Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 34


 ia 

pergi  berperang  bersama  Scipio  Aemilius.    Di  sini,  Jugurtha  diperlakukan 

sebagai sahabat oleh para perwira Romawi, yang meyakinkannya (begitulah 

yang ditulis Sallustius) bahwa ia dapat menyuap pemerintahan Roma untuk 

mendudukkannya  pada  tahta  pamannya:  ”Di  Roma,  uang  dapat  membeli 

segalanya.”

Ketika Micipsa wafat pada tahun 118, Jugurtha merebut tahta itu dengan 

paksa;    kaki  tangannya  membunuh  salah  satu  sepupunya,  dan  yang  lain, 

Adherbal, melarikan diri dari negaranya.   Untuk memastikan bahwa orang 

Roma  tidak  akan  ikut  campur  dalam  siapa  yang  berhak  sebagai  pewaris, 

Jugurtha  ”mengirim  para  duta  besar  ke  Roma  dengan  sejumlah  emas  dan 

perak” untuk menyuap para senator.  Siasat ini berhasil:  ”Kebencian mereka 

yang amat sangat pada Jugurta berubah menjadi kebaikan dan kemauan baik,” 

komentar Sallustius.3

Adherbal  muncul  di  Roma,  meminta  pertolongan  atas  nasibnya,  dan 

mendapat  kabar  bahwa  dengan  menyogok  uang,  Jugurtha  telah  dipastikan 

menduduki  tahta.    Senat  sudah  memberikan  dekrit  bahwa  kerajaan  harus 

dibagi  da  antara  keduanya;  begitu  mereka  kembali  ke  Numidia,  Jugurta 

mengobarkan  perang  melawan  Adherbal,  mengepungnya  di  dalam  ibu 

kotanya sendiri, menangkapnya, dan menyiksanya sampai mati.  

Kemarahan publik mengakibatkan Senat tidak dapat tinggal diam.  Pada 

tahun 111, seorang konsul dikirim ke Numidia bersama satu pasukan untuk 

menghukum Jugurtha.  Tetapi seperti banyak pejabat Romawi lain, konsul 

itu  terbuka  untuk  korupsi:    ”Jugurtha  mengirimkan  agen-agennya  untuk 

menggodanya  dengan  memberinya  uang,”    kata  Sallustius,  dan  ia  ”cepat 

menyerah,” menjatuhkan denda pada Jugurtha sebagai tanda bukti dan ke￾mudian pulang.4

 Seorang pejabat lain dikirim  untuk menyeret Jugurtha ke 

Roma, untuk menghadapi pengadilan, tetapi sesampainya di Roma, Jugurtha 

membayar seorang tribun untuk menghentikan pengadilan.  Senat mengirim￾nya pulang.  Ketika ia melewati gerbang kota, katanya ia menoleh ke belakang 

dan berkata, ”Ada sebuah kota yang ditawarkan untuk dijual, dan kalau ada 

pembelinya, riwayatnya akan tamat.”5

  

Maraknya  suap-menyuap  ini  membuat  marah  publik  Roma,  yang 

menyaksikan segala sesuatu yang mereka benci mengenai pemerintah mereka 

yang penuh korupsi.  Sampai tahun 109, barulah seorang pejabat Romawi 

mempunyai  reputasi  yang  baik  karena  kejujurannya  dalam  menangani 

Jugurtha.  Namanya adalah Gaius Marius, dan ia adalah ”orang baru”, yang 

berarti bahwa ia berasal dari sebuah keluarga yang tidak mempunyai kekuatan 

politik atau uang.  Dengan suasana hati masyarakat Roma yang seperti itu, 

keadaan menguntungkannya.  Ia menghabiskan waktunya selama dua tahun 

bertempur dengan terhormat di Afrika Utara; di tahun 107, ia terpilih sebagai 

konsul.

Setelah  pemilihan,  ia  menghabiskan  tiga  tahun  lagi  melakukan  operasi 

militer  terhadap  Jugurtha.    Akhirnya,  dengan  bantuan  Perwira  seniornya, 

Lucius  Cornellius  Sulla  (Sulla  yang  sama  yang  pernah  bertemu  dengan 

Mithridates II, yang membuka kontak antara Roma dan Partia, lima belas 

tahun sebelumnya), Marius berhasil mengarahkan Jugurtha masuk ke dalam 

jebakan dan menangkapnya.  

Jugartha diarak kembali ke Roma, dirantai, sebuah simbol kemenangan 

Romawi, tetapi juga simbol kemenangan dari kejujuran rakyat jelata terhadap 

korupsi kaum aristokrat.  Marius sendiri dieluk-elukan sebagai jawara Roma. 

Ia kemudian dipilih menjadi seorang konsul lima kali berturut-turut.  

Ini  sebetulnya  melanggar  konstitutsi  Roma,  yang  seharusnya  mencegah 

konsul-konsul itu untuk terus menjabat dari tahun ke tahun (dan menda￾pat makin banyak dan banyak lagi kekuasaan).  Tetapi Marius telah menjadi 

kesayangan rakyat, dan konstitusi tidak mencegah si kaya dan si kuasa me￾lenyapkan  jawara-jawara  sebelumnya  yang  berasal  dari  rakyat  jelata,  kakak 

beradik Gracchi; jadi mengapa konstitusi itu sekarang harus menjadi peng￾halang?  

Marius sendiri, memberikan penghargaan kewarganegaraan kepada seribu sekutu  Italia  karena  telah  membantu  mereka  dalam  perang,  dan  ditegur 

karena menyalahi konstitusi:  ”Maafkan aku,” jawabnya, ”tetapi kebisingan 

pertempuran mencegahku mendengar undang-undang.”6

S     , Marius—menyadari 

bahwa ia tidak akan memenangkan yang ketujuh—ia mundur dan mempen￾siunkan diri. Roma tidak terlibat dalam perang yang sesungguhnya sejak 

penaklukan Jugurtha, dan Marius (begitu kata Plutarkhos) ”tidak mempunyai 

bakat untuk hidup damai atau hidup sebagai warga negara swasta.”7

Meskipun begitu, perang sesungguhnya tidak lama lagi akan terjadi. 

