Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 28

 






nggur, meratakan pohon-pohon zaitun, 

dan membunuh kawanan domba. Makin banyak orang Sparta yang putus asa 

mencari makan di tempat sendiri, dan berbalik menjadi tentara bayaran. 

Ribuan orang Sparta yang seperti ini pergi bekerja untuk keluarga kera￾jaan Persia. Pada tahun 404, Artaxerxes II telah mewarisi tahta dari ayahnya, 

Darius II. Tetapi suatu percekcokan besar mengenai suksesi adalah sumber 

kekacauan di Persia, dan anak Darius yang lebih muda yaitu Cyrus—yang 

sekarang menjabat gubernur di Sardis—berencana untuk merebut mahkota 

itu. Ia seorang pemuda yang berambisi dan gagah, dan Artaxerxes II bukan￾lah figur yang mengesankan; ia tidak pandai berkuda,4

 dan Plutarkhos, yang

menulis tentang kehidupannya mengatakan bahwa ia mempunyai sifat yang 

mudah menyerah dan lembek.” 5

Untuk  memperkuat  dukungan,  Cyrus  “mengirimkan  perintah  kepada 

komandan garnisunnya di berbagai kota untuk mendaftarkan pasukan dari 

Peloponesia, sebanyak mungkin dan yang terbaik dari yang ada” (ini diambil 

dari cerita yang ditulis oleh Xenophon, seorang tentara bayaran muda yang 

menjawab panggilan tersebut).6

 Dengan berpura-pura, Cyrus menyewa para 

tentara ini untuk pertahanan tanah milik Persia di Asia Kecil.  Tetapi pada 

tahun 401, kekuatannya yang melebihi seribu orang tentara bayaran Yunani 

telah  menimbulkan  kekhawatiran.  Gubernur  Persia  di  Lydia, Tissaphernes 

yang sama yang bernegosiasi dengan Alcibiades, tergesa-gesa pergi ke Timur 

untuk memperingatkan raja.  

Dengan terbukanya kedoknya, Cyrus menuju ke Efrat dengan pasukan￾nya,  menyeberanginya,  dan  kemudian  belok  ke  Selatan,  bergerak  menuju 

Babilonia dengan sungai di sebelah kanannya; diperkirakan ia berencana untuk 

menggunakan  Babilonia  sebagai  pangkalannya  untuk  menyerang  jantung 

kekaisaran Persia. Kebanyakan dari tentara Persia sepertinya ada di Ekbatana.7

Artaxerxes II harus mengumpulkan kekuatan angkatan perangnya yang besar, 

membekali dan bergerak, yang tidak terduga membutuhkan waktu yang lama 

baginya (menurut Plutarkhos, ia menderita kelambatan yang memang sudah 

sifatnya).8

  Jadi Cyrus sudah hampir sampai di Babilonia sebelum tentara raja 

mencapainya; Perjalanan itu memaksanya untuk mengeluarkan pembayaran 

lebih kepada tentara bayaran Yunani, karena mereka mengeluhkan jauhnya.  

Garis  depan  Persia  akhirnya  terlihat  ketika  para  tentara  pemberontak 

mendekati Cunaxa, sebuah medan perang sekitar enam puluh lima kilom￾eter ke arah Utara Babilon.∗

  Xenophon yang bergerak dalam pakaian perang 

yang lengkap di tengah-tengah tentara Yunani, menggambarkan pendekatan 

mereka:

Awal sore itu debu muncul, seperti awan putih, dan tidak berapa lama 

kemudian  semacam  kegelapan  meliputi  sepanjang  dataran.  Ketika  mereka 

mendekat, kemudian terlihat kilatan warna perunggu dan terlihatlah ujung￾ujung tombak dan formasi musuh … pasukan berkuda dengan baju perang 

putih .. tentara dengan tameng yang dijalin .. baju-baju perang Yunani de￾ngan tameng kayu yang mencapai kaki (katanya mereka adalah orang Mesir) 

…  lebih  banyak  pasukan  berkuda  dan  pemanah  …  dan  di  depan  mereka 

… ada apa yang mereka sebut kereta berkuda bercelurit. Kereta berkuda ini 

dilengkapi dengan celurit tipis yang menonjol  pada sudut dari as dan juga di 

bawah tempat duduk pengendaranya, turun ke arah tanah, sehingga memo￾tong apa pun yang mereka lewati.  Dimaksudkan untuk melindas pasukan 

Yunani dan memotong mereka.10

Itu merupakan kekuatan angkatan pertahanan yang besar; tentara Cyrus 

kalah dalam jumlah dan senjata.  

Meskipun begitu, Cyrus berhasil terjun ke depan melampaui garis per￾tahanan Persia sampai ia bertemu berhadap-hadapan dengan kakaknya dan 

melempar dadanya dengan sebuah lembing, dan menjatuhkannya dari kuda. 

Pengawal  raja  menariknya  menjauhi  garis  depan  ke  sebuah  bukit  kecil,  di 

mana  Ctesias  mengobati  luka-lukanya;  lembing  itu  telah  menembus  baju 

perangnya, tetapi tidak menusuk jantungnya. Cyrus melempar jumbainya ke 

belakang, mengira ia sudah menang; Ia memacu kudanya ke depan sambil 

meneriakkan kemenangan, pada saat yang sama sebuah anak panah menusuk 

pelipisnya.

Pasukan Persia berhasil menahan serangan itu, dan pihak penyerang mati. 

Banyak  dari  perwira  Yunani  ditangkap.  Artaxerxes  II  mengirimkan  pesan 

kepada  tentara  bayaran  Yunani  yang  tersisa  menawarkan  untuk  menerima 

penyerahan mereka, tetapi mereka menolak.  Sebaliknya, sepuluh ribu orang 

Yunani berkelompok kembali dan mulai mundur dari Cunaxa, kembali ke 

arah  tempat  mereka  datang.  Xenophon  muda  dipilih  menjadi  salah  satu 

pemimpin mereka.  

Perjalanan itu, yang dimulai di suatu waktu dalam bulan September 401, 

memakan waktu berbulan-bulan. Pasukan Yunani itu berjalan dengan susah 

payah sepanjang Tigris, kekurangan makanan dan minuman, selalu diserang 

dari belakang oleh pasukan Persia, yang ditugaskan untuk mengganggu mere￾ka, dan dari samping dan depan oleh penduduk tanah tempat mereka lewat 

yang  bersikap  bermusuhan.  Mereka  berjalan  dengan  susah  payah  melalui 

padang gurun; mereka mendaki gunung-gunung; mereka bergerak melewati 

badai musim dingin dan tumpukan salju yang tingginya tiga setengah meter. 

