Jumat, 26 Januari 2024

munir 2







keputusan  
Presiden) dan melibatkan beberapa nama tokoh masyarakat seperti 
Amin Rais (Mantan Ketua MPR), Syafii Maarif (Ketua PP Muhammadiyah), 
dan Todung Mulya Lubis. Presiden SBY sendiri pada saat itu tidak 
secara eksplisit untuk segera memenuhi permintaan ini  dan lebih 
bersikap diplomatis dengan meminta lebih dahulu konsep dasar usulan 
tim investigasi kasus Munir.
 Pada tanggal 26 November 2004 Direktur 
Eksekutif Imparsial Rachland Nashidik menyerahkan rancangan tim kasus 
Munir beserta usulan nama-nama anggotanya kepada Andi Mallarangeng, 
juru bicara Kepresidenan di Halim Perdanakusumah. 
Dukungan penting lainnya juga ditunjukkan pihak lain, baik dari 
kalangan domestik maupun dari komunitas internasional, dalam 
mendesak pemerintah untuk membentuk tim investigasi independen. 
Pihak keluarga Munir dan kawan-kawan aktivis memandang usulan 
pembentukan tim investigasi independen harus juga mendapat 
dukungan dari publik luas dan tokoh masyarakat. 
Dukungan penuh misalnya dinyatakan oleh Ketua PP Muhammadiyah, 
Syafii Maarif saat bertemu dengan keluarga Munir dan rekan-rekan NGO 
pada tanggal 24 November 2004 di kantornya. Bahkan ia bersedia bila 
namanya masuk dalam tim investigasi independen ini .
Dukungan serupa diajukan oleh 59 aktivis HAM internasional pada 20 
Nopember 2004 yang disampaikan  pada acara siaran pers bersama 
yang disampaikan Koordinator Human Rights Working Group (HRWG) 
Rafendi Djamin di Jakarta. Aktivis HAM internasional (68 orang) dari 30 
negara ini  sebagian besar adalah penerima “The Rights Livelihood 
Award” yang diberikan oleh sebuah yayasan  berbasis di Swedia. 
Secara khusus mereka menyatakan rasa belasungkawa mendalam dan 
memperingatkan pemerintahan SBY bahwa mereka akan memastikan 
publik dunia mengawasi proses penuntasan kasus ini. Munir sendiri juga 
pernah menerima penghargaan ini  di tahun 2000. Pada tanggal 
8-13 Juni 2005, para aktifis penerima penghargaan RLA ini  kembali 
berkumpul dalam sebuah pertemuan tahunan di Salzburg, Vienna. Mereka 
kembali mengekspresikan solidaritas dengan mengangkat pentingnya 
pengungkapan kasus Munir. Pertemuan ini dihadiri oleh Suciwati, istri 
Munir, yang didampingi oleh aktifis KontraS, Mouvty Makaarim Al Akhlaq. 
Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan digelarnya pertemuan 
tahunan itu, Suciwati bersama Mouvty juga menghadiri sebuah konferensi 
tahunan “Human Rights Defender Forum”, yang digelar The Carter Center, 
pada 6-8 Juni 2005 di Atlanta. Dalam kesempatan ini , mantan 
Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter juga menyampaikan simpati 
sekaligus dukungannya untuk pengungkapan kasus Munir. 
sesudah konferensi usai, Suciwati difasilitasi oleh Human Rights First 
(dulu Lawyers Committee for Human Rights) yang berbasis di New 
York, USA juga menemui beberapa pejabat penting di Washington DC, 
USA untuk membicarakan kasus Munir. Human Rights First inilah yang 
juga memfasilitasi keikutsertaan Suciwati dalam forum HAM yang 
diselenggarakan di Atlanta, USA. Dalam press release bersama Human 
Rights First dan The Carter Center mengkritik peran Badan Intelijen 
Negara, salah satu butir pernyataan berbunyi : “In Indonesia, efforts to 
reform the state intelligence body, implicated in many human rights 
violations, are being resisted in the name of safeguarding security;”
Kasus Munir juga dianggap bisa menjadi pintu masuk bagi kalangan 
aktivis HAM untuk meminta negara agar segera melindungi mereka 
yang dikategorikan sebagai pembela  HAM.56 
Dukungan dari kalangan akar rumput/grass root untuk tim investigasi 
independen juga ditunjukkan oleh komunitas korban dan kaum marginal, 
yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat untuk Korban Pelanggaran 
HAM  Mereka berunjuk rasa (2 Desember 2004) dengan berjalan kaki 
dari Bundaran Hotel Indonesia menuju Istana Presiden untuk menuntut 
Presiden SBY segera merealisasi tim investigasi independen.57 Juga tidak 
ketinggalan dukungan untuk pembentukan tim investigasi independen 
dinyatakan oleh  penyanyi terkenal Indonesia, Iwan Fals,  pada tanggal 
8 Desember 2004,  saat acara peresmian patung Munir di kantor Yayasan 
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/YLBHI.58 
Selain itu untuk mengenang Hari Internasional untuk Menghapus 
Kekerasan terhadap Perempuan (25 November 2004) yang diselenggarakan 
di Komnas Perempuan, acara ini juga ditujukan untuk mengenang figur 
Munir. Menurut Ketua Komnas Perempuan, Kemala Chandrakirana, Munir 
dapat dinilai sebagai aktivis yang memperjuangkan dan mengadvokasi 
hak-hak perempuan. Selama di KontraS, Munir aktif mendorong 
para ibu untuk memperjuangkan nasib anak-anaknya yang hilang, 
mempersoalkan kasus kekerasan terhadap perempuan seperti di Aceh 
dan Timor Timur. Pada acara itu juga para aktivis perempuan mendukung 
usaha  pembentukan tim investigasi independen.  
Kuatnya dukungan publik terhadap gagasan dibentuknya tim investigasi 
independen tidak hanya  disebabkan hanya motif kasus Munir terungkap 
tuntas, namun lebih dari itu tim ini juga menjadi tolak ukur penegakan 
hukum di bawah pemerintahan baru SBY. Beberapa pihak bahkan 
mendesak Presiden SBY untuk menjadikan kasus Munir sebagai prioritas 
kerja program 100 hari Kabinet  Indonesia Bersatu, seperti yang diusulkan 
oleh Rektor Universitas Brawijaya, Bambang Guritno dan Ketua Umum 
Ikatan Alumni Universitas Brawijaya, Syukur Nuralam.61 Presiden SBY 
sendiri tidak bisa mengelak bahwa kasus Munir ini harus menjadi salah 
satu prioritas kerja 100 harinya. Ini diungkapkan Presiden SBY saat 
memberi  kata sambutan pada acara halal bihalal Keluarga Alumni 
Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Jakarta, 27 November 2004.
A. Tarik Ulur Pembentukan Tim Independen
Tepat tanggal 8 Desember 2004, Munir seharusnya berumur 39 
tahun. Pada tanggal ini kawan-kawan aktivis HAM menyelenggarakan 
peringatan ulang tahun almarhum dengan melakukan peresmian 
patung Munir di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia 
(YLBHI). Acara ini cukup meriah dihadiri publik dengan jumlah 
besar karena salah satu pengisi acaranya adalah Iwan Fals, seorang 
musisi ternama, yang juga melantunkan lagu ciptaannya khusus 
untuk Munir.
Acara ini juga diwarnai oleh keprihatinan dari keluarga dan 
kawan-kawan almarhum karena sebelumnya telah diumumkan 
oleh Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi, yang menyatakan bahwa 
pemerintah memutuskan untuk menunggu perkembangan 
penyelidikan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian RI. Ini 
merupakan bahasa politis untuk menyatakan “tidak” bagi 
tim investigasi independen. Pernyataan yang kurang lebih 
sama juga diumumkan oleh Juru Bicara Kepresidenan, Andi 
Mallarangeng seusai menghadiri pelantikan Direktur Badan 
Intelijen Negara/BIN yang baru, Mayjen (Purn) Syamsir Siregar. 
Andi Malarangeng menjelaskan bahwa presiden menilai 
pembentukan tim independen belum tepat dan kesempatan 
harus diberikan dulu kepada Polri untuk menjalankan tugasnya.
Ada dugaan, keputusan penolakkan tim investigasi independen 
ini merupakan hasil rapat Presiden dengan anggota kabinet 
secara terbatas sehari sebelumnya (7 Desember 2004).
Reaksi atas pernyataan Sudi Silalahi dan Andi Mallarangeng ini 
segera bermunculan. Dari kalangan DPR, melalui anggota Komisi 
III, Lukman Hakim Saifuddin segera melontarkan gagasan untuk 
melakukan hak interpelasi terhadap presiden. Ia menyatakan 
telah mengumpulkan 45 tanda tangan anggota DPR sesaat sesudah 
penolakkan Presiden SBY untuk membentuk tim investigasi 
independen. Ia juga berjanji akan mengedarkan surat ini  
kepada anggota DPR lainnya. Menurut Lukman Hakim Saifuddin 
salah besar kalau jika Presiden SBY menganggap tidak perlu  
pembentukkan tim investigasi independen untuk kasus Munir 
karena sebelumnya pemerintah pernah membentuk tim investigasi 
gabungan untuk menyelidiki kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay 
– tokoh masyarakat Papua- dan pembunuhan warga Amerika di 
Papua (yang melibatkan staf  FBI dalam investigasinya).
Namun yang paling kecewa terhadap sikap penolakkan Presiden 
SBY ini adalah Suciwati, istri almarhum Munir. Kekecewaan ini 
dinyatakannya pada acara konferensi pers bersama (KontraS, 
Imparsial dan Kelompok Solidaritas Pembela HAM Indonesia) di 
kantor Imparsial, 8 Desember 2004. Menanggapi kekecewaan 
keluarga Munir, Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng kembali 
menjawab dengan bahasa diplomatis bahwa Presiden SBY tidak 
menolak usulan pembentukan tim investigasi independen, tetapi 
Presiden SBY lebih memberi  kesempatan dulu kepada Kepolisian 
RI untuk menyelidiki kematian Munir.
Sementara itu dugaan bahwa 
kematian Munir berkaitan dengan operasi Intelijen semakin kuat 
karena adanya pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto -yang 
berinteraksi dengan Munir pada saat di penerbangan maut Garuda 
GA-974 – ternyata diduga kuat merupakan anggota Badan Intelijen Negara (BIN). Penolakkan pembentukan tim investigasi independen 
dikhawatirkan akan menutup dalam-dalam misteri kematian Munir, 
sebagaimana kasus-kasus pembunuhan politik lainnya di Indonesia.
Sikap Presiden SBY kemudian berubah cukup drastis keesokan 
harinya, 9 Desember 2004 dalam acara konferensi pers kasus 
Munir. Kali ini pernyataannya disampaikan oleh Sekretaris Kabinet, 
Sudi Silalahi, bahwa Presiden SBY kecewa ada kesan ia menolak 
tim investigasi independen. Bahkan saat itu Presiden SBY telah 
menginstruksikan Jaksa Agung dan Kapolri untuk berkoordinasi 
dengan pihak keluarga almarhum Munir untuk merancang usulan tim 
ini  agar tidak tumpang tindih dengan ketentuan perundang-undangan Indonesia. 
Ketidakjelasan sikap Presiden SBY ini kemudian mengundang 
reaksi dari kalangan DPR, tokoh masyarakat, akademisi, aktivis 
HAM, hingga organisasi HAM internasional. Berita perubahan sikap 
Presiden SBY ini kemudian menjadi berita utama media massa.
Bantahan Presiden SBY terhadap posisi penolakkan terhadap tim 
investigasi independen nampaknya lebih disebabkan kekacauan dan 
miskoordinasi dalam tubuh tim juru bicara kepresidenan.
B. Tim Pencari Fakta Kasus Munir
Segera sesudah Presiden SBY menyatakan setuju untuk membentuk 
tim investigasi, prosedur operasionalnya diserahkan kepada Menko 
Politik, Hukum, dan Keamanan, Widodo AS. Tugas awalnya adalah 
menyusun draft kerja tim investigasi ini  bersama pihak 
keluarga almarhum Munir dan rekan-rekan aktivis HAM. Pihak  keluarga dan kerabat Munir sendiri menghendaki tim investigasi 
independen ini harus dikeluarkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) 
karena dikhawatirkan tanpa keputusan ini tim investigasi akan sulit 
melacak dokumen dan data Intelijen. 
Namun lagi-lagi apa yang dinyatakan pemerintah belum tentu 
terealisasi secara konkrit. Hingga seminggu berjalan sesudah 
pernyataan Presiden SBY tentang pembentukan tim investigasi 
independen, pihak keluarga dan NGO, dalam hal ini KontraS dan 
Imparsial sama sekali belum dilibatkan dalam perumusan draf tim 
ini , yang rencananya disusun bersama dengan Jaksa Agung, 
Kapolri, dan Menko Polhukam. Bahkan sejak diserahkannya draf 
pembentukan tim (beserta nama anggotanya) pada tanggal 24 
November 2004 oleh KontraS dan Imparsial belum ada tanggapan dari 
pemerintah. Satu-satunya undangan yang dikirim pemerintah adalah 
pada tanggal 13 Desember 2004, itupun hanya untuk membahas 
langkah investigasi yang telah dilakukan polisi dan sama sekali tidak 
menyinggung pembentukan tim investigasi independen.
Baru sesudah reaksi ini  dilontarkan, pihak pemerintah 
melakukan rapat antara keluarga Munir dan  tim pengacaranya 
dengan perwakilan Polri, Kejaksaan Agung, dan Departemen Hukum 
dan HAM pada 21 Desember 2004 di Mabes Polri. Dalam rapat 
itu dibahas usulan tentang kewenangan tim independen. Pihak 
keluarga dan kerabat Munir mendesak agar tim ini memiliki fungsi 
pro justicia dan kewenangan yang menyerupai peran polisi. 
Usulan ini ditolak oleh pemerintah dan hanya menempatkan 
tim investigasi independen sebagai pembantu penyelidikan dan 
penyidikan yang dilakukan polisi, serta memberi  rekomendasi 
bila dianggap perlu. Selain itu kalangan keluarga dan kerabat Munir 
juga telah mengajukan beberapa nama untuk masuk ke dalam tim, 
meski penentuannya tergantung pilihan dari presiden.
Hasil pertemuan ini  ternyata ditanggapi secara cepat 
oleh Presiden SBY. Pada tanggal 23 Desember 2004 dikeluarkan 
Keputusan Presiden (Keppres) bernomor 111 tentang Pembentukan 
Tim Pencari Fakta Kasus Munir, bersamaan dengan dikeluarkannya 
Keppres tentang Pembentukan Majelis Rakyat Papua, yang telah 
lama ditunggu.Namun demikian yang aneh adalah pembentukan 
 Usulan nama 
anggota tim yang ditawarkan oleh pihak keluarga dan kerabat Munir adalah: Tim Pengarah: 
Syafii Maarif, Todung Mulya Lubis, Shinta Nuriyah, dan Asmara Nababan. Tim Kerja: Hendardi, 
Rachland Nashidik,  Usman Hamid, Munarman, wakil Kejaksaan Agung, wakil Polri, wakil Deplu.
