radisi; sejak tiga puluh tahun, muncul kembali
orang baru yang (seorang novus homo, berasal dari sebuah keluarga yang
bukan dari kalangan konsul) ditunjuk untuk menduduki jabatan itu. Julius
Caesar pun telah terpilih untuk jabatan pemerintahan yang tinggi: ia menjadi
seorang pejabat keuangan, dan aedile, di tahun 65, dan Pontifex
Maximus (pendeta tertinggi dari agama negara) di tahun 63.*
Sayangnya,
ia terlilit banyak hutang akibat kegiatan kampanyenya, sehingga pada akhir
masa tugasnya sebagai Pontifex Maximum, ia terancam ditangkap karena
tagihan-tagihan yang tidak terbayar. Ia perlu meninggalkan Roma, dan perlu
mencari uang. Ia berhasil ditunjuk sebagai pejabat kegubernuran Hispania,
provinsi Roma di semenanjung Iberia, tetapi para kreditornya menangkapnya
di pelabuhan dan mencoba untuk menyita barang bawaannya.
Crassus, yang adalah seorang pebisnis yang baik—ia memiliki tambangtambang perak, tanah-tanah pertanian yang sangat luas, dan cukup banyak
budak yang mengerjakan semua tanah pertaniannya—menjamin hutanghutang Caesar, dan para kreditor setuju untuk melepaskannya.13 Crassus adalah
orang yang pandai menilai orang. Di Hispania, Caesar mendapat cukup uang
untuk melunasi para kreditornya dan dapat kembali ke Roma. Setibanya
di sana, ia mengajak untuk mengadakan pertemuan dengan Pompei (si
penakluk yang populer) dan Crassus (si pebisnis yang kaya) dan menyarankan
agar mereka bertiga membuat sebuah kesepakatan pribadi. Kalau mereka
memberikan dukungan publik dan cukup uang untuk bisa memenangkan
keikutsertaannya dalam pemilihan konsul tahun 59, maka begitu ia berkuasa
ia akan memaksakan undang-undang apa pun yang mereka inginkan.
Pompei bersedia; ia ingin mendapat keuntungan lebih bagi para verteran
dalam pasukannya. Crassus lebih sulit diyakinkan. Ia masih sedikit kesal
dengan Pompei yang menjadikan dirinya sendiri pahlawan setelah Perang
Gladiator, dan ia sekarang tidak mempercayai Pompei.(Ketika pertama kali
ia mendengar julukan Pompei, ”Pompei yang Agung,” ia mendengus dan
bertanya, ”Seagung apa dia?”)14 Tetapi, ia dapat membayangkan keuntungankeuntungannya jika Caesar dimintanya menekankan peraturan-peraturan
keuangan baru yang akan menguntungkan bisnisnya, daripada jika ia harus
mengerjakannya sendiri, dan akhirnya ketiga serangkai (triumvirat) politikus
ini setuju dengan kesepakatan tiga arah ini. Caesar membatalkan pertunang-
an putrinya dan menyerahkannya pada Pompei, yang umurnya hampir seperempat abad lebih tua dari padanya dan sudah pernah menikah tiga kali.
Pompei setuju, dan perkawinan itu mempererat persekutuan itu.
Kampanye itu berhasil, dan Caesar menjadi konsul. Segera saja ia
memperkenalkan segala macam peraturan yang berisi pembagian kembali
tanah kepada orang miskin. Ini membuatnya sangat tidak disukai oleh
rekan konsulnya Bibulus dan Senat, yang tidak suka melihat seorang konsul
bertingkah laku seperti seorang tribun dan sok menjadi pahlawan masyarakat.
(”Ini merendahkan derajat jabatannya yang agung,” Plutarkhos mencium
bau tidak sedap.) Meskipun begitu, masyarakat senang; Dewan menyetujui
peraturan-peraturan Caesar, dan Pompei mengirimkan orang-orang bersenjata ke Forum untuk memastikan bahwa para Senator tidak campur
tangan. Bibulus sendiri menerima seember pupuk yang ditumpahkan di atas
kepalanya ketika ia turun ke Forum untuk menyatakan keberatannya. Setelah
itu, kata Plutarkhos, ia ”menutup diri di rumahnya dan tinggal di sana sampai
akhir masa jabatannya.”15
Ketika masa jabatannya sebagai konsul usai, Caesar (dengan bantuan
orang-orang bersenjata Pompei) membuat dirinya ditunjuk sebagai gubernur dari ”Gallia Seberang Alpen,” bagian Barat provinsi di balik pegunungan
Alpen (bagian Timur dikenal sebagai ”Gallia Sebelum Alpen”). Di sini ia
mulai membangun reputasinya sebagai penakluk yang akan menjadi saingan
Pompei sendiri. Pertama ia mendesak mundur suku-suku Celtic dari Helvetii
dan Tigurini, yang mencoba untuk menginvasi Gallia Seberang Alpen; kemudian ia berperang ke dalam wilayah musuh, ke arah Sungai Rheine, melawan
suku-suku yang secara kolektif disebut ”Jerman.” Mengambil pelajaran dari
Pompei, ia juga memastikan bahwa orang Roma di pusat mendengar tentang
setiap kemenangannya; ia mengirimkan laporan tetap tentang keberhasilankeberhasilannya, selalu mengatur kalimat-kalimat yang berhubungan dengan kemenangan Republik. ”Pada laporan-laporan yang dikirimnya ke Roma,”
ia menulis sejarahnya sendiri dalam peperangan Gallianya, ”lima belas hari
syukuran umum didekritkan untuk merayakan keberhasilan-keberhasilan(ku)
—suatu penghormatan yang lebih besar daripada yang pernah diterima oleh
orang lain sebelumnya,” 16
Sementara itu, ia tetap mengikuti perkembangan urusan-urusan pusat. Ia
turun ke Italia sejauh Sungai Rubicon, yang dianggap sebagai batas Utara Italia
yang sebenarnya, dan mendirikan sebuah kemah satelit di kota Luca. Dari
sana, kata Plutarkhos, ia ”mengisi waktunya dengan intrik-intrik politik,” dan
memberikan banyak uang suap: ”Banyak orang datang menemuinya … setiap orang meninggalkan sesuatu di tangannya sebagai hadiah dan berharap
memberikan yang lebih banyak di masa mendatang.”17
Di tahun 56, dua dari para pendatang itu adalah Crassus dan Pompei, yang
akan menyusun rencana tahap selanjutnya dari persekutuan tiga arah mereka.