Mereka  mati  kelaparan  dan  kehausan,  kedinginan,  dan  karena  luka-luka 

perangnya.  Sepatunya membeku ke dalam kakinya; orang-orang yang kehi￾langan jari kaki mereka ditinggalkan sampai mati.” Mereka putus asa, apakah 

bisa mencapai pantai, dari mana mereka bisa pulang ke Yunani.  

Hampir setahun setelah perjalanan mereka dimulai, mereka mulai berjuang 

untuk  mendaki  sebuah  gunung  lagi,  ketika  Xenophon  yang  membawa 

pasukan paling belakang mendengar orang-orang yang di depan berteriak. Ia 

pikir mereka meneriakkan peringatan akan serangan lagi. Tetapi “teriakan itu 

menjadi makin keras dan lebih dekat”, tulisnya, “dan mereka yang akan maju 

mulai  lari  ke  arah  orang-orang  di  depan,  yang  terus  berteriak,  dan  makin 

banyak orang makin keras teriakannya.”12 Akhirnya kata-katanya terdengar 

jelas. Mereka sedang meneriakkan “Laut! Laut!”

Barisan Sepuluh Ribu adalah suatu prestasi daya tahan, tetapi itu bukan￾lah sesuatu yang luar biasa. Yang luar biasa adalah bahwa pasukan Persia di 

bawah Artaxerxes ternyata tidak dapat berbuat banyak selain daripada meng￾ganggu mundurnya pasukan Yunani, yang berhasil melarikan diri dari pusat 

kekuasaan Persia. “Semua percobaan Artaxerxes II untuk menangkap pasukan 

Yunani  yang  berhasil  dengan  Cyrus,”  Plutarkhos  menyimpulkan  ,  “…  ter￾bukti  gagal,  dan  mereka,  meskipun  telah  kehilangan,  baik  Cyrus  dan  para 

jenderalnya berhasil melarikan diri keluar dari istananya.”13

Kekaisaran  Persia  Artaxerxes  II  cukup  lemah  sehingga  kehilangan 

genggamannya  atas  Mesir  pula.  Seorang  bangsawan  Mesir  dari  Sais  yang 

bernama Amyrtaeus menyatakan dirinya pharaoh, dan gubernur Persia tidak 

berhasil mendapatkan bantuan dari Artaxerxes II yang sedang sibuk untuk 

meredakan pemberontakan. Amyrtaeus bukanlah pejuang kemerdekaan Mesir 

yang pertama yang mengatur perlawanan, tetapi untuk waktu yang lama dialah 

orang Mesir pertama yang mendapatkan cukup kekuasaan untuk menggelari 

dirinya sendiri pharaoh dari sebuah dinasti baru: dinasti Dua Puluh Delapan. 

(Psammetichus III adalah penguasa terakhir dari Dinasti Dua Puluh Enam, 

dan Manetho mendaftar bangsa Persia sebagai yang ke Dua Puluh Tujuh.) 

Amyrtaeus,  yang  berlangsung  selama  empat  tahun,  ternyata  hanya  satu￾satunya pharaoh dari Dinasti ke-Dua Puluh Delapan. Kita tidak tahu banyak 

tentang  Mesir  di  bawah  kekuasaannya,  meskipun  dokumen  Aramik  dari 

zaman itu menjelaskan bahwa setidaknya sebagian dari negara itu menganggap 

dirinya berada di bawah kekuasaan Persia. Inskripsi memperlihatkan bahwa 

setelah Amyrtaeus wafat, pemberontak lain berkuasa yaitu Nepherites I dan 

mengumumkan dirinya sebagai pendiri dari satu dinasti lagi, yaitu yang ke “-

Dua Puluh Sembilan; setelah enam tahun ia dilanjutkan oleh seorang perebut 

kekuasaan bernama Achoris.”14

Tiga tahun kemudian setelah ia mengumumkan dirinya sebagai pharaoh 

dari Mesir, Achoris mengirim pesan ke Yunani dan meminta Athena membantu 

mereka melawan Persia yang mencoba merebut kembali negaranya.  

S , orang Yunani yang sudah pulang bertengkar satu dengan 

yang lainnya. Athena belum berhasil jauh dalam membangun kembali ke￾tenangannya yang tercerai-berai; kota masih menderita dari perpecahan politik 

yang disebabkan oleh pembersihan oleh sang Tiga Puluh. Dalam tahun 399, 

setahun setelah Sepuluh Ribu kembali dengan sukses, orang Athena sudah 

menghukum pakar filsafat Socrates karena kesalahan Anti-Athena yang tidak 

jelas. Socrates berteman baik dengan Alcibiades dan orang yang paling kejam 

dari sang Tiga Puluh, seorang bangsawan yang bernama Kritias, yang mening￾gal dalam perang, dan menyelesaikan pemerintahan Tiga Puluh secara heboh. 

Ketika dihukum mati, Socrates mencemoohkan pelarian diri dan malahan 

minum racun; kematiannya dicatat oleh salah satu dari muridnya, seorang 

pemuda bernama Plato.

Sementara itu Sparta telah memikirkan kembali kesepakatannya dengan 

Persia. Pada akhir perang Peloponesia, Bangsa Sparta telah berjanji untuk 

menyerahkan kota-kota Ionia kepada Persia, sebagai ganti emas Persia. 

Sekarang mereka mengingkari perjanjian itu dan malah mengirim perwira 

Sparta untuk memerintah kota-kota itu. Ini terang-terangan membangun 

kekaisaran, dan kota-kota Yunani yang lain tidak mau mentolerir hal ini. 

Perang yang tiga puluh tahun itu belum selesai ketika Athena, Thebes, 

Korintus, dan Argos bersatu dengan sisa-sisa pasukan yang masih ada untuk 

memaksa Sparta membatalkan keinginannnya. Perang yang disebut Perang Korintus ini dimulai tahun 395. Setelah tiga 

tahun berperang tanpa tujuan, Sparta mengayuh mundur—tidak ke Yunani 

tetapi ke Persia, menawarkan untuk akhirnya menyerahkan kota-kota Ionia, 

kubu Persia mau kembali masuk ke Sparta. 

Artaxerxes II setuju untuk mengirim kapal Persia untuk membantu. Ini 

membuat  Athena  bersedia  membantu  Achoris  dari  Mesir  untuk  berperang 

melawan Persia; dan persekutuan Mesir--Athena mungkin menjawab perse￾kutuan Persia--Sparta.  

