-tahun terakhir
itu.15 Ketika Ts’ao akhirnya mengadakan serangan, ternyata angin bertiup
melawannya. Komandan-komandan lawan mengambil kesempatan untuk
melemparkan senjata yang menakutkan ke arah tepi seberang. Pertama
mereka mengirimkan surat meminta Ts’ao menyerah; dan kemudian mereka
“mengambil sepuluh kapal perang yang tertutup,” menurut Sima Guang,
“mengisinya dengan rumput dan kayu kering, menyirami bagian dalamnya
dengan minyak, lalu menutupinya dengan tirai-tirai tenda dan menancapkan bendera-bendera.” Kapal-kapalan itu dikirimkan ke seberang sungai
menuju tempat perkemahan Ts’ao dan kapal-kapalnya berlabuh; dan ketika
mereka sudah hampir sampai ke tepi, serdadu-serdadu dalam perahu-perahu
ringan di belakangnya menyulutnya. “Apinya sangat ganas, dan anginnya begitu keras sehingga kapal-kapal itu meluncur seperti anak panah,” kata Sima
Guang. “Keseluruhan armada Utara terbakar, dan api mencapai perkemahan
di tepi sungai. Dalam waktu sangat singkat asap dan api merentang ke seluruh
langit dan beribu-ribu orang dan kuda terbakar atau tenggelam atau mati.”16
Orang-orang Ts’ao yang melarikan diri menghadapi jalan-jalan yang tidak
dapat dilewati karena lumpur. Mereka mencoba untuk menutupi jalan de- ngan cukup rumput untuk menciptakan permukaan yang keras, tetapi rumput
itu tenggelam di bawah telapak kaki kuda-kuda, dan lebih banyak orang dan
hewan mati dalam kubangan itu.
Jalan itu mengakhiri harapan Ts’ao untuk mempersatukan China. Dia
mundur dengan hanya daerah Utara yang masih tersisa sebagai pengikut raja
Han, dan meskipun peperangan berlanjut ia tidak lagi menantang saingansaingannya.
Xiandi sendiri pasti menyadari bahwa pengakuannya atas kekaisaran
adalah gadungan. Ketika Ts’ao meninggal pada tahun 220, Xiandi turun
tahta, menyerahkan kekuasaan pada putra Ts’ao. Setelah 426 tahun, kerajaan
Han berakhir.
China sekarang terpisah menjadi kerajaan-kerajaan yang saling berperang.
Putra Ts’ao, Ts’ao P’ei, menguasai daratan Han lama di Utara. Di Selatan,
dua dinasti yang bersaing didirikan oleh dua musuh Ts’ao dalam Perang
Karang Merah. Sun Ch’uan di lembah Yangtze, menyombongkan diri sebagai
pendiri Dinasti Wu dan mempunyai ibu kota kerajaan di Chien-yeh—sekarang Nanjing. Liu Pei memerintah di seluruh Barat daya dari ibu kotanya
sendiri di sungai Min, Chendu, sebagai raja pertama dari Dinasti Shu Han.17
Ketiga kerajaan sudah menggantikan Dinasti Han, dan bahkan kemungkinan adanya perdamaian sudah lewat. Dalam tiga abad selanjutnya tidak terlihat
apa-apa selain perang yang tiada akhir.
Di ah barat, Septimius Severus sudah meninggal, dan dua bersaudara
Carcalla dan Geta terkunci bersama dalam satu jabatan imperial. Mereka tidak
pernah berteman baik, dan Geta adalah korban dari pemerintahan gabungan
mereka: Caracalla menyuruh orang membunuhnya di dalam ruangan imperial dan memerintahkan tubuhnya dibakar.
Sejarah Agustan menyatakan bahwa Caracalla kemudian mengalami masa
yang sulit untuk mencoba mendapat dukungan Pengawal Praetoria di sisinya:
Kematian ayahnya, ia pergi ke perkemahan Pengawal Praetoria dan mengeluh di hadapan para serdadu bahwa … adiknya sudah menyiapkan racun
untuknya, dan bahwa ia tidak dihargai oleh ibunya, dan ia di depan umum
berterima kasih kepada mereka yang telah membunuh (Geta). Memang, ia
membayar lebih kepada mereka karena begitu setianya mereka terhadapnya. Beberapa dari serdadu itu sangat menyesalkan pembunuhan Geta,
dan mereka semua mengatakan bahwa mereka tadinya sudah bersumpah
untuk setia kepada dua putra Severus, dan bahwa mereka harus mempertahankan kesetiaan itu pada keduanya. Pintu gerbang (dari perkemahan
itu) ditutup, dan untuk waktu yang lama kaisar tidak diperkenankan
masuk. Para serdadu itu hanya bisa ditenteramkan kalau pikiran mereka
ditenangkan, tidak hanya dengan keluhan dan tuduhan yang diucapkannya melawan Geta, tetapi juga dengan pembayaran uang dalam jumlah
yang besar.18
Kemudian ia mulai mengadakan pembersihan terhadap mereka yang mungkin tidak suka dengan pembunuhan Geta. “Selama masa itu tak terhitung
banyaknya orang yang terbunuh karena mendukung adiknya,” menurut
Sejarah, “pembantaian di mana-mana. Bahkan ada pembunuhan di tempat
peman-dian, dan beberapa terbunuh di tempat makan malam juga.”19 Dio
Cassius menambahkan bahwa Caracalla bahkan melenyapkan penonton
peringatan ulang tahun Geta.
Kemudian ia mengumumkan sebuah undang-undang baru: Semua orang
bebas di kekaisarannya sekarang adalah warga negara Roma.
Tiga ratus tahun sebelumnya, Roma dengan sombong pergi berperang
karena adanya usulan bahwa orang-orang di kota-kota Italia diberi kewarganegaraan. Sekarang undang-undang dikeluarkan tanpa banyak perdebatan
atau diskusi, dan tanpa protes dari rakyat. Dari satu arah, pemberian kewarganegaraan Roma sudah menjadi lebih
tidak berarti: Roma sudah bukan sebuah republik, menjadi seorang Romawi
bukan masalah untuk mendapat hak pilih (yang merupakan isu terbesar
dalam masa Perang Sosial). Tetapi dari arah lain, kewarganegaraan Roma
sepertinya jauh dari tak berarti. Tembok Hadrianus dan berubahnya status
kerajaan-kerajaan yang dilindungi (dengan semacam kemerdekaan dan kebanggaan nasionalnya sendiri) menjadi provinsi-provinsi yang diawasi dengan
ketat, kedua-duanya sama-sama mengarah pada akhir yang tidak terhindarkan, untuk para rakyat yang terkurung dalam perbatasan Roma. Mereka
tidak dapat dibiarkan tetap menjadi sekelompok negara “di bawah kekuasaan
Roma,” seperti kelereng di dalam guci; kesetiaan mereka yang pertama akan
selalu tertuju pada identitas mereka yang pertama, dan ketika krisis memecahkan guci itu, kelereng-kelerengnya akan berhamburan. Mereka harus
ditarik jauh dari masa lalu, dan diarahkan pada sebuah kesetiaan baru. Mereka
harus dibuat menjadi Romawi.
