dari
Teluk, selama beberapa tahun. Sekarang ia mengumpulkan anggota sukunya
dan bergerak untuk menyerang kota Ur, perhentian pertama dalam perjalanannya untuk merebut kembali wilayah Babilonia yang lama.4
Esarhaddon, yang mulai merasakan bahwa arwah Merodach-baladan pasti
akan memberi azab pada raja-raja Assiria, mengirimkan tentara-tentara untuk
membersihkan kekacauan; Nabu-zer-ketti-lisher lari ke Elam dan mendapatkan, dengan cukup terkejut, bahwa raja Elam yang baru saja dimahkotai
tidak memiliki keinginan untuk mengusik penguasa Assiria yang baru. Ia
ditangkap dan, masih dalam keadaan terperanjat, dibunuh.5
Esarhaddon sendiri, segera sesudah itu, mulai mengucurkan uang dan
orang ke Babilonia.
Penghancuran kota yang menyedihkan oleh Sankherib tidak diterima
dengan baik oleh sebagian besar istana, dan oleh banyak dari rakyatnya
sendiri; dewa-dewa Babilonia sangat terlalu dekat dengan dewa mereka, dan
pengambilan patung Marduk dari Babilonia merupakan penghinaan bagi
orang banyak sehingga diharapkan akan ada pembalasan dendam dari ilahi.
Catatan Esarhaddon sendiri menyatakan bahwa ia berhasrat untuk membangun kembali Babilonia karena cintanya pada Marduk. Namun, hal ini
memberikan sedikit masalah; jika ia membuang banyak waktu untuk membuat janji menebus penghinaannya terhadap Marduk, ia sama saja dengan
menyalahkan ayahnya sendiri untuk pelecehan (dan berpotensi untuk menghancurkan pengakuannya sendiri sebagai bagian dari keluarga raja-raja yang
dipilih secara ilahi).
Ia mengatasi masalah ini dengan keberhasilannya menggambarkan
kehancuran Babilonia tanpa pernah menyebut ayahnya. Laporannya tentang penggenangan Babilonia memberi kesan bahwa tak satu pun manusia
mengambil peran dalam kehancuran tersebut:
Dalam pemerintahan dari raja yang sebelumnya,
Ada pertanda buruk di Babilonia.
Ada kejahatan, ketidakadilan, penipuan,
Para penghuni salah memperlakukan dewa-dewa,
melupakan persembahan dan pemujaan yang lazim,
mengambil harta kuil untuk membayar Elam,
mengambil harta Babilonia untuk yang lain.
Sebelum waktuku, Marduk menjadi murka terhadap Babilonia,
Arahtu membanjiri dan membuat kota hancur,
Babilonia menjadi sebuah gurun,
Ilalang dan pohon liar tumbuh di kota yang ditinggalkan,
dewa-dewinya meninggalkan tempat-tempat suci mereka,
para penghuninya lari menjadi pengungsi.6
Ini yaitu sejarah yang mengerikan tetapi merupakan propaganda yang
sangat cerdas: pengulangan ungkapan “Sebelum waktuku” yang menjauhkan
tuduhan dari Esarhaddon tanpa harus menusuk diri ayahnya; penjelasan bahwa
dewa-dewi meninggalkan Babilonia karena kemarahan ilahi, bukan diangkut
oleh kendaraan-kendaraan Assiria; berkesan bahwa permohonan terhadap
Elam telah membuat Marduk sangat marah; keterangan yang palsu tentang
”raja sebelumnya”; dan di atas semua itu, pernyataan yang menyedihkan
”Arahtu membanjiri” (sebagaimana berlawanan dengan yang sesungguhnya,
”tentara-tentara Assiria telah membendungnya dengan reruntuhan dari tembok-tembok Babilonia”).7
Patung Marduk masih tetap berada di Assiria, sebagai peringatan bagi
penduduk Babilonia bahwa dewa mereka telah tinggal dengan raja Babilonia
yang syah. Tetapi Esarhaddon, bersandiwara sebagai wakil tuhan, membangun kembali kuil-kuil dan rumah-rumah dan meletakkan kembali jalanjalan. Ia menuliskan pujian-pujiannya sendiri ke dalam jalan-jalan di bawah
kaki: bentuk dari bata-bata yang dipakai untuk mengeraskan jalan menuju
komplek kuil yang megah Esagila dicetak dengan tulisan ”Bagi dewa Marduk,
Esarhaddon, raja dunia, raja Assiria dan raja Babilonia, membuat jalan prosesi
menuju Esagila dan Babilonia bersinar dengan bata-bata bakar dari tempat
pembakaran yang secara adat murni.”8
Suku dari Khaldea, Bit-Dakkuri, suku yang serumpun dengan Bit-Yakin
Merodach-baladan, sekarang memutuskan untuk berteman. Mereka mengirim surat ke Babilonia menawarkan kesetiaan, tetapi Esarhaddon, yang sedang
tidak tertarik untuk mempercayai orang Khaldea, menulis balik dengan nada
pahit. ”Pesan raja untuk yang bukan orang-orang Babilonia,” demikian surat
diawali, dengan ringkas:
... Dengan ini aku mengirimkan balasan kepadamu, dengan segel yang
masih utuh, suratmu yang tidak memiliki arti bagiku. Mungkin Anda
akan bilang, “Mengapa ia mengembalikannya pada kita?” saat warga
Babilonia, yang yaitu pembantu dan kekasihku, menulis kepadaku, aku
membuka surat itu dan membacanya. Tetapi apakah baik bagiku untuk
menerima dan membaca surat dari tangan para kriminal?9
Surat tersebut diikuti oleh bala tentara; Esarhaddon mengirimkan tentara-tentara Assiria untuk mendorong orang-orang Khaldea pergi dari tanah Selatan
Babilonia, kembali ke rawa-rawa.
Sementara itu ancaman baru menyatu di arah Timur Laut. Suku bangsa
pengembara yang telah lama menjelajahi daerah sekitar pantai Laut Kaspia
sedang berkumpul di atas suku-suku Medes dan Persia. Orang Assiria menyebut pendatang baru tersebut Gimirrai; bagi para pakar sejarah mereka dikenal
sebagai orang-orang Cimmeria.
Orang-orang Cimmeria, seperti halnya para pengembara di pegunungan, lebih hebat dalam hal berkelahi daripada yang lain.*
Pengembaraannya
sepanjang perbatasan Assiria Utara telah mencapai sejauh Kilikia, pinggir dari
daerah Asia Kecil, dan mereka juga berkawan dengan raja Urarria, Rusas II
(yang kelihatannya masih menyembunyikan pangeran pembunuh ayahnya di
suatu tempat di pegunungannya).10 Hal ini membuat Esarhaddon membuat
peringatan: Persekutuan Cimmeria/Urarria ini bisa berbahaya.
Dalam upaya untuk memperkuat perbatasannya di Utara, Esarhaddon
membuat aliansi sementara dengan kelompok pengembara yang kedua yang
merembet ke bawah dari Pegunungan Kaukasus, sebelah Utara Laut Hitam.
Orang-orang Scythia ini akan memberinya persenjataan tambahan untuk
menahan orang-orang Cimmeria and Urarria, namun ia tidak secara penuh
mempercayai mereka. Lembaran catatan dari pemerintahan Esarhaddon, di
mana pertanyaannya pada dewa matahari Shamash ditulis sehingga dapat
dipersembahkan di kuil, mencatat kesulitan-kesulitan raja:
Shamash, dewa yang mahabesar, apakah Rusas, raja Urartu, datang dengan persenjataannya, dan orang Cimmerian (atau siapa saja sekutunya),
dan berperang, membunuh, menjarah, dan merampas?