Sayangnya tentara Athena terlalu sedikit jumlahnya di darat untuk berta￾han dan kubu Sparta segera mengetahui tentara-tentaranya sudah lelah juga. 

Dalam tahun 387, Artxerxes II (senang melihat bahwa musuh potensialnya 

sekali lagi sudah sama-sama lelah menyerang satu sama lain) membuat dekrit 

bahwa Persia akan masuk kecuali kedua kota setuju untuk berdamai:  “Apabila 

salah satu dari kedua pihak yang bersangkutan tidak menerima perdamaian 

ini,”  katanya  mengumumkan  (menurut  Xenophon,  yang  meyimpan  per￾janjian yang sebenarnya dalam Helenika), “Aku, Artaxerxes, akan berperang 

melawannya .. melalui darat dan laut, dengan kapal dan dengan uang.”15

Dengan menyesal Athena mundur dari persekutuan Mesir, meninggalkan 

Achoris  melakukan  perang  anti-Persia  sendiri;  Sparta  dilucuti  senjatanya; 

dan  untuk  sementara  waktu,  semua  pihak  pulang  untuk  membangun 

kembali  kota-kota  mereka.  Yang  disebut  Perdamaian  Raja  berlaku  penuh. 

Xenophon  menulis,  “Jadilah  Sparta  dan  Athena,  dengan  sekutu-sekutunya 

dapat menikmati perdamaian untuk pertama kalinya sejak … penghancuran 

tembok-tembok Athena.”16

Pengakuan  kembali  Asia  kecil  adalah  puncak  prestasi  pemerintahan 

Artaxerxes II yang biasa-biasa saja. Menurut inskripsi Mesir, ia akhirnya dengan 

setengah  hati  mengirimkan  sepasukan  tentara  untuk  menyerang  Achoris 

di  tempat  asalnya,  tetapi  ketika  Achoris  (yang  sudah  berhasil  membujuk 

beberapa tentara bayaran Yunani untuk menjadi angkatan laut Mesir yang 

reguler) melawan, Persia mundur.  

Ketika  Achoris  wafat  dan  seorang  tokoh  Mesir  baru  mengambil 

kepemimpinan—seorang  tentara  yang  tidak  dikenal  bernama  Nectanebo 

I,  pendiri    Dinasi  ke-Tiga  Puluh—Artaxerxes  II  kembali  menikam  untuk 

merebut kembali Mesir. Kali ini ia mencoba membalikkan meja Mesir dengan 

menyewa tentara bayaran Athenanya sendiri dan berlayar untuk menyerang, 

masuk dari Delta di sebelah Barat, bukan dari benteng Pelusium di sebelah 

Timur seperti biasa.17 Nectanebo melawan habis-habisan kekuatan gabungan 

ini, yang lebih kuat daripada pasukannya, dengan sebuah strategi yang brilian. 

Ia  mendirikan  stan  di  setiap  anak  sungai  Di  Delta,  bertempur  sebentar 

sebelum mundur sedikit ke arah Selatan, menarik para penyerbu semakin jauh  ke dalam. Ia tahu dengan tepat—sedangkan kubu Athena dan Persia tidak 

—kapan sungai Nil akan banjir, dan ia berhasil menahan kekuatan penyerang 

gabungan itu sampai air mulai naik dengan cepat di sekitarnya. Tepat pada 

saat  itu  ia  mundur  dengan  cepat  ke  arah  Selatan;  terkejut  dan  kewalahan 

oleh banjir, kubu Persia dan Athena mundur keluar dari Delta.18 Nectanebo 

memegang  kekuasaanya  sampai  delapan  belas  tahun  dengan  sejahtera,  dan 

Artaxerxes II tidak pernah mencoba lagi. 

K  telah meyakinkan setidaknya seorang Athena, bahwa 

kota-kota Yunani tidak akan bertahan hidup kalau mereka tidak berhasil 

untuk bersatu di bawah satu identitas bendera Yunani. Pan-Helenik, bukanlah 

pembangunan kekaisaran dengan kekuatan, itu adalah satu-satunya harapan 

dunia Yunani. 

Orang Athena tersebut adalah Isocrates, seorang orator dan guru retorik 

yang lahir sebelum Perang Peloponesia dimulai dan telah menyaksikan ko￾tanya jatuh berantakan. Pada tahun 380, tujuh tahun setelah Perdamaian 

Raja, ia menerbitkan Panegyricus, suatu pidato tertulis memohon semua kota 

Yunani untuk mengenali pusaka milik mereka bersama.** Athena harus men￾jadi pemimpin dalam usaha seperti itu, tulis Isocrates, karena “kota ini telah 

menjadikan nama ‘Yunani’ kelihatan seperti bukan milik suatu bangsa tetapi 

suatu cara berpikir; dan orang-orang disebut Yunani karena mereka berbagi 

pendidikan dengan pendidikan kita dan bukan karena kelahirannya.”19

 

Ini adalah suatu kebangkitan panggilan sukarela untuk mendapat 

identifikasi, berdasarkan pemikiran yang berasal dari Pericles pada saat 

perang masih berkecamuk, yaitu membentuk kembali persatuan Athena dan 

Sparta sebagai bangsa Yunani melawan dunia non-Yunani. Pada awalnya 

Panegyricus merupakan himbuan untuk bersatunya pan-Helenik, tetapi itu 

juga merupakan panggilan untuk bangsa Helena untuk ikhlas bergabung 

melawan mereka yang belum dididik sebagai bangsa Yunani: melawan bangsa 

Persia dan raja mereka Artaxerxes II, yang memimpin “wilayah-wilayah 

kekaisaran”nya tanpa persetujuan, tetapi lebih “karena mempunyai angkatan 

perang yang lebih besar.

Panggilan  untuk  pan-Helenisme  ini  dijawab  oleh  sumber  yang  sedikit 

tidak terduga.  

Pada tahun 359, dua tahta diwariskan pada saat yang bersamaan. Putra 

sulung Artaxerxes II, Darius, berencana untuk membunuh ayahnya karena 

mencurigai  bahwa  Artaxerxes  cenderung  akan  menyatakan  anaknya  yang 

lebih  muda,  Ochus,  sebagai  pewaris  tahta.  Artaxerxes  mengetahui  rencana 

komplotan ini dan duduk di ranjang pada malam rencana pembunuhan itu, 

menunggu.  Ketika Darius tiba, ia memanggil pengawalnya. Darius ditawan, 

dihukum, dan dibunuh dengan dipotong lehernya.  

