Jumat, 26 Januari 2024
munir 2
By tewasx.blogspot.com at Januari 26, 2024
munir 2
keputusan
Presiden) dan melibatkan beberapa nama tokoh masyarakat seperti
Amin Rais (Mantan Ketua MPR), Syafii Maarif (Ketua PP Muhammadiyah),
dan Todung Mulya Lubis. Presiden SBY sendiri pada saat itu tidak
secara eksplisit untuk segera memenuhi permintaan ini dan lebih
bersikap diplomatis dengan meminta lebih dahulu konsep dasar usulan
tim investigasi kasus Munir.
Pada tanggal 26 November 2004 Direktur
Eksekutif Imparsial Rachland Nashidik menyerahkan rancangan tim kasus
Munir beserta usulan nama-nama anggotanya kepada Andi Mallarangeng,
juru bicara Kepresidenan di Halim Perdanakusumah.
Dukungan penting lainnya juga ditunjukkan pihak lain, baik dari
kalangan domestik maupun dari komunitas internasional, dalam
mendesak pemerintah untuk membentuk tim investigasi independen.
Pihak keluarga Munir dan kawan-kawan aktivis memandang usulan
pembentukan tim investigasi independen harus juga mendapat
dukungan dari publik luas dan tokoh masyarakat.
Dukungan penuh misalnya dinyatakan oleh Ketua PP Muhammadiyah,
Syafii Maarif saat bertemu dengan keluarga Munir dan rekan-rekan NGO
pada tanggal 24 November 2004 di kantornya. Bahkan ia bersedia bila
namanya masuk dalam tim investigasi independen ini .
Dukungan serupa diajukan oleh 59 aktivis HAM internasional pada 20
Nopember 2004 yang disampaikan pada acara siaran pers bersama
yang disampaikan Koordinator Human Rights Working Group (HRWG)
Rafendi Djamin di Jakarta. Aktivis HAM internasional (68 orang) dari 30
negara ini sebagian besar adalah penerima “The Rights Livelihood
Award” yang diberikan oleh sebuah yayasan berbasis di Swedia.
Secara khusus mereka menyatakan rasa belasungkawa mendalam dan
memperingatkan pemerintahan SBY bahwa mereka akan memastikan
publik dunia mengawasi proses penuntasan kasus ini. Munir sendiri juga
pernah menerima penghargaan ini di tahun 2000. Pada tanggal
8-13 Juni 2005, para aktifis penerima penghargaan RLA ini kembali
berkumpul dalam sebuah pertemuan tahunan di Salzburg, Vienna. Mereka
kembali mengekspresikan solidaritas dengan mengangkat pentingnya
pengungkapan kasus Munir. Pertemuan ini dihadiri oleh Suciwati, istri
Munir, yang didampingi oleh aktifis KontraS, Mouvty Makaarim Al Akhlaq.
Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan digelarnya pertemuan
tahunan itu, Suciwati bersama Mouvty juga menghadiri sebuah konferensi
tahunan “Human Rights Defender Forum”, yang digelar The Carter Center,
pada 6-8 Juni 2005 di Atlanta. Dalam kesempatan ini , mantan
Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter juga menyampaikan simpati
sekaligus dukungannya untuk pengungkapan kasus Munir.
sesudah konferensi usai, Suciwati difasilitasi oleh Human Rights First
(dulu Lawyers Committee for Human Rights) yang berbasis di New
York, USA juga menemui beberapa pejabat penting di Washington DC,
USA untuk membicarakan kasus Munir. Human Rights First inilah yang
juga memfasilitasi keikutsertaan Suciwati dalam forum HAM yang
diselenggarakan di Atlanta, USA. Dalam press release bersama Human
Rights First dan The Carter Center mengkritik peran Badan Intelijen
Negara, salah satu butir pernyataan berbunyi : “In Indonesia, efforts to
reform the state intelligence body, implicated in many human rights
violations, are being resisted in the name of safeguarding security;”
Kasus Munir juga dianggap bisa menjadi pintu masuk bagi kalangan
aktivis HAM untuk meminta negara agar segera melindungi mereka
yang dikategorikan sebagai pembela HAM.56
Dukungan dari kalangan akar rumput/grass root untuk tim investigasi
independen juga ditunjukkan oleh komunitas korban dan kaum marginal,
yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat untuk Korban Pelanggaran
HAM Mereka berunjuk rasa (2 Desember 2004) dengan berjalan kaki
dari Bundaran Hotel Indonesia menuju Istana Presiden untuk menuntut
Presiden SBY segera merealisasi tim investigasi independen.57 Juga tidak
ketinggalan dukungan untuk pembentukan tim investigasi independen
dinyatakan oleh penyanyi terkenal Indonesia, Iwan Fals, pada tanggal
8 Desember 2004, saat acara peresmian patung Munir di kantor Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/YLBHI.58
Selain itu untuk mengenang Hari Internasional untuk Menghapus
Kekerasan terhadap Perempuan (25 November 2004) yang diselenggarakan
di Komnas Perempuan, acara ini juga ditujukan untuk mengenang figur
Munir. Menurut Ketua Komnas Perempuan, Kemala Chandrakirana, Munir
dapat dinilai sebagai aktivis yang memperjuangkan dan mengadvokasi
hak-hak perempuan. Selama di KontraS, Munir aktif mendorong
para ibu untuk memperjuangkan nasib anak-anaknya yang hilang,
mempersoalkan kasus kekerasan terhadap perempuan seperti di Aceh
dan Timor Timur. Pada acara itu juga para aktivis perempuan mendukung
usaha pembentukan tim investigasi independen.
Kuatnya dukungan publik terhadap gagasan dibentuknya tim investigasi
independen tidak hanya disebabkan hanya motif kasus Munir terungkap
tuntas, namun lebih dari itu tim ini juga menjadi tolak ukur penegakan
hukum di bawah pemerintahan baru SBY. Beberapa pihak bahkan
mendesak Presiden SBY untuk menjadikan kasus Munir sebagai prioritas
kerja program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu, seperti yang diusulkan
oleh Rektor Universitas Brawijaya, Bambang Guritno dan Ketua Umum
Ikatan Alumni Universitas Brawijaya, Syukur Nuralam.61 Presiden SBY
sendiri tidak bisa mengelak bahwa kasus Munir ini harus menjadi salah
satu prioritas kerja 100 harinya. Ini diungkapkan Presiden SBY saat
memberi kata sambutan pada acara halal bihalal Keluarga Alumni
Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Jakarta, 27 November 2004.
A. Tarik Ulur Pembentukan Tim Independen
Tepat tanggal 8 Desember 2004, Munir seharusnya berumur 39
tahun. Pada tanggal ini kawan-kawan aktivis HAM menyelenggarakan
peringatan ulang tahun almarhum dengan melakukan peresmian
patung Munir di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI). Acara ini cukup meriah dihadiri publik dengan jumlah
besar karena salah satu pengisi acaranya adalah Iwan Fals, seorang
musisi ternama, yang juga melantunkan lagu ciptaannya khusus
untuk Munir.
Acara ini juga diwarnai oleh keprihatinan dari keluarga dan
kawan-kawan almarhum karena sebelumnya telah diumumkan
oleh Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi, yang menyatakan bahwa
pemerintah memutuskan untuk menunggu perkembangan
penyelidikan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian RI. Ini
merupakan bahasa politis untuk menyatakan “tidak” bagi
tim investigasi independen. Pernyataan yang kurang lebih
sama juga diumumkan oleh Juru Bicara Kepresidenan, Andi
Mallarangeng seusai menghadiri pelantikan Direktur Badan
Intelijen Negara/BIN yang baru, Mayjen (Purn) Syamsir Siregar.
Andi Malarangeng menjelaskan bahwa presiden menilai
pembentukan tim independen belum tepat dan kesempatan
harus diberikan dulu kepada Polri untuk menjalankan tugasnya.
Ada dugaan, keputusan penolakkan tim investigasi independen
ini merupakan hasil rapat Presiden dengan anggota kabinet
secara terbatas sehari sebelumnya (7 Desember 2004).
Reaksi atas pernyataan Sudi Silalahi dan Andi Mallarangeng ini
segera bermunculan. Dari kalangan DPR, melalui anggota Komisi
III, Lukman Hakim Saifuddin segera melontarkan gagasan untuk
melakukan hak interpelasi terhadap presiden. Ia menyatakan
telah mengumpulkan 45 tanda tangan anggota DPR sesaat sesudah
penolakkan Presiden SBY untuk membentuk tim investigasi
independen. Ia juga berjanji akan mengedarkan surat ini
kepada anggota DPR lainnya. Menurut Lukman Hakim Saifuddin
salah besar kalau jika Presiden SBY menganggap tidak perlu
pembentukkan tim investigasi independen untuk kasus Munir
karena sebelumnya pemerintah pernah membentuk tim investigasi
gabungan untuk menyelidiki kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay
– tokoh masyarakat Papua- dan pembunuhan warga Amerika di
Papua (yang melibatkan staf FBI dalam investigasinya).
Namun yang paling kecewa terhadap sikap penolakkan Presiden
SBY ini adalah Suciwati, istri almarhum Munir. Kekecewaan ini
dinyatakannya pada acara konferensi pers bersama (KontraS,
Imparsial dan Kelompok Solidaritas Pembela HAM Indonesia) di
kantor Imparsial, 8 Desember 2004. Menanggapi kekecewaan
keluarga Munir, Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng kembali
menjawab dengan bahasa diplomatis bahwa Presiden SBY tidak
menolak usulan pembentukan tim investigasi independen, tetapi
Presiden SBY lebih memberi kesempatan dulu kepada Kepolisian
RI untuk menyelidiki kematian Munir.
Sementara itu dugaan bahwa
kematian Munir berkaitan dengan operasi Intelijen semakin kuat
karena adanya pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto -yang
berinteraksi dengan Munir pada saat di penerbangan maut Garuda
GA-974 – ternyata diduga kuat merupakan anggota Badan Intelijen Negara (BIN). Penolakkan pembentukan tim investigasi independen
dikhawatirkan akan menutup dalam-dalam misteri kematian Munir,
sebagaimana kasus-kasus pembunuhan politik lainnya di Indonesia.
Sikap Presiden SBY kemudian berubah cukup drastis keesokan
harinya, 9 Desember 2004 dalam acara konferensi pers kasus
Munir. Kali ini pernyataannya disampaikan oleh Sekretaris Kabinet,
Sudi Silalahi, bahwa Presiden SBY kecewa ada kesan ia menolak
tim investigasi independen. Bahkan saat itu Presiden SBY telah
menginstruksikan Jaksa Agung dan Kapolri untuk berkoordinasi
dengan pihak keluarga almarhum Munir untuk merancang usulan tim
ini agar tidak tumpang tindih dengan ketentuan perundang-undangan Indonesia.
Ketidakjelasan sikap Presiden SBY ini kemudian mengundang
reaksi dari kalangan DPR, tokoh masyarakat, akademisi, aktivis
HAM, hingga organisasi HAM internasional. Berita perubahan sikap
Presiden SBY ini kemudian menjadi berita utama media massa.
Bantahan Presiden SBY terhadap posisi penolakkan terhadap tim
investigasi independen nampaknya lebih disebabkan kekacauan dan
miskoordinasi dalam tubuh tim juru bicara kepresidenan.
B. Tim Pencari Fakta Kasus Munir
Segera sesudah Presiden SBY menyatakan setuju untuk membentuk
tim investigasi, prosedur operasionalnya diserahkan kepada Menko
Politik, Hukum, dan Keamanan, Widodo AS. Tugas awalnya adalah
menyusun draft kerja tim investigasi ini bersama pihak
keluarga almarhum Munir dan rekan-rekan aktivis HAM. Pihak keluarga dan kerabat Munir sendiri menghendaki tim investigasi
independen ini harus dikeluarkan melalui Instruksi Presiden (Inpres)
karena dikhawatirkan tanpa keputusan ini tim investigasi akan sulit
melacak dokumen dan data Intelijen.
Namun lagi-lagi apa yang dinyatakan pemerintah belum tentu
terealisasi secara konkrit. Hingga seminggu berjalan sesudah
pernyataan Presiden SBY tentang pembentukan tim investigasi
independen, pihak keluarga dan NGO, dalam hal ini KontraS dan
Imparsial sama sekali belum dilibatkan dalam perumusan draf tim
ini , yang rencananya disusun bersama dengan Jaksa Agung,
Kapolri, dan Menko Polhukam. Bahkan sejak diserahkannya draf
pembentukan tim (beserta nama anggotanya) pada tanggal 24
November 2004 oleh KontraS dan Imparsial belum ada tanggapan dari
pemerintah. Satu-satunya undangan yang dikirim pemerintah adalah
pada tanggal 13 Desember 2004, itupun hanya untuk membahas
langkah investigasi yang telah dilakukan polisi dan sama sekali tidak
menyinggung pembentukan tim investigasi independen.
Baru sesudah reaksi ini dilontarkan, pihak pemerintah
melakukan rapat antara keluarga Munir dan tim pengacaranya
dengan perwakilan Polri, Kejaksaan Agung, dan Departemen Hukum
dan HAM pada 21 Desember 2004 di Mabes Polri. Dalam rapat
itu dibahas usulan tentang kewenangan tim independen. Pihak
keluarga dan kerabat Munir mendesak agar tim ini memiliki fungsi
pro justicia dan kewenangan yang menyerupai peran polisi.
Usulan ini ditolak oleh pemerintah dan hanya menempatkan
tim investigasi independen sebagai pembantu penyelidikan dan
penyidikan yang dilakukan polisi, serta memberi rekomendasi
bila dianggap perlu. Selain itu kalangan keluarga dan kerabat Munir
juga telah mengajukan beberapa nama untuk masuk ke dalam tim,
meski penentuannya tergantung pilihan dari presiden.
Hasil pertemuan ini ternyata ditanggapi secara cepat
oleh Presiden SBY. Pada tanggal 23 Desember 2004 dikeluarkan
Keputusan Presiden (Keppres) bernomor 111 tentang Pembentukan
Tim Pencari Fakta Kasus Munir, bersamaan dengan dikeluarkannya
Keppres tentang Pembentukan Majelis Rakyat Papua, yang telah
lama ditunggu.Namun demikian yang aneh adalah pembentukan
Usulan nama
anggota tim yang ditawarkan oleh pihak keluarga dan kerabat Munir adalah: Tim Pengarah:
Syafii Maarif, Todung Mulya Lubis, Shinta Nuriyah, dan Asmara Nababan. Tim Kerja: Hendardi,
Rachland Nashidik, Usman Hamid, Munarman, wakil Kejaksaan Agung, wakil Polri, wakil Deplu.
