Minggu, 01 Desember 2024

dunia kuno 20

 .





Bahkan dengan dua raja yang bermain tarik tambang kekuasaan, orangorang Sparta tetap menggalang diri mereka sendiri melawan konsentrasi 


kekuatan dalam tangan kerajaan. Kerajaan-kerajaan kuno umumnya memiliki tiga kekuasaan utama: kekuasaan militer untuk menyatakan perang dan 


memimpin pasukan; kekuasaan pengadilan untuk membuat aturan dan 


menekankannya; dan kekuasaan keimaman untuk memelihara hubungan 


baik dengan dewa-dewa. Israel yaitu  salah satu dari bangsa-bangsa paling 


awal yang mencoba membenahi tiga-jalur kekuasaan ini menjadi undangundang dengan semacam divisi resmi, dengan peran-peran resmi negara 


bagi nabi, imam, dan raja. Di Sparta, raja-raja memegang ketiga kekuasaan 


tersebut—tetapi dengan batasan-batasan yang jelas. Mereka yaitu  imam 


Zeus dan menerima sabda dari dewa-dewa, tetapi empat pejabat Negara 


juga memiliki hak untuk mendengarkan ramalan-ramalan tersebut; raja-raja 


tidak dapat mengabaikan pertanda buruk tanpa memperhatikan pengetahuan dari rakyat. Raja-raja memiliki hak yang sepihak untuk menyatakan 


perang, tetapi mereka dituntut untuk menyerang paling depan dan mundur 


paling belakang, yang tentunya mencegah mereka untuk mengirimkan pasukan untuk melakukan peperangan yang tidak berguna. Dan pada zaman 


Herodotus, kekuasaan yuridis raja telah menciut menjadi dua peran yang ganjil dan khusus. Dia diperbolehkan membuat satu-satunya keputusan tentang siapa yang harus menikahi ahli waris perempuan yang ayahnya meninggal 


tanpa mempertunangkan perempuan tersebut dengan seseorang, dan untuk 


menghakimi kasus-kasus mengenai jalan-jalan umum.” Sisa dari pembuatan 


undang-undang berada di tangan sebuah dewan yang terdiri dari dua puluh 


delapan tetua.10


Tetapi kekuasan yang sebenarnya di Sparta bukan raja, atau imam, atau 


bahkan Dewan Dua Puluh Delapan Wakil. Negeri Sparta diperintah oleh 


hukum perundangan yang ketat dan tidak tertulis yang mengatur setiap aspek 


dari kehidupan orang Sparta.


Pengetahuan kita tentang sebagian besar dari undang-undang tersebut datang dari Plutarkhos, yang hidup berabad-abad sesudahnya. Namun bahkan 


dalam memperkenankan penyimpangan pun, hukum Sparta kelihatannya telah mengatur setiap aspek kehidupan dari yang terbesar hingga yang 


terkecil. Anak-anak bukan milik keluarganya tetapi milik kota Sparta; dewan 


para tetua memiliki hak untuk mengawasi setiap bayi dan memberinya izin 


untuk hidup, atau jika tidak, akan memerintahkan dia untuk dibiarkan mati 


di Apothetai, “tempat untuk mengumbar,” tanah kosong di pegunungan 


Taygetus. Anak laki-laki pada umur tujuh tahun diserahkan ke “kumpulan 


anak laki-laki” yang lari dalam karung, belajar berkelahi dan mencari makan. 


Setiap suami boleh memilih untuk menghamili seorang wanita lain, atau 


memberikan istrinya kepada laki-laki lain, selama keputusannya dibuat demi 


kebaikan dari keturunannya: “Misalkan seorang laki-laki tua dengan istri 


muda senang dan menyetujui seorang laki-laki dari keturunan bangsawan dan 


baik ... begitu laki-laki muda tersebut telah menghamili istrinya dengan benih 


ningrat, ia dapat mengambil anak tersebut sebagai anaknya sendiri. Atau ... 


[jika] seorang laki-laki dengan prinsip kuat mengagumi seorang perempuan 


yang telah menikah dengan orang lain karena kerendahan hati dan anak-anak 


yang sederhana ... ia dapat membujuk suaminya untuk membiarkan istrinya 


tidur dengannya, sehingga ia dapat menaburkan benihnya di tanah yang kaya 


dan subur, kira-kira demikian.”11


Peraturan yang seksama tentang tindakan-tindakan umum tidak dapat 


dihindari akan mengarah pada perundang-undangan kemauan pribadi. 


Orang-orang Sparta memiliki sebagian besar tata cara makan mereka, sesuai 


undang-undang, di “mes” umum, untuk mencegah keserakahan: “Ini menghalangi mereka untuk menggunakan waktu di rumah untuk bersandar di meja 


di atas dipan yang mahal,” Plutarkhos menjelaskan, “menggemukkan diri 


mereka dalam kegelapan seperti binatang-binatang yang tak pernah kenyang 


. . . dan merusak diri mereka secara moral maupun fisik dengan menuruti 


kesenangan dan tingkah serta mengenyangkan diri.” Anak-anak perempuan, 


yang akan menjadi ibu pejuang-pejuang Sparta di masa mendatang, dituntut untuk menari telanjang di depan kerumunan laki-laki muda; ini meningkatkan motivasi mereka untuk mempertahankan kelangsingan tubuhnya 


(Plutarkhos menambahkan bahwa tonggak-tonggak agak disejajarkan oleh 


hukum yang lain yang memberi anak-anak perempuan kesempatan untuk 


“mencela laki-laki muda satu per satu dan membantu mengritik kekurangankekurangan mereka.”)12 Pintu dan atap rumah-rumah boleh dibentuk hanya 


dengan kapak dan gergaji; penggunaan alat-alat yang lebih diperhalus yaitu  


ilegal. Ini dimaksudkan untuk menghindari keinginan untuk memiliki perabot dan kain yang lembut, karena barang-barang tersebut akan kelihatan 


konyol berada di samping kayu-kayu yang dipotong kasar.*


Hukum-hukum ini tidak tertulis. Hukum lisan yang lain menerangkan 


bahwa menuliskan hukum yaitu  melanggar hukum. Perundang-undangan 


hanya berlaku jika itu tertulis dalam sifat dan hati dari warga negaranya, 


“kecenderungan yang tetap yang melukiskan keinginan agar pembuat undang-undang ada dalam diri masing-masing dan setiap orang.” Orang Sparta 


sendiri secara terus menerus mengawasi satu sama lain untuk pelanggaranpelanggaran dari peraturan-peraturan yang tidak tertulis: “Bahkan tidak 


mungkin bagi seorang laki-laki kaya untuk makan dulu di rumah dan pergi 


ke mes umum dengan perut kenyang,” Plutarkhos menyatakan, ”karena setiap orang selalu waspada terhadap segala kemungkinan, dan mereka terbiasa 


dengan memperhatikan orang-orang yang tidak minum atau makan dengan 


mereka, dan mencela mereka karena kurang bisa mengendalikan diri.”13


Beberapa generasi sesudahnya, orang Sparta Demaratus mencoba untuk 


menerangkan kepada Xerxes bagaimana pembuatan undang-undang yang 


terus-menerus ini telah mempengaruhi karakter Sparta. ”Meskipun mereka 


bebas, mereka tidak seluruhnya bebas,” ia menerangkan pada raja Persia. 


