Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 32

 


�� oleh  generasi  selanjutnya  hanya  sebagai  Scipio—kebencian  pribadi 

terhadap Karthago, perasaan yang sama yang dirasakan Hannibal terhadap 

Roma.  Di tahun 209, Scipio bergerak ke Karthago Baru untuk membalaskan 

dendam ayahnya.  Perebutannya atas kota itu berhasil.  Hasdrubal lari dan 

mengikuti rute kakanya melalui pegunungan Alpen dan menyeberanginya.  

Ini bukalah hal yang buruk bagi orang Kartagena karena Hasdrubal tidak 

hanya membawa pasukannya sendiri, tetapi delapan ribu anggota wajib mili￾ter berbangsa Celtic dan menjemput beberapa orang lagi dalam perjalanannya 

dari  Karthago  Baru  ke  pegunungan  Alpen.    Ia  mengirimkan  surat  kepada 

Hannibal, berjanji untuk bertemu dan menggabungkan pasukan di Umbria.  

Surat itu dicegat oleh perwira-perwira Romawi dan dibaca.  Segera pasu￾kan Romawi yang terdekat berbalik untuk membuat penyerangan mendadak 

pada Hasdrubal sebelum ia dapat turun ke Umbria.  Sekutu-sekutu Hasdrubal 

tidak  bertingkah  laku  dengan  baik  (”Orang  Gallia  selalu  kurang  stamina,” 

komentar Livius).33 Lebih dari lima puluh ribu orang Hasdrubal jatuh, dan 

Hasdrubal sendiri, melihat bahwa ia menemui malapetaka, berlari langsung 

ke arah gerombolan orang Romawi di depannya dan gugur bertarung.  Orang 

Romawi  memotong  kepalanya,  mengawetkannya  dengan  hati-hati,  dan 

membawanya, ketika mereka mencapai pos Hannibal, mereka melemparkan 

kepala itu ke dalam perkemahan Hannibal. Hannibal sudah kehilangan baik adiknya maupun koloni Iberia, yang telah 

menjadi  provinsi  Roma.   Timbangan  sudah  mulai  seimbang,  pelan-pelan, 

condong pada pihak Roma; dan orang Romawi meletakkan ibu jari pada tim￾bangan  dengan  menutup  garis  depan  kedua  mereka  di  Makedonia  supaya 

dapat berkonsentrasi pada Karthago.  Di tahun 207, tahun yang sama dengan 

kematian Hasdrubal, serdadu Romawi mulai menarik diri dari peperangan 

yang  tidak  menghasilkan  apa-apa di  semenanjung Yunani.    Baik  kota-kota 

Yunani dan Filipus V sendiri sudah, seperti diungkapkan oleh Livius, ”muak 

akan perang yang panjang dan meleahkan,” dan orang Romawi sendiri dapat 

melihat  bahwa  pasukan-pasukan  lebih  diperlukan  berada  dekat  dengan 

rumah.  Scipio mengusulkan bahwa medan perang baru seharusnya adalah 

Afrika Utara; Orang Romawi harus pergi menyerang dan berlayar langsung 

ke  Karthago,  suatu  strategi  yang  mungkin  bisa  mencongkel  Hannibal  dari 

daerah pedesaan Italia.  

Di tahun 205, Filipus V, menandatangani suatu perjanjian dengan kota￾kota Yunani di sebelah Selatan, Perdamaian Fenisia. Perjanjian itu memberikan 

bangsa  Romawi  kekuasaan  atas  beberapa  kota-kota  kecil,  mengembalikan 

wilayah-wilayah  lain  kepada  Makedonia,  dan  menghentikan  kebencian 

antara Makedonia dan Liga Aetolia.  Dengan seluruh serdadu sekarang bebas 

menyerbu Afrika, Scipio menyiapkan satu pasukan invasi.  Di tahun 204, 

ia mendarat di pantai Afrika Utara dengan pasukan gabungan Romawi dan 

tentara bayaran Afrika Utara.  

Invasi  itu  seperti  yang  diharapkannya  terjadi:    pihak  Kartagena 

mengirimkan  pesan  dalam  keadaan  bingung  untuk  minta  bantuan  pada 

Hannibal.  Dan Hannibal pulang ke rumah.  Ia bertindak demikian karena 

patriotisme, tetapi ini adalah patriotisme yang semu dan segan;  ia belum 

pernah tinggal di negara tempat kelahirannya sejak umur sembilan tahun, 

dan  ia  meninggalkan  sebagian  besar  orang-orangnya  di  Italia,  mungkin 

dengan  harapan  akan  cepat  kembali.    Ia  belum  sepenuhnya  memenuhi 

keinginan ayahnya;  Roma masih berdiri.  ”Jarang sekali ada orang buangan 

yang meninggalkan negara asalnya dengan hati begitu berat seperti Hannibal 

ketika ia meninggalkan negara musuh-musuhnya”, kata Livius.  ”Berkali-kali 

ia  menoleh  ke  belakang  ke  pantai-pantai  Italia  …  mengucapkan  sumpah 

serapah pada dirinya sendiri karena tidak memimpin pasukannya langsung 

ke Roma.”35

Begitu  tiba  di  Karthago,  ia  merekrut  sepasukan  orang  Kartagena  yang 

enggan dan tentara bayaran Afrika untuk bergabung dengan beberapa veteran 

yang dibawanya bersamanya.  Lalu, di tahun 202, Hannibal dan Scipio ber￾temu untuk merundingkan perdamaian di Zama, sedikit ke Selatan Tanjung 

yang  Cerah.    Mungkin  perundingan  perdamaian  itu  murni,  tetapi  Scipio sudah  meminta  bala  bantuan,  dan  sedang  menunggu  kedatangan  mereka. 

Kekalahan  di  Cannae,  empat  belas  tahun  yang  lalu,  masih  segar  dalam 

ingatan orang Romawi; putra-putra muda dari para tentara yang sudah gugur 

sekarang  sudah  berumur  dua  puluhan  tahun,  siap  berperang  dan  menga￾muk.  

Bala  bantuan  Roma  datang;  perundingan  perdamaian sekali  lagi  gagal; 

dan orang Romawi dan Kartagena mengalami bentrokan lagi dalam perang 

untuk terakhir kalinya. Scipio sudah merencanakan dengan matang. Di dae￾rah  pedesaan  Italia  yang  terbuka,  Hannibal,  yang  selalu  berperan  sebagai 

agresor,  tidak  terkalahkan.    Tetapi  keadaannya  kini  sudah  sudah  terbalik. 

