Jumat, 26 Januari 2024
munir 1
By tewasx.blogspot.com at Januari 26, 2024
munir 1
Kita orang orang Indonesia, beruntung
karena sempat memiliki Munir. Dalam
hidupnya yang singkat, ia seperti singgah
dan membantu kita di saat dimana kita
membutuhkannya. Di masa-masa menCegah
saat rejim orde baru masih berkuasa, saat
kebebasan dipasung dan segala aktivitas
yang berseberangan dengan negara diawasi
secara ketat, ia tak kenal takut untuk
menyuarakan nasib kaum buruh, aktivis
mahasiswa dan pemuda, serta kelompok-
kelompok masyarakat lain yang mengalami penindasan. Profesinya sebagai
pekerja bantuan hukum di LBH membuat Munir bersentuhan langsung
dengan ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi di negara ini.
Dalam kegalauannya melihat situasi Indonesia, Munir mengambil sebuah
titik pijak dimana ia bisa melihat jelas problem demokrasi di Indonesia yang
terbelenggu oleh politik-kekerasan yang secara struktural berkelindan
dalam hubungan Negara-masyarakat. Sebuah “spiral kekerasan” telah
menggulung masyarakat sedemikian rupa hingga meresap dalam pola
pikir, membentuk tingkah laku dan mendaur ulang kekerasan demi
kekerasan tanpa henti, mengakibatkan demikian banyaknya korban jiwa
seakan menjadi “ritual” sehari-hari dan ditanggapi masyarakat sebagai
barang normal. Berangkat dari pemahaman ini, Munir mengambil pilihan
eksistensial untuk berdiri paling depan meneriakkan perjuangan hak
asasi, serta politik yang bebas dari kekerasan.
Kecerdasan, kesederhanaan, dan keberaniannya membedakan Munir
dengan banyak aktivis dan kaum intelektual lainnya. Di masa dimana
banyak intelektual memilih berlabuh di kandang penguasa dan para
pimpinan masyarakat lebih banyak bergaul dalam pertalian nyaman
dengan penguasa. Munir justru memasuki area-area yang ‘menakutkan’.
Kerja keras bersama rekan-rekannya di KontraS berhasil membongkar
rangkaian peristiwa penculikan para aktivis mahasiswa dan pemuda,
menjadikan kejahatan itu sebagai sebuah fakta utuh, yakni penculikan
terorganisasi yang dilakukan oknum aparat. beberapa pelaku berhasil
diseret ke pengadilan. beberapa pimpinan teras TNI diberhentikan,
sekalipun beberapa korban sampai kini belum berhasil diketahui
keberadaannya. Dari sini ia terus bergerak, menjelajah area-area
kelam dalam politik kekerasan di Indonesia, keberaniannya menerangi
kita yang menghuni daerah-daerah itu sehingga jalan reformasi dengan
lebih gampang kita lalui kemudian.
Konsistensi dan persistensi, dua hal ini tampak jelas dalam kepribadian
seorang Munir. Ia mengetahui betul resiko perjuangannya. Namun
demikian, Munir tidak gentar dan mengambil sikap setia melawan.
Ia tidak ingin mengambil sikap diam dan menyerah pada tekanan.
Tudingan, intrik, intimidasi kerap menimpanya. Dituduh ‘PKI’, ‘Yahudi’,
‘Anti-Islam’, ‘Provokator’, Munir tak surut langkah. Keberanian dan
kegigihannya mampu menepis hantaman-hantaman ini .
Munir, atau lengkapnya Munir bin Thalib dibesarkan dalam keluarga
muslim keturunan Arab. Kakek moyangnya adalah imigran dari
Hadhramaut (Yaman) yang ratusan tahun lampau datang ke Nusantara.
Dengan latar belakang ini, membuatnya lebih memilih aktif dalam
organisasi-organisasi Islam seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
dan Al Irsyad. Namun demikian, kegelisahan Munir muda telah
membawanya pada pergulatan pemikiran yang panjang dan lintas batas.
Munir meyakini bahwa hak asasi manusia dalam konteks solidaritas
kemanusiaan telah menciptakan sebuah bahasa baru yang universal dan
setara, yang berbicara melalui batasan-batasan rasial, gender, etnis
dan agama. Karena itulah, dalam pandangan Munir, hak asasi manusia
harus dijadikan sebagai pintu masuk bagi terciptanya dialog bagi
orang-orang dari berbagai latar belakang sosial-budaya dan ideologi.
Lewat pintu ini pula Munir masuk dan bergaul dengan aktivis-aktivis
yang berbeda-beda latar belakang demi terwujudnya pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Munir dikenal akrab oleh semua kalangan. Ia mampu menjembatani
perbedaan-perbedaan yang ada dengan semangat kemanusiaannya
yang menggebu. Munir adalah duta Islam yang memperjuangkan
universalitas Islam untuk penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan
(rahmatan lil ‘alamin). Munir melakukan pembelaan terhadap siapapun
yang tertindas, tanpa memandang latar belakang mereka. Di dalam
Munir, Islam secara arif dapat dijadikan sandaran yang terpercaya bagi
kelompok-kelompok yang ditindas dan dipinggirkan.
Selama bertahun-tahun menjalankan kerja-kerja kemanusiaan, Munir
merasa perlu memuaskan dahaga intelektualitasnya sekaligus untuk
mengembangkan wawasannya. Ia memutuskan menempuh studi master
dalam bidang international protection of human rights di Utrecht
Universiteit, Belanda. Kesempatan itu semestinya akan dipergunakan
untuk melakukan refleksi dan evaluasi atas perjuangannya sekaligus
memperdalam pemahaman konseptual guna mempertajam analisis-
analisnya. Sayangnya, hal itu tak sempat terjadi, kaum yang telengas
dan bertangan kejam memenggal rencana luhur itu di tengah jalan.
Munir diracun dan wafat sebelum pesawat Garuda yang ditumpanginya
mendarat di Schiphol. Keluarganya yang masih belia telah kehilangan
suami dan bapak yang sangat mereka cintai. Bangsa ini telah kehilangan
satu lagi pejuang kemanusiaannya. Dunia Islam di Indonesia kehilangan
salah satu duta universalitas terbaiknya.
Selama hayatnya, jauh sebelum di hari laknat pembunuhannya Munir
telah berulangkali mengalami ancaman, terror. Namun semua itu serta
stempel negatif yang berusaha dilekatkan bahkan sesudah kematiannya,
tidak berpengaruh banyak. Dari kematiannya justru nampak bahwa
jutaan masyarakat Indonesia percaya pada integritasnya, kelompok-
kelompok minoritas dan tertindas menaruh harapan besar di pundaknya
untuk mewujudkan keadilan di negara ini. Sebagian mantan lawan-
lawannya pun mengakui keberanian dan kelurusannya. Konsistensi dan
keberaniannya telah menjadi inspirasi bagi kita untuk menghadapi
segala hubungan jahat terhadap kemanusiaan dan keadilan.
Munir telah mewariskan kepada bangsa Indonesia sesuatu yang
sangat berharga yakni keberanian dan karakter manusiawi untuk
memperjuangkan hal-hal yang baik. Kita adalah orang yang berutang
kepadanya. Sekarang giliran kita untuk membalas segala budi baik
almarhum salah satunya adalah dengan mengadili dan menyeret
siapapun yang bertanggung jawab atas kematiannya ke hadapan hukum
secara adil.
Mengikuti rekam jejak aktivitas politik Munir, hampir semua orang
sependapat Munir pasti memiliki musuh politik yang jumlahnya banyak
sekali, sebagian besar terutama para pejabat militer. Majalah Asia
Week pada tahu n 2000 misalnya memberi penghargaan sebagai
Leaders for the Millenium, dengan pertimbangan Munir berhasil
secara signifikan mempengaruhi (menantang) politik militer Indonesia
di masa transisi. Sementara prestasi di bidang HAM diapresiasikan
komunitas internasional dengan penghargaan The Right Livelihood
Award pada tahun 2000 oleh sebuah yayasan internasional berbasis
di Swedia. Penghargaan ini dianggap sebagai sebuah alternatif
penghargaan Nobel. Keterangan singkat mengapa Munir layak
mendapat penghargaan The Right Livelihood Award untuk tahun 2000
bisa dijelaskan di bawah ini:
“…for his courage and dedication in fighting for human rights and
the civilian control of the military in Indonesia”.1
Bila dirunut seluruh aktivitas politiknya –dari Malang ke Jakarta- kita
akan menemui daftar panjang nama-nama orang yang sangat terusik
dan terganggu oleh sepak terjang Munir. Di awal kariernya (di Lembaga
Bantuan Hukum-LBH) ia sudah menghadapi banyak masalah di Malang,
sebuah areal kantong industri di Jawa Timur. Saat itu Munir sudah biasa
berhadapan dengan militer, kelompok yang paling menentukan dalam
politik perburuhan Indonesia.
Munir tidak hanya mengadvokasi kasus-kasus perburuhan, namun
seringkali juga menjadi korban militerisme politik perburuhan itu
sendiri. saat kerjanya bergeser ke kota Surabaya kondisi ini juga tidak
berubah. Bahkan Munir harus mengurusi salah satu kasus perburuhan
terpenting saat itu, yaitu pembunuhan Marsinah (1994). sesudah Munir
dipindahkan ke Jakarta untuk duduk di kepengurusan Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ia segera berhadapan lagi dengan
kasus 27 Juli 1996, sebuah kasus yang juga berkaitan dengan operasi
militer lagi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Munir memiliki
ikatan historis yang kuat dengan militerisme. Ikatan ini lebih disebabkan
oleh pengalaman politik dan terendap menjadi sebuah sense. Meski
Munir diakui banyak orang memiliki intelegensia yang cukup tinggi,
namun agaknya sense inilah yang membentuk karakter politiknya.2
Bila mengikuti secara personal perkembangan gerak politik Munir,
ia tidak dikenal sebagai seorang pejuang HAM yang menempuh jalur
intelektual yang selalu setia dengan prinsip dan norma HAM yang ketat.
Baru di akhir hidupnya Munir menyadari dia perlu untuk meng-upgrade
pengetahuannya tentang dunia HAM secara lebih ketat. Ini alasan
mengapa Munir merasa perlu untuk kuliah S-2 di negeri Belanda.
saat turbulensi politik Indonesia mencapai titik yang kritis, Munir
tidak ketinggalan untuk terlibat di dalamnya, dalam proporsi tertentu.
Ini bermula dari munculnya laporan beberapa mahasiswa aktivis politik
yang hilang. Mereka umumnya memiliki afiliasi dengan Solidaritas
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), sebuah organisasi
berbasis mahasiswa, dan Partai Rakyat Demokratik (PRD), sebuah
organiasi politik yang paling menjadi target operasi aparat negara paska
peristiwa 27 Juli 1996. Meski di tengah kondisi pengekangan politik yang
tinggi, Munir bisa melakukan manuver politik yang signifikan, melalui
advokasi politik KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan), sebuah aliansi beberapa tokoh dan aktivis politik. Disini,
sebuah kemustahilan menjadi mungkin oleh sepak terjang Munir dan
KontraS-nya. Saat itu menjadi sebuah rahasia umum bila sebuah insiden
politik tidak mungkin terungkap, namun untuk kasus penghilangan
politik ini lain. Melalui strategi yang tidak lazim bagi sebuah advokasi
LSM HAM saat itu, kasus ini sedikit demi sedikit bisa terkuak. Bahkan
beberapa dari yang hilang bisa kembali. Untuk pertama kalinya sebuah
institusi militer mendapat tantangan serius.
Sebagian orang menyebut keberhasilan ini lebih ditentukan oleh friksi
internal militer sendiri. Terlepas dari argumen ini, sulit dibantah bahwa
advokasi Munir juga punya peranan besar. Investigasi dan advokasi kasus
ini kemudian berujung dengan dicopotnya tiga perwira penting militer
Kopassus saat itu, yakni Letjen Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi PR,
dan Kolonel Chairawan dengan alasan terkait dengan kasus penculikan
aktivis mahasiswa ini .3 Pencopotan ketiga perwira ini merupakan
sesuatu yang sangat mengejutkan dalam konteks sejarah politik militer
Indonesia.
Momentum transisi politik pasca 1998 dengan segala keterbatasannya
seolah menjadi ruang “main” bagi aktivitas politik Munir. Di kalangan
civil society Munir menjadi referensi tokoh yang berani, konsisten,
dan bisa mengartikulasikan tema HAM sebagai bahasa politik yang
simple dan populer. Sebelumnya referensi gerakan HAM selalu identik
dengan program bantuan hukum (seperti yang dijalani Munir di YLBHI)
yang kerap gagal meraih keadilan di muka hukum. Namun pasca kasus
penghilangan paksa, Munir seolah menjadi referensi harapan akan
kebenaran dan keadilan di negeri para korban.
Keberanian dan kegesitannya dalam berpolitik membuat banyak orang,
terutama para korban menjadikannya tempat berpaling. sesudah itu arus
deras tuntutan akan keadilan dari para korban selalu singgah dulu ke
pundak Munir sebelum diteruskan pada tuntutan tanggungjawab negara.
KontraS dan YLBHI menjadi rumah pengaduan bagi para korban yang
merasa perlu untuk terus mempertanyakan nasib mereka. Beberapa
kasus “keras” segera menjadi agenda kerja KontraS sesudah para korban
3 Advokasi tak kenal lelah atas kasus penghilangan paksa yang dimotori Munir dan KontraS
telah menjadi salah satu faktor penting dalam dinamika politik saat itu. Pada momen ini,
dimulailah peran politik yang lebih signifikan dari gerakan (organisasi) HAM civil society ke
dalam panggung politik negara pada era transisi politik.
berdatangan; Kasus penembakan mahasiswa di Trisakti, Semanggi I
dan Semanggi II, Tragedi Mei (1998), Kasus Tanjung Priok (1984), Kasus
Talangsari (1989), dan lainnya.
Di luar itu Munir juga “menggarap” beberapa kasus keras lainnya seperti
kasus Timor Timur pasca referendum 1999, kasus DOM di Aceh dan Papua,
kerusuhan di Maluku, Kalimantan, dan Poso. Hampir semua daftar kasus di
atas bisa didefinisikan sebagai kasus “keras” karena melibatkan kalangan
perwira tinggi militer. Sementara itu para elit politik yang baru pasca
transisi masih membutuhkan kemitraan politik dengan mereka.
Tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan politik dari rezim Soeharto ke
rezim elektoral4, selanjutnya membawa angin baru bagi agenda gerakan
HAM di Indonesia. Beberapa legislasi dan institusionalisasi negara mulai
akomodatif terhadap isu HAM. Munir segera terlibat dalam proses ini,
mulai dari memberi masukan dalam rancangan UU (terutama untuk isu
HAM dan militerisme) hingga aktif terlibat di Komisi Penyelidik Pelanggaran
(KPP HAM), khususnya untuk peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM di
Timor Timur pada 1999. Namun layaknya keterbatasan struktural transisi
politik Indonesia pasca 1998, perjuangan Munir pun punya batasannya.
Seperti yang menjadi pepatah politik terkenal dari Thomas Hobbes:
“hukum tanpa hukuman, hanyalah rangkaian kata-kata”.
Munir hingga akhir hidupnya tetaplah seorang aktivis HAM yang
mengambil posisi skeptis dan pesimis dalam penegakkan HAM di
Indonesia terlepas banyaknya produk-produk HAM formal yang sudah
disahkan.5 Kekecewaan utamanya adalah tiadanya pertanggungjawaban
dari pelaku atas peristiwa pelanggaran berat HAM. Dan (pergantian)
rezim pemerintahan yang baru sendiri tidak mampu dan tidak mau
memutus rantai impunitas ini .
4 Rezim elektoral adalah rezim yang legitimasi politiknya semata-mata didasari oleh proses
demokrasi yang formal dan prosedural, dalam hal ini pemilu. Sementara prasyarat demokrasi
substansial belum terpenuhi. Gejala ini nampak sebagai sebuah pola transisi di negeri dunia
ketiga.
5 Sikap skeptis Munir ini dengan baik ditampilkan dalam Nono A. Makarim, Munir, dari Dalam,
dalam Jaleswari Pramodhawardani dan Andi Widjojanto (ed), “Munir; Sebuah Kitab Melawan
Lupa”, Mizan Media Utama, 2004.
Ini bisa terlihat dari kekecewaannya yang mendalam begitu mendengar
bebasnya terdakwa kasus Tanjung Priok di pengadilan HAM ad hoc, hanya
beberapa minggu sebelum keberangkatannya ke Belanda. Jadi terlepas
dari penghargaan yang tinggi dari banyak pihak soal kiprahnya di dunia
HAM, Munir tetaplah seorang yang kecewa, apalagi orang yang harus
dihadapinya masih ada di lingkar dalam kekuasaan. Mungkin inilah
yang bisa dijadikan sebuah hipotesa politik sebab musabab kematian
Munir. Secara struktural sistem politik Indonesia masih membiarkan
para pelaku pelanggaran berat HAM bebas, bahkan menduduki posisi
formal negara dan masih menjadi aktor politik aktif.
A. Mengapa Munir Dibunuh?
Mencari jawab atas pertanyaan siapa yang bertanggung jawab
atas pembunuhan Munir haruslah dimulai dengan memahami
terlebih dahulu mengapa kira-kira atau apa yang membuat Munir
dibunuh? jika diyakini bahwa kematiannya adalah akibat dari
suatu persekongkolan pembunuhan dengan perencanaan yang luar
biasa, maka harus dijelaskan atau paling tidak diperkirakan adanya
motif-motif untuk membunuh Munir.
B. Dongeng Hitam kaum Telengas
Pentingnya mencari dan menetapkan motif terasa sangat mendesak
untuk dilakukan selain dalam usaha membantu pengusutan siapa
yang paling bertanggung jawab, juga dalam rangka menghapuskan
‘dongeng hitam” mengenai motif yang muncul sesudah kematian
Munir. Dongeng hitam kaum telengas paling tidak dikembangkan
dalam dua versi yakni:
Kesatu, mereka mengatakan bahwa Munir dibunuh oleh konspirasi
kepentingan Asing. Para pencerita dongeng hitam beranggapan
bahwa pembunuhan yang terjadi di pesawat, selama penerbangan
internasional mengandaikan keahlian dan pengalaman sempurna
dari para pembunuhnya. Keahlian ini konon, katanya, hanya mampu
dilakukan pihak asing. Mengenai motif, dongeng hitam menyebut
beberapa versi dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit.
Ada yang menyebut kepentingan asing untuk terus mengganggu
Indonesia dengan kasus-kasus HAM. Kematian Munir akan dipakai
untuk alat menekan Indonesia di forum Internasional. Ada juga yang
bilang soal konflik geo-politik antara Cina dan Amerika, di mana
Munir secara aneh dan luar biasa terlibat di dalamnya.
Kedua, Munir dibunuh dalam kepentingan persaingan antara LSM.
Pendongeng Hitam menyajikan cerita ini dalam kepentingan langsung
memberi motif kepada publik. Dongeng hitam ini mengatakan
secara aneh bahwa ada persaingan karir di kalangan LSM dan itu
berujung pada pembunuuhan Munir. Tidak dijelaskan bagaimana hal
sedemikan aneh itu mungkin terjadi? Buat apa? Dalam penerbitan
mendadak serta selebaran gelap, para Pendongeng Hitam ini banyak
memaparkan tuduhan ini tanpa wawancara dengan orang-orang yang
diskenariokan dalam cerita persaingan antar LSM itu.
Dongeng-dongeng ini adalah dongeng hitam karena mereka tidak
dapat menyajikan argumen yang masuk akal serta motif yang
memadai. Kalau pihak asing, apa kepentingan langsung pihak
asing? Bukankah tanpa Munir sekalipun Indonesia sudah sejak lama
dan masih terus bergantung pada negara-negara asing? Melibatkan
Munir konflik Cina dan Amerika lebih tidak masuk akal lagi. Sama
sekali ‘nggak nyambung’. Pembunuhan Munir karena persaingan
LSM? Dengan ini lebih tidak masuk akal lagi, Keberanian Munir dan
aktivitasnya jelas-jelas mengandaikan dukungan dari berbagai
pihak termasuk dari berbagai aktivis LSM terlepas dari soal-soal
pribadi yang muncul selama bekerja. Lagi pula aktifis atau LSM
mana yang punya kemampuan dan dana untuk melakukan operasi
semacam itu? Donor mana yang mau mendanai pembunuhan?
Betul-betul tidak masuk akal.
Dongeng hitam memang dihembus-hembuskan paska kematian
Munir. Tujuannya jelas, yakni untuk mengalihkan perhatian publik
dari kebenaran dan untuk mengelabui pandangan umum sambil
mencari kambing hitam untuk melindungi pelaku sebenarnya.
Kebohongan dongeng hitam itu makin terbantah dengan lebih jelas
sesudah TPF Munir terbentuk dan bekerja serta berhasil menemukan
keterlibatan aktor seperti Pollycarpus.
Di titik ini, untuk memperkirakan berbagai motif secara lebih akurat
serta untuk mencegah pengaruh ‘dongeng hitam’ ini kita
mau tidak mau harus bersandar pada dua hal yakni: sejarah atau
pengalaman ‘permusuhan’ yang pernah dialami Munir terutama
dalam hal ini yang berkaitan dengan pekerjaanya sebagai aktivis
hak asasi manusi; dan yang kedua selain latar belakang pekerjaan
itu yang juga bisa dijadikan landasan untuk meneliti motif adalah
dengan melihat atau memeriksa kepentingan-kepentingan yang
spesifik yang tengah berlangsung pada saat kematianya. Jadi jika
pada bagian pertama kita perlu meneliti motif berdasar sejarah
permusuhan Munir dengan berbagai pihak sementara yang kedua
kita memeriksa kepentingan dalam konteks saat pembunuhan.
Untuk memahami yang pertama kita mulai melalui memahami
siapa Munir.
C. Siapakah Munir ?
Munir menurut beberapa selebaran gelap serta isu yang ditiupkan
oleh sebagian mereka yang dahulu tidak menyukai pekerjaan
dan aktivitasnya sering disebut sebagai ‘antek asing’. Yang lebih
konyol –dengan bercampur bau teori konspirasi yang berlebih-lebih
lagi bilang ‘Munir antek Yahudi’ dan sebutan lain semacamnya.
Sebutan ini khas dan tipikal dipakai untuk menyudutkan aktivis
HAM semenjak orde Baru hingga Orde SBY sekarang.
Sebutan-sebutan semacam itu jika dilihat dari sisi terbaliknya
bisa membantu kita memahami siapa Munir. Dengan memahami
kenyataan bahwa sebutan demikian biasanya selalu dipakai oleh
kelompok atau aktor-aktor yang dekat kekuasaaan militer Orde
Baru maka jelaslah di sini, bahwa ungkapan itu dimaksudkan untuk
menunjuk sejenis musuh. Dengan memahami apa yang dikatakan
mengenai dirinya, kita mengetahui siapa musuhnya.
Untuk memahami mengapa kelompok-kelompok ini memusuhi Munir,
kita akhirnya sampai pada beberapa kasus yang melibatkannya
berhadap-hadapan dengan kepentingan aktor-aktor tertentu di
kalangan militer, meskipun harus dicatat bahwa tidak semua aktor
yang muncul dari kasus-kasus ini memiliki permusuhan yang permanen
dengan Munir. beberapa dari mereka sebagian menjalin hubungan dan
dialog yang cukup baik dengan Munir di masa-masa akhir hidupnya.
D. Motif-Motif
a). Motif berbasis Kasus
Pertama, kasus ORANG HILANG. Kasus ini merupakan titik
terpenting untuk melihat dan memahami kemunculan Munir
sebagai seorang tokoh hak asasi manusia papan atas di Indonesia.
Figur Munir tampil bukan semata-mata karena jenis kasusnya yang
demikian dahsyat tetapi juga karena kelurusan dan keberanian
sikapnya untuk membongkar dan mengungkap keterlibatan
aktor-aktor dari high ranking military officer (petinggi militer)
di Indonesia. Sekaligus juga menguak konflik keras dalam tubuh
faksi-faksi Angkatan darat menjelang kejatuhan Soeharto. Di
titik ini, persinggungannya memang bukan kepalang berbahaya
mengingat yang kemudian dihadapi adalah aktor-aktor kalangan
perwira dari satuan khusus angkatan darat yang pada masa itu
sangat terkenal dengan kekejamannya. usaha pembongkaran
kasus ini, yang berlangsung seiring dengan konflik politik dan
reformasi pada masa itu, meninggalkan jejak yang hingga kini
tak akan terhapuskan baik dalam sejarah politik Indonesia
secara umum maupun dalam sejarah hak asasi di Indonesia
dalam pengertian yang khusus. Beberapa perwira menengah
yang tergabung dalam apa yang disebut sebagai Tim Mawar di
adili serta beberapa Perwira Tingggi di tubuh angkatan darat
mengalami kejatuhan karir. Dari sisi politik militer di Indonesia
kemudian berubah wajahnya hingga sekarang.
Kedua, kasus Trisakti dan Semanggi. Dengan kasus ini Munir
memperlihatkan diri bahwa Munir tidak terpengaruh dengan
berbagai perkubuan dalam militer yang pada waktu itu masih
dihidup-hidupkan dalam berbagai analisa. jika dalam kasus
penculikan yang dihadapi adalah kelompok militer yang berdiri
di depan Soeharto maka di dalam kasus ini munir secara lugas
menghadapi persoalan dengan faksi militer yang tumbuh dalam
kekuasaan paska Soeharto. Pembongkaran kasus ini pada
kenyataanya harus dilihat juga sebagai tantangan langsung
terhadap faksi-faksi militer yang berada di belakang rejim Habibie
yang dianggap paling bertanggung jawab atas tragedi Semanggi.
Ketiga, kasus bumi Timor Timur paska Jajak Pendapat.
Penghancuran dan pembunuhan massal di Timor-timor
menghantarkan Munir pada babak baru kelanjutan konfliknya
dengan kelompok militer di belakang Habibie yang dianggap
sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas semua
kekerasaan paska Jejak Pendapat di Timor Leste. Saat kasus
ini diselidiki, Munir terlibat dalam investigasi Komisi Penyelidik
Pelanggar (KPP) HAM Timor Timur. Dalam kasus ini ketegangan
yang dihasilkan setara dengan masa-masa ketegangan dalam
kasus orang hilang, mengingat yang dihadapi adalah kelompok
militer yang tengah berada dalam tampuk kekuasaan. Bukan
hanya itu, tersedianya Undang-undang HAM yang dijadikan
patokan dan mekanisme yang dipakai dalam KPP-HAM yang
untuk pertama kalinya ‘memanggil’ orang-orang kuat seperti
Jenderal Wiranto, dan beberapa perwira tingggi dan menengah
lainnya dalam forum KPP-HAM di Komnas HAM memberi
efek psikologi politik yang luar biasa baik untuk kalangan
militer maupun kalangan sipil sendiri. Di mana untuk pertama
kalinya kalangan militer dipanggil untuk diperiksa dihadapan
sebuah otoritas sipil.
Keempat, kasus pembunuhan massal di Talangsari Lampung.
jika dalam kasus-kasus sebelumnya persinggungan
terjadi lebih dengan faksi atau kelompok militer, kasus
Talangsari membawa investigasi pada persinggungan dengan
Hendropriyono. Ketegangan meningkat seiring dengan tuntutan
yang makin kuat dari beberapa korban dan komunitas HAM
untuk membawa kasus ini ke mekanisme pengadilan HAM.
Sementara pada saat yang sama posisi Hendropriyono sendiri
perlahan naik, hingga pada masa pemerintahan Megawati
menjadi Kepala Badan Intelejen Negara (BIN).
Selain keempat kelompok kasus besar di atas, ada satu
dua kasus dimana Munir juga terlibat seperti misalnya dalam
kasus pembantaian di Tanjung Priok dan kasus 27 Juli. Namun
demikian persinggungan dan konflik antara dirinya dengan
mereka yang dianggap pelaku relatif sangat rendah karena
beberapa faktor: pertama karena sebelum Munir sudah
ada banyak kelompok HAM yang menangani kasus ini,
dan kedua banyak kelompok-kelompok korban yang muncul
secara langsung mengadvokasi kasusnya sendiri, sehingga
konflik telah diambil alih dengan sendirinya oleh kelompok-
kelompok ini.
- Dilihat dari sebagian aktor dalam tabel di atas, menunjukkan bagaimana Munir
masih terus berhadapan dengan para lawan politiknya, hingga menjelang periode
pemilu 2004. Di antara mereka ada kandidat presiden, dan sebagian lainnya
menjadi tim sukses calon presiden.
