ganggu
rakyat, dan membiarkan mereka menjalankan kehidupannya masing-masing,
dan sebagai akibat dari kebijaksanaan untuk tidak ikut campur ini, China
menjadi sejahtera. Orang-orang yang sejahtera tidak mempunyai keinginan
untuk berevolusi; begitu keluarga Kao-hou yang tidak disukai itu sudah
dikikis habis, seorang putra Gao Zu almarhum dari selir dinyatakan sebagai
kaisar.
Pemuda ini, Wendi,
mewarisi sebuah kekaisaran yang masih belum
mempunyai tanda-tanda kekaisaran; tidak ada sesuatu pun yang bisa mempersatukan negara ini selain daripada kenangan akan penguasa-penguasa
terdahulu yang tidak populer dan bersifat menekan untuk memaksa orang
berpihak kepadanya, sebagai raja anti-Ch’in. Kekuasaan Wendi berlangsung selama lebih dari dua puluh tahun, sampai kematiannya yang alami (ia
memerintah dari tahun 179 sampai 156), menunjukkan bahwa ia memiliki
banyak taktik; seperti ayahnya, ia memanfaatkan ikatan yang negatif ini dan
sedapat mungkin tidak mencampuri urusan setempat.
Seperti ayahnya, ia juga menghadapi kemungkinan invasi. Bangsa nomad
dari bahkan lebih jauh dari Utara—yang bukan bagian dari konfederasi
Xiongnu, dan disebut oleh orang China Yuezhi telah mulai bergerak turun
menuju wilayah Xiongnu. Mereka, seperti suku Celtic, terdorong oleh suatu
persimpangan yang rumit yaitu kelaparan, kelebihan penduduk, dan ambisi
dan tujuan mereka adalah datang ke Selatan untuk menguasai China itu sendiri.
Tetapi Xiongnu mengusir mereka, membelokkan mereka ke arah Barat:
Xiongnu telah mengalahkan raja Yuezhi,” cerita Sima Qian, ”dan telah membuat tengkoraknya menjadi botol minuman”12 (yang berarti, kalau tidak
identitas, mempunyai adat istiadat yang sama menariknya dengan bangsa
nomad Schythia, yang tinggal sedikit jauh ke Barat.) Pergerakan ke Barat
ini mempunyai efek domino; sekitar tahun 160 SM, mereka menyerbu dan
kemudian memasuki Baktria, menyerangnya dan menduduki sepanjang dae-
rah Utaranya, sampai ke sungai Oxus. Itu merupakan salah satu dari kontak
pertama yang berlangsung lama antara bangsa-bangsa dari Timur jauh dengan
bangsa-bangsa yang lebih dekat ke Laut Tengah. Untuk Dinasti Han, itu
juga sama dengan terhindar dari satu bahaya. Xiongnu telah mengerahkan
tenaganya sendiri melawan bangsa barbar, dan Wendi terhindar dari keharusannya merekrut angkatan perang dalam jumlah yang besar untuk melawan
kembali Ketika ia wafat sekitar tahun 157, ia berhasil menurunkan mahkotanya,
tanpa terjadi apa-apa, kepada putranya yang pada gilirannya menurunkannya lagi pada putranya: Kaisar Wudi, yang mulai berkuasa sekitar tahun 140.
Wudi, yang menurut hitungan adalah kaisar yang keenam atau ketujuh dari
Dinasti Han (tergantung pada berapa banyak anak-anak balita yang termasuk),
mengawali pemerintahannya yang berlangsung selama lima puluh tiga tahun
dengan mengadakan operasi militer ke atas untuk sedikit mendorong mundur
Xiongnu yang melanggar batas. Ini adalah akhir dari tradisi pembungkaman
yang diawali oleh Gao Zu. Tahta Han sekarang cukup kuat untuk bisa tetap
bertahan dalam perang.
Mendorong mundur Xiongnu adalah prioritas Wudi yang paling akhir. Ia meninggalkan puluhan tahun masa kekuasaan Han yang relatif damai,
dan penjajahan Ch’in sudah menjadi masa lampau yang cukup jauh sehingga akhirnya kaisar dapat menurunkan tangannya ke dalam kotoran
negaranya cukup lama sehingga bisa membentuknya menjadi sesuatu yang
lebih mirip sebuah kekaisaran. Ia memperkenalkan perpajakan; ia mengambil alih perdagangan besi, garam, dan alkohol sebagai monopoli pemerintah;
ia memangkas pejabat-pejabat setempat yang telah mengambil keuntungan
dari kebijaksanaan tidak campur tangan Han untuk memperkaya dirinya
sendiri.13 Ia mulai membangun kembali birokrasi, memperkenalkan untuk
pertama kalinya pentingnya para pejabat untuk mengikuti dan lulus dalam
ujian kualifikasi.14
Tidak lama setelah naik tahta—mungkin tepatnya sekitar tahun 139 SM—
ia juga mengirimkan duta besarnya bernama Zhang Qian untuk mencari tahu
apa yang terdapat dibalik perbatasan Barat. Kita tidak tahu tepatnya apa yang
mendorongnya untuk berbuat ini, tetapi pastilah sedikit aliran perniagaan
dan eksplorasi dari Barat telah masuk dari jauh sampai ke perbatasan Han.
Sima Qian mencatat rasa ingin tahu kedua belah pihak yang disebabkan oleh
hal ini: ”Semua bangsa barbar jauh-jauh dari Barat menjulurkan leher mereka
ke Timur dan ingin sekilas memandang China,” tulisnya.15
Perjalanan Zhang Qian pada awalnya tidak berjalan baik; ia ditangkap
oleh Xiongnu dan dibawa menghadap chanyu. Alih-alih membunuhnya,
mereka tetap menahannya dan memberinya seorang istri; dan setelah ia hidup
di sana selama sepuluh tahun, ia ”sedikt kurang diawasi dibandingkan pada
saat-saat pertamanya” dan berhasil melarikan diri. Setelah itu ia melakukan perjalanan melalui Barat, mengunjungi Baktria dan Partia, dan melihat
langsung pergerakan bangsa nomad Yuezhi di sepanjang daerah Utara dunia.