”Tuan mereka yaitu  hukum, dan mereka jauh lebih takut padanya daripada 


orang-orang Anda terhadap Anda ... Mereka melakukan apa saja yang diperintah hukum, dan perintahnya tidak pernah berubah: mereka tidak akan kabur dalam peperangan berapa pun banyak orang yang bergerak melawan mereka, 


tetapi mereka akan tetap tinggal di posisinya, menang atau mati.”14 Mereka 


jauh lebih takut pada hukum, daripada orang Anda takut pada Anda. Negeri 


Sparta, yang dirancang untuk melarikan diri dari sistem kekuasan absolut dari 


kerajaan Timur, telah melampaui rancangan tersebut.


Di sebelah Utara, di seberang tanah genting yang menghubungkan 


Peloponnesos dengan bagian jazirah lainnya, Athena juga telah berkembang 


menjadi lebih besar daripada sebuah kota dan juga telah melampaui Sparta 


dengan menyingkirkan rajanya sama sekali.


Pada masa yang sangat kuno, kota Athena zaman Mycenas diperintah 


oleh Theseus yang mitologis, yang istananya menjulang di atas cadas yang 


tinggi—Akropolis, ”Titik tertinggi kota”—di pusat kota Athena. Pada masa 


kemunduran kekuasaan Mycenas, banyak penduduk Athena yang mengembara keluar atau mati akibat kelaparan atau wabah. Tetapi masih ada sejumlah 


orang yang tinggal dan tetap mempertahankan kehidupan di kota.


Dalam kurun waktu dua atau tiga abad, Athena perlahan-lahan pulih dari 


malapetaka mana pun yang telah menyusutkan populasinya. saat  kolonisasi mulai, Athena mengirimkan warganya sendiri ke Timur, untuk menjadi 


bagian dari pemukiman Ionia di sepanjang pantai Asia Kecil.15


Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun kira-kira sebelum 650 


itu tersimpan hanya dalam garis besar saja, dalam cerita-cerita yang ditulis 


jauh sesudah  masa itu sendiri. Sekitar tahun 310 M, Eusebius, uskup Kaesarea 


di Palestina, menyusun sebuah tabel kronologis dari zaman purba yang melukiskan pergantian raja Athena selama kurun waktu tujuh ratus tahun, mulai 


sekitar tahun 1500 SM:


 Kami sekarang akan membuat daftar raja Athena, mulai dari Cecrops…. 


Lamanya masa pemerintahan seluruh [keturunannya] … yaitu  450 


tahun.16


Daftar itu mengandung kadar kebenaran historis sebanyak kadar tindakan-tindakan dewa Yunani Dionysius, yang diduga lahir (dari paha 


Zeus) selama pemerintahan raja Athena kelima.*


 Tetapi daftar itu memang menyatakan bahwa dahulu Athena memiliki raja-raja. Namun, lambat laun 


kekuasaan raja tersebar. sesudah  empat setengah abad, peran raja diberi nama 


baru: pemerintahan Athena masih diwariskan dari ayah kepada anak lelakinya 


dan berlangsung seumur hidup, tetapi penguasanya kini disebut archon: jaksa 


agung. Seorang pejabat lain, polemarch, diserahi kekuasaan militer, sedang 


pejabat ketiga melaksanakan tugas-tugas imam.


sesudah  tiga belas archon sesudahnya, orang Athena memungut suara 


untuk memberikan kepada seorang archon masa jabatan sepuluh tahun; tujuh 


puluh tahun lalu , jabatan itu diubah lagi menjadi masa jabatan satu 


tahun. “Archon tahunan pertama”, tulis Eusebius, “yaitu  Creon pada tahun 


Olimpiade ke-24”—dengan kata lain, tahun 684 SM.


Itulah yang kita dapat dari Eusebius, yang lalu  melantur dengan 


menyebutkan sebuah daftar yang sangat panjang juara-juara Olimpiade dalam 


berbagai mata lomba dari sebanyak 249 Lomba Olympiade berturut-turut. 


Tetapi cerita-cerita secuil-secuil lain, yang digabung-gabungkan, menunjukkan sebuah arah yang lambat dan berkelok-kelok menjauhi monarki 


menuju oligarki: semacam demokrasi aristokratik. Pada tahun 683, sebuah 


dewan beranggotakan sembilan tuan tanah melaksanakan peran archon. 


Mereka dipilih oleh para tuan tanah lainnya, tetapi sebuah majelis yang meliputi semua penduduk Athena—ekklesia—harus mengesahkan pemilihan itu. 


Para mantan archon menjadi anggota Dewan Areiopagos, yang mengadakan 


pertemuan di bawah sisi Barat Akropolis, di puncak sebuah gundukan rendah 


yang disebut ”Bukit Ares”.17


Ini lebih kompleks dan kurang efisien dibandingkan sistem Sparta. Namun 


orang Athena tidak terus menerus menindas penduduk yang tidak beruntung, dan mereka tidak perlu bertempur untuk berekspansi. Pada tahun 640, 


Athena juga telah mencaplok tetangga-tetangganya, tetapi penggabungan itu 


tampaknya terjadi dengan cara yang kurang lebih damai, karena desa-desa 


di sekitarnya melihat manfaatnya masuk dalam perlindungan Athena. Tanah 


kecil yang menjorok di sebelah Selatan kota, sebuah distrik yang dikenal sebagai Attica, hampir seluruhnya berada di bawah kekuasaan Athena. Athena, 


yang dikelilingi pegunungan rendah di sebelah Timur, Barat, dan Utara tidak 


berusaha melebarkan kekuasaannya lebih jauh lagi.


Namun pada tahun 632, ikatan praktik semidemokratis itu menganga 


lebar. Seorang juara Olimpiade bernama Cylon (ia muncul di dalam daftar 


Eusebius sebagai pemenang diaulos, atau ”lomba ganda”, lomba lari 130 meter, 


di Perlombaan Olympiade delapan tahun sebelumnya)18 membuat manuver 


untuk mengubah jabatan archon menjadi suatu hal yang lain.


”Cylon”, tulis Thucydides, ”tengah mencari tahu di Delphi saat  ia diberitahu oleh dewa untuk merebut Akropolis di Athena pada pesta raya Zeus”. Juru ramal Delphi yaitu  seorang imam perempuan yang duduk di sebuah 


kursi kaki-tiga di sebelah sebuah celah besar di puncak Cadas Sibyllina, sebuah gunduk besar di atas Gunung Parnassas yang menonjol. Para pemuja 


mendaki cadas itu dan mengajukan pertanyaan kepada sang imam, yang 


lalu  menanyakan jawabannya kepada dewi bumi Gaia dan menerima 


jawaban itu melalui retakan. Imam itu lalu  memberikan jawaban dalam 


sebuah trans kepada sejumlah imam pembantu, yang melantunkannya dalam 


sebuah syair enam suku dan menyerahkannya kepada sang penanya. Celah, 


trans, dan syair enam suku bersama-sama menghasilkan jawaban yang pada 


umumnya penuh teka-teki, terbuka untuk ditafsirkan (yang juga menjadikan 


sangat sulit untuk membuktikan bahwa juru ramal keliru).


