ntahan. Ketiga
orang lainnya setuju untuk menjabat sebagai satrap, dengan mengikuti sistem
Persia. Ptolemeus akan memerintah Mesir; Antigonous akan memerintah
sebagian besar Asia Kecil (“Lycia, Pamphylia, dan Frigia besar,” kata Rufus);
Lysimachus mendapat Thracia; Antipater, seorang panglima terpercaya yang
menjadi wali Alexander dari Makedonia selama ketidakhadiran raja, akan terus
berada di Makedonia dan juga mengawasi Yunani; Cassender, yang adalah
putra Antipater, mendapatkan Caria (bagian Selatan pantai Asia Kecil). Lima
panglima yang lain diberi kekuasaan atas wilayah lain dari kekaisaran itu.
Pembagian kekuasaan Alexander menjadi satrap-satrap (Pembagian
Babilonia) adalah jalan langsung menuju peperangan. “Orang-orang yang
baru-baru ini adalah rakyat dari seorang raja telah secara sendiri-sendiri merebut
kekuasaan atas kerajaan-kerajaan besar,” tulis Rufus, “berpura-pura sebagai
administrator dari sebuah kekaisaran milik orang lain, dan dalih apa pun yang
dapat menimbulkan konflik disingkirkan, karena mereka semua merupakan
satu bangsa … Tetapi mereka tetap tidak pernah puas dengan nasib mereka.”30
Walaupun mereka termasuk dalam satu golongan ras yang sama dan samasama setia kepada Alexander, mereka tidak dapat mengelak peristiwa yang akan
terjadi. “Perang Diadochi” atau “Perang Suksesi” pecah tak lama setelah itu .
Skenario Pertama
Kekuasaan Perdicca sebaga wali bertambah, ketika bayi Roxane lahir
dengan selamat dan ternyata memang laki-laki, bernama bayi Alexander ke IV
dari Makedonia. Tetapi Mesir mempunyai kekuatan militer yang paling besar
dan paling berpotensial dari semua “satrap”; Ptolemeus telah menyerang ke
bawah untuk mengambil alih dengan pasukan yang hanya dua ribu orang,
tetapi ketika tersebar kabar bahwa ia memberi bayaran yang tinggi untuk para
tentaranya, tentara bayaran Yunani bergabung dengannya. Ketika kekuatannya
sudah cukup besar, Ptolemeus memperjelas niatnya untuk menculik tubuh
Alexander , yang sudah terikat pada Makedonia, dan memakamkannya di
Mesir, seolah-olah Alexander adalah nenek moyangnya.
Perdiccas tahu bahwa ini adalah gerakan untuk menguasai kekaisaran. Ia
mengumpulkan angkatan perangnya dan bergerak turun melawan Ptolemeus.
Penyerbuan itu menjadi malapetaka; Kekuatan Perdiccas dipermalukan.
Setelah mundur, para panglimanya bersatu—dipimpin oleh seorang panglima
muda Seleucus, yang juga pernah bersama dengan Alexander di Mesir—dan
membunuhnya.
Satu jenderal sudah hilang dari kancah ini. Ptolemeus memerintahkan
Philip dan bayi Alexander IV untuk dikeluarkan dari Babilonia dan dibawa
pulang ke Makedonia, di mana mereka akan dilindungi oleh Antipater. Ia
menghadiahi Seleucus, yang sudah melenyapkan Perdiccas dengan memberinya
kekuasaan Babilonia—tetapi sebagai seorang satrap, bukan sebagai wali.
Skenario Dua
Di tahun 319, tidak lama setelah Antipater dari Makedonia meninggal.
Ia meninggalkan Makedonia tidak untuk putranya Cassender (yang sudah
memiliki Caria), tetapi kepada seorang Makedonia lain. Jadi, baik Ptolemeus
maupun Antigonus setuju untuk bersekutu dengan Cassender untuk membantu merebut wilayah ayahnya.
Tetapi si tua Olympias yang bengis, ibu Alexander, masih hidup segar
bugar. Ia membawa cucunya Alexander IV ke rumahnya sendiri di Pella,
suatu ibu kota kerajaan Makedonia, bersama dengan ibu anak itu, Roxane.
Kemudian ia mengumpulkan pendukungnya sendiri untuk memperjuangkan penguasaan atas Makedonia. Kemenangan Cassender berarti akan ada
pendirian sebuah kerajaan baru, dan Olympia sudah tidak mau lagi hanya
menjadi ibu seorang raja.
Olympias tidak berhasil menghalangi tiga satrap yang kuat untuk waktu
yang lama, tetapi sebelum mereka menyerang Makedonia, ia berhasil
menguasai si lembek Filipus. Ia sudah tidak menyukainya sejak lama, dan tidak mau membayangkan bahwa Filipus akan menjadi rekan-raja bersama
cucunya. Ia menusuk Filipus sampai mati sebelum Cassander dan sekutunya
tiba untuk menyelamatkannya. Ketika Cassendar berhasil sampai ke Pella di
tahun 316, ia menangkap Olympias dan memerintahkannya untuk dirajam
karena pembunuhan. Ia menahan Roxane dan Alexander muda (sekarang
berusia sembilan tahun) sebagai tahanan rumah, secara teoritis untuk
menjamin keselamatannya, di sebuah istana yang disebut Amphipolis yang
menghadap ke sungai Strymon.
Sekarang peta telah bergeser menjadi lima kerajaan: Cassender di
Makedonia, Lysimachus di Thracia, Antigonus (panggilannya Si Mata Satu,
karena ia kehilangan satu matanya dalam perang) di Asia Kecil, Seleucus V
Babilonia dan pusat tanah Persia, dan Ptolemeus di Mesir.
Skenario Tiga
Kembali di Makedonia, di istana Amphipolis, nasib yang dikhawatirkan
Roxane semenjak kematian suaminya menjadi kenyataan. Suatu waktu sekitar
tahun 310, cangkir anggur pada jamuan makan malam dicampuri racun; dan
Roxane dan Alexander IV tewas. Putra Alexander satu-satunya berumur dua
belas tahun, sama dengan umur ayahnya ketika ia menaklukkan Bucephalus.