Tim Pencari Fakta/TPF Kasus Munir berbeda dengan yang disepakati
pada saat rapat bersama di Mabes Polri, tanggal 21 Desember 2004.
Meskipun, Juru Bicara Presiden Andi Mallarangeng menyatakan
seharusnya apa yang ditetapkan Presiden SBY sama dengan draf
akhir yang disepakati di rapat Mabes Polri ini .76 TPF memiliki
masa kerja 3 bulan dan bisa diperpanjang 3 bulan lagi.
Berikut ini perbandingan antara draf kerangka acuan yang disepakati
pada rapat di Mabes Polri, tanggal 21 Desember 2004 dengan
kerangka acuan versi resmi atas dasar Keppres No. 111/2004 tentang
Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir.
Tugas :
Secara aktif membantu Penyidik
POLRI dalam melaksanakan proses
penye l i d i kan dan peny id i kan
pengungkapan kasus meninggalnya
Munir.
Wewenang :
a) memberi pertimbangan dan atau
pendapat kepada Penyidik Polri,
dengan atau tanpa diminta oleh
pihak Penyidik Polri;
b) mengusulkan arah penyelidikan
dan penyidikan oleh Penyidik Polri,
memonitor dan mengevaluasi
perkembangannya;
c meminta keterangan dari pihak-
pihak yang diperlukan serta
berkonsultasi dengan ahli-ahli dalam
dan luar negeri demi kepentingan
jalannya proses penyelidikan dan
penyidikan.
Tugas dan wewenang
Membantu Po l r i me lakukan
penyelidikan.
Melakukan hal-hal lain yang
dianggap perlu.
Memperoleh bantuan dari instansi
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Demikian pula komposisi keanggotaan TPF juga mengalami
perubahan dari kesepakatan sebelumnya. Draf anggota TPF
sebelumnya berisi nama-nama yang memiliki karakter politik yang
kuat seperti Ahmad Syafii Maarif (Ketua PP Muhammadiyah) dan
Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid (Nahdlatul Ulama). Keterlibatan
beberapa nama tokoh ini amat diperlukan mengingat muatan
politis kasus ini yang amat tinggi dan sudah bisa dipastikan akan
menemui kendala yang serius. Sayang sekali pemerintahan SBY
kurang jeli dalam melihat pentingnya keterlibatan tokoh-tokoh
ini . Padahal, keberhasilan tim investigasi ini dengan
keterlibatan para tokoh ini akan dengan sendirinya
memberi manfaat yang maksimal bagi kinerja pemerintahan SBY.
Bagaimanapun, terlepas dari mandegnya proses hukum, peluang
bagi pemerintah SBY mengungkap kasus ini masih cukup besar.
Tabel 5
Komposisi/Susunan Keanggotaan TPF
Versi Rapat Mabes Polri,
21/12/ 2004
Versi Keppres SBY,
23/12/2004
1) K.H. Ahmad Syafii Mararief (Ketua
PP Muhammadiyah)
2) Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid
3) Asmara Nababan
4) Todung Mulya Lubis
5) Pejabat Pemerintah
6) Bambang Widjojanto
7) Hendardi
8) Usman Hamid
9) Munarman
10) Smita Notosusanto
1) Brigjen (Pol) Marsudhi Hanafi
(Ketua)
2) Asmara Nababan (Wa. Ketua)
3) Bambang Widjojanto
4) Hendardi
5) Usman Hamid
6) Munarman
7) Smita Notosusanto
8) I Putu Kusa
9) Kemala Candra Kirana
10) Nazaruddin Bunas
Versi Rapat Mabes Polri,
21/12/ 2004
Versi Keppres No.111/2004,
23/12/2004
Kewajiban :
Membuat laporan kepada Presiden
mengenai kegiatan yang dilaksanakan
dan merekomendasikan kebijakan-
kebijakan bagi Presiden.
Pihak keluarga dan kalangan organisasi non-pemerintah
mempertanyakan perbedaan konsep pembentukan tim diatas,
sebagai masalah serius, sekaligus meminta Presiden memberi
penjelasan resmi atas hal itu. Nama yang paling diharapkan
bisa mengawal TPF, Syafii Maarif ternyata tidak termasuk dalam
Keputusan Presiden. Mandat yang terbatas ini memunculkan
kekhawatiran dari kalangan masyarakat sipil bahwa TPF tidak
bisa bergerak leluasa, apalagi Syafii Maarif yang merupakan
pemimpin Muhammadiyah tidak masuk dalam komposisi tim.
Lebih jauh, anggota Tim yang diusulkan dari unsur non-pemerintah
menyatakan sulit menjadi bagian dari Tim yang dibentuk
Presiden jika tidak ada penjelasan dari Kepresidenan.
Komite Solidaritas untuk Munir (KASUM), koalisi organisasi non-
pemerintah misalnya melakukan siaran pers yang menyatakan
bahwa pemerintah/presiden telah mengubah hasil kesepakatan
rapat di Mabes Polri, 21 Desember 2004.78 Dengan perubahan
Versi Rapat Mabes Polri,
21/12/ 2004
Versi Keppres SBY,
23/12/2004
11) Wakil Kepolisian, Brigjend Pol Drs.
Andi Hasanudin Mappalangi, Karo
Analis Bareskrim Polri
12) Seorang Wakil dari Kejaksaan Agung
RI, Agung, I Putu Kusa, Dir Pratut
Jampidum Kejagung RI
13) Ketua Komnas Perempuan Kamala
Chandrakirana
14) Wakil Departemen Hukum dan HAM,
Nazaruddin Bunas, Dir Daktiloskopi
Ditjen HAM
15) Wakil Departemen Luar Negeri,
Des Alwi, Kasubdit Eropa Dit Eropa
Barat, Ditjen Amero.
11) Retno LP Marsudi
12) Arif Navas Oegroseno
13) Rachland Nashidik
14) Mun’im Idris
ini , dikhawatirkan TPF hanya memiliki perangkat yang
terbatas, sehingga TPF ini dikemudian hari hanya menjadi alat
legitimasi pemerintah untuk membenarkan proses penyidikan
yang tidak tuntas. Para anggota TPF dari wakil organiasi non-
pemerintah menyatakan bila dalam waktu sebulan masih terjadi
ketidakjelasan, mereka siap mengundurkan diri dari TPF.79 Pada
akhirnya, tidak ada perubahan sama sekali dalam Keputusan
Presiden ini . Dengan keterbatasan yang ada, TPF yang
terdiri dari unsur pemerintah dan non pemerintah ini
memutuskan untuk melanjutkan kerja TPF. Termasuk mereka
yang berasal dari unsur non pemerintah yang menyatakan
untuk sementara memutuskan ikutserta dalam TPF. Mereka
mengambil sikap akan mengundurkan diri jika dalam pelaksanaan
kerjanya terhambat oleh keterbatasan normatif dalam Keppres
ini . sesudah TPF berjalan, dua anggota TPF dari unsur non
pemerintah, yakni Bambang Widjojanto dan Smita Notosusanto
tetap mengambil sikap untuk tidak aktif dalam TPF.
Belum sempat ada jeda dan pemerintah pun belum merespon
keberatan pencoretan nama-nama ini , terjadi peristiwa
gempa bumi dan gelombang Tsunami di Aceh dan Sumatera bagian
Utara pada 26 Desember 2004. Walhasil, semua perhatian publik
terhadap kasus Munir terpecah sesaat dan bukan merupakan
pilihan populer bila sikap keberatan atas Keppres ini ditampilkan
ke publik, selain masing-masing organiasi non-pemerintah ini
juga melakukan tindakan darurat yang menghabiskan energi besar
untuk merespon bencana tsunami di Aceh.
A. Polri Berjalan Lamban?
Sebelum dibentuknya Tim Pencara Fakta, Presiden telah
menginstruksikan Polri untuk melakukan penyelidikan secara objektif,
terbuka dan jujur.81 Konon, penyelidikan telah dilakukan sejak tanggal
8 September 2004. Polri membentuk Tim Penyidik untuk Kasus Munir,
yang dipimpin oleh Kombes Pol. Oktavianus Farfar. Tim penyidik Polri
telah melakukan pemeriksaan terhadap 86 orang saksi, 11 orang
diantaranya adalah awak Garuda. Saksi ini termasuk dokter
Tarmizi yang menolong Munir saat maut menjemputnya, para
penumpang (baik di Jakarta maupun di Belanda), istri Munir serta
teman-temannya. Namun polisi belum menetapkan tersangkanya.
Dalam pemeriksaan lanjutan, Polisi memeriksa Pollycarpus Budihari
Priyanto, yang sempat meminta Munir pindah tempat duduk dari
kursi ekonomi 40G ke kursi bisnis 3K. Pollycarpus mengaku hanya
melakukan pembicaraan dengan Munir di Bandara Soekarno
Hatta, namun tidak melakukan pembicaraan di bandaran Changi
Singapura. Ia juga mengaku sebelumnya telah mengenal Munir di
Monas dan mendapatkan nomor HP Munir di Imparsial beberapa
bulan lalu. Ia membantah dirinya terlibat dalam Intelijen. Irjen
Pol. Paiman menyatakan akan memeriksa Polly yang dikabarkan
memiliki senjata api dari BIN.
Sementara Dirut Garuda Indra Setiawan yang juga diperiksa tidak
mau mengomentari adanya dugaan bahwa di pesawat Garuda yang
ditumpangi Munir ada penyusupan Intelijen dan tidak mengakui
adanya penyusupan Intelijen terhadap karyawan Garuda.85 Polisi
juga memeriksa intensif para kru Garuda, khususnya yang bertugas
dalam perjalanan Jakarta – Singapura dan bertanggungjawab dalam
pelayanan makanan dan minuman.86
Disamping itu, Polri juga melakukan penyelidikan Changi, di Terminal
tempat pesawat transit, yang menunjukkan tidak banyak ada
restoran. Sementara dari hasil otopsi Belanda – yang akan dijadikan
bahan untuk didalami bagi penyelidikan Polisi - Komjen Suyitno
Landung menyimpulkan, bahwa (1). kadar arsen pada tubuh Munir
di luar kewajaran; (2). tidak diketahui secara pasti kapan Munir
mengkosumsi arsen; (3). tidak diketahui pasti melalui komponen
cair atau padat arsen itu masuk ke dalam tubuh Munir.87
Walau dokumen asli otopsi Munir yang dilakukan oleh Badan
Forensik Belanda telah didapatkan pihak Polri, namun itu tidaklah
cukup. Kepolisian RI membutuhkan bukti – bukti berupa sisa organ
tubuh Munir yang sudah ada di Badan Forensik belanda (Netherland
Forensik Institute/NFI) bisa dibawa ke Indonesia. Untuk itu Polri
mengirimkan surat ke Kejaksaan Agung, Menteri Luar negeri, serta
Menteri Hukum dan HAM untuk memfasilitasi hal ini serta
meminta berita acara yang dilakukan oleh otoritas polisi Belanda
saat Garuda mendarat di Schippol, Amsterdam. Namun pemerintah
Belanda meminta jaminan dari pemerintah RI bahwa bantuan
hukum dari Belanda tidak dipakai untuk menerapkan hukuman
mati.88 Sebuah syarat yang normal dan berlaku dalam diplomasi
internasional, dimana Indonesia sendiri menerapkan standar
persyaratan yang sama kepada negara manapun yang meminta
bantuan hukum Indonesia.
Sementara itu, Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk Presiden
melalui Keppres No.111/2004 dan beranggotakan perwakilan Polri,
Deplu, Depkumdang, Kejaksaan Agung, tim ahli serta organisasi
non pemerintah berjumlah 11 orang akhirnya mulai bekerja efektif
Januari 2005.Sebagai bagian dari tugasnya untuk membantu Polri
melakukan penyelidikan, Tim Pencari Fakta melakukan pertemuan
dengan Tim Penyelidik Polri pada pada 13 Januari 2005. Pertemuan
ini membahas perkembangan kemajuan serta merumuskan rencana
kerja. Dari pertemuan ini diperoleh informasi mengenai data
awal meninggalnya Munir, yaitu (1). Lima berkas dokumen yaitu
General Declaration (outward/inward) awak pesawat GA 974,
Laporan Perjalanan (Trip Report) atas nama Capt.Matondang, Surat
Keterangan Kematian dalam Penerbangan (Death on Board), Manifes
Penumpang dan Bagasi (Passenger and Banggage Manifest), serta
Denah pesawat 747-400, dan (2). Kronologis singkat sebelum dan
sesudah kematian Munir.
Dalam pertemuan ini , TPF menilai tim penyidik lambat
dalam menetapkan tersangka. Kabareskrim mengakuinya, karena
menghadapi beberapa kendala, berkaitan dengan belum adanya
respon dari pemerintah Belanda berkaitan dengan permintaan sisa
organ Munir, belum diperiksanya saksi penumpang yang duduk di
samping Munir karena yang bersangkutan berada di Belanda serta
pemeriksaan atas pengakuan Pollycarpus yang menyatakan bertugas
sebagai mekanik di Bandara Changi.
Menanggapi lambannya penuntasan kasus Munir, Ketua Fraksi
Partai Kesatuan Bangsa, Ali Masykur Musa menyatakan bahwa
kematian Munir yang diduga dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
menyukai aktivitasnya menegakkan HAM di Indonesia, diharapkan
tuntas sebelum 100 hari pemerintahan SBY dan JK. Karena proses
kematiannya menjadi teror bagi para pejuang HAM lainnya dalam
melaksanakan pembelaan di bidang HAM di Indonesia.
Komisi III DPR RI mentargetkan kasus kematian pejuang HAM Munir
SH dapat dituntaskan dalam tiga bulan. Sementara Komisi III DPR
juga akan membentuk tim yang akan mengawasi tim bentukan
pemerintah dan Polri. DPR menilai Polri dan pemerintah memang
agak lambat dalam menangani kasus itu, karena kejadian itu bukan
delik aduan, melainkan kejahatan luar biasa yang harus diantisipasi
dengan pro-aktif, sebagaimana dinyatakan oleh H Taufiqurrahman
Saleh, SH92 DPR mendesak Polri segera menentukan batas waktu
penyidikan kasus Munir, walaupun menghadapi banyak kendala
dan DPR akan membantu dalam menghadapi kendala–kendala
ini . Hal ini untuk menghindari berlarut-larutnya kasus Munir,
sebagaimana disampaikan oleh Slamet Efendi Yusuf. Sementara .Trimedya Panjaitan mempertanyakan polisi yang tidak melakukan
penyidikan terpusat kepada Pollycarpus, karena mencurigakan
tiba–tiba ada pilot yang sangat peduli terhadap masalah HAM.
