Darah
Darah yaitu fluida yang mengalir pada tubuh manusia dan vertebrata
tingkat tinggi lainnya , Darah berperan penting dalam
semua proses fisiologis yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup. Darah
berperan penting sebagai fluida yang membawa nutrisi ke seluruh bagian
tubuh, lalu membawa kembali hasil metabolisme nutrisi ini untuk
lalu dilanjutkan pada proses eksresi hasil metabolisme ini yang
melibatkan bantuan organ-organ eksresi seperti paru-paru, ginjal, dan kulit.
Sebanyak 7-8% berat tubuh manusia ditentukan oleh volume darah
(Carter, 2018) yang mengalir setiap waktu melalui pembuluh arteri dan venanya
yang dipompa oleh jantung. Darah memiliki temperatur normal pada suhu 38°C,
dengan pH yang berkisar antara 7.35 hingga 7.45. Peranan pH sangat penting
sebab berperan sebagai sistem buffer untuk menjaga asam-basa kondisi darah
yang berpengaruh pada fisiologis manusia. Darah yang memiliki kandungan
oksigen tinggi akan memiliki warna merah yang lebih terang. Namun sebaliknya
pada darah yang rendah kadar oksigennya akan memiliki warna merah yang
lebih gelap.
Volume darah pada manusia berbeda disebab kan perbedaan pada jenis
kelamin, yang menentukan proporsi ukuran tubuh. Laki-laki dewasa memiliki
kisaran volume darah 5-6 L, sedangkan pada wanita dewasa berkisar antara 4-5
L . Darah sendiri memiliki dua komponen utama
yang terdiri dari komponen cair dan komponen padat. Komponen cair yaitu
plasma darah, dan komponen padat terdiri dari sel darah merah atau yang
disebut sebagai eritrosit, sel darah putih atau leukosit, dan keping darah atau
trombosit yang berperan dalam proses pembekuan darah (American Society of
Hematology, 2018). Keseluruhan komponen darah yang mengalir pada tubuh
manusia dikenal sebagai whole blood, yang tersusun atas sebagian besar 55%
yaitu plasma darah, dan sisanya sebanyak 45% yaitu sel-sel darah (Gambar
1.1).
Gambar 1.1. Komponen darah yang dapat diamati melalui proses sentrifugasi darah dengan
komponennya.
Adapun fungsi darah yang selama ini diketahui, meliputi sebagai berikut:
a. Penghantaran oksigen dan nutrisi ke seluruh bagian tubuh dan jaringan
b. Pembentukan agen pembekuan darah
c. Homeostasis suhu tubuh
d. Pembentukan antibodi untuk melawan infeksi pathogen
e. Pengangkutan hasil metabolisme menuju ginjal dan hati untuk proses
filtrasi
f. Pengangkut hormon yang diekskresikan oleh sel-sel tubuh ke jaringan/
organ target
Darah memiliki hubungan yang erat dengan sistem peredaran darah.
Sistem peredaran darah tidak dapat dilepaskan pula hubungannya dengan
sistem pernafasan, sistem pencernaan, sistem ekskresi, sistem sekresi, dan
sistem kekebalan tubuh (imun) pada manusia. Darah juga dikenal sebagai
jaringan penghubung yang berbentuk cair (fluid connective tissue), sebab
Darah 3
sel-sel darah turut mengalir dan bersirkulasi di dalam tubuh dan menjalankan
fungsi untuk sistem tubuh manusia . Darah yang mengalir
dalam tubuh manusia mengandung berbagai komponen yang dibutuhkan
untuk setiap sistem yang bekerja, seperti glukosa dan nutrient lainnya yang
dihantarkan ke setiap sel di setiap organ, sehingga mampu menyokong fungsi
fisiologis manusia.
Peredaran darah manusia tidak dapat dilepaskan dari kerja fungsi
organ jantung, yang berperan sebagai pompa untuk mengalirkan darah
ke seluruh anggota tubuh (sistem kardiovaskular) (Gambar 1.2). Selain itu,
pembuluh darah arteri dan vena berperan penting dalam mengalirkan darah
ke setiap organ, yang lalu disambung oleh pembuluh kapiler, dengan
ukuran yang lebih kecil, sehingga mampu menembus jaringan di setiap
organ, dan berfungsi dalam transport hasil metabolisme yang dihasilkan.
Pembuluh arteri dan vena dibedakan berdasar pada arah darah yang
dibawa. Pembuluh arteri membawa darah dari jantung menuju ke seluruh
organ tubuh. Sedangkan pada pembuluh vena, berperan dalam membawa
darah dari seluruh organ kembali menuju jantung. Untuk pengecualian,
vena porta berperan untuk membawa darah diantara dua kapiler. Sebagai
contoh, vena porta hepatica membawa darah dari kapiler sistem pencernaan
menuju ke organ hati , Pembuluh darah arteri dan vena
memiliki ketebalan dinding yang berbeda. Dinding pembuluh arteri lebih
tebal dibandingkan dengan pembuluh vena. Namun, secara anatomi, kedua
pembuluh memiliki dua selaput yang membungkus endothelium (bagian
dalam pembuluh darah). Bagian terluar kedua pembuluh secara berurutan
tersusun atas jaringan penghubung (connective tissue), seperti serabut elastis
(elastic fiber) dan kolagen dan pada bagian selanjutnya tersusun atas otot
polos (smooth muscle) dan serabut elastis (elastic fiber).
Transport nutrient, glukosa, dan hasil metabolisme berlangsung secara
difusi yang terjadi antar kapiler darah. Difusi merupakan pergerakan zat
terlarut dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Pada sistem peredaran
darah, aliran darah terjadi secara masif dan besar (bulk flow), sehingga darah
mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah ,. Aliran darah yang cepat dan masif ini membuat transport glukosa dan
nutrisi berlangsung secara cepat ke seluruh organ tubuh, dan dapat mencapai
setiap sel-sel pada organ ini . Secara bersamaan, proses pertukaran
hasil metabolisme juga berlangsung secara cepat, sehingga darah kembali
membawa produk metabolisme untuk dilakukan proses eksreksi, baik melalui
sistem pernafasan ataupun sistem eksresi.
Sistem peredaran darah pada manusia termasuk pada sistem peredaran
tertutup, yang terbagi menjadi dua jalur, yaitu jalur paru-paru (pulmonary
circuit), dan jalur seluruh tubuh (systemic circuit) . Jalur
paru-paru (pulmonary circuit) berperan sebagai tempat pertukaran darah kaya
O2 dengan darah yang miskin O2 (kaya akan kadar CO2), yang dilakukan pada
organ jantung di sebelah kanan. Jalur seluruh tubuh (systemic circuit) berperan
untuk mengalirkan darah kaya akan oksigen, yang akan dipompa menuju
seluruh organ tubuh manusia, dan dilakukan oleh organ jantung di sebelah
kiri. Selama proses pemompaan darah dari jantung ke seluruh tubuh, lalu dari
seluruh tubuh menuju kembali ke jantung, sistem syaraf dan hormon berperan
dalam mengatur detak jantung (heart rate) dan tekanan darah (blood pressure).
Tekanan darah terjadi sebagai hasil gaya yang diberikan oleh darah terhadap
dinding pembuluh darah saat darah dipompa oleh jantung dari dan menuju ke
jantung kembali. Saat terjadi pemompaan darah oleh jantung, pembuluh darah,
arteri dan vena memiliki elastisitas untuk mengempis (dilatasi) atau berkontrasi
dengan mengembang sehingga tetap menjaga darah mengalir dengan normal
ke seluruh tubuh ,
Kontraksi dan relaksasi pada jantung memiliki siklus dan iramanya
tersendiri, yang dikenal sebagai siklus jantung (cardiac cycle). saat jantung
berkontraksi (sistole), organ ini akan memompa darah, dan saat
mengalami relaksasi (diastole), ruangan jantung akan terisi oleh darah. Proses
kontraksi dan relaksasi menyebabkan darah bergerak dari atrium menuju
serambi yang lalu dialirkan menuju bagian aorta (pembluh besar).
Ritme yang berlangsung hanya membutuhkan 0.8 detik. Pada 0.4 detik bagian
atrium dan serambi jantung akan mengalami relaksasi (diastole), sehingga
semua ruang jantung akan terisi oleh darah. lalu , 0.1 detik, atrium akan
mengalami kontraksi (sistole), sehingga darah terdorong menuju ventrikel
yang berada dalam kondisi relaksasi (diastole). lalu , 0.3 detik, ventrikel
akan mengalami kontraksi (sistole) yang akan memompa darah menuju aorta,
sedangkan atrium berada dalam keadaan relaksasi (diastole) ,
Pada beberapa kasus, siklus jantung terkadang berlangsung tidak
seperti pada keadaan normal, dan terjadi perubahan pada siklus yang
terbentuk. Keadaan seperti ini umumnya dikenal sebagai heart murmur. Hal ini
umumnya terjadi sebab adanya kecacatan pada katup jantung yang dimiliki,
semisal diakibatkan oleh adanya infeksi. Kasus heart murmur umumnya tidak
berpengaruh besar terhadap kinerja jantung, sehingga terkadang tidak
membutuhkan penanganan yang serius, seperti pembedahan.
