Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 31


 �� sampai  bahkan 

perdana menteri membuat alasan untuk tidak pergi ke istana karena takut kaisar 

akan  membunuhnya  ketika  ia  sedang  marah.  Sebaliknya,  perdana  menteri 

mengaku sakit dan mundur ke rumah pribadinya, dari sana ia merencanakan 

untuk mengkudeta istana yang akan dipimpin oleh menantunya; kudeta ini 

akan  menurunkan  Kaisar  Kedua  dan  menggantikannya  dengan  pangeran 

kerajaan yang lain, keponakan Kaisar Kedua.  

Adegan selanjutnya mengesankan bahwa perdana menteri itu sebetulnya 

sudah  mengharapkan  keresahan  itu  untuk  membantunya  mengambil  alih 

kekuasaan. Untuk membuat menantunya, Yen Lo, mau memimpin invasi ke 

ruang tahta, ia harus menculik ibu Yen Lo dan menahannya sebagai sandera. 

Sementara  itu,  ia  akan  dengan  hati-hati  menjauh,  untuk  tetap  menjaga 

kesetiaannya.  

Yen Lo yang dalam keadaan terjepit, menyerbu ke istana tepat di depan 

tentara yang terkejut dan menerjang masuk ruang tahta, di sana ia berhasil 

menarik perhatian Kaisar Kedua dengan melepaskan anak panah ke arah tirai 

tepat di atas kepala Kaisar. Kaisar Kedua yang ditinggalkan  oleh pengawal 

istananya, minta bertemu dengan perdana menteri; Yen Lo, seperti diinstruk￾sikan oleh sutradaranya, menolak. Kaisar Kedua kemudian mulai melakukan 

tawaran,  Ia  menawarkan  untuk  turun  tahta  jika  ia  dijadikan  komandan 

sebuah jun; kemudian ia mengusulkan menjadi pimpinan di bidang keten￾taraan yang sederhana; lalu ia menawarkan untuk menjadi orang biasa sebagai 

ganti  nyawanya. Yen  Lo  menolak  dan  kemudian,  memecahkan  kesunyian, 

memberitahu Kaisar bahwa perdana menteri sudah mendekritkan kematian￾nya. Tentara-tentaranya mendekat untuk melaksanakan hukuman itu, tetapi 

Kaisar Kedua bunuh diri sebelum mereka dapat menangkapnya.18

Perdana  menteri  kemudian  muncul  kembali  dalam  adegan  itu  dan 

melaksanakan pentahtaan keponakan Kaisar Kedua, Tzu Ying;  tetapi kaisar 

yang  baru  ini  tidak  mempercayai  si  pembuat  raja.  Begitu  dimahkotai,  ia 


memerintahkan perdana menteri masuk ke ruang tahta dan membunuhnya 

dengan tangannya sendiri. 

Tzu Ying, Kaisar Ketiga, memegang kekuasaan selama empat puluh enam 

hari  sebelum  seorang  jenderal  Chu,  Hsiang Yu,  tiba  di  istana,  di  hadapan 

sebuah kekuatan koalisi yang dibentuk untuk menghapus keinginan Ch’in. 

Pasukan-pasukan  itu  menyerbu  istana;  Hsiang  Yu  membunuh  Tzu  Ying 

dan membunuh massal keluarga istana, membakar istana, dan membagikan 

harta  karun  kerajaan  kepada  sekutunya.  Tiga  panglima  perang  menuntut 

wilayah  Ch’in,  membaginya  menjadi  tiga  kerajaan  dan  mendeklarasikan 

diri mereka sendiri sebagai raja. ”Ch’in,” menurut Sima Qian, ”benar-benar 

dimusnahkan.”

Selama lima tahun, China kembali pada cara lama yaitu multikerajaan, 

terpecah-pecah, dan saling berperang. Kemudian muncullah seorang 

pemimpin baru, dan berjuang mencapai puncak pimpinan. Namanya adalah 

Liu Pang, dan ia sudah mengambil keuntungan dari reformasi Ch’in dengan 

caranya sendiri. Ia berasal dari keluarga petani, dan telah menjadi pejabat 

rendah (seorang polisi militer, yang mengepalai pasukan yang terdiri dari para 

terhukum), semacam posisi yang tidak pernah tersedia untuknya di masa 

pemerintahan yang lama.19

Ia sudah bergabung dengan pasukan Hsiang Yu pada awal pemberontakan. 

Setelah pembunuhan seluruh keluarga istana Ch’in, Hsiang Yu sendiri 

mengambil wilayah lama Chu dan menempatinya serta memerintahnya. Ia 

menghadiahi sebuah wilayah lain yang lebih jauh di Han kepada Liu Pang, 

sebagai hadiah atas pelayanannya. Dan sebagai bagian dari strategi untuk 

meyakinkan kekuasaannya, Hsiang Yu menyuruh seseorang membunuh 

orang yang sebenarnya paling berhak menjadi adipati Chu. 

Ini menyediakan peluang bagi Liu Pang. Ia bergerak menuju Hsiang Yu 

dengan pasukannya sendiri, mengumumkan kewajibannya untuk menghu￾kum pembunuh seorang raja.20 Serangannya pada Hsiang Yu yang pertama 

tidak berhasil, tetapi ia berhasil menguasai dan mendapat kekuasaan peme￾rintahan kota yang disebut Hsiang Yang, di Sungai Kuning. Dari sini ia terus 

melawan penuntut keturunan raja yang lain, dan menghadiahi panglimanya 

dengan tanah rampasan. 

Pada tahun 202, ia berhasil merebut pengawasan atas hampir semua kera￾jaan China yang lama; dan Hsiang Yu, yang tetap menjadi musuhnya yang 

terbesar (dan baru sekarang), sadar bahwa perjuangannya sia-sia. Ia sudah

menjadi semakin tidak disukai karena kebiadabannya; penjagalannya atas se￾luruh keluarga istana Ch’in belum terlupakan, dan ia memenangkan reputasi 

buruk yaitu meninggalkan kerusakan dan kematian di belakangnya kemana 

pun  ia  pergi.  Setelah  terpojok  dalam  perang  terakhir,  para  pendukungnya 

goyah, ia menghindar untuk ditangkap dan akhirnya menyerah dengan mem￾bunuh dirinya sendiri.  