B. Akses TPF Dihalangi : Ada Apa?
Dalam pemeriksaan selanjutnya, Polly sempat dikabarkan
mempunyai pistol yang didapat dari BIN. Pistol itu berjenis
P-2 Double Action (P2DA) buatan Pindad. Izin penggunaan pistol
dikeluarkan oleh BIN sejak 10 Februari 2004 sampai 31 Desember
2004. Pistol ini dikeluarkan berdasar daftar administrasi
BIN bernomor 210, dengan nomor register AC. 000018xxxx. Pistol
ini menurut situs resmi PT Pindad memiliki kaliber 9x19 mm
dengan beberapa keunggulan seperti, performa tinggi, ketahanan
tinggi, andal, cocok untuk militer dan polisi. Informasi ini
sebenarnya dibocorkan ke media dari seorang sumber di kepolisian
yang enggan disebut namanya.
Pada waktu yang hampir bersamaan, beredar pesan melalui layanan
pesan singkat (SMS) yang mengabarkan seputar keterlibatan
Pollycarpus di BIN. SMS ini berbunyi :
Pilot Garuda Pollycarpus: Pada bulan 02-2002 direkrut oleh
Muchdi PR Deputi V BIN sebagai agen utama intelijen negara,
diangkat dengan skep PR Ka BIN Nomor 113/2/2002. Ia diberi
senjata api pistol, ditandatangani oleh Serma Nurhadi dan
diperpanjang oleh Serma Suparto (SPT). Sehari sesudah
kasus itu, nama Polly muncul di media, yang bersangkutan
kemudian diminta kembalikan pistol dan hari itu juga,
seluruh dokumen Polly, dihapus atau dihilangkan. Yang
memerintah adalah Muchdi PR, SPT dan As’ad, Wa ka BIN.
Gang of 3 ini yang sebenarnya kuasai BIN. Polly sering ke BIN
untuk ketemu Muchdi PR untuk merencanakan pembunuhan
Munir karena takut di luar negeri Munir akan membuka lagi
kasus penculikan aktifis di akhir orba 1997 lalu. Penyidik
Polri dan Kepala BIN yang baru (Syamsir Siregar) diduga
mengetahui keterlibatan ke-3 pejabat BIN ini dalam
pembunuhan Munir, tetapi tidak berani mengungkapkannya.
Direktur Keamanan Transnasional Bareskrim Polri Brigjen Pol
Pranowo Dahlan belum menemukan bukti dugaan keterlibatan tiga
petinggi BIN yang disebut-sebut terkait dalam peristiwa tewasnya
Munir, karena Polisi belum memiliki bukti yang menguatkan indikasi
ini . Pengacara Pollycarpus, Suhardi Somomoeljono, tidak
mau menanggapi adanya kabar ini . Sebaliknya Suhardi
malah meminta Polisi untuk melakukan otopsi terhadap Munir,
untuk mengambil sisa organ di Belanda, dan menyelidiki kepergian
Munir ke Belanda.
Sementara itu, Ketua TPF Brigjen Marsudi Hanafi menyampaikan
dua permintaan penting. pertama, meminta penyidik Polri agar
memeriksa dua orang operator Closed Circuit Television (CCTV)
Bandara Soekarno-Hatta yang bertugas pada 6 September 2004.
kedua, TPF juga meminta penyidik Polri untuk mengadakan
rekonstruksi kronologis kasus kematian Munir.
Permintaan pertama TPF ini sangat penting mengingat PT.
Angkasapura masih memakai pengawasan di bandara dengan
sistem keamanan yang sangat minimal. Yakni hanya ada dua
monitor kamera untuk memantau 600 titik di bandara. Itu pun
memakai kamera kuno dengan memakai rekaman kaset,
yang tidak secara otomatis merekam setiap kejadian di sekitar areal
bandara. Sistim pengamanan dengan kamera CCTV memakai
sistem random, ada yang direkam, ada juga yang tidak. Karena alasan
itulah pihak Angkasa Pura II menjelaskan kepada TPF Munir bahwa
keberadaan Munir menjelang keberangkatannya pada 6 September di
bandara tidak terekam oleh kamera CCTV.97 Temuan ini sebenarnya
menarik dan sangat krusial. Sulit untuk diyakini, sistim pengamanan
kamera bandara masih seperti itu di tengah ramainya kampanye
pemerintah dalam menangani kejahatan terorisme. Apalagi areal
bandara Soekarno Hatta juga pernah mengalami ledakan bom di
restauran makanan cepat saji, Mc Donald pada 27 April 2003.
Permintaan kedua TPF kepada Penyidik Polri juga amat diperlukan untuk
memperjelas sekaligus menguatkan keyakinan penyidik atas bukti-
bukti yang telah diperoleh. Khususnya berkenaan dengan masuknya
racun ke dalam tubuh Munir, kapan dan dimana racun itu masuk ke
dalam makanan atau minuman yang kemudian dikonsumsi Munir. Lebih
dari itu, juga untuk mendeteksi siapa saksi yang kemungkinan melihat
tindakan memasukkan racun ke dalam makanan atau minuman Munir.
Atas permintaan TPF ini , tampaknya Polisi enggan
mendengarnya. Bahkan pra rekonstruksi yang semula akan digelar
penyidik atas permintaan TPF justru dibatalkan. Prarekonstruksi
yang sedianya akan dilaksanakan pada 23 Februari dibatalkan secara
tiba-tiba. Alasannya, menurut Direktur I Keamanan Transnasional
Brigjen Pranowo, karena pihak Garuda belum siap menghadirkan
semua kru pesawat yang terlibat dalam penerbangan pada hari
kematian Munir serta belum tersedianya pesawat.
Walhasil, Penyidik hanya menduga-duga kapan arsen masuk ke
tubuh Munir. Misalnya penyidik membuat tiga dugaan tentang
masalah ini , 1) saat penerbangan Jakarta-Singapura; 2)
transit di Changi; atau 3) sesaat sesudah pesawat take off dari
Singapura menuju Amsterdam. Dugaan ini tentu sangat umum.
Seandainya didukung oleh proses rekonstruksi, tentu akan lebih
kuat. Dugaan selanjutnya dikemukakan oleh Komjen Suyitno
Landung yang mengatakan, ada saksi mengatakan Munir tidak
mengkonsumsi apa-apa dalam perjalanan Singapura-Amsterdam.
Melainkan mengkonsumsi hanya dalam perjalanan Jakarta-
Singapura, seperti mie, orange juice dan buah-buahan. Sementara
Penyidik masih belum menemukan jawaban proses pada saat transit
di Singapura dan sesaat sesudah take off. Yang bisa diperkirakan,
menurutnya, Munir diketahui meninggal dunia, 2 jam sebelum
mendarat di Amsterdam. Dalam hal ini perjalanan pesawat dari
Jakarta ke Amsterdam membutuhkan waktu sekitar 13 jam 10
menit. Jika dikurangi 2 jam sebelum mendarat, maka rentang
waktu meninggalnya Munir menjadi 11 jam 10 menit. Rentang
waktu itulah yang didalami Polri untuk memeriksa saksi kunci.
Penundaan pra rekonstruksi ini menurut KontraS sangat
mencurigakan. Padahal, rencana prarekonstruksi sendiri telah
dipersiapkan cukup lama. TPF memberi waktu tiga pekan bagi
Garuda untuk mempersiapkan pesawat dan kru yang ikut dalam
penerbangan bersama Munir. Karena itu, seharusnya Garuda
membebaskan kru yang dibutuhkan untuk prarekontruksi dari
tugas rutin. Padahal jelas-jelas, prarekonstruksi penting untuk
memperkuat bukti-bukti permulaan yang sudah diperoleh penyidik,
sehingga acara pemeriksaan akan dibuktikan secara riil di lapangan,
misalnya komunikasi kru Garuda dengan Munir. Kontras juga
menganggap bahwa rekontruksi awal ini merupakan tahapan penting
untuk mendapatkan bukti akurat guna menguatkan bukti pemulaan
yang telah diperoleh. Tahapan ini juga penting agar pengungkapan
kasus ini tidak berlarut-larut, apalagi mengingat hingga kini tak jelas
siapa tersangkanya.100 Apalagi sebelumnya, rencana pra rekonstruksi
ini telah dijelaskan oleh Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir
Brigjen Marsudi Hanafi bahwa “semula prarekontruksi akan dilakukan
di hanggar pesawat garuda secara tertutup. Waktu pelaksanaan
sengaja diadakan malam hari karena menyesuaikan dengan waktu
kejadian, yang memang terjadi di malam hari.Prarekontruksi itu
antara lain untuk melihat perjalanan Munir saat berada di ruang
tunggu sampai boarding. Dari rekaman itu, diharapkan bisa tergambar
apakah saat itu ada situasi yang tidak steril di ruang tunggu Bandara
Soekarno Hatta.” Sebelum terbang menuju Belanda, Munir berada di
Terminal II Gate 5. Meskipun sayangnya, keberadaan Munir ini tidak
didukung oleh sistem pengamanan Bandara yang memadai yang bisa
mengetahui bagaimana aktifitas Munir saat itu di bandara.
Sekali lagi, pembatalan mendadak ini menimbulkan tanda tanya
besar bagi publik dan kalangan aktifis organisasi non pemerintah.
Apalagi kemudian janji penundaan hingga bulan Maret 2005
tidak dipenuhi. Malah, penyidik menggelar rekonstruksi secara
diam-diam pada 23 Juni 2005, menjelang hari terakhir masa
kerja TPF. Rekonstruksi diadakan tanpa sepengetahuan TPF dan
tanpa diketahui publik. Padahal sebelumnya, TPF dijanjikan untuk
diberitahukan bahkan diikutsertakan sebagai pemantau dalam
pelaksanaan rekonstruksi. Disini, kepemimpinan penyidikan oleh
Brigjen Pol Pranowo Dahlan menjadi dipertanyakan.
C. Persekongkolan Jahat
Di awal Maret 2005, dari pertemuan TPF dengan pihak Manajemen
Garuda (dipimpin langsung Direktur Utama Garuda, Indra Setiawan),
di kantor Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, telah ditemukan
fakta bahwa Manajemen PT.Garuda Indonesia tidak melakukan
investigasi internal terkait dengan terbunuhnya Munir. Menurut Ketua
TPF, Brigadir Jenderal (Pol) Marsudi Hanafi, investigasi internal ini
semestinya dilakukan pihak Maskapai Penerbangan, seperti tertuang
dalam UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Bahkan,
pihak Garuda, tidak memiliki komitmen untuk membantu proses
pengungkapan kasus secara cepat. Dari pertemuan itu tersirat bahwa
ada pihak-pihak tertentu (dari Garuda) yang bersikap defensif.
TPF kasus meninggalnya Munir menyimpulkan ada beberapa
bukti materil yang menunjukkan pejabat dan karyawan Garuda
bersekongkol atau terlibat dalam meninggalnya aktifis HAM Munir.
Untuk itu, setidaknya tiga tokoh utama dari pihak Garuda sudah
cukup dijadikan tersangka. Ketiganya adalah Aviation Security
Garuda Pollycarpus, Vice President Corporation Security Ramelgia
Anwar dan Dirut Garuda Indra Setiawan.101 Dari dua kali pertemuan
antara TPF dan manajemen Garuda ditemukan beberapa bukti
kuat bahwa meninggalnya kasus Munir adalah hasil dari suatu
kejahatan konspiratif. ada indikasi kuat terlibatnya oknum
PT Garuda dan pejabat direksi Garuda baik langsung atau tidak
dalam meninggalnya Munir. Dari hasil investigasi, TPF mendapatkan
bukti materil yang menunjukkan pejabat ini bersekongkol
dengan cara mengeluarkan surat-surat khusus untuk menutupi
kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan TPF sebelumnya.
Surat–surat ini dikeluarkan secara resmi Garuda. Ketiga surat
ini sarat dengan kejanggalan. Satu surat ditandatangani
sendiri oleh Indra Setiawan, yang kedua oleh Ramelgia Anwar (Vice
President Corporate Security), dan satu lagi sebuah nota yang
ditandatangani Sekretaris Kepala Pilot Airbus 330, Rohainil Aini.
Semuanya berhubungan dengan satu orang, yakni pilot Pollycarpus
Budihari Priyanto, pilot pesawat Airbus 330, yang sudah 19 tahun
berkarier di Garuda. Tiga salinan surat yang dimiliki TPF, jelas sekali
menyebut (ditujukan) untuk pilot Pollycarpus. Surat pertama yang
ditandatangani Indra Setiawan adalah surat penugasan bertanggal
11 agustus 2004. Tidaklah lazim penunjukkan seorang pilot untuk
menjadi tenaga bantuan di unit keamanan perusahaan garuda
ditandatangani langsung oleh Direktur Utama.
Surat kedua yang dikeluarkan Ramelgia Anwar juga sangat
mencurigakan. Surat itu mencantumkan tanggal 4 September, dua
hari sebelum penerbangan pesawat yang ditumpangi Munir. Tanggal
itu jatuh pada hari sabtu, saat kantor Garuda tutup dan tak mungkin
mengeluarkan surat sejenis itu. Tapi, sesudah melalui proses interogasi
polisi, belakangan terungkap, ternyata surat itu sebenarnya
dibuat pada tanggal 15 September, dan baru ditandatangani
Ramelgia pada 17 September. Artinya, sepekan lebih sesudah Munir
meninggal. berdasar kondisi ini, ada dua kemungkinan, yaitu
administrasi Garuda yang tidak profesional atau ada usaha untuk
menutupi fakta tertentu yang terkait dengan pembunuhan Munir.
Sedangkan selembar surat lainnya, nota bertanggal 6 September itu
ditandatangani oleh Rohainil Aini. Sebagai sekretaris staf adminitrasi
jelas ia bukan orang yang memiliki wewenang untuk menandatangani
surat berisi perubahan jadwal terbang bagi Pollycarpus. Otoritas itu
ada pada Kepala Pilot Airbus 330, Kapten Karmel S, yang saat itu
tengah bertugas di luar negeri. Dari pemeriksaan yang ada, terungkap
bahwa Polly datang ke kantor pusat Garuda di Jalan Merdeka Selatan,
Jakarta, menemui Rohainil (6/9) pukul 16.30 WIB. Menjelang tutup
kantor, Polly mendesak agar dibuat surat “pengubahan jadwal”
terbang, agar ia bisa ikut naik pesawat GA-974 menuju Singapura
dan kembali ke Jakarta dengan penerbangan paling pagi.
