Jumat, 26 Januari 2024

kriminologi 3




bert K. Merton 
berorientasi pada kelas (“Merton is in exploring variations in 
crime and deviance by social class”).
Konkritnya, unsur kultur melahirkan goals dan unsur struktural 
melahirkan means. Secara sederhana, goals diartikan sebagai tujuan-
tujuan dan kepentingan membudaya meliputi kerangka aspirasi 

dasar manusia. sedang  means diartikan aturan dan cara kontrol 
yang melembaga dan diterima sebagai sarana mencapai tujuan. 
sebab itu, Robert K. Merton membagi norma sosial berupa tujuan 
sosial (sociatae goals) dan sarana-sarana yang tersedia (acceptable 
means) untuk mencapai tujuan ini . 
Menurut Robert K. Merton, struktur sosial berbentuk kelas-
kelas sehingga menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan 
kesempatan dalam mencapai tujuan.155 Misalnya, mereka yang 
berasal dari kelas rendah (lower class) mempunyai kesempatan 
lebih kecil dalam mencapai tujuan bila dibandingkan dengan 
mereka yang berasal dari kelas tinggi (uper class). 
Robert K. Merton mengemukakan lima cara mengatasi 
anomie dalam setiap anggota kelompok warga dengan 
tujuan (goals) dan sarana (means), seperti tampak pada 
tabel Model of Adaptation berikut ini:
Penyesuaian/
bentuk adaptasi
Tujuan Budaya Cara Kontrol
1. Konformitas + +
2. Inovasi + -
3. Ritualisme - +
4. Penarikan Diri - -
5. Pemberontakan +/- +/-
Keterangan :
+  = Penerimaan
- = Penolakan
+/- = Penolakan dan penggantian dengan cara baru
Penjelasan table di atas menurut Merton yaitu  sebagai 
berikut
a. Konformitas : menerima tujuan kesuksesan dalam 
warga dan juga cara-cara yang disepakati warga 
untuk mencapai status ini , seperti melalui kerja keras, 
pendidikan ,penundaan kesenangan, dan lain-lain yang 
semacam itu. Penerimaan tujuan tidak mengindikasikan 
bahwa semua orang benar-benar mencapai akhir 
memuaskan, tetapi mereka meyakini sistem ini .
b. Inovasi : menerima tujuan kesuksesan, tetapu menolak atau 
mencari alternatif tidak sah cara-cara untuk mencapai tujuan 
itu. Aktivitas kriminal seperti pencurian dan kejahatan 
terorganisasi bisa dijadikan contoh, walaupun aktivitas yang 
disokong warga seperti penemuan bisa pula dijadikan 
ilustrasi. Contoh menarik yaitu  masalah  Fred Demara, Jr., 
sangat dikenal lewat buku The Great Imposter (Crichton, 
1959). Seorang lulusan sekolah mengah, demara kecewa 
melihat orang menghabiskan begitu banyak waktu dalam 
hidup mereka untuk menyiapkan satu profesi saja. Memalsu 
ijazah dan identitas, dia meniti karier sebagai seorang 
dosen, rahib Trappis, sipir, dan ahli bedah di Angkatan Laut 
kanada, sekedar untuk menyebut beberapa.
c. Ritualis : diilustrasikan oleh “birokrat masa bodoh” yang 
sedemiikian terjerat dalam aturan dan cara-cara mencapai 
tujuan hingga dia cenderung melupakan atau tidak bisa 
menempatkan signifikansi semestinya pada tujuan. Individu 
ini akan didorong melakukan gerakan-gerakan dengan 
harapan tipis berhasil mencapai tujuan. 
d. Retreatist : merepresentasikan penolakan cara maupun 
tujuan yang disepakati warga. Adaptasi ini bisa 
diilustrasikan oleh nasihat Timothy Leary, nabi psikedelik 
generasi enam puluhan, yang mengkhotbahkan “tune in, 
turn on, drop out” (simak, aktifkan, lepas). Alkoholik kronis 
dan pecandu narkoba mungkin akhirnya menolak standar-
standar warga tentang pekerjaan dan kesuksesan 
dan memilih tujuan “melayang tinggi” dengan mengemis, 
mengutang, atau mencuri.
e. Pemberontak : menolak cara maupun tujuan dan mencari 
alternative pengganti yang dapat merepresentasikan 
tujuan-tujuan warga baru, juga metode-metode baru 
mencapainya, seperti melalui aktivitas revolusioner yang 
bertujuan memperkenalkan perubahan dalam tatanan yang 
ada di luar saluran normal yang disepakati warga.
Ketidaksamaan kondisi sosial yang ada di warga 
(Amerika) yaitu  dipicu  sebab konstruksi sosial 
warga di sana yang timpang. Menurut pandangan 
Merton, struktur warga sedemikian yaitu  anomistis. 
Individu dalam warga yang anomistis selalu dihadapkan 
kepada adanya tekanan (psikologis) atau strain sebab 
ketidakmampuannya untuk mengadaptasi aspirasi sebaik-
baiknya, walaupun dalam kesempatan yang sangat terbatas.
Kritik terhadap konsep anomi
Traub dan Little (1975) memberikan kritiknya sebagai 
berikut: teori anomi nampaknya beranggapan bahwa di setiap 
warga ada  nilai-nilai dan norma-norma yang dominan 
yang diterima oleh sebagin besar warga,dan teori ini tidak 
menjelaskan secara memadai mengapa hanya individu-individu 
tertentu dari golongan warga bawah yang menyebabkan 
penyimpangan-penyimpangan. Analisis Merton sama sekali 
tidak mempertimbangkan aspek-aspek interaksi pribadi untuk 
menjadi deviant, dan juga tidak memperhatikan hubungan erat 
108  Kriminologi: Sebuah Pengantar108  Kriminologi: Sebuah Pengantar
Teori-Teori Kriminologi......
antara kekuatan sosial dengan kecenderungan bahwa seseorang 
akan secara formal memperoleh cap sebagai deviant.
Cohen (1955) di dalam bukunya “Delinquent Boys”, 
menolak analisis Merton sebab tidak dapat dipergunakan 
untuk menjelaskan “Joevenile delinquent”. Menurut Cohen 
teori anomi tidak dapat menjelaskan secara memadai tentang 
kegiatan-kegiatan anak dan remaja delinquent. Di samping 
mereka melibatkan diri mereka ke dalam cara-cara yang ilegal 
untuk memperoleh sukses, juga mereka melakukan tindakan-
tindakan yang bersifat “non utilitarian”, kejam dan negatif.
Adapun Cullen (1983) menyampaikan kritiknya sebagai 
berikut:
1) Bahwa Durkheim tidak secara jelas merinci sifat dari 
keadaan sosial yang sedang terjadi. Sekalipun Durkheim 
mengemukakan pengertian-pengertian umum dengan 
menunjuk pada istilah common ideas, beliefs, customs, 
tendencies, dan opinions, namun pengertian-pengertian 
ini  nampak berdiri sendiri dan bersifat eksternal 
dari kesadaran individu. Di lain pihak, sekalipun dalam 
kedudukan sedemikian, pengertian-pengertian dimaksud 
tetap mampu mengarahkan atau membatasi kegiatan 
individu.
2) Durkheim tidak konsisten dalam menjelaskan bagaimana 
“Currents anomy” menyebabkan bunuh diri. Ia sekurang-
kurangnya telah menkaitkan “Current anomy” kepada 
“bunuh diri” melalui dua cara yang terpisah. Pertama, logika 
analisis Durkheim pada bab tentang “Anomic Suicide”, 
mendukung hipotesis bahwa kejadian-kejadian yang tiba-
tiba seperti: perceraian dan kemakmuran yang mendadak 
cenderung mengakibatkan bunuh diri.
 Kedua, pernyataan Durkheim mengenai peran “social 
current” menunjukkan adanya penyimpangan yang 
mendasar dari pembahasannya tentang deregulasi. 
Menurut Durkheim, “social currents” membawa pengaruh 
sepenuhnya terhadap bunuh diri. Dari pernyataan ini jelas 
bahwa usaha untuk memperluas skema sebab-sebab yang 
ada  dalam hipotesa deregulasi tidak nampak. Bahkan 
ia menyampaikan penjelasan lain yang berbeda mengenai 
bunuh diri.
3) Dalam seluruh tulisannya tentang “bunuh diri”, Durkheim 
telah tidak berhasil membahas bagaimana kondisi 
sosial dapat membentuk penyimpangan tingkah laku di 
warga. Hal ini sebagian besar dipicu  sebab 
strategi metodologi yang dipergunakan Durkheim. Ia 
pertama mempelajari bunuh diri, dan kemudian mulai 
mengungkapkan penyebab-penyebabnya.   
Studi masalah  Anomie
Terjerat Utang Piutang
Lagi, Polisi Bunuh Diri
Kebumen – Aksi mengakhiri hidupnya sendiri kembali 
terjadi di jajaran kepolisian. Setelah anggota brimob Polda 
DIY, Bripka Iwan Rudiyanto, kini aksi itu juga dilakukan 
Ipda Nyariman yang menjadi Kepala Kepolisian Sektor 
(Kapolsek) Karangsambung Kabupaten Kebumen. 
Nyariman ditemukan tewas gantung diri dengan seutas tali 
di ruang kerjanya, Rabu (5/9) sekitar pukul 11.00.
