Jumat, 26 Januari 2024

sigmud freud 3




ah mekanisme immature atau tidak matang, sehingga tidak 

membantu menyelesaikan masalah yang asli. 

a. lnses. 

Dalam sebuah surat kepada Fliess, Freud melaporkan bahwa kecemasan itu 

tidak berkorelasi dengan mental, tapi sebuah konsekuensi fisik dari kekerasan 

seksual. Pada tahun    , Freud memperesentasikan penemuan-penemuannya ini 

kepada para praktisi medis yang kemudian diberi judul etiologi histeria. Dalam paper 

itu, Freud melaporkan bahwa ia mengidentifikasi rangsangan spesifik pada 

kegenitalan akibat dari kekerasan seksual yang terjadi pada masa kanak-kanak 

sebagai trauma yang dibawa ke dalam histeria. Freud juga meneliti   kasus histeria, 

yang dalam kesimpulannya itu, kesemuanya ter:jadi akibat kekerasan seksual. 

Dalam tulisan lainnya kepada Fliess di tahun    , Freud berargumen bahwa 

ayah sebagai pelaku tindak kekerasan seksual temyata juga melakukan tindak 

penganiayaan setelah melakukan aktivitas tabu itu kepada para korban. Tentu saja, 

penemuan ini telah menggelisahkan Freud. 
Jika Freud memusalkan inses pada skema keluarga dan insting, namun catatan￾catatan parsial justru dipandang sebe\ah mata oleh Osborn yang menyatakan bahwa 

inses tidak bisa dilihal dalam salu perspektif saja, setidaknya kita harus melibatkan 

berbagai elemen yang memungkinkan terlanggarnya tabu inses. Dalam kaitan ini ia 

mengemukakan berbagai risiko. 

Faktor-faktor Sosiolingkungan meliputi: 

\. Peherimaan atas supremasi pria. 

 . Kekuasaan yang tidak seimbang. 

 . Kepatuhan lerhadap gaya. 

 . Daya tarik pada objek seksual (pada anak-anak). 

 . Perbedaan dalam hubungan dengan anak-anak. 

 . Keluarga yang memberikan toleransi kepada inses (pennisif). 

 . lsolasi sosial. 

 . Tekanan hidup yang kuat. 

Faktor-faktor yang bersumber dari keluarga meliputi: 

I. Atura-aturan tradisional dalam hubungan pria dan wanita. 

 . Kualitas perasaan pada hubungan antara orang tua dan ayahnya (kakek). 

 . lnsiden-isiden kekerasan ketika kecil yang membekas dalam kehidupan 

orang tua. 

Faktor-faktor dalam sistem keluarga meliputi: 

. Cara-cara kekerasan dalam kehidupan keluarga. 

 . Struktur keluarga. 

 . Komunikasi dalam keluarga. 

Faktor-faktor kejadian yang mempercepat meliputi: 

I. Alkoholisme. 

 . Terbukanya kesempatan. 

 . Stres yang akut. 

Faktor-faktor tambahan yang beresiko meliputi: 

. Kehadiran ayah tiri atau kekasih sang ibu. 

 . Ketiadaan hu bungan seksual anatara orang tua dalam waktu lama. 

 . Peran yang terbalik antara anak perempuan dan ibunya. Di mana anak 

justru menggantikan pcran ibu dalam keluarga. 

 . Ayah yang pemabuk. 

 . !bu yang pasifatau telah meninggal. 
Dalam pcrkembangannya, skcma keluarga yang diisi antara anak vis a vis 

orangtua pada sistem teori seksualitas Freud, berkembang menjadi keterlibatan sosial 

pada kenyatannya. Kempe (   ) menemukan bahwa para ayah yang melakukan 

inses melibatkan putri mereka, cenderung menjadi pribadi introvert dalam kehidupan 

sosial. Catalan. menarik dikemukakan bahwa seorang anak yang menjadi korban 

mses, ketika dia menjadi ayah mempunyai kemungkinan untuk menuntaskan 

"dendam" dengan anaknya lagi.    

Goode cenderung satu suara bahwa seorang anak yang inses memang 

menimbulkan masalah tertentu dalam kehidupan sosial, karena statusnya yang 

membingungkan. Di satu sisi dia menjadi ibu, namun di sisi lain ia tetap seorang 

anak. Lantas bagaimana status anak mereka? Karena kakek si anak juga menjadi 

ayahnya. Jika dikatakan pernikahan adalah solusi, Goode justtu sebaliknya. 

Kenyataanya, pernikahan tidak akan memecahkan masalah, namun hanya membuat 

keadaan menjadi lebih buruk.    

O'Brien (   ) seperti disarikan Levine dan Salle menyatakan jika penggunaan 

anak-anak dalam rangsangan seksual, apakah melalui pornografi, kekerasan, atau 

inses mengakibatkan jiwa anak berada dalam tujuh ha! penting.
l. Psikologis, pengenalan aktivitas seksual yang cepat akan memotong 

perkembangan masa kanak-kanak yang seharusnya. Anak-anak tidak 

mempunyai perasaan emosional yang tegar dalam mengasosiasikan 

seks. 

 . Harga diri yang rendah, kekerasan seksual akan membuat anak menarik 

diri dari teman-temannya karena aib. 

 . Eksploitasi, anak-anak akan menjadi ladang pemuas kebutuhan oleh 

orang dewasa. 

 . Menjadi mudah terancam, karena anak-anak mengandalkan orang-orang 

dewasa, maka anak-anak mudah terancam. Penggunaan anak secara 

seksual menciptakan tekanan yang lebih dan kecemasan. Karenanya 

anak mulai mengintepretasikan ketergantungan sebagai suatu hal yang 

rnernbahayakan. 

 . Pandangan tentang seksualitas terdistorsi, meskipun beberapa anak 

tidak menyadari aib ini sampai usia dewasa. Kekerasan seksual akan 

menimbulkan cara pandang anak yang negatif dalam hubungan seksual. 

 . Privasi anak, jika polisi atau praktisi anak tidak melakukan 

perlindungan, anak-anak korban inses sangat rentan untuk diekspos 

dalam majalah atau film porno. 

 . Distorsi perkembangan moral, perkembangan moral tentang betul dan 

salah berkembang pada waktu anak menjadi korban kekerasan seksual. 

Banyak kasus inses yang terjadi dalam keluarga yang saleh, disiplin, 

teguh menciptakan nuansa munafik dan bingung pada diri korban 

ten tang aturan moral yang sebenamya.    

Lagi-lagi Freud mengaitkan isi psikopatologinya setidaknya dalam noda-noda 

agama. Pada zaman primitif, temyata aturan-aturan totem tentang tabu inses lebih 

radikal daripada yang sekarang mengemuka. Dengan mengambil berbagai rnjukan 

kalangan antropolog seperti Frazer, didapat temuan bahwa larangan-larangan dalam 

pernikahan sesama suku, semata-mata dilakukan karena kengerian terhadap inses. 

Dengan sistem ini, alhasil membuat seorang laki-laki mustahil melakukan hubungan 

seks dengan sesama perempuan dari kelompoknya atau sebaliknya. 
Di Melanesia, larangan-Jarangan yang bersifat inses ditujukan pada hubungan 

laki-laki dengan ibunya atau saudara perempuannya. Seperti di Pu!au Leper, 

kepulauan New Henrides, seorang anak Jaki-laki meninggalkan rnmah ibunya pada 

usia tertentu dan harus pindah ke rumah adat tempat ia sehari-hari tidur dan makan. 

Adat yang sama berlaku di Kaledonia Barn. Jika saudara laki-Jaki dan perempuan 

bertemu, si perempuan segera bersembunyi di semak-semak dan si Jaki-laki berjalan 

   terus tanpa boleh menoleh. 

Freud berpendapal apa yang terjadi pad a zaman primitif itu tetap berlaku dalam 

rcntang tcori Seksualitas. Scbagai contoh, pada aturan larangan inses seomng 

menantu dan mertuanya, Freud sampai menelisik dalam hingga akhirnya 

menunjukkan sebuah skema bahwa pandangan menantu pada mertuanya 

mengingatkannya pada gambaran ibunya yang terns tersimpan dalam ketidaksadaran. 

"Campuran perasaan lain dalam dirinya seperti lekas marah dan benci 

membuat kita mencurigai bahwa bagi menantu laki-laki, Si ibu mertua 

sebenarnya mempresentasikan godaan inses, seperti banyak terjadi bahwa 

seorang laki-laki jatuh cinta pada terlebih <lulu ~ada ibu mertuanya sebelum 

perasaan itu dialihkan pada anak perempuannya."  