Cylon, sambil memikirkan jawaban yang ia terima, memutuskan bahwa 


”pesta raya Zeus” tentu mengacu kepada Perlombaan Olimpiade yang sudah 


dekat. Apakah waktu yang lebih tepat bagi seorang pemenang Olimpiade 


untuk merebut kekuasaan? Demikianlah ia meminjam sekelompok orang 


bersenjata dari ayah mertuanya, menghimpun teman-temannya, dan menduduki Akropolis, sambil memaklumkan ”maksudnya untuk menjadikan 


dirinya seorang tiran”.19


”Tiran” yaitu  sebuah istilah teknis dalam politik Yunani; istilah itu 


mengacu kepada seorang politikus yang melompati prosedur kekuasaan yang 


wajar (pemilihan dan lalu  pengesahan) dan merebut kekuasaan atas 


pemerintahan kota dengan kekerasan. Tiran tidak dengan sendirinya kejam, 


walaupun mereka cenderung bersikap autokratis untuk mempertahankan 


kekuasaan mereka; dan banyak kota Yunani yang bertebaran di semenanjung 


itu diperintah oleh tiran pada waktu yang berlain-lainan (sesungguhnya, ayah 


mertua Cylon yaitu  tiran kota Megara, tidak jauh dari Athena di sebelah 


Timur; hal ini menjelaskan mengapa ia memiliki kelompok tentara bersenjata 


untuk dipinjamkan).


Tetapi Cylon keliru memilih ”pesta raya Zeus”. Juru ramal tampaknya 


berbicara tentang suatu pesta yang lebih lalu , yang berlangsung jauh di 


luar kota; Cylon telah memilih saat yang salah untuk merebut kekuasaan.


Itu mengisyaratkan bahwa ia bukan seorang penggagas persekongkolan 


yang berpengalaman; seseorang yang telah berkecimpung di dalam intrik 


politik tentu menyadari bahwa suatu perebutan kekuasaan akan paling efektik 


bila semua lelaki di kota pergi keluar kota untuk menghadiri pesta. Alih-alih 


menerima, penduduk Athena menjadi marah: 


 Begitu orang-orang Athena menyadari [perebutan kekuasaan itu], mereka 


... duduk dan mengepung kota. Tetapi dengan berlangsungnya waktu ... 


tanggung jawab untuk menjaga diserahkan kepada kesembilan archon,

dengan kekuasaan penuh untuk mengatur segala sesuatu sesuai dengan 


pertimbangan terbaik mereka. ... Sementara itu Cylon dan rekan-rekannya yang dikepung menderita akibat kekurangan makanan dan air. Karena 


itu Cylon dan saudaranya melarikan diri; tetapi orang-orang lainnya, di 


bawah tekanan keras dan bahkan sebagian sudah sekarat karena kelaparan, 


duduk sebagai pemohon pada mazbah di Akropolis.20


 


Para pelaku persekongkolan itu memohon belas kasihan atas nama 


Athena, yang di altarnya mereka duduk memohon. Para archon sepakat 


untuk melindungi nyawa mereka, tetapi saat  orang-orang itu mulai berjalan 


keluar dengan terhuyung-huyung, para archon memerintahkan agar mereka 


dibunuh. Beberapa di antara mereka menghamburkan diri ke mazbah dewi 


Demeter dan Persephones, namun tetap dibunuh—suatu pelanggaran tata 


cara yang parah, karena siapa pun yang memohon perlindungan kepada seorang dewa di mazbahnya harus dilindungi nyawanya.


Untuk kejahatan itu, orang-orang Athena lainnya mengasingkan para 


archon yang telah memerintahkan pembunuhan. saat  mereka berusaha 


kembali, mereka diusir lagi, kali ini dengan kekerasan; dan jasad-jasad kolega 


mereka digali dan dihamburkan pada mereka.21 Cylon sendiri tetap tinggal, dengan waspada, menghilang dan tidak muncul lagi di dalam sejarah 


Athena.


Tetapi pertengkaran dan keresahan yang mengikutinya menunjukkan 


bahwa Athena tidak damai di bawah pemerintahan para archon. Pada kebanyakan kejadian, para archon berbuat sekehendak mereka sendiri. Dalam 


sejarah konstitusi Athena yang ia tulis beberapa abad sesudahnya, Aristoteles 


mengemukakan bahwa ”demokrasi” Athena sesungguhnya dilaksanakan oleh 


segelintir orang yang memiliki privilese dan kekuasaan. Seperti orang Sparta, 


yang mengira bahwa mereka merdeka tetapi sebenarnya diperbudak oleh 


hukum mereka, orang Athena merdeka hanya dalam namanya: ”Sesungguhnya 


orang-orang miskin sendiri, serta istri dan anak mereka, diperbudak oleh 


orang yang kaya”, tulis Aristoteles. ”Mereka disebut Penyewa-SeperenamBagian, sebab itulah sewa yang mereka bayarkan untuk tanah orang kaya yang 


mereka tanami, dan seluruh negara dikuasai oleh segelintir orang. Dan jika 


mereka sampai gagal membayar sewa, mereka sendiri dan anak-anak mereka 


dapat ditangkap. ... Demikianlah hal yang paling menyedihkan dan pahit, 


dalam situasi kehidupan masyarakat untuk orang banyak yaitu  perbudakan 


mereka, walaupun sesungguhnya mereka bukannya tidak puas dengan segala 


hal lainnya, karena mereka mendapati diri mereka secara praktis tidak memiliki bagian dalam apa pun”.22


 


Sebagai tanggapan terhadap keresahan, orang Athena melakukan hal

yang justru tidak mau dilakukan oleh orang Sparta: mereka memutuskan 


bahwa waktunya sudah tiba agar hukum-hukum Athena, yang selama itu 


bersifat lisan, dituliskan. Pertimbangan baik para aristokrat sudah tidak mencukupi untuk menyelenggarakan kehidupan kota; Athena memerlukan sebuah 


undang-undang.


Orang yang mengemban tugas untuk memilah hal-hal terpenting dari 


tradisi lisan yang sedemikian banyak, menyusunnya, dan menuangkannya 


menjadi sebuah undang-undang tertulis yaitu  seorang anggota dewan bernama Draco. Versi hukum Athena yang dibuat Draco menarik perhatian 


bukannya untuk hal-hal yang dinyatakan sebagai keluar dari hukum (pembunuhan, pencurian, perzinahan) tetapi untuk hukuman mati yang dikenakan 


pada sedemikian banyak kejahatan. Seperti undang-undang Hammurabi, 


hukum Draco tidak mengenal pelanggaran berat atau ringan: ”Hukuman 


mati telah ditetapkan untuk hampir semua kejahatan”, kata Plutarkhos, ”dan 


itu berarti bahwa bahkan orang yang ditahan karena tidak bekerja harus dihukum mati, dan mencuri sayur atau buah memiliki hukuman yang sama 


dengan hukuman untuk perampokan kuil dan pembunuhan”.23


Draco sendiri, saat  ditanya mengapa menetapkan serangkaian hukuman 


yang sedemikian drastis, diberitakan mengatakan, ”Bahkan kejahatan ringan 


layak dikenai hukuman mati, dan aku tidak dapat menemukan sebuah hukuman yang lebih berat untuk kejahatan-kejahatan yang lebih berat”. Itulah 


kekerasan yang memunculkan kata draconian (Inggris) dan drastis; dan dalam 


harapannya yang pantang menyerah bahwa manusia dapat dibuat menjadi 


sempurna, hukum itu anehnya mengingatkan akan pandangan Sparta tentang 


kejahatan.*


Plutarkhos menulis bahwa seorang dari Sparta, saat  ditanya oleh seorang Yunani lainnya dengan hukuman apakah perzinahan dihukum di 


Sparta, menjawab. ”Ia harus membayar denda—sebuah sapi jantan dari kawanannya, yang cukup besar untuk mencapai Gunung Taygetus dan minum 


di Eurotas”. ”Bagaimana mungkin ada sapi sebesar itu?” protes pengunjung 


itu, maka orang Sparta tadi menjawab, ”Bagaimana mungkin ada perzinahan 


di Sparta?”24 Hukum-hukum dimaksudkan untuk melenyapkan semua perbuatan salah karena hukum itu dipahat semata-mata di hati orang Sparta. Di 


Athena, kota Yunani yang sangat berlainan itu, para pemimpin juga percaya 


bahwa dalam suatu masyarakat yang adil, di mana warganya dilatih secara 


memadai dan diperingatkan, tidak akan terdapat kejahatan. Kedua kota telah

menyingkirkan kekuasaan raja mereka; keduanya menemukan perlunya suatu 


penjaga hukum lain untuk menduduki tempat raja.


