an Astyages, ia menganggap perjanjian damai antara Lydia dan
Midia bubar dan bergerak ke arah kediaman kakek-pamannya Croesus.
Kedua angkatan perang bertemu di sungai Halys dan bertempur dengan
seri. Croesus mundur, bermaksud untuk meminta bantuan Babilonia,
tetapi Cyrus (yang lebih paham dengan tidak memberinya waktu untuk ini)
menekan ke depan masuk ke Lydia dan akhirnya memojokkan pasukan Lydia
di depan Sardis sendiri. Ia mencerai-beraikan pasukan berkuda Lydia dengan
membawa masuk unta-unta (yang menakuti kuda-kuda sehingga tiba-tiba
melompat), menyerang kota itu, dan menjatuhkannya hanya dalam empat
belas hari. 15
Cyrus berpikir bahwa orang-orangnya layak mendapat hadiah, karena itu
ia membiarkan mereka masuk kota, merampas kekayaannya yang banyak
diceritakan dalam dongeng. Sementara Croesus—ditahan dan dibawa ke
hadapan Cyrus—memandang dari tembok di sebelah penangkapnya. Ia
tidak mengatakan apa pun, karena itu Cyrus bertanya kepadanya mengapa ia
tidak sedih melihat kekayaannya menghilang. “Itu bukan kekayaanku,” kata
Croesus, “itu yaitu kekayaanmu yang mereka curi.” Karena itu Cyrus segera
memerintahkan agar perampasan itu dihentikan.16
Cyrus, seorang yang paling pragmatis, memberi hadiah kepada orang lain
dengan sangat dermawan selama itu nantinya akan memberikan keuntungan
baginya.*
Bahkan penulis-penulis yang lebih mutakhir mengidealkannya—
seperti jenderal Yunani Xenophon, yang bertempur di pihak Persia untuk
beberapa waktu dan menulis Pendidikan Cyrus untuk menerangkan secara
tepat bagaimana pengekangan, keadilan, kepandaian, dan “kebaikan jiwa”17
Cyrus membantunya untuk mendirikan kekaisaran yang paling besar di
dunia—mengungkapkan dengan sembarangan bahwa strategi si Raja Agung
yaitu paksaan, ketakutan, dan dominasi. Xenophon mengawalinya dengan
“yaitu lebih mudah bagi seorang manusia untuk menguasai segala rupa
hewan daripada menguasai manusia.” Tetapi,
Cyrus, seorang Persia … menguasai banyak rakyat, kota dan bangsa, semua
patuh kepadanya … ia dipatuhi oleh orang dengan sukarela, meskipun mereka jauh darinya dengan jarak perjalanan beberapa hari; bahkan oleh orang
lain, yang jauh darinya dengan jarak perjalanan beberapa bulan; oleh orang blain yang belum pernah melihatnya; dan oleh yang lain lagi yang tahu betul
bahwa mereka tidak akan pernah bertemu dengannya. Bagaimana pun juga,
mereka mau menyerah kepadanya, karena sejauh itu ia lebih hebat daripada
raja-raja yang lain.18
Dari semua keadilan dan kebajikan jiwa Cyrus, ia melebihi segala raja
terutama dalam menciptakan teror. “Ia dapat menyampaikan rasa takut
kepada dirinya kepada banyak orang di dunia sehingga ia mengintimidasi
semuanya,” komentar Xenophon, sebelum melanjutkan dengan nyanyian
pujian atas keadilan Cyrus, “dan tidak seorang pun mencoba berbuat sesuatu
untuk melawannya.”19 Ia membeli apa yang tidak dapat dicapainya dengan
ketakutan; ia sangat dermawan dengan kekayaannya sendiri terutama saat
ia melihat adanya keuntungan yang lebih besar di hadapannya. “Ia melebihi
semua orang dalam mencari makanan,” kata Xenophon, lalu ,” … ia
jauh melebihi manusia lain dalam memberikan hadiah-hadiah paling banyak
… Siapa lagi, dengan besarnya hadiahnya, bisa dikatakan bisa membuat
orang lain lebih menyukainya daripada para saudara, ayah, atau anak mereka
sendiri? Siapa yang dapat membalas dendam pada musuh yang berada jauh
dalam perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan selain daripada raja
Persia? Siapa lagi selain Cyrus, sesudah menggulingkan sebuah kekaisaran,
malahan disebut “bapak” saat ia wafat?”20
Ini yaitu penggunaan sebutan “bapak” yang mengerikan, dan menjadi
semakin mengerikan saat Xenophon meneruskan dengan menunjukkan
bahwa “Bapak Cyrus” menggunakan hadiah-hadiahnya untuk meyakinkan
rakyat di seluruh kekaisarannya untuk menjadi “apa yang disebut Mata
dan Telinga sang Raja.” dan melaporkan kepadanya apa saja “yang akan
menguntungkan sang raja … Ada banyak Telinga raja, dan banyak Mata; dan
rakyat di mana-mana takut untuk mengatakan apa yang tidak menguntungkan
bagi sang raja, persis seperti seolah-olah ia sedang mendengarkan, dan takut
melakukan apa yang tidak menguntungkan, persis seperti seolah-olah ia
sedang hadir di situ.”21
Meskipun begitu, Xenophon tetap menekankan bahwa ia melihat dalam
diri Cyrus, sesuatu yang baru: model kaisar yang baru. Ia salah kalau berpikir
bahwa “kebaruan” ini yaitu keadilan, kebajikan, dan kejujuran dari sang raja.
Cyrus, seperti semua raja agung lain sebelumnya, memegang kekaisarannya
dengan kekuasaan dan ketakutan. Tetapi kekaisarannya pastilah “baru” dalam
jumlah bangsa-bangsa yang berbeda sehingga berhasil mempersatukan bangsabangsa itudi bawah satu kekuasaan. Sekarang bangsa Midia, Lydia (termasuk
Frigia), dan provinsi-provinsi Asyur Utara (yang ditaklukkan oleh kakeknya)
semuanya yaitu bagian dari Persia. Cyrus memberi tugas kepada Harpagus
untuk menaklukkan kota-kota Ionia sepanjang pantai, dan ia sendiri kembali
pulang untuk melakukan operasi militer ke wilayah sebelah Timur Midia;
prasasti-prasasti dan sebutan-sebutan dalam teks-teks kuno mengungkapkan
bahwa ia hampir terus bertempur melewati sungai Indus, meskipun ia tidak
berhasil masuk ke lembah Indus.22 Ia juga tidak sampai ke laut. Bangsa Persia
belum menjadi kekuatan dalam mengarungi laut.
Tiga kerajaan tetap ada: tempat kediaman bangsa Scythia yang tersebar di
Utara, Mesir jauh di sebelah Selatan, dan yang paling berkuasa dari semuanya
yaitu Babilonia di sebelah Barat.
Nabonidus belum terlalu memperhatikan kekaisarannya. Sebetulnya ia
sudah membuat putranya Beltsazar menjadi wali bersamanya, menyerahkan
Babilonia kepadanya dan berangkat ke Selatan masuk ke Arabia, di mana ia
menetapkan tempat tinggalnya jauh dari pusat kerajaannya sendiri.
Apa tepatnya yang dilakukan Nabonidus jauh di Arabia?