Bilik kiri
Bilik kanan Septum
Serambi
kanan
Serambi
kiri
B
Gambar 1.2. A) Sistem peredarah darah pada manusia. Jantung memiliki peranan penting
untuk memompa darah dari dan menuju ke jantung. B) Sayatan membujur organ jantung.
A
Terlihat adanya 4 ruang pada organ jantung manusia. Bagian septum yang ditunjuk oleh
panah hitam befungsi dalam memisahkan darah yang mengandung kadar oksigen yang
tinggi, dengan darah yang miskin akan oksigen, dan kaya akan karbon dioksida.
Gambar 1.3. Siklus jantung yang dimulai pada saat atrium mengalami kontraksi lalu
berlanjut hingga ventrikel mengalami relaksasi. Selama siklus yang terjadi, elektrokardiogram
(EKG) merekam impuls yang terbentuk selama siklus berlangsung yang dikirim melalui area
kulit.
Sistem tubuh tidak dapat bekerja secara sendiri-sendiri. Hal ini
disebab kan adanya saling keterkaitan antara satu sistem dengan sistem
tubuh yang lainnya. Pada bab ini kita telah mengenal sistem tubuh, yakni
berupa cairan dalam tubuh yaitu darah, yang lalu sistem darah memiliki
kaitan erat dengan sistem peredaran darah yang melibatkan kerja fungsi organ
jantung (sistem kardiovaskular). Pada sub-bab selanjutnya, kita akan mencoba
membahas hubungan antara sistem peredaran darah dengan sistem tubuh
lainnya secara umum, meliputi hubungan sistem peredaran darah dengan
sistem pernafasan, sistem pencernaan, sistem eksresi, dan terakhir yaitu
hubungan antara sistem peredaran darah dengan sistem imun (kekebalan
tubuh) yang berperan dalam menjaga tubuh dari serangan pathogen.
a. Darah dan Sistem Pernafasan
Sistem pernafasan memiliki peranan penting dalam melakukan
suplai oksigen ke seluruh sel-sel tubuh. Proses terjadinya pertukaran
oksigen dan karbon dioksida, sebagai hasil dari respirasi seluler, melibatkan
sistem peredaran darah sebagai sistem pengangkut hasil metabolisme
ini . Salah satu komponen darah yang memegang peranan penting
dalam proses pertukaran O2 dan CO2 yang terjadi yaitu hemoglobin
yang ada pada eritrosit. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa
pH darah berkisar pada rentang 7.35 hingga 7.45. Hemoglobin memiliki
afinitas terhadap pengikatan O2 dan CO2 yang dipengaruhi oleh kondisi
pH ini , yang dikenal sebagai Bohr effect , Pada efek ini , kondisi pH yang
berada dalam keadaan basa menyebabkan hemoglobin memiliki afinitas
yang tinggi untuk mengikat oksigen, namun saat pH berada dalam
kondisi asam, afinitas ini menurun disebab kan perubahan bentuk
dari struktur hemoglobin ini (perlu diingat bahwa hemoglobin
merupakan protein pigmen darah, dan karakteristik protein pada
umumnya terpengaruh pada keadaan asam dan basa). Perlu diketahui
pula bahwa O2 memiliki kelarutan yang sangat rendah, 1/24 lebih kecil
di plasma darah jika dibandingkan dengan
CO2.
Pada sistem pernafasan, organ paru-paru berperan sebagai tempat
pertukaran kedua gas ini . Alveoli merupakan bagian terkecil pada
paru-paru yang banyak memiliki pembuluh darah kapiler, serta tersusun
atas sel epitel pipih selapis. Pada alveoli inilah difusi kedua gas terjadi.
Proses pernafasan yang terjadi melibatkan peristiwa respirasi eksternal
(pulmonary circuit) dan internal (systemic circuit) (Gambar 1.4). Keduanya
berbeda dalam hal lokasi terjadinya difusi O2 dan CO2. berdasar
Henry’s law, jumlah molekul gas yang terlarut dalam suatu cairan,
sesuai dengan tekanan parsial dan kelarutan gas ini . Respirasi
8 Hematologi Dasar
eksternal terjadi saat berlangsung pertukaran udara dalam paru-paru
(pulmonary circuit), di mana tekanan parsial O2 (PO2) dalam pembuluh
kapiler alveoli yaitu 40 mmHg, sedangkan tekanan parsial O2 dalam
ruang alveoli yaitu 105 mmHg. Kondisi ini menyebabkan O2 berdifusi
menuju pembuluh darah kapiler, sehingga tekanan parsial O2 menjadi
105 mmHg. Sedangkan pada CO2, tekanan parsial dalam pembuluh
kapiler sebesar 45 mmHg, sedangkan tekanan parsial CO2 dalam ruang
alveoli sebesar 40 mmHg. Perbedaan ini menyebabkan CO2 berdifusi dari
pembuluh kapiler menuju ruang alveoli, sehingga tekanan parsial CO2
dalam darah menjadi 40 mmHg. O2 yang masuk terlarut dalam plasma
akan diikat oleh hemoglobin dan membentuk oxyhemoglobin, serta siap
untuk diedarkan menuju seluruh sel-sel jaringan/organ.
Pada respirasi internal (systemic circuit) difusi oksigen dan karbon
dioksida berlangsung antara pembuluh kapiler dan sel-sel yang berada
pada jaringan/organ. Dalam keadaan berakvititas, sel-sel jaringan/organ
akan memakai O2 lebih besar dibandingkan saat dalam keadaan
beristirahat. Tekanan parsial O2 di dalam sel-sel jaringan/organ yang berada
dalam keadaan istirahat berada pada 40 mmHg, sedangkan pada sel-sel
jaringan/organ yang sedang beraktivitas berada pada <40 mmHg. Dalam
kondisi aktif ini , hasil respirasi seluler selain menghasilkan energi
dalam bentuk ATP, juga menghasilkan CO2, yang mengakibatkan tekanan
parsial CO2 dalam sel-sel jaringan/organ sebesar >45 mmHg. Darah yang
dipompa dari ventrikel kiri menuju aorta lalu dialirkan ke seluruh tubuh
hingga mencapai kapiler, pembuluh terkecil, jaringan/organ, membawa
konsentrasi O2 yang tinggi dengan PO2 >100 mmHg. Perbedaan tekanan
parsial ini , akan menyebabkan terjadinya difusi O2 dan CO2. CO2 akan
berdifusi menuju ke pembuluh kapiler, sedangkan O2 berdifusi masuk
ke dalam sel-sel jaringan/organ. Hal ini menyebabkan PCO2 di dalam
pembuluh kapiler menjadi 45 mmHg, sedangkan PO2 di dalam pembuluh
kapiler menjadi 40 mmHg. Darah yang kaya akan CO2 ini , selanjutnya
kembali menuju bilik kanan jantung, untuk lalu dipompa kembali
oleh ventrikel kanan menuju paru-paru, dan berlanjut memasuki tahapan
respirasi eksternal (pulmonary circuit).
Gambar 1.4. Proses respirasi eksternal dan internal yang terjadi pada manusia. Pertukaran
O2 dan CO2 berlangsung pada organ paru-paru. Darah kaya akan oksigen akan dialirkan ke
seluruh tubuh, lalu darah akan membawa hasil metabolisme berupa CO2 kembali ke
jantung, yang lalu akan dilakukan proses pengeluaran CO2 melalui paru-paru dan darah
kembali memiliki kadar O2 yang tinggi.
Pengangkutan karbon dioksida di dalam darah dilakukan melalui
mekanisme kelarutan pada plasma darah dan pengangkutan melalui
hemoglobin sehingga membentuk carbaminohemoglobin. Darah
yang diangkut melalui hemoglobin hanya berkisar dari 20-30% dari
total karbon dioksida terlarut. Hal ini bermakna sebagian besar karbon
dioksida (berkisar 80-70%) diangkut melalui plasma darah. saat karbon
dioksida berdifusi ke dalam eritrosit, enzim carbonic anhydrase (ion
zinc berperan sebagai kofaktor) mengkatalisis reaksi karbon dioksida
dengan air, sehingga membentuk asam bikarbonat (H2CO3). Asam
bikarbonat akan terdisosiasi menjadi ion H+ dan ion bikarbonat (HCO3
-).
