Ia sepenuhnya berharap bahwa
Claudius akan bosan dengannya (Tacitus mengatakan bahwa ia mempunyai
”ketakutan tertentu” ketika mendengar Claudius dalam ocehannya di kala
mabuk, mengatakan bahwa ”sudah nasibnya untuk menahan diri terhadap
perkeliruan-perkeliuran para istrinya dan kemudian menghukum mereka”),9
dan ia ingin melihat Claudius mati dan putranya bertahta sebelum ia berbalik
melawan mereka berdua.
Tacitus mengatakan bahwa ia memilih racunnya dengan hati-hati: sesuatu
yang kelihatannya seperti penyakit biasa daripada ”racun yang ampuh dengan
efek drastis yang bisa mengungkapkan kejahatannya. Pada tahun 54, ia mencampurkan racun ke dalam jamur makan malam Cladius. Ketika Claudius
hampir bisa diselamatkan dari serangan diare yang mengosongkan hampir
semua racun dari dalam tubuhnya, Agrippina memerintahkan dokter untuk
membuatnya muntah untuk menyelamatkannya. Dokter itu juga termasuk
dalam persekongkolannya dan memasukkan lebih banyak racun pada bulu
yang ia cekokkan ke dalam tenggorokan Claudius.
P usia enam belas, Nero menjadi princeps. Sejauh ini ia adalah orang
termuda yang pernah mendapat jabatan itu; untuk jabatan pemerintah sebelumnya bahkan tidak mungkin ia memenuhi kualifikasi. Posisi ini sudah
mulai semakin seperti monarki.
Nero memulai masa kekuasaannya, seperti Claudius, dengan memberi uang
pada Para Pengawal Praetoria untuk tetap bersikap baik. Ia juga menjanjikan
pada Senat, dalam sebuah pidato yang ditulis oleh guru pribadinya, Seneca,
bahwa sebagian dari kekuasaan mereka akan dikembalikan, seperti yang diinginkan oleh Agustus. Ini adalah suatu langkah yang luar biasa yang berarti
bahwa ia (atau Seneca) sadar sepenuhnya bahwa ia sudah melenceng begitu jauhnya dari Republik yang asli. Langkah ini berisiko, dan keputusan Nero untuk
terus meneruskan bimbingan Seneca menunjukkan keberanian dan kenekatan. Tetapi ia juga memperbaiki taktik-taktik Claudius untuk melindungi diri.
Putra kandung Claudius Britannicus (dengan Messalina yang memalukan)
meninggal karena ”serangan epilepsi” hanya empat bulan kemudian. Nero
juga memerintahkan pengawal-pengawal ibunya dipecat, lalu diasingkan dari
kediaman kerajaan; ibunya sudah menghabisi satu princeps untuk mengamankan posisinya sendiri, dan Nero ingin tetap aman.
Setelah itu, lima tahun pertama pemerintahan Nero luar biasa saleh; kemudian orang-orang Romawi memberinya nama Quinquennium Neronis.
Kemungkinan guru pribadinya, Seneca, bisa mendominasi masa mudanya, kalau tidak ia sudah jatuh dalam kegilaan yang semakin parah yang
merupakan kutukan keluarga. Dalam hal apa pun, sejak umur dua puluh
dan seterusnya tingkah laku pribadinya semakin tenggelam, awalnya pada
pemuasan diri yang berlebihan, dan kemudian mengarah pada penyakit jiwa.
Pada tahun 58, ia jatuh cinta pada Poppea, istri dari temannya Otho. Nero
mengirimkan Otho ke provinsi yang jauh dan mengundang Poppea untuk
tinggal di istana; ia sebenarnya sudah menikah, tetapi tidak mempedulikan
protes-protes istrinya.
Pada tahun 59, ia memutuskan untuk melenyapkan ibunya untuk selamanya. Ia membuat perahu yang bisa hancur yang diperkirakan dapat
menggulungnya dan menenggelamkannya, dan kemudian mengirimnya
bepergian melalui sungai; ia belum cukup gila untuk tidak peduli pada
penampilan. Tapi betapa kecewanya ia karena ibunya berhasil berenang ke
tepi sungai. Menurut suatu cerita, ia memerintahkan seorang pelayan untuk
menusuknya segera setelah ia sampai ke darat. Kemudian ia menceraikan
istrinya dan menyuruh orang membunuhnya dan kepalanya dibawa kembali
kepada Poppea sebagai piala. Ia juga menyatakan perceraian antara Poppea
dan suaminya Otho, dan menikahinya.
Sementara itu, serdadu Roma di Britania sedang mencontoh pemimpin
mereka dan berkelakuan sangat tidak sabar. Mereka mulai membangun sebuah kota baru di Britania untuk mereka sendiri, di atas puing-puing ibu
kota lama Caratacus yaitu Camulodunum, sebuah kota yang akan dihuni oleh
penduduk yang seluruhnya adalah veteran angkatan perang.10
Untuk mendapat pekerja yang tidak usah dibayar, mereka memperbudak suku Trinovantes
yang tinggal di dekat tempat mereka, menyerobot tanah-tanah mereka, dan
memaksa rakyatnya membangun untuk mereka.
Pada tahun 60, raja dari suku kecil lain yaitu Iceni wafat; ia meninggalkan
seorang janda, Boudiccea, dan dua putri. Karena ia tidak punya putra, pemerintah Roma di Britania memutuskan untuk menyerap wilayah Iceni masuk
ke dalam provinsi Roma. Dan kemudian serdadu-serdadu Roma menyerobot
masuk, memperkosa kedua putri, dan memukuli Boudiccea.
