�� oleh generasi selanjutnya hanya sebagai Scipio—kebencian pribadi
terhadap Karthago, perasaan yang sama yang dirasakan Hannibal terhadap
Roma. Di tahun 209, Scipio bergerak ke Karthago Baru untuk membalaskan
dendam ayahnya. Perebutannya atas kota itu berhasil. Hasdrubal lari dan
mengikuti rute kakanya melalui pegunungan Alpen dan menyeberanginya.
Ini bukalah hal yang buruk bagi orang Kartagena karena Hasdrubal tidak
hanya membawa pasukannya sendiri, tetapi delapan ribu anggota wajib militer berbangsa Celtic dan menjemput beberapa orang lagi dalam perjalanannya
dari Karthago Baru ke pegunungan Alpen. Ia mengirimkan surat kepada
Hannibal, berjanji untuk bertemu dan menggabungkan pasukan di Umbria.
Surat itu dicegat oleh perwira-perwira Romawi dan dibaca. Segera pasukan Romawi yang terdekat berbalik untuk membuat penyerangan mendadak
pada Hasdrubal sebelum ia dapat turun ke Umbria. Sekutu-sekutu Hasdrubal
tidak bertingkah laku dengan baik (”Orang Gallia selalu kurang stamina,”
komentar Livius).33 Lebih dari lima puluh ribu orang Hasdrubal jatuh, dan
Hasdrubal sendiri, melihat bahwa ia menemui malapetaka, berlari langsung
ke arah gerombolan orang Romawi di depannya dan gugur bertarung. Orang
Romawi memotong kepalanya, mengawetkannya dengan hati-hati, dan
membawanya, ketika mereka mencapai pos Hannibal, mereka melemparkan
kepala itu ke dalam perkemahan Hannibal. Hannibal sudah kehilangan baik adiknya maupun koloni Iberia, yang telah
menjadi provinsi Roma. Timbangan sudah mulai seimbang, pelan-pelan,
condong pada pihak Roma; dan orang Romawi meletakkan ibu jari pada timbangan dengan menutup garis depan kedua mereka di Makedonia supaya
dapat berkonsentrasi pada Karthago. Di tahun 207, tahun yang sama dengan
kematian Hasdrubal, serdadu Romawi mulai menarik diri dari peperangan
yang tidak menghasilkan apa-apa di semenanjung Yunani. Baik kota-kota
Yunani dan Filipus V sendiri sudah, seperti diungkapkan oleh Livius, ”muak
akan perang yang panjang dan meleahkan,” dan orang Romawi sendiri dapat
melihat bahwa pasukan-pasukan lebih diperlukan berada dekat dengan
rumah. Scipio mengusulkan bahwa medan perang baru seharusnya adalah
Afrika Utara; Orang Romawi harus pergi menyerang dan berlayar langsung
ke Karthago, suatu strategi yang mungkin bisa mencongkel Hannibal dari
daerah pedesaan Italia.
Di tahun 205, Filipus V, menandatangani suatu perjanjian dengan kotakota Yunani di sebelah Selatan, Perdamaian Fenisia. Perjanjian itu memberikan
bangsa Romawi kekuasaan atas beberapa kota-kota kecil, mengembalikan
wilayah-wilayah lain kepada Makedonia, dan menghentikan kebencian
antara Makedonia dan Liga Aetolia. Dengan seluruh serdadu sekarang bebas
menyerbu Afrika, Scipio menyiapkan satu pasukan invasi. Di tahun 204,
ia mendarat di pantai Afrika Utara dengan pasukan gabungan Romawi dan
tentara bayaran Afrika Utara.
Invasi itu seperti yang diharapkannya terjadi: pihak Kartagena
mengirimkan pesan dalam keadaan bingung untuk minta bantuan pada
Hannibal. Dan Hannibal pulang ke rumah. Ia bertindak demikian karena
patriotisme, tetapi ini adalah patriotisme yang semu dan segan; ia belum
pernah tinggal di negara tempat kelahirannya sejak umur sembilan tahun,
dan ia meninggalkan sebagian besar orang-orangnya di Italia, mungkin
dengan harapan akan cepat kembali. Ia belum sepenuhnya memenuhi
keinginan ayahnya; Roma masih berdiri. ”Jarang sekali ada orang buangan
yang meninggalkan negara asalnya dengan hati begitu berat seperti Hannibal
ketika ia meninggalkan negara musuh-musuhnya”, kata Livius. ”Berkali-kali
ia menoleh ke belakang ke pantai-pantai Italia … mengucapkan sumpah
serapah pada dirinya sendiri karena tidak memimpin pasukannya langsung
ke Roma.”35
Begitu tiba di Karthago, ia merekrut sepasukan orang Kartagena yang
enggan dan tentara bayaran Afrika untuk bergabung dengan beberapa veteran
yang dibawanya bersamanya. Lalu, di tahun 202, Hannibal dan Scipio bertemu untuk merundingkan perdamaian di Zama, sedikit ke Selatan Tanjung
yang Cerah. Mungkin perundingan perdamaian itu murni, tetapi Scipio sudah meminta bala bantuan, dan sedang menunggu kedatangan mereka.
Kekalahan di Cannae, empat belas tahun yang lalu, masih segar dalam
ingatan orang Romawi; putra-putra muda dari para tentara yang sudah gugur
sekarang sudah berumur dua puluhan tahun, siap berperang dan mengamuk.
Bala bantuan Roma datang; perundingan perdamaian sekali lagi gagal;
dan orang Romawi dan Kartagena mengalami bentrokan lagi dalam perang
untuk terakhir kalinya. Scipio sudah merencanakan dengan matang. Di daerah pedesaan Italia yang terbuka, Hannibal, yang selalu berperan sebagai
agresor, tidak terkalahkan. Tetapi keadaannya kini sudah sudah terbalik.