Kepolisian Kepolisian Resor (Kapolres) Kebumen AKBP 
Alpen yang dikonfirmasi waratawa membenarkan peristiwa 
yang dilakukan anak buahnya. Keterangan Kapolres, Ipda 
Nyariman masih memimpin apel pagi, dan ngobrol dengan 
stafnya hingga pukul 09.00. setelah itu, masuk ruang 
kerjanya. Selama dir yang kerja, tidak ada yang tahu apa 
yang dilakukanny. Bahkan saat anak buah menghubungi 
melalui telepon genggamnya, tidak ada jawaban. Khawatir 
dengan kondisi Kapolsek, sekitar pukul 11.00, anggota 
Polsek Karangsambung masuk paksa dan menemukan 
Ipda Nyariman sudah tidak bernyawa dengan lilitan tali di 
leher. “Dari visum et repertum luar, ditemukan ada jeratan 
di leher pakai tali,” ungkap AKBP Alpen.
Terkait latar belakang bunuh diri Ipda Nyariman sudah 
menjabat Kapolsek Karangsambung sekitar 6 bulan, AKBP 
Alpen masih mendalami. Namun diakui Ipda Nyariman 
sedang menghadapi masalah utang piutang. 
Dari rumah duka di Jalan Sarbini Kebumen, jenazah 
Ipda Nyariman dibawa ke tempat asalnya Blora untuk 
dimakamkan. Hal itu sesuai dengan surat wasiat yang 
ditemukan di lokasi kejadian. Sementara itu, Polda DIY 
mendalami masalah  tewasnya Bripka Iwan Rudiyanto (35) 
anggota Detasemen Pelopor B Brimob Polda DIY. Dugaan 
awa, Bripka Iwan sengaja bunuh diri dengan menembakkan 
pistol ke kepalanya. Namun kemungkinan lain juga 
didalami.
“jika bunuh diri mengapa harus dilakukan di depan teman-
temannya. Kalau memang bunuh diri bisa dilakukan di 
kamar saar sendiri. Kami masih menyelidiki masalah  ini , 
namun hingga saat ini diduga bunuh diri,” terang Kabid 
Humas Polda DIY Kombes Pol Anny Pudjiastuti kepada 
waertawan, Rabu (5/10).
Hasil pemeriksaaan, aksi Bripka Iwan harus dilakukan 
memakai  pistol jenis Taurus yang merupakan senjata 
api dinas milik Bripka Iwan dari kesatuannya. Senjata api 
ini , sudah disita oleh komandan di kesatuannya. 
Anny menambahkan, standar peluru senjata api jenis 
Taurus ini  ada  6 megazine. Dari enam ini , 
dua terisi peluru dan 4 terisi peluru hampa. Dikatakan, 
hasil pemeriksaan saksi diperoleh keterangan sebelum 
menembak kepalanya, Bripka Iwan menembakkan peluru 
ke atas sebanyak dua kali. “Seharusnya senjata api itu tidak 
boleh untuk mainan,” tandasnya.
Seperti dikatakan, Bripka Iwan menembal kepalanya 
memakai  senjata api saat bertamu di rumah Supriyono 
(57) warga RT 03 RW 05 Kelurahan Sindurejan Purworejo, 
Senin (4/10) sekitar pukul 23.00

Studi pertama mengenai sub-kultur kekerasan yang 
mengehasilkan suatu teori yaitu  dilakukan oleh Wolfgang dan 
Ferraouti (1976) di Sardinia, Italia. Dalam konsep yang meraka 
bangun mengenai sub kultur kekerasan ini, diungkapkan 
bahwa tiap penduduk yang terdiri dari kelompok etnik tertentu 
dan kelas-kelas sosial tertentu memiliki sikap yang berbeda-
beda tentang penggunaan kekerasan diwujudkan ke dalam 
seperangkat norma yang sudah melembaga dalam kelompok 
tertentu dalam warga. Dengan pemikiran ini , 
Wolfgang dan Ferraouti menegaskan bahwa “sub culture of 
violence” represents values that stand apart from the dominant, 
central, or parent culture of society”. (dikutip dari Clinard dan 
Quinney, 1973: 29)
Dari hasil penelitian Wolfgang dan Ferracuti ini 
telah dihasilkan sebuah bibliografi_dan teramat penting 
bagi perkembangan studi kejahatan mengenai: psikologi 
dari pembunuhan, karakteristik pelaku agresif dan kultur 
yang mendukung kekerasan. Wolfgang dan Ferracuti juga 
menemukan indikator sub-kultur kekerasan di tiap-tiap 
kelompok dalam warga. Yakni:
1) Aksi kekerasan (violent acts) dan persiapan-persiapannya, 
dan
2)  Pembenaran secara verbal (Verbal Justification).
Clinard dan Quinney telah mengajukan tujuh proposisi 
sebagai berikut:
1) Tidak ada sub-kultur yang secara mutlak berbeda ataupun 
berkonflik dalam sebuah komunitas warga di mana 
sebuah kultur ada. Sub kultur kekerasan sama sekali bukan 
ekspresi dari kekerasan, di dalamnya pasti ada elemen nilai 
yang sama dengan kultur yang dominan.   
2) Untuk menyeimbangkan keadaan dengan adanya eksistensi 
sub-kultur kekerasan tidaklah mempersyaratkan perlu 
bagi para individu yang ada dalam warga yang 
tentunya mempunyai nilai-nilai yang dipegangi, untuk 
mengekspresikan nilai yang ia pegangi ini  dengan 
melakukan tindak kekerasan dalam segala situasi
3) Sebuah potensi menuju kepada terjadinya kekerasan yaitu  
sebab adanya pemaksaan kehendak untuk menyatukan 
sikap padahal nilai-nilai yang dianut dalam warga 
yaitu  berbeda.
4) Semangat sub-kultur kekerasan boleh jadi merata pada 
semua umur yang ada di dalam sub-warga, tetapi 
semangat ini paling mencolok pad umur-umur dan 
kelompok tertentu, yakni dari umur remaja akhir sampai 
paroh umur.
5) Norma yang berlawanan yaitu  non-kekerasan
6) Perkembbangan atas sikap yang menyenangkan, dan 
manfaat dari, kekerasan di dalam sub-kultur biasanya  
meliputi pembelajaran perikeu dan proses belajar menyikapi 
perbedaan, asosiasi dan identifikasi
7) Kekerasan dalam sub-kultur yaitu  suatu hal yang tidak 
ada manfaatnya dan tidak suatu hal yang tidak perlu sebagai 
sebuah kelakuan yang haram dan sebabnya, para pelaku 
tindak kekerasan yaitu  mereka yang tidak mempunyai 
kepekaan rasa (perasaan bersalah) tentang agresi mereka. 
Kekerasan dapat menjadi bagian dari gaya hidup, intinya 
yaitu  bahwa solusi masalah yang cukup sulit yaitu  
problem atas situasi.
Romli Kartasasmita berpendapat bahwa pengertian istilah 
“sub-cultur of violence” berbeda secara prinsipil dengan apa yang 
disebut dengan “violence as a subculture”. jika pengertian 
“sub-culture of violence” menunjuk kepda suatu budaya 
kelompok-kelompok dalam warga atau lebih tepat disebut 
“life style” (bukan fashion) yang memiliki ciri khas kekerasan 
yang bersifat tetap dan melembaga, nemun tetap mengakui 
dan masih menerima nilai-nilai dari kultur yang dominan 
(dari warga secara keseluruhan), maka pengertian istilah 
“violence of a subculture” menunjuk kepaada budaya kekerasan 
semata-mata yang dianut kelompok-kelompok tertentu dalam 
warga. Sikap kelompok warga ini  tidak memiliki 
lagi toleransi terhadap nilai-nilai yang dianut oleh kultur 
mayoritas. Bahkan bisa dikatakan bahwa mereka menolak sama 
sekali eksistensi nilai-nilai dimaksud.
Hubungan antara kultur dan sub-kultur
Hubungan kedua unit ini  erat sekali sebab sub-
kultur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu 
kultur. Nampak ada perbedaan yang tidak begitu tajam antara 
keduanya, dan hal itu secara tegas dilukiskan oleh Nettler (1984: 
240) sebagai berikut:
“Eksistensi sub-kultur yaitu  sejak adanya sebuah 
komunitas dalam warga yang terdiri dari beberapa 
kelompok dimana antara satu kelompok dengan kelompok 
yang lain saling mempengaruhi”
Menarik inti dari pengertian sub-kultur diatas, namun 
bahwa sub-kultur ini  masih menerima dan mengakui 
adanya kesamaan unsur-unsur budaya dengan apa yang 
dinamakan “dominant culture” atau “parent culture” atau yang 
dianut warga. Namun demikian, dari dan di dalam sub-
kultur dimaksud masih dipertahankan adanya “gaya hidup yang 
sudah melembaga dalam warga.
Teori ini dianggap lanjutan dari teori Anomie. Sejarah singkat 
mengenai berkembangnya teori sub-kultur ini yaitu  saat pada 
tahun 1950-an, waktu ini menandai dahsyatnya perutumbuhan 
konsumerisme.162 Saat Soviet berhasil menerbangkan satelit 
pertamanya ke luar angkasa, ini menjadi titik tolak bagi Amerika 
untuk menciptakan dan mengembangkan dunia pendidikan 
dan keilmuan.163 Sebelumnya, warga kelas menengah 
menunjukkan kehebatan dan superioritasnya pada saat perang lalu 
setelah perang muncullah hak pendidikan yang mana merupakan 
hal yang dapat dibagikan ke semua lapisan warga. Hasilnya 
para veteran yang dulu ikut berperang diberikan kesempatan 
untuk mengenyam pendidikan, tingkat pendaftaran di sekolah 
dan universitas meningkat pesat, lalu warga kelas menengah 
menginginkan anak-anaknya agar mendapatkan pendidikan di 
sekolah. 
