Di Roma, antara tahun 495 dan 390 SM
kaum patrisia dan plebian berselisih
dan bangsa Gallia membakar kota
Diktator pertama roma yang ditunjuk untuk mengalahkan para penjajah keluar dari tembok-tembok kota, telah berhasil melaksanakan tugasnya.
Meskipun begitu usaha itu tidak mendatangkan perdamaian sejati. Di pedesaan Roma, tulis Livius, “tidak ada kedamaian yang terjamin, juga tidak ada
perang terbuka”; malahan, sedang berlangsung perang dingin antara kekuatan yang sedang naik dan kekuaan yang agresif, dan kota-kota sekitarnya,
tidak yakin benar apakah akan menantang Roma atau membiarkannya begitu
saja.1
Tetapi sementara orang Etruski tidak lagi merupakan ancaman serius—selama penyerbuan ke Sisilia mereka telah mengumpulkan kekuatannya yang
mulai redup di belakang Athena, dan menderita karenanya—Roma mempunyai masalahnya sendiri. “Begitu dalamnya negara itu terbagi oleh perbedaan
politik,” kata Livius, sehingga rakyatnya, tidak seperti penjajah mereka, yang
duduk di pemerintahan, menyambut kedatangan masa penjajahan dengan
senang.”2
Roma telah melempar jalanya ke arah semua bangsa di luar, dan pada saat
ia mulai bermutasi ke arah sebuah kekaisaran, ia menghadapi kesulitan yang
sama seperti bangsa Persia maupun Sparta: bagaimana mengombinasikan rakyat dengan kekuasaan besar (penakluk yang asli) dan mereka yang tidak punya
kekuasaan (yang ditaklukkan, sekarang terserap) ke dalam satu kesatuan yang
utuh.
Di Sparta, penjajah disebut warga negara, sedangkan yang dijajah disebut
budak. Di Roma, kedua kelompok mempunyai sedikit perbedaan asal. Kaum patrisia (dari kata Latin pater, “bapak”) secara tradisi merupakan keturunan
dari dewan penasehat Roma yang melayani raja-raja lama. Kaum plebia adalah
semua orang lain: suatu istilah yang terkenal susah untuk didefinisikan karena merupakan suatu penyangkalan “bukan kaum patrisia.” Hal ini termasuk
bangsa-bangsa yang tertaklukkan yang sekarang hidup di Roma, tetapi juga
orang-orang yang nenek moyangnya penduduk rendahan dari kota asli.
Kaum plebia jumlahnya lebih banyak dari kaum patrisia, namun kaum
patrisia memegang jumlah tanah dan kekayaan yang tidak seimbang. Bahkan
pada zaman awal Republik, kaum plebia berhasil memilih satu di antara
mereka sendiri untuk menjadi konsul hampir secara teratur, tetapi para hakim
dan biarawan Roma, pemilik tanah dan jenderal-jenderal semuanya adalah
kaum patrisia.
Seperti di Athena, persoalan hutang menjadi akut. Seorang plebia yang
harus meminjam uang pada saat terjadinya kelaparan, atau ketika pergi berperang, untuk menafkahi keluarganya harus menjaminkan dirinya; kalau
uangnya tidak dikembalikan, ia dan orang-orang yang bergantung kepadanya
dijadikan budak.3
Kaum patrisia dengan demikian mendapat tidak hanya
tanah dan uang, tetapi juga kepemilikian atas warga negara Roma sendiri dan
jumlahnya terus bertambah. Kaum plebia merasa sakit hati khususnya karena mereka kerap terperangkap dalam hutang dan perbudakan sebagai akibat
dari kepergian mereka berperang untuk Roma. Pada tahun 495, kekecewaan
mereka mencuat menjadi huru-hara ketika seorang tentara tua yang pernah
terkenal atas perbuatannya yang berani, terpincang-pincang maju ke depan
Forum. Dengan pakaiannya yang berlumpur dan tanpa jahitan,” tulis Livius
“tubuhnya yang mengerikan dan pucat dan kurus … rambut dan janggutnya
tidak terurus … ia merupakan pemandangan yang patut dikasihani.” Orangorang melihatnya, dan kumpulan orang itu mulai bergumam; makin lama
makin banyak orang berkumpul untuk mendengarkannya.ia menyobek bajunya dan memperlihatkan dadanya yang luka karena sabitan pedang yang
dideritanya selama pelayanannya pada Roma, punggungnya bertanda bekas
pukulan dari majikannya yang kaya. “Selama aku bertugas, kata orang tua
itu, pada waktu perang Sabin, hasil panenku dirusak oleh serangan musuh
dan gubukku dibakar. Semua yang aku miliki diambil, termasuk ternakku.
Kemudian, ketika akhirnya aku mulai bisa berbuat sedikit, aku harus membayar pajak dan akibatnya terperangkap dalam hutang.”4
Karena peristiwa ini, budak-budak hutang (beberapa masih terikat rantai)
dari seluruh kota berbondong-bondong turun ke jalan-jalan berteriak-teriak
kepada Senat untuk memutuskan segera bagaimana membebaskan mereka
dari perbudakan. Para senator kebanyakan menghilang, karena mereka bersembunyi dari gerombolan orang itu. Tetapi, para konsul memutuskan untuk menghindari kekerasan yang tidak perlu, lalu mereka berkeliling menyeret
para senator dari persembunyiaannya ke Senat sehingga mereka bisa mulai
memecahkan permasalahan perbudakan karena hutang. Ketika debat dimulai
antara para senator, para budak hutang yang marah itu berbondong-bondong
mengelilingi Senat, mendorong ke arah pintu dan bergelantungan di jendelajendela untuk mendengarkan bagaimana Senat akan menyelesaikan situasi
itu.
Ini bukanlah suasana yang baik untuk berdebat yang masuk akal untuk
memecahkan masalah hutang, dan sebenarnya Senat tidak sampai pada kesimpulan apa pun ketika datang bantuan dari cakrawala: ada berita bahwa
suku Volscii, yang tinggal di Selatan kota Roma, sedang bergerak ke kota.