Apa yang diucapkan Prcud juga ditangkap kuat oleh Markale yang mengkaji 

bcberapa klan dalam kaitan inses. Seperti dikutip Knapp, Markale menyajikan fakta 

bahwa tabu inses yang dilanggar di masyarakat Celtic, para raja, dan pahlawan￾pahlawannya, mengasosiasikan diri mereka kepada para dewa, rasa berdosa, dan
keyakinan kepada aturan moral yang kenyataannya tidak dapat ditegakkan oleh 

kepala suku seperti diri mereka. Semisal puisi-puisi epik di Celtic yang penuh dengan 

gairah inses, seperti Mordred tentang anak Raja Arthur yang melakukan inses dengan 

saudara perempuannya Morgan Le Fay. Cu Chulainn tentang anak suku Conchubar 

dan saudara perempuannya Dechtire. Cormac Conloinges tentang anak suku 

Conchubar dan !bun ya Ness.    

Kajian-k~jian primitif ini adalah titik temu bahwa inses merupakan suatu 

infantilisme dan terkait kehidupan psikis neurosis. Arti family complex yang 

diuraikan Freud pada fase phalik menjadi awal mula inses di mana kecendrungan 

percintaan sedarah terurai kepada kekecewaaan anak kepada orangtua. Ini setidaknya 

menunjukkan kepada kita keterikatan yang kuat pada masa kanak-kanak dalam inses 

yang sulit dilepaskan. 

·'Psikoanalisa telah mengajarkan kita bahwa pemilihan obyek seks 

pertama scorang anak laki-laki pada dasamya bemotifkan hasrat inses dan 

bahwa ia d iarahkan pada obyek-obyek terlarang, ibu dan saudara 

perempuannya. Psikoanalisajuga mengajarkan pada kita cara-cara yang dipakai 

individu yang beranjak dewasa untuk membebaskan dirinya dari ketertarikan 

inses. Akan tetapi, penderita neurosis biasanya menampakkan suatu bentuk 

infantilismc psikis, ia tidak bisa membebaskan dirinya dari kondisi psikoseksual 

anak-anak, atau ia malah kembali kc regresi. Jadi, fiksasi libido yang berbasis 

inses ini masih, atau kcmbali memainkan peran utama dalam kehidupan psikis 

t k d ,,   a sa arnya.
Di Melanesia, larangan-larangan yang bersifat inses ditujukan pada hubungan 

laki-laki dengan ibunya atau saudara perempuannya. Seperti di Pulau Leper, 

kepulauan New Henrides, seorang anak laki-laki meninggalkan rumah ibunya pada 

usia tertentu dan harus pindah ke rumah adat tempat ia sehari-hari tidur dan makan. 

Adat yang sama berlaku di Kaledonia Baru. Jika saudara laki-laki dan perempuan 

beemu, si perempuan segera bersembunyi di semak-semak dan si laki-laki be~jalan 

terus tanpa boleh menoleh.    

Freud berpendapat apa yang terjadi pada zaman primitif itu tetap berlaku dalam 

rentang teori Scksualitas. Scbagai conloh, p~da aturan larangan inses seornng 

menantu dan mertuanya, Freud sampar menelisik dalam hingga akhirnya 

menunjukkan scbuah skema bahwa pandangan menantu pada merluanya 

mengingatkannya pada gambaran ibunya yang terns tersimpan dalam ketidaksadaran. 

"Campuran perasaan lain dalam dirinya seperti lekas marah dan benci 

membuat kita mencurigai bahwa bagi menantu laki-laki, Si ibu mertua 

sebenarnya mempresentasikan godaan inses, seperti banyak terjadi bahwa 

seorang laki-laki jatuh cinta pada terlebih <lulu ~ada ibu mertuanya sebelum 

perasaan itu dialihkan pada anak perempuannya."   

Apa yang diucapkan Freud juga ditangkap kuat oleh Markale yang mengkaji 

beberapa klan dalam kaitan inses. Seperti dikutip Knapp, Markale menyajikan fakta 

bahwa tabu inses yang dilanggar di masyarakat Celtic, para raja, dan pahlawan￾pahlawannya, mengasosiasikan diri mereka kepada para dewa, rasa berdosa, dan
keyakinan kepada aturan moral yang kenyataannya tidak dapat ditegakkan oleh 

kepala suku seperti diri mereka. Semisal puisi-puisi epik di Celtic yang penuh dengan 

gairah inses, sepeti Mordred tentang anak Raja Arthur yang melakukan inses dengan 

saudara perempuannya Morgan Le Fay. Cu Chulainn tentang anak suku Conchubar 

dan saudara perempuannya Dechtire. Cormac Conloinges tentang anak suku 

Conchubar dan lbunya Ness.    

Kajian-kajian primitif ini adalah titik temu bahwa inses merupakan suatu 

infantilisme dan terkait kehidupan psikis neurosis. Arti family complex yang 

diuraikan Freud pada fase phalik menjadi awal mula inses di mana kecendrungan 

percintaan sedarah terurai kepada kekecewaaan anak kepada orangtua. Jni setidaknya 

menunjukkan kepada kita keterikatan yang kuat pada masa kanak-kanak dalam inses 

yang sulit dilepaskan. 

·'Psikoanalisa telah mengajarkan kita bahwa pemilihan obyek seks 

pertama scorang anak laki-laki pada dasarnya bermotilkan hasrat inses dan 

bahwa ia diarahkan pada obyek-obyek terlarang, ibu dan saudara 

perempuannya. Psikoanalisajuga mengajarkan pada kita cara-cara yang dipakai 

individu yang beranjak dewasa untuk membebaskan dirinya dari ketertarikan 

inses. Akan tetapi, penderita neurosis biasanya menampakkan suatu bentuk 

infantilisme psikis, ia tidak bisa membebaskan dirinya dari kondisi psikoseksual 

anak-anak, atau ia malah kembali ke regresi. Jadi, fiksasi libido yang berbasis 

inses ini masih, atau kembali memainkan peran utama dalam kehidupan psikis 

tak sadarnya."
Fethisime 

Fetishisme tetap berpusat pada asosiasi alam bawah sadar yang terisi penuh oleh 

mekanisme represi terhadap keinginan.    Freud mengetengahkan suatu kasus yang 

diamatinya pada individu yang mengidap fetisisme kaki. Seorang pria yang tidak 

tcrangsang dengan bagian sensitifwanita. 

"Laki-laki tersebut malah bisa dibangkitkan semangat seksualnya hanya 

o leh sebuah kaki berbungkus sepatu dengan bentuk tertentu. Dia bisa mengingat 

sebuah persitiwa ketika bemsia   tahun, yang menentukan fiksasi libido 

tersebut. Dia sedang duduk di sebuah kursi di sebelah gum perempuannya yang 

sedang memberinya pelajaran bahasa adalah seorang perawan tua yang 

sederhana, bcmmur, dan berkeriput, dengan mata biru dan hidung yang pendek 

namun lancip. Pada hari itu dia telah menyakiti kakinya karena menjulurkannya 

pada sebuah bantal kursi dan beralaskan sandal beludru, dengan betis yang 

terbuka dengan sepantasnya. Selanjutnya setelah upaya yang malu-malu pada 

aktivitas seksual yang normal selama pubertas, sebuah kaki langsing berotot 

semacam yang dimiliki sang ibu gum yang menjadi satu-satunya objek 

seksualnya. Bila ciri-ciri lain pada seseorang menguatkannya pada tipe 

perempuan yang terwakli oleh guru bahasa lnggrisnya, maka dia pun tak kuasa 

untuk menahan ketertarikannya. Fiksasi-libido tersebut bagaimanapun juga, 

tidak membuatnya menderita kelainan. Dia sekedar menjadi tak lazim, yang 

bisa kita sebut sebagai remaja pemuja kaki."    

Seperti dikutip Kennedy, l'reud beralasanjika fiksasi libido dari pasien di atas 

bisa disebut sebagai penyebab fetishisme kaki. Fiksasi ini berada dalam konteks 

bentuk khusus dari hubungan objek, ''.jenis" gum privat bahasa, seseorang yangjelas￾jelas mirip atau mampu menggantikan peran orang tua yang didamba. Dalam ha! ini 

terdapat masalah-masalah traumatis yang berakitan dengan orang tua yang
diproyeksikan pada sang guru privat pada momen tertentu, sehingga membuat 

libidonya sangat rentan terhadap fiksasi.    

White dan Watt menilai harapan kaum fothis bahwa objek cintanya mempunyai 

penis disimbolisasikan kepada bentuk fetish tangan. Namun harapan tinggal harapan 

karena partner cintanya temyata adalah ibunya sendiri yang akhimya harus ia 

tinggalkan karena sang ibu membohonginya dibalik pesona sensualita .   

