��kesan bahwa dambaan Cicero adalah untuk
kebebasan,” menurut pengamatan Plutarkhos, ”ia berhenti memberikan perhatian lebih lanjut kepadanya.”6
Dengan begitu, mengikuti contoh Caesar, ia memutuskan untuk bersekutu dengan saingannya supaya posisinya sendiri kuat. Alih-alih menyerang
Antonius, ia menyuruh teman-temannya membawa pesan: ia mempunyai
usul kalau Antonius setuju untuk bertemu dengannya. Di bulan November,
kedua orang itu bertemu di sebuah lokasi pribadi di Bologna, dan selama tiga
hari mendiskusikan kemungkinan untuk membentuk kemitraan. Mereka
memutuskan untuk membentuk sebuah triumvirat, seperti yang dilakukan
orang-orang tua sebelum mereka. Sebagai anggota ketiga dari triumvirat itu,
mereka memasukkan sekutu Markus Antonius yaitu Lepidus. Bagaimana
pun juga, ia adalah Pontifex Maximus, dan ia memimpin sejumlah besar legiun dalam posisinya sebagai gubernur provinsi-provinsi Gallia dan Spanyol
Dekat.
Meskipun begitu Triumvirat ini bukanlah suatu rencana informal: ikrar
kesetiaannya tertulis. ”Kekaisaran akan segera ditentukan,” Plutarkhos
mengatakan, ”apakah akan dibagikan kepada mereka bertiga seakan-akan ini
merupakan warisan orang tua.”
Setiap orang kemudian membuat daftar orang Romawi yang ingin mereka
habisi pada waktu pengambilalihan itu. Ini keterlaluan, bahkan dengan dalih
legalitas pun sudah kelewatan. Pada daftar kematian itu seluruhnya tercatat
tiga ratus orang, termasuk Cicero (pada daftar Antonius), paman Antonius
sendiri (pada daftar Oktavianus), dan kakak Lepidus (yang secara terbuka
melawannya) pada daftar Lepidus.
Ketiganya kembali ke Roma di depan sebuah angkatan perang dan dengan
bengis melaksanakan pembunuhan-pembunuhan itu. Setelah itu, mereka
membagi kekaisaran. Oktavianus mendapatkan daerah Barat, Antonius di
Timur. Lepidus yang nasibnya harus menjadi ujung ekor triumvirat, kehila ngan provinsi-provinsi Gallia dan Spanyol Dekat dan malah diberi Afrika,
yang hampir sama sekali bukan pekerjaan yang menguntungkan.
Tetapi untuk sementara itu, ia dibungkam dengan diberi wewenang atas
kota Roma. Sementara Lepidus menjaga ibu kota, Antonius dan Oktavianus
berangkat ke Yunani dengan membawa sebagian dari bala tentaranya untuk
membunuh Cassius dan Brutus.
Cassius dan Brutus membuat markas di Makedonia, membagi bala tentara mereka menjadi dua bagian dan menempatkan pasukan-pasukan di
dua tempat yang berbeda. Ini memaksa Antonius dan Oktavianus untuk
membagi angkatan perang mereka juga. Oktavianus mendapat tugas menyerang Brutus; tetapi pada hari peperangan ia menderita sakit: ”lemas dan
tidak sehat,” kata Suetonius, dan segera mundur dalam keadaan kacau balau.7
Sebaliknya Antonius mengalahkan Cassius, yang kemudian bunuh diri tanpa
menyadari bahwa Brutus masih baik-baik saja; ia berbalik dan menghabisi
Brutus mewakili Oktavianus.
Oktavianus pulang ke rumah, karena semakin sakit, dan mengira ia sudah
pasti akan meninggal sebelum dapat mencapai Roma. Antonius tetap tinggal
di Timur, untuk membantu melindungi garis perbatasan. Suriah, provinsi
Roma sedang menghadapi kemungkinan invasi; Bangsa Partia yang dipimpin
oleh raja mereka Orodes II, berkumpul di batas sebelah Barat mereka, bersiap
untuk menginvasi tanah-tanah yang diperintah oleh Roma. Dan Antipater,
gubernur Roma di Suriah, baru saja diracuni; putranya Herodes sekarang
memerintah menggantikannya, tetapi ia masih baru untuk jabatan itu.
