Jumat, 26 Januari 2024
sigmud freud 3
By tewasx.blogspot.com at Januari 26, 2024
sigmud freud 3
ah mekanisme immature atau tidak matang, sehingga tidak
membantu menyelesaikan masalah yang asli.
a. lnses.
Dalam sebuah surat kepada Fliess, Freud melaporkan bahwa kecemasan itu
tidak berkorelasi dengan mental, tapi sebuah konsekuensi fisik dari kekerasan
seksual. Pada tahun , Freud memperesentasikan penemuan-penemuannya ini
kepada para praktisi medis yang kemudian diberi judul etiologi histeria. Dalam paper
itu, Freud melaporkan bahwa ia mengidentifikasi rangsangan spesifik pada
kegenitalan akibat dari kekerasan seksual yang terjadi pada masa kanak-kanak
sebagai trauma yang dibawa ke dalam histeria. Freud juga meneliti kasus histeria,
yang dalam kesimpulannya itu, kesemuanya ter:jadi akibat kekerasan seksual.
Dalam tulisan lainnya kepada Fliess di tahun , Freud berargumen bahwa
ayah sebagai pelaku tindak kekerasan seksual temyata juga melakukan tindak
penganiayaan setelah melakukan aktivitas tabu itu kepada para korban. Tentu saja,
penemuan ini telah menggelisahkan Freud.
Jika Freud memusalkan inses pada skema keluarga dan insting, namun catatancatatan parsial justru dipandang sebe\ah mata oleh Osborn yang menyatakan bahwa
inses tidak bisa dilihal dalam salu perspektif saja, setidaknya kita harus melibatkan
berbagai elemen yang memungkinkan terlanggarnya tabu inses. Dalam kaitan ini ia
mengemukakan berbagai risiko.
Faktor-faktor Sosiolingkungan meliputi:
\. Peherimaan atas supremasi pria.
. Kekuasaan yang tidak seimbang.
. Kepatuhan lerhadap gaya.
. Daya tarik pada objek seksual (pada anak-anak).
. Perbedaan dalam hubungan dengan anak-anak.
. Keluarga yang memberikan toleransi kepada inses (pennisif).
. lsolasi sosial.
. Tekanan hidup yang kuat.
Faktor-faktor yang bersumber dari keluarga meliputi:
I. Atura-aturan tradisional dalam hubungan pria dan wanita.
. Kualitas perasaan pada hubungan antara orang tua dan ayahnya (kakek).
. lnsiden-isiden kekerasan ketika kecil yang membekas dalam kehidupan
orang tua.
Faktor-faktor dalam sistem keluarga meliputi:
. Cara-cara kekerasan dalam kehidupan keluarga.
. Struktur keluarga.
. Komunikasi dalam keluarga.
Faktor-faktor kejadian yang mempercepat meliputi:
I. Alkoholisme.
. Terbukanya kesempatan.
. Stres yang akut.
Faktor-faktor tambahan yang beresiko meliputi:
. Kehadiran ayah tiri atau kekasih sang ibu.
. Ketiadaan hu bungan seksual anatara orang tua dalam waktu lama.
. Peran yang terbalik antara anak perempuan dan ibunya. Di mana anak
justru menggantikan pcran ibu dalam keluarga.
. Ayah yang pemabuk.
. !bu yang pasifatau telah meninggal.
Dalam pcrkembangannya, skcma keluarga yang diisi antara anak vis a vis
orangtua pada sistem teori seksualitas Freud, berkembang menjadi keterlibatan sosial
pada kenyatannya. Kempe ( ) menemukan bahwa para ayah yang melakukan
inses melibatkan putri mereka, cenderung menjadi pribadi introvert dalam kehidupan
sosial. Catalan. menarik dikemukakan bahwa seorang anak yang menjadi korban
mses, ketika dia menjadi ayah mempunyai kemungkinan untuk menuntaskan
"dendam" dengan anaknya lagi.
Goode cenderung satu suara bahwa seorang anak yang inses memang
menimbulkan masalah tertentu dalam kehidupan sosial, karena statusnya yang
membingungkan. Di satu sisi dia menjadi ibu, namun di sisi lain ia tetap seorang
anak. Lantas bagaimana status anak mereka? Karena kakek si anak juga menjadi
ayahnya. Jika dikatakan pernikahan adalah solusi, Goode justtu sebaliknya.
Kenyataanya, pernikahan tidak akan memecahkan masalah, namun hanya membuat
keadaan menjadi lebih buruk.
O'Brien ( ) seperti disarikan Levine dan Salle menyatakan jika penggunaan
anak-anak dalam rangsangan seksual, apakah melalui pornografi, kekerasan, atau
inses mengakibatkan jiwa anak berada dalam tujuh ha! penting.
l. Psikologis, pengenalan aktivitas seksual yang cepat akan memotong
perkembangan masa kanak-kanak yang seharusnya. Anak-anak tidak
mempunyai perasaan emosional yang tegar dalam mengasosiasikan
seks.
. Harga diri yang rendah, kekerasan seksual akan membuat anak menarik
diri dari teman-temannya karena aib.
. Eksploitasi, anak-anak akan menjadi ladang pemuas kebutuhan oleh
orang dewasa.
. Menjadi mudah terancam, karena anak-anak mengandalkan orang-orang
dewasa, maka anak-anak mudah terancam. Penggunaan anak secara
seksual menciptakan tekanan yang lebih dan kecemasan. Karenanya
anak mulai mengintepretasikan ketergantungan sebagai suatu hal yang
rnernbahayakan.
. Pandangan tentang seksualitas terdistorsi, meskipun beberapa anak
tidak menyadari aib ini sampai usia dewasa. Kekerasan seksual akan
menimbulkan cara pandang anak yang negatif dalam hubungan seksual.
. Privasi anak, jika polisi atau praktisi anak tidak melakukan
perlindungan, anak-anak korban inses sangat rentan untuk diekspos
dalam majalah atau film porno.
. Distorsi perkembangan moral, perkembangan moral tentang betul dan
salah berkembang pada waktu anak menjadi korban kekerasan seksual.
Banyak kasus inses yang terjadi dalam keluarga yang saleh, disiplin,
teguh menciptakan nuansa munafik dan bingung pada diri korban
ten tang aturan moral yang sebenamya.
Lagi-lagi Freud mengaitkan isi psikopatologinya setidaknya dalam noda-noda
agama. Pada zaman primitif, temyata aturan-aturan totem tentang tabu inses lebih
radikal daripada yang sekarang mengemuka. Dengan mengambil berbagai rnjukan
kalangan antropolog seperti Frazer, didapat temuan bahwa larangan-larangan dalam
pernikahan sesama suku, semata-mata dilakukan karena kengerian terhadap inses.
Dengan sistem ini, alhasil membuat seorang laki-laki mustahil melakukan hubungan
seks dengan sesama perempuan dari kelompoknya atau sebaliknya.
Di Melanesia, larangan-Jarangan yang bersifat inses ditujukan pada hubungan
laki-laki dengan ibunya atau saudara perempuannya. Seperti di Pu!au Leper,
kepulauan New Henrides, seorang anak Jaki-laki meninggalkan rnmah ibunya pada
usia tertentu dan harus pindah ke rumah adat tempat ia sehari-hari tidur dan makan.
Adat yang sama berlaku di Kaledonia Barn. Jika saudara laki-Jaki dan perempuan
bertemu, si perempuan segera bersembunyi di semak-semak dan si Jaki-laki berjalan
terus tanpa boleh menoleh.
Freud berpendapal apa yang terjadi pad a zaman primitif itu tetap berlaku dalam
rcntang tcori Seksualitas. Scbagai contoh, pada aturan larangan inses seomng
menantu dan mertuanya, Freud sampai menelisik dalam hingga akhirnya
menunjukkan sebuah skema bahwa pandangan menantu pada mertuanya
mengingatkannya pada gambaran ibunya yang terns tersimpan dalam ketidaksadaran.
"Campuran perasaan lain dalam dirinya seperti lekas marah dan benci
membuat kita mencurigai bahwa bagi menantu laki-laki, Si ibu mertua
sebenarnya mempresentasikan godaan inses, seperti banyak terjadi bahwa
seorang laki-laki jatuh cinta pada terlebih <lulu ~ada ibu mertuanya sebelum
perasaan itu dialihkan pada anak perempuannya."