Fenomena pasca perang ini kemudian menimbulkan 
urbanisasi yang begitu besar ke kota-kota, yang menjadi masalah 
kemudian yaitu  stigma bahwa warga kelas bawah selalu 
memiliki persoalan dengan gang atau kelompok dan didukung 
oleh sikap warga kelas menengah yang menunjukkan 
bahwa mereka lebih superior dibanding kelas bawah dan juga 
menyebutkan perbedaan “kami dan mereka”.
Keadaan yang (kita-mereka) senjang ini menimbulkan 
beberapa orang merasa terasingkan atau terpisah dari budaya 
yang lebih besar dan memaksakan dirinya untuk hidup berbeda 
dari yang budaya umum yang biasa dijalani lalu terkadang 
mereka merasa aneh.164 Cohen bersikukuh bahwa bahwa 
perilaku kriminal di warga kelas bawah bukan merupakan 
metode yang rasional untuk memperoleh asset finansial 
seperti yang dikatakan oleh Merton, namun lebih kepada 
ekspresi hedonisme sementara.165 Hedonisme sementara ini 
didefinisikan bahwa aktornya mencari kepuasan yang instan 
dari keinginannya tanpa memperhatikan konsekwensi jangka 
panjangnya.
Akhirnya muncullah geng-geng atau kelompok ini, dimana 
mereka identik dengan tindakan kekerasan. 
Contoh masalah  Teori Subkultur
Carok merupakan salah satu tradisi yang ada di warga 
Madura. Tradisi merupakan tradisi yang mengandung 
kekerasan, tindakan ini pada umumnya dilakukan oleh laki-
laki. Permasalahan yang menjadi akar persoalan biasanya ada 
tiga: perselingkuhan, tanah dan irigasi. Latief A. Wiyata, seorang 
Dosen di Universitas Jember menyatakan hal ini  dalam 
sebuah film dokumenter mengenai budaya carok. Perbuatan 
ini akan dilakukan jika masalah ini  dianggap sudah 
menodai harga diri seorang laki-laki, terutama jika istrinya 
berselingkuh dengan orang lain. Sebelum dilakukan, biasanya 
ada diskusi yang melibatkan keluarga inti dari pihak-pihak 
yang bermasalah. Mereka akan menentukan apakah diperlukan 
tindakan carok atau tidak untuk menyelesaikan persoalan 
ini . jika disepakati untuk carok maka kedua belah 
pihak akan berjanji untuk bertemu di sebuah tempat, carok akan 
dihentikan jika dalam pertarungan ini  salah satunya 
telah mati atau keduanya luka-luka berat. Setelah melakukan 
carok dan membuat lawannya mati biasanya mereka akan 
melaporkan diri mereka sendiri ke kantor polisi. 
Prosentase penyebab terjadinya carok yang paling tinggi 
yaitu  perselingkuhan sebanyak enam puluh persen(60%), 
diikuti persoalan tanah sejumlah 25 % dan irigasi sebanyak 15 
%. Data ini didapat dari statistik kejahatan kepolisian daerah 
Madura.
Penggambaran carok ini  memenuhi unsur-unsur 
kekerasan fisik, dan tindakan ini hidup dan tumbuh di warga 
Madura sebagai pilihan terakhir untuk menyelesaikan masalah. 
Esensi dari carok yaitu  menghapuskan aib yang dirasakan oleh 
seseorang, namun hingga hari ini pengertian ini  bergeser. 
Contohnya seorang bapak bernama Paidi dibunuh oleh seorang 
kakek bernama Sutarjo, kemudian cucu dari Sutarjo meninggal 
tiba-tiba sebab dibunuh. Hal ini terjadi sebab anak dari Paidi 
menyimpan dendam kepada keluarga Sutarjo sejak lama dan 
bertahun-tahun kemudian baru membalaskan dendamnya. 
Alasan carok mewarnai perbuatan ini .
Pergeseran nilai ini  jika dikaitkan dengan sub kultur 
maka terbentuklah unsure-unsur yang cocok. Subkultur 
memiliki cirri khas, bahwa kekerasan ini  melembaga di 
dalam warga. Indikator yang diciptakan oleh Wolfgang 
dan Ferracuti pun terpenuhi, seperti adanya aksi kekerasan dan 
pembenaran secara verbal.
  
V KEJAHATAN KEKERASAN DAN KEJAHATAN KORPORASI
A. Pengertian Kejahatan Kekerasan
Pengertian baku tentang istilah “kejahatan dengan 
kekerasan” secara yuridis belum diatur secara jelas dan tuntas. 
Bentuk kejahatan yang dimaksud yaitu  bentuk kejahatan yang 
diatur didalam buku II KUHP, sedang  pengertian “dengan 
kekerasan” dalam BAN IX KUHP juga belum diatur secara jelas. 
Pasal 89 KUHP hanya menerangkan bahwa yang dinamakan 
“melakukan kekerasan” itu yaitu  membuat orang menjadi 
pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).
Pengertian “melakukan kekerasan” itu sendiri diartikan 
sebagai “mempergunakan tenaga atas kekuatan jasmani tidak kecil 
secara tidak sah”, misalnya memukul dengan tangan atau dengan 
segala macam senjata, menendang, dan lain sebagainya.
Stephen Schafer dalam suatu studinya mengenai kejahatan-
kejahatan kekerasan di Florida mendasarkan rumusannya 
rumusannya pada batasan kelompok internasional para ahli 
PBB yang beranggapan bahwa kejahatan-kejahatan kekerasan 
yang utama yaitu  pembunuhan, penganiayaan berat, dan 
perampokan dan pencurian berat.
sedang  pelakunya yaitu  mereka yang melakukan 
kejahatan yang berakibat kematian maupun luka bagi sesama 
manusia.
Mengenai pola-pola kekerasan, Martin R. Haskell dan 
Lewis Yablonsky mengemukakan adanya empat kategori yang 
mencakup hampir semua pola-pola kekerasan, yakni168:
1. Kekerasan legal
Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung 
oleh hukum, misalnya tentara yang melakukan tugas dalam 
peperangan, maupun kekerasan yang dibenarkan secara 
legal, misalnya: sport-sport agresif tertentu dan tindakan-
tindakan tertentu untuk mempertahankan diri.
2. Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi
Suatu faktor penting dalam menganalisa kekerasan 
yaitu  tingkat dukungan atau sanksi sosial terhadapnya. 
Misalnya: tindakan kekerasan seorang suami atas pezina 
akan memperoleh dukungan sosial.
3. Kekerasan rasional
Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan 
tetapi tak ada sanksi sosialnya yaitu  kejahatan yang 
dipandang rasional dalam konteks kejahatan. Misalnya: 
pembunuhan dalam kerangka suatu kejahatan terorganisasi. 
Mengutip Gilbert Geis tentang jenis kejahatan ini dikatakan 
bahwa orang-orang yang terlibat dalam pekerjaanya pada 
kejahatan terorganisasi yaitu dalam kegiatan-kegiatan 
seperti perjudian, pelacuran dan lalu lintas narkotika, 
secara tradisional memakai  kekerasan untuk mencapai 
hasil lebih daripada orang-orang yang ada di lingkungan 
ini .
4. Kekerasan yang tidak berperasaan 
Irrational violence yang terjadi tanpa adanya provokasi 
terlebih dahulu, tanpa memperlihatkan motivasi tertentu dan 
pada umumnya korban tidak dikenal oleh pelakunya. Dapat 
digolongkan kedalamnya yaitu  apa yang dinamakan “raw 
violence” yang merupakan ekspresi langsung dari gangguan 
psikis seseorang dalam saat tertentu kehidupannya.
Dalam hubungannya dengan pengertian kejahatan menurut 
kriminologi, perlu disimak pendapat Rosa del Olmo yang 
mengutarakan bahwa kekerasan mempunyai rumusan semantik, 
rumusan hukum dan rumusan berdasar kenyataan. Di 
dalam kriminologi ada  empat macam kekerasan yang harus 
diperhatikan yaitu: kekerasan individual, kekerasan institusional, 
kekerasan struktural dan kekerasan revolusioner.169
B. Ruang Lingkup dan Bentuk Kejahatan Kekerasan
Bentuk dan akibat kejahatan yang dilakukan dengan 
kekerasan yaitu  seperti yang dimaksudkan di dalam 
perumusan pasal 89 KUHP ini , sedang pada pasal-pasal 
lain dalam buku II KUHP ini  dirumuskan dalam bentuk 
ancaman kekerasan”.
Adapun dalam pengertian kepolisian, apa yang termasuk 
kejahatan dengan kekerasan yaitu  dalam bentuk:
1) Pencurian 
2) Pembunuhan
3) Penganiayaan berat
4) Pemerasan
5) Perkosaan dan penculikan
Adapun yang diartikan sebagai pembunuhan dalam buku 
karangan Gresham M. Syikes dapat dikategorikan sebagai 
berikut:

1. Intent to kill murder : in which the individual desire to kill 
another and acts accordingly: or the individual knows that 
the death of another is very likely to result from his actions, 
whatever may be his desire concerning the matter.
2. Intent to do serious bodily harm murder : in which the 
individual wishes to seriously injure another, short of 
causing death, but where death is the result nonetheless.