Boudiccea yang merasa terhina,
direndahkan, dan melihat negaranya
musnah di depan matanya, memimpin
sebuah revolusi. Rakyat Trinovantes
yang tertekan mengikutinya. Mereka
merencanakan penyerbuan ke kota
Camulodunum yang baru sebagian
dibangun, suatu serangan yang dikatakan oleh orang Romawi kemudian
sudah memperlihatkan tanda-tanda
buruk: arca Kemenangan runtuh,
teriakan-teriakan dan jeritan-jeritan
tanpa ada orangnya terdengar dalam
gedung-gedung yang belum selesai itu, laut berubah menjadi merah
darah, dan ”bentuk-bentuk seperti
mayat hidup” tergeletak ditinggalkan
oleh arus surut.
Tetapi tidak perlu ada pertanda untuk menyaksikan datangnya
malapetaka. Kota baru yang hanya
dijaga oleh sebuah garnisun kecil,
dan gerombolan orang Britania yang
membeludak itu menyerbunya tanpa
kesulitan. Divisi Kesembilan, yang bermarkas di sana, dibunuh secara massal,
hampir semuanya kecuali satu orang; gubernurnya melarikan diri ke Gallia.
Komandan Roma, Paulinus, berhasil melakukan serangan hari itu, dengan
mendapatkan bantuan yang penuh kekerasan, dan serangan yang terorganisasi dengan benar, dan dengan kekuatan serdadu-serdadu bersenjata mendesak
dan segera mematahkan perlawanan pemberontak Britania itu.11 Boudiccea
melarikan diri dan kemudian minum racun.
Gubernur selanjutnya berjalan dengan lebih percaya diri di sekitar rakyat
Britania, dan mengatur para prajurit Romawi yang berada di Britania untuk
bertingkah laku lebih tenang. Tetapi tidak ada yang mengatur Nero supaya
tenang. Ia berselingkuh, minum-minum, menaikkan pajak di provinsiprovinsi untuk membiayai kepuasan pribadinya, dan mulai lagi melakukan
pengadilan-pengadilan terhadap para pengkhianatan yang terkenal buruk
seperti yang dilakukan oleh Caligula.
Pada tahun 64, kebakaran terjadi di Roma, dan menyebar dengan cepat
melalui daerah miskin di kota itu. Angin mempercepat dan memperkuat kobaran api itu. Kota dijejali dengan rumah-rumah dari kayu kering, berhimpitan, dan api berkobar-kobar sampai mencapai ketinggian yang belum
pernah terlihat sebelumnya. ”Malapetaka yang dialami kota itu tidak bisa
disamakan dengan kejadian waktu penyerbuan Gallia,” tulis Dio Cassius.
Seluruh bukit Palatinum, teater Taurus, dan hampir dua per tiga dari sisa kota
terbakar. Tak terhitung orang-orang yang musnah.”12
Nero sedang berada di luar kota pada saat itu, tetapi kejahatan-kejahatannya telah meyakinkan Roma bahwa ia bisa berbuat apa saja. Segera tersebarlah
rumor: Nerolah yang mengawali kebakaran itu untuk membersihkan tanah
untuk membangun istananya yang baru … atau sangkaan yang lebih buruk
lagi, ia semata-mata melakukan pembakaran itu untuk hiburan.
Sebetulnya, hati nurani Nero belum sepenuhnya terbakar. Ia kembali ke
kota dan memulai melakukan operasi pertolongan, tetapi ia tidak membantu
memecahkan masalah pada malam pertama ia kembali, ia begitu tergugah
oleh pemandangan api yang menyapu seluruh Roma bagaikan syair kepahlawanan sehingga ia naik ke atas sebuah atap dan menyanyi dengan lantang lagu
”Pendudukan Troya” sampai selesai. Setelah itu, reputasinya hancur. Seperti
kata Tacitus, ”Semua usaha manusia, semua hadiah-hadiah Nero yang berlebihan … tidak menghilangkan kecurigaan orang bahwa kebakaran besar itu
adalah akibat sebuah perintah.”13
Kebakaran, kegilaan, dan pengadilan-pengadilan terhadap para pengkhianat semuanya mendorong sekelompok senator untuk merencanakan
pembunuhan dalam bulan April 65. Senat belum pernah seputus asa ini sejak
kematian Caesar, lebih dari seratus tahun sebelumnya. Tetapi rencana itu
ketahuan, para anggota komplotan itu dihukum mati, dan Nero terus terpilin lebih jauh ke dalam paranoia. Guru pribadinya sendiri yang sudah tua,
Seneca, mengetahui bahwa ia dicurigai berkhianat, lalu bunuh diri bersama
istrinya di rumah mereka untuk menghindari siksaan dan hukuman mati.
Sekitar waktu itu penindasan terhadap kaum Kristiani dimulai: Nero,
sambil menghukum mati semua konspirator yang dicurigainya melawan dia,
merasa perlu untuk mengalihkan perhatian agar ia terbebas dari berbagai
tuduhan.. Kaum Kristiani menjadi korban dengan dijadikan kambing hitam
atas kebakaran itu juga. Tetapi, kelihatannya motivasinya adalah murni kebencian. Sulpicius Severus dalam catatan-catatannya mengatakan:
Dengan cara apa pun yang dicobanya, Nero tidak bisa melepaskan diri
dari tuduhan bahwa api itu disebabkan karena perintahnya. Ia kemudian
membelokkan tuduhan kepada kaum Kristiani, dan karena itu siksaan-
siksaan yang paling jahat dijatuhkan pada mereka yang tak berdosa. Bahkan
kematian jenis-jenis baru diciptakan, dengan tubuh mereka ditutupi dengan kulit-kulit binatang liar, mereka musnah dimangsa anjing-anjing,
sedangkan yang lain disalibkan atau dibunuh dengan api, dan tidak sedikit
yang disisihkan,, ketika hari menjelang berakhir, mereka dipakai untuk
menjadi penerang pada malam hari … Pada saat itu (para murid) Paulus
dan Petrus dihukum mati, Paulus dipenggal dengan sebuah pedang, sedangkan Petrus menderita disalibkan.14
Paulus, seorang Yahudi Romawi yang menjadi Kristen, yang menuangkan
dalam tulisan, ungkapan yang paling jelas hingga kini tentang kemungkinan
bahwa satu identitas dapat hidup berdampingan di dalam bangsa-bangsa dari
negara-negara yang berbeda dan menjadikan mereka satu, sekarang dipandang sebagai potensi yang berbahaya bagi kekaisaran.
