Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 27






 Di Roma, antara tahun 495 dan 390 SM

kaum patrisia dan plebian berselisih

dan bangsa Gallia membakar kota

Diktator pertama roma yang ditunjuk untuk mengalahkan para pen￾jajah keluar dari tembok-tembok kota, telah berhasil melaksanakan tugasnya. 

Meskipun begitu usaha itu tidak mendatangkan perdamaian sejati. Di pede￾saan Roma, tulis Livius, “tidak ada kedamaian yang terjamin, juga tidak ada 

perang terbuka”; malahan, sedang berlangsung perang dingin antara kekua￾tan  yang  sedang  naik  dan  kekuaan  yang  agresif,  dan  kota-kota  sekitarnya, 

tidak yakin benar apakah akan menantang Roma atau membiarkannya begitu 

saja.1

Tetapi sementara orang Etruski tidak lagi merupakan ancaman serius—se￾lama penyerbuan ke Sisilia mereka telah mengumpulkan kekuatannya yang 

mulai redup di belakang Athena, dan menderita karenanya—Roma mempu￾nyai masalahnya sendiri.  “Begitu dalamnya negara itu terbagi oleh perbedaan 

politik,” kata Livius, sehingga rakyatnya, tidak seperti penjajah mereka, yang 

duduk  di  pemerintahan,  menyambut  kedatangan  masa  penjajahan  dengan 

senang.”2

Roma telah melempar jalanya ke arah semua bangsa di luar, dan pada saat 

ia mulai bermutasi ke arah sebuah kekaisaran, ia menghadapi kesulitan yang 

sama seperti bangsa Persia maupun Sparta: bagaimana mengombinasikan rak￾yat dengan kekuasaan besar (penakluk yang asli) dan mereka yang tidak punya 

kekuasaan (yang ditaklukkan, sekarang terserap) ke dalam satu kesatuan yang 

utuh.  

Di Sparta, penjajah disebut warga negara, sedangkan yang dijajah disebut 

budak.  Di Roma, kedua kelompok mempunyai sedikit perbedaan asal. Kaum patrisia (dari kata Latin pater, “bapak”) secara tradisi merupakan keturunan 

dari dewan penasehat Roma yang melayani raja-raja lama. Kaum plebia adalah 

semua orang lain: suatu istilah yang terkenal susah untuk didefinisikan kare￾na merupakan suatu penyangkalan “bukan kaum patrisia.” Hal ini termasuk 

bangsa-bangsa yang tertaklukkan yang sekarang hidup di Roma, tetapi juga 

orang-orang yang nenek moyangnya penduduk rendahan dari kota asli.  

Kaum plebia jumlahnya lebih banyak dari kaum patrisia, namun kaum 

patrisia memegang jumlah tanah dan kekayaan yang tidak seimbang. Bahkan 

pada  zaman  awal  Republik,  kaum  plebia  berhasil  memilih  satu  di  antara 

mereka sendiri untuk menjadi konsul hampir secara teratur, tetapi para hakim 

dan biarawan Roma, pemilik tanah dan jenderal-jenderal semuanya adalah 

kaum patrisia.  

Seperti di Athena, persoalan hutang menjadi akut. Seorang plebia yang 

harus meminjam uang pada saat terjadinya kelaparan, atau ketika pergi ber￾perang,  untuk  menafkahi  keluarganya  harus  menjaminkan  dirinya;  kalau 

uangnya tidak dikembalikan, ia dan orang-orang yang bergantung kepadanya 

dijadikan  budak.3

  Kaum  patrisia  dengan  demikian  mendapat  tidak  hanya 

tanah dan uang, tetapi juga kepemilikian atas warga negara Roma sendiri dan 

jumlahnya terus bertambah. Kaum plebia merasa sakit hati khususnya kare￾na mereka kerap terperangkap dalam hutang dan perbudakan sebagai akibat 

dari kepergian mereka berperang untuk Roma.  Pada tahun 495, kekecewaan 

mereka mencuat menjadi huru-hara ketika seorang tentara tua yang pernah 

terkenal atas perbuatannya yang berani, terpincang-pincang maju ke depan 

Forum. Dengan pakaiannya yang berlumpur dan tanpa jahitan,” tulis Livius 

“tubuhnya yang mengerikan dan pucat dan kurus … rambut dan janggutnya 

tidak terurus … ia merupakan pemandangan yang patut dikasihani.” Orang￾orang melihatnya, dan kumpulan orang itu mulai bergumam; makin lama 

makin banyak orang berkumpul untuk mendengarkannya.ia menyobek ba￾junya dan memperlihatkan dadanya yang luka karena sabitan pedang yang 

dideritanya selama pelayanannya pada Roma, punggungnya bertanda bekas 

pukulan dari majikannya yang kaya. “Selama aku bertugas, kata orang tua 

itu, pada waktu perang Sabin, hasil panenku dirusak oleh serangan musuh 

dan gubukku dibakar. Semua yang aku miliki diambil, termasuk ternakku. 

Kemudian, ketika akhirnya aku mulai bisa berbuat sedikit, aku harus mem￾bayar pajak dan akibatnya terperangkap dalam hutang.”4

Karena peristiwa ini, budak-budak hutang (beberapa masih terikat rantai) 

dari seluruh kota berbondong-bondong turun ke jalan-jalan berteriak-teriak 

kepada  Senat  untuk  memutuskan  segera  bagaimana  membebaskan  mereka 

dari perbudakan. Para senator kebanyakan menghilang, karena mereka ber￾sembunyi dari gerombolan orang itu. Tetapi, para konsul memutuskan untuk menghindari  kekerasan  yang  tidak  perlu,  lalu  mereka  berkeliling  menyeret 

para senator dari persembunyiaannya ke Senat sehingga mereka bisa mulai 

memecahkan permasalahan perbudakan karena hutang. Ketika debat dimulai 

antara para senator, para budak hutang yang marah itu berbondong-bondong 

mengelilingi Senat, mendorong ke arah pintu dan bergelantungan di jendela￾jendela  untuk  mendengarkan  bagaimana  Senat  akan  menyelesaikan  situasi 

itu.  

Ini bukanlah suasana yang baik untuk berdebat yang masuk akal untuk 

memecahkan masalah hutang, dan sebenarnya Senat tidak sampai pada ke￾simpulan apa pun ketika datang bantuan dari cakrawala: ada berita bahwa 

suku Volscii, yang tinggal di Selatan kota Roma, sedang bergerak ke kota. 

