Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 23





 engakui tanah 


itu sebagai tanah mereka memperpanjang kata ini menjadi janapada, sebuah 


suku yang memiliki tanah. Keenam belas mahajanapada, atau “janapada 


besar”, yaitu  suku-suku yang memiliki  tanah yang menyerap suku-suku 


lain dan menjadi kerajaan. Dalam kerajaan-kerajaan ini, rajanya sendiri, keluarganya, dan para pejuangnya tetap menjadi marga yang berkuasa. Terlahir 


dalam marga yang berkuasa berarti termasuk dalam golongan kshatriya dan 


berhak termasuk dalam golongan elit dan yang berkuasa. 


Para kshatriya memegang kekuasaan politis, tetapi para pendeta memiliki  kekusaan sendiri yang pelik. Kurban-kurban dan persembahan yaitu  


bagian dari kehidupan sehari-hari kaum Arya sejak perjalanan mereka ke 


Selatan memasuki India: “berkat pertolongannya, (dewa) Indra menolong 


orang yang sibuk menyiapkan kurban,” terbaca pada nyanyian pujian dalam 


Rig Weda, “orang yang menyanyikan pujian, yang memasak makanan kurban, yang dikuatkan dengan doa-doa suci … yang memberi persembahan 


kepada para pendeta yang melaksanakan upacara pengurbanan. Dia, hai 


rakyat, yaitu  Indra.”1


 Terbalut bersama dengan elemen-elemen dari bangsabangsa Harappa dan suku-suku pribumi lain, praktik-praktik kaum Arya lama 


menjadi inti dari kebanyakan bentuk yang paling kuno dari praktik-praktik (keagamaan) yang lalu  dikenal sebagai Hinduisme. Para pendeta 


yang melaksanakan upacara kurban yaitu  bangsawan pertama dalam lapisan 


masyarakat India, dan mereka terus memegang pengaruhnya dalam keenam 


belas mahajanapa. Seperti kshatriya yang memerintah, para pendeta memiliki  marga sendiri: terlahir dalam keluarga pendeta berarti termasuk golongan 


brahmana dan berhak mewarisi hak istimewa dalam kurban. 


Pembagian masyarakat dalam tiga lapis golongan ini—pendeta, kepala 


pejuang, dan orang lain (keluarga-keluarga “orang lain” termasuk dalam 


kelompok vaishyas, orang biasa)—sangat tidak dikenal di zaman purba. Tetapi 


di India, para pendeta mendominasi golongan yang lain. Dalam kebanyakan 


masyarakat kuno lain, raja-raja dan para pejuang berada di lapisan atas puncak

kekuasaan; bahkan mereka yang cuma bermanis mulut akan pentingnya 


dewa-dewa sebagian besar bahkan melempar nabi-nabi dan pendeta-pendeta 


mereka ke penjara, atau malahan membunuh mereka. Dan dalam hampir 


tiap masyarakat kuno lain, raja dapat melakukan fungsi suci tertentu, dan 


kadang-kadang memegang jabatan religius tertinggi di negara itu. 


Tetapi kaum brahmana memiliki  kekuasaan utuh. Selama zaman keenam 


belas kerajaan, seorang laki-laki yang tidak lahir sebagai kshatriya masih bisa 


menjadi raja apabila para pendeta melaksanakan ritual untuk melimpahinya 


berkat kekuasaan suci atasnya, tetapi tidak seorang pun yang tidak lahir 


sebagai seorang brahmana dapat mengambil tugas pendeta.2


 Menurut teks 


Hindu The Laws of Manu di zaman sesudahnya, kaum brahmana yaitu  


“raja” dari semua golongan ciptaan lain, manusia-manusia yang paling hebat: 


“dilahirkan sebagai yang paling tinggi di bumi, raja dari semua makhluk 


ciptaan, dilahirkan untuk melindungi perbendaharaan hukum; apa pun yang

ada di dunia yaitu  harta milik kaum brahmana … kaum brahmana memang 


berhak atas segalanya.”3


Pada zaman keenam belas kerajaan itu, hewan kurban yang begitu penting 


bagi para suku nomad yang berkelana, pelan-pelan menjadi kurang disukai 


di antara populasi perkotaan India yang makin berkembang. Tetapi suatu 


kekuasaan yang dikaruniakan oleh alam raya sendiri kepada mereka yang “lahir 


sebagai yang tertinggi di bumi”, hampir tidak dapat dibatasi. Pentingnya para 


pendeta begitu dibentuk ke dalam seluruh kesadaran para golongan pejuang 


sehingga kaum brahmana —yang jauh dari kemungkinan kehilangan pekerjaan 


—memegang peran utama. Selain daripada mempersembahkan kurban, 


mereka mengatur penampilan ritual-ritual tanpa darah yang benar yang 


sekarang menggantikan tempat persembahan: ritual-ritual yang dilakasanakan 


untuk menghormati nyala api dalam perapian, untuk menyambut datangnya 


senja, untuk menghormati para dewa dengan memelihara citranya, untuk 


menentukan perkawinan dan pemakaman.4


 


D    keenam belas negara terdapat serangkaian suku yang 


masih menolak untuk dimasukkan ke dalam salah satu dari enam belas mahajanapada. Daripada melebur ke dalam kerajaan-kerajaan itu, suku-suku itu 


membentuk persekutuan yang mandiri, yang disebut gana-sangha. 


Kelihatannya sudah pasti suku-suku dari gana sangha itu tidak terutama 


dari keturunana Arya, tetapi lebih berakar pada para penduduk lembah 


Gangga yang sudah berada di sana sebelum golongan para pejuang itu datang. 


Perkawinan campuran antara pendatang baru dan suku-suku itu (seperti 


digambarkan oleh persekutuan marga Pandawa dengan Pancala, kembali ke 


cerita Bharatayuda) mungkin telah mematahkan pembagian-pembagian ras 


yang keras dan ketat. Tetapi ada satu bukti kuat bahwa golongan gana-sangha 


ini, dalam jumlah yang besar, bukan bangsa Arya: mereka tidak memiliki  


praktik ritual yang begitu menjadi pusat kehidupan bagi bangsa India di 


dalam mahajanapada. 


Hanya ada dua macam orang di dalam gana-sangha: keluarga-keluarga 


yang berkuasa yang mengaku memiliki semua tanah, dan para pembantu 


yang dipekerjakan dan para budak yang mengerjakan tanah itu. Keputusan 


(untuk berperang, berdagang dengan kelompok lain, untuk mengalihkan air 


dari sistem irigasi ke sawah-sawah tertentu) dibuat oleh para pimpinan dari 


keluarga-keluarga yang berkuasa, dan dalam keputusan-keputusan ini para 


pekerja tidak memiliki  hak bersuara sama sekali.5


 


Mahajanapada juga memiliki  kaum pembantu yang tidak punya hak 


bersuara. Mereka yaitu  golongan keempat: bukan kshatriya yang berkuasa, 


atau brahmana yang pendeta, bahkan bukan vaishya, orang biasa yang bekerja

sebagai petani, pembuat keramik, tukang kayu, dan tukang batu. Sebuah lagu 


yang terbaru dari Rig Weda, menggambarkan asal-usul dari setiap golongan, 


memberikan tempat kebanggaan kepada para brahmana, yang terlahir dari 


mulut yang besar, dari Purusha, benda kosmis raksasa yang ada sebelumnya, 


yang kematiannya membangkitkan seluruh alam raya:


Kaum brahmana yaitu  mulutnya,


kedua lengannya menjadi kaum kshatriya


kedua pahanya yaitu  kaum vaishya


dan dari kedua telapak kakinya kaum shudra dihasilkan.6


Kaum shudra yaitu  para budak dan pembantu, kelas masyarakat keempat dan rendah. Mereka tidak memiliki  suara dan kekuasaan, tidak dapat 


membebaskan dirinya dari perhambaan, menurut hukum boleh dibunuh 


atau dibuang sesuka hati para majikan mereka, dihalangi bahkan hanya untuk 


mendengar pembacaan weda suci (hukumannya yaitu  timah mendidih dituangkan ke dalam telinga si pelanggar).*


Mereka bukan bagian dari masyarakat mahajanapada; mereka lain, sesuatu 


yang lain. Asal mereka tidak jelas, tetapi mungkin kaum shudra asalnya yaitu  


orang-orang yang ditaklukkan.**7


Dalam masyarakat yang begitu terbagi dalam tingkatan-tingkatan, orang 


cenderung menjadi tidak puas. 


