kan sebuah
pernyataan yang tegas bahwa bangsa Romawi tidak mempunyai hak untuk
menguasai Israel, dan terutama Yerusalem. Yerusalem adalah milik Tuhan.
Orang Kristiani, sebaliknya, tidak pernah mempunyai negara sendiri:
kerajaan yang mereka bicarakan adalah kerajaan spiritual, yang ada di dalam
dimensi lain, bersebelahan dengan bangsa-bangsa dunia tempat mereka hidup.
Itu adalah sebuah kota tanpa fondasi, yang dibangun oleh Tuhan, seperti yang
ditulis oleh penulis Kitab Ibrani dalam Perjanjian Baru. Nama Kristiani sendiri mengandung arti bahwa mereka menemukan identitas mereka sebagai
pengikut Allah manusia yang telah disalibkan di Palestina—bukan sebagai
penduduk dari suatu tempat khusus.
Para kaisar dan gubernur Roma tidak pernah memahami hal ini. Suratsurat Plinius tidak hanya berhati-hati tetapi juga bingung: Haruskah orang
Kristiani ini dikejar-kejar kalau mereka tidak muncul? Haruskah mereka
dibiarkan melaksanakan ritual-ritual aneh dari kepercayaan mereka di depan
umum? Bagaimana seharusnya ia menanggapi hal ini?
Traianus menyarankan sebuah kebijaksanaan—jangan tanya dan jangan
memberi tahu; Plinius harus mengecilkan arti profesi umum orang Kristiani,
tetapi ia tidak boleh mengejar-ngejar orang Kristiani untuk dibunuh. Kalau
mereka bertingkah laku dengan damai, mereka harus dibiarkan damai.
Ia tidak terlalu mencemaskan isu itu, sebagian karena ia cenderung memandang keluar pada peperangannya. Di bawah Traianus, Kekaisaran Roma
mencapai kebesarannya. Ia telah memperluas perbatasan-perbatasan Utara dan
Selatan; operasi militer terahkirnya adalah terhadap Partia, sekarang diperintah oleh raja Vologases III. Di tahun 113, ia secara pribadi memimpin pasukan
Roma ke Timur melalui Armenia, yang jatuh ke Roma dan menjadi sebuah
provinsi Roma, dan langsung masuk ke tanah Partia di seberang sungai Efrat.
Bangsa Partia dipaksa mundur; Traianus bergerak masuk ke Mesopotamia,
menguasai Babilon, dan mengambil ibu kota Partia, Ctesiphon.
Ini adalah kemenangan yang besar, tetapi gurun pasir Mesopotamia
terkenal sulit untuk dikuasai; lebih cocok untuk perang gerilya daripada menaklukannya dengan pasukan yang besar. Sampai tahun 117, Traianus tetap
berada di Mesopotamia, menumpas pemberontakan Partia yang masih berlangsung, tetapi tidak pernah bisa melenyapkannya secara keseluruhan. Pada
saat yang sama, gangguan dalam negeri sedang menyulitkan rakyat Roma.
Pada tahun 115, komunitas Yahudi yang tersebar di seluruh kekaisaran, dari
Mesir ke arah Utara telah mengambil kesempatan dari kesibukan Roma menjajah Partia untuk memberontak. Masada masih hangat dalam ingatan; dan
orang Yahudi menginginkan tanah yang diberikan oleh Tuhan itu dikembalikan kepada mereka. Pemberontakan ini semakin lama semakin menjadi
serius, sampai Traianus memberi izin kepada orang non-Yahudi di wilayah
yang mengalami masalah untuk membunuh tetangga Yahudi mereka, suatu
pembunuhan massal yang sementara meredakan masalah itu.
Meskipun begitu ia memutuskan bahwa ia lebih baik menunda operasinya
di Partia sampai waktu yang lebih menguntungkan; dan karena itu ia menarik pasukannya kembali dan mulai pulang. Ia baru sampai sejauh Asia Kecil.
Di Cilicia, ia mengalami stroke dan wafat hampir seketika pada tanggal 9
Agustus 117. Ia berusia enam puluh empat tahun.
Ada kebingungan siapa yang akan naik tahta kemudian, karena Traianus
tidak meninggalkan arahan-arahan yang jelas. Orang yang di bawah walinya yang sah adalah Hadrianus, sekarang gubernur Suriah, mengakui bahwa
Traianus sudah berharap ia akan menjadi kaisar selanjutnya, meskipun beberapa teman Traianus mengaku bahwa ia bermaksud untuk menunjuk orang
lain atau bahwa ia dengan sengaja tidak meninggalkan pilihan supaya orang
yang terbaik mungkin akan bisa menang. Karena tidak ada calon yang jelas
untuk menggantikan Hadrianus—dan karena Hadrianus sudah menuju ke
Roma ketika keraguan-keraguan mulai menyebar—Senat mengesahkannya.
Dan begitu berada di Roma, Hadrian memperkuat kenaikan tahtanya dengan
cara yang biasa dilakukan yaitu membayar sejumlah uang yang besar kepada
para Pengawal Praetoria: “Para serdadu meyukainya karena perhatiannya yang
sangat besar terhadap angkatan perang,” Sejarah Agustan dari abad keempat
menyimpulkan, “dan di samping itu karena kebebasan yang sangat besar yang
diberikannya kepada mereka.”
Dalam pemerintahannya yang kedua puluh satu, Hadrianus membuktikan dirinya sebagai seorang yang hati-hati dan konservatif, seorang kaisar
yang sedang-sedang saja, tidak banyak disukai tetapi tidak secara khusus ditakuti. Perangnya yang terbesar terjadi bukan karena adanya agresi, tetapi
karena salah tafsir; ia mencoba untuk membangun sebuah ibu kota baru di
atas puing-puing Yerusalem dan bahkan merencanakan untuk meletakkan
kuil Yupiter di lokasi Kuil Kedua.
