Di () , China, di bawah
Dinasti Han, sedang berkembang menjadi sebuah kekaisaran dengan provinsi-provinsinya yang berada sekitarnya, tidak seperti kekaisaran Roma di
(posisi) paling ujung jalan menuju ke Barat. Catatan-catatan sejarah Sima
Qian membicarakan tentang suku demi suku di tapal batas sebelah Baratnya
yang ditaklukkan dan dimasukkannya ke dalam wilayah perbatasan. Dan
sama seperti keluarga yang berkuasa di ujung jalan yang berseberangan, marga
kerajaan China juga menderita karena drama kehidupan pribadinya, yang kemudian melemahkan perbatasan-perbatasan kekaisaran itu sendiri.
Di tahun 33 SM, sementara Oktavianus masih membangun kekuasaannya, Kaisar Han, Yuandi, wafat. Ia mewarisi tahta dari ayahnya Xuandi, dan
sekarang menurunkannya kepada putranya Chengdi.
Chengdi berusia delapan belas, yang menurut tradisi China belum
cukup umur untuk memerintah sepenuhnya. Ibunya, Cheng-chun, menjadi
permaisuri pewaris, dengan kekuasaan sebagai seorang wali. Ketika ia menyarankan supaya Chengdi memberikan saudara-saudaranya dari marga Wang
jabatan-jabatan penting di pemerintahan, Chengdi dengan patuh menurut.
Saudara-saudara laki-laki permaisuri menjadi raja-raja; kakak sulungnya
menjadi jenderal panglima tinggi angkatan perang. Anggota keluarga Wang
yang lain diberi kedudukan-kedudukan, sampai kedudukan tertinggi dalam
pemerintahan Han penuh sesak oleh mereka.1
Chengdi wafat pada tahun 7, setelah masa berkuasa yang berlangsung
selama lebih dari dua dasawarsa—tetapi ia tidak mempunyai anak laki-laki.
Keponakannya, Aiti, menggantikannya. Setelah itu, masa berkuasa penguasa
Han secara mencurigakan menjadi semakin pendek. Aiti meninggal setelah
hanya enam tahun memerintah, juga tanpa anak; dan seorang sepupu yang berusia delapan tahun yang bertahta sesudahnya, Ping, meninggal di tahun
6 M setelah masa berkuasa selama tujuh tahun, juga tanpa anak.
Permaisuri pewaris masih tetap hidup; sekarang ia sudah hidup lebih lama
dari empat raja Han. Sekarang ia menjadi wali dari seorang bayi yang naik
tahta, seorang sepupu jauh Han bernama Ruzi yang bisa mengaku sebagai cicitbuyut dari kaisar yang sebelumnya, Xuandi. Sebagai walinya, ia menunjuk
keponakannya sendiri Wang Mang, seorang pria yang sangat dihormati dan
berpendidikan yang sudah bertugas sebagai menteri bertahun-tahun lamanya.
Penulis biografinya, pakar sejarah Ban Gu, mengatakan bahwa ia berhasil menaikkan dirinya menjadi orang yang setia setelah ”membagi-bagikan kereta,
kuda, gaun, dan mantel bulu” kepada ”para pembantunya yang terpelajar,”
sambil menyimpan sedikit untuk dirinya sendiri; dengan kata lain ia adalah
orang yang sangat ahli dalam hal suap-menyuap.2
Para bangsawan yang tidak menyukai kekuasaan Wang di pemerintahan
memprotes; salah satunya bersikukuh bahwa Wang Mang telah meracuni
setidaknya satu dari raja-raja sebelumnya; yang lain lagi memimpin sebuah
pemberontakan yang hanya sebentar. Tetapi Wang Man berjanji bahwa ia
akan menyerahkan mahkota kepada raja bayi segera setelah ia cukup usianya.
Ini memberinya setidaknya perpanjangan waktu selama sepuluh tahun.
Ia hanya membutuhkan waktu tiga tahun untuk bisa meyakinkan rakyat
di ibu kota bahwa nasib buruk dari suksesi Han yang luar biasa memperlihatkan bahwa Kehendak Langit berbalik dari dinasti Han. Dan bahwa tidak
adanya kaisar dewasa di tahta mengobarkan perampokan, pembunuhan, dan
segala macam kejahatan. Ketika pertanda buruk mulai berpihak pada Wang
Mang (karena satu hal, sebuah batu putih diketemukan di dasar sumur dengan tulisan ”Katakan pada Wang Mang bahwa ia harus menjadi Kaisar!”),
ia menyatakan bahwa dinasti Han sudah berakhir, dan dialah sekarang Kaisar
China. ”Aku adalah keturunan dari Kaisar Kuning,” ia mengumumkan, ”dan
telah diberi mandat untuk melanjutkan suksesi. Pertanda-pertanda buruk
itu sudah menunjukkan perintah-perintah yang jelas dari para Arwah, yang
mempercayakan kepadaku rakyat dari kekaisaran ini.”3
Dinasti Han sudah bertahan selama 197 tahun, tanpa perbuatan jahat.
Tetapi setelah dasawarsa berikutnya dan setengah dasawarsa setelah tahun
9 M, Dinasti ciptaan Wang Mang yang bernama Dinasti Xin—Dinasti yang
”baru”—akan membuat kekaisaran itu mengalami kemunduran.