Cassander, yang bertindak sebagai raja Makedonia, tidak diragukan lagi
sebagai penyebab kematian itu. Keempat jenderal yang lain mengetahui dengan persis apa yang telah terjadi. Tetapi untuk setengah dasawarsa ke depan,
tidak seorang pun membicarakannya. Tidak ada seorang pun yang menyebut
dirinya raja; tidak ada seorang pun yang meninggalkan gelar satrap. Mereka
semua mendukung apa yang mereka ketahui sebagai sebuah kebohongan:
dan bahwa mereka semua mengabdi atas namanya. Tak seorang pun dari
kelimanya mau menjadi orang pertama yang menuntut gelar raja. Siapa pun
yang pertama kali mendapat gelar itu akan dimusuhi oleh keempat sekutu
itu.
Skenario Empat
Antigonus memecahkan keseimbangan itu, tetapi hanya setelah meraih dua kemenangan—keduanya dikapteni oleh putranya, Demetrius—yang
jelas menunjukkan bahwa ia adalah yang terkuat di antara kelima orang itu.
Yang pertama adalah invasi Athena di tahun 307. Cassender, seperti Antipater
sebelumnya, telah menjadi tidak hanya raja dari Makedonia tetapi juga
penguasa Yunani. Demetrius bergerak ke Athena dan mengusir orang-orang
Cassender ke luar kota; dan kemudian ia mengarahkan perang laut melawan
kapal-kapal Ptolemeus yang terjadi di Salamis. Armada Ptolemeus kalah.
Kemudian, Antigonus—setelah menang atas Cassender dan Ptolemeus—
mendapat gelar raja. Lysimachus (masih di Thracia) dan Seleucus (di Babilonia)
memutuskan untuk tidak membuat marah si monster mata satu. Sebaliknya
alih-alih bersekutu melawan dia, mereka juga mulai menjadikan diri mereka
sendiri raja. Begitu juga Ptolemeus dan Cassender. Kematian Alexander IV,
yang masih belum dibicarakan, sekarang disyukuri.
Skenario Lima
Kelima raja kemudian mulai saling menyikut perbatasan masing-masing,
suatu proses yang mencapai klimaks dalam perang Ipsus di tahun 301 SM.
Ptolemeus yang kekuasaannya terkonsentrasi di Selatan, terus menduduki
wilayah ini. Tetapi Cassander, Lysimachus, dan Antigonus terlibat dalam
bentrokan tiga arah yang tetap tidak terselesaikan sampai Seleucus tiba di
Babilonia dengan kekuatan yang begitu besar, dan melemparkan bebannya
pada pihak Lysimachus dan Cassander.
Antigonus yang sekarang berusia delapan puluh tahun, melawan sampai
mati. Pasukannya tercerai berai; putranya Demetrius lari ke Yunani dan menjadikan dirinya raja di sana, meninggalkan tanah-tanah Asia Kecil yang telah
menjadi pusat kerajaan ayahnya. Lysimachus mengambil bagian Barat Asia
Kecil untuk dirinya sendiri, sebagai tambahan untuk Thracia; Seleucus mengambil hampir semua sisanya. Cassender, yang telah melakukan pekerjaan
kotor untuk melenyapkan Alexander IV, hanya mendapat sedikit dari keterlibatannya; ia hampir tidak mendapat tambahan tanah untuk Makedonia.
Lima raja tetap berkuasa (Ptolemeus, Lysimachus, Cassender, Seleucus, dan
Demetrius), tetapi perbatasan-perbatasannya sudah bergeser.
Skenario Enam
Sementara berkelahi dengan penerus-penerus yang lain, Seleucus juga
mengadakan negosiasi dengan raja India bernama Chandragupta.
Raja ini berkuasa suatu waktu antara tahun 325 dan 321, di negara
kecilnya sendiri, Maurya. Tidak lama setelah ia naik tahta, ia berbalik
berperang melawan raja Nanda yang terakhir dari Magadha. Kebrutalan
Dinasti Nanda telah lama membuat raja-raja ini tidak disukai; Chandragupta mendapat banyak dukungan. Perebutannya atas Magadha mengubah kerajaan
Mauryanya yang kecil menjadi sebuah kekaisaran.
Kenaikannya menuju kekuasaan sebagian dibantu oleh kecerdasan
penasihatnya yang paling dekat, Kautilya. Kautilya secara tradisional berjasa
atas penulisan buku pegangan politik kuno yang disebut Arthashastra;
kebanyakan dari teks ini mungkin dicatat setelah itu, tetapi dasar pemikiran
Kautilya dalam buku itu tetap hidup. Si penguasa, menurut ajaran Kautilya,
mempunyai dua kewajiban. Ia harus memperkuat ketentreraman dalam
negeri, dengan memastikan bahwa rakyatnya menghormati sistem kasta
dengan benar:
Jika seseorang menjalankan kewajibannya sendiri ini akan membimbingnya
ke svarga (Surga) dan mendapat kebahagian yang tidak terhingga. Kalau
kewajiban itu diabaikan, dunia akan berakhir dikarenakan kebingungan
terhadap kasta dan kewajiban-kewajiban. Karena itu, raja tidak boleh
membiarkan orang-orang meninggalkan kewajiban-kewajibannya; karena
siapa pun yang menjunjung tinggi kewajibannya, selalu menempel pada
adat istiadat kaum Arya, dan mengikuti peraturan kasta dan pembagianpembagian dalam kehidupan religius, pasti akan bahagia, baik di sini maupun
sesudahnya.31
Dan ia harus memelihara ketenteraman di luar, dengan mencurigai setiap
tetangga yang berencana untuk menaklukkannya, dan mengambil tindakan
pencegahan yang diperlukan.32
Tidak diketahui apakah tetangga-tetangga Chandragupta merencanakan
penaklukan atau tidak, Chandragupta memang berniat untuk melakukan itu.
Ia ingin memperluas jangkauannya di luar Gangga—tetapi ini membawanya
ke dunia Seleucus yang menuntut wilayah India sebagai milik Alexander bersama dengan jajahannya yang lain.
