Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 39


 kan  sebuah 

pernyataan yang tegas bahwa bangsa Romawi tidak mempunyai hak untuk 

menguasai Israel, dan terutama Yerusalem. Yerusalem adalah milik Tuhan. 

Orang  Kristiani,  sebaliknya,  tidak  pernah  mempunyai  negara  sendiri: 

kerajaan yang mereka bicarakan adalah kerajaan spiritual, yang ada di dalam 

dimensi lain, bersebelahan dengan bangsa-bangsa dunia tempat mereka hidup. 

Itu adalah sebuah kota tanpa fondasi, yang dibangun oleh Tuhan, seperti yang 

ditulis oleh penulis Kitab Ibrani dalam Perjanjian Baru. Nama Kristiani sen￾diri  mengandung  arti  bahwa  mereka  menemukan  identitas  mereka  sebagai 

pengikut  Allah  manusia  yang  telah  disalibkan  di  Palestina—bukan  sebagai 

penduduk dari suatu tempat khusus. 

Para kaisar dan gubernur Roma tidak pernah memahami hal ini. Surat￾surat Plinius tidak hanya berhati-hati tetapi juga bingung:  Haruskah orang 

Kristiani  ini  dikejar-kejar  kalau  mereka  tidak  muncul?    Haruskah  mereka 

dibiarkan melaksanakan ritual-ritual aneh dari kepercayaan mereka di depan 

umum?  Bagaimana seharusnya ia menanggapi hal ini?

Traianus menyarankan sebuah kebijaksanaan—jangan tanya dan jangan 

memberi tahu; Plinius harus mengecilkan arti profesi umum orang Kristiani, 

tetapi ia tidak boleh mengejar-ngejar orang Kristiani untuk dibunuh. Kalau 

mereka bertingkah laku dengan damai, mereka harus dibiarkan damai. 

Ia tidak terlalu mencemaskan isu itu, sebagian karena ia cenderung me￾mandang keluar pada peperangannya. Di bawah Traianus, Kekaisaran Roma 

mencapai kebesarannya. Ia telah memperluas perbatasan-perbatasan Utara dan 

Selatan;  operasi militer terahkirnya adalah terhadap Partia, sekarang diperin￾tah oleh raja Vologases III. Di tahun 113, ia secara pribadi memimpin pasukan 

Roma ke Timur melalui Armenia, yang jatuh ke Roma dan menjadi sebuah 

provinsi Roma, dan langsung masuk ke tanah Partia di seberang sungai Efrat. 

Bangsa Partia dipaksa  mundur; Traianus  bergerak  masuk  ke  Mesopotamia, 

menguasai Babilon, dan mengambil ibu kota Partia, Ctesiphon. 

Ini  adalah  kemenangan  yang  besar,  tetapi  gurun  pasir  Mesopotamia 

terkenal sulit untuk dikuasai; lebih cocok untuk perang gerilya daripada me￾naklukannya dengan pasukan yang besar. Sampai tahun 117, Traianus tetap 

berada di Mesopotamia, menumpas pemberontakan Partia yang masih ber￾langsung, tetapi tidak pernah bisa melenyapkannya secara keseluruhan. Pada 

saat  yang  sama,  gangguan  dalam  negeri  sedang  menyulitkan  rakyat  Roma. 

Pada tahun 115, komunitas Yahudi yang tersebar di seluruh kekaisaran, dari 

Mesir ke arah Utara telah mengambil kesempatan dari kesibukan Roma men￾jajah  Partia untuk memberontak. Masada masih hangat dalam ingatan; dan 

orang  Yahudi  menginginkan  tanah  yang  diberikan  oleh Tuhan  itu  dikem￾balikan kepada mereka. Pemberontakan ini semakin lama semakin menjadi 

serius, sampai Traianus memberi izin kepada orang non-Yahudi di wilayah 

yang mengalami masalah untuk membunuh tetangga Yahudi mereka, suatu 

pembunuhan massal yang sementara  meredakan masalah itu. 

Meskipun begitu ia memutuskan bahwa ia lebih baik menunda operasinya 

di Partia sampai waktu yang lebih menguntungkan; dan karena itu ia mena￾rik pasukannya kembali dan mulai pulang. Ia baru sampai sejauh Asia Kecil. 

Di  Cilicia,  ia  mengalami  stroke  dan  wafat  hampir  seketika  pada  tanggal  9 

Agustus 117. Ia berusia enam puluh empat tahun. 

Ada  kebingungan  siapa  yang  akan  naik  tahta  kemudian,  karena Traianus 

tidak  meninggalkan  arahan-arahan  yang  jelas.  Orang  yang  di  bawah  wali￾nya yang sah adalah Hadrianus, sekarang gubernur Suriah, mengakui bahwa 

Traianus sudah berharap ia akan menjadi kaisar selanjutnya, meskipun be￾berapa teman Traianus mengaku bahwa ia bermaksud untuk menunjuk orang 

lain atau bahwa ia dengan sengaja tidak meninggalkan pilihan supaya orang 

yang terbaik mungkin akan bisa menang. Karena tidak ada calon yang jelas 

untuk menggantikan Hadrianus—dan karena Hadrianus sudah menuju ke 

Roma ketika keraguan-keraguan mulai menyebar—Senat mengesahkannya. 

Dan begitu berada di Roma, Hadrian memperkuat kenaikan tahtanya dengan 

cara yang biasa dilakukan yaitu membayar sejumlah uang yang besar kepada 

para Pengawal Praetoria:  “Para serdadu meyukainya karena perhatiannya yang 

sangat besar terhadap angkatan perang,” Sejarah Agustan dari abad keempat 

menyimpulkan, “dan di samping itu karena kebebasan yang sangat besar yang 

diberikannya kepada mereka.”

Dalam  pemerintahannya  yang  kedua  puluh  satu,  Hadrianus  membuk￾tikan dirinya sebagai seorang yang hati-hati dan konservatif, seorang kaisar 

yang sedang-sedang saja, tidak banyak disukai tetapi tidak secara khusus di￾takuti.  Perangnya  yang  terbesar  terjadi  bukan  karena  adanya  agresi,  tetapi 

karena salah tafsir; ia mencoba untuk membangun sebuah ibu kota baru di 

atas  puing-puing  Yerusalem  dan  bahkan  merencanakan  untuk  meletakkan 

kuil Yupiter di lokasi Kuil Kedua. 

