� Kampania
harus diserap oleh temannya sendiri atau musuh-musuhnya,” duta besar
Kampania memohon. “Anda, bangsa Romawi harus menguasainya sendiri
daripada membiarkan bangsa Samnit mengambilnya, suatu perbuatan baik
dari pihakmu, dan perbuatan jahat dari mereka … Bangsa Romawi, bayangan
bantuan Anda sudah cukup untuk melindungi kami, dan apa pun yang kami
punya … kami akan menganggap semuanya kepunyaanmu.”7
Bagamana pun tertekannya bangsa Kampania, tidaklah mungkin tetangga
Roma ini mengemis minta diserap; “Perang Samnit Pertama” ini merupakan
langkah selanjutnya dari permainan kekaisaran Roma. Gerakan awal ini khususnya tidak sukses. Pada tahun 341, Perang Samnit Pertama ini menemui
jalan buntu, dan kedua pihak menyetujui suatu perjanjian.
Perang kedua, Perang Latin, pecah tepat setelah yang pertama. Kota-kota
dari Liga Latin, mengawasi kegiatan Roma dari Selatan, akhirnya memutuskan
bahwa tidak ada perjanjian yang akan menghentikan ekspansi Roma. Usahausaha politik yang rumit mengakibatkan kota-kota Latin menyerang Roma,
dengan bangsa Samnit bergabung di pihak Roma supaya menjaga kekuasaan
Latin untuk tidak menjalar lebih jauh ke Selatan.
Perang ini, tulis Livius, khususnya sulit bagi pasukan Romawi karena
orang Latin yang bergerak ke arah mereka “sama seperti mereka dalam hal
bahasa, kebiasaan, jenis senjata, dan, di atas itu semua, dalam kelembagaan
kemiliteran.” Ini mengkhawatirkan para konsul yang memimpin pasukan
Romawi. Mereka takut bahwa serdadu Roma akan kehilangan jejak dan tidak
bisa memilih siapa sekutu dan siapa musuh, mereka “mengeluarkan perintah
supaya tidak seorang pun meninggalkan tempatnya untuk berperang melawan musuh.”8
Tentara Latin dan pasukan-pasukan Romawi-Samnit bertemu di dekat
Capua, dalam perang yang buas. Pasukan Romawi “memecahkan formasi
musuh mereka dengan penjagalan, di mana mereka hampir tidak membiarkan seperempat dari musuh mereka hidup,” sementara “seluruh tentara”
Romawi telah “dipotong-potong .. di luar batas dan di belakang, mereka
sama-sama mandi darah.”9
Bahkan sampai sudah begitu banyak pertumpahan
darah, kedua tentara itu tetap berkelompok lagi dan bertempur lagi. Kali ini
pihak Romawi yang menang. Setelah pihak Latin menyerah, pihak Roma menuntut tanah Italia yang
berharga untuk sebuah kekaisaran: tidak hanya Latium, tetapi juga Campania
Utara dan Eturia Selatan.10 Berbagai bangsa yang ditarik ke dalam dunia
Romawi diperlakukan menurut loyalitas mereka. Orang Latin, kata Livius,
“dicabut haknya untuk kawin campur dan berdagang dengan sesamanya dan
untuk mengadakan dewan di antara mereka sendiri,” hal ini memutuskan
ikatan antarkota-kota Liga. Bangsa Campania yang berperang di pihak Roma
“dihadiahi kewarganegaraan tanpa hak pilih,” demikian juga penduduk dari
beberapa kota sekutu lain,11 Ini adalah penggolongan hak istimewa yang janggal, civitas sine suffragio; semi-warga negara yang baru ini dilindungi oleh
undang-undang Tabel Dua Belas, tetapi tidak diberi suara dalam keputusankeputusan Roma.
Romawi mulai menanam koloni-koloni baru dengan kecepatan yang
meningkat, memperlebar batas-batasnya dengan membangun sekaligus
menaklukkan.12 Tetapi kekaisaran yang berkembang itu tidak stabil;
Livius memakai ungkapan “perdamaian yang buruk” untuk menguraikan
hubungannya dengan anggota-anggota yang baru dikuasai dan tetanggatetangga yang belum dikuasai.
Pada tahun 326, bahkan perdamaian yang buruk itu berakhir, dan orang
Samnit sekali lagi mengangkat senjata. Sekali lagi agresi itu berada di pihak
Romawi; Orang Romawi telah menyeberangi batas lama, sungai Liri, untuk
membangun koloni tanah di Samnit.13 “Perang Samnit yang kedua” berlarutlarut sampai hampir dua puluh tahun, dalam serangkaian pertempuran yang
berulang-ulang dan melelahkan di antara kedua pasukan.
Ketika Romawi dan Samnit bertempur, pertempuran lain sedang
memanas di pantai. Dengan sibuknya pasukan Romawi di wilayah Samnit,
seorang bangsa Sisilia yang ambisius bernama Agathocles telah merebut
kesempatan untuk mendirikan kekaisaran sendiri. Agathocles adalah seorang
mantan pembuat keramik dari Sirakusa yang menikah dengan orang kaya
dan menyewa sebuah pasukan. Pada tahun 317, ia mengambil Sirakusa
dengan paksa dan mengangkat dirinya menjadi tiran, memakai pembenaran
Merodach-baladan/Napoleon/Sargon II/Cyrus. “Ia menyatakan bahwa ia
sedang merestorasi otonomi penuh rakyatnya,” tulis Diodorus Siculus,14 suatu
pernyataan yang agak kosong karena ia kemudian terus menaklukkan hampir
seluruh Sisilia.
Ini melibatkan pengusiran orang Kartagena dari pulaunya, dan Karthago
tidak mengabaikan tantangan terhadap kekuasaannya itu di Laut Tengah.
