Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 29




 � Kampania 

harus  diserap  oleh  temannya  sendiri  atau  musuh-musuhnya,”  duta  besar 

Kampania  memohon.  “Anda,  bangsa  Romawi  harus  menguasainya  sendiri 

daripada membiarkan bangsa Samnit mengambilnya, suatu perbuatan baik 

dari pihakmu, dan perbuatan jahat dari mereka … Bangsa Romawi, bayangan 

bantuan Anda sudah cukup untuk melindungi kami, dan apa pun yang kami 

punya … kami akan menganggap semuanya kepunyaanmu.”7

Bagamana pun tertekannya bangsa Kampania, tidaklah mungkin tetangga 

Roma ini mengemis minta diserap;  “Perang Samnit Pertama” ini merupakan 

langkah selanjutnya dari permainan kekaisaran Roma. Gerakan awal ini khu￾susnya tidak sukses.  Pada tahun 341, Perang Samnit  Pertama ini menemui 

jalan buntu, dan kedua pihak menyetujui suatu perjanjian.  

Perang kedua, Perang Latin, pecah tepat setelah yang pertama. Kota-kota 

dari Liga Latin, mengawasi kegiatan Roma dari Selatan, akhirnya memutuskan 

bahwa tidak ada perjanjian yang akan menghentikan ekspansi Roma. Usaha￾usaha politik yang rumit mengakibatkan kota-kota Latin menyerang Roma, 

dengan bangsa Samnit bergabung di pihak Roma supaya menjaga kekuasaan 

Latin untuk tidak menjalar lebih jauh ke Selatan.  

Perang  ini,  tulis  Livius,  khususnya  sulit  bagi  pasukan  Romawi  karena 

orang Latin yang bergerak ke arah mereka “sama seperti mereka dalam hal 

bahasa, kebiasaan, jenis senjata, dan, di atas itu semua, dalam kelembagaan 

kemiliteran.”  Ini  mengkhawatirkan  para  konsul  yang  memimpin  pasukan 

Romawi. Mereka takut bahwa serdadu Roma akan kehilangan jejak dan tidak 

bisa memilih siapa sekutu dan siapa musuh, mereka “mengeluarkan perintah 

supaya tidak seorang pun meninggalkan tempatnya untuk berperang mela￾wan musuh.”8

Tentara  Latin  dan  pasukan-pasukan  Romawi-Samnit  bertemu  di  dekat 

Capua,  dalam  perang  yang  buas.  Pasukan  Romawi  “memecahkan  formasi 

musuh  mereka  dengan  penjagalan,  di  mana  mereka  hampir  tidak  membi￾arkan  seperempat  dari  musuh  mereka  hidup,”  sementara  “seluruh  tentara” 

Romawi  telah  “dipotong-potong  ..  di  luar  batas  dan  di  belakang,  mereka 

sama-sama mandi darah.”9

 Bahkan sampai sudah begitu banyak pertumpahan 

darah, kedua tentara itu tetap berkelompok lagi dan bertempur lagi. Kali ini 

pihak Romawi yang menang.  Setelah pihak Latin menyerah, pihak Roma menuntut tanah Italia yang 

berharga untuk sebuah kekaisaran: tidak hanya Latium, tetapi juga Campania 

Utara  dan  Eturia  Selatan.10  Berbagai  bangsa  yang  ditarik  ke  dalam  dunia 

Romawi diperlakukan menurut loyalitas mereka. Orang Latin, kata Livius, 

“dicabut haknya untuk kawin campur dan berdagang dengan sesamanya dan 

untuk  mengadakan  dewan  di  antara  mereka  sendiri,”  hal  ini  memutuskan 

ikatan antarkota-kota Liga. Bangsa Campania yang berperang di pihak Roma 

“dihadiahi kewarganegaraan tanpa hak pilih,” demikian juga penduduk dari 

beberapa kota sekutu lain,11 Ini adalah penggolongan hak istimewa yang jang￾gal, civitas sine suffragio;  semi-warga  negara  yang  baru  ini  dilindungi  oleh 

undang-undang Tabel Dua Belas, tetapi tidak diberi suara dalam keputusan￾keputusan Roma.  

Romawi  mulai  menanam  koloni-koloni  baru  dengan  kecepatan  yang 

meningkat,  memperlebar  batas-batasnya  dengan  membangun  sekaligus 

menaklukkan.12  Tetapi  kekaisaran  yang  berkembang  itu  tidak  stabil; 

Livius  memakai  ungkapan  “perdamaian  yang  buruk”  untuk  menguraikan 

hubungannya  dengan  anggota-anggota  yang  baru  dikuasai  dan  tetangga￾tetangga yang belum dikuasai. 

Pada tahun 326, bahkan perdamaian yang buruk itu berakhir, dan orang 

Samnit sekali lagi mengangkat senjata. Sekali lagi agresi itu berada di pihak 

Romawi; Orang Romawi telah menyeberangi batas lama, sungai Liri, untuk 

membangun koloni tanah di Samnit.13 “Perang Samnit yang kedua” berlarut￾larut sampai hampir dua puluh tahun, dalam serangkaian pertempuran yang 

berulang-ulang dan melelahkan di antara kedua pasukan.  

Ketika  Romawi  dan  Samnit  bertempur,  pertempuran  lain  sedang 

memanas di pantai. Dengan sibuknya pasukan Romawi di wilayah Samnit, 

seorang  bangsa  Sisilia  yang  ambisius  bernama  Agathocles  telah  merebut 

kesempatan untuk mendirikan kekaisaran sendiri. Agathocles adalah seorang 

mantan  pembuat  keramik  dari  Sirakusa  yang  menikah  dengan  orang  kaya 

dan  menyewa  sebuah  pasukan.  Pada  tahun  317,  ia  mengambil  Sirakusa 

dengan paksa dan mengangkat dirinya menjadi tiran, memakai pembenaran 

Merodach-baladan/Napoleon/Sargon  II/Cyrus.  “Ia  menyatakan  bahwa  ia 

sedang merestorasi otonomi penuh rakyatnya,” tulis Diodorus Siculus,14 suatu 

pernyataan yang agak kosong karena ia kemudian terus menaklukkan hampir 

seluruh Sisilia.  

Ini melibatkan pengusiran orang Kartagena dari pulaunya, dan Karthago 

tidak  mengabaikan  tantangan  terhadap  kekuasaannya  itu  di  Laut  Tengah. 

