Jumat, 26 Januari 2024
sigmud freud 2
By tewasx.blogspot.com at Januari 26, 2024
sigmud freud 2
hadap seks,
karena pada kenyataannya anak lebih tertarik untuk mengembangkan keterampilan
sosial dan intelektualnya. Tentu kegiatan ini menyalurkan banyak energi ke betbagai
bidang yang aman secara emosional dan menolong anak melupakan konflik fase
phalik.
Paling akhir adalah (e) fase genital, dimulai pada pubertas. Pubertas
mengisyaralkan kembali terbangunnya tujuan seksual dan awal dari tahap genital.
Pada masa pubertas kehidupan seksual anak memasuki tahap selanjutnya yang
berbeda sama sekali dari tahap infantil. Pertama, anak remaja menghentikan
autoerotisisme dan lebih mengarahkan energi seksual kepada orang lain. Kedua,
reproduksi sekarang menjadi sesuatu kemungkinan. Ketiga, meskipun iri penis tetap
ada, namun vagina anak perempuan akhirnya memperoleh status sama dengan organ
yang dimiliki anak laki-laki pada masa bayi sehingga anak laki-laki melihat organ
perempuan sebagai objek yang dicari, bukan sebagai ancaman traumatik. Keempat,
seluruh insting seksual mendapat organisasi yang lebih lengkap dan bagian-bagian
insting yang telah beroperasi secara agak terlepas pada tahap awal infantil yang
kemudian mencapai sintesis pada awal adolesen.
. Mekanisme Pertahanan Diri.
Pemetaan mekanisme pertahanan diri menjadi diskusi menarik yang ditawarkan
oleh Freud, walaupun konsepnya tidak terstruktur dengan baik, namun "dosa
ilmiah" itu seakan ditebus oleh putrinya, Anna Freud, yang melakukan filterisasi dan
menyusun dengan kerangka logis sebuah mekanisme ego berbasis psikoanalisis pada
tahun . Dalam perkembangannya, mekanisme yang diidentifikasikan Freud
adalah represi, pembentukan reaksi, sublimasi, fiksasi, regresi, proyeksi, dan
introyeksi.
(a) Represi adalah upaya meredam libido yang berpotensi konflik dengan
realitas ekstemal. Sebagai contoh, pria yang mencintai mahasiswi bisa saja
melakukan represi, karena dirinya psesimis untuk mendapatkan cinta sang tercinta.
Sedangkan (b) pembentukan reaksi adalah asumsi dari sebuah perbuatan yang
berlawanan dengan impuls yang sesungguhnya dengan tujuan menjaga impuls agar
tetap bisa ditekan, contohnya individu yang sad is justru ingin menjadi pekerja sosial.
Sedangkan (c) sublimasi yang sudah dijelaskan terlebih dahulu mengacu pada
pemindahan objek seksual ke objek yang lain, namun sarat kreasi estetik.
(d) Fiksasi secara teknis adalah libido yang tetap melekat pada tahap
perkembangan awal. Hal ini bisa terjadi pada orang dewasa yang masih mengisap
jempol. Jika fiksasi bentuknya, maka (e) regresi adalah substansinya, yang mengacu
kepada perilaku individu stres dan mengalami kecemasan kemudian mereka Jebih
memilih jalan pintas ke karakteristik tahap perkembangan awal. Sedangkan (f)
proy-:ksi terjadi bila dorongan insting menimbulkan banyak kecemasan, dan ego
bertugas meredusir dengan menghubungkan dorongan yang tidak bisa dikendalikan
itu dengan objek luar. Seseorang yang mengalami frustasi seksual mengintepretasikan
gestur yang polos dari orang lain sebagai ajakan seksual, maka itu bisa disebut
proyeksi.
Dan (g) introyeksi adalah suatu mekanisme pertahanan yang digunakan orangorang untuk memasukkan kualitas-kualitas positif dari orang lain ke dalam diri
pribadi. Semisal, gadis remaja mengintroyeksikan atau menggunakan perangai, nilai,
atau gaya hidup bintang. film. Sekiranya, tindak-tanduk itu akan membuat perasaan
inferioritasnya berkurang.
C. Dinamika Id, Ego, dan Superego dalam Studi Psikopatologi
Psikodinamika mencerminkan dinamika-dinamika psikis yang menghasilkan
gangguan jiwa atau penyakit jiwa. Dinamika psikis terjadi melalui sinergi dan
interaksi-interaksi elemen psikis setiap individu. Seksualitas Freud sebagai sebuah
dinamika, menangkap ada bermacam-macam potensi psikopatologi dalam setiap peta
id, ego, dan superego.
Ketiga elemen psikis ini mempunyai kekhasan masing-masing, sebab mereka
menggambarkan masing-masing ide yang saling paradoks. Hanya saja, mereka tidak
akan membuat manusia sepenuhnya nyaman, karena manusia tetap saja orang yang
sakit dalam wilayah ini.
. Kepribadian Seim bang.
Ibarat pesawat, ketiga elemen ini mempunyai fungsi masing-masing, kita dapat
melihat terkadang pesawat anjlok, ketika roda bagian bawah pesawat tidak berfungsi
dengan baik. Begitu pula untuk menuju kepribadian seimbang, harmonisasi di antara
ketiganya wajib selaras.
Titik tekan dalam membentuk pribadi seimbang diperankan oleh ego. Jika ego
kuat, maka kepribadian memiliki peluang besar berkreasi untuk keselarasan pribadi.
Taksiran yang tak mengenal batas dari id mesti diimbangi dengan keteguhan ego. Hal
ini bukan hanya mencipta suatu kemapanan pribadi, namun dapat melakukan
mekanisme yang kreatif seperti sublimasi. Jadi semata-mata individu tidak terfokus
kepada pemenuhan organisme, namun masterpiece dari para seniman dapat terwujud
bila kita mengambil alibi dari hakikat sublimasi.
Ego sebagai simbol selfish berpengaruh dari pengalaman-pengalaman selama
ini, baik skala internal maupun eksternal. Kartono pernah mensinyalir gunanya
melakukan kontak dengan realitas secara efisien, bukan hanya sebatas kriteria
kenornrnlan individu, namun dengan begitu kita tidak terjerumus kepada fantasi
semata.
Identifikasi ala Freud bisa meneguhkan ha! ini. Kecemasan paradoks akibat
gesekan rivalitas dengan ayah, menjadi cair oleh rasionalitas sebuah identifikasi.
Perilaku ayah yang dapat didefinisikan sebagai benih-benih agama khas psikoanalisis
Freud menjadi corong utama kesuksesan pribadi. Dari sinijuga anak bisa lebih efektif
dan tidak perlu risau mencari figur teladan, karena segalanya di keluarga telah
tersedia. Argumen ini diamini oleh Arif, bahwa gesekan dalam kompleks Oedipus
yang merupakan kecemasan masa kecil dapat didamaikan lewat skema identifikasi
seksal kepada orangtua. Anak laki-laki akan fokus menyadari dan
mengembangkan kelaki-lakiannya dari figur ayah, lalu turut mengarahkan orientasi
seksualnya ke depan, sebuah kepribadian matang.
Pun dengan anak perempuan, pertengkarannya dengan ibu akibat dugaan tak
mendasar pemotongan penis, berekses pada peredaman amarah. Catatannya, ia mau
beridentifikasi kepada ibu dan membuang rasa duga jauh itu sejauh mungkin.
Orientasi seksual anak perempuan yang kabur, seakan diberi "cahaya" dari ibu,
bahwa perempuan adalah perempuan, memiliki vagina bukan penis, serta tidak boleh
meniduri ayahnya.
Cinta ekstrim yang dilakukan kedua anak sebenarnya bisa "menyimpang"
dengan bentuk yang rasional. Erich Fromm ( - ), seorang murid Freud dari
Jerman, pernah mengajukan pemikirannya tentang ha! ini. Seperti dikutip Eko
Harianto, Fromm menelisik konsep cinta yang sejati menjadi unsur:
I. Care. Diperlukan agar dapat memahami kehidupan, perkembangan yang
maju atau mundur, baik atau buruk, dan bagaimana kesejahteraan orang
yang mencintainya.
. Responsibility. Tanggungjawab diperlukan atas kemajuan, keberkembangan
dan kebahagiaan, dan kesejahteraan orang yang dicintai. Maksudnya
bagaimana kesiapan diri untuk menanggapi kebutuhan yang diperlukan dan
juga bagaimana kesiapan dalam menghadapi dan memecahkan masalahmasalah yang muncul.
. Respect. Hal ini menekankan pada bagaimana menghargai dan menerima
objek yang dicintai apa adanya dan tidak bersikap sekehendak hati.
