Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 38

 


  Ia  sepenuhnya  berharap  bahwa 

Claudius akan bosan dengannya (Tacitus mengatakan bahwa ia mempunyai 

”ketakutan  tertentu”  ketika  mendengar  Claudius  dalam  ocehannya  di  kala 

mabuk, mengatakan bahwa ”sudah nasibnya untuk menahan diri terhadap 

perkeliruan-perkeliuran para istrinya dan kemudian menghukum mereka”),9

dan ia ingin melihat Claudius mati dan putranya bertahta sebelum ia berbalik 

melawan mereka berdua. 

Tacitus mengatakan bahwa ia memilih racunnya dengan hati-hati:  sesuatu 

yang kelihatannya seperti penyakit biasa daripada ”racun yang ampuh dengan 

efek drastis yang bisa mengungkapkan kejahatannya.   Pada tahun 54, ia men￾campurkan racun ke dalam jamur makan malam Cladius.  Ketika Claudius 

hampir  bisa  diselamatkan  dari  serangan  diare  yang  mengosongkan  hampir 

semua racun dari dalam tubuhnya, Agrippina memerintahkan dokter untuk 

membuatnya muntah untuk menyelamatkannya.  Dokter itu juga termasuk 

dalam persekongkolannya dan memasukkan lebih banyak racun pada bulu 

yang ia cekokkan ke dalam tenggorokan Claudius.  

P usia enam belas, Nero menjadi princeps. Sejauh ini ia adalah orang 

termuda yang pernah mendapat jabatan itu; untuk jabatan pemerintah se￾belumnya bahkan tidak mungkin ia memenuhi kualifikasi. Posisi ini sudah 

mulai semakin seperti monarki. 

Nero memulai masa kekuasaannya, seperti Claudius, dengan memberi uang 

pada Para Pengawal Praetoria untuk tetap bersikap baik. Ia juga menjanjikan 

pada Senat, dalam sebuah pidato yang ditulis oleh guru pribadinya, Seneca, 

bahwa sebagian dari kekuasaan mereka akan dikembalikan, seperti yang di￾inginkan oleh Agustus. Ini adalah suatu langkah yang luar biasa yang berarti 

bahwa ia (atau Seneca) sadar sepenuhnya bahwa ia sudah melenceng begitu jauh￾nya dari Republik yang asli. Langkah ini berisiko, dan keputusan Nero untuk 

terus meneruskan bimbingan Seneca menunjukkan keberanian dan kenekatan. Tetapi ia juga memperbaiki taktik-taktik Claudius untuk melindungi diri. 

Putra  kandung  Claudius  Britannicus  (dengan  Messalina  yang  memalukan) 

meninggal  karena  ”serangan  epilepsi”  hanya  empat  bulan  kemudian.  Nero 

juga memerintahkan pengawal-pengawal ibunya dipecat, lalu diasingkan dari 

kediaman  kerajaan;  ibunya  sudah  menghabisi  satu  princeps  untuk  meng￾amankan posisinya sendiri, dan Nero ingin tetap aman. 

Setelah itu, lima tahun pertama pemerintahan Nero luar biasa saleh; ke￾mudian  orang-orang  Romawi  memberinya  nama  Quinquennium Neronis. 

Kemungkinan  guru  pribadinya,  Seneca,  bisa  mendominasi  masa  muda￾nya,  kalau  tidak  ia  sudah  jatuh  dalam    kegilaan  yang  semakin  parah  yang 

merupakan kutukan keluarga.  Dalam hal apa pun, sejak umur dua puluh 

dan  seterusnya  tingkah  laku  pribadinya  semakin  tenggelam,  awalnya  pada 

pemuasan diri yang berlebihan, dan kemudian mengarah pada penyakit jiwa. 

Pada tahun 58, ia jatuh cinta pada Poppea, istri dari temannya Otho.  Nero 

mengirimkan Otho ke provinsi yang jauh dan mengundang Poppea untuk 

tinggal di istana; ia sebenarnya sudah menikah, tetapi tidak mempedulikan 

protes-protes istrinya. 

Pada  tahun  59,  ia  memutuskan  untuk  melenyapkan  ibunya  untuk  se￾lamanya.    Ia  membuat  perahu  yang  bisa  hancur  yang  diperkirakan  dapat 

menggulungnya  dan  menenggelamkannya,  dan  kemudian  mengirimnya 

bepergian  melalui  sungai;    ia  belum  cukup  gila  untuk  tidak  peduli  pada 

penampilan.  Tapi betapa kecewanya ia karena ibunya berhasil berenang ke 

tepi sungai.  Menurut suatu cerita, ia memerintahkan seorang pelayan untuk 

menusuknya  segera  setelah  ia  sampai  ke  darat.    Kemudian  ia  menceraikan 

istrinya dan menyuruh orang membunuhnya dan kepalanya dibawa kembali 

kepada Poppea sebagai piala.  Ia juga menyatakan perceraian antara Poppea 

dan suaminya Otho, dan menikahinya. 

Sementara itu, serdadu Roma di Britania sedang mencontoh pemimpin 

mereka dan berkelakuan sangat tidak sabar.  Mereka mulai membangun se￾buah  kota  baru  di  Britania  untuk  mereka  sendiri,  di  atas  puing-puing  ibu 

kota lama Caratacus yaitu Camulodunum, sebuah kota yang akan dihuni oleh 

penduduk yang seluruhnya adalah veteran angkatan perang.10

  Untuk menda￾pat pekerja yang tidak usah dibayar, mereka memperbudak suku Trinovantes 

yang tinggal di dekat tempat mereka, menyerobot tanah-tanah mereka, dan 

memaksa rakyatnya membangun untuk mereka. 

Pada tahun 60, raja dari suku kecil lain yaitu Iceni wafat; ia meninggalkan 

seorang janda, Boudiccea, dan dua putri.  Karena ia tidak punya putra, peme￾rintah Roma di Britania memutuskan untuk menyerap wilayah Iceni masuk 

ke dalam provinsi Roma.  Dan kemudian serdadu-serdadu Roma menyerobot 

masuk, memperkosa kedua putri, dan memukuli Boudiccea.