Shamash, dewa yang mahabesar, jika aku memberikan salah satu dari
anak-anak perempuanku untuk diperistri raja dari Scythia, apakah ia akan
mengutarakan kata-kata kesetiaan kepadaku, kata-kata perdamaian yang
benar dan tulus? Apakah ia akan memegang perjanjianku dan melakukan
apa saja yang membuat aku senang?
Shamash, dewa yang mahabesar, apakah pasukan dari Cimmeria, atau
dari Medes, atau dari musuh mana saja akan menyerang? Apakah mereka
akan mencoba untuk menangkap kota-kota melalui terowongan, melalui
tangga mendaki, melalui lereng and alat-alat penggempur, atau dengan
perjanjian perdamaian—tipu muslihat?11
Tidak ada jawaban-jawaban yang jelas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
E dipaksa berperang pada tahun 676, saat pengembara
Cimmeria mendesak terlalu jauh ke Barat dan mereka sampai pada perbatasan
Frigia.
Frigia yang makmur bukannya tidak berdaya. Kampung-kampung mereka—bangunan-bangunan batu di atas bukit, yang fondasinya masih bisa terlihat
ribuan tahun lalu —dibangun untuk pertahanan. Monumen mereka
yang paling khas, “monumen muslihat” masih menandai lanskap itu: potongan-potongan batu menonjol ke udara, satu sisi diukir menjadi seperti tembok,
dengan pahatan bentuk pintu yang tidak pernah bisa dibuka. Monumen Midas
di kota Midas menghadap matahari terbit, seperti hampir semua monumen
muslihat yang lain. Selama beberapa saat pada waktu fajar, permukaannya yang
kelabu berubah menjadi terang dan pintu palsunya bersinar.12
Tetapi kecepatan dan kekejaman serangan orang Cimmeria mengejutkan
mereka. Pasukan Frigia dihalau mundur ke arah ibu kota Gordium, saat
penduduk yang tinggal di pedesaan menerjang ke arah kota, mengharapkan
bahwa mereka terlindung oleh tembok-tembok tersebut. Tetapi orang-orang
Cimmeria melewati tembok dan membakar kota. Raja mereka, Midas, cucu
laki-laki orang Midas yang telah
memerintah pada zaman TiglathPileser, melihat bahwa kekalahan
tidak dapat dihindarkan lagi. Ia
bunuh diri di benteng pertahanan
kota; pakar geografi Roma, Strabo,
menulis enam ratus tahun lalu , mengatakan bahwa ia bunuh
diri dengan cara meminum darah
banteng.13 Kematian yang aneh,
dan mengenaskan.
Esarhaddon menggerakkan
pasukannya sendiri ke atas untuk
menyambut ancaman tersebut. Kedua pasukan bertemu di
Kilikia, dan Esharaddon mengaku
menang. Ia telah membunuh raja
Cimmeria, Teushpa, seperti yang
ia sombongkan dalam tulisantulisannya, dengan tangannya
sendiri.14
Penyerangan Esarhaddon
menghentikan invasi Cimmeria,
dan menyelamatkan Asia Kecil
Barat dari kehancuran. Namun demikian Frigia telah tumbang. Desa-desa
yang berantakan tidak pernah menghimpun dirinya kembali, dan jalur perda-
gangan yang pernah didominasi oleh pedagang-pedagang Frigia sekarang
menjadi milik desa-desa dari lebih jauh ke Barat. Orang-orang ini dikenal
dengan nama orang-orang Lydia, dan dengan dataran di sebelah Timur
hancur, raja mereka Gyges menjadi penguasa terkuat di seluruh Asia Kecil.
M kurang lebih telah bersatu, di bawah pharaoh-pharaoh Nubia
dari Dinasti Dua Puluh Lima, selama sekitar delapan puluh tahun. Tirhakah,
pangeran yang berperang sama kuat dengan Sankherib bertahun-tahun sebelumnya, sekarang menjadi raja. Esarhaddon bertekad untuk menyelesaikan
penaklukan yang telah dimulai oleh ayahnya: “Shamash, tuhan yang mahabesar,” permohonannya berikutnya dimulai, “apakan aku harus pergi ke Mesir,
dan berperang melawan Tirkhakah, raja Kush, dan pasukannya; dan dalam
perang ini, apakah senjataku dan pasukanku akan menang?”15 Jawabannya
pasti harus positif, karena riwayat Assiria mencatat, “Pada tahun ketujuh dari
pemerintahan Esarhaddon, pasukan Assiria bergerak ke Mesir.”16
Tirhakah telah lama menunggu pentahtaannya, dan ia tidak bakalan duduk
tenang di Delta hingga Esarhaddon datang. Angkatan perang Mesir bergerak
ke atas menyambut orang-orang Assiria di kota daerah Palestina, Ashkelon,
di mana orang-orang Ashkelon bergabung dengan mereka. Orang-orang
Esarhaddon datang di Ashkelon untuk menghadapi lawan yang bergabung
ini dalam keadaan lelah dan lemah. Dalam perjalanan yang jauh ke Selatan,
mereka dipaksa untuk bertarung dengan suku pengembara-pengembara Arab
yang melihat barisan panjang orang Assiria sebagai sumber empuk untuk
makanan dan senjata.
Peperangan selanjutnya cukup pendek, dan pasukan Tirhakah menang.
Esarhaddon mundur dari Delta. Tirhakah kembali ke Mesir, di mana ia
masuk dalam proyek pembangunan (termasuk Kuil Amun yang terbentang
luas di Nubia) di seluruh Negara, dalam gaya seorang pharaoh yang aman
dalam kebesarannya.17
Tetapi sebenarnya Esarhaddon belum juga pergi. Ia sekedar mundur
untuk mengumpulkan kembali pasukan perangnya. Dua tahun lalu ,
pada tahun 671, ia datang dengan pasukan yang sudah istirahat dan menerjang melewati pertahanan luar Mesir, terus ke bawah lagi melewati Delta dan
melanjutkan hingga Memphis, di mana Tirhakah dan pasukannya berhenti di
posnya yang terakhir. saat menjadi jelas bahwa pasukan Assiria akan menang, Tirhakah melarikan diri dari medan perang dan lari ke Selatan menuju
daerah-daerah nenek moyangnya. Esarhaddon menangkap putra dan istrinya,
sebagian besar keluarganya, dan sebagian besar anggota istana, dan membawa
semua orang tersebut kembali ke Nineweh sebagai tawanan. Bersama dengan
keluarga Tirhakah, ia mengumpulkan anak-anak laki-laki dari berbagai bang
sawan—termasuk putra dari raja Sais, kota di Delta Barat—dan membawa
mereka kembali ke Nineweh untuk mendidik mereka menjadi orang Assiria.
Ia meninggalkan Mesir dalam pengawasan para gubernur yang telah bersumpah setia kepada Assiria.18 Kesetiaan mereka nyaris tidak berlangsung
hingga Esarhaddon tiba di Nineweh. Gubernur Sais, seseorang bernama
Necho, tetap setia (anaknya, bagaimana pun juga, disandera di Nineweh),
namun pengikut-pengikut dari kota-kota lain berhenti mengikuti perintah
Assiria hampir sesaat sesudah buntut barisan mereka hilang dari pandangan.