Chandragupta mengusulkan sebuah penawaran: ia akan memberikan
gajah-gajah perang kepada Seleucus kalau Seleucus mau menyerahkan wilayahwilayah India kepadanya. Seleucus, meskipun kuat menyadarai bahwa ia tidak
akan dapat membela kedua wilayah kerajaannya di perbatasan Timur dan
Barat sekaligus. Ia setuju, dan di tahun 299 keduanya mengucapkan sumpah
perdamaian.
Skenario Tujuh
Pada tahun yang sama, Demetrius merebut Makedonia, Cassender dari
Makedonia sudah meninggal setahun sebelumnya, dan putra-putranya berebut kekuasaan sampai satu dari mereka menghimbau agar Demetrius, yang berada di Yunani, untuk membantu. Ini adalah sebuah kesalahan; Demetrius
beroperasi ke arah Utara, sekaligus mengusir para pewaris Cassender dan
menambahkan Makedonia pada Yunani. Kelima raja telah menjadi empat:
Ptolemeus, Lysimachus, Seleucus, dan Demetrius menggantikan ayahnya.
Ini adalah kemenangan sementara untuk Demetrius. Sebuah wajah dari
masa lampau muncul: Pyrrhus, cucu dari raja Epirus, yang kerajaannya diserap
oleh Filipus berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Pyrrhus adalah putra dari
saudara laki-laki Olympias, maka ia adalah sepupu pertama dari Alexander
Agung sendiri. Sebagai pelarian kerajaan, masa kanak-kanaknya tidak beruntung (karena diserahkan dari satu kerabat ke kerabat lain dalam usaha untuk
menyelamatkannya), dan ia mempunyai wajah yang tidak bagus: menurut
Plutarkhos, wajah itu “lebih menonjolkan kengerian daripada keanggunan
seorang raja,” karena “serangkaian gigi atasnya tidak normal, dan sebagai
gantinya gigi-gigi itu berupa tulang yang bersambungan, dengan garis-garis
kecil yang menyerupai bagian-bagian dari sederetan gigi.”33 Ia juga digosipkan mempunyai kekuatan magis dan dapat mengobati limpa dengan cara
menyentuhkan kaki kanannya ke perut si penderita (ibu jari kaki kanannya
mengandung magis).
Meskipun ia mempunya kekurangan-kekurangan pribadi, Pyrrhus
dengan cerdas menikah dengan putri tiri Ptolemeus sendiri. Ia meminta ayah
mertuanya untuk membantunya merebut kembali kerajaan Epirus yang lama;
Ptolemeus merasa senang luar biasa bisa menyerang Demetrius yang sekarang
telah menguasai Yunani dan Makedonia sekaligus. Dengan kekuatan Mesir
di belakangnya, Pyrrhus merebut kembali Epirus. Di tahun 286, ia telah
menguasai sisa dari Makedonia dan juga mengusir Demetrius keluar.
Demetrius melarikan diri ke Asia Kecil dan kemudian, karena terlalu
percaya diri, menyerang Seleucus di Timur. Ia kemungkinan besar adalah pecandu alkohol dan pada saat itu sudah mempunyai kecenderungan untuk
bunuh diri atau berkhayal. Seleucus memukulnya dengan keras seperti seekor
lalat dan menahannya sebagai tahanan rumah di mana ia minum terus sampai
mati.34
Kekuasaan Pyrrhus atas Makedonia hanya berlangsung selama dua tahun
sebelum Lysimachus turun dari Thracia dan mengusirnya. (Lysimachus, kata
Plutarkhos, “tidak mempunyai pekerjaan lain.”) Pyrrhus mundur ke Epirus,
oleh Lysimachus—mungkin karena menghormati sepupu Alexander—
dibiarkan tetap berkuasa.
Keempat raja sekarang menjadi tiga: Ptolemeus, Seleucus, Lysimachus.
Ketiga satrap telah menjadi tiga kerajaan: kerajaan Ptolemaik, Seleucid,
dan yang paling kecil adalah gabungan antara daerah kekuasaan Thracia dan
Makedonia. Caa dari Peperangan para Penerus bertempat di Italia. Roma,
menjalankan sepak terjangnya yang mengerikan setiap tahun terhadap tetangga-tetangganya, menyerang kota Tarentum, suatu koloni Yunani di Selatan.
Tarentum mengirimkan utusan-utusannya ke Yunani, memohon bantuan;
panggilan tersebut dijawab oleh Pyrrhus yang terbelenggu di Epirus tanpa
kesempatan lain untuk memperluas kekuasaannya atau memenangkan kemuliaan lain.
Pyrrhus meninggalkan Epirus dan berlayar ke Tarentum. Begitu tiba di
sana, ia membeli dan meminjam gajah-gajah perang (mungkin dari Karthago)
dan tentara bayaran (sebagian besar bangsa Samnit) untuk membela kota itu.
Ketika tentara Romawi menyerang, Pyrrus menyebabkan pihak Romawi
kalah besar; mereka belum pernah melihat gajah sebelumnya. Kemudian ia
mengusir mereka ke belakang dalam jarak kira-kira 65 kilometer dari kota
Roma sendiri.
Di tahun berikutnya, 279, ia mencoba untuk meneruskan dengan perang
lain yang teratur, perang ini terjadi di Asculum. Ia memenangkan pertempuran ini juga, tetapi dengan perlawanan yang begitu sulit sehingga ia juga
kehilangan banyak orang sebanyak kubu Romawi. Ketika seorang tentara lain
memberikan selamat atas kemenangan itu, ia menjawab, “Kalau ada kemenangan seperti itu lagi, aku akan menjadi rusak sama sekali.” “Ia telah kehilangan
sebagian besar tentara yang dibawanya,” kata Plutarkhos, “dan hampir semua
teman khususnya dan panglima utamanya; tidak ada lagi orang yang bisa
merekrut … Sebaliknya, seperti sebuah air mancur yang terus mengalir dari
luar dari kota, perkemahan Romawi dengan cepat dan banyak dipenuhi oleh
V orang-orang baru.’35 Tahun 275, Pyrrhus telah bosan meneruskan sepak
terjangnya di Roma. Ia meninggalkan Tarentum untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan pulang ke Yunani.