Liu Pang mendapat gelar kaisar, dan memberi dirinya sendiri gelar kera￾jaan yaitu Gao Zu. Dinastinya, didekritkan, akan diberi nama Han, seperti 

nama wilayah yang diberikan kepadanya oleh Hsiang Yu, dan ibu kotanya di 

Chang’an21  Dinasti  Han  akan  menjadi  dinasti  pertama  yang  paling  lama 

di  China  yang  bersatu;  dinasti  ini  akan  berdiri  selama  empat  ratus  tahun, 

dibangun di atas fondasi yang diletakkan oleh Ch’in selama dominasinya yang 

spektakular dan singkat.  

G A R I S WA K T U 7 2

  INDIA  CHINA

  Dhana Nanda dari Magadha      Huiwen dari China

  Chandragupta dari Maurya   

  Bindusara dari Maurya (297)

  Asoka dari Maurya (272)   

  Jatuhnya Zhou (236)

  Dewan Budha Ketiga (245)    Chuang-hsiang dari Ch’in

    Cheng dari Ch’in

  Dinasti Ch’in (221)

    Cheng menjadi Shi Huang-ti

    Kaisar Kedua (290)

  Dinasti Han (202)

    Gao Zu


Pt ,    dan sekarang raja Mesir, 

akhirnya memutuskan untuk pensiun pada umurnya yang ke delapan puluh 

dua. Di tahun 285, ia lengser dan menyerahkan tahtanya kepada putranya 

yang lebih muda, Ptolemeus II.*

 Ia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya 

dengan damai, menulis sebuah sejarah tentang sepak terjang Alexander yang 

menempatkan Ptolemeus sendiri sebagai tokoh yang paling baik.**

 

Kejutan sesudah itu luar biasa. Putranya, Ptolemeus Ceraunus, segera 

meninggalkan istana Mesir dalam puncak kejengkelan. Kemudian pada tahun 

yang sama ia muncul di Thracia untuk mengunjungi adik perempuannya 

Arsinoe, yang telah menikah dengan Lisimakhus.1

Perjodohan ini adalah jaminan Lisimakhus. Ia ingin bergantung pada 

Thracia dan Makedonia dan wilayah-wilayah Asia Kecilnya, meskipun ke￾hadiran Seleukus semakin besar di sebelah Timurnya, dan mengadakan 

persekutuan perkawinan dengan Ptolemeus yang jauh di Selatan adalah jalan 

yang baik untuk memastikan bahwa Seleukus akan berpikir dua kali untuk 

menyerangnya. Perkawinan itu adalah perkawinan Lisimakhus yang kedua 

(Arsinoe berumur kira-kira tiga puluh tahun lebih muda daripada sahabat tua 

ayahnya dalam ketentaraan), dan putra tertuanya dari perkawinan sebelum￾nya, Agathocles, adalah pewarisnya

Kehadiran Ptolemeus Ceraunus yang mengganggu memberi inspirasi pada 

Arsinoe, yang sebaliknya menginginkan putranya sendiri yang mewarisi kera￾jaan.  Bersama, keduanya menuduh Agathocles berkomplot dengan Seleukus 

untuk membunuh Lisimakhus dan merebut tahta Thracia-Makedonia.

Lisimakhus, yang tua dan paranoid, adalah sasaran yang mudah.  Tahun 

setelah  Ptolemeus  Ceraunus  tiba,  ia  mengalah  pada  kecurigaannya  dan 

mencoba meracuni putranya.  Ketika usaha meracuni itu gagal, Lisimakhus 

melempar  Agathocles  ke  penjara,  di  mana—di  dalam  gelap,  jauh  dari 

pandangan—ia mati.  

Pakar sejarah  kemudian mengira bahwa Ptolemeus Ceraunus membunuh￾nya.  Tentu saja si pembuat onar masih aktif; ia muncul tidak lama kemudian 

di  istana  Seleukus  dan  memintanya  untuk  bergabung  dengannya  melawan 

Lisimakhus si jahat yang meracuni putranya sendiri.2

  Seleukus, yang pada 

saat  itu  sudah  berusia  delapan  puluh  sedangkan  Lisimakhus  tujuh  puluh 

satu, mengumpulkan kekuatannya  dan  bergerak  menuju daerah  kekuasaan 

Lisimakhus.  

Lisimakhus  keluar  menemuinya  dan  menyeberangi  Hellespont  untuk 

bertempur  di  daerah  milik  Asia  Kecil.    Dalam  pertempuran,  kedua  orang 

tua itu—yang sudah empa tpuluh tahun saling mengenal, sejak masa-masa 

mereka bersama sebagai perwira dalam korps Alexander—berhadap-hadapan. 

Seleukus melakukan pukulan terakhir; Lisimakhus gugur di medan pepera- 

ngan, dan tubuhnya tergelatak di sana sampai beberapa hari sebelum putra￾nya yang muda sampai untuk mengambil mayatnya yang babak belur itu ke 

rumah.  

Seleukus bersiap untuk bergerak menyeberangi Hellespont dan menguasai 

Makedonia.  Tetapi sebelum ia sempat pergi jauh, Ptolemeus Ceraunus, yang 

masih berada di kemahnya, masih berpura-pura sebagai sekutu, berbalik ke 

arahnya dan membunuhnya.  Ia telah menyikat habis dua per tiga sisa-sisa 

penerus Alexander.  

Ptolemeus Ceraunus segera menguasai tahta Makedonia-Thracia untuknya 

sendiri  dan  menikahi  adiknya,  Arsinoe.    Ini  merupakan  kebiasaan  Mesir, 

bukan kebiasaan Yunani, dan tidak membuatnya disukai di negaranya yang 

baru. Tidak juga kegiatannya yang selanjutnya, yaitu membunuh dua putra 

Arsinoe  yang  menjadi  ancaman  kekuasaannya.    Arsinoe  meninggalkannya 

dan pergi ke Mesir ke tempat saudara laki-lakinya yang lain, Ptolemeus  II—

dan  menikahinya  juga.    Ini  membuatnya  mendapat  nama  julukan  Yunani 

”Ptolemeus  Philadelphus,” atau ”Cinta kakak,” ini bukanlah sebuah pujian.  

Sementara itu, Ptolemeus  tua telah meninggal dalam damai di tempat ti￾durnya, hampir satu-satunya penerus Alexander yang meninggal seperti itu.  

Ptolemeus    Ceraunus  memegang  tahtanya  yang  berdarah  untuk  dua 

tahun.    Pada  tahun  279,  pergerakan  bangsa  Celt  yang  telah  menyulitkan 

semenanjung  Italia  sudah  mencapai  Asia  Kecil.    Kaum  Gallia  membanjiri 

Makedonia;  Ptolemeus  Ceraunus  pergi  melawan  mereka  dan  gugur  dalam 

perang,  mengakhiri  karirnya  sebagai  penjahat  yang  tidak  dihargai  di  masa 

purba.

