engakui tanah
itu sebagai tanah mereka memperpanjang kata ini menjadi janapada, sebuah
suku yang memiliki tanah. Keenam belas mahajanapada, atau “janapada
besar”, yaitu suku-suku yang memiliki tanah yang menyerap suku-suku
lain dan menjadi kerajaan. Dalam kerajaan-kerajaan ini, rajanya sendiri, keluarganya, dan para pejuangnya tetap menjadi marga yang berkuasa. Terlahir
dalam marga yang berkuasa berarti termasuk dalam golongan kshatriya dan
berhak termasuk dalam golongan elit dan yang berkuasa.
Para kshatriya memegang kekuasaan politis, tetapi para pendeta memiliki kekusaan sendiri yang pelik. Kurban-kurban dan persembahan yaitu
bagian dari kehidupan sehari-hari kaum Arya sejak perjalanan mereka ke
Selatan memasuki India: “berkat pertolongannya, (dewa) Indra menolong
orang yang sibuk menyiapkan kurban,” terbaca pada nyanyian pujian dalam
Rig Weda, “orang yang menyanyikan pujian, yang memasak makanan kurban, yang dikuatkan dengan doa-doa suci … yang memberi persembahan
kepada para pendeta yang melaksanakan upacara pengurbanan. Dia, hai
rakyat, yaitu Indra.”1
Terbalut bersama dengan elemen-elemen dari bangsabangsa Harappa dan suku-suku pribumi lain, praktik-praktik kaum Arya lama
menjadi inti dari kebanyakan bentuk yang paling kuno dari praktik-praktik (keagamaan) yang lalu dikenal sebagai Hinduisme. Para pendeta
yang melaksanakan upacara kurban yaitu bangsawan pertama dalam lapisan
masyarakat India, dan mereka terus memegang pengaruhnya dalam keenam
belas mahajanapa. Seperti kshatriya yang memerintah, para pendeta memiliki marga sendiri: terlahir dalam keluarga pendeta berarti termasuk golongan
brahmana dan berhak mewarisi hak istimewa dalam kurban.
Pembagian masyarakat dalam tiga lapis golongan ini—pendeta, kepala
pejuang, dan orang lain (keluarga-keluarga “orang lain” termasuk dalam
kelompok vaishyas, orang biasa)—sangat tidak dikenal di zaman purba. Tetapi
di India, para pendeta mendominasi golongan yang lain. Dalam kebanyakan
masyarakat kuno lain, raja-raja dan para pejuang berada di lapisan atas puncak
kekuasaan; bahkan mereka yang cuma bermanis mulut akan pentingnya
dewa-dewa sebagian besar bahkan melempar nabi-nabi dan pendeta-pendeta
mereka ke penjara, atau malahan membunuh mereka. Dan dalam hampir
tiap masyarakat kuno lain, raja dapat melakukan fungsi suci tertentu, dan
kadang-kadang memegang jabatan religius tertinggi di negara itu.
Tetapi kaum brahmana memiliki kekuasaan utuh. Selama zaman keenam
belas kerajaan, seorang laki-laki yang tidak lahir sebagai kshatriya masih bisa
menjadi raja apabila para pendeta melaksanakan ritual untuk melimpahinya
berkat kekuasaan suci atasnya, tetapi tidak seorang pun yang tidak lahir
sebagai seorang brahmana dapat mengambil tugas pendeta.2
Menurut teks
Hindu The Laws of Manu di zaman sesudahnya, kaum brahmana yaitu
“raja” dari semua golongan ciptaan lain, manusia-manusia yang paling hebat:
“dilahirkan sebagai yang paling tinggi di bumi, raja dari semua makhluk
ciptaan, dilahirkan untuk melindungi perbendaharaan hukum; apa pun yang
ada di dunia yaitu harta milik kaum brahmana … kaum brahmana memang
berhak atas segalanya.”3
Pada zaman keenam belas kerajaan itu, hewan kurban yang begitu penting
bagi para suku nomad yang berkelana, pelan-pelan menjadi kurang disukai
di antara populasi perkotaan India yang makin berkembang. Tetapi suatu
kekuasaan yang dikaruniakan oleh alam raya sendiri kepada mereka yang “lahir
sebagai yang tertinggi di bumi”, hampir tidak dapat dibatasi. Pentingnya para
pendeta begitu dibentuk ke dalam seluruh kesadaran para golongan pejuang
sehingga kaum brahmana —yang jauh dari kemungkinan kehilangan pekerjaan
—memegang peran utama. Selain daripada mempersembahkan kurban,
mereka mengatur penampilan ritual-ritual tanpa darah yang benar yang
sekarang menggantikan tempat persembahan: ritual-ritual yang dilakasanakan
untuk menghormati nyala api dalam perapian, untuk menyambut datangnya
senja, untuk menghormati para dewa dengan memelihara citranya, untuk
menentukan perkawinan dan pemakaman.4
D keenam belas negara terdapat serangkaian suku yang
masih menolak untuk dimasukkan ke dalam salah satu dari enam belas mahajanapada. Daripada melebur ke dalam kerajaan-kerajaan itu, suku-suku itu
membentuk persekutuan yang mandiri, yang disebut gana-sangha.
Kelihatannya sudah pasti suku-suku dari gana sangha itu tidak terutama
dari keturunana Arya, tetapi lebih berakar pada para penduduk lembah
Gangga yang sudah berada di sana sebelum golongan para pejuang itu datang.
Perkawinan campuran antara pendatang baru dan suku-suku itu (seperti
digambarkan oleh persekutuan marga Pandawa dengan Pancala, kembali ke
cerita Bharatayuda) mungkin telah mematahkan pembagian-pembagian ras
yang keras dan ketat. Tetapi ada satu bukti kuat bahwa golongan gana-sangha
ini, dalam jumlah yang besar, bukan bangsa Arya: mereka tidak memiliki
praktik ritual yang begitu menjadi pusat kehidupan bagi bangsa India di
dalam mahajanapada.
Hanya ada dua macam orang di dalam gana-sangha: keluarga-keluarga
yang berkuasa yang mengaku memiliki semua tanah, dan para pembantu
yang dipekerjakan dan para budak yang mengerjakan tanah itu. Keputusan
(untuk berperang, berdagang dengan kelompok lain, untuk mengalihkan air
dari sistem irigasi ke sawah-sawah tertentu) dibuat oleh para pimpinan dari
keluarga-keluarga yang berkuasa, dan dalam keputusan-keputusan ini para
pekerja tidak memiliki hak bersuara sama sekali.5
Mahajanapada juga memiliki kaum pembantu yang tidak punya hak
bersuara. Mereka yaitu golongan keempat: bukan kshatriya yang berkuasa,
atau brahmana yang pendeta, bahkan bukan vaishya, orang biasa yang bekerja
sebagai petani, pembuat keramik, tukang kayu, dan tukang batu. Sebuah lagu
yang terbaru dari Rig Weda, menggambarkan asal-usul dari setiap golongan,
memberikan tempat kebanggaan kepada para brahmana, yang terlahir dari
mulut yang besar, dari Purusha, benda kosmis raksasa yang ada sebelumnya,
yang kematiannya membangkitkan seluruh alam raya:
Kaum brahmana yaitu mulutnya,
kedua lengannya menjadi kaum kshatriya
kedua pahanya yaitu kaum vaishya
dan dari kedua telapak kakinya kaum shudra dihasilkan.6
Kaum shudra yaitu para budak dan pembantu, kelas masyarakat keempat dan rendah. Mereka tidak memiliki suara dan kekuasaan, tidak dapat
membebaskan dirinya dari perhambaan, menurut hukum boleh dibunuh
atau dibuang sesuka hati para majikan mereka, dihalangi bahkan hanya untuk
mendengar pembacaan weda suci (hukumannya yaitu timah mendidih dituangkan ke dalam telinga si pelanggar).*
Mereka bukan bagian dari masyarakat mahajanapada; mereka lain, sesuatu
yang lain. Asal mereka tidak jelas, tetapi mungkin kaum shudra asalnya yaitu
orang-orang yang ditaklukkan.**7
Dalam masyarakat yang begitu terbagi dalam tingkatan-tingkatan, orang
cenderung menjadi tidak puas.