Boudiccea  yang  merasa  terhina, 

direndahkan, dan melihat negaranya 

musnah di depan matanya, memimpin 

sebuah revolusi.  Rakyat Trinovantes 

yang tertekan mengikutinya.  Mereka 

merencanakan  penyerbuan  ke  kota 

Camulodunum  yang  baru  sebagian 

dibangun, suatu serangan yang dika￾takan oleh orang Romawi kemudian 

sudah  memperlihatkan  tanda-tanda 

buruk:    arca  Kemenangan  runtuh, 

teriakan-teriakan  dan  jeritan-jeritan 

tanpa ada orangnya terdengar dalam 

gedung-gedung  yang  belum  sele￾sai itu, laut berubah menjadi merah 

darah,  dan  ”bentuk-bentuk  seperti 

mayat hidup” tergeletak ditinggalkan 

oleh arus surut. 

Tetapi  tidak  perlu  ada  pertan￾da  untuk  menyaksikan  datangnya 

malapetaka.    Kota  baru  yang  hanya 

dijaga  oleh  sebuah  garnisun  kecil, 

dan gerombolan orang Britania yang 

membeludak itu menyerbunya tanpa 

kesulitan.  Divisi Kesembilan, yang bermarkas di sana, dibunuh secara massal, 

hampir semuanya kecuali satu orang; gubernurnya melarikan diri ke Gallia. 

Komandan Roma, Paulinus, berhasil melakukan serangan hari itu, dengan 

mendapatkan bantuan yang penuh kekerasan, dan serangan yang terorganisa￾si dengan benar, dan dengan kekuatan serdadu-serdadu bersenjata mendesak 

dan segera mematahkan perlawanan pemberontak Britania itu.11  Boudiccea 

melarikan diri dan kemudian minum racun. 

Gubernur selanjutnya berjalan dengan lebih percaya diri di sekitar rakyat 

Britania, dan mengatur para prajurit Romawi yang berada di Britania untuk 

bertingkah laku lebih tenang.  Tetapi tidak ada yang mengatur Nero supaya 

tenang.    Ia  berselingkuh,  minum-minum,  menaikkan  pajak  di  provinsi￾provinsi untuk membiayai kepuasan pribadinya, dan mulai lagi melakukan 

pengadilan-pengadilan  terhadap  para  pengkhianatan  yang  terkenal  buruk 

seperti yang dilakukan oleh Caligula. 

Pada tahun 64, kebakaran terjadi di Roma, dan menyebar dengan cepat 

melalui  daerah  miskin  di  kota  itu.    Angin  mempercepat  dan  memperkuat kobaran api itu.  Kota dijejali dengan rumah-rumah dari kayu kering, ber￾himpitan, dan api berkobar-kobar sampai mencapai ketinggian yang belum 

pernah terlihat sebelumnya.  ”Malapetaka yang dialami kota itu tidak bisa 

disamakan  dengan  kejadian  waktu  penyerbuan  Gallia,”  tulis  Dio  Cassius. 

Seluruh bukit Palatinum, teater Taurus, dan hampir dua per tiga dari sisa kota 

terbakar.  Tak terhitung orang-orang yang musnah.”12

Nero sedang berada di luar kota pada saat itu, tetapi kejahatan-kejahatan￾nya telah meyakinkan Roma bahwa ia bisa berbuat apa saja.  Segera tersebarlah 

rumor:  Nerolah yang mengawali kebakaran itu untuk membersihkan tanah 

untuk membangun istananya yang baru … atau sangkaan yang lebih buruk 

lagi, ia semata-mata melakukan pembakaran itu  untuk hiburan.

Sebetulnya, hati nurani Nero belum sepenuhnya terbakar.  Ia kembali ke 

kota dan memulai melakukan operasi pertolongan, tetapi ia tidak membantu 

memecahkan  masalah  pada  malam  pertama  ia  kembali,  ia  begitu  tergugah 

oleh pemandangan api yang menyapu seluruh Roma bagaikan syair kepahla￾wanan sehingga ia naik ke atas sebuah atap dan menyanyi dengan lantang lagu 

”Pendudukan Troya” sampai selesai.  Setelah itu, reputasinya hancur.  Seperti 

kata Tacitus, ”Semua usaha manusia, semua hadiah-hadiah Nero yang ber￾lebihan … tidak menghilangkan kecurigaan orang bahwa kebakaran besar itu 

adalah akibat sebuah perintah.”13

Kebakaran,  kegilaan,  dan  pengadilan-pengadilan  terhadap  para  peng￾khianat  semuanya  mendorong  sekelompok  senator  untuk  merencanakan 

pembunuhan dalam bulan April 65.  Senat belum pernah seputus asa ini sejak 

kematian  Caesar,  lebih  dari  seratus  tahun  sebelumnya.   Tetapi  rencana  itu 

ketahuan, para anggota komplotan itu dihukum mati, dan Nero terus terpi￾lin lebih jauh ke dalam paranoia.  Guru pribadinya sendiri yang sudah tua, 

Seneca, mengetahui bahwa ia dicurigai berkhianat, lalu bunuh diri bersama 

istrinya di rumah mereka untuk menghindari siksaan dan hukuman mati. 

Sekitar  waktu  itu  penindasan  terhadap  kaum  Kristiani  dimulai:    Nero, 

sambil menghukum mati semua konspirator yang dicurigainya melawan dia, 

merasa  perlu  untuk  mengalihkan  perhatian  agar  ia  terbebas  dari  berbagai 

tuduhan..  Kaum Kristiani menjadi korban dengan dijadikan kambing hitam 

atas kebakaran itu juga.  Tetapi, kelihatannya motivasinya adalah murni ke￾bencian.  Sulpicius Severus dalam catatan-catatannya mengatakan: 

 Dengan cara apa pun yang dicobanya, Nero tidak bisa melepaskan diri 

dari tuduhan bahwa api itu disebabkan karena perintahnya.  Ia kemudian 

membelokkan  tuduhan  kepada  kaum  Kristiani,  dan  karena  itu  siksaan- 

siksaan yang paling jahat dijatuhkan pada mereka yang tak berdosa.  Bahkan 

kematian  jenis-jenis  baru  diciptakan,  dengan  tubuh  mereka  ditutupi dengan kulit-kulit binatang liar, mereka musnah dimangsa anjing-anjing, 

sedangkan yang lain disalibkan atau dibunuh dengan api, dan tidak sedikit 

yang  disisihkan,,  ketika  hari  menjelang  berakhir,  mereka  dipakai  untuk 

menjadi penerang pada malam hari … Pada saat itu (para murid) Paulus 

dan Petrus dihukum mati, Paulus dipenggal dengan sebuah pedang, se￾dangkan Petrus menderita disalibkan.14

  

Paulus,  seorang  Yahudi  Romawi  yang  menjadi  Kristen,  yang  menuangkan 

dalam tulisan, ungkapan yang paling jelas hingga kini tentang kemungkinan 

bahwa satu identitas dapat hidup berdampingan di dalam bangsa-bangsa dari 

negara-negara  yang  berbeda  dan  menjadikan  mereka  satu,  sekarang  dipan￾dang sebagai potensi yang berbahaya bagi kekaisaran.   