Permaisuri pewaris, yang akhirnya wafat di tahun 13 M setelah hidup melewati masa pemerintahan enam kaisar China, tidak sempat hidup sampai
ceritanya selesai. Tetapi dampak-dampak pergantian dinasti terlihat sangat
jelas bahkan sebelum kematiannya. Wang Mang bukanlah orang jahat;
ia mengirimkan bayi pangeran ke tempat jauh untuk dibesarkan di suatu tempat, ia membiarkannya hidup (meskipun rumor mengatakan bahwa Ruzi
kecil dijaga dengan begitu ketat sehingga ia tidak mengenali ayam ketika
melihatnya). Tetapi keputusan-keputusannya menjadi malapetaka. Ia menyatakan dirinya sebagai orang yang merestorasi cara-cara lama dan terhormat,
dan mencoba untuk menggulung kembali semua perubahan yang dibuat oleh
Marga Han yang memutuskan rantai hak-hak istimewa kebangsawanan. Ia
membuat sebal para petani dengan memberi keluarga-keluarga bangsawan sebagian dari kekuasaan feodalnya kembali; ia membuat sebal para bangsawan
dengan menghidupkan kembali pemikiran kuno bahwa seluruh China adalah
milik kaisar (dan lebih-lebih lagi dengan meneruskan dan mengakui beberapa
wilayah-wilayah mereka sebagai miliknya).4
Kebijaksanaan-kebijaksanaannya
begitu meluas, dan begitu tiba-tiba, sehingga rakyatnya menjadi kebingungan
dan tidak puas. Penulis biografinya Ban Gu menceritakan:
Rakyat tidak dapat membalikkan tangan tanpa melanggar larangan …
Si kaya tidak mempunyai alat untuk melindungi diri mereka sendiri dan
si miskin tidak mempunyai cara untuk tetap hidup. Mereka bangkit dan
menjadi pencuri dan perampok, menempati bukit-bukit dan rawa-rawa. 5
Wang Mang juga tidak beruntung karena cuaca. Musim kering dan kelaparan meliputi daerah-daerah ibu kota diikuti oleh banjir dengan tanpa
ampun; pada tahun 11 M, bendungan-bendungan di sungai Kuning jebol
dan ribuan tenggelam. Pertanda-pertanda buruk yang dimanfaatkan oleh
Wang Mang untuk membawanya mencapai kekuasaan sekarang berbalik
melawannya. ”Kelaparan dan wabah mengganas,” kata Ban Gu, ”dan orangorang saling memakan, sehingga sebelum akhirnya Wang Mang dihukum
(kehilangan tahtanya), setengah dari populasi kekaisaran itu sudah musnah.”
Menanggapi gabungan perubahan politik dan bencana alam ini, salah satu
dari kelompok rahasia pertama dalam sejarah China terbentuk: Kelompok
Alis Merah, yang mengorganisasikan gerombolan untuk melawan serdaduserdadu yang datang ke daerah pedesaan untuk melaksanakan dekrit Wang
Mang. Sebelum zaman pemakaian seragam, mereka mengecat dahi mereka
dengan warna merah sehingga, dalam peperangan, mereka dapat membedakan
mana teman, mana lawan.6
Pada tahun 23 M, Wang Mang melepaskan tahtanya dan lari. Ia meninggalkan kekacauan pada keluarga Han, di mana tidak seorang pun punya hak
yang jelas atas tahta kerajaan. Perang-perang di antara mereka terus berlangsung sampai dua tahun sebelum salah satu dari mereka, Liu Xiu, mendapatkan
dukungan yang cukup untuk mengakui tahta itu sebagai miliknya. Liu Xiu, yang lebih dikenal dengan nama kerajaannya Guang Wudi, bersiap memutar-balikkan kerusakan yang diperbuat oleh Wang Mang. Tetapi
ia menciptakan jarak antara dirinya dengan kerajaan Han yang terdahulu
(yang akhirnya berantakan) dengan memindahkan ibu kota dari Chang’an
ke Loyang, tiga ratus dua puluh kilometer sebelah Timur: jadi paruh kedua
dari kekaisaran Han sering disebut Han Timur untuk membedakannya dari
pemerintahan Han sebelumnya.
Ia juga tidak memperbaiki kebiasaan Han yang memberikan semua
kedudukan penting pada anggota keluarga kerajaan, sebagaimana asal mulanya Wang Mang mendapat kekuasaannya. Sebaliknya, ia membagi
wilayah-wilayan Han lama menjadi kabupaten-kabupaten, dan memberi lebih
banyak kedudukan-kedudukan pemerintahan kepada keluarga-keluarga yang
kurang penting. Dan sebagai bagian dari perjuangannya melawan pengaruh tetap dari keluarga-keluarga bangsawan lama, ia membangun lebih dari
seratus sekolah–sekolah pelatihan untuk para birokrat masa depan, di mana
guru-guru yang dibayar oleh pemerintah mengajarkan keahliah-keahlian
yang diperlukan oleh para pejabat pemerintah untuk menjalankan kekaisaran
dengan benar. Ia juga memberlakukan sistem ujian; para calon harus lulus
ujian untuk dapat memenangkan kedudukan pemerintahan, tanpa memandang latar belakang keluarga. Itu adalah meritokrasi (berdasarkan kepandaian
akademis), yang didasari oleh pemikiran Konfusius, dan itu akan menjadi
sebuah sistem yang tetap bertahan selama berabad-abad.7
Tetapi kabupaten-kabupaten yang akan dikuasai oleh para administrator
baru ini lebih kecil, lebih sedikit daripada sebelumnya: kelaparan, perang saudara, dan banjir telah membunuh banyak sekali orang China. Angka sensus
menunjukkan ada sebanyak sepuluh ribu orang meninggal pada tahun-tahun
terakhir Han Barat dan tahun-tahun terakhir Dinasti Baru, dalam salah satu
dari beberapa malapetaka besar di masa lalu yang tersembunyi. 8
G W masa kekuasaan yang panjang dan sejahtera selama tiga puluh dua tahun, dan kemudian menurunkan mahkotanya kepada
putranya, Mingdi.
Mingdi bukanlah pewaris asli kaisar. Guang Wudi belum seluruhnya meninggalkan cara lama dalam membangun kekuasaan yaitu dengan menggalang
persekutuan dengan keluarga-keluarga lama; perkawinannya yang pertama adalah dengan seorang wanita bangsawan dari Utara, dan memberinya
hubungan strategis dengan marga-marga Utara yang mungkin akan memberi
kaisar penerus tahta. Putranya digelari pangeran mahkota. Tetapi hampir
memasuki dua puluh tahun masa pemerintahannya, Guang Wudi merasakan kekuasaannya atas daerah Utara sudah mantap, dan sebaliknya mulai mengkhawatirkan daerah Selatan. Ia menyingkirkan istri pertamanya dan
mengambil istri kedua, seorang istri dari daerah Selatan sebagai istri resmi.