Pada tahun 310, angkatan laut Kartagena mengepung Sirakusa. Sebagai
balasan, Agathocles mengirim sebuah kekuatan Sirakusa untuk menyerang
Karthago sendiri. Orang Kartagena begitu cemas dengan penyerangan tak terduga ini
sehingga seluruh kota menjadi panik. Imam-imam dari Karthago, yang
masih menjalani versi agama Kanaan yang lama, yang dibawa dari Tyre
berabad-abad sebelumhya, mengurbankan sebanyak lima ratus anak kepada
dewa-dewa Karthago dengan maksud memastikan kemenangan.16 “Mereka
percaya bahwa mereka telah mengabaikan penghormatan kepada dewa-dewa
yang ditetapkan oleh nenek moyang mereka,” Diodorus menceritakan, “dan
sangat ingin mengadakan perubahan terhadap kesulitan-kesulitan mereka
yang menyebabkan invasi Agathocles atas mereka. “Di kota mereka terdapat
sebuah patung perunggu dari Kronus (nama Yunani untuk Baal, seorang dewa
pria dari Phoenix), merentangkan tangannya, telapaknya ke atas dan miring
ke tanah, sehingga setiap anak yang diletakkan di situ akan terguling jatuh
dan masuk ke dalam semacam sumur terbuka yang berisi api,”17
Ritual yang mengerikan ini tidak membawa kemenangan. Meskipun
Karthago tidak jatuh, juga Sirakusa, dan pada tahun 306 kedua belah pihak
harus menandatangani sebuah perjanjian. Agathocles tetap bertahta di
Sirakusa, tetapi Karthago menguasai bagian Barat dari pulau itu.18
Tak lama kemudian di tahun 304, bangsa Romawi akhirnya berdamai
dengan bangsa Samnit (lagi). Sementara itu, mereka telah memulai lagi proyek
pembangunan kekaisaran yang lain. Cyrus telah membeberkan rencana Jalan
Kerajaan yang akan menghubungkan pusatnya di daratan yang awal dengan
wilayah-wilayah yang ditaklukkan, dan orang Romawi meneruskan ini,
dan mulai membangun sebuah jalan resmi untuk menghubungkan kota itu
dengan tanah-tanah di luarnya. Konsul Appius Claudius Caecus, memulai
proyek ini di tahun 312, dan jalan itu, yang akhirnya melewati pantai sampai
dengan Capua di Campania, diberi nama: Jalan Appia.
Perdamaian dengan Samnit berlangsung selama enam tahun penuh. Dalam
tahun 298, tidak lama setelah pemilihan konsul, Livius menulis bahwa ada
rumor yang beredar ke seluruh Roma: “Orang Etruski dan Samnit membuka
pendaftaran untuk kemiliteran secara besar-besaran … Musuh dari Roma
sedang bersiap untuk berperang dengan sekuat tenaganya dan sekutunya.”19
Koalisi anti-Roma berkumpul di seberang sungai Liri, termasuk tidak hanya
orang Samnit dan Etruski yang tersisa, tetapi juga kesatuan Gallia dari Utara
dan Umbria, suatu federasi suku-suku Apennini di Timur laut Etruria. Bangsabangsa yang berbeda-beda ini mau bergabung bersama untuk melawan Roma:
suatu cerminan yang jelas akan adanya krisis yang berkembang akibat ekspansi
Roma yang terus-menerus.
Operasi Roma melawan federasi ini, “Perang Samnit yang ketiga” dimulai dengan tiga tahun perang yang keras, yang akhirnya memuncak dengan
perang besar di Sentinum, tepat di seberang Apennini di Umbria sendiri;
tempat yang paling jauh yang pernah disinggahi operasi militer Romawi dan
untuk pertama kalinya begitu banyak orang menyeberangi gunung-gunung.”
Hari itu terkenal karena perang terjadi di Sentinum,” kata Livius.
Satu hari ditetapkan untuk perang, orang Samnit dan Gallia dipilih untuk
berhadapan dan di tengah-tengah pertarungan itu orang Etruski dan Umbria
direncanakan untuk menyerang perkemahan Romawi. Rencana ini dibuyarkan oleh tiga orang desertir ... yang dengan diam-diam menyeberang pada
malam hari kepada Fabius (konsul yang memimpin) dan memberitahukan
maksud musuh.20
Orang Romawi yang benar-benar sudah kalah jumlahnya dari sekutu
empat arah mengirimkan detasemen untuk menyerang tanah Etruski dan
Umbria, pada saat itu gabungan Etruski dan Umbria pulang untuk membela
keluarga dan tanah pertanian mereka. Karena itu ketika perang mulai, orang
Romawi berjajar melawan orang Gallia dan Samnit. Mereka “sama kuat,” kata
Livius; Kavaleri Romawi tercerai-berai dalam ketakutan ketika orang Gallia
menyerang dalam kereta-kereta berkuda, yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh orang Romawi, dan salah satu dari konsul terbunuh; orang Gallia
sebaliknya jatuh dalam jumlah yang bertumpuk-tumpuk sehingga perlu beberapa hari untuk menyingkirkan tumpukan tubuh itu. Akhirnya, dengan
kematian beribu-ribu orang dari kedua belah pihak, garis Gallia dan Samnit
ditabrak, perkemahan mereka direbut dan mundurnya dihalangi.