Keberatan yang pertama atas semua hirarki ini datang dari para ganasangha. Sekitar tahun 599 SM, seorang tokoh reformasi bernama Nataputta 


Vardhamana lahir di antara gana-sangha di Timur laut lembah Gangga: suatu 


konfederasi suku-suku yang dikenal sebagai Vrijji.8


 Sukunya sendiri secara 


khusus yaitu  Jnatrika, dan ia yaitu  seorang pangeran dan orang kaya, putra 


seorang penguasa. 


Menurut pengikutnya, perubahan-perubahannya dimulai pada tahun 


569, saat  ia berumur tiga puluh tahun. Pada awalnya ia menolak kekayaan

dan hak istimewa kelahirannya, melepaskan segala miliknya kecuali sepotong pakaian, dan menghabiskan waktu dua belas tahun dalam kesunyian 


dan pertapaan. Pada akhir periode ini, ia mencapai suatu penglihatan akan 


kehidupan yang bebas dari semua pendeta: tidak ada para brahmana di alam 


rayanya. Tujuan keberadaan manusia bukan untuk berkomunikasi dengan 


dewa-dewa lewat perwakilan para pendeta. Tidak juga untuk menyenangkan 


para dewa dengan melakukan tugas-tugas yang diperuntukkannya di mana ia 


dilahirkan, seperti yang diajarkan oleh kitab suci Hindu.*


 Sebaliknya, orang 


harus membebaskan dirinya dari belenggu materi alam raya dengan menolak 


nafsu-nafsu (keserakahan, nafsu birahi, nafsu makan) yang membelenggunya 


pada dunia materi. 


Sekitar tahun 567, ia mulai berjalan dengan kaki telanjang ke seluruh 


India, mengajarkan lima sila: ahimsa, tanpa kekerasan terhadap semua 


makhluk hidup (keterangan sistimatis pertama mengapa hewan juga memiliki  hak); satya, kebenaran; asetya, menahan diri dari pencurian dan segala 


macamnya; brachmacharya, penolakan atas kenikmatan seksual; dan aparigraha, melepaskan diri dari semua benda material (suatu komitmen yang 


diteladankan oleh Mahawira dengan membuang pakaian satu-satunya dan 


bertelanjang). Para pengikutnya berkumpul di belakangnya, dan sebagai 


guru besar, Nataputta Vardhamana menjadi terkenal sebagai “Mahawira” 


(Pahlawan Besar).9


Tidak satu pun dari hal tersebut yaitu  pemikiran yang sama sekali baru. 


Aliran ajaran Hindu yang utama juga mengajarkan pembebasan diri dari dunia 


materi dalam berbagai cara. Mahawira bukan seorang penemu ajaran baru 


melainkan seorang pembuat perubahan atas praktik-praktik yang sudah ada.

Tetapi penjelasannya tentang kebutuhan untuk penolakan diri yang ekstrim, 


dan kewajiban untuk menghargai semua bentuk kehidupan, cukup mampu 


menarik sekelompok pengikut. Doktrin-doktrinnya menjadi terkenal sebagai 


Jainisme, pengikutnya disebut Jain.*


Beberapa tahun lalu , seorang inovator baru muncul dari luar mahajanapada, juga dilahirkan di antara sebuah gana-sangha. Seperti Nataputta 


Vardhamana, ia lahir dalam kekuasaan dan kekayaan. Ia juga menolak hakhak istimewanya dari kehidupannya pada umur sekitar tiga puluh tahun dan 


pergi mengasingkan diri. Ia juga sampai pada kesimpulan bahwa kebebasan 


hanya bisa ditemukan oleh mereka yang bisa menolak nafsu dan hasrat-hasrat 


mereka. 


Penemu ini yaitu  Siddharta Gautama, seorang pangeran dari marga 


Shakya, yang terletak di sebelah Utara tempat asal Mahawira yaitu persekutuan 


Vrijji. Menurut cerita-cerita tradisional tentang pencerahannya, kehidupannya waktu muda dikelilingi oleh keluarga dan kenyamanan: ia memiliki  


seorang istri dan seorang putri kecil, dan ayahnya yaitu raja, memeliharanya 


dalam kemewahan di dalam tembok-tembok sebuah istana yang sangat besar, 


terputus dari kehidupan rakyat jelata. 


Tetapi suatu hari Siddharta memerintahkan kusirnya untuk membawanya 


pergi berjalan-jalan ke taman. Di sana ia melihat seorang manula yang sangat 


tua, “gigi-giginya patah, rambutnya beruban, tubuhnya miring dan bongkok, 


bersandar pada sebuah tiang, dan gemetaran. “Kaget menyaksikan ketuaan 


yang luar biasa ini, ia kembali ke istana: “Kelahiran yang memalukan,” pikirnya 


kepada dirinya sendiri, “karena kepada setiap orang yang lahir, usia tua pasti 


menghampiri.” Ia menyingkirkan pikiran itu, tetapi dalam perjalanannya 


selanjutnya ke taman, ia melihat seorang laki-laki yang terjangkit penyakit, 


dan sesudah itu sesosok mayat. Ini melemparkannya ke dalam pikiran yang 


lebih kacau. 


Tetapi puncak wahyu terjadi pada saat di dalam sebuah pesta beberapa 


waktu sesudahnya. Ia sedang dihibur oleh tarian dan nyanyian oleh para 


wanita cantik, tetapi saat  malam makin larut, mereka menjadi sangat 


lelah, duduk dan tertidur. Pangeran memandang ke sekitar ruangan, melihat 


pemandangan para wanita yang sedang tertidur bergelimpangan dengan alatalat musiknya bersebaran di sekitar mereka di lantai — beberapa di antaranya 


tubuhnya basah karena lendir mengalir dan air liur yang menetes; sebagian menggelutuk gigi mereka, dan komat-kamit dan berbicara dalam tidur

mereka; beberapa mulutnya terbuka, dan beberapa gaunnya terbuka sehinga 


menyingkapkan ketelanjangan mereka yang menjijikkan. Perubahan besar 


dalam penampilan mereka ini masih lebih jauh menambah ketidaksukaannya 


akan kenikmatan sensual. Baginya ruangan yang megah itu … mulai tampak 


seperti sebuah pekuburan yang dipenuhi oleh mayat-mayat yang tak berdaya 


dan ditinggalkan membusuk.10


Itulah yang menyebabkannya berangkat pergi mengasingkan diri. 


