Jumat, 26 Januari 2024

munir 1







Kita orang orang Indonesia, beruntung 
karena sempat memiliki Munir. Dalam 
hidupnya yang singkat, ia seperti singgah 
dan membantu kita di saat dimana kita 
membutuhkannya. Di masa-masa menCegah 
saat rejim orde baru masih berkuasa, saat 
kebebasan dipasung dan segala aktivitas 
yang berseberangan dengan negara diawasi 
secara ketat, ia tak kenal takut untuk 
menyuarakan nasib kaum buruh, aktivis 
mahasiswa dan pemuda, serta kelompok-
kelompok masyarakat lain yang mengalami penindasan. Profesinya sebagai 
pekerja bantuan hukum di LBH membuat Munir bersentuhan langsung 
dengan ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi di negara ini.
Dalam kegalauannya melihat situasi Indonesia, Munir mengambil sebuah 
titik pijak dimana ia bisa melihat jelas problem demokrasi di Indonesia yang 
terbelenggu oleh politik-kekerasan yang secara struktural berkelindan 
dalam hubungan Negara-masyarakat. Sebuah “spiral kekerasan” telah 
menggulung masyarakat sedemikian rupa hingga meresap dalam pola 
pikir, membentuk tingkah laku dan mendaur ulang kekerasan demi 
kekerasan tanpa henti, mengakibatkan demikian banyaknya korban jiwa 
seakan menjadi “ritual” sehari-hari dan ditanggapi masyarakat sebagai 
barang normal. Berangkat dari pemahaman ini, Munir mengambil pilihan 
eksistensial untuk berdiri paling depan meneriakkan perjuangan hak 
asasi, serta politik yang bebas dari  kekerasan.
Kecerdasan, kesederhanaan, dan keberaniannya membedakan Munir 
dengan banyak aktivis dan kaum intelektual lainnya. Di masa dimana 
banyak intelektual memilih berlabuh di kandang penguasa dan para 
pimpinan masyarakat lebih banyak bergaul dalam pertalian nyaman 
dengan penguasa. Munir justru memasuki area-area yang ‘menakutkan’. 
Kerja keras bersama rekan-rekannya di KontraS berhasil membongkar 
rangkaian peristiwa penculikan para aktivis mahasiswa dan pemuda, 
menjadikan kejahatan itu sebagai sebuah fakta utuh, yakni penculikan 
terorganisasi yang dilakukan oknum aparat. beberapa pelaku berhasil 
diseret ke pengadilan. beberapa pimpinan teras TNI diberhentikan, 
sekalipun beberapa korban sampai kini belum berhasil diketahui 
keberadaannya. Dari sini ia terus bergerak, menjelajah area-area 
kelam dalam politik kekerasan di Indonesia, keberaniannya menerangi 
kita yang menghuni daerah-daerah itu sehingga jalan reformasi dengan 
lebih gampang kita lalui kemudian. 
Konsistensi dan persistensi, dua hal ini tampak jelas dalam kepribadian 
seorang Munir. Ia mengetahui betul resiko perjuangannya. Namun 
demikian, Munir tidak gentar dan mengambil sikap setia melawan. 
Ia tidak ingin mengambil sikap diam dan menyerah pada tekanan. 
Tudingan, intrik, intimidasi kerap menimpanya. Dituduh ‘PKI’, ‘Yahudi’, 
‘Anti-Islam’, ‘Provokator’, Munir tak surut langkah. Keberanian dan 
kegigihannya mampu menepis hantaman-hantaman ini .  
Munir, atau lengkapnya Munir bin Thalib dibesarkan dalam keluarga 
muslim keturunan Arab. Kakek moyangnya adalah imigran dari 
Hadhramaut (Yaman) yang ratusan tahun lampau datang ke Nusantara. 
Dengan latar belakang ini, membuatnya lebih memilih aktif dalam 
organisasi-organisasi Islam seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) 
dan Al Irsyad. Namun demikian, kegelisahan Munir muda telah 
membawanya pada pergulatan pemikiran yang panjang dan lintas batas. 
Munir meyakini bahwa hak asasi manusia dalam konteks solidaritas 
kemanusiaan telah menciptakan sebuah bahasa baru yang universal dan 
setara, yang berbicara melalui batasan-batasan rasial, gender, etnis 
dan agama. Karena itulah, dalam pandangan Munir, hak asasi manusia 
harus dijadikan sebagai pintu masuk bagi terciptanya dialog bagi 
orang-orang dari berbagai latar belakang sosial-budaya dan ideologi. 
Lewat pintu ini pula Munir masuk dan bergaul dengan aktivis-aktivis 
yang berbeda-beda latar belakang demi terwujudnya pengakuan dan 
penghormatan terhadap hak asasi manusia. 
Munir dikenal akrab oleh semua kalangan. Ia mampu menjembatani 
perbedaan-perbedaan yang ada dengan semangat kemanusiaannya 
yang menggebu. Munir adalah duta Islam yang memperjuangkan 
universalitas Islam untuk penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan 
(rahmatan lil ‘alamin). Munir melakukan pembelaan terhadap siapapun 
yang tertindas, tanpa memandang latar belakang mereka. Di dalam 
Munir, Islam secara arif dapat dijadikan sandaran yang terpercaya bagi 
kelompok-kelompok yang ditindas dan dipinggirkan. 
Selama bertahun-tahun menjalankan kerja-kerja kemanusiaan, Munir 
merasa perlu memuaskan dahaga intelektualitasnya sekaligus untuk 
mengembangkan wawasannya. Ia memutuskan menempuh studi master 
dalam bidang international protection of human rights di Utrecht 
Universiteit, Belanda. Kesempatan itu semestinya akan dipergunakan 
untuk melakukan refleksi dan evaluasi atas perjuangannya sekaligus 
memperdalam pemahaman konseptual guna mempertajam analisis-
analisnya. Sayangnya, hal itu tak sempat terjadi, kaum yang telengas 
dan bertangan kejam memenggal rencana luhur itu di tengah jalan. 
Munir diracun dan wafat sebelum pesawat Garuda yang ditumpanginya 
mendarat di Schiphol. Keluarganya yang masih belia telah kehilangan 
suami dan bapak yang sangat mereka cintai. Bangsa ini telah kehilangan 
satu lagi pejuang kemanusiaannya. Dunia Islam di Indonesia kehilangan 
salah satu duta universalitas terbaiknya. 
Selama hayatnya, jauh sebelum di hari laknat pembunuhannya Munir 
telah berulangkali mengalami ancaman, terror. Namun semua itu serta 
stempel negatif yang berusaha dilekatkan bahkan sesudah kematiannya, 
tidak berpengaruh banyak. Dari kematiannya justru nampak bahwa 
jutaan masyarakat Indonesia percaya pada integritasnya, kelompok-
kelompok minoritas dan tertindas menaruh harapan besar di pundaknya 
untuk mewujudkan keadilan di negara ini. Sebagian mantan lawan-
lawannya pun mengakui keberanian dan kelurusannya. Konsistensi dan 
keberaniannya telah menjadi inspirasi bagi kita untuk menghadapi 
segala hubungan jahat terhadap kemanusiaan dan keadilan.
Munir telah mewariskan kepada bangsa Indonesia sesuatu yang 
sangat berharga yakni keberanian dan karakter manusiawi untuk 
memperjuangkan hal-hal yang baik. Kita adalah orang yang berutang 
kepadanya. Sekarang giliran kita untuk membalas segala budi baik 
almarhum salah satunya adalah dengan mengadili dan menyeret 
siapapun yang bertanggung jawab atas kematiannya ke hadapan hukum 
secara adil.
Mengikuti rekam jejak aktivitas politik Munir, hampir semua orang 
sependapat Munir pasti memiliki musuh politik yang jumlahnya banyak 
sekali, sebagian besar terutama para pejabat militer. Majalah Asia 
Week pada tahu n 2000 misalnya memberi  penghargaan sebagai 
Leaders for the Millenium, dengan pertimbangan Munir berhasil 
secara signifikan mempengaruhi (menantang) politik militer Indonesia 
di masa transisi. Sementara prestasi di bidang HAM diapresiasikan 
komunitas internasional dengan penghargaan The Right Livelihood 
Award pada tahun 2000 oleh sebuah yayasan internasional berbasis 
di Swedia. Penghargaan ini dianggap sebagai sebuah alternatif 
penghargaan Nobel. Keterangan singkat mengapa Munir layak 
mendapat penghargaan The Right Livelihood Award untuk tahun 2000 
bisa dijelaskan di bawah ini:
“…for his courage and dedication in fighting for human rights and 
the civilian control of the military in Indonesia”.1
Bila dirunut seluruh aktivitas politiknya –dari Malang ke Jakarta- kita 
akan menemui daftar panjang nama-nama orang yang sangat terusik 
dan terganggu oleh sepak terjang Munir. Di awal kariernya (di Lembaga 
Bantuan Hukum-LBH) ia sudah menghadapi banyak masalah di Malang, 
sebuah areal kantong industri di Jawa Timur. Saat itu Munir sudah biasa 
berhadapan dengan militer, kelompok yang paling menentukan dalam 
politik perburuhan Indonesia. 
Munir tidak hanya mengadvokasi kasus-kasus perburuhan, namun 
seringkali juga menjadi korban militerisme politik perburuhan itu 
sendiri. saat  kerjanya bergeser ke kota Surabaya kondisi ini juga tidak 
berubah. Bahkan Munir harus mengurusi salah satu kasus perburuhan 
terpenting saat itu, yaitu pembunuhan Marsinah (1994). sesudah Munir 
dipindahkan ke Jakarta untuk duduk di kepengurusan Yayasan Lembaga 
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ia segera berhadapan lagi dengan 
kasus 27 Juli 1996, sebuah kasus yang juga berkaitan dengan operasi 
militer lagi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Munir memiliki 
ikatan historis yang kuat dengan militerisme. Ikatan ini lebih disebabkan 
oleh pengalaman politik  dan terendap menjadi sebuah sense. Meski 
Munir diakui banyak orang memiliki intelegensia yang cukup tinggi, 
namun agaknya sense inilah yang membentuk karakter politiknya.2  
Bila mengikuti secara personal perkembangan gerak politik Munir, 
ia tidak dikenal sebagai seorang pejuang HAM yang menempuh jalur 
intelektual yang selalu setia dengan prinsip dan norma HAM yang ketat. 
Baru di akhir hidupnya Munir menyadari dia perlu untuk meng-upgrade 
pengetahuannya tentang dunia HAM secara lebih ketat. Ini alasan 
mengapa Munir merasa perlu untuk kuliah S-2 di negeri Belanda.
saat  turbulensi politik Indonesia mencapai titik yang kritis, Munir 
tidak ketinggalan untuk terlibat di dalamnya, dalam proporsi tertentu. 
Ini bermula dari munculnya laporan beberapa mahasiswa aktivis politik 
yang hilang. Mereka umumnya memiliki afiliasi dengan Solidaritas 
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), sebuah organisasi 
berbasis mahasiswa, dan Partai Rakyat Demokratik (PRD), sebuah 
organiasi politik yang paling menjadi target operasi aparat negara paska 
peristiwa 27 Juli 1996. Meski di tengah kondisi pengekangan politik yang 
tinggi, Munir bisa melakukan manuver politik yang signifikan, melalui 
advokasi politik KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak 
Kekerasan), sebuah aliansi beberapa tokoh dan aktivis politik. Disini, 
sebuah kemustahilan menjadi mungkin oleh sepak terjang Munir dan 
KontraS-nya. Saat itu menjadi sebuah rahasia umum bila sebuah insiden 
politik tidak mungkin terungkap, namun untuk kasus penghilangan 
politik ini lain. Melalui strategi yang tidak lazim bagi sebuah advokasi 
LSM HAM saat itu, kasus ini sedikit demi sedikit bisa terkuak. Bahkan 
beberapa dari yang hilang bisa kembali. Untuk pertama kalinya sebuah 
institusi militer mendapat tantangan serius. 
Sebagian orang menyebut keberhasilan ini lebih ditentukan oleh friksi 
internal militer sendiri. Terlepas dari argumen ini, sulit dibantah bahwa 
advokasi Munir juga punya peranan besar. Investigasi dan advokasi kasus 
ini kemudian berujung dengan dicopotnya tiga perwira penting militer 
Kopassus saat itu, yakni Letjen Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi PR, 
dan Kolonel Chairawan dengan alasan terkait dengan kasus penculikan 
aktivis mahasiswa ini .3 Pencopotan ketiga perwira ini merupakan 
sesuatu yang sangat mengejutkan dalam konteks sejarah politik militer 
Indonesia.
Momentum transisi politik pasca 1998 dengan segala keterbatasannya 
seolah menjadi ruang “main” bagi aktivitas politik Munir. Di kalangan 
civil society Munir menjadi referensi tokoh yang berani, konsisten, 
dan bisa mengartikulasikan tema HAM sebagai bahasa politik yang 
simple dan populer. Sebelumnya referensi gerakan HAM selalu identik 
dengan program bantuan hukum (seperti yang dijalani Munir di YLBHI) 
yang kerap gagal meraih keadilan di muka hukum. Namun pasca kasus 
penghilangan paksa, Munir seolah menjadi referensi harapan akan 
kebenaran dan keadilan di negeri para korban. 
Keberanian dan kegesitannya dalam berpolitik membuat banyak orang, 
terutama para korban menjadikannya tempat berpaling. sesudah itu arus 
deras tuntutan akan keadilan dari para korban selalu singgah dulu ke 
pundak Munir sebelum diteruskan pada tuntutan tanggungjawab negara. 
KontraS dan YLBHI menjadi rumah pengaduan bagi para korban yang 
merasa perlu untuk terus mempertanyakan nasib mereka. Beberapa 
kasus “keras” segera menjadi agenda kerja KontraS sesudah para korban 
3 Advokasi tak kenal lelah atas kasus penghilangan paksa yang dimotori Munir dan KontraS 
telah menjadi salah satu faktor penting dalam dinamika politik saat  itu. Pada momen ini, 
dimulailah peran politik yang lebih signifikan dari gerakan (organisasi) HAM civil society ke 
dalam panggung politik negara pada era transisi politik.
berdatangan; Kasus penembakan mahasiswa di Trisakti, Semanggi I 
dan Semanggi II, Tragedi Mei (1998), Kasus Tanjung Priok (1984), Kasus 
Talangsari (1989), dan lainnya. 
Di luar itu Munir juga “menggarap” beberapa kasus keras lainnya seperti 
kasus Timor Timur pasca referendum 1999, kasus DOM di Aceh dan Papua, 
kerusuhan di Maluku, Kalimantan, dan Poso. Hampir semua daftar kasus di 
atas bisa didefinisikan sebagai kasus “keras” karena melibatkan kalangan 
perwira tinggi militer. Sementara itu para elit politik yang baru pasca 
transisi masih membutuhkan kemitraan politik dengan mereka. 
Tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan politik dari rezim Soeharto ke 
rezim elektoral4, selanjutnya membawa angin baru bagi agenda gerakan 
HAM di Indonesia. Beberapa legislasi dan institusionalisasi negara mulai 
akomodatif terhadap isu HAM. Munir segera terlibat dalam proses ini, 
mulai dari memberi masukan dalam rancangan UU (terutama untuk isu 
HAM dan militerisme) hingga aktif terlibat di Komisi Penyelidik Pelanggaran 
(KPP HAM), khususnya untuk peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM di 
Timor Timur pada 1999. Namun layaknya keterbatasan struktural transisi 
politik Indonesia pasca 1998, perjuangan Munir pun punya batasannya. 
Seperti yang menjadi pepatah politik terkenal dari Thomas Hobbes: 
“hukum tanpa hukuman, hanyalah rangkaian kata-kata”. 
Munir hingga akhir hidupnya tetaplah seorang aktivis HAM yang 
mengambil posisi skeptis dan pesimis dalam penegakkan HAM di 
Indonesia terlepas banyaknya produk-produk HAM formal yang sudah 
disahkan.5 Kekecewaan utamanya adalah tiadanya pertanggungjawaban 
dari pelaku atas peristiwa pelanggaran berat HAM. Dan (pergantian) 
rezim pemerintahan yang baru sendiri tidak mampu dan tidak mau 
memutus rantai impunitas ini . 
4 Rezim elektoral adalah rezim yang legitimasi politiknya semata-mata didasari oleh proses 
demokrasi yang formal dan prosedural, dalam hal ini pemilu. Sementara prasyarat demokrasi 
substansial belum terpenuhi. Gejala ini nampak sebagai sebuah pola transisi di negeri dunia 
ketiga.
5   Sikap skeptis Munir ini dengan baik ditampilkan dalam Nono A. Makarim, Munir, dari Dalam, 
dalam Jaleswari Pramodhawardani dan Andi Widjojanto (ed), “Munir; Sebuah Kitab Melawan 
Lupa”, Mizan Media Utama, 2004.
Ini bisa terlihat dari kekecewaannya yang mendalam begitu mendengar 
bebasnya terdakwa kasus Tanjung Priok di pengadilan HAM ad hoc, hanya 
beberapa minggu sebelum keberangkatannya ke Belanda. Jadi terlepas 
dari penghargaan yang tinggi dari banyak pihak soal kiprahnya di dunia 
HAM, Munir tetaplah seorang yang kecewa, apalagi orang  yang harus 
dihadapinya masih ada di lingkar dalam kekuasaan. Mungkin inilah 
yang bisa dijadikan sebuah hipotesa politik sebab musabab kematian 
Munir. Secara struktural sistem politik Indonesia masih membiarkan 
para pelaku pelanggaran berat HAM bebas, bahkan menduduki posisi 
formal negara dan masih menjadi aktor politik aktif. 
A. Mengapa Munir Dibunuh?
Mencari jawab atas pertanyaan siapa yang bertanggung jawab 
atas pembunuhan Munir haruslah dimulai dengan memahami 
terlebih dahulu mengapa kira-kira atau apa yang membuat Munir 
dibunuh? jika  diyakini bahwa kematiannya adalah akibat dari 
suatu persekongkolan pembunuhan dengan perencanaan yang luar 
biasa, maka harus dijelaskan atau paling tidak diperkirakan adanya 
motif-motif untuk membunuh Munir.
B. Dongeng Hitam kaum Telengas
Pentingnya mencari dan menetapkan motif terasa sangat mendesak 
untuk dilakukan selain dalam usaha  membantu pengusutan siapa 
yang paling bertanggung jawab, juga dalam rangka menghapuskan 
‘dongeng hitam” mengenai motif yang muncul sesudah kematian 
Munir. Dongeng hitam kaum telengas paling tidak dikembangkan 
dalam dua versi yakni:
Kesatu, mereka mengatakan bahwa Munir dibunuh oleh konspirasi 
kepentingan Asing. Para pencerita dongeng hitam beranggapan 
bahwa pembunuhan yang terjadi di pesawat, selama penerbangan 
internasional mengandaikan keahlian dan pengalaman sempurna 
dari para pembunuhnya. Keahlian ini konon, katanya, hanya mampu 
dilakukan pihak asing. Mengenai motif, dongeng hitam menyebut 
beberapa versi dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit. 
Ada yang menyebut kepentingan asing untuk terus mengganggu 
Indonesia dengan kasus-kasus HAM. Kematian Munir akan dipakai 
untuk alat menekan Indonesia di forum Internasional. Ada juga yang 
bilang soal konflik geo-politik antara Cina dan Amerika, di mana 
Munir secara aneh dan luar biasa terlibat di dalamnya.
Kedua, Munir dibunuh dalam kepentingan persaingan antara LSM. 
Pendongeng Hitam menyajikan cerita ini dalam kepentingan langsung 
memberi  motif kepada publik. Dongeng hitam ini mengatakan 
secara aneh bahwa ada persaingan karir di kalangan LSM dan itu 
berujung pada pembunuuhan Munir. Tidak dijelaskan bagaimana hal 
sedemikan aneh itu mungkin terjadi? Buat apa? Dalam penerbitan 
mendadak serta selebaran gelap, para Pendongeng Hitam ini banyak 
memaparkan tuduhan ini tanpa wawancara dengan orang-orang yang 
diskenariokan dalam cerita persaingan antar LSM itu.
Dongeng-dongeng ini adalah dongeng hitam karena mereka tidak 
dapat menyajikan argumen yang masuk akal serta motif yang 
memadai. Kalau pihak asing, apa kepentingan langsung pihak 
asing? Bukankah tanpa Munir sekalipun Indonesia sudah sejak lama 
dan masih terus bergantung pada negara-negara asing? Melibatkan 
Munir konflik Cina dan Amerika lebih tidak masuk akal lagi. Sama 
sekali ‘nggak nyambung’. Pembunuhan Munir karena persaingan 
LSM? Dengan ini lebih tidak masuk akal lagi, Keberanian Munir dan 
aktivitasnya jelas-jelas mengandaikan dukungan dari berbagai 
pihak termasuk dari berbagai aktivis LSM terlepas dari soal-soal 
pribadi yang muncul selama bekerja. Lagi pula aktifis atau LSM 
mana yang punya kemampuan dan dana untuk melakukan operasi 
semacam itu? Donor mana yang mau mendanai pembunuhan? 
Betul-betul tidak masuk akal.
Dongeng hitam memang dihembus-hembuskan paska kematian 
Munir. Tujuannya jelas, yakni untuk mengalihkan perhatian publik 
dari kebenaran dan untuk mengelabui pandangan umum sambil 
mencari kambing hitam untuk melindungi pelaku sebenarnya. 
Kebohongan dongeng hitam itu makin terbantah dengan lebih jelas 
sesudah TPF Munir terbentuk dan bekerja serta berhasil menemukan 
keterlibatan aktor seperti Pollycarpus.
Di titik ini, untuk memperkirakan berbagai motif secara lebih akurat 
serta untuk mencegah pengaruh ‘dongeng hitam’ ini  kita 
mau tidak mau harus bersandar pada dua hal yakni: sejarah atau 
pengalaman ‘permusuhan’ yang pernah dialami Munir terutama 
dalam hal ini yang berkaitan dengan pekerjaanya sebagai aktivis 
hak asasi manusi; dan yang kedua selain latar belakang pekerjaan 
itu yang juga bisa dijadikan landasan untuk meneliti motif adalah 
dengan melihat atau memeriksa kepentingan-kepentingan yang 
spesifik yang tengah berlangsung pada saat kematianya. Jadi jika  
pada bagian pertama kita perlu meneliti motif berdasar  sejarah 
permusuhan Munir dengan berbagai pihak sementara yang kedua 
kita memeriksa kepentingan dalam konteks saat pembunuhan.
Untuk memahami yang pertama kita mulai melalui memahami 
siapa Munir.
C. Siapakah Munir ?
Munir menurut beberapa selebaran gelap serta isu yang ditiupkan 
oleh sebagian mereka yang dahulu tidak menyukai pekerjaan 
dan aktivitasnya sering disebut sebagai ‘antek asing’. Yang lebih 
konyol –dengan bercampur bau teori konspirasi yang berlebih-lebih 
lagi bilang ‘Munir antek Yahudi’ dan sebutan lain semacamnya. 
Sebutan ini khas dan tipikal dipakai untuk menyudutkan aktivis 
HAM semenjak orde Baru hingga Orde SBY sekarang. 
Sebutan-sebutan semacam itu jika  dilihat dari sisi terbaliknya 
bisa membantu kita memahami siapa Munir. Dengan memahami 
kenyataan bahwa sebutan demikian biasanya selalu dipakai oleh 
kelompok atau aktor-aktor yang dekat kekuasaaan militer Orde 
Baru maka jelaslah di sini, bahwa ungkapan itu dimaksudkan untuk 
menunjuk sejenis musuh. Dengan memahami apa yang dikatakan 
mengenai dirinya, kita mengetahui siapa musuhnya.
Untuk memahami mengapa kelompok-kelompok ini memusuhi Munir, 
kita akhirnya sampai pada beberapa kasus yang melibatkannya 
berhadap-hadapan dengan kepentingan aktor-aktor tertentu di 
kalangan militer, meskipun harus dicatat bahwa tidak semua aktor 
yang muncul dari kasus-kasus ini memiliki permusuhan yang permanen 
dengan Munir. beberapa dari mereka sebagian menjalin hubungan dan 
dialog yang cukup baik dengan Munir di masa-masa akhir hidupnya.
D. Motif-Motif
a). Motif berbasis Kasus
Pertama, kasus ORANG HILANG. Kasus ini merupakan titik 
terpenting untuk melihat dan memahami kemunculan Munir 
sebagai seorang tokoh hak asasi manusia papan atas di Indonesia. 
Figur Munir tampil bukan semata-mata karena jenis kasusnya yang 
demikian dahsyat tetapi juga karena kelurusan dan keberanian 
sikapnya untuk membongkar dan mengungkap keterlibatan 
aktor-aktor dari high ranking military officer (petinggi militer) 
di Indonesia. Sekaligus juga menguak konflik keras dalam tubuh 
faksi-faksi Angkatan darat menjelang kejatuhan Soeharto. Di 
titik ini, persinggungannya memang bukan kepalang berbahaya 
mengingat yang kemudian dihadapi adalah aktor-aktor kalangan 
perwira dari satuan khusus angkatan darat yang pada masa itu 
sangat terkenal dengan kekejamannya. usaha  pembongkaran 
kasus ini, yang berlangsung seiring dengan konflik politik dan 
reformasi pada masa itu, meninggalkan jejak yang hingga kini 
tak akan terhapuskan baik dalam sejarah politik Indonesia 
secara umum maupun dalam sejarah hak asasi di Indonesia 
dalam pengertian yang khusus. Beberapa perwira menengah 
yang tergabung dalam apa yang disebut sebagai Tim Mawar di 
adili serta beberapa Perwira Tingggi di tubuh angkatan darat 
mengalami kejatuhan karir. Dari sisi politik militer di Indonesia 
kemudian berubah wajahnya hingga sekarang.
Kedua, kasus Trisakti dan Semanggi. Dengan kasus ini Munir 
memperlihatkan diri bahwa Munir tidak terpengaruh dengan 
berbagai perkubuan dalam militer yang pada waktu itu masih 
dihidup-hidupkan dalam berbagai analisa. jika  dalam kasus 
penculikan yang dihadapi adalah kelompok militer yang berdiri 
di depan Soeharto maka di dalam kasus ini munir secara lugas 
menghadapi persoalan dengan faksi militer yang tumbuh dalam 
kekuasaan paska Soeharto. Pembongkaran kasus ini pada 
kenyataanya harus dilihat juga sebagai tantangan langsung 
terhadap faksi-faksi militer yang berada di belakang rejim Habibie 
yang dianggap paling bertanggung jawab atas tragedi Semanggi. 
Ketiga, kasus bumi Timor Timur paska Jajak Pendapat. 
Penghancuran dan pembunuhan massal di Timor-timor 
menghantarkan Munir pada babak baru kelanjutan konfliknya 
dengan kelompok militer di belakang Habibie yang dianggap 
sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas semua 
kekerasaan paska Jejak Pendapat di Timor Leste. Saat kasus 
ini diselidiki, Munir terlibat dalam investigasi Komisi Penyelidik 
Pelanggar (KPP) HAM Timor Timur. Dalam kasus ini ketegangan 
yang dihasilkan setara dengan masa-masa ketegangan dalam 
kasus orang hilang, mengingat yang dihadapi adalah kelompok 
militer yang tengah berada dalam tampuk kekuasaan. Bukan 
hanya itu, tersedianya Undang-undang HAM yang dijadikan 
patokan dan mekanisme yang dipakai dalam KPP-HAM yang 
untuk pertama kalinya ‘memanggil’ orang-orang kuat seperti 
Jenderal Wiranto, dan beberapa perwira tingggi dan menengah 
lainnya dalam forum KPP-HAM di Komnas HAM memberi  
efek psikologi politik yang luar biasa baik untuk kalangan 
militer maupun kalangan sipil sendiri. Di mana untuk pertama 
kalinya kalangan militer dipanggil untuk diperiksa dihadapan 
sebuah otoritas sipil.
Keempat, kasus pembunuhan massal di Talangsari Lampung. 
jika  dalam kasus-kasus sebelumnya persinggungan 
terjadi lebih dengan faksi atau kelompok militer, kasus 
Talangsari membawa investigasi pada persinggungan dengan 
Hendropriyono. Ketegangan meningkat seiring dengan tuntutan 
yang makin kuat dari beberapa korban dan komunitas HAM 
untuk membawa kasus ini ke mekanisme pengadilan HAM. 
Sementara pada saat yang sama posisi Hendropriyono sendiri 
perlahan naik, hingga pada masa pemerintahan Megawati 
menjadi Kepala Badan Intelejen Negara (BIN).
Selain keempat kelompok kasus besar di atas, ada  satu 
dua kasus dimana Munir juga terlibat seperti misalnya dalam 
kasus pembantaian di Tanjung Priok dan kasus 27 Juli. Namun 
demikian persinggungan dan konflik antara dirinya dengan 
mereka yang dianggap pelaku relatif sangat rendah karena 
beberapa faktor: pertama karena sebelum Munir sudah 
ada  banyak kelompok HAM yang menangani kasus ini, 
dan kedua banyak kelompok-kelompok korban yang muncul 
secara langsung mengadvokasi kasusnya sendiri, sehingga 
konflik telah diambil alih dengan sendirinya oleh kelompok-
kelompok ini.

- Dilihat dari sebagian aktor dalam tabel di atas, menunjukkan bagaimana Munir 
masih terus berhadapan dengan para lawan politiknya, hingga menjelang periode 
pemilu 2004. Di antara mereka ada  kandidat presiden, dan sebagian lainnya 
menjadi tim sukses calon presiden. 