Sejarah keruntuhan Babilonia dikarang tepat sesudah masa pemerintahannya,
Ayat-ayat Nabonidus, ditulis oleh musuhnya orang Persia, yang berminat
untuk menunjukkan ketidaktepatannya dalam memerintah, dan karenanya
harus dibubuhi sesendok garam. Tetapi Kisah yang sembarangan ini
menceritakan kebenaran, saat kisah ini menuduh penyembahan Nabonidus
kepada seorang dewa yang lain yang bukan Marduk. Kisah ini menyebut
dewa Nanna, dan mengatakan bahwa ia tidak dikenal oleh rakyat Babilonia:
seorang dewa
yang tidak seorang pun di dalam negeri ini pernah melihatnya,
dia tempatkannya di atas pijakan,
dia menyebutnya dengan nama Nanna,
dimahkotainya dengan sebuah tiara,
penampilannya seperti bulan waktu gerhana.23
Dewa ini mungkin tidak dikenal oleh orang Persia, tetapi ia pasti bukan
dewa asing bagi orang Babilonia. Ia tidak lain daripada dewa bulan yang
kuno, Sin, dari kota tua Uria.
Sudah tentu Nabonidus menyembah Sin; ibunya sendiri yang yaitu
seorang imam wanita dari bulan, menyebutkan kesolehan putranya. Tetapi
penyembahan Nabonidus membawanya ke dalam kesulitan. Meskipun
prasastinya sendiri menggambarkan kenaikannya ke atas tahta (dan kejatuhan
para pewaris Nebukhadnezzar) merupakan berkat dari Sin, penyembahan ini
menyeretnya jauh dari tahta yang didapatnya dengan kesulitan seperti itu. Ia langsung menemui kesulitan berhadapan dengan para imam Marduk, yang
mendapatkan pengaruh besar di bawah pemerintahan Nebukhadnezzar, dan
menemukan bahwa perlawanan mereka cukup serius sehingga membuat
Babilonia tidak dapat dihuninya: “Mereka tidak menghormati ritual-ritual
(Sin),” ia mengeluh pada salah satu prasastinya,” … dan (Sin) membuatku
meninggalkan kotaku Babilonia dalam perjalanan ke Tema … Selama sepuluh
tahun lamanya aku … tidak memasuki kotaku sendiri, Babilonia.”24
Solusinya sangat sederhana: ia menyerahkan kota Babilonia kepada putranya sendiri Beltsazar, yang dijadikannya wali bersama, dan meninggalkan
kota yang dipilih Marduk. Ia melakukan perjalanan jauh memasuki Arabia
dan berhenti di kota padang pasir Tema, seperti ditunjukkan dalam Kisah :
Ia melepaskan segalanya, menyerahkan kerajaan kepada putranya,
Dan dengan angkatan perangnya, ia sendiri berbalik ke arah Tema,
jauh ke arah Barat,
saat tiba, ia membunuh pangeran Tema dalam peperangan,
Membantai kawanan penduduk kota dan penduduk pedesaan,
Dan ia sendiri tinggal di Tema.25
Ini sama sekali bukan perpindahan karena putus asa. Tema terletak di
tengah-tengah jalan perdagangan, sebuah kota yang dilewati emas dan garam
yang berharga terus-menerus. Dari kota itu, Nabonidus dapat menangangi
perdagangan Babilonia, dan surat-menyuratnya dengan Beltsazar memperjelas bahwa ia sebetulnya tidak “melepaskan segalanya.” Putranya—yang
berhubungan lebih baik dengan Marduk daripada ayahnya—sudah tentu
berkuasa di bawah arahannya.
Meskipun begitu ia mendapatkan dirinya berada dalam suatu dilemna yang
muncul dari keyakinan religius. Kewajiban-kewajian suci dan sekularnya bentrok,
dan karena ia harus mengorbankan satu atau lainnya, ia memilih mengorbankan
kewajiban sekularnya. Ia bahkan tidak kembali ke Babilonia pada Festival Tahun
Baru, di mana raja bersama dewa Marduk melakukan prosesi kemenangan melewati Gerbang Ishtar, dengan maksud untuk menguatkan kembali haknya atas
tahta. Nabonidus yang dicengkeram oleh kecintaannya pada dewanya sendiri
tidak dapat memaksakan dirinya untuk berbuat demikian.*
Inilah yang paling melemahkan Babilonia, dan memberikan kesempatan pada
Cyrus. Pada tahun 540, Cyrus sudah mulai mengirimkan pasukan penyerang
untuk mengadakan perang-perang kecil dengan orang Babilonia sepanjang
perbatasan sebelah Timur. Pengacauan mereka makin menjadi cukup serius
sehingga Nabonidus mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan ke
Utara, pulang kembali ke jantung negaranya sendiri.26
Pada saat ia tiba di sana, Cyrus sedang merencanakan sebuah penyerangan ke Babilonia langsung. Nabonidus yang sekarang memegang pimpinan
memerintahkan pasukan Babilonia untuk bergerak ke arah musuh. Mereka
menyeberangi sungai Tigris dan bertemu dengan pasukan Persia, di bawah
Cyrus, di Opis.
“Orang Babilonia bentrok dengannya,” kata Herodotus dengan terusterang, “tetapi mereka kalah dalam perang itu dan dipukul mundur ke dalam
kota.”27 Segera orang Babilonia membarikade diri dalam kota di bawah
arahan Nabonidus. Mereka semua memiliki persediaan makanan dan
air yang cukup, menurut Xenophon, cukup untuk hidup selama dua puluh
tahun.28 Kenaikan Cyrus ke tahta berjalan secara bertahap sehingga orangorang Babilonia punya waktu untuk mempersiapkan diri dengan baik untuk
menghadapi penyerbuan (sebuah tindakan yang bijaksana, tetapi berarti
mereka tidak punya kepercayaan yang besar terhadap kemampuan angkatan
perangnya untuk bisa mengusir Cyrus).
Cyrus, yang menyadari bahwa akan memakan waktu berbulan-bulan,
kalau tidak bertahun-tahun, untuk membuat para pemberontak kelaparan dan
keluar dari kota yang begitu besar dan sangat banyak persediaannya, membuat
rencana lain. Xenophon menerangkannya: Sungai Tigris, yang mengalir tepat
di tengah-tengah Babilonia, lebih dalam dari pada ketinggian dua orang. Kota
tidak akan mudah dibuat banjir, berkat penguatan Nebukhadnezzar, tetapi
Cyrus memiliki strategi lain. Ia menggali parit-parit sepanjang sungai
Tigris, di hulu sungai dari kota, dan sepanjang suatu malam ia dan orangorangnya membuka semua parit tersebut secara bersamaan. Mengalihkan
arus utamanya jauh ke berbagai arah, ketinggian sungai Tigris yang mengalir
di tengah kota menurun segera, cukup bagi serdadu Persia untuk bergerak
melalui lumpur di dasar sungai, di bawah tembok-tembok kota. Unit
penyerang inti memanjat keluar dari dasar sungai di dalam kota pada malam
hari, tertutup dalam lumpur dan terseok-seok sepanjang jalan-jalan, berteriakteriak seperti orang mabuk yang gembira, sampai mereka mencapai istana
dan tiba-tiba menyerangnya. Xenophon menunjukkan bahwa ada beberapa
upacara religius yang sedang terjadi yang membantu penyamaran serbuan itu;
Kitab Daniel cocok dengan mengatakan Beltsazar wali bersama itu sedang
berpesta di dalam istana dengan ratusan bangsawan dan sudah sama sekali
mabuk saat orang Persia memasuki istana. Nabonidus ternyata sedang berada di tempat lain di dalam kota; ia ditangkap dan dijadikan tahanan tanpa dilukai. Tetapi Beltsazar terbunuh dalam
pertempuran selanjutnya. Gerbang-gerbang dibuka dari dalam. Orang Persia
yang lain masuk, dan kota jatuh. Tanggalnya yaitu 14 Oktober 539 SM.
