Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 30

 





ntahan. Ketiga 

orang lainnya setuju untuk menjabat sebagai satrap, dengan mengikuti sistem 

Persia.    Ptolemeus  akan  memerintah  Mesir;  Antigonous  akan  memerintah 

sebagian besar Asia Kecil (“Lycia, Pamphylia, dan Frigia besar,” kata Rufus); 

Lysimachus  mendapat Thracia;  Antipater,  seorang  panglima  terpercaya  yang 

menjadi wali Alexander dari Makedonia selama ketidakhadiran raja, akan terus 

berada  di  Makedonia  dan  juga  mengawasi  Yunani;    Cassender,  yang  adalah 

putra Antipater, mendapatkan Caria (bagian Selatan pantai Asia Kecil). Lima 

panglima yang lain diberi kekuasaan atas wilayah lain dari kekaisaran itu.  

Pembagian  kekuasaan  Alexander  menjadi  satrap-satrap  (Pembagian 

Babilonia)  adalah  jalan  langsung  menuju  peperangan.  “Orang-orang  yang 

baru-baru ini adalah rakyat dari seorang raja telah secara sendiri-sendiri merebut 

kekuasaan  atas  kerajaan-kerajaan  besar,”  tulis  Rufus,  “berpura-pura  sebagai 

administrator dari sebuah kekaisaran milik orang lain, dan dalih apa pun yang 

dapat  menimbulkan  konflik  disingkirkan,  karena  mereka  semua  merupakan 

satu bangsa … Tetapi mereka tetap tidak pernah puas dengan nasib mereka.”30

Walaupun  mereka  termasuk  dalam  satu  golongan  ras  yang  sama  dan  sama￾sama setia kepada Alexander, mereka tidak dapat mengelak peristiwa yang akan 

terjadi.  “Perang Diadochi” atau “Perang Suksesi” pecah tak lama setelah itu .  

Skenario Pertama

Kekuasaan  Perdicca  sebaga  wali  bertambah,  ketika  bayi  Roxane  lahir 

dengan selamat dan ternyata memang laki-laki, bernama bayi Alexander ke IV 

dari Makedonia.  Tetapi Mesir mempunyai kekuatan militer yang paling besar 

dan paling berpotensial dari semua “satrap”;  Ptolemeus telah menyerang ke 

bawah untuk mengambil alih dengan pasukan yang hanya dua ribu orang, 

tetapi ketika tersebar kabar bahwa ia memberi bayaran yang tinggi untuk para 

tentaranya, tentara bayaran Yunani bergabung dengannya. Ketika kekuatannya 

sudah cukup besar, Ptolemeus memperjelas niatnya untuk menculik tubuh 

Alexander  ,  yang  sudah  terikat  pada  Makedonia,  dan  memakamkannya  di 

Mesir, seolah-olah Alexander adalah nenek moyangnya.  

Perdiccas tahu bahwa ini adalah gerakan untuk menguasai kekaisaran. Ia 

mengumpulkan angkatan perangnya dan bergerak turun melawan Ptolemeus. 

Penyerbuan  itu  menjadi  malapetaka;  Kekuatan  Perdiccas  dipermalukan. 

Setelah mundur, para panglimanya bersatu—dipimpin oleh seorang panglima 

muda Seleucus, yang juga pernah bersama dengan Alexander di Mesir—dan 

membunuhnya.  

Satu  jenderal  sudah  hilang  dari  kancah  ini.  Ptolemeus  memerintahkan 

Philip dan bayi Alexander IV untuk dikeluarkan dari Babilonia dan dibawa 

pulang ke Makedonia,  di  mana mereka akan  dilindungi  oleh  Antipater.  Ia 

menghadiahi Seleucus, yang sudah melenyapkan Perdiccas dengan memberinya 

kekuasaan Babilonia—tetapi sebagai seorang satrap, bukan sebagai wali.  

Skenario Dua

Di tahun 319, tidak lama setelah Antipater dari Makedonia meninggal. 

Ia  meninggalkan  Makedonia  tidak  untuk  putranya  Cassender  (yang  sudah 

memiliki Caria), tetapi kepada seorang Makedonia lain. Jadi, baik Ptolemeus 

maupun Antigonus setuju untuk bersekutu dengan Cassender untuk mem￾bantu merebut wilayah ayahnya.  

Tetapi  si  tua  Olympias  yang  bengis,  ibu  Alexander,  masih  hidup  segar 

bugar.  Ia  membawa  cucunya  Alexander  IV  ke  rumahnya  sendiri  di  Pella, 

suatu ibu kota kerajaan Makedonia, bersama dengan ibu anak itu, Roxane. 

Kemudian  ia  mengumpulkan  pendukungnya  sendiri  untuk  memperjuang￾kan penguasaan atas Makedonia.  Kemenangan Cassender berarti akan ada 

pendirian sebuah kerajaan baru, dan Olympia sudah tidak mau lagi hanya 

menjadi ibu seorang raja.  

Olympias tidak berhasil menghalangi tiga satrap yang kuat untuk waktu 

yang  lama,  tetapi  sebelum  mereka  menyerang  Makedonia,  ia  berhasil 

menguasai si lembek Filipus.  Ia sudah tidak menyukainya sejak lama, dan tidak mau membayangkan bahwa Filipus akan menjadi rekan-raja bersama 

cucunya. Ia menusuk Filipus sampai mati sebelum Cassander dan sekutunya 

tiba untuk menyelamatkannya. Ketika Cassendar berhasil sampai ke Pella di 

tahun 316, ia menangkap Olympias dan memerintahkannya untuk dirajam 

karena  pembunuhan. Ia  menahan Roxane  dan  Alexander    muda  (sekarang 

berusia  sembilan  tahun)  sebagai  tahanan  rumah,  secara  teoritis  untuk 

menjamin keselamatannya, di sebuah istana yang disebut Amphipolis yang 

menghadap ke sungai Strymon.  

Sekarang  peta  telah  bergeser  menjadi  lima  kerajaan:    Cassender  di 

Makedonia, Lysimachus di Thracia, Antigonus (panggilannya Si Mata Satu, 

karena ia kehilangan satu matanya dalam perang) di Asia Kecil, Seleucus V 

Babilonia dan pusat tanah Persia, dan Ptolemeus di Mesir.

Skenario Tiga

Kembali di Makedonia, di istana Amphipolis, nasib yang dikhawatirkan 

Roxane semenjak kematian suaminya menjadi kenyataan. Suatu waktu sekitar 

tahun 310, cangkir anggur pada jamuan makan malam dicampuri racun; dan 

Roxane dan Alexander IV tewas. Putra Alexander satu-satunya berumur dua 

belas tahun, sama dengan umur ayahnya ketika ia menaklukkan Bucephalus.

