ara mereka
yang tertangkap dari kapal-kapal Yunani yang tenggelam itu ada Apries yang
mati di antara mereka yang terbantai.
Jadi Amasis sedang di atas tahta di Sais saat ada berita bahwa Kambises,
raja baru Persia, pada saat itu sedang mempersiapkan serbuan.
Kambises harus mulai membuat sebuah angkatan lautnya sendiri. Orang
Persia sendiri tidak memiliki tradisi pelayaran; tetapi Cyrus sudah menyediakan bagi putranya kekaisaran yang melebar sepanjang pesisir pantai Laut
Tengah, dan Kambises menganggap pelaut-pelaut Ionia dari pantai-pantai Asia
Kecil sebagai rakyatnya. Ia membutuhkan mereka untuk membuatkan kapal
dan mengawakinya; dan ia membuat permintaan yang sama dari kota-kota
Finisia di bawah kekuasaannya.Angkatan laut Persia yang belum berpengalaman itu menggabungkan keahlian orang Yunani dan Finisia, dua kebudayaan
yang sudah berpengalaman dengan air sejak awal peradaban mereka.
Empat tahun sesudah penobatannya, Kambises mengawali penyerangan
atas Mesir. Angkatan lautnya mengawali perjalanannya turun ke pesisir,
sementara pasukan Persia bergerak menyeberangi gurun pasir.Kambises,
ditemani oleh Darius, pembawa tombaknya, memimpin; Darius, anggota
pengawal pribadinya, yaitu putra dari seorang bangsawan Persia yang pernah memimpin wilayah yang ditaklukkan bernama Partia, di sebelah Timur
laut kekaisaran itu.9
Amasis mempersiapkan kekuatan angkatan perangnya sendiri untuk menghadapi orang Persia. Tetapi ia sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun dan
sudah menjalani kehidupan yang lama dan sibuk. Sebelum Kambises tiba,
Amasis meninggal karena usia tua.
Ini merupakan sedikit nasib baik untuk Kambises, karena tugas membela Mesir sekarang jatuh pada putra Amasis, Psammetichus III, yang bukan
seorang jenderal yang berbakat. Psammetichus III menjajarkan angkatan perangnya di sebelah batas Timur Laut Mesir, memusatkan pertahanannya pada
benteng perbatasan Pelusium, yang dibangun oleh Nekho III untuk menjaga kanalnya. Tidak ada yang salah dengan tindakan ini; tetapi saat perang
mulai berbalik melawan angkatan perang Mesir, ia menarik mereka kembali
sampai ke Memphis.
Ini memberi peluang masuk bagi orang Persia ke arah jalan air dari Delta
dan membiarkan mereka merebut Memphis melalui darat maupun laut. Kita
tidak memiliki perincian perang selanjutnya, tetapi Psammetichus III terpaksa segera menyerah. Ia hanya menjadi pharaoh Mesir dalam waktu kurang
dari satu tahun.
Kambises sekarang bergaya sebagai pharaoh dari Mesir, “Raja dari Mesir
Hulu dan Hilir, Kambises, kekasih dewi Wajet”—ini yaitu dewi kobra dari
Mesir Hilir yang mirip dengan yang tampil di Mahkota Merah, dahulu kala
pada zaman penyatuan .10 Kelihatannya ia juga memerintahkan tubuh Amasis
digali dari kuburannya dan dipisahkan anggota badannya, tetapi karena proses pemumian membuat tubuh itu begitu liat sehingga ia harus mengalihkan
pada pembakaran.
Herodotus (yang tidak suka pada Kambises) mengatakan bahwa ini yaitu
tindakan penghujatan yang tidak beralasan. Yang paling mungkin terjadi,
Kambises mencoba untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai penerus dari
Apries yang sudah diturunkan, dan pencemaran mayat Amasis yaitu usahanya untuk menggambarkan jenderal tua itu sebagai perebut kekuasaan yang
kekuasaannya untung saja berakhir. Ia memberi tahu rakyat Mesir bahwa ia
yaitu “kekasih Wajet,” dan bahwa ia datang untuk membebaskan mereka:
sebuah strategi yang terkenal sekarang.
“Kekasih Wajet” tidak meluangkan waktunya lama-lama di negaranya
yang baru; Kambises menempatkan seorang gubernur untuk memerintah
Mesir dan kembali pulang memasuki kekaisarannya untuk mengurus urusan
lain. Tetapi masa jabatannya sebagai Raja Agung hanya singkat. Tiga tahun
lalu sesudah penaklukan Mesir, delapan tahun sesudah kematian Cyrus,
masa kekuasaan Kambises berakhir tiba-tiba dengan misterius.
Herodotus yang menceritakan kisah yang paling terperinci tentang masa
kekuasaan Kambises, kelihatannya sudah mengumpulkan dan mengulangi setiap kisah anti-Kambises yang pernah diceritakan: ia percaya bahwa Kambises
yaitu orang gila yang dengan serampangan menghukum pejabat-pejabat
nya saat mereka menegurnya, membunuh saudara laki-lakinya, mengawini
dua dari saudara perempuannya, dan membunuh salah satu dari mereka, dan
berangkat menaklukkan Ethiopia dalam kemarahan tanpa peduli untuk membawa persediaan makanan bagi orang-orangnya. Dilihat dari keberhasilan
Kambises yang menggerakkan seluruh pasukan perang menyeberangi gurun
pasir Arabia dengan selamat masuk ke Mesir, ini kelihatannya tidak mungkin.
Komentar Herodotus yang tidak dipikirkan lebih dahulu dengan mengatakan
bahwa narasumbernya yaitu kebanyakan orang-orang Mesir yang mungkin
menceritakan rasa permusuhan mereka. Kelihatannya, percobaan Kambises
untuk menggambarkan dirinya sebagai pembebas tidak berhasil; dia bukan
firaun yang disegani.
Tetapi Kambises memang meninggal mendadak, dengan aneh, dan tanpa
pewaris.
Para narasumber lama mengatakan bahwa Kambises, saat mulai menyerang Mesir, meninggalkan rumah tangganya di bawah pengelolaan seorang
laki-laki yang disebut Herodotus sebagai Patizeithes.Kambises mengajak adik
laki-lakinya Bardiya pergi bersamanya dalam operasi militernya, tetapi sesudah
penaklukan ia menyuruhnya kembali ke Persia untuk memeriksa keadaan di
ibu kota.
Di suatu tempat antara Mesir dan Persia, Bardiya hilang.
Kebetulan Patizeithes, si pengelola, memiliki seorang adik laki-laki
bernama Smerdis yang mirip dengan Bardiya sehingga orang tidak dapat
membedakan satu dengan lainnya.*
Pengelola ini menerima kabar melalui
kurir kilat tentang kehilangan Bardiya, ia sadar bahwa ia bisa menyembunyikan berita ini rapat-rapat. Ia meyakinkan adiknya untuk berperan sebagai
pangeran yang hilang, mendudukkannya ke atas tahta dan lalu mengirimkan utusan-utusan untuk memproklamasikan Bardiya, putra raja asli dari
Cyrus, sebagai raja menggantikan Kambises.
