�� sampai bahkan
perdana menteri membuat alasan untuk tidak pergi ke istana karena takut kaisar
akan membunuhnya ketika ia sedang marah. Sebaliknya, perdana menteri
mengaku sakit dan mundur ke rumah pribadinya, dari sana ia merencanakan
untuk mengkudeta istana yang akan dipimpin oleh menantunya; kudeta ini
akan menurunkan Kaisar Kedua dan menggantikannya dengan pangeran
kerajaan yang lain, keponakan Kaisar Kedua.
Adegan selanjutnya mengesankan bahwa perdana menteri itu sebetulnya
sudah mengharapkan keresahan itu untuk membantunya mengambil alih
kekuasaan. Untuk membuat menantunya, Yen Lo, mau memimpin invasi ke
ruang tahta, ia harus menculik ibu Yen Lo dan menahannya sebagai sandera.
Sementara itu, ia akan dengan hati-hati menjauh, untuk tetap menjaga
kesetiaannya.
Yen Lo yang dalam keadaan terjepit, menyerbu ke istana tepat di depan
tentara yang terkejut dan menerjang masuk ruang tahta, di sana ia berhasil
menarik perhatian Kaisar Kedua dengan melepaskan anak panah ke arah tirai
tepat di atas kepala Kaisar. Kaisar Kedua yang ditinggalkan oleh pengawal
istananya, minta bertemu dengan perdana menteri; Yen Lo, seperti diinstruksikan oleh sutradaranya, menolak. Kaisar Kedua kemudian mulai melakukan
tawaran, Ia menawarkan untuk turun tahta jika ia dijadikan komandan
sebuah jun; kemudian ia mengusulkan menjadi pimpinan di bidang ketentaraan yang sederhana; lalu ia menawarkan untuk menjadi orang biasa sebagai
ganti nyawanya. Yen Lo menolak dan kemudian, memecahkan kesunyian,
memberitahu Kaisar bahwa perdana menteri sudah mendekritkan kematiannya. Tentara-tentaranya mendekat untuk melaksanakan hukuman itu, tetapi
Kaisar Kedua bunuh diri sebelum mereka dapat menangkapnya.18
Perdana menteri kemudian muncul kembali dalam adegan itu dan
melaksanakan pentahtaan keponakan Kaisar Kedua, Tzu Ying; tetapi kaisar
yang baru ini tidak mempercayai si pembuat raja. Begitu dimahkotai, ia
memerintahkan perdana menteri masuk ke ruang tahta dan membunuhnya
dengan tangannya sendiri.
Tzu Ying, Kaisar Ketiga, memegang kekuasaan selama empat puluh enam
hari sebelum seorang jenderal Chu, Hsiang Yu, tiba di istana, di hadapan
sebuah kekuatan koalisi yang dibentuk untuk menghapus keinginan Ch’in.
Pasukan-pasukan itu menyerbu istana; Hsiang Yu membunuh Tzu Ying
dan membunuh massal keluarga istana, membakar istana, dan membagikan
harta karun kerajaan kepada sekutunya. Tiga panglima perang menuntut
wilayah Ch’in, membaginya menjadi tiga kerajaan dan mendeklarasikan
diri mereka sendiri sebagai raja. ”Ch’in,” menurut Sima Qian, ”benar-benar
dimusnahkan.”
Selama lima tahun, China kembali pada cara lama yaitu multikerajaan,
terpecah-pecah, dan saling berperang. Kemudian muncullah seorang
pemimpin baru, dan berjuang mencapai puncak pimpinan. Namanya adalah
Liu Pang, dan ia sudah mengambil keuntungan dari reformasi Ch’in dengan
caranya sendiri. Ia berasal dari keluarga petani, dan telah menjadi pejabat
rendah (seorang polisi militer, yang mengepalai pasukan yang terdiri dari para
terhukum), semacam posisi yang tidak pernah tersedia untuknya di masa
pemerintahan yang lama.19
Ia sudah bergabung dengan pasukan Hsiang Yu pada awal pemberontakan.
Setelah pembunuhan seluruh keluarga istana Ch’in, Hsiang Yu sendiri
mengambil wilayah lama Chu dan menempatinya serta memerintahnya. Ia
menghadiahi sebuah wilayah lain yang lebih jauh di Han kepada Liu Pang,
sebagai hadiah atas pelayanannya. Dan sebagai bagian dari strategi untuk
meyakinkan kekuasaannya, Hsiang Yu menyuruh seseorang membunuh
orang yang sebenarnya paling berhak menjadi adipati Chu.
Ini menyediakan peluang bagi Liu Pang. Ia bergerak menuju Hsiang Yu
dengan pasukannya sendiri, mengumumkan kewajibannya untuk menghukum pembunuh seorang raja.20 Serangannya pada Hsiang Yu yang pertama
tidak berhasil, tetapi ia berhasil menguasai dan mendapat kekuasaan pemerintahan kota yang disebut Hsiang Yang, di Sungai Kuning. Dari sini ia terus
melawan penuntut keturunan raja yang lain, dan menghadiahi panglimanya
dengan tanah rampasan.
Pada tahun 202, ia berhasil merebut pengawasan atas hampir semua kerajaan China yang lama; dan Hsiang Yu, yang tetap menjadi musuhnya yang
terbesar (dan baru sekarang), sadar bahwa perjuangannya sia-sia. Ia sudah
menjadi semakin tidak disukai karena kebiadabannya; penjagalannya atas seluruh keluarga istana Ch’in belum terlupakan, dan ia memenangkan reputasi
buruk yaitu meninggalkan kerusakan dan kematian di belakangnya kemana
pun ia pergi. Setelah terpojok dalam perang terakhir, para pendukungnya
goyah, ia menghindar untuk ditangkap dan akhirnya menyerah dengan membunuh dirinya sendiri.