- Kasus-kasus di atas, pada masanya memang menyediakan momentum ketegangan
dan konflik antara Munir dan beberapa tokoh militer di Indonesia. Namun
demikian sekali lagi, tokoh-tokoh di dalam kasus ini tidak serta merta dapat
secara gampang dan otomatis dikaitkan dengan pembunuhan Munir ini .
Yang jelas peristiwa-peristiwa itu harus dilihat sebagai wahana dimana berbagai
kepentingan sebelum ataupun sesudah momentum terjadinya kasus pembunuhan
Munir, muncul secara lebih kompleks dan dalam, beserta arti serta tujuan-tujuan
yang mungkin juga berbeda.
b). Motif dari Konteks
Selain motif-motif yang berbasis kasus, motif bisa juga dilihat
dan diperkirakan dari konteks yakni relasi dan kepentingan-
kepentingan di masa dan momentum pembunuhan itu terjadi.
Hal ini penting dan memiliki alasannya tersendiri untuk
diperhatikan mengingat beberapa keganjilan yang muncul.
Pertama, beberapa saat sesudah diumumkan kematian Munir,
pihak keluarga dan kantor menerima teror. Diantaranya pada
9 September 2004, pihak keluarga Munir di Malang mendapat
teror yang berisi pesan ‘Selamat atas Mateknya Munir, Semoga
tidak dipukuli oleh Arwah para Pahlawan Bangsa’. Teror
semacam ini, khususnya yang terjadi sesudah kematian Munir
namun sebelum diketahui sebabnya jelas punya arti khusus.
Tidak berapa lama sesudahnya, muncul teror berupa paket
bangkai ayam yang berisi pesan berbunyi ‘‘AWAS!!! Jangan
Libatkan TNI Dalam Kematian Munir. Mau Menyusul Seperti
Ini?’ Pesan ini mau mengatakan dan mengajak serta
mengarahkan orang bahwa seolah-olah ‘TNI tidak senang’
dibawa-bawa, dengan begitu efek yang hendak dicapai
adalah menyeret opini bahwa memang TNI adalah pelaku
pembunuhannya?
Kedua, pada masa itu sendiri memang di dunia dan persaingan
politik ada wacana yang kuat untuk menghidupkan
kembali semangat anti TNI. Dengan demikian opini kearah TNI
selaku penanggungjawab pembunuhan Munir menjadi sangat
masuk akal untuk memenuhi kebutuhan politik di atas pada
masa itu.
Ketiga, arah ke opini itu terbuka sehubungan dengan konteks
Pemilihan Umum Presiden tahap kedua yang menghadirkan
kontestasi antara Megawati dan SBY. Yang secara sederhana
dibuat-buat sebagai kontestasi antara sipil melawan militer.
Keempat, dengan begitu pembunuhan Munir dianggap akan
memberi efek pada penjatuhan citra calon presiden
berlatar militer dari kontestan pemilu.
Pola-pola yang terjadi seputar kematian Munir jika dipikirkan
dalam konteks Pemilu memang sedikit banyak membawa kita
pada argumen yang lebih politis sifatnya, ketimbang semata-
mata proyek balas dendam. Namun demikian kelemahan pokok
dari argumentasi ini tentu saja dia bersifat sangat terbuka
dan mengandaikan keberadaan petualang-petualang politik
yang demikian kejam dan telengas, yang demi mencapai
tujuan-tujuan pribadinya mengorbankan nyawa orang secara
demikian gampang.
Dengan ini sebenarnya penting juga untuk dikatakan bahwa kita
tidak dapat membuat semacam garis lurus yang mengeneralisir
bahwa kematian Munir dibuat dan dikendalikan secara
sistematis oleh sebuah kelompok politik yang terpadu. Namun
cukup mungkin untuk mengatakan bahwa konteks politik yang
tersedia memang secara demikian rumit telah sedemikian rupa
menghasilkan situasi-situasi yang dimanfaatkan untuk menjadi
basis bagi pembunuhannya.
c). Motif Berbasis Modus
Untuk mencari motif berbasis pada modus operandi
pembunuhan Munir, dapat kita ajukan beberapa pertanyaan
berupa apa yang menjadi alasan para pelaku memilih racun,
dan tidak dengan cara lain. Bahkan bila perlu, kita juga bisa
mencari jawab mengapa pilihannya racun arsenikum, bukan
jenis racun yang lain.
Fenomena pembunuhan politik (lewat racun) macam Munir
memang bukan sebuah gejala yang khas dari sebuah gejolak
dinamika transisi politik yang kisruh. Beberapa analisis politik
menunjukkan gejala yang sama di negeri lain yang punya
pengalaman hampir mirip dengan transisi model Indonesia.
Seorang aktivis politik HAM, Antonio Cassese, menunjukkan
mekanisme represi dan teror politik bisa mengambil 2 (dua)
model.6
Mekanisme pertama adalah dengan memakai semua
perangkat formal (institusi dan legislasi) negera untuk menekan
siapa saja yang berani melawan penguasa yang tiran. Pada
model pertama ini biasanya hukum menjadi mekanisme represi
dan teror yang efektif bagi kelompok resistensi. Hukum bisa
dibuat sedemikian rupa –meski di luar nalar sekalipun- untuk
bisa menahan dan menghukum kelompok oposisi. Represi dan
teror mengambil bentuk yang telanjang dan terbuka. Model
ini lazim digunakan di negara yang sangat otoriter seperti di
Afrika Selatan dengan proyek politik Apartheidnya atau rezim
Orde Baru Indonesia.
Sementara pada model kedua represi dan teror mengambil
bentuk yang lain. Model ini lazim di negeri yang sedang
mengalami transisi politik di mana kekuatan lama masih
punya peran penting dalam melakukan negosiasi politik
dengan kekuatan baru. Pada model ini represi dan teror
tidak mengambil bentuk yang formal dan legal, namun lebih
tertutup dan mirip dengan operasi intelijen. Model ini misalnya
dipraktekan dalam bentuk pembunuhan di luar prosedur hukum
dan penghilangan paksa, semua karena motif politik.
Pembunuhan Munir dengan racun bisa dipahami dalam konteks
model kedua. Sulit membayangkan adanya mekanisme legal
formal yang bisa dipakai untuk merepresi Munir.7 Apalagi di
akhir hidupnya Munir selalu aktif terlibat –dengan berbagai
metode- dalam setiap proses pembentukan produk hukum
yang strategis (terutama yang mengancam) bagi kehidupan
demokrasi dan HAM di Indonesia. Merepresi Munir secara
terbuka kemungkinannya sangat kecil. Untuk itu perlu usaha
operasi pembunuhan yang tertutup dan rahasia. Persis seperti
analisis Munir terhadap kasus penghilangan paksa aktivis
1997/1998 yang lalu.
7 Sebenarnya beberapa bentuk teror dan serangan di luar proses hukum pernah ditujukan
kepada Munir dan KontraS. Catatan KontraS mendata beberapa peristiwa antara lain; Agustus
2000 di Batu, Malang, September 2000 kantor KontraS, Maret 2002, kantor KontraS diserbu
massa yang mencari Munir. Sebelumnya KontraS mendemo para Perwira TNI yang bertanggung
jawab atas kasus Trisakti, Semanggi I dan II; Mei 2003, KontraS kembali diserbu dan Munir
menjadi incaran amuk PPM (Pemuda Panca Marga) karena menolak pemberlakuan Darurat
Militer di Aceh; Semua serangan ini dipandang banyak pihak lebih bersifat teror ketimbang
ditujukan untuk menghabisi nyawa Munir. Berbagai pihak kemudian beranggapan pembunuhan
Munir memang harus dilakukan mengingat akumulasi teror-teror ini sudah tidak efektif
lagi untuk meredam perjuangan Munir.
Uraian pada bagian ini menceritakan awal mula tersiarnya kabar Munir telah
meninggal, penjemputan jenazah di Belanda sampai bagaimana publik
Indonesia mengekspresikan kedukaan dan kehilangannya atas kematian
Munir. Ungkapan ini disampaikan oleh berbagai tokoh masyarakat, dari
kalangan agama, politisi, maupun tentara hingga Presiden RI Megawati
Sukarnoputri. Bahkan diantaranya-mulai dari Wali Kota Batu Imam
Kabul hingga Ketua Mahkamah Konstitusi RI Jimly Assidiqie- meminta
pemerintah memberi penghargaan kepada Munir. Sebagian besar uraian
ini dikumpulkan dari rangkaian pemberitaan media massa cetak maupun
elektronik, sehingga bagi sebagian orang bukan sesuatu yang baru.
Hari itu, Selasa 7 September 2004, sekitar pukul 13.00 Wib tengah
berlangsung pertemuan korban dan keluarga korban peristiwa Trisakti
dan Mei 1998, Semanggi I 1998 dan Semanggi II 1999, Tanjung Priok
1984 dan penculikan 1997/1998 serta pembunuhan massal 1965/1966.
Pertemuan yang berlangsung di kantor KontraS itu sengaja digelar
untuk menyikapi pengesahan DPR terhadap Undang Undang No.27/2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). UU KKR ini telah lama
dipersoalkan KontraS bersama para korban pelanggaran HAM karena
Undang-Undang ini dinilai lebih berpihak kepada pelaku kejahatan.
Koordinator KontraS Usman Hamid yang tengah menjadi narasumber
pada sebuah seminar tentang Kontroversi RUU TNI yang digelar elemen
gerakan pro demokrasi, datang dan bergabung dalam rapat.8 Tidak
8 Pada masa-masa ini Kontras, Imparsial dan beberapa organisasi masyarakat sipil memang
tengah gencar menolak rancagan undang-undang TNI. Saat menerima kabar kematian Munir,
Direktur Imparsial Rachland Nashidik juga tengah menjadi narasumber dalam sebuah seminar
tentang RUU TNI di Sulawesi.
berapa lama, ia meminta waktu
sejenak untuk menyampaikan
berita, yang ternyata sebuah
b e r i t a d u k a b a h w a C a k
(demikian kami menyapa Munir)
telah meninggal dunia dalam
penerbangan pesawat Garuda
GA-974 menuju Amsterdam.
Berita itu diterimanya via
telepon dari Mouvty Makaarim yang menerima kabar dari staf KontraS
lainnya Agus Suparman yang menerima kabar via telepon dari pihak
Garuda Indonesia.
Sikap korban untuk menolak UUKKR yang semula akan disampaikan
kepada pers tepat pada pukul 15.00 WIB dibatalkan. Semua yang hadir
terdiam. Tidak ada satupun yang sanggup menahan sedih. Setengah
tak percaya atas berita ini, keluarga korban dan awak KontraS pun
secara bersama mendoakan agar almarhum Munir diberi tempat yang
mulia disisi Sang Pencipta Allah SWT, sebagaimana Munir memuliakan
nilai-nilai kemanusiaan hingga akhir hidupnya.
Pada saat yang sama, berita “kepergian” Munir telah menyebar di
berbagai kalangan termasuk pers yang kemudian berdatangan ke kantor
KontraS untuk memastikan kebenaran berita ini . Selain persebaran
berita lewat sms dan telepon10, sore itu juga banyak media elektronik
radio, tv, dan internet memberitakan tentang kepergian sang pahlawan
orang hilang itu. Bahkan beberapa radio sejak sore itu menyiarkan
feature khusus berupa duka yang mendalam atas kepergian Munir.
Sekitar pukul 12.00 WIB, Mouvty salah seorang aktifis KontraS menerima telpon dari
kantor maskapai penerbangan Garuda yang menyampaikan berita kematian Munir. Mouvty
menyampaikan informasi ini kepada Usman Hamid yang saat itu tengah menjadi pembicara
dalam seminar tentang RUU TNI. Mendapatkan kabar dari Mouvty, Usman segera kembali
ke Kontras dan menyampaikan berita duka ini kepada Suciwati, istri Munir, yang ternyata
belum memperoleh kabar duka ini .
10 Disela-sela pesan SMS yang tersebar tentang kematian Munir, juga tersebar SMS-ternyata
tidak benar-tentang meninggalnya Cak Nur (Nurcholish Madjid) yang saat itu masih menjalani
perawatan di Singapura.
11 Istilah Pahlawan orang hilang dipopulerkan oleh Budiman Tanuredjo dalam tulisannya berjudul
“Perginya Pahlawan Orang Hilang”, Kompas, 8 September 2004.
Di Bekasi, sejak sore hingga malam, tempat kediaman almarhum di
Jalan Cendana XII RT 04 RW06 Perumahan Jakasampurna, Bekasi Barat,
telah ramai didatangi oleh berbagai kalangan, diantaranya keluarga
korban dan korban pelanggaran HAM, rekan-rekan seperjuangan Munir
termasuk rekan-rekannya dari Universitas Brawijaya Malang, serta para
wartawan dan masyarakat luas yang bersimpati.12
Pada hari itu, ungkapan belasungkawa juga terus membanjiri rumah
kediaman almarhum serta kantor tempat Munir bekerja, KontraS dan
Imparsial. Sebagian ungkapan duka itu terlihat dari terus mengalirnya
kedatangan berbagai kalangan masyarakat serta ungkapan bela
sungkawa yang tak henti-hentinya disampaikan melalui telepon, SMS,
surat via fax serta ungkapan yang ditulis pada bentangan spanduk
sepanjang 30 meter. Ada diantaranya yang menawarkan bantuan untuk
kepentingan persemayaman almarhum dan tunjangan dua anak Munir
yang ditinggalkan. Pesan lainnya adalah dukungan untuk melanjutkan
perjuangan Munir. Belum lagi ungkapan duka yang juga dituangkan dalam
berbagai rangkaian karangan bunga yang dikirim ke tempat kediaman
almarhum, KontraS dan Imparsial. Ratusan karangan bunga itu dikirim
oleh pejabat dan lembaga-lembaga negara, perwakilan negara sahabat,
tokoh-tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, pimpinan media cetak
dan elektronik, organisasi non pemerintah, organisasi kemasyarakatan
(ormas), organisasi kepemudaan (OKP), organisasi profesi, partai politik,
perusahaan swasta nasional dan internasional, organisasi keagamaan
dan masyarakat luas yang bersimpati dengan almarhum.
Tidak hanya karangan bunga, KontraS juga menerima ratusan surat yang
dikirim dari lembaga-lembaga dalam dan luar negeri termasuk perseorangan.