Kambises masih berada di Suriah, memeriksa jangkauan-jangkauannya di
wilayah Barat kekaisarannya. Menurut Herodotus, saat Kambises mendengar bahwa tahtanya telah dicuri, ia lari menunggangi kudanya dan saat
sedang berbuat demikian ia terantuk sarung pedangnya dan pahanya terpotong sendiri.Luka itu berubah; tiga minggu lalu Raja Agung itu mati
karena luka yang membusuk.11
Dengan kematian Kambises, si penyusup berhasil memegang tahta Persia
selama tujuh bulan; cukup lama bagi dokumentasi Babilonia untuk mencatat
tahun kenaikannya ke atas tahta.12 Selama waktu ini, ia tidak bisa ketahuan
karena tidak pernah keluar dari kompleks istana di Susa, atau memanggil
bangsawan Persia yang mengenali keluarga istana dengan baik.
Meskipun begitu permainan tebak-tebakan ini tidak dapat berlangsung
terus, dan segera lebih dari satu orang bangsawan Persia bertanya-tanya
mengapa mereka tidak pernah dipanggil masuk ke ruang tahta. Di antara
mereka yaitu Orthanes, seorang tentara yang berpengalaman dan ayah dari
salah satu istri Kambises; dan juga Darius, si pembawa tombak Kambises
sewaktu penaklukan Mesir, yang sudah pulang ke Persia sesudah penyerangan
Mesir dan sekarang berada di Susa (karena alasan yang tidak diketahui).
Semuanya ada tujuh penguasa Persia yang setuju untuk melakukan percobaan pembunuhan terhadap si perebut (tahta) dan kakaknya. Orthanes
kelihatannya yaitu pemimpin dari komplotan itu, tetapi Darius menawarkan untuk menyuruh sekelompok laki-laki menyembunyikan senjata mereka,
membunuh para sida-sida, dan memenggal leher kedua penyusup itu dan
memamerkan mereka pada bangsawan Persia yang lain untuk membuktikan
bahwa orang yang mengaku sebagai Bardiya, yaitu sebenarnya sama sekali
bukan putra Cyrus.
Sekarang kekaisaran Persia berada di ujung tanduk. Kekaisaran inti tidak
memiliki raja, dan kedua putra Cyrus tidak tampak dalam pandangan.
Masing-masing dari ketujuh anggota komplotan itu mungkin memiliki
ambisi (Herodotus menulis bahwa ketujuh-tujuhnya memiliki alasan yang
bernada Yunani, dan hampir tidak mungkin berdebat tentang cara yang adil
untuk memilih salah satu dari ketujuhnya, atau apakah Persia mungkin harus
menjadi sebuah negara demokrasi), tetapi Darius yaitu pilihan yang alami.
Ia muda dan energetik, mungkin berusia sekitar tiga puluh tahun pada saat
terbentuknya komplotan itu; dan ia sudah menjadi pembantu terpercaya
Kambises, ia dilahirkan sebagai suku Achaemenid, dan ayahnya sudah memegang kekuasaan atas para serdadu selama sebagian waktu kekaisaran itu.
Pada tahun 521, ia dinyatakan sebagai raja Persia oleh keenam rekan komplotannya, dan mulai menenangkan riak-riak yang disebabkan oleh kematian
para pewaris Cyrus.
Banyak tanda tanya dalam cerita ini.
Kematian Kambises yang tepat waktu ini mungkin yaitu yang pertama.
Apa yang sebetulnya terjadi pada si Raja Agung? Cerita Herodotus tidak
mungkin, tetapi menunjukkan keteledoran yang bukan watak dari orang
yang menghabiskan sepanjang hidupnya di sekitar obyek-obyek benda-benda
tajam; pakar sejarah Yunani, Ctesias, yang jarang dapat dipercaya, mengatakan bahwa ia sedang mengerat kayu untuk menghilangkan kejemuannya
saat pahanya terpotong.14 Sebuah papyrus (kertas) Mesir hanya mencatat
bahwa Kambises meninggal “di atas selembar tikar” (suatu ungkapan yang
aneh, yang menyatakan bahwa ia sedang sakit untuk beberapa waktu) sebelum dapat mencapai negaranya, dan bahwa Darius lalu menjadi raja.15
Prasasti tentang kenaikan Darius sendiri, Prasasti Bisitun, mengatakan tanpa
bertele-tele, “Kambises menyebabkan kematiannya sendiri,” suatu ungkapan
yang biasanya memiliki arti karena sebab-sebab alami atau semacam itu.
Tentu saja, tidak mungkin bahwa kematian dari luka yang membusuk
yaitu alami karena luka yang aslinya tidak alami; Kebungkaman Darius
dalam masalah ini bukan untuk memenangkannya. Untung baginya Kambises
meninggal karena sebab alami, sama seperti keberuntungannya mengetahui
bahwa orang yang di atas tahta Susa itu yaitu seorang penyusup.
Yang membawa kita pada misteri kedua: siapakah identitas sebenarnya dari
“Bardiya” yang meninggal di tangan ketujuh orang Persia itu? Dan apakah
benar mungkin seorang penyusup dapat memegang kekuasaan sampai hampir
satu tahun, di dalam sebuah kota di mana semua orang tahu wajah rajanya?
Mungkin Bardiya asli tidak hilang di padang pasir; mungkin ia tiba dengan
selamat di Susa, dan lalu mengadakan kudeta terhadap kakaknya, yang
membuat kemarahan Kambises atas berita itu lebih bisa dipahami.
Dalam hal ini, Darius yaitu penjahatnya. Orang yang dibunuhnya di
Susa bukanlah seorang penyusup sama sekali, tetapi lebih dari itu, putra
Cyrus Agung terakhir yang sah. Sebuah kepala yang terpenggal tidak mudah
untuk diidentifikasikan dengan pasti, khususnya kalau sudah dicincang saat
dipisahkan.
Watak Darius yaitu tanda tanya besar dalam skenario ini. Ini tidak membantu alasannya karena kita mengetahui kisah Bardiya palsu kebanyakan dari
Prasasti Bisitun Darius sendiri, yang menempatkan Darius di tempat yang paling benar: “Rakyat sangat takut akan si penyusup ini,” katanya meyakinkan,
“karena ia terbiasa membantai banyak orang yang tadinya mengenal Bardiya
… Tidak seorang pun berani berkata apa-apa … sampai aku datang …
lalu aku dan beberapa orang membantainya … Aku memperbaiki
Persia, Midia dan tanah-tanah lain.”16
Sebaliknya, cerita Darius tentang Bardiya palsu sebenarnya mungkin benar.
Sangat mungkin sekali seorang pemuda yang dibesarkan di istana Cyrus bisa
mirip sekali dengan salah seorang putra Cyrus yang sah, dan jika Bardiya yang
di Susa memang seorang penyusup seperti diakui oleh Darius, Bardiya yang
asli memang benar hilang.
Ini membawa kita pada misteri yang ketiga: apa yang terjadi pada adik
Kambises?
Darius benar-benar diuntungkan oleh Kambises atas kematian Bardiya.
“Kambises membunuh Bardiya,” tulisnya, “dan rakyat tidak ada yang tahu
bahwa Bardiya sudah dibunuh.” Tetapi demi kepentingan Darius, Kambises
dijadikan penjahatnya, karena itu memberi dinasti Cyrus ledakan ke dalam
yang bagus dan rapi dan mengakhiri garis keturunan sehingga ia bisa mengawali sebuah dinasti baru. Kalau cerita tentang kemiripan itu benar, dan
Bardiya yang ada di Susa itu memang seorang penyusup, penjahat dalam cerita itu mungkin bukan Kambises atau pun Darius. Cui bono: si pengelola
Patizeithes yang sudah memanfaatkan sebaik mungkin hilangnya Bardiya.