Dan di kedua kota, keinginan untuk memberikan kepada setiap warga 


kota kemampuan untuk mencapai kesempurnaan menghasilkan suatu kota di 


mana para warganya sama-sama mengawasi kehidupan warga lainnya. Sebuah 


stele yang digali dari reruntuhan Athena menjelaskan bahwa hukuman mati 


menurut undang-undang Draco dapat dilaksanakan oleh warga Athena 


sen-diri: siapa saja dapat membunuh penculik, pelaku zinah, atau pencuri 


yang tertangkap basah.25 Hukum yang dimaksudkan untuk mewujudkan 


kesamaan martabat telah menjadikan setiap warganya seorang penegak 


hukum. 


Sekitar tahun 600 SM, seorang Athena bernama Solon melangkah maju 


untuk membuat usaha kedua guna menetapkan sebuah undang-undang yang 


adil. Ia seorang lelaki muda dari sebuah keluarga baik-baik, tetapi ayahnya 


telah menghabiskan sebagian besar kekayaan keluarga untuk tindakan kemurahan hati yang kurang pertimbangan, sehingga anaknya terpaksa berdagang. 


Ia gemar bermewah-mewah, makan dan minum yang enak, dan terkenal 


karena kisah asmaranya: ”Solon tidak kebal terhadap lelaki muda yang tampan”, catat Plutarkhos dengan lugas.26


Usahanya berkembang, dan seperti banyak pelaku usaha gemilang lalu , Solon melibatkan diri dalam politik setempat. Plutarkhos, yang 


merupakan sumber kita untuk sebagian besar detail kehidupan Solon, menulis bahwa saat  menjadi jelas bahwa Athena sedang menjurus ke perang 


saudara, ”orang-orang Athena yang paling tanggap mulai memandang kepada 


Solon” karena ia yaitu  anggota kelas tengah yang terhormat: ”Ia tidak terlibat dalam kejahatan orang kaya, dan tidak terjerat oleh kesusahan orang 


miskin pula. ... Orang kaya bisa menerima dia karena ia kaya, dan orang 


miskin karena ia jujur”.27


sesudah  dipilih sebagai archon, Solon membatalkan hukum-hukum Draco 


(kecuali hukuman untuk pembunuhan) dan mulai merumuskan hukum lagi. 


Ia menulis undang-undang baru yang mencakup semua hal, dari syarat-syarat 


untuk menduduki jabatan publik sampai batas-batas yang dapat diterima 


untuk perkabungan atas orang mati (sedih boleh saja, tetapi mengurbankan 


sapi, mencederai diri sendiri, atau mengunjungi kubur orang-orang yang 


sama sekali bukan anggota keluarga sudah berlebih-lebihan).


Tetapi perkara yang paling pelik bersangkutan dengan membenahi ketidakmerataan kekayaan di kota, yang sudah dapat diduga bahwa merupakan 


tugas yang tak disyukuri orang. ”Kedua pihak menaruh harapan yang tinggi”, 


tutur Plutarkhos, dan itu berarti bahwa Solon pasti akan mengecewakan salah 


satu pihak. Yang memang ia lakukan, hampir sesaat , dengan memutihkan hutang orang miskin yang menggunung, dan dengan membagi ulang tanah 


sehingga para petani yang telah mengolahnya selama beberapa generasi kini 


menjadi pemilik tanah itu.28


Itu tidak menyenangkan untuk aristokrasi Athena. Juga para penghutang, 


yang mengharapkan lebih jauh daripada sekadar pemutihan hutang; mereka 


telah berharap agar tanah dibagi-bagi ulang secara sama untuk semua, tetapi 


yang paling miskin tetap tidak memiliki tanah milik sendiri. ”Kita memiliki 


ucapannnya sendiri bahwa ia telah mengecewakan sebagian besar penduduk 


Athena dengan kegagalannya untuk memenuhi harapan mereka”, tulis 


Plutarkhos, dan mengutip sebuah puisi yamg dinyatakan berasal dari Solon: 


”Dahulu pikiran mereka dipenuhi harapan yang sia-sia, namun sekarang / 


Dengan amarah semua memandangiku seraya menuntut, seakan-akan aku 


musuh mereka”.


Perkembangan keadaan semacam itu sebenarnya sudah diramalkan oleh 


seorang kenalan Solon, seorang dari luar Athena, yang sebelumnya sudah 


datang ke kota itu dan mendapati Solon tengah sibuk menulis undang K E R A N G K A WA K T U 5 6


 ASSIRIA DAN PERSIA YUNANI


 Shalmaneser V Koloni Yunani menyebar ke Asia Kecil,


 Aegea, Afrika, dan daerah sekitar


MIDIA PERSIA Sargon II Laut Hitam


Deioces (721-704)


 Akhamenes Sankherib


 (704-680) Creon dari Athena


 


 Sparta menginvasi Messena


 Esarhaddon (680-668) 


Phraortes 


 Ashurbanipal (668-626) Athena menguasai Attica


Madius Teispes


orang Cyrus I Pemberontakan Cylon (632)


Scythia


 Ashur-etillu-ilani 


 Cyarxes Undang-undang Draco


 Solon (600)


undang. Pengunjung itu tertawa: ”Undang-undangmu ini tidak berbeda 


dengan sarang labah-labah”, katanya, menurut Plutarkhos. ”Undang-undang 


ini akan mengekang orang yang lemah dan tak berkuasa yang tertangkap 


olehnya, tetapi akan diremas-remas oleh orang yang memiliki kuasa dan 


harta”.29


Solon tidak setuju. Tak seorang pun akan melanggar undang-undang ini, 


tegasnya, jika undang-undang itu disesuaikan secara tepat dengan kebutuhan 


masing-masing warga. Itu sebuah pandangan idealistis tentang sifat manusia, dan Solon sendiri mengujinya dengan pergi dari Athena selama sepuluh 


tahun, begitu undang-undang itu diberlakukan, untuk membiarkannya 


berfungsi sendiri, terlepas dari segala perujukan kepada dirinya. ”Ia menyatakan bahwa ia berkelana melihat dunia”, tulis Herodotus, ”tetapi sebenarnya 


untuk menghindari kemungkinan bahwa ia harus meninjau kembali salah 


satu undang-undang yang ia buat”.30 (Dan mungkin juga untuk menghindari 


gangguan belaka: ”Begitu undang-undangnya diberlakukan”, tulis Plutarkhos, 


”tidak lewat satu hari tanpa ada sejumlah orang yang mendatangi dia untuk 


menyatakan setuju atau tidak setuju, atau mengusulkan untuk memasukkan 


suatu hal tertentu ke dalam undang-undang, atau untuk menghapus salah 


satu hal dari undang-undang. ... Mereka menanyakan hal itu kepadanya dan 


minta agar ia menjelaskan secara mendetail makna dan tujuan setiap hal”.)31


Dan bagaimanakah hasilnya?