Selain itu beberapa pernyataan duka yang dikirim masyarakat atas kepergian
sang peraih The Right Livelihood Award dari Parlemen Swedia ditahun 2001
lalu juga disampaikan melalui surat pembaca maupun pesan singkat/SMS
yang dikirim dari dalam dan luar negri. dihampir semua media massa. Sejak
diketahui Munir wafat, sejak tanggal 7 September 2004 media cetak dan
elektronik memberi tempat khusus bagi pemberitaan dan ungkapan duka.
12 Tampak hadir pada malam itu Taufik Kiemas yang datang bersama Hermawan Sulistyo serta
Cornelis Lay,
Setidaknya dalam kurun waktu 2 minggu, media pers tidak henti-hentinya
memberitakan tentang profile Munir, termasuk yang tertuang dalam banyak
opini di media massa. Munir disambut sebagai pahlawan oleh banyak orang,
di tengah sikap pasif negara meresponnya.
Pada kesempatan lain, Presiden Megawati menyampaikan apresiasi khusus
terhadap almarhum Munir. Menurutnya, Munir adalah orang yang gigih
dan selalu berusaha memberi yang terbaik dalam pemikirannya. “Kita
juga melihat beliau (Munir) sebagai salah seorang pejuang (HAM). Selama
ini tidak pernah kenal lelah, tak pernah berhenti menyampaikan hal-hal
yang beliau yakini”, kata presiden Megawati saat itu.13 Panglima TNI
Endiartono Sutanto yang institusinya sering menjadi sasaran kritik Munir
mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh almarhum selama ini tidak
menyusahkan institusinya. Sebab kritik yang dilontarkan Munir bersifat
membangun. “Kritik dia landasannya kebenaran,” kata Endriartono.14
Begitupula halnya dengan kandidat calon presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, yang tengah mengadakan pertemuan dengan para ekonom
dan tokoh pers di Jakarta. Yudhoyono mengajak semua peserta berdiri
dan mengheningkan cipta selama 1 menit kala mendengar kabar duka
tentang meninggalnya Munir. Yudhoyono mengenang Munir sebagai
tokoh yang kritis, vokal, dan kadang-kadang membuat banyak telinga
orang atau pihak yang dikritiknya menjadi panas. Baginya, keberadaan
Munir sangat penting sebagai alat kontrol untuk mencerahkan pikiran,
kalau ada pihak yang keluar dari nilai-nilai demokrasi.
Ungkapan duka juga disampaikan oleh Gus Dur, Ketua Dewan Syuro PKB
yang mengatakan almarhum Munir adalah tipikal pribadi yang sederhana
dan nyaris tak gampang terlena oleh bujukan atau gaya hidup mewah.
Berikut kutipan pernyataan Gus Dur, “Saya ikut belasungkawa. Terus
terang, diantara para pejuang HAM, dia yang paling terkemuka. Dia
tidak tergoda kemewahan hidup. Teman-temannya yang lain sudah pada
mewah, dia tidak. Yang dia lakukan hanya menolong orang.”
Mantan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo
mengatakan, kepergian Munir merupakan kehilangan besar bagi bangsa
ini. Sebab, menurutnya, semasa hidup almarhum telah bekerja dengan
gigih memperjuangkan penegakan HAM. Ia juga telah memberi
sumbangan besar bagi proses pembelajaran dan demokratisasi bangsa
dengan pendekatan HAM. Agus Widjojo menganggap sewajarnya
pemerintah memberi penghargaan yang sebanding dengan karyanya
bagi bangsa terhadap almarhum.17 Pendapat senada berkaitan dengan
penghargaan pemerintah juga disampaikan oleh Marie Muhammad18,
Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assidiqie19 dan Todung Mulya lubis
serta Indriyanto Seno Adji.
Sulit untuk mengingat satu per satu dari setiap karangan bungan yang
dikirim. Tetapi setidaknya dari 158 karangan bunga yang tercatat
diantaranya dikirim oleh Presiden Megawati, Wakil Presiden Hamzah
Haz, Menteri Pembendayagunaan Aparatur Negara Faisal Tamin, Ketua
Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Ketua DPR Akbar Tanjung,
Kedutaan Besar Jerman, Belanda, Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan
Sejahtera., DW 8 rental Care, Bank DKI, Bank Dunia, Pengurus Pusat
Muhammadiyah, Pengurus Pusat Nahdhatul Ulama (NU), Kardinal J.
Darmaatmadja, Abdurrahman Wahid, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
(PTIK), Indonesia Marketing Association, Iluni Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), Ide Indonesia,
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), DPP Komite Nasional Pemuda
Indonesia (KNPI), TK-SD-SMP-SMA Tunas Jaka Sampurna School, RCTI,
Metro TV, Kantor Berita 68H, South East Asia Press Association (SEAPA),
Renetil Timor Leste dan lain-lain.
Di Jakarta, ungkapan dan suasana duka terus terasa hingga hari kedua,
ketiga dan seterusnya. Di hari ketiga ratusan orang terutama para
kerabat dan warga yang tinggal di sekitar kantor KontraS berkumpul
mengadakan doa bersama dengan tradisi pembacaan Yassin (tahlilan).
Acara ini diikuti dengan sejenak refleksi untuk mengungkapkan
kenangan para kerabat, serta pemutaran rekaman video pertemuan
dengan Munir di KontraS, 31 Agustus 2004, persis tujuh hari sebelum
kematiannya. Ratusan orang juga berkumpul dan mengadakan kegiatan
serupa di kantor berita Radio 68H Utan Kayu, Jakarta Timur. Selain
doa bersama oleh perwakilan unsur agama, acara juga diisi dengan
pembacaan puisi, lagu dan kesaksian para sahabat. Pada hari ke-5
kegiatan serupa diadakan pula di kantor Imparsial.
Di Surabaya, pada hari kedua, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Cabang
Surabaya, mengibarkan bendera setengah tiang Merah Putih sampai
dengan hari ke-7 untuk mengenang wafatnya Munir. Para aktifis pers,
seniman, akademisi dan organisasi non pemerintah menggelar doa
bersama yang diikuti dengan aksi memasang lilin pertanda duka
dan simpati, orasi beberapa tokoh yang mengenang Munir dan acara
teaterikal.
Dari Malang, pada Rabu malam 8 September 2004 acara doa bersama
digelar dan diikuti oleh ratusan mahasiswa terutama mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya. Doa bersama itu dipimpin langsung
Rektor Universitas Brawijaya Prof Dr Bambang Guritno dan dihadiri
beberapa pejabat kampus setempat serta beberapa sahabat almarhum
Munir seperti HS Dillon (Direktur Eksekutif Kemitraan), Dedy Priambudi
(Direktur LBH Surabaya), Ibnu Tricahyo (Ketua Pusat Pengkajian Otonomi
Daerah).
Jauh dari Belanda, tersebarnya berita kematian Munir yang begitu cepat
dan luas, membuat kalangan masyarakat Indonesia di Leiden serta
kerabat dari Belanda menggelar tahlilan yang digelar oleh Perhimpunan
Pelajar Indonesia (PPI) di Leiden. Acara serupa juga selanjutnya digelar
di Amsterdam pada malam berikutnya, bertempat di kantor Indonesia
House.
Kembali lagi ke Jakarta, pada Rabu sore 8 September 2004, Suciwati
isteri almarhum, Usman Hamid (KontraS), Poengki Indarti dan Rusdi
Marpaung (Imparsial) serta Rasyid (kakak sulung Munir) berangkat dari
Bandara Soekarno Hatta menuju Amsterdam untuk menjemput jenazah
almarhum Munir. Beberapa saat menjelang pesawat tinggal landas
(take off) Ketua MPR Amien Rais menemui Suciwati dan menyampaikan
belasungkawa atas wafatnya Munir. Tidak berapa lama, rombongan kecil
ini berangkat dengan memakai penerbangan KLM 837. Pesawat
lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta pukul 18.55 WIB, transit
sesaat di Singapura dan dijadwalkan tiba di Amsterdam pada hari Kamis
pukul 5.30 waktu setempat.
Sesampainya di Bandara Schippol, Belanda, rombongan Suciwati
disambut oleh sahabat dari Belanda Kees de Ruiter, Sri Rusminingtyas
serta beberapa pejabat otoritas Bandara Schippol. Sekitar pukul 08.00
waktu setempat Suciwati beserta rombongan diberikan kesempatan
melihat jenazah Almarhum yang terbaring di sebuah ruang bernama
Mortuarium. Menjelang siang, ruang mortuarium sudah dipenuhi oleh
para sahabat Munir yang tinggal, bekerja maupun sekolah di Belanda
bahkan juga dari London Inggris yang sengaja hadir untuk menyampaikan
duka yang mendalam atas kematian Munir. Siang hari, sesudah jenazah
dikafani, perwakilan keluarga, kerabat serta para perwakilan Kedutaan
Besar Republik Indonesia di Belanda, ikutserta melakukan shalat jenazah
untuk Munir.
Pada hari Jum’at, 10 September, sekitar pukul 22.00 waktu setempat
jenazah Munir dibawa ke Indonesia dengan pesawat KLM 738 dari
bandara Schipol. Turut mendampingi jenazah, Suciwati berserta
rombongannya dan konsuler KBRI di Den Haag. Pada Sabtu 11 September
2004, sekitar pukul 17.00 WIB jenazah Munir tiba di Bandara Soekarno-
Hatta dengan nomor Surat Muatan Udara (SMU) 07431265846. Di ruang
tunggu VIP penerbangan Merpati di Terminal 1A Bandara Soekarno-Hatta,
telah banyak berkumpul rekan-rekan almarhum yang ingin turut serta
mengantar jenazah almarhum Munir ke kota Batu, Malang, Jawa Timur.
Antara lain, Todung Mulya Lubis, Ikrar Nusa Bakti, Teten Masduki,
Dr Syahrir, Marsilam Simanjutak, Ifdhal Kasim, serta Adnan Buyung
Bagian 2. Munir Tewas Di Atas Pesawat Garuda
Bunuh MUNIR38
Nasution, Mar’ie Muhammad, Jimly Assidiqie, Abdul Rahman Saleh, Andi
Widjajanto, perwakilan Kedutaan Besar Kanada, Belanda dan Inggris
serta banyak lagi yang sulit disebut satu per satu.
sesudah jenazah almarhum sempat beberapa menit ditempatkan di
area Karantina Kesehatan Bandara Soekarno Hatta, jenazah kemudian
dipindahkan ke dalam pesawat Merpati. Selanjutnya pesawat ini
membawa jenazah almarhum beserta istri dan dua anaknya, serta
para kerabat yang mengantar jenazah almarhum untuk disemayamkan
ditanah kelahirannya, kota Batu, Malang, Jawa Timur. Setidaknya sekitar
100 orang berangkat pada malam itu satu pesawat dengan Jenazah,
selebihnya memakai pesawat Adam Air dan lainnya. Rombongan ini
belum termasuk rombongan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM
yang berangkat dari Jakarta terlebih dahulu dengan memakai 3 (tiga)
buah bus besar dan didampingi oleh aktifis-aktifis IKOHI dan KontraS.
Pesawat Boeing 737 Merpati dengan nomor penerbangan MZ 3300 yang
khusus di carter untuk mengantar jenazah, dan membawa serta keluarga
dan kerabat Munir pada pukul 19.30 WIB berangkat menuju pangkalan
udara Abdurrahman Saleh-Malang (ikut serta dalam pesawat ini serta
Direktur Merpati Hotasi Nababan). Pada pukul 21.10 WIB jenazah beserta
rombongan tiba di Malang. Kehadiran rombongan Jenazah telah ditunggu
Komandan Lapangan Udara Abdurrahman Saleh, yaitu Marsekal Madya
Amirullah Amin. Dari pihak keluarga hadir Dr Jamal serta sanak keluarga
dan kerabat. Sementara rombongan penjemput dari Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya dipimpin Ketua Pusat Pengkajian Otonomi Daerah
Ibnu Tricahyo, bersama anggota Komisi Pemilihan Umum Batu, Anton
Dwi Martono, dan Direktur LBH Surabaya Dedy Prihambudi. Beberapa
kendaraan bus, mobil ambulance, mobil pribadi juga telah disiapkan yang
kemudian beriringan berjalan dengan dikawal oleh aparat kepolisian.
Iring-iringan rombongan pengantar serta ambulans kemudian bergerak
ke Kampus Universitas Brawijaya. Sejak sore di lobi gedung Rektorat
Universitas Brawijaya ini telah berlangsung acara tahlilan. beberapa
kalangan termasuk perwakilan buruh, mahasiswa, dan kelompok-
kelompok masyarakat bergantian menyampaikan kenangan tentang
sosok almarhum. Setibanya di halaman gedung rektorat, mobil ambulans
dibuka, dan selanjutnya diikuti oleh beberapa acara singkat sebagai
bentuk penghormatan terakhir oleh komunitas akademik Universitas
Brawijaya dan semua yang berada di tempat, kepada Munir. Sekaligus juga
melakukan shalat jenazah. Acara yang dihadiri oleh ratusan orang ini
diwarnai isak tangis, bahkan ada diantaranya mahasiswa yang pingsan.
Selanjutnya, iring-iringan mobil jenazah melanjutkan perjalanan ke
rumah Ibunda Jamilah yang tinggal di Jalan Diponegoro 169, Kota Batu,
Malang Jawa Timur. Suasana duka sangat terasa di kota ini. Disetiap
halaman rumah dan perkantoran terlihat bendera setengah tiang
berkibar. Pengibaran bendera setengah tiang ini memang merupakan
instruksi dari Wali Kota Batu, Drs H Imam Kabul untuk dilaksanakan
selama 7 hari sebagai tanda simpati dan hormat warga Batu terhadap
almarhum Munir. Di kota Batu, seniman membungkus patung apel di
alun-alun Kota Batu dengan selubung kain hitam. Aksi teaterikal mengenang
Munir yang dilakukan di kota Batu ini, juga dilakukan dengan memasang
baliho besar, yang menegaskan arti jasa Munir bagi penduduk kota
kecil, Kota Batu. Ratusan massa telah menunggu dikediaman orangtua
almarhum Munir. Massa berebut untuk dapat mengusung jenazah Munir
ke dalam rumah. Rumah ibunda almarhum yang sederhana itu langsung
sesak dipenuhi orang yang berjejalan berusaha masuk untuk melihat dan
memberi penghormatan terakhir serta doa pada almarhum.