Ia sedang bertempur dalam perang untuk mempertahankan diri di medan
yang berbatu-batu, dengan pasukan yang ”terdiri dari orang-orang yang tidak
mempunyai bahasa, kebiasaan, undang-undang, senjata, pakaian, penampilan
yang sama, maupun alasan yang sama untuk melayani.”36 Kebanyakan dari
mereka berperang untuk uang, dan untuk memperoleh bagian dari barang
rampasan; dan ketika pasukan Scipio menerjang mereka, terlalu banyak dari
mereka yang mematahkan barisan dan mundur ketakutan.
Perang Zama berakhir dengan Scipio menguasai medan secara mutlak;
Hannibal akhirnya terpaksa mencari perlindungan di Karthago. Di sini
ia memberi tahu senat bahwa ia tidak dapat memimpin mereka mencapai
kemenangan. Satu-satunya pilihan adalah berdamai dengan Roma. Senat
Kartagena menyetujui, dan Karthago menyerahkan diri pada Scipio. Untuk
kemenangannya, Scipio memperoleh gelar Scipio Africanus dari orangorang senegaranya. Karthago terpaksa menyerahkan armadanya, mengakhiri
ambisinya untuk menyebar ke arah Barat; lima ratus kapalnya ditarik jauh
dari pantai, di bawah perintah orang Romawi, dan dibakar, sampai habis dan
tenggelam.37 Perang Punik kedua sudah usai.
Hannibal yang telah membuang ambisinya untuk membela sebuah kota
yang hampir tidak diingatnya, tinggal di Karthago, bergabung dengan senat
dalam usahanya untuk membantu orang Kartagena membangun kembali
dunianya yang rusak. Untuk hal ini, ia hanya mendapat penghargaan kecil.
Enam tahun atau sekitar itu setelah Perang Zama, Hannibal mendapatkan
suatu informasi. Orang-orang senegaranya berencana untuk menyerahkannya pada pihak Romawi sebagai tanda niat baik.
Secepatnya ia mengambil kapal dan lari dari Karthago. Belum sampai
tujuh tahun ia kembali ke negeri asalnya. Ia tidak akan pernah kembali ke
situ lagi. G A R I S WA K T U 7 3
ROMA CHINA PARA PENERUS ALEXANDER
Ptolemeus Seleukus Lsymachus
-
Perang Asculum (279) Ptolemeus II (287)
Perang Punik Pertama (264) Antiokhus I Ptolemeus
Ceraunus
Runtuhnya Zhou (256) Antiokhus II Antigonus II
Chuang-hsiang dari Chin Ptolemeus III (246)
Cheng dari Chin Seleukus II Demetrius II
Antiokhus Agung
Dinasti Chin (221) Ptolemeus IV (222) Filipus V
Perang Punik Kedua (218) Shi Huang-ti
(dahulu Cheng)
Perang Cannae
Kaisar Kedua (209)
Perang Zama (202) Dinasti Han (202) Ptolemeus V (204) Perdamaian Fenisia
Gao Zu Perang Panium (198)
Pada usia , Antiokhus III sekarang sudah pada masa kekuasaan
yang ketiga puluh dua tahun atas kekaisaran Seleukia. Ia telah mendobrak
perbatasan Seleukia masuk ke wilayah-wilayah Mesir, dan memaksa Partia
maupun Baktria untuk berdamai, keberhasilan-keberhasilan yang nantinya
membuat ia digelari Antiokhus Agung. Sekarang ia memutuskan untuk
mengawali suatu sepak terjang: ke arah Barat dan merebut beberapa daerah
lagi di Asia Kecil, bahkan mungkin menyeberangi Hellespont dan mengambil
Thracia juga.
Ia mengetahui jika ia tidak membuat gerakan ke arah Barat, bangsa
Romawi pasti akan terus memaksanya. Terbuai oleh kemenangan mereka
atas Kartagena, pasukan Romawi sekarang balik berpaling ke arah Timur.
Kekuatan terbesar yang masih tersisa di dunia adalah kekaisaran Seleukia, dan
dengan ditaklukkannya Hannibal, Antiokhus III adalah musuh Roma yang
baru.
Raja yang akan terjepit di antara kedua kekuatan ini adalah Filipus V
dari Makedonia, yang berhasil muncul setelah Perang Makedonia Pertama
dalam keadaan baik. Masih ada penjaga perdamaian Romawi di Yunani, tetapi Makedonia sudah meningkatkan wilayahnya melalui Perdamaian Fenisia.
Dan sementara orang Romawi perhatiannya sedang tertuju pada Kartago,
Filipus V telah membuat perjanjian rahasia dengan Antiokhus III untuk
membagi wilayah-wilayah Mesir yang pernah menjadi milik para Ptolemeus.
Orang Romawi yakin bahwa Filipus V masih berniat untuk menyerbu
Yunani, dan mereka tidak ingin semenanjung itu dikuasai oleh pihak yang proraja Seleukia; Yunani perlu menjadi penahan antara Roma dan kekuatan
Antiokhus III. Di tahun 200, hampir sebelum perdamaian dengan Kartago
diakhiri, pasukan Roma bergerak ke arah Filipus V.
Liga Aetolia sekali lagi melompat ke pihak Roma, begitu juga dengan Athena
dan perang Makedonia Kedua ini, segera akan terjadi menjelang tahun 197.
Di dalam perang terakhir ini, yang terjadi di Cynoscephalae, serdadu-serdadu
Filipus begitu terpukul seluruhnya sehingga raja Makedonia takut ia mungkin
kehilangan tahtanya.1 Tetapi orang Romawi yang tidak ingin menghabiskan
dasawarsa berikutnya bertempur untuk mempertahankan kota-kota Yunani,
mengusulkan suatu perdamaian yang akan membiarkan Filipus V tetap tinggal
di Makedonia. Filipus harus melepaskan impiannya untuk menguasai kotakota Yunani, menyerahkan seluruh kapal perangnya, membayar denda, dan
menarik semua serdadunya dari wilayah Yunani. Konsul Romawi, Flaminus,
yang memimpin pasukan Romawi di Makedonia, diizinkan untuk memainkan
kartu Merodach-baladan/Napoleon/Sargon II/Cyrus: ia mengumumkan
bahwa orang Romawi sekarang sudah memerdekakan bangsa Yunani dari
penjajahan Makedonia. ”Seluruh Yunani, baik yang berada di Asia maupun
Eropa, akan bebas dan menikmati undang-undang mereka sendiri.” demikian
terbaca dalam dekritnya.
