ia
pergi berperang bersama Scipio Aemilius. Di sini, Jugurtha diperlakukan
sebagai sahabat oleh para perwira Romawi, yang meyakinkannya (begitulah
yang ditulis Sallustius) bahwa ia dapat menyuap pemerintahan Roma untuk
mendudukkannya pada tahta pamannya: ”Di Roma, uang dapat membeli
segalanya.”
Ketika Micipsa wafat pada tahun 118, Jugurtha merebut tahta itu dengan
paksa; kaki tangannya membunuh salah satu sepupunya, dan yang lain,
Adherbal, melarikan diri dari negaranya. Untuk memastikan bahwa orang
Roma tidak akan ikut campur dalam siapa yang berhak sebagai pewaris,
Jugurtha ”mengirim para duta besar ke Roma dengan sejumlah emas dan
perak” untuk menyuap para senator. Siasat ini berhasil: ”Kebencian mereka
yang amat sangat pada Jugurta berubah menjadi kebaikan dan kemauan baik,”
komentar Sallustius.3
Adherbal muncul di Roma, meminta pertolongan atas nasibnya, dan
mendapat kabar bahwa dengan menyogok uang, Jugurtha telah dipastikan
menduduki tahta. Senat sudah memberikan dekrit bahwa kerajaan harus
dibagi da antara keduanya; begitu mereka kembali ke Numidia, Jugurta
mengobarkan perang melawan Adherbal, mengepungnya di dalam ibu
kotanya sendiri, menangkapnya, dan menyiksanya sampai mati.
Kemarahan publik mengakibatkan Senat tidak dapat tinggal diam. Pada
tahun 111, seorang konsul dikirim ke Numidia bersama satu pasukan untuk
menghukum Jugurtha. Tetapi seperti banyak pejabat Romawi lain, konsul
itu terbuka untuk korupsi: ”Jugurtha mengirimkan agen-agennya untuk
menggodanya dengan memberinya uang,” kata Sallustius, dan ia ”cepat
menyerah,” menjatuhkan denda pada Jugurtha sebagai tanda bukti dan kemudian pulang.4
Seorang pejabat lain dikirim untuk menyeret Jugurtha ke
Roma, untuk menghadapi pengadilan, tetapi sesampainya di Roma, Jugurtha
membayar seorang tribun untuk menghentikan pengadilan. Senat mengirimnya pulang. Ketika ia melewati gerbang kota, katanya ia menoleh ke belakang
dan berkata, ”Ada sebuah kota yang ditawarkan untuk dijual, dan kalau ada
pembelinya, riwayatnya akan tamat.”5
Maraknya suap-menyuap ini membuat marah publik Roma, yang
menyaksikan segala sesuatu yang mereka benci mengenai pemerintah mereka
yang penuh korupsi. Sampai tahun 109, barulah seorang pejabat Romawi
mempunyai reputasi yang baik karena kejujurannya dalam menangani
Jugurtha. Namanya adalah Gaius Marius, dan ia adalah ”orang baru”, yang
berarti bahwa ia berasal dari sebuah keluarga yang tidak mempunyai kekuatan
politik atau uang. Dengan suasana hati masyarakat Roma yang seperti itu,
keadaan menguntungkannya. Ia menghabiskan waktunya selama dua tahun
bertempur dengan terhormat di Afrika Utara; di tahun 107, ia terpilih sebagai
konsul.
Setelah pemilihan, ia menghabiskan tiga tahun lagi melakukan operasi
militer terhadap Jugurtha. Akhirnya, dengan bantuan Perwira seniornya,
Lucius Cornellius Sulla (Sulla yang sama yang pernah bertemu dengan
Mithridates II, yang membuka kontak antara Roma dan Partia, lima belas
tahun sebelumnya), Marius berhasil mengarahkan Jugurtha masuk ke dalam
jebakan dan menangkapnya.
Jugartha diarak kembali ke Roma, dirantai, sebuah simbol kemenangan
Romawi, tetapi juga simbol kemenangan dari kejujuran rakyat jelata terhadap
korupsi kaum aristokrat. Marius sendiri dieluk-elukan sebagai jawara Roma.
Ia kemudian dipilih menjadi seorang konsul lima kali berturut-turut.
Ini sebetulnya melanggar konstitutsi Roma, yang seharusnya mencegah
konsul-konsul itu untuk terus menjabat dari tahun ke tahun (dan mendapat makin banyak dan banyak lagi kekuasaan). Tetapi Marius telah menjadi
kesayangan rakyat, dan konstitusi tidak mencegah si kaya dan si kuasa melenyapkan jawara-jawara sebelumnya yang berasal dari rakyat jelata, kakak
beradik Gracchi; jadi mengapa konstitusi itu sekarang harus menjadi penghalang?
Marius sendiri, memberikan penghargaan kewarganegaraan kepada seribu sekutu Italia karena telah membantu mereka dalam perang, dan ditegur
karena menyalahi konstitusi: ”Maafkan aku,” jawabnya, ”tetapi kebisingan
pertempuran mencegahku mendengar undang-undang.”6
S , Marius—menyadari
bahwa ia tidak akan memenangkan yang ketujuh—ia mundur dan mempensiunkan diri. Roma tidak terlibat dalam perang yang sesungguhnya sejak
penaklukan Jugurtha, dan Marius (begitu kata Plutarkhos) ”tidak mempunyai
bakat untuk hidup damai atau hidup sebagai warga negara swasta.”7
Meskipun begitu, perang sesungguhnya tidak lama lagi akan terjadi.