- Kasus-kasus di atas, pada masanya memang menyediakan momentum ketegangan 
dan konflik antara Munir dan beberapa tokoh militer di Indonesia. Namun 
demikian sekali lagi, tokoh-tokoh di dalam kasus ini  tidak serta merta dapat 
secara gampang dan otomatis dikaitkan dengan pembunuhan Munir ini . 
Yang jelas peristiwa-peristiwa itu harus dilihat sebagai wahana dimana berbagai 
kepentingan sebelum ataupun sesudah momentum terjadinya kasus pembunuhan 
Munir, muncul secara lebih kompleks dan dalam, beserta arti serta tujuan-tujuan 
yang mungkin juga berbeda.
b). Motif dari Konteks 
Selain motif-motif yang berbasis kasus, motif bisa juga dilihat 
dan diperkirakan dari konteks yakni relasi dan kepentingan-
kepentingan di masa dan momentum pembunuhan itu terjadi. 
Hal ini penting dan memiliki alasannya tersendiri untuk 
diperhatikan mengingat beberapa keganjilan yang muncul.
Pertama, beberapa saat sesudah diumumkan kematian Munir, 
pihak keluarga dan kantor menerima teror. Diantaranya pada 
9 September 2004, pihak keluarga Munir di Malang mendapat 
teror yang berisi pesan ‘Selamat atas Mateknya Munir, Semoga 
tidak dipukuli oleh Arwah para Pahlawan Bangsa’. Teror 
semacam ini, khususnya yang terjadi sesudah kematian Munir 
namun sebelum diketahui sebabnya jelas punya arti khusus. 
Tidak berapa lama sesudahnya, muncul teror berupa paket 
bangkai ayam yang berisi pesan berbunyi ‘‘AWAS!!! Jangan 
Libatkan TNI Dalam Kematian Munir. Mau Menyusul Seperti 
Ini?’ Pesan ini  mau mengatakan dan mengajak serta 
mengarahkan orang bahwa seolah-olah ‘TNI tidak senang’ 
dibawa-bawa, dengan begitu efek yang hendak dicapai 
adalah menyeret opini bahwa memang TNI adalah pelaku 
pembunuhannya?
Kedua, pada masa itu sendiri memang di dunia dan persaingan 
politik ada  wacana yang kuat untuk menghidupkan 
kembali semangat anti TNI. Dengan demikian opini kearah TNI 
selaku penanggungjawab pembunuhan Munir menjadi sangat 
masuk akal untuk memenuhi kebutuhan politik di atas pada 
masa itu.
Ketiga, arah ke opini itu terbuka sehubungan dengan konteks 
Pemilihan Umum Presiden tahap kedua yang menghadirkan 
kontestasi antara Megawati dan SBY. Yang secara sederhana 
dibuat-buat sebagai kontestasi antara sipil melawan militer.
Keempat, dengan begitu pembunuhan Munir dianggap akan 
memberi  efek pada penjatuhan citra calon presiden 
berlatar militer dari kontestan pemilu.
Pola-pola yang terjadi seputar kematian Munir jika  dipikirkan 
dalam konteks Pemilu memang sedikit banyak membawa kita 
pada argumen yang lebih politis sifatnya, ketimbang semata-
mata proyek balas dendam. Namun demikian kelemahan pokok 
dari argumentasi ini tentu saja dia bersifat sangat terbuka 
dan mengandaikan keberadaan petualang-petualang politik 
yang demikian kejam dan telengas, yang demi mencapai 
tujuan-tujuan pribadinya mengorbankan nyawa orang secara 
demikian gampang.
Dengan ini sebenarnya penting juga untuk dikatakan bahwa kita 
tidak dapat membuat semacam garis lurus yang mengeneralisir 
bahwa kematian Munir dibuat dan dikendalikan secara 
sistematis oleh sebuah kelompok politik yang terpadu. Namun 
cukup mungkin untuk mengatakan bahwa konteks politik yang 
tersedia memang secara demikian rumit telah sedemikian rupa 
menghasilkan situasi-situasi yang dimanfaatkan untuk menjadi 
basis bagi pembunuhannya. 
c). Motif Berbasis Modus
Untuk mencari motif berbasis pada modus operandi 
pembunuhan Munir, dapat kita ajukan beberapa pertanyaan 
berupa apa yang menjadi alasan para pelaku memilih racun, 
dan tidak dengan cara lain. Bahkan bila perlu, kita juga bisa 
mencari jawab mengapa pilihannya racun arsenikum, bukan 
jenis racun yang lain. 
Fenomena pembunuhan politik (lewat racun) macam Munir 
memang bukan sebuah gejala yang khas dari sebuah gejolak 
dinamika transisi politik yang kisruh. Beberapa analisis politik 
menunjukkan gejala yang sama di negeri lain yang punya 
pengalaman hampir mirip dengan transisi model Indonesia. 
Seorang aktivis politik HAM, Antonio Cassese, menunjukkan 
mekanisme represi dan teror politik bisa mengambil 2 (dua) 
model.6
Mekanisme pertama adalah dengan memakai  semua 
perangkat formal (institusi dan legislasi) negera untuk menekan 
siapa saja yang berani melawan penguasa yang tiran. Pada 
model pertama ini biasanya hukum menjadi mekanisme represi 
dan teror yang efektif bagi kelompok resistensi. Hukum bisa 
dibuat sedemikian rupa –meski di luar nalar sekalipun- untuk 
bisa menahan dan menghukum kelompok oposisi. Represi dan 
teror mengambil bentuk yang telanjang dan terbuka. Model 
ini lazim digunakan di negara yang sangat otoriter seperti di 
Afrika Selatan dengan proyek politik Apartheidnya atau rezim 
Orde Baru Indonesia. 
Sementara pada model kedua represi dan teror mengambil 
bentuk yang lain. Model ini lazim di negeri yang sedang 
mengalami transisi politik di mana kekuatan lama masih 
punya peran penting dalam melakukan negosiasi politik 
dengan kekuatan baru. Pada model ini represi dan teror 
tidak mengambil bentuk yang formal dan legal, namun lebih 
tertutup dan mirip dengan operasi intelijen. Model ini misalnya 
dipraktekan dalam bentuk pembunuhan di luar prosedur hukum 
dan penghilangan paksa, semua karena motif politik. 
Pembunuhan Munir dengan racun bisa dipahami dalam konteks 
model kedua. Sulit membayangkan adanya mekanisme legal 
formal yang bisa dipakai untuk merepresi Munir.7 Apalagi di 
akhir hidupnya Munir selalu aktif terlibat –dengan berbagai 
metode- dalam setiap proses pembentukan produk hukum 
yang strategis (terutama yang mengancam) bagi kehidupan 
demokrasi dan HAM di Indonesia. Merepresi Munir secara 
terbuka kemungkinannya sangat kecil. Untuk itu perlu usaha  
operasi pembunuhan yang tertutup dan rahasia. Persis seperti 
analisis Munir terhadap kasus penghilangan paksa aktivis 
1997/1998 yang lalu.
7 Sebenarnya beberapa bentuk teror dan serangan di luar proses hukum pernah ditujukan 
kepada Munir dan KontraS. Catatan KontraS mendata beberapa peristiwa antara lain; Agustus 
2000 di Batu, Malang, September 2000 kantor KontraS, Maret 2002, kantor KontraS diserbu 
massa yang mencari Munir. Sebelumnya  KontraS mendemo para Perwira TNI yang bertanggung 
jawab atas kasus Trisakti, Semanggi I dan II; Mei 2003, KontraS kembali diserbu dan Munir 
menjadi incaran amuk PPM (Pemuda Panca Marga) karena menolak pemberlakuan Darurat 
Militer di Aceh;  Semua serangan ini dipandang banyak pihak lebih bersifat teror ketimbang 
ditujukan untuk menghabisi nyawa Munir. Berbagai pihak kemudian beranggapan pembunuhan 
Munir memang harus dilakukan mengingat akumulasi teror-teror ini  sudah tidak efektif 
lagi untuk meredam perjuangan Munir.
Uraian pada bagian ini menceritakan awal mula tersiarnya kabar Munir telah 
meninggal, penjemputan jenazah di Belanda sampai bagaimana publik 
Indonesia mengekspresikan kedukaan dan kehilangannya atas kematian 
Munir. Ungkapan ini disampaikan oleh berbagai tokoh masyarakat, dari 
kalangan agama, politisi, maupun tentara hingga Presiden RI Megawati 
Sukarnoputri. Bahkan diantaranya-mulai dari Wali Kota Batu Imam 
Kabul hingga Ketua Mahkamah Konstitusi RI Jimly Assidiqie- meminta 
pemerintah memberi penghargaan kepada Munir. Sebagian besar uraian 
ini dikumpulkan dari rangkaian pemberitaan media massa cetak maupun 
elektronik, sehingga bagi sebagian orang bukan sesuatu yang baru.
Hari itu, Selasa 7 September 2004, sekitar pukul 13.00 Wib tengah 
berlangsung pertemuan korban dan keluarga korban peristiwa Trisakti 
dan Mei 1998, Semanggi I 1998 dan Semanggi II 1999, Tanjung Priok 
1984 dan penculikan 1997/1998 serta pembunuhan massal 1965/1966. 
Pertemuan yang berlangsung di kantor KontraS itu sengaja digelar 
untuk menyikapi pengesahan DPR terhadap Undang Undang No.27/2004 
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). UU KKR ini telah lama 
dipersoalkan KontraS bersama para korban pelanggaran HAM karena 
Undang-Undang ini dinilai lebih berpihak kepada pelaku kejahatan. 
Koordinator KontraS Usman Hamid yang tengah menjadi narasumber 
pada sebuah seminar tentang Kontroversi RUU TNI yang digelar elemen 
gerakan pro demokrasi, datang dan bergabung dalam rapat.8 Tidak 
8 Pada masa-masa ini Kontras, Imparsial dan beberapa organisasi masyarakat sipil memang 
tengah gencar menolak rancagan undang-undang TNI. Saat menerima kabar kematian Munir, 
Direktur Imparsial Rachland Nashidik juga tengah menjadi narasumber dalam sebuah seminar 
tentang RUU TNI di Sulawesi.

berapa lama, ia meminta waktu 
sejenak untuk menyampaikan 
berita, yang ternyata sebuah 
b e r i t a  d u k a  b a h w a  C a k 
(demikian kami menyapa Munir) 
telah meninggal dunia dalam 
penerbangan pesawat Garuda 
GA-974 menuju Amsterdam. 
Berita itu diterimanya via 
telepon dari Mouvty Makaarim yang menerima kabar dari staf KontraS 
lainnya Agus Suparman yang menerima kabar via telepon dari pihak 
Garuda Indonesia. 
Sikap korban untuk menolak UUKKR yang semula akan disampaikan 
kepada pers tepat pada pukul 15.00 WIB dibatalkan. Semua yang hadir 
terdiam. Tidak ada satupun yang sanggup menahan sedih. Setengah 
tak percaya atas berita ini, keluarga korban dan awak KontraS pun 
secara bersama mendoakan agar almarhum Munir diberi tempat yang 
mulia disisi Sang Pencipta Allah SWT, sebagaimana Munir memuliakan 
nilai-nilai kemanusiaan hingga akhir hidupnya. 
Pada saat yang sama, berita “kepergian” Munir telah menyebar di 
berbagai kalangan termasuk pers yang kemudian berdatangan ke kantor 
KontraS untuk memastikan kebenaran berita ini . Selain persebaran 
berita lewat sms dan telepon10, sore itu juga banyak media elektronik  
radio, tv, dan internet memberitakan tentang kepergian sang pahlawan 
orang hilang itu. Bahkan beberapa radio sejak sore itu menyiarkan 
feature khusus berupa duka yang mendalam atas kepergian Munir. 
Sekitar pukul 12.00 WIB, Mouvty salah seorang aktifis KontraS menerima telpon dari 
kantor maskapai penerbangan Garuda yang menyampaikan berita kematian Munir. Mouvty 
menyampaikan informasi ini kepada Usman Hamid yang saat  itu tengah menjadi pembicara 
dalam seminar tentang RUU TNI.  Mendapatkan kabar dari Mouvty, Usman segera kembali 
ke Kontras dan menyampaikan berita duka ini kepada Suciwati, istri Munir, yang ternyata 
belum memperoleh kabar duka ini .
10 Disela-sela pesan SMS yang tersebar tentang kematian Munir, juga tersebar SMS-ternyata 
tidak benar-tentang meninggalnya Cak Nur (Nurcholish Madjid) yang saat itu masih menjalani 
perawatan di Singapura. 
11 Istilah Pahlawan orang hilang dipopulerkan oleh Budiman Tanuredjo dalam tulisannya berjudul 
“Perginya Pahlawan Orang Hilang”, Kompas, 8 September 2004.
Di Bekasi, sejak sore hingga malam, tempat kediaman almarhum di 
Jalan Cendana XII RT 04 RW06 Perumahan Jakasampurna, Bekasi Barat, 
telah ramai didatangi oleh berbagai kalangan, diantaranya keluarga 
korban dan korban pelanggaran HAM, rekan-rekan seperjuangan Munir 
termasuk rekan-rekannya dari Universitas Brawijaya Malang, serta para 
wartawan dan masyarakat luas yang bersimpati.12
Pada hari itu, ungkapan belasungkawa juga terus membanjiri rumah 
kediaman almarhum serta kantor tempat Munir bekerja, KontraS dan 
Imparsial. Sebagian ungkapan duka itu terlihat dari terus mengalirnya 
kedatangan berbagai kalangan masyarakat serta ungkapan bela 
sungkawa yang tak henti-hentinya disampaikan melalui telepon, SMS, 
surat via fax serta ungkapan yang ditulis pada bentangan spanduk 
sepanjang 30 meter. Ada diantaranya yang menawarkan bantuan untuk 
kepentingan persemayaman almarhum dan tunjangan dua anak Munir 
yang ditinggalkan. Pesan lainnya adalah dukungan untuk melanjutkan 
perjuangan Munir. Belum lagi ungkapan duka yang juga dituangkan dalam 
berbagai rangkaian karangan bunga yang dikirim ke tempat kediaman 
almarhum, KontraS dan Imparsial. Ratusan karangan bunga itu dikirim 
oleh pejabat dan lembaga-lembaga negara, perwakilan negara sahabat, 
tokoh-tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, pimpinan media cetak 
dan elektronik, organisasi non pemerintah, organisasi kemasyarakatan 
(ormas), organisasi kepemudaan (OKP), organisasi profesi, partai politik, 
perusahaan swasta nasional dan internasional, organisasi keagamaan 
dan masyarakat luas yang bersimpati dengan almarhum. 
Tidak hanya karangan bunga, KontraS juga menerima ratusan surat yang 
dikirim dari lembaga-lembaga dalam dan luar negeri termasuk perseorangan. 