Senat tergesa-gesa meloloskan resolusi bahwa tidak seorang pun di masa yang 

akan datang dapat diturunkan derajatnya menjadi budak hutang sepanjang 

dia aktif dalam tugas militer. Karena hal ini, secara praktis setiap orang di 

jalan bergabung dengan tentara dan pergi berperang melawan suku Volscii. 

Penyerbu itu terbasmi seluruhnya, karena tentara yang terdiri dari para peng￾hutang yang menyerbu keluar menghadapi mereka itu seperti dikatakan oleh 

Livius, “memang menginginkan perkelahian”.  Tetapi masalah yang lebih besar 

daripada kekuasaan yang tidak seimbang itu belum terpecahkan. Roma, tulis 

Livius,  perlu  mencari  “sebuah  solusi  untuk  mengatasi  konflik  kepentingan 

dari dua kelas dalam negara: dengan cara yang adil atau licik negara harus 

memulihkan  keharmonisan  internalnya.5

    Kata-kata  “atau  licik”  khususnya 

tidak  terlalu  menggembirakan,  hal  itu  menyiratkan  bahwa,  bahkan  dalam 

masa  Livius,  kepulan  asap  yang  mengandung  arti  sudahi  saja  masalah  ini, 

masih hidup sejak perdebatan di zaman yang lebih kuno.  Dan kenyataan￾nya, dengan dikalahkannya ancaman suku Volscii, tentara plebia yang baru 

kembali ke kota (mereka tidak bisa selamanya aktif dalam tugas militer) segera 

melihat bahwa tidak ada solusi permanen yang ditawarkan.  

Satu-satunya kekuatan mereka di Roma adalah dalam jumlah, dan mereka 

menggunakan  itu.  Di  tahun  494,  mereka  melakukan  pemogokan  pertama 

yang tercatat:  “Mereka berangkat bersama-sama ke Gunung Suci, lima kilo￾meter  dari  kota  …,”  kata  Livius,  “dan  di  sana  ..  mereka  berkemah.”6

  Ini 

terkenal  sebagai  “penarikan  diri  kaum  plebia”,  dan  di  dalam  kota  Roma, 

aksi mogok ini membuat panik baik kaum patrisia (mereka yang kehilangan 

budaknya dan kebanyakan tentaranya) dan kaum plebia yang tertinggal (yang 

sudah kehilangan kekuatan). Kota menjadi lumpuh, mudah diserang, peker￾jaan harian tidak selesai.  

Akhirnya Senat dan para konsul mengajukan sebuah solusi. Mulai saat itu, 

mereka akan digabung dalam pemerintahan oleh hakim istimewa yang dise￾but tribun, yang akan ditunjuk dari tingkatan pangkat para kaum plebia, dan 

yang akan berfungsi “di atas hukum” (yang artinya, kekebalan dari tekanan 

yang diterapkan oleh Senat dan para konsul, karena Roma belum mempunyai 

hukum tertulis). Pekerjaan mereka adalah melindungi kaum plebia dari keti￾dakadilan. Itulah pertama kali adanya jabatan yang memblokir kaum patrisia, 

karena kemudian banyak jabatan jatuh ke tangan kaum plebia.  

Dua tribun pertama ditunjuk pada tahun 494, tahun yang sama ketika 

terjadi “penarikan diri kaum plebia”. Krisis ini untuk sementara bisa dicegah. 

Melewati setengah abad kemudian, perebutan kekuasaan di antara para 

konsul,  senator,  biarawan,  dan  tribun  semakin  tajam  dan  membuat  Roma 

perlu  mempunyai  hukum  tertulis  yang  akan  bertindak  lebih  jauh  sebagai 

perlindungan  bagi  kaum  plebia.  Para  duta  besar  Roma  yang  mengunjungi 

Athena  pulang  dengan  membawa  pembicaraan  mengenai  hukum  di  Solon 

yang sudah tertulis dalam percobaan, untuk mengurangi ketegangan antara 

kaum bangsawan Athena dan para demokrat. Mereka bahkan membawa se￾buah salinan dari hukum-hukum itu. Roma sekarang menjadi terlalu besar, 

dan  terlalu  beragam,  untuk  bergantung  pada  tradisi  tak  tertulis.  Kota  itu 

memerlukan hukum “yang tiap warga negaranya secara individu dapat mera￾sakan bahwa ia … setuju untuk menerima.”7

Jadi di tahun 451, suatu dewan yang terdiri dari sepuluh pembuat un￾dang-undang—para decemvir—ditunjuk menggantikan para perwira Romawi 

untuk bertugas sepanjang tahun 450. Tugas mereka tidak hanya menjalankan 

pemerintahan  tetapi  juga  menyusun  undang-undang  untuk  menjalankan 

pemerintahan Roma. Penunjukan mereka bukanlah tanpa kontroversi: “Ada 

sejumlah argumentasi mengenai apakah orang yang tidak lahir sebagai patrisia 

boleh menjabat,” kata Livius,8

 karena beberapa orang Romawi masih tidak 

mau  melihat  kaum  plebia  mengambil  bagian  dalam  pemerintahan. Tetapi 

dengan dipecahkannya isu ini, para decemvir menghabiskan waktu tugasnya 

sepanjang tahun itu mengerjakan undang-undang, lalu memperkenalkan un￾dang-undang itu kepada rakyat untuk didiskusikan. Ketika undang-undang 

sudah diubah melalui diskusi itu, suatu pertemuan yang terdiri dari semua 

rakyat  diadakan  untuk  menyetujuinya.  Ada  perasaan  umum  bahwa  masih 

banyak peraturan yang perlu diberlakukan, jadi para decemvir ditunjuk untuk 

tahun berikutnya juga untuk membuat dua tabel lagi.  

Tabel  Dua  Belas  yang  dihasilkan,  ditulis  pada  kayu  dan  dipasang  di 

Forum, di mana semua orang dapat melihat. Livius mengatakan bahwa pada 

zamannya undang-undang itu masih merupakan fondasi dari hukum Roma. 