Ketika putranya Mingdi lahir, Guang Wudi mengumumkan bahwa putranya
yang ini, bukan anaknya yang lebih tua, sebagai pewaris.
Mingdi berusia dua puluh sembilan ketika naik tahta. Ia mengatasi masalah kemarahan orang Utara dengan mengirimkan jenderalnya, Pan Ch’ao, ke
Utara untuk mengadakan operasi militer melawan ancaman yang masih terus
muncul dari suku Xiongnu, yang berada di atas mereka. Rasa syukur memastikan kesetiaan orang Utara. Dan operasi-operasi militer Pan Ch’ao tidak
hanya memaksa Xiongnu menyerah, tetapi juga berhasil menguasai daerah
Barat dari Lembah sungai Tarim: Negara Bagian Oasis, suatu tindakan yang
membuka kembali jalan, dari arah Timur, yang sudah ditutup dari Barat oleh
perjanjian Partia-Roma.
Menurut para penulis biografi yang kemudian, Mingdi lalu bermimpi: ia
melihat dewa emas di langit, meminta untuk dihormati. Para penasihatnya
meyakinkannya bahwa itu adalah Budha, seorang dewa yang baru mereka
dengar dari India. Ini adalah ekspresi puitis dari realitas perpindahan penduduk. Baik pedagang maupun misionaris dari India sudah mulai melakukan
perjalanan memasuki China secara teratur.
Mingdi mengirimkan orang-orang ke India untuk mempelajari lebih lanjut tentang Budha. Menurut tradisi China, mereka kembali dengan Sutta
dalam Empat Puluh Dua Bagian, yang merupakan ungkapan-ungkapan
agama Budha yang disajikan dengan cara yang hampir sama seperti Analek
(kumpulan ajaran dari sumber yang berbeda-beda) Konfusius.10 Mingdi yang
menyukai Sutta, mulai mengadopsi pengajaran-pengajarannya untuknya
sendiri dan keluarga istananya.
Ini mungkin merupakan penyajian proses pengadopsian secara bertahap
dari dasar-dasar ajaran agama Budha oleh keluarga istana yang disederhanakan, tetapi hal itu juga memperlihatkan bahwa ajaran Budha sedang masuk
ke China—dan bahwa cara penyebarannya dalam beberapa hal tidak sama dengan ajaran Konfusius. Ajaran Konfusius, yang sekarang sudah melekat pada
struktur-struktur birokrasi Han karena sekolah-sekolah Guang Wudi, dimulai dari rakyat, dan sudah berjalan bersama akar rumput masyarakat China.
Ajaran ini menjanjikan pada laki-laki dan perempuan biasa dasar-dasar ajaran
yang dapat mereka ambil maknanya untuk melewati kehidupan dari hari ke
hari: sebuah tata susila republik. Tetapi ajaran Budha masuk ke China dari
puncak pohon sosial China; pertama diadopsi oleh rajanya, dan berkembang
darinya ke bawah. Di China, itu adalah agama orang yang berpendidikan,
berkuasa, dan kaya. G A R I S WA K T U 8 0
ROMA CHINA
Perang Pharsalus (48) Yuandi
Pembunuhan Caesar (44)
Oktavianus, konsul
Perang Aktium (31) Chengdi
Pendudukan Pertama (27)
Pendudukan Kedua (23)
Oktavianus, pontifex maximus
Aiti
Ping
Ruzi
Dinasti Xin (9 M)
Kematian Oktavianus (14 M) Wang Mang
Dinasti Han Timur (25 M)
Guang Wudi
Mingdi
D kematian Agustus, Tiberius yang berusia lima puluh empat
sekarang menjadi satu-satunya pemegang kekuasaan princeps (raja).
Tiberius tahu bahwa rakyat Roma tidak akan secara otomatis mengakuinya sebagai Agustus berikutnya; kebanyakan dari mereka mengetahui bahwa
Agustus telah memilihnya, seperti yang dikatakan oleh Suetonius, ”lebih
karena kebutuhan daripada kesukaan.”1
Mungkin Senat akan sangat mudah
berpaling darinya sama sekali, khususnya kalau ia kelihatan terlalu menginginkannya. Jadi ketika ia menghadap para senator, sebulan setelah kematian
Agustus, untuk secara resmi diangkat sebagai kepala negara, ia mencoba
untuk mengikuti strategi Agustus sendiri dengan meletakkan jabatan, dengan
menunjukkan sikap rendah hati sehingga mereka mungkin mau mengangkatnya kembali dengan sukarela. Tetapi ia tidak terlalu bisa menampilkan
sikap rendah hati. Ketika Senat mencoba untuk mengembalikan jabatannya,
ia terus menerus setengah menolak mereka dengan memberikan jawabanjawaban yang tidak jelas, sampai mereka semuanya menjadi frustrasi dan salah
satu dari mereka berteriak, ”Lanjutkan, atau berhenti!”2
Akhirnya, ia berhasil
mengkonfirmasikan dirinya sebagai penerus Agustus—tetapi tidak pernah
berakhir dengan gelar Imperator, juga tidak dengan gelar baru Agustus.
Ia sudah menunjuk penerusnya sendiri bahkan sebelum kematian Agustus:
keponakannya bernama Germanicus, yang bertugas sebagai panglima tinggi
dari legiun di sungai Rheine (orang Romawi mengenal provinsi ini sebagai
Jerman, dan suku-suku Celt yang mengembara di situ sebagai bangsa Jerman).
Sekarang ia membawa Germanicus kembali ke Roma dan membuatnya terpilih sebagai konsul, dan kemudian mengirimkannya untuk memerintah
provinsi Suriah.
