Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 33

 


ganggu 

rakyat, dan membiarkan mereka menjalankan kehidupannya masing-masing, 

dan  sebagai  akibat  dari  kebijaksanaan  untuk  tidak  ikut  campur  ini,  China 

menjadi sejahtera.  Orang-orang yang sejahtera tidak mempunyai keinginan 

untuk  berevolusi;    begitu  keluarga  Kao-hou  yang  tidak  disukai  itu  sudah 

dikikis habis, seorang putra Gao Zu almarhum dari selir dinyatakan sebagai 

kaisar.  

Pemuda  ini,  Wendi,

  mewarisi  sebuah  kekaisaran  yang  masih  belum 

mempunyai tanda-tanda kekaisaran; tidak ada sesuatu pun yang bisa mem￾persatukan  negara  ini  selain  daripada  kenangan  akan  penguasa-penguasa

terdahulu yang tidak populer dan bersifat menekan untuk memaksa orang 

berpihak  kepadanya,  sebagai  raja  anti-Ch’in.    Kekuasaan  Wendi  berlang￾sung selama lebih dari dua puluh tahun, sampai kematiannya yang alami (ia 

memerintah dari tahun 179 sampai 156), menunjukkan bahwa ia memiliki 

banyak taktik; seperti ayahnya, ia memanfaatkan ikatan yang negatif ini dan 

sedapat mungkin tidak mencampuri urusan setempat.  

Seperti ayahnya, ia juga menghadapi kemungkinan invasi.  Bangsa nomad 

dari  bahkan  lebih  jauh  dari  Utara—yang  bukan  bagian  dari  konfederasi 

Xiongnu, dan disebut oleh orang China Yuezhi  telah mulai bergerak turun 

menuju wilayah Xiongnu.  Mereka, seperti suku Celtic, terdorong oleh suatu 

persimpangan yang rumit yaitu kelaparan, kelebihan penduduk, dan ambisi 

dan tujuan mereka adalah datang ke Selatan untuk menguasai China itu sen￾diri.  

Tetapi Xiongnu mengusir mereka, membelokkan mereka ke arah Barat: 

Xiongnu telah mengalahkan raja Yuezhi,” cerita Sima Qian, ”dan telah mem￾buat  tengkoraknya  menjadi  botol  minuman”12  (yang  berarti,  kalau  tidak 

identitas,  mempunyai  adat  istiadat  yang  sama  menariknya  dengan  bangsa 

nomad Schythia, yang tinggal sedikit jauh ke Barat.)   Pergerakan ke Barat 

ini mempunyai efek domino;  sekitar tahun 160 SM, mereka menyerbu dan 

kemudian memasuki Baktria, menyerangnya dan menduduki sepanjang dae-

rah Utaranya, sampai ke sungai Oxus.  Itu merupakan salah satu dari kontak 

pertama yang berlangsung lama antara bangsa-bangsa dari Timur jauh dengan 

bangsa-bangsa  yang  lebih  dekat  ke  Laut Tengah.    Untuk  Dinasti  Han,  itu 

juga sama dengan terhindar dari satu bahaya.  Xiongnu telah  mengerahkan 

tenaganya sendiri melawan bangsa barbar, dan Wendi terhindar dari keharu￾sannya merekrut angkatan perang dalam jumlah yang besar untuk melawan 

kembali Ketika ia wafat sekitar tahun 157, ia berhasil menurunkan mahkotanya, 

tanpa terjadi apa-apa,  kepada putranya yang pada gilirannya menurunkan￾nya lagi pada putranya:  Kaisar Wudi, yang mulai berkuasa sekitar tahun 140. 

Wudi, yang menurut hitungan adalah kaisar yang keenam atau ketujuh dari 

Dinasti Han (tergantung pada berapa banyak anak-anak balita yang termasuk), 

mengawali pemerintahannya yang berlangsung selama lima puluh tiga tahun 

dengan mengadakan operasi militer ke atas untuk sedikit mendorong mundur 

Xiongnu yang melanggar batas.  Ini adalah akhir dari tradisi pembungkaman 

yang diawali oleh Gao Zu.  Tahta Han sekarang cukup kuat untuk  bisa tetap 

bertahan dalam perang.  

Mendorong mundur Xiongnu adalah prioritas Wudi yang paling akhir.  Ia  meninggalkan  puluhan  tahun  masa  kekuasaan  Han  yang  relatif  damai, 

dan  penjajahan  Ch’in  sudah  menjadi  masa  lampau  yang  cukup  jauh  se￾hingga  akhirnya  kaisar  dapat  menurunkan  tangannya  ke  dalam  kotoran 

negaranya cukup lama sehingga bisa membentuknya menjadi sesuatu yang 

lebih mirip sebuah kekaisaran.  Ia memperkenalkan perpajakan; ia mengam￾bil alih perdagangan besi, garam, dan alkohol sebagai monopoli pemerintah; 

ia memangkas pejabat-pejabat setempat yang telah mengambil keuntungan 

dari  kebijaksanaan  tidak  campur  tangan  Han  untuk  memperkaya  dirinya 

sendiri.13  Ia  mulai  membangun  kembali  birokrasi,  memperkenalkan  untuk 

pertama kalinya pentingnya para pejabat untuk mengikuti dan lulus dalam 

ujian kualifikasi.14

Tidak lama setelah naik tahta—mungkin tepatnya sekitar tahun 139 SM—

ia juga mengirimkan duta besarnya bernama Zhang  Qian untuk mencari tahu 

apa yang terdapat dibalik perbatasan Barat.  Kita tidak tahu tepatnya apa yang 

mendorongnya  untuk  berbuat  ini,  tetapi  pastilah  sedikit  aliran  perniagaan 

dan eksplorasi dari Barat telah masuk dari jauh sampai ke perbatasan Han. 

Sima Qian mencatat rasa ingin tahu kedua belah pihak yang disebabkan oleh 

hal ini:  ”Semua bangsa barbar jauh-jauh dari Barat menjulurkan leher mereka 

ke Timur dan ingin sekilas memandang China,” tulisnya.15

  

Perjalanan  Zhang  Qian  pada  awalnya  tidak  berjalan  baik;  ia  ditangkap 

oleh  Xiongnu  dan  dibawa  menghadap  chanyu.    Alih-alih  membunuhnya, 

mereka tetap menahannya dan memberinya seorang istri; dan setelah ia hidup 

di sana selama sepuluh tahun, ia ”sedikt kurang diawasi dibandingkan pada 

saat-saat  pertamanya”  dan  berhasil  melarikan  diri.    Setelah  itu  ia  melaku￾kan perjalanan melalui Barat, mengunjungi Baktria dan Partia, dan melihat 

langsung pergerakan bangsa nomad Yuezhi di sepanjang daerah Utara dunia. 