Kota-kota Italia di semenanjung, semua yang tunduk di bawah Roma, telah
bertahun-tahun memohon untuk dijadikan warga negara Roma beserta
hak-hak pilihnya, suatu hak istimewa yang sangat pelit diberikan oleh
Senat . Perasaan umum yang dirasakan rakyat jelata Roma yang terinjakinjak telah menyebar keluar menyentuh rakyat Italia juga, dan permohonan
mereka yang terus menerus diajukan tidak banyak diperhatikan: ”Tiberius
Gracchus mendukung warga negaranya dengan sangat gigih,” komentar
Cicero kemudian, ”tetapi melupakan hak-hak dan perjanjian-perjanjian dari
para sekutu dan bangsa Latin.”8
Sekarang, para sekutu dan bangsa Latin
menginginkan suaranya dalam urusan Roma. Mereka ingin, menurut katakata pakar sejarah purba Justin, tidak sekadar menjadi warga negara, tetapi
menjadi mitra dalam kekuasaan Roma. *9
Ketika Senat menolak untuk membagi otoritasnya, mulailah terjadi
gelombang sentimen anti-Roma yang besar. Pada awalnya sentimen ini berbentuk penolakan terhadap adat istiadat Roma dan bahasa latin, bahasa Italia
kuno lebih disukai; pakar sejarah E.T. Salmon mengemukakan bahwa tulisan
di batu nisan di kota-kota Italia pada masa ini banyak yang memakai katakata kuno. 10 Tindakan ini diikuti dengan bergabungnya beberapa kota Italia
dalam persekutuan baru yang mereka sebut Italia. Di tahun 91, orang-orang
Italia yang marah membunuh seorang pejabat Romawi di kota Asculum, dan
perang yang sungguh-sungguh dimulai.
Perjuangan—Perang Sosial—adalah persilangan yang ganjil antara perang
saudara dan penaklukan kembali bangsa asing. Roma pelan-pelan melakukan
tawar-menawar dan memukul mundur kota-kota Italia ke dalam lipatannya
kembali. Konsul pada tahun 90 SM, seorang anggota golongan arstokratik
tetapi miskin, dari klan Julius Caesar, mengambil strategi yang digunakan Gao
Zu dengan sukses satu abad sebelumnya, dan menawarkan kewarganegeraan
kepada sekutu Italia mana pun yang menolak untuk bergabung dalam
pemberontakan. Tentara Roma bergerak melawan kota-kota yang tetap
bersikap bermusuhan. Marius tua, sekarang mendekati tujuh puluh, datang
cepat-cepat dari masa lengsernya untuk memimpin operasi militer terhadap
kota-kota Utara, tetapi ambisinya lebih kuat daripada tubuhnya; ia bergerak
pelan, keputusan-keputusannya ragu-ragu, dan akhirnya, kata Plutarkhos, ”ia
merasa bahwa ia terlalu terbelenggu oleh ketidaksehatannya untuk meneruskan
tugasnya dan ia pun lengser untuk kedua kalinya.11
Pembantu Marius yang dulu, Lucius Cornelius Sulla mendapatkan yang
lebih baik dari perang sosial ini. Ia memimpin operasi militer di Selatan;
Marius yunior yang berumur dua puluh tahun, dapat mengatasi kerasnya
kehidupan perkemahan militer, ia menang dan menang lagi. ”Sulla meraih
kemenangan yang luar biasa seperti itu,” kata Plutarkhos, ”sehingga ia dipandang sebagai pemimpin yang besar oleh teman-teman sewarganegaranya.”12
Pada tahun 88, Perang Sosial selesai. Sekali lagi Roma menjadi penguasa dari
semenanjung itu lagi, dan kota-kota Italia memenangkan hak kewarganegaraan
Roma yang penuh. Sulla ikut dalam pemilihan konsul dan dipilih dengan
senang hati, berkat reputasinya sebagai jenderal besar. Ia berharap penuh
akan dianugerahi jabatan militer yang menguntungkan pada tahun itu, yaitu
memimpin legiun Roma ke Asia Kecil melawan raja yang menyulitkan di
sana” Eupator Dionysius
dari Pontus, sebuah kerajaan di Barat Laut yang
mengancam akan menelan wilayah Asia Kecil lebih banyak lagi.
Kemenangannya dalam perang melawan Eupator Dionysius adalah jalan
menuju keagungan yang pasti, dan Sulla adalah pilihan yang nyata untuk
jabatan itu. Sebetulnya, ia sudah berada di daerah pedesaan dengan tiga puluh
lima ribu tentara, mempersiapkan mereka untuk operasi militer yang akan
datang. Tetapi Marius semakin cemburu pada asisten lamanya. Meskipun ia
sekarang sudah lanjut usia, sering sakit, dan gendut, ia malah meminta Senat
untuk memberikan penghargaan untuk melakukan operasi militer melawan
Eupator Dionysius itu kepadanya.
Banyak orang Romawi berpendapat ini tidak masuk akal. (”Mereka
menyarankan,” kata Plutarkhos, ”lebih baik Marius pergi ke daerah yang
terdapat mata air yang hangat dan mengistirahatkan diri, karena ia sudah
rapuh oleh usianya yang lanjut dan perubahan yang terjadi terus-menerus.”)13
Meskipun begitu Marius tidak pernah hidup melewati dasawarsa-dasawarsa
politik Roma tanpa mengambil kesempatan. Ia menyuap salah seorang
tribun untuk mendukung tuntutannya atas pangkat jenderalnya. Tribun
itu, seseorang yang bernama Sulpicius, mengumpulkan sepasukan orang
bersenjata, yang disebutnya ”Anti-Senat” dan berhasil, dengan menodongkan
pedang, membuat pangkat jenderal itu diberikan pada Marius. Ia juga
mengirim dua tribun untuk mengambil alih kepemimpinan pasukan Sulla
dan menyerahkannya kepada Marius.
Ketika para tribun itu tiba, pasukan itu melempari mereka dengan batu
sampai mati.