Selain itu beberapa pernyataan duka yang dikirim masyarakat atas kepergian 
sang peraih The Right Livelihood Award dari Parlemen Swedia ditahun 2001 
lalu juga disampaikan melalui surat pembaca maupun pesan singkat/SMS 
yang dikirim dari dalam dan luar negri. dihampir semua media massa. Sejak 
diketahui Munir wafat, sejak tanggal 7 September 2004 media cetak dan 
elektronik memberi tempat khusus bagi pemberitaan dan ungkapan duka. 
12 Tampak hadir pada malam itu Taufik Kiemas yang datang bersama Hermawan Sulistyo serta 
Cornelis Lay,
Setidaknya dalam kurun waktu 2 minggu, media pers tidak henti-hentinya 
memberitakan tentang profile Munir, termasuk yang tertuang dalam banyak 
opini di media massa. Munir disambut sebagai pahlawan oleh banyak orang, 
di tengah sikap pasif negara meresponnya. 
Pada kesempatan lain, Presiden Megawati menyampaikan apresiasi khusus 
terhadap almarhum Munir. Menurutnya, Munir adalah orang yang gigih 
dan selalu berusaha  memberi  yang terbaik dalam pemikirannya. “Kita 
juga melihat beliau (Munir) sebagai salah seorang pejuang (HAM). Selama 
ini tidak pernah kenal lelah, tak pernah berhenti menyampaikan hal-hal 
yang beliau yakini”, kata presiden Megawati saat  itu.13 Panglima TNI 
Endiartono Sutanto yang institusinya sering menjadi sasaran kritik Munir 
mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh almarhum selama ini tidak 
menyusahkan institusinya. Sebab kritik yang dilontarkan Munir bersifat 
membangun. “Kritik dia landasannya kebenaran,” kata Endriartono.14
Begitupula halnya dengan kandidat calon presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono, yang tengah mengadakan pertemuan dengan para ekonom 
dan tokoh pers di Jakarta. Yudhoyono mengajak semua peserta berdiri 
dan mengheningkan cipta selama 1 menit kala mendengar kabar duka 
tentang meninggalnya Munir. Yudhoyono mengenang Munir sebagai 
tokoh yang kritis, vokal, dan kadang-kadang membuat banyak telinga 
orang atau pihak yang dikritiknya menjadi panas. Baginya, keberadaan 
Munir sangat penting sebagai alat kontrol untuk mencerahkan pikiran, 
kalau ada pihak yang keluar dari nilai-nilai demokrasi.
Ungkapan duka juga disampaikan oleh Gus Dur, Ketua Dewan Syuro PKB 
yang mengatakan almarhum Munir adalah tipikal pribadi yang sederhana 
dan nyaris tak gampang terlena oleh bujukan atau gaya hidup mewah. 
Berikut kutipan pernyataan Gus Dur, “Saya ikut belasungkawa. Terus 
terang, diantara para pejuang HAM, dia yang paling terkemuka. Dia 
tidak tergoda kemewahan hidup. Teman-temannya yang lain sudah pada 
mewah, dia tidak. Yang dia lakukan hanya menolong orang.” 
Mantan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo 
mengatakan, kepergian Munir merupakan kehilangan besar bagi bangsa 
ini. Sebab, menurutnya, semasa hidup almarhum telah bekerja dengan 
gigih memperjuangkan penegakan HAM. Ia juga telah memberi  
sumbangan besar bagi proses pembelajaran dan demokratisasi bangsa 
dengan pendekatan HAM. Agus Widjojo menganggap sewajarnya 
pemerintah memberi  penghargaan yang sebanding dengan karyanya 
bagi bangsa terhadap almarhum.17 Pendapat senada berkaitan dengan 
penghargaan pemerintah juga disampaikan oleh Marie Muhammad18, 
Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assidiqie19 dan Todung Mulya lubis 
serta Indriyanto Seno Adji. 
Sulit untuk mengingat satu per satu dari setiap karangan bungan yang 
dikirim. Tetapi setidaknya dari 158 karangan bunga yang tercatat 
diantaranya dikirim oleh Presiden Megawati, Wakil Presiden Hamzah 
Haz, Menteri Pembendayagunaan Aparatur Negara Faisal Tamin, Ketua 
Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Ketua DPR Akbar Tanjung, 
Kedutaan Besar Jerman, Belanda, Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan 
Sejahtera., DW 8 rental Care, Bank DKI, Bank Dunia, Pengurus Pusat 
Muhammadiyah, Pengurus Pusat Nahdhatul Ulama (NU), Kardinal J. 
Darmaatmadja, Abdurrahman Wahid, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian 
(PTIK), Indonesia Marketing Association, Iluni Fakultas Hukum 
Universitas Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), Ide Indonesia, 
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), DPP Komite Nasional Pemuda 
Indonesia (KNPI), TK-SD-SMP-SMA Tunas Jaka Sampurna School, RCTI, 
Metro TV, Kantor Berita 68H, South East Asia Press Association (SEAPA), 
Renetil Timor Leste dan lain-lain.   
Di Jakarta, ungkapan dan suasana duka terus terasa hingga hari kedua, 
ketiga dan seterusnya. Di hari ketiga ratusan orang terutama para 
kerabat dan warga yang tinggal di sekitar kantor KontraS berkumpul 
mengadakan doa bersama dengan tradisi pembacaan Yassin (tahlilan). 
Acara ini diikuti dengan sejenak refleksi untuk mengungkapkan 
kenangan para kerabat, serta pemutaran rekaman video pertemuan 
dengan Munir di KontraS, 31 Agustus 2004, persis tujuh hari sebelum 
kematiannya. Ratusan orang juga berkumpul dan mengadakan kegiatan 
serupa di kantor berita Radio 68H Utan Kayu, Jakarta Timur. Selain 
doa bersama oleh perwakilan unsur agama, acara juga diisi dengan 
pembacaan puisi, lagu dan kesaksian para sahabat. Pada hari ke-5 
kegiatan serupa diadakan pula di kantor Imparsial. 
Di Surabaya, pada hari kedua, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Cabang 
Surabaya, mengibarkan bendera setengah tiang Merah Putih sampai 
dengan hari ke-7 untuk mengenang wafatnya Munir. Para aktifis pers, 
seniman, akademisi dan organisasi non pemerintah  menggelar doa 
bersama yang diikuti dengan aksi memasang lilin pertanda duka 
dan simpati, orasi beberapa tokoh yang mengenang Munir dan acara 
teaterikal.
Dari Malang, pada Rabu malam 8 September 2004 acara doa bersama 
digelar dan diikuti oleh ratusan mahasiswa terutama mahasiswa Fakultas 
Hukum Universitas Brawijaya. Doa bersama itu dipimpin langsung 
Rektor Universitas Brawijaya Prof Dr Bambang Guritno dan dihadiri 
beberapa pejabat kampus setempat serta beberapa sahabat almarhum 
Munir seperti HS Dillon (Direktur Eksekutif Kemitraan), Dedy Priambudi 
(Direktur LBH Surabaya), Ibnu Tricahyo (Ketua Pusat Pengkajian Otonomi 
Daerah).
Jauh dari Belanda, tersebarnya berita kematian Munir yang begitu cepat 
dan luas, membuat kalangan masyarakat Indonesia di Leiden serta 
kerabat dari Belanda menggelar tahlilan yang digelar oleh Perhimpunan 
Pelajar Indonesia (PPI) di Leiden. Acara serupa juga selanjutnya digelar 
di Amsterdam pada malam berikutnya, bertempat di kantor Indonesia 
House.
Kembali lagi ke Jakarta, pada Rabu sore 8 September 2004, Suciwati 
isteri almarhum, Usman Hamid (KontraS), Poengki Indarti dan Rusdi 
Marpaung (Imparsial) serta Rasyid (kakak sulung Munir) berangkat dari 
Bandara Soekarno Hatta menuju Amsterdam untuk menjemput jenazah 
almarhum Munir. Beberapa saat menjelang pesawat tinggal landas 
(take off) Ketua MPR Amien Rais menemui Suciwati dan menyampaikan 
belasungkawa atas wafatnya Munir. Tidak berapa lama, rombongan kecil 
ini berangkat dengan memakai  penerbangan KLM 837. Pesawat 
lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta pukul 18.55 WIB, transit 
sesaat di Singapura dan dijadwalkan tiba di Amsterdam pada hari Kamis 
pukul 5.30 waktu setempat. 
Sesampainya di Bandara Schippol, Belanda, rombongan Suciwati 
disambut oleh sahabat dari Belanda Kees de Ruiter, Sri Rusminingtyas 
serta beberapa pejabat otoritas Bandara Schippol. Sekitar pukul 08.00 
waktu setempat Suciwati beserta rombongan diberikan kesempatan 
melihat jenazah Almarhum yang terbaring di sebuah ruang bernama 
Mortuarium. Menjelang siang, ruang mortuarium sudah dipenuhi oleh 
para sahabat Munir yang tinggal, bekerja maupun sekolah di Belanda 
bahkan juga dari London Inggris yang sengaja hadir untuk menyampaikan 
duka yang mendalam atas kematian Munir. Siang hari, sesudah jenazah 
dikafani, perwakilan keluarga, kerabat serta para perwakilan Kedutaan 
Besar Republik Indonesia di Belanda, ikutserta melakukan shalat jenazah 
untuk Munir. 
Pada hari Jum’at, 10 September, sekitar pukul 22.00 waktu setempat 
jenazah Munir dibawa ke Indonesia dengan pesawat KLM 738 dari 
bandara Schipol. Turut mendampingi jenazah, Suciwati berserta 
rombongannya dan konsuler KBRI di Den Haag. Pada Sabtu 11 September 
2004, sekitar pukul 17.00 WIB jenazah Munir tiba di Bandara Soekarno-
Hatta dengan nomor Surat Muatan Udara (SMU) 07431265846. Di ruang 
tunggu VIP penerbangan Merpati di Terminal 1A Bandara Soekarno-Hatta, 
telah banyak berkumpul rekan-rekan almarhum yang ingin turut serta 
mengantar jenazah almarhum Munir ke kota Batu, Malang, Jawa Timur. 
Antara lain, Todung Mulya Lubis, Ikrar Nusa Bakti, Teten Masduki, 
Dr Syahrir, Marsilam Simanjutak, Ifdhal Kasim, serta Adnan Buyung 
Bagian 2. Munir Tewas Di Atas Pesawat Garuda
Bunuh MUNIR38
Nasution, Mar’ie Muhammad, Jimly Assidiqie, Abdul Rahman Saleh, Andi 
Widjajanto, perwakilan Kedutaan Besar Kanada, Belanda dan Inggris 
serta banyak lagi yang sulit disebut satu per satu. 
sesudah jenazah almarhum sempat beberapa menit ditempatkan di 
area Karantina Kesehatan Bandara Soekarno Hatta, jenazah kemudian 
dipindahkan ke dalam pesawat Merpati. Selanjutnya  pesawat ini  
membawa jenazah almarhum beserta istri dan dua anaknya, serta 
para kerabat yang mengantar jenazah almarhum untuk disemayamkan 
ditanah kelahirannya, kota Batu, Malang, Jawa Timur. Setidaknya sekitar 
100 orang berangkat pada malam itu satu pesawat dengan Jenazah, 
selebihnya memakai  pesawat Adam Air dan lainnya. Rombongan ini 
belum termasuk rombongan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM 
yang berangkat dari Jakarta terlebih dahulu dengan memakai  3 (tiga) 
buah bus besar dan didampingi oleh aktifis-aktifis IKOHI dan KontraS. 
Pesawat Boeing 737 Merpati dengan nomor penerbangan MZ 3300 yang 
khusus di carter untuk mengantar jenazah, dan membawa serta keluarga 
dan kerabat Munir pada pukul 19.30 WIB berangkat menuju pangkalan 
udara Abdurrahman Saleh-Malang (ikut serta dalam pesawat ini  serta 
Direktur Merpati Hotasi Nababan). Pada pukul 21.10 WIB jenazah beserta 
rombongan tiba di Malang. Kehadiran rombongan Jenazah telah ditunggu 
Komandan Lapangan Udara Abdurrahman Saleh, yaitu Marsekal Madya 
Amirullah Amin. Dari pihak keluarga hadir Dr Jamal serta sanak keluarga 
dan kerabat. Sementara rombongan penjemput dari Fakultas Hukum 
Universitas Brawijaya dipimpin Ketua Pusat Pengkajian Otonomi Daerah 
Ibnu Tricahyo, bersama anggota Komisi Pemilihan Umum Batu, Anton 
Dwi Martono, dan Direktur LBH Surabaya Dedy Prihambudi. Beberapa 
kendaraan bus, mobil ambulance, mobil pribadi juga telah disiapkan yang 
kemudian beriringan berjalan dengan dikawal oleh aparat kepolisian.
Iring-iringan rombongan pengantar serta ambulans kemudian bergerak 
ke Kampus Universitas Brawijaya. Sejak sore di lobi gedung Rektorat 
Universitas Brawijaya ini telah berlangsung acara tahlilan. beberapa 
kalangan termasuk perwakilan buruh, mahasiswa, dan kelompok-
kelompok masyarakat bergantian menyampaikan kenangan tentang 
sosok almarhum. Setibanya di halaman gedung rektorat, mobil ambulans 
dibuka, dan selanjutnya diikuti oleh beberapa acara singkat sebagai 
bentuk penghormatan terakhir oleh komunitas akademik Universitas 
Brawijaya dan semua yang berada di tempat, kepada Munir. Sekaligus juga 
melakukan shalat jenazah. Acara yang dihadiri oleh ratusan orang ini  
diwarnai isak tangis, bahkan ada diantaranya mahasiswa yang pingsan. 
Selanjutnya, iring-iringan mobil jenazah melanjutkan perjalanan ke 
rumah Ibunda Jamilah yang tinggal di Jalan Diponegoro 169, Kota Batu, 
Malang Jawa Timur. Suasana duka sangat terasa di kota ini. Disetiap 
halaman rumah dan perkantoran terlihat bendera setengah tiang 
berkibar. Pengibaran bendera setengah tiang ini memang merupakan 
instruksi dari Wali Kota Batu, Drs H Imam Kabul untuk dilaksanakan 
selama 7 hari sebagai tanda simpati dan hormat warga Batu terhadap 
almarhum Munir. Di kota Batu, seniman membungkus patung apel di 
alun-alun Kota Batu dengan selubung kain hitam. Aksi teaterikal mengenang 
Munir yang dilakukan di kota Batu ini, juga dilakukan dengan memasang 
baliho besar, yang menegaskan arti jasa Munir bagi penduduk kota 
kecil, Kota Batu. Ratusan massa telah menunggu dikediaman orangtua 
almarhum Munir. Massa berebut untuk dapat mengusung jenazah Munir 
ke dalam rumah. Rumah ibunda almarhum yang sederhana itu langsung 
sesak dipenuhi orang yang berjejalan berusaha masuk untuk melihat dan 
memberi penghormatan terakhir serta doa pada almarhum.