P tahun 66, Nero membuat keputusan yang menempatkannya di jalan
menuju kehancuran: ia menyerahkan Armenia. Raja Partia yang sekarang,
Vologases I, menolak untuk menghormati perjanjian yang dibuat di tengah
sungai Efrat dulu pada zaman Caligula, dan mengirimkan pasukan-pasukan
Partia ke Armenia untuk merebutnya. Pasukan-pasukan Roma sudah mulai
melawan di tahun 53 SM, setahun sebelum kematian Claudius, dan perjuangan itu sudah berubah menjadi perang yang tidak menentu dan melelahkan
yang berlangsung selama empat belas tahun. Tetapi ada kesulitan lain di tempat lain di dalam wilayah Roma juga; provinsi-provinsi yang gelisah dan tidak
puas karena di bawah (tekanan) pajak yang terlalu tinggi, angkatan perang
yang tersebar jumlahnya sedikit.
Nero memutuskan bahwa keputusan terbaik adalah berdamai dengan
Partia. Jadi, ia setuju untuk mengakui kakak Vologases yaitu Tridates sebagai
raja Armenia. Tiga ribu orang Partia melakukan perjalanan ke Roma bersama Tridates, untuk menonton upacara penyerahan mahkota Armenia oleh
Nero. Mungkin yang dimaksudkan oleh Nero adalah menjadikan kesempatan ini untuk memamerkan keagungan Roma—ia memerintahkan supaya
pintu-pintu Kuil Janus ditutup, agar menunjukkan bahwa seluruh kekaisaran
sekarang dalam keadaan damai—tetapi bagi orang Romawi yang menonton,
pemandangan ribuan orang Partia memenuhi jalan-jalan mereka merayakan
kemenangan pastilah terlihat seperti pawai kekalahan.
Selain itu, tingkah laku Nero menjadi lebih buruk. Ia menendang
istrinya yang sedang hamil sampai mati karena marah, dan kemudian ia memerintahkan seorang anak laki-laki muda bernama Sporus yang mirip dengan
istrinya yang mati dikebiri sehingga ia dapat menikahi Sporus dalam upacara
umum.
Dua tahun setelah penyerahan Armenia, kapten Pengawal Praetoria me-
nyatakan bahwa para pengawal akan mendukung gubernur Hispania, seorang
tentara yang berpengalaman (dan mantan konsul) bernama Galba, jika mau
menuntut imperium: komando tertinggi dari semua angkatan perang Roma.
Galba mendapat dukungan penuh dari pasukannya sendiri di Hispania, ditambah dengan dukungan dari gubernur provinsi tetangga: gubernur itu
kebetulan adalah Otho, yang istrinya dicuri dan kemudian dibunuh oleh
Nero. Ia senang bisa menyertakan angkatan perangnya untuk membantu
Galba.
Nero yang menyadari bahwa kehilangan dukungan dari Pengawal Praetoria
sama saja dengan kehilangan tahtanya, lari ke kota pelabuhan Ostia dan memesan sebuah kapal. Para Pengawal sudah berada dekat di belakangnya, dan
tidak ada satu pun dari kapten di pelabuhan yang mengizinkannya naik ke
atas kapal. Ia bergegas keluar kota, tetapi para Pengawal mengepungnya di sebuah rumah di luar kota. Tindakan yang biasa dalam situasi seperti itu adalah
bunuh diri. Nero dibantu oleh salah satu pembantunya yang memegangi
tangannya dan menusukkan belati itu. ”Begitu bahagianya masyarakat,” tulis
Suetonius, sehingga orang-orang mengenakan topi kebebasan dan berlarian
di seluruh kota.”15
Galba usianya sudah melewati tujuh puluh, digerogoti rematik, dan tidak
mempunyai hubungan apa pun dengan para princeps dari Roma yang terdahulu. Tetapi, sekarang jelas bahwa kekuasaan sebenarnya dari para princeps
tidak terletak pada wewenangnya sebagai prokonsul atau Pontifex Maximus,
atau kepala tribun, atau jabatan-jabatan sipil lainnya yang dibungkus dalam
gelar Warga Negara Pertama. Kekuasaan para princeps yang sebenarnya
terletak pada imperium, komando tertinggi angkatan perang. Dan untuk
memelihara imperium, penguasa Roma memerlukan dukungan dari Pengawal
Praetoria. Republik telah menjadi sebuah kekaisaran, dan kekaisaran sekarang
dijalankan oleh sesuatu yang mirip dengan junta rahasia: sekolompok tentara
yang kuat yang bisa mengangkat atau menggeser tokoh penguasa tertinggi,
tapi mereka sendiri juga memegang kekuasaan yang sebenarnya.
Galba ternyata merupakan seorang tokoh pemimpin yang buruk. Ia
bergerak ke Roma di depan para pasukannya, dengan Otho di sampingnya.