Sayangnya  tabel  itu  hilang;  yang  dapat  kita  ketahui  tentang  tabel  tersebut 

ialah dari kumpulan kutipan-kutipannya dalam berbagai macam dokumen 

Roma.    Setelah  dikumpulkan  kembali, Tabel-Tabel  yang  tidak  lengkap  itu 

berisi  keterangan  untuk  mempertahankan  perdamaian  antara  kedua  kelas Romawi.  Pada  Tabel  III  tertulis  “Eris confessi rebusque iure iudicatis XXX 

dies iusti sunto,”: Kamu yang mengakui atau sudah diadili berhutang uang

mempunyai waktu tiga puluh hari untuk membayarnya.” Selewat waktu itu, 

pihak yang berhutang dapat diajukan ke pengadilan, dan jika ia tidak mem￾punyai jaminan atau pendapatan, ia dapat dirantai; tetapi penuduhnya harus 

membayar untuk memberinya makanan (yang malah bisa jadi lebih mahal 

daripada memaafkan si penghutang). Siapa pun yang membuat tuduhan yang 

salah, menurut Tabel XII, dapat dihadapkan kepada tiga hakim; kalau mereka 

memutuskan bahwa ia berbohong, ia harus membayar denda yang besar. Dan 

kemudian ada Tabel IX, batu penjuru bagi seluruh ketetapan: “Privilegia ne 

irroganato,” “hukum pribadi tidak dapat diusulkan.” Kaum patrisia tidak lagi 

dapat memaksakan kehendaknya begitu saja kepada kaum plebia tanpa ke￾tetapan mereka.  

Bersama  dengan  ketetapan-ketetapan  ini  ada  peraturan  mengenai  ke￾celakaan  dan  cedera  yang  mengingatkan  kita  pada  hukum  Hammurabi: 

seseorang yang mematahkan tulang orang lain harus membayar denda, tetapi 

denda itu dibagi dua jika tulang yang patah itu kepunyaan seorang budak; 

kalau jalan tidak dipelihara oleh mereka yang memiliki tanah di mana mereka 

lewat, maka sebaliknya para pemakai jalan itu diperbolehkan memasuki dan 

mengendarai  ternaknya  sepanjang 

jalan itu; seorang anak laki-laki yang 

dijual menjadi budak tiga kali dalam 

waktu  yang  berbeda  dapat  menya￾takan dirinya bebas dari ayahnya.  

Dan bersama dengan ini ada se￾lentingan bahwa meskipun Hukum 

Tabel  Dua  Belas  ini  adalah  suatu 

langkah  menuju  arah  yang  benar, 

masih  ada  banyak  ketidakadilan  di 

Roma.  Beberapa dari ketidakadilan 

ini  merupakan  praktik  lama  yang 

biasa:  “seorang  anak  yang  cacat 

harus  dibunuh,”  menurut  Tabel 

IV, dengan kata sederhana, Tabel V 

menjelaskan,  “Wanita,  karena  sifat￾nya yang halus, harus selalu ada yang

menjaga  meskipun  mereka  sudah 

dewasa.”  Dan  yang  lain  khusus 

untuk Roma sendiri,” Tidak ada se￾orang pun yang boleh mengadakan

pertemuan di kota pada malam hari,” menurut Tabel VIII, suatu peraturan 

yang  dibuat  untuk  melindungi  kaum  patrisia  dari  komplotan  plebia;  dan 

lebih tidak populer lagi, Tabel XI mendekritkan, “Perkawinan antara seorang 

patrisia dan seorang plebia dilarang. “ Hukum yang khusus ini akhirnya di￾cabut pada tahun 445 setelah terjadi debat sengit di Senat; tidak semua orang 

yakin bahwa Roma akan sejahtera jika darah bangsawan dan rakyat Roma 

biasa bercampur.9

  

Namun  tribun  dan  Tabel  itu  tidak  sama  sekali  mengurangi  penyakit 

dalam negeri Roma, tetapi reformasi ini menyatukan penduduk cukup lama 

sehingga kota sempat  memperbaiki arah pandangannya keluar.  Pada tahun 

437,  Roma  mulai  berperang  panjang  dengan  musuh  lamanya  Fidenae,  di 

hulu sungai Tiber. Fidenae menyerang terlebih dahulu kota Latin sejak zaman 

Romulus;  Romulus  berperang  dengan  Fidenae  dan  Veii,  yang  merupakan 

kota-kota Etruski tetapi tidak merusakkan keduanya.  Sekarang perang de￾ngan Fidenae dimulai lagi dan terus berlangsung sampai tahun 426.  

Dua dasawarsa kemudian diisi dengan perang-perang kecil sampai dengan 

tahun  405  ketika  Roma  merebut  Veii.  Ini  ternyata  merupakan  rangkaian 

peperangan yang berlarut-larut; Lima tahun kemudian tentara Roma masih 

berkemah di sekitar tembok, ketika ada berita tentang adanya ancaman lain 

dari Utara. Suku Celt, yang dikenal Roma sebagai “Gallia,” telah mendesak ke 

Selatan selama seratus tahun sekarang. Mereka semakin dekat ke Roma.  

Tetapi  pihak  Roma  yang  sedang  sibuk  menuntut  wilayah-wilayah  seki￾tarnya,  tidak  menaruh  banyak  perhatian.  Veii  akhirnya  jatuh,  pada  tahun 

396;  Ini merupakan perang yang pahit bagi kedua belah pihak, karena Veii 

adalah kota Etruski yang paling kaya dan paling banyak sumber penghasilan￾nya.10 Kota Veii, tulis Livius, “telah mengalami kerugian yang lebih buruk dari 

yang dideritanya,” yang berarti penyerbuan itu telah melemahkan angkatan 

perang  Roma  dengan  cukup  berarti.  Dan Veii  bukanlah  satu-satunya  ikan 

yang sedang digoreng oleh angkatan perang; serdadu Roma juga sudah berada 

di hampir semua tempat di pedesaan, menteror petani dan merebut desa-desa 

untuk menambah wilayah Roma menjadi semakin besar.  

Angkatan  perang  yang  terlalu  lelah  sedang  beristirahat  ketika  seorang 

plebia  bernama  Caedicius  datang  ke  tribun  dengan  peringatan  yang  me￾nakutkan. “Dalam kesunyian malam,” ia mendengar suatu suara yang bukan 

suara manusia, “Beritahu para hakim bahwa suku Gallia sedang mendekat.” 