Disekitar rumah, ratusan karangan bunga sudah tersebar di dalam dan 
di luar rumah. Karangan bunga itu ditempatkan disisi-sisi jalan sekitar 
sepanjang 50 meter dari rumah ibunda Munir. Puluhan spanduk dari 
berbagai elemen masyarakat terbentang dijalan. Ungkapan duka serta 
semangat untuk terus melanjutkan perjuangan almarhum menjadi tema 
yang tertulis berbagai lembaran spanduk yang dipampang dan karangan 
bunga duka itu sudah terlihat sepanjang jalan dari Universitas Brawijaya 
menuju rumah ibunda almarhum Munir. 
Pada minggu pagi 12 September 2004, ribuan pelayat telah berkumpul 
didepan rumah orangtua almarhum hingga menutup jalan Diponogoro. 
Sebelum dibawa kepemakaman umum Kelurahan Sisir, Batu, dilakukan 
prosesi penghormatan terakhir. Acara ini dimulai sekitar pukul 09.00 WIB 
dan dipandu oleh Usman Hamid (KontraS). Pada kesempatan itu turut 
memberi  sambutan antara lain Mustafar yang mewakili keluarga 
almarhum, Wali Kota Batu Imam Kabul, Ketua Mahkamah Konstitusi 
Jimly Asshiddiqie, Todung Mulya Lubis wakil Imparsial, Adnan Buyung 
Nasution mewakili YLBHI, Mudzakir Achmad Ghazali mewakili Kedutaan 
Besar RI di Belanda, Ketua Muda Bidang Pengawasan Mahkamah Agung 
Abdulrahman Saleh, dan Pengurus Pusat Al-Irsyad Hisyam Thalib. 
Dalam kesempatan itu Wali Kota Batu Imam Kabul, secara langsung 
memberi tanda penghargaan kepada almarhum Munir sebagai Putra 
Terbaik Kota Batu. Penghargaan itu diberikan atas perjuangan yang 
gigih dari almarhum sebagai penegak demokrasi dan HAM. Sementara 
dalam kesempatan itu Jimly Asshiddiqie meminta agar pemerintah 
memberi  bintang jasa atau penghargaan yang selayaknya kepada 
pendiri KontraS ini. Sedangkan Todung Mulya Lubis, mengungkapkan, 
“Kritik tajam yang dilontarkan  alamarhum baik yang ditujukan pada 
pemerintah maupun TNI membuat dia dituduh sebagai orang tidak 
nasionalis, bahkan yang lebih parah dikatakan ‘menjual’ negara. Saya 
tahu siapa Munir, saya tahu perjuangannya yang tidak mengenal batas 
ras, suku, agama, maupun gender sehingga tuduhan itu salah kaprah,” 
katanya. 
sesudah itu ribuan pelayat mengusung keranda almarhum menuju 
Mesjid At-Taqwa untuk di sholatkan. Banyaknya masyarakat yang ingin 
mensholatkan almarhum membuat acara shalat jenazah ini dilakukan 
sebanyak 2 (dua) kali. Usai disholatkan, jenazah diusung kepemakaman 
umum Kelurahan Sisir, Batu yang berjarak sekitar 500 m dengan berjalan 
kaki. Ribuan orang terus mengiringi diantarnya jenazah almarhum 
hingga proses pemakaman. 
Sekitar empat puluh hari kemudian, KontraS bersama IKOHI, Imparsial, 
VHR, dan Komunitas korban pelanggaran HAM mengadakan acara 
mengenang Munir pada 16 Oktober 2004. Acara yang diselenggarakan 
di Perpustakaan Nasional dimulai sekitar jam lima sore diawali dengan 
pemutaran film dokumentasi Garuda yang dipandu oleh Usman Hamid. 
Acara dilanjutkan dengan buka puasa bersama, shalat maghrib, 
tahlilan, shalat isya dan acara dilanjutkan dengan obituari mengenai 
Munir yang disampaikan oleh Gus Dur, ibu Nurhasanah (ibu dari Yadin 
Muhidin-yang hilang pada Mei 1998) dan Pendeta Nathan Setiabudi 
(Ketua PGI). 
Bagi mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Munir adalah sosok yang 
ikut mempengaruhi pemikiran dan perjuangan menegakkan demokrasi 
di Indonesia. Munir adalah seorang pemberani yang konsisten dalam 
ucapan maupun tindakannya. Menurutnya, perjuangan Munir tidak 
cuma teoritik dan konsepsional, tetapi nyata. Munir dengan berani 
membuka hati dan telinganya, untuk mendengar dan mendampingi 
orang-orang yang kesusahan. Dari sisi lain, Pendeta Nathan Setiabudi 
mengungkapkan bahwa Munir, menurutnya, memang sudah hilang. 
“Tetapi, benarkah dia hilang? Tidak” ujarnya. Ia melanjutkan, “dalam 
arti tertentu Munir memang hilang. Tetapi sesungguhnya Munir selalu 
hadir. Munir selalu hidup.” 
Pada acara itu, diluncurkan sebuah buku kenangan berjudul “Cak Munir, 
Engkau Tak Pernah Pergi”. Buku ini , secara simbolik diserahkan 
oleh Suciwati, isteri Munir, kepada Gus Dur, ibu Nurhasanah (ibu dari 
Yadin Muhidin-salah satu korban hilang) dan Budiman Sudjatmiko. Selain 
peluncuran buku, acara diisi dengan pemutaran film tentang kisah 
perjalanan hidup Munir hingga akhir hayatnya. Acara ini dihadiri lebih 
kurang 400 orang. Acara ditutup oleh pagelaran seni dan budaya berupa 
pembacaan puisi oleh Jose Riza Manua, musik oleh Oppie Andariesta 
dan kelompok Pesantren Jalanan.
Munir berangkat pada 6 September 2004 malam, diantar oleh istri 
tercinta Suciwati serta rekan-rekan Imparsial dan KontraS. Munir 
terlihat sehat dan ceria seperti biasanya. Selalu saja ada hal-hal yang 
lucu yang dilontarkannya. Munir dan Suciwati sempat makan minum 
di Dunkin Donut’s selama menunggu keberangkatan dan berpisah 
saat  harus segera boarding. saat  boarding memasuki koridor 
pesawat, salah seorang crew Garuda yang tengah menjadi extra 
crew/aviation security yang bernama Polly Carpus Budihari Priyanto 
menghampir Munir dan berbincang-bincang dengan Almarhum. Polly 
kemudian menawarkan Munir untuk duduk di kursi Bisnis class. 
Tawaran ini pada awalnya ditolak oleh Munir dengan alasan tidak 
enak karena ia membeli tiket untuk kelas ekonomi. Sampai kemudian 
Munir menerima tawaran ini yang mengantarkannya duduk di kursi 
3 K bisnis class.
Pesawat Garuda yang di tumpangi Munir berangkat pada pukul 21.55. 
Selama perjalanan Jakarta ke Singapura Munir sempat makan minum 
hidangan selama penerbangan, antara lain juice jeruk dan mie serta 
irisan buah segar. Pesawat transit di bandara Changi, Singapura 
pada hari Selasa pukul 00.40 waktu setempat. Pesawat transit di 
Kronologi Meninggalnya Munir
Singapura selama satu jam sepuluh menit, kemudian melanjutkan 
perjalanannya ke Amsterdam pada pukul 01.50 waktu setempat. 
Pesawat dijadwalkan tiba di Amsterdam 7 September 2004, pukul 
08.10 waktu Amsterdam.
Dalam perjalanan dari Singapore menuju Amsterdam Munir duduk 
di class ekonomi kursi 40G. Sekitar 40 menit sesudah take off Munir 
terlihat menuju toilet. Sekitar dua jam kemudian Munir mendatangi 
pramugara Bondan Hernawa dan menyampaikan bahwa ia sakit dan 
ingin dipertemukan dengan dokter Tarmizi  yang duduk di kelas bisnis 
sambil menyerahkan kartu nama dokter itu. Bondan Hernawa dan 
Madjib Nasution selaku Puser kemudian mendatangi dokter Tarmizi 
yang duduk di kursi 1J. Tetapi karena dokter Tarmizi tidur pulas, 
Madjib meminta Munir untuk membangunkan dokter Tarmizi.
sesudah bertemu dengan dokter Tarmizi, Munir menyampaikan 
bahwa ia telah muntah dan buang air besar sebanyak 6 kali. Munir 
kemudian mendapat penanganan oleh dokter Tarmizi. Munir kemudian 
ditempatkan di kursi nomor 4 bisnis kelas agar dekat dengan dokter. 
Munir terus mengalami muntah dan buang air besar berkali-kali 
sekalipun sebelumnya telah diberikan obat diare dan susu serta air 
garam. Beberapa jam kemudian Munir kembali kesakitan. Dokter 
memberinya minum tapi dimuntahkan kembali. Dokter Tarmizi 
kemudian memberi  suntikan, dan Munir kembali tenang. 
Selasa, 7 September 2004, sekitar pukul 04.05 UTC (diperkirakan 
diatas negara Rumania) atau pukul 08.00 waktu setempat atau sekitar 
2 jam sebelum mendarat di Bandara Schipphol, Amsterdam, Munir 
menuju Amsterdam. Tarmizi memperkenalkan diri dan memberi  kartu namanya kepada 
almarhum.  
Dua hari sesudah kematian Munir, yaitu pada tanggal 9 September 2004, 
orang tua Munir yang tinggal di Malang Jawa Timur menerima sepucuk 
surat kaleng berisi teror. Surat kaleng itu berbunyi: 
“Selamat atas Mateknya Munir, Semoga tidak dipukuli 
oleh Arwah para Pahlawan Bangsa”. 
Dilihat dari isi pesan, teror ini ingin menimbulkan kesan ada pihak yang 
senang dengan kematian Munir. Kalimat “pahlawan bangsa” bisa jadi 
digunakan untuk mengkaitkannya atau seolah berbau TNI mengingat 
istilah kepahlawanan yang selama ini kerap diidentikkan dengan 
tentara yang tewas. Apapun kesan yang timbul, pihak keluarga Munir 
beserta kalangan aktifis mengajak semua pihak untuk tidak berspekulasi 
menyangkut kematian Munir. Semua pihak diharapkan untuk menunggu 
hasil otopsi yang dijalankan oleh lembaga forensik independen di 
Belanda. Apapun spekulasi yang muncul saat  itu selalu diabaikan.
Pada hari yang sama, yakni tanggal 9 September, tersiar berita tentang 
spekulasi dibalik kematian Munir. Dalam wawancara dengan koran 
Reporter,31 Mayor (Purn) TNI AL Juanda mengatakan bahwa bisa saja 
Munir dibunuh oleh musuh dalam atau luar negeri. Didalam negeri 
 Seringnya KontraS terlebih Munir menerima teror ini membuka spekulasi bahwa kematian 
Munir merupakan satu rangkaian dari aksi teror ini . saat  seorang aktifis lama yang 
pernah mengkritik keras Presiden Suharto, Sri Bintang Pamungkas datang menyampaikan 
duka ke kantor KontraS, 8 September 2004. Bintang menuliskan pendapatnya di bentangan 
kain yang sengaja KontraS sediakan, dia menulis “Saya yakin 100% Anda dibunuh, Kawan”. 
Pendapat serupa banyak dibicarakan dalam obrolan-obrolan ‘warung kopi’. 
menurut Juanda tudingan itu tentu mengarah pada TNI atau Polri, aparat 
kekerasan negara yang sering kali bersinggungan dengan isu pelanggaran 
HAM. Sementara aktor diluar negeri menurutnya bisa saja datang dari 
NGO yang berseberangan dengan sikap dan perjuangan almarhum. 
Dugaan bahwa Munir dibunuh oleh musuh dalam negeri seperti TNI 
atau Polri, ataupun dugaan Munir dibunuh oleh musuh luar negeri dari 
LSM adalah dugaan yang aneh. Sebab analisa ini dikemukakan secara 
terbuka di publik sebelum sebab kematian Munir diketahui. Yakni dua 
bulan sebelum hasil otopsi yang dilakukan oleh Netherlands Forensic 
Institute (NFI) di Belanda.
Disisi lain, analisa diatas juga membuat sebagian kalangan delat Munir 
bertanya-tanya, apakah ada usaha  untuk mengkait-kaitkan kematian 
Munir dengan TNI. Jika ada, apa alasan ataupun tujuannya? 
Pertanyaan-pertanyaan ini terus berkembang hingga akhirnya hasil 
otopsi jenazah Munir selesai pada awal November 2004. Dari analisa 
toksikologi forensik ditemukan kandungan racun arsen dalam jumlah 
dosis tinggi dan mematikan. sesudah mengetahui bahwa adanya sebab 
tak wajar dalam kematian Munir, Suciwati langsung meminta pemerintah 
khususnya pihak kepolisian menjelaskan lebih lengkah hasil otopsi 
ini . Suciwati juga menuntut agar ketidakwajaran ini diusut sampai 
tuntas. Lebih jauh, kabar tentang sebab tak wajar dalam kematian Munir 
mengundang reaksi berbagai kalangan yang menduga Munir di bunuh.32 
Beberapa sesudah itu, Mabes Polri mengirim tim berangkat ke Belanda.
Dugaan banyak pihak bahwa kematian Munir ini tidak wajar, mendapat 
respon dari Kapolri Da’i Bachtiar. Da’i menyampaikan bahwa pemerintah 
32 Serikat Pengacara Rakyat, Perhimpunan Pembela Publik Indonesia, dan Pergerakan Demokratik 
Rakyat Miskin (PDRM) Aceh mengultimatum pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang 
dinilai tidak serius menangani kasus kematian Munir. Tiga lembaga swadaya masyarakat ini 
juga menyayangkan munculnya tradisi pembunuhan politik di Indonesia. Menurut ketiga 
LSM itu, sebaiknya polisi dapat langsung memeriksa kasus kematian mantan Koordinator 
Kontras dengan menanyakan kronologis peristiwa kepada pihak Garuda Indonesia. Sebab, 
maskapai penerbangan pelat merah itu tidak mengikuti prosedur penerbangan sipil pada 
saat seorang penumpang memerlukan pengobatan serius. 
akan sungguh-sungguh berusaha  mengusut kematian Munir. Untuk 
menyelidiki kematian tokoh penerima penghargaan Pemimpin Masa 
Depan versi Asia Week tahun 2000, pihak Polri menyatakan akan 
memakai  jalur interpol dan kepolisian Belanda. 