Kecelakaan kemiripan adiknya dengan Bardiya mungkin merupakan kisah
terbentuknya sebuah komplotan untuk menyingkirkan putra muda Cyrus.
Tetapi sekarang Patizeithes sudah mati. Dan begitu juga para pengikutnya (Darius sudah menyuruh membunuh mereka), dan begitu pula dengan
Kambises, dan begitu juga Bardiya.Darius sendiri menikahi janda Kambises,
dan tidak terdengar kabar lagi darinya tentang kematian suami pertamanya.
Para tersangkanya hampir semuanya sudah mati, yang lainnya bungkam, dan
misteri akan terus tidak terungkap.
Sementara itu, lebih dari satu wilayah di luar kekaisaran telah mulai merencanakan untuk memberontak.
Darius segera pergi berperang untuk mengamankan kekaisaran barunya.
Kalau melihat Prasasti Bisitun, pemberontakan-pemberontakan pecah di
antara orang-orang Babilonia dan Scythia di Utara, Midia di sebelah Timurnya
dan bahkan Parthia, di mana ayah Darius sendiri sudah kehilangan kekuasaan
atas angkatan perangnya. Beberapa pemberontakan kecil yang menyebar
berkobar di antara mereka, di seluruh kekaisaran.
Tetapi dalam waktu singkat yang mengagumkan, Darius telah berhasil
mengumpulkan kembali ke dalam kekaisarannya. Tetapi bagaimana pun
caranya ia sampai mendapatkan kekuasaan, Darius membuktikan bahwa ia
sangat mampu memegang kekuasaan itu: tidak melalui tirani yang simpatik,
seperti Cyrus sebelumnya, tetapi dengan menghancurkan musuh-musuhnya.
Angkatan perang Kambises terdiri dari sejumlah besar orang yang terkena wajib militer, serdadu-serdadu yang dikirimkan kepadanya sebagai upeti.
Dalam sebuah angkatan perang yang kebanyakan terdiri dari para wajib militer itu, sebagian besar dari para serdadu itu dapat dibuang, sejumlah besar
untuk dilemparkan ke garis depan pertempuran dengan harapan untuk bisa
menahan lawan hanya karena jumlahnya yang besar. Ini yaitu strategi yang
berhasil untuk Kambises karena pihak lawan tidak berpengalaman, dan belum
membantu Cyrus sama sekali dalam perangnya melawan suku-suku Scythia.
Darius memiliki visi yang berbeda untuk angkatan perangnya. Daripada
mengisi dengan tentara bayaran dan serdadu upeti, Darius merencanakan sebuah angkatan perang yang profesional, yang lebih kecil, tetapi diberi pangan
yang lebih baik, lebih terlatih, dan lebih setia. Tentara intinya yang pro
fesional dan tetap, terdiri dari sepuluh ribu serdadu kaki dan sepuluh ribu
pasukan berkuda, semua orang Persia atau Midia, dan akan bergerak jauh
lebih cepat daripada pasukan angkatan perang sebelumnya yang besar dan
berat.17 “Pasukan Persia dan Midia yang berada di bawah kekuasaanku yaitu
angkatan perang kecil,” tulis Darius, pada prasastinya sendiri.18 Pasukan-pasukan terikat bersama oleh rasa nasionalis, dengan kesetiaan yang begitu kuat
sehingga sepuluh ribu serdadu infanteri menyebut di antara mereka sendiri
Teman dan kecemburuan dijaga supaya tidak memasuki tingkatan mereka.
Satu divisi dari angkatan perang baru ini memadamkan pemberontakan di
sebelah Timur Media, sementara Darius sedang memimpin angkatan perang
kecil lain untuk menangani pemberontakan orang Babilonia, dan satu skuadron lain melakukan perjalanan ke Asia Kecil. Pasukan inti—kecil, cepat,
fleksibel, terlatih—berhasil. Dalam hampir belum lebih dari satu tahun, pemberontakan-pemberontakan berakhir. Relief Darius yang besar dan megah,
terukir pada karang yang menghadap jalan masuk ke Susa (semua orang pasti
bisa melihatnya), memperlihatkan ia dengan kaki di atas dada si penyusup
tahta yang tidak berdaya, Bardiya palsu, bersama raja-raja Babilonia, Scythia,
Midia, dan enam negara lain terikat dan terantai di depannya.
Darius yaitu administrator dan sekaligus jenderal yang brilian (suatu
gabungan yang jarang). Ia mengatur kekaisaran yang ditaklukkannya kembali menjadi provinsi-provinsi yang ditentukan dengan lebih teratur, atau
satrap-satrap, masing-masing diperintah oleh seorang satrap (bupati) yang
terpercaya, dan memberi tugas kepada setiap satrap untuk memberikan upeti
yang harus dikirim ke Susa setiap tahun. Satrap yang tidak mengirimkan
jumlah yang benar, atau yang tidak berhasil mengatur satrap mereka, dapat
dikenai dihukum mati. Kelihatannya ini berhasil dengan sangat baik bagi
Darius; ini mentransfer pekerjaan mengintimidasi bangsa-bangsa yang terjajah dari raja ke para gubernur, yang terpaksa harus lebih rajin mengawasi
wilayah-wilayah mereka daripada seandainya mereka itu yaitu Mata-Mata
atau Telinga-Telinga Cyrus sebelumnya.
Kita bisa melihat sekilas tentang hal ini dalam buku biblis/injil Ezra. Satrap
yang mengawasi Yerusalem memperhatikan bahwa konstruksi bangunan kuil
(dan tembok-tembok pertahanannya) telah maju dalam suatu derajat yang
mengkhawatirkan. Gedung yang berdiri itu pasti kelihatan mencurigakan
seperti pusat dari sebuah benteng, karena sang satrap, orang yang bernama
Tatnai, melakukan perjalanan khusus ke situ untuk menyelidiki para pembangunnya apa maksud pembangunan yang sedang mereka lakukan itu.
Orang Yahudi memprotes karena Cyrus telah memberi mereka izin untuk
membangun, tetapi Tatnai tidak mau mempercayai mereka. Ia memerintahkan
mereka untuk berhenti membangun gedung itu sampai ia bisa melaporkan kegiatan itu kepada Darius. “Raja harus mengetahuinya,” terbaca dari laporan itu, “bahwa orang-orang itu membangunnya dengan batu-batu besar
dan meletakkan balok-balok ke dalam tembok-tembok; pekerjaan itu maju
pesat.”19 Darius memerintahkan supaya arsip kerajaan diperiksa. Akhirnya sebuah salinan dari dekrit Cyrus ditemukan, di sebuah perpustakaan lama di
Ekbatana, dan Darius memberi izin kepada sang satrap untuk meneruskan
pembangunan gedung itu. Kisah dalam injil bernada tidak simpatik terhadap
Tatnai, tetapi orang ini tidak diragukan lagi cemas akan adanya benih-benih
pemberontakan yang dapat menghilangkan kepalanya.