Ketika ia kembali pada tahun 126, ia disambut dengan sangat gembira, dan ia
berhasil melaporkan tentang kedua kerajaan.
Baktria, ceritanya pada kaisar, adalah sebuah negara dengan petanipetani yang sudah mantap, tetapi tidak mempunyai raja; ”hanya sejumlah
pemimpin kecil menguasai berbagai kota.”16 Sebetulnya, koin-koin yang
masih ada menunjukkan bahwa raja Baktria yang terakhir yang keturunan
Yunani adalah seorang pria bernama Heliocles, yang pemerintahannya
pastinya berakhir sekitar tahun 130 SM, oleh invasi Yuezhi. Zhang Qian
tiba di Baktria bertepatan saatnya ketika bangsa nomad melakukan invasi dan
menyerbu negara itu.
Yang paling mungkin terjadi adalah kasta yang tadinya berkuasa sudah
pergi ke Selatan ke India, pada saat kedatangan bangsa nomad: Zhang Qian
juga melaporkan bahwa orang Baktria memberitahunya tentang sebuah negara
yang mereka sebut Shen-tu, yang terletak ”beberapa ribu li ke arah tenggara,” di mana orang-orang ”mengolah tanah.” Daerah itu dikatakan panas dan
lembab,” katanya menyudahi identifikasi dengan ”penduduknya menunggangi gajah ketika mereka berperang, dan kerajaannya terletak pada sebuah
sungai besar.” Pelarian orang Yunani Baktria menyeberangi gunung-gunung
masuk ke India telah memecah kerajaan Baktria menjadi dua: Baktria Yunani
yang asli, yang sekarang diserang oleh Yuezhi , dan sebuah kerajaan ”YunaniIndo” lebih jauh di Selatan.
Dalam hitungan dasawarsa, bangsa ”Yunani-Indo” ini menjadi lebih
India daripada Yunani. Raja mereka yang paling terkenal adalah Menander I
yang naik tahta sekitar 150 SM. Koin-koinnya menampilkan ia dalam baju
perang Yunani dan bertulisan dalam bahasa Yunani, tetapi ia dikenang sebagai
seorang Budha dalam teks suci bernama Milinda Panha, tentang peralihannya
memeluk ajaran Budha. ”Tidak ada yang sama seperti Milinda di seluruh
India,” teks itu diawali, ”kuat dalam kekayaan dan kesejahteraan, dan jumlah
rombongan bersenjatanya tiada akhir.” Meskipun begitu, ia mempunyai
pertanyaan-pertanyaan yang tiada akhir tentang alam dan kekuasaannya
dan dunia yang diperjuangkannya untuk mendapatkan dominasi. Suatu
hari, setelah memeriksa ”rombongannya yang tak terhitung” terdiri dari
”gajah-gajah, pasukan berkuda, pasukan panah, dan perajurit yang berjalan
kaki,” ia minta untuk berbicara dengan seorang sarjana yang mungkin bisa
menolongnya memecahkan kesulitan-kesulitannya, dan dalam percakapan
yang selanjutnya ia diperkenalkan dengan dasar-dasar ajaran Budha.17
Menurut Milanda Panha, ini akhirnya mengakibatkan raja melepaskan
tahta, setelah ia menjadi seorang peziarah: ”Setelah itu, karena terpesona akan
kebijaksanaan-kebijaksanaan para Tetua ajaran itu,” teks itu menyimpulkan,
”ia menyerahkan kerajaan kepada putranya, dan meninggalkan kehidupan
rumah tangga menjadi keadaan tanpa rumah, dan semakin hebat dalam membaca situasi.” Ini mungkin terjadi, tetapi tidak dapat dipercaya; Menander
dikenang tidak hanya karena berganti agama tetapi juga karena menyebabkan
perluasan perbatasan Yunani-Indo sampai jauh ke Pataliputra, suatu operasi
militer yang pasti melibatkan pertempuran tahun demi tahun. Sebuah kitab
suci Budha yang lebih maju, Gargi-Samhita membenarkan ini: menurut tulisan ini orang Yunani ”Yavanas” mencapai ”kubu pertahanan Pataliputra yang
berlumpur dan lebat, semua provinsi … dalam keadaan kacau.”
Benar atau tidaknya, Menander kemudian pensiun dari urusan perang, penaklukannya mendorong mundur sebuah kerajaan Hindu dan memperluas sebuah
kerajaan Budha, yang menyimpan keagungannya dalam teks Budha. Ketika ia
wafat di tahun 130 tubuhnya dimasukkan ke dalam monumen suci yang terkenal
sebagai stupa: ”tumpukan suci” begitu Milanda Panha menyebutnya, ”di bawah
kubah yang kokoh, tulang-tulang para tokoh yang hebat wafat terbaring.”
Laporan Zhang Qian juga meluas sampai ke Barat, masuk ke Partia di
mana raja masih bertahta. Antiokhus Epifanes terpaksa harus melawan
serangan-serangan Partia dan ketiga raja Seleukia yang mengejarnya juga
harus menghadapi invasi-invasi yang bermusuhan. Sebetulnya bangsa Partia
tidak begitu berbeda dalam asal-usul dengan bangsa Xiongnu; mereka adalah
bangsa nomad yang berkuda, keras dan, baik dalam pertempuran dan mereka
sudah mulai mendesak lebih jauh dan lebih jauh lagi ke perbatasan Seleukia,
mendesak lebih dekat ke Suriah. Pada pemerintahan raja ketiga setelah
Antiokhus Epifanes—Demeterius II, disebut juga Nikanor—mereka pergi
menyeberang ke tengah-tengah daerah Assiria pusat antara Tigris dan Efrat.
