uang lebih banyak untuk 

mengisi keuangannya kembali. 

Kewarganegaraan  Roma,  pendeknya,  telah  menjadi  suatu  kegiatan  jual 

beli.  Sebagai  pengganti  perlindungan  hukum,  orang  bebas  yang  berada  di 

dalam perbatasan Roma harus membayar uang. Secara khusus ini bukan ta￾waran yang buruk (atau belum; pajak belum mulai menusuk), tetapi tentunya 

tidak  banyak  berpotensi  seperti  ikatan-ikatan  ini:  tidak  seperti  himbauan 

Pericles kepada orang Athena untuk mengikatkan diri mereka pada pemikiran Athena, atau seperti keyakinan orang Yahudi bahwa Tuhan telah menjanjikan 

pada keturunan Abraham tanah milik mereka sendiri. Ini adalah pemikiran￾pemikiran yang mengikat manusia menjadi satu. 

Di ahun 212, tahun yang sama ketika Caracalla mengumumkan ke￾warganegaraan, seorang raja taklukan dari Partia bernama Ardashir dengan 

hati-hati berperang melawan kerajaan-kerajaan taklukan lain di sekitarnya. 

Kerajaan Ardashir sendiri ada di Pars, provinsi Partia di mana orang Persia 

masih hidup; ibu kotanya adalah Gur, dan keluarganya adalah salah satu dari 

sisa kerajaan tua Persia. Menurut tradisi yang lebih maju, ia adalah keturunan 

jauh dari Darius sendiri, yang terdesak ke dalam ketidakjelasan.20 Dengan 

diam-diam, tanpa berbuat terlalu banyak untuk memperingatkan raja Partia 

yang jauh, ia membujuk atau menakut-nakuti raja-raja taklukkan di dekatnya 

untuk mengubah janji setia mereka kepadanya. 

Ia mungkin tidak akan bisa bertahan lama dalam hal ini, kecuali ketika raja 

Partia Artabanus V sedang mendapat kesulitan. Salah satu dari kerabatnya me￾nantang mahkotanya, dan setelah sebuah perang saudara yang menyebalkan, 

berhasil menguasai Ctesiphon dan menguasai lembah Mesopotamia bawah. 

Artabanus terusir dari ibu kotanya dan sedang berkemah di daerah Barat 

dengan tidak nyaman, di sebelah dataran Utara antara Tigris dan Efrat. Ia 

tidak terlalu banyak memperhatikan apa yang terjadi di sebelah Timur 

Ctesiphon. 

Caracalla yang melihat kesempatan untuk menciutkan Partia menjadi ne￾gara taklukan, mengirimkan pesan kepada Artabanus yang dicopot jabatannya 

untuk menawarkan bantuan, sebagai gantinya ia meminta persekutuan dalam 

perkawinan dengan putri Arbanus. Artabanus yang melihat bahwa perseku￾tuan ini tidak murni tetapi merupakan usaha pengambilalihan, menolak; dan 

begitulah Carascalla melakukan perjalanan ke Timur, dengan sebuah pasu￾kan, dan menyerang daerah Barat perbatasan Partia pada musim gugur tahun 

216. Ia beroperasi terus sampai musim dingin, dan kemudian mendirikan 

perkemahan musim dingin untuk menunggu dan memperbarui penyerangan 

di musim semi. 

Di awal bulan April 217, persis sebelum serbuan baru direncanakan, 

Caracalla menderita sakit perut yang hebat. Ia sedang naik kuda bersama satu 

dari pengawalnya ketika ia terserang keram perut. Ia melompat dari kuda, 

memerosotkan celananya. Si pengawal mengambil kesempatan untuk mem￾bunuhnya sementara kedua tangannya sedang sibuk. 

Serdadu-serdadu berkuda tidak jauh dari situ berlari ke tempat itu dan 

kemudian membunuh si pembunuh dengan lembing. Seperti pembunuh 

Caligula, ia sudah berjasa pada kekaisaran dengan mengorbankan hidupnya sendiri. Tubuh Caracalla dikremasi, abunya dikirim ke Roma; ia sudah me￾merintah selama enam tahun, dan mati pada usia dua puluh sembilan tahun. 

Legiun Timur, yang ditinggalkan tanpa kaisar, menyatakan jenderal mere￾ka Macrinus sebagai kaisar baru. Di akhir musim semi tahun 217, Macrinus 

memimpin  mereka  lagi  menyeberangi  perbatasan  Partia. Tetapi  Artabanus 

V  selama  musim  dingin  itu  sudah  menghimpun  kekuatannya,  dan  setelah 

pertempuran yang keras, orang Romawi terpaksa jatuh kembali tanpa keme￾nangan. Macrinus yang tidak mau mengadakan serbuan kembali, menawarkan 

untuk membayar mereka dan menyerahkan sejumlah uang yang besar yang 

jumlahnya mengejutkan. 

Hal ini membuat banyak serdadunya marah. Seorang kaisar yang menda￾patkan kekuasaannya semata-mata karena kemampuan militernya tidak punya 

apa-apa lagi, begitu ia kalah perang; dan tepat di situ ada calon saingan kaisar. 

Ia adalah sepupu pertama Caracalla yang pernah dibuang (cucu dari saudara 

perempuan ibunya), seorang pemuda yang tinggi dan tampan berusia empat 

belas tahun bernama Elegabalus, yang mirip dengan Caracalla dan secara luas 

digosipkan sebagai putra tidak sahnya. 

Pada tanggal 16 Mei, beberapa bulan setelah kekalahan itu, sekelompok 

serdadu  menyatakan  Elegabalus  sebagai  Kaisar  menggantikan  Macrinus. 

Macrinus mendapatkan makin banyak pengikutnya yang meninggalkannya 

untuk  mengikuti  kaisar  yang  baru.  Akhirnya  ia  pun  melarikan  diri,  tetapi 

serdadu-serdadu  yang  mengejarnya  menemukannya,  sebulan  kemudian,  di 

Kalkedon,  mencoba  untuk  menyeberangi  Bosforus  menuju  ke  Thracia.21 

Ia ditahan, dan tidak lama kemudian dibunuh dalam tahanan. 