Ia sedang bertempur dalam perang untuk mempertahankan diri  di medan 

yang berbatu-batu, dengan pasukan yang ”terdiri dari orang-orang yang tidak 

mempunyai bahasa, kebiasaan, undang-undang, senjata, pakaian, penampilan 

yang sama, maupun alasan yang sama untuk melayani.”36 Kebanyakan dari 

mereka berperang untuk uang, dan untuk memperoleh bagian dari barang 

rampasan; dan ketika pasukan Scipio menerjang mereka, terlalu banyak dari 

mereka yang mematahkan barisan dan mundur ketakutan.  

Perang Zama  berakhir  dengan  Scipio  menguasai  medan secara  mutlak; 

Hannibal  akhirnya  terpaksa  mencari  perlindungan  di  Karthago.    Di  sini 

ia  memberi  tahu  senat  bahwa  ia  tidak  dapat  memimpin  mereka  mencapai 

kemenangan.    Satu-satunya  pilihan  adalah  berdamai  dengan  Roma.  Senat 

Kartagena menyetujui, dan Karthago menyerahkan diri pada Scipio. Untuk 

kemenangannya,  Scipio  memperoleh  gelar  Scipio  Africanus  dari  orang￾orang senegaranya.  Karthago terpaksa menyerahkan armadanya, mengakhiri 

ambisinya untuk menyebar ke arah Barat; lima ratus kapalnya ditarik jauh 

dari pantai, di bawah perintah orang Romawi, dan dibakar, sampai habis dan 

tenggelam.37 Perang Punik kedua sudah usai. 

Hannibal yang telah membuang ambisinya untuk membela sebuah kota 

yang hampir tidak diingatnya, tinggal di Karthago, bergabung dengan senat 

dalam  usahanya  untuk  membantu  orang  Kartagena  membangun  kembali 

dunianya yang rusak.  Untuk hal ini, ia hanya mendapat penghargaan kecil. 

Enam tahun atau sekitar itu setelah Perang Zama, Hannibal mendapatkan 

suatu informasi.  Orang-orang senegaranya berencana untuk menyerahkan￾nya pada pihak Romawi sebagai tanda niat baik.  

Secepatnya  ia  mengambil  kapal  dan  lari  dari  Karthago.  Belum  sampai 

tujuh tahun ia kembali ke negeri asalnya.  Ia tidak akan pernah kembali ke 

situ lagi.  G A R I S WA K T U 7 3

  ROMA  CHINA  PARA PENERUS ALEXANDER

    Ptolemeus      Seleukus  Lsymachus

      -

  

 

 Perang Asculum (279) Ptolemeus II (287)

 Perang Punik Pertama (264) Antiokhus I Ptolemeus 

 Ceraunus

 Runtuhnya Zhou (256) Antiokhus II Antigonus II

 Chuang-hsiang dari Chin Ptolemeus III (246)

 Cheng dari Chin Seleukus II Demetrius II

 Antiokhus Agung

 Dinasti Chin (221) Ptolemeus IV (222) Filipus V

 Perang Punik Kedua (218) Shi Huang-ti

 (dahulu Cheng)

 Perang Cannae 

 Kaisar Kedua (209) 

 Perang Zama (202) Dinasti Han (202) Ptolemeus V (204) Perdamaian Fenisia 

 Gao Zu Perang Panium (198)



Pada usia  , Antiokhus III sekarang sudah pada masa kekuasaan 

yang ketiga puluh dua tahun atas kekaisaran Seleukia. Ia telah mendobrak 

perbatasan Seleukia masuk ke wilayah-wilayah Mesir, dan memaksa Partia 

maupun Baktria untuk berdamai, keberhasilan-keberhasilan yang nantinya 

membuat ia digelari Antiokhus Agung. Sekarang ia memutuskan untuk 

mengawali suatu sepak terjang: ke arah Barat dan merebut beberapa daerah 

lagi di Asia Kecil, bahkan mungkin menyeberangi Hellespont dan mengambil 

Thracia juga. 

Ia mengetahui jika ia tidak membuat gerakan ke arah Barat, bangsa 

Romawi pasti akan terus memaksanya. Terbuai oleh kemenangan mereka 

atas Kartagena, pasukan Romawi sekarang balik berpaling ke arah Timur. 

Kekuatan terbesar yang masih tersisa di dunia adalah kekaisaran Seleukia, dan 

dengan ditaklukkannya Hannibal, Antiokhus III adalah musuh Roma yang 

baru. 

Raja yang akan terjepit di antara kedua kekuatan ini adalah Filipus V 

dari Makedonia, yang berhasil muncul setelah Perang Makedonia Pertama 

dalam keadaan baik. Masih ada penjaga perdamaian Romawi di Yunani, teta￾pi Makedonia sudah meningkatkan wilayahnya melalui Perdamaian Fenisia. 

Dan sementara orang Romawi perhatiannya sedang tertuju pada Kartago, 

Filipus V telah membuat perjanjian rahasia dengan Antiokhus III untuk 

membagi wilayah-wilayah Mesir yang pernah menjadi milik para Ptolemeus. 

Orang Romawi yakin bahwa Filipus V masih berniat untuk menyerbu 

Yunani, dan mereka tidak ingin semenanjung itu dikuasai oleh pihak yang proraja Seleukia;  Yunani perlu menjadi penahan antara Roma dan kekuatan 

Antiokhus III.  Di tahun 200, hampir sebelum perdamaian dengan Kartago 

diakhiri, pasukan Roma bergerak ke arah Filipus V.  

Liga Aetolia sekali lagi melompat ke pihak Roma, begitu juga dengan Athena 

dan perang Makedonia Kedua ini, segera akan terjadi menjelang tahun 197. 

Di dalam perang terakhir ini, yang terjadi di Cynoscephalae, serdadu-serdadu 

Filipus begitu terpukul seluruhnya sehingga raja Makedonia takut ia mungkin 

kehilangan tahtanya.1 Tetapi orang Romawi yang tidak ingin menghabiskan 

dasawarsa berikutnya bertempur untuk mempertahankan kota-kota Yunani, 

mengusulkan suatu perdamaian yang akan membiarkan Filipus V tetap tinggal 

di Makedonia.  Filipus harus melepaskan impiannya untuk menguasai kota￾kota Yunani, menyerahkan seluruh kapal perangnya, membayar denda, dan 

menarik semua serdadunya dari wilayah Yunani.  Konsul Romawi, Flaminus, 

yang memimpin pasukan Romawi di Makedonia, diizinkan untuk memainkan 

kartu  Merodach-baladan/Napoleon/Sargon  II/Cyrus:  ia  mengumumkan 

bahwa  orang  Romawi  sekarang  sudah  memerdekakan  bangsa  Yunani  dari 

penjajahan Makedonia. ”Seluruh Yunani, baik yang berada di Asia maupun 

Eropa, akan bebas dan menikmati undang-undang mereka sendiri.” demikian 

terbaca dalam dekritnya.  