Ketika ia kembali pada tahun 126, ia disambut dengan sangat gembira, dan ia 

berhasil melaporkan tentang kedua kerajaan.  

Baktria,  ceritanya  pada  kaisar,  adalah  sebuah  negara  dengan  petani￾petani  yang  sudah  mantap,  tetapi  tidak  mempunyai  raja;  ”hanya  sejumlah 

pemimpin  kecil  menguasai  berbagai  kota.”16    Sebetulnya,  koin-koin  yang 

masih ada menunjukkan bahwa raja Baktria yang terakhir yang keturunan 

Yunani  adalah  seorang  pria  bernama  Heliocles,  yang  pemerintahannya 

pastinya  berakhir  sekitar  tahun  130  SM,  oleh  invasi Yuezhi.    Zhang  Qian 

tiba di Baktria bertepatan saatnya ketika bangsa nomad melakukan invasi dan 

menyerbu negara itu.  

Yang  paling  mungkin  terjadi  adalah  kasta  yang  tadinya  berkuasa  sudah 

pergi ke Selatan ke India, pada saat kedatangan bangsa nomad:  Zhang Qian 

juga melaporkan bahwa orang Baktria memberitahunya tentang sebuah negara 

yang mereka sebut Shen-tu, yang terletak ”beberapa ribu li ke arah tenggara,” di  mana  orang-orang  ”mengolah  tanah.”    Daerah  itu  dikatakan  panas  dan 

lembab,”  katanya  menyudahi  identifikasi  dengan  ”penduduknya  menung￾gangi gajah ketika mereka berperang, dan kerajaannya terletak pada sebuah 

sungai besar.”  Pelarian orang Yunani Baktria menyeberangi gunung-gunung 

masuk ke India telah memecah kerajaan Baktria menjadi dua:  Baktria Yunani 

yang asli, yang sekarang diserang oleh Yuezhi , dan sebuah kerajaan ”Yunani￾Indo” lebih jauh di Selatan.  

Dalam  hitungan  dasawarsa,  bangsa  ”Yunani-Indo”  ini  menjadi  lebih 

India daripada Yunani.  Raja mereka yang paling terkenal adalah Menander I 

yang naik tahta sekitar 150 SM.  Koin-koinnya menampilkan ia dalam baju 

perang Yunani dan bertulisan dalam bahasa Yunani, tetapi ia dikenang sebagai 

seorang Budha dalam teks suci bernama Milinda Panha, tentang peralihannya 

memeluk ajaran Budha.  ”Tidak ada yang sama seperti Milinda di seluruh 

India,” teks itu diawali, ”kuat dalam kekayaan dan kesejahteraan, dan jumlah 

rombongan  bersenjatanya  tiada  akhir.”    Meskipun  begitu,  ia  mempunyai 

pertanyaan-pertanyaan  yang  tiada  akhir  tentang  alam  dan  kekuasaannya 

dan  dunia  yang  diperjuangkannya  untuk  mendapatkan  dominasi.    Suatu 

hari,  setelah  memeriksa  ”rombongannya  yang  tak  terhitung”  terdiri  dari 

”gajah-gajah, pasukan berkuda, pasukan panah, dan perajurit yang berjalan 

kaki,” ia minta untuk berbicara dengan seorang sarjana yang mungkin bisa 

menolongnya  memecahkan  kesulitan-kesulitannya,  dan  dalam  percakapan 

yang selanjutnya ia diperkenalkan dengan dasar-dasar ajaran Budha.17

Menurut  Milanda Panha,  ini  akhirnya  mengakibatkan  raja  melepaskan 

tahta, setelah ia menjadi seorang peziarah:  ”Setelah itu, karena terpesona akan 

kebijaksanaan-kebijaksanaan para Tetua ajaran itu,” teks itu menyimpulkan, 

”ia  menyerahkan  kerajaan  kepada  putranya,  dan  meninggalkan  kehidupan 

rumah tangga menjadi keadaan tanpa rumah, dan semakin hebat dalam mem￾baca situasi.”  Ini mungkin terjadi, tetapi tidak dapat dipercaya;  Menander 

dikenang tidak hanya karena berganti agama tetapi juga karena menyebabkan 

perluasan perbatasan Yunani-Indo sampai jauh ke Pataliputra, suatu operasi 

militer yang pasti melibatkan pertempuran tahun demi tahun.  Sebuah kitab 

suci Budha yang lebih maju, Gargi-Samhita membenarkan ini:  menurut tu￾lisan ini orang Yunani ”Yavanas” mencapai ”kubu pertahanan Pataliputra yang 

berlumpur dan lebat, semua provinsi … dalam keadaan kacau.” 

Benar atau tidaknya, Menander kemudian pensiun dari urusan perang, penak￾lukannya mendorong mundur sebuah kerajaan Hindu dan memperluas sebuah 

kerajaan Budha, yang menyimpan keagungannya dalam teks Budha.  Ketika ia 

wafat  di tahun 130 tubuhnya dimasukkan ke dalam monumen suci yang terkenal 

sebagai stupa: ”tumpukan suci” begitu Milanda Panha menyebutnya, ”di bawah 

kubah yang kokoh, tulang-tulang para tokoh yang hebat wafat terbaring.”

Laporan Zhang Qian juga meluas sampai ke Barat, masuk ke Partia di 

mana  raja  masih  bertahta.    Antiokhus    Epifanes  terpaksa  harus  melawan 

serangan-serangan  Partia  dan  ketiga  raja  Seleukia  yang  mengejarnya  juga 

harus menghadapi invasi-invasi yang bermusuhan.  Sebetulnya bangsa Partia 

tidak begitu berbeda dalam asal-usul dengan bangsa Xiongnu;  mereka adalah 

bangsa nomad yang berkuda, keras dan, baik dalam pertempuran dan mereka 

sudah mulai mendesak lebih jauh dan lebih jauh lagi ke perbatasan Seleukia, 

mendesak  lebih  dekat  ke  Suriah.    Pada  pemerintahan  raja  ketiga  setelah 

Antiokhus  Epifanes—Demeterius II, disebut juga Nikanor—mereka pergi 

menyeberang ke tengah-tengah daerah Assiria pusat antara Tigris dan Efrat. 