Keberatan yang pertama atas semua hirarki ini datang dari para ganasangha. Sekitar tahun 599 SM, seorang tokoh reformasi bernama Nataputta
Vardhamana lahir di antara gana-sangha di Timur laut lembah Gangga: suatu
konfederasi suku-suku yang dikenal sebagai Vrijji.8
Sukunya sendiri secara
khusus yaitu Jnatrika, dan ia yaitu seorang pangeran dan orang kaya, putra
seorang penguasa.
Menurut pengikutnya, perubahan-perubahannya dimulai pada tahun
569, saat ia berumur tiga puluh tahun. Pada awalnya ia menolak kekayaan
dan hak istimewa kelahirannya, melepaskan segala miliknya kecuali sepotong pakaian, dan menghabiskan waktu dua belas tahun dalam kesunyian
dan pertapaan. Pada akhir periode ini, ia mencapai suatu penglihatan akan
kehidupan yang bebas dari semua pendeta: tidak ada para brahmana di alam
rayanya. Tujuan keberadaan manusia bukan untuk berkomunikasi dengan
dewa-dewa lewat perwakilan para pendeta. Tidak juga untuk menyenangkan
para dewa dengan melakukan tugas-tugas yang diperuntukkannya di mana ia
dilahirkan, seperti yang diajarkan oleh kitab suci Hindu.*
Sebaliknya, orang
harus membebaskan dirinya dari belenggu materi alam raya dengan menolak
nafsu-nafsu (keserakahan, nafsu birahi, nafsu makan) yang membelenggunya
pada dunia materi.
Sekitar tahun 567, ia mulai berjalan dengan kaki telanjang ke seluruh
India, mengajarkan lima sila: ahimsa, tanpa kekerasan terhadap semua
makhluk hidup (keterangan sistimatis pertama mengapa hewan juga memiliki hak); satya, kebenaran; asetya, menahan diri dari pencurian dan segala
macamnya; brachmacharya, penolakan atas kenikmatan seksual; dan aparigraha, melepaskan diri dari semua benda material (suatu komitmen yang
diteladankan oleh Mahawira dengan membuang pakaian satu-satunya dan
bertelanjang). Para pengikutnya berkumpul di belakangnya, dan sebagai
guru besar, Nataputta Vardhamana menjadi terkenal sebagai “Mahawira”
(Pahlawan Besar).9
Tidak satu pun dari hal tersebut yaitu pemikiran yang sama sekali baru.
Aliran ajaran Hindu yang utama juga mengajarkan pembebasan diri dari dunia
materi dalam berbagai cara. Mahawira bukan seorang penemu ajaran baru
melainkan seorang pembuat perubahan atas praktik-praktik yang sudah ada.
Tetapi penjelasannya tentang kebutuhan untuk penolakan diri yang ekstrim,
dan kewajiban untuk menghargai semua bentuk kehidupan, cukup mampu
menarik sekelompok pengikut. Doktrin-doktrinnya menjadi terkenal sebagai
Jainisme, pengikutnya disebut Jain.*
Beberapa tahun lalu , seorang inovator baru muncul dari luar mahajanapada, juga dilahirkan di antara sebuah gana-sangha. Seperti Nataputta
Vardhamana, ia lahir dalam kekuasaan dan kekayaan. Ia juga menolak hakhak istimewanya dari kehidupannya pada umur sekitar tiga puluh tahun dan
pergi mengasingkan diri. Ia juga sampai pada kesimpulan bahwa kebebasan
hanya bisa ditemukan oleh mereka yang bisa menolak nafsu dan hasrat-hasrat
mereka.
Penemu ini yaitu Siddharta Gautama, seorang pangeran dari marga
Shakya, yang terletak di sebelah Utara tempat asal Mahawira yaitu persekutuan
Vrijji. Menurut cerita-cerita tradisional tentang pencerahannya, kehidupannya waktu muda dikelilingi oleh keluarga dan kenyamanan: ia memiliki
seorang istri dan seorang putri kecil, dan ayahnya yaitu raja, memeliharanya
dalam kemewahan di dalam tembok-tembok sebuah istana yang sangat besar,
terputus dari kehidupan rakyat jelata.
Tetapi suatu hari Siddharta memerintahkan kusirnya untuk membawanya
pergi berjalan-jalan ke taman. Di sana ia melihat seorang manula yang sangat
tua, “gigi-giginya patah, rambutnya beruban, tubuhnya miring dan bongkok,
bersandar pada sebuah tiang, dan gemetaran. “Kaget menyaksikan ketuaan
yang luar biasa ini, ia kembali ke istana: “Kelahiran yang memalukan,” pikirnya
kepada dirinya sendiri, “karena kepada setiap orang yang lahir, usia tua pasti
menghampiri.” Ia menyingkirkan pikiran itu, tetapi dalam perjalanannya
selanjutnya ke taman, ia melihat seorang laki-laki yang terjangkit penyakit,
dan sesudah itu sesosok mayat. Ini melemparkannya ke dalam pikiran yang
lebih kacau.
Tetapi puncak wahyu terjadi pada saat di dalam sebuah pesta beberapa
waktu sesudahnya. Ia sedang dihibur oleh tarian dan nyanyian oleh para
wanita cantik, tetapi saat malam makin larut, mereka menjadi sangat
lelah, duduk dan tertidur. Pangeran memandang ke sekitar ruangan, melihat
pemandangan para wanita yang sedang tertidur bergelimpangan dengan alatalat musiknya bersebaran di sekitar mereka di lantai — beberapa di antaranya
tubuhnya basah karena lendir mengalir dan air liur yang menetes; sebagian menggelutuk gigi mereka, dan komat-kamit dan berbicara dalam tidur
mereka; beberapa mulutnya terbuka, dan beberapa gaunnya terbuka sehinga
menyingkapkan ketelanjangan mereka yang menjijikkan. Perubahan besar
dalam penampilan mereka ini masih lebih jauh menambah ketidaksukaannya
akan kenikmatan sensual. Baginya ruangan yang megah itu … mulai tampak
seperti sebuah pekuburan yang dipenuhi oleh mayat-mayat yang tak berdaya
dan ditinggalkan membusuk.10
Itulah yang menyebabkannya berangkat pergi mengasingkan diri.