. Knowledge. Pengetahuan diperlukan guna mengetahui seluk beluk objek
yang dicintai. Bila objek yang dicintai manusia, maka harus dapat
memahami kepribadiannya, latar belakang yang membentuknya, dan
kecendrungan dirinya. Dan yanf perlu dipahami lagi bahwa kepribadian
seseorang itu terus berkembang. Bagi Fromm, setiap manusia memang didorong untuk memuaskan kebutuhankebutuhan fisiologi dasar akan kelaparan, kehausan, dan seks. Namun orang-orang
yang sehat memuaskan kebutuhan-kebutuhan dengan kreatif dan produktif.
Jika demikian, kontribusi kedua orang tua ini adalah substansi superego untuk
memberi aturan, dan pedoman dasar sebagai eksistensi yang wajar. Karenanya, orang
tua juga mesti lihai rnernainkan apresiasi superego dalarn perspektif anak, tidak
menyakiti hingga mernbuat anak trauma dan dapat mengajarkannya rnenggapai
eksistensi yang "sopan".
. Kepribadian yang Psikopatologis
Berbalik dari hal di atas, jika disharmonisasi terjadi dalam interaksi id, ego, dan
superego akan mengakibatkan kepribadian yang psikopatologis. Id mendesak ego
untuk menuntaskan hasrat, sementara ego belum begitu mapan mencari kreasi
menuangkan libido, ditambah kekuatan ekstemal superego yang begitu kualitatif.
Adanya hal ini terns menurus bertambah buruk, karena kepribadian sudah tidak seimbang menahan gempuran, semakin lama semakin kacau, tidak ada sublimasi atau
kreatifitas ala May, dan psikopatologi adalah keniscayaan.
Bisa dibilang teramat terjal jalan yang dilalui individu untuk mendapatkan
keinginan yang memuaskan. Sekalipun tetap memaksakan kehendak, akan terjadi
variasi gangguan yang tidak diinginkan.
Arif cenderung melihat skema psikopatologi dalam seksualitas Freud berakar
dari konflik dan anxiety. Anxiety dapat didefinisikan sebagai pergerakan menjauh dari
kondisi equilibrium menuju disequ/ibirium. Baginya ada dua hal yang dapat
semakin meningkatkan anxiety; yaitu seberapa jauh kita meninggalkan kondisi
disequlibirium dan seberapa cepat kita dapat bergerak menuju equi/ibirium. Semakin
jauh kita meninggalkan kondisi equlibirium, maka semakin tinggi anxiety yang kita
hayati. Sesuatu yang membuat kita jauh sekali meninggalkan kondisi equlibirium
disebut trauma. Sementara sesuatu yang membuat kita "lama sekali" bergerak menuju
equlibirium, disebut konflik. Trauma akan semakin membesar jika orang yang
mengalaminya masih terlampau rentan, seperti anak-anak. Trauma juga memicu
kondisi disequlibirium yang semakin parah.
Akibat munculnya konflik, discharge menjadi terhambat, dan seseorang
kembali dalam kondisi equi/ibirium. Kondisi ini disebutnya sebagai damming up.
Dalam keadaan damming up, kondisi disequlibirium akan semakin besar dan kecernasan yang dihayati akan sernakin tinggi. Ketika itu upaya untuk rneredakan
ketegangan dilakukan, dengan upaya katarsis atau rnekanisrne pertahanan diri.
Katarsis ialah upaya rneredakan ketegangan dengan aktivitas-aktivitas tertentu,
seperti berolahraga, bermusik, berteriak, atau apa saja agar ketegangannya
tersalurkan. Ketika katarsis juga tidak efektif untuk rnerninirnalisir tegangan, rnaka
rnanusia akan terjebak dalarn psikopatologi, bahkan terjerurnus sernakin dalarn.
Fahrni nielihat dengan detail bahwa cara pendidikan yang diterirna anak pada
tahun-tahun pertarna dari urnurnya rnerniliki kontribusi pen ting dalarn jiwa anak. Jika
nuansa takut dan tidak arnan pada si kecil dalarn berbagai situasi yang terus berulang,
akibanya rnereka akan rnengalarni kegoncangan jiwa dan terbelakang dalarn
berrnacarn segi perturnbuhan yang berpengaruh dalarn kesehatan jiwa di rnasa
depan. Lebih jelasnya Fahrni rnengidentifikasi tujuh ha! yang rnenjadi karakteristik
kesalahan dalarn rnendidik.
Pada tahun-tahun pertama kehidupan, anak melalui proses pendidikan yang
pengaruhnya melebihi pengaruh proses pendidikan di masa apapun. Karena pada
umur dua atau tiga tahun unsur perasaan pad a anak mulai terbentuk.
Fahmi menambahkan, akibat tidak mendapatkan pemeliharaan ibu yang layak,
bisa berdampak pada dua hal. Pertama, terlambatnya pertumbuhan jasmani, rohani,
dan sosial. Kedua, terganggunya pertumbuhan jiwa (goncangnya pembinaan ego dan
superego). Ketidaklayakan ibu untuk mengurus anak juga dapat berdasar dari
problema kejiwaan suami-isteri, contohnya seperti isteri yang kelaki-lakian, isteri
histeris, suami kekanak-kanakan, dan model yang lainnya. Jika pemahaman ini kita
giring kembali ke dalam tugas identifikasi anak, tentu sa,ja menjadi sulit
termanifeskan. Tampaknya argumen Fahmi tentang "kecelakaan" skema ini belum
diurai oleh Freud.
D. Lima Tahun Pertama, Mckanisme Pertahanan Diri, dan Munculnya
Psikopatologi.
Dalam lima tahun pertama, setiap fase dalam psikoseksual memilki kecemasan
masing-masing yang dapat megakibatkan psikopatologi. Lingkungan-lingkungan
yang traumatis dapat berinteraksi dengan satu dan Jainnya dari tahapan psikoseksual
yang akan mcngakibatkan psikopatologi.
. Fase Oral.
Adalah penting untuk memahami kecemasan yang terjadi pada masa oral.
Jnteraksi anak pada masa oral mempunyai krisis tersendiri yang memungkinkan anak
melakukan tindakan ekstrim di luar kehendak orang tua. Mekanisme pertahanan diri
pun menjadi kebutuhan anak bila suatu saat menghadapi kecemasan itu.
Peristiwa lahimya anak ke dunia membuka jalan bagi bayi untuk menyelami
dunia eksternalnya. Bayi masih merasa asing melihat sekitar, perubahan terjadi di
mana-mana. Padahal sebelum lahir, bayi masih merasa nyaman untuk menikmati
rahim ibu, belum tejadi kebutuhan-kebuthan yang mendesak, karena selama ini
hasratnya terpenuhi oleh makanan yang dicerna ibu. Hal ini juga berefek kepada
pemahaman bayi, bahwa ia individu yang mahakuasa, merasa hebat, karena segala
keinginannya terpenuhi. lnilah sebuah fenomena yang diistilahkan omnipotence.
Saat-saat awal ketika bayi lahir, bayi masih memainkan bentuk onmipotence,
tetapi dalam masa oral hal itu dispesifikasi berupa tingkatan khayal atas
kemahakuasaan diri yang disebut juga ilusi omnipotence. Perlahan bayi akan coba
berdialektika dengan re.alitas eksternal. Peralihan ini sarat dengan perkembangan
kepribadian, karena sebuah langkah awal untuk membangun kepribadian. Selain itu peralihan ini juga penuh dengan kecemasan, karena bagaimanapun
keinginan libido tidak melulu berujung manis, memuaskan, dan menurunkan tensi
tegangan. Jika itu yang terjadi, bayi akan bertindak ekstrim berupa penarikan dirinya
dari realitas ekstemal sehingga pribadi bayi akan rapuh, yang menunjukkan jiwa
rentan akan gejolak masalah. Otto Rank dengan konkret mengatakan bahwa bayi
ingin kembali ke rahim ibu, sebagai penolakannya terhadap dunia. Terlebih Trauma
kelahiran ini bisa mempengaruhi kepribadian sepanjang hidup anak.
Jiwa yang rentan akan menetap pada fase oral, dan memicu bentuk
psikopatologi yang dimanifeskan oleh mekanisme pertahanan diri, berupa regresi dan
fiksasi. Simbolisme akar psikopatologi dalam masa oral memiliki beragam rupa,
seperti menangis, menghisap jempol, tertidur, mahakuasa, dan sebagainya yang
menjadi tidak wajar di kemudian hari.