”Bertahun-tahun ada penyakit yang bercokol di bawah permukaan Roma,”
kata Plutarkhos, ”dan karena situasi sekarang ini, penyakit itu meletus.”14
Pecahlah perang saudara hebat. Di dalam kota Roma, Marius, Sulpicius, dan
tentara bajingannya yang bersenjata ”mulai membunuhi teman-teman Sulla.”
Para senator, yang mengkhawatirkan nyawa mereka, mengirimkan pesan
setengah hati kepada Sulla memintanya untuk menyerahkan pasukannya.
Sulla malahan mengumpulkan para legiun, dan meminta mereka berbaris ke
Roma. Ini adalah pelanggaran konstitusi Roma yang menakutkan; tidak ada konsul, yang diberikan kekuasaan militer, menjalankan wewenangnya di dalam
pomerium, ruang domestik yang dipisahkan dari dunia luar oleh tembok-tembok Roma. Dalam kota adalah semata-mata daerah kekuasaan Senat. Tetapi
sejauh menyangkut Sulla, Marius telah melanggar batasan ini dengan mempekerjakan orang-orang Sulpicius yang bersenjata . Ia sendiri harus melanggar
konstitusi supaya bisa melawan kembali.
Beberapa orang perwira Sulla sendiri menolak untuk menyerang pomerium.
Sulla, mengetahui betapa seriusnya pelanggaran yang akan dilakukannya,
bahkan tidak menegur mereka; ia hanya bergerak tanpa mereka. Sesampainya
di kota, Senat memintanya untuk berhenti di luar tembok, untuk memberi
mereka waktu untuk menyelesaikan seluruh masalah. Ia menolak, menerjang
masuk gerbang dengan suluh di tangannya dan berteriak pada orangorangnya untuk membakar rumah-rumah para musuhnya. ”Dalam keadaan
yang panas pada saat itu, ia membiarkan kemarahannya mengalahkan hati
nuraninya,” kata Plutarkhos, ”Ia hanya bisa melihat musuh-musuhnya, dan
ia … menggunakan api sebagai alatnya untuk kembali ke Roma—api, yang
tidak membedakan antara yang bersalah dan yang tidak bersalah.”15
Marius melarikan diri ke Afrika Utara. Sulpicius ditangkap sebagai tahanan,
dan Senat yang diminta untuk bersidang oleh Sulla (dan orang-orangnya yang
bersenjata), dengan patuh menghukum mati Sulpicius (dan juga menjatuhkan
hukuman mati in absensia kepada Marius). Sulla, yang berjalan di atas tali
yang tipis antara mengembalikan ketenteraman dan bertindak sebagai seorang
diktator militer, kemudian mundur sedikit dan memperbolehkan pemilihan
konsul yang bebas diadakan. Orang yang terpilih adalah, Lucius Cinna, yang
bukan teman Sulla. Tetapi ia bersumpah untuk setia pada rekan konsulnya,
dan mematuhi Senat.
Sulla yang belum memenangkan keagungannya di Asia Kecil, meninggalkan
kota di tangan Cinna dan Senat dan mengumpulkan kembali pasukannya
di luar tembok. Kemudian ia bergerak terus ke Timur, menuju Pontus dan
berperang.
K , di ujung dunia yang lain, juga sedang mengalami sakitnya masa pertumbuhan. Sementara Roma sedang berjuang melewati
Perang Sosial, Kaisar Wudi—sekarang sudah mendekati akhir dari lima puluh
tahun masa pemerintahannya - sedang menutup dasawarsa operasi militer terhadap bangsa-bangsa terdekat: bangsa Xiongnu, yang masih mencoba untuk
mendesak turun ke dalam wilayah Han, dan tanah-tanah di daerah Barat,
sepanjang rute perdagangan yang baru, Jalan Sutera.
Pada tahun 101 SM, jenderal Han, Li Kuang diserahi kepemimpinan
dalam operasi militer yang paling mahal dalam sejarah China: menaklukkan
tanah Ferghana di sebelah Barat Laut, atau T’ai-yuan.16 Li Kuang sudah bertempur untuk kaisar-kaisar Han selama lebih dari tiga puluh tahun; ekspedisi
militernya yang pertama adalah menginvasi Xiongnu, dulu pada masa pemerintahan Kaisar Wendi. Sima Qian menulis bahwa, pada operasi militer yang
kemudian, ia mendemonstrasikan kepandaiannya dengan melarikan diri dari
beberapa ribu pasukan berkuda Xiongnu yang mencegatnya beserta hanya seratus orangnya di sekitarnya. Ia memerintahkan tentara-tentara berkudanya untuk turun dari kuda-kuda mereka dan melepaskan pelananya: ”Mereka
mengharapkan kita melarikan diri,” katanya, ”dan kalau kita menunjukkan
bahwa kita tidak siap untuk lari, mereka akan mencurigai ada sesuatu yang
salah.” Orang-orangnya mematuhinya, dan kubu Xiongnu yang mencurigai adanya sebuah jebakan, tetap menjaga jarak. Gelap semakin merambat
di tempat mereka terjebak, dan Li Kuang memerintahkan mereka untuk
menggulung diri mereka dalam selimut dan berbaring di bawah kuda-kuda
mereka. Kubu Xiongnu, yang melihat ini ”menyimpulkan bahwa para pemimpin Han pasti sudah menyembunyikan tentara di daerah itu dan berencana
untuk menyerang mereka dalam gelap. ”Mereka semua mundur, seketika itu
Li Kuang dan orang-orangnya mengambil kesempatan itu melompat ke atas
kuda dan bergabung kembali dengan induk pasukan. Pemikiran strategi semacam ini masih kurang diketahui oleh pemimpinpemimpin Romawi, yang jauh lebih suka bergantung pada jumlah saja untuk
meremukkan musuh. Strategi itu menempatkan Li Kuang pada keadaan
yang bermanfaat selama empat tahun masa operasi militernya ke Ferghana. Ia sekarang sudah cukup tua, tetapi tidak seperti Marius, ia masih tetap kuat,
aktif, dan benar-benar mampu memimpin sebuah invasi yang sulit ke dalam
negara yang sulit medannya.