Tahunnya, menurut tradisi yaitu 534 SM.*
Siddharta menghabiskan waktu berkelana, mencoba untuk berdamai
dengan pembusukan dan kerusakan yang tidak terhindarkan. Ia mencoba
meditasi, tetapi saat masa meditasinya selesai, ia masih berhadapan dengan
kenyataan akan datangnya penderitaan dan kematian. Ia mencoba metode
Jain tentang tapabrata, melaparkan diri untuk melemahkan ikatan-ikatannya
dengan bumi sampai, seperti yang diceritakan dalam teks yang lalu ,
“tulang punggungnya menonjol seperti tumpukan tali,” tulang iganya seperti
“tiang-tiang yang menonjol dari sebuah kandang sapi tua yang tidak beratap,”
dan matanya cekung ke dalam rongga matanya sehingga mereka terlihat
“seperti cahaya air yang tenggelam dalam sebuah sumur yang dalam.”11
Meskipun begitu penyangkalan diri ini tidak memindahkannya seinci pun
keluar dari keadaan manusia biasa.
Akhirnya, ia mendapat jawaban atas apa yang dicarinya. Bukan nafsu yang
memperangkap laki-laki dan perempuan, melainkan keberadaan itu sendiri
yang “cenderung terikat dengan selera yang menggebu-gebu,” dan yang selalu bernafsu: “kehausan akan kenikmatan sensual, haus akan eksistensi, haus
akan noneksistensi.”12 Satu-satunya kebebasan dari nafsu yaitu kebebasan
dari eksistensi itu sendiri.
Kesadaran akan kebenaran ini merupakan pencerahan Siddharta, dan sejak
itu ia tidak dikenal sebagai Siddharta Gautama tetapi sebagai seorang Budha:
orang yang mendapat pencerahan yang telah mencapai nirwana, pengetahuan
tentang sebuah kebenaran yang disebabkan oleh ketidakadaan, tergantung
pada ketidakadaan, dan menuju pada ketidakadaan, suatu cara eksistensi yang
tidak mungkin didefinisikan dengan kata-kata.
Ini bukan hanya penemuan spritual saja, tetapi (meskipun ada pengakuan
atas pelepasan) sebuah posisi politik. Tetapi ini kedua-duanya anti-brahmana
dan antikasta. Penekanan ajaran Hindu brahmana pada kelahiran kembali
berarti bahwa kebanyakan orang India menghadapi suatu kehidupan masa
depan demi kehidupan masa depan yang melelahkan, dengan tanpa harapan
untuk dapat meninggalkan kehidupan-kehidupan mereka, yang dengan ketat
sudah digariskan kecuali melalui kelahiran kembali, yang mungkin akan
menghadapkan mereka dengan penderitaan lain, yang mirip atau lebih buruk
yang lebih berlangsung lama atau seumur hidup. Suatu eksistensi yang,
dalam ungkapan Karen Armstrong, tidak banyak menjanjikan harapan untuk
kelahiran kembali karena adanya ancaman untuk “kematian kembali yang
menakutkan … Sudah cukup buruk jika harus menderita kepikunan, penyakit kronis, dan mengalami kematian yang mengerikan dan menyakitkan satu
kali itu saja, tetapi dipaksa untuk melalui itu semua lagi berulang-ulang tidak
dapat ditolerir dan sia-sia.”13 Di dunia di mana kematian bukan pelepasan,
harus ditemukan jenis pelarian lain.
Yang sama anti-brahmananya (dan anti-kshatriya) yaitu ajaran Budha
bahwa setiap orang harus bergantung pada dirinya sendiri, tidak pada kekuatan
dari seorang pemimpin yang kuat yang bisa memecahkan masalah-masalahnya. Lama sesudah itu, seorang guru agama Budha pada abad kesembilan
menciptakan perintah “Kalau Anda bertemu Budha, bunuhlah Budha itu!”
dengan maksud untuk menekankan kepada murid-muridnya betapa pentingnya untuk tidak menyerah pada seorang tokoh yang berwenang—bahkan
seseorang yang mengaku mendapat mandat ketuhanan, baik raja maupun
pendeta.14
Segera sang Budha pun mendapatkan pengikut-pengikut, murid-murid
yang berasal dari semua kasta.
Sementara Mahawira dan Budha berkhotbah tentang pembebasan dari
kekayaan material, para raja dari mahajanapada sedang bertempur untuk
mendapatkan sebanyak mungkin wilayah. Kashi dan Kosal, di sebelah Utara
Gangga dan Magadha di sebelah Selatan yaitu musuh-musuh utama dalam
perang untuk memperebutkan tanah. Mereka bertempur memperebutkan
lembah Gangga, dan dalam persaingan ini diikuti oleh gana-sangha Vrijji,
konfederasi asal Mahawira.
Kashi dan Kosal bertukar kekuasaan satu sama lain, tidak seorang pun
mempertahankan dominasinya untuk waktu yang lama. Tetapi Magadha,
di bawah daerah Gangga, tetap berkembang lebih kuat. Rajanya, Bimbisara,
naik tahta Magadha di tahun 544 SM, dan menjadi seorang pendiri kekaisaran yang pertama, meskipun secara kecil-kecilan. saat Budha mencapai
pencerahannya, Bimbisara sedang mengerahkan pasukannya melawan kerajaan delta Anga, yang menguasai akses sungai ke laut (melalui Teluk Bengal),
termasuk kota Campa, kota pelabuhan utama dari mana kapal-kapal berlayar untuk berdagang dan ke bawah ke daerah pantai di sebelah Selatan.15 Ia
menyerbunya, menaklukkannya, dan menguasainya.
Ini bukan suatu penaklukan yang besar. Tetapi Anga yaitu yang pertama
dari keenam belas kerajaan yang secara permanen menyerap kerajaan lainnya,
yang menjadi tanda untuk masa depan. Dan operasi militer bukanlah satusatunya kemenangan Bimbisara. Dengan caranya, ia mengadakan perjanjian,
dengan perkawinan, sehingga menguasai bagian dari Kosol dan dengan
perkawinan lain untuk persahabatan dengan gang-sangha di perbatasan
Baratnya.16 Ia membangun jalan-jalan di seluruh kerajaannya, sehingga dengan mudah ia dapat melakukan perjalanan mengelilinginya dan memanggil
para pemimpin desa bersama untuk suatu konferensi. Jalan-jalan ini juga
memungkinkannya untuk menarik (dan mengawasi) pembayaran pajak. Ia
menyambut Budha, yang berkelana ke bawah dari Utara; doktrin apa pun
yang dapat mengurangi kekuasaan para brahmana cenderung meningkatkan
kekuasaan si raja. Rencananya untuk menjadikan Magadha bukan sekadar
kelompok marga pejuang yang berpegangan secara kurang nyaman bersama,
melainkan sebuah kekaisaran kecil, sudah berjalan jauh. India yang sudah
lama berada di jalan yang berbeda dari perkembangan kekaisaran-kekaisaran
di Barat, semakin dekat dengan mereka.