Pada  tahun  310,  angkatan  laut  Kartagena  mengepung  Sirakusa.  Sebagai 

balasan,  Agathocles  mengirim  sebuah  kekuatan  Sirakusa  untuk  menyerang 

Karthago sendiri. Orang  Kartagena  begitu  cemas  dengan  penyerangan  tak  terduga  ini 

sehingga  seluruh  kota  menjadi  panik.    Imam-imam  dari  Karthago,  yang 

masih  menjalani  versi  agama  Kanaan  yang  lama,  yang  dibawa  dari  Tyre 

berabad-abad sebelumhya, mengurbankan sebanyak lima ratus anak kepada 

dewa-dewa  Karthago  dengan  maksud  memastikan  kemenangan.16  “Mereka 

percaya bahwa mereka telah mengabaikan penghormatan kepada dewa-dewa 

yang ditetapkan oleh nenek moyang mereka,”  Diodorus menceritakan, “dan 

sangat  ingin  mengadakan  perubahan  terhadap  kesulitan-kesulitan  mereka 

yang menyebabkan invasi Agathocles atas mereka. “Di kota mereka terdapat 

sebuah patung perunggu dari Kronus (nama Yunani untuk Baal, seorang dewa 

pria dari Phoenix), merentangkan tangannya, telapaknya ke atas dan miring 

ke tanah, sehingga setiap anak yang diletakkan di situ akan terguling jatuh 

dan masuk ke dalam semacam sumur terbuka yang berisi api,”17

Ritual  yang  mengerikan  ini  tidak  membawa  kemenangan.  Meskipun 

Karthago tidak jatuh, juga Sirakusa, dan pada tahun 306 kedua belah pihak 

harus  menandatangani  sebuah  perjanjian.  Agathocles  tetap  bertahta  di 

Sirakusa, tetapi Karthago menguasai bagian Barat dari pulau itu.18

Tak  lama  kemudian  di  tahun  304,  bangsa  Romawi  akhirnya  berdamai 

dengan bangsa Samnit (lagi). Sementara itu, mereka telah memulai lagi proyek 

pembangunan kekaisaran yang lain. Cyrus telah membeberkan rencana Jalan 

Kerajaan yang akan menghubungkan pusatnya di daratan yang awal dengan 

wilayah-wilayah  yang  ditaklukkan,  dan  orang  Romawi  meneruskan  ini, 

dan mulai membangun sebuah jalan resmi untuk menghubungkan kota itu 

dengan  tanah-tanah  di  luarnya.  Konsul  Appius  Claudius  Caecus,  memulai 

proyek ini di tahun 312, dan jalan itu, yang akhirnya melewati pantai sampai 

dengan Capua di Campania, diberi nama:  Jalan Appia.  

Perdamaian dengan Samnit berlangsung selama enam tahun penuh. Dalam 

tahun 298, tidak lama setelah pemilihan konsul, Livius menulis bahwa ada 

rumor yang beredar ke seluruh Roma:  “Orang Etruski dan Samnit membuka 

pendaftaran  untuk  kemiliteran  secara  besar-besaran  …  Musuh  dari  Roma 

sedang bersiap untuk berperang dengan sekuat tenaganya dan sekutunya.”19 

Koalisi anti-Roma berkumpul di seberang sungai Liri, termasuk tidak hanya 

orang Samnit dan Etruski yang tersisa, tetapi juga kesatuan Gallia dari Utara 

dan Umbria, suatu federasi suku-suku Apennini di Timur laut Etruria. Bangsa￾bangsa yang berbeda-beda ini mau bergabung bersama untuk melawan Roma: 

suatu cerminan yang jelas akan adanya krisis yang berkembang akibat ekspansi 

Roma yang terus-menerus.  

Operasi Roma melawan federasi ini, “Perang Samnit yang ketiga” dimu￾lai dengan tiga tahun perang yang keras, yang akhirnya memuncak dengan 

perang  besar  di  Sentinum,  tepat  di  seberang  Apennini  di  Umbria  sendiri; 

tempat yang paling jauh yang pernah disinggahi operasi militer Romawi dan 

untuk pertama kalinya begitu banyak orang menyeberangi gunung-gunung.” 

Hari itu terkenal karena perang terjadi di Sentinum,” kata Livius.

Satu hari ditetapkan untuk perang, orang Samnit dan Gallia dipilih untuk 

berhadapan dan di tengah-tengah pertarungan itu orang Etruski dan Umbria 

direncanakan untuk menyerang perkemahan Romawi. Rencana ini dibuyar￾kan oleh tiga orang desertir ... yang dengan diam-diam menyeberang pada 

malam hari kepada Fabius (konsul yang memimpin) dan memberitahukan 

maksud musuh.20

Orang  Romawi  yang  benar-benar  sudah  kalah  jumlahnya  dari  sekutu 

empat  arah  mengirimkan  detasemen  untuk  menyerang  tanah  Etruski  dan 

Umbria, pada saat itu gabungan Etruski dan Umbria pulang untuk membela 

keluarga dan tanah pertanian mereka. Karena itu ketika perang mulai, orang 

Romawi berjajar melawan orang Gallia dan Samnit. Mereka “sama kuat,” kata 

Livius; Kavaleri Romawi tercerai-berai dalam ketakutan ketika orang Gallia 

menyerang dalam kereta-kereta berkuda, yang belum pernah dilihat sebelum￾nya oleh orang Romawi, dan salah satu dari konsul terbunuh; orang Gallia 

sebaliknya jatuh dalam jumlah yang bertumpuk-tumpuk sehingga perlu be￾berapa  hari  untuk  menyingkirkan  tumpukan  tubuh  itu.  Akhirnya,  dengan 

kematian beribu-ribu orang dari kedua belah pihak, garis Gallia dan Samnit 

ditabrak, perkemahan mereka direbut dan mundurnya dihalangi.  