Pembahasan konsep fetisishisme turut diintensifkan oleh R.C Bak. Bak (   ) 

scperti diurai Gertrude dan Blanck telah menulis dengan ekstensifmengenai fetisisme 

yang ditekankan pada faktor etiologi dalam hubungan ibu-anak ys.ng menghadirkan 

masalah pemisahan. Bak percaya bahwa ketidakpastian dalam kesan dalam 

memandang tubuh pada fetishisme adalah basil dari regresi, di mana realitas yang 

teijadi dirubah kedalam ketidakpastian pada kesan tubuh pada fase phalik. Artinya, 

kompleks kastrasi dan gcjolak yang terjadi pada fase phalik memainkan peran sentral 

dalam seksualitas yang ganjil ini. 

Lebih jauh Bak juga menekankan kontribusi perkembangan ego pada fase pra 

phalik. Meskipun Bak tertuju pada analisis kecemasaan separatisme ibu dan anak dan 

kelemahan struktur ego yang teijadi pada masa oral, namun Bak mempertahankan 

mekanismc pertahanan pada fctistik harus muncul pada fase phalik. Hal ini juga 

merupakan sebuah usaha untuk mengidentifikasi ibu yang kehilangan penis.
Kontribusi dari Bak ini setidaknya memodifikasi pemikiran Freud bahwa fetishisme 

menghadirkan kebebasan dari objek cinta.    

Selain itu, Greenacre juga memberikan pandangannya yang khas Klenian pada 

kasus fetishisme. la memulai kontribusinya kepada teori fetishisme dengan 

memperluas pemikiran Freud dalam peran psikologi ego. Awalnya Greenacre 

menekankan pada kesan kompleks kastrasi dalam perkembangan pra genital yang 

menjadi akar fetishisme, kemudian Greenacre menggeser perhatian dari kompleks 

kastrasi itu ke tahapan awal pengalaman-pengalaman pra genital. Pengalaman itu 

menghalangi struktur kepribadian untuk berkembang, dan akhimya membawa anak￾anak dalam kondisi tidak mampu menuntaskan krisis Oedipus. Pada misteri rentang 

waktu kejadian fethistik, secara spesifik Greenacre meletakkan permasalahan 

perkembangan pada setengah tahun pertama atau setengah tahun kedua.   

Dalam perkembangannya, fetishisme bergerak menuju gejala psikopatologi 

lainnya. Ciri utamanya adalah dorongan yang kuat dan berulang serta fantasi yang 

berhubungan dengan melibatkan pemakaian pakain lawan jenis dengan tujuan untuk 

meraih rangsangan seksual, hal ini disebut transvestik fetishisme. Jika individu 

fetishisme dapat dipuaskan dengan memegang objek seperti pakaian wanita sambil 

bermasturbasi, sedangkrui pada orang dengan transvestik fetishisme justru ingin 

mengenakannya.    Mereka dapat memakai pakaian feminim, aksesorisnya, dan 
dandanannya secara lengkap atau lebih menyukai satu bagian dari pakaian, seperti 

stoking perempuan, BH, celana dalam, dan lain sebagainya. 

c. Homoseksualitas 

Homoseksual sebenamya bukan kata yang mengejutkan bagi Freud. Dalam 

anggapannya sedari awal bahwa manusia adalah biseksual.   Alhasil, kecenderungan 

menjadi homoseksual bergantung kepada dinamika psikis dalam keluarga. 

Konkretnya seperti disitir Sadarjoen, bahwa kompleks Oedipus, fantasi inses, dan 

kompleks kastrasi adalah keladi dari seks sesama kelamin ini.    

Freud menggarisbawahi ketika terjadi rintangan untuk menyalurkan hasrat 

seksual pada masa anak, akan ditemukan penyimpangan seksual seperti homoseksual. 

Analisis menunjukkan kebanyakan setiap kasus homoseksual akan menetap dalam 

kondisi yang laten.    Sedangkan, traumatik fase anal memperlihatkan bahwa bagian 

pengeluar feses ini menggantikan peran vagina dalam kegiatan sensualitas erotik 

kaum homo. Atau sebelumnya pada fase oral yang begitu menginspirasi kaum homo 

untuk mcndapatkan pcrsetubuhan melalui mulut. 

Kita akan mencoba menggeser patokan tahap psikoseksual ini kepada bentuk 

selfish love. Freud mendelegasikan bahwa ketimbang pilihan objek heteroseksual, 

homoseksual lebih berhubungan kuat dengan narsisisme. Ketika gairah homoseksual 

tak tersalurkan bahkan ditolak, akhirnya individu kembali kepada bentuk narsisisme. 

Dari sini akhimya Freud sampai kepada kesimpulan yang membedakan dua tipe
setelah tahap narsistik.   Yang pertama adalah tipe narsistik. Sebagai pengganti ego, 

seseorang yang sedekat mungkin menyerupainya akan dikejar sebagai objek cinta. 

Kedua, tipe anaklitis yang di dalamnya orang-orang menjadi dihargai karena 

kepuasan yang mereka berikan kepada kebutuhan primer dalam kehidupan dipilih 

sebagai objek cinta oleh libido. Fiksasi libido yang kuat pada tipe narsistik pemilihan 

objek juga ditemukan sebagai karakteristik dalam karakter kaum homoseksual yang 

nyata. s 

Suatu terobosan dilaksanakan Gillespie yang mengenyampingkan tesa awal 

Freud dan Pleiss bahwa biseksualitas menjadi deteriminitas dari homoseksual. 

Catatan dari Gillespie lebih terfokus kepada proses belajar masa kecil. la berpikir 

bahwa kajian teori homoseksualitas harus melampaui segi etiologi yang semata-mata 

dimonopoli oleh usaha-usaha anak dalam kompleks Oedipus. Kesimpulanya, 

Gillespie menyarankan untuk membedakan aktivitas homoseksual ke dalam dua tipe. 

Pertama berdasarkan fiksasi pra Oedipus dan yang lainnya hadir karena regresi di 

permukaan masalah kompleks Oedipus.    

Layment menyatakan bahwa ibu yang tegang akan posesif niscaya 

menghasilkan anak laki-laki homoseksual. Sedangkan Neodonia dan Nash 

menambahkan bahwa keterikatan yang tidak sehat terhadap ibu pada kaum 

homoseksual, menutup kemungkinan terbinanya sikap positif terhadap ayahnya, 

bahkan kebanyakan mereka membenci ayahnya. 

Ada suatu kondisi yang oleh Sadarjoen dilihat sebagai kecenderungan anak￾anak untuk mengadakan identifikasi dengan salah satu orang tuanya, di mana anak 

tersebut mengalami frustasi yang mengesankan. 

• Ayah yang lemah, tidak bijaksana dan membiarkan ibu dominan di 

rumah. 

• Ayah menginggal dunia waktu kecil. 

• Tanpa ayah sama sekali. 

• Perceraian orangtua, di mana anak laki-laki ikut dengan ibunya. 

• Ayah yang bersikap dingin, kaku, dan kejam.    

Pada situasi-situasi di atas, secara tidak langsung "memaksa" ibu untuk tampil 

ke depan dengan mendominasi kehidupan anak dan membiarkan anak yang sangat 

terikat emosional dengannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kombinasi 

keterikatan yang abnormal dengan ibu dan relasi yang tidak memuaskan dengan ayah, 

. . d" d k h k    

serm g terJa  pa a a um o mose s. 

Tindakan agresif orang tua tidak luput dalam terciptanya homoseksual. 

Gambaran klinis Freud pada bergeraknya insting mati dan agresifitas orang tua pada 

fase anal ditunjang oleh R.R Sears. Sears seperti dikutip Sadarjoen menulis adanya 

empat faktor utama yang mcmpengaruhi keberhasilan anak dalam diferesiansi 

peranan jenis kelaminnya. 

I. Anxiety sexual pada pihak orang tua terutama pada ayah yang 

menghambat minat seksual serta rasa ingin tahu anak akan masalah 

seksual. 

 . !bu menghukum anak dengan keras terhadap tingkah laku agresif anak.
J. Seringnya anak rnendapatkan hukurnan dan siksaan. 

 . Tuntutan yang besar terhadap tingkah laku yang baik, teratur dan bersih 

d. . k 'l d b .     rneJa ma an, to et, an se agamya. 

Urnur-umur tertentu tidak menjadi patokan untuk melakukan 

hornoseksualitas.   Akan tetapi, setidaknya karena keragaman pelaku homoseksual 

tersebut, maka bentuk penyimpangan objek seksual ini berkembang, seperti aktivitas 

homoseksual yang dilakukan pria dewasa dengan anak laki-laki yang lebih muda atau 

diistilahkan dengan pedofilia seksual. 