Tahunnya, menurut tradisi yaitu  534 SM.*


Siddharta menghabiskan waktu berkelana, mencoba untuk berdamai 


dengan pembusukan dan kerusakan yang tidak terhindarkan. Ia mencoba 


meditasi, tetapi saat  masa meditasinya selesai, ia masih berhadapan dengan 


kenyataan akan datangnya penderitaan dan kematian. Ia mencoba metode 


Jain tentang tapabrata, melaparkan diri untuk melemahkan ikatan-ikatannya 


dengan bumi sampai, seperti yang diceritakan dalam teks yang lalu , 


“tulang punggungnya menonjol seperti tumpukan tali,” tulang iganya seperti 


“tiang-tiang yang menonjol dari sebuah kandang sapi tua yang tidak beratap,” 


dan matanya cekung ke dalam rongga matanya sehingga mereka terlihat 


“seperti cahaya air yang tenggelam dalam sebuah sumur yang dalam.”11


Meskipun begitu penyangkalan diri ini tidak memindahkannya seinci pun 


keluar dari keadaan manusia biasa. 


Akhirnya, ia mendapat jawaban atas apa yang dicarinya. Bukan nafsu yang 


memperangkap laki-laki dan perempuan, melainkan keberadaan itu sendiri 


yang “cenderung terikat dengan selera yang menggebu-gebu,” dan yang selalu bernafsu: “kehausan akan kenikmatan sensual, haus akan eksistensi, haus 


akan noneksistensi.”12 Satu-satunya kebebasan dari nafsu yaitu  kebebasan 


dari eksistensi itu sendiri. 


Kesadaran akan kebenaran ini merupakan pencerahan Siddharta, dan sejak 


itu ia tidak dikenal sebagai Siddharta Gautama tetapi sebagai seorang Budha: 


orang yang mendapat pencerahan yang telah mencapai nirwana, pengetahuan 


tentang sebuah kebenaran yang disebabkan oleh ketidakadaan, tergantung 


pada ketidakadaan, dan menuju pada ketidakadaan, suatu cara eksistensi yang 


tidak mungkin didefinisikan dengan kata-kata.

Ini bukan hanya penemuan spritual saja, tetapi (meskipun ada pengakuan 


atas pelepasan) sebuah posisi politik. Tetapi ini kedua-duanya anti-brahmana 


dan antikasta. Penekanan ajaran Hindu brahmana pada kelahiran kembali 


berarti bahwa kebanyakan orang India menghadapi suatu kehidupan masa 


depan demi kehidupan masa depan yang melelahkan, dengan tanpa harapan 


untuk dapat meninggalkan kehidupan-kehidupan mereka, yang dengan ketat 


sudah digariskan kecuali melalui kelahiran kembali, yang mungkin akan 


menghadapkan mereka dengan penderitaan lain, yang mirip atau lebih buruk 


yang lebih berlangsung lama atau seumur hidup. Suatu eksistensi yang, 


dalam ungkapan Karen Armstrong, tidak banyak menjanjikan harapan untuk 


kelahiran kembali karena adanya ancaman untuk “kematian kembali yang 


menakutkan … Sudah cukup buruk jika harus menderita kepikunan, penyakit kronis, dan mengalami kematian yang mengerikan dan menyakitkan satu 


kali itu saja, tetapi dipaksa untuk melalui itu semua lagi berulang-ulang tidak 


dapat ditolerir dan sia-sia.”13 Di dunia di mana kematian bukan pelepasan, 


harus ditemukan jenis pelarian lain. 


Yang sama anti-brahmananya (dan anti-kshatriya) yaitu  ajaran Budha 


bahwa setiap orang harus bergantung pada dirinya sendiri, tidak pada kekuatan 


dari seorang pemimpin yang kuat yang bisa memecahkan masalah-masalahnya. Lama sesudah itu, seorang guru agama Budha pada abad kesembilan 


menciptakan perintah “Kalau Anda bertemu Budha, bunuhlah Budha itu!” 


dengan maksud untuk menekankan kepada murid-muridnya betapa pentingnya untuk tidak menyerah pada seorang tokoh yang berwenang—bahkan 


seseorang yang mengaku mendapat mandat ketuhanan, baik raja maupun 


pendeta.14


Segera sang Budha pun mendapatkan pengikut-pengikut, murid-murid 


yang berasal dari semua kasta. 


Sementara Mahawira dan Budha berkhotbah tentang pembebasan dari 


kekayaan material, para raja dari mahajanapada sedang bertempur untuk 


mendapatkan sebanyak mungkin wilayah. Kashi dan Kosal, di sebelah Utara 


Gangga dan Magadha di sebelah Selatan yaitu  musuh-musuh utama dalam 


perang untuk memperebutkan tanah. Mereka bertempur memperebutkan 


lembah Gangga, dan dalam persaingan ini diikuti oleh gana-sangha Vrijji, 


konfederasi asal Mahawira. 


Kashi dan Kosal bertukar kekuasaan satu sama lain, tidak seorang pun 


mempertahankan dominasinya untuk waktu yang lama. Tetapi Magadha,

di bawah daerah Gangga, tetap berkembang lebih kuat. Rajanya, Bimbisara, 


naik tahta Magadha di tahun 544 SM, dan menjadi seorang pendiri kekaisaran yang pertama, meskipun secara kecil-kecilan. saat  Budha mencapai 


pencerahannya, Bimbisara sedang mengerahkan pasukannya melawan kerajaan delta Anga, yang menguasai akses sungai ke laut (melalui Teluk Bengal), 


termasuk kota Campa, kota pelabuhan utama dari mana kapal-kapal berlayar untuk berdagang dan ke bawah ke daerah pantai di sebelah Selatan.15 Ia 


menyerbunya, menaklukkannya, dan menguasainya. 


Ini bukan suatu penaklukan yang besar. Tetapi Anga yaitu  yang pertama 


dari keenam belas kerajaan yang secara permanen menyerap kerajaan lainnya, 


yang menjadi tanda untuk masa depan. Dan operasi militer bukanlah satusatunya kemenangan Bimbisara. Dengan caranya, ia mengadakan perjanjian, 


dengan perkawinan, sehingga menguasai bagian dari Kosol dan dengan 


perkawinan lain untuk persahabatan dengan gang-sangha di perbatasan 


Baratnya.16 Ia membangun jalan-jalan di seluruh kerajaannya, sehingga dengan mudah ia dapat melakukan perjalanan mengelilinginya dan memanggil 


para pemimpin desa bersama untuk suatu konferensi. Jalan-jalan ini juga 


memungkinkannya untuk menarik (dan mengawasi) pembayaran pajak. Ia 


menyambut Budha, yang berkelana ke bawah dari Utara; doktrin apa pun 


yang dapat mengurangi kekuasaan para brahmana cenderung meningkatkan 


kekuasaan si raja. Rencananya untuk menjadikan Magadha bukan sekadar 


kelompok marga pejuang yang berpegangan secara kurang nyaman bersama, 


melainkan sebuah kekaisaran kecil, sudah berjalan jauh. India yang sudah 


lama berada di jalan yang berbeda dari perkembangan kekaisaran-kekaisaran 


di Barat, semakin dekat dengan mereka. 