 Tahtanya berakhir di tangan cucu Antigonus si Mata Satu, Antigonus 

II.3

Putra  Seleukus,  Antiokhus  I  memegang  kekuasaan  kerajaan  ayahnya. 

Antiokhus  adalah  setengah  Persia  (sebagai  seorang  pemuda  di  perkemahan 

Alexander,  Seleukus  menikah  dengan  seorang  bangsawan  perempuan  dari 

Persia  dalam  perayaan  perkawinan  massal),  dan  kekaisaran  yang  sekarang 

dikepalainya telah meminjam struktur-struktur dasar dari Persia.  Provinsi￾provinsi diperintah oleh para satrap, dan kekaisaran dijalankan dari beberapa 

ibu  kota  kerajaan,  masing-masing  letaknya  dapat  mengawasi  ke  bawah  ke 

berbagai bagian dari kekaisaran itu.  Orang Persia sudah menggunakan Susa, 

Ekbatana, Sardis, dan Babilonia; Seleukus tetap memakai Sardis dan Babilon, 

tetapi  ia  membangun  sendiri  dua  kota  baru  yang  berperan  sebagai  markas 

tambahan.  Kota Antiokhia terletak di sungai Orontes, di daratan yang per￾nah dituntut oleh raja-raja Ptolemeus.  Meskipun begitu, kota Selukia adalah 

kota yang paling besar dan paling disukainya, yang dibangunnya di tepi Barat 

Tigris dan dihubungkan dengan Efrat melewati sebuah kanal. 

Tahun setelah kematian Ptolemeus  Ceraunus, bangsa Gallia menyeberangi 

Hellespont  dan  mengancam  untuk  menabrak  batas  kekaisaran  Seleukia. 

Antiokhus I melawan mereka, sehingga ia mendapat julukan ”Antiokhus si 

Penyelamat.”  Kaum Gallia mundur kembali, menetap di Asia Kecil di mana 

mereka akhirnya terkenal dengan nama orang Galasia.  

Satu  dasawarsa  kemudian,  tentara-tentara  Romawi  mendesak  dari  arah 

pantai semenanjung Italia, menuju Sisilia.  Ini adalah suatu saat bersejarah, 

cerita Polybius.  Itu adalah ”saat pertama ketika bangsa Romawi menyeberangi 

laut dari Italia,” dan Sisilia adalah negera pertama di balik pantai Italia tem￾pat mereka menginjakkan kakinya.”4

 Roma telah masuk ke dalam fase baru 

sejarahnya; Orang Roma sedang bersiap-siap untuk memulai penaklukannya 

yang pertama ke seberang lautan

Seperti kebanyakan pendiri kekaisaran yang belum berpengalaman, orang 

Romawi  mempunyai  alasan  untuk  invasi  ini.    Sisilia  masih  dibagi  antara 

kekuasaan Sirakusa dan Kartagena, dan kota pelabuhan Sisilia yaitu Messina, 

yang asalnya adalah sebuah koloni Yunani, telah jatuh ke dalam kekuasaan 

Sirakusa.  Tetapi sekelompok pembelot yang terdiri dari tentara bayaran Italia 

dari Kampania telah berlayar ke Sisilia dan menguasai kota.  Orang Messina 

dikirimkan ke Karthago maupun Roma, meminta bantuan untuk mengusir 

penjajah ini.  

Karena  Roma  dan  Karthago  secara  teknis  dalam  keadaan  damai,  ini 

bukanlah hal yang tidak masuk akal.  Tetapi hal itu seperti menyulut korek 

di bawah kobaran api.  Orang Kartagena  tiba di situ terlebih dahulu dan 

menemukan bahwa tiran Sirakusa yaitu Hiero II (Agathocles sudah meninggal 

sekitar dua puluh tahun sebelumnya), sudah berkuasa;  Ia tidak senang pihak 

Messina berpaling pada kekuasaan lain untuk meminta bantuan, ketika kota 

itu seharusnya menjadi miliknya. Alih-alih memulai perang tiga-arah, kubu 

Kartagena  bergabung  dengan  Hiero  II  dan  menguasai  Messina,  mengusir 

penjajah yang sebelumnya. 

Orang  Romawi  yang  datang  kemudian,  menolak  untuk  menyerahkan 

proyek  pencaplokannya  atas  Messina  dan  langsung  menyerang  pasukan 

Kartagena yang sedang dalam pendudukan.  Sesudah itu penjajah Romawi 

menyebar  menyeberangi  pulau,  menguasai  tanah  yang  dikuasai  orang 

Kartagena dan merebut Sirakusa juga.5

Kubu Kartagena beraksi dengan menyalibkan (secara harafiah) panglima 

yang bertugas di garnisun Messina dan bersiap untuk melawan.  Mereka dapat 

melihat dengan jelas bahwa usaha menyeberang lautan ini adalah tusukan se￾mentara bagi Roma yang untuk pertama kalinya ke daratan di luar perbatasan 

Italia.  Selama dua puluh tiga tahun berikut, kedua kekuatan akan terus saling 

memukul lewat Perang Punik Pertama (264-241).  

”Karena  mereka  melihat  bahwa  perang  terus  berlarut-larut,”  Polybius 

menulis, ”orang Romawi untuk pertama kalinya memakai pembuatan kapal. 

...  Mereka  menghadapi  kesulitan  besar  karena  para  pembuat  kapal  mereka 

sama sekali tidak berpengalaman.”6

 Ini adalah pertama yang kedua dari Perang 

Punik  Pertama.  Untuk  mencapai  Sisilia,  konsul-konsul  Roma  meminjam 

kapal dari sekutu-sekutu Roma dan kota-kota jajahan (suatu pasukan yang 

disebut socii navales).7

 Tetapi segera terlihat semakin jelas bahwa Roma tidak 

bisa hanya bergantung pada angkatan laut  kota-kota lain.  Ketika kapal perang 

Kartagena  terdampar  di  pantai  yang  berpihak  pada  Roma,  para  pembuat 

kapal  membongkarnya dan memodeli kapal mereka sendiri berdasarkan itu; 

sementara itu, para krunya berlatih mendayung di tanah kering.  Dan dengan selesainya  kapal-kapal  itu,  armada  Roma  yang  baru  melaut  dengan  segera 

ditangkap oleh komandan kubu Kartagena. 8

Orang Roma membuat kembali dan mencobanya lagi dan mencocokkan￾nya lagi di laut.  Dua tahun kemudian, kata Polybius, kedua angkatan laut 

sudah  menjadi  ”kekuatan  yang  seimbang.”  Pihak  Roma  memang  memetik 

hasil-hasil terbaik strategi, hukum, pemerintahan, dan bahkan mitologinya 

dari  kebudayaan-kebudayaan  lain,  tetapi  mereka  adalah  orang-orang  yang 

cepat belajar.  