Antonius tiba di Suriah, tetapi segera perhatiannya teralihkan dari serangan
yang akan datang itu. Pada tahun 41, setahun setelah kekalahan Brutus dan
Cassius, ia bertemu dengan Cleopatra yang berlayar sampai ke Cilicia untuk
menemuinya dan memperkenalkan dirinya, dengan sengaja bergaya untuk
menarik perhatian:
di dalam sebuah perahu, dengan buritan yang disepuh dan layar-layar
ungu terkembang, sementara dayung-dayung perak memukulkan gerakan irama gendang mengiringi musik seruling, serunai, dan harpa. Ia
berbaring sendiri, di bawah kanopi yang terbuat dari kain emas, berdandan seperti Venus dalam gambar, dan anak-anak laki-laki kecil dan
menggemaskan, seperti lukisan dewa Cupido, berdiri di tiap sisinya mengipasinya. Dayang-dayangnya berpakaian seperti Bidadari dan Peri Laut,
beberapa mengemudikan kemudinya, beberapa lagi mengurus tali-temali.
Wewangian menyerbak dari kapal mereka sampai ke pantai, yang dipenuhi
oleh khalayak ramai, sebagian mengikuti perahu dari masing-masing tepi
sungai, sebagian lagi keluar dari kota untuk melihat pemandangan itu.Bukannya tinggal di Suriah untuk melindungi provinsi itu, Antonius, yang
mabuk kepayang, malah mengikuti Cleopatra sampai ke Alexandria.
Serangan Partia terjadi pada tahun 40 SM beberapa bulan kemudian.
Bangsa Partia menyapu bersih melewati Suriah masuk ke Palestina, berniat
untuk membunuh gubernur Romawi, Herodes. Ia melarikan diri ke Roma,
jadi orang Partia menarik keluar Hyrcanus (yang menjadi Pendeta Tinggi
dan Ethnarch dari Yudea, yang bertanggung jawab kepada Herodes) sebagai
gantinya dan memotong kedua telinganya. Ini membuatnya tidak dapat lagi
menjabat sebagai pendeta tinggi, karena undang-undang Yahudi mengatakan
bahwa yang menjadi pendeta tinggi tidak boleh orang yang sudah dimutilasi.
Segera setelah keberhasilan ini, Orodes dibunuh oleh putranya Phraates
IV, yang juga menghabisi saudara-saudara laki-lakinya dan anak sulungnya
sendiri, untuk menghilangkan saingan yang terlalu banyak, bahkan untuk
ukuran Partia. Antonius melepaskan diri dari Cleopatra dan pulang ke Roma
untuk berkonsultasi dengan Oktavianus, yang secara mengejutkan sudah
sembuh dari penyakitnya. Dengan angkatan perang yang segar dan Herodes
si pelarian yang mengekor, Antonius bergerak kembali ke Timur.
Bangsa Partia di bawah Phraates IV, mencoba untuk mempertahankan
kekuasaan Suriah, tetapi Antonius berhasil memukul mundur keluar dari
Palestina. Pada tahun 37 SM, ia menempatkan Herodes kembali sebagai raja
pengikut Roma: seorang Raja Yahudi sekular, yang bertugas sekaligus sebagai
pendeta dan raja.
Sementara itu, kembali sedikit jauh ke Barat, Oktavianus sudah melenyapkan Lepidus. Lepidus sudah menjadi sangat bosan menjadi adik perempuan
yang lemah dari kelompok ini. Ia berlayar dengan pasukannya ke Sisilia
yang diakuinya sebagai miliknya. Ini adalah pesan yang jelas bahwa ia menginginkan kekuasaan lebih banyak dalam triumvirat.
Tetapi Oktavianus, mendarat di pantai Sisilia dan memohon tentara
Lepidus untuk tidak menolaknya: mereka dapat menyelamatkan Roma dari
perang saudara apabila mereka meninggalkan saja perkara Lepidus. Mereka
setuju, legiun demi legiun meninggalkannya. Lepidus kelihatannya tidak
punya karisma untuk menanggulangi bujukan Oktavianus. Ahirnya Lepidus
sendiri terpaksa mengikuti pasukannya menuju ke perkemahan Oktavianus
untuk menyerah dan memohon ampun. Oktavianus tidak membunuhnya,
tetapi mengambil provinsinya, tentaranya, dan gelar Triumvir darinya.9
Iuga
menempatkannya dalam tahanan rumah, di mana Lepidus tinggal selama sisa
hidupnya.