Liu Pang mendapat gelar kaisar, dan memberi dirinya sendiri gelar kerajaan yaitu Gao Zu. Dinastinya, didekritkan, akan diberi nama Han, seperti
nama wilayah yang diberikan kepadanya oleh Hsiang Yu, dan ibu kotanya di
Chang’an21 Dinasti Han akan menjadi dinasti pertama yang paling lama
di China yang bersatu; dinasti ini akan berdiri selama empat ratus tahun,
dibangun di atas fondasi yang diletakkan oleh Ch’in selama dominasinya yang
spektakular dan singkat.
G A R I S WA K T U 7 2
INDIA CHINA
Dhana Nanda dari Magadha Huiwen dari China
Chandragupta dari Maurya
Bindusara dari Maurya (297)
Asoka dari Maurya (272)
Jatuhnya Zhou (236)
Dewan Budha Ketiga (245) Chuang-hsiang dari Ch’in
Cheng dari Ch’in
Dinasti Ch’in (221)
Cheng menjadi Shi Huang-ti
Kaisar Kedua (290)
Dinasti Han (202)
Gao Zu
Pt , dan sekarang raja Mesir,
akhirnya memutuskan untuk pensiun pada umurnya yang ke delapan puluh
dua. Di tahun 285, ia lengser dan menyerahkan tahtanya kepada putranya
yang lebih muda, Ptolemeus II.*
Ia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya
dengan damai, menulis sebuah sejarah tentang sepak terjang Alexander yang
menempatkan Ptolemeus sendiri sebagai tokoh yang paling baik.**
Kejutan sesudah itu luar biasa. Putranya, Ptolemeus Ceraunus, segera
meninggalkan istana Mesir dalam puncak kejengkelan. Kemudian pada tahun
yang sama ia muncul di Thracia untuk mengunjungi adik perempuannya
Arsinoe, yang telah menikah dengan Lisimakhus.1
Perjodohan ini adalah jaminan Lisimakhus. Ia ingin bergantung pada
Thracia dan Makedonia dan wilayah-wilayah Asia Kecilnya, meskipun kehadiran Seleukus semakin besar di sebelah Timurnya, dan mengadakan
persekutuan perkawinan dengan Ptolemeus yang jauh di Selatan adalah jalan
yang baik untuk memastikan bahwa Seleukus akan berpikir dua kali untuk
menyerangnya. Perkawinan itu adalah perkawinan Lisimakhus yang kedua
(Arsinoe berumur kira-kira tiga puluh tahun lebih muda daripada sahabat tua
ayahnya dalam ketentaraan), dan putra tertuanya dari perkawinan sebelumnya, Agathocles, adalah pewarisnya
Kehadiran Ptolemeus Ceraunus yang mengganggu memberi inspirasi pada
Arsinoe, yang sebaliknya menginginkan putranya sendiri yang mewarisi kerajaan. Bersama, keduanya menuduh Agathocles berkomplot dengan Seleukus
untuk membunuh Lisimakhus dan merebut tahta Thracia-Makedonia.
Lisimakhus, yang tua dan paranoid, adalah sasaran yang mudah. Tahun
setelah Ptolemeus Ceraunus tiba, ia mengalah pada kecurigaannya dan
mencoba meracuni putranya. Ketika usaha meracuni itu gagal, Lisimakhus
melempar Agathocles ke penjara, di mana—di dalam gelap, jauh dari
pandangan—ia mati.
Pakar sejarah kemudian mengira bahwa Ptolemeus Ceraunus membunuhnya. Tentu saja si pembuat onar masih aktif; ia muncul tidak lama kemudian
di istana Seleukus dan memintanya untuk bergabung dengannya melawan
Lisimakhus si jahat yang meracuni putranya sendiri.2
Seleukus, yang pada
saat itu sudah berusia delapan puluh sedangkan Lisimakhus tujuh puluh
satu, mengumpulkan kekuatannya dan bergerak menuju daerah kekuasaan
Lisimakhus.
Lisimakhus keluar menemuinya dan menyeberangi Hellespont untuk
bertempur di daerah milik Asia Kecil. Dalam pertempuran, kedua orang
tua itu—yang sudah empa tpuluh tahun saling mengenal, sejak masa-masa
mereka bersama sebagai perwira dalam korps Alexander—berhadap-hadapan.
Seleukus melakukan pukulan terakhir; Lisimakhus gugur di medan pepera-
ngan, dan tubuhnya tergelatak di sana sampai beberapa hari sebelum putranya yang muda sampai untuk mengambil mayatnya yang babak belur itu ke
rumah.
Seleukus bersiap untuk bergerak menyeberangi Hellespont dan menguasai
Makedonia. Tetapi sebelum ia sempat pergi jauh, Ptolemeus Ceraunus, yang
masih berada di kemahnya, masih berpura-pura sebagai sekutu, berbalik ke
arahnya dan membunuhnya. Ia telah menyikat habis dua per tiga sisa-sisa
penerus Alexander.
Ptolemeus Ceraunus segera menguasai tahta Makedonia-Thracia untuknya
sendiri dan menikahi adiknya, Arsinoe. Ini merupakan kebiasaan Mesir,
bukan kebiasaan Yunani, dan tidak membuatnya disukai di negaranya yang
baru. Tidak juga kegiatannya yang selanjutnya, yaitu membunuh dua putra
Arsinoe yang menjadi ancaman kekuasaannya. Arsinoe meninggalkannya
dan pergi ke Mesir ke tempat saudara laki-lakinya yang lain, Ptolemeus II—
dan menikahinya juga. Ini membuatnya mendapat nama julukan Yunani
”Ptolemeus Philadelphus,” atau ”Cinta kakak,” ini bukanlah sebuah pujian.
Sementara itu, Ptolemeus tua telah meninggal dalam damai di tempat tidurnya, hampir satu-satunya penerus Alexander yang meninggal seperti itu.