3. Depraved-heart murder: in which the individual acts in 
a manner so negligentthat another dies because of the 
perpetrator’s actions, although there is no intent to kill or to 
do serious bodily injury.
4. Felony murder, in which the individual, in the commission 
of felony dangerous to life, causes the death of another. 
Originally, any felony would do, but as number of felonies 
grew to include a great number of minor offenses. The 
harshness of the felony-murder rule was lessened by 
restricting it to the commission of those felonies that could 
be considerd by restricting it to the commission of those 
felonies that could be considered dangerous, such as rape, 
burglary, robbery, and arson.
sedang  untuk penganiayaan dapat diartikan sebagai, 
“infliction of physical harm.” Hal ini kemudian dalam hukum 
pidana dipisahkan menjadi dua unsur yaitu:
a. Assault: attempt to injure someone
b. Battery: the actual wounding or hurting of the victim.
Dalam buku yang sama, pemerkosaan dirtikan sebagai, 
“unlawful sexual intercourse with a woman without her consent”.
In general, its an act of sexual defilement or an attack on chastity. 
There is an argument which said, sexual intercourse with a female 
below a specified age, for example, is also categorized as rape which 
called statutory rape. But this argument is irrelevant, because the 
violation of sexual innocence that is declared a crime, not forcible 
sexual intercourse.
Adapun yang diartikan pencurian dengan kekerasan dalam 
istilah kepolisian yaitu :
1) Perampokan
Umumnya terjadi di luar kota, di tempat-tempat yang jauh 
dari pengawasan petugas keamanan, walaupun kadang-
kadang juga terjadi di dalam kota.
2) Pembegalan
Umumnya terjadi di jalan-jalan di luar kota yang jauh dari 
pengawasan petugas keamanan.
3) Penodongan
Umumnya terjadi di dalam kota terutama di tempat-tempat 
yang sepi
4) Penjambretan
Umumnya terjadi di dalam kota tanpa memandang keadaan 
di sekitar kejadian perkara
5) Perampasan
Umumnya terjadi di dalam kota, namun sekarang sudah 
terjadi pula diluar kota tanpa memandang keadaan 
disekitarnya kejadian perkara, dan biasanya dengan 
ancaman dengan senjata tajam/api.
C. Faktor yang Menyebabkan Timbulnya Kejahatan Kekerasan
Pada dasarnya, masalah  kejahatan merupakan hasil interaksi 
antar manusia atau sekelompok manusia dengan lingkungannya 
yang meilputi bidang keguatan: ideologi, politik, ekonomi, sosial 
dan budaya. Hasil interaksi ini  bermula dengan timbulnya 
motivasi yang kemudian antara lain dapat berkembang menjadi 
niat negatif (untuk berbuat jahat) dalam rangka memenuhi 
kebutuhannya.
Dengan fasilitas sarana dan kesempatan, maka niat negatif 
ini  akan menyebabkan kejahatan menjadi manifest. Mulai 
dari proses interaksi sampai timbulnya proses kejahatan, banyak 
faktor yang dapat menunjang (faktor-faktor kriminogen) yang 
umumnya dapat dikelompokkan dalam aspek psikologik, 
sosiologik, yuridis dan keamanan. Meningkatnya kejahatan 
dapat terjadi terutama sebab dipicu  kurangnya usaha 
pencegahan terhadap berkembangnya faktor kriminogen.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi meningkatnya 
intensitas kejahatan,khususnya dengan kekerasan yang pada 
umumnya kita sebut faktor-faktor kriminogen. Dalam garis 
besarnya, faktor-faktor kriminogen dapat kita kelompokkan dalam 
aspek: psikologik individu, sosial, yuridis, dan keamanan, meskipun 
dalam kenyataannya aspek-aspek ini  saling berkaitan.175
1. Aspek Psikologik Individu Pelaku.
Dari sudut pelaku kejahatan dalam penyorotan aspek 
psiologik individu:
a. Kebanyakan pelaku kejahatan yaitu  anak muda usia 
16- 30 tahun. Mengenai hal ini diperkuat oleh data 
nasional bahwa pelaku kejahatan terbanyak dilakukan 
oleh anak muda. Dapat dijelaskan bahwa sisi psikologis 
anak muda yaitu  anti sosial. 
b. Banyaknya residivis yang mengulangi lagi kejahatannya 
dapat dipicu  sebab:
c. Sebagai akibat tindakan pelaku yang sadistis terhadap 
korban, maka dapat menimbulkan rasa takut pada 
warga, yang kemudian merangsang bagi si pelaku 
untuk lebih meningkatkan kejahatannya dengan tidak 
memandang akibat, waktu dan tempat.
d. Sarana mobilitas yang semakin tinggi, membuat 
pengaruh psikologis bagi si pelaku untuk lebih berani 
dan optimis akan keberhasilannya.
e. Adanya sekelompok golongan muda yang merasa tidak 
adanya kepastian di hari depan, dapat menyebabkan 
terganggunya keseimbangan faktor libido dan potensi 
sehingga dapat pula menyebabkan yang bersangkutan 
melakukan perbuatan pidana.
2. Aspek Yuridis
Umumnya, keadaan warga menunjukkan kurangnya 
pengetahuan dalam bidang hukum sehingga mengakibatkan 
banyaknya anggota warga yang berbuat melanggar 
hukum, peraturan-peraturan, ataupun norma-norma yang 
berlaku di warga.
3. Aspek Sosiologik
Pengaruh aspek sosial terhadap masalah -masalah  kejahatan 
yaitu  merupakan faktor yang perannya cukup besar sebab 
seperti kita ketahui bahwa kejahatan merupakan produk 
interaksi antar individu dengan lingkungannya.
Dalam hal ini akan diuraikan aspek sosial yang sifatnya 
menonjol:
a. Adanya ketimpangan antara jumlah lapangan kerja yang 
tersedia dan tenaga kerja yang ada. Sehingga muncullah 
pengangguran yang jumlahnya sangat banyak, dan 
disamping itu kebutuhan untuk bertahan hidup 
tidak bisa dihindari sehingga merangsang kelompok 
warga ini  untuk mencari jalan pintas 
(melakukan kejhatan) untuk memenuhi kebutuhan.
b. Meningkatnya jumlah lulusan sekolah yang tak 
tertampung, sedang  mereka sedang menginjak usia 
remaja dengan perkembangan gejolak jiwa yang antara 
lain dengan timbulnya ide-ide anti sosial, diperparah 
dengan kenyataan bahwa lapangan kerja terbatas, 
memberikan peluang atau kesempatan merealisasi 
ide-ide anti sosialnya, khususnya bagi mereka dengan 
innercontrol yang kurang. Tindakan penegak hukum 
maupun warga yang kurang menekan realisasi 
ide-ide ini  akan menyuburkan dan meningkatkan 
intensitas maupun kualitas kejahatannya.
c. Keberhasilan pembangunan ditambah dengan majunya 
perkembangan teknologi modern meningkatkan 
pola pikir kebutuhan, harapan dan keinginan hidup 
warga sedemikian rupa sehingga bagi mereka 
yang kurang dapat menyesuaikan dirinya akan mudah 
terjebak untuk melakukan tindakan-tindakan kejahatan
d. Perkembangan sikap hidup yang mencolok di antara 
kelompok srtata ekonomi dapat merangsang mereka 
yang berstrata ekonomi rendah untuk bermotif dan 
berniat negatif.
4. Aspek Keamanan
Aspek keamanan merupakan faktor mutlak yang diperlukan 
untuk menekan atau mengurangi berkembangnya intensitas 
dan kualitas kejahatan pada umumnya. Mengingat begitu 
luas dan kompleksnya faktor-faktor kriminogen yang 
tersebar dalam warga, maka pengaruh aspek keamanan 
terhadap kejahatan bergantung sekali pada partisipasi 
warga dalam menanggulangi kejahatan.
D. Analisis Kriminologi terhadap Kekerasan Kejahatan
Perspektif teori kriminologi untuk membahas masalah 
kejahatan pada umumnya memiliki dimensi yang amat luas. 
Keluasan dimensi dimaksud sangat tergantung dari sudut 
pandang yang hendak dipergunakan dalam melakukan analisis 
teoritis terhadap subyek pembahasan. ada  tiga sudut 
pandang dalam melakukan analisis terhadap masalah kejahatan, 
yaitu Pertama, yang disebut titik pandang secara makro atau 
“macrotheorities”, kedua, yang disebut dengan “microtheorities”, 
dan ketiga, yang disebut “bridging theorities”.
Macrotheorities yaitu  teori-teori yang menjelaskan kejahatan 
dipandang dari segi struktur sosial dan dampaknya. Teori-teori ini 
menitik beratkan rates of crime atau epidemiologi kejahatan dari 
pada atas pelaku kejahatan. sedang  microtheories yaitu  teori-
teori yang menjelaskan mengapa seseorang atau kelompok orang 
dalam warga melakukan kejahatan atau mengapa di dalam 
warga ada  orang-orang yang melakukan kejahatan dan 
ada  pula sekelompok orang yang tidak melakukan kejahatan. 