G A R I S WA K T U 6 1


 ROMA INDIA


 Enam belas kerajaan di lembah sungai Gangga


 Tarquin tua 


 Kelahiran Mahawirah (trad. 599)


 Servius Tullius (578) 


 Kelahiran Budha (trad. 563)


 Liga Etruska Bimbisara dari Magadha


 Tarquin yang sombong (535) 


 Kematian Mahawira (trad. 527)


 Awal Republik Roma (509)


 Invasi Bangsa Celt


 Diktator Roma yang Pertama


 Kematian Budha (trad. 483)






Pada a   , sekelompok negara yang kuat—Jin, 


Qi, Chu, Ch’in—mengepung negara Zou. Sebuah negara kelima yang sedang 


naik daun dalam kekuasaannya bergabung dengan mereka: Yueh, yang terletak di daerah pesisir sebelah tenggara. Sejarah-sejarah selanjutnya menyebut 


masa ini sebagai zaman Lima Hegemoni, tetapi sebetulnya ada empat negara 


bagian lagi yang sudah menyapu cukup banyak wilayah ke dalam perbatasan 


mereka untuk berdiri tegak sebagai kekuasaan besar: Lu dan Wu, keduanya 


memiliki  perbatasan di pesisir; Cheng yang berbatasan dengan negara 


Zhou; dan Sung pada sisi Timur mereka.1


Pihak Zhou berada di tengah-tengah, bergantung pada sebuah kekuasaan 


yang sudah hampir seluruhnya menjadi formalitas. Negara itu dikuasai oleh 


masing-masing adipati, dan angkatan perang mereka melawan musuh-musuh 


di perbatasan. Jin khususnya selalu dalam keadaan perang melawan sukusuku barbar di Utara yang terkenal, secara kolektif, sebagai suku Ti. Perang 


itu berlangsung selama beberapa dasawarsa, dan lambat laun memperluas perbatasan Jin semakin jauh ke Utara. 


Untuk beberapa waktu, negara yang tambal sulam ini mempertahankan 


kedamaian dalam negeri dengan sulit. Raja Hsiang wafat, sesudah  masa tugas 


yang panjang di atas tahta secara formalitas, dan dilanjutkan oleh putranya 


(yang berkuasa selama enam tahun) dan lalu  oleh cucunya (yang 


berkuasa selama tujuh tahun). Si cucu, yang terlalu muda untuk berkuasa 


sendiri, diteruskan oleh adik laki-lakinya, Ting, pada tahun 606 SM. 


Masa berkuasa yang terpotong-potong ini kelihatannya menunjukkan 


semacam kesulitan di ibu kota, dan penguasa yang mengambil kesempatan 


ini yaitu  Adipati dari Chu.

Negara Chu sebelah Selatan tadinya bukan bagian dari “China pusat,” 


dan dipandang bersifat semibarbar oleh negara Jin dan Cheng. Barbar atau 


bukan, Chu yaitu  negara yang kuat. Dalam dua setengah abad sejak Zhou 


bergerak, tentara Chu sudah bergerak dengan teratur ke Utara dan Timur, 


menginvasi dan menguasai negara demi negara. “Dalam generasi kuno,” tulis 


pakar sejarah abad delapan belas Gai Shiqi, “ada banyak negara yang berseteru, 


yang tersebar dengan padat seperti buah-buah catur atau bintang-bintang. Ia 


membuat daftar dari beberapa negara seperti ini, sekarang sudah hilang selamanya dari peta, yang pernah ada antara perbatasan Chu dan Zhou. “sesudah  


jatuhnya Deng,” menurut keterangannya, “Pasukan Chu membuat Shen 


dan Xi menyadari kehadirannya, dan sesudah  jatuhnya Shen dan Xi, pasukan 


Chu membuat Jiang dan Huang merasakan kehadiran mereka, dan sesudah  


jatuhnya Jian dan Huang, tentara-tentara Chu membuat kehadiran mereka 


dirasakan oleh Chen dan Cai, saat  Chen dan Chai tidak dapat bertahan 


lagi, tentara Chu langsung menyerang istana.”2


Invasi Chu atas tanah Zhou ini berlangsung segera sesudah  Raja Ting 


menduduki tahta Zhou. Itu bukan serangan langsung ke istana; Target Chu 


menurut dugaan yaitu  sekolompok orang Jung, orang barbar di Utara yang 


bersekutu dengan kakak tiri raja Hsiang untuk melawan tahta, delapan puluh 


tahun sebelumnya. Mereka sudah berlompatan di sekitar China sejak itu. 


Angkatan perang Jin sudah menggusur mereka keluar masuk tanah Ch’in, 


angkatan perang Ch’in dengan cepat mengusir mereka jauh ke arah Selatan, 


dan sekarang mereka berada di perbatasan Barat Zhou. 


Pihak Chu tidak menyerang orang-orang barbar ini demi melindungi raja 


yang berkuasa; saat  Adipati Chu bergerak melawan mereka, orang Jung 


tidak sedang mengancam pihak Zhou. Dan ada petunjuk dari catatan Sima 


Qian bahwa Adipati Chu tidak bermaksud menyerang kerajaan itu: “Pada 


tahun pertama Raja Ting,” tulisnya, “Raja Chu menyerang pihak Jung.”3


Sebelumnya belum pernah ada seorang adipati diberi gelar kerajaan. Bahkan, 


kemungkinannya yaitu  tidak sah kalau seorang penguasa Chu menyebut 


dirinya sendiri “raja”, tetapi penguasa Zhou kelihatannya tidak punya wewenang untuk berkeberatan. 


Operasi militer Raja Chu melawan kaum barbar dilakukan dengan setengah 


hati. Begitu ia mencapai daerah Utara, ia mengirimkan seorang utusan, tidak 


kepada orang Jung dengan tuntutan untuk menyerah, tetapi malahan kepada 


istana Zhou dengan permintaan yang sedikit aneh: “Ia mengirim seseorang 


untuk menanyakan kepada pihak Zhou tentang Sembilan Penyangga,” tulis

Sima Qian—Sembilan Tungku dari Zhou, yang dipakai selama setengah 


milenium sebagai simbol kekuasaan raja.*


 

Kita tidak tahu mengapa Raja Chu menanyakan ke Sembilan Penyangga, 


tetapi ia tidak mungkin termotivasi oleh keingintahuan yang sekadar iseng. 


Menurut Sima Qian, Raja Ting meminta seorang pejabat istana untuk 


memberikan jalan keluar bagaimana caranya menjawab pertanyaan itu; dan 


Raja Chu, dalam waktu singkat, kembali ke Selatan. Tidak jelas apa yang 


mencegah krisis yang berkembang itu. Mungkin raja Zhou setuju untuk tidak 


berkeberatan atas pemakaian gelar “raja” oleh sang Adipati, saat  Raja Chu 


langsung menyebut dirinya sendiri dengan gelar raja. 


Negara Chu sendiri terus berkembang. Tso chuan (catatan tambahan dari 


Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur Konfusius) mengomentari bahwa saat  Chu menabrak negara bagian kecil Ts’ai, Raja Chu menyuruh membakar 


pangeran mahkotanya hidup-hidup. Sepuluh tahun sesudah  penyerangan terhadap pihak Zhou, Raja Chu juga menginvasi Cheng. Mungkin khawatir 


akan dibakar juga, Adipati Cheng menawarkan untuk menjadi sebuah vasal

(negara taklukan) yang setia: “Janganlah memadamkan altar kami,” ia memohon, dalam Tso chuan, “tetapi biarlah aku yang mengubah haluanku sehingga 


aku boleh melayani paduka.”4


Raja Chu setuju. Sekarang daerah kekuasaannya mengepung Zhou dengan 


luas dan mengancam keberadaannya dari dua penjuru. 