Dengan keseluruhan kekaisaran dalam keadaan stabil, Darius bisa
mengalihkan pandangannya ke meda-medan yang baru. Ia berharap untuk
menggerakkan angkatan perangnya menuju ke India.I , bagi orang Persia, tanah yang asing dan tidak dikenal, seperti
saat Alexander dari Makedonia menemukannya satu setengah abad sesudahnya. Orang India di daerah Utara ternyata keturunan dari bangsa Aria yang
sama yang juga masuk dalam silsilah keluarga Persia. Dalam bahasa Persia, nama-nama para bangsawan Darius dikenal bersaudara dengan nama-nama
para pangeran India yang menguasai mahajanapada: Utana, putra Thukra;
Widafarnah, putra Wayaspara; Bagabuxsa, putra Datuwahya.
Sementara orang Persia melebarkan cengkeraman mereka ke arah Timur
dan Barat, kerajaan India, Magadha sedang mencoba untuk menelan tetangga-tetangganya sendiri. Bimbisara yang ambisius yang sudah menjajah Anga
dan mengakui sebagian dari Kosal sebagai maskawin istrinya, telah menurunkan putra yang sama ambisiusnya. Tidak rela menunggu kesempatannya
untuk berkuasa, putranya ini, Ajatashatru, mengadakan pemberontakan
terhadap bapaknya, memenjarakannya, dan membiarkannya mati kelaparan:
“Bimbisara dipenjarakan oleh putranya sendiri di sebuah menara,” kata cerita
“Kecemburuan Dewadatta.”*
Ibunya amat sangat berduka karena kehilangan suaminya sehingga ia
meninggal. Pada saat itu, saudara laki-lakinya, sekarang raja Kosal, mengakui
kembali tanah yang pernah menjadi maskawinnya, dan Ajatashatru pergi
berperang untuk merebutnya kembali.
Awalnya, serdadunya dipukul mundur oleh kekuatan pertahanan Kosal,
tetapi Kosal mendapat kesulitan internal sendiri. Putera mahkota, yang seambisius Ajatashatru sendiri, mengambil kesempatan dari konflik itu untuk
mengambil bagiannya sendiri atas tahta, dan mengusir ayahnya keluar dari
Kosal. lalu ia sendiri mulai perang melawan gana-sangha dari Shakya,
persekutuan suku yang melahirkan ajaran Budha.Ia menghapus mereka
semua; sejak saat itu, mereka hilang dari catatan sejarah.20
Sementara itu, ayahnya yang diturunkan dari tahta, lari ke arah ibu kota
Ajatashatru, Rajagriha (kota khas yang sangat dibentengi dengan rapat oleh
dinding-dinding alam yang dibentuk oleh lima bukit yang mengelilinginya).21
saat ia mencapai kota itu, ia minta perlindungan. Sepertinya ini yaitu
keputusan yang tidak bijaksana, tetapi ia yaitu paman Ajatashatru, dan dapat
meminta sedikit hak istimewa sebagai saudara. Ia juga seorang manula, dan
pada saat ia sampai ke tembok, ia sudah begitu capai karena perjalanannya
sehingga sebelum gerbang betul-betul dibuka ia sudah mati di depannya.
Dalam hal ini, Ajatashatru mendapat alasan lagi untuk berperang dengan
Kosal. Ia mengumpulkan kekuatannya, bersumpah dengan keras (dan di
depan umum) untuk membalaskan dendam atas kematian pamannya
(tanpa mengingat serbuannya sendiri ke tanah pamannya yang sebenarnya
menyebabkan terjadinya situasi itu.) Tetapi sebelum ia dapat sampai ke
Kosal, ia terpaksa kembali dan mengatasi masalah dengan keluarganya
sendiri. Adiknya yang membantunya menjadi wakil wali kerajaan jajahan
Anga, menawarkan diri untuk menjadi raja. Ia sedang mempersiapkan sebuah
persekutuan dengan gana-sangha yang terletak persis di sebelah Utaranya,
Licchavi, untuk melawan Arjatashatru. Arjatashatru membangun benteng
pada garis depan antara kedua wilayah, benteng Pataliputra di tepi sungai
Ganga, dan pergi berperang.
Itu yaitu perang yang berlangsung selama dua belas tahun. Setidaknya
Ajatashatru terhindar dari bentrokan dengan sepupunya di Kosol pada saat
yang bersamaan. Sebuah banjir bandang membinasakan hampir seluruh
pasukan Kosol, yang dengan tidak bijaksana berkemah di tepi sungai
(sesudahnya, bencana yang sama pernah menenggelamkan sejumlah pengikut
kemah Alexander pada salah satu operasi militernya ke daerah Timur). Dengan
hilangnya pasukannya, Ajatashatru hanya tinggal berbaris dan mengambil
Kosol.23
Perang dua belas tahun dengan saudaranya ini, beberapa rinciannya terdapat pada kisah-kisah pengikut ajaran Budha, memaksa Ajatashatru membuat
inovasi-inovasi baru. Karena satu hal, ia terkenal sebagai penemu beberapa
senjata perang baru, termasuk sebuah ketapel yang bisa melemparkan batu
dan semacam kereta perang. Perang dua belas tahun juga membutuhkan sebuah pasukan yang profesional, yang hanya dibayar bukan untuk hal lain
selain bertempur: angkatan militer tetap India yang pertama.24
Angkatan perangnya bukan satu-satunya senjata Ajatashatru. saat
Budha wafat, dalam perjalanan ke Utara memasuki kerajaan Malla,
Ajatashatru segera mengaku bahwa Magadha berhak menjaga warisan suci
Budha. Ia memerintahkan diadakan sebuah dewan di ibu kota, Rajagriha,
dengan tujuan mengumpulkan dan mulai menulis ucapan-ucapan Budha,
yaitu sutta. Dewan pengikut Budha yang pertama memimpin komposisi pertama dari kumpulan ucapan-ucapan itu yang lalu menjadi Pali Canon,
dan pekerjaan itu dilaksanakan di bawah pengawasan Ajatashatru.
Pembangunan kekaisaran, bersamaan dengan penggunaan tradisi religius
untuk mencapai kepentingan politik, perselisihan keluarga dalam garis keturunan raja, angkatan perang yang profesional: India Utara bergabung dengan
dunia ke arah Barat.
S barangkali sudah pernah dicapai tentara Persia di bawah
pimpinan Cyrus, meskipun hanya ini yang bisa kita ringkaskan. Cyrus pasti
tidak bertemu dengan suku-suku India atau berjuang memasuki lembah
sungai Indus. Tetapi Darius tahu bahwa Indus ada di sana. Ia hanya tidak
tahun ke mana arahnya.
Jadi ia menyewa seorang pelaut Caria bernama Skylax, seorang berkebangsaan Yunani dari Barat Daya Asia Kecil, untuk menemani sebuah ekspedisi
sepanjang sungai dan membuat peta atas apa yang dilihatnya. Menurut
Herodotus, titik awal dari perjalanan itu yaitu sebuah negara yang disebutnya Pactyice, yang berada di sebelah Utara Indus: kemungkinan baik Cyrus
maupun Darius mencapai Indus dengan melewati Celah Khayber. Begitu
melalu jalan itu, ekspedisi itu pasti membuat kapal-kapal di bantaran sungai
Indus dan lalu berlayar menyusuri sungai, melalui wilayah dari mahajanapada yang bernama Gandhara. Mereka melewati gurun pasir Thar,
sebelum mencapai laut. saat mereka berlayar ke arah Barat, mereka mengitari seluruh pesisir Selatan semenanjung Arabia, dan kembali ke atas ke Laut
Merah. Darius telah memerintahkan untuk membangun sebuah terusan dari
sungai Nil ke Laut merah sesudah mulai mengendap, sehingga
kapal-kapal lalu dapat
melewati Delta masuk ke laut
Laut Tengah.