G A R I S WA K T U 6 1
ROMA INDIA
Enam belas kerajaan di lembah sungai Gangga
Tarquin tua
Kelahiran Mahawirah (trad. 599)
Servius Tullius (578)
Kelahiran Budha (trad. 563)
Liga Etruska Bimbisara dari Magadha
Tarquin yang sombong (535)
Kematian Mahawira (trad. 527)
Awal Republik Roma (509)
Invasi Bangsa Celt
Diktator Roma yang Pertama
Kematian Budha (trad. 483)
Pada a , sekelompok negara yang kuat—Jin,
Qi, Chu, Ch’in—mengepung negara Zou. Sebuah negara kelima yang sedang
naik daun dalam kekuasaannya bergabung dengan mereka: Yueh, yang terletak di daerah pesisir sebelah tenggara. Sejarah-sejarah selanjutnya menyebut
masa ini sebagai zaman Lima Hegemoni, tetapi sebetulnya ada empat negara
bagian lagi yang sudah menyapu cukup banyak wilayah ke dalam perbatasan
mereka untuk berdiri tegak sebagai kekuasaan besar: Lu dan Wu, keduanya
memiliki perbatasan di pesisir; Cheng yang berbatasan dengan negara
Zhou; dan Sung pada sisi Timur mereka.1
Pihak Zhou berada di tengah-tengah, bergantung pada sebuah kekuasaan
yang sudah hampir seluruhnya menjadi formalitas. Negara itu dikuasai oleh
masing-masing adipati, dan angkatan perang mereka melawan musuh-musuh
di perbatasan. Jin khususnya selalu dalam keadaan perang melawan sukusuku barbar di Utara yang terkenal, secara kolektif, sebagai suku Ti. Perang
itu berlangsung selama beberapa dasawarsa, dan lambat laun memperluas perbatasan Jin semakin jauh ke Utara.
Untuk beberapa waktu, negara yang tambal sulam ini mempertahankan
kedamaian dalam negeri dengan sulit. Raja Hsiang wafat, sesudah masa tugas
yang panjang di atas tahta secara formalitas, dan dilanjutkan oleh putranya
(yang berkuasa selama enam tahun) dan lalu oleh cucunya (yang
berkuasa selama tujuh tahun). Si cucu, yang terlalu muda untuk berkuasa
sendiri, diteruskan oleh adik laki-lakinya, Ting, pada tahun 606 SM.
Masa berkuasa yang terpotong-potong ini kelihatannya menunjukkan
semacam kesulitan di ibu kota, dan penguasa yang mengambil kesempatan
ini yaitu Adipati dari Chu.
Negara Chu sebelah Selatan tadinya bukan bagian dari “China pusat,”
dan dipandang bersifat semibarbar oleh negara Jin dan Cheng. Barbar atau
bukan, Chu yaitu negara yang kuat. Dalam dua setengah abad sejak Zhou
bergerak, tentara Chu sudah bergerak dengan teratur ke Utara dan Timur,
menginvasi dan menguasai negara demi negara. “Dalam generasi kuno,” tulis
pakar sejarah abad delapan belas Gai Shiqi, “ada banyak negara yang berseteru,
yang tersebar dengan padat seperti buah-buah catur atau bintang-bintang. Ia
membuat daftar dari beberapa negara seperti ini, sekarang sudah hilang selamanya dari peta, yang pernah ada antara perbatasan Chu dan Zhou. “sesudah
jatuhnya Deng,” menurut keterangannya, “Pasukan Chu membuat Shen
dan Xi menyadari kehadirannya, dan sesudah jatuhnya Shen dan Xi, pasukan
Chu membuat Jiang dan Huang merasakan kehadiran mereka, dan sesudah
jatuhnya Jian dan Huang, tentara-tentara Chu membuat kehadiran mereka
dirasakan oleh Chen dan Cai, saat Chen dan Chai tidak dapat bertahan
lagi, tentara Chu langsung menyerang istana.”2
Invasi Chu atas tanah Zhou ini berlangsung segera sesudah Raja Ting
menduduki tahta Zhou. Itu bukan serangan langsung ke istana; Target Chu
menurut dugaan yaitu sekolompok orang Jung, orang barbar di Utara yang
bersekutu dengan kakak tiri raja Hsiang untuk melawan tahta, delapan puluh
tahun sebelumnya. Mereka sudah berlompatan di sekitar China sejak itu.
Angkatan perang Jin sudah menggusur mereka keluar masuk tanah Ch’in,
angkatan perang Ch’in dengan cepat mengusir mereka jauh ke arah Selatan,
dan sekarang mereka berada di perbatasan Barat Zhou.
Pihak Chu tidak menyerang orang-orang barbar ini demi melindungi raja
yang berkuasa; saat Adipati Chu bergerak melawan mereka, orang Jung
tidak sedang mengancam pihak Zhou. Dan ada petunjuk dari catatan Sima
Qian bahwa Adipati Chu tidak bermaksud menyerang kerajaan itu: “Pada
tahun pertama Raja Ting,” tulisnya, “Raja Chu menyerang pihak Jung.”3
Sebelumnya belum pernah ada seorang adipati diberi gelar kerajaan. Bahkan,
kemungkinannya yaitu tidak sah kalau seorang penguasa Chu menyebut
dirinya sendiri “raja”, tetapi penguasa Zhou kelihatannya tidak punya wewenang untuk berkeberatan.
Operasi militer Raja Chu melawan kaum barbar dilakukan dengan setengah
hati. Begitu ia mencapai daerah Utara, ia mengirimkan seorang utusan, tidak
kepada orang Jung dengan tuntutan untuk menyerah, tetapi malahan kepada
istana Zhou dengan permintaan yang sedikit aneh: “Ia mengirim seseorang
untuk menanyakan kepada pihak Zhou tentang Sembilan Penyangga,” tulis
Sima Qian—Sembilan Tungku dari Zhou, yang dipakai selama setengah
milenium sebagai simbol kekuasaan raja.*
Kita tidak tahu mengapa Raja Chu menanyakan ke Sembilan Penyangga,
tetapi ia tidak mungkin termotivasi oleh keingintahuan yang sekadar iseng.
Menurut Sima Qian, Raja Ting meminta seorang pejabat istana untuk
memberikan jalan keluar bagaimana caranya menjawab pertanyaan itu; dan
Raja Chu, dalam waktu singkat, kembali ke Selatan. Tidak jelas apa yang
mencegah krisis yang berkembang itu. Mungkin raja Zhou setuju untuk tidak
berkeberatan atas pemakaian gelar “raja” oleh sang Adipati, saat Raja Chu
langsung menyebut dirinya sendiri dengan gelar raja.
Negara Chu sendiri terus berkembang. Tso chuan (catatan tambahan dari
Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur Konfusius) mengomentari bahwa saat Chu menabrak negara bagian kecil Ts’ai, Raja Chu menyuruh membakar
pangeran mahkotanya hidup-hidup. Sepuluh tahun sesudah penyerangan terhadap pihak Zhou, Raja Chu juga menginvasi Cheng. Mungkin khawatir
akan dibakar juga, Adipati Cheng menawarkan untuk menjadi sebuah vasal
(negara taklukan) yang setia: “Janganlah memadamkan altar kami,” ia memohon, dalam Tso chuan, “tetapi biarlah aku yang mengubah haluanku sehingga
aku boleh melayani paduka.”4
Raja Chu setuju. Sekarang daerah kekuasaannya mengepung Zhou dengan
luas dan mengancam keberadaannya dari dua penjuru.