Ptolemeus Ceraunus memegang tahtanya yang berdarah untuk dua
tahun. Pada tahun 279, pergerakan bangsa Celt yang telah menyulitkan
semenanjung Italia sudah mencapai Asia Kecil. Kaum Gallia membanjiri
Makedonia; Ptolemeus Ceraunus pergi melawan mereka dan gugur dalam
perang, mengakhiri karirnya sebagai penjahat yang tidak dihargai di masa
purba.
Tahtanya berakhir di tangan cucu Antigonus si Mata Satu, Antigonus
II.3
Putra Seleukus, Antiokhus I memegang kekuasaan kerajaan ayahnya.
Antiokhus adalah setengah Persia (sebagai seorang pemuda di perkemahan
Alexander, Seleukus menikah dengan seorang bangsawan perempuan dari
Persia dalam perayaan perkawinan massal), dan kekaisaran yang sekarang
dikepalainya telah meminjam struktur-struktur dasar dari Persia. Provinsiprovinsi diperintah oleh para satrap, dan kekaisaran dijalankan dari beberapa
ibu kota kerajaan, masing-masing letaknya dapat mengawasi ke bawah ke
berbagai bagian dari kekaisaran itu. Orang Persia sudah menggunakan Susa,
Ekbatana, Sardis, dan Babilonia; Seleukus tetap memakai Sardis dan Babilon,
tetapi ia membangun sendiri dua kota baru yang berperan sebagai markas
tambahan. Kota Antiokhia terletak di sungai Orontes, di daratan yang pernah dituntut oleh raja-raja Ptolemeus. Meskipun begitu, kota Selukia adalah
kota yang paling besar dan paling disukainya, yang dibangunnya di tepi Barat
Tigris dan dihubungkan dengan Efrat melewati sebuah kanal.
Tahun setelah kematian Ptolemeus Ceraunus, bangsa Gallia menyeberangi
Hellespont dan mengancam untuk menabrak batas kekaisaran Seleukia.
Antiokhus I melawan mereka, sehingga ia mendapat julukan ”Antiokhus si
Penyelamat.” Kaum Gallia mundur kembali, menetap di Asia Kecil di mana
mereka akhirnya terkenal dengan nama orang Galasia.
Satu dasawarsa kemudian, tentara-tentara Romawi mendesak dari arah
pantai semenanjung Italia, menuju Sisilia. Ini adalah suatu saat bersejarah,
cerita Polybius. Itu adalah ”saat pertama ketika bangsa Romawi menyeberangi
laut dari Italia,” dan Sisilia adalah negera pertama di balik pantai Italia tempat mereka menginjakkan kakinya.”4
Roma telah masuk ke dalam fase baru
sejarahnya; Orang Roma sedang bersiap-siap untuk memulai penaklukannya
yang pertama ke seberang lautan
Seperti kebanyakan pendiri kekaisaran yang belum berpengalaman, orang
Romawi mempunyai alasan untuk invasi ini. Sisilia masih dibagi antara
kekuasaan Sirakusa dan Kartagena, dan kota pelabuhan Sisilia yaitu Messina,
yang asalnya adalah sebuah koloni Yunani, telah jatuh ke dalam kekuasaan
Sirakusa. Tetapi sekelompok pembelot yang terdiri dari tentara bayaran Italia
dari Kampania telah berlayar ke Sisilia dan menguasai kota. Orang Messina
dikirimkan ke Karthago maupun Roma, meminta bantuan untuk mengusir
penjajah ini.
Karena Roma dan Karthago secara teknis dalam keadaan damai, ini
bukanlah hal yang tidak masuk akal. Tetapi hal itu seperti menyulut korek
di bawah kobaran api. Orang Kartagena tiba di situ terlebih dahulu dan
menemukan bahwa tiran Sirakusa yaitu Hiero II (Agathocles sudah meninggal
sekitar dua puluh tahun sebelumnya), sudah berkuasa; Ia tidak senang pihak
Messina berpaling pada kekuasaan lain untuk meminta bantuan, ketika kota
itu seharusnya menjadi miliknya. Alih-alih memulai perang tiga-arah, kubu
Kartagena bergabung dengan Hiero II dan menguasai Messina, mengusir
penjajah yang sebelumnya.
Orang Romawi yang datang kemudian, menolak untuk menyerahkan
proyek pencaplokannya atas Messina dan langsung menyerang pasukan
Kartagena yang sedang dalam pendudukan. Sesudah itu penjajah Romawi
menyebar menyeberangi pulau, menguasai tanah yang dikuasai orang
Kartagena dan merebut Sirakusa juga.5
Kubu Kartagena beraksi dengan menyalibkan (secara harafiah) panglima
yang bertugas di garnisun Messina dan bersiap untuk melawan. Mereka dapat
melihat dengan jelas bahwa usaha menyeberang lautan ini adalah tusukan sementara bagi Roma yang untuk pertama kalinya ke daratan di luar perbatasan
Italia. Selama dua puluh tiga tahun berikut, kedua kekuatan akan terus saling
memukul lewat Perang Punik Pertama (264-241).
”Karena mereka melihat bahwa perang terus berlarut-larut,” Polybius
menulis, ”orang Romawi untuk pertama kalinya memakai pembuatan kapal.
... Mereka menghadapi kesulitan besar karena para pembuat kapal mereka
sama sekali tidak berpengalaman.”6
Ini adalah pertama yang kedua dari Perang
Punik Pertama. Untuk mencapai Sisilia, konsul-konsul Roma meminjam
kapal dari sekutu-sekutu Roma dan kota-kota jajahan (suatu pasukan yang
disebut socii navales).7
Tetapi segera terlihat semakin jelas bahwa Roma tidak
bisa hanya bergantung pada angkatan laut kota-kota lain. Ketika kapal perang
Kartagena terdampar di pantai yang berpihak pada Roma, para pembuat
kapal membongkarnya dan memodeli kapal mereka sendiri berdasarkan itu;
sementara itu, para krunya berlatih mendayung di tanah kering. Dan dengan selesainya kapal-kapal itu, armada Roma yang baru melaut dengan segera
ditangkap oleh komandan kubu Kartagena. 8
Orang Roma membuat kembali dan mencobanya lagi dan mencocokkannya lagi di laut. Dua tahun kemudian, kata Polybius, kedua angkatan laut
sudah menjadi ”kekuatan yang seimbang.” Pihak Roma memang memetik
hasil-hasil terbaik strategi, hukum, pemerintahan, dan bahkan mitologinya
dari kebudayaan-kebudayaan lain, tetapi mereka adalah orang-orang yang
cepat belajar.