Tetapi begitu sampai di sana, ia tidak mau membayar para tentara yang sudah
mendukungnya, seperti apa yang dilakukan para imperator sebelumnya.16
Segera saja berbagai pertanda buruk mulai muncul, yang meramalkan bahwa
ia tidak akan memerintah untuk waktu yang lama; yang paling serius adalah
ketika dalam suatu upacara kurban, ayam-ayam yang sudah disucikan pergi
meninggalkannya.Pertanda-pertanda buruk itu mungkin diatur oleh para anggota Pengawal
Praetoria yang sudah memutuskan untuk mengubah kesetiaannya dari Galba
ke Otho. Tujuh bulan setelah menduduki kekuasaan sebagai seorang imperator, Galba sedang mengadakan upacara kurban di Kuil Apolo ketika para
Pengawal Praetoria memproklamasikan Otho sebagai imperator yang menggantikannya. Galba mendengar berita itu menyeruduk masuk ke dalam
Forum untuk menghadapi para pemberontak. Mereka membunuhnya di
situ, melemparkan tubuhnya ke jalan, dan menusukkan kepalanya pada sebuah tiang.
Walaupun merasa tidak puas, Senat terpaksa menyetujui untuk mengesahkan Otho sebagai imperator dan princeps. Sementara itu, angkatan perang
yang ditempatkan di sungai Rheine mengumumkan bahwa mereka menginginkan Vitellius, komandan dari angkatan perang di Jerman, untuk menjadi
imperator sebagai gantinya. Sekarang ada dua imperator dalam Kekaisaran
Roma, satu yang disahkan oleh Senat sebagai princeps dan didukung oleh
Pengawal Praetoria, dan yang lain tidak disahkan tetapi dengan dukungan
angkatan perang yang besar di belakangnya.
Vitellius berjalan menuju Italia, di mana orang-orangnya membangun sebuah jembatan menyeberangi sungai Po dan mengalami bentrokan dengan
angkatan perang Otho yang jumlahnya lebih kecil dalam perang Cremona.
Angkatan perang Otho tercerai berai; dengan pengundurandiri yang jarang
terjadi, Otho memutuskan bahwa tidak ada gunanya baginya dan bagi Roma
untuk memasuki perang saudara yang besar. Ia membereskan semua urusannya, membakar dokumen-dokumennya, membagi-bagikan harta miliknya,
dan tidur nyenyak malam itu, dan keesokan harinya ia bunuh diri. Itu adalah
tindakan seseorang yang mempunyai hati nurani yang jernih dan keberanian
yang luar biasa, imperator semacam itulah yang diperlukan oleh Roma.
Sebaliknya apa yang didapatkan oleh Roma adalah Vitellius yang licin dan
tidak berprinsip. Ia bergerak ke Roma, di mana ia menunjukkan cengkeramannya atas struktur kekuasaan dengan membubarkan Pengawal Praetoria
dan menciptakannya kembali dari pasukannya sendiri yang setia.
Legiun-legiun Roma yang lain tidak menyukai perlakuan pilih kasih atas
tentara-tentara yang berasal dari provinsi Jerman itu. Tidak lama kemudian
pasukan-pasukan yang ditempatkan di bagian Timur kekaisaran menyatakan
bahwa mereka sekarang akan mendukung calon lain: Vespasianus, jenderal
Roma yang sudah mempunyai nama dalam perang melawan Britania, dan
yang telah dihadiahi kegubernuran di Suriah.
Vespasianus tidak ada di dekat Roma; ia berada di provinsinya sendiri,
memadamkan kekacauan di Palestina. Sejak ancaman Caligula yang memaksakan untuk meletakkan arcanya sendiri di kuil, pemberontakan Yahudi terhadap penguasa Roma telah tumbuh; tuntutan itu dihindari, tetapi orang
Yahudi merasa bahwa tidak akan lama lagi mereka pasti akan diminta untuk
melakukan sesuatu yang betul-betul mengejutkan. Di tahun 66, sekelompok
pejuang kemerdekaan bernama Zealot(orang yang fanatik) telah menyatakan
perang dengan tentara Romawi yang ditempatkan di Yerusalem. Gubernur
setempat sudah menggerakkan pasukan masuk ke daerah itu tetapi kalah,
dan situasi menjadi cukup serius untuk Vespasianus sendiri, seorang jenderal yang berpengalaman untuk ikut campur dan membersihkan kekacauan
itu. Dengan bantuan putra dan komandannya Titus, Vespasianus berhasil
memukul mundur para pemberontak masuk ke dalam Yerusalem yang sekarang sudah diserang.
Kembali ke Roma, Vitelius makan-makan dan minum-minum dan
memuaskan dirinya, sedangkan tentara-tentaranya bersiap untuk membela
kekuasaannya. Pasukan Roma yang mendukung Vespasianus sedang bergerak ke arah mereka. Kedua angkatan perang bertemu di Kremona, di mana
serdadu Vespasianus yang setia akhirnya menang; tetapi kemenangan itu
mengakibatkan amukan yang disertai dengan pembakaran dan perusakan
yang menjalar sampai ke Roma sendiri selama empat hari. Para pendukung Vesapsian di kota mencoba untuk merebut kekuasaan dari Vitellius,
dan dalam perang yang terjadi kemudian Capitol dan Kuil Jupiter Optimus
Maximus yang besar terbakar ludas. Pada bulan Desember tahun 69, para
tentara mendobrak masuk ke dalam istana Vitelius sendiri, membunuhnya
dan melenyapkan tubuhnya dengan cara biasa: melemparkannya ke dalam
sungai Tiber.
Vespasianus mau menggantikan kedudukannya tetapi ia tidak mau datang
jauh-jauh ke arah Barat ke Roma sebelum perebutan Yerusalem diselesaikan.
Jadi, Senat yang sudah putus asa untuk memenuhi keinginan para pendukungnya yang sukar dikendalikan sebelum mereka membakar tempat lain
lagi, menyatakan Vespasianus sebagai princeps, seperti Agustus, Tiberius, dan
Claudius sebelumnya. Ia diberi gelar tanpa pernah menginjakkan kakinya di
Roma.
Dekrit itu bahkan tidak memuat daftar nama Caligula, Nero, Galba,
Otho, atau Vitellius: mereka telah dihapus dari catatan damnatio memoria.