Tetapi Romawi tidak lagi berarti mendapat hak pilih dalam urusan-
urusan bangsa kita. Tidak juga berarti bahwa Roma adalah tempat lahir kita;
kekaisaran sudah bertebaran sampai menjadi begitu banyak negara sehingga ratusan warga negara Roma tidak benar-benar pernah menginjakkan kakinya di kota
yang sekarang menawarkan kepada mereka namanya. Ini bukan bahwa berarti
kita mengenal cara dengan baik bagaimana orang Romawi menikmati makanan,
atau menikmati puisi Seneca, atau bahkan bercakap-cakap dalam bahasa Latin.
Di tangan Caracalla, identitas Romawi berarti tiga hal. Artinya, seperti
pengamatan Epictetus pada dasawarsa-dasawarsa sebelumnya, bahwa kita
patuh kepada kaisar. Itu artinya, sebagai warga negara Roma, kita mempunyai hak-hak tertentu: kalau kita dihukum mati karena suatu perbuatan
kriminal, kita dapat naik banding ke Roma (kecuali jika kebetulan kita
ditangkap dalam suatu pembersihan), perkawinan-perkawinan kita dan kontrak-
kontrak lain dapat dianggap sah di pengadilan Roma, anak-anak kita terjamin
akan mendapat warisan mereka di bawah surat wasiat kita. Dan itu berarti
kita membayar pajak. Caracalla pada saat itu dalam keadaan bangkrut. Uang
suapnya sudah mengeringkan keuangan negara, dan ia memerlukan lebih
banyak warga negara sehingga ia dapat memungut uang lebih banyak untuk
mengisi keuangannya kembali.
Kewarganegaraan Roma, pendeknya, telah menjadi suatu kegiatan jual
beli. Sebagai pengganti perlindungan hukum, orang bebas yang berada di
dalam perbatasan Roma harus membayar uang. Secara khusus ini bukan tawaran yang buruk (atau belum; pajak belum mulai menusuk), tetapi tentunya
tidak banyak berpotensi seperti ikatan-ikatan ini: tidak seperti himbauan
Pericles kepada orang Athena untuk mengikatkan diri mereka pada pemikiran Athena, atau seperti keyakinan orang Yahudi bahwa Tuhan telah menjanjikan
pada keturunan Abraham tanah milik mereka sendiri. Ini adalah pemikiranpemikiran yang mengikat manusia menjadi satu.
Di ahun 212, tahun yang sama ketika Caracalla mengumumkan kewarganegaraan, seorang raja taklukan dari Partia bernama Ardashir dengan
hati-hati berperang melawan kerajaan-kerajaan taklukan lain di sekitarnya.
Kerajaan Ardashir sendiri ada di Pars, provinsi Partia di mana orang Persia
masih hidup; ibu kotanya adalah Gur, dan keluarganya adalah salah satu dari
sisa kerajaan tua Persia. Menurut tradisi yang lebih maju, ia adalah keturunan
jauh dari Darius sendiri, yang terdesak ke dalam ketidakjelasan.20 Dengan
diam-diam, tanpa berbuat terlalu banyak untuk memperingatkan raja Partia
yang jauh, ia membujuk atau menakut-nakuti raja-raja taklukkan di dekatnya
untuk mengubah janji setia mereka kepadanya.
Ia mungkin tidak akan bisa bertahan lama dalam hal ini, kecuali ketika raja
Partia Artabanus V sedang mendapat kesulitan. Salah satu dari kerabatnya menantang mahkotanya, dan setelah sebuah perang saudara yang menyebalkan,
berhasil menguasai Ctesiphon dan menguasai lembah Mesopotamia bawah.
Artabanus terusir dari ibu kotanya dan sedang berkemah di daerah Barat
dengan tidak nyaman, di sebelah dataran Utara antara Tigris dan Efrat. Ia
tidak terlalu banyak memperhatikan apa yang terjadi di sebelah Timur
Ctesiphon.
Caracalla yang melihat kesempatan untuk menciutkan Partia menjadi negara taklukan, mengirimkan pesan kepada Artabanus yang dicopot jabatannya
untuk menawarkan bantuan, sebagai gantinya ia meminta persekutuan dalam
perkawinan dengan putri Arbanus. Artabanus yang melihat bahwa persekutuan ini tidak murni tetapi merupakan usaha pengambilalihan, menolak; dan
begitulah Carascalla melakukan perjalanan ke Timur, dengan sebuah pasukan, dan menyerang daerah Barat perbatasan Partia pada musim gugur tahun
216. Ia beroperasi terus sampai musim dingin, dan kemudian mendirikan
perkemahan musim dingin untuk menunggu dan memperbarui penyerangan
di musim semi.
Di awal bulan April 217, persis sebelum serbuan baru direncanakan,
Caracalla menderita sakit perut yang hebat. Ia sedang naik kuda bersama satu
dari pengawalnya ketika ia terserang keram perut. Ia melompat dari kuda,
memerosotkan celananya. Si pengawal mengambil kesempatan untuk membunuhnya sementara kedua tangannya sedang sibuk.
Serdadu-serdadu berkuda tidak jauh dari situ berlari ke tempat itu dan
kemudian membunuh si pembunuh dengan lembing. Seperti pembunuh
Caligula, ia sudah berjasa pada kekaisaran dengan mengorbankan hidupnya sendiri. Tubuh Caracalla dikremasi, abunya dikirim ke Roma; ia sudah memerintah selama enam tahun, dan mati pada usia dua puluh sembilan tahun.
Legiun Timur, yang ditinggalkan tanpa kaisar, menyatakan jenderal mereka Macrinus sebagai kaisar baru. Di akhir musim semi tahun 217, Macrinus
memimpin mereka lagi menyeberangi perbatasan Partia. Tetapi Artabanus
V selama musim dingin itu sudah menghimpun kekuatannya, dan setelah
pertempuran yang keras, orang Romawi terpaksa jatuh kembali tanpa kemenangan. Macrinus yang tidak mau mengadakan serbuan kembali, menawarkan
untuk membayar mereka dan menyerahkan sejumlah uang yang besar yang
jumlahnya mengejutkan.