Sekarang orang Romawi dapat mengontrol daerah pedesaan, tetapi “masih 

belum ada perdamaian” di daerah pedesaan, seperti kesimpulan Livius.  Yang 

paling buruk dari perang itu telah berakhir pada tahun 295, di Sentinum, 

tetapi  penyerbuan, revolusi, pemberontakan terus terjadi selama lima tahun 

lagi. Perjanjian lain di tahun 290 mengakhiri perang Samnit ketiga. Tetapi 

bahkan setelah itu, serdadu Romawi bergerak keluar setiap tahun untuk ber￾perang di Utara dan pusat semenanjung Italia; Kepalan Romawi, mengepung 

daerah pedesaan dan dipersenjatai

G A R I S WA K T U 6 9

  YUNANI  ROMA

  Perang Maraton (490)  Penarikan diri Kaum Plebia (494)

  Leonidas dari Sparta

  Peperangan Thermopylae dan Salamis (480)

  Peperangan Platea dan Mycale (479)

  Perdikkas II dari Makedonia  Undang-undang Tabel Dua Belas

  Pericles dari Athena

  Perang Peloponesia (mulai 431)

  Barisan Sepuluh Ribu (401)

  Perang Korintus (395)  Roma dibakar oleh bangsa Gallia (390)

  Filipus  II dari Makedonia (359-336)

  Perang Samnit Pertama (343)

  Perang di Chaeronea (338)  Perang Latin (340)

  Alexander  III dari Makedonia (336)

  Perang Samnit Kedua (326)

  Perang Samnit Ketiga (298)







S  Filipus dari Makedonia, putranya, Alexander, meng￾gantikan tempatnya sebagai Raja Makedonia dan kepala Liga Korintus. Tetapi, 

dengan perginya Filipus, berbagai kota Yunani menyatakan menarik diri dari 

Liga, Thebes dan Athena berada di antara mereka ini; Athena bahkan telah 

menilai hari fesitival dengan buruk dan memberikan mahkota emas anumerta 

pada Pausanias.1

Alexander bergerak langsung untuk menumpas para pemberontak ini 

dengan pasukan Makedonia, menaklukkan kembali Yunani. Ketika ia tiba 

di gerbang Thebes, ia menawarkan untuk mendirikan kembali kota ini untuk 

kepentingannya jika para penduduk Thebes mau menyerahkan dua orang 

bangsawan yang bertanggung jawab memimpin penarikan diri itu. Orang 

Thebes menolak, dan Alexander memerintahkan orang-orangnya untuk 

mendobrak gerbang. “Kota itu sendiri habis diterjang badai,” tulis Plutarkhos, 

“dirampok dan rata dengan tanah, harapan Alexander adalah dengan mem￾berikan contoh yang begitu mengerikan mungkin akan membuat bagian 

Yunani yang lain takut dan takluk … tiga puluh ribu orang dijual sebagai 

budak di muka umum .. lebih dari enam ribu orang dibunuh dengan pe￾dang.”2

Ia kemudian menawarkan hal yang sama kepada Athena, yang sesegera 

mungkin menyetujui. Apakah itu bagaikan seekor singa yang nafsunya sudah 

terpuaskan,” Plutarkhos menambahkan, “atau, setelah memberi contoh keke￾jaman yang luar biasa, ia ingat untuk berbelas kasihan, lalu terjadilah hal yang 

baik untuk penduduk Athena; karena ia … memaafkan semua pelanggaran 

lama mereka,”3

 Orang Athena berbuat sebaik-baiknya untuk memelihara ke￾


baikannya dengan mengirimkan semua orang yang melawan penggabungan 

Liga Korintus ke pengasingan.  

Setelah  itu,  sisa  Liga  Korintus  yang  lain  menjadi  satu  barisan  dalam 

waktu dua bulan.  Alexander  bergerak turun ke Isthmus dari Korintus, dan 

di  sana  mengadakan  pertemuan  Liga  di  mana  (dengan  tentaranya  berjaga￾jaga),  delegasi  Liga  dengan  cepat  memilihnya  untuk  jabatan  pemimpin, 

menggantikan ayahnya.  

Ini menunjukkan demokrasi, yang ditunjang oleh kekuatan militer, yang 

merupakan  ciri  dari  Alexander  dalam  menyelesaikan  masalahnya.  Hampir 

semua yang ia lakukan, dilakukannya dengan kekuatan militer dan senjata, 

namun di dalam dirinya ada perasaan ingin diakui dengan tulus oleh mereka 

yang ditaklukkan. Pemikiran lama tentang penaklukkan dengan kekerasan, 

dan  pemikiran  baru  bahwa 

orang  dapat  dipersatukan  tanpa 

kekerasan,  dengan  kesetiaan 

bersama atau identitas gabungan, 

berkecamuk di dalam dirinya dan 

membuatnya resah.  

A   

 Yunani, sesuatu yang belum 

pernah berhasil dicapai oleh 

pahlawan Sparta maupun Athena 

mana pun. Di belakangnya berdiri 

petarung-petarung Makedonia, 

ditambah dengan empat puluh 

ribu pasukan Yunani, ia siap 

untuk menghadapi singa-singa 

Persia. 

Jauh di Persia, sida-sida Bagoas 

berakhir dengan nasib buruk. 

Setelah kematian pangeran Arses, 

Bagoas telah memilih boneka 

selanjutnya seseorang yang 

kelihatannya mengesankan (ting￾ginya enam setengah kaki) tetapi 

mempunyai reputasi berwatak 

lemah lembut, masih kerabat 

jauh dari Artaxerxes II, seorang 

pria bernama Kodomanos.

Bagoas tidak berpikir akan mendapatkan penolakan dari Kodomanos, yang 

tidak  mempunyai  pengalaman  tentang  istana.  Tetapi  ia  telah  memandang 

rendah orangnya.  Begitu Kodomanos dimahkotai di bawah nama kerajaan 

Darius III, ia mengundang Bagoas ke ruang tahtanya untuk minum secangkir 

anggur. Bagoas yang tahu apa yang akan terjadi mencoba menghindari dengan 

mengatakan bahwa ia sedang sakit, tetapi raja menyarankan, dalam hal itu 

ia lebih baik minum obat. Satu jam kemudian Bagoas mati, dan Darius III 

sekarang berkuasa di Persia.4

Tahun  334,  Alexander    bergerak  menghampiri  kerajaan  Darius  dengan 

tiga puluh dua ribu orang; menurut Diodorus hampir empat belas ribu dari 

orang-orang ini adalah orang Makedonia, yang lainnya ditarik dari kota-kota 

jajahan.5

 Ia telah bergerak lebih cepat daripada yang diduga pihak Persia, dan 

tentara Persia tidak dapat mencapainya tepat waktu untuk mencegah pasukan 

ini menyeberangi Hellespont.  