Sekarang orang Romawi dapat mengontrol daerah pedesaan, tetapi “masih
belum ada perdamaian” di daerah pedesaan, seperti kesimpulan Livius. Yang
paling buruk dari perang itu telah berakhir pada tahun 295, di Sentinum,
tetapi penyerbuan, revolusi, pemberontakan terus terjadi selama lima tahun
lagi. Perjanjian lain di tahun 290 mengakhiri perang Samnit ketiga. Tetapi
bahkan setelah itu, serdadu Romawi bergerak keluar setiap tahun untuk berperang di Utara dan pusat semenanjung Italia; Kepalan Romawi, mengepung
daerah pedesaan dan dipersenjatai
G A R I S WA K T U 6 9
YUNANI ROMA
Perang Maraton (490) Penarikan diri Kaum Plebia (494)
Leonidas dari Sparta
Peperangan Thermopylae dan Salamis (480)
Peperangan Platea dan Mycale (479)
Perdikkas II dari Makedonia Undang-undang Tabel Dua Belas
Pericles dari Athena
Perang Peloponesia (mulai 431)
Barisan Sepuluh Ribu (401)
Perang Korintus (395) Roma dibakar oleh bangsa Gallia (390)
Filipus II dari Makedonia (359-336)
Perang Samnit Pertama (343)
Perang di Chaeronea (338) Perang Latin (340)
Alexander III dari Makedonia (336)
Perang Samnit Kedua (326)
Perang Samnit Ketiga (298)
S Filipus dari Makedonia, putranya, Alexander, menggantikan tempatnya sebagai Raja Makedonia dan kepala Liga Korintus. Tetapi,
dengan perginya Filipus, berbagai kota Yunani menyatakan menarik diri dari
Liga, Thebes dan Athena berada di antara mereka ini; Athena bahkan telah
menilai hari fesitival dengan buruk dan memberikan mahkota emas anumerta
pada Pausanias.1
Alexander bergerak langsung untuk menumpas para pemberontak ini
dengan pasukan Makedonia, menaklukkan kembali Yunani. Ketika ia tiba
di gerbang Thebes, ia menawarkan untuk mendirikan kembali kota ini untuk
kepentingannya jika para penduduk Thebes mau menyerahkan dua orang
bangsawan yang bertanggung jawab memimpin penarikan diri itu. Orang
Thebes menolak, dan Alexander memerintahkan orang-orangnya untuk
mendobrak gerbang. “Kota itu sendiri habis diterjang badai,” tulis Plutarkhos,
“dirampok dan rata dengan tanah, harapan Alexander adalah dengan memberikan contoh yang begitu mengerikan mungkin akan membuat bagian
Yunani yang lain takut dan takluk … tiga puluh ribu orang dijual sebagai
budak di muka umum .. lebih dari enam ribu orang dibunuh dengan pedang.”2
Ia kemudian menawarkan hal yang sama kepada Athena, yang sesegera
mungkin menyetujui. Apakah itu bagaikan seekor singa yang nafsunya sudah
terpuaskan,” Plutarkhos menambahkan, “atau, setelah memberi contoh kekejaman yang luar biasa, ia ingat untuk berbelas kasihan, lalu terjadilah hal yang
baik untuk penduduk Athena; karena ia … memaafkan semua pelanggaran
lama mereka,”3
Orang Athena berbuat sebaik-baiknya untuk memelihara ke
baikannya dengan mengirimkan semua orang yang melawan penggabungan
Liga Korintus ke pengasingan.
Setelah itu, sisa Liga Korintus yang lain menjadi satu barisan dalam
waktu dua bulan. Alexander bergerak turun ke Isthmus dari Korintus, dan
di sana mengadakan pertemuan Liga di mana (dengan tentaranya berjagajaga), delegasi Liga dengan cepat memilihnya untuk jabatan pemimpin,
menggantikan ayahnya.
Ini menunjukkan demokrasi, yang ditunjang oleh kekuatan militer, yang
merupakan ciri dari Alexander dalam menyelesaikan masalahnya. Hampir
semua yang ia lakukan, dilakukannya dengan kekuatan militer dan senjata,
namun di dalam dirinya ada perasaan ingin diakui dengan tulus oleh mereka
yang ditaklukkan. Pemikiran lama tentang penaklukkan dengan kekerasan,
dan pemikiran baru bahwa
orang dapat dipersatukan tanpa
kekerasan, dengan kesetiaan
bersama atau identitas gabungan,
berkecamuk di dalam dirinya dan
membuatnya resah.
A
Yunani, sesuatu yang belum
pernah berhasil dicapai oleh
pahlawan Sparta maupun Athena
mana pun. Di belakangnya berdiri
petarung-petarung Makedonia,
ditambah dengan empat puluh
ribu pasukan Yunani, ia siap
untuk menghadapi singa-singa
Persia.
Jauh di Persia, sida-sida Bagoas
berakhir dengan nasib buruk.
Setelah kematian pangeran Arses,
Bagoas telah memilih boneka
selanjutnya seseorang yang
kelihatannya mengesankan (tingginya enam setengah kaki) tetapi
mempunyai reputasi berwatak
lemah lembut, masih kerabat
jauh dari Artaxerxes II, seorang
pria bernama Kodomanos.
Bagoas tidak berpikir akan mendapatkan penolakan dari Kodomanos, yang
tidak mempunyai pengalaman tentang istana. Tetapi ia telah memandang
rendah orangnya. Begitu Kodomanos dimahkotai di bawah nama kerajaan
Darius III, ia mengundang Bagoas ke ruang tahtanya untuk minum secangkir
anggur. Bagoas yang tahu apa yang akan terjadi mencoba menghindari dengan
mengatakan bahwa ia sedang sakit, tetapi raja menyarankan, dalam hal itu
ia lebih baik minum obat. Satu jam kemudian Bagoas mati, dan Darius III
sekarang berkuasa di Persia.4
Tahun 334, Alexander bergerak menghampiri kerajaan Darius dengan
tiga puluh dua ribu orang; menurut Diodorus hampir empat belas ribu dari
orang-orang ini adalah orang Makedonia, yang lainnya ditarik dari kota-kota
jajahan.5
Ia telah bergerak lebih cepat daripada yang diduga pihak Persia, dan
tentara Persia tidak dapat mencapainya tepat waktu untuk mencegah pasukan
ini menyeberangi Hellespont.