Daerah ini cukup kuat di bawah pengawasan bangsa Partia sehingga mereka 

membangun tembok-tembok pertahanan.  Tembok Partia ini dibangun dari 

batu-batu besar yang mereka temukan berserakan dan sudah pernah dipakai; 

monumen-monumen di Ashurnasirpal dipecah-pecahkan dan dijadikan pen￾jaga daerah wilayahnya yang lama untuk melindungi dari perebutan kembali 

tempat itu oleh bangsa Seleukia. 


Di tahun 139, raja Partia, Mithridates I, benar-benar menangkap Demetrius 

Nikanor dalam peperangan, dan menyeretnya kembali ke Partia.  Demetrius 

Nikanor diperlakukan baik, ditahan dalam tahanan yang nyaman, tetapi ia 

menghabiskan waktu sepuluh tahun sebagai tahanan, yang sangat memalu￾kan bagi seorang raja yang pernah menjadi raja Seleukia yang besar.  Josephus 

mengatakan  bahwa  ia  meninggal  dalam  tahanan:    ”Demetrius  dikirim  ke 

Mithridates,”  tulisnya,  ”dan  raja  Partia  memperlakukan  Demetrius  dengan 

hormat, sampai Demetrius mengakhiri hidupnya karena sakit.”19 Cerita-cerita 

lain mengatakan bahwa ia melarikan diri dan kemudian meninggal, sebelum￾nya  diteruskan  oleh  seorang  putra  (yang  dibunuh  setelah  kurang  dari  satu 

tahun) dan kemudian yang lain lagi.  

Sementara  itu  bangsa  Partia  melakukan  operasi  militer  lebih  dekat  dan 

semakin dekat lagi ke Babilon, dan membangun perkemahan di Cteisphon, 

yang  dapat  mereka  gunakan  untuk  menekan  lebih  dalam  lagi  ke  daerah 

Seleukia.    Kekuatan  Partia  yang  tumbuh  ini  direfleksikan  dalam  laporan 

Zhang Qian pada rajanya.  Bangsa Partia, katanya, sangat mengesankan, dan 

menurut penglihatannya, peradabaannya tingggi dan teratur:  ”Mereka mem￾punyai kota-kota yang bertembok,” ceritanya, ”beberapa ratus kota dengan 

ukuran-ukuran yang berbeda-beda.”  Petani Partia menanam padi, gandum, 

dan anggur untuk minuman; para pedagangnya melakukan perjalanan niaga 

menuju  negara-negara  yang  jauh.    Dan  pada  saat  ini,  kekaisaran  mereka 

meluas dari dataran yang disebut Zhang Qian T’iao-chih, di mana keadaan￾nya ”panas dan lembab,” di mana terdapat burung-burung yang indah yang 

bertelur sebesar panci,” di mana ”orang-orangnya banyak dan diperintah oleh 

pemimpin-pemimpin kecil,” tetapi di mana semua pemimpin memperhatikan 

raja Partia, yang memberi mereka perintah ”dan menganggap mereka sebagai 

pengikutnya.”20  Yang  dimaksud  dengan  penggambaran  itu  adalah  lembah 

Mesopotamia.    Bangsa  Seleukia  sudah  dicabut  dari  wilayah  antara  sungai￾sungai itu; mereka bukan lagi sebuah kekaisaran yang mengkhawatirkan bagi 

bangsa Romawi.  

Tempat itu telah dikuasai oleh bangsa Partia sendiri.  Pemerintahan Wudi 

yang berlangsung lama dan termahsyur bersamaan waktunya dengan pemerin￾tahan raja Partia yang terbesar dari raja-raja yang lain:  Mithridates II, Agung. 

Ia naik tahta Partia pada tahun 123, dan tidak lama kemudian menciutkan 

hati  penguasa  Romawi  di  Asia  Kecil;  seseorang  bernama  Lucius  Cornelius 

Sulla,  yang  dicatat  biografinya  oleh  Plutarkhos,  dikirim  untuk  mengawasi 

”pergerakan  Mithridates  yang  meresahkan,  yang  lambat  laun  memperoleh 

kekuatan dan kekuasaan yang baru dan luas.”21  Sulla adalah ”orang Romawi 

pertama yang diajak bersekutu dan bersahabat oleh bangsa Partia

Mithridates juga mengirimkan pedagang-pedagang dan utusan ke Timur. 

”Ketika para utusan Han  pertama kali mengunjungi kerajaan An-hsi (Partia),” 

kata  Sima  Qian,  ”  …  raja  An-hsi  mengirimkan  utusan-utusannya  sendiri 

untuk menemani mereka, dan setelah para utusan itu mengunjungi China 

dan melaporkan kesejahteraan dan kemegahannya, raja mengirimkan telur￾telur  burung  yang  indah  yang  hidup  di  wilayahnya  …  kepada  istana  Han 

sebagai hadiah.  

Para  utusan  dari Timur  melakukan  perjalanan  ke  Barat  pada  saat  yang 

bersamaan.  Setelah eksplorasi Zhang Qian, lebih banyak orang dikirim dari 

istana Han mengikuti perjalanannya:  ”Setelah Zhang Qian menerima kehor￾matan dan jabatan karena telah berhasil membuka komunikasi dengan tanah 

Barat,”  kata  Sima  Qian,  ”  semua  pejabat  dan  serdadu  yang  menemaninya 

berlomba-lomba  menyusun  laporan  kepada  kaisar    …  meminta  dijadikan 

utusan.”22

Perjalanan-perjalanan  ke  Barat  ini  melibatkan  beberapa  perkelahian, 

ketika angkatan perang Han meredakan pemberontakan dari berbagai suku 

setempat dari daerah yang dilewati rute perdagangan yang baru dibuka.  Tetapi 

pada tahun 110, rute perniagaan dari Barat ke Timur selesai dibuat.  Pos-pos 

sepanjang jalan, dipenuhi oleh garnisun China, menjaga para pedagang dari 

bandit.    Orang  Partia  membeli  barang-barang  China,  terutama  sutera  dan 

pernis, yang tidak mereka buat sendiri.  Kaisar China membeli kuda-kuda 

Partia, yang ia kagumi karena kecepatannya dan keindahannya.  Tamu-tamu 

asing semakin banyak datang ke istana Han, di mana kaisar akan mengarak 

mereka sepanjang pantai untuk memamerkan kepada mereka betapa besar dan 

kayanya kerajaan Han.  Dan di Partia sendiri, Mithridates II, yang muncul 

baik  dalam  tulisan  Plutarkhos  maupun  Sima  Qian,  mendirikan  jembatan 

antara kedua kekaisaran Barat dan Timur yang besar dan tumbuh ini. 