Hal ini membuat banyak serdadunya marah. Seorang kaisar yang mendapatkan kekuasaannya semata-mata karena kemampuan militernya tidak punya
apa-apa lagi, begitu ia kalah perang; dan tepat di situ ada calon saingan kaisar.
Ia adalah sepupu pertama Caracalla yang pernah dibuang (cucu dari saudara
perempuan ibunya), seorang pemuda yang tinggi dan tampan berusia empat
belas tahun bernama Elegabalus, yang mirip dengan Caracalla dan secara luas
digosipkan sebagai putra tidak sahnya.
Pada tanggal 16 Mei, beberapa bulan setelah kekalahan itu, sekelompok
serdadu menyatakan Elegabalus sebagai Kaisar menggantikan Macrinus.
Macrinus mendapatkan makin banyak pengikutnya yang meninggalkannya
untuk mengikuti kaisar yang baru. Akhirnya ia pun melarikan diri, tetapi
serdadu-serdadu yang mengejarnya menemukannya, sebulan kemudian, di
Kalkedon, mencoba untuk menyeberangi Bosforus menuju ke Thracia.21
Ia ditahan, dan tidak lama kemudian dibunuh dalam tahanan.
Ternyata Elegabalus adalah orang yang berpikiran lembek dan luar biasa
suka menyenangkan diri; bahkan kalau setengah dari kisah-kisah yang berhubungan dalam Sejarah Agustan benar, ia menjadi gila tidak lama setelah
kenaikan tahtanya. Kebanyakan rincian kisahnya disimpulkan dalam Sejarah
dengan komentar-komentar yang asam bahwa para serdadu segera kehilangan
kesabaran dengan “seorang princeps yang menerima nafsu birahi dalam setiap
pori-prori tubuhnya.”22 Ia juga meluapkan nafsunya dalam ritual keagamaan
yang aneh, salah satunya melibatkan pemujaan terhadap sebuah batu yang
ditemukannya dan dinyatakan sebagai dewa, dan yang lain ketika yang membuatnya mencoba untuk mengkhitankan dirinya sendiri (ternyata sebaliknya,
ia malah mengebiri dirinya sendiri).
Pada tahun 222, Pengawal Praetoria sudah menjajarkan calon kaisar yang
lain, dan satu pasukan pengawal pergi mencari Elegabalus. Ia mendengar
mereka datang dan bersembunyi di belakang kakus umum, tetapi mereka
menyeretnya keluar, membunuhnya dan mengorek-ngorek tubuhnya ke dalam
pipa pembuangan, menyeretnya berkeliling dengan kereta lomba, dan akhir
nya melontarkannya ke sungai Tiber dengan sebuah batu diikatkan pada
tubuh itu. Pertalian darahnya dengan kaisar sebelumnya sudah membuatnya
naik tahta, tetapi tidak menyelamatkannya.
G A R I S WA K T U 8 4
ROMA CHINA PARTIA
Traianus, kaisar (98)
Andi Vologases III
Hadrianus, kaisar (117)
Shundi
Antoninus Pius, kaisar (138)
Chongdi Vologases IV
Zhidi
Huandi
Markus Aurelius dan Lucius Verus
Markus Aurelius, kaisar satu-satunya (169) Lingdi (168)
Bangkitnya Turban Kuning
Commodus, kaisar (180)
Pemberontakan Turban Kuning (184)
Septimius Severus, kaisar (193) Shaodi/Xiandi
Caracalla, kaisar (211) Perang Karang Merah (208)
Macrinus, kaisar (217) Vologases V
Elegabalus, kaisar (218) Tiga Kerajaan (220)
Di 222, t pembunuhan Elegabalus,
raja Partia Artabanus V berhasil mengalahkan penantangnya dan merebut
kembali Ctesiphon.
Ia hanya memegang ibu kotanya untuk dua tahun. Ardashir, pemuda
Persia telah berhasil melanjutkan pembangunan kota-kota Midia dan Persia
lama dan sekutu-sekutu mereka, dan ia sekarang sudah memperkuat diri di
ibu kota negaranya Gur. Di tahun 224, ia dan pasukannya maju menemui
gerombolan Partia ini di dataran Hormizdagan.
Dalam pertempuran Artabanus V terbunuh. Kekaisaran Partia sudah
berakhir; sekarang Ardashir pindah ke istana di Ctesiphon dan menyatakan
dirinya, dengan tata cara lama Persia, menjadi Ardashir I, Raja segala Raja.
Dinastinya memakai nama Dinasti Sasania, dari marga asli Persianya.
Kekaisaran Partia, yang sudah berevolusi sejak pengambilalihan bangsa
nomad, sudah menjadi sekumpulan kerajaan taklukan yang melapor kepada
seorang raja dari keseluruhan. Hal ini, disadari oleh Ardashir I berdasarkan
pengalamannya, memberi para raja pemberontak terlalu banyak kebebasan
untuk memberontak. Sebaliknya, ia mengatur kekaisaran barunya ini menjadi sesuatu yang lebih mirip kerajaan Persia lama. Ia membagi kekaisarannya
menjadi beberapa provinsi atau satrap di bawah gubernur-gubernur militer;
ini sengaja dibentangkan ke seluruh dan melewati perbatasan kerajaan yang
lama, untuk memutuskan persekutuan-persekutuan yang mungkin akan
membentuk setelah jatuhnya Artabanus V. Para gubernur yang jiga anggota
marga kerajaan Sasania sendiri, dikenal dengan gelar kehormatan Persia yaitu
shah. Karena bangsa Roma, jatuh dari satu raja yang tidak berguna kepada raja
lain semacam itu, kebangkitan bangsa Persia pastilah seperti kembalinya satu
monster dari mimpi lama. Ardashir I, Raja Agung dari dominasi Persia yang
baru dan sudah direstorasi, memerintah sampai tahun 241 dan kemudian
menurunkan pada putranya Shapur sebuah kekaisaran yang teratur, dan siap
untuk berekspansi..
Koin-koin dari zaman akhir pemerintahannya memperlihatkan Ardashir
berhadapan dengan seorang pangeran yang lebih muda, ia terlihat seperti
memahkotai putranya sendiri sebagai penguasa bersama sebelum kematiannya. Ahli sejarah Arab dari abad kesembilan, Abu al-Mas’udi, yang seperti
Herodotus melakukan perjalanan melalui dunia yang terkenal dan mengumpulkan tradisi purba untuk ditenun dalam sebuah cerita sejarah, mengatakan
bahwa Ardashir meletakkan mahkota di atas kepala Shapur dengan tangannya
sendiri, dan kemudian lengser sehingga Shapur dapat memerintah sendiri.1
Ini menunjukkan bahwa seseorang dengan pikiran akan masa depan (sesuatu
yang tidak tampak pada para kaisar Romawi beberapa dasawarsa yang lalu).
