.
Bahkan dengan dua raja yang bermain tarik tambang kekuasaan, orangorang Sparta tetap menggalang diri mereka sendiri melawan konsentrasi
kekuatan dalam tangan kerajaan. Kerajaan-kerajaan kuno umumnya memiliki tiga kekuasaan utama: kekuasaan militer untuk menyatakan perang dan
memimpin pasukan; kekuasaan pengadilan untuk membuat aturan dan
menekankannya; dan kekuasaan keimaman untuk memelihara hubungan
baik dengan dewa-dewa. Israel yaitu salah satu dari bangsa-bangsa paling
awal yang mencoba membenahi tiga-jalur kekuasaan ini menjadi undangundang dengan semacam divisi resmi, dengan peran-peran resmi negara
bagi nabi, imam, dan raja. Di Sparta, raja-raja memegang ketiga kekuasaan
tersebut—tetapi dengan batasan-batasan yang jelas. Mereka yaitu imam
Zeus dan menerima sabda dari dewa-dewa, tetapi empat pejabat Negara
juga memiliki hak untuk mendengarkan ramalan-ramalan tersebut; raja-raja
tidak dapat mengabaikan pertanda buruk tanpa memperhatikan pengetahuan dari rakyat. Raja-raja memiliki hak yang sepihak untuk menyatakan
perang, tetapi mereka dituntut untuk menyerang paling depan dan mundur
paling belakang, yang tentunya mencegah mereka untuk mengirimkan pasukan untuk melakukan peperangan yang tidak berguna. Dan pada zaman
Herodotus, kekuasaan yuridis raja telah menciut menjadi dua peran yang ganjil dan khusus. Dia diperbolehkan membuat satu-satunya keputusan tentang siapa yang harus menikahi ahli waris perempuan yang ayahnya meninggal
tanpa mempertunangkan perempuan tersebut dengan seseorang, dan untuk
menghakimi kasus-kasus mengenai jalan-jalan umum.” Sisa dari pembuatan
undang-undang berada di tangan sebuah dewan yang terdiri dari dua puluh
delapan tetua.10
Tetapi kekuasan yang sebenarnya di Sparta bukan raja, atau imam, atau
bahkan Dewan Dua Puluh Delapan Wakil. Negeri Sparta diperintah oleh
hukum perundangan yang ketat dan tidak tertulis yang mengatur setiap aspek
dari kehidupan orang Sparta.
Pengetahuan kita tentang sebagian besar dari undang-undang tersebut datang dari Plutarkhos, yang hidup berabad-abad sesudahnya. Namun bahkan
dalam memperkenankan penyimpangan pun, hukum Sparta kelihatannya telah mengatur setiap aspek kehidupan dari yang terbesar hingga yang
terkecil. Anak-anak bukan milik keluarganya tetapi milik kota Sparta; dewan
para tetua memiliki hak untuk mengawasi setiap bayi dan memberinya izin
untuk hidup, atau jika tidak, akan memerintahkan dia untuk dibiarkan mati
di Apothetai, “tempat untuk mengumbar,” tanah kosong di pegunungan
Taygetus. Anak laki-laki pada umur tujuh tahun diserahkan ke “kumpulan
anak laki-laki” yang lari dalam karung, belajar berkelahi dan mencari makan.
Setiap suami boleh memilih untuk menghamili seorang wanita lain, atau
memberikan istrinya kepada laki-laki lain, selama keputusannya dibuat demi
kebaikan dari keturunannya: “Misalkan seorang laki-laki tua dengan istri
muda senang dan menyetujui seorang laki-laki dari keturunan bangsawan dan
baik ... begitu laki-laki muda tersebut telah menghamili istrinya dengan benih
ningrat, ia dapat mengambil anak tersebut sebagai anaknya sendiri. Atau ...
[jika] seorang laki-laki dengan prinsip kuat mengagumi seorang perempuan
yang telah menikah dengan orang lain karena kerendahan hati dan anak-anak
yang sederhana ... ia dapat membujuk suaminya untuk membiarkan istrinya
tidur dengannya, sehingga ia dapat menaburkan benihnya di tanah yang kaya
dan subur, kira-kira demikian.”11
Peraturan yang seksama tentang tindakan-tindakan umum tidak dapat
dihindari akan mengarah pada perundang-undangan kemauan pribadi.
Orang-orang Sparta memiliki sebagian besar tata cara makan mereka, sesuai
undang-undang, di “mes” umum, untuk mencegah keserakahan: “Ini menghalangi mereka untuk menggunakan waktu di rumah untuk bersandar di meja
di atas dipan yang mahal,” Plutarkhos menjelaskan, “menggemukkan diri
mereka dalam kegelapan seperti binatang-binatang yang tak pernah kenyang
. . . dan merusak diri mereka secara moral maupun fisik dengan menuruti
kesenangan dan tingkah serta mengenyangkan diri.” Anak-anak perempuan,
yang akan menjadi ibu pejuang-pejuang Sparta di masa mendatang, dituntut untuk menari telanjang di depan kerumunan laki-laki muda; ini meningkatkan motivasi mereka untuk mempertahankan kelangsingan tubuhnya
(Plutarkhos menambahkan bahwa tonggak-tonggak agak disejajarkan oleh
hukum yang lain yang memberi anak-anak perempuan kesempatan untuk
“mencela laki-laki muda satu per satu dan membantu mengritik kekurangankekurangan mereka.”)12 Pintu dan atap rumah-rumah boleh dibentuk hanya
dengan kapak dan gergaji; penggunaan alat-alat yang lebih diperhalus yaitu
ilegal. Ini dimaksudkan untuk menghindari keinginan untuk memiliki perabot dan kain yang lembut, karena barang-barang tersebut akan kelihatan
konyol berada di samping kayu-kayu yang dipotong kasar.*
Hukum-hukum ini tidak tertulis. Hukum lisan yang lain menerangkan
bahwa menuliskan hukum yaitu melanggar hukum. Perundang-undangan
hanya berlaku jika itu tertulis dalam sifat dan hati dari warga negaranya,
“kecenderungan yang tetap yang melukiskan keinginan agar pembuat undang-undang ada dalam diri masing-masing dan setiap orang.” Orang Sparta
sendiri secara terus menerus mengawasi satu sama lain untuk pelanggaranpelanggaran dari peraturan-peraturan yang tidak tertulis: “Bahkan tidak
mungkin bagi seorang laki-laki kaya untuk makan dulu di rumah dan pergi
ke mes umum dengan perut kenyang,” Plutarkhos menyatakan, ”karena setiap orang selalu waspada terhadap segala kemungkinan, dan mereka terbiasa
dengan memperhatikan orang-orang yang tidak minum atau makan dengan
mereka, dan mencela mereka karena kurang bisa mengendalikan diri.”13
Beberapa generasi sesudahnya, orang Sparta Demaratus mencoba untuk
menerangkan kepada Xerxes bagaimana pembuatan undang-undang yang
terus-menerus ini telah mempengaruhi karakter Sparta. ”Meskipun mereka
bebas, mereka tidak seluruhnya bebas,” ia menerangkan pada raja Persia.