Ini menyulut pemberontakan besar orang Yahudi lagi, yang  (dalam kata￾kata Dio Cassius) merupakan “sebuah perang yang tidak penting tetapi juga 

tidak  pendek  jangka  waktunya.”10  Pemimpin  dari  pemberontakan  Yahudi 

ini adalah Simon Bar Kochba, seorang pakar sejarah gereja Esusebius yang 

menerangkan bahwa ia memiliki  “karakter seorang perampok dan seorang 

pembunuh,” yang bagaimana pun juga menjanjikan pada orang Yahudi bahwa 

ia akan “membawa cahaya ke tengah-tengah nasib buruk mereka.”11

Hadrianus mengirimkan jenderal-jenderalnya yang paling berpengalaman 

untuk menumpas revolusi itu. Mereka mengobarkan perang dalam perang￾perang  kecil  melawan  gerilyawan  Yahudi  di  pos-pos  terdepan  mereka  di 

seluruh negeri:  “mencegat kelompok-kelompok kecil … melucuti makanan 

mereka  dan  mengurung  mereka.  “Strategi  ini  menyebabkan  penghancuran 

mutlak  di  Tanah  Terjanji.  “Lima  puluh  pos  terdepan  mereka  yang  paling 

penting  dan  985  desa-desa  mereka  yang  paling  terkenal  diratakan  dengan 

tanah,” tulis Eusebius; “580,000 orang dibantai dalam berbagai serbuan dan 

peperangan, dan jumlah mereka yang hilang karena kelaparan, penyakit, dan 

kebakaran tak terkira. Jadi hampir seluruh Yehuda rusak.”12

Ini merupakan kemenangan Hadrianus yang terbesar , tetapi itu adalah 

tindakan pembelaan diri. Ia juga tidak berusaha untuk mengambil kembali 

tanah Partia yang sudah dijajah oleh Traianus. Ia ingin menutup perbatasan 

Roma di mana mereka berada. Sikap terhadap seluruh kekaisaran ini khas 

terlihat dalam tindakannya di Britania, ketika ia memutuskan bahwa mem￾bangun sebuah tembok sepanjang Skotlandia merupakan ide yang bagus.  

Pembangunan  Tembok  Hadrianus  dimulai  pada  tahun  122.  Sepuluh 

tahun kemudian, tembok itu hampir seluruhnya selesai. Tembok itu berdiri enam meter tingginya dan dibangun 

sepanjang puncak-puncak bukit, se￾hingga tanah di sisi-sisi luarnya turun 

menjauh,  ketinggiannya  menju￾lang  tinggi. Dan terbentang sampai 

jauh ke Laut Utara ke Laut Irlandia, 

membuat  Britania  seperti  memakai 

ikat  pinggang  di  tengahnya,  sepan￾jang seratus dua belas kilometer. 

Tembok  itu  memang  berhasil 

menahan  bangsa  Celt  dari  Utara 

(bangsa Picts yang menyulitkan dan 

suka perang) yang ingin menyerang 

provinsi  Roma  di  Britania,  yang 

sekarang  sudah  menyebar  jauh  ke 

pulau itu. Tetapi Tembok itu adalah 

lebih  daripada  sebuah  perbatasan. 

Tembok  itu  adalah  pembagi  yang 

tidak  tetap  yang  tidak  mengikuti 

sebuah sungai atau perbatasan alam, 

dan  tembok  itu  merupakan  suatu 

deklarasi:  D sini, di balik tembok, 

adalah Roma; di sana, di baliknya bukan milik Roma. Tidak ada zona pena￾han di tengahnya, tidak ada transisi. 

Seperti  penjajahan  Armenia,  pembangunan  Tembok  ini  menunjukkan 

bahwa orang Roma semakin tidak mau bersabar dengan identitas yang tidak 

jelas. Rakyat kekaisaran Romawi adalah warga negara Roma secara penuh, 

jika  bukan  warga  negara,  mereka  adalah  musuh  Roma.  Masa-masa  perlin￾dungan kerajaan sudah lewat; mereka ditarik masuk ke dalam kekaisaran se￾bagai provinsi penuh, atau dihancurkan sama sekali. 

G A R I S WA K T U 8 2

ROMA    PARTIA                                                 

                                 

          

JUDEA

Caligula, princeps (41)

Vologases I

Nero Princeps (54)

Galba, princeps (68)

Vespasianus, princeps (69)

Titus, princeps (79)

Domitianus, kaisar (81)

Nerva, kaisar (96)

Traianus, kaisar (98)

 

Hadrianus, kaisar (117)

Vologases III

Destruction of Second Temple

Siege at Masada




Pada  tahun 88 , tahun  putra Mingdi, Zhangdi, Dinasti 

Han telah mendapatkan kembali sebagian besar dari kejayaannya yang lama. 

Negara-negara Barat sudah dijajah sejauh perbatasan Partia, dan perdagangan 

sepanjang Jalan Sutera telah mengisi kekaisaran dengan kesejahteraan. Bahkan 

tidak adanya raja dewasa yang menggantikan tempat Zhangdi—pada saat 

kematiannya, penerusnya Hedi baru berumur sembilan tahun—sepertinya 

bukan sebuah bencana, karena sudah terbiasa sejak fase awal dari pemerintah￾an Han. China sangat beruntung mendapatkan seorang pengawas yang baik: 

Pan Ch’ao, si serdadu tua, yang sudah hadir sejak zaman ayah Zhangdi dan 

mengetahui banyak tentang cara memerintah seperti kaisar lain. 

Di tahun 91, pada usia dua belas, Hedi memerintah sida-sida istana untuk 

membunuh keluarga ibunya, yang ingin mengambil kesempatan atas usia 

mudanya untuk memaksa masuk dan mendapatkan jabatan-jabatan peme￾rintahan. Kita mungkin dapat mencatat kezaliman ini dari Pan Ch’ao, yang 

mengawasi anak asuhnya, dan yang ingat bahwa Dinasti Han pernah digu￾lingkan oleh saudara-saudara dari permaisuri pewaris. 

