antara CO dengan hemoglobin ini disebut karboksihemogloibin,
yang tidak mudah terurai. CO biasanya dihasilkan dari pembakaran
tidak sempurna produk karbon seperti bahan bakar minyak, kayu, batu
bara dan tembakau. Apabila ada karboksihemoglobin dalam kadar
tinggi pada darah, dapat menyebabkan seseorang mengalami keracunan
karbonmonoksida dan berakibat fatal akibat rendahnya kadaroksigen dalam
darah. Keracunan karbonmonoksida dapat menyebabkan kematian perlahan
dan tanpa disadari sebab gas CO tidak berwarna, tidak berbau dan tidak
memiliki efek iritasi serta tidak menyebabkan sesak nafas
4.2 Pengangkutan Gas Pernafasan oleh Eritrosit
Oksigen bersifat tidak mudah larut dalam air. Dari keseluruhan oksigen
yang masuk ke alveolus paru-paru dan berdifusi ke kapiler yang berisi darah,
hanya sekitar 1,5% yang dapat terlarut pada plasma darah. Sekitar 98,5%
40 Hematologi Dasar
sisanya terikat pada hemoglobin yang ada pada eritrosit. Tiap 100 mL
darah teroksigenasi, ada sekitar 20 mL gas oksigen dengan proporsi 19,7
mL terikat pada hemoglobin dan 0,3mL terlarut pada plasma darah. Oksigen
dan hemoglobin berikatan membentuk oksihemoglobin dengan reaksi yang
reversibel di bawah ini:
Gambar 4.4. Reaksi reversibel pengikatan oksigen oleh hemoglobin yang terjadi di dalam
eritrosit ,
sebab 98,5% O2 berikatan dalam bentuk oksihemoglobin, artinya hanya
1,5% O2 yang dapat mengalami difusi keluar dari eritrosit dan masuk ke sel-sel
di jaringan tubuh. Oksihemoglobin dapat terurai melalui reaksi reversibel
(Gambar 4.4.) disebab kan adanya pernurunan tekanan parsal oksigen di
jaringan tubuh. Apabila oksihemoglobin terurai, oksigen menjadi tidak terikat
oleh hemoglobin dan dapat berdifusi menembus membran eritrosit menuju
ke jaringan tubuh. Pada jaringan yang membutuhkan oksigen dalam jumlah
besar seperti jaringan otot (sel otot rangka), tekanan parsial oksigen sangat
rendah sehingga banyak oksigen yang dilepaskan oleh hemoglobin dan
berdifusi ke jaringan otot untuk menjalankan fungsi metabolisme yang aktif.
Karbondioksida ditranspor melalui darah dengan tiga cara :
1. CO2 terlarut pada plasma, berjumlah sekitar 7% dari total CO2 yang
diangkut oleh darah , Kelarutan CO2 dalam
air lebih baik dibanding O2, sebab itu persentase CO2 yang larut dalam
plasma lebih besar dibanding O2. Akan tetapi jumlah CO2 terlarut
dalam plasma juga sangat dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dalam
pembuluh darah. pada tekanan parsial vena normal, hanya sekitar 10%
CO2 yang terlarut pada plasma . saat darah dari
seluruh tubuh dibawa ke paru-paru, CO2 dalam bentuk ini dapat langsung
berdifusi dan dikeluarkan dari paru-paru
2. Terikat pada hemoglobin. Seperti dijelaskan sebelumnya, hemoglobin
dapat mengikat CO2 dan membentuk karbamino hemoglobin (HBCO2)
(Gambar 4.5). Sekitar 23-30% CO2 ditranspor oleh darah dalam bentuk
karbaminohemoglobin. Berbeda dengan O2 yang berikatan dengan
heme, CO2 berikatan dengan globin pada molekul hemoglobin pada
bagian asam amino terminal di rantai alfa dan beta globin Hemoglobin yang tereduksi memiliki afinitas
lebih tinggi terhadap CO2 dibanding HbO2. Pelepasan molekul O2 oleh
hemoglobin pada kapiler memicu adanya ikatan HbCO2
Gambar 4.5. Reaksi reversibel pembentukan karbaminohemoglobin sebagai reaksi antara
hemoglobin dan karbondioksida ,
3. Ion bikarbonat. Persentase paling besar CO2 di darah dalam bentuk
ion bikarbonat, yaitu sekitar 60-70% (Gambar 4.3). CO2 yang berdifusi
dari jaringan ke darah bereaksi dengan air membentuk asam karbonat
(H2CO3) lalu menjadi ion bikarbonat (HCO3
-) dan ion hidrogen (H+). Reaksi
ini berlangsung lambat di plasma darah, tetapi dapat berlangsung lebih
cepat di eritrosit dengan adanya enzim karbonat anhidrase , Banyaknya CO2 yang diangkut dalam bentuk ion bikarbonat
menyebabkan HCO3
- terkumulasi pada eritrosit. Ion bikarbonat
lalu berpindah ke plasma dan menurunkan gradien konsentrasi,
yang mengakibatkan pindahnya ion Cl- dari plasma ke eritrosit.
Peristiwa pertukaran ion negatif ini disebut sebagai Chloride shift yang
mempertahankan keseimbangan ion antara plasma dan eritrosit
Secara singkat, proses pengangkutan gas pernafasan baik oksigen
maupun karbondioksida oleh darah, dirangkum pada Gambar 4.6. Darah dari
seluruh tubuh kembali ke kapiler paru-paru membawa CO2 dalam bentuk
terlarut plasma, juga karbaminohemoglobin dan ion bikarbonat dalam eritrosit.
Eritrosit juga mengikat ion hidrogen dalam bentuk Hb-H sebagai buffer untuk
menjaga keseimbangan pH darah. saat sampai di kapiler paru-paru, CO2
42 Hematologi Dasar
dalam bentuk karbaminohemoglobin terdisosiasi dari globin dan mengalami
difusi ke alveolus bersama CO2 terlarut plasma untuk dikeluarkan ke udara.
HCO3
- juga dilepaskan dari eritrosit ke plasma dan bertemu dengan ion H+
membentuk asam karbonat yang langsung terurai menjadi CO2 dan H2O. CO2
dan H2O yang dihasilkan lalu berdifusi ke alveolus lalu dikeluarkan juga
ke udara.
Pada saat yang bersamaan, O2 yang masuk ke paru-paru berdifusi masuk
ke eritrosit dan berikatan dengan hemoglobin membentuk oksihemoglobin.
sebab konsentrasi ion HCO3
- pada eritrosit yang berada dalam kapiler paru
menurun, ion HCO3
- dari plasma darah berdifusi ke eritrosit dan bertukar
dengan ion Cl- yang keluar dari eritrosit ke plasma darah. Darah meninggalkan
paru-paru dengan konsentrasi O2 yang meningkat dan penurunan jumlah CO2
dan H+. Pada kapiler di seluruh tubuh, terjadi reaksi yang berkebalikan dari
reaksi yang terjadi di paru-paru sebab sel-sel seluruh tubuh membutuhkan
O2 yang dibawa oleh darah dan menghasilkan CO2 untuk dibawa oleh darah
kembali ke paru-paru
Gambar 4.6. Proses pengangkutan oksigen dan karbondioksida pada darah dari alveolus ke
jaringan (A) dan dari jaringan ke alveolus (B)
4.3 Destruksi Eritrosit
Eritrosit kehilangan nukelus dan organela sel lainnya pada proses
pembentukan eritrosit (eritropoiesis), sesaat sebelum sel hasil diferensiasi
yang berupa retikulosit dilepaskan ke sirkulasi dari sumsum tulang merah.
Kehilangan mitokondira menyebabkan eritrosit hanya dapat memproduksi
ATP melalui glikolisis (respirasi anaerob) sedangkan kehilangan nukleus
menyebabkan eritrosit tidak dapat melakukan regenerasi dan fungsi sintesis
protein untuk memperbaiki komponen sel yang rusak. Eritrosit yang tidak
dapat beregenerasi dan melakukan pembelahan sel, harus diganti dengan
eritrosit matur yang baru dan fungsional. Eritrosit secara normal bersirkulasi
selama 120 hari. Setelah itu, mulai terjadi kerusakan membran, perubahan
bentuk sel serta perubahan komponen penyusun membran sel. Eritrosit yang
mulai mengalami perubahan ini selanjutnya dikenali oleh makrofag dan
difagositosis agar tidak lagi berada pada sirkulasi (Mescher, 2015).