Cassander, yang bertindak sebagai raja Makedonia, tidak diragukan lagi 

sebagai penyebab kematian itu.  Keempat jenderal yang lain mengetahui de￾ngan persis apa yang telah terjadi. Tetapi untuk setengah dasawarsa ke depan, 

tidak seorang pun membicarakannya. Tidak ada seorang pun yang menyebut 

dirinya raja; tidak ada seorang pun yang meninggalkan gelar satrap. Mereka 

semua  mendukung  apa  yang  mereka  ketahui  sebagai  sebuah  kebohongan: 

dan  bahwa  mereka  semua  mengabdi  atas  namanya.   Tak  seorang  pun  dari 

kelimanya mau menjadi orang pertama yang menuntut gelar raja.  Siapa pun 

yang pertama kali mendapat gelar itu akan dimusuhi oleh keempat sekutu 

itu.  

Skenario Empat

Antigonus  memecahkan  keseimbangan  itu,  tetapi  hanya  setelah  meraih dua  kemenangan—keduanya  dikapteni  oleh  putranya,  Demetrius—yang 

jelas menunjukkan bahwa ia adalah yang terkuat di antara kelima orang itu. 

Yang pertama adalah invasi Athena di tahun 307. Cassender, seperti Antipater 

sebelumnya,  telah  menjadi  tidak  hanya  raja  dari  Makedonia  tetapi  juga 

penguasa Yunani. Demetrius bergerak ke Athena dan mengusir orang-orang 

Cassender ke luar kota; dan kemudian ia mengarahkan perang laut melawan 

kapal-kapal Ptolemeus yang terjadi di Salamis. Armada Ptolemeus kalah.  

Kemudian, Antigonus—setelah menang atas Cassender dan Ptolemeus—

mendapat gelar raja. Lysimachus (masih di Thracia) dan Seleucus (di Babilonia) 

memutuskan untuk tidak membuat marah si monster mata satu. Sebaliknya 

alih-alih bersekutu melawan dia, mereka juga mulai menjadikan diri mereka 

sendiri raja. Begitu juga Ptolemeus dan Cassender. Kematian  Alexander  IV, 

yang masih belum dibicarakan, sekarang disyukuri.  

Skenario Lima

Kelima raja kemudian mulai saling menyikut perbatasan masing-masing, 

suatu proses yang mencapai klimaks dalam perang Ipsus di tahun 301 SM. 

Ptolemeus  yang  kekuasaannya  terkonsentrasi  di  Selatan,  terus  menduduki 

wilayah  ini.  Tetapi  Cassander,  Lysimachus,  dan  Antigonus  terlibat  dalam 

bentrokan  tiga  arah  yang  tetap  tidak  terselesaikan  sampai  Seleucus  tiba  di 

Babilonia dengan kekuatan yang begitu besar, dan melemparkan bebannya 

pada pihak Lysimachus dan Cassander.  

Antigonus yang sekarang berusia delapan puluh tahun, melawan sampai 

mati.  Pasukannya tercerai berai; putranya Demetrius lari ke Yunani dan men￾jadikan dirinya raja di sana, meninggalkan tanah-tanah Asia Kecil yang telah 

menjadi pusat kerajaan ayahnya. Lysimachus mengambil bagian Barat Asia 

Kecil untuk dirinya sendiri, sebagai tambahan untuk Thracia;  Seleucus meng￾ambil  hampir  semua  sisanya.  Cassender,  yang  telah  melakukan  pekerjaan 

kotor  untuk  melenyapkan  Alexander  IV,  hanya  mendapat  sedikit  dari  ke￾terlibatannya; ia hampir tidak mendapat tambahan tanah untuk Makedonia. 

Lima raja tetap berkuasa (Ptolemeus, Lysimachus, Cassender, Seleucus, dan 

Demetrius), tetapi perbatasan-perbatasannya sudah bergeser.  

Skenario Enam

Sementara  berkelahi  dengan  penerus-penerus  yang  lain,  Seleucus  juga 

mengadakan negosiasi dengan raja India bernama Chandragupta.  

Raja  ini  berkuasa  suatu  waktu  antara  tahun  325  dan  321,  di  negara 

kecilnya  sendiri,  Maurya.  Tidak  lama  setelah  ia  naik  tahta,  ia  berbalik 

berperang  melawan  raja  Nanda  yang  terakhir  dari  Magadha.  Kebrutalan 

Dinasti Nanda telah lama membuat raja-raja ini tidak disukai; Chandragupta mendapat banyak dukungan. Perebutannya atas Magadha mengubah kerajaan 

Mauryanya yang kecil menjadi sebuah kekaisaran.  

Kenaikannya  menuju  kekuasaan  sebagian  dibantu  oleh  kecerdasan 

penasihatnya yang paling dekat, Kautilya. Kautilya secara tradisional berjasa 

atas  penulisan  buku  pegangan  politik  kuno  yang  disebut  Arthashastra; 

kebanyakan dari teks ini mungkin dicatat setelah itu, tetapi dasar pemikiran 

Kautilya dalam buku itu tetap hidup. Si penguasa, menurut ajaran Kautilya, 

mempunyai  dua  kewajiban.  Ia  harus  memperkuat  ketentreraman  dalam 

negeri,  dengan  memastikan  bahwa  rakyatnya  menghormati  sistem  kasta 

dengan benar: 

Jika seseorang menjalankan kewajibannya sendiri ini akan membimbingnya 

ke  svarga  (Surga)  dan  mendapat  kebahagian  yang  tidak  terhingga.  Kalau 

kewajiban  itu  diabaikan,  dunia  akan  berakhir  dikarenakan  kebingungan 

terhadap  kasta  dan  kewajiban-kewajiban.  Karena  itu,  raja  tidak  boleh 

membiarkan  orang-orang  meninggalkan  kewajiban-kewajibannya;  karena 

siapa  pun  yang  menjunjung  tinggi  kewajibannya,  selalu  menempel  pada 

adat  istiadat  kaum  Arya,  dan  mengikuti  peraturan  kasta  dan  pembagian￾pembagian dalam kehidupan religius, pasti akan bahagia, baik di sini maupun 

sesudahnya.31

Dan ia harus memelihara ketenteraman di luar, dengan mencurigai setiap 

tetangga yang berencana untuk menaklukkannya, dan mengambil tindakan 

pencegahan yang diperlukan.32

Tidak diketahui apakah tetangga-tetangga Chandragupta merencanakan 

penaklukan atau tidak, Chandragupta memang berniat untuk melakukan itu. 