Esarhaddon mencapai Nineweh, berbalik lagi, dan melaju kembali ke
Mesir. Ia tidak pernah mencapai Mesir; ia meninggal dalam pergerakan ke
Selatan.
E tahta Assiria kepada Ashurbanipal, anak lakilaki favoritnya yang ia pilih; tetapi ia menunjuk pangeran yang lebih muda,
Shamash-shum-ukin, putra mahkota Babilonia, penguasa yang berdaulat di
bawah pengawasan kakak laki-lakinya. Tahun sesudah Ashurbanipal dimahkotai, Shamash-shum-ukin juga dimahkotai di Babilonia. Perjalanannya masuk
ke kota didampingi oleh gambar Marduk, yang akhirnya kembali ke asalnya.
“Selama pemerintahanku,” Ashurbanipal mengumumkan dalam tulisannya
di Babilonia,
Tuhan yang mahabesar, dewa Marduk
masuk ke Babilonia di tengah kegembiraan dan mengambil tempat tinggalnya
dan aku membangun kembali status istimewa dari Babilonia
dan aku mengangkat Shamash-shum-ukin, adik kesayanganku,
untuk mengambil tongkat kerajaan di Babilonia.19
lalu ia mengambil pedang ayahnya untuk melawan Mesir. Tirhakah
telah merayap kembali ke Utara dan mencoba untuk mendapatkan kembali
tahtanya; Ashurbanipal menyerang masuk Mesir ke Selatan sejauh Thebes,
membunuh setiap raja yang telah melupakan kesetiaannya kepada Assiria,
tetapi membiarkan Necho dari Sais yang pro-Assiria. Di tempat-tempat rajaraja bawahan yang meninggal, Ashurbanipal mengangkat putra-putra Mesir
yang dibawa ayahnya kembali ke Nineweh dan yang telah dididik di Assiria,
seorang pria muda bernama Psammetichus, dibawa kembali dari Assiria dan
dilantik di kota Athribis di sebelah Timur, di seberang kota orang tuanya.
Bersama-sama, ayah dan anaknya menjadi maharaja gabungan dari semua
kota yang lain.
Namun demikian, Tirhakah masih hidup. Kali ini ia dihalau sampai
ke Selatan sejauh Nubia Utara dan berada di Napata, hampir di Cataract
Keempat. Ia telah mengumumkan bahwa sepupunya akan menjadi ahli warisnya; kelihatannya anaknya sendiri telah dibunuh, di Nineweh. saat ia mati,
sepupunya Tantamani mewarisi jabatan yang kosong, kepemimpinan raja dari
daerah yang berada dalam kendali kuat Assiria.
Namun lalu Tantamani memiliki mimpi:
Pada Tahun I ia dimahkotai ... Baginda melihat impian di malam hari:
dua ekor ular, satu di kanan dia, yang lain di kiri. lalu Baginda terbangun, dan tidak menemukan mereka. Baginda berkata, “Mengapa aku
melihat itu?” Jawabnya datang padanya: “Tanah Selatan yaitu milikmu;
ambilah Tanah Utara untukmu. Kedua Dewi bersinar di atas pelupuk telingamu, tanah itu diberikan padamu dalam segala panjang dan luasnya.
Tak seorang pun berbagi denganmu.”21
Ia bangkit dari tempat tidurnya dengan perintah ilahi menggema di telinganya: rebut kembali Mesir dari tangan Assiria dan raja-raja bawahannya.
Kemenangan awalnya begitu mudah; lagi pula, orang-orang Assiria telah
pergi dan penduduk asli tidaklah bahagia berada di bawah pemerintahan
gubernur Assiria mereka. Tatanami maju ke Utara sepanjang bengawan Nil,
disambut baik oleh kota-kota yang ia lewati dan sambil mengumpulkan
sekutu di belakangnya. Di Memphis, ia datang pada hambatan pertama yang
nyata: Necho dari Sais, yang telah bergegas ke Selatan dengan diperkuat pasukan Assiria untuk menghentikan penakluk dari Nubia.
Dalam pertempuran selanjutnya, Necho tumbang. Putranya Psammetichus
mengambil alih tugas, tetapi ia sayangnya ternyata sangat tidak dikenal oleh
bangsawan-bangsawan lain di Delta yang lebih suka dengan pemerintahan
orang Nubia daripada orang Assiria; Herodotus mengatakan bahwa pada
suatu saat Psammetichus dihalau hingga menyembunyikan diri di rawa-rawa
dari sebelas penguasa Delta, yang keluar untuk mengambil darahnya. Ia didesak mundur dengan ketat ke arah Sais, di mana ia memagari diri di belakang
garnisun Assiria yang ditempatkan di sana.22
Sementara itu, Delta sedang merayakan diri, dan Tantamani mengukir
doa kemenangannya kepada Amun (“Ia yang dibimbing oleh Amun tidak
mungkin tersesat!”) pada monumen-monumen peringatan.23
Tetapi lalu Ashurbanipal kembali lagi, kali ini dengan pasukan
lebih banyak. Pada tahun 663, ia menggabungkan pasukannya dengan pasukan Psammetichus yang sedang berjuang, dan bersama-sama, kedua pasukan
memorak-porandakan Delta. Tantamani lari ke Selatan untuk kedua kalinya;
dan Thebes diserang dan dibakar untuk yang pertama kalinya dalam sejarahnya. Kuil dewa Amun dihancurkan. Harta bendanya dicuri, benteng-benteng
diratakan, dan kedua tugu perak yang berdiri di pintu-pintunya diangkut
pulang ke Nineweh.24 Kehancuran Thebes begitu luluh lantak sehingga menjadi ejekan di Timur Dekat zaman kuno, suatu bukti tentang apa yang dapat
terjadi kepada siapa saja yang menentang kekuatan Assiria. Puluhan tahun
lalu , seorang nabi Yahudi, Nahum, masih dapat menggambarkannya
dengan sangat rinci:
Thebes, pada sungai Nil, dengan air di sekitarnya,
dilindungi oleh sungai, air sebagai temboknya,
Kush sebagai kekuatannya, sekutunya ---
Namun ia ditangkap, dibawa ke pengasingan,
Anak-anaknya dihancurkan menjadi potongan-potongan di setiap sudut jalan,
Banyak yang dibuang dari kebangsawanannya,
dan semua orang-orang besarnya diikat dengan rantai.25
lalu Ashurbanipal menyingkirkan semua raja bawahan dan mengangkat
Psammetichus, satu-satunya pharaoh Mesir. Mesir memang terlalu jauh bagi
Assiria untuk menempatkan garnisun yang besar di sana. Jika Ashurbanipal
mesti mempertahankan Negara tersebut di bawah tangannya, ia memerlukan
seorang raja bawahan yang kesetiaannya tidak dapat dihancurkan.
Meskipun ada indoktrinasi dari Assiria, Psammetichus bukanlah raja yang
seperti itu. Kemauannya untuk berperang di pihak pasukan Ashurbanipal selama ini hanya muslihat, sebuah strategi seseorang yang telah menghabiskan
masa mudanya di sekeliling musuh-musuhnya, tak berdaya dan tanpa tempat
tinggal dengan hidup tergantung pada seutas benang. Segera sesudah ia mendapatkan tahta, ia mulai membelok pelan-pelan menjauhi tata cara Assiria.