Dengan kepergian Solon, politik Athena kembali jatuh ke dalam pertikaian 


lama yang memecah belah. ”Hasil dari undang-undang itu”, kata Plutarkhos 


dengan menyesal, ”membenarkan dugaan si pengunjung, bukan harapan 


Solon”. Eksperimen orang Athena telah gagal kembali untuk menegakkan 


keadilan, apalagi damai; dan sekelompok kecil orang Athena mulai merencakan tirani yang tak terhindarkan itu.

D S T, pemukiman dua bukit Roma telah berkembang. 


Penguasa pendamping Sabin yang mitologis, yakni Titus Tatius yang terbunuh 


dalam suatu kerusuhan belum ada penggantinya; Romulus memerintah seorang diri. Penduduk ganda yang terdiri dari warga suku-suku Latium dan 


imigran Sabin kini dikuasai oleh orang Latium.


Pertumbuhan Roma bukan tidak diperhatikan oleh tetangga-tetangganya. 


Tidak lama sesudah  kematian Titus Tatius, orang-orang dari Fidenae, di sebelah 


hulu Tiber sebelum Roma, menjarah ladang-ladang orang Roma di sepanjang 


sungai. lalu  kota Veii, di sisi seberang Tiber, mulai membakar ladangladang juga. Romulus memerangi ancaman yang satu dan bernegosiasi untuk 


mengatasi ancaman yang lain. Tetapi serangan-serangan itu menandakan 


suatu masalah yang lebih besar. ”Veii”, catat Livius, ”seperti Fidenae, yaitu  


sebuah kota orang Etruski.”1


Kota-kota Etruski terbentang dalam suatu aliansi yang longgar sampai ke 


Utara. Orang Etruski dan orang Latium dahulu memiliki adat istiadat yang 


sama, tetapi para penduduk desa di sebelah Utara Tiber telah berubah karena 


pengaruh pendatang baru. Gelombang orang Cimmeria yang melanda Asia 


Kecil telah menyebabkan orang Frigia dan Lydia mengembara keluar ke 


Thracia, ke seberang perairan sempit Selat Bosforus dan Hellespontus. Ini 


mengawali suatu reaksi berantai pergeseran penduduk ke Barat; suku-suku 


yang terdesak ke Italia Utara menyusup ke daerah Villanova, di mana mereka 


berbaur, berdagang, dan saling menikah.2


 Mereka diikuti oleh para pengungsi 


langsung dari Asia Kecil, yang melarikan diri dari kota-kota yang runtuh karena kebakaran, pendudukan, dan invasi. Legenda Roma menuturkan tokoh

Troya, Aeneas, yang menggendong ayahnya keluar dari kota Troya yang porak 


peranda dan mengembara sebagai pengungsi melalui Thracia, lalu  berlayar ke Sisilia dan dari sana ke pantai Italia, di mana ia menetap, mengambil 


seorang istri, memiliki anak, dan menjadi raja dengan hak penuh sendiri: 


cerminan mitologis dari suatu migrasi nyata dari Timu

Campuran antara orang Villanova dan pendatang baru merupakan kombinasi antara tradisi asli setempat dan aneka keterampilan dari Timur yang 


menimbulkan sebuah bangsa baru: orang Etruski, pembangun perkasa dan 


pedagang kaya yang tidak berniat untuk membiarkan para pemukim baru 


Latium di Selatan, berekspansi tanpa dilawan.


Permusuhan orang Etruski bukan satu-satunya mendung di cakrawala 


Romulus selama pemerintahannya yang berlangsung empat puluh tahun.

Walaupun Romulus memang hebat”, catat Livius, ”ia lebih disayangi oleh 


orang biasa daripada oleh senat, dan paling disayangi oleh tentara-tentaranya”.4 Raja-raja awal Roma tidak lebih mampu untuk memerintah secara 


autokratik daripada raja-raja Yunani; istilah ”senat” yang digunakan Livius 


mungkin suatu anakronisme, tetapi suatu dewan orang tua-tua mengawasi 


kekuasaan raja. Bahkan tokoh setengah-dewa Romulus pun harus memperhitungkan mereka, seperti yang menjadi jelas dari situasi kematiannya: Livius 


menulis bahwa suatu hari ia tengah memeriksa pasukannya saat 


 suatu badai meletus disertai kilat dan petir yang dahsyat. Sebuah mendung 


menyelimutinya sedemikian tebalnya sehingga ia tidak terlihat oleh seorang 


pun yang berada di sana; dan sejak saat itu ia tidak lagi terlihat di bumi. 


... Para senator, yang berdiri di sebelah raja ... menyatakan bahwa ia telah 


terangkat ke atas oleh suatu pusaran angin. ... Semua orang mengelukannya sebagai dewa dan anak dewa, dan memohon kepadanya. ... Namun, 


bahkan pada kesempatan yang agung itu pun, menurut hemat saya, ada 


sejumlah penyanggah yang dengan diam-diam berpendapat bahwa raja 


telah dihancurleburkan oleh para senator.5


 


Entah Romulus dibunuh oleh para senator atau tidak, tidak berselang lama 


mereka menegaskan kekuasaan mereka. Mereka sendirilah yang mengendalikan tahta, dan memberikan perintah melalui komite. Tetapi penduduk 


Sabin di kota itu menolak dengan keras. Tak seorang Sabin pun memegang 


kekuasaan sejak kematian pendamping Romulus, beberapa dasawarsa sebelumnya, dan mereka menginginkan seorang raja dari kalangan Sabin.


Para senator menyetujui adanya raja dari kalangan Sabin, asalkan merekalah yang memilih raja itu. Orang Sabin yang mereka pilih yaitu  Numa 


Pompilius. Ia bukan seorang jenderal yang hebat tetapi seorang yang bijaksana, terkenal keadilannya. ”Pada mulanya Roma didirikan dengan kekuatan 


senjata”, simpul Livius; ”raja yang baru kini memberikan kesempatan baru 


kepada masyarakat, kali ini di atas landasan hukum yang kuat dan ketaatan kepada agama”.6


 Seperti Romulus, Numa Pompilius barangkali yaitu  


legenda, tetapi pemerintahannya merupakan sebuah transisi: Roma tengah 


beralih dari akar-akarnya sebagai suatu koloni yang diciptakan dengan perang 


menuju keberadaan yang mapan dan matang sebagai suatu kota. Di bawah 


pemerintahan Numa Pompilius gerbang-gerbang ke Kuil Janus, dewa perang, 


ditutup untuk pertama kali, dan itu melambangkan bahwa Roma berada 


dalam damai dengan dunia luar.


Tetapi Roma tetap tidak tenang di dalamnya sendiri. Dionysius dari 


Halicarnassus (seorang sejarawan Yunani yang pergi ke Roma pada masa

pemerintahan Kaisar Agustus dan melewatkan dua puluh dua tahun untuk 


menulis sejarah kota itu) menuturkan bahwa ”oknum-oknum dari kalangan 


Albanus, yang bersama Romulus telah mendirikan koloni, menuntut hak 


[untuk] ... menikmati kehormatan yang paling tinggi. ... Para pemukim baru 


itu berpendapat bahwa mereka tidak boleh ... berdiri lebih rendah dibanding 


yang lain. Ini dirasakan lebih-lebih oleh mereka yang berasal dari ras Sabin”.7


Tak seorang dari orang yang tinggal di Roma memandang dirinya sebagai 


orang Romawi; mereka tinggal di dalam lingkungan tembok yang sama, tetapi 


hanya itu sajalah titik kesepahaman mereka. Itu mengakibatkan ”urusanurusan Negara”, dalam kalimat Dionysius yang hidup, ”tercebur ke lautan 


kekacauan yang menggelora”.