Polybius mencatat bahwa ada beberapa suara yang skeptis mengenai hal ini; 

lebih dari satu pemimpin Aetolia menyatakan bahwa ”Bangsa Yunani tidak 

diberi kemerdekaan, tetapi hanya berganti penguasa,”2

 Tetapi orang Romawi 

tetap  memaksakan  kebijakannya  tanpa  peduli  (”Itu  adalah  tindakan  yang 

seluruhnya  mengagumkan  …  bahwa  bangsa  Romawi  dan  jenderal  mereka 

membuat pilihan dengan menantang bahaya dan biaya untuk memastikan 

kebebasan Yunani,” Polybius menyemburkan kata-katanya),3

 dan kota-kota 

Liga Achaea, termasuk Korintus, merasa senang menandatangani perjanjian 

pro-Roma, selama perjanjian itu juga anti-Makedonia.  

Tidak lama setelah semua perjanjian ditandatangani, Antiokhus III mun￾cul di Utara.  Pada tahun 196, ia telah memukul pemberontakan yang tidak 

terorganisasi yang ditemuinya di Asia, menyeberangi Hellespont untuk me￾nuntut Thracia, dan memandang rendah sekutu-sekutu baru Roma.  Ia lebih 

cenderung untuk mengawali perang dengan Roma daripada tidak, sebagian 

karena ia sekarang sudah mempunyai seorang penasihat militer yang baru: 

Hannibal,  yang  telah  muncul  di  istana  Seleukia  setelah  lari  dari  Kartago. 

Hannibal telah meninggalkan kota asalnya dalam kepahitan dan kemarahan; 

cintanya untuk Kartago sudah luntur, tetapi kebenciannya pada Roma tidak 

berubah.  Kedatangannya di istana Antiokhus III, sebuah kekuatan yang cukup 

besar untuk menantang Roma, adalah kelanjutan dari obsesinya   hidup:  ”Ia 

memberi kesan pada Antiokhus,” cerita Polybius, ”bahwa selama kebijaksa￾ naan raja tetap bersikap bermusuhan pada Roma, ia bisa bergantung pada 

Hannibal  secara  implisit  dan  memandangnya  sebagai  pendukungnya  yang 

paling tulus … karena apa pun yang terjadi ia akan selalu membantu untuk 

mencelakai  orang Romawi.”4  

Merebut  Yunani  tidak  diragukan  lagi  akan  merugikan  orang  Romawi. 

Kota-kota  Yunani  terperangkap  di  antara  sebuah  kekuasaan  yang  tua  dan 

menakutkan dari arah Timur Laut mereka dan sebuah kekuasaan baru dan 

menakutkan  dari  arah  Barat  mereka,  terbagi  dalam  kesetiaan  mereka  ma￾sing-masing.  Kota-kota dari Liga Aegea tetap memelihara perjanjian mereka 

dengan Roma, tetapi sebaliknya Liga Aetolia setuju untuk membuat perseku￾tuan dengan Antiokhus III. Pasukan Romawi yang lebih banyak datang ke 

sebelah Selatan Yunani, sedangkan pasukan Seleukia yang dipimpin Antiokhus 

(yang ditemani oleh sekutu-sekutu Makedonia dan gajah-gajahnya) datang 

turun dari arah Utara.  

Kedua angkatan perang bertemu pada tahun 191 di Jalan Thermopylae. 

Legiun  Romawi  didesak  oleh  konsul  mereka  dengan  ucapan-ucapan  yang 

cenderung    memperkuat  kecurigaan  terburuk  para  pemimpin  Aetolia: 

”Anda berperang untuk kemerdekaan Yunani,” teriak Konsul, ”supaya bebas 

dari  Aetholia  dan Antiokhus,  sebuah negera  yang  sebelumnya sudah  Anda 

bebaskan  dari  Filipus.  Dan  setelah  itu  Anda  akan  membuka  jalan  menuju 

dominasi Roma atas Asia, Suriah, dan semua kerajaan kaya yang meluas sejauh 

matahari  terbit.    Seluruh  bangsa  manusia  akan  memuja-muja  nama  Roma 

seperti para dewa-dewa!”5

 Itu bukanlah pidato kemerdekaan yang meyakinkan 

secara khusus, tetapi muslihat itu berhasil.  Kubu Romawi memukul mundur 

angkatan perang Antiokhus, membunuh beribu-ribu, dan ia terpaksa mundur 

seluruhnya dari semenanjung.  

Kekalahan itu adalah awal dari akhir untuk Antiokhus Agung.  Ketika ia 

mundur, ia kehilangan juga wilayah-wilayah taklukanya di Asia Kecil;  guber￾nur dari provinsi Asia Keil yang bernama Armenia, Artaxias I, mengangkat 

dirinya  sendiri  sebagai  raja  sekitar  tahun  190.    Orang  Romawi  kemudian 

membawa  pertempuran  ke  seberang  ke  tanah  Seleukia,  di  bawah  seorang 

anggota keluarga Scipio yang lain.  Antiokhus menyerahkan komando angka￾tan laut kepada Hannibal, dan ia sendiri memimpin pertahanan darat, tetapi 

keduanya kalah.  Armada Hannibal menyerah di pantai Selatan Asia Kecil, 

tentara Antiokhus kalah lagi, kali ini di Magnesia.  Scipio mendapatkan gelar penghargaan Asiatikus untuk kemenangannya, sementara Antiokhus dipaksa 

menandatangani  Perjanjian  Apamea,  yang  melucutinya  dari  hampir  semua 

angkatan lautnya dan juga wilayahnya di Utara pegunungan Taurus.  

Filipus V pun tidak luput.  Ia dihukum karena persahabatannya dengan 

Antiokhus  dengan  kehilangan  angkatan  lautnya,  kota-kota  perbatasannya, 

dan putranya Dimetrius, yang ditarik ke Roma sebagai sandera supaya ayah￾nya bertingkah laku baik.  

Kekalahan  Antiokhus  menyemangati  satrap-satrap  lain  untuk  membe￾rontak.  Tahun berikutnya di tahun 187, Antiokhus Agung terbunuh dalam 

sebuah  perang  kecil  melawan  sebuah  satrap  di Timur  yang  memberontak. 