Daerah ini cukup kuat di bawah pengawasan bangsa Partia sehingga mereka
membangun tembok-tembok pertahanan. Tembok Partia ini dibangun dari
batu-batu besar yang mereka temukan berserakan dan sudah pernah dipakai;
monumen-monumen di Ashurnasirpal dipecah-pecahkan dan dijadikan penjaga daerah wilayahnya yang lama untuk melindungi dari perebutan kembali
tempat itu oleh bangsa Seleukia.
Di tahun 139, raja Partia, Mithridates I, benar-benar menangkap Demetrius
Nikanor dalam peperangan, dan menyeretnya kembali ke Partia. Demetrius
Nikanor diperlakukan baik, ditahan dalam tahanan yang nyaman, tetapi ia
menghabiskan waktu sepuluh tahun sebagai tahanan, yang sangat memalukan bagi seorang raja yang pernah menjadi raja Seleukia yang besar. Josephus
mengatakan bahwa ia meninggal dalam tahanan: ”Demetrius dikirim ke
Mithridates,” tulisnya, ”dan raja Partia memperlakukan Demetrius dengan
hormat, sampai Demetrius mengakhiri hidupnya karena sakit.”19 Cerita-cerita
lain mengatakan bahwa ia melarikan diri dan kemudian meninggal, sebelumnya diteruskan oleh seorang putra (yang dibunuh setelah kurang dari satu
tahun) dan kemudian yang lain lagi.
Sementara itu bangsa Partia melakukan operasi militer lebih dekat dan
semakin dekat lagi ke Babilon, dan membangun perkemahan di Cteisphon,
yang dapat mereka gunakan untuk menekan lebih dalam lagi ke daerah
Seleukia. Kekuatan Partia yang tumbuh ini direfleksikan dalam laporan
Zhang Qian pada rajanya. Bangsa Partia, katanya, sangat mengesankan, dan
menurut penglihatannya, peradabaannya tingggi dan teratur: ”Mereka mempunyai kota-kota yang bertembok,” ceritanya, ”beberapa ratus kota dengan
ukuran-ukuran yang berbeda-beda.” Petani Partia menanam padi, gandum,
dan anggur untuk minuman; para pedagangnya melakukan perjalanan niaga
menuju negara-negara yang jauh. Dan pada saat ini, kekaisaran mereka
meluas dari dataran yang disebut Zhang Qian T’iao-chih, di mana keadaannya ”panas dan lembab,” di mana terdapat burung-burung yang indah yang
bertelur sebesar panci,” di mana ”orang-orangnya banyak dan diperintah oleh
pemimpin-pemimpin kecil,” tetapi di mana semua pemimpin memperhatikan
raja Partia, yang memberi mereka perintah ”dan menganggap mereka sebagai
pengikutnya.”20 Yang dimaksud dengan penggambaran itu adalah lembah
Mesopotamia. Bangsa Seleukia sudah dicabut dari wilayah antara sungaisungai itu; mereka bukan lagi sebuah kekaisaran yang mengkhawatirkan bagi
bangsa Romawi.
Tempat itu telah dikuasai oleh bangsa Partia sendiri. Pemerintahan Wudi
yang berlangsung lama dan termahsyur bersamaan waktunya dengan pemerintahan raja Partia yang terbesar dari raja-raja yang lain: Mithridates II, Agung.
Ia naik tahta Partia pada tahun 123, dan tidak lama kemudian menciutkan
hati penguasa Romawi di Asia Kecil; seseorang bernama Lucius Cornelius
Sulla, yang dicatat biografinya oleh Plutarkhos, dikirim untuk mengawasi
”pergerakan Mithridates yang meresahkan, yang lambat laun memperoleh
kekuatan dan kekuasaan yang baru dan luas.”21 Sulla adalah ”orang Romawi
pertama yang diajak bersekutu dan bersahabat oleh bangsa Partia
Mithridates juga mengirimkan pedagang-pedagang dan utusan ke Timur.
”Ketika para utusan Han pertama kali mengunjungi kerajaan An-hsi (Partia),”
kata Sima Qian, ” … raja An-hsi mengirimkan utusan-utusannya sendiri
untuk menemani mereka, dan setelah para utusan itu mengunjungi China
dan melaporkan kesejahteraan dan kemegahannya, raja mengirimkan telurtelur burung yang indah yang hidup di wilayahnya … kepada istana Han
sebagai hadiah.
Para utusan dari Timur melakukan perjalanan ke Barat pada saat yang
bersamaan. Setelah eksplorasi Zhang Qian, lebih banyak orang dikirim dari
istana Han mengikuti perjalanannya: ”Setelah Zhang Qian menerima kehormatan dan jabatan karena telah berhasil membuka komunikasi dengan tanah
Barat,” kata Sima Qian, ” semua pejabat dan serdadu yang menemaninya
berlomba-lomba menyusun laporan kepada kaisar … meminta dijadikan
utusan.”22
Perjalanan-perjalanan ke Barat ini melibatkan beberapa perkelahian,
ketika angkatan perang Han meredakan pemberontakan dari berbagai suku
setempat dari daerah yang dilewati rute perdagangan yang baru dibuka. Tetapi
pada tahun 110, rute perniagaan dari Barat ke Timur selesai dibuat. Pos-pos
sepanjang jalan, dipenuhi oleh garnisun China, menjaga para pedagang dari
bandit. Orang Partia membeli barang-barang China, terutama sutera dan
pernis, yang tidak mereka buat sendiri. Kaisar China membeli kuda-kuda
Partia, yang ia kagumi karena kecepatannya dan keindahannya. Tamu-tamu
asing semakin banyak datang ke istana Han, di mana kaisar akan mengarak
mereka sepanjang pantai untuk memamerkan kepada mereka betapa besar dan
kayanya kerajaan Han. Dan di Partia sendiri, Mithridates II, yang muncul
baik dalam tulisan Plutarkhos maupun Sima Qian, mendirikan jembatan
antara kedua kekaisaran Barat dan Timur yang besar dan tumbuh ini.