Kota-kota Italia di semenanjung, semua yang tunduk di bawah Roma, telah 

bertahun-tahun memohon untuk dijadikan warga negara Roma beserta 

hak-hak pilihnya, suatu hak istimewa yang sangat pelit diberikan oleh 

Senat . Perasaan umum yang dirasakan rakyat jelata Roma yang terinjak￾injak telah menyebar keluar menyentuh rakyat Italia juga, dan permohonan 

mereka yang terus menerus diajukan tidak banyak diperhatikan: ”Tiberius 

Gracchus mendukung warga negaranya dengan sangat gigih,” komentar 

Cicero kemudian, ”tetapi melupakan hak-hak dan perjanjian-perjanjian dari 

para sekutu dan bangsa Latin.”8

 Sekarang, para sekutu dan bangsa Latin 

menginginkan suaranya dalam urusan Roma. Mereka ingin, menurut kata￾kata pakar sejarah purba Justin, tidak sekadar menjadi warga negara, tetapi 

menjadi mitra dalam kekuasaan Roma. *9

Ketika Senat menolak untuk membagi otoritasnya, mulailah terjadi 

gelombang sentimen anti-Roma yang besar. Pada awalnya sentimen ini ber￾bentuk penolakan terhadap adat istiadat Roma dan bahasa latin, bahasa Italia 

kuno lebih disukai; pakar sejarah E.T. Salmon mengemukakan bahwa tulisan 

di batu nisan di kota-kota Italia pada masa ini banyak yang memakai kata￾kata kuno. 10 Tindakan ini diikuti dengan bergabungnya beberapa kota Italia 

dalam persekutuan baru yang mereka sebut Italia. Di tahun 91, orang-orang 

Italia yang marah membunuh seorang pejabat Romawi di kota Asculum, dan 

perang yang sungguh-sungguh dimulai. 

Perjuangan—Perang Sosial—adalah persilangan yang ganjil antara perang 

saudara dan penaklukan kembali bangsa asing. Roma pelan-pelan melakukan 

tawar-menawar dan memukul mundur kota-kota Italia ke dalam lipatannya 

kembali. Konsul pada tahun 90 SM, seorang anggota golongan arstokratik 

tetapi miskin, dari klan Julius Caesar, mengambil strategi yang digunakan Gao

Zu dengan sukses satu abad sebelumnya, dan menawarkan kewarganegeraan 

kepada  sekutu  Italia  mana  pun  yang  menolak  untuk  bergabung  dalam 

pemberontakan.    Tentara  Roma  bergerak  melawan  kota-kota  yang  tetap 

bersikap bermusuhan.  Marius tua, sekarang mendekati tujuh puluh, datang 

cepat-cepat dari masa lengsernya untuk memimpin operasi militer terhadap 

kota-kota Utara, tetapi ambisinya lebih kuat daripada tubuhnya; ia bergerak 

pelan, keputusan-keputusannya ragu-ragu, dan akhirnya, kata Plutarkhos, ”ia 

merasa bahwa ia terlalu terbelenggu oleh ketidaksehatannya untuk meneruskan 

tugasnya dan ia pun lengser untuk kedua kalinya.11

  

Pembantu Marius yang dulu, Lucius Cornelius Sulla mendapatkan yang 

lebih  baik  dari  perang  sosial  ini.    Ia  memimpin  operasi  militer  di  Selatan; 

Marius  yunior  yang  berumur  dua  puluh  tahun,  dapat  mengatasi  kerasnya 

kehidupan perkemahan militer, ia menang dan menang lagi.  ”Sulla meraih 

kemenangan yang luar biasa seperti itu,”  kata Plutarkhos, ”sehingga ia dipan￾dang sebagai pemimpin yang besar oleh teman-teman sewarganegaranya.”12

  

Pada tahun 88, Perang Sosial selesai. Sekali lagi Roma menjadi penguasa  dari 

semenanjung itu lagi, dan kota-kota Italia memenangkan hak kewarganegaraan 

Roma yang penuh.  Sulla ikut dalam pemilihan konsul dan dipilih dengan 

senang  hati,  berkat  reputasinya  sebagai  jenderal  besar.    Ia  berharap  penuh 

akan dianugerahi jabatan militer yang menguntungkan pada tahun itu, yaitu 

memimpin  legiun  Roma  ke  Asia  Kecil  melawan  raja  yang  menyulitkan  di 

sana”  Eupator  Dionysius

  dari  Pontus,  sebuah  kerajaan  di  Barat  Laut  yang 

mengancam akan menelan wilayah Asia Kecil lebih banyak lagi.  

Kemenangannya dalam perang melawan Eupator Dionysius adalah jalan 

menuju  keagungan  yang  pasti,  dan  Sulla  adalah  pilihan  yang  nyata  untuk 

jabatan itu.  Sebetulnya, ia sudah berada di daerah pedesaan dengan tiga puluh 

lima ribu tentara, mempersiapkan mereka untuk operasi militer yang akan 

datang.  Tetapi Marius semakin cemburu pada asisten lamanya.  Meskipun ia 

sekarang sudah lanjut usia, sering sakit, dan gendut, ia malah meminta Senat 

untuk memberikan penghargaan untuk  melakukan operasi militer melawan 

Eupator Dionysius itu kepadanya.  

Banyak  orang  Romawi  berpendapat  ini  tidak  masuk  akal.    (”Mereka 

menyarankan,”  kata  Plutarkhos,  ”lebih  baik  Marius  pergi  ke  daerah  yang 

terdapat  mata  air  yang  hangat  dan  mengistirahatkan  diri,  karena  ia  sudah 

rapuh oleh  usianya yang lanjut dan perubahan yang terjadi terus-menerus.”)13 

Meskipun begitu Marius tidak pernah hidup melewati dasawarsa-dasawarsa 

politik  Roma  tanpa  mengambil  kesempatan.    Ia  menyuap  salah  seorang 

tribun  untuk  mendukung  tuntutannya  atas  pangkat  jenderalnya.    Tribun 

itu,  seseorang  yang  bernama  Sulpicius,  mengumpulkan  sepasukan  orang 

bersenjata, yang disebutnya ”Anti-Senat” dan berhasil, dengan menodongkan 

pedang,  membuat  pangkat  jenderal  itu  diberikan  pada  Marius.    Ia  juga 

mengirim  dua  tribun  untuk  mengambil  alih  kepemimpinan  pasukan  Sulla 

dan menyerahkannya kepada Marius.  

Ketika para tribun itu tiba, pasukan itu melempari mereka dengan batu 

sampai mati.  