Ion bikarbonat akan berdifusi ke luar eritrosit dan berada di aliran
plasma darah, sedangkan ion H+ akan berada di dalam eritrosit. Untuk
menghindari terjadinya kondisi asam, yang mengakibatkan terjadinya
gangguan pada proses pengangkutan CO2, ion Cl- akan berdifusi masuk
ke dalam eritrosit sehingga mencegah terjadinya asidosis, proses ini
dikenal sebagai chloride shift .
b. Darah dan Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan juga melibatkan fungsi sistem peredaran darah
untuk menyalurkan nutrisi ke seluruh sel-sel jaringan/organ. Makanan
yang diperoleh mengandung senyawa-senyawa yang dibutuhkan oleh
tubuh, baik glukosa, asam amino, asam lemak, vitamin, dan mineral
lainnya. Secara umum, makanan akan diproses melalui kinerja mekanik
dan enzimatik untuk memperoleh monomer-monomer yang mudah
untuk ditransport ke dalam sel-sel melalui jaringan pembuluh darah.
Sebagai contoh, nasi yang kita makan mengandung karbohidrat yang
merupakan polisakarida. Kerja enzim amilase, yang diproduksi dalam
saliva dan cairan pankreas, serta disakaridase, yang diproduksi oleh
epitel di usus halus menyebabkan polisakarida ini terpecah hingga
membentuk monosakarida, yang salah satunya yaitu glukosa. Protein
yang kita makan akan diproses secara enzimatik untuk memutus rantai
polipeptida sehingga dapat diperoleh asam amino yang penting dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan. Lemak sendiri merupakan
rantai panjang hidrokarbon. Pemecahan lemak oleh enzim lipase yang
dihasilkan oleh pankreas akan memecah rantai panjang hidrokabron ini
menjadi asam lemak dan gliserol.
Penyerapan nutrisi makanan terjadi di bagian usus halus. Pada
bagian ini ada lipatan yang dikenal sebagai jonjot usus halus, yang
berfungsi untuk memperluas bidang penyerapan nutrisi. Pada setiap
lipatan ada vili usus halus yang nampak semacam sikat (brush)
yang berperan dalam menyerap nutrisi. Transport nutrisi menuju ke
pembuluh darah dilakukan melalui transport baik secara aktif maupun
pasif bergantung pada jenis nutrisinya, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 1.5. Sebagai contoh, fruktosa akan bergerak melalui difusi
terfasilitasi dengan menuruni gradien konsentrasi sel-sel epitel usus
halus, hingga akhirnya diserap oleh pembuluh darah kapiler. Asam
amino, glukosa, maupun vitamin akan ditransport secara aktif melawan
gradien konsentrasi melewasi sel-sel epitel pada vili, hingga lalu ,
ditransport secara difusi terfasilitasi menuju ke pembuluh darah kapiler.
Transport aktif molekul ini melawan gadien konsentrasi melibatkan
ion binding molecule transporter .
Glukosa akan terikat pada transporter, di mana 1 molekul ion Na+
akan ditransport ke luar sel, dan 2-3 molekul glukosa akan masuk ke dalam
sel. Pada transport asam amino memiliki mekanisme yang sama, hanya
transport aktif melibatkan H+ binding molecule transporter. Transport
aktif beberapa molekul ini akan sangat menguntungkan sebab
semakin banyak nutrisi yang dapat diserap, jika dibandingkan transport
pasif melalui difusi. Adapun transport lemak memiliki mekanisme
tersendiri.
Lemak yang mengalami proses pencernaan akan dipecah menjadi
asam lemak dan gliserida. Asam lemak terbagi menjadi asam lemak rantai
panjang, dan asam lemak rantai pendek yang berbeda kelarutannya. Pada
rantai asam lemak pendek dengan rantai kurang dari 10 karbon bersifat
lebih hidrofobik namun masih dapat terlarut dalam air, sehingga transport
berlangsung secara difusi menuju pembuluh darah kapiler. Sedangkan
pada asam lemak rantai panjang, asam lemak rantai pendek dengan rantai
karbon lebih dari 10, serta gliserida dengan berat molekul yang besar,
transport dilakukan dengan bantuan garam-garam empedu, sehingga
membuat molekul ini dapat terlarut dalam air. Garam-garam empedu
yang disekresikan akan membentuk misel sebab sifat amfifatik molekul ini.
Rantai asam lemak dan gliserida akan membentuk trigliserida yang akan
diagregasi oleh garam empedu membentuk chylomicrons. Asas like dissolve
like, berlaku pada pembentukan molekul ini . Trigliserida yaitu
senyawa hidrofobik, yang akan berdifusi ke dalam molekul misel yang
memiliki sifat hidrofobik pula, sehingga terbentuk molekul chylomicrons.
Chylomicrons tidak dapat menembus pembuluh darah sebab kecilnya pori
pada pembuluh darah kapiler, namun molekul ini akan ditransportasikan
memakai sistem limfatik menuju bagian jugular, yang bermuara
pada pembuluh darah besar di bagian subclavia, dan pada akhirnya akan
masuk ke dalam sistem sirkulasi darah. Transportasi nutrisi akan dibawa
oleh pembuluh darah menuju sistem porta hepatica (pembuluh darah di
hati) untuk dilakukan proses detoksifikasi, yang selanjutnya nutrisi yang
sudah terbebas dari toksin akan dialirkan ke seluruh tubuh ,
Gambar 1.5. Mekanisme pengangkutan nutrisi dari lumen usus halus menuju ke pembuluh
darah. Transpor aktif dan difusi terjadi secara bersamaan untuk memperbesar penyerapan
nutrisi
c. Darah dan Sistem Urin
Sebagai fluida yang mengalir, darah akan membawa hasil
metabolisme yang dihasilkan oleh sel-sel pada jaringan atau organ.
Hasil metabolisme ini akan diangkut oleh darah lalu dikeluarkan
dari dalam tubuh, melalui organ eksresi, salah satunya yakni ginjal.
Hasil ekskresi melalui organ ini akan dibuang dalam bentuk urin. Proses
pembentukan urin sendiri dimulai saat pembuluh kapiler darah, yakni
arteri aferen membawa hasil metabolisme dalam plasma darah menuju
glomerulus, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.6. Pada bagian
ini proses filtrasi terjadi, di mana plasma dan senyawa yang terlarut di
dalamnya akan keluar dari pembuluh kapiler, dan menuju ke kapsula
bowmani dengan dilakukan proses penyaringan berdasar ukuran
senyawa yang melewatinya. Sel darah dan molekul besar lainnya akan
tetap berada dalam pembuluh darah sebab besarnya ukuran molekul
ini untuk dipompa keluar dari pembuluh kapiler. Cairan plasma yang
berada di area kapsula bowmani disebut sebagai renal filtrat, hanya saja
cairan ini tidak mengandung sel darah dan lebih sedikit protein yang
terlarut. Cairan ini mengandung semua senyawa produk metabolisme
dan juga senyawa mineral yang masih bermanfaat bagi sistem fisiologis
tubuh. Tahapan selanjutnya yaitu proses reabsorbsi terhadap senyawa-
senyawa yang masih berfungsi, dengan pengaturan melalui sistem saraf
tepi dan sistem hormonal, seperti aldosterone, atrial natriuretic peptide,
antidiuretic hormon. Air, glukosa, dan asam amino, beserta beberapa ion
mineral seperti Na+, Cl-, K+, HCO3
-, Mg2+ serta Ca2+ akan kembali diserap
dan masuk ke pembuluh darah melalui pembuluh kapiler peritubular
(pembuluh kapiler yang berada pada area Lengkung Henle nefron). Pada
tahapan terakhir, terjadi proses sekresi senyawa-senyawa toksik berupa
ion H+, K+ berlebih, NH3, urea, dan kreatinin, serta antibiotik seperti
penisilin, keluar dari dalam tubuh. Pembuangan ion H+ berperan dalam
menjaga kesetimbangan pH darah agar tetap berada pada level 7.35-7.45
Gambar 1.6. Proses pembentukan urine pada nefron ginjal
Selain dengan memakai sistem urin, proses eksresi juga
melibatkan keluarnya keringat dari lapisan kulit, yang diatur melalui
kelenjar keringat (sweat gland). Kelenjar ini termasuk pada kelenjar ekrin
dan apokrin. Namun, berkaitan dengan fungsinya sebagai sistem eksresi,
kelenjar keringat berperan sebagai kelenjar ekrin. Kelenjar ini berperan
secara bersamaan untuk mengatur regulasi atau homeostasis suhu
tubuh. saat temperatur tubuh meningkat, kelenjar ini akan melepas
keringat, yang merupakan campuran ion-ion natrium dan klorida, serta
beberapa senyawa akhir metabolisme yang mengandung nitrogen.
Keringat ini pada akhirnya secara langsung menangkap panas
dari tubuh, sehingga air akan langsung menguap, dan suhu tubuh akan
mengalami penurunan temperatur ,
d. Darah dan Sistem Imun
Darah juga berperan sebagai barrier untuk melindungi tubuh, baik
sel maupun jaringan dari infeksi luar, baik berupa bakteri, virus, ataupun
gangguan lainnya, yang dapat mengganggu kerja fisiologi tubuh. Dalam
plasma darah terkandung antibodi, yang merupakan protein spesifik
terhadap antigen (benda asing, baik berupa protein virus atau bakteri)
yang masuk ke dalam tubuh. Antibodi diproduksi saat pertama kali terjadi
infeksi, yang lalu pada tahapan berikutnya, ada mekanisme
untuk mengingat tipe infeksi yang pertama kali masuk ke dalam tubuh.