Ia mulai bernegosiasi dengan berbagai gubernur di Mesir, menjanjikan kepada mereka kekuatan dalam rezim yang baru. Tidak lama lalu , seorang
petugas Assiria yang ditempatkan di Suriah mengirim surat keluhan kepada
Ashurbanipal, di Nineweh, tentang tingkah laku Psammetichus yang semakin
bebas; raja muda Assiria dengan pelan tetapi pasti membersihkan kota-kotanya dari tentara-tentara Assiria yang ditempatkan di sana. Ashurbanipal
menerima surat tersebut, tetapi tidak mengirim regu pembersih. Orangorangnya sedang sibuk di tempat lain.26
Tahun 658, Psammetichus mengirim utusan rahasia kepada Gyges, raja
Lydia, kini satu-satunya penguasa yang kuat di Asia Kecil. Bersimpati pada
tujuan Mesir (apa pun yang mengurangi kekuatan Assiria yang mengancam
membuatnya lebih senang), Gyges mengirim tentara tambahan untuk ber
gabung dengan Psammetichus di Mesir. Mereka meninggalkan jejak; sambil
dalam kebosanan menunggu kapan pertempuran akan dimulai, mereka menuliskan oret-oretan yang masih dapat dibaca pada dinding-dinding dari kuil
di Wadi Alfa.27
Tahun 653, Psammetichus bersiap untuk memancangkan masa depannya
dengan keberhasilan dari pemberontakannya. Ia kembali kepada tentara-tentara Assiria yang ditempatkan di Delta dan menghalau mereka keluar dari
negaranya, ke atas masuk ke dalam wilayah Semit Barat. lalu ia membuat Sais sebagai ibu kota kerajaannya; dan dengan menikahkan anaknya
dengan bangsawan yang paling kuat di Thebes, ia memperluas kekuasaannya
ke bawah hingga sejauh Cataract Pertama.
Lebih jauh ke Selatan, Nubia masih berada di bawah tambal sulam
pemerintahan lokal, dengan lebih maju bebas dari pengaruh Mesir. Tetapi
di sebelah Utara dari Cataract Pertama, Mesir berada dalam kuasa pharaoh
yang sebenarnya (jika itu yaitu yang dididik Assiria), yang mengklaim gelar
kuno Penyatu dari Dua Daerah serta berkat dari dewa Mesir yang utama.28
Untuk pertama kalinya sesudah bertahun-tahun, maat—perintah ilahi—telah
kembali ke Mesir. Dinasti yang ke Dua Puluh Enam, atau Dinasti Sake, yang
terpusat di kota kelahiran Psammetichus, Sais, telah mulai.
P M tidak berjalan dengan mulus bagi Gyges. Orangorang Cimmeria, yang telah berhimpun kembali, sekali lagi bergerak ke Barat.
Kali ini, Assiria menolak untuk campur tangan; Ashurbanipal menyimpan
dendam terhadap Gyges, syukur ada tentara-tentara Lydia di Mesir. Orangorang Cimmeria, di bawah raja Dugdamme, menyerang pasukan Lydia,
menghalaunya, membunuh Gyges, dan merampok Sardis. Dugdamme lalu bergerak ke Selatan, sehingga membawa mereka sedikit terlalu
dekat dengan wilayah Assiria; Ashurbanipal mau membiarkan orang-orang
Cimmeria memberi pelajaran bangsa lain, tetapi ia tidak menghendaki mereka berada di daerahnya sendiri.
Ia mulai mengatur ekspedisi ke Utara, tetapi takut akan terjadinya gerhana
yang menurut tafsiran para imam istana itu sebagai pertanda buruk: “Akan
ada penyerangan atas daerahmu sendiri,” mereka memberitahu rajanya, ”dan
tanah akan dihancurkan.”29 Untung bagi Ashurbanipal, tidak lama sesudah
perampokan Sardis, Dugdamme jatuh sakit dengan penyakit yang menjijikkan yaitu campuran antara muntah darah dan pembusukan kulit di buah
pelirnya.30 Penyakit tersebut menyebabkan kematiannya, dan Ashurbanipal
yang sudah lega dapat meninggalkan ekspedisinya di Utara.
G A R I S WA K T U 5 4
ASSIRIA DAN
DAERAH SEKITAR
MESIR, ISRAEL, DAN YUDA
Ashur-Dan III (771-754)
Nabonassar Ashur-nirari V
(Babilon) (753-746)
Sarduri I Tiglath-Pileser III
(Urartu)
Midas (Frigia)
Merodach-baladan Shalmaneser V
(Babilon) Sargon II
(721-704)
Sankherib (704-680)
Esarhaddon (680-668)
Shamash-shum-ukin Ashurbanipal
(Babilon) Frigia jatuh
ke tangan Cimmeria
Gyges (Lydia)
Dinasti 25 (Nubian)
Pianchi (747-716)
(yuda) (Israel)
Ahaz
Hoshea
Hizkia
Shabaka Kejatuhan Israel
Tirhakah (690-664)
Dynasty 26
Necho I
Psammetichus I
K Psammetichus bukanlah
kehilangan daerahnya untuk terakhir kali. Selama pemerintahannya, batasbatas telah berubah, dan sedikit masuk ke dalam. Ashurbanipal yaitu raja
yang cakap, tetapi tidak ada Sargon, menumpahkan semua energinya untuk
peperangan yang berkelanjutan sehingga kerajaannya mungkin sudah sedikit
lebih luas. Ia telah disibukkan dengan jenis-jenis pencapaian yang berbeda.
Ia bukan raja Assiria yang pertama kali mengumpulkan lempengan tanah
liat, tetapi ia yaitu yang pertama kali membuat koleksi itu sebagai prioritas
di seluruh kerajaannya. Ia melakukan hal ini dengan model yang teratur: ia
mengirimkan petugas-petugasnya ke seluruh kerajaan untuk membuat inventori dari setiap perpustakaan di mana saja di kerajaannya, dan mengumpulkan
tiruan dari setiap lempengan yang bisa ia temukan: kutukan, ramalan, ramuan-ramuan obat, pengamatan astronomi, cerita dan dongeng (termasuk
susunan dari cerita-cerita senilai ribuan tahun tentang pahlawan zaman purba
Gilgamesh), semua disatukan.1
Lama-kelamaan perpustakaan di Nineweh
memiliki hampir tiga puluh ribu lempengan di dalamnya. Menurut pendapat
Ashurbanipal, perpustakaannya merupakan pencapaian yang kekal dari kerajaannya:
Aku, Ashurbanipal, raja semesta,
kepada siapa dewa-dewa telah menganugerahkan kecerdasan yang luas,
yang telah mendapatkan ketajaman yang tembus batas
untuk rincian yang sulit ditembus oleh pengetahuan ilmiah
(tak satu pun dari pendahuluku memiliki pemahaman seperti ini),aku telah menempatkan lempengan-lempengan ini demi masa depan perpustakaan di Nineweh
demi hidupku dan demi kesejahteraan jiwaku,
untuk meneruskan fondasi dari singgasana kerajaanku.2
Esarhaddon mungkin telah berhasil untuk mempertahankan Mesir, tetapi
kerajaan alam pikiran Ashurbanipal akan bertahan selama-lamanya.
Kerajaan duniawinya sedikit lebih mudah retak. Raja Elam sedang mempersiapkan penyerangan ke Babilonia, dan ke arah Utara Elam satu musuh
baru sedang (sekali lagi) bersatu untuk membuat ancaman.