”Bertahun-tahun ada penyakit yang bercokol di bawah permukaan Roma,” 

kata Plutarkhos, ”dan  karena  situasi  sekarang  ini,  penyakit  itu   meletus.”14

Pecahlah perang saudara hebat.  Di dalam kota Roma, Marius, Sulpicius, dan 

tentara bajingannya yang bersenjata ”mulai membunuhi teman-teman Sulla.” 

Para  senator,  yang  mengkhawatirkan  nyawa  mereka,  mengirimkan  pesan 

setengah  hati  kepada  Sulla  memintanya  untuk  menyerahkan  pasukannya. 

Sulla malahan mengumpulkan para legiun, dan meminta mereka berbaris ke 

Roma.  Ini adalah pelanggaran konstitusi Roma yang menakutkan; tidak ada kon￾sul, yang diberikan kekuasaan militer, menjalankan wewenangnya di dalam 

pomerium, ruang domestik yang dipisahkan dari dunia luar oleh tembok-tem￾bok Roma.  Dalam kota adalah semata-mata daerah kekuasaan Senat.  Tetapi 

sejauh menyangkut Sulla, Marius telah melanggar batasan ini dengan mem￾pekerjakan orang-orang Sulpicius yang bersenjata .  Ia sendiri harus melanggar 

konstitusi supaya bisa melawan kembali.  

Beberapa orang perwira Sulla sendiri menolak untuk menyerang pomerium. 

Sulla,  mengetahui  betapa  seriusnya  pelanggaran  yang  akan  dilakukannya, 

bahkan tidak menegur mereka;  ia hanya bergerak tanpa mereka.  Sesampainya 

di kota, Senat memintanya untuk berhenti di luar tembok, untuk memberi 

mereka waktu untuk menyelesaikan seluruh masalah.  Ia menolak, menerjang 

masuk  gerbang  dengan  suluh  di  tangannya  dan  berteriak  pada  orang￾orangnya untuk membakar rumah-rumah para musuhnya.  ”Dalam keadaan 

yang panas pada saat itu, ia membiarkan kemarahannya mengalahkan hati 

nuraninya,” kata Plutarkhos, ”Ia hanya bisa melihat musuh-musuhnya, dan 

ia … menggunakan api sebagai alatnya untuk kembali ke Roma—api, yang 

tidak membedakan antara yang bersalah dan yang tidak bersalah.”15

Marius melarikan diri ke Afrika Utara.  Sulpicius ditangkap sebagai tahanan, 

dan Senat yang diminta untuk bersidang oleh Sulla (dan orang-orangnya yang 

bersenjata), dengan patuh menghukum mati Sulpicius (dan juga menjatuhkan 

hukuman mati in absensia kepada Marius).  Sulla, yang berjalan di atas tali 

yang tipis antara mengembalikan ketenteraman dan bertindak sebagai seorang 

diktator militer, kemudian mundur sedikit dan memperbolehkan pemilihan 

konsul yang bebas diadakan.  Orang yang terpilih adalah, Lucius Cinna, yang 

bukan teman Sulla.  Tetapi ia bersumpah untuk setia pada rekan konsulnya, 

dan mematuhi Senat.  

Sulla yang belum memenangkan keagungannya di Asia Kecil, meninggalkan 

kota  di  tangan  Cinna  dan  Senat  dan  mengumpulkan  kembali  pasukannya 

di luar tembok.  Kemudian ia bergerak terus ke Timur, menuju Pontus dan 

berperang.  

K   , di ujung dunia yang lain, juga sedang mengala￾mi sakitnya masa pertumbuhan. Sementara Roma sedang berjuang melewati 

Perang Sosial, Kaisar Wudi—sekarang sudah mendekati akhir dari lima puluh 

tahun masa pemerintahannya - sedang menutup dasawarsa operasi militer ter￾hadap bangsa-bangsa terdekat: bangsa Xiongnu, yang masih mencoba untuk 

mendesak turun ke dalam wilayah Han, dan tanah-tanah di daerah Barat, 

sepanjang rute perdagangan yang baru, Jalan Sutera. 

Pada tahun 101 SM, jenderal Han, Li Kuang diserahi kepemimpinan 

dalam operasi militer yang paling mahal dalam sejarah China: menaklukkan 

tanah Ferghana di sebelah Barat Laut, atau T’ai-yuan.16 Li Kuang sudah ber￾tempur untuk kaisar-kaisar Han selama lebih dari tiga puluh tahun; ekspedisi 

militernya yang pertama adalah menginvasi Xiongnu, dulu pada masa peme￾rintahan Kaisar Wendi. Sima Qian menulis bahwa, pada operasi militer yang 

kemudian, ia mendemonstrasikan kepandaiannya dengan melarikan diri dari 

beberapa ribu pasukan berkuda Xiongnu yang mencegatnya beserta hanya   seratus orangnya di sekitarnya.   Ia memerintahkan tentara-tentara berkuda￾nya untuk turun dari kuda-kuda mereka dan melepaskan pelananya:  ”Mereka 

mengharapkan kita melarikan diri,” katanya, ”dan kalau kita menunjukkan 

bahwa kita tidak siap untuk lari, mereka akan mencurigai ada sesuatu yang 

salah.”    Orang-orangnya  mematuhinya,  dan  kubu  Xiongnu  yang  mencuri￾gai adanya sebuah jebakan, tetap menjaga jarak.  Gelap semakin merambat 

di  tempat  mereka  terjebak,  dan  Li  Kuang  memerintahkan  mereka  untuk 

menggulung diri mereka dalam selimut dan berbaring di bawah kuda-kuda 

mereka.  Kubu Xiongnu, yang melihat ini ”menyimpulkan bahwa para pem￾impin Han pasti sudah menyembunyikan tentara di daerah itu dan berencana 

untuk menyerang mereka dalam gelap.  ”Mereka semua mundur, seketika itu 

Li Kuang dan orang-orangnya mengambil kesempatan itu melompat ke atas 

kuda dan bergabung kembali dengan induk pasukan. Pemikiran strategi semacam ini masih kurang diketahui oleh pemimpin￾pemimpin Romawi, yang jauh lebih suka bergantung pada jumlah saja untuk 

meremukkan  musuh.    Strategi  itu  menempatkan  Li  Kuang  pada  keadaan 

yang bermanfaat selama empat tahun masa operasi militernya ke Ferghana.  Ia sekarang sudah cukup tua, tetapi tidak seperti Marius, ia masih tetap kuat, 

aktif, dan benar-benar mampu memimpin sebuah invasi yang sulit ke dalam 

negara yang sulit medannya.    