Teori ini menitik beratkan pada pendekatan psikologis atau biologis 
atau sosiologis. Sebagtai contoh teori kontrol dan social learning 
theory. Adapun bridging theories yaitu  teori-teori yang tidak atau 
sulit untuk dikategorikan ke dalam baik “macro teories” maupun 
“micro theories”. Teori-teori yang termasuk ke dalam kategori 
ini menjelaskan struktur sosial dan juga menjelaskan bagaimana 
seseorang atau sekelompok orang menjadi penjahat. Sebagai 
contoh yaitu  teori subkultur dan teori “deferential opportunity 
Namun satu hal yang perlu diingat bahwa teori-teori barat 
diatas, bukan berarti bisa begitu saja diterapkan (sepenuhnya) 
terhadap dan di dalam kondisi warga Indonesia. Hal 
ini tentu saja berkaitan dengan adanya perbedaan kultur 
antara barat dan timur, sehingga dalam hal tertentu pasti ada 
perbedaan. Kenapa kita mempelajari teori-teori barat diatas, 
yaitu  sebagai sebuah wacana untuk melihat perkembangan 
kriminalitas di negara kita. 
Dilihat dari sudut pandang bidang pengetahuan ilmiah 
kriminologi, kejahatan-kejahatan dengan kekerasan dapat 
dijelaskan dengan melihat pada kultur dan struktur-struktur 
yang ada pada warga.
Sumber-sumber kultural dari kejahatan-kejahatan 
dengan kekerasan terletak pada berseminya sub-kebudayaan 
kekerasan yang antara lain merupakan nilai-nilai dan norma 
yang mendukung pola perilaku kekerasan di mana respon-
respon yang secara fisik agresif diharapkan, bahkan dibutuhkan 
oleh kelompok-kelompok sosial pendukung sub-kebudayaan 
ini . (Marvin Wolfgang, “Violent Behaviour”, dalam 
Abraham S. Blumberg, Current Perspectives on Criminal 
Behaviour [1974]) 178
Sub-kultur ini pernah digambarkan di warga dalam 
kehidupan di kawasan Sardinia dan Sisilia.179 Sub-kultur ini 
yaitu  Vendetta, atau tindakan menghakimi di luar hukum yang 
berlaku, hal ini terjadi sebab ada perasaan untuk membalas 
suatu perbuatan secara personal bagi kesalahan terhadap 
seseorang atau kerabat. Sub-kultur kekerasan dalam konteks 
bangsa Amerika dipakai  oleh kalangan kelas bawah atau 
etnis tertentu untuk menunjukkan sisi maskulinitas sehingga 
diperlukan pembuktian. Brazil memiliki budaya Machismo, 
yaitu  kode perilaku yang menghendaki laki-laki membela 
kehormatannya, contohnya dengan cara membunuh istri yang 
berselingkuh. 
Seringkali perkembangan sub-kebudayaan kekerasan ini 
diperkuat oleh reaksi-reaksi terhadapnya, baik dari warga 
maupun dari mereka yang mempunyai monopoli atas kekerasan 
yang sah seperti pelaksana penegak hukum. Dalam beberapa 
masalah -misalnya: perampokan dan bentuk-bentuk kejahatan 
dengan kekerasan lain- tidak jarang terbetik berita mengenai mati 
tertembaknya pelaku kejahatan oleh pelaksana penegak hukum. 
Hal ini merupakan perwujudan reaksi kekerasan yang sah atas 
kekerasan ilegal. Dan, kekerasan semakin dipandang sebagai 
bagian gaya hidup, pemecah masalah kolektif secara cepat.
Mulyana W. Kusumah (1988: 22-30) telah memberikan 
deskripsi singkat mengenai kejahatan kekerasan di DKI 
selama peiode 1980-1984. dari deskripsi dimaksud diperoleh 
kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:
a) Mengenai kejahatan dengan kekerasan, dapat diidentifikasi 
enam jenis, yaitu: pencurian dengan kekerasan, pembunuhan, 
perkosaan, penculikan, pemerasan dan penganiayaan.
b) Jumlah kejadian dari keenam jenis kejahatan kekerasan 
ini  menunjukkan keadaan yang relatif meningkat sejak 
tahun 1980 sampai dengan tahun 1984.
c) Model kejahatan dengan kekerasan yang menonjol yaitu  
pencurian kendaraan bermotor dan pemerasan dan 
penculikan
d) Suatu keadaan yang bersifat kontroversial yaitu  sementara 
perkembangan keadaan kejahatan dengan kekerasan relatif 
meningkat di DKI jakarta pada periode ini , justru 
prosentase pengungkapan kejahatan keempat kejahatan 
dengan kekerasan ini  relatif rendah, yakni rata-rata di 
bawah 50 %. Prosentase penyelesaian kejahatan pembunuhan 
dan perkosaan (memiliki derajat keseriusan yang tinggi) 
menunjukkan peningkatan rata-rata di atas 50 %.
e) Sekalipun kejahatan kekerasan ini pada umumnya 
merupakan “monopoli” kaum pria, namun data yang ada di 
DKI Jakarta menunjukkan pula peranan kaum wanita. Peran 
kaum wanita sangat menonjol terutama dalam kejahatan 
penjambretan, curanmor, pembunuhan, dan penganiayaan 
berat.
f) Jumlah pelaku yang tidak memiliki pekerjaan ternyata dua 
kali lipat dari jumlah pelaku yang memiliki kejahatan.
g) Usia pelaku terbanyak bervariasi antara usia terendah 15 
tahun dan tertinggi   
berdasar kesimpulan-kesimpulan mengenai kejahatan 
dengan kekerasan di DKI Jakarta sebagaimana telah diuraikan 
diatas, Romli Kartasasmita berpendapat bahwa kejahatan 
kekerasan di Indonesia, khususnya di DKI Jakarta dan juga di 
beberapa daerah kota besar, merupakan model kejahatan baru. 
Salah satu perspektif teori kriminologi yang dapat 
dipergunakan untuk menganalisis model kejahatan dengan 
kekerasan di Indonesia yaitu  teori yang dikembangkan oleh 
Hoefnagels dalam bukunya “The Other Side of Criminology”. 
Hoefnagels dalam bukunya telah mengungkapkan bahwa para 
ahli kriminologi pada umumnya sering bertumpu pada teori 
kausa kejahatan dan pelakunya, namun kurang memperhatikan 
sisi lain dari suatu kejahatan. Ia menunjukkan bahwa sisi lain 
dimaksud yaitu  aspek stigma dan seriousness.
Menarik manfaat dari konsep kejahatan menurut 
Hoefnagels sebagaimana telah diuraikan di atas, khususnya 
dalam menghadapi kejahatan dengan kekerasan, Romli 
Kartasasmita menarik kesimpulan sebagai berikut:182
a) Bahwa perkembangan kejahatan dengan kekerasan di 
Indonesia (dengan mengacu pada data kejahatan kekerasan 
di DKI Jakarta) pada dewasa ini masih dalam tahap 
perkembangan awal, belum merupakan suatu “epidemi 
kejahatan”. Bahkan dilihat dari prosentase kejahatan lainnya 
(selain keenam kejahatan kekerasan), kejahatan kekerasan 
belum “melembaga” di kalangan warga kita.
b) Bahwa kemungkinan ada nya aspek-aspek lain yang 
terkandung dalam kejahatan kekerasan yang terjadi di 
beberapa tempat di Indonesia (selain aspek stigma dan 
seriousness), memerlukan pengamatan dan penelitian 
yang lebih mendalam. Namun esensi yang dominan dari 
kejahatan kekersan yang telah terjadi di beberapa tempat 
di Indonesia menunjukkan kutanya kandungan aspek 
stigma dan seriousness. Hal ini dipicu  sebab kondisi 
warga Indonesia baik secara sosio-struktural maupun 
sosio-budaya masih menekankan sifat paternalistik dan 
keterikatan perorangan dengan komunitas. Sikap dan tingkah 
laku perorangan dalam kondisi dimaksud lebih banyak di 
tentukan (oleh komunitas) dari pada ‘menentukan’ (pada 
komunitas). Baik buruknya suatu tingkah laku perorangan 
‘ditentukan’ (dipaksakan) oleh penilaian komunitas, bukan 
dinilai oleh pelaku. Atau melalui perspektif kriminologi 
kita dapat berkata bahwabaik buruknya tingkah laku 
seseorang ditentukan oleh warga sebagai pengamat 
 Dengan demikian, dalam setiap masalah  kejahatan kekerasan, 
apapun yang merupakan motif pelaku (sebab cemburu, 
harta, atau ketidakadilan perlakuan)
c) Memperhatikan prosentase penyelesaian perkara kejahatan 
kekerasan tertentu seperti kejahatan pembunuhan dan 
perkosaan yang relatif lebih tinggi (di atas rata-rata 50 %) 
dibandingkan dengan prosentase penyelesaian kejahatan 
kekerasan lainnya (penculikan, penganiayaan dan lain-
lain), dapat diduga bahwa pihak aparat penegak hukum 
khususnya pihak kepolisian cenderung untuk memberikan 
prioritas terhadap kejahatan dengan derajat keseriusan 
yang tinggi dan dianggap paling meresahkan warga. 
Kecenderungan di atas masih perlu dipersoalkan mengingat 
penyelesaian perkara bagi setiap kejahatan seharusnya 
memperoleh perlakuan yang sama dan bukan sebaliknya 
sehingga ada  kesan adanya diskriminasi perlakuan 
dalam penyelesaian perkara. Hal terakhir berkaitan erat 
dengan masalah perlindungan atas korban kejahatan. Jika 
kecenderungan sebagaimana diuraikan diatas “melembaga” 
dalam “criminal justice process” di Indonesia, tidaklah 
dapat dielakkan terjadinya suatu keadaan yang bersifat 
kontroversial, yakni sementara pihak kepolisian telah 
berhasil mengungkapkan kejahatan-kejahatan tertentu di 
tengah warga, sedang  di lain pihak korban-korban 
kejahatan tertentu lainnya tetap tidak terlindungi. Mungkin 
keadaan sebagaimana digambarkan di atas merupakan sisi 
negatif dari “community oriented policy” yang selama ini 
dikembangkan oleh pihak penegak hukum di Indonesia, 
khususnya pihak kepolisian.