Disekitar rumah, ratusan karangan bunga sudah tersebar di dalam dan
di luar rumah. Karangan bunga itu ditempatkan disisi-sisi jalan sekitar
sepanjang 50 meter dari rumah ibunda Munir. Puluhan spanduk dari
berbagai elemen masyarakat terbentang dijalan. Ungkapan duka serta
semangat untuk terus melanjutkan perjuangan almarhum menjadi tema
yang tertulis berbagai lembaran spanduk yang dipampang dan karangan
bunga duka itu sudah terlihat sepanjang jalan dari Universitas Brawijaya
menuju rumah ibunda almarhum Munir.
Pada minggu pagi 12 September 2004, ribuan pelayat telah berkumpul
didepan rumah orangtua almarhum hingga menutup jalan Diponogoro.
Sebelum dibawa kepemakaman umum Kelurahan Sisir, Batu, dilakukan
prosesi penghormatan terakhir. Acara ini dimulai sekitar pukul 09.00 WIB
dan dipandu oleh Usman Hamid (KontraS). Pada kesempatan itu turut
memberi sambutan antara lain Mustafar yang mewakili keluarga
almarhum, Wali Kota Batu Imam Kabul, Ketua Mahkamah Konstitusi
Jimly Asshiddiqie, Todung Mulya Lubis wakil Imparsial, Adnan Buyung
Nasution mewakili YLBHI, Mudzakir Achmad Ghazali mewakili Kedutaan
Besar RI di Belanda, Ketua Muda Bidang Pengawasan Mahkamah Agung
Abdulrahman Saleh, dan Pengurus Pusat Al-Irsyad Hisyam Thalib.
Dalam kesempatan itu Wali Kota Batu Imam Kabul, secara langsung
memberi tanda penghargaan kepada almarhum Munir sebagai Putra
Terbaik Kota Batu. Penghargaan itu diberikan atas perjuangan yang
gigih dari almarhum sebagai penegak demokrasi dan HAM. Sementara
dalam kesempatan itu Jimly Asshiddiqie meminta agar pemerintah
memberi bintang jasa atau penghargaan yang selayaknya kepada
pendiri KontraS ini. Sedangkan Todung Mulya Lubis, mengungkapkan,
“Kritik tajam yang dilontarkan alamarhum baik yang ditujukan pada
pemerintah maupun TNI membuat dia dituduh sebagai orang tidak
nasionalis, bahkan yang lebih parah dikatakan ‘menjual’ negara. Saya
tahu siapa Munir, saya tahu perjuangannya yang tidak mengenal batas
ras, suku, agama, maupun gender sehingga tuduhan itu salah kaprah,”
katanya.
sesudah itu ribuan pelayat mengusung keranda almarhum menuju
Mesjid At-Taqwa untuk di sholatkan. Banyaknya masyarakat yang ingin
mensholatkan almarhum membuat acara shalat jenazah ini dilakukan
sebanyak 2 (dua) kali. Usai disholatkan, jenazah diusung kepemakaman
umum Kelurahan Sisir, Batu yang berjarak sekitar 500 m dengan berjalan
kaki. Ribuan orang terus mengiringi diantarnya jenazah almarhum
hingga proses pemakaman.
Sekitar empat puluh hari kemudian, KontraS bersama IKOHI, Imparsial,
VHR, dan Komunitas korban pelanggaran HAM mengadakan acara
mengenang Munir pada 16 Oktober 2004. Acara yang diselenggarakan
di Perpustakaan Nasional dimulai sekitar jam lima sore diawali dengan
pemutaran film dokumentasi Garuda yang dipandu oleh Usman Hamid.
Acara dilanjutkan dengan buka puasa bersama, shalat maghrib,
tahlilan, shalat isya dan acara dilanjutkan dengan obituari mengenai
Munir yang disampaikan oleh Gus Dur, ibu Nurhasanah (ibu dari Yadin
Muhidin-yang hilang pada Mei 1998) dan Pendeta Nathan Setiabudi
(Ketua PGI).
Bagi mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Munir adalah sosok yang
ikut mempengaruhi pemikiran dan perjuangan menegakkan demokrasi
di Indonesia. Munir adalah seorang pemberani yang konsisten dalam
ucapan maupun tindakannya. Menurutnya, perjuangan Munir tidak
cuma teoritik dan konsepsional, tetapi nyata. Munir dengan berani
membuka hati dan telinganya, untuk mendengar dan mendampingi
orang-orang yang kesusahan. Dari sisi lain, Pendeta Nathan Setiabudi
mengungkapkan bahwa Munir, menurutnya, memang sudah hilang.
“Tetapi, benarkah dia hilang? Tidak” ujarnya. Ia melanjutkan, “dalam
arti tertentu Munir memang hilang. Tetapi sesungguhnya Munir selalu
hadir. Munir selalu hidup.”
Pada acara itu, diluncurkan sebuah buku kenangan berjudul “Cak Munir,
Engkau Tak Pernah Pergi”. Buku ini , secara simbolik diserahkan
oleh Suciwati, isteri Munir, kepada Gus Dur, ibu Nurhasanah (ibu dari
Yadin Muhidin-salah satu korban hilang) dan Budiman Sudjatmiko. Selain
peluncuran buku, acara diisi dengan pemutaran film tentang kisah
perjalanan hidup Munir hingga akhir hayatnya. Acara ini dihadiri lebih
kurang 400 orang. Acara ditutup oleh pagelaran seni dan budaya berupa
pembacaan puisi oleh Jose Riza Manua, musik oleh Oppie Andariesta
dan kelompok Pesantren Jalanan.
Munir berangkat pada 6 September 2004 malam, diantar oleh istri
tercinta Suciwati serta rekan-rekan Imparsial dan KontraS. Munir
terlihat sehat dan ceria seperti biasanya. Selalu saja ada hal-hal yang
lucu yang dilontarkannya. Munir dan Suciwati sempat makan minum
di Dunkin Donut’s selama menunggu keberangkatan dan berpisah
saat harus segera boarding. saat boarding memasuki koridor
pesawat, salah seorang crew Garuda yang tengah menjadi extra
crew/aviation security yang bernama Polly Carpus Budihari Priyanto
menghampir Munir dan berbincang-bincang dengan Almarhum. Polly
kemudian menawarkan Munir untuk duduk di kursi Bisnis class.
Tawaran ini pada awalnya ditolak oleh Munir dengan alasan tidak
enak karena ia membeli tiket untuk kelas ekonomi. Sampai kemudian
Munir menerima tawaran ini yang mengantarkannya duduk di kursi
3 K bisnis class.
Pesawat Garuda yang di tumpangi Munir berangkat pada pukul 21.55.
Selama perjalanan Jakarta ke Singapura Munir sempat makan minum
hidangan selama penerbangan, antara lain juice jeruk dan mie serta
irisan buah segar. Pesawat transit di bandara Changi, Singapura
pada hari Selasa pukul 00.40 waktu setempat. Pesawat transit di
Kronologi Meninggalnya Munir
Singapura selama satu jam sepuluh menit, kemudian melanjutkan
perjalanannya ke Amsterdam pada pukul 01.50 waktu setempat.
Pesawat dijadwalkan tiba di Amsterdam 7 September 2004, pukul
08.10 waktu Amsterdam.
Dalam perjalanan dari Singapore menuju Amsterdam Munir duduk
di class ekonomi kursi 40G. Sekitar 40 menit sesudah take off Munir
terlihat menuju toilet. Sekitar dua jam kemudian Munir mendatangi
pramugara Bondan Hernawa dan menyampaikan bahwa ia sakit dan
ingin dipertemukan dengan dokter Tarmizi yang duduk di kelas bisnis
sambil menyerahkan kartu nama dokter itu. Bondan Hernawa dan
Madjib Nasution selaku Puser kemudian mendatangi dokter Tarmizi
yang duduk di kursi 1J. Tetapi karena dokter Tarmizi tidur pulas,
Madjib meminta Munir untuk membangunkan dokter Tarmizi.
sesudah bertemu dengan dokter Tarmizi, Munir menyampaikan
bahwa ia telah muntah dan buang air besar sebanyak 6 kali. Munir
kemudian mendapat penanganan oleh dokter Tarmizi. Munir kemudian
ditempatkan di kursi nomor 4 bisnis kelas agar dekat dengan dokter.
Munir terus mengalami muntah dan buang air besar berkali-kali
sekalipun sebelumnya telah diberikan obat diare dan susu serta air
garam. Beberapa jam kemudian Munir kembali kesakitan. Dokter
memberinya minum tapi dimuntahkan kembali. Dokter Tarmizi
kemudian memberi suntikan, dan Munir kembali tenang.
Selasa, 7 September 2004, sekitar pukul 04.05 UTC (diperkirakan
diatas negara Rumania) atau pukul 08.00 waktu setempat atau sekitar
2 jam sebelum mendarat di Bandara Schipphol, Amsterdam, Munir
menuju Amsterdam. Tarmizi memperkenalkan diri dan memberi kartu namanya kepada
almarhum.
Dua hari sesudah kematian Munir, yaitu pada tanggal 9 September 2004,
orang tua Munir yang tinggal di Malang Jawa Timur menerima sepucuk
surat kaleng berisi teror. Surat kaleng itu berbunyi:
“Selamat atas Mateknya Munir, Semoga tidak dipukuli
oleh Arwah para Pahlawan Bangsa”.
Dilihat dari isi pesan, teror ini ingin menimbulkan kesan ada pihak yang
senang dengan kematian Munir. Kalimat “pahlawan bangsa” bisa jadi
digunakan untuk mengkaitkannya atau seolah berbau TNI mengingat
istilah kepahlawanan yang selama ini kerap diidentikkan dengan
tentara yang tewas. Apapun kesan yang timbul, pihak keluarga Munir
beserta kalangan aktifis mengajak semua pihak untuk tidak berspekulasi
menyangkut kematian Munir. Semua pihak diharapkan untuk menunggu
hasil otopsi yang dijalankan oleh lembaga forensik independen di
Belanda. Apapun spekulasi yang muncul saat itu selalu diabaikan.
Pada hari yang sama, yakni tanggal 9 September, tersiar berita tentang
spekulasi dibalik kematian Munir. Dalam wawancara dengan koran
Reporter,31 Mayor (Purn) TNI AL Juanda mengatakan bahwa bisa saja
Munir dibunuh oleh musuh dalam atau luar negeri. Didalam negeri
Seringnya KontraS terlebih Munir menerima teror ini membuka spekulasi bahwa kematian
Munir merupakan satu rangkaian dari aksi teror ini . saat seorang aktifis lama yang
pernah mengkritik keras Presiden Suharto, Sri Bintang Pamungkas datang menyampaikan
duka ke kantor KontraS, 8 September 2004. Bintang menuliskan pendapatnya di bentangan
kain yang sengaja KontraS sediakan, dia menulis “Saya yakin 100% Anda dibunuh, Kawan”.
Pendapat serupa banyak dibicarakan dalam obrolan-obrolan ‘warung kopi’.
menurut Juanda tudingan itu tentu mengarah pada TNI atau Polri, aparat
kekerasan negara yang sering kali bersinggungan dengan isu pelanggaran
HAM. Sementara aktor diluar negeri menurutnya bisa saja datang dari
NGO yang berseberangan dengan sikap dan perjuangan almarhum.
Dugaan bahwa Munir dibunuh oleh musuh dalam negeri seperti TNI
atau Polri, ataupun dugaan Munir dibunuh oleh musuh luar negeri dari
LSM adalah dugaan yang aneh. Sebab analisa ini dikemukakan secara
terbuka di publik sebelum sebab kematian Munir diketahui. Yakni dua
bulan sebelum hasil otopsi yang dilakukan oleh Netherlands Forensic
Institute (NFI) di Belanda.
Disisi lain, analisa diatas juga membuat sebagian kalangan delat Munir
bertanya-tanya, apakah ada usaha untuk mengkait-kaitkan kematian
Munir dengan TNI. Jika ada, apa alasan ataupun tujuannya?
Pertanyaan-pertanyaan ini terus berkembang hingga akhirnya hasil
otopsi jenazah Munir selesai pada awal November 2004. Dari analisa
toksikologi forensik ditemukan kandungan racun arsen dalam jumlah
dosis tinggi dan mematikan. sesudah mengetahui bahwa adanya sebab
tak wajar dalam kematian Munir, Suciwati langsung meminta pemerintah
khususnya pihak kepolisian menjelaskan lebih lengkah hasil otopsi
ini . Suciwati juga menuntut agar ketidakwajaran ini diusut sampai
tuntas. Lebih jauh, kabar tentang sebab tak wajar dalam kematian Munir
mengundang reaksi berbagai kalangan yang menduga Munir di bunuh.32
Beberapa sesudah itu, Mabes Polri mengirim tim berangkat ke Belanda.
Dugaan banyak pihak bahwa kematian Munir ini tidak wajar, mendapat
respon dari Kapolri Da’i Bachtiar. Da’i menyampaikan bahwa pemerintah
32 Serikat Pengacara Rakyat, Perhimpunan Pembela Publik Indonesia, dan Pergerakan Demokratik
Rakyat Miskin (PDRM) Aceh mengultimatum pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang
dinilai tidak serius menangani kasus kematian Munir. Tiga lembaga swadaya masyarakat ini
juga menyayangkan munculnya tradisi pembunuhan politik di Indonesia. Menurut ketiga
LSM itu, sebaiknya polisi dapat langsung memeriksa kasus kematian mantan Koordinator
Kontras dengan menanyakan kronologis peristiwa kepada pihak Garuda Indonesia. Sebab,
maskapai penerbangan pelat merah itu tidak mengikuti prosedur penerbangan sipil pada
saat seorang penumpang memerlukan pengobatan serius.
akan sungguh-sungguh berusaha mengusut kematian Munir. Untuk
menyelidiki kematian tokoh penerima penghargaan Pemimpin Masa
Depan versi Asia Week tahun 2000, pihak Polri menyatakan akan
memakai jalur interpol dan kepolisian Belanda.