G A R I S WA K T U 7 5
PARA PENERUS ALEXANDER CHINA
- Jatuhnya Zhou (256)
Ptolemeus III (246) Chuang-hsiang dari Ch’in
Seleukus II Demetrius II Cheng dari Ch’in
Antiokhus Agung
Ptolemeus IV (222) Filipus V Dinasti Ch’in (221)
Shi Huang-ti
(dahulunya Cheng)
Kaisar Kedua (209)
Ptolemeus V (204) Perdamaian Fenisia Dinasti Han (202)
Perang Panium (198) Gao Zu Mao-tun dari Xiongnu
Seleukus IV (187) Hui-ti (195)
Ptolemeus VI (180) Perseus Kao-hou (188)
Antiokhus Epifanes Wendi (179)
Perang Pydna (168)
Antiokhus V
Demetrius I
Demetrius II Wudi (140)
Perjalanan Zhang Qian ke Barat
Mithridates II
dari Partia (123)
Kembali r, perdagangan dengan Karthago sudah dilanjutkan
kembali. Kota Afrika Utara ini merupakan sumber emas dan perak, anggur
dan kayu ara yang baik; dengan demikian kedua kota tetap memelihara perdamaian yang perlu tetapi tidak mudah.1
Tetapi Karthago dalam keadaan bahaya. Perjanjian yang menutup Perang
Punik kedua telah melucuti sebagian besar angkatan darat dan angkatan
lautnya, sehingga membuatnya menjadi mudah diserang oleh penyerangpenyerang lain. Yang paling ditakuti di antara mereka adalah orang-orang
Afrika dari Numidia, sebuah kerajaan yang letaknya di pantai Utara Afrika
di sebelah bawah Karthago. Masinissa, raja Numidia, adalah seorang sekutu Roma; Ia pernah mengirim serdadunya untuk berperang dengan Scipio
Africanus melawan Kartagena, dan Roma membantunya memperluas kerajaan Afrika Utaranya. (Ia juga sudah membongkar rahasia Kartagena ketika
mereka menghibur para pembawa pesan dari Perseus dari Makedonia, pada
saat itu Perseus sedang berusaha untuk mencari dukungan untuk mengusir
bangsa Romawi.) Sejak akhir perang Punik kedua, Masinissa telah melancarkan serangan-serangan kecil terhadap wilayah Kartagena dan merebutnya.
”Suatu hal yang mudah bagi orang yang tidak mempunyai beban,” komentar
Livius, karena pihak Kartagena dilarang oleh perjanjian Roma untuk menggunakan senjata terhadap sekutu Roma mana pun.2
Pada tahun 157, sebuah delegasi Romawi, dipimpin oleh seorang negarawan
lanjut usia, Marcus Cato, melakukan perjalanan ke Afrika Utara dengan
maksud memberitahu orang Numidia agar tidak menganggu Karthago. Tetapi
Cato yang selalu menjadi orang yang paling bersemangat anti-Kartagena di
dalam Senat, terkejut atas apa yang ditemukannya di Kartagena. Ternyata
”keadaannya tidak menyedihkan dan tidak dalam kondisi tidak sehat” seperti
yang diperkirakan orang Romawi, tetapi (seperti kata-kata Plutarkhos)
”dengan kekuatan yang baik, kekayaan yang berlimpah, dan segala macam
senjata dan amunisi.” Ia kembali ke Roma secepat kilat dan memperingatkan
Senat bahwa ”mereka sendiri akan jatuh dalam bahaya, kecuali jika mereka
mendapatkan cara untuk menyelidiki pertumbuhan baru yang cepat dari
musuh kuno Roma yang tidak dapat diperbaiki hubungannya ini.”3
Tidak semua Senator percaya bahwa pasukan Roma perlu bergerak
ke Karthago segera; Cato, yang berusia hampir delapan puluh tahun,
kedengarannya seperti hanya mengulangi ketakutan-ketakutan masa lalu.
Ketika dilawan, ia memukul para senator yang menjengkelkan itu dengan
mengakhiri tiap pidatonya, apa pun topiknya, dengan ”dan kesimpulannya
adalah, menurutku Karthago perlu dimusnahkan sama sekali.”4
Karena diperingatkan begitu, Senat terus membuat tuntutan-tuntutan pada
Kartagena untuk membuktikan kesetiaannya. Akhirnya, Roma menuntut
pihak Kartagena untuk meninggalkan kota mereka dan membangun kembali
setidak-tidaknya enam belas kilometer jauhnya dari pantai. Pihak Kartagena
menolak dengan marah. Pada tahun 149, kapal-kapal Roma berlayar ke
pantai Afrika Utara di bawah komando Scipio Aemilius, cucu dari Scipio
Africanus yang agung, dan dimulailah perang yang berlangsung selama tiga
tahun. Itu hanyalah tindakan penghukuman, kadang-kadang dijuluki ”Perang
Punik Ketiga”.”5
Segera setelah terjadi pengepungan, Cato meninggal karena
lanjut usia; pada tulisan batu nisannya yang juga diucapkan oleh kebanyakan
orang Romawi tertera ”Catolah yang mengobarkan perang ketiga dan terakhir
melawan orang-orang Kartagena.”6
Karthago bukanlah satu-satunya masalah dalam agenda para senator. Di
seberang di Yunani, Sparta membuat kekacuan.
Sparta bukan lagi kota yang dominan di Liga Achaea, persekutuannya
yang lama, dan kota-kota lain dari Liga itu sudah tidak mempedulikannya. Tidak puas dengan keputusan Liga, Sparta menyatakan keberatannya
langsung ke Roma (kini dikenal sebagai penguasa yang sebenarnya dari semenanjung Yunani). Kota-kota liga yang lain segera mengeluarkan peraturan
yang mengatakan bahwa hanya Liga sebagai kesatuan yang dapat menyerukan
keberatannya ke Roma.