Arif mengidentifikasikan kecemasan primitif berupa ketakutan akan
berakhimya keberadaaan diri atau diistilahkan menjadi end of existence anxiety. Pada
mulanya yang dimaksud dengan berakhimya keberadaan diri adalah sesuatu yang
k k . . k .
on nt, yatu ·ematlan.
Freud seperti dikutip Laing menamai kecemasan di fase awal oral sebagai fear
of being atau takut ditelan. Bayi mengidentifikasikan dunia eksternal khusunya
orangtua sebagai ancaman diri, yang dinisbahkan oleh sifatjahat yang akan menelan
dirinya. Kesimpulan bayi disinyalir berakar dari kognisi yang belum berjalan
. semestmya.
Jean Piaget, seorang pakar kognitif anak, menilai bahwa bayi tidaklah makhluk
yang pas if dafam menanggapi respon eksternal, melainkan aktif memberikan respons
pada suatu rangsangan. Dengan berfungsinya alat-alat indra, bayi memiliki refleksrefleks yang digunakan untuk mengkoordinasikan pikiran dan tindakan. Maka itu,
Piaget yakin bahwa pengetahuan tidak boleh diberikan secara pasif pada anak.
Dalam psikologi perkembangannya, Santrock juga pernah menguatkan anggapan
bahwa bayi setelah usia bulan, telah dapat membedakan wajah yang jahat dan
. h b "k waJa yang ai .
Penelitian lain dalam bentuk design psikopatologi pada awal oral dikembangkan
oleh Stott. Menurut penelitian Stott ( : ) seperti dikutip Monks dkk.,
ditemukan bahwa kegoncangan psikis dalam dua bulan yang pertama dapat
menyebabkan gangguan sentral. Misalnya kelainan yang disebut mongolismus atau
down ;yndrome.
Klein, seorang psikoanalis anak, percaya bahwa tahun pertama kehidupan
sangat kritis dalam kepribad ian anak. Dia menamankan bulan pertama sebagai
posisi paranoid-schzoid dan bulan sampai I tahun sebagai posisi depresif.
Akan tetapi, kita tidak harus menunggu individu menjadi psikopatologis ketika
besar, karena sewaktu-waktu dapat terjadi pad a saat anak berusia seko !ah dasar
dengan ciri khasnya kesulitan belajar khusus. Fase contemporary yang meneliti
kesulitan belajar khusus, melihat telah ada penyimpangan psikologis bermain dalam
kesulitan belajar khsusus, yang kemudian dapat ditarik kedalam dua faktor yakni
internal, berupa faktor konstitusi dan psikologik. Kedua, faktor eksternal, berupa
faktor alamiah dan sosiaI.
Kecemasan lainnya di fase akhir oral ialah takut kehilangan the good object
yaitu ibu. Bayi memang menyadari bahwa kehadiran ibu ibarat berkah untuk
memberikan pelayanan air susu. Akan tetapi, kekhawatiran akan kehilangan ibu
sangat besar, seiring ketergantungan tinggi kepada orangtua perempuan ini. Karena
itu, pemahaman bayi akan menampilkan perasaan terancam jika sewaktu-waktu ibu
. lk d' .
menmgga an mnya.
Skema Freud tentang fase oral tidak dapat dipungkiri bisa meluas mejadi
psikopatologi pada bentuk yang lebih awal maupun saat dewasa. Anggapan Freud
selama ini tentang determinisme dalam eksistensi masa depan, setidaknya diimbangi
dari berbagai argumen dan temuan ilmiah dalam spesifikasi psikologi bayi.
. Fase Anal
Dubur tidak hanya bersanding dalam aktivitas pembuangan feses saja, namun
bisa berubah menjadi sumber psikopatologi. Spesifikasi toilet training lebih tepat
dikaji secara holistik untuk menemukan benih-benih psikologis dalam berbagai
bentuk.
Kita dapat melihat kedalam dua pertentangan radikal fase anal, yaitu antara
kontrol diri melawan hasrat seksual dari dubur dalam rimba keinginan orangtua agar
anak memiliki self control saat melakukan aktivitas feses. Kemudian dibenturkan
dengan perlawanan j iwa bebas anak untuk mengeluarkan fesesnya di tempat yang
disukai.
Pada dasamya hasrat seksual yang ada di fase anal, bukan dimaksud pada feses
itu sendiri, namun lebiti tepat dalam aktivitas menahan dan mengeluarkan feses ke
kakus.
Pengekangan anak untuk mengadaptasi keinginan orang tua dapat
mengakibatkan stress berupa frustasi seksual. Distress tersebut kemudian berekspansi
ke dalam macam-macam psikopatologi, hingga ujungnya anak menjadi apatis untuk
menafsirkan arti kontrol diri kepada orang tua, tetapi bisa juga anak berubah menjadi
pembangkang.
Hal yang terakhir itu setidaknya pemah diutarakan oleh Freud. Gangguan
neurosis impulsif menceminkan pribadi yang selalu mengikuti dorongan setiap kali
dorongan itu muncul, karena pribadi ini sedari fase anal sulit untuk mengendalikan
diri sendiri. Perilaku yang kerap dilakukannya berupa variasi tindakan yang tidak
bertanggung jawab. Tidak menyiram feses di WC, memainkan feses, melemparkan
feses ke sembarang tepat adalah citra pribadi impulsif. Anak kemudian menganggap
dunia "semau gue" karena tidak ada kompromi dengan kontrol diri. Dengan uraian ini
kita juga menarik kesimpulan bahwa pribadi-pribadi manja adalah salah satu bentuk
dari pemahaman impulsif.
Adapun secara umum konflik anal secara tidak langsung dan langsung dapat
mengancam tumbuh kembang anak. Bequele dan Meyers ( ) seperti dikutip
Usman dan Nachrowi menggambarkan beberapa aspek yang dapat mengancam
tumbuh kembang anak, yaitu:
a) Pertumbuhan Fisik-termasuk kesehatan secara menyeluruh, koordinasi,
kekuatan, penglihatan, dan pendengaran;
b) Pertumbuhan kognitif-termasuk melek huruf, melek angka, dan
memperoleh pengetahuan yang diperlukan untuk kehidupan normal;
c) Pertumbuhan emosional-termasuk harga diri, ikatan keluarga, perasaan
dicintai, dan diterima secara memadai;
d) Pertumbuhan sosial dan moral termasuk rasa identitas kelompok,
kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, dan kemapuan untuk
membedakan yang benar dan yang salah.
Freud sepeti dikutip Kennedy melihat bahwa dalam diri para pasiennya
ditemukan satu peranan penting yang dimainkan oleh dorongan-dorongan kebencian
dan erotisme anal. Anak menangkap sinyal buruk dari pihak orangtua sebagai
makhluk otoriter, pemaksa kehendak, serta menakutkan. Kecemasan yang terjadi
pada awal fase anal adalah sifat-sifat tidak bersahabat seperti itu.
Keyakinan psikolopatologi destruktifmenunjukkan referensi pada konflik yang
urung selesai. Jiwa-jiwa agresif sebelumnya sudah belajar dari mekanisme
pertarungan antara anak dan orangtua. Kita kerap menyaksikan ketika nilai artistik
dari kehidupan seksual kerap diimbangi kehadiran insting mati, misalnya,
masokisme, kekerasan seksual pada anak, nyphomania, dan banyak lagi. Jiwa-jiwa
agresif pun sering meletup ketika individu dihadapkan kepada situasi sosial yang
chaos. Bagi Freud agresi sosial seperti ini menjadi penjelas pada adanya kerusuhan,
perkelahian, atau penjarahan.
"Bagi mcreka tetangga mereka bukan saja penolong potensial atau obyek
seksual, namun juga seseorang yang menggoda untuk mengeksploitasi kapasitas
kcrjanya tanpa kompcnsasi, untuk memanfaatkanya secara scksual tanpa
persetujuannya, untuk dirampas barang-barang miliknya, untuk menyiksa, dan
kemudian membunuhnya."
Bentuk pembunuhan masal seperti perang dunia, perang suku Inca di Peru, atau
perang salib juga termasuk dalam karakteristik fase anal. Ini diperkuat ketika perang
dunia dengan pimpinannya Hitler yang tega membunuh jutaan manusia tak berdosa
semata-mata untuk meraih kekuasaan. Bukankah ini menjadi tipikal anak-anak pada
fase anal yang menginkan kekuasaan diri atas pengekangan orangtua? Begitulah
sekiranya gambaran Freud.
·'Dalam keadaan-keadaan yang menguntungkan baginya, ketika kekuatan
imbangan mental (yang biasanya menghambat) mulai bereaksi, ia juga
menampakkan diri secara spontan clan mengungkap manusia sebagai binatang
buas di mana perhatian terhadap jenisnya sendiri adalah sesuatu yang asing.