Setelah kehilangan kesempatan pertama, para komandan Persia menyatukan 

pikiran untuk sebuah strategi baru (Darius III tidak bersama mereka, ia baru 

saja melenyapkan Bagoas dan kelihatannya ingin mempertahankan perhatian 

kerajaannya  kepada  Susa  sedikit  lebih  lama).  Jenderal  Persia,  Memnon, 

menyarankan untuk menghindari perang darat bersama. Sebaliknya, katanya, 

orang Persia harus mundur sambil membakar semua persediaan, menggiring 

pasukan  Alexander  menyeberangi  daratan  yang  kering  makanan  dan  air, 

dan  sementara  itu  mengirim  kapal  sekitarnya  untuk  menyerang  tanah  air 

Makedonia.6

Ini adalah sebuah rencana yang bagus, suatu kombinasi dari strategi Roma 

melawan persekutuan empat-arah di Italia dan strategi Scythian yang telah 

mengalahkan  Darius  pertama.  Tetapi  ia  dibungkam.  Sebaliknya,  pasukan 

Persia bergerak ke tepi sungai Granicus, dekat tempat Troya yang lama, dan 

membuat pangkalannya.  

Melawan nasihat Parmenio, komandannya, Alexander menarik pasukannya 

dan  menyerang  dengan  menyeberangi  sungai  ke  garis  Persia.  Orang 

Makedonia pertama yang keluar dari air dibantai, tetapi beratnya serangan 

Alexander segera memukul mundur kubu Persia. Pakar sejarah militer Yunani, 

Arrian,  mencatat  pengalaman  orang-orang  Alexander    dan  “keuntungan 

dari  tombak  kayu  kornel  yang  panjang  dibandingkan  lembing  Persia  yang 

ringan,”7  tetapi  tidak  diragukan  kehadiran  Alexander    mempunyai  peran 

dalam  kegarangan  Makedonia  juga.  Tidak  seperti  Darius,  ia  berada  tepat 

ditengah-tengah  serangan  pertama  dan  bertempur  di  garis  depan  sampai 

akhir.  Sebetulnya,  ia  berhasil  lolos  dari  tombak  yang  menghunjam  perisai 

dadanya, dan kehilangan helmnya karena pukulan kampak dari belakang. Ia 

diselamatkan dari kehilangan kepala oleh salah satu komandannya, Cleitus si 

Hitam, yang berhasil menebas lengan penyerangnya dari pundaknya sebelum 

ia dapat meraih senjatanya ke atas untuk memukul kedua kalinya.8

  

Cerita-cerita kuno menyebutkan kekalahan Makedonia sekitar dua ratus 

orang, sedangkan kubu Persia kalah sekitar empat ribu; Putra Darius, menan￾tunya, dan kakak iparnya ada di antara yang gugur. Orang Persia yang berhasil 

hidup melarikan diri, dan Alexander  menyatakan kota-kota Ionia merdeka 

(yang berarti mereka sekarang berada di bawah kekuasaannya). Ia bergerak 

ke arah Sardis, tetapi Arrian mengatakan bahwa ia masih berada dalam jarak 

“tiga belas atau empat belas kilometer” ketika gubernur kota itu keluar untuk 

menyerah.9

  Asia kecil menjadi miliknya.  

Dalam  pawai  kemenangannya  melalui  wilayah  itu,  ia  berhenti  di  kota 

Gordium, ibu kota Midas yang lama.  Di situ ia melihat Kuil Jupiter, kereta 

yang  digunakan  oleh  ayah  Midas  yaitu  Gordius,  yang  katanya  digunakan 

ketika ia pertama kali memasuki negeri itu:  “kuk yang merupakan ciri yang 

luar biasa,” menurut pakar sejarah Romawi, Quintus Curtius Rufus, “yang 

diikatkan  dengan  beberapa  simpul  yang  begitu  kuatnya  terbelit  sehingga 

tidak mungkin melihat begaimana cara mengikatnya.” Menurut penduduk 

setempat orang yang dapat menguraikan simpul tali itu akan menjadi raja dari 

seluruh Asia, suatu tantangan yang tidak dapat dilewatkan oleh Alexander . 

“Untuk beberapa saat Alexander  bergulat tanpa hasil dengan simpul-simpul 

itu,”  kata  Rufus.    Kemudian  ia  mengatakan:    “Tidak  ada  bedanya  dengan 

cara bagaimana simpulnya terlepas,” lalu memotong semua tali-tali dengan 

pedangnya, dengan demikian membuyarkan ramalan para peramal (orakel)—

atau, justru menggenapinya.”10

Sementara  itu,  Darius  sudah  semakin  khawatir  sehingga  melakukan 

perjalanan  (dengan  istri-istrinya,  anak-anaknya,  dan  sebagian  besar  ang￾gota istananya) ke Babilonia, yang akan menjadi pusat operasinya melawan 

penjajah.  Di  sini  ia  mengumpulkan  pasukan  yang  sangat  besar:  lebih  dari 

seperempat  juta  orang  Persia,  Midia,  dan  petarung  bayaran  dari  berbagai 

bagian  dari  kekaisarannya,  menurut  Rufus.    Dengan  pasukan  yang  meng￾goncang  dunia  ini,  ia  kemudian  bergerak  dari  Babilonia  ke  atas  ke  daerah 

pedesaan yang terbuka di pusat tanah Asiria lama di mana kekuatan Persia 

dapat menyebar dan menghancurkan orang Makedonia.  

Tetapi Alexander  menderita demam yang tinggi, dan menunda di Tarsus 

sampai  panasnya  mereda.  Darius  yang  tidak  sabar  pada  musuhnya  yang 

tidak muncul-muncul, memutuskan (melawan nasihat dari seorang desertir 

Makedonia yang muncul di perkemahan Persia) untuk langsung menuju ke 

Asia Kecil. Sebagai akibatnya, pasukan itu bertemu di sungai Issus, di Suriah, 

dimana jumlah pasukan Persia tidak menguntungkan;  pasukan tidak dapat 

masuk ke dalam medan perang yang kecil.11

Sekali lagi, angkatan perang Makedonia mendesak melewati garis Persia.