Sel B memori akan melakukan proses aktivasi, sehingga tubuh akan
melakukan respon seluler yang lebih cepat, dibandingkan jika terjadi
proses infeksi di awal. Proses ini tentu saja dimanfaatkan oleh ilmuwan
dengan melakukan proses imunisasi pada bayi hingga umur tertentu,
untuk menyiapkan tubuh bayi ini dari serangan virus ataupun
bakteri pathogen. Imunisasi sebenarnya yaitu proses inisiasi tubuh
sedini mungkin, sehingga tubuh terlebih dahulu menyiapkan antibodi
guna menghadapi sewaktu-waktu terjadinya infeksi berulang pada
tubuh. Imunisasi pada dasarnya sangatlah tidak berbahaya sebab bahan
antigen yang dimasukan, baik berupa bagian virus ataupun bakteri,
sudah terlebih dahulu dilemahkan. Pada tahapan inisiasi ini , maka
bisa terjadi proses peradangan ataupun demam.
Darah yang mengalir membawa leukosit dapat diumpamakan
sebagai bala tentara yang berasal dari pertahanan di dalam tubuh untuk
mencegah terjadinya infeksi yang berlanjut. Jika diingat dengan mudah,
saat terjadi luka, baik terkena goresan, ataupun tusukan jarum atau paku,
maka darah akan mengalir, yang artinya ada goresan di sekitar luka
yang menembus lapisan jaringan kulit, sehingga menyentuh kapiler-
Darah 15
kapiler pembuluh darah. Pernahkan terasa adanya rasa sedikit panas,
lalu terjadinya warna kemerahan di sekitar luka? Inilah salah satu kerja
dari sel-sel leukosit. saat terjadi luka akibat goresan ataupun tusukan,
respon peradangan terjadi.
Sel mast akan mengeluarkan sebuah senyawa kimia, histamin, yang
akan membuat pembuluh darah mengalami dilatasi atau pelebaran,
sehingga mudah bagi sel-sel darah putih, khususnya makrofag untuk
melakukan diapedesis, melewati pembuluh darah, menuju ke tempat
terjadinya luka. Selain histamin, sitokin, juga akan dilepas untuk menarik
sel-sel darah putih lainnya agar menuju tempat terjadinya luka, sehingga
adanya mikroorganisme yang masuk melalui luka dapat segera teratasi
dan mencegah terjadinya infeksi yang lebih parah. Adanya sitokin yang
menarik sel-sel darah putih, melalui aliran pembuluh darah, menyebabkan
kulit di sekitar luka akan mengalami warna kemerahan dan terasa sedikit
panas (Gambar 1.7). Sel-sel makrofag tentu saja akan melakukan proses
fagositosis, yaitu sebuah proses memasukkan benda asing ke dalam
sel-selnya untuk dilakukan proses destruksi atau melisiskan sel-sel
pathogen.
Gambar 1.7. Proses terjadinya inflamasi sebagai respon jika terjadi gangguan saat telah
melewati barir terluar yaitu kulit.
Penting untuk diketahui, bahwa peranan sistem vaskular terdiri
atas sirkulasi limfa dan sirkulasi darah yang berkaitan antara satu dengan
yang lainnya, sehingga mampu menyusun sistem imun di dalam tubuh,
yang ditunjukkan pada Gambar 1.8. Seperti yang sempat dibahas di awal,
keterkaitan Sel B memori untuk memproduksi antibodi, secara singkatnya
dipengaruhi oleh kehadiran Sel T dan makrofag (sel darah putih). saat
terjadi masuknya pathogen ataupun virus, lalu dilakukan proses
pelemahan, maka sebagain cairan masih berada di ruang antar sel, yang
dikenal sebagai cairan interstisial. Cairan ini akan diangkut melalui sistem
limfatik, yang pada akhirnya akan kembali bermuara pada pembuluh
darah. Sistem limfatik melibatkan nodus limfatikus, nodula, limfa, dan
kelenjar timus. Sel makrofag, sel limfosit T, dan limfosit B terlibat dalam
proses pembentukan sistem imun baik yang termediasi (melibatkan
limfosit B) ataupun sistem imun seluler (melibatkan limfosit T). Secara
dasar, makrofag berperan sebagai sel yang memberikan atau menyiapkan
antigen (antigen-presenting cell (APC)) untuk lalu dikenali oleh sel
T helper, yang selanjutkan akan distimulasi melalui jalur limfosit B dan
limfosit T. Jika jalur yang distimulasi yaitu jalur aktivasi limfosit T, maka
akan terbentuk sitotoksik sel T yang selanjutnya akan melakukan ikatan
secara langsung dengan antigen, dan melakukan proses lisis. Namun, jika
jalur yang distimulasi yaitu jalur aktivasi limfosit B, maka akan terbentuk
plasma sel, yang akan mensekresikan antibodi, untuk dilakukan proses
disrupsi pada antigen ataupun proses neutralisasi , seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.9.
Gambar 1.8. Hubungan antara sistem limfatik dan sistem pembuluh darah. Terlihat bahwa
muara dari sistem limfatik berada pada vena subklavia di bagian jugular atau bahu
Gambar 1.9. Mekanisme pembentukan sel-sel imun, baik melalui sel limfosit T dan sel limfosit
B, yang dibantu dengan adanya sel T helper, yang berikan dengan makrofag yang membawa
sebagian protein penting virus atau bakteri (antigen)
Hematopoiesis
Hematopoiesis biasa juga disebut hemopoiesis (Haema: Darah, Poiesis:
membuat) merupakan proses pembentukan sel-sel darah secara keseluruhan,
yang meliputi proses pembentukan eritrosit, leukosit dan tombosit. Pada
embrio, hematopoiesis terjadi pertama kali pada yolk sac lalu berlanjut terjadi
pada liver, limpa, timus dan nodus limfatikus saat sudah menjadi janin.
Selanjutnya proses hematopoiesis terjadi pada sumsum merah pada tulang
tepat tiga bulan sebelum kelahiran janin dan berlanjut setelah proses kelahiran
hingga sepanjang hidup ,
Bagian inti dari tulang tersusun atas sumsum merah dan sumsum kuning.
Sumsum merah merupakan tempat dibentuknya sel-sel darah sedangkan
sumsum kuning tersusun sebagian besar oleh jaringan adiposa (sel lemak).