Putranya, Seleukus IV, mewarisi tahta Seleukia, tetapi dipaksa seperti Filipus 

V untuk mengirimkan putra sulungnya dan pewarisnya ke Roma, juga seba￾gai sandera.  

Hannibal  yang  kehilangan  pelindungnya,  melarikan  diri.    Plutarkhos 

mengatakan bahwa ia akhirnya tinggal di sebuah kota kecil yang tidak jelas di 

sebuah pantai di Laut Hitam, menggali tujuh terowongan bawah tanah di ru￾mahnya, yang munculnya di suatu ”jarak yang jauh” dari segala arah, sehingga 

ia tidak dapat dipojokkan oleh pembunuh bayaran Romawi.  

Tetapi di tahun 182, pada usia enam puluh lima, ia dikenali oleh seorang 

senator Romawi yang kebetulan sedang mengunjungi raja setempat.  Senator 

itu mengancam raja dengan amarah Romawi kalau Hannibal dibiarkan mela￾rikan diri.  Karena itu dengan berat hati, raja mengirimkan penjaganya sendiri 

untuk  menutup ketujuh jalan bawah tanah dan membunuh jenderal tua itu. 

Daripada membiarkan dirinya ditangkap hidup-hidup, Hannibal meminum 

racun.  Kata-kata terakhirnya menurut Plutarkhos adalah ”Marilah kita me￾nenteramkan orang Romawi dari ancaman dan kepedulian mereka yang terus 

menerus.”6

A   dari invasi Seleukia memberi kesempatan bagi kaum 

Baktria di Timur untuk memperluas wilayah mereka. Raja mereka saat 

itu, seorang Baktria Yunani bernama Dimetrius I, sudah mengincar daerah 

tenggara: India, yang sejak masa Alexander Agung merupakan gambaran 

kekayaan, yang menunggu untuk dikuasai. 

Tidak ada seorang raja pun di India yang kuat dan bisa menahan invasi. 

Setelah kematian Asoka, putra-putranya—mewarisi warisan ayahnya berupa 

kekhusyukan filosofis—kehilangan genggaman atas tanahnya. Dalam lima 

puluh tahun atau sekitar itu antara kematian Asoka dan tahun 240 dan 

invasi Dimetrius I, tujuh raja Maurya turun tahta atas wilayah yang semakin 

meredup. 

Raja-raja  Maurya  yang  terakhir  adalah  Brhadratha,  yang  reputasinya 

sebagai pengikut Budha yang taat tercatat dalam teks-teks suci, yang meng￾gambarkan masa pertobatannya selama seribu hari untuk mencari kebenaran. 

Selama  seribu  hari  ini,  dikatakan  bahwa  ia  mewariskan  tahtanya  kepada 

putra  sulungnya.7

    Ini  memberi  kesan  seorang  raja  dengan  cengkeraman 

kekuasaan yang mulai goyah; dan sebetulnya Brhadratha sudah kehilangan 

kerajaannya pada suatu waktu sekitar tahun 185, oleh komandan angkatan 

perangnya yang membunuhnya.  Komandan itu seorang Hindhu yang taat 

bernama  Pusyamitra  Sunga,  ia  menguasai  apa  yang  tersisa  dari  kekaisaran 

itu.  Reputasinya tercatat dalam teks-teks Budha; dikatakan bahwa ia telah 

memimpin penganiayaan terhadap agama Budha dalam upaya untuk men￾dirikan  kembali  Hindu  ortodoks.    Karena  beberapa  stupa  (monumen  suci 

Budha)  bertanggal  pemerintahannya,  mungkin  ini  tidak  seluruhnya  benar. 

Yang dapat kita katakan dengan pasti adalah bahwa Pusyamitra mendirikan 

sebuah dinasti, dan mulai melebarkan kerajaan Magadha lama.  Tidak seperti 

pendahulunya, ia mau berperang untuk kekuasaannya.  

Tepat  pada  saat  ini,  Dimetrius  I  turun  melalui  Celah  Khayber  menuju 

Punjab.   Tidak  ada  cerita  tertulis  mengenai  invasinya  selanjutnya:    untuk 

merekonstruksi penaklukkan raja-raja Baktria Yunani, kita harus mengikuti 

jejak koin-koin yang mereka tinggalkan  (setiap raja mencetak koin dengan 

potretnya, akibatnya meskipun secara praktis kita tidak mengetahui apa-apa 

mengenai raja-raja ini, kita tahu bagaimana wajah mereka).  Sejauh yang diper￾kirakan, kota-kota pertama yang dijumpai Dimetrius I adalah Purushaputra 

dan Taxila, yang telah merdeka dari Maurya untuk beberapa waktu dan belum 

dikuasai oleh Pusyamitra.  Ia merebut keduanya, dan pada tahun 175, keli￾hatan Dimetrius I berperang melalui Punjab.  

Sementara  raja  Sunga  Pusyamitar  melebarkan  kekuasaannya    sepanjang 

Timur dan Barat Daya.  Kedua kerajaan India ini berbatasan satu sama lain, 

Yunani dan pribumi bersebelahan.  

K  , Putra Filipus V yang disandera (juga berna￾ma Dimetrius) sudah dipulangkan dari Roma, dan disambut oleh rakyat 

Makedonia dengan penuh kegembiraan sehingga mematahkan hidung adik￾nya. Pemuda ini, Perseus, telah menjadi pewaris yang nyata selama Dimetrius 

menjadi tawanan; sekarang kesempatannya atas tahta terancam.8

 Ia mulai 

menghasut Filipus V bahwa Dimetrius yang baru dibebaskan telah dicuci 

otaknya oleh orang Romawi, yang mempunyai niat mendudukkannya ke 

atas tahta Makedonia sebagai boneka Romawi. ”Di dalam anggota keluarga 

kita,” katanya dengan enggan, ”aku tidak ingin mengatakannya, ada seorang 

pengkhianat, paling tidak mata-mata. Orang Romawi telah mengembali￾ kan tubuhnya kepada kita, tetapi mereka telah merebut hatinya.”9

  Di tahun 

181, Filipus mempercayai kecurigaan itu.  Menurut Livius ia memerintahkan 

untuk memasukkan racun ke dalam cangkir Dimetrius;  pemuda itu pada 

awalnya merasakan sakit, tapi kemudian ia menyadari apa yang telah terjadi, 

dan meninggal sambil meneriakkan kekejaman ayahnya.  Filipus sendiri meninggal dua tahun kemudian dan Perseus menjadi raja 

Makedonia.  Ia mengirimkan pesan persahabatan kepada Roma, tetapi pesan￾pesan  itu  menipu;  ia  sedang  mengumpulkan  Makedonia  untuk  sekali  lagi 

menyerbu Yunani.  