Ini adalah penampilan pertama dengan adegan kelompok kekuasaan yang 

baru: sida-sida istana. Penggunaan sida-sida istana untuk bekerja melayani 

keluarga kerajaan adalah bagian dari strategi untuk memastikan kesetiaan 

para pembantu raja; karena mereka dikebiri, mereka tidak mempunyai ambisi 

(secara teoritis) untuk merebut tanah, kekayaan, atau kekuasaan atas nama 

anak-anak mereka atau marga. Diperkirkan, ada dua ribu sida-sida di keluarga 

istana Han, dan mereka sudah mendapat kepercayaan kaisar.1

Hedi meninggal di tahun 105, masih dalam usia dua puluhan, tanpa 

pewaris yang sah; tidak seoran pun dari istrinya hamil. Salah satu selir istana

memang mempunyai seorang putra dari kaisar;  bayi ini, si kecil Shangdi, 

meninggal sebelum ia berumur satu tahun. Saudara yang paling dekat yang 

masih  ada  adalah  keponakan  Hedi,  Andi,  yang  berusia  dua  belas  ketika  ia 

mengambil alih tahta di tahun 106. Tetapi tidak seperti pamannya, ia tidak 

mempunyai wali yang selalu siap mengawasinya. Pan Ch’ao sudah meninggal 

di tahun 102, setelah seumur hidupnya mengalami perang yang membawa￾nya ke Barat sejauh Laut Kaspia.2

Sekali  lagi,  saudara-saudara  yang  kuat  bergerak  di  belakang  layar.  Andi 

sudah menikah, ketika masih anak-anak, dengan seorang putri dari seorang 

pejabat  yang  ambisius.  Setelah  itu,  ia  dianjurkan  untuk  menyerahkan  ke- 

putusan-keputusan politik kepada keluarga istrinya. 

Sampai tahun 146, seluruh suksesi dari para penguasa yang terlalu muda 

dinaikkan ke atas tahta oleh seorang keluarga bangsawan yang ambisius ke 

bangsawan lain  Putra Andi, Shundi dimahkotai tahun 125, pada usia sepuluh 

tahun; putranya, Chongdi, dimahkotai ketika ia belum genap berumur seta￾hun, dan meninggal sebelum ia berusia tiga tahun; ia diteruskan oleh saudara 

sepupu-ketiganya, Zhidi, yang berusia tujuh tahun, yang diracun ketika ia 

berumur  delapan  dan  digantikan  oleh  sepupunya  yang  lain,  Huandi,  yang 

berusia empat belas tahun. 

Selama tahun-tahun ini, China Han dikuasai oleh para paman, sepupu, 

bibi, dan siapa pun yang dapat meletakkan jarinya dalam kue. Kebijaksanaan￾kebijaksanaan  Huandi  sendiri  diputuskan  untuknya  oleh  kakak  istrinya,  si 

ambisius Liang Ji, yang sudah memerintah ibu kota Loyang untuk beberapa 

tahun.  Dicopot  dari  kekuasaannya,  Huandi  mundur  sama  sekali  ke  dalam 

istana, mengabaikan semua keputusan politik, menolak untuk tidur dengan 

istrinya,  dan—ternyata—mempererat  persahabatan  dengan  para  sida-sida 

istana. 

Para sida-sida ini sudah mendapatkan semakin banyak kekuasaan, berkat 

perubahan-perubahan dalam status hukum mereka. Beberapa dasawarsa sebe￾lumnya, seorang sida-sida mengadopsi seorang putra, ini bukan hal yang tidak 

biasa. Tetapi ketika si sida-sida meninggal, ia meninggalkan tanahnya untuk 

putra  adopsinya.  Untuk  pertama  kali,  si  putra  boleh  mendapatkan  tanah 

itu. Dua dasawarsa kemudian, seorang sida-sida diperbolehkan menurunkan 

gelar kehormatannya kepada putra adopsinya.

3

 Ini semua bukan perubahan- 

perubahan  kecil.  Mereka  memperbolehkan  sida-sida  untuk  menciptakan 

sebuah  marga  sendiri—sebuah  marga  yang  dibentuk  karena  adopsi  bukan 

karena perkawinan, trtapi tetap sebuah marga. Dan tidak seperti marga lain, 

sida-sida istana mulai mengumpulkan kekayaan, estat, dan ambisi. 

Di tahun 159, Huandi memberikan tugas kepada lima sida-sida yang ke￾setiannya sudah dikelolanya: mereka harus membunuh kakak iparnya, dan 

ia akan memberi mereka hadiah gelar maupun tanah. Istrinya baru saja me￾ninggal, ikatan darahnya dengan Liang Ji sudah putus, dan ia menginginkan 

tahtanya kembali. 

Kelima  sida-sida  memobilisasi  pengawal  istana  dan  mengelilingi  rumah 

Liang Ji. Ia bunuh diri sebelum mereka mendobrak masuk dan dapat mem￾bunuhnya, tetapi seluruh keluarganya dibantai. Pembersihan ini melebar ke 

seluruh marga. 

Tetapi kembalinya Huandi ke dalam kekuasaan sudah terlambat. Dalam 

dasawarsa-dasawarsa ketika para wali mendominasi China, tidak ada orang 

yang  menaruh  perhatian  pada  negara-negara  bagian  yang  melarikan  diri. 

Tanpa diawasi, sistem jasa yang dilembagakan oleh Guang Wudi telah mulai 

memukul balik. Sistem itu meletakkan pemerintahan provinsi China ke ta￾ngan  orang-orang  yang  lebih  terlatih  dan  cakap  daripada  para  bangsawan. 

Tetapi orang-orang yang cakap itu juga ambisius. Kebanyakan dari mereka, 

semakin lama semakin  menguasai tanah dari mereka yang tidak dapat mem￾bayar  pajak,  dan  kemudian  membiarkan  para  penghutang  terus  mengelola 

pertanian itu.4

Ini  seluruhnya  sah,  dan  juga  lebih  manusiawi  (dan  lebih  produktif) 

daripada  melemparkan  para  penghutang  ke  dalam  penjara.  Tetapi  sebagai 

akibatnya, para pejabat pemerintah yang sudah mengumpulkan tanah-tanah 

yang luas dan mempekerjakan para penghutang,  menjadi semacam petani 

feodal yang baru. Sudah sifat manusia untuk kemudian meneruskan tanah 

itu kepada para putra dan cucunya. Pelan-pelan, sebuah jaringan lain yang 

terdiri  dari  keluarga-keluarga  berkuasa  yang  memiliki  tanah  bertambah 

banyak.  Nama-namanya  lain  daripada  mereka  yang  berasal  dari  keluarga- 

keluarga besar seabad sebelumnya, tetapi akibatnya sama saja:  para pemilik 

tanah yang kaya menguasai estat yang luas dan petani miskin yang bekerja 

di tanah tidak mempunyai kekuasaan untuk memprotes upah mereka yang 

rendah. Para pemilik tanah sudah mulai menyewa sekolompok pengawal ke￾amanan untuk menjaga keselamatan estat mereka—kelompok yang tumbuh 