Mereka memutuskan bahwa Crassus dan Pompei akan mengikuti pemilihan
konsul 55; begitu mereka berkuasa, mereka akan memberikan penghargaan
pada Caesar dengan perpanjangan waktu lima tahun lagi di Gallia, sehingga ia dapat memperluas kekuasaannya di sana. Kemudian setelah pemilihan
konsul berakhir, Crassus akan mengangkat dirinya sebagai jenderal ekspedisi
ke Timur melawan bangsa Partia, yang sekarang merupakan kekuasaan yang
paling kuat di balik Laut Tengah, yang akan memberinya kesempatan bagi
kemenangan militernya yang sampai sekarang masih belum dapat diraihnya.
Pompei yang sudah tidak mau berperang lagi, akan mendapatkan pangkat gubernur Hispania, dan seperti Caesar mengambil keuntungan dari jabatan itu.
Dengan ditutupnya persetujuan itu, Pompei dan Crassus pulang ke Roma.
Publik Roma merasa curiga dengan mereka berdua, tetapi tidak satu pun dari
keduanya berniat untuk membiarkan pemilihan ini berjalan dengan jujur.
Setelah sejumlah pembelian hak suara yang melebihi aksi suap-menyuap yang
belum pernah terlihat di Roma, mereka berdua ditunjuk sebagai konsul untuk
kedua kalinya, lima belas tahun setelah masa tugas mereka yang pertama.
Senat dengan patuh memilih untuk memperpanjang kepemimpinan Caesar:
”Itu adalah masalah pemaksaan,” catat Plutarkhos, ”dan senat mengeluhkan
dekrit-dekrit yang harus mereka pilih.”18
Tetapi rakyat tetap berada di pihak Caesar: Caesar yang penuh belas
kasihan, Caesar yang maha penakluk. Triumvirat itu berhasil lagi. Mereka bersikap seimbang, sejauh berkenaan dengan urusan mereka masing-masing,
dan mereka berada di tepi kemenangan dan kekayaan yang melebihi pengharapan mereka.
S kedua konsul dilantik, Caesar melakukan suatu pelanggaran,
melanggar sebuah garis batas yang baru. Di tahun 55, ia mendarat di tenggara pantai Britania untuk pertama kalinya untuk peninjauan.
Penduduk Britania ini adalah campuran antara penduduk pulau yang
paling lama, mungkin sudah hidup di sana sejak masa ketika Britania masih
merupakan sebuah semenanjung
bukan sebuah pulau, dan bangsa
Celt yang telah pindah ke Barat dari
daratan pusat Eropa menyeberangi
selat. Di Britania, suku-suku
ini tidak mendapat ruang untuk
menjadi bangsa nomad; mereka
menetap dalam sebuah jaringan
yang terdiri dari kerajaan-kerajaan
suku yang kecil. Apa yang kita
ketahui tentang mereka berasal
dari cerita Caesar sendiri, dan,
bentuknya sudah menyimpang, dari
sejarah yang lebih baru: Historia
Regum Britanniae oleh Geoffrey
Monmouth yang menggabungkan
nama-nama Romawi dan tempat
dari zaman pertengahan dengan
legenda Wales, suatu fakta seperti
benang tipis, dan suatu pembelokan
patriotis yang kuat (”Britania, pulau
yang terbaik, terletak di laut Barat
antara Gallia dan Hibernia,” begitu ia mengawali, menunjukkan orientasi
Romawinya).19
Sejarah itu diawali dengan cerita yang tidak mungkin terjadi tentang cucu
Aeneas, Brutus, yang sedang berangkat dalam suatu ekspedisi dan terdampar di sebuah pulau, yang ia namai Britania, diambil dari namanya. Kaitan sejarah Britania dengan dongeng kuno wajib dilakukan dan setelah itu diikuti
oleh Geoffrey dalam cerita-ceritanya tentang raja-raja pada zaman paling awal
Britania.
Yang menonjol dalam cerita ini adalah Cassivelaunus, yang disebut
oleh Geoffrey dari Monmouth sebagai ”raja orang Britania,” tetapi dalam
cerita Julius Caesar ia muncul sebagai penjahat yang merampas tahta suku
Trinovantes.
Jika digabungkan, Monmouth dan Caesar menyatakan bahwa raja
Trinovantes, Raja Lud, berhasil membuat Trinovantes menjadi salah satu
dari kerajaan-kerajaan suku yang paling kuat di daerah Selatan; ia paling
terkenal karena memperluas dan menembok permukiman utama di sungai
Thames, yang terkenal sebagai Lundres untuk menghormatinya. Ketika Lud
wafat, saudara laki-lakinya Cassivelaunus menuntut tahta melangkahi putra
Lud sendiri. Pangeran yang tercabut ini yaitu Mandubracius, melarikan diri
menyeberangi perairan menuju ke markas besar Caesar di Gallia dan meminta
bantuan orang Romawi untuk mendapatkan kerajaannya kembali. Seperti
kebanyakan raja-raja yang meminta bantuan intervensi Roma, ia akan menyesalinya di kemudian hari.