Belum terlalu lama kabar adanya sebab tak wajar dalam kematian Munir,
pada hari Sabtu tanggal 20 November, sekitar pukul 10.30 Wib Suciwati
menerima teror dengan ancaman berupa paket kiriman bangkai ayam ke
rumah kediamannya di Bekasi, Jalan Cendana XII No.12, Perumahan Jaka
Permai, Jaka Sampurna, Bekasi Jawa Barat. Paket itu berisi potongan
kepala, kaki, dan isi ayam yang sudah membusuk dibungkus dengan
styreofoam. Dalam paket ini ada selembar kertas print-out
yang memuat tulisan agar Suciwati tidak mengaitkan TNI dalam kasus
kematian suaminya. Selengkapnya pesan teror itu berbunyi;
‘AWAS!!!!
Jangan Libatkan TNI Dalam Kematian Munir.
Mau Menyusul Seperti Ini?’
Tidak berapa waktu sesudah teror ke rumah Suciwati, teror serupa
kembali terjadi. Kali ini paket kiriman bangkai ayam dengan pesan yang
sama dikirim ke kantor tempat Munir terakhir bekerja, Imparsial.
Motif klasik dari teror ini tentu ingin mencoba menakut-nakuti keluarga
dan para sahabat Munir. Sehingga kemudian tidak mempersoalkan
kematian Munir. Akan tetapi motif ini sama sekali tidak menyurutkan
sikap dan langkah istri Munir serta para sahabat bahkan berbagai
kalangan di masyarakat untuk meminta kasus ini diungkap secara tuntas.
Mereka menduga kematian yang diduga kuat karena pembunuhan
ini memiliki unsur politis. Dengan kata lain, pembunuhan seperti
ini mustahil dilakukan oleh orang biasa. Melainkan memerlukan akses,
sumber daya, serta kemampuan khusus sehingga pembunuhan diatas
pesawat Garuda Indonesia dapat terjadi.
Sepertinya uraian awal diatas, kembali ada hal yang menarik di seputar
teror paket kiriman ini . Dari isi pesan teror yang terlihat, para
pengirim teror tampaknya ingin mengajak kita untuk mengkaitkannya
atau mencurigai institusi TNI dalam pembunuhan Munir. Lagi-lagi muncul
pertanyaan, ada apa?
Munir yang dikenal gigih menentang segala bentuk kekerasan dan
penyimpangan yang dilakukan oleh kekuasaan, kerap bersinggungan
dengan TNI. Sikap ini diyakini banyak orang bisa menanggung resiko
senasib dengan orang-orang yang dibelanya, dipenjarakan, diculik
atau bahkan dirampas hak hidupnya. Memang selama ini Munir kerap
menghadapi ancaman-ancaman yang cukup serius. Meskipun tentu saja
ada perbedaan dalam hal modus operandinya. Bandingkan model
teror yang terjadi terhadap keluarga Munir sesudah kematiannya dengan
model teror yang pernah dialami Munir selama hidup.
Keterangan :
- Catatan ini belum termasuk ancaman, teror dan intimidasi lain yang dialami langsung
oleh Munir maupun aktifis KontraS lainnya, namun tidak terdokumentasikan.
- Semua serangan diatas dipandang banyak pihak lebih bersifat teror ketimbang ditujukan
untuk menghabisi nyawa Munir. Ada pihak yang kemudian beranggapan, pembunuhan
Munir dilakukan mengingat akumulasi teror-teror ini sudah tidak efektif lagi
untuk meredam perjuangan Munir.
Serangan fisik dan perampasan
kamera aktifis KontraS.
Ledakan bom (low explosive) di
rumah Munir di Bekasi.
S e k i t a r s e r a t u s o r a n g
berseragam Pemuda Panca
Marga (PPM) merusak kantor
dan menyerang aktifis KontraS
Penghadangan tim investigasi
KontraS ke desa Talangsari,
Lampung
Munir dibunuh diatas pesawat
GA 974 tu juan Jakar ta -
Amsterdam.
24 Jan 2002
29 Agus 2003
26,27 Mei 2003
6,7 Feb 2004
Sept 2004
Terjadi di PTUN saat sidang
G u g a t a n Ko n t r a S s o a l
pengangkatan Hendropriyono
sebagai Kepala Bin.
Rumah Munir dijaga polisi
beberapa hari. Pelaku tidak
tertangkap.
Polisi menangkap beberapa
pelaku. Tapi tidak proses
hukum tindak berlanjut.
Dihadang dalam perjalanan
menuju kota Lampung.
Diperiksa sehari penuh oleh
kepolisian karena rekayasa
kecelakaan. Tanpa proses
hukum.
Proses hukum berja lan
t idak menyentuh aktor
intelektualnya.
Spekulasi pendapat di balik kematian Munir terus berlanjut meskipun
telah ada langkah pemerintah untuk mengusutnya melalui pembentukan
Tim Pencari Fakta. Bahkan Tim ini kemudian bisa menemukan titik
terang seputar kasus pembunuhan Munir. TPF menduga, pembunuhan
Munir merupakan persekongkolan jahat dari kelompok tertentu. Istilah
konspirasi kemudian menjadi tema utama dalam mendiskusikan seputar
kematian Munir. Secara perlahan, pencarian fakta oleh TPF sampai
pada dugaan adanya keterlibatan aparat intelijen negara. Bahkan TPF
kemudian melanjutkan pemeriksaan secara serius terhadap beberapa
pejabat di lingkungan Badan Intelijen Negara. Beberapa diantaranya
menolak.
Spekulasi yang berlanjut ini antara lain tersiar lewat sebuah
terbitan baru majalah bernama Ekspos. Dalam sebuah wawancara
dengan majalah Ekspose, Wawan H Purwanto menjelaskan bahwa
pembunuhan Munir berkaitan dengan persaingan antar LSM. Dalam
wawancara itu Wawan Purwanto juga menyinggung adanya pemberian
uang kepada Munir dari sebuah penghargaan yang menurutnya menjadi
pemicu konflik di dalam tubuh LSM sendiri.
Spekulasi semacam ini terus berkembang bahkan hingga kasus
pembunuhan Munir dibawa ke persidangan. Beberapa terbitan
diantaranya Jurnal Borneo yang juga memuat analisa-analisa serupa
dengan uraian diatas.
A. Kontroversi Hasil Otopsi
Kekhawatiran adanya sebab yang tidak wajar dalam kematian Munir
menjadi kenyataan. Otopsi yang dilakukan Netherlands Forensic
Institute (NFI) menyimpulkan, kematian Munir disebabkan karena
diracun dengan zat arsenikum dosis tinggi dan mematikan. Fakta
ini kemudian langsung memunculkan dugaan kuat bahwa Munir
dibunuh oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Dugaan
ini memicu reaksi keras, protes dan kecaman atas perbuatan
biadab yang mengakhiri hidup Munir. Hingga kini, desakan berbagai
kalangan dalam dan luar negeri agar kasus ini diusut tuntas dan
pelakunya ditemukan terus mengalir.
Awal diketahuinya sebab kematian Munir muncul dalam pemberitaan
media massa di Belanda pada 11 Nopember 2004, yang didalamnya
terkutip pernyataan seorang pejabat Departemen Luar Negeri Belanda.
Pemberitaan ini segera menyebar ke berbagai kalangan, sementara di
dalam negeri pemerintah sama sekali belum memberitahukan hasil
otopsi ini . Pihak keluarga Munir, khususnya Suciwati, amat
kecewa karena mengetahui informasi ini justru bukan dari pihak
Pemerintah Indonesia. Dengan berbagai alasan, pemerintah melalui
Departemen Luar Negeri tidak mau untuk mengumumkan hasil otopsi
yang telah diterima dari pemerintah Belanda. Mengenai hal ini, sempat
terjadi “ketegangan” antara kalangan organisasi non pemerintah dan
pemerintah, terutama saat permintaan keluarga Munir, Suciwati,
untuk secara langsung mengetahui hasil otopsi justru ditolak.
Berkenaan dengan masalah ini, Suciwati mencoba memintanya
secara langsung kepada Menteri Luar Negeri, Menteri Politik
Hukum dan Keamanan, serta Kepala POLRI. Suciwati merasa perlu
menghubungi langsung ketiga pejabat ini karena jawaban
pejabat Departemen Luar Negeri yang beberapa kali mengkaitkan
permintaan Suciwati dengan kewenangan Menko Polhukam dan
Kapolri. Tidak ada jawaban yang jelas dan tegas saat itu. Suciwati
pun kecewa. Malam hari, 11 September 2004, melalui surat terbuka
KontraS mendesak Pemerintah khususnya Departemen Luar Negeri
untuk segera menyampaikan hasil otopsi Munir kepada Suciwati selaku
istri Munir dan segera mengusut siapa yang membunuh Munir.
Keesokan harinya, pagi hari tanggal 12 Nopember 2004, Suciwati
bersama beberapa perwakilan organisasi non pemerintah
mendatangi Mabes POLRI guna meminta hasil otopsi kematian
Munir. Tiba di Bareskrim Mabes POLRI, mereka langsung menuju
ruang Kabareskrim dan menunggu untuk beberapa saat. Beberapa
orang rekan dari beberapa organisasi non pemerintah tampak
menyusul hadir. Saat pertemuan berlangsung, Kabareskrim Suyitno
Landung membacakan dan kemudian memperlihatkan satu berkas
fotocopy dokumen berisi surat pengantar Duta Besar Belanda
menyerahkan salinan laporan definitif ahli forensik Belanda dan
salinan hasil analisa toksikologi Munir mengenai sebab-sebab
kematian Munir. Pokok temuan terpenting adalah, hasil otopsi
jenazah Munir mengidentifikasi kandungan arsen sebanyak 650
mg/liter di lambung, 3,1 mg/liter di darah (heartblood), dan 4,8
di urine.
Batas Normal Maksimal Tubuh Munir
Konsentrasi Arsen pd
Urine kurang dari 0.3
mg/liter.
Jml isi lambung 320
ml, 180 ml diantaranya
cairan dg konsentrasi 460
mg/l, Arsen yg ditemukan
180/1000 X 460 mg = 82,8
mg.
Konsentrasi Arsen pd
Urine 2.5 mg/liter org yg
bekerja dengan terpapar
Arsen.
Konsentrasi Arsen tinggi
ada di Sea Food/
Udang = 22 mg/kg.
C a t a t a n : 8 3 m g
Arsen setara dengan
mengkonsumsi 4 kg
udang.
Urine Munir kandung
Konsentrasi Arsen yg
tinggi 4.8 mg/liter
= 2 4 k a l i b a t a s
ambang konsentrasi
keracunan.
Konsentrasi Arsen pd
isi lambung Munir jauh
lebih tinggi, 460 mg/l.
Kandungan Arsen dlm
lambung Munir kira2 83
mg. Masukan 120-200
mg As2O3 ekuivalen
dgn 46-76 mg Arsen.
Dapat memastikan
fatalnya org dewasa.
Dalam pertemuan dengan Kabareskrim Suyitno Landung ini
diperoleh penjelasan bahwa hasil otopsi pada pemeriksaan luar
tidak menemukan tanda-tanda kekerasan. Sementara pemeriksaan
dalam menerangkan bahwa kematian Munir disebabkan kandungan
arsen, yang dibuktikan dengan pemeriksaan toksikologi yakni sangat
tingginya konsentrasi Arsen di dalam darah, tinggi konsentrasi di
urin dan sangat tinggi konsentrasi di isi lambung. Selain itu, tidak
ada bukti adanya reaksi alergi pada saat kematian.
Sebagai tindak lanjut, Kabareskrim menyatakan telah membentuk
tiga tim, yakni Tim yang akan bertugas menemui Kedutaan Besar
Belanda di Jakarta, serta Tim yang bertugas ke Belanda guna
memperoleh dan mendalami salinan otentik dari hasil otopsi dengan
ahli forensik Belanda, serta tim ketiga yang bertugas menjalankan
pemeriksaan saksi dan tindakan hukum lainnya. Khusus untuk tim
yang kedua, saat ditanyakan mengapa tidak meminta Pemerintah
Belanda untuk mengirimkan berkas otentik dimaksud, Kabareskrim
menyatakan tim yang melibatkan ahli forensik Belanda ini
juga bertujuan mendalami otopsi dengan ahli forensik di Belanda.
Dengan alasan itu, Tim POLRI akan berangkat segera ke Belanda.
Suciwati meminta agar perwakilan keluarga juga dilibatkan dalam
tim delegasi. Tim yang akan berangkat ke Belanda terdiri dari 3
anggota Polri, 3 ahli forensik, 1 orang pejabat Deplu, 1 perwakilan
keluarga (Usman Hamid, KontraS). Tim yang berangkat pada
tanggal 18 November 2004 ini diketuai oleh AKBP Anton Charlian,
beranggotakan AKB Adi Queresman dan AK Agung Widjajanto (Polri),
Budi Sampurna dan Ridla Bakrie (Universitas Indonesia), Amar Singh
(Universitas Sumatera Utara Medan), Andi Ahmad Basri (Departemen
Luar Negeri) serta Usman Hamid (KontraS, mewakili keluarga).
B. Perjalanan ke Belanda: Tanpa Persiapan?
Keberangkatan Tim Delegasi Indonesia ke negeri Belanda selama
lebih dari satu minggu, menuai kritik. Kurangnya persiapan dalam
menyusun agenda kegiatan secara pasti di Belanda berakibat tidak
dapat terpenuhinya target kedatangan Tim untuk bertemu beberapa
instansi yang berwenang dan relevan dengan jenazah Munir. Tim
juga hampir gagal memperoleh seluruh dokumen otentik seputar
otopsi jenazah Munir karena terbentur syarat diplomatik bagi
permintaan bantuan hukum sesuai prosedur yang berlaku.
Pada 20 November 2004, sore hari sekitar pukul 17.00 waktu
setempat, Tim Delegasi Polri bertemu dengan Robert Milders,
Direktur Asia-Oceania Kementrian Luar Belanda. Dalam pertemuan
itu, mewakili delegasi, Kepala Bidang Politik KBRI Mulya Wirana
mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan Tim ke negeri
Belanda. Secara khusus, Usman Hamid menyampaikan maksud
keikutsertaan perwakilan keluarga dalam delegasi Indonesia dan
bertanya tentang beberapa hal antara lain, meminta kejelasan
seputar alasan otoritas Belanda yang tidak menyampaikan hasil
otopsi kepada keluarga Munir secara langsung. Melanjutkan
pertanyaan Usman Hamid, dokter forensik Budi Sampurna,
kepada Robert Milders bertanya lebih jauh, “sepengetahuan saya
dalam beberapa kasus di Belanda, keluarga korban dimungkinkan
menerima hasil otopsi, tetapi mengapa dalam kasus ini justru
tidak? Adakah alasan tertentu terkait dengan hal ini?”. Milders
menjawabnya dengan mengatakan bahwa untuk kasus yang
keluarganya tinggal di Belanda hal ini memang dimungkinkan,
tetapi dalam kasus Munir, kewarganegaraannya bukan Belanda.