S ,   dilanjutkan oleh putranya, cucu, dan cucu 


buyutnya. Cucu buyutnya, Raja Ching, mengambilalih tahta pada tahun 


544 dan mengalami masa kekuasaan selama kurang lebih dua puluh tahun 


tanpa ada peristiwa. Tetapi meskipun ia bermaksud untuk menunjuk putra 


kesayangannya (seorang pangeran muda) sebagai penerusnya, ia meninggal 


sebelum meresmikan pengangkatan itu. Tahun itu yaitu  521. 


Segera putra tertua Ching merebut tahta. Pangeran yang lebih muda 


sangat marah, menyerang dan membunuh kakaknya, dan merebut tahta menjadi Raja Tao. Saudara-saudaranya yang lain melarikan diri dari ibu kota. 


Salah satu dari mereka, Pangeran Kai, berhasil sampai ke negara Jin di 


Utara dan memohon bantuan. Adipati Jin setuju untuk mengerahkan seluruh 


pasukan Jin yang besar dan berpengalaman di belakang Kai. Dia menyiapkan 


upacara penobatan dan memproklamasikan Kai sebagai raja yang sah dalam 


pengasingan; Kai memakai nama Ching II (seolah-olah mendesakkan 


pengakuannya atas tahta yang sah, yang sebenarnya kelihatan sangat goyah). 


Dan lalu , dengan angkatan perang Jin di belakangnya, Ching II bergerak 


kembali ke arah kota Zhou yang bertembok. 


Raja Tao membarikade dirinya di dalam. Selama tiga tahun, kedua bersaudara ini melakukan perang saudara; pada tahun keempat, Ching II menyerbu 


ke dalam ibu kota dan menurunkan Raja Tao sebagai negara taklukan, memaksanya untuk setia kepadanya. 


Pada saat semua ini berakhir, pihak yang berwenang di Zhou Timur 


sudah hampir jatuh ke dalam anarki dan pertumparan darah. Mandat dari 


Langit sudah terpecah, dan bahkan perang lebih besar antara negara-negera 


sekitar, kelihatannya akan berlanjut, saat  mereka berebut untuk menguasai 


kewenangan Zhou yang sudah jatuh. 


Menanggapi zaman yang kacau itu, seorang pembuat reformasi muncul 


dari negara bagian Lu. Namanya yaitu  Kong Fuzi, dan sebagai seorang 


guru ia mendapat pengikut yang berlangsung selama milenium-milenium. 


Misionaris Jesuit yang tiba di China dua ribu tahun lalu , mengeja Kong 


Fuzi sebagai Konfusius (Confucius), sebuah versi Latin dari namanya, dengan 


nama itu ia terkenal di seluruh dunia. 


Seperti filsuf-filsuf India yang lebih kontemporer darinya, Konfusius 


samar-samar berasal dari keluarga bangsawan; ia yaitu  keturunan tidak


langsung dari saudara tiri raja Shang terakhir. Tidak seperti para filsuf itu, ia 


dibesarkan dalam kemiskinan tetapi terpandang. 


Pada saat ia berusia dua puluh satu, ia menikah, memiliki  seorang 


putra, dan bekerja sebagai pencatat pengiriman biji padi yang dimiliki oleh 


negara.5


 Pekerjaan ini memerlukan ketepatan, perhatian pada detail, dan 


pencatatan yang sempurna, semuanya oleh Konfusius muda dirasakan cocok 


untuknya. Sejak masa kecilnya, ia yaitu  seorang anak yang tepat dan teratur; 


saat  ia tumbuh, ia semakin terkesima oleh ritual-ritual yang dilaksanakan 


untuk menghormati nenek moyang dan makhluk yang bersifat ketuhanan, 


ritual-ritual yang mengelilingi kelahiran dan kematian dan perkawinan, 


upacara-upacara yang dilaksanakan dalam istana dari para penguasa negara 


dan istana raja Zhou sendiri. 


Ritual-ritual ini dibarengi dengan pembacaan puisi dan syair yang 


diturunkan secara lisan dari zaman sebelum ada tulisan, diperlakukan seperti 


buku pegangan yang hidup untuk upacara-upacara yang benar. Konfusius, 


lahir dengan memori yang panjang secara alami, mengenal ratusan dari 


upacara itu di luar kepala. 


Selama sekitar sepuluh tahun, Konfusius tetap bekerja sebagai pencatat 


pemerintah. Tetapi ia juga mendapat reputasi yang makin lama makin besar 


sebagai semacam peyimpan data pelaksanaan ritual yang berjalan. Pihak istana Lu memanggilnya, bila perlu, untuk memastikan bahwa para tamu dari 


istana telah menerima ritual yang benar. Dan ia sudah mulai memiliki  


murid-murid yang bersemangat untuk belajar dari perpustakaan yang ada di 


dalam kepalanya. 


Pada saat ia baru berumur tiga puluh tahun, Adipati Lu berkonsultasi 


dengannya secara teratur. Ia juga sering disuruh meninggalkan pekerjaannya sebagai pencatat untuk menjadi pengajar bagi putra-putra dari setidaknya 


salah satu pejabat tinggi Lu.6


 Baru saja ia memasuki fase kehidupan profesionalnya ini—diana pengetahuannya tentang upacara, ritualdan pelaksanaan 


tugas yang benar akan menjadi pusat dari seluruh kehidupan pekerjaannya—


perang saudara berkobar di daratan Zhou. 


Pihak Zhou yang kurang berpengaruh telah ditutupi sebagian oleh topeng persetujuan umum di antara para penguasa negara sekitarnya bahwa raja 


masih memiliki  semacam kepentingan ritual; sehingga bahkan jika ia tidak 


sebenarnya berkuasa, ia berada di tengah semacam aturan kosmis yang lebih 


baik tidak mereka ganggu. Tuntutan Chu atas Sembilan Penyangga mungkin 


yaitu  keretakan pertama yang terlihat dari persetujuan itu. Perang-perang 


berdarah antara dua raja bermahkota, masing-masing menyombongkan 


bahwa kewenangannya diberikan melalui ritual dan upacara, menunjukkan 


keretakan yang sudah mencapai permukaan kekuasaan Zhou.

Konfusius yaitu  orang yang menghargai keteraturan; dan ia mulai mengajar murid-muridnya bagaimana mencari, baik keteraturan maupun stabilitas, 


di dalam dunia di mana tidak satu pun dari kedua hal tersebut tampak. 


Ajaran-ajarannya mencoba untuk mempertahankan aspek masa lampau 


yang terbaik—atau setidaknya sebuah masa lampau yang dipercayainya pernah ada. Dia mengumpulkan puisi-puisi dan lagu-lagu paling kuno China 


ke dalam Shi jing, Klasiknya Puisi, suatu antologi untuk digunakan di masa 


depan. (“Dari mereka”, kata Konfusius, “kita dapat belajar tentang tugas 


langsung kita kepada ayah, dan yang lebih jauh melayani seorang pangeran.”)7


Ia juga dikenal karena menyatukan sekumpulan ritual dan upacara ke dalam 


sebuah teks yang disebut Li ching, yang mengatur segalanya dari sikap yang 


benar bagi mereka yang berkabung (“Jika seseorang baru mengunjungi pihak 


yang berkabung, pada hari yang sama ia tidak boleh menunjukkan segala 


bentuk kegembiraan”)8


 sampai dengan pergantian tugas-tugas bulanan yang 


benar (“Di bulan kedua musim gugur—diperbolehkan membangun tembok-tembok kota dan daerah di luarnya, untuk mendirikan kota-kota besar 


dan kota-kota, untuk menggali jalan-jalan di bawah tanah dan sumur-sumur 


benih, dan memperbaiki lumbung.”)9


 Ucapan-ucapannya dikumpulkan bersama oleh para pengikutnya menjadi tiga koleksi yang disebut Lun yu, atau 


Analek. 