Tambahan pula, damai dengan dunia luar hanya bersifat sementara. 


Kedua raja sesudah Numa—orang Latin Tullus Hostilius dan orang Sabin 


Ancus Marcius, keduanya ditunjuk oleh Senat—memimpin serangan melawan kota-kota dan suku-suku di sekitarnya, dan melipatduakan luas Roma 


dengan kekerasan. Kalaupun Roma mengalami masa tenang, itu singkat saja; 


Roma telah kembali dengan cepat ke identitasnya sebagai suatu kubu bersenjata, yang mengancam kedamaian tetangga-tetangganya.


Namun, tetangga-tetangga Roma bukan tidak berdaya. Seorang yang 


berasal dari kota Etruski Tarquiniusii, di pantai Utara di hulu Tiber, telah 


melayangkan pandangannya untuk menguasai Roma.


Orang itu, Lucumo, berasal dari campuran ras. Ibunya dari ras Etruski, 


tetapi ayahnya yaitu  seorang Yunani dari Korintus, seorang bernama 


Demeter yang (menurut Livius) ”terdesak oleh kerusuhan politis untuk 


meninggalkan negaranya”.8


 Lucumo mendapati dirinya menghadapi ejekan 


dari orang Etruski ”berdarah murni” di sekitarnya, dan bersama istrinya ia 


memutuskan untuk pergi ke Roma, di mana ras kalah pentingnya dengan 


kesempatan: ”Akan terdapat berbagai kesempatan untuk seseorang yang giat 


dan pemberani di suatu tempat di mana semua peningkatan terjadi dengan 


cepat dan bergantung pada kemampuannya”, tulis Livius. Bagaimana pun, 


lebih dari satu orang Sabin yang telah muncul sebagai raja orang Latin; darah 


asing bukan halangan untuk kemampuan.


sesudah  menetap di Roma, Lucumo si orang Etruski bekerja dengan energik 


(dan menghambur-hamburkan uang) sampai ia menjadi orang kepercayaan 


raja sendiri. Ancus Marcius bahkan menunjuk Lucumo sebagai pengawal para 


pangeran raja. saat  raja meninggal, kedua pangeran masih muda: ”yang seorang usianya masih kanak-kanak”, catat Dionysius, ”dan yang lebih besar baru 


mulai tumbuh janggutnya”.9


 Lucumo mengirim kedua pangeran itu ke luar 


kota (”untuk suatu perburuan”, catat Livius) dan segera mulai bergerak untuk 


memungut suara. Ia dimaklumkan sebagai raja oleh suatu mayoritas besar

dan, pada tahun 616, naik ke tahta Roma. Para sejarawan masa lalu  mengenalnya sebagai Lucius Tarquiniusius Priscus, atau Tarquiniusius Tua.


sesudah  memerintah hampir selama empat puluh tahun, ia digantikan oleh 


menantunya, Servius Tullius, yang takdirnya sebagai raja telah diberitahukan 


kepada penduduk Roma, saat  waktu masih kanak-kanak kepalanya menyala-nyala. (saat  itu ia sedang tidur; seorang pelayan menawarkan untuk 


mengguyur kepalanya dengan air, tetapi saat  ia bangun sendiri, api itu 


padam. ”Sejak saat itu”, jelas Livius, ”anak itu diperlakukan seperti seorang 


anak berdarah pangeran.... ia tumbuh menjadi seorang lelaki yang sosoknya 


sungguh rajawi”, dan Tarquiniusius Tua mempertunangkannya dengan anak 


perempuannya sendiri dan menjadikannya ahli waris.)


Servius Tullius, seperti ayah mertuanya, yaitu  seorang Etruski. Dua raja 


itu mewakili suatu kenyataan sejarah: kota Roma, yang terbiasa berkelahi dan 


menjadi saleh secara bergantian, selalu berperang dengan tetangga-tetangganya, dan melebarkan tembok-temboknya untuk mencaplok bukit-bukit di 


sekelilingnya satu demi satu, ia sendiri ditelan oleh suatu kebudayaan yang 


lebih besar, lebih kuat, dan lebih tua di sebelah Utaranya. Kota-kota Etruski 


sudah menjamur di sepanjang jalan ke Sungai Tak Berdasar: nama lama untuk 


Po, di seberang Apennini. Di sebelah Barat Laut, kota-kota Etruski menguasai 


tambang tembaga, besi, dan perak di tempat yang disebut Bukit Penghasil 


Baja.10 Baja itu diperdagangkan ke koloni-koloni Yunani di sepanjang pantai Italia, dan hubungan dengan kota-kota dagang Yunani mempertemukan 


orang Etruski secara langsung dengan sistem tulisan Yunani. Orang Etruski 


mulai menggunakan abjad Yunani untuk menandai barang dagangan mereka sendiri, dengan menggunakan bahasa mereka sendiri yang ditulis dengan 


aksara Yunani.*


 Walaupun aksara-aksaranya dapat dikenali, bahasa Etruski 


sendiri tetap merupakan teka-teki; itu tampak hampir secara utuh dalam inskripsi-inskripsi singkat yang belum dapat diuraikan sandinya.11


Roma tidak menjadi bagian dari suatu entitas yang disebut ”Etruria”. 


Tidak terdapat ”kekaisaran Etruria”, hanya sekumpulan kota Etruski yang 


memiliki bahasa dan sejumlah adat istiadat yang sama, dan sesekali bersekutu 


sedang kali lain bermusuhan. Gerakan orang Etruski memasuki Roma yaitu  


infiltrasi sebuah kelompok baru ke suatu kota yang sudah didiami oleh beberapa kelompok bangsa yang berbeda — kelompok yang satu ini lebih besar 


pengaruhnya daripada kelompok-kelompok lainnya.

Livius menyebutkan jasa Tarquiniusius Tua orang Etruski itu sebagai perancang Circus Maximus, stadion besar Romawi yang terletak di antara bukit 


Palatino dan bukit Aventino, serta sebagai peletak fondasi Kuil Yupiter di 


bukit Kapitol; Dionysius menambahkan bahwa ia menandai tembok-tembok dengan kotak-kotak dan memulai penggalian saluran untuk menyalurkan 


air buangan kota (suatu keberhasilan yang kurang dramatis tetapi jauh lebih 


bermanfaat). Servius Tullius orang Etruski itu dipuji karena menuntut bukit 


Quirinale dan bukit Viminale, serta membangun parit serta tanggul untuk 


memperkuat tembok-tembok Roma. Struktur-struktur sejati itu memang 


dibangun oleh orang Etruski. Orang Romawi tidak memiliki bakat membangun, tetapi di Etruria, ritual agama mengatur pembangunan kota, penataan 


letak tembok, dan penempatan gerbang.12 Kota-kota Etruski, tatkala digali, 


menunjukkan jalan-jalan yang terencana, dan ditata dalam bentuk kisi-kisi 


(sesuatu yang belum masuk dalam pertimbangan orang Romawi). Seperti 


kota-kota orang India Harappa dahulu, jalan-jalan Etruski memiliki ukuran 


lebar yang baku untuk jalan utama, jalan biasa yang bersimpangan dengannya, dan jalan kecil yang terletak di antara keduanya. Penggalian di Roma 