Senat tergesa-gesa meloloskan resolusi bahwa tidak seorang pun di masa yang
akan datang dapat diturunkan derajatnya menjadi budak hutang sepanjang
dia aktif dalam tugas militer. Karena hal ini, secara praktis setiap orang di
jalan bergabung dengan tentara dan pergi berperang melawan suku Volscii.
Penyerbu itu terbasmi seluruhnya, karena tentara yang terdiri dari para penghutang yang menyerbu keluar menghadapi mereka itu seperti dikatakan oleh
Livius, “memang menginginkan perkelahian”. Tetapi masalah yang lebih besar
daripada kekuasaan yang tidak seimbang itu belum terpecahkan. Roma, tulis
Livius, perlu mencari “sebuah solusi untuk mengatasi konflik kepentingan
dari dua kelas dalam negara: dengan cara yang adil atau licik negara harus
memulihkan keharmonisan internalnya.5
Kata-kata “atau licik” khususnya
tidak terlalu menggembirakan, hal itu menyiratkan bahwa, bahkan dalam
masa Livius, kepulan asap yang mengandung arti sudahi saja masalah ini,
masih hidup sejak perdebatan di zaman yang lebih kuno. Dan kenyataannya, dengan dikalahkannya ancaman suku Volscii, tentara plebia yang baru
kembali ke kota (mereka tidak bisa selamanya aktif dalam tugas militer) segera
melihat bahwa tidak ada solusi permanen yang ditawarkan.
Satu-satunya kekuatan mereka di Roma adalah dalam jumlah, dan mereka
menggunakan itu. Di tahun 494, mereka melakukan pemogokan pertama
yang tercatat: “Mereka berangkat bersama-sama ke Gunung Suci, lima kilometer dari kota …,” kata Livius, “dan di sana .. mereka berkemah.”6
Ini
terkenal sebagai “penarikan diri kaum plebia”, dan di dalam kota Roma,
aksi mogok ini membuat panik baik kaum patrisia (mereka yang kehilangan
budaknya dan kebanyakan tentaranya) dan kaum plebia yang tertinggal (yang
sudah kehilangan kekuatan). Kota menjadi lumpuh, mudah diserang, pekerjaan harian tidak selesai.
Akhirnya Senat dan para konsul mengajukan sebuah solusi. Mulai saat itu,
mereka akan digabung dalam pemerintahan oleh hakim istimewa yang disebut tribun, yang akan ditunjuk dari tingkatan pangkat para kaum plebia, dan
yang akan berfungsi “di atas hukum” (yang artinya, kekebalan dari tekanan
yang diterapkan oleh Senat dan para konsul, karena Roma belum mempunyai
hukum tertulis). Pekerjaan mereka adalah melindungi kaum plebia dari ketidakadilan. Itulah pertama kali adanya jabatan yang memblokir kaum patrisia,
karena kemudian banyak jabatan jatuh ke tangan kaum plebia.
Dua tribun pertama ditunjuk pada tahun 494, tahun yang sama ketika
terjadi “penarikan diri kaum plebia”. Krisis ini untuk sementara bisa dicegah.
Melewati setengah abad kemudian, perebutan kekuasaan di antara para
konsul, senator, biarawan, dan tribun semakin tajam dan membuat Roma
perlu mempunyai hukum tertulis yang akan bertindak lebih jauh sebagai
perlindungan bagi kaum plebia. Para duta besar Roma yang mengunjungi
Athena pulang dengan membawa pembicaraan mengenai hukum di Solon
yang sudah tertulis dalam percobaan, untuk mengurangi ketegangan antara
kaum bangsawan Athena dan para demokrat. Mereka bahkan membawa sebuah salinan dari hukum-hukum itu. Roma sekarang menjadi terlalu besar,
dan terlalu beragam, untuk bergantung pada tradisi tak tertulis. Kota itu
memerlukan hukum “yang tiap warga negaranya secara individu dapat merasakan bahwa ia … setuju untuk menerima.”7
Jadi di tahun 451, suatu dewan yang terdiri dari sepuluh pembuat undang-undang—para decemvir—ditunjuk menggantikan para perwira Romawi
untuk bertugas sepanjang tahun 450. Tugas mereka tidak hanya menjalankan
pemerintahan tetapi juga menyusun undang-undang untuk menjalankan
pemerintahan Roma. Penunjukan mereka bukanlah tanpa kontroversi: “Ada
sejumlah argumentasi mengenai apakah orang yang tidak lahir sebagai patrisia
boleh menjabat,” kata Livius,8
karena beberapa orang Romawi masih tidak
mau melihat kaum plebia mengambil bagian dalam pemerintahan. Tetapi
dengan dipecahkannya isu ini, para decemvir menghabiskan waktu tugasnya
sepanjang tahun itu mengerjakan undang-undang, lalu memperkenalkan undang-undang itu kepada rakyat untuk didiskusikan. Ketika undang-undang
sudah diubah melalui diskusi itu, suatu pertemuan yang terdiri dari semua
rakyat diadakan untuk menyetujuinya. Ada perasaan umum bahwa masih
banyak peraturan yang perlu diberlakukan, jadi para decemvir ditunjuk untuk
tahun berikutnya juga untuk membuat dua tabel lagi.
Tabel Dua Belas yang dihasilkan, ditulis pada kayu dan dipasang di
Forum, di mana semua orang dapat melihat. Livius mengatakan bahwa pada
zamannya undang-undang itu masih merupakan fondasi dari hukum Roma.