Ini menyulut pemberontakan besar orang Yahudi lagi, yang (dalam katakata Dio Cassius) merupakan “sebuah perang yang tidak penting tetapi juga
tidak pendek jangka waktunya.”10 Pemimpin dari pemberontakan Yahudi
ini adalah Simon Bar Kochba, seorang pakar sejarah gereja Esusebius yang
menerangkan bahwa ia memiliki “karakter seorang perampok dan seorang
pembunuh,” yang bagaimana pun juga menjanjikan pada orang Yahudi bahwa
ia akan “membawa cahaya ke tengah-tengah nasib buruk mereka.”11
Hadrianus mengirimkan jenderal-jenderalnya yang paling berpengalaman
untuk menumpas revolusi itu. Mereka mengobarkan perang dalam perangperang kecil melawan gerilyawan Yahudi di pos-pos terdepan mereka di
seluruh negeri: “mencegat kelompok-kelompok kecil … melucuti makanan
mereka dan mengurung mereka. “Strategi ini menyebabkan penghancuran
mutlak di Tanah Terjanji. “Lima puluh pos terdepan mereka yang paling
penting dan 985 desa-desa mereka yang paling terkenal diratakan dengan
tanah,” tulis Eusebius; “580,000 orang dibantai dalam berbagai serbuan dan
peperangan, dan jumlah mereka yang hilang karena kelaparan, penyakit, dan
kebakaran tak terkira. Jadi hampir seluruh Yehuda rusak.”12
Ini merupakan kemenangan Hadrianus yang terbesar , tetapi itu adalah
tindakan pembelaan diri. Ia juga tidak berusaha untuk mengambil kembali
tanah Partia yang sudah dijajah oleh Traianus. Ia ingin menutup perbatasan
Roma di mana mereka berada. Sikap terhadap seluruh kekaisaran ini khas
terlihat dalam tindakannya di Britania, ketika ia memutuskan bahwa membangun sebuah tembok sepanjang Skotlandia merupakan ide yang bagus.
Pembangunan Tembok Hadrianus dimulai pada tahun 122. Sepuluh
tahun kemudian, tembok itu hampir seluruhnya selesai. Tembok itu berdiri enam meter tingginya dan dibangun
sepanjang puncak-puncak bukit, sehingga tanah di sisi-sisi luarnya turun
menjauh, ketinggiannya menjulang tinggi. Dan terbentang sampai
jauh ke Laut Utara ke Laut Irlandia,
membuat Britania seperti memakai
ikat pinggang di tengahnya, sepanjang seratus dua belas kilometer.
Tembok itu memang berhasil
menahan bangsa Celt dari Utara
(bangsa Picts yang menyulitkan dan
suka perang) yang ingin menyerang
provinsi Roma di Britania, yang
sekarang sudah menyebar jauh ke
pulau itu. Tetapi Tembok itu adalah
lebih daripada sebuah perbatasan.
Tembok itu adalah pembagi yang
tidak tetap yang tidak mengikuti
sebuah sungai atau perbatasan alam,
dan tembok itu merupakan suatu
deklarasi: D sini, di balik tembok,
adalah Roma; di sana, di baliknya bukan milik Roma. Tidak ada zona penahan di tengahnya, tidak ada transisi.
Seperti penjajahan Armenia, pembangunan Tembok ini menunjukkan
bahwa orang Roma semakin tidak mau bersabar dengan identitas yang tidak
jelas. Rakyat kekaisaran Romawi adalah warga negara Roma secara penuh,
jika bukan warga negara, mereka adalah musuh Roma. Masa-masa perlindungan kerajaan sudah lewat; mereka ditarik masuk ke dalam kekaisaran sebagai provinsi penuh, atau dihancurkan sama sekali.
G A R I S WA K T U 8 2
ROMA PARTIA
JUDEA
Caligula, princeps (41)
Vologases I
Nero Princeps (54)
Galba, princeps (68)
Vespasianus, princeps (69)
Titus, princeps (79)
Domitianus, kaisar (81)
Nerva, kaisar (96)
Traianus, kaisar (98)
Hadrianus, kaisar (117)
Vologases III
Destruction of Second Temple
Siege at Masada
Pada tahun 88 , tahun putra Mingdi, Zhangdi, Dinasti
Han telah mendapatkan kembali sebagian besar dari kejayaannya yang lama.
Negara-negara Barat sudah dijajah sejauh perbatasan Partia, dan perdagangan
sepanjang Jalan Sutera telah mengisi kekaisaran dengan kesejahteraan. Bahkan
tidak adanya raja dewasa yang menggantikan tempat Zhangdi—pada saat
kematiannya, penerusnya Hedi baru berumur sembilan tahun—sepertinya
bukan sebuah bencana, karena sudah terbiasa sejak fase awal dari pemerintahan Han. China sangat beruntung mendapatkan seorang pengawas yang baik:
Pan Ch’ao, si serdadu tua, yang sudah hadir sejak zaman ayah Zhangdi dan
mengetahui banyak tentang cara memerintah seperti kaisar lain.
Di tahun 91, pada usia dua belas, Hedi memerintah sida-sida istana untuk
membunuh keluarga ibunya, yang ingin mengambil kesempatan atas usia
mudanya untuk memaksa masuk dan mendapatkan jabatan-jabatan pemerintahan. Kita mungkin dapat mencatat kezaliman ini dari Pan Ch’ao, yang
mengawasi anak asuhnya, dan yang ingat bahwa Dinasti Han pernah digulingkan oleh saudara-saudara dari permaisuri pewaris.