Pada kunjungannya yang pertama, Caesar mengevaluasi lawan. (”Semua
orang Britania mencat tubuh mereka dengan woad, sejenis tanaman yang
mengeluarkan warna biru,” tulisnya sekembalinya, ”dan mencukur seluruh
tubuhnya kecuali kepala dan bibir atasnya.”)20 Tahun berikutnya, 54, ia kembali dengan pasukan siap tempur untuk mengambil alih.
Cassivelaunus keluar menemuinya dengan satu armada kereta kuda,
inilah pertama kalinya Caesar dan orang-orangnya bertemu dengan keretakereta kuda seperti ini dalam perang. Pertempuran melawan kereta kuda
memerlukan perubahan taktik yang cepat: ”Kelihatannya pasukan kita terlalu
dibebani oleh beratnya pakaian perang mereka untuk bisa menghadapi musuh
semacam itu,” Caesar mengamati, terutama karena para prajurit Britania yang
berkereta kuda itu dapat melompat turun dari kereta mereka, berkelahi di atas
kaki, dan kemudian cepat-cepat mundur: ”Mereka dapat berlari sepanjang
tiang kereta, berdiri di atas kuk, dan kembali menaiki dari belakang kereta
secepat kilat.”23 Sebaliknya Caesar mengirim pasukan berkudanya ke depan
dan berhasil mendorong mundur Cassivelaunus ke arah sungai Thames, yang
dilindungi oleh pasak-pasak yang tajam yang dipasang ke arah tepi sungai
sampai ke bawah permukaan air.
Di sini ia berhenti, tetapi suku-suku terdekat sudah bersiap mengirimkan
utusan untuk menyerah kepada pasukan Romawi. Pasukan-pasukan Romawi
juga berhasil menemukan dan menyerang markas besar Cassivelaunus, membunuhi semua ternaknya, dan membuat persediaan makanan berkurang. Akhirnya Cassivelaunus juga mengirim seorang kurir menawarkan syaratsyarat untuk menyerah. Caesar, yang melihat musim dingin sudah mendekat,
setuju untuk berdamai dengan syarat bahwa Mandubracius dikembalikan
pada tahtanya atas Trinovantes sebagai raja boneka Roma; ia memaksa
Cassivelaunus untuk berjanji tidak akan mengganggu raja baru itu, dan kemudian kembali ke Gallia.
Kemasyhuran Caesar tidak tertandingi sekarang, tetapi sebuah berita
mengerikan menantinya; putri kesayangannya, Julia, istri Pompei, meninggal
ketika melahirkan.
Tak lama kemudian, Crassus menemui malapetaka dalam perangnya melawan Partia. Pada tahun 53, setahun setelah kemenangan-kemenangan Caesar
di Gallia, Crassus bergerak ke arah Sungai Efrat (yang sekarang merupakan
batas wilayah Partia) dengan sekitar tujuh puluh ribu serdadu rendahan dan
empat ribu pasukan berkuda. Orang Romawi menemui bala tentara Partia di
kota Carrhae: Haran lama, kota di mana Nabonidus lahir dan di mana Terah,
ayah Abraham wafat. Segera mereka dilucuti senjatanya; Para pemanah Partia,
yang menembak dari jarak jauh, dapat dengan mudah menembus baju perang
mereka. ”Mereka terkena panah dan terbunuh,” kata Plutarkhos,
mati, tidak dengan cepat dan mudah, tetapi dengan kesakitan yang luar
biasa dan kejang-kejang; Karena untuk melepaskan anak panah yang
menghunjam tubuh mereka, mereka harus mematahkannya di dalam
luka-luka mereka, dan ketika mereka dengan paksa mencabut ujungujung anak panah yang berduri, anak panah itu menyangkut di pembuluh
darah mereka, sehingga mereka terkoyak dan tersiksa. Jadi banyak di
antara mereka yang mati, dan mereka yang berhasil hidup menjadi cacat
dan tidak bisa bekerja lagi .. tangan-tangan mereka terpaku pada perisai
mereka, dan kaki mereka terpaku di tanah, sehingga mereka tidak dapat
berkelahi maupun kabur.22
Crassus mengutus putranya Publius yang bersamanya menjadi pemimpin
kedua, untuk menyerang barisan; Kubu Partia mundur, menarik Publius dan
orang-orangnya maju, dan kemudian berbalik mengelilingi dan mengepung
mereka. Hampir semua pasukan Publius jatuh dalam perkelahian. Publius,
yang melihat kekalahan sudah tidak terhindarkan lagi, bunuh diri. Kubu
Partia memenggalnya dan menusukkan kepalanya pada ujung tombak dan
melambai-lambaikannya pada ayahnya sambil mengganggu serdadu Romawi
yang tersisa.
Dua hari kemudian Crassus juga terbunuh bersama hampir seluruh bala
tentaranya. Jenderal Partia, Surena mengambil kepala Crassus pulang ke Orodes, raja Partia, yang (menurut pakar sejarah Roma, Dio Cassius) memakainya sebagai alat pentas dalam sebuah sandirwara kemenangan.
Garis depan di sebelah Timur kekaisaran Roma telah tertutup. Garnisun
Romawi di Suriah menguatkan diri terhadap serangan Partia yang gagal hanya
karena orang-orang Partia belum berpengalaman dalam pengepungan. Raja
Orodes sekarang memerintah atas Partia yang membentang menyeberangi
wilayah-wilayah Seleucid yang lama, dari Sungai Efrat terus hampir sampai
ke perbatasan dengan China.
Dan Triumvirat sekarang telah berkurang menjadi dua. Tahun setelah
kemenangan Partia, Caesar—setelah berhasil memadamkan pemberontakan
yang serius di Gallia—yang sudah menjadi lebih kaya daripada Pompei, bersiap untuk bergerak kembali ke Roma dengan lebih banyak kemenangan yang
disandangnya.