Seiring proses pertumbuhan dan perkembangan, sumsum merah pada
tulang akan berganti menjadi sumsum kuning. Akan tetapi sumsum kuning
dapat kembali menjadi sumsum merah jika diperlukan, seperti saat terjadi
peningkatan proses pembentukan sel-sel darah. Sumsum merah pada tulang
merupakan jaringan ikat khusus yang tervaskularisasi dengan baik, terletak
pada area diantara trabekula pada tulang spons. Tulang pada alat gerak atas,
gelang bahu dan panggul serta bagian epifisis dari tulang paha dan tulang
lengan atas merupakan tulang-tulang yang memiliki sumsum merah tempat
terjadinya hematopoiesis. Sel-sel yang menyusun sumsum merah pada
tulang sebanyak 0,05-0,1% berasal dari jaringan mesenkimal dan disebut
sebagai pluripotent stem cells atau hemocytoblasts. Sel-sel ini memiliki
kemampuan untuk berdiferensiasi dan berkembang menjadi seluruh sel yang
dibutuhkan oleh tubuh
Hematopoiesis merupakan proses seluler yang menyebabkan sel-sel
progenitor di sumsum tulang mengalami diferensiasi menjadi sel-sel darah
yang matur dan memiliki fungsi biologis yang spesifik. Diantara fungsi
sel-sel darah yaitu mengangkut oksigen dan nutrisi, membentuk clot saat
terjadi luka dan kerusakan pada pembuluh darah serta menjaga tubuh dari
infeksi sebagai sistem pertahanan tubuh (sistem imun) ,
Proses pembentukan sel-sel darah ini dibagi menjadi Eritropoiesis
(untuk pembentukan eritrosit), Granulositopoiesis, Monositopoiesis dan
Limfositopoiesis (untuk pembentukan leukosit granuler, monosit dan limfosit)
serta Trombositopoiesis (untuk pembentukan trombosit) ,
Eritropoiesis dan trombopoiesis merupakan dua proses yang berjalan secara
terpisah, sedangkan granulositopoiesis dan monositopoiesis berjalan secara
simultan dan berhubungan. Limfositopoiesis merupakan proses pembentukan
limfosit dan paling terpisah dari keempat proses lainnya (Gambar 2.1)
Seluruh sel-sel darah berasal dari sel punca hematopoietik (Hematopoietic
stem cell) yang bersifat pluripoten. Sel punca hematopoietik ini lalu
berdiferensiasi menghasilkan dua jenis sel induk progenitor yang memiliki
potensi terbatas (hanya akan berdiferensiasi menjadi sel tertentu) yaitu Myeloid
stem cell dan Lymphoid stem cell (atau biasa disebut sebagai Common Myeloid
Progenitor dan Common Lymphoid Progenitor) , Myeloid stem
cells akan berdiferensiasi lebih lanjut dan membentuk sel eritrosit, trombosit,
granulosit dan monosit. Sementara Lymphoid stem cells akan berdiferensiasi dan
membentuk limfosit B, limfosit T serta sel NK (Natural Killer). Lymphoid stem cell yang
merupakan sel progenitor limfosit akan bermigrasi dari sumsum tulang merah
ke timus, limpa dan nodus limfatikus sebagai organ limfoid tempat terjadinya
diferensiasi dan maturasi limfosit
Myeloid stem cell selanjutnya berdiferensiasi menjadi sel-sel progenitor
untuk masing-masing calon sel darah (selain limfosit). Sel-sel progenitor
untuk pembentukan sel-sel darah yang matur disebut colony forming unit
(CFU) sebab sel-sel ini mampu membentuk satu tipe koloni sel saat
dikultur secara in vitro ,CFU dinamakan berdasar calon
sel matur yang akan dibentuknya yaitu CFU-E untuk sel-sel progenitor
eritrosit, CFU-Meg untuk sel-sel progenitor Megakariosit yang menjadi calon
trombosit, CFU-GM untuk sel-sel progenitor leukosit granuler dan makrofag
Gambar 2.1. Ilustrasi pembentukan sel-sel darah (Hematopoiesis)
Selanjutnya masing-masing CFU berdiferensiasi menjadi sel prekursor
sesuai dengan sinyal yang diterima oleh masing-masing koloni ini . Proses
ini sangat tergantung pada lingkungan mikro di sekitar sel yang dipenuhi
oleh sinyal-sinyal molekuler yang disebut hematopoietic growth factor (faktor
pertumbuhan untuk proses hematopoiesis). Faktor pertumbuhan ini salah
satunya dikenal dengan nama CSF (Colony stimulating factor) yang memicu
sel-sel progenitor maupun sel prekursor untuk berdiferensiasi sesuai dengan
jalur pembentukan masing-masing sel darah , Selain CSF
ada pula hormon seperti Erythropoietin (EPO) dan Thrombopoietin (TPO)
serta senyawa kimia berupa sitokin dan interleukin (IL). EPO meningkatkan
jumlah prekursor eritrosit, sedangkan TPO memicu pembentukan trombosit
dari sel megakariosit. Sitokin memicu proliferasi sel progeitor pada sumsum
tulang merah sedangkan interleukin berperan penting dalam pembentukan
leukosit
Eritropoiesis
Eritropoiesis merupakan proses pembentukan eritrosit (sel darah merah)
yang berasal dari sel punca hematopoietik (hematopoietic stem cell) yang
bersifat pluripoten. Sel punca hematopoietik ini lalu berdiferensiasi
menjadi sel punca Myeloid (Myeloid stem cell atau Common Myeloid Progenitor).
Sel punca Myeloid ini lalu berdiferensiasi lebih lanjut menjadi
Megakaryocyte-Erythroid Progenitor (MEP) dan sebab adanya faktor-faktor
pertumbuhan lalu berdiferensiasi lebih lanjut menjadi BFU-E (Burst
forming unit-erythrocyte). Faktor-faktor pertumbuhan ini diantaranya
yaitu SCF (Stem Cell Factor), TPO, IL-3, IL-11 dan ligan FLT-3. BFU-E merupakan
sel progenitor paling awal pada jalur eritropoiesis yang bersifat motil dan
menjadi awal terbentuknya multi-subunit koloni sel . BFU-E ada pada sumsum tulang merah dengan
frekuensi 40-120/105 sel dan juga beredar di sirkulasi perifer dengan frekuensi
10-40/105 sel , BFU-E memiliki kemampuan
proliferasi yang sangat tinggi apabila bertemu dengan sitokin yang sesuai dan
dapat menghasilkan beberapa koloni dengan jumlah 30.000 hingga 40.000
sel per koloninya secara in vitro. Sebagian dari koloni sel yang dihasilkan oleh
BFU-E mengalami maturasi lebih awal dibanding yang lain, disebut sebagai
CFU-E (Colony forming unit-erythroid) (Gambar 2.2)
CFU-E merupakan sel progenitor yang terdiri dari 16-125 sel per koloninya
dengan frekuensi lima sampai delapan kali lebih banyak dibanding BFU-E di
sumsum merah tetapi secara normal tidak ada pada sirkulasi darah perifer.
Sifat sel-sel pada CFU-E yang matur berbeda dengan BFU-E yang memiliki
kemampuan proliferasi yang tinggi, dapat beregenerasi, merespon terhadap
beberapa kombinasi sitokin dan mengekspresikan antigen permukaan yang
spesifik sebagai penanda sel progenitor. CFU-E matur bersifat lebih mirip
sel prekursor eritrosit dibanding sel BFU-E, dengan kemampuan proliferasi
yang rendah, tidak dapat beregenerasi, tidak lagi mengekspresikan penanda
spesifik sel progenitor dan sangat peka terhadap eritropoietin (EPO)
Gambar 2.2. Proses diferensiasi Hematopoietic Stem Cell (HSC) hingga menjadi Eritrosit ;
Common Myeloid Progenitor (CMP); Megakaryocyte-Erythroid Progenitor (MEP); BFU-E (Burst
forming unit-erythrocyte); CFU-E (Colony forming unit-erythroid)
Selanjutnya sel-sel progenitor pada CFU mengalami diferensiasi lebih
lanjut membentuk sel prekursor yaitu pro-erythroblast dengan ciri-ciri
berukuran besar, memiliki nukleus yang hampir memenuhi sitoplasma,
kromatin longgar dan sitoplasma bersifat basofilik. Pro-erythroblast selanjutnya
mengalami diferensiasi menjadi early basophilic erythroblast dengan nukleus
yang lebih terkondensasi dan aktivitas sintesis hemoglobin pada poliribosom
(polisom) bebas serta sitoplasmanya basofilik. Selanjutnya terjadi penurunan
volume sel, pengurangan jumlah polisom bebas dan ada hemoglobin
yang mengisi sebagian daerah sitoplasma sehingga sitoplasma bersifat
basofilik dan asidofilik. Pada tahap ini terbentuk sel polychromatophilic
erythroblast (Gambar 2.3)
Pada tahap selanjutnya volume sel terus menurun dan nukleus semakin
terkondensasi, materi basofilik pada sitoplasma juga semakin berkurang
sehingga pada akhir tahap ini sel sepenuhnya menjadi asidofilik, disebut sebagai
orthochromatophilic erythroblast (atau Normoblast). tahap selanjutnya yaitu proses
pengeluaran nukleus dari dalam sel dan segera difagosit oleh makrofag. Sel pada
tahap ini masih memiliki beberapa polisom yang dapat memunculkan warna
biru sebab bersifat basofilik, sudah tidak memiliki nukleus dan disebut sebagai
Reticulocyte (Retikulosit). Retikulosit sudah dapat beredar pada sirkulasi dan
menyusun sebanyak 1% dari total keseluruhan eritrosit. Selama berada di sirkulasi,
retikulosit kehilangan seluruh polisom secara cepat dan mengalami maturasi
menjadi eritrosit (Gambar 2.3) ,
Gambar 2.3. Sel-sel yang berada pada tahapan pembentukan eritrosit (Eritropoiesis). Pada
setiap sel hasil diferensiasi terjadi perubahan warna sitoplasma (dari basofilik menjadi
asidofilik) serta terjadi kondensasi nukleus hingga pada akhir tahap maturasi dihasilkan eritrosit
yang tidak memiliki nukleus ,
Secara normal pada orang dewasa terjadi proses destruksi eritrosit setiap
120 hari (akan dijelaskan lebih lanjut pada Bab 3). Laju eritropoiesis atau
pembentukan eritrosit secara normal harus seimbang dengan laju destruksi
eritrosit. Apabila ada ketidakseimbangan antara kedua proses ini akan
menyebabkan terjadinya kondisi patologis yang berkaitan dengan jumlah
eritrosit yang beredar pada sirkulasi. Kondisi patologis ini dapat berakibat fatal
sebab kaitannya dengan proses pengangkutan oksigen ke seluruh tubuh
yang akan terganggu apabila ada abnormalitas jumlah eritrosit.