menjadi seperti pasukan pribadi.5

Pada saat yang sama, pembukaan jalan ke Barat membawa masuk lebih 

banyak perniagaan. Para pedagang ( yang di bawah sistem Hanyang asli di￾anggap sebagai parasit dan perantara) sekarang bisa mendapatkan kekayaan 

besar.6

    Ini  adalah  sebuah  fenomena  yang  dikeluhkan  oleh  seorang  sarjana 

Wang  Fu,  yang  meninggal  sekitar  tahun  165:    dalam  Qianfu lun,  “Kritik 

dari  Orang  yang Tersembunyi”  (dia  tidak  pernah  berhasil    untuk  menjadi 

pejabat), dalam bab “Dalam kemewahan yang luar biasa,” ia mengeluh bahwa 

perniagaan telah menggantikan pertanian sebagai pekerjaan yang paling meng- 

untungkan.  Dan  perniagaan  dibangun  sebagian  di  atas  punggung  pekerja 

buruh  pertanian  yang  malang,  yang  harus  membayar  pajak  yang  semakin 

tinggi sehingga Jalan Sutera dapat dipelihara sepanjang jalan ke arah Barat, 

dan dipenuhi oleh garnisun untuk menjaga keselamatan karavan milik para 

pedagang dari bandit. 

Huandi  tidak  berbuat  banyak  untuk  mengatasi  masalah-masalah  ini.  Ia 

wafat  di  tahun  168,  meninggalkan  tahta  dan  semua  masalah  Dinasti  Han 

kepada putranya Lingdi, yang berusia dua belas tahun. 

Ibu Lingdi, Permaisuri Pewaris Dou, adalah istri ketiga Huandi. Ia bertindak 

sebagai wali putranya, dan karena Lingdi masih terlalu muda, ia mengetahui 

bahwa ia akan menjadi pengawas untuk beberapa waktu. Kecemasannya yang 

terbesar  adalah  kekuasaan  para  sida-sida  istana,  yang  sudah  mendapatkan 

semakin banyak kekayaan dan kekuasaan di bawah pemerintahan Huandi. 

Sebenarnya, sekelompok sida-sida istana sudah membentuk di antara mereka 

semacam marga sukarela, disilang dengan masyarakat rahasia: yang disebut 

Sepuluh Pembantu Tetap, dan anggotanya diharuskan untuk mengambil se￾banyak mungkin dari kaisar untuk mereka sendiri. 

Satu dari penasehatnya adalah seorang sarjana ajaran Konfusius bernama 

Chen  Fan,  yang  mengusulkan  bahwa  yang  paling  aman  untuk  kekaisaran 

adalah kalau semua sida-sida dihilangkan saja. Berita tentang nasihat ini sam￾pai ke telinga para sida-sida. Ke-Sepuluh Pembantu Tetap  dan sekutu mereka 

menyerbu  istana,  menjaga  permaisuri  pewaris,  dan  memberitahu  Lingdi 

muda bahwa mereka datang untuk membebaskannya dari pengaruh ibunya 

dan menjaga keselamatannya. 

Permaisuri Pewaris tetap dijaga sampai empat tahun. Ketika beliau me￾ninggal di tahun 172, terdengar kabar secara luas bahwa ia sudah dibunuh 

oleh Cao Jie, pemimpin dari Sepuluh Pembantu Tetap. Sementara itu, Lingdi 

menjadi  begitu  percaya  kepada  sang  Sepuluh  sehingga  ia  memanggil  salah 

satu dari mereka, orang yang paling dibenci Zhang Rang, yang mempunyai 

gelar kehormatan “Ayah Tiriku.”

Tidak ada yang memimpin bangsa  China Han, dan penurunan ekono￾minya segera dibarengi oleh bencana alam. Penyakit yang mewabah di tahun 

172 diikuti pertama kali oleh banjir, dan kemudian wabah belalang datang 

menyerang . Di tahun 177, suatu operasi militer melawan para suku barbar 

berakhir dengan malapetaka. Dua tahun kemudian, di tahun 179, epidemi 

lain menyapu seluruh negeri. 

Ini  adalah  semacam  pertanda  buruk  yang  telah  membawa  dinasti  baru 

Wang Mang turun. Pada zamannya, Si Alis Merah sudah melawan orang kaya 

yang sembrono; sekarang lingkaran kejahatan mulai lagi. Sekarang sekelom￾pok petarung kemerdekaan, Turban Kuning, mengambil bendera si miskin 

dan tertindas. 

Kelompok Turban Kuning adalah lebih dari kelompok perampok seder￾hana: mereka adalah sekte milenial (masa seribu tahun) yang mengharapkan 

kedatangan zaman keemasan. Ribuan orang China yang hidup keras tak ter￾katakan  dan  kehidupan  yang  suram  sedang  mencari  keadilan  untuk  solusi 

politis, dengan harapan yang sama yang ditawarkan oleh Kelompok Turban 

Kuning. Pemimpin mereka, seorang guru ajaran Dao bernama Chang Chueh 

mengaku bahwa ia mempunyai kekuatan magis. Ia mengumumkan bahwa 

ia dapat menyembuhkan penyakit, suatu janji yang indah untuk rakyat yang 

sudah menderita melewati epidemi yang begitu mengerikan. Ia menjanjikan 

bahwa jika mereka memakan obat-obatannya, mereka akan kebal dari luka￾luka  dan  dapat  bertempur  dalam  perang  tanpa  takut,  dan  sebuah  gagasan 

yang  sama  hebatnya  bagi  mereka  yang  tidak  dapat  berbuat  apa-apa,  tidak 

mempunyai senjata dan lemas karena kelaparan.7

Pada tahun 182, kelompok Turban Kuning mendapat pengikut lebih dari 

tiga ratus lima puluh ribu orang China yang miskin, putus asa, tidak punya 

tanah dan marah. Pada tahun 184, mereka bersiap untuk bangkit dan bertem￾pur melawan penindas mereka. G A R I S WA K T U 8 3

ROMA CHINA

Nero, princeps (54)

 Mingdi

Galba, princeps (68)

Vespasianus, princeps (69)

Titus, princeps (79) Zhangdi

Domitian, kaisar (81)

 Heidi

Nerva, kaisar (96)

Traianus, kaisar (98)

 Andi

Hadrianus, kaisar (117)

 Shundi

  Chongdi

 Zhidi

 Huandi

 Lingdi (168)

    Rise of the Yellow hurbans





Pemerintahan hadrianus yang tidak agresif diikuti oleh lebih dari 

jenis pemerintahan yang sama. Pada tahun 138, ia mengadopsi seorang 

pewaris: Antonius Pius, seorang politisi setengah umur yang sudah bekerja 

sebagai konsul maupun gubernur. Pius berumur lima puluh dua tahun dan 

ayah adopsinya berumur enam puluh dua. 