Senat memandang kedatangannya ini dengan cemas: reputasi Caesar yang
gemilang, kekayaannya, dan bala tentaranya sekaligus dapat diartikan dengan
satu kata diktator. Dan mereka tidak lagi mau dipaksa oleh orang-orang bersenjata Pompei untuk mengabulkan keinginan-keinginan Caesar. Kematian
Julia dan Crassus telah melemahkan ikatan di antara kedua orang itu, dan
Pompei semakin iri hati akan kemenangan-kemenangan Caesar. ”Pompei
menjadi takut akan Caesar,” kata Plutarkhos. ”Sejak saat itu ia sangat membenci Caesar..”23
Pompei bersama dengan Senat mengirimkan pesan ke Utara: Caesar dilarang memasuki Roma kecuali ia menyerahkan seluruh bala tentaranya.
Caesar menyarankan beberapa kompromi, termasuk izin untuk masuk
hanya dengan beberapa legiun, tetapi Pompei berhasil meyakinkan Senat untuk
menolak. Caesar tahu bahwa jika dia datang ke Roma tanpa perlindungan,
karirnya akan berakhir segera dalam pembunuhan. Seperti Sulla sebelumnya
- ia memutuskan akan masuk dengan pasukannya, sebagai seorang penakluk;
dengan begitu ia berangkat dari Gallia menuju Utara Italia.
Plutarkhos berkata bahwa Caesar tahu betul bahwa ini akan mengawali
perang saudara berdarah, dan bahwa ia berhenti, sebelum mencapai Rubicon
dan memikirkan persoalan ini sekali lagi. Tetapi akhirnya, ”Dengan bergairah, seakan-akan tanpa perhitungan, ia berteriak keras-keras ”Alea iacta
est!” sebuah teriakan yang biasa diteriakkan oleh seorang penjudi yang artinya: ”Lemparkan dadunya!” Ia menyeberangi sungai, dan ”gerbang-gerbang
peperangan terbuka lebar.”24
Italia langsung dilanda kepanikan. Para pria dan wanita melarikan diri dari
satu tempat ke tempat lain, mencoba untuk menyingkir dari bentrokan yang
tak terhindarkan itu. Laporan-laporan terus mengalir sampai ke kota bahwa
Caesar sudah berada di balik cakrawala. Pompei, yang juga panik, mening galkan Roma dan memerintahkan
Senat untuk mengikutinya; jelas ia
takut jikalau semua rakyat Roma
akan membuka gerbang untuk
Caesar. Ia melarikan diri turun
ke arah Selatan ke Brundisium,
di pantai sebelah Timur, mendirikan sisa pemerintahan di sana, lalu
mengirimkan pasukannya sendiri
menyeberangi perairan untuk berkumpul kembali di kota Yunani
Dyrrhachium.
Caesar berpendapat ini menun-
jukkan kelemahan yang luar biasa,
dan Cicero kemudian juga ber-
pendapat bahwa itu merupakan
keputusan yang buruk.Tetapi
penundaan itu memberikan cu-
kup waktu bagi Pompei untuk
mengumpulkan bala tentara yang
lebih besar dengan satu armada
kapal yang sangat kuat, karena
Caesar (daripada mengejarnya
keluar Italia ) malah kembali ke
Roma. Dan, seperti Sulla bertahun-tahun sebelumnya, Pompei segera bergabung dengan orang-orang Roma
yang menonjol termasuk Cicero.
Kembali di Italia, Caesar memasuki Roma dan mendapatkan kota itu
dalam keadaan lebih tenang daripada yang diduganya,” sebagian besar Senat
masih di rumah dan berusaha untuk menenangkan sang penakluk yang agung.
25 Ia tidak seperti Marius dan Sulla yang segera mengadakan pembersihan; ia
hanya mengawasi kota dan menakut-nakuti mereka yang bermaksud memberontak hanya dengan menggunakan kewibawaannya. Ketika para tribun
yang tersisa berkeberatan atas penjarahan Caesar terhadap keuangan negara untuk mempersiapkan perang melawan Pompei, Caesar mengomentari,
”Anak muda, kalau Anda tidak berhenti ikut campur, mungkin lebih baik
Anda aku bunuh saja. Dan aku lebih memilih untuk langsung melaksanakannya daripada cuma mengobrolkan masalahnya.” Tribun itu, kata Plutarkhos,”
pergi ketakutan”, dan selama perang Caesar mendapatkan semua uang yang
dimintanya. Ia membutuhkan waktu dua tahun untuk mengalahkan orang-orang yang
melarikan diri ke Yunani. Bulan-bulan yang penuh ”peperangan yang tidak
berketentuan,” istilah yang dipakai oleh Plutarkhos, akhirnya berakhir pada
tahun 48, dalam suatu bentrokan besar di dataran Pharsalus. Pasukan infanteri
Caesar bertarung melawan pasukan berkuda Pompei seperti yang telah mereka pelajari sewaktu melawan orang Britania, dengan lari ke arah kuda-kuda
dan mengarahkan lembing-lembing mereka ke arah wajah pengendaranya.
Pasukan berkuda sama sekali tidak terbiasa dengan cara bertempur seperti ini
dan terinjak-injak. Pemberontak runtuh. Pompei yang melihat pasukannya
tercerai-berai, pulang ke tendanya dan duduk sampai ia dapat mendengar
pasukan Caesar menyerbu masuk perkemahan itu; lalu ia berganti pakaian tua
dan pergi diam-diam tanpa ada yang memperhatikannya.