Apa yang diucapkan Prcud juga ditangkap kuat oleh Markale yang mengkaji
bcberapa klan dalam kaitan inses. Seperti dikutip Knapp, Markale menyajikan fakta
bahwa tabu inses yang dilanggar di masyarakat Celtic, para raja, dan pahlawanpahlawannya, mengasosiasikan diri mereka kepada para dewa, rasa berdosa, dan
keyakinan kepada aturan moral yang kenyataannya tidak dapat ditegakkan oleh
kepala suku seperti diri mereka. Semisal puisi-puisi epik di Celtic yang penuh dengan
gairah inses, seperti Mordred tentang anak Raja Arthur yang melakukan inses dengan
saudara perempuannya Morgan Le Fay. Cu Chulainn tentang anak suku Conchubar
dan saudara perempuannya Dechtire. Cormac Conloinges tentang anak suku
Conchubar dan !bun ya Ness.
Kajian-k~jian primitif ini adalah titik temu bahwa inses merupakan suatu
infantilisme dan terkait kehidupan psikis neurosis. Arti family complex yang
diuraikan Freud pada fase phalik menjadi awal mula inses di mana kecendrungan
percintaan sedarah terurai kepada kekecewaaan anak kepada orangtua. Ini setidaknya
menunjukkan kepada kita keterikatan yang kuat pada masa kanak-kanak dalam inses
yang sulit dilepaskan.
·'Psikoanalisa telah mengajarkan kita bahwa pemilihan obyek seks
pertama scorang anak laki-laki pada dasamya bemotifkan hasrat inses dan
bahwa ia d iarahkan pada obyek-obyek terlarang, ibu dan saudara
perempuannya. Psikoanalisajuga mengajarkan pada kita cara-cara yang dipakai
individu yang beranjak dewasa untuk membebaskan dirinya dari ketertarikan
inses. Akan tetapi, penderita neurosis biasanya menampakkan suatu bentuk
infantilismc psikis, ia tidak bisa membebaskan dirinya dari kondisi psikoseksual
anak-anak, atau ia malah kembali kc regresi. Jadi, fiksasi libido yang berbasis
inses ini masih, atau kcmbali memainkan peran utama dalam kehidupan psikis
t k d ,, a sa arnya.
Di Melanesia, larangan-larangan yang bersifat inses ditujukan pada hubungan
laki-laki dengan ibunya atau saudara perempuannya. Seperti di Pulau Leper,
kepulauan New Henrides, seorang anak laki-laki meninggalkan rumah ibunya pada
usia tertentu dan harus pindah ke rumah adat tempat ia sehari-hari tidur dan makan.
Adat yang sama berlaku di Kaledonia Baru. Jika saudara laki-laki dan perempuan
beemu, si perempuan segera bersembunyi di semak-semak dan si laki-laki be~jalan
terus tanpa boleh menoleh.
Freud berpendapat apa yang terjadi pada zaman primitif itu tetap berlaku dalam
rentang teori Scksualitas. Scbagai conloh, p~da aturan larangan inses seornng
menantu dan mertuanya, Freud sampar menelisik dalam hingga akhirnya
menunjukkan scbuah skema bahwa pandangan menantu pada merluanya
mengingatkannya pada gambaran ibunya yang terns tersimpan dalam ketidaksadaran.
"Campuran perasaan lain dalam dirinya seperti lekas marah dan benci
membuat kita mencurigai bahwa bagi menantu laki-laki, Si ibu mertua
sebenarnya mempresentasikan godaan inses, seperti banyak terjadi bahwa
seorang laki-laki jatuh cinta pada terlebih <lulu ~ada ibu mertuanya sebelum
perasaan itu dialihkan pada anak perempuannya."
Apa yang diucapkan Freud juga ditangkap kuat oleh Markale yang mengkaji
beberapa klan dalam kaitan inses. Seperti dikutip Knapp, Markale menyajikan fakta
bahwa tabu inses yang dilanggar di masyarakat Celtic, para raja, dan pahlawanpahlawannya, mengasosiasikan diri mereka kepada para dewa, rasa berdosa, dan
keyakinan kepada aturan moral yang kenyataannya tidak dapat ditegakkan oleh
kepala suku seperti diri mereka. Semisal puisi-puisi epik di Celtic yang penuh dengan
gairah inses, sepeti Mordred tentang anak Raja Arthur yang melakukan inses dengan
saudara perempuannya Morgan Le Fay. Cu Chulainn tentang anak suku Conchubar
dan saudara perempuannya Dechtire. Cormac Conloinges tentang anak suku
Conchubar dan lbunya Ness.
Kajian-kajian primitif ini adalah titik temu bahwa inses merupakan suatu
infantilisme dan terkait kehidupan psikis neurosis. Arti family complex yang
diuraikan Freud pada fase phalik menjadi awal mula inses di mana kecendrungan
percintaan sedarah terurai kepada kekecewaaan anak kepada orangtua. Jni setidaknya
menunjukkan kepada kita keterikatan yang kuat pada masa kanak-kanak dalam inses
yang sulit dilepaskan.
·'Psikoanalisa telah mengajarkan kita bahwa pemilihan obyek seks
pertama scorang anak laki-laki pada dasarnya bermotilkan hasrat inses dan
bahwa ia diarahkan pada obyek-obyek terlarang, ibu dan saudara
perempuannya. Psikoanalisajuga mengajarkan pada kita cara-cara yang dipakai
individu yang beranjak dewasa untuk membebaskan dirinya dari ketertarikan
inses. Akan tetapi, penderita neurosis biasanya menampakkan suatu bentuk
infantilisme psikis, ia tidak bisa membebaskan dirinya dari kondisi psikoseksual
anak-anak, atau ia malah kembali ke regresi. Jadi, fiksasi libido yang berbasis
inses ini masih, atau kembali memainkan peran utama dalam kehidupan psikis
tak sadarnya."
Fethisime
Fetishisme tetap berpusat pada asosiasi alam bawah sadar yang terisi penuh oleh
mekanisme represi terhadap keinginan. Freud mengetengahkan suatu kasus yang
diamatinya pada individu yang mengidap fetisisme kaki. Seorang pria yang tidak
tcrangsang dengan bagian sensitifwanita.
"Laki-laki tersebut malah bisa dibangkitkan semangat seksualnya hanya
o leh sebuah kaki berbungkus sepatu dengan bentuk tertentu. Dia bisa mengingat
sebuah persitiwa ketika bemsia tahun, yang menentukan fiksasi libido
tersebut. Dia sedang duduk di sebuah kursi di sebelah gum perempuannya yang
sedang memberinya pelajaran bahasa adalah seorang perawan tua yang
sederhana, bcmmur, dan berkeriput, dengan mata biru dan hidung yang pendek
namun lancip. Pada hari itu dia telah menyakiti kakinya karena menjulurkannya
pada sebuah bantal kursi dan beralaskan sandal beludru, dengan betis yang
terbuka dengan sepantasnya. Selanjutnya setelah upaya yang malu-malu pada
aktivitas seksual yang normal selama pubertas, sebuah kaki langsing berotot
semacam yang dimiliki sang ibu gum yang menjadi satu-satunya objek
seksualnya. Bila ciri-ciri lain pada seseorang menguatkannya pada tipe
perempuan yang terwakli oleh guru bahasa lnggrisnya, maka dia pun tak kuasa
untuk menahan ketertarikannya. Fiksasi-libido tersebut bagaimanapun juga,
tidak membuatnya menderita kelainan. Dia sekedar menjadi tak lazim, yang
bisa kita sebut sebagai remaja pemuja kaki."
Seperti dikutip Kennedy, l'reud beralasanjika fiksasi libido dari pasien di atas
bisa disebut sebagai penyebab fetishisme kaki. Fiksasi ini berada dalam konteks
bentuk khusus dari hubungan objek, ''.jenis" gum privat bahasa, seseorang yangjelasjelas mirip atau mampu menggantikan peran orang tua yang didamba. Dalam ha! ini
terdapat masalah-masalah traumatis yang berakitan dengan orang tua yang
diproyeksikan pada sang guru privat pada momen tertentu, sehingga membuat
libidonya sangat rentan terhadap fiksasi.
White dan Watt menilai harapan kaum fothis bahwa objek cintanya mempunyai
penis disimbolisasikan kepada bentuk fetish tangan. Namun harapan tinggal harapan
karena partner cintanya temyata adalah ibunya sendiri yang akhimya harus ia
tinggalkan karena sang ibu membohonginya dibalik pesona sensualita .