Sayangnya tabel itu hilang; yang dapat kita ketahui tentang tabel tersebut
ialah dari kumpulan kutipan-kutipannya dalam berbagai macam dokumen
Roma. Setelah dikumpulkan kembali, Tabel-Tabel yang tidak lengkap itu
berisi keterangan untuk mempertahankan perdamaian antara kedua kelas Romawi. Pada Tabel III tertulis “Eris confessi rebusque iure iudicatis XXX
dies iusti sunto,”: Kamu yang mengakui atau sudah diadili berhutang uang
mempunyai waktu tiga puluh hari untuk membayarnya.” Selewat waktu itu,
pihak yang berhutang dapat diajukan ke pengadilan, dan jika ia tidak mempunyai jaminan atau pendapatan, ia dapat dirantai; tetapi penuduhnya harus
membayar untuk memberinya makanan (yang malah bisa jadi lebih mahal
daripada memaafkan si penghutang). Siapa pun yang membuat tuduhan yang
salah, menurut Tabel XII, dapat dihadapkan kepada tiga hakim; kalau mereka
memutuskan bahwa ia berbohong, ia harus membayar denda yang besar. Dan
kemudian ada Tabel IX, batu penjuru bagi seluruh ketetapan: “Privilegia ne
irroganato,” “hukum pribadi tidak dapat diusulkan.” Kaum patrisia tidak lagi
dapat memaksakan kehendaknya begitu saja kepada kaum plebia tanpa ketetapan mereka.
Bersama dengan ketetapan-ketetapan ini ada peraturan mengenai kecelakaan dan cedera yang mengingatkan kita pada hukum Hammurabi:
seseorang yang mematahkan tulang orang lain harus membayar denda, tetapi
denda itu dibagi dua jika tulang yang patah itu kepunyaan seorang budak;
kalau jalan tidak dipelihara oleh mereka yang memiliki tanah di mana mereka
lewat, maka sebaliknya para pemakai jalan itu diperbolehkan memasuki dan
mengendarai ternaknya sepanjang
jalan itu; seorang anak laki-laki yang
dijual menjadi budak tiga kali dalam
waktu yang berbeda dapat menyatakan dirinya bebas dari ayahnya.
Dan bersama dengan ini ada selentingan bahwa meskipun Hukum
Tabel Dua Belas ini adalah suatu
langkah menuju arah yang benar,
masih ada banyak ketidakadilan di
Roma. Beberapa dari ketidakadilan
ini merupakan praktik lama yang
biasa: “seorang anak yang cacat
harus dibunuh,” menurut Tabel
IV, dengan kata sederhana, Tabel V
menjelaskan, “Wanita, karena sifatnya yang halus, harus selalu ada yang
menjaga meskipun mereka sudah
dewasa.” Dan yang lain khusus
untuk Roma sendiri,” Tidak ada seorang pun yang boleh mengadakan
pertemuan di kota pada malam hari,” menurut Tabel VIII, suatu peraturan
yang dibuat untuk melindungi kaum patrisia dari komplotan plebia; dan
lebih tidak populer lagi, Tabel XI mendekritkan, “Perkawinan antara seorang
patrisia dan seorang plebia dilarang. “ Hukum yang khusus ini akhirnya dicabut pada tahun 445 setelah terjadi debat sengit di Senat; tidak semua orang
yakin bahwa Roma akan sejahtera jika darah bangsawan dan rakyat Roma
biasa bercampur.9
Namun tribun dan Tabel itu tidak sama sekali mengurangi penyakit
dalam negeri Roma, tetapi reformasi ini menyatukan penduduk cukup lama
sehingga kota sempat memperbaiki arah pandangannya keluar. Pada tahun
437, Roma mulai berperang panjang dengan musuh lamanya Fidenae, di
hulu sungai Tiber. Fidenae menyerang terlebih dahulu kota Latin sejak zaman
Romulus; Romulus berperang dengan Fidenae dan Veii, yang merupakan
kota-kota Etruski tetapi tidak merusakkan keduanya. Sekarang perang dengan Fidenae dimulai lagi dan terus berlangsung sampai tahun 426.
Dua dasawarsa kemudian diisi dengan perang-perang kecil sampai dengan
tahun 405 ketika Roma merebut Veii. Ini ternyata merupakan rangkaian
peperangan yang berlarut-larut; Lima tahun kemudian tentara Roma masih
berkemah di sekitar tembok, ketika ada berita tentang adanya ancaman lain
dari Utara. Suku Celt, yang dikenal Roma sebagai “Gallia,” telah mendesak ke
Selatan selama seratus tahun sekarang. Mereka semakin dekat ke Roma.
Tetapi pihak Roma yang sedang sibuk menuntut wilayah-wilayah sekitarnya, tidak menaruh banyak perhatian. Veii akhirnya jatuh, pada tahun
396; Ini merupakan perang yang pahit bagi kedua belah pihak, karena Veii
adalah kota Etruski yang paling kaya dan paling banyak sumber penghasilannya.10 Kota Veii, tulis Livius, “telah mengalami kerugian yang lebih buruk dari
yang dideritanya,” yang berarti penyerbuan itu telah melemahkan angkatan
perang Roma dengan cukup berarti. Dan Veii bukanlah satu-satunya ikan
yang sedang digoreng oleh angkatan perang; serdadu Roma juga sudah berada
di hampir semua tempat di pedesaan, menteror petani dan merebut desa-desa
untuk menambah wilayah Roma menjadi semakin besar.
Angkatan perang yang terlalu lelah sedang beristirahat ketika seorang
plebia bernama Caedicius datang ke tribun dengan peringatan yang menakutkan. “Dalam kesunyian malam,” ia mendengar suatu suara yang bukan
suara manusia, “Beritahu para hakim bahwa suku Gallia sedang mendekat.”
Peringatan itu “ditertawakan, sebagian karena Caedicius adalah orang yang
tidak penting”; Roma masih menderita wabah patrisianya.11
Tetapi kabar dari kota Clusium di sebelah Utara, pangkalan dari Lars
Porsena, menakutkan. Seribu orang Celt tiba-tiba muncul di gerbang-gerbang
kota, melambai-lambaikan senjata. “Situasinya sangat buruk,” kata Livius, dan meskipun pada kenyataannya rakyat Clusium tidak ada ikatan resmi
dengan Roma atau punya alasan untuk mengharapkan persahabatannya …
mereka mengirimkan misi untuk memohon bantuan dari Senat.”12
Bahayanya pasti sangat besar bagi Clusium sampai kota ini mau mengesampingkan dendam lama antara kedua kota. Tetapi, bangsa Gallia adalah
musuh yang berkecenderungan untuk menyatukan semenanjunga. Kalau
Roma bisa mengirimkan pasukan untuk melawannya, itu akan terjadi. Tetapi
setelah perang yang terus menerus selama tiga puluh tahun terakhir, Senat
tidak punya bantuan yang bisa diberikan.