Bangsa Xiongnu melihat hal ini sebagai tantangan langsung atas otoritas
mereka, dan menginvasi Ferghana dari sebelah lain untuk menghentikan
pasukan Han. Desakan Li Kuang yang pertama ke Ferghana ini mendatangkan
malapetaka. Ia dan pasukannya bergerak ke atas ke Utara melewati daerah
yang terkenal sebagai Rawa-Rawa Garam, yang kedengarannya ramah seperti
bunyinya; sumber persediaan makanan dan air mereka satu-satunya berasal
dari kota-kota yang bertembok di sepanjang jalan, dan melihat pemandangan
pasukan Han di cakrawala, kebanyakan dari kota-kota ini menutup gerbang
mereka ketat-ketat dan menolak untuk keluar. Li Kuang mempunyai
pilihan untuk berhenti dan menyerang mereka, dan mungkin dengan begitu
menghabiskan persediaan lebih banyak daripada persediaan yang dapat
diperoleh oleh pasukan itu seandainya penyerangan berhasil, atau berjalan
terus saja. Sima Qian menceritakan bahwa ia mengambil jalan tengah: kalau
kota tidak menyerah dalam dua hari, pasukan akan meninggalkannya dan
melanjutkan perjalanannya. Pada saat Li Kuang mencapai target awalnya,
kota besar Yu-ch’eng, ”tentaranya hanya tinggal beberapa ribu saja, dan
semuanya ini menderita kelaparan dan kelelahan.”18
Tetapi ia tidak rela menghamburkan perjalanannya, dan tetap
memerintahkan orang-orangnya melawan Yu-Ch’eng. Mereka dipukul
mundur dalam waktu singkat, dan Li Kuang menyadari bahwa ia tidak punya
pilihan selain pulang ke rumah. Ia kembali dan menapaki kembali langkahlangkahnya pulang ke tepi negara Han. Seluruh perjalanan yang tidak berhasil
ini memakan waktu dua tahun, dan pada saat perjalanan berakhir, ia memiliki
kurang dari seperlima jumlah pasukannya yang tersisa.
Kaisar Wudi, yang menerima kabar bahwa pasukannya sedang dalam perjalanan pulang, marah besar dan mengirimkan utusan untuk berdiri di jalan
yang menuju Fergana sampai wilayah Han: Gerbang Jade. ”Siapa pun yang
melewati jalan ini akan dipenggal di tempat,” utusannya mengumumkan. Li
Kuang berhenti, tidak dapat pulang, tidak dapat kembali. Sepanjang musim
panas ia menunggu dalam keadaan terlantar bersama sisa-sisa pasukannya.
Wudi yakin bahwa reputasi kekaisarannya berbahaya, dan sekarang karena
jalan ke Barat sudah dibuka, ia tidak bisa kehilangan muka. ”Negara-negara
lain akan datang merendahkan Han,” tulis Sima Qian, ”dan China akan menjadi bahan tertawaan.” Karena itu ia mengosongkan harta kerajaan untuk
menyewa tentara dan membekali mereka, mengumpulkan semua petarung
jagoan dari sekutu-sekutunya dan membebaskan semua kriminal dari penjara
untuk bertempur di Ferghana. Li Kuang, yang menerima pasukan baru yang terdiri dari para narapidana
dan tentara bayaran, mungkin khususnya tidak terlalu bersyukur atas hal ini
.Namun, ia sudah mendapat pelajaran. Ia berangkat lagi ke Yu-ch’eng. Kali
ini, kota bertembok yang pertama yang menolak untuk memberikan bekal
pada tentara-tentara yang lewat diserang, ditaklukkan, dan diruntuhkan;
semua penduduknya dibunuh massal.19 ”Setelah itu,” komentar Sima Qian,
”kemajuannya tak terhalangi.”
Yu-ch’eng jatuh. Tidak lama kemudian, begitu juga Erh-shih, ibu kota
Ferghana yang dikuasai oleh seorang bangsawan. Xiongnu tidak dapat menghentikan serbuan orang Han. Empat tahun setelah operasi militer yang
pertama mulai, pihak Han akhirnya berhasil menguasai seluruh Ferghana.
Ini adalah suatu pencapaian yang besar; ini menunjukkan superioritas
Han atas Xiongnu, dan juga memberi kepada negara-negara bagian di Barat,
sepanjang Jalan Sutera, pengumuman bahwa sebaiknya mereka memberi jalan
pada pihak Han yang lewat” ”Semua negera bagian di Daerah Barat terkejut
dan takut,” terbaca dalam satu cerita.20 Kaisar Han telah melindungi nama
kekaisarannya yang agung—kekuasaannya untuk melakukan jual-beli dengan
pihak Barat.
Tetapi kebanggaan mahal harganya. Ketika Wudi wafat di tahun 87,
tahun yang sama sewaktu Sulla bergerak ke arah Asia Kecil memimpin para
legiunnya, Jalan Sutera tetap terbuka. Tetapi keuangan Han sudah kering,
angkatan perangnya lelah. Kedua kaisar Han yang selanjutnya, Zhaodi dan
Xuandi, tidak berbuat banyak untuk lebih memajukan kekaisarannya.
S aman di luar semenanjung Italia, rekan konsul Cinna
melemparkannya keluar kota dan menutup pintu-pintu gerbang. Cinna,
yang panas di luar tembok, mulai mengumpulkan pasukan untuk dirinya
sendiri, ia bermaksud untuk berjuang masuk kembali. Marius, yang berada
di Afrika Utara, mendengar kabar ini dan segera kembali, menemui Cinna di
luar kota.