Proses penggantian eritrosit rusak melibatkan eritropoiesis yang terjadi
setiap saat sebab dibutuhkan 2-3 juta sel eritrosit baru setiap detiknya
untuk menggantikan eritrosit yang rusak (Sherwood, 2010). Jumlah ini
dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah total eritrosit di sirkulasi dan
menyeimbangkan antara laju kerusakan eritrosit dengan laju pembentukan
eritrosit baru . Eritrosit yang rusak dan harus
diganti, mengalami proses destruksi di organ limpa, hati dan sumsum tulang
merah (Gambar 4.7.). Proses destruksi eritrosit (Gambar 4.7) dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut
1. Makrofag yang ada pada limpa, hati dan sumsum tulang merah
melakukan fagositosis terhadap eritrosit yang sudah tua dan rusak
2. Hemoglobin terpecah mejadi molekul heme dan protein globin
3. Globin terpecah menjadi asam amino-asam amino penyusunnya yang
dapat dipakai lagi dalam tahapan sintesis protein
4. Ion besi terlepas dari molekul heme dan terikat pada protein plasma yang
disebut transferrin yang merupakan transporter Fe2+ pada aliran darah
5. Selanjutnya ion Fe2+ dilepaskan dari transferrin pada sel otot, sel hati, dan
makrofag di limpa untuk berikatan dengan protein penyimpan besi yaitu
ferritin
6. Saat dilepaskan dari jaringan tempat penyimpanannya, maupun saat
terjadi penyerapan oleh usus halus dari makanan, ion Fe2+ berikatan
kembali dengan transferrin
7. Kompleks Fe2+-transferrin selanjutnya dibawa bersama aliran darah
menuju sumsum tulang merah, tempat terjadinya diferensiasi sel-sel
prekursor eritrosit menjadi eritrosit matur. Sel-sel prekursor eritrosit
lalu melakukan endositosis (diperantarai reseptor) untuk
memasukkan ion Fe2+ ke dalam sel sebagai bahan baku sintesis
hemoglobin. Selain membutuhkan ion Fe2+, dibutuhkan pula asam
amino penyusun protein globin serta vitamin B12 dan asam folat sebagai
kofaktor penting dalam proses sintesis hemoglobin karen aterlibat dalam
proses sintesis DNA ,
Gambar 4.7. Proses destruksi eritrosit tua/rusak dan kaitannya dengan pigmen empedu (bilus)
8. Eritropoiesis yang terjadi pada sumsum tulang merah menghasilkan
eritrosit matur yang siap memasuki sirkulasi
9. Molekul heme yang kehilangan ion Fe2+ dikonversi menjadi biliverdin,
sebuah pigmen berwarna hijau, lalu diubah menjadi bilirubin
yang berwarna kekuningan
10. Bilirubin memasuki sirkulasi dan dibawa ke hati, lalu disimpan oleh sel-sel
hati.
11. Sel-sel hati melepaskan bilirubin secara bertahap sebagai bilus ke saluran
empedu yang bermuara pada usus halus dan bersama dengan sisa-sisa
pencernaan dibawa ke usus besar oleh gerak peristaltik usus
12. Selanjutnya bilirubin yang ada pada bilus di usus besar diubah
menjadi urobilinogen oleh bakteri usus besar. Sebagian urobilinogen
diserap kembali ke sirkulasi dan diubah mejadi pigmen berwarna
kekuningan yang disebut urobilin lalu disekresikan lewat urin.
13. Sebagian besar urobilinogen dibuang bersama dengan feses dalam
bentuk pigmen berwarna kecoklatan yang disebut sterkobilin.
Pengaturan laju eritropoiesis dikendalikan sebagian besar oeh hormon
eritropoietin yang diproduksi ginjal. Ginjal mendeteksi adanya penurunan
kapasitas pengangkutan oksigen oleh eritrosit yang disebabkan berkurangnya
jumlah eritrosit pada sirkulasi (Gambar 4.8.) dan merespon dengan
mengeluarkan hormon Eritropoietin. Eritropoietin (EPO) yang disekresi oleh
ginjal mempengauhi sebagian besar sel-sel prekursor eritrosit di sumsum
tulang merah sehingga menglami proliferasi dan berdiferensiasi menjadi
eritrosit matur. Kenaikan laju eritropoiesis menyebabkan kenaikan jumlah
eritrosit pada sirkulasi sehingga meningkatkan kapasitas pengangkutan O2
oleh darah. Saat kapasitas pengangkutan oksigen yang sudah kembali normal
ini dideteksi oleh ginjal melalui darah yang melewati ginjal, maka ginjal
akan menurunkan jumlah sekresi eritropoietin sesuai dengan kebutuhan
Gambar 4.8. Proses pengaturan eritropoiesis oleh hormon Eritropoietin (EPO) yang
disekresikan oleh ginjal
4.4 Penggolongan darah sistem ABO dan Rh
Permukan eritrosit dipenuhi oleh banyak protein, beberapa diantaranya
merupakan antigen permukaan yang tersusun atas kompleks glikoprotein dan
glikolipid. Antigen ini diturunkan secara genetik dan dikenal sebagai
agglutinogen. Ada dan/atau tidak adanya agglutinogen pada permukaan
eritrosit dapat dipakai sebagai dasar pengelompokkan golongan darah
Antigen merupakan molekul kompleks yang
berukuran besar dan dapat memicu respon imun jika bertemu dengan
antibodi yang sesuai. Antibodi hanya dapat berikatan dengan antigen yang
spesifik dan dapat menyebabkan kerusakan sel yang mengeskpresikan antigen
ini sebab destruksi oleh komponen sistem imun adaptif ,Antibodi yang komplemen dengan antigen yang ada pada permukaan
eritrosit disebut sebagai agglutinin. Agglutinin ada pada plasma darah.
ada sekitar 24 golongan darah dengan lebih dari 100 antigen yang dapat
dideteksi pada permukaan eritrosit. Dari jumlah tersbeut, ada dua kelompok
besar golongan darah yang dipakai secara umum, yaitu golongan darah
ABO dan Rhesus (Rh).
Penggolongan darah berdasar ABO sistem dibuat berdasar pada
adanya dua antigen glikolipid yang berada pada membran eritrosit yang
disebut sebagai antigen A dan antigen B. Darah yang pada eritrositnya hanya
memiliki antigen A saja, disebut bergolongan darah A. Begitupula dengan
golongan darah B, artinya eritrosit yang ada pada darah tersbeut hanya
memiliki antigen-B. Sedangkan darah yang eritrositnya memiliki antigen A dan
antigen B, disebut bergolongan darah AB. Sebagian besar populasi penduduk
dunia, pada eritrositnya tidak memiliki antigen A maupun antigen B sehingga
disebut bergolongan darah O (Gambar 4.9.)
Gambar 4.9. Ilustrasi antigen pada permukaan eritrosit dan antibodi yang ada di plasma
darah pada satu individu
Antibodi (agglutinin) yang ada pada plasma darah dapat bereaksi
dengan antigen A atau antigen B dan memunculkan respon imun berupa
aglutinasi (penggumpalan) darah. Aglutinasi terjadi akibat adanya reaksi
antigen-antibodi yang juga dapat memicu terjadinya kerusakan eritrosit
(hemolisis). Antibodi anti-A bereaksi dengan antigen A sedangkan antibodi
anti-B bereaksi dengan antigen B. Antibodi yang ada pada plasma
darah seseorang secara normal tidak bereaksi dengan antigen yang ada
pada membran eritrositnya, sebab antigen yang ada pada membran
eritrositnya bukan merupakan komplemen dari antibodi yang ada pada
plasma darahnya (Gambar 4.9.) Plasma darah
seseorang bisa mengandung antibodi yang komplemen dengan antigen
yang berada pada membran eritrosit orang lain. sebab itulah diperlukan
48 Hematologi Dasar
pemeriksaan kompatibilitas antar golongan darah apabila hendak dilakukan
transfusi atau pindah darah dari satu individu ke individu lainnya (Tabel 1).
Tabel 1. Interaksi antara antigen dan antibodi pada golongan darah yang memakai sistem
ABO
Karakteristik
Golongan Darah
A B AB O
Antigen (aglutinogen)
pada membran eritrosit A B A dan B -
Antibodi (aglutinin) pada
plasma darah Anti-B Anti-A - Anti-A dan
Anti-B
Donor yang kompatibel A, O B, O A, B, AB, O O
Donor yang inkompatibel B, AB A, AB - A, B, AB
Transfusi darah merupakan metode pemindahan darah baik keseluruhan
bagian darah maupun hanya komponen darah tertentu (seperti eritrosit,
plasma maupun trombosit saja) dari satu individu ke individu yang lain.
Transfusi darah biasa dilakukan untuk menambah volume darah dengan cepat
dan diperlukan dalam keadaan darurat, seperti kondisi setelah pendarahan
atau anemia berat (Tortora & Derrickson, 2012). Pada proses transfusi yang
harus diperhatian yaitu kompatibilitas antargolongan darah, sebab antigen
yang ada pada membran eritrosit donor akan diserang oleh antibodi
yang ada pada plasma darah resipien, jika keduanya merupakan komplemen
yang spesifik. Akan tetapi, antibodi yang ada pada plasma darah pendonor
tidak dapat menimbulkan kerusakan yang berat pada eritrosit resipien sebab
jumlah darah yang didonorkan tidak terlalu banyak dan antibodi ini
terlarut oleh plasma darah resipien. Kerusakan yang terjadi pada eritrosit
resipien akibat adanya antibodi dalam plasma darah donor dapat dikatakan
terjadi dalam jumlah kecil ,
Apabila terjadi inkompatibilitas transfusi, dapat dipastikan bahwa
antibodi yang ada pada plasma darah resipien bereaksi dengan antigen
yang ada pada membran eritrosit donor. Reaksi antigen-antibodi ini
menyebabkan terjadinya aglutinasi atau penggumpalan darah akibat eritrosit
yang berlekatan satu sama lain. Selanjutnya eritrosit yang mengalami aglutinasi
ini akan dihancurkan oleh sistem imun tubuh dengan cara merusak membran
plasma eritrosit sehingga menyebabkan hemolisis. saat terjadi hemolisis,
hemoglobin yang ada pada sitoplasma eritrosit akan terlepas ke plasma darah
dan terbawa oleh aliran darah sampai ke ginjal. Adanya hemoglobin terlarut
pada plasma darah dapat menyebabkan keruskaan ginjal sebab membentuk
sumbatan pada membran filtrasi di ginjal. Sebagai contoh, seseorang dengan
golongan darah A menerima transfusi dari donor yang bergolongan darah
B. eritrosit resipien memiliki antigen A dan plasma darah resipien memiliki
antibodi anti-B. Eritrosit donor memiliki antigen B dan plasma darah donor
memiliki antibodi anti-A. Antibodi anti-B yang ada pada plasma darah
resipien dapat berikatan dengan antigen B pada eritrosit donor, menyebabkan
aglutinasi dan hemolisis pada eritrosit. Dapat pula terjadi reaksi antigen
antibodi antara anti-A pada plasma donor dengan antigen A pada eritrosit
resipien akan tetapi pada transfusi, plasma darah donor menjadi bagian yang
sangat terlarut olehplasma darah resipien sehingga tidka menyebabkan
hemolisis yang signifikan terhadap eritrosit resipien
ada istilah donor universal dan resipien universal dalam hal transfusi
darah. Istilah donor universal dimaksudkan untuk golongan darah O yang
tidak memiliki antigen A maupun antigen B di permukaan eritrositnya. Secara
teori apabila dilakukan donor darah dari golongan darah O ke golongan darah
lain, tidak dapat terjadi reaksi aglutinasi sebab antibodi pada plasma darah
resipien tidak mendapat sasarannya yaitu antigen permukaan pada membran
eritrosit. Sebaliknya, istilah resipien universal dimaksudkan untuk golongan
darah AB yang tidak memiliki antibodi di plasma darahnya. Apabila golongan
darah AB menerima tarnsfusi dari golongan darah A, B dan O, maka secara
teoritis tidak terjadi aglutinasi sebab tidak ada antibodi pada plasma
darah resipien yang dapat bereaksi dengan antigen pada membran eritrosit
donor . Akan tetapi pada kenyataannya, donor
universal dan resipien universal tidak dapat diterapkan begitu saja pada proses
transfusi. Sebab ada banyak antigen dan antibodi lain pada darah (baik
pada eriteosit maupun pada plasma darah) selain antigen-antibodi ABO, yang
akan mempengaruhi proses transfusi dan beresiko menyebabkan aglutinasi.
Salah satu antigen-antibodi yang ada pada darah selain ABO yaitu
50 Hematologi Dasar
antigen-antibodi Rhesus (Rh) ,
Penggolongan darah berdasar ada atau tidaknya antigen Rhesus
pad apermukaan eritrosit disebut sebagai penggolongan darah sistem Rh
(Rhesus). Dinamakan demikian sebab pertama kali antigen rhesus ditemukan
pada kera Rhesus . ada enam tipe antigen
Rh yang umum dijumpai, yaitu C, D, E, c, d dan e. apabila seseorang memiliki
antigen C maka orang ini dipastikan tidak memiliki antigen c. Demikian
pula dengan D-d dan E-e. akan tetapi secara prevalensi, mayoritas populasi
di dunia memiliki antigen D yang bersifat lebih antigenik dibanding antigen
Rh yang lain. sebab itu apabila pada eritrosit seseorang memiliki antigen
D maka orang ini dikatakan memiliki golongan darah Rhesus positif
(Rh+). Sebaliknya apabila tidak ada antigen D pada eritrositnya, maka
dinyatakan sebagai Rhesus negatif (Rh-). Akan tetapi, pada orang dengan Rh+
bukan berarti tidak mengeskpresikan antigen Rh yang lain (C,E, c dan/atau e).
antigen Rhesus yang lain tetap dapat menimbulkan reaksi antigen antibodi
terutama pada inkompatibilitas transfusi, akan tetapi efek yang ditimbulkan
lebih ringan dariapda inkompatibiltas antigen-antibodi Rhesus D ,
Penggolongan darah dengan sistem rhesus sedikit berbeda dengan
sistem ABO dalam hal terjadinya reaksi aglutinasi pasca inkompatibel transfusi.
Secara normal plasma darah tidak mengandung antibodi Rh. Reaksi aglutinasi
pada inkompatibel transfusi akibat perbedan Rhesus dapat terjadi apabila
seseorang telah terpapar dengan antigen Rh dalam jumlah besar sehingga
membentuk antibodi anti-Rh. Paparan antigen ini bisa didapat melalui
transfusi darah yang mengandung antigen Rh (Rh+) kepada resipien yang tidak
memiliki antigen Rh (Rh-). Paparan ini mengakibatkan terbentuknya
antibodi anti-Rh oleh sistem imun dan bertahan dalam darah. Apabila pada
transfusi berikutnya mendapat donor dengan golongan darah Rh+, maka
antibodi anti-Rh yang ada dalam plasma darah akan bereaksi dengan antigen
Rh yang ada pada eritrosit donor dan menyebabkan terjadinya aglutinasi ,
Leukosit
Leukosit (leuko = putih, cyte = sel) atau sel darah putih merupakan sel
darah yang masih memiliki inti sel, berbeda dengan eritrosit (eritrosit).
Leukosit juga tidak memiliki hemoglobin maupun kemampuan untuk
membawa oksigen ,Selain itu, leukosit dinamai demikian
juga sebab relatif lebih tidak berwarna jika dibandingkan dengan eritrosit.
Leukosit pada umumnya dibedakan menjadi 5 kelompok, yaitu neutrofil,
basofil, eosinofil, monosit, dan limfosit. Kelima jenis leukosit ini masing-
masing memiliki karakteristik dan fungsi berbeda.
Gambar 5.1. Lima jenis leukosit: (a) eosinofil, (b) basofil, (c) neutrofil, (d) limfosit, dan (e)
monosit
Kisaran jumlah leukosit darah normal yaitu 4,3-10,8 x 109/L. Neutrofil
dan limfosit menyusun komposisi leukosit dengan persentase terbesar, secara
berturut-turut 45-74% dan 16–45%. Sisanya, monosit menyusun 4-10%,
eosinofil 0–7%, dan basofil 0-2% dari total leukosit. Namun, dapat terjadi variasi
baik dalam jumlah maupun persentase di antara individu dan kelompok etnis
yang berbeda. Contohnya yaitu variasi jumlah leukosit yang lebih rendah
untuk kelompok etnis Afrika Amerika tertentu. Selain itu, leukosit bervariasi
tergantung pada jenis kelamin, umur, aktivitas, dan waktu. Jumlahnya juga
berbeda menurut apakah leukosit bereaksi terhadap stres, atau dihancurkan,
dan apakah mereka diproduksi oleh sumsum tulang dalam jumlah yang cukup
Fungsi leukosit secara keseluruhan yaitu dalam memediasi kekebalan,
baik bawaan (nonspesifik), atau spesifik (adaptif ). Respon kekebalan bawaan
contohnya yaitu fagositosis oleh neutrofil, sedangkan respon kekebaan
adaptif seperti dalam produksi antibodi oleh sel plasma (Rodak et al., 2016).
Dalam respon kekebalan, beberapa leukosit meninggalkan aliran darah dan
mengumpulkan pada titik-titik invasi patogen atau peradangan. Granulosit
dan monosit meninggalkan aliran darah untuk melawan cedera atau infeksi,
setelah itu mereka tidak pernah kembali lagi ke aliran darah. Pada sisi lain,
limfosit tetap berada dalam sistem sirkulasi, dari darah ke ruang interstisial
jaringan ke cairan limfatik dan kembali ke darah. Hanya 2% dari populasi
limfosit total yang beredar dalam darah pada suatu waktu tertentu; sisanya
berada dalam cairan limfatik dan organ-organ seperti kulit, paru-paru, kelenjar
getah bening, dan limpa ,
5.1 Jenis dan Karakteristik Leukosit
Leukosit diklasifikasikan menjadi granular atau agranular, tergantung
pada ada tidaknya granula sitoplasma (vesikel) yang dapat terlihat dengan
pewarnaan bila diamati melalui mikroskop cahaya
Polymorphonuclear granulocytes (PNG), atau seringkali disebut granulosit,
mengacu pada 3 jenis leukosit dengan ciri khas nukleus berlobus serta granula
dengan membran. Ketiga jenis yang termasuk granulosit yaitu neutrofil,
basofil, dan eosinofil Granulosit umumnya berumur
pendek, namun berperan penting dalam respon antimikroba dan antiinflamasi ,
Kategori sel mononuklear, yang disebut agranulosit terdiri dari monosit
dan limfosit. Sel-sel ini memiliki nukleus yang berbentuk seperti
kacang (monosit) atau bulat (limfosit) dan tidak bersegmen
A. Neutrofil
Neutrofil memiliki granula lebih kecil dibandingkan leukosit granuler
lain, terdistribusi merata, dan berwarna lilac pucat. sebab granula tidak
tertarik baik pada asam/eosin (merah) atau basa (biru), leukosit ini yaitu
neutrofilik (neutro = neutral, bersifat netral). Nukleus memiliki dua hingga lima
lobus, dihubungkan oleh untaian material nukleus yang sangat tipis. Seiring
bertambahnya umur sel, jumlah lobus nukleus meningkat
Gambar 5.2. Dua jenis neutrofil, neutrofil batang (kiri) dan neutrofil bersegmen (kanan)
Neutrofil dan monosit berkembang dari sel punca pluripoten sumsum
tulang di bawah pengaruh sitokin dan faktor pertumbuhan. Myeloblast yaitu
sel prekursor pertama yang lalu berkembang menjadi promyelosit.
Promyelosit ditandai dengan produksi granula primer, atau disebut juga
dengan granula azurofil. Promyelosit berkembang menjadi myelosit, sel yang
menghasilkan granula spesifik, atau sekunder. lalu myelosit mengalami
pematangan menjadi neutrofil batang, yaitu neutrofil ‘muda’ dengan inti sel
terkondensasi berbentuk batang. Terakhir, neutrofil mengalami maturasi lebih
lanjut sehingga inti selnya bersegmen dan memiliki banyak lobus
Gambar 5.3. Tahapan perkembangan neutrofil
Kedua jenis granula neutrofil memproduksi senyawa berbeda. Granula
primer mengandung hidrolase, elastase, myeloperoksidase, cathepsin G,
protein kationik, dan protein bakterisidal, yang penting untuk membunuh
bakteri gram-negatif. Granula ini juga mengandung defensin, famili
polipeptida kaya sistein dengan aktivitas antimikroba terhadap bakteri,
jamur, maupun virus. Granula spesifik mengandung konstituen unik seperti
laktoferin, protein pengikat vitamin B12, komponen NADPH yang diperlukan
untuk produksi hidrogen peroksida, dan histaminase. Selain itu juga ada
reseptor untuk kemoatraktan dan faktor adhesi (CR3) serta reseptor untuk
komponen membran basal, laminin. Senyawa dari granula spesifik umumnya
dilepaskan ke lingkungan ekstraselular untuk memicu reaksi peradangan
B. Eosinofil
Eosinofil memiliki granula berukuran besar dan seragam.
Eosinofil tertarik kuat pada eosin, atau bersifat eosinofilik (menyukai
eosin). Eosin berwarna merah-oranye dan bersifat asam, sehingga
eosinofil akan terlihat kemerahan. Granula biasanya tidak menutupi
atau mengaburkan nukleus, sehingga nukleus tetap akan tampak.
Eosinofil paling sering memiliki dua atau tiga lobus yang dihubungkan
oleh untaian tipis material nukleus
Gambar 5.4. Eosinofil .
Eosinofil berkembang dari CMP (Common Myeloid Progenitor) yang
lalu membentuk garis keturunan eosinofil dengan peran beberapa
sitokin (IL-3, IL-5, dan GM-CSF) serta faktor transkripsi (GATA-1, PU.1, dan c/EBP).
IL-5 merupakan faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan dan survival
eosinofil. Pada tahap promyelosit, granula primer mulai terbentuk dan berisi
komponen berupa Charcot-Leydencrystalprotein. Granula spesifik terbentuk
pada tahap maturasi selanjutnya. Granula ini berisi protein pada
umumnya, peroksidase, protein kationik, lisozim, katalase, b-Glucuronidase,
katepsin D, IL-2, IL-4, IL-5, IL-6, dan GM-CSF (Rodak et al., 2016).
Kinerja eosinofil didukung oleh beberapa faktor yang dihasilkan oleh
sel-sel imun lain, seperti sel Mast. Sel ini menghasilkan eosinophil chemotactic
factor of anaphylaxis (ECFa) yang meningkatkan reseptor komplemen
56 Hematologi Dasar
neutrofil dan eradikasi parasit. Selain itu, sel T juga menghasilkan senyawa
yang meningkatkan kemampuan eosinofil untuk membunuh parasit.
Eosinophil colony stimulating factors (misalnya, interleukin-5) yang diproduksi
oleh makrofag meningkatkan produksi eosinofil di sumsum tulang dan
mengaktifkan eosinofil untuk membunuh parasit
C. Basofil
Basophil memiliki granula bulat dengan ukuran bervariasi. Sifat
basofil yaitu penyuka basa atau basofilik. Pengecatan dengan pewarna dasar
menyebabkan basofil terlihat berwarna biru keunguan. Granula biasanya
mengaburkan nukleus, yang memiliki dua lobus
Gambar 5.5. Basofil
Basofil berasal dari sel punca hematopoietik yang berkembang di bawah
pengaruh berbagai sitokin, khususnya interleukin-3 (IL-3). Granula basofil
mengandung beberapa senyawa, diantaranya histamin, trombosit-activating
factor, leukotrin C4, IL-4, IL-13, vascular endothelial growth factor A (VEGF A),
VEGF B, dan chondroitin sulfates (heparan). Basofil juga mampu mensintesis
protein granula berdasar sinyal aktivasi yang diberikan oleh sel lain.
Contohnya, basofil dapat diinduksi untuk menghasilkan mediator peradangan
alergi, granzim B. Sel mast dapat menginduksi basofil untuk memproduksi
dan melepaskan asam retinoat, pengatur sel kekebalan dan residen dalam
penyakit alergi. Basofil juga berperan dalam angiogenesis melalui ekspresi
Leukosit 57
VEGF dan reseptornya ,
D. Monosit
Monosit memiliki nukleus berbentuk ginjal atau berbentuk tapal
kuda, dan sitoplasma berwarna biru keabu-abuan. Monosit memiliki
granula azurophilic yang sangat halus, yang sesungguhnya yaitu lisosom.
Aliran darah hanyalah perantara bagi monosit, yang bermigrasi dari darah
ke dalam jaringan. Monosit akan berdiferensiasi menjadi makrofag di dalam
jaringan. Sebagian monosit menjadi makrofag yang tetap, yang berarti sel
ini berada di jaringan tertentu; contoh makrofag alveolar di paru-paru
atau makrofag di limpa. Sementara itu, monosit lainnya menjadi makrofag
yang mengembara. Makrofag ini menjelajah jaringan dan berkumpul di
tempat-tempat infeksi atau peradangan
Gambar 5.6. Sel mononuklear fagositik. (A) Monosit yang diamati dengan mikroskop cahaya,
(B) monosit yang diamati dengan mikroskop elektron, (C) makrofag di dalam jaringan yang
diamati dengan mikroskop cahaya
Makrofag mensekresikan berbagai produk, termasuk lisozim, protease
netral, hidrolase asam, arginase, komponen komplemen, penghambat
enzim (plasmin, α2makroglobulin), protein pengikat (transferin, fibroektin,
transcobalamin II), nukleosida, dan sitokin (TNF-α; IL-1, -8, -12, -18). Interleukin-1
(IL-1) memiliki banyak fungsi, termasuk menginisiasi demam di hipotalamus,
memobilisasi leukosit dari sumsum tulang, serta mengaktifkan limfosit dan
neutrofil. Tumor necrosis factor-α (TNF-α) yaitu pirogen yang menggandakan
aksi dari IL-1. TNF-α merangsang produksi hidrogen peroksida oleh makrofag
dan neutrofil ,
E. Limfosit
Limfosit memiliki nukleus berwarna gelap dan bulat. Sitoplasma
berwarna biru langit dan membentuk lingkaran di sekitar nukleus. Semakin
besar sel, semakin banyak sitoplasma yang terlihat. Limfosit dapat berukuran
tergolong kecil dengan diameter 6-9 μm atau besar dengan diameter 10-14
μm. Meskipun perbedaan ukuran antara limfosit kecil dan besar tidak begitu
signifikan, perbedaannya masih bermanfaat secara klinis. Peningkatan ukuran
limfosit memiliki signifikansi diagnostik pada infeksi virus akut dan pada
beberapa penyakit imunodefisiensi
Gambar 5.7. . Limfosit dengan pengamatan melalui (A) mikroskop cahaya dan (B) mikroskop
elektron
Limfosit berkembang dari sel progenitor limfoid (Common Lymphoid
Progenitor/CLP) di dalam sumsum tulang. Perkembangan limfosit dapat dibagi
menjadi tahap antigen-independen dan antigen-dependen. Perkembangan
limfosit yang antigen-independen terjadi di sumsum tulang dan timus (disebut
sebagai organ limfoid sentral atau primer), sedangkan maturasi limfosit yang
bergantung pada antigen terjadi di limpa, kelenjar getah bening, amandel,
dan jaringan limfoid terkait mukosa seperti patch Peyer di dinding usus (organ
limfoid perifer atau sekunder) ,
Limfosit secara umum dibedakan menjadi limfosit B dan limfosit T yang
berperan dalam respon imun adaptif. Di sisi lain, ada sebagian kecil sel
yang juga diproduksi oleh progenitor yang sama dengan kedua jenis sel
ini , yaitu sel Natural Killer. Namun, sel ini memiliki mekanisme
berbeda dari limfosit dalam mengenali antigen , Limfosit
yaitu satu-satunya sel dalam tubuh yang mengekspresikan reseptor antigen
yang terdistribusi secara klonal, masing-masing spesifik untuk determinan
antigenik yang berbeda. Setiap klon limfosit T dan B mengekspresikan reseptor
antigen dengan spesifisitas tunggal yang berbeda-beda.
E. 1. Limfosit B
Selama perkembangannya, limfosit B menghasilkan berbagai macam
antigen yang dapat diamati dengan pewarnaan khusus, immunohistichemistry
(IHC). Meskipun demikian, ada antigen spesifik yang dapat menjadi
marker bagi limfosit B, seperti CD20, CD22 dan Pax 5. Ketiga antigen ini tidak
diekspresikan pada tahap perkembangan limfosit yang lain. Pax 5, suatu faktor
transkripsi, yaitu “master regulator” pengembangan sel B yang diekspresikan
dari tahap prekursor sampai pematangan sel-B, namun hilang pada tahap
sel plasma. CD19 juga sebagian besar diekspresikan oleh sel B, tetapi dapat
diekspresikan dengan lemah oleh sel dendritik folikuler. CD19 diekspresikan
oleh sel B pada semua tahap pematangan, termasuk progenitor sel B dan sel
plasma ,
Selain antigen CD dan Ig, sel B mengekspresikan tiga antigen major
histocompatibility complex (MHC) kelas II: DR, DP, DQ. Antigen-antigen ini
yaitu heterodimer yang tersusun dari rantai berat dan rantai ringan yang
dikodekan oleh gen dalam kompleks D pada gen HLA
E. 2. Limfosit T
Sel T dewasa (mature) mengekspresikan CD4 atau CD8, namun tidak
dapat mengekspresikan keduanya sekaligus dalam satu sel. Kedua molekul
ini menjadi penanda bagi 2 jenis limfosit T berbeda, yaitu sel T helper dan
sel T sitotoksik. Namun, keduanya memiliki peran serupa, yaitu sebagai
ko-reseptor pada pengaktifan sel T oleh antigen
Sel T helper mengekspresikan CD4, suatu molekul yang berasal dari gen
imunoglobulin dengan untaian tunggal glikoprotein transmembran. Molekul
ini mengenali MHC kelas II yang diekspresikan oleh antigen presenting cells
(APC), sehingga mengaktifkan sel T helper. Sel T helper sendiri tidak berfungsi
secara langsung dalam melawan antigen, namun sel ini berperan dalam
60 Hematologi Dasar
pengaktifan dan maturasi sel T sitotoksik dan sel B ,
Sel T sitotoksik mengekspresikan CD8 yang mengenali MHC kelas I.
Berbeda dengan sel T helper yang mengaktifkan respon imun sel-sel lain, sel
T sitotoksik mengeradikasi sel yang terinfeksi secara langsung. Sel T sitotoksik
bekerja dengan melisiskan sel terinfeksi ,
F. Jenis Sel Lainnya
F. 1. Sel Dendritik
Sel dendritik berasal dari progenitor leukosit yang lain, yaitu
sel hematopoietik (hematopoietic stem cells, HSC) CD34+. Sel CD34+
berdiferensiasi menjadi progenitor limfoid (common lymphoid progenitor, CLP)
dan progenitor myeloid (common myeloid progenitor, CMP) di sumsum tulang.
Selanjutnya, CMP berdiferensiasi menjadi populasi sel CD34+, CLA+, dan
CD34+ CLA+ (CLA, reseptor cutaneous lymphocyte-associated antigen). Kedua
populasi sel ini masing-masing berkembang menjadi sel CD11c+ CD1a
+ yang fenotipnya belum diketahui dan CD11c+ CD1a+ sel dendritik muda
(immature dendritic cells). Populasi sel pertama bermigrasi ke epidermis kulit
dan berdiferensiasi menjadi sel Langerhans, sedangkan populasi sel dendritik
muda melokalisasi kulit dermis dan jaringan lain, serta menjadi sel dendritik
interstisial ,
F. 2. Sel Natural Killer (Sel NK)
Sel Natural killer (NK) yaitu sel CD8 + sitotoksik yang tidak memiliki
reseptor sel T (T cell receptor, TCR). Sel NK yaitu sel-sel berukuran besar dengan
granula sitoplasma dan biasanya mengekspresikan molekul permukaan CD16
(reseptor Fc), CD56 dan CD57 , berdasar intensitas
ekspresi reseptor permukaan CD56, sel NK dibedakan menjadi CD56bright
dan CD56dim. Sel CD56dim menyusun 85% hingga 90% populasi sel NK dalam
sirkulasi perifer dan merupakan mediator sitotoksisitas. Sekitar 10% hingga
15% sel NK dalam sirkulasi yaitu CD56bright, dan setelah aktivasi, subset ini
mampu memproduksi sitokin dan kemokin (Hoffman et al, 2012).
Leukosit 61
Gambar 5.8. Dua subset sel natural killer. Sel CD56bright berfungsi sebagai regulator imun,
sedangkan sel CD56dim memiliki fungsi sitolitik (diadaptasi dari Hoffman et al., 2013).
Sel NK memiliki 3 jenis reseptor, yaitu immunoglobulin-like superfamily
(KIR), superfamili C-type lectin receptor (CLR), serta reseptor spesifik sel
NK (NKR). KIR mampu mengenali berbagai jenis HLA (HLA-A, HLA-B, dan
HLA-C) atau antigen lain yang diekspresikan oleh sel target. Reseptor lektin
tipe-C (CTLR) untuk sel NK yaitu molekul CD94/NKG2. NKG2D memediasi
pembunuhan target seluler yang mengekspresikan dua antigen yang terkait
dengan transformasi viral atau neoplastik, yaitu MHC class I chain-related
antigens (MICs) dan UL16 binding protein (ULBP). MIC (MICA dan MICB)
mengalami peningkatan ekspresi akibat infeksi cytomegalovirus (CMV) serta
dalam sejumlah keganasan sel-sel epitel dan darah ,
F. 3. Sel Mast
Sel mast biasanya berada di jaringan ikat, terutama di bawah permukaan
epitel dan di sekitar pembuluh darah, dan, dalam beberapa spesies, di rongga
serosa. Sel mast berasal dari prekursor hematopoietik yang hanya sebagian
kecil mengalami maturasi di dalam sumsum tulang, selebihnya mengalami
pematangan di organ lain, seperti limpa ,
Pada dasarnya, sel mast yaitu sel efektor untuk reaksi inflamasi dan respon
hipersensitivitas atau alergi ,
Sel mast memiliki bentuk dan fungsi yang serupa dengan basofil,
namun keduanya memiliki perbedaan mendasar. Morfologi sel mast
sedikit berbeda dengan basofil. Sel mast lebih besar dan memiliki banyak
granula yang banyak di sitoplasma. Sel mast memiliki inti bulat, yang sering
dikaburkan oleh butiran. Pewarnaan dengan toluidin biru akan positif dalam
granula basofil dan sel mast. Namun, pewarnaan dengan mast cell tryptase
hanya akan positif pada sel mast ,
Gambar 5.9. Ilustrasi gambar sel mast
5.2 Fungsi Leukosit Terkait Respon Imun Bawaan
A. Pengenalan Antigen
Sistem imun bawaan mengenali mikroba infeksius melalui struktur
molekuler khas yang ada pada virus dan bakteri. Sistem kekebalan
tubuh bawaan memakai sejumlah reseptor pengenalan pola (PRR)
untuk mengenali pola molekuler terkait patogen (PAMP). PAMP dapat berupa
gula, protein, lipid, asam nukleat, atau kombinasi dari jenis-jenis molekul
ini. PRR pada sel fagositik mengenali PAMP baik secara langsung atau tidak
langsung oleh PRR di permukaan sel, atau oleh molekul terlarut (misalnya,
komplemen). Dua PAMP yang paling umum yaitu lipopolysaccharide (LPS)
and peptidoglikan. PRR yang berperan dalam sistem imun bawaan diantaranya
toll-like receptors (TLR), scavanger receptors, dan opsonin. TLR berikatan dengan
PAMP lalu akan mengaktifkan jalur transduksi sinyal pada nukleus. Hal
ini memicu nukleus sel imun untuk memproduksi sitokin dan molekul lain
yang berperan dalam aktivitas antimikrobial (Doan et al, 2013).
B. Soluble Defense Mechanism
Mekanisme pertahanan ini memakai molekul-molekul terlarut
dalam menghadapi serangan patogen. Molekul-molekul ini diantaranya
interferon tipe I (IFN), senyawa mikrosidal, sistem komplemen, dan sitokin.
IFN-α dan IFN-β yaitu dua kelas IFN yang diproduksi secara cepat setelah
terjadi pengenalan PAMP oleh PRR. Berbagai sel, termasuk sel epitel, neutrofil,
dan makrofag, mensekresi peptida kaya sistein yang disebut defensin. Peptida
ini membentuk saluran di membran sel bakteri, yang menyebabkan masuknya
ion tertentu dan akhirnya kematian bakteri. Molekul-molekul lain dengan
fungsi-fungsi mikrosidal termasuk cathelicidin, lisozim, DNase, RNase, dan
lainnya ,
Sistem komplemen berisi enzim dan protein yang berfungsi dalam respon
bawaan maupun adaptif. Pada respon imun bawaan, sistem komplemen
diaktifkan melalui pengenalan PAMP oleh beberapa jalur, diantaranya jalur
mannan-binding lectin (MBL) serta jalur alternatif yang melibatkan LPS.
Sementara itu sitokin, molekul terlarut lainnya, disekresikan oleh leukosit
dan sel lain dan terlibat dalam kekebalan bawaan, kekebalan adaptif, dan
peradangan. Sitokin melawan patogen secara nonspesifik dan terlibat dalam
beragam aktivitas biologis mulai dari kemotaksis hingga aktivasi sel-sel
spesifik untuk menginduksi perubahan fisiologis yang luas. Kemokin yaitu
subkelompok sitokin dengan berat molekul rendah dan pola struktural
tertentu yang terlibat dalam kemotaksis (migrasi yang diinduksi senyawa
kimia) dari leukosit ,
C. Mekanisme Pertahanan Seluler: Fagositosis
Progenitor myeloid (common myeloid progenitor, CMP) yaitu prekursor
makrofag, granulosit, sel mast, dan sel dendritik yang berperan dalam sistem
kekebalan tubuh bawaan. Makrofag, granulosit, dan sel dendritik berfungsi
sebagai fagosit dalam sistem kekebalan tubuh. Namun, ketiganya melakukan
fagositosis dengan cara yang berbeda satu sama lain , Pengenalan partikel asing yang perlu dalam fagositosis dibantu oleh
opsonisasi dengan imunoglobulin atau protein komplemen sebab neutrofil
dan monosit memiliki reseptor Fc dan C3b ,
Makrofag memiliki fungsi utama menelan dan membunuh
mikroorganisme yang menyerang. Selain itu, makrofag mendegradasi patogen
dan sel yang terinfeksi yang ditargetkan oleh respon imun adaptif. Makrofag
juga membantu menginduksi peradangan dan menghasilkan banyak
mediator inflamasi yang mengaktifkan sel sistem kekebalan lain dan merekrut
mereka ke dalam respon imun , Mediator ini
berupa faktor pertumbuhan dan kemokin. Kemokin yaitu sitokin kemotaktik
yang diproduksi secara konstitutif dan mengontrol lalu lintas limfosit di bawah
kondisi fisiologis tertentu. Kemokin mengikat dan mengaktifkan sel melalui
ikatan dengan reseptornya sehingga dapat merekrut sel yang tepat ke tempat
terjadinya peradangan ,
Neutrofil yaitu sel yang paling banyak dan penting dalam respon imun
bawaan. Neutrofil melakukan fagositosis pada berbagai mikroorganisme
dan secara efisien menghancurkannya dalam vesikula intraseluler. Granula
sitoplasma neutrofil mengandung enzim degradatif dan zat antimikroba
lainnya yang mampu mendegradasi patogen. Defisiensi herediter dalam
fungsi neutrofil dapat menyebabkan infeksi bakteri yang tidak terkendali, hal
ini dapat berakibat fatal fatal jika tidak diobati ,
Sel-sel dendritik ditemukan pada tahun 1970 oleh Ralph Steinman. Sel-sel
ini membentuk kelas ketiga sel fagositik dari sistem kekebalan. Sel dendritik
imatur bermigrasi melalui aliran darah dari sumsum tulang untuk memasuki
jaringan. Sel ini mengambil partikel dengan fagositosis dan juga terus menelan
sejumlah besar cairan ekstraseluler beserta isinya melalui makropinositosis.
Meskipun berfungsi dalam fagositosis, namun fungsi utama sel ini bukan
mendegradasi mikroorganisme. Sebaliknya, sel dendritik yaitu kelas utama
sel-sel sensor yang bertemu dengan patogen dan lalu memicu mereka
untuk menghasilkan mediator yang mengaktifkan sel-sel kekebalan lainnya,
atau disebut dengan antigen presenting cell
Gambar 5.10. Proses fagositosis dimulai dari pengenalan antigen mikroba, pembentukan
fagosom hingga fagolisosom, berakhir dengan degradasi patogen ini ,
Fagositosis terjadi dalam beberapa tahapan yang meliputi pengenalan dan
pelekatan, ingesti dan destruksi mikroba. Pengenalan dan pelekatan mikroba
oleh fagosit, yang melibatkan berbagai reseptor, contohnya memakai
pola pengenalan resepto (PRR) seperti TLR, reseptor komplementer (CR)
yang mengenali fragmen tertentu dari pelengkap (terutama C3b), dan
lainnya. Selanjutnya, proses ingesti mikroba dilakukan dengan pembentukan
pseudopodia untuk menangkap mikroba maupun endositosis. Setelah
proses internalisasi, mikroba terperangkap dalam fagosom. Pada tahap akhir,
terjadi destruksi mikroba, dengan menggabungkan fagosom dan lisosom
membentuk fagolisosom. Enzim-enzim pada lisosom akan mendegradasi
mikroba ,
D. Mekanisme Pertahanan Seluler: Sel NK
Selain mekanisme pertahanan seluler diatas, ada sel Natural Killer
(sel NK) yang berfungsi sebagai bagian dari kekebalan bawaan maupun
adaptif. Sel ini mampu membunuh sel tumor tertentu dan sel yang terinfeksi
virus tanpa sensitisasi sebelumnya. Selain itu, sel NK mampu memodulasi
fungsi sel lain, termasuk makrofag dan sel T (Rodak et al., 2016).
Sel Natural Killer dirancang untuk membunuh sel target yang memiliki
tingkat ekspresi molekul HLA kelas I yang rendah, seperti yang mungkin
terjadi selama infeksi virus atau pada sel yang tumor. Sel NK mengenali sel
normal dengan menampilkan sejumlah reseptor untuk molekul HLA di
permukaannya. saat HLA diekspresikan pada sel target, akan timbul sinyal
penghambatan ke dalam sel NK. saat molekul HLA tidak ada pada sel target,
sinyal penghambatan ini hilang dan sel NK dapat membunuh targetnya. Selain
itu, sel NK menampilkan sitotoksisitas yang dimediasi oleh sel yang bergantung
pada antibodi (antibody-dependent cell- mediated cytotoxicity, ADCC). Dalam
hal ini, antibodi mengikat antigen pada permukaan sel target dan lalu
sel NK berikatan dengan bagian Fc dari antibodi yang terikat dan membunuh
sel target ,
Gambar 5.11. . Pengenalan sel target oleh sel NK. Sel yang mengekspresikan ligan HLA kelas I
akan menghasilkan sinyal inhibitor sehingga sel NK tidak menyerang sel target. Sebaliknya, sel
yang tidak mengekspresikan ligan akan mengaktifkan sel NK ,
Sel NK dapat melisiskan sel tumor melalui setidaknya tiga mekanisme
yang berbeda. Pertama, sel NK dapat mengeksekusi sitotoksisitas melalui
granula perforin dan granzyme. Kedua, sitotoksisitas dapat dimediasi melalui
FasL dan TRAIL yang terkait dengan produksi beberapa sitokin, termasuk
interferon-γ (IFN-γ), TNF- α, dan granulocyte macrophage colony stimulating
factor (GM-CSF). Ketiga, sel NK dapat memediasi sitotoksisitas tergantung-
antibodi (ADCC) melalui ekspresi reseptor permukaan CD16 atau reseptor
FcγRIII ,
E. Peradangan (Inflamasi)
Inflamasi atau peradangan merupakan akibat dari respon imun bawaan
maupun adaptif. Ciri khas inflamasi yaitu adanya rasa nyeri (dolor),
peningkatan suhu tubuh (calor), redness (rubor), pembengkakan (tumor),
dan kehilangan fungsi. Peningkatan permeabilitas kapiler memungkinkan
masuknya cairan dan sel, berkontribusi terhadap pembengkakan (edema).
Sel-sel fagositik tertarik ke situs melepaskan enzim litik, merusak sel-sel sehat.
Akumulasi sel-sel mati dan bentuk-bentuk cairan nanah, sedangkan mediator
yang dilepas oleh sel fagositik menstimulasi syaraf dan menyebabkan rasa
sakit. Sistem imun bawaan berkontribusi terhadap peradangan dengan
mengaktifkan jalur pelengkap alternatif dan lektin pengikat, menarik
dan mengaktifkan sel fagositik yang mensekresikan sitokin dan kemokin,
mengaktifkan sel NK, mengubah permeabilitas pembuluh darah, dan
meningkatkan suhu tubuh ,
Basofil merupakan subkelas leukosit yang berkontribusi terhadap reaksi
peradangan alergi, yang efeknya lebih merusak daripada protektif. Selain
itu, ada sel mast yang mulai berkembang di sumsum tulang, tetapi
bermigrasi sebagai prekursor imatur yang matang di jaringan perifer, terutama
kulit, usus, dan mukosa saluran napas. Granula sel mast mengandung banyak
mediator inflamasi, seperti histamin dan berbagai protease, yang berperan
dalam melindungi permukaan internal dari patogen, termasuk cacing parasit
5.3 Fungsi Leukosit Terkait Respon Imun Adaptif
Imunitas adaptif bergantung pada dua jenis utama limfosit. Sel B
mengalami maturasi di sumsum tulang dan merupakan sumber antibodi
yang bersirkulasi. Sel T matang di timus dan mengenali peptida dari patogen
yang disajikan oleh molekul MHC (Major Histocompatibility Complex) pada sel
yang terinfeksi atau sel yang menyajikan antigen, salah satunya sel dendritik.
Respon adaptif melibatkan seleksi dan amplifikasi reseptor-reseptor limfosit
yang mengenali antigen asing. Setiap limfosit membawa reseptor permukaan
sel yang mengenali antigen secara spesifik. Imunitas adaptif dimulai saat
respon imun bawaan gagal untuk menghilangkan infeksi ,
A. Pematangan Limfosit B dan T
Limfosit B dan T berkembang dari sel progenitor limfoid (CLP) yang
mendapatkan stimulus berbeda. Lain halnya dengan sel-sel kekebalan
bawaan, limfosit mengalami proses perkembangan yang lebih rumit dan
melibatkan seleksi klonal. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan limfosit yang
membawa reseptor antigen yang tepat, yaitu reseptor antigen yang dapat
mengenali spektrum patogen yang luas namun tidak akan bereaksi terhadap
sel-sel individual itu sendiri. Limfosit dengan reseptor self-reactive yang kuat
harus dihilangkan untuk mencegah reaksi autoimun. Proses seleksi negatif ini
yaitu salah satu cara di mana sistem kekebalan toleran terhadap ‘antigen’ diri
sendiri (self-tolerant) ,
1. Pematangan Limfosit B
Pada perkembangan sel pre-B menjadi sel B imatur, IgM telah diproduksi.
Pada tahap ini, reseptor antigen yang pertama diuji untuk reaktivitas terhadap
antigen diri, atau autoreactivity. Sel B immature dipaparkan terhadan ‘antigen’
diri sendiri (self-antigen) dan diharapkan tidak terjadi reaksi. Penghapusan
atau inaktivasi sel-sel B autoreaktif memastikan bahwa populasi sel B secara
keseluruhan akan toleran terhadap antigen sendiri. Toleransi yang dihasilkan
pada tahap perkembangan sel B ini dikenal sebagai toleransi pusat sebab
muncul di organ limfoid sentral, sumsum tulang
Gambar 5.12. Pematangan sel B yang meliputi seleksi negatif untuk mendegradasi sel-sel yang
reaktif terhadap antigen diri sendiri (self antigen),
Sel B imatur yang autoreaktif diperbaiki dengan penyusunan ulang gen
yang menggantikan reseptor autoreaktif dengan reseptor baru yang tidak
self-reactive. Mekanisme ini disebut pengeditan reseptor. Namun, apabila
dilakukan seleksi kembali dan tetap reaktif, sel ini akan didegradasi.
Sementara itu, sel B yang meninggalkan sumsum tulang juga belum
sepenuhnya matang dan membutuhkan langkah pematangan tambahan
yang terjadi di organ limfoid perifer ,
2. Pematangan Limfosit T
Prekursor sel T bermigrasi dari sumsum tulang ke timus dan mengalami
perkembangan membentuk sel T mengikuti jalur persinyalan Notch. Di timus,
gen reseptor sel-T diatur ulang, reseptor sel-T yang kompatibel dengan MHC
dapat mengirimkan sinyal bertahan hidup dan berinteraksi dengan epitel
timus. , Hal ini menghasilkan sel T double positive yang mengekspresikan
CD4 maupun CD8 sebelum terjadi seleksi positif
Seleksi positif menghilangkan sel T yang tidak mampu mengenali MHC. Sel
yang lulus seleksi positif akan memasuki medula; sel yang gagal akan mati.
Sel yang mengenali MHC I menghentikan ekspresi molekul CD4 dan menjadi
sel CD8+. Demikian juga, sel yang terikat pada MHC II menghentikan ekspresi
CD8, menjadi sel CD4+. Setelah itu, sel T mengalami seleksi negatif melalui
pemaparan self-antigen oleh APC. Sel yang reaktif akan menerima sinyal
apoptosis sebab berbahaya bagi tubuh
Gambar 5.13. Maturasi limfosit T di timus ,
B. Pengaktifan Limfosit B dan T
1. Pengaktifan Limfosit B
Pada tahap akhir perkembangan, sel B imatur yang masih hidup akan
menuju organ limfoid sekunder seperti limpa dan mengalami maturasi
sehingga mampu mengekspresikan IgD serta IgM. Sel ini lalu diaktifkan
dengan pemaparan antigen asing spesifik. Sel B aktif berproliferasi, dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan sel memori
yang berumur panjang
Gambar 5.14. Pematangan limfosit B ,
2. Pengaktifan Limfosit T
Sel T yang bertahan hidup seleksi matang dan meninggalkan timus
untuk beredar di pinggiran; mereka berulang kali meninggalkan darah untuk
bermigrasi melalui organ limfoid perifer, di mana mereka dapat menghadapi
antigen asing spesifik mereka dan menjadi aktif (panel ketiga teratas). Aktivasi
menyebabkan ekspansi klonal dan diferensiasi menjadi sel T efektor. Beberapa
di antaranya tertarik ke situs infeksi, di mana mereka dapat membunuh sel
yang terinfeksi atau mengaktifkan makrofag (panel keempat teratas); yang
lain tertarik ke area sel B, di mana mereka membantu untuk mengaktifkan
respon antibodi ,
C. Respon Kekebalan Humoral
Respon kekebalan humoral merupakan respon imun yang diperantarai
oleh antibodi. Hal ini melibatkan reaksi pengenalan antigen-antibodi, yang
merupakan reaksi non-kovalen bersifat reversibel. Antibodi juga dapat
mengikat sel atau partikel, menyebabkan pembentukan agregat dalam reaksi
aglutinasi. Aglutinasi memiliki efek menjebak mikroba dalam jaring molekuler,
sehingga menghambat mobilitas mereka ,
Respon kekebalan humoral melibatkan netralisasi, secara langsung
sebab pengikatan oleh antibodi, patogen menjadi tidak aktif dan tidak mampu
menyerang sel inang. Selain itu ada opsonisasi, yaitu pengaktifan sistem
komplemen (melalui jalur klasik pengaktifan komplemen). Yang terakhir
yaitu sitotoksisitas dimediasi sel yang bergantung pada antibodi melibatkan
penggunaan antibodi untuk penanda sel atau molekul untuk dihancurkan
oleh elemen lain dari sistem kekebalan tubuh ,
Limfosit B, selain sangat penting untuk produksi antibodi, memiliki peran
dalam presentasi antigen ke sel T. Sel B juga diperlukan untuk aktivasi sel CD4
yang optimal. Sel B menghasilkan sitokin yang mengatur berbagai aktivitas sel
T dan sel penyaji antigen atau APC ,
D. Respon Kekebalan Diperantarai Sel
Limfosit T dapat dibagi menjadi sel T CD4 dan sel T CD8. Sel CD4 lebih
lanjut dibagi menjadi TH1(T-Helper 1), TH2, TH17, dan Treg (regulatory T cell).
Sel TH1 memediasi respon imun terhadap patogen intraseluler. Sel TH2
memediasi pertahanan host terhadap parasit ekstraseluler, termasuk cacing.
Keduanya juga penting dalam induksi asma dan penyakit alergi lainnya. Sel
TH17 terlibat dalam respon imun terhadap bakteri ekstraseluler dan jamur.
Sel Treg berperan dalam mempertahankan toleransi diri dengan mengatur
respon imun
Sel CD8 mampu membunuh sel target dengan mensekresi butiran
yang mengandung granzyme dan perforin atau dengan mengaktifkan jalur
apoptosis pada sel target. Sel-sel ini kadang-kadang disebut sebagai limfosit
T sitotoksik . Sel T CD8 akan bersirkulasi memeriksa
molekul MHC kelas I yang ada pada semua sel bernukleus. Apabila MHC
I menunjukkan antigen yang menandakan bahwa sel ini terinfeksi, sel T
CD8 akan langsung berikatan dengan MHC I dan mengeradikasi sel ini
5.4 Imunoglobulin
A. Definisi
Imunoglobulin awalnya merupakan reseptor sel B (BCR), yang berupa
monomer. saat BCR mengikat epitop, akan timbul reaksi kaskade pensinyalan
intraseluler yang dapat menyebabkan aktivasi sel-B. Selain itu, beberapa sel
B yang telah diaktifkan akan berdiferensiasi menjadi sel-sel plasma, yang
mensekresikan imunoglobulin dengan spesifisitas pengikatan epitop yang
sama dengan reseptor awalnya
Gambar 5.15. Struktur imunoglobulin
Imunoglobulin semuanya terdiri dari struktur dasar yang sama, yaitu dua
rantai berat, serta dua rantai ringan kappa (κ) atau lambda (λ). Masing-masing
imunoglobulin tersusun atas rantai berat maupun ringan yang dihubungkan
oleh ikatan disulfida , Rantai berat dan ringan masing-
masing memiliki daerah yang sangat bervariasi, yang memberikan spesifisitas
imunoglobulin, dan daerah konstan, yang memiliki urutan asam amino
hampir sama di semua isotipe imunoglobulin (misalnya IgA, IgG) atau subkelas
isotipe, misalnya IgG1, IgG2
B. Jenis Imunoglobulin
Imunoglobulin dibagi menjadi lima subkelas atau isotip: imunoglobulin
G (IgG), IgA, IgM, IgD dan IgE. Kelima subkelas imunoglobulin ini memiliki
variasi rantai berat yang dibedakan menjadi gama (γ) yang spesifik di IgG,
alfa (α) di IgA, mu (η) di IgM, delta (δ) di IgD dan epsilon (ε) dalam IgE Bentuk
paling umum yaitu IgG yang memberikan kontribusi sekitar 80% dari seluruh
imunoglobulin di dalam serum. IgG dibagi lagi menjadi empat subkelas: IgG1,
IgG2, IgG3 dan IgG4
IgM biasanya diproduksi pertama sebagai respons terhadap antigen
. IgM ditemukan baik dalam bentuk reseptor sel
B yang berupa monomer, maupun disekresi oleh sel plasma dalam bentuk
pentamer. Pada umumnya sel B yang belum teraktifkan akan mengekspresikan
IgM di permukaan sel. Secara umum, lgM yaitu imunoglobulin pertama yang
dibentuk akibat paparan antigen ,
IgG diproduksi untuk periode yang lebih lama.
Molekul IgG tersusun atas empat-rantai protein struktural (2 rantai berat dan 2
rantai ringan) berukuran 150-kDa dan ditambah sekitar 3 persen karbohidrat.
Ukurannya yang relatif kecil ini membuat IgG mampu berpindah ke ruangan
ekstravaskular dan ditransport melalui plasenta. IgG merupakan antibodi yang
diproduksi pada respon imun sekunder terhadap satu antigen yang sama
IgA yaitu imunoglobulin utama dalam sekresi, terutama pada saluran
pencernaan , IgA dapat diprodiksi dalam bentuk
monomer maupun dimer. IgA dalam bentuk monomer dapat ditemukan di
serum. Namun, dengan penambahan segmen J pada rantai beratnya, IgA
dapat diproduksi dalam bentuk dimer
IgD dan IgE (terlibat dalam reaksi hipersensitivitas) yaitu imunoglobulin
berukuran kecil namun tidak dapat menembus pembuluh darah , IgD dapat berikatan dengan basofil sehingga memicu reaksi
peradangan, juga memproduksi IL-4, IL-13, B-cell activating factor (BAFF,
CD272), dan proliferation inducing-ligand (APRIL, CD276) yang memicu
pengaktifan sel B. Sementara itu, IgE diketahui mengalami peningkatan pada
pasien dengan infeksi parasit
C. Pembentukan Immunoglobulin
1. Antigen–receptor gene rearrangements
Imunoglobulin tersusun atas rantai berat (heacy chain), serta rantai
ringan (light chain) tipe κ (kappa) dan λ (lamda) yang diekspresikan oleh
gen pada kromosom 14, 2, dan 22 secara berturut-turut. Pada tahap awal
perkembangannya, gen rantai berat terdiri dari beberapa segmen, yaitu
variable (V), diversity (D), joining (J), dan constant (C). Selama diferensiasi awal
sel B, ada pengaturan ulang gen rantai berat sehingga salah satu segmen
rantai berat V bergabung dengan salah satu segmen D, yang dikombinasikan
dengan salah satu segmen J. Dengan demikian, terbentuk transkripsi yang
bervariasi untuk rantai berat (Hoffbrand dan Moss, 2016).
Gambar 5.16. Pengaturan ulang gen rantai berat yang menghasilkan variasi pada
imunoglobulin
2. Sintesis Imunoglobulin
Sebagian besar imunoglobulin diproduksi oleh sel plasma dewasa,
yang memiliki retikulum endoplasma kasar yang sangat banyak, aparatus
Golgi yang berkembang baik, dan aktivitas transkripsi tinggi dari gen-gen
immunoglobulin. mRNA hasil transkripsi untuk rantai berat disusun kembali dan
disambung (rearrangement), sedangkan translasi untuk rantai ringan dilakukan
pada kompleks ribosom yang terpisah. Pelipatan dan penggabungan bagian-
bagian imunoglobulin ini dilakukan di RE kasar yang mengandung katalis
redoks dan protein chaperon yang akan memandu proses pelipatan ini .
lalu glikotransferase menambahkan beberapa gugus karbohidrat untuk
membentuk oligosakarida yang tersusun atas N-acetyl-glucosamine, mannosa,
galaktosa, fruktosa, and sialic acid. Gugus ini membantu memfasilitasi transpor
antibodi
Trombosit
Trombosit (platelet) merupakan fragmen sel dengan ukuran yang sangat
kecil, berbentuk kepingan dengan diameter sekitar 2-4 μm. Trombosit terbentuk
dari hasil pemisahan tonjolan sitoplasma megakaryocyte, sebuah sel poliploid
berukuran besar di sumsum tulang merah yang dapat menghasilkan sekitar
2000-3000 fragmen sel. Setiap fragmen sel tersbeut lalu memasuki
sirkulasi sebagai trombosit dengan densitas 150.000 hingga 400.000 keping
per μL (mm3) darah. Trombosit memiliki banyak vesikel tetapi tidak memiliki
nukleus. Umur trombosit di sirkulasi tergolong singkat, sekitar 5 sampai 9 hari
sebelum mengalami kematian dan difagosit oleh makrofag di hati dan limpa
Trombosit yang baru dilepaskan dari sumsum
tulang merah untuk menggantikan trombosit tua yang mati atau rusak.
Hormon thrombopoietin (TPO) yang dihasilkan hati berperan sangat penting
dalam proses pembentukan megakaryocytes dan trombosit baru
Trombosit memiliki banyak karakter fungsional sel meskipun tidak
memiliki nukleus dan tidak dapat melakukan reproduksi sel. Sitoplasma
tombosit mengandung berbagai macam molekul penting seperti :
1. Molekul aktin dan miosin yang merupakan protein kontraktil, serupa
dengan protein yang ada pada sel otot
2. Thrombostenin, juga merupakan protein kontraktil yang membuat
trombosit dapat berkontraksi
3. Residu badan golgi dan retikulum endoplasma yang masih dapat
melakukan fungsi sintesis enzim dan menyimpan ion kalsium dalam
jumlah besar.
4. Mitokondria dan sistem enzim untuk melakukan respirasi aerob dan
menghasilkan ATP juga ADP
5. Sistem enzim yang dapat menyintesis prostaglandin sebagai hormon
lokal yang menyebabkan reaksi vaskular dan jaringan lain di sekitar
trombosit ini .
6. Protein fibrin-stabilizing factor yang berperan penting dalam proses
pembekuan darah
7. Faktor pertumbuhan (Trombosit Derived Growth Factor/PDGF) yang
menyebabkan sel endotel pembuluh darah, sel otot pada pembuluh
darah dan fibroblas dapat melakukan replikasi serta pertumbuhan untuk
proses perbaikan jaringan/pembuluh darah yang rusak (Guyton & Hall,
2006).
Gambar 5.17. Ilustrasi penampakan trombosit pada preparat apus darah di mana trombosit
nampak sebagai fragmen sel yang bergerombol
Trombosit berperan