nggur, meratakan pohon-pohon zaitun,
dan membunuh kawanan domba. Makin banyak orang Sparta yang putus asa
mencari makan di tempat sendiri, dan berbalik menjadi tentara bayaran.
Ribuan orang Sparta yang seperti ini pergi bekerja untuk keluarga kerajaan Persia. Pada tahun 404, Artaxerxes II telah mewarisi tahta dari ayahnya,
Darius II. Tetapi suatu percekcokan besar mengenai suksesi adalah sumber
kekacauan di Persia, dan anak Darius yang lebih muda yaitu Cyrus—yang
sekarang menjabat gubernur di Sardis—berencana untuk merebut mahkota
itu. Ia seorang pemuda yang berambisi dan gagah, dan Artaxerxes II bukanlah figur yang mengesankan; ia tidak pandai berkuda,4
dan Plutarkhos, yang
menulis tentang kehidupannya mengatakan bahwa ia mempunyai sifat yang
mudah menyerah dan lembek.” 5
Untuk memperkuat dukungan, Cyrus “mengirimkan perintah kepada
komandan garnisunnya di berbagai kota untuk mendaftarkan pasukan dari
Peloponesia, sebanyak mungkin dan yang terbaik dari yang ada” (ini diambil
dari cerita yang ditulis oleh Xenophon, seorang tentara bayaran muda yang
menjawab panggilan tersebut).6
Dengan berpura-pura, Cyrus menyewa para
tentara ini untuk pertahanan tanah milik Persia di Asia Kecil. Tetapi pada
tahun 401, kekuatannya yang melebihi seribu orang tentara bayaran Yunani
telah menimbulkan kekhawatiran. Gubernur Persia di Lydia, Tissaphernes
yang sama yang bernegosiasi dengan Alcibiades, tergesa-gesa pergi ke Timur
untuk memperingatkan raja.
Dengan terbukanya kedoknya, Cyrus menuju ke Efrat dengan pasukannya, menyeberanginya, dan kemudian belok ke Selatan, bergerak menuju
Babilonia dengan sungai di sebelah kanannya; diperkirakan ia berencana untuk
menggunakan Babilonia sebagai pangkalannya untuk menyerang jantung
kekaisaran Persia. Kebanyakan dari tentara Persia sepertinya ada di Ekbatana.7
Artaxerxes II harus mengumpulkan kekuatan angkatan perangnya yang besar,
membekali dan bergerak, yang tidak terduga membutuhkan waktu yang lama
baginya (menurut Plutarkhos, ia menderita kelambatan yang memang sudah
sifatnya).8
Jadi Cyrus sudah hampir sampai di Babilonia sebelum tentara raja
mencapainya; Perjalanan itu memaksanya untuk mengeluarkan pembayaran
lebih kepada tentara bayaran Yunani, karena mereka mengeluhkan jauhnya.
Garis depan Persia akhirnya terlihat ketika para tentara pemberontak
mendekati Cunaxa, sebuah medan perang sekitar enam puluh lima kilometer ke arah Utara Babilon.∗
Xenophon yang bergerak dalam pakaian perang
yang lengkap di tengah-tengah tentara Yunani, menggambarkan pendekatan
mereka:
Awal sore itu debu muncul, seperti awan putih, dan tidak berapa lama
kemudian semacam kegelapan meliputi sepanjang dataran. Ketika mereka
mendekat, kemudian terlihat kilatan warna perunggu dan terlihatlah ujungujung tombak dan formasi musuh … pasukan berkuda dengan baju perang
putih .. tentara dengan tameng yang dijalin .. baju-baju perang Yunani dengan tameng kayu yang mencapai kaki (katanya mereka adalah orang Mesir)
… lebih banyak pasukan berkuda dan pemanah … dan di depan mereka
… ada apa yang mereka sebut kereta berkuda bercelurit. Kereta berkuda ini
dilengkapi dengan celurit tipis yang menonjol pada sudut dari as dan juga di
bawah tempat duduk pengendaranya, turun ke arah tanah, sehingga memotong apa pun yang mereka lewati. Dimaksudkan untuk melindas pasukan
Yunani dan memotong mereka.10
Itu merupakan kekuatan angkatan pertahanan yang besar; tentara Cyrus
kalah dalam jumlah dan senjata.
Meskipun begitu, Cyrus berhasil terjun ke depan melampaui garis pertahanan Persia sampai ia bertemu berhadap-hadapan dengan kakaknya dan
melempar dadanya dengan sebuah lembing, dan menjatuhkannya dari kuda.
Pengawal raja menariknya menjauhi garis depan ke sebuah bukit kecil, di
mana Ctesias mengobati luka-lukanya; lembing itu telah menembus baju
perangnya, tetapi tidak menusuk jantungnya. Cyrus melempar jumbainya ke
belakang, mengira ia sudah menang; Ia memacu kudanya ke depan sambil
meneriakkan kemenangan, pada saat yang sama sebuah anak panah menusuk
pelipisnya.
Pasukan Persia berhasil menahan serangan itu, dan pihak penyerang mati.
Banyak dari perwira Yunani ditangkap. Artaxerxes II mengirimkan pesan
kepada tentara bayaran Yunani yang tersisa menawarkan untuk menerima
penyerahan mereka, tetapi mereka menolak. Sebaliknya, sepuluh ribu orang
Yunani berkelompok kembali dan mulai mundur dari Cunaxa, kembali ke
arah tempat mereka datang. Xenophon muda dipilih menjadi salah satu
pemimpin mereka.
Perjalanan itu, yang dimulai di suatu waktu dalam bulan September 401,
memakan waktu berbulan-bulan. Pasukan Yunani itu berjalan dengan susah
payah sepanjang Tigris, kekurangan makanan dan minuman, selalu diserang
dari belakang oleh pasukan Persia, yang ditugaskan untuk mengganggu mereka, dan dari samping dan depan oleh penduduk tanah tempat mereka lewat
yang bersikap bermusuhan. Mereka berjalan dengan susah payah melalui
padang gurun; mereka mendaki gunung-gunung; mereka bergerak melewati
badai musim dingin dan tumpukan salju yang tingginya tiga setengah meter.