Marius melakukan sedikit sandiwara, kata Plutarkhos, berpakaian
compang-camping dan tidak mau memotong rambutnya sepanjang masa
pelariannya dari Roma, dan tertatih-tatih menemui Cinna, bagaikan seorang
peminta-minta manula yang mengenaskan. Tidak diragukan lagi berita
tentang kerendahan hatian ini sampai ke Roma, di mana konsul-konsul lain
yang masih ada sudah semakin tidak disukai (tidaklah mudah untuk menjadi
orang baik dalam waktu yang lama di abad pertama Roma). Barangkali
suap-menyuap sudah berpindah tangan juga; bagaimana pun juga, Senat
mengirimkan pesan mengundang kedua-duanya, Cinna dan Marius, untuk
kembali ke Roma. Marius, biar pun compang-camping, telah menggunakan kekayaan
pribadinya untuk menyewa sejumlah besar tentara bayaran dari Afrika Utara.
Ia dan Cinna bergerak kembali ke Roma di barisan depan pasukan yang
menakutkan ini dan melewati gerbang.
Kelakuan Marius sesudah itu menunjukkan bahwa ia sudah tidak dapat
berpikir dengan jernih. Pengawal pribadinya membunuhi tanpa bertanyatanya siapa pun yang ditunjuknya, dan meskipun ini awalnya termasuk siapa
pun yang mungkin teman Sulla, pertumpahan darah cepat meluas. ”Jika
seseorang memberi salam pada Marius, tetapi tidak menerima balasan katakata atau salam,” kata Plutarkhos, ”ini saja bisa menjadi tanda darinya untuk
minta dibunuh di situ juga dan di jalan, sampai bahkan teman-temannya
bingung, cemas dan ngeri setiap kali mereka bertemu dengan Marius untuk
memberinya salam.”24 Bahkan Cinna sekalipun mulai memandangnya
dengan kuatir.
Sementara itu Sulla keagungan (atau rasa malu, tergantung apakah kita
seorang pakar sejarah Yunani atau Roma) tengah meliputi dirinya dengan
keberhasilannya menguasai kembali Asia Kecil dan kemudian mengalahkan
berbagai kota Yunani yang memberontak untuk dikembalikan ke dalam
keadaan semula. Ketika berita tentang kejadian di Roma sampai padanya di
Timur, ia pulang dengan pasukannya.
Sulla datang! Tulis Plutarkhos. Kedengarannya seperti suatu berita
kelahiran bagi rakyat Roma, dan berita itu bahkan semakin menggusarkan
Marius. Ia mulai minum tak terkontrol, mengalami radang selaput dada,
dan mengalami delusional, membayangkan bahwa ia sedang memimpin
legiun-legiun yang sedang akan menyerang Pontus dan kadang-kadang
meneriakkan perintah-perintah peperangan. Pada tanggal 17 Januari 86,
ia meninggal di rumahnya.
Sulla sebetulnya belum sedekat yang diperkirakan Marius. Ia belum
tiba di Italia sampai pada tahun 83 SM; sementara itu semakin banyak dan
banyak lagi orang Romawi yang menonjol melarikan diri dari ”premanisme tanpa hukum” dan pergi menemui Sulla, sampai ia ”dikelilingi oleh
apa pun yang maksud dan tujuannya adalah sebuah Senat.”22 Cinna mengumpulkan sebuah pasukan dan berangkat menemui Sulla sendiri, tetapi
orang-orangnya memberontak dan membunuhnya sebelum ia pergi terlalu
jauh.
Jelas pendapat orang Romawi sudah lebih dan lebih lagi berbalik pada
Sulla, karena Cinna dan Marius sudah menjadi semakin biadab; meskipun
begitu, Sulla tetap harus memperjuangkan jalannya ke Roma ketika akhirnya ia tiba di kota. Putra Marius, yang mengepalai para pendukung lama
ayahnya, melakukan pertahanan yang gigih. Tetapi Sulla dibantu oleh dua
orang perwira muda yang cakap
bernama Pompei dan Crascus, dan
di bawah pimpinan tiga serangkai
ini, pasukannya menyerbu masuk
kota.
Hampir segera setelah Sulla
berada di dalam kota Roma, ia
memerintahkan enam ribu orang
tahanan (semua orang yang
melawannya ketika ia mendekati
Roma) digiring masuk dalam arena
Sirkus. Ia sendiri pergi menemui
Senat. Di tengah-tengah pidatonya,
teriakan-teriakan mulai terdengar
dari arah arena Sirkus. Ia telah
memerintahkan enam ribu orang
yang tidak berdaya itu dibantai.
”Sulla terus berbicara dengan ekspresi
wajah yang tidak berubah dan tenang
seperti sebelumnya,” kata Plutarkhos,
”dan memberitahu mereka … untuk
tidak perlu memperhatikan apa yang
sedang terjadi di luar, itu hanya
beberapa kriminal yang dihukum
atas perintahnya. Sebagai akibatnya,
bahkan orang yang paling bodoh
pun memahami bahwa mereka cuma berganti dari satu tiran yang kejam ke
tiran kejam lainnya.
Itu benar. Luka yang diderita Republik dengan kematian Tiberius
Gracchus semakin melebar dan bernanah. Orang-orang yang cukup bengis
untuk melawan tirani malah menjadikan diri mereka tiran juga; dan Sulla,
begitu memimpin Roma (tahun 81 ia ditunjuk sebagai diktator, meskipun
pada kenyataannya tidak ada krisis tertentu di masa yang akan datang), mulai
melakukan pembersihan. ”Aku melarang setiap orang yang aku ingat,” katanya
dalam sebuah pidato umum, ”tetapi kalau aku melupakan seseorang aku akan
melarang mereka kemudian.” Teman-teman dan saudara Marius dan Cinna
mati, atau melarikan diri; menantu Cinna, seorang pemuda bernama Julius
Caesar, adalah salah satu orang yang beruntung yang dapat melarikan diri.