Oktavianus dan Antonius sekarang berbagi kekuasaan di antara mereka,
tetapi Antonius posisinya makin lemah. Setelah awalnya berhasil, operasi mi
liternya melawan Partia berubah menjadi malapetaka yang tak dapat ditawar.
Iencoba untuk mendesak masuk Midia dan dipaksa mundur, selama perang
itu dua puluh empat ribu pasukan infanteri mati.10
Pada tahun 34 SM, Antonius menyerah. Ia kembali ke Mesir dan kepada
Cleopatra. Desersi ini membuat Oktavianus punya alasan yang diperlukannya untuk menyatakan perang dengan Antonius sebagai musuh Roma,
dengan demikian perang itu akan membuatnya menjadi pemimpin dari bagian kekaisaran Antonius yang kemudian menjadi miliknya.
Tetapi ia perlu mengubah senatorsenator yang pro-Antonius berpihak kepadanya. Pada tahun 32 SM, Oktavianus
membacakan surat wasiat Antonius
keras-keras di hadapan Senat. Ini perbuatan ilegal, tetapi ketika Senat mendengar
bahwa Antonius telah meninggalkan sebagian besar uangnya kepada anak-anak
setengah Mesir yang dilahirkan oleh
Cleopatra (mereka kembar, satu laki-laki
dan satu perempuan) dan juga meminta
untuk dikubur di Mesir, mereka setuju
untuk membuat pengumuman perang
yang resmi melawan Antonius, seolaholah ia adalah musuh asing.11
Oktavianus
mengomentari bahwa dengan keadaan
Antonius yang sudah sama sekali tersihir
oleh Cleopatra, ia memperkirakan tidak
ada kesulitan untuk menghilangkannya
dari kancah politik. Ia mencurigai jenderal-jenderal Antonius adalah penata
kecantikan Cleopatra dan seorang atau
dua sida-sida Mesir.
Antonius yang mendengar pernyataan ini, mulai mengumpulkan sebuah
angkatan perang dan angkatan laut di
Efesus. Angkatan perangnya besar: lima ratus kapal perang, kata Plutarkhos,
dengan seratus ribu infanteri dan cukup banyak sekutu kerajaan, salah satunya adalah Herodes, raja Yudea.
Oktavianus melakukan perjalanan ke arahnya dengan sebuah armada dan
angkatan perang daratnya. Setelah serangkaian perang yang sengit, kedua
angkatan laut bentrok di dekat Tanjung Aktium yang menjorok dari pantai
Utara Yunani. Setelah kapal-kapal Oktavianus merusakkan tiga ratus kapal
Antonius, Antonius dan Cleopatra meninggalkan kancah peperangan dan
berlayar kembali ke Mesir. Kebanyakan orangnya meninggalkannya dan bergabung dengan Oktavianus yang sudah jelas berada di pihak yang menang.
Oktavianus memutuskan bahwa akan lebih bijaksana lagi jika tidak meninggalkan Antonius di Mesir, yang kemungkinan dapat merencanakan lebih
banyak kesulitan bagi Roma. Ia menunggu selama musim dingin, dan kemudian berangkat ke Mesir.
Ketika Antonius mendengar Oktavianus sudah dekat, ia menusuk dirinya
sendiri di perutnya dengan pedang dan mengeluarkan darah sampai mati
dengan perlahan-lahan. Cleopatara berhasil bunuh diri, meskipun pada tubuhnya tidak ditemukan tanda dan tidak ada belati ditemukan di dekatnya;
kemudian para pembantunya menyatakan bahwa mungkin ia membiarkan ular
berbisa menggigitnya daripada menjadi tahanan seumur hidup Oktavianus.
Oktavianus memerintahkan putra Cleopatra dari Caesar juga dibunuh.
Tahun itu adalah 30 SM, dan ia sendirian menguasai wilayah-wilayah Roma.
P ahun 29, ia tiba kembali di Roma, kepada rakyat yang sudah bosan
berperang.
Oktavianus mengadakan pawai kemenangan untuknya sendiri, dan membagi-bagikan uang kepada para warga negaranya. Ia juga memerintahkan
pintu-pintu Kuil Janus ditutup untuk memperlihatkan bahwa Roma sudah
memasuki zaman perdamaian yang baru. Kemenangan Oktavianus di Aktium,
menurut versinya sendiri ketika menceritakan peristiwa-peristiwa itu, merupakan sebuah awal baru. Ternyata bukan: Berakhirnya Republik Roma dan
Diawalinya Kekaisaran Roma (seperti para pakar sejarah yang kemudian memandangnya), melainkan : Republik sudah diberi awal baru yang segar.