Granulositopoiesis
Granulositopoiesis merupakan proses pembentukan leukosit granuler
yang berasal dari sel punca myeloid (Myeloid Stem Cell) atau Common
Myeloid Progenitor (CMP). Sel punca myeloid ini berdiferensiasi dengan
pengaruh sitokin seperti Interleukin-3 (IL-3) menjadi CFU-GM (Colony Forming
Unit-Granulocyte-Monocyte) yang merupakan populasi sel progenitor
. Selanjutnya dengan pengaruh sitokin seperti IL-1, IL-6,
SCF (Stem Cell Factor), ligan FLT3 dan GM-CSF (Granulocyte-Macrophag Colony
Stimulating Factor), CFU-GM mengalami diferensiasi lebih lanjut menjadi
Myeloblast
Myeloblast merupakan sel prekursor yang ditandai dengan kromatin
dengan dispersi halus serta warna nukleolus yang pucat. Granulositopoiesis
melibatkan proses perubahan sutoplasma pada sel-sel prekursor Myeloblast
dengan adanya sintesis protein yang menghasilkan granula azurophilic dan
granula spesifik (Gambar 2.4) . Protein ini diproduksi
di retikulum endoplasmik kasar dan diproses menjadi granula oleh badan
golgi. Granula yang pertama diproduksi yaitu granula azurophilic yang
mengandung enzim lisosom hidrolase dan myeloproksidase serta terwarnai
dengan pewarnaan basa. Sel dengan banyak granula azurophilic dan sitoplasma
basofilik disebut dengan promyelocyte. Masing-masing promyelocyte memiliki
gen aktif yang berbeda dan menentukan proses diferensiasi selanjutnya.
Gambar 2.4. Proses pembentukan granula azurophilic dan granula spesifik pada
granulositopoiesis ,
Pada proses berikutnya, badan golgi memproduksi granula spesifik yang
terdiri atas tiga jenis granula : granula neutrofilik, asidofilik, dan basofilik sesuai
dengan pengaktifan gen pada masing-masing sel promyelocyte. Produksi granula
spesifik dalam jumlah besar mendominasi sitoplasma dibandingkan granula
azurophilic. tahap ini merupakan awal munculnya perbedaan antara ketiga jenis
leukosit granuler dan sel pada tahap ini disebut dengan myelocyte. Tahap akhir proses
granulositopoiesis ditandai dengan semakin banyaknya granula spesifik yang
memenuhi sitoplasma dan pada pengamatan mikroskopis mulai dapat diamati
perbedaan antara ketiga jenis sel yang memiliki granula spesifik berbeda. Sel-sel
ini pada tahap ini disebut dengan metamyelocyte. Maturasi metamyelocyte
menjadi neutrofil, basofil dan eosinofil berjalan seiring dengan proses kondensasi
nukleus pada setiap sel ,
Maturasi metamyelocyte menjadi neutrofil, basofil dan eosinofil sangat
dipengaruhi oleh adanya faktor pertumbuhan maupun sitokin (Gambar 2.5).
Seperti faktor pertumbuhan G-CSF (Granulocyte-Colony Stimulating Factor) yang
meregulasi maturasi Metamyelocyte menjadi Neutrofil sedangkan untuk maturasi
eosinophilic-myelocyte menjadi eosinofil dibutuhkan sitokin IL-5 dan GM-CSF
(Granulocyte-Macrophage-Colony Stimulating Factor). Untuk maturasi basophilic-
myelocyte menjadi basofil membutuhkan sitokin seperti IL-3 dan IL-4 ,
Secara normal, proses pembentukan leukosit granuler berlangsung antara
10 hingga 14 hari , Sumsum merah pada tulang menghasilkan
granulosit, terutama neutrofil, dalam jumlah besar untuk memasok kebutuhan
dasar leukosit yang bersirkulasi dan bertahan hidup di darah perifer hanya selama
3 sampai 6 jam. Sumsum merah juga memiliki kapasitas untuk meningkatkan
produksi granulosit secara drastis dalam menanggapi berbagai tekanan. Regulasi
produksi granulosit dikendalikan oleh berbagai sitokin yang menginduksi
program diferensiasi myeloid melalui interaksi yang diatur secara hati-hati dari
beberapa faktor transkripsi umum dan myeloid spesifik
Gambar 2.5. Sitokin dan faktor pertumbuhan yang mempengaruhi proses diferensiasi sel
punca Myeloid hingga menjadi sel leukosit granuler dan monosit; CFU-Baso (Colony-forming
unit-basophil) ; CFU-E/Meg (Colony forming unit-erythrocyte/megakaryocyte); CFU-Eo (Colony-
tforming unit-eosinophil); CFU-G (Colony-forming unit-granulocyte); CFU-GEMM (Colony-
forming unit-granulocyte, erythrocyte, macrophage, megakaryocyte); CFU-GM, (Colony-forming
unit-granulocyte macrophage); CFU-M (Colony-forming unit macrophage); G-CSF (granulocyte
colony-stimulating factor); GM-CSF (Granulocyte macrophage colony-stimulating factor); IL
(Interleukin); M-CSF (Monocyte colony-stimulating factor); PHSC (Pluripotent Hematopoietic Stem
Cell); SCF (Stem Cell Factor).
Monositopoiesis
Monositopoiesis merupakan proses pembentukan monosit yang berasal
dari sel punca myeloid (Myeloid Stem Cell) atau common myeloid progenitor
(CMP). Sel punca myeloid ini berdiferensiasi dengan pengaruh sitokin
seperti IL-3 (Interleukin-3) menjadi koloni sel progenitor yang disebut CFU-GM
(Colony Forming Unit-Granulocyte-Monocyte) (Gambar 2.1.). Selanjutnya CFU-GM
berdiferensiasi menjadi CFU-M (Colony Forming Unit-Macrophage) dengan
pengaruh sitokin seperti SCF, IL-3, IL-6, GM-CSF dan G-CSF (Gambar 2.5). Pada
tahap berikutnya terjadi diferensiasi pada sel-sel progenitor membentuk sel-sel
prekursor yang disebut Monoblast.
Secara morfologi, monoblast sulit dibedakan dengan myeloblast. Monoblast
selanjutnya berdifrensiasi membentuk promonocyte yang ditandai dengan
morfologi sel yang besar dengan diameter sel berukuran hingga 18µm, memiliki
sitoplasma basofilik dan nukleus yang sedikit berlekuk. Selanjutnya promonocyte
mengalami dua kali pembelahan disertai dengan diferensiasi hingga menjadi
monosit ,Diferensiasi terjadi dengan waktu maturasi antara 50
hingga 60 jam dan terjadi maturasi morfologis yang ditandai dengan adanya
pembentukan lobulus nukleus secara progresif ,
Pelepasan monosit yang dipicu oleh stres terjadi terutama melalui pelepasan
monosit prematur dari populai sel promonosit yang masih mengalami proliferasi.
Kelangsungan hidup monosit dalam darah terhitung pendek, berkisar antara 8
hingga 72 jam. Monosit lalu memasuki jaringan, lalu berkembang
menjadi makrofag yang dapat bertahan 2 hingga 3 bulan di jaringan (Gambar
2.1)
Limfositopoiesis
Limfositopoiesis merupakan proses pembentukan limfosit yang
berasal dari Hematopoietic Stem Cell (HSC) yang lalu berdiferensiasi
menjadi Lymphoid Stem Cell (LSC) atau Common Lymphoid Progenitor (CLP).
Sel-sel progenitor limfosit ini pada awalnya berada pada sumsum merah
dan berdiferensiasi menjadi sel-sel prekursor limfosit yaitu lymphoblast.