Tim Pencari Fakta/TPF Kasus Munir berbeda dengan yang disepakati 
pada saat rapat bersama di Mabes Polri, tanggal 21 Desember 2004. 
Meskipun, Juru Bicara Presiden Andi Mallarangeng menyatakan 
seharusnya apa yang ditetapkan Presiden SBY sama dengan draf 
akhir yang disepakati di rapat Mabes Polri ini .76 TPF memiliki 
masa kerja 3 bulan dan bisa diperpanjang 3 bulan lagi.
Berikut ini perbandingan antara draf kerangka acuan yang disepakati 
pada rapat di Mabes Polri, tanggal 21 Desember 2004 dengan 
kerangka acuan versi resmi atas dasar Keppres No. 111/2004 tentang 
Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir.
Tugas : 
Secara aktif membantu Penyidik 
POLRI dalam melaksanakan proses 
penye l i d i kan  dan  peny id i kan 
pengungkapan kasus meninggalnya 
Munir.
Wewenang : 
a) memberi  pertimbangan dan atau 
pendapat kepada Penyidik Polri, 
dengan atau tanpa diminta oleh 
pihak Penyidik Polri; 
b) mengusulkan arah penyelidikan 
dan penyidikan oleh Penyidik Polri, 
memonitor dan mengevaluasi 
perkembangannya; 
c meminta keterangan dari pihak-
pihak yang diperlukan serta 
berkonsultasi dengan ahli-ahli dalam 
dan luar negeri demi kepentingan 
jalannya proses penyelidikan dan 
penyidikan.
Tugas dan wewenang
  Membantu  Po l r i  me lakukan 
penyelidikan.
  Melakukan hal-hal lain yang 
dianggap perlu.
  Memperoleh bantuan dari instansi 
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Demikian pula komposisi keanggotaan TPF juga mengalami 
perubahan dari kesepakatan sebelumnya. Draf anggota TPF 
sebelumnya berisi nama-nama yang memiliki karakter politik yang 
kuat seperti Ahmad Syafii Maarif (Ketua PP Muhammadiyah) dan 
Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid (Nahdlatul Ulama). Keterlibatan 
beberapa nama tokoh ini  amat diperlukan mengingat muatan 
politis kasus ini yang amat tinggi dan sudah bisa dipastikan akan 
menemui kendala yang serius. Sayang sekali pemerintahan SBY 
kurang jeli dalam melihat pentingnya keterlibatan tokoh-tokoh 
ini . Padahal, keberhasilan tim investigasi ini dengan 
keterlibatan para tokoh ini  akan dengan sendirinya 
memberi manfaat yang maksimal bagi kinerja pemerintahan SBY. 
Bagaimanapun, terlepas dari mandegnya proses hukum, peluang 
bagi pemerintah SBY mengungkap kasus ini masih cukup besar.
Tabel 5
Komposisi/Susunan Keanggotaan TPF
Versi Rapat Mabes Polri,
21/12/ 2004
Versi Keppres SBY,
23/12/2004
1) K.H. Ahmad Syafii Mararief (Ketua 
PP Muhammadiyah) 
2) Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid
3) Asmara Nababan 
4) Todung Mulya Lubis 
5) Pejabat Pemerintah 
6) Bambang Widjojanto
7) Hendardi 
8) Usman Hamid
9) Munarman 
10) Smita Notosusanto
1) Brigjen (Pol) Marsudhi Hanafi 
(Ketua)
2) Asmara Nababan (Wa. Ketua)
3) Bambang Widjojanto
4) Hendardi
5) Usman Hamid
6) Munarman
7) Smita Notosusanto
8) I Putu Kusa
9) Kemala Candra Kirana
10) Nazaruddin Bunas
Versi Rapat Mabes Polri,
21/12/ 2004
Versi Keppres No.111/2004, 
23/12/2004
Kewajiban : 
Membuat laporan kepada Presiden 
mengenai kegiatan yang dilaksanakan 
dan merekomendasikan kebijakan-
kebijakan bagi Presiden.
Pihak keluarga dan kalangan organisasi non-pemerintah 
mempertanyakan perbedaan konsep pembentukan tim diatas, 
sebagai masalah serius, sekaligus meminta Presiden memberi 
penjelasan resmi atas hal itu. Nama yang paling diharapkan 
bisa mengawal TPF, Syafii Maarif ternyata tidak termasuk dalam 
Keputusan Presiden. Mandat yang terbatas ini memunculkan 
kekhawatiran dari kalangan masyarakat sipil bahwa TPF tidak 
bisa bergerak leluasa, apalagi Syafii Maarif yang merupakan 
pemimpin Muhammadiyah tidak masuk dalam komposisi tim.
Lebih jauh, anggota Tim yang diusulkan dari unsur non-pemerintah 
menyatakan sulit menjadi bagian dari Tim yang dibentuk 
Presiden jika  tidak ada penjelasan dari Kepresidenan. 
Komite Solidaritas untuk Munir (KASUM), koalisi organisasi non-
pemerintah misalnya melakukan siaran pers yang menyatakan 
bahwa pemerintah/presiden telah mengubah hasil kesepakatan 
rapat di Mabes Polri, 21 Desember 2004.78 Dengan perubahan 
Versi Rapat Mabes Polri,
21/12/ 2004
Versi Keppres SBY,
23/12/2004
11) Wakil Kepolisian, Brigjend Pol Drs. 
Andi Hasanudin Mappalangi, Karo 
Analis Bareskrim Polri 
12) Seorang Wakil dari Kejaksaan Agung 
RI, Agung, I Putu Kusa, Dir Pratut 
Jampidum Kejagung RI 
13) Ketua Komnas Perempuan Kamala 
Chandrakirana 
14) Wakil Departemen Hukum dan HAM, 
Nazaruddin Bunas, Dir Daktiloskopi 
Ditjen HAM 
15) Wakil Departemen Luar Negeri, 
Des Alwi, Kasubdit Eropa Dit Eropa 
Barat, Ditjen Amero.
11) Retno LP Marsudi
12) Arif Navas Oegroseno
13) Rachland Nashidik
14) Mun’im Idris 

ini , dikhawatirkan TPF hanya memiliki perangkat yang 
terbatas, sehingga TPF ini dikemudian hari hanya menjadi alat 
legitimasi pemerintah untuk membenarkan proses penyidikan 
yang tidak tuntas. Para anggota TPF dari wakil organiasi non-
pemerintah menyatakan bila dalam waktu sebulan masih terjadi 
ketidakjelasan, mereka siap mengundurkan diri dari TPF.79 Pada 
akhirnya, tidak ada perubahan sama sekali dalam Keputusan 
Presiden ini . Dengan keterbatasan yang ada, TPF yang 
terdiri dari unsur pemerintah dan non pemerintah ini  
memutuskan untuk melanjutkan kerja TPF. Termasuk mereka 
yang berasal dari unsur non pemerintah yang menyatakan 
untuk sementara memutuskan ikutserta dalam TPF. Mereka 
mengambil sikap akan mengundurkan diri jika dalam pelaksanaan 
kerjanya terhambat oleh keterbatasan normatif dalam Keppres 
ini . sesudah TPF berjalan, dua anggota TPF dari unsur non 
pemerintah, yakni Bambang Widjojanto dan Smita Notosusanto 
tetap mengambil sikap untuk tidak aktif dalam TPF. 
Belum sempat ada jeda dan pemerintah pun belum merespon 
keberatan pencoretan nama-nama ini , terjadi peristiwa 
gempa bumi dan gelombang Tsunami di Aceh dan Sumatera bagian 
Utara pada 26 Desember 2004.  Walhasil, semua perhatian publik 
terhadap kasus Munir terpecah sesaat  dan bukan merupakan 
pilihan populer bila sikap keberatan atas Keppres ini ditampilkan 
ke publik, selain masing-masing organiasi non-pemerintah ini  
juga melakukan tindakan darurat yang menghabiskan energi besar 
untuk merespon bencana tsunami di Aceh.

A. Polri Berjalan Lamban?  
Sebelum dibentuknya Tim Pencara Fakta, Presiden telah 
menginstruksikan Polri untuk melakukan penyelidikan secara objektif, 
terbuka dan jujur.81 Konon, penyelidikan telah dilakukan sejak tanggal 
8 September 2004. Polri membentuk Tim Penyidik untuk Kasus Munir, 
yang dipimpin oleh Kombes Pol. Oktavianus Farfar. Tim penyidik Polri 
telah melakukan pemeriksaan terhadap 86 orang saksi, 11 orang 
diantaranya adalah awak Garuda. Saksi ini  termasuk dokter 
Tarmizi yang menolong Munir saat  maut menjemputnya, para 
penumpang (baik di Jakarta maupun di Belanda), istri Munir serta 
teman-temannya. Namun polisi belum menetapkan tersangkanya.
Dalam pemeriksaan lanjutan, Polisi memeriksa Pollycarpus Budihari 
Priyanto, yang sempat meminta Munir pindah tempat duduk dari 
kursi ekonomi 40G ke kursi bisnis 3K. Pollycarpus mengaku hanya 
melakukan pembicaraan dengan Munir di Bandara Soekarno 
Hatta, namun tidak melakukan pembicaraan di bandaran Changi 
Singapura. Ia juga mengaku sebelumnya telah mengenal Munir di 
Monas dan mendapatkan nomor HP Munir di Imparsial beberapa 
bulan lalu. Ia membantah dirinya terlibat dalam Intelijen. Irjen 
Pol. Paiman menyatakan  akan memeriksa Polly yang dikabarkan 
memiliki senjata api dari BIN.
Sementara Dirut Garuda Indra Setiawan yang juga diperiksa tidak 
mau mengomentari adanya dugaan bahwa di pesawat Garuda yang 
ditumpangi Munir ada  penyusupan Intelijen dan tidak mengakui 
adanya penyusupan Intelijen terhadap karyawan Garuda.85 Polisi 
juga memeriksa intensif para kru Garuda, khususnya yang bertugas 
dalam perjalanan Jakarta – Singapura dan bertanggungjawab dalam 
pelayanan makanan dan minuman.86
Disamping itu, Polri juga melakukan penyelidikan Changi, di Terminal 
tempat pesawat transit, yang menunjukkan tidak banyak ada  
restoran. Sementara dari hasil otopsi Belanda – yang akan dijadikan 
bahan untuk didalami bagi penyelidikan Polisi - Komjen Suyitno 
Landung menyimpulkan, bahwa (1). kadar arsen pada tubuh Munir 
di luar kewajaran; (2). tidak diketahui secara pasti kapan Munir 
mengkosumsi arsen; (3). tidak diketahui pasti melalui komponen 
cair atau padat arsen itu masuk ke dalam tubuh Munir.87  
Walau dokumen asli otopsi Munir yang dilakukan oleh Badan 
Forensik Belanda telah didapatkan pihak Polri, namun itu tidaklah 
cukup. Kepolisian RI membutuhkan bukti – bukti berupa sisa organ 
tubuh Munir yang sudah ada di Badan Forensik belanda (Netherland 
Forensik Institute/NFI) bisa dibawa ke Indonesia. Untuk itu Polri 
mengirimkan surat ke Kejaksaan Agung, Menteri Luar negeri, serta 
Menteri Hukum dan HAM untuk memfasilitasi hal ini  serta 
meminta berita acara yang dilakukan oleh otoritas polisi Belanda 
saat Garuda mendarat di Schippol, Amsterdam. Namun pemerintah 
Belanda meminta jaminan dari pemerintah RI bahwa bantuan 
hukum dari Belanda tidak dipakai untuk menerapkan hukuman 
mati.88 Sebuah syarat yang normal dan berlaku dalam diplomasi 
internasional, dimana Indonesia sendiri menerapkan standar 
persyaratan yang sama kepada negara manapun yang meminta 
bantuan hukum Indonesia.  
Sementara itu, Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk Presiden 
melalui Keppres No.111/2004 dan beranggotakan perwakilan Polri, 
Deplu, Depkumdang, Kejaksaan Agung, tim ahli serta organisasi 
non pemerintah berjumlah 11 orang akhirnya mulai bekerja efektif 
Januari 2005.Sebagai bagian dari tugasnya untuk membantu Polri 
melakukan penyelidikan, Tim Pencari Fakta melakukan pertemuan 
dengan Tim Penyelidik Polri pada pada 13 Januari 2005. Pertemuan 
ini membahas perkembangan kemajuan serta merumuskan rencana 
kerja. Dari pertemuan ini diperoleh informasi mengenai data 
awal meninggalnya Munir, yaitu (1). Lima berkas dokumen yaitu 
General Declaration (outward/inward) awak pesawat GA 974, 
Laporan Perjalanan (Trip Report) atas nama Capt.Matondang, Surat 
Keterangan Kematian dalam Penerbangan (Death on Board), Manifes 
Penumpang dan Bagasi (Passenger and Banggage Manifest), serta 
Denah pesawat 747-400, dan (2). Kronologis singkat sebelum dan 
sesudah kematian Munir. 
Dalam pertemuan ini , TPF menilai tim penyidik lambat 
dalam menetapkan tersangka. Kabareskrim mengakuinya, karena 
menghadapi beberapa kendala, berkaitan dengan belum adanya 
respon dari pemerintah Belanda berkaitan dengan permintaan sisa 
organ Munir, belum diperiksanya saksi penumpang yang duduk di 
samping Munir karena yang bersangkutan berada di Belanda serta 
pemeriksaan atas pengakuan Pollycarpus yang menyatakan bertugas 
sebagai mekanik di Bandara Changi. 
Menanggapi lambannya penuntasan kasus Munir, Ketua Fraksi 
Partai Kesatuan Bangsa, Ali Masykur Musa menyatakan bahwa 
kematian Munir yang diduga dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak 
menyukai aktivitasnya menegakkan HAM di Indonesia, diharapkan 
tuntas sebelum 100 hari pemerintahan  SBY dan JK. Karena proses 
kematiannya menjadi teror bagi para pejuang HAM lainnya dalam 
melaksanakan pembelaan di bidang HAM di Indonesia.
Komisi III DPR RI mentargetkan kasus kematian pejuang HAM Munir 
SH dapat dituntaskan dalam tiga bulan. Sementara Komisi III DPR 
juga akan membentuk tim yang akan mengawasi tim bentukan 
pemerintah dan Polri. DPR menilai Polri dan pemerintah memang 
agak lambat dalam menangani kasus itu, karena kejadian itu bukan 
delik aduan, melainkan kejahatan luar biasa yang harus diantisipasi 
dengan pro-aktif, sebagaimana dinyatakan oleh H Taufiqurrahman 
Saleh, SH92 DPR mendesak Polri segera menentukan batas waktu 
penyidikan kasus Munir, walaupun menghadapi banyak kendala 
dan DPR akan membantu dalam menghadapi kendala–kendala 
ini . Hal ini untuk menghindari berlarut-larutnya kasus Munir, 
sebagaimana disampaikan oleh Slamet Efendi Yusuf. Sementara .Trimedya Panjaitan mempertanyakan polisi yang tidak melakukan 
penyidikan terpusat kepada Pollycarpus, karena mencurigakan 
tiba–tiba ada pilot yang sangat peduli terhadap masalah HAM.