Ini adalah penampilan pertama dengan adegan kelompok kekuasaan yang
baru: sida-sida istana. Penggunaan sida-sida istana untuk bekerja melayani
keluarga kerajaan adalah bagian dari strategi untuk memastikan kesetiaan
para pembantu raja; karena mereka dikebiri, mereka tidak mempunyai ambisi
(secara teoritis) untuk merebut tanah, kekayaan, atau kekuasaan atas nama
anak-anak mereka atau marga. Diperkirkan, ada dua ribu sida-sida di keluarga
istana Han, dan mereka sudah mendapat kepercayaan kaisar.1
Hedi meninggal di tahun 105, masih dalam usia dua puluhan, tanpa
pewaris yang sah; tidak seoran pun dari istrinya hamil. Salah satu selir istana
memang mempunyai seorang putra dari kaisar; bayi ini, si kecil Shangdi,
meninggal sebelum ia berumur satu tahun. Saudara yang paling dekat yang
masih ada adalah keponakan Hedi, Andi, yang berusia dua belas ketika ia
mengambil alih tahta di tahun 106. Tetapi tidak seperti pamannya, ia tidak
mempunyai wali yang selalu siap mengawasinya. Pan Ch’ao sudah meninggal
di tahun 102, setelah seumur hidupnya mengalami perang yang membawanya ke Barat sejauh Laut Kaspia.2
Sekali lagi, saudara-saudara yang kuat bergerak di belakang layar. Andi
sudah menikah, ketika masih anak-anak, dengan seorang putri dari seorang
pejabat yang ambisius. Setelah itu, ia dianjurkan untuk menyerahkan ke-
putusan-keputusan politik kepada keluarga istrinya.
Sampai tahun 146, seluruh suksesi dari para penguasa yang terlalu muda
dinaikkan ke atas tahta oleh seorang keluarga bangsawan yang ambisius ke
bangsawan lain Putra Andi, Shundi dimahkotai tahun 125, pada usia sepuluh
tahun; putranya, Chongdi, dimahkotai ketika ia belum genap berumur setahun, dan meninggal sebelum ia berusia tiga tahun; ia diteruskan oleh saudara
sepupu-ketiganya, Zhidi, yang berusia tujuh tahun, yang diracun ketika ia
berumur delapan dan digantikan oleh sepupunya yang lain, Huandi, yang
berusia empat belas tahun.
Selama tahun-tahun ini, China Han dikuasai oleh para paman, sepupu,
bibi, dan siapa pun yang dapat meletakkan jarinya dalam kue. Kebijaksanaankebijaksanaan Huandi sendiri diputuskan untuknya oleh kakak istrinya, si
ambisius Liang Ji, yang sudah memerintah ibu kota Loyang untuk beberapa
tahun. Dicopot dari kekuasaannya, Huandi mundur sama sekali ke dalam
istana, mengabaikan semua keputusan politik, menolak untuk tidur dengan
istrinya, dan—ternyata—mempererat persahabatan dengan para sida-sida
istana.
Para sida-sida ini sudah mendapatkan semakin banyak kekuasaan, berkat
perubahan-perubahan dalam status hukum mereka. Beberapa dasawarsa sebelumnya, seorang sida-sida mengadopsi seorang putra, ini bukan hal yang tidak
biasa. Tetapi ketika si sida-sida meninggal, ia meninggalkan tanahnya untuk
putra adopsinya. Untuk pertama kali, si putra boleh mendapatkan tanah
itu. Dua dasawarsa kemudian, seorang sida-sida diperbolehkan menurunkan
gelar kehormatannya kepada putra adopsinya.
3
Ini semua bukan perubahan-
perubahan kecil. Mereka memperbolehkan sida-sida untuk menciptakan
sebuah marga sendiri—sebuah marga yang dibentuk karena adopsi bukan
karena perkawinan, trtapi tetap sebuah marga. Dan tidak seperti marga lain,
sida-sida istana mulai mengumpulkan kekayaan, estat, dan ambisi.
Di tahun 159, Huandi memberikan tugas kepada lima sida-sida yang kesetiannya sudah dikelolanya: mereka harus membunuh kakak iparnya, dan
ia akan memberi mereka hadiah gelar maupun tanah. Istrinya baru saja meninggal, ikatan darahnya dengan Liang Ji sudah putus, dan ia menginginkan
tahtanya kembali.
Kelima sida-sida memobilisasi pengawal istana dan mengelilingi rumah
Liang Ji. Ia bunuh diri sebelum mereka mendobrak masuk dan dapat membunuhnya, tetapi seluruh keluarganya dibantai. Pembersihan ini melebar ke
seluruh marga.
Tetapi kembalinya Huandi ke dalam kekuasaan sudah terlambat. Dalam
dasawarsa-dasawarsa ketika para wali mendominasi China, tidak ada orang
yang menaruh perhatian pada negara-negara bagian yang melarikan diri.
Tanpa diawasi, sistem jasa yang dilembagakan oleh Guang Wudi telah mulai
memukul balik. Sistem itu meletakkan pemerintahan provinsi China ke tangan orang-orang yang lebih terlatih dan cakap daripada para bangsawan.