Polybius mencatat bahwa ada beberapa suara yang skeptis mengenai hal ini;
lebih dari satu pemimpin Aetolia menyatakan bahwa ”Bangsa Yunani tidak
diberi kemerdekaan, tetapi hanya berganti penguasa,”2
Tetapi orang Romawi
tetap memaksakan kebijakannya tanpa peduli (”Itu adalah tindakan yang
seluruhnya mengagumkan … bahwa bangsa Romawi dan jenderal mereka
membuat pilihan dengan menantang bahaya dan biaya untuk memastikan
kebebasan Yunani,” Polybius menyemburkan kata-katanya),3
dan kota-kota
Liga Achaea, termasuk Korintus, merasa senang menandatangani perjanjian
pro-Roma, selama perjanjian itu juga anti-Makedonia.
Tidak lama setelah semua perjanjian ditandatangani, Antiokhus III muncul di Utara. Pada tahun 196, ia telah memukul pemberontakan yang tidak
terorganisasi yang ditemuinya di Asia, menyeberangi Hellespont untuk menuntut Thracia, dan memandang rendah sekutu-sekutu baru Roma. Ia lebih
cenderung untuk mengawali perang dengan Roma daripada tidak, sebagian
karena ia sekarang sudah mempunyai seorang penasihat militer yang baru:
Hannibal, yang telah muncul di istana Seleukia setelah lari dari Kartago.
Hannibal telah meninggalkan kota asalnya dalam kepahitan dan kemarahan;
cintanya untuk Kartago sudah luntur, tetapi kebenciannya pada Roma tidak
berubah. Kedatangannya di istana Antiokhus III, sebuah kekuatan yang cukup
besar untuk menantang Roma, adalah kelanjutan dari obsesinya hidup: ”Ia
memberi kesan pada Antiokhus,” cerita Polybius, ”bahwa selama kebijaksa naan raja tetap bersikap bermusuhan pada Roma, ia bisa bergantung pada
Hannibal secara implisit dan memandangnya sebagai pendukungnya yang
paling tulus … karena apa pun yang terjadi ia akan selalu membantu untuk
mencelakai orang Romawi.”4
Merebut Yunani tidak diragukan lagi akan merugikan orang Romawi.
Kota-kota Yunani terperangkap di antara sebuah kekuasaan yang tua dan
menakutkan dari arah Timur Laut mereka dan sebuah kekuasaan baru dan
menakutkan dari arah Barat mereka, terbagi dalam kesetiaan mereka masing-masing. Kota-kota dari Liga Aegea tetap memelihara perjanjian mereka
dengan Roma, tetapi sebaliknya Liga Aetolia setuju untuk membuat persekutuan dengan Antiokhus III. Pasukan Romawi yang lebih banyak datang ke
sebelah Selatan Yunani, sedangkan pasukan Seleukia yang dipimpin Antiokhus
(yang ditemani oleh sekutu-sekutu Makedonia dan gajah-gajahnya) datang
turun dari arah Utara.
Kedua angkatan perang bertemu pada tahun 191 di Jalan Thermopylae.
Legiun Romawi didesak oleh konsul mereka dengan ucapan-ucapan yang
cenderung memperkuat kecurigaan terburuk para pemimpin Aetolia:
”Anda berperang untuk kemerdekaan Yunani,” teriak Konsul, ”supaya bebas
dari Aetholia dan Antiokhus, sebuah negera yang sebelumnya sudah Anda
bebaskan dari Filipus. Dan setelah itu Anda akan membuka jalan menuju
dominasi Roma atas Asia, Suriah, dan semua kerajaan kaya yang meluas sejauh
matahari terbit. Seluruh bangsa manusia akan memuja-muja nama Roma
seperti para dewa-dewa!”5
Itu bukanlah pidato kemerdekaan yang meyakinkan
secara khusus, tetapi muslihat itu berhasil. Kubu Romawi memukul mundur
angkatan perang Antiokhus, membunuh beribu-ribu, dan ia terpaksa mundur
seluruhnya dari semenanjung.
Kekalahan itu adalah awal dari akhir untuk Antiokhus Agung. Ketika ia
mundur, ia kehilangan juga wilayah-wilayah taklukanya di Asia Kecil; gubernur dari provinsi Asia Keil yang bernama Armenia, Artaxias I, mengangkat
dirinya sendiri sebagai raja sekitar tahun 190. Orang Romawi kemudian
membawa pertempuran ke seberang ke tanah Seleukia, di bawah seorang
anggota keluarga Scipio yang lain. Antiokhus menyerahkan komando angkatan laut kepada Hannibal, dan ia sendiri memimpin pertahanan darat, tetapi
keduanya kalah. Armada Hannibal menyerah di pantai Selatan Asia Kecil,
tentara Antiokhus kalah lagi, kali ini di Magnesia. Scipio mendapatkan gelar penghargaan Asiatikus untuk kemenangannya, sementara Antiokhus dipaksa
menandatangani Perjanjian Apamea, yang melucutinya dari hampir semua
angkatan lautnya dan juga wilayahnya di Utara pegunungan Taurus.
Filipus V pun tidak luput. Ia dihukum karena persahabatannya dengan
Antiokhus dengan kehilangan angkatan lautnya, kota-kota perbatasannya,
dan putranya Dimetrius, yang ditarik ke Roma sebagai sandera supaya ayahnya bertingkah laku baik.
Kekalahan Antiokhus menyemangati satrap-satrap lain untuk memberontak. Tahun berikutnya di tahun 187, Antiokhus Agung terbunuh dalam
sebuah perang kecil melawan sebuah satrap di Timur yang memberontak.
Putranya, Seleukus IV, mewarisi tahta Seleukia, tetapi dipaksa seperti Filipus
V untuk mengirimkan putra sulungnya dan pewarisnya ke Roma, juga sebagai sandera.