P tahun 66, Nero membuat keputusan yang menempatkannya di jalan 

menuju kehancuran: ia menyerahkan Armenia. Raja Partia yang sekarang, 

Vologases I, menolak untuk menghormati perjanjian yang dibuat di tengah 

sungai Efrat dulu pada zaman Caligula, dan mengirimkan pasukan-pasukan 

Partia ke Armenia untuk merebutnya. Pasukan-pasukan Roma sudah mulai 

melawan di tahun 53 SM, setahun sebelum kematian Claudius, dan perjuang￾an itu sudah berubah menjadi perang yang tidak menentu dan melelahkan 

yang berlangsung selama empat belas tahun. Tetapi ada kesulitan lain di tem￾pat lain di dalam wilayah Roma juga; provinsi-provinsi yang gelisah dan tidak 

puas karena di bawah (tekanan) pajak yang terlalu tinggi, angkatan perang 

yang tersebar jumlahnya sedikit. 

Nero memutuskan bahwa keputusan terbaik adalah berdamai dengan 

Partia. Jadi, ia setuju untuk mengakui kakak Vologases yaitu Tridates sebagai 

raja Armenia. Tiga ribu orang Partia melakukan perjalanan ke Roma ber￾sama Tridates, untuk menonton upacara penyerahan mahkota Armenia oleh 

Nero. Mungkin yang dimaksudkan oleh Nero adalah menjadikan kesem￾patan ini untuk memamerkan keagungan Roma—ia memerintahkan supaya 

pintu-pintu Kuil Janus ditutup, agar menunjukkan bahwa seluruh kekaisaran 

sekarang dalam keadaan damai—tetapi bagi orang Romawi yang menonton, 

pemandangan ribuan orang Partia memenuhi jalan-jalan mereka merayakan 

kemenangan pastilah terlihat seperti pawai kekalahan. 

Selain itu, tingkah laku Nero menjadi lebih buruk. Ia menendang 

istrinya yang sedang hamil sampai mati karena marah, dan kemudian ia meme￾rintahkan seorang anak laki-laki muda bernama Sporus yang mirip dengan 

istrinya yang mati dikebiri sehingga ia dapat menikahi Sporus dalam upacara 

umum.

Dua tahun setelah penyerahan Armenia, kapten Pengawal Praetoria me- 

nyatakan bahwa para pengawal akan mendukung gubernur Hispania, seorang 

tentara yang berpengalaman (dan mantan konsul) bernama Galba, jika mau 

menuntut imperium:  komando tertinggi dari semua angkatan perang Roma. 

Galba mendapat dukungan penuh dari pasukannya sendiri di Hispania, di￾tambah  dengan  dukungan  dari  gubernur  provinsi  tetangga:    gubernur  itu 

kebetulan  adalah  Otho,  yang  istrinya  dicuri  dan  kemudian  dibunuh  oleh 

Nero.    Ia  senang  bisa  menyertakan  angkatan  perangnya  untuk  membantu 

Galba. 

 Nero yang menyadari bahwa kehilangan dukungan dari Pengawal Praetoria 

sama saja dengan kehilangan tahtanya, lari ke kota pelabuhan Ostia dan me￾mesan sebuah kapal.  Para Pengawal sudah berada dekat di belakangnya, dan 

tidak ada satu pun dari kapten di pelabuhan yang mengizinkannya naik ke 

atas kapal.  Ia bergegas keluar kota, tetapi para Pengawal mengepungnya di se￾buah rumah di luar kota.  Tindakan yang biasa dalam situasi seperti itu adalah 

bunuh  diri.    Nero  dibantu  oleh  salah  satu  pembantunya  yang  memegangi 

tangannya dan menusukkan belati itu.  ”Begitu bahagianya masyarakat,” tulis 

Suetonius, sehingga orang-orang mengenakan topi kebebasan dan berlarian 

di seluruh kota.”15

Galba usianya sudah melewati tujuh puluh, digerogoti rematik, dan tidak 

mempunyai hubungan apa pun dengan para princeps dari Roma yang terda￾hulu. Tetapi, sekarang jelas bahwa kekuasaan sebenarnya dari para princeps 

tidak terletak pada wewenangnya sebagai prokonsul atau Pontifex Maximus, 

atau kepala tribun, atau jabatan-jabatan sipil lainnya yang dibungkus dalam 

gelar Warga Negara Pertama. Kekuasaan para princeps yang sebenarnya 

terletak pada imperium, komando tertinggi angkatan perang. Dan untuk 

memelihara imperium, penguasa Roma memerlukan dukungan dari Pengawal 

Praetoria. Republik telah menjadi sebuah kekaisaran, dan kekaisaran sekarang 

dijalankan oleh sesuatu yang mirip dengan junta rahasia: sekolompok tentara 

yang kuat yang bisa mengangkat atau menggeser tokoh penguasa tertinggi, 

tapi mereka sendiri juga memegang kekuasaan yang sebenarnya. 

Galba ternyata merupakan seorang tokoh pemimpin yang buruk. Ia 

bergerak ke Roma di depan para pasukannya, dengan Otho di sampingnya. 