G A R I S WA K T U 7 5

PARA PENERUS ALEXANDER   CHINA

   - Jatuhnya Zhou (256)

  

 Ptolemeus III (246) Chuang-hsiang dari Ch’in

 Seleukus II Demetrius II Cheng dari Ch’in

 Antiokhus Agung

 Ptolemeus IV (222) Filipus V Dinasti Ch’in (221)

 Shi Huang-ti

 (dahulunya Cheng)

 Kaisar Kedua (209)

 Ptolemeus V (204) Perdamaian Fenisia Dinasti Han (202)

 Perang Panium (198) Gao Zu Mao-tun dari Xiongnu

 Seleukus IV (187) Hui-ti (195)

 Ptolemeus VI (180) Perseus Kao-hou (188)

 Antiokhus Epifanes Wendi (179)

 Perang Pydna (168)

 Antiokhus V

 Demetrius I

 Demetrius II Wudi (140)

 Perjalanan Zhang Qian ke Barat

 Mithridates II 

 dari Partia (123)





Kembali  r, perdagangan dengan Karthago sudah dilanjutkan 

kembali. Kota Afrika Utara ini merupakan sumber emas dan perak, anggur 

dan kayu ara yang baik; dengan demikian kedua kota tetap memelihara per￾damaian yang perlu tetapi tidak mudah.1

 

Tetapi Karthago dalam keadaan bahaya. Perjanjian yang menutup Perang 

Punik kedua telah melucuti sebagian besar angkatan darat dan angkatan 

lautnya, sehingga membuatnya menjadi mudah diserang oleh penyerang￾penyerang lain. Yang paling ditakuti di antara mereka adalah orang-orang 

Afrika dari Numidia, sebuah kerajaan yang letaknya di pantai Utara Afrika 

di sebelah bawah Karthago. Masinissa, raja Numidia, adalah seorang seku￾tu Roma; Ia pernah mengirim serdadunya untuk berperang dengan Scipio 

Africanus melawan Kartagena, dan Roma membantunya memperluas kera￾jaan Afrika Utaranya. (Ia juga sudah membongkar rahasia Kartagena ketika 

mereka menghibur para pembawa pesan dari Perseus dari Makedonia, pada 

saat itu Perseus sedang berusaha untuk mencari dukungan untuk mengusir 

bangsa Romawi.) Sejak akhir perang Punik kedua, Masinissa telah melan￾carkan serangan-serangan kecil terhadap wilayah Kartagena dan merebutnya. 

”Suatu hal yang mudah bagi orang yang tidak mempunyai beban,” komentar 

Livius, karena pihak Kartagena dilarang oleh perjanjian Roma untuk meng￾gunakan senjata terhadap sekutu Roma mana pun.2

 

Pada tahun 157, sebuah delegasi Romawi, dipimpin oleh seorang negarawan 

lanjut usia, Marcus Cato, melakukan perjalanan ke Afrika Utara dengan 

maksud memberitahu orang Numidia agar tidak menganggu Karthago. Tetapi 

Cato yang selalu menjadi orang yang paling bersemangat anti-Kartagena di 

dalam Senat, terkejut atas apa yang ditemukannya di Kartagena. Ternyata 

”keadaannya tidak menyedihkan dan tidak dalam kondisi tidak sehat” seperti

yang  diperkirakan  orang  Romawi,  tetapi  (seperti  kata-kata  Plutarkhos) 

”dengan kekuatan yang baik, kekayaan yang berlimpah, dan segala macam 

senjata dan amunisi.”  Ia kembali ke Roma secepat kilat dan memperingatkan 

Senat bahwa ”mereka sendiri akan jatuh dalam bahaya, kecuali jika mereka 

mendapatkan  cara  untuk  menyelidiki  pertumbuhan  baru  yang  cepat  dari 

musuh kuno Roma yang tidak dapat diperbaiki hubungannya ini.”3

Tidak  semua  Senator  percaya  bahwa  pasukan  Roma  perlu  bergerak 

ke  Karthago  segera;  Cato,  yang  berusia  hampir  delapan  puluh  tahun, 

kedengarannya  seperti  hanya  mengulangi  ketakutan-ketakutan  masa  lalu. 

Ketika  dilawan,  ia  memukul  para  senator  yang  menjengkelkan  itu  dengan 

mengakhiri tiap pidatonya, apa pun topiknya, dengan ”dan kesimpulannya 

adalah, menurutku Karthago perlu dimusnahkan sama sekali.”4

Karena diperingatkan begitu, Senat terus membuat tuntutan-tuntutan pada 

Kartagena untuk membuktikan  kesetiaannya.  Akhirnya, Roma menuntut 

pihak Kartagena untuk meninggalkan kota mereka dan membangun kembali 

setidak-tidaknya enam belas kilometer jauhnya dari pantai.  Pihak Kartagena 

menolak  dengan  marah.    Pada  tahun  149,  kapal-kapal  Roma  berlayar  ke 

pantai  Afrika  Utara  di  bawah  komando  Scipio  Aemilius,  cucu  dari  Scipio 

Africanus yang agung, dan dimulailah perang yang berlangsung selama tiga 

tahun.  Itu hanyalah tindakan penghukuman, kadang-kadang dijuluki ”Perang 

Punik Ketiga”.”5

 Segera setelah terjadi pengepungan, Cato meninggal karena 

lanjut usia;  pada tulisan batu nisannya yang juga diucapkan oleh kebanyakan 

orang Romawi tertera ”Catolah yang mengobarkan perang ketiga dan terakhir 

melawan orang-orang Kartagena.”6

Karthago bukanlah satu-satunya masalah dalam agenda para senator.  Di 

seberang di Yunani, Sparta membuat kekacuan.  

Sparta  bukan  lagi  kota  yang  dominan  di  Liga  Achaea,  persekutuannya 

yang  lama,  dan  kota-kota  lain  dari  Liga  itu  sudah  tidak  mempedulikan￾nya.  Tidak puas dengan keputusan Liga, Sparta menyatakan keberatannya 

langsung ke Roma (kini dikenal sebagai penguasa yang  sebenarnya dari se￾menanjung Yunani).   Kota-kota liga yang lain segera mengeluarkan peraturan 

yang mengatakan bahwa hanya Liga sebagai kesatuan yang dapat menyerukan 

keberatannya ke Roma.  