Hannibal yang kehilangan pelindungnya, melarikan diri. Plutarkhos
mengatakan bahwa ia akhirnya tinggal di sebuah kota kecil yang tidak jelas di
sebuah pantai di Laut Hitam, menggali tujuh terowongan bawah tanah di rumahnya, yang munculnya di suatu ”jarak yang jauh” dari segala arah, sehingga
ia tidak dapat dipojokkan oleh pembunuh bayaran Romawi.
Tetapi di tahun 182, pada usia enam puluh lima, ia dikenali oleh seorang
senator Romawi yang kebetulan sedang mengunjungi raja setempat. Senator
itu mengancam raja dengan amarah Romawi kalau Hannibal dibiarkan melarikan diri. Karena itu dengan berat hati, raja mengirimkan penjaganya sendiri
untuk menutup ketujuh jalan bawah tanah dan membunuh jenderal tua itu.
Daripada membiarkan dirinya ditangkap hidup-hidup, Hannibal meminum
racun. Kata-kata terakhirnya menurut Plutarkhos adalah ”Marilah kita menenteramkan orang Romawi dari ancaman dan kepedulian mereka yang terus
menerus.”6
A dari invasi Seleukia memberi kesempatan bagi kaum
Baktria di Timur untuk memperluas wilayah mereka. Raja mereka saat
itu, seorang Baktria Yunani bernama Dimetrius I, sudah mengincar daerah
tenggara: India, yang sejak masa Alexander Agung merupakan gambaran
kekayaan, yang menunggu untuk dikuasai.
Tidak ada seorang raja pun di India yang kuat dan bisa menahan invasi.
Setelah kematian Asoka, putra-putranya—mewarisi warisan ayahnya berupa
kekhusyukan filosofis—kehilangan genggaman atas tanahnya. Dalam lima
puluh tahun atau sekitar itu antara kematian Asoka dan tahun 240 dan
invasi Dimetrius I, tujuh raja Maurya turun tahta atas wilayah yang semakin
meredup.
Raja-raja Maurya yang terakhir adalah Brhadratha, yang reputasinya
sebagai pengikut Budha yang taat tercatat dalam teks-teks suci, yang menggambarkan masa pertobatannya selama seribu hari untuk mencari kebenaran.
Selama seribu hari ini, dikatakan bahwa ia mewariskan tahtanya kepada
putra sulungnya.7
Ini memberi kesan seorang raja dengan cengkeraman
kekuasaan yang mulai goyah; dan sebetulnya Brhadratha sudah kehilangan
kerajaannya pada suatu waktu sekitar tahun 185, oleh komandan angkatan
perangnya yang membunuhnya. Komandan itu seorang Hindhu yang taat
bernama Pusyamitra Sunga, ia menguasai apa yang tersisa dari kekaisaran
itu. Reputasinya tercatat dalam teks-teks Budha; dikatakan bahwa ia telah
memimpin penganiayaan terhadap agama Budha dalam upaya untuk mendirikan kembali Hindu ortodoks. Karena beberapa stupa (monumen suci
Budha) bertanggal pemerintahannya, mungkin ini tidak seluruhnya benar.
Yang dapat kita katakan dengan pasti adalah bahwa Pusyamitra mendirikan
sebuah dinasti, dan mulai melebarkan kerajaan Magadha lama. Tidak seperti
pendahulunya, ia mau berperang untuk kekuasaannya.
Tepat pada saat ini, Dimetrius I turun melalui Celah Khayber menuju
Punjab. Tidak ada cerita tertulis mengenai invasinya selanjutnya: untuk
merekonstruksi penaklukkan raja-raja Baktria Yunani, kita harus mengikuti
jejak koin-koin yang mereka tinggalkan (setiap raja mencetak koin dengan
potretnya, akibatnya meskipun secara praktis kita tidak mengetahui apa-apa
mengenai raja-raja ini, kita tahu bagaimana wajah mereka). Sejauh yang diperkirakan, kota-kota pertama yang dijumpai Dimetrius I adalah Purushaputra
dan Taxila, yang telah merdeka dari Maurya untuk beberapa waktu dan belum
dikuasai oleh Pusyamitra. Ia merebut keduanya, dan pada tahun 175, kelihatan Dimetrius I berperang melalui Punjab.
Sementara raja Sunga Pusyamitar melebarkan kekuasaannya sepanjang
Timur dan Barat Daya. Kedua kerajaan India ini berbatasan satu sama lain,
Yunani dan pribumi bersebelahan.
K , Putra Filipus V yang disandera (juga bernama Dimetrius) sudah dipulangkan dari Roma, dan disambut oleh rakyat
Makedonia dengan penuh kegembiraan sehingga mematahkan hidung adiknya. Pemuda ini, Perseus, telah menjadi pewaris yang nyata selama Dimetrius
menjadi tawanan; sekarang kesempatannya atas tahta terancam.8
Ia mulai
menghasut Filipus V bahwa Dimetrius yang baru dibebaskan telah dicuci
otaknya oleh orang Romawi, yang mempunyai niat mendudukkannya ke
atas tahta Makedonia sebagai boneka Romawi. ”Di dalam anggota keluarga
kita,” katanya dengan enggan, ”aku tidak ingin mengatakannya, ada seorang
pengkhianat, paling tidak mata-mata. Orang Romawi telah mengembali kan tubuhnya kepada kita, tetapi mereka telah merebut hatinya.”9
Di tahun
181, Filipus mempercayai kecurigaan itu. Menurut Livius ia memerintahkan
untuk memasukkan racun ke dalam cangkir Dimetrius; pemuda itu pada
awalnya merasakan sakit, tapi kemudian ia menyadari apa yang telah terjadi,
dan meninggal sambil meneriakkan kekejaman ayahnya. Filipus sendiri meninggal dua tahun kemudian dan Perseus menjadi raja
Makedonia. Ia mengirimkan pesan persahabatan kepada Roma, tetapi pesanpesan itu menipu; ia sedang mengumpulkan Makedonia untuk sekali lagi
menyerbu Yunani.
Niatnya menjadi jelas ketika ia menikahi salah satu putri Seleukus IV.