Tidak diragukan lagi Cyrus sudah mendengar gerutuan bahwa Nabonidus
telah meremehkan Marduk, dan bahwa Marduk sedang menghukum kota
karena penghinaan ini. Segera Cyrus menjadi yang terpilih oleh Marduk.
Ia menaiki kuda ke dalam kota “untuk memegang tangan Marduk” dalam
upacara religius tradisional. Bagaimana pun juga ia yaitu cucu keponakan
Nebukhadnezzar karena perkawinan dan, tahta diakui berdasarkan sedikit
pertalian darah. Dan ia membuat para penulisnya menerangkan bahwa
dalam tradisi Merodakh-baladan/Napoleonik ia sebetulnya yaitu pembebas
Babilonia, ia yaitu tokoh yang memulihkan keanggunan kunonya.
Ia menyelamatkan Babilonia karena dibutuhkan
Nabonidus, raja yang tidak menghormati Marduk,
Marduk mengirimnya ke dalam tangan Cyrus.
Semua orang bertiarap dan mencium kakinya,
Mereka bergembira dalam kekuasaannya yang tertinggi dan wajah
mereka bersinar.
Aku, Cyrus, membebaskan penduduk Babilonia dari kuk mereka.
Aku memperbaiki tempat tinggal mereka, membersihkan
puing-puingnya,
Marduk dewa yang agung bergembira karena perbuatan-perbuatanku.
Aku mengembalikan para dewa ke tempat mereka yang layak
Di bawah perintah Marduk, dewa yang agung.29
Dengan cara yang persis sama, ia mengumumkan kepada para orang
Yahudi bahwa ia akan merestorasi kehormatan mereka dengan Allah Yahwe
mereka. Ini membuatnya sangat disukai oleh bangsa Yahudi dalam pengasingan. “Pada tahun pertama zaman Cyrus raja Persia,” begitu buku Ezra diawali,
berarti tahun pertama Cyrus mendominasi Babilonia, “Tuhan menggerakkan
hati Cyrus raja Persia itu untuk membuat pernyataan: Tuhan, Allah semesta
langit, telah memberikan semua kerajaan di bumi ini dan ia menugaskan aku
untuk mendirikan sebuah bait baginya di Yerusalem dan Yehuda. Siapa pun
di antara kamu termasuk umatnya, Allahnya menyertainya, dan biarlah ia
berangkat pulang ke Yerusalem di Yehuda, dan mendirikan bait Allah, Tuhan
orang Israel.’ ”30 Cyrus juga mengembalikan harta karun yang diambil dari
Kuil Solomon yang ditemukannya dalam perbendaharaan Babilonia, dan
contoh lain tentang caranya menggunakan kekayaan (dalam hal ini, yang dirampas oleh orang lain) untuk memperkuat posisinya sendiri. Untuk ini, ia
mendapatkan gelar dari orang Yahudi “Yang diurapi Tuhan.”
Sedikit lewat dari satu tahun sesudah perjalanan kembali ke Yerusalem
dimulai, orang-orang yang kembali dari pengasingan meletakkan fondasi dari
Kuil Kedua pada perayaan dalam festival besar. Para imam tampil kembali
dalam jubah-jubah yang tidak pernah mereka kenakan sejak perusakan kota
oleh Nebukhadnezzar; ada trompet dan simbal dan nyanyian. Fondasi yang
baru itu, suram dan berubah di antara reruntuhan sedemikian rupa, tidak
seperti pada zaman kemuliaannya dulu sehingga orang-orang tua yang melihatnya tidak tahan melihat perbedaannya. Sedangkan para orang muda yang
kembali dari pembuangan berteriak-teriak, “para imam yang tua … dan para
kepala keluarga, yang telah melihat kuil sebelumnya, menangis dengan keras
saat mereka melihat fondasi dari kuil ini .. Tidak seorang pun dapat membedakan bunyi teriakan kegembiraan dengan bunyi tangisan; dan suara itu
terdengar dari jauh
G A R I S WA K T U 5 9
ROMA DAN BABILONIA PERSIA
Sargon II
Sankherib
Tullus Hostilius Shamash-shun-ukin
Cyrus I
Ancus Marcius Kandalu
Cyarxes
Sin-suhm-ishkun
Tarquinus Tua Nabopolassar
Kejatuhan Minewah (612)
Nebukhadnezzar (605-562)
Kejatuhan Yerusalem (587) Astyages
Servius Tullus (578) Kambises I
Amel-Marduk
Labash-Marduk Cyrus II (Agung) (599)
Nabonidus (556-539)
Jatuhnya Babilon Cyrus II (Agung) (539)
K tidak campur aduk. Ia mengambil alih kerajaan
yang besar dari Nebukhadnezzar sebagai salah satu dari rumah kerajaannya,
dan mempertahankan Ecbatana sebagai tempat tinggal musim panas; tinggi
di atas pegunungan, dihalangi salju pada sebagian besar musim dingin, tetapi
jelas jauh lebih nyaman daripada daratan Persia yang panas selama bulanbulan musim panas. Istananya di Anshan tetap sebagai rumah yang lain.
Tetapi untuk administrasi dari kerajaannya yang baru, Cyrus membangun
sendiri sebuah ibu kota baru : Pasargadae.
Dalam kekaisaran Persianya, orang-orang yang dikalahkan berhasil untuk
meneruskan kehidupannya sehari-hari tanpa banyak gangguan. Hal yang
baru dari kekaisaran Cyrus terletak pada kemampuannya untuk menganggapnya, bukan sebagai bangsa Persia di mana rakyatnya harus dibuat lebih
bersifat Persia, tetapi lebih sebagai jaringan bangsa di bawah peraturan Persia.
Berbeda dengan orang-orang Assiria, ia tidak berusaha untuk menghancurkan
kesetiaan atau identitas bangsa. Sebaliknya ia melihat dirinya sebagai pendamping yang penuh kebajikan untuk identitas tersebut. Dan sementara itu,
ia terus memasang Mata dan Telinganya untuk menjaga timbulnya masalah
C telah meninggalkan Harpagus di Asia
Kecil untuk menyelesaikan penaklukan dari Lydia dengan menguasai kotakota Ionia, sepanjang pantai, yang merupakan sekutu Lydia.
Menurut Herodotus, operasi militer Harpagus menyebabkan efek domino.