Pihak Sparta bereaksi atas hal ini seperti kebiasaan bangsa Sparta berekasi
selama berabad-abad: mereka mempersenjatai diri dan mengancam untuk
melawan. Surat-surat kemarahan melayang ke Roma dari kedua belah pihak
mengenai perdebatan itu. Seorang duta besar Romawi yang sedang berada di
Makedonia untuk menyelesaikan masalah lain mengirimkan sebuah pesan,
memerintahkan mereka untuk menyudahinya sampai pejabat-pejabat Roma
datang dan membantu mereka menyelesaikan masalahnya. Tetapi itu sudah
terlambat. Pada tahun 148, pedang-pedang sudah ditarik.
Tahun berikutnya, para diplomat Roma muncul untuk menengahi
perselisihan itu. Mereka mengadakan pembicaraan untuk mengambil
keputusan di kota Korintus, dan keputusannya menguntungkan pihak Sparta,
ini bukan suatu penetapan yang paling cerdas; orang-orang Korintus menjadi
marah, menghambur keluar dan menganiaya siapa pun yang kelihatan seperti
seorang Sparta. Pejabat-pejabat Roma terjebak dalam kerusuhan itu, dan
ikut dianiaya.
Orang Romawi yang marah kembali ke Roma dan memutarbalikkan fakta
seburuk mungkin dari peristiwa itu: ”Mereka menyatakan,” kata Polybius,
”bahwa sebetulnya mereka nyaris kehilangan nyawa … mereka menceritakan
bahwa keberingasan yang menimpa mereka bukan sebagai akibat dari
kerusuhan yang tiba-tiba terjadi, tetapi karena ada maksud-maksud yang
disengaja dari pihak Achaea untuk melakukan penghinaan kepada mereka.”7
Sebagai jawaban, sebuah armada Romawi berlayar ke Yunani, di mana satu
kekuatan yang terdiri dari dua puluh enam ribu orang dan tiga ribu lima ratus
kavaleri, di bawah komando Konsul Mummius, menyerang di Genting tanah
Korintus. Beberapa dari kota-kota Liga Achaea mencoba melawan, di bawah
komando seorang jenderal Korintus, tetapi pasukan Yunani itu segera kucarkacir; Komandan Korintus melarikan diri, dan kemudian meracuni dirinya
sendiri; tentara Liga Achaea yang kalah lari ke Korintus dan bersembunyi
di dalam kota. Mummius membakar kota itu, dan orang-orang Romawi
menyerbunya.
Roma akhirnya mencaplok Yunani.
Menurut Polybius, kota-kota Yunanilah yang mengundang malapateka
sendiri: ”Orang Kartagena bagaimana pun juga meninggalkan sesuatu tentang diri mereka untuk diceritakan pada anak-cucunya,” tulisnya, ”tetapi
kesalahan-kesalahan orang Yunani begitu mencolok sehingga orang-orang
tidak mungkin mendukung mereka.” Ia mungkin akan mengatakan yang
sama tentang Makedonia, yang terus-menerus memainkan peran sebagai tuan
rumah kepada orang-orang yang mengaku keturunan raja Makedonia, sampai
orang-orang Romawi mengakhirinya dengan mengubah Makedonia menjadi
sebuah provinsi, merampas semua kemerdekaannya yang paling kecil sekali
pun yang boleh dimiliki oleh sebuah republik.
Sementara itu Karthago yang telah ”meninggalkan sesuatu tentang diri
mereka,” sedang terbakar. Pada tahun yang sama, Scipio Aemilius dan orangorangnya akhirnya menjatuhkan kota itu. Serdadu-serdadu Romawi berlarian
melalui jalan-jalan, membakari semua gedung. Diperlukan waktu dua minggu bagi Karthago untuk terbakar rata dengan tanah. Polybius sendiri berada
di sana, berdiri di sebelah Scipio Aemilius ketika Karthago jatuh: ”Melihat
pemandangan kota itu luluh lantak di tengah-tengah kobaran api,” tulisnya,
”Scipio menangis … Dan kutanyakan dengan terus-terang (karena aku adalah
pendidiknya) apa maksudnya … ia segera menoleh dan meraih tanganku
dan berkata, ’O Polybius, ini sesuatu yang hebat, tetapi entah bagaimana,
aku merasa diteror dan diancam, bagaimana kalau suatu hari seseorang akan
memberikan perintah yang sama untuk kota asalku sendiri.’ ”8
T di mana Karthago pernah berdiri sekarang menjadi provinsi Roma di
Afrika Utara. Roma telah menaklukkan semua kekuasaan purba yang terletak
dalam jangkauannya; Partia, Mesir, dan apa yang tersisa dari Seleucid masih
terletak jauh.