Tetapi orang-orang yang cakap itu juga ambisius. Kebanyakan dari mereka,
semakin lama semakin menguasai tanah dari mereka yang tidak dapat membayar pajak, dan kemudian membiarkan para penghutang terus mengelola
pertanian itu.4
Ini seluruhnya sah, dan juga lebih manusiawi (dan lebih produktif)
daripada melemparkan para penghutang ke dalam penjara. Tetapi sebagai
akibatnya, para pejabat pemerintah yang sudah mengumpulkan tanah-tanah
yang luas dan mempekerjakan para penghutang, menjadi semacam petani
feodal yang baru. Sudah sifat manusia untuk kemudian meneruskan tanah
itu kepada para putra dan cucunya. Pelan-pelan, sebuah jaringan lain yang
terdiri dari keluarga-keluarga berkuasa yang memiliki tanah bertambah
banyak. Nama-namanya lain daripada mereka yang berasal dari keluarga-
keluarga besar seabad sebelumnya, tetapi akibatnya sama saja: para pemilik
tanah yang kaya menguasai estat yang luas dan petani miskin yang bekerja
di tanah tidak mempunyai kekuasaan untuk memprotes upah mereka yang
rendah. Para pemilik tanah sudah mulai menyewa sekolompok pengawal keamanan untuk menjaga keselamatan estat mereka—kelompok yang tumbuh
menjadi seperti pasukan pribadi.5
Pada saat yang sama, pembukaan jalan ke Barat membawa masuk lebih
banyak perniagaan. Para pedagang ( yang di bawah sistem Hanyang asli dianggap sebagai parasit dan perantara) sekarang bisa mendapatkan kekayaan
besar.6
Ini adalah sebuah fenomena yang dikeluhkan oleh seorang sarjana
Wang Fu, yang meninggal sekitar tahun 165: dalam Qianfu lun, “Kritik
dari Orang yang Tersembunyi” (dia tidak pernah berhasil untuk menjadi
pejabat), dalam bab “Dalam kemewahan yang luar biasa,” ia mengeluh bahwa
perniagaan telah menggantikan pertanian sebagai pekerjaan yang paling meng-
untungkan. Dan perniagaan dibangun sebagian di atas punggung pekerja
buruh pertanian yang malang, yang harus membayar pajak yang semakin
tinggi sehingga Jalan Sutera dapat dipelihara sepanjang jalan ke arah Barat,
dan dipenuhi oleh garnisun untuk menjaga keselamatan karavan milik para
pedagang dari bandit.
Huandi tidak berbuat banyak untuk mengatasi masalah-masalah ini. Ia
wafat di tahun 168, meninggalkan tahta dan semua masalah Dinasti Han
kepada putranya Lingdi, yang berusia dua belas tahun.
Ibu Lingdi, Permaisuri Pewaris Dou, adalah istri ketiga Huandi. Ia bertindak
sebagai wali putranya, dan karena Lingdi masih terlalu muda, ia mengetahui
bahwa ia akan menjadi pengawas untuk beberapa waktu. Kecemasannya yang
terbesar adalah kekuasaan para sida-sida istana, yang sudah mendapatkan
semakin banyak kekayaan dan kekuasaan di bawah pemerintahan Huandi.
Sebenarnya, sekelompok sida-sida istana sudah membentuk di antara mereka
semacam marga sukarela, disilang dengan masyarakat rahasia: yang disebut
Sepuluh Pembantu Tetap, dan anggotanya diharuskan untuk mengambil sebanyak mungkin dari kaisar untuk mereka sendiri.
Satu dari penasehatnya adalah seorang sarjana ajaran Konfusius bernama
Chen Fan, yang mengusulkan bahwa yang paling aman untuk kekaisaran
adalah kalau semua sida-sida dihilangkan saja. Berita tentang nasihat ini sampai ke telinga para sida-sida. Ke-Sepuluh Pembantu Tetap dan sekutu mereka
menyerbu istana, menjaga permaisuri pewaris, dan memberitahu Lingdi
muda bahwa mereka datang untuk membebaskannya dari pengaruh ibunya
dan menjaga keselamatannya.
Permaisuri Pewaris tetap dijaga sampai empat tahun. Ketika beliau meninggal di tahun 172, terdengar kabar secara luas bahwa ia sudah dibunuh
oleh Cao Jie, pemimpin dari Sepuluh Pembantu Tetap. Sementara itu, Lingdi
menjadi begitu percaya kepada sang Sepuluh sehingga ia memanggil salah
satu dari mereka, orang yang paling dibenci Zhang Rang, yang mempunyai
gelar kehormatan “Ayah Tiriku.”
Tidak ada yang memimpin bangsa China Han, dan penurunan ekonominya segera dibarengi oleh bencana alam. Penyakit yang mewabah di tahun
172 diikuti pertama kali oleh banjir, dan kemudian wabah belalang datang
menyerang . Di tahun 177, suatu operasi militer melawan para suku barbar
berakhir dengan malapetaka. Dua tahun kemudian, di tahun 179, epidemi
lain menyapu seluruh negeri.
Ini adalah semacam pertanda buruk yang telah membawa dinasti baru
Wang Mang turun. Pada zamannya, Si Alis Merah sudah melawan orang kaya
yang sembrono; sekarang lingkaran kejahatan mulai lagi. Sekarang sekelompok petarung kemerdekaan, Turban Kuning, mengambil bendera si miskin
dan tertindas.
Kelompok Turban Kuning adalah lebih dari kelompok perampok sederhana: mereka adalah sekte milenial (masa seribu tahun) yang mengharapkan
kedatangan zaman keemasan. Ribuan orang China yang hidup keras tak terkatakan dan kehidupan yang suram sedang mencari keadilan untuk solusi
politis, dengan harapan yang sama yang ditawarkan oleh Kelompok Turban
Kuning. Pemimpin mereka, seorang guru ajaran Dao bernama Chang Chueh
mengaku bahwa ia mempunyai kekuatan magis. Ia mengumumkan bahwa
ia dapat menyembuhkan penyakit, suatu janji yang indah untuk rakyat yang
sudah menderita melewati epidemi yang begitu mengerikan. Ia menjanjikan
bahwa jika mereka memakan obat-obatannya, mereka akan kebal dari lukaluka dan dapat bertempur dalam perang tanpa takut, dan sebuah gagasan
yang sama hebatnya bagi mereka yang tidak dapat berbuat apa-apa, tidak
mempunyai senjata dan lemas karena kelaparan.7
Pada tahun 182, kelompok Turban Kuning mendapat pengikut lebih dari
tiga ratus lima puluh ribu orang China yang miskin, putus asa, tidak punya
tanah dan marah. Pada tahun 184, mereka bersiap untuk bangkit dan bertempur melawan penindas mereka. G A R I S WA K T U 8 3
ROMA CHINA
Nero, princeps (54)
Mingdi
Galba, princeps (68)
Vespasianus, princeps (69)
Titus, princeps (79) Zhangdi
Domitian, kaisar (81)
Heidi
Nerva, kaisar (96)
Traianus, kaisar (98)
Andi
Hadrianus, kaisar (117)
Shundi
Chongdi
Zhidi
Huandi
Lingdi (168)
Rise of the Yellow hurbans
Pemerintahan hadrianus yang tidak agresif diikuti oleh lebih dari
jenis pemerintahan yang sama. Pada tahun 138, ia mengadopsi seorang
pewaris: Antonius Pius, seorang politisi setengah umur yang sudah bekerja
sebagai konsul maupun gubernur. Pius berumur lima puluh dua tahun dan
ayah adopsinya berumur enam puluh dua.