Atas berita kemenangan itu, Senat menyatakan Caesar sebagai diktator pertama dan kemudian setelah sebelas hari bahkan menjadi konsul. Pembantu
Caesar, Markus Antonius, yang memimpin salah satu sayap pasukannya selama Perang Pharsalus, menjalankan pemerintahan kota sebagai wakilnya;
Caesar sudah tahu bahwa Pompei sudah menyelinap menuju ke Mesir, dan
memutuskan untuk mengejar musuhnya sedikit lebih jauh.26
Apa pun alasan pribadi yang dimiliki oleh Caesar untuk mengejar Pompei
ke Mesir, pengejaran itu merupakan naluri politik yang bagus juga. Mesir,
biar pun sudah jatuh dari kemegahannya, masih kaya dan berpotensi sebagai
kerajaan yang menyulitkan, dan rajanya muda dan lemah: Ptolemeus XIII,
adalah keturunan jauh dari Ptolemeus agung sendiri.
Keturunan Ptolemeus telah saling menurunkan sifat mereka dalam bercekcok, suka berdebat, tetapi setidaknya garis keturunannya tidak terputus
sejak abad terakhir, yaitu sejak Ptolemeus VI berkelahi dengan para Seleucid
memperebutkan Coele Suriah. Tetapi, Ptolemeus XIII sedang berada di
tengah-tengah pertengkaran dengan kakak perempuannya, Cleopatra VII,
tentang siapa yang lebih berhak atas tahta. Ketika Pompei berlayar untuk
memeriksa pantai-pantai Mesir, Cleopatra ada di Alexandria, sedangkan
Ptolemeus muda ada di Pelusium dengan sebuah pasukan, bersiap-siap untuk
menyerang adik perempuannya. 27
Ptolemeus, kata Plutarkhos, adalah ”seorang anak yang sangat muda,” dan
para penasehatnya membuatkan sebagian besar keputusan untuknya. Mereka
memutuskan bahwa karena Caesar sudah berada dalam perjalanan menuju ke
Mesir untuk menangkap dan menghukum Pompei, mereka lebih baik berpihak kepadanya dengan melakukan pekerjaan itu untuknya. Jadi sebuah
delegasi resmi berupa rombongan penyambutan Mesir berlayar menyambut
kapal Pompei yang mendekat, memberi penghormatan militer kepadanya
sebagai ”imperator” dan mengundangnya naik ke kapal mereka supaya mere
ka dapat menyeberangkannya ke pantai. Baru saja mereka akan mencapai
tempat berlabuh, ketika Pompei mulai berdiri untuk turun dari kapal, salah
satu orang Ptolemeus menerjangnya dari belakang; dan kemudian dua orang
atau lebih memenggal kepalanya dan melemparkan tubuhnya ke dalam air.
Pompei berumur enam puluh tahun, ia baru saja merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 28 September, tepat sebelum ia dibunuh.28
Ketika Caesar tiba, para pejabat Mesir membawakan kepadanya kepala
Pompei dalam sebuah keranjang. Menurut laporan ia sangat marah: ia
hanya berniat untuk mempermalukan sekutu lamanya itu tetapi tidak
untuk membunuhnya. Tetapi ini memberinya alasan yang hebat untuk
menguasai Mesir, yang sekarang dapat dilakukannya dengan cara menghukum.
Ia memerintahkan Cleopatra dan Ptolemeus XIII untuk datang ke Alexandria,
di mana ia akan memilih salah satu dari mereka sebagai penguasa yang berhak
atas Mesir (di bawah pengawasannya).
Pilihannya ternyata kurang obyektif. Ia terpesona oleh kecantikan
Cleopatra dan memerintahkan adiknya dilenyapkan untuk mengabulkan permintaannya. Ptolemeus XIII meninggal melawan pasukan Roma yang tiba
untuk melaksanakan perintah Caesar. Cleopatra dimahkotai dan menikah
secara seremonial dengan adik laki-lakinya, sebuah adat istiadat Mesir yang
diikuti oleh keluarga Ptolemeus selama beberapa waktu.
Sementara itu Caesar melakukan perselingkuhan yang panas dengan
Cleopatra sehingga membuatnya bermalas-malasan (secara politis, setidaknya)
di Alexandria selama berbulan-bulan. Ketika akhirnya ia dapat melepaskan
diri darinya, dan meninggalkannya dalam keadaan hamil, ia membuat perjalanan militer mengelilingi tepi Republik Roma: ke atas sampai ke batas
Timur, di mana ia menghancurkan pasukan-pasukan Pontus untuk kembali
turun sepanjang perbatasan Afrika; naik lagi melalui semenanjung Iberia; dan
kemudian kembali ke Roma.
Selama perjalanannya, ia empat kali terpilih kembali sebagai konsul, sebagai cara untuk memelihara kepura-puraan hukum atas kekuatannya. Pada
tahun 46, para pendukung Caesar (dan orang Romawi yang takut kepada
mereka) setuju untuk memberinya pawai kemenangan memasuki Roma yang
sepertinya menggemakan kembali penyembahan yang dulu pernah diberikan
kepada raja-raja Etruski lama yang tidak enak didengar. Patung-patungnya
ditempatkan di sekitar kota, sejajar dengan raja-raja kuno itu. Dia diperbolehkan memakai jubah ungu, dan dielu-elukan dengan gelar seremonial
Imperator; pawai itu didahului dengan plakat yang berbunyi Veni, vidi, vici!
(”Saya datang, Saya melihat, Saya menaklukkan!”)29
Setelah pawai itu, ia mengambil alih pekerjaan menunjuk para hakim,
mengeluarkan undang-undang, dan pada umumnya berlaku sebagai Senat,
Tribun, Majelis, dan Dewan, semuanya dibungkus menjadi satu; semuanya
dengan dukungan angkatan perang, yang setia kepadanya (ia menganugerahkan kewarganegaraan Romawi kepada semua orang yang bertempur
untuknya dalam Perang-perang Gallia), dan rakyat, yang masih memandanganya sebagai pelindung yang penuh kebaikan. Ia bahkan mengganti
penanggalan: untuk melembagakan sistem empat tahun dengan satu tahun
kabisat yang kita ikuti sampai sekarang, tahun itu tahun 46, dan kemenangan-kemenangan umum terbesarnya berlangsung selama 445 hari lamanya.