”Tuan mereka yaitu hukum, dan mereka jauh lebih takut padanya daripada
orang-orang Anda terhadap Anda ... Mereka melakukan apa saja yang diperintah hukum, dan perintahnya tidak pernah berubah: mereka tidak akan kabur dalam peperangan berapa pun banyak orang yang bergerak melawan mereka,
tetapi mereka akan tetap tinggal di posisinya, menang atau mati.”14 Mereka
jauh lebih takut pada hukum, daripada orang Anda takut pada Anda. Negeri
Sparta, yang dirancang untuk melarikan diri dari sistem kekuasan absolut dari
kerajaan Timur, telah melampaui rancangan tersebut.
Di sebelah Utara, di seberang tanah genting yang menghubungkan
Peloponnesos dengan bagian jazirah lainnya, Athena juga telah berkembang
menjadi lebih besar daripada sebuah kota dan juga telah melampaui Sparta
dengan menyingkirkan rajanya sama sekali.
Pada masa yang sangat kuno, kota Athena zaman Mycenas diperintah
oleh Theseus yang mitologis, yang istananya menjulang di atas cadas yang
tinggi—Akropolis, ”Titik tertinggi kota”—di pusat kota Athena. Pada masa
kemunduran kekuasaan Mycenas, banyak penduduk Athena yang mengembara keluar atau mati akibat kelaparan atau wabah. Tetapi masih ada sejumlah
orang yang tinggal dan tetap mempertahankan kehidupan di kota.
Dalam kurun waktu dua atau tiga abad, Athena perlahan-lahan pulih dari
malapetaka mana pun yang telah menyusutkan populasinya. saat kolonisasi mulai, Athena mengirimkan warganya sendiri ke Timur, untuk menjadi
bagian dari pemukiman Ionia di sepanjang pantai Asia Kecil.15
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun kira-kira sebelum 650
itu tersimpan hanya dalam garis besar saja, dalam cerita-cerita yang ditulis
jauh sesudah masa itu sendiri. Sekitar tahun 310 M, Eusebius, uskup Kaesarea
di Palestina, menyusun sebuah tabel kronologis dari zaman purba yang melukiskan pergantian raja Athena selama kurun waktu tujuh ratus tahun, mulai
sekitar tahun 1500 SM:
Kami sekarang akan membuat daftar raja Athena, mulai dari Cecrops….
Lamanya masa pemerintahan seluruh [keturunannya] … yaitu 450
tahun.16
Daftar itu mengandung kadar kebenaran historis sebanyak kadar tindakan-tindakan dewa Yunani Dionysius, yang diduga lahir (dari paha
Zeus) selama pemerintahan raja Athena kelima.*
Tetapi daftar itu memang menyatakan bahwa dahulu Athena memiliki raja-raja. Namun, lambat laun
kekuasaan raja tersebar. sesudah empat setengah abad, peran raja diberi nama
baru: pemerintahan Athena masih diwariskan dari ayah kepada anak lelakinya
dan berlangsung seumur hidup, tetapi penguasanya kini disebut archon: jaksa
agung. Seorang pejabat lain, polemarch, diserahi kekuasaan militer, sedang
pejabat ketiga melaksanakan tugas-tugas imam.
sesudah tiga belas archon sesudahnya, orang Athena memungut suara
untuk memberikan kepada seorang archon masa jabatan sepuluh tahun; tujuh
puluh tahun lalu , jabatan itu diubah lagi menjadi masa jabatan satu
tahun. “Archon tahunan pertama”, tulis Eusebius, “yaitu Creon pada tahun
Olimpiade ke-24”—dengan kata lain, tahun 684 SM.
Itulah yang kita dapat dari Eusebius, yang lalu melantur dengan
menyebutkan sebuah daftar yang sangat panjang juara-juara Olimpiade dalam
berbagai mata lomba dari sebanyak 249 Lomba Olympiade berturut-turut.
Tetapi cerita-cerita secuil-secuil lain, yang digabung-gabungkan, menunjukkan sebuah arah yang lambat dan berkelok-kelok menjauhi monarki
menuju oligarki: semacam demokrasi aristokratik. Pada tahun 683, sebuah
dewan beranggotakan sembilan tuan tanah melaksanakan peran archon.
Mereka dipilih oleh para tuan tanah lainnya, tetapi sebuah majelis yang meliputi semua penduduk Athena—ekklesia—harus mengesahkan pemilihan itu.
Para mantan archon menjadi anggota Dewan Areiopagos, yang mengadakan
pertemuan di bawah sisi Barat Akropolis, di puncak sebuah gundukan rendah
yang disebut ”Bukit Ares”.17
Ini lebih kompleks dan kurang efisien dibandingkan sistem Sparta. Namun
orang Athena tidak terus menerus menindas penduduk yang tidak beruntung, dan mereka tidak perlu bertempur untuk berekspansi. Pada tahun 640,
Athena juga telah mencaplok tetangga-tetangganya, tetapi penggabungan itu
tampaknya terjadi dengan cara yang kurang lebih damai, karena desa-desa
di sekitarnya melihat manfaatnya masuk dalam perlindungan Athena. Tanah
kecil yang menjorok di sebelah Selatan kota, sebuah distrik yang dikenal sebagai Attica, hampir seluruhnya berada di bawah kekuasaan Athena. Athena,
yang dikelilingi pegunungan rendah di sebelah Timur, Barat, dan Utara tidak
berusaha melebarkan kekuasaannya lebih jauh lagi.
Namun pada tahun 632, ikatan praktik semidemokratis itu menganga
lebar. Seorang juara Olimpiade bernama Cylon (ia muncul di dalam daftar
Eusebius sebagai pemenang diaulos, atau ”lomba ganda”, lomba lari 130 meter,
di Perlombaan Olympiade delapan tahun sebelumnya)18 membuat manuver
untuk mengubah jabatan archon menjadi suatu hal yang lain.
”Cylon”, tulis Thucydides, ”tengah mencari tahu di Delphi saat ia diberitahu oleh dewa untuk merebut Akropolis di Athena pada pesta raya Zeus”. Juru ramal Delphi yaitu seorang imam perempuan yang duduk di sebuah
kursi kaki-tiga di sebelah sebuah celah besar di puncak Cadas Sibyllina, sebuah gunduk besar di atas Gunung Parnassas yang menonjol. Para pemuja
mendaki cadas itu dan mengajukan pertanyaan kepada sang imam, yang
lalu menanyakan jawabannya kepada dewi bumi Gaia dan menerima
jawaban itu melalui retakan. Imam itu lalu memberikan jawaban dalam
sebuah trans kepada sejumlah imam pembantu, yang melantunkannya dalam
sebuah syair enam suku dan menyerahkannya kepada sang penanya. Celah,
trans, dan syair enam suku bersama-sama menghasilkan jawaban yang pada
umumnya penuh teka-teki, terbuka untuk ditafsirkan (yang juga menjadikan
sangat sulit untuk membuktikan bahwa juru ramal keliru).