Artaxerxes  wafat  karena  usianya  yang  sudah  tua  tidak  lama  kemudian; 

Ochus  meracuni  saudaranya  yang  lain  dan,  tahtanya  aman,  jadilah  dia 

Artaxerxes III. 

Di seberang di Makedonia, seorang raja lain naik tahta pada tahun yang 

sama.  Namanya adalah Filipus II; dan ia adalah raja ketiga belas sejak Amyntas 

I yang menyerah pada Darius Agung, seratus tahun sebelumnya. Tiga belas 

raja  dalam  satu  abad  artinya  setiap  raja  memerintah  kurang  dari  delapan 

tahun; Untuk menjadi raja Makedonia ini bukan pekerjaan yang aman.  

Ayah Filipus yang sudah tua, Amyntas IV, menikah dengan seorang istri 

yang jauh lebih muda daripada usianya yang tua itu, dengan tujuan untuk 

mendapatkan pewaris tahta yang sah (ia sudah menjadi ayah untuk tiga anak 

tidak  sah  yang  mengincar  tahta  itu).21    Wanita  ini,  Eurydice,  melahirkan 

tiga pewaris tahta: tiga anak laki-laki, Alexander II, Perdikkas, dan Philip. Ia 

kemudian mulai berselingkuh secara terang-terangan dengan seorang anggota 

istana bernama Ptolemeus; menurut cerita Makedonia, si raja tua sebetulnya 

sudah  menangkap  basah  keduanya  di  tempat  tidur  pada  suatu  saat,  tetapi 

karena umurnya sudah delapan puluh, ia membiarkannya.  

Ketika Amyntas wafat, Alexander II menjadi raja. Ia mengalami kesulitan 

di  sebelah  Barat  Laut,  di  mana  suku  Illyria  mengancam  untuk  menjajah. 

Persekutuan Makedonia dengan Persia memberikan Makedonia perlindungan 

dari  musuhnya  di  sebelah  Utara  dan  Selatan,  tetapi  pada  pemerintahan 

Alexander II, kubu Persia tidak menaunginya sejauh itu. Seorang pakar sejarah 

abad ketiga mengatakan, bahwa Alexander II harus menghindari penjajahan 

itu dengan membayar bangsa Illyria dan mengirimkan adiknya Filipus (baru 

berumur sepuluh tahun) untuk tinggal di Illyria sebagai sandera.  

Akhirnya  Filipus  diperbolehkan  pulang,  tetapi  kakaknya  mengalami 

malapetaka. Eurydice, ibu kandung Alexander sendiri, telah mengatur untuk 

membunuhnya  sehingga  kekasihnya  Ptolemeus  bisa  merebut  kekuasaan. 

Segera setelah kematian Alexander II, Ptolemeus mengumumkan dirinya se￾bagai penguasa mewakili Perdikkas, putra kedua sebagai pewaris tahta yang 

sah. Filipus, sekarang berumur lima belas, dikirimkan lagi sebagai sandera; pada saat itu akhirnya ia dikirim ke kota Thebes, sebuah kota Yunani di sebe￾lah Selatan yang mengancam untuk menjajah Makedonia.  

Perdikkas yang tidak bodoh menunggu sampai ia sudah mencapai umur 

yang matang dan kemudian, dengan dukungan para bangsawan Makedonia 

yang  tidak  suka  pada  Ptolemeus,  membuat  kekasih  ibunya  ini  ditarik  dan 

dihukum  mati.  (Apa  yang  kemudian  terjadi  pada  Eurydice  tidak  dicatat.) 

Kemudian  ia  sendiri  naik  tahta  dan  berbuat  sebisanya  untuk  mengemba￾likan nama baik keluarga: ia merundingkan pembebasan Filipus dari Thebes, 

menikah dan menjadi ayah dari seorang putra. Ia kemudian kembali mengha￾dapi suku Illyrian yang kembali mengancam untuk menjajah.  

Dalam  tahun  keenam  pemerintahannya,  ia  menjadikan  adiknya  Filipus 

sebagai wali dari putranya dan memimpin tentara Makedonia dalam perang 

melawan  suku  Illyrian.    Pertempuran  itu  membawa  celaka.  Perdikkas  ter￾bunuh, bersama dengan empat ribu tentara Makedonia.22 Filipus, dalam usia 

dua puluh empat tahun, sendirian membela kerajaan melawan ancaman dari 

Barat Laut ini.  

Ia  mengambil  kepemimpinan  angkatan  perang  sebagai  wali  dari  bayi 

itu,  tetapi  (menurut  Justin)  “perang-perang  berbahaya  mengancam,  dan 

terlalu lama untuk menunggu kerja sama dari seorang pangeran yang masih 

bayi,  (karena  itu)  ia  sendiri  dipaksa  oleh  rakyat  untuk  mengambil  alih 

pemerintahan.”23 Mungkin ini benar, atau mungkin juga itu akan menutupi 

pemberian  kekuasaan  yang  tidak  menyenangkan.    Apa  pun  alasannya, 

kepemimpinan Filipus amat diperlukan. Suku Illyria bukanlah satu-satunya 

ancaman  di  cakrawala;  Bangsa  Athena  sekarang  sedang  berusaha  untuk 

menunjuk  calonnya  sendiri  untuk  menduduki  tahta  Makedonia  sehingga 

mereka dapat menambahkan Makedonia menjadi wilayah yang dikuasai oleh 

bangsa Athena.  

Filipus  yang  tidak  dapat  menguasai,  baik  Illyria  dan  Athena,  menunda 

ancaman Athena dengan menyerahkan kota di perbatasan untuk diawasi oleh 

Athena. Ia kemudian mengorganisasikan kembali angkatan perang Makedonia 

dengan mengajarkan serdadu Makedonia yang liar dan setengah biadab ber￾perang  dalam  sebuah  tulang  jari  Yunani,  sesuatu  yang  dipelajarinya  ketika 

bertahun-tahun  ia  hidup  di Thebes.24 Tahun  berikutnya,  angkatan  perang 

Makedonia menang melawan Illyria.  