Dengan cara yang sama, Agustus mengadopsi menantunya, Tiberius, dan
Claudius mengadopsi Nero. Adopsi semacam ini tidak ada hubungannya
dengan pengasuhan. Ini menciptakan suatu “pertalian darah” dalam hukum,
semacam ikatan yang sama yang digunakan oleh para sida-sida Dinasti Han
untuk menciptakan marga mereka sendiri. Bagi para kaisar Roma, itu adalah
cara yang berguna untuk menggabungkan manfaat yang besar dari suksesi—bapak-kepada-putranya (selalu jelas sekali siapa yang akan menjadi kaisar
selanjutnya) dengan gagasan republik yang besar bahwa hanya orang yang
layak yang dapat berkuasa. Adopsi membiarkan setiap kaisar menurunkan
tahtanya tidak kepada putra yang dimilikinya tetapi kepada putra yang diharapkannya.
Seperti Hadrianus, masa kekuasaan Antoninus Pius cukup panjang dan
tidak ada peristiwa apa-apa, peristiwa yang paling menarik selama dua puluh
lima tahun pemerintahannya adalah suatu festival yang besar di tahun 148,
perayaan ulang tahun ke 900 Roma.1
Pius sendiri secara resmi mengadopsi
tidak hanya satu tetapi dua pewaris: keponakannya, Markus Aurelius, dan
seorang anak laki-laki lain berumur sembilan tahun lebih muda, Lucius
Verus.
Ketika Pius meninggal di tahun 161, pewarisnya yang lebih tua Markus
Aurelius berusia empat puluh tahun. Ia sudah menyelesaikan tugasnya sebagai
seorang politisi, termasuk setahun sebagai konsul, tetapi ia tidak menyukai
politik. Ia adalah orang yang sangat introver, seorang sarjana yang alamiah
(Sejarah Agustan abad keempat mengatakan bahwa ia sudah “menaruh minat
yang luar biasa pada filsafat” sebelum berusia dua belas),2
dan ia tidak terlalu
antusias untuk menjadi kaisar Roma. Ia “dipaksa oleh Senat” untuk mengambil tugas yang sudah ditunjuk untuknya, dan ia menawar dengan membuat
adiknya Lucius Verus, yang sudah bertugas sebagai konsul, sebagai kaisar bersama.3
Segera setelah itu keduanya terpaksa berurusan dengan perang. Bangsa Partia
yang bergerak lagi; Raja Vologases IV, yang mungkin dipanasi oleh ketenangan
dua kaisar sebelumnya, sudah bergerak melalui Armenia (yang direbutnya)
dan menjajah Suriah. Bangsa Partia mendapat sambutan di Suriah, sebagian
besar dari orang Yahudi yang berhasil melarikan diri dari pembunuhan massal
yang terjadi menyusul pemberontakan Bar Kochba, dan berhasil mengalahkan
garnisun Roma yang ditempatkan di sana. Lucius Verus mengambil komando
dari pasukan Romawi dan bergerak ke arah Timur, sedangkan Markus Aurelius
mengawasi garis depan di rumah. Pada tahun 162, Lucius masih berada di
Suriah, dan bertempur dalam pertempuran yang efektif melawan kekuatan
Partia. Ia sendiri menjelajah ke Armenia dan berhasil merebutnya kembali;
sementara itu salah satu komandannya berge-rak ke Tenggara dengan divisi
lain, menjelajah Mesopotamia dan merebut Ctesiphon, Vologases IV mundur,
kehilangan istananya, yang dirusak oleh orang Romawi.
Para pasukan kembali ke Roma dengan kemenangan di tahun 166, dan
membawa wabah bersama mereka. Penyakit itu sudah menyapu seluruh kota
pada saat pawai kemenangan berakhir.
Dokter Yunani, Galen, yang datang ke kota pada tahun 168, karena panggilan putus asa dari para kaisar, menulis ceritanya sendiri tentang wabah
itu dalam sebuah risalah yang disebut Methodus Medendi. Ia menggambarkan pasien-pasiennya menderita demam, sakit leher, dan pustules: “Wabah
Antoninus” ini dalam segala hal mirip dengan cacar. Epidemi ini terus berlangsung selama tiga tahun penuh dan memakan korban dua ribu orang
meninggal sehari pada saat puncaknya, dan begitu banyak mayat yang harus
dibuang sehingga Markus Aurelius melarang pembangunan kuburan baru dan
memaksa orang-orang Roma menyeret keluarganya yang meninggal keluar
dari kota.4
Penyakit itu tetap ada di kota selama bertahun-tahun sesudahnya.
Di tengah-tengah hal ini, dengan pasukan yang sangat lemah karena penyakit, suku-suku sepanjang sungai Danube mengambil ksempatan untuk
menyerang garis depan Roma. Kedua kaisar pergi untuk mengatasi ancaman
itu, tetapi pasukannya sudah dikalahkan sebelum mereka tiba. Malapetaka
masuk ke rumah, ketika Lucius Verus tiba-tiba mengalami kejang-kejang dan
meninggal sebelum ia sempat dibawa kembali ke Roma.