“sesudah pelayaran berkeliling yang berhasil ini,” kata
Herodotus, sesudah menggambarkan pelayaran selama tiga
tahun itu, “Darius menaklukkan bangsa India.”25 Tentu
bukan penaklukkan “semua
bangsa India,” tetapi Darius
berhasil memasuki Punjab,
mungkin mendominasi kerajaan-kerajaan Gandhara dan
Kamboja: dalam sebuah prasasti
di Susa, ia membuat daftar tentang kerajinan emas dari Mesir,
batu-batuan Lydia, dan kayukayuan dari Gandhara sebagai
bahan-bahan yang dibawanya
dari tempat-tempat yang jauh
dari kekaisarannya untuk membangun sebuah istana baru.
Sebuah prasasti lain menyebut jajahannya di Timur Jauh sebagai “Satrapi
India.” Itu yaitu satrapi yang kedua puluh dari kerajaannya, dengan tugas
mengirimkan upeti tahunan berupa debu/bubuk emas ke Susa.26
Selama masa ini, beberapa tulisan di Babilonia menggambarkan peta yang
paling kuno di dunia yang masih ada. Lempengan tanah liat itu memperlihatkan Babilonia di Efrat, Asyur di sebelah Timurnya, dan kota-kota lain,
semuanya dikelilingi oleh “air pahit”—Teluk Persia, delapan negara terletak
di luarnya, mungkin tidak jauh tetapi meskipun begitu cukup dekat untuk
diletakkan dalam sebuah peta untuk pertama kalinya.
Di tahun in jugalah prasasti Babilonia menyebutkan seorang wanita dari
India, Busasa, yang memiliki sebuah penginapan di kota Kish. Diperkirakan
ia melakukan perjalanan menyusuri sungai Indus dan ke atas ke Teluk Persia
melalui laut: bukan pindah dari India ke Babilonia, tetapi sebenarnya pindah
dari satu bagian kekaisaran Darius ke bagian lainnya.27 Persia sudah menjadi
sebuah jembatan antara India dan bangsa-bangsa dari daerah yang paling jauh
di sebelah Barat
G A R I S WA K T U 6 3
INDIA PERSIA DAN MESIR
Enam belas Kerajaan di lembah sungai Gangga
Psammetichus II
Kelahiran Mahawira (trad. 599) Astyages Apries
Kambises I
Kelahiran Bhuda (trad. 563) Amasis
Cyrus II (Agung) (559)
Bimbisara dari Magadha
Kematian Mahawira (trad. 527) Kambises II (530)
Psammetichus III
Darius I
Ajatashatru dari Magadha
Kematian Budha (trad. 483)
K , menggelembung keluar ke hampir semua arah, membuat sedikit kemajuan ke arah Barat Daya, tempat bangsa Scythia hidup.
“Scythia,” yang oleh Herodotus dan pakar sejarah kuno lainnya
dimaksudkan seolah-olah mudah ditemukan di peta seperti New Jersey,
kenyataannya bukan seperti itu. Bangsa Scythia memiliki banyak suku
dan banyak raja, dan mereka terus berpindah tempat selama dua ratus tahun.
Pada tahun 516 SM, pusat tanah air mereka terletak antara kedua sungai besar
yang mengalir ke Laut Hitam: sungai Danube di sebelah Baratnya dan sungai
Don di sebelah Timurnya.
Orang-orang Scythia ini yaitu bangsa nomad saat pertama kali mereka
muncul dalam catatan bangsa Asyur, kembali sebelum tahun 700 SM, dan
mereka masih tetap nomad pada tahun 516. “Seandainya kita memiliki kotakota, kita mungkin akan khawatir direbut,” salah satu raja Scythia memberi
tahu Darius, saat ia pertama kali mengancam dengan invasi bangsa Persia,
“dan kalau kita memiliki tanah pertanian kita akan khawatir terbengkalai
… tetapi kita tidak memiliki keduanya.”1
Adat-istiadat mereka bengis. Mereka
membuat cangkir-cangkir dari tengkorak yang jatuh dari musuh-musuhnya,
dan menguliti lengan kanan mereka (“kuku-kuku dan semuanya,” komentar
Herodotus) untuk menggunakannya sebagai penutup tempat anak panah;
mereka menyeret tubuh-tubuh saudaranya yang sudah mati untuk ikut berpesta
selama empat puluh hari sesudah kematian, mempersembahkan makanan dan
minuman kepada mayat-mayat itu; mereka melemparkan biji-biji kanabis
(candu) ke atas batu yang membara dan menghirup asapnya, “menjerit-jerit
kegirangan karena asapnya” (suatu yang berbeda dari pengetahuan umum tentang kebiasaan menghisap mariyuana yaitu membuat orang bermimpi dan
tidak agresif tanpa dapat dihindari).2
Pada tahun 516, Darius sudah mulai merencanakan operasi militernya
melawan bangsa Scythia. Ia sudah mulai mengarahkan banyak perhatian pada
tapal batas Barat Daya, di Asia Kecil, yang menjadi pusat administrasinya
yang kedua. Untuk mempermudah masuknya ke Sardis, Darius membuat
sebuah jalan baru dari Susa terus memasuki Asia Kecil. Pada Jalan Kerajaan ini
ditempatkan pos-pos pemberhentian untuk pergantian kuda-kuda, sehingga
seorang utusan dapat dengan cepat pergi dari arah Barat ke ibu kota dan
kembali lagi.
Saat itu Darius sendiri sedang berkuda sepanjang Jalan Kerajaan ke Sardis,
dan lalu dari Sardis ke batas luar wilayahnya. Untuk menyerang bangsa
Scythia, ia harus membawa angkatan lautnya ke atas ke pesisir Asia Kecil,
melalui jalan yang terkenal bernama Helespont dan masuk ke Selat Bosforus.
Dari situ, mereka akan berlayar ke Laut Hitam dan lalu ke atas ke
sungai Danube (yang dikenal oleh Herodotus sebagai Ister), sepanjang batas
luar sebelah Selatan dari wilayah bangsa Scythia.3
Sementara itu, angkatan daratnya akan harus menyeberangi selat yang
memisahkan Asia Kecil dari tanah yang sekarang kita kenal sebagai Eropa.
Sebetulnya itu bukan permukaan selat yang terlalu luas, tetapi belum pernah
ada kekaisaran Timur yang menyeberanginya. Darius menugaskan pekerjaan
membangun jembatan menyeberangi Selat Bosforus kepada salah satu insinyur
Yunaninya, seorang Ionia bernama Mandrocles. lalu ia mengirimkan
orang-orangnya. Pasukan Persia mengawali barisan panjang sepanjang Jalan Kerajaan menuju Sardis, sebuah angkatan yang begitu padat sehingga mereka menggetarkan
bumi saat melewati kota yang ditundukkan demi kota yang ditundukkan.