Pada tahun 247, setelah tujuh belas tahun terus bertempur, kubu Roma 

sudah mendapat sedikit keuntungan.  Pasukan Roma sudah mendarat di Afrika 

Utara dan mendirikan perkemahan, meskipun untuk menyerang Karthago 

sendiri jauh dari kemampuannya; dan Sisilia telah hampir seluruhnya dikuasai 

oleh Roma.  Pemimpin Karthago menggantikan panglima jenderalnya  karena 

tidak kompeten, dan menyerahkan kekuasaan atas angkatan perangnya kepada 

seorang panglima baru, seorang pria yang berumur pertengahan dua puluh 

bernama Hamilcar Barca.  

Hamilcar  memimpin  angkatan  perang  gabungan  terdiri  dari  orang 

Kartagena  dan  tentara  bayaran,  sekitar  sepuluh  ribu  semuanya,  termasuk 

tujuh puluh gajah.  Ia sendiri merebut Sisilia yang dijadikannya basis tem￾pat ia mengacaukan pantai Italia, dan mendapat beberapa kemenangan yang 

diperjuangkannya dengan keras; cukup banyak untuk membuatnya mampu 

menyelamatkan  orang  Kartagena  ”dari  keadaan  jatuh  tanpa  harapan  sama 

sekali,”9

Tetapi pada tahun 242, perang—yang sekarang sudah memasuki tahun 

ke dua puluh dua—telah menyeret kedua bangsa itu ke dalam kemarahan. 

”Mereka lelah dengan ketegangan-ketegangan operasi militer keras yang terus 

menerus berlangsung,” kata Polybius ”sumber penghasilannya… diserap oleh 

pajak dan biaya militer yang membengkak tahun demi tahun.”10 Kelompok 

tentara  bayaran  dan  orang  Karthago  pimpinan  Hamilcar  di  Sisilia  sudah 

bertempur selama lebih dari tiga tahun tanpa kalah—tetapi tanpa dapat men￾guasai  pulau  itu  juga.    Pihak  Romawi  tidak  dapat  memperoleh  kemajuan 

melawan  kekuatan  darat  Kartagena,  tetapi  angkatan  laut  Roma  membuat 

kapal persediaan pihak Kartagena semakin sulit mencapai tentara Hamilcar 

di Sisilia.  

Pihak Kartagena menjadi pihak pertama yang menyerukan berhenti.  Pada 

tahun 241, kota pusat mengirimi Hamilcar sebuah pesan:  mereka tidak ingin 

menelantarkannya, tetapi keadaan tidak memungkinkan untuk melanjutkan 

pengiriman makanan dan senjata.  Ia mendapat kekuasaan untuk mengatasi 

keadaan  menurut  keinginannya.    Otoritas  yang  tidak  ada  kekuatannya  ini 

membuat  Hamilcar  tidak  mempunyai  pilihan  selain  menyerah.    Bersama pasukannya  ia  turun  dari  basisnya,  sampai  setengah  perjalanan  ke  atas 

Gunung  Erys,  dalam  ”kesedihan  dan  kemarahan,”11  dan  di  bawah  protes 

terpaksa  menyerah  pada  perjanjian  yang  bersyarat,  bahwa  Kartagena  harus 

menyerahkan  seluruh  Sisilia,  melepaskan  semua  tahanan,  dan    membayar 

denda yang besar selama sepuluh tahun ke depan. 12

Perang usai.  Senat memerintahkan untuk menutup pintu-pintu ke Kuil 

Janus,  untuk  menyimbolkan  perdamaian  di  seluruh  daratan  yang  menjadi 

milik Roma.  Sisilia adalah salah satu dari daratan itu;  Sisilia telah menjadi 

provinsi asing Roma yang pertama.  

Perdamaian ini berisi benih konflik yang lebih buruk.  

K  , perang-perang lain berlarut-larut. Ptolemeus II dari 

Mesir (sekarang menikah dengan adik perempuannya) dan Antiokhus I (putra 

Seleukus) bertengkar tentang batas Suriah di antara kedua wilayah, dan me￾nurunkan pertengkaran ini kepada putra-putranya, tetapi bertalian dengan 

ini, suksesi diturunkan ke generasi selanjutnya tanpa perubahan. Ptolemeus 

II wafat di tahun 246 dan diteruskan oleh putranya Ptolemeus III, Antiokhus 

I (mengikuti tradisi Persia lama) menghukum mati putra sulungnya karena 

berkhianat dan meninggalkan tahtanya untuk putra keduanya, Antiokhus II.*

Di seberang, di Makedonia, Antigonus II, cucu dari si Mata Satu, wafat pada 

usia delapan puluhan setelah hampir lima puluh tahun berkuasa sebagai raja 

dan diikuti oleh putranya sendiri. 

Jauh di Mesir, Ptolemeus III mengalami dua puluh dua tahun pemerintahan 

yang sejahtera. Antiokhus II tidak sama keberuntungannya. Enam tahun 

setelah ia mengambil alih kekaisaran Seleukia, ia kehilangan Satrap Baktria; 

yang memberontak di bawah gubernur Yunani Diodotus, dan menyatakan 

dirinya sebagai kerajaan merdeka dengan Diodotus sebagai raja. Baktria jauh 

dari kota-kota besar Antiokhus II di mana pun, letaknya di pedesaan yang 

keras, dan raja tidak bisa menaklukkannya kembali. Tidak lama kemudian, 

seorang penduduk asli bangsawan Partia bernama Arsaces juga menyatakan 

kemerdekaan bangsa Partia. Antiokhus II sedang dsibukkan oleh perbatasan 

Baratnya; ia sedang berperang melawan Mesir untuk memperebutkan 

kekuasaan atas daratan-daratan Semit Barat yang lama, termasuk wilayah￾wilayah Fenisia, Israel dan Yudea lama, dan ia tidak dapat mempertahankan 

dua perbatasan dari kekaisarannya yang besar sekaligus Akhirnya ia berhasil mengadakan perdamaian sementara dengan Ptolemeus 

III,  dan  kedua  raja  memateraikan  tawar-menawar  itu    dengan  perkawinan 

kerajaan; Putri Ptolemeus  III pergi ke Utara dan menikahi Antiokhus sebagai 

istri kedua.  Meskipun begitu, perundingan ini tidak mengembalikan Partia 

dan  Baktria,  dan  istri  Antiokhus  II    pertama  yang  marah,  meracuninya 

sehingga perdamaian mengalami kegagalan di mana-mana.  