Markus Aurelius pulang ke kota dengan mayat adik adopsinya dan
pe-mimpin bersama, dan ia menguburnya dengan baik. Kemudian ia kembali ke Danube Ia menghabiskan seluruh sisa pemerintahannya—kecuali
perjalanan-perjalanan pulang ke Roma untuk mengurusi urusan kekaisaran,
dan satu perjalanan ke perbatasan Timur untuk mengatasi rumor tentang
pemberontakan—di provinsi Jerman, bertempur melawan serbuan-serbuan
yang semakin menyebar dan menjadi-jadi.
Ketidakhadiran di ibu kota sering menjadikan seorang kaisar tidak populer, tetapi Markus Aurelius sendiri mendapatkan reputasi yang baik karena
dapat menjaga keamanan kekaisaran, dan memperlakukan rakyatnya dengan
lembut. Ketika perbendaharaannya terkuras oleh peperangan yang terus terjadi di daerah Utara, ia lebih memilih melelang perabotan rumah tangganya,
piring-piring emasnya, dan intan-permatanya dari istana kekaisaran, daripada menaikkan pajak; karena perbuatannya itu, ia lebih disukai lagi. (Sejarah
Agustan mengatakan bahwa ia bahkan menjual “pakaian sutera dan bordiran
emas istrinya,” yang mungkin tidak begitu diperlukan di rumah.)5
Kehidupan di perkemahan tentara, yang jauh sekali dari ibu kota yang
dipenuhi oleh obrolan para senator dan keberisikan masyarakat Roma, sebetulnya adalah tempat tinggal yang lebih dipilihnya. Dalam tahun-tahun selama
ia berada di garis depan Jerman, Markus Aurelius dapat menghabiskan waktunya dalam bidang kesukaannya filsafat; tulisan-tulisan filsafatnya, Meditasi
Markus Aurelius, merupakan salah satu karya klasik Stoisisme. Ini merupakan
renungan dari orang yang terjebak dalam tugasnya, menjunjung beban sebuah kekaisaran di mana ia akan merasa paling bahagia kalau berada jauh dari
tempat itu. “Marilah kita tidak membedakan apakah kita dingin atau hangat,”
tulisnya, “apakah kita sedang melaksanakan tugas; atau sedang mengantuk
atau tidur nyenyak, dicaci atau dipuja, sedang sekarat atau sedang melakukan
hal lain.”6
“Berusahalah supaya kita jangan sampai dijadikan kaisar,” tambahnya kemudian, “jangan sampai kamu ternoda oleh pewarna seperti itu, karena
hal-hal seperti itu terjadi. Tetaplah sederhana, baik, murni, serius, bebas dari
kepura-puraan, sahabat keadilan.”7
Ia sendiri tidak pernah menginginkan untuk menjadi kaisar, mungkin ini
menjawab dorongannya yang terlalu dini terhadap putranya untuk memasuki
kepemimpinan. Markus Aurelius menjadi ayah dari empat belas anak (gosip
mengatakan bahwa lebih dari beberapa anak itu dikandung oleh istrinya
sewaktu ia tidak berada di tempat; Sejarah Agustan mengatakan bahwa suatu
kali ia menangkap basah istrinya sedang makan pagi dengan seorang tamu
yang menginap dan berpura-pura tidak tahu),8
tetapi Commodus adalah
satu-satunya putra yang hidup melewati umur empat tahun. Ia menunjuk
Commodus sebagai pewarisnya ketika anak itu baru berusia lima tahun,
dan pada tahun 176, ketika Commodus berusia lima belas, ia menyatakan
Commodus sebagai kaisar-bersama. Markus Aurelius tidak hidup lama lagi.
Beberapa waktu kemudian ia menderita sakit, kemungkinan karena kanker;
Dio Cassius mengatakan bahwa ia menjadi terbiasa memakai obat-obatan secara teratur yang membuatnya dapat mengatasi sakitnya, ini mungkin berarti
ia sudah kecanduan opium.9
Pada tahun 180, setelah sakit berat selama satu
minggu, ia wafat di garis depan.
Commodus, yang menjadi kaisar pada usia sembilan belas,
segera menegosiasikan perdamaian dengan bangsa Jerman,
memberhentikan operasi militer di perbatasannya, dan kembali ke rumah.
Ia adalah putra kan-dung pertama yang mewarisi tahta sejak Domitian, dan
karenanya itu lebih baik untuk Roma. Sistem mengadopsi kaisar pewaris meng-
hindarkan kesukaran yang tersembunyi dari masalah kedudukan raja secara
keturunan; begitu seorang pemerintah yang bijaksana dan efisien menguasai
tahta, ia cenderung menunjuk seorang pewaris yang kualitasnya sama.
Tapi Markus Aurelius mematahkan sistem itu. Posisi Commodus
sebagai kaisar adalah malapetaka
terbesar yang menimpa Roma
selama abad itu, dan kesalahan seorang ayah yang terlalu menyendiri
sehingga tidak memperhatikan
pribadi-pribadi di sekitarnya.
Sifatnya yang pendiam, menganggap persahabatan mele-lahkan,
Markus Aurelius tidak menemukan
seorang pun untuk bisa menggantikannya; ia membuat kesalahan
dengan memilih pewaris yang berhubungan darah saja, karena lebih
gampang.
Tingkah-laku Commodus
merosot hampir sejak ia naik tahta.
Dalam prosesi kepulangannya ke
Roma, ia membawa kekasih prianya
dalam keretanya dan menciumnya
pada waktu pawai. Homoseksualitas
bukan hal yang luar biasa di Roma,
tetapi itu dianggap bersifat keyunanian, jadi feminin; kalau ingin mempunyai pacar laki-laki, lebih baik jangan
memamerkannya di depan umum.