Konfusius bukan seorang penemu filsafat yang dipaparkan dalam Analek 


seperti juga Mahawira bukanlah tokoh yang menciptakan Jainisme. Inovasinya 


yaitu  kembali ke masa lalu dengan maksud mencari jalan ke depan. Aku 


bukan orang yang dilahirkan dengan memiliki pengetahuan,” ia mengajar 


para pengikutnya,” Aku yaitu  orang yang suka akan masa kuno dan dengan 


tekun memeliharanya.”10 Penyelidikannya tentang masa lalu memberinya 


pengetahuan bahwa dalam China yang terpecah-pecah, baik ketenangan 


maupun kebaikan, terletak dalam cara melaksanakan kewajiban-kewajiban 


dengan benar. “Dengan aturan-aturan kesopananlah watak dibentuk,” katanya menurut laporan. “Tanpa aturan-aturan kesopanan, kehormatan 


menjadi kesibukan yang menghabiskan tenaga; kehati-hatian menjadi sifat 


malu-malu; keberanian menjadi pembangkangan; dan keterusterangan menjadi kekasaran.”11


Di dunia di mana kekuatan senjata kelihatannya menjadi satu-satunya 


perekat yang menyatukan suatu negara, Konfusius menawarkan cara lain bagi 


manusia untuk menguasai masyarakat yang mengelilingi mereka. Orang yang 


memahami kewajibannya terhadap orang lain dan menjalaninya akan menjadi 


jangkar suatu negara—menggantikan raja atau jenderal atau bangsawan, “Ia 


yang menjalankan pemerintahan dengan kebaikannya,” kata Analek itu, “bisa 


dibandingkan dengan bintang kutub Utara, yang tetap berada di tempatnya,

dan semua bintang berpaling menghadapnya … Kalau bangsa dipimipn oleh 


kebaikan … maka mereka akan menjadi baik.”12*


S      , ia terpaksa melarikan diri dari Lu saat  adipatinya diusir keluar oleh sekeluarga bangsawan 


saingannya. Konfusius mengikuti penguasa Lu yang terasing memasuki Qi, 


negara tetangga, di mana keduanya memohon belas kasihan dari penguasa Qi 


yang selama itu tidak ramah, khususnya terhadap rekannya dari Selatan. 


Tetapi, itu baik untuk Adipati Qi, yang pada saat itu bertindak sebagai 


tuan rumah; ia menawarkan keramahtamahannya kepada penguasa terasing 


Lu. Sebaliknya Konfusius, tidak mendapatkan sambutan dari istana karena 


kecemburuan penghuni istana Qi, yang bergerombol menghalangi jalan 


masuknya menghadap adipati Qi.13 Karena tidak memiliki  pekerjaan, 


Konfusius pergi dari Qi dan kembali ke Lu, di mana ia menyatakan hasratnya untuk tetap tidak terlibat dengan politik. Sikap ini bijaksana, karena Lu 


terbagi antara tiga keluarga yang bertengkar, tidak satu pun yang menonjol secara jelas. (Akhirnya, Konfusius akan kembali menjadi pegawai negeri untuk 


sementara, tetapi kebanyakan dari tahun-tahun terakhirnya ia abdikan untuk 


menuliskan sejarah Lu, sebuah kisah yang terkenal sebagai Sejarah Musim 


Semi dan Musim Gugur.) 


Sedikit jauh ke Barat, Ching II, sekarang hanya namanya saja yang 


menguasai istana Zhou, sedang akan mengalami kesulitannya sendiri. 


Saudaranya yang vasal, mantan Raja Tao, tetap dalam kepatuhan yang 


perlahan-lahan mendidih, selama dua belas tahun; dan lalu  bangkit 


dengan pengikut-pengikutnya (yang mungkin membenci orang Jin yang ikut 


campur dalam urusan mereka), menyerang kembali ibu kota, dan memukul 


mundur kakaknya. Ching II kembali ke Jin dan meminta bantuan adipati. 


Tahun berikutnya, angkatan perang Jin sekali lagi “berhasil mengawal Raja 


Ching (II) kembali ke Zhou.”14


Itu yaitu  kemenangan terbesar Jin yang terakhir. Tidak lama lalu , Adipati Jin menemui masalah. Dalam penyerangannya terhadap kaum 


barbar, beberapa keluarga besar Jin menjadi semakin kaya raya: salah satu 


keluarga karena kelahirannya mengaku memiliki  hak keturunan untuk 


memimpin angkatan perang; yang lain tidak hanya menuntut tanah barbar 


dalam jumlah yang besar, tetapi juga bersekutu dan membuat perjanjian-

perjanjian dengan suku barbar. Orang-orang dari keluarga-keluarga ini dan 


beberapa yang lain mulai saling mendesak untuk menguasai istana Jin. Pada 


tahun 505, pemecahan-pemecahan ini menjadi semakin cukup serius untuk 


melangsungkan pertempuran melawan kaum barbar; menurut Sejarah Musim 


Semi dan Musim Gugur, angkatan perang Jin, yang ternyata terpecah oleh 


perseteruan internal, harus mundur dari penyerangannya terhadap kota-kota 


barbar tanpa hasil.15


Pada tahun 493, Cheng dan Jin melakukan perang singkat yang sengit satu 


lawan yang lain; pada tahun 492, Qi, Lu, dan Wey setuju untuk bergabung 


dengan salah satu bangsawan Jin dan bergerak masuk ke Jin itu sendiri untuk 


mendesak keluarga Jin yang lain keluar dari peta, dalam gabungan antara invasi dan atau perang saudara. 


Sekarang Lu terpecah, Jin menjadi berkeping-keping, dan Zhou menjadi 


lemah. Chu yang dominan di daerah Selatan selama satu abad, sedang berperang melawan invasi Wu, dan Yueh di sayap tenggaranya. Wu, sementara 


mencapai kemenangan, mengumumkan dirinya sebagai negara yang berkuasa 


di seluruh daerah Selatan, untuk alasan itu Yueh berbalik melawan sekutunya 


dan menyerangnya.16 Kerajaan Zhou sudah padam, bahkan cuma menjadi sebuah titik di layar politik. Tahun-tahun antara 481 dan 403 begitu 


membingungkan, banyak pakar sejarah yang membagi periode saat  Zhou 


menguasai ibu kota Timur mereka (Periode Zhou Timur, 771-221) menjadi 


dua periode (Periode Musim Semi dan Musim Gugur, 771-481, dan Periode 


Negara-Negara Berperang, 403-221), bahkan tidak mencoba untuk memberi 


julukan pada periode masa di antara kedua bagian. Periode itu semacam interregnum (masa peralihan pemerintahan). 


Selama tahun-tahun ini, seorang filsuf lain membuat (semacam) percobaan 


lain untuk mengeluarkan dasar-dasar yang mungkin bisa menemukan 


(semacam) kesatuan bagi China. Sun-Tzu, jenderal yang bertempur untuk 


Adipati Wu,*


 tidak memiliki  gambaran atas akibat perang terus menerus 


terhadap negaranya: “Tidak ada keadaan di mana sebuah negara mendapat 


keuntungan dari perang yang berkepanjangan,” ia mengingatkan.17 Seni 


Berperang yaitu  tentang bagaimana kita menaklukkan musuh-musuh 


kita sambil menghindari sebanyak mungkin perang yang sesungguhnya. 