B. Akses TPF Dihalangi : Ada Apa?
Dalam pemeriksaan selanjutnya, Polly sempat dikabarkan 
mempunyai pistol yang didapat dari BIN. Pistol itu berjenis  
P-2 Double Action (P2DA) buatan Pindad. Izin penggunaan pistol 
dikeluarkan oleh BIN sejak 10 Februari 2004 sampai 31 Desember 
2004. Pistol ini  dikeluarkan berdasar  daftar administrasi 
BIN bernomor 210, dengan nomor register AC. 000018xxxx. Pistol 
ini  menurut situs resmi PT Pindad memiliki kaliber 9x19 mm 
dengan beberapa keunggulan seperti, performa tinggi, ketahanan 
tinggi, andal, cocok untuk militer dan polisi. Informasi ini 
sebenarnya dibocorkan ke media dari seorang sumber di kepolisian 
yang enggan disebut namanya.
Pada waktu yang hampir bersamaan, beredar pesan melalui layanan 
pesan singkat (SMS) yang mengabarkan seputar keterlibatan 
Pollycarpus di BIN. SMS ini  berbunyi : 
Pilot Garuda Pollycarpus: Pada bulan 02-2002 direkrut oleh 
Muchdi PR Deputi V BIN sebagai agen utama intelijen negara, 
diangkat dengan skep PR Ka BIN Nomor 113/2/2002. Ia diberi 
senjata api pistol, ditandatangani oleh Serma Nurhadi dan 
diperpanjang oleh Serma Suparto (SPT). Sehari sesudah 
kasus itu, nama Polly muncul di media, yang bersangkutan 
kemudian diminta kembalikan pistol dan hari itu juga, 
seluruh dokumen Polly, dihapus atau dihilangkan. Yang 
memerintah adalah Muchdi PR, SPT dan As’ad, Wa ka BIN. 
Gang of 3 ini yang sebenarnya kuasai BIN. Polly sering ke BIN 
untuk ketemu Muchdi PR untuk merencanakan pembunuhan 
Munir karena takut di luar negeri Munir akan membuka lagi 
kasus penculikan aktifis di akhir orba 1997 lalu. Penyidik 
Polri dan Kepala BIN yang baru (Syamsir Siregar) diduga 
mengetahui keterlibatan ke-3 pejabat BIN ini  dalam 
pembunuhan Munir, tetapi tidak berani mengungkapkannya.
Direktur Keamanan Transnasional Bareskrim Polri Brigjen Pol 
Pranowo Dahlan belum menemukan bukti dugaan keterlibatan tiga 
petinggi BIN yang disebut-sebut terkait dalam peristiwa tewasnya 
Munir, karena Polisi belum memiliki bukti yang menguatkan indikasi 
ini . Pengacara Pollycarpus, Suhardi Somomoeljono, tidak 
mau menanggapi adanya kabar ini . Sebaliknya Suhardi 
malah meminta Polisi untuk melakukan otopsi terhadap Munir, 
untuk mengambil sisa organ di Belanda, dan menyelidiki kepergian 
Munir ke Belanda. 
Sementara itu, Ketua TPF Brigjen Marsudi Hanafi menyampaikan 
dua permintaan penting. pertama, meminta penyidik Polri agar 
memeriksa dua orang operator Closed Circuit Television (CCTV) 
Bandara Soekarno-Hatta yang bertugas pada 6 September 2004. 
kedua, TPF juga meminta penyidik Polri untuk mengadakan 
rekonstruksi kronologis kasus kematian Munir. 
Permintaan pertama TPF ini  sangat penting mengingat PT. 
Angkasapura masih memakai  pengawasan di bandara dengan 
sistem keamanan yang sangat minimal. Yakni hanya ada  dua 
monitor kamera untuk memantau 600 titik di bandara. Itu pun 
memakai  kamera kuno dengan memakai  rekaman kaset, 
yang tidak secara otomatis merekam setiap kejadian di sekitar areal 
bandara. Sistim pengamanan dengan kamera CCTV memakai  
sistem random, ada yang direkam, ada juga yang tidak. Karena alasan 
itulah pihak Angkasa Pura II menjelaskan kepada TPF Munir bahwa 
keberadaan Munir menjelang keberangkatannya pada 6 September di 
bandara tidak terekam oleh kamera CCTV.97 Temuan ini sebenarnya 
menarik dan sangat krusial. Sulit untuk diyakini, sistim pengamanan 
kamera bandara masih seperti itu di tengah ramainya kampanye 
pemerintah dalam menangani kejahatan terorisme. Apalagi areal 
bandara Soekarno Hatta juga pernah mengalami ledakan bom di 
restauran makanan cepat saji, Mc Donald pada 27 April 2003.
Permintaan kedua TPF kepada Penyidik Polri juga amat diperlukan untuk 
memperjelas sekaligus menguatkan keyakinan penyidik atas bukti-
bukti yang telah diperoleh. Khususnya berkenaan dengan masuknya 
racun ke dalam tubuh Munir, kapan dan dimana racun itu masuk ke 
dalam makanan atau minuman yang kemudian dikonsumsi Munir. Lebih 
dari itu, juga untuk mendeteksi siapa saksi yang kemungkinan melihat 
tindakan memasukkan racun ke dalam makanan atau minuman Munir. 
Atas permintaan TPF ini , tampaknya Polisi enggan 
mendengarnya. Bahkan pra rekonstruksi yang semula akan digelar 
penyidik atas permintaan TPF justru dibatalkan. Prarekonstruksi 
yang sedianya akan dilaksanakan pada 23 Februari dibatalkan secara 
tiba-tiba. Alasannya, menurut Direktur I Keamanan Transnasional 
Brigjen Pranowo, karena pihak Garuda belum siap menghadirkan 
semua kru pesawat yang terlibat dalam penerbangan pada hari 
kematian Munir serta belum tersedianya pesawat. 
Walhasil, Penyidik hanya menduga-duga kapan arsen masuk ke 
tubuh Munir. Misalnya penyidik membuat tiga dugaan tentang 
masalah ini , 1) saat penerbangan Jakarta-Singapura; 2) 
transit di Changi; atau 3) sesaat sesudah pesawat take off dari 
Singapura menuju Amsterdam. Dugaan ini tentu sangat umum. 
Seandainya didukung oleh proses rekonstruksi, tentu akan lebih 
kuat. Dugaan selanjutnya dikemukakan oleh Komjen Suyitno 
Landung yang mengatakan, ada saksi mengatakan Munir tidak 
mengkonsumsi apa-apa dalam perjalanan Singapura-Amsterdam. 
Melainkan mengkonsumsi hanya dalam perjalanan Jakarta-
Singapura, seperti mie, orange juice dan buah-buahan. Sementara 
Penyidik masih belum menemukan jawaban proses pada saat transit 
di Singapura dan sesaat sesudah take off. Yang bisa diperkirakan, 
menurutnya, Munir diketahui meninggal dunia, 2 jam sebelum 
mendarat di Amsterdam. Dalam hal ini perjalanan pesawat dari 
Jakarta ke Amsterdam membutuhkan waktu sekitar 13 jam 10 
menit. Jika dikurangi 2 jam sebelum mendarat, maka rentang 
waktu meninggalnya Munir menjadi 11 jam 10 menit. Rentang 
waktu itulah yang didalami Polri untuk memeriksa saksi kunci.
Penundaan pra rekonstruksi ini menurut KontraS sangat 
mencurigakan. Padahal, rencana prarekonstruksi sendiri telah 
dipersiapkan cukup lama. TPF memberi  waktu tiga pekan bagi 
Garuda untuk mempersiapkan pesawat dan kru yang ikut dalam 
penerbangan bersama Munir. Karena itu, seharusnya Garuda 
membebaskan kru yang dibutuhkan untuk prarekontruksi dari 
tugas rutin. Padahal jelas-jelas, prarekonstruksi penting untuk 
memperkuat bukti-bukti permulaan yang sudah diperoleh penyidik, 
sehingga acara pemeriksaan akan dibuktikan secara riil di lapangan, 
misalnya komunikasi kru Garuda dengan Munir. Kontras juga 
menganggap bahwa rekontruksi awal ini merupakan tahapan penting 
untuk mendapatkan bukti akurat guna menguatkan bukti pemulaan 
yang telah diperoleh. Tahapan ini juga penting agar pengungkapan 
kasus ini tidak berlarut-larut, apalagi mengingat hingga kini tak jelas 
siapa tersangkanya.100 Apalagi sebelumnya, rencana pra rekonstruksi 
ini telah dijelaskan oleh Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir 
Brigjen Marsudi Hanafi bahwa “semula prarekontruksi akan dilakukan 
di hanggar pesawat garuda secara tertutup. Waktu pelaksanaan 
sengaja diadakan malam hari karena menyesuaikan dengan waktu 
kejadian, yang memang terjadi di malam hari.Prarekontruksi itu 
antara lain untuk melihat perjalanan Munir saat berada di ruang 
tunggu sampai boarding. Dari rekaman itu, diharapkan bisa tergambar 
apakah saat itu ada situasi yang tidak steril di ruang tunggu Bandara 
Soekarno Hatta.” Sebelum terbang menuju Belanda, Munir berada di 
Terminal II Gate 5. Meskipun sayangnya, keberadaan Munir ini tidak 
didukung oleh sistem pengamanan Bandara yang memadai yang bisa 
mengetahui bagaimana aktifitas Munir saat itu di bandara.
Sekali lagi, pembatalan mendadak ini menimbulkan tanda tanya 
besar bagi publik dan kalangan aktifis organisasi non pemerintah. 
Apalagi kemudian janji penundaan hingga bulan Maret 2005 
tidak dipenuhi. Malah, penyidik menggelar rekonstruksi secara 
diam-diam pada 23 Juni 2005, menjelang hari terakhir masa 
kerja TPF. Rekonstruksi diadakan tanpa sepengetahuan TPF dan 
tanpa diketahui publik. Padahal sebelumnya, TPF dijanjikan untuk 
diberitahukan bahkan diikutsertakan sebagai pemantau dalam 
pelaksanaan rekonstruksi. Disini, kepemimpinan penyidikan oleh 
Brigjen Pol Pranowo Dahlan menjadi dipertanyakan. 
C. Persekongkolan Jahat 
Di awal Maret 2005, dari pertemuan TPF dengan pihak Manajemen 
Garuda (dipimpin langsung Direktur Utama Garuda, Indra Setiawan), 
di kantor Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, telah ditemukan 
fakta bahwa Manajemen PT.Garuda Indonesia tidak melakukan 
investigasi internal terkait dengan terbunuhnya Munir. Menurut Ketua 
TPF, Brigadir Jenderal (Pol) Marsudi Hanafi, investigasi internal ini 
semestinya dilakukan pihak Maskapai Penerbangan, seperti tertuang 
dalam UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Bahkan, 
pihak Garuda, tidak memiliki komitmen untuk membantu proses 
pengungkapan kasus secara cepat. Dari pertemuan itu tersirat bahwa 
ada pihak-pihak tertentu (dari Garuda) yang bersikap defensif.
TPF kasus meninggalnya Munir menyimpulkan ada  beberapa 
bukti materil yang menunjukkan pejabat dan karyawan Garuda 
bersekongkol atau terlibat dalam meninggalnya aktifis HAM Munir. 
Untuk itu, setidaknya tiga tokoh utama dari pihak Garuda sudah 
cukup dijadikan tersangka. Ketiganya adalah Aviation Security 
Garuda Pollycarpus, Vice President Corporation Security Ramelgia 
Anwar dan Dirut Garuda Indra Setiawan.101 Dari dua kali pertemuan 
antara TPF dan manajemen Garuda ditemukan beberapa bukti 
kuat bahwa meninggalnya kasus Munir adalah hasil dari suatu 
kejahatan konspiratif. ada  indikasi kuat terlibatnya oknum 
PT Garuda dan pejabat direksi Garuda baik langsung atau tidak 
dalam meninggalnya Munir. Dari hasil investigasi, TPF mendapatkan 
bukti materil yang menunjukkan pejabat ini  bersekongkol 
dengan cara mengeluarkan surat-surat khusus untuk menutupi 
kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan TPF sebelumnya.
Surat–surat ini  dikeluarkan secara resmi Garuda. Ketiga surat 
ini  sarat dengan kejanggalan. Satu surat  ditandatangani 
sendiri oleh Indra Setiawan, yang kedua oleh Ramelgia Anwar (Vice 
President Corporate Security), dan satu lagi sebuah nota yang 
ditandatangani Sekretaris Kepala Pilot Airbus 330, Rohainil Aini. 
Semuanya berhubungan dengan satu orang, yakni pilot Pollycarpus 
Budihari Priyanto, pilot pesawat Airbus 330, yang sudah 19 tahun 
berkarier di Garuda. Tiga salinan surat yang dimiliki TPF, jelas sekali 
menyebut (ditujukan) untuk pilot Pollycarpus. Surat pertama yang 
ditandatangani Indra Setiawan adalah surat penugasan bertanggal 
11 agustus 2004. Tidaklah lazim penunjukkan seorang pilot untuk 
menjadi tenaga bantuan di unit keamanan perusahaan garuda 
ditandatangani langsung oleh Direktur Utama.
Surat kedua yang dikeluarkan Ramelgia Anwar juga sangat 
mencurigakan. Surat itu mencantumkan tanggal 4 September, dua 
hari sebelum penerbangan pesawat yang ditumpangi Munir. Tanggal 
itu jatuh pada hari sabtu, saat kantor Garuda tutup dan tak mungkin 
mengeluarkan surat sejenis itu. Tapi, sesudah melalui proses interogasi 
polisi, belakangan terungkap, ternyata surat itu sebenarnya 
dibuat pada tanggal 15 September, dan baru ditandatangani 
Ramelgia pada 17 September. Artinya, sepekan lebih sesudah Munir 
meninggal. berdasar  kondisi ini, ada dua kemungkinan, yaitu 
administrasi Garuda yang tidak profesional atau ada usaha  untuk 
menutupi fakta tertentu yang terkait dengan pembunuhan Munir.
Sedangkan selembar surat lainnya, nota bertanggal 6 September itu 
ditandatangani oleh Rohainil Aini. Sebagai sekretaris staf adminitrasi 
jelas ia bukan orang yang memiliki wewenang untuk menandatangani 
surat berisi perubahan jadwal terbang bagi Pollycarpus. Otoritas itu 
ada pada Kepala Pilot Airbus 330, Kapten Karmel S, yang saat  itu 
tengah bertugas di luar negeri. Dari pemeriksaan yang ada, terungkap 
bahwa Polly datang ke kantor pusat Garuda di Jalan Merdeka Selatan, 
Jakarta, menemui Rohainil (6/9) pukul 16.30 WIB. Menjelang tutup 
kantor, Polly mendesak agar dibuat surat “pengubahan jadwal” 
terbang, agar ia bisa ikut naik pesawat GA-974 menuju Singapura 
dan kembali ke Jakarta dengan penerbangan paling pagi.