Mereka mati kelaparan dan kehausan, kedinginan, dan karena luka-luka
perangnya. Sepatunya membeku ke dalam kakinya; orang-orang yang kehilangan jari kaki mereka ditinggalkan sampai mati.” Mereka putus asa, apakah
bisa mencapai pantai, dari mana mereka bisa pulang ke Yunani.
Hampir setahun setelah perjalanan mereka dimulai, mereka mulai berjuang
untuk mendaki sebuah gunung lagi, ketika Xenophon yang membawa
pasukan paling belakang mendengar orang-orang yang di depan berteriak. Ia
pikir mereka meneriakkan peringatan akan serangan lagi. Tetapi “teriakan itu
menjadi makin keras dan lebih dekat”, tulisnya, “dan mereka yang akan maju
mulai lari ke arah orang-orang di depan, yang terus berteriak, dan makin
banyak orang makin keras teriakannya.”12 Akhirnya kata-katanya terdengar
jelas. Mereka sedang meneriakkan “Laut! Laut!”
Barisan Sepuluh Ribu adalah suatu prestasi daya tahan, tetapi itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Yang luar biasa adalah bahwa pasukan Persia di
bawah Artaxerxes ternyata tidak dapat berbuat banyak selain daripada mengganggu mundurnya pasukan Yunani, yang berhasil melarikan diri dari pusat
kekuasaan Persia. “Semua percobaan Artaxerxes II untuk menangkap pasukan
Yunani yang berhasil dengan Cyrus,” Plutarkhos menyimpulkan , “… terbukti gagal, dan mereka, meskipun telah kehilangan, baik Cyrus dan para
jenderalnya berhasil melarikan diri keluar dari istananya.”13
Kekaisaran Persia Artaxerxes II cukup lemah sehingga kehilangan
genggamannya atas Mesir pula. Seorang bangsawan Mesir dari Sais yang
bernama Amyrtaeus menyatakan dirinya pharaoh, dan gubernur Persia tidak
berhasil mendapatkan bantuan dari Artaxerxes II yang sedang sibuk untuk
meredakan pemberontakan. Amyrtaeus bukanlah pejuang kemerdekaan Mesir
yang pertama yang mengatur perlawanan, tetapi untuk waktu yang lama dialah
orang Mesir pertama yang mendapatkan cukup kekuasaan untuk menggelari
dirinya sendiri pharaoh dari sebuah dinasti baru: dinasti Dua Puluh Delapan.
(Psammetichus III adalah penguasa terakhir dari Dinasti Dua Puluh Enam,
dan Manetho mendaftar bangsa Persia sebagai yang ke Dua Puluh Tujuh.)
Amyrtaeus, yang berlangsung selama empat tahun, ternyata hanya satusatunya pharaoh dari Dinasti ke-Dua Puluh Delapan. Kita tidak tahu banyak
tentang Mesir di bawah kekuasaannya, meskipun dokumen Aramik dari
zaman itu menjelaskan bahwa setidaknya sebagian dari negara itu menganggap
dirinya berada di bawah kekuasaan Persia. Inskripsi memperlihatkan bahwa
setelah Amyrtaeus wafat, pemberontak lain berkuasa yaitu Nepherites I dan
mengumumkan dirinya sebagai pendiri dari satu dinasti lagi, yaitu yang ke “-
Dua Puluh Sembilan; setelah enam tahun ia dilanjutkan oleh seorang perebut
kekuasaan bernama Achoris.”14
Tiga tahun kemudian setelah ia mengumumkan dirinya sebagai pharaoh
dari Mesir, Achoris mengirim pesan ke Yunani dan meminta Athena membantu
mereka melawan Persia yang mencoba merebut kembali negaranya.
S , orang Yunani yang sudah pulang bertengkar satu dengan
yang lainnya. Athena belum berhasil jauh dalam membangun kembali ketenangannya yang tercerai-berai; kota masih menderita dari perpecahan politik
yang disebabkan oleh pembersihan oleh sang Tiga Puluh. Dalam tahun 399,
setahun setelah Sepuluh Ribu kembali dengan sukses, orang Athena sudah
menghukum pakar filsafat Socrates karena kesalahan Anti-Athena yang tidak
jelas. Socrates berteman baik dengan Alcibiades dan orang yang paling kejam
dari sang Tiga Puluh, seorang bangsawan yang bernama Kritias, yang meninggal dalam perang, dan menyelesaikan pemerintahan Tiga Puluh secara heboh.
Ketika dihukum mati, Socrates mencemoohkan pelarian diri dan malahan
minum racun; kematiannya dicatat oleh salah satu dari muridnya, seorang
pemuda bernama Plato.
Sementara itu Sparta telah memikirkan kembali kesepakatannya dengan
Persia. Pada akhir perang Peloponesia, Bangsa Sparta telah berjanji untuk
menyerahkan kota-kota Ionia kepada Persia, sebagai ganti emas Persia.
Sekarang mereka mengingkari perjanjian itu dan malah mengirim perwira
Sparta untuk memerintah kota-kota itu. Ini terang-terangan membangun
kekaisaran, dan kota-kota Yunani yang lain tidak mau mentolerir hal ini.
Perang yang tiga puluh tahun itu belum selesai ketika Athena, Thebes,
Korintus, dan Argos bersatu dengan sisa-sisa pasukan yang masih ada untuk
memaksa Sparta membatalkan keinginannnya. Perang yang disebut Perang Korintus ini dimulai tahun 395. Setelah tiga
tahun berperang tanpa tujuan, Sparta mengayuh mundur—tidak ke Yunani
tetapi ke Persia, menawarkan untuk akhirnya menyerahkan kota-kota Ionia,
kubu Persia mau kembali masuk ke Sparta.