Bangsa Xiongnu  melihat hal ini sebagai tantangan langsung atas otoritas 

mereka,  dan  menginvasi  Ferghana  dari  sebelah  lain  untuk  menghentikan 

pasukan Han.  Desakan Li Kuang yang pertama ke Ferghana ini mendatangkan 

malapetaka.  Ia dan pasukannya bergerak ke atas ke Utara melewati daerah 

yang terkenal sebagai Rawa-Rawa Garam, yang kedengarannya ramah seperti 

bunyinya; sumber persediaan makanan dan air mereka satu-satunya berasal 

dari kota-kota yang bertembok di sepanjang jalan, dan melihat pemandangan 

pasukan Han di cakrawala, kebanyakan dari kota-kota ini menutup gerbang 

mereka  ketat-ketat  dan  menolak  untuk  keluar.    Li  Kuang  mempunyai 

pilihan untuk berhenti dan menyerang mereka, dan mungkin dengan begitu 

menghabiskan  persediaan  lebih  banyak  daripada  persediaan  yang  dapat 

diperoleh  oleh  pasukan  itu  seandainya  penyerangan  berhasil,  atau  berjalan 

terus saja.  Sima Qian menceritakan bahwa ia mengambil jalan tengah:  kalau 

kota  tidak  menyerah  dalam  dua  hari,  pasukan  akan  meninggalkannya  dan 

melanjutkan perjalanannya.  Pada saat Li Kuang mencapai target awalnya, 

kota  besar  Yu-ch’eng,  ”tentaranya  hanya  tinggal  beberapa  ribu  saja,  dan 

semuanya ini menderita kelaparan dan kelelahan.”18

Tetapi  ia  tidak  rela  menghamburkan  perjalanannya,  dan  tetap 

memerintahkan  orang-orangnya  melawan  Yu-Ch’eng.    Mereka  dipukul 

mundur dalam waktu singkat, dan Li Kuang menyadari bahwa ia tidak punya 

pilihan selain pulang ke rumah.  Ia kembali dan menapaki kembali langkah￾langkahnya pulang ke tepi negara Han.  Seluruh perjalanan yang tidak berhasil 

ini memakan waktu dua tahun, dan pada saat perjalanan berakhir, ia memiliki 

kurang dari seperlima jumlah pasukannya yang tersisa.  

Kaisar Wudi, yang menerima kabar bahwa pasukannya sedang dalam per￾jalanan pulang, marah besar dan mengirimkan utusan untuk berdiri di jalan 

yang menuju Fergana sampai wilayah Han:  Gerbang Jade.  ”Siapa pun yang 

melewati jalan  ini akan dipenggal di tempat,” utusannya mengumumkan.  Li 

Kuang berhenti, tidak dapat pulang, tidak dapat kembali.  Sepanjang musim 

panas ia menunggu dalam keadaan terlantar bersama sisa-sisa pasukannya.  

Wudi yakin bahwa reputasi kekaisarannya berbahaya, dan sekarang karena 

jalan ke Barat sudah dibuka, ia tidak bisa kehilangan muka.  ”Negara-negara 

lain akan datang merendahkan Han,” tulis Sima Qian, ”dan China akan men￾jadi bahan tertawaan.”  Karena itu ia mengosongkan harta kerajaan untuk 

menyewa  tentara  dan  membekali  mereka,  mengumpulkan  semua  petarung 

jagoan dari sekutu-sekutunya dan membebaskan semua kriminal dari penjara 

untuk bertempur di Ferghana.  Li Kuang, yang menerima pasukan baru yang terdiri dari para narapidana 

dan tentara bayaran, mungkin khususnya tidak terlalu bersyukur atas hal ini 

.Namun, ia sudah mendapat pelajaran.  Ia berangkat lagi ke Yu-ch’eng.  Kali 

ini, kota bertembok yang pertama yang menolak untuk memberikan bekal 

pada  tentara-tentara  yang  lewat  diserang,  ditaklukkan,  dan  diruntuhkan; 

semua penduduknya dibunuh massal.19 ”Setelah itu,”  komentar Sima Qian, 

”kemajuannya tak terhalangi.”

Yu-ch’eng jatuh.  Tidak lama kemudian, begitu juga Erh-shih, ibu kota 

Ferghana yang dikuasai oleh seorang bangsawan.  Xiongnu tidak dapat meng￾hentikan  serbuan  orang  Han.    Empat  tahun  setelah  operasi  militer  yang 

pertama mulai, pihak Han akhirnya berhasil menguasai seluruh Ferghana.  

Ini  adalah  suatu  pencapaian  yang  besar;  ini  menunjukkan  superioritas 

Han atas Xiongnu, dan juga memberi kepada negara-negara bagian di Barat, 

sepanjang Jalan Sutera, pengumuman bahwa sebaiknya mereka memberi jalan 

pada pihak Han yang lewat”  ”Semua negera bagian di Daerah Barat terkejut 

dan takut,”  terbaca dalam satu cerita.20 Kaisar Han telah melindungi nama 

kekaisarannya yang agung—kekuasaannya untuk melakukan jual-beli dengan 

pihak Barat.  

Tetapi  kebanggaan  mahal  harganya.    Ketika  Wudi  wafat  di  tahun  87, 

tahun yang sama sewaktu Sulla bergerak ke arah Asia Kecil memimpin para 

legiunnya, Jalan Sutera tetap terbuka.  Tetapi keuangan Han sudah kering, 

angkatan perangnya lelah.  Kedua kaisar Han yang selanjutnya, Zhaodi dan 

Xuandi, tidak berbuat banyak untuk lebih memajukan kekaisarannya.  

S   aman di luar semenanjung Italia, rekan konsul Cinna 

melemparkannya keluar kota dan menutup pintu-pintu gerbang. Cinna, 

yang panas di luar tembok, mulai mengumpulkan pasukan untuk dirinya 

sendiri, ia bermaksud untuk berjuang masuk kembali. Marius, yang berada 

di Afrika Utara, mendengar kabar ini dan segera kembali, menemui Cinna di 

luar kota. 