Dalam pertemuan antara TPF dengan Presiden 3 Maret 2005, Ketua 
TPF Munir, Brigjen Pol Marsudi Hanafi -dalam laporan sementaranya- 
Bagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR88
menyatakan bahwa TPF menyimpulkan ada  cukup bukti kuat 
peristiwa meninggalnya Munir merupakan hasil satu kejahatan 
konspiratif yang tidak mungkin dilakukan perseorangan dengan 
motif pribadi. Indikasinya ada persekongkolan antara pimpinan 
Garuda dalam menutup-nutupi, berdasar  beberapa kejanggalan 
yang berhubungan pada tanggal 6 September 2004 dengan pihak 
– pihak di balik Garuda. 
Selain itu ditemukan beberapa fakta yang saling berhubungan 
yang mengaitkan antara BIN dengan meninggalnya Munir. Namun 
pihaknya masih merahasiakan beberapa fakta yang mengaitkan 
BIN dengan meninggalnya Munir. TPF memfokuskan diri pada 
pihak di balik pelaku di lapangan. TPF sendiri sebelum bertemu 
dengan SBY sudah menjadwalkan pertemuan dengan BIN, namun 
belum ada tanggal pastinya.103 TPF merekomendasikan adanya 
pemeriksaan terhadap para 4 orang direksi Garuda serta 2 orang 
petugas operator rekam untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Sementara itu, Presiden SBY melalui Mensesneg Yusril Ihza 
Mahendra menyatakan bahwa pengungkapan kasus Munir akan 
menjadi indikator perubahan bangsa ini. Ia  menghargai kerja keras 
tim untuk membantu penyidikan Polri dan mempersilakan TPF 
Munir meminta keterangan dari semua institusi dan badan negara, 
termasuk BIN bila diperlukan. Pemerintah tidak akan mencampuri. 
Tetapi memberi  kebebasan dan mendukung sepenuhnya.104  
Sore harinya, TPF melakukan pertemuan dengan Tim Penyidik Mabes 
Polri. TPF juga meyakini bahwa Tim Penyidik Polri akan menetapkan 
tersangka. Tim penyidik telah menemukan kejanggalan-kejanggalan 
dari dokumentasi dan penugasan kru Garuda di pesawat GA 974 yang 
sesuai dengan temuan TPF. Namun penyidik belum juga menetapkan 
tersangka karena masih mengumpulkan bukti–bukti yang kuat sesuai 
dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Kapolri Jenderal Polisi Da’i Bachtiar menegaskan, akan melakukan 
evaluasi secara mendalam terhadap informasi yang diberikan TPF 
yang menyatakan adanya keterlibatan pejabat Garuda dengan 
kematian aktifis HAM ini . Da’i juga menegaskan, sejauh ini 
pihak penyidik tidak akan menetapkan status tersangka terhadap 
siapa pun sebelum penyidik berhasil mengambil keterangan seluruh 
saksi, yakni semua penumpang yang berada di pesawat dengan 
rute Jakarta-Singapura-Amsterdam pada 6 September 2004, lalu. 
Langkah ini dilakukan agar pihak kepolisian memiliki seluruh data 
informasi yang lengkap sebelum diputuskannya status tersangka. Da’i 
mengaku orang yang patut diduga itu belum diketahui apa perannya 
dalam kematian Munir, tapi setidaknya ada dugaan, ada sesuatu 
yang disembunyikan atau perlu dipertanyakan hingga patut diduga 
yang bersangkutan terkait dengan meninggalnya Munir. Namun 
laporan TPF ini  merupakan hasil keterangan lebih lanjut dari 
keterangan jajaran direksi Garuda yang perlu dikaji lagi atau perlu 
didalami lebih lanjut berkaitan dengan proses penegakan hukum.
Sementara itu, DPR melalui Tim Gabungan Kasus Munir DPR 
memanggil direksi Garuda beserta seluruh kru yang bertugas 
saat Munir meninggal dalam pesawat, guna meminta keterangan 
pihak Garuda berkaitan dengan meninggalnya Munir. Pertemuan 
itu dilakukan secara tertutup. Dalam keterangan kepada pers, 
Dirut Garuda Indra Setiawan membantah soal tudingan dirinya 
dan jajarannya terlibat dalam kasus tewasnya Munir seperti 
yang diungkapkan TPF. Namun Indra membenarkan soal surat 
penugasan Pollycarpus sebagai Aviation Security Garuda yang 
dikeluarkannya. Adanya nomor ganda dalam surat penugasan 
Pollycarpus, berkaitan dengan masalah administrasi.
Tim Gabungan Kasus Munir juga memanggil Pollycarpus 
dalam sebuah pertemuan tertutup, sebagai tindak lanjut dari 
pertemuan dengan Dirut Garuda. Namun Slamet Effendy Yusuf 
menyatakan DPR tidak puas dengan jawaban Pollycarpus yang 
dianggap berbelit-belit. DPR mempertanyakan tugas Polly pergi 
ke Singapura pada malam itu, secara umum apa tugas Polly 
sejak tanggal 11 Agustus 2004, apa yang dilakukan Polly dalam 
pergaulannya dengan beberapa orang di Jakarta, serta tentang 
kejadian-kejadian yang menimpa Polly seperti masalah tabrak 
lari yang pernah diderita oleh Polly. Jawaban yang didapatkan 
bukanlah jawaban yang cerdas, layaknya jawaban seorang pilot. 
Selain itu, Polly juga mengaku telah meminta kepada salah 
seorang pramugari, Brahmani untuk memindahkan Munir dari 
kelas ekonomi ke kelas bisnis. DPR juga meragukan keterangan 
Polly yang menyatakan bahwa tugasnya ke Singapura sebagai 
Aviation Security itu dijalankan hanya dengan melakukan 
pertemuan saja dengan teknisi Garuda yang ada di Singapura, 
tapi tidak melakukan pengecekan terhadap pesawat yang 
bersangkutan.
D. Penetapan Tersangka Pollycarpus: Cukup Disini?
Sedianya, Polri akan melakukan pemeriksaan intensif terhadap 
Polly, 10 Maret 2005. Namun pemeriksaan itu urung terjadi, karena 
Polly mengalami sakit –dilengkapi dengan surat keterangan istirahat 
dari dokter, berkop Garuda Sentra Medika dan logo Garuda-. 
Namun, keterangan itu diragukan Polri karena tidak menjelaskan 
sakit yang diderita Polly. Untuk itu  Polri akan mengirimkan tim 
khusus (termasuk dokter kepolisian), serta menyiapkan lie detector 
(alat uji kebohongan) jika Polly tidak kooperatif. Akhirnya 
pada 14 Maret 2005, Polly mulai diperiksa di Mabes Polri, sesudah 
sebelumnya dibawa oleh Polri ke Rumah Sakit Polri 12 Maret 
2005, karena penyempitan pembuluh darah sesudah mengalami 
kecelakaan di Jl. Raya Pondok Cabe tiga minggu sebelumnya.  
Dan sesudah memeriksa secara maraton selama lima hari –melalui 
pemeriksaan kesehatan, psikis, maupun aktivitasnya-, pada Jum’at 
(18/03) malam tim penyidik Mabes Polri menetapkan Pollycarpus 
Budihari Priyanto, pilot Garuda, sebagai tersangka dan menahan 
Pollycarpus di rumah tahanan Mabes Polri. 
Kepala Polri Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar menyatakan ada indikasi 
Pollycarpus memberi  keterangan yang tidak sesuai dengan 
keadaan sebenarnya, ada sesuatu yang disembunyikan, dan hal inilah 
yang menjadi indikator bagi penyidik bahwa diperlukan pendalaman 
lagi untuk penyelidikan. Sejauh ini, atas dasar ‘ada sesuatu yang 
disembunyikan’ polisi menyakini bahwa Pollycarpus terlibat dengan 
kematian Munir. Ia hanya berperan membantu dan menyediakan 
fasilitas, namun ia tidak menyebutkan eksekutornya. Akan tetapi, 
Direktur Kriminal Umum dan Transnasional Kepolisian Negara RI (Polri) 
Brigadir Jenderal (Pol) Pranowo Dahlan dan Penyidik Utama Unit III 
Bareskrim Mabes Polri Kombes Pol. Anton Charlian menegaskan, 
polisi memiliki bukti kuat untuk menetapkan Pollycarpus sebagai 
tersangka. Dimana, tersangka melakukan pelanggaran pasal 340 
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan 
berencana, junto pasal 55 dan 56 KUHP, plus sangkaan subsider 
berupa pelanggaran pasal 263 KUHP, tentang pemalsuan dokumen. 
Dasar-dasar penetapan yang bersangkutan, antara lain adanya 
laporan polisi, keterangan saksi, visum dan bukti material.
Sementara itu, Mabes Polri kembali memeriksa Sekretaris Chief 
Pilot Airbus  PT Garuda Indonesia, Rohainil Aini, sebagai 
saksi kunci terkait dugaan pemalsuan dalam surat penugasan 
Pollycarpus Budihari Priyanto. Mabes Polri menduga semua surat 
tugas Pollycarpus dalam penerbangan Garuda, 6 September 2005 
ke Belanda yang ditumpangi Munir, semua palsu. TPF kasus Munir 
mengindikasikan Rohainil Aini terkait langsung dengan meninggalnya 
Munir. Rohainil merupakan orang yang menandatangani surat 
penugasan Pollycarpus untuk menjadi Aviation Security di pesawat 
Garuda  rute Jakarta-Singapura-Amsterdam, 6 September 
2004. Padahal prosedur penerbangan mengatur seorang pilot 
diperbolehkan terbang atau tidak jika mendapatkan surat 
penugasan dari kepala pilot. Jika tidak disertai surat penugasan 
itu, penerbangannnya disebut ilegal atau pelanggaran.
Selain itu, berdasar  rekomendasi TPF, Polri memeriksa Vice 
President Human Resource Department Daan Ahmad, terkait 
dengan pembuatan surat tugas Pollycarpus. Ia pernah melaksanakan 
tugas dari Ramelgia Anwar (VP Corporate Security), yang 
menandatangani surat tugas Pollycarpus. Padahal semestinya surat 
tugas Polly ditandatangani oleh Direktur Operasional Garuda, Rudi 
A Hardono.  Lebih dari itu, menurut TPF, surat Ramelgia Anwar 
ternyata dibuat mundur. 
sesudah Pilot Garuda Pollycarpus ditetapkan sebagai tersangka, 
penyidik Mabes Polri menetapkan status yang sama terhadap dua 
awak garuda, Oedi Irianto selaku petugas pantry dan Yeti Susmiarti 
sebagai pramugari pada penerbangan Garuda GA 974. Keduanya, 
pada 6 April 2005 menjalani pemeriksaan di Mabes Polri. Mereka 
ditetapkan sebagai tersangka karena mereka bertugas mempersiapkan 
segala sesuatu/makanan dan minuman untuk penumpang, termasuk 
untuk almarhum Munir. Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) 
Mabes Polri Komjen Pol Suyitno Landung menjelaskan racun arsen 
masuk ketubuh Munir, diduga pada penerbangan Jakarta-Singapura 
sesuai dengan toksiologi dari pakar Belanda dan Indonesia. Meski 
belum bisa dipastikan apakah racun ini  ada  pada mie 
goreng atau orange juice yang disantap Munir. Namun, Oedi dan 
Yeti tidak ditahan oleh penyidik Bareskrim Polri karena yakin bahwa 
kedua tersangka tidak akan melarikan diri. 
Sedangkan TPF Kasus Munir meminta Kepolisian RI mempertimbangkan 
penetapan Brahmanie Astawati-pramugari senior (purser) yang juga 
bertugas pada penerbangan GA 974 sebagai tersangka. Alasan dari 
TPF, Brahmani-lah yang mengizinkan penukaran tampat duduk 
bagi Munir saat perjalanan Jakarta-Singapura. Brahmanie sendiri 
menegaskan, ia tidak pernah dimintai izin oleh Pollycarpus untuk 
memindahkan tempat duduk almarhum dari nomor 40 G (klas 
ekonomi) ke 3K (klas Bisnis). Menurutnya, Polly hanya memberitahu 
tentang pemindahan tempat duduk ini . Brahmanie mengaku 
ia tidak kuasa menolak pemindahan seat oleh Polly, meskipun Polly 
tidak berwenang. Sebab, saat  itu Munir sudah duduk di seat 
bisnis. Selain itu, ada satu alasan yang bisa dirasakan para awak 
kabin seperti dia, yakni bahwa pilot ibarat ‘warga kelas satu’ di 
maskapai penerbangan. Ia juga menolak keras jika dinilai terlibat 
dalam konspirasi pembunuhan Munir. Selain itu, ia hanya bertugas 
sebagai flight service manager dari Jakarta sampai Singapura, 
sementara yang bertugas menggantikannya untuk penerbangan 
Singapura-Jakarta adalah Najib Nasution. Brahmanie juga 
menyatakan, sehari sebelum keberangkatan, awak kabin menerima 
pesanan moslem meal (makanan muslim) untuk kursi 40G kelas 
ekonomi, yang merupakan kursi ‘asli’ Munir, namun ia mengaku 
tidak tahu siapa yang memesan makanan ini . 
Sementara itu, Ketua TPF Munir, Brigjen Marsudhi Hanafi mengusulkan 
Indra Setiawan dan Ramelgia Anwar untuk menjadi tersangka, 
karena terlibat dalam pembuatan surat palsu. Untuk itu, tim 
penyidik Mabes Polri memeriksa semua awak Garuda, termasuk 
Indra Setiawan, Ramelgia Anwar, Rohainil Anwar, Hermawan dan Edi 
Susanto pada 8 April 2005.Berkaitan dengan hal ini , Ketua 
TPF Marsudhi menyatakan mempercayakan penyelidikan kepada 
kepolisian, karena tugas TPF hanyalah merekomendasikan beberapa 
nama yang kemudian akan ditindaklanjuti oleh polisi.
E. Dugaan Keterlibatan Intelijen
TPF mendesak penyidik Polri segera menetapkan beberapa nama 
yang diduga kuat sebagai tersangka, baik dari pihak pejabat teras 
di Garuda. Hal ini dilakukan agar TPF dapat melangkah lebih jauh 
untuk menelusuri keterlibatan BIN dalam pembunuhan Munir.  
Pertengahan Maret 2005, TPF mendapatkan beberapa informasi dari 
sumber-sumber yang dirahasiakan, mengenai dugaan keterlibatan 
(setidaknya mengetahui), dari beberapa aparat intelijen dalam 
kasus pembunuhan Munir. TPF menganggap bahwa informasi itu 
terlalu penting untuk diabaikan, namun terlalu berbahaya untuk 
dipercayai begitu saja. Penting, karena informasi itu memperkuat 
salah satu dari kemungkinan motif pembunuhan Munir. Berbahaya, 
karena informasi itu peka disampaikan oleh pihak-pihak yang 
merahasiakan identitasnya untuk tujuan yang tidak diketahui. 