Tidak lama setibanya di Suriah, Germanicus meninggal dunia, mening-
galkan seorang istri dan seorang putra, Caligula. Rakyat Roma mulai berbisikbisik bahwa Tiberiuslah yang menyuruh membunuhnya. Karena Tiberiuslah
yang berada di belakang naiknya Germanicus dalam kekuasaan—dengan
lebih memilihnya daripada putranya sendiri Drusus, yang tidak tampan
dan tidak sepopuler dia—ini adalah tuduhan yang tidak mungkin. Tetapi
tuduhan itu sudah mengakar. Tiberius orangnya murung, tidak menarik,
dan cara berbicaranya berat; orang yang pantas memegang kekuasaan kaisar dalam segala hal kecuali dalam gelar, yang jelas memerlukan daya tarik
pribadi, untuk menutupi celah antara tampilan luar republik dan kenyataan
sebenarnya kekaisaran. Tiberius tidak mempunyai karisma apa pun seperti
Caesar yang terkenal.
Drusus, yang juga tidak mempunyai (semua itu), sekarang menjadi konsul
dan pewaris nyata. Tetapi di tahun 23 M, ia juga meninggal karena masalah
dengan perutnya. Tiberius patah hati karena kejadian ini. Ia meninggalkan
Roma kurang lebih tiga tahun kemudian dan pertama kali pergi ke Kampania,
dan kemudian ke Capri. Di sini ia menetap dan mengelola urusan-urusan
Roma dari jauh dan bahkan tidak pernah mengunjungi kota.
Cara mengurus dari jauh ini bukan cara yang disetujui oleh Senat. Para
senator sendiri sudah melepaskan otoritas mereka supaya dengan ada-nya
satu kekuasaan, perang saudara dan revolusi dapat dicegah. Tetapi, Tiberius
berada jauh di Capri, mandi ombak dengan sekelompok anak laki-laki
kecil yang disebutnya ”ikan-ikan terinya”. Ia semakin lebih ba-nyak
menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang dan karena sekarang ia
adalah seorang kaisar (dalam segalanya kecuali dalam gelar), kekayaannya dipakai untuk memuaskan kesenangan pribadinya yang mewah ini.
Ia membangun gua-gua kecil dan kubah-kubah di semua tempat di pulau
pribadinya dan menyewa anak-anak laki-laki dan perempuan untuk berdandan seperti bidadari dan peri laki-laki; ini disebutnya ”tempat yang
sering dikunjungi Venus”, dan melakukan perbuatannya di tempat itu
sesuai dengan arti nama tempat itu. Ia membeli karya-karya pornografi
yang terkenal dan menyimpannya di dalam perpustakaan ”sehingga ilustrasi dari posisi yang dibutuhkan akan selalu tersedia bagi siapa pun
yang membutuhkan bimbingan untuk melampiaskan perbuatannya.”3
Penduduk setempat menyebutnya ”si kambing tua itu.” Ia adalah princep
Roma yang ketiga, dan yang pertama melampiaskan kepuasan nafsu-nafsu
birahinya tanpa batas. Tidak butuh waktu lama bagi penguasa seperti itu
untuk merusak para pejabatnya.
Sementara itu Senat sedang melaksanakan pekerjaan untuk menjaga agar
pemerintahan kota tetap berjalan. Dan perang saudara kelihatannya mulai
berkembang. Lucius Aelius Sejanus, pimpinan dari Pengawal Pretoria yang
baru (”pasukan pengawal pribadi para princeps) sedang mengambil ancangancang untuk merebut kekuasaan begitu Tiberius meninggal.
Tapi pada tahun 31, Tiberius mengetahui, entah bagaimana diberitahu
oleh Tacitus, bahwa Sejanus bukan hanya kekasih dari istri putranya yang
sudah meninggal, Drusus, tetapi bahwa keduanya sudah bersekongkol untuk
meracuni Drusus. Ia memerintahkan supaya Sejanus ditangkap dan diadili.
Sejanus dihukum dan kemudian diadakan tindakan pembersihan yang menyapu bersih ratusan warga negara Roma, termasuk anak-anaknya yang masih
kecil dan bahkan putra dari Germanicus yang sudah meninggal, yang mati
kelaparan di dalam penjara. Sejak saat itu, kecenderungan Tiberius untuk
melampiaskan nafsunya berubah menjadi kebengisan: ”Tidak ada seorang
pun dikecualikan dari siksaan atau hukuman mati,” tulis Suetonius.
Sementara Tiberius sedang menjadi masalah bagi orang Romawi di rumah,
seorang nabi yang berkelana bernama Yesus, jauh di Galilea, mengusik
sekelompok besar imam yang berkuasa di Yerusalem dengan mempertanyakan hak mereka untuk menguasai kehidupan religius orang Yahudi.
Sejak
penghapusan jabatan Pendeta Tinggi dan Ethnarch (penguasa provinsi), para
imam tidak lagi mempunyai kekuatan politis, dan mereka khususnya sangat
sensitif menjaga kekuasaan keagamaan mereka yang masih tersisa.
Tetapi untuk menutup mulut Yesus, mereka memerlukan bantuan bangsa Romawi. Mereka harus mencoba untuk membuatnya kelihatan bersalah
dalam suatu pelanggaran politik di depan Herodes Antipas, raja negara taklukan yang bertanggung jawab kepada Roma. Tuduhan yang bisa mereka
temukan adalah bahwa Yesus menyebut dirinya sendiri ”Raja orang Yahudi,”
sesuatu yang akan menyebabkan Herodes terganggu.
Tapi Herodes, yang mungkin sudah mendengar tentang pembersihanpembersihan yang terjadi di Roma, tidak mau berbuat apa pun yang bisa
menampar kemerdekaan; apalagi Tiberius sedang sibuk mengadakan pembersihan terhadap pemberontakan. Ia mengirim Yesus langsung kepada
prokurator (gubernur) Romawi, yang menggantikan kedudukan kakaknya
Archelaus, dengan pesan bahwa bangsa Romawilah, bukan dia, yang harus
berbuat sesuatu untuk mengatasi masalah ini.