Ia ingin memperluas jangkauannya di luar Gangga—tetapi ini membawanya 

ke dunia Seleucus yang menuntut wilayah India sebagai milik Alexander ber￾sama dengan jajahannya yang lain.  

Chandragupta  mengusulkan  sebuah  penawaran:  ia  akan  memberikan 

gajah-gajah perang kepada Seleucus kalau Seleucus mau menyerahkan wilayah￾wilayah India kepadanya. Seleucus, meskipun kuat menyadarai bahwa ia tidak 

akan  dapat  membela  kedua  wilayah  kerajaannya  di  perbatasan Timur  dan 

Barat sekaligus. Ia setuju, dan di tahun 299 keduanya mengucapkan sumpah 

perdamaian.  

Skenario Tujuh

Pada tahun yang sama, Demetrius merebut Makedonia, Cassender dari 

Makedonia sudah meninggal setahun sebelumnya, dan putra-putranya ber￾ebut kekuasaan sampai satu dari mereka menghimbau agar Demetrius, yang berada di Yunani, untuk membantu. Ini adalah sebuah kesalahan; Demetrius 

beroperasi  ke  arah  Utara,  sekaligus  mengusir  para  pewaris  Cassender  dan 

menambahkan Makedonia pada Yunani. Kelima raja telah menjadi empat: 

Ptolemeus, Lysimachus, Seleucus, dan Demetrius menggantikan ayahnya.  

Ini adalah kemenangan sementara untuk Demetrius. Sebuah wajah dari 

masa lampau muncul: Pyrrhus, cucu dari raja Epirus, yang kerajaannya diserap 

oleh Filipus  berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Pyrrhus adalah putra dari 

saudara laki-laki Olympias, maka ia adalah sepupu pertama dari Alexander 

Agung sendiri. Sebagai pelarian kerajaan, masa kanak-kanaknya tidak berun￾tung (karena diserahkan dari satu kerabat ke kerabat lain dalam usaha untuk 

menyelamatkannya),  dan  ia  mempunyai  wajah  yang  tidak  bagus:  menurut 

Plutarkhos,  wajah  itu  “lebih  menonjolkan  kengerian  daripada  keanggunan 

seorang  raja,”  karena  “serangkaian  gigi  atasnya  tidak  normal,  dan  sebagai 

gantinya gigi-gigi itu berupa tulang yang bersambungan, dengan garis-garis 

kecil yang menyerupai bagian-bagian dari sederetan gigi.”33 Ia juga digosip￾kan  mempunyai  kekuatan  magis  dan  dapat  mengobati  limpa  dengan  cara 

menyentuhkan kaki kanannya ke perut si penderita (ibu jari kaki kanannya 

mengandung magis).  

Meskipun  ia  mempunya  kekurangan-kekurangan  pribadi,  Pyrrhus 

dengan cerdas menikah dengan putri tiri Ptolemeus sendiri. Ia meminta ayah 

mertuanya untuk membantunya merebut kembali kerajaan Epirus yang lama; 

Ptolemeus merasa senang luar biasa bisa menyerang Demetrius yang sekarang 

telah menguasai Yunani dan Makedonia sekaligus. Dengan kekuatan Mesir 

di  belakangnya,  Pyrrhus  merebut  kembali  Epirus.  Di  tahun  286,  ia  telah 

menguasai sisa dari Makedonia dan juga mengusir Demetrius keluar.  

Demetrius  melarikan  diri  ke  Asia  Kecil  dan  kemudian,  karena  terlalu 

percaya diri, menyerang Seleucus di Timur. Ia kemungkinan besar adalah pe￾candu  alkohol  dan  pada  saat  itu  sudah  mempunyai  kecenderungan  untuk 

bunuh diri atau  berkhayal. Seleucus memukulnya dengan keras seperti seekor 

lalat dan menahannya sebagai tahanan rumah di mana ia minum terus sampai 

mati.34

Kekuasaan Pyrrhus atas Makedonia hanya berlangsung selama dua tahun 

sebelum Lysimachus turun dari Thracia dan mengusirnya.  (Lysimachus, kata 

Plutarkhos, “tidak mempunyai pekerjaan lain.”)  Pyrrhus mundur ke Epirus, 

oleh  Lysimachus—mungkin  karena  menghormati  sepupu  Alexander— 

dibiarkan tetap berkuasa. 

Keempat  raja  sekarang  menjadi  tiga:  Ptolemeus,  Seleucus,  Lysimachus. 

Ketiga  satrap  telah  menjadi  tiga  kerajaan:    kerajaan  Ptolemaik,  Seleucid, 

dan yang paling kecil adalah gabungan antara daerah kekuasaan Thracia dan 

Makedonia.    Caa  dari Peperangan para Penerus bertempat di Italia. Roma, 

menjalankan sepak terjangnya yang mengerikan setiap tahun terhadap tetang￾ga-tetangganya, menyerang kota Tarentum, suatu koloni Yunani di Selatan. 

Tarentum mengirimkan utusan-utusannya ke Yunani, memohon bantuan; 

panggilan tersebut dijawab oleh Pyrrhus yang terbelenggu di Epirus tanpa 

kesempatan lain untuk memperluas kekuasaannya atau memenangkan ke￾muliaan lain. 

Pyrrhus meninggalkan Epirus dan berlayar ke Tarentum. Begitu tiba di 

sana, ia membeli dan meminjam gajah-gajah perang (mungkin dari Karthago) 

dan tentara bayaran (sebagian besar bangsa Samnit) untuk membela kota itu. 

Ketika tentara Romawi menyerang, Pyrrus menyebabkan pihak Romawi 

kalah besar; mereka belum pernah melihat gajah sebelumnya. Kemudian ia 

mengusir mereka ke belakang dalam jarak kira-kira 65 kilometer dari kota 

Roma sendiri. 

Di tahun berikutnya, 279, ia mencoba untuk meneruskan dengan perang 

lain yang teratur, perang ini terjadi di Asculum. Ia memenangkan pertem￾puran ini juga, tetapi dengan perlawanan yang begitu sulit sehingga ia juga 

kehilangan banyak orang sebanyak kubu Romawi. Ketika seorang tentara lain 

memberikan selamat atas kemenangan itu, ia menjawab, “Kalau ada kemena￾ngan seperti itu lagi, aku akan menjadi rusak sama sekali.” “Ia telah kehilangan 

sebagian besar tentara yang dibawanya,” kata Plutarkhos, “dan hampir semua 

teman khususnya dan panglima utamanya; tidak ada lagi orang yang bisa 

merekrut … Sebaliknya, seperti sebuah air mancur yang terus mengalir dari 

luar dari kota, perkemahan Romawi dengan cepat dan banyak dipenuhi oleh 

V orang-orang baru.’35 Tahun 275, Pyrrhus telah bosan meneruskan sepak 

terjangnya di Roma. Ia meninggalkan Tarentum untuk menyelesaikan masa￾lahnya sendiri dan pulang ke Yunani.