Dalam tahun-tahun yang sudah dilewati itu, empat penguasa telah menduduki kekuasaan sebagai princeps, dan jelaslah bahwa kekuasaan fiksi yang
diberikan oleh Senat, atas nama rakyat, adalah sama sekali palsu. Kekuasaan Roma dipegang oleh orang yang terkuat dengan dukungan senjata yang paling banyak. Tetapi dengan tidak menuliskan daftar orang-orang yang telah
memecahkan ilusi ini, Senat mengingkari keberadaan mereka. Permainan
sandiwara yang menjadi ciri kekuasaan Agustus masih ada tepat di tengahtengah kancah politik Roma.
ROMA CHINA PARTIA
Pendudukan Kedua (23)
Oktavianus, pontifex maximus
Aiti
Ping Phraates V
Ruzi Vovones I
Dinasti Xin (9 M)
Kematian Oktavianus (14 M) Wang Mang Artabanus III
Tiberius, princeps
Dinasti Han Timur 25 M)
Kematian Yesus dari Nazareth Guang Wudi
Caligula, princeps (41)
Vologases I
Nero, princeps (54) Mingdi
Galba, princeps (68)
Vespasianus, princeps (69)
P bul September 70, tembok-tembok Yerusalem runtuh dan kota
terbakar, Kuil Kedua hangus dalam kobaran api. Pasukan pemberontak Yahudi
belum seluruhnya terkalahkan, tetapi Vespasianus sudah merasa cukup yakin
akan menang sehingga ia meninggalkan daerah itu. Akhirnya ia berangkat ke
Roma dalam bulan September tahun 70 setelah menjadi princeps in absentia
selama sembilan bulan.
Vespasianus adalah seorang serdadu yang berpengalaman; ia memahami
cara-cara berpikir seorang serdadu, dan ia tidak memandang ringan kekuatan
angkatan perangnya yang mampu menunjang atau menghancurkan kekuasaannya. Tindakannya yang pertama adalah, begitu sampai di Roma, dia
menunjuk kembali para komandannya dan membagi-bagi kembali pasukannya sehingga kesetiaan pada pemimpin yang lama dihancurkan.
Pemerintahannya yang sudah berlangsung selama sepuluh tahun berjalan dengan tenang, teratur, sangat terkelola dengan baik: persis seperti yang
diinginkan oleh Senat, kembalinya zaman prosedur Agustan. Ada beberapa
pertempuran di wilayah pinggiran kekaisaran: operasi militer di Britania,
provinsi Roma yang paling sedikit dikuasai, dan akibat perang yang menghebohkan di Yerusalem. Di tahun 73, sisa-sisa pemberontak Yahudi, yang
terperangkap dalam benteng mereka di Masada, membunuh anak-anak mereka, kemudian mereka sendiri memilih untuk bunuh diri, daripada akhirnya
harus menyerah kepada bangsa Romawi. Pegangan bangsa Yahudi yang terakhir sudah lenyap, begitu juga Yehuda dan seluruh sisa bangsa tua Israel;
Palestina menjadi bagian dari provinsi Suriah.
Tetapi yang penting Roma sedang berada dalam keadaan damai;
Vespasianus menghindari pengadilan-pengadilan perkara pengkhianatan dan
menurunkan pajak, tindakan tersebut membuatnya populer dan juga membuat Roma lebih tenteram.
Pada tahun 79, Vespasianus wafat, mungkin karena flu, dalam usia tujuh
puluh.1
Senat mengesahkan putranya Titus sebagai pewaris, dengan sedikit
was-was. Selama pemerintahan Vespasianus, Titus memiliki reputasi sebagai
seorang komandan yang terkenal bengis dan sering berbuat kejam, dan sepak
terjangnya sangat keras, khususnya terhadap Yerusalem. Tetapi begitu diberi
gelar princeps, ia mengikuti contoh ayahnya yang teratur dan patut.
Meskipun begitu Roma tidak mendapat kesempatan untuk menghela
napas. Tiga bencana sekaligus menyerang Titus, berturut-turut.
Yang pertama adalah meletusnya Gunung Vesuvius, ketika hanya dua
bulan memasuki masa pemerintahannya. Gunung Vesuvius terletak dekat
pantai Italia sebelah Barat Daya, tidak jauh dari Teluk Napoli, dan pada saat
itu sudah sering bergemuruh sepanjang ingatan orang Romawi. Orang-orang
yang tinggal di kota Pompei, yang dekat dengan kaki gunung itu, sudah terbiasa dengan gempa bumi, dan bahkan meskipun gempa bumi itu semakin
kuat, tidak ada orang yang khawatir; tidak ada yang menyadari bahwa gempa
bumi itu adalah tahap-tahap awal meletusnya sebuah gunung.
Penulis Romawi Plinius Muda ada di Pompei pada tanggal 23 Agustus
79, sehari sebelum gunung itu meletus. “Sudah terjadi beberapa getaran selama beberapa hari sebelumnya,” tulisnya, dalam sebuah surat kepada seorang
teman, “suatu kejadian yang normal di Kampania dan tidak perlu panik.”