Pihak Sparta bereaksi atas hal ini seperti kebiasaan bangsa Sparta berekasi 

selama  berabad-abad:  mereka  mempersenjatai  diri  dan  mengancam  untuk 

melawan.  Surat-surat kemarahan melayang ke Roma dari kedua belah pihak 

mengenai perdebatan itu.  Seorang duta besar Romawi yang sedang berada di 

Makedonia untuk menyelesaikan masalah lain mengirimkan sebuah pesan, 

memerintahkan mereka untuk menyudahinya sampai pejabat-pejabat Roma 


datang dan membantu mereka menyelesaikan masalahnya.  Tetapi itu sudah 

terlambat.  Pada tahun 148, pedang-pedang sudah ditarik.  

Tahun  berikutnya,  para  diplomat  Roma  muncul  untuk  menengahi 

perselisihan  itu.    Mereka  mengadakan  pembicaraan  untuk  mengambil 

keputusan di kota Korintus, dan keputusannya menguntungkan pihak Sparta, 

ini bukan suatu penetapan yang paling cerdas; orang-orang Korintus menjadi 

marah, menghambur keluar dan menganiaya siapa pun yang kelihatan seperti 

seorang Sparta.  Pejabat-pejabat Roma terjebak  dalam kerusuhan itu, dan 

ikut dianiaya.  

Orang Romawi yang marah kembali ke Roma dan memutarbalikkan fakta 

seburuk mungkin dari peristiwa itu:  ”Mereka menyatakan,” kata Polybius, 

”bahwa sebetulnya mereka nyaris kehilangan nyawa … mereka menceritakan 

bahwa  keberingasan  yang  menimpa  mereka  bukan  sebagai  akibat  dari 

kerusuhan  yang  tiba-tiba  terjadi,  tetapi  karena  ada  maksud-maksud  yang 

disengaja dari pihak Achaea untuk melakukan penghinaan kepada mereka.”7

Sebagai jawaban, sebuah armada Romawi berlayar ke Yunani, di mana satu 

kekuatan yang terdiri dari dua puluh enam ribu orang dan tiga ribu lima ratus 

kavaleri, di bawah komando Konsul Mummius, menyerang di Genting tanah 

Korintus.    Beberapa dari kota-kota Liga Achaea mencoba melawan, di bawah 

komando seorang jenderal Korintus, tetapi pasukan Yunani itu segera kucar￾kacir;  Komandan Korintus melarikan diri, dan kemudian meracuni dirinya 

sendiri;  tentara Liga Achaea yang kalah lari ke Korintus dan bersembunyi 

di  dalam  kota.    Mummius  membakar  kota  itu,  dan  orang-orang  Romawi 

menyerbunya.  

Roma akhirnya mencaplok Yunani.   

Menurut  Polybius,  kota-kota  Yunanilah  yang  mengundang  malapateka 

sendiri:  ”Orang Kartagena bagaimana pun juga meninggalkan sesuatu ten￾tang  diri  mereka  untuk  diceritakan  pada  anak-cucunya,”  tulisnya,  ”tetapi 

kesalahan-kesalahan  orang  Yunani  begitu  mencolok  sehingga  orang-orang 

tidak  mungkin  mendukung  mereka.”    Ia  mungkin  akan  mengatakan  yang 

sama tentang Makedonia, yang terus-menerus memainkan peran sebagai tuan 

rumah kepada orang-orang yang mengaku keturunan raja Makedonia, sampai 

orang-orang Romawi mengakhirinya dengan mengubah Makedonia menjadi 

sebuah provinsi, merampas semua kemerdekaannya yang paling kecil sekali 

pun yang boleh dimiliki oleh sebuah republik.  

Sementara  itu  Karthago  yang  telah  ”meninggalkan  sesuatu  tentang  diri 

mereka,” sedang terbakar.  Pada tahun yang sama, Scipio Aemilius dan orang￾orangnya akhirnya menjatuhkan kota itu.  Serdadu-serdadu Romawi berlarian 

melalui jalan-jalan, membakari semua gedung.  Diperlukan waktu dua ming￾gu bagi Karthago untuk terbakar rata dengan tanah.  Polybius sendiri berada 

di sana, berdiri di sebelah Scipio Aemilius ketika Karthago jatuh:  ”Melihat 

pemandangan kota itu luluh lantak di tengah-tengah kobaran api,” tulisnya, 

”Scipio menangis … Dan  kutanyakan dengan terus-terang (karena aku adalah 

pendidiknya)  apa  maksudnya  …  ia  segera  menoleh  dan  meraih  tanganku 

dan  berkata,  ’O  Polybius,  ini  sesuatu  yang  hebat,  tetapi  entah  bagaimana, 

aku merasa diteror dan diancam, bagaimana kalau suatu hari seseorang akan 

memberikan perintah yang sama untuk kota asalku sendiri.’ ”8

T di mana Karthago pernah berdiri sekarang menjadi provinsi Roma di 

Afrika Utara. Roma telah menaklukkan semua kekuasaan purba yang terletak 

dalam jangkauannya; Partia, Mesir, dan apa yang tersisa dari Seleucid masih 

terletak jauh. 

Sebelum meneruskan operasi militernya lebih lanjut, Roma mendapat 

kesulitan-kesulitan domestik yang harus diatasi. Keberhasilan perang Roma 

sampai saat ini telah membawa masuk beribu-ribu tangkapan yang lahir di 

negara asing ke dalam provinsi-provinsi Roma sebagai budak. Budak-budak 

Roma adalah harta milik majikan mereka yang boleh dipukul, diperkosa, 

dibiarkan mati kelaparan sesuka mereka, tetapi begitu seorang majikan 

Romawi membebaskan budaknya, budak itu menjadi seorang warga negara 

Romawi, dengan semua hak kewarganegaraan. Ini, seperti yang dikemukakan 

oleh ahli sejarah M.I. Finley, membuat perbudakan Roma sebagai sebuah 

lembaga yang sungguh aneh. Dengan hanya satu tindakan, sebuah barang 

kepemilikan berubah menjadi manusia, dan karena budak-budak Romawi 

terdiri dari berbagai warna kulit (tidak seperti budak-budak di daerah 

Selatan Amerika Serikat, yang meskipun dibebaskan, warna kulitnya tetap 

mengingatkan bahwa mereka pernah termasuk dalam kelas budak), bangsa￾bangsa yang terbebas kemudian ”melebur ke dalam seluruh populasi dalam 