Dengan cara yang sama, Agustus mengadopsi menantunya, Tiberius, dan 

Claudius mengadopsi Nero. Adopsi semacam ini tidak ada hubungannya 

dengan pengasuhan. Ini menciptakan suatu “pertalian darah” dalam hukum, 

semacam ikatan yang sama yang digunakan oleh para sida-sida Dinasti Han 

untuk menciptakan marga mereka sendiri. Bagi para kaisar Roma, itu adalah 

cara yang berguna untuk menggabungkan manfaat yang besar dari sukse￾si—bapak-kepada-putranya (selalu jelas sekali siapa yang akan menjadi kaisar 

selanjutnya) dengan gagasan republik yang besar bahwa hanya orang yang 

layak yang dapat berkuasa. Adopsi membiarkan setiap kaisar menurunkan 

tahtanya tidak kepada putra yang dimilikinya tetapi kepada putra yang di￾harapkannya.

Seperti Hadrianus, masa kekuasaan Antoninus Pius cukup panjang dan 

tidak ada peristiwa apa-apa, peristiwa yang paling menarik selama dua puluh 

lima tahun pemerintahannya adalah suatu festival yang besar di tahun 148, 

perayaan ulang tahun ke 900 Roma.1

 Pius sendiri secara resmi mengadopsi 

tidak hanya satu tetapi dua pewaris: keponakannya, Markus Aurelius, dan 

seorang  anak  laki-laki  lain  berumur  sembilan  tahun  lebih  muda,  Lucius 

Verus.

Ketika Pius meninggal di tahun 161, pewarisnya yang lebih tua Markus 

Aurelius berusia empat puluh tahun. Ia sudah menyelesaikan tugasnya sebagai 

seorang politisi, termasuk setahun sebagai konsul, tetapi ia tidak menyukai 

politik. Ia adalah orang yang sangat introver, seorang sarjana yang alamiah 

(Sejarah Agustan abad keempat mengatakan bahwa ia sudah “menaruh minat 

yang luar biasa pada filsafat” sebelum berusia dua belas),2

 dan ia tidak terlalu 

antusias untuk menjadi kaisar Roma. Ia “dipaksa oleh Senat” untuk mengam￾bil tugas yang sudah ditunjuk untuknya, dan ia menawar dengan membuat 

adiknya Lucius Verus, yang sudah bertugas sebagai konsul, sebagai kaisar ber￾sama.3

Segera setelah itu keduanya terpaksa berurusan dengan perang. Bangsa Partia 

yang bergerak lagi; Raja Vologases IV, yang mungkin dipanasi oleh ketenangan 

dua  kaisar  sebelumnya,  sudah  bergerak  melalui  Armenia  (yang  direbutnya) 

dan menjajah Suriah. Bangsa Partia mendapat sambutan di Suriah, sebagian 

besar dari orang Yahudi yang berhasil melarikan diri dari pembunuhan massal 

yang terjadi menyusul pemberontakan Bar Kochba, dan berhasil mengalahkan 

garnisun Roma yang ditempatkan di sana. Lucius Verus mengambil komando 

dari pasukan Romawi dan bergerak ke arah Timur, sedangkan Markus Aurelius 

mengawasi garis depan di rumah. Pada tahun 162, Lucius masih berada di 

Suriah,  dan  bertempur  dalam  pertempuran yang  efektif melawan kekuatan 

Partia. Ia sendiri menjelajah ke Armenia dan berhasil merebutnya kembali; 

sementara itu salah satu komandannya berge-rak ke Tenggara dengan divisi 

lain, menjelajah Mesopotamia dan merebut Ctesiphon, Vologases IV mundur, 

kehilangan istananya, yang dirusak oleh orang Romawi. 

Para pasukan kembali ke Roma dengan kemenangan di tahun 166, dan 

membawa wabah bersama mereka. Penyakit itu sudah menyapu seluruh kota 

pada saat pawai kemenangan berakhir. 

Dokter Yunani, Galen, yang datang ke kota pada tahun 168, karena pang￾gilan  putus  asa  dari  para  kaisar,  menulis  ceritanya  sendiri  tentang  wabah 

itu dalam sebuah risalah yang disebut Methodus Medendi. Ia menggambar￾kan pasien-pasiennya menderita demam, sakit leher, dan pustules: “Wabah 

Antoninus” ini dalam segala hal mirip dengan cacar. Epidemi ini terus ber￾langsung  selama  tiga  tahun  penuh  dan  memakan  korban  dua  ribu  orang 

meninggal sehari pada saat puncaknya, dan begitu banyak mayat yang harus 

dibuang sehingga Markus Aurelius melarang pembangunan kuburan baru dan 

memaksa  orang-orang  Roma  menyeret  keluarganya  yang  meninggal  keluar 

dari kota.4

 Penyakit itu tetap ada di kota selama bertahun-tahun sesudahnya. 

Di tengah-tengah hal ini, dengan pasukan yang sangat lemah karena pe￾nyakit,  suku-suku  sepanjang  sungai  Danube  mengambil  ksempatan  untuk 

menyerang garis depan Roma. Kedua kaisar pergi untuk mengatasi ancaman 

itu, tetapi pasukannya sudah dikalahkan sebelum mereka tiba. Malapetaka 

masuk ke rumah, ketika Lucius Verus tiba-tiba mengalami kejang-kejang dan 

meninggal sebelum ia sempat dibawa kembali ke Roma. 

Markus  Aurelius  pulang  ke  kota  dengan  mayat  adik  adopsinya  dan 

pe-mimpin bersama, dan ia menguburnya dengan baik. Kemudian ia kem￾bali  ke  Danube  Ia  menghabiskan  seluruh  sisa  pemerintahannya—kecuali 

perjalanan-perjalanan pulang ke Roma untuk mengurusi urusan kekaisaran, 

dan  satu  perjalanan  ke  perbatasan Timur  untuk  mengatasi  rumor  tentang 

pemberontakan—di  provinsi  Jerman,  bertempur  melawan  serbuan-serbuan 

yang semakin menyebar dan menjadi-jadi. 