Milders menegaskan, pemerintah Belanda hanya membantu
mencari sebab kematian Munir. Hasilnya harus diserahkan kepada
pemerintah Indonesia. Adanya sebab kematian tidak wajar dalam
kematian Munir, memerlukan tindaklanjut pengusutan hukum.
Sesuai hukum yang berlaku, penegakkan hukum dan keadilannya
menjadi tanggungjawab pemerintah Indonesia. Tidak terkecuali
apakah hasil otopsinya harus diberikan kepada keluarga atau tidak,
tergantung pada aturan hukum yang berlaku di Indonesia,
Dalam pertemuan itu juga, Milders menerangkan bahwa dokumen
otentik berkaitan dengan kasus meninggalnya Munir tidak dapat
diserahkan, sebelum ada permintaan resmi (official request)
dari otoritas hukum Indonesia. Meskipun kepolisian Indonesia
telah berkomunikasi melalui jalur interpol, delegasi memutuskan
untuk segera memproses pembuatan surat dimaksud. Surat Jaksa
Agung RI yang sempat dikirim belum sepenuhnya membantu.
Beberapa hari kemudian, guna mengantisipasi kepulangan Tim
delegasi Polri kembali ke Jakarta dengan tangan hampa, seorang
Direktur Jenderal Deplu RI Arizal Effendi dikirim ke Belanda
untuk menyusul Tim delegasi Polri sekaligus melakukan usaha
pendekatan dengan otoritas Belanda. sesudah terjadi negosiasi
antara Dirjen Kementerian Luar Negeri RI Arizal Effendi dengan
pihak Kementerian Kehakiman Belanda, beberapa dokumen (otopsi)
diserahkan melalui Kedutaan Besar RI untuk selanjutnya diserahkan
kepada Tim Delegasi POLRI.
Meskipun demikian, perjalanan delegasi Indonesia ke Belanda,
setidaknya memperoleh hasil minimal yang cukup baik. Pertama,
Tim NFI menegaskan, kematian Munir memang disebabkan racun
arsenik yang bekerja sangat cepat (rapid) dalam hitungan jam.
Dalam otopsi disebutkan, arsenik di lambung Munir mencapai 460
mg dan di darah 3,1mg. Kedua, Tim ahli forensik Indonesia yang
juga ikutserta menyatakan hasil laporan otopsi NFI telah memenuhi
standar forensik Indonesia dan bisa dijadikan alat bukti hukum,
sehingga tidak ada alasan bagi Polisi untuk melakukan otopsi ulang
di Indonesia. Dengan kata lain, tidak diperlukan otopsi ulang
mengingat hasil otopsi NFI telah cukup bagi proses penyidikan lebih
lanjut. Senin 29 November 2004, laporan perjalanan dari Belanda
disampaikan kepada publik.35 Salinan otopsi dari pihak Polri yang pada
akhirnya diterima keluarga, kemudian disampaikan kepada publik
melalui konferensi pers di kantor KontraS, Jumat 10 Desember 2004.
sesudah Tim Delegasi Polri kembali dari Belanda, pihak keluarga
selanjutnya mendesak Jaksa Agung RI dan Menteri Hukum dan
HAM RI untuk mengusaha kan diperolehnya barang bukti ini .
Pihak keluarga telah menemui Jaksa Agung RI Abdul Rahman Saleh
dan Menteri Hukum dan HAM RI Hamid Awaluddin. Secara spesifik,
tuntutan pihak Keluarga adalah pertama, mendesak Menteri Hukum
dan HAM Hamid Awaluddin, meminta sisa-sisa dokumen yang masih
ditangan Pemerintah Belanda menyangkut meninggalnya Munir,
termasuk bila perlu, menghadirkan ahli forensik dari NFI ke Indonesia
guna membantu proses hukum dalam negeri; kedua, mendesak
Pemerintah Indonesia agar mengusaha kan diperolehnya BAP
(rekaman proses verbal) kepolisian Belanda yang belum diserahkan
ke pihak Indonesia yaitu BAP pemeriksaan penumpang dan awak
Garuda pada saat pesawat telah sampai di Bandara Schiphol, Belanda.
C. Penyerahan Dokumen dan Klausul Hukuman Mati
Isu hukuman mati adalah satu isu krusial yang tidak terlalu
mendapat sorotan publik di awal penanganan kasus Munir. Belum
adanya jaminan dari Pemerintah Indonesia kepada Pemerintah
Belanda untuk tidak menerapkan hukuman mati pada terhukum,
berakibat macetnya penyerahan barang bukti yang ada di tangan
otoritas hukum Belanda. Antara lain rekaman proses verbal yang
diduga berisi informasi penting yang bisa berpengaruh pada
keberhasilan proses investigasi.
Masalah ini muncul pertama kali saat delegasi Indonesia berada di
Belanda guna meminta seluruh dokumen dan barang bukti hukum
lainnya terkait meninggalnya Munir. Awalnya, kedatangan Tim
Delegasi Polri ke Belanda terhambat syarat formal prosedural, yakni
adanya permintaan resmi (official request) untuk meminta seluruh
barang bukti dimaksud. sesudah sempat berhari-hari tanpa aktifitas
efektif, sebagian dokumen (otopsi) diserahkan kepada Pemerintah
Indonesia melalui KBRI. Itupun sesudah kedatangan Dirjen
Kementerian Luar Negeri RI untuk bernegosiasi langsung dengan
Kementerian Kehakiman Belanda. Permasalahan ini juga telah
ditanyakan oleh parlemen Belanda yang menanyakan “apakah benar
bahwa pemerintah Belanda telah menyerahkan semua informasi
kasus Munir kepada otoritas Indonesia, seperti anda nyatakan dalam
pidato 10 Desember 2004?”36 Atas pertanyaan ini, Menteri Luar
Negeri Belanda Bernard Bot memberi penjelasan sebagai berikut:
sesudah penerbitan laporan definitif toksikologi dari
Nederlands Forensisch Instituut (NFI), maka pada 11
November 2004 duplikatnya diserahkan kepada otoritas
Indonesia. Tidak lama sesudah itu berlangsung pertemuan
antara delegasi penyelidik dari Jakarta dengan perwakilan
departemen Justitie (Yustisi) dan Buitenlandse Zaken
(Deplu). Pada kesempatan itu diserahkan laporan otopsi,
laporan seksi sementara, laporan seksi definitif, laporan
pertama toksikologi, dan laporan toksikologi definitif yang
otentik. Dalam periode itu juga dilakukan pertemuan
antara toksikolog NFI dengan ahli dari Indonesia. Dengan
penyerahan data-data ini di atas maka otoritas
Indonesia telah sepenuhnya diberitahu mengenai sebab-sebab kematian Munir.
Tidak semua dokumen di Belanda yang berkaitan dengan kasus
kematian Munir dapat diserahkan kepada Pemerintah Indonesia.
Sebagian lainnya, antara lain tentang rekaman proses verbal
kepolisian Belanda, masih harus menunggu tercapainya kesepakatan
kedua negara menyangkut bantuan hukum (legal assistance), yakni
persyaratan agar Pemerintah Indonesia menjamin tidak akan ada
eksekusi hukuman mati dalam kasus Munir. Permasalahan ini juga
pernah dibahas dalam sidang di parlemen Belanda. Dalam sidang
itu, parlemen mengajukan pertanyaan antara lain “Apakah hal
itu juga termasuk proses verbal dan kesaksian para penumpang
dan awak Garuda Indonesia yang satu pesawat dengan Munir? Jika
tidak termasuk, apa alasannya? Apakah telah dibuat appointments
dengan pemerintah Indonesia mengenai penyerahan dokumen
dan penerapan hukuman mati di Indonesia? Jika iya, apa saja?”
Terhadap pertanyaan ini, Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot
menjelaskan sebagai berikut;
Adapun rekaman proses verbal tidak diserahkan. Hal ini
berkaitan dengan fakta bahwa informasi ini dapat
mengarah pada seseorang. Memperhatikan kemungkinan
vonis dan eksekusi hukuman mati di Indonesia, hal itu bisa
memunculkan situasi dimana informasi ini dapat
digunakan sebagai alat bukti yang dengan itu hukuman
mati dapat dijatuhkan dan benar-benar dilaksanakan.
Belanda, sehubungan dengan Europees Verdrag tot
Bescherming van de Rechten voor de Mens (Traktat Eropa
Perlindungan HAM), tidak boleh berpartisipasi dan tidak
boleh memberi bantuan hukum sebelum mendapat
garansi bahwa jika hukuman mati dijatuhkan tidak benar-
benar akan dilaksanakan.
Dalam hal permasalahan diatas, Permintaan itu disampaikan
Menteri Kehakiman Belanda J.P.H Donner kepada Jaksa Agung
melalui surat pada tanggal 14 Maret 2005. Di sisi lain, Jaksa
Agung Republik Indonesia Abdul Rahman Saleh dikabarkan telah
menjamin tidak akan menuntut hukuman mati bagi pembunuh aktivis HAM Munir, jika nanti tertangkap dan diadili. Jaminan itu
diberikan sepanjang sesuai dengan prosedur hukum Indonesia.
Sikap ini diambil terkait dengan sikap pemerintah Belanda yang
akan menyerahkan bukti-bukti penyelidikan, olah tempat kejadian
pekara, dan sisa organ tubuh Munir yang telah dioptosi, asalkan
Indonesia menjamin pembunuhnya tak dihukum mati. Jaksa
Agung berharap, permintaan itu tidak diartikan sebagai intervensi
Belanda. Ini mengingat Belanda bersama-sama negara-negara Uni
Eropa lain telah menandatangani konvensi anti hukuman mati. Atas
klausul kesepakatan ini , negara-negara itu termasuk Belanda
berhak menolak memberi bantuan hukum ke negara-negara yang
masih menerapkan hukuman mati seperti Indonesia.
Adanya kesepahaman bersama otoritas Indonesia dan otoritas
Belanda kemudian membuat Mabes Polri telah dapat menerima
dokumen olah TKP pembunuhan Munir yang dilakukan Belanda,
melalui KBRI di Belanda. Berkas ini antara lain berisi proses
verbal, hasil pemeriksaan TKP dan keterangan saksi. Sementara
organ tubuh Munir belum diterima.
Mabes Polri juga akan
melakukan evaluasi terhadap hasil pemeriksaan pertama tentang
kasus Munir yang dilakukan otoritas Belanda, serta pemeriksaan
terhadap saksi yang dihimpun pemerintah Belanda. Namun, hasil
pengolahan di TKP oleh kepolisian Belanda yang telah didapatkan
Kepolisian RI dianggap kurang signifikan. Hasil olahan ini hanya
bisa untuk melengkapi pemeriksaan yang dilakukan di Indonesia.
D. Tingginya Perhatian Parlemen Belanda
Selain mengikuti agenda Tim Delegasi Indonesia ke Belanda, Usman
Hamid yang mewakili keluarga juga mengikuti serangkaian agenda
aktifitas di Belanda yang difasilitasi oleh lembaga pendukung
beasiswa untuk Munir, ICCO, serta BBO. Salah satu tujuan aktifitas
ini, ingin memperoleh perhatian dan dukungan dari parlemen
Belanda terhadap pengungkapan kasus Munir. Tiga tuntutan
spesifik yang menjadi agenda lobi sejak awal adalah 1) meminta
kejelasan dari pemerintah Belanda perihal salinan otopsi; 2) agar
parlemen mendesak pemerintah Belanda untuk memberi klarifikasi
seputar hasil otopsi 3) Indonesia membentuk Tim Independen
yang melibatkan unsur masyarakat sipil untuk menginvestigasi
pembunuhan Munir dan membawanya ke Pengadilan. Semua
tuntutan ini menjadi tema utama setiap pertemuan antara Usman
Hamid (KontraS), Kees de Ruiter (ICCO) dan Yppie Boersma (BBO)
dengan beberapa anggota parlemen Belanda.
Respon positif diberikan beberapa anggota parlemen Belanda
yang ditemui, baik yang berasal dari partai oposisi maupun partai
pemerintah, termasuk seorang politisi terkenal dan berpengaruh
yang hingga kini konsisten menyoroti kasus Munir, Farah Karimi
(Partai Groenlinks). Farah Karimi, berjanji akan mengajukan
tuntutan ini dalam forum debat parlemen dengan pemerintah.
Tidak berapa lama sesudah itu, berlangsung forum debat yang
menghadirkan Menteri Luar Negeri Belanda B.R. Bot. Sebelum
wacana debat Munir di parlemen menggelinding, Karimi sudah
mencecar Menlu Ben Bot dengan serangkaian pertanyaan tertulis
melalui nota resmi berturut-turut pada 8 November 2004, 16
November 2004, 17 November 2004, dan 19 November 2004.41
Dari forum debat itu diketahui bahwa Pemerintah Belanda telah
memberitahukan hasil otopsi kepada Pemerintah Indonesia pada
pertemuan antara Menlu RI dan Belanda di Jakarta, 28 Oktober
2004. Artinya, Pemerintah Indonesia sudah mengetahui sebab
kematian Munir sebelum mengemuka di media massa dan menjadi
kontroversial.
Terhadap perkembangan ini , pada 2 Desember 2004 Menteri
Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda menegaskan bahwa pihaknya tidak
pernah menerima salinan otopsi jenazah Munir dari Pemerintah
Belanda pada tgl 26-28 Oktober lalu. Reaksi Menlu ini merespon
protes yang disampaikan Suciwati dan kelompok aktifis hak asasi
manusia yang seolah menuduh Deplu telah menerima salinan
otopsi tetapi tidak mau memberitahukan. Padahal yang mereka
persoalkan adalah sikap pasif Deplu yang tidak berinisiatif apapun
meski telah memperoleh informasi secara lisan dari Menlu Belanda
tentang otopsi Munir. Inisiatif ini penting agar pengusutan hukum
atas kematian Munir sebagai kejahatan dapat bergerak sesegera
mungkin. Lambannya inisiatif ini juga berpengaruh terhadap hasil
yang tidak maksimal di kemudian hari.