Prokurator ini, Pontius Pilatus, sebenarnya tidak lebih merasa yakin akan
keselamatannya sendiri daripada Herodes. Ia juga tidak ingin dicurigai telah
berbuat sesuatu yang akan merusak kekuasaan para princeps yang tidak ramah,
dalam keadaan marah, dan tidak terduga itu. Sebuah revolusi di Palestina
yang berada dalam pengawasannya tidak akan menguntungkan baginya. Jadi
ia setuju untuk menghukum mati Yesus, yang tidak membantahnya ketika
Pilatus menanyakan apakah sebetulnya ia mengaku sebagai raja dari orang
Yahudi. Metode hukuman yang dipilih, yaitu penyaliban yang merupakan
hukuman standar bangsa Romawi bagi para pemberontak; para pengikut
Spartakus juga menderita penyaliban.
Pilatus terus mengikuti kebijaksanaan lebih-baik-selamat-daripada-menyesal. Tidak lama kemudian di tahun 36 M, ia bereaksi terhadap ancaman
semacam itu tetapi tidak cukup kuat, dari sekelompok pemberontak Samaria
dengan menghukum mati mereka semua. Ini menyebabkan serangan balasan berupa sentimen anti-Romawi di Palestina. Gubernur Roma di Suriah,
atasan Pilatus, mencopotnya dari pekerjaannya dan mengirimkannya kembali
ke Roma dengan menanggung malu.
P tahun 37, Tiberius meninggal karena penyakit; ia membutuhkan
waktu yang lama untuk menghembuskan napasnya yang terakhir, dan seseorang akhirnya mencekiknya. Ketika Roma mengetahui bahwa keadaan
sudah aman karena ia sudah mati, rakyat berlarian di jalan-jalan sambil berteriak, ”Lemparkan Tiberius ke sungai Tiber!”4
Baik Tiberius maupun Agustus tidak pernah meminta gelar kerajaan, tapi
pemindahan kekuasaan menjadi sedikit lebih daripada raja. Tiberius telah
memilih pewarisnya yaitu satu di antara putra-putra Germanicus yang sudah
meninggal, Caligula muda.
Tetapi ia tidak mau repot-repot menjadikan
Caligula prokonsul gabungan; Caligula sudah diberi pekerjaan sebagai
quaestor (pejabat keuangan) empat tahun sebelumnya, tetapi ia tidak pernah
menerima gelar lain apa pun. Senat memberinya penghargaan dengan gelar
princeps, wewenang sebagai Pontifex Maximus, dan kekuasaan militer dari
imperium tanpa terlebih dulu memperkenalkan dia sebagai anggota prokonsul
gabungan yang masih hidup, dan tanpa formalitas penyerahan jabatannya.
Caligula mengawali kekuasaanya dengan melepaskan kecurigaan-kecurigaan yang suram yang masih menghantui orang Romawi, selama masa
pembersihan yang dilakukan oleh Tiberius. Ia mengampuni semua tahanan,
mengundang semua orang buangan untuk kembali ke kota, dan membuat
beberapa pembaruan pajak yang membantu orang Romawi yang miskin.
Tetapi awal yang baik itu hanya tipuan. Kisah-kisah kuno berbeda-beda
dalam menceritakan tentang tingkah laku Caligula; beberapa mengatakan
bahwa ia sudah bengis dari awal, tetapi menutupi kebengisannya itu cukup
lama untuk memperkuat kekuasaannya (Suetonius bahkan mengatakan bahwa
dialah yang mencekik Tiberius), sementara yang lain menuduh bahwa ia menderita serangkaian penyakit keras pada awal masa berkuasanya dan kemudian
muncul dengan kepribadian yang baru. Semua cerita ini menggambarkan
daftar kejahatan yang mengerikan: ia membunuh sepupunya, neneknya, dan
ayah mertuanya; ia tidur dengan ketiga saudara perempuannya, dan juga pelacur-pelacur pria maupun wanita dan istri-istri pria lain; ia membuat seorang
senator dicabik-cabik dan serpihan tubuhnya diseret-seret ke jalan-jalan; ia
memaksa pengawal pribadinya untuk main perang-perangan dengannya, dan
membunuh mereka ketika mereka ragu-ragu untuk membalas pukulannya; ia
menaikkan pajak dan kemudian menghambur-hamburkan uang dengan liar.
Rumor mengatakan bahwa ia bermaksud untuk menjadikan kudanya sebagai
konsul, dan tentu saja ia tidak menghargai jabatan itu. Pada tahun 39, ia
memecat kedua konsul dan membubarkan Senat dengan paksa.
Belum sampai satu abad, Roma telah berjalan sangat jauh dari kota, di
mana para senator telah membunuh satu orang hanya karena ia mungkin
mempunyai keinginan untuk menjadi kaisar. Sekarang Roma malah toleran
terhadap seorang autokrat yang belum pernah ada seperti itu. Masalahnya,
tidak semua orang merasa tidak nyaman terhadap kebobrokan Caligula; ia
memboroskan uang dan menghadiahi hak-hak istimewa kepada mereka
yang tetap setia berpihak padanya. Jadi, selalu saja ada lidah-lidah yang
menyampaikan laporan tentang pengkhianatan kepada sang princeps, dan
hukuman-hukuman Caligula dilakukan dengan sangat menyakitkan sehingga hanya sedikit yang mau mengambil risiko.
Tetapi ini tidak akan membuatnya selamat untuk selamanya, meskipun
untuk beberapa saat ia berhasil membuat mata Roma terpaku padanya, menunggu munculnya pemberontakan selanjutnya. Tetapi urusan kekaisaran
belum berhenti sementara tokoh sentral kekaisaran itu berantakan.