F. Konstruksi Ontologi, Epistemologi, Empiris, dan ldeologis 

Menurut hemat peneliti, kerangka filsafat ilmu dalam teori seksualitas Sigmund 

Freud tentang kepribadian bergerak pada doktrinal seksualitas yang terlihat pada 

filosofi kepribadiannya. 

Peneliti juga menyimpulkan ada beberapa sendi epistemologis Freud yang khas 

dimana penjabaran alam bawah sadar dibangun dengan serangkai penelitian yang 

lagi-hgi banyak diilhami rekanan Freud semasa menyelami kasus-kasus 

psikopatologis. Breur, misalnya, banyak rnenginspirasi Freud dalam asosiasi bebas
I. Ontologi 

Dari riset yang ditemukan bahwa konstruk untuk ontologis berkembang pada 

tataran prinsip kesenangan seksualitas. Scksualitas yang berkembang akhimya 

menimbulkan pesimisme Freud dalam memandang jatidiri riil manusia, bahwa 

manusia sepcnuhnya buruk, karena sudah digenangi lautan insting-insting yang 

mendesak. lni terlihat dari berbagai perang yang dilancarkan individu temyata 

semata-mata karena insting mati yang memang ada dalam diri manusia. 

Adapun dalam kajian psikopatologi lainnya, manusia niscaya menjadi 

psikopatologis, apabila asupan seksualitas tidak tersalurkan dengan semestinya ketika 

umur satu sampai lima tahun berlangsung. Freud mendelegasikannya pada kasus 

seorang wan ita mud a yang mengalami trauma pada masa kecil. 

Freud mengagungkan mekanisme pertahan diri berbasis seksualitas dalam 

mengatasi kecemasan. Represi, misalnya, digulirkan semata-mata untuk memendam 

cinta biologis terhadap orang tua. Ego yang ada, adalah ego yang diberi tugas oleh id. 

Jadilah ego ini juga dilandasi gelimang seksualitas. 

 . Epistemologi 

Freud memperoleh pengetahuan teori seksualitas dengan berbagai komponen, 

pertama-tama dari conik filosofis yang menjadi worldview, dalam ha! ini 

materialisme. Darwin sangat melekat dengan garis pemikiran Sigmund Freud, ada 

berb<igai lini di mana sektor biologis menjadi fokus kajian. 

Dalam sisi riset, Freud begitu intens meneliti alam bawah sadar dengan berbagai 

kerangka yang meliputinya. Oleh karena itu, Freud mencoba mempraktikan asosiasi 

bebas dalam mencari makna dari psikopatologis para manusia. Di samping itu, teori


llmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji 

kebenarannya.  Maka itu, jika ada ilmu yang pantas diragukan kebenarannya, muncul 

kritik. Seperti kata al-Ghazali " ... Keragu-raguan adalah awal kebenaran .... "

  Atau 

sahut Descartes dengan rasionalismenya " ... Aku berpikir maka aku ada .... "  

Namun, sebelum memasuki wilayah kritik psikologi Islami, terlebih dahulu kita 

harus memandang secara umum mengenai seluk-beluk tentang psikologi Islami. 

A. Psiko logi Islam i 

. Pengertian Psikologi lslami 

Menurut Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori, ada dua pendekatan untuk 

mengklasifikasikan psikologi Islami. Pendekatan pertama bahwa psikologi lslami 

adalah konsep psikologi modem yang teiah mengalami filterisasi clan di dalamnya 

terdapat wawasan Islam. Artinya psikologi Islami diartikan sebagai perspektif Islam 

terhadap psikologi modern dengan cara membuang konsep-konsep yang tidak sesuai 

dan bertentangan dengan Islam
Dan pandangan kedua adalah mengungkapkan bahwa psikologi Islami adalah 

ilmu tentang manusia yang kerangka konsepnya benar-benar dibangun dengan 

semangat Islam dan bersandarkan sumber-sumber formal Islam, yaitu al-Qur'an dan 

sunnah Nabi.  

Jika diperhatikan, nama-nama lain yang bersubstansi serupa ikut hadir memberi 

alternatif dari kebuntuan barat seperti wacana psikologi Islam.  Selain itu, ada 

psikologi i/aliiyah ala Azzaino, psikologi Qur'an milik Ahmad Mubarok, psikologi 

profelik gebrakan Kuntowijoyo, nafsiologi sebuah antitesa dari Sukanto, dan 

psikologi sufi tawaran Javad Nurbakhsy.  Namun dalam perkembangannya, istilah 

psikologi lslami lebih diterima, terbukti dengan berdirinya Asosiasi Psikologi lslami 

(API) dan berbagai simposium yang memakai psikologi Islami. Kajian konsep 

psikologi Islam juga tidaklah semasif psikologi lslami, selama ini hasrat untuk 

bertahan dalam asumsi psikologi Islam masih dalam tataran melihat manusia dalam 

al-Qur'an. Psikologi lslami mempunyai kekhasan bukan hanya mencari sumur kajian 

psikologi dengan agama Islam, namun juga dari paradigma-paradigma lain sejauh 

tidak bertentangan dan paradoks dengan Islam, walaupun itu ditulis oleh orang kafir 

sekalipun. Kita dapat menangkap kesan bahwa makna psikologi lslami lebih 

moderat.  
Jslami, manusia seperti tidak berkuasa atas diri sendiri. Terna ini juga yang 

memunculkan antitesa dan kritik dari socrelarian dalam pisau Carl Roger. Sedangkan 

psikoanalisa lebih menitikbemtkan pada argumen agungnya bahwa semua manusia 

itu buruk dan lerkenal sebagai psikologi anti Tuhan. 

Ada kecenderungan lain, psikologi bisa dibilang adalah "korban berikutnya'' 

dari Islamisasi sains yang lebih dahulu telah me"-muallaf-"kan ilmu-ilmu sekuler 

seperti ekonoini, politik, sosiologi, dan antropologi. Boleh dikata wacana Islamisasi 

sains yang diprovokasi oleh Ismail Raji al-Faruqi begitu patriotikal mencipta ilmu￾ilmu yang lslami.   

Sebagai suatu perbincangan berskala internasional, wacana psikologi Islami 

akhirnya mulai bergaung semenjak tahun    . Ketika itu, Universitas Riyad!, Arab 

Saudi, melaksanakan simposium intemasional tentang psikologi dan Islam. Tak 

heran, tepat setahun sesudahnya, di lnggris terbit sebuah buku kecil yang sangat 

monumental di dunia muslim, yaitu The Dilemma of Muslim Psychologist yang 

ditulis Malik Badri.   

Setelah pertemuan ilmiah dan buku itu, secara umum di belahan dunia dan 

khususnya Indonesia, kajian psikologi lslami mengalami perkembangan. Hal ini 

ditandai dengan hadimya kajian-kajian yang mengupas dengan detail psikologi
Islami. Menurut Fuad Nashori, momentum psikologi Islami di Indonesia adalah tahun 

    yang melahirkan sebuah buku berjudul "Psikologi Islami: Solusi Islam atas 

Problem-problem psikologi (Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori)". Buku ini juga 

diterbitkan bersamaan dengan Simposium Nasional Psikologi Islami I di Universitas 

Muhamaddiyah Surakarta.  Sejak itu, berbagai diskusi lanjutan dan gagasan-gagasan 

mengenai psikologi Islami berkembang luas. 

Perlu diingat, perkembangan psikologi Islami tidak hanya ditandai dari 

kritisisme terhadap psikologi Barat, namun sampai pada titik ijtihad intelektual untuk 

merumuskan konsep psikologi lslami secara integral. Setidaknya ha! ini dilakukan 

Abdu I muj ib untuk mengurai kepribadian via Islam.   

Akhirnya untuk meminimalisir ketidakilmiahan, beberapa agenda psikologi 

lslami juga dirancang untuk mendesain metodologi ilmiah dan penyelenggaraan 

riset.   Cara inilah yang dirasa tepat untuk membuka mata dunia, bahwa nilai 

religiusitas bisa berbicara dengan baik dan tidak ketinggalan kode etik ilmiah. 

Pada intinya kita dapat menyimpulkan bahwa psikologi lslami dalam konteks 

luas ingin menjadi sualu corak studi ilmiah dan mapan dalam kerangka filosofis 

keilmuan serta berkembang sebagai disiplin ilmu di perguruan tinggi. Dalam aspek
aksiologi, psikologi bernuansa religi ini mempunyai visi luhur yakni membantu 

memecahkan problem manusia modem dan mencipta sebuah peradaban berbasis 

psiko-spiritual. 

 . Struktur Kcpribadian dalam Psikologi Islami 

Struktur kepribadian bukan hanya menjadi otoritas dan kl\jian penting dari 

kalangan Barat seperti Alfred Adler dengan psikologi individualnya,   kemudian Carl 

Gustave Jung dengan psikoanalitiknya.   Maka Islam juga menjadikan tema sentral 

struktur kepribadian manusia, yang kemudian menjadi sari-sari pemikiran psikologi 

Jslami. 