Sebaliknya, mereka mengirimkan duta besar untuk meyakinkan bangsa
Gallia untuk tetap tinggal dengan damai di daerah itu, daripada menjatuhkan
Clusium dengan paksa. Hal ini mungkin akan menjadi diskusi yang berhasil
kalau utusan Roma dapat menahan kemarahannya ketika pihak Gallia menentang mereka. Kubu Roma menarik pedang mereka; orang Gallia yang sudah
panas, menerima tantangan ini. “Kemarahan mereka yang sudah tidak dapat
dibendung meledak berapi-api, yang memang merupakan karakteristik ras
mereka, dan maju, dengan kecepatan yang luar biasa, ke jalan menuju Roma,”
tulis Livius, “… Dan semua rombongan yang bukan main banyaknya ini,
mengarungi berkilometer-kilometer jalan darat, berbondong-bondong naik
kuda dan berjalan kaki, sambil berteriak “Ke Roma!”13
Para pemimpin Roma bergegas membariskan angkatan perang mereka
di Tiber, tetapi garisnya begitu tipis sehingga kubu Gallia menahan diri,
mencurigai adanya jebakan karena serdadu Roma begitu sedikit. Tetapi ketika menjadi jelas bahwa hanya orang-orang itulah yang dapat dikumpulkan
oleh laskar yang sudah terlampau berat bekerja itu, kubu Gallia terjun ke
depan tentara Roma. Awalnya terjadi penjagalan, dan kemudian kucar-kacir.
Serdadu Roma melarikan diri, tenggelam ke sungai Tiber, ditenggelamkan
oleh beratnya pakaian perang mereka. Setengah dari yang berhasil hidup sampai ke kota Veii dan mengunci diri di dalam. Sisanya berhasil kembali ke
Roma, tetapi jumlahnya jelas tidak memadai untuk membela kota, sehingga
seluruh penduduk mundur ke Capitol, meninggalkan kota tidak terjaga.
Bangsa Gallia membanjiri kota itu, membunuh siapa pun yang tertinggal dalam pelarian ke Capitol dan membakari rumah-rumah tanpa pandang
bulu. Sementara itu kubu Roma, “hampir tidak dapat mempercayai penglihatan atau telinga mereka ketika mereka melihat ke bawah, musuh barbarnya
berkeliaran dalam gerombolan-gerombolan dan memasuki jalan-jalan yang
mereka kenal … ke sana kemari, teriakan-teriakan kemenangan, teriakan-
teriakan perempuan atau tangisan anak-anak, api yang berkobar atau suara
gemuruh dari rumah yang ambruk .. tidak terkunci dalam kota, tetapi dipaksa
keluar dari kota itu, mereka melihat bahwa semua yang mereka cintai sudah
dikuasai oleh musuh.14
Terperangkap di Capitol, mereka tidak dapat menyerang kembali.
Sebaliknya petarung-petarung Celt di bawah tidak dapat mencapai mereka.
Kiranya pengepungan yang lama dapat membuat mereka kelaparan, tetapi
kubu Gallia tidak tahu berapa banyak makanan dan air yang ada di dalam
Capitol. Dan meskipun kondisi di dalam Capitol menyedihkan, kondisi di
bawah di dalam kota segera menjadi buruk. Makanan terbatas, dan orang
Gallia berkemah di dataran rendah, di tempat yang ventilasinya sedikit. Asap
dari abu dan debu dari api yang membakar Roma meniup ke arah mereka dan
mengendap, dalam racun yang keluar dari tanah yang menyebabkan batukbatuk dan radang paru-paru. Akhirnya, kondisi yang penuh sesak merambat
menjadi epidemi. Mereka mulai mati dalam jumlah puluhan dan kemudian
ratusan, sampai akhirnya terlalu banyak tubuh yang harus dikubur; yang
masih hidup membakarnya dalam tumpukan tinggi.15
Jadi ketika pihak Roma membuat usulan mereka mau mendengarkan:
mereka akan membayar orang Gallia dengan emas, kalau si pengepung mau
mundur dari tembok-tembok Roma. Dalam hal ini pihak Roma dibesarkan
hatinya oleh tawaran bantuan dari sumber yang tidak terduga. Kaum Masali
dari koloni Yunani lama di pantai Selatan Eropa, sudah pernah bertempur
dengan bangsa pengembara Celt, yang muncul dan berkemah di sekitar tembok-tembok Masalia. Orang Masalia telah membayar mereka dan suku Celt
pergi. Menurut pakar sejarah Roma, Pompeius Trogous, orang Masali kemudian mengirimkan utusan ke tempat suci di Delphi untuk berterima kasih
pada Apollo atas kelahiran mereka. Masalia tetap mempertahankan ikatan
jarak jauh dengan tempat suci pan-Helenik di tanah air.
Utusan-utusan sedang dalam perjalanan pulang ketika mereka mendengar
kabar tentang pengepungan Capitol.16 Mereka membawa berita ini kembali
ke Masalia, di mana pemimpin kotanya setuju bahwa hubungan baik dengan
Roma di masa depan akan berharga untuk dijajagi. Orang Masalia menyerang
bendahara mereka sendiri, meyakinkan warga negaranya yang kaya untuk
memberikan sumbangan pribadi, dan menambahkan emas mereka dalam
uang tebusan. Bangsa Gallia mengambil jumlah itu dan mundur ke arah
Utara, di mana sejuknya pegunungan lebih cocok daripada panasnya daerah
Selatan semenanjung Italia.