Tetapi ia tidak bisa minta bantuan Seleukia untuk melawan Roma; Seleukus IV
dibunuh oleh perdana menterinya tepat setelah pesta perkawinan, dan suatu
perkelahian besar memperebutkan suksesi pecah. Adik laki-laki Seleukus IV,
Antiokhus IV (kemudian terkenal dengan nama Antiokhus Epiphanes), memenangkan hak untuk bertindak sebagai wali atas putra Seleukus yang masih
bayi, yang kemudian dibunuhnya.
Perseus, sementara itu, berangkat untuk menaklukkan Yunani tanpa
menimbulkan kecurigaan dari pihak Roma. Polybius mengatakan bahwa
ia bergerak melalui Yunani pusat dan Utara dan singgah ke berbagai kota
untuk ”mendapatkan kepercayaan mereka”, sambil berhati-hati supaya jangan
sampai ”menimbulkan kerusakan” pada wilayah yang dilewatinya.10 Ini
berlangsung selama tiga tahun atau sekitar itu sebelum salah satu raja Yunani
— Eumenes, penguasa kota Pergamum, di Asia Kecil — pergi ke Roma secara
pribadi untuk mengeluhkan kelakuan Perseus. Perseus mengirimkan seorang
pembunuh untuk mengjar Eumenes dan menutup mulutnya; ini adalah suatu
kesalahan, karena pembunuhan itu gagal dan tuduhan itu malah terbukti.
Di tahun 171, tujuh belas ribu tentara Romawi pergi menuju Makedonia,
memperingati Perang Makedonia Ketiga. Perseus mengirimkan seorang duta
besar ke Roma untuk menanyakan, dengan nada terluka, mengapa orang
Roma mengganggunya. ”Pulanglah dan katakan pada rajamu bahwa, kalau ia
betul-betul menginginkan jawabannya, ia harus berbicara pada konsul yang
akan segera datang di Makedonia dengan pasukannya,” para duta besar itu
diberi tahu.
Perang Makedonia III berlangsung sekitar tiga tahun, seperti yang
Kedua; persis seperti pada perang yang Kedua, orang Romawi akhirnya
menghancurkan Makedonia dalam suatu perang besar yang penuh celaka,
kali ini di Pydna. Tidak seperti Perang Makedonia Kedua, perang Ketiga
mengakhiri keberadaan Makedonia. Orang Romawi sudah muak ikut
dalam perang-perang kecil yang tidak menyenangkan di Utara Yunani. Pada
tahun 168, Perseus ditarik kembali ke Roma sebagai tawanan, dan konsul
Roma mengatur pembagian Makedonia menjadi empat buah negara jajahan.
Kerajaan Makedonia yang dibuat oleh Alexander telah berakhir.
U datang ke istana Antiokhus Epiphanes untuk menanyakan
padanya apakah ia berniat untuk mendukung perang Perseus dengan Roma;
Antiokhus Epiphanes berhasil meyakinkan mereka, dengan kebenaran yang
sempurna, bahwa ia tidak mempunyai niat untuk bergabung dengan Perseus
melawan Roma.12
Sebaliknya ia sedang merencanakan untuk menginvasi Mesir. Raja Mesir
yang muda Ptolemeus VI, di bawah arahan para walinya, telah menuntut
agar kekaisaran Seleukia mengembalikan tanah-tanah Semit Barat; kerajaan
Israel tua, Yuda, Suriah, dan beberapa lagi yang mengelilingi daratan, yang
diambil oleh Antiokhus Agung dari dinasti Ptolemeus . Mereka semua sudah dimasukkan dalam sebuah satrap yang bernama ”Coele Suriah,” dan Mesir
ingin mendapatkannya kembali. Sebaliknya Antiokhus Epiphanes menggerakkan angkatan perangnya
turun dan merebut Alexandria, sementara Roma sedang sibuk berperang di
Makedonia. Tetapi ia terlalu berlebihan menilai Roma dalam mengurus masalah Perseus. Senat tidak buta terhadap permintaan perluasan wilayah yang
mencolok ini; seorang duta besar Roma muncul di perkemahan Antiokhus
dengan sebuah surat menuntut Antiokhus mundur dan membiarkan Mesir
diurus oleh Ptolemeus . Antiokhus menawarkan untuk membicarakan persoalan ini dengan penasihat-penasihatnya dulu, tetapi si duta besar (menurut
Livius) ”menggambar lingkaran di sekitar raja dengan tongkat yang dibawanya dan berkata, ’Sebelum Anda melangkah keluar dari lingkaran, berikan
jawaban padaku untuk dibeberkan di depan Senat.’ Untuk beberapa saat ia
ragu-ragu, terkejut atas perintah yang begitu menekan, dan akhirnya menjawab, ’Aku akan melakukan apa yang benar menurut Senat.’13 Ia tidak siap
untuk memanggul beban kemarahan Roma.
Sebaliknya, ia bergerak kembali ke pantai dan melampiaskan kemarahan-
nya pada satrap Coele Suriah, dan mulai mengadakan pembersihan terhadap
semua pihak yang menunjukkan simpati pada permintaan Mesir. Ini termasuk banyak penduduk Yerusalem: ”Pada saat yang bersamaan Antiokhus yang
disebut Epiphanes itu bertengkar dengan Ptolemeus yang keenam tentang
haknya atas seluruh negara Suriah,” kata Josephus dalam bukunya ”Wars of the
Jews,” …(ia) mendatangi kaum Yahudi dengan membawa banyak pasukan,
merebut kotanya dengan kekerasan, dan memukul lebih banyak lagi pihakpihak yang lebih suka pada Ptolemeus, dan … merampas kuil.”14
Perampasan kuil ini murni tidakan oportunistis; Antiokhus sudah
bangkrut dan memerlukan harta karun suci itu. Dalam perjalanannya melewati Yudea, ia tidak hanya merampok harta karun kuil dan menyembelih
banyak warga negara Yerusalem, tetapi ia juga menempatkan sebuah garnisun
di Yerusalem untuk menjaga kaum Yahudi supaya tetap setia.15
Garnisun itu merupakan prosedur standar bagi seorang penakluk, tetapi rencana Antiokhus Epiphanes untuk mempertahankan kesetiaan orang
Yahudi sangat menyesatkan. Ia tidak tahu apa-apa tentang agama Yahudi;
rencananya untuk melipat orang Yahudi lebih kencang ke dalam lipatan
Seleukia (dan menjauhkan mereka dari pagar Ptolemeus ) adalah mengubah
cara pemujaan di kuil sehingga Yahweh mereka menjadi sama dengan Zeus.