Pada tahun 247, setelah tujuh belas tahun terus bertempur, kubu Roma
sudah mendapat sedikit keuntungan. Pasukan Roma sudah mendarat di Afrika
Utara dan mendirikan perkemahan, meskipun untuk menyerang Karthago
sendiri jauh dari kemampuannya; dan Sisilia telah hampir seluruhnya dikuasai
oleh Roma. Pemimpin Karthago menggantikan panglima jenderalnya karena
tidak kompeten, dan menyerahkan kekuasaan atas angkatan perangnya kepada
seorang panglima baru, seorang pria yang berumur pertengahan dua puluh
bernama Hamilcar Barca.
Hamilcar memimpin angkatan perang gabungan terdiri dari orang
Kartagena dan tentara bayaran, sekitar sepuluh ribu semuanya, termasuk
tujuh puluh gajah. Ia sendiri merebut Sisilia yang dijadikannya basis tempat ia mengacaukan pantai Italia, dan mendapat beberapa kemenangan yang
diperjuangkannya dengan keras; cukup banyak untuk membuatnya mampu
menyelamatkan orang Kartagena ”dari keadaan jatuh tanpa harapan sama
sekali,”9
Tetapi pada tahun 242, perang—yang sekarang sudah memasuki tahun
ke dua puluh dua—telah menyeret kedua bangsa itu ke dalam kemarahan.
”Mereka lelah dengan ketegangan-ketegangan operasi militer keras yang terus
menerus berlangsung,” kata Polybius ”sumber penghasilannya… diserap oleh
pajak dan biaya militer yang membengkak tahun demi tahun.”10 Kelompok
tentara bayaran dan orang Karthago pimpinan Hamilcar di Sisilia sudah
bertempur selama lebih dari tiga tahun tanpa kalah—tetapi tanpa dapat menguasai pulau itu juga. Pihak Romawi tidak dapat memperoleh kemajuan
melawan kekuatan darat Kartagena, tetapi angkatan laut Roma membuat
kapal persediaan pihak Kartagena semakin sulit mencapai tentara Hamilcar
di Sisilia.
Pihak Kartagena menjadi pihak pertama yang menyerukan berhenti. Pada
tahun 241, kota pusat mengirimi Hamilcar sebuah pesan: mereka tidak ingin
menelantarkannya, tetapi keadaan tidak memungkinkan untuk melanjutkan
pengiriman makanan dan senjata. Ia mendapat kekuasaan untuk mengatasi
keadaan menurut keinginannya. Otoritas yang tidak ada kekuatannya ini
membuat Hamilcar tidak mempunyai pilihan selain menyerah. Bersama pasukannya ia turun dari basisnya, sampai setengah perjalanan ke atas
Gunung Erys, dalam ”kesedihan dan kemarahan,”11 dan di bawah protes
terpaksa menyerah pada perjanjian yang bersyarat, bahwa Kartagena harus
menyerahkan seluruh Sisilia, melepaskan semua tahanan, dan membayar
denda yang besar selama sepuluh tahun ke depan. 12
Perang usai. Senat memerintahkan untuk menutup pintu-pintu ke Kuil
Janus, untuk menyimbolkan perdamaian di seluruh daratan yang menjadi
milik Roma. Sisilia adalah salah satu dari daratan itu; Sisilia telah menjadi
provinsi asing Roma yang pertama.
Perdamaian ini berisi benih konflik yang lebih buruk.
K , perang-perang lain berlarut-larut. Ptolemeus II dari
Mesir (sekarang menikah dengan adik perempuannya) dan Antiokhus I (putra
Seleukus) bertengkar tentang batas Suriah di antara kedua wilayah, dan menurunkan pertengkaran ini kepada putra-putranya, tetapi bertalian dengan
ini, suksesi diturunkan ke generasi selanjutnya tanpa perubahan. Ptolemeus
II wafat di tahun 246 dan diteruskan oleh putranya Ptolemeus III, Antiokhus
I (mengikuti tradisi Persia lama) menghukum mati putra sulungnya karena
berkhianat dan meninggalkan tahtanya untuk putra keduanya, Antiokhus II.*
Di seberang, di Makedonia, Antigonus II, cucu dari si Mata Satu, wafat pada
usia delapan puluhan setelah hampir lima puluh tahun berkuasa sebagai raja
dan diikuti oleh putranya sendiri.
Jauh di Mesir, Ptolemeus III mengalami dua puluh dua tahun pemerintahan
yang sejahtera. Antiokhus II tidak sama keberuntungannya. Enam tahun
setelah ia mengambil alih kekaisaran Seleukia, ia kehilangan Satrap Baktria;
yang memberontak di bawah gubernur Yunani Diodotus, dan menyatakan
dirinya sebagai kerajaan merdeka dengan Diodotus sebagai raja. Baktria jauh
dari kota-kota besar Antiokhus II di mana pun, letaknya di pedesaan yang
keras, dan raja tidak bisa menaklukkannya kembali. Tidak lama kemudian,
seorang penduduk asli bangsawan Partia bernama Arsaces juga menyatakan
kemerdekaan bangsa Partia. Antiokhus II sedang dsibukkan oleh perbatasan
Baratnya; ia sedang berperang melawan Mesir untuk memperebutkan
kekuasaan atas daratan-daratan Semit Barat yang lama, termasuk wilayahwilayah Fenisia, Israel dan Yudea lama, dan ia tidak dapat mempertahankan
dua perbatasan dari kekaisarannya yang besar sekaligus Akhirnya ia berhasil mengadakan perdamaian sementara dengan Ptolemeus
III, dan kedua raja memateraikan tawar-menawar itu dengan perkawinan
kerajaan; Putri Ptolemeus III pergi ke Utara dan menikahi Antiokhus sebagai
istri kedua. Meskipun begitu, perundingan ini tidak mengembalikan Partia
dan Baktria, dan istri Antiokhus II pertama yang marah, meracuninya
sehingga perdamaian mengalami kegagalan di mana-mana.