Niatnya menjadi jelas ketika ia menikahi salah satu  putri Seleukus IV. 

Tetapi ia tidak bisa minta bantuan Seleukia untuk melawan Roma; Seleukus IV 

dibunuh oleh perdana menterinya tepat setelah pesta perkawinan, dan suatu 

perkelahian besar memperebutkan suksesi pecah.  Adik laki-laki Seleukus IV, 

Antiokhus IV  (kemudian terkenal dengan nama Antiokhus Epiphanes), me￾menangkan hak untuk bertindak sebagai wali atas putra Seleukus yang masih 

bayi, yang kemudian dibunuhnya.  

Perseus,  sementara  itu,  berangkat  untuk  menaklukkan    Yunani  tanpa 

menimbulkan  kecurigaan  dari  pihak  Roma.    Polybius  mengatakan  bahwa 

ia  bergerak  melalui  Yunani  pusat  dan  Utara  dan  singgah  ke  berbagai  kota 

untuk ”mendapatkan kepercayaan mereka”, sambil berhati-hati supaya jangan 

sampai  ”menimbulkan  kerusakan”  pada  wilayah  yang  dilewatinya.10  Ini 

berlangsung selama tiga tahun atau sekitar itu sebelum salah satu raja Yunani 

— Eumenes, penguasa kota Pergamum, di Asia Kecil — pergi ke Roma secara 

pribadi untuk mengeluhkan kelakuan Perseus.  Perseus mengirimkan seorang 

pembunuh untuk mengjar Eumenes dan menutup mulutnya; ini adalah suatu 

kesalahan, karena pembunuhan itu gagal dan tuduhan itu malah terbukti.  

Di tahun 171, tujuh belas ribu tentara Romawi pergi menuju Makedonia, 

memperingati Perang Makedonia Ketiga.  Perseus mengirimkan seorang duta 

besar  ke  Roma  untuk  menanyakan,  dengan  nada  terluka,  mengapa  orang 

Roma mengganggunya.  ”Pulanglah dan katakan pada rajamu bahwa, kalau ia 

betul-betul menginginkan jawabannya, ia harus berbicara pada konsul yang 

akan segera datang di Makedonia dengan pasukannya,” para duta besar itu 

diberi tahu.  

Perang  Makedonia  III  berlangsung  sekitar  tiga  tahun,  seperti  yang 

Kedua;  persis  seperti  pada  perang  yang  Kedua,  orang  Romawi  akhirnya 

menghancurkan  Makedonia  dalam  suatu  perang  besar  yang  penuh  celaka, 

kali  ini  di  Pydna.   Tidak  seperti  Perang  Makedonia  Kedua,  perang  Ketiga 

mengakhiri  keberadaan  Makedonia.    Orang  Romawi  sudah  muak  ikut 

dalam perang-perang kecil yang tidak menyenangkan di Utara Yunani. Pada 

tahun  168,  Perseus  ditarik  kembali  ke  Roma  sebagai  tawanan,  dan  konsul 

Roma mengatur pembagian Makedonia menjadi empat buah negara jajahan. 

Kerajaan Makedonia yang dibuat oleh Alexander telah berakhir.  

U  datang ke istana Antiokhus Epiphanes untuk menanyakan 

padanya apakah ia berniat untuk mendukung perang Perseus dengan Roma; 

Antiokhus Epiphanes berhasil meyakinkan mereka, dengan kebenaran yang 

sempurna, bahwa ia tidak mempunyai niat untuk bergabung dengan Perseus 

melawan Roma.12

Sebaliknya ia sedang merencanakan untuk menginvasi Mesir. Raja Mesir 

yang muda Ptolemeus VI, di bawah arahan para walinya, telah menuntut 

agar kekaisaran Seleukia mengembalikan tanah-tanah Semit Barat; kerajaan 

Israel tua, Yuda, Suriah, dan beberapa lagi yang mengelilingi daratan, yang 

diambil oleh Antiokhus Agung dari dinasti Ptolemeus . Mereka semua sudah dimasukkan dalam sebuah satrap yang bernama ”Coele Suriah,” dan Mesir 

ingin mendapatkannya kembali. Sebaliknya  Antiokhus  Epiphanes  menggerakkan  angkatan  perangnya

turun dan merebut Alexandria, sementara Roma sedang sibuk berperang di 

Makedonia.  Tetapi ia terlalu berlebihan menilai Roma dalam mengurus ma￾salah Perseus.  Senat tidak buta terhadap permintaan perluasan wilayah yang 

mencolok ini;  seorang duta besar Roma  muncul di perkemahan Antiokhus 

dengan sebuah surat menuntut Antiokhus mundur dan membiarkan Mesir 

diurus oleh Ptolemeus .  Antiokhus menawarkan untuk membicarakan per￾soalan ini dengan penasihat-penasihatnya dulu, tetapi si duta besar (menurut 

Livius)  ”menggambar  lingkaran  di  sekitar  raja  dengan  tongkat  yang  diba￾wanya dan berkata, ’Sebelum Anda melangkah keluar dari lingkaran, berikan 

jawaban padaku untuk dibeberkan di depan Senat.’  Untuk beberapa saat ia 

ragu-ragu, terkejut atas perintah yang begitu menekan, dan akhirnya men￾jawab, ’Aku akan melakukan apa yang benar menurut Senat.’13 Ia tidak siap 

untuk memanggul beban kemarahan Roma.  

Sebaliknya, ia bergerak kembali ke pantai dan melampiaskan kemarahan-

nya pada satrap Coele Suriah, dan mulai mengadakan pembersihan terhadap 

semua pihak yang menunjukkan simpati pada permintaan Mesir.  Ini terma￾suk banyak penduduk Yerusalem:  ”Pada saat yang bersamaan Antiokhus yang 

disebut Epiphanes itu bertengkar dengan Ptolemeus  yang keenam tentang 

haknya atas seluruh negara Suriah,” kata Josephus dalam bukunya ”Wars of the 

Jews,” …(ia) mendatangi kaum Yahudi dengan membawa banyak pasukan, 

merebut kotanya dengan kekerasan, dan memukul lebih banyak lagi pihak￾pihak yang lebih suka pada Ptolemeus, dan … merampas kuil.”14

Perampasan  kuil  ini  murni  tidakan  oportunistis;    Antiokhus  sudah 

bangkrut dan memerlukan harta karun suci itu.  Dalam perjalanannya me￾lewati Yudea, ia tidak hanya merampok harta karun kuil dan menyembelih 

banyak warga negara Yerusalem,  tetapi ia juga menempatkan sebuah garnisun 

di Yerusalem  untuk menjaga kaum Yahudi supaya tetap setia.15

Garnisun  itu  merupakan  prosedur  standar  bagi  seorang  penakluk,  teta￾pi  rencana  Antiokhus  Epiphanes  untuk  mempertahankan  kesetiaan  orang 

Yahudi sangat menyesatkan.  Ia tidak tahu apa-apa tentang agama Yahudi; 

rencananya  untuk  melipat  orang  Yahudi  lebih  kencang  ke  dalam  lipatan 

Seleukia (dan menjauhkan mereka dari pagar Ptolemeus ) adalah mengubah 

cara pemujaan di kuil sehingga Yahweh mereka menjadi sama dengan Zeus. 