Kepala dewa ini kemudian akan dipuja sebagai manifestasi pribadinya sendiri:
Antiokhus Epiphanes, ”epifani/titisan/perwujudan” atau wahyu dari YahwehZeus di dunia.16
Ini adalah percampuran standar antara panteon/kuil Yunani dengan pemikiran Persia mengenai sifat ketuhanan seorang raja, seperti yang bisa kita
harapkan dari seorang penguasa Yunani dari kerajaan Persia yang lama. Untuk
orang Yahudi, yang (tidak seperti kebanyakan orang purba) tidak saja hanya
percaya pada pada satu Tuhan, tetapi bahwa Tuhan berbeda secara esensial
dari manusia, sehingga tindakan Antiokhus itu merupakan penghujatan yang
mengerikan. Antiokhus ingin mereka menyajikan kurban untuk Zeus di kuil,
dan merayakan hari ulang tahunnya sendiri sebagai perayaan yang religius.
Orang Yahudi dari Yerusalem pergi bersembunyi karena tidak mau melaksanakannya, atau harus dipukuli dulu supaya patuh. Antiokhus, yang
marah karena kebebalan mereka, menyatakan Yudaisme sebagai agama yang
tidak sah. Siapa pun yang menolak makan babi jika diperlukan (ini melanggar peraturan agama Yahudi) atau kedapatan membawa sebuah salinan
dari kitab suci Yahudi akan dihukum mati. ”Dua orang perempuan ditangkap karena menyunati anak-anak mereka,” menurut catatan buku 2 Makabe.
”Wanita-wanita ini diarak di depan umum berkeliling kota, dengan anakanaknya tergantung di payudara mereka, lalu kepala mereka dilemparkan ke
tembok.”17
Tingkat kebiadaban ini berlangsung kurang dari setahun sebelum terjadi revolusi di antara para kaum Yahudi. Pemberontakan ini dipimpin oleh
sekeluarga yang terdiri dari lima laki-laki bersaudara yang merupakan keturunan dari sebuah suku tua yang terdiri dari para imam. Kakak yang tua,
Yudas adalah jenderal dari pemberontakan itu; ia pergi ke pedesaan, mendaftar orang- orang Yahudi yang peduli, sampai ia mendapatkan enam ribu
orang yang bergabung dengannya dalam perang gerilya melawan penjajah
Seleukia. ”Datang tanpa peringatan,” menurut 2 Makabe, ia akan membakar
kota-kota dan dusun-dusun. Ia menangkap posisi strategis dan membuat beberapa musuhnya kocar kacir. Ia berpendapat bahwa malam adalah saat yang
paling menguntungkan untuk penyerangan semacam itu, dan pembicaraan
mengenai keberaniannya tersebar ke mana-mana.”18 Ia mendapat nama julukan sebagai pembela kemerdekaan, ”Yudas Makabeus,” atau ”Yudas si Palu,”
dan pemberontakan itu menjadi terkenal sebagai Perang Makabe.
Kemarahan kaum Yahudi dan kesulitan-kesulitan Antiokhus sendiri di
tempat lain (ia harus mengirimkan pasukan ke Utara untuk menghadang
para Partia) memperpanjang masa pemberontakan. Begitu juga faktor
lain: Yudas membuat ”sebuah liga persahabatan dengan pihak Romawi.”
seperti yang dikatakan oleh Josephus; Roma sangat ingin terus menyelidiki
kekuasaan Seleukia.19 Persekutuan Yahudi-Roma tidak berlangsung lama,
tetapi membantu membebaskan Yerusalem dari tangan Antiokhus selama
empat tahun penuh.
Pada akhir zaman itu, Antiokhus Epiphanes meninggal, dan seperti biasa
perkelahian dalam negeri memperebutkan suksesi dimulai. Tidak seorang
pun mempunyai energi untuk mengirimkan serdadu lagi ke Yerusalem,
dan Yudas menyatakan dirinya sebagai raja dari kota itu: raja pertama dari
dinasti Hasmone dari Yerusalem. Akhirnya keponakan Antikchus, Demetrius I (jangan dicampuradukan dengan Demetrius dari Baktria Yunani atau
Demetrius dari Makedonia), berhasil mengangkat dirinya menjadi raja
kekaisaran Seleukia. Ketika mahkotanya sudah melekat erat di kepalanya,
ia mengirimkan satu pasukan untuk menguasai kembali Yerusalem . Yudas
terbunuh dalam pertarungan, dan Yerusalem sekali lagi menjadi bagian dari
Coele Suriah, di bawah mahkota Seleukia. Tetapi Demetrius I, mengambil
pelajaran dari pamannya yang sudah meninggal, yang membuat keputusankeputasan yang berakhir dengan malapetaka, menghadiahi saudaranya,
Yonathan, kebebasan yang cukup untuk memerintah kaum Yahudi karena
dipandang layak, sepanjang ia tetap setia sebagai gubernur kekaisaran itu.
Yonathan, menurut Josephus, ”bertingkah laku dengan sangat hati-hati,”
artinya ia bukanlah seorang pejuang kemerdekaan yang berkepala panas
seperti kakaknya.20 Ia bersikap sopan terhadap pejabat-pejabat Seleukia, dan
berhasil tetap berkuasa di Yerusalem selama hampri dua puluh lima tahun.
S , Roma sedang bersinar dengan terang.
Sesuatu yang luar biasa terjadi beberapa tahun yang lalu. Di tahun 180,
kota Cumae, di Campania meminta izin untuk mengubah bahasa resminya,
dari dialek Oskan purba menjadi Latin.