Supaya ilusi ini tetap hidup, ia tidak dapat membubarkan Senat: sebab
dengan begitu ia akan menyingkirkan setengah dari nama-nama pejabat
Roma. Senat juga sedang berada di posisi yang lemah. Oktavianus baru
saja selesai berperang melawan seorang warga negara Roma, dan baru saja
menghukum mati satu-satunya putra Caesar. Kedua-duanya adalah tindakan otokratis, dan jika ia bertindak terlalu seperti seorang raja, protes-protes
akan melebar sampai tidak dapat diabaikan lagi. Sebaliknya kalau Senat memaksanya untuk meletakkan semua kekuasaannya, perang saudara mungkin
akan pecah lagi. Satu hal menjadi jelas dalam tahun-tahun yang sudah lewat,
bahwa bentuk asli Republik tidak akan bisa mempertahankan kedamaian
kota untuk waktu yang lama.
Kompromi antara Senat dan Oktavianus adalah, seperti versi Oktavianus
sendiri tentang kemenangannya di Aktium, sebuah terminologi. Dalam tahun 27 SM, Oktavianus berjalan memasuki rapat Senat bulan Januari dan
dengan resmi mengumumkan akan meletakkan semua kekuasaan yang telah
dianugerahkan kepadanya dalam masa-masa krisis: ini menunjukkan bahwa
kekuasaan-kekuasaan itu luar biasa, bukan kekuasaan-kekuasaan biasa, dan
bahwa Republik masih dalam kekuatan penuh.
Oktavianus memasukkan cerita ini dalam Res Gestaenya, suatu pernyataan
yang terukir pada tembaga yang kemudian berdiri di depan mausoleumnya:
”Setelah aku mengakhiri perang saudara,” tulisan itu mengatakan, ”dengan
seizin alam semesta aku telah menerima kekuasaan luar biasa, aku menyerahterimakan negara dari kekuasaanku ke dalam wewenang Senat dan rakyat
Romawi.”12
Sebagai balasannya, begitu Oktavianus memperlihatkan hormatnya pada
Republik, Republik membalas kebaikan itu. Oktavianus tetap menjabat sebagai konsul (suatu jabatan republik), dan Senat memberinya wewenang atas
provinsi-provinsi yang ada di luar— karena kebanyakan tentaranya ditempatkan di sana dan tidak di Roma, hal ini memberinya wewenang atas angkatan
perang. Ia juga diperbolehkan mendirikan sesuatu yang baru, pengawal
pribadi yang berjaga-jaga di Italia sendiri: ”Pengawal Praetoria.” Sebagai
akibatnya, ini memberinya sebuah pasukan pribadi, dan mematahkan tradisi
bahwa Roma tidak menempatkan pasukan dekat dari rumah.13
Dia juga tetap mempertahankan gelar Imperator, yang dipegangnya sejak
tahun 29; gelar ini selalu menjadi penghormatan tahunan, yang diberikan
kepada jenderal yang berhasil, tetapi sekarang menjadi bagian dari namanya
yang permanen. Begitu juga nama lain, Agustus. Secara teknis, istilah itu
berarti yang ditasbihkan, terpisah, dan berbeda; tetapi itu sebuah nama yang
sama sekali baru, tanpa muatan politik, jadi bisa berarti apa pun seperti yang
diinginkan Oktavianus.14 Oktavianus sendiri melihat gelar Agustus (yang
menjadi nama pertamanya) sebagai sebuah hadiah untuk kebaikan yang diberikan kepadanya oleh Senat, sebagai penghargaan atas penolakannya untuk
memegang kekuasaan. Ia membeberkan ini dalam Res Gestae di mana ia
membuat daftar semua jajahannya (”Aku memperluas garis depan dari semua
provinsi rakyat Roma, yang tetangga-tetangganya adalah bangsa-bangsa yang
tidak tunduk pada kekaisaran kita. Aku mengembalikan kedamaian di seluruh provinsi Gallia dan Spanyol dan Jerman … Mesir kutambahkan pada
kekaisaran bangsa Romawi” dan seterusnya),15 tetapi ini semua bukanlah
basis otoritasnya. Tetapi, ia berhak menjadi Agustus karena ”setelah aku memadamkan semua perang saudara, setelah dengan seizin semesta alam aku
menjadi pemilik tertinggi dari seluruh kekaisaran, aku menyerahterimakan
republik dari kekuasaanku sendiri ke dalam wewenang yang bebas kepada
Senat dan rakyat Romawi. Untuk jasa tersebut aku menerima penambahan Agustus berdasarkan dekrit Senat … Semenjak saat itu aku berdiri di hadapan
semuanya dengan kewibawaan, tetapi kekuasaan yang sebenarnya yang aku
miliki tidak lebih daripada kekuasaan rekan-rekanku.”16
Ini tentu saja hampir seluruhnya merupakan kebalikan dari keadaan sebenarnya; Agustus memiliki kekuasaan sebenarnya sebagai seorang kaisar,
tetapi bukan gelarnya. Bahkan bagi beberapa orang sezamannya (seperti
pakar ilmu bumi Strabo), yang disebut Penyelesaian Pertama ini kelihatan
menggelikan.