waktu satu atau setidaknya dua generasi.”*9

Praktisnya, budak-budak yang diperlakukan dengan buruk mengenal benar 

betapa dekatnya mereka pada sifat-sifat dasar majikannya. Pada tahun 136, ada 

beribu-ribu budak semacam ini di Sisilia, yang telah menjadi makmur setelah 

terbebas dari majikan Kartagenanya. Orang-orang Sisilia ini, tulis Diodorus 

Siculus, ”memperlakukan mereka dengan kejam atas pekerjaan mereka, dan 

memberi mereka perawatan yang paling buruk, yang nyaris tidak diberi 

makanan dan pakaian … Budak-budak itu, tertekan karena penderitaannya, 

dan seringkali disakiti hatinya dan dipukuli tanpa alasan yang masuk akal,

mereka membicarakan kemungkinan untuk memberontak, sampai akhirnya 

rencana mereka diwujudkan sebagai suatu tindakan.”10  

Pemberontakan itu pecah pertama kali di kota Enna, di mana empat ratus 

budak bersatu untuk membunuh seorang pemilik budak yang terkenal karena 

kekejamannya.  Mereka membunuh seisi rumah si pemilik budak, bahkan 

bayi-bayi, kecuali seorang putri yang telah menunjukkan kasih pada budak￾budak ayahnya.  Kemudian menunjuk seseorang sebagai raja dan pemimpin 

mereka, seorang budak yang karismatik bernama Eunus, yang digunjingkan, 

mempunyai kekuatan-kekuatan magis.  Tentu saja ia adalah seorang pembicara 

yang ulung dan meyakinkan, dan membutikan dirinya bisa berstrategi juga: 

”Dalam tiga hari,” Diodorus menulis, ”Eunus sebisanya mempersenjatai lebih 

dari enam ribu orang … Kemudian, karena ia terus merekrut budak-budak 

yang tak terhitung jumlahnya, ia pergi berperang melawan jenderal-jenderal 

Roma, dan dalam beberapa pertarungan gabungan, berulang kali mengalahkan 

mereka, karena ia sekarang mempunyai lebih dari sepuluh ribu serdadu.”11

Pemberontakan  kelompoknya  segera  diikuti  oleh  pemimpin-pemimpin 

budak  yang  lain  yang  bertindak  sebagai  jenderal  di  bawah  komandonya. 

Sekitar  antara  tujuh  puluh  ribu  dua  ratus    budak  akhirnya  bergabung 

dalam  pemberontakan  ini,  yang  dikenal  sebagai  ”Perang  Budak  Pertama. 

Pemberontakan-pemberontakan  budak  lain  yang  bersimpati  berkobar  di 

Roma,  dan  kemudian  di  beberapa  kota-kota  di  Yunani.    Pemberontakan 

tersebut  semua  dipadamkan,  tetapi  perlawanan-perlawanan  di  Sisilia  tetap 

berlanjut.  

Perang  Budak  yang  Pertama  berlarut-larut  sampai  tiga  tahun,  sebagian 

disebabkan  karena para pemilik budak Sisilia tidak menggugah rasa kasihan 

para buruh: ”Ketika banyak persoalan bermunculan di Sisilia, ” tulis Diodorus 

Siclus, ”rakyat biasa tidak bersimpati, malah  sebetulnya merasa senang dengan 

nasib buruk orang-orang itu, karena cemburu pada perbedaan nasib masing￾masing pihak.”  Banyak petani mengambil kesempatan ini untuk membakar 

tempat  kediaman  orang-orang  kaya  dan  melemparkan  kesalahan  itu  pada 

budak-budak yang memberontak.12 Mereka tidak berbuat-buat apa-apa untuk 

memperbaiki orde lama, karena mereka sendiri menderita karenanya.  

Dalam hal ini Sisilia tidak sendiri.  Tidak hanya provinsi-provinsi Roma 

tetapi Roma sendiri juga menderita karena adanya jurang yang semakin lebar 

antara  kaya dan miskin.  Jika berurusan perang terus menerus berarti be￾ratus-ratus  dari  beribu-ribu  tentara  rendah  Romawi    telah  berbaris  untuk 

bertempur, dan sekembalinya dari pertempuran, mereka tidak dibayar dengan 

baik dan kadang-kadang malah cacat, tanah pertaniannya tak terurus dengan 

baik, rumah-rumahnya hancur, hutang-hutangnya tak terbayar.13 Sementara 

itu para pedagang mengambil keuntungan dari rute-rute perdagangan yang

baru  dibuka  untuk  melakukan  bisnis  yang  sedang  berkembang,  dan  para 

pejabat umum mendapatkan gaji yang semakin tinggi dan terus tinggi dari 

tanah-tanah yang baru dikenai pajak.  

Manajemen  Roma  atas  tanah-tanah  yang  ditaklukkan  juga  kurang  dari 

cemerlang.  Appianus, seorang ahli sejarah yang menulis Civil Wars kira-kira 

dua  ratus  tahun  kemudian,  menggambarkan  prosedur  umum  dari  wilyah 

yang direbut di semenanjung Italia: 

Ketika  bangsa  Romawi  menaklukkan  suku-suku  Italia,  satu  demi  satu, 

dalam  perang,  mereka  merebut  sebagian  dari  tanah-tanahnya  …  Karena 

mereka  tidak  punya  waktu  untuk  menjual  atau  menyewakan  bagian  itu 

yang terbengkalai karena perang, dan ini biasanya adalah bagian yang besar, 

mereka  mengeluarkan  suatu  pernyataan  bahwa  untuk  sementara  kalau  ada 

siapa pun yang mau mengelolanya boleh melakukan itu dengan bagi hasil per 

tahun … Si kaya, yang menguasai kebanyakan tanah yang tak bertuan itu … 

dan memperluas, sebagian dengan membeli dan sebagian dengan kekerasan, 

tanah-tanah pertanian kecil di sekitarnya menjadi miliknya, akhirnya mereka 

menguasai distrik-distrik yang besar bukan hanya satu estat.14

Untuk  mengerjakan  bidang-bidang  tanah  yang  besar  ini,  para  pemilik 

tanah memerlukan banyak buruh, tetapi menurut hukum Roma orang-orang 

sewaan itu, kalau bebas, dapat ditarik untuk mengikuti wajib militer.  Jadi si 

kaya membeli lebih banyak dan lebih banyak lagi budak, yang bebas dari wajib 

militer ini.  ”Jadi,” kata Appianus, ”para warga negara yang kuat menjadi  luar 

biasa kaya dan kelas budak di seluruh negeri menjadi berlipat ganda,” semen￾tara buruh biasa tertekan oleh ”kemiskinan, pajak-pajak, dan wajib militer.”  