S , dilanjutkan oleh putranya, cucu, dan cucu
buyutnya. Cucu buyutnya, Raja Ching, mengambilalih tahta pada tahun
544 dan mengalami masa kekuasaan selama kurang lebih dua puluh tahun
tanpa ada peristiwa. Tetapi meskipun ia bermaksud untuk menunjuk putra
kesayangannya (seorang pangeran muda) sebagai penerusnya, ia meninggal
sebelum meresmikan pengangkatan itu. Tahun itu yaitu 521.
Segera putra tertua Ching merebut tahta. Pangeran yang lebih muda
sangat marah, menyerang dan membunuh kakaknya, dan merebut tahta menjadi Raja Tao. Saudara-saudaranya yang lain melarikan diri dari ibu kota.
Salah satu dari mereka, Pangeran Kai, berhasil sampai ke negara Jin di
Utara dan memohon bantuan. Adipati Jin setuju untuk mengerahkan seluruh
pasukan Jin yang besar dan berpengalaman di belakang Kai. Dia menyiapkan
upacara penobatan dan memproklamasikan Kai sebagai raja yang sah dalam
pengasingan; Kai memakai nama Ching II (seolah-olah mendesakkan
pengakuannya atas tahta yang sah, yang sebenarnya kelihatan sangat goyah).
Dan lalu , dengan angkatan perang Jin di belakangnya, Ching II bergerak
kembali ke arah kota Zhou yang bertembok.
Raja Tao membarikade dirinya di dalam. Selama tiga tahun, kedua bersaudara ini melakukan perang saudara; pada tahun keempat, Ching II menyerbu
ke dalam ibu kota dan menurunkan Raja Tao sebagai negara taklukan, memaksanya untuk setia kepadanya.
Pada saat semua ini berakhir, pihak yang berwenang di Zhou Timur
sudah hampir jatuh ke dalam anarki dan pertumparan darah. Mandat dari
Langit sudah terpecah, dan bahkan perang lebih besar antara negara-negera
sekitar, kelihatannya akan berlanjut, saat mereka berebut untuk menguasai
kewenangan Zhou yang sudah jatuh.
Menanggapi zaman yang kacau itu, seorang pembuat reformasi muncul
dari negara bagian Lu. Namanya yaitu Kong Fuzi, dan sebagai seorang
guru ia mendapat pengikut yang berlangsung selama milenium-milenium.
Misionaris Jesuit yang tiba di China dua ribu tahun lalu , mengeja Kong
Fuzi sebagai Konfusius (Confucius), sebuah versi Latin dari namanya, dengan
nama itu ia terkenal di seluruh dunia.
Seperti filsuf-filsuf India yang lebih kontemporer darinya, Konfusius
samar-samar berasal dari keluarga bangsawan; ia yaitu keturunan tidak
langsung dari saudara tiri raja Shang terakhir. Tidak seperti para filsuf itu, ia
dibesarkan dalam kemiskinan tetapi terpandang.
Pada saat ia berusia dua puluh satu, ia menikah, memiliki seorang
putra, dan bekerja sebagai pencatat pengiriman biji padi yang dimiliki oleh
negara.5
Pekerjaan ini memerlukan ketepatan, perhatian pada detail, dan
pencatatan yang sempurna, semuanya oleh Konfusius muda dirasakan cocok
untuknya. Sejak masa kecilnya, ia yaitu seorang anak yang tepat dan teratur;
saat ia tumbuh, ia semakin terkesima oleh ritual-ritual yang dilaksanakan
untuk menghormati nenek moyang dan makhluk yang bersifat ketuhanan,
ritual-ritual yang mengelilingi kelahiran dan kematian dan perkawinan,
upacara-upacara yang dilaksanakan dalam istana dari para penguasa negara
dan istana raja Zhou sendiri.
Ritual-ritual ini dibarengi dengan pembacaan puisi dan syair yang
diturunkan secara lisan dari zaman sebelum ada tulisan, diperlakukan seperti
buku pegangan yang hidup untuk upacara-upacara yang benar. Konfusius,
lahir dengan memori yang panjang secara alami, mengenal ratusan dari
upacara itu di luar kepala.
Selama sekitar sepuluh tahun, Konfusius tetap bekerja sebagai pencatat
pemerintah. Tetapi ia juga mendapat reputasi yang makin lama makin besar
sebagai semacam peyimpan data pelaksanaan ritual yang berjalan. Pihak istana Lu memanggilnya, bila perlu, untuk memastikan bahwa para tamu dari
istana telah menerima ritual yang benar. Dan ia sudah mulai memiliki
murid-murid yang bersemangat untuk belajar dari perpustakaan yang ada di
dalam kepalanya.
Pada saat ia baru berumur tiga puluh tahun, Adipati Lu berkonsultasi
dengannya secara teratur. Ia juga sering disuruh meninggalkan pekerjaannya sebagai pencatat untuk menjadi pengajar bagi putra-putra dari setidaknya
salah satu pejabat tinggi Lu.6
Baru saja ia memasuki fase kehidupan profesionalnya ini—diana pengetahuannya tentang upacara, ritualdan pelaksanaan
tugas yang benar akan menjadi pusat dari seluruh kehidupan pekerjaannya—
perang saudara berkobar di daratan Zhou.
Pihak Zhou yang kurang berpengaruh telah ditutupi sebagian oleh topeng persetujuan umum di antara para penguasa negara sekitarnya bahwa raja
masih memiliki semacam kepentingan ritual; sehingga bahkan jika ia tidak
sebenarnya berkuasa, ia berada di tengah semacam aturan kosmis yang lebih
baik tidak mereka ganggu. Tuntutan Chu atas Sembilan Penyangga mungkin
yaitu keretakan pertama yang terlihat dari persetujuan itu. Perang-perang
berdarah antara dua raja bermahkota, masing-masing menyombongkan
bahwa kewenangannya diberikan melalui ritual dan upacara, menunjukkan
keretakan yang sudah mencapai permukaan kekuasaan Zhou.
Konfusius yaitu orang yang menghargai keteraturan; dan ia mulai mengajar murid-muridnya bagaimana mencari, baik keteraturan maupun stabilitas,
di dalam dunia di mana tidak satu pun dari kedua hal tersebut tampak.
Ajaran-ajarannya mencoba untuk mempertahankan aspek masa lampau
yang terbaik—atau setidaknya sebuah masa lampau yang dipercayainya pernah ada. Dia mengumpulkan puisi-puisi dan lagu-lagu paling kuno China
ke dalam Shi jing, Klasiknya Puisi, suatu antologi untuk digunakan di masa
depan. (“Dari mereka”, kata Konfusius, “kita dapat belajar tentang tugas
langsung kita kepada ayah, dan yang lebih jauh melayani seorang pangeran.”)7
Ia juga dikenal karena menyatukan sekumpulan ritual dan upacara ke dalam
sebuah teks yang disebut Li ching, yang mengatur segalanya dari sikap yang
benar bagi mereka yang berkabung (“Jika seseorang baru mengunjungi pihak
yang berkabung, pada hari yang sama ia tidak boleh menunjukkan segala
bentuk kegembiraan”)8
sampai dengan pergantian tugas-tugas bulanan yang
benar (“Di bulan kedua musim gugur—diperbolehkan membangun tembok-tembok kota dan daerah di luarnya, untuk mendirikan kota-kota besar
dan kota-kota, untuk menggali jalan-jalan di bawah tanah dan sumur-sumur
benih, dan memperbaiki lumbung.”)9
Ucapan-ucapannya dikumpulkan bersama oleh para pengikutnya menjadi tiga koleksi yang disebut Lun yu, atau
Analek.