Orang-orang Cumae sudah mendapatkan hak istimewa civitas sin suffragio,
kewarganegaraan tanpa hak pilih; civitas sin suffragio lebih seperti persekutuan
daripada hal lain, suatu hak yang sebenarnya merusak identitas asli kota-kota
yang memegang hak tersebut.21 Sekarang orang-orang Cumae meminta suatu
peningkatan identifikasi pada Roma. Mereka tidak sepenuhnya menjadi
bangsa Romawi; tidak juga sepenuhnya melepaskan bahasa Oskan. Tanpa
meninggalkan identitas mereka sebagai bangsa Cumae, mereka membuat
suatu identifikasi dengan sukarela, tidak hanya berhubungan dengan politik
Romawi, tetapi juga dengan kebudayaan Romawi.
Orang-orang Yunani tidak pernah harus membuat janji persatuan yang dikeluarkan secara formal seperti itu, karena mereka memang berbahasa Yunani.
Mungkin bahasa mereka yang sama tidak membiarkan Pan Helenik menginjak-injak identitas mereka sebagai bangsa Sprata, Athena, Korintus, Theba.
Tetapi status Latin resmi membolehkan orang Cumae tetap menjadi orang
Cumae. Latin tidak akan menjadi bahasa mereka satu-satunya, tetapi akan
digunakan untuk perdagangan dan administrasi, yang mengikat orang-orang
Cumae menjadi satu dengan kota-kota lain dan bangsa-bangsa yang mempertahankan identitasnya sendiri, tetapi berdampingan dengan yang lain.
Roma mengabulkan permintaan itu. Cumae dapat menggunakan Latin
sebagai bahasa resminya, dan dengan begitu menjadi orang Romawi. Orang
Romawi sendiri tidak merasa perlu menghapus lebih lanjut identitas lama dari kota-kota jajahannya, untuk menggantikan adat istiadat lama dengan adat
istiadat Romawi, kesetiaan lama dengan kesetiaan Romawi, dewa-dewa lama
dengan dewa-dewa Romawi.
Tetapi penganugerahan identitas Romawi itu hanya berlangsung sejauh
itu. Orang-orang dari kota-kota taklukkan membanjiri Roma, akibat yang
berbahaya adalah jumlah orang asing yang bebas mengalahkan jumlah orang
kelahiran Roma yang bebas . Pada tahun 168, sensor (petugas sensus) bernama Sempronius Gracchus mulai mendaftar semua orang bebas kelahiran
asing sebagai satu suku. Mereka bisa menjadi seorang Romawi, seperti orang
Cumae. Mereka bahkan mempunyai hak pilih. Tetapi berapa pun banyaknya yang datang ke Roma, mereka tidak pernah dapat mengalahkan hak pilih
penduduk asli Roma
G A R I S WA K T U 7 4
ROMA PENERUS ALEXANDER
-
Ptolemeus III (246)
Seleukus II Dimetrius II
Antiokhus Agung
Ptolemeus IV (222) Filipus IV
Perang Punik Kedua (218)
Perang Kana
Perang Zama (202) Ptolemeus V (204) Perdamaian Phoenice
Perang Makedonia Kedua Perang Panium (198)
Seleukus IV (187)
Cumae mengubah bahasanya mejadi Latin Ptolemeus VI (180) Perseus
Antiokhus Epifanes Perang Makedonia Ketiga Perang Pydna (168)
Antiokhus V
Dimetrius I
G , ,*
lahir sebagai seorang petani; sekarang
ia memerintah China di mana keluarga-keluarga bangsawan lama dari negara-negara bagian baru mulai bermunculan kembali sebagai jawaban dari
kekerasan Ch’in. Masalah persatuan yang lama telah menghilang.
Sebaliknya, negara-negara bagian China sudah lelah berperang, dan Gao
Zu berhasil mempertahankan kesatuan kekaisaran dengan kombinasi yang
cerdas antara kekuasaan tirani dan janji kemerdekaan. Ia bergerak dengan
pasukannya melawan adipati mana pun yang menunjukkan tanda-tanda akan
berevolusi, tetapi ia juga memproklamasikan suatu pengampunan umum ke
seluruh kekaisaran, dalam arti bahwa semua keluarga bangsawan yang pada
saat itu tidak berencana untuk memberontak dapat hidup bebas jauh dari rasa
takut akan penangkapan dan hukuman mati secara acak.
Kepada mereka yang sudah membantunya mendirikan kekuasaannya,
ia menganugerahi pembebasan pajak dan pelayanan. Di suatu kota yang
memberontak, di mana ia terpaksa mengepungnya selama lebih dari satu
bulan, ia menganugerahkan pengampunan mutlak kepada setiap orang yang
melawannya, sepanjang mereka belum memaki-makinya; hanya mereka
yang mengumpatnya dihukum mati.1
Kaisar-kaisar Ch’in mengepalkan tinju
kekaisarannya semakin ketat dan ketat; Raja Han membuka tangannya dan
memberikan pembebasan sebagai penghargaannya.
Perang-perangnya yang terbesar dilakukannya untuk melawan orang luar.
China, tidak seperti peradaban di sebelah Barat, tidak menghadapi gangguan
dari angkatan perang lain secara terus menerus. Melainkan bangsa nomad
yang berkelana sepanjang tapal batas Utara selama berabad-abad. Tembok-
tembok yang dibangun sepanjang pinggiran daerah Utara, di negara-negara
bagian Utara China yang lama, yang sekarang sedang dihubungkan menjadi
sebuah Tembok China Besar, pertama kali didirikan sebagai suatu pertahanan
terhadap penyerbuan bangsa nomad yang oleh negara-negara bagian China
dianggap barbar, bukan orang China tulen, di luar perbatasan masyarakat
Chinayang tulen.
Bangsa nomad ini tidaklah sebarbar seperti anggapan Orang China.
Sebetulnya suku-suku nomad yang paling dekat sudah mulai mengorganisasikan
diri dalam suatu persekutuan yang tidak ketat, sebagai suatu bangsa yaitu:
Xiongnu.
Persekutuan suku-suku ini, masing-masing mempunyai seorang
pemimpin, dan berada di bawah kekuasaan seseorang yang ditunjuk sebagai
raja mereka, atau chanyu. Sebetulnya konfederasi Xiongnu mengambil model
pemerintahan China di Selatan.