Oposisi yang paling menentang keras terhadap sistem yang direncanakan 

dengan buruk ini datang dari seorang tribun bernama Tiberius Sempronius 

Gracchus, putra seorang konsul.   Ia  bertugas di bawah Scipio Aemillius dalam 

penyerangan ke Karthago, di mana ia menjadi terkenal sebagai orang pertama 

yang memanjat dinding musuh.15 Dalam tugas ke luar negerinya yang lain, 

ia telah melihat daerah pedesaan di provinsi-provinsi Roma yang didominasi 

oleh si kaya, dengan gembala-gembala dan petani-petani yang diusir keluar 

dari tanah mereka, dan ia kembali ke Roma dan memulai jabatannya dalam 

politik dan memutuskan untuk membawa reformasi.  Alangkah menggelikan, 

ia  menguraikan  dalam  pidato-pidato  umumnya,  di  saat  jenderal-jenderal 

Romawi memerintahkan serdadu-serdadunya untuk bertempur demi rumah 

dan perapiannya, pada saat yang sama tentara-tentara itu juga sedang dalam 

keadaan  nyaris kehilangan rumah-rumah mereka:  ”Ia memberitahu mereka,” 

cerita Plutarkhos, ”bahwa mereka bertempur dan terbunuh demi memper￾

tahankan  kemewahan  dan  kekayaan  orang  lain.    Mereka  disebut  sebagai 

penguasa-penguasa dunia, tetapi sementara itu tidak punya sejengkal tanah 

pun yang mereka sebut sebagai tanah miliknya.”16

Reformasi yang diusulkan oleh Tiberius Gracchus akan menciutkan pem￾bangunan estat golongan kaya, sehingga wajar saja kalau tidak disukai oleh 

orang Romawi yang kaya.  Mereka meyakinkan teman-teman mereka di tribun 

untuk memveto rencana undang-undang Tiberius.  Ini memang sah; setiap 

tribun mempunyai hak untuk memveto suatu undang-undang yang diusul￾kan oleh tribun yang lain.  Meskipun begitu, Tiberius mencurigai adanya suap 

yang ditawarkan dan ia menindaklanjuti kecurigaannya itu dengan melang￾gar konstitusi Roma.   Dengan bantuan para pendukungnya, ia memblokir 

serangkaian layanan umum dan mengumumkan bahwa layanan-layanan itu 

tidak akan dimulai lagi sampai rencana undang-undangnya dikemukakan lagi 

dalam pemilihan oleh semua orang yang berhak memilih.    

Ini merupakan pelanggaran hukum untuk melakukan sesuatu itikad yang 

baik, dan karena tindakannya inilah semakin banyak lagi pembuat undang￾undang Roma yang melawan Tiberius Gracchus.  Tidak perduli apa itikadnya, 

ia sedang mengawali preseden yang berbahaya: ia menggunakan popularitas 

pribadinya dengan massa untuk mencapai tujuannya.  

Ketakutan-ketakutan mereka tidak dapat diredakan ketika rencana undang￾undang itu lolos dan Tiberius menempatkan dirinya sendiri, ayah mertuanya, 

dan adik laki-lakinya Gaius bertugas untuk mengawasi pelaksanaan undang￾undang itu.   Lebih banyak lagi orang mulai menggerutu — bukan hanya para 

pembuat undang-undang, tetapi rakyat biasa yang selama ini selalu berada 

di pihak Tiberius.  Ia telah melangkahi otoritas teman-teman tribunnya, dan 

jabatan tribun seharusnya  memberikan perlindungan kepada rakyat biasa. 

Mereka ingin reformasi ini berhasil, tetapi banyak dari mereka yang cemas 

akan metode-metodenya.  

Kucurigaan di sekitar Tiberius Gracchus berkobar menjadi sebuah keru￾suhan pada tahun 132, ketika ia mempertahankan jabatannya sebagai tribun. 

Pada hari pemilihan umum, ia sedang berada di gedung parlemen ketika dalam 

kerumunan  orang  tersebar  gosip:    golongan  kaya  tidak  akan  memperbole￾hkan  suara  diberikan  untuknya;  para  pembunuh  berdatangan  mencarinya. 

Orang-orang di sekitarnya mulai menjadi gelisah.  Di tengah-tengah semua 

ini, Tiberius meletakkan tangannya ke atas kepalanya.  Appianus mengatakan 

bahwa ini adalah sebuah tanda bagi para pengikutnya untuk menggunakan 

kekerasan agar ia berhasil menduduki jabatan;  Plutarkhos mengatakan bahwa 

orang-orang  di  sekitarnya  mengira  ia  meminta  untuk  dimahkotai  (sebuah 

permintaan yang sangat mengada-ada).  Alat pemukul dan tongkat-tongkat 

bermunculan.    Siapa  pun  yang  melayangkan  pukulan  pertama,  kumpulan 

orang itu akan meletus .  Para senator sendiri terlihat merusak bangku-bangku 

dan menggunakan kaki-kaki bangku itu sebagai senjata.  Menurut Plutarkhos, 

orang pertama yang memukul Tiberius adalah salah satu dari para tribun, yang 

bersenjatakan kaki kursi.  Tiberius jatuh dan dipukuli sampai mati, bersama 

dengan tiga ratus korban kerusuhan yang lain.  Ia belum sampai berumur tiga 

puluh satu

Semua mayat, termasuk mayat Tiberius Gracchus, dilemparkan tanpa upa￾cara ke Sungai Tiber.  ”Ini,” kata Plutarkhos, ”adalah penghasutan pertama 

di antara bangsa Romawi, sejak penghapusan pemerintahan kerajaan, yang 

berakhir dalam darah.”17  Sebelumnya, Senat dan rakyat jelata telah berhasil 

mengatasi perbedaan-perbedaan mereka dalam batas-batas yang ditentukan 

oleh  konstitusi  Roma;    pembunuhan Tiberius  Gracchus  merobek  batasan￾batasan  itu,  dan  mereka  tidak  pernah  lagi  dijahit  bersama    secara  penuh. 