Berbagai kekeliruannya setelah itu menjadi makanan legenda. Ia mengumpulkan harem yang mempunyai kesempatan sama terdiri dari tiga ratus
wanita dan tiga ratus laki-laki muda; ia memaksakan permainan pertarungan gladiator, ia sendiri mengenakan pakaian gladiator; ia membunuh salah
satu dari saudara perempuannya dan memaksa yang lain tidur dengannya; ia
berjalan-jalan mengelilingi Roma memakai “pakaian wanita dan kulit singa,”
memukuli para warga negara dengan tongkat pemukul.10 Tetapi kalau ia
sedang gila, ia tidak seluruhnya lepas dari kenyataan: “Ia biasa membakar rambut dan janggutnya karena takut pada tukang cukur,” menurut Sejarah
Agustan, ini berarti ia tahu kemungkinan orang akan membunuhnya karena
tingkah lakunya.
Seluruh Roma menentukan bahwa ia pastilah hasil hubungan perselingkuhan ibunya dengan seorang gladiator; ia tidak mungkin bertalian darah
dengan Markus Aurelius yang suci. Ini menjadi alasan untuk membunuh seorang kaisar yang sah. Pada tahun 192, salah seorang anggota istana dan
selir-selirnya meracuninya. Ketika ia tidak langsung mati, mereka pergi menjemput seorang pegulat untuk mencekiknya.
Perang saudara meletus pada saat kematiannya. Antara tahun 192 dan
193, empat orang yang berbeda mencoba untuk mendapatkan dukungan dari
Pengawal Praetoria. Pemenangnya adalah seorang jenderal yang memimpin
sebuah pasukan di dekat garis depan Danube yang bermasalah: Septimius
Severus, seorang laki-laki kecil yang bersemangat yang lahir di Afrika Utara
dan sudah pernah bekerja sebagai Senat di masa pemerintahan Markus
Aurelius.
Ia bergerak menuju Roma dengan pasukannya, tetapi bahkan sebelum
ia tiba, Senat sudah menjadikannya kaisar. Ia memasuki gerbang pada tanggal 10 Juni, dan segera mengambil langkah-langkah untuk mengamankan
posisinya; ia memanggil Pengawal Praetoria untuk mengadakan pawai
upacara (yang berarti mereka datang tanpa senjata) dan kemudian membawa senjatanya sendiri, pasukan yang bertemperamen Jerman mengepung
mereka. Setiap pengawal yang dicurigai lebih menginginkan calon lain diberi
peringatan untuk meninggalkan kota. Ketika mereka melarikan diri, ia
segera menunjuk orang-orangnya yang setia untuk menggantikan orangorang itu.
Setelah ini, pada masa kekuasaannya ia melalakukan operasi militer melawan bangsa Partia seperti biasanya, perjalanan-perjalanan biasa ke Britania
untuk mengganggu bangsa Skotlandia, dan berbagai macam pelanggaran
perbatasan. Tetapi ia tidak belajar apa pun dari drama yang pernah terjadi
di depan matanya. Pada tahun 198, ia menunjuk putra sulungnya Caracalla
sebagai pewarisnya.
Pada tahun 209, dua tahun sebelum kematiannya, ia juga menunjuk putranya yang lebih muda Geta, untuk menjadi kaisar bersama dengan kakaknya.
Mungkin ini adalah percobaan untuk memperbaiki pilihan pertamanya, yang
sudah mulai kelihatan seperti sebuah kesalahan. Caracalla, seorang serdadu
yang kompeten, sudah mengancam untuk membunuh istrinya, melakukan
pembunuhan terhadap ayah mertuanya, dan mencoba untuk membunuh
ayahnya sendiri. Meskipun begitu, ia tetap merupakan pilihan pertama ayahnya sebagai pewaris. Markus Aurelius sudah mampu mengatasi luka-luka kekaisaran yang
hampir fatal. Republik sudah mati, tetapi kekaisaran sudah menjadi matang
untuk menggantikannya, seperti seorang sepupu angkat yang kemiripannya
dengan keluarga hanya samar-samar. Kekaisaran sudah jatuh sakit, di bawah
pemerintahan Caligula dan para kaisar sesudahnya, tetapi tampaknya sudah
mengalami kesembuhan yang sepertinya tidak mungkin. Bangsa Romawi
sudah berhasil memahami bagaimana menggabungkan pemerintahan imperial dengan jebakan-jebakan yang bersifat republik, sambil menghindari
semacam keruntuhan dinasti seperti nun jauh di tepi sungai Kuning tiga ribu
tahun sebelumnya. Tetapi sekarang, prinsip dasar suksesi keturunan akan
mulai mencabut kekuasaan kekaisaran dan mencerai-beraikan.
Di ahun 184, revolusi turban kuning yang sedang bergolak akhirnya
mendidih.
Pertempuran dipimpin oleh tiga bersaudara keluarga Zhang: Jiao (atau
Jue), Bao, dan Liang. Dalam salah satu karya klasik dari kesusasteraan China
purba, Romansa Tiga Kerajaan, mereka digambarkan sebagai orang yang menggabungkan harapan ribuan tahun dengan semacam cikal-bakal Marksisme;
slogan mereka adalah “Dinasti Han sudah musnah, pemberontakan akan
muncul; biarkan kesejahteraan terjadi di dunia!” dan mereka berharap bisa
merebut tanah si kaya dan membagikannya dengan sama rata di antara semua
bangsa China.
Tapi kisah yang paling lengkap dari pemberontakan Turban Kuning dan
akibat-akibatnya dapat ditemukan dalam sejarah Zizhi Tongjian, ditulis oleh
sarjana dan negarawan Sima Guang di pertengahan abad kesebelas. Ini tertulis
lama sesudah kejadian nyatanya, tetapi Sima Guang banyak memakai catatancatatan resmi yang berasal dari berabad-abad jauh sebelumnya.
Pertempuran mulai terjadi di Selatan sungai Kuning, dekat semenanjung
Shandong. Pada awalnya para pemberontak Turban Kuning berhasil dipukul
mundur oleh serdadu pemerintah, dan pejabat-pejabat Han—yang percaya
diri bahwa pertempuran akan segera berakhir—menjuluki tahun 184 sebagai
tahun “Perdamaian Tercapai”.12 Tapi para revolusioner segera berkumpul
kembali dan menyerang ke depan lagi. Pada tahun 189, pertempuran sudah
mencapai ibu kota Loyang sendiri.