Karenanya, untuk memastikan informasi itu adalah sebuah petunjuk 
bagi investigasi kasus pembunuhan Munir atau informasi yang 
justru menyesatkan, TPF menilai perlu untuk mengecek kebenaran  
informasi ini . Termasuk pula didalamnya mengecek informasi 
mengenai keterlibatan lembaga intelijen dalam kasus pembunuhan 
Munir, dimana BIN adalah salah satu lembaga yang perlu diperiksa. 
TPF mengharapkan, semua pihak yang mengetahui atau memiliki 
informasi atau bukti-bukti tambahan yang tersembunyi mengenai 
kasus Munir untuk menyerahkannya kepada TPF. Selama kasus ini 
menjadi misteri dan tak bisa diungkap, selama itu pula banyak 
pihak, termasuk didalamnya TNI dan beberapa perwira tinggi 
lainnya, baik yang masih aktif atau telah punarwirawan, akan 
mendapatkan sorotan yang sama sekali tidak menguntungkan.
Kapolri Jend Pol. Dai Bachtiar menegaskan Polri tidak ada 
masalah dalam pemeriksaan Intelijen yang diduga terkait dalam 
pembunuhan Munir. Ia tetap mempelajari rekomendasi TPF dan 
akan melakukan penyelidikan lebih lanjut jika rekomendasi TPF 
cukup akurat. Kepal BIN Syamsir Siregar menyatakan bahwa BIN 
siap diperiksa serta tidak ada kesulitan dari pihak manapun untuk 
bertemu dengan pejabat BIN. Mengenai dugaan keterlibatan 
BIN, ia meminta pihak – pihak yang terkait tidak menduga-duga, 
melainkan memberi  bukti keterlibatan BIN atas meninggalnya 
Munir. Ia membantah BIN diminta memberi klarifikasi atas tuduhan 
itu, karena TPF belum memberi  bukti keterlibatan BIN.  
Sementara itu, pertemuan dengan BIN tertunda beberapa kali. 
Menurut anggota TPF Rachland Nashidik, surat undangan kepada 
Kepala BIN tidak terlalu digubris, sehingga pertemuan-pertemuan 
itu urung tertunda. TPF menyesalkan sikap Syamsir, karena 
seringkali alasan pembatalan itu tidak dijelaskan secara detil oleh 
pihak BIN. Sebenarnya TPF hanya ingin meminta komitmen BIN agar 
mau melakukan kerjasama yang penuh dengan TPF dan memberi  
hal-hal yang dibutuhkan TPF, serta mengusulkan mekanisme 
kerjasama antara TPF dan BIN dalam proses penyelidikan kasus 
Munir. Selain itu, Usman Hamid menyatakan bahwa pertemuan 
ini untuk mendorong BIN melakukan penyelidikan internal terlebih 
dahulu terhadap anggotanya yang diduga terlibat.
Pertemuan antara TPF dengan BIN akhirnya terjadi pada 6 April 
2005. Kepala BIN Syamsir Siregar menyatakan komitmennya untuk 
mendukung kerja TPF dalam menuntaskan kasus meninggalnya Munir. 
Dukungan ini  akan segera dituangkan dalam nota kesepahaman 
bersama untuk kerja sama berikutnya. Sekretaris TPF Usman Hamid 
mengatakan, pertemuan dengan Kepala BIN yang berlangsung 
sekitar 1,5 jam dan hasilnya cukup positif. Bahkan Kepala BIN sudah 
menyatakan komitmennya guna mendukung kerja sama dengan 
TPF. Dukungan itu akan dituangkan dalam pembuatan protokol 
atau kesepahaman bersama untuk kerja sama berikutnya. BIN juga 
menempatkan tiga deputi-nya bergabung dalam tim khusus bersama 
dengan empat orang anggota TPF, yang akan menyusun protokol 
(semacam prosedur) untuk penyelidikan kasus kematian Munir.
Menyikapi hal ini , Persiden SBY menyetujui pembentukan 
tim gabungan antara BIN dan TPF untuk mengungkap kematian 
Munir. Mengenai pembentukan tim gabungan untuk kasus Munir, 
Syamsir menjelaskan bahwa hal ini  merupakan komitmen 
dari pihak BIN untuk membantu. Ia menyerahkan kepada TPF untuk 
menetapkan mekanisme dan pola kerja antara wakil dari BIN dan 
TPF.128 Namun ia membantah kabar adanya SK No. SKEP 113/2/2002 
tentang pengangkatan Pollycarpus sebagai agen BIN karena tidak 
ada bukti otentik. 
Namun kesepakatan TPF dan BIN tidak berjalan dengan baik. 
usaha  TPF untuk memeriksa pejabat dan anggota BIN terganjal 
berbagai kendala. TPF melakukan 3 kali pemanggilan pemeriksaan 
saksi terhadap Mantan Sekretaris Utama BIN yang kini menjadi 
Duta Besar Indonesia untuk Republik Federasi Nigeria, Nurhadi 
Djazuli. Penolakan Nurhadi untuk memenuhi panggilan TPF karena 
ia menilai TPF tidak berwenang melakukan penyelidikan yang 
merupakan wewenang Kepolisian Negara RI.
Ketua TPF Marsudi Hanafi menilai penolakan Nurhadi menunjukkan 
sikap yang tidak kooperatif serta menghina Presiden karena TPF 
bekerja berdasar  Keppres. Karena itu, anggota TPF Asmara 
Nababan mengusulkan adanya pertemuan antara Presiden, TPF, BIN 
dan Kapolri untuk mencari solusi agar kinerja TPF dapat berjalan 
efektif. Pertemuan ini juga diharapkan dapat memperlancar 
kerjasama dengan BIN sehingga mempercepat proses pencarian 
fakta. Hal ini  didukung Kapolri Jenderal Dai Bachtiar, 
walaupun ia mempertanyakan apakah pertemuan ini  bisa 
mendukung penyidikan yang dilakukan. Sejauh ini, tim penyidik 
mengalami kesulitan dalam proses kesaksian.
Protokol kerjasama antara TPF dan BIN akhirnya ditandatangani 
2 Mei 2005. Protokol ini pula yang menjadi alat pengikat bagi 
Nurhadi Djazuli untuk tidak menghindar dari panggilan TPF, karena 
diduga adanya indikasi mantan sekretaris BIN ini  dalam 
pembunuhan Munir. Nurhadi akhirnya hadir dalam pemeriksaan 
dengan TPF 8 Mei 2005 di kantor TPF, Komnas Perempuan, Jakarta. 
Dari pemeriksaan tertutup ini , TPF mengatakan bahwa TPF 
semakin yakin tentang adanya keterlibatan aparat BIN atau mantan 
BIN dalam pembunuhan Munir. Hal ini dapat menjadi pintu masuk 
untuk menelusuri fakta-fakta tentang dugaan yang telah dimiliki 
TPF berkenaan dengan adanya indikasi ini  Menanggapi 
hal ini , Kepala BIN Syamsir Siregar menyerahkan semuanya 
pada TPF. Sementara itu, Kepolisian RI juga memeriksa Nurhadi 
Djazuli, guna membandingkan temuan tim penyidik dengan TPF, 
termasuk mencari keterkaitan Pollycarpus, tersangka kasus Munir 
dengan BIN. sesudah dikonfrontir, baik Nurhadi maupun Pollycarpus 
mengaku tidak saling kenal.
F. Deputy V BIN Muchdi PR
Berkaitan dengan perkembangan atas pemanggilan Nurhadi, TPF 
Munir melaporkan hasil perkembangan penyelidikan kepada Presiden 
SBY pada 11 Mei 2005. TPF juga melaporkan rencana pemeriksaan 
anggota BIN lainnya, tetapi belum mendapat kepastian waktu. 
Terhambatnya berbagai pertemuan TPF dengan BIN akhirnya 
mendorong Presiden untuk memimpin langsung pertemuan antara 
TPF, BIN dan Mabes Polri. Sebagai persiapan pertemuan segiempat 
ini , SBY menggelar rapat koordinasi mendadak dengan Kapolri 
Jenderal Pol Da’i Bachtiar, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, serta 
Menkum dan HAM Hamid Awaluddin. Rapat itu juga dilakukan untuk 
mengambil langkah sebagai tindak lanjut usulan dari DPR mengenai 
pengungkapan kasus Munir, serta menginstruksikan kepada seluruh 
pejabat dan instansi terkait untuk mendukung segala usaha  TPF 
untuk mengumpulkan keterangan mengenai kematian aktivis HAM 
Munir. SBY merasa belum puas dengan kemajuan yang dicapai TPF 
sejauh ini belum juga menunjukkan hasil yang signifikan.
Menindaklanjuti pemeriksaan terhadap anggota BIN, TPF 
mendatangi Kantor BIN, 12 Mei 2005. TPF mengatakan akan 
memeriksa beberapa dokumen terkait dengan prosedur dan aturan 
di BIN serta menindaklanjuti hasil pertemuan tim dengan Nurhadi.  
TPF juga melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap Nurhadi, untuk 
memperdalam hasil temuan awal, dan akan menindaklanjutinya dalam 
3 tahapan. Yaitu mendalami keterangan-keterangan Nurhadi, meng-
cross check- seluruh keterangan Nurhadi, baik pada pemeriksaan 
pertama dan kedua, dengan saksi lain, informasi dan petunjuk lain 
yang dimiliki TPF Munir, termasuk dibandingkan dengan keterangan 
Nurhadi saat  diperiksa di Kepolisian, serta hasil keterangan 
Nurhadi dalam berkas acara pidana (BAP) yang dimiliki polisi.
Presiden menggelar pertemuan segiempat antara Presiden, TPF 
Munir, Polri dan BIN pada 18 Mei 2005. TPF juga melaporkan 
temuannya, berupa kesimpulan adanya keterangan-keterangan 
pejabat BIN yang bertentangan dengan fakta yang ada.
sesudah pertemuan ini , Wakil Ketua TPF Asmara Nababan 
mengatakan bahwa TPF kasus Munir mempertimbangkan untuk 
memeriksa mantan Kepala BIN Hendropriyono dan Mantan Deputi V 
BIN Muchdi PR. TPF menemukan fakta adanya sambungan telepon 
dari nomor telepon milik Pollycarpus dengan Kantor BIN di masa 
kepemimpinan Hendropriyono, yaitu adanya sambungan telepon 
antara Polly dengan kantor Deputi V BIN yang waktu itu dijabat 
oleh Muhdi PR. TPF menemukan fakta sambungan telepon antara 
Polly dan Muhdi itu berlangsung sebelum dan sesudah aktivis HAM 
Munir tewas pada 7 September 2004. Terlacak puluhan kali kontak 
sambungan telepon antara keduanya. Meski belum diketahui pola 
hubungan keduanya, setidaknya fakta ini telah menggugurkan 
semua bantahan BIN sebelumnya yang menyatakan tidak memiliki 
kaitan apa pun dengan Polly. Kasus kematian Munir bisa dibawa ke 
pengadilan untuk membongkar dan membuktikan pemberi perintah 
serta pendukung pembunuhan. Ia memastikan, pembunuhan di 
atas pesawat Garuda Singapura-Amsterdam itu tidak dilakukan 
Pollycarpus secara pribadi, namun dilakukan secara konspirasi atau 
persekongkolan. 
Sementara itu dalam pertemuan TPF dengan Tim Munir DPR pada 
19 Mei 2005, TPF juga menilai bahwa BIN tidak kooperatif dalam 
pengungkapan kasus terbunuhnya Munir. Dalam menjalankan 
tugas, tim yang dibentuk lewat keputusan Presiden itu menghadapi 
perlakuan yang dinilai menyulitkan dari BIN. Dalam pertemuan 
yang dipandu Wakil Ketua Tim Munir DPR Slamet Effendy Yusuf 
itu, juga mengemuka kendala anggaran dana karena anggaran 
dari pemerintah yang juga belum turun untuk tim TPF ini. Dalam 
hubungannya dengan BIN, TPF merasa menemui beberapa hambatan, 
diantaranya untuk mendapatkan dokumen serah terima jabatan 
mantan Sekretaris Utama BIN Nurhadi Djazuli kepada Sekretaris 
Utama BIN Suparto. Untuk itu, TPF mengharapkan perhatian 
DPR untuk mendorong agar apa yang telah disepakati pimpinan 
BIN dengan TPF juga dapat diimplementasikan stafnya. Belajar 
dari kasus ini, seorang anggota TPF juga mengusulkan kepada 
DPR agar merestrukturisasi lembaga intelijen, termasuk soal 
pertanggungjawaban yang ketat atas sebuah operasi intelijen.
Polri sendiri telah memeriksa Muchdi PR pada 18 Mei 2005, sesudah 
sebelumnya dijadwalkan pada 16 Mei 2005.
 Namun, 3 Juni 2005 
Muchdi PR tidak hadir memenuhi penggilan TPF tanpa alasan yang 
jelas. Sedianya TPF akan melakukan konfirmasi mengenai hasil 
penelusuran telepon antara Muchdi dengan Polly. Dari penelusuran 
itu, ditemukan adanya saling kontak antara keduanya sebanyak 
35 kali, baik sebelum maupun sesudah Munir tewas, 7 September 
2004 lalu. 
Namun demikian, hingga laporan ini ditulis, tidak nampak adanya 
pemeriksaan intensif ataupun pengusutan yang serius untuk 
membongkar lebih jauh kemungkinan peran Deputy V BIN Muchdi 
PR dalam persekongkolan jahat membunuh Munir. Bertolak dari 
dugaan keterlibatan pejabat teras di BIN ini TPF kemudian meminta 
keterangan bekas Kepala BIN AM Hendopriyono. Langkah TPF 
ini  memperoleh dukungan publik luar biasa karena memang 
amat masuk akal mengingat dinamika perkembangan pengusutan 
yang ada. 
G. Mantan Kepala BIN AM Hendropriyono Terkait Kasus 
Munir?
Meski TPF menghadapi batu sandungan, diantaranya keenganan 
BIN diawal untuk membuka akses penyelidikan TPF ke dalam BIN, 
pembuatan protokol bersama BIN – TPF yang memakan waktu yang 
lama, hingga resistensi beberapa (mantan) anggota BIN untuk 
dimintai keterangan, penyelidikan TPF tetap berlanjut sampai ke 
arah Hendropriyono, mantan Kepala BIN yang saat Munir meninggal 
masih menjabat posisi ini . usaha  ini memang diperlukan, untuk 
benar-benar memastikan sejauh mana keterlibatan BIN dalam kasus 
pembunuhan Munir. Apalagi sesudah TPF mengidentifikasi adanya 
kontak intensif berupa komunikasi antara Pollycarpus dan Muchdi 
Pr yang menjabat Deputi V BIN saat Munir meninggal. Komunikasi 
yang terjadi sebelum dan sesudah kematian Munir ini  
dilakukan antar telepon genggam, telepon rumah dan kantor BIN.