Pada tahun yang sama saat Psammetichus memberontak, raja Elam,
Teumann, dan pasukannya mulai bergerak ke arah Babilonia. Kemungkinan
Teumann telah dijanjikan dengan penyambutan yang hangat. Permusuhan
telah berkembang antara Ashurbanipal dan adiknya Shamash-shum-ukin, raja
muda Babilonia, selama beberapa saat. Tulisan-tulisan awal dari Shamashshum-ukin menyebutkan Ashurbanipal, dengan sopan, sebagai “abang
kesayanganku” dan “raja dari keempat bagian dari bumi,” memohon berkat
untuk kesehatan Ashurbanipal, dan menakut-nakuti musuh-musuhnya dengan bencana.3
Tetapi jumlah catatan yang sama yang ditinggal di Babilonia oleh
Ashurbanipal sendiri menyatakan bahwa ia telah mengelola terlalu mikro
persoalan-persoalan kota selama bertahun-tahun.4
Satu pasukan Elam
dapat membantu Shamash-shum-ukin membebaskan diri dari dominasi
Ashurbanipal.
saat Ashurbanipal menerima berita bahwa orang-orang Elam sedang
bergerak, ia meminta petunjuk para peramal istana. Mereka meyakinkan dia
bahwa pertanda buruknya menguntungkan, maka ia mengambil tindakan
melawan: ia menyeberang sungai Tigris dan menemui orang-orang Elam di
daerahnya sendiri. Pasukannya menghalau mereka mundur ke Susa, mengakibatkan pembunuhan besar-besaran terhadap mereka. “Aku membendung
sungai dengan tubuh orang-orang Elam,” Ashurbanipal membual, dalam
prasasti yang diukir pada relief-relief di Nineweh, “dan saat Teumann,
raja dari Elam, melihat kekalahan pasukannya, ia lari untuk menyelamatkan
dirinya.”
Teumann, raja dari Elam, terluka; anak tertuanya menarik tangannya, dan
mereka lari ke arah hutan. Tetapi kerangka dari kereta kerajaannya pecah
dan jatuh menimpanya (dan memerangkap dia). Teumann, dalam keputusasaan, berkata pada anaknya, “Ambil busur [dan lindungi kita]!” Tetapi
tiang kereta yang telah menembus Teumann, raja dari Elam, juga telah menembus anak laki-lakinya. Dengan dorongan dari Assur, aku bunuh
mereka; aku potong leher mereka di depan satu sama lain.5
Relief-relief itu sendiri memberikan satu rincian lagi; Ashurbanipal kelihatannya membawa kepalanya pulang bersamanya dan menggantungnya di
kebun, tempat ia dan istrinya lalu makan malam di bawah pepohonan
yang dihiasi tadi. Sementara itu Shamash-shum-ukin tetap berada di atas
tahtanya. Nampaknya, tidak ada bukti bahwa ia pernah berhubungan dengan
Teumann yang sudah mati tersebut.
Hampir sesaat itu juga, satu pasukan lain bergerak menuju Nineweh
sendiri.
Suku-suku bangsa Madua telah berhasil mengatur diri ke dalam kerajaan Median beberapa tahun sebelumnya. Suatu saat sebelum Ashurbanipal
naik tahta, seorang hakim desa bernama Deioces telah mendapatkan reputasi akan kejujuran dan integritasnya yang menyebar ke seluruh suku bangsa
Midian, sampai mereka menyatakan dia sebagai pemimpin di antara mereka
semua. “Begitu kekuatan ada di tangannya,” Herodotus menulis, “Deioces
menekankan agar orang-orang Medes membangun sebuah kota dan memelihara kota yang satu itu.”6
Kota pusat tersebut yaitu Ecbatana, dan saat
suku-suku tersebut berkumpul di situ Ecbatana menjadi pusat dari bangsa
yang sedang muncul.Ecbatana: satu dari kota-kota yang paling menakjubkan pada zaman purba,
dibangun di atas lereng Timur dari Gunung Orontes. Ecbatana dikelilingi
oleh tujuh tembok yang melingkar, yang lebih jauh terletak di lereng bukit
dari yang berikutnya dan seterusnya, sehingga puncak dari masing-masing
dapat dilihat semakin jauh semakin menanjak ke atas.7
Baluarti-baluarti kota
— posisi-posisi pertahanan di tembok, yang dibangun keluar dari tembok
itu sendiri dalam bentuk baji yang diperkuat sehingga para pemanah dapat
berdiri di atasnya — dicat dengan warna yang terang; kubu-kubu baluarti dari
tembok yang paling luar berwarna putih, berikutnya berwarna hitam, lalu merah, biru, dan merah jingga; kubu-kubu baluarti dari lingkaran yang
kedua dari luar disepuh warna perak, dan lingkaran yang terakhir, di mana
terletak istana kerajaan itu sendiri, disepuh keemasan. Ecbatana yaitu salah
satu dari pemandangan yang luar biasa dari dunia purba: enam ribu kaki di
atas permukaan laut, bersinar di atas puncak bukit seperti permainan anakanak yang besar dan menakutkan.
Tahun 675, putra Deioces, Phraortes, telah mewarisi peran ayahnya
sebagai pemimpin. Dari Ecbatana, Phraortes menyerang Parsua yang berdekatan: orang-orang Persia, persekutuan yang lebih longgar yang dipimpin oleh
maharaja mereka, Achamenes. Mereka dikalahkan dan dijadikan Negara taklukan Dan dari sana, Herodotus menyatakan, Phraortes, “dengan dua Negara
kuat di bawah perintahnya,” membuka mata untuk mengalahkan Asia, “suku
demi suku.” Ia telah menjadi seorang raja.
Tahun 653, Phraortes juga telah berhasil membuat persekutuan dengan
orang-orang Cimmeria yang liar. Bersama-sama, orang-orang Medes dan
Persia dan Cimmeria memutuskan akan mengambil keuntungan dari masalah yang dihadapi Ashurbanipal di Assiria untuk bergerak ke ibu kota itu
sendiri.
Ini yaitu salah perhitungan. Orang-orang Scythia, yang bersekutu dengan
Assiria karena pernikahan (saudara perempuan Ashurbanipal menikah dengan
raja Scythia), datang dan bertempur di sisi pertahanan Assiria. Pasukan-pasukan Cimmeria, Medes, dan Persia tidak hanya dipukul mundur dari benteng
kota Nineweh, tetapi Phraortes pun terbunuh; dan pahlawan Scythia komandan Madius mengklaim kedudukannya sebagai Madius orang Scythia, Raja
dari Medes dan Persia.
Pada , kejengkelan Shamash-shum-ukin terhadap kakaknya muncul ke permukaan. Ia memimpin para tentara Babilonia melawan
Cuthah, pos terdepan Assiria tepat di Utara Babilonia, dalam upaya yang
terang-terangan untuk memancing pasukan abangnya keluar. Ashurbanipal
menyatukan pasukannya sendiri untuk serangan balasan; kegelisahannya tercermin dalam pertanyaannya kepada dewa matahari Shamash yang bertahan
hidup dari saat itu. “Shamash, tuhan mahabesar,” salah satu dari yang lebih
awal tertulis, “apakah orang Elam bergabung untuk berperang?” (Jawabnya
mengiyakan, dan jelas tentara-tentara Elam segera datang untuk memperkuat
pemberontakan Shamash-shum-ukin. sesudah kematian Teumann, tidak seorang pun secara khusus berhasil menuntut singgasana Elam, dan pasukan
tersebut kelihatannya jalan sendiri.)