Di perbatasan Timur Roma, raja Partia Artabanus III, putra dari seorang
patriot yang telah merebut tahta dari Vovones I yang bersikap seperti Romawi,
diberi kekuasaan atas Partia dengan nasionalisme yang sudah diperbaiki. Ia
tampil dalam koin-koinnya (banyak ditemukan di Ecbatana) dengan janggut model Persia kuno yang dipangkas mengotak, dan ketradisionalannya
cocok dengan usaha-usahanya untuk mempertegaskan kembali kekuasaan
atas kota-kota Partia; ia mendudukkan saudara-saudaranya, sekarang men
jadi pangeran-pangeran dari sebuah keluarga kerajaan, pada tahta-tahta kecil
untuk memerintah wilayah-wilayah kerajaannya dan melapor kepadanya,
dengan sistem yang ditirunya dari satrap-satrap Persia.
Menurut Plinius. Ada delapan belas kerajaan mini seperti ini di Partia, dan
Artabanus III memasang matanya untuk membuat Armenia menjadi yang
kesembilan belas. Armenia, yang pada suatu saat pernah menjadi milik kekaisaran Seleukia, negara bagian kecil yang berfungsi sebagai penahan antara
Partia dan Roma. Sebetulnya Armenia bukan negara bebas yang sesungguhnya. Sejak masa kekuasaan Agustus, Armenia kalau diperhalus disebut ”Dalam
perlindungan Roma,” yang berarti pasukan Romawi menopang kekuasaan seorang raja yang bersimpati pada Roma. Artabanus bermaksud mendudukkan
putranya Arsaces pada tahta Armenia dan sebaliknya membuat negara bagian
itu ”Dalam perlindungan Partia.”
Ia menyerang Armenia suatu waktu di tahun tiga puluhan, dengan bantuan pasukan sewaan dari Scythia dari daerah Utara. Pertempuran di ibu
kota berakhir dengan kematian Arsaces; Artabanus yang tidak rela menyerah,
kelihatannya membuat serangan lain dengan rencana untuk memahkotai putranya yang lain lagi.
Komandan Roma, yang tidak sungguh-sungguh ingin melakukan perang
terbuka di daerah yang begitu dekat dengan perbatasan Timur jauh Roma,
menawarkan perundingan damai. Pada tahun 37, Artabanus setuju untuk
menemui diplomat Roma tepat di perbatasan Roma-Partia—di tengah-
tengah sungai Efrat. Kedua orang itu, yang tidak sudi menjejakkan kakinya
di wilayah masing-masing, berjalan maju ke atas jembatan yang merentang di
atas air, dan melakukan negosiasi tepat di tengah-tengahnya. Pada akhirnya,
kedua pasukan Partia dan Roma yang berada di ujung jembatan diperintahkan untuk mundur sebagian; Armenia akan tetap berlaku sebagai kota
penahan, dengan kemerdekaannya sendiri yang rawan.
Artabanus III kurang menginginkan perang seperti juga lawannya, Roma.
Partia sedang menghadapi musuh lain di perbatasan Timurnya: kerajaan Kushan.
Rakyat Kushan aslinya adalah bangsa nomad Yuezhi. Setelah Yuezhi
menginvasi dan memporakporandakan Baktria Yunani, salah satu suku Yuezhi
pergi ke Selatan dan merentangkan pengaruhnya kepada marga-marga di
sekitarnya, dan menyusup pelan-pelan menjadi satu negara. Orang Kushan
adalah bangsa Asia, tetapi mereka menggunakan tulisan Yunani pada koinkoin mereka, yang mereka pelajari selama perjalanannya ke Selatan melalui
Baktria Yunani. Koin-koin itu menampilkan gambar dewa Zeus pada satu
sisinya, dan di sisi lainnya seorang tokoh yang duduk bersila, kemungkinan
Budha; Bangsa Kushan yang segera menyebar sejauh Gandhara, membaur
dengan pengaruh-pengaruh dari Barat dan Selatan.
Sekitar tahun 30 M, kerajaan Kushan dikuasai oleh seorang yang ambisius
bernama Kujula Kadphises. Tidak banyak yang diketahui tentang dia, kecuali
bahwa ia bertahta sampai hampir lima puluh tahun, dan bahwa selama masa
itu Kushan berkembang ke arah Barat cukup jauh untuk mulai mendesak
perbatasan Timur Partianya Artabanus III. Menurut catatan-catatan China
kuno Hou hanshi, ia ”menginvansi Anxi” (Partia); ”invasi” itu kelihatannya
lebih dari mencaplok wilayah-wilayah Timur yang belum sepenuhnya masuk
dalam sistem Partia. ”Gaofu,” di mana Kabul sekarang berdiri, adalah salah
satunya. Bangsa Kushan, tambah Hou hanshi, menjadi ”sangat kaya.”
Pertumbuhan Kushan di bawah Kujula Kadphises tiba-tiba tertahan ketika seorang pejuang lain muncul dari bayang-bayang, menguasai daerah
Punjab (yang pernah berada di bawah kekuasaan Kushan), dan menyebarkan kerajaannya sendiri yang baru sampai sejauh yang sekarang disebut lembah
Kabul. Namanya adalah Gondophernes.
Kita mengenalnya kebanyakan melalui cerita yang ditulis kira-kira seabad
kemudian:
Kisah-kisah Para Rasul oleh Tomas, sebuah teks yang ditulis oleh para sarjana yang termasuk dalam sempalan teologi Kristen ortodoks yang disebut
Gnostisisme (aliran dalam agama Kristen lama yang mengaku mempu-
nyai pengetahuan yang lebih tentang benda spiritual dan yang menerangkan
bahwa dunia diciptakan oleh kekuasaan yang muncul sebagai asal dari ketuhanan). Ceritanya pertama kali diceritakan di Suriah dan menghubungkan
perjalanan-perjalanan Tomas Didimus, murid Yesus yang dalam injil-injil
Perjanjian Baru diingat karena tidak mau mempercayai Kebangkitan sampai
ia dapat melihat Yesus sendiri. (Ini yang membuatnya mendapat julukan
Tomas, orang yang tetap tidak percaya.)