Setelah kehilangan kesempatan pertama, para komandan Persia menyatukan
pikiran untuk sebuah strategi baru (Darius III tidak bersama mereka, ia baru
saja melenyapkan Bagoas dan kelihatannya ingin mempertahankan perhatian
kerajaannya kepada Susa sedikit lebih lama). Jenderal Persia, Memnon,
menyarankan untuk menghindari perang darat bersama. Sebaliknya, katanya,
orang Persia harus mundur sambil membakar semua persediaan, menggiring
pasukan Alexander menyeberangi daratan yang kering makanan dan air,
dan sementara itu mengirim kapal sekitarnya untuk menyerang tanah air
Makedonia.6
Ini adalah sebuah rencana yang bagus, suatu kombinasi dari strategi Roma
melawan persekutuan empat-arah di Italia dan strategi Scythian yang telah
mengalahkan Darius pertama. Tetapi ia dibungkam. Sebaliknya, pasukan
Persia bergerak ke tepi sungai Granicus, dekat tempat Troya yang lama, dan
membuat pangkalannya.
Melawan nasihat Parmenio, komandannya, Alexander menarik pasukannya
dan menyerang dengan menyeberangi sungai ke garis Persia. Orang
Makedonia pertama yang keluar dari air dibantai, tetapi beratnya serangan
Alexander segera memukul mundur kubu Persia. Pakar sejarah militer Yunani,
Arrian, mencatat pengalaman orang-orang Alexander dan “keuntungan
dari tombak kayu kornel yang panjang dibandingkan lembing Persia yang
ringan,”7 tetapi tidak diragukan kehadiran Alexander mempunyai peran
dalam kegarangan Makedonia juga. Tidak seperti Darius, ia berada tepat
ditengah-tengah serangan pertama dan bertempur di garis depan sampai
akhir. Sebetulnya, ia berhasil lolos dari tombak yang menghunjam perisai
dadanya, dan kehilangan helmnya karena pukulan kampak dari belakang. Ia
diselamatkan dari kehilangan kepala oleh salah satu komandannya, Cleitus si
Hitam, yang berhasil menebas lengan penyerangnya dari pundaknya sebelum
ia dapat meraih senjatanya ke atas untuk memukul kedua kalinya.8
Cerita-cerita kuno menyebutkan kekalahan Makedonia sekitar dua ratus
orang, sedangkan kubu Persia kalah sekitar empat ribu; Putra Darius, menantunya, dan kakak iparnya ada di antara yang gugur. Orang Persia yang berhasil
hidup melarikan diri, dan Alexander menyatakan kota-kota Ionia merdeka
(yang berarti mereka sekarang berada di bawah kekuasaannya). Ia bergerak
ke arah Sardis, tetapi Arrian mengatakan bahwa ia masih berada dalam jarak
“tiga belas atau empat belas kilometer” ketika gubernur kota itu keluar untuk
menyerah.9
Asia kecil menjadi miliknya.
Dalam pawai kemenangannya melalui wilayah itu, ia berhenti di kota
Gordium, ibu kota Midas yang lama. Di situ ia melihat Kuil Jupiter, kereta
yang digunakan oleh ayah Midas yaitu Gordius, yang katanya digunakan
ketika ia pertama kali memasuki negeri itu: “kuk yang merupakan ciri yang
luar biasa,” menurut pakar sejarah Romawi, Quintus Curtius Rufus, “yang
diikatkan dengan beberapa simpul yang begitu kuatnya terbelit sehingga
tidak mungkin melihat begaimana cara mengikatnya.” Menurut penduduk
setempat orang yang dapat menguraikan simpul tali itu akan menjadi raja dari
seluruh Asia, suatu tantangan yang tidak dapat dilewatkan oleh Alexander .
“Untuk beberapa saat Alexander bergulat tanpa hasil dengan simpul-simpul
itu,” kata Rufus. Kemudian ia mengatakan: “Tidak ada bedanya dengan
cara bagaimana simpulnya terlepas,” lalu memotong semua tali-tali dengan
pedangnya, dengan demikian membuyarkan ramalan para peramal (orakel)—
atau, justru menggenapinya.”10
Sementara itu, Darius sudah semakin khawatir sehingga melakukan
perjalanan (dengan istri-istrinya, anak-anaknya, dan sebagian besar anggota istananya) ke Babilonia, yang akan menjadi pusat operasinya melawan
penjajah. Di sini ia mengumpulkan pasukan yang sangat besar: lebih dari
seperempat juta orang Persia, Midia, dan petarung bayaran dari berbagai
bagian dari kekaisarannya, menurut Rufus. Dengan pasukan yang menggoncang dunia ini, ia kemudian bergerak dari Babilonia ke atas ke daerah
pedesaan yang terbuka di pusat tanah Asiria lama di mana kekuatan Persia
dapat menyebar dan menghancurkan orang Makedonia.
Tetapi Alexander menderita demam yang tinggi, dan menunda di Tarsus
sampai panasnya mereda. Darius yang tidak sabar pada musuhnya yang
tidak muncul-muncul, memutuskan (melawan nasihat dari seorang desertir
Makedonia yang muncul di perkemahan Persia) untuk langsung menuju ke
Asia Kecil. Sebagai akibatnya, pasukan itu bertemu di sungai Issus, di Suriah,
dimana jumlah pasukan Persia tidak menguntungkan; pasukan tidak dapat
masuk ke dalam medan perang yang kecil.11
Sekali lagi, angkatan perang Makedonia mendesak melewati garis Persia.