Di bulan Mai tahun yang sama, kaisar Lingdi wafat. Ielum menyebutkan nama pewaris pada saat kematiannya; sebaliknya ia meninggalkan
keputusan itu kepada jandanya, permaisuri pewaris, dan sida-sida istana, Jian
Shi. Beberapa waktu sebelumnya ia juga sudah memberi kekuasaan pada Jian
Shi atas kekuatan angkatan perang di Loyang, yang membuat sida-sida itu
sebagai salah satu dari orang-orang yang paling berkuasa di negara itu.
Keduanya memutuskan bahwa tahta akan jatuh pada putra Lingdi yang
berusia lima belas tahun, Shaodi. Dengan kekuasaan Loyang yang sekarang
sudah tergenggam erat di tangannya, sida-sida Jian Shi juga membuat rencana
untuk mengadakan pembersihan pribadi; ia bermaksud membunuh jenderal
kepala Han untuk menaikkan kekuasaannya sendiri.
Jenderal kepala mengetahui rencana itu, dan ia sendiri mulai merencanakan penghapusan semua sida-sida istana seluruhnya—suatu komplotan yang
berbalik sampai ke telinga para sida-sida. Kecurigaan istana terbagi dalam dua
golongan, keduanya bersenjata. Akhirnya para sida-sida membuat gerakan
pertama; mereka menyerang dan memenggal jenderal kepala, dan karenanya
salah satu dari para komandan memerintahkan pintu gerbang istana dikunci
dan semua sida-sida dibantai. “Semuanya ada dua ribu orang tewas,” kata
Sima Guang, “termasuk beberapa laki-laki sejati, yang kebetulan tidak berjanggut ikut salah dibunuh.”13
Jenderal Han yang lain yang berada di luar istana, Tung cho, melihat ini
sebagai kesempatannya untuk mengambil alih. Ia meninggalkan pertempuran dengan Kelompok Turban Kuning dan bergerak ke istana, meredam
kekacauan. Ia memerintahkan penahanan terhadap permaisuri pewaris dan
mulai menunjuk menteri-menterinya sendiri, memakai pasukannya untuk
mendukung perintah-perintahnya.
Sebetulnya, ia hanya menggertak; ia hanya mempunyai lebih sedikit orang
yang diperlukannya untuk pengambilalihan itu. Tetapi setiap malam ia menyu-
ruh beberapa pasukan mengendap-endap keluar Loyang di malam hari
dan kemudian kembali lagi dengan penuh kehebohan keesokan paginya
membawa bendara-bendera berkibaran dan drum-drum dipukul sehingga
kelihatannya seolah-olah makin banyak tentara yang bergabung dengannya
di istana.
Kaisar yang berusia lima belas tahun dan adiknya melarikan diri dari istana, mengkhawatirkan kelangsungan hidup mereka. Di luar, mereka tidak
menemukan tempat yang aman, tidak mendapatkan tempat untuk tidur,
tidak ada yang dapat dimakan. Karena putus asa, mereka berdua mau tidak
mau kembali ke istana untuk memohon perlindungan. Tung Chao memberikannya. Ia mengumumkan si adik, Xiandi, sebagai kaisar baru, di bawah
perlindungannya. Tetapi Shaodi yang berumur lima belas tahun sudah cukup
usia untuk menjadi bahaya. Tung Chao melupakan janji perlindungannya
dan menyuruh orang membunuh pemuda itu.
Tetapi, Tung Chao bukanlah satu-satunya jenderal yang mempunyai
harapan untuk memperbaiki diri. Kelompok Turban Kuning belum terkalahkan—tetapi pertempuran pecah di antara para pembelanya sendiri. Tung
Chao terpaksa mundur dari Loyang, menarik bersamanya si Xiandi muda. Jenderal yang lain, seorang petarung yang tangkas bernama Ts’ao Ts’ao, yang
mewarisi estatnya sendiri sebagai putra adopsi seorang sida-sida, mengepungnya di Chang’an dan membunuhnya.14
Ts’ao kemudian menawarkan perlindungannya terhadap Xiandi, yang
tidak punya banyak pilihan kecuali menerimanya; kalau ia tidak menempatkan dirinya di bawah kekuasaan Ts’ao ia akan mati. Ia setuju, dan Ts’ao
segera mengawinkan kaisar muda itu dengan putrinya sendiri dan mulai menguasai kembali daerah Utara China untuk putra menantunya yang baru.
Pertempuran melawan Turban Kuning terus berlarut-larut. Ts’ao akhirnya
berhasil mengalahkan pejuang turban Turban Kuning di tahun 205, tetapi
tahun-tahun peperangan terus mengikuti dasawarsa-dasawarsa kesalahan
pengelolaan dan korupsi yang sudah merusak negara. Xiandi kembali ke
Loyang, dan duduk di tahta Han. Tetapi ia sudah tidak mempunyai kekuasaan
dan tidak sepenting seperti kaisar Zhou dulu, pada akhir masa pemerintahan
dinasti. Perang-perang di antara orang-orang yang akan menjadi kaisar pecah
di mana-mana di wilayah kekaisaran. Ts’ao sudah hampir berhasil menguasai wilayah Utara, tetapi ia tidak mempunyai sekutu dalam penaklukkannya
untuk menyatukan tanah-tanah Han; terlalu banyak jenderal saingan yang
tidak ingin Loyang menjadi kuat lagi.
Pada tahun 208, pasukan Ts’ao bertemu dengan dua dari pesaingnya yang
terbesar di sungai Yantze, di sebuah tempat yang bernama Karang Merah.
Kedua pasukan tetap tinggal di tepi sungai selama berhari-hari; kedua pihak
sudah lelah karena pertempuran yang tiada akhir di tahun