Lymphoblast merupakan sel-sel prekursor yang terbagi atas B-Lymphoblast,
T-lymphobast dan NK-Lymphoblast. Diferensiasi sel-sel progenitor menjadi
sel-sel prekursor limfoid dipengaruhi oleh beberapa sitokin. CLP dipengaruhi
oleh IL-7 (interleukin 7) sehingga dapat berdiferensiasi menjadi B-lymphoblast
dan NK-lymphoblast sementara IL-2 bersama dengan IL-7 mempengaruhi CLP
untuk berdiferensiasi menjadi T-lymphoblast. Selanjutnya B-Lymphoblast tetap
berada di sumsum tulang merah dan mendapat pengaruh dari IL-2, IL-4, IL6
dan IL-15 untuk berdiferensiasi menjadi sel limfosit B. Sementara T-lymphoblast
mengalami migrasi ke Timus sebagai organ limfoid primer dan mengalami
diferensiasi dengan pengaruh IL-2, IL-7, IL-12, IL-15 sehingga terbentuk sel
limfosit T (Gambar 2.6) (Wadhwa & Thorpe, 2008). Baik sel limfosit T dan limfosit
B yang terbentuk pada akhir Limfositopoiesis merupakan sel naif yang belum
aktif. Pengaktifan sel limfosit sebagai bagian utama dalam sistem imun adaptif
dilakukan pada organ limfoid sekunder dengan cara pengenalan terhadap
antigen yang masuk
Gambar 2.6. Limfositopoiesis yang dipengaruhi oleh berbagai sitokin
Trombositopoiesis
Trombositopoiesis merupakan proses pembentukan trombosit atau
keping darah yang berasal dari Hematopoietic Stem Cell (HSC). HSC berdiferensiasi
menjadi myeloid stem cell atau common myeloid progenitor (CMP) yang
selanjutnya dipengaruhi oleh beberapa sitokin seperti SCF, IL-3, IL-6, IL-11, LIF
(Leukemia Inhibitory Factor), G-CSF dan EPO (eritropoietin), dapat berdiferensiasi
menjadi CFU-Meg (Colony Forming Unit-Megakaryoblast)
Selanjutnya CFU-Meg yang merupakan koloni sel progenitor berdiferensiasi
lebih lanjut membentuk sel prekurosor berupa pro-megakaryoblast. lalu
dilanjutkan dengan tahapan pembentukan megakaryoblast dan dipengaruhi
terutama oleh TPO. Megakaryoblast ditandai dengan bentuk sel besar
dengan diameter 25-50 μm, nukleus yang besar berbentuk seperti ginjal dan
sitoplasmanya bersifat basofilik yang disebabkan oleh banyaknya sintesis
protein yang terjadi di dalam sel ini . Megakaryoblast lalu berdiferensiasi
menjadi pro-megakaryocyte yang memiliki bentuk sel sedikit lebih besar dengan
nukleus yang seakan berlobus dan sitoplasmanya dipenuhi dengan granula
spesifik keping darah (trombosit specific granules). Maturasi pro-megakayocyte
berlanjut hingga menghasilkan megakaryocyte dengan ciri-ciri nukleus sel
yang memiliki banyak lobus serta poliploid dan terletak pada daerah tepi sel.
Sitoplasma megakaryocyte ditandai dengan banyaknya granula spesifik keping
darah, granula alfa dan granula padat
Megakaryocyte menghasilkan trombosit dengan cara memanjangkan
sitoplasmanya membentuk tonjolan sepanjang >100 μm dan lebar antara 2-4
μm yang disebut dengan protrombosits. Selanjutnya tonjolan sitoplasma ini
dilepaskan dari bagian sel megakaryocyte sebagai trombosit pada aliran darah.
Pelepasan trombosit dilakukan melalui sinusoid yang ada pada sumsum
merah
Plasma Darah
Plasma darah merupakan komponen terbanyak pada whole blood yang
memenuhi hampir separuh dari penyusunnya. Plasma darah merupakan
cairan matriks ekstraseluler bening dengan sedikit warna kekuningan, yang
tersusun atas berbagai komponen, meliputi air (92%), dan 8% sisanya terdiri
atas glukosa, lemak, protein, vitamin, hormon, enzim, antibodi, karbon
dioksida, dan mineral lainnya ,Warna kuning yang ada pada plasma darah merupakan pigmen
warna yang diperoleh dari proses perombakan eritrosit yang sudah tua, yakni
bilirubin, serta adanya pigmen karotenoid, hemoglobin, dan protein iron
transferrin ,
Pada plasma darah, protein yang terkandung pada pada umumnya,
terdiri atas protein albumin, globulin, dan fibrinogen, namun beberapa
penelitian terkini menunjukkan bahwa di dalam plasma darah sendiri
setidaknya mengandung lebih dari 500 protein yang dimungkinkan berasal
dari proses metabolisme yang dihasilkan oleh tubuh (Carter, 2018). Plasma
darah berperan penting dalam menjaga homeostasis yang terjadi di dalam
darah, semisal menjaga tekanan normal darah, dan volume darah, selain
itu, plasma darah berperan dalam membawa produk samping metabolisme
yang tidak dibutuhkan. Selain itu, adanya antibodi yang dibawa oleh plasma
darah erat kaitannya dengan sistem imun yang ada pada sistem pertahanan
manusia. Selain itu, mineral yang umumnya dijumpai pada plasma darah,
semisal Fe3+, Na+, Ca+, Cl-, Mg2+ berperan sebagai elektrolit bagi sel-sel darah,
dan dapat mengatur osmolaritas pada plasma darah ,
Plasma dan serum memiliki komposisi yang berbeda. Plasma darah
diperoleh dari pemisahan cairan ekstraseluler ini dengan komponen
darah lainnya. Prinsip pemisahan didasarkan pada perbedaan berat molekul,
dengan memakai sentrifugasi. Setelah dilakukan proses sentrifugasi,
plasma darah akan berada di bagian paling atas, dan dapat dipakai untuk
keperluan diagnostik medis, semisal untuk analisis diagnostik penyakit
kanker ,penyakit Alzheimer , hingga sepsis
. Umumnya, dikenal adanya plasma darah dan serum
darah. Keduanya dibedakan berdasar ada tidaknya zat penggumpal darah
(fibrinogen) (Gambar 3.1). Plasma darah diperoleh tanpa menghilangkan
zat-zat pembekuan darah yakni fibrinogen di dalam komponennya, sedangkan
serum diperoleh dengan menggumpalkan fibrinogen secara alami, lalu
lalu dipisahkan dengan cairan ekstraselulernya. Pada pemisahan plasma
darah, untuk mencegah terjadinya penggumpalan pada darah, umumnya
ditambahkan zat anti-koagulan, seperti Etylenediamine Tetraacetic Acid (EDTA),
struktur ditunjukkan oleh Gambar 3.2.
Gambar 3.1. Plasma darah dan serum darah. Keduanya dibedakan dengan ada tidaknya faktor
pembekuan darah (fibrinogen). Serum darah diperoleh dari sentrifugasi darah yang sudah
mengalami pembekuan secara alami, sedangkan plasma darah diperoleh dengan sentrifugasi
darah yang sudah diberi zat anti-koagulan
Plasma Darah 33
Gambar 3.2. Struktur EDTA
EDTA merupakan senyawa dengan empat gugus asam karboksilat dan
dua kelompok senyawa amino yang mampu mengikat ion kalsium (Ca2+) dan
ion logam lainnya, semisal Fe3+. Kalsium berperan penting sebagai ion yang
berperan dalam cascade effect untuk terjadinya pembekuan darah Pengikatan ion Ca2+ akan menyebabkan terhambatnya
proses pembekuan darah, disebab kan terhambatnya polimerasi monomer
benang-benang fibrin yang terbentuk dari fibrinogen, setelah teraktivasi oleh
trombin seperti yang terlihat pada
Gambar 3.3. Ion kalsium menjadi kofaktor protein trombin untuk mengaktivasi
fibrinogen menjadi fibrin .
Gambar 3.3. Proses pembekuan darah yang melibatkan proses pengubahan fibrinogen
menjadi benang-benang fibrin.
34 Hematologi Dasar
Plasma darah berperan juga sebagai cairan yang membawa panas yang
dihasilkan dari respirasi seluler yang dilakukan oleh sel ataupun jaringan.
Respirasi seluler yang terjadi yaitu sebagai sebuah proses pemecahan nutrisi,
berupa karbohidrat (molekul yang menyimpan engeri dalam ikatan kimianya)
yang dikonsumsi menjadi energi kimia yang dihasilkan dalam bentuk ATP
di organel mitokondria. Dalam hukum termodinamika, perubahan bentuk
yang terjadi dalam sebuah reaksi akan menghasilkan energi entalpi untuk
tetap menjaga kesetimbangan reaksi, dan dalam hal ini berupa energi panas.
Pembuluh darah yang melewati organ, di mana jaringan atau sel-selnya aktif
melakukan respirasi seluler akan membawa energi panas dalam alirannya,
sehingga temperatur tubuh tetap terjaga, sebab aliran plasma terus bersikulasi
di dalam tubuh ,
Eritrosit
Eritrosit (sel darah merah) merupakan komponen sel dengan jumlah
terbesar dalam darah dan memiliki fungsi penting dalam darah yaitu sebagai
sel pengangkut oksigen. Jumlah eritrosit pada laki-laki dewasa yang sehat
sekitar 5,4 juta sel per mikroliter darah, sedangkan untuk wanita dewasa sehat
berjumlah sekitar 4,8 juta sel per mikroliter darah
Eritrosit merupakan satu satunya sel darah yang dapat menjalankan fungsinya
tanpa meninggalkan pembuluh darah , Eritrosit berbentuk
seperti cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 7,5 µm, ketebalan sekitar
2,6 µm di tepi dan 0,75 µm ditengah. sebab ukuran dan bentuknya yang
relatif seragam dan hampir pada seluruh jaringan tubuh ada eritrosit,
maka para pakar histologi biasa memakai eritrosit sebagai standar untuk
memperkirakan ukuran sel-sel lain yang berdekatan ,
Gambar 4.1. a. Gambaran SEM (Scanning Eelectron Microscope) eritrosit yang diwarnai; b.