Darius, melihat bagaimana peperangan berbalik melawannya, melarikan diri:
“ Ia bahkan membungkuk untuk melemparkan semua tanda-tanda kerajaannya sehingga mereka tidak dapat menghianati pelariannya,” kata Rufus.12
Bagoas tidak sama sekali keliru menilai kelemahan Darius; ia cukup takut
meninggalkan istrinya, ibunya yang sudah tua, dan semua anaknya. Ketika
Alexander tiba di pusat perkemahan Persia dalam kemenangan, ia menemukan mereka semua berada di sana, ditawan oleh orang Makedonia dalam
kemah raja untuk menunggu kedatangannya. “Mereka terus bertanya di sayap
mana Darius berdiri,” kata Rufus; mereka yakin Darius pasti sudah mati, jika
ia sudah menyerah untuk membela mereka. Kabar tentang pelarian dirinya
mengejutkan.
Alexander yang biasanya ramah terhadap tawanan sepanjang mereka bukan
merupakan bagian dari penyerbu (yang selalu membuat ia tidak senang hati),
membiarkan mereka hidup. Darius sudah lari cukup jauh untuk berkemah
dengan aman, dan kemudian mengirimkan sepucuk surat kepada Alexander,
menawarkan untuk menjadi sekutu Alexander, dan juga meminta untuk
menebus istrinya dan anak-anaknya.
Dalam balasan suratnya, Alexander menolak untuk membuat perjanjian
apa pun kecuali Darius datang sendiri dan menyebutnya sebagai Penguasa dari
Benua Asia.” “Di masa depan,” suratnya sendiri berakhir, “biarlah komunikasi
yang akan Anda tujukan kepadaku dialamatkan kepada Penguasa Benua Asia.
Jangan menulisi aku sebagai orang yang sederajat.”13
Hal ini sedikit banyak menjamin bahwa semua pembicaraan mengenai perjanjian sudah berakhir. Darius tetap berada di Timur sungai Efrat; Alexander
memberi kerabat Darius kehidupan yang menyenangkan dan terjaga, dan kemudian mulai meneruskan sepak terjangnya melalui Suriah. Tahun 332, ia
mencapai kota Tyrus, yang menolak untuk menyerah dan tertahan selama
tujuh bulan. Ketika akhirnya penyerangan itu berakhir, Alexander begitu
marah karena penundaan ini sehingga ia mengizinkan orang-orangnya untuk
melakukan pembunuhan massal terhadap tiga puluh ribu orang di dalam kota
itu.
Setelah ini ia bergerak turun ke Mesir dan diproklamasikan sebagai pharaoh pengganti Darius III, yang mendapat gelar itu seperti waktu ia mencapai
tahta Persia. Dan kemudian di tahun 331, ia kembali berurusan dengan
Darius. Darius membuat percobaan lain untuk menghindari perang; ia
lagi-lagi menawarkan untuk membeli keluarganya kembali, dan juga menjanjikan kepada Alexander bahwa ia dapat mengambil semua tanah di sebelah
Barat sungai Efrat tanpa perlawanan, dan juga seorang putri sebagai istrinya,
kalau Alexander setuju untuk membuat perjanjian persahabatan. Jenderal
Alexander, Parmenio mengira ini adalah ide yang sempurna agar membuat
semua orang bisa pulang. “Kalau aku menjadi Anda aku akan menerima tawaran itu,” katanya pada Alexander, karena itu Alexander marah, ”Dan kalau
aku menjadi kamu, aku juga akan berbuat begitu.”14
Kedua pasukan bertemu lagi dalam peperangan, kali ini di Gaugemela,
jauh ke arah Utara Tigris. Lagi-lagi Persia kalah; sekali lagi Darius melarikan
diri. Orang-orang Alexander melakukan pawai kemenangan pertama ke
Susa, dan kemudian Persepolis. Di sini Alexander menemukan sekelompok
tawanan perang Yunani, beberapa dari mereka sudah ditawan berpuluh-puluh
tahun sebelumnya dalam perang-perang yang terdahulu, tetapi semuanya
sudah dijadikan budak. Untuk mencegah mereka melarikan diri, majikan
Persianya mengamputasi, baik tangan maupun lengan, atau bagian mana
pun yang tidak mereka perlukan untuk melaksanakan tugas. Alexander sekali
lagi tergerak oleh kemarahan, menyuruh orang-orangnya merampok kota
itu; mereka diperbolehkan membakar, membunuh, memperbudak, tetapi
melarang mereka memperkosa para wanita.15 Kita tidak tahu seberapa jauh
perintah ini dilaksanakan tetapi kota ini porak poranda, dan istana-istana
Darius terbakar.
Darius sendiri lari ke arah Ekbatana. Alexander mengejarnya dengan
pasukan kecil yang cepat, tetapi sebelum ia dapat mengejar raja Persia yang
sedang dalam pelarian itu, orang-orang Darius sendiri berbalik menyerangnya. Pemimpin pasukan berkudanya dan satu dari satrap menusuknya dan
meninggalkannya dalam sebuah kereta sampai mati di bawah terik matahari
bulan Juli.16
Alexander sekarang adalah Raja Agung, dan orang-orangnya berharap
perjalanan tugasnya berakhir.17 Tetapi Alexander tidak mampu meninggalkan suatu wilayah tanpa ditaklukkan, dan satrap-satrap di sebelah Timur Laut
antara lain, Baktria dan Sogdiana, belum digenggamnya. Ia mulai beroperasi
lebih jauh dan lebih ke atas, di atas jajaran gunung-gunung yang memisahkan anak benua India dari pusat daratan Asia. Medannya berat, dan setelah
lebih dari tiga tahun bertempur, genggamannya atas kesetiaan orang-orangnya mulai mengendur. Pertama putra Parmenio dihukum karena berkomplot
untuk membunuh Alexander; Alexander memerintahkannya untuk disiksa
sampai mati, dan kemudian ia memerintahkan ayahnya juga dibunuh (suatu
tindakan brutal tetapi bukan suatu kebiasaan yang luar biasa di Makedonia).