Berkembangnya norma-norma yang mengijinkan dan 
mendukung kekerasan, yang merupakan bagian dari unsur-
unsur sub-kebudayaan kekerasan, nampaknya semakin bersemi 
jika ditambah oleh pengondisian oleh struktur-struktur dalam 
warga.
Struktur-struktur hegomoni dan penindasan politik 
mengondisikan kekerasan tertentu seperti kekerasan bersenjata 
yang sering diwujudkan dalam bentuk terorisme, sementara 
pola-pola hubungan sosial ekonomi yang menampilkan ciri 
dominasi dan ketidak adilan melalui proses-proses sosial 
yang kompleks dapat menimbulkan sikap dan perilaku yang 
merupakan reaksi atas struktur-struktur demikian. Jadi, 
sesungguhnya pengkajian-pengkajian kejahatan dengan 
kekerasan harus dilihat dalam kerangka pertumbuhan sub-
kebudayaan kekerasan dan kekerasan struktural.
Struktural yang kondusif atas timbulnya kejahatan atau 
struktur-struktur kriminologik  harus merupakan pusat 
perhatian dalam program penanggulangan dan penangkalan 
kejahatan-kejahatan dengan kekerasan, oleh sebab bertolak 
dari kerangka pemikiran diatas, pelaku kejahatan dapat 
pula merupakan korban dari suatu proses yang dinamakan 
viktimisasi struktural yakni proses penimbulan korban oleh 
struktur-struktur kriminogenik.
E. Pengertian Kejahatan Korporasi
Sejak akhir abad ke-19, kejahatan korporasi yang tumbuh 
dan meluas sejalan dengan perkembangan industri mulai 
menjadi sasaran studi kriminologi dan hukum pidana. Studi ini 
diawali dari adanya pergeseran penggunaan doktrin universitas 
delinquere non potest menjadi doktrin functioneel daderschap.
Pemikiran terhadap kejahatan korporasi diawali dari 
keberadaan korporasi sebagai subjek hukum tersendiri. 
Pemahaman mengenai korporasi hakikatnya muncul dari 
ketentuan dalam hukum perdata yang melahirkan badan 
hukum yang mampu melakukan perbuatan hukum layaknya 
manusia biasa.
Konsep badan hukum sendiri memberi pemahaman 
bahwa sebenarnya keberadaannya hanya sekedar diciptakan 
oleh hukum saja yang kemudian diberikan status subjek 
hukum. Pemberian status ini nantinya dapat berakibat pada 
pembebanan tanggung jawab pada badan hukum itu sendiri 
yang terlepas dari orang-orang di dalamnya.
Badan Hukum di Indonesia menurut Chidir Ali dapat 
dipisahkan menjadi beberapa bentuk sebagai berikut:
1. Pembagian Badan Hukum menurut Macam-Macamnya
a. Badan Hukum Orisinil, yaitu Negara
b. Badan Hukum yang tidak murni, yaitu Badan Hukum 
yang dibentuk berdasar Pasal 1653 KUHPerdata. 
Pasal ini menjelaskan bahwa ada 4 jenis badan hukum 
yaitu:
1) Badan Hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum
2) Badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum
3)  Badan Hukum yang diperkenankan oleh kekuasaan 
umum
4)  Badan Hukum yang didirikan untuk suatu maksud 
dan tujuan tertentu
2. Pembagian Badan Hukum menurut Jenis-Jenisnya
a. Badan hukum Publik, contohnya Perjan/Perum
b. Badan hukum Privat, contohnya PT, Koperasi, dan 
Yayasan

Pada dasarnya pembagian badan hukum public dan badan 
hukum privat dapat dibedakan dengan criteria sebagai berikut:
1) Dilihat dari cara pendiriannya, apakah memakai  
kekuasaan Negara (peraturan perundang-undangan)
2) Lingkungan kerjanya, yaitu apakah dalam melaksanakan 
tugasnya badan hukum itu pada umumnya dengan publik 
melakukan perbuatan-perbuatan hukum perdata, artinya 
bertindak dengan kedudukan yang sama dengan publik,
3) Mengenai wewenangnya, yaitu apakah badan hukum 
ini  didirikan oleh Negara diberi kewenangan dalam 
kekuasaan penyelenggaraan Negara yang mengikat umum. 
Pembagian badan hukum yang demikian hakikatnya akan 
berakibat pada pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek 
tindak pidana.
Secara konseptual, rumusan dan gagasan penanggulangan 
kejahatan korporasi (perusahaan berbadan hukum) 
dikembangkan dari hasil kajian E. Sutherland tentang kejahatan 
kerah putih (1939), yang diperluas antara lain oleh Marshall 
Clinard dan Peter Yaeger (1979), yang mengidentifikasinya 
sebagai bentuk perbuatan melanggar hukum-- baik administrasi, 
perdata, maupun pidana. Ruang lingkup yang demikian luas 
dari kejahatan korporasi tampak mendorong Clinard menyusun 
daftar contoh kejahatan korporasi, mulai dari price fixing dan 
monopoli sampai ke sumbangan politik ilegal dan pencemaran 
lingkungan. 188 kejahatan korporat dalam tipologi Edelhertz 
terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu : 
a. Kejahatan oleh Organisasi terhadap Individual (publik)
antara lain; 
i. penyuapan multi nasional, Pada 1977 Kongres Amerika 
Serikat mengesahkan Undang-Undang Praktik Korupsi 
Luar Negeri yang mana pada saat itu terjadi peristiwa 
yang memalukan. Perusahaan multinasional ketahuan 
memberikan jutaan dollar terhadap pejabat luar negeri.
ii. kecurangan korporat, masalah  yang cukup terkenal pada 
1973 yaitu  mengenai Equity Funding Corporation 
of America. Perusahaan asuransi ini bangkrut sebab 
ada  kecurangan computer yang nilainya terbesar 
sepanjang sejarah yaitu 2 miliar dollar AS. Motif para 
Eksekutif Asuransi Jiwa Equity Funding memakai  
computer perusahaan untuk membuat polis asuransi 
“hantu” atau palsu/ fiktif sekitar (58 persen dari polis 
perusahaan). Polis asuransi palsu ini bernilai jutaan 
dollar, ini membuatpemegang saham rugi lebih dari 
seratus juta dollar. Dengan memakai  catatan di 
computer ketimbang catatan kertas, eksekutif Equity 
Funding mencampurkan polis asli dan palsu dalam file 
master sehingga printout menunjukkan perusahaan 
itu punya seratus ribu polis. saat auditor hendak 
mengambil sampe untuk mengecek salinan cetaknya, 
mereka sempat dihalang-halangi selama satu atau 
dua hari, dan kesempatan itu dipakai utuk membuat 
catatan hard-copy palsu (“Conning by Computer”, 
1973). Namun akhirnya presiden perusahaan dan 24 
karyawan perusahaan jadi tersangka. Pada akhirnya 
presiden perusahaan dijatuhi hukuman 8 tahun penjara, 
sedang  karyawan lainnya menerima hukuman lebih 
singkat (Blundell, 1978). Perusahaan lain yang terseret 
masalah  ini diperintahkan membayar ganti rugi sebesar 
39 miliar dollar AS kepada para pemegang saham 
(Ermann & Lundman, 1982). Contoh lainnya yaitu 
pembelian kembali produk kendaraan yang diproduksi 
oleh Chrysler Corporation pada 1993 yang kondisinya 
cacat parah (lemons) kemudian dijual kembali ke 
konsumen, pada masalah  ini Chrysler Corporation dituduh 
mengeluarkan uang sejumlah 1,3 miliar dollar AS.
iii. kecurangan harga,jika kita pergi ke suatu tempat 
lalu memakai  toilet umum atau jika berbelanja 
kebutuhan toilet pasti sudah tidak asing dengan merek 
publik berikut: American Standard,Borg Warner dan 
Kohler. Ketiga pabrik penghasil pipa ledeng ini  
dan tiga eksekutif lainnya digugat dengan gugatan 
antitrust oleh Departemen Kehakiman AS . Pasalnya 
ketiga korporasi ini  dituduh melakukan kospirasi 
untuk menentukan harga senilai satu miliar dollar 
untuk perlengkapan kamar mandi. masalah  ini mulai 
pada 1996 dengan 17 perusahaan dan ko-konspirator 
individual. Pihak terkait lainnya tidak mengajukan 
bantahan, dihukum penjara dalam waktu sebentar dan 
didenda dengan total 370.000 dollar AS (“U.S. Begins 
Price-Fixing Prosecution”, 1975). Lalu apa ruginya jika 
price-fixing terjadi?. Jika ketiga perusahaan ini  
memiliki harga yang sama, bukan tidak mungkin jika 
pesaing yang lainnya akan kalah dalam pasar. Biasanya 
pengaturan harga ini akan diatur serendah-rendahnya, 
agar pesaing yang lainnya mengalami kesulitan dalam 
berusaha.
iv. pembuatan dan penjualan produk gagal atau tidak aman, 
Pada 10 Agustus 1978, tiga remaja bersaudara Judy dan 
Lyn Ulrich bedan sepupu mereka Donna sedang dalam 
perjalanan sejauh 20 mil ke Goshen, Indiana dengan 
memakai  Ford Pinto mereka yang pada saat itu 
ditabrak oleh mobil lain dari belakang. Akibatnya 
bahan bakar bocor hingga ke jalan dan menyebabkan 
kebakaran, ketiga gadis ini  terjebak di dalam 
mobil dan tewas sebab terbakar. Pintos yang dilengkapi 
dengan tank bahan bakar yang sangat mudah pecah dan 
meledak di tabrakan lebih dari 25 mil per jam. Masalah 
ini  dapat diselesaikan dengan perbaikan seharag 
sebelas dollar AS per kendaraan, namun dengan 11 juta 
Pintos dan 1,5 juta truk ringan dengan masalah, akuntan 
Ford mengkalkulasi hal ini  akan menghabiskan 
biaya sebsar 137 juta dollar AS untuk memperbaikinya. 