Pada  saat  ini,  bangsa  Makedonia  telah  jelas  terlalu  kuat  untuk  penja￾jahan Athena.  Daripada bertempur dalam perang pertahanan, Filipus dapat 

mulai  membangun  kerajaannya  sendiri.  Ia  menikah  (lima  kali),  berjuang 

untuk  bersekutu  atau  mendominasi  wilayah-wilayah  di  sepanjang  Teluk 

Terma, perbatasan antara Makedonia dan Thracia, dan ke Utara dan Barat 

Laut  Makedonia.  Istrinya  yang  ketiga,  Olympias,  yang  berusia  tujuh  belas tahun adalah putri dari raja Epirus. 

Olympias  menurut  cerita  kuno, 

adalah  seorang  wantia  yang  sa￾ngat cantik tetapi cenderung cepat 

marah dan eksentrik dalam kebia￾saan-kebiasaannya;  ia  memelihara 

ular-ular  besar  sebagai  binatang 

perliharaannya    dan  membiar￾kan  mereka  berkeliaran  di  kamar 

tidurnya. Ayahnya mengira perjo￾dohan itu akan melindungi Epirus; 

tetapi  ketika  ia  wafat,  Filipus  be￾gitu saja menyerobotnya.  

Pada tahun 356, Olympias mela￾hirkan putra dan pewaris tahta. Si 

bayi diberi nama Alexander, seperti 

nama kakak Filipus yang mening￾gal.  

Sekarang Filipus mulai menuju 

ke  Selatan.  Ketika  penguasa  kota 

Pherae di Yunani , dibunuh, Filipus 

pergi ke tempat itu dan mengem￾balikan  keamanan,  dan  kemudian 

mengawasi  kota  itu.  Ia  beroperasi 

ke Thracia dan merebut tambang emas dan perak di sekitar Gunung Pangaeus 

yang membuatnya dapat melakukan lebih banyak operasi militer. Ia merebut 

kembali kota yang telah diserahkannya kepada Athena untuk tahtanya dan 

bertempur lagi sampai sejauh Selatan dan Timur. Selama salah satu dari ope￾rasi-operasinya, ini sebuah anak panah menusuk mata kanannya; mata yang 

hilang dapat dilihat dari patungnya.  

Untuk semua ini tidak ada tanggapan Yunani yang terorganisasi. Sparta 

berada terlalu jauh ke Selatan untuk diganggu, dan Athena yang memprotes 

sedang  menderita  masa  paceklik  yang  dahsyat  dan  tidak  dapat  berperang 

lagi. Filipus terus saja menelan bagian-bagian kecil Yunani. Desakannya ke 

arah Selatan bukan karena ia ingin melawan Yunani tetapi ia ingin menyerap 

Yunani.  Infantrinya,  pasukan  berkudanya,  dan  istananya  dibumbui  oleh 

Yunani.  

Adalah seekor kuda Yunani - seekor kuda jantan dari Tessaly, yang bernama 

Bucephalas – yang membuat kepandaian putranya, Alexander, diketahui oleh 

umum.  Kata  Plutarkhos,  Filipus  membayar  kuda  ini  dengan  mahal  tetapi ternyata kuda itu tidak dapat dikendalikan sama sekali. Ia memerintahkannya 

untuk  dikembalikan,  tetapi  Alexander  memprotes;  Filipus  menyuruhnya 

membuktikan protesnya itu dengan menunjukkan kalau ia sendiri mampu 

mengendarai kuda itu: “Alexander berlari ke arah kuda itu,” tulis Plutarkhos 

“mengambil  kendalinya  dan  membalikkan  wajahnya  ke  arah  matahari  – 

ternyata  ia  sudah  memperhatikan  bahwa  kuda  itu  beringas  karena  melihat 

bayangannya sendiri yang memanjang dan terhentak-hentak di depannya.”25

Ini  membuatnya  mampu  menaiki  kuda  itu,  suatu  kejadian  yang  menjadi 

terkenal di seluruh Makedonia (dan lalu Yunani). Bahkan di umurnya yang 

masih muda, Alexander adalah seorang pakar strategi.  

Ia terus menjadi satu-satunya putra Filipus yang sah. Salah satu dari selir 

Filipus melahirkan seorang putra yang sedikit lebih muda daripada Alexander, 

yang  diberi  nama  Filipus  juga:  tetapi  sayangnya  anak  ini  lemah.  (Kata 

Plutarkhos, Olympialah yang bertanggung jawab atas hal ini setelah memberi 

obat untuk merusakkan otaknya; Tetapi tidak ada bukti yang menunjang hal 

ini.)

Istana Makeonia cukup berbahaya jika menyarankan Filipus akan berhasil 

menjadi pewaris tahta cadangan, tetapi ternyata ia mulai menghindari Olympia 

dengan cara apa pun (ada gosip setempat yang mengatakan bahwa ular-ular 

di rangjangnyalah yang menjadi sebab:  “Seekor ular sering terlihat melata di 

sepanjang tubuh Olympia saat ia sedang tidur,” tulis Plutarkhos, “dan peristiwa 

inilah yang paling membuat nafsu dan cinta Filipus mendingin”).26 Ia sedang 

menancapkan  harapannya  untuk  menjadikan  Alexander  pewaris  tahta.  Di 

tahun 343, ia mengundang seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles untuk 

datang ke Utara, ke Makedonia, untuk menjadi pendidik Alexander, suatu 

jabatan dengan bayaran yang tinggi yang diterima oleh Aristoteles.  

Pada  tahun  340,  Filipus  sudah  cukup  kuat  untuk  menyatakan  perang 

dengan Athena.  

Invasinya  ke Yunani  dipermudah  oleh  kenyataan  bahwa  lebih  dari  satu 

kota  Yunani  merasa  saling  bertentangan  untuk  melawan.  Filsuf  Yunani, 

Isocrates, yang sekarang berumur sembilan puluh, sudah patah harapannya 

akan kerja sama sukarela Yunani; ia menindaklanjuti Panegyricus-nya dengan 

sebuah pidato yang disebut Kepada Filipus, meminta raja Makedonia ini untuk 

memimpin. “Anda sudah mendapatkan kekayaan dan kekuasaan lebih dari 

orang Yunani lain,” katanya, “dan ini saja sudah cukup untuk membujuk dan 

memaksa.  Saya  kira,  yang  ingin  saya  sarankan  memerlukan  kedua-duanya, 

karena  saya  akan  meminta  Anda  untuk  berdiri  sebagai  kepala  persekutuan 

Yunani dan memimpin sebuah operasi Yunani melawan kaum barbar.”27

Asosiasi  kota-kota  Yunani  yang  mempertahankan  tempat  suci  Delphi 

mengikuti saran Isocrates, dan mengundang Filipus masuk ke Yunani. Athena meminta bantuan Sparta untuk membantu melawan invasi ini, tetapi kubu 

Sparta menolak untuk berurusan dengan musuh lamanya. Jadi ketika pasukan 

Filipus akhirnya bergerak masuk dari Utara, Athena hanya berhasil menawan 

sedikit pasukan sekutu, terutama dari Thebes dan dari kota-kota di Boeotia.  