Tiga tahun kemudian, kubu Romawi akhirnya berhasil menguasai dan
menghancurkan Tarentum. Dalam tahun yang sama, Pyrrhus—yang masih
mencari kemuliaan—sedang bertempur dalam perang saudara kecil di Sparta
yang parah ketika seorang wanita tua melemparnya dengan sebuah ubin dari
atap rumah dan membuatnya pingsan. Ia segera dibunuh oleh musuhnya dan
mayatnya dibakar. Hanya ibu jari kaki ajaibnya yang tetap selamat.
G A R I S WA K T U 7 0
INDIA YUNANI ROMA
Perdiklas II dari Makedonia Undang-undang Tabel Dua Belas
Pericles dari Athena Peperangan Peloponesia (mulai 431)
Mahapadma Nanda dari Magadha
Barisan Sepuluh Ribu (401)
Perang Korintus (395) Roma dibakar oleh Gallia (390)
Filipus dari Makedonia
(359-336)
Dhana Nanda dari Magadha Perang Samnit yang Pertama (343)
Perang Chaeronea (338) Perang Latin (340)
Alexander III dari Makedonia
(336)
Chandragupta dari Maurya Perang Samnit Kedua (326)
Filipus Arrhidaeus/Alexander IV
Peperangan para Penerus
Perang Ipus (301) Perang Samnit Ketiga (298)
Ptolemeus Seleucus Lsymachus PerangAsculum (279)
MESIR KEKAISARAN THRACIA -
SELUCID MAKEDONIA
Di 297, CHANDRAGUPTA MAURYA menyerahkan
tahtanya kepada putranya, pangeran Bindusara dari Maurya. Chandragupta
menjadi pengikut aliran Jain; menurut tradisi, ia kemudian bergabung dengan
sekelompok bhiksu dan mogok makan sampai mati dalam suatu demonstrasi
aparigraha yang ekstrem, pelepasan dari segala benda material.
Bindusara tampaknya menghabiskan waktu kekuasaannya dengan
membangun kekaisaran. Satu-satunya catatan yang kita miliki tentang
penaklukan-penaklukannya berasal dari teks tertulis Budha beberapa
ratus tahun kemudian. Tetapi salah satunya mengatakan bahwa Bindusara
menaklukkan ”tanah di antara dua lautan,” yang memberi kesan bahwa
kekaisaran Maurya mungkin telah berkembang turun ke arah Selatan ke
Dekan, sejauh Karnataka.
Selain ini, hanya sedikit yang diketahui tentang
pemerintahan Bindusara vyang berlangsung dua puluh lima tahun itu kecuali
bahwa bangsa Yunani menyebutnya Amitrochates, ”pembunuh musuh,” suatu
nama untuk seorang penakluk.1
Kekaisaran Maurya berpusat di Utara. Di Selatan terletaklah kerajaan-kerajaan yang berbeda: Kalinga di tenggara, Andhra di tengah-tengah
semenanjung sebelah Selatan, Chera di sebelah Barat, dan sedikit ke Selatan;
dan pada paling ujung dari anak benua, daerah milik Pandya.2
Kita tidak tahu apa-apa tentang sejarah mereka sebelum sekitar tahun
500 SM. Tetapi kita tahu bahwa bahasa sementara Kalinga menghubungkan
rakyatnya dengan kerajaan-kerajaan yang lebih ke Utara (seorang raja Kalinga,
Srutaya, dimasukkan dalam Mahabharata karena perannya berperang di pihak Kurawa), tetapi semakin pada kerajaan-kerajaan di sebelah Selatan bahasanya
kelihatannya mempunyai akar yang berbeda.
Tidak seorang pun tahu dari mana bangsa-bangsa di Selatan ini berasal,
meskipun nenek moyang mereka mungkin berbeda dari mereka yang berada di
bawah penguasa-penguasa dari Utara India; kemungkinan mereka keturunan
dari kelasi-kelasi pemberani yang berhasil menyeberangi Laut Arabia dari
Afrika, beribu-ribu tahun sebelumnya.
Kalinga menolak pengembangan kekuasaan Maurya ke Selatan. Ketika
Bindusara meninggal, sekitar tahun 272 SM, Kalinga tetap tidak tertaklukkan.
Putra Bindusara, Asoka, diserahi tugas untuk menundukkannya.
Raja Asoka terkenal bagi kita kebanyakan melalui inskripsi yang
diperintahkannya untuk diukir di seluruh kerajaannya, pertama di batubatu (Prasasti) dan kemudian pada tiang-tiang batu pasir (Prasasti batu pasir).
Prasasti-prasasti ini memberikan gambaran akan kehidupan Asoka di waktu
muda. Ayahnya mengirimkannya ke Taxila, sekarang merupakan bagian
dari kekaisaran Maurya, untuk meredakan pemberontakan ketika ia masih
seorang pemuda. Setelah itu, ia dikirim lagi ke bagian lain dari Kekaisaran,
disebut Ujain, untuk memerintah satu dari lima janapada, atau distrik-distrik,
sebagaimana kekaisaran Maurya dibagi-bagi.3
Di situ ia jatuh cinta dengan seorang perempuan cantik bernama Devi,
putri dari seorang pedagang. Ia tidak menikahinya, meskipun mempunyai
dua anak dengannya; kemudian, putranya menjadi biksu Budha, yang
mengesankan bahwa Devi juga seorang Budha.4
Tetapi kalau ia menceritakan
prinsip-prinsip ajaran Budha kepada Asoka, tidak ada yang membekas dalam
hati nuraninya. Tahun-tahun awal pemerintahannya menunjukkan ia tidak
tergerak untuk mencapai perdamaian.