Kelambanan inilah yang membuat kecewa Suciwati karena
mengetahui berita hasil otopsi melalui media massa yang terbit
di Belanda. Padahal Deplu R.I sudah menerima fotokopi analisa
toksikologi pada 11 November 2004. Meskipun kemudian, pihak
Deplu juga berusaha menjelaskan bahwa Deplu menghubungi
isteri alm. Munir tentang salinan otopsi ini dan meminta
Polisi untuk memberitahu keluarga Munir pada 12 November. Juru
bicara II Deplu R.I Yuri Thamrin menjelaskan, Menlu Belanda yang
berkunjung ke Indonesia pada 26 Oktober lalu hanya memberi
isyarat secara samar dan lisan dalam pertemuan empat mata
dengan Menlu R.I. Dalam pertemuan itu, jelasnya, Menlu Bot
menjelaskan pihak Belanda sudah memiliki versi awal (initial
version) dari otopsi Munir dan ditemukan adanya kandungan
arsenicum abnormal, tetapi tidak secara definitif menyampaikan
adanya usaha keracunan atau pembunuhan.Dari penjelasan ini,
Deplu terkesan ingin mengatakan tidak bisa mengambil inisiatif
apapun karena tidak adanya penjelasan eskplisit mengenai usaha
pembunuhan karena hasil otopsi yang tidak wajar. Alasan ini,
tidak masuk akal. Otopsi yang dilakukan Netherlands Forensic
Institute hanya melacak sebab kematian Munir, apakah wajar
atau tidak. Jikapun tidak wajar, belum tentu ada pembunuhan.
Untuk menentukan ada tidaknya pembunuhan dalam hasil yang
tidak wajar ini , menjadi kewajiban dan kewenangan otoritas
Indonesia. Bukan Otoritas Belanda.
Kembali pada bahasan tingginya perhatian parlemen Belanda,
beberapa anggota parlemen dari kelompok oposisi terus
mempersoalkan kasus pembunuhan Munir. Bahkan mengajukan mosi
kepada pemerintah Belanda. Hingga kini, desakan beberapa politisi
parlemen Belanda agar Pemerintah Belanda memberi klarifikasi juga
berjalan baik. Baru-baru ini, Parlemen Belanda, melalui inisiatif
Farah Karimi, menanyakan perkembangan kasus Munir melalui
Menteri Luar Negeri dan Menteri Kehakiman Belanda. Setidaknya
ada delapan butir pertanyaan tertulis diajukan kepada Menteri
Luar Negeri Belanda Bernard Rudolf Bot dan Menteri Kehakiman
J.P.H. Donner tentang kelanjutan penanganan kasus Munir, yang
dulu -saat debat darurat (emergency debate) tentang pembunuhan
Munir- dijanjikan akan ditangani secara serius.
Saat itu banyak fraksi menyatakan sudah tidak percaya karena
pemerintah Indonesia dinilai suka obral janji namun tak pernah
ditepati dan mengusulkan agar hibah bantuan pembangunan senilai
20 juta euro untuk tahun fiskal 2005-2009 dibekukan. Ada juga
yang mengingatkan kasus wartawan Belanda Sander Thoenes yang
dibunuh di Timor Timur (kini Timor Leste) pada 1999. Janji-janji
disampaikan, namun nyatanya sampai kini para perwira yang diduga
bertanggungjawab tetap tidak tersentuh. Bot, yang baru menjadi
Menlu, saat itu menerangkan memilih memberi benefit of the
doubt kepada pemerintah Indonesia. Alasannya, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono telah memberi jaminan bahwa kasus Munir
akan ditangani secara serius. Terakhir, beberapa delegasi parlemen
Uni Eropa yang berkunjung ke Indonesia sempat menanyakan
perkembangan penanganan kasus Munir, 26 Juli 2005.
Fakta bahwa seorang Munir meninggal karena racun arsenik segera
menegaskan bahwa kasus ini bukanlah peristiwa pembunuhan yang
biasa. Pemilihan cara dan jenis alat untuk membunuh adalah sesuatu
yang memerlukan perencanaan yang cermat. Apalagi dilakukan dalam
sebuah penerbangan pesawat dengan rute perjalanan internasional.
Pilihan racun dan lokasi pembunuhan tidak mungkin merupakan sesuatu
yang spontan. Diperlukan pengetahuan dan kemampuan yang khusus
untuk bisa memakai racun ini di dalam ruang dan waktu
yang amat steril, yakni perjalanan maskapai penerbangan pemerintah.
Termasuk juga dibutuhkan akses yang cukup untuk mengetahui waktu
kepergian Munir hingga sedetil-detilnya, seperti informasi tentang hari,
tanggal, jam, nomor pesawat. Tidak terkecuali akses untuk menempatkan
orang-orang yang ditugaskan untuk mengakhiri hidup Munir.
Pembunuhan Munir juga memiliki dimensi politik yang kuat, karena
Munir merupakan salah satu tokoh terdepan dalam gerakan sosial
politik –mulai dari isu HAM, demokrasi, hingga militerisme- di Indonesia.
Sementara konteks politik Indonesia masih ditandai dominannya
kekuatan otoriter-konservatif, yang secara potensial dan alamiah
menjadi musuh Munir.
Semasa hidupnya perjuangan politik Munir hampir selalu berhadapan
dengan institusi negara, sebagian besar tertuju pada militer dan
intelijen. Karier awalnya dalam mengadvokasi kematian Marsinah,
aktivis buruh harus menghadapi militer yang saat itu sangat dominan
dalam politik perburuhan. Karier selanjutnya di YLBHI dan KontraS juga
terlalu sering berkonfrontasi dengan militer dan institusi negara lainnya,
antara lain kasus penghilangan paksa aktivis 1998, kasus pelanggaran
berat HAM di Timor Timur 1999, begitu juga advokasi kasus Tanjung Priok
(1984), kasus Talangsari, Lampung (1989), kasus konflik Maluku (1999),
kasus kekerasan di Aceh karena operasi militer, dan sebagainya. Di
akhir karirnya, saat berkiprah di Imparsial, ia aktif mengkritik kebijakan
strategis di bidang politik keamanan dan pertahanan negara, terutama
menyangkut legislasi yang mengatur peran TNI, dan mengkritisi peran
badan Intelijen.
Hipotesa bahwa kasus ini merupakan kejahatan politik luar biasa dan
melibatkan institusi kekuasaan adalah logis. Munir sendiri semasa
hidupnya selalu berusaha membongkar kasus-kasus kejahatan yang
bermuatan politis, sebagian besar merupakan kasus kejahatan yang
melibatkan institusi negara atau melalui suatu kebijakan negara,
kejahatan yang dikenal sebagai pelanggaran HAM. Meski korbannya
hanya satu orang, kejahatan politik selalu bersifat serius dan luar
biasa, karena selain melibatkan struktur dan perangkat negara,
kejahatan ini punya sasaran yang lebih luas dari figur tokoh yang
dibunuh itu sendiri, yaitu teror terhadap gerakan HAM dan demokrasi
seperti yang diyakini oleh Munir.
Menjadi pertanyaan penting, apakah mungkin kasus Munir sebagai
suatu kejahatan politik bisa diungkap secara tuntas oleh pemerintahan
Presiden SBY yang baru, mengingat pembunuhnya mungkin adalah kawan
lama, atau orang yang berada di sekelilingnya, atau kalaupun di luar
struktur kekuasaan yang baru masih memiliki akses dan jaringan politik
yang kuat. Atas dasar inilah tuntuntan bahwa penuntasan kasus Munir ini
tidak bisa hanya dilakukan oleh aparat kepolisian, bukan semata-mata memperjuangkan
hak-haknya di Jawa Timur, terjadi saat perlawanan buruh –melalui aksi mogok- sedang
meningkat di Indonesia. Di Yogyakarta seorang jurnalis (kasus Udin, 1996) terbunuh pada
saat menginvestigasi kasus korupsi yang melibatkan seorang bupati (yang juga militer aktif).
Demikian pula terjadi pada Jafar Sidiq, yang tewas terbunuh tahun 2000 di Sumatra Utara,
saat sedang mengadvokasi masalah Aceh dan Theys Eluay (2000), tokoh populis rakyat Papua
yang kritis terhadap pemerintah saat itu. Kecurigaan yang sama juga diarahkan pada kasus
meninggalnya Baharuddin Loppa, Jaksa Agung (2001) yang terkenal sangat keras terhadap
para koruptor di akhir pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
karena rekam jejak institusi kepolisian yang masih buruk, namun juga
ada kekhawatiran institusi ini akan mendapat intervensi politik dari
institusi negara lainnya.
Sejak adanya bukti Munir meninggal karena diracun, pihak keluarga
Munir dan rekan-rekan aktivis NGO sepakat untuk mendesak kepada
pemerintahan SBY untuk membentuk tim investigasi independen yang
melibatkan kalangan masyarakat sipil untuk mengungkap secara tuntas
kasus terbunuhnya Munir. Hal ini dinyatakan pertama kali melalui siaran
pers bersama di kantor KontraS, 12 November 2004.Tim investigasi
independen ini idealnya menjadi bagian dari proses investigasi pro
justicia kepolisian.
Gagasan pembentukan tim investigasi independen ini kemudian menjadi
diskursus yang integral dalam usaha pengungkapan kasus pembunuhan
Munir itu sendiri. Gagasan ini kemudian bergulir tidak hanya dikalangan
para aktivis NGO tetapi juga diserukan oleh banyak pihak, mulai dari
komunitas korban pelanggaran HAM, para tokoh nasional, anggota
legislatif, dan publik luas lainnya. Menyerahkan sepenuhnya pada
prosedur hukum konvensional dikhawatirkan akan mengulang kegagalan
yang lalu. Selama ini belum ada penyelesaian hukum yang memadai
untuk pengungkapan setiap kasus pembunuhan yang menjadi
Fakta kematian Munir yang disebabkan oleh racun arsenik, meski
diperoleh dari hasil autopsi lembaga forensik asing (NFI) kemudian
secara umum tidak mendapat tantangan berarti. Tidak ada usaha
yang berhasil memanfaatkan sentimen nasionalisme sempit untuk
meragukan hasil otopsi yang menunjukkan secara jelas indikasi
kematian Munir adalah satu tindakan pembunuhan. Sentimen ini
paling sering dituduhkan kepada Munir semasa hidupnya, mengingat
kegigihannya dalam mengkritik institusi negara yang melakukan
pelanggaran HAM.
12 November 2004, atas nama Suciwati (Istri Munir),
Todung Mulya Lubis, Rachland Nashidik (Imparsial), dan Usman Hamid. Salah satu isi Siaran
Pers ini adalah perlu dibentuknya tim investigasi menyeluruh dan terpercaya dengan
melibatkan masyarakat sipil dan Komnas HAM.
Pemerintahan saat ini, mulai dari Presiden hingga Kapolri sendiri sejak
awal berjanji akan menangani serius dan mengungkapkan kasus ini.
Namun demikian komitmen pemerintah ini tidak serta merta bisa
dipegang begitu saja tanpa kontrol dari publik. Kegelisahan ini kemudian
terbukti saat tim investigasi gabungan –dibentuk oleh kepolisian RI- yang
berangkat ke Belanda gagal mendapatkan seluruh bukti otentik hasil
autopsi karena tidak diperlengkapi oleh prosedur administratif bilateral.
Sementara itu banyak pihak mulai menaruh perhatian besar atas kasus
ini. Beberapa anggota DPR RI misalnya menyatakan akan membentuk
tim khusus kematian Munir yang akan mendorong dan mengawasi
pemerintah dalam mengungkap kasus ini. Hal ini lebih diperjelas lagi
saat pertemuan antara Komisi III DPR RI dengan istri Munir, Suciwati,
KontraS, Imparsial, PBHI, pengacara Todung Mulya Lubis, Adnan Buyung
Nasution, dan anggota Komnas HAM, MM Billah di Senayan, 22 November
2004. Ketua Komisi III, Teras Narang menyatakan DPR akan mendesak
terbentuknya tim investigasi di bawah presiden langsung pada sidan
paripurna. Selain itu Ketua Komisi III juga menjanjikan DPR akan
membentuk tim pencari fakta sendiri. Penegasan yang sama juga
dilontarkan beberapa anggota DPR lainnya, seperti dinyatakan oleh
Lukman Hakim Saifuddin (PPP) yang mengancam akan melayangkan
usulan hak interpelasi jika Presiden tidak merespon desakan DPR dan
LSM soal pembentukan tim investigasi independen.
Janji DPR ini ternyata terpenuhi esok harinya, pada tanggal 23 November
2004 saat digelarnya Rapat Paripurna DPR RI. Hasil paripurna ini
menghasilkan tiga kesepakatan; pertama, DPR membentuk tim pencari
fakta sendiri gabungan Komisi I dan III; kedua, DPR meminta Presiden
SBY membentuk tim investigasi independen yang langsung bertanggung
jawab kepada presiden; dan ketiga, meminta pemerintah dan kepolisian
untuk menyerahkan hasil lengkap autopsi kematian Munir kepada
keluarga dan istrinya, Suciwati.49 Dukungan penuh dari DPR RI ini cukup
melegakan mengingat sejak dilantiknya mereka pada 1 Oktober 2004
lalu, badan wakil rakyat ini sedang mengalami konflik internal yang
cukup memprihatinkan. Konflik internal politik hampir melumpuhkan
peran utama DPR sebagai legislator dan pengawas pemerintahan.
Pernyataan penting lainnya dari seorang pejabat publik adalah janji
Panglima TNI, Jendral Endriartono Sutarto seusai rapat koordinasi
dengan Menko Politik, Hukum, dan Keamanan. Menurut Jenderal
Sutarto, ia siap membantu proses penyelidikan kasus Munir meski
dengan tegas membantah keterlibatan anggotanya dalam kasus ini.
sesudah rapat paripurna DPR menunjukkan dukungan atas tim investigasi
independen, kini giliran Presiden SBY yang dimintai sikapnya oleh pihak
keluarga dan rekan-rekan Munir. Pada tanggal 24 November 2004 di Istana
Merdeka, Suciwati didampingi Todung Mulya Lubis, Rachland Nashidik
(Imparsial) dan Mouvty Makaarim Al Akhlaq (KontraS) diterima oleh
Presiden SBY. Pada pertemuan itu kerabat Munir meminta Presiden SBY
membentuk tim investigasi independen atas dasar Keppres (Keputusan