Orang-orang itu sendiri mungkin berasal dari Ti, Jung, dan kaum barbar
lain yang pernah muncul dalam cerita-cerita terdahulu.3
Mereka tidak begitu
berbeda dari ”China yang sebenarnya,” seperti dikemukakan Sim Qian sendiri
dengan seenaknya ketika ia mengatakan bahwa Xiongnu berasal dari anggota
Dinasti Hsia.4
Tetapi ini adalah kemiripan,yang tidak dipedulikan oleh kebanyakan orang China, karena Qian juga mengemukakan bahwa tentu saja
mereka itu lebih rendah daripada manusia.
Selama masa-masa awal Han, Chanyu Xiongnu adalah seorang jenderal
bernama Mao-tun; ia adalah satu dari beberapa pemimpin nomad yang namanya masih bertahan dan ia mengorganisasikan konfederasinya sampai pada
tahap di mana mereka mempunyai tempat perkumpulan tahunan (di suatu
tempat di Mongolia Luar) dan sesuatu sistem yang mirip voting.5
Gao Zu
mengumpulkan kekuatan besar yang terdiri dari tiga ribu orang dan bergerak
ke arah Utara untuk menghadapinya. Bangsa nomad ini, seperti kaum Scythan
seabad sebelumnya, mobilitasnya menguntungkan mereka; mereka mundur
sampai kaisar dan pasukan pribadinya sudah berkuda jauh di depan angkatan
perangnya yang besar, dan kemudian mereka membalik—dengan kekuatan
empat ratus ribu pasukan berkuda—dan menyerang. Gao Zu memerlukan
waktu tujuh hari untuk berjuang mencari jalan keluar guna membebaskan
dirinya.6
Setelah itu, Gao Zu memutuskan bahwa lebih baik berdamai, Kekaisarannya
masih dipenuhi jenderal-jenderal lain yang sudah bertempur melawan Ch’in
dan yang belum juga mendapatkan tahta; dengan mereka di punggungnya,
ia tidak ingin mengawali perang lagi, melawan kekuatan luar, ia mengirimi Xiongnu hadiah-hadiah uang untuk menenangkan mereka, dan—mengakui
kekuasaan Mao Tun dengan cara yang mengejutkan—ia juga mengirimkan
salah satu putrinya untuk dipersunting oleh raja pejuang ini.
M- kurang begitu lancar. Gao Zu wafat pada tahun
195 setelah masa pemerintahan yang hanya tujuh tahun, dan diteruskan oleh
Hui-ti, putranya yang muda. Tetapi kekuasaan yang sesungguhnya dari istana
Han dipegang oleh janda Gao Zu, Kao-hou, yang memerintah sebagai janda
permaisuri pewaris dan menjadi wali dari putranya.
Kao-hou bukanlah satu-satunya istri kaisar (ia juga mempunyai sekumpulan putra yang lahir dari wanita-wanita bangsawan yang menjadi istrinya
dan selir-selirnya setelah ia bergelar kaisar), tetapi ia sudah menjadi istrinya
sejak ”ia masih menjadi seorang rakyat biasa.” Ia adalah seorang ”perempuan
yang mempunyai kemauan yang kuat,” dan putranya Hui-ti adalah seorang
yang ”wataknya lemah dan berhati lembek.”7
Ia meracuni dan membunuh
sebarisan pangeran dan isteri kerajaan, dalam kejahatan yang luar biasa yang
membuat putranyasakit : ”Kaisar Hui melarikan diri ke minum keras,” kata
Sima, ”dan tidak lagi ikut campur dalam urusan kenegaraan.”8
Pada usia dua
puluh tiga, ia meninggal. Ibunya tidak patah hati: ”Perkabungan diumumkan dan Permaisuri Pewaris meratap,” tulis Qian, ”tetapi tidak ada air mata
jatuh dari matanya.”9
Sebetulnya kematian putranya memberi kesempatan padanya untuk
memasang berbagai jenderal, menteri, sekretaris, dan adipati yang akan
memperkokoh kekuasaannya sendiri. Dengan bekerja sama dengan janda
Hui-ti, ia mengeluarkan seorang bayi yang diakuinya sebagai pewaris
nyata Hui-ti; gosip istana mengatakan bahwa anak itu sebenarnya adalah
anak pelayan wanita (Ternyata Hui-ti terlalu mabuk untuk menjadi ayah
bagi seorang putra). Kaisar baru diangkat, tetapi ketika ia semakin besar ia
mulai menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang aneh tentang orang tuanya.
Permaisuri Pewaris kemudian memerintahkannya untuk dibunuh dan
menunjuk seseorang yang dianggap sebagai putra Hui-ti menjadi kaisar di
istananya.10
Permainan pergantian suksesi ini membuatnya tetap berkuasa selama
sembilan tahun lagi, tetapi pada waktu ia meninggal di tahun 179, ia sudah
menjadi begitu tidak populer sehingga keluarga istana bangkit dan membunuh
setiap keluarga Kao-hou yang dapat mereka temui. Pengkikishabisan
keluarganya ini membuat tahta dan beberapa kedudukan yang baik dalam
pemerintahan terbuka tetapi Dinasti Han—tidak seperti Ch’in—dapat
bertahan, khususnya dalam krisis ini. Meskipun ada kekacauan di istana,
tahta tidak larut oleh kesalahurusan yang parah oleh orang-orang yang membuat keluarga Kaisar Pertama begitu tidak disukai: ”Rakyat bisa berhasil
melupakan penderitaan yang dialami pada zaman Negara-Negara Bagian
Berperang,” para pakar sejarah besar menyimpulkan, ” dan penguasa dan rakyat
bersama-sama mencari kedamaian dengan mengakhiri tindakan-tindakan …
Hukuman jarang dilaksanakan … sedangkan orang-orang menyibukkan diri
pada tugas-tugas pertanian, dan sandang dan pangan menjadi berlimpah.”11
Tahta berhasil mempertahankan diri dari kaum barbar dan tidak meng