Marius melakukan sedikit sandiwara, kata Plutarkhos, berpakaian 

compang-camping dan tidak mau memotong rambutnya sepanjang masa 

pelariannya dari Roma, dan tertatih-tatih menemui Cinna, bagaikan seorang 

peminta-minta manula yang mengenaskan. Tidak diragukan lagi berita 

tentang kerendahan hatian ini sampai ke Roma, di mana konsul-konsul lain 

yang masih ada sudah semakin tidak disukai (tidaklah mudah untuk menjadi 

orang baik dalam waktu yang lama di abad pertama Roma). Barangkali 

suap-menyuap sudah berpindah tangan juga; bagaimana pun juga, Senat 

mengirimkan pesan mengundang kedua-duanya, Cinna dan Marius, untuk 

kembali ke Roma. Marius,  biar  pun  compang-camping,  telah  menggunakan  kekayaan 

pribadinya untuk menyewa sejumlah besar tentara bayaran dari Afrika Utara. 

Ia  dan  Cinna  bergerak  kembali  ke  Roma  di  barisan  depan  pasukan  yang 

menakutkan ini dan melewati gerbang.  

Kelakuan Marius sesudah itu menunjukkan bahwa ia sudah tidak dapat 

berpikir dengan jernih.  Pengawal pribadinya membunuhi tanpa bertanya￾tanya siapa pun yang ditunjuknya, dan meskipun ini awalnya termasuk siapa 

pun  yang  mungkin  teman  Sulla,  pertumpahan  darah  cepat  meluas.    ”Jika 

seseorang memberi salam pada Marius, tetapi tidak menerima balasan kata￾kata atau salam,” kata Plutarkhos, ”ini saja bisa menjadi tanda darinya untuk 

minta  dibunuh  di  situ  juga  dan  di  jalan,  sampai  bahkan  teman-temannya 

bingung, cemas dan ngeri setiap kali mereka bertemu dengan Marius untuk 

memberinya  salam.”24    Bahkan  Cinna  sekalipun  mulai  memandangnya 

dengan kuatir.

Sementara itu Sulla keagungan (atau rasa malu, tergantung apakah kita 

seorang  pakar  sejarah  Yunani  atau  Roma)  tengah  meliputi  dirinya  dengan 

keberhasilannya menguasai kembali Asia Kecil dan kemudian mengalahkan 

berbagai  kota  Yunani  yang  memberontak  untuk  dikembalikan  ke  dalam 

keadaan semula.  Ketika berita tentang kejadian di Roma sampai padanya di 

Timur, ia pulang dengan pasukannya.  

Sulla datang!  Tulis  Plutarkhos.    Kedengarannya  seperti  suatu  berita 

kelahiran bagi rakyat Roma, dan berita itu bahkan semakin menggusarkan 

Marius.  Ia mulai minum tak terkontrol, mengalami radang selaput dada, 

dan  mengalami  delusional,  membayangkan  bahwa  ia  sedang  memimpin 

legiun-legiun  yang  sedang  akan  menyerang  Pontus  dan  kadang-kadang 

meneriakkan perintah-perintah peperangan.  Pada tanggal 17 Januari 86, 

ia meninggal di rumahnya.

Sulla  sebetulnya  belum  sedekat  yang  diperkirakan  Marius.    Ia  belum 

tiba di Italia  sampai pada tahun 83 SM; sementara itu semakin banyak dan 

banyak  lagi  orang  Romawi  yang  menonjol  melarikan  diri  dari  ”preman￾isme tanpa hukum” dan pergi menemui Sulla, sampai ia ”dikelilingi oleh 

apa pun yang maksud dan tujuannya adalah sebuah Senat.”22 Cinna men￾gumpulkan sebuah pasukan dan berangkat menemui Sulla sendiri, tetapi 

orang-orangnya memberontak dan membunuhnya sebelum ia pergi terlalu 

jauh. 

 Jelas pendapat orang Romawi sudah lebih dan lebih lagi berbalik pada 

Sulla, karena Cinna dan Marius sudah menjadi semakin biadab; meskipun 

begitu, Sulla tetap harus memperjuangkan jalannya ke Roma ketika akhirn￾ya ia tiba di kota.  Putra Marius, yang mengepalai para pendukung lama 

ayahnya, melakukan pertahanan yang gigih.  Tetapi Sulla dibantu oleh dua 

orang  perwira  muda  yang  cakap 

bernama Pompei dan Crascus, dan 

di  bawah  pimpinan  tiga  serangkai 

ini,  pasukannya  menyerbu  masuk 

kota.  

Hampir  segera  setelah  Sulla 

berada  di  dalam  kota  Roma,  ia 

memerintahkan  enam  ribu  orang 

tahanan  (semua  orang  yang 

melawannya  ketika  ia  mendekati 

Roma) digiring  masuk  dalam arena 

Sirkus.    Ia  sendiri  pergi  menemui 

Senat.  Di tengah-tengah pidatonya, 

teriakan-teriakan  mulai  terdengar 

dari  arah  arena  Sirkus.    Ia  telah 

memerintahkan  enam  ribu  orang 

yang  tidak  berdaya  itu  dibantai. 

”Sulla terus berbicara dengan ekspresi 

wajah yang tidak berubah dan tenang 

seperti sebelumnya,” kata Plutarkhos, 

”dan memberitahu mereka … untuk 

tidak perlu memperhatikan apa yang 

sedang  terjadi  di  luar,  itu  hanya 

beberapa  kriminal  yang  dihukum 

atas perintahnya.  Sebagai akibatnya, 

bahkan  orang  yang  paling  bodoh 

pun memahami bahwa mereka cuma berganti dari satu tiran yang kejam ke 

tiran kejam lainnya.  

Itu  benar.  Luka  yang  diderita  Republik  dengan  kematian  Tiberius 

Gracchus semakin melebar dan bernanah.  Orang-orang yang cukup bengis 

untuk melawan tirani malah menjadikan diri mereka tiran juga;  dan Sulla, 

begitu memimpin Roma (tahun 81 ia ditunjuk sebagai diktator, meskipun 

pada kenyataannya tidak ada krisis tertentu di masa yang akan datang), mulai 

melakukan pembersihan.  ”Aku melarang setiap orang yang aku ingat,” katanya 

dalam sebuah pidato umum, ”tetapi kalau aku melupakan seseorang aku akan 

melarang mereka kemudian.”   Teman-teman dan saudara Marius dan Cinna 

mati, atau melarikan diri; menantu Cinna, seorang pemuda bernama Julius 

Caesar, adalah salah satu orang yang beruntung yang dapat melarikan diri. 