Pembahasan konsep fetisishisme turut diintensifkan oleh R.C Bak. Bak ( )
scperti diurai Gertrude dan Blanck telah menulis dengan ekstensifmengenai fetisisme
yang ditekankan pada faktor etiologi dalam hubungan ibu-anak ys.ng menghadirkan
masalah pemisahan. Bak percaya bahwa ketidakpastian dalam kesan dalam
memandang tubuh pada fetishisme adalah basil dari regresi, di mana realitas yang
teijadi dirubah kedalam ketidakpastian pada kesan tubuh pada fase phalik. Artinya,
kompleks kastrasi dan gcjolak yang terjadi pada fase phalik memainkan peran sentral
dalam seksualitas yang ganjil ini.
Lebih jauh Bak juga menekankan kontribusi perkembangan ego pada fase pra
phalik. Meskipun Bak tertuju pada analisis kecemasaan separatisme ibu dan anak dan
kelemahan struktur ego yang teijadi pada masa oral, namun Bak mempertahankan
mekanismc pertahanan pada fctistik harus muncul pada fase phalik. Hal ini juga
merupakan sebuah usaha untuk mengidentifikasi ibu yang kehilangan penis.
Kontribusi dari Bak ini setidaknya memodifikasi pemikiran Freud bahwa fetishisme
menghadirkan kebebasan dari objek cinta.
Selain itu, Greenacre juga memberikan pandangannya yang khas Klenian pada
kasus fetishisme. la memulai kontribusinya kepada teori fetishisme dengan
memperluas pemikiran Freud dalam peran psikologi ego. Awalnya Greenacre
menekankan pada kesan kompleks kastrasi dalam perkembangan pra genital yang
menjadi akar fetishisme, kemudian Greenacre menggeser perhatian dari kompleks
kastrasi itu ke tahapan awal pengalaman-pengalaman pra genital. Pengalaman itu
menghalangi struktur kepribadian untuk berkembang, dan akhimya membawa anakanak dalam kondisi tidak mampu menuntaskan krisis Oedipus. Pada misteri rentang
waktu kejadian fethistik, secara spesifik Greenacre meletakkan permasalahan
perkembangan pada setengah tahun pertama atau setengah tahun kedua.
Dalam perkembangannya, fetishisme bergerak menuju gejala psikopatologi
lainnya. Ciri utamanya adalah dorongan yang kuat dan berulang serta fantasi yang
berhubungan dengan melibatkan pemakaian pakain lawan jenis dengan tujuan untuk
meraih rangsangan seksual, hal ini disebut transvestik fetishisme. Jika individu
fetishisme dapat dipuaskan dengan memegang objek seperti pakaian wanita sambil
bermasturbasi, sedangkrui pada orang dengan transvestik fetishisme justru ingin
mengenakannya. Mereka dapat memakai pakaian feminim, aksesorisnya, dan
dandanannya secara lengkap atau lebih menyukai satu bagian dari pakaian, seperti
stoking perempuan, BH, celana dalam, dan lain sebagainya.
c. Homoseksualitas
Homoseksual sebenamya bukan kata yang mengejutkan bagi Freud. Dalam
anggapannya sedari awal bahwa manusia adalah biseksual. Alhasil, kecenderungan
menjadi homoseksual bergantung kepada dinamika psikis dalam keluarga.
Konkretnya seperti disitir Sadarjoen, bahwa kompleks Oedipus, fantasi inses, dan
kompleks kastrasi adalah keladi dari seks sesama kelamin ini.
Freud menggarisbawahi ketika terjadi rintangan untuk menyalurkan hasrat
seksual pada masa anak, akan ditemukan penyimpangan seksual seperti homoseksual.
Analisis menunjukkan kebanyakan setiap kasus homoseksual akan menetap dalam
kondisi yang laten. Sedangkan, traumatik fase anal memperlihatkan bahwa bagian
pengeluar feses ini menggantikan peran vagina dalam kegiatan sensualitas erotik
kaum homo. Atau sebelumnya pada fase oral yang begitu menginspirasi kaum homo
untuk mcndapatkan pcrsetubuhan melalui mulut.
Kita akan mencoba menggeser patokan tahap psikoseksual ini kepada bentuk
selfish love. Freud mendelegasikan bahwa ketimbang pilihan objek heteroseksual,
homoseksual lebih berhubungan kuat dengan narsisisme. Ketika gairah homoseksual
tak tersalurkan bahkan ditolak, akhirnya individu kembali kepada bentuk narsisisme.
Dari sini akhimya Freud sampai kepada kesimpulan yang membedakan dua tipe
setelah tahap narsistik. Yang pertama adalah tipe narsistik. Sebagai pengganti ego,
seseorang yang sedekat mungkin menyerupainya akan dikejar sebagai objek cinta.
Kedua, tipe anaklitis yang di dalamnya orang-orang menjadi dihargai karena
kepuasan yang mereka berikan kepada kebutuhan primer dalam kehidupan dipilih
sebagai objek cinta oleh libido. Fiksasi libido yang kuat pada tipe narsistik pemilihan
objek juga ditemukan sebagai karakteristik dalam karakter kaum homoseksual yang
nyata. s
Suatu terobosan dilaksanakan Gillespie yang mengenyampingkan tesa awal
Freud dan Pleiss bahwa biseksualitas menjadi deteriminitas dari homoseksual.
Catatan dari Gillespie lebih terfokus kepada proses belajar masa kecil. la berpikir
bahwa kajian teori homoseksualitas harus melampaui segi etiologi yang semata-mata
dimonopoli oleh usaha-usaha anak dalam kompleks Oedipus. Kesimpulanya,
Gillespie menyarankan untuk membedakan aktivitas homoseksual ke dalam dua tipe.
Pertama berdasarkan fiksasi pra Oedipus dan yang lainnya hadir karena regresi di
permukaan masalah kompleks Oedipus.
Layment menyatakan bahwa ibu yang tegang akan posesif niscaya
menghasilkan anak laki-laki homoseksual. Sedangkan Neodonia dan Nash
menambahkan bahwa keterikatan yang tidak sehat terhadap ibu pada kaum
homoseksual, menutup kemungkinan terbinanya sikap positif terhadap ayahnya,
bahkan kebanyakan mereka membenci ayahnya.
Ada suatu kondisi yang oleh Sadarjoen dilihat sebagai kecenderungan anakanak untuk mengadakan identifikasi dengan salah satu orang tuanya, di mana anak
tersebut mengalami frustasi yang mengesankan.
• Ayah yang lemah, tidak bijaksana dan membiarkan ibu dominan di
rumah.
• Ayah menginggal dunia waktu kecil.
• Tanpa ayah sama sekali.
• Perceraian orangtua, di mana anak laki-laki ikut dengan ibunya.
• Ayah yang bersikap dingin, kaku, dan kejam.
Pada situasi-situasi di atas, secara tidak langsung "memaksa" ibu untuk tampil
ke depan dengan mendominasi kehidupan anak dan membiarkan anak yang sangat
terikat emosional dengannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kombinasi
keterikatan yang abnormal dengan ibu dan relasi yang tidak memuaskan dengan ayah,
. . d" d k h k
serm g terJa pa a a um o mose s.
Tindakan agresif orang tua tidak luput dalam terciptanya homoseksual.
Gambaran klinis Freud pada bergeraknya insting mati dan agresifitas orang tua pada
fase anal ditunjang oleh R.R Sears. Sears seperti dikutip Sadarjoen menulis adanya
empat faktor utama yang mcmpengaruhi keberhasilan anak dalam diferesiansi
peranan jenis kelaminnya.
I. Anxiety sexual pada pihak orang tua terutama pada ayah yang
menghambat minat seksual serta rasa ingin tahu anak akan masalah
seksual.
. !bu menghukum anak dengan keras terhadap tingkah laku agresif anak.
J. Seringnya anak rnendapatkan hukurnan dan siksaan.
. Tuntutan yang besar terhadap tingkah laku yang baik, teratur dan bersih
d. . k 'l d b . rneJa ma an, to et, an se agamya.
Urnur-umur tertentu tidak menjadi patokan untuk melakukan
hornoseksualitas. Akan tetapi, setidaknya karena keragaman pelaku homoseksual
tersebut, maka bentuk penyimpangan objek seksual ini berkembang, seperti aktivitas
homoseksual yang dilakukan pria dewasa dengan anak laki-laki yang lebih muda atau
diistilahkan dengan pedofilia seksual.