Tetapi begitu sampai di sana, ia tidak mau membayar para tentara yang sudah 

mendukungnya, seperti apa yang dilakukan para imperator sebelumnya.16

Segera saja berbagai pertanda buruk mulai muncul, yang meramalkan bahwa 

ia tidak akan memerintah untuk waktu yang lama; yang paling serius adalah 

ketika dalam suatu upacara kurban, ayam-ayam yang sudah disucikan pergi 

meninggalkannya.Pertanda-pertanda buruk itu mungkin diatur oleh para anggota Pengawal 

Praetoria yang sudah memutuskan untuk mengubah kesetiaannya dari Galba 

ke  Otho.   Tujuh  bulan  setelah  menduduki  kekuasaan  sebagai  seorang  im￾perator, Galba sedang mengadakan upacara kurban di Kuil Apolo ketika para 

Pengawal Praetoria memproklamasikan Otho sebagai imperator yang meng￾gantikannya.    Galba  mendengar  berita  itu  menyeruduk    masuk  ke  dalam 

Forum  untuk  menghadapi  para  pemberontak.    Mereka  membunuhnya  di 

situ, melemparkan tubuhnya ke jalan, dan menusukkan kepalanya pada se￾buah tiang. 

Walaupun merasa tidak puas, Senat terpaksa menyetujui untuk mengesah￾kan Otho sebagai imperator dan princeps.  Sementara itu, angkatan perang 

yang  ditempatkan  di  sungai  Rheine  mengumumkan  bahwa  mereka  meng￾inginkan Vitellius, komandan dari angkatan perang di Jerman, untuk menjadi 

imperator sebagai gantinya.  Sekarang ada dua imperator dalam Kekaisaran 

Roma, satu yang disahkan oleh Senat sebagai princeps dan didukung oleh 

Pengawal  Praetoria,  dan  yang  lain  tidak  disahkan  tetapi  dengan  dukungan 

angkatan perang yang besar di belakangnya. 

Vitellius berjalan menuju Italia, di mana orang-orangnya membangun se￾buah jembatan menyeberangi sungai Po dan mengalami bentrokan dengan 

angkatan perang Otho yang jumlahnya lebih kecil dalam perang Cremona. 

Angkatan perang Otho tercerai berai; dengan pengundurandiri yang jarang 

terjadi, Otho memutuskan bahwa tidak ada gunanya baginya dan bagi Roma 

untuk memasuki perang saudara yang besar.  Ia membereskan semua urusan￾nya,  membakar  dokumen-dokumennya,  membagi-bagikan  harta  miliknya, 

dan tidur nyenyak malam itu, dan keesokan harinya ia bunuh diri.  Itu adalah 

tindakan seseorang yang mempunyai hati nurani yang jernih dan keberanian 

yang luar biasa, imperator semacam itulah yang diperlukan oleh Roma. 

Sebaliknya apa yang didapatkan oleh Roma adalah Vitellius yang licin dan 

tidak berprinsip.  Ia bergerak ke Roma, di mana ia menunjukkan cengkera￾mannya  atas  struktur kekuasaan dengan membubarkan  Pengawal  Praetoria 

dan menciptakannya kembali dari pasukannya sendiri yang setia. 

Legiun-legiun Roma yang lain tidak menyukai perlakuan pilih kasih atas 

tentara-tentara yang berasal dari provinsi Jerman itu.  Tidak lama kemudian 

pasukan-pasukan yang ditempatkan di bagian Timur kekaisaran menyatakan 

bahwa mereka sekarang akan mendukung calon lain: Vespasianus, jenderal 

Roma yang sudah mempunyai nama dalam perang melawan Britania, dan 

yang telah dihadiahi kegubernuran di Suriah. 

Vespasianus  tidak  ada  di  dekat  Roma;  ia  berada  di  provinsinya  sendiri, 

memadamkan  kekacauan  di  Palestina.    Sejak  ancaman  Caligula  yang  me￾maksakan untuk meletakkan arcanya sendiri di kuil, pemberontakan Yahudi terhadap penguasa Roma telah tumbuh; tuntutan itu dihindari, tetapi orang 

Yahudi merasa bahwa tidak akan lama lagi mereka pasti akan diminta untuk 

melakukan sesuatu yang betul-betul mengejutkan.  Di tahun 66, sekelompok 

pejuang kemerdekaan bernama Zealot(orang yang fanatik) telah menyatakan 

perang dengan tentara Romawi yang ditempatkan di Yerusalem.  Gubernur 

setempat  sudah  menggerakkan  pasukan  masuk  ke  daerah  itu  tetapi  kalah, 

dan  situasi  menjadi  cukup  serius  untuk  Vespasianus  sendiri,  seorang  jen￾deral yang berpengalaman untuk ikut campur dan membersihkan kekacauan 

itu.  Dengan bantuan putra dan komandannya Titus, Vespasianus berhasil 

memukul mundur para pemberontak masuk ke dalam Yerusalem yang seka￾rang sudah diserang.

Kembali  ke  Roma,  Vitelius  makan-makan  dan  minum-minum  dan 

memuaskan  dirinya,  sedangkan  tentara-tentaranya  bersiap  untuk  membela 

kekuasaannya.  Pasukan Roma yang mendukung Vespasianus sedang berge￾rak ke arah mereka.  Kedua angkatan perang bertemu di Kremona, di mana 

serdadu  Vespasianus  yang  setia    akhirnya  menang;  tetapi  kemenangan  itu 

mengakibatkan  amukan  yang  disertai  dengan  pembakaran  dan  perusakan 

yang  menjalar  sampai  ke  Roma  sendiri  selama  empat  hari.    Para  pendu￾kung  Vesapsian  di  kota  mencoba  untuk  merebut  kekuasaan  dari  Vitellius, 

dan dalam perang yang terjadi kemudian Capitol dan Kuil Jupiter Optimus 

Maximus yang besar terbakar ludas.  Pada bulan Desember tahun 69, para 

tentara mendobrak masuk ke dalam istana Vitelius sendiri, membunuhnya 

dan  melenyapkan  tubuhnya  dengan  cara  biasa:  melemparkannya  ke  dalam 

sungai Tiber.

Vespasianus mau menggantikan kedudukannya tetapi ia tidak mau datang 

jauh-jauh ke arah Barat ke Roma sebelum perebutan Yerusalem diselesaikan. 

Jadi, Senat yang sudah putus asa untuk memenuhi keinginan para pendu￾kungnya  yang  sukar  dikendalikan  sebelum  mereka  membakar  tempat  lain 

lagi, menyatakan Vespasianus sebagai princeps, seperti Agustus, Tiberius, dan 

Claudius sebelumnya.  Ia diberi gelar tanpa pernah menginjakkan kakinya di 

Roma.