Kemudian ia berniat menikah dengan seorang putri dari Sogdiana, si
cantik Roxanne. Ini adalah perkawainan pertama yang luar biasa terlambat,
untuk orang seumurnya; seperti ayahnya, ia terus menerus berselingkuh
dengan laki-laki maupun perempuan, tetapi ia lebih memakai energinya
untuk berperang, dengan seks sebagai kenikmatan kedua. Sekarang yang
akan menjadi ratunya adalah seorang gadis dari suku yang menurut orang
Makedonia dari golongan budak dan barbar. Dan ini dikombinasikan dengan
kebencian yang mulai tumbuh kepada kecenderungan Alexander untuk
memakai gaun Persia dan mengikuti kebiasaan Persia. Sejauh berhubungan
dengan mereka, ia semakin hari menjadi semakin kurang Makedonia, seiring
dengan kegiatannya mengambil makin banyak wilayah.
Kebencian ini mendidih pada suatu makan malam di tahun 328, ketika
Cleitus yang sama yang telah menyelamatkan hidup Alexander di Granicus,
menuduhnya mendapat pampasan untuk kemenangan-kemenangan yang
dimenangkan dengan darah dari orang Makedonia yang setia. Alexander
melompat, mencari sebuah senjata; teman-teman Cleitus yang sedikit kurang
sedang mabuk seperti dia, menarik Cleitus keluar dari ruangan, tetapi ia
mendesak kembali melalui pintu lain untuk menyerang si raja. Alexander
mengambil sebuah tombak dari pengawalnya dan melempar orang senegaranya itu.18
Ketika sadar, ia terkejut. Tetapi ia tidak berhenti dengan rencana-rencananya
meneruskan sepak terjangnya lebih jauh ke Timur, meskipun orang-orangnya
sekarang mengikutinya sama sekali tanpa penghormatan, yang dilakukan
dengan senang hati seperti yang pernah mereka berikan. Apakah mereka
dengan setia mengikutinya atau tidak, ia tetap bermaksud menguasai India.
D dari sungai Indus, keturunan langsung dari Raja Ajatashatru dari
Magadha (yang telah beberapa tahun yang lalu menguasai raja-raja di sekitarnya sehingga menjadikan Magadha besar) telah kehilangan tahtanya. Di
tahun 424 SM, seorang anak yang tidak sah dari garis keturunan raja bernama
Mahapadma Nanda telah mengambil mahkota Magadha untuknya sendiri,
dan pergi menjelajah.
Dia menjadi penakluk berkebangsaan India yang terbesar. Ia masih bertempur pada usianya yang kedelapan puluh delapan; dan ketika akhirnya ia
meninggal, setelah beberapa dasawarsa membangun kerajaan, ia telah mendorong wilayah Magadha jauh sampai ke Deccan (ujung sebelah Utara dari
gurun Selatan yang kering). Ia meninggalkan kerajaannya kepada putra-putranya dan cucu-cucu laki-lakinya. Ketika Alexander datang melalui Celah
Khayber ke India, salah satu keturunan Mahapadama Nanda yaitu Dhana
Nanda, sedang bertahta di Magadha.
Sebelum ia mendapat kesempatan untuk memperoleh kerajaan India yang
paling kaya dan paling kuat ini, Alexander harus melewati daratan-daratan
yang terletak di antaranya. Tetapi ia tidak pernah sampai cukup jauh untuk
menghadapi Dhana Nanda dalam perang.
Kerajaan India pertama yang terletak di antaranya dan kerajaan-kerajaan
India di sebelah Utara adalah Taxila, yang rajanya memakai nama yang
sama ketika ia naik tahta. Raja Taxiles yang sekarang bertahta menjumpai
Alexander dengan hadiah-hadiah dan serdadu, untuk memberi penghormatan
begitu ia menyeberangi Indus (mungkin menggunakan sebuah jembatan
ponton, meskipun detail mengenai penyeberangan ini tidak diketahui).19
Taxiles berharap untuk dapat bersekutu dengan Alexander melawan kerajaan
di seberangnya: Hydaspes, yang letaknya di sungai Jhelum dan dikuasai oleh
Raja Porus yang tingginya dua meter.
Alexander menerima hadiah-hadiah dan para serdadu itu, dan setuju
untuk membantu Taxiles melawan musuhnya. Kekuatan gabungan yang terdiri dari bangsa India dan Makedonia itu berbaris menuju sungai Jhelum, di
mana mereka bisa melihat Porus dan angkatan perangnya (yang mengikutkan
“skuadron gajah,” kata Arrian)20 di seberang. Dengan empat orang ajudan
yang dipilihnya, yaitu orang-orang yang bernama Ptolemeus, Perdiccas,
Lysimachus, dan Seleucus, ia memimpin angkatan perangnya menyeberangi
sungai (beberapa berenang, beberapa mencebur, beberapa lagi dengan terburu-buru membuat perahu) dan menyerang baik gajah-gajah maupun Porus
yang dua meter tingginya itu.
Baik tentara Makedonia maupun kuda-kudanya sedikit ngeri pada hewanhewan yang menakutkan itu, tetapi tetap maju berkelahi dan mendesak
angkatan perang Porus sampai semakin terkepung dan terkepung, sehingga
gajah-gajahnya menginjak-injak para serdadunya yang berada di garis depan.
Akhirnya Porus terpaksa menyerah; Alexander yang terkesan dengan keberaniannya, tidak membunuhnya.
Tetapi angkatan perang Alexander yang menang itu menderita banyak
kerugian; dan ketika mereka mengetahui kalau Alexander sekarang berniat
untuk memimpin mereka melewati sungai Gangga yang bahkan lebih lebar
daripada sungai Indus, dan memiliki pasukan dan gajah-gajah India yang
lebih ganas di seberang, mereka menolak untuk terus maju.