Ketika Bindusara meninggal, Asoka harus melawan saudara-saudaranya
untuk memperebutkan tahta, dan setelah empat tahun berjuang ia berhasil
menyingkirkan saingan-saingannya. Kita tidak mempunyai bukti bahwa ia
telah menghukum mati mereka, tetapi hanya satu dari saudara-saudara lakilakinya yang pernah disebut-sebut lagi.5
Asoka berkuasa sendiri selama delapan tahun lagi, meneruskan tradisi
ayahnya untuk menaklukkan. Lalu, di tahun 260, ia membawa sepasukan
serdadu untuk meredakan pemberontakan Kalinga.6
Prasasti yang mengenang
perang itu memberikan penjelasan yang suram atas kekejamannya terhadap
orang-orang di Kalinga: ”Seratus dan lima puluh ribu orang dibuang,” terbaca, ”seratus ribu terbunuh, dan beberapa kali jumlah itu binasa.”7
Kekejaman yang mengerikan ini kelihatannya memangsa pikiran Asoka
sampai membawanya pada suatu percakapan, ”Sesudahnya,” lanjut prasasti
itu, ”Aku merasa muak. Pembunuhan, kematian, dan pembuangan orangorang itu sangat menyedihkan … dan membebani pikiranku dengan berat.”8
Sejak saat itu, pemerintahannya berubah dan tumbuh dengan mengherankan
menjadi tidak politis. Kelihatannya ia menghabiskan waktunya bukan
dalam administrasi tetapi dalam pencarian akan dhamma; Jalan, Kebenaran,
Kewajiban, Kebaikan (ini adalah suatu konsep yang sulit didefinisikan). ”Aku
melakukan dhamma dengan sungguh-sungguh, menginginkan dhamma dan
mengajarkan dhamma,” menurut inskripsi Kalinga, dan sebentar kemudian
dalam prasasti yang sama, ”tidak seorang pun dari putra-putraku atau cucucucuku boleh berkeinginan untuk mendapatkan taklukan-taklukan baru
kesenangan dalam dhamma harus menjadi kesenangan mereka secara
keseluruhan, karena ini bernilai di dunia ini maupun dunia kemudian.”9
Ini adalah pusaka dari garis kerajaan yang tidak pernah terlihat di Barat.
Para pangeran tidak boleh mengikuti jejak ayahnya dengan penaklukan-penaklukan dan berbuat sebaik-baiknya untuk mengalahkannya dalam perang;
sebaliknya mereka harus berhenti berperang dan memilih kebahagiaan surgawi. ”Selama matahari dan bulan bertahan,” prasasti Asoka yang terakhir
mengatakan, ” orang-orang akan mengikuti dhamma.”10
Pencapaian Asoka yang terbesar setelah penaklukkan Kalinga bersifat religius, tidak politis. Yang paling lama berlangsung adalah ia mengumpulkan
dewan Budha untuk menjalankan kembali prinsip-prinsip dhamma; Dewan
Budha yang ketiga, diadakan sekitar tahun 245 di kota Pataliputra, melahirkan
salah satu dari buku Pali Canon. Pada akhir dewan, putra Asoka, Mahinda,
dikirim ke sebuah pulau besar di pantai tenggara India (Srilangka modern)
sebagai seorang misionaris.11 Misionaris yang lain dikirimkan ke Yunani, di
bawah dukungan Asoka.
Tetapi keasyikannya dengan dhamma bukan berarti ambisinya untuk
membangun kekaisaran terputus. Ia sedang membuat percobaan yang murni
untuk mencari sebuah prinsip pemersatu yang baru, yang bukan dengan
kekuatan, tetapi yang akan menyatukan kerajaan.12 Ini seperti masalah
yang dihadapi oleh Alexander, dalam latar belakang yang sedikit berbeda.
Sistem marga yang telah hidup begitu lama di India, sebagai peninggalan
zaman nomad purba, bukanlah suatu cara yang mudah untuk mendirikan
suatu kekaisaran; kesetiaan marga cenderung untuk memecahkan negara
menjadi unit-unit politik yang lebih kecil, masing-masing menegosiasikan
persahabatan atau permusuhan dengan mereka yang berada di sekitarnya.
Penaklukan Maurya hanya sebentar mengikatnya dengan pertumpahan
darah, tetapi Asoka sekarang sudah berbalik dari strategi khusus itu. Sebagai
ganti dari kesetiaan marga, atau kesetiaan yang diperkuat dengan penaklukan,
Asoka mencoba kesetiaan yang ketiga: sistem kepercayaan umum yang akan
membuat semua orang India ”anak-anakku” (seperti ditulis dalam inskripsi
Kalinga itu).13
Dan ini pun gagal. Setelah kematian Asoka di tahun 231, kekaisaran
Maurya jatuh terpecah-pecah secepat kekaisaran Alexander. Prasasti-prasastinya hilang, tidak ada lagi catatan tertulis yang menggantikannya, dan sebuah
bayangan menutupi lebih dari dasawarsa-dasawarsa berikutnya. Di bawah
tabir kegelapan, putra-putra Asoka dan cucunya kehilangan kekuasaan atas
kerajaan mereka dan kerajaan itu terpecah-pecah lagi menjadi wilayah-wilayah
kecil-kecil yang berperang.
G A R I S WA K T U 7 1
YUNANI INDIA
Dhana Nanda dari Magadha
Perang Chaeronea (338)
Alexander II dari Makedonia (336)
Philip Arrhidaeus/Alexander IV Chandragupta dari Maurya
Peperangan para Penerus
Perang Ipsus (301)
Bindusara dari Maurya (297)
Ptolemy Seleucus Lysimachus
Mesir Kekaisaran Thracia- Asoka dari Maurya (272)
Seleucid Makedonia
Dewan Budha Ketiga (245)
K di china, di mana semua bangsawan sudah menjadi raja karena perintah (seperti satrap dalam kekaisaran Alexander), masa Negara-Negara
Bagian Berperang terus berlarut-larut. Setelah kebangkitan negara bagian
Ch’in yang cepat dan Shang Yang dicopot di bawah pemerintahan raja Ch’in
yang baru, angkatan perang Ch’in terus bertempur. Begitu juga yang lain. Qi
mengalahkan Wei dengan keras, setelah itu kekuasaan Wei berkurang; Chu,
yang akhirnya menyerap Wu dan Yueh untuk selamanya, mengambil tempat Wei sebagai salah satu dari Tiga Besar.1
Sekarang kelihatannya Ch’in, Qi,
dan Chu yakin untuk membagi daerah-daerah China yang lainnya di antara
mereka sendiri.