Struktur kepribadian di sini lebih ditekankan pada aspek-aspek yang terdapat 

dalam diri manusia, yang menjadi cikal bentuk kepribadian. Pemilihan aspek ini lebih 

mengikuti pola Khayr al Din al-Zarkali. Menurutnya, seperti dikutip Mujib, bahwa 

studi tentang diri manusia dapat dilihat dari tiga sudut. 

I. Jasad (fisik); apa dan bagaimana organisme dan sifat-sifat uniknya; 

 . Jiwa (psikis); apa dan bagaimana hakikat dan sifat-sifat uniknya; dan 

 . Jasad dan jiwa (psikofisik); bempa akhlak, perbuatan, gerakan dan 

sebagainya.   

Dalam Islam kctiga sudut di atas lerdiri dari tiga jenis bagian struktur yang 

saling bersinergi, yakni jasmani, ruhani, dan nafsani.
a. Jasmani 

Jasmani adalah substansi manusia yang terdiri dari strukrur organisme fisik. 

Unsur biotik manusia akan hidup jika diberi energi kehidupan yang bersifat fisik. 

Energi ini lazimnya disebut nyawa. lbnu Maskawih dan Abu al-Hasan menyebutnya 

al hayah (daya hidup), sedang al-Ghazali menyebutnya dengan al-ruh jasmaniyah 

(rub material). Dengan daya ini manusia dapat bernafas, merasakan sakit, panas￾din gin, pahit-manis, haus-lapar, seks, dan sebagainya.   

Jisim memiliki natur sendiri, al-Farabi menyatakan bahwa komponen ini dari 

alam ciptaan yang memiliki rupa, berkualitas, berkadar, bergerak dan diam, serta 

berjasad yang terdiri dari beberapa organ. Sementara lbnu Rusyd berpendapat bahwa 

komponen jasad merupakan komponen materi.   

b. Ruhani 

Menurut Abdul Mujib, ruh memliki tiga kemungkinan, yaitu rub merupakan 

nyawa yang menghidupkan jisim. Kedua, ruh sebagai substansi yang halus yang 

menyatu dengan badan manusia di alam khalq dan ketiga, ruh sebagai substansi 

ruhani yang berasal dari alam amar (perintah).   Ditambahkan oleh Mujib bahwa ruh 

manusia terdiri dari dua bagian yakni ruh yang masih murni berhubungan dengan 

Zatnya sendiri dan ruh yang berhubungan dengan jasmani.   
Rasanya, inilah temuan fenomenal dalam kerangka psikologi lslami yang tidak 

dimiliki psikologi kepribadian lainnya.   Karena ruh berbeda pemahaman dengan 

psikologi, disebabkan ruh berarti jauhar, sedangkan psikologi bersifat aradh 

(accident). Ruh begitu halus dan sangat misteri, bahkan urusan Tuhan seperti pada 

surat al-Israa'/ :   .   

  . Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh 

itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan 

melainkan sedikit". 

c. Nafsani 

Ahmad Mubarok menyebutkan tujuh makna nafs dalam al-Qur'an seperti diri, 

Tuhan, person sesualu, roh, jiwa, totalitas manusia, dan sisi manusia yang melahirkan 

perilaku.   Namun Abdul Mujib melihat bahwa nafs dalam konteks ini berarti 

psikofisik manusia, yang mana komponen jasad dan ruh telah bersinergi. Apabila ia 

berorientasi pada jasad, maka perilakunya akan buruk, tetapi apabila mengacu pada
natur rub kebidupannya akan menjadi baik.   Pada momen ini manusia memiliki 

kebebasan berkebendak yang memungkinkan manusia secara sadar mengarahkan 

dirinya ke arah keluhuran dan kesesatan. 

Mujib menambabkan babwa nafs mempunyai potensi gharizah yang dalam arti 

etimologi berarti insting, naluri, tabiat, perangai, kejadian laten, ciptaan,   dan sifat 

bawaan.   Haitati dkk. menyarikan jika potensi gharizah ini dikaitkan dengan potensi 

jasad dan rub maka dapat menjadi tiga bagian, yakni (a) qalb yang berkaitan dengan 

rasa atau emosi. (b) Akal yang berkaitan dengan cipta dan kognisi, dan (c) nafsu yang 

berbubungan dengan karsa atau konasi dalam termin behavioristik.   

Konsep fitrah yang menjadi trademark psikologi lslami juga dengan jelas 

disebut oleh al-Ghazali ketika mengurai nafs. Seperti dikutip Mujib, al-Ghazali 

menyatakan bahwa kalbu memiliki jiwa ruhani yang disebut kalbu ruhani. 

Karakteristiknya menurut al-Ghazali menarik untuk disimak: 

I. la memiliki insting yang disebut annur al ilahi (cahaya ketuhanan) dan al 

bashirah al bathiniah (mata batin) yang memancarkan keimanan dan 

keyakinan. 

 . la diciptakan oleb Allah sesuai dengan fitrah asalnya dan berkecendrungan 

menerima kebenaranNya.    
Dengan konsep fitrah, psikologi Jslami memandang bahwa semua manusia 

adalah baik dan manusia selalu ingin kembali kepada Kebenaran Sejati (Allah). Ini 

clipertegas clalam al-Qur'an, surat al A'raaf/ :    . 

.'.:...:J l ~ l Ll"' ;..:., J.:):. \:, ;.- -} ~ ~ ,;~  -:' r~ I~ ~ :X :d.) ii,.\ ~)) 

- , , , , • , ' J  , ·~, , • J ', ~ ~-,. , ~ ,, • J , H. J ; 

~~ ~ .:U... if t.:..b bj?. ·:?II (,,i _,J _,.a:; -.._:_ll G~ :): _,Jl.  ~.;  

  . Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak 

Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka 

(seraya berfirman): "Bukankah Aku Jni Tuhanmu?" mereka menjawab: ''Betul 

(Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang clemikian itu) 

agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) 

adalah orang-orang yang lengah terhadap lni (keesaan Tuhan)", 

Sedangkan nafsu dapat merujuk pada terminologi syahwat yang bekerja sesuai 

prinsip kenikmatan. Syahwat sendiri merupakan potensi hawa nafsu yang memiliki 

natur binatang, seks bebas, erotisisme, narsisisme, dan terpusat pacla segala tindakan 

yang semata-mata untuk memuaskan birahi.   

Dengan model struktur kepribadian ini, jelaslah bahwa manusia merupakan 

kesatuan clari dimensi; fisik-biologi, mental-psikis, sosiokultural, spiritual, dan 

ruhani.
Sutrisno Hadi rnenulis dalarn postulat reliabilitas pernikiran bahwa orang-orang 

yang paling cerdaspun tidak pemah selamanya keba! dari kesaiahan-kesalahan 

menganalisa dan rnengarnbil kesimpulan-kesimpulan. Pertama-tama mungkin dia 

menggunakan premis-prernis yang salah. Selanjutnya mungkin dia tidak mengikuti 

secara tertib dasar-dasar logika formal, atau juga terlalu dipengaruhi keinginannya.   

Tak terkecuali Sigmund Freud dengan teori seksualitasnya. Tercatat sejumlah 

kalangan bergerilya "rnenelanjangi" mulai dari psikolog, filosol; agarnawan, dan 

lainnya. Narnun da!am konteks psikologi Islami, penulis menernukan data berupa 

empat b\jian wilayah filosofis ilrnu yang rnenjadi terna untuk mengkritik Freud, 

yakni ontologis, ernpiris, epistemologis, dan ideologis. 

Hal ini penting, penulis rnelihat psikologi lslarni menancapkan empat wilayah 

filosofis ilrnu ini, sebagai upaya sistematisasi dalam ha! mengkritik teori seksualitas 

Sigmund Freud. Ontologi sebagai hakikat keribadian dalrn teori seksualitas. 

Epistcrnologi scbagai upaya Freud dalarn rnernperoleh teori seksualitas tentang 

kepribadian. Scdangkan kritik empiris yang dilancarkan psikologi lslarni mencoba 

menaungi ternuan fakta yang berbeda dangan apa yang teori Freud sajikan. Terakhir 

kritik ideologis sebagai rnuara dalam perdebatan di mana konsep Freud dibangun atas 

pendapat semata, yang akhimya pendapat itu bukanlah bangunan konsep yang dite!iti 

Freud dengan matang.
Kritik Ontologis 

Kritik ontologis pada kajian ini dimaksudkan untuk mengeksplor kritik 

psikologi lslami terhadap prinsip-prinsip utama teori seksualitas Freud tentang 

kepribadian. 

a. l'rinsip Kcsenangan Seksualitas 

lnterupsi keberatan terhadap Freud terjadi ketika pengagungan logika 

materialisme untuk menjelaskan kompleksitas manusia, dipegang kuat oleh Freud. 