Dalam pertemuan antara TPF dengan Presiden 3 Maret 2005, Ketua
TPF Munir, Brigjen Pol Marsudi Hanafi -dalam laporan sementaranya-
Bagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR88
menyatakan bahwa TPF menyimpulkan ada cukup bukti kuat
peristiwa meninggalnya Munir merupakan hasil satu kejahatan
konspiratif yang tidak mungkin dilakukan perseorangan dengan
motif pribadi. Indikasinya ada persekongkolan antara pimpinan
Garuda dalam menutup-nutupi, berdasar beberapa kejanggalan
yang berhubungan pada tanggal 6 September 2004 dengan pihak
– pihak di balik Garuda.
Selain itu ditemukan beberapa fakta yang saling berhubungan
yang mengaitkan antara BIN dengan meninggalnya Munir. Namun
pihaknya masih merahasiakan beberapa fakta yang mengaitkan
BIN dengan meninggalnya Munir. TPF memfokuskan diri pada
pihak di balik pelaku di lapangan. TPF sendiri sebelum bertemu
dengan SBY sudah menjadwalkan pertemuan dengan BIN, namun
belum ada tanggal pastinya.103 TPF merekomendasikan adanya
pemeriksaan terhadap para 4 orang direksi Garuda serta 2 orang
petugas operator rekam untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Sementara itu, Presiden SBY melalui Mensesneg Yusril Ihza
Mahendra menyatakan bahwa pengungkapan kasus Munir akan
menjadi indikator perubahan bangsa ini. Ia menghargai kerja keras
tim untuk membantu penyidikan Polri dan mempersilakan TPF
Munir meminta keterangan dari semua institusi dan badan negara,
termasuk BIN bila diperlukan. Pemerintah tidak akan mencampuri.
Tetapi memberi kebebasan dan mendukung sepenuhnya.104
Sore harinya, TPF melakukan pertemuan dengan Tim Penyidik Mabes
Polri. TPF juga meyakini bahwa Tim Penyidik Polri akan menetapkan
tersangka. Tim penyidik telah menemukan kejanggalan-kejanggalan
dari dokumentasi dan penugasan kru Garuda di pesawat GA 974 yang
sesuai dengan temuan TPF. Namun penyidik belum juga menetapkan
tersangka karena masih mengumpulkan bukti–bukti yang kuat sesuai
dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Kapolri Jenderal Polisi Da’i Bachtiar menegaskan, akan melakukan
evaluasi secara mendalam terhadap informasi yang diberikan TPF
yang menyatakan adanya keterlibatan pejabat Garuda dengan
kematian aktifis HAM ini . Da’i juga menegaskan, sejauh ini
pihak penyidik tidak akan menetapkan status tersangka terhadap
siapa pun sebelum penyidik berhasil mengambil keterangan seluruh
saksi, yakni semua penumpang yang berada di pesawat dengan
rute Jakarta-Singapura-Amsterdam pada 6 September 2004, lalu.
Langkah ini dilakukan agar pihak kepolisian memiliki seluruh data
informasi yang lengkap sebelum diputuskannya status tersangka. Da’i
mengaku orang yang patut diduga itu belum diketahui apa perannya
dalam kematian Munir, tapi setidaknya ada dugaan, ada sesuatu
yang disembunyikan atau perlu dipertanyakan hingga patut diduga
yang bersangkutan terkait dengan meninggalnya Munir. Namun
laporan TPF ini merupakan hasil keterangan lebih lanjut dari
keterangan jajaran direksi Garuda yang perlu dikaji lagi atau perlu
didalami lebih lanjut berkaitan dengan proses penegakan hukum.
Sementara itu, DPR melalui Tim Gabungan Kasus Munir DPR
memanggil direksi Garuda beserta seluruh kru yang bertugas
saat Munir meninggal dalam pesawat, guna meminta keterangan
pihak Garuda berkaitan dengan meninggalnya Munir. Pertemuan
itu dilakukan secara tertutup. Dalam keterangan kepada pers,
Dirut Garuda Indra Setiawan membantah soal tudingan dirinya
dan jajarannya terlibat dalam kasus tewasnya Munir seperti
yang diungkapkan TPF. Namun Indra membenarkan soal surat
penugasan Pollycarpus sebagai Aviation Security Garuda yang
dikeluarkannya. Adanya nomor ganda dalam surat penugasan
Pollycarpus, berkaitan dengan masalah administrasi.
Tim Gabungan Kasus Munir juga memanggil Pollycarpus
dalam sebuah pertemuan tertutup, sebagai tindak lanjut dari
pertemuan dengan Dirut Garuda. Namun Slamet Effendy Yusuf
menyatakan DPR tidak puas dengan jawaban Pollycarpus yang
dianggap berbelit-belit. DPR mempertanyakan tugas Polly pergi
ke Singapura pada malam itu, secara umum apa tugas Polly
sejak tanggal 11 Agustus 2004, apa yang dilakukan Polly dalam
pergaulannya dengan beberapa orang di Jakarta, serta tentang
kejadian-kejadian yang menimpa Polly seperti masalah tabrak
lari yang pernah diderita oleh Polly. Jawaban yang didapatkan
bukanlah jawaban yang cerdas, layaknya jawaban seorang pilot.
Selain itu, Polly juga mengaku telah meminta kepada salah
seorang pramugari, Brahmani untuk memindahkan Munir dari
kelas ekonomi ke kelas bisnis. DPR juga meragukan keterangan
Polly yang menyatakan bahwa tugasnya ke Singapura sebagai
Aviation Security itu dijalankan hanya dengan melakukan
pertemuan saja dengan teknisi Garuda yang ada di Singapura,
tapi tidak melakukan pengecekan terhadap pesawat yang
bersangkutan.
D. Penetapan Tersangka Pollycarpus: Cukup Disini?
Sedianya, Polri akan melakukan pemeriksaan intensif terhadap
Polly, 10 Maret 2005. Namun pemeriksaan itu urung terjadi, karena
Polly mengalami sakit –dilengkapi dengan surat keterangan istirahat
dari dokter, berkop Garuda Sentra Medika dan logo Garuda-.
Namun, keterangan itu diragukan Polri karena tidak menjelaskan
sakit yang diderita Polly. Untuk itu Polri akan mengirimkan tim
khusus (termasuk dokter kepolisian), serta menyiapkan lie detector
(alat uji kebohongan) jika Polly tidak kooperatif. Akhirnya
pada 14 Maret 2005, Polly mulai diperiksa di Mabes Polri, sesudah
sebelumnya dibawa oleh Polri ke Rumah Sakit Polri 12 Maret
2005, karena penyempitan pembuluh darah sesudah mengalami
kecelakaan di Jl. Raya Pondok Cabe tiga minggu sebelumnya.
Dan sesudah memeriksa secara maraton selama lima hari –melalui
pemeriksaan kesehatan, psikis, maupun aktivitasnya-, pada Jum’at
(18/03) malam tim penyidik Mabes Polri menetapkan Pollycarpus
Budihari Priyanto, pilot Garuda, sebagai tersangka dan menahan
Pollycarpus di rumah tahanan Mabes Polri.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar menyatakan ada indikasi
Pollycarpus memberi keterangan yang tidak sesuai dengan
keadaan sebenarnya, ada sesuatu yang disembunyikan, dan hal inilah
yang menjadi indikator bagi penyidik bahwa diperlukan pendalaman
lagi untuk penyelidikan. Sejauh ini, atas dasar ‘ada sesuatu yang
disembunyikan’ polisi menyakini bahwa Pollycarpus terlibat dengan
kematian Munir. Ia hanya berperan membantu dan menyediakan
fasilitas, namun ia tidak menyebutkan eksekutornya. Akan tetapi,
Direktur Kriminal Umum dan Transnasional Kepolisian Negara RI (Polri)
Brigadir Jenderal (Pol) Pranowo Dahlan dan Penyidik Utama Unit III
Bareskrim Mabes Polri Kombes Pol. Anton Charlian menegaskan,
polisi memiliki bukti kuat untuk menetapkan Pollycarpus sebagai
tersangka. Dimana, tersangka melakukan pelanggaran pasal 340
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan
berencana, junto pasal 55 dan 56 KUHP, plus sangkaan subsider
berupa pelanggaran pasal 263 KUHP, tentang pemalsuan dokumen.
Dasar-dasar penetapan yang bersangkutan, antara lain adanya
laporan polisi, keterangan saksi, visum dan bukti material.
Sementara itu, Mabes Polri kembali memeriksa Sekretaris Chief
Pilot Airbus PT Garuda Indonesia, Rohainil Aini, sebagai
saksi kunci terkait dugaan pemalsuan dalam surat penugasan
Pollycarpus Budihari Priyanto. Mabes Polri menduga semua surat
tugas Pollycarpus dalam penerbangan Garuda, 6 September 2005
ke Belanda yang ditumpangi Munir, semua palsu. TPF kasus Munir
mengindikasikan Rohainil Aini terkait langsung dengan meninggalnya
Munir. Rohainil merupakan orang yang menandatangani surat
penugasan Pollycarpus untuk menjadi Aviation Security di pesawat
Garuda rute Jakarta-Singapura-Amsterdam, 6 September
2004. Padahal prosedur penerbangan mengatur seorang pilot
diperbolehkan terbang atau tidak jika mendapatkan surat
penugasan dari kepala pilot. Jika tidak disertai surat penugasan
itu, penerbangannnya disebut ilegal atau pelanggaran.
Selain itu, berdasar rekomendasi TPF, Polri memeriksa Vice
President Human Resource Department Daan Ahmad, terkait
dengan pembuatan surat tugas Pollycarpus. Ia pernah melaksanakan
tugas dari Ramelgia Anwar (VP Corporate Security), yang
menandatangani surat tugas Pollycarpus. Padahal semestinya surat
tugas Polly ditandatangani oleh Direktur Operasional Garuda, Rudi
A Hardono. Lebih dari itu, menurut TPF, surat Ramelgia Anwar
ternyata dibuat mundur.
sesudah Pilot Garuda Pollycarpus ditetapkan sebagai tersangka,
penyidik Mabes Polri menetapkan status yang sama terhadap dua
awak garuda, Oedi Irianto selaku petugas pantry dan Yeti Susmiarti
sebagai pramugari pada penerbangan Garuda GA 974. Keduanya,
pada 6 April 2005 menjalani pemeriksaan di Mabes Polri. Mereka
ditetapkan sebagai tersangka karena mereka bertugas mempersiapkan
segala sesuatu/makanan dan minuman untuk penumpang, termasuk
untuk almarhum Munir. Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim)
Mabes Polri Komjen Pol Suyitno Landung menjelaskan racun arsen
masuk ketubuh Munir, diduga pada penerbangan Jakarta-Singapura
sesuai dengan toksiologi dari pakar Belanda dan Indonesia. Meski
belum bisa dipastikan apakah racun ini ada pada mie
goreng atau orange juice yang disantap Munir. Namun, Oedi dan
Yeti tidak ditahan oleh penyidik Bareskrim Polri karena yakin bahwa
kedua tersangka tidak akan melarikan diri.
Sedangkan TPF Kasus Munir meminta Kepolisian RI mempertimbangkan
penetapan Brahmanie Astawati-pramugari senior (purser) yang juga
bertugas pada penerbangan GA 974 sebagai tersangka. Alasan dari
TPF, Brahmani-lah yang mengizinkan penukaran tampat duduk
bagi Munir saat perjalanan Jakarta-Singapura. Brahmanie sendiri
menegaskan, ia tidak pernah dimintai izin oleh Pollycarpus untuk
memindahkan tempat duduk almarhum dari nomor 40 G (klas
ekonomi) ke 3K (klas Bisnis). Menurutnya, Polly hanya memberitahu
tentang pemindahan tempat duduk ini . Brahmanie mengaku
ia tidak kuasa menolak pemindahan seat oleh Polly, meskipun Polly
tidak berwenang. Sebab, saat itu Munir sudah duduk di seat
bisnis. Selain itu, ada satu alasan yang bisa dirasakan para awak
kabin seperti dia, yakni bahwa pilot ibarat ‘warga kelas satu’ di
maskapai penerbangan. Ia juga menolak keras jika dinilai terlibat
dalam konspirasi pembunuhan Munir. Selain itu, ia hanya bertugas
sebagai flight service manager dari Jakarta sampai Singapura,
sementara yang bertugas menggantikannya untuk penerbangan
Singapura-Jakarta adalah Najib Nasution. Brahmanie juga
menyatakan, sehari sebelum keberangkatan, awak kabin menerima
pesanan moslem meal (makanan muslim) untuk kursi 40G kelas
ekonomi, yang merupakan kursi ‘asli’ Munir, namun ia mengaku
tidak tahu siapa yang memesan makanan ini .
Sementara itu, Ketua TPF Munir, Brigjen Marsudhi Hanafi mengusulkan
Indra Setiawan dan Ramelgia Anwar untuk menjadi tersangka,
karena terlibat dalam pembuatan surat palsu. Untuk itu, tim
penyidik Mabes Polri memeriksa semua awak Garuda, termasuk
Indra Setiawan, Ramelgia Anwar, Rohainil Anwar, Hermawan dan Edi
Susanto pada 8 April 2005.Berkaitan dengan hal ini , Ketua
TPF Marsudhi menyatakan mempercayakan penyelidikan kepada
kepolisian, karena tugas TPF hanyalah merekomendasikan beberapa
nama yang kemudian akan ditindaklanjuti oleh polisi.
E. Dugaan Keterlibatan Intelijen
TPF mendesak penyidik Polri segera menetapkan beberapa nama
yang diduga kuat sebagai tersangka, baik dari pihak pejabat teras
di Garuda. Hal ini dilakukan agar TPF dapat melangkah lebih jauh
untuk menelusuri keterlibatan BIN dalam pembunuhan Munir.
Pertengahan Maret 2005, TPF mendapatkan beberapa informasi dari
sumber-sumber yang dirahasiakan, mengenai dugaan keterlibatan
(setidaknya mengetahui), dari beberapa aparat intelijen dalam
kasus pembunuhan Munir. TPF menganggap bahwa informasi itu
terlalu penting untuk diabaikan, namun terlalu berbahaya untuk
dipercayai begitu saja. Penting, karena informasi itu memperkuat
salah satu dari kemungkinan motif pembunuhan Munir. Berbahaya,
karena informasi itu peka disampaikan oleh pihak-pihak yang
merahasiakan identitasnya untuk tujuan yang tidak diketahui.