Untuk beberapa tahun, tidak seorang pun dari mereka mempunyai jalan
yang jelas ke puncak. Tetapi angkatan perang Ch’in yang dipersiapkan oleh
Shang Yang, adalah yang paling kejam di antara ketiganya. Pada tahun
260, Ch’in menyerbu kerajaan Chao yang baru (salah satu dari tiga negara
bagian yang dibentuk oleh Jin pecah), menunjukkan tanda-tanda ambisi
yang tidak disukai. Di dataran China yang luas, jumlah tentara yang banyak
dapat mengalami bentrok sekaligus, yang medannya tidak akan cukup kalau
bentrokan itu terjadi di celah-celah pegunungan di Yunani atau semenanjung
Italia. Sepuluh ribuan orang mati dalam perang antara dua negara bagian.
Ketika tentara Chao menyerah, para tawanannya dibunuh secara massal
dalam jumlah yang banyak.2
Empat tahun kemudian, Ch’in melakukan invasi ke wilayah Zhou
dan mengakhiri berabad-abad pemerintahan Zhou yang suci. ”Ch’in
membinasakan Zhou,” Sima Qian mengatakan, sampai gundul, ”dan
pengorbanan-pengorbanan Zhou berakhir.”3
Itu adalah tindakan yang setimpal dengan penyimpangan yang dilakukan oleh Zhou sehingga tidak seorang pun
menyadari kebinasaannya. Seperti Alexander IV, raja Zhou hanyalah sebuah
nama selama bertahun-tahun.
Di dalam invasi ini terjadilah malapetaka. Tripod Sembilan, yang dipindahkan oleh Ch’in dari tempat sucinya, diarak pada pesta kemenangan di
sepanjang sungai, tetapi salah satu dari kaki-kaki itu jatuh ke dalam air dan
semua usaha untuk mengambilnya kembali gagal. Hanya tinggal delapan kaki
tersisa. Tanda bahwa kekuasaan raja yang dilimpahkan dengan suci telah tercemar, selamanya tidak pernah sempurna.4
Pada tahun 247, seorang raja baru naik tahta Chin. Ayahnya Chuanghsiang telah meninggal sebelum waktunya, setelah dua tahun memerintah,
dan Cheng baru berumur tiga belas tahun. Negaranya dijalankan untuknya
oleh panglima-panglimanya, seorang penanggung jawab, seorang hakim, dan
bermacam-macam jenderal.
Ia lebih beruntung dalam perwaliannya daripada raja-raja muda lainnya
yang pernah ada. Para pejabat ini menjalankan tugas-tugasnya dengan serius;
atas nama Cheng, mereka memukul mundur serangan-serangan dari tetangga-tetangga Ch’in, termasuk sebuah percobaan oleh koalisi lima negara bagian
untuk melenyapkan Ch’in sebelum Cheng dapat mencapai kedewasaannya.
Pada usia dua puluh dua, Cheng mengambil kekuasaan penuh atas
Ch’in,5
Ia merencanakan untuk tidak hanya menaklukkan tetangga-tetangganya, melainkan seluruh China. Pada tahun 232 ia memperbesar angkatan
perangnya lebih dari yang pernah terlihat sebelumnya. Pada tahun 231, ia,
seperti kata Sima Qian, memberi perintah untuk ”mencatat umur-umur
para pemuda” untuk pertama kalinya, mungkin itu sekadar menunjukkan
semacam wajib militer. Dan di tahun 230, negara-negara bagian lain di
China mulai berjatuhan satu per satu. Han menyerah pada tahun 230; Chao
dua tahun kemudian. Pangeran mahkota Yen khawatir tentang membengkaknya wilayah Ch’in, ia mengirimkan seorang pembunuh yang menyamar
sebagai duta besar ke istana Cheng, berharap dapat melenyapkan gangguan
dari Barat sebelum sampai ke perbatasannya. Cheng mengetahui maksud
sebenarnya dari duta besar palsu itu dan membuat orang itu cacat. Tahun
berikutnya ia bergerak masuk ke Yen, menangkap putra mahkota dan memenggalnya.
Kekejaman ini menjadi ciri dari sisa masa pemerintahan Cheng. Hal ini
juga menggiringnya ke puncak kekuasaan yang tidak pernah ditempuh oleh
raja China yang lain. Negara-negara bagian terus bertekuk lutut kepadanya:
Wei di tahun 225, Chu di tahun 223, Qi dengan segan di tahun 221. Pada
akhir tahun 221, seperempat abad setelah kematian ayahnya, Cheng menjadi penguasa seluruh negeri. ”Dua puluh enam tahun setelah Cheng, raja Ch’in
dilantik,” tulis Sima Qian, ”ia menyatukan dunia untuk pertama kalinya.”6
Cheng sekarang lebih daripada seorang raja; ia adalah seorang kaisar. Ia
mengubah namanya menjadi Shi Huang-ti, ”Kaisar Pertama.” Sejak saat
inilah kita baru dapat menceritakan tentang China yang sebenarnya, suatu
negera yang namanya diperoleh dari persatuan pertama yang dilakukan oleh
Ch’in ini.
Ini adalah sebuah negara baru yang sebelumnya belum pernah menjadi
satu negera, yang berarti bahwa Shi Huang-ti harus menciptakan satu
pemerintahan, tidak berasal dari pecahan-pecahan (yang mungkin akan secara
relatif mudah), tetapi sebaliknya dari suatu masa yang berat yang terdiri dari
adat istiadat yang sudah ada dan birokrasi, yang terbentang dengan tujuantujuan yang saling bersilangan satu sama lain.
Mengubah bentuk sebuah rumah yang tua dan reyot merupakan mimpi
buruk dibandingkan dengan kemudahan untuk menata fondasi baru pada
lahan yang masih bersih. Itu adalah tugas yang memerlukan efisiensi yang
tidak habis-habisnya, yang dipertunjukkan oleh Shi Huang-ti dengan tepat.