Ternyata Elegabalus adalah orang yang berpikiran lembek dan luar biasa 

suka menyenangkan diri; bahkan kalau setengah dari kisah-kisah yang ber￾hubungan dalam Sejarah Agustan benar, ia menjadi gila tidak lama setelah 

kenaikan tahtanya. Kebanyakan rincian kisahnya disimpulkan dalam Sejarah 

dengan komentar-komentar yang asam bahwa para serdadu segera kehilangan 

kesabaran dengan “seorang princeps yang menerima nafsu birahi dalam setiap 

pori-prori tubuhnya.”22 Ia juga meluapkan nafsunya dalam ritual keagamaan 

yang aneh, salah satunya melibatkan pemujaan terhadap sebuah batu yang 

ditemukannya dan dinyatakan sebagai dewa, dan yang lain ketika yang mem￾buatnya mencoba untuk mengkhitankan dirinya sendiri (ternyata sebaliknya, 

ia malah mengebiri dirinya sendiri). 

Pada tahun 222, Pengawal Praetoria sudah menjajarkan calon kaisar yang 

lain,  dan  satu  pasukan  pengawal  pergi  mencari  Elegabalus.  Ia  mendengar 

mereka  datang  dan  bersembunyi  di  belakang  kakus  umum,  tetapi  mereka 

menyeretnya keluar, membunuhnya dan mengorek-ngorek tubuhnya ke dalam 

pipa pembuangan, menyeretnya berkeliling dengan kereta lomba, dan akhir￾

nya  melontarkannya  ke  sungai  Tiber  dengan  sebuah  batu  diikatkan  pada 

tubuh itu. Pertalian darahnya dengan kaisar sebelumnya sudah membuatnya 

naik tahta, tetapi tidak menyelamatkannya. 

G A R I S WA K T U 8 4

     ROMA   CHINA   PARTIA

 Traianus, kaisar (98)     

          Andi Vologases III

 Hadrianus, kaisar (117) 

 Shundi

 Antoninus Pius, kaisar (138) 

 Chongdi Vologases IV

 Zhidi

 Huandi

 Markus Aurelius dan Lucius Verus

 Markus Aurelius, kaisar satu-satunya (169) Lingdi (168)

 Bangkitnya Turban Kuning

 Commodus, kaisar (180) 

 Pemberontakan Turban Kuning (184)

 Septimius Severus, kaisar (193) Shaodi/Xiandi

 Caracalla, kaisar (211) Perang Karang Merah (208)

 Macrinus, kaisar (217) Vologases V

 Elegabalus, kaisar (218) Tiga Kerajaan (220)



Di  222, t     pembunuhan Elegabalus, 

raja Partia Artabanus V berhasil mengalahkan penantangnya dan merebut 

kembali Ctesiphon. 

Ia hanya memegang ibu kotanya untuk dua tahun. Ardashir, pemuda 

Persia telah berhasil melanjutkan pembangunan kota-kota Midia dan Persia 

lama dan sekutu-sekutu mereka, dan ia sekarang sudah memperkuat diri di 

ibu kota negaranya Gur. Di tahun 224, ia dan pasukannya maju menemui 

gerombolan Partia ini di dataran Hormizdagan. 

Dalam pertempuran Artabanus V terbunuh. Kekaisaran Partia sudah 

berakhir; sekarang Ardashir pindah ke istana di Ctesiphon dan menyatakan 

dirinya, dengan tata cara lama Persia, menjadi Ardashir I, Raja segala Raja. 

Dinastinya memakai nama Dinasti Sasania, dari marga asli Persianya. 

Kekaisaran Partia, yang sudah berevolusi sejak pengambilalihan bangsa 

nomad, sudah menjadi sekumpulan kerajaan taklukan yang melapor kepada 

seorang raja dari keseluruhan. Hal ini, disadari oleh Ardashir I berdasarkan 

pengalamannya, memberi para raja pemberontak terlalu banyak kebebasan 

untuk memberontak. Sebaliknya, ia mengatur kekaisaran barunya ini men￾jadi sesuatu yang lebih mirip kerajaan Persia lama. Ia membagi kekaisarannya 

menjadi beberapa provinsi atau satrap di bawah gubernur-gubernur militer; 

ini sengaja dibentangkan ke seluruh dan melewati perbatasan kerajaan yang 

lama, untuk memutuskan persekutuan-persekutuan yang mungkin akan 

membentuk setelah jatuhnya Artabanus V. Para gubernur yang jiga anggota 

marga kerajaan Sasania sendiri, dikenal dengan gelar kehormatan Persia yaitu 

shah. Karena bangsa Roma, jatuh dari satu raja yang tidak berguna kepada raja 

lain semacam itu,  kebangkitan bangsa Persia pastilah seperti kembalinya satu 

monster dari mimpi lama.  Ardashir I, Raja Agung dari dominasi Persia yang 

baru  dan  sudah  direstorasi,  memerintah  sampai  tahun  241  dan  kemudian 

menurunkan pada putranya Shapur sebuah kekaisaran yang teratur, dan siap 

untuk berekspansi..  

Koin-koin dari zaman akhir pemerintahannya memperlihatkan Ardashir 

berhadapan  dengan  seorang  pangeran  yang  lebih  muda,  ia  terlihat  seperti 

memahkotai putranya sendiri sebagai penguasa bersama sebelum kematian￾nya.  Ahli sejarah Arab dari abad kesembilan, Abu al-Mas’udi, yang seperti 

Herodotus melakukan perjalanan melalui dunia yang terkenal dan mengumpul￾kan tradisi  purba  untuk  ditenun  dalam  sebuah  cerita  sejarah,  mengatakan 

bahwa Ardashir meletakkan mahkota di atas kepala Shapur dengan tangannya 

sendiri, dan kemudian lengser sehingga Shapur dapat memerintah sendiri.1

Ini menunjukkan bahwa seseorang dengan pikiran akan masa depan (sesuatu 

yang tidak tampak  pada para kaisar Romawi beberapa dasawarsa yang lalu).  