Ia diteruskan oleh putranya (dari istri pertama) Seleukus II, yang gagal 

mengambil kembali dua satrap dan kemudian mati karena jatuh dari kudanya. 

Putra tertua Seleukus II hanya berhasil memerintah selama tiga tahun sebelum 

ia dibunuh oleh panglimanya sendiri; tahta kemudian jatuh ke putra yang 

muda Antiokhus III.  

Ia baru berusia lima belas tahun ketika pertama kali menjadi raja Seleukia 

di tahun 223.  Dengan seorang anak-laki-laki di atas tahta, baik Midia maupun 

daratan pusat Persia lama bergabung  dengan Baktria dan Partia dalam pem￾berontakan.  Tetapi Antiokhus III lebih kuat dari ketiga raja di hadapannya.  Ia 

pergi bertempur dan menjatuhkan taklukan-taklukan itu satu per satu:   daerah 

kekuasaannya di pinggiran-pinggiran Asia Kecil yang telah mulai melepaskan 

diri, Midia dan Persia, keduanya-duanya terpaksa menyerah pada Antiokhus 

ketika ia sendiri memimpin angkatan perangnya melawan mereka pada usia 

delapan belas; akhirnya, Baktria dan Partia juga.  Ia tidak mencoba menyerap 

kembali kedua wilayah yang terakhir ini.  Ia berdamai dengan kedua raja Baktria 

dan Partia, hal ini dilakukannya guna mengamankan perbatasan Timurnya dan 

sehingga ia dapat memberikan lebih banyak perhatian ke Barat.

  

Ini  merupakan  rencana  yang  baik,  ketika  cengkeraman  Mesir  atas  per￾batasannya sendiri mulai goyah.  Di tahun 222, Ptolemeus  III telah diteruskan 

oleh putranya Ptolemeus  IV, yang tidak disukai secara universal oleh semua 

penulis  biografinya.  ”Ia  adalah  pangeran  yang  tidak  cocok,  bernafsu,  dan 

tidak jantan,” komentar Plutarkhos, ”… dibodohi oleh wanita-wanitanya dan 

anggurnya.”13  ”Ia  memimpin  pemerintahannya  seolah-olah  sebuah  festival 

yang berlangsung terus menerus,” Polybius mengatakan dengan ketidaksenang￾annya, ”melalaikan   urusan kenegaraan, membuat dirinya sulit didekati, dan 

menghina atau mengabaikan orang-orang yang menjalankan urusan negara￾nya di luar negeri.”14 Segera setelah ayahnya meninggal, ia meracuni ibunya 

agar ibunya tidak dapat berkomplot melawan dia, dan meneruskan perbuatan 

ini dengan merebus adiknya, Magus, sampai mati, Magus berbahaya baginya 

karena disukai oleh angkatan perangnya.  Urusan-urusan Ptolemeus  IV dijalankan oleh selirnya, Agathocles saudara 

laki-laki selir ini (”si mucikari,” sebutan Plutarkhos untuknya), dan salah satu 

penasehatnya,  seorang  Yunani  bernama  Sosibius  yang  kelihatannya  mem￾buatkan  keputusan-keputusan  untuknya  sementara  ia  memperhatikan  ”hal 

yang tidak berguna dan mabuk terus menerus.”16  Ptolemeus  IV meninggal 

tahun 204 (kemungkinan karena gagal hati), meninggalkan tahtanya kepada 

putranya yang berumur lima tahun Ptolemeus  V.  Sosibius dan ”si mucikari” 

kelihatannya kemudian memalsukan dokumen sehingga mereka menjadi wali 

untuk si anak.  

Sosibius  meninggal  sebulan  kemudian,  tinggallah  Agathocles,  saudara 

perempuannya,  dan  ibu  mereka  di  atas  kekuasaan  Mesir.  Tidak  lama  ke￾mudian;  trio  ini  membuat  kesal  orang-orang  sampai  segerombolan  orang, 

yang  dipimpin  oleh  tentara,  menyerbu  istana,  menarik  mereka  keluar  ke 

jalan, menelanjangi mereka, dan mencabik-cabik mereka dalam kemarahan: 

”Beberapa (dari gerombolan orang itu) mulai mengoyak dengan gigi mereka,” 

kata Polybius, ”yang lain menusuk mereka, yang lain lagi mencungkil mata 

mereka.  Segera setelah mereka semua jatuh, tubuhnya dicabik-cabik, tungkai 

demi tungkai ,sampai tubuhnya hancur lebur, kebiadaban orang Mesir benar￾benar mengerikan ketika nafsu mereka terusik.”17

Ptolemeus  V muda naik tahta di Memphis dengan dewan penasihat Mesir 

yang benar, tetapi ketika ia berumur dua belas tahun, Antiokhus III bergerak 

melawan dari perbatasan Mesir Utara.  Josephus mencatat bahwa Antiokhus, 

yang  disebutnya  raja  ”seluruh  Asia,”  merebut  Yudea.”18  Invasi  itu  berakhir 

tahun 198, dalam pertempuran Panium, ketika angkatan perang Seleukia dan 

Mesir bertemu di dekat hulu sungai Yordan.  Ketika pertempuran berakhir, 

Mesir  kehilangan  kekuasaannya  atas  wilayah  Semit  Barat  untuk  terakhir 

kalinya.    Kerajaan  itu  tidak  akan  lagi  mencapai  daratan-daratan  Utara. 

Pemerintahan  Ptolemeus    IV  diceritakan  oleh  hampir  setiap  pakar  sejarah 

kuno  sebagai  akhir  Mesir  yang  agung.    Renaisans  negara-negara  purba  di 

bawah penguasa-penguasa Yunani sudah berakhir.  

L   , Hamilcar Barca masih merasa jengkel dihimpit oleh 

syarat-syarat perdamaian yang ditentukan oleh Roma. Kebesaran Karthago 

telah dihalangi; Orang-orang Kartagena telah kehilangan pulau-pulau Laut 

Tengah yang telah membentuk kekaisaran mereka, dan sebaliknya orang 

Romawi bercokol dengan kuat atas mereka. 