Kali ini, baik kemarahan Alexander maupun karismanya tidak dapat
membujuk mereka. Akhirnya, menurut Plutarkhos, ia “mengurung diri di
kemahnya dan berbaring di situ cemberut dalam kemarahan, menolak untuk
berterima kasih atas apa yang sudah dicapainya, kecuali ia dapat menyeberangi sungai Gangga juga.”21 Ia tetap berada di tendanya merenung sampai
dua hari. Dan kemudian, menyadari bahwa ia telah kalah, khususnya dalam
perang ini, ia muncul pada hari ketiga dan setuju untuk kembali.22
Tetapi bukannya bergerak pulang melalui Celah Khayber, ia memimpin
tentaranya sepanjang Indus, ke arah Selatan menuju laut, dan kemudian ke
Barat. Ini berubah menjadi suatu perjalanan laut yang sangat buruk yang
memakan waktu tujuh tahun dan membunuh tubuh dan jiwa. Orang-orang
itu harus berusaha mencari jalan melalui kota-kota pinggiran sungai yang
bersikap bermusuhan dalam perjalanan mereka ke pantai. Dalam salah satu
penyerangan, di kota Malians, Alexander tertusuk dadanya oleh sebuah anak
panah dan untuk beberapa jam kelihatannya seperti mati. Ketika mereka
bergerak kembali ia hampir tidak dapat duduk di atas kuda, dan lukanya tidak
pernah sembuh sama sekali. Dan begitu mereka tiba di pantai, barisan ke arah
Barat itu membuat mereka harus melalui padang gurun bergaram: “melalui
daerah pedesaan yang belum diolah,” kata Plutarkhos, “yang penduduknya
hampir tidak pernah bepergian, hanya mempunyai sedikit domba, dan yang
keadaannya buruk, yang dagingnya bermutu rendah dan menjijikkan, karena
terus-menerus makan ikan laut.”23 Panasnya terik tak tertahankan. Semua
airnya asin. Orang-orangnya mulai mati kelaparan, kehausan, dan terkena
penyakit. Dari 120,000 infanteri dan 15,000 kavaleri, hanya 30,000 yang
sampai ke rumah. Itu adalah akhir yang mengerikan untuk suatu operasi yang
berhasil gemilang.
Kembali ke Susa, Alexander melupakan sepak terjangnya ke India, sejauh
mungkin, dan sebaliknya lebih berkonsentrasi pada tugas-tugasnya sebagai
raja daripada sebagai penakluk. Ia menikah kembali, kali ini dengan salah
satu dari putri Darius III, putri Stateira (setidaknya setengah kaki lebih tinggi daripadanya). Ia juga menjadi tuan rumah bagi perkawinan massal yang
heboh antara bangsawan Makedonia dengan beratus-ratus wanita bangsawan
Persia. Kepada teman baik dan jenderal yang dipercayanya dan mungkin
juga kekasihnya waktu masih muda, Hephaestion, ia menghadiahkan hak
istimewa untuk mengawini salah satu putri Darius yang lain: adik Stateira
yaitu Drypetis.
Perayaan perkawinan itu adalah usaha Alexander untuk mengatasi
permusuhan antara orang Persia yang berpendapat orang Makedonia tidak tahu adat, dan orang Makedonia yang berpendapat orang Persia bersikap
feminin. Ia juga mengumpulkan beribu-ribu pemuda Persia dan menaruh
mereka di bawah pimpinan panglima-panglima Makedonia untuk dilatih
cara berkelahi gaya Makedonia. Percobaan ini kedua-duanya malah balik
menyerang. Kebanyakan dari perkawinan massal itu bubar dengan cepat, dan
serdadu-serdadu kecil Makedonia membenci pemuda Persia penuh dendam,
sehingga mereka mengancam untuk kembali ke Makedonia. “Mereka ingin ia
memecat mereka semua,” tulis Plutarkhos, “sekarang di saat ia sudah lengkap
dengan seperangkat pemuda yang siap menari, yang kapan pun ia suka dapat
diajaknya untuk menaklukkan dunia.”24
Sementara itu, pemikiran akan bersatunya identitas Yunani yang bagaimana
pun akan menyatukan rakyat Alexander bersatu telah hampir hilang dari
pandangan. Tetapi tidak seluruhnya. Alexander membuat himbauan emosional
kepada orang Persia (“Meskipun kalian adalah pendatang baru yang asing, aku
sudah menjadikan kalian anggota pasukanku yang tetap: kalian adalah sesama
warga negaraku dan tentaraku”) dan himbauan lain kepada teman-teman
Makedonianya (“Segalanya mengambil warna yang sama: bukanlah sesuatu
yang memalukan jika orang Persia meniru kebiasaan Makedonia, begitu juga
orang Makedonia meniru orang Persia. Mereka yang hidup di bawah raja
yang sama harus menikmati hak yang sama”).25
Ketika ia berhasil meyakinkan baik orang-orang Makedonia maupun Persia
untuk hidup berdampingan sedikit lebih lama, ia melakukan perjalanan dari
Susa ke Ecbatana, di mana ia berniat untuk mengadakan festival besar dengan
gaya Yunani. Ia berharap ini akan meratakan siku-siku yang menonjol dalam
kerajaannya. Tetapi di Ecbatana, di tengah-tengah festival, Hephaestion jatuh
sakit. Ia mungkin menderita tipus; ia baru mulai sembuh, ketika ia melanggar
nasihat dokternya dengan makan hidangan ayam yang besar dan anggur yang
melubangi perutnya. Ia meninggal beberapa jam kemudian.
Alexander tidak pernah sembuh total dari kematian Hephaestion. Ia
meninggalkan Ecbatana dan pergi ke Babilonia dalam keadaan berkabung.