Mungkin Senat takut akan terjadinya pembangkangan angkatan perang
dan pemberontakan masyarakat, kalau mereka berhenti menyiraminya dengan
kehormatan-kehormatan. Pada tahun 44, Senat menyetujui untuk memberinya gelar diktator seumur hidup. Tetapi ini tidak sama dengan menjadi raja;
dan sekarang menjadi jelas bahwa, Caesar pernah mempunyai keinginan yang
mengakar dari suatu saat di masa mudanya untuk menjadi raja.
Pada tanggal 15 Februari 44, Markus Antonius melakukan percobaan
untuk meletakkan sebuah mahkota di kepala Caesar. Sebagai bagian dari
sebuah festival religius, Antonius membawa sebuah mahkota dengan rangkaian lingkaran yang terbuat dari daun salam diikatkan pada mahkota itu. Dia
mempersembahkannya pada Caesar, tetapi kumpulan orang yang hadir hanya
menanggapi dengan tepuk tangan yang tidak serempak. Caesar, yang membaca sikap hati mereka, menyingkirkannya beberapa kali, ini malah membuat
orang-orang bersorak. Rakyat Roma menyatakan dengan jelas bahwa mereka tidak menginginkan Caesar menjadi raja yang sesungguhnya. Mungkin
raja memiliki terlalu banyak gaung dari Partia di sebelah Timur; mungkin
pemikiran yang masih ada bahwa Roma harus menjadi sebuah ”meritocracy”
(pemerintahan yang berdasarkan jasa) membuat sifat seorang raja berdasarkan keturunan menjijikkan. Caesar tidak mempunyai putra-putra yang sah
(meskipun Cleopatra melahirkan seorang putra, Ptolemeus XV Cesarion),
tetapi ia sudah menyebutkan cucu keponakan laki-lakinya yang bernama
Oktavianus, putra dari putri saudara perempuannya sebagai pewarisnya yang
sah dalam surat warisannya.
Tidak lama kemudian, Senat menyetujui bahwa Caesar dapat memakai
mahkota, tetapi hanya kalau ia berada di luar kota Roma dalam operasi
militernya terhadap Partia—karena menurut dongeng hanya seorang raja
yang dapat menaklukkan Partia. Barangkali ini adalah kenekatan terakhir
bagi para senator yang semakin khawatir bahwa Republik akan kehilangan
realitasnya yang bahkan sudah seperti setengah dongeng. Para senator yang
bersikap bermusuhan ini, termasuk di dalam kelompok ini sepupu Caesar
sendiri Markus Brutus (salah satu dari pewaris yang namanya disebut dalam
surat warisnya), merencanakan untuk membunuh si Diktator Seumur Hidup
ketika ia masuk ke Senat nanti pada tanggal 15 Maret 44 SM: Pertengahan
Maret. Semua orang tahu bahwa tangan kanan Caesar, Markus Antonius
tidak akan mau bergabung dengan komplotan itu, dan karenanya dibuatlah
rencana untuk menahannya di pintu, sementara tindakan itu dilakukan.
Dalam biografi tentang pewaris Caesar, Oktavianus, penulis Yunani
Nicolaus dari Damaskus menerangkan pembunuhan itu dengan detail secara
terperinci:
Ketika ia masuk dan Senat melihatnya, para anggota berdiri untuk
menghormatinya. Mereka yang berniat membunuhnya semua berada di
sekitarnya. Yang pertama menghampirinya adalah Tulus Cimber, yang
kakaknya dikucilkan oleh Caesar dan melangkah ke depan seakan-akan
membuat suatu permohonan yang mendesak atas nama kakaknya, ia
merenggut toga Caesar, sebagai seorang pemohon aktingnya kelihatan
terlalu sembrono, sehingga ia tertahan waktu mau berdiri dan tidak bisa
menggapainya sesuai rencananya. Caesar marah, tetapi orang-orang tetap
pada niat mereka semula dan semuanya tiba-tiba mencabut belati-belati
mereka dan menerjang ke arahnya. Pertama, Servilius Casca menusuknya pada bahu kirinya, sedikit di atas tulang leher, di tempat yang
sudah diincarnya tetapi gagal karena gugup. Caesar melompat untuk
mempertahankan diri terhadapnya, dan Casca memanggil saudara lakilakinya, berbicara dalam bahasa Yunani karena terlalu tegang. Si adik
mematuhinya dan menghunjamkan belatinya ke samping Caesar. Sejenak
sebelumnya Cassius (Longinus) sudah menusuknya secara tak langsung
ke wajahnya. Decimus Brutus menusuknya menembus pahanya. Cassius
Longinus sangat ingin menebas lagi tetapi ia gagal dan mengenai Markus
Brutus pada tangannya. Minucius juga melakukan sergapan pada Caesar
tetapi ia mengenai Rubrius pada pahanya. Kelihatannya seperti mereka
memperebutkan Caesar. Ia jatuh, dengan banyak luka, di hadapan patung
Pompei, dan tidak ada yang luput menghunjamnya meskipun ia sudah
terbaring tak bernyawa, untuk menunjukkan bahwa masing-masing dari
mereka telah mengambil bagian dalam perbuatan itu, sampai ia mendapat
tiga puluh lima luka, dan menghembuskan nafas terakhirnya.30
Kata Plutarkhos ia meninggal sambil berteriak-teriak memohon pertolongan;
menurut beberapa cerita Yunani, ia berteriak dalam bahasa Yunani kepada
G A R I S WA K T U 7 8
PARTIA MESIR BRITANIA ROMA
Perang Budak Pertama (135)
Kematian Tiberius Gracchus
Mithridates II Kematian Gaius Gracchus
Perang Jugurthine (112)
Gaius Marius, konsul
Perang Sosial (91)
Lucius Sulla, konsul
Lucius Cinna, konsul
Perang Gladiator (73)
Crassus, konsul
Pompei, konsul
Cassivelaunus Cicero, konsul
Orodes II Julius Caesar, konsul
Ptolemeus XIII/ Perang Pharsalus (48)
Cleopatra XII Pembunuhan Caesar (44)
Brutus, ”Bahkan engkau, putraku?”