Artaxerxes II setuju untuk mengirim kapal Persia untuk membantu. Ini
membuat Athena bersedia membantu Achoris dari Mesir untuk berperang
melawan Persia; dan persekutuan Mesir--Athena mungkin menjawab persekutuan Persia--Sparta.
Sayangnya tentara Athena terlalu sedikit jumlahnya di darat untuk bertahan dan kubu Sparta segera mengetahui tentara-tentaranya sudah lelah juga.
Dalam tahun 387, Artxerxes II (senang melihat bahwa musuh potensialnya
sekali lagi sudah sama-sama lelah menyerang satu sama lain) membuat dekrit
bahwa Persia akan masuk kecuali kedua kota setuju untuk berdamai: “Apabila
salah satu dari kedua pihak yang bersangkutan tidak menerima perdamaian
ini,” katanya mengumumkan (menurut Xenophon, yang meyimpan perjanjian yang sebenarnya dalam Helenika), “Aku, Artaxerxes, akan berperang
melawannya .. melalui darat dan laut, dengan kapal dan dengan uang.”15
Dengan menyesal Athena mundur dari persekutuan Mesir, meninggalkan
Achoris melakukan perang anti-Persia sendiri; Sparta dilucuti senjatanya;
dan untuk sementara waktu, semua pihak pulang untuk membangun
kembali kota-kota mereka. Yang disebut Perdamaian Raja berlaku penuh.
Xenophon menulis, “Jadilah Sparta dan Athena, dengan sekutu-sekutunya
dapat menikmati perdamaian untuk pertama kalinya sejak … penghancuran
tembok-tembok Athena.”16
Pengakuan kembali Asia kecil adalah puncak prestasi pemerintahan
Artaxerxes II yang biasa-biasa saja. Menurut inskripsi Mesir, ia akhirnya dengan
setengah hati mengirimkan sepasukan tentara untuk menyerang Achoris
di tempat asalnya, tetapi ketika Achoris (yang sudah berhasil membujuk
beberapa tentara bayaran Yunani untuk menjadi angkatan laut Mesir yang
reguler) melawan, Persia mundur.
Ketika Achoris wafat dan seorang tokoh Mesir baru mengambil
kepemimpinan—seorang tentara yang tidak dikenal bernama Nectanebo
I, pendiri Dinasi ke-Tiga Puluh—Artaxerxes II kembali menikam untuk
merebut kembali Mesir. Kali ini ia mencoba membalikkan meja Mesir dengan
menyewa tentara bayaran Athenanya sendiri dan berlayar untuk menyerang,
masuk dari Delta di sebelah Barat, bukan dari benteng Pelusium di sebelah
Timur seperti biasa.17 Nectanebo melawan habis-habisan kekuatan gabungan
ini, yang lebih kuat daripada pasukannya, dengan sebuah strategi yang brilian.
Ia mendirikan stan di setiap anak sungai Di Delta, bertempur sebentar
sebelum mundur sedikit ke arah Selatan, menarik para penyerbu semakin jauh ke dalam. Ia tahu dengan tepat—sedangkan kubu Athena dan Persia tidak
—kapan sungai Nil akan banjir, dan ia berhasil menahan kekuatan penyerang
gabungan itu sampai air mulai naik dengan cepat di sekitarnya. Tepat pada
saat itu ia mundur dengan cepat ke arah Selatan; terkejut dan kewalahan
oleh banjir, kubu Persia dan Athena mundur keluar dari Delta.18 Nectanebo
memegang kekuasaanya sampai delapan belas tahun dengan sejahtera, dan
Artaxerxes II tidak pernah mencoba lagi.
K telah meyakinkan setidaknya seorang Athena, bahwa
kota-kota Yunani tidak akan bertahan hidup kalau mereka tidak berhasil
untuk bersatu di bawah satu identitas bendera Yunani. Pan-Helenik, bukanlah
pembangunan kekaisaran dengan kekuatan, itu adalah satu-satunya harapan
dunia Yunani.
Orang Athena tersebut adalah Isocrates, seorang orator dan guru retorik
yang lahir sebelum Perang Peloponesia dimulai dan telah menyaksikan kotanya jatuh berantakan. Pada tahun 380, tujuh tahun setelah Perdamaian
Raja, ia menerbitkan Panegyricus, suatu pidato tertulis memohon semua kota
Yunani untuk mengenali pusaka milik mereka bersama.** Athena harus menjadi pemimpin dalam usaha seperti itu, tulis Isocrates, karena “kota ini telah
menjadikan nama ‘Yunani’ kelihatan seperti bukan milik suatu bangsa tetapi
suatu cara berpikir; dan orang-orang disebut Yunani karena mereka berbagi
pendidikan dengan pendidikan kita dan bukan karena kelahirannya.”19
Ini adalah suatu kebangkitan panggilan sukarela untuk mendapat
identifikasi, berdasarkan pemikiran yang berasal dari Pericles pada saat
perang masih berkecamuk, yaitu membentuk kembali persatuan Athena dan
Sparta sebagai bangsa Yunani melawan dunia non-Yunani. Pada awalnya
Panegyricus merupakan himbuan untuk bersatunya pan-Helenik, tetapi itu
juga merupakan panggilan untuk bangsa Helena untuk ikhlas bergabung
melawan mereka yang belum dididik sebagai bangsa Yunani: melawan bangsa
Persia dan raja mereka Artaxerxes II, yang memimpin “wilayah-wilayah
kekaisaran”nya tanpa persetujuan, tetapi lebih “karena mempunyai angkatan
perang yang lebih besar.
Panggilan untuk pan-Helenisme ini dijawab oleh sumber yang sedikit
tidak terduga.