Ia memulai operasi ini dengan Phocaea, di tengah pantai; sebuah kota yang
orang-orangnya yaitu “orang-orang Yunani yang pertama yang melakukan
perjalanan jauh di laut.” Terkepung oleh Harpagus, yang sibuk membangun
operasi pengembangan sumber daya bumi di balik dinding batu mereka,
mereka memberi tahu Harpagus bahwa mereka akan mempertimbangkan
negosiasi untuk menyerah jika ia mau menarik mundur pasukannya selama
satu hari saja, untuk membiarkan mereka memperdebatkan masalah secara
damai. Ia melakukan itu, dan orang-orang Pochea “meluncurkan penteconter
mereka” (kapal dengan lima puluh dayung dan satu persegi mainsail milik
mereka yang khas), “menempatkan kaum wanita, anak-anak dan barangbarang pribadi mereka ke dalam kapal...menaikkan diri mereka sendiri ke
dalam kapal,” dan berlayar jauh: “Jadi, Persia mendapatkan kendali atas
Phocaea yang telah dikosongkan dari manusia.”
Bangsa Phocaea telah membangun pos perdagangan yang disebut Alalia di
pulau Cyrnus — sebuah nama Yunani untuk Corsica. Setengah dari bangsa
Phocaea, dihantui oleh kerinduan pulang ke kampung halamannya, memutuskan untuk kembali ke kota yang mereka tinggalkan dan kemungkinan
menghadapi murka Persia. Setengah yang lain berlayar untuk Alalia.I
sesudah menetap di Corsica, mereka memantapkan diri untuk membentuk sebuah kerajaan perdagangan mereka sendiri. Penteconters cocok untuk
perdagangan; mereka membawa awak yang besar (kapal minimal dengan lima
puluh orang pendayung ditambah awak kapal dan kapten), semuanya dapat
berkelahi, jika perlu, yang membuat penteconter ini lebih ditakuti oleh bajak
laut daripada kapal dagang (yang biasanya hanya terdiri dari lima atau enam
orang dalam kapal).2
bangsa Phocaea berencana untuk mendominasi rute
perdagangan Laut Tengah Barat, di mana kota-kota Yunani lainnya belum
memikirkan daerah tersebut sejauh itu. Untuk bertindak sebagai pos perdagangan ke Barat, mereka membangun sebuah koloni di pantai yang sekarang
menjadi Perancis Selatan.
Koloni baru ini, Massalia, terhubung dengan jaringan perdagangan Yunani
menuju jaringan-pekerjaan dari suku-suku yang, sampai saat itu, hampir
tidak dikenal. Mereka yaitu petarung liar suku barbar yang datang dari kedalaman tanah kasar yang lebih jauh dari pantai, yang bersama mereka emas dan
garam, batu amber dan bulu, dan (yang paling bernilai dari semuanya) timah.
Bangsa Phocaea telah berhadapan dengan bangsa Celt.
“C” untuk suku-suku yang mengembara di sekitar pusat di Eropa Barat antara tahun 600 dan 500 SM. Baik orang Yunani
maupun Roma menyebut bangsa ini sebagai “Gallia” atau “Celt” beberapa
saat sesudahnya, tetapi antara tahun 600 dan 500 SM, mereka tidak memiliki
semacam “identitas etnis.”3
Mereka sekedar suku-suku yang tersebar dengan
asal yang sama.
Asal mereka yaitu Indo-Eropa, yang berarti bahwa mereka telah datang,
lama sebelumnya, dari tanah yang sama antara Laut Kaspia dan Laut Hitam,
yang pertama kali diduduki oleh orang-orang yang lalu dikenal sebagai
bangsa Hitti, Mycenas, dan Arya.4
Kesamaan bahasa antara empat bangsa
Indo-Eropa ini menunjukkan bahwa mereka mengembara dari satu titik
yang sama untuk menetap di empat wilayah yang berbeda: orang-orang Hitti
ke Barat, ke Asia Kecil; orang-orang Mycenas ke Barat dan lalu ke Selatan
menuju semenanjung Utara Yunani, yaitu “Celt” di sebelah Utara dari Alps;
orang-orang Arya pertama ke Timur lalu ke Selatan menuju India.
Orang-orang Indo-Eropa istimewa yang lalu dikenal sebagai Celt
itu tidak menulis, jadi kami hanya bisa mencoba untuk membaca kubur dan
barang-barang mereka yang tertinggal. Pada saat Massalia dibangun, sekitar
tahun 630 SM, salah satu gaya tertentu pemakaman tersebar dari Austria
modern ke Selatan sungai Loire. Kami menyebutnya sebagai peradaban
Hallstatt, mengikuti nama lokasi yang sangat dikenal: sebuah kuburan dan
tambang garam di Donau Selatan.
Suku Hallstatt yang mengisi kuburan mereka dengan perhiasan emas, pedang, dan tombak, makanan dan minuman, dan hidangan untuk digunakan
oleh mereka yang telah mati. Pemimpin-pemimpin mereka telah meninggal
dikelilingi oleh makam para pejuang yang pedang besi panjangnya dikubur,
barang milik mereka yang paling berharga.5
Pedagang dari suku Hallstatt
mengendarai kereta mereka ke Massalia, sarat dengan batu amber, garam, dan
timah jauh dari tambang modern Cornwall. Ini yaitu semua barang berharga dan langka, dan perdagangan yang dibuat Massalia menjadi bertambah
di kota.
Perdagangan dengan Phocaea yang menguntungkan diteruskan sejak
Massalia semakin berkembang tak terkendalikan ke Etruski. Kota-kota
dari Etruria telah sibuk mendirikan kota-kota yang semakin jauh ke Utara.
Sekarang orang-orang Yunani yang agresif mendorong ke dalam wilayah
yang dianggap orang-orang Etruski sebagai milik mereka sendiri untuk
dimanfaatkan. Koloni Yunani muncul dengan tiba-tiba di sepanjang pantai
Selatan dari Prancis modern, Monaco, Nice, St Tropez, dan mereka semua
memiliki tempat asal sebagai pos-pos perdagangan Yunani.6
Tekanan itu mendesak kota Etruria — yang semandiri seperti kota-kota
di Yunani — ke dalam sebuah asosiasi. Lima kota Etruski di Italia telah bergabung bersama dalam sebuah aliansi melawan Roma seabad sebelumnya.
Kini, dua belas kota Etruski telah siap untuk menggabungkan nasibnya bersama mereka ke dalam sebuah asosiasi yang dibentuk dalam bentuk imitasi dari
amphictyonys Yunani, kota-kota bergabung untuk tujuan yang sama sambil
melestarikan kemerdekaan politis mereka. Persatuan Etruskin, yang dibentuk
sekitar tahun 550 SM, termasuk Veii, Tarquiniusii, dan Volsinii.7
Meskipun bersatu, persatuan Etruskin tidak bisa berharap untuk mampu
memerangi penyerbu Phocaean. Bangsa Phocaea bisa memanggil ratusan
kapal sekutu dari Yunani untuk setiap perang yang meletus. Dan selanjutnya,
Herodotus melanjutkan, orang-orang Etruski masuk ke dalam persatuan
dengan orang-orang Carthaginia.