Pembunuhan pejabat segera merambat ke luar politik dan memasuki masalah
pribadi juga: ”Lebih banyak yang dibunuh karena harta milik mereka,” tulis
Plutarkhos, ”dan bahkan algojo-algojo cenderung mengatakan bahwa orang
ini dibunuh karena rumahnya yang besar, yang ini karena kebunnya, dan
yang itu karena mata airnya yang hangat.”24 Kedua tangan kanan Sulla juga
tidak lebih mengagumkan daripada Sulla. Pompei diberi tugas untuk mengejar sekutu-sekutu Marius yang sudah meninggalkan semenanjung Italia; ia
mengikuti jejak para pemberontak sampai jauh ke Sisilia dan Afrika Utara,
dan begitu berhasilnya ia membunuh mereka semua sehingga ia menuntut
diadakannya pawai kemenangan sekembalinya ke Roma.25 Sementara itu,
Crassus, sedang membantu membakari rumah-rumah di Roma yang ingin
diambilnya bersama Sulla. Ia juga mempunyai sekelompok petugas pemadam
kebakaran, dan seorang agen real estat yang digaji. Segera setelah rumah itu
terbakar, si agen akan muncul dan menawarkan untuk membeli rumah itu
dengan harga murah; pemilik rumah akan menyetujui, sehingga rumah itu
tidak hilang begitu saja; dan kemudian tiba-tiba para petugas pemadaman
akan berdatangan entah dari mana dan memadamkan api.26
Setelah mendapatkan segala sesuatu yang dapat dirampasnya dari Roma,
Sulla kemudian pensiun di tahun 80, dan pergi ke desa. Di sini ia sekaligus
kawin lagi dan mengambil kekasih pria, kurang lebih bersamaan waktunya.
Semua aktivitas ini dengan sendirinya mengakibatkan kesehatannya
menurun, barangkali ia menderita sirosis hati. ”Untuk beberapa saat yang
lama ia tidak memperhatikan kalau usus besarnya kena bisul sehingga lamalama menggergoti dagingnya dan keluar berupa kutu,” tulis Plutarkhos.
”Banyak orang dipekerjakan siang dan malam untuk membunuh kutu-kutu
itu, tetapi pekerjaan itu menjadi berlipat ganda sampai tidak dapat dikerjakan
lagi, hingga tidak hanya pakaiannya, pemandiannya, baskom, tetapi juga
dagingnya terpolusi oleh kutu dan bibit penyakit, mereka mengerumuninya
dalam jumlah yang besar.” Dalam keadaan yang menjijikkan ini ia melewatkan
tahun-tahun terakhirnya; seperti Republik, yang sakit secara fatal, tetapi tetap
bertahan hidup dan berpura-pura sehat.
G A R I S WA K T U 7 7
CHINA ROMA
Dinasti Han (202) Perang Zama (202)
Gao Zu Perang Makedonia Kedua
Hui-ti (195)
Kao-hou (188) Cumae mengganti bahasanya dengan Latin
Wendi (179)
Perang Makedonia Ketiga (171)
Perang Punik Ketiga (149)
Wudi (140) Kehancuran Karthago (146)
Perjalanan Zhang Qian ke Barat Perang Budak Pertama (135)
Kematian Tiberius Gracchus
Kematian Gaius Gracchus
Perang Jugurthine (112)
Gaius Marius, konsul
Perang Sosial (91)
Zhaodi (87) Lucius Sulla, konsul
Lucius Cinna, konsul
Xuandi (73)
P tahun 78, sull wafat di kediamannya di desa. Ia sudah menikah
lima kali dan menjadi bapak dari dua puluh tiga anak; yang terakhir Postumus
Cornelius Sulla, lahir setelah kematiannya.
Kejutan-kejutan sesudahnya karena persaingan antara Sulla dan Marius
terus bergemuruh. Tangan kanan Sulla yaitu Pompei memimpin sebuah
pasukan ke semenanjung Iberia untuk melawan sekutu-sekutu Marius.
Pasukan lain pergi ke arah Timur dalam sebuah percobaan untuk menyudahi
perang melawan raja Pontus, yang tidak diselesaikan oleh Sulla sendiri ketika
ia pulang ke Roma. Di antara kedua perang ini ada juga perang antara orang
Romawi melawan para bajak laut di Laut Tengah, kebanyakan bala tentara
Romawi berada jauh dari semenanjung Italia.
Tidak adanya orang-orang yang bersenjata ini mengarahkan kelompok
lain yang terdiri dari para budak untuk mengadakan pemberontakan. Tetapi,
budak-budak ini adalah petarung-petarung yang ahli, yang dilatih untuk memegang peranan dalam permainan-permainan yang dipertontonkan di Roma:
gladiator.
Pertarungan yang dilakukan oleh para budak untuk menghibur penonton
ini berlangsung terus sejak masa orang Etruski dan dengan adanya festivalfestival publik Roma menyebabkan pertarungan gladiator semakin meningkat
sejak abad ke tiga SM.