Siapa pun yang mengingat kekejaman yang terjadi selama masa imigrasi rasial
atau invasi bangsa Hun, atau invasi bangsa Mongol di bawah pimpinan Jenghis
Khan dan Tamerlane, atau pendudukan kota Jerusalem oleh serdadu-serdadu
Perang Salib, atau bahkan kengerian dalam Perang Dunia-siapapun yang
mengingatnya akan tunduk merendah pada kebenaran ini."
Dengan temuan-temuan semacam ini, Freud melihat bahwa peradaban menjadi
ancaman serius untuk luka masyarakat yang lebih mendalam lagi seperti disintegrasi
bangsa. Logika Freud ini dengan mudah kita singgung jika mengambil sampel dari
masuknya atau lepasnya Timor-Timur ke Indonesia. Bahkan runtuhnya Uni Soviet
menjadi pecahan-pecahan Negara kecil di Eropa Timur. Akan tetapi, dalam konteks
psikopatologi kita bukan tertuju kepada disintegrasi an sich, namun kepada
peperangan yang berekspansi dalam lingkaran setan kadar psikopatologis masyarakat
yang mengalami gangguan kepribadian dalam skala kecil seperti stres atau skala
besar layaknya psikosis. ltu lah konsep sepele dari anal yang justru melukis peradaban
global.
. Fase Phalik
Ketika anak laki-laki menunjukkan rasa in gin tahu seksual yang kuat dan birahi
tinggi berupa ingin tidur bersama sang ibu, melihatnya dalam kondisi tak berpakaian,
bahkan berani berkeinginan melakukan hubungan fisik kepada ibunya. Atau sang
ayah yang ditanya oleh anak perempuannya mengenai alat kelaminnya, kemudian
anak perernpuan ingin melihat bulu dada dari badan ayahnya yang kekar. Sedangkan
anak perempuan juga menghendaki kecup nuansa erotis dari ayah.
Sebagai catatan, bahwa kedua situasi erotik di atas juga tercipta oleh sikap
orangtua yang simpatik pada sang anak. Suatu kali Freud menyatakan bahwa
orangtua sendiri mempunyai pengaruh besar dalam kompleks Oedipus, terkadang ibu
bersikap baik pada anak lelakinya dan ayah bersikap lembut pada anak
perempuannya.
Dapat dilihat bahwa Iuka egoistis sangat menyakitkan anak-anak ketika cinta
mereka ditolak oleh orangtua. Anak-anak. tidak lagi menjadi "bocah ingusan" yang
rnernahami cinta hanya pada orangtua. Jika banyak orang menilai anak sudah
kebablasan, Freud justru mempertanyakan anggapan itu, karena apapun yang terjadi
di fase phalik, tidak lepas dari manifestasi libido pada daerah sensitif seks, dan itu
waar.
Seseorang yang tidak berhasil rnenguasai kompleks Oedipus mengalami
kelambatan menuju kedewasaan, sulit bersosialisasi secara aktif, dan mempunyai
ketergantungan sangat kepada orangtua. Young menambahkan bahwa kompleks ini
akan berekspansi kepada kelurunanya, di mana individu Oedipus akan sulit menjadi
b .k orangtua yang a .
Sebagian psikolog mendelegasikan bahwa kompleks Oedipus yang
menyebabkan kenapa banyak anak perempuan senang menyiram kebun. Sebab
dengan memegang selang air atau gagang penyiram, anak perempuan merasakan
seolah-seolah sedang memegang penis dan kencing dengan jarak yang jauh. Sepeti
kisah dari Havlock Ellis tenlang seorang pasien wanita yang tersentak begitu
d .
men engar suara pancuran air mancur.
Sedangkan Simone de Beavoir, berpendapat bahwa anak perempuan
menemukan pengganti penis pada boneka. Padahal penis merupakan mainan alami
bagi anak laki-laki karena ia menemukan alter ego. Karenanya, banyak para pendidik
menggunakan media boneka bagi anak perempuan. Selanjutnya Beavoir mengatakan
jika perbedaan antara penis dan boneka adalah bentuk yang petama memiliki
kelebihan berupa aklivitas dan kemandirian ego, sedangkan boneka hanyalah sesuatu
yang pasif tanpa mcmilki kemampuan yang egois, walupun menyerupai tubuh
manusia sesungguhnya.
Freud juga menarik kompleks Oedipus sebagai cikal agama. Seperti dikutip Pals
dalam The Future of an Illusion, agama adalah gangguan obsesi mental manusia
secara universal, sama seperti gangguan yang kerap muncul dalam kompleks
Oedipus. Bagi Freud, agama muncul karena kompleks Oedipus, karena masalah yang terjadi dengan ayah. " ... Jika anggapan ini memang benar, bahwa meninggalkan
Agama niscaya akan membawa akibat futal bagi proses pertumbuhan, dan kita
mendapati diri kita dalam keadaan yang sangat kritis di tengah-tengah fase
g· pertumbuhan .... "' Struktur kepribadian akhimya lengkap dengan kehadiran
superego sebagai wajah agama dalam kompleks Oedipus.
Klein seperti dikutip Young melihat kompleks Oedipus, bukanlah sesuatu yang
menjadi "latar belakang" kehidupan, namun berperan menjadi "latar depan"
kehidupan. Kompleks Oedipus tidak terbatas pada umur tiga sampai enam tahun
saja, tetapi terlulang terus selama hidup. Klein melihat bahwa superego dan perasaan
bersalah lebih tepat dikatakan sebagai gejala kompleks Oedipus yang berawal pada
fase oral dengan payudara ibu sebagai introyeksinya.
"Objek pertama yang diintroyeksikan, yaitu payudara sang ibu. membentuk
d.asar superego . . . Perasaan-perasaan bersalah paling awal dari kedua jenis
kelamin, berasal dari keinginan-keinginan oral-sadistik untuk melahap sang ibu,
khususnya payudara sang ibu. Dengan demikian, di masa bayi inilah perasaanperasaan bersalah mulai muncul pada saat Oedipus complex berakhir, namun
lebih merupakan salah satu faktor yan~ semenjak awalnya telah membentuk jalur
dan berpengaruh pada hasil-hasilnya."
Dari pernyataan Klein, kita dapat melihat bahwa introyeksi yang dilakukan anak
bukan mutlak pada seluruh bagian tubuh orangtua, namun hanya sebagian aspek,
seperti payudara ibu.
Sedangkan kompleks kastrasi pada anak perempuan dan laki-laki melalui kedua
proses yang berbeda. Satu sisi anak laki-laki dibenturkan pada kecemasan diri akan
hilangnya erotisisme kelamin yang maskulin, sedangkan perempuan tertekan pada
kecemburuan atas takdir alat kelamin yang feminim. Kedua konflik ini sarat akan
psikopatologi futuristik, terlebih mekanisme pertahanan diri yang dimainkan
mengalami apatisme yang merupakan benih kegamangan atas kemandirian keputusan
individu.
Ginnot sedikit berbeda pemahaman dalam kompleks kastrasi. la sepakat bahwa
perbedaaan anatomis ini sangat rentan akan psikopatologi. Akan tetapi, terkadang
anak laki-laki merasa takut ketika melihat anak perempuan tidak memiliki penis. Dan
kemudian anak laki-laki mengembangkan fantasi hingga akhimya anak laki-laki
mengira apa yang terjadi pada anak perempuan lambat laun juga akan terjadi
padanya.
Munandar melihat bahwa kreativitas berelasi positif pada skema keluarga.
Lebih jauh Dacey (I ) seperti dikutip Munandar, menjelaskan bahwa orangtua dari
remaja kreatif tidak banyak menentukan aturan perilaku dalam keluarga. Kelompok
orangtua biasanya hanya menerapkan satu aturan, seperti jumlah jam belajar, waktu
tidur, dan kegiatan lain. Namun, penelitian Dacey menjadi kontraproduktif karena
anak-anak dalam konteks Freud sulit untuk melakukan itu, walaupun telah
dibebaskan oleh orangtua, karena merasa termonopoli dan ambiguistis. Freud hanya
melihat kreativitas akan terlaksana, apabila terlebih dahulu ada pelampiasan seksual
yang tepat. Sekarang kita semakin rnengerti, di sinilah awal mulanya.
Setelah kompleks Oedipus dan kompleks kastrasi dilalui, anak belum usai dari
jeratan cinta ekstrim. Realisasi cinta yang terharnbat, akan mengarnbil "korban" dari
saudara kandung. Anak-anak akhimya terjerat pada kondisi pendugaan buruk pada
ayahanda dan bunda, yang kemudian melarnpisakan gairah seks kepada adik atau
kakaknya.