Melewati satu dasawarsa kemudian, peran gabungan Agustus sebagai
kaisar tanpa gelar dan negosiasi-negosiasi yang terus terjadi dengan Senat tentang apa yang menjadi hak-hak istimewa formal yang seharusnya ia miliki.
Pada tahun 23, Agustus menolak untuk dipilih menjadi konsul lagi, karena
sudah sembilan tahun berturut-turut. Motivasi sebenarnya dari perbuatan ini
tidak jelas sama sekali. Mungkin ia menyadari bahwa kalau ia dipilih kembali
menjadi konsul tiap tahun, banyak senator yang tidak mendapat kesempatan
untuk mendapat gelar yang untuk banyak orang merupakan titik kulminasi
dari impian seumur hidup mereka. Ini bisa menghasilkan gunjingan-gunjingan ketidakpuasan. 17 Dan kemudian ia juga terserang penyakit serius di
tahun 23; Suetonius mengatakan bahwa ia terkena cacing gelang, batu ginjal,
dan badannya dipenuhi bintik-bintik.18 Kemungkinan ia tidak suka memperlihatkan dirinya di muka umum dalam pemilihan sementara ia sedang
menderita karena noda-noda yang tidak sedap dipandang itu.
Dalam hal apa pun, melepaskan jabatan konsulnya bukanlah suatu
pengorbanan, karena ia tetap berada di atas para konsul dalam struktur kekuasaan. Senat menyetujui untuk menjadikannya prokonsul seumur hidup,
yang berarti ia tidak hanya bisa ikut campur secara legal dalam urusan-urusan
senatorial dan konsular kapan pun ia suka, tetapi juga bisa menjalankan kekuasaan militer—imperium—di dalam kota. Ini merupakan hak istimewa yang
penting, khususnya karena ia sekarang sudah mempunyai sebuah angkatan
perang yang selalu siap bergerak masuk kota Roma.
Ia sebetulnya mempunyai setiap kekuasaan kerajaan, termasuk alat-alat
legal untuk memegang kota yang kuat seperti yang ia inginkan. Tetapi ia tetap
menjauhi istilah kaisar. Agustus, menurut Tacitus, menundukkan dunia di
bawah kekaisaran dengan gelar princep: fessa nomine principis sub imperium
accepit. Terjemahan yang baru mungkin akan memakai kata ”pangeran” tetapi Agustus hanya menyebut dirinya Warga Negara Pertama.19
P ahun 20 sm, Agustus berhasil mengupayakan perdamaian dengan raja
Partia, Phraates IV. Kekalahan Antonius merupakan hal yang sangat baik bagi Agustus, tetapi itu merupakan hal yang memalukan bagi Roma. Bangsa
Partia menjadikan orang Romawi tawanan perang dan menangkap panjipanji Roma; Agustus perlu mengambil mereka kembali.
Phraates IV setuju untuk mengembalikan tawanan perang dan panji-panji
itu. Apa yang didapatnya dari Roma kurang jelas. Agustus memberi Phraates
seorang budak perempuan, yang segera saja menjadi kekasihnya, tetapi pasti
ada desakan-desakan lain.