Ia diteruskan oleh putranya (dari istri pertama) Seleukus II, yang gagal
mengambil kembali dua satrap dan kemudian mati karena jatuh dari kudanya.
Putra tertua Seleukus II hanya berhasil memerintah selama tiga tahun sebelum
ia dibunuh oleh panglimanya sendiri; tahta kemudian jatuh ke putra yang
muda Antiokhus III.
Ia baru berusia lima belas tahun ketika pertama kali menjadi raja Seleukia
di tahun 223. Dengan seorang anak-laki-laki di atas tahta, baik Midia maupun
daratan pusat Persia lama bergabung dengan Baktria dan Partia dalam pemberontakan. Tetapi Antiokhus III lebih kuat dari ketiga raja di hadapannya. Ia
pergi bertempur dan menjatuhkan taklukan-taklukan itu satu per satu: daerah
kekuasaannya di pinggiran-pinggiran Asia Kecil yang telah mulai melepaskan
diri, Midia dan Persia, keduanya-duanya terpaksa menyerah pada Antiokhus
ketika ia sendiri memimpin angkatan perangnya melawan mereka pada usia
delapan belas; akhirnya, Baktria dan Partia juga. Ia tidak mencoba menyerap
kembali kedua wilayah yang terakhir ini. Ia berdamai dengan kedua raja Baktria
dan Partia, hal ini dilakukannya guna mengamankan perbatasan Timurnya dan
sehingga ia dapat memberikan lebih banyak perhatian ke Barat.
Ini merupakan rencana yang baik, ketika cengkeraman Mesir atas perbatasannya sendiri mulai goyah. Di tahun 222, Ptolemeus III telah diteruskan
oleh putranya Ptolemeus IV, yang tidak disukai secara universal oleh semua
penulis biografinya. ”Ia adalah pangeran yang tidak cocok, bernafsu, dan
tidak jantan,” komentar Plutarkhos, ”… dibodohi oleh wanita-wanitanya dan
anggurnya.”13 ”Ia memimpin pemerintahannya seolah-olah sebuah festival
yang berlangsung terus menerus,” Polybius mengatakan dengan ketidaksenangannya, ”melalaikan urusan kenegaraan, membuat dirinya sulit didekati, dan
menghina atau mengabaikan orang-orang yang menjalankan urusan negaranya di luar negeri.”14 Segera setelah ayahnya meninggal, ia meracuni ibunya
agar ibunya tidak dapat berkomplot melawan dia, dan meneruskan perbuatan
ini dengan merebus adiknya, Magus, sampai mati, Magus berbahaya baginya
karena disukai oleh angkatan perangnya. Urusan-urusan Ptolemeus IV dijalankan oleh selirnya, Agathocles saudara
laki-laki selir ini (”si mucikari,” sebutan Plutarkhos untuknya), dan salah satu
penasehatnya, seorang Yunani bernama Sosibius yang kelihatannya membuatkan keputusan-keputusan untuknya sementara ia memperhatikan ”hal
yang tidak berguna dan mabuk terus menerus.”16 Ptolemeus IV meninggal
tahun 204 (kemungkinan karena gagal hati), meninggalkan tahtanya kepada
putranya yang berumur lima tahun Ptolemeus V. Sosibius dan ”si mucikari”
kelihatannya kemudian memalsukan dokumen sehingga mereka menjadi wali
untuk si anak.
Sosibius meninggal sebulan kemudian, tinggallah Agathocles, saudara
perempuannya, dan ibu mereka di atas kekuasaan Mesir. Tidak lama kemudian; trio ini membuat kesal orang-orang sampai segerombolan orang,
yang dipimpin oleh tentara, menyerbu istana, menarik mereka keluar ke
jalan, menelanjangi mereka, dan mencabik-cabik mereka dalam kemarahan:
”Beberapa (dari gerombolan orang itu) mulai mengoyak dengan gigi mereka,”
kata Polybius, ”yang lain menusuk mereka, yang lain lagi mencungkil mata
mereka. Segera setelah mereka semua jatuh, tubuhnya dicabik-cabik, tungkai
demi tungkai ,sampai tubuhnya hancur lebur, kebiadaban orang Mesir benarbenar mengerikan ketika nafsu mereka terusik.”17
Ptolemeus V muda naik tahta di Memphis dengan dewan penasihat Mesir
yang benar, tetapi ketika ia berumur dua belas tahun, Antiokhus III bergerak
melawan dari perbatasan Mesir Utara. Josephus mencatat bahwa Antiokhus,
yang disebutnya raja ”seluruh Asia,” merebut Yudea.”18 Invasi itu berakhir
tahun 198, dalam pertempuran Panium, ketika angkatan perang Seleukia dan
Mesir bertemu di dekat hulu sungai Yordan. Ketika pertempuran berakhir,
Mesir kehilangan kekuasaannya atas wilayah Semit Barat untuk terakhir
kalinya. Kerajaan itu tidak akan lagi mencapai daratan-daratan Utara.
Pemerintahan Ptolemeus IV diceritakan oleh hampir setiap pakar sejarah
kuno sebagai akhir Mesir yang agung. Renaisans negara-negara purba di
bawah penguasa-penguasa Yunani sudah berakhir.