Tiga tahun kemudian, kubu Romawi akhirnya berhasil menguasai dan 

menghancurkan Tarentum. Dalam tahun yang sama, Pyrrhus—yang masih 

mencari kemuliaan—sedang bertempur dalam perang saudara kecil di Sparta 

yang parah ketika seorang wanita tua melemparnya dengan sebuah ubin dari 

atap rumah dan membuatnya pingsan. Ia segera dibunuh oleh musuhnya dan 

mayatnya dibakar. Hanya ibu jari kaki ajaibnya yang tetap selamat.

G A R I S WA K T U 7 0

  INDIA  YUNANI  ROMA

  Perdiklas II dari Makedonia  Undang-undang Tabel Dua Belas

  Pericles dari Athena  Peperangan Peloponesia (mulai 431)

  Mahapadma Nanda dari Magadha

  Barisan Sepuluh Ribu (401)

  Perang Korintus (395)  Roma dibakar oleh Gallia (390)

  Filipus  dari Makedonia    

  (359-336)   

   

  Dhana Nanda dari Magadha    Perang Samnit yang Pertama (343)

  Perang Chaeronea (338)  Perang Latin (340)

  Alexander  III dari Makedonia     

  (336)   

  Chandragupta dari Maurya    Perang Samnit Kedua (326)

  Filipus  Arrhidaeus/Alexander  IV   

  Peperangan para Penerus

  Perang Ipus (301)  Perang Samnit Ketiga (298)

  Ptolemeus    Seleucus  Lsymachus  PerangAsculum (279)

  MESIR      KEKAISARAN   THRACIA -

              SELUCID  MAKEDONIA





Di   297,  CHANDRAGUPTA  MAURYA    menyerahkan 

tahtanya kepada putranya, pangeran Bindusara dari Maurya. Chandragupta 

menjadi pengikut aliran Jain; menurut tradisi, ia kemudian bergabung dengan 

sekelompok bhiksu dan mogok makan sampai mati dalam suatu demonstrasi 

aparigraha yang ekstrem, pelepasan dari segala benda material.  

Bindusara  tampaknya  menghabiskan  waktu  kekuasaannya  dengan 

membangun  kekaisaran.  Satu-satunya  catatan  yang  kita  miliki  tentang 

penaklukan-penaklukannya  berasal  dari  teks  tertulis  Budha  beberapa 

ratus  tahun  kemudian. Tetapi  salah  satunya  mengatakan  bahwa  Bindusara 

menaklukkan  ”tanah  di  antara  dua  lautan,”  yang  memberi  kesan  bahwa 

kekaisaran  Maurya  mungkin  telah  berkembang  turun  ke  arah  Selatan  ke 

Dekan, sejauh Karnataka.

  Selain ini, hanya sedikit yang diketahui tentang 

pemerintahan Bindusara vyang berlangsung dua puluh lima tahun itu kecuali 

bahwa bangsa Yunani menyebutnya Amitrochates, ”pembunuh musuh,” suatu 

nama untuk seorang penakluk.1

Kekaisaran  Maurya  berpusat  di  Utara.  Di  Selatan  terletaklah  kera￾jaan-kerajaan  yang  berbeda:  Kalinga  di  tenggara,  Andhra  di  tengah-tengah 

semenanjung sebelah Selatan, Chera di sebelah Barat, dan sedikit ke Selatan; 

dan pada paling ujung dari anak benua, daerah milik Pandya.2

Kita  tidak  tahu  apa-apa  tentang  sejarah  mereka  sebelum  sekitar  tahun 

500 SM. Tetapi kita tahu bahwa bahasa sementara Kalinga menghubungkan 

rakyatnya dengan kerajaan-kerajaan yang lebih ke Utara (seorang raja Kalinga, 

Srutaya, dimasukkan dalam Mahabharata karena perannya berperang di pihak  Kurawa), tetapi semakin pada kerajaan-kerajaan di sebelah Selatan bahasanya 

kelihatannya mempunyai akar yang berbeda.

  

Tidak seorang pun tahu dari mana bangsa-bangsa di Selatan ini berasal, 

meskipun nenek moyang mereka mungkin berbeda dari mereka yang berada di 

bawah penguasa-penguasa dari Utara India; kemungkinan mereka keturunan 

dari  kelasi-kelasi  pemberani  yang  berhasil  menyeberangi    Laut  Arabia  dari 

Afrika, beribu-ribu tahun sebelumnya.  

Kalinga  menolak  pengembangan  kekuasaan  Maurya  ke  Selatan.  Ketika 

Bindusara meninggal, sekitar tahun 272 SM, Kalinga tetap tidak tertaklukkan. 

Putra Bindusara, Asoka, diserahi tugas untuk menundukkannya.  

Raja  Asoka  terkenal  bagi  kita  kebanyakan  melalui  inskripsi  yang 

diperintahkannya  untuk  diukir  di  seluruh  kerajaannya,  pertama  di    batu￾batu (Prasasti) dan kemudian pada tiang-tiang batu pasir (Prasasti batu pasir). 

Prasasti-prasasti ini memberikan gambaran akan kehidupan Asoka di waktu 

muda.  Ayahnya  mengirimkannya  ke  Taxila,  sekarang  merupakan  bagian 

dari kekaisaran Maurya, untuk meredakan pemberontakan ketika ia masih 

seorang pemuda. Setelah itu, ia dikirim lagi ke bagian lain dari Kekaisaran, 

disebut Ujain, untuk memerintah satu dari lima janapada, atau distrik-distrik, 

sebagaimana kekaisaran Maurya dibagi-bagi.3

Di situ ia jatuh cinta dengan seorang perempuan cantik bernama Devi, 

putri  dari  seorang  pedagang.  Ia  tidak  menikahinya,  meskipun  mempunyai 

dua  anak  dengannya;  kemudian,  putranya  menjadi  biksu  Budha,  yang 

mengesankan bahwa Devi juga seorang Budha.4

 Tetapi kalau ia menceritakan 

prinsip-prinsip ajaran Budha kepada Asoka, tidak ada yang membekas dalam 

hati nuraninya. Tahun-tahun awal pemerintahannya menunjukkan ia tidak 

tergerak untuk mencapai perdamaian.  