Karenanya, untuk memastikan informasi itu adalah sebuah petunjuk
bagi investigasi kasus pembunuhan Munir atau informasi yang
justru menyesatkan, TPF menilai perlu untuk mengecek kebenaran
informasi ini . Termasuk pula didalamnya mengecek informasi
mengenai keterlibatan lembaga intelijen dalam kasus pembunuhan
Munir, dimana BIN adalah salah satu lembaga yang perlu diperiksa.
TPF mengharapkan, semua pihak yang mengetahui atau memiliki
informasi atau bukti-bukti tambahan yang tersembunyi mengenai
kasus Munir untuk menyerahkannya kepada TPF. Selama kasus ini
menjadi misteri dan tak bisa diungkap, selama itu pula banyak
pihak, termasuk didalamnya TNI dan beberapa perwira tinggi
lainnya, baik yang masih aktif atau telah punarwirawan, akan
mendapatkan sorotan yang sama sekali tidak menguntungkan.
Kapolri Jend Pol. Dai Bachtiar menegaskan Polri tidak ada
masalah dalam pemeriksaan Intelijen yang diduga terkait dalam
pembunuhan Munir. Ia tetap mempelajari rekomendasi TPF dan
akan melakukan penyelidikan lebih lanjut jika rekomendasi TPF
cukup akurat. Kepal BIN Syamsir Siregar menyatakan bahwa BIN
siap diperiksa serta tidak ada kesulitan dari pihak manapun untuk
bertemu dengan pejabat BIN. Mengenai dugaan keterlibatan
BIN, ia meminta pihak – pihak yang terkait tidak menduga-duga,
melainkan memberi bukti keterlibatan BIN atas meninggalnya
Munir. Ia membantah BIN diminta memberi klarifikasi atas tuduhan
itu, karena TPF belum memberi bukti keterlibatan BIN.
Sementara itu, pertemuan dengan BIN tertunda beberapa kali.
Menurut anggota TPF Rachland Nashidik, surat undangan kepada
Kepala BIN tidak terlalu digubris, sehingga pertemuan-pertemuan
itu urung tertunda. TPF menyesalkan sikap Syamsir, karena
seringkali alasan pembatalan itu tidak dijelaskan secara detil oleh
pihak BIN. Sebenarnya TPF hanya ingin meminta komitmen BIN agar
mau melakukan kerjasama yang penuh dengan TPF dan memberi
hal-hal yang dibutuhkan TPF, serta mengusulkan mekanisme
kerjasama antara TPF dan BIN dalam proses penyelidikan kasus
Munir. Selain itu, Usman Hamid menyatakan bahwa pertemuan
ini untuk mendorong BIN melakukan penyelidikan internal terlebih
dahulu terhadap anggotanya yang diduga terlibat.
Pertemuan antara TPF dengan BIN akhirnya terjadi pada 6 April
2005. Kepala BIN Syamsir Siregar menyatakan komitmennya untuk
mendukung kerja TPF dalam menuntaskan kasus meninggalnya Munir.
Dukungan ini akan segera dituangkan dalam nota kesepahaman
bersama untuk kerja sama berikutnya. Sekretaris TPF Usman Hamid
mengatakan, pertemuan dengan Kepala BIN yang berlangsung
sekitar 1,5 jam dan hasilnya cukup positif. Bahkan Kepala BIN sudah
menyatakan komitmennya guna mendukung kerja sama dengan
TPF. Dukungan itu akan dituangkan dalam pembuatan protokol
atau kesepahaman bersama untuk kerja sama berikutnya. BIN juga
menempatkan tiga deputi-nya bergabung dalam tim khusus bersama
dengan empat orang anggota TPF, yang akan menyusun protokol
(semacam prosedur) untuk penyelidikan kasus kematian Munir.
Menyikapi hal ini , Persiden SBY menyetujui pembentukan
tim gabungan antara BIN dan TPF untuk mengungkap kematian
Munir. Mengenai pembentukan tim gabungan untuk kasus Munir,
Syamsir menjelaskan bahwa hal ini merupakan komitmen
dari pihak BIN untuk membantu. Ia menyerahkan kepada TPF untuk
menetapkan mekanisme dan pola kerja antara wakil dari BIN dan
TPF.128 Namun ia membantah kabar adanya SK No. SKEP 113/2/2002
tentang pengangkatan Pollycarpus sebagai agen BIN karena tidak
ada bukti otentik.
Namun kesepakatan TPF dan BIN tidak berjalan dengan baik.
usaha TPF untuk memeriksa pejabat dan anggota BIN terganjal
berbagai kendala. TPF melakukan 3 kali pemanggilan pemeriksaan
saksi terhadap Mantan Sekretaris Utama BIN yang kini menjadi
Duta Besar Indonesia untuk Republik Federasi Nigeria, Nurhadi
Djazuli. Penolakan Nurhadi untuk memenuhi panggilan TPF karena
ia menilai TPF tidak berwenang melakukan penyelidikan yang
merupakan wewenang Kepolisian Negara RI.
Ketua TPF Marsudi Hanafi menilai penolakan Nurhadi menunjukkan
sikap yang tidak kooperatif serta menghina Presiden karena TPF
bekerja berdasar Keppres. Karena itu, anggota TPF Asmara
Nababan mengusulkan adanya pertemuan antara Presiden, TPF, BIN
dan Kapolri untuk mencari solusi agar kinerja TPF dapat berjalan
efektif. Pertemuan ini juga diharapkan dapat memperlancar
kerjasama dengan BIN sehingga mempercepat proses pencarian
fakta. Hal ini didukung Kapolri Jenderal Dai Bachtiar,
walaupun ia mempertanyakan apakah pertemuan ini bisa
mendukung penyidikan yang dilakukan. Sejauh ini, tim penyidik
mengalami kesulitan dalam proses kesaksian.
Protokol kerjasama antara TPF dan BIN akhirnya ditandatangani
2 Mei 2005. Protokol ini pula yang menjadi alat pengikat bagi
Nurhadi Djazuli untuk tidak menghindar dari panggilan TPF, karena
diduga adanya indikasi mantan sekretaris BIN ini dalam
pembunuhan Munir. Nurhadi akhirnya hadir dalam pemeriksaan
dengan TPF 8 Mei 2005 di kantor TPF, Komnas Perempuan, Jakarta.
Dari pemeriksaan tertutup ini , TPF mengatakan bahwa TPF
semakin yakin tentang adanya keterlibatan aparat BIN atau mantan
BIN dalam pembunuhan Munir. Hal ini dapat menjadi pintu masuk
untuk menelusuri fakta-fakta tentang dugaan yang telah dimiliki
TPF berkenaan dengan adanya indikasi ini Menanggapi
hal ini , Kepala BIN Syamsir Siregar menyerahkan semuanya
pada TPF. Sementara itu, Kepolisian RI juga memeriksa Nurhadi
Djazuli, guna membandingkan temuan tim penyidik dengan TPF,
termasuk mencari keterkaitan Pollycarpus, tersangka kasus Munir
dengan BIN. sesudah dikonfrontir, baik Nurhadi maupun Pollycarpus
mengaku tidak saling kenal.
F. Deputy V BIN Muchdi PR
Berkaitan dengan perkembangan atas pemanggilan Nurhadi, TPF
Munir melaporkan hasil perkembangan penyelidikan kepada Presiden
SBY pada 11 Mei 2005. TPF juga melaporkan rencana pemeriksaan
anggota BIN lainnya, tetapi belum mendapat kepastian waktu.
Terhambatnya berbagai pertemuan TPF dengan BIN akhirnya
mendorong Presiden untuk memimpin langsung pertemuan antara
TPF, BIN dan Mabes Polri. Sebagai persiapan pertemuan segiempat
ini , SBY menggelar rapat koordinasi mendadak dengan Kapolri
Jenderal Pol Da’i Bachtiar, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, serta
Menkum dan HAM Hamid Awaluddin. Rapat itu juga dilakukan untuk
mengambil langkah sebagai tindak lanjut usulan dari DPR mengenai
pengungkapan kasus Munir, serta menginstruksikan kepada seluruh
pejabat dan instansi terkait untuk mendukung segala usaha TPF
untuk mengumpulkan keterangan mengenai kematian aktivis HAM
Munir. SBY merasa belum puas dengan kemajuan yang dicapai TPF
sejauh ini belum juga menunjukkan hasil yang signifikan.
Menindaklanjuti pemeriksaan terhadap anggota BIN, TPF
mendatangi Kantor BIN, 12 Mei 2005. TPF mengatakan akan
memeriksa beberapa dokumen terkait dengan prosedur dan aturan
di BIN serta menindaklanjuti hasil pertemuan tim dengan Nurhadi.
TPF juga melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap Nurhadi, untuk
memperdalam hasil temuan awal, dan akan menindaklanjutinya dalam
3 tahapan. Yaitu mendalami keterangan-keterangan Nurhadi, meng-
cross check- seluruh keterangan Nurhadi, baik pada pemeriksaan
pertama dan kedua, dengan saksi lain, informasi dan petunjuk lain
yang dimiliki TPF Munir, termasuk dibandingkan dengan keterangan
Nurhadi saat diperiksa di Kepolisian, serta hasil keterangan
Nurhadi dalam berkas acara pidana (BAP) yang dimiliki polisi.
Presiden menggelar pertemuan segiempat antara Presiden, TPF
Munir, Polri dan BIN pada 18 Mei 2005. TPF juga melaporkan
temuannya, berupa kesimpulan adanya keterangan-keterangan
pejabat BIN yang bertentangan dengan fakta yang ada.
sesudah pertemuan ini , Wakil Ketua TPF Asmara Nababan
mengatakan bahwa TPF kasus Munir mempertimbangkan untuk
memeriksa mantan Kepala BIN Hendropriyono dan Mantan Deputi V
BIN Muchdi PR. TPF menemukan fakta adanya sambungan telepon
dari nomor telepon milik Pollycarpus dengan Kantor BIN di masa
kepemimpinan Hendropriyono, yaitu adanya sambungan telepon
antara Polly dengan kantor Deputi V BIN yang waktu itu dijabat
oleh Muhdi PR. TPF menemukan fakta sambungan telepon antara
Polly dan Muhdi itu berlangsung sebelum dan sesudah aktivis HAM
Munir tewas pada 7 September 2004. Terlacak puluhan kali kontak
sambungan telepon antara keduanya. Meski belum diketahui pola
hubungan keduanya, setidaknya fakta ini telah menggugurkan
semua bantahan BIN sebelumnya yang menyatakan tidak memiliki
kaitan apa pun dengan Polly. Kasus kematian Munir bisa dibawa ke
pengadilan untuk membongkar dan membuktikan pemberi perintah
serta pendukung pembunuhan. Ia memastikan, pembunuhan di
atas pesawat Garuda Singapura-Amsterdam itu tidak dilakukan
Pollycarpus secara pribadi, namun dilakukan secara konspirasi atau
persekongkolan.
Sementara itu dalam pertemuan TPF dengan Tim Munir DPR pada
19 Mei 2005, TPF juga menilai bahwa BIN tidak kooperatif dalam
pengungkapan kasus terbunuhnya Munir. Dalam menjalankan
tugas, tim yang dibentuk lewat keputusan Presiden itu menghadapi
perlakuan yang dinilai menyulitkan dari BIN. Dalam pertemuan
yang dipandu Wakil Ketua Tim Munir DPR Slamet Effendy Yusuf
itu, juga mengemuka kendala anggaran dana karena anggaran
dari pemerintah yang juga belum turun untuk tim TPF ini. Dalam
hubungannya dengan BIN, TPF merasa menemui beberapa hambatan,
diantaranya untuk mendapatkan dokumen serah terima jabatan
mantan Sekretaris Utama BIN Nurhadi Djazuli kepada Sekretaris
Utama BIN Suparto. Untuk itu, TPF mengharapkan perhatian
DPR untuk mendorong agar apa yang telah disepakati pimpinan
BIN dengan TPF juga dapat diimplementasikan stafnya. Belajar
dari kasus ini, seorang anggota TPF juga mengusulkan kepada
DPR agar merestrukturisasi lembaga intelijen, termasuk soal
pertanggungjawaban yang ketat atas sebuah operasi intelijen.
Polri sendiri telah memeriksa Muchdi PR pada 18 Mei 2005, sesudah
sebelumnya dijadwalkan pada 16 Mei 2005.
Namun, 3 Juni 2005
Muchdi PR tidak hadir memenuhi penggilan TPF tanpa alasan yang
jelas. Sedianya TPF akan melakukan konfirmasi mengenai hasil
penelusuran telepon antara Muchdi dengan Polly. Dari penelusuran
itu, ditemukan adanya saling kontak antara keduanya sebanyak
35 kali, baik sebelum maupun sesudah Munir tewas, 7 September
2004 lalu.
Namun demikian, hingga laporan ini ditulis, tidak nampak adanya
pemeriksaan intensif ataupun pengusutan yang serius untuk
membongkar lebih jauh kemungkinan peran Deputy V BIN Muchdi
PR dalam persekongkolan jahat membunuh Munir. Bertolak dari
dugaan keterlibatan pejabat teras di BIN ini TPF kemudian meminta
keterangan bekas Kepala BIN AM Hendopriyono. Langkah TPF
ini memperoleh dukungan publik luar biasa karena memang
amat masuk akal mengingat dinamika perkembangan pengusutan
yang ada.
G. Mantan Kepala BIN AM Hendropriyono Terkait Kasus
Munir?
Meski TPF menghadapi batu sandungan, diantaranya keenganan
BIN diawal untuk membuka akses penyelidikan TPF ke dalam BIN,
pembuatan protokol bersama BIN – TPF yang memakan waktu yang
lama, hingga resistensi beberapa (mantan) anggota BIN untuk
dimintai keterangan, penyelidikan TPF tetap berlanjut sampai ke
arah Hendropriyono, mantan Kepala BIN yang saat Munir meninggal
masih menjabat posisi ini . usaha ini memang diperlukan, untuk
benar-benar memastikan sejauh mana keterlibatan BIN dalam kasus
pembunuhan Munir. Apalagi sesudah TPF mengidentifikasi adanya
kontak intensif berupa komunikasi antara Pollycarpus dan Muchdi
Pr yang menjabat Deputi V BIN saat Munir meninggal. Komunikasi
yang terjadi sebelum dan sesudah kematian Munir ini
dilakukan antar telepon genggam, telepon rumah dan kantor BIN.