Pasukan bertemu, dalam musim panas yang terik di tahun 338, di dataran 

Chaeronea.  Cerita yang paling lengkap tentang peperangan ini yang masih 

ada disimpan dalam sejarah Diodorus Siculus:  

Kedua pasukan sekarang sudah bersiap untuk berhadapan; mereka sama 

kuat dalam tekad dan keberanian, tetapi jumlah dan pengalaman militer lebih 

menguntungkan  pihak  (Philip).  Karena  ia  sudah  berperang  dalam  banyak 

pertempuran, hampir selalu menang, dan oleh sebab itu sudah belajar banyak 

mengenai perang, tetapi jenderal Athena yang terbaik sekarang sudah mati 

… Ketika fajar menyingsing, kedua pasukan berjajar menyiapkan diri untuk 

berperang. Raja memerintahkan putranya Alexander, yang baru saja menjadi 

dewasa … untuk memimpin satu sayap, tetapi beberapa dari jenderalnya yang 

terbaik  ikut  bergabung  dengannya.  Filipus  sendiri,  dengan  korps  pilihan, 

memimpin sayap lain, dan mengatur bermacam-macam brigade menempati 

pos-pos  yang  dibutuhkan  oleh  keadaan.  Pihak  Athena  menarik  pasukan 

mereka … Akhirnya tuan rumah melawan, dan perang terjadi dengan ganas 

dan  darah  bertumpahan.  Perang  itu  berlangsung  lama  dengan  penjagalan 

yang  mengerikan,  tetapi  kemenangan  tidak  dapat  ditentukan,  sampai 

Alexander  yang  sangat  ingin  menunjukkan  keberaniannya  kepada  ayahnya 

–  dan  mengikuti  sekolompok  pemberani  –  adalah  orang  pertama  yang 

menyeruak ke dalam tubuh utama musuh, berhadapan langsung dengannya, 

menebas banyak orang; dan menjatuhkan semua yang ada di hadapannya. 

Orang-orangnya, mendesak lebih dekat, memotong-motong garis pertahanan 

musuh; dan setelah tanah dipenuhi tumpukan mayat, membuat sayap musuh 

yang melawannya melarikan diri.  

Perang Chaeronea, dengan relatif banyak korban (seribu orang Athena mati, 

suatu jumlah yang besar untuk satu perang tetapi kecil kalau dibandingkan 

dengan  perjalanan  tahun-tahun  perang),  itu  menandai  akhir  dari  sebuah 

era.  Negara  kota  Yunani  tidak  akan  pernah  bebas  lagi  dari  ikatan  sebuah 

kekaisaran.  

Filipus,  yang  tidak  diragukan  lagi  sadar  bahwa  ia  tidak  dapat  memper￾juangkan  lagi  jalan  menuju  kesatuan  dari  sisa  kota-kota  Yunani,  sekarang 

berganti haluan. Sekarang ia memperlakukan Athena dengan penuh hormat, 

melepaskan  tawanan-tawanannya  dan  bahkan  mengumpulkan  pengawal 

kehormatan untuk mengiringi orang Athena yang gugur kembali ke kota.29

Orang Athena, yang mengambil jalan yang terbaik dari situasi yang buruk, memilih  untuk  berpura-pura  memperlakukan  Filipus  sebagai  teman  bagi 

orang Athena.  

Tahun  berikutnya,  Filipus  membuat  pidato  di  Korintus,  mengusulkan 

bahwa  penyerahan  Yunani  kepada  kerajaannya  akan  berakibat  baik  bagi 

Yunani.30  Sparta  tetap  menolak  untuk  berurusan  dengan  rencana  Philip. 

Tetapi sisa dari kota-kota Yunani setuju (di bawah penjagaan pasukan Filipus 

didekatnya, tentunya) untuk bergabung bersama dalam Liga Yunani lain lagi. 

Ini disebut Liga Korintus, dan seperti Liga Delia dari Athena, liga ini diben￾tuk dengan maksud untuk menyerang Persia. Tidak seperti Liga Delia, raja 

Makedonia menjadi pemimpin tertingginya.  

Persia  rapuh,  sedang  mengalami  pergantian  pimpinan  yang  kacau. 

Artxerxes III sudah bertahta selama sembilan belas tahun; pencapaian yang 

luar biasa pada masa pemerintahannya adalah perebutan kembali Mesir, yang 

dilakukannya pada tahun 343 (enam tahun sebelumnya) dengan mengalahkan 

pharaoh pribumi dari Mesir yang terakhir dan Nectanebo II. Sekarang, Mesir 

sekali  lagi  berada  di  bawah  kekuasan  seorang  satrap  Persia,  dan  diperintah 

oleh raja Persia (Manetho menyebut ini Dinasti Tiga Puluh Satu).  

Dan kemudian, pada tahun yang sama seperti Perang Chaeronea, Artaxerxes 

wafat.    Detailnya  tidak  jelas,  tetapi  meskipun  raja  sudah  menderita  sakit 

untuk  beberapa  waktu  sebelum  kematiannya,  kelihatannya  bisa  dipastikan 

bahwa ia tidak meninggal karena sakit tetapi karena racun, yang diberikan 

kepadanya dengan dalih pengobatan oleh seorang sida-sida bernama Bagoas. 

Bagoas telah menjadi salah satu pemimpin dari Artaxerxes yang memenang￾kan perang Mesir, dan menjadi senang dengan kekuasaannya.  

Dengan kematian Artaxerxes, Bagoas mulai menjalankan kerajaan sendiri 

sebagai perwira tertinggi dari kerajaan muslim (vizier). Dua dari pangeran￾pangeran  muda  juga  meninggal  tanpa  terduga  karena  sakit  perut  (Bagoas 

selama ini sibuk dengan cangkir-cangkirnya). Hanya satu pangeran bertahan 

hidup, seorang pemuda bernama Arses.  Tampaknya Bagoas berencana untuk 

menjadikannya sebagai raja boneka; ketika Arses menunjukkan tanda-tanda 

kemandirian, Bagoas meracuninya juga.  