“Keunggulan tertinggi terdapat pada cara mematahkan perlawanan 


musuh tanpa berperang,” tulis Sun Tzu,18 dan, “saat  kita terlibat dalam pertempuran yang sesungguhnya, jika kemenangan masih jauh, maka senjatasenjata para serdadu akan menjadi tumpul, dan semangat patriot mereka 


menjadi lembab … Kepandaian tidak pernah terlihat berhubungan dengan 


penundaan-penundaan yang terlalu lama.” Serbuan-serbuan yang menjadi 


perang yang penting dalam peperangan di Timur Tengah, tidak disarankan: 


“Jangan menyerang sebuah kota,” perintah Sun-Tzu. “Jika kita mengadakan 


penyerangan ke sebuah kota, kita akan kehabisan tenaga … Pemimpinpemimpin lain akan bermunculan untuk mengambil kesempatan atas 


keekstriman kita. Lalu tidak ada seorang pun, bagaimanan pun bijaksananya, 


akan dapat mengubah akibat-akibatnya. 19


Ini yaitu  kata-kata dari seorang laki-laki yang paham bahwa musuh dari 


dalam negeri yaitu  sama berbahayanya dengan musuh dari negera di sebelah. 


Dalam sebuah negara di mana teman-teman kita sangat mungkin berkomplot 


melawan kita sebagai musuh kita, kebohongan menjadi jalan hidup: “Semua 


perang didasarkan pada kebohongan,” tulis Sun-Tzu. “Pada saat bisa 


menyerang, kita harus kelihatan seperti tidak bisa; saat  menggunakan 


kekuatan kita, kita harus kelihatan seperti tidak aktif; saat  kita dekat, kita 


harus membuat musuh percaya bahwa kita berada di tempat yang jauh, saat  


jauh, kita harus membuatnya mereka percaya bahwa kita dekat.”20 Jenderal 


yang baik ini tidak hanya membohongi musuhnya sendiri, tetapi menganggap 


musuhnya selalu membohonginya: “kata-kata rendah hati dan persiapanpersiapan yang ditingkatkan yaitu  tanda-tanda bahwa musuh akan maju,” 


Sun-Tzu menerangkan.“Bahasa kekerasan dan maju ke depan seakan-akan 


mau menyerang yaitu  tanda-tanda ia akan mundur … Usulan-usulan damai 


yang dibarengi dengan sumpah kesetiaan menunjukkan suatu komplotan.”21


 


Baik Konfusius maupun Sun-Tzu, kasarnya kontemporer seperti mereka, 


menawarkan filosofi keteraturan, suatu jalan untuk mengatasi negara yang 


tercerai-berai; stabilitas melalui penampilan kewajiban-kewajiban sosial 


yang benar, atau stabilitas melalui intimidasi. Metode Sun-Tzu tidak kurang 


sistematik dan semuanya lebih memotong dari teori Konfusius. Dan untuk 


sementara waktu, patut diberi acungan jempol. Negara-negara Zhou Timur, 


seperti tulisan pakar sejarah China dari abad kesatu, Liu Xiang, menulis 


“serakah dan tidak tahu malu. Mereka membandingkan tanpa kejenuhan … 


Tidak ada Putra Langit di atas dan tidak ada penguasa setempat di bawah. 


Segalanya dicapai melalui kekuatan fisik dan kemenangan yaitu  mulia. 


Kegiatan-kegiatan militer tak henti-henti dan kebohongan dan kepalsuan 


bergandengan tangan.”22


Pemerintah China menjadi konstelasi dari penguasa-penguasa militer, 


masing-maing menguasai kekuasaan melalui perang yang terus menerus. Tanpa

perang, yang dilakukan untuk mendesak tapal batas negara-negara keluar 


melawan batas-batas negara-negara tetangga, negara-negara akan runtuh ke 


dalam seperti balon yang ditusuk; mereka harus tetap digembungkan dengan 


peperangan gas panas. 


G A R I S WA K T U 6 2


 INDIA CHINA


 Ting


Enam Belas Kerajaan di lembah sungai Gangga Adipati (”Raja”) Chu


 Kelahiran Mahawira (trad.599)


 Kelahiran Bhuda (trad.563)


 Kelahiran Konfusius


 Bimbisara dari Magadha Ching


 Kematian Mahawira (trad.527) Tao


 Ching (II)


 Sun-Tzu, Seni Berperang


Kematian Buddha (trad.483) ”Periode akhir ”Musim Semi dan Musim Gugur” (481)


 Kematian Konfusus


S  , Cyrus Agung berkuasa atas kekaisarannya 


sedikit kurang dari sembilan tahun, dan lalu  terlibat dalam peperangan 


kecil dengan seorang ratu yang tidak terkenal. 


Ia sedang bertempur ke arah Utara memasuki wilayah yang sama sekali baru, menyeberangi sungai Oxus dan naik ke atas ke dalam Asia Tengah 


yang liar, di sebelah Timur Laut Aral. Suku-suku pegunungan di daerah 


atas ini yaitu  sempalan dari bangsa Scythia: Herodotus menyebut mereka 


Massagetae, petarung yang bengis yang memakai busur dan tombak berujung 


perunggu, memuja matahari, dan “tidak mengolah tanah, tetapi hidup dari 


ternak dan ikan.”1


 


Pertama Cyrus mencoba untuk menaklukkan Massagetae dengan perjanjian. Ia mengirim pesan kepada ratu mereka Tomyris, melamarnya untuk 


dinikahi. Ratu tidak hanya menolak, tetapi mengirimkan putranya untuk 


memimpin sebuah serangan melawan sayap belakang pasukan Persia. Serangan 


itu gagal dan putra Tomyris ditangkap. 


Karena tidak tahan menanggung malu, ia bunuh diri. Oleh sebab itu, 


Tomyris mengirimi Cyrus sebuah pesan, bersumpah, “Aku bersumpah demi 


matahari bahwa aku akan memuaskan kehaus-darahanmu.” lalu  ia 


memimpin seluruh rakyatnya yang masih ada melawan orang Persia yang 


makin mendekat. Kedua pasukan itu bertemu di tahun 530 SM, sebuah bentrokan kecil dengan proporsi kepahlawanan: “Aku menganggap ini sebagai 


perang yang paling bengis antara orang-orang bukan Yunani yang pernah 


ada,” kata Herodotus, (kalau melihat sikapnya terhadap orang-orang bukan 


Yunani) ini berarti bahwa perang itu yaitu  perang yang paling biadab yangpernah terlihat. Mereka berperang dengan busur dan anak panah, dan lalu  dengan tombak, dan lalu  dengan pedang. 


Pihak Massagetae melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang 


Asyur: mereka melenyapkan hampir seluruh pasukan Persia. Cyrus sendiri, 


yang berperang di darat di antara orang-orangnya, jatuh. lalu  pihak 


Massagetae menguasai medan perang, Tomyris mencari di antara mayatmayat orang Persia yang bergelimpangan dalam tumpahan darahnya sampai 


ia menemukan mayat sang raja. Ia mengangkat kepalanya dan memasukkannya ke dalam kantung kulit tempat anggur yang penuh dengan darah: “Aku 


sudah memperingatkanmu bahwa aku akan memuaskan dahagamu,” ia berkata pada tubuh itu.Dengan terbalasnya dendam putranya, Tomyris mengizinkan orang-orang 


Persia yang masih hidup mengambil tubuh Raja Agungnya dari medan perang. 