Sebelum meneruskan operasi militernya lebih lanjut, Roma mendapat
kesulitan-kesulitan domestik yang harus diatasi. Keberhasilan perang Roma
sampai saat ini telah membawa masuk beribu-ribu tangkapan yang lahir di
negara asing ke dalam provinsi-provinsi Roma sebagai budak. Budak-budak
Roma adalah harta milik majikan mereka yang boleh dipukul, diperkosa,
dibiarkan mati kelaparan sesuka mereka, tetapi begitu seorang majikan
Romawi membebaskan budaknya, budak itu menjadi seorang warga negara
Romawi, dengan semua hak kewarganegaraan. Ini, seperti yang dikemukakan
oleh ahli sejarah M.I. Finley, membuat perbudakan Roma sebagai sebuah
lembaga yang sungguh aneh. Dengan hanya satu tindakan, sebuah barang
kepemilikan berubah menjadi manusia, dan karena budak-budak Romawi
terdiri dari berbagai warna kulit (tidak seperti budak-budak di daerah
Selatan Amerika Serikat, yang meskipun dibebaskan, warna kulitnya tetap
mengingatkan bahwa mereka pernah termasuk dalam kelas budak), bangsabangsa yang terbebas kemudian ”melebur ke dalam seluruh populasi dalam
waktu satu atau setidaknya dua generasi.”*9
Praktisnya, budak-budak yang diperlakukan dengan buruk mengenal benar
betapa dekatnya mereka pada sifat-sifat dasar majikannya. Pada tahun 136, ada
beribu-ribu budak semacam ini di Sisilia, yang telah menjadi makmur setelah
terbebas dari majikan Kartagenanya. Orang-orang Sisilia ini, tulis Diodorus
Siculus, ”memperlakukan mereka dengan kejam atas pekerjaan mereka, dan
memberi mereka perawatan yang paling buruk, yang nyaris tidak diberi
makanan dan pakaian … Budak-budak itu, tertekan karena penderitaannya,
dan seringkali disakiti hatinya dan dipukuli tanpa alasan yang masuk akal,
mereka membicarakan kemungkinan untuk memberontak, sampai akhirnya
rencana mereka diwujudkan sebagai suatu tindakan.”10
Pemberontakan itu pecah pertama kali di kota Enna, di mana empat ratus
budak bersatu untuk membunuh seorang pemilik budak yang terkenal karena
kekejamannya. Mereka membunuh seisi rumah si pemilik budak, bahkan
bayi-bayi, kecuali seorang putri yang telah menunjukkan kasih pada budakbudak ayahnya. Kemudian menunjuk seseorang sebagai raja dan pemimpin
mereka, seorang budak yang karismatik bernama Eunus, yang digunjingkan,
mempunyai kekuatan-kekuatan magis. Tentu saja ia adalah seorang pembicara
yang ulung dan meyakinkan, dan membutikan dirinya bisa berstrategi juga:
”Dalam tiga hari,” Diodorus menulis, ”Eunus sebisanya mempersenjatai lebih
dari enam ribu orang … Kemudian, karena ia terus merekrut budak-budak
yang tak terhitung jumlahnya, ia pergi berperang melawan jenderal-jenderal
Roma, dan dalam beberapa pertarungan gabungan, berulang kali mengalahkan
mereka, karena ia sekarang mempunyai lebih dari sepuluh ribu serdadu.”11
Pemberontakan kelompoknya segera diikuti oleh pemimpin-pemimpin
budak yang lain yang bertindak sebagai jenderal di bawah komandonya.
Sekitar antara tujuh puluh ribu dua ratus budak akhirnya bergabung
dalam pemberontakan ini, yang dikenal sebagai ”Perang Budak Pertama.
Pemberontakan-pemberontakan budak lain yang bersimpati berkobar di
Roma, dan kemudian di beberapa kota-kota di Yunani. Pemberontakan
tersebut semua dipadamkan, tetapi perlawanan-perlawanan di Sisilia tetap
berlanjut.
Perang Budak yang Pertama berlarut-larut sampai tiga tahun, sebagian
disebabkan karena para pemilik budak Sisilia tidak menggugah rasa kasihan
para buruh: ”Ketika banyak persoalan bermunculan di Sisilia, ” tulis Diodorus
Siclus, ”rakyat biasa tidak bersimpati, malah sebetulnya merasa senang dengan
nasib buruk orang-orang itu, karena cemburu pada perbedaan nasib masingmasing pihak.” Banyak petani mengambil kesempatan ini untuk membakar
tempat kediaman orang-orang kaya dan melemparkan kesalahan itu pada
budak-budak yang memberontak.12 Mereka tidak berbuat-buat apa-apa untuk
memperbaiki orde lama, karena mereka sendiri menderita karenanya.
Dalam hal ini Sisilia tidak sendiri. Tidak hanya provinsi-provinsi Roma
tetapi Roma sendiri juga menderita karena adanya jurang yang semakin lebar
antara kaya dan miskin. Jika berurusan perang terus menerus berarti beratus-ratus dari beribu-ribu tentara rendah Romawi telah berbaris untuk
bertempur, dan sekembalinya dari pertempuran, mereka tidak dibayar dengan
baik dan kadang-kadang malah cacat, tanah pertaniannya tak terurus dengan
baik, rumah-rumahnya hancur, hutang-hutangnya tak terbayar.13 Sementara
itu para pedagang mengambil keuntungan dari rute-rute perdagangan yang
baru dibuka untuk melakukan bisnis yang sedang berkembang, dan para
pejabat umum mendapatkan gaji yang semakin tinggi dan terus tinggi dari
tanah-tanah yang baru dikenai pajak.
Manajemen Roma atas tanah-tanah yang ditaklukkan juga kurang dari
cemerlang. Appianus, seorang ahli sejarah yang menulis Civil Wars kira-kira
dua ratus tahun kemudian, menggambarkan prosedur umum dari wilyah
yang direbut di semenanjung Italia:
Ketika bangsa Romawi menaklukkan suku-suku Italia, satu demi satu,
dalam perang, mereka merebut sebagian dari tanah-tanahnya … Karena
mereka tidak punya waktu untuk menjual atau menyewakan bagian itu
yang terbengkalai karena perang, dan ini biasanya adalah bagian yang besar,
mereka mengeluarkan suatu pernyataan bahwa untuk sementara kalau ada
siapa pun yang mau mengelolanya boleh melakukan itu dengan bagi hasil per
tahun … Si kaya, yang menguasai kebanyakan tanah yang tak bertuan itu …
dan memperluas, sebagian dengan membeli dan sebagian dengan kekerasan,
tanah-tanah pertanian kecil di sekitarnya menjadi miliknya, akhirnya mereka
menguasai distrik-distrik yang besar bukan hanya satu estat.14
Untuk mengerjakan bidang-bidang tanah yang besar ini, para pemilik
tanah memerlukan banyak buruh, tetapi menurut hukum Roma orang-orang
sewaan itu, kalau bebas, dapat ditarik untuk mengikuti wajib militer. Jadi si
kaya membeli lebih banyak dan lebih banyak lagi budak, yang bebas dari wajib
militer ini. ”Jadi,” kata Appianus, ”para warga negara yang kuat menjadi luar
biasa kaya dan kelas budak di seluruh negeri menjadi berlipat ganda,” sementara buruh biasa tertekan oleh ”kemiskinan, pajak-pajak, dan wajib militer.”