Konfusius bukan seorang penemu filsafat yang dipaparkan dalam Analek
seperti juga Mahawira bukanlah tokoh yang menciptakan Jainisme. Inovasinya
yaitu kembali ke masa lalu dengan maksud mencari jalan ke depan. Aku
bukan orang yang dilahirkan dengan memiliki pengetahuan,” ia mengajar
para pengikutnya,” Aku yaitu orang yang suka akan masa kuno dan dengan
tekun memeliharanya.”10 Penyelidikannya tentang masa lalu memberinya
pengetahuan bahwa dalam China yang terpecah-pecah, baik ketenangan
maupun kebaikan, terletak dalam cara melaksanakan kewajiban-kewajiban
dengan benar. “Dengan aturan-aturan kesopananlah watak dibentuk,” katanya menurut laporan. “Tanpa aturan-aturan kesopanan, kehormatan
menjadi kesibukan yang menghabiskan tenaga; kehati-hatian menjadi sifat
malu-malu; keberanian menjadi pembangkangan; dan keterusterangan menjadi kekasaran.”11
Di dunia di mana kekuatan senjata kelihatannya menjadi satu-satunya
perekat yang menyatukan suatu negara, Konfusius menawarkan cara lain bagi
manusia untuk menguasai masyarakat yang mengelilingi mereka. Orang yang
memahami kewajibannya terhadap orang lain dan menjalaninya akan menjadi
jangkar suatu negara—menggantikan raja atau jenderal atau bangsawan, “Ia
yang menjalankan pemerintahan dengan kebaikannya,” kata Analek itu, “bisa
dibandingkan dengan bintang kutub Utara, yang tetap berada di tempatnya,
dan semua bintang berpaling menghadapnya … Kalau bangsa dipimipn oleh
kebaikan … maka mereka akan menjadi baik.”12*
S , ia terpaksa melarikan diri dari Lu saat adipatinya diusir keluar oleh sekeluarga bangsawan
saingannya. Konfusius mengikuti penguasa Lu yang terasing memasuki Qi,
negara tetangga, di mana keduanya memohon belas kasihan dari penguasa Qi
yang selama itu tidak ramah, khususnya terhadap rekannya dari Selatan.
Tetapi, itu baik untuk Adipati Qi, yang pada saat itu bertindak sebagai
tuan rumah; ia menawarkan keramahtamahannya kepada penguasa terasing
Lu. Sebaliknya Konfusius, tidak mendapatkan sambutan dari istana karena
kecemburuan penghuni istana Qi, yang bergerombol menghalangi jalan
masuknya menghadap adipati Qi.13 Karena tidak memiliki pekerjaan,
Konfusius pergi dari Qi dan kembali ke Lu, di mana ia menyatakan hasratnya untuk tetap tidak terlibat dengan politik. Sikap ini bijaksana, karena Lu
terbagi antara tiga keluarga yang bertengkar, tidak satu pun yang menonjol secara jelas. (Akhirnya, Konfusius akan kembali menjadi pegawai negeri untuk
sementara, tetapi kebanyakan dari tahun-tahun terakhirnya ia abdikan untuk
menuliskan sejarah Lu, sebuah kisah yang terkenal sebagai Sejarah Musim
Semi dan Musim Gugur.)
Sedikit jauh ke Barat, Ching II, sekarang hanya namanya saja yang
menguasai istana Zhou, sedang akan mengalami kesulitannya sendiri.
Saudaranya yang vasal, mantan Raja Tao, tetap dalam kepatuhan yang
perlahan-lahan mendidih, selama dua belas tahun; dan lalu bangkit
dengan pengikut-pengikutnya (yang mungkin membenci orang Jin yang ikut
campur dalam urusan mereka), menyerang kembali ibu kota, dan memukul
mundur kakaknya. Ching II kembali ke Jin dan meminta bantuan adipati.
Tahun berikutnya, angkatan perang Jin sekali lagi “berhasil mengawal Raja
Ching (II) kembali ke Zhou.”14
Itu yaitu kemenangan terbesar Jin yang terakhir. Tidak lama lalu , Adipati Jin menemui masalah. Dalam penyerangannya terhadap kaum
barbar, beberapa keluarga besar Jin menjadi semakin kaya raya: salah satu
keluarga karena kelahirannya mengaku memiliki hak keturunan untuk
memimpin angkatan perang; yang lain tidak hanya menuntut tanah barbar
dalam jumlah yang besar, tetapi juga bersekutu dan membuat perjanjian-
perjanjian dengan suku barbar. Orang-orang dari keluarga-keluarga ini dan
beberapa yang lain mulai saling mendesak untuk menguasai istana Jin. Pada
tahun 505, pemecahan-pemecahan ini menjadi semakin cukup serius untuk
melangsungkan pertempuran melawan kaum barbar; menurut Sejarah Musim
Semi dan Musim Gugur, angkatan perang Jin, yang ternyata terpecah oleh
perseteruan internal, harus mundur dari penyerangannya terhadap kota-kota
barbar tanpa hasil.15
Pada tahun 493, Cheng dan Jin melakukan perang singkat yang sengit satu
lawan yang lain; pada tahun 492, Qi, Lu, dan Wey setuju untuk bergabung
dengan salah satu bangsawan Jin dan bergerak masuk ke Jin itu sendiri untuk
mendesak keluarga Jin yang lain keluar dari peta, dalam gabungan antara invasi dan atau perang saudara.
Sekarang Lu terpecah, Jin menjadi berkeping-keping, dan Zhou menjadi
lemah. Chu yang dominan di daerah Selatan selama satu abad, sedang berperang melawan invasi Wu, dan Yueh di sayap tenggaranya. Wu, sementara
mencapai kemenangan, mengumumkan dirinya sebagai negara yang berkuasa
di seluruh daerah Selatan, untuk alasan itu Yueh berbalik melawan sekutunya
dan menyerangnya.16 Kerajaan Zhou sudah padam, bahkan cuma menjadi sebuah titik di layar politik. Tahun-tahun antara 481 dan 403 begitu
membingungkan, banyak pakar sejarah yang membagi periode saat Zhou
menguasai ibu kota Timur mereka (Periode Zhou Timur, 771-221) menjadi
dua periode (Periode Musim Semi dan Musim Gugur, 771-481, dan Periode
Negara-Negara Berperang, 403-221), bahkan tidak mencoba untuk memberi
julukan pada periode masa di antara kedua bagian. Periode itu semacam interregnum (masa peralihan pemerintahan).
Selama tahun-tahun ini, seorang filsuf lain membuat (semacam) percobaan
lain untuk mengeluarkan dasar-dasar yang mungkin bisa menemukan
(semacam) kesatuan bagi China. Sun-Tzu, jenderal yang bertempur untuk
Adipati Wu,*
tidak memiliki gambaran atas akibat perang terus menerus
terhadap negaranya: “Tidak ada keadaan di mana sebuah negara mendapat
keuntungan dari perang yang berkepanjangan,” ia mengingatkan.17 Seni
Berperang yaitu tentang bagaimana kita menaklukkan musuh-musuh
kita sambil menghindari sebanyak mungkin perang yang sesungguhnya.