Shamash-shum-ukin menenggelamkan diri di belakang tembok Babilonia
untuk bertempur. “Apakah pasukan dari Shamash-shum-ukin akan meninggalkan Babilonia?” Ashurbanipal bertanya pada tuhannya, tidak lama sesudah
itu, dan lalu , dengan menunjukkan kekurangyakinan tertentu, “Apakah
pasukan Assiria akan menang melawan Shamash-shum-ukin?”8
Pasukan memang menang, tetapi tidak sampai sesudah pengepungan selama tiga tahun berakhir dengan kelaparan dan ketakutan (“Mereka yaitu
daging anak-anak laki-laki dan perempuan mereka karena kelaparan”). saat
kota akhirnya tumbang, tentara Ashurbanipal tidak menunjukkan belas kasihan terhadap pemberontak yang bertahan. Catatan Ashurbanipal sendiri
membenarkan, secara tidak langsung, mengapa dulu-dulunya kota tersebut
dihancurkan oleh kakeknya, Sankherib: Babilonia tiada lain kecuali masalah.
“Sisa dari apa saja yang hidup, aku hancurkan di tempat kakekku Sankherib
dibunuh,” ia menulis, “dan tubuh-tubuh mereka yang dipotong-potong aku
berikan untuk makanan pada anjing, babi, serigala, elang, burung-burung
dari surga, dan ikan-ikan dari kedalaman air.”9
Shamash-shum-ukin sendiri mati, bukan di tangan seseorang, tetapi di
dalam api di istananya sendiri. Ia telah mengorbankan dirinya sendiri untuk
menghindari balas dendam abangnya sendiri. Ashurbanipal memerintahkan
untuk mengubur tubuhnya dengan upacara yang pantas, meletakkan orangnya sendiri, seseorang bernama Kandalu, untuk menempati tahta, dan
memerintah Babilonia melalui boneka ini. Kandalu melayani dalam peran
ini selama lebih dari dua puluh tahun, tetapi kurangnya kekuasaan terlihat
dengan ketiadaannya catatan-catatan kerajaan di Babilonia yang menyebutkan
namanya.10
Dan lalu Ashurbanipal bertempur di satu peperangan dalam pemerintahannya yang akan memindahkan perbatasan Assiria keluar. Di sebelah
Timurnya, perang saudara terjadi karena adanya pergantian tahta di Elam;
Ashurbanipal pergi ke sungai Tigris dua kali lagi dengan pasukannya, setiap
kali bertindak dengan kekejaman yang meningkat dan ia membuat seluruh
kawasan langsung berada di bawah pemerintahan Assiria. Kota-kota di Elam
dibakar. Kuil-kuil dan istana-istana Susa dirampok. Demi alasan yang tidak
lebih baik daripada pembalasan dendam, Ashurbanipal memerintahkan agar kuburan kerajaan dibuka dan tulang-tulang dari para raja diikat bersama
sebagai tawanan:
Aku bawa tulang-tulang mereka ke Assiria,
Aku buat roh-roh mereka tidak tenang,
Aku singkirkan mereka dari makanan dan minuman sesaji mereka.11
Ia mengambil siapa saja yang dapat menuntut tahta Elam di waktu mendatang untuk dibawa ke Nineweh dengan dirantai, dan mengasingkan sejumlah
besar warga Elam jauh dari tanah air mereka; banyak dari mereka ditempatkan
di wilayah tua Israel, sebelah Utara dari negara kecil, yang bertahan, negara
Yuda.
Tindakan tersebut tidak sedemikian menghancurkan indentitas nasionalnya sejauh yang diharapkannya. Dua ratus tahun lalu , gubernur dari
daerah tersebut menulis pada raja dengan menyebutkan berbagai kelompok
di bawah pengawasannya: di antara mereka, ia menyebutkan “orang-orang
Elam dari Susa, dan orang-orang lain yang telah diasingkan dan ditempatkan
oleh yang maha besar dan mulia Ashurbanipal di kota Samaria dan tempat
lain di Seberang Efrata.”12 Bahkan di perngasingan, keturunan dari tawanan
Ashurbanipal mengingat baik nama maupun kota asal mereka.
Tetapi sesudah hampir dua ribu tahun keberadaannya, negara Elam telah
dihapuskan. Ashurbanipal memiliki dua rancangan, dalam berurusan dengan
titik-titik bermasalah di kerajaannya: menghancurkan total atau mengabaikan
sama sekali. Mesir cukup jauh letaknya untuk akhirnya beruntung mendapatkan rancangan yang kedua; Elam, yang terlalu dekat untuk diabaikan,
mendapatkan rancangan yang pertama.
Ini yaitu gerakan yang tidak bijaksana. Ashurbanipal tidak membangun
kembali sesudah menghancurkan negara tersebut. Ia tidak mengangkat gubernur, ia tidak menempatkan penghuni kembali ke kota-kota yang dibinasakan,
ia tidak mengupayakan untuk membuat provinsi baru Assiria menjadi sesuatu
yang lebih daripada sekadar tanah kosong; Elam terbentang terbuka dan tidak
dilindungi.
Penyerbuan yang pertama dilakukan dengan hati-hati: maharaja Persia,
Teispes, bergerak dengan hati-hati masuk ke wilayah Elam, Anshan, dan
mengklaim sebagai miliknya sendiri. Ashurbanipal tidak melakukan apa-apa
untuk menghentikannya. Tidak juga atasan Teispes, Madius orang Scythian,
yang sekarang menempati peran sebagai raja tinggi atas Medes maupun Persia.
Bahkan saat Teispes mulai menunjukkan gayanya sebagai “Raja Anshan,”
tidak ada perlawanan. Kemungkinan sebutan “raja” diikuti dengan sikap
tunduk yang pantas dan pembayaran upeti, bahkan saat suku-suku Persia mulai menyebar ke seluruh daerah Elam. Tanah inilah, bukan tanah yang pernah mereka diami di masa-masa sebelumnya, yang akhirnya menjadi dikenal
dengan nama: Persia. Di sinilah mereka mengangkat busana gaun Elamit,
sejenis gaun panjang resmi, yang lalu dikenal sebagai gaun Persia yang
khas.13
Hanya tiga atau empat tahun lalu , tahun 640, Teispes meninggal
dan meninggalkan pekerjaan sebagai maharaja Persia kepada putranya, Cyrus.
Seperti ayahnya, Cyrus mempraktikkan kepemimpinan atas suku-suku Persia
di bawah payung dari Madius orang Scythia, dan seperti ayahnya, ia menyebut dirinya sebagai Raja Anshan. Madius orang Scythia melanjutkan dengan
melaksanakan pemerintahannya dari Ecbatana, dengan Anshan sebagai kota
bawahannya.
T- dari pemerintahan Ashurbanipal ditandai dengan kekacauan yang semakin memuncak; tulisan-tulisan terpisah-pisah,
riwayat-riwayat tidak lengkap. Tetapi sikapnya terhadap Elam yaitu sesuatu
dengan apa orang dapat menilai, raja telah berkembang menjadi semakin
ceroboh dalam urusan administrasi dari provinsi-provinsinya. Mungkin ia
sakit, atau menjadi pikun; dari tahun 630 hingga kematiannya di tahun 627,
putranya, Ashur-erillu-ilani, memerintah kerajaan dengan namanya, dan atas
namanya.