Ia meruntuhkan semua pengaruh keluarga yang lama, mewarisi kekayaan
dan kesetiaan marga dengan membagi kekaisaran menjadi bagian-bagian
yang mudah diatur: tiga puluh enam jun (daerah pemerintahan), dan setiap
jun dibagi menjadi xian (secara kasarnya sama dengan sistem negera bagian
Amerika, dibagi menjadi kabupaten-kabupaten). Sepasang komandan militer
dan seorang administrator sipil memerintah tiap jun, dan seorang inspektur
pemerintahan (yang bisa dikatakan seorang mata-mata) mengawasi tiap
pasangan.7
Tidak ada relasi dari para pejabat yang diberi posisi gemuk. Kaisar
Pertama bahkan tidak memberikan pekerjaan kenegaraan kepada putraputranya, kembali pada pemikiran lama bahwa pemerintahan berdasarkan
keturunan adalah buruk untuk kesehatan negara itu. Selain itu, ia
memerintahkan para bangsawan yang lama dari setiap negara bagian dibawa
ke ibu kota dan ditempatkan di rumah-rumah baru. Di sini mereka hidup
dengan nyaman—dan sangat dekat dengan matanya yang terus mengawasi.8
Reformasi-reformasi lain mengikuti. Ia membangun jalan-jalan sampai ke
ujung-ujung China; ia membangun kanal untuk transportasi dan irigasi; ia
memulai penanggalan kembali, sehingga setiap orang di daerah kekuasaannya
akan mengikuti sistem yang sama. ”Mengagungkan pertanian dan menekan
yang tidak penting,” menurut bacaan dari sebuah inskripsi tentang perayaan,
yang diadakan dua tahun setelah pengangkatannya sebagai kaisar, ”ia
memperkaya rakyat … dalam hal implementasi, pengukuran-pengukuran
disatukan, dalam tulisan, huruf-huruf distandardisasi. Di mana pun matahari
dan bulan bersinar, di mana pun kapal dan kereta bisa menjangkau, rakyat
semuanya menikmati tiap jengkal yang diperuntukkan bagi mereka, dan
setiap orang puas.”9
Reformasi-reformasi ini lebih dari efisien. Seperti mesias,
jalan menuju kehidupan baru yang bahagia bagi rakyat Shi Huang-ti.
Seperti Shang Yang, Kaisar Pertama tidak memiliki kesabaran dengan
ajaran-ajaran Konfusius, atau dengan segalanya yang tidak jelas. Kekuasaan
yang efisien dari atas ke bawah, bukan renungan-renungan metafisik, adalah
kunci sebuah negara yang sehat. Oleh karena itu ia melakukan tindakan yang
lebih dari sekadar pembakaran buku-buku, seperti yang dilakukan oleh Shang
Yang. Perdana menterinya mengumumkan peraturan-peraturannya:
Sekarang Kaisar, setelah mempersatukan dan menggenggam dunia, telah
membedakan antara hitam dan putih dan menetapkan satu otoritas. Tetapi
(beberapa rakyat) memihak pada pengajarannya sendiri dan bergabung
bersama untuk mengritik undang-undang dan pengajaran-pengajaran … Di
istana, mereka mengkritik dalam hati, dan di luar, mereka mendebatkannya
di jalan-jalan. Menjelekkan si penguasa merupakan … suatu cara untuk
menunjukkan superioritas … Jika hal-hal semacam ini tidak dilarang, maka
kekuatan si penguasa akan memudar dari atas dan golongan yang bertentangan
akan membentuk dari bawah. Melarang mereka adalah tindakan yang tepat.
Aku minta supaya kalian membakar semua catatan dalam kantor-kantor,
tulisan-tulisan yang bukan milik Ch’in … Siapa pun yang mencoba-coba
untuk mendiskusikan lagu-lagu dan dokumen-dokumen akan dihukum mati
di pasar.10
Buku-buku yang diperkecualikan dari dekrit penyapuan bersih adalah
buku-buku tentang pengobatan, tentang ketuhanan, dan pegangan untuk
berkebun.
Ini adalah suatu keputusan yang tidak berlangsung baik bagi generasi selanjutnya (”Kaisar Pertama memusnahkan semua dokumen untuk membuat
rakyatnya bodoh,” komentar Sima Qian),” tetapi menjadi sensasi yang sempurna untuk seseorang yang sedang menciptakan sebuah negara baru yang
terbentuk dari gabungan kelompok yang lama. Negara dipenuhi dengan catatan-catatan tua tentang bagaimana segala sesuatunya dikerjakan; Shi Huang-ti
bermaksud untuk membuat sebuah China yang baru, di mana ”tidak (bisa)
ada penolakan dari masa kini dengan menggunakan masa lalu.” Alexander
bertempur, orang Yunani mengadakan festival, Asoka mencoba menyebarkan
visi religius; Shi Huang-ti berusaha keras untuk menyatukan kekaisarannya
sendiri dengan menghapuskan bukti-bukti bahwa pada suatu masa negara itu
pernah terpecah-pecah berantakan. ”Dalam usianya yang dua puluh delapan
tahun,” terbaca dalam inskripsinya sendiri, ”KaisarAgustus membuat awal.”12
Mungkin keinginan untuk memulai suatu awal baru melahirkan suatu
tradisi sehingga Shi Huang-ti membangun Tembok Besar China. Sebetulnya,
Tembok Besar bukanlah suatu perbatasan yang baru; negara-negara bagian
China telah mulai membangun tembok-tembok melawan kaum barbar (dan
satu sama lain) selama generasi ke generasi. Inovasi Shi Huang-ti adalah
memutuskan apakah tembok-tembok itu harus dihubungkan menjadi satu,
suatu proyek yang ia serahkan kepada salah satu pejabatnya jenderal Meng
T’ien.