Sebelumnya nama-nama pejabat/mantan pejabat BIN yang
masuk daftar TPF untuk dimintai keterangannya adalah Nurhadi
Djazuli (mantan Sekretaris Utama BIN), Kolonel (Mar) Sumarno
(Kepala Biro Umum BIN), dan Mayjen (Purn) Muchdi PR (Deputi
V BIN). Meski TPF sendiri menghadapi resistensi, pemeriksaan
terhadap Hendropriyono tetap penting untuk dilakukan. Apalagi
Hendropriyono (dan Muchdi PR) memiliki pengalaman sejarah
yang “tidak baik” dengan Munir. Selain sebagai konsekwensi logis
dari penelusuran investigasi TPF, munculnya nama Hendropriyono
sendiri tidak terlalu mengejutkan bagi kalangan dekat Munir.
Secara politik, Munir dan Hendropriyono memiliki ketegangan
berkaitan dengan beberapa kasus; di mulai dari advokasi kasus
Talangsari, Lampung hingga yang terakhir tentang peran BIN dalam
hal tidak diperpanjangnya izin tinggal dan kerja Sidney Jones,
Direktur International Crisis Group (ICG), sebuah lembaga berbasis
di Belgia yang pernah mengeluarkan laporan terkait dengan peran
intelijen dalam beberapa masalah sensitif di luar fungsinya. Isu yang
terakhir ini juga bersamaan dengan bersitegangnya Munir dengan
Kepala BIN Hendropriyono, seputar pernyataan dan laporan BIN
tentang 20 LSM yang dituduh menjual Indonesia ke pihak asing.
Ketegangan ini bermula dari pemberitaan seputar laporan BIN
kepada Presiden Megawati dan DPR perihal adanya 20 LSM dan
aktifis yang dituduh ingin mengacaukan Pemilihan Umum tahun
2004. Dalam pertemuan itu dikabarkan Kepala BIN menyebut secara
eksplisit nama Sidney Jones, peneliti ICG serta ELSHAM Papua,
sebuah lembaga HAM di Papua sebagai contoh diantara jumlah yang
disebutkan. Dari pemberitaan juga berkembang tentang sikap Kepala
BIN Hendropriyono seputar deportasi Sidney Jones, seorang peneliti
dari ICG dengan alasan laporan ICG menjelek-jelekan pemerintah
Indonesia. “Pekerjaan kita akhirnya cuma menjawab pertanyaan
dari internasional,” kata Kepala BIN dalam sebuah wawancara.
Sidney Jones memang dikenal sebagai peneliti dan aktivis yang sangat
kritis terhadap pelbagai masalah keamanan dalam negeri Indonesia
termasuk menyangkut intelijen dalam operasi di Aceh, Papua, Poso,
dan proyek anti terorisme. Begitupula ELSHAM Papua, yang dikenal
aktif bekerja di masyarakat Papua seputar permasalahan kekerasan
dan pelanggaran HAM di Papua hingga kepentingan bisnis dan politik
kelompok tertentu dibalik peristiwa-peristiwa itu.
H. Kecaman Publik
beberapa tokoh masyarakat seperti Nurcholis Madjid (Cak Nur) dan
berbagai organisasi masyarakat sipil kemudian bereaksi terhadap
sikap Hendropriyono dan menantang Kepala BIN Hendropriyono
untuk membeberkan kebenaran laporan ini . Hendropriyono
sendiri mengeluarkan pernyataan balasan bahwa mereka yang
membela Sidney Jones juga merupakan penghianat bangsa.
Hendropriyono kemudian menjelaskan bahwa mereka tidak akan
dibiarkan, akan ada tindakan yang diambil terhadap mereka. Munir
sendiri saat itu termasuk orang yang membela Sidney Jones dan
merasa pernyataan Hendropriyono tertuju ke dirinya.
Keterkaitan BIN dalam kasus pembunuhan Munir amat menarik
mengingat hingga menjelang berangkat, Munir sendiri masih percaya
bahwa karena sikapnya itu ia dicekal oleh BIN. Sebelumnya,
Munir terlibat aktif dalam mengkritisi bahkan “menjegal” usaha
penguatan kewenangan BIN secara luar biasa melalui rancangan
undang-undang, mulai dari keinginan BIN agar diberi wewenang
menangkap dan menahan orang yang dicurigai, sumber pendanaan
non APBN, wewenang pemberian izin penggunaan senjata api,
hingga perluasan struktur BIN hingga ke tingkat desa.
Kembali pada perkembangan kerja TPF yang ingin memperoleh
keterangan dari bekas Kepala BIN, pemanggilan Hendropriyono
menjadi penting mengingat ada indikasi bahwa Pollycarpus
berhubungan dengan institusi ini . Hal ini disampaikan oleh
TPF dalam acara jumpa pers sesudah menghadap Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, pada tanggal 18 Mei 2005 di Istana Negara.
I. TPF Berakhir: Unfinished Agenda?
Menjelang hari terakhir masa kerja TPF, Polri secara diam-diam
akhirya menggelar sebuah rekonstruksi -hal yang telah lama diminta
TPF- di Hanggar II Garuda Maintenance Facility (GMF) Bandara
Soekarno Hatta, 23 Juni 2006. Rekonstruksi ini dihadiri oleh para
tersangka yaitu Pollycarpus, Oedi Irianto dan Yeti Susmiati, dengan
memakai pesawat Garuda Boeing 737.156 Dinyatakan oleh
Direktur I Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Pol Pranowo Dahlan,
bahwa rekonstruksi sengaja dilakukan secara tertutup demi
kepentingan kelancaran jalannya proses rekonstruksi.157
sesudah sebelumnya diperpanjang pada 23 April 2005, masa kerja
TPF berakhir 23 Juni 2005. TPF melaporkan hasil kerjanya kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Laporan TPF memuat 3 poin
rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah. Pertama,
pembunuhan Munir tidak melibatkan satu dua orang sehingga pihak-
pihak tertentu di lingkungan Garuda dan Badan Intelijen Negara
yang terlibat dalam konspirasin pembunuhan terhadap Munir harus
diperiksa secara intensif. Kedua, proses pengusutan kasus Munir
terhambat oleh faktor internal di tubuh Polri sehingga diperlukan
langkah konkret berupa audit kinerja Polri dalam penanganan kasus
Munir. Ketiga, perlu dibentuk sebuah kelembagaan baru yang berada
dibawah langsung Presiden untuk meneruskan langkah-langkah
yang ditempuh TPF sekaligus sebagai bentuk kelanjutan komitmen
Presiden mengungkap kasus pembunuhan terhadap Munir.
Dalam penyampaian laporan TPF, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi
mengeluarkan pernyataan bahwa institusi TNI mulai dari Mabes
hingga regu di kesatuan tidak terlibat. Selanjutnya Sudi Silalahi
menyatakan, pemerintah akan mengolah dan menindaklanjuti
rekomendasi TPF dalam waktu singkat untuk mengambil langkah-
langkah konkret berkaitan dengan kasus kematian Munir.158 Sudi
Silalahi kemudian menjelaskan, Presiden juga mendistribusikan
laporan TPF ke para Menteri dan pejabat setingkat menteri
terkait, yaitu Kapolda Jenderal Dai Bachtiar, Jaksa Agung Abdul
Rahman Saleh, Kepala BIN Syamsir Siregar, Menkum dan HAM Hamid
Awaluddin dan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto.159
156 “Rekonstruksi Kasus Munir Digelar di Bandara Soekarno Hatta”, www.detik.com, 23 Juni
2005.
157 Rekonstruksi Kasus Munir Dilakukan Tertutup”, www.detik.com, 23 Juni 2005.
158 “TPF Munir Rekomendasikan Anggota BIN sebagai Tersangka”, www.detikcom, 24 Juni 2005.
159 “Laporan TPF Munir Juga Dikirim ke BIN dan Panglima TNI”, www.detik.com, 27 Juni 2005.
1. Munir Tewas di PesawatBagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR109
Berkenaan dengan tindak lanjut kerja TPF, Ketua TPF Munir
menyarankan kepada Presiden SBY agar tidak memperpanjang tugas
TPF, namun membentuk tim pengawas guna mengawasi kerja tim
penyidik dalam menangani kasus ini. Pihaknya merasa sudah cukup
untuk membuka jalan bagi penyidikan kasus kematian Munir untuk
ditindaklanjuti.160 Sedangkan Ketua DPR, Agung Laksono menyatakan
bahwa berakhirnya masa kerja TPF tidak boleh menghentikan
pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Ia meminta semua pihak
untuk menghormati proses hukum yang ada. Jika kerja TPF belum
maksimal, kepolisian bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut.161
TPF menyatakan bahwa pengungkapan kasus pembunuhan Munir
merupakan ujian bagi otoritas lembaga kepresidenan Indonesia. TPF
tidak meragukan komitmen pemerintah dalam setiap tahapan proses
hukum, namun harus didukung secara konkret oleh para pejabat
pelaksana di lapangan, termasuk dukungan penuh dari petinggi
Polri kepada anggotanya yang mengemban tugas sebagai penyidik,
untuk dapat terealisasi secara optimal. Ia juga menyatakan bahwa
berdasar pengalaman enam bulan terakhir di TPF, ia mensinyalir
pengungkapan kasus Munir mendapat banyak perlawanan. Ada
kekuatan yang berusaha menutupi misteri yang sedang dicoba untuk
disibak. Seperti penghalangan akses terhadap dokumen-dokumen
instansi tertentu yang dianggap relevan.Mengatasi hambatan itu,
di dalam laporannya, TPF merekomendasikan SBY untuk mengambil
langkah pendekatan lebih tegas dibadingkan sebelumnya. Sehingga
SBY dapat memastikan proses hukum yang berjalan benar-benar
dapat dikawal menuju keadilan.162
J. Pengadilan Pollycarpus
Sejak dimulainya pengadilan pembunuhan Munir terhadap
terdakwa Pollycarpus pada 9 Agustus 2005, seluruh perhatian
160 “TPF Munir Tolak Diperpanjang”, www.tempointeraktif.com, 20 Juni 2005.
161 “Ketua DPR : TPF Munir Bubar, Kasus Munir Tetap Harus Dibongkar”, www.detik.com, 24 Juni 2005.
162 “Kasus Munir Ujian untuk Presiden, www.detikcom, 25 Juni 2005.
Bagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR110
publik pada kasus Munir terpusat pada proses ini. Sejak awal
terlihat kekhawatiran terhadap kurang memadainya pengadilan
sebagai sarana pengungkapan tuntas Munir karena hanya satu
terdakwa Pollycarpus. Jaksa Penuntut Umum –dipimpin oleh Domu
P Sihite, mantan anggota TPF- mendakwa Pollycarpus melakukan
pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) dan pemalsuan
surat/dokumen (Pasal 263 ayat 2 KUHP), karena menilai aktifitas
Munir dapat merongrong program pemerintah. Dakwaan JPU lebih
menunjukkan pembunuhan berencana terhadap Munir sebagai
pembunuhan yang bersifat tunggal (individual crimes). Hal ini
berbeda dengan temuan TPF yang menyimpulkan pembunuhan
Munir sebagai sebuah konspirasi kejahatan, yang melibatkan
orang-orang dari lingkungan Garuda Indonesia dan Badan Intelijen
Negara (BIN). Memang, seseorang bisa membuat perencanaan
sekaligus pelaksanaan rencana itu untuk membunuh orang lain.
Tetapi modus, pilihan lokasi, waktu, dan cara yang digunakan
untuk membunuh Munir memerlukan sebuah perencanaan yang luar
biasa, dengan pengetahuan, akses informasi, sekaligus kemampuan
untuk mengeksekusi da lam penerbangan internasional. Sejak awal,
keluarga dan kerabat Munir serta kalangan aktifis merasa pengadilan
Pollycarpus tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk mengungkap
dan mengadili pelaku lain yang lebih penting (aktor intelektual).163
Pengadilan Pollycarpus berjalan sebanyak 26 kali, dimulai pada 9
Agustus 2005 dan berakhir pada 20 Desember 2005. Beberapa saksi
yang dipanggil untuk memberi keterangan adalah bekas Direktur
Utama Garuda Indra Setiawan, bekas Vice President Corporate
Security Garuda Ramelgia Anwar, dan bekas Deputi V Badan Intelijen
Negara Muchdi PR. Sementara bekas Sekretaris Utama BIN Nurhadi
Djazuli –saat ini sebagai Duta Besar RI untuk Nigeria- tidak dihadirkan.
Dari pengamatan lapangan, persidangan belum sepenuhnya berhasil
membuat bangunan fakta peristiwa pembunuhan secara lengkap.
Terutama menggali lebih jauh keterlibatan PT Garuda sebagai
163 Siaran Pers Bersama KontraS, IKOHI, FKKM 98, PAGUYUBAN MEI 1998, Ikatan Keluarga Korban
Tanjung Priok, Keluarga Korban Trisakti, Semanggi I Dan II, TRK, UPC, IMPARSIAL, KASUM,
GMNI, tanpa judul, di kantor KontraS, Jakarta, 30 Agustus 2005.
1. Munir Tewas di PesawatBagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR111
institusi sehubungan banyak ditemukannya kejanggalan pada
manajerial direksi atas penugasan Pollycarpus. Begitupun dengan
keterlibatan lebih jauh dari individu yang berasal dari BIN ataupun
BIN sebagai institusi dalam hubungan langsung dengan Pollycarpus.
Dalam keterangan Muchdi PR misalnya, hubungan telepon antara
telepon genggam dirinya dengan Pollycarpus diakui terjadi, namun
Muchdi menyangkal mengenal Pollycarpus ataupun pernah bertemu
Pollycarpus. JPU maupun Majelis Hakim terlihat berusaha menggali
sangkalan itu lebih jauh, meskipun kurang mengelaborasinya lebih
dalam. Terutama menyangkut hubungan kerja Pollycarpus sebagai
agen BIN ataupun orang yang bekerja untuk kepentingan BIN.
Meskipun demikian, dalam putusan akhirnya, majelis hakim secara
jelas menyebutkan bahwa sangkalan Muchdi bahwa dirinya tak
pernah berhubungan dengan Pollycarpus dinilai hakim tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Hakim berpendapat, tidak seharusnya telepon
genggam seseorang bisa dipergunakan begitu saja oleh siapapun.
Hal lain yang terlihat selama persidangan Pollycarpus adalah adanya
kelompok Komite (Komite Mahasiswa Indonesia Timur) yang memiliki
agenda untuk membatalkan atau mengalihkan fokus persidangan.
berdasar investigasi KontraS selama persidangan Pollycarpus, kelompok
ini menyebarkan berbagai selebaran yang isinya mempertanyakan hasil
forensik Belanda. Mereka menolak fakta bahwa Munir mati dibunuh
dengan racun. Kelompok ini juga menyebarkan informasi untuk
membangun isu adanya konspirasi internasional seputar kasus Munir.