sendiri menunjukkan bahwa, sekitar tahun 650, gubuk-gubuk tempat tinggal sebagian besar orang Romawi (yang dibuat dari anyaman dahan, dengan 


dinding dari lumpur yang dimampatkan ke sela-selanya) mulai diruntuhkan 


untuk diganti dengan rumah batu. Gubuk-gubuk di sisi Barat kota dibersihkan, dan ruang yang terbuka itu dikeraskan untuk digunakan sebagai balai 


pertemuan kota: di masa lalu , alun-alun itu dikenal sebagai Forum 


Romanum.13


Bahan-bahan asli dari Roma sendiri mendapat label Etruski. Demikian 


juga kekuasaan monarkinya. Dionysius menulis bahwa Tarquiniusius Tua 


memperkenalkan lambang-lambang kerajaan Etruski kepada kota Roma: ”sebuah mahkota emas dan jubah beludru berenda ... [ia] duduk di sebuah tahta 


gading sambil memegang sebuah tongkat gading”. saat  keluar, ia diiringi 


dua puluh pengawal (yang disebut lictor), yang masing-masing membawa sebuah kapak yang diikat ke tengah seberkas kayu: fasces, yang melambangkan 


kekuasaan raja baik untuk menghukum pelaku kejahatan maupun mengeksekusi penjahat berat.14


Di bawah pemerintahan Servius Tullius, ”luasnya kota sangat diperbesar”, dan ia memerintah sebagai raja selama empat puluh empat tahun, raja 


Etruski yang memerintah populasi majemuk yang terdiri dari orang Etruski, 


Latin, dan Sabin. Roma pun terus berperang: tentara kota melawan kota-kota 


Sabin dan Latin, dan menangkis serangan dari kota-kota Etruski lainnya yang 


tidak menyukai kekuasaan Roma atas bentang-bentang tanah di sungai Tiber. 


Dionyisus dan Livius menuturkan cerita perang demi perang, antara Roma

dan Collatia, antara Roma dan Fidenae, antara Roma dan koalisi lima kota 


Etruski, antara Roma dan Eretum: perang yang tiada habisnya.


Sementara Roma bergulat untuk mulai berada, sebuah kekaisaran tua sedang mengalami kehancuran di sebelah Timur. 


Perang segitiga terus berlangsung di Assiria. Ahli waris Ashurbanipal di 


Nineweh, Ashur-etillu-ilani, telah mengerahkan bala tentara Assiria melawan saudaranya Sin-shum-ishkun yang kini memimpin sebuah bala tentara 


gabungan Assiria dan Babilonia yang bermarkas di Babilon. Sementara itu, 


raja Khaldea, Nabopolassar, sedang bergerak melawan tentara Babilon dari 


Selatan sambil merebut kota Sumeria tua satu demi satu.


sesudah  berperang selama bertahun-tahun (berapa banyaknya sama 


sekali tidak jelas, karena berbagai daftar raja Babilonia berbeda-beda), Sinshum-ishkun terpaksa melepaskan pertahanan Babilon, dan Nabopolassar 


memasuki kota. Tetapi cerita-cerita yang kacau balau mengenai hasil akhirnya 


mengisyaratkan bahwa Sin-shum-ishkun mungkin telah melepaskan daerah 


Selatan, sekadar untuk bergerak ke Utara guna merebut tahta saudaranya; 


Ashur-etillu-ilani hilang dari cerita sejak saat itu. Daerah pusat porak peranda, 


dan kini seorang Khaldea menduduki tahta Babilon.


sesudah  mapan, Nabopolassar mulai berperang kembali—melawan 


kekaisaran Assiria sendiri. Ia telah merencanakan strateginya: pertama-tama 


memerangi seluruh daerah di sepanjang Efrat, sambil “membebaskan” provinsi demi provinsi, lalu  membelok dan memerangi daerah-daerah menuju 


Tigris di sebelah Timur, menuju Nineweh sendiri.


Dalam hal itu ia mendapat bantuan. Cyarxes, raja Midia dari Medes dan

orang Persia, mengenali adanya peluang saat  melihat peluang itu muncul. Ia 


menawarkan persahabatan kepada Nabopolassar, yang menerimanya. Mereka 


sepakat untuk berbagi provinsi Assiria, begitu Assiria jatuh; dan Nabopolassar 


menikahkan anak lelakinya, pangeran mahkota Babilonia (dan jenderal yang 


paling dipercaya ayahnya) Nebuchadnessar, dengan putri Midia Amytis, putri 


Cyarxes.15


Orang Medes dan Persia bersama orang Babilonia berperang melawan 


kekaisaran tua yang telah mendominasi dunia selama kurun yang begitu panjang. Kronik-kronik Babilonia mencatat jatuhnya Assiria yang terjadi secara 


perlahan-lahan: ”Pada tahun kesepuluh”, demikian mulainya, ”Nabopolassar, 


pada bulan Aiaru, mengerahkan bala tentara Babilonia dan bergerak sepanjang tepi Efrat. Orang-orang ... tidak menyerangnya, tetapi menghamparkan 


upeti di depannya”.16


Tahun kesepuluh—sepuluh tahun sesudah  Nebopolassar memahkotai dirinya sendiri sebagai raja Khaldea, menyusul kematian Esarhaddon—tentunya 


tahun 616/615 SM. Bulan Aiaru yaitu  musim semi, akhir April sampai awal 


Mei; dan bangsa-bangsa di sepanjang Efrat dapat melihat tulisan di tembok.


sesudah  berperang selama setahun lagi, Nabopolassar sampai ke Assur dan 


mengepungnya. sesudah  sebulan saja, ia harus mundur dan terpaksa mengasingkan diri di sebuah benteng di dekat sana selama musim panas. Orang 


Medes tampaknya sudah pulang ke negeri mereka, tetapi kini mereka datang 


kembali untuk menolong sekutu mereka orang Babilonia. Alih-alih bergabung 


dengan Nabopolassar, mereka langsung menuju ke pusat wilayah Assiria. 


Cyarxes menyeberang Tigris dan menduduki Assur sendiri, serta berhasil 


sementara Nabopolassar telah gagal. Ia merebut kota itu dan menyerbunya 


untuk mencari tawanan dan harta benda; sesudah itu, ia mengizinkan pasukan 


Midia untuk membunuh setiap orang yang ada di dalam kota. Nabopolassar 


tiba dengan bala tentaranya sesudah  kota itu dihancurkan secara tandas.17


 


Kedua raja bersama-sama merencanakan serangan terakhir ke Nineweh. 


Beberapa bulan dilalui untuk persiapan; bala tentara Midia kembali ke rumah 


untuk membekali diri kembali, sedang Nabopolassar melewatkan beberapa 


bulan untuk menakut-nakuti berbagai kota di sepanjang Efrat yang memberontak untuk menyerah. Tetapi pada tahun 612 pasukan-pasukan penyerbu 


sudah siap. ”Pada tahun keempat belas”, tutur Kronik Babilonia, ”raja Babilon 


mengerahkan bala tentaranya, dan raja Medes datang ke tempat di mana 


orang Babilonia berkubu. Mereka menyusuri tepi sungai Tigris ke Nineweh. 


Dari bulan Mei sampai bulan Juli mereka melakukan serangan ke kota itu. 


Dan pada awal Agustus kota dapat direbut?.