"Seorang anak laki-laki mungkin akan menjadikan adik perempuannya
sebagai objek cinta menggantikan ibunya yang tidak dapat dipercaya, ketika
beberapa anak laki-laki berusaha merebut hati adik perempuannya,
rnenunjukkan persaingan yang tidak sehat muncul dalam masa pengasuhan ini.
Seorang anak perempuan menjadikan kakak laki-lakinya sebagai pengganti
ayahnya yang tidak lagi rnernperlakukannya dengan kelembutan seperti tahuntahun sebelumnya. Atau menjadikan anak perempuan sebagai ganti adik yang
sangat dia harapkan dari sang ayah."
Ketiga kompleks yang hadir pada fase phalik ini sangat mengundang konflik
dan kecemasan. Maka dari itu, fase phalik adalah "batas maksimal" untuk orangtua
mebkukan "pengkaderan" diri bagi anak. Jika tidak, takdir Freud adalah pasti.
Dari tiga tahap di atas, semakin lengkaplah struktur kepribadian individu, ini
ditandai dengan lahimya superego dengan segenap potensinya. Tentu saja potensi
untuk melahirkan psikopatologi. Dan alam bawah sadar sebagai sentra mental, juga
bersiap-siap memuntahkan psikopatologi-psikopatologi yang "ditabung" dari oral
sampai phalik oleh anak.
E. Seksualitas Kepribadian dan Bentuk Psikopatologi
Rasanya tidak pas untuk menggembar-gemborkan Freud tanpa membedah
kasus-kasus psikopatologi. Terlebih kita kenal bahwa teori seksualitas turut hadir dari
rahim psikopatologi, yang tershohihkan dalam pembicaraan pasien-pasien yang
dianalisa Freud. Dengan menonjolkan sisi psikopatologi, kita akan semakin
mengetahui alur berpikir dari skema seksualitas yang banyak dipuja dan menuai
krirtisisme dari "santri-santri" Freud. Ditambah wawasan tentang seksualitas Freud
semakin banyak terisi untuk menjadi modal ke depan dalam cakupan metodik dan
praktik konseling dan psikoterapi.
. Neurosis
" .. ,Teori Neurosis sendiri merupakan psikoanalisis ... " ucap Freud. Ego yang
muncul dalam kasus neurosis adalah ego yang tidak optimal, kurang terintegrasi, dan
tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi reality testing masih berjalan
sekalipun tidak optimal sebagai rentetan dari koordinasi konflik-konflik
berkepanjangan. Pribadi neurotik pun tidak terlalu sukses melangkah dalam
kehidupan, karena hambatan-hambatan yang mengganggu aktivitas sosial.
Individu neurosis lebih senang menggunakan mekanisme pertahanan ego
daripada coping efektif dalam upaya mereka untuk deal dengan ekskalasi realitas. Mekanisme pertahanan ego yang umumnya dipakai adalah mekanisme immature atau
tidak matang, sehingga tidak membantu menyelesaikan masalah yang asli.
a. Gangguan ObsesifKompulsif(OCD)
OCD sangat populis dalam kajian neurosis, sekaligus penting. Laughlin ( )
seperti dikutip McNeil, menyatakan OCD menyumbang % dalam gangguan
neurosis. Sel~in itu, OCD akan menjadi bentuk depresi atau komplikasi umum,
meskipun risikonya adalah bunuh diri.
Ada sebuah kasus yang ditangani Freud untuk menjadi penjelas dalam studi
OCD. Seorang gadis berusia tahun, anak tunggal, memiliki kepandaian melebihi
orangtuanya, sangat lincah, dan bersemangat tinggi.
"Pasien saya mengatakan bahwa motif tindakan pencegahnnya adalah
menjauhkan segala kebisingan sejauh mungkin. Dia melakukan dua ha! untuk
mencapainya. Dia menghentikan detak jarum jam besar di kamamya dan
mengeluarkan semua jam kecil, termasuk arloji kecil di meja sebelah
ranjangnya. Semua porselen dan pot bunga diletakkan di tengah meja kamar,
agar ketika jatuh tidak mengganggunya ... Dia juga membiarkan pintu kamar
tidur orangtuanya dan kamamya terbuka.
Sang pasien secara bertahap memahami bahwa dia menyingkirakan semua
jam dan arloji di kamamya di waktu malam karena semua itu melambangkan
alat kelamin perempuan. Ketakutan besamya adalah detak jam yang
mengganggu tidumya. Detak jarum jam disamakan dengan denyutan klitoris
selama rangsangan seksual. Ketakutan terhadap ereksi klitoris akan
mendorongnya menyingkirkan semua gangguan, termasuk jam dan arloji di
waktu malam. Pot dan vas bunga, seperti wadah lain, adalah lambang alat
kelamin perempuan. Pencegahan agar pot dan vas bunga tidak terjatuh
mempunyai makna sendiri. Selama masa pertunangan, banyak pasangan yang
melakukan hubungan seksual padahal belum tentu masuk ke perkawinan. Sang
pasien juga menghubungakan ritualnya dengan masalah ini.
Selimut mesti dikibas-kibaskan dahulu sebelum ditutupkan ke tubuhnya
sehingga selimut menutupi sampai ujung-ujung tempat tidur. Setiap selimut
berubah posisi, ia akan memeperbaiki lagi posisisnya ke tempat semula.''
Hal yang membuat parah, karena gangguan itu tidak mempunyai satu bentuk
saja tapi berekspansi kedalam format OCD yang ekstrim. Freud menekankan para
terapis harus l)lengetahui makna di balik setiap ritualitas sub-neuorosis ini.
Setelah melakukan terapi didapat kesimpulan bahwa perempuan muda semasa
kecil pemah terjatuh saat dia membawa sebuah wadah dari gelas atau porselin
sehingga tangannya terluka dan mengeluarkan banyak darah. Hal ini berasosiasi pada
pemahamannya tentang keperawanan. Dia menganggap bahwa bisa saja dirinya tidak
mengeluarkan darah pada malam pertama perkawinan. Sedangkkan pencegahan vas
agar tidak pecah berhubungan dengan penolakannnya terhadap masalah keperawanan
dan pengeluaran darah selagi melakukan hubungan seksual pertama kali.
"Sampai akhimya, pada suatu hari dia mendapatkan ide sentral atas
ritualnya untuk mencegah bantal bersentuhan dengan dinding ranjang. Dia
berkata bahwa bantal merupakan lambang perempuan dan dinding lambang
laki-laki. Dengan upacara pemisahan itu, dia berharap memisahkan laki-laki dan
perempuan, dalam hal ini memisahkan orangtuanya untuk mencegah hubungan
seksual terjadi ... Pintu kamar dan orangtuanya tidak ditutup, dia berdalih
sedang ketakutan seh ingga pintu-pintu antara kamamya dengan orangtuanya
tidak boleh ditutup rapat ... Dengan cara ini dia bisa mendengar percakapan
orangtuanya walaupun pemah menyebabkannya tidak bisa tidur selama
berbulan-bulan.
Merasa kurang puas mengganggu kedua orangtuanya, beberapa kali dia
bisa tidur di antara ibu dan ayahnya di tempat tidur mereka. Cara-cara terakhir
ini benar-benar mencegah "bantal" dan "sandaran tempat tidur" untuk bersatu.
Setelah dia bertambah besar dan tidak lagi nyaman tidur di kamar orangtuanya.
Dia mu lai sadar akan ketakutannya dan berusaha bertukar tempat dengan
menyatakan sifat bumk adalah akibat ketidakpedl.ilian. Kitiipun foringat afas
penyelidikan Freud terhadap psikopatologi dalam kehidupan sehari-hari yang
diakibatkan seringnya kita mengabaikan hal-hal sepele seperti ingatan-ingatan,
yang akhirnya rnembuat individu pelupa akan mengingat kata-kata asing,
kesalahan dalam bicara, kelupaan terhadap kesan dan niatan, dan lain
sebagainya.
Freud jLiga melihat gejala pengulangan seperti ini sebagai cara menangani
sensasi atau emosi yang berat seperti kegelisahan dan perasaan bersalah. Menurut
Singh, perasaan bersalah merupakan sebuah konsep yang membentuk bagian dari
sebuah matriks yang berkenaan dengan pembagian dan penyatuan moral, seperti
"pelanggaran", "kesalahan", "tuduhan", "malu", "sedih karena dosa", "penyesalan",
"pertobatan", "perrnohonan naaf', "hukuman", "balas dendam", "pengampunan",
"per
)aikan", dan "rekonsilisasi".