Shapur I memulai karirnya sebagai raja dengan memohon dewa
Ahuramazda untuk mendukung kenaikannya ke atas tahta. Ardashir I dan
Shapur I keduanya adalah pengikut aliran Zoroastria, suatu keyakinan
bahwa sebuah agama mistik awalnya dikhotbahkan oleh nabi Zoroaster (atau
Zarathustra) dulu waktu zaman Darius I. Ajaran Zoroastria mempunyai teologi dan bahkan ritual-ritual yang rumit, tetapi pada saat Shapur I ajaran itu
mengajarkan bahwa alam raya terbagi menjadi dua kekuatan yang berlawanan yang sama kuat yaitu baik dan jahat. Kebaikan berasal dari dewa agung
Ahuramazda; kejahatan terletak pada dewa yang berlawanan yaitu Ahriman.2
Dualisme ini berarti bahwa kebaikan dan kejahatan ada dalam konflik yang
abadi, dan para pengikut Zoroaster menyatakan perang tiada akhir terhadap
kekuatan-kekuatan jahat, yang diwakili oleh jiwa-jiwa yang bersifat iblis yang
disebut daeva. “Aku mengutuk para Daeva,” begitulah awal syahadat yang
dihubungkan dengan Zoroaster sendiri, “Aku menyatakan diri sebagi pemuja
Mazda, Aku menganggap semua kebaikan berasal dari Ahuramazda. Aku
menginginkan kebebasan bergerak dan kebebasan bertempat tinggal untuk
mereka yang mempunyai rumah, untuk mereka yang tinggal di bumi bersama
ternak … Dari semua agama yang ada atau akan ada, agama ini adalah yang
terbesar, terbaik dan terindah.”3
Shapur tidak ragu-ragu mengakui adanya dukungan Ahuramazda pada
sisi ketuhanan dari haknya untuk memerintah; tidak ada pembicaraan sekitar
kebijaksanaan berpikir rakyatnya. Sebagai raja Persia, ia adalah juara dalam
kebenaran. Ardashir sendiri telah menyatakan Zoroastrianisme sebagai agama
negara dari kekaisarannya yang baru, yang menyatukan setiap rakyatnya bersatu dalam suatu komunitas suci dengan satu tujuan. Setiap rakyat Shapur
adalah seorang prajurit yang melawan para daeva; kesetiaan tiap laki-laki
mapun perempuan kepada Persia juga merupakan pernyataan pada perlawanan terhadap kejahatan secara tetap. Agama resmi itu juga merupakan
pembentuk bangsa yang amat sangat kuat.
Penaklukan bersenjata Shapur I dimulai dengan raksasa Roma. Ia berhasil
menangkap garnisun Roma di Mesopotamia dan kemudian bergerak masuk
ke Suriah untuk menghadapi kekuatan Roma di provinsi Suriah. Usaha awal
Persia untuk menusuk ke Roma ini gagal; Angkatan perang Shapur dikalahkan
oleh legiun Suriah, dan orang Persia terpaksa mundur.
Tetapi meskipun tangkisan ini berhasil, kemampuan Roma untuk menghindari serangan Persia
sangat ternoda. Roma juga menghadapi musuh baru di Utara.
Suatu waktu di abad kedua, bangsa-bangsa yang sudah lama tinggal di
semenanjung Utara yang kita kenal sebagai Skandinavia menyeberangi selat
dalam kapal-kapal dan berlabuh di pantai Eropa. Penulis abad keenam,
Jordanes, sumber kita yang paling baik tentang apa yang terjadi kemudian,
mengawali sejarah mereka di sini: ia menulis, “di wilayah-wilayah Artik
(Kutub Utara),” ada “ sebuah pulau besar bernama Scandza, dari mana ceritaku (berkat Tuhan) akan dimulai. Bangsa yang asalnya ingin kita ketahui
ini maju ke depan seperti sekawanan lebah dari tengah-tengah pulau ini dan
datang masuk ke daratan Eropa.”4
Para pendatang baru ini dikenal oleh orang Romawi sebagai bangsa Goth.
Jordanes menyebut mereka “banyak dan bermacam-macam,” dan membuat
daftar sekumpulan suku-suku yang termasuk dalam nama umum Goth:
Finnathae dan suku Finn, Dani dan Grannii dan banyak lagi. Mereka adalah
bangsa-bangsa yang keras dan ulet, tambahnya, “tidak ada ras lain yang seperti
itu dalam penderitaan maupun berkat-berkatnya, karena selama harinya yang
paling panjang mereka melihat matahari kembali ke ufuk Timur sepanjang
tepi cakrawala, tetapi pada hari-hari yang terpendek menjadi tidak tampak.”5
Terbiasa dengan dua puluh empat jam siang dan malam, bangsa Goth merasa
nyaman dengan keekstreman.
Di Eropa, mereka berjuang melampaui suku-suku Jerman di bawah sampai
ke Danube, dan beberapa mencoba membuka jalan mereka ke Timur, ke arah
wilayah Scythia. Setelah ini Jordanes membagi mereka dalam dua kelompok:
bangsa Visigoth dan “Goth dari Negara-negara Barat,” dan Ostrogoth, dari
sebelah Timurnya. Bangsa Visigoth sekarang mengancam Danube memasuki
wilayah Roma, sedangkan bangsa Ostrogoth masuk membanjiri daratan-daratan lama Thracia dan Makedonia.
Pada tahun 249, ancaman invasi dari Utara sudah menjadi cukup akut
bagi angkatan perang untuk mengatasi masalah itu sendiri. Kaisarnya yang
sekarang, Filipus si pelupa,
mencoba untuk membayar bangsa Goth dengan
pembayaran upeti, dan sudah menunggak dalam cicilannya, sehingga karenanya bangsa Visigoth menyeberangi sungai Danube dan merusak daerah
pedesaan. Pasukan-pasukan di dekat Danube, yang sudah muak, mengangkat
jenderal mereka, Decius, sebagai kaisar; beberapa dari mereka, kata Jordanes,
begitu saja melakukan desersi dan pergi bergabung dengan orang Goth. Decius hanya bertahan persis dua tahun. Setelah ia pergi ke Roma untuk
menerima kekuasaan barunya, ia kembali lagi ke atas untuk melawan para
penjajah. Di tahun 251 ia terbunuh dalam perang, di bawah Danube. Ia
adalah kaisar Roma pertama yang jatuh di kancah peperangan melawan
ancaman dari luar; semua yang lainnya dilenyapkan oleh orang senegaranya.