Dekrit  itu  bahkan  tidak  memuat  daftar  nama  Caligula,  Nero,  Galba, 

Otho, atau Vitellius:  mereka telah dihapus dari catatan damnatio memoria.

Dalam  tahun-tahun  yang  sudah  dilewati  itu,  empat  penguasa  telah  men￾duduki kekuasaan sebagai princeps, dan jelaslah bahwa kekuasaan fiksi yang 

diberikan oleh Senat, atas nama rakyat, adalah sama sekali palsu. Kekuasaan Roma dipegang oleh orang yang terkuat dengan dukungan senjata yang pa￾ling banyak.  Tetapi dengan tidak menuliskan daftar orang-orang yang telah 

memecahkan  ilusi  ini,  Senat  mengingkari  keberadaan  mereka.    Permainan 

sandiwara yang menjadi ciri kekuasaan Agustus masih ada tepat di tengah￾tengah kancah politik Roma.  

ROMA      CHINA PARTIA

Pendudukan Kedua (23)

                   Oktavianus, pontifex maximus

Aiti

Ping Phraates V

Ruzi Vovones I

      Dinasti Xin (9 M)

Kematian Oktavianus (14 M) Wang Mang Artabanus III

                                   Tiberius, princeps 

     Dinasti Han Timur 25 M)

Kematian Yesus dari Nazareth Guang Wudi

                         Caligula, princeps (41)

Vologases I

           Nero, princeps (54) Mingdi

Galba, princeps (68)

Vespasianus, princeps (69)


P bul September 70, tembok-tembok Yerusalem runtuh dan kota 

terbakar, Kuil Kedua hangus dalam kobaran api. Pasukan pemberontak Yahudi 

belum seluruhnya terkalahkan, tetapi Vespasianus sudah merasa cukup yakin 

akan menang sehingga ia meninggalkan daerah itu. Akhirnya ia berangkat ke 

Roma dalam bulan September tahun 70 setelah menjadi princeps in absentia

selama sembilan bulan. 

Vespasianus adalah seorang serdadu yang berpengalaman;  ia memahami 

cara-cara berpikir seorang serdadu, dan ia tidak memandang ringan kekuatan 

angkatan perangnya yang mampu menunjang atau menghancurkan kekua￾saannya.  Tindakannya  yang  pertama  adalah,  begitu  sampai  di  Roma,  dia 

menunjuk kembali para komandannya dan membagi-bagi kembali pasukan￾nya sehingga kesetiaan pada pemimpin yang lama dihancurkan. 

Pemerintahannya  yang  sudah  berlangsung  selama  sepuluh  tahun  berja￾lan dengan tenang, teratur, sangat terkelola dengan baik:  persis seperti yang 

diinginkan oleh Senat, kembalinya zaman prosedur Agustan. Ada beberapa 

pertempuran  di  wilayah  pinggiran  kekaisaran:    operasi  militer  di  Britania, 

provinsi Roma yang paling sedikit dikuasai, dan akibat perang yang meng￾hebohkan  di  Yerusalem.  Di  tahun  73,  sisa-sisa  pemberontak  Yahudi,  yang 

terperangkap dalam benteng mereka di Masada, membunuh anak-anak mere￾ka, kemudian mereka sendiri memilih untuk bunuh diri, daripada akhirnya 

harus menyerah kepada bangsa Romawi. Pegangan bangsa Yahudi yang ter￾akhir sudah lenyap, begitu juga Yehuda dan seluruh sisa bangsa tua Israel; 

Palestina menjadi bagian dari provinsi Suriah. 

Tetapi  yang  penting  Roma  sedang  berada  dalam  keadaan  damai; 

Vespasianus menghindari pengadilan-pengadilan perkara pengkhianatan dan 

menurunkan pajak, tindakan tersebut membuatnya populer dan juga mem￾buat Roma lebih tenteram.

Pada tahun 79, Vespasianus wafat, mungkin karena flu, dalam usia tujuh 

puluh.1

  

Senat mengesahkan putranya Titus sebagai pewaris, dengan sedikit 

was-was. Selama pemerintahan Vespasianus, Titus memiliki reputasi sebagai 

seorang komandan yang terkenal bengis dan sering berbuat kejam, dan sepak 

terjangnya sangat keras, khususnya terhadap Yerusalem. Tetapi begitu diberi 

gelar princeps, ia mengikuti contoh ayahnya yang teratur dan patut. 

Meskipun  begitu  Roma  tidak  mendapat  kesempatan  untuk  menghela 

napas. Tiga bencana sekaligus menyerang Titus, berturut-turut. 

Yang  pertama  adalah  meletusnya  Gunung  Vesuvius,  ketika  hanya  dua 

bulan  memasuki  masa  pemerintahannya.  Gunung  Vesuvius  terletak  dekat 

pantai Italia sebelah Barat Daya, tidak jauh dari Teluk Napoli, dan pada saat 

itu sudah sering bergemuruh sepanjang ingatan orang Romawi. Orang-orang 

yang tinggal di kota Pompei, yang dekat dengan kaki gunung itu, sudah ter￾biasa dengan gempa bumi, dan bahkan meskipun gempa bumi itu semakin 

kuat, tidak ada orang yang khawatir;  tidak ada yang menyadari bahwa gempa 

bumi itu adalah tahap-tahap awal meletusnya sebuah gunung. 

Penulis Romawi Plinius Muda ada di Pompei pada tanggal 23 Agustus 

79, sehari sebelum gunung itu meletus. “Sudah terjadi beberapa getaran se￾lama beberapa hari sebelumnya,” tulisnya, dalam sebuah surat kepada seorang 

teman, “suatu kejadian yang normal di Kampania dan tidak perlu panik.”  