F. Konstruksi Ontologi, Epistemologi, Empiris, dan ldeologis
Menurut hemat peneliti, kerangka filsafat ilmu dalam teori seksualitas Sigmund
Freud tentang kepribadian bergerak pada doktrinal seksualitas yang terlihat pada
filosofi kepribadiannya.
Peneliti juga menyimpulkan ada beberapa sendi epistemologis Freud yang khas
dimana penjabaran alam bawah sadar dibangun dengan serangkai penelitian yang
lagi-hgi banyak diilhami rekanan Freud semasa menyelami kasus-kasus
psikopatologis. Breur, misalnya, banyak rnenginspirasi Freud dalam asosiasi bebas
I. Ontologi
Dari riset yang ditemukan bahwa konstruk untuk ontologis berkembang pada
tataran prinsip kesenangan seksualitas. Scksualitas yang berkembang akhimya
menimbulkan pesimisme Freud dalam memandang jatidiri riil manusia, bahwa
manusia sepcnuhnya buruk, karena sudah digenangi lautan insting-insting yang
mendesak. lni terlihat dari berbagai perang yang dilancarkan individu temyata
semata-mata karena insting mati yang memang ada dalam diri manusia.
Adapun dalam kajian psikopatologi lainnya, manusia niscaya menjadi
psikopatologis, apabila asupan seksualitas tidak tersalurkan dengan semestinya ketika
umur satu sampai lima tahun berlangsung. Freud mendelegasikannya pada kasus
seorang wan ita mud a yang mengalami trauma pada masa kecil.
Freud mengagungkan mekanisme pertahan diri berbasis seksualitas dalam
mengatasi kecemasan. Represi, misalnya, digulirkan semata-mata untuk memendam
cinta biologis terhadap orang tua. Ego yang ada, adalah ego yang diberi tugas oleh id.
Jadilah ego ini juga dilandasi gelimang seksualitas.
. Epistemologi
Freud memperoleh pengetahuan teori seksualitas dengan berbagai komponen,
pertama-tama dari conik filosofis yang menjadi worldview, dalam ha! ini
materialisme. Darwin sangat melekat dengan garis pemikiran Sigmund Freud, ada
berb<igai lini di mana sektor biologis menjadi fokus kajian.
Dalam sisi riset, Freud begitu intens meneliti alam bawah sadar dengan berbagai
kerangka yang meliputinya. Oleh karena itu, Freud mencoba mempraktikan asosiasi
bebas dalam mencari makna dari psikopatologis para manusia. Di samping itu, teori
llmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji
kebenarannya. Maka itu, jika ada ilmu yang pantas diragukan kebenarannya, muncul
kritik. Seperti kata al-Ghazali " ... Keragu-raguan adalah awal kebenaran .... "
Atau
sahut Descartes dengan rasionalismenya " ... Aku berpikir maka aku ada .... "
Namun, sebelum memasuki wilayah kritik psikologi Islami, terlebih dahulu kita
harus memandang secara umum mengenai seluk-beluk tentang psikologi Islami.
A. Psiko logi Islam i
. Pengertian Psikologi lslami
Menurut Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori, ada dua pendekatan untuk
mengklasifikasikan psikologi Islami. Pendekatan pertama bahwa psikologi lslami
adalah konsep psikologi modem yang teiah mengalami filterisasi clan di dalamnya
terdapat wawasan Islam. Artinya psikologi Islami diartikan sebagai perspektif Islam
terhadap psikologi modern dengan cara membuang konsep-konsep yang tidak sesuai
dan bertentangan dengan Islam
Dan pandangan kedua adalah mengungkapkan bahwa psikologi Islami adalah
ilmu tentang manusia yang kerangka konsepnya benar-benar dibangun dengan
semangat Islam dan bersandarkan sumber-sumber formal Islam, yaitu al-Qur'an dan
sunnah Nabi.
Jika diperhatikan, nama-nama lain yang bersubstansi serupa ikut hadir memberi
alternatif dari kebuntuan barat seperti wacana psikologi Islam. Selain itu, ada
psikologi i/aliiyah ala Azzaino, psikologi Qur'an milik Ahmad Mubarok, psikologi
profelik gebrakan Kuntowijoyo, nafsiologi sebuah antitesa dari Sukanto, dan
psikologi sufi tawaran Javad Nurbakhsy. Namun dalam perkembangannya, istilah
psikologi lslami lebih diterima, terbukti dengan berdirinya Asosiasi Psikologi lslami
(API) dan berbagai simposium yang memakai psikologi Islami. Kajian konsep
psikologi Islam juga tidaklah semasif psikologi lslami, selama ini hasrat untuk
bertahan dalam asumsi psikologi Islam masih dalam tataran melihat manusia dalam
al-Qur'an. Psikologi lslami mempunyai kekhasan bukan hanya mencari sumur kajian
psikologi dengan agama Islam, namun juga dari paradigma-paradigma lain sejauh
tidak bertentangan dan paradoks dengan Islam, walaupun itu ditulis oleh orang kafir
sekalipun. Kita dapat menangkap kesan bahwa makna psikologi lslami lebih
moderat.
Jslami, manusia seperti tidak berkuasa atas diri sendiri. Terna ini juga yang
memunculkan antitesa dan kritik dari socrelarian dalam pisau Carl Roger. Sedangkan
psikoanalisa lebih menitikbemtkan pada argumen agungnya bahwa semua manusia
itu buruk dan lerkenal sebagai psikologi anti Tuhan.
Ada kecenderungan lain, psikologi bisa dibilang adalah "korban berikutnya''
dari Islamisasi sains yang lebih dahulu telah me"-muallaf-"kan ilmu-ilmu sekuler
seperti ekonoini, politik, sosiologi, dan antropologi. Boleh dikata wacana Islamisasi
sains yang diprovokasi oleh Ismail Raji al-Faruqi begitu patriotikal mencipta ilmuilmu yang lslami.
Sebagai suatu perbincangan berskala internasional, wacana psikologi Islami
akhirnya mulai bergaung semenjak tahun . Ketika itu, Universitas Riyad!, Arab
Saudi, melaksanakan simposium intemasional tentang psikologi dan Islam. Tak
heran, tepat setahun sesudahnya, di lnggris terbit sebuah buku kecil yang sangat
monumental di dunia muslim, yaitu The Dilemma of Muslim Psychologist yang
ditulis Malik Badri.
Setelah pertemuan ilmiah dan buku itu, secara umum di belahan dunia dan
khususnya Indonesia, kajian psikologi lslami mengalami perkembangan. Hal ini
ditandai dengan hadimya kajian-kajian yang mengupas dengan detail psikologi
Islami. Menurut Fuad Nashori, momentum psikologi Islami di Indonesia adalah tahun
yang melahirkan sebuah buku berjudul "Psikologi Islami: Solusi Islam atas
Problem-problem psikologi (Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori)". Buku ini juga
diterbitkan bersamaan dengan Simposium Nasional Psikologi Islami I di Universitas
Muhamaddiyah Surakarta. Sejak itu, berbagai diskusi lanjutan dan gagasan-gagasan
mengenai psikologi Islami berkembang luas.
Perlu diingat, perkembangan psikologi Islami tidak hanya ditandai dari
kritisisme terhadap psikologi Barat, namun sampai pada titik ijtihad intelektual untuk
merumuskan konsep psikologi lslami secara integral. Setidaknya ha! ini dilakukan
Abdu I muj ib untuk mengurai kepribadian via Islam.
Akhirnya untuk meminimalisir ketidakilmiahan, beberapa agenda psikologi
lslami juga dirancang untuk mendesain metodologi ilmiah dan penyelenggaraan
riset. Cara inilah yang dirasa tepat untuk membuka mata dunia, bahwa nilai
religiusitas bisa berbicara dengan baik dan tidak ketinggalan kode etik ilmiah.
Pada intinya kita dapat menyimpulkan bahwa psikologi lslami dalam konteks
luas ingin menjadi sualu corak studi ilmiah dan mapan dalam kerangka filosofis
keilmuan serta berkembang sebagai disiplin ilmu di perguruan tinggi. Dalam aspek
aksiologi, psikologi bernuansa religi ini mempunyai visi luhur yakni membantu
memecahkan problem manusia modem dan mencipta sebuah peradaban berbasis
psiko-spiritual.
. Struktur Kcpribadian dalam Psikologi Islami
Struktur kepribadian bukan hanya menjadi otoritas dan kl\jian penting dari
kalangan Barat seperti Alfred Adler dengan psikologi individualnya, kemudian Carl
Gustave Jung dengan psikoanalitiknya. Maka Islam juga menjadikan tema sentral
struktur kepribadian manusia, yang kemudian menjadi sari-sari pemikiran psikologi
Jslami.