Ketika Shapur I melakukan penyerangan selanjutnya melawan tapal batas
Suriah di tahun 252, legiun Roma dengan serius ditempatkan untuk membelah perbatasan Timur dari tekanan Persia dan perbatasan Utara dari serangan
bangsa Goth. Pertahanan Timur jatuh terlebih dahulu Shapur I mendesak
melampaui garnisun Suriah dan merebut Suriah sendiri. Di tahun 253, ia
merebut kota Antiokhia yang besar di sebelah Timur dan meruntuhkannya.
Pada tahun yang sama, Roma akhirnya mendapat kaisar yang berhasil bertahta sampai lebih dari satu atau dua bulan. Valerianus sudah bertugas sebagai
konsul dan juga jenderal; ia hampir berumur enam puluh, tetapi untuk beberapa tahun kelihatannya ia mungkin bisa mengembalikan nasib baik Roma.
Ia memberi perintah pada putranya Gallienus untuk memimpin legiun di
sebelah Barat, dan sementara Gallienus bertempur menghadapi para penjajah
dekat sungai Rheine, Valerianus mulai memenangkan peperangan di Timur.
Tidak tahu tepatnya ada beberapa, tetapi koinnya dari tahun 257 menye-
butnya “Yang Memperbaiki Dunia,” yang (kalau dianggap berlebihan)
menunjukkan keberhasilan yang berarti. Tetapi di tahun 260, sebuah wabah
menyapu pasukannya dan melemahkannya. Ketika orang Persia menyerangnya di Edessa, ia terpaksa mundur, dan akhirnya meminta diadakan
perundingan.
Shapur I setuju, selama kaisar akan menemuinya dengan sekelompok
kecil prajurit. Valerianus tiba di tempat perundingan dengan hanya beberapa
pengawal; Shapur I membunuh rombongannya dan menangkapnya.
Pakar sejarah gereja sesudahnya, yang mempunyai sejarah yang hampir
paling lengkap mengenai kehidupan Valerianus tetapi menghujatnya karena ia
membeci orang Kristiani, memandang ini sebagai pengadilan. “Tuhan sudah
menghukumnya dengan cara yang baru dan luar biasa,” kata Lactantius.
“Shapur, raja orang Persia, yang telah menjadikannya tahanan, jika ia ingin
naik ke keretanya atau naik ke punggung kudanya, memerintahkan si orang
Romawi itu untuk membungkuk dan menyediakan punggungnya; kemudian, meletakkan kakinya ke atas bahu Valerianus, ia berkata, dengan senyum
mencela, ‘Ini nyata, dan bukan seperti orang Roma yang meletakkannya pada
papan atau semen.’ Valerianus masih hidup lama di bawah hinaan-hinaan
yang pantas diterimanya dari penakluknya itu; sehingga nama Roma bertahan
lama dalam ejekan dan cemoohan orang barbar.”6
Seorang kaisar Roma, yang masih bermahkota, dalam tangkapan seorang
barbar Persia dan berlaku sebagai penunjang kaki, merupakan kebalikan
yang sangat menghina yang bisa dibayangkan. Bagi Shapur ini adalah hal
yang besar tentunya, pada makamnya ia mengukir gambarnya sendiri, duduk
dengan kemenangan di atas punggung kuda, menghela lengan Valerianus.
Kaisar sebelumnya, Filipus, menggeletak dengan rendah diri di depan
kuda itu; kaisar yang lain terlentang di bawah telapak-telapak kaki kuda itu.
Dalam sekejap Roma menjadi kurang menakutkan, kurang bisa mengatasi
segalanya. Provinsi-provinsi mulai memberontak. Pasukan Romawi men-
jadi kurus karena berurusan dengan pemberontakan dan dengan semakin
banyaknya invasi dari Utara: suku-suku Jerman Alemanni yang menerobos
masuk ke Italia, bangsa Frank (juga berasal dari suku Jerman) memporakporandakan provinsi-provinsi Roma di semenanjung Iberia, dan bangsa Gallia
memecahkan diri dan mengumumkan sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat.
Valerianus masih dalam tahanan, dan masih menjadi kaisar; putranya
Gallienus sekarang menjadi pejabat kaisar, lebih kurang karena kesalahan. Ia
adalah seorang jenderal yang kompeten, tetapi kekacauan setingkat itu tidak
dapat diperbaiki oleh satu orang saja. Ia juga hanya akan tetap berkuasa
sepanjang ia bisa membuktikan diri sebagai seorang komandan, dan ia dapat
melihat bahwa hari-harinya terbatas. Ia mengajak makan bersama musuhnya, sebagai usahanya untuk menghindari racun; ia menempatkan sekelompok kecil prajurit yang dipercayanya di sekitarnya setiap saat; tetapi di tahun
268, salah satu dari prajurit-prajurit itu membunuhnya.
Pada suatu saat yang tidak diketahui dengan jelas, ayahnya, Valerianus,
juga meninggal dalam tangkapan. Shapur memperlakukan tubuhnya seperti
piala: “Ia dikuliti,” kata Lactantius, “dan kulitnya, dikelupas dari tubuhnya,
dicat dengan warna merah cabe, dan ditempatkan di kuil dewa-dewa para
barbar, sehingga peringatan akan kemenangan itu diabadikan, dan pemandangan ini mungkin akan selalu dipertontonkan kepada para duta besar kita,
sebagai hujatan pada bangsa Romawi, supaya, dengan menyimpan sisa-sisa
tubuh kaisarnya yang ditangkap dalam sebuah kuil Persia, mereka tidak akan
mempunyai kepercayaan diri lagi terhadap kekuatan mereka sendiri.”7
S di tahun 268, Kekaisaran Roma— hampir
tidak dapat—tetap mempertahankan keberadaannya. Pada tahun 271, penjajah barbar berhasil membuka jalan tepat ke tengah-tengah semenanjung.
Tetapi kaisar Aurelianus yang memerintah, seorang serdadu yang berubah menjadi raja, yang oleh pakar sejarah abad keempat Eutropius disebut
“seorang yang cakap dalam perang … cenderung menyukai kekejaman,”8
mengerahkan pasukannya dalam serangkaian operasi militer yang terencana
dengan baik yang hampir dapat merestorasi perbatasan-perbatasan yang lama.