Dalam pengalamannya, sang gadis sempat memainkan bentuk mekanisme
pertahanan diri bempa rasionalisasi, ketika ia berdalih sedang ketakutan untuk
menguatkan alasan tidur bersama orangtuanya. Sayangnya itu berkembang dalam
skema penguatan obsesifkompulsif.
dengan menyetrum tangannya, maka perasaan bersalah itu coba diredamnya dengan
membenturkan tangannya ke tembok, semata-mata menghilangkan rasa "dosa". Atau
individu yang usai melakukan masturbasi akan mencuci tangan hingga puluh kali,
untuk menghilangkan rasajijik pada tangannya.
Akhirnya reaksi formasi mengakhiri tingkatan prosesif dari mekanisme
pertahanan ego. Penderita akan berpura-pura menyukai tindakannya yang monoton
agar orang lain tidak salah paham atas tingkah anehnya. Ketika ia menusuk
jempolnya ke ujung pens ii, itu menyukainya agar pensil mudah dipakai.
Berbagai perkembangan menandai bentuk OCD dalam jenis lain dari
psikopatologi. Bosselman mengkategorikan alkoholisme sebagai bentuk neurosis
kompulsif, di mana pecandu alkohol akan merasa puas bila kebutuhan dasamya
dipenuhi dengan meminum alkohol. Secara teori seksualitas, menurut Rosenberg
( ) alkoholisme adalah bentuk pedisposisi dari fiksasi masa oral awal, ketika
asupan insting ego yang tersendat meletup mejadi candu akan alkohol.
Dalam OCD perasaan bersalah muncul sangat jelas dalam kesadaran, ia
mendominasi gambaran klinis dalam kehidupan. Namun dalam sub neurosis lain,
OCD tetap sepenuhnya berada di bawah sadar. Akan tetapi, banyak juga penderita
yang tidak menyadari perasaan bersalah mereka, atau hanya merasakannya sebagai
kekhawatiran yang menyiksa, sejenis kecemasan, ketika mereka dihalangi untuk
melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Freud sepeti dikutip Pals juga akhrinya menyeret gagasan OCD ke lubang yang
Iebih dalam, yaitu agama atau lebih tepatnya seremonialitas agama, seperti sholat
bagi kaum muslim, ke gereja bagi orang kristen, atau tembok ratapan pada orang
Yahudi. Freud memang lebih berani bersikap ketimbang Tylor dan Frazer yang
enggan untuk menjawab petanyaan kenapa manusia masih mau mempercayai agama,
bahkan dilakukan bersungguh-sungguh, padahal agama adalah kekeliruan. Jika
memang agama itu tidak rasional, lantas kenapa manusia masih membutuhkannya?
Freud menjawab itu dengan sampel neurosis. Bagi Freud, OCD dan agama samasama menekankan bentuk-bentuk seremonial dalam melaksanakan sesuatu, dan samasama merasa bersalah seandainya tidak melakukan ritual-ritual tersebut dengan
sempurna. Gangguan psikologis biasanya muncul dari ketertekanan hasrat seksual,
sedangkan agama sebagai akibat ketertekanan diri (ke"aku"an), yaitu pengontrolan
terhadap insting ego. Jadi, kalau represi seksual terjadi dalam gangguan OCD pada
diri seseorang, maka ritualitas agama yang dijalankan dengan berjamaah, bisa
dikatakan sebagai neurosis OCD secara universal. Perbandingan ini merupakm tema
kunci dalam seluruh tulism Freud tentang agama.
b. Fobia
Fobia juga menempati posisi penting dalam kasus neurosis, setidaknya ada
perhatian spesial oleh Freud dalam tiap kasus. Freud menilai fobia masih memiliki
kaitan dengan OCD, khususnya untuk agorafobia. Dalam kasus perempuan tadi
misalnya, agorafobia direpresentasikan pada tindakan membiarkan pintu kamarnya
dan ibunya tetap terbuka. Pendapat Freud patut disimak.
·'Semua pasien obsesional menunjukkan pengulangan dan perilaku yang
berirama. Sebagian besar perilaku mereka terlalu berlebihan. Pasien-pasien
tersebut menderita agorafobia (topofobia atau takut terhadap lapangan terbuka)
dan tidak lagi digolongkan sebagai neurosis obsesional, tetapi dimasukkan
golongan histeria dan kegelisahan. Mereka takut tempat tertutup. Ruang yang
luas, tempat terbuka, dan jalan raya yang sangat panjanf. Mereka merasa aman
bila ditemani atau ada mobil lain di belakang mereka."
Dalam dunia psikopatologi, fobia juga mengalami perkembangan bentuk yang
berbeda-beda di tiap individu, sekalipun setiap individu memiliki persamaanpersamaan di antara inividu lainnya dalam menerjemahkan kecemasan.
"Berdasarkan persamaan-persamaan itu, mereka juga membangun kondisi
individual mereka sendiri atau sering disebut sebagai suasana hati yang
terkadang sangat berbeda dengan kasus lain. Ada orang yang hanya takut berada
pada jalan sempit, ada yang hanya takut di jalan yang luas, ada orang yang bisa
berjalan tenang bila hanya ada beberapa oran~ di antara mereka, dan ada juga
yang merasa aman dikelilingi orang banyak."
Menurut McNeil semua fobia adalah sebuah ekspresi dari hcemasan histeria.
Fobia merefleksikan sebuah intensitas konflik antara impuls-impuls dasar dan
mekanisme represif. Represi dijalankan semata-mata karena impuls tertahan menuju
kesadaran. Freud juga mengklasifikasiakan fobia kepada tiga kelompok, namun
Freud tidak memberikan istilah selain agorafobia dan fobia histeria. la hanya
memberikan sekedar contoh-contoh.
Dalam perkembangnnya, sumbangan Profesor Freud terhadap psikopatologi
dapat terlihat dalam klasifikasi tiga jenis fobia oleh Asosiasi Psikiatri Amerika (APA)
melalui Diagnostic Statistic Manual IV (DSM IV). Pertama, fobia spesifik. Kedua,
fobia sosiaI: Ketiga, Agorafobia. Fobia spesifik adalah ketakutan yang persisten
terhadap objek atau situasi spesifik, seperti ketakutan tehadap ketinggian
(achorafobia) atau takut terhadap tempat tertutup (klaustrofobia). Reaksi fisiologis
akan meninggi ketika terjadi fobia spesifik.
Fobia sosial dapat terlihat pada situasi sosial seperti berkencan, makan di
restoran, ataupun menonton sepakbola di stadion. Stein, Walker, dan Forde ( )
seperti dikutip Nevid dkk., melakukan suatu survei acak terhadap penduduk
Winnipeg. Dan menariknya ditemukan satu di antara tiga orang mengalami
kecemasan yang berlebihan ketika berbicara di depan umum, yang berpengaruh buruk
cukup signilikan terhadap kehidupan mereka.
Sama seperti Freud, agorafobia merupakan suatu sugestif untuk ketakutan pada
tempat-tempat terbuka dan ramai. Mereka mengatur hidup sampai kepada hal detail
untuk merencanakan kegiatan agar tidak terpaksa keluar rumah. Jika ingin memberi
informasi kepada orang luar, biasanya individu agrofobia cukup mengirim SMS, email, atau hubungan melalui telepon.
Perilaku orang yang takut menyeberang jalan atau bentuk agorafobia lainnya
adalah suatti bentuk fiksasi. Fobia macam ini menggambarkan sikap anak kecil
yang menganggap ini adalah bahaya, dan kecemasan itu akan hilang jika dituntun
oleh seseorang untuk menyeberang jalan. Atau anak yang lebih suka berada di rumah
dalam belaian sang ibu, ketimbang mereka keluar dan diejek teman-temannya.
Karena itu, masa kecil anak-anak tidak terelakkan dalam keputusan kognitif orang
dewasa untuk mengambil jalan "efektif'" dari bentuk agorafobia.
Agorafribia cendenmg terjadi pada masa dewasa dalam seksualitas Freud,
sedangkan fobia spesifik sedari awal kanak-kanak telah terlihat, tesa ini juga
diperkuat oleh Nevid dkk. Sumbangan lainnya adalah bahwa agorafobia lebih
umum te~jad i pada perempuan daripada laki-laki. Terkadang disertai gangguan panik,
bahkan tanpa riwayat gangguan panik, individu fobia akan mendapatkan sedikit
simtom panik, seperti pusing yang menghalangi mereka untuk keluar.