Perang-perang Roma dengan negara asing telah membawa masuk semakin banyak budak yang sesuai untuk permainan-permainan
ini ke Roma dan kota-kota sekitarnya: tentara tangkapan dari Gallia, semenanjung Iberia, Thracia, Suriah, dan Yunani.1
Seorang gladiator yang sukses bisa mempunyai daya tarik untuk dipuja sebagai pahlawan (”Para pria memberikan jiwa mereka kepada para petarung itu, para wanita tubuh mereka,”
tulis Tertullianus, seorang pakar teologi Roma, tak lama kemudian), tetapi ia
tetap merupakan anggota masyarakat Roma yang terhina. ”Orang Romawi
memuja-muja kemudian menjatuhkan dan setelah itu memusnahkan mereka,” Tertullianus menyimpulkan, ”tentu saja, mereka dengan terang-terangan
mempermalukan para budak sampai taraf menghapuskan hak-hak asasi
manusia … Mereka menghina orang yang mereka puja; seninya mereka
muliakan, senimannya mereka rendahkan,:2
Salah satu sekolah pelatihan para gladiator yang terkenal terdapat di kota
Capua, sebelah Selatan kota Roma, di mana seorang pemilik gladiator memiliki satu koleksi lengkap budak-budak. ”Kebanyakan dari mereka berasal
dari bangsa Gallia dan Thracia,” tulis Plutarkhos. ”Mereka tidak melakukan kesalahan, tetapi, hanya karena kebengisan pemiliknya, mereka disimpan
di tempat tahanan yang tertutup sampai datang giliran mereka untuk bertarung.”3
Di tahun 73, tujuh puluh delapan orang dari para gladiator ini
berhasil mendobrak keluar dari tempat tahanan mereka. Mereka menyerbu
tempat penjagalan di dekat tempat itu untuk mencari pisau dan tusukan daging dan pergi menuju ke luar kota. Ketika pasukan datang mengejar mereka
dari Capua, para gladiator itu menghabisi mereka dan merampas senjata-
senjatanya.
Ini adalah awal perkelahian yang akan berlangsung lebih dari dua tahun,
dan karenanya disebut Perang Gladiator.
Para gladiator memilih di antara
mereka seorang pemimpin bernama Spartacus; Kata Plutarkhos ia adalah
seorang Thracia ”dari suku-suku nomad,” tetapi yang ”paling pandai dan
berkebudayaan, karena cenderung lebih Yunani daripada Thracia.” (Ini
semacam pujian.) Ternyata ia adalah seorang ahli strategi yang hebat. Tiga
ribu tentara Romawi dikirim keluar melawan para gladiator, dan menggiring
mereka ke atas gunung di mana hanya ada dua jalan untuk melarikan diri:
melewati jalan kecil yang dijaga oleh serdadu Romawi, dan menuruni tebing
yang terjal di balik gunung. Tetapi tanahnya diliputi oleh tanaman anggur
liar. Di bawah arahan Spartacus, para gladiator yang terjebak memotong
pohon-pohon anggur liar ini dan dibuatlah tangga, yang mereka jatuhkan ke
dasar tebing dan kemudian berebut untuk turun. Kemudian mereka mengitari gunung sampai ke tempat perkemahan para serdadu Romawi yang sama
sekali tidak siap, dan membinasakan seluruhnya.4
Setelah itu, mereka melakukan beberapa pembunuhan terhadap pasukan-pasukan Romawi yang dikirimkan untuk melawan mereka, dan semakin
menyadari kekuatan mereka yang makin besar. Menurut Appianus, pasukan
Spartacus berkembang menjadi tujuh puluh ribu orang dan orang Romawi
sama sekali harus mengubah pandangan mereka tentang pertandingan ini:
”Dengan awal yang menggelikan dan hina,” kata Appianus, perang ini menjadi perang yang ”berat bagi Roma.”5
Spartacus, yang tampaknya cuma ingin pulang, mencoba untuk
meyakinkan mereka untuk memalingkan punggung mereka dari Roma dan
pulang melalui pegunungan Alpen, dari situ mereka dapat menyebar ke tanah
air masing-masing, Thracia dan Gallia. Tetapi mereka tidak mau mendengarkan: Mereka lebih kuat dalam jumlah,” kata Plutarkhos, ”dan penuh percaya
diri dan mereka pindah ke Italia dan memporak-porandakan apa pun yang
mereka lewati.6
Hal ini menggelisahkan Senat sedemikian rupa sampai-sampai kedua konsul dikirimkan keluar untuk melawan bala tentara gladiator. Ketika keduanya
gagal, Senat menunjuk letnan yunior Sulla, yaitu Crassus untuk ditugaskan
menumpas pemberontakan itu. Penggerebekannya yang pertama melawan Spartacus berakhir dengan kemunduran tentara Romawi dengan hina.
Dengan kebengisan yang menjadi ciri-ciri sekutu-sekutu Sulla, Crassus menarik lima ratus perajurit rendahan yang berada di garis terdepan pada waktu
melarikan diri dan menghukum mati lima puluh di antaranya dengan cara
diundi, sementara yang lain menonton: suatu hukuman yang kejam yang
dikenal sebagai ”pemangkasan”.
Akibat dari kejadian ini, seperti yang memang diharapkan, adalah
memperkuat mereka dalam pertemuan selanjutnya. Spartacus dipukul
mundur ke arah pantai, di mana ia menyusun rencana dengan armada para pe-
rompak untuk menyeberangkan pasukannya ke Sisilia. Tetapi, para perompak
mengambil uangnya lalu pergi berlayar, meninggalkannya berdiri di pantai
Rhegium, tempat paling ujung bot Italia (Peta Italia berbentuk sepatu boot).
Ini berarti pasukannya berada di sebuah semenanjung kecil, dan Crassus
memerintahkan orang-orangnya untuk membangun sebuah tembok menyeberangi leher semenanjung itu, dengan parit sedalam empat setengah meter
di depannya. Spartacus terjebak, tetapi tidak lama; ketika badai salju turun
di atas kedua bala tentara itu, ia mengisi parit itu dengan tanah, balok-balok,
dan batang-batang pohon, dan membawa hampir semua bala tentaranya keluar dari situ dan lari.