Struktur kepribadian di sini lebih ditekankan pada aspek-aspek yang terdapat
dalam diri manusia, yang menjadi cikal bentuk kepribadian. Pemilihan aspek ini lebih
mengikuti pola Khayr al Din al-Zarkali. Menurutnya, seperti dikutip Mujib, bahwa
studi tentang diri manusia dapat dilihat dari tiga sudut.
I. Jasad (fisik); apa dan bagaimana organisme dan sifat-sifat uniknya;
. Jiwa (psikis); apa dan bagaimana hakikat dan sifat-sifat uniknya; dan
. Jasad dan jiwa (psikofisik); bempa akhlak, perbuatan, gerakan dan
sebagainya.
Dalam Islam kctiga sudut di atas lerdiri dari tiga jenis bagian struktur yang
saling bersinergi, yakni jasmani, ruhani, dan nafsani.
a. Jasmani
Jasmani adalah substansi manusia yang terdiri dari strukrur organisme fisik.
Unsur biotik manusia akan hidup jika diberi energi kehidupan yang bersifat fisik.
Energi ini lazimnya disebut nyawa. lbnu Maskawih dan Abu al-Hasan menyebutnya
al hayah (daya hidup), sedang al-Ghazali menyebutnya dengan al-ruh jasmaniyah
(rub material). Dengan daya ini manusia dapat bernafas, merasakan sakit, panasdin gin, pahit-manis, haus-lapar, seks, dan sebagainya.
Jisim memiliki natur sendiri, al-Farabi menyatakan bahwa komponen ini dari
alam ciptaan yang memiliki rupa, berkualitas, berkadar, bergerak dan diam, serta
berjasad yang terdiri dari beberapa organ. Sementara lbnu Rusyd berpendapat bahwa
komponen jasad merupakan komponen materi.
b. Ruhani
Menurut Abdul Mujib, ruh memliki tiga kemungkinan, yaitu rub merupakan
nyawa yang menghidupkan jisim. Kedua, ruh sebagai substansi yang halus yang
menyatu dengan badan manusia di alam khalq dan ketiga, ruh sebagai substansi
ruhani yang berasal dari alam amar (perintah). Ditambahkan oleh Mujib bahwa ruh
manusia terdiri dari dua bagian yakni ruh yang masih murni berhubungan dengan
Zatnya sendiri dan ruh yang berhubungan dengan jasmani.
Rasanya, inilah temuan fenomenal dalam kerangka psikologi lslami yang tidak
dimiliki psikologi kepribadian lainnya. Karena ruh berbeda pemahaman dengan
psikologi, disebabkan ruh berarti jauhar, sedangkan psikologi bersifat aradh
(accident). Ruh begitu halus dan sangat misteri, bahkan urusan Tuhan seperti pada
surat al-Israa'/ : .
. Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh
itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit".
c. Nafsani
Ahmad Mubarok menyebutkan tujuh makna nafs dalam al-Qur'an seperti diri,
Tuhan, person sesualu, roh, jiwa, totalitas manusia, dan sisi manusia yang melahirkan
perilaku. Namun Abdul Mujib melihat bahwa nafs dalam konteks ini berarti
psikofisik manusia, yang mana komponen jasad dan ruh telah bersinergi. Apabila ia
berorientasi pada jasad, maka perilakunya akan buruk, tetapi apabila mengacu pada
natur rub kebidupannya akan menjadi baik. Pada momen ini manusia memiliki
kebebasan berkebendak yang memungkinkan manusia secara sadar mengarahkan
dirinya ke arah keluhuran dan kesesatan.
Mujib menambabkan babwa nafs mempunyai potensi gharizah yang dalam arti
etimologi berarti insting, naluri, tabiat, perangai, kejadian laten, ciptaan, dan sifat
bawaan. Haitati dkk. menyarikan jika potensi gharizah ini dikaitkan dengan potensi
jasad dan rub maka dapat menjadi tiga bagian, yakni (a) qalb yang berkaitan dengan
rasa atau emosi. (b) Akal yang berkaitan dengan cipta dan kognisi, dan (c) nafsu yang
berbubungan dengan karsa atau konasi dalam termin behavioristik.
Konsep fitrah yang menjadi trademark psikologi lslami juga dengan jelas
disebut oleh al-Ghazali ketika mengurai nafs. Seperti dikutip Mujib, al-Ghazali
menyatakan bahwa kalbu memiliki jiwa ruhani yang disebut kalbu ruhani.
Karakteristiknya menurut al-Ghazali menarik untuk disimak:
I. la memiliki insting yang disebut annur al ilahi (cahaya ketuhanan) dan al
bashirah al bathiniah (mata batin) yang memancarkan keimanan dan
keyakinan.
. la diciptakan oleb Allah sesuai dengan fitrah asalnya dan berkecendrungan
menerima kebenaranNya.
Dengan konsep fitrah, psikologi Jslami memandang bahwa semua manusia
adalah baik dan manusia selalu ingin kembali kepada Kebenaran Sejati (Allah). Ini
clipertegas clalam al-Qur'an, surat al A'raaf/ : .
.'.:...:J l ~ l Ll"' ;..:., J.:):. \:, ;.- -} ~ ~ ,;~ -:' r~ I~ ~ :X :d.) ii,.\ ~))
- , , , , • , ' J , ·~, , • J ', ~ ~-,. , ~ ,, • J , H. J ;
~~ ~ .:U... if t.:..b bj?. ·:?II (,,i _,J _,.a:; -.._:_ll G~ :): _,Jl. ~.;
. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah Aku Jni Tuhanmu?" mereka menjawab: ''Betul
(Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang clemikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap lni (keesaan Tuhan)",
Sedangkan nafsu dapat merujuk pada terminologi syahwat yang bekerja sesuai
prinsip kenikmatan. Syahwat sendiri merupakan potensi hawa nafsu yang memiliki
natur binatang, seks bebas, erotisisme, narsisisme, dan terpusat pacla segala tindakan
yang semata-mata untuk memuaskan birahi.
Dengan model struktur kepribadian ini, jelaslah bahwa manusia merupakan
kesatuan clari dimensi; fisik-biologi, mental-psikis, sosiokultural, spiritual, dan
ruhani.
Sutrisno Hadi rnenulis dalarn postulat reliabilitas pernikiran bahwa orang-orang
yang paling cerdaspun tidak pemah selamanya keba! dari kesaiahan-kesalahan
menganalisa dan rnengarnbil kesimpulan-kesimpulan. Pertama-tama mungkin dia
menggunakan premis-prernis yang salah. Selanjutnya mungkin dia tidak mengikuti
secara tertib dasar-dasar logika formal, atau juga terlalu dipengaruhi keinginannya.
Tak terkecuali Sigmund Freud dengan teori seksualitasnya. Tercatat sejumlah
kalangan bergerilya "rnenelanjangi" mulai dari psikolog, filosol; agarnawan, dan
lainnya. Narnun da!am konteks psikologi Islami, penulis menernukan data berupa
empat b\jian wilayah filosofis ilrnu yang rnenjadi terna untuk mengkritik Freud,
yakni ontologis, ernpiris, epistemologis, dan ideologis.
Hal ini penting, penulis rnelihat psikologi lslarni menancapkan empat wilayah
filosofis ilrnu ini, sebagai upaya sistematisasi dalam ha! mengkritik teori seksualitas
Sigmund Freud. Ontologi sebagai hakikat keribadian dalrn teori seksualitas.
Epistcrnologi scbagai upaya Freud dalarn rnernperoleh teori seksualitas tentang
kepribadian. Scdangkan kritik empiris yang dilancarkan psikologi lslarni mencoba
menaungi ternuan fakta yang berbeda dangan apa yang teori Freud sajikan. Terakhir
kritik ideologis sebagai rnuara dalam perdebatan di mana konsep Freud dibangun atas
pendapat semata, yang akhimya pendapat itu bukanlah bangunan konsep yang dite!iti
Freud dengan matang.
Kritik Ontologis
Kritik ontologis pada kajian ini dimaksudkan untuk mengeksplor kritik
psikologi lslami terhadap prinsip-prinsip utama teori seksualitas Freud tentang
kepribadian.
a. l'rinsip Kcsenangan Seksualitas
lnterupsi keberatan terhadap Freud terjadi ketika pengagungan logika
materialisme untuk menjelaskan kompleksitas manusia, dipegang kuat oleh Freud.