Peringatan itu “ditertawakan, sebagian karena Caedicius adalah orang yang 

tidak penting”; Roma masih menderita wabah patrisianya.11

Tetapi  kabar  dari  kota  Clusium  di  sebelah  Utara,  pangkalan  dari  Lars 

Porsena, menakutkan. Seribu orang Celt tiba-tiba muncul di gerbang-gerbang 

kota,  melambai-lambaikan  senjata.  “Situasinya  sangat  buruk,”  kata  Livius, dan  meskipun  pada  kenyataannya  rakyat  Clusium  tidak  ada  ikatan  resmi 

dengan Roma atau punya alasan untuk mengharapkan persahabatannya … 

mereka mengirimkan misi untuk memohon bantuan dari Senat.”12

Bahayanya pasti sangat besar bagi Clusium sampai kota ini mau menge￾sampingkan dendam lama antara kedua kota.  Tetapi, bangsa Gallia adalah 

musuh  yang  berkecenderungan  untuk  menyatukan  semenanjunga.    Kalau 

Roma bisa mengirimkan pasukan untuk melawannya, itu akan terjadi.  Tetapi 

setelah perang yang terus menerus selama tiga puluh tahun terakhir, Senat 

tidak punya bantuan yang bisa diberikan.  

Sebaliknya,  mereka  mengirimkan  duta  besar  untuk  meyakinkan  bangsa 

Gallia untuk tetap tinggal dengan damai di daerah itu, daripada menjatuhkan 

Clusium dengan paksa. Hal ini mungkin akan menjadi diskusi yang berhasil 

kalau utusan Roma dapat menahan kemarahannya ketika pihak Gallia menen￾tang mereka. Kubu Roma menarik pedang mereka; orang Gallia yang sudah 

panas, menerima tantangan ini. “Kemarahan mereka yang sudah tidak dapat 

dibendung  meledak  berapi-api,  yang  memang  merupakan  karakteristik  ras 

mereka, dan maju, dengan kecepatan yang luar biasa, ke jalan menuju Roma,” 

tulis Livius, “… Dan semua rombongan  yang bukan main banyaknya ini, 

mengarungi berkilometer-kilometer jalan darat, berbondong-bondong naik 

kuda dan berjalan kaki, sambil berteriak “Ke Roma!”13

Para  pemimpin  Roma  bergegas  membariskan  angkatan  perang  mereka 

di  Tiber,  tetapi  garisnya  begitu  tipis  sehingga  kubu  Gallia  menahan  diri, 

mencurigai adanya jebakan karena serdadu Roma begitu sedikit. Tetapi ke￾tika menjadi jelas bahwa hanya orang-orang itulah yang dapat dikumpulkan 

oleh  laskar  yang  sudah  terlampau  berat  bekerja  itu,  kubu  Gallia  terjun  ke 

depan tentara Roma.  Awalnya terjadi penjagalan, dan kemudian kucar-kacir. 

Serdadu  Roma  melarikan  diri,  tenggelam  ke  sungai Tiber,  ditenggelamkan 

oleh beratnya pakaian perang mereka. Setengah dari yang berhasil hidup sam￾pai  ke  kota  Veii  dan  mengunci  diri  di  dalam.  Sisanya  berhasil  kembali  ke 

Roma, tetapi jumlahnya jelas tidak memadai untuk membela kota, sehingga 

seluruh penduduk mundur ke Capitol, meninggalkan kota tidak terjaga.

  

Bangsa Gallia membanjiri kota itu, membunuh siapa pun yang terting￾gal dalam pelarian ke Capitol dan membakari rumah-rumah tanpa pandang 

bulu. Sementara itu kubu Roma, “hampir tidak dapat mempercayai pengli￾hatan atau telinga mereka ketika mereka melihat ke bawah, musuh barbarnya 

berkeliaran  dalam  gerombolan-gerombolan  dan  memasuki  jalan-jalan  yang 

mereka  kenal  …  ke  sana  kemari,  teriakan-teriakan  kemenangan,  teriakan-

teriakan perempuan atau tangisan anak-anak, api yang berkobar atau suara 

gemuruh dari rumah yang ambruk .. tidak terkunci dalam kota, tetapi dipaksa 

keluar dari kota itu, mereka melihat bahwa semua yang mereka cintai sudah 

dikuasai oleh musuh.14

Terperangkap  di  Capitol,  mereka  tidak  dapat  menyerang  kembali. 

Sebaliknya petarung-petarung Celt di bawah tidak dapat mencapai mereka. 

Kiranya  pengepungan  yang  lama  dapat  membuat  mereka  kelaparan,  tetapi 

kubu Gallia tidak tahu berapa banyak makanan dan air yang ada di dalam 

Capitol. Dan meskipun kondisi di dalam Capitol menyedihkan, kondisi di 

bawah  di  dalam  kota  segera  menjadi  buruk.  Makanan  terbatas,  dan  orang 

Gallia berkemah di dataran rendah, di tempat yang ventilasinya sedikit. Asap 

dari abu dan debu dari api yang membakar Roma meniup ke arah mereka dan 

mengendap, dalam racun yang keluar dari tanah yang menyebabkan batuk￾batuk dan radang paru-paru. Akhirnya, kondisi yang penuh sesak merambat 

menjadi epidemi.  Mereka mulai mati dalam jumlah puluhan dan kemudian 

ratusan,  sampai  akhirnya  terlalu  banyak  tubuh  yang  harus  dikubur;  yang 

masih hidup membakarnya dalam tumpukan tinggi.15

Jadi  ketika  pihak  Roma  membuat  usulan  mereka  mau  mendengarkan: 

mereka akan membayar orang Gallia dengan emas, kalau si pengepung mau 

mundur dari tembok-tembok Roma. Dalam hal ini pihak Roma dibesarkan 

hatinya oleh tawaran bantuan dari sumber yang tidak terduga. Kaum Masali 

dari koloni Yunani lama di pantai Selatan Eropa, sudah pernah bertempur 

dengan bangsa pengembara Celt, yang muncul dan berkemah di sekitar tem￾bok-tembok Masalia. Orang Masalia telah membayar mereka dan suku Celt 

pergi. Menurut pakar sejarah Roma, Pompeius Trogous, orang Masali kemu￾dian mengirimkan utusan ke tempat suci di Delphi untuk berterima kasih 

pada  Apollo  atas  kelahiran  mereka.  Masalia  tetap  mempertahankan  ikatan 

jarak jauh dengan tempat suci pan-Helenik di tanah air.  