Cerita perjalanan Tomas menemui Gondophernes dimulai, dalam Kisah
Rasul Tomas di Yerusalem. Yesus setelah disalibkan bangkit di antara orangorang mati dan menampakkan diri pada para muridnya, memberi mereka tugas
untuk menyebarkan kabar tentangnya ke seluruh dunia. Tomas mengemban
tugas ke India. Ia tidak terlalu bersemangat tentang hal ini, sampai ia mendapat sebuah penampakan: ”Sang Penyelamat menampakkan diri kepadanya
di malam hari and berkata padanya: Jangan takut, Tomas, pergilah sampai
ke India dan ajarkanlah sabdaku di sana, karena berkatku besertamu.” Tidak
lama kemudian, Tomas dengan tidak sengaja bertemu dengan seorang pedagang yang ”datang dari India bernama Abbanes, ia dikirim dari kerajaan Raja
Gondophernes.”5
Si pedagang setuju untuk menjadi pemandunya memasuki India. Akhirnya
Gondophernes sendiri mendengar rumor tentang kedatangan Tomas, karena
bermacam-macam mukzizat telah terjadi di sekitarnya. Ia memanggil Tomas
untuk menghadapnya dan memintanya, sebagai seorang suci, untuk memberkati putrinya dan suaminya yang baru dinihahkannya; mereka berdua baru
saja merayakan perkawinan mereka. Tomas setuju untuk mendoakan kedua
mempelai kerajaan, setelah itu Yesus menampakkan diri kepada keduanya
di kamar tidur mereka dan memberitahu mereka bahwa jika mereka tidak
melakukan kesenangan daging (”menjauhkan diri dari persenggamaan yang
kotor”) dan tidak mempunyai anak, mereka akan menemukan pencerahan
(suatu pokok ajaran teologi gnostik). Keduanya percaya dan berpindah agama
mengikuti ajaran Kristen gnostik yang disampaikan oleh Tomas. Tetapi ketika Gondophernes mengetahui bahwa keduanya memutuskan untuk hidup
dalam keharmonisan yang suci (yang berarti ”tidak ada pewaris”),
ia mengoyakkan bajunya dan berkata pada mereka yang berdiri di sekitarnya: Pergilah cepat dan carilah ke seluruh pelosok kota, dan bawalah ke
hadapanku orang itu, si penyihir yang dibawa oleh nasib buruk datang ke
kota ini; karena dengan tanganku sendiri aku telah membawanya masuk
ke rumah ini.6
Tomas berhasil pergi, dan setelah mengalami bermacam-macam petualangan akhirnya berdamai dengan sang raja, yang akhirnya berpindah agama dan dibaptis.
Berabad-abad cerita ini dianggap sebagai dongeng belaka. Tetapi koinkoin Gondophernes menunjukkan bahwa ia benar-benar ada, dan bahwa ia
memerintah daerah Utara India. Dan cerita itu menyatakan bahwa kerajaannya berinteraksi dengan negara-negara yang lebih jauh ke arah Barat.
Apakah Gondophernes akhirnya benar-benar menjadi seorang Kristen
tidak diketahui pasti; tetapi Kekristenan sendiri sudah mulai terbentuk, pada
abad pertama, sebagai alat identitas yang baru. Paulus seorang ahli teologi
Yahudi, seorang warga negara Roma, menulis tentang kematian dan kebangkitan Yesus sebagai proses yang berulang dalam kehidupan-kehidupan
orang-orang yang mempunyai keyakinan Kristen. Berpindah agama, katanya dalam sebuah surat yang ditulis pada orang Kristen di Roma, membawa
kematian pada pribadi lama yang rusak, dan kekuatan Kristus kemudian
membangkitkannya, memperbaiki, dan memperbarui. ”Pandanglah dirimu
sudah mati terhadap dosa,” Paulus berusaha meyakinkan para pembacanya
lebih keras, ”tetapi hidup untuk Tuhan. Persembahkan dirimu kepada Tuhan
seperti mereka yang telah dibangkitkan dari kematian.”7
Penyebaran pemujaan Kristiani itu memberi para penganut sebuah identitas yang sama sekali
baru, menggantikan yang lama.
Tapi identitas lama, meskipun diubah, tidak sama sekali hilang. Dalam
surat lain kepada orang Kristen di Galasia, Paulus menulis, ”Tidak ada
orang Yahudi maupun Kafir, budak atau orang merdeka, laki-laki atau wanita, karena semua adalah satu dalam Yesus Kristus.” Tetapi di bagian lain
dalam surat-suratnya dijelaskannya bahwa orang Kristen tetaplah Yahudi dan
Kafir, budak dan orang merdeka, apalagi pria dan wanita. Seorang penganut
Kristen mempunyai identitas inti sebagai pengikut Yesus Kristus, tetapi orang
Kristen ortodoks tidak melepaskan kebangsaan lama mereka, atau gender,
atau kedudukan mereka dalam hirarki sosial.
Kekristenan bagaimana pun juga berasal dari negera jajahan—Yehuda—
yang diperbolehkan untuk tetap memelihara identitasnya sementara dan
pada waktu yang sama diberi identitas lain. Orang Yahudi dari Yehuda adalah
orang Yahudi, bukan Romawi; tetapi mereka juga rakyat Roma, dan beberapa
di antara mereka bahkan menjadi warga negara.
Semua provinsi Roma menghadapi masalah ini yaitu menyeimbangkan
dua identitas berbeda pada saat yang bersamaan, trtapi bagi orang Yahudi
khususnya masalahnya menjadi akut. Tidak ada kontradiksi menjadi orang
Romawi sekaligus Kristiani, atau Romawi sekaligus Galasia, atau bahkan
Romawi sekaligus Mesir. Tetapi, Caligula akan mempersulit orang Romawi
yang juga sekaligus orang Yahudi.
Pada tahun 40, Caligula memutuskan bahwa ia mempunyai sifat kedewaan. Ia memerintahkan arca-arca dirinya didirikan untuk dipuja: ”Ia
menginginkan untuk dianggap sebagai dewa,” tulis pakar sejarah Josephus,
”dan dielu-elukan seperti itu.”8
Dekrit Caligula meluas ke seluruh wilayah
kekuasaan Roma. Tetapi di Yerusalem, orang Yahudi yang dilarang oleh hu-
kumnya sendiri untuk memuja dewa-dewa, meminta pada komandan Romawi
setempat untuk tidak memaksa mereka menghormati patung Caligula.