Dengan begitu, struktur yang diciptakannya hanya berpangkal dari rasionalisasijisim
yang invalid. Ringkasnya, Freud lumya berpusat pada penjelasan eks sebagai nafsu
syahwat penggerak semua kehidupan. Karena itu, psikologi lslami memandang
psikologi Freud tak lebih sebagai psikologi ketubuhan, terkhusus seks.
Paradigma yang menjadi unsur terpenting atau substansi pokok dalam kritik
psikologi lslami adalah logika Freud yang bertentangan dengan dogma Islam. Para
psikolog muslim kemudian mempercayai bahwa dengan berpegang pada psikologi
Islami akan terjadi eliminasi dalam kekeliruan konsep manusia seadanya ala Freud.
Menurut Freud, id yang ada dalam alam bawah sadar diisi oleh tenaga psikis yang
disebut lbido yang berkarakteristik seksual. Samantha berpandangan, jalan pertama
untuk menangkal itu semua adalah dengan pengakuan diri bahwa tiada tuhan selain
Allah, dengan landasan tauhid ini orang niscaya terbebas dari perbudakan pemikiran
spekulatifFreud yang menganggap kondisi libido seksual sebagai tuhan.~\ Teori seksualitas Freud dicap sebagai kesia-siaan karena terlalu pesimis
memandang hakikat kehidupan. Selain karena pesimisme itu buruk, pesimisme
d. . 'd k . k t . h
sen m ti a sesua enya aan manusa sesunggu nya.
Daniel Goleman, mantan redaktur sains tingkah laku di New York Times dan
penulis buku EQ, pun turut berkomentar, bahwa gambaran Freud tentang diri
manusia merupakan model paling dekat yang dapat diraih peradaban barat, dan
baginya ini kurang baik. Karena model tersebut lebih pesimistis ketimbang modelmodel altematif yang dikembangkan para psikolog di luar universitas (dalam ha! ini
adalah pandangan psikologi transpersonal).
Elmira menulis bahwa eksplanasi Freud tentang bentuk psikopatologis perilaku
manusia yang bersumber dari kekuatan libido, menunjukkan penjelasan yang
dangkal. Kekuatan dorongan tersebut telah membutakan manusia dan menjadikannya
tidak berdaya untuk mengembangkan diri ke arah positif, tetapi malah mengarahkan
penyimpangan perilaku dalam upaya mengatasi, menahan, dan menyiasati dorongan
seksual. Manusia dalam ketidakberdayaan melawan libido yang digambarkan Freud,
menjadi wujud makhluk yang begitu pesimis bahwa ia dapat keluar dari belenggu
impulsnya. Seolah-olah tidak ada potensi, misalnya, berupa aka], kata hati, nurani,
dan keyakinan akan dukungan supranatural berupa iman dan takwa kepada Tuhannya,
yang dapat dikembangkan oleh dirinya sendiri untuk melawan han yang instingtif.
Pernyataan Freud bahwa manusia pada dasarnya buruk dengan ciri khasnya
ketika dilahirkan hanya mempunyai id dan bahwa superego terbentuk ketika
seseorang berinteraksi dengan orangtua, adalah pernyataan yang sarat kritik.
Psikologi lslami mempercayai bahwa ruh menghiasi jiwa ketika terjadi konsepsi
manusia, maka dalam dirinya diletakkan adanya kecenderungan untuk kembali
kepada nilai-nilai kebaikan. Dalam hal ini, superego bukanlah hasil dialektika tapi
keniscayaan. Dengan begitu juga eksplanasi teori Freud akhirnya mengeleminir
substansi aspek psikis manusia, seperti emosi. Padahal dalam psikologi lslami, kita
mengenal emosi positif dan emosi negatif.
Kritik selanjutnya ialah ketika teori seksualitas Freud dapat membahayakan
akhlak umat jika menjadi worldview, karena Freud menganggap halal hubungan
kelamin bagi setiap manusia, entah ia sudah menikah atau belum. Dan Islam yang
memandang cinta haram dalam seksualitas non muhrim ini menjadi terpinggirkan
dalam negatifismc Freud. Islam tidak menyuruh mengingkari nafsu seksual. Islam
justru menerima kepuasan dan kesenangan dari hubungan heteroseksual. Namun Islam berupaya mengendalikan ekspresi kebutuhan fisiologis agar seseorang dapat
hidup dalam suatu cara yang sesuai dengan konsep keberimanan dan
memberdayakannya untuk menjalani kehidupan yang tertib. Karenanya, seorang
muslim yang mempunyai iman yang kuat dalam agamanya dapat secara sadar
mengendalikan dorongan-dorongannya untuk mematuhi kewajiban yang telah
ditetapkan atas dirinya oleh Allah tanpa menjadi frustasi seperti tertuang dalam surat
Ali lmran/ : .'
,-:,.. ,' ,, ... ,, • .,, ,~ .. -,,.. ,, ., J •}
';--".:UI J ;;).:-WI ~lj ~lj r~I J .,::;J+.::JI ~ Y""G.l.J .);_j
'~~ "j,, :U ~';?JI (:-'.', ,, I)·~. ,.:;;Jj ~\ij ~~ ~j? '.;.,:_,
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diinginkan, yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. ltulah
kesenangan hidup dunia; dan sisi Allah-lah Tempat kembali yang baik
(surga)."
Selain itu, manusia tentu dibentuk dengan segenap nafsu, tapi tak selamanya
nalSu itu berkonotasi negatiC Karena seperti dikatakan Mazhahiri bahwa dalam Islam
kita juga mengenal nafsu lawwamah yang jika itu hidup dapat membimbing
manusia.
Pada konsep biseksualitas, Freud tampak selaras dengan persepsi Ibnu Arabi
yang menyatakan bahwa Zat Allah bersifat feminim dan maskulin, begitupun Adam
dan Hawa melekat sifat feminim dan maskulin. Namun perjalanan sufistik lbnu Arabi
menempatkan ia pada suatu kesimpulan akan pentingnya koridor transenden
seksualitas kepada penghomatan lawan jenis yang berbeda sekali dengan Freud
dalam memahami perempuan.
"Ketika pertama kali saya mengambil jalan sufisme, saya sangat
membenci perempuan dan saya menahan diri dari hubungan seks selama
delapan belas tahun hingga saya mengalami suatu keadaan spiritual. Saya
menjadi takut tehadap perempuan ketika saya memahami (makna) hadis yang
menyatakan bahwa Rasulullah SAW. diciptakan oleh Allah untuk mencintai
perempuan sehingga beliau mencintai mereka bukan karena sifat fisiknya,
melainkan karena Allah menyebabkan beliau mencintai mereka. Ketika saya
benar-benar berkonsentrasi kepada Allah (mencari pencerahan) dalam masalah
ini, sebab saya merasa takut akan kemungkinan Allah murka kepada saya
karena saya telah membenci ha! yang telah Allah tanamkan kecintaan kepada
Rasul-Nya, terpujilah Allah yang telah mengilhami saya- dan membuat saya
mencintai perempuan. Kini saya paling ramah kepada mereka di antara seluruh
makhluk dan saya paling menghonnati perempuan- karena saya ini bukanlah
didorong oleh natsu fisik, melainkan karena Allah telah menyebabkan saya
mencintai mereka."
Freud berdalil bahwa ada mekanisme insting atau biologis bawaan yang
membuat manusia cenderung melakukan agresi. Teori ini kemudian dianggap tidak
bisa dipercaya oleh para ahli biologi. Di Seville, Spanyol pada tahun
sekelompok ilmuwan bcrtemu untuk menyelidiki sebab-sebab agresi manusia. John
E. Mack menjelaskan hasil-hasil Pemyataan Kekerasan Seville. Dalam Pemyataan
Seville para penandatangan, termasuk ahli-ahli psikologi, ilmuwan syaraf, ahli
genetika, antropolog, dan ilmuwan politik, menyatakan bahwa tidak ada dasar ilmiah
bagi anggapan bahwa manusia adalah makhluk yang berpembawaan agresif, yang
pasti akan berperang berdasarkan sifat biologisnya. Singkatnya, Penyataan Seville
menyiratkan bahwa kita mempunyai pilihan-pilihan yang jelas dan bahwa munkin
adajenis tanggungjawab baru dalam tingkah laku kehidupan kelompok manusia. Arti
penting Pernyataan Seville itu adalah implikasinya untuk penjelasan, sikap, dan
penyelesaian konflik manusia. Pernyataan Seville mengarah pada inti salah satu
perbincangan pokok dalam penelitian teori konflik, apakah akar pokok konflik
manusia itu akan ditemukan di dalam sifat dasar (genetik) atau didikan atau nurture
{lingkungan).