Utusan-utusan sedang dalam perjalanan pulang ketika mereka mendengar 

kabar tentang pengepungan Capitol.16 Mereka membawa berita ini kembali 

ke Masalia, di mana pemimpin kotanya setuju bahwa hubungan baik dengan 

Roma di masa depan akan berharga untuk dijajagi. Orang Masalia menyerang 

bendahara  mereka  sendiri,  meyakinkan  warga  negaranya  yang  kaya  untuk 

memberikan  sumbangan  pribadi,  dan  menambahkan  emas  mereka  dalam 

uang  tebusan.  Bangsa  Gallia  mengambil  jumlah  itu  dan  mundur  ke  arah 

Utara, di mana sejuknya pegunungan lebih cocok daripada panasnya daerah 

Selatan semenanjung Italia.  

Orang  Roma  muncul  dari  Capitol  untuk  membangun  kembali  dengan 

tergesa-gesa, takut kalau-kalau musuh kembali.  “Semua pekerjaan tergesa￾gesa,”  Livius  menyimpulkan,  “dan  tidak  ada  seorang  pun  peduli  untuk mengawasi apakah jalan-jalannya lurus … dan gedung-gedung dibangun di 

mana pun ada tempat untuk mereka.  Ini menjelaskan kenapa … tata kota 

Roma pada umumnya seperti sebuah perumahan penghuni liar daripada kota 

yang  direncanakan  dengan  benar.”17 Penundukan  Roma  yang  pertama  kali 

oleh kaum barbar tidak hanya mencoreng ambisi imperial Roma, tetapi me￾ninggalkan tanda permanen pada kota itu sendiri.  

G A R I S WA K T U 6 6

   YUNANI  ROMA

 Cleomenes dari Sparta

 Damaratus dari Sparta Awal Republik Romawi (509)

 Invasi suku Celt

 Diktator Roma yang Pertama

 Perang Maraton (490)

 Leonidas dari Sparta

 Peperangan Thermopylae dan Salamis (480)

 Peperangan Platea dan Mycale (479)

 Peridiklas II dari Makedonia Undang-undang Tabel Dua Belas

 Pericles dari Athena

 Pericles dari Athena

 Perang Peloponesia (mulai 431)

 Roma dibakar oleh Bangsa Gallia






S beberapa dasawarsa terjadinya perang-perang yang tiada 

akhir melawan tetangga, suku barbar dan bangsawannya sendiri, Jin, Negara 

Utara akhirnya terpecah. Kejatuhannya dicatat oleh Sima Quan dengan isti￾lah- istilah yang tidak jelas: “Dalam tahun kedua puluh empat Raja Wei-lieh,” 

tulisnya, suatu tahun yang ditentukan sebagai tahun 403 SM, “Kesembilan 

Tumpuan” bergejolak. Raja menunjuk Han, Wei, dan Chao sebagai penguasa 

feodal.”1

Han, Wei, dan Chao adalah tiga keluarga yang berperang dari Negara 

Jin yang masing-masing menuntut bagian dari teritori Jin untuk diri mereka 

sendiri. Ketika mereka menuntut bahwa kerajaan Zhou di Timur mengakui 

mereka sebagai penguasa atas tiga daerah yang baru saja ditetapkan, beliau 

tidak punya kekuatan untuk menolak. Kesembilan Tumpuan yang sedang 

bergejolak memang suatu metafor buruk; raja Zhou Timur sekarang kehi￾langan otoritasnya bahkan wewenang sucinya sendiri. 

Itulah sebabnya, Negara Jin punah. Suatu rekonstruksi sementara peta 

China pada awal abad keempat menunjukkan bahwa tiga belas negera bagi￾an dalam Musim Semi dan Musim Gugur telah menjadi sembilan, dengan 

wilayah Zhou masih bertengger dengan gamang di tengah-tengah. Chu meng￾aku bahwa kedua Negara di sebelah Timurnya, luasnya hampir dua kali. 

Sung dan Qi bertahan hidup, demikian juga Negara Lu, meskipun Lu sudah 

mengecil. Ketiga Negara baru yaitu Chao, Wei, dan Han membanjiri teri￾tori Jin yang lama untuk menelan Negara yang lama yaitu Hsu, Cheng, dan 

Wey lama; Yen sudah kehilangan sebagian dari teritori Baratnya, tetapi dapat 

memperbaiki hal itu dengan menyebar ke sepanjang pantai Timur. 

Tetapi Negara yang muncul sebagai pemenang yang paling besar adalah 

Ch’in, yang setidaknya menjadi empat kali ukuran aslinya. Akhirnya batas 

sebelah Timur dari Ch-in menyebar dari sungai Kuning sampai dengan 

Yangtze.

Periode perang negara-negara, yang dimulai dengan kesembilan ne￾gara ini, berlanjut seperti diperkirakan semua orang dari namanya: dengan 

perang terus-menerus. Akan melelahkanjika menceritakan semuanya dengan 

rinci, tetapi antara tahun 403 dan 361, percekcokan antarnegara yang tiada 

akhir pelan-pelan membangkitkan kesembilan negara untuk menjadi suatu 

susunan kekuasaan. Pada tahun 361, negara-negara yang paling kuat di darat￾an terletak dalam satu garis tiga negara, dari Timur sampai Barat: Qi, Wei, 

dan Ch’in. Chu yang besar, di sebelah Selatan, sementara disibukkan oleh 

dua negara bagian Timur yang ditelannya, Wu dan Yueh; keduanya berjuang 

untuk memisahkan diri. Negara Qi adalah yang terkaya; negara ini mempunyai jumlah adipati 

yang kompeten, yang menarik pajak dengan cara yang teratur dan juga ber￾hasil menyudutkan monopoli garam.2

 Wei lebih maju dalam hal kekuatan 

militer. Ch’in sepanjang ke arah Barat, mempunyai teritori yang berjumlah 

besar tetapi merupakan negara yang terpencil, jauh dari pusat kekuasaan, 

dengan tanah tinggi berpegunungan yang memisahkannya dari negara-ne￾gara bagian China yang lebih tua.3

 Hal ini membuat Ch’in dipandang sebagai 

semibarbar. “Penguasa-penguasa feodal dari Negara Pusat … memperlakukan Ch’in sebagai bangsa Yi atau Ti yang tidak beradab,” komentar Sima Qian.4

Bahkan seratus tahun kemudian, seorang bangsawan Wei dapat mengenali 

orang Ch’in sebagai orang yang “rakus, tidak dapat dipercaya dan tidak tahu 

apa-apa mengenai sopan santun, hubungan yang benar dan tingkah laku yang 

benar.”5

Keadaan ini mulai berubah pada tahun 361 M, ketika seorang bangsawan 

bernama  Shang  Yang  tiba  di  beranda  penguasa  Ch’in,  menawarkan  untuk 

membantu membuat Ch’in menjadi suatu kekuatan besar.  