Sebelumnya nama-nama pejabat/mantan pejabat BIN yang 
masuk daftar TPF untuk dimintai keterangannya adalah Nurhadi 
Djazuli  (mantan Sekretaris Utama BIN), Kolonel (Mar) Sumarno 
(Kepala Biro Umum BIN), dan  Mayjen (Purn) Muchdi PR (Deputi 
V BIN). Meski TPF sendiri menghadapi resistensi, pemeriksaan 
terhadap Hendropriyono tetap penting untuk dilakukan. Apalagi 
Hendropriyono (dan Muchdi PR) memiliki pengalaman sejarah 
yang “tidak baik” dengan Munir. Selain sebagai konsekwensi logis 
dari penelusuran investigasi TPF, munculnya nama Hendropriyono 
sendiri tidak terlalu mengejutkan bagi kalangan dekat Munir.  
Secara politik, Munir dan Hendropriyono memiliki ketegangan 
berkaitan dengan beberapa kasus; di mulai dari advokasi kasus 
Talangsari, Lampung hingga yang terakhir tentang peran BIN dalam 
hal tidak diperpanjangnya izin tinggal dan kerja Sidney Jones, 
Direktur International Crisis Group (ICG), sebuah lembaga berbasis 
di Belgia yang pernah mengeluarkan laporan terkait dengan peran 
intelijen dalam beberapa masalah sensitif di luar fungsinya. Isu yang 
terakhir ini juga bersamaan dengan bersitegangnya Munir dengan 
Kepala BIN Hendropriyono, seputar pernyataan dan laporan BIN 
tentang 20 LSM yang dituduh menjual Indonesia ke pihak asing. 
Ketegangan ini bermula dari pemberitaan seputar laporan BIN 
kepada Presiden Megawati dan DPR perihal adanya 20 LSM dan 
aktifis yang dituduh ingin mengacaukan Pemilihan Umum tahun 
2004. Dalam pertemuan itu dikabarkan Kepala BIN menyebut secara 
eksplisit nama Sidney Jones, peneliti ICG serta ELSHAM Papua, 
sebuah lembaga HAM di Papua sebagai contoh diantara jumlah yang 
disebutkan. Dari pemberitaan juga berkembang tentang sikap Kepala 
BIN Hendropriyono seputar deportasi Sidney Jones, seorang peneliti 
dari ICG dengan alasan laporan ICG menjelek-jelekan pemerintah 
Indonesia. “Pekerjaan kita akhirnya cuma menjawab pertanyaan 
dari internasional,” kata Kepala BIN dalam sebuah wawancara. 
Sidney Jones memang dikenal sebagai peneliti dan aktivis yang sangat 
kritis terhadap pelbagai masalah keamanan dalam negeri Indonesia 
termasuk menyangkut intelijen dalam operasi di Aceh, Papua, Poso, 
dan proyek anti terorisme. Begitupula ELSHAM Papua, yang dikenal 
aktif bekerja di masyarakat Papua seputar permasalahan kekerasan 
dan pelanggaran HAM di Papua hingga kepentingan bisnis dan politik 
kelompok tertentu dibalik peristiwa-peristiwa itu.
H. Kecaman Publik
 
beberapa tokoh masyarakat seperti Nurcholis Madjid (Cak Nur) dan 
berbagai organisasi masyarakat sipil kemudian bereaksi terhadap 
sikap Hendropriyono dan menantang Kepala BIN Hendropriyono 
untuk membeberkan kebenaran laporan ini . Hendropriyono 
sendiri mengeluarkan pernyataan balasan bahwa mereka yang 
membela Sidney Jones juga merupakan penghianat bangsa.  
Hendropriyono kemudian menjelaskan bahwa mereka tidak akan 
dibiarkan, akan ada tindakan yang diambil terhadap mereka. Munir 
sendiri saat itu termasuk orang yang membela Sidney Jones dan 
merasa pernyataan Hendropriyono tertuju ke dirinya.
Keterkaitan BIN dalam kasus pembunuhan Munir amat menarik 
mengingat hingga menjelang berangkat, Munir sendiri masih percaya 
bahwa karena sikapnya itu ia dicekal oleh BIN. Sebelumnya, 
Munir terlibat aktif dalam mengkritisi bahkan “menjegal” usaha  
penguatan kewenangan BIN secara luar biasa melalui rancangan 
undang-undang, mulai dari keinginan BIN agar diberi wewenang 
menangkap dan menahan orang yang dicurigai, sumber pendanaan  
non APBN, wewenang pemberian izin penggunaan senjata api, 
hingga perluasan struktur BIN hingga ke tingkat desa.
Kembali pada perkembangan kerja TPF yang ingin memperoleh 
keterangan dari bekas Kepala BIN, pemanggilan Hendropriyono 
menjadi penting mengingat ada indikasi bahwa Pollycarpus 
berhubungan dengan institusi ini . Hal ini disampaikan oleh 
TPF dalam acara jumpa pers sesudah menghadap Presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono, pada tanggal 18 Mei 2005 di Istana Negara.

I. TPF Berakhir: Unfinished Agenda?
Menjelang hari terakhir masa kerja TPF, Polri secara diam-diam 
akhirya menggelar sebuah rekonstruksi -hal yang telah lama diminta 
TPF- di Hanggar II Garuda Maintenance Facility (GMF) Bandara 
Soekarno Hatta, 23 Juni 2006. Rekonstruksi ini dihadiri oleh para 
tersangka yaitu Pollycarpus, Oedi Irianto dan Yeti Susmiati, dengan 
memakai  pesawat Garuda Boeing 737.156 Dinyatakan oleh 
Direktur I Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Pol Pranowo Dahlan, 
bahwa rekonstruksi sengaja dilakukan secara tertutup demi 
kepentingan kelancaran jalannya proses rekonstruksi.157
sesudah sebelumnya diperpanjang pada 23 April 2005, masa kerja 
TPF berakhir 23 Juni 2005. TPF melaporkan hasil kerjanya kepada 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Laporan TPF memuat 3 poin 
rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah. Pertama, 
pembunuhan Munir tidak melibatkan satu dua orang sehingga pihak-
pihak tertentu di lingkungan Garuda dan Badan Intelijen Negara 
yang terlibat dalam konspirasin pembunuhan terhadap Munir harus 
diperiksa secara intensif. Kedua, proses pengusutan kasus Munir 
terhambat oleh faktor internal di tubuh Polri sehingga diperlukan 
langkah konkret berupa audit kinerja Polri dalam penanganan kasus 
Munir. Ketiga, perlu dibentuk sebuah kelembagaan baru yang berada 
dibawah langsung Presiden untuk meneruskan langkah-langkah 
yang ditempuh TPF sekaligus sebagai bentuk kelanjutan komitmen 
Presiden mengungkap kasus pembunuhan terhadap Munir.
Dalam penyampaian laporan TPF, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi 
mengeluarkan pernyataan bahwa institusi TNI mulai dari Mabes 
hingga regu di kesatuan tidak terlibat. Selanjutnya Sudi Silalahi 
menyatakan, pemerintah akan mengolah dan menindaklanjuti 
rekomendasi TPF dalam waktu singkat untuk mengambil langkah-
langkah konkret berkaitan dengan kasus kematian Munir.158 Sudi 
Silalahi kemudian menjelaskan, Presiden juga mendistribusikan 
laporan TPF ke para Menteri dan pejabat setingkat menteri 
terkait, yaitu Kapolda Jenderal Dai Bachtiar, Jaksa Agung Abdul 
Rahman Saleh, Kepala BIN Syamsir Siregar, Menkum dan HAM Hamid 
Awaluddin dan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto.159 
156 “Rekonstruksi Kasus Munir Digelar di Bandara Soekarno Hatta”, www.detik.com, 23 Juni 
2005.
157 Rekonstruksi Kasus Munir Dilakukan Tertutup”, www.detik.com, 23 Juni 2005.
158 “TPF Munir Rekomendasikan Anggota BIN sebagai Tersangka”, www.detikcom, 24 Juni 2005.
159 “Laporan TPF Munir Juga Dikirim ke BIN dan Panglima TNI”, www.detik.com, 27 Juni 2005.
1. Munir Tewas di PesawatBagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR109
Berkenaan dengan tindak lanjut kerja TPF, Ketua TPF Munir 
menyarankan kepada Presiden SBY agar tidak memperpanjang tugas 
TPF, namun membentuk tim pengawas guna mengawasi kerja tim 
penyidik dalam menangani kasus ini. Pihaknya merasa sudah cukup 
untuk membuka jalan bagi penyidikan kasus kematian Munir untuk 
ditindaklanjuti.160 Sedangkan Ketua DPR, Agung Laksono menyatakan 
bahwa berakhirnya masa kerja TPF tidak boleh menghentikan 
pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Ia meminta semua pihak 
untuk menghormati proses hukum yang ada. Jika kerja TPF belum 
maksimal, kepolisian bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut.161 
TPF menyatakan bahwa pengungkapan kasus pembunuhan Munir 
merupakan ujian bagi otoritas lembaga kepresidenan Indonesia. TPF 
tidak meragukan komitmen pemerintah dalam setiap tahapan proses 
hukum, namun harus didukung secara konkret oleh para pejabat 
pelaksana di lapangan, termasuk dukungan penuh dari petinggi 
Polri kepada anggotanya yang mengemban tugas sebagai penyidik, 
untuk dapat terealisasi secara optimal. Ia juga menyatakan bahwa 
berdasar  pengalaman enam bulan terakhir di TPF, ia mensinyalir 
pengungkapan kasus Munir mendapat banyak perlawanan. Ada 
kekuatan yang berusaha menutupi misteri yang sedang dicoba untuk 
disibak. Seperti penghalangan akses terhadap dokumen-dokumen 
instansi tertentu yang dianggap relevan.Mengatasi hambatan itu, 
di dalam laporannya, TPF merekomendasikan SBY untuk mengambil 
langkah pendekatan lebih tegas dibadingkan sebelumnya. Sehingga 
SBY dapat memastikan proses hukum yang berjalan benar-benar 
dapat dikawal menuju keadilan.162
J. Pengadilan Pollycarpus 
Sejak dimulainya pengadilan pembunuhan Munir terhadap 
terdakwa Pollycarpus pada 9 Agustus 2005, seluruh perhatian 
160 “TPF Munir Tolak Diperpanjang”, www.tempointeraktif.com, 20 Juni 2005.
161 “Ketua DPR : TPF Munir Bubar, Kasus Munir Tetap Harus Dibongkar”, www.detik.com, 24 Juni 2005.
162 “Kasus Munir Ujian untuk Presiden, www.detikcom, 25 Juni 2005.
Bagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR110
publik pada kasus Munir terpusat pada proses ini. Sejak awal 
terlihat kekhawatiran terhadap kurang memadainya pengadilan 
sebagai sarana pengungkapan tuntas Munir karena hanya satu 
terdakwa Pollycarpus. Jaksa Penuntut Umum –dipimpin oleh Domu 
P Sihite, mantan anggota TPF- mendakwa Pollycarpus melakukan 
pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) dan pemalsuan 
surat/dokumen (Pasal 263 ayat 2 KUHP), karena menilai aktifitas 
Munir dapat merongrong program pemerintah. Dakwaan JPU lebih 
menunjukkan pembunuhan berencana terhadap Munir sebagai 
pembunuhan yang bersifat tunggal (individual crimes). Hal ini 
berbeda dengan temuan TPF yang menyimpulkan pembunuhan 
Munir sebagai sebuah konspirasi kejahatan, yang melibatkan 
orang-orang dari lingkungan Garuda Indonesia dan Badan Intelijen 
Negara (BIN). Memang, seseorang bisa membuat perencanaan 
sekaligus pelaksanaan rencana itu untuk membunuh orang lain. 
Tetapi modus, pilihan lokasi, waktu, dan cara yang digunakan 
untuk membunuh Munir memerlukan sebuah perencanaan yang luar 
biasa, dengan pengetahuan, akses informasi, sekaligus kemampuan 
untuk mengeksekusi da lam penerbangan internasional. Sejak awal, 
keluarga dan kerabat Munir serta kalangan aktifis merasa pengadilan 
Pollycarpus tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk mengungkap 
dan mengadili pelaku lain yang lebih penting (aktor intelektual).163 
Pengadilan Pollycarpus berjalan sebanyak 26 kali, dimulai pada 9 
Agustus 2005 dan berakhir pada 20 Desember 2005. Beberapa saksi 
yang dipanggil untuk memberi  keterangan adalah bekas Direktur 
Utama Garuda Indra Setiawan, bekas Vice President Corporate 
Security Garuda Ramelgia Anwar, dan bekas Deputi V Badan Intelijen 
Negara Muchdi PR. Sementara bekas Sekretaris Utama BIN Nurhadi 
Djazuli –saat ini sebagai Duta Besar RI untuk Nigeria- tidak dihadirkan. 
Dari pengamatan lapangan, persidangan belum sepenuhnya berhasil 
membuat bangunan fakta peristiwa pembunuhan secara lengkap. 
Terutama menggali lebih jauh keterlibatan PT Garuda sebagai 
163 Siaran Pers Bersama KontraS, IKOHI, FKKM 98, PAGUYUBAN MEI 1998, Ikatan Keluarga Korban 
Tanjung Priok, Keluarga Korban Trisakti, Semanggi I Dan II, TRK, UPC, IMPARSIAL, KASUM, 
GMNI, tanpa judul, di kantor KontraS, Jakarta, 30 Agustus 2005.
1. Munir Tewas di PesawatBagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR111
institusi sehubungan banyak ditemukannya kejanggalan pada 
manajerial direksi atas penugasan Pollycarpus. Begitupun dengan 
keterlibatan lebih jauh dari individu yang berasal dari BIN ataupun 
BIN sebagai institusi dalam hubungan langsung dengan Pollycarpus. 
Dalam keterangan Muchdi PR misalnya, hubungan telepon antara 
telepon genggam dirinya dengan Pollycarpus diakui terjadi, namun 
Muchdi menyangkal mengenal Pollycarpus ataupun pernah bertemu 
Pollycarpus. JPU maupun Majelis Hakim terlihat berusaha menggali 
sangkalan itu lebih jauh, meskipun kurang mengelaborasinya lebih 
dalam. Terutama menyangkut hubungan kerja Pollycarpus sebagai 
agen BIN ataupun orang yang bekerja untuk kepentingan BIN. 
Meskipun demikian, dalam putusan akhirnya, majelis hakim secara 
jelas menyebutkan bahwa sangkalan Muchdi bahwa dirinya tak 
pernah berhubungan dengan Pollycarpus dinilai hakim tidak dapat 
dipertanggungjawabkan. Hakim berpendapat, tidak seharusnya telepon 
genggam seseorang bisa dipergunakan begitu saja oleh siapapun.
Hal lain yang terlihat selama persidangan Pollycarpus adalah adanya 
kelompok Komite (Komite Mahasiswa Indonesia Timur) yang memiliki 
agenda untuk membatalkan atau mengalihkan fokus persidangan. 
berdasar  investigasi KontraS selama persidangan Pollycarpus, kelompok 
ini menyebarkan berbagai selebaran yang isinya mempertanyakan hasil 
forensik Belanda. Mereka menolak fakta bahwa Munir mati dibunuh 
dengan racun. Kelompok ini juga menyebarkan informasi untuk 
membangun isu adanya konspirasi internasional seputar kasus Munir. 