Raja-raja Barat membangun tembok-tembok, pada waktu-waktu yang berbeda, untuk menghalangi invasi yang mendekat. Tetapi tidak pernah ada yang
mencoba untuk membuat tembok dalam satu kekaisaran.13 Tembok Besar Shi
Huang-ti adalah tanah-dan-batu yang merupakan perwujudan dari visinya
tentang China, suatu persamaan peradaban yang tergabung menjadi satu oleh
ikatan-ikatan yang lebih kuat dari semen, semua yang berada dalam Tembok
merupakan milik China, dan semua yang di luar hanyalah kaum barbar yang
bekelana dan tidak mempunyai akar.
Tetapi perwujudan ini memakan ribuan nyawa orang China. Temboktembok penghubung itu dibangun dari bahan apa pun yang ada di situ (batu
dari gunung-gungung, tanah liat dari dataran-dataran, pasir dan kerikil dari
gurun pasir); pembangunnya adalah orang desa, tawanan perang, tentara, dan
petani, semua ditarik dan dikirim untuk bekerja demi kebaikan negara.14
Shi huang-ti telah meninggalkan jejak di tanah China selama hidupnya;
ia berencana untuk membuat tanda yang sama dalam kematian. Ia membangun untuk dirinya sendiri sebuah rumah terakhir, yang seperti ini tidak
pernah terlihat di luar Mesir. Sima Qian memberikan gambaran tentang
makam, yang—menurut ceritanya—Shi Huang-ti, dengan mata terarah
pada kemasyhurannya yang berlangsung lama, mulai mempersiapkannya
segera setelah ia berkuasa sebagai kaisar:
Setelah ia menyatukan dunia, lebih dari tujuh ratus buruh yang dihukum
… dikirimkan ke sana. Mereka menggali melalui tiga mata air, menuangkan
cairan tembaga, dan memasang peti mayat dari batu … Ia memerintahkan
para artisan untuk membuat panah-panah yang bisa meluncur secara mekanis.
Mereka menggunakan merkuri untuk menciptakan sungai-sungai … dan
lautan-lautan yang luas, di mana merkurinya disirkulasikan secara mekanis.
Di langit-langitnya terdapat benda-benda angkasa dan di tanah fitur-fitur
geografi. Lilin-lilin terbuat dari minyak dugong, yang tidak habis terbakar
untuk waktu yang lama.15
Yang paling mengejutkan, ia mengisi makamnya dengan tentara-tentara
dan kuda-kuda keramik seukuran orang, ada hampir tujuh ribu. Mereka
dilengkapi dengan senjata-senjata sungguhan dari tembaga, dan dipahat
ketika hidup; dalam pasukan perang besar-besaran ini, tidak ada satu wajah
pun yang sama.16
Seperti para pharaoh pertama dari Mesir, Kaisar Pertama terpaksa harus
mempersatukan negara-negara yang tersebar dan terpisah menjadi satu;
seperti mereka, ia harus memaksakan kepatuhan dari sebuah kerajaan yang
suka bertengkar. Tetapi milenium ketiga masih lama berlalu. Ia tidak dapat
lagi menunjukkan kekuasaannya dengan memaksa ratusan pembantunya
untuk mengikutinya sampai ke liang kubur. Sebagai gantinya, ia menciptakan
tentara-tentara keramik itu: pengganti yang mengejutkan.
Shi Huang-ti pergi ke makam ini di tahun 210, setelah tujuh puluh tujuh
tahun memerintah sebagai raja Ch’in dan sebelas tahun sebagai kaisar China.
Dia dikebumikan dengan hati-hati dalam makam yang mewah; makam ini
ditutup dengan tanah, pohon-pohon ditanam di atasnya sehingga lokasinya
tersamar selamanya, dan arsitek-arsitek yang mendesainnya dibunuh sehingga
tempat itu tidak pernah diketemukan.
Dinastinya hampir tidak bertahan setelah kematiannya. Pewaris Kaisar
Pertama adalah putranya yang berusia dua puluh satu tahun, Hu-hai, Kaisar
Kedua. Mahkota Kaisar Kedua ini tidak nyaman; kekaisaran ayahnya belum
lama ini masih merupakan negara-negara bagian yang terpisah yang harus secara penuh tunduk pada kekuasaan pusat. ”Pengikut-pengikutnya yang besar
belum menyerah,” ia mengeluh pada perdana menterinya, ”para pejabatnya
masih kuat dan semua bangsawannya tentu akan menentangku.”17
Perdana menteri menyarankan kepada Kaisar Kedua untuk mempertunjukkan otoritasnya dengan paksaan, menghilangkan semua panglima jun dan
mantan bangsawan yang kelihatannya dalam segala hal enggan menerima
otoritasnya. Kaisar kedua menerima nasihat ini dengan bernafsu, akhirnya
membunuh semua orang yang dicurigai tidak setia padanya. Pembersihan
yang berakhir dengan angka kematian (dan bahkan termasuk wanita, sepuluh
di antaranya diseret dan dipotong empat di depan umum), mengagetkan negara. Kaisar Kedua, merasa lebih tidak aman dari sebelumnya, menarik lima
puluh ribu pasukan yang terdiri dari tentara yang ulung dan menempatkan
mereka sekitar ibu kota.
Hanya tujuh bulan kemudian, tentara yang ditempatkan di wilayah Chu
yang lama memberontak. Revolusi ini menyebar dari satu jun ke jun yang
lain, diikuti oleh semua yang ”menderita di bawah pejabat Ch’in,” jumlahnya
”terlalu banyak untuk dihitung.” Pasukan Kaisar Kedua tidak dapat menahan
pemberontakan yang semakin meningkat. Satu per satu keluarga bangsawan
muncul kembali dari ketidakpopuleran pada masa administrasi Ch’in menjadi penuntut kekuasaan: pertama, seorang bangsawan mengangkat dirinya
sebagai raja dari Chao, kemudian bangsawan lain lagi dari Wei, dan yang
ketiga mengangkat dirinya sebagai raja dari Qi. Negera-negara bagian yang
lama mulai bermunculan dari permukaan China yang halus.
Perang saudara dimulai, dan terus menggelora selama tiga tahun sesudahnya.
Kaisar Kedua menjadi semakin liar dalam kemarahannya,