K, yang terbentang di pantai Utara Afrika di bawah Laut Tengah,
telah berumur tiga ratus tahun pada tahun 550. Kedua kota tertua dari fede
rasi Finisia yang longgar, Tirus dan Sidon, sekarang berada di bawah kekuasaan
Cyrus. Tetapi Karthago, lebih jauh, merupakan pusat kerajaan kecilnya sendiri. Di tahun 550, rajanya yaitu Mago, kerajaan Karthago yang pertama
yang mana kami memiliki catatan sejarahnya.8
Pada zaman Mago, Karthago telah menanamkan koloni perdagangan
mereka sendiri di Laut Tengah. Orang-orang Carthaginia tidak sebahagia
orang-orang Etruski untuk melihat Yunani sibuk menjajah di sekitar mereka,
dan mereka sangat setuju untuk bergabung dalam sebuah serangan terhadap
orang-orang Phocaea di Alalia.*
Sebuah catatan aliansi bersejarah tertulis
di dalam buku Politik karya Aristotel, yang menyebutkan bahwa “bangsa
Etruski dan bangsa Karthago” pernah membentuk sebuah komunitas “untuk
kepentingan perdagangan dan mitra bisnis.” 9
Bangsa Yunani di Alalia (atau Korsika), mendapat angin dari rencana itu,
siap-siap untuk berperang: “Bangsa Phocaea memiliki enam puluh kapal yang
telah siap,” Herodotus menulis, “dan pergi bertemu musuh di Laut Sardinia.”
Dalam pertempuran selanjutnya, empat puluh kapal Phocaean hancur, dan
sisanya dua puluh lagi sangat rusak sehingga mereka tidak bisa lagi bertempur. Namun mereka masih bisa mengambang, sehingga orang-orang Phocaea
berlayar kembali ke Corsica, memuat kapal mereka dengan kaum wanita
dan anak-anak sekali lagi, dan menarik mundur ke Rhegium, sebuah kota di
Yunani di ujung dari bot Italia.
Peperangan laut di Alalia itu yaitu perang laut yang terbesar kedua
yang pernah ada (Rameses III terhadap Orang-Orang Laut yaitu yang pertama). Dampak langsungnya yaitu bahwa bangsa Etruskin sementara yaitu
merupakan anjing yang terbaik di daerah tersebut. Mereka mengambil alih
Korsika dan, tak terganggu oleh orang-orang Phocaean yang keliling dengan
penteconters, membangun perdagangan koloni sendiri, sejauh pantai Barat
dari Spanyol (atau demikianlah ditulis Stephanus dari Byzantium.) Mereka
berada pada kekuasaan tertinggi mereka, pakar di semenanjung Utara dari
Tiber.10
Massalia sendiri memiliki jalinan dengan potongan Alalia, tetapi orangorang Entrusca tidak menghancurkannya. sesudah menghapuskan kota
induk, mereka tidak terlalu cemas dengan anak-anaknya yang tersebar luas.
Sepertinya Massalia berjuang selama beberapa saat, namun bukannya tumbang, kota tersebut bertahan hingga abad ke dua puluh satu; sekarang dikenal
dengan nama Marseilles.
Peperangan juga telah memberi ruangan bagi Karthago untuk mengembangkan diri. Melalui perjanjian dengan orang-orang Entrusca, mereka menuntut
penguasaan terhadap Sardinia; dan tanpa terganggu oleh orang-orang Yunani
di Laut Tengah Barat, mereka pun mengembangkan jangkauannya hingga
pantai Spanyol.
S menarik mundur dan Bangsa Karthago dan Etruski berlayar di Laut Tengah, Roma semakin berkembang baik dalam jumlah dan
kekuatan. Semakin banyak daerah yang diklaim, semakin besar pula masalah
internalnya. Bagaimana mungkin seorang raja dari satu ras memerintah atas
satu satuan masyarakat yang saling bermusuhan satu sama lain, bahkan menolak untuk saling menikahi? Dan bagaimana bisa raja itu berurusan dengan
suatu aristokrasi yang keras dan independen yang dapat membuatnya tertuduh atas pembunuhan penguasa pertamanya yang setengah ilahi?
Di zaman penguasaan Etruski, raja Roma dan orang-orang Roma
tampaknya telah mencoba untuk menyelesaikan suatu kompromi antara absolutisme raja, gaya Cyrus, dan diatur oleh masyarakat, seperti di Athena.
Sejarah mengenai kompromi tersebut dikaburkan oleh sejarawan Roma pendahulu, yang sepertinya semua membaca tatanan masa lalu sebagai
tatanan zaman sebelumnya. Tetapi kelihatan bahwa, bahkan di zaman rajaraja, orang-orang Roma telah memberikan pendapat tentang permasalahan
kota.
Sejarawan Roma, Varro, menyebut suatu pembagian awal orang-orang
Roma menjadi tiga “suku” dari beberapa jenis, yang mungkin mewakili tiga
kelompok nasional Sabin, Larial, dan Etruski (meskipun catatan awal dari
Roma tidak berkata apa-apa tentang ini). “Livius, di sisi lain, pengakuan Servius
Tullius dengan memisahkan orang-orang Roma menjadi enam “kelas”, tidak
berdasar pada keturunan, melainkan pada kekayaan; cara yang bermanfaat dengan memulai dari awal, untuk sebuah kota yang mandiri yang mana seorang
manusia yang berkembang sendiri bisa menunjukkan dirinya. Orang kaya di
Roma tersebut diharapkan untuk mempertahankan kota dengan helm perunggu, perisai, pelindung kaki, pelindung dada, pedang, dan tombak, sementara
yang miskin diharapkan untuk membawa hanya bandil dan batu.12 Bahkan di
bawah raja-raja dari Roma, warga kota Roma yang diharapkan untuk mempertahankan kota mereka sendiri—dan, mungkin, untuk menentukan kapan dan
di mana serangan diperlukan. Dengan banyak diberi kuasa atas kota mereka,
warga negara Roma tidak akan patuh dengan aturan raja lagi.
Pada akhir dari empat puluh tahun kekuasaan Servius Tullius, kerajaannya
meledak di dalam.
Orang yg melakukan kejahatan yaitu keponakan dari Servius Tullius,
Tarquiniusius Muda. Dia tidak hanya ambisius tetapi juga jahat; kejahatan
itu segera terendus saat ia memulai perselingkuhan dengan adik istri Tullia,
yang juga jahat: “Ada kekuatan magnetis dalam kejahatan,” Livius mengamati,
“yang sama menarik ke arah yang sama.” Tarquiniusius Muda sendiri telah
menikah, namun daripada membuat hal ini menghalangi jalan, dua orang
yang bercinta ini berkomplot merencanakan kematian pasangan mereka
masing-masing, dan lalu menikah.
“Mulai dari hari itu,” Livius menulis, “Servius, kini sudah menjadi tua,
hidup dalam bahaya yang semakin meningkat.” Tullia, perwujudan asli dari
Lady Macbeth, yang penuh berambisi bahwa suami barunya harus menjadi raja, dan “segera menemukan bahwa satu kejahatan pasti memicu yang
berikut ... ia tidak memberikan suaminya kesempatan untuk istirahat baik
malam atau siang hari.” “Aku tidak ingin seorang laki-laki yang hanya puas
untuk menjadi suamiku,” ia menceramahinya, “Aku ingin seorang laki-laki
yang layak dimahkotai!”
Didorong untuk bertindak, Tarquinius Muda memaksa masuk ke dalam
ruang tahta saat Servius Tullius itu sedang keluar, ia mendudukkan dirinya
di atas kursi tahta itu, dan menyatakan dirinya raja. Servius, mendengar pelanggaran tersebut, berlarilah ke ruang tahta untuk menghadapi si perampok,
tetapi Tarquinius, yang telah “terlalu jauh melangkah dan sulit untuk kembali,” menghempaskan sang raja keluar ke jalan dengan tangannya sendiri, di
mana pembunuhan tersebut mengakhiri hidup orang tua tersebut. “Dengan
Servius,” Livius menulis, “martabat raja yang benar berakhir; tidak pernah lagi
raja Romawi memerintah sesuai dengan kemanusiaan dan keadilan.”