Dengan begitu, struktur yang diciptakannya hanya berpangkal dari rasionalisasijisim 

yang invalid. Ringkasnya, Freud lumya berpusat pada penjelasan eks sebagai nafsu 

syahwat penggerak semua kehidupan. Karena itu, psikologi lslami memandang 

psikologi Freud tak lebih sebagai psikologi ketubuhan, terkhusus seks. 

Paradigma yang menjadi unsur terpenting atau substansi pokok dalam kritik 

psikologi lslami adalah logika Freud yang bertentangan dengan dogma Islam. Para 

psikolog muslim kemudian mempercayai bahwa dengan berpegang pada psikologi 

Islami akan terjadi eliminasi dalam kekeliruan konsep manusia seadanya ala Freud. 

Menurut Freud, id yang ada dalam alam bawah sadar diisi oleh tenaga psikis yang 

disebut lbido yang berkarakteristik seksual. Samantha berpandangan, jalan pertama 

untuk menangkal itu semua adalah dengan pengakuan diri bahwa tiada tuhan selain 

Allah, dengan landasan tauhid ini orang niscaya terbebas dari perbudakan pemikiran 

spekulatifFreud yang menganggap kondisi libido seksual sebagai tuhan.~\ Teori seksualitas Freud dicap sebagai kesia-siaan karena terlalu pesimis 

memandang hakikat kehidupan. Selain karena pesimisme itu buruk,   pesimisme 

d. . 'd k . k t . h    

sen m ti a sesua enya aan manusa sesunggu nya. 

Daniel Goleman, mantan redaktur sains tingkah laku di New York Times dan 

penulis buku EQ, pun turut berkomentar, bahwa gambaran Freud tentang diri 

manusia merupakan model paling dekat yang dapat diraih peradaban barat, dan 

baginya ini kurang baik. Karena model tersebut lebih pesimistis ketimbang model￾model altematif yang dikembangkan para psikolog di luar universitas (dalam ha! ini 

adalah pandangan psikologi transpersonal).   

Elmira menulis bahwa eksplanasi Freud tentang bentuk psikopatologis perilaku 

manusia yang bersumber dari kekuatan libido, menunjukkan penjelasan yang 

dangkal. Kekuatan dorongan tersebut telah membutakan manusia dan menjadikannya 

tidak berdaya untuk mengembangkan diri ke arah positif, tetapi malah mengarahkan 

penyimpangan perilaku dalam upaya mengatasi, menahan, dan menyiasati dorongan 

seksual. Manusia dalam ketidakberdayaan melawan libido yang digambarkan Freud,
menjadi wujud makhluk yang begitu pesimis bahwa ia dapat keluar dari belenggu 

impulsnya. Seolah-olah tidak ada potensi, misalnya, berupa aka], kata hati, nurani, 

dan keyakinan akan dukungan supranatural berupa iman dan takwa kepada Tuhannya, 

yang dapat dikembangkan oleh dirinya sendiri untuk melawan han yang instingtif.   

Pernyataan Freud bahwa manusia pada dasarnya buruk dengan ciri khasnya 

ketika dilahirkan hanya mempunyai id dan bahwa superego terbentuk ketika 

seseorang berinteraksi dengan orangtua, adalah pernyataan yang sarat kritik. 

Psikologi lslami mempercayai bahwa ruh menghiasi jiwa ketika terjadi konsepsi 

manusia, maka dalam dirinya diletakkan adanya kecenderungan untuk kembali 

kepada nilai-nilai kebaikan. Dalam hal ini, superego bukanlah hasil dialektika tapi 

keniscayaan. Dengan begitu juga eksplanasi teori Freud akhirnya mengeleminir 

substansi aspek psikis manusia, seperti emosi. Padahal dalam psikologi lslami, kita 

mengenal emosi positif dan emosi negatif.   

Kritik selanjutnya ialah ketika teori seksualitas Freud dapat membahayakan 

akhlak umat jika menjadi worldview, karena Freud menganggap halal hubungan 

kelamin bagi setiap manusia, entah ia sudah menikah atau belum. Dan Islam yang 

memandang cinta haram dalam seksualitas non muhrim ini menjadi terpinggirkan 

dalam negatifismc Freud. Islam tidak menyuruh mengingkari nafsu seksual. Islam 

justru menerima kepuasan dan kesenangan dari hubungan heteroseksual. Namun Islam berupaya mengendalikan ekspresi kebutuhan fisiologis agar seseorang dapat 

hidup dalam suatu cara yang sesuai dengan konsep keberimanan dan 

memberdayakannya untuk menjalani kehidupan yang tertib. Karenanya, seorang 

muslim yang mempunyai iman yang kuat dalam agamanya dapat secara sadar 

mengendalikan dorongan-dorongannya untuk mematuhi kewajiban yang telah 

ditetapkan atas dirinya oleh Allah tanpa menjadi frustasi seperti tertuang dalam surat 

Ali lmran/ :  .' 

,-:,.. ,' ,, ... ,, • .,, ,~ .. -,,.. ,, .,  J  •} 

';--".:UI J ;;).:-WI ~lj ~lj r~I J .,::;J+.::JI ~ Y""G.l.J .);_j 

'~~ "j,,  :U ~';?JI (:-'.', ,, I)·~. ,.:;;Jj ~\ij ~~ ~j? '.;.,:_, 

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa 

yang diinginkan, yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, 

perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. ltulah 

kesenangan hidup dunia; dan sisi Allah-lah Tempat kembali yang baik 

(surga)."   

Selain itu, manusia tentu dibentuk dengan segenap nafsu, tapi tak selamanya 

nalSu itu berkonotasi negatiC Karena seperti dikatakan Mazhahiri bahwa dalam Islam 

kita juga mengenal nafsu lawwamah yang jika itu hidup dapat membimbing 

manusia.  
Pada konsep biseksualitas, Freud tampak selaras dengan persepsi Ibnu Arabi 

yang menyatakan bahwa Zat Allah bersifat feminim dan maskulin, begitupun Adam 

dan Hawa melekat sifat feminim dan maskulin. Namun perjalanan sufistik lbnu Arabi 

menempatkan ia pada suatu kesimpulan akan pentingnya koridor transenden 

seksualitas kepada penghomatan lawan jenis yang berbeda sekali dengan Freud 

dalam memahami perempuan. 

"Ketika pertama kali saya mengambil jalan sufisme, saya sangat 

membenci perempuan dan saya menahan diri dari hubungan seks selama 

delapan belas tahun hingga saya mengalami suatu keadaan spiritual. Saya 

menjadi takut tehadap perempuan ketika saya memahami (makna) hadis yang 

menyatakan bahwa Rasulullah SAW. diciptakan oleh Allah untuk mencintai 

perempuan sehingga beliau mencintai mereka bukan karena sifat fisiknya, 

melainkan karena Allah menyebabkan beliau mencintai mereka. Ketika saya 

benar-benar berkonsentrasi kepada Allah (mencari pencerahan) dalam masalah 

ini, sebab saya merasa takut akan kemungkinan Allah murka kepada saya 

karena saya telah membenci ha! yang telah Allah tanamkan kecintaan kepada 

Rasul-Nya, terpujilah Allah yang telah mengilhami saya- dan membuat saya 

mencintai perempuan. Kini saya paling ramah kepada mereka di antara seluruh 

makhluk dan saya paling menghonnati perempuan- karena saya ini bukanlah 

didorong oleh natsu fisik, melainkan karena Allah telah menyebabkan saya 

mencintai mereka."   

Freud berdalil bahwa ada mekanisme insting atau biologis bawaan yang 

membuat manusia cenderung melakukan agresi. Teori ini kemudian dianggap tidak 

bisa dipercaya oleh para ahli biologi. Di Seville, Spanyol pada tahun     

sekelompok ilmuwan bcrtemu untuk menyelidiki sebab-sebab agresi manusia. John 

E. Mack menjelaskan hasil-hasil Pemyataan Kekerasan Seville. Dalam Pemyataan
Seville para penandatangan, termasuk ahli-ahli psikologi, ilmuwan syaraf, ahli 

genetika, antropolog, dan ilmuwan politik, menyatakan bahwa tidak ada dasar ilmiah 

bagi anggapan bahwa manusia adalah makhluk yang berpembawaan agresif, yang 

pasti akan berperang berdasarkan sifat biologisnya. Singkatnya, Penyataan Seville 

menyiratkan bahwa kita mempunyai pilihan-pilihan yang jelas dan bahwa munkin 

adajenis tanggungjawab baru dalam tingkah laku kehidupan kelompok manusia. Arti 

penting Pernyataan Seville itu adalah implikasinya untuk penjelasan, sikap, dan 

penyelesaian konflik manusia. Pernyataan Seville mengarah pada inti salah satu 

perbincangan pokok dalam penelitian teori konflik, apakah akar pokok konflik 

manusia itu akan ditemukan di dalam sifat dasar (genetik) atau didikan atau nurture 

{lingkungan).   