Phraates IV betul-betul mengirimkan keempat putranya ke Roma sebagai sandera, suatu tindakan yang biasanya menunjukkan kelemahan.20
Tetapi kalau melihat intrik-intrik yang terjadi dalam keluarga kerajaan Partia,
mungkin ini justru merupakan bantuan Roma bagi Partia; tindakan itu memberikan Phraates IV waktu beberapa tahun di mana ia tidak usah mengawasi
punggungnya dan menciumi cangkir-cangkirnya. Tindakan itu juga memberi Roma kesempatan untuk mengajarkan cara-cara Romawi kepada bangsa
Partia (suatu teknik yang digunakan oleh bangsa Assiria terhadap pangeranpangeran Mesir pada dahulu kala). Perdamaian dengan Partia yang terus
berjalan penting bagi kesejahteraan Roma. Itu berarti bahwa jalan perdagangan ke India dan mungkin lebih jauh ke Timur sekarang dapat dilewati,
tidak terhalang oleh tembok permusuhan yang keras.
Roma mungkin memang sedang sejahtera, tetapi Agustus, yang begitu
membutuhkan bentuk-bentuk Republik untuk mempersatukan kekaisarannya, sedang mengalami kesulitan untuk memelihara penampilan. Para senator
semakin lama sudah semakin lambat masuk ke ruang Senat; ini dapat dimengerti karena mereka pada dasarnya hanya menghamburkan waktu tanpa
mensahkan undang-undang sama sekali, tetapi Agustus ingin agar Roma tetap
berbisnis-seperti-biasa. Pada tahun 17 SM, ia mengumumkan bahwa para senator yang terlambat datang harus membayar denda.
Sementara itu ia bahkan mengumpulkan lebih banyak kekuasaan. Pada
tahun 13, Lepidus wafat, masih dijaga. Oktavianus kemudian ”menerima
jabatan pendeta tertinggi,” tulis Suetonius, ”yang tidak pernah diperhitungkannya ketika Lepidus masih hidup.”21 Ini berarti bahwa penguasa urusan
politik Roma sekarang juga menjadi pimpinan religius negara, suatu gabungan yang sangat mengangkat kekuasaannya dan tetap akan menjadi norma
sesudahnya.
Ini membuat Senat bahkan menjadi lebih tidak relevan. Pada tahun
11SM, Agutus harus mengubah peraturan-peraturan Senat sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan, bahkan jika ada empat ratus (dari enam ratus) senator
yang memenuhi batas minimum tidak hadir. Ia juga mengumumkan bahwa
para anggota tidak boleh berbicara menurut urutan senioritas, karena mereka
sudah menjadi terbiasa untuk berdiri satu per satu dan berkata, ”Aku setuju dengan pembicara sebelumnya.” Sebagai gantinya, dalam usahanya untuk
membuat semua orang tetap bangun, ia mulai memanggil mereka dengan
acak untuk berbicara, seperti guru sekolah terhadap murid-murid baru yang
tidak memperhatikan pelajaran di kelas. 22
Pada saat yang sama, Agustus sedang mencoba mendapatkan pewaris dan
menciptakan sebuah dinasti, suatu pemikiran yang paling tidak bersifat republik.
Senat sedikit bersimpati dengan pemikiran tentang seorang pewaris, karena tidak ada orang yang menginginkan perang meletus begitu Agustus wafat,
tetapi tidak ada cara legal baginya untuk menunjuk seseorang menjadi imperator Roma berikutnya. Persoalan yang lebih pribadi adalah Agustus tidak
mempunyai putra sendiri. Ia sudah mempertimbangkan untuk menjadikan
seorang menantunya sebagai penerus, dan dengan begitu kembali ke tahun
24 SM di mana ia menikahkan putrinya yang berumur empat belas tahun,
Julia dengan sepupunya Marcellus yang berumur tujuh belas tahun, pilihan
pertamanya sebagai pewaris. Tetapi Marcellus meninggal setahun kemudian.
Setelah itu Agustus menikahkan Julia dengan satu dari perwiranya, seseorang
yang bernama Agrippa; tetapi Agrippa pun meninggal pada tahun 12 SM.