Kepala dewa ini kemudian akan dipuja sebagai manifestasi pribadinya sendiri: 

Antiokhus Epiphanes, ”epifani/titisan/perwujudan” atau wahyu dari Yahweh￾Zeus di dunia.16

Ini adalah percampuran standar antara panteon/kuil Yunani dengan pe￾mikiran Persia mengenai sifat ketuhanan seorang raja, seperti yang bisa kita 

harapkan dari seorang penguasa Yunani dari kerajaan Persia yang lama.  Untuk 

orang Yahudi, yang (tidak seperti kebanyakan orang purba) tidak saja hanya 

percaya pada pada satu Tuhan, tetapi bahwa Tuhan berbeda secara esensial 

dari manusia, sehingga tindakan Antiokhus itu merupakan penghujatan yang 

mengerikan.  Antiokhus ingin mereka menyajikan kurban untuk Zeus di kuil, 

dan merayakan hari ulang tahunnya sendiri sebagai perayaan yang religius.  

Orang Yahudi dari Yerusalem  pergi bersembunyi karena tidak mau me￾laksanakannya,  atau  harus  dipukuli  dulu  supaya  patuh.    Antiokhus,  yang 

marah karena kebebalan mereka, menyatakan Yudaisme sebagai agama yang 

tidak  sah.    Siapa  pun  yang  menolak  makan  babi  jika  diperlukan  (ini  me￾langgar peraturan agama Yahudi) atau kedapatan membawa sebuah salinan 

dari kitab suci Yahudi akan dihukum mati.  ”Dua orang perempuan ditang￾kap karena menyunati anak-anak mereka,” menurut catatan buku 2 Makabe. 

”Wanita-wanita  ini  diarak  di  depan  umum  berkeliling  kota,  dengan  anakanaknya tergantung di payudara mereka, lalu kepala mereka dilemparkan ke 

tembok.”17 

Tingkat kebiadaban ini berlangsung kurang dari setahun sebelum terja￾di revolusi di antara para kaum Yahudi.  Pemberontakan ini dipimpin oleh 

sekeluarga yang terdiri dari lima laki-laki bersaudara yang merupakan ketu￾runan dari sebuah suku tua yang terdiri dari para imam.  Kakak yang tua, 

Yudas  adalah  jenderal  dari  pemberontakan itu;  ia  pergi  ke  pedesaan,  men￾daftar orang- orang Yahudi yang peduli, sampai ia mendapatkan enam ribu 

orang  yang  bergabung  dengannya  dalam  perang  gerilya  melawan  penjajah 

Seleukia.  ”Datang tanpa peringatan,” menurut 2 Makabe, ia akan membakar 

kota-kota dan dusun-dusun.  Ia menangkap posisi strategis dan membuat be￾berapa musuhnya kocar kacir.  Ia berpendapat bahwa malam adalah saat yang 

paling menguntungkan untuk penyerangan semacam itu, dan pembicaraan 

mengenai keberaniannya tersebar ke mana-mana.”18  Ia mendapat nama julu￾kan sebagai pembela kemerdekaan, ”Yudas Makabeus,” atau ”Yudas si Palu,” 

dan pemberontakan itu menjadi terkenal sebagai Perang Makabe.  

Kemarahan  kaum  Yahudi  dan  kesulitan-kesulitan  Antiokhus  sendiri  di 

tempat  lain  (ia  harus  mengirimkan  pasukan  ke  Utara  untuk  menghadang 

para  Partia)  memperpanjang  masa  pemberontakan.      Begitu  juga  faktor 

lain:    Yudas  membuat  ”sebuah  liga  persahabatan  dengan  pihak  Romawi.” 

seperti yang dikatakan oleh Josephus;  Roma sangat ingin terus menyelidiki 

kekuasaan  Seleukia.19  Persekutuan  Yahudi-Roma  tidak  berlangsung  lama, 

tetapi  membantu  membebaskan  Yerusalem    dari  tangan  Antiokhus  selama 

empat tahun penuh.

Pada akhir zaman itu, Antiokhus Epiphanes meninggal, dan seperti biasa 

perkelahian  dalam  negeri  memperebutkan  suksesi  dimulai.   Tidak  seorang 

pun  mempunyai  energi  untuk  mengirimkan  serdadu  lagi  ke  Yerusalem, 

dan Yudas menyatakan dirinya sebagai raja dari kota itu: raja pertama dari 

dinasti Hasmone dari Yerusalem.  Akhirnya keponakan Antikchus, Demetrius I  (jangan  dicampuradukan  dengan  Demetrius  dari  Baktria  Yunani  atau 

Demetrius  dari  Makedonia),  berhasil  mengangkat  dirinya  menjadi  raja 

kekaisaran  Seleukia.    Ketika  mahkotanya  sudah  melekat  erat  di  kepalanya, 

ia mengirimkan satu pasukan untuk menguasai kembali Yerusalem .  Yudas 

terbunuh dalam pertarungan, dan Yerusalem sekali lagi menjadi bagian dari 

Coele Suriah, di bawah mahkota Seleukia.  Tetapi Demetrius I, mengambil 

pelajaran dari pamannya yang sudah meninggal, yang membuat keputusan￾keputasan  yang  berakhir  dengan  malapetaka,  menghadiahi  saudaranya, 

Yonathan,  kebebasan  yang  cukup  untuk  memerintah  kaum  Yahudi  karena 

dipandang  layak,  sepanjang  ia  tetap  setia  sebagai  gubernur  kekaisaran  itu. 

Yonathan,  menurut  Josephus,  ”bertingkah  laku  dengan  sangat  hati-hati,” 

artinya  ia  bukanlah  seorang  pejuang  kemerdekaan  yang  berkepala  panas 

seperti kakaknya.20 Ia bersikap sopan terhadap pejabat-pejabat Seleukia, dan 

berhasil tetap berkuasa di Yerusalem  selama hampri dua puluh lima tahun.  