Perpecahan untuk sementara berbalik, dan ini membuat Aurelianus dihargai
meskipun tidak disukai. “Ia betul-betul jahat dan haus darah,” Eutropius
menyimpulkan, “dan agaknya merupakan kaisar yang diperlukan untuk jaman
seperti itu, lebih dihargai daripada disukai …Tetapi, ia adalah seseorang yang
banyak mereformasi disiplin dan tata cara kemiliteran yang hancur.”9
Tetapi hanya menyehatkan kembali keadaan angkatan perang tidak akan
bisa mengatasi kesulitan-kesulitan Roma. Aurelianus sendiri menyadari hal
ini ketika ia memerintahkan untuk membangun tembok di sekitar kota itu
sendiri. Selama tiga ratus tahun, Roma tidak mempunyai tembok; warga negaranya menyombongkan diri bahwa kota sudah terlindung dengan kekuatan
angkatan perang Roma.10 Sekarang perlindungan itu tidak dapat diharapkan
lagi. Kesetiaan angkatan perang dimana kekuasaan kekaisaran berdiri, sekarang sudah sangat berubah. Aurelianus sendiri hanya bertahan lima tahun
sebelum Pengawal Praetoria membunuhnya di tengah-tengah jalan umum.11
Senat meletakkan kekuasaan di tangan kaisar, kaisar menyenderkan kekuatannya pada angkatan perang, dan Roma mempunyai terlalu banyak angkatan
perang di medan-medan yang terlalu banyak untuk bisa menjaga kestabilitasannya. Dalam sembilan tahun setelah Aurelianus, enam orang sudah digelari
kaisar, dan masing-masing orang tersebut dibunuh. Perkecualian yang mungkin terjadi adalah yang keempat: kaisar Carus.
Orang-orangnya mengakui bahwa ia disambar kilat ketika melakukan operasi
militer di tepi sungai Tigris.12 Ini kelihatannya tidak mungkin. Sebaliknya,
ketika Carus “disambar kilat,” komandan pengawal pribadinya, Diocletianus,
sedang berada di perkemahan itu. Putra Carus, Numerianus,. kemudian
menjadi raja, dan meninggal dengan misterius ketika melakukan perjalanan
bersama pasukannya. Ia berkuda dalam tandu karena mengalami kesulitan dengan penglihatannya sehingga menghalanginya keluar jika matahari
bersinar dengan terik, dan ketika ia mati dalam tandu tidak seorang pun
mengetahui. “Kematiannya … diketahui setelah ada bau mayatnya,” kata
Etropius, “karena para serdadu yang mengurusnya, disadarkan oleh bau yang
menyengat lalu membuka tirai-tirai tandunya, dan menyadari kematiannya
baru beberapa hari setelah terjadi.”13
Bau busuk persekongkolan ini (orang heran apa artinya “mengurusnya”,
kalau para serdadu itu tidak menyadari keadaan Numerianus yang sudah berada di balik tirai tandu itu berhari-hari), dan tidak lama kemudian ditunjuklah
biang keladinya. Angkatan perang berkumpul untuk menunjuk seorang pemimpin baru, dan Diocletianus berteriak dengan sombong bahwa ia tahu
siapa yang membunuh Numerianus: ia adalah ayah mertua Numerianus
sendiri, yang menjadi komandan dari Pengawal Praetoria. Dikuasai oleh kesombongannya akan kebenaran, ia mencabut pedangnya dan membunuh pria
itu “di depan angkatan perang,” sehingga dapat menghindari perlunya penyelidikan atas tuduhan itu.14
Lalu putra Carus yang lain ditunjuk oleh teman-teman ayahnya menjadi
kaisar. Ambisi Diocletianus sekarang muncul ke permukaan. Ia memimpin
para pendukungnya melawan pasukan kaisar baru, dan membunuh musuhnya dalam peperangan.
Ini menyisakan Diocletianus sebagai kepala kekaisaran Roma: seorang
yang disebut oleh Lacantius sebagai “pengarang dan perencana dari kesengsaraan yang buruk itu”15 Seperti para pendahulunya, Diocletianus mendapat
nama buruk dari para bapak gereja karena ia juga memerintahkan peraturan
penindasan terhadap orang Kristiani. Lactantius menuduhnya melakukan
korupsi, kejahatan, pajak yang berlebihan, pemerkosaan, dan banyak hal lagi
yang bisa dimasukkannya ke dalam bejana itu dan menyimpulkan dengan
mengumumkan bahwa ia hampir menghancurkan Roma: “Orang ini, sebagian karena ketamakan, dan sebagian lagi karena nasihat-nasihat yang
takut-takut, telah menggulingkan kekaisaran Roma,” keluhnya. “Karena ia
memilih tiga orang untuk berbagi pemerintahan dengannya; dan karena itu,
setelah kekaisaran dibagi empat, angkatan perang dilipatgandakan, dan masing-masing dari keempat bagian itu berusaha untuk mempertahankan lebih banyak kekuatan militer daripada satu-satunya kaisar yang pernah terjadi di
zaman yang sudah berlalu.”16
Tetapi sebetulnya pembagian kekaisaran itu menyelamatkannya.
Diocletianus tidak diragukan lagi adalah orang yang ambisius, tetapi ambisinya
lebih rumit daripada apa yang dikatakan Lactantitus. Ia tidak hanya berusaha meraih kemenangan. Ia juga mencari solusi atas kesulitan yang dialami
kekaisaran, dan ia menemukannya dengan memberikan dengan cuma-cuma
hampir sebagian besar kekuasaannya.
Pada tahun ketika ia naik tahta, Diocletianus memilih seorang tangan kanannya, seorang perwira angkatan perang yang lain bernama Maximianus yang
dikenalnya dengan baik. Ia memberikan gelar imperial Agustus kepadanya,
dan menawarkannya untuk memegang jabatan sebagai kaisar bersama: yang
pertama kali sejak hari-hari yang celaka pada zaman Caracalla dan Geta, ketika orang kaisar berbagi gelar.
Menurut kesimpulannya, masalah terbesar yang dihadapi oleh kekaisaran
adalah karena ukurannya. Tidak mungkin satu orang mampu menangani
seluruh wilayah tanpa menggunakan tirani yang bersifat autokrasi, tirani
autokrasi membimbing ke arah kematian. Bagaimana pun juga, bahkan kaisar yang paling autokratis pun tidak dapat tetap menjadi kesayangan angkatan
perang yang tersebar dari Gallia sampai jauh ke sungai Efrat. Legiun-legiun
cenderung untuk menyukai orang yang berada paling dekat dengan mereka;
Diocletianus memberikan kepada kedua belah kekaisaran seorang kaisar yang
dapat tinggal di dekatnya.