Cylon, sambil memikirkan jawaban yang ia terima, memutuskan bahwa
”pesta raya Zeus” tentu mengacu kepada Perlombaan Olimpiade yang sudah
dekat. Apakah waktu yang lebih tepat bagi seorang pemenang Olimpiade
untuk merebut kekuasaan? Demikianlah ia meminjam sekelompok orang
bersenjata dari ayah mertuanya, menghimpun teman-temannya, dan menduduki Akropolis, sambil memaklumkan ”maksudnya untuk menjadikan
dirinya seorang tiran”.19
”Tiran” yaitu sebuah istilah teknis dalam politik Yunani; istilah itu
mengacu kepada seorang politikus yang melompati prosedur kekuasaan yang
wajar (pemilihan dan lalu pengesahan) dan merebut kekuasaan atas
pemerintahan kota dengan kekerasan. Tiran tidak dengan sendirinya kejam,
walaupun mereka cenderung bersikap autokratis untuk mempertahankan
kekuasaan mereka; dan banyak kota Yunani yang bertebaran di semenanjung
itu diperintah oleh tiran pada waktu yang berlain-lainan (sesungguhnya, ayah
mertua Cylon yaitu tiran kota Megara, tidak jauh dari Athena di sebelah
Timur; hal ini menjelaskan mengapa ia memiliki kelompok tentara bersenjata
untuk dipinjamkan).
Tetapi Cylon keliru memilih ”pesta raya Zeus”. Juru ramal tampaknya
berbicara tentang suatu pesta yang lebih lalu , yang berlangsung jauh di
luar kota; Cylon telah memilih saat yang salah untuk merebut kekuasaan.
Itu mengisyaratkan bahwa ia bukan seorang penggagas persekongkolan
yang berpengalaman; seseorang yang telah berkecimpung di dalam intrik
politik tentu menyadari bahwa suatu perebutan kekuasaan akan paling efektik
bila semua lelaki di kota pergi keluar kota untuk menghadiri pesta. Alih-alih
menerima, penduduk Athena menjadi marah:
Begitu orang-orang Athena menyadari [perebutan kekuasaan itu], mereka
... duduk dan mengepung kota. Tetapi dengan berlangsungnya waktu ...
tanggung jawab untuk menjaga diserahkan kepada kesembilan archon,
dengan kekuasaan penuh untuk mengatur segala sesuatu sesuai dengan
pertimbangan terbaik mereka. ... Sementara itu Cylon dan rekan-rekannya yang dikepung menderita akibat kekurangan makanan dan air. Karena
itu Cylon dan saudaranya melarikan diri; tetapi orang-orang lainnya, di
bawah tekanan keras dan bahkan sebagian sudah sekarat karena kelaparan,
duduk sebagai pemohon pada mazbah di Akropolis.20
Para pelaku persekongkolan itu memohon belas kasihan atas nama
Athena, yang di altarnya mereka duduk memohon. Para archon sepakat
untuk melindungi nyawa mereka, tetapi saat orang-orang itu mulai berjalan
keluar dengan terhuyung-huyung, para archon memerintahkan agar mereka
dibunuh. Beberapa di antara mereka menghamburkan diri ke mazbah dewi
Demeter dan Persephones, namun tetap dibunuh—suatu pelanggaran tata
cara yang parah, karena siapa pun yang memohon perlindungan kepada seorang dewa di mazbahnya harus dilindungi nyawanya.
Untuk kejahatan itu, orang-orang Athena lainnya mengasingkan para
archon yang telah memerintahkan pembunuhan. saat mereka berusaha
kembali, mereka diusir lagi, kali ini dengan kekerasan; dan jasad-jasad kolega
mereka digali dan dihamburkan pada mereka.21 Cylon sendiri tetap tinggal, dengan waspada, menghilang dan tidak muncul lagi di dalam sejarah
Athena.
Tetapi pertengkaran dan keresahan yang mengikutinya menunjukkan
bahwa Athena tidak damai di bawah pemerintahan para archon. Pada kebanyakan kejadian, para archon berbuat sekehendak mereka sendiri. Dalam
sejarah konstitusi Athena yang ia tulis beberapa abad sesudahnya, Aristoteles
mengemukakan bahwa ”demokrasi” Athena sesungguhnya dilaksanakan oleh
segelintir orang yang memiliki privilese dan kekuasaan. Seperti orang Sparta,
yang mengira bahwa mereka merdeka tetapi sebenarnya diperbudak oleh
hukum mereka, orang Athena merdeka hanya dalam namanya: ”Sesungguhnya
orang-orang miskin sendiri, serta istri dan anak mereka, diperbudak oleh
orang yang kaya”, tulis Aristoteles. ”Mereka disebut Penyewa-SeperenamBagian, sebab itulah sewa yang mereka bayarkan untuk tanah orang kaya yang
mereka tanami, dan seluruh negara dikuasai oleh segelintir orang. Dan jika
mereka sampai gagal membayar sewa, mereka sendiri dan anak-anak mereka
dapat ditangkap. ... Demikianlah hal yang paling menyedihkan dan pahit,
dalam situasi kehidupan masyarakat untuk orang banyak yaitu perbudakan
mereka, walaupun sesungguhnya mereka bukannya tidak puas dengan segala
hal lainnya, karena mereka mendapati diri mereka secara praktis tidak memiliki bagian dalam apa pun”.22
Sebagai tanggapan terhadap keresahan, orang Athena melakukan hal
yang justru tidak mau dilakukan oleh orang Sparta: mereka memutuskan
bahwa waktunya sudah tiba agar hukum-hukum Athena, yang selama itu
bersifat lisan, dituliskan. Pertimbangan baik para aristokrat sudah tidak mencukupi untuk menyelenggarakan kehidupan kota; Athena memerlukan sebuah
undang-undang.
Orang yang mengemban tugas untuk memilah hal-hal terpenting dari
tradisi lisan yang sedemikian banyak, menyusunnya, dan menuangkannya
menjadi sebuah undang-undang tertulis yaitu seorang anggota dewan bernama Draco. Versi hukum Athena yang dibuat Draco menarik perhatian
bukannya untuk hal-hal yang dinyatakan sebagai keluar dari hukum (pembunuhan, pencurian, perzinahan) tetapi untuk hukuman mati yang dikenakan
pada sedemikian banyak kejahatan. Seperti undang-undang Hammurabi,
hukum Draco tidak mengenal pelanggaran berat atau ringan: ”Hukuman
mati telah ditetapkan untuk hampir semua kejahatan”, kata Plutarkhos, ”dan
itu berarti bahwa bahkan orang yang ditahan karena tidak bekerja harus dihukum mati, dan mencuri sayur atau buah memiliki hukuman yang sama
dengan hukuman untuk perampokan kuil dan pembunuhan”.23
Draco sendiri, saat ditanya mengapa menetapkan serangkaian hukuman
yang sedemikian drastis, diberitakan mengatakan, ”Bahkan kejahatan ringan
layak dikenai hukuman mati, dan aku tidak dapat menemukan sebuah hukuman yang lebih berat untuk kejahatan-kejahatan yang lebih berat”. Itulah
kekerasan yang memunculkan kata draconian (Inggris) dan drastis; dan dalam
harapannya yang pantang menyerah bahwa manusia dapat dibuat menjadi
sempurna, hukum itu anehnya mengingatkan akan pandangan Sparta tentang
kejahatan.*
Plutarkhos menulis bahwa seorang dari Sparta, saat ditanya oleh seorang Yunani lainnya dengan hukuman apakah perzinahan dihukum di
Sparta, menjawab. ”Ia harus membayar denda—sebuah sapi jantan dari kawanannya, yang cukup besar untuk mencapai Gunung Taygetus dan minum
di Eurotas”. ”Bagaimana mungkin ada sapi sebesar itu?” protes pengunjung
itu, maka orang Sparta tadi menjawab, ”Bagaimana mungkin ada perzinahan
di Sparta?”24 Hukum-hukum dimaksudkan untuk melenyapkan semua perbuatan salah karena hukum itu dipahat semata-mata di hati orang Sparta. Di
Athena, kota Yunani yang sangat berlainan itu, para pemimpin juga percaya
bahwa dalam suatu masyarakat yang adil, di mana warganya dilatih secara
memadai dan diperingatkan, tidak akan terdapat kejahatan. Kedua kota telah
menyingkirkan kekuasaan raja mereka; keduanya menemukan perlunya suatu
penjaga hukum lain untuk menduduki tempat raja.