Belum terlalu lama kabar adanya sebab tak wajar dalam kematian Munir, 
pada hari Sabtu tanggal 20 November, sekitar pukul 10.30 Wib Suciwati 
menerima teror dengan ancaman berupa paket kiriman bangkai ayam ke 
rumah kediamannya di Bekasi, Jalan Cendana XII No.12, Perumahan Jaka 
Permai, Jaka Sampurna, Bekasi Jawa Barat. Paket itu berisi potongan 
kepala, kaki, dan isi ayam yang sudah membusuk dibungkus dengan 
styreofoam. Dalam paket ini  ada  selembar kertas print-out 
yang memuat tulisan agar Suciwati tidak mengaitkan TNI dalam kasus 
kematian suaminya. Selengkapnya pesan teror itu berbunyi;
 ‘AWAS!!!!
Jangan Libatkan TNI Dalam Kematian Munir.
Mau Menyusul Seperti Ini?’ 
Tidak berapa waktu sesudah teror ke rumah Suciwati, teror serupa 
kembali terjadi. Kali ini paket kiriman bangkai ayam dengan pesan yang 
sama dikirim ke kantor tempat Munir terakhir bekerja, Imparsial.
Motif klasik dari teror ini tentu ingin mencoba menakut-nakuti keluarga 
dan para sahabat Munir. Sehingga kemudian tidak mempersoalkan 
kematian Munir. Akan tetapi motif ini sama sekali tidak menyurutkan 
sikap dan langkah istri Munir serta para sahabat bahkan berbagai 
kalangan di masyarakat untuk meminta kasus ini diungkap secara tuntas. 
Mereka menduga kematian yang diduga kuat karena pembunuhan 
ini  memiliki unsur politis. Dengan kata lain, pembunuhan seperti 
ini mustahil dilakukan oleh orang biasa. Melainkan memerlukan akses, 
sumber daya, serta kemampuan khusus sehingga pembunuhan diatas 
pesawat Garuda Indonesia dapat terjadi.
Sepertinya uraian awal diatas, kembali ada hal yang menarik di seputar 
teror paket kiriman ini . Dari isi pesan teror yang terlihat, para 
pengirim teror tampaknya ingin mengajak kita untuk mengkaitkannya 
atau mencurigai institusi TNI dalam pembunuhan Munir. Lagi-lagi muncul 
pertanyaan, ada apa?
Munir yang dikenal gigih menentang segala bentuk kekerasan dan 
penyimpangan yang dilakukan oleh kekuasaan, kerap bersinggungan 
dengan TNI. Sikap ini diyakini banyak orang bisa menanggung resiko 
senasib dengan orang-orang yang dibelanya, dipenjarakan, diculik 
atau bahkan dirampas hak hidupnya. Memang selama ini Munir kerap 
menghadapi ancaman-ancaman yang cukup serius. Meskipun tentu saja 
ada  perbedaan dalam hal modus operandinya. Bandingkan model 
teror yang terjadi terhadap keluarga Munir sesudah kematiannya dengan 
model teror yang pernah dialami Munir selama hidup.

Keterangan :
- Catatan ini belum termasuk ancaman, teror dan intimidasi lain yang dialami langsung 
oleh Munir maupun aktifis KontraS lainnya, namun tidak terdokumentasikan.
- Semua serangan diatas dipandang banyak pihak lebih bersifat teror ketimbang ditujukan 
untuk menghabisi nyawa Munir. Ada pihak yang kemudian beranggapan, pembunuhan 
Munir dilakukan mengingat akumulasi teror-teror ini  sudah tidak efektif lagi 
untuk meredam perjuangan Munir.

Serangan fisik dan perampasan 
kamera aktifis KontraS.
Ledakan bom (low explosive) di 
rumah Munir di Bekasi.
S e k i t a r  s e r a t u s  o r a n g 
berseragam Pemuda Panca 
Marga (PPM) merusak kantor 
dan menyerang aktifis KontraS
Penghadangan tim investigasi 
KontraS ke desa Talangsari, 
Lampung
Munir dibunuh diatas pesawat 
GA 974  tu juan  Jakar ta -
Amsterdam.
24 Jan 2002
29 Agus 2003
26,27 Mei 2003
6,7 Feb 2004
Sept 2004
Terjadi di PTUN saat sidang 
G u g a t a n  Ko n t r a S  s o a l 
pengangkatan Hendropriyono 
sebagai Kepala Bin.
Rumah Munir dijaga polisi 
beberapa hari. Pelaku tidak 
tertangkap.
Polisi menangkap beberapa 
pelaku. Tapi tidak proses 
hukum tindak berlanjut.
Dihadang dalam perjalanan 
menuju kota  Lampung. 
Diperiksa sehari penuh oleh 
kepolisian karena rekayasa 
kecelakaan. Tanpa proses 
hukum.
Proses  hukum berja lan 
t idak  menyentuh aktor 
intelektualnya.
Spekulasi pendapat di balik kematian Munir terus berlanjut meskipun 
telah ada langkah pemerintah untuk mengusutnya melalui pembentukan 
Tim Pencari Fakta. Bahkan Tim ini kemudian bisa menemukan titik 
terang seputar kasus pembunuhan Munir. TPF menduga, pembunuhan 
Munir merupakan persekongkolan jahat dari kelompok tertentu. Istilah 
konspirasi kemudian menjadi tema utama dalam mendiskusikan seputar 
kematian Munir. Secara perlahan, pencarian fakta oleh TPF sampai 
pada dugaan adanya keterlibatan aparat intelijen negara. Bahkan TPF 
kemudian melanjutkan pemeriksaan secara serius terhadap beberapa 
pejabat di lingkungan Badan Intelijen Negara. Beberapa diantaranya 
menolak.
Spekulasi yang berlanjut ini  antara lain tersiar lewat sebuah 
terbitan baru majalah bernama Ekspos. Dalam sebuah wawancara 
dengan majalah Ekspose, Wawan H Purwanto menjelaskan bahwa 
pembunuhan Munir berkaitan dengan persaingan antar LSM. Dalam 
wawancara itu Wawan Purwanto juga menyinggung adanya pemberian 
uang kepada Munir dari sebuah penghargaan yang menurutnya menjadi 
pemicu konflik di dalam tubuh LSM sendiri.
Spekulasi semacam ini terus berkembang bahkan hingga kasus 
pembunuhan Munir dibawa ke persidangan. Beberapa terbitan 
diantaranya Jurnal Borneo yang juga memuat analisa-analisa serupa 
dengan uraian diatas.
A. Kontroversi Hasil Otopsi 
Kekhawatiran adanya sebab yang tidak wajar dalam kematian Munir 
menjadi kenyataan. Otopsi yang dilakukan Netherlands Forensic 
Institute (NFI) menyimpulkan, kematian Munir disebabkan karena 
diracun dengan zat arsenikum dosis tinggi dan mematikan. Fakta 
ini kemudian langsung memunculkan dugaan kuat bahwa Munir 
dibunuh oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Dugaan 
ini memicu reaksi keras, protes dan kecaman atas perbuatan 
biadab yang mengakhiri hidup Munir. Hingga kini, desakan berbagai 
kalangan dalam dan luar negeri agar kasus ini diusut tuntas dan 
pelakunya ditemukan terus mengalir. 
Awal diketahuinya sebab kematian Munir muncul dalam pemberitaan 
media massa di Belanda pada 11 Nopember 2004, yang didalamnya 
terkutip pernyataan seorang pejabat Departemen Luar Negeri Belanda. 
Pemberitaan ini segera menyebar ke berbagai kalangan, sementara di 
dalam negeri pemerintah sama sekali belum memberitahukan hasil 
otopsi ini . Pihak keluarga Munir, khususnya Suciwati, amat 
kecewa karena mengetahui informasi ini  justru bukan dari pihak 
Pemerintah Indonesia. Dengan berbagai alasan, pemerintah melalui 
Departemen Luar Negeri tidak mau untuk mengumumkan hasil otopsi 
yang telah diterima dari pemerintah Belanda. Mengenai hal ini, sempat 
terjadi “ketegangan” antara kalangan organisasi non pemerintah dan 
pemerintah, terutama saat  permintaan keluarga Munir, Suciwati, 
untuk secara langsung mengetahui hasil otopsi justru ditolak. 

Berkenaan dengan masalah ini, Suciwati mencoba memintanya 
secara langsung kepada Menteri Luar Negeri, Menteri Politik 
Hukum dan Keamanan, serta Kepala POLRI. Suciwati merasa perlu 
menghubungi langsung ketiga pejabat ini  karena jawaban 
pejabat Departemen Luar Negeri yang beberapa kali mengkaitkan 
permintaan Suciwati dengan kewenangan Menko Polhukam dan 
Kapolri. Tidak ada jawaban yang jelas dan tegas saat  itu. Suciwati 
pun kecewa. Malam hari, 11 September 2004, melalui surat terbuka 
KontraS mendesak Pemerintah khususnya Departemen Luar Negeri 
untuk segera menyampaikan hasil otopsi Munir kepada Suciwati selaku 
istri Munir dan segera mengusut siapa yang membunuh Munir. 
Keesokan harinya, pagi hari tanggal 12 Nopember 2004, Suciwati 
bersama beberapa perwakilan organisasi non pemerintah 
mendatangi Mabes POLRI guna meminta hasil otopsi kematian 
Munir. Tiba di Bareskrim Mabes POLRI, mereka langsung menuju 
ruang Kabareskrim dan menunggu untuk beberapa saat. Beberapa 
orang rekan dari beberapa organisasi non pemerintah tampak 
menyusul hadir. Saat pertemuan berlangsung, Kabareskrim Suyitno 
Landung membacakan dan kemudian memperlihatkan satu berkas 
fotocopy dokumen berisi surat pengantar Duta Besar Belanda 
menyerahkan salinan laporan definitif ahli forensik Belanda dan 
salinan hasil analisa toksikologi Munir mengenai sebab-sebab 
kematian Munir. Pokok temuan terpenting adalah, hasil otopsi 
jenazah Munir mengidentifikasi kandungan arsen sebanyak 650 
mg/liter di lambung, 3,1 mg/liter di darah (heartblood), dan 4,8 
di urine.

Batas Normal Maksimal Tubuh Munir
Konsentrasi Arsen pd 
Urine kurang dari 0.3 
mg/liter.
Jml isi lambung 320 
ml, 180 ml diantaranya 
cairan dg konsentrasi 460 
mg/l, Arsen yg ditemukan 
180/1000 X 460 mg = 82,8 
mg.
Konsentrasi Arsen pd 
Urine 2.5 mg/liter org yg 
bekerja dengan terpapar 
Arsen.
Konsentrasi Arsen tinggi 
ada  di Sea Food/ 
Udang = 22 mg/kg.
C a t a t a n :  8 3  m g 
Arsen setara dengan 
mengkonsumsi  4  kg 
udang.
Urine Munir kandung 
Konsentrasi Arsen yg 
tinggi 4.8 mg/liter 
=  2 4  k a l i  b a t a s 
ambang konsentrasi 
keracunan.
Konsentrasi Arsen pd 
isi  lambung Munir jauh 
lebih tinggi, 460 mg/l. 
Kandungan Arsen dlm 
lambung Munir kira2 83 
mg. Masukan 120-200 
mg As2O3 ekuivalen 
dgn 46-76 mg Arsen. 
Dapat memastikan 
fatalnya org dewasa.

Dalam pertemuan dengan Kabareskrim Suyitno Landung ini  
diperoleh penjelasan bahwa hasil otopsi pada pemeriksaan luar 
tidak menemukan tanda-tanda kekerasan. Sementara pemeriksaan 
dalam menerangkan bahwa kematian Munir disebabkan kandungan 
arsen, yang dibuktikan dengan pemeriksaan toksikologi yakni sangat 
tingginya konsentrasi Arsen di dalam darah, tinggi konsentrasi di 
urin dan sangat tinggi konsentrasi di isi lambung. Selain itu, tidak 
ada bukti adanya reaksi alergi pada saat kematian.
Sebagai tindak lanjut, Kabareskrim menyatakan telah membentuk 
tiga tim, yakni Tim yang akan bertugas menemui Kedutaan Besar 
Belanda di Jakarta, serta Tim yang bertugas ke Belanda guna 
memperoleh dan mendalami salinan otentik dari hasil otopsi dengan 
ahli forensik Belanda, serta tim ketiga yang bertugas menjalankan 
pemeriksaan saksi dan tindakan hukum lainnya. Khusus untuk tim 
yang kedua, saat  ditanyakan mengapa tidak meminta Pemerintah 
Belanda untuk mengirimkan berkas otentik dimaksud, Kabareskrim 
menyatakan tim yang melibatkan ahli forensik Belanda ini  
juga bertujuan mendalami otopsi dengan ahli forensik di Belanda. 
Dengan alasan itu, Tim POLRI akan berangkat segera ke Belanda. 
Suciwati meminta agar perwakilan keluarga juga dilibatkan dalam 
tim delegasi. Tim yang akan berangkat ke Belanda terdiri dari 3 
anggota Polri, 3 ahli forensik, 1 orang pejabat Deplu, 1 perwakilan 
keluarga (Usman Hamid, KontraS). Tim yang berangkat pada 
tanggal 18 November 2004 ini diketuai oleh AKBP Anton Charlian, 
beranggotakan AKB Adi Queresman dan AK Agung Widjajanto (Polri), 
Budi Sampurna dan Ridla Bakrie (Universitas Indonesia), Amar Singh 
(Universitas Sumatera Utara Medan), Andi Ahmad Basri (Departemen 
Luar Negeri) serta Usman Hamid (KontraS, mewakili keluarga).
B. Perjalanan ke Belanda: Tanpa Persiapan?
Keberangkatan Tim Delegasi Indonesia ke negeri Belanda selama 
lebih dari satu minggu, menuai kritik. Kurangnya persiapan dalam 
menyusun agenda kegiatan secara pasti di Belanda berakibat tidak 
dapat terpenuhinya target kedatangan Tim untuk bertemu beberapa 
instansi yang berwenang dan relevan dengan jenazah Munir. Tim 
juga hampir gagal memperoleh seluruh dokumen otentik seputar 
otopsi jenazah Munir karena terbentur syarat diplomatik bagi 
permintaan bantuan hukum sesuai prosedur yang berlaku. 
Pada 20 November 2004, sore hari sekitar pukul 17.00 waktu 
setempat, Tim Delegasi Polri bertemu dengan Robert Milders, 
Direktur Asia-Oceania Kementrian Luar Belanda. Dalam pertemuan 
itu, mewakili delegasi, Kepala Bidang Politik KBRI Mulya Wirana 
mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan Tim ke negeri 
Belanda. Secara khusus, Usman Hamid menyampaikan maksud 
keikutsertaan perwakilan keluarga dalam delegasi Indonesia dan 
bertanya tentang beberapa hal antara lain, meminta kejelasan 
seputar alasan otoritas Belanda yang tidak menyampaikan hasil 
otopsi kepada keluarga Munir secara langsung. Melanjutkan 
pertanyaan Usman Hamid, dokter forensik Budi Sampurna, 
kepada Robert Milders bertanya lebih jauh, “sepengetahuan saya 
dalam beberapa kasus di Belanda, keluarga korban dimungkinkan 
menerima hasil otopsi, tetapi mengapa dalam kasus ini justru 
tidak? Adakah alasan tertentu terkait dengan hal ini?”. Milders 
menjawabnya dengan mengatakan bahwa untuk kasus yang 
keluarganya tinggal di Belanda hal ini  memang dimungkinkan, 
tetapi dalam kasus Munir, kewarganegaraannya bukan Belanda. 