Kekuasaan angkatan perang terus mencemaskan Diocletianus. Di tahun
293, Diocletianus mengatur lebih jauh dengan menjaga supaya angkatan
perang tidak terlibat dalam pergantian kekuasaan. Ia menunjuk dua kaisar
yunior, dua perwira yang diberi gelar Caesar (pangkat yang biasa diberikan
seorang kaisar kepada penerusnya). Kedua Caesar ini yaitu Konstantius dan
Galerius, juga terikat pada kaisar sendiri dengan cara yang lebih pribadi:
Galerius menikahi puteri Diocletianus, sedangkan Konstantius menikahi
putri Maximianus. (“Mereka diwajibkan menceraikan istri-istri mereka
yang terdahulu” komentar Eutropius.17 Hasil dari pengaturan ini adalah
stabilitas.)
Pada tahun 305, Diocletianus melakukan sesuatu yang belum pernah dicoba
oleh kaisar yang lainnya. Ia lengser, dan menyerahkan pada Caesarnya—
dan ia mendesak Maximianus untuk berbuat yang sama. Ia sudah menua
dan melemah, tetapi daripada bergantung pada kekuasaan sampai napas
akhirnya, ia lebih baik mensupervisikan pergantian kekuasaan itu kepada
generasi selanjutnya. Maximianus mengikuti, dengan tidak rela, dan kedua
orang itu mengadakan upacara lengser pada hari yang sama, di ujung yang berbeda dari kekaisaran, keduanya mengikuti pawai kemenangan dan kemudian pada akhirnya, menanggalkan jubah imperial mereka secara seremonial
dan sebaliknya mengenakan baju sipil.18
Diocletianus membuat satu usaha lagi untuk memperhalus pemikiran
yang menyulitkan tentang bangsa Romawi. Tidak lagi tunduk kepada seorang kaisar, warga negara Roma sekarang diminta untuk menyerah pada
ide wewenang imperial. Penggantian baju bermakna lebih dari sandiwara
umum. Diocletianus sedang mencoba untuk menunjukkan bahwa kaisarlah
yang mewakili Roma, pada suatu saat, tetapi tugas perwakilan itu lebih besar
maknanya daripada pribadi yang memegang kekuasan tersebut.
Secara singkat, ini berhasil. Kontantius menjadi kaisar dari Gallia, Italia,
dan Afrika; Galerius menjadi kaisar dari Timur; dan dipilihlah dua orang
Caesar lagi untuk menjadi sejawat yunior mereka. Tetapi ketika Konstantius
meninggal pada tahun 306, hanya sehari setelah kenaikannya ke atas tahta,
angkatan perang mendesakkan kembali suksesi. Para pasukan belum dapat
memahami redefinisi kekuasaan imperial Diocletianus yang halus, dan
Konstantius sangat disukai oleh angkatan perang di Barat. Sekarang mereka menuntut supaya Konstantinus muda, putra dari perkawinannya yang
pertama, mewarisi kekuasaannya. Nafsu irasional seorang putra raja untuk
menjadi pewaris, bagaimana pun sifatnya, sudah ada pada bangsa manusia
sejak zaman Etana dari Sumer. Dan masih tetap kuat sampai tiga ribu tahun
kemudian.
Justru inilah yang diharapkan Diocletianus untuk bisa dihindari, tetapi
sekarang kebiasaan lama itu bertabrakan dengan kelembagaannya yang baru.
Kaisar Timur, Galerius, mendesak agar yunior Konstantius, Severus saja
yang menjadi kaisar dari Barat seperti direncanakan. Dan kemudian nafsu
berkuasa (yang sudah ada setidaknya sejak Gilgamesh) muncul kembali juga.
Maximianus, yang dari semula tidak pernah ingin pensiun, melemparkan
topinya kembali ke dalam arena. Ia bergerak menuju Severus yang sial—
dengan bantuan Konstantinus, yang menjadi saingan Severus untuk memerintah Barat—dan mengalahkannya.
Sekarang kekaisaran malah menjadi semakin rumit dan kacau daripada
semula. Satu-satunya orang yang mempunyai hak yang sah untuk memerintah adalah Galerius. Severus sudah mati dan Maximianus seharusnya sudah
pensiun, Konstantinus mendukung kembalinya Maximianus dalam kekuasaan dan juga sudah menikahi putri Maximianus, yang berati bahwa kakek
tirinya adalah juga mertuanya. Dan putra Maximianus, Maxentius, sekarang
bisa melihat, bahwa jika ayahnya menjadi kaisar sepenuhnya, ia akan menjadi
kaisar selanjutnya—selama Konstantinus, kakak iparnya tidak turut campur.
Setumpukan peperangan pecah, dengan pergantian kekuasaan dari satu orang ke orang lainnya dan dari Timur ke Barat, sedangkan para penduduk
kekaisaran menutup kepalanya dan menunggu. Pada tahun 312, sederetan
konflik sudah mencorong ke bawah menjadi satu konflik yang membayang:
Konstantinus dan pasukannya, di Utara Roma, merencanakan penyerangan
kepada Maxentius. Maximianus sendiri bunuh diri dua tahun sebelumnya,
karena merasa terhina atas ketidakmampuannya untuk mendapatkan kembali
tahtanya yang lama; Maxentius menguasai Roma, dengan pasukannya sendiri.
Konstantinus mulai bergerak ke bawah menuju Roma pada bulan Oktober.
Menurut pakar sejarah gereja Eusebius, yang sumber kisah-kisahnya rupanya
adalah Konstantinus sendiri, membenarkan bahwa penyerangan ini dilakukan
dengan cara yang sudah terkenal: “kota kerajaan kekaisaran Roma tunduk
kepada beratnya tekanan tirani,” tulis Eusebius, ” … (dan) ia mengatakan
bahwa baginya ia hidup tanpa kebahagiaan selama ia melihat kota imperial
yang tertindas, dan mempersiapkan diri untuk menggulingkan tirani.”19
Tetapi waktu masih lama berlalu ketika pengakuan sebagai seorang pembebas bisa menyatukan sebuah kekaisaran di balik seorang penakluk; Orang
Romawi di ibu kota sudah melihat terlalu banyak pembebas yang menawar-
kan versi yang berbeda dari perbudakan. Konstantinus membutuhkan lebih
banyak bendera kekuasan untuk bergerak.
Eusebius sendiri kelihatannya tidak nyaman dengan apa yang terjadi selanjutnya. Konstantinus, yang sedang mempertimbangkan apakah dia akan
mengakui dewa Romawi sebagai pendukungnya dalam penaklukannya (sesuatu
yang berhasil dengan baik bagi Shapur I atas Persia) mengalami penampakan.