Tarquinius Muda, sekarang memegang kendali tahta, dan segera dirinya
mendapatkan nama panggilan Tarquiniusius Superbus: “Tarquinius yang
Bangga.” Ia membentuk pengawal untuk berjaga-kuat agar masyarakat kota
Roma menuruti perintahnya; ia menghabisi pendukung setia Servius; ia
mendakwa orang tak bersalah atas kejahatan besar, sehingga ia bisa merampas
uang mereka. “Ia telah merampas dengan paksa tahta di mana ia tidak memiliki hak apa pun untuk itu,” Livius memberitahu kita.
Orang-orang yang tidak memilihnya, Senat belum memberikan sanksi
atas kenaikan tahtanya. Tanpa berharap belas kasih, ia hanya dapat memerintah dengan ketakutan. Dia dihukum dengan hukuman mati, dibuang, atau
penyitaan harta dari orang yang pernah menjadi tersangka atau yang tidak
disukainya, ia merusak tradisi yang telah terbentuk oleh senat pada semua
urusan bisnis umum, ia membuat dan belum merapikan pakta dan aliansi
dengan siapa dia senangi tanpa referensi apa pun, baik majelis perwakilan
rendah atau pun senat.
Semua ini yaitu pelanggaran-pelanggaran yang serius. Tetapi yang menja
di klimaks yaitu saat anaknya, diduga mewarisi tahta Roma, memperkosa
seorang istri bangsawan Roma bernama Lucretia, istri salah seorang temannya
sendiri. Karena malu, Lucretia bunuh diri. Tubuhnya tergeletak di alun-alun
kota sementara suaminya keluar menyerukan orang-orang sebangsanya untuk
membantu membalaskan kematian istrinya. Tidak perlu waktu lama kemarahan atas pemerkosaan Lucretia berubah menjadi kemarahan atas tindakan
kejam dari seluruh keluarga.
Tarquinius Pembangga sendiri sedang berada di luar Roma pada saat itu,
memimpin sebuah serangan atas kota tetangga Ardea. saat berita tentang
pemberontakan terdengar olehnya, ia kembali ke Roma, tetapi pada saat ia
tiba, pemberontak itu berjalan dengan lancar, “Tarquinius menemukan pintu
gerbang kota tertutup olehnya,” Livius menulis, “dan pembuangan diputuskan.” para pasukan “antusias” dalam huru-hara, dan Tarquinius dipaksa
untuk melarikan diri ke Utara Etruria dengan putranya.
Suami yang kehilangan Lucretia dan salah seorang teman kepercayaannya
dipilih sebagai pemimpin kota, dengan suara rakyat terbanyak dari tentara:
hanya anggota dari kelompok yang telah dibentuk oleh Servius Tullius yang
diizinkan untuk memberikan suara. Kedua laki-laki tersebut diberi wewenang
untuk menyatakan perang dan membuat keputusan - tetapi dengan suatu perbedaan. Kekuasaan mereka hanya bertahan satu tahun, dan setiap orang dapat
memveto keputusan saya lain. Mereka sekarang consul: yang tertinggi di kantor pemerintah Roma. Roma telah dibebaskan dari monarki, dan Republik
Roma mulai.*
Livius, sumber saya yang paling lengkap untuk tahun-tahun ini, membuat cerita ini kuat diwarnai, dengan pro-Republik. Sejauh ia peduli, begitu
Tarquinius Pembangga dilempar keluar dari kota, keseluruhan sejarah Roma
dibuat berbelok ke kanan: “Tugasku mulai saat ini yaitu melacak sejarah
dari bangsa yang merdeka,” Livius menyatakan, “yang diatur oleh pejabat negara yang setiap tahun dipilih dan tidak tunduk kepada tingkah setiap orang,
tetapi kepada otoritas hukum utama.
Pengusiran dari Tarquinius Pembangga mungkin tidak memiliki dasar sejarah tetapi tidak mungkin bahwa orang Roma tiba-tiba menyadari kekurangan
dari bentuk kerajaan. Sebaliknya raja Etruski yang berpindah menunjukkan
pengurangan dari dominasi bangsa Etruski.
Roma telah diperintah oleh orang Etruski sejak pengangkatan dari
Tarquinius Tua seratus tahun sebelumnya. Namun, sejak kemenangan di laut
Alalia di 535, Etruski berusaha keras untuk mempertahankan kekuasaan.
Peristiwa yang mengikuti pengusiran Tarquinius Pembangga menunjukkan
kelalaian dari Etruski. Di Etruria, ia pergi dari kota ke kota, mencoba untuk
mengumpulkan sebuah koalisi anti-Roma. “Aku memiliki darah yang sama
seperti Anda,” yaitu argumen yang paling kuat. Orang Veii dan Tarquinii
merespon. Dua barisan tentara mengiring dari belakang Tarquinius, kembali
menuju Roma, dalam upaya untuk mengembalikan kekuasaan Etruski atas
kota yang paling penting di sebelah Selatan Etruria.
Mereka bertemu dengan pasukan Romawi dan dikalahkan dalam sebuah
perkelahian sengit yang hampir seri; Livius menandakan bahwa pasukan
Roma menang karena mereka kehilangan satu orang yang lebih sedikit
dibandingkan dengan orang Etruski. Orang-orang Etruski yang lalu
mulai merencanakan serangan kedua di Roma, saat ini di bawah kepemimpinan Lars Porsena, raja dari kota Etruski, Clusium.
Berita mengenai penyerangan kembali telah diterima di Roma dengan
sedikit panik. Baru-baru ini mereka telah berhasil menyingkirkan Veii dan
Tarquiniusii, dan Lars Porsena sendiri memiliki reputasi sebagai penyerang
yang ganas. Dalam ketakutan, petani di pinggiran kota meninggalkan peternakan mereka dan melarikan diri di dalam tembok kota.
Ini yaitu keganjilan dari pertahanan Roma bahwa kota itu pada tiga
sisinya dilindungi oleh tembok, namun pada keempat—sisi Timur—hanya
oleh sungai Tiber.
Sungai pada umumnya dianggap tidak bisa diseberangi, namun hanya ada
satu cara yang bisa membuat tentara menyeberang Tiber dan langsung masuk
ke kota: sebuah jembatan kayu yang terbentang dari Timur ke luar kota, yang
dikenal sebagai Janiculum, menyeberang sungai, tepat ke jantung Roma.
Lars Porsena melakukan pendekatan yang pertama dari arah ini, menjauhkan diri dari tembok Tiber. Tentara Etruski menyapu seperti badai, dan
melewati Janiculum tanpa kesulitan; prajurit Romawi yang menempatkan
dirinya di situ segera membuang senjata mereka dan berlari menyeberangi
jembatan demi keselamatan.