Oposisi yang paling menentang keras terhadap sistem yang direncanakan
dengan buruk ini datang dari seorang tribun bernama Tiberius Sempronius
Gracchus, putra seorang konsul. Ia bertugas di bawah Scipio Aemillius dalam
penyerangan ke Karthago, di mana ia menjadi terkenal sebagai orang pertama
yang memanjat dinding musuh.15 Dalam tugas ke luar negerinya yang lain,
ia telah melihat daerah pedesaan di provinsi-provinsi Roma yang didominasi
oleh si kaya, dengan gembala-gembala dan petani-petani yang diusir keluar
dari tanah mereka, dan ia kembali ke Roma dan memulai jabatannya dalam
politik dan memutuskan untuk membawa reformasi. Alangkah menggelikan,
ia menguraikan dalam pidato-pidato umumnya, di saat jenderal-jenderal
Romawi memerintahkan serdadu-serdadunya untuk bertempur demi rumah
dan perapiannya, pada saat yang sama tentara-tentara itu juga sedang dalam
keadaan nyaris kehilangan rumah-rumah mereka: ”Ia memberitahu mereka,”
cerita Plutarkhos, ”bahwa mereka bertempur dan terbunuh demi memper
tahankan kemewahan dan kekayaan orang lain. Mereka disebut sebagai
penguasa-penguasa dunia, tetapi sementara itu tidak punya sejengkal tanah
pun yang mereka sebut sebagai tanah miliknya.”16
Reformasi yang diusulkan oleh Tiberius Gracchus akan menciutkan pembangunan estat golongan kaya, sehingga wajar saja kalau tidak disukai oleh
orang Romawi yang kaya. Mereka meyakinkan teman-teman mereka di tribun
untuk memveto rencana undang-undang Tiberius. Ini memang sah; setiap
tribun mempunyai hak untuk memveto suatu undang-undang yang diusulkan oleh tribun yang lain. Meskipun begitu, Tiberius mencurigai adanya suap
yang ditawarkan dan ia menindaklanjuti kecurigaannya itu dengan melanggar konstitusi Roma. Dengan bantuan para pendukungnya, ia memblokir
serangkaian layanan umum dan mengumumkan bahwa layanan-layanan itu
tidak akan dimulai lagi sampai rencana undang-undangnya dikemukakan lagi
dalam pemilihan oleh semua orang yang berhak memilih.
Ini merupakan pelanggaran hukum untuk melakukan sesuatu itikad yang
baik, dan karena tindakannya inilah semakin banyak lagi pembuat undangundang Roma yang melawan Tiberius Gracchus. Tidak perduli apa itikadnya,
ia sedang mengawali preseden yang berbahaya: ia menggunakan popularitas
pribadinya dengan massa untuk mencapai tujuannya.
Ketakutan-ketakutan mereka tidak dapat diredakan ketika rencana undangundang itu lolos dan Tiberius menempatkan dirinya sendiri, ayah mertuanya,
dan adik laki-lakinya Gaius bertugas untuk mengawasi pelaksanaan undangundang itu. Lebih banyak lagi orang mulai menggerutu — bukan hanya para
pembuat undang-undang, tetapi rakyat biasa yang selama ini selalu berada
di pihak Tiberius. Ia telah melangkahi otoritas teman-teman tribunnya, dan
jabatan tribun seharusnya memberikan perlindungan kepada rakyat biasa.
Mereka ingin reformasi ini berhasil, tetapi banyak dari mereka yang cemas
akan metode-metodenya.
Kucurigaan di sekitar Tiberius Gracchus berkobar menjadi sebuah kerusuhan pada tahun 132, ketika ia mempertahankan jabatannya sebagai tribun.
Pada hari pemilihan umum, ia sedang berada di gedung parlemen ketika dalam
kerumunan orang tersebar gosip: golongan kaya tidak akan memperbolehkan suara diberikan untuknya; para pembunuh berdatangan mencarinya.
Orang-orang di sekitarnya mulai menjadi gelisah. Di tengah-tengah semua
ini, Tiberius meletakkan tangannya ke atas kepalanya. Appianus mengatakan
bahwa ini adalah sebuah tanda bagi para pengikutnya untuk menggunakan
kekerasan agar ia berhasil menduduki jabatan; Plutarkhos mengatakan bahwa
orang-orang di sekitarnya mengira ia meminta untuk dimahkotai (sebuah
permintaan yang sangat mengada-ada). Alat pemukul dan tongkat-tongkat
bermunculan. Siapa pun yang melayangkan pukulan pertama, kumpulan
orang itu akan meletus . Para senator sendiri terlihat merusak bangku-bangku
dan menggunakan kaki-kaki bangku itu sebagai senjata. Menurut Plutarkhos,
orang pertama yang memukul Tiberius adalah salah satu dari para tribun, yang
bersenjatakan kaki kursi. Tiberius jatuh dan dipukuli sampai mati, bersama
dengan tiga ratus korban kerusuhan yang lain. Ia belum sampai berumur tiga
puluh satu
Semua mayat, termasuk mayat Tiberius Gracchus, dilemparkan tanpa upacara ke Sungai Tiber. ”Ini,” kata Plutarkhos, ”adalah penghasutan pertama
di antara bangsa Romawi, sejak penghapusan pemerintahan kerajaan, yang
berakhir dalam darah.”17 Sebelumnya, Senat dan rakyat jelata telah berhasil
mengatasi perbedaan-perbedaan mereka dalam batas-batas yang ditentukan
oleh konstitusi Roma; pembunuhan Tiberius Gracchus merobek batasanbatasan itu, dan mereka tidak pernah lagi dijahit bersama secara penuh.