Sementara itu, si insinyur Mandrocles sudah mengukur selat itu. Pada tempat
yang tersempit, sekitar 650 meter, atau 720 yard lebarnya (panjangnya tujuh
kali lapangan bola Amerika), terlalu lebar untuk jembatan biasa. Sebaliknya,
Mandrocles mendesain sebuah jembatan yang dibangun melewati perahu-perahu: perahu-perahu yang rendah, deknya datar, diikat satu sama lain dengan
tali membentuk fondasi terapung bagi jalan berpapan yang ditutupi dengan
pasir dan batu. Ini yaitu jembatan ponton yang pertama dalam sejarah:
Sebuah jalan raya yang diberi papan-papan, yang diikat/dijahit satu sama lain
dengan flax (serat sejenis tanaman yang menjalar yang dibuat tali),” menurut
kata-kata penyair Yunani Aechylus.4
Sampai sekarang, berabad-abad lalu , masih dipakai sebagai pola untuk pembuatan jembatan-jembatan oleh
para tentara.
Beribu-ribu serdadu Persia yang berjalan kaki dan pasukan berkuda berbaris melewati jembatan itu, menuju ke tempat yang sempit di sungai Danube.
Dari sana mereka akan bertemu dengan detasemen angkatan laut dan membangun sebuah jembatan ponton lain memasuki wilayah Scythia. Kota-kota
Thracia di seberangnya tidak mencoba untuk menghalangi kedatangan pasukan itu. Kebanyakan orang Thracia takut pada orang Scythia, dan pasukan
Persia mungkin malah akan berperan sebagai pelindung untuk melawan
mereka.
Bangsa Scythia tidak berbaris menghadapi lawan. Sebaliknya, suku-suku
ini mundur segera dari hadapan orang Persia, menutupi sumur-sumur dan
mata air-mata air dan membakari pohon-pohon dan padang rumput sambil
pergi. Orang-orang Persia yang mengikuti, mendapatkan mereka berbaris
melewati tanah tandus, ke sana-ke sini mencari makanan dan minuman,
kuda-kuda dan orang-orangnya menjadi semakin lapar dan haus. Mereka
tidak pernah bisa memulai pertempuran frontal, sehingga mereka tidak bisa
menggunakan keahlian mereka yang terlatih. “Keseluruhan kejadian itu berlarut-larut tiada akhir,” tulis Herodotus, “ … dan segalanya mulai berbalik
menjadi buruk bagi Darius.”5
Akhirnya, cukup buruk sehingga Raja Agung itu pulang kembali. Seluruh
pasukan Persia berbaris kembali ke Selatan, kembali melewati jembatan ponton menyeberangi sungai Danube, meninggalkan bangsa Scythia yang belum
tertaklukkan di belakangnya. Pakar sejarah istana Persia, dan raja-raja Persia
yang selanjutnya, mengatasi masalah ini dengan hanya menuliskan sejarah
tanah-tanah di sebelah Selatan sungai Danube. Untuk alasan praktis, tanah
tanah di seberang sungai itu hilang begitu saja. Jika bangsa Persia tidak dapat
merebutnya, maka jelas sudah tanah itu tidak penting.6
Tetapi Darius tidak meninggalkan tanpa merusak. Ia menuju kembali ke
Sardis dan meninggalkan pasukannya di belakangnya di bawah jenderalnya
yang paling terpercaya, Megabazus, orang Persia dengan perintah supaya menaklukkan Thracia.
Kota-kota Thracia yang tadinya berharap untuk dilepaskan dari ancaman
bangsa Scythia sekarang mendapatkan kota-kota mereka jatuh, satu per satu
di bawah dominasi bangsa Persia. Megabazus yaitu seorang jenderal yang
kompeten, dan serdadu Persia yaitu petarung yang ahli, tetapi tugas mereka
lebih dipermudah dengan sifat Thracia yang terpecah-pecah: tiap kota memiliki pemimpin pejuang dan pasukan masing-masing. “Andaikata Thracia
dikuasai oleh satu orang atau memiliki satu kepentingan yang sama,” komentar Herodotus, “mereka mungkin akan menjadi tidak terkalahkan dan
akan menjadi bangsa yang jauh lebih kuat di dunia … Tetapi itu tidak mungkin pernah terjadi, dan itulah mengapa mereka lemah.
Megabazus mengubah Thracia menjadi sebuah satrapi, yaitu Skudra.8
lalu dia berbalik ke Selatan dan mengarahkan matanya ke negara selanjutnya: Makedonia.
M, yang terletak antara Thracia dan kota negara bagian dari daratan
Yunani, berbeda baik dari Thracia di atas dan Yunani di bawah. Kota-kota
Makedonia yaitu milik satu kerajaan, yang dikuasai oleh satu raja.
Raja-raja Makedonia yang pertama berasal dari pemimpin pejuang yang
bernama Argead. Orang Argead aslinya berasal dari Selatan, dan mungkin
kebanyakan orang Yunani; penyair Hesiod melengkapi bangsa Makedonia
dengan warisan mitologi nenek moyang yang menjadikan mereka sepupu dari
pahlawan-pahlawan Yunani dan keturunan dewa Zeus, mungkin merefleksikan hubungan kuno yang sesungguhnya semacam itu.*
Pindah ke arah Utara, orang Argead menguasai tanah di sekitar Teluk
Thermaik dan sedikit jauh ke Utara, membangun ibu kota (Aegae, dekat dengan benteng kuno Edessa), mengorganisasikan sebuah angkatan perang, dan
menarik pajak. Makedonia yaitu negara pertama di Eropa yang mencapai
tingkat organisasi setinggi ini
Tetapi kerajaannya terguling dengan keras. Raja-raja Makedonia tidak
berasal dari tradisi Timur yang menobatkan kerajaan dengan kedewaan.
Mereka yaitu pejuang yang memegang tahta dengan kekuatan. Dan meskipun
pusat Makedonia berada kuat dalam kekuasaan mereka, cengkeraman mereka
terhadap bagian-bagian Utara Makedonia lebih goyah. Di sebelah Barat
terletak persekutuan liar suku-suku yang disebut bangsa Iliria (kemungkinan
penduduk pindahan dari Barat Daya, karena jejak-jejak arkeologis yang
ditinggalkan memiliki persamaan yang besar dengan jejak-jejak dari bangsa
Celt di Hallstatt Barat, yang berjajar di sebelah Utara Italia); ke Utara, terdapat
suku-suku Thracia yang terkenal secara kolektif sebagai bangsa Paeonia.
Pada tahun Megabazus dan orang Persianya muncul di cakrawala dengan
orang-orang Thracia yang sudah tertaklukkan di belakang mereka, raja
Makedonia yaitu Amyntas I (menurut tradisi, raja Argead yang kesembilan).
Orang Persia menggelinding masuk ke jantung tanah air Makedonia,
membakari kota-kota orang Paenoia. Amyntas, yang melihat asap di cakrawala,
memutuskan segera bahwa perlawanan akan sia-sia.
saat tujuh delegasi Persia yang dipimpin oleh putra Megabazus sendiri,
menyeberangi perbatasan Makedonia dengan pesan, Amyntas menerima
mereka dengan kehormatan di istananya di Aegea. “Mereka menuntut bumi
dan air untuk Raja Darius,” cerita Herodotus,10 sebuah adat istiadat Persia
yang menyimbolkan dominasi atas tanah dan lautan dari negara yang terebut.