F sedang merencanakan penyerangannya pada kekaisaran yang di￾pimpin oleh seorang sida-sida ketika bencana menimpanya. 

Bencana itu sebagian besar karena perbuatannya sendiri. Segera setelah 

Liga Korintus bertemu di tahun 337, Filipus memutuskan untuk menikah 

lagi. Ini sama sekali tidak menguntungkannya secara politis, dan kenyataan￾nya ia terbawa nafsu; gadis itu adalah seorang pribumi Makedonia, keponakan 

yang cantik dari seorang hakim bernama Attalus. Pada pesta perkawinan, 

semua orang Makedonia mabuk (suatu tradisi pada perayaan-perayaan di

Makedonia) dan Atalus mengajak tos; ia melambaikan cangkir di udara dan 

menyatakan bahwa dewa-dewa dapat mengirimkan pada Makedonia seorang 

pewaris tahta yang sah sekarang.   

Secara teknis Alexander adalah pewaris yang sah tentunya, tetapi karena 

ibunya Olympia adalah seorang Yunani, ia hanya setengah Makedonia. Tos 

Attalus merupakan tantangan langsung pada posisinya sebagai putra mahko￾ta, suatu pernyataan bahwa tahta Makedonia seharusnya menjadi milik orang 

yang betul-betul berdarah Makedonia (dan ada indikasi jelas bahwa kecin￾taan Filipus pada semua yang berbau Yunani tidak disetujui oleh semua orang 

Makedonia).  

Alexander yang juga mabuk, melempar sebuah cangkir kepada Attalus dan 

menyebutnya sampah. Filipus, kemungkinan yang paling mabuk mencabut 

pedangnya  untuk  menyerang  Alexander  dan  kemudian  jatuh  terjerembab. 

“Tuan-tuan,” kata Alexander , berdiri di atas ayahnya dengan marah, “di situ￾lah berbaring orang yang siap untuk menyeberang dari Eropa ke Asia, tetapi 

tersandung dalam perjalanannya dari satu kursi ke kursi yang lain!”31 

Yang  lebih  buruk  lagi  akan  terjadi,  dan  Attalus  ikut  bersekongkol. 

Menurut  Diodorus,  beberapa  waktu  yang  lalu  Filipus  sudah  mengambil 

kekasih seorang laki-laki muda yang cantik yang juga teman Attalus (orang 

Makedonia,  seperti  orang  Yunani,  cenderung  untuk  lebih  memperhatikan 

mekanisme seks daripada jenis kelamin dari pasangan yang terlibat; siapa yang 

dipenetrasi atau memenetrasi adalah penting, tetapi siapa yang ada di ujung 

yang satunya kurang relevan.). Pemuda yang cantik ini sialnya menggantikan 

kekasih Filipus yang terdahulu, seorang anggota dari pengawalnya bernama 

Pausanias.  Pausanias yang dimabuk cinta menghina penggantinya di depan 

umum dengan memanggilnya “si hermaprodit”, bukan laki-laki sejati. Karena 

dipermalukan, si pemuda melemparkan dirinya ke depan Filipus dalam suatu 

pertarungan dengan maksud supaya terbunuh, dan mati di pedang musuh.  

Attalus  yang  membalas  dendam  untuk  temannya  yang  bunuh  diri, 

mengundang Pausanias makan malam, membuatnya mabuk, dan kemudian 

menyerahkannya  kepada  sekelompok  orang  yang  diajaknya  bekerja  sama 

untuk  diperkosa  beramai-ramai,  suatu  hukuman  yang  setimpal  dengan 

perbuatannya;  disodomi  berarti  menjadi  submisif,  kewanitaan,  dan  semua 

kualitas yang dipakai Pausanias untuk mencemoohkan lawannya itu. Pausanias 

ketika  sudah  sadar  pergi  ke  Filipus  dengan  perasaan  marah  karena  merasa 

terhina dan mengadu, tetapi Filipus menolak untuk menghukum Attalus yang 

merupakan seorang jenderal yang terpercaya dan sangat berharga. Sebaliknya 

ia  berusaha  menutup  mulut  Pausanias  dengan  menaikkan  pangkatnya  dan 

memberinya hadiah-hadiah. 

Tetapi  ia  menolak  untuk  mencintainya  lagi,  dan  Pausanias  memelihara 

penolakan dan rasa terhinanya itu sampai tahun 336.  Filipus mengadakan 

festival  akbar  untuk  merayakan  awal  serangannya  atas  Persia;  Perayaan  itu 

akan dimulai dengan parade pembukaan, dipimpin oleh Filipus, masuk ke 

sebuah  teater  penuh  dengan  orang  Makedonia  yang  bersorak-sorai.  Ketika 

Filipus melangkah ke ambang pintu teater, Pausanian menghampiri dari be￾lakangnya dan menusuk rusuknya dengan pisau.  

Pausanias lari ke kudanya. Ia tersandung dan jatuh, dan segera ditusuk 

berkali-kali oleh pengawal yang lain.32 Tetapi Filipus sudah wafat.  

Ada banyak orang yang mencurigai Alexander yang membenci ayahnya, 

dan  bagaimana  pun  juga  terlibat:  “Alexander  tidak  keluar  dari  skandal  itu 

tanpa  noda,”  kata  Plutarkhos,  meskipun  ia  tidak  memberikan  detail  yang 

memberatkan.33  Tetapi  dengan  terbunuhnya  Pausanias,  dan  tidak  adanya 

bukti pengkhianatan, tidak ada orang yang berani membuat tuduhan. Dalam 

segala hal, Alexander disukai oleh pasukannya, yang menyambutnya menjadi 

raja keesokan harinya.  

Ia mewarisi, kata Plutarkhos, suatu kerajaan “yang dikelilingi pada tiap 

sisinya oleh kebencian yang pahit, kebencian yang dalam dan bahaya.” Wilayah 

yang dikuasai di sebelah Utara tidak puas di bawah kekuasaan Makedonia; 

orang Yunani di sebelah Selatan tidak sepenuhnya menyerah pada keanggotaan 

Liga Korintus sehingga Alexander tidak dapat mengandalkannya; dan orang 

Persia sedang menunggu orang Makedonia untuk menyerang.

Tetapi  Alexander  mempunyai  satu  urusan  yang  harus  diselesaikannya. 

Attalus  telah  dikirim  terlebih  dahulu  ke  Asia  Kecil  untuk  membuka  jalan 

yang  akan  diikuti  oleh  kekuatan  angkatan  perang  untuk  melakukan  invasi 

memasuki Persia. Alexander tidak pernah melupakan suatu penghinaan; ia 

mengirimkan seorang pembunuh untuk mengejar Attalus dan membunuh￾nya.  