Ketika  Bindusara  meninggal,  Asoka  harus  melawan  saudara-saudaranya 

untuk memperebutkan tahta, dan setelah empat tahun berjuang ia berhasil 

menyingkirkan  saingan-saingannya.  Kita  tidak  mempunyai  bukti  bahwa  ia 

telah menghukum mati mereka, tetapi hanya satu dari saudara-saudara laki￾lakinya yang pernah disebut-sebut lagi.5

  

Asoka  berkuasa  sendiri  selama  delapan  tahun  lagi,  meneruskan  tradisi 

ayahnya  untuk  menaklukkan.  Lalu,  di  tahun  260,  ia  membawa  sepasukan 

serdadu untuk meredakan pemberontakan Kalinga.6

 Prasasti yang mengenang 

perang itu memberikan penjelasan yang suram atas kekejamannya terhadap 

orang-orang di Kalinga: ”Seratus dan lima puluh ribu orang dibuang,” ter￾baca, ”seratus ribu terbunuh, dan beberapa kali jumlah itu binasa.”7

Kekejaman yang mengerikan ini kelihatannya memangsa pikiran Asoka 

sampai membawanya pada suatu percakapan, ”Sesudahnya,” lanjut prasasti 

itu, ”Aku merasa muak.  Pembunuhan, kematian, dan pembuangan orang￾orang itu sangat menyedihkan … dan membebani pikiranku dengan berat.”8

Sejak saat itu, pemerintahannya berubah dan tumbuh dengan mengherankan 

menjadi  tidak  politis.  Kelihatannya  ia  menghabiskan  waktunya  bukan 

dalam administrasi tetapi dalam pencarian akan dhamma; Jalan, Kebenaran, 

Kewajiban, Kebaikan (ini adalah suatu konsep yang sulit didefinisikan). ”Aku 

melakukan dhamma dengan sungguh-sungguh, menginginkan dhamma dan 

mengajarkan dhamma,” menurut inskripsi Kalinga, dan sebentar kemudian

dalam prasasti yang sama, ”tidak seorang pun dari putra-putraku atau cucu￾cucuku  boleh  berkeinginan  untuk  mendapatkan  taklukan-taklukan  baru 

kesenangan  dalam  dhamma  harus  menjadi  kesenangan  mereka  secara 

keseluruhan, karena ini bernilai di dunia ini maupun dunia kemudian.”9

Ini adalah pusaka dari garis kerajaan yang tidak pernah terlihat di Barat. 

Para pangeran tidak boleh mengikuti jejak ayahnya dengan penaklukan-penak￾lukan  dan  berbuat  sebaik-baiknya  untuk  mengalahkannya  dalam  perang;

sebaliknya mereka harus berhenti berperang dan memilih kebahagiaan sur￾gawi.  ”Selama  matahari  dan  bulan  bertahan,”  prasasti  Asoka  yang  terakhir 

mengatakan, ” orang-orang akan mengikuti dhamma.”10

Pencapaian Asoka yang terbesar setelah penaklukkan Kalinga bersifat re￾ligius, tidak politis. Yang paling lama berlangsung adalah ia mengumpulkan 

dewan Budha untuk menjalankan kembali prinsip-prinsip dhamma; Dewan 

Budha yang ketiga, diadakan sekitar tahun 245 di kota Pataliputra, melahirkan 

salah satu dari buku Pali Canon. Pada akhir dewan, putra Asoka, Mahinda, 

dikirim ke sebuah pulau besar di pantai tenggara India (Srilangka modern) 

sebagai seorang misionaris.11 Misionaris yang lain dikirimkan ke Yunani, di 

bawah dukungan Asoka.  

Tetapi  keasyikannya  dengan  dhamma  bukan  berarti  ambisinya  untuk 

membangun kekaisaran terputus. Ia sedang membuat percobaan yang murni 

untuk  mencari  sebuah  prinsip  pemersatu  yang  baru,  yang  bukan  dengan 

kekuatan,  tetapi  yang  akan  menyatukan  kerajaan.12  Ini  seperti  masalah 

yang  dihadapi  oleh  Alexander,  dalam  latar  belakang  yang  sedikit  berbeda. 

Sistem  marga  yang  telah  hidup  begitu  lama  di  India,  sebagai  peninggalan 

zaman  nomad  purba,  bukanlah  suatu  cara  yang  mudah  untuk  mendirikan 

suatu  kekaisaran;  kesetiaan  marga  cenderung  untuk  memecahkan  negara 

menjadi  unit-unit  politik  yang  lebih  kecil,  masing-masing  menegosiasikan 

persahabatan  atau  permusuhan  dengan  mereka  yang  berada  di  sekitarnya. 

Penaklukan  Maurya  hanya  sebentar  mengikatnya  dengan  pertumpahan 

darah, tetapi Asoka sekarang sudah berbalik dari strategi khusus itu. Sebagai 

ganti dari kesetiaan marga, atau kesetiaan yang diperkuat dengan penaklukan, 

Asoka mencoba kesetiaan yang ketiga: sistem kepercayaan umum yang akan 

membuat semua orang India ”anak-anakku” (seperti ditulis dalam inskripsi 

Kalinga itu).13

Dan  ini  pun  gagal.  Setelah  kematian  Asoka  di  tahun  231,  kekaisaran 

Maurya jatuh terpecah-pecah secepat kekaisaran Alexander. Prasasti-prasasti￾nya hilang, tidak ada lagi catatan tertulis yang menggantikannya, dan sebuah 

bayangan  menutupi  lebih  dari  dasawarsa-dasawarsa  berikutnya.    Di  bawah 

tabir kegelapan, putra-putra Asoka dan cucunya kehilangan kekuasaan atas 

kerajaan mereka dan kerajaan itu terpecah-pecah lagi menjadi wilayah-wilayah 

kecil-kecil yang berperang.  

G A R I S WA K T U 7 1

YUNANI  INDIA

    Dhana Nanda dari Magadha

  Perang Chaeronea (338)

  Alexander II dari Makedonia (336)   

  Philip Arrhidaeus/Alexander IV      Chandragupta dari Maurya

  Peperangan para Penerus

  Perang  Ipsus (301)

    Bindusara dari Maurya (297)

  Ptolemy    Seleucus  Lysimachus 

  Mesir      Kekaisaran   Thracia-    Asoka dari Maurya (272)

             Seleucid  Makedonia

  Dewan Budha Ketiga (245)





K di china, di mana semua bangsawan sudah menjadi raja kare￾na perintah (seperti satrap dalam kekaisaran Alexander), masa Negara-Negara 

Bagian Berperang terus berlarut-larut. Setelah kebangkitan negara bagian 

Ch’in yang cepat dan Shang Yang dicopot di bawah pemerintahan raja Ch’in 

yang baru, angkatan perang Ch’in terus bertempur. Begitu juga yang lain. Qi 

mengalahkan Wei dengan keras, setelah itu kekuasaan Wei berkurang; Chu, 

yang akhirnya menyerap Wu dan Yueh untuk selamanya, mengambil tem￾pat Wei sebagai salah satu dari Tiga Besar.1

 Sekarang kelihatannya Ch’in, Qi, 

dan Chu yakin untuk membagi daerah-daerah China yang lainnya di antara 

mereka sendiri. 