Selanjutnya, an-Najar melihat sebuah kebenaran penting dan besar, yaitu jika 

Freud dikenal sebagai peletak teori cinta-kebencian dan kematian-kehidupan, 

sementara itu at-Tirmidzi, pada abad ke-  telah mengemukakan dualitas yang 

ditemukan jauh sebelum Freud Jahir. Dalam buku Al Masai! Al Makmunah, at￾Tirmidzi berkata: 

·'Berbagai kecenderungan hati mengarah kepada cinta dan kehidupan 

sedangkan berbagai syahwat naluri mengarah kepada kematian dan kekuasaan. 

Hati adalah tempat diletakannya cinta. Sesungguhnya kehidupan timbul dari 

cinta. Adalah pengetahuan, ia tempat disimpannya cinta. Dengan demikian, hati 

akan hidup oleh pengetahuan yang selanjutnya ia menjadi ringan. Ketika hati 

telah ringan, ia akan cepat kepada ketaatan."  
At-Tinnidzi berpandangan bahwa cinta adalah selalu 

berdarnpingan. Adapun surnber berbagai naluri dan syahwat adalah sesuatu yang 

diletakkan di dalarn diri rnanusia, yaitu kernatian dan kekuatan. Kernatian dan 

kekuatan selalu berdarnpingan. Sedangkan cinta dan kehidupan, keduanya selalu 

dibarengi dengan keringanan, kebahagiaan, kecongkakan, dan kasih sayang. Adapun 

kematian clan kekuatan, keduanya selalu dibarengi dengan keterbebanan, kesedihan, 

ketidakrnenentuan, clan kekerasan.   

Kritikan kepada Freud oleh psikologi Islarni, akpirnya tidak saja rnengeksplor 

kerancuan sisternik dari teori keprribadian, narnun sarnpai pada titik penyajian fakta 

yang rnenguak orisinalitas sebuah gagasan yang telah usang ada dalarn literatur Islam. 

b. Perkcmbangan Kepribadian dan Deterministik Historis 

Orang-orang pun tersentak tidak percaya ketika anak-anak pada urnur satu 

sampai lirna tahun didera insting seks besar-besaran yang rnenciptakan rnasa depan 

prematur. Freud dinilai mengada-ada dan terlalu rnernaksakan percepatan kedewasaan 

psikologis rnanusia bahwa anak berurnur tiga tahun sudah rnempunyai birahi tinggi 

untuk rneniduri orangtuanya. 

Selain itu, Freud terlalu mengangungkan detenninasi sejarah sebagai takdir 

matinya kebebasan hurnanitas rnanusia. Tentu rnenjadi ambivalensi dengan narna 

mazhab yang melekat dengan psikologi "esek-ese~' Freud yaitu psikodinarnika yang 

rnenitiberatkan terhadap konstelasi jiwa rnanusia. 

Seperti dikatakan Sofia Retnowati bahwa rnernang benar jika rnanusia 

dipengaruhi oleh masa lalu yang kelarn, tapi tentunya tidak berarti rnanusia
tenggelam menjadi korban masa lalu secara berkepanjangan.   Kita pun bisa melihat 

seorang anak yang mcngalami kondisi buruk, toh tetap "sehat-sehat" saja di 

kemudian hari. 

Karenanya adalah perlu untuk membandingkan gagasan psikoseksual Freud 

dengan konten Jslami untuk mencari wawasan bagaimana perkembangan anak 

semestinya. Zahratun Nihayah dan kawan-kawan menyarikan itu dalam al-Qur'an 

sebagai jawaban. Menurutnya tugas-tugas perkembangan pada umur satu sampai 

tujuh tahun menurut psikologi perkembangan Islam adalah sebagai berikut: 

a. Pertumbuhan potensi-potensi indra psikologis seperti pendengaran, 

penglihatan, dan hati nurani. Tugas orang tua adalah bagaimana 

mampu merangsang pertumbuhan berbagai potensi tersebut, agar 

anaknya mampu berkembang secara maksimal. Seperti dikatakan 

Allah dalam finnannya " ... Dan Allah mengeluarkan kalian dan perut 

ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, dan ia 

memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati sanubari agar kamu 

bersyukur ... " (QS An-Nahl:   ). 

b. Mempersiapkan diri dengan cara membiasakan dan relatif hidup yang 

baik, seperti dalam berbicara, makan, bergaul, penyesuaian diri dengan 

lingkungan, dan berperilaku. Jika pembiasaan ini tidak dibiasakan 

sedini mungkin maka ketika dewasanya, akan sulit dilakukan; dan 

c. Pengenalan aspek-aspek doktrinal agama, terutama yang berkaitan 

dengan keimanan.   

Psikologi lslami membenarkan bahwa faktor keluarga memperkuat kepribadian 

pada anak. Akan tetapi, tidak pada koridor mengagungkan seksualitas infantil, karena 

faktor keluarga memegang vitalitas pada pemikiran dan perilaku anak yang justru
akan memperkuat stabilitas kepribadian dalam melihat seksualitas. Ini sesuai hadis 

nabi. 

"'Tidak seorang bayi pun kecuali dia terlahir berdasarkan fitrah. Lantas 

kcdua orangtuanya-lah yang menjadikan dia seorang Yahudi, Nashrani, maupun 

Majusi. Sebagaimana binatang yang melahirkan anak dengan sempuma, apakah 

kalian rasa ada cacat pada anak binatang tersebut?"   

Selanjutnya, al-lstanbuli mernpunyai cara tersendiri untuk mengarahkan 

perkembangan seksual yang terjadi pada anak-anak. Dalarn skemanya, orangtua 

bukanlah sernata-rnata rnenjadi tujuan identifikasi, narnun orangtua hanyalah sebatas 

menjadi mediasi bagi anak untuk rnelakukan identifikasi utarna kepada ajaran luhur 

agarna. Sebagai contoh dalam pendidikan seks, orangtua wajib mernberikan arahan 

tepat dalarn rnenyelarni pengetahuan tentang seksulitas. Mula-rnula ada penjelasan 

terhadap anatorni tubuh. Agar anak tidak terperanjat dalarn fantasi birahi, orang tua 

kernudian rnenggiting atau beralih ke sistern reproduksi hewan. Selanjutnya diisi 

dengan kisah-kisah keagarnaan, seperti kisah Nabi Yusuf A.S, dengan pelajaran 

tentang kehorrnatan, harga, diri, dan ketakwaan kepada Allah Swt.   

Ahmad Mubarak mengatakan sesuai surat As-Sajdah/   ayat  -  bahwa aka! 

didesain dalarn sistern yang sernpuma, dan dengan aka! manusia dimungkinkan untuk
menemukan dan mengikuti kebenaran.   Sisi humanistik manusia adalah pada cara 

pemahamannya yang mampu membuat oto~omi dalam m.;nentukan pilihan 

psikologisnya. Selain itu al-Qur'an menganggap orang yang mengikuti hawa 

nafsunya sebagai orang yang tidak berilmu.   Dengan begini setidaknya ada korelasi 

kealpaan fungsi aka! oleh Freud dengan kecendengan syahwat. 

Menurut Rahman, baik aliran filsafat kebebasan manusia,/ree will atau free act 

maupun aliran qadariyah-muktazilah, kesemuanya memberikan peran besar kepada 

manusia dalam memilih, berpikir, menentukan atau memutuskan perbuatannya. 

Kebebasan dalam aliran filsafat bukan berarti kebebasan tak terbatas, melainkan 

kebebasan dalam determinisme. Berbagai faktor hereditas, pendidikan, kebiasaan, 

lingkungan sosial dapat memberikan pengaruh pada kebebasan diri atau pikiran 

manusia dalam memilih atau memperbuat sesuatu. Bahkan faktor rasional dan moral 

tidak kurang berpengaruhnya pula. Hanya semua itu tidak dapat memaksa pilihan 

atau putusan manusia. Manusia tidak dapat dibayangkan laksana suatu mekanisme 

atau organisme yang berjalan sesuai dengan suatu pola yang tidak memiliki pilihan.   