Darius, melihat bagaimana peperangan berbalik melawannya, melarikan diri: 

“ Ia bahkan membungkuk untuk melemparkan semua tanda-tanda kerajaan￾nya  sehingga  mereka  tidak  dapat  menghianati  pelariannya,”    kata  Rufus.12

Bagoas  tidak  sama  sekali  keliru  menilai  kelemahan  Darius;  ia  cukup  takut 

meninggalkan istrinya, ibunya yang sudah tua, dan semua anaknya. Ketika 

Alexander    tiba  di  pusat  perkemahan  Persia  dalam  kemenangan,  ia  mene￾mukan mereka semua berada di sana, ditawan oleh orang Makedonia dalam 

kemah raja untuk menunggu kedatangannya. “Mereka terus bertanya di sayap 

mana Darius berdiri,”  kata Rufus; mereka yakin Darius pasti sudah mati, jika 

ia sudah menyerah untuk membela mereka. Kabar tentang pelarian dirinya 

mengejutkan.  

Alexander yang biasanya ramah terhadap tawanan sepanjang mereka bukan 

merupakan bagian dari penyerbu (yang selalu membuat ia tidak senang hati), 

membiarkan mereka hidup. Darius sudah lari cukup jauh untuk berkemah 

dengan aman, dan kemudian mengirimkan sepucuk surat kepada Alexander, 

menawarkan  untuk  menjadi  sekutu  Alexander,  dan  juga  meminta  untuk 

menebus istrinya dan anak-anaknya.  

Dalam balasan suratnya, Alexander  menolak untuk membuat perjanjian 

apa pun kecuali Darius datang sendiri dan menyebutnya sebagai Penguasa dari 

Benua Asia.” “Di masa depan,” suratnya sendiri berakhir, “biarlah komunikasi 

yang akan Anda tujukan kepadaku dialamatkan kepada Penguasa Benua Asia. 

Jangan menulisi aku sebagai orang yang sederajat.”13

Hal ini sedikit banyak menjamin bahwa semua pembicaraan mengenai per￾janjian sudah berakhir. Darius tetap berada di Timur sungai Efrat;  Alexander 

memberi kerabat Darius kehidupan yang menyenangkan dan terjaga, dan ke￾mudian mulai meneruskan sepak terjangnya melalui Suriah. Tahun 332, ia 


mencapai  kota Tyrus,  yang  menolak  untuk  menyerah  dan  tertahan  selama 

tujuh  bulan.  Ketika  akhirnya  penyerangan  itu  berakhir,  Alexander    begitu 

marah karena penundaan ini sehingga ia mengizinkan orang-orangnya untuk 

melakukan pembunuhan massal terhadap tiga puluh ribu orang di dalam kota 

itu.  

Setelah ini ia bergerak turun ke Mesir dan diproklamasikan sebagai phar￾aoh  pengganti Darius III, yang mendapat gelar itu seperti waktu ia mencapai 

tahta  Persia.    Dan  kemudian  di  tahun  331,  ia  kembali  berurusan  dengan 

Darius.  Darius  membuat  percobaan  lain  untuk  menghindari  perang;  ia 

lagi-lagi menawarkan untuk membeli keluarganya kembali, dan juga menjan￾jikan kepada Alexander  bahwa ia dapat mengambil semua tanah di sebelah 

Barat sungai Efrat tanpa perlawanan, dan juga seorang putri sebagai istrinya, 

kalau  Alexander    setuju  untuk  membuat  perjanjian  persahabatan.  Jenderal 

Alexander, Parmenio mengira ini adalah ide yang sempurna agar membuat 

semua orang bisa pulang.  “Kalau aku menjadi Anda  aku akan menerima ta￾waran itu,” katanya pada Alexander, karena itu Alexander  marah, ”Dan kalau 

aku menjadi kamu, aku juga akan berbuat begitu.”14  

Kedua pasukan bertemu lagi dalam peperangan, kali ini di Gaugemela, 

jauh ke arah Utara Tigris. Lagi-lagi Persia kalah; sekali lagi Darius melarikan 

diri.  Orang-orang  Alexander    melakukan  pawai  kemenangan  pertama  ke 

Susa, dan kemudian Persepolis.  Di sini Alexander  menemukan sekelompok 

tawanan perang Yunani, beberapa dari mereka sudah ditawan berpuluh-puluh 

tahun  sebelumnya  dalam  perang-perang  yang  terdahulu,  tetapi  semuanya 

sudah  dijadikan  budak.  Untuk  mencegah  mereka  melarikan  diri,  majikan 

Persianya  mengamputasi,  baik  tangan  maupun  lengan,  atau  bagian  mana 

pun yang tidak mereka perlukan untuk melaksanakan tugas. Alexander sekali 

lagi  tergerak  oleh  kemarahan,  menyuruh  orang-orangnya  merampok  kota 

itu;  mereka  diperbolehkan  membakar,  membunuh,  memperbudak,  tetapi 

melarang mereka memperkosa para wanita.15 Kita tidak tahu seberapa jauh 

perintah  ini  dilaksanakan  tetapi  kota  ini  porak  poranda,  dan  istana-istana 

Darius terbakar.  

Darius  sendiri  lari  ke  arah  Ekbatana.  Alexander    mengejarnya  dengan 

pasukan kecil yang cepat, tetapi sebelum ia dapat mengejar raja Persia yang 

sedang dalam pelarian itu, orang-orang Darius sendiri berbalik menyerang￾nya. Pemimpin pasukan berkudanya dan satu dari satrap menusuknya dan 

meninggalkannya dalam sebuah kereta sampai mati di bawah terik matahari 

bulan Juli.16

Alexander    sekarang  adalah  Raja  Agung,  dan  orang-orangnya  berharap 

perjalanan tugasnya berakhir.17 Tetapi Alexander  tidak mampu meninggal￾kan suatu wilayah tanpa ditaklukkan, dan satrap-satrap di sebelah Timur Laut 

antara lain, Baktria dan Sogdiana, belum digenggamnya. Ia mulai beroperasi 

lebih jauh dan lebih ke atas, di atas jajaran gunung-gunung yang memisa￾hkan anak benua India dari pusat daratan Asia. Medannya berat, dan setelah 

lebih dari tiga tahun bertempur, genggamannya atas kesetiaan orang-orang￾nya mulai mengendur. Pertama putra Parmenio dihukum karena berkomplot 

untuk membunuh Alexander; Alexander  memerintahkannya untuk disiksa 

sampai mati, dan kemudian ia memerintahkan ayahnya juga dibunuh (suatu 

tindakan brutal tetapi bukan suatu kebiasaan yang luar biasa di Makedonia). 