Bukannya memberikan wanita yang malang ini sedikit kedamaian,
Agustus menikahkannya kembali dengan calonnya yang terakhir: putra istrinya dalam perkawinan sebelumnya, Tiberius. Tiberius bukanlah pilihan
pertama siapa pun. Ia bersikap dingin dan tidak ramah, pada umumnya pendiam, dan mempunyai kebiasaan yang aneh: ia berjalan dengan kaku, dan
selalu menggerak-gerakkanan jari-jarinya ketika berbicara.23 Sebagai seorang
pewaris Agustus, Tiberius adalah pemegang kedudukan. Kaisar mengharapakan bahwa salah satu putra Julia akan tumbuh, cukup umur untuk ditunjuk
sebagai penerusnya. Tetapi sementara itu ia sudah menciptakan kehidupan
keluarga yang malang untuk putrinya. Julia membenci Tiberius, dan kehidupan mereka sangat menyedihkan sehingga ia pergi ke Rhodes, sedangkan
Julia makin liar (berhubungan dengan siapa saja) dan mabuk-mabukan.
Kelakuannya menjadi skandal yang begitu memalukan sehingga Agustus
akhirnya mengurungnya di Pandateria, sebuah pulau penjara.
Kesulitan-kesulitan rumah-tangganya tidak merenggutnya terlalu lama
dari urusan menjalankan kekaisarannya. Pada tahun 4 SM, Herodes
yang Agung—raja pengikut yang dikembalikan ke tahtanya oleh Markus
Antonius—meninggal, meninggalkan tiga putranya dan sebuah kuil besar
yang sudah dibangun kembali. Dengan kekuasaannya ia merombak Kuil
Kedua yang sudah dibangun kembali tetapi keadaannya tidak terurus itu,
menjadi sebuah pameran dari keagungannya sebagai raja (sekali pun seorang
raja di bawah pengawasan Roma). Ruang datar di mana kuil itu berdiri,
Gunung Kuil, terlalu kecil untuk dapat diperluas, jadi Herodes menggali sekitarnya dan membangun ruangan-ruangan besar di bawah tanah yang berfungsi sebagai fondasi dari lebih banyak ruangan di tingkat atasnya.
Sekarang Herodes Agung sudah wafat. Tetapi daripada memilih seorang
dari tiga putranya untuk menggantikannya, Agustus membagi Palestina menjadi tiga bagian: mungkin ukuran Kuil sudah menguakkan ambisi keluarga
yang perlu dibungkam. Dalam hal apapun, Herodes Antipas mendapatkan
Galilea, di sebelah Laut Galilea; Archelaus mendapatkan Samaria dan Yudea;
dan saudara laki-laki ketiga, Philippus, mendapatkan daerah Utara. Herodes
Antipas dan Philippus memerintah tanpa terlalu banyak peristiwa; tetapi
Archelaus ternyata jahat, sehingga pada tahun 6 M Agustus mencabutnya
dari tahtanya dan menempatkan seorang pejabat Romawi, seorang prokurator
menggantikan kedudukannya untuk mengawasi daerah itu. Prokurator ini
mempunyai suara terakhir di seluruh daerah, terutama dalam urusan-urusan
hukum yang serius seperti hukuman mati, tetapi selama Herodes Antipas dan
Philippuspus tidak berbuat macam-macam, pihak Roma cenderung untuk
tidak menganggu mereka.
Sedikit jauh ke Timur, bangsa Partia sedang menderita karena sebuah
reaksi anti-Roma.
Pada tahun 2 SM, kehidupan keluarga Phraates IV mengalami penurunan
lagi, Budak wanitanya sudah melahirkan seorang putra untuknya, dan ketika
putranya ini mencapai umur remaja, ia berbalik dan membunuh ayahnya.
Koin-koin dari pemerintahan jaman anak laki-laki ini menampilkan Phraates
V dan ibunya di sebelahnya; kemungkinan ibunya ikut memerintah, karena
ia lebih terlihat seperti istri, dan di Partia sudah pernah terdengar (meskipun menjijikkan) seseorang menikahi ibunya sendiri, terutama karena
ibunya kelihatannya belum sampai lima belas tahun lebih tua daripadanya.24
Pemerintahan gabungan ini membuat mereka tidak disukai, dan setelah tidak
sampai empat tahun, bangsa Partia mengusir mereka ke pengasingan.
Setelah itu salah satu dari putra-putra Phraates IV yang mendapat pendidikan Romawi mengambil tahta di bawah nama kerajaan Vonones I. Ini adalah
semacam pengaruh atas Partia yang diharapkan oleh pihak Roma, yang paling mirip dengan pemerintahanyang terbaik yang mereka miliki di Palestina.