“Keunggulan tertinggi terdapat pada cara mematahkan perlawanan
musuh tanpa berperang,” tulis Sun Tzu,18 dan, “saat kita terlibat dalam pertempuran yang sesungguhnya, jika kemenangan masih jauh, maka senjatasenjata para serdadu akan menjadi tumpul, dan semangat patriot mereka
menjadi lembab … Kepandaian tidak pernah terlihat berhubungan dengan
penundaan-penundaan yang terlalu lama.” Serbuan-serbuan yang menjadi
perang yang penting dalam peperangan di Timur Tengah, tidak disarankan:
“Jangan menyerang sebuah kota,” perintah Sun-Tzu. “Jika kita mengadakan
penyerangan ke sebuah kota, kita akan kehabisan tenaga … Pemimpinpemimpin lain akan bermunculan untuk mengambil kesempatan atas
keekstriman kita. Lalu tidak ada seorang pun, bagaimanan pun bijaksananya,
akan dapat mengubah akibat-akibatnya. 19
Ini yaitu kata-kata dari seorang laki-laki yang paham bahwa musuh dari
dalam negeri yaitu sama berbahayanya dengan musuh dari negera di sebelah.
Dalam sebuah negara di mana teman-teman kita sangat mungkin berkomplot
melawan kita sebagai musuh kita, kebohongan menjadi jalan hidup: “Semua
perang didasarkan pada kebohongan,” tulis Sun-Tzu. “Pada saat bisa
menyerang, kita harus kelihatan seperti tidak bisa; saat menggunakan
kekuatan kita, kita harus kelihatan seperti tidak aktif; saat kita dekat, kita
harus membuat musuh percaya bahwa kita berada di tempat yang jauh, saat
jauh, kita harus membuatnya mereka percaya bahwa kita dekat.”20 Jenderal
yang baik ini tidak hanya membohongi musuhnya sendiri, tetapi menganggap
musuhnya selalu membohonginya: “kata-kata rendah hati dan persiapanpersiapan yang ditingkatkan yaitu tanda-tanda bahwa musuh akan maju,”
Sun-Tzu menerangkan.“Bahasa kekerasan dan maju ke depan seakan-akan
mau menyerang yaitu tanda-tanda ia akan mundur … Usulan-usulan damai
yang dibarengi dengan sumpah kesetiaan menunjukkan suatu komplotan.”21
Baik Konfusius maupun Sun-Tzu, kasarnya kontemporer seperti mereka,
menawarkan filosofi keteraturan, suatu jalan untuk mengatasi negara yang
tercerai-berai; stabilitas melalui penampilan kewajiban-kewajiban sosial
yang benar, atau stabilitas melalui intimidasi. Metode Sun-Tzu tidak kurang
sistematik dan semuanya lebih memotong dari teori Konfusius. Dan untuk
sementara waktu, patut diberi acungan jempol. Negara-negara Zhou Timur,
seperti tulisan pakar sejarah China dari abad kesatu, Liu Xiang, menulis
“serakah dan tidak tahu malu. Mereka membandingkan tanpa kejenuhan …
Tidak ada Putra Langit di atas dan tidak ada penguasa setempat di bawah.
Segalanya dicapai melalui kekuatan fisik dan kemenangan yaitu mulia.
Kegiatan-kegiatan militer tak henti-henti dan kebohongan dan kepalsuan
bergandengan tangan.”22
Pemerintah China menjadi konstelasi dari penguasa-penguasa militer,
masing-maing menguasai kekuasaan melalui perang yang terus menerus. Tanpa
perang, yang dilakukan untuk mendesak tapal batas negara-negara keluar
melawan batas-batas negara-negara tetangga, negara-negara akan runtuh ke
dalam seperti balon yang ditusuk; mereka harus tetap digembungkan dengan
peperangan gas panas.
G A R I S WA K T U 6 2
INDIA CHINA
Ting
Enam Belas Kerajaan di lembah sungai Gangga Adipati (”Raja”) Chu
Kelahiran Mahawira (trad.599)
Kelahiran Bhuda (trad.563)
Kelahiran Konfusius
Bimbisara dari Magadha Ching
Kematian Mahawira (trad.527) Tao
Ching (II)
Sun-Tzu, Seni Berperang
Kematian Buddha (trad.483) ”Periode akhir ”Musim Semi dan Musim Gugur” (481)
Kematian Konfusus
S , Cyrus Agung berkuasa atas kekaisarannya
sedikit kurang dari sembilan tahun, dan lalu terlibat dalam peperangan
kecil dengan seorang ratu yang tidak terkenal.
Ia sedang bertempur ke arah Utara memasuki wilayah yang sama sekali baru, menyeberangi sungai Oxus dan naik ke atas ke dalam Asia Tengah
yang liar, di sebelah Timur Laut Aral. Suku-suku pegunungan di daerah
atas ini yaitu sempalan dari bangsa Scythia: Herodotus menyebut mereka
Massagetae, petarung yang bengis yang memakai busur dan tombak berujung
perunggu, memuja matahari, dan “tidak mengolah tanah, tetapi hidup dari
ternak dan ikan.”1
Pertama Cyrus mencoba untuk menaklukkan Massagetae dengan perjanjian. Ia mengirim pesan kepada ratu mereka Tomyris, melamarnya untuk
dinikahi. Ratu tidak hanya menolak, tetapi mengirimkan putranya untuk
memimpin sebuah serangan melawan sayap belakang pasukan Persia. Serangan
itu gagal dan putra Tomyris ditangkap.
Karena tidak tahan menanggung malu, ia bunuh diri. Oleh sebab itu,
Tomyris mengirimi Cyrus sebuah pesan, bersumpah, “Aku bersumpah demi
matahari bahwa aku akan memuaskan kehaus-darahanmu.” lalu ia
memimpin seluruh rakyatnya yang masih ada melawan orang Persia yang
makin mendekat. Kedua pasukan itu bertemu di tahun 530 SM, sebuah bentrokan kecil dengan proporsi kepahlawanan: “Aku menganggap ini sebagai
perang yang paling bengis antara orang-orang bukan Yunani yang pernah
ada,” kata Herodotus, (kalau melihat sikapnya terhadap orang-orang bukan
Yunani) ini berarti bahwa perang itu yaitu perang yang paling biadab yangpernah terlihat. Mereka berperang dengan busur dan anak panah, dan lalu dengan tombak, dan lalu dengan pedang.
Pihak Massagetae melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang
Asyur: mereka melenyapkan hampir seluruh pasukan Persia. Cyrus sendiri,
yang berperang di darat di antara orang-orangnya, jatuh. lalu pihak
Massagetae menguasai medan perang, Tomyris mencari di antara mayatmayat orang Persia yang bergelimpangan dalam tumpahan darahnya sampai
ia menemukan mayat sang raja. Ia mengangkat kepalanya dan memasukkannya ke dalam kantung kulit tempat anggur yang penuh dengan darah: “Aku
sudah memperingatkanmu bahwa aku akan memuaskan dahagamu,” ia berkata pada tubuh itu.Dengan terbalasnya dendam putranya, Tomyris mengizinkan orang-orang
Persia yang masih hidup mengambil tubuh Raja Agungnya dari medan perang.