Pada 17 November 2005, saat persidangan memanggil Muchdi PR
untuk bersaksi-sesudah pada panggilan sebelumnya Muchdi tidak
hadir-, kelompok orang yang menentang persidangan ini melakukan
penyerangan fisik kepada tiga orang aktifis yang sedang melakukan
mimbar bebas di areal parkir Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
termasuk meminta ibu-ibu korban untuk kaos bergambar Munir
yang dipakainya.164 saat persidangan di mulai beberapa orang
164 Monitoring Persidangan KontraS XIX, 17 November 2005. Lihat pula Siaran Pers KontraS,
Penyerangan Aktivis KontraS Terkait Pemeriksaan Muchdi PR di Sidang Kasus Munir, Jakarta,
17 November 2005.
Bagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR112
tidak dikenal dan berbadan besar tiba-tiba juga ikut menghadiri
dan memenuhi persidangan. Bahkan diantaranya berdiri di
barisan depan kursi pengunjung sidang, menghadap hakim. Usai
pemeriksaan, Suciwati mencoba menghampiri Muchdi -didampingi
Usman Hamid – untuk mengajak bicara; apakah anda kenal saya?
tanya Suci. “Tidak kenal, tidak kenal, tidak kenal”, jawab Muchdi
sambil terus berjalan menghindar dan memalingkan matanya dari
pandangan Suci. Tiba-tiba Suci bertanya sedikit berteriak “anda
pengecut, anda pengecut, anda ya yang membunuh suami saya?”.
Muchdi tidak menjawab, sambil terus berjalan agak cepat berusaha
menghindar. Saat momen itu berlangsung, beberapa orang berbadan
besar mencoba menghalau dan menjauhkan Muchdi dari Suci.
Sesaat itu juga, orang-orang tidak dikenal yang ada di sekitar
lokasi mulai meninggalkan lokasi.
K. Terobosan Putusan Majelis Hakim
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
diketuai Cicut Sutiarso terhadap Pollycarpus telah jatuh pada
tanggal 20 Desember 2005. Dalam Putusan Perkara Pidana dengan
Nomor: 1361/PID.B/2005/PN.JKT.PST atas nama terdakwa
Pollycarpus Budihari Priyanto dinyatakan165 :
Terdakwa Pollycarpus Budi Hari Priyanto terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana
“TURUT MELAKUKAN PEMBUNUHAN BERENCANA” dan
“TURUT MELAKUKAN PEMALSUAN SURAT”.
“Menghukum Terdakwa oleh karena perbuatan ini
dengan hukuman penjara selama 14 (empat belas) tahun”.
Selain itu ada beberapa hal lain yang menarik dari putusan
Majelis Hakim. Nampaknya Majelis Hakim bisa mencium adanya
165 Putusan Perkara Pidana dengan Nomor: 1361/PID.B/2005/PN.JKT.PST atas nama terdakwa
Pollycarpus Budihari Priyanto, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 20 Desember 2005.
1. Munir Tewas di PesawatBagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR113
aroma konspirasi kejahatan pembunuhan dalam kasus Munir
dan Pollycarpus bukanlah satu-satunya pihak yang terlibat. Ini
tergambar dari beberapa substansi putusan sebagai berikut.
Pertama, dalam pertimbangan yang memberatkan Pollycarpus
majelis hakim menyebutkan:
“...hal-hal yang memberatkan atas penjatuhan hukuman
atas diri Terdakwa adalah bentuk perbuatan pidana yang
dilakukan secara berkawan atau berkomplot (conspiracy)
yang berakibat hilangnya jiwa orang lain, memberi
alasan perbuatannya yang kurang masuk akal dan Terdakwa
menunjukkan sikap yang tidak terus terang, memberi
keterangan dengan berbelit dan tidak benar, meskipun
Terdakwa menyimpan suatu kebenaran yang ia ketahui”166.
Kedua, dalam pertimbangan yang memberatkan Pollycarpus,
Majelis Hakim juga konsisten dengan argumen di atas:
“....bahwa tuntutan hukuman Penuntut Umum jika
dibandingkan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa
yang terbukti tidak sendirian dan masih harus diselidiki lagi
siapa dan siapa saja yang turut serta berperan di dalam
peristiwa hilangnya jiwa korban Munir, menurut hemat
Pengadilan tuntutan hukuman ini dirasa terlalu berat
dan berlebihan, oleh karenanya sepatutnya dikurangi...”167.
Majelis Hakim juga dalam putusannya menyinggung beberapa
orang yang diduga terlibat dalam komplotan pembunuhan Munir
ini .
Pertama, Ramelgia Anwar (saat kejadian merupakan Vice President
Corporate Security PT Garuda), yang menurut Majelis Hakim tanpa
peranannya membuat surat tugas palsu, Pollycarpus tidak akan
166 Ibid.
167 Ibid.
Bagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR114
bisa melaksanakan kejahatannya. Beberapa poin dalam putusan
menegaskan hal ini:
“...bahwa dapat dipastikan bahwa Terdakwa menyadari
sepenuhnya akan kerja sama dengan saksi Ramelgia Anwar,
karena tanpa peran saksi Ramelgia Anwar dengan cara
membuat surat palsu ini , Terdakwa tidak akan dapat
memakai surat palsu dan perbuatan pidana pemalsuan
surat tidak akan terwujud”168.
“...bahwa berhubung ternyata terdakwa di dalam
melakukan perbuatan pidana ini tidak melakukan
semua unsur yang ada, melainkan masih membutuhkan
peranan orang lain yaitu saksi Ramelgia Anwar, maka
Pengadilan berpendapat bahwa peranan Terdakwa
Pollycarpus....adalah sebagai orang yang turut melakukan
perbuatan pemalsuan surat”169.
Kedua, Oedi Irianto dan Yeti Susmiarti (pramugara dan pramugari di
kelas bisnis pada penerbangan GA 974, Jakarta-Singapura). Menurut
Majelis Hakim tindakan Pollycarpus membunuh Munir dengan racun
arsen hanya bisa terjadi karena bantuan kedua orang ini .
Poin dalam putusan menunjukkan hal ini:
“Bahwa Terdakwa tidak dapat disebut sebagai orang yang
melakukan, karena sesuai petunjuk yang didapat di dalam
pembahasan dakwaan pokok, ternyata racun arsen yang
ditaburkan Terdakwa ke dalam makanan mie goreng baru
bisa dimakan habis oleh Munir karena adanya peranan orang
lain yaitu saksi Oedi Irianto dan saksi Yeti Susmiarti”170.
“Bahwa sesuai petunjuk yang didapat di dalam pembahasan
dakwaan pokok di atas, telah ternyata Terdakwa di dalam
168 Ibid.
169 Ibid.
170 Ibid.
1. Munir Tewas di PesawatBagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR115
melakukan perbuatannya menghilangkan jiwa Munir tidak
sendirian, di samping Terdakwa yang ikut merencanakan
dan melakukan perbuatan pelaksanaan dengan menaburkan
racun arsen ke dalam makanan mie goreng dan Pasta sebagai
pilihan makanan di kelas bisnis, masih ada lagi 2 (dua) orang
yaitu saksi Oedi Irianto dan saksi Yeti Susmiarti yang menyiapkan
dan menyajikan makan mie goreng kepada Munir”171.
“Bahwa dipastikan jika tidak ada kerja sama yang
disadari dengan saksi Yeti Susmiarti dan saksi Oedi Irianto,
maka niat dari Terdakwa untuk menghilangkan jiwa Munir
tidak akan terwujud”172.
Ketiga, majelis hakim dalam putusannya juga melangkah maju
dengan menyebutkan nama Muchdi PR seperti tertuang dalam
petikan pertimbangan berikut ini dalam rangka menjawab ada
atau tidaknya motivasi Terdakwa Pollycarpus untuk menghilangkan
jiwa Munir.
• bahwa fakta angka 45, 46, 47 dan 48 pada pokoknya
menunjukkan adanya hubungan komunikasi lewat telepon
dari nomor handphone 0811900978 yang dikuasai atau
dipegang saksi Muchdi Purwopranjono dengan nomor-
nomor telepon 021-7407459 yang merupakan nomor
telepon rumah Terdakwa, nomor handphone 0815920226
milik Terdakwa dan nomor handphone 081584304375
milik Terdakwa, yang kesemuanya sebanyak tidak kurang
dari 41 kontak bicara;173
• Bahka meskipun saksi Muchdi Purwopranjono menyangkal
mengenal Terdakwa, dan menyangkal pula berhubungan
lewat telepon dengan Terdakwa, namun saksi
171 Ibid.
172 Ibid.
173 Ibid.
Bagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR116
menerangkan benar bahwa Handphone dengan nomor
0811900978 ini berada di dalam penguasaannya
dan membenarkan pula kebenaran hasil print out dari
Provider Company Telekomunikasi;
• Bahwa keterangan saksi yang membenarkan atas
penguasaan handphone yang notabene merupakan
barang bergerak ini , cukuplah bagi pengadilan
untuk mendapatkan petunjuk bahwa handphone
ini adalah milik saksi Muchdi Purwopranjono yang
tentunya bagi seorang petinggi intelejen dengan jabatan
Deputi V tidak begitu mudah membiarkan Handphone
miliknya sampai dipergunakan oleh orang lain, meskipun
tagihannya tidak dibayar sendiri melainkan dibayar oleh
orang lain yaitu PT Barito Basific Tower yang dihandle
oleh Yohanes Hardian;
• Bahwa bukanlah keberadaan jenis telepan genggan
dewasa ini bagi pemilikinya adalah merupakan alat
komunikasi modern yang dianggap paling praktis dan
sangat cocok untuk pembicaraan yang sifatnya lebih
pribadi ([privacy) dan rahasia (confidential), kaena
selain hanya provider company yang bisa mengetahui
adanya kontak komunikasi antara nomor telepon yang
satu dengan yang lain, maka tak ada lagi yang bisa
mengetahui isi pembicaraan kecuali mereka sendiri yang
sedang bicara;
• Bahwa keterangan saksi Muchdi Purwopranjono sepanjang
menyangkut handphone miliknya dengan nomor
0811900978 yang dapat dan boleh dipergunakan oleh
orang lain atau siapa saja yang ingin memakai tanpa
dapat menyebutkan siapa orangnya, adalah sangat tidak
masuk akal, karena bagi saksi yang mempunyai jabatan
strategis di lembaga ini tentunya menyadari
betapa membahayakan dan dapat merugikan dirinya
jika saksi tetap membiarkan handphonenya menjadi
alat komunikasi dirinya jika saksi tetap membiarkan
1. Munir Tewas di PesawatBagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR117
handphonenya menjadi alat komunikasi bagi siapa saja yang
mau memakai, sementara itu saksi pasti menyadari meskipun
bukan saksi yang membayar namun tagihan untuk nomor
ini harus etap dibayar dan dilunasi tepat waktu;
• Bahwa demikian pula keterangan Terdakwa yang tidak
pernah disumpah menerangkan tidak kenal dengan
pemilik telepon genggam nomor 0811900978 tanpa alasan
yang masuk akal, menurut hemat Pengadilan, Terdakwa
telah melakukan sangkalan yang tidak mendasar, sehingga
harus dikesampingkan;
• Bahwa berdasar faktu hukum yang menunjukkan
adanya kontak telepon antara nomor telepon Terdakwa
dengan nomor 0811900978 yang jumlahnya tidak kurang
dari 41 (empat puluh satu) kali, maka Pengadilan
menemukan fakta lebih lanjut tentang waktu-waktu
tepatnya kapan dan bagaimana keadaan Terdakwa
dan Munir pada saat itu diantaranya sebagai berikut:
mulai dari tanggal 25 Agustus 2004 atau waktu sebelum
Munir berangkat belajar ke Amsterdam, kemudian pada
tanggal 6 September 2004 atau waktu sebelum Munir
berangkat belajar ke Amsterdam, tanggal 7 September
2004 jam 10.00 dan jam 11 WIB. Waktu Terdakwa pulang
dari Singapura dan sudah berada di Jakarta dan Munir
dalam perjalanan dalam pesawat ke Amsterdam, masih
tanggal 7 September 2004 jam 16.49 (jam 10;49 Waktu
Amsterdam) sampai dengan jam 21:05 WIB (jam 15:05
Waktu Amsterdam) saat itu dapat dipastikan telah
meninggal duni, setidaknya terjadi tidak kurang dari 5
(lima) kali kontak pembicaraan, dan seterusnya pada
tanggal 17 13 November 2004 sebanyak 4 (empat) kali
serta dari tanggal 17 November 2004 sampai dengan 25
November 2004 sebanyak 27 (dua puluh tujuh) kali saat
sudah mulai banyak pembicaraan di media massa menyebut
nama Terdakwa Pollycarpus terlibat di dalam kasus
kematian Munir di dalam Pesawat Garuda Indonesia;
Bagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR118
Menimbang bahwa berdasar fakta hukum ini
dihubungkan dengan keterangan saksi Muchdi Purwopranjono
yang membenarkan hasil print out yang ditunjukkan
di persidangan, serta keterangan Terdakwa yang tidak
menyangkal nomor-nomor telepon rumah maupun telepon
genggamnya, Pengadilan mendapatkan beberapa petunjuk
di antaranya sebagai berikut:
• Bahwa antara Terdakwa yang pekerjaannya secara resmi
sebagai Pilot Pesawat Garuda Indonesia dengan pembicara
telepon nomor 0811900978 ini mempunyai
hubungan yang sangat erat terutama dalam kegiatan
yang berhubungan dengan tugas-tugas pembicara telepon
nomor 0811900978 ini khususnya dalam rangka
menghilangkan jiwa Munir;
• Bahwa di samping Terdakwa mempunyai pekerjaan resmi
sebagai Pilot Garuda Indonesia, Terdakwa juga mempunyai
kegiatan yang sama dan setujuan dengan pembicara
telepon genggam nomor 0811900978 yang di antaranya
tidak suka membiarkan sifat dan perbuatan Munir yang
vokal dan selalu mengkritik kebijaksanaan Pemerintah
terutama TNI dan Badan Intelejen Nasional;
• Bahwa saksi H. Muchdi Purwopranjono adalah orang yang
sepatutnya mengetahui siapa atau siapa saja orangnya
yang memakai telepon genggamnya bernomor
0811900978 dan berbicara dengan Terdakwa lewat
nomor-nomor teleponnya sebagaimana tertera di dalam
print out di atas;
• Bahwa meskipun dalam perkara ini tidak dinyatakan secara
tegas siapa atau siapa saja orangnya yang telah melakukan
pembicaraan melalui telepon genggam bernomor
0811900978 ini , namun dapat diketahui bahwa orang
ini mempunyai hubungan yang sangat erat dan telah
dikenal dengan baik oleh saksi Muchdi Purwopranjono yang
selama pemeriksaan tetap bungkam menyatakan tidak tahu
siapa yang memakai telepon genggamnya;
1. Munir Tewas di PesawatBagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR119
Menimbang, bahwa berdasar keterangan saksi H
Muchdi Purwopranjono yang menyatakan dirinya pernah
mengingatkan melalui seniornya Munir agar Munir jangan
vokal mengkritik pemerintah, akan tetapi ternyata Munir
tetap vokal, pengadilan mendapat petunjuk bahwa orang
yang berbicara dengan Terdakwa lewat telepon genggam
0811900978 adalah pihak yang juga tidak menghendaki
Munir vokal mengkritik pemerintah, dan karena Munir tidak
berubah dan tetap vokal mengkritik Pemerintah,maka pihak
pembicara itulah yang merupakan orang atau pihak mula-
mula mempunyai daya bathin atau motivasi (motivation)
untuk menghentikan aksi vokal Munir ini dengan jalan
menghilangkan jiwa Munir;
• Bahwa berdasar jumlah hubungan pembicaraan
lewat telepon yang mempunyai tingkat kekerapan
(frequency) cukup sering, Pengadilan berpendapat
bahwa Terdakwa Pollycarpus di samping mempunyai
pekerjaan sebagai Pilot Garuda Indonesia, juga
mempunyai kegiatan yang sama dengan pembicara
telepon genggam 0811900978.