Tetapi malam itu goncangannya menjadi lebih keras; orang-orang berpikir
itu adalah sebuah pergolakan, bukan hanya sebuah getaran … Pada saat
itu hari diawali dengan fajar yang sedikit ragu-ragu dan nyaris lamban. Di
sekitar kami gedung-gedung bergoyang. Kami berada di tempat terbuka,
tetapi hanya suatu tempat kecil dan kami takut, juga tidak yakin, bahwa
akan ada sebuah keruntuhan. Akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan kota; segerombolan orang yang bingung mengikuti kami, mereka
lebih memilih mengikuti rencana kami daripada rencana mereka sendiri
(dalam sebuah kepanikan, ini adalah jalan yang bijaksana). Jumlah mereka
begitu besar sehingga mereka memperlamban keberangkatan kami, lalu
mereka menyapu kami. Kami berhenti begitu kami sudah meninggalkan gedung-gedung di belakang kami. Banyak kejadian aneh menimpa
kami di sana, dan banyak yang harus kami khawatirkan. Kereta-kereta
yang kami perintahkan untuk maju malah bergerak ke arah yang berlawanan, meskipun tanahnya sama sekali rata, dan mereka tidak bisa diam
di tempat meskipun roda-rodanya dihalangi oleh batu-batu. Tambahan
lagi, laut kelihatannya seperti disedot ke belakang, seperti didorong oleh
goncangan dari daratan. Tentu saja garis pantai bergerak ke arah luar, dan
banyak makhluk laut tertinggal di pasir yang kering. Di belakang kami ada awan-awan hitam yang menakutkan, diiringi kilat yang berkelok-kelok dan
menyambar, menyebabkan kobaran-kobaran api yang besar. Api-api itu
seperti kilat, tetapi lebih besar lagi .. Tidak lama kemudian, awan meregang ke tanah dan menutupi laut .. Sekarang datanglah debu, meskipun
masih tipis. Aku menoleh ke belakang: segulung awan hitam yang padat
menggantung di belakang kami, mengikuti kami seperti banjir menyapu
daratan. “Marilah kita menepi sebentar sementara kita masih bisa melihat,
kalau tidak mau jatuh ke jalan dan terlindas oleh gerombolan orang yang
mengikuti kita itu.” Kita belum sampai sempat duduk ketika kegelapan
yang tidak seperti malam tak berbulan atau malam berawan datang, tetapi
lebih gelap seperti ruangan yang tertutup dan tidak ada penerangan. Kita
bisa mendengar para wanita meratap, anak-anak menangis, dan para lelaki
berteriak. Beberapa orang memanggil orang tuanya, yang lain memanggil anak-anaknya atau pasangannya; mereka hanya bisa mengenalinya dari
suara mereka … Meskipun kemudian menjadi sedikit terang tetapi kelihatannya seperti siang hari yang kembali, tetapi itulah sebuah tanda bahwa
api mulai mendekat. Api itu sendiri sebetulnya berhenti sedikit jauh, tetapi
kegelapan dan abu datang lagi, dalam jumlah besar dan berat. Kami berdiri dan mengi-baskan abu terus-menerus. Kalau tidak kami bisa tertutup
oleh abu dan terhempas karena beratnya. Aku boleh bangga karena aku
tidak mengeluh, tidak mengucapkan kata-kata ketakutan dalam keadaan
bahaya seperti itu, tetapi aku mengira aku sudah lenyap bersama dunia,
dan dunia bersamaku.2
Mereka yang tidak dapat melarikan diri terkubur dalam abu yang dalamnya
tujuh setengah meter, atau tercekik oleh panas dan gas. Lebih dari dua ribu
orang meninggal dalam satu malam.
Titus segera mengirimkan bantuan malapetaka dari Roma, dan mengunjungi lokasi sendiri segera setelah keadaan aman. Ia berada di Pompei lagi
untuk kedua kalinya, memeriksa apa yang masih perlu ditolong, ketika sebuah api kecil di Roma berkobar dan membakar sebagian besar kota itu. Dan
setelah api itu, datanglah wabah penyakit yang menyapu para pengungsi yang
berjejal di dalam kota, membunuh mereka dalam jumlah besar.
Pada tahun 81, masih berjuang dengan buntut dari malapetaka-malapetaka itu, Titus menderita sakit panas dan wafat pada usia empat puluh dua. Ia
sudah menjadi princeps kota Roma kurang dari tiga tahun yang mengerikan.
Mungkin demam itu malah melegakan.
Pada saat kematian Titus, adiknya Domitianus disahkan menjadi imperator oleh Pengawal Praetoria, dan (mau tidak mau terpaksa) dilantik sebagai
princeps oleh Senat, dua puluh empat jam kemudian. Domitianus tidak
pernah menjadi kesayangan ayahnya; karena itu ia pun meragukan dirinya
sendiri sehingga ia bertingkah laku angkuh terhadap Roma dan sama sekali
tidak mempedulikan Senat.
Sikap ini bukanlah sesuatu yang buruk. Menurut Suetonius, kekerasannya
pada umumnya dipraktikkan dalam minat-minat terhadap hukum dan tata
tertib: “Ia mengatur keadilan dengan sangat berhati-hati dan sangat teliti,”
tulisnya. “Ia menurunkan derajat para juri yang menerima uang suap, bersama dengan semua komplotan mereka … Ia begitu menjalankan pengekangan
terhadap para pejabat kota dan para gubernur provinsi-provinsi, sehingga
tidak lama kemudian mereka menjadi lebih jujur atau adil.” Ia juga mengawasi dengan ketat moral umum: “Ia mengeluarkan seorang mantan quaestor
(hakim tinggi) karena ketahuan kalau ia mengambil pelajaran seni peran dan
menari,” komentar Suetonius. Ia membuat para pelacur tidak berhak menerima warisan, dan ketika ia menemui bahwa salah satu dari Perawan Vestal
(gadis penjaga kuil) berhubungan bebas dengan banyak orang, ia mengeluarkan dekrit bahwa hukuman tradisional harus dilaksanakan. Gadis itu dikubur
hidup-hidup dan para kekasihnya “dipukuli dengan tongkat sampai mati” di
depan umum.3
Semua tindakan itu benar adanya, meskipun kejam. Domitianus cenderung
untuk tidak menunjukkan belas kasihan; ia menjalankan kekuasaannya dengan sangat serius. Tidak lama setelah ia naik tahta, ia memakai gelar dominus et
deus, yang berarti “Tuhan dan Allah,” dan memerintahkan bahwa semua surat
resmi harus diberi kop surat “Tuhan kita dan Allah kita memerintahkan ini
harus dikerjakan.” “Dan begitulah kebiasaan itu timbul,” Suetonius menambahkan, “sejak itu tidak ada yang menyebutnya dengan sebutan lain bahkan
dalam tulisan maupun lisan.”4
Tidak seperti Caligula, ia sangat waras; dan ia tidak menggunakan pengakuan ketuhanannya untuk melanggar hukum. Keadilan sampai hal yang
paling kecil ini mencegah kemarahan orang banyak yang telah membunuh
para penyalahguna kekuasaan seperti para princeps. Senat tidak menghalangi
dengan mengajukan keberatan-keberatan; Para Pengawal Praetoria tidak segera membunuhnya.