Untuk beberapa tahun, tidak seorang pun dari mereka mempunyai jalan 

yang jelas ke puncak. Tetapi angkatan perang Ch’in yang dipersiapkan oleh 

Shang Yang, adalah yang paling kejam di antara ketiganya. Pada tahun 

260, Ch’in menyerbu kerajaan Chao yang baru (salah satu dari tiga negara 

bagian yang dibentuk oleh Jin pecah), menunjukkan tanda-tanda ambisi 

yang tidak disukai. Di dataran China yang luas, jumlah tentara yang banyak 

dapat mengalami bentrok sekaligus, yang medannya tidak akan cukup kalau 

bentrokan itu terjadi di celah-celah pegunungan di Yunani atau semenanjung 

Italia. Sepuluh ribuan orang mati dalam perang antara dua negara bagian. 

Ketika tentara Chao menyerah, para tawanannya dibunuh secara massal 

dalam jumlah yang banyak.2

 

Empat tahun kemudian, Ch’in melakukan invasi ke wilayah Zhou 

dan mengakhiri berabad-abad pemerintahan Zhou yang suci. ”Ch’in 

membinasakan Zhou,” Sima Qian mengatakan, sampai gundul, ”dan 

pengorbanan-pengorbanan Zhou berakhir.”3

 Itu adalah tindakan yang setimpal    dengan penyimpangan yang dilakukan oleh Zhou sehingga tidak seorang pun 

menyadari kebinasaannya. Seperti Alexander IV, raja Zhou hanyalah sebuah 

nama selama bertahun-tahun.  

Di dalam invasi ini terjadilah malapetaka. Tripod Sembilan, yang dipin￾dahkan  oleh  Ch’in  dari  tempat  sucinya,  diarak  pada  pesta  kemenangan  di 

sepanjang sungai, tetapi salah satu dari kaki-kaki itu jatuh ke dalam air dan 

semua usaha untuk mengambilnya kembali gagal. Hanya tinggal delapan kaki 

tersisa. Tanda bahwa kekuasaan raja yang dilimpahkan dengan suci telah ter￾cemar, selamanya tidak pernah sempurna.4

Pada tahun 247, seorang raja baru naik tahta Chin. Ayahnya Chuang￾hsiang telah meninggal sebelum waktunya, setelah dua tahun memerintah, 

dan Cheng baru berumur tiga belas tahun. Negaranya dijalankan untuknya 

oleh panglima-panglimanya, seorang penanggung jawab, seorang hakim, dan 

bermacam-macam jenderal. 

Ia lebih beruntung dalam perwaliannya daripada raja-raja muda lainnya 

yang pernah ada. Para pejabat ini menjalankan tugas-tugasnya dengan serius; 

atas nama Cheng, mereka memukul mundur serangan-serangan dari tetang￾ga-tetangga Ch’in, termasuk sebuah percobaan oleh koalisi lima negara bagian 

untuk melenyapkan Ch’in sebelum Cheng dapat mencapai kedewasaannya. 

Pada usia dua puluh dua, Cheng mengambil kekuasaan penuh atas 

Ch’in,5

 Ia merencanakan untuk tidak hanya menaklukkan tetangga-tetang￾ganya, melainkan seluruh China. Pada tahun 232 ia memperbesar angkatan 

perangnya lebih dari yang pernah terlihat sebelumnya. Pada tahun 231, ia, 

seperti kata Sima Qian, memberi perintah untuk ”mencatat umur-umur 

para pemuda” untuk pertama kalinya, mungkin itu sekadar menunjukkan 

semacam wajib militer. Dan di tahun 230, negara-negara bagian lain di 

China mulai berjatuhan satu per satu. Han menyerah pada tahun 230; Chao 

dua tahun kemudian. Pangeran mahkota Yen khawatir tentang membeng￾kaknya wilayah Ch’in, ia mengirimkan seorang pembunuh yang menyamar 

sebagai duta besar ke istana Cheng, berharap dapat melenyapkan gangguan 

dari Barat sebelum sampai ke perbatasannya. Cheng mengetahui maksud 

sebenarnya dari duta besar palsu itu dan membuat orang itu cacat. Tahun 

berikutnya ia bergerak masuk ke Yen, menangkap putra mahkota dan me￾menggalnya. 

Kekejaman ini menjadi ciri dari sisa masa pemerintahan Cheng. Hal ini 

juga menggiringnya ke puncak kekuasaan yang tidak pernah ditempuh oleh 

raja China yang lain. Negara-negara bagian terus bertekuk lutut kepadanya: 

Wei di tahun 225, Chu di tahun 223, Qi dengan segan di tahun 221. Pada 

akhir tahun 221, seperempat abad setelah kematian ayahnya, Cheng menjadi penguasa seluruh negeri. ”Dua puluh enam tahun setelah Cheng, raja Ch’in 

dilantik,” tulis Sima Qian, ”ia menyatukan dunia untuk pertama kalinya.”6

Cheng sekarang lebih daripada seorang raja; ia adalah seorang kaisar. Ia 

mengubah  namanya  menjadi  Shi  Huang-ti,  ”Kaisar  Pertama.”  Sejak  saat 

inilah kita baru dapat menceritakan tentang China yang sebenarnya, suatu 

negera yang namanya diperoleh dari persatuan pertama yang dilakukan oleh 

Ch’in ini. 

Ini adalah sebuah negara baru yang sebelumnya belum pernah menjadi 

satu  negera,  yang  berarti  bahwa  Shi  Huang-ti  harus  menciptakan  satu 

pemerintahan, tidak berasal dari pecahan-pecahan (yang mungkin akan secara 

relatif mudah), tetapi sebaliknya dari suatu masa yang berat yang terdiri dari 

adat istiadat yang sudah ada dan birokrasi, yang terbentang dengan tujuan￾tujuan yang saling bersilangan satu sama lain.  