Amyntas segera menyetujui. Ia juga menawarkan putrinya untuk dinikahkan
dengan putra Megabazus, suatu cara menyambut yang khas. Persekutuan ini
ternyata berhasil baik untuk pihak Makedonia; Suku Iliria maupun suku
Paenoia yang lain tidak mengganggu batas Utara mereka, karena jika mereka
melakukan itu mungkin akan berisiko membuat orang Persia marah.
Sementara itu, orang Yunani yang di Selatan dengan cepat mendekati kepanikan. Dengan penyerbuan Megabazus sekitar daerah Utara, dan
Amyntas dari Makedonia sekarang menjadi sekutu Persia, sekarang hanya ada
sedikit batas antara ambisi Persia dan semenanjung Yunani.
Sayangnya kota-kota Yunani sudah lama terpecah-pecah seperti suku-suku
Thracia, dan kedua bangsa yang paling kuat yaitu Athena dan Sparta sedang
menderita kesulitan-kesulitan internal.
Rori oo belum mengatur Athena masuk dalam kedamaian.
Kitab Undang-Undang yang terkenal itu sudah mengatur kembali
pemerintahan kota itu. Pejabat-pejabat tinggi Athena masih tetap terdiri
dari para archon (kesembilan hakim kepala Yunani kuno), tetapi ada dua
tingkatan lain dalam pemerintahan di bawah. Dewan Empat Ratus, diambil
dari kebanyakan golongan warga negara menengah dan atas Athena, yang memperdebatkan undang-undang dan memutuskan mana saja yang
seharusnya diterapkan untuk hak pilih. Populasi pemilih Athena membentuk
tingkat yang paling rendah dalam pemerintahan yaitu Majelis.
Setiap warga negara Athena termasuk dalam Majelis, yang tidak sedemokratis
seperti bunyinya; untuk menjadi seorang warga negara Athena, kita harus
memiliki harta milik.11Tetapi Solon juga sudah mengatur bahwa putraputra para warga negara mewarisi kewarganegaraan, bahkan jika bapak mereka
sudah jatuh miskin dan kehilangan tanahnya. Ini sebetulnya dimaksudkan
supaya menjauhkan kekuasaan voting untuk tidak terkonsentrasi ke dalam
tangan kelompok para monopoli yang kaya yang jumlahnya semakin sedikit.
Seperti para pembaharu hukum sendiri, ini tidak memuaskan dua per
tiga warga negara Athena. Orang-orang kaya menginginkan lebih banyak
pengaruh daripada yang diberikan Majelis; Orang-orang Athena yang paling miskin dibatasi keanggotaannya pada cabang pemerintahan Athena yang
paling rendah.
Orang Athena terbagi menjadi tiga kelompok yang berseteru mengenai
reformasi Solon, masing-masing dengan julukannya. Golongan Pesisir ingin
mempertahankan reformasi Solon, Golongan Daratan (dari keluarga-keluarga
lama, Garis Keturunan yang Utama dari Athena) ingin mengembalikan
semua kekuasaan ke dalam tangan orang-orang Athena yang paling kaya, dan
Golongan Perbukitan menginginkan demokrasi lengkap, dalam arti golongan
miskin dan tidak punya tanah diberi hak istimewa yang persis sama dengan
semua orang.Mereka yaitu yang paling liar di antara ketiganya, dan pemimpin
mereka yaitu Peisistratus, yang menurut Aristoteles, “seorang demokrat yang
ekstrem,”12 Karena satu hal, ia terluka dalam pertempuran melawan musuhmusuh Athena yang menjadikannya punya daya tarik (menjadi pejabat militer
selalu merupakan keuntungan bagi seseorang yang menginginkan rakyat
biasa berpihak kepadanya), dan untuk orang lain ia kelihatannya memiliki
kepribadian yang sangat magnetis: Ada semacam pesona yang cerdik dalam
caranya berbicara,” komentar Plutarkhos. “Ia begitu baik dalam membawakan
bidang-bidang yang bukan bakat alaminya, sehingga ia lebih mendapat nama
karenanya daripada mereka yang benar-benar berbakat dalam bidang itu.”13 Ia
juga mengeluh bahwa ia selalu dalam keadaan bahaya karena musuh-musuhnya
dapat membunuhnya setiap saat, hal ini bukan karena paranoid, tetapi karena
luar biasa pandai; hal itu memberinya alasan untuk mengumpulkan pengawal
pribadi yang kuat di sekitarnya.
Kelompok rakyatnya terdiri dari orang bersenjata yang mengkhawatirkan
kebanyakan golongan konservatif Athena, dan bahkan Solon, yang baru kembali dari perjalanannya di tanah-tanah liar, juga cemas. Tetapi Solon pada waktu
itu sudah amat tua, suaranya bergetar dan penampilan kepemimpinannya
sudah berkurang. Ia tidak dapat berbuat banyak terhadap peristiwa-peristiwa
yang terjadi.
Pada tahun 560, Peisistratus dan pengawal pribadinya yang menggunakan
pentungan menyerbu masuk ke Akropolis, dan Peisistartus mengumumkan
bahwa ia akan mengambil alih kota. Pemberontakan itu baru saja akan berhasil seperti pemberontakan Cylon. Ia terlalu memperhitungkan kekuatan
pengikutnya, dan Golongan Pesisir dan Golongan Daratan yang melupakan
perbedaan mereka, bergabung, dan mengusir Golongan Perbukitan keluar
dari Athena.
Peisistartus mengumpulkan kembali kekuatannya di pengasingan. Ia sudah
mencoba dengan hanya menggunakan kekuatan; sekarang ia akan mencoba
memakai strategi. Ia membuat persekutuan rahasia dengan Megacles yang
aristokratik, pemimpin dari Golongan Pesisir, menjanjikan akan menikahi
putrinya sebagai balasan karena sudah membantunya mengenyahkan
Golongan Daratan (ternyata kedua pihak sudah cekcok, sekarang mereka
tidak lagi bersatu melawan rakyat miskin), dan pulang.
Kali ini Peisistratus dengan dukungan gabungan terdiri dari para
pengikutnya sendiri dan pengikut Megacles, berhasil untuk memegang
kekuasaan sedikit lebih lama. Tetapi iasegera mendapat kesulitan lagi.
Kali ini karena ia membuat sebal istrinya karena “tidak berhubungan seks
dengannya yang wajar,” kata Herodotus, dan “lalu ia menceritakan pada
ibunya, yang mungkin menanyai atau tidak menanyai putrinya.”14 Megacles,
diberitahu tentang perkembangan ini (dan kemungkinan sudah menyesali
persekutuannya dengan Golongan Perbukitan yang kasar), memutuskan
untuk berpindah pihak lagi, dan bergabung dengan Golongan Daratan untuk
mengusir Peisistratus keluar.