Di sini, ia juga menderita sakit. Menurut Plutarkhos, ia menderita panas,
yang mulai pada tanggal delapan belas bulan itu dan menjadi semakin buruk.
Sepuluh hari kemudian ia meninggal. Tahun itu adalah tahun 323; ia berumur
tiga puluh tiga.
Tubuhnya disemayamkan di tempat tidurnya, tidak dikubur selama
beberapa hari, sementara panglima-panglimanya berdebat mengenai siapa yang
akan memimpin kekaisaran itu; ia tidak pernah menyebutkan penggantinya,
dan ketika ia tahu bahwa Roxane sedang hamil dengan seorang pewaris
belum lama ini, ia tidak merasa perlu untuk menunjuk seorang pewaris.
“Selama pertikaian di antara panglima-panglimanya,” tulis Plutarkhos, “yang
berlangsung selama tujuh hari, tubuhnya terus bersih dan segar, tanpa ada
tanda-tanda tercemar atau berubah, meskipun sudah terbaring tidak terurus
di tempat yang suram dan tertutup.”26 Sementara orang berpendapat ini
merupakan tanda mukjizat; yang paling mungkin adalah Alexander sudah
berada dalam keadaan koma selama dua atau tiga hari sebelum akhirnya ia
sekarat. Penundaan ini menyelamatkannya dari pembalseman dalam keadaan
hidup sebelum proses itu akhirnya dimulai.
P , yang dilakukan dalam suatu energi putih yang
panas, telah menghasilkan sebuah kekaisaran tanpa administrasi yang patut
dibicarakan, tanpa birokrasi, dan tanpa sistem perpajakan, tanpa sistem
komunikasi yang sama, tanpa identitas nasional dan tanpa ibu kota; Alexander
sendiri, yang terus berkeliling, meninggal dalam sebuah tenda. Kekaisaran
ini diciptakan dengan kecepatan yang luar biasa, dan dengan kecepatan yang
luar biasa itu pula, sama dengan yang dilakukan oleh kekaisaran-kekaisaran
kuno yang menyatukan kerajaan mereka dengan kepribadian yang dinamis:
kekaisaran itu akhirnya pecah..
Disintegrasi itu dimulai dari Roxane. Dalam keadaan hamil lima bulan,
di negara yang asing, dan cukup terbiasa dengan adat istiadat Persia sehingga
merasa sama sekali tidak aman, ia baru saja mendengar bahwa istri Alexander
yang berkebangsaan Persia yaitu Stateira, masih berada di Susa, dan juga
hamil. Ia mungkin juga mendengar komentar Ptolemeus bahwa anaknya
sendiri, meskipun laki-laki, akan menjadi setengah budak, dan tidak akan ada
orang Makedonia yang tunduk kepadanya.27 Stateira sebaliknya adalah putri
dari seorang Raja Agung.
Roxanne menyuratinya dengan tulisan Alexander, di bawah cap kerajaan,
dan mengundangnya ke Babilonia. Ketika Stateira sampai dengan adiknya,
janda Hephaestion yaitu Drypetis, Roxanne menawari mereka berdua secangkir anggur beracun. Keduanya meninggal sebelum malam tiba.28
Satu-satunya pewaris Alexander sekarang adalah anak Roxanne yang belum
lahir. Tetapi seorang anak yang belum lahir tidak dapat memerintah, bahkan
melalui seorang wali. Kekaisaran itu memerlukan seorang raja sebelum berita
tentang kematian Alexander menyebar ke seluruh tanah air yang dikuasai
dengan sulit itu. Angkatan perang Makedonia yang berkumpul di luar kamar
tidur Alexander menungguinya ketika wafat, mereka tidak ingin melihat siapa
pun yang bukan keluarga sedarah menuntut gelar Alexander. Mereka mulai
meneriakkan nama adik tiri Alexander: putra selir Filipus yang berpikiran
lembek, yang dikenal sebagai Filipus Arrhidaeus. Pemuda ini sekarang baru
beranjak ke usianya yang ketiga puluh, mudah ditipu, dan mudah dibujuk,
serta mudah dibimbing. Ia juga berada di Babilonia di mana Alexander, yang
sayang padanya telah membawanya untuk menjaga keselamatannya.
Ketika angkatan perang mulai meneriakkan namanya, salah satu jenderal
Alexander lari untuk mengambil Filipus, membawanya keluar dengan sebuah
mahkota di kepalanya, dan berhasil menenangkannya cukup lama sampai
akhirnya angkatan perang menyatakannya sebagai raja. “Tetapi nasib telah
membawa perang saudara,” tulis Quintus Curtius Rufus, “karena tahta tidak
boleh dibagi dan beberapa orang sedang mengincarnya.”29 Orang-orang
yang menginginkan bagian dari taklukkan itu adalah orang-orang yang telah
menghabiskan waktu selama dasawarsa terakhir bertempur di pihaknya:
Ptolemeus, seorang Makedonia yang digosipkan sebagai anak di luar
perkawinan Filipus tua sendiri: Antigonous, salah satu jenderal kepercayaan
Alexander ; Lysimachus, salah satu temannya yang ikut dalam operasi militer
ke India; dan Perdiccas, yang bertindak sebagai pemimpin kavaleri, dan
kemudian setelah kematian Hephaestion menjadi pimpinan kedua.
Angkatan bersenjata tidak mau menerima salah satu dari keempat orang
itu untuk menggantikan Alexander menjadi pemimpin kekaisaran, sehingga
mereka mau berkompromi. Filipus si lembek akan tetap ditunjuk menjadi raja,
dan jika bayi Roxane seorang laki-laki, si bayi akan menjadi rekan-pemimpin.
Keduanya akan membutuhkan seorang wali, dan orang yang mengambil jabatan ini adalah Perdiccas.
Ia akan tinggal di Babilonia, yang akan menjadi pusat pemeri