Hamilcar memutuskan untuk menutupi kekalahannya dengan memin￾dahkan kekaisaran Kartagena sedikit jauh ke arah Barat. Ia akan membawa 

sepasukan tentara dan orang-orang yang akan menetap ke Iberia—Spanyol 

modern—dan menanamkan kembali koloni Kartagena yang lain untuk menggantikan yang hilang di Sisilia.  Koloni Iberia ini akan menjadi pusat 

kekuatan  baru  Kartagena—dan  akan  menjadi  sebuah  basis  yang  baik  dari 

mana serangan-serangan balasan bisa dilemparkan ke arah Roma. Penghinaan 

yang diterimanya di Sisilia telah menjadi kebencian yang dengan sebisa-bisan￾ya diturunkannya kepada putranya yang muda Hannibal, seperti dicatat oleh 

Polybius: 

Pada saat ayahnya akan berangkat dengan tentaranya dalam ekspedisi ke 

Spanyol, Hannibal, yang pada waktu itu berumur kira-kira sembilan tahun, 

sedang berdiri di dekat altar tempat ayahnya sedang berkurban .. Kemudian 

(Hamilcar)  memanggil  Hannibal  dan  menanyainya  dengan  kasih  sayang 

apakah  ia  ingin  menemaninya  dalam  ekspedisi  itu.  Hannibal  kegirangan 

menerimanya  dan  seperti  seorang  anak,  memohon  untuk  diperbolehkan 

pergi.  Ayahnya kemudian menggandengnya, membimbingnya ke altar dan 

memerintahkannya untuk meletakkan tangannya ke atas hewan kurban dan 

bersumpah bahwa ia tidak akan pernah berteman dengan orang Romawi.19

Sumpah kebencian telah diucapkan, Hamilcar beserta putra dan orang￾orang yang akan menetap, mulai berlayar.  

Ekspedisi  Kartagena  sampai  ke  semenanjung  Iberia  pada  tahun  236 

dan  mulai  menaklukkannya  sebagai  kerajaan  kecil  yang  baru.    Dari  pusat 

operasinya,  Gadir  (Cadiz  modern),  Hamilcar  berhasil  mendirikan  koloni 

barunya.  Di sinilah Hannibal tumbuh, memperhatikan ayahnya membujuk 

dan  menggertak  orang-orang  di  sekitarnya  untuk  menyerah:    ”Hamilcar 

menghabiskan waktu hampir sembilan tahun di negara itu,” cerita Polybius, 

”selama  itu  ia  menaklukkan  banyak  suku  di  bawah  kekuasaan  Kartagena, 

beberapa dengan kekuatan senjata dan yang lain dengan diplomasi.”20  Ia juga 

mengirimkan mata-mata menyeberangi Pegunungan Alpen menuju ke daerah 

Utara semenanjung Italia, untuk memandu rute invasi yang memungkinkan.21

Hannibal tumbuh menjadi dewasa tanpa pernah menginjakkan kakinya di 

kota kelahirannya Karthago.  

Sementara itu, orang Romawi untuk pertama kalinya berlayar ke Yunani, 

di  mana  mereka  diundang  untuk  melindungi  pulau  Korsika  dari  ancaman 

invasi ganda oleh orang-orang Yunani yang bersikap bermusuhan dan serangan 

terus menerus dari orang Gallia di Utara.  Ketika intervensi selesai, sepasukan 

garnisun Roma tinggal, secara teoritis sebagai pasukan penjaga perdamaian; 

Roma belum siap menyerang tetangga-tetangga Yunaninya.  Pada tahun yang sama, 229, Hamilcar Barca gugur dalam pertempuran 

ketika sedang merebut genggaman bangsa Celtic.  Hannibal yang sekarang 

berumur  delapan  belas  tidak  dianggap  cukup  umur  untuk  memimpin. 

Sebaliknya,  pemerintahan  koloni  Ibera  jatuh  ke  tangan  kakak  iparnya 

yang  sepertinya  tidak  mempunyai  kebencian  yang  sama  kepada  Roma.  Ia 

menghabiskan  waktu  delapan  tahun  lagi  memerintah  koloni  Iberia  (dan 

mendirikan  sebuah  kota  yang  disebut  dengan  megah,  Kartagena  Baru) 

dan  mengabaikan  orang  Romawi  di  sebelah  Timurnya.    Mungkin  ia  bisa 

membangun  sebuah  kerajaan  baru  yang  langgeng  di  semenanjung  Iberia, 

tetapi salah satu budaknya membunuhnya di tahun 221, dan kepemimpinan 

kekuatan Spanyol jatuh pada Hannibal yang berumur dua puluh enam.  

Hannibal  memalingkan  punggungnya  dari  Kartagena  Baru  dan  segera 

mulai  bersiap  untuk  menginvasi  darat  ke  arah wilayah  Romawi.    Ia  mulai 

perlawanannya sepanjang pantai untuk melancarkan jalannya yang aman ke 

arah Pegungan Alpen.  Ketika ia mendekati Masalia, kota (yang mempunyai 

hubungan baik dengan Roma sejak bantuan Roma untuk mengusir penjajah 

Gallia) memohon bantuan Roma.  

Orang Roma mengirimkan pesan ke Kartagena, memperingatkan bahwa 

Hannibal sudah maju melewati kota Saguntum, mereka akan menganggap 

ini sebagai aksi perang.  Hannibal segera merebut dan meruntuhkan kota, 

atas mana duta Romawi pergi ke Karthago untuk menyerahkan ultimatum 

akhir pada senat Kartagena:  Serahkan Hannibal, atau hadapi perang Punik 

kedua.22  Pihak  Kartagena  memprotes  bahwa  Saguntum  yang  merupakan 

hunian Celtic bukanlah sekutu Roma; para duta besar itu membalas bahwa 

Saguntum pernah meminta bantuan Roma, beberapa tahun sebelumnya, jadi 

Roma dapat menganggap kota itu berada di bawah perlindungan Roma.  