Pada tahun 359, dua tahta diwariskan pada saat yang bersamaan. Putra
sulung Artaxerxes II, Darius, berencana untuk membunuh ayahnya karena
mencurigai bahwa Artaxerxes cenderung akan menyatakan anaknya yang
lebih muda, Ochus, sebagai pewaris tahta. Artaxerxes mengetahui rencana
komplotan ini dan duduk di ranjang pada malam rencana pembunuhan itu,
menunggu. Ketika Darius tiba, ia memanggil pengawalnya. Darius ditawan,
dihukum, dan dibunuh dengan dipotong lehernya.
Artaxerxes wafat karena usianya yang sudah tua tidak lama kemudian;
Ochus meracuni saudaranya yang lain dan, tahtanya aman, jadilah dia
Artaxerxes III.
Di seberang di Makedonia, seorang raja lain naik tahta pada tahun yang
sama. Namanya adalah Filipus II; dan ia adalah raja ketiga belas sejak Amyntas
I yang menyerah pada Darius Agung, seratus tahun sebelumnya. Tiga belas
raja dalam satu abad artinya setiap raja memerintah kurang dari delapan
tahun; Untuk menjadi raja Makedonia ini bukan pekerjaan yang aman.
Ayah Filipus yang sudah tua, Amyntas IV, menikah dengan seorang istri
yang jauh lebih muda daripada usianya yang tua itu, dengan tujuan untuk
mendapatkan pewaris tahta yang sah (ia sudah menjadi ayah untuk tiga anak
tidak sah yang mengincar tahta itu).21 Wanita ini, Eurydice, melahirkan
tiga pewaris tahta: tiga anak laki-laki, Alexander II, Perdikkas, dan Philip. Ia
kemudian mulai berselingkuh secara terang-terangan dengan seorang anggota
istana bernama Ptolemeus; menurut cerita Makedonia, si raja tua sebetulnya
sudah menangkap basah keduanya di tempat tidur pada suatu saat, tetapi
karena umurnya sudah delapan puluh, ia membiarkannya.
Ketika Amyntas wafat, Alexander II menjadi raja. Ia mengalami kesulitan
di sebelah Barat Laut, di mana suku Illyria mengancam untuk menjajah.
Persekutuan Makedonia dengan Persia memberikan Makedonia perlindungan
dari musuhnya di sebelah Utara dan Selatan, tetapi pada pemerintahan
Alexander II, kubu Persia tidak menaunginya sejauh itu. Seorang pakar sejarah
abad ketiga mengatakan, bahwa Alexander II harus menghindari penjajahan
itu dengan membayar bangsa Illyria dan mengirimkan adiknya Filipus (baru
berumur sepuluh tahun) untuk tinggal di Illyria sebagai sandera.
Akhirnya Filipus diperbolehkan pulang, tetapi kakaknya mengalami
malapetaka. Eurydice, ibu kandung Alexander sendiri, telah mengatur untuk
membunuhnya sehingga kekasihnya Ptolemeus bisa merebut kekuasaan.
Segera setelah kematian Alexander II, Ptolemeus mengumumkan dirinya sebagai penguasa mewakili Perdikkas, putra kedua sebagai pewaris tahta yang
sah. Filipus, sekarang berumur lima belas, dikirimkan lagi sebagai sandera; pada saat itu akhirnya ia dikirim ke kota Thebes, sebuah kota Yunani di sebelah Selatan yang mengancam untuk menjajah Makedonia.
Perdikkas yang tidak bodoh menunggu sampai ia sudah mencapai umur
yang matang dan kemudian, dengan dukungan para bangsawan Makedonia
yang tidak suka pada Ptolemeus, membuat kekasih ibunya ini ditarik dan
dihukum mati. (Apa yang kemudian terjadi pada Eurydice tidak dicatat.)
Kemudian ia sendiri naik tahta dan berbuat sebisanya untuk mengembalikan nama baik keluarga: ia merundingkan pembebasan Filipus dari Thebes,
menikah dan menjadi ayah dari seorang putra. Ia kemudian kembali menghadapi suku Illyrian yang kembali mengancam untuk menjajah.
Dalam tahun keenam pemerintahannya, ia menjadikan adiknya Filipus
sebagai wali dari putranya dan memimpin tentara Makedonia dalam perang
melawan suku Illyrian. Pertempuran itu membawa celaka. Perdikkas terbunuh, bersama dengan empat ribu tentara Makedonia.22 Filipus, dalam usia
dua puluh empat tahun, sendirian membela kerajaan melawan ancaman dari
Barat Laut ini.
Ia mengambil kepemimpinan angkatan perang sebagai wali dari bayi
itu, tetapi (menurut Justin) “perang-perang berbahaya mengancam, dan
terlalu lama untuk menunggu kerja sama dari seorang pangeran yang masih
bayi, (karena itu) ia sendiri dipaksa oleh rakyat untuk mengambil alih
pemerintahan.”23 Mungkin ini benar, atau mungkin juga itu akan menutupi
pemberian kekuasaan yang tidak menyenangkan. Apa pun alasannya,
kepemimpinan Filipus amat diperlukan. Suku Illyria bukanlah satu-satunya
ancaman di cakrawala; Bangsa Athena sekarang sedang berusaha untuk
menunjuk calonnya sendiri untuk menduduki tahta Makedonia sehingga
mereka dapat menambahkan Makedonia menjadi wilayah yang dikuasai oleh
bangsa Athena.
Filipus yang tidak dapat menguasai, baik Illyria dan Athena, menunda
ancaman Athena dengan menyerahkan kota di perbatasan untuk diawasi oleh
Athena. Ia kemudian mengorganisasikan kembali angkatan perang Makedonia
dengan mengajarkan serdadu Makedonia yang liar dan setengah biadab berperang dalam sebuah tulang jari Yunani, sesuatu yang dipelajarinya ketika
bertahun-tahun ia hidup di Thebes.24 Tahun berikutnya, angkatan perang
Makedonia menang melawan Illyria.