Milders menegaskan, pemerintah Belanda hanya membantu 
mencari sebab kematian Munir. Hasilnya harus diserahkan kepada 
pemerintah Indonesia. Adanya sebab kematian tidak wajar dalam 
kematian Munir, memerlukan tindaklanjut pengusutan hukum. 
Sesuai hukum yang berlaku, penegakkan hukum dan keadilannya 
menjadi tanggungjawab pemerintah Indonesia. Tidak terkecuali 
apakah hasil otopsinya harus diberikan kepada keluarga atau tidak, 
tergantung pada aturan hukum yang berlaku di Indonesia,
Dalam pertemuan itu juga, Milders menerangkan bahwa dokumen 
otentik berkaitan dengan kasus meninggalnya Munir tidak dapat 
diserahkan, sebelum ada permintaan resmi (official request) 
dari otoritas hukum Indonesia. Meskipun kepolisian Indonesia 
telah berkomunikasi melalui jalur interpol, delegasi memutuskan 
untuk segera memproses pembuatan surat dimaksud. Surat Jaksa 
Agung RI yang sempat dikirim belum sepenuhnya membantu. 
Beberapa hari kemudian, guna mengantisipasi kepulangan Tim 
delegasi Polri kembali ke Jakarta dengan tangan hampa, seorang 
Direktur Jenderal Deplu RI Arizal Effendi dikirim ke Belanda 
untuk menyusul Tim delegasi Polri sekaligus melakukan usaha  
pendekatan dengan otoritas Belanda. sesudah terjadi negosiasi 
antara Dirjen Kementerian Luar Negeri RI Arizal Effendi dengan 
pihak Kementerian Kehakiman Belanda, beberapa dokumen (otopsi) 
diserahkan melalui Kedutaan Besar RI untuk selanjutnya diserahkan 
kepada Tim Delegasi POLRI. 
Meskipun demikian, perjalanan delegasi Indonesia ke Belanda, 
setidaknya memperoleh hasil minimal yang cukup baik. Pertama, 
Tim NFI menegaskan, kematian Munir memang disebabkan racun 
arsenik yang bekerja sangat cepat (rapid) dalam hitungan jam. 
Dalam otopsi disebutkan, arsenik di lambung Munir mencapai 460 
mg dan di darah 3,1mg. Kedua, Tim ahli forensik Indonesia yang 
juga ikutserta menyatakan hasil laporan otopsi NFI telah memenuhi 
standar forensik Indonesia dan bisa dijadikan alat bukti hukum, 
sehingga tidak ada alasan bagi Polisi untuk melakukan otopsi ulang 
di Indonesia. Dengan kata lain, tidak diperlukan otopsi ulang 
mengingat hasil otopsi NFI telah cukup bagi proses penyidikan lebih 
lanjut. Senin 29 November 2004, laporan perjalanan dari Belanda 
disampaikan kepada publik.35 Salinan otopsi dari pihak Polri yang pada 
akhirnya diterima keluarga, kemudian disampaikan kepada publik 
melalui konferensi pers di kantor KontraS, Jumat 10 Desember 2004. 
sesudah Tim Delegasi Polri kembali dari Belanda, pihak keluarga 
selanjutnya mendesak Jaksa Agung RI dan Menteri Hukum dan 
HAM RI untuk mengusaha kan diperolehnya barang bukti ini . 
Pihak keluarga telah menemui Jaksa Agung RI Abdul Rahman Saleh 
dan Menteri Hukum dan HAM RI Hamid Awaluddin. Secara spesifik, 
tuntutan pihak Keluarga adalah pertama, mendesak Menteri Hukum 
dan HAM Hamid Awaluddin, meminta sisa-sisa dokumen yang masih 
ditangan Pemerintah Belanda menyangkut meninggalnya Munir, 
termasuk bila perlu, menghadirkan ahli forensik dari NFI ke Indonesia 
guna membantu proses hukum dalam negeri; kedua, mendesak 
Pemerintah Indonesia agar mengusaha kan diperolehnya BAP 
(rekaman proses verbal) kepolisian Belanda yang belum diserahkan 
ke pihak Indonesia yaitu BAP pemeriksaan penumpang dan awak 
Garuda pada saat pesawat telah sampai di Bandara Schiphol, Belanda.
C. Penyerahan Dokumen dan Klausul Hukuman Mati 
Isu hukuman mati adalah satu isu krusial yang tidak terlalu 
mendapat sorotan publik di awal penanganan kasus Munir. Belum 
adanya jaminan dari Pemerintah Indonesia kepada Pemerintah 
Belanda untuk tidak menerapkan hukuman mati pada terhukum, 
berakibat macetnya penyerahan barang bukti yang ada di tangan 
otoritas hukum Belanda. Antara lain rekaman proses verbal yang 
diduga berisi informasi penting yang bisa berpengaruh pada 
keberhasilan proses investigasi. 
Masalah ini muncul pertama kali saat delegasi Indonesia berada di 
Belanda guna meminta seluruh dokumen dan barang bukti hukum 
lainnya terkait meninggalnya Munir. Awalnya, kedatangan Tim 
Delegasi Polri ke Belanda terhambat syarat formal prosedural, yakni 
adanya permintaan resmi (official request) untuk meminta seluruh 
barang bukti dimaksud. sesudah sempat berhari-hari tanpa aktifitas 
efektif, sebagian dokumen (otopsi) diserahkan kepada Pemerintah 
Indonesia melalui KBRI. Itupun sesudah kedatangan Dirjen 
Kementerian Luar Negeri RI untuk bernegosiasi langsung dengan 
Kementerian Kehakiman Belanda. Permasalahan ini juga telah 
ditanyakan oleh parlemen Belanda yang menanyakan “apakah benar 
bahwa pemerintah Belanda telah menyerahkan semua informasi 
kasus Munir kepada otoritas Indonesia, seperti anda nyatakan dalam 
pidato 10 Desember 2004?”36 Atas pertanyaan ini, Menteri Luar 
Negeri Belanda Bernard Bot memberi  penjelasan sebagai berikut: 
sesudah penerbitan laporan definitif toksikologi dari 
Nederlands Forensisch Instituut (NFI), maka pada 11 
November 2004 duplikatnya diserahkan kepada otoritas 
Indonesia. Tidak lama sesudah itu berlangsung pertemuan 
antara delegasi penyelidik dari Jakarta dengan perwakilan 
departemen Justitie (Yustisi) dan Buitenlandse Zaken 
(Deplu). Pada kesempatan itu diserahkan laporan otopsi, 
laporan seksi sementara, laporan seksi definitif, laporan 
pertama toksikologi, dan laporan toksikologi definitif yang 
otentik. Dalam periode itu juga dilakukan pertemuan 
antara toksikolog NFI dengan ahli dari Indonesia. Dengan 
penyerahan data-data ini  di atas maka otoritas 
Indonesia telah sepenuhnya diberitahu mengenai sebab-sebab kematian Munir.
Tidak semua dokumen di Belanda yang berkaitan dengan kasus 
kematian Munir dapat diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. 
Sebagian lainnya, antara lain tentang rekaman proses verbal 
kepolisian Belanda, masih harus menunggu tercapainya kesepakatan 
kedua negara menyangkut bantuan hukum (legal assistance), yakni 
persyaratan agar Pemerintah Indonesia menjamin tidak akan ada 
eksekusi hukuman mati dalam kasus Munir. Permasalahan ini juga 
pernah dibahas dalam sidang di parlemen Belanda. Dalam sidang 
itu, parlemen mengajukan pertanyaan antara lain “Apakah hal 
itu juga termasuk proses verbal dan kesaksian para penumpang 
dan awak Garuda Indonesia yang satu pesawat dengan Munir? Jika 
tidak termasuk, apa alasannya? Apakah telah dibuat appointments 
dengan pemerintah Indonesia mengenai penyerahan dokumen 
dan penerapan hukuman mati di Indonesia? Jika iya, apa saja?” 
Terhadap pertanyaan ini, Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot 
menjelaskan sebagai berikut; 
Adapun rekaman proses verbal tidak diserahkan. Hal ini 
berkaitan dengan fakta bahwa informasi ini  dapat 
mengarah pada seseorang. Memperhatikan kemungkinan 
vonis dan eksekusi hukuman mati di Indonesia, hal itu bisa 
memunculkan situasi dimana informasi ini  dapat 
digunakan sebagai alat bukti yang dengan itu hukuman 
mati dapat dijatuhkan dan benar-benar dilaksanakan. 
Belanda, sehubungan dengan Europees Verdrag tot 
Bescherming van de Rechten voor de Mens (Traktat Eropa 
Perlindungan HAM), tidak boleh berpartisipasi dan tidak 
boleh memberi  bantuan hukum sebelum mendapat 
garansi bahwa jika hukuman mati dijatuhkan tidak benar-
benar akan dilaksanakan. 
Dalam hal permasalahan diatas, Permintaan itu disampaikan 
Menteri Kehakiman Belanda J.P.H Donner kepada Jaksa Agung 
melalui surat pada tanggal 14 Maret 2005. Di sisi lain, Jaksa 
Agung Republik Indonesia Abdul Rahman Saleh dikabarkan telah 
menjamin tidak akan menuntut hukuman mati bagi pembunuh aktivis HAM Munir, jika nanti tertangkap dan diadili. Jaminan itu 
diberikan sepanjang sesuai dengan prosedur hukum Indonesia. 
Sikap ini diambil terkait dengan sikap pemerintah Belanda yang 
akan menyerahkan bukti-bukti penyelidikan, olah tempat kejadian 
pekara, dan sisa organ tubuh Munir yang telah dioptosi, asalkan 
Indonesia menjamin pembunuhnya tak dihukum mati. Jaksa 
Agung berharap, permintaan itu tidak diartikan sebagai intervensi 
Belanda. Ini mengingat Belanda bersama-sama negara-negara Uni 
Eropa lain telah menandatangani konvensi anti hukuman mati. Atas 
klausul kesepakatan ini , negara-negara itu termasuk Belanda 
berhak menolak memberi bantuan hukum ke negara-negara yang 
masih menerapkan hukuman mati seperti Indonesia.
Adanya kesepahaman bersama otoritas Indonesia dan otoritas 
Belanda kemudian membuat Mabes Polri telah dapat menerima 
dokumen olah TKP pembunuhan Munir yang dilakukan Belanda, 
melalui KBRI di Belanda. Berkas ini  antara lain berisi proses 
verbal, hasil pemeriksaan TKP dan keterangan saksi. Sementara 
organ tubuh Munir belum diterima.
 Mabes Polri juga akan 
melakukan evaluasi terhadap hasil pemeriksaan pertama tentang 
kasus Munir yang dilakukan otoritas Belanda, serta pemeriksaan 
terhadap saksi yang dihimpun  pemerintah Belanda. Namun, hasil 
pengolahan di TKP oleh kepolisian Belanda yang telah didapatkan 
Kepolisian RI dianggap kurang signifikan. Hasil olahan ini  hanya 
bisa untuk melengkapi pemeriksaan yang dilakukan di Indonesia. 
D. Tingginya Perhatian Parlemen Belanda 
Selain mengikuti agenda Tim Delegasi Indonesia ke Belanda, Usman 
Hamid yang mewakili keluarga juga mengikuti serangkaian agenda 
aktifitas di Belanda yang difasilitasi oleh lembaga pendukung 
beasiswa untuk Munir, ICCO, serta BBO. Salah satu tujuan aktifitas 
ini, ingin memperoleh perhatian dan dukungan dari parlemen 
Belanda terhadap pengungkapan kasus Munir. Tiga tuntutan 
spesifik yang menjadi agenda lobi sejak awal adalah 1) meminta 
kejelasan dari pemerintah Belanda perihal salinan otopsi; 2) agar 
parlemen mendesak pemerintah Belanda untuk memberi klarifikasi 
seputar hasil otopsi 3) Indonesia membentuk Tim Independen 
yang melibatkan unsur masyarakat sipil untuk menginvestigasi 
pembunuhan Munir dan membawanya ke Pengadilan. Semua 
tuntutan ini menjadi tema utama setiap pertemuan antara Usman 
Hamid (KontraS), Kees de Ruiter (ICCO) dan Yppie Boersma (BBO) 
dengan beberapa anggota parlemen Belanda. 
Respon positif diberikan beberapa anggota parlemen Belanda 
yang ditemui, baik yang berasal dari partai oposisi maupun partai 
pemerintah, termasuk seorang politisi terkenal dan berpengaruh 
yang hingga kini konsisten menyoroti kasus Munir, Farah Karimi 
(Partai Groenlinks). Farah Karimi, berjanji akan mengajukan 
tuntutan ini dalam forum debat parlemen dengan pemerintah.
Tidak berapa lama sesudah itu, berlangsung forum debat yang 
menghadirkan Menteri Luar Negeri Belanda B.R. Bot. Sebelum 
wacana debat Munir di parlemen menggelinding, Karimi sudah 
mencecar Menlu Ben Bot dengan serangkaian pertanyaan tertulis 
melalui nota resmi berturut-turut pada 8 November 2004, 16 
November 2004, 17 November 2004, dan 19 November 2004.41
Dari forum debat itu diketahui bahwa Pemerintah Belanda telah 
memberitahukan hasil otopsi kepada Pemerintah Indonesia pada 
pertemuan antara Menlu RI dan Belanda di Jakarta, 28 Oktober 
2004. Artinya, Pemerintah Indonesia sudah mengetahui sebab 
kematian Munir sebelum mengemuka di media massa dan menjadi 
kontroversial.
Terhadap perkembangan ini , pada 2 Desember 2004 Menteri 
Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda menegaskan bahwa pihaknya tidak 
pernah menerima salinan otopsi jenazah Munir dari Pemerintah 
Belanda pada tgl 26-28 Oktober lalu. Reaksi Menlu ini merespon 
protes yang disampaikan Suciwati dan kelompok aktifis hak asasi 
manusia yang seolah menuduh Deplu telah menerima salinan 
otopsi tetapi tidak mau memberitahukan. Padahal yang mereka 
persoalkan adalah sikap pasif Deplu yang tidak berinisiatif apapun 
meski telah memperoleh informasi secara lisan dari Menlu Belanda 
tentang otopsi Munir. Inisiatif ini penting agar pengusutan hukum 
atas kematian Munir sebagai kejahatan dapat bergerak sesegera 
mungkin. Lambannya inisiatif ini juga berpengaruh terhadap hasil 
yang tidak maksimal di kemudian hari.