Antara Mei dan Agustus terjadi suatu peristiwa mendebarkan yang tidak 


dicatat oleh Kronik Babilonia tetapi dicatat oleh Herodotus. Cyarxes, menu

rut Sejarah, sudah sepenuhnya siap untuk menghancurkan Nineweh, saat  


pendudukannya diputus oleh ”suatu bala tentara besar orang Scythia yang 


dipimpin oleh raja mereka Madius”.18 (Ia mungkin cucu Madius asli, orang 


Scythia, yang telah menguasai orang Medes sekitar lima puluh tahun sebelumnya.) Orang Scythia dengan baik memilih saat itu untuk menyerang — tetapi 


pasukan Midia dan Persia yang dilatih dan diatur oleh Cyarxes berbalik dari 


pendudukan dan menyapu bersih mereka.19


lalu  pasukan-pasukan kembali ke Nineweh. Sebuah anak sungai 


Tigris mengalir di tengah kota di bawah temboknya dan menyediakan air 


untuk kota itu dan membuatnya sulit untuk diduduki. Tetapi mungkin para 


penyerang membangun sebuah bendungan untuk mengalirkan lebih banyak 


air ke kota Nineweh dan mendadalkan fondasi tembok serta meruntuhkannya. Diodorus dari Sisilia, seorang sejarawan yang menulis enam ratus tahun 


sesudahnya, mengatakan bahwa orang Nineweh menaruh kepercayaan pada 


sebuah ”ramalan dewa yang diberikan kepada para leluhur mereka, bahwa 


kota Nineweh tak pernah akan direbut atau menyerah sampai sungai yang 


mengalir melewati kota menjadi musuh; raja beranggapan bahwa hal itu tak 


pernah akan terjadi”. Itu yaitu  sebuah ramalan sesudah kejadiannya sendiri 


yang mungkin mencerminkan suatu kejadian nyata.20


Dengan runtuhnya tembok kota, orang Babilonia menyerbu kota dan 


menjarahnya. ”Penduduk dibunuh secara besar-besaran”, tutur Kronik, ”dan 


para bangsawan, serta Sin-shum-ishkun, raja Assiria, melarikan diri. ... Mereka 


membuat kota menjadi suatu gundukan dan timbunan reruntuhan”.21 Nabi 


Yahudi, Nahum, yang mensyukuri kehancuran kekaisaran yang telah menjadikan bagian Utara negeri menjadi padang belantara, memberikan sekilas 


gagasan mengenai kengerian yang terjadi: 


Gerbang sungai terbuka lebar, 


istana runtuh.


Ketetapan sudah dijatuhkan: kota akan diasingkan, disapu bersih...


Nineweh menyerupai sebuah kolam,


dan airnya mengering....


Ia dijarah, dirampok, digunduli,


Hati meleleh, lutut melemah,


tubuh gemetaran, setiap wajah menjadi pucat....


Banyak sekali korban, mayat bertumpuk-tumpuk,


jumlah mayat tidak terhitung,


orang-orang terantuk pada mayat-mayat....


Tiada yang dapat mengobati lukamu;


cederamu sudah lengkap. Setiap orang yang mendengar berita tentang dirimu


bertepuk tangan atas keruntuhanmu,


 sebab siapakah yang tidak merasakan kekejamanmu yang tiada batasnya?22


 


Orang Assiria telah menimpakan banjir kepada Babilon seratus tahun sebelumnya; kini Babilon membalas perbuatannya.


Raja Assiria melarikan diri menuju kota Haran.* Orang Medes yang jaya 


mengklaim wilayah Timur, termasuk daerah yang sebelumnya merupakan 


wilayah orang Scythia; Babilon mengambil provinsi-provinsi di sebelah Barat. 


Dan di suatu tempat antara Nineweh dan Haran Sin-shum-ishkun meninggal atau dibunuh. Assuruballit, seorang pejabat istana dan kemenakan raja, 


mengambil gelarnya.


Dengan seorang raja baru dan ibu kota baru, bala tentara Assiria yang 


sudah lemah mencoba untuk menegakkan diri sekali lagi. Tetapi Nabopolassar 


tidak membiarkan Haran lama-lama dalam keadaan damai. sesudah  menaklukkan berbagai kota Assiria yang telah mencoba memanfaatkan kekacauan 


untuk memaklumkan kemerdekaan, baik dari Assiria maupun dari Babilon, 


Nabopolassar bergerak kembali ke Haran pada tahun 610, bergabung dengan Cyarxes dan memimpin pasukan gabungan menuju kota Haran. saat  


Assur-uballit mendengar berita tentang barisan depan yang baru itu, ia dan 


pengikutnya meninggalkan kota sebelum pasukan Midia-Babilonia bahkan 


muncul di rasi Orion. ”Ketakutan akan musuh mencekam mereka”, kata 


Kronik Babilonia, ”dan mereka meninggalkan kota.” Nabopolassar tiba di 


kota yang tidak memiliki pertahanan lagi, menjarahnya, lalu  pulang.


Tetapi Assur-uballit belum tamat riwayatnya. Ia mengirim utusan ke 


Selatan, meminta bantuan kepada pharaoh Mesir.


 Psammetichus I dari Dinasti Kedua Puluh Enam yang dilatih oleh orang 


Assiria, telah meninggal pada usia yang sangat tua sesudah  memerintah selama 


lebih dari lima puluh tahun. Kini anak lelakinya, Necho II, telah menggantikannya.** Walaupun beberapa dasawarsa sebelumnya ayahnya berperang 


melawan orang Assiria, kini Necho II tidak enggan menolong orang Assiria. 


Ia memiliki rencana untuk menjadikan Mesir lebih berarti di kancah urusan dunia (ia telah menyewa tentara laut bayaran Yunani untuk memperkuat 


bala tentaranya, dan salah satu proyek kegemarannya ialah menggali kanal yang menghubungkan sungai Nil dengan Laut Merah, yang meningkatkan 


perdagangan Mesir dengan daerah Timur melalui jalur perairan).23 dan jika 


Mesir dapat menebarkan jala kekuasaannya ke luar batas-batasnya sendiri, 


tempat yang masuk akal untuk ekspansi yaitu  daerah-daerah Semit Barat di 


sepanjang Laut Tengah. Munculnya suatu kekaisaran Babilonia yang kuat kini 


tidak akan memungkinkan Mesir merebut wilayah-wilayah di Laut Tengah 


itu. Bagaimana pun, jika orang Assiria kalah, satu perntang lagi melawan 


orang Scythia (yang telah muncul sekali di perbatasan Mesir selama masa 


kecil Necho II) akan berkurang.


Demikianlah ia menyetujui. Assur-uballit mengusulkan bahwa kota 


Karkhemish merupakan tempat yang baik untuk bertemu dan mengatur bala 


tentara gabungan untuk menyerang, dan Necho II mulai bergerak ke Utara.


Ia tidak melewati Yerusalem tanpa diketahui. ”saat  Yosias menjadi raja”, 


kata penulis 2 Raja, ”Pharaoh Necho, raja Mesir, bergerak ke Efrat untuk 


membantu raja Assiria”.24


Yosias dari Yuda telah memanfaatkan disintegrasi Assiria untuk menegaskan kembali kemerdekaannya; ia telah memimpin suatu pembaharuan 


keagamaan, dengan menyingkirkan semua jejak tempat pemujaan dan peribadatan Assiria; dan ia tidak ingin melihat Assiria bangkit kembali. Ia juga 


tidak ingin melihat Necho II menggantikan Assiria sebagai tuan dan junjungan Yerusalem. Maka, alih-alaih membiarkan Necho lewat, ia bergerak keluar 


untuk menyerang orang Mesir saat  mereka mendekati Megiddo.


Karena tergesa-gesa, Necho tidak berniat melawan bala tenta