Peisistratus sudah mencoba pemberontakan; ia sudah mencoba persekutuan
politik; jalan kembalinya ke kekuasaan tinggal dengan cara membelinya, dan
itulah jalan yang ditempuhnya. Ia menghabiskan waktu sekitar sepuluh tahunan
bekerja di tambang perak, dan lalu pada tahun 546, ia menyewa sebuah
pasukan tentara bayaran dan memasuki Athena kembali dengan orang-orang
bersenjata di belakangnya. Ia memerintahkan mereka untuk melucuti senjata
warga negara Athena (hak untuk mempersenjatai diri tampaknya bukan salah
satu hak istimewa demokratis yang ada dalam agendanya), dan sejak itu ia
memerintah sebagai seorang tiran.15
Di matanya sendiri, ia mendominasi Athena demi kebaikan mereka sendiri.
Dan sebenarnya ia menjadi sangat populer; ia mengurangi pajak untuk kaum
miskin, ”memberikan uang muka kepada rakyat yang lebih miskin untuk
membantu mereka dalam pekerjaan mereka,”16 dan pada umumnya bertindak
seperti seorang penolong yang lembut dan rendah hati, sepanjang tidak ada
yang membuatnya marah.
saat ia wafat pada tahun 528, putra tertuanya, Hippias (dari perkawinan
sebelumnya, sebelum dengan tidak menentu melompat ke putri Megacles)
mewarisi pekerjaannya sebagai tiran, dengan gaya seperti keraja-rajaan. Ini
tidak menyebabkan panas dalam perut sampai sebuah krisis keluarga mencuat. Menurut Aristoteleses, adik laki-laki Hippia, Hipparchus, tergila-gila pada
seorang pemuda ganteng bernama Harmodius, yang tidak mau berhubungan
dengannya. Merasa terhina, Hipparchus di depan umum menyatakan bahwa
Harmodius yaitu seseorang yang akhlaknya merosot.
Harmodius sangat marah. Ia merekrut temannya, dan mereka berdua
menyerang Hipparchus pada saat sedang ramai-ramainya sebuah festival
religius dan membunuhnya. Mereka berharap bahwa kebisingan dan perayaan
itu akan menutupi perbuatan mereka, tetapi pengawal istana membunuh
Harmodius dan menangkap kaki tangannya.
Pembunuhan adiknya membuat Hippias murka. Ia memerintahkan kaki
tangan yang muda itu disiksa untuk waktu yang lama, sampai pemuda itu
menjadi gila karena kesakitan, lalu menuduh berbagai warga negara Athena
berkomplot menentang Hippias dan rumah tangganya, dan lalu akhirnya dibebaskan dari penderitaannya dengan kematian.
“Sebagai akibat dari pembalasan dendam atas pembunuhan adiknya,”
tulis Aristoteleses, “dan hukuman mati dan pelenyapan sejumlah besar orang,
Hippias menjadi orang yang dicurigai dan sakit hati.17Ia mulai mengadakan
pembersihan terhadap setiap orang yang disebut oleh pemuda antek itu, dan
siapa saja yang menghalanginya.
Orang Athena terbebas dari kekacauan ini oleh seorang penyelamat yang
tidak disangka-sangka: raja tua dari Sparta. Raja ini, Cleomenes, sudah berkalikali diberitahu oleh seorang nabi wanita di Delphi bahwa tugas ilahinya yaitu
menggulingkan tiran di Athena. Pada tahun 508, ia bangkit dan bergerak ke
Athena sebagai pimpinan pasukan Sparta.*
Orakel dari Delphi hampir tidak memihak (para bangsawan Athena yang
melarikan diri dari paranoia Hippia, telah membangunkan sebuah kuil pualam
yang indah, menggantikan tempat tinggal para orakel yang terbuat dari batu
biasa yang lama), dan Cleomenes sangat mungkin tidak terlalu meluap-luap
keinginannya untuk melihat persamaan derajat di Athena. Sebenarnya, ekspansi Sparta menyeberang ke pusat Pelopennese telah menghasilkan suatu
masyarakat yang sangat tidak sederajat. Warga negara asli Sparta ada di atas.
Di bawah mereka terletak banyak golongan bawah yang terdiri dari mereka yang ditaklukkan, yang tidak bisa dipercaya sebagai warga negara: para
pembantu, budak, dan buruh. Orang Sparta menyukai keadaan seperti itu.
Persamaan derajat di Sparta hanya terdapat antara warga negara laki-laki di
atas tiga puluhan yang boleh memilih dalam majelis kota. Bahkan di sana,
orang Sparta tidak diizinkan berdebat. Mengemukakan pendapat tidak dianggap berguna dalam pemerintahan. Orang-orang muda menghabiskan waktu
mudanya, cerita Plutarkhos, terlatih untuk bungkam dan patuh.18 Perdebatan
bukan bagian dari pelatihan ini, itulah mengapa nama Yunani kuno untuk
bangsa Sparta—Lyconia—menjadi kata Inggris kita laconic (singkat/pendek).19
Pergerakan Cleomenes ke Athena disebabkan bukan oleh kecintaan akan
persamaan derajat, tetapi oleh ketakutan atas kedatangan penggilas Persia.
Kalau Athena jatuh dalam perpecahan berkeping-keping, hampir tidak mungkin akan mampu melawan barisan Persia di Selatan dan Athena yaitu batas
yang paling besar yang masih tertinggal antara Sparta dan Persia. Cleomenes
berharap bisa mengusir Hippia keluar, menghentikan percekcokan, dan
mengembalikan kekuatan Athena.
Pasukan Sparta mengusir Hippia keluar, dan membantu orang Athena
mengadakan pemilihan. Tetapi, mereka menolak untuk tidak ikut campur
dalam urusan internal Athena, dan menaruh beban mereka pada pundak seorang calon.*
Orang Athena, yang melihat hal ini sebagai usaha Sparta untuk
menelan Athena masuk ke orbitnya sendiri sebagai kota bawahannya, berusaha mencari sekutu yang kuat untuk membantu mereka melawan kota yang
dominan dari Selatan itu.
Seseorang dari Majelis (Herodotus tidak mengatakan siapa) menyarankan
bahwa keangkuhan Sparta hanya dapat dicegah kalau Athena besekutu dengan
angkatan perang yang luar biasa besar … seperti angkatan perangnya Persia.
Jadi pergilah sebuah delegasi ke Sardis untuk meminta pada gubernur di sana
(Saudara angkat Darius, Artaphanes, yang ditinggalkan untuk mengurus
wilayah itu saat Darius berangkat kembali ke Persepolis) untuk bersekutu
melawan pihak Sparta.
Orang Athena kelihatannya menilai terlalu tinggi kedudukan mereka di
kancah internasional; kelihatannya ini seperti usulan yang beralasan yang
sempurna untuk mereka, tetapi Herodotus menulis bahwa delegasi itu “sedang akan menyampaikan pesannya saat Arphanes … menanyai pada
orang-orang Athena itu jati diri mereka dan dari mana mereka berasal.” Tidak
salah lagi sebetulnya ia sudah tahu jawabannya, tetapi itu yaitu pertanyaan
yang sangat mengecilkan hati, yang diikuti dengan ultimatum kasar: pihak
Persia hanya akan membantu pihak Athena kalau mereka setuju mengirimkan
tanah dan air kepada Darius sebagai simbol penyerahan seutuhnya.
Delegasi itu, karena dikepung oleh orang Persia, menyetujui, setidaknya
dengan berbuat demikian mereka bisa sel