Garis  bawahnya  adalah  kedua  kota  gigih  yang  bersikukuh  untuk  ber￾perang. ”Di pihak Roma ada kemarahan atas serangan yang tidak ada sebabnya 

oleh musuh yang dahulunya pernah dikalahkan,” kata Livius, ”dan di pihak 

Kartagena, kebencian yang pahit terhadap apa yang dirasakan sebagai ceng￾keraman dan sikap tirani dari penakluk mereka.”23 Ketika duta besar senior 

Roma berteriak bahwa ia membawa perdamaian maupun peperangan di dalam 

lipatan bajunya, dan akan membiarkan perang terjadi jika mereka tidak berha￾ti-hati, senator-senator Kartagena berteriak kembali, ”Kami menerima itu!”24

  

Dengan demikian Hannibal menuju ke pegunungan Alpen di tahun 218.  Ia 

meninggalkan adiknya Hanno untuk memimpin koloni Iberia, dan membawa


pasukan yang berjumlah lebih dari ratusan ribu serdadu infanteri, mungkin 

dua puluh ribu pasukan berkuda, dan mungkin tiga puluh tujuh gajah-gajah.

Sebagai jawaban kubu Roma memberangkatkan dua armada, satu menuju 

ke arah pantai Afrika Utara dan yang lain, di bawah komando konsul Publius 

Cornelius Scipio, menuju ke semenanjung Iberia.  Cornelius Scipio berlabuh 

di  mulut  Rhone,  bermaksud  untuk  menjegal  Hannibal  dan  pasukannya 

sebelum  mereka  bisa  menyeberanginya,  tetapi  pasukan  Hannibal  sudah 

bergerak  lebih  cepat  daripada  dugaan  sehingga  Cornelius  Scipio  tiba  di 

tempat penyeberangan mereka tiga hari lebih lambat.  Hannibal sedang dalam 

perjalanannya ke arah pegunungan.25

Orang-orangnya merupakan masalah yang lebih besar daripada pengejar 

Roma.   Mereka kebanyakan dibesarkan di Afrika, dan pantai Spanyol adalah 

daratan  yang  paling  dingin  yang  pernah  mereka  kenal;  mereka  ketakutan 

karena  memikirkan  harus  mendaki  lereng-lereng  gunung  yang  curam  dan 

tidak mereka kenali, dan pertama kali mereka melihat pergunungan Alpen, 

mereka ketakutan.  ”Puncak-puncak yang menjulang,” kata Livius, ”puncak 

gunung yang diselimuti salju menjulang ke langit, gubug-gubug tentara yang 

menggantung  pada  batu-batu,  binatang  buas  dan  ternak  kisut  dan  kering 

kedinginan, orang-orang dengan rambutnya yang liar dan kusut masai, semua 

alam, bernyawa dan tidak bernyawa, kaku karena embun beku:  semua ini, 

dan  pemandangan-pemandangan  lain  yang  mengerikan  yang  tidak  dapat 

diungkapkan  dengan  kata-kata,  menambah  ketakutan  akan  apa  yang  akan 

terjadi di hadapan mereka.”26 Dan mereka terus-menerus diancam oleh suku￾suku liar setempat, pada serangan pertama oleh suku-suku liar itu, kuda-kuda 

Kartagena panik di jalan pegunungan yang sempit, dan baik tentara maupun 

kudanya tergelincir dan terhempas ke ujung jalan, hancur di bebatuan ribuan 

kaki di bawah.  Ketika mereka bergerak ke arah yang lebih tinggi, es yang licin 

di bawah lapisan salju mengirimkan lebih banyak orang dan hewan tergelincir 

ke dalam kematian.  

Penyeberangan, cerita Livius, memakan waktu lima belas hari, dan Hanibal 

sendiri memperkirkan ia telah kehilangan, secara mencengangkan, sejumlah 

tiga puluh enam ribu orang, termasuk juga tiga puluh empat gajah.  Ia turun 

ke dataran dekat sungai Po bersama dengan pasukannya yang sudah menciut 

nyalinya dan menipis jumlahnya untuk menghadapi Cornelius Scipio, yang 

telah berlayar secepat mungkin kembali ke Italia dengan sebagian dari pasu￾kannya guna menhadapinya.  Berita tentang penyeberangan yang sukses itu segera sampai ke Roma juga, dan Senat segera memanggil kembali pasukan 

invasi di Afrika Utara untuk memperkuat pertahanan tanah air.  

Cornelius  Scipio  dan  Hannibal  bertemu  di  sungai  Ticinus  di  bulan 

November  tahun  218.    Dalam  keadaan  lelah,  pasukan  berkuda  Kartagena 

menerjang barisan Romawi hampir serentak.  Kubu Romawi tercerai berai; 

Scipio  sendiri  terluka  parah.    ”Ini  menunjukkan,”  kata  Livius  ”  bahwa  … 

kubu Kartagena mendapat keuntungan.:27

Pasukan Cornelius Scipio mundur untuk bergabung dengan pasukan dari 

Afrika Utara, yang sudah kembali ke Roma untuk disambut dengan gembira 

dan oleh bahaya.  Roma sedang mengalami keadaan yang berbahaya yaitu 

tidak  adanya  hubungan  antara  persepsi  publik  dan  realitas.    ”Kepercayaan 

rakyat akan kesuksesan tentara Roma tetap tidak terpengaruh,” tulis Polybius. 

”Jadi,  ketika  Longus  (pemimpin  dari  kontingen  Afrika  Utara)  dan  legiun￾nya mencapai Roma dan berbaris masuk kota, rakyat tetap percaya bahwa 

pasukan ini hanya  muncul di medan perang dan pasti akan menang.”28 Ini 

jauh dari kebenaran.  Ketika pasukan bertemu kembali, sebulan kemudian, di 

sungai Trebbia, sepertiga penuh dari pasukan Romawi itu sudah tumbang.  