Orang Roma muncul dari Capitol untuk membangun kembali dengan
tergesa-gesa, takut kalau-kalau musuh kembali. “Semua pekerjaan tergesagesa,” Livius menyimpulkan, “dan tidak ada seorang pun peduli untuk mengawasi apakah jalan-jalannya lurus … dan gedung-gedung dibangun di
mana pun ada tempat untuk mereka. Ini menjelaskan kenapa … tata kota
Roma pada umumnya seperti sebuah perumahan penghuni liar daripada kota
yang direncanakan dengan benar.”17 Penundukan Roma yang pertama kali
oleh kaum barbar tidak hanya mencoreng ambisi imperial Roma, tetapi meninggalkan tanda permanen pada kota itu sendiri.
G A R I S WA K T U 6 6
YUNANI ROMA
Cleomenes dari Sparta
Damaratus dari Sparta Awal Republik Romawi (509)
Invasi suku Celt
Diktator Roma yang Pertama
Perang Maraton (490)
Leonidas dari Sparta
Peperangan Thermopylae dan Salamis (480)
Peperangan Platea dan Mycale (479)
Peridiklas II dari Makedonia Undang-undang Tabel Dua Belas
Pericles dari Athena
Pericles dari Athena
Perang Peloponesia (mulai 431)
Roma dibakar oleh Bangsa Gallia
S beberapa dasawarsa terjadinya perang-perang yang tiada
akhir melawan tetangga, suku barbar dan bangsawannya sendiri, Jin, Negara
Utara akhirnya terpecah. Kejatuhannya dicatat oleh Sima Quan dengan istilah- istilah yang tidak jelas: “Dalam tahun kedua puluh empat Raja Wei-lieh,”
tulisnya, suatu tahun yang ditentukan sebagai tahun 403 SM, “Kesembilan
Tumpuan” bergejolak. Raja menunjuk Han, Wei, dan Chao sebagai penguasa
feodal.”1
Han, Wei, dan Chao adalah tiga keluarga yang berperang dari Negara
Jin yang masing-masing menuntut bagian dari teritori Jin untuk diri mereka
sendiri. Ketika mereka menuntut bahwa kerajaan Zhou di Timur mengakui
mereka sebagai penguasa atas tiga daerah yang baru saja ditetapkan, beliau
tidak punya kekuatan untuk menolak. Kesembilan Tumpuan yang sedang
bergejolak memang suatu metafor buruk; raja Zhou Timur sekarang kehilangan otoritasnya bahkan wewenang sucinya sendiri.
Itulah sebabnya, Negara Jin punah. Suatu rekonstruksi sementara peta
China pada awal abad keempat menunjukkan bahwa tiga belas negera bagian dalam Musim Semi dan Musim Gugur telah menjadi sembilan, dengan
wilayah Zhou masih bertengger dengan gamang di tengah-tengah. Chu mengaku bahwa kedua Negara di sebelah Timurnya, luasnya hampir dua kali.
Sung dan Qi bertahan hidup, demikian juga Negara Lu, meskipun Lu sudah
mengecil. Ketiga Negara baru yaitu Chao, Wei, dan Han membanjiri teritori Jin yang lama untuk menelan Negara yang lama yaitu Hsu, Cheng, dan
Wey lama; Yen sudah kehilangan sebagian dari teritori Baratnya, tetapi dapat
memperbaiki hal itu dengan menyebar ke sepanjang pantai Timur.
Tetapi Negara yang muncul sebagai pemenang yang paling besar adalah
Ch’in, yang setidaknya menjadi empat kali ukuran aslinya. Akhirnya batas
sebelah Timur dari Ch-in menyebar dari sungai Kuning sampai dengan
Yangtze.
Periode perang negara-negara, yang dimulai dengan kesembilan negara ini, berlanjut seperti diperkirakan semua orang dari namanya: dengan
perang terus-menerus. Akan melelahkanjika menceritakan semuanya dengan
rinci, tetapi antara tahun 403 dan 361, percekcokan antarnegara yang tiada
akhir pelan-pelan membangkitkan kesembilan negara untuk menjadi suatu
susunan kekuasaan. Pada tahun 361, negara-negara yang paling kuat di daratan terletak dalam satu garis tiga negara, dari Timur sampai Barat: Qi, Wei,
dan Ch’in. Chu yang besar, di sebelah Selatan, sementara disibukkan oleh
dua negara bagian Timur yang ditelannya, Wu dan Yueh; keduanya berjuang
untuk memisahkan diri. Negara Qi adalah yang terkaya; negara ini mempunyai jumlah adipati
yang kompeten, yang menarik pajak dengan cara yang teratur dan juga berhasil menyudutkan monopoli garam.2
Wei lebih maju dalam hal kekuatan
militer. Ch’in sepanjang ke arah Barat, mempunyai teritori yang berjumlah
besar tetapi merupakan negara yang terpencil, jauh dari pusat kekuasaan,
dengan tanah tinggi berpegunungan yang memisahkannya dari negara-negara bagian China yang lebih tua.3
Hal ini membuat Ch’in dipandang sebagai
semibarbar. “Penguasa-penguasa feodal dari Negara Pusat … memperlakukan Ch’in sebagai bangsa Yi atau Ti yang tidak beradab,” komentar Sima Qian.4
Bahkan seratus tahun kemudian, seorang bangsawan Wei dapat mengenali
orang Ch’in sebagai orang yang “rakus, tidak dapat dipercaya dan tidak tahu
apa-apa mengenai sopan santun, hubungan yang benar dan tingkah laku yang
benar.”5
Keadaan ini mulai berubah pada tahun 361 M, ketika seorang bangsawan
bernama Shang Yang tiba di beranda penguasa Ch’in, menawarkan untuk
membantu membuat Ch’in menjadi suatu kekuatan besar.