L , Hamilcar Barca masih merasa jengkel dihimpit oleh
syarat-syarat perdamaian yang ditentukan oleh Roma. Kebesaran Karthago
telah dihalangi; Orang-orang Kartagena telah kehilangan pulau-pulau Laut
Tengah yang telah membentuk kekaisaran mereka, dan sebaliknya orang
Romawi bercokol dengan kuat atas mereka.
Hamilcar memutuskan untuk menutupi kekalahannya dengan memindahkan kekaisaran Kartagena sedikit jauh ke arah Barat. Ia akan membawa
sepasukan tentara dan orang-orang yang akan menetap ke Iberia—Spanyol
modern—dan menanamkan kembali koloni Kartagena yang lain untuk menggantikan yang hilang di Sisilia. Koloni Iberia ini akan menjadi pusat
kekuatan baru Kartagena—dan akan menjadi sebuah basis yang baik dari
mana serangan-serangan balasan bisa dilemparkan ke arah Roma. Penghinaan
yang diterimanya di Sisilia telah menjadi kebencian yang dengan sebisa-bisanya diturunkannya kepada putranya yang muda Hannibal, seperti dicatat oleh
Polybius:
Pada saat ayahnya akan berangkat dengan tentaranya dalam ekspedisi ke
Spanyol, Hannibal, yang pada waktu itu berumur kira-kira sembilan tahun,
sedang berdiri di dekat altar tempat ayahnya sedang berkurban .. Kemudian
(Hamilcar) memanggil Hannibal dan menanyainya dengan kasih sayang
apakah ia ingin menemaninya dalam ekspedisi itu. Hannibal kegirangan
menerimanya dan seperti seorang anak, memohon untuk diperbolehkan
pergi. Ayahnya kemudian menggandengnya, membimbingnya ke altar dan
memerintahkannya untuk meletakkan tangannya ke atas hewan kurban dan
bersumpah bahwa ia tidak akan pernah berteman dengan orang Romawi.19
Sumpah kebencian telah diucapkan, Hamilcar beserta putra dan orangorang yang akan menetap, mulai berlayar.
Ekspedisi Kartagena sampai ke semenanjung Iberia pada tahun 236
dan mulai menaklukkannya sebagai kerajaan kecil yang baru. Dari pusat
operasinya, Gadir (Cadiz modern), Hamilcar berhasil mendirikan koloni
barunya. Di sinilah Hannibal tumbuh, memperhatikan ayahnya membujuk
dan menggertak orang-orang di sekitarnya untuk menyerah: ”Hamilcar
menghabiskan waktu hampir sembilan tahun di negara itu,” cerita Polybius,
”selama itu ia menaklukkan banyak suku di bawah kekuasaan Kartagena,
beberapa dengan kekuatan senjata dan yang lain dengan diplomasi.”20 Ia juga
mengirimkan mata-mata menyeberangi Pegunungan Alpen menuju ke daerah
Utara semenanjung Italia, untuk memandu rute invasi yang memungkinkan.21
Hannibal tumbuh menjadi dewasa tanpa pernah menginjakkan kakinya di
kota kelahirannya Karthago.
Sementara itu, orang Romawi untuk pertama kalinya berlayar ke Yunani,
di mana mereka diundang untuk melindungi pulau Korsika dari ancaman
invasi ganda oleh orang-orang Yunani yang bersikap bermusuhan dan serangan
terus menerus dari orang Gallia di Utara. Ketika intervensi selesai, sepasukan
garnisun Roma tinggal, secara teoritis sebagai pasukan penjaga perdamaian;
Roma belum siap menyerang tetangga-tetangga Yunaninya. Pada tahun yang sama, 229, Hamilcar Barca gugur dalam pertempuran
ketika sedang merebut genggaman bangsa Celtic. Hannibal yang sekarang
berumur delapan belas tidak dianggap cukup umur untuk memimpin.
Sebaliknya, pemerintahan koloni Ibera jatuh ke tangan kakak iparnya
yang sepertinya tidak mempunyai kebencian yang sama kepada Roma. Ia
menghabiskan waktu delapan tahun lagi memerintah koloni Iberia (dan
mendirikan sebuah kota yang disebut dengan megah, Kartagena Baru)
dan mengabaikan orang Romawi di sebelah Timurnya. Mungkin ia bisa
membangun sebuah kerajaan baru yang langgeng di semenanjung Iberia,
tetapi salah satu budaknya membunuhnya di tahun 221, dan kepemimpinan
kekuatan Spanyol jatuh pada Hannibal yang berumur dua puluh enam.
Hannibal memalingkan punggungnya dari Kartagena Baru dan segera
mulai bersiap untuk menginvasi darat ke arah wilayah Romawi. Ia mulai
perlawanannya sepanjang pantai untuk melancarkan jalannya yang aman ke
arah Pegungan Alpen. Ketika ia mendekati Masalia, kota (yang mempunyai
hubungan baik dengan Roma sejak bantuan Roma untuk mengusir penjajah
Gallia) memohon bantuan Roma.
Orang Roma mengirimkan pesan ke Kartagena, memperingatkan bahwa
Hannibal sudah maju melewati kota Saguntum, mereka akan menganggap
ini sebagai aksi perang. Hannibal segera merebut dan meruntuhkan kota,
atas mana duta Romawi pergi ke Karthago untuk menyerahkan ultimatum
akhir pada senat Kartagena: Serahkan Hannibal, atau hadapi perang Punik
kedua.22 Pihak Kartagena memprotes bahwa Saguntum yang merupakan
hunian Celtic bukanlah sekutu Roma; para duta besar itu membalas bahwa
Saguntum pernah meminta bantuan Roma, beberapa tahun sebelumnya, jadi
Roma dapat menganggap kota itu berada di bawah perlindungan Roma.