Kemudian, orang Romawi sendiri akan melihat ke belakang pada pukulan
yang menimpa kepala Tiberius sebagai luka Republik yang fatal. Tetapi, sebetulnya Tiberius Gracchus telah menghujamkan pisaunya sendiri, ketika
ia memutuskan untuk melangkahi teman-teman tribunnya demi golongan
miskin. ”Ia kehilangan nyawanya,” Appianus menyimpulkan, ”karena ia
menindaklanjuti rencananya yang hebat dengan cara yang terlalu melanggar
hukum.”18
Dalam tahun yang sama, Perang Budak Pertama di Sisilia akhirnya berakhir
ketika konsul Publius Rupilius melindas pemberontakan dengan cara yang
kejam. Ia mengepung pemimpin pemberontakan di kota Tauromenium, dan
menolak untuk mengakhiri pengepungan meskipun kondisi di dalam sudah
tidak bisa diucapkan dengan kata-kata: ”Mereka mulai memakan anak-anak,”
kata Diodorus, ”kemudian memakan para wanita. Mereka juga saling memakan sesamanya,”19 Ketika akhirnya kota itu menyerah, Rupilius menyiksa
para budak dan kemudian melempar mereka, hidup-hidup, dari sebuah batu
karang. Ia kemudian mengejar Eunis si raja budak yang menyeberangi Sisilia,
menangkapnya, dan melemparkannya ke penjara, di mana ”dagingnya dicerai-beraikan kecil-kecil menjadi sekelompok kutu.”20
Delapan t , setelah kematian Tiberius Graccus, adiknya,
Gaius Gracchus—sembilan tahun lebih muda—mengikuti pemilihan untuk
menjadi anggota tribun juga. Menurut Plutarkhos ia sangat bersungguhsungguh dan berapi-api sedangkan Tiberius adalah orang yang tenang dan
sabar; ia bernafsu dan fanatik sedangkan kakaknya berhati-hati dan seksama
dalam setiap ucapannya. Ia memenangkan cukup banyak suara untuk menjadi anggota tribun yunior, dan segera memperlihatkan bahwa ia bermaksud
untuk memperbaiki kematian kakaknya. Reformasi-reformasinya bahkan
lebih radikal daripada Tiberius; ia mengusulkan bahwa semua tanah umum
dibagikan kepada orang miskin, dan serdadu yang rendahan harus diberi
baju oleh negara, bahwa semua orang Italia harus diberi hak pilih sebagai
bagian dari kewarganegaraan mereka, dan setengah lusin perubahan besar
lainnya dalam praktik hukum Roma. Konsul berusaha keras memblokir
perubahan-perubahannya. Dalam keputusasaannya, Gaius mengumpulkan
pendukung-pendukungnya untuk ”melawan para konsul dengan kekuatan,”
dan ketika kedua partai saling berhadapan pecahlah kerusuhan lain yang berdarah.21
Gaius Gracchus terbunuh dalam perkelahian. Para pembunuhnya menebas kepalanya dan membawanya kepada salah satu konsul sebagai piala. Tiga
ribu orang Romawi lain jatuh ke dalam kerusuhan itu juga. Sekali lagi mayatmayat dilemparkan ke Sungai Tiber, yang pada saat ini hampir tersumbat
dengan mayat-mayat. Tiberius Gracchus telah meninggal dalam peperangan
oleh pemukul dan papan-papan kayu, tetapi kerusuhan yang membunuh
Gaius Gracchus dilakukan dengan pedang-pedang. Kedua belah pihak telah
melengkapi diri dengan senjata untuk perang sebelum waktunya.
G A R I S WA K T U 7 6
CHINA ROMA
Dinasti Ch’in (221)
Shi Huang-ti Perang Punik Kedua (218)
(dahulu Cheng) Perang Kana
Kaisar Kedua (209)
Perang Zama (202) Dinasti Han (202)
Gao Zu Perang Makedonia Kedua
Hui-ti (195)
Kao-hou (188) Cumae mengubah bahasanya dengan Latin
Wendi (179)
Perang Makedonia Ketiga (171)
Perang Punik Ketiga (149)
Wudi (140) Kehancuran Karthago (146)
Perjalanan Zhang Qian ke Barat Perang Budak Pertama (135)
Kematian Tiberius Gracchus
Kematian Gaius Gracchus
S ap , jelaslah bahwa
undang-undang baru tidak akan memberikan solusi atas masalah-masalah
kemiskinan dan kepemilikan tanah. Konstitusi Roma, sistem tribun, dan
konsul yang rumit, para senator dan hakim, cek dan saldo, yang tidak akan
membawa keadilan tetapi tidak juga menghalanginya; kemauan si kaya atau
karisma orang terkenal selalu bisa menumbangkannya. Hampir setiap orator
Roma melihat ke belakang dengan bijaksana pada sebuah zaman keemasan,
”sebelum penghancuran Karthago,” ketika Republik masih sehat: ”sebelum
penghancuran Karthago,” tulis Sallustius, seorang pakar sejarah Romawi beberapa tahun kemudian, menggemakan nyanyian tentang masa-masa itu,
”rakyat dan Senat dapat bersama-sama menjalankan pemerintahan dengan
damai yang disebabkan oleh adanya pembatasan-pembatasan, dan musuhmusuh tidak bersaing untuk meraih keagungan atau kekuasaan; ketakutan
pada musuh-musuhnya melanggengkan moral yang baik terhadap negara.”1
Bahwa tidak pernah ada masa seperti itu bukanlah pokok permasalahannya. Orang Romawi perlu melihat ke belakang demi kerinduan pada zaman
keemasan yang hanya khayalan, untuk dapat mengatasi masa kini. Roma
suatu saat dulu penuh kemurnian, tetapi sekarang dipenuhi ketamakan, korupsi, kesombongan, kebobrokan umum, dan buah-buah kemakmuran yang
lain, suatu evaluasi yang hanya dikonfirmasikan oleh malapetaka yang disebut
Perang Jugurthine.
Jauh di Afrika Utara, Raja Masinisa dari Numidia menurunkan tahtanya
pada putranya Micipsa. Putranya ini, sekarang sudah dewasa, mempunyai
dua putra, ditambah seorang keponakan bernama Jugurtha. Si keponakan
tidak termasuk dalam garis penerus, jadi Micipsa merencanakan sebuah karir
militer untuknya dan mengirimkannya untuk memimpin pasukan Numid