Suatu tanda yang hebat nampak padanya dari surga, kisah ini mungkin sulit
dipercaya kalau dihubungkan dengan orang biasa. Tetapi karena kaisar
pemenang sendiri yang setelah itu menyatakan kepada penulis sejarah ini,
ketika ia diberi kehormatan untuk menjadi kenalannya dan masyarakatnya, dan membenarkan pernyataannya dengan sumpah, siapa yang dapat
meragukan untuk mengakui relasi itu … ? Katanya sekitar siang hari, ketika hari sudah mulai senja, ia melihat dengan matanya sendiri sebuah piala
salib bercahaya di surga, di atas matahari, dan bertuliskan Kuasailah dengan
ini. Dalam penampakan itu, ia sendiri terpukau … (Sementara ia terus
merenung dan memikirkan maknanya, malam tiba-tiba datang; kemudian
dalam tidurnya Kristus Tuhan muncul di hadapannya dengan tanda yang
sama yang sudah dilihatnya di langit dan memerintahkannya untuk membuat persamaan dengan apa yang dilihatnya di langit, dan menggunakan
tanda itu sebagai pelindung dalam perjumpaan-perjumpaannya dengan
musuh.20
Kisah Eusebius yang mengisahkan dengan hati-hati mungkin
mencerminkan keraguan Kristen Ortodoks tentang bagian terakhir dari
penampakannya, karena teologi Kristiani pada umumnya mengecilkan arti
pemikiran mukjizat seperti itu. Tetapi Konstantinus tetap bertindak menurut
penampakan itu, ia mengukir dua huruf Yunani pertama pada nama Kristus,
chi dan rho, pada helmnya dan meletakkannya pada panji-panjinya.
Dengan mendekatnya Konstantinus, Maxentus dan pasukannya keluar
dari kota dan bergerak sepanjang Via Flaminia menyeberangi sungai Tiber,
untuk membuat jarak di depan Jembatan Milvius. Kalau ingin mendekati
mereka Konstantinus harus melewati jembatan itu untuk masuk dalam kota.
Pasukan Maxentus mengalahkan jumlah pasukan Konstantinus, tetapi
Eusebius menyebutkan bahwa ada kelaparan di dalam kota; mungkin serdaduserdadunya sedang tidak dalam keadaan terkuat. Penyerbuan Konstantinus
memukul mundur mereka ke arah Tiber. Jembatan Milvius terlalu sempit
untuk dapat menahan kemunduran mereka, karena itu para serdadu yang
melarikan diri mencoba membangun jembatan ponton sebagai gantinya di
sebelah jembatan itu. Perahu-perahu yang berpenumpang lebih itu tenggeqlam dengan ratusan prajuritnya. Di antara prajurit yang mundur termasuk
Maxentius, yang terseret ke dalam sungai Tiber dengan baju perangnya.
Konstantinus sekarang adalah penguasa kota; tidak lama kemudian ia juga
menjadi penguasa kekaisaran.
Eusebius, sambil menceritakan akhir cerita Maxentus, tidak dapat berhenti
mengutip kata-kata yang digunakan oleh orang-orang Israel yang menang ketika mereka muncul dari Laut Merah dengan orang-orang Mesir yang tenggelam
di belakang mereka: “Jadi pemenang boleh mengatakan: Marilah kita menyanyi untuk Tuhan, karena Dia telah melemparkan kuda dan penunggangnya
ke dalam laut.”21 Itulah kata-kata yang dinyanyikan oleh orang-orang yang kepercayaannya berhubungan dengan keberadaan politis mereka sebagai bangsa;
sesuatu yang belum pernah dialami oleh orang Kristiani. Tetapi Konstantinus
melihat dalam Kekritstenan ada
harapan untuk masa depan dari
bangsanya sen diri. Dalam tiga
abad kekerasan hati bangsanya,
identitas Kristen—sebuah identitas yang menjadi mutlak sentral
untuk mereka yang berpegang
pada hal itu, tapi tidak menghapuskan identitas mereka yang lain
yang sudah ada sebelumnya –terbukti lebih kuat daripada yang
lain.
Kekaisaran Roma telah
menarik garis di sekitarnya, menaklukkan sekutu-sekutunya dan
menuntut penyerahan pertama kepada kaisar dan kemudian kepada
beberapa cita-cita dari wewenang
kaisarnya; dan kekaisaran sudah
menjadi lebih rusak dan lebih
memprihatinkan. Sementara itu,
orang Kristiani berhasil keluar dari
perang berdarah dan yang sudah
menyebar di sebagian besar tempat yang terkenal di dunia. Kristianitas telah
melakukan apa yang tidak pernah berhasil dikelola oleh Roma: Kristianitas
telah menyebar dari tanah asalnya, dari awal yang sempit sebagai aliran sesat
Yahudi, dan kemudian menjadi sebuah identitas yang menarik para bangsa
Yahudi, Kafir, Thracia, Yunani, Suriah, dan Romawi untuk menjadi satu. G A R I S WA K T U 8 5
ROMA CHINA PARTIA
Pemberontakan Turban Kuning (184)
Septimus Severus, kaisar (193) Shaodi/Xiandi
Caracalla, kaisar (211) Perang Karang Merah (208)
Macrinus, kaisar (217) Artabanus V
Elegabalus, kaisar (218) Tiga Kerajaan (220)
PERSIA
Ardashir I (226)
Decius, kaisar (249) Shapur I (241)
Valerius, kaisar (253)
Gallienus, kaisar (260)
Aurelianus, kaisar (270)
Carus, kaisar (284)
Numerianus, kaisar (284)
Diocletianus, kaisar (285)
Diocletianus/Maximianus, kaisar bersama (286)
Konstantinus/Galerius, kaisar bersama (305)
Konstantinus, kaisar (312) Dalam persekutuannya dengan Tuhan Kristiani di Jembatan Milvius,
Konstantinus telah mengubah kekaisaran menjadi sesuatu yang baru. Ia
telah meninggalkan penaklukan yang tidak menghasilkan apa-apa untuk
menemukan ke-Romawian yang berakar pada kota Roma, tetapi juga
dapat menyebarkannya. Sebaliknya, ia memilih sesuatu yang lain untuk
menggantikannya. Ketika ia pergi ke depan dalam perang atas nama Kristus
pada panji-panjinya, ia meletakkan masa depannya dalam meja judi bahwa ini
akan menjadi kunci untuk memegang segala satu menjadi satu.
Inilah akhir dari Roma kuno. Tetapi ini akan terbukti menjadi kebangkitan
dari sesuatu yang lebih kuat, baik kebaikannya maupun kejahatannya.