Pada saat ini, bangsa Makedonia telah jelas terlalu kuat untuk penjajahan Athena. Daripada bertempur dalam perang pertahanan, Filipus dapat
mulai membangun kerajaannya sendiri. Ia menikah (lima kali), berjuang
untuk bersekutu atau mendominasi wilayah-wilayah di sepanjang Teluk
Terma, perbatasan antara Makedonia dan Thracia, dan ke Utara dan Barat
Laut Makedonia. Istrinya yang ketiga, Olympias, yang berusia tujuh belas tahun adalah putri dari raja Epirus.
Olympias menurut cerita kuno,
adalah seorang wantia yang sangat cantik tetapi cenderung cepat
marah dan eksentrik dalam kebiasaan-kebiasaannya; ia memelihara
ular-ular besar sebagai binatang
perliharaannya dan membiarkan mereka berkeliaran di kamar
tidurnya. Ayahnya mengira perjodohan itu akan melindungi Epirus;
tetapi ketika ia wafat, Filipus begitu saja menyerobotnya.
Pada tahun 356, Olympias melahirkan putra dan pewaris tahta. Si
bayi diberi nama Alexander, seperti
nama kakak Filipus yang meninggal.
Sekarang Filipus mulai menuju
ke Selatan. Ketika penguasa kota
Pherae di Yunani , dibunuh, Filipus
pergi ke tempat itu dan mengembalikan keamanan, dan kemudian
mengawasi kota itu. Ia beroperasi
ke Thracia dan merebut tambang emas dan perak di sekitar Gunung Pangaeus
yang membuatnya dapat melakukan lebih banyak operasi militer. Ia merebut
kembali kota yang telah diserahkannya kepada Athena untuk tahtanya dan
bertempur lagi sampai sejauh Selatan dan Timur. Selama salah satu dari operasi-operasinya, ini sebuah anak panah menusuk mata kanannya; mata yang
hilang dapat dilihat dari patungnya.
Untuk semua ini tidak ada tanggapan Yunani yang terorganisasi. Sparta
berada terlalu jauh ke Selatan untuk diganggu, dan Athena yang memprotes
sedang menderita masa paceklik yang dahsyat dan tidak dapat berperang
lagi. Filipus terus saja menelan bagian-bagian kecil Yunani. Desakannya ke
arah Selatan bukan karena ia ingin melawan Yunani tetapi ia ingin menyerap
Yunani. Infantrinya, pasukan berkudanya, dan istananya dibumbui oleh
Yunani.
Adalah seekor kuda Yunani - seekor kuda jantan dari Tessaly, yang bernama
Bucephalas – yang membuat kepandaian putranya, Alexander, diketahui oleh
umum. Kata Plutarkhos, Filipus membayar kuda ini dengan mahal tetapi ternyata kuda itu tidak dapat dikendalikan sama sekali. Ia memerintahkannya
untuk dikembalikan, tetapi Alexander memprotes; Filipus menyuruhnya
membuktikan protesnya itu dengan menunjukkan kalau ia sendiri mampu
mengendarai kuda itu: “Alexander berlari ke arah kuda itu,” tulis Plutarkhos
“mengambil kendalinya dan membalikkan wajahnya ke arah matahari –
ternyata ia sudah memperhatikan bahwa kuda itu beringas karena melihat
bayangannya sendiri yang memanjang dan terhentak-hentak di depannya.”25
Ini membuatnya mampu menaiki kuda itu, suatu kejadian yang menjadi
terkenal di seluruh Makedonia (dan lalu Yunani). Bahkan di umurnya yang
masih muda, Alexander adalah seorang pakar strategi.
Ia terus menjadi satu-satunya putra Filipus yang sah. Salah satu dari selir
Filipus melahirkan seorang putra yang sedikit lebih muda daripada Alexander,
yang diberi nama Filipus juga: tetapi sayangnya anak ini lemah. (Kata
Plutarkhos, Olympialah yang bertanggung jawab atas hal ini setelah memberi
obat untuk merusakkan otaknya; Tetapi tidak ada bukti yang menunjang hal
ini.)
Istana Makeonia cukup berbahaya jika menyarankan Filipus akan berhasil
menjadi pewaris tahta cadangan, tetapi ternyata ia mulai menghindari Olympia
dengan cara apa pun (ada gosip setempat yang mengatakan bahwa ular-ular
di rangjangnyalah yang menjadi sebab: “Seekor ular sering terlihat melata di
sepanjang tubuh Olympia saat ia sedang tidur,” tulis Plutarkhos, “dan peristiwa
inilah yang paling membuat nafsu dan cinta Filipus mendingin”).26 Ia sedang
menancapkan harapannya untuk menjadikan Alexander pewaris tahta. Di
tahun 343, ia mengundang seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles untuk
datang ke Utara, ke Makedonia, untuk menjadi pendidik Alexander, suatu
jabatan dengan bayaran yang tinggi yang diterima oleh Aristoteles.
Pada tahun 340, Filipus sudah cukup kuat untuk menyatakan perang
dengan Athena.
Invasinya ke Yunani dipermudah oleh kenyataan bahwa lebih dari satu
kota Yunani merasa saling bertentangan untuk melawan. Filsuf Yunani,
Isocrates, yang sekarang berumur sembilan puluh, sudah patah harapannya
akan kerja sama sukarela Yunani; ia menindaklanjuti Panegyricus-nya dengan
sebuah pidato yang disebut Kepada Filipus, meminta raja Makedonia ini untuk
memimpin. “Anda sudah mendapatkan kekayaan dan kekuasaan lebih dari
orang Yunani lain,” katanya, “dan ini saja sudah cukup untuk membujuk dan
memaksa. Saya kira, yang ingin saya sarankan memerlukan kedua-duanya,
karena saya akan meminta Anda untuk berdiri sebagai kepala persekutuan
Yunani dan memimpin sebuah operasi Yunani melawan kaum barbar.”27
Asosiasi kota-kota Yunani yang mempertahankan tempat suci Delphi
mengikuti saran Isocrates, dan mengundang Filipus masuk ke Yunani. Athena meminta bantuan Sparta untuk membantu melawan invasi ini, tetapi kubu
Sparta menolak untuk berurusan dengan musuh lamanya. Jadi ketika pasukan
Filipus akhirnya bergerak masuk dari Utara, Athena hanya berhasil menawan
sedikit pasukan sekutu, terutama dari Thebes dan dari kota-kota di Boeotia.