Mengubah bentuk sebuah rumah yang tua dan reyot merupakan mimpi 

buruk  dibandingkan  dengan  kemudahan  untuk  menata  fondasi  baru  pada 

lahan yang masih bersih. Itu adalah tugas yang memerlukan efisiensi yang 

tidak habis-habisnya, yang dipertunjukkan oleh Shi Huang-ti dengan tepat. 

Ia  meruntuhkan  semua  pengaruh  keluarga  yang  lama,  mewarisi  kekayaan 

dan  kesetiaan  marga  dengan  membagi  kekaisaran  menjadi  bagian-bagian 

yang mudah diatur: tiga puluh enam jun (daerah pemerintahan), dan setiap 

jun dibagi menjadi xian (secara kasarnya sama dengan sistem negera bagian 

Amerika, dibagi menjadi kabupaten-kabupaten). Sepasang komandan militer 

dan seorang administrator sipil memerintah tiap jun, dan seorang inspektur 

pemerintahan  (yang  bisa  dikatakan  seorang  mata-mata)  mengawasi  tiap 

pasangan.7

 Tidak ada relasi dari para pejabat yang diberi posisi gemuk. Kaisar 

Pertama  bahkan  tidak  memberikan  pekerjaan  kenegaraan  kepada  putra￾putranya,  kembali  pada  pemikiran  lama  bahwa  pemerintahan  berdasarkan 

keturunan  adalah  buruk  untuk  kesehatan  negara  itu.    Selain  itu,  ia 

memerintahkan para bangsawan yang lama dari setiap negara bagian dibawa 

ke ibu kota dan ditempatkan di rumah-rumah baru.  Di sini mereka hidup 

dengan nyaman—dan sangat dekat dengan matanya yang terus mengawasi.8

Reformasi-reformasi lain mengikuti. Ia membangun jalan-jalan sampai ke 

ujung-ujung China; ia membangun kanal untuk transportasi dan irigasi; ia 

memulai penanggalan kembali, sehingga setiap orang di daerah kekuasaannya 

akan mengikuti sistem yang sama. ”Mengagungkan pertanian dan menekan 

yang tidak penting,” menurut bacaan dari sebuah inskripsi tentang perayaan, 

yang  diadakan  dua  tahun  setelah  pengangkatannya  sebagai  kaisar,  ”ia 

memperkaya  rakyat  …  dalam  hal  implementasi,  pengukuran-pengukuran 

disatukan, dalam tulisan, huruf-huruf distandardisasi. Di mana pun matahari 

dan bulan bersinar, di mana pun kapal dan kereta bisa menjangkau, rakyat 

semuanya  menikmati  tiap  jengkal  yang  diperuntukkan  bagi  mereka,  dan 

setiap orang puas.”9

  Reformasi-reformasi ini lebih dari efisien. Seperti mesias, 

jalan menuju kehidupan baru yang bahagia bagi rakyat Shi Huang-ti.  

Seperti  Shang  Yang,  Kaisar  Pertama  tidak  memiliki  kesabaran  dengan 

ajaran-ajaran Konfusius, atau dengan segalanya yang tidak jelas. Kekuasaan 

yang efisien dari atas ke bawah, bukan renungan-renungan metafisik, adalah 

kunci sebuah negara yang sehat.  Oleh karena itu ia melakukan tindakan yang 

lebih dari sekadar pembakaran buku-buku, seperti yang dilakukan oleh Shang 

Yang. Perdana menterinya mengumumkan peraturan-peraturannya:

Sekarang Kaisar, setelah mempersatukan dan menggenggam dunia, telah 

membedakan antara hitam dan putih dan menetapkan satu otoritas. Tetapi 

(beberapa  rakyat)  memihak  pada  pengajarannya  sendiri  dan  bergabung 

bersama untuk mengritik undang-undang dan pengajaran-pengajaran … Di 

istana, mereka mengkritik dalam hati, dan di luar, mereka mendebatkannya 

di  jalan-jalan.    Menjelekkan  si  penguasa  merupakan  …  suatu  cara  untuk 

menunjukkan superioritas … Jika hal-hal semacam ini tidak dilarang, maka 

kekuatan si penguasa akan memudar dari atas dan golongan yang bertentangan 

akan membentuk dari bawah. Melarang mereka adalah tindakan yang tepat. 

Aku  minta  supaya  kalian  membakar  semua  catatan  dalam  kantor-kantor, 

tulisan-tulisan  yang  bukan  milik  Ch’in  …  Siapa  pun  yang  mencoba-coba 

untuk mendiskusikan lagu-lagu dan dokumen-dokumen akan dihukum mati 

di pasar.10

Buku-buku  yang  diperkecualikan  dari  dekrit  penyapuan  bersih  adalah 

buku-buku  tentang  pengobatan,  tentang  ketuhanan,  dan  pegangan  untuk 

berkebun. 

Ini adalah suatu keputusan yang tidak berlangsung baik bagi generasi se￾lanjutnya (”Kaisar Pertama memusnahkan semua dokumen untuk membuat 

rakyatnya bodoh,” komentar Sima Qian),” tetapi menjadi sensasi yang sem￾purna untuk seseorang yang sedang menciptakan sebuah negara baru yang 

terbentuk dari gabungan kelompok yang lama. Negara dipenuhi dengan cata￾tan-catatan tua tentang bagaimana segala sesuatunya dikerjakan;  Shi Huang-ti 

bermaksud untuk membuat sebuah China yang baru, di mana ”tidak (bisa) 

ada penolakan dari masa kini dengan menggunakan masa lalu.” Alexander 

bertempur, orang Yunani mengadakan festival, Asoka mencoba menyebarkan 

visi religius;  Shi Huang-ti berusaha keras untuk menyatukan kekaisarannya 

sendiri dengan menghapuskan bukti-bukti bahwa pada suatu masa negara itu 

pernah terpecah-pecah berantakan. ”Dalam usianya yang dua puluh delapan 

tahun,” terbaca dalam inskripsinya sendiri, ”KaisarAgustus membuat awal.”12

Mungkin  keinginan  untuk  memulai  suatu  awal  baru  melahirkan  suatu 

tradisi sehingga Shi Huang-ti membangun Tembok Besar China. Sebetulnya, 

Tembok Besar bukanlah suatu perbatasan yang baru; negara-negara bagian 

China telah mulai membangun tembok-tembok melawan kaum barbar (dan 

satu  sama  lain)  selama  generasi  ke  generasi.  Inovasi  Shi  Huang-ti  adalah 

memutuskan apakah tembok-tembok itu harus dihubungkan menjadi satu, 

suatu proyek yang ia serahkan kepada salah satu pejabatnya jenderal Meng 

T’ien. 