S , Roma sedang bersinar dengan terang. 

Sesuatu yang luar biasa terjadi beberapa tahun yang lalu. Di tahun 180, 

kota Cumae, di Campania meminta izin untuk mengubah bahasa resminya, 

dari dialek Oskan purba menjadi Latin. 

Orang-orang Cumae sudah mendapatkan hak istimewa civitas sin suffragio, 

kewarganegaraan tanpa hak pilih; civitas sin suffragio lebih seperti persekutuan 

daripada hal lain, suatu hak yang sebenarnya merusak identitas asli kota-kota 

yang memegang hak tersebut.21 Sekarang orang-orang Cumae meminta suatu 

peningkatan identifikasi pada Roma. Mereka tidak sepenuhnya menjadi 

bangsa Romawi; tidak juga sepenuhnya melepaskan bahasa Oskan. Tanpa 

meninggalkan identitas mereka sebagai bangsa Cumae, mereka membuat 

suatu identifikasi dengan sukarela, tidak hanya berhubungan dengan politik 

Romawi, tetapi juga dengan kebudayaan Romawi. 

Orang-orang Yunani tidak pernah harus membuat janji persatuan yang di￾keluarkan secara formal seperti itu, karena mereka memang berbahasa Yunani. 

Mungkin bahasa mereka yang sama tidak membiarkan Pan Helenik mengin￾jak-injak identitas mereka sebagai bangsa Sprata, Athena, Korintus, Theba. 

Tetapi status Latin resmi membolehkan orang Cumae tetap menjadi orang 

Cumae. Latin tidak akan menjadi bahasa mereka satu-satunya, tetapi akan 

digunakan untuk perdagangan dan administrasi, yang mengikat orang-orang 

Cumae menjadi satu dengan kota-kota lain dan bangsa-bangsa yang memper￾tahankan identitasnya sendiri, tetapi berdampingan dengan yang lain. 

Roma mengabulkan permintaan itu. Cumae dapat menggunakan Latin 

sebagai bahasa resminya, dan dengan begitu menjadi orang Romawi. Orang 

Romawi sendiri tidak merasa perlu menghapus lebih lanjut identitas lama dari kota-kota  jajahannya,  untuk  menggantikan  adat  istiadat  lama  dengan  adat 

istiadat Romawi, kesetiaan lama dengan kesetiaan Romawi, dewa-dewa lama 

dengan dewa-dewa Romawi.  

Tetapi  penganugerahan  identitas  Romawi  itu  hanya  berlangsung  sejauh 

itu.  Orang-orang dari kota-kota taklukkan membanjiri Roma, akibat yang 

berbahaya adalah jumlah orang  asing yang bebas  mengalahkan jumlah orang 

kelahiran Roma yang bebas .  Pada tahun 168, sensor (petugas sensus) ber￾nama Sempronius Gracchus mulai mendaftar semua orang bebas kelahiran 

asing sebagai satu suku.  Mereka bisa menjadi seorang Romawi, seperti orang 

Cumae.  Mereka bahkan mempunyai hak pilih.  Tetapi berapa pun banyak￾nya yang datang ke Roma, mereka tidak pernah dapat mengalahkan hak pilih 

penduduk asli Roma 


G A R I S WA K T U 7 4

ROMA  PENERUS ALEXANDER

      -

  

 Ptolemeus III (246)

 Seleukus II Dimetrius II

 Antiokhus Agung

 Ptolemeus IV (222) Filipus IV

 Perang Punik Kedua (218)

 Perang Kana

 Perang Zama (202) Ptolemeus V (204) Perdamaian Phoenice

 Perang Makedonia Kedua Perang Panium (198)

 Seleukus IV (187)

 Cumae mengubah bahasanya mejadi Latin Ptolemeus VI (180) Perseus

 Antiokhus Epifanes Perang Makedonia Ketiga Perang Pydna (168)

 Antiokhus V

 Dimetrius I



G ,   ,*

 lahir sebagai seorang petani; sekarang 

ia memerintah China di mana keluarga-keluarga bangsawan lama dari ne￾gara-negara bagian baru mulai bermunculan kembali sebagai jawaban dari 

kekerasan Ch’in. Masalah persatuan yang lama telah menghilang. 

Sebaliknya, negara-negara bagian China sudah lelah berperang, dan Gao 

Zu berhasil mempertahankan kesatuan kekaisaran dengan kombinasi yang 

cerdas antara kekuasaan tirani dan janji kemerdekaan. Ia bergerak dengan 

pasukannya melawan adipati mana pun yang menunjukkan tanda-tanda akan 

berevolusi, tetapi ia juga memproklamasikan suatu pengampunan umum ke 

seluruh kekaisaran, dalam arti bahwa semua keluarga bangsawan yang pada 

saat itu tidak berencana untuk memberontak dapat hidup bebas jauh dari rasa 

takut akan penangkapan dan hukuman mati secara acak. 

Kepada mereka yang sudah membantunya mendirikan kekuasaannya, 

ia menganugerahi pembebasan pajak dan pelayanan. Di suatu kota yang 

memberontak, di mana ia terpaksa mengepungnya selama lebih dari satu 

bulan, ia menganugerahkan pengampunan mutlak kepada setiap orang yang 

melawannya, sepanjang mereka belum memaki-makinya; hanya mereka 

yang mengumpatnya dihukum mati.1

 Kaisar-kaisar Ch’in mengepalkan tinju 

kekaisarannya semakin ketat dan ketat; Raja Han membuka tangannya dan 

memberikan pembebasan sebagai penghargaannya. 

Perang-perangnya yang terbesar dilakukannya untuk melawan orang luar. 

China, tidak seperti peradaban di sebelah Barat, tidak menghadapi gangguan 

dari angkatan perang lain secara terus menerus. Melainkan bangsa nomad 

yang berkelana sepanjang tapal batas Utara selama berabad-abad. Tembok-

tembok yang dibangun sepanjang pinggiran daerah Utara,  di negara-negara 

bagian Utara China yang lama, yang sekarang sedang dihubungkan menjadi 

sebuah Tembok China Besar, pertama kali didirikan sebagai suatu pertahanan 

terhadap penyerbuan bangsa nomad yang oleh negara-negara bagian China 

dianggap  barbar,  bukan  orang  China  tulen,  di  luar  perbatasan  masyarakat 

Chinayang   tulen.  

Bangsa  nomad  ini  tidaklah  sebarbar  seperti  anggapan  Orang  China. 