Selanjutnya, an-Najar melihat sebuah kebenaran penting dan besar, yaitu jika
Freud dikenal sebagai peletak teori cinta-kebencian dan kematian-kehidupan,
sementara itu at-Tirmidzi, pada abad ke- telah mengemukakan dualitas yang
ditemukan jauh sebelum Freud Jahir. Dalam buku Al Masai! Al Makmunah, atTirmidzi berkata:
·'Berbagai kecenderungan hati mengarah kepada cinta dan kehidupan
sedangkan berbagai syahwat naluri mengarah kepada kematian dan kekuasaan.
Hati adalah tempat diletakannya cinta. Sesungguhnya kehidupan timbul dari
cinta. Adalah pengetahuan, ia tempat disimpannya cinta. Dengan demikian, hati
akan hidup oleh pengetahuan yang selanjutnya ia menjadi ringan. Ketika hati
telah ringan, ia akan cepat kepada ketaatan."
At-Tinnidzi berpandangan bahwa cinta adalah selalu
berdarnpingan. Adapun surnber berbagai naluri dan syahwat adalah sesuatu yang
diletakkan di dalarn diri rnanusia, yaitu kernatian dan kekuatan. Kernatian dan
kekuatan selalu berdarnpingan. Sedangkan cinta dan kehidupan, keduanya selalu
dibarengi dengan keringanan, kebahagiaan, kecongkakan, dan kasih sayang. Adapun
kematian clan kekuatan, keduanya selalu dibarengi dengan keterbebanan, kesedihan,
ketidakrnenentuan, clan kekerasan.
Kritikan kepada Freud oleh psikologi Islarni, akpirnya tidak saja rnengeksplor
kerancuan sisternik dari teori keprribadian, narnun sarnpai pada titik penyajian fakta
yang rnenguak orisinalitas sebuah gagasan yang telah usang ada dalarn literatur Islam.
b. Perkcmbangan Kepribadian dan Deterministik Historis
Orang-orang pun tersentak tidak percaya ketika anak-anak pada urnur satu
sampai lirna tahun didera insting seks besar-besaran yang rnenciptakan rnasa depan
prematur. Freud dinilai mengada-ada dan terlalu rnernaksakan percepatan kedewasaan
psikologis rnanusia bahwa anak berurnur tiga tahun sudah rnempunyai birahi tinggi
untuk rneniduri orangtuanya.
Selain itu, Freud terlalu mengangungkan detenninasi sejarah sebagai takdir
matinya kebebasan hurnanitas rnanusia. Tentu rnenjadi ambivalensi dengan narna
mazhab yang melekat dengan psikologi "esek-ese~' Freud yaitu psikodinarnika yang
rnenitiberatkan terhadap konstelasi jiwa rnanusia.
Seperti dikatakan Sofia Retnowati bahwa rnernang benar jika rnanusia
dipengaruhi oleh masa lalu yang kelarn, tapi tentunya tidak berarti rnanusia
tenggelam menjadi korban masa lalu secara berkepanjangan. Kita pun bisa melihat
seorang anak yang mcngalami kondisi buruk, toh tetap "sehat-sehat" saja di
kemudian hari.
Karenanya adalah perlu untuk membandingkan gagasan psikoseksual Freud
dengan konten Jslami untuk mencari wawasan bagaimana perkembangan anak
semestinya. Zahratun Nihayah dan kawan-kawan menyarikan itu dalam al-Qur'an
sebagai jawaban. Menurutnya tugas-tugas perkembangan pada umur satu sampai
tujuh tahun menurut psikologi perkembangan Islam adalah sebagai berikut:
a. Pertumbuhan potensi-potensi indra psikologis seperti pendengaran,
penglihatan, dan hati nurani. Tugas orang tua adalah bagaimana
mampu merangsang pertumbuhan berbagai potensi tersebut, agar
anaknya mampu berkembang secara maksimal. Seperti dikatakan
Allah dalam finnannya " ... Dan Allah mengeluarkan kalian dan perut
ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, dan ia
memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati sanubari agar kamu
bersyukur ... " (QS An-Nahl: ).
b. Mempersiapkan diri dengan cara membiasakan dan relatif hidup yang
baik, seperti dalam berbicara, makan, bergaul, penyesuaian diri dengan
lingkungan, dan berperilaku. Jika pembiasaan ini tidak dibiasakan
sedini mungkin maka ketika dewasanya, akan sulit dilakukan; dan
c. Pengenalan aspek-aspek doktrinal agama, terutama yang berkaitan
dengan keimanan.
Psikologi lslami membenarkan bahwa faktor keluarga memperkuat kepribadian
pada anak. Akan tetapi, tidak pada koridor mengagungkan seksualitas infantil, karena
faktor keluarga memegang vitalitas pada pemikiran dan perilaku anak yang justru
akan memperkuat stabilitas kepribadian dalam melihat seksualitas. Ini sesuai hadis
nabi.
"'Tidak seorang bayi pun kecuali dia terlahir berdasarkan fitrah. Lantas
kcdua orangtuanya-lah yang menjadikan dia seorang Yahudi, Nashrani, maupun
Majusi. Sebagaimana binatang yang melahirkan anak dengan sempuma, apakah
kalian rasa ada cacat pada anak binatang tersebut?"
Selanjutnya, al-lstanbuli mernpunyai cara tersendiri untuk mengarahkan
perkembangan seksual yang terjadi pada anak-anak. Dalarn skemanya, orangtua
bukanlah sernata-rnata rnenjadi tujuan identifikasi, narnun orangtua hanyalah sebatas
menjadi mediasi bagi anak untuk rnelakukan identifikasi utarna kepada ajaran luhur
agarna. Sebagai contoh dalam pendidikan seks, orangtua wajib mernberikan arahan
tepat dalarn rnenyelarni pengetahuan tentang seksulitas. Mula-rnula ada penjelasan
terhadap anatorni tubuh. Agar anak tidak terperanjat dalarn fantasi birahi, orang tua
kernudian rnenggiting atau beralih ke sistern reproduksi hewan. Selanjutnya diisi
dengan kisah-kisah keagarnaan, seperti kisah Nabi Yusuf A.S, dengan pelajaran
tentang kehorrnatan, harga, diri, dan ketakwaan kepada Allah Swt.
Ahmad Mubarak mengatakan sesuai surat As-Sajdah/ ayat - bahwa aka!
didesain dalarn sistern yang sernpuma, dan dengan aka! manusia dimungkinkan untuk
menemukan dan mengikuti kebenaran. Sisi humanistik manusia adalah pada cara
pemahamannya yang mampu membuat oto~omi dalam m.;nentukan pilihan
psikologisnya. Selain itu al-Qur'an menganggap orang yang mengikuti hawa
nafsunya sebagai orang yang tidak berilmu. Dengan begini setidaknya ada korelasi
kealpaan fungsi aka! oleh Freud dengan kecendengan syahwat.
Menurut Rahman, baik aliran filsafat kebebasan manusia,/ree will atau free act
maupun aliran qadariyah-muktazilah, kesemuanya memberikan peran besar kepada
manusia dalam memilih, berpikir, menentukan atau memutuskan perbuatannya.
Kebebasan dalam aliran filsafat bukan berarti kebebasan tak terbatas, melainkan
kebebasan dalam determinisme. Berbagai faktor hereditas, pendidikan, kebiasaan,
lingkungan sosial dapat memberikan pengaruh pada kebebasan diri atau pikiran
manusia dalam memilih atau memperbuat sesuatu. Bahkan faktor rasional dan moral
tidak kurang berpengaruhnya pula. Hanya semua itu tidak dapat memaksa pilihan
atau putusan manusia. Manusia tidak dapat dibayangkan laksana suatu mekanisme
atau organisme yang berjalan sesuai dengan suatu pola yang tidak memiliki pilihan.