Kemudian  ia  berniat  menikah  dengan  seorang  putri  dari  Sogdiana,  si 

cantik Roxanne.  Ini adalah perkawainan pertama yang luar biasa terlambat, 

untuk  orang  seumurnya;    seperti  ayahnya,  ia  terus  menerus  berselingkuh 

dengan  laki-laki  maupun  perempuan,  tetapi  ia  lebih  memakai  energinya 

untuk  berperang,  dengan  seks  sebagai  kenikmatan  kedua.  Sekarang  yang 

akan menjadi ratunya adalah seorang gadis dari suku yang menurut orang 

Makedonia dari golongan budak dan barbar. Dan ini dikombinasikan dengan 

kebencian  yang  mulai  tumbuh  kepada  kecenderungan  Alexander    untuk 

memakai gaun Persia dan mengikuti kebiasaan Persia. Sejauh berhubungan 

dengan mereka, ia semakin hari menjadi semakin kurang Makedonia, seiring 

dengan kegiatannya mengambil makin banyak wilayah.  

Kebencian ini mendidih pada suatu makan malam di tahun 328, ketika 

Cleitus yang sama yang telah menyelamatkan hidup Alexander  di Granicus, 

menuduhnya  mendapat  pampasan  untuk  kemenangan-kemenangan  yang 

dimenangkan  dengan  darah  dari  orang  Makedonia  yang  setia.  Alexander 

melompat, mencari sebuah senjata; teman-teman Cleitus yang sedikit kurang 

sedang  mabuk  seperti  dia,  menarik  Cleitus  keluar  dari  ruangan,  tetapi  ia 

mendesak kembali melalui pintu lain untuk menyerang si raja.  Alexander 

mengambil sebuah tombak dari pengawalnya dan melempar orang senega￾ranya itu.18

Ketika sadar, ia terkejut. Tetapi ia tidak berhenti dengan rencana-rencananya 

meneruskan sepak terjangnya lebih jauh ke Timur, meskipun orang-orangnya 

sekarang  mengikutinya  sama  sekali  tanpa  penghormatan,  yang  dilakukan 

dengan  senang  hati  seperti  yang  pernah  mereka  berikan.  Apakah  mereka 

dengan setia mengikutinya atau tidak, ia tetap bermaksud menguasai India.  

D   dari sungai Indus, keturunan langsung dari Raja Ajatashatru dari 

Magadha (yang telah beberapa tahun yang lalu menguasai raja-raja di seki￾tarnya sehingga menjadikan Magadha besar) telah kehilangan tahtanya. Di 

tahun 424 SM, seorang anak yang tidak sah dari garis keturunan raja bernama 

Mahapadma Nanda telah mengambil mahkota Magadha untuknya sendiri, 

dan pergi menjelajah.

Dia menjadi penakluk berkebangsaan India yang terbesar. Ia masih ber￾tempur pada usianya yang kedelapan puluh delapan; dan ketika akhirnya ia 

meninggal, setelah beberapa dasawarsa membangun kerajaan, ia telah men￾dorong wilayah Magadha jauh sampai ke Deccan (ujung sebelah Utara dari 

gurun Selatan yang kering). Ia meninggalkan kerajaannya kepada putra-pu￾tranya  dan  cucu-cucu  laki-lakinya.  Ketika  Alexander  datang  melalui  Celah 

Khayber  ke  India,  salah  satu  keturunan  Mahapadama  Nanda  yaitu  Dhana 

Nanda, sedang bertahta di Magadha.  

Sebelum ia mendapat kesempatan untuk memperoleh kerajaan India yang 

paling kaya dan paling kuat ini, Alexander  harus melewati daratan-daratan 

yang terletak di antaranya. Tetapi ia tidak pernah sampai cukup jauh untuk 

menghadapi Dhana Nanda dalam perang.  

Kerajaan India pertama yang terletak di antaranya dan kerajaan-kerajaan 

India  di  sebelah  Utara  adalah  Taxila,  yang  rajanya  memakai  nama    yang 

sama ketika ia naik tahta.  Raja Taxiles yang sekarang bertahta menjumpai 

Alexander dengan hadiah-hadiah dan serdadu, untuk memberi penghormatan 

begitu  ia  menyeberangi  Indus  (mungkin  menggunakan  sebuah  jembatan 

ponton,  meskipun  detail  mengenai  penyeberangan  ini  tidak  diketahui).19

Taxiles berharap untuk dapat bersekutu dengan Alexander melawan kerajaan 

di seberangnya: Hydaspes, yang letaknya di sungai Jhelum dan dikuasai oleh 

Raja Porus yang tingginya dua meter.  

Alexander    menerima  hadiah-hadiah  dan  para  serdadu  itu,  dan  setuju 

untuk membantu Taxiles melawan musuhnya. Kekuatan gabungan yang ter￾diri dari bangsa India dan Makedonia itu berbaris menuju sungai Jhelum, di 

mana mereka bisa melihat Porus dan angkatan perangnya (yang mengikutkan 

“skuadron gajah,” kata Arrian)20 di seberang.  Dengan empat orang ajudan 

yang  dipilihnya,  yaitu  orang-orang  yang  bernama  Ptolemeus,  Perdiccas, 

Lysimachus, dan Seleucus, ia memimpin angkatan perangnya menyeberangi 

sungai (beberapa berenang, beberapa mencebur, beberapa lagi dengan terbu￾ru-buru membuat perahu) dan menyerang baik gajah-gajah maupun Porus 

yang dua meter tingginya itu.  

Baik tentara Makedonia maupun kuda-kudanya sedikit ngeri pada hewan￾hewan  yang  menakutkan  itu,  tetapi  tetap  maju  berkelahi  dan  mendesak 

angkatan perang Porus sampai semakin terkepung dan terkepung, sehingga 

gajah-gajahnya menginjak-injak para serdadunya yang berada di garis depan. 

Akhirnya Porus terpaksa menyerah; Alexander  yang terkesan dengan kebera￾niannya, tidak membunuhnya.  

Tetapi angkatan perang Alexander  yang menang itu menderita banyak 

kerugian; dan ketika mereka mengetahui kalau Alexander  sekarang berniat 

untuk memimpin mereka melewati sungai Gangga yang bahkan lebih lebar 

daripada  sungai  Indus,  dan  memiliki  pasukan  dan  gajah-gajah  India  yang 

lebih ganas di seberang, mereka menolak untuk terus maju.  