Shang Yang lahir di Wei, negara bagian baru. Ia adalah putra dari seorang 

selir kerajaan dan tidak bisa berkuasa. Ia merasa berhak mendapatkan kekua￾saan yang lebih besar karena asal-usulnya, jadi ketika berita sampai ke Timur 

bahwa  penguasa  baru  Chin,  Adipati  Hsiao  telah  mengirimkan  undangan 

kepada semua orang yang mampu untuk bergabung dengannya untuk men￾jadikan Ch’in lebih kuat, ia meninggalkan tanah kelahirnnya dan melakukan 

perjalanan ke arah Barat.

Adipati  Hsiao  begitu  terkesan  pada  pemikiran-pemikiran  Shang  Yang 

sehingga ia memberinya kekuasaan bebas untuk membuat perubahan-peru￾bahan  yang  dianggapnya  perlu.  Segera,  Shang Yang  mengawali  rezim  baru 

dengan menentukan hukuman berat untuk pengkhianatan dan permusuh￾an;  bahkan  pertengkaran  pribadi  bisa  dihukum  menurut  undang-undang. 

Untuk melaksanakan ini, ia memerintahkan supaya Ch’in dibagi dalam suatu 

jaringan yang terdiri dari kotak-kotak kecil, masing-masing terdiri tidak lebih 

dari  sepuluh rumah  tangga, di  mana setiap  rumah  tangga  diberi  tanggung 

jawab untuk melaporkan kesalahan apapun yang diperbuat oleh yang lain￾nya. Rakyat Ch’in, menurut penulis biografi Shang Yang, “saling mengawasi 

satu sama lain dan saling berbagi hukuman. Siapa pun yang tidak melapor￾kan orang yang melakukan kejahatan akan dipotong menjadi dua.”6

 Tidak 

seorang pun juga boleh untuk melarikan diri dari pengawasan para pejabat 

dan tetangga dengan menghilang ke tempat yang jauh; pemilik penginapan 

dilarang menawarkan kamar untuk wisatawan kecuali wisatawan itu mem￾bawa izin resmi.  

Dengan diberlakukannya mekanisme kontrol seperti ini, Shang Yang mulai 

menjadikan Ch’in sebuah pemerintahan yang bermanfaat. Daripada meniru 

kepangkatan dan hak-hak istimewa dari negara-negara yang didominasi oleh 

bangsawan di sebelah Timurnya, Ch’in lebih baik mengubah kelemahannya 

—  kurangnya  kebangsawanan,  warisan  keturunan  yang  bercampur  antara 

China dan non-China — menjadi suatu kekuatan. Gelar mulai sekarang akan 

dihadiahkan kepada adipati hanya berdasarkan “jasa dalam kemiliteran,” dan 

para  bangsawan  yang  tidak  dapat  berkelahi  tidak  menjadi  bangsawan  lagi. 

“Mereka yang berasal dari keluarga pangeran, yang tidak punya jasa kemiliter￾an, tidak dapat dipandang atau menjadi keluarga pangeran tersebut.”7

  Karena 

terlalu ingin memperlihatkan bahwa kelahiran sebagai bangsawan tidak mem￾berikan hak-hak istimewa, Shang Yang bahkan memaksa agar putra adipati 

sendiri, Huiwen dihukum ketika dia melakukan pelanggaran kecil terhadap 

hukum yang baru itu.  Hal ini kelihatannya menyebabkan sedikit kesulitan 

di istana; Shang Yang akhirnya mengakui bahwa menjatuhkan hukuman mati 

pada ahli waris adipati bukanlah hal yang bagus, dan sebagai gantinya meng￾hukum mati satu dari pengajar Huiwen dan mencap yang lain (atau, menurut 

beberapa cerita, memotong hidungnya).8

Lebih lanjut lagi, mulai saat itu tidak ada warga negara Ch’in yang diper￾bolehkan  untuk  menghindari  tugas  untuk  melaksanakan  pekerjaan  yang 

berguna bagi kepentingan negara. Menurut pendapat Shang Yang, pedagang 

adalah parasit yang menjual barang buatan orang lain dan mengambil po￾tongan dari keuntungannya. “Semua orang harus membantu dalam pekerjaan 

bercocok tanam dan menenun,” tulis Sima Qian mengenai reformasi Shang 

Yang, “dan hanya mereka yang menghasilkan jumlah benih yang besar atau 

sutera dibebaskan dari pekerjaan umum. Mereka yang pekerjaannya berda￾gang dijadikan budak, bersama dengan yang miskin dan malas.   

Sebaliknya, mereka yang bekerja keras dapat berharap untuk diberi hadiah 

berbidang-bidang tanah. Ini merupakan ide baru, dan mungkin yang pertama 

rakyat diberikan secara resmi kepemilikan tanah pribadi di seluruh China.10

Kepemilikan pribadi yang baru ini diperkuat dengan serangkaian peraturan￾nya:  tidak ada seorang pun yang sekarang dapat pindah ke rumah baru tanpa 

adanya izin resmi, ini berarti bahwa petani tidak dapat memakai tanahnya 

lalu pindah ke pertanian baru. Mereka harus mengelola tanah mereka dengan 

benar atau kelaparan.11

Tidak semua orang senang dengan reformasi. Penulis biografi Shan Yang 

mengomentari bahwa para pengunjuk rasa yang “datang ke ibu kota dan pada 

awalnya  mengatakan  bahwa  undang-undang  itu  tidak  benar  bisa  dihitung 

dalam ribuan.”12 Tetapi kepentingan yang diberikan dalam bidang pertani￾an itu sangat berarti, tanah Ch’in sekarang, yang tadinya terbengkalai, bisa 

menghasilkan panen. Dan meskipun hukuman-hukuman ShangYang kejam, 

kebijaksanaannya  (yang  juga  mengizinkan  kriminal  yang  dihukum  untuk 

mendapatkan kebebasan dengan mengelola tanah pertanian di tempat yang 

tadinya tidak berproduksi) menarik makin banyak petani miskin dari negara￾negara  China. Di Ch’in, mereka setidaknya mempunyai kesempatan untuk 

membangkitkan hirarki melalui wajib militer. Seratus tahun kemudian, se￾orang pakar filsafat Xun Zi yang mengunjungi Ch’in, berkomentar demikian: 

“Orang yang kembali dari perang dengan lima kepala musuh” tulisnya, “di￾jadikan tuan dari lima keluarga di sekitarnya.”13

Kebanyakan pakar sejarah purba sangat tidak suka pada Shang Yang, tetapi 

bahkan Sima Qian harus mengakui bahwa pembuatan undang-undang ini 

membangun semacam stabilitas di negara  yang tadinya tidak punya hukum. 