Pembunuhan pejabat segera merambat ke luar politik dan memasuki masalah 

pribadi juga:  ”Lebih banyak yang dibunuh karena harta milik mereka,” tulis 

Plutarkhos, ”dan bahkan algojo-algojo cenderung mengatakan bahwa orang 

ini  dibunuh  karena  rumahnya  yang  besar,  yang  ini  karena  kebunnya,  dan 

yang itu karena mata airnya yang hangat.”24 Kedua tangan kanan Sulla juga 

tidak lebih mengagumkan daripada Sulla.  Pompei diberi tugas untuk menge￾jar  sekutu-sekutu  Marius  yang  sudah  meninggalkan  semenanjung  Italia;  ia 

mengikuti jejak para pemberontak sampai jauh ke Sisilia dan Afrika Utara, 

dan begitu berhasilnya ia membunuh mereka semua sehingga ia menuntut 

diadakannya  pawai  kemenangan  sekembalinya  ke  Roma.25  Sementara  itu, 

Crassus, sedang membantu membakari rumah-rumah di Roma yang ingin 

diambilnya bersama Sulla.  Ia juga mempunyai sekelompok petugas pemadam 

kebakaran, dan seorang agen real estat yang digaji.  Segera setelah rumah itu 

terbakar, si agen akan muncul dan menawarkan untuk membeli rumah itu 

dengan harga murah; pemilik rumah akan menyetujui, sehingga rumah itu 

tidak  hilang  begitu  saja;  dan  kemudian  tiba-tiba  para  petugas  pemadaman 

akan berdatangan entah dari mana dan memadamkan api.26

Setelah mendapatkan segala sesuatu yang dapat dirampasnya dari Roma, 

Sulla kemudian pensiun di tahun 80, dan pergi ke desa.  Di sini ia sekaligus 

kawin lagi dan mengambil kekasih pria, kurang lebih bersamaan waktunya. 

Semua  aktivitas  ini  dengan  sendirinya  mengakibatkan  kesehatannya 

menurun,  barangkali  ia  menderita  sirosis  hati.  ”Untuk  beberapa  saat  yang 

lama ia tidak memperhatikan kalau usus besarnya kena bisul sehingga lama￾lama  menggergoti  dagingnya  dan  keluar  berupa  kutu,”  tulis  Plutarkhos. 

”Banyak orang dipekerjakan siang dan malam untuk membunuh kutu-kutu 

itu, tetapi pekerjaan itu menjadi berlipat ganda sampai tidak dapat dikerjakan 

lagi,  hingga  tidak  hanya  pakaiannya,  pemandiannya,  baskom,  tetapi  juga 

dagingnya terpolusi oleh kutu dan bibit penyakit, mereka mengerumuninya 

dalam jumlah yang besar.”   Dalam keadaan yang menjijikkan ini ia melewatkan 

tahun-tahun terakhirnya; seperti Republik, yang sakit secara fatal, tetapi tetap 

bertahan hidup  dan berpura-pura sehat.

G A R I S WA K T U 7 7

  CHINA  ROMA

  Dinasti Han (202)  Perang Zama (202)

  Gao Zu  Perang Makedonia Kedua

  Hui-ti (195)   

  Kao-hou (188)    Cumae mengganti bahasanya dengan Latin

  Wendi (179)     

  Perang Makedonia Ketiga (171)

  Perang Punik Ketiga (149)

  Wudi (140)    Kehancuran Karthago (146)

  Perjalanan Zhang Qian ke Barat  Perang Budak Pertama (135)

    Kematian Tiberius Gracchus 

    Kematian Gaius Gracchus

  Perang Jugurthine (112) 

    Gaius Marius, konsul

  Perang Sosial (91)

  Zhaodi (87)      Lucius Sulla, konsul

    Lucius Cinna, konsul

  Xuandi (73)   


P tahun 78, sull wafat di kediamannya di desa.  Ia sudah menikah 

lima kali dan menjadi bapak dari dua puluh tiga anak; yang terakhir Postumus 

Cornelius Sulla, lahir setelah kematiannya.  

Kejutan-kejutan  sesudahnya  karena  persaingan  antara  Sulla  dan  Marius 

terus  bergemuruh.   Tangan  kanan    Sulla  yaitu  Pompei  memimpin  sebuah 

pasukan  ke  semenanjung  Iberia  untuk  melawan  sekutu-sekutu  Marius. 

Pasukan lain pergi ke arah Timur dalam sebuah percobaan untuk menyudahi 

perang melawan raja Pontus, yang tidak diselesaikan oleh Sulla sendiri ketika 

ia pulang ke Roma.  Di antara kedua perang ini ada juga perang antara orang 

Romawi melawan para bajak laut di Laut Tengah, kebanyakan bala tentara 

Romawi berada jauh dari semenanjung Italia.  

Tidak  adanya  orang-orang  yang  bersenjata  ini  mengarahkan  kelompok 

lain yang terdiri dari para budak untuk mengadakan pemberontakan.   Tetapi, 

budak-budak ini adalah petarung-petarung yang ahli, yang dilatih untuk me￾megang peranan dalam permainan-permainan yang dipertontonkan di Roma: 

gladiator.  

Pertarungan yang dilakukan oleh para budak untuk menghibur penonton 

ini berlangsung terus sejak masa orang Etruski dan dengan adanya festival￾festival publik Roma menyebabkan pertarungan gladiator semakin meningkat 

sejak abad ke tiga SM.