Dan Suetonius berkata bahwa ketika
Caesar pertama kali ditusuk, ia berteriak karena terkejut: ”Tetapi ini adalah
kekerasan!” 31
Para pembunuh Caesar memang berada di pihak yang logis dari sebuah
proses yang telah diawali oleh Gracchi seratusan tahun sebelumnya. Tidak
ada konstitusi atau kekuasaan yang seimbang yang pernah dapat menahan
ambisi-ambisi orang yang kuat; Caesar sendiri telah mendemonstrasikannya,
dan sekarang ia telah jatuh dengan metode yang sama seperti yang selama ini
digunakannya. Tetapi, keterkejutannya membuktikan bahwa pemikiran tentang Republik masih dalam cengkeraman imajinasi bangsa Romawi. Nama
resmi Republik, diukir pada panji-panji para legiun dan pada gedung-gedung
di Roma sendiri yaitu SPQR: Senatus Populusque Romanus, Senat dan Rakyat
Roma.
Roma adalah sebuah tempat di mana rakyat berkuasa, ini bukan kenyataan
yang terlihat selama beberapa dasawarsa, tetapi bangsa Romawi tidak
mempunyai pola pikir lain tentang diri mereka sendiri dan tidak mempunyai
nama lain untuk identitas mereka secara kolektif. Itu adalah suatu kebohongan
yang kuat, dan bahkan seorang diktator masih bisa terkejut ketika kepalsuannya
disodorkan dengan paksa ke depan matanya.
S caesar masih terbaring di lantai Senat, Markus
Antonius akhirnya berhasil menerobos masuk ke dalam ruangan Senat. Ia
sudah terlambat untuk menolong Caesar, tetapi berhasil mencegah para
anggota komplotan untuk melemparkan tubuh Caesar ke dalam sungai Tiber,
seperti yang mereka rencanakan. Sebaliknya mereka meninggalkan Senat
dan berbaris menuju Capitol, dengan pedang yang masih terhunus, sambil
berteriak kepada rakyat untuk bergabung dengan mereka, dan ”mendapatkan
kemerdekaan mereka kembali.” Mereka berada di persimpangan yang genting:
rakyat yang ada di jalan kemungkinan akan secara spontan bergabung melawan
mereka. Beberapa warga negara Roma yang lebih terkenal bergabung dalam
barisan mereka, dan segera setelah itu kota Roma melewati bahaya.. Sementara
itu tiga orang budak dari rumah Caesar datang dan mengambil tubuhnya dari
ruangan yang kosong dan membawanya pulang.1
Markus Antonius, yang tidak dapat memastikan sikap publik akan pecah
seperti apa, lari ke rumah seorang temannya, menyamar sebagai seorang
budak, dan secepat mungkin keluar kota. Sebaliknya Brutus dan Cassius, terus
berpidato tentang kematian Caesar yang merupakan sesuatu kejadian tragis
tetapi perlu terjadi. Keesokan harinya, mereka mengumpulkan Senat kembali
dan menyarankan agar Caesar diberikan upacara pemakaman kehormatan dan
juga dihormati sebagai tokoh yang hebat, sekarang, saat keadaan sudah aman
karena ia sudah mati. Senat menyetujui. Ini membuat Roma tenang, dan
Markus Antonius yang belum pergi jauh memberanikan diri untuk kembali;
sebab pembersihan atas sekutu-sekutu Caesar tidak akan dimulai.
Tetapi keesokan harinya, ketenangan itu dihebohkan ketika surat wasiat
Caesar diumumkan, dan diketahui bahwa ia telah membagikan kekayaan
pribadinya yang besar kepada para warga negara Roma. Tubuhnya kemudian diusung melalui jalan-jalan kota itu; Brutus dan Cassius menyetujuinya,
sebagai bagian yang penting dalam pemakaman kehormatan, tetapi para
warga negara yang pernah menerima kedermawanannya melihat tubuhnya
terpotong-potong sehingga kerusuhan mulai tampak.
Markus Antonius, yang sedang berada di Forum untuk memberikan
pidato pemakaman Caesar, menyemangati pemberontakan itu. Bersama mereka, ia membawa pengawal bersenjata, dipimpin oleh salah satu sekutunya:
Markus Aemilius Lepidus, yang oleh Caesar ditunjuk sebagai gubernur dari
provinsi-provinsi di Gallia dan Spanyol Dekat. Lepidus belum berangkat ke
posnya yang baru, tetapi sudah mengumpulkan pasukan di Roma untuk ikut
bersamanya. Sekarang ia melindungi Markus Antonius dengan pasukan ini.
Dikawal dengan aman, Antonius memotong pidato pemakamannya dengan
sebuah adegan ”tunjukkan dan katakan”: ia mengambil toga Caesar yang
cabik-cabik dan penuh bekas darah dari lengannya dan mengibarkannya sehingga semua orang dapat melihat berapa kali ia ditusuk.
Pemandangan toga Caesar mendorong rakyat yang berada di jalan untuk
bertindak melampaui batas. Warga negara berlarian di jalan-jalan, melambailambaikan obor, dan berteriak-teriak supaya Brutus dan Cassius ditemukan
dan dicabik-cabik.