Kalkulasi ini  juga memperkirakan akibat jika hal 
ini  tidak diperbaiki maka akan mengakibatkan 180 
orang tewas sebab kebakaran, 180 orang dengan luka 
bakar serius, dan 2100 kendaraan terbakar, yang menurut 
hitungan mereka akan menghabiskan biaya sebesar 49,5 
juta dollar AS dalam tuntutan hukum dan klaim lainnya. 
membandingkan kedua hal ini  akan menghemat 
sejumlah 87.5 juta dollar AS dengan tidak memperbaiki 
tangki bahan bakar, untuk memperbaikinya bisa jadi 
tidak menguntungkan dan irasional. Nurani eksekutif 
For tidak mengganggu mereka sebab dengan terbuka 
mereka memakai  hal ini  untuk usaha lobi 
terhadap standar kebocoran bahan bakar federal 
untuk menunjukkan betapa tidak menguntungkannya 
standar ini !. jika ini yaitu  estimasi akurat 
terhadap kematian yang dipicu  oleh kecacatan, 
eksekutif yang berkonspirasi untuk mengabaikannya 
mungkin merupakan pembunuh terbesar dan terburuk 
dalam sejarah AS. Meskipun sudah begitu, tidak ada 
eksekutif yang dipenjarakan, dan banyak hal lain 
berkembang menjadi lebih besar. Pepatah khas Lee 
Iacocca “keamanan tidak dijual” tetap dalam bukti pada 
1986 saat dia menentang air-bag atau kantong udara 
menjadi wajib untuk moobil, menjadi presiden Chrysler 
Corporation dan menduduki komite untuk peringatan 
seratus tahun patung Liberty.
v. kecurangan pajak, masalah  yang saat ini mencuat di 
Indonesia yaitu  mengenai perusahaan jasa internet 
yang terkenal yaitu PT Google Indonesia yang 
merupakan unit usaha Google Inc., Google dianggap 
hanya membayar pajak 0,1 persen pada tahun 2015. 
Seharusnya Google membayar sebesar 25 persen dari 
laba kena pajak per tahun.191 Namun masalah  ini masih 
dalam tahap penyelidikan oleh Ditjen Pajak, di negara 
lain seperti Inggris dan Prancis juga ada masalah  serupa 
yang melibatkan Google, perkaranya sama yaitu 
perusahaan ini tidak membayar pajak sesuai dengan 
prosentase yang seharusnya atau kurang dari prosentase.
vi. kejahatan lingkungan, jika pembaca pernah menonton 
film yang berjudul Chernobyl Diaries maka akan 
disajikan sebuah kota yang mati alias tidak pernah 
ditempati oleh siapapun yang disebut Pripyat dan 
tokoh utamanya dihadapkan pada makhluk mutan. 
Kota Pripyat dianggap kota mati sebab pada saat itu 
terjadi kecelakaan nuklir yang mengakibatkan tidak 
ada waktu untuk mengumumkan kepada warga, 
terlebih mengevakuasinya. Kecelakaan Chernobyl unit 
4 dipicu oleh kejadian kritikalitas teras reactor yang 
tidak terkendali dalam waktu sangat singkat.192 jika 
bencana ini  dipicu  kesengajaan maka 
korban jiwa yang ada pun tidak sedikit dan jika ada yang 
bertahan hidup pun akan mengalami kecacatan atau 
mutasi genetic akibat radiasi yang ditimbulkan. Contoh 
lainnya yang relevan saat ini yaitu  pembakaran hutan 
yang dilakukan oleh beberapa perusahaan yang bergerak 
di bidang pembuatan kertas membuka lahan di hutaan 
dengan cara membakarnya, namun cara ini dielak oleh 
pihak perusahaan dengan dalih bahwa kebakaran hutan 
bisa terjadi sebab gesekan ranting kering kemudian 
terjadi kebakaran yaitu  hal yang biasa. Akibatnya 
banyak warga di Riau dan Palembang mengalami infeksi 
saluran pernapasan.
b. Kejahatan Korporasi (Organisasi) terhadap Organisasi, 
bentuknya bisa bermacam-macam seperti kejahatan 
oleh perusahaan swasta terhadap negara (pelanggaran, 
perdagangan di masa perang, penipuan dalam menhalin 
kontrak dengan pemerintah), dan kejahatan oleh korporasi 
terhadap korporasi lain (misalnya spionase industry dan 
praktik persaingan usaha yang tidak sehat)
Rumusan lain yang lebih mengarahkany pemahaman 
tentang kejahatan korporasi dikemukakan oleh Mardjono 
Reksodiputro (1994). Katanya, sebab pemahaman kita tentang 
kejahatan korporasi timbul dari analisis tentang kejahatan kerah 
putih, pelanggaran hukum (pidana) oleh perusahaan atau usaha 
dagang yang berlingkup skala kecil atau terbatas (small business 
offences) tidak termasuk ke dalam “kejahatan korporasi” 
maupun “illegal corporate behavior”. Jadi, menurut Mardjono, 

yaitu  salah bila kita membahas kejahatan kerah putih dan 
kejahatan korporasi dengan mengambil acuan “bisnis skala 
kecil”. Yang harus dijadikan rujukan yaitu  perbuatan melawan 
hukum dari “bisnis besar”, sebab inilah yang dibicarakan dalam 
forum-forum internasional sebab mempunyai dampak negatif 
yang besar bagi perekonomian negara. Kerugian itu tak cuma 
berujud kerugian finansial, fisik, degradasi, lingkungan, dan 
sebagainya, juga berupa erosi sendi-sendi moral warga.
Pengaturan Korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak 
pidana pada tataran pemikiran hakikatnya masih menuai 
perdebatan dalam hal ini para pihak yang tidak setuju memberi 
alasan sebagi berikut:
1. Masalah kejahatan sebenarnya kesengajaan dan kesalahan 
hanya ada  pada persona alami.
2. Tingkah laku materiil yang merupakan syarat dapat 
dipidananya beberapa macam tindak pidana hanya dapat 
dilaksanakan oleh persona alamiah
3. Pidana dan tindakan yang merampas kebebasan orang tidak 
dapat diterapkan pada suatu korporasi
4. Tuntutan dan pemidanaaan terhadap korporasi dengan 
sendiri nya mungkin menimpapada orang yang tidak bersalah
5. Pada tataran praktik tidak mudah untuk menentukan 
norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, terbatas 
pada hanya sekedar pengurus atau hanya korporasinya atau 
kedua-duanya.
sedang  pada tataran yang sepakat mengenai korporasi 
sebagai subjek hukum tindak pidana, para pihak memberi 
alasan sebagi berikut:
1. Ternyata dipidananya pengurus dalam suatu korporasi 
tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-
delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. 
sebabnya mungkin perlu dipertimbangkan pemidanaan 
bagi korporasi, pengurus atau sekaligus keduanya.
2. Mengingat dalam kehidupan social ekonomi korporasi 
semakin memainkan peranan yang penting
3. Hukum pidana harus memiliki fungsi dalam warga yaitu 
melindungi warga dan menegakkan norma-norma 
atau ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarkat. Kalau 
hukum pidana hanya ditentukan pada segi perorangan, yang 
hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak efektif, 
oleh sebab itu tidak ada alasan untuk selalu menekan dan 
menentang dapat dipidananya suatu korporasi.
4. Dipidananya suatu korporasi merupakan salah satu usaha 
untuk menghindarkan tindakan pemidanaan terhadap para 
pegawai itu sendiri.
Oleh sebabnya terhadap pertanggungjawaban ini  
harus diterapkan tergantung pada sistem perumusan 
pertanggungjawaban pidana yang akan dipakai . Pada taraf 
pemikiran ini, pertanggungjawaban ini  dapat dipandang 
dalam 3 cara sebagai berikut:
1. Pengurus Korporasi yang berbuat maka pengurus lah yang 
harus bertanggungjawab195
Konteks ini memberi pemahaman bahwa jika terjadi 
suatu tindak pidana dalam lingkungan korporasi, pada 
hakikatnya tidak lain dan tidak bukan merupakan perbuatan 
dari para pengurusnya. 
2. Korporasi sebagai pembuat maka pengurus yang 
bertanggung jawab196
Sistem pertanggungjawaban korporasi dalam doktrin ini 
ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan 
undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat 
dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha, akan tetapi 
pertanggungjawaban untuk itu menjadi beban dari para 
pengurus badan hukum ini .
3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab
Sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini merupakan 
permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari 
korporasi. Dalam system ini dibuka kemungkinan menuntut 
korporasi dan meminta pertanggung jawabannya menurut 
hukum pidana. 