Shang Yang lahir di Wei, negara bagian baru. Ia adalah putra dari seorang
selir kerajaan dan tidak bisa berkuasa. Ia merasa berhak mendapatkan kekuasaan yang lebih besar karena asal-usulnya, jadi ketika berita sampai ke Timur
bahwa penguasa baru Chin, Adipati Hsiao telah mengirimkan undangan
kepada semua orang yang mampu untuk bergabung dengannya untuk menjadikan Ch’in lebih kuat, ia meninggalkan tanah kelahirnnya dan melakukan
perjalanan ke arah Barat.
Adipati Hsiao begitu terkesan pada pemikiran-pemikiran Shang Yang
sehingga ia memberinya kekuasaan bebas untuk membuat perubahan-perubahan yang dianggapnya perlu. Segera, Shang Yang mengawali rezim baru
dengan menentukan hukuman berat untuk pengkhianatan dan permusuhan; bahkan pertengkaran pribadi bisa dihukum menurut undang-undang.
Untuk melaksanakan ini, ia memerintahkan supaya Ch’in dibagi dalam suatu
jaringan yang terdiri dari kotak-kotak kecil, masing-masing terdiri tidak lebih
dari sepuluh rumah tangga, di mana setiap rumah tangga diberi tanggung
jawab untuk melaporkan kesalahan apapun yang diperbuat oleh yang lainnya. Rakyat Ch’in, menurut penulis biografi Shang Yang, “saling mengawasi
satu sama lain dan saling berbagi hukuman. Siapa pun yang tidak melaporkan orang yang melakukan kejahatan akan dipotong menjadi dua.”6
Tidak
seorang pun juga boleh untuk melarikan diri dari pengawasan para pejabat
dan tetangga dengan menghilang ke tempat yang jauh; pemilik penginapan
dilarang menawarkan kamar untuk wisatawan kecuali wisatawan itu membawa izin resmi.
Dengan diberlakukannya mekanisme kontrol seperti ini, Shang Yang mulai
menjadikan Ch’in sebuah pemerintahan yang bermanfaat. Daripada meniru
kepangkatan dan hak-hak istimewa dari negara-negara yang didominasi oleh
bangsawan di sebelah Timurnya, Ch’in lebih baik mengubah kelemahannya
— kurangnya kebangsawanan, warisan keturunan yang bercampur antara
China dan non-China — menjadi suatu kekuatan. Gelar mulai sekarang akan
dihadiahkan kepada adipati hanya berdasarkan “jasa dalam kemiliteran,” dan
para bangsawan yang tidak dapat berkelahi tidak menjadi bangsawan lagi.
“Mereka yang berasal dari keluarga pangeran, yang tidak punya jasa kemiliteran, tidak dapat dipandang atau menjadi keluarga pangeran tersebut.”7
Karena
terlalu ingin memperlihatkan bahwa kelahiran sebagai bangsawan tidak memberikan hak-hak istimewa, Shang Yang bahkan memaksa agar putra adipati
sendiri, Huiwen dihukum ketika dia melakukan pelanggaran kecil terhadap
hukum yang baru itu. Hal ini kelihatannya menyebabkan sedikit kesulitan
di istana; Shang Yang akhirnya mengakui bahwa menjatuhkan hukuman mati
pada ahli waris adipati bukanlah hal yang bagus, dan sebagai gantinya menghukum mati satu dari pengajar Huiwen dan mencap yang lain (atau, menurut
beberapa cerita, memotong hidungnya).8
Lebih lanjut lagi, mulai saat itu tidak ada warga negara Ch’in yang diperbolehkan untuk menghindari tugas untuk melaksanakan pekerjaan yang
berguna bagi kepentingan negara. Menurut pendapat Shang Yang, pedagang
adalah parasit yang menjual barang buatan orang lain dan mengambil potongan dari keuntungannya. “Semua orang harus membantu dalam pekerjaan
bercocok tanam dan menenun,” tulis Sima Qian mengenai reformasi Shang
Yang, “dan hanya mereka yang menghasilkan jumlah benih yang besar atau
sutera dibebaskan dari pekerjaan umum. Mereka yang pekerjaannya berdagang dijadikan budak, bersama dengan yang miskin dan malas.
Sebaliknya, mereka yang bekerja keras dapat berharap untuk diberi hadiah
berbidang-bidang tanah. Ini merupakan ide baru, dan mungkin yang pertama
rakyat diberikan secara resmi kepemilikan tanah pribadi di seluruh China.10
Kepemilikan pribadi yang baru ini diperkuat dengan serangkaian peraturannya: tidak ada seorang pun yang sekarang dapat pindah ke rumah baru tanpa
adanya izin resmi, ini berarti bahwa petani tidak dapat memakai tanahnya
lalu pindah ke pertanian baru. Mereka harus mengelola tanah mereka dengan
benar atau kelaparan.11
Tidak semua orang senang dengan reformasi. Penulis biografi Shan Yang
mengomentari bahwa para pengunjuk rasa yang “datang ke ibu kota dan pada
awalnya mengatakan bahwa undang-undang itu tidak benar bisa dihitung
dalam ribuan.”12 Tetapi kepentingan yang diberikan dalam bidang pertanian itu sangat berarti, tanah Ch’in sekarang, yang tadinya terbengkalai, bisa
menghasilkan panen. Dan meskipun hukuman-hukuman ShangYang kejam,
kebijaksanaannya (yang juga mengizinkan kriminal yang dihukum untuk
mendapatkan kebebasan dengan mengelola tanah pertanian di tempat yang
tadinya tidak berproduksi) menarik makin banyak petani miskin dari negaranegara China. Di Ch’in, mereka setidaknya mempunyai kesempatan untuk
membangkitkan hirarki melalui wajib militer. Seratus tahun kemudian, seorang pakar filsafat Xun Zi yang mengunjungi Ch’in, berkomentar demikian:
“Orang yang kembali dari perang dengan lima kepala musuh” tulisnya, “dijadikan tuan dari lima keluarga di sekitarnya.”13
Kebanyakan pakar sejarah purba sangat tidak suka pada Shang Yang, tetapi
bahkan Sima Qian harus mengakui bahwa pembuatan undang-undang ini
membangun semacam stabilitas di negara yang tadinya tidak punya hukum.