Tetapi kita dapat melihat kembali pada gelar dominus et deus pada titik di
mana topeng kesenangan dari pemerintahan republik akhirnya disingkirkan
untuk selamanya. Bahkan princeps yang terburuk pun dilantik oleh Senat,
betapa pun dengan tidak relanya. Tetapi tidak seorang pun dapat mengaku bahwa seorang penguasa yang disebut “Tuhan dan Allah” perlu diberi
sanksi oleh rakyatnya untuk memerintah. Domitianus bukanlah satu-satunya
penguasa Roma yang mendapat kekuasaan yang bersifat raja, tetapi ia adalah yang pertama yang mengatakan begitu. Warga Negara pertama akhirnya
menjadi seorang kaisar.
Tuntutan Domitianus atas kekuasaan terakhir dan penerapan hukumnya
yang kaku menghasilkan kesengsaraan yang sama yang menjangkiti China
ketika hadiah-hadiah diberikan untuk laporan atas kesalahan-kesalahan orang
lain, dan Sparta ketika setiap orang menjadi polisi moral bagi saudaranya.
Atmosfer Roma menjadi begitu tertindas sehingga Tacitus mengutarakan rasa
syukurnya kepada ayahnya yang begitu dicintai dan dirindukannya, Agricola
sudah meninggal sebelum pemerintahan Domitianus:
Domitianus tidak lagi menyisakan ruang untuk selingan atau ruang
bernapas … Di bawah Domitianus lebih dari setengah kesusahan kita berada dalam mengawasi dan diawasi, sedangkan keluh-kesah kita mencatat
angka yang tinggi … Berbahagialah Engkau, Agricola, dalam kehidupanmu yang mulia, tetapi tidak kurang bahagia dalam kematianmu yang tepat
waktu.5
Hukuman yang diberikan dengan tanpa ampun karena kelakuan yang tidak
senonoh mengakibatkan rasa tidak puas, ketidakpuasan menyebabkan gerutuan, gerutuan menyebabkan komplotan, komplotan menyebabkan kecurigaan,
kecurigaan menyebabkan terbukti bersalah, terbukti bersalah menyebabkan
hukuman tanpa ampun, dalam sebuah lingkaran kesusahan yang tiada akhir.
Domitianus, seperti Titus dan Vespasianus, tahu sumber kekuasaannya;
ia menaikkan gaji angkatan perang untuk meyakinkan dirinya atas kesetiaan
mereka. Rumah tangganya kurang dihargai. Tahun 96, istrinya, seorang
pembantu kamarnya, keponakan wanitanya (yang suaminya dihukum mati
olehnya karena ateis), dan para pemimpin Pengawal Praetoria bersama-sama
menusuk Domitianus sampai mati di kamar tidurnya.6
Senat segera mengumumkan seorang kaisar dari salah satu mereka, seorang konsul bernama
Nerva yang berusia enam puluh satu tahun. Kejadian itu membahagiakan rakyat Roma, tetapi tidak bagi angkatan
perangnya. Di tahun 97, Pengawal Praetoria (yang tidak secara keseluruhan
mengambil bagian dalam komplotan untuk membunuh Domitianus dan
memberikan kesetiaan angkatan perang kepadanya) mengunci Nerva di
istananya sendiri, menyeret keluar si pengurus rumah tangga raja yang membiarkan para pembunuh masuk ke dalam kamar Domitianus, memotong alat
kelaminnya, memasukkan ke dalam mulutnya, dan memotong tenggorokannya.7
Segera sesudahnya, Nerva mengumumkan bahwa pewarisnya adalah
jenderal Traianus, orang yang disukai oleh angkatan perang, yang baru-baru
ini ditempatkan di dekat sungai Rheine. Mungkin ia sudah diberitahu bahwa
ini hanyalah satu-satunya cara untuk menghindari pembunuhan, tetapi tak
satu pun dari negosiasi itu berguna. Beberapa bulan kemudian, Nerva wafat
karena sakit panas. Mungkin itu malah merupakan suatu pembebasan yang
lebih diharapkan daripada akhirnya yang mungkin bisa lebih keji.
Mendengar berita bahwa ia sekarang adalah kaisar, Traianus tidak terburu-buru, ia membereskan dulu urusan kedudukannya yang sekarang sebagai
komandan sebelum ia menuju ke Roma. Ia melakukan perjalanan sepanjang
Sungai Rheine dan Danube untuk memastikan keadaannya aman, dan baru
setelah itu ia kembali ke arah Selatan. Ia baru sampai di Roma setelah hampir
delapan belas bulan setelah kematian Nerva.
Kota kembali tenang selama waktu itu, itulah yang menjadi ukuran kepantasan Traianus untuk menduduki jabatannya. Angkatan perang menghormati
kemampuannya, dan rakyat Roma yang lega karena Domitianus sudah tidak
ada dan terhindar dari perang saudara yang bisa saja terjadi setelah kematian
Nerva, siap menyambut kedatangannya.