Menjadi antitesa dari basis Freud yang sudah mematok umur satu sampai lima
tahun sebagai batas menjadi "manusia", namun Allah memberikan kebebasan kepada
manusia untuk menempuh jalan hidupnya. Namun di batik itu, Ia menghimbau pula agar kejelekan dihindarkan. Seseorang yang berakal sehat sudah pasti memilih untuk
berbuat baik.
c. Konsep Ego
Upaya Freud untuk memahami hubungan antara peristiwa negatif dan
kemampuan ego untuk menaggulanginya dengan mekanisme pertahanan via alam
bawah sadar mendapat tafsiran berbeda dari berbagai pakar. Pada akbir tahun -
an seperti disitir Stein dan Book para peneliti meyakini bahwa yang terjadi adalah
scbaliknya, situasi strcs bisa mcnghasilkan strategi atau gaya yang sangat disadari,
yang dikembangkan oleh orang yang mengalami stres untuk menyesuaikan diri. Dan
temuan ini menjadi kabar gembira bagi mereka yang ingin mengatasi stress dengan
jalan yang lebih baik.
Sungkar mengurai betapa bedanya antara pengertian ego Freud dengan Islam.
Menurutnya, Sigmund Freud memang memiliki konsep ego yang cenderung
mengikuti prinsip-prinsip realistis, obyektif, rasional, dan proporsional. Akan tetapi,
batasan dan wawasan ego dari Freud tidak sama sekali bisa disamakan dengan
kecenderungan fitrah dalam psikologi Islami, sebab Freud tidak mengenal kebenaran
sejati. Konsep ikhlas yang seharusnya menjadi penurunan tingkat ketegangan dalam
Islam, menjadi iklhlas dalam batasan konprefosional materialistik atau kepuasankepuasan lain yang disetujui kecenderungan-kecenderungan psikis yang dihayatinya
di luar konleks ridho Allah. Selanjutnya Sungkar menilai bahwa ikon psikologi Freud adalah psikologi id atau hawa nafsu dan tak ada kaitannya dengan spesifikasi ibadah
vertikal dan horisontal dalam Islam seperti takwa. Manusia dengan ego dominan
dalarn konsep Freud hanyalah sekedar manusia yang berhasil mengarahkan tujuan
prinsip kesenangan id kepada objek-objek kesenangan dunia yang nyata atau empirik
dan bukan yang imajiner seperti yang dikenal dalam proses pikir primemya. Jadi
tidak perlu heran kalau teori seksualitas Freud tidak menawarkan konsep pribadipribacli sehat. Baginya semua orang adalah neurosis. Terlebih sangat disayangkan,
Freud justru mengajak penderita neurosis untuk menanggalkan jubah superego yang
notabene justru rnenjadi transendentalisme luhur dalam psikologi Islami.
Manusia mempunyai kalbu sebagai daya nafsani. Terlebih kalbu tidak hanya
sebatas bersifat pasif atau media hidayah oleh Allah Swt., karena menurut Ma'an
Ziyadah kctika dikutip Mujib, kalbu dapat bersikap "supra rasional" dengan
aktivitasnya seperti berpikir. Dengan demikian, dimensi rasionalisme dan hati ini
dapat rnenjadi pintu untuk menyelami mekanisme pertahanan ego dalam psikologi
lslami. Karenanya, hawa nafsu bisa ditekan tanpa akhimya menimbulkan neurosis.
lni seperti diurai oleh al-Hilali yang menyatakan setidaknya ada lima pokok
perbuatan agar pintu hawa nafau tertutup.
I. Segera menghubungkan nikmat dengan pemberi nikmat.
. Segera melakukan sujud syukur ketika mendapatkan nikmat.
. Berinfak dengan apa yang disukai nafsu.
. Berlebihan dengan melaksanakan amalan tawadhu.
. Memperbanyak ibadah:"
Manusia juga tidak harus "pusing-pusing" mengulangi sejarah masa kecil untuk
meredam psikopatologis, karena tema kekinian berpeluang besar menurunkan
kecemasan. Seperti dikatakan Sukanto yang menegaskan bahwa bentuk rasa syukur
adalah salah satu mekanisme pertahanan diri. Ditambahkan olehnya bahwa neurosis
bukanlah sebuah gangguan yang dilandasi akan ketegangan seksual, namun terjadi
karena aspek psikis yang terlibat dalam sengketa destruktif antara jatidiri dan semu
diri. Selanjutnya, Sukanto mencoba merumuskan mekanisme pertahanan diri dengan
subordinasi nafsiologi.
. Sabar. Sabar dapat menjadi kekuatan dahsyat untuk melawan hawa
(dekadensi atau kemerosotan moral) dan paralisa mental. Untuk
me la wan hawa, sabar bukanlah sikap pas if, melainkan aktif menghalau
jejak-jejak setan.
. Adil. Keadilan yang kita maksud adalah yang tidak berat sebelah, di
mana sering tersandung dalam penilaian nisbi. Keadilan artinya adalah
keseimbangan. Allah itu maha adil. Artinya Allah SWT. serba menjaga
makhluk ciptaan-Nya. Manusia dilengkapi dengan kesadaran diri, yang
dengan itu ia diberi kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya
sendiri, namun masih terikat oleh aturan tetentu.
. Janji dan amanat. Janji itu artinya prasetia atau ikrar (niat yang teguh),
yang yang mengikat kebebasan individu dengan sengaja, hingga ikrar itu
menjadi kenyataan. Dengan menepati janji berarti menyempumakan
segala masalah yang mengikat rasa, sampai ikatan itu lepas, karena
janjinya telah terpenuhi.
Sedangkan amanat mengandung beberapa pengertian seperti
kepercayaan, dapat dipercaya, dan rasa keadilan.
. Jujur. Tidak seorangpun yang mengingkari bahwajujur itu adalah suatu
kekuatan yang pengaruhnya tampak dalam realitas kehidupan. Pengaruh ini mewamai nafs yang bersangkutan sebagai dorongan potensial
berbuat lurus.
Hal yang menjadi penting adalah sebaliknya jika berbagai mekanisme
pertahanan ego disangkal atau tidak lakukan, akan berakibat pribadi terjerembab
dalam penyakit hati. Uraian ini coba dirangkum al-Qomi dalam mendata penyakit
hati. la coba bersandar pada wasiat Nabi yang mengatakan ciri orang munafik salah
satunya adalah menyalahi janji.
Gagasan mengenai ego turut disentuh Muhammad Iqbal. Sebelum itu, jika
Freud ccnderung menjadikan fokus alam bawah sadar sebagai esensi kepribadian,
Iqbal lebih menekankan kesadaran sebagai titik pijak personalitas ketimbang
spekulasi alam bawah sadar manusia. Dalam bahasa Iqbal, ego pusat dan landasan
organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan
pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Karena itu, kehidupan manusia dalam
keegoannya adalah secara lerus menerus menaklukan rintangan halangan demi
tcrcapainya Ego Tertinggi yaitu Tuhan. Apalagi, manusia juga harus mencipta hasrat
dan cita-cita kilatan cinta, keberanian, dan kreatifitas yang merupakan esensi dari
keteguhan pribadi. Jika kita benturkan dengan mekanisme sublimasi Freud, dapat
dikatakan bahwa sublimasi bukanlah hasil dari estetika ekspresi subjektif, namun
cenderung objektif. Karenanya, bayangan Tuhan dalam hal menjadi objek dari
keteguhan estetika Ego Tertinggi .
Pada perkembangannya, ketika musibah datang menghampiri dan mekanisme
pertahanan ego Islami sepeti sabar dan bentuk lainnya sulit membendung, manusia
cukup melakukan mekanisme ikhlas. Karena dengan jalan ikhlas segalanya akan kita
tujukan kepada bentuk kepasrahan sebagai hamba. Keikhlasan sendiri seperti diurai
Khalid adalah mendedikasikan, dan mengorientasikan seluruh ucapan dan perbuatan,
hidup dan mati, diam, gerak dan bicara, kesendirian dan keramaian, serta segala
tingkah laku di dunia ini hanya untuk satu hal yakni meraih keridhaan Allah SWT.
Dari skema mekanisme pertahanan ego ini, manusia coba dibawa pada dua
sikap. Petama fokus kepada problem kekinian, dan urung kembali ke masa lalu
dengan jalan fiksasi regresi. Kedua dengan jalan efektif dan rasional yang senantiasa
menyeimbangkan kadar emosi. Kita ketahui bahwa mekanisme undoing atau
penyangkalan tidak akan menghilangkan masalah mendasar dan cenderung bersifat
sesaat. Ketika tegangan insting seksual datang lagi, individu tidak bisa menggaransi
dirinya akan menjadi lebih baik. Khalid kemudian menawarkan "sub mekan