Shapur  I  memulai  karirnya  sebagai  raja  dengan  memohon  dewa 

Ahuramazda untuk mendukung kenaikannya ke atas tahta. Ardashir I dan 

Shapur  I  keduanya  adalah  pengikut  aliran  Zoroastria,  suatu  keyakinan 

bahwa sebuah agama mistik awalnya dikhotbahkan oleh nabi Zoroaster (atau 

Zarathustra) dulu waktu zaman Darius I.  Ajaran Zoroastria mempunyai te￾ologi dan bahkan ritual-ritual yang rumit, tetapi pada saat Shapur I ajaran itu 

mengajarkan bahwa alam raya terbagi menjadi dua kekuatan yang berlawa￾nan yang sama kuat yaitu baik dan jahat.  Kebaikan berasal dari dewa agung 

Ahuramazda; kejahatan terletak pada dewa yang berlawanan yaitu Ahriman.2 

Dualisme ini berarti bahwa kebaikan dan kejahatan ada dalam konflik yang 

abadi, dan para pengikut Zoroaster menyatakan perang tiada akhir terhadap 

kekuatan-kekuatan jahat, yang diwakili oleh jiwa-jiwa yang bersifat iblis yang 

disebut daeva.  “Aku mengutuk para Daeva,” begitulah awal syahadat yang 

dihubungkan dengan Zoroaster sendiri, “Aku menyatakan diri sebagi pemuja 

Mazda,  Aku  menganggap  semua  kebaikan  berasal  dari  Ahuramazda.    Aku 

menginginkan kebebasan bergerak dan kebebasan bertempat tinggal untuk 

mereka yang mempunyai rumah, untuk mereka yang tinggal di bumi bersama

ternak …  Dari semua agama yang ada atau akan ada, agama ini adalah yang 

terbesar, terbaik dan terindah.”3

  

Shapur tidak ragu-ragu mengakui adanya dukungan  Ahuramazda pada 

sisi ketuhanan dari haknya untuk memerintah; tidak ada pembicaraan sekitar 

kebijaksanaan berpikir rakyatnya.  Sebagai raja Persia, ia adalah juara dalam 

kebenaran.  Ardashir sendiri telah menyatakan Zoroastrianisme sebagai agama 

negara dari kekaisarannya yang baru, yang menyatukan setiap rakyatnya ber￾satu dalam suatu komunitas suci dengan satu tujuan.  Setiap rakyat Shapur 

adalah  seorang  prajurit  yang  melawan  para  daeva;    kesetiaan  tiap  laki-laki 

mapun  perempuan  kepada  Persia  juga  merupakan  pernyataan  pada  perla￾wanan  terhadap  kejahatan  secara  tetap.    Agama  resmi  itu  juga  merupakan 

pembentuk bangsa yang amat sangat kuat.  

Penaklukan bersenjata Shapur I dimulai dengan raksasa Roma.  Ia berhasil 

menangkap garnisun Roma di Mesopotamia dan kemudian bergerak masuk 

ke Suriah untuk menghadapi kekuatan Roma di provinsi Suriah.  Usaha awal 

Persia untuk menusuk ke Roma ini gagal;  Angkatan perang Shapur dikalahkan 

oleh  legiun  Suriah,  dan  orang  Persia  terpaksa  mundur.

   Tetapi  meskipun tangkisan ini berhasil, kemampuan Roma untuk menghindari serangan Persia 

sangat ternoda.  Roma juga menghadapi musuh baru di Utara.  

Suatu  waktu  di  abad  kedua,  bangsa-bangsa  yang  sudah  lama  tinggal  di 

semenanjung Utara yang kita kenal sebagai Skandinavia menyeberangi selat 

dalam  kapal-kapal  dan  berlabuh  di  pantai  Eropa.    Penulis  abad  keenam, 

Jordanes, sumber kita yang paling baik tentang apa yang terjadi kemudian, 

mengawali  sejarah  mereka  di  sini:    ia  menulis,  “di  wilayah-wilayah  Artik 

(Kutub Utara),” ada “ sebuah pulau besar bernama Scandza, dari mana ce￾ritaku (berkat Tuhan) akan dimulai.  Bangsa yang asalnya ingin kita ketahui 

ini maju ke depan seperti sekawanan lebah dari tengah-tengah pulau ini dan 

datang masuk ke daratan Eropa.”4

  

Para pendatang baru ini dikenal oleh orang Romawi sebagai bangsa Goth. 

Jordanes menyebut mereka “banyak dan bermacam-macam,” dan membuat 

daftar  sekumpulan  suku-suku  yang  termasuk  dalam  nama  umum  Goth: 

Finnathae dan suku Finn, Dani dan Grannii dan banyak lagi.  Mereka adalah 

bangsa-bangsa yang keras dan ulet, tambahnya, “tidak ada ras lain yang seperti 

itu dalam penderitaan maupun  berkat-berkatnya, karena selama harinya yang 

paling panjang mereka melihat matahari kembali ke ufuk Timur sepanjang 

tepi cakrawala, tetapi pada hari-hari yang terpendek menjadi tidak tampak.”5

Terbiasa dengan dua puluh empat jam siang dan malam, bangsa Goth merasa 

nyaman dengan keekstreman.  

Di Eropa, mereka berjuang melampaui suku-suku Jerman di bawah sampai 

ke Danube, dan beberapa mencoba membuka jalan mereka ke Timur, ke arah 

wilayah Scythia.  Setelah ini Jordanes membagi mereka dalam dua kelompok: 

bangsa Visigoth dan “Goth dari Negara-negara Barat,” dan Ostrogoth, dari 

sebelah Timurnya.  Bangsa Visigoth sekarang mengancam Danube memasuki 

wilayah Roma, sedangkan bangsa Ostrogoth masuk membanjiri daratan-da￾ratan lama Thracia dan Makedonia.  