• Bahwa meskipun tidak ada satu saksipun yang
mengetahui, mendengar, atau menerangkan tentang
isi pembicaraan Terdakwa dengan pemegang telepon
genggam nomor 0811900978, namun berdasar
petunjuk-petunjuk yang didapat di persidangan
dihubungkan dengan sikap keberadaan Terdakwa di
dalam pesawat selama penerbangan Jakarta-Singapura,
maka Pengadilan berpendapat bahwa antara Terdakwa
dengan pembicara telepon genggam bernomor
0811900978 telah terjadi kesepakatan tentang
bagaimana cara pelaksanaan keinginan mereka untuk
menghilangkan jiwa Munir.
• Bahwa berhubung terjadi kesepakatan, maka dapat
diketahui bahwa siapapun mereka yang telah
membicarakan bagaimana menghilangkan jiwa Munir,
Bagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR120
mereka itulah yang mempunyai keinginan, daya bathin
atau motivasi untuk menghilangkan jiwa Munir;
Menimbang, bahwa berdasar petunjuk-petunjuk dan
keterangan saksi Muchdi Purwopranjono serta keterangan
Terdakwa diatas, dihubungkan dengan kegiatan Terdakwa
di samping sebagai pilot Garuda juga mempunyai kegiatan
sampingan yang sama dengan kegiatan pembicara
telepon genggam Nomor 0811900978, maka pertanyaan
melenyapkan Munir dapat dijawab ialah bahwa Terdakwa
Pollycarpus juga menghendaki agar Munir tidak vokal
mengkritik Pemerintah sehingga pengadilan berpendapat
bahwa Terdakwa mempunya daya bathin atau motivasi
atau alasan untuk menghilangkan jiwa Munir dengan
kata lain pada diri Terdakwa ada motivasi untuk
menghilangkan jiwa Munir;
-- Menimbang, bahwa berdasar pembahasan diatas,
Pengadilan lebih lanjut berpendapat bahwa yang
mempunyai keinginan menghilangkan jiwa Munir adalah
bukan hanya Terdakwa secara sendirian, melainkan masih
ada pihak lain yang harus ditemukan melalui penyelidikan
yang lebih akurat oleh aparat penegak hukum yang
berwenang untuk itu;
Dengan kesimpulan ini maka sebenarnya tabir pembunuhan
Munir tidaklah terlalu gelap. Putusan Majelis Hakim ini jelas
menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus ditindaklanjuti
oleh penyidik Polri. Dan kali ini bukan cuma Pollycarpus yang
menjadi kunci pembuka terungkapnya kasus Munir, melainkan
kuncinya juga terletak pada Ramelgia Anwar, Yeti Susmiarti,
Oedi Irianto dan Muchdi PR. Penyidik Polri harus segera
memeriksa semua saksi kunci di atas, dengan memakai
dan mengoptimalkan wewenang-wewenang yang secara sah
1. Munir Tewas di PesawatBagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR121
dimilikinya. Antara lain memanggil, memeriksa, menangkap,
menahan, menggeledah dan menyita barang bukti yang relevan
dengan proses penyidikan.
L. Reaksi atas Vonis Majelis Hakim
Putusan Majelis hakim menuai banyak tanggapan dari berbagai
pihak yang berkepentingan. Penasehat Hukum terdakwa diwakili
Assegaf dkk meyakini putusan majelis hakim tidak benar
menyangkut bergesernya putusan hakim dari dakwaan JPU,
terutama menyangkut makanan dan minuman yang “membunuh”
Munir. Assegaf dkk telah mengadukan masalah ini kepada Komisi
Yudisial174 dan menilai ada intervensi atau tekanan dari pihak luar
terhadap para hakim. Saat putusan usai dibacakan, Pollycarpus
sendiri dengan keras menolak vonis Majelis Hakim175. Sedangkan
Yosepha Hera Iswandari (isteri Pollycarpus) berniat akan melaporkan
JPU ke komisi Kejaksaan sebab menurutnya dakwaan JPU adalah
dongeng semata, Hera juga mengaku akan berusaha menghadap
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Komnas HAM, Komisi Yudisial,
Komisi HAM PBB, dan Bapa Suci Benediktus XVI di Vatikan untuk
mengadukan putusan yang dinilainya tidak adil.176
Jaksa Penuntut Umum menyatakan akan banding atas putusan
Majelis Hakim, sebab putusan masih jauh dari hukuman seumur
hidup. Rencana ini disampaikan Kapuspenkum Kejaksaan Agung
Masyhudi Ridwan di Kejaksaan Agung.177
174 Polly Dipidana 14 Tahun Penjara; Pelaku Lain Perlu Diusut agar Perkara Pembunuhan Munir
Tuntas, Kompas, 21 Desember 2005.
175 Pollycarpus Menantang Vonis, Koran Tempo, 21 Desember 2005.
176 Vonis Pembunuhan Munir: Panggung Keadilan Suciwati dan Yos Hera, Kompas, 21 Desember
2005. Vonis Pollycarpus: Majelis Diadukan ke Komisi Yudisial, Media Indonesia, 21 Desember
2005. Kasus Munir; Istri Pollycarpus Akan ke Komnas HAM, Kompas, 28 Desember 2005. Istri
Munir Belum Puas; Istri Pollycarpus akan mengadu ke Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Koran
Tempo, 24 Desember 2005.
177 JPU Kasus Munir Ajukan Banding, www.detik.com.
Bagian 6. Dinamika Penanganan Kasus Munir
Bunuh MUNIR122
Sementara itu Suciwati isteri Munir menilai apapun vonis yang
diberikan kepada Pollycarpus sama saja nilainya karena Pollycarpus
hanya bagian kecil dari konspirasi sebagaimana dinyatakan majelis
hakim. Suciwati menuntut aparat penegak hukum yang berwenang
segera melanjutkan pengusutan. Koordinator KontraS Usman Hamid
menegaskan bahwa penyidikan kasus Munir belum tuntas sehingga
masih harus dilanjutkan penyidikan dengan akurasi yang tinggi. Suara
kritis juga dikemukakan oleh bekas Presiden RI KH.Abdurrahman
Wahid, yang juga merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Menurut
Gus Dur vonis 14 tahun atas Pollycarpus harus diikuti dengan
penelusuran nama lainnya seperti Muchdi PR, yang disinggung
dalam putusan Majelis Hakim. Gus Dur juga mendesak agar Presiden
SBY untuk membentuk Tim Kepresidenan dengan mandat yang kuat,
jelas, dan rinci yang meneruskan temuan-temuan TPF Munir.178
Terhadap putusan Majelis Hakim Presiden SBY telah menginstruksikan
kepada kapolri Jenderal Sutanto untuk mengungkap kasus kematian
Munir. Melalui juru bicara Kepresidenan Andi Malarangeng mengakui
bahwa kasus Munir bersifat konspirasi, sesudah mendengar putusan
Majelis Hakim, Presiden membulatkan tekad untuk mengungkap kasus
kematian Munir. Presiden menyatakan semua pihak yang terlibat
dalam kasus Munir harus diproses secara hukum. Dan pertimbangan
pengadilan serta bukti yang terungkap selama proses pengadilan
menurut Presiden harus dijadikan rujukan bagi Polri, Kejaksaan,
termasuk BIN untuk menelusuri kembali kasus Munir. Sementara
Kapolri Jenderal Sutanto meminta agar Pollycarpus terbuka
kepada penyidik agar peristiwa yang sebenarnya bisa diketahui.
tidak menemukan suatu kunci terobosan atas buntunya penyidikan
paska TPF. Sikap ini ditunjukkan pada pernyataan Kapolri bahwa
kasus Munir kuncinya hanyalah di Pollycarpus. Kapolri Jendral
Sutanto hanya meminta Pollycarpus mau terbuka memberi
informasi kepada polisi dan berjanji memberi perlindungan
kepadanya (kepada Pollycarpus dan keluarga). Meski demikian
Presiden SBY menolak gagasan pembentukan tim penyidik
independen baru. Menurutnya penyidikan kasus Munir tetap akan
memakai mekanisme reguler.
Sementara itu, Syamsir Siregar, Kepala Badan Intelejen Negara juga
ikut berkomentar dengan mengatakan bahwa penyidik belum mampu
mengungkap siapa dalang pembunuh Munir. Selain itu, atas putusan
Majelis Hakim Syamsir mengaku BIN akan siap bekerjasama.
berdasar fakta dan seluruh komitmen (pernyataan) serta
tanggapan diatas, Komite Aksi untuk Kasus Munir (KASUM) tetap
meminta kepada Presiden SBY untuk kembali membentuk tim
independen kepresidenan untuk kasus Munir, yang diharapkan bisa
melacak siapa sesungguhnya dalang pembunuh Munir. KASUM
juga menyatakan penyidikan tinggal menindaklanjuti putusan
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyebutkan
beberapa nama seperti Oedi Irianto, Yeti Susmiarti, Ramelgia Anwar
(semuanya dari PT Garuda), dan Muchdi PR, bekas Deputi V BIN.
Reaksi cepat dikeluarkan oleh Pemerintah AS –US Department
of State- pada 20 Desember 2005. Dalam press statement,
Pemerintah AS juga setuju dengan kesimpulan Majelis Hakim yang
menyatakan Pollycarpus hanya merupakan bagian dari sebuah
konspirasi pembunuhan berencana yang lebih besar. Pemerintah
AS mendesak Pemerintah RI untuk terus melanjutkan penyelidikan
atas kasus Munir. Pemerintah AS juga meminta Pemerintah RI untuk
mempublikasikan secara terbuka hasil laporan TPF
Suara dari Pemerintah AS ini mengikuti surat yang dibuat oleh
Kongres AS sebelumnya. Pada surat yang ditujukan kepada Presiden
SBY pada tanggal 27 Oktober 2005, juga mendesak hal yang sama.186
Dengan reaksi berbagai pihak diatas, bisa dipastikan kasus Munir
belum berakhir. Masih panjang. Pernyataan dari Presiden SBY,
Kepala Polri, Kepala BIN, dan institusi negera lainnya di satu
pihak membawa harapan bahwa dalang utama pembunuh Munir
masih akan terus diburu, namun di lain pihak pernyataan ini
terkesan menjadi sekadar formalitas belaka. Semua pernyataan
formal ini sebenarnya harus sudah dijalankan terlepas
dari apapu yang terjadi pada proses pengadilan yang berjalan.
Penyidikan Polri misalnya nyaris tidak menghasilkan apa-apa selama
hampir 6 bulan sesudah mengambil tongkat estafet dari kerja
TPF. Pernyataan BIN yang tidak puas terhadap penyelidikan Polri
dan proses pengadilan juga terkesan janggal, mengingat institusi
ini justru dulunya resisten dan gagal bekerjasama dengan TPF.
Sementara Presiden SBY dengan pernyataan-pernyataan yang
tidak diikuti pencapaian seimbang, memperkuat sinisme publik
atas gaya kepemimpinannya yang mengandalkan penampilan,
khusus terhadap keluarga Munir. Bila kondisi-kondisi terus terjadi,
maka kasus Munir yang oleh Presiden SBY disebut sebagai “a test of
our history” bisa jadi akan segera menjadi sekedar “history” dari
kegagalan sistem kekuasaan, sebagaimana negera ini menarasikan
dongeng tentang sejarah abuse of power yang terjadi di negeri ini.
Dari keseluruhan uraian terdahulu, terlihat jelas bahwa penanganan
hukum kasus pembunuhan Munir belum mampu menyeret aktor
utamanya ke meja hijau. Hingga selesainya persidangan di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat sejak 9 Agustus 2005 s/d 20 Desember 2005,
yang diadili dan dihukum bersalah hanya seorang pilot penerbang
Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto (PBP). Itupun
dengan kemungkinan dibebaskan pada tingkat banding atau kasasi.
Sehari sesudah putusan dijatuhkan, harian Kompas malah khawatir
pengungkapan kasus ini hanya akan mengulang sejarah seperti nasib
kasus pembunuhan aktifis buruh Marsinah, dan pembunuhan jurnalis
Udin (Harian Bernas). Kerisauan itu adalah pengungkapan kasus
terhadap pembunuhan seperti ini hanya berakhir dengan diadilinya
pelaku lapangan, dan kemudian bisa bebas. Berakhir dengan impunitas,
ada kejahatan tapi tanpa hukuman. Begitukah akhir kasus Munir?
Kita semua tentu berharap tidak. Mengapa? Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat di sisi lain memberi peluang positif. Dalam pandangan
Majelis Hakim yang mengadilinya, Pollycarpus dilihat hanya sebagai
bagian dari konspirasi besar pembunuh Munir. Pertimbangan putusan
Majelis Hakim menyebutkan secara eksplisit bahwa Terdakwa Pollycarpus
tidak bekerja sendirian, melainkan berkomplot (konspirasi) dengan
nama-nama lain seperti sudah disinggung pada uraian terdahulu buku
ini. Misalnya Oedi Irianto, Yeti Susmiarti, Rambelgia anwar,