Analisa mengemukakan bahwa fobia masa kanak-kanak mempunyai pangkal
neurosis, bahkan McNeil menamainya "neurosis of childhood". Fobia yang
pertama kali dialaminya berkisar pada kegelapan dan kesendirian. Fobia terhadap
kegelapan mt hampir dialami seumur hidup. Akan tetapi, Freud sulit
mengidentifikasikan apakah ini berawal dari kecemasan realitas atau neurotik. Karena
kita ketahui anak-anak mengembangkan takut akan kegelapan adalah satu ha! yang
wajar, layaknya anak-anak berkenalan dengan orang asing.
Sedangkan fobia histeria dapat dirunut kembali pada kecemasan anak-anak, di
mana fobia nerupakan kelanjutannya. Meskipun punya bentuk lain dan harus disebut
dengan nama berbeda, perbedaan ini tergantung kepada bentuk mekanisme yang
dikembangkan .
Koordinasi libido pada masa kanak-kanak sangat berpotensi dalam kaitan fobia.
Anak-anak yang mulai merasakan takut, akan mengharapkan kehadiran figur yang dia
sayangi dan sudah dikenal yakni ibu. Kekecewaan dan kerinduan yang diubah
menjadi rasa takut libidonya tidak tersalurkan, dan tidak boleh ditangguhkan, akan
diubah menjadi perasaan takut. Karenanya, kejadian seperti ini merupakan prototipe
dari rasa takut masa kecil, dan bentuk rasa takut paling besar selama kelahiran adalah
takut kehilangan ibu.
Dalam kasus Hans terlihat bahwa fobia yang terjadi padanya diliputi oleh gairah
kepada ibu dan perasaan benci terhadap ayahnya. Ketakutan Hans terhadap kuda
dapat ditafsirkan sebagai simbol rasa takut terhadap ayahnya.
Sumbangan McNeil terhadap fobia anak perlu diperhatikan dalam seksualitas
Freud, karena kecemasan fobia yang bersumber pada masa kanak-kanak dapat terjadi
dari beberapa sumber. Bisa jadi karena variasi-variasi yang menular pada anak, bisa
jadi akibat trauma, atau bisa jadi karena konflik fisik internal yang tidak mengalami
perubahan dalam masa kanak-kanak. Kemungkinan terakhirnya sangat berkaitan
dengan perhatian kita selama ini bahwa reaksi kecemasan sering difokuskan kepada
objek-objek khusus dalam dunia nyata.
Sebagai contoh, individu fobia dapat menjadi traumatis karena memiliki
pengalaman menyakitkan akan ketinggian dan mempunyai ibu yang abnormal akan
ketinggian dan reaksinya menular pada sang anak.
Akhirnya, hubungan antara fobia dan seksual meretas alibi mendasar. lndividu
yang menekan pengeluaran libido bersignifikasi terhadap kondisi ketakutan. Freud
menemukan fakta dari observasi klinis tentang ketakutan neurotik pada reaksi-rekasi
perempuan. la menilai fungsi seksual perempuan kebanyakan pasif, yang dengan
berat hati peran hubungan sekualitas menjadi ditentukan oleh laki-laki. Semakin besar
tempramen, yaitu semakin tinggi kecenderungan untuk berhubungan seksual untuk
mencari kepuasan yang dimiliki perempuan, semakin kuat dia bereaksi terhadap
manifestasi-manifestasi kecemasan terhadap impotensi laki-laki atau terhadap coitus
interuptus. Sebaliknya, perlakuan semacam ini memberikan akibat yang tidak terlalu
serius pada perempuan pasif atau gairah seksualnya melemah. !Jl Dan Freud
menyebut keadaan seperti itu sebagai neurosis aktuai.
Freud kemudian mengembangkan psikologi fobianya ke dalam tema sentral
keagamaan primitif. Menurutnya ada kemiripan antara fobia binatang pada anak
dengan wacana totem dan tabu pada zaman primitif. Rasa takut suatu suku dengan
totem berupa binatang tergambar jelas dalam kasus fobia kuda pada Hans kecil. Jika
di zaman primitif, binatang adalah simbol agama yang kemudian memaksa setiap
suku menjalankan ritus-ritus penyembahan kepada nenek moyang mereka itu, maka
fobia kuda pada Hans kecil adalah semata-mata bentuk pengalihan rasa bencinya
kepada ayah yang menjadi pesaing utama dalam memperebutkan ibunya.
Dari Totem dan Tabu, Freud mencoba membawa kita dalam titik tekan ayah
sebagai gambaran Tuhan yang serba mengatur dan muncu! pada kompleks
Oedipus. Selain itu, konsep agama dalam kompleks Oedipus berbasis tragedi sastra
kelamin Sopochles yang dikutak-katik menjadi temuan fenomenal, temyata jauh
sudah lcbih heboh pada rihuan tahun yang lalu.
. Psikosis Fungsional
Jika dalam neurosis ego masih berfugsi, tetapi dalam psikosis fungsional fungsi
ego nyaris punah. Pengecapan realitas menjadi samar untuk dikenali sebagai hal yang
ril dan ilusi. Kita dapat melihat dengan jelas pada film Beautiful Mind di mana
Profesor John Nash telah menganggap bahwa ia adalah agen Amerika, padahal itu
lahir dari delusi.
Peran yang seharusnya terbagi utuh antara id, ego, dan superego malah berjalan
sendiri-sendiri. Masing-masing tidak dapat dibendung untuk berkembang menuju
penyakit. Jdentitas yang melekat cenderung sulit dikenali, akhimya kita sering
menyaksikan penderita psikosis fungsional mengalami kehancuran parah di mana ia
tidak mengenali dirinya sendiri. Selain itu, mekanisme yang dipakai tidak lagi yang
matang, tetapi primitif.
a. Skizofrenia
Pandangan psikodinamika menekankan pengalaman masa kanak-kanak dalam
keluarga. Walaupun ha! ini adalah sesuatu yang lazim, tapi setidaknya orang tua telah
menjadi objek peneltian psikologis dalam skizofrenia.
Freud rneyakini bahwa orang-orang yang menderita skizofrenia, dan dalam
. k k. . d . h' k d . I . . tmg atan tertentu mere a JUga men enta po on na, · menga am regres atau
mundur, sering kali dalam kaitannya dengan kehilangan, menuju keadaan narsisitik
sekunder di mana libido ditarik dari dunia ekstemal dan dimasukkan kembali pada
diri dan tubuh individu yang bersangkutan.
Namun pertanyaannya mengalami regresi ke tahap seksual apakah Skizofrenia?
Menurut Arif, pasien-pasien skzofrenia mengalami regresi ke tahapan awal oral, di
mana mereka mengalami ketakutan di fase ini, bukan lagi takut secara jasmani, tapi
terutama mereka merasa mati atau runtuh kepribadiannya, dan kembali mengalami
regresi ke kondisi tiada kontak dengan realitas.
Mekanisme yang digunakan seperti splitting yang notabene terjadi pada bayi.
Pasien skizofrenia berelasi erat dengan seseorang dalam suatu waktu. Saat itu, ia
berpendapat bahwa orang itu sepenuhnya baik, tak ada cela sedikit pun. Namun, di
lain waktu, orang tersebut mengecewakannya dalam hal tertentu, dan kini ia
memandang sepenuhnya orang itu buruk. Hal ini dikarenakan karena splitting pasien
skizofrenia tidak dapat menangkap bahwa orang yang hari ini dibencinya adalah sama
d k . . k .
engan orang yang emarm ia su ai.
Karl Abraham, seorang Klenian, memberikan materi klinis atas seorang
pengidap skizofrenia dengan riwayat keluarga yang juga skizofrenik .
.. Pasien ni d igambarkan terlalu asyik dengan dirinya sendiri dalam cara
yang sangat narsisitik dalam arti satu angan-angan kecil, permainan kata-kata
dan sebagainya, bisa menyita semua perhatiannya. Selama periode yang cukup
panjang, sementara kondisi fisiknya sendiri menyita semua perhatiannya lebih
dari yang lain. Ditambahkannya sensasi genital dan anal adalah yang paling
penting baginya. Kemudian, dia mengalami kecanduan pada masturbasi anal
dan genital. Selama masa puber, dia memperoleh kesenangan dari bermainmain dengan kotoran tinja, dan pada periode selanjutnya dia menyibukkan diri.
Dengan ·semua bentuk pengeluaran tubuhnya. Sebagai contoh, dia memperoleh
kesenangan dengan menelan air maninya sendiri.