G A R I S WA K T U 6 8

  CHINA  YUNANI

Perang Maraton (490)

  Leonidas dari Sparta

  Masa “Musim Semi dan Gugur” berakhir (481)   Peperangan di Thermophylae dan Salamis (480)

  Wafatnya Konfusius   Peperangan Platea dan Mycale (479)

  Perdikkas II dari Makedonia

  Pericles dari Athena

  Perang Peloponesia (mulai 431)

 Masa Peperangan Negara-negara bagian mulai (403)  Barisan Sepuluh Ribu (401)

  Perang Korintus (395)

  Adipati Hsiao dari Ch’in  Filipus II dari Makedonia (359-336)

  Shang Yang

  Perang Chaeronea (338)

  Alexander III dari Makedonia (336)

  Huiwen dari Ch’in (325)







S   telah membuat banyak tusukan yang tidak 

berguna pada kesatuan—Liga Peloponesia, Helenik, dan Delia, dan parodi 

dari Liga Korintus—kota-kota dalam wilayah lama Latium juga bersatu ke 

dalam suatu persekutuan: “Liga Latin.” Orang Roma menyebut liga ini dengan 

nama Nomen Latium, dan sementara mereka telah bersikap sedikit ramah pada 

kota-kota Liga Latin untuk selama satu abad (perjanjian perdamaian yang 

pertama antara Roma dan Liga mungkin ditandatangani sekitar tahun 490 

SM), Roma tidak pernah bergabung. Kota itu tidak condong untuk menjadi 

satu di antara yang sama. 

Dalam tiga puluh tahun yang tidak menentu sejak Gallia membakar 

Roma, orang Roma telah membangun kembali tembok-temboknya, ber￾perang melawan berbagai serangan dari tetangga, mengirimkan pasukan ke 

Timur ke sungai Anio untuk berperang dengan lebih banyak Gallia (Tentara 

Romawi mendekati operasi dengan “sangat takut,” kata Livius, tetapi “beri￾bu-ribu kaum barbar terbunuh dalam peperangan,”)1

 dan masih menderita 

lagi karena sikap dingin plebia-patrisia. Yang ini berakhir dalam tahun 367 

dengan sebuah konsesi patrisia: konsul akan terbuka secara resmi untuk para 

plebia, dan konsul plebia yang pertama ditetapkan pada tahun yang sama. 

Senat mengumumkan bahwa kompromi ini perlu dirayakan dengan hari 

festival istimewa, dan Livius sendiri menyebut itu suatu tahun yang “pantas 

dicatat”, di mana “setelah permusuhan yang lama, kedua kelompok akhirnya 

dapat direkonsiliasikan dan mencapai persesuaian.2

 “Mencapai persesuaian” 

sebenarnya sedikit terlalu kuat, karena kaum patrisia dan plebia terus saling 

memanasi satu sama lain, tetapi pengaturan baru tampaknya menjadi semacam 

pelumas bagi hubungan yang berdecit-decit antara kedua kelas itu. Dalam dasawarsa berikutnya, ada cukup perdamaian di dalam tembok-tembok Roma 

sehingga kota dapat memberi perhatian lagi untuk membangun kekaisaran.  

Tahun 358, Roma meyakinkan Liga Latin untuk memperbarui perjanjian 

perdamaian yang lama.฀

 Seperti sebelumnya, kedua belah pihak wajib mem￾bela satu sama lain dalam penyerangan. Tetapi mulai saat ini, semua rampasan 

dari operasi gabungan akan dibagi rata antara kedua belah pihak;  Roma akan 

mendapat  bagian  yang  sama  dengan  kota-kota  lain  dari  Liga  gabungan.3

Roma bukan lagi hanya sebuah kota di semenanjung; tetapi ia adalah suatu 

kekuatan sebesar Liga itu sendiri. 

Dalam tahun 348, pihak Romawi memperbarui perjanjian lain, yang ini 

dengan  Karthago.  Kapal-kapal  Romawi  tidak  boleh  berlayar  lebih  jauh  ke 

arah Barat melewati Tanjung yang Cerah, dan orang Kartagena masih ber￾janji untuk tidak membangun benteng apa pun di wilayah pihak Latin. Tetapi 

suatu  kondisi  baru  mengubah  perjanjian  perdamaian  itu  menjadi  sesuatu 

yang sedikit berbeda: “Jika orang Kartagena menangkap kota lain di Latium 

yang tidak tunduk pada Roma,” perjanjian itu memerinci, “mereka akan me￾nahan  barang-barang  dan  orang-orangnya,  tetapi  harus  menyerahkan  kota 

itu.”4

   Orang Kartagena sekarang adalah sekutu dalam penaklukan; Roma se￾dang membeberkan rencana untuk menguasai daerah pedesaan, bahkan pada 

saat yang sama pemimpin-pemimpinnya bersumpah berteman dengan Liga 

Latin. 

Dalam lima puluh tahun berikutnya, agresi Roma akan mengarahkannya 

pada  empat  perang  dan  sebuah  revolusi,  dan  perang  kelima  akan  berputar 

sekitar pantai-pantainya.  

T   sungai Liri terdapat sekelompok suku yang secara bersama 

disebut Samnit. Mereka datang dari Selatan Apennini, dan tinggal di sebuah 

pertautan antara pertanian dan dusun-dusun di bawah Roma dan di sebelah 

Timur dari daerah pantai Kampania.5

 Di luar pertanian, mereka dikenal se￾bagai seperangkat petarung yang berbahaya, “kuat dalam jumlah orang dan 

persenjataan,” seperti diuraikan oleh Livius.6

Meskipun dalam sebuah perjanjian terdahulu dikatakan bahwa Liri akan 

berperan sebagai batas antara mereka, Roma tetap pergi berperang melawan 

Samnit pada tahun 343. Cerita-cerita Romawi ini menguraikan alasan yang 

paling ringan dalam hal, menurut Livius, orang Romawi hanya sekadar 

menanggapi permohonan bantuan keputusasaan, karena bangsa Samnit telah 

“menyerang dengan tidak adil” orang-orang yang tinggal di wilayah Kampania, 

di pantai sebelah Barat Daya. Tetapi ambisi kota in muncul dalam versi Livius   tentang  peristiwa-peristiwa:  “Kita  telah  mencapai  titik  ..  ketika