Pasukan bertemu, dalam musim panas yang terik di tahun 338, di dataran
Chaeronea. Cerita yang paling lengkap tentang peperangan ini yang masih
ada disimpan dalam sejarah Diodorus Siculus:
Kedua pasukan sekarang sudah bersiap untuk berhadapan; mereka sama
kuat dalam tekad dan keberanian, tetapi jumlah dan pengalaman militer lebih
menguntungkan pihak (Philip). Karena ia sudah berperang dalam banyak
pertempuran, hampir selalu menang, dan oleh sebab itu sudah belajar banyak
mengenai perang, tetapi jenderal Athena yang terbaik sekarang sudah mati
… Ketika fajar menyingsing, kedua pasukan berjajar menyiapkan diri untuk
berperang. Raja memerintahkan putranya Alexander, yang baru saja menjadi
dewasa … untuk memimpin satu sayap, tetapi beberapa dari jenderalnya yang
terbaik ikut bergabung dengannya. Filipus sendiri, dengan korps pilihan,
memimpin sayap lain, dan mengatur bermacam-macam brigade menempati
pos-pos yang dibutuhkan oleh keadaan. Pihak Athena menarik pasukan
mereka … Akhirnya tuan rumah melawan, dan perang terjadi dengan ganas
dan darah bertumpahan. Perang itu berlangsung lama dengan penjagalan
yang mengerikan, tetapi kemenangan tidak dapat ditentukan, sampai
Alexander yang sangat ingin menunjukkan keberaniannya kepada ayahnya
– dan mengikuti sekolompok pemberani – adalah orang pertama yang
menyeruak ke dalam tubuh utama musuh, berhadapan langsung dengannya,
menebas banyak orang; dan menjatuhkan semua yang ada di hadapannya.
Orang-orangnya, mendesak lebih dekat, memotong-motong garis pertahanan
musuh; dan setelah tanah dipenuhi tumpukan mayat, membuat sayap musuh
yang melawannya melarikan diri.
Perang Chaeronea, dengan relatif banyak korban (seribu orang Athena mati,
suatu jumlah yang besar untuk satu perang tetapi kecil kalau dibandingkan
dengan perjalanan tahun-tahun perang), itu menandai akhir dari sebuah
era. Negara kota Yunani tidak akan pernah bebas lagi dari ikatan sebuah
kekaisaran.
Filipus, yang tidak diragukan lagi sadar bahwa ia tidak dapat memperjuangkan lagi jalan menuju kesatuan dari sisa kota-kota Yunani, sekarang
berganti haluan. Sekarang ia memperlakukan Athena dengan penuh hormat,
melepaskan tawanan-tawanannya dan bahkan mengumpulkan pengawal
kehormatan untuk mengiringi orang Athena yang gugur kembali ke kota.29
Orang Athena, yang mengambil jalan yang terbaik dari situasi yang buruk, memilih untuk berpura-pura memperlakukan Filipus sebagai teman bagi
orang Athena.
Tahun berikutnya, Filipus membuat pidato di Korintus, mengusulkan
bahwa penyerahan Yunani kepada kerajaannya akan berakibat baik bagi
Yunani.30 Sparta tetap menolak untuk berurusan dengan rencana Philip.
Tetapi sisa dari kota-kota Yunani setuju (di bawah penjagaan pasukan Filipus
didekatnya, tentunya) untuk bergabung bersama dalam Liga Yunani lain lagi.
Ini disebut Liga Korintus, dan seperti Liga Delia dari Athena, liga ini dibentuk dengan maksud untuk menyerang Persia. Tidak seperti Liga Delia, raja
Makedonia menjadi pemimpin tertingginya.
Persia rapuh, sedang mengalami pergantian pimpinan yang kacau.
Artxerxes III sudah bertahta selama sembilan belas tahun; pencapaian yang
luar biasa pada masa pemerintahannya adalah perebutan kembali Mesir, yang
dilakukannya pada tahun 343 (enam tahun sebelumnya) dengan mengalahkan
pharaoh pribumi dari Mesir yang terakhir dan Nectanebo II. Sekarang, Mesir
sekali lagi berada di bawah kekuasan seorang satrap Persia, dan diperintah
oleh raja Persia (Manetho menyebut ini Dinasti Tiga Puluh Satu).
Dan kemudian, pada tahun yang sama seperti Perang Chaeronea, Artaxerxes
wafat. Detailnya tidak jelas, tetapi meskipun raja sudah menderita sakit
untuk beberapa waktu sebelum kematiannya, kelihatannya bisa dipastikan
bahwa ia tidak meninggal karena sakit tetapi karena racun, yang diberikan
kepadanya dengan dalih pengobatan oleh seorang sida-sida bernama Bagoas.
Bagoas telah menjadi salah satu pemimpin dari Artaxerxes yang memenangkan perang Mesir, dan menjadi senang dengan kekuasaannya.
Dengan kematian Artaxerxes, Bagoas mulai menjalankan kerajaan sendiri
sebagai perwira tertinggi dari kerajaan muslim (vizier). Dua dari pangeranpangeran muda juga meninggal tanpa terduga karena sakit perut (Bagoas
selama ini sibuk dengan cangkir-cangkirnya). Hanya satu pangeran bertahan
hidup, seorang pemuda bernama Arses. Tampaknya Bagoas berencana untuk
menjadikannya sebagai raja boneka; ketika Arses menunjukkan tanda-tanda
kemandirian, Bagoas meracuninya juga.
F sedang merencanakan penyerangannya pada kekaisaran yang dipimpin oleh seorang sida-sida ketika bencana menimpanya.
Bencana itu sebagian besar karena perbuatannya sendiri. Segera setelah
Liga Korintus bertemu di tahun 337, Filipus memutuskan untuk menikah
lagi. Ini sama sekali tidak menguntungkannya secara politis, dan kenyataannya ia terbawa nafsu; gadis itu adalah seorang pribumi Makedonia, keponakan
yang cantik dari seorang hakim bernama Attalus. Pada pesta perkawinan,
semua orang Makedonia mabuk (suatu tradisi pada perayaan-perayaan di
Makedonia) dan Atalus mengajak tos; ia melambaikan cangkir di udara dan
menyatakan bahwa dewa-dewa dapat mengirimkan pada Makedonia seorang
pewaris tahta yang sah sekarang.
Secara teknis Alexander adalah pewaris yang sah tentunya, tetapi karena
ibunya Olympia adalah seorang Yunani, ia hanya setengah Makedonia. Tos
Attalus merupakan tantangan langsung pada posisinya sebagai putra mahkota, suatu pernyataan bahwa tahta Makedonia seharusnya menjadi milik orang
yang betul-betul berdarah Makedonia (dan ada indikasi jelas bahwa kecintaan Filipus pada semua yang berbau Yunani tidak disetujui oleh semua orang
Makedonia).
Alexander yang juga mabuk, melempar sebuah cangkir kepada Attalus dan
menyebutnya sampah. Filipus, kemungkinan yang paling mabuk mencabut
pedangnya untuk menyerang Alexander dan kemudian jatuh terjerembab.
“Tuan-tuan,” kata Alexander , berdiri di atas ayahnya dengan marah, “di situlah berbaring orang yang siap untuk menyeberang dari Eropa ke Asia, tetapi
tersandung dalam perjalanannya dari satu kursi ke kursi yang lain!”31
Yang lebih buruk lagi akan terjadi, dan Attalus ikut bersekongkol.
Menurut Diodorus, beberapa waktu yang lalu Filipus sudah mengambil
kekasih seorang laki-laki muda yang cantik yang juga teman Attalus (orang
Makedonia, seperti orang Yunani, cenderung untuk lebih memperhatikan
mekanisme seks daripada jenis kelamin dari pasangan yang terlibat; siapa yang
dipenetrasi atau memenetrasi adalah penting, tetapi siapa yang ada di ujung
yang satunya kurang relevan.). Pemuda yang cantik ini sialnya menggantikan
kekasih Filipus yang terdahulu, seorang anggota dari pengawalnya bernama
Pausanias. Pausanias yang dimabuk cinta menghina penggantinya di depan
umum dengan memanggilnya “si hermaprodit”, bukan laki-laki sejati. Karena
dipermalukan, si pemuda melemparkan dirinya ke depan Filipus dalam suatu
pertarungan dengan maksud supaya terbunuh, dan mati di pedang musuh.
Attalus yang membalas dendam untuk temannya yang bunuh diri,
mengundang Pausanias makan malam, membuatnya mabuk, dan kemudian
menyerahkannya kepada sekelompok orang yang diajaknya bekerja sama
untuk diperkosa beramai-ramai, suatu hukuman yang setimpal dengan
perbuatannya; disodomi berarti menjadi submisif, kewanitaan, dan semua
kualitas yang dipakai Pausanias untuk mencemoohkan lawannya itu. Pausanias
ketika sudah sadar pergi ke Filipus dengan perasaan marah karena merasa
terhina dan mengadu, tetapi Filipus menolak untuk menghukum Attalus yang
merupakan seorang jenderal yang terpercaya dan sangat berharga. Sebaliknya
ia berusaha menutup mulut Pausanias dengan menaikkan pangkatnya dan
memberinya hadiah-hadiah.
Tetapi ia menolak untuk mencintainya lagi, dan Pausanias memelihara
penolakan dan rasa terhinanya itu sampai tahun 336. Filipus mengadakan
festival akbar untuk merayakan awal serangannya atas Persia; Perayaan itu
akan dimulai dengan parade pembukaan, dipimpin oleh Filipus, masuk ke
sebuah teater penuh dengan orang Makedonia yang bersorak-sorai. Ketika
Filipus melangkah ke ambang pintu teater, Pausanian menghampiri dari belakangnya dan menusuk rusuknya dengan pisau.
Pausanias lari ke kudanya. Ia tersandung dan jatuh, dan segera ditusuk
berkali-kali oleh pengawal yang lain.32 Tetapi Filipus sudah wafat.
Ada banyak orang yang mencurigai Alexander yang membenci ayahnya,
dan bagaimana pun juga terlibat: “Alexander tidak keluar dari skandal itu
tanpa noda,” kata Plutarkhos, meskipun ia tidak memberikan detail yang
memberatkan.33 Tetapi dengan terbunuhnya Pausanias, dan tidak adanya
bukti pengkhianatan, tidak ada orang yang berani membuat tuduhan. Dalam
segala hal, Alexander disukai oleh pasukannya, yang menyambutnya menjadi
raja keesokan harinya.
Ia mewarisi, kata Plutarkhos, suatu kerajaan “yang dikelilingi pada tiap
sisinya oleh kebencian yang pahit, kebencian yang dalam dan bahaya.” Wilayah
yang dikuasai di sebelah Utara tidak puas di bawah kekuasaan Makedonia;
orang Yunani di sebelah Selatan tidak sepenuhnya menyerah pada keanggotaan
Liga Korintus sehingga Alexander tidak dapat mengandalkannya; dan orang
Persia sedang menunggu orang Makedonia untuk menyerang.
Tetapi Alexander mempunyai satu urusan yang harus diselesaikannya.
Attalus telah dikirim terlebih dahulu ke Asia Kecil untuk membuka jalan
yang akan diikuti oleh kekuatan angkatan perang untuk melakukan invasi
memasuki Persia. Alexander tidak pernah melupakan suatu penghinaan; ia
mengirimkan seorang pembunuh untuk mengejar Attalus dan membunuhnya.
G A R I S WA K T U 6 8
CHINA YUNANI
Perang Maraton (490)
Leonidas dari Sparta
Masa “Musim Semi dan Gugur” berakhir (481) Peperangan di Thermophylae dan Salamis (480)
Wafatnya Konfusius Peperangan Platea dan Mycale (479)
Perdikkas II dari Makedonia
Pericles dari Athena
Perang Peloponesia (mulai 431)
Masa Peperangan Negara-negara bagian mulai (403) Barisan Sepuluh Ribu (401)
Perang Korintus (395)
Adipati Hsiao dari Ch’in Filipus II dari Makedonia (359-336)
Shang Yang
Perang Chaeronea (338)
Alexander III dari Makedonia (336)
Huiwen dari Ch’in (325)
S telah membuat banyak tusukan yang tidak
berguna pada kesatuan—Liga Peloponesia, Helenik, dan Delia, dan parodi
dari Liga Korintus—kota-kota dalam wilayah lama Latium juga bersatu ke
dalam suatu persekutuan: “Liga Latin.” Orang Roma menyebut liga ini dengan
nama Nomen Latium, dan sementara mereka telah bersikap sedikit ramah pada
kota-kota Liga Latin untuk selama satu abad (perjanjian perdamaian yang
pertama antara Roma dan Liga mungkin ditandatangani sekitar tahun 490
SM), Roma tidak pernah bergabung. Kota itu tidak condong untuk menjadi
satu di antara yang sama.
Dalam tiga puluh tahun yang tidak menentu sejak Gallia membakar
Roma, orang Roma telah membangun kembali tembok-temboknya, berperang melawan berbagai serangan dari tetangga, mengirimkan pasukan ke
Timur ke sungai Anio untuk berperang dengan lebih banyak Gallia (Tentara
Romawi mendekati operasi dengan “sangat takut,” kata Livius, tetapi “beribu-ribu kaum barbar terbunuh dalam peperangan,”)1
dan masih menderita
lagi karena sikap dingin plebia-patrisia. Yang ini berakhir dalam tahun 367
dengan sebuah konsesi patrisia: konsul akan terbuka secara resmi untuk para
plebia, dan konsul plebia yang pertama ditetapkan pada tahun yang sama.
Senat mengumumkan bahwa kompromi ini perlu dirayakan dengan hari
festival istimewa, dan Livius sendiri menyebut itu suatu tahun yang “pantas
dicatat”, di mana “setelah permusuhan yang lama, kedua kelompok akhirnya
dapat direkonsiliasikan dan mencapai persesuaian.2
“Mencapai persesuaian”
sebenarnya sedikit terlalu kuat, karena kaum patrisia dan plebia terus saling
memanasi satu sama lain, tetapi pengaturan baru tampaknya menjadi semacam
pelumas bagi hubungan yang berdecit-decit antara kedua kelas itu. Dalam dasawarsa berikutnya, ada cukup perdamaian di dalam tembok-tembok Roma
sehingga kota dapat memberi perhatian lagi untuk membangun kekaisaran.
Tahun 358, Roma meyakinkan Liga Latin untuk memperbarui perjanjian
perdamaian yang lama.
Seperti sebelumnya, kedua belah pihak wajib membela satu sama lain dalam penyerangan. Tetapi mulai saat ini, semua rampasan
dari operasi gabungan akan dibagi rata antara kedua belah pihak; Roma akan
mendapat bagian yang sama dengan kota-kota lain dari Liga gabungan.3
Roma bukan lagi hanya sebuah kota di semenanjung; tetapi ia adalah suatu
kekuatan sebesar Liga itu sendiri.
Dalam tahun 348, pihak Romawi memperbarui perjanjian lain, yang ini
dengan Karthago. Kapal-kapal Romawi tidak boleh berlayar lebih jauh ke
arah Barat melewati Tanjung yang Cerah, dan orang Kartagena masih berjanji untuk tidak membangun benteng apa pun di wilayah pihak Latin. Tetapi
suatu kondisi baru mengubah perjanjian perdamaian itu menjadi sesuatu
yang sedikit berbeda: “Jika orang Kartagena menangkap kota lain di Latium
yang tidak tunduk pada Roma,” perjanjian itu memerinci, “mereka akan menahan barang-barang dan orang-orangnya, tetapi harus menyerahkan kota
itu.”4
Orang Kartagena sekarang adalah sekutu dalam penaklukan; Roma sedang membeberkan rencana untuk menguasai daerah pedesaan, bahkan pada
saat yang sama pemimpin-pemimpinnya bersumpah berteman dengan Liga
Latin.
Dalam lima puluh tahun berikutnya, agresi Roma akan mengarahkannya
pada empat perang dan sebuah revolusi, dan perang kelima akan berputar
sekitar pantai-pantainya.
T sungai Liri terdapat sekelompok suku yang secara bersama
disebut Samnit. Mereka datang dari Selatan Apennini, dan tinggal di sebuah
pertautan antara pertanian dan dusun-dusun di bawah Roma dan di sebelah
Timur dari daerah pantai Kampania.5
Di luar pertanian, mereka dikenal sebagai seperangkat petarung yang berbahaya, “kuat dalam jumlah orang dan
persenjataan,” seperti diuraikan oleh Livius.6
Meskipun dalam sebuah perjanjian terdahulu dikatakan bahwa Liri akan
berperan sebagai batas antara mereka, Roma tetap pergi berperang melawan
Samnit pada tahun 343. Cerita-cerita Romawi ini menguraikan alasan yang
paling ringan dalam hal, menurut Livius, orang Romawi hanya sekadar
menanggapi permohonan bantuan keputusasaan, karena bangsa Samnit telah
“menyerang dengan tidak adil” orang-orang yang tinggal di wilayah Kampania,
di pantai sebelah Barat Daya. Tetapi ambisi kota in muncul dalam versi Livius tentang peristiwa-peristiwa: “Kita telah mencapai titik .. ketika