Pada tahun 249, ancaman invasi dari Utara sudah menjadi cukup akut 

bagi angkatan perang untuk mengatasi masalah itu sendiri.  Kaisarnya yang 

sekarang, Filipus si pelupa,

 mencoba untuk membayar bangsa Goth dengan 

pembayaran upeti, dan sudah menunggak dalam cicilannya, sehingga kare￾nanya  bangsa  Visigoth  menyeberangi  sungai  Danube  dan  merusak  daerah 

pedesaan.  Pasukan-pasukan di dekat Danube, yang sudah muak, mengangkat 

jenderal mereka, Decius, sebagai kaisar;  beberapa dari mereka, kata Jordanes, 

begitu saja melakukan desersi dan pergi bergabung dengan orang Goth.  Decius hanya bertahan persis dua tahun.  Setelah ia pergi ke Roma untuk 

menerima kekuasaan barunya, ia kembali lagi ke atas untuk melawan para 

penjajah.    Di  tahun  251  ia  terbunuh  dalam  perang,  di  bawah  Danube.  Ia 

adalah  kaisar  Roma  pertama  yang  jatuh  di  kancah  peperangan  melawan 

ancaman dari luar; semua yang lainnya dilenyapkan oleh orang senegaranya.  

Ketika Shapur I melakukan penyerangan selanjutnya melawan tapal batas 

Suriah di tahun 252, legiun Roma dengan serius ditempatkan untuk membe￾lah perbatasan Timur dari tekanan Persia dan perbatasan Utara dari serangan 

bangsa Goth.  Pertahanan Timur jatuh terlebih dahulu  Shapur I mendesak 

melampaui garnisun Suriah dan merebut Suriah sendiri.  Di tahun 253, ia 

merebut kota Antiokhia yang besar  di sebelah Timur dan meruntuhkannya.  

Pada tahun yang sama, Roma akhirnya mendapat kaisar yang berhasil ber￾tahta sampai lebih dari satu atau dua bulan.  Valerianus sudah bertugas sebagai 

konsul dan juga jenderal; ia hampir berumur enam puluh, tetapi untuk be￾berapa tahun kelihatannya ia mungkin bisa mengembalikan nasib baik Roma. 

Ia  memberi  perintah  pada  putranya  Gallienus  untuk  memimpin  legiun  di 

sebelah Barat, dan sementara Gallienus bertempur menghadapi para penjajah 

dekat sungai Rheine, Valerianus mulai memenangkan peperangan di Timur.  

Tidak tahu tepatnya ada beberapa, tetapi koinnya dari tahun 257 menye-

butnya  “Yang  Memperbaiki  Dunia,”  yang  (kalau  dianggap  berlebihan) 

menunjukkan keberhasilan yang berarti.  Tetapi di tahun 260, sebuah wabah 

menyapu  pasukannya  dan  melemahkannya.  Ketika  orang  Persia  menye￾rangnya  di  Edessa,  ia  terpaksa  mundur,  dan  akhirnya  meminta  diadakan 

perundingan.  

Shapur  I  setuju,  selama  kaisar  akan  menemuinya  dengan  sekelompok 

kecil prajurit.  Valerianus tiba di tempat perundingan dengan hanya beberapa 

pengawal;  Shapur I membunuh rombongannya dan menangkapnya.  

Pakar  sejarah  gereja  sesudahnya,  yang  mempunyai  sejarah  yang  hampir 

paling lengkap mengenai kehidupan Valerianus tetapi menghujatnya karena ia 

membeci orang Kristiani, memandang ini sebagai pengadilan. “Tuhan sudah 

menghukumnya  dengan  cara  yang  baru  dan  luar  biasa,”  kata  Lactantius. 

“Shapur, raja orang Persia, yang telah menjadikannya tahanan, jika ia ingin 

naik ke keretanya atau naik ke punggung kudanya, memerintahkan si orang 

Romawi  itu  untuk  membungkuk  dan  menyediakan  punggungnya;  kemu￾dian, meletakkan kakinya ke atas bahu Valerianus, ia berkata, dengan senyum 

mencela, ‘Ini nyata, dan bukan seperti orang Roma yang meletakkannya pada 

papan atau semen.’  Valerianus masih hidup lama di bawah hinaan-hinaan 

yang pantas diterimanya dari penakluknya itu; sehingga nama Roma bertahan 

lama dalam ejekan dan cemoohan orang barbar.”6

  

Seorang kaisar Roma, yang masih bermahkota, dalam tangkapan seorang 

barbar  Persia  dan  berlaku  sebagai  penunjang  kaki,  merupakan  kebalikan 

yang sangat menghina yang bisa dibayangkan.  Bagi Shapur ini adalah hal 

yang besar tentunya, pada makamnya ia mengukir gambarnya sendiri, duduk 

dengan  kemenangan  di  atas  punggung  kuda,  menghela  lengan  Valerianus. 

Kaisar  sebelumnya,  Filipus,  menggeletak  dengan  rendah  diri  di  depan 

kuda itu; kaisar yang lain terlentang di bawah telapak-telapak kaki kuda itu.  

Dalam sekejap Roma menjadi kurang menakutkan, kurang bisa mengatasi 

segalanya.  Provinsi-provinsi  mulai  memberontak.  Pasukan  Romawi  men- 

jadi  kurus  karena  berurusan  dengan  pemberontakan  dan  dengan  semakin 

banyaknya  invasi  dari  Utara:    suku-suku  Jerman  Alemanni  yang  menerobos 

masuk  ke  Italia,  bangsa  Frank  (juga  berasal  dari  suku  Jerman)  memporak￾porandakan provinsi-provinsi Roma di semenanjung Iberia, dan bangsa Gallia 

memecahkan diri dan mengumumkan sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat. 