Raja-raja Barat membangun tembok-tembok, pada waktu-waktu yang ber￾beda, untuk menghalangi invasi yang mendekat. Tetapi tidak pernah ada yang 

mencoba untuk membuat tembok dalam satu kekaisaran.13 Tembok Besar Shi 

Huang-ti  adalah  tanah-dan-batu  yang  merupakan  perwujudan  dari  visinya 

tentang China, suatu persamaan peradaban yang tergabung menjadi satu oleh 

ikatan-ikatan yang lebih kuat dari semen, semua yang berada dalam Tembok 

merupakan milik China, dan semua yang di luar hanyalah kaum barbar yang 

bekelana dan tidak mempunyai akar.  

Tetapi  perwujudan  ini  memakan  ribuan  nyawa  orang  China. Tembok￾tembok penghubung itu dibangun dari bahan apa pun yang ada di situ (batu

dari gunung-gungung, tanah liat dari dataran-dataran, pasir dan kerikil dari 

gurun pasir);  pembangunnya adalah orang desa, tawanan perang, tentara, dan 

petani, semua ditarik dan dikirim untuk bekerja demi kebaikan negara.14

Shi huang-ti telah meninggalkan jejak di tanah China selama hidupnya; 

ia berencana untuk membuat tanda yang sama dalam kematian. Ia memba￾ngun untuk dirinya sendiri sebuah rumah terakhir, yang seperti ini tidak 

pernah terlihat di luar Mesir. Sima Qian memberikan gambaran tentang 

makam, yang—menurut ceritanya—Shi Huang-ti, dengan mata terarah 

pada kemasyhurannya yang berlangsung lama, mulai mempersiapkannya 

segera setelah ia berkuasa sebagai kaisar:

Setelah ia menyatukan dunia, lebih dari tujuh ratus buruh yang dihukum 

… dikirimkan ke sana. Mereka menggali melalui tiga mata air, menuangkan 

cairan tembaga, dan memasang peti mayat dari batu … Ia memerintahkan 

para artisan untuk membuat panah-panah yang bisa meluncur secara mekanis. 

Mereka menggunakan merkuri untuk menciptakan sungai-sungai … dan 

lautan-lautan yang luas, di mana merkurinya disirkulasikan secara mekanis. 

Di langit-langitnya terdapat benda-benda angkasa dan di tanah fitur-fitur 

geografi. Lilin-lilin terbuat dari minyak dugong, yang tidak habis terbakar 

untuk waktu yang lama.15

Yang paling mengejutkan, ia mengisi makamnya dengan tentara-tentara 

dan kuda-kuda keramik seukuran orang, ada hampir tujuh ribu. Mereka 

dilengkapi dengan senjata-senjata sungguhan dari tembaga, dan dipahat 

ketika hidup; dalam pasukan perang besar-besaran ini, tidak ada satu wajah 

pun yang sama.16

Seperti para pharaoh pertama dari Mesir, Kaisar Pertama terpaksa harus 

mempersatukan negara-negara yang tersebar dan terpisah menjadi satu; 

seperti mereka, ia harus memaksakan kepatuhan dari sebuah kerajaan yang 

suka bertengkar. Tetapi milenium ketiga masih lama berlalu. Ia tidak dapat 

lagi menunjukkan kekuasaannya dengan memaksa ratusan pembantunya 

untuk mengikutinya sampai ke liang kubur. Sebagai gantinya, ia menciptakan 

tentara-tentara keramik itu: pengganti yang mengejutkan. 

Shi Huang-ti pergi ke makam ini di tahun 210, setelah tujuh puluh tujuh 

tahun memerintah sebagai raja Ch’in dan sebelas tahun sebagai kaisar China. 

Dia dikebumikan dengan hati-hati dalam makam yang mewah; makam ini 

ditutup dengan tanah, pohon-pohon ditanam di atasnya sehingga lokasinya 

tersamar selamanya, dan arsitek-arsitek yang mendesainnya dibunuh sehingga 

tempat itu tidak pernah diketemukan.

Dinastinya  hampir  tidak  bertahan  setelah  kematiannya.  Pewaris  Kaisar 

Pertama adalah putranya yang berusia dua puluh satu tahun, Hu-hai, Kaisar 

Kedua. Mahkota Kaisar Kedua ini tidak nyaman;  kekaisaran ayahnya belum 

lama ini masih merupakan negara-negara bagian yang terpisah yang harus se￾cara penuh tunduk pada kekuasaan pusat.  ”Pengikut-pengikutnya yang besar 

belum menyerah,” ia mengeluh pada perdana menterinya, ”para pejabatnya 

masih kuat dan semua bangsawannya tentu akan menentangku.”17

Perdana menteri menyarankan kepada Kaisar Kedua untuk mempertun￾jukkan otoritasnya dengan paksaan, menghilangkan semua panglima jun dan 

mantan  bangsawan  yang  kelihatannya  dalam  segala  hal  enggan  menerima 

otoritasnya.  Kaisar  kedua  menerima  nasihat  ini  dengan  bernafsu,  akhirnya 

membunuh  semua  orang  yang  dicurigai  tidak  setia  padanya.  Pembersihan 

yang berakhir dengan angka kematian (dan bahkan termasuk wanita, sepuluh 

di antaranya diseret dan dipotong empat di depan umum), mengagetkan ne￾gara. Kaisar Kedua, merasa lebih tidak aman dari sebelumnya, menarik lima 

puluh ribu pasukan yang terdiri dari tentara yang ulung dan menempatkan 

mereka sekitar ibu kota.  

Hanya tujuh bulan kemudian, tentara yang ditempatkan di wilayah Chu 

yang lama memberontak. Revolusi ini menyebar dari satu jun ke jun yang

lain, diikuti oleh semua yang ”menderita di bawah pejabat Ch’in,” jumlahnya 

”terlalu banyak untuk dihitung.”  Pasukan Kaisar Kedua tidak dapat menahan 

pemberontakan yang semakin meningkat.  Satu per satu keluarga bangsawan 

muncul kembali dari ketidakpopuleran pada masa administrasi Ch’in men￾jadi penuntut kekuasaan:  pertama, seorang bangsawan mengangkat dirinya 

sebagai raja dari Chao, kemudian bangsawan lain lagi dari Wei, dan  yang 

ketiga mengangkat dirinya sebagai raja dari Qi. Negera-negara bagian yang 

lama mulai bermunculan dari permukaan China yang halus.  

Perang saudara dimulai, dan terus menggelora selama tiga tahun sesudahnya. 

Kaisar  Kedua  menjadi  semakin  liar  dalam  kemarahannya,