Mereka mencuci darah dari wajahnya dan mengambil mayatnya dalam prosesi 


pemakaman dalam keadaan kalah perang kembali ke Pasargadae. 


Cyrus sudah mulai membangun sebuah makamnya sendiri: sebuah rumah 


batu yang berbentuk segitiga, diukir supaya kelihatan seperti kayu, yang 


berdiri di puncak tangga bertingkat tujuh ziggurat (kuil yang digunakan

oleh bangsa Babilonia dan Asyur Kuno dalam bentuk piramid bertingkat 


dengan teras di bagian luarnya). Tubuhnya dikenakan jubah dan pernakpernik kerajaan, dilengkapi dengan senjata-senjata dan disemayamkan pada 


sebuah sofa emas. Makam itu ditutup, dan sekelompok kader pendeta Persia 


ditugaskan untuk tinggal di sebuah rumah kecil di dekatnya sebagai penjaga 


tempat peristirahatan Cyrus yang terakhir. 


Kambises II, putra tertua raja, dimahkotai sebagai penerusnya. Ia sudah 


bertindak sebagai komandan ayahnya untuk beberapa tahun; sebetulnya, 


ia baru saja bersama Cyrus sebelum peyeberangan Oxus, tetapi sang raja 


menyuruh putranya pulang ke Pasargadae untuk mengurusi urusan-urusan 


di sana, sementara ia sendiri maju berperang dalam sebuah perang yang 


sepertinya hanya bentrokan kecil. 


Meninjau kekaisaran ayahnya, Kambises sepertinya menderita semacam 


dorongan hati yang persis sama seperti yang dialami oleh para putra tokohtokoh besar: ia ingin melebihi ayahnya. Ini bukan persoalan balas dendam, 


karena ia tidak melakukan apa-apa terhadap garis depan di daerah Timur Laut 


tempat Cyrus telah gugur. Sebaliknya, pertama ia memindahkan istananya 


dan pusat administrasi kekaisarannya dari ibu kota ayahnya, Pasargadae, ke 


sebuah kota baru: kota lama Elamite, ibu kota Susa, yang lebih dekat ke pusat 


kekaisaran. Dan lalu  ia mengarahkan perhatiannya ke Mesir. 


J , pharaoh Apries telah memimpin angkatan perangnya langsung ke dalam malapetaka. 


Di sebelah Barat Delta, Kirene, tempat pemukiman orang Yunani—koloni 


di daerah pesisir Afrika Utara yang ditanami oleh rakyat Thera—akhirnya 


mulai tumbuh, sesudah  hampir enam puluh tahun bertahan hidup dalam 


ketandusan. Raja ketiganya, Battus yang Sejahtera, menerbitkan dalam 


sebuah buletin yang disebarkan kepada setiap kota Yunani, memohon 


penambahan penduduk dan menjanjikan pada setiap orang yang mau datang 


sebidang tanah. Segera saja “berduyun-duyun massa” berkumpul di Kirene, 


kebanyakan datang dari daratan Yunani, dan meminta tanah di mana-mana 


di sekitar kota. 


Hal ini sangat tidak menyenangkan bagi penduduk asli Afrika Utara, 


yang dikenal oleh Herodotus sebagai bangsa “Libya.” Mereka mengirim 


pesan ke Mesir meminta bantuan, “dan menempatkan diri mereka di bawah 


perlindungan raja Mesir, Apries.” Karena itu Apries mengirimkan keluar 


angkatan perang Mesir untuk membantu rekannya orang Afrika Utara ini 


melawan penjajah Yunani. Sialnya pasukan Mesir itu disapu bersih oleh 


pihak Yunani: mereka, menurut kata Herodotus, “seluruhnya dimusnahkan

begitu rupa sehingga hampir tidak ada seorang pun yang bisa menemukan 


jalan pulang ke Mesir.”3


Malapetaka ini membuat rakyat Mesir berbalik melawan Apries, yang 


ternyata sudah amat sangat tidak disukai: “Mereka percaya bahwa Apries 


sengaja mengirimkan mereka pada kematian yang sudah dapat dipastikan,” 


tulis Herodotus, dengan kebinasaan mereka, rakyat yang diperintah semakin 


sedikit, sehingga kekuasaannya akan semakin lebih aman. Orang-orang yang 


masih hidup yang pulang dari Kirene marah: mereka bergabung dengan 


teman-teman dari mereka yang sudah mati dan mengadakan pemberontakan 


terbuka.”4


Apries mengirimkan jenderal Mesir utamanya, Amasis, untuk memadamkan pemberontakan itu. 


Ternyata ini yaitu  sebuah 


kekeliruan. Sang Pharaoh mewarisi 


Amasis dari ayahnya, Pammetichus 


II, itu berarti bahwa Amasis sudah 


hadir di situ, dan berkuasa lebih 


lama dari masa kekuasaan Apries 


sebagai raja. Berhadapan dengan 


orang Mesir bersenjata yang memberontak dan ingin melenyapkan 


Apries, Amasis menyerah pada 


godaan, dan dengan terang-terangan mengumumkan bahwa apabila 


para pemberontakan suka, mereka 


boleh menjadikannya raja.5


 


Seseorang menyampaikan 


berita tentang pengkhianatan ini 


kepada Apries, lalu ia mengirimkan 


seorang pejabat istananya meminta 


Amasis segera kembali ke istana 


di Sais dan menjelaskan tentang 


tindakan-tindakannya. “Amasis,” 


komentar Herodotus, “kebetulan sedang berada di atas punggung kuda pada 


waktu itu, ia naik ke atas sadel, kentut, dan mengatakan kepada utusan itu 


untuk membawa “pesan” itu kembali kepada Apries.”6


 


Apries yang menerima pesan itu, memotong hidung dan telinga si utusan, 


yang mengakibatkan lebih banyak orang Mesir yang berbalik marah kepadanya. Jelaslah bahwa ia harus memperjuangkan tahtanya, tetapi ia hanya tinggal 


punya kekuatan angkatan perang bayaran, kira-kira ia hanya punya tiga puluh

ribu, baik orang Yunani Ionia maupun Carian (tentara bayaran keturunan 


Yunani, dari pesisir Barat daya Asia Kecil). 


Kedua angkatan perang bertemu di tengah jalan antara Memphis dan 


Sais, di sebuah medan peperangan bernama Momemphis. Pasukan Mesir mengalahkan jumlah para tentara bayaran, dan Amasis yaitu  seorang jenderal 


yang cakap; orang Mesir menang hari itu, dan Apries ditangkap. Ia dibawa 


pergi dari istana Sais sebagai tahanan tetapi tidak dibunuh. 


Kelihatannya Apries lalu  melarikan diri, karena tiga tahun lalu  sebuah pecahan prasasti dari Elephamite menceritakan bahwa Amasis 


berada di istananya di Sais saat  ia menerima berita bahwa Apries sedang 


berlayar ke arahnya dari Utara dengan “beberapa orang Yunani tanpa jumlah 


yang pasti” yang “memboroskan hampir seluruh Mesir” sedangkan angkatan 


perang Amasis melarikan diri di depan mereka.7


 Apries sudah pergi ke Utara 


untuk menyewa pasukan tambahan. 


Prasasti itu begitu rusak untuk bisa mencari tahu bagaimana perang itu 


berlangsung, tetapi kesimpulannya, “Paduka raja Amasis bertempur seperti 


seekor singa, ia membantai mereka … banyak kapal menangkap mereka, terjun ke dalam air, yang mereka lihat tenggelam seperti ikan.”8


 Di ant