Valerianus  masih  dalam  tahanan,  dan  masih  menjadi  kaisar;  putranya 

Gallienus sekarang menjadi pejabat kaisar, lebih kurang karena kesalahan.  Ia 

adalah seorang jenderal yang kompeten, tetapi kekacauan setingkat itu tidak 

dapat  diperbaiki  oleh  satu  orang  saja.    Ia  juga  hanya  akan  tetap  berkuasa 

sepanjang ia bisa membuktikan diri sebagai seorang komandan, dan ia dapat 

melihat bahwa hari-harinya terbatas.  Ia mengajak makan bersama musuh￾nya, sebagai usahanya untuk menghindari racun; ia menempatkan sekelom￾pok kecil prajurit yang dipercayanya di sekitarnya setiap saat; tetapi di tahun 

268, salah satu dari prajurit-prajurit itu membunuhnya.  

Pada suatu saat yang tidak diketahui dengan jelas, ayahnya, Valerianus, 

juga meninggal dalam tangkapan.  Shapur memperlakukan tubuhnya seperti 

piala:  “Ia dikuliti,” kata Lactantius, “dan kulitnya, dikelupas dari tubuhnya, 

dicat dengan warna merah cabe, dan ditempatkan di kuil dewa-dewa para 

barbar, sehingga peringatan akan kemenangan itu diabadikan, dan peman￾dangan ini mungkin akan selalu dipertontonkan kepada para duta besar kita, 

sebagai hujatan pada bangsa Romawi, supaya, dengan menyimpan sisa-sisa 

tubuh kaisarnya yang ditangkap dalam sebuah kuil Persia, mereka tidak akan 

mempunyai kepercayaan diri lagi terhadap kekuatan mereka sendiri.”7

S   di tahun 268, Kekaisaran Roma— hampir 

tidak dapat—tetap mempertahankan keberadaannya. Pada tahun 271, pen￾jajah barbar berhasil membuka jalan tepat ke tengah-tengah semenanjung. 

Tetapi kaisar Aurelianus yang memerintah, seorang serdadu yang beru￾bah menjadi raja, yang oleh pakar sejarah abad keempat Eutropius disebut 

“seorang yang cakap dalam perang … cenderung menyukai kekejaman,”8

mengerahkan pasukannya dalam serangkaian operasi militer yang terencana 

dengan baik yang hampir dapat merestorasi perbatasan-perbatasan yang lama. 

Perpecahan untuk sementara berbalik, dan ini membuat Aurelianus dihargai 

meskipun tidak disukai. “Ia betul-betul jahat dan haus darah,” Eutropius 

menyimpulkan, “dan agaknya merupakan kaisar yang diperlukan untuk jaman 

seperti itu, lebih dihargai daripada disukai …Tetapi, ia adalah seseorang yang 

banyak mereformasi disiplin dan tata cara kemiliteran yang hancur.”9

 

Tetapi hanya menyehatkan kembali keadaan angkatan perang tidak akan 

bisa mengatasi kesulitan-kesulitan Roma. Aurelianus sendiri menyadari hal 

ini ketika ia memerintahkan untuk membangun tembok di sekitar kota itu 

sendiri. Selama tiga ratus tahun, Roma tidak mempunyai tembok; warga ne￾garanya menyombongkan diri bahwa kota sudah terlindung dengan kekuatan 

angkatan perang Roma.10 Sekarang perlindungan itu tidak dapat diharapkan 

lagi. Kesetiaan angkatan perang dimana kekuasaan kekaisaran berdiri, seka￾rang sudah sangat berubah. Aurelianus sendiri hanya bertahan lima tahun 

sebelum Pengawal Praetoria membunuhnya di tengah-tengah jalan umum.11

 

Senat meletakkan kekuasaan di tangan kaisar, kaisar menyenderkan kekuat￾annya pada angkatan perang, dan Roma mempunyai terlalu banyak angkatan 

perang di medan-medan yang terlalu banyak untuk bisa menjaga kestabilitas￾annya. Dalam sembilan tahun setelah Aurelianus, enam orang sudah digelari 

kaisar, dan masing-masing orang tersebut dibunuh. Perkecualian yang mungkin terjadi adalah yang keempat:  kaisar Carus. 

Orang-orangnya mengakui bahwa ia disambar kilat ketika melakukan operasi 

militer di tepi sungai Tigris.12   Ini kelihatannya tidak mungkin.  Sebaliknya, 

ketika Carus “disambar kilat,” komandan pengawal pribadinya, Diocletianus, 

sedang  berada  di  perkemahan  itu.    Putra  Carus,  Numerianus,.  kemudian 

menjadi raja, dan meninggal dengan misterius ketika melakukan perjalanan 

bersama  pasukannya.    Ia  berkuda  dalam  tandu  karena  mengalami  kesu￾litan dengan penglihatannya sehingga menghalanginya keluar jika matahari

bersinar  dengan  terik,  dan  ketika  ia  mati  dalam  tandu  tidak  seorang  pun 

mengetahui.  “Kematiannya … diketahui setelah ada bau mayatnya,”  kata 

Etropius, “karena para serdadu yang mengurusnya, disadarkan oleh bau yang 

menyengat  lalu  membuka tirai-tirai tandunya, dan menyadari kematiannya 

baru beberapa hari setelah terjadi.”13

  

Bau busuk persekongkolan ini (orang heran apa artinya “mengurusnya”, 

kalau para serdadu itu tidak menyadari keadaan Numerianus yang sudah be￾rada di balik tirai tandu itu berhari-hari), dan tidak lama kemudian ditunjuklah 

biang keladinya.  Angkatan perang berkumpul untuk menunjuk seorang pe￾mimpin  baru,  dan  Diocletianus  berteriak  dengan  sombong  bahwa  ia  tahu 

siapa  yang  membunuh  Numerianus:    ia  adalah  ayah  mertua  Numerianus 

sendiri, yang menjadi komandan dari Pengawal Praetoria.  Dikuasai oleh ke￾sombongannya akan kebenaran, ia mencabut pedangnya dan membunuh pria 

itu “di depan angkatan perang,” sehingga dapat menghindari perlunya penye￾lidikan atas tuduhan itu.14

  

Lalu putra Carus yang lain ditunjuk oleh teman-teman ayahnya menjadi 

kaisar.  Ambisi Diocletianus sekarang muncul ke permukaan.  Ia memimpin 

para pendukungnya melawan pasukan kaisar baru, dan membunuh musuh￾nya dalam peperangan.  