Tentu saja negeri-negeri di dekatnya melakukan apa saja yang mereka suka
tanpa takut adanya campur tangan Assiria. Orang-orang Medes dan Scythia
telah mulai melakukan perlawatan bersenjata ke Urartu, menutup jalan lewat
satu demi satu, menduduki satu pertahanan dan berikutnya; tembok-tembok benteng kota Urartu, yang digali dua milenium lalu , kepala-kepala
panah Scythia ditancapkan ke dalamnya seperti percikan peluru senapan
kuno.14 Ke atas di perbatasan Utara Urartu, atap-atap dari kayu yang tumbang di kota Teishabani (sekarang Karmir Blur) ditemukan, ditebari dengan
kepala-kepala panah Scythia yang terbakar. Panah-panah api, ditembakkan ke
arah kota, telah membuatnya terbakar.15
Di atas tanah Semit Barat, Raja Josiah dari Jerusalem melakukan perlawatan
ke atas ke dalam provinsi Assiria yang pernah menjadi bagian Israel, merusak
tempat-tempat keramat, dan mengotori altar orang-orang yang menghuni
tempat itu karena deportasi Assiria dengan menebarkan tulang-tulang manusia di atasnya.16 Sementara itu tentara Scythia bergerak melalui Yuda dan ke
bawah menuju Mesir, mengancam penyerbuan hingga Psammetichus keluar
untuk membuat penawaran dengan mereka: “Dengan kombinasi antara uang
pelicin dan permohonan, ia membujuk mereka untuk tidak datang lebih jauh
lagi,” Herodotus menulis.17 Dan ke bawah, di bagian cekungan Teluk Persia, kutukan Merodach-baladan masih aktif; kepala suku Khaldea, Nabopolassar,
cucu kemenakan laki-laki dari pemberontak lama, mendekatkan orang-orangnya ke tembok-tembok Babilonia.*
Untuk semua masalah ini, Nineweh tidak menanggapi.
saat Ashurbanipal akhirnya meninggal, tahun 627, kekacauan menelan hampir setiap bagian dari kerajaan. Ashur-erillu-ilani menjadi raja Assiria,
tetapi saudara laki-lakinya tiba-tiba pergi ke Babilonia dan mengambilnya
sendiri untuk dirinya. Sementara itu Nabopolassar bergerak ke atas dari
Selatan untuk mengadu peruntungan atas tahta Babilonia. Untuk enam
tahun selanjutnya, pertempuran segitiga terjadi antara Assiria di Nineweh,
Assiria di Babilonia, dan Nabopolassar, yang sejak semula tidak berhasil merebut Babilonia itu sendiri, tetapi melancarkan pengepungan ke kota-kota di
dekatnya satu per satu.
Di tengah-tengah kekacauan, orang-orang Midia memukul balik maharaja Scythia, yang hingga saat itu telah memerintah mereka selama dua puluh
delapan tahun. Orang-orang Scythia, yang umumnya prajurit dan bukan administrator, telah membuat diri mereka semakin tidak populer: “Bukan hanya
karena mereka terbiasa dengan pajak yang pasti dari subyek hukum mereka,”
Herodotus menyatakan, “tetapi bahwa, jika pajaknya tidak mencukupi, mereka biasanya berkeliling dan menjarah milik penduduk.”18
Orang-orang Medes, dibuat jengkel dengan perlakuan itu, menggunakan keserakahan cara Scythia untuk keuntungan diri. Anak dari mendiang
Phraortes, Cyarxes, masih tinggal di rumah ayahnya (kelihatannya tidak
muncul di antara orang-orang Scythia gagasan bahwa mungkin menjadi
rencana yang bagus untuk melenyapkannya). Menurut Herodotus, Cyarxes
mengundang penguasa Scythia dan pengawalnya ke pesta untuk menghormati mereka, membuat mereka semua mabuk total, dan membunuh mereka:
“Maka orang Medes merebut kembali kerajaan mereka,” Herodotus menyimpulkan, “dan memegang kendali lagi menguasai penduduk yang sama
seperti sebelumnya.” Cyarxes menjadi raja tinggi bagi orang-orang Medes
dan Persia. Segera ia mengatur kembali pasukan untuk membuatnya lebih
kuat. Ia membaginya menjadi beberapa regu menurut keistimewaannya (tentara pejalan kaki dengan tombak, pasukan berkuda, dan para pemanah) dan
mulai melatih mereka agar menjadi sempurna. Di sebelah Barat tidak terdapat
apa-apa kecuali kekacauan; di Utara, kekacauan dan suku-suku pengembara
pejuang dan kerajaan Urartu yang sedang sekarat. Bangsa Medes dan Persia
telah siap untuk mengambil alih semua.
G A R I S WA K T U 5 5
ASSIRIA DAN PERSIA MESIR DAN yUDA
Ahaz
Shalmaneser V
MIDIA PERSIA Sargon II Hizkiah
Deioces (721-704)
Shabaka
Akhamenes Sankherib
(704-680)
Tirhakah (690-664)
Esarhaddon (680-668)
Phraortes
Dynasty 26
Ashurbanipal (668-626) Necho I
Madius Teispes Psammetichus I
orang Cyrus I
Scythian Yosias
Ashur-etillu-ilani
Cyarxes
Pada tahun , orang-orang yang dijajah Yunani
telah keluar untuk membangun sejumlah kota sepanjang poros yang terbentang luas dari Barat Daya hingga Timur Laut. Penghuni Yunani membangun
kembali sebuah kota baru di pantai Asia, di atas reruntuhan Troya yang berumur empat ratus tahun. Kota-kota Yunani yaitu Chalcis dan Eretria, yang
telah mengeluarkan orang-orang yang dijajah untuk membangun tidak
kurang dari Sembilan kota di semenanjung Italia, mengirimkan lebih banyak
penghuni ke arah Aegea Utara; Chalcis, sebenarnya, mengirimkan begitu
banyak sehingga keseluruhan daerah bagian Utara Aegea menjadi dikenal
sebagai Chalcidice.1
Pantai Aegea dikelilingi oleh kota-kota Yunani; orangorang Yunani telah menjadi, dalam kiasan Plato yang hidup, “seperti katak di
sekitar rawa.”2
Para penghuni yang mencari peruntungan di kota-kota baru Yunani dipaksa untuk menyerahkan kewarganegaraannya di kota asal mereka, kota
metropolitan atau “kota ibu” tempat asal mereka datang.3
Identitas utuh mereka sebagai orang Yunani terletak pada kemampuan mereka untuk mendirikan
pagar Yunani di tanah baru mereka. Mereka membawa dengannya keranjangkeranjang isi biji-bijian dari Yunani untuk ditanam di lading-ladang di luar
negeri, serta kendi-kendi api dengan merk dagang Yunani untuk menyalakan
perapian di tempat asing. Didukung oleh makanan Yunani dan dihangatkan
dengan api Yunani, mereka membangun kuil-kuil Yunani, menceritakan
dongeng-dongeng Yunani, dan mengirimkan perwakilan-perwakilan ke permainan olahraga Yunani, menganyam jaring Yunani yang membentang keluar
dari semenanjung itu sendiri untuk meliputi bagian-bagian dunia yang jauh.