  Perang-perang Roma dengan negara asing telah mem￾bawa masuk semakin banyak budak yang sesuai untuk permainan-permainan 

ini ke Roma dan kota-kota sekitarnya: tentara tangkapan dari Gallia, seme￾nanjung Iberia, Thracia, Suriah, dan Yunani.1

 Seorang gladiator yang sukses bisa mempunyai daya tarik untuk dipuja sebagai pahlawan (”Para pria mem￾berikan jiwa mereka kepada para petarung itu, para wanita tubuh mereka,” 

tulis Tertullianus, seorang pakar teologi Roma, tak lama kemudian), tetapi ia 

tetap merupakan anggota masyarakat Roma yang terhina.  ”Orang Romawi 

memuja-muja kemudian menjatuhkan dan setelah itu memusnahkan mere￾ka,” Tertullianus menyimpulkan, ”tentu saja, mereka dengan terang-terangan 

mempermalukan  para  budak  sampai  taraf  menghapuskan    hak-hak  asasi 

manusia  …  Mereka  menghina  orang  yang  mereka  puja;    seninya  mereka 

muliakan, senimannya mereka rendahkan,:2

Salah satu sekolah pelatihan para gladiator yang terkenal terdapat di kota 

Capua, sebelah Selatan kota Roma, di mana seorang pemilik gladiator memi￾liki  satu  koleksi  lengkap  budak-budak.  ”Kebanyakan  dari  mereka  berasal 

dari  bangsa  Gallia  dan Thracia,”  tulis  Plutarkhos.    ”Mereka  tidak  melaku￾kan kesalahan, tetapi, hanya karena kebengisan pemiliknya, mereka disimpan 

di tempat tahanan yang tertutup sampai datang giliran mereka untuk ber￾tarung.”3

    Di  tahun  73,  tujuh  puluh  delapan  orang  dari  para  gladiator  ini 

berhasil mendobrak keluar dari tempat tahanan mereka.  Mereka menyerbu 

tempat penjagalan di dekat tempat itu untuk mencari pisau dan tusukan da￾ging dan pergi menuju ke luar kota.  Ketika pasukan datang mengejar mereka 

dari  Capua,  para  gladiator  itu  menghabisi  mereka  dan  merampas  senjata- 

senjatanya.  

Ini adalah awal perkelahian yang akan berlangsung lebih dari dua tahun, 

dan karenanya disebut Perang Gladiator.

 Para gladiator memilih di antara 

mereka  seorang  pemimpin  bernama  Spartacus;    Kata  Plutarkhos  ia  adalah 

seorang  Thracia  ”dari  suku-suku  nomad,”  tetapi  yang  ”paling  pandai  dan 

berkebudayaan,  karena  cenderung  lebih  Yunani  daripada  Thracia.”    (Ini 

semacam pujian.) Ternyata ia adalah seorang ahli strategi yang hebat.  Tiga 

ribu tentara Romawi dikirim keluar melawan para gladiator, dan menggiring 

mereka ke atas gunung di mana hanya ada dua jalan untuk melarikan diri: 

melewati jalan kecil yang dijaga oleh serdadu Romawi, dan menuruni tebing 

yang terjal di balik gunung.  Tetapi tanahnya diliputi oleh tanaman anggur 

liar.    Di  bawah  arahan  Spartacus,  para  gladiator  yang  terjebak  memotong 

pohon-pohon anggur liar ini dan dibuatlah tangga, yang mereka jatuhkan ke 

dasar tebing dan kemudian berebut untuk turun.    Kemudian mereka mengi￾tari gunung sampai ke tempat perkemahan para serdadu Romawi yang sama 

sekali tidak siap,  dan membinasakan seluruhnya.4

  Setelah  itu,  mereka  melakukan  beberapa  pembunuhan  terhadap  pasu￾kan-pasukan Romawi yang dikirimkan untuk melawan mereka, dan semakin 

menyadari kekuatan mereka yang makin besar.  Menurut Appianus, pasukan 

Spartacus berkembang menjadi tujuh puluh ribu orang dan orang Romawi 

sama  sekali  harus  mengubah  pandangan  mereka  tentang  pertandingan  ini: 

”Dengan awal yang menggelikan dan hina,” kata Appianus, perang ini men￾jadi perang yang ”berat bagi Roma.”5

Spartacus,  yang  tampaknya  cuma  ingin  pulang,  mencoba  untuk 

meyakinkan mereka untuk memalingkan punggung mereka dari Roma dan 

pulang melalui pegunungan Alpen, dari situ mereka dapat menyebar ke tanah 

air masing-masing, Thracia dan Gallia.  Tetapi mereka tidak mau mendengar￾kan:  Mereka lebih kuat dalam jumlah,”  kata Plutarkhos, ”dan penuh percaya 

diri dan mereka pindah ke Italia dan memporak-porandakan apa pun yang 

mereka lewati.6

Hal ini menggelisahkan Senat sedemikian rupa sampai-sampai kedua kon￾sul dikirimkan keluar untuk melawan bala tentara gladiator.  Ketika keduanya 

gagal, Senat menunjuk letnan yunior Sulla, yaitu Crassus untuk ditugaskan 

menumpas  pemberontakan  itu.    Penggerebekannya  yang  pertama  mela￾wan Spartacus berakhir dengan kemunduran tentara Romawi dengan hina. 

Dengan kebengisan yang menjadi ciri-ciri sekutu-sekutu Sulla, Crassus me￾narik lima ratus perajurit rendahan yang berada di garis terdepan pada waktu 

melarikan diri dan menghukum mati lima puluh di antaranya dengan cara 

diundi, sementara yang lain menonton:  suatu hukuman yang kejam yang 

dikenal sebagai ”pemangkasan”.  

Akibat  dari  kejadian  ini,  seperti  yang  memang  diharapkan,  adalah 

memperkuat  mereka  dalam  pertemuan  selanjutnya.    Spartacus  dipukul 

mundur ke arah pantai, di mana ia menyusun rencana dengan armada para pe- 

rompak untuk menyeberangkan pasukannya ke Sisilia.  Tetapi, para perompak 

mengambil uangnya lalu pergi berlayar, meninggalkannya berdiri di pantai 

Rhegium, tempat paling ujung bot Italia (Peta Italia berbentuk sepatu boot). 

Ini berarti pasukannya berada di sebuah semenanjung kecil, dan Crassus 

memerintahkan orang-orangnya untuk membangun sebuah tembok menye￾berangi leher semenanjung itu, dengan parit sedalam empat setengah meter 

di depannya.  Spartacus terjebak, tetapi tidak lama; ketika badai salju turun 

di atas kedua bala tentara itu, ia mengisi parit itu dengan tanah, balok-balok, 

dan batang-batang pohon, dan membawa hampir semua bala tentaranya ke￾luar dari situ dan lari.  