Ketidakhadiran  di  ibu  kota  sering  menjadikan  seorang  kaisar  tidak  po￾puler, tetapi Markus Aurelius sendiri mendapatkan reputasi yang baik karena 

dapat menjaga keamanan kekaisaran, dan memperlakukan rakyatnya dengan 

lembut. Ketika perbendaharaannya terkuras oleh peperangan yang terus ter￾jadi di daerah Utara, ia lebih memilih melelang perabotan rumah tangganya, 

piring-piring emasnya, dan intan-permatanya dari istana kekaisaran, daripa￾da menaikkan pajak; karena perbuatannya itu, ia lebih disukai lagi. (Sejarah 

Agustan mengatakan bahwa ia bahkan menjual “pakaian sutera dan bordiran 

emas istrinya,” yang mungkin tidak begitu diperlukan di rumah.)5

Kehidupan  di  perkemahan  tentara, yang  jauh sekali  dari  ibu  kota yang 

dipenuhi oleh obrolan para senator dan keberisikan masyarakat Roma, sebe￾tulnya adalah tempat tinggal yang lebih dipilihnya. Dalam tahun-tahun selama 

ia berada di garis depan Jerman, Markus Aurelius dapat menghabiskan wak￾tunya dalam bidang kesukaannya filsafat; tulisan-tulisan filsafatnya, Meditasi 

Markus Aurelius, merupakan salah satu karya klasik Stoisisme. Ini merupakan 

renungan dari orang yang terjebak dalam tugasnya, menjunjung beban se￾buah kekaisaran di mana ia akan merasa paling bahagia kalau berada jauh dari 

tempat itu. “Marilah kita tidak membedakan apakah kita dingin atau hangat,” 

tulisnya,  “apakah  kita  sedang  melaksanakan  tugas;  atau  sedang  mengantuk 

atau tidur nyenyak, dicaci atau dipuja, sedang sekarat atau sedang melakukan 

hal lain.”6

 “Berusahalah supaya kita jangan sampai dijadikan kaisar,” tambah￾nya kemudian, “jangan sampai kamu ternoda oleh pewarna seperti itu, karena 

hal-hal seperti itu terjadi. Tetaplah sederhana, baik, murni, serius, bebas dari 

kepura-puraan, sahabat keadilan.”7

Ia sendiri tidak pernah menginginkan untuk menjadi kaisar, mungkin ini 

menjawab dorongannya yang terlalu dini terhadap putranya untuk memasuki 

kepemimpinan. Markus Aurelius menjadi ayah dari empat belas anak (gosip 

mengatakan  bahwa  lebih  dari  beberapa  anak  itu  dikandung  oleh  istrinya 

sewaktu ia tidak berada di tempat; Sejarah Agustan mengatakan bahwa suatu 

kali ia menangkap basah istrinya sedang makan pagi dengan seorang tamu 

yang  menginap  dan  berpura-pura  tidak  tahu),8

  tetapi  Commodus  adalah 

satu-satunya  putra  yang  hidup  melewati  umur  empat  tahun.  Ia  menunjuk 

Commodus  sebagai  pewarisnya  ketika  anak  itu  baru  berusia  lima  tahun, 

dan pada tahun 176, ketika Commodus berusia lima belas, ia menyatakan 

Commodus sebagai kaisar-bersama. Markus Aurelius tidak hidup lama lagi. 

Beberapa waktu kemudian ia menderita sakit, kemungkinan karena kanker; 

Dio Cassius mengatakan bahwa ia menjadi terbiasa memakai obat-obatan se￾cara teratur yang membuatnya dapat mengatasi sakitnya, ini mungkin berarti 

ia sudah kecanduan opium.9

 Pada tahun 180, setelah sakit berat selama satu 

minggu, ia wafat di garis depan.  

Commodus,  yang  menjadi  kaisar  pada  usia  sembilan  belas, 

segera  menegosiasikan  perdamaian  dengan  bangsa  Jerman, 

memberhentikan  operasi  militer  di  perbatasannya,  dan  kembali  ke  rumah. 

Ia adalah putra kan-dung pertama yang mewarisi tahta sejak Domitian, dan 

karenanya itu lebih baik untuk Roma. Sistem mengadopsi kaisar pewaris meng- 

hindarkan kesukaran yang tersembunyi dari masalah kedudukan raja secara 

keturunan; begitu seorang pemerintah yang bijaksana dan efisien menguasai 

tahta, ia cenderung menunjuk seorang pewaris yang kualitasnya sama. 

Tapi  Markus  Aurelius  mema￾tahkan sistem itu. Posisi Commodus 

sebagai  kaisar  adalah  malapetaka 

terbesar  yang  menimpa  Roma 

selama abad itu, dan kesalahan se￾orang ayah yang terlalu menyendiri 

sehingga  tidak  memperhatikan 

pribadi-pribadi  di  sekitarnya. 

Sifatnya  yang  pendiam,  mengang￾gap  persahabatan  mele-lahkan, 

Markus Aurelius tidak menemukan 

seorang  pun  untuk  bisa  menggan￾tikannya;  ia  membuat  kesalahan 

dengan memilih pewaris yang ber￾hubungan darah saja, karena lebih 

gampang. 

Tingkah-laku  Commodus 

merosot hampir sejak ia naik tahta. 

Dalam  prosesi  kepulangannya  ke 

Roma, ia membawa kekasih prianya 

dalam  keretanya  dan  menciumnya 

pada waktu pawai. Homoseksualitas 

bukan hal yang luar biasa di Roma, 

tetapi itu dianggap bersifat keyuna￾nian, jadi feminin; kalau ingin mempunyai pacar laki-laki, lebih baik jangan 

memamerkannya di depan umum.  