Ini  menyisakan  Diocletianus  sebagai  kepala  kekaisaran  Roma:  seorang 

yang disebut oleh Lacantius sebagai “pengarang dan perencana dari keseng￾saraan yang buruk itu”15    Seperti para pendahulunya, Diocletianus mendapat 

nama buruk dari para bapak gereja karena ia juga memerintahkan peraturan 

penindasan  terhadap  orang  Kristiani.    Lactantius  menuduhnya  melakukan 

korupsi, kejahatan, pajak yang berlebihan, pemerkosaan, dan banyak hal lagi 

yang bisa dimasukkannya ke dalam bejana  itu dan menyimpulkan dengan 

mengumumkan  bahwa  ia  hampir  menghancurkan  Roma:    “Orang  ini,  se￾bagian  karena  ketamakan,  dan  sebagian  lagi  karena  nasihat-nasihat  yang 

takut-takut, telah menggulingkan kekaisaran Roma,” keluhnya.  “Karena ia 

memilih tiga orang untuk berbagi pemerintahan dengannya; dan karena itu, 

setelah kekaisaran dibagi empat, angkatan perang dilipatgandakan, dan ma￾sing-masing dari keempat bagian itu berusaha untuk mempertahankan lebih banyak kekuatan militer daripada satu-satunya kaisar yang pernah terjadi di 

zaman yang sudah berlalu.”16 

Tetapi  sebetulnya  pembagian  kekaisaran  itu  menyelamatkannya. 

Diocletianus tidak diragukan lagi adalah orang yang ambisius, tetapi ambisinya 

lebih  rumit  daripada  apa  yang  dikatakan  Lactantitus.  Ia  tidak  hanya  ber￾usaha meraih kemenangan.  Ia juga mencari solusi atas kesulitan yang dialami 

kekaisaran, dan ia menemukannya dengan memberikan dengan cuma-cuma 

hampir sebagian besar kekuasaannya.  

Pada tahun ketika ia naik tahta, Diocletianus memilih seorang tangan ka￾nannya, seorang perwira angkatan perang yang lain bernama Maximianus yang 

dikenalnya dengan baik.  Ia memberikan gelar imperial Agustus kepadanya, 

dan menawarkannya untuk memegang jabatan sebagai kaisar bersama:  yang 

pertama kali sejak hari-hari yang celaka pada zaman Caracalla dan Geta, ke￾tika orang kaisar berbagi gelar.  

Menurut kesimpulannya, masalah terbesar yang  dihadapi oleh kekaisaran 

adalah  karena  ukurannya.   Tidak  mungkin  satu  orang  mampu  menangani 

seluruh  wilayah  tanpa  menggunakan  tirani  yang  bersifat  autokrasi,  tirani 

autokrasi membimbing ke arah kematian.  Bagaimana pun juga, bahkan kai￾sar yang paling autokratis pun tidak dapat tetap menjadi kesayangan angkatan 

perang yang tersebar dari Gallia sampai jauh ke sungai Efrat.  Legiun-legiun 

cenderung untuk menyukai  orang yang berada paling dekat dengan mereka; 

Diocletianus memberikan kepada kedua belah kekaisaran seorang kaisar yang 

dapat tinggal di dekatnya.  

Kekuasaan angkatan perang terus mencemaskan Diocletianus. Di tahun 

293,  Diocletianus  mengatur  lebih  jauh  dengan  menjaga  supaya  angkatan 

perang tidak terlibat dalam pergantian kekuasaan. Ia menunjuk dua kaisar 

yunior, dua perwira yang diberi gelar Caesar (pangkat yang biasa diberikan 

seorang kaisar kepada penerusnya). Kedua Caesar ini yaitu Konstantius dan 

Galerius,  juga  terikat  pada  kaisar  sendiri  dengan  cara  yang  lebih  pribadi: 

Galerius  menikahi  puteri  Diocletianus,  sedangkan  Konstantius  menikahi 

putri  Maximianus.  (“Mereka  diwajibkan  menceraikan  istri-istri  mereka 

yang  terdahulu”  komentar  Eutropius.17    Hasil  dari  pengaturan  ini  adalah 

stabilitas.) 

Pada tahun 305, Diocletianus melakukan sesuatu yang belum pernah dicoba 

oleh  kaisar  yang  lainnya.    Ia  lengser,  dan  menyerahkan  pada  Caesarnya—

dan ia mendesak Maximianus untuk berbuat yang sama.  Ia sudah menua 

dan  melemah,  tetapi  daripada  bergantung  pada  kekuasaan  sampai  napas 

akhirnya,  ia  lebih  baik  mensupervisikan  pergantian  kekuasaan  itu  kepada

generasi selanjutnya.  Maximianus mengikuti, dengan tidak rela, dan kedua 

orang itu  mengadakan upacara lengser pada hari yang sama, di ujung yang berbeda dari kekaisaran, keduanya mengikuti pawai kemenangan dan kemu￾dian pada akhirnya, menanggalkan jubah imperial mereka secara seremonial 

dan sebaliknya mengenakan baju sipil.18

   

Diocletianus  membuat  satu  usaha  lagi  untuk  memperhalus  pemikiran 

yang menyulitkan tentang  bangsa Romawi.   Tidak lagi tunduk kepada se￾orang kaisar,  warga negara Roma sekarang diminta untuk menyerah pada 

ide wewenang imperial.   Penggantian baju bermakna lebih dari sandiwara 

umum.  Diocletianus sedang mencoba untuk menunjukkan bahwa kaisarlah 

yang mewakili Roma, pada suatu saat, tetapi tugas perwakilan itu lebih besar 

maknanya daripada pribadi yang memegang kekuasan tersebut.  