Mereka mencuci darah dari wajahnya dan mengambil mayatnya dalam prosesi
pemakaman dalam keadaan kalah perang kembali ke Pasargadae.
Cyrus sudah mulai membangun sebuah makamnya sendiri: sebuah rumah
batu yang berbentuk segitiga, diukir supaya kelihatan seperti kayu, yang
berdiri di puncak tangga bertingkat tujuh ziggurat (kuil yang digunakan
oleh bangsa Babilonia dan Asyur Kuno dalam bentuk piramid bertingkat
dengan teras di bagian luarnya). Tubuhnya dikenakan jubah dan pernakpernik kerajaan, dilengkapi dengan senjata-senjata dan disemayamkan pada
sebuah sofa emas. Makam itu ditutup, dan sekelompok kader pendeta Persia
ditugaskan untuk tinggal di sebuah rumah kecil di dekatnya sebagai penjaga
tempat peristirahatan Cyrus yang terakhir.
Kambises II, putra tertua raja, dimahkotai sebagai penerusnya. Ia sudah
bertindak sebagai komandan ayahnya untuk beberapa tahun; sebetulnya,
ia baru saja bersama Cyrus sebelum peyeberangan Oxus, tetapi sang raja
menyuruh putranya pulang ke Pasargadae untuk mengurusi urusan-urusan
di sana, sementara ia sendiri maju berperang dalam sebuah perang yang
sepertinya hanya bentrokan kecil.
Meninjau kekaisaran ayahnya, Kambises sepertinya menderita semacam
dorongan hati yang persis sama seperti yang dialami oleh para putra tokohtokoh besar: ia ingin melebihi ayahnya. Ini bukan persoalan balas dendam,
karena ia tidak melakukan apa-apa terhadap garis depan di daerah Timur Laut
tempat Cyrus telah gugur. Sebaliknya, pertama ia memindahkan istananya
dan pusat administrasi kekaisarannya dari ibu kota ayahnya, Pasargadae, ke
sebuah kota baru: kota lama Elamite, ibu kota Susa, yang lebih dekat ke pusat
kekaisaran. Dan lalu ia mengarahkan perhatiannya ke Mesir.
J , pharaoh Apries telah memimpin angkatan perangnya langsung ke dalam malapetaka.
Di sebelah Barat Delta, Kirene, tempat pemukiman orang Yunani—koloni
di daerah pesisir Afrika Utara yang ditanami oleh rakyat Thera—akhirnya
mulai tumbuh, sesudah hampir enam puluh tahun bertahan hidup dalam
ketandusan. Raja ketiganya, Battus yang Sejahtera, menerbitkan dalam
sebuah buletin yang disebarkan kepada setiap kota Yunani, memohon
penambahan penduduk dan menjanjikan pada setiap orang yang mau datang
sebidang tanah. Segera saja “berduyun-duyun massa” berkumpul di Kirene,
kebanyakan datang dari daratan Yunani, dan meminta tanah di mana-mana
di sekitar kota.
Hal ini sangat tidak menyenangkan bagi penduduk asli Afrika Utara,
yang dikenal oleh Herodotus sebagai bangsa “Libya.” Mereka mengirim
pesan ke Mesir meminta bantuan, “dan menempatkan diri mereka di bawah
perlindungan raja Mesir, Apries.” Karena itu Apries mengirimkan keluar
angkatan perang Mesir untuk membantu rekannya orang Afrika Utara ini
melawan penjajah Yunani. Sialnya pasukan Mesir itu disapu bersih oleh
pihak Yunani: mereka, menurut kata Herodotus, “seluruhnya dimusnahkan
begitu rupa sehingga hampir tidak ada seorang pun yang bisa menemukan
jalan pulang ke Mesir.”3
Malapetaka ini membuat rakyat Mesir berbalik melawan Apries, yang
ternyata sudah amat sangat tidak disukai: “Mereka percaya bahwa Apries
sengaja mengirimkan mereka pada kematian yang sudah dapat dipastikan,”
tulis Herodotus, dengan kebinasaan mereka, rakyat yang diperintah semakin
sedikit, sehingga kekuasaannya akan semakin lebih aman. Orang-orang yang
masih hidup yang pulang dari Kirene marah: mereka bergabung dengan
teman-teman dari mereka yang sudah mati dan mengadakan pemberontakan
terbuka.”4
Apries mengirimkan jenderal Mesir utamanya, Amasis, untuk memadamkan pemberontakan itu.
Ternyata ini yaitu sebuah
kekeliruan. Sang Pharaoh mewarisi
Amasis dari ayahnya, Pammetichus
II, itu berarti bahwa Amasis sudah
hadir di situ, dan berkuasa lebih
lama dari masa kekuasaan Apries
sebagai raja. Berhadapan dengan
orang Mesir bersenjata yang memberontak dan ingin melenyapkan
Apries, Amasis menyerah pada
godaan, dan dengan terang-terangan mengumumkan bahwa apabila
para pemberontakan suka, mereka
boleh menjadikannya raja.5
Seseorang menyampaikan
berita tentang pengkhianatan ini
kepada Apries, lalu ia mengirimkan
seorang pejabat istananya meminta
Amasis segera kembali ke istana
di Sais dan menjelaskan tentang
tindakan-tindakannya. “Amasis,”
komentar Herodotus, “kebetulan sedang berada di atas punggung kuda pada
waktu itu, ia naik ke atas sadel, kentut, dan mengatakan kepada utusan itu
untuk membawa “pesan” itu kembali kepada Apries.”6
Apries yang menerima pesan itu, memotong hidung dan telinga si utusan,
yang mengakibatkan lebih banyak orang Mesir yang berbalik marah kepadanya. Jelaslah bahwa ia harus memperjuangkan tahtanya, tetapi ia hanya tinggal
punya kekuatan angkatan perang bayaran, kira-kira ia hanya punya tiga puluh
ribu, baik orang Yunani Ionia maupun Carian (tentara bayaran keturunan
Yunani, dari pesisir Barat daya Asia Kecil).
Kedua angkatan perang bertemu di tengah jalan antara Memphis dan
Sais, di sebuah medan peperangan bernama Momemphis. Pasukan Mesir mengalahkan jumlah para tentara bayaran, dan Amasis yaitu seorang jenderal
yang cakap; orang Mesir menang hari itu, dan Apries ditangkap. Ia dibawa
pergi dari istana Sais sebagai tahanan tetapi tidak dibunuh.
Kelihatannya Apries lalu melarikan diri, karena tiga tahun lalu sebuah pecahan prasasti dari Elephamite menceritakan bahwa Amasis
berada di istananya di Sais saat ia menerima berita bahwa Apries sedang
berlayar ke arahnya dari Utara dengan “beberapa orang Yunani tanpa jumlah
yang pasti” yang “memboroskan hampir seluruh Mesir” sedangkan angkatan
perang Amasis melarikan diri di depan mereka.7
Apries sudah pergi ke Utara
untuk menyewa pasukan tambahan.
Prasasti itu begitu rusak untuk bisa mencari tahu bagaimana perang itu
berlangsung, tetapi kesimpulannya, “Paduka raja Amasis bertempur seperti
seekor singa, ia membantai mereka … banyak kapal menangkap mereka, terjun ke dalam air, yang mereka lihat tenggelam seperti ikan.”8
Di ant