Kecuali satu: prajurit Horasius, yang mengambil posisinya di ujung Barat
jembatan, ia siap siaga untuk terus bertahan: “satu-satunya yang tidak mundur,” Livius menulis, “pedang dan perisai siap untuk beraksi.”14
Menurut legenda Roma, Horasius mampu menahan orang-orang Etruski
cukup lama hingga pasukan penghancur dari Roma tiba dan menghancur
kan jembatan. sesudah mengabaikan seruan mereka untuk kembali mundur
menyeberangi jembatan sebelum jembatan diambil alih, ia berjuang sampai
pasukan lawan berkurang satu demi satu. “Serangan orang-orang Etruski
tiba-tiba diredakan oleh jembatan yang hancur dan prajurit Roma serentak
meneriakkan kemenangan, mereka telah menyelesaikan pekerjaan pada waktunya,” Livius menulis. Horasius, sekarang terpisah dari kota, terjun ke sungai
yang penuh baju baja dan berenang melewatinya. “Ini yaitu buah karya yang
mulia,” Livius menyimpulkan, “legendaris, mungkin, pokoknya peristiwa ini
ditakdirkan untuk menjadi kisah sepanjang masa.”
Seperti penarikan tentara Sankherib dari tembok Yerusalem, pertahanan
Horasius untuk sebuah jembatan itu yaitu pertempuran kecil di garis depan
yang bisa terus kita ingat karena sebuah puisi; dalam hal ini, puisi Thomas
Babington Macaulay berjudul Balada-Balada Romawi Kuno, di mana Horasius
menjadi sesosok model patriotik keberanian Inggris:
lalu berbicara Horasius si pemberani,
Kapten dari pintu gerbang:
“Kepada setiap orang di atas bumi
Kematian akan datang cepat atau lambat.
Dan bagaimana orang dapat mati dengan lebih baik
Daripada menghadapi perselisihan yang menakutkan,
Demi abu dari ayah-ayahnya,
Dan kuil-kuil para dewa?”15
Walaupun mungkin cukup berani, pertahanan dari jembatan itu tidak
mengakhiri serangan orang Etruski. Porsena menyebar seluruh kekuatannya
ke Janiculum, memblokir sungai sehingga Roma tidak mendapat pasokan
makanan oleh kapal-kapal, dan mengepung tembok. Pengepungan, dilengkapi oleh berbagai perkelahian yang tidak menentu berlanjut, hingga Porsena
pada akhirnya sepakat untuk menarik mundur kembali pasukannya asalkan
Roma menyerah kalah. Kedua kota itu bersumpah dalam suatu perjanjian
perdamaian untuk melakukan sesuatu untuk mengubah hubungan mereka,
setidaknya menghentikan permusuhan.
Perjanjian menunjukkan bahwa Etruski dan Roma kini memiliki kekuasaan yang berimbang. Mengingat bahwa Etruski telah lebih dominan selama
beberapa dasawarsa, ini merupakan kekalahan untuk kota Etruria. Dan Roma
sendiri membuat perjanjian dengan Karthago, disumpah di tahun yang sama,
yang mengakui bahwa pantai Selatan Tiber bukan sebagai wilayah Etruski,
tetapi sebagai wilayah Roma.
Polybius mencatat perjanjian ini dalam Bangkitnya Kekaisaran Roma.
Sejauh yang ia ketahui, Roma dan Karthago menyetujui persahabatan
pada kondisi tertentu, yang paling penting yaitu bahwa kapal-kapal
Roma tidak boleh berlayar jauh ke Barat melebihi Tanjung yang Cerah
Tanjung Bon modern.*
Kapten Roma yang berubah haluan dan mendarat
di daerah terlarang itu hanya dibolehkan untuk melakukan perbaikan kapal
dan meninggalkan tempat itu dalam waktu lima hari, tanpa membeli atau
membawa pergi “apa pun yang tidak dibutuhkan untuk perbaikan kapal
itu atau untuk pengurbanan.”16 Perdagangan apa pun yang terjadi di Timur
Tanjung yang Cerah harus dilakukan di hadapan seorang pegawai kota praja
(kemungkinan untuk menjaga orang-orang Roma dari perdagangan senjata
dekat tanah Karthago). Sebagai gantinya, orang-orang Karthago sepakat
untuk meninggalkan seluruh penduduk Latin saja, untuk tidak membangun
benteng-benteng dekat mereka, dan untuk menahan diri agar tidak memasuki
wilayah Latin dengan senjata. Jelas sekali, Roma yang paling berkepentingan
untuk masa depan ekspansi politiknya, sementara Karthagos cukup terfokus
pada kekuatan perdagangannya.
Bangsa Etruskin, di sisi lain, tidak tampak. Mereka juga hampir kehilangan kekuasaan pada tanah di sekitar sungai Po; kelompok pejuang Celtic
sedang dalam perjalanan mereka melalui pegunungan Alpen, di bawah bagian
Utara Italia.
Menurut Livius, mereka didorong oleh sebuah ledakan penduduk; orang
Prancis telah menjadi “sangat kaya dan banyak penduduknya sehingga pengaturan jumlah penduduk besar yang efektif merupakan suatu kesulitan yang
serius. “ Maka raja Celt dari Prancis mengirimkan dua keponakannya keluar, dengan dua kelompok pengikutnya, untuk mencari lahan baru. Satu
keponakan pergi ke Utara, menjadi “Jerman Selatan,” sedangkan yang satunya
pergi ke Selatan dengan “tuan rumah yang luas” ke arah pegunungan Alpen.
Mereka melewati gunung-gunung dan “mengalahkan orang-orang Etruski di
dekat sungai Ticinus, dan... menemukan kota Mediolanium”—sekarang sebagai kota Milan.
Dan itu bukanlah akhir dari invasi tersebut., Livius terus menjelaskan
setidaknya empat gelombang berturut-turut dari invasi Prancis, tiap suku
mengusir penduduk Etruskin yang tinggal di kota-kota di Selatan pegunungan
Alpen, dan membangun kota mereka sendiri di lembah-lembah sungai Po.
Gelombang keempat orang-orang Celt menemukan bahwa “semua negeri di
antara pegunungan Alpen dan Po sudah diduduki” dan lalu “melintasi sungai
dengan rakit-rakit,” mengusir orang-orang Etruskin yang tinggal di antara Po
dan bubungan pegunungan Alpen, dan menetap di sana juga.17
Celt telah menjadi sosok yang menyeramkan, menyerang lereng bawah
gunung ke arah tembok kota Etruski. Kata “Celt,” diberikan kepada suku
ini oleh Yunani dan Roma, yang berasal dari akar Indo-Eropa yang berarti
“menyerang,” dan banyak senjata ditemukan di kuburan mereka - tombak
berukuran tujuh kaki, pedang besi dengan ujung-ujung yang lancip dan tepi
yang tajam, kereta-kereta perang, topi baja dan perisai—menjadi saksi kehebatan mereka dalam berperang.18 “Mereka tidur di atas jerami dan daun,”
Polybius menuturkan, “makan daging, dan tidak mempraktikkan aktivitas
lainnya selain perang dan pertanian.”19
Invasi ini dimulai sekitar tahun 505 SM, yang merupakan bagian dari
sebuah gerakan besar seluruh budaya Celtic. Sekitar masa ini, kebiasaan baru
dimulai untuk menutup perjanjian Hallstatt yang lama; ini yaitu budaya
yang menggunakan buhulan, lekukan, dan garis-garis seperti labirin sebagai
hiasan, dan pemimpin yang dikuburkan tidak menggunakan kereta berkuda,
seperti di kuburan Hallstatt, tetapi dengan kereta perang beroda dua. Ini bukanlah sebuah pengambilalihan yang damai. Tanah pekuburan Hallstatt di
Heuneberg, di Selatan Jerman, dirampok habis-habisan; benteng di Danube
dibakar.20
Arkeolog memasukkan tahap dalam kebudayaan Celt ini ke dalam “La
Tene,” nama yang diambil dari salah satu situs paling luas, di sebelah Barat
Rhine Selatan. Di beberapa tempat, La Tene berada di sebelah Selatan situs
Hallstatt, atau tersebar di mana-mana (seperti di Heuneburg dan Durrnberg),
tetapi umumnya situs-situs itu berada sedikit ke Utara.21 Ini merupakan gaya
artistik La Tene yang sekarang kita kenal sebagai “Celtic”, dan karakteristik
dari budaya La Tene yang menggantikan budaya Hallstatt. Ini bukan sebuah
invasi asing, tetapi sebuah pergeseran yang terjadi di dalam negeri: satu budaya Celtic menggantikan budaya Celtic lainnya.