Pada 17 November 2005, saat persidangan memanggil Muchdi PR 
untuk bersaksi-sesudah pada panggilan sebelumnya Muchdi tidak 
hadir-, kelompok orang yang menentang persidangan ini melakukan 
penyerangan fisik kepada tiga orang aktifis yang sedang melakukan 
mimbar bebas di areal parkir Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 
termasuk meminta ibu-ibu korban untuk kaos bergambar Munir 
yang dipakainya.164 saat  persidangan di mulai beberapa orang 
164 Monitoring Persidangan KontraS XIX, 17 November 2005. Lihat pula Siaran Pers KontraS,  
Penyerangan Aktivis KontraS Terkait Pemeriksaan Muchdi PR di Sidang Kasus Munir, Jakarta, 
17 November 2005.
Bagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR112
tidak dikenal dan berbadan besar tiba-tiba juga ikut menghadiri 
dan memenuhi persidangan. Bahkan diantaranya berdiri di 
barisan depan kursi pengunjung sidang, menghadap hakim. Usai 
pemeriksaan, Suciwati mencoba menghampiri Muchdi -didampingi 
Usman Hamid – untuk mengajak bicara; apakah anda kenal saya? 
tanya Suci. “Tidak kenal, tidak kenal, tidak kenal”, jawab Muchdi 
sambil terus berjalan menghindar dan memalingkan matanya dari 
pandangan Suci. Tiba-tiba Suci bertanya sedikit berteriak “anda 
pengecut, anda pengecut, anda ya yang membunuh suami saya?”. 
Muchdi tidak menjawab, sambil terus berjalan agak cepat berusaha 
menghindar. Saat momen itu berlangsung, beberapa orang berbadan 
besar mencoba menghalau dan menjauhkan Muchdi dari Suci. 
Sesaat  itu juga, orang-orang tidak dikenal yang ada di sekitar 
lokasi mulai meninggalkan lokasi.
K. Terobosan Putusan Majelis Hakim 
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang 
diketuai Cicut Sutiarso terhadap Pollycarpus telah jatuh pada 
tanggal 20 Desember 2005. Dalam Putusan Perkara Pidana dengan 
Nomor: 1361/PID.B/2005/PN.JKT.PST atas nama terdakwa 
Pollycarpus Budihari Priyanto dinyatakan165 :
Terdakwa Pollycarpus Budi Hari Priyanto terbukti secara 
sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana 
“TURUT MELAKUKAN PEMBUNUHAN BERENCANA” dan 
“TURUT MELAKUKAN PEMALSUAN SURAT”.
“Menghukum Terdakwa oleh karena perbuatan ini  
dengan hukuman penjara selama 14 (empat belas) tahun”.
Selain itu ada beberapa hal lain yang menarik dari putusan 
Majelis Hakim. Nampaknya Majelis Hakim bisa mencium adanya 
165 Putusan Perkara Pidana dengan Nomor: 1361/PID.B/2005/PN.JKT.PST atas nama terdakwa 
Pollycarpus Budihari Priyanto, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 20 Desember 2005.
1. Munir Tewas di PesawatBagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR113
aroma konspirasi kejahatan pembunuhan dalam kasus Munir 
dan Pollycarpus bukanlah satu-satunya pihak yang terlibat. Ini 
tergambar dari beberapa substansi putusan sebagai berikut. 
Pertama, dalam pertimbangan yang memberatkan Pollycarpus 
majelis hakim menyebutkan:
“...hal-hal yang memberatkan atas penjatuhan  hukuman 
atas diri Terdakwa adalah bentuk perbuatan pidana yang 
dilakukan secara berkawan atau berkomplot (conspiracy) 
yang berakibat hilangnya jiwa orang lain, memberi   
alasan perbuatannya yang kurang masuk akal dan Terdakwa 
menunjukkan sikap yang tidak terus terang, memberi  
keterangan dengan berbelit dan tidak benar, meskipun 
Terdakwa menyimpan suatu kebenaran yang ia ketahui”166.
Kedua, dalam pertimbangan yang memberatkan Pollycarpus, 
Majelis Hakim juga konsisten dengan argumen di atas:
“....bahwa tuntutan hukuman Penuntut Umum jika 
dibandingkan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa 
yang terbukti tidak sendirian dan masih harus diselidiki lagi 
siapa dan siapa saja yang turut serta berperan di dalam 
peristiwa hilangnya jiwa korban Munir, menurut hemat 
Pengadilan tuntutan hukuman ini  dirasa terlalu berat 
dan berlebihan, oleh karenanya sepatutnya dikurangi...”167.
Majelis Hakim juga dalam putusannya menyinggung beberapa 
orang yang diduga terlibat dalam komplotan pembunuhan Munir 
ini .
Pertama, Ramelgia Anwar (saat kejadian merupakan Vice President 
Corporate Security PT Garuda), yang menurut Majelis Hakim tanpa 
peranannya membuat surat tugas palsu, Pollycarpus tidak akan 
166 Ibid.
167 Ibid.
Bagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR114
bisa melaksanakan kejahatannya. Beberapa poin dalam putusan 
menegaskan hal ini:
“...bahwa dapat dipastikan bahwa Terdakwa menyadari 
sepenuhnya akan kerja sama dengan saksi Ramelgia Anwar, 
karena tanpa peran saksi Ramelgia Anwar dengan cara 
membuat surat palsu ini , Terdakwa tidak akan dapat 
memakai  surat palsu dan perbuatan pidana pemalsuan 
surat tidak akan terwujud”168.
“...bahwa berhubung ternyata terdakwa di dalam 
melakukan perbuatan pidana ini  tidak melakukan 
semua unsur yang ada, melainkan masih membutuhkan 
peranan orang lain yaitu saksi Ramelgia Anwar, maka 
Pengadilan berpendapat bahwa peranan Terdakwa 
Pollycarpus....adalah sebagai orang yang turut melakukan 
perbuatan pemalsuan surat”169.
Kedua, Oedi Irianto dan Yeti Susmiarti (pramugara dan pramugari di 
kelas bisnis pada penerbangan GA 974, Jakarta-Singapura). Menurut 
Majelis Hakim tindakan Pollycarpus membunuh Munir dengan racun 
arsen hanya bisa terjadi karena bantuan kedua orang ini . 
Poin dalam putusan menunjukkan hal ini:
“Bahwa Terdakwa tidak dapat disebut sebagai orang yang 
melakukan, karena sesuai petunjuk yang didapat di dalam 
pembahasan dakwaan pokok, ternyata racun arsen yang 
ditaburkan Terdakwa ke dalam makanan mie goreng baru 
bisa dimakan habis oleh Munir karena adanya peranan orang 
lain yaitu saksi Oedi Irianto dan saksi Yeti Susmiarti”170.
“Bahwa sesuai petunjuk yang didapat di dalam pembahasan 
dakwaan pokok di atas, telah ternyata Terdakwa di dalam 
168 Ibid.
169 Ibid.
170 Ibid.
1. Munir Tewas di PesawatBagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR115
melakukan perbuatannya menghilangkan jiwa Munir tidak 
sendirian, di samping Terdakwa yang ikut merencanakan 
dan melakukan perbuatan pelaksanaan dengan menaburkan 
racun arsen ke dalam makanan mie goreng dan Pasta sebagai 
pilihan makanan di kelas bisnis, masih ada lagi 2 (dua) orang 
yaitu saksi Oedi Irianto dan saksi Yeti Susmiarti yang menyiapkan 
dan menyajikan makan mie goreng kepada Munir”171.
“Bahwa dipastikan jika  tidak ada kerja sama yang 
disadari dengan saksi Yeti Susmiarti dan saksi Oedi Irianto, 
maka niat dari Terdakwa untuk  menghilangkan jiwa Munir 
tidak akan terwujud”172.
Ketiga, majelis hakim dalam putusannya juga melangkah maju 
dengan menyebutkan nama Muchdi PR seperti tertuang dalam 
petikan pertimbangan berikut ini dalam rangka menjawab ada 
atau tidaknya motivasi Terdakwa Pollycarpus untuk menghilangkan 
jiwa Munir. 
• bahwa fakta angka 45, 46, 47 dan 48 pada pokoknya 
menunjukkan adanya hubungan komunikasi lewat telepon 
dari nomor handphone 0811900978 yang dikuasai atau 
dipegang saksi Muchdi Purwopranjono dengan nomor-
nomor telepon 021-7407459 yang merupakan nomor 
telepon rumah Terdakwa, nomor handphone 0815920226 
milik Terdakwa dan nomor handphone 081584304375 
milik Terdakwa, yang kesemuanya sebanyak tidak kurang 
dari 41 kontak bicara;173
• Bahka meskipun saksi Muchdi Purwopranjono menyangkal 
mengenal Terdakwa, dan menyangkal pula berhubungan 
lewat telepon dengan Terdakwa, namun saksi 
171 Ibid.
172 Ibid.
173 Ibid.
Bagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR116
menerangkan benar bahwa Handphone dengan nomor 
0811900978 ini  berada di dalam penguasaannya 
dan membenarkan pula kebenaran hasil print out dari 
Provider Company Telekomunikasi;
• Bahwa keterangan saksi yang membenarkan atas 
penguasaan handphone yang notabene merupakan 
barang bergerak ini , cukuplah bagi pengadilan 
untuk mendapatkan petunjuk bahwa handphone 
ini  adalah milik saksi Muchdi Purwopranjono yang 
tentunya bagi seorang petinggi intelejen dengan jabatan 
Deputi V tidak begitu mudah membiarkan Handphone 
miliknya sampai dipergunakan oleh orang lain, meskipun 
tagihannya tidak dibayar sendiri melainkan dibayar oleh 
orang lain yaitu PT Barito Basific Tower yang dihandle 
oleh Yohanes Hardian;
• Bahwa bukanlah keberadaan jenis telepan genggan 
dewasa ini bagi pemilikinya adalah merupakan alat 
komunikasi modern yang dianggap paling praktis dan 
sangat cocok untuk pembicaraan yang sifatnya lebih 
pribadi ([privacy) dan rahasia (confidential), kaena 
selain hanya provider company yang bisa mengetahui 
adanya kontak komunikasi antara nomor telepon yang 
satu dengan yang lain, maka tak ada lagi yang bisa 
mengetahui isi pembicaraan kecuali mereka sendiri yang 
sedang bicara; 
• Bahwa keterangan saksi Muchdi Purwopranjono sepanjang 
menyangkut handphone miliknya dengan nomor 
0811900978 yang dapat dan boleh dipergunakan oleh 
orang lain atau siapa saja yang ingin memakai  tanpa 
dapat menyebutkan siapa orangnya, adalah sangat tidak 
masuk akal, karena bagi saksi yang mempunyai jabatan 
strategis di lembaga ini  tentunya menyadari 
betapa membahayakan dan dapat merugikan dirinya 
jika  saksi tetap membiarkan handphonenya menjadi 
alat komunikasi dirinya jika  saksi tetap membiarkan 
1. Munir Tewas di PesawatBagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR117
handphonenya menjadi alat komunikasi bagi siapa saja yang 
mau memakai, sementara itu saksi pasti menyadari meskipun 
bukan saksi yang membayar namun tagihan untuk nomor 
ini  harus etap dibayar dan dilunasi tepat waktu;
• Bahwa demikian pula keterangan Terdakwa yang tidak 
pernah disumpah menerangkan tidak kenal dengan 
pemilik telepon genggam nomor 0811900978 tanpa alasan 
yang masuk akal, menurut hemat Pengadilan, Terdakwa 
telah melakukan sangkalan yang tidak mendasar, sehingga 
harus dikesampingkan;
• Bahwa berdasar  faktu hukum yang menunjukkan 
adanya kontak telepon antara nomor telepon Terdakwa 
dengan nomor 0811900978 yang jumlahnya tidak kurang 
dari 41 (empat puluh satu) kali, maka Pengadilan 
menemukan fakta lebih lanjut tentang waktu-waktu 
tepatnya kapan dan bagaimana keadaan Terdakwa 
dan Munir pada saat itu diantaranya sebagai berikut: 
mulai dari tanggal 25 Agustus 2004 atau waktu sebelum 
Munir berangkat belajar ke Amsterdam, kemudian pada 
tanggal 6 September 2004 atau waktu sebelum Munir 
berangkat belajar ke Amsterdam, tanggal 7 September 
2004 jam 10.00 dan jam 11 WIB. Waktu Terdakwa pulang 
dari Singapura dan sudah berada di Jakarta dan Munir 
dalam perjalanan dalam pesawat ke Amsterdam, masih 
tanggal 7 September 2004 jam 16.49 (jam 10;49 Waktu 
Amsterdam) sampai dengan jam 21:05 WIB (jam 15:05 
Waktu Amsterdam) saat itu dapat dipastikan telah 
meninggal duni, setidaknya terjadi tidak kurang dari 5 
(lima) kali kontak pembicaraan, dan seterusnya pada 
tanggal 17 13 November 2004 sebanyak 4 (empat) kali 
serta dari tanggal 17 November 2004 sampai dengan 25 
November 2004 sebanyak 27 (dua puluh tujuh) kali saat 
sudah mulai banyak pembicaraan di media massa menyebut 
nama Terdakwa Pollycarpus terlibat di dalam kasus 
kematian Munir di dalam Pesawat Garuda Indonesia;
Bagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR118
Menimbang bahwa berdasar  fakta hukum ini  
dihubungkan dengan keterangan saksi Muchdi Purwopranjono 
yang membenarkan hasil print out yang ditunjukkan 
di persidangan, serta keterangan Terdakwa yang tidak 
menyangkal nomor-nomor telepon rumah maupun telepon 
genggamnya, Pengadilan mendapatkan beberapa petunjuk 
di antaranya sebagai berikut:
• Bahwa antara Terdakwa yang pekerjaannya secara resmi 
sebagai Pilot Pesawat Garuda Indonesia dengan pembicara 
telepon nomor 0811900978 ini  mempunyai 
hubungan yang sangat erat terutama dalam kegiatan 
yang berhubungan dengan tugas-tugas pembicara telepon 
nomor 0811900978 ini  khususnya dalam rangka 
menghilangkan jiwa Munir;
• Bahwa di samping Terdakwa mempunyai pekerjaan resmi 
sebagai Pilot Garuda Indonesia, Terdakwa juga mempunyai 
kegiatan yang sama dan setujuan dengan pembicara 
telepon genggam nomor 0811900978 yang di antaranya 
tidak suka membiarkan sifat dan perbuatan Munir yang 
vokal dan selalu mengkritik kebijaksanaan Pemerintah 
terutama TNI dan Badan Intelejen Nasional;
• Bahwa saksi H. Muchdi Purwopranjono adalah orang yang 
sepatutnya mengetahui siapa atau siapa saja orangnya 
yang memakai  telepon genggamnya bernomor  
0811900978 dan berbicara dengan Terdakwa lewat 
nomor-nomor teleponnya  sebagaimana tertera di dalam 
print out di atas;
• Bahwa meskipun dalam perkara ini tidak dinyatakan secara 
tegas siapa atau siapa saja orangnya yang telah melakukan 
pembicaraan melalui telepon genggam bernomor 
0811900978 ini , namun dapat diketahui bahwa orang 
ini  mempunyai hubungan yang sangat erat dan telah 
dikenal dengan baik oleh saksi Muchdi Purwopranjono yang 
selama pemeriksaan tetap bungkam menyatakan tidak tahu 
siapa yang memakai  telepon genggamnya;
1. Munir Tewas di PesawatBagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR119
Menimbang, bahwa berdasar  keterangan saksi H 
Muchdi Purwopranjono yang menyatakan dirinya pernah 
mengingatkan melalui seniornya Munir agar Munir jangan 
vokal mengkritik pemerintah, akan tetapi ternyata Munir 
tetap vokal, pengadilan mendapat petunjuk bahwa orang 
yang berbicara dengan Terdakwa lewat telepon genggam 
0811900978 adalah pihak yang juga tidak menghendaki 
Munir vokal mengkritik pemerintah, dan karena Munir tidak 
berubah dan tetap vokal mengkritik Pemerintah,maka pihak 
pembicara itulah yang merupakan orang atau pihak mula-
mula mempunyai daya bathin atau motivasi (motivation) 
untuk menghentikan aksi vokal Munir ini  dengan jalan 
menghilangkan jiwa Munir;
• Bahwa berdasar  jumlah hubungan pembicaraan 
lewat telepon yang mempunyai tingkat kekerapan 
(frequency) cukup sering, Pengadilan berpendapat 
bahwa Terdakwa Pollycarpus di samping mempunyai 
pekerjaan sebagai Pilot Garuda Indonesia, juga 
mempunyai kegiatan yang sama dengan pembicara 
telepon genggam 0811900978. 