Dan di kedua kota, keinginan untuk memberikan kepada setiap warga
kota kemampuan untuk mencapai kesempurnaan menghasilkan suatu kota di
mana para warganya sama-sama mengawasi kehidupan warga lainnya. Sebuah
stele yang digali dari reruntuhan Athena menjelaskan bahwa hukuman mati
menurut undang-undang Draco dapat dilaksanakan oleh warga Athena
sen-diri: siapa saja dapat membunuh penculik, pelaku zinah, atau pencuri
yang tertangkap basah.25 Hukum yang dimaksudkan untuk mewujudkan
kesamaan martabat telah menjadikan setiap warganya seorang penegak
hukum.
Sekitar tahun 600 SM, seorang Athena bernama Solon melangkah maju
untuk membuat usaha kedua guna menetapkan sebuah undang-undang yang
adil. Ia seorang lelaki muda dari sebuah keluarga baik-baik, tetapi ayahnya
telah menghabiskan sebagian besar kekayaan keluarga untuk tindakan kemurahan hati yang kurang pertimbangan, sehingga anaknya terpaksa berdagang.
Ia gemar bermewah-mewah, makan dan minum yang enak, dan terkenal
karena kisah asmaranya: ”Solon tidak kebal terhadap lelaki muda yang tampan”, catat Plutarkhos dengan lugas.26
Usahanya berkembang, dan seperti banyak pelaku usaha gemilang lalu , Solon melibatkan diri dalam politik setempat. Plutarkhos, yang
merupakan sumber kita untuk sebagian besar detail kehidupan Solon, menulis bahwa saat menjadi jelas bahwa Athena sedang menjurus ke perang
saudara, ”orang-orang Athena yang paling tanggap mulai memandang kepada
Solon” karena ia yaitu anggota kelas tengah yang terhormat: ”Ia tidak terlibat dalam kejahatan orang kaya, dan tidak terjerat oleh kesusahan orang
miskin pula. ... Orang kaya bisa menerima dia karena ia kaya, dan orang
miskin karena ia jujur”.27
sesudah dipilih sebagai archon, Solon membatalkan hukum-hukum Draco
(kecuali hukuman untuk pembunuhan) dan mulai merumuskan hukum lagi.
Ia menulis undang-undang baru yang mencakup semua hal, dari syarat-syarat
untuk menduduki jabatan publik sampai batas-batas yang dapat diterima
untuk perkabungan atas orang mati (sedih boleh saja, tetapi mengurbankan
sapi, mencederai diri sendiri, atau mengunjungi kubur orang-orang yang
sama sekali bukan anggota keluarga sudah berlebih-lebihan).
Tetapi perkara yang paling pelik bersangkutan dengan membenahi ketidakmerataan kekayaan di kota, yang sudah dapat diduga bahwa merupakan
tugas yang tak disyukuri orang. ”Kedua pihak menaruh harapan yang tinggi”,
tutur Plutarkhos, dan itu berarti bahwa Solon pasti akan mengecewakan salah
satu pihak. Yang memang ia lakukan, hampir sesaat , dengan memutihkan hutang orang miskin yang menggunung, dan dengan membagi ulang tanah
sehingga para petani yang telah mengolahnya selama beberapa generasi kini
menjadi pemilik tanah itu.28
Itu tidak menyenangkan untuk aristokrasi Athena. Juga para penghutang,
yang mengharapkan lebih jauh daripada sekadar pemutihan hutang; mereka
telah berharap agar tanah dibagi-bagi ulang secara sama untuk semua, tetapi
yang paling miskin tetap tidak memiliki tanah milik sendiri. ”Kita memiliki
ucapannnya sendiri bahwa ia telah mengecewakan sebagian besar penduduk
Athena dengan kegagalannya untuk memenuhi harapan mereka”, tulis
Plutarkhos, dan mengutip sebuah puisi yamg dinyatakan berasal dari Solon:
”Dahulu pikiran mereka dipenuhi harapan yang sia-sia, namun sekarang /
Dengan amarah semua memandangiku seraya menuntut, seakan-akan aku
musuh mereka”.
Perkembangan keadaan semacam itu sebenarnya sudah diramalkan oleh
seorang kenalan Solon, seorang dari luar Athena, yang sebelumnya sudah
datang ke kota itu dan mendapati Solon tengah sibuk menulis undang K E R A N G K A WA K T U 5 6
ASSIRIA DAN PERSIA YUNANI
Shalmaneser V Koloni Yunani menyebar ke Asia Kecil,
Aegea, Afrika, dan daerah sekitar
MIDIA PERSIA Sargon II Laut Hitam
Deioces (721-704)
Akhamenes Sankherib
(704-680) Creon dari Athena
Sparta menginvasi Messena
Esarhaddon (680-668)
Phraortes
Ashurbanipal (668-626) Athena menguasai Attica
Madius Teispes
orang Cyrus I Pemberontakan Cylon (632)
Scythia
Ashur-etillu-ilani
Cyarxes Undang-undang Draco
Solon (600)
undang. Pengunjung itu tertawa: ”Undang-undangmu ini tidak berbeda
dengan sarang labah-labah”, katanya, menurut Plutarkhos. ”Undang-undang
ini akan mengekang orang yang lemah dan tak berkuasa yang tertangkap
olehnya, tetapi akan diremas-remas oleh orang yang memiliki kuasa dan
harta”.29
Solon tidak setuju. Tak seorang pun akan melanggar undang-undang ini,
tegasnya, jika undang-undang itu disesuaikan secara tepat dengan kebutuhan
masing-masing warga. Itu sebuah pandangan idealistis tentang sifat manusia, dan Solon sendiri mengujinya dengan pergi dari Athena selama sepuluh
tahun, begitu undang-undang itu diberlakukan, untuk membiarkannya
berfungsi sendiri, terlepas dari segala perujukan kepada dirinya. ”Ia menyatakan bahwa ia berkelana melihat dunia”, tulis Herodotus, ”tetapi sebenarnya
untuk menghindari kemungkinan bahwa ia harus meninjau kembali salah
satu undang-undang yang ia buat”.30 (Dan mungkin juga untuk menghindari
gangguan belaka: ”Begitu undang-undangnya diberlakukan”, tulis Plutarkhos,
”tidak lewat satu hari tanpa ada sejumlah orang yang mendatangi dia untuk
menyatakan setuju atau tidak setuju, atau mengusulkan untuk memasukkan
suatu hal tertentu ke dalam undang-undang, atau untuk menghapus salah
satu hal dari undang-undang. ... Mereka menanyakan hal itu kepadanya dan
minta agar ia menjelaskan secara mendetail makna dan tujuan setiap hal”.)31
Dan bagaimanakah hasilnya?