Kali  ini,  baik  kemarahan  Alexander  maupun  karismanya  tidak  dapat 

membujuk  mereka.  Akhirnya,  menurut  Plutarkhos,  ia  “mengurung  diri  di 

kemahnya dan berbaring di situ cemberut dalam kemarahan, menolak untuk 

berterima  kasih  atas  apa  yang  sudah  dicapainya,  kecuali  ia  dapat  menye￾berangi sungai Gangga juga.”21 Ia tetap berada di tendanya merenung sampai 

dua hari. Dan kemudian, menyadari bahwa ia telah kalah, khususnya dalam 

perang ini, ia muncul pada hari ketiga dan setuju untuk kembali.22

Tetapi bukannya bergerak pulang melalui Celah Khayber, ia memimpin 

tentaranya sepanjang Indus, ke arah Selatan menuju laut, dan kemudian ke 

Barat.  Ini  berubah  menjadi  suatu  perjalanan  laut  yang  sangat  buruk  yang 

memakan waktu tujuh tahun dan membunuh tubuh dan jiwa. Orang-orang 

itu  harus  berusaha  mencari  jalan  melalui  kota-kota  pinggiran  sungai  yang 

bersikap bermusuhan dalam perjalanan mereka ke pantai.  Dalam salah satu 

penyerangan, di kota Malians, Alexander  tertusuk dadanya oleh sebuah anak 

panah  dan  untuk  beberapa  jam  kelihatannya  seperti  mati.  Ketika  mereka 

bergerak kembali ia hampir tidak dapat duduk di atas kuda, dan lukanya tidak 

pernah sembuh sama sekali. Dan begitu mereka tiba di pantai, barisan ke arah 

Barat itu membuat mereka harus melalui padang gurun bergaram: “melalui 

daerah pedesaan yang belum diolah,”  kata Plutarkhos, “yang penduduknya 

hampir tidak pernah bepergian, hanya mempunyai sedikit domba, dan yang 

keadaannya buruk, yang dagingnya bermutu rendah dan menjijikkan, karena 

terus-menerus makan ikan laut.”23 Panasnya terik tak tertahankan.  Semua 

airnya  asin.  Orang-orangnya  mulai  mati  kelaparan,  kehausan,  dan  terkena 

penyakit.  Dari  120,000  infanteri  dan  15,000  kavaleri,  hanya  30,000  yang 

sampai ke rumah. Itu adalah akhir yang mengerikan untuk suatu operasi yang 

berhasil gemilang.  

Kembali ke Susa, Alexander  melupakan sepak terjangnya ke India, sejauh 

mungkin,  dan  sebaliknya  lebih  berkonsentrasi  pada  tugas-tugasnya  sebagai 

raja  daripada  sebagai  penakluk.  Ia  menikah  kembali,  kali  ini  dengan  salah 

satu dari putri Darius III, putri Stateira (setidaknya setengah kaki lebih ting￾gi daripadanya). Ia juga menjadi tuan rumah bagi perkawinan massal yang 

heboh antara bangsawan Makedonia dengan beratus-ratus wanita bangsawan 

Persia.  Kepada  teman  baik  dan  jenderal  yang  dipercayanya  dan  mungkin 

juga  kekasihnya  waktu  masih  muda,  Hephaestion,  ia  menghadiahkan  hak 

istimewa untuk mengawini salah satu putri Darius yang lain:  adik Stateira 

yaitu Drypetis.  

Perayaan  perkawinan  itu  adalah  usaha  Alexander    untuk  mengatasi 

permusuhan antara orang Persia yang berpendapat orang Makedonia tidak tahu  adat,  dan  orang  Makedonia  yang  berpendapat  orang  Persia  bersikap 

feminin.  Ia  juga  mengumpulkan  beribu-ribu  pemuda  Persia  dan  menaruh 

mereka  di  bawah  pimpinan  panglima-panglima  Makedonia  untuk  dilatih 

cara  berkelahi  gaya  Makedonia.  Percobaan  ini  kedua-duanya  malah  balik 

menyerang. Kebanyakan dari perkawinan massal itu bubar dengan cepat, dan 

serdadu-serdadu kecil Makedonia membenci pemuda Persia penuh dendam, 

sehingga mereka mengancam untuk kembali ke Makedonia. “Mereka ingin ia 

memecat mereka semua,” tulis Plutarkhos, “sekarang di saat ia sudah lengkap 

dengan seperangkat pemuda yang siap menari, yang kapan pun ia suka dapat 

diajaknya untuk menaklukkan dunia.”24

Sementara itu, pemikiran akan bersatunya identitas Yunani yang bagaimana 

pun  akan  menyatukan  rakyat  Alexander    bersatu  telah  hampir  hilang  dari 

pandangan. Tetapi tidak seluruhnya. Alexander  membuat himbauan emosional 

kepada orang Persia (“Meskipun kalian adalah pendatang baru yang asing, aku 

sudah menjadikan kalian anggota pasukanku yang tetap: kalian adalah sesama 

warga  negaraku  dan  tentaraku”)  dan  himbauan  lain  kepada  teman-teman 

Makedonianya (“Segalanya mengambil warna yang sama: bukanlah sesuatu 

yang memalukan jika orang Persia meniru kebiasaan Makedonia, begitu juga 

orang  Makedonia  meniru  orang  Persia.  Mereka  yang  hidup  di  bawah  raja 

yang sama harus menikmati hak yang sama”).25

Ketika ia berhasil meyakinkan baik orang-orang Makedonia maupun Persia 

untuk hidup berdampingan sedikit lebih lama, ia melakukan perjalanan dari 

Susa ke Ecbatana, di mana ia berniat untuk mengadakan festival besar dengan 

gaya Yunani. Ia berharap ini akan meratakan siku-siku yang menonjol dalam 

kerajaannya.  Tetapi di Ecbatana, di tengah-tengah festival, Hephaestion jatuh 

sakit. Ia mungkin menderita tipus; ia baru mulai sembuh, ketika ia melanggar 

nasihat dokternya dengan makan hidangan ayam yang besar dan anggur yang 

melubangi perutnya. Ia meninggal beberapa jam kemudian.  

Alexander    tidak  pernah  sembuh  total  dari  kematian  Hephaestion.  Ia 

meninggalkan Ecbatana dan pergi ke Babilonia dalam keadaan berkabung. 