Kelangkaan tanah di semenanjung Yunani telah memaksa setiap kota metropolitan untuk mengirim keluar penghuni jauh sebelum kota asal mereka telah mencapai kematangannya. Jajahan-jajahan, dikelilingi oleh orang lain,
dan kota-kota ibu berkembang bersama-sama. Sejak awal mula, menjadi
orang Yunani berarti juga memiliki unsur-unsur budaya Asia, Italia, Finisia,
dan Afrika juga. Pendatang-pendatang Yunani memenuhi Thrace, tanah tepat
di sebelah Utara lintasan menuju Laut Hitam, di mana orang-orang Frigia
telah lama berpindah menyeberang air ke arah Asia Kecil.*
Penjelajah-penjelajah Yunani pindah melewati selat Bosforus ke Laut Hitam itu sendiri, di mana
laki-laki dan perempuan dari Miletus — kota di Ionia, yang saat itu telah dihuni oleh penghuni-penghuni Mycenas sejak lebih dari satu abad sebelumnya
— menanami sebanyak tujuh puluh koloni sekitar Laut Hitam dan bahkan ke
atas ke arah Utara. Penghuni-penghuni yang dikirim keluar dari kota Megara
(tepat sebelah Barat Athena, di atas jembatan tanah yang menghubungkan
Peloponnesia dengan bagian Utara dari semenanjung Yunani), mencaplok
dua tempat utama di kedua sisi dari selat Bosforus, dan membangun koloni
kembar Megaran di pantai: Byzantium di pantai sebelah Barat, Chaldecon di
sebelah Timur.
Di pulau Thera, tempat para penghuni yang tabah telah kembali untuk
membangun kembali di sekitar kawah vulkanik, kekurangan lahan sangatlah
drastis. Mendekati akhir dari periode penjajahan, mungkin sekitar tahun 630
SM, orang-orang Thera memilih satu dari dua anak laki-lakinya untuk dikirim keluar ke “Libya”: pantai Afrika di Selatan.
Menurut orang-orang Thera sendiri, ekspedisi pertama-tama mendarat di
suatu pulau di luar pesisir Afrika, tetapi lalu mengirim penghuni-penghuni tambahan (“satu dari dua laki-laki bersaudara . . . mana yang harus pergi
ditentukan dengan diundi”) untuk mengembangkan koloni Thera ke arah
daratan utama. Pemukiman Yunani di pantai Afrika Utara menjadi dikenal
sebagai Kirene. ** Tetapi orang-orang Kirene sendiri mengingat sejarah mereka yang lebih buruk. Mereka mengklaim bahwa penghuni asli sendiri telah
sangat kelaparan dan tertekan berat di pulau mereka yang gersang sehingga
mereka mencoba untuk kembali ke Thera. Akan tetapi,
orang Thera menolak membiarkan mereka mendarat . . .
mereka menembakinya setiap saat kapal mereka merapat ke pantai
dan menyuruh mereka berlayar kembali ke Libya. Karena mereka tidak
ada pilihan dalam hal ini, mereka kembali.4
Dalam waktu lima puluh enam tahun saat dua raja Kirene pertama memerintah, Herodotus mengatakan bahwa “populasi orang Kirene masih tetap
pada tingkat saat mereka pertama datang untuk mendiami Libya.”5
Dengan
kata lain, kondisi di pinggiran Libya begitu sulit sehingga koloni hampir tidak
mungkin bertahan. Namun meskipun banyak kesulitan, berbagai hal berlangsung lebih parah di Thera. Rasa permusuhan orang Thera terhadap para
perantau yang kembali, yang akan semakin memadatkan pulau lagi, menunjukkan bahwa pengiriman keluarga-keluarga Yunani keluar ke daerah-daerah
koloni sesungguhnya merupakan masalah hidup dan mati.
Kta , di tengah-tengah Peloponesia, mengambil pendekatan yang
berbeda untuk masalah perkembangan.
Penghuni Sparta yaitu orang Doria yang telah menempati di atas reruntuhan Mycenas dan membangun kota mereka sendiri. Sparta terletak di
lembah sungai, di tepi Timur sungai Eurora, yang mengalir ke bawah dari
pegunungan di sebelah Utara. Sungai tersebut berguna sebagai persediaan
air, tetapi dangkal, berbatu-batu dan tidak dapat dilewati kapal; maka orangorang Sparta tidak memiliki kapal. Sementara kota-kota Yunani di pantai
mengirim muatan penuh koloni keluar ke Timur dan ke Barat, orang-orang
Sparta mempersenjatai diri, menyeberang pegunungan Taygetus di perbatasan
Barat mereka, dan menyerang kota Messene, yang terletak di sisi yang lain.
Motivasi mereka umumnya praktis; kira-kira tujuh puluh tahun lalu ,
penyair Sparta, Tyrtaeus, menulis tentang perang tersebut, menyebut kota
tersbut “Messene yang luas ... bagus untuk membajak dan bercocok tanam.”6
Penaklukan yang tidak mudah; Tyrtaeus mengatakan bahwa orang-orang
Sparta dan Messenia bertempur selama dua puluh tahun. Tetapi pada tahun
630, Messene telah menjadi sebuah kota pokok orang Sparta. Sparta bukan
lagi sekadar sebagai kota Yunani: ia telah menjadi kerajaan kecil. Di kerajaan Sparta ini, orang-orang Messenia yang ditaklukkan itu menjadi golongan
kelas budak, yang menanam bahan makan untuk orang yang menawan mereka dengan syarat-syarat yang sekasar apa pun, seperti banyak ditemukan di
zaman feodal abad pertengahan: “Seperti keledai, menjadi usang oleh beban
dari tuannya,” Tynaeus mengatakan, “mereka membawa ke tuan-tuan mereka
kewajiban yang menyedihkan yaitu separuh dari buah-buahan yang dihasilkan tanah mereka.”7
Orang-orang Sparta sendiri menjadi aristokrat, suatu ras
majikan pejuang laki-laki dan ibu-ibu dari para serdadu perang.
Negeri Sparta memiliki keistimewaan yang tidak ditemukan di mana
saja pada dunia purba: ia memiliki dua raja, keturunan dari laki-laki kembar
legendaris yang pernah memerintah Sparta beberapa generasi sebelumnya,
sambil menghabiskan “keseluruhan dari masa dewasa mereka bertengkar satu sama lain.”8
Orang-orang Sparta lebih senang memiliki dua raja yang selalu
bertengkar, daripada satu raja yang mengatur semua urusan dengan kekuatan
yang tak bisa ditentang.*
Sistem dua raja ini, meskipun juga menimbulkan kesulitan tersendiri, dapat
mencegah munculnya kerajaan bergaya Mesopotamia. Seperti orang Assiria,
orang-orang Sparta tidak melihat campur tangan ilahi bahwa dewa-dewa
harus memilih seseorang untuk memerintah mereka. Pengakuan Ashurbanipal
untuk menjadi raja “oleh perintah dari dewa-dewa yang mahabesar,” ditunjuk oleh mereka untuk “menggunakan kedaulatan,” tidak hanya asing tetapi
menjijikkan.9
Di Sparta, ketakutan orang Sumeria akan kekuasaan raja yang
diwariskan dan tak terbatas, yang pernah ditemukan dalam ungkapan di
dongeng-dongeng kuno bahwa kekuatan tersebut hanya diakhiri oleh kematian, kembali kuat