Perjuangan dalam negeri yang berkaitan dengan dominasi lebih meningkatkan invasi ke arah Selatan menuju Italia; dan faktanya dipelihara di dalam
catatan sejarawan Romawi, Justin, di lalu hari:
Alasan orang-orang Prancis datang ke Italia dan menemukan wilayah baru
untuk menetap yaitu karena kerusuhan dalam negeri dan perang saudara yang terus-menerus. saat mereka lelah dengan peperangan dan melakukan perjalanan ke Italia, mereka mengusir orang-orang Etruskin dari tanah
mereka dan menemukan Milan, Di Como, Brescia, Verona, Bergamo, Trento,
dan Vicenza.22
Kerusuhan mungkin telah mendorong beberapa dari orang Celt pergi sejauh lebih ke pantai Barat Eropa, dan bahkan ke seberang laut ke pulau Inggris.
Inggris telah dihuni selama beberapa abad oleh orang-orang yang kurang diketahui asal-usulnya, kecuali bahwa mereka bersama-sama membuat lingkaran
besar dari batu-batu yang berdiri untuk sebuah tujuan yang berhubungan
dengan langit. Konstruksi di Stonehenge, batu-batu yang paling terkenal dari
monumen besar ini, mungkin dimulai sekitar tahun 3100 SM dan berlanjut
selama dua ribu tahun lebih.*
Tetapi orang-orang ini segera disingkirkan oleh
suku perang Celt yang sama, yang mendorong ke arah Selatan orang-orang
Etruski. Sekitar tahun 500 SM, kuburan di Inggris mulai berisi kereta perang
untuk pertama kalinya, seperti kuburan La Tene di Selatan Jerman.
Republik Romawi merespons invasi di Utara dengan mengubah
pemerintahan barunya. “Dalam keadaan ini yang penuh tekanan dan
kegelisahan yang memuncak,” Livius menulis, “... proposal dibuat, untuk
pertama kalinya, untuk menunjuk seorang diktator.” Pada saat itu tahun 501,
hanya delapan tahun sesudah negara Republik berawal.
Livius mencatat keinginan masyarakat (yang dimaksud, tentara) untuk
meluluskan proposal ini ke seluruh konstelasi militer darurat: perang dengan
berbagai kota di dekatnya, permusuhan dengan orang Sabin, ancaman
serangan dari kota-kota Latin lainnya, kerusuhan “orang-orang kecil.” Tetapi
yang pasti riak-riak perpindahan dari Utara, bergemuruh ke bawah Selatan,
membuat semenanjung itu gelisah.
Kantor diktator tidak seperti di zaman modern, yang memungkinkan
seseorang berkuasa tanpa batas. Diktator Romawi hanya memiliki
kuasa untuk enam bulan, dan harus diangkat oleh Perwakilan Negara yang
memerintah. Sering kali diktator yaitu salah satu dari perwakilan tersebut.
Perannya yaitu untuk menjaga Roma supaya aman dalam menghadapi
ancaman luar biasa dari luar, tetapi ia juga memiliki kekuasaan luar biasa di
dalam kota. Perwakilan Negara diperbolehkan untuk menjatuhkan hukuman
mati orang-orang Roma di luar tembok kota Roma, sehubungan dengan
ekspedisi militer, namun di Roma mereka harus menyerahkan penjahatpenjahat atas keinginan dari masyarakat untuk menghukumnya. Meskipun
diktator tersebut telah diizinkan untuk menggunakan kuasa akan hidup dan
mati di Roma sendiri, ia tidak berkewajiban untuk berkonsultasi dengan
rakyatnya.25
Ini mungkin untuk pertama kalinya diktator yang terpilih ditunjuk untuk
menangani perampok-perampok Prancis, Latin, dan Etruskin, tetapi mengatur penduduk Roma yang sulit dikendalikan lagi di bawah kekuasaannya
juga merupakan bagian dari pekerjaannya, seperti yang dijelaskan Livius.
“Penunjukkan seorang diktator untuk pertama kalinya di Roma,” ia menulis,
“dan penanganan kejahatan di jalan-jalan diawali dengan ayunan kapak yang
dampaknya yaitu menakut-nakuti rakyat agar menjadi lebih terkontrol ...
Dari sudut pandang seorang diktator tidak ada tuntutan, dan tidak ada bantuan kecuali ketaatan yang implisit..”14
Ketaatan yang implisit: pertahanan pertama Roma. Itu yaitu pertama
kalinya hak-hak Republik dihentikan untuk kepentingan yang dimanfaatkan,
dan ini bukan yang terakhir.
G A R I S WA K T U 6 0
PERSIA ROMAWI
Tarquin Tua
Astyages
Cambyses I Servius Tullius (578)
Cyprus II (Agung) (559)
Liga Etruski
Tarquin Pembangga (535)
Republik Romawi berawal (509)
Invasi Celtic
Diktator Romawi Pertama
A Mahabharata dan pertengahan abad keenam
SM, marga-marga yang suka berperang dari India sudah sering saling
berperang, berunding, dan mengadakan perjanjian sampai tercapainya
keteraturan kerajaaan-kerajaan itu menjadi lebih stabil.
Enam belas dari kerajaan-kerajaan ini disebutkan dalam cerita-cerita
yang disimpan dalam tradisi lisan penganut agama Budha, dan lalu
dituliskan.*
Di antaranya yaitu negara Kuru, Gandhara, dan Pancala,
kerajaan-kerajaan yang tumbuh dari akar-akar marga kuno yang bertempur
dalam Perang Bharata; negara di wilayah jauh ke Selatan yaitu Ashuaka, di
bawahnya yaitu pegunungan Vindhaya dan Satupura, dan dataran tinggi
kering yang sekarang terkenal dengan nama Dekan; dan negara Magadha, di
bawah lengkung sungai Gangga
Keenam belas kerajaan itudisebut sebagai mahajanapada, kata yang sangat
mungkin berasal dari zaman yang sangat kuno. Penjuang marga Arya terdahulu yang nomad menyebut diri mereka jana (bahasa Sansekerta untuk “suku”);
marga pejuang yang menetap di lembah sungai Gangga dan m