Kelambanan inilah yang membuat kecewa Suciwati karena 
mengetahui berita hasil otopsi melalui media massa yang terbit 
di Belanda. Padahal Deplu R.I sudah menerima fotokopi analisa 
toksikologi pada 11 November 2004. Meskipun kemudian, pihak 
Deplu juga berusaha menjelaskan bahwa Deplu menghubungi 
isteri alm. Munir tentang salinan otopsi ini  dan meminta 
Polisi untuk memberitahu keluarga Munir pada 12 November. Juru 
bicara II Deplu R.I Yuri Thamrin menjelaskan, Menlu Belanda yang 
berkunjung ke Indonesia pada 26 Oktober lalu hanya memberi 
isyarat secara samar dan lisan dalam pertemuan empat mata 
dengan Menlu R.I. Dalam pertemuan itu, jelasnya, Menlu Bot 
menjelaskan pihak Belanda sudah memiliki versi awal (initial 
version) dari otopsi Munir dan ditemukan adanya kandungan 
arsenicum abnormal, tetapi tidak secara definitif menyampaikan 
adanya usaha  keracunan atau pembunuhan.Dari penjelasan ini, 
Deplu terkesan ingin mengatakan tidak bisa mengambil inisiatif 
apapun karena tidak adanya penjelasan eskplisit mengenai usaha  
pembunuhan karena hasil otopsi yang tidak wajar. Alasan ini, 
tidak masuk akal. Otopsi yang dilakukan Netherlands Forensic 
Institute hanya melacak sebab kematian Munir, apakah wajar 
atau tidak. Jikapun tidak wajar, belum tentu ada pembunuhan. 
Untuk menentukan ada tidaknya pembunuhan dalam hasil yang 
tidak wajar ini , menjadi kewajiban dan kewenangan otoritas 
Indonesia. Bukan Otoritas Belanda. 
Kembali pada bahasan tingginya perhatian parlemen Belanda, 
beberapa anggota parlemen dari kelompok oposisi terus 
mempersoalkan kasus pembunuhan Munir. Bahkan mengajukan mosi 
kepada pemerintah Belanda. Hingga kini, desakan beberapa politisi 
parlemen Belanda agar Pemerintah Belanda memberi klarifikasi juga 
berjalan baik. Baru-baru ini, Parlemen Belanda, melalui inisiatif 
Farah Karimi, menanyakan perkembangan kasus Munir melalui 
Menteri Luar Negeri dan Menteri Kehakiman Belanda. Setidaknya 
ada delapan butir pertanyaan tertulis diajukan  kepada Menteri 
Luar Negeri Belanda Bernard Rudolf Bot dan Menteri Kehakiman 
J.P.H. Donner tentang kelanjutan penanganan kasus Munir, yang 
dulu -saat debat darurat (emergency debate) tentang pembunuhan 
Munir- dijanjikan akan ditangani secara serius.
 
Saat itu banyak fraksi menyatakan sudah tidak percaya karena 
pemerintah Indonesia dinilai suka obral janji namun tak pernah 
ditepati dan mengusulkan agar hibah bantuan pembangunan senilai 
20 juta euro untuk tahun fiskal 2005-2009 dibekukan. Ada juga 
yang mengingatkan kasus wartawan Belanda Sander Thoenes yang 
dibunuh di Timor Timur (kini Timor Leste) pada 1999. Janji-janji 
disampaikan, namun nyatanya sampai kini para perwira yang diduga 
bertanggungjawab tetap tidak tersentuh. Bot, yang baru menjadi 
Menlu, saat  itu menerangkan memilih memberi  benefit of the 
doubt kepada pemerintah Indonesia. Alasannya, Presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono telah memberi jaminan bahwa kasus Munir 
akan ditangani secara serius. Terakhir, beberapa delegasi parlemen 
Uni Eropa yang berkunjung ke Indonesia sempat menanyakan 
perkembangan penanganan kasus Munir, 26 Juli 2005.
Fakta bahwa seorang Munir meninggal karena racun arsenik segera 
menegaskan bahwa kasus ini bukanlah peristiwa pembunuhan yang 
biasa. Pemilihan cara dan jenis alat untuk membunuh adalah sesuatu 
yang memerlukan perencanaan yang cermat. Apalagi dilakukan dalam 
sebuah penerbangan pesawat dengan rute perjalanan internasional. 
Pilihan racun dan lokasi pembunuhan tidak mungkin merupakan sesuatu 
yang spontan. Diperlukan pengetahuan dan kemampuan yang khusus 
untuk bisa memakai  racun ini  di dalam ruang dan waktu 
yang amat steril, yakni perjalanan maskapai penerbangan pemerintah. 
Termasuk juga dibutuhkan akses yang cukup untuk mengetahui waktu 
kepergian Munir hingga sedetil-detilnya, seperti informasi tentang hari, 
tanggal, jam, nomor pesawat. Tidak terkecuali akses untuk menempatkan 
orang-orang yang ditugaskan untuk mengakhiri hidup Munir.
Pembunuhan Munir juga memiliki dimensi politik yang kuat, karena 
Munir merupakan salah satu tokoh terdepan dalam gerakan sosial 
politik –mulai dari isu HAM, demokrasi, hingga militerisme- di Indonesia. 
Sementara konteks politik Indonesia masih ditandai dominannya 
kekuatan otoriter-konservatif, yang secara potensial dan alamiah 
menjadi musuh Munir. 
Semasa hidupnya perjuangan politik Munir hampir selalu berhadapan 
dengan institusi negara, sebagian besar tertuju pada militer dan 
intelijen. Karier awalnya dalam mengadvokasi kematian Marsinah, 
aktivis buruh harus menghadapi militer yang saat itu sangat dominan 
dalam politik perburuhan. Karier selanjutnya di YLBHI dan KontraS juga 
terlalu sering berkonfrontasi dengan militer dan institusi negara lainnya, 
antara lain kasus penghilangan paksa aktivis 1998, kasus pelanggaran 
berat HAM di Timor Timur 1999, begitu juga advokasi kasus Tanjung Priok 
(1984), kasus Talangsari, Lampung (1989), kasus konflik Maluku (1999), 
kasus kekerasan di Aceh  karena operasi militer, dan sebagainya. Di 
akhir karirnya, saat berkiprah di Imparsial, ia aktif mengkritik kebijakan 
strategis di bidang politik keamanan dan pertahanan negara, terutama 
menyangkut legislasi yang mengatur peran TNI, dan mengkritisi peran 
badan Intelijen. 
Hipotesa bahwa kasus ini merupakan kejahatan politik luar biasa dan 
melibatkan institusi kekuasaan adalah logis. Munir sendiri semasa 
hidupnya selalu berusaha  membongkar kasus-kasus kejahatan yang 
bermuatan politis, sebagian besar merupakan kasus kejahatan yang 
melibatkan institusi negara atau melalui suatu kebijakan negara, 
kejahatan yang dikenal sebagai pelanggaran HAM. Meski korbannya 
hanya satu orang, kejahatan politik selalu bersifat serius dan luar 
biasa, karena selain melibatkan struktur dan perangkat negara, 
kejahatan ini punya sasaran yang lebih luas dari figur tokoh yang 
dibunuh itu sendiri, yaitu teror terhadap gerakan HAM dan demokrasi 
seperti yang diyakini oleh Munir.
Menjadi pertanyaan penting, apakah mungkin kasus Munir sebagai 
suatu kejahatan politik bisa diungkap secara tuntas oleh pemerintahan 
Presiden SBY yang baru, mengingat pembunuhnya mungkin adalah kawan 
lama, atau orang yang berada di sekelilingnya, atau kalaupun di luar 
struktur kekuasaan yang baru masih memiliki akses dan jaringan politik 
yang kuat. Atas dasar inilah tuntuntan bahwa penuntasan kasus Munir ini 
tidak bisa hanya dilakukan oleh aparat kepolisian, bukan semata-mata  memperjuangkan 
hak-haknya di Jawa Timur, terjadi saat perlawanan buruh –melalui aksi mogok- sedang 
meningkat di Indonesia. Di Yogyakarta seorang jurnalis (kasus Udin, 1996) terbunuh  pada 
saat menginvestigasi kasus korupsi yang melibatkan seorang bupati (yang juga militer aktif). 
Demikian pula terjadi pada Jafar Sidiq, yang tewas terbunuh tahun 2000 di Sumatra Utara, 
saat sedang mengadvokasi masalah Aceh dan Theys Eluay (2000), tokoh populis rakyat Papua 
yang kritis terhadap pemerintah saat itu. Kecurigaan yang sama juga diarahkan pada kasus 
meninggalnya Baharuddin Loppa, Jaksa Agung (2001) yang terkenal sangat keras terhadap 
para koruptor di akhir pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
karena rekam jejak  institusi kepolisian yang masih buruk, namun juga 
ada kekhawatiran institusi ini akan mendapat intervensi politik dari 
institusi negara lainnya.
Sejak adanya bukti Munir meninggal karena diracun, pihak keluarga 
Munir dan rekan-rekan aktivis NGO sepakat untuk mendesak kepada 
pemerintahan SBY untuk membentuk tim investigasi independen yang 
melibatkan kalangan masyarakat sipil untuk mengungkap secara tuntas 
kasus terbunuhnya Munir. Hal ini dinyatakan pertama kali melalui siaran 
pers bersama di kantor KontraS, 12 November 2004.Tim investigasi 
independen ini idealnya menjadi bagian dari proses investigasi pro 
justicia kepolisian. 
Gagasan pembentukan tim investigasi independen ini kemudian menjadi 
diskursus yang integral dalam usaha pengungkapan kasus pembunuhan 
Munir itu sendiri. Gagasan ini kemudian bergulir tidak hanya dikalangan 
para aktivis NGO tetapi juga diserukan oleh banyak pihak, mulai dari 
komunitas korban pelanggaran HAM, para tokoh nasional, anggota 
legislatif, dan publik luas lainnya. Menyerahkan sepenuhnya pada 
prosedur hukum konvensional dikhawatirkan akan mengulang kegagalan 
yang lalu. Selama ini belum ada penyelesaian hukum yang memadai 
untuk pengungkapan setiap kasus pembunuhan yang menjadi  
Fakta kematian Munir yang disebabkan oleh racun arsenik, meski 
diperoleh dari hasil autopsi lembaga forensik asing (NFI) kemudian 
secara umum tidak mendapat tantangan berarti. Tidak ada usaha  
yang berhasil memanfaatkan sentimen nasionalisme sempit untuk 
meragukan hasil otopsi yang menunjukkan secara jelas indikasi 
kematian Munir adalah satu tindakan pembunuhan. Sentimen ini 
paling sering dituduhkan kepada Munir semasa hidupnya, mengingat 
kegigihannya dalam mengkritik institusi negara yang melakukan 
pelanggaran HAM. 
12 November 2004, atas nama Suciwati (Istri Munir),
Todung Mulya Lubis, Rachland Nashidik (Imparsial), dan Usman Hamid. Salah satu isi Siaran 
Pers ini  adalah perlu dibentuknya tim investigasi menyeluruh dan terpercaya dengan 
melibatkan masyarakat sipil dan Komnas HAM.
Pemerintahan saat ini, mulai dari Presiden hingga Kapolri sendiri sejak 
awal berjanji akan menangani serius dan mengungkapkan kasus ini. 
Namun demikian komitmen pemerintah ini  tidak serta merta bisa 
dipegang begitu saja tanpa kontrol dari publik. Kegelisahan ini kemudian 
terbukti saat  tim investigasi gabungan –dibentuk oleh kepolisian RI- yang 
berangkat ke Belanda gagal mendapatkan seluruh bukti otentik hasil 
autopsi karena tidak diperlengkapi oleh prosedur administratif bilateral. 
Sementara itu banyak pihak mulai menaruh perhatian besar atas kasus 
ini. Beberapa anggota DPR RI misalnya  menyatakan akan membentuk 
tim khusus kematian Munir yang akan mendorong dan mengawasi 
pemerintah dalam mengungkap kasus ini. Hal ini lebih diperjelas lagi 
saat pertemuan antara Komisi III DPR RI dengan istri Munir, Suciwati, 
KontraS, Imparsial, PBHI, pengacara Todung Mulya Lubis, Adnan Buyung 
Nasution, dan anggota Komnas HAM, MM Billah di Senayan, 22 November 
2004. Ketua Komisi III, Teras Narang menyatakan DPR akan mendesak 
terbentuknya tim investigasi di bawah presiden langsung pada sidan 
paripurna. Selain itu Ketua Komisi III juga menjanjikan DPR akan 
membentuk tim pencari fakta sendiri. Penegasan yang sama juga 
dilontarkan beberapa anggota DPR lainnya, seperti dinyatakan oleh 
Lukman Hakim Saifuddin (PPP) yang mengancam akan melayangkan 
usulan hak interpelasi jika Presiden tidak merespon desakan DPR dan 
LSM soal pembentukan tim investigasi independen.
Janji DPR ini ternyata terpenuhi esok harinya, pada tanggal 23 November 
2004 saat digelarnya Rapat Paripurna DPR RI. Hasil paripurna ini   
menghasilkan tiga kesepakatan; pertama, DPR membentuk tim pencari 
fakta sendiri gabungan Komisi I dan III; kedua, DPR meminta Presiden 
SBY membentuk tim investigasi independen yang langsung bertanggung 
jawab kepada presiden; dan ketiga, meminta pemerintah dan kepolisian 
untuk menyerahkan hasil lengkap autopsi kematian Munir kepada 
keluarga dan istrinya, Suciwati.49 Dukungan penuh dari DPR RI ini cukup 
melegakan mengingat sejak dilantiknya mereka pada 1 Oktober 2004 
lalu, badan wakil rakyat ini sedang mengalami konflik internal  yang 
cukup memprihatinkan. Konflik internal politik hampir melumpuhkan 
peran utama DPR sebagai legislator dan pengawas pemerintahan.
Pernyataan penting lainnya dari seorang pejabat publik adalah janji 
Panglima TNI, Jendral Endriartono Sutarto seusai rapat koordinasi 
dengan Menko Politik, Hukum, dan Keamanan. Menurut Jenderal 
Sutarto, ia siap membantu proses penyelidikan kasus Munir meski 
dengan tegas membantah keterlibatan anggotanya dalam kasus ini. 
sesudah rapat paripurna DPR menunjukkan dukungan atas tim investigasi 
independen, kini giliran Presiden SBY yang dimintai sikapnya oleh pihak 
keluarga dan rekan-rekan Munir. Pada tanggal 24 November 2004 di Istana 
Merdeka, Suciwati didampingi Todung Mulya Lubis, Rachland Nashidik 
(Imparsial) dan Mouvty Makaarim Al Akhlaq (KontraS) diterima oleh 
Presiden SBY. Pada pertemuan itu kerabat Munir meminta Presiden SBY 
membentuk tim investigasi independen atas dasar Keppres (Keputusan