Garis bawahnya adalah kedua kota gigih yang bersikukuh untuk berperang. ”Di pihak Roma ada kemarahan atas serangan yang tidak ada sebabnya
oleh musuh yang dahulunya pernah dikalahkan,” kata Livius, ”dan di pihak
Kartagena, kebencian yang pahit terhadap apa yang dirasakan sebagai cengkeraman dan sikap tirani dari penakluk mereka.”23 Ketika duta besar senior
Roma berteriak bahwa ia membawa perdamaian maupun peperangan di dalam
lipatan bajunya, dan akan membiarkan perang terjadi jika mereka tidak berhati-hati, senator-senator Kartagena berteriak kembali, ”Kami menerima itu!”24
Dengan demikian Hannibal menuju ke pegunungan Alpen di tahun 218. Ia
meninggalkan adiknya Hanno untuk memimpin koloni Iberia, dan membawa
pasukan yang berjumlah lebih dari ratusan ribu serdadu infanteri, mungkin
dua puluh ribu pasukan berkuda, dan mungkin tiga puluh tujuh gajah-gajah.
Sebagai jawaban kubu Roma memberangkatkan dua armada, satu menuju
ke arah pantai Afrika Utara dan yang lain, di bawah komando konsul Publius
Cornelius Scipio, menuju ke semenanjung Iberia. Cornelius Scipio berlabuh
di mulut Rhone, bermaksud untuk menjegal Hannibal dan pasukannya
sebelum mereka bisa menyeberanginya, tetapi pasukan Hannibal sudah
bergerak lebih cepat daripada dugaan sehingga Cornelius Scipio tiba di
tempat penyeberangan mereka tiga hari lebih lambat. Hannibal sedang dalam
perjalanannya ke arah pegunungan.25
Orang-orangnya merupakan masalah yang lebih besar daripada pengejar
Roma. Mereka kebanyakan dibesarkan di Afrika, dan pantai Spanyol adalah
daratan yang paling dingin yang pernah mereka kenal; mereka ketakutan
karena memikirkan harus mendaki lereng-lereng gunung yang curam dan
tidak mereka kenali, dan pertama kali mereka melihat pergunungan Alpen,
mereka ketakutan. ”Puncak-puncak yang menjulang,” kata Livius, ”puncak
gunung yang diselimuti salju menjulang ke langit, gubug-gubug tentara yang
menggantung pada batu-batu, binatang buas dan ternak kisut dan kering
kedinginan, orang-orang dengan rambutnya yang liar dan kusut masai, semua
alam, bernyawa dan tidak bernyawa, kaku karena embun beku: semua ini,
dan pemandangan-pemandangan lain yang mengerikan yang tidak dapat
diungkapkan dengan kata-kata, menambah ketakutan akan apa yang akan
terjadi di hadapan mereka.”26 Dan mereka terus-menerus diancam oleh sukusuku liar setempat, pada serangan pertama oleh suku-suku liar itu, kuda-kuda
Kartagena panik di jalan pegunungan yang sempit, dan baik tentara maupun
kudanya tergelincir dan terhempas ke ujung jalan, hancur di bebatuan ribuan
kaki di bawah. Ketika mereka bergerak ke arah yang lebih tinggi, es yang licin
di bawah lapisan salju mengirimkan lebih banyak orang dan hewan tergelincir
ke dalam kematian.
Penyeberangan, cerita Livius, memakan waktu lima belas hari, dan Hanibal
sendiri memperkirkan ia telah kehilangan, secara mencengangkan, sejumlah
tiga puluh enam ribu orang, termasuk juga tiga puluh empat gajah. Ia turun
ke dataran dekat sungai Po bersama dengan pasukannya yang sudah menciut
nyalinya dan menipis jumlahnya untuk menghadapi Cornelius Scipio, yang
telah berlayar secepat mungkin kembali ke Italia dengan sebagian dari pasukannya guna menhadapinya. Berita tentang penyeberangan yang sukses itu segera sampai ke Roma juga, dan Senat segera memanggil kembali pasukan
invasi di Afrika Utara untuk memperkuat pertahanan tanah air.
Cornelius Scipio dan Hannibal bertemu di sungai Ticinus di bulan
November tahun 218. Dalam keadaan lelah, pasukan berkuda Kartagena
menerjang barisan Romawi hampir serentak. Kubu Romawi tercerai berai;
Scipio sendiri terluka parah. ”Ini menunjukkan,” kata Livius ” bahwa …
kubu Kartagena mendapat keuntungan.:27
Pasukan Cornelius Scipio mundur untuk bergabung dengan pasukan dari
Afrika Utara, yang sudah kembali ke Roma untuk disambut dengan gembira
dan oleh bahaya. Roma sedang mengalami keadaan yang berbahaya yaitu
tidak adanya hubungan antara persepsi publik dan realitas. ”Kepercayaan
rakyat akan kesuksesan tentara Roma tetap tidak terpengaruh,” tulis Polybius.
”Jadi, ketika Longus (pemimpin dari kontingen Afrika Utara) dan legiunnya mencapai Roma dan berbaris masuk kota, rakyat tetap percaya bahwa
pasukan ini hanya muncul di medan perang dan pasti akan menang.”28 Ini
jauh dari kebenaran. Ketika pasukan bertemu kembali, sebulan kemudian, di
sungai Trebbia, sepertiga penuh dari pasukan Romawi itu sudah tumbang.