Pada  saat  itu  orang  Romawi  di  pusat  memutuskan  bahwa  Crassus 

memerlukan bantuan:  Appianus mengatakan bahwa Senat ”memerintahkan 

bala  tentara  Pompei,  yang  baru  tiba  dari  Spanyol,  sebagai  pasukan  pen- 

dukung.”7

 Crassus mencoba menggandakan usahanya, dengan putus asa ia 

berharap bisa mengakhiri perang sebelum rekannya (dan saingannya) Pompei 

datang dan mencuri sebagian dari kemenangannya.  ”Beberapa orang sudah 

menyatakan  dengan  keras  bahwa  kemenangan  perang  ini  milik  Pompei,” 

tulis Plutarkhos;  ”Ia hanya tinggal datang dan bertempur, kata mereka, dan 

perang  akan  usai.”8

  Crassus  sedang  mempersiapkan  pembunuhan  terakhir 

ketika  orang-orang  Spartacus,  yang  telah  hancur  oleh  keberhasilan  mereka 

sendiri (mereka begitu percaya diri sehingga tidak mempedulikan perintah 

jenderalnya), membuat serangan ke garis depan serdadu Romawi yang tidak 

tepat  waktunya  dan  dengan  pertimbangan  yang  buruk.    Pasukan  Romawi 

akhirnya bisa menyerang balik.  Sebagian besar dari gladiator itu melarikan 

diri; Spartacus sendiri, yang langsung menghadapi Crassus, ditinggalkan oleh 

rekan- rekannya dan terbunuh.  

Sial  bagi  Crassus,  Pompei  baru 

tiba  pada  saat  itu.    Ia  menangkap 

dan  membunuhi  para  budak  yang 

melarikan diri ketika mereka mele￾watinya.  Enam ribu orang ditangkap 

hidup-hidup,  mereka  disalibkan 

sepanjang jalan dari Capua sampai 

Roma;  salib-salib  berjajar  hampir 

di sepanjang panjang Jalan Appia.9

Kebanyakan orang memandang ini 

sebagai  monumen  untuk  Pompei, 

bukan  Crassus,  karena  Pompei 

sendiri  mengirimkan  sebuah  surat 

kepada  Senat  mengatakan  bahwa 

sementara  Crassus  berhasil  meme￾nangkan  perang,  ia  sendiri  sudah 

”menggali  perang  sampai  ke  akar￾akarnya.”10

Tahun  berikutnya,  70  SM, 

baik  Crassus  maupun  Pompei  ter￾pilih  sebagai  konsul.    Plutarkhos 

mengatakan  bahwa  sepanjang  waktu  mereka  bertengkar  terus  dan  tidak 

menyelesaikan apa-apa, tetapi mereka disukai rakyat karena menyumbang￾kan gandum.11  Mereka semakin dipandang sebagai pahlawan rakyat jelata; 

dan  untuk  sementara  waktu,  sepertinya  para  pemilih  Roma  merasa  bahwa 

sepertinya kekuasaan aristokrat dan korupsi yang mewabah di Roma akhir￾nya sudah semakin berkurang.  Strategi-strategi Crassus untuk mencari uang 

dengan  cara  yang  curang  tertunda;  Kelemahan  Pompei  yang  paling  besar 

adalah  kecenderungannya  untuk  mengakui  keberhasilan  orang  lain  sebagai 

hasil kerjanya sendiri.. Dan seorang politisi muda lain, Cicero, sedang berkam￾panye melawan korupsi senatorial dengan penuh semangat.  Di tahun 70 SM, 

ia menuntut dan menghukum bangsawan Verres karena korupsi, dan orang 

itu tidak bisa menghindar.  

Jadi  ketika  perompakan  di  Laut  Tengah  menjadi  masalah  yang  besar, 

kelihatannya beralasan bagi para tribun yang mewakili rakyat untuk mengu￾sulkan agar Pompei diberikan tugas untuk memberantasnya.  Ia akan diberi 

kekuasaan sementara untuk memimpin angkatan perang yang sangat besar, 

yang meliputi tidak hanya kapal-kapal Roma di Laut Tengah tetapi juga ra￾tusan  ribu  lebih  pasukan  Romawi,  untuk  menangani  masalah  itu.12  Senat 

yang tidak menyukai kekuasaan yang begitu besar hanya diserahkan pada satu 

orang saja, berkeberatan; tetapi Dewan memilih untuk menyetujui penun￾jukkan Pompei.  

Keberhasilannya sangat drastis dan sangat besar dan membuatnya semakin 

bertambah populer.  Keluarganya dengan cepat naik menjadi salah satu dari 

keluarga yang terkuat di Roma; malah, Julius Caesar (yang sudah pulang ke 

Roma setelah kematian Sulla) meminang putrinya, Pompeia.  Pompei setuju 

dengan perkawinan itu, dan segera berangkat lagi untuk melakukan operasi 

mliter.    Setelah  kemenangannya  melawan  para  perompak,  ia  diberi  peng￾hargaan  untuk  memimpin  perang  yang  terus  berjalan  melawan  Pontus  di 

Timur.  

Di tahun 66, Pompei menghentikan perang ini dengan cepat dan kemudian 

menyapu bersih sepanjang pantai Laut Tengah dan menaklukkan kekuasaan 

Suriah atas kekaisaran Seleucid yang sedang memudar.  Di Yerusalem, ia pergi 

ke kuil untuk melihat sepintas, bahkan menjulurkan kepalanya ke dalam tem￾pat yang Tersuci di antara yang Suci.  Perbuatan itu mengagetkan para pendeta, 

tetapi ketika Pompei memberi mereka kekuasaan atas kota itu, mereka lang￾sung rukun kembali dan melupakan invasi yang dianggap tidak beradab ini. 

Di bawah peraturan baru ini, Yerusalem akan menjadi bagian dari Roma yaitu 

provinsi Palestina, dan tidak akan mempunyai raja dari keluarga Hasmone 

lagi.  Sebaliknya, Pompei menunjuk seorang pendeta bernama John Hyrcanus 

(terkenal  sebagai  Hyrcanus  II)  menjadi  ”Kepala  Pendeta  dan  Ethnarch,” 

yaitu gabungan antara jabatan religius dan sekuler.  Para pendeta akan men￾jalankan pemerintahan atas Palestina untuk Roma, dan akan melapor kepada 

gubernur  Romawi  yang  berwenang  atas  seluruh  Suriah,  jajahan  terbaru 

Roma.  

Dan kemudian Pompei pulang dengan penuh kemenangan. 

K  R, Caesar maupun Cicero sedang naik daun di atas cakrawala 

politik. Cicero telah terpilih sebagai konsul dan pada tahun 63, ini merupa￾kan kejutan di luar sebuah t