Namun yang paling penting bagi pasien tersebut adalah preokupasi
oralnya. Dia kadang terbangun dari mimpi-mimi indah dengan "polusi oral",
dengan air liur yang menggenangi mulutnya. Dia menyukai susu, mengisap
cairan dan lidahnya sendiri. Dia sering terbangun di tengah malam dengan
keinginan seksual yang menggebu, namun biasanya bisa diredakan dengan
minum susu. Dia merasa keinginannya minum susu merupakan kebutuhannya
yang paling dalam dan paling primitif, sementara masturbasi genital,
seberapapun menyenangkan, hanya menempati urutan kedua."
Abraham menggambarkan "lamunan kanibalistik" telah ada semenjak masa
awal anak-anak saat dia menghubungkan cinta kepada seseorang dengan memakan
sesuatu yang enak. Abraham sepakat jika skizofrenia menjadi suatu relasi dengan
gagasan Klein di mana asosiasi-asosiasinya mengarah pada fantasi tentang menggigit
payudara.
Sejalan dengan Freud, Loof melihat ada bagian hipokondriarsis mengikuti
skizofrenia di usia sekolah. Loof melihat dalam usia sekolah, gangguan psikotik yang
identik dengan skizofrenia, gejalanya terkadang bertahap. Pertama, adanya simtomsimtom neurotik, lalu ada tanda-tanda primitive denial, proyeksi, kehilangan asosiasi
dalam berpikir, hipokondriarsis, dan perilaku meledak-ledak. Pada perkembangan
kemudian, anak mulai menarik diri dari lingkungan sosial, berfantasi sendiri,
bertingkah laku autistik, hingga mencapai kekalutan mental.
Catalan penting ditemukan bahwa skizofrenia berpeluang menjadi perilaku
bun uh diri. Tsuang ( ) seperti dikutip Pfeffer mengungkapkan bahwa I % pasien
skizofrenia dari pasien dewasa di rumah sakitjiwa telah melakukan bunuh diri.
Tsuang ( ) juga menilai bahwa hubungan saudara dalam keluarga turut andil
dala,n hadimya skizofrenia pada anak-anak.
Titik pentingnya adalah bahwa teori Freud akan ikut sertanya insting mati pada
pribadi, menjadi tidak terelakkan pada kasus-kasus Skizofrenia. Di mana naluri
kematian memutarbalikkan tujuan erotisme yang semula ada. Destruktivtas diri
yang mutlak dihindari menjadi pemecah masalah pada pasien skizofrenia. Pasien
skizofrenia tidak melihat ruang untuk mereka kembali normal. Konflik-konflik
keluarga, stigma sosial, dan perawatan yang tak kunjung membaik menemani
rangsangan insting mati untuk menjadi riil. Padahal seperti dikatakan Knight,
penanganan berdasar komunitas untuk dapat mengembangkan kesadaran dan
. d." d'b hk
penenmaan m amat utu an.
b. Paranoia.
Sama sepeti skizofrenia, paranoia dapat dianggap penyakit yang lahir salah
satunya dari regresi pada fiksasi masa oral. Lebih jauh Brill menjelaskan kepada
bentuk fiksasi narsistik. Libido kemudian memiliki kontribusi penting pada
paranoia, karena delusi grandeur adalah dampak dari inflasi ego terhadap libido yang
ditarik dari pengepungan objek, maka inilah sebuah narsisme sekunder yang terjadi
pada masa kanak-kanak awaI.
Meissner mengatakan bahwa paranoia bisa menjadi sebuah proses menuJU
paranoid. Jauh sebelum itu seperti dikutip Storr, Freud dalam kasus Schreber juga
mengidentilikasi bahwa delusi grandeur dari paranoia erat berkaitan dengan
paranoid. Dalam kasus Schreber, misalnya, perkembangan khayalannya mengarah
kepada bentuk penganiayaan.
"Di sini penderita merasa seolah-olah sedang dikejar-kejar diserang.
Diracun atau dilukai oleh satu atau kelompok orang yang bermaksud jahat.
Seringkali, perasaannya ini diiringi dengan keyakinan penderita yang sangat
teguh mengenai kepentingan dirinya, yang mungkin sebagian disebabkan oleh
perasaan-perasaannya, bahwa ia kurang mendapat perhatian. Mungkin dia
benar-benar keturunan bangsawan, atau memiliki beberapa rahasia yang sangat
penting yang diincar oleh musuh-nusuhnya."
Pada tahun l , di usia paruh baya, Schreber dirawat di rumah sakit jiwa
tempat ia meninggal pada tanggal April . Sebelumnya, pada sakitnya yang
kedua Schreber semakin menunjukkan khayalan ekstrimnya dengan titik tekan
seksualitas.
"Schreber merasa tubuhnya sedang dirawat dalam berbagai cara yang
memuakkan dan ia merasa bahwa dirinya sedang dianiaya dan terluka, terutama
oleh Profesor Flechsig, direktur klinik, tempat pertama kali dia dikurung. Pada
suatu ketika gangguan jiwa Schreber yang akut ini reda tapi diganti oleh sistem
khayalan yang kronis. Seperti penderita paranoia lainnya, Schreber benar-benar
normal kecuali apabila khayalan-khayalan lainnya tadi muncul. Dia
diperbolehkan keluar dari rumah sakit pada tahun l , meskipun dia mengaku
sistem khayalannya terus-menerus muncul ... Dalam tulisan-tulisannya sendiri
Schrcbcr meyakini hahwa dirinya diubah mcnjadi seorang wanita, dia akan
dihamili oleh sinar dewa sehingga akan tercipta ras manusia baru."
Intepretasi Freud menyimpulkan bahwa penyakit Schreber ada hubungannya
dengan ketakutan dan keinginan Schreber untuk melakukan hubungan seksual dengan
Flechsig. Freud juga menyatakan jika keinginan homoseksual yang dialami Schreber
yang diduga terarah kepada psikiater yang menanganinya itu sebagai transferensi dari
perasaan homoseksual yang tidak disadarinya yang awal mula tertuju pada ayahnya.
Penggantian berikutnya, dari Dewa yang menghamilinya menjadi Flechsig yang
. d. I . k b · d . b menganiayanya te usun em a an sum er yang sama.
Dalam mayoritas kasus, orang-orang yang menganiaya memiliki jenis kelamin
sama dengan orang yang dianiaya. Akan tetapi dalam beberapa kasus yang dikaji,
terlihat bahwa orang yang berkelamin sama yang sangat dicintai sementara waktu
oleh pasien nonnal, kemudian menjadi penganiaya setelah penyakit muncul.
Dalam penelitian lebih jauh, Freud sampai pada konklusi bahwa paranoia
penyiksaan adalah cara seseorang berproyeksi terhadap dorongan homoseksual yang
begitu kuat. Pertama-tama pasien berkata tidak mencintai Si C, selanjutnya
khayalan ini diubah menjadi proyeksi bahwa Si C membenci (menganiaya) saya,
sehingga akan ada alasan bagi saya ntuk membenci Si C.
Hal menarik adalah walaupun menekankan aspek libido pada kasus Schreber,
namun Meissner melihat bahwa Freud tidak secara eksplisit mengembangkan garis
menbenai agresi. Padahal Freud sadar bahwa agresifitas dan dekstruksifitas
merupakan dampak dari delusi paranoid.
Freud mendelegasikan bahwa khayalan Schreber tentang Tuhan, pada akhimya
berasal dari perasaannya terhadap ayahnya dengan menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan kebanyakan ayah, orang terkenal seperti ayah Schreber (dokter
dan pendidik yang terkenal pada waktu itu) akan lebih membangkitkan perasaan
patuh karena hormat, perasaan membangkang karena memberontak, yang menurut
Freud adalah karakteristik masa kecil seorang laki-laki terhadap ayahnya.
. Gangguan Psikoseksual
Gangguan psikoseksual biasanya disebabkan trauma masa kecil. lngataningatan kanak-kanak akan terekam dalam memori dan lersimpan rapih dalam alam
bawah sadar. Ego yang muncul dalam gangguan psikoseksual adalah ego yang
minimalis dan tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Reality testing
sekalipun tetap tegak berjalan, tapi tidak maksimal, karena berbagai dinamika psikis
akibat konflik masa kecil. Akhirnya banyak pelaku gangguan psikoseksual memilih
jalan yang dinistakan masyarakat, seperti melampiaskan kepada objek seksual yang
salah. Suatu kali juga le:jadi dualisme antara insting mati seperti kekerasan, atau
berubah ekstrim dengan menekankan insting hidup dengan tema "seni" penetrasi seks
pada objek-objek innocent. lnilah tuntutan libido tinggi yang kiranya belum
mampu disalurkan secaragentle.
Pelaku gangguan psikoseksual lebih suka menggunakan mekanisme pertahanan
ego daripada menahan hasrat seks yang garang. Mekanisme pertahanan ego yang
umumnya dipakai adal