Berita bahwa pasukan gabungan dari dua konsul itu telah dikalahkan tersebar
sampai ke Roma dan menimbulkan kepanikan: ”Rakyat membayangkan bahwa
pada saat itu Hannibal akan muncul di gerbang kota,” tulis Livius.29 Roma terus
bersiaga penuh, mengisi pulau-pulau dengan garnisun-garnisun, memanggil
kekuatan pasukan sekutu, melengkapi armada kapal yang baru. Pada tahun
217, Hannibal bergerak dengan mantap ke Selatan, menghancurkan daerah
pedesaan, bergerak melewati Etruria menuju Roma. Konsul Gaius Flaminus
dan pasukan Romawi yang sudah diperkuat menjumpai kubu Kartagena
di Danau Trasimene, suatu pertempuran di dalam kabut tebal yang penuh
malapetaka. Lima belas ribu serdadu Romawi mati, dan Flaminus sendiri
hancur lebur; tubuhnya tidak pernah diketemukan. Sekali lagi, berita tentang
malapetaka itu menyapu Roma. ”Rakyat berbondong-bondong menuju ke
forum,” kata Livius, ”wanita-wanita berkeliaran di jalan-jalan menanyakan
pada siapa pun yang mereka temui apa artinya gelombang pasang mengerikan
yang datang tiba-tiba … Tidak seorang pun tahu apa yang bisa diharapkan
atau apa yang harus ditakuti. Selama beberapa hari kemudian kumpulan
orang di gerbang kota terdiri dari lebih banyak perempuan daripada laki-laki,
menunggu dan berharap melihat wajah yang mereka cintai, atau setidaknya
mendapat kabar.”30
Tidak ada kabar baik. Pasukan Hannibal sepertinya tidak tertahankan. Ia
terus mendesak ke Selatan, kadang-kadang melewati Roma sendiri hanya untuk
membawa daerah-daerah di bawah kota itu masuk ke pihaknya. ”Sementara
itu pasukan Romawi mengikuti penjaga belakang Kartagena,” tulis Polybius, ”menjaga jarak dua atau tiga hari bergerak di belakang mereka tetapi berusaha
dengan hati-hati untuk tidak mendekati dan bentrok dengan musuh.”31
Tahun berikutnya, kedua konsul yang baru dipilih, Paulus dan Varro, bergabung bersama dalam usaha untuk menghadapi Hannibal. Orang Romawi
berhasil mengumpulkan sepasukan angkatan perang yang terdiri dari lebih
dari seratus ribu, untuk menghadapi pasukan Kartagena yang kurang dari
lima puluh ribu. Pada tanggal 2 Agustus 216, pasukan-pasukan itu bertemu
di Cannae, di pantai tenggara.
Bersyukur karena jumlahnya yang besar, pihak Romawi kelihatannya
sudah memperhitungkan akan melindas penyerbu yang jumlahnya cuma
sedikit, mereka mengatur diri mereka dalam gerombolan orang yang padat
yang akan menerjang dengan kekuatan yang tidak dapat dihentikan. Untuk
membalas ini, Hannibal mengatur garis depan yang tipis untuk menghadapi
serangan kubu Roma, yang sepertinya keseluruhannya tidak seimbang untuk
menahan mereka. Tetapi, di sebelah kanan dan kiri, dan di belakangnya, ia
sudah menempatkan orang-orangnya yang paling kuat dan beringas, menyewa
serdadu bayaran dari Afrika dalam dua kelompok. Ia sendiri menempatkan
dirinya di garis depan. Kalau ia tidak menempatkan dirinya di tempat yang
berbahaya seperti pasukannya, ia tidak dapat berharap mereka akan dapat
melaksanakan tugas yang sulit seperti yang diinginkannya.
Ketika tentara Romawi maju, garis depan yang tipis itu bertempur dengan
dahsyat, tetapi kemudian mundur, perlahan-lahan, ketika pasukan Roma
menerjang ke depan, ia mengarahkan pasukan Roma masuk ke dalam formasi
V. Dan kemudian pasukan tentara bayaran di kedua sisi maju dari masingmasing sisi V dan menyerang. Pasukan Roma tidak siap dan tidak diajarkan
untuk berkelahi dalam tiga sisi sekaligus. Dalam kekacauan yang menyusul
kemudian, lima puluh ribu tentara Romawi tumbang. Dari enam ribu pasukan
berkuda, tujuh puluh melarikan diri dan pergi ke kota Venusia, dipimpin oleh
Varro yang dipermalukan oleh baik kekalahan maupun pelarian itu.
Ketika laporan mengenai peperangan Kana kembali ke Roma, hampir
semua keluarga di Roma mendapati mereka telah kehilangan seorang kakak,
atau ayah, atau putra. ”Setelah kekalahan ini,” kata Polybius, ”orang Roma
sudah menyerahkan segala harapan untuk mempertahankan supremasi mereka
atas Italia dan mulai mengkhawatirkan tanah air dan keberadaan mereka.”32
Situasi menjadi semakin buruk ketika kapal-kapal Kartagena berlayar
ke Yunani dan menawarkan pada raja Makedonia, sekarang Filipus V (cicit
dari Antigonus si Mata Satu), dukungan untuk mengusir orang Romawi
”pemelihara perdamaian” dari semenanjung Yunani. Filipus V menerima, dan
orang Makedonia dan Kartagena bersama-sama melawan penjajah Romawi
dan sekutu Yunani mereka, termasuk Sparta dan kota-kota dari ”Liga Aetolia” (sebuah persekutuan kota-kota di tengah-tengah semenanjung, di Selatan
Makedonia dan Utara Teluk Korintus). Sekarang Perang Makedonia Pertama
bertumpukan dengan Perang Punik Kedua, dan orang Roma berurusan
dengan dua medan malapetaka.
Seperti dalam Perang Punik Pertama, pertempuran dalam Perang Kedua
berlarut-larut.
Pada tahun 211, Pihak Roma berhasil memperoleh kembali
sebagian dari Sisilia dengan kemenangan atas Sirakusa setelah dua tahun
perebutan; Pakar matematika Yunani, Archimedes, yang berada di dalam kota,
meninggal dalam reruntuhan kota. Mereka kurang berhasil di semenanjung
Iberia. Kekuatan Romawi dipimpin oleh dua anggota dari keluarga Scipio,
kakak beradik Publius dan Gnaeus, menyerbu dan menemui adik Hannibal,
Hasdrubal, yang masih menjaga benteng menunggu kembalinya Hannibal
ke rumah. Kedua kakak beradik Scipio meninggal dalam pertempuran
selanjutnya, meskipun Hasdrubal tidak dapat mendesak penyerbu Roma
untuk meninggalkan tanahnya seluruhnya.
Ini menanamkan pada seorang perwira Romawi—putra Publius, yang
dikenal