 Tetapi malam itu goncangannya menjadi lebih keras;  orang-orang berpikir 

itu adalah sebuah pergolakan, bukan hanya sebuah getaran … Pada saat 

itu hari diawali dengan fajar yang sedikit ragu-ragu dan nyaris lamban. Di 

sekitar kami gedung-gedung bergoyang. Kami berada di tempat terbuka, 

tetapi hanya suatu tempat kecil dan kami takut, juga tidak yakin, bahwa 

akan ada sebuah keruntuhan. Akhirnya kami memutuskan untuk mening￾galkan kota; segerombolan orang yang bingung mengikuti kami, mereka 

lebih memilih mengikuti rencana kami daripada rencana mereka sendiri 

(dalam sebuah kepanikan, ini adalah jalan yang bijaksana). Jumlah mereka 

begitu besar sehingga mereka memperlamban keberangkatan kami, lalu 

mereka  menyapu  kami.  Kami  berhenti  begitu  kami  sudah  meninggal￾kan  gedung-gedung  di  belakang  kami.  Banyak  kejadian  aneh  menimpa 

kami  di  sana,  dan  banyak  yang  harus  kami  khawatirkan.  Kereta-kereta 

yang kami perintahkan untuk maju malah bergerak ke arah yang berla￾wanan, meskipun tanahnya sama sekali rata, dan mereka tidak bisa diam 

di  tempat  meskipun  roda-rodanya  dihalangi  oleh  batu-batu. Tambahan 

lagi, laut  kelihatannya seperti disedot ke belakang, seperti didorong oleh 

goncangan dari daratan. Tentu saja garis pantai bergerak ke arah luar, dan 

banyak makhluk laut tertinggal di pasir yang kering. Di belakang kami ada awan-awan hitam yang menakutkan, diiringi kilat yang berkelok-kelok dan 

menyambar,  menyebabkan kobaran-kobaran     api yang besar. Api-api itu 

seperti kilat, tetapi lebih besar lagi .. Tidak lama kemudian, awan mere￾gang ke tanah dan menutupi laut .. Sekarang datanglah debu, meskipun 

masih tipis. Aku menoleh ke belakang:  segulung awan hitam yang padat 

menggantung di belakang kami, mengikuti kami seperti banjir menyapu 

daratan. “Marilah kita menepi sebentar sementara kita masih bisa melihat, 

kalau tidak mau jatuh ke jalan dan terlindas oleh gerombolan orang yang 

mengikuti kita itu.”  Kita belum sampai sempat duduk ketika kegelapan 

yang tidak seperti malam tak berbulan atau malam berawan datang, tetapi 

lebih gelap seperti ruangan yang tertutup dan tidak ada penerangan. Kita 

bisa mendengar para wanita meratap, anak-anak menangis, dan para lelaki 

berteriak. Beberapa orang memanggil orang tuanya, yang lain memang￾gil anak-anaknya atau pasangannya; mereka hanya bisa mengenalinya dari 

suara mereka … Meskipun kemudian menjadi sedikit terang tetapi keli￾hatannya seperti siang hari yang kembali, tetapi itulah sebuah tanda bahwa 

api mulai mendekat. Api itu sendiri sebetulnya berhenti sedikit jauh, tetapi 

kegelapan dan abu datang lagi, dalam jumlah besar dan berat. Kami ber￾diri dan mengi-baskan abu terus-menerus. Kalau tidak kami bisa tertutup 

oleh abu dan terhempas karena beratnya. Aku boleh bangga karena aku 

tidak mengeluh, tidak mengucapkan kata-kata ketakutan   dalam keadaan 

bahaya seperti itu, tetapi aku mengira aku sudah lenyap bersama dunia, 

dan dunia bersamaku.2

Mereka yang tidak dapat melarikan diri terkubur dalam abu yang dalamnya 

tujuh setengah meter, atau tercekik oleh panas dan gas. Lebih dari dua ribu 

orang meninggal dalam satu malam. 

Titus segera mengirimkan bantuan malapetaka dari Roma, dan mengun￾jungi  lokasi  sendiri  segera  setelah  keadaan  aman.  Ia  berada  di  Pompei  lagi 

untuk kedua kalinya, memeriksa apa yang masih perlu ditolong, ketika se￾buah api kecil di Roma berkobar dan membakar sebagian besar kota itu. Dan 

setelah api itu, datanglah wabah penyakit yang menyapu para pengungsi yang 

berjejal di dalam kota, membunuh mereka dalam jumlah besar. 

Pada tahun 81, masih berjuang dengan buntut dari malapetaka-malapeta￾ka itu, Titus menderita sakit panas dan wafat pada usia empat puluh dua. Ia 

sudah menjadi princeps kota Roma kurang dari tiga tahun yang mengerikan. 

Mungkin demam itu malah melegakan. 

Pada saat kematian Titus, adiknya Domitianus disahkan menjadi impera￾tor oleh Pengawal Praetoria, dan (mau tidak mau terpaksa) dilantik sebagai 

princeps  oleh  Senat,  dua  puluh  empat  jam  kemudian.  Domitianus  tidak 

pernah menjadi kesayangan ayahnya; karena itu ia pun meragukan dirinya 

sendiri sehingga ia bertingkah laku  angkuh terhadap Roma dan sama sekali 

tidak mempedulikan Senat. 

Sikap ini bukanlah sesuatu yang buruk. Menurut Suetonius, kekerasannya 

pada umumnya dipraktikkan dalam minat-minat terhadap hukum dan tata 

tertib:  “Ia mengatur keadilan dengan sangat berhati-hati dan sangat teliti,” 

tulisnya. “Ia menurunkan derajat para juri yang menerima uang suap, bersa￾ma dengan semua komplotan mereka … Ia begitu menjalankan pengekangan 

terhadap  para  pejabat  kota  dan  para  gubernur  provinsi-provinsi,  sehingga 

tidak lama kemudian mereka menjadi lebih jujur atau adil.”  Ia juga menga￾wasi dengan ketat moral umum:  “Ia mengeluarkan seorang mantan quaestor 

(hakim tinggi) karena ketahuan kalau ia mengambil pelajaran seni peran dan 

menari,” komentar Suetonius. Ia membuat para pelacur tidak berhak meneri￾ma  warisan,  dan  ketika  ia  menemui  bahwa  salah  satu  dari  Perawan  Vestal 

(gadis penjaga kuil) berhubungan bebas dengan banyak orang, ia mengeluar￾kan dekrit bahwa hukuman tradisional harus dilaksanakan. Gadis itu dikubur 

hidup-hidup dan para kekasihnya “dipukuli dengan tongkat sampai mati” di 

depan umum.3

Semua tindakan itu benar adanya, meskipun kejam. Domitianus cenderung 

untuk tidak menunjukkan belas kasihan; ia menjalankan kekuasaannya de￾ngan sangat serius. Tidak lama setelah ia naik tahta, ia memakai gelar dominus et 

deus, yang berarti “Tuhan dan Allah,” dan memerintahkan bahwa semua surat 

resmi harus diberi kop surat “Tuhan kita dan Allah kita memerintahkan ini 

harus dikerjakan.” “Dan begitulah kebiasaan itu timbul,” Suetonius menam￾bahkan, “sejak itu tidak ada yang menyebutnya dengan sebutan lain bahkan 

dalam tulisan maupun lisan.”4

Tidak seperti Caligula, ia sangat waras; dan ia tidak menggunakan penga￾kuan  ketuhanannya  untuk  melanggar  hukum.  Keadilan  sampai  hal  yang 

paling kecil ini mencegah kemarahan orang banyak yang telah membunuh 

para  penyalahguna kekuasaan seperti para princeps. Senat tidak menghalangi 

dengan mengajukan keberatan-keberatan; Para Pengawal Praetoria tidak sege￾ra membunuhnya.