Sebetulnya suku-suku nomad yang paling dekat sudah mulai mengorganisasikan 

diri dalam suatu persekutuan yang tidak ketat, sebagai suatu bangsa yaitu: 

Xiongnu.

  Persekutuan suku-suku ini, masing-masing mempunyai seorang 

pemimpin, dan berada di bawah kekuasaan seseorang yang ditunjuk sebagai 

raja mereka, atau chanyu.  Sebetulnya konfederasi Xiongnu mengambil model 

pemerintahan China di Selatan.  

Orang-orang itu sendiri mungkin berasal dari Ti, Jung, dan kaum barbar 

lain yang pernah muncul dalam cerita-cerita terdahulu.3

 Mereka tidak begitu 

berbeda dari ”China yang sebenarnya,” seperti dikemukakan Sim Qian sendiri 

dengan seenaknya ketika ia mengatakan bahwa Xiongnu berasal dari anggota 

Dinasti Hsia.4

 Tetapi ini adalah kemiripan,yang tidak dipedulikan oleh ke￾banyakan orang China, karena Qian juga mengemukakan bahwa tentu saja 

mereka itu lebih rendah daripada manusia.  

Selama masa-masa awal Han, Chanyu Xiongnu adalah seorang jenderal 

bernama Mao-tun; ia adalah satu dari beberapa pemimpin nomad yang na￾manya masih bertahan dan ia mengorganisasikan konfederasinya sampai pada 

tahap di mana mereka mempunyai tempat perkumpulan tahunan (di suatu 

tempat di Mongolia Luar) dan sesuatu sistem yang mirip voting.5

  Gao Zu 

mengumpulkan kekuatan besar yang terdiri dari tiga ribu orang dan bergerak 

ke arah Utara untuk menghadapinya.  Bangsa nomad ini, seperti kaum Scythan 

seabad sebelumnya, mobilitasnya menguntungkan mereka; mereka mundur 

sampai kaisar dan pasukan pribadinya sudah berkuda jauh di depan angkatan 

perangnya yang besar, dan kemudian mereka membalik—dengan kekuatan 

empat ratus ribu pasukan berkuda—dan menyerang.  Gao Zu memerlukan 

waktu tujuh hari untuk berjuang mencari jalan keluar guna membebaskan 

dirinya.6

Setelah itu, Gao Zu memutuskan bahwa lebih baik berdamai,  Kekaisarannya 

masih dipenuhi jenderal-jenderal lain yang sudah bertempur melawan Ch’in 

dan yang belum juga mendapatkan tahta; dengan mereka di punggungnya, 

ia tidak ingin mengawali perang lagi, melawan kekuatan luar,  ia mengirimi Xiongnu hadiah-hadiah uang untuk menenangkan mereka, dan—mengakui 

kekuasaan Mao Tun dengan cara yang mengejutkan—ia juga mengirimkan 

salah satu putrinya untuk dipersunting oleh raja pejuang ini.   

M-    kurang begitu lancar. Gao Zu wafat pada tahun 

195 setelah masa pemerintahan yang hanya tujuh tahun, dan diteruskan oleh 

Hui-ti, putranya yang muda. Tetapi kekuasaan yang sesungguhnya dari istana 

Han dipegang oleh janda Gao Zu, Kao-hou, yang memerintah sebagai janda 

permaisuri pewaris dan menjadi wali dari putranya. 

Kao-hou bukanlah satu-satunya istri kaisar (ia juga mempunyai sekum￾pulan putra yang lahir dari wanita-wanita bangsawan yang menjadi istrinya 

dan selir-selirnya setelah ia bergelar kaisar), tetapi ia sudah menjadi istrinya 

sejak ”ia masih menjadi seorang rakyat biasa.” Ia adalah seorang ”perempuan 

yang mempunyai kemauan yang kuat,” dan putranya Hui-ti adalah seorang 

yang ”wataknya lemah dan berhati lembek.”7

 Ia meracuni dan membunuh 

sebarisan pangeran dan isteri kerajaan, dalam kejahatan yang luar biasa yang 

membuat putranyasakit : ”Kaisar Hui melarikan diri ke minum keras,” kata 

Sima, ”dan tidak lagi ikut campur dalam urusan kenegaraan.”8

 Pada usia dua 

puluh tiga, ia meninggal. Ibunya tidak patah hati: ”Perkabungan diumum￾kan dan Permaisuri Pewaris meratap,” tulis Qian, ”tetapi tidak ada air mata 

jatuh dari matanya.”9

Sebetulnya kematian putranya memberi kesempatan padanya untuk 

memasang berbagai jenderal, menteri, sekretaris, dan adipati yang akan 

memperkokoh kekuasaannya sendiri. Dengan bekerja sama dengan janda 

Hui-ti, ia mengeluarkan seorang bayi yang diakuinya sebagai pewaris 

nyata Hui-ti; gosip istana mengatakan bahwa anak itu sebenarnya adalah 

anak pelayan wanita (Ternyata Hui-ti terlalu mabuk untuk menjadi ayah 

bagi seorang putra). Kaisar baru diangkat, tetapi ketika ia semakin besar ia 

mulai menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang aneh tentang orang tuanya. 

Permaisuri Pewaris kemudian memerintahkannya untuk dibunuh dan 

menunjuk seseorang yang dianggap sebagai putra Hui-ti menjadi kaisar di 

istananya.10

Permainan pergantian suksesi ini membuatnya tetap berkuasa selama 

sembilan tahun lagi, tetapi pada waktu ia meninggal di tahun 179, ia sudah 

menjadi begitu tidak populer sehingga keluarga istana bangkit dan membunuh 

setiap keluarga Kao-hou yang dapat mereka temui. Pengkikishabisan 

keluarganya ini membuat tahta dan beberapa kedudukan yang baik dalam 

pemerintahan terbuka tetapi Dinasti Han—tidak seperti Ch’in—dapat 

bertahan, khususnya dalam krisis ini. Meskipun ada kekacauan di istana, 

tahta tidak larut oleh kesalahurusan yang parah oleh orang-orang yang membuat keluarga Kaisar Pertama begitu tidak disukai:  ”Rakyat bisa berhasil 

melupakan  penderitaan  yang  dialami  pada  zaman  Negara-Negara  Bagian 

Berperang,” para pakar sejarah besar menyimpulkan, ” dan penguasa dan rakyat 

bersama-sama mencari kedamaian dengan mengakhiri tindakan-tindakan … 

Hukuman jarang dilaksanakan … sedangkan orang-orang menyibukkan diri 

pada tugas-tugas pertanian, dan sandang dan pangan menjadi berlimpah.”11

Tahta berhasil mempertahankan diri dari kaum barbar  dan tidak meng