Pakar sejarah Roma hampir mempunyai satu suara dalam memuji
Traianus. Ia memperbaiki jalan-jalan dan pelabuhan-pelabuhan, membangun
perpustakaan, menggali kanal-kanal, memperbaiki saluran, dan “bersumpah
bahwa ia tidak akan menumpahkan darah,” itu membuat rakyatnya senang.8
Operasi-operasi militernya menyenangkan angkatan perang; pada tahun 106,
ia menambahkan Sinai dan daratan Utara sungai Danube pada Kekaisaran
Roma. Ia memimpin penyerbuan itu sendiri, dan pulang kembali dengan
kemenangan yang dirayakan secara besar-besaran. Untuk menghormati kemenangan-kemenangannya, cerita tentang perang-perangnya di sebelah Utara
Danube diukir, dalam gaya komik, pada sebuah tiang yang masih berdiri di
Roma: Tiang Traianus.
Reputasi Traianus sebagai kaisar yang baik terletak pada keadilannya yang
mendasar, ia tidak paranoid, caranya mengurus ibu kota sangat baik, dan kerelaannya untuk mengadakan operasi militer untuk lebih menjayakan Roma.
Tetapi juga ada hubungannya dengan sikapnya yang berpegang teguh pada peraturan di mana ia mengamati forum-forum yang kosong dalam kerja sama
dengan Senat. “Ia memperlakukan para Senator dengan martabat,” menurut
sejarah Agustan*
dari abad keempat, dan ia sangat cermat dalam menjalankan
peraturan-peraturan senatorial.
Hubungan antara Senat dan Kaisar yang seperti ini belum pernah terlihat selama beberapa dasawarsa, atau lebih; dan dalam suasana ini, dibuatlah
usaha-usaha yang bijaksana untuk membenarkan dominasi seorang kaisar
atas sebuah bangsa yang namanya saja sudah menyangkal kemungkinan seperti itu. Filosofi tentang penguasaan diri sudah diajarkan di Roma selama
berabad-abad; filosofi itu sudah menjadi dasar dari ide tentang kebaikan di
Roma. Orang yang bisa menguasai diri tidak didominasi oleh nafsu-nafsunya. Ia dapat melepaskan diri, baik dari kesenangan maupun kesakitan, untuk
memutuskan dengan obyektif cara yang terbaik untuk melaksanakan suatu
tindakan.
Pada saat itu seorang pakar filsafat bernama Epictetus menerapkan dasardasar Stoisisme (filsafat Yunani yang mengajarkan bahwa hukum alam
menguasai semua hal dan bahwa orang yang bijaksana akan memimpin kehidupan yang berbudi luhur berdasarkan pertimbangan yang sehat) pada
masalah kaisar. Kata Roman, tulisnya, sekarang berarti “suatu keadaan yang
tunduk kepada kaisar,” tetapi tidak ada alasan bahwa ketundukan ini menjadi bertentangan dengan kebebasan sejati. Bahkan orang-orang yang secara
hukum dan konstitusional “bebas” tetap harus berjuang dari tekanan-tekanan
yang mengancam untuk memperbudak mereka:
Tidak pernahkah kamu diperintah oleh wanita yang kamu cintai untuk
melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak kamu harapkan? Tidak pernahkah kamu menyanjung budak laki-lakimu yang kamu sayangi? Tidak
pernahkah kamu mencium kakinya? Tetapi kalau ada orang yang memaksamu untuk mencium kaki Caesar kamu akan mengganggap itu suatu
penghinaan, tirani yang keterlaluan … Tidak pernahkah kamu pergi keluar pada suatu malam di saat kamu enggan, dan menghabiskan waktu
lebih dari yang kamu mau, dan meratap dan mengeluh … Kalau memang
begitu, mengapa masih kau sebut dirimu bebas?
Epictetus sendiri adalah seorang budak dari Asia Kecil; ia tahu bagaimana
hidup dalam ketundukan. Filsafat Stoisismenya menganggap bahwa kebebasan sebagai kondisi jiwa, bukan badan. “Manusia itu bebas,” tulisnya, “kalau
ia hidup sebagaimana ia inginkan .. kalau ia mendapatkan apa yang ingin ia
dapatkan, dan menghindari apa yang ingin dihindarinya.” Para kaisar berada
di sana untuk tetap di sana; jadi yang terbaik untuk bangsa Romawi hanyalah
mendefinisikan kembali apa artinya kebebasan.
Pda tahun-tahun terakhir dari pemerintahan Traianus, kekaisaran mendapat masalah dengan fenomena yang sulit dipecahkan: kehadiran orang Kristiani
yang semakin banyak. Konsul Plinius, yang sudah pernah pergi ke provinsi Asia
Kecil sebagai gubernur di sana, begitu khawatir akan kehadiran orang-orang
ini sehingga ia menulis pada Traianus, menanyakan apa yang harus diperbuat
dengan mereka. Mereka membicarakan tentang menjadi milik sebuah kerajaan
tanpa penguasa duniawi; ini adalah sikap yang secara tidak nyaman mengingatkan pada orang Yahudi, yang awalnya menolak untuk memuja kaisar dan
kemudian berbalik menjadi masalah militer yang kacau.
Sebetulnya, orang Kristiani yang memang lebih mengharapkan sebuah
kerajaan yang diperintah oleh Tuhan daripada Traianus, sangat berbeda dengan orang Yahudi. Sejak Abraham, pemujaan orang Yahudi terhadap Tuhan
terkait dengan masalah sebidang tanah khusus; Tuhan sudah menjanjikan
kepada mereka tanah Israel yang berarti bahwa kepercayaan mereka harus
mempunyai dimensi politis. Penolakan orang Yahudi untuk memuja kaisar
Roma didasarkan pada teologi (Tuhan bersabda: Engkau tidak boleh mempunyai dewa-dewa lain selain Aku), tetapi hal itu juga merupa