Tak seorang pun dapat menemukan mereka. Mereka berhasil keluar dari
kota pada awal kerusuhan terjadi, dan bersembunyi di Antium. Markus
Antonius mengambil alih pemerintahan dan, sebagai tanda terima kasih kepada Lepidus atas dukungannya memberi Lepidus jabatan Pontifex Maximus,
Pendeta Tinggi Roma.
Tetapi, kekuasaan Antonius sangat goyah. Senat berpendapat bahwa ia
adalah Caesar Yunior, yang kemungkinan besar bisa menjadi tiran seperti
Caesar, dan tidak sekarismatik Caesar, yang bisa membujuk orang untuk berpihak padanya.
Pada saat yang sama, Brutus membujuk publik dari tempat pelariannya
di Antium, untuk mengirimkan uang kembali ke Roma untuk festival-festival
publik, dengan harapan agar mendapatkan jalan masuk kembali ke Roma
karena kebaikan rakyat. Salah satu sekutunya dalam Senat, si ahli pidato
Cicero, membantunya dengan membuat pidato-pidato terus menerus tentang kedermawanannya dan kerelaannnya untuk memerangi tirani. ”Pada
saat itu,” kata Plutarkhos, ”rakyat sudah mulai tidak puas dengan Antonius,
mereka mendapat kesan Antonius ingin membentuk sebuah monarki sendiri,
mereka menginginkan Brutus kembali.”2
Brutus mungkin bisa saja pulang sebagai seorang pahlawan dalam beberapa minggu tetapi ada satu faktor: anak angkat Caesar, Oktavianus yang
sekarang berumur delapan belas tahun, yang ditempatkan jauh dari Italia untuk melaksanakan wajib militer, tetapi segera setelah dia mendengar tentang pembunuhan pamannya, ia bergegas pulang.
Ketika Oktavianus tiba, Cicero (yang berpendapat bahwa Markus Antonius
adalah seorang yang bodoh dan sedang dalam proses menjadi seorang tiran)
melihat pemuda ini sebagai sekutunya yang paling memungkinkan untuk
melawan kekuatan Antonius. Dengan sendirinya hal tersebut menyebabkan putusnya dukungan terhadap Brutus, si pembunuh. Plutarkhos menulis
bahwa Brutus menanggapi hal ini dengan sangat marah, dan ”membicarakan
hal ini dengan sangat tajam melalui surat-suratnya.”3
Tetapi usaha itu tidak berhasil membuat Cicero kembali ke sisinya, dan
Brutus menyerah untuk sementara, meninggalkan Italia, dan pergi ke Athena
untuk tinggal bersama seorang teman.
Antonius yang sudah memposisikan dirinya sebagai teman Caesar, tidak
dapat melawan keponakan orang itu. Tetapi ia benar-benar melihat kedatangan Oktavianus sebagai ancaman atas kekuasaannya sendiri. Ia merendahkan
pemuda ini, menanyakan padanya apakah ia sudah benar-benar mampu
menjalankan tugasnya untuk mengurus tanah milik Caesar, menertawakan
tindak-tanduknya yang serius, dan mencoba untuk menghalanginya untuk
menjadi calon tribun.
Karena dilawan oleh Antonius, Oktavianus mulai berteman dengan semua
pemfitnah dan lawan Antonius. Akhirnya sebuah rumor sampai kepada
Antonius bahwa Oktavianus merencanakan untuk membunuhnya. Si pemuda menyangkal tuduhan itu, tetapi kecurigaan itu cukup untuk mengubah
kedua pesaing dalam politik ini benar-benar bermusuhan. Masing-masing
bergegas pergi ke seluruh Italia untuk mempekerjakan, dengan tawaran yang
besar, serdadu-serdadu lama yang tersebar di daerah-daerah pemukiman
mereka,” kata Plutarkhos, ”dan menjadi orang pertama untuk mengamankan pasukan yang masih belum dipecat.”4
Lidah Cicero yang seperti perak
membantu untuk menjatuhkan keseimbangan; ia berhasil meyakinkan Senat
supaya menyatakan bahwa Antonius sebagai musuh masyarakat Roma, yang
artinya pasukan Romawi dapat mengusirnya keluar dari Italia.
Antonius mundur ke daerah Utara dengan pasukan yang berhasil dikumpulkannya dan Oktavianus bergerak mengejarnya dengan pasukan lain dan
kedua konsul. Keduanya bertemu dalam pertempuran di Modena, pada
tahun 43 SM. Tetapi, meskipun orang-orang Antonius akhirnya bubar dari
barisan mereka dan lari, kedua konsul terbunuh bersama orang-orang pilihan
Oktavianus. Ini bukanlah kemenangan yang menggembirakan bagi orang
Romawi.
Antonius pergi melalui pegunungan Alpen menuju ke tempat para serdadu yang ditempatkan di Gallia, dan merekrut mereka kembali ke pihaknya. Sebelumnya mereka pernah melayaninya, mereka menghargai kemampuannya sebagai pemimpin, dan tampaknya krisis itu justru membuat sikapnya
lebih baik: ”Sikapnya dalam menghadapi bencana lebih baik daripada waktu
yang lalu,” kata Plutarkhos. ”Antonius, dalam ketidakberuntungannya justru
hampir seperti orang yang menang.”5
Oktavianus pada saat itu kelihatannya sudah memikirkan kembali posisinya. Selama Cicero dan Senat masih mendambakan kembalinya Republik,
mereka tidak akan pernah sepenuhnya berada di belakangnya; dukungan
nyata mereka kepadanya hanyalah sebatas untuk mengusir Antonius keluar
dari Roma. Tetapi ,Oktvaianus tidak menginginkan kembalinya Republik. Ia
mengincar kekuasaan kakek pamannya, dan Cicero tidak akan membantunya
dalam hal itu: ”Karena mendapat