Menjadi antitesa dari basis Freud yang sudah mematok umur satu sampai lima 

tahun sebagai batas menjadi "manusia", namun Allah memberikan kebebasan kepada 

manusia untuk menempuh jalan hidupnya. Namun di batik itu, Ia menghimbau pula agar kejelekan dihindarkan. Seseorang yang berakal sehat sudah pasti memilih untuk 

berbuat baik.   

c. Konsep Ego 

Upaya Freud untuk memahami hubungan antara peristiwa negatif dan 

kemampuan ego untuk menaggulanginya dengan mekanisme pertahanan via alam 

bawah sadar mendapat tafsiran berbeda dari berbagai pakar. Pada akbir tahun    -

an seperti disitir Stein dan Book para peneliti meyakini bahwa yang terjadi adalah 

scbaliknya, situasi strcs bisa mcnghasilkan strategi atau gaya yang sangat disadari, 

yang dikembangkan oleh orang yang mengalami stres untuk menyesuaikan diri. Dan 

temuan ini menjadi kabar gembira bagi mereka yang ingin mengatasi stress dengan 

jalan yang lebih baik.  

Sungkar mengurai betapa bedanya antara pengertian ego Freud dengan Islam. 

Menurutnya, Sigmund Freud memang memiliki konsep ego yang cenderung 

mengikuti prinsip-prinsip realistis, obyektif, rasional, dan proporsional. Akan tetapi, 

batasan dan wawasan ego dari Freud tidak sama sekali bisa disamakan dengan 

kecenderungan fitrah dalam psikologi Islami, sebab Freud tidak mengenal kebenaran 

sejati. Konsep ikhlas yang seharusnya menjadi penurunan tingkat ketegangan dalam 

Islam, menjadi iklhlas dalam batasan konprefosional materialistik atau kepuasan￾kepuasan lain yang disetujui kecenderungan-kecenderungan psikis yang dihayatinya 

di luar konleks ridho Allah. Selanjutnya Sungkar menilai bahwa ikon psikologi Freud adalah psikologi id atau hawa nafsu dan tak ada kaitannya dengan spesifikasi ibadah 

vertikal dan horisontal dalam Islam seperti takwa. Manusia dengan ego dominan 

dalarn konsep Freud hanyalah sekedar manusia yang berhasil mengarahkan tujuan 

prinsip kesenangan id kepada objek-objek kesenangan dunia yang nyata atau empirik 

dan bukan yang imajiner seperti yang dikenal dalam proses pikir primemya. Jadi 

tidak perlu heran kalau teori seksualitas Freud tidak menawarkan konsep pribadi￾pribacli sehat. Baginya semua orang adalah neurosis. Terlebih sangat disayangkan, 

Freud justru mengajak penderita neurosis untuk menanggalkan jubah superego yang 

notabene justru rnenjadi transendentalisme luhur dalam psikologi Islami.    

Manusia mempunyai kalbu sebagai daya nafsani. Terlebih kalbu tidak hanya 

sebatas bersifat pasif atau media hidayah oleh Allah Swt., karena menurut Ma'an 

Ziyadah kctika dikutip Mujib, kalbu dapat bersikap "supra rasional" dengan 

aktivitasnya seperti berpikir.   Dengan demikian, dimensi rasionalisme dan hati ini 

dapat rnenjadi pintu untuk menyelami mekanisme pertahanan ego dalam psikologi 

lslami. Karenanya, hawa nafsu bisa ditekan tanpa akhimya menimbulkan neurosis. 

lni seperti diurai oleh al-Hilali yang menyatakan setidaknya ada lima pokok 

perbuatan agar pintu hawa nafau tertutup.
I. Segera menghubungkan nikmat dengan pemberi nikmat. 

 . Segera melakukan sujud syukur ketika mendapatkan nikmat. 

 . Berinfak dengan apa yang disukai nafsu. 

 . Berlebihan dengan melaksanakan amalan tawadhu. 

 . Memperbanyak ibadah:" 

Manusia juga tidak harus "pusing-pusing" mengulangi sejarah masa kecil untuk 

meredam psikopatologis, karena tema kekinian berpeluang besar menurunkan 

kecemasan. Seperti dikatakan Sukanto yang menegaskan bahwa bentuk rasa syukur 

adalah salah satu mekanisme pertahanan diri. Ditambahkan olehnya bahwa neurosis 

bukanlah sebuah gangguan yang dilandasi akan ketegangan seksual, namun terjadi 

karena aspek psikis yang terlibat dalam sengketa destruktif antara jatidiri dan semu 

diri. Selanjutnya, Sukanto mencoba merumuskan mekanisme pertahanan diri dengan 

subordinasi nafsiologi. 

. Sabar. Sabar dapat menjadi kekuatan dahsyat untuk melawan hawa 

(dekadensi atau kemerosotan moral) dan paralisa mental. Untuk 

me la wan hawa, sabar bukanlah sikap pas if, melainkan aktif menghalau 

jejak-jejak setan. 

 . Adil. Keadilan yang kita maksud adalah yang tidak berat sebelah, di 

mana sering tersandung dalam penilaian nisbi. Keadilan artinya adalah 

keseimbangan. Allah itu maha adil. Artinya Allah SWT. serba menjaga 

makhluk ciptaan-Nya. Manusia dilengkapi dengan kesadaran diri, yang 

dengan itu ia diberi kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya 

sendiri, namun masih terikat oleh aturan tetentu. 

 . Janji dan amanat. Janji itu artinya prasetia atau ikrar (niat yang teguh), 

yang yang mengikat kebebasan individu dengan sengaja, hingga ikrar itu 

menjadi kenyataan. Dengan menepati janji berarti menyempumakan 

segala masalah yang mengikat rasa, sampai ikatan itu lepas, karena 

janjinya telah terpenuhi. 

Sedangkan amanat mengandung beberapa pengertian seperti 

kepercayaan, dapat dipercaya, dan rasa keadilan. 

 . Jujur. Tidak seorangpun yang mengingkari bahwajujur itu adalah suatu 

kekuatan yang pengaruhnya tampak dalam realitas kehidupan. Pengaruh ini mewamai nafs yang bersangkutan sebagai dorongan potensial 

berbuat lurus.   

Hal yang menjadi penting adalah sebaliknya jika berbagai mekanisme 

pertahanan ego disangkal atau tidak lakukan, akan berakibat pribadi terjerembab 

dalam penyakit hati. Uraian ini coba dirangkum al-Qomi dalam mendata penyakit 

hati. la coba bersandar pada wasiat Nabi yang mengatakan ciri orang munafik salah 

satunya adalah menyalahi janji.   

Gagasan mengenai ego turut disentuh Muhammad Iqbal. Sebelum itu, jika 

Freud ccnderung menjadikan fokus alam bawah sadar sebagai esensi kepribadian, 

Iqbal lebih menekankan kesadaran sebagai titik pijak personalitas ketimbang 

spekulasi alam bawah sadar manusia. Dalam bahasa Iqbal, ego pusat dan landasan 

organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan 

pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Karena itu, kehidupan manusia dalam 

keegoannya adalah secara lerus menerus menaklukan rintangan halangan demi 

tcrcapainya Ego Tertinggi yaitu Tuhan. Apalagi, manusia juga harus mencipta hasrat 

dan cita-cita kilatan cinta, keberanian, dan kreatifitas yang merupakan esensi dari 

keteguhan pribadi. Jika kita benturkan dengan mekanisme sublimasi Freud, dapat 

dikatakan bahwa sublimasi bukanlah hasil dari estetika ekspresi subjektif, namun
cenderung objektif. Karenanya, bayangan Tuhan dalam hal  menjadi objek dari 

keteguhan estetika Ego Tertinggi .

   

Pada perkembangannya, ketika musibah datang menghampiri dan mekanisme 

pertahanan ego Islami sepeti sabar dan bentuk lainnya sulit membendung, manusia 

cukup melakukan mekanisme ikhlas. Karena dengan jalan ikhlas segalanya akan kita 

tujukan kepada bentuk kepasrahan sebagai hamba. Keikhlasan sendiri seperti diurai 

Khalid adalah mendedikasikan, dan mengorientasikan seluruh ucapan dan perbuatan, 

hidup dan mati, diam, gerak dan bicara, kesendirian dan keramaian, serta segala 

tingkah laku di dunia ini hanya untuk satu hal yakni meraih keridhaan Allah SWT.   

Dari skema mekanisme pertahanan ego ini, manusia coba dibawa pada dua 

sikap. Petama fokus kepada problem kekinian, dan urung kembali ke masa lalu 

dengan jalan fiksasi regresi. Kedua dengan jalan efektif dan rasional yang senantiasa 

menyeimbangkan kadar emosi. Kita ketahui bahwa mekanisme undoing atau 

penyangkalan tidak akan menghilangkan masalah mendasar dan cenderung bersifat 

sesaat. Ketika tegangan insting seksual datang lagi, individu tidak bisa menggaransi 

dirinya akan menjadi lebih baik. Khalid kemudian menawarkan "sub mekan