Kemudian, orang Romawi sendiri akan melihat ke belakang pada pukulan 

yang menimpa kepala Tiberius sebagai luka Republik yang fatal.  Tetapi, se￾betulnya  Tiberius  Gracchus  telah  menghujamkan  pisaunya  sendiri,  ketika 

ia  memutuskan  untuk  melangkahi  teman-teman  tribunnya  demi  golongan 

miskin.    ”Ia  kehilangan  nyawanya,”    Appianus  menyimpulkan,  ”karena  ia 

menindaklanjuti  rencananya yang hebat dengan cara yang terlalu melanggar 

hukum.”18

Dalam tahun yang sama, Perang Budak Pertama di Sisilia akhirnya berakhir 

ketika konsul Publius Rupilius melindas pemberontakan dengan  cara yang 

kejam.  Ia mengepung pemimpin pemberontakan di kota Tauromenium, dan 

menolak untuk mengakhiri pengepungan meskipun kondisi di dalam sudah 

tidak bisa diucapkan dengan kata-kata:  ”Mereka mulai memakan anak-anak,” 

kata  Diodorus,  ”kemudian  memakan  para  wanita.  Mereka  juga  saling  me￾makan sesamanya,”19 Ketika akhirnya kota itu menyerah, Rupilius menyiksa 

para budak dan kemudian melempar mereka, hidup-hidup, dari sebuah batu 

karang.  Ia kemudian mengejar Eunis si raja budak yang menyeberangi Sisilia, 

menangkapnya, dan melemparkannya ke penjara, di mana ”dagingnya dice￾rai-beraikan kecil-kecil menjadi sekelompok kutu.”20

Delapan t , setelah kematian Tiberius Graccus, adiknya, 

Gaius Gracchus—sembilan tahun lebih muda—mengikuti pemilihan untuk 

menjadi anggota tribun juga. Menurut Plutarkhos ia sangat bersungguh￾sungguh dan berapi-api sedangkan Tiberius adalah orang yang tenang dan 

sabar; ia bernafsu dan fanatik sedangkan kakaknya berhati-hati dan seksama 

dalam setiap ucapannya. Ia memenangkan cukup banyak suara untuk men￾jadi anggota tribun yunior, dan segera memperlihatkan bahwa ia bermaksud 

untuk memperbaiki kematian kakaknya. Reformasi-reformasinya bahkan 

lebih radikal daripada Tiberius; ia mengusulkan bahwa semua tanah umum 

dibagikan kepada orang miskin, dan serdadu yang rendahan harus diberi 

baju oleh negara, bahwa semua orang Italia harus diberi hak pilih sebagai 

bagian dari kewarganegaraan mereka, dan setengah lusin perubahan besar 

lainnya dalam praktik hukum Roma. Konsul berusaha keras memblokir 

perubahan-perubahannya. Dalam keputusasaannya, Gaius mengumpulkan 

pendukung-pendukungnya untuk ”melawan para konsul dengan kekuatan,” 

dan ketika kedua partai saling berhadapan pecahlah kerusuhan lain yang ber￾darah.21

Gaius Gracchus terbunuh dalam perkelahian. Para pembunuhnya mene￾bas kepalanya dan membawanya kepada salah satu konsul sebagai piala. Tiga 

ribu orang Romawi lain jatuh ke dalam kerusuhan itu juga. Sekali lagi mayat￾mayat dilemparkan ke Sungai Tiber, yang pada saat ini hampir tersumbat 

dengan mayat-mayat. Tiberius Gracchus telah meninggal dalam peperangan 

oleh pemukul dan papan-papan kayu, tetapi kerusuhan yang membunuh 

Gaius Gracchus dilakukan dengan pedang-pedang. Kedua belah pihak telah 

melengkapi diri dengan senjata untuk perang sebelum waktunya.

G A R I S WA K T U 7 6

  CHINA  ROMA

  Dinasti Ch’in (221) 

  Shi Huang-ti    Perang Punik Kedua (218)

  (dahulu Cheng)  Perang Kana

  Kaisar Kedua (209)     

  Perang Zama (202)    Dinasti Han (202)

  Gao Zu    Perang Makedonia Kedua

  Hui-ti (195)   

  Kao-hou (188)    Cumae mengubah bahasanya dengan Latin

  Wendi (179)   

  Perang Makedonia Ketiga (171)

  Perang Punik Ketiga (149)

  Wudi (140)    Kehancuran Karthago (146)

  Perjalanan Zhang Qian ke Barat  Perang Budak Pertama (135)

    Kematian Tiberius Gracchus

    Kematian Gaius Gracchus






S ap    , jelaslah bahwa 

undang-undang baru tidak akan memberikan solusi atas masalah-masalah 

kemiskinan dan kepemilikan tanah. Konstitusi Roma, sistem tribun, dan 

konsul yang rumit, para senator dan hakim, cek dan saldo, yang tidak akan 

membawa keadilan tetapi tidak juga menghalanginya; kemauan si kaya atau 

karisma orang terkenal selalu bisa menumbangkannya. Hampir setiap orator 

Roma melihat ke belakang dengan bijaksana pada sebuah zaman keemasan, 

”sebelum penghancuran Karthago,” ketika Republik masih sehat: ”sebelum 

penghancuran Karthago,” tulis Sallustius, seorang pakar sejarah Romawi be￾berapa tahun kemudian, menggemakan nyanyian tentang masa-masa itu, 

”rakyat dan Senat dapat bersama-sama menjalankan pemerintahan dengan 

damai yang disebabkan oleh adanya pembatasan-pembatasan, dan musuh￾musuh tidak bersaing untuk meraih keagungan atau kekuasaan; ketakutan 

pada musuh-musuhnya melanggengkan moral yang baik terhadap negara.”1

Bahwa tidak pernah ada masa seperti itu bukanlah pokok permasalahan￾nya. Orang Romawi perlu melihat ke belakang demi kerinduan pada zaman 

keemasan yang hanya khayalan, untuk dapat mengatasi masa kini. Roma 

suatu saat dulu penuh kemurnian, tetapi sekarang dipenuhi ketamakan, ko￾rupsi, kesombongan, kebobrokan umum, dan buah-buah kemakmuran yang 

lain, suatu evaluasi yang hanya dikonfirmasikan oleh malapetaka yang disebut 

Perang Jugurthine. 

Jauh di Afrika Utara, Raja Masinisa dari Numidia menurunkan tahtanya 

pada putranya Micipsa. Putranya ini, sekarang sudah dewasa, mempunyai 

dua putra, ditambah seorang keponakan bernama Jugurtha. Si keponakan 

tidak termasuk dalam garis penerus, jadi Micipsa merencanakan sebuah karir

militer untuknya dan mengirimkannya untuk memimpin pasukan Numid