Sayangnya, pemerintahan itu tidak berlangsung lama. Potret-potret Vonone
di koin-koinnya menunjukkan ia dengan gaya rambut Barat, tidak diragukan
itu pasti dipelajarinya semasa di Roma, dan cara-cara Roma Vonone menyebalkan orang Partia di istananya. Kata-kata Romawi di mulut-mulut para
lelaki Partia, gaun-gaun Romawi, kebiasaan-kebiasaan Romawi: semuanya
ini menjadikannya makin tidak disukai oleh pihak masyarakat Partia yang
konservatif. Dalam masa damai, kelihatannya malah lebih penting untuk
tetap waspada terhadap kebudayaan asli; suatu kewaspadaan yang tidak penting dalam masa perang, karena sikap-sikap permusuhan dengan sendirinya
menjadi pembanding terhadap pertukaran kebudayaan.
Vonones I hanya memerintah selama kira-kira empat tahun, sebelum
seorang patriot Partia mengusirnya (atau membunuhnya) dan menjadi raja
menggantikannya. Partia tetap berdamai dengan Roma, tetapi perdamaian
yang sementara, dengan penolakan-penolakan bangsa Partia yang konsisten
terhadap pengaruh-pengaruh Roma dan tetap menjauhkan diri di sisi seberang sungai Efrat.
Pada tahun 4 M, Agustus sudah menyerah terhadap pencarian pewaris
yang sedarah. Kedua cucu Julia meninggal waktu masih muda. Atrippa
Postumus, menjadi begitu jahat sehingga oleh masyarakat luas dianggap gila;
Agustus mengirimkannya ke pulau penjara Pandateria juga. Ia terikat pada
Tiberius, jadi ia mengadopsi menantunya itu sebagai anak di bawah perwaliannya dan menjadi bagian dari keluarga langsungnya.
Ini tidak menjadikan Tiberius pewarisnya, karena peraturan keturunan masih merupakan kemungkinan yang belum dibicarakan. Wewenang
Tiberius atas angkatan perang Roma makin bertambah; dan karena dukungan legiun Roma merupakan yang paling besar dari semua kekuasan imperial,
ini sama bagusnya seperti menyerahkan mahkota pada Tiberius. Pada tahun
13 m, Senat mengukuhkan Tiberius sebagai prokonsul dan Prinsep bersama
dengan Agustus, yang menghilangkan masalah langsung berkenaan dengan
pemindahan kekuasaan berdasarkan hereditas.
Tindakan ini tepat waktu. Di bulan Agustus tahun 14M, kedua orang
ini sedang bepergian bersama ketika Augustus yang berusia tujuh puluh lima
itu terkena diare. Ia semakin menjadi lemah, sampai tidak bisa bangun dari
ranjangnya.
Pada hari terakhirnya, ia minta sebuah cermin supaya ia dapat merapikan
rambutnya, seperti berdandan untuk penonton. ”Ketika teman-temannya
yang dipanggilnya sudah hadir,” tulis Suetonius, ”ia menanyai mereka apakah
menurut pendapat mereka ia telah menjalankan perannya dengan baik dalam
komedi kehidupan.” Ketika mereka setuju, ia mengutip (hampir sebagai katakata akhirnya) dua baris dari sebuah drama yang terkenal:
Karena sandiwaranya sangat bagus, bertepuk tanganlah
Dan kalian semua izinkan kami pergi dengan aplaus.25
Pada saat-saat terakhir hidupnya, ia akhirnya bisa mengakui kebenaran
bahwa tidak ada seorang pun di Roma yang berani berbicara: perannya se-
bagai pelindung Republik hanyalah sandiwara, dan penolakannya untuk
menerima gelar kaisar tidak lain daripada kepura-puraan, semuanya dilakukakannya demi para penonton.
G A R I S WA K T U 7 9
PARTIA ROMA
Perang Sosial (91)
Lucius Sulla, konsul
Lucius Cinna, konsul
Perang Gladiator (73)
Crassus, konsul
Pompei, konsul
Cicero, konsul
Orodes II Julius Caesar, konsul
Perang Pharsalus (48)
Phraates IV Pembunuhan Caesar (44)
Oktavianus, konsul
Perang Aktium (31)
Penyelesaian Pertama (27)
Oktavianus, pontifex maximus
Phraates V
Vonones I
Artabanus II
Kematian Oktavianus (14M)