Berita bahwa pasukan gabungan dari dua konsul itu telah dikalahkan tersebar 

sampai ke Roma dan menimbulkan kepanikan:  ”Rakyat membayangkan bahwa 

pada saat itu Hannibal akan muncul di gerbang kota,” tulis Livius.29 Roma terus 

bersiaga penuh, mengisi pulau-pulau dengan garnisun-garnisun, memanggil 

kekuatan pasukan sekutu, melengkapi armada kapal yang baru.  Pada tahun 

217, Hannibal bergerak dengan mantap ke Selatan, menghancurkan daerah 

pedesaan, bergerak melewati Etruria menuju Roma.  Konsul Gaius Flaminus 

dan  pasukan  Romawi  yang  sudah  diperkuat  menjumpai  kubu  Kartagena 

di Danau Trasimene, suatu pertempuran di dalam kabut tebal yang penuh 

malapetaka.    Lima  belas  ribu  serdadu  Romawi  mati,  dan  Flaminus  sendiri 

hancur lebur; tubuhnya tidak pernah diketemukan.  Sekali lagi, berita tentang 

malapetaka  itu  menyapu  Roma.  ”Rakyat  berbondong-bondong  menuju  ke 

forum,”  kata  Livius,  ”wanita-wanita  berkeliaran  di  jalan-jalan  menanyakan 

pada siapa pun yang mereka temui apa artinya gelombang pasang mengerikan 

yang datang tiba-tiba … Tidak seorang pun tahu apa yang bisa diharapkan 

atau  apa  yang  harus  ditakuti.    Selama  beberapa  hari  kemudian  kumpulan 

orang di gerbang kota terdiri dari lebih banyak perempuan daripada laki-laki, 

menunggu dan berharap melihat wajah yang mereka cintai, atau setidaknya 

mendapat kabar.”30

Tidak ada kabar baik.  Pasukan Hannibal sepertinya tidak tertahankan.  Ia 

terus mendesak ke Selatan, kadang-kadang melewati Roma sendiri hanya untuk 

membawa daerah-daerah di bawah kota itu masuk ke pihaknya.  ”Sementara 

itu pasukan Romawi mengikuti penjaga belakang Kartagena,” tulis Polybius, ”menjaga jarak dua atau tiga hari bergerak di belakang mereka tetapi berusaha 

dengan hati-hati untuk tidak mendekati dan bentrok dengan musuh.”31

Tahun berikutnya, kedua konsul yang baru dipilih, Paulus dan Varro, ber￾gabung bersama dalam usaha untuk menghadapi Hannibal.  Orang Romawi 

berhasil mengumpulkan sepasukan angkatan perang yang terdiri dari lebih 

dari  seratus  ribu,  untuk  menghadapi  pasukan  Kartagena  yang  kurang  dari 

lima puluh ribu.  Pada tanggal 2 Agustus 216, pasukan-pasukan itu bertemu 

di Cannae, di pantai tenggara.  

Bersyukur  karena  jumlahnya  yang  besar,    pihak  Romawi  kelihatannya 

sudah  memperhitungkan  akan  melindas  penyerbu  yang  jumlahnya  cuma 

sedikit, mereka mengatur diri mereka dalam gerombolan orang yang padat 

yang akan menerjang dengan kekuatan yang tidak dapat dihentikan.  Untuk 

membalas ini, Hannibal mengatur garis depan yang tipis untuk menghadapi 

serangan kubu Roma, yang sepertinya keseluruhannya tidak seimbang untuk 

menahan mereka.  Tetapi, di sebelah kanan dan kiri, dan di belakangnya, ia 

sudah menempatkan orang-orangnya yang paling kuat dan beringas, menyewa 

serdadu bayaran dari Afrika dalam dua kelompok.  Ia sendiri menempatkan 

dirinya di garis depan.  Kalau ia tidak menempatkan dirinya di tempat yang 

berbahaya  seperti  pasukannya,  ia  tidak  dapat  berharap  mereka  akan  dapat 

melaksanakan tugas yang sulit seperti yang diinginkannya.  

Ketika tentara Romawi maju, garis depan yang tipis itu bertempur dengan 

dahsyat,  tetapi  kemudian  mundur,  perlahan-lahan,  ketika  pasukan  Roma 

menerjang ke depan, ia mengarahkan pasukan Roma masuk ke dalam formasi 

V.  Dan kemudian pasukan tentara bayaran di kedua sisi maju dari masing￾masing sisi V dan menyerang.  Pasukan Roma tidak siap dan tidak diajarkan 

untuk berkelahi dalam tiga sisi sekaligus.  Dalam kekacauan yang menyusul 

kemudian, lima puluh ribu tentara Romawi tumbang.  Dari enam ribu pasukan 

berkuda, tujuh puluh melarikan diri dan pergi ke kota Venusia, dipimpin oleh 

Varro yang dipermalukan oleh baik kekalahan maupun pelarian itu.  

Ketika  laporan  mengenai  peperangan  Kana  kembali  ke  Roma,  hampir 

semua keluarga di Roma mendapati mereka telah kehilangan seorang kakak, 

atau ayah, atau putra.  ”Setelah kekalahan ini,” kata Polybius, ”orang Roma 

sudah menyerahkan segala harapan untuk mempertahankan supremasi mereka 

atas Italia dan mulai mengkhawatirkan tanah air dan keberadaan mereka.”32

Situasi  menjadi  semakin  buruk  ketika  kapal-kapal  Kartagena  berlayar 

ke Yunani dan menawarkan pada raja Makedonia, sekarang Filipus V (cicit 

dari  Antigonus  si  Mata  Satu),  dukungan  untuk  mengusir  orang  Romawi 

”pemelihara perdamaian” dari semenanjung Yunani.    Filipus V menerima, dan 

orang Makedonia dan Kartagena bersama-sama melawan penjajah Romawi 

dan sekutu Yunani mereka, termasuk Sparta dan kota-kota dari ”Liga Aetolia” (sebuah  persekutuan  kota-kota  di  tengah-tengah  semenanjung,  di  Selatan 

Makedonia dan Utara Teluk Korintus).  Sekarang Perang Makedonia Pertama 

bertumpukan  dengan  Perang  Punik  Kedua,  dan  orang  Roma  berurusan 

dengan dua medan malapetaka.  

Seperti dalam Perang Punik Pertama, pertempuran dalam Perang Kedua 

berlarut-larut.

 Pada tahun 211, Pihak Roma berhasil memperoleh kembali 

sebagian  dari  Sisilia  dengan  kemenangan  atas  Sirakusa  setelah  dua  tahun 

perebutan; Pakar matematika Yunani, Archimedes, yang berada di dalam kota, 

meninggal dalam reruntuhan kota.  Mereka kurang berhasil di semenanjung 

Iberia.  Kekuatan Romawi dipimpin oleh dua anggota dari keluarga Scipio, 

kakak beradik Publius dan Gnaeus, menyerbu dan menemui adik Hannibal, 

Hasdrubal,  yang  masih  menjaga  benteng  menunggu  kembalinya  Hannibal 

ke  rumah.    Kedua  kakak  beradik  Scipio  meninggal  dalam  pertempuran 

selanjutnya,  meskipun  Hasdrubal  tidak  dapat  mendesak  penyerbu  Roma 

untuk meninggalkan tanahnya seluruhnya.  

Ini  menanamkan  pada  seorang  perwira  Romawi—putra  Publius,  yang 

dikenal