Penampang eritrosit dengan ketebalan di tepi dan di tengah yang berbeda sehingga memiliki
bentuk bikonkaf yang dapat memaksimalkan fungi pengangkutan oksigen, pertukaran
gas serta memberikan eritrosit kemampuan menyesuaikan bentuknya secara fleksibel saat
melewati pembuluh darah yang kecil (kapiler)
Struktur bikonkaf yang dimiliki eritrosit membuat nilai rasio luas
permukaan berbanding volume menjadi besar dan memaksimalkan proses
pertukaran gas ,Eritrosit tidak memiliki nukleus dan organela
sel lain untuk meningkatkan efisiensi pengangkutan oksigen. Sitoplasmanya
dipenuhi oleh molekul hemoglobin yang disintesis sebelum eritrosit
36 Hematologi Dasar
kehilangan nukleusnya. Hemoglobin menyumbang sekitar 33 dari berat total
eritrosit dan berfungsi mengikat oksigen untuk dibawa pada aliran darah
Eritrosit memiliki membran plasma yang kuat namun fleksibel, dapat
menyesuaikan perubahan bentuk eritrosit saat melewati kapiler yang sempit
tanpa mengalami kerusakan membran sel
Membran plasma eritrosit tersusun atas 40% lipid, 10% karbohidrat dan 50%
protein yang sebagian besar merupakan protein integral yang tertanam
pada dua lapis fosfolipid membran sel, termasuk kanal ion seperti protein
band 3 dan glycophorin A. ada pula protein perifer yang ada pada
bagian internal membran plasma, termasuk protein spectrin dan ankyrin
yang berfungsi mengikatkan spectrin pada protein band 3 dan glycophorin A.
Ikatan antara spectrin, ankyrin, protein band 3 dan glycophorin A ini berfungsi
mempertahankan stabilitas membran dan mempertahankan bentuk sel serta
menciptakan elastisitas sel saat melewati kapiler yang sempit ,
Eritrosit memiliki struktur yang sangat disesuaikan dengan fungsinya yaitu
pengangkutan oksigen. Eritrosit bahkan tidak memiliki mitokondria sehingga
produksi ATP intraseluler dilakukan secara anaerob (tanpa oksigen) dan tidak
memakai oksigen yang dibawa didalam sel untuk metabolismenya.
ada enzim glikolitik dalam jumlah besar pada sitoplasma eritrosit untuk
menjalankan proses glikolisis sebagai satu-satunya sumber ATP untuk sel.
Enzim glikolitik juga berfungsi mempertahankan konsentrasi ion intraseluler
dengan mekanisme transpor aktif pada membran sel ,
Hemoglobin
Hemoglobin tersusun atas sebuah protein yang disebut globin yang
terdiri atas empat rantai polipeptida. Empat polipeptida ini merupakan
gabungan antara dua rantai alfa dan dua rantai beta globin (Gambar 4.2).
Masing-masing rantai polipeptida ini mengikat sebuah pigmen
nonprotein yang disebut heme. Heme mengandung ion besi (Fe2+) pada
bagian tengfahnya, yang dapat berikatan dengan oksigen secara reversibel
. Oksigen terikat pada hemoglobin sebanyak 98,5%
dari total oksigen yang dibawa oleh darah, sebab sifat oksigen yang memiliki
kelarutan rendah pada plasma darah. Hemoglobin merupakan sebuah protein
pigmen yang berwarna merah dalam kondisi mengikat oksigen dan berwarna
kebiruan dalam kondisi kurang oksigen. Oleh sebab itu, darah di pembuluh
arteri yang merupakan darah kaya oksigen akan berwarna merah, sedangkan
darah di vena yang merupakan darah dengan kandungan oksigen rendah,
akan berwana kebiruan ,
Gambar 4.2. a. Struktur molekul hemoglobin ; b. Struktur heme.
Hemoglobin disintesis pertama kali pada pro-erythroblast dan
berlanjut sampai tahap retikulosit pada proses eritropoiesis. Saat retikulosit
meninggalkan sumsum tulang merah dan memasuki sirkulasi, masih terjadi
proses isntesis hemoglobin dalam jumlah kecil hingga retikulosit matur
menjadi eritrosit dan proses sintesis hemoglobin berakhir. Tahap pertama
dalam pembentukan eritrosit yaitu terjadinya ikatan antara suksinil-koA yang
merupakan salah satu senyawa intermediet pada siklus Krebs, dengan glisin,
membentuk molekul pyrrole. Selanjutnya empat molekul pyrrole membentuk
protoporphyrin IX yang lalu berkombinasi dengan ion besi untuk
membentuk molekul heme. Tahap akhir pembentukan hemoglobin ditandai
dengan terjadinya ikatan antara heme dengan polipeptida yang disintesis
oleh ribosom yaitu globin membentuk rantai hemoglobin. Empat buah rantai
hemoglobin saling berikatan dan membentuk sebuah molekul hemoglobin
Satu molekul hemoglobin dapat berikatan dengan empat molekul
a b
oksigen pada keempat ion besi yang ada pada bagian tengah setiap rantai
penyusunnya. saat darah dialirkan dari jantung ke paru-paru melalui arteri
pulmonalis, terjadi proses pengikatan oksigen oleh hemoglobin dan dibawa
sepanjang aliran darah menuju jantung lalu dialirkan ke seluruh tubuh. Saat
mencapai kapiler, terjadi reaksi pelepasan oksigen dari ion besi (Fe2+) sehingga
oksgen dapat berdifusi keluar dari erirosit ke cairan interstitial lalu
masuk ke dalam setiap sel sel tubuh ,
Setiap eritrosit dapat mengandung sekitar 280 juta molekul hemoglobin.
Selain mengangkut oksigen, hemoglobin juga mengangkut sekitar 23%
dari total karbondioksida yang dibawa oleh darah, selain yang terlarut pada
plasma darah dan yang dibawa dalam bentuk ion bikarbonat. Saat darah
mengalir melalui kapiler dan melepaskan oksigen dari hemoglobin, terjadi
reaksi pengikatan karbondioksida oleh beberapa asam amino yang ada
pada rantai globin penyusun hemoglobin. Saat darah kembali ke paru-paru,
karbondioksida yang dibawa oleh hemoglobin dilepaskan untuk dikeluarkan
dari tubuh ,
Di samping perannya dalam transpor oksigen dan karbondioksida,
hemoglobin juga berperan penting dalam pengaturan tekanan darah dan
aliran darah. Dalam darah ada hormon berbentuk gas yang dikenal
dengan Nitrit Oksida (NO), yang dihasilkan oleh sel endotel pelapis pembuluh
darah. Hormon gas NO ini berikatan dengan hemoglobin. Pada beberapa
keadaan, hemoglobin dapat melepaskan NO yang menyebabkan terjadinya
vasodilatasi, yaitu pelebaran diameter pembuluh darah sebab relaksasi
sel-sel otot polos pada dinding pembuluh darah. Terjadinya vasodilatasi dapat
meningkatkan aliran darah sekaligus meningkatkan laju pengantaran oksigen
ke sel-sel tubuh disekitar area pelepasan NO
Selain itu, eritrosit juga mengandung enzim karbonik anhidrase
(Carbonic Anhydrase/CA) yang dapat mempercepat konversi karbondioksida
dan air menjadi asam karbonat, dan selanjutnya mengalami disosiasi menjadi
H+ dan HCO3
- (Gambar 4.3.). Adanya reaksi reversibel ini memungkinkan
sekitar 70% karbondioksida diangkut oleh darah dalam bentuk ion bikarbonat
yang terlarut pada plasma darah. Selain itu, adanya ion H+ dan HCO3
- dalam
darah berperan sebagai buffer yang dapat mengontrol pH darah agar tetap
optimal dan stabil, juga sebagai buffer untuk cairan interstitial-ekstraseluler .
CO2 + H2O ↔ H2CO3 ↔ H+ + HCO3
-
karbondioksida air asam karbonat ion hidrogen ion bikarbonat
Gambar 4.3. Reaksi reversibel pengubahan CO2 menjadi ion hidrogen dan ion bikarbonat
dalam eritrosit
Selain fungsi transpor oksigen, karbondioksida dan berperan sebagai
buffer, hemoglobin juga dapat berikatan dengan karbonmonoksida (CO).
Secara normal dalam darah tidak ada karbonmonoksida. Oksigen dan
karbonmonoksida berikatan pada sisi hemoglobin yang sama, akan tetapi
afinitas (kekuatan pengikatan) hemoglobin terhadap karbonmonoksida 240
kali lebih tinggi dibanding afinitas hemoglobin terhadap oksigen. sebab
itulah apabila ada kadar CO yang cukup tinggi di udara sekitar dan masuk
ke saluran pernafasan, dapat menyebabkan terjadinya kekurangan oksigen
dalam darah akibat terjadinya ikatan yang sangat kuat antara hemoglobin
dengan CO, sehingga hemoglobin tidak dapat mengikat oksigen.
Ikatan
