• Bahwa meskipun tidak ada satu saksipun yang 
mengetahui, mendengar, atau menerangkan tentang 
isi pembicaraan Terdakwa dengan pemegang telepon 
genggam nomor 0811900978, namun berdasar  
petunjuk-petunjuk yang didapat di persidangan 
dihubungkan dengan sikap keberadaan Terdakwa di 
dalam pesawat selama penerbangan Jakarta-Singapura, 
maka Pengadilan berpendapat bahwa antara Terdakwa 
dengan pembicara telepon genggam bernomor 
0811900978 telah terjadi kesepakatan tentang 
bagaimana cara pelaksanaan keinginan mereka untuk 
menghilangkan jiwa Munir.
• Bahwa berhubung terjadi kesepakatan, maka dapat 
diketahui bahwa siapapun mereka yang telah 
membicarakan bagaimana menghilangkan jiwa Munir, 
Bagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR120
mereka itulah yang mempunyai keinginan, daya bathin 
atau motivasi untuk menghilangkan jiwa Munir;
Menimbang, bahwa berdasar  petunjuk-petunjuk dan 
keterangan saksi Muchdi Purwopranjono serta keterangan 
Terdakwa diatas, dihubungkan dengan kegiatan Terdakwa 
di samping sebagai pilot Garuda juga mempunyai kegiatan 
sampingan yang sama dengan kegiatan pembicara 
telepon genggam Nomor 0811900978, maka pertanyaan 
melenyapkan Munir dapat dijawab ialah bahwa Terdakwa 
Pollycarpus juga menghendaki agar Munir tidak vokal 
mengkritik Pemerintah sehingga pengadilan berpendapat 
bahwa Terdakwa mempunya daya bathin atau motivasi 
atau alasan untuk menghilangkan jiwa Munir dengan 
kata lain pada diri Terdakwa ada  motivasi untuk 
menghilangkan jiwa Munir;
-- Menimbang, bahwa berdasar  pembahasan diatas, 
Pengadilan lebih lanjut berpendapat bahwa yang 
mempunyai keinginan menghilangkan jiwa Munir adalah 
bukan hanya Terdakwa secara sendirian, melainkan masih 
ada pihak lain yang harus ditemukan melalui penyelidikan 
yang lebih akurat oleh aparat penegak hukum yang 
berwenang untuk itu;
Dengan kesimpulan ini maka sebenarnya tabir pembunuhan 
Munir tidaklah terlalu gelap. Putusan Majelis Hakim ini jelas 
menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus ditindaklanjuti 
oleh penyidik Polri. Dan kali ini bukan cuma Pollycarpus yang 
menjadi kunci pembuka terungkapnya kasus Munir, melainkan 
kuncinya juga terletak pada Ramelgia Anwar, Yeti Susmiarti, 
Oedi Irianto dan Muchdi PR. Penyidik Polri harus segera 
memeriksa semua saksi kunci di atas, dengan memakai  
dan mengoptimalkan wewenang-wewenang yang secara sah 
1. Munir Tewas di PesawatBagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR121
dimilikinya. Antara lain memanggil, memeriksa, menangkap, 
menahan, menggeledah dan menyita barang bukti yang relevan 
dengan proses penyidikan. 
L. Reaksi atas Vonis Majelis Hakim
Putusan Majelis hakim menuai banyak tanggapan dari berbagai 
pihak yang berkepentingan. Penasehat Hukum terdakwa diwakili 
Assegaf dkk meyakini putusan majelis hakim tidak benar 
menyangkut bergesernya putusan hakim dari dakwaan JPU, 
terutama menyangkut makanan dan minuman yang “membunuh” 
Munir. Assegaf dkk telah mengadukan masalah ini kepada Komisi 
Yudisial174 dan menilai ada intervensi atau tekanan dari pihak luar 
terhadap para hakim. Saat putusan usai dibacakan, Pollycarpus 
sendiri dengan keras menolak vonis Majelis Hakim175. Sedangkan 
Yosepha Hera Iswandari (isteri Pollycarpus) berniat akan melaporkan 
JPU ke komisi Kejaksaan sebab menurutnya dakwaan JPU adalah 
dongeng semata, Hera juga mengaku akan berusaha menghadap 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Komnas HAM, Komisi Yudisial, 
Komisi HAM PBB, dan Bapa Suci Benediktus XVI di Vatikan untuk 
mengadukan putusan yang dinilainya tidak adil.176 
Jaksa Penuntut Umum menyatakan akan banding atas putusan 
Majelis Hakim, sebab putusan masih jauh dari hukuman seumur 
hidup. Rencana ini disampaikan Kapuspenkum Kejaksaan Agung 
Masyhudi Ridwan di Kejaksaan Agung.177   
174 Polly Dipidana 14 Tahun Penjara; Pelaku Lain Perlu Diusut agar Perkara Pembunuhan Munir 
Tuntas, Kompas, 21 Desember 2005. 
175 Pollycarpus Menantang Vonis, Koran Tempo, 21 Desember 2005.
176 Vonis Pembunuhan Munir: Panggung Keadilan Suciwati dan Yos Hera, Kompas, 21 Desember 
2005. Vonis Pollycarpus: Majelis  Diadukan ke Komisi Yudisial, Media Indonesia, 21 Desember 
2005. Kasus Munir; Istri Pollycarpus Akan ke Komnas HAM, Kompas, 28 Desember 2005. Istri 
Munir Belum Puas; Istri Pollycarpus akan mengadu ke Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Koran 
Tempo, 24 Desember 2005.
177 JPU Kasus Munir Ajukan Banding, www.detik.com.
Bagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR122
Sementara itu Suciwati isteri Munir menilai apapun vonis yang 
diberikan kepada Pollycarpus sama saja nilainya karena Pollycarpus 
hanya bagian kecil dari konspirasi sebagaimana dinyatakan majelis 
hakim. Suciwati menuntut aparat penegak hukum yang berwenang 
segera melanjutkan pengusutan. Koordinator KontraS Usman Hamid 
menegaskan bahwa penyidikan kasus Munir  belum tuntas sehingga 
masih harus dilanjutkan penyidikan dengan akurasi yang tinggi. Suara 
kritis juga dikemukakan oleh bekas Presiden RI KH.Abdurrahman 
Wahid, yang juga merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Menurut 
Gus Dur vonis 14 tahun atas Pollycarpus harus diikuti dengan 
penelusuran nama lainnya seperti Muchdi PR, yang disinggung 
dalam putusan Majelis Hakim. Gus Dur juga mendesak agar Presiden 
SBY untuk membentuk Tim Kepresidenan dengan mandat yang kuat, 
jelas, dan rinci yang meneruskan temuan-temuan TPF Munir.178
Terhadap putusan Majelis Hakim Presiden SBY telah menginstruksikan 
kepada kapolri Jenderal Sutanto untuk mengungkap kasus kematian 
Munir. Melalui juru bicara Kepresidenan Andi Malarangeng mengakui 
bahwa kasus Munir bersifat konspirasi, sesudah mendengar putusan 
Majelis Hakim, Presiden membulatkan tekad untuk mengungkap kasus 
kematian Munir. Presiden menyatakan semua pihak yang terlibat 
dalam kasus Munir harus diproses secara hukum. Dan pertimbangan 
pengadilan serta bukti yang terungkap selama proses pengadilan 
menurut Presiden harus dijadikan rujukan bagi Polri, Kejaksaan, 
termasuk BIN untuk menelusuri kembali kasus Munir. Sementara 
Kapolri Jenderal Sutanto meminta agar Pollycarpus terbuka 
kepada penyidik agar peristiwa yang sebenarnya bisa diketahui.
tidak menemukan suatu kunci terobosan atas buntunya penyidikan 
paska TPF. Sikap ini ditunjukkan pada pernyataan Kapolri bahwa 
kasus Munir kuncinya hanyalah di Pollycarpus. Kapolri Jendral 
Sutanto hanya meminta Pollycarpus mau terbuka memberi  
informasi kepada polisi dan berjanji memberi  perlindungan 
kepadanya (kepada Pollycarpus dan keluarga). Meski demikian 
Presiden SBY menolak gagasan pembentukan tim penyidik 
independen baru. Menurutnya penyidikan kasus Munir tetap akan 
memakai  mekanisme reguler. 
Sementara itu, Syamsir Siregar, Kepala Badan Intelejen Negara juga 
ikut berkomentar dengan mengatakan bahwa penyidik belum mampu 
mengungkap siapa dalang pembunuh Munir. Selain itu, atas putusan 
Majelis Hakim Syamsir mengaku BIN akan siap bekerjasama.
berdasar  fakta dan seluruh komitmen (pernyataan) serta  
tanggapan diatas, Komite Aksi untuk Kasus Munir (KASUM) tetap 
meminta kepada Presiden SBY untuk kembali membentuk tim 
independen kepresidenan untuk kasus Munir, yang diharapkan bisa 
melacak siapa sesungguhnya dalang pembunuh Munir. KASUM 
juga menyatakan penyidikan tinggal menindaklanjuti putusan 
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyebutkan 
beberapa nama seperti Oedi Irianto, Yeti Susmiarti, Ramelgia Anwar 
(semuanya dari PT Garuda), dan Muchdi PR, bekas Deputi V BIN. 
Reaksi cepat dikeluarkan oleh Pemerintah AS –US Department 
of State- pada 20 Desember 2005. Dalam press statement, 
Pemerintah AS juga setuju dengan kesimpulan Majelis Hakim yang 
menyatakan Pollycarpus hanya merupakan bagian dari sebuah 
konspirasi pembunuhan berencana yang lebih besar. Pemerintah 
AS mendesak Pemerintah RI untuk terus melanjutkan penyelidikan 
atas kasus Munir. Pemerintah AS juga meminta Pemerintah RI untuk 
mempublikasikan secara terbuka hasil laporan TPF 
Suara dari Pemerintah AS ini mengikuti surat yang dibuat oleh 
Kongres AS sebelumnya. Pada surat yang ditujukan kepada Presiden 
SBY pada tanggal 27 Oktober 2005, juga mendesak hal yang sama.186
Dengan reaksi berbagai pihak diatas, bisa dipastikan kasus Munir 
belum berakhir. Masih panjang. Pernyataan dari Presiden SBY, 
Kepala Polri, Kepala BIN, dan institusi negera lainnya di satu 
pihak membawa harapan bahwa dalang utama pembunuh Munir 
masih akan terus diburu, namun di lain pihak pernyataan ini  
terkesan menjadi sekadar formalitas belaka. Semua pernyataan 
formal ini  sebenarnya harus sudah dijalankan terlepas 
dari apapu yang terjadi pada proses pengadilan yang berjalan. 
Penyidikan Polri misalnya nyaris tidak menghasilkan apa-apa selama 
hampir 6 bulan sesudah mengambil tongkat estafet dari kerja 
TPF. Pernyataan BIN yang tidak puas terhadap penyelidikan Polri 
dan proses pengadilan juga terkesan janggal, mengingat institusi 
ini justru dulunya resisten dan gagal bekerjasama dengan TPF. 
Sementara Presiden SBY dengan pernyataan-pernyataan yang 
tidak diikuti pencapaian seimbang, memperkuat sinisme publik 
atas gaya kepemimpinannya yang mengandalkan penampilan, 
khusus terhadap keluarga Munir. Bila kondisi-kondisi terus terjadi, 
maka kasus Munir yang oleh Presiden SBY disebut sebagai “a test of 
our history” bisa jadi akan segera menjadi sekedar “history” dari 
kegagalan sistem kekuasaan, sebagaimana negera ini menarasikan 
dongeng tentang sejarah abuse of power yang terjadi di negeri ini.
Dari keseluruhan uraian terdahulu, terlihat jelas bahwa penanganan 
hukum kasus pembunuhan Munir belum mampu menyeret aktor 
utamanya ke meja hijau. Hingga selesainya persidangan di Pengadilan 
Negeri Jakarta Pusat sejak 9 Agustus 2005 s/d 20 Desember 2005, 
yang diadili dan dihukum bersalah hanya seorang pilot penerbang 
Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto (PBP). Itupun 
dengan kemungkinan dibebaskan pada tingkat banding atau kasasi. 
Sehari sesudah putusan dijatuhkan, harian Kompas malah khawatir 
pengungkapan kasus ini hanya akan mengulang sejarah seperti nasib 
kasus pembunuhan aktifis buruh Marsinah, dan pembunuhan jurnalis 
Udin (Harian Bernas). Kerisauan itu adalah pengungkapan kasus 
terhadap pembunuhan seperti ini hanya berakhir dengan diadilinya 
pelaku lapangan, dan kemudian bisa bebas. Berakhir dengan impunitas, 
ada kejahatan tapi tanpa hukuman. Begitukah akhir kasus Munir? 
Kita semua tentu berharap tidak. Mengapa? Putusan Pengadilan Negeri 
Jakarta Pusat di sisi lain memberi peluang positif. Dalam pandangan 
Majelis Hakim yang mengadilinya, Pollycarpus dilihat hanya sebagai 
bagian dari konspirasi besar pembunuh Munir. Pertimbangan putusan 
Majelis Hakim menyebutkan secara eksplisit bahwa Terdakwa Pollycarpus 
tidak bekerja sendirian, melainkan berkomplot (konspirasi) dengan 
nama-nama lain seperti sudah disinggung pada uraian terdahulu buku 
ini. Misalnya Oedi Irianto, Yeti Susmiarti, Rambelgia anwar,