Si Komandan adalah seorang yang berpikiran jernih bernama Petronius,
setuju untuk mengirimkan surat ke Roma untuk menanyakan apakah
penyembahan patung-patung itu betul-betul perlu. Tetapi balasan yang
kembali dari ibu kota sangat tak terduga: Caligula mati. Pengawal Praetoria
akhirnya membunuhnya. Ia menjadi princeps selama tiga tahun dan
sepuluh bulan.
Dua puluh tujuh hari kemudian berita kematian Caligula tiba, sebuah
surat lain juga tiba: dari Caligula yang sudah meninggal, mengancam akan
membunuh Petronius jika arca-arcanya tidak didirikan. Kapal yang membawa surat itu telah didahului oleh kapal yang lebih cepat yang membawa
berita kematian si orang gila.
St sekarang mempertimbangkan untuk menghilangkan jabatan princeps
sama sekali dan membagi kekuasaan yang untuk sementara dipersatukan di
dalam orang yang menjadi princeps dan kemudian dikembalikan pada jabatan republik mereka yang lama. Tetapi dua kekuatan menghalangi mereka.
Paman Caligula, Claudius, kakak dari Germanicus yang sudah meninggal,
mengincar kekuasaan princeps. Pengawal Praetoria mau disuap untuk mendukungnya; serdadu yang elit ini mempunyai lebih banyak suara dalam
urusan Roma sekarang daripada sebelumnya, dan restorasi Republik akan
berarti kemungkinan dibubarkannya pengawal. Di bawah sebuah republik,
mereka akan kehilangan pekerjaan mereka, kehidupan mereka, dan (yang paling menggiurkan) kekuasaan mereka.
Hanya dalam beberapa hari, Claudius mendapatkan kekuasaannya sebagai princeps, Pontifex Maximus, dan imperator dalam genggamannya yang
ketat. Ia telah membayar para pengawal itu, memerintahkan pembunuhpembunuh Caligula untuk dibunuh (semua berterima kasih kepada mereka, tetapi membiarkan mereka tetap hidup adalah suatu preseden yang buruk),
dan merencanakan tindakan-tindakannya selanjutnya.
Ternyata ia sudah memutuskan, entah karena ketakutan atau kasihan,
untuk menentukan posisinya; ia mengembalikan tanah yang dirampas
Caligula, dan mengampuni semua yang dicurigai Caligula berkhianat.
Pengampunannya juga meluas sampai ke dalam bentuk memberikan amnesti
kepada mereka yang sudah dihukum oleh Caligula, dengan membakar catatan-catatan pengadilan mereka.
Tetapi pengampunan itu hanya sebatas kekhawatirannya akan kelangsungan hidupnya sendiri. Antara tahun 41 dn 42, ia menghukum mati para
senator dan bangsawan Roma tanpa pandang bulu, siapa pun yang ia pikir
akan membahayakannya. Dalam hal ini, ia didorong oleh istrinya Messalina,
yang perselingkuhannya seimbang dengan kerelaannya untuk melaporkan
musuh-musuh kepada suaminya untuk dihukum mati.
Keberhasilan claudius yang terbesar adalah di Britania, di mana seorang raja bernama Caratacus bangkit untuk menentang kekuasaan Romawi.
Untuk beberapa waktu, legiun-legiun di Britania sibuk membantu suku-suku
kecil di tenggara untuk melawan penyerobotan yang dilakukan oleh Caratacus
ini. Tindakan ini tidak memberi Roma prestasi dengan menaklukkan seluruh
pulau, tetapi cukup dapat menghalangi kerajaan Caratacus untuk mendapatkan lebih banyak kekuasaan di sepanjang jalan, sehingga ia tidak mungkin
memulai penyerobotan seperti itu.
Pada tahun 43, Caratacus sudah mendapat cukup wilayah di Selatan yang
bisa mengancam kekuasaan Roma atas Selat. Karena itu Claudius mengirimkan empat legiun termasuk banyak serdadu dari Gallia sendiri, menyeberang
untuk mendesak orang Britania mundur dari pantai.
Ketika mereka mendarat di Kent, orang-orang Caratacus—yang tidak
pernah melihat pasukan Roma sebegitu besarnya—terkejut. Legiun-legiun
berhasil dalam perjuangannya untuk maju dan menetapkan garis depan
Romawi di seberang daerah tenggara Britania. Ketika sungai Thames sudah
diamankan, Claudius sendiri tiba. Selama enam belas hari ia memimpin
sendiri penyerbuan ke depan, suatu tindakan yang tidak biasa dilakukan oleh
orang yang secara pribadi jarang berperang selama masa pemerintahannya.
Sementara itu Legiun Kedua maju ke arah Barat di bawah Vespasia, Komandan
kepercayaan Claudius. Pembentukan kekuasaan Roma di Britania
adalah keberhasilan politik yang besar dari masa kekuasaan Claudius.
Tetapi tidak lama kemudian, fokus Claudius berbelok pada kesulitan-kesulitan domestik. Istrinya, Messalina menikahi kekasihnya, suatu penentangan
terang-terangan yang mungkin bisa menjadi langkah pertama dari suatu percobaan untuk menggulingkan Claudius sendiri. Kalau benar begitu, usaha itu
gagal; Claudius menghukum mati keduanya. Setelah kematiannya, Claudius
menikahi adik Caligula, keponakannya sendiri Agrippina (ini membutuhkan
izin khusus dari Senat). Ia mempunyai seorang putra dari perkawinannya yang
terdahulu, seorang anak laki-laki kecil bernama Lucius Domitius. Claudius
mengadopsinya, memberinya nama keluarga Nero.
Pada tahun 51, ia menyatakan Nero sebagai pewarisnya. Segera setelah ia
menyatakan itu, Agrippina mulai mengambil langkah-langkah untuk mengamankan kelangsungan hidupnya sendiri.