Tetapi kita dapat melihat kembali pada gelar dominus et deus pada titik di 

mana topeng kesenangan dari pemerintahan republik akhirnya disingkirkan 

untuk selamanya. Bahkan princeps yang terburuk pun dilantik oleh Senat, 

betapa  pun  dengan  tidak  relanya.  Tetapi  tidak  seorang  pun  dapat  meng￾aku  bahwa  seorang penguasa  yang  disebut  “Tuhan  dan  Allah”  perlu  diberi 

sanksi oleh rakyatnya untuk memerintah. Domitianus bukanlah satu-satunya 

penguasa Roma yang mendapat kekuasaan yang bersifat raja, tetapi ia adalah yang  pertama  yang  mengatakan  begitu.    Warga  Negara  pertama  akhirnya 

menjadi seorang kaisar.

Tuntutan Domitianus atas kekuasaan terakhir dan penerapan hukumnya 

yang  kaku  menghasilkan  kesengsaraan  yang  sama  yang  menjangkiti  China 

ketika hadiah-hadiah diberikan untuk laporan atas kesalahan-kesalahan orang 

lain,  dan  Sparta  ketika  setiap  orang  menjadi  polisi  moral  bagi  saudaranya. 

Atmosfer Roma menjadi begitu tertindas sehingga Tacitus mengutarakan rasa 

syukurnya kepada ayahnya yang begitu dicintai dan dirindukannya, Agricola 

sudah meninggal sebelum pemerintahan Domitianus:  

 Domitianus tidak lagi menyisakan ruang untuk selingan atau ruang  

bernapas  … Di bawah Domitianus lebih dari setengah kesusahan kita ber￾ada dalam mengawasi dan diawasi, sedangkan keluh-kesah kita mencatat 

angka yang tinggi … Berbahagialah Engkau, Agricola, dalam kehidupan￾mu yang mulia, tetapi tidak kurang bahagia dalam kematianmu yang tepat 

waktu.5

Hukuman yang diberikan dengan tanpa ampun karena kelakuan yang tidak 

senonoh mengakibatkan rasa tidak puas, ketidakpuasan menyebabkan gerutu￾an, gerutuan menyebabkan  komplotan, komplotan menyebabkan kecurigaan, 

kecurigaan menyebabkan terbukti bersalah, terbukti bersalah menyebabkan 

hukuman tanpa ampun, dalam sebuah lingkaran kesusahan yang tiada akhir. 

Domitianus, seperti Titus dan Vespasianus, tahu sumber kekuasaannya; 

ia menaikkan gaji angkatan perang untuk meyakinkan dirinya atas kesetiaan 

mereka.  Rumah  tangganya  kurang  dihargai.  Tahun  96,  istrinya,  seorang 

pembantu kamarnya, keponakan wanitanya (yang suaminya dihukum mati 

olehnya karena ateis), dan para pemimpin Pengawal Praetoria bersama-sama 

menusuk Domitianus sampai mati di kamar tidurnya.6

 Senat segera meng￾umumkan  seorang  kaisar  dari  salah  satu  mereka,  seorang  konsul  bernama 

Nerva yang berusia enam puluh satu tahun. Kejadian  itu  membahagiakan  rakyat  Roma,  tetapi  tidak  bagi  angkatan 

perangnya. Di tahun 97, Pengawal Praetoria (yang tidak secara keseluruhan 

mengambil  bagian  dalam  komplotan  untuk  membunuh  Domitianus  dan 

memberikan  kesetiaan  angkatan  perang  kepadanya)  mengunci  Nerva  di 

istananya sendiri, menyeret keluar si pengurus rumah tangga raja yang mem￾biarkan para pembunuh masuk ke dalam kamar Domitianus, memotong alat 

kelaminnya, memasukkan ke dalam mulutnya, dan memotong tenggorokan￾nya.7

  Segera  sesudahnya,  Nerva  mengumumkan  bahwa  pewarisnya  adalah 

jenderal Traianus, orang yang disukai oleh angkatan perang, yang baru-baru 

ini ditempatkan di dekat sungai Rheine. Mungkin ia sudah diberitahu bahwa 

ini hanyalah satu-satunya cara untuk menghindari pembunuhan, tetapi tak 

satu pun dari negosiasi itu berguna. Beberapa bulan kemudian, Nerva wafat 

karena sakit panas. Mungkin itu malah merupakan suatu pembebasan yang 

lebih diharapkan daripada akhirnya yang mungkin bisa lebih keji. 

Mendengar  berita  bahwa  ia  sekarang  adalah  kaisar,  Traianus  tidak  ter￾buru-buru, ia membereskan dulu urusan kedudukannya yang sekarang sebagai 

komandan sebelum ia menuju ke Roma. Ia melakukan perjalanan sepanjang 

Sungai Rheine dan Danube untuk memastikan keadaannya aman, dan baru 

setelah itu ia kembali ke arah Selatan. Ia baru sampai di Roma setelah hampir 

delapan belas bulan setelah kematian Nerva. 

Kota kembali tenang selama waktu itu, itulah yang menjadi ukuran kepan￾tasan Traianus untuk menduduki jabatannya. Angkatan perang menghormati 

kemampuannya, dan rakyat Roma yang lega karena Domitianus sudah tidak 

ada dan terhindar dari perang saudara yang bisa saja terjadi setelah kematian 

Nerva, siap menyambut kedatangannya. 