Berbagai  kekeliruannya  setelah  itu  menjadi  makanan  legenda.  Ia  me￾ngumpulkan harem yang mempunyai kesempatan sama terdiri dari tiga ratus 

wanita dan tiga ratus laki-laki muda; ia memaksakan permainan pertarung￾an gladiator, ia sendiri mengenakan pakaian gladiator; ia membunuh salah 

satu dari saudara perempuannya dan memaksa yang lain tidur dengannya; ia 

berjalan-jalan mengelilingi Roma memakai “pakaian wanita dan kulit singa,” 

memukuli  para  warga  negara  dengan  tongkat  pemukul.10  Tetapi  kalau  ia 

sedang  gila,  ia  tidak  seluruhnya  lepas  dari  kenyataan:  “Ia  biasa  membakar rambut dan janggutnya karena takut pada tukang cukur,” menurut Sejarah 

Agustan, ini berarti ia tahu kemungkinan orang akan membunuhnya karena 

tingkah lakunya. 

Seluruh Roma menentukan bahwa ia pastilah hasil hubungan perseling￾kuhan  ibunya  dengan  seorang  gladiator;  ia  tidak  mungkin  bertalian  darah 

dengan Markus Aurelius yang suci. Ini menjadi alasan untuk membunuh se￾orang  kaisar  yang  sah.    Pada  tahun  192,  salah  seorang  anggota  istana  dan 

selir-selirnya meracuninya. Ketika ia tidak langsung mati, mereka pergi men￾jemput seorang pegulat untuk mencekiknya. 

Perang  saudara  meletus  pada  saat  kematiannya.  Antara  tahun  192  dan 

193, empat orang yang berbeda mencoba untuk mendapatkan dukungan dari 

Pengawal Praetoria. Pemenangnya adalah seorang jenderal yang memimpin 

sebuah  pasukan  di  dekat  garis  depan  Danube  yang  bermasalah:  Septimius 

Severus, seorang laki-laki kecil yang bersemangat yang lahir di Afrika Utara 

dan  sudah  pernah  bekerja  sebagai  Senat  di  masa  pemerintahan  Markus 

Aurelius. 

Ia  bergerak  menuju  Roma  dengan  pasukannya,  tetapi  bahkan  sebelum 

ia tiba, Senat sudah menjadikannya kaisar. Ia memasuki gerbang pada tang￾gal  10  Juni,  dan  segera  mengambil  langkah-langkah  untuk  mengamankan 

posisinya;  ia  memanggil  Pengawal  Praetoria  untuk  mengadakan  pawai 

upacara  (yang  berarti  mereka  datang  tanpa  senjata)  dan  kemudian  mem￾bawa senjatanya sendiri, pasukan yang bertemperamen Jerman mengepung 

mereka. Setiap pengawal yang dicurigai lebih menginginkan calon lain diberi 

peringatan  untuk  meninggalkan  kota.  Ketika  mereka  melarikan  diri,  ia 

segera  menunjuk  orang-orangnya  yang  setia  untuk  menggantikan  orang￾orang itu. 

Setelah ini, pada masa kekuasaannya ia melalakukan operasi militer mela￾wan  bangsa  Partia  seperti  biasanya,  perjalanan-perjalanan  biasa  ke  Britania 

untuk  mengganggu  bangsa  Skotlandia,  dan  berbagai  macam  pelanggaran 

perbatasan. Tetapi ia tidak belajar apa pun dari drama yang pernah terjadi 

di depan matanya. Pada tahun 198, ia menunjuk putra sulungnya Caracalla 

sebagai pewarisnya. 

Pada tahun 209, dua tahun sebelum kematiannya, ia juga menunjuk pu￾tranya yang lebih muda Geta, untuk menjadi kaisar bersama dengan kakaknya. 

Mungkin ini adalah percobaan untuk memperbaiki pilihan pertamanya, yang 

sudah mulai kelihatan seperti sebuah kesalahan. Caracalla, seorang serdadu 

yang kompeten, sudah mengancam untuk membunuh istrinya, melakukan 

pembunuhan  terhadap  ayah  mertuanya,  dan  mencoba  untuk  membunuh 

ayahnya sendiri. Meskipun begitu, ia tetap merupakan pilihan pertama ayah￾nya sebagai pewaris. Markus  Aurelius  sudah  mampu  mengatasi  luka-luka  kekaisaran  yang 

hampir fatal. Republik sudah mati, tetapi kekaisaran sudah menjadi matang 

untuk menggantikannya, seperti seorang sepupu angkat yang kemiripannya 

dengan keluarga hanya samar-samar. Kekaisaran sudah jatuh sakit, di bawah 

pemerintahan Caligula dan para kaisar sesudahnya, tetapi tampaknya sudah 

mengalami  kesembuhan  yang  sepertinya  tidak  mungkin.  Bangsa  Romawi 

sudah  berhasil  memahami  bagaimana  menggabungkan  pemerintahan  im￾perial  dengan  jebakan-jebakan  yang  bersifat  republik,  sambil  menghindari 

semacam keruntuhan dinasti seperti nun jauh di tepi sungai Kuning tiga ribu 

tahun  sebelumnya.  Tetapi  sekarang,  prinsip  dasar  suksesi  keturunan  akan 

mulai mencabut kekuasaan kekaisaran dan mencerai-beraikan. 

Di ahun 184, revolusi turban kuning yang sedang bergolak akhirnya 

mendidih. 

Pertempuran dipimpin oleh tiga bersaudara keluarga Zhang: Jiao (atau 

Jue), Bao, dan Liang. Dalam salah satu karya klasik dari kesusasteraan China 

purba, Romansa Tiga Kerajaan, mereka digambarkan sebagai orang yang meng￾gabungkan harapan ribuan tahun dengan semacam cikal-bakal Marksisme; 

slogan mereka adalah “Dinasti Han sudah musnah, pemberontakan akan 

muncul; biarkan kesejahteraan terjadi di dunia!” dan mereka berharap bisa 

merebut tanah si kaya dan membagikannya dengan sama rata di antara semua 

bangsa China. 

Tapi kisah yang paling lengkap dari pemberontakan Turban Kuning dan 

akibat-akibatnya dapat ditemukan dalam sejarah Zizhi Tongjian, ditulis oleh 

sarjana dan negarawan Sima Guang di pertengahan abad kesebelas. Ini tertulis 

lama sesudah kejadian nyatanya, tetapi Sima Guang banyak memakai catatan￾catatan resmi yang berasal dari berabad-abad jauh sebelumnya. 

Pertempuran mulai terjadi di Selatan sungai Kuning, dekat semenanjung 

Shandong. Pada awalnya para pemberontak Turban Kuning berhasil dipukul 

mundur oleh serdadu pemerintah, dan pejabat-pejabat Han—yang percaya 

diri bahwa pertempuran akan segera berakhir—menjuluki tahun 184 sebagai 

tahun “Perdamaian Tercapai”.12 Tapi para revolusioner segera berkumpul 

kembali dan menyerang ke depan lagi. Pada tahun 189, pertempuran sudah 

mencapai ibu kota Loyang sendiri. 