Di  sini,  ia  juga  menderita  sakit.  Menurut  Plutarkhos,  ia  menderita  panas, 

yang mulai pada tanggal delapan belas bulan itu dan menjadi semakin buruk. 

Sepuluh hari kemudian ia meninggal. Tahun itu adalah tahun 323; ia berumur 

tiga puluh tiga.  

Tubuhnya  disemayamkan  di  tempat  tidurnya,  tidak  dikubur  selama 

beberapa hari, sementara panglima-panglimanya berdebat mengenai siapa yang 

akan memimpin kekaisaran itu; ia tidak pernah menyebutkan penggantinya, 

dan  ketika  ia  tahu  bahwa  Roxane  sedang  hamil  dengan  seorang  pewaris 

belum  lama  ini,  ia  tidak  merasa  perlu  untuk  menunjuk  seorang  pewaris. 

“Selama pertikaian di antara panglima-panglimanya,” tulis Plutarkhos, “yang 

berlangsung selama tujuh hari, tubuhnya terus bersih dan segar, tanpa ada 

tanda-tanda tercemar atau berubah, meskipun sudah terbaring tidak terurus 

di  tempat  yang  suram  dan  tertutup.”26  Sementara  orang  berpendapat  ini 

merupakan tanda mukjizat; yang paling mungkin adalah Alexander  sudah 

berada dalam keadaan koma selama dua atau tiga hari sebelum akhirnya ia 

sekarat. Penundaan ini menyelamatkannya  dari pembalseman dalam keadaan 

hidup sebelum proses itu akhirnya dimulai.  

P  , yang dilakukan dalam suatu energi putih yang 

panas, telah menghasilkan sebuah kekaisaran tanpa administrasi yang patut 

dibicarakan, tanpa birokrasi, dan tanpa sistem perpajakan, tanpa sistem 

komunikasi yang sama, tanpa identitas nasional dan tanpa ibu kota; Alexander 

sendiri, yang terus berkeliling, meninggal dalam sebuah tenda. Kekaisaran 

ini diciptakan dengan kecepatan yang luar biasa, dan dengan kecepatan yang 

luar biasa itu pula, sama dengan yang dilakukan oleh kekaisaran-kekaisaran 

kuno yang menyatukan kerajaan mereka dengan kepribadian yang dinamis: 

kekaisaran itu akhirnya pecah.. 

Disintegrasi itu dimulai dari Roxane. Dalam keadaan hamil lima bulan, 

di negara yang asing, dan cukup terbiasa dengan adat istiadat Persia sehingga 

merasa sama sekali tidak aman, ia baru saja mendengar bahwa istri Alexander 

yang berkebangsaan Persia yaitu Stateira, masih berada di Susa, dan juga 

hamil. Ia mungkin juga mendengar komentar Ptolemeus bahwa anaknya 

sendiri, meskipun laki-laki, akan menjadi setengah budak, dan tidak akan ada 

orang Makedonia yang tunduk kepadanya.27 Stateira sebaliknya adalah putri 

dari seorang Raja Agung. 

Roxanne menyuratinya dengan tulisan Alexander, di bawah cap kerajaan, 

dan mengundangnya ke Babilonia. Ketika Stateira sampai dengan adiknya, 

janda Hephaestion yaitu Drypetis, Roxanne menawari mereka berdua secang￾kir anggur beracun. Keduanya meninggal sebelum malam tiba.28

Satu-satunya pewaris Alexander sekarang adalah anak Roxanne yang belum 

lahir. Tetapi seorang anak yang belum lahir tidak dapat memerintah, bahkan 

melalui seorang wali. Kekaisaran itu memerlukan seorang raja sebelum berita 

tentang kematian Alexander menyebar ke seluruh tanah air yang dikuasai 

dengan sulit itu. Angkatan perang Makedonia yang berkumpul di luar kamar 

tidur Alexander menungguinya ketika wafat, mereka tidak ingin melihat siapa 

pun yang bukan keluarga sedarah menuntut gelar Alexander. Mereka mulai 

meneriakkan nama adik tiri Alexander: putra selir Filipus yang berpikiran 

lembek, yang dikenal sebagai Filipus Arrhidaeus. Pemuda ini sekarang baru 

beranjak ke usianya yang ketiga puluh, mudah ditipu, dan mudah dibujuk,

serta mudah dibimbing.  Ia juga berada di Babilonia di mana  Alexander, yang 

sayang padanya telah membawanya untuk menjaga keselamatannya. 

Ketika angkatan perang mulai meneriakkan namanya, salah satu jenderal 

Alexander  lari untuk mengambil Filipus, membawanya keluar dengan sebuah 

mahkota  di  kepalanya,  dan  berhasil  menenangkannya  cukup  lama  sampai 

akhirnya  angkatan  perang  menyatakannya  sebagai  raja.  “Tetapi  nasib  telah 

membawa perang saudara,” tulis Quintus Curtius Rufus, “karena tahta tidak 

boleh  dibagi  dan  beberapa  orang  sedang  mengincarnya.”29  Orang-orang 

yang menginginkan bagian dari taklukkan itu adalah orang-orang yang telah 

menghabiskan  waktu  selama  dasawarsa  terakhir  bertempur  di  pihaknya: 

Ptolemeus,  seorang  Makedonia  yang  digosipkan  sebagai  anak  di  luar 

perkawinan Filipus tua sendiri: Antigonous, salah satu jenderal kepercayaan 

Alexander ; Lysimachus, salah satu temannya yang ikut dalam operasi militer 

ke  India;  dan  Perdiccas,  yang  bertindak  sebagai  pemimpin  kavaleri,  dan 

kemudian setelah kematian Hephaestion menjadi pimpinan kedua.  

Angkatan  bersenjata  tidak  mau  menerima  salah  satu  dari  keempat  orang 

itu  untuk  menggantikan  Alexander  menjadi  pemimpin  kekaisaran,  sehingga 

mereka mau berkompromi. Filipus si lembek akan tetap ditunjuk menjadi raja, 

dan jika bayi Roxane seorang laki-laki, si bayi akan menjadi rekan-pemimpin. 

Keduanya akan membutuhkan seorang wali, dan orang yang mengambil ja￾batan ini adalah Perdiccas.  

Ia akan tinggal di Babilonia, yang akan menjadi pusat pemeri