Secara singkat, ini berhasil.  Kontantius menjadi kaisar dari Gallia, Italia, 

dan  Afrika;  Galerius  menjadi  kaisar  dari Timur;  dan  dipilihlah  dua  orang 

Caesar lagi untuk menjadi sejawat yunior mereka.  Tetapi ketika Konstantius 

meninggal pada tahun 306, hanya sehari setelah kenaikannya ke atas tahta, 

angkatan perang mendesakkan kembali suksesi.  Para  pasukan belum dapat 

memahami  redefinisi  kekuasaan  imperial  Diocletianus  yang  halus,  dan 

Konstantius sangat disukai oleh angkatan perang di Barat.  Sekarang mere￾ka  menuntut  supaya  Konstantinus  muda,  putra  dari  perkawinannya  yang 

pertama, mewarisi kekuasaannya.  Nafsu irasional seorang putra raja untuk 

menjadi pewaris, bagaimana pun sifatnya, sudah ada pada bangsa manusia 

sejak zaman Etana dari Sumer.  Dan masih tetap kuat sampai tiga ribu tahun 

kemudian.  

Justru inilah yang diharapkan Diocletianus untuk bisa dihindari, tetapi 

sekarang kebiasaan lama itu bertabrakan dengan kelembagaannya yang baru. 

Kaisar  Timur,  Galerius,  mendesak  agar  yunior  Konstantius,  Severus  saja 

yang  menjadi kaisar dari Barat seperti direncanakan.  Dan kemudian nafsu 

berkuasa (yang sudah ada setidaknya sejak Gilgamesh) muncul kembali juga. 

Maximianus,  yang  dari  semula  tidak  pernah  ingin  pensiun,  melemparkan 

topinya  kembali  ke  dalam  arena.    Ia  bergerak  menuju  Severus  yang  sial—

dengan bantuan Konstantinus, yang menjadi saingan Severus untuk memer￾intah Barat—dan mengalahkannya.  

Sekarang  kekaisaran  malah  menjadi  semakin  rumit  dan  kacau  daripada 

semula.  Satu-satunya orang yang mempunyai hak yang sah untuk memerin￾tah adalah Galerius.  Severus sudah mati dan Maximianus seharusnya sudah 

pensiun,  Konstantinus  mendukung  kembalinya  Maximianus  dalam  kekua￾saan dan juga sudah menikahi putri Maximianus, yang berati bahwa kakek 

tirinya adalah juga mertuanya.  Dan putra Maximianus, Maxentius, sekarang 

bisa melihat, bahwa jika ayahnya menjadi kaisar sepenuhnya, ia akan menjadi 

kaisar selanjutnya—selama Konstantinus, kakak iparnya tidak turut campur. 

Setumpukan  peperangan  pecah,  dengan  pergantian  kekuasaan  dari  satu  orang ke orang lainnya dan dari Timur ke Barat, sedangkan para penduduk 

kekaisaran menutup kepalanya dan menunggu.  Pada tahun 312, sederetan 

konflik sudah mencorong ke bawah menjadi satu konflik yang membayang: 

Konstantinus dan pasukannya, di Utara Roma, merencanakan penyerangan 

kepada Maxentius.  Maximianus sendiri bunuh diri dua tahun sebelumnya, 

karena merasa terhina atas ketidakmampuannya untuk mendapatkan kembali 

tahtanya yang lama; Maxentius menguasai Roma, dengan pasukannya sen￾diri. 

Konstantinus  mulai bergerak ke bawah menuju Roma pada bulan Oktober. 

Menurut pakar sejarah gereja Eusebius, yang sumber kisah-kisahnya rupanya 

adalah Konstantinus sendiri, membenarkan bahwa penyerangan ini dilakukan 

dengan cara yang sudah terkenal:  “kota kerajaan kekaisaran Roma tunduk 

kepada  beratnya  tekanan  tirani,”  tulis  Eusebius,  ”  …  (dan)  ia  mengatakan 

bahwa baginya ia hidup tanpa kebahagiaan selama ia melihat kota imperial 

yang tertindas, dan mempersiapkan diri untuk menggulingkan tirani.”19

Tetapi waktu masih lama berlalu  ketika pengakuan sebagai seorang pem￾bebas bisa menyatukan sebuah kekaisaran di balik seorang penakluk; Orang 

Romawi di ibu kota sudah melihat terlalu banyak pembebas yang menawar-

kan versi yang berbeda dari perbudakan.  Konstantinus membutuhkan lebih 

banyak bendera kekuasan untuk bergerak.  

Eusebius sendiri kelihatannya tidak nyaman dengan apa yang terjadi se￾lanjutnya.  Konstantinus,  yang  sedang  mempertimbangkan  apakah  dia  akan 

mengakui dewa Romawi sebagai pendukungnya dalam penaklukannya (sesuatu 

yang berhasil dengan baik bagi Shapur I atas Persia) mengalami penampakan. 

 Suatu tanda yang hebat nampak padanya dari surga, kisah ini mungkin sulit 

dipercaya  kalau  dihubungkan  dengan  orang  biasa.   Tetapi  karena  kaisar 

pemenang sendiri yang setelah itu menyatakan kepada penulis sejarah ini, 

ketika ia diberi kehormatan untuk menjadi kenalannya dan masyarakat￾nya, dan membenarkan pernyataannya dengan sumpah, siapa yang dapat 

meragukan untuk mengakui relasi itu … ?  Katanya sekitar siang hari, ke￾tika hari sudah mulai senja, ia melihat dengan matanya sendiri sebuah piala 

salib bercahaya di surga, di atas matahari, dan bertuliskan Kuasailah dengan 

ini.  Dalam penampakan itu, ia sendiri terpukau … (Sementara ia terus 

merenung dan memikirkan maknanya, malam tiba-tiba datang; kemudian 

dalam tidurnya Kristus Tuhan muncul di hadapannya dengan tanda yang 

sama yang sudah dilihatnya di langit dan memerintahkannya untuk mem￾buat persamaan dengan apa yang dilihatnya di langit, dan menggunakan 

tanda  itu  sebagai  pelindung  dalam  perjumpaan-perjumpaannya  dengan 

musuh.20

Kisah  Eusebius  yang  mengisahkan  dengan  hati-hati    mungkin 

mencerminkan  keraguan  Kristen  Ortodoks  tentang  bagian  terakhir  dari 

penampakannya, karena teologi Kristiani pada umumnya mengecilkan arti 

pemikiran mukjizat seperti itu.  Tetapi Konstantinus tetap bertindak menurut 

penampakan itu, ia mengukir dua huruf Yunani pertama pada nama Kristus, 

chi dan rho, pada helmnya dan meletakkannya pada panji-panjinya.  