Ruang lingkup kejahatan-kejahatan korporasi meliputi: 
“pernal crimes”, seperti penggelapan pajak pendapatan; “abuses 
of trust”, misalnya penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang; 
“busines crime” seperti penipuan iklan; dan “con games”, dimana 
kejahatan kejahatan-kejahatan white collar merupakan pusat 
kegiatan bisnisnya, misalnya penipuan-penipan di bidang 
medis, kesehatan dan tanah.
1. Kejahatan Korporasi sebagai White Collar Crime
Kejahatan korporasi harus dibedakan dari kejahatan lain 
pada umumnya, sebab perilaku kejahatan ini termasuk apa 
yang dikenal dengan “white collar crime” (konsepsi ini pertama 
kali dipergunakan oleh Edwin H. Sutherland). Kedudukannya 
sebagai white collar crime (WCC) inilah yang membuatnya 
menjadi perhatian khusus, baik dari kalangan akademisi ahli 
kriminologi dan ahli hukum pidana, maupun dari kalangan 
praktisi penegak hukum. Membicarakan pertanggung jawaban 
pidana korporasi pada umumnya memang tidaklah mudah, 
apalagi kita tujukan secara khusus pada “kejahatan korporasi” 
(corporate crime).199 Kejahatan korporasi ini perlu dibedakan 
dengan kejahatan okupasional, yang mana kejahatan okupasional 
ini dilakukan oleh individu terhadap lembaga. Istilah lainnya dapat 
dikatakan bahwa saat seseorang bekerja di suatu perusahaan 
atau instansi negara kemudian dia melakukan kejahatan dengan 
mencuri, menggelapkan untuk tujuan menguntungkan diri 
sendiri. Contohnya yaitu  korupsi yang dilakukan oleh pejabat 
publik, pada tahun 1998 di New York City pengawas kesehatan 
memanfaatkan Departemen Kesehatan untuk memperkaya 
diri sendiri dengan menaikkan gaji dua atau tiga kali lipat 
dengan meminta pembayaran dari restoran, mengancam akan 
menuntut mereka sebagai pelanggar aturan jika tidak mau 
membayar. Indonesia juga memiliki contoh atas korupsi publik 
yang dilakukan oleh pejabat publik demi menguntungkan diri 
sendiri pada masalah  pungli yang menjerat Direktur Utama Pelindo 
III. Rahmat Satria diduga menerima hasil pungli yang dilakukan 
oleh PT.AKM yang berwenang membuka segel container saat 
produk pertanian yang diimpor sampai di Indonesia. Produk 
pertanian yang sampai di Indonesia, sebelum dipasarkan harus 
melalui tahap karantina terlebih dulu untuk diketahui apakah 
ada virus atau bakteri yang dapat membahayakan konsumen. 
Hal ini dimanfaatkan oleh pejabat yang tidak bertanggung jawab 
untuk memperoleh laba lalu menyetorkannya kepada PT.TPS 
yang merupakan perusahaan yang menaungi PT. AKM, dengan 
menarik uang sejumlah Rp. 500.000,00 hingga Rp. 2.000.000,00 
per container yang masuk ke Indonesia. Alasannya untuk 
proses fumigasi dalam masa karantina, padahal dana ini tidak 
diperlukan dan diduga Rahmat Satria turut menikmati uang 
hasil pungli ini . tertanggal 1 November 2016 Rahmat Satria 
ditangkap oleh Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber 
Pungli)dengan alat bukti berupa uang yang ada di dalam rekening 
Rahmat sejumlah sepuluh miliar rupiah. Keuntungan illegal yang 
diperoleh PT. AKM selaku penyedia proses fumigasi per bulannya 
mencapai 5-6 miliar rupiah.
Perbedaannya dengan kejahatan korporat yaitu , pihak 
yang melakukan kejahatan ini  mewakili perusahaan 
tempat dia bekerja. 
Sutherland berpendapat bahwa kejahatan korporasi 
yaitu  sebagian dari WCC. Marilah kita tengok terlebih 
dahulu pengertian dari WCC. Dalam makalahnya , Sutherland 
membatasi pengertian WCC sebagai “a violation of criminal law 
by the person of the upper socio-ecnomic class in the course of his 
occupational activities”. Dari rumusan ini terlihat bahwa pada 
awalnya konsepsi WCC dibatasi pada perbuatan tindak pidana 
(yang ada dalam hukum pidana). Namun selanjutnya, oleh para 
ahli kriminologi, konsepsi WCC diperluas keluar dari batasan 
hukum pidana. Perdebatan mengenai hal ini (antara lain oleh 
Paul W. Tappan, “who is the criminal”, 1947) menyangkut 
tulisan Sutherland: “Is ‘white collar crime’ crime?” (1945) dan 
kemudian “crime of corporations” (1948). Dari perdebatan 
inilah maka makin jelas bahwa pengertian “person” dalam 
rumusan WCC, dikaitkan dengan mereka yang menjalankan 
perusahaan (corporation). Kejahatan korporasi inilah yang 
pada dasarnya merupakan fokus WCC, meskipun diluar hal ini 
tetap termasuk didalamnya kejahatan oleh manusia (natuurlijke 
persoon) yang mempunyai “high social status”. Pada akhirnya 
perdebatan ini menyimpulkan pula bahwa pada rumusan 
Sutherland di atas masih harus ditambahkan satu unsur lagi, 
yaitu “violation of trust”. Unsur-unsur lain yaitu  
a. it was a crime
b. commited by a person of respectability
c. commited by a person of high social status
d. in the course of his occupation
Unsur yang terakhir ini (unsur d, dalam melaksanakan 
kedudukan/pekerjaanya), yaitu  penting untuk membedakan 
WCC dari “ordinary crimes commited by upper class people”. 
sedang  unsur “violation of trust” (melanggar kepercayaan 
yang diberikan) penting dalam mengerti apa yang dimaksud 
dengan “corporate crime” sebagai bagian dari WCC.
jika telah jelas apa yang dimaksudkan dengan kejahatan 
korporasi sebagai bagian dari WCC, maka masih perlu dibedakan 
lagi antara “corporate crime” dengan “small business offenses” 
(kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan atau 
usaha-usaha dagang yang berlingkup kegiatan dengan skala kecil 
atau terbatas). Dengan perkataan lain, kejahatan konsepsi kejahatan 
korporasi hanya ditujukan kepada kejahatan yang dilakukan oleh 
warung atau toko di lingkungan pemukiman kita atau oleh bengkel 
reparasi kendaraan bermotor dan lain sebagainya.
Green (1990: 16) mengategorisasi pola umum dari 
kejahatan white-collar menjadi:
1. Kejahatan untuk kepentingan organisasi/majikan 
(organizational occupational crime). 
2. Kejahatan oleh pejabat dalam melaksanakan otoritas 
birokrasi pemerintahan (state authority occupational crime).
3. Kejahatan oleh profesional dalam rangka melakukan 
pekerjaan profesionahlya (professional occupational crime). 
4. Kejahatan oleh individu dalam rangka pekerjaan individu 
ini  (individual occupational crime).
Tipologi dari Edelhertz sebagai sering kali dikutip meliputi:202 
1. Kejahatan oleh orang-orang yang bekerja secara individual 
dan sementara (ad hoc), miisal pelanggaran pajak, penipuan 
kartu kredit, penipuan kebangkrutan dan lain-lain;
2. Kejahatan yang dilakukan dalam rangka pekerjaan (yang 
sah) oleh orang yang mengoperasikan bisnis interrial, 
pemerintahan, atau lain-lain kemapanan, dalam bentuk 
pelanggaran tugas atau loyalitas dan kesetiaan terhadap 
majikan atau klien, misal penggelapan, pencurian oleh 
pegawai, penggajian pegawai palsu;
3. Kejahatan yang sesekali dilakukan dalam rangka memajukan 
kegiatan bisnis, tetapi bukan tujuan utama dari bisnis, 
misal pelanggaran antimonopoli, penyuapan, peIanggaran 
peraturan makanan, dan obat-obatan;
4. White-collar crime sebagai bisnis, atau sebagai aktivitas 
utama. Konsep ini termasuk dalam bahasan “kejahatan 
profesional”, misalnya penipuan layanan pengobatan dan 
kesehatan, undian palsu, dan sebagainya.
5. White-collar crime sebagai bisnis, atau sebagai aktivitas 
utama. Konsep ini termasuk dalam bahasan “kejahatan 
profesional”, misalnya penipuan layanan pengobatan dan 
kesehatan, undian palsu, dan sebagainya.

Menurut Hagan tipologi white-collar crime terbagi menjadi 
sembilan tipe, yaitu:
1. Individu terhadap individu. 
Individu terhadap individu hanya merupakan kejahatan 
yang dilakukan dalam rangka pekerjaan seseorang, seperti 
pedagang yang menipu konsumennya, atau seorang profesi 
mengambil keuntungan dari kliennya.
2. Pegawai terhadap individu. 
Pegawai terhadap individu, merupakan kejahatan yang 
dilakukan oleh seorang pegawai terhadap individu dari luar 
organisasi tempatnya ia bekerja, misalnya menerima suap, 
atau Inenerima pembayaran untuk kepentingan pribadi 
yang merugikan kepentingan umum atau orang perorang.
3. Organisasi terhadap individu. 
Organisasi terhadap individu, merupakan kejahatan yang 
dilakukan suatu organisasi yang merugikan orang, misalnya 
iklan yang menyesatkan, produksