Jumat, 06 Desember 2024

dasar hematologi 2



















 antara CO dengan hemoglobin ini disebut karboksihemogloibin, 

yang tidak mudah terurai. CO biasanya dihasilkan dari pembakaran 

tidak sempurna produk karbon seperti bahan bakar minyak, kayu, batu 

bara dan tembakau. Apabila ada  karboksihemoglobin dalam kadar 

tinggi pada darah, dapat menyebabkan seseorang mengalami keracunan 

karbonmonoksida dan berakibat fatal akibat rendahnya kadaroksigen dalam 

darah. Keracunan karbonmonoksida dapat menyebabkan kematian perlahan 

dan tanpa disadari sebab  gas CO tidak berwarna, tidak berbau dan tidak 

memiliki efek iritasi serta tidak menyebabkan sesak nafas 

4.2 Pengangkutan Gas Pernafasan oleh Eritrosit

Oksigen bersifat tidak mudah larut dalam air. Dari keseluruhan oksigen 

yang masuk ke alveolus paru-paru dan berdifusi ke kapiler yang berisi darah, 

hanya sekitar 1,5% yang dapat terlarut pada plasma darah. Sekitar 98,5% 

40 Hematologi  Dasar

sisanya terikat pada hemoglobin yang ada  pada eritrosit. Tiap 100 mL 

darah teroksigenasi, ada  sekitar 20 mL gas oksigen dengan proporsi 19,7 

mL terikat pada hemoglobin dan 0,3mL terlarut pada plasma darah. Oksigen 

dan hemoglobin berikatan membentuk oksihemoglobin dengan reaksi yang 

reversibel di bawah ini:

Gambar 4.4. Reaksi reversibel pengikatan oksigen oleh hemoglobin yang terjadi di dalam 

eritrosit ,

sebab  98,5% O2 berikatan dalam bentuk oksihemoglobin, artinya hanya 

1,5% O2 yang dapat mengalami difusi keluar dari eritrosit dan masuk ke sel-sel 

di jaringan tubuh. Oksihemoglobin dapat terurai melalui reaksi reversibel 

(Gambar 4.4.) disebab kan adanya pernurunan tekanan parsal oksigen di 

jaringan tubuh. Apabila oksihemoglobin terurai, oksigen menjadi tidak terikat 

oleh hemoglobin dan dapat berdifusi menembus membran eritrosit menuju 

ke jaringan tubuh. Pada jaringan yang membutuhkan oksigen dalam jumlah 

besar seperti jaringan otot (sel otot rangka), tekanan parsial oksigen sangat 

rendah sehingga banyak oksigen yang dilepaskan oleh hemoglobin dan 

berdifusi ke jaringan otot untuk menjalankan fungsi metabolisme yang aktif.

Karbondioksida ditranspor melalui darah dengan tiga cara :

1. CO2 terlarut pada plasma, berjumlah sekitar 7% dari total CO2 yang 

diangkut oleh darah , Kelarutan CO2 dalam 

air lebih baik dibanding O2, sebab  itu persentase CO2 yang larut dalam 

plasma lebih besar dibanding O2. Akan tetapi jumlah CO2 terlarut 

dalam plasma juga sangat dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dalam 

pembuluh darah. pada tekanan parsial vena normal, hanya sekitar 10% 

CO2 yang terlarut pada plasma . saat  darah dari 

seluruh tubuh dibawa ke paru-paru, CO2 dalam bentuk ini dapat langsung 

berdifusi dan dikeluarkan dari paru-paru 

2. Terikat pada hemoglobin. Seperti dijelaskan sebelumnya, hemoglobin 

dapat mengikat CO2 dan membentuk karbamino hemoglobin (HBCO2) 


(Gambar 4.5). Sekitar 23-30% CO2 ditranspor oleh darah dalam bentuk 

karbaminohemoglobin. Berbeda dengan O2 yang berikatan dengan 

heme, CO2 berikatan dengan globin pada molekul hemoglobin pada 

bagian asam amino terminal di rantai alfa dan beta globin Hemoglobin yang tereduksi memiliki afinitas 

lebih tinggi terhadap CO2 dibanding HbO2. Pelepasan molekul O2 oleh 

hemoglobin pada kapiler memicu adanya ikatan HbCO2 

Gambar 4.5. Reaksi reversibel pembentukan karbaminohemoglobin sebagai reaksi antara 

hemoglobin dan karbondioksida ,

3. Ion bikarbonat. Persentase paling besar CO2 di darah dalam bentuk 

ion bikarbonat, yaitu sekitar 60-70% (Gambar 4.3).  CO2 yang berdifusi 

dari jaringan ke darah bereaksi dengan air membentuk asam karbonat 

(H2CO3) lalu menjadi ion bikarbonat (HCO3

-) dan ion hidrogen (H+). Reaksi 

ini berlangsung lambat di plasma darah, tetapi dapat  berlangsung lebih 

cepat di eritrosit dengan adanya enzim karbonat anhidrase , Banyaknya CO2 yang diangkut dalam bentuk ion bikarbonat 

menyebabkan HCO3

- terkumulasi pada eritrosit. Ion bikarbonat 

lalu  berpindah ke plasma dan menurunkan gradien konsentrasi, 

yang mengakibatkan pindahnya ion Cl- dari plasma ke eritrosit. 

Peristiwa pertukaran ion negatif ini disebut sebagai Chloride shift yang 

mempertahankan keseimbangan ion antara plasma dan eritrosit 

Secara singkat, proses pengangkutan gas pernafasan baik oksigen 

maupun karbondioksida oleh darah, dirangkum pada Gambar 4.6. Darah dari 

seluruh tubuh kembali ke kapiler paru-paru membawa CO2 dalam bentuk 

terlarut plasma, juga karbaminohemoglobin dan ion bikarbonat dalam eritrosit. 

Eritrosit juga mengikat ion hidrogen dalam bentuk Hb-H sebagai buffer untuk 

menjaga keseimbangan pH darah. saat  sampai di kapiler paru-paru, CO2 

42 Hematologi  Dasar

dalam bentuk karbaminohemoglobin terdisosiasi dari globin dan mengalami 

difusi ke alveolus bersama CO2 terlarut plasma untuk dikeluarkan ke udara. 

HCO3

- juga dilepaskan dari eritrosit ke plasma dan bertemu dengan ion H+ 

membentuk asam karbonat yang langsung terurai menjadi CO2 dan H2O. CO2 

dan H2O yang dihasilkan lalu  berdifusi ke alveolus lalu dikeluarkan juga 

ke udara. 

Pada saat yang bersamaan, O2 yang masuk ke paru-paru berdifusi masuk 

ke eritrosit dan berikatan dengan hemoglobin membentuk oksihemoglobin. 

sebab  konsentrasi ion HCO3

- pada eritrosit yang berada dalam kapiler paru 

menurun, ion HCO3

- dari plasma darah berdifusi ke eritrosit dan bertukar 

dengan ion Cl- yang keluar dari eritrosit ke plasma darah. Darah meninggalkan 

paru-paru dengan konsentrasi O2 yang meningkat dan penurunan jumlah CO2 

dan H+. Pada kapiler di seluruh tubuh, terjadi reaksi yang berkebalikan dari 

reaksi yang terjadi di paru-paru sebab  sel-sel seluruh tubuh membutuhkan 

O2 yang dibawa oleh darah dan menghasilkan CO2 untuk dibawa oleh darah 

kembali ke paru-paru 

Gambar 4.6. Proses pengangkutan oksigen dan karbondioksida pada darah dari alveolus ke 

jaringan (A) dan dari jaringan ke alveolus (B) 

4.3 Destruksi Eritrosit

Eritrosit kehilangan nukelus dan organela sel lainnya pada proses 

pembentukan eritrosit (eritropoiesis), sesaat sebelum sel hasil diferensiasi 

yang berupa retikulosit dilepaskan ke sirkulasi dari sumsum tulang merah. 

Kehilangan mitokondira menyebabkan eritrosit hanya dapat memproduksi 

ATP melalui glikolisis (respirasi anaerob) sedangkan kehilangan nukleus 

menyebabkan eritrosit tidak dapat melakukan regenerasi dan fungsi sintesis 

protein untuk memperbaiki komponen sel yang rusak. Eritrosit yang tidak 

dapat beregenerasi dan melakukan pembelahan sel, harus diganti dengan 

eritrosit matur yang baru dan fungsional. Eritrosit secara normal bersirkulasi 

selama 120 hari. Setelah itu, mulai terjadi kerusakan membran, perubahan 

bentuk sel serta perubahan komponen penyusun membran sel. Eritrosit yang 

mulai mengalami perubahan ini selanjutnya dikenali oleh makrofag dan 

difagositosis agar tidak lagi berada pada sirkulasi (Mescher, 2015).

Proses penggantian eritrosit rusak melibatkan eritropoiesis yang terjadi 

setiap saat sebab  dibutuhkan 2-3 juta sel eritrosit baru setiap detiknya 

untuk menggantikan eritrosit yang rusak (Sherwood, 2010). Jumlah ini  

dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah total eritrosit di sirkulasi dan 

menyeimbangkan antara laju kerusakan eritrosit dengan laju pembentukan 

eritrosit baru . Eritrosit yang rusak dan harus 

diganti, mengalami proses destruksi di organ limpa, hati dan sumsum tulang 

merah (Gambar 4.7.). Proses destruksi eritrosit (Gambar 4.7) dilakukan dengan 

tahapan sebagai berikut 

1. Makrofag yang ada pada limpa, hati dan sumsum tulang merah 

melakukan fagositosis terhadap eritrosit yang sudah tua dan rusak

2. Hemoglobin terpecah mejadi molekul heme dan protein globin

3. Globin terpecah menjadi asam amino-asam amino penyusunnya yang 

dapat dipakai  lagi dalam tahapan sintesis protein

4. Ion besi terlepas dari molekul heme dan terikat pada protein plasma yang 

disebut transferrin yang merupakan transporter Fe2+ pada aliran darah


5. Selanjutnya ion Fe2+ dilepaskan dari transferrin pada sel otot, sel hati, dan 

makrofag di limpa untuk berikatan dengan protein penyimpan besi yaitu 

ferritin

6. Saat dilepaskan dari jaringan tempat penyimpanannya, maupun saat 

terjadi penyerapan oleh usus halus dari makanan, ion Fe2+ berikatan 

kembali dengan transferrin

7. Kompleks Fe2+-transferrin selanjutnya dibawa bersama aliran darah 

menuju sumsum tulang merah, tempat terjadinya diferensiasi sel-sel 

prekursor eritrosit menjadi eritrosit matur. Sel-sel prekursor eritrosit 

lalu  melakukan endositosis (diperantarai reseptor) untuk 

memasukkan ion Fe2+ ke dalam sel sebagai bahan baku sintesis 

hemoglobin. Selain membutuhkan ion Fe2+, dibutuhkan pula asam 

amino penyusun protein globin serta vitamin B12 dan asam folat sebagai 

kofaktor penting dalam proses sintesis hemoglobin karen aterlibat dalam 

proses sintesis DNA ,

Gambar 4.7. Proses destruksi eritrosit tua/rusak dan kaitannya dengan pigmen empedu (bilus) 


8. Eritropoiesis yang terjadi pada sumsum tulang merah menghasilkan 

eritrosit matur yang siap memasuki sirkulasi

9. Molekul heme yang kehilangan ion Fe2+ dikonversi menjadi biliverdin, 

sebuah pigmen berwarna hijau, lalu  diubah menjadi bilirubin 

yang berwarna kekuningan

10. Bilirubin memasuki sirkulasi dan dibawa ke hati, lalu disimpan oleh sel-sel 

hati.

11. Sel-sel hati melepaskan bilirubin secara bertahap sebagai bilus ke saluran 

empedu yang bermuara pada usus halus dan bersama dengan sisa-sisa 

pencernaan dibawa ke usus besar oleh gerak peristaltik usus

12. Selanjutnya bilirubin yang ada  pada bilus di usus besar diubah 

menjadi urobilinogen oleh bakteri usus besar. Sebagian urobilinogen 

diserap kembali ke sirkulasi dan diubah mejadi pigmen berwarna 

kekuningan yang disebut urobilin lalu disekresikan lewat urin.

13. Sebagian besar urobilinogen dibuang bersama dengan feses dalam 

bentuk pigmen berwarna kecoklatan yang disebut sterkobilin. 

Pengaturan laju eritropoiesis dikendalikan sebagian besar oeh hormon 

eritropoietin yang diproduksi ginjal. Ginjal mendeteksi adanya penurunan 

kapasitas pengangkutan oksigen oleh eritrosit yang disebabkan berkurangnya 

jumlah eritrosit pada sirkulasi (Gambar 4.8.) dan merespon dengan 

mengeluarkan hormon Eritropoietin. Eritropoietin (EPO) yang disekresi oleh 

ginjal mempengauhi sebagian besar sel-sel prekursor eritrosit di sumsum 

tulang merah sehingga menglami proliferasi dan berdiferensiasi menjadi 

eritrosit matur. Kenaikan laju eritropoiesis menyebabkan kenaikan jumlah 

eritrosit pada sirkulasi sehingga meningkatkan kapasitas pengangkutan O2 

oleh darah. Saat kapasitas pengangkutan oksigen yang sudah kembali normal 

ini dideteksi oleh ginjal melalui darah yang melewati ginjal, maka ginjal 

akan menurunkan jumlah sekresi eritropoietin sesuai dengan kebutuhan 


Gambar 4.8. Proses pengaturan eritropoiesis oleh hormon Eritropoietin (EPO) yang 

disekresikan oleh ginjal 

4.4 Penggolongan darah sistem ABO dan Rh

Permukan eritrosit dipenuhi oleh banyak protein, beberapa diantaranya 

merupakan antigen permukaan yang tersusun atas kompleks glikoprotein dan 

glikolipid. Antigen ini  diturunkan secara genetik dan dikenal sebagai 

agglutinogen. Ada dan/atau tidak adanya agglutinogen pada permukaan 

eritrosit dapat dipakai  sebagai dasar pengelompokkan golongan darah 

Antigen merupakan molekul kompleks yang 

berukuran besar dan dapat memicu respon imun jika bertemu dengan 

antibodi yang sesuai. Antibodi hanya dapat berikatan dengan antigen yang 

spesifik dan dapat menyebabkan kerusakan sel yang mengeskpresikan antigen 

ini  sebab  destruksi oleh komponen sistem imun adaptif ,Antibodi yang komplemen dengan antigen yang ada pada permukaan 

eritrosit disebut sebagai agglutinin. Agglutinin ada  pada plasma darah. 

ada  sekitar 24 golongan darah dengan lebih dari 100 antigen yang dapat 

dideteksi pada permukaan eritrosit. Dari jumlah tersbeut, ada dua kelompok 

besar golongan darah yang dipakai  secara umum, yaitu golongan darah 

ABO dan Rhesus (Rh). 

Penggolongan darah berdasar  ABO sistem dibuat berdasar  pada 

adanya dua antigen glikolipid yang berada pada membran eritrosit yang 

disebut sebagai antigen A dan antigen B. Darah yang pada eritrositnya hanya 

memiliki antigen A saja, disebut bergolongan darah A. Begitupula dengan 

golongan darah B, artinya eritrosit yang ada  pada darah tersbeut hanya 

memiliki antigen-B. Sedangkan darah yang eritrositnya memiliki antigen A dan 

antigen B, disebut bergolongan darah AB. Sebagian besar populasi penduduk 

dunia, pada eritrositnya tidak memiliki antigen A maupun antigen B sehingga 

disebut bergolongan darah O (Gambar 4.9.)

Gambar 4.9. Ilustrasi antigen pada permukaan eritrosit dan antibodi yang ada  di plasma 

darah pada satu individu 

Antibodi (agglutinin) yang ada  pada plasma darah dapat bereaksi 

dengan antigen A atau antigen B dan memunculkan respon imun berupa 

aglutinasi (penggumpalan) darah. Aglutinasi terjadi akibat adanya reaksi 

antigen-antibodi yang juga dapat memicu terjadinya kerusakan eritrosit 

(hemolisis). Antibodi anti-A bereaksi dengan antigen A sedangkan antibodi 

anti-B bereaksi dengan antigen B. Antibodi yang ada  pada plasma 

darah seseorang secara normal tidak bereaksi dengan antigen yang ada  

pada membran eritrositnya, sebab  antigen yang ada  pada membran 

eritrositnya bukan merupakan komplemen dari antibodi yang ada  pada 

plasma darahnya (Gambar 4.9.)  Plasma darah 

seseorang bisa mengandung antibodi yang komplemen dengan antigen 

yang berada pada membran eritrosit orang lain. sebab  itulah diperlukan 

48 Hematologi  Dasar

pemeriksaan kompatibilitas antar golongan darah apabila hendak dilakukan 

transfusi atau pindah darah dari satu individu ke individu lainnya (Tabel 1).

Tabel 1. Interaksi antara antigen dan antibodi pada golongan darah yang memakai  sistem 

ABO 

Karakteristik

Golongan Darah

A B AB O

Antigen (aglutinogen) 

pada membran eritrosit A B A dan B -

Antibodi (aglutinin) pada 

plasma darah Anti-B Anti-A - Anti-A dan 

Anti-B

Donor yang kompatibel A, O B, O A, B, AB, O O

Donor yang inkompatibel B, AB A, AB - A, B, AB

Transfusi darah merupakan metode pemindahan darah baik keseluruhan 

bagian darah maupun hanya komponen darah tertentu (seperti eritrosit, 

plasma maupun trombosit saja) dari satu individu ke individu yang lain. 

Transfusi darah biasa dilakukan untuk menambah volume darah dengan cepat 

dan diperlukan dalam keadaan darurat, seperti kondisi setelah pendarahan 

atau anemia berat (Tortora & Derrickson, 2012). Pada proses transfusi yang 

harus diperhatian yaitu  kompatibilitas antargolongan darah, sebab  antigen 

yang ada  pada membran eritrosit donor akan diserang oleh antibodi 

yang ada pada plasma darah resipien, jika keduanya merupakan komplemen 

yang spesifik. Akan tetapi, antibodi yang ada pada plasma darah pendonor 

tidak dapat menimbulkan kerusakan yang berat pada eritrosit resipien sebab  

jumlah darah yang didonorkan tidak terlalu banyak dan antibodi ini  

terlarut oleh plasma darah resipien. Kerusakan yang terjadi pada eritrosit 

resipien akibat adanya antibodi dalam plasma darah donor dapat dikatakan 

terjadi dalam jumlah kecil ,

Apabila terjadi inkompatibilitas transfusi, dapat dipastikan bahwa 

antibodi yang ada  pada plasma darah resipien bereaksi dengan antigen 

yang ada  pada membran eritrosit donor. Reaksi antigen-antibodi ini  

menyebabkan terjadinya aglutinasi atau penggumpalan darah akibat eritrosit 

yang berlekatan satu sama lain. Selanjutnya eritrosit yang mengalami aglutinasi 

ini akan dihancurkan oleh sistem imun tubuh dengan cara merusak membran 

plasma eritrosit sehingga menyebabkan hemolisis. saat  terjadi hemolisis, 

hemoglobin yang ada pada sitoplasma eritrosit akan terlepas ke plasma darah 

dan terbawa oleh aliran darah sampai ke ginjal. Adanya hemoglobin terlarut 

pada plasma darah dapat menyebabkan keruskaan ginjal sebab  membentuk 

sumbatan pada membran filtrasi di ginjal. Sebagai contoh, seseorang dengan 

golongan darah A menerima transfusi dari donor yang bergolongan darah 

B. eritrosit resipien memiliki antigen A dan plasma darah resipien memiliki 

antibodi anti-B.  Eritrosit donor memiliki antigen B dan plasma darah donor 

memiliki antibodi anti-A. Antibodi anti-B yang ada  pada plasma darah 

resipien dapat berikatan dengan antigen B pada eritrosit donor, menyebabkan 

aglutinasi dan hemolisis pada eritrosit. Dapat pula terjadi reaksi antigen 

antibodi antara anti-A pada plasma donor dengan antigen A pada eritrosit 

resipien akan tetapi pada transfusi, plasma darah donor menjadi bagian yang 

sangat terlarut olehplasma darah resipien sehingga tidka menyebabkan 

hemolisis yang signifikan terhadap eritrosit resipien 

ada  istilah donor universal dan resipien universal dalam hal transfusi 

darah. Istilah donor universal dimaksudkan untuk golongan darah O yang 

tidak memiliki antigen A maupun antigen B di permukaan eritrositnya. Secara 

teori apabila dilakukan donor darah dari golongan darah O ke golongan darah 

lain, tidak dapat terjadi reaksi aglutinasi sebab  antibodi pada plasma darah 

resipien tidak mendapat sasarannya yaitu antigen permukaan pada membran 

eritrosit. Sebaliknya, istilah resipien universal dimaksudkan untuk golongan 

darah AB yang tidak memiliki antibodi di plasma darahnya. Apabila golongan 

darah AB menerima tarnsfusi dari golongan darah A, B dan O, maka secara 

teoritis tidak terjadi aglutinasi sebab  tidak ada  antibodi pada plasma 

darah resipien yang dapat bereaksi dengan antigen pada membran eritrosit 

donor . Akan tetapi pada kenyataannya, donor 

universal dan resipien universal tidak dapat diterapkan begitu saja pada proses 

transfusi. Sebab ada  banyak antigen dan antibodi lain pada darah (baik 

pada eriteosit maupun pada plasma darah) selain antigen-antibodi ABO, yang 

akan mempengaruhi proses transfusi dan beresiko menyebabkan aglutinasi. 

Salah satu antigen-antibodi yang ada  pada darah selain ABO yaitu  

50 Hematologi  Dasar

antigen-antibodi Rhesus (Rh) ,

Penggolongan darah berdasar  ada atau tidaknya antigen Rhesus 

pad apermukaan eritrosit disebut sebagai penggolongan darah sistem Rh 

(Rhesus). Dinamakan demikian sebab pertama kali antigen rhesus ditemukan 

pada kera Rhesus . ada  enam tipe antigen 

Rh yang umum dijumpai, yaitu C, D, E, c, d dan e. apabila seseorang memiliki 

antigen C maka orang ini  dipastikan tidak memiliki antigen c. Demikian 

pula dengan D-d dan E-e. akan tetapi secara prevalensi, mayoritas populasi 

di dunia memiliki antigen D yang bersifat lebih antigenik dibanding antigen 

Rh yang lain. sebab  itu apabila pada eritrosit seseorang memiliki antigen 

D maka orang ini  dikatakan memiliki golongan darah Rhesus positif 

(Rh+). Sebaliknya apabila tidak ada  antigen D pada eritrositnya, maka 

dinyatakan sebagai Rhesus negatif (Rh-). Akan tetapi, pada orang dengan Rh+ 

bukan berarti tidak mengeskpresikan antigen Rh yang lain (C,E, c dan/atau e). 

antigen Rhesus yang lain tetap dapat menimbulkan reaksi antigen antibodi 

terutama pada inkompatibilitas transfusi, akan tetapi efek yang ditimbulkan 

lebih ringan dariapda inkompatibiltas antigen-antibodi Rhesus D ,

Penggolongan darah dengan sistem rhesus sedikit berbeda dengan 

sistem ABO dalam hal terjadinya reaksi aglutinasi pasca inkompatibel transfusi. 

Secara normal plasma darah tidak mengandung antibodi Rh. Reaksi aglutinasi 

pada inkompatibel transfusi akibat perbedan Rhesus dapat terjadi apabila 

seseorang telah terpapar dengan antigen Rh dalam jumlah besar sehingga 

membentuk antibodi anti-Rh. Paparan antigen ini  bisa didapat melalui 

transfusi darah yang mengandung antigen Rh (Rh+) kepada resipien yang tidak 

memiliki antigen Rh (Rh-). Paparan ini  mengakibatkan terbentuknya 

antibodi anti-Rh oleh sistem imun dan bertahan dalam darah. Apabila pada 

transfusi berikutnya mendapat donor dengan golongan darah Rh+, maka 

antibodi anti-Rh yang ada dalam plasma darah akan bereaksi dengan antigen 

Rh yang ada  pada eritrosit donor dan menyebabkan terjadinya aglutinasi ,


 

Leukosit

Leukosit (leuko = putih, cyte = sel) atau sel darah putih merupakan sel 

darah yang masih memiliki  inti sel, berbeda dengan eritrosit (eritrosit). 

Leukosit juga tidak memiliki  hemoglobin maupun kemampuan untuk 

membawa oksigen ,Selain itu, leukosit dinamai demikian 

juga sebab  relatif lebih tidak berwarna jika dibandingkan dengan eritrosit. 

Leukosit pada umumnya dibedakan menjadi 5 kelompok, yaitu neutrofil, 

basofil, eosinofil, monosit, dan limfosit. Kelima jenis leukosit ini  masing-

masing memiliki  karakteristik dan fungsi berbeda.

Gambar 5.1. Lima jenis leukosit: (a) eosinofil, (b) basofil, (c) neutrofil, (d) limfosit, dan (e) 

monosit 

Kisaran jumlah leukosit darah normal yaitu  4,3-10,8 x 109/L. Neutrofil 

dan limfosit menyusun komposisi leukosit dengan persentase terbesar, secara 

berturut-turut 45-74% dan 16–45%. Sisanya, monosit menyusun 4-10%, 

eosinofil 0–7%, dan basofil 0-2% dari total leukosit. Namun, dapat terjadi variasi 

baik dalam jumlah maupun persentase di antara individu dan kelompok etnis 

yang berbeda. Contohnya yaitu  variasi jumlah leukosit yang lebih rendah 

untuk kelompok etnis Afrika Amerika tertentu. Selain itu, leukosit bervariasi 

tergantung pada jenis kelamin, umur, aktivitas, dan waktu. Jumlahnya juga 

berbeda menurut apakah leukosit bereaksi terhadap stres, atau dihancurkan, 

dan apakah mereka diproduksi oleh sumsum tulang dalam jumlah yang cukup 

Fungsi leukosit secara keseluruhan yaitu  dalam memediasi kekebalan, 

baik bawaan (nonspesifik), atau spesifik (adaptif ). Respon kekebalan bawaan 

contohnya yaitu  fagositosis oleh neutrofil, sedangkan respon kekebaan 

adaptif seperti dalam produksi antibodi oleh sel plasma (Rodak et al., 2016). 

Dalam respon kekebalan, beberapa leukosit meninggalkan aliran darah dan 

mengumpulkan pada titik-titik invasi patogen atau peradangan. Granulosit 

dan monosit meninggalkan aliran darah untuk melawan cedera atau infeksi, 

setelah itu mereka tidak pernah kembali lagi ke aliran darah. Pada sisi lain, 

limfosit tetap berada dalam sistem sirkulasi, dari darah ke ruang interstisial 

jaringan ke cairan limfatik dan kembali ke darah. Hanya 2% dari populasi 

limfosit total yang beredar dalam darah pada suatu waktu tertentu; sisanya 

berada dalam cairan limfatik dan organ-organ seperti kulit, paru-paru, kelenjar 

getah bening, dan limpa ,

5.1 Jenis dan Karakteristik Leukosit

Leukosit diklasifikasikan menjadi granular atau agranular, tergantung 

pada ada tidaknya granula sitoplasma (vesikel) yang dapat terlihat dengan 

pewarnaan bila diamati melalui mikroskop cahaya 

Polymorphonuclear granulocytes (PNG), atau seringkali disebut granulosit, 

mengacu pada 3 jenis leukosit dengan ciri khas nukleus berlobus serta granula 

dengan membran. Ketiga jenis yang termasuk granulosit yaitu  neutrofil, 

basofil, dan eosinofil Granulosit umumnya berumur 

pendek, namun berperan penting dalam respon antimikroba dan antiinflamasi ,


Kategori sel mononuklear, yang disebut agranulosit terdiri dari monosit 

dan limfosit. Sel-sel ini  memiliki  nukleus yang berbentuk seperti 

kacang (monosit) atau bulat (limfosit) dan tidak bersegmen 

A. Neutrofil

Neutrofil memiliki  granula lebih kecil dibandingkan leukosit granuler 

lain, terdistribusi merata, dan berwarna lilac pucat. sebab  granula tidak 

tertarik baik pada asam/eosin (merah) atau basa (biru), leukosit ini yaitu  

neutrofilik (neutro = neutral, bersifat netral). Nukleus memiliki dua hingga lima 

lobus, dihubungkan oleh untaian material nukleus yang sangat tipis. Seiring 

bertambahnya umur sel, jumlah lobus nukleus meningkat 

Gambar 5.2. Dua jenis neutrofil, neutrofil batang (kiri) dan neutrofil bersegmen (kanan) 

Neutrofil dan monosit berkembang dari sel punca pluripoten sumsum 

tulang di bawah pengaruh sitokin dan faktor pertumbuhan. Myeloblast yaitu  

sel prekursor pertama yang lalu  berkembang menjadi promyelosit. 

Promyelosit ditandai dengan produksi granula primer, atau disebut juga 

dengan granula azurofil. Promyelosit berkembang menjadi myelosit, sel yang 

menghasilkan granula spesifik, atau sekunder. lalu  myelosit mengalami 

pematangan menjadi neutrofil batang, yaitu neutrofil ‘muda’ dengan inti sel 

terkondensasi berbentuk batang. Terakhir, neutrofil mengalami maturasi lebih 

lanjut sehingga inti selnya bersegmen dan memiliki  banyak lobus 

Gambar 5.3. Tahapan perkembangan neutrofil 

Kedua jenis granula neutrofil memproduksi senyawa berbeda. Granula 

primer mengandung hidrolase, elastase, myeloperoksidase, cathepsin G, 

protein kationik, dan protein bakterisidal, yang penting untuk membunuh 

bakteri gram-negatif. Granula ini juga mengandung defensin, famili 

polipeptida kaya sistein dengan aktivitas antimikroba terhadap bakteri, 

jamur, maupun virus. Granula spesifik mengandung konstituen unik seperti 

laktoferin, protein pengikat vitamin B12, komponen NADPH yang diperlukan 

untuk produksi hidrogen peroksida, dan histaminase. Selain itu juga ada  

reseptor untuk kemoatraktan dan faktor adhesi (CR3) serta reseptor untuk 

komponen membran basal, laminin. Senyawa dari granula spesifik umumnya 

dilepaskan ke lingkungan ekstraselular untuk memicu reaksi peradangan 


B. Eosinofil

Eosinofil memiliki  granula berukuran besar dan seragam. 

Eosinofil tertarik kuat pada eosin, atau bersifat eosinofilik (menyukai 

eosin). Eosin berwarna merah-oranye dan bersifat asam, sehingga 

eosinofil akan terlihat kemerahan. Granula biasanya tidak menutupi 

atau mengaburkan nukleus, sehingga nukleus tetap akan tampak. 

Eosinofil paling sering memiliki dua atau tiga lobus yang dihubungkan 

oleh untaian tipis material nukleus 

Gambar 5.4. Eosinofil .

Eosinofil berkembang dari CMP (Common Myeloid Progenitor) yang 

lalu  membentuk garis keturunan eosinofil dengan peran beberapa 

sitokin (IL-3, IL-5, dan GM-CSF) serta faktor transkripsi (GATA-1, PU.1, dan c/EBP). 

IL-5 merupakan faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan dan survival 

eosinofil. Pada tahap  promyelosit, granula primer mulai terbentuk dan berisi 

komponen berupa Charcot-Leydencrystalprotein. Granula spesifik terbentuk 

pada tahap maturasi selanjutnya. Granula ini  berisi protein pada 

umumnya, peroksidase, protein kationik, lisozim, katalase, b-Glucuronidase, 

katepsin D, IL-2, IL-4, IL-5, IL-6, dan GM-CSF (Rodak et al., 2016).

Kinerja eosinofil didukung oleh beberapa faktor yang dihasilkan oleh 

sel-sel imun lain, seperti sel Mast. Sel ini menghasilkan eosinophil chemotactic 

factor of anaphylaxis (ECFa) yang meningkatkan reseptor komplemen 

56 Hematologi  Dasar

neutrofil dan eradikasi parasit. Selain itu, sel T juga menghasilkan senyawa 

yang meningkatkan kemampuan eosinofil untuk membunuh parasit. 

Eosinophil colony stimulating factors (misalnya, interleukin-5) yang diproduksi 

oleh makrofag meningkatkan produksi eosinofil di sumsum tulang dan 

mengaktifkan eosinofil untuk membunuh parasit 

C. Basofil

Basophil memiliki  granula bulat dengan ukuran bervariasi. Sifat 

basofil yaitu  penyuka basa atau basofilik. Pengecatan dengan pewarna dasar 

menyebabkan basofil terlihat berwarna biru keunguan. Granula biasanya 

mengaburkan nukleus, yang memiliki dua lobus 

Gambar 5.5. Basofil 

Basofil berasal dari sel punca hematopoietik yang berkembang di bawah 

pengaruh berbagai sitokin, khususnya interleukin-3 (IL-3). Granula basofil 

mengandung beberapa senyawa, diantaranya histamin, trombosit-activating 

factor, leukotrin C4, IL-4, IL-13, vascular endothelial growth factor A (VEGF A), 

VEGF B, dan chondroitin sulfates (heparan). Basofil juga mampu mensintesis 

protein granula berdasar  sinyal aktivasi yang diberikan oleh sel lain. 

Contohnya, basofil dapat diinduksi untuk menghasilkan mediator peradangan 

alergi, granzim B. Sel mast dapat menginduksi basofil untuk memproduksi 

dan melepaskan asam retinoat, pengatur sel kekebalan dan residen dalam 

penyakit alergi. Basofil juga berperan dalam angiogenesis melalui ekspresi 

Leukosit 57

VEGF dan reseptornya ,

D. Monosit

Monosit memiliki  nukleus berbentuk ginjal atau berbentuk tapal 

kuda, dan sitoplasma berwarna biru keabu-abuan. Monosit memiliki  

granula azurophilic yang sangat halus, yang sesungguhnya yaitu  lisosom. 

Aliran darah hanyalah perantara bagi monosit, yang bermigrasi dari darah 

ke dalam jaringan. Monosit akan berdiferensiasi menjadi makrofag di dalam 

jaringan. Sebagian monosit menjadi makrofag yang tetap, yang berarti sel 

ini  berada di jaringan tertentu; contoh makrofag alveolar di paru-paru 

atau makrofag di limpa. Sementara itu, monosit lainnya menjadi makrofag 

yang mengembara. Makrofag ini menjelajah jaringan dan berkumpul di 

tempat-tempat infeksi atau peradangan 

Gambar 5.6. Sel mononuklear fagositik. (A) Monosit yang diamati dengan mikroskop cahaya, 

(B) monosit yang diamati dengan mikroskop elektron, (C) makrofag di dalam jaringan yang 

diamati dengan mikroskop cahaya 

Makrofag mensekresikan berbagai produk, termasuk lisozim, protease 

netral, hidrolase asam, arginase, komponen komplemen, penghambat 

enzim (plasmin, α2makroglobulin), protein pengikat (transferin, fibroektin, 

transcobalamin II), nukleosida, dan sitokin (TNF-α; IL-1, -8, -12, -18). Interleukin-1 

(IL-1) memiliki banyak fungsi, termasuk menginisiasi demam di hipotalamus, 

memobilisasi leukosit dari sumsum tulang, serta mengaktifkan limfosit dan 

neutrofil. Tumor necrosis factor-α (TNF-α) yaitu  pirogen yang menggandakan 

aksi dari IL-1. TNF-α merangsang produksi hidrogen peroksida oleh makrofag 

dan neutrofil ,

E. Limfosit


Limfosit memiliki  nukleus berwarna gelap dan bulat. Sitoplasma 

berwarna biru langit dan membentuk lingkaran di sekitar nukleus. Semakin 

besar sel, semakin banyak sitoplasma yang terlihat. Limfosit dapat berukuran 

tergolong kecil dengan diameter 6-9 μm atau besar dengan diameter 10-14 

μm. Meskipun perbedaan ukuran antara limfosit kecil dan besar tidak begitu 

signifikan, perbedaannya masih bermanfaat secara klinis. Peningkatan ukuran 

limfosit memiliki  signifikansi diagnostik pada infeksi virus akut dan pada 

beberapa penyakit imunodefisiensi 

Gambar 5.7. . Limfosit dengan pengamatan melalui (A) mikroskop cahaya dan (B) mikroskop 

elektron 

Limfosit berkembang dari sel progenitor limfoid (Common Lymphoid 

Progenitor/CLP) di dalam sumsum tulang. Perkembangan limfosit dapat dibagi 

menjadi tahap  antigen-independen dan antigen-dependen. Perkembangan 

limfosit yang antigen-independen terjadi di sumsum tulang dan timus (disebut 

sebagai organ limfoid sentral atau primer), sedangkan maturasi limfosit yang 

bergantung pada antigen terjadi di limpa, kelenjar getah bening, amandel, 

dan jaringan limfoid terkait mukosa seperti patch Peyer di dinding usus (organ 

limfoid perifer atau sekunder) ,

Limfosit secara umum dibedakan menjadi limfosit B dan limfosit T yang 

berperan dalam respon imun adaptif. Di sisi lain, ada  sebagian kecil sel 

yang juga diproduksi oleh progenitor yang sama dengan kedua jenis sel 

ini , yaitu sel Natural Killer. Namun, sel ini  memiliki  mekanisme 

berbeda dari limfosit dalam mengenali antigen , Limfosit 

yaitu  satu-satunya sel dalam tubuh yang mengekspresikan reseptor antigen 

yang terdistribusi secara klonal, masing-masing spesifik untuk determinan 

antigenik yang berbeda. Setiap klon limfosit T dan B mengekspresikan reseptor 

antigen dengan spesifisitas tunggal  yang berbeda-beda.

E. 1. Limfosit B

Selama perkembangannya, limfosit B menghasilkan berbagai macam 

antigen yang dapat diamati dengan pewarnaan khusus, immunohistichemistry 

(IHC). Meskipun demikian, ada  antigen spesifik yang dapat menjadi 

marker bagi limfosit B, seperti CD20, CD22 dan Pax 5. Ketiga antigen ini tidak 

diekspresikan pada tahap  perkembangan limfosit yang lain. Pax 5, suatu faktor 

transkripsi, yaitu  “master regulator” pengembangan sel B yang diekspresikan 

dari tahap prekursor sampai pematangan sel-B, namun hilang pada tahap 

sel plasma. CD19 juga sebagian besar diekspresikan oleh sel B, tetapi dapat 

diekspresikan dengan lemah oleh sel dendritik folikuler. CD19 diekspresikan 

oleh sel B pada semua tahap pematangan, termasuk progenitor sel B dan sel 

plasma ,

Selain antigen CD dan Ig, sel B mengekspresikan tiga antigen major 

histocompatibility complex (MHC) kelas II: DR, DP, DQ. Antigen-antigen ini 

yaitu  heterodimer yang tersusun dari rantai berat dan rantai ringan yang 

dikodekan oleh gen dalam kompleks D pada gen HLA 

E. 2. Limfosit T

Sel T dewasa (mature) mengekspresikan CD4 atau CD8, namun tidak 

dapat mengekspresikan keduanya sekaligus dalam satu sel. Kedua molekul 

ini menjadi penanda bagi 2 jenis limfosit T berbeda, yaitu sel T helper dan 

sel T sitotoksik. Namun, keduanya memiliki  peran serupa, yaitu sebagai 

ko-reseptor pada pengaktifan sel T oleh antigen 

Sel T helper mengekspresikan CD4, suatu molekul yang berasal dari gen 

imunoglobulin dengan untaian tunggal glikoprotein transmembran. Molekul 

ini mengenali MHC kelas II yang diekspresikan oleh antigen presenting cells 

(APC), sehingga mengaktifkan sel T helper. Sel T helper sendiri tidak berfungsi 

secara langsung dalam melawan antigen, namun sel ini berperan dalam 

60 Hematologi  Dasar

pengaktifan dan maturasi sel T sitotoksik dan sel B ,

Sel T sitotoksik mengekspresikan CD8 yang mengenali MHC kelas I. 

Berbeda dengan sel T helper yang mengaktifkan respon imun sel-sel lain, sel 

T sitotoksik mengeradikasi sel yang terinfeksi secara langsung. Sel T sitotoksik 

bekerja dengan melisiskan sel terinfeksi ,

F. Jenis Sel Lainnya

F. 1. Sel Dendritik

Sel dendritik berasal dari progenitor leukosit yang lain, yaitu 

sel hematopoietik (hematopoietic stem cells, HSC) CD34+. Sel CD34+ 

berdiferensiasi menjadi progenitor limfoid (common lymphoid progenitor, CLP) 

dan progenitor myeloid (common myeloid progenitor, CMP) di sumsum tulang. 

Selanjutnya, CMP berdiferensiasi menjadi populasi sel CD34+, CLA+, dan 

CD34+ CLA+ (CLA, reseptor cutaneous lymphocyte-associated antigen). Kedua 

populasi sel ini  masing-masing berkembang menjadi sel CD11c+ CD1a 

+ yang fenotipnya belum diketahui dan CD11c+ CD1a+ sel dendritik muda 

(immature dendritic cells). Populasi sel pertama bermigrasi ke epidermis kulit 

dan berdiferensiasi menjadi sel Langerhans, sedangkan populasi sel dendritik 

muda melokalisasi kulit dermis dan jaringan lain, serta menjadi sel dendritik 

interstisial ,

F. 2. Sel Natural Killer (Sel NK)

Sel Natural killer (NK) yaitu  sel CD8 + sitotoksik yang tidak memiliki 

reseptor sel T (T cell receptor, TCR). Sel NK yaitu  sel-sel berukuran besar dengan 

granula sitoplasma dan biasanya mengekspresikan molekul permukaan CD16 

(reseptor Fc), CD56 dan CD57 , berdasar  intensitas 

ekspresi reseptor permukaan CD56, sel NK dibedakan menjadi CD56bright 

dan CD56dim. Sel CD56dim menyusun 85% hingga 90% populasi sel NK dalam 

sirkulasi perifer dan merupakan mediator sitotoksisitas. Sekitar 10% hingga 

15% sel NK dalam sirkulasi yaitu  CD56bright, dan setelah aktivasi, subset ini 

mampu memproduksi sitokin dan kemokin (Hoffman et al, 2012). 

Leukosit 61

Gambar 5.8. Dua subset sel natural killer. Sel CD56bright berfungsi sebagai regulator imun, 

sedangkan sel CD56dim memiliki  fungsi sitolitik (diadaptasi dari Hoffman et al., 2013).

Sel NK memiliki  3 jenis reseptor, yaitu immunoglobulin-like superfamily 

(KIR), superfamili C-type lectin receptor (CLR), serta reseptor spesifik sel 

NK (NKR). KIR mampu mengenali berbagai jenis HLA (HLA-A, HLA-B, dan 

HLA-C) atau antigen lain yang diekspresikan oleh sel target. Reseptor lektin 

tipe-C (CTLR) untuk sel NK yaitu  molekul CD94/NKG2. NKG2D memediasi 

pembunuhan target seluler yang mengekspresikan dua antigen yang terkait 

dengan transformasi viral atau neoplastik, yaitu MHC class I chain-related 

antigens (MICs) dan UL16 binding protein (ULBP). MIC (MICA dan MICB) 

mengalami peningkatan ekspresi akibat infeksi cytomegalovirus (CMV) serta 

dalam sejumlah keganasan sel-sel epitel dan darah ,

F. 3. Sel Mast

Sel mast biasanya berada di jaringan ikat, terutama di bawah permukaan 

epitel dan di sekitar pembuluh darah, dan, dalam beberapa spesies, di rongga 

serosa. Sel mast berasal dari prekursor hematopoietik yang hanya sebagian 

kecil mengalami maturasi di dalam sumsum tulang, selebihnya mengalami 

pematangan di organ lain, seperti limpa ,

Pada dasarnya, sel mast yaitu  sel efektor untuk reaksi inflamasi dan respon 

hipersensitivitas atau alergi ,

Sel mast memiliki  bentuk dan fungsi yang serupa dengan basofil, 

namun keduanya memiliki  perbedaan mendasar. Morfologi sel mast 

sedikit berbeda dengan basofil. Sel mast lebih besar dan memiliki banyak 

granula yang banyak di sitoplasma. Sel mast memiliki inti bulat, yang sering 

dikaburkan oleh butiran. Pewarnaan dengan toluidin biru akan positif dalam 


granula basofil dan sel mast. Namun, pewarnaan dengan mast cell tryptase 

hanya akan positif pada sel mast ,

Gambar 5.9. Ilustrasi gambar sel mast 

5.2 Fungsi Leukosit Terkait Respon Imun Bawaan

A. Pengenalan Antigen 

Sistem imun bawaan mengenali mikroba infeksius melalui struktur 

molekuler khas yang ada  pada virus dan bakteri. Sistem kekebalan 

tubuh bawaan memakai  sejumlah reseptor pengenalan pola (PRR) 

untuk mengenali pola molekuler terkait patogen (PAMP). PAMP dapat berupa 

gula, protein, lipid, asam nukleat, atau kombinasi dari jenis-jenis molekul 

ini. PRR pada sel fagositik mengenali PAMP baik secara langsung atau tidak 

langsung oleh PRR di permukaan sel, atau oleh molekul terlarut (misalnya, 

komplemen). Dua PAMP yang paling umum yaitu  lipopolysaccharide (LPS) 

and peptidoglikan. PRR yang berperan dalam sistem imun bawaan diantaranya 

toll-like receptors (TLR), scavanger receptors, dan opsonin. TLR  berikatan dengan 

PAMP lalu  akan mengaktifkan jalur transduksi sinyal pada nukleus. Hal 

ini memicu nukleus sel imun untuk memproduksi sitokin dan molekul lain 

yang berperan dalam aktivitas antimikrobial  (Doan et al, 2013).

B. Soluble Defense Mechanism

Mekanisme pertahanan ini memakai  molekul-molekul terlarut 

dalam menghadapi serangan patogen. Molekul-molekul ini  diantaranya 

interferon tipe I (IFN), senyawa mikrosidal, sistem komplemen, dan sitokin. 

IFN-α dan IFN-β yaitu  dua kelas IFN yang diproduksi secara cepat setelah 

terjadi pengenalan PAMP oleh PRR. Berbagai sel, termasuk sel epitel, neutrofil, 

dan makrofag, mensekresi peptida kaya sistein yang disebut defensin. Peptida 

ini membentuk saluran di membran sel bakteri, yang menyebabkan masuknya 

ion tertentu dan akhirnya kematian bakteri. Molekul-molekul lain dengan 

fungsi-fungsi mikrosidal termasuk cathelicidin, lisozim, DNase, RNase, dan 

lainnya ,

Sistem komplemen berisi enzim dan protein yang berfungsi dalam respon 

bawaan maupun adaptif. Pada respon imun bawaan, sistem komplemen 

diaktifkan melalui pengenalan PAMP oleh beberapa jalur, diantaranya jalur 

mannan-binding lectin (MBL) serta jalur alternatif yang melibatkan LPS. 

Sementara itu sitokin, molekul terlarut lainnya, disekresikan oleh leukosit 

dan sel lain dan terlibat dalam kekebalan bawaan, kekebalan adaptif, dan 

peradangan. Sitokin melawan patogen secara nonspesifik dan terlibat dalam 

beragam aktivitas biologis mulai dari kemotaksis hingga aktivasi sel-sel 

spesifik untuk menginduksi perubahan fisiologis yang luas. Kemokin yaitu  

subkelompok sitokin dengan berat molekul rendah dan pola struktural 

tertentu yang terlibat dalam kemotaksis (migrasi yang diinduksi senyawa 

kimia) dari leukosit ,

C. Mekanisme Pertahanan Seluler: Fagositosis

Progenitor myeloid (common myeloid progenitor, CMP) yaitu  prekursor 

makrofag, granulosit, sel mast, dan sel dendritik yang berperan dalam sistem 

kekebalan tubuh bawaan. Makrofag, granulosit, dan sel dendritik berfungsi 

sebagai fagosit dalam sistem kekebalan tubuh. Namun, ketiganya melakukan 

fagositosis dengan cara yang berbeda satu sama lain , Pengenalan partikel asing yang perlu dalam fagositosis dibantu oleh 

opsonisasi dengan imunoglobulin atau protein komplemen sebab  neutrofil 

dan monosit memiliki reseptor Fc dan C3b ,

Makrofag memiliki  fungsi utama menelan dan membunuh 

mikroorganisme yang menyerang. Selain itu, makrofag mendegradasi patogen 

dan sel yang terinfeksi yang ditargetkan oleh respon imun adaptif. Makrofag 

juga membantu menginduksi peradangan dan menghasilkan banyak 

mediator inflamasi yang mengaktifkan sel sistem kekebalan lain dan merekrut 

mereka ke dalam respon imun , Mediator ini  

berupa faktor pertumbuhan dan kemokin. Kemokin yaitu  sitokin kemotaktik 

yang diproduksi secara konstitutif dan mengontrol lalu lintas limfosit di bawah 

kondisi fisiologis tertentu. Kemokin mengikat dan mengaktifkan sel melalui 

ikatan dengan reseptornya sehingga dapat merekrut sel yang tepat ke tempat 

terjadinya peradangan ,

Neutrofil yaitu  sel yang paling banyak dan penting dalam respon imun 

bawaan. Neutrofil melakukan fagositosis pada berbagai mikroorganisme 

dan secara efisien menghancurkannya dalam vesikula intraseluler. Granula 

sitoplasma neutrofil mengandung enzim degradatif dan zat antimikroba 

lainnya yang mampu mendegradasi patogen. Defisiensi herediter dalam 

fungsi neutrofil dapat menyebabkan infeksi bakteri yang tidak terkendali, hal 

ini dapat berakibat fatal fatal jika tidak diobati ,

Sel-sel dendritik ditemukan pada tahun 1970 oleh Ralph Steinman. Sel-sel 

ini membentuk kelas ketiga sel fagositik dari sistem kekebalan. Sel dendritik 

imatur bermigrasi melalui aliran darah dari sumsum tulang untuk memasuki 

jaringan. Sel ini mengambil partikel dengan fagositosis dan juga terus menelan 

sejumlah besar cairan ekstraseluler beserta isinya melalui makropinositosis. 

Meskipun berfungsi dalam fagositosis, namun fungsi utama sel ini bukan 

mendegradasi mikroorganisme. Sebaliknya, sel dendritik yaitu  kelas utama 

sel-sel sensor yang bertemu dengan patogen dan lalu  memicu mereka 

untuk menghasilkan mediator yang mengaktifkan sel-sel kekebalan lainnya, 

atau disebut dengan antigen presenting cell 

Gambar 5.10. Proses fagositosis dimulai dari pengenalan antigen mikroba, pembentukan 

fagosom hingga fagolisosom, berakhir dengan degradasi patogen ini  ,

Fagositosis terjadi dalam beberapa tahapan yang meliputi pengenalan dan 

pelekatan, ingesti dan destruksi mikroba. Pengenalan dan pelekatan mikroba 

oleh fagosit, yang melibatkan berbagai reseptor, contohnya memakai  

pola pengenalan resepto (PRR) seperti TLR, reseptor komplementer (CR) 

yang mengenali fragmen tertentu dari pelengkap (terutama C3b), dan 

lainnya. Selanjutnya, proses ingesti mikroba dilakukan dengan pembentukan 

pseudopodia untuk menangkap mikroba maupun endositosis. Setelah 

proses internalisasi, mikroba terperangkap dalam fagosom. Pada tahap akhir, 

terjadi destruksi mikroba, dengan menggabungkan fagosom dan lisosom 

membentuk fagolisosom. Enzim-enzim pada lisosom akan mendegradasi 

mikroba ,

D. Mekanisme Pertahanan Seluler: Sel NK

Selain mekanisme pertahanan seluler diatas, ada  sel Natural Killer 

(sel NK) yang berfungsi sebagai bagian dari kekebalan bawaan maupun 

adaptif. Sel ini mampu membunuh sel tumor tertentu dan sel yang terinfeksi 

virus tanpa sensitisasi sebelumnya. Selain itu, sel NK mampu memodulasi 

fungsi sel lain, termasuk makrofag dan sel T (Rodak et al., 2016).

Sel Natural Killer dirancang untuk membunuh sel target yang memiliki 

tingkat ekspresi molekul HLA kelas I yang rendah, seperti yang mungkin 

terjadi selama infeksi virus atau pada sel yang tumor. Sel NK mengenali sel 

normal dengan menampilkan sejumlah reseptor untuk molekul HLA di 

permukaannya. saat  HLA diekspresikan pada sel target, akan timbul sinyal 

penghambatan ke dalam sel NK. saat  molekul HLA tidak ada pada sel target, 

sinyal penghambatan ini hilang dan sel NK dapat membunuh targetnya. Selain 

itu, sel NK menampilkan sitotoksisitas yang dimediasi oleh sel yang bergantung 

pada antibodi (antibody-dependent cell- mediated cytotoxicity, ADCC). Dalam 

hal ini, antibodi mengikat antigen pada permukaan sel target dan lalu  

sel NK berikatan dengan bagian Fc dari antibodi yang terikat dan membunuh 

sel target ,

Gambar 5.11. . Pengenalan sel target oleh sel NK. Sel yang mengekspresikan ligan HLA kelas I 

akan menghasilkan sinyal inhibitor sehingga sel NK tidak menyerang sel target. Sebaliknya, sel 

yang tidak mengekspresikan ligan akan mengaktifkan sel NK ,

Sel NK dapat melisiskan sel tumor melalui setidaknya tiga mekanisme 

yang berbeda. Pertama, sel NK dapat mengeksekusi sitotoksisitas melalui 

granula perforin dan granzyme. Kedua, sitotoksisitas dapat dimediasi melalui 

FasL dan TRAIL yang terkait dengan produksi beberapa sitokin, termasuk 

interferon-γ (IFN-γ), TNF- α, dan granulocyte macrophage colony stimulating 

factor (GM-CSF). Ketiga, sel NK dapat memediasi sitotoksisitas tergantung-

antibodi (ADCC) melalui ekspresi reseptor permukaan CD16 atau reseptor 

FcγRIII ,

E. Peradangan (Inflamasi)

Inflamasi atau peradangan merupakan akibat dari respon imun bawaan 

maupun adaptif. Ciri khas inflamasi yaitu  adanya rasa nyeri  (dolor), 

peningkatan suhu tubuh (calor), redness (rubor), pembengkakan (tumor), 

dan kehilangan fungsi. Peningkatan permeabilitas kapiler memungkinkan 

masuknya cairan dan sel, berkontribusi terhadap pembengkakan (edema). 

Sel-sel fagositik tertarik ke situs melepaskan enzim litik, merusak sel-sel sehat. 

Akumulasi sel-sel mati dan bentuk-bentuk cairan nanah, sedangkan mediator 

yang dilepas oleh sel fagositik menstimulasi syaraf dan menyebabkan rasa 

sakit. Sistem imun bawaan berkontribusi terhadap peradangan dengan 

mengaktifkan jalur pelengkap alternatif dan lektin pengikat, menarik 

dan mengaktifkan sel fagositik yang mensekresikan sitokin dan kemokin, 

mengaktifkan sel NK, mengubah permeabilitas pembuluh darah, dan 

meningkatkan suhu tubuh ,

Basofil merupakan subkelas leukosit yang berkontribusi terhadap reaksi 

peradangan alergi, yang efeknya lebih merusak daripada protektif. Selain 

itu, ada  sel mast yang mulai berkembang di sumsum tulang, tetapi 

bermigrasi sebagai prekursor imatur yang matang di jaringan perifer, terutama 

kulit, usus, dan mukosa saluran napas. Granula sel mast mengandung banyak 

mediator inflamasi, seperti histamin dan berbagai protease, yang berperan 

dalam melindungi permukaan internal dari patogen, termasuk cacing parasit 

5.3 Fungsi Leukosit Terkait Respon Imun Adaptif

Imunitas adaptif bergantung pada dua jenis utama limfosit. Sel B 

mengalami maturasi di sumsum tulang dan merupakan sumber antibodi 

yang bersirkulasi. Sel T matang di timus dan mengenali peptida dari patogen 

yang disajikan oleh molekul MHC (Major Histocompatibility Complex) pada sel 

yang terinfeksi atau sel yang menyajikan antigen, salah satunya sel dendritik. 

Respon adaptif melibatkan seleksi dan amplifikasi reseptor-reseptor limfosit 

yang mengenali antigen asing. Setiap limfosit membawa reseptor permukaan 

sel yang mengenali antigen secara spesifik. Imunitas adaptif dimulai saat  

respon imun bawaan gagal untuk menghilangkan infeksi ,

A. Pematangan Limfosit B dan T

Limfosit B dan T berkembang dari sel progenitor limfoid (CLP) yang 

mendapatkan stimulus berbeda. Lain halnya dengan sel-sel kekebalan 

bawaan, limfosit mengalami proses perkembangan yang lebih rumit dan 

melibatkan seleksi klonal. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan limfosit yang 

membawa reseptor antigen yang tepat, yaitu reseptor antigen yang dapat 

mengenali spektrum patogen yang luas namun tidak akan bereaksi terhadap 

sel-sel individual itu sendiri. Limfosit dengan reseptor self-reactive yang kuat 

harus dihilangkan untuk mencegah reaksi autoimun. Proses seleksi negatif ini 

yaitu  salah satu cara di mana sistem kekebalan toleran terhadap ‘antigen’ diri 

sendiri (self-tolerant) ,

1. Pematangan Limfosit B

Pada perkembangan sel pre-B menjadi sel B imatur, IgM telah diproduksi. 

Pada tahap ini, reseptor antigen yang pertama diuji untuk reaktivitas terhadap 

antigen diri, atau autoreactivity. Sel B immature dipaparkan terhadan ‘antigen’ 

diri sendiri (self-antigen) dan diharapkan tidak terjadi reaksi. Penghapusan 

atau inaktivasi sel-sel B autoreaktif memastikan bahwa populasi sel B secara 

keseluruhan akan toleran terhadap antigen sendiri. Toleransi yang dihasilkan 

pada tahap perkembangan sel B ini dikenal sebagai toleransi pusat sebab  

muncul di organ limfoid sentral, sumsum tulang 

Gambar 5.12. Pematangan sel B yang meliputi seleksi negatif untuk mendegradasi sel-sel yang 

reaktif terhadap antigen diri sendiri (self antigen),

Sel B imatur yang autoreaktif diperbaiki dengan penyusunan ulang gen 

yang menggantikan reseptor autoreaktif dengan reseptor baru yang tidak 

self-reactive. Mekanisme ini disebut pengeditan reseptor. Namun, apabila 

dilakukan seleksi kembali dan tetap reaktif, sel ini  akan didegradasi. 

Sementara itu, sel B yang meninggalkan sumsum tulang juga belum 

sepenuhnya matang dan membutuhkan langkah pematangan tambahan 

yang terjadi di organ limfoid perifer ,

2. Pematangan Limfosit T

Prekursor sel T bermigrasi dari sumsum tulang ke timus dan mengalami 

perkembangan membentuk sel T mengikuti jalur persinyalan Notch. Di timus, 

gen reseptor sel-T diatur ulang, reseptor sel-T yang kompatibel dengan MHC 

dapat mengirimkan sinyal bertahan hidup dan berinteraksi dengan epitel 

timus. , Hal ini menghasilkan sel T double positive yang mengekspresikan 

CD4 maupun CD8 sebelum terjadi seleksi positif 

Seleksi positif menghilangkan sel T yang tidak mampu mengenali MHC. Sel 

yang lulus seleksi positif akan memasuki medula; sel yang gagal akan mati. 

Sel yang mengenali MHC I menghentikan ekspresi molekul CD4 dan menjadi 

sel CD8+. Demikian juga, sel yang terikat pada MHC II menghentikan ekspresi 

CD8, menjadi sel CD4+. Setelah itu, sel T mengalami seleksi negatif melalui 

pemaparan self-antigen oleh APC. Sel yang reaktif akan menerima sinyal 

apoptosis sebab  berbahaya bagi tubuh 

Gambar 5.13. Maturasi limfosit T di timus ,

B. Pengaktifan Limfosit B dan T

1. Pengaktifan Limfosit B

Pada tahap  akhir perkembangan, sel B imatur yang masih hidup akan 

menuju organ limfoid sekunder seperti limpa dan mengalami maturasi 

sehingga mampu mengekspresikan IgD serta IgM. Sel ini lalu  diaktifkan 

dengan pemaparan antigen asing spesifik. Sel B aktif berproliferasi, dan 

berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan sel memori 

yang berumur panjang 

Gambar 5.14. Pematangan limfosit B ,

2. Pengaktifan Limfosit T

Sel T yang bertahan hidup seleksi matang dan meninggalkan timus 

untuk beredar di pinggiran; mereka berulang kali meninggalkan darah untuk 

bermigrasi melalui organ limfoid perifer, di mana mereka dapat menghadapi 

antigen asing spesifik mereka dan menjadi aktif (panel ketiga teratas). Aktivasi 

menyebabkan ekspansi klonal dan diferensiasi menjadi sel T efektor. Beberapa 

di antaranya tertarik ke situs infeksi, di mana mereka dapat membunuh sel 

yang terinfeksi atau mengaktifkan makrofag (panel keempat teratas); yang 


lain tertarik ke area sel B, di mana mereka membantu untuk mengaktifkan 

respon antibodi ,

C. Respon Kekebalan Humoral

Respon kekebalan humoral merupakan respon imun yang diperantarai 

oleh antibodi. Hal ini melibatkan reaksi pengenalan antigen-antibodi, yang 

merupakan reaksi non-kovalen bersifat reversibel. Antibodi juga dapat 

mengikat sel atau partikel, menyebabkan pembentukan agregat dalam reaksi 

aglutinasi. Aglutinasi memiliki efek menjebak mikroba dalam jaring molekuler, 

sehingga menghambat mobilitas mereka ,

Respon kekebalan humoral melibatkan netralisasi, secara langsung 

sebab  pengikatan oleh antibodi, patogen menjadi tidak aktif dan tidak mampu 

menyerang sel inang.  Selain itu ada  opsonisasi, yaitu pengaktifan sistem 

komplemen (melalui jalur klasik pengaktifan komplemen). Yang terakhir 

yaitu  sitotoksisitas dimediasi sel yang bergantung pada antibodi melibatkan 

penggunaan antibodi untuk penanda sel atau molekul untuk dihancurkan 

oleh elemen lain dari sistem kekebalan tubuh ,

Limfosit B, selain sangat penting untuk produksi antibodi, memiliki peran 

dalam presentasi antigen ke sel T. Sel B juga diperlukan untuk aktivasi sel CD4 

yang optimal. Sel B menghasilkan sitokin yang mengatur berbagai aktivitas sel 

T dan sel penyaji antigen atau APC ,

D. Respon Kekebalan Diperantarai Sel 

Limfosit T dapat dibagi menjadi sel T CD4 dan sel T CD8. Sel CD4 lebih 

lanjut dibagi menjadi TH1(T-Helper 1), TH2, TH17, dan Treg (regulatory T cell). 

Sel TH1 memediasi respon imun terhadap patogen intraseluler. Sel TH2 

memediasi pertahanan host terhadap parasit ekstraseluler, termasuk cacing. 

Keduanya juga penting dalam induksi asma dan penyakit alergi lainnya. Sel 

TH17 terlibat dalam respon imun terhadap bakteri ekstraseluler dan jamur. 

Sel Treg berperan dalam mempertahankan toleransi diri dengan mengatur 

respon imun 

Sel CD8 mampu membunuh sel target dengan mensekresi butiran 

yang mengandung granzyme dan perforin atau dengan mengaktifkan jalur 

apoptosis pada sel target. Sel-sel ini kadang-kadang disebut sebagai limfosit 

T sitotoksik . Sel T CD8 akan bersirkulasi memeriksa 

molekul MHC kelas I yang ada  pada semua sel bernukleus. Apabila MHC 

I menunjukkan antigen yang menandakan bahwa sel ini  terinfeksi, sel T 

CD8 akan langsung berikatan dengan MHC I dan mengeradikasi sel ini  


5.4 Imunoglobulin

A. Definisi

Imunoglobulin awalnya merupakan reseptor sel B (BCR), yang berupa 

monomer. saat  BCR mengikat epitop, akan timbul reaksi kaskade pensinyalan 

intraseluler yang dapat menyebabkan aktivasi sel-B. Selain itu, beberapa sel 

B yang telah diaktifkan akan berdiferensiasi menjadi sel-sel plasma, yang 

mensekresikan imunoglobulin dengan spesifisitas pengikatan epitop yang 

sama dengan reseptor awalnya 

Gambar 5.15. Struktur imunoglobulin 

Imunoglobulin semuanya terdiri dari struktur dasar yang sama, yaitu dua 

rantai berat, serta dua rantai ringan kappa (κ) atau lambda (λ). Masing-masing 

imunoglobulin tersusun atas rantai berat maupun ringan yang dihubungkan 

oleh ikatan disulfida , Rantai berat dan ringan masing-

masing memiliki daerah yang sangat bervariasi, yang memberikan spesifisitas 

imunoglobulin, dan daerah konstan, yang memiliki  urutan asam amino 

hampir sama di semua isotipe imunoglobulin (misalnya IgA, IgG) atau subkelas 

isotipe, misalnya IgG1, IgG2  

B. Jenis Imunoglobulin

Imunoglobulin dibagi menjadi lima subkelas atau isotip: imunoglobulin 

G (IgG), IgA, IgM, IgD dan IgE. Kelima subkelas imunoglobulin ini memiliki  

variasi rantai berat yang dibedakan menjadi gama (γ) yang spesifik di IgG, 

alfa (α) di IgA, mu (η) di IgM, delta (δ) di IgD dan epsilon (ε) dalam IgE Bentuk 

paling umum yaitu  IgG yang memberikan kontribusi sekitar 80% dari seluruh 

imunoglobulin di dalam serum. IgG dibagi lagi menjadi empat subkelas: IgG1, 

IgG2, IgG3 dan IgG4 

IgM biasanya diproduksi pertama sebagai respons terhadap antigen 

. IgM ditemukan baik dalam bentuk reseptor sel 

B yang berupa monomer, maupun disekresi oleh sel plasma dalam bentuk 

pentamer. Pada umumnya sel B yang belum teraktifkan akan mengekspresikan 

IgM di permukaan sel. Secara umum, lgM yaitu  imunoglobulin pertama yang 

dibentuk akibat paparan antigen ,

IgG diproduksi untuk periode yang lebih lama. 

Molekul IgG tersusun atas empat-rantai protein struktural (2 rantai berat dan 2 

rantai ringan) berukuran 150-kDa dan ditambah sekitar 3 persen karbohidrat. 

Ukurannya yang relatif kecil ini membuat IgG mampu berpindah ke ruangan 

ekstravaskular dan ditransport melalui plasenta. IgG merupakan antibodi yang 

diproduksi pada respon imun sekunder terhadap satu antigen yang sama 

IgA yaitu  imunoglobulin utama dalam sekresi, terutama pada saluran 

pencernaan , IgA dapat diprodiksi dalam bentuk 

monomer maupun dimer. IgA dalam bentuk monomer dapat ditemukan di 

serum. Namun, dengan penambahan segmen J pada rantai beratnya, IgA 

dapat diproduksi dalam bentuk dimer 

IgD dan IgE (terlibat dalam reaksi hipersensitivitas) yaitu  imunoglobulin 

berukuran kecil namun tidak dapat menembus pembuluh darah , IgD dapat berikatan dengan basofil sehingga memicu reaksi 

peradangan, juga memproduksi  IL-4, IL-13, B-cell activating factor (BAFF, 

CD272), dan proliferation inducing-ligand (APRIL, CD276) yang memicu 

pengaktifan sel B. Sementara itu, IgE diketahui mengalami peningkatan pada 

pasien dengan infeksi parasit 

C. Pembentukan Immunoglobulin

1. Antigen–receptor gene rearrangements

Imunoglobulin tersusun atas rantai berat (heacy chain), serta rantai 

ringan (light chain) tipe κ (kappa) dan λ (lamda) yang diekspresikan oleh 

gen pada kromosom 14, 2, dan 22 secara berturut-turut. Pada tahap  awal 

perkembangannya, gen rantai berat terdiri dari beberapa segmen, yaitu 

variable (V), diversity (D), joining (J), dan constant (C). Selama diferensiasi awal 

sel B, ada pengaturan ulang gen rantai berat sehingga salah satu segmen 

rantai berat V bergabung dengan salah satu segmen D, yang dikombinasikan 

dengan salah satu segmen J. Dengan demikian, terbentuk transkripsi yang 

bervariasi untuk rantai berat (Hoffbrand dan Moss, 2016).

Gambar 5.16. Pengaturan ulang gen rantai berat yang menghasilkan variasi pada 

imunoglobulin 


2. Sintesis Imunoglobulin

Sebagian besar imunoglobulin diproduksi oleh sel plasma dewasa, 

yang memiliki retikulum endoplasma kasar yang sangat banyak, aparatus 

Golgi yang berkembang baik, dan aktivitas transkripsi tinggi dari gen-gen 

immunoglobulin. mRNA hasil transkripsi untuk rantai berat disusun kembali dan 

disambung (rearrangement), sedangkan translasi untuk rantai ringan dilakukan 

pada kompleks ribosom yang terpisah. Pelipatan dan penggabungan bagian-

bagian imunoglobulin ini  dilakukan di RE kasar yang mengandung katalis 

redoks dan protein chaperon yang akan memandu proses pelipatan ini . 

lalu  glikotransferase menambahkan beberapa gugus karbohidrat untuk 

membentuk oligosakarida yang tersusun atas N-acetyl-glucosamine, mannosa, 

galaktosa, fruktosa, and sialic acid. Gugus ini membantu memfasilitasi transpor 

antibodi 

 

Trombosit

Trombosit (platelet) merupakan fragmen sel dengan ukuran yang sangat 

kecil, berbentuk kepingan dengan diameter sekitar 2-4 μm. Trombosit terbentuk 

dari hasil pemisahan tonjolan sitoplasma megakaryocyte, sebuah sel poliploid 

berukuran besar di sumsum tulang merah yang dapat menghasilkan sekitar 

2000-3000 fragmen sel. Setiap fragmen sel tersbeut lalu  memasuki 

sirkulasi sebagai trombosit dengan densitas 150.000 hingga 400.000 keping 

per μL (mm3) darah. Trombosit memiliki banyak vesikel tetapi tidak memiliki 

nukleus. Umur trombosit di sirkulasi tergolong singkat, sekitar 5 sampai 9 hari 

sebelum mengalami kematian dan difagosit oleh makrofag di hati dan limpa 

 Trombosit yang baru dilepaskan dari sumsum 

tulang merah untuk menggantikan trombosit tua yang mati atau rusak. 

Hormon thrombopoietin (TPO) yang dihasilkan hati berperan sangat penting 

dalam proses pembentukan megakaryocytes dan trombosit baru 

Trombosit memiliki banyak karakter fungsional sel meskipun tidak 

memiliki nukleus dan tidak dapat melakukan reproduksi sel. Sitoplasma 

tombosit mengandung berbagai macam molekul penting seperti :

1. Molekul aktin dan miosin yang merupakan protein kontraktil, serupa 

dengan protein yang ada  pada sel otot

2. Thrombostenin, juga merupakan protein kontraktil yang membuat 

trombosit dapat berkontraksi

3. Residu badan golgi dan retikulum endoplasma yang masih dapat 

melakukan fungsi sintesis enzim dan menyimpan ion kalsium dalam 

jumlah besar.

4. Mitokondria dan sistem enzim untuk melakukan respirasi aerob dan 

menghasilkan ATP juga ADP

5. Sistem enzim yang dapat menyintesis prostaglandin sebagai hormon 

lokal yang menyebabkan reaksi vaskular dan jaringan lain di sekitar 

trombosit ini .

6. Protein fibrin-stabilizing factor yang berperan penting dalam proses 

pembekuan darah

7. Faktor pertumbuhan (Trombosit Derived Growth Factor/PDGF) yang 

menyebabkan sel endotel pembuluh darah, sel otot pada pembuluh 

darah dan fibroblas dapat melakukan replikasi serta pertumbuhan untuk 

proses perbaikan jaringan/pembuluh darah yang rusak (Guyton & Hall, 

2006).

Gambar 5.17. Ilustrasi penampakan trombosit pada preparat apus darah di mana trombosit 

nampak sebagai fragmen sel yang bergerombol

Trombosit berperan