Dengan  mendekatnya  Konstantinus,  Maxentus  dan  pasukannya  keluar 

dari kota dan bergerak sepanjang Via Flaminia menyeberangi sungai Tiber, 

untuk membuat jarak di depan Jembatan Milvius.  Kalau ingin mendekati 

mereka Konstantinus harus melewati jembatan itu untuk masuk dalam kota. 

Pasukan  Maxentus  mengalahkan  jumlah  pasukan  Konstantinus,  tetapi 

Eusebius menyebutkan bahwa ada kelaparan di dalam kota; mungkin serdadu￾serdadunya sedang tidak dalam keadaan terkuat.  Penyerbuan Konstantinus 

memukul mundur mereka ke arah Tiber.  Jembatan Milvius terlalu sempit 

untuk  dapat  menahan  kemunduran  mereka,  karena  itu  para  serdadu  yang 

melarikan diri mencoba membangun jembatan ponton sebagai gantinya di 

sebelah jembatan itu.  Perahu-perahu yang berpenumpang lebih itu tengge￾qlam dengan ratusan prajuritnya.  Di antara prajurit yang mundur termasuk 

Maxentius,  yang  terseret    ke  dalam  sungai  Tiber  dengan  baju  perangnya. 

Konstantinus sekarang adalah penguasa kota; tidak lama kemudian ia juga 

menjadi penguasa kekaisaran.  

Eusebius, sambil menceritakan akhir cerita Maxentus, tidak dapat berhenti 

mengutip kata-kata yang digunakan oleh orang-orang Israel yang menang keti￾ka mereka muncul dari Laut Merah dengan orang-orang Mesir yang tenggelam 

di belakang mereka:  “Jadi pemenang boleh mengatakan:  Marilah kita me￾nyanyi untuk Tuhan, karena Dia telah melemparkan kuda dan penunggangnya 

ke dalam laut.”21  Itulah kata-kata yang dinyanyikan oleh orang-orang yang ke￾percayaannya berhubungan dengan keberadaan politis mereka sebagai bangsa; 

sesuatu yang belum pernah dialami oleh orang Kristiani.  Tetapi Konstantinus 

melihat  dalam  Kekritstenan  ada 

harapan  untuk  masa  depan  dari 

bangsanya  sen  diri.    Dalam  tiga 

abad  kekerasan  hati  bangsanya, 

identitas  Kristen—sebuah  identi￾tas  yang  menjadi  mutlak  sentral 

untuk  mereka  yang  berpegang 

pada  hal  itu,  tapi  tidak  mengha￾puskan identitas mereka yang lain 

yang sudah ada sebelumnya –ter￾bukti  lebih  kuat  daripada  yang 

lain.  

Kekaisaran  Roma  telah 

menarik  garis  di  sekitarnya,  me￾naklukkan  sekutu-sekutunya  dan 

menuntut penyerahan pertama ke￾pada kaisar dan kemudian kepada 

beberapa cita-cita dari wewenang 

kaisarnya;  dan  kekaisaran  sudah 

menjadi  lebih  rusak  dan  lebih 

memprihatinkan.  Sementara itu, 

orang Kristiani berhasil keluar dari 

perang  berdarah  dan  yang  sudah 

menyebar di sebagian besar tempat yang terkenal di dunia.  Kristianitas telah 

melakukan apa yang tidak pernah berhasil dikelola oleh Roma:  Kristianitas 

telah menyebar dari tanah asalnya, dari awal yang sempit sebagai aliran sesat 

Yahudi, dan kemudian menjadi sebuah identitas yang menarik para bangsa 

Yahudi, Kafir, Thracia, Yunani, Suriah, dan Romawi untuk menjadi satu.  G A R I S WA K T U 8 5

ROMA  CHINA  PARTIA

    Pemberontakan Turban Kuning (184)

  Septimus Severus, kaisar (193)      Shaodi/Xiandi

  Caracalla, kaisar (211)       Perang Karang Merah (208)

  Macrinus, kaisar (217)       Artabanus V

  Elegabalus, kaisar (218)    Tiga Kerajaan (220) 

    PERSIA

    Ardashir I (226)

  Decius, kaisar (249)      Shapur I (241)

  Valerius, kaisar (253)     

  Gallienus, kaisar (260)   

  Aurelianus, kaisar (270)   

  Carus, kaisar (284)   

  Numerianus, kaisar (284)   

  Diocletianus, kaisar (285)   

 Diocletianus/Maximianus, kaisar bersama (286)   

  Konstantinus/Galerius, kaisar bersama (305)   

  Konstantinus, kaisar (312)   Dalam  persekutuannya  dengan  Tuhan  Kristiani  di  Jembatan  Milvius, 

Konstantinus  telah  mengubah  kekaisaran  menjadi  sesuatu  yang  baru.  Ia 

telah  meninggalkan  penaklukan  yang  tidak  menghasilkan  apa-apa  untuk 

menemukan  ke-Romawian  yang  berakar  pada    kota  Roma,  tetapi  juga 

dapat  menyebarkannya.    Sebaliknya,  ia  memilih  sesuatu  yang  lain  untuk 

menggantikannya.  Ketika ia pergi ke depan dalam perang atas nama Kristus 

pada panji-panjinya, ia meletakkan masa depannya dalam meja judi bahwa ini 

akan menjadi kunci untuk memegang segala satu menjadi satu.  

Inilah akhir dari Roma kuno. Tetapi ini akan terbukti menjadi kebangkitan 

dari sesuatu yang lebih kuat, baik kebaikannya maupun kejahatannya.