Pakar  sejarah  Roma  hampir  mempunyai  satu  suara  dalam  memuji 

Traianus. Ia memperbaiki jalan-jalan dan pelabuhan-pelabuhan, membangun 

perpustakaan, menggali kanal-kanal, memperbaiki saluran, dan “bersumpah 

bahwa ia tidak akan menumpahkan darah,” itu membuat rakyatnya senang.8

Operasi-operasi militernya menyenangkan angkatan perang; pada tahun 106, 

ia menambahkan Sinai dan daratan Utara sungai Danube pada Kekaisaran 

Roma.  Ia  memimpin  penyerbuan  itu  sendiri,  dan  pulang  kembali  dengan 

kemenangan yang dirayakan secara besar-besaran. Untuk menghormati ke￾menangan-kemenangannya, cerita tentang perang-perangnya di sebelah Utara

Danube diukir, dalam gaya komik, pada sebuah tiang yang masih berdiri di 

Roma:  Tiang Traianus. 

Reputasi Traianus sebagai kaisar yang baik terletak pada keadilannya yang 

mendasar, ia tidak paranoid, caranya mengurus ibu kota sangat baik, dan kere￾laannya untuk mengadakan operasi militer untuk lebih menjayakan Roma. 

Tetapi juga ada hubungannya dengan sikapnya yang berpegang teguh pada peraturan di mana ia mengamati forum-forum yang kosong dalam kerja sama 

dengan Senat. “Ia memperlakukan para Senator dengan martabat,” menurut 

sejarah Agustan*

 dari abad keempat, dan ia sangat cermat dalam menjalankan 

peraturan-peraturan senatorial. 

Hubungan antara Senat dan Kaisar yang seperti ini belum pernah terli￾hat selama beberapa dasawarsa, atau lebih; dan dalam suasana ini, dibuatlah 

usaha-usaha  yang  bijaksana  untuk  membenarkan  dominasi  seorang  kaisar 

atas sebuah bangsa yang namanya saja sudah menyangkal kemungkinan se￾perti itu. Filosofi tentang penguasaan diri sudah diajarkan di Roma selama 

berabad-abad;  filosofi itu sudah menjadi dasar dari ide tentang kebaikan di 

Roma. Orang yang bisa menguasai diri tidak didominasi oleh nafsu-nafsu￾nya. Ia dapat melepaskan diri, baik dari kesenangan maupun kesakitan, untuk 

memutuskan dengan obyektif cara yang terbaik untuk melaksanakan suatu 

tindakan. 

Pada saat itu seorang pakar filsafat bernama Epictetus menerapkan dasar￾dasar  Stoisisme  (filsafat  Yunani  yang  mengajarkan  bahwa  hukum  alam 

menguasai semua hal dan bahwa orang yang bijaksana akan memimpin ke￾hidupan  yang  berbudi  luhur  berdasarkan  pertimbangan  yang  sehat)  pada 

masalah kaisar. Kata Roman, tulisnya, sekarang berarti “suatu keadaan yang 

tunduk kepada kaisar,” tetapi tidak ada alasan bahwa ketundukan ini men￾jadi bertentangan dengan kebebasan sejati. Bahkan orang-orang yang secara 

hukum dan konstitusional “bebas” tetap harus berjuang dari tekanan-tekanan 

yang mengancam untuk  memperbudak mereka:  

 Tidak pernahkah kamu diperintah oleh wanita yang kamu cintai untuk 

melakukan  sesuatu  yang  sebetulnya  tidak  kamu  harapkan?   Tidak  per￾nahkah kamu menyanjung budak laki-lakimu yang kamu sayangi? Tidak 

pernahkah kamu mencium kakinya? Tetapi kalau ada orang yang memak￾samu  untuk  mencium  kaki  Caesar  kamu  akan  mengganggap  itu  suatu 

penghinaan, tirani yang keterlaluan … Tidak pernahkah kamu   pergi ke￾luar pada suatu malam di saat kamu enggan, dan menghabiskan waktu 

lebih dari yang kamu mau, dan meratap dan mengeluh … Kalau  memang 

begitu, mengapa masih kau sebut dirimu bebas? 

Epictetus  sendiri  adalah  seorang  budak  dari  Asia  Kecil;  ia  tahu  bagaimana 

hidup  dalam  ketundukan.  Filsafat  Stoisismenya  menganggap  bahwa  kebe￾basan sebagai kondisi jiwa, bukan badan. “Manusia itu bebas,” tulisnya, “kalau 

ia hidup sebagaimana ia inginkan .. kalau ia mendapatkan apa yang ingin ia 

dapatkan, dan menghindari apa yang ingin dihindarinya.”   Para kaisar berada 

di sana untuk tetap di sana; jadi yang terbaik untuk bangsa Romawi hanyalah 

mendefinisikan kembali apa artinya kebebasan. 

Pda tahun-tahun terakhir dari pemerintahan Traianus, kekaisaran menda￾pat masalah dengan fenomena yang sulit dipecahkan:  kehadiran orang Kristiani 

yang semakin banyak.  Konsul Plinius, yang sudah pernah pergi ke provinsi Asia 

Kecil sebagai gubernur di sana, begitu khawatir akan kehadiran orang-orang 

ini sehingga ia menulis pada Traianus, menanyakan apa yang harus diperbuat 

dengan mereka. Mereka membicarakan tentang menjadi milik sebuah kerajaan 

tanpa  penguasa  duniawi;  ini  adalah  sikap  yang  secara  tidak  nyaman  meng￾ingatkan pada orang Yahudi, yang awalnya menolak untuk memuja kaisar dan 

kemudian berbalik menjadi masalah militer yang kacau. 

Sebetulnya,  orang  Kristiani  yang  memang  lebih  mengharapkan  sebuah 

kerajaan yang diperintah oleh Tuhan daripada Traianus, sangat berbeda de￾ngan orang Yahudi. Sejak Abraham, pemujaan orang Yahudi terhadap Tuhan 

terkait dengan masalah sebidang tanah khusus;  Tuhan sudah menjanjikan 

kepada  mereka  tanah  Israel  yang  berarti  bahwa  kepercayaan  mereka  harus 

mempunyai  dimensi  politis.  Penolakan  orang Yahudi  untuk  memuja  kaisar 

Roma didasarkan pada teologi (Tuhan bersabda:  Engkau tidak boleh mem￾punyai  dewa-dewa  lain  selain  Aku),  tetapi  hal  itu  juga  merupa