Pada saat itu orang Romawi di pusat memutuskan bahwa Crassus
memerlukan bantuan: Appianus mengatakan bahwa Senat ”memerintahkan
bala tentara Pompei, yang baru tiba dari Spanyol, sebagai pasukan pen-
dukung.”7
Crassus mencoba menggandakan usahanya, dengan putus asa ia
berharap bisa mengakhiri perang sebelum rekannya (dan saingannya) Pompei
datang dan mencuri sebagian dari kemenangannya. ”Beberapa orang sudah
menyatakan dengan keras bahwa kemenangan perang ini milik Pompei,”
tulis Plutarkhos; ”Ia hanya tinggal datang dan bertempur, kata mereka, dan
perang akan usai.”8
Crassus sedang mempersiapkan pembunuhan terakhir
ketika orang-orang Spartacus, yang telah hancur oleh keberhasilan mereka
sendiri (mereka begitu percaya diri sehingga tidak mempedulikan perintah
jenderalnya), membuat serangan ke garis depan serdadu Romawi yang tidak
tepat waktunya dan dengan pertimbangan yang buruk. Pasukan Romawi
akhirnya bisa menyerang balik. Sebagian besar dari gladiator itu melarikan
diri; Spartacus sendiri, yang langsung menghadapi Crassus, ditinggalkan oleh
rekan- rekannya dan terbunuh.
Sial bagi Crassus, Pompei baru
tiba pada saat itu. Ia menangkap
dan membunuhi para budak yang
melarikan diri ketika mereka melewatinya. Enam ribu orang ditangkap
hidup-hidup, mereka disalibkan
sepanjang jalan dari Capua sampai
Roma; salib-salib berjajar hampir
di sepanjang panjang Jalan Appia.9
Kebanyakan orang memandang ini
sebagai monumen untuk Pompei,
bukan Crassus, karena Pompei
sendiri mengirimkan sebuah surat
kepada Senat mengatakan bahwa
sementara Crassus berhasil memenangkan perang, ia sendiri sudah
”menggali perang sampai ke akarakarnya.”10
Tahun berikutnya, 70 SM,
baik Crassus maupun Pompei terpilih sebagai konsul. Plutarkhos
mengatakan bahwa sepanjang waktu mereka bertengkar terus dan tidak
menyelesaikan apa-apa, tetapi mereka disukai rakyat karena menyumbangkan gandum.11 Mereka semakin dipandang sebagai pahlawan rakyat jelata;
dan untuk sementara waktu, sepertinya para pemilih Roma merasa bahwa
sepertinya kekuasaan aristokrat dan korupsi yang mewabah di Roma akhirnya sudah semakin berkurang. Strategi-strategi Crassus untuk mencari uang
dengan cara yang curang tertunda; Kelemahan Pompei yang paling besar
adalah kecenderungannya untuk mengakui keberhasilan orang lain sebagai
hasil kerjanya sendiri.. Dan seorang politisi muda lain, Cicero, sedang berkampanye melawan korupsi senatorial dengan penuh semangat. Di tahun 70 SM,
ia menuntut dan menghukum bangsawan Verres karena korupsi, dan orang
itu tidak bisa menghindar.
Jadi ketika perompakan di Laut Tengah menjadi masalah yang besar,
kelihatannya beralasan bagi para tribun yang mewakili rakyat untuk mengusulkan agar Pompei diberikan tugas untuk memberantasnya. Ia akan diberi
kekuasaan sementara untuk memimpin angkatan perang yang sangat besar,
yang meliputi tidak hanya kapal-kapal Roma di Laut Tengah tetapi juga ratusan ribu lebih pasukan Romawi, untuk menangani masalah itu.12 Senat
yang tidak menyukai kekuasaan yang begitu besar hanya diserahkan pada satu
orang saja, berkeberatan; tetapi Dewan memilih untuk menyetujui penunjukkan Pompei.
Keberhasilannya sangat drastis dan sangat besar dan membuatnya semakin
bertambah populer. Keluarganya dengan cepat naik menjadi salah satu dari
keluarga yang terkuat di Roma; malah, Julius Caesar (yang sudah pulang ke
Roma setelah kematian Sulla) meminang putrinya, Pompeia. Pompei setuju
dengan perkawinan itu, dan segera berangkat lagi untuk melakukan operasi
mliter. Setelah kemenangannya melawan para perompak, ia diberi penghargaan untuk memimpin perang yang terus berjalan melawan Pontus di
Timur.
Di tahun 66, Pompei menghentikan perang ini dengan cepat dan kemudian
menyapu bersih sepanjang pantai Laut Tengah dan menaklukkan kekuasaan
Suriah atas kekaisaran Seleucid yang sedang memudar. Di Yerusalem, ia pergi
ke kuil untuk melihat sepintas, bahkan menjulurkan kepalanya ke dalam tempat yang Tersuci di antara yang Suci. Perbuatan itu mengagetkan para pendeta,
tetapi ketika Pompei memberi mereka kekuasaan atas kota itu, mereka langsung rukun kembali dan melupakan invasi yang dianggap tidak beradab ini.
Di bawah peraturan baru ini, Yerusalem akan menjadi bagian dari Roma yaitu
provinsi Palestina, dan tidak akan mempunyai raja dari keluarga Hasmone
lagi. Sebaliknya, Pompei menunjuk seorang pendeta bernama John Hyrcanus
(terkenal sebagai Hyrcanus II) menjadi ”Kepala Pendeta dan Ethnarch,”
yaitu gabungan antara jabatan religius dan sekuler. Para pendeta akan menjalankan pemerintahan atas Palestina untuk Roma, dan akan melapor kepada
gubernur Romawi yang berwenang atas seluruh Suriah, jajahan terbaru
Roma.
Dan kemudian Pompei pulang dengan penuh kemenangan.
K R, Caesar maupun Cicero sedang naik daun di atas cakrawala
politik. Cicero telah terpilih sebagai konsul dan pada tahun 63, ini merupakan kejutan di luar sebuah t