Di bulan Mai tahun yang sama, kaisar Lingdi wafat. Ielum menye￾butkan nama pewaris pada saat kematiannya; sebaliknya ia meninggalkan 

keputusan itu kepada jandanya, permaisuri pewaris, dan sida-sida istana, Jian 

Shi. Beberapa waktu sebelumnya ia juga sudah memberi kekuasaan pada Jian 

Shi atas kekuatan angkatan perang di Loyang, yang membuat sida-sida itu 

sebagai salah satu dari orang-orang yang paling berkuasa di negara itu.

Keduanya memutuskan bahwa tahta akan jatuh pada putra Lingdi yang 

berusia lima belas tahun, Shaodi. Dengan kekuasaan Loyang yang sekarang 

sudah tergenggam erat di tangannya, sida-sida Jian Shi juga membuat rencana 

untuk mengadakan pembersihan pribadi; ia bermaksud membunuh jenderal 

kepala Han untuk menaikkan kekuasaannya sendiri. 

Jenderal kepala mengetahui rencana itu, dan ia sendiri mulai merencana￾kan penghapusan semua sida-sida istana seluruhnya—suatu komplotan yang 

berbalik sampai ke telinga para sida-sida. Kecurigaan istana terbagi dalam dua 

golongan,  keduanya  bersenjata.  Akhirnya  para  sida-sida  membuat  gerakan 

pertama; mereka menyerang dan memenggal jenderal kepala, dan karenanya 

salah satu dari para komandan memerintahkan pintu gerbang istana dikunci 

dan  semua  sida-sida  dibantai.  “Semuanya  ada  dua  ribu  orang  tewas,”  kata 

Sima Guang, “termasuk beberapa laki-laki sejati, yang kebetulan tidak ber￾janggut ikut salah dibunuh.”13

Jenderal Han yang lain yang berada di luar istana, Tung cho, melihat ini 

sebagai  kesempatannya  untuk  mengambil  alih.    Ia  meninggalkan  pertem￾puran dengan Kelompok Turban Kuning dan bergerak ke istana, meredam 

kekacauan. Ia memerintahkan penahanan terhadap permaisuri pewaris dan 

mulai  menunjuk  menteri-menterinya  sendiri,  memakai  pasukannya  untuk 

mendukung perintah-perintahnya. 

Sebetulnya, ia hanya menggertak; ia hanya mempunyai lebih sedikit orang 

yang diperlukannya untuk pengambilalihan itu. Tetapi setiap malam ia menyu- 

ruh  beberapa  pasukan  mengendap-endap  keluar  Loyang  di  malam  hari 

dan  kemudian  kembali  lagi  dengan  penuh  kehebohan  keesokan  paginya 

membawa bendara-bendera berkibaran dan drum-drum dipukul sehingga 

kelihatannya seolah-olah makin banyak tentara yang bergabung dengannya 

di istana. 

Kaisar yang berusia lima belas tahun dan adiknya melarikan diri dari is￾tana, mengkhawatirkan kelangsungan hidup mereka. Di luar, mereka tidak 

menemukan  tempat  yang  aman,  tidak  mendapatkan  tempat  untuk  tidur, 

tidak ada yang dapat dimakan. Karena putus asa, mereka berdua mau tidak 

mau  kembali  ke  istana  untuk  memohon  perlindungan. Tung  Chao  mem￾berikannya. Ia mengumumkan si adik, Xiandi, sebagai kaisar baru, di bawah 

perlindungannya. Tetapi Shaodi yang berumur lima belas tahun sudah cukup 

usia  untuk  menjadi  bahaya. Tung  Chao  melupakan  janji  perlindungannya 

dan menyuruh orang membunuh pemuda itu. 

Tetapi,  Tung  Chao  bukanlah  satu-satunya  jenderal  yang  mempunyai 

harapan  untuk  memperbaiki  diri.  Kelompok Turban  Kuning  belum  terka￾lahkan—tetapi pertempuran pecah di antara para pembelanya sendiri. Tung 

Chao terpaksa mundur dari Loyang, menarik bersamanya si Xiandi muda. Jenderal yang lain, seorang petarung yang tangkas bernama Ts’ao Ts’ao, yang 

mewarisi estatnya sendiri sebagai putra adopsi seorang sida-sida, mengepung￾nya di Chang’an dan membunuhnya.14

Ts’ao  kemudian  menawarkan  perlindungannya  terhadap  Xiandi,  yang 

tidak  punya  banyak  pilihan  kecuali  menerimanya;  kalau  ia  tidak  menem￾patkan dirinya di bawah kekuasaan Ts’ao ia akan mati. Ia setuju, dan Ts’ao 

segera mengawinkan kaisar muda itu dengan putrinya sendiri dan mulai me￾nguasai kembali daerah Utara China untuk putra menantunya yang baru. 

Pertempuran melawan Turban Kuning terus berlarut-larut. Ts’ao akhirnya 

berhasil mengalahkan pejuang turban Turban Kuning di tahun 205, tetapi 

tahun-tahun  peperangan  terus  mengikuti  dasawarsa-dasawarsa  kesalahan 

pengelolaan  dan  korupsi  yang  sudah  merusak  negara.  Xiandi  kembali  ke 

Loyang, dan duduk di tahta Han. Tetapi ia sudah tidak mempunyai kekuasaan 

dan tidak sepenting seperti kaisar Zhou dulu, pada akhir masa pemerintahan 

dinasti.  Perang-perang di antara orang-orang yang akan menjadi kaisar pecah 

di mana-mana di wilayah kekaisaran. Ts’ao sudah hampir berhasil mengua￾sai wilayah Utara, tetapi ia tidak mempunyai sekutu dalam penaklukkannya 

untuk menyatukan tanah-tanah Han; terlalu banyak jenderal saingan yang 

tidak ingin Loyang menjadi kuat lagi. 

Pada tahun 208, pasukan Ts’ao bertemu dengan dua dari pesaingnya yang 

terbesar  di  sungai Yantze,  di  sebuah  tempat  yang  bernama  Karang  Merah. 

Kedua pasukan tetap tinggal di tepi sungai selama berhari-hari; kedua pihak 

sudah  lelah  karena  pertempuran  yang  tiada  akhir  di  tahun