Ia menulis bahwa, sepuluh tahun memasuki rezim baru, “tidak ada perampok 

di gunung-gunung; keluarga-keluarga mencukupi kebutuhannya sendiri dan 

orang-orang sejahtera … ketenteraman berlangsung di seluruh pedesaan dan 

kota.”14

Meskipun begitu, Sima Qian berpendapat Negara Ch’in yang despotik ini 

adalah tempat celaka untuk ditinggali. Rakyat diperbudak, meskipun kaya. 

Kecemasan-kecemasan lain menggantikan kecemasan akan pencuri dan huru￾hara:  “Tidak ada  rakyat  yang  berani  mendiskusikan mandat,”  ia  mencatat, 

karena  Shang Yang  memerintahkan  orang  yang  tidak  puas  agar  dibuang.15

Musik dan puisi dibubarkan karena dianggap tidak produktif; filsafat dipan￾dang  hina.  Sebagai  bagian  dari  kampanyenya  untuk  membuat  Ch’in  kuat, 

Shang Yang membakar semua ajaran Konfusius yang dapat ditemuinya.  

Pada tahun 344, Ch’in telah tumbuh cukup kuat bagi Adipati Hsiao 

untuk menjalankan salah satu dari hak-hak istimewanya atas Hegemon, dan 

memanggil para penguasa feodal untuk mengakuinya. Sima Qian, yang men￾catat permintaan ini, tidak memberitahu kita bagaimana reaksi mereka. Ia 

memang menambahkan bahwa, pada tahun 343, raja Zhou Timur secara 

formal mengakui Adipati Hsiao dari Ch’in sebagai Hegemon. Itulah untuk 

pertama kalinya dalam satu abad ada seorang adipati yang bisa meminta gelar 

itu, dan pertama kalinya dalam sejarah bahwa penguasa Ch’in yang menda￾patkannya. 

Sekarang cita-cita paling utama dari reformasi Shang Yang menjadi jelas. 

Undang-undang yang baru telah menghasilkan populasi yang cukup pangan 

dan bertumbuh, dan membuat wajib militer sebagai salah satu dari karir-karir 

yang paling menarik untuk generasi muda Ch’in. Pada tahun 340, Ch’in 

mulai berperang menaklukkan tetangga-tetangganya. 

Target Shang Yang yang pertama adalah Wei, dan jatuhlan negara baru 

itu ke tangan angkatan perang Ch’in tanpa terlalu banyak perjuangan. Tetapi 

kemenangan ini adalah kemenangan Shang Yang yang terakhir. Adipati Hsiao 

wafat dan diteruskan oleh putranya Huiwen - Si Huiwen melihat sendiri para 

pengajarnya dihukum mati dan dibuat cacat, dua puluh tahun yang lalu, 

untuk menanggung kesalahannya. Ia sudah membenci Shang Yang sejak saat

itu. Segera setelah kekuasaan berada di tangannya, ia memerintahkan Shang 

Yang untuk ditangkap.  

Si menteri menyamar dan melarikan diri keluar istana Ch’in, tetapi ke￾tika ia meminta perlindungan di sebuah penginapan, si pemilik penginapan 

menolak membiarkannya masuk. Orang lain pun tidak mau. Ia tidak mem￾punyai izin, demikian syarat undang-undangnya.  

Kehilangan tempat bersembunyi, Shang Yang segera diambil oleh orang￾orang Huiwen dan dibawa kembali ke ibu kota Ch’in. Di sana ia dihukum 

dengan cara diikat pada empat kereta yang berlari ke arah yang berbeda-beda, 

dia hancur tercabik-cabik.  

Dengan  hilangnya  kehadiran  Shang  Yang  yang  mengganggu,  Huiwen 

memutuskan untuk tidak menarik kembali reformasi si menteri. Bagaimana 

pun juga mereka telah membuat Ch’in lebih kuat daripada sebelumnya; se￾benarnya begitu kuatnya sampai tahun 325, ia memproklamasikan dirinya 

sebagai raja.  

Seperti dapat diduga, penguasa feodal yang lain bereaksi: “Sesudahnya,” 

Sima Qian menulis, “semua penguasa feodal menjadi raja.” Peperangan dari 

negera-negara  yang  berperang  terus  berlanjut  seperti  sebelumnya,  kecuali 

sekarang mereka dipimpin oleh raja-raja bukan adipati.  

D dunia yang terus menerus kacau, guru-guru filsafat terus mencoba 

untuk memahami kehidupan mereka dan menanyakan pertanyaan sentral 

pada zaman mereka: bagaimana orang dapat menjadi utuh, dalam dunia yang 

selalu terkoyak? 

Ajaran-ajaran Konfusius yang menurut ShanYang merusak kepenti￾ngannya sendiri, dijalankan oleh muridnya yang paling terkenal, Mencius 

(dibahasa-latinkan, seperti Konfusius, dari nama Meng-tzu). Tulisan-tulisan 

Mencius menaruh perhatian pada (hampir tidak mengherankan) hubungan 

antara pemerintah dan rakyatnya. Penguasa memerintah dengan kemauan 

dari Surga, tulis Mencius, tetapi karena Surga “tidak berbicara,” si penguasa 

mengukur apakah ia sebenarnya sudah melaksanakan kehendak Surga dengan 

mendengarkan pendapat-pendapat rakyatnya.17. Kalau ia cukup mendengarkan, 

ia akan belajar bahwa perang bukanlah kehendak Surga. “Orang dapat menebak 

apa ambisi pemimpinnya,” tulisnya, menyebutkan seorang raja imajiner. “untuk 

memperluas wilayahnya, menikmati penghormatan Ch’in dan Chu, untuk me￾nguasai Kerajaan Pusat … Mencari pelampiasan dari ambisi seperti itu (dengan 

kekuatan atau senjata) adalah seperti mencari ikan dengan memanjat sebuah 

pohon.”18 Ini bukanlah filsafat yang dapat diterima oleh raja-raja yang lebih suka 

memanjat pohon; Mencius, yang menawarkan diri menjadi penasihat para adi￾pati dari berbagai negara bagian, ditolak oleh semuanya.