Ia menulis bahwa, sepuluh tahun memasuki rezim baru, “tidak ada perampok
di gunung-gunung; keluarga-keluarga mencukupi kebutuhannya sendiri dan
orang-orang sejahtera … ketenteraman berlangsung di seluruh pedesaan dan
kota.”14
Meskipun begitu, Sima Qian berpendapat Negara Ch’in yang despotik ini
adalah tempat celaka untuk ditinggali. Rakyat diperbudak, meskipun kaya.
Kecemasan-kecemasan lain menggantikan kecemasan akan pencuri dan huruhara: “Tidak ada rakyat yang berani mendiskusikan mandat,” ia mencatat,
karena Shang Yang memerintahkan orang yang tidak puas agar dibuang.15
Musik dan puisi dibubarkan karena dianggap tidak produktif; filsafat dipandang hina. Sebagai bagian dari kampanyenya untuk membuat Ch’in kuat,
Shang Yang membakar semua ajaran Konfusius yang dapat ditemuinya.
Pada tahun 344, Ch’in telah tumbuh cukup kuat bagi Adipati Hsiao
untuk menjalankan salah satu dari hak-hak istimewanya atas Hegemon, dan
memanggil para penguasa feodal untuk mengakuinya. Sima Qian, yang mencatat permintaan ini, tidak memberitahu kita bagaimana reaksi mereka. Ia
memang menambahkan bahwa, pada tahun 343, raja Zhou Timur secara
formal mengakui Adipati Hsiao dari Ch’in sebagai Hegemon. Itulah untuk
pertama kalinya dalam satu abad ada seorang adipati yang bisa meminta gelar
itu, dan pertama kalinya dalam sejarah bahwa penguasa Ch’in yang mendapatkannya.
Sekarang cita-cita paling utama dari reformasi Shang Yang menjadi jelas.
Undang-undang yang baru telah menghasilkan populasi yang cukup pangan
dan bertumbuh, dan membuat wajib militer sebagai salah satu dari karir-karir
yang paling menarik untuk generasi muda Ch’in. Pada tahun 340, Ch’in
mulai berperang menaklukkan tetangga-tetangganya.
Target Shang Yang yang pertama adalah Wei, dan jatuhlan negara baru
itu ke tangan angkatan perang Ch’in tanpa terlalu banyak perjuangan. Tetapi
kemenangan ini adalah kemenangan Shang Yang yang terakhir. Adipati Hsiao
wafat dan diteruskan oleh putranya Huiwen - Si Huiwen melihat sendiri para
pengajarnya dihukum mati dan dibuat cacat, dua puluh tahun yang lalu,
untuk menanggung kesalahannya. Ia sudah membenci Shang Yang sejak saat
itu. Segera setelah kekuasaan berada di tangannya, ia memerintahkan Shang
Yang untuk ditangkap.
Si menteri menyamar dan melarikan diri keluar istana Ch’in, tetapi ketika ia meminta perlindungan di sebuah penginapan, si pemilik penginapan
menolak membiarkannya masuk. Orang lain pun tidak mau. Ia tidak mempunyai izin, demikian syarat undang-undangnya.
Kehilangan tempat bersembunyi, Shang Yang segera diambil oleh orangorang Huiwen dan dibawa kembali ke ibu kota Ch’in. Di sana ia dihukum
dengan cara diikat pada empat kereta yang berlari ke arah yang berbeda-beda,
dia hancur tercabik-cabik.
Dengan hilangnya kehadiran Shang Yang yang mengganggu, Huiwen
memutuskan untuk tidak menarik kembali reformasi si menteri. Bagaimana
pun juga mereka telah membuat Ch’in lebih kuat daripada sebelumnya; sebenarnya begitu kuatnya sampai tahun 325, ia memproklamasikan dirinya
sebagai raja.
Seperti dapat diduga, penguasa feodal yang lain bereaksi: “Sesudahnya,”
Sima Qian menulis, “semua penguasa feodal menjadi raja.” Peperangan dari
negera-negara yang berperang terus berlanjut seperti sebelumnya, kecuali
sekarang mereka dipimpin oleh raja-raja bukan adipati.
D dunia yang terus menerus kacau, guru-guru filsafat terus mencoba
untuk memahami kehidupan mereka dan menanyakan pertanyaan sentral
pada zaman mereka: bagaimana orang dapat menjadi utuh, dalam dunia yang
selalu terkoyak?
Ajaran-ajaran Konfusius yang menurut ShanYang merusak kepentingannya sendiri, dijalankan oleh muridnya yang paling terkenal, Mencius
(dibahasa-latinkan, seperti Konfusius, dari nama Meng-tzu). Tulisan-tulisan
Mencius menaruh perhatian pada (hampir tidak mengherankan) hubungan
antara pemerintah dan rakyatnya. Penguasa memerintah dengan kemauan
dari Surga, tulis Mencius, tetapi karena Surga “tidak berbicara,” si penguasa
mengukur apakah ia sebenarnya sudah melaksanakan kehendak Surga dengan
mendengarkan pendapat-pendapat rakyatnya.17. Kalau ia cukup mendengarkan,
ia akan belajar bahwa perang bukanlah kehendak Surga. “Orang dapat menebak
apa ambisi pemimpinnya,” tulisnya, menyebutkan seorang raja imajiner. “untuk
memperluas wilayahnya, menikmati penghormatan Ch’in dan Chu, untuk menguasai Kerajaan Pusat … Mencari pelampiasan dari ambisi seperti itu (dengan
kekuatan atau senjata) adalah seperti mencari ikan dengan memanjat sebuah
pohon.”18 Ini bukanlah filsafat yang dapat diterima oleh raja-raja yang lebih suka
memanjat pohon; Mencius, yang menawarkan diri menjadi penasihat para adipati dari berbagai negara bagian, ditolak oleh semuanya.
Meskipun begitu Mencius bukanlah satu-satunya suara yang menawarkan solusi. Tulisan-tulisannya membuka pemikiran bahwa penekanan ajaran
Konfusius adalah pada dasar kemampuan manusia untuk menjadi utuh, kebaikan dasar manusia, dan kepatuhan akan tingkah laku sosial yang benar
sebagai cara untuk menemukan kedamaian dalam masa-masa sulit. Dan banyak dalam negara-negara yang berperang ini yang berpendapat ini sama
sekali tidak cukup. Sehari- hari mereka menemukan bukti dari keegosentrisan
dan nafsu berkuasa manusia yang mendasar; sehari-hari mereka tinggal dalam
kekacauan sehingga kepatuhan akan tingkah laku sosial yang benar sepertinya
tidak ada artinya.
Selama tahun-tahun ini, sebuah filosofi baru, yang berbeda dari teori
Mencius, mempersatukan benang-benang mistik dari zaman yang lebih purba.
Filosofi ini akhirnya dibentuk dalam tulisan yang dikenal sebagai Tao-TheChing. Tao: jalan. Para penganut Tao percaya bahwa jalan menuju kedamaian
adalah dengan pasif menerima segala sesuatu apa adanya, yang kelihatannya
pasti dapat dilakukan dengan nyata.
Para penganut Tao tidak membuat undang-undang. Semua pernyataan
atas perilaku yang etis masih ada cacatnya, dan itu adalah cerminan dari kebejatan moral manusia yang dibawa sejak lahir.19 Semua pernyataan positif harus
dihindari, sebenarnya, bersama dengan semua agresi dan ambisi. Seperti dijelaskan oleh Tao-Teh-Ching
Tao akhirnya tidak melakukan apa-apa,
tetapi meskipun demikian tidak ada sesuatu yang tidak dapat dilakukan,
Jika raja-raja dan para adipati bisa memeliharanya,
segala sesuatu akan melewati transformasi mereka sendiri …
Tidak adanya nafsu akan membimbing ke arah ketenangan;
Dunia akan dengan sendirinya menemukan keseimbangannya.20
Menarik diri dari kekacauan, menunggu dengan keyakinan bahwa apa yang
akan terjadi terjadilah; inilah filosofi praktis untuk masa yang buruk. Mungkin
penganut Tao yang paling terkenal adalah Chuang Tzu, yang lahir pada tahun
yang bersamaan dengan waktu ketika Adipati Hsiao mewarisi kekuasaan Ch’in
dan menyambut kedatangan Shang Yang ke dalam negaranya. Keberhasilan
para kaisar dan raja adalah urusan yang tidak berguna sehubungan dengan
orang bijaksana,” tulisnya, “bukan caranya untuk memelihara tubuh menjadi utuh dan untuk peduli pada kehidupan. Meskipun begitu berapa banyak
orang di dunia vulgar sekarang yang membahayakan dirinya dan membuang
kehidupannya dalam usaha mengejar hal-hal yang tidak berarti! Bagaimana
kita bisa mengasihani mereka?
Chuang Tzu sendiri menulisnya dalam suatu metafor begini:
Suatu saat Chuang Tzu bermimpi bahwa ia adalah seekor kupu-kupu, seekor kupu-kupu yang mencumbu dan mengibas-ibaskan sayapnya ke sana
kemari, puas dengan dirinya sendiri dan berbuat sesuka hatinya. Ia tidak
tahu bahwa ia adalah Chuang Tzu. Tiba-tiba ia bangun dan itu dia, padat
dan tidak salah lagi Chuang Tzu. Tetapi ia tidak tahu apakah ia Chuang
Tzu yang telah bermimpi bahwa ia adalah seekor kupu-kupu, atau seekor
kupu-kupu yang sedang bermimpi bahwa dia adalah Chuang Tzu.22
Pada hari-hari seperti itu, si penganut Tao merasa sangat puas untuk meninggalkan dunia fana. Kampanye selanjutnya yang mengejutkan pintunya,
undang-undang berikut yang dikeluarkan oleh adipatinya untuk membatasinya: ini hanya gangguan insidentil, bukan sifat segala sesuatu yang sebenarnya.
Tidak peduli berapa terali dipasang di sekitarnya, ia tetap tidak peduli seperti
si kupu-kupu.
G A R I S WA K T U 6 7
ROMA CHINA
Penarikan Diri Plebia (494)
Periode “Musim Semi dan Gugur”
berakhir (481)
Wafatnya Konfusius
Undang-Undang Tabel Dua Belas
Masa Peperangan Negara-Negara dimulai
(403)
Roma dibakar oleh Bangsa Gallia (390)
Adipati Hsiao dari Ch’in
Shang yang
Huiwen dari Ch’in (325)
P sudah selesai. Athena terpencil,
bangkrut, marah, Tembok Panjang sudah runtuh, dan sebanyak tujuh puluh
ribu orang Athena meninggal karena wabah, perang, atau pembersihan politik.1
Tidak ada yang merencanakan masa depan, dan kota dipenuhi dengan janda
dan wanita yang tidak akan pernah menikah karena begitu banyaknya pria
meninggal. Aristofanes mengumandangkan suara yang pahit untuk zaman
itu dalam sandiwaranya Perempuan Majelis (The Assemblywomen): “Situasinya
masih bisa diselamatkan,” seorang wanita Athena memproklamasikan “Aku
mengusulkan supaya kita menyerahkan pemerintahan kepada perempuan!”2
Di antara solusi-solusi mereka untuk mengatasi kesulitan-kesulitan kota itu
adalah undang-undang yang memproklamasikan bahwa setiap pria yang ingin
tidur dengan seorang wanita muda harus “menyenangkan seorang wanita yang
lebih tua lebih dahulu.”3
Sparta, pemenang yang hanya cuma nama, keadaannya lebih baik. Musim
tanam dan musim panen tertunda. Tentara yang menyeruak lewat Peloponesia
telah menghancurkan kebun-kebun a