Dengan kepergian Solon, politik Athena kembali jatuh ke dalam pertikaian
lama yang memecah belah. ”Hasil dari undang-undang itu”, kata Plutarkhos
dengan menyesal, ”membenarkan dugaan si pengunjung, bukan harapan
Solon”. Eksperimen orang Athena telah gagal kembali untuk menegakkan
keadilan, apalagi damai; dan sekelompok kecil orang Athena mulai merencakan tirani yang tak terhindarkan itu.
D S T, pemukiman dua bukit Roma telah berkembang.
Penguasa pendamping Sabin yang mitologis, yakni Titus Tatius yang terbunuh
dalam suatu kerusuhan belum ada penggantinya; Romulus memerintah seorang diri. Penduduk ganda yang terdiri dari warga suku-suku Latium dan
imigran Sabin kini dikuasai oleh orang Latium.
Pertumbuhan Roma bukan tidak diperhatikan oleh tetangga-tetangganya.
Tidak lama sesudah kematian Titus Tatius, orang-orang dari Fidenae, di sebelah
hulu Tiber sebelum Roma, menjarah ladang-ladang orang Roma di sepanjang
sungai. lalu kota Veii, di sisi seberang Tiber, mulai membakar ladangladang juga. Romulus memerangi ancaman yang satu dan bernegosiasi untuk
mengatasi ancaman yang lain. Tetapi serangan-serangan itu menandakan
suatu masalah yang lebih besar. ”Veii”, catat Livius, ”seperti Fidenae, yaitu
sebuah kota orang Etruski.”1
Kota-kota Etruski terbentang dalam suatu aliansi yang longgar sampai ke
Utara. Orang Etruski dan orang Latium dahulu memiliki adat istiadat yang
sama, tetapi para penduduk desa di sebelah Utara Tiber telah berubah karena
pengaruh pendatang baru. Gelombang orang Cimmeria yang melanda Asia
Kecil telah menyebabkan orang Frigia dan Lydia mengembara keluar ke
Thracia, ke seberang perairan sempit Selat Bosforus dan Hellespontus. Ini
mengawali suatu reaksi berantai pergeseran penduduk ke Barat; suku-suku
yang terdesak ke Italia Utara menyusup ke daerah Villanova, di mana mereka
berbaur, berdagang, dan saling menikah.2
Mereka diikuti oleh para pengungsi
langsung dari Asia Kecil, yang melarikan diri dari kota-kota yang runtuh karena kebakaran, pendudukan, dan invasi. Legenda Roma menuturkan tokoh
Troya, Aeneas, yang menggendong ayahnya keluar dari kota Troya yang porak
peranda dan mengembara sebagai pengungsi melalui Thracia, lalu berlayar ke Sisilia dan dari sana ke pantai Italia, di mana ia menetap, mengambil
seorang istri, memiliki anak, dan menjadi raja dengan hak penuh sendiri:
cerminan mitologis dari suatu migrasi nyata dari Timu
Campuran antara orang Villanova dan pendatang baru merupakan kombinasi antara tradisi asli setempat dan aneka keterampilan dari Timur yang
menimbulkan sebuah bangsa baru: orang Etruski, pembangun perkasa dan
pedagang kaya yang tidak berniat untuk membiarkan para pemukim baru
Latium di Selatan, berekspansi tanpa dilawan.
Permusuhan orang Etruski bukan satu-satunya mendung di cakrawala
Romulus selama pemerintahannya yang berlangsung empat puluh tahun.
Walaupun Romulus memang hebat”, catat Livius, ”ia lebih disayangi oleh
orang biasa daripada oleh senat, dan paling disayangi oleh tentara-tentaranya”.4 Raja-raja awal Roma tidak lebih mampu untuk memerintah secara
autokratik daripada raja-raja Yunani; istilah ”senat” yang digunakan Livius
mungkin suatu anakronisme, tetapi suatu dewan orang tua-tua mengawasi
kekuasaan raja. Bahkan tokoh setengah-dewa Romulus pun harus memperhitungkan mereka, seperti yang menjadi jelas dari situasi kematiannya: Livius
menulis bahwa suatu hari ia tengah memeriksa pasukannya saat
suatu badai meletus disertai kilat dan petir yang dahsyat. Sebuah mendung
menyelimutinya sedemikian tebalnya sehingga ia tidak terlihat oleh seorang
pun yang berada di sana; dan sejak saat itu ia tidak lagi terlihat di bumi.
... Para senator, yang berdiri di sebelah raja ... menyatakan bahwa ia telah
terangkat ke atas oleh suatu pusaran angin. ... Semua orang mengelukannya sebagai dewa dan anak dewa, dan memohon kepadanya. ... Namun,
bahkan pada kesempatan yang agung itu pun, menurut hemat saya, ada
sejumlah penyanggah yang dengan diam-diam berpendapat bahwa raja
telah dihancurleburkan oleh para senator.5
Entah Romulus dibunuh oleh para senator atau tidak, tidak berselang lama
mereka menegaskan kekuasaan mereka. Mereka sendirilah yang mengendalikan tahta, dan memberikan perintah melalui komite. Tetapi penduduk
Sabin di kota itu menolak dengan keras. Tak seorang Sabin pun memegang
kekuasaan sejak kematian pendamping Romulus, beberapa dasawarsa sebelumnya, dan mereka menginginkan seorang raja dari kalangan Sabin.
Para senator menyetujui adanya raja dari kalangan Sabin, asalkan merekalah yang memilih raja itu. Orang Sabin yang mereka pilih yaitu Numa
Pompilius. Ia bukan seorang jenderal yang hebat tetapi seorang yang bijaksana, terkenal keadilannya. ”Pada mulanya Roma didirikan dengan kekuatan
senjata”, simpul Livius; ”raja yang baru kini memberikan kesempatan baru
kepada masyarakat, kali ini di atas landasan hukum yang kuat dan ketaatan kepada agama”.6
Seperti Romulus, Numa Pompilius barangkali yaitu
legenda, tetapi pemerintahannya merupakan sebuah transisi: Roma tengah
beralih dari akar-akarnya sebagai suatu koloni yang diciptakan dengan perang
menuju keberadaan yang mapan dan matang sebagai suatu kota. Di bawah
pemerintahan Numa Pompilius gerbang-gerbang ke Kuil Janus, dewa perang,
ditutup untuk pertama kali, dan itu melambangkan bahwa Roma berada
dalam damai dengan dunia luar.
Tetapi Roma tetap tidak tenang di dalamnya sendiri. Dionysius dari
Halicarnassus (seorang sejarawan Yunani yang pergi ke Roma pada masa
pemerintahan Kaisar Agustus dan melewatkan dua puluh dua tahun untuk
menulis sejarah kota itu) menuturkan bahwa ”oknum-oknum dari kalangan
Albanus, yang bersama Romulus telah mendirikan koloni, menuntut hak
[untuk] ... menikmati kehormatan yang paling tinggi. ... Para pemukim baru
itu berpendapat bahwa mereka tidak boleh ... berdiri lebih rendah dibanding
yang lain. Ini dirasakan lebih-lebih oleh mereka yang berasal dari ras Sabin”.7
Tak seorang dari orang yang tinggal di Roma memandang dirinya sebagai
orang Romawi; mereka tinggal di dalam lingkungan tembok yang sama, tetapi
hanya itu sajalah titik kesepahaman mereka. Itu mengakibatkan ”urusanurusan Negara”, dalam kalimat Dionysius yang hidup, ”tercebur ke lautan
kekacauan yang menggelora”.
Tambahan pula, damai dengan dunia luar hanya bersifat sementara.
Kedua raja sesudah Numa—orang Latin Tullus Hostilius dan orang Sabin
Ancus Marcius, keduanya ditunjuk oleh Senat—memimpin serangan melawan kota-kota dan suku-suku di sekitarnya, dan melipatduakan luas Roma
dengan kekerasan. Kalaupun Roma mengalami masa tenang, itu singkat saja;
Roma telah kembali dengan cepat ke identitasnya sebagai suatu kubu bersenjata, yang mengancam kedamaian tetangga-tetangganya.
Namun, tetangga-tetangga Roma bukan tidak berdaya. Seorang yang
berasal dari kota Etruski Tarquiniusii, di pantai Utara di hulu Tiber, telah
melayangkan pandangannya untuk menguasai Roma.
Orang itu, Lucumo, berasal dari campuran ras. Ibunya dari ras Etruski,
tetapi ayahnya yaitu seorang Yunani dari Korintus, seorang bernama
Demeter yang (menurut Livius) ”terdesak oleh kerusuhan politis untuk
meninggalkan negaranya”.8
Lucumo mendapati dirinya menghadapi ejekan
dari orang Etruski ”berdarah murni” di sekitarnya, dan bersama istrinya ia
memutuskan untuk pergi ke Roma, di mana ras kalah pentingnya dengan
kesempatan: ”Akan terdapat berbagai kesempatan untuk seseorang yang giat
dan pemberani di suatu tempat di mana semua peningkatan terjadi dengan
cepat dan bergantung pada kemampuannya”, tulis Livius. Bagaimana pun,
lebih dari satu orang Sabin yang telah muncul sebagai raja orang Latin; darah
asing bukan halangan untuk kemampuan.
sesudah menetap di Roma, Lucumo si orang Etruski bekerja dengan energik
(dan menghambur-hamburkan uang) sampai ia menjadi orang kepercayaan
raja sendiri. Ancus Marcius bahkan menunjuk Lucumo sebagai pengawal para
pangeran raja. saat raja meninggal, kedua pangeran masih muda: ”yang seorang usianya masih kanak-kanak”, catat Dionysius, ”dan yang lebih besar baru
mulai tumbuh janggutnya”.9
Lucumo mengirim kedua pangeran itu ke luar
kota (”untuk suatu perburuan”, catat Livius) dan segera mulai bergerak untuk
memungut suara. Ia dimaklumkan sebagai raja oleh suatu mayoritas besar
dan, pada tahun 616, naik ke tahta Roma. Para sejarawan masa lalu mengenalnya sebagai Lucius Tarquiniusius Priscus, atau Tarquiniusius Tua.
sesudah memerintah hampir selama empat puluh tahun, ia digantikan oleh
menantunya, Servius Tullius, yang takdirnya sebagai raja telah diberitahukan
kepada penduduk Roma, saat waktu masih kanak-kanak kepalanya menyala-nyala. (saat itu ia sedang tidur; seorang pelayan menawarkan untuk
mengguyur kepalanya dengan air, tetapi saat ia bangun sendiri, api itu
padam. ”Sejak saat itu”, jelas Livius, ”anak itu diperlakukan seperti seorang
anak berdarah pangeran.... ia tumbuh menjadi seorang lelaki yang sosoknya
sungguh rajawi”, dan Tarquiniusius Tua mempertunangkannya dengan anak
perempuannya sendiri dan menjadikannya ahli waris.)
Servius Tullius, seperti ayah mertuanya, yaitu seorang Etruski. Dua raja
itu mewakili suatu kenyataan sejarah: kota Roma, yang terbiasa berkelahi dan
menjadi saleh secara bergantian, selalu berperang dengan tetangga-tetangganya, dan melebarkan tembok-temboknya untuk mencaplok bukit-bukit di
sekelilingnya satu demi satu, ia sendiri ditelan oleh suatu kebudayaan yang
lebih besar, lebih kuat, dan lebih tua di sebelah Utaranya. Kota-kota Etruski
sudah menjamur di sepanjang jalan ke Sungai Tak Berdasar: nama lama untuk
Po, di seberang Apennini. Di sebelah Barat Laut, kota-kota Etruski menguasai
tambang tembaga, besi, dan perak di tempat yang disebut Bukit Penghasil
Baja.10 Baja itu diperdagangkan ke koloni-koloni Yunani di sepanjang pantai Italia, dan hubungan dengan kota-kota dagang Yunani mempertemukan
orang Etruski secara langsung dengan sistem tulisan Yunani. Orang Etruski
mulai menggunakan abjad Yunani untuk menandai barang dagangan mereka sendiri, dengan menggunakan bahasa mereka sendiri yang ditulis dengan
aksara Yunani.*
Walaupun aksara-aksaranya dapat dikenali, bahasa Etruski
sendiri tetap merupakan teka-teki; itu tampak hampir secara utuh dalam inskripsi-inskripsi singkat yang belum dapat diuraikan sandinya.11
Roma tidak menjadi bagian dari suatu entitas yang disebut ”Etruria”.
Tidak terdapat ”kekaisaran Etruria”, hanya sekumpulan kota Etruski yang
memiliki bahasa dan sejumlah adat istiadat yang sama, dan sesekali bersekutu
sedang kali lain bermusuhan. Gerakan orang Etruski memasuki Roma yaitu
infiltrasi sebuah kelompok baru ke suatu kota yang sudah didiami oleh beberapa kelompok bangsa yang berbeda — kelompok yang satu ini lebih besar
pengaruhnya daripada kelompok-kelompok lainnya.
Livius menyebutkan jasa Tarquiniusius Tua orang Etruski itu sebagai perancang Circus Maximus, stadion besar Romawi yang terletak di antara bukit
Palatino dan bukit Aventino, serta sebagai peletak fondasi Kuil Yupiter di
bukit Kapitol; Dionysius menambahkan bahwa ia menandai tembok-tembok dengan kotak-kotak dan memulai penggalian saluran untuk menyalurkan
air buangan kota (suatu keberhasilan yang kurang dramatis tetapi jauh lebih
bermanfaat). Servius Tullius orang Etruski itu dipuji karena menuntut bukit
Quirinale dan bukit Viminale, serta membangun parit serta tanggul untuk
memperkuat tembok-tembok Roma. Struktur-struktur sejati itu memang
dibangun oleh orang Etruski. Orang Romawi tidak memiliki bakat membangun, tetapi di Etruria, ritual agama mengatur pembangunan kota, penataan
letak tembok, dan penempatan gerbang.12 Kota-kota Etruski, tatkala digali,
menunjukkan jalan-jalan yang terencana, dan ditata dalam bentuk kisi-kisi
(sesuatu yang belum masuk dalam pertimbangan orang Romawi). Seperti
kota-kota orang India Harappa dahulu, jalan-jalan Etruski memiliki ukuran
lebar yang baku untuk jalan utama, jalan biasa yang bersimpangan dengannya, dan jalan kecil yang terletak di antara keduanya. Penggalian di Roma
sendiri menunjukkan bahwa, sekitar tahun 650, gubuk-gubuk tempat tinggal sebagian besar orang Romawi (yang dibuat dari anyaman dahan, dengan
dinding dari lumpur yang dimampatkan ke sela-selanya) mulai diruntuhkan
untuk diganti dengan rumah batu. Gubuk-gubuk di sisi Barat kota dibersihkan, dan ruang yang terbuka itu dikeraskan untuk digunakan sebagai balai
pertemuan kota: di masa lalu , alun-alun itu dikenal sebagai Forum
Romanum.13
Bahan-bahan asli dari Roma sendiri mendapat label Etruski. Demikian
juga kekuasaan monarkinya. Dionysius menulis bahwa Tarquiniusius Tua
memperkenalkan lambang-lambang kerajaan Etruski kepada kota Roma: ”sebuah mahkota emas dan jubah beludru berenda ... [ia] duduk di sebuah tahta
gading sambil memegang sebuah tongkat gading”. saat keluar, ia diiringi
dua puluh pengawal (yang disebut lictor), yang masing-masing membawa sebuah kapak yang diikat ke tengah seberkas kayu: fasces, yang melambangkan
kekuasaan raja baik untuk menghukum pelaku kejahatan maupun mengeksekusi penjahat berat.14
Di bawah pemerintahan Servius Tullius, ”luasnya kota sangat diperbesar”, dan ia memerintah sebagai raja selama empat puluh empat tahun, raja
Etruski yang memerintah populasi majemuk yang terdiri dari orang Etruski,
Latin, dan Sabin. Roma pun terus berperang: tentara kota melawan kota-kota
Sabin dan Latin, dan menangkis serangan dari kota-kota Etruski lainnya yang
tidak menyukai kekuasaan Roma atas bentang-bentang tanah di sungai Tiber.
Dionyisus dan Livius menuturkan cerita perang demi perang, antara Roma
dan Collatia, antara Roma dan Fidenae, antara Roma dan koalisi lima kota
Etruski, antara Roma dan Eretum: perang yang tiada habisnya.
Sementara Roma bergulat untuk mulai berada, sebuah kekaisaran tua sedang mengalami kehancuran di sebelah Timur.
Perang segitiga terus berlangsung di Assiria. Ahli waris Ashurbanipal di
Nineweh, Ashur-etillu-ilani, telah mengerahkan bala tentara Assiria melawan saudaranya Sin-shum-ishkun yang kini memimpin sebuah bala tentara
gabungan Assiria dan Babilonia yang bermarkas di Babilon. Sementara itu,
raja Khaldea, Nabopolassar, sedang bergerak melawan tentara Babilon dari
Selatan sambil merebut kota Sumeria tua satu demi satu.
sesudah berperang selama bertahun-tahun (berapa banyaknya sama
sekali tidak jelas, karena berbagai daftar raja Babilonia berbeda-beda), Sinshum-ishkun terpaksa melepaskan pertahanan Babilon, dan Nabopolassar
memasuki kota. Tetapi cerita-cerita yang kacau balau mengenai hasil akhirnya
mengisyaratkan bahwa Sin-shum-ishkun mungkin telah melepaskan daerah
Selatan, sekadar untuk bergerak ke Utara guna merebut tahta saudaranya;
Ashur-etillu-ilani hilang dari cerita sejak saat itu. Daerah pusat porak peranda,
dan kini seorang Khaldea menduduki tahta Babilon.
sesudah mapan, Nabopolassar mulai berperang kembali—melawan
kekaisaran Assiria sendiri. Ia telah merencanakan strateginya: pertama-tama
memerangi seluruh daerah di sepanjang Efrat, sambil “membebaskan” provinsi demi provinsi, lalu membelok dan memerangi daerah-daerah menuju
Tigris di sebelah Timur, menuju Nineweh sendiri.
Dalam hal itu ia mendapat bantuan. Cyarxes, raja Midia dari Medes dan
orang Persia, mengenali adanya peluang saat melihat peluang itu muncul. Ia
menawarkan persahabatan kepada Nabopolassar, yang menerimanya. Mereka
sepakat untuk berbagi provinsi Assiria, begitu Assiria jatuh; dan Nabopolassar
menikahkan anak lelakinya, pangeran mahkota Babilonia (dan jenderal yang
paling dipercaya ayahnya) Nebuchadnessar, dengan putri Midia Amytis, putri
Cyarxes.15
Orang Medes dan Persia bersama orang Babilonia berperang melawan
kekaisaran tua yang telah mendominasi dunia selama kurun yang begitu panjang. Kronik-kronik Babilonia mencatat jatuhnya Assiria yang terjadi secara
perlahan-lahan: ”Pada tahun kesepuluh”, demikian mulainya, ”Nabopolassar,
pada bulan Aiaru, mengerahkan bala tentara Babilonia dan bergerak sepanjang tepi Efrat. Orang-orang ... tidak menyerangnya, tetapi menghamparkan
upeti di depannya”.16
Tahun kesepuluh—sepuluh tahun sesudah Nebopolassar memahkotai dirinya sendiri sebagai raja Khaldea, menyusul kematian Esarhaddon—tentunya
tahun 616/615 SM. Bulan Aiaru yaitu musim semi, akhir April sampai awal
Mei; dan bangsa-bangsa di sepanjang Efrat dapat melihat tulisan di tembok.
sesudah berperang selama setahun lagi, Nabopolassar sampai ke Assur dan
mengepungnya. sesudah sebulan saja, ia harus mundur dan terpaksa mengasingkan diri di sebuah benteng di dekat sana selama musim panas. Orang
Medes tampaknya sudah pulang ke negeri mereka, tetapi kini mereka datang
kembali untuk menolong sekutu mereka orang Babilonia. Alih-alih bergabung
dengan Nabopolassar, mereka langsung menuju ke pusat wilayah Assiria.
Cyarxes menyeberang Tigris dan menduduki Assur sendiri, serta berhasil
sementara Nabopolassar telah gagal. Ia merebut kota itu dan menyerbunya
untuk mencari tawanan dan harta benda; sesudah itu, ia mengizinkan pasukan
Midia untuk membunuh setiap orang yang ada di dalam kota. Nabopolassar
tiba dengan bala tentaranya sesudah kota itu dihancurkan secara tandas.17
Kedua raja bersama-sama merencanakan serangan terakhir ke Nineweh.
Beberapa bulan dilalui untuk persiapan; bala tentara Midia kembali ke rumah
untuk membekali diri kembali, sedang Nabopolassar melewatkan beberapa
bulan untuk menakut-nakuti berbagai kota di sepanjang Efrat yang memberontak untuk menyerah. Tetapi pada tahun 612 pasukan-pasukan penyerbu
sudah siap. ”Pada tahun keempat belas”, tutur Kronik Babilonia, ”raja Babilon
mengerahkan bala tentaranya, dan raja Medes datang ke tempat di mana
orang Babilonia berkubu. Mereka menyusuri tepi sungai Tigris ke Nineweh.
Dari bulan Mei sampai bulan Juli mereka melakukan serangan ke kota itu.
Dan pada awal Agustus kota dapat direbut?.
Antara Mei dan Agustus terjadi suatu peristiwa mendebarkan yang tidak
dicatat oleh Kronik Babilonia tetapi dicatat oleh Herodotus. Cyarxes, menu
rut Sejarah, sudah sepenuhnya siap untuk menghancurkan Nineweh, saat
pendudukannya diputus oleh ”suatu bala tentara besar orang Scythia yang
dipimpin oleh raja mereka Madius”.18 (Ia mungkin cucu Madius asli, orang
Scythia, yang telah menguasai orang Medes sekitar lima puluh tahun sebelumnya.) Orang Scythia dengan baik memilih saat itu untuk menyerang — tetapi
pasukan Midia dan Persia yang dilatih dan diatur oleh Cyarxes berbalik dari
pendudukan dan menyapu bersih mereka.19
lalu pasukan-pasukan kembali ke Nineweh. Sebuah anak sungai
Tigris mengalir di tengah kota di bawah temboknya dan menyediakan air
untuk kota itu dan membuatnya sulit untuk diduduki. Tetapi mungkin para
penyerang membangun sebuah bendungan untuk mengalirkan lebih banyak
air ke kota Nineweh dan mendadalkan fondasi tembok serta meruntuhkannya. Diodorus dari Sisilia, seorang sejarawan yang menulis enam ratus tahun
sesudahnya, mengatakan bahwa orang Nineweh menaruh kepercayaan pada
sebuah ”ramalan dewa yang diberikan kepada para leluhur mereka, bahwa
kota Nineweh tak pernah akan direbut atau menyerah sampai sungai yang
mengalir melewati kota menjadi musuh; raja beranggapan bahwa hal itu tak
pernah akan terjadi”. Itu yaitu sebuah ramalan sesudah kejadiannya sendiri
yang mungkin mencerminkan suatu kejadian nyata.20
Dengan runtuhnya tembok kota, orang Babilonia menyerbu kota dan
menjarahnya. ”Penduduk dibunuh secara besar-besaran”, tutur Kronik, ”dan
para bangsawan, serta Sin-shum-ishkun, raja Assiria, melarikan diri. ... Mereka
membuat kota menjadi suatu gundukan dan timbunan reruntuhan”.21 Nabi
Yahudi, Nahum, yang mensyukuri kehancuran kekaisaran yang telah menjadikan bagian Utara negeri menjadi padang belantara, memberikan sekilas
gagasan mengenai kengerian yang terjadi:
Gerbang sungai terbuka lebar,
istana runtuh.
Ketetapan sudah dijatuhkan: kota akan diasingkan, disapu bersih...
Nineweh menyerupai sebuah kolam,
dan airnya mengering....
Ia dijarah, dirampok, digunduli,
Hati meleleh, lutut melemah,
tubuh gemetaran, setiap wajah menjadi pucat....
Banyak sekali korban, mayat bertumpuk-tumpuk,
jumlah mayat tidak terhitung,
orang-orang terantuk pada mayat-mayat....
Tiada yang dapat mengobati lukamu;
cederamu sudah lengkap. Setiap orang yang mendengar berita tentang dirimu
bertepuk tangan atas keruntuhanmu,
sebab siapakah yang tidak merasakan kekejamanmu yang tiada batasnya?22
Orang Assiria telah menimpakan banjir kepada Babilon seratus tahun sebelumnya; kini Babilon membalas perbuatannya.
Raja Assiria melarikan diri menuju kota Haran.* Orang Medes yang jaya
mengklaim wilayah Timur, termasuk daerah yang sebelumnya merupakan
wilayah orang Scythia; Babilon mengambil provinsi-provinsi di sebelah Barat.
Dan di suatu tempat antara Nineweh dan Haran Sin-shum-ishkun meninggal atau dibunuh. Assuruballit, seorang pejabat istana dan kemenakan raja,
mengambil gelarnya.
Dengan seorang raja baru dan ibu kota baru, bala tentara Assiria yang
sudah lemah mencoba untuk menegakkan diri sekali lagi. Tetapi Nabopolassar
tidak membiarkan Haran lama-lama dalam keadaan damai. sesudah menaklukkan berbagai kota Assiria yang telah mencoba memanfaatkan kekacauan
untuk memaklumkan kemerdekaan, baik dari Assiria maupun dari Babilon,
Nabopolassar bergerak kembali ke Haran pada tahun 610, bergabung dengan Cyarxes dan memimpin pasukan gabungan menuju kota Haran. saat
Assur-uballit mendengar berita tentang barisan depan yang baru itu, ia dan
pengikutnya meninggalkan kota sebelum pasukan Midia-Babilonia bahkan
muncul di rasi Orion. ”Ketakutan akan musuh mencekam mereka”, kata
Kronik Babilonia, ”dan mereka meninggalkan kota.” Nabopolassar tiba di
kota yang tidak memiliki pertahanan lagi, menjarahnya, lalu pulang.
Tetapi Assur-uballit belum tamat riwayatnya. Ia mengirim utusan ke
Selatan, meminta bantuan kepada pharaoh Mesir.
Psammetichus I dari Dinasti Kedua Puluh Enam yang dilatih oleh orang
Assiria, telah meninggal pada usia yang sangat tua sesudah memerintah selama
lebih dari lima puluh tahun. Kini anak lelakinya, Necho II, telah menggantikannya.** Walaupun beberapa dasawarsa sebelumnya ayahnya berperang
melawan orang Assiria, kini Necho II tidak enggan menolong orang Assiria.
Ia memiliki rencana untuk menjadikan Mesir lebih berarti di kancah urusan dunia (ia telah menyewa tentara laut bayaran Yunani untuk memperkuat
bala tentaranya, dan salah satu proyek kegemarannya ialah menggali kanal yang menghubungkan sungai Nil dengan Laut Merah, yang meningkatkan
perdagangan Mesir dengan daerah Timur melalui jalur perairan).23 dan jika
Mesir dapat menebarkan jala kekuasaannya ke luar batas-batasnya sendiri,
tempat yang masuk akal untuk ekspansi yaitu daerah-daerah Semit Barat di
sepanjang Laut Tengah. Munculnya suatu kekaisaran Babilonia yang kuat kini
tidak akan memungkinkan Mesir merebut wilayah-wilayah di Laut Tengah
itu. Bagaimana pun, jika orang Assiria kalah, satu perntang lagi melawan
orang Scythia (yang telah muncul sekali di perbatasan Mesir selama masa
kecil Necho II) akan berkurang.
Demikianlah ia menyetujui. Assur-uballit mengusulkan bahwa kota
Karkhemish merupakan tempat yang baik untuk bertemu dan mengatur bala
tentara gabungan untuk menyerang, dan Necho II mulai bergerak ke Utara.
Ia tidak melewati Yerusalem tanpa diketahui. ”saat Yosias menjadi raja”,
kata penulis 2 Raja, ”Pharaoh Necho, raja Mesir, bergerak ke Efrat untuk
membantu raja Assiria”.24
Yosias dari Yuda telah memanfaatkan disintegrasi Assiria untuk menegaskan kembali kemerdekaannya; ia telah memimpin suatu pembaharuan
keagamaan, dengan menyingkirkan semua jejak tempat pemujaan dan peribadatan Assiria; dan ia tidak ingin melihat Assiria bangkit kembali. Ia juga
tidak ingin melihat Necho II menggantikan Assiria sebagai tuan dan junjungan Yerusalem. Maka, alih-alaih membiarkan Necho lewat, ia bergerak keluar
untuk menyerang orang Mesir saat mereka mendekati Megiddo.
Karena tergesa-gesa, Necho tidak berniat melawan bala tenta