Meskipun  begitu  Mencius  bukanlah  satu-satunya  suara  yang  menawar￾kan solusi.  Tulisan-tulisannya membuka pemikiran bahwa penekanan ajaran 

Konfusius adalah pada dasar kemampuan manusia untuk menjadi utuh, ke￾baikan dasar manusia, dan kepatuhan akan tingkah laku sosial yang benar 

sebagai cara untuk menemukan kedamaian dalam masa-masa sulit. Dan ba￾nyak  dalam  negara-negara  yang  berperang  ini  yang  berpendapat  ini  sama 

sekali tidak cukup. Sehari- hari mereka menemukan bukti dari keegosentrisan 

dan nafsu berkuasa manusia yang mendasar; sehari-hari mereka tinggal dalam 

kekacauan sehingga kepatuhan akan tingkah laku sosial yang benar sepertinya 

tidak ada artinya.  

Selama  tahun-tahun  ini,  sebuah  filosofi  baru,  yang  berbeda  dari  teori 

Mencius, mempersatukan benang-benang mistik dari zaman yang lebih purba. 

Filosofi ini akhirnya dibentuk dalam tulisan yang dikenal sebagai Tao-The￾Ching. Tao: jalan. Para penganut Tao percaya bahwa jalan menuju kedamaian 

adalah dengan pasif menerima segala sesuatu apa adanya, yang kelihatannya 

pasti dapat dilakukan dengan nyata.  

Para  penganut Tao  tidak  membuat  undang-undang.  Semua  pernyataan 

atas perilaku yang etis masih ada cacatnya, dan itu adalah cerminan dari kebe￾jatan moral manusia yang dibawa sejak lahir.19 Semua pernyataan positif harus 

dihindari, sebenarnya, bersama dengan semua agresi dan ambisi.  Seperti di￾jelaskan oleh Tao-Teh-Ching   

Tao akhirnya tidak melakukan apa-apa,

tetapi meskipun demikian tidak ada sesuatu yang tidak dapat dilakukan,

Jika raja-raja dan para adipati bisa memeliharanya,

segala sesuatu akan melewati transformasi mereka sendiri …

Tidak adanya nafsu akan membimbing ke arah ketenangan;

Dunia akan dengan sendirinya menemukan keseimbangannya.20

Menarik diri dari kekacauan, menunggu dengan keyakinan bahwa apa yang 

akan terjadi terjadilah; inilah filosofi praktis untuk masa yang buruk. Mungkin 

penganut Tao yang paling terkenal adalah Chuang Tzu, yang lahir pada tahun 

yang bersamaan dengan waktu ketika Adipati Hsiao mewarisi kekuasaan Ch’in 

dan menyambut kedatangan Shang Yang ke dalam negaranya. Keberhasilan 

para kaisar dan raja adalah urusan yang tidak berguna sehubungan dengan 

orang  bijaksana,”  tulisnya,  “bukan  caranya  untuk  memelihara  tubuh  men￾jadi utuh dan untuk peduli pada kehidupan. Meskipun begitu berapa banyak 

orang di dunia vulgar sekarang yang membahayakan dirinya dan membuang 

kehidupannya dalam usaha mengejar hal-hal yang tidak berarti!  Bagaimana 

kita bisa mengasihani mereka?

Chuang Tzu sendiri menulisnya dalam suatu metafor begini:

 Suatu saat Chuang Tzu bermimpi bahwa ia adalah seekor kupu-kupu, see￾kor kupu-kupu yang mencumbu dan mengibas-ibaskan sayapnya ke sana 

kemari, puas dengan dirinya sendiri dan berbuat sesuka hatinya. Ia tidak 

tahu bahwa ia adalah Chuang Tzu. Tiba-tiba ia bangun dan itu dia, padat 

dan tidak salah lagi Chuang Tzu.  Tetapi ia tidak tahu apakah ia Chuang 

Tzu yang telah bermimpi bahwa ia adalah seekor kupu-kupu, atau seekor 

kupu-kupu yang sedang bermimpi bahwa dia adalah Chuang Tzu.22

Pada hari-hari seperti itu, si penganut Tao merasa sangat puas untuk me￾ninggalkan dunia fana. Kampanye selanjutnya yang mengejutkan pintunya, 

undang-undang berikut yang dikeluarkan oleh adipatinya untuk membatasi￾nya: ini hanya gangguan insidentil, bukan sifat segala sesuatu yang sebenarnya. 

Tidak peduli berapa terali dipasang di sekitarnya, ia tetap tidak peduli seperti 

si kupu-kupu.  

G A R I S WA K T U 6 7

   ROMA  CHINA

 Penarikan Diri Plebia (494)

 Periode “Musim Semi dan Gugur” 

berakhir (481)

Wafatnya Konfusius

 Undang-Undang Tabel Dua Belas

   Masa Peperangan Negara-Negara dimulai 

(403)

 Roma dibakar oleh Bangsa Gallia (390)

Adipati Hsiao dari Ch’in

 Shang yang

Huiwen dari Ch’in (325)




P     sudah selesai. Athena terpencil, 

bangkrut, marah, Tembok Panjang sudah runtuh, dan sebanyak tujuh puluh 

ribu orang Athena meninggal karena wabah, perang, atau pembersihan politik.1

Tidak ada yang merencanakan masa depan, dan kota dipenuhi dengan janda 

dan wanita yang tidak akan pernah menikah karena begitu banyaknya pria 

meninggal. Aristofanes mengumandangkan suara yang pahit untuk zaman 

itu dalam sandiwaranya Perempuan Majelis (The Assemblywomen): “Situasinya 

masih bisa diselamatkan,” seorang wanita Athena memproklamasikan “Aku 

mengusulkan supaya kita menyerahkan pemerintahan kepada perempuan!”2

Di antara solusi-solusi mereka untuk mengatasi kesulitan-kesulitan kota itu 

adalah undang-undang yang memproklamasikan bahwa setiap pria yang ingin 

tidur dengan seorang wanita muda harus “menyenangkan seorang wanita yang 

lebih tua lebih dahulu.”3

Sparta, pemenang yang hanya cuma nama, keadaannya lebih baik. Musim 

tanam dan musim panen tertunda. Tentara yang menyeruak lewat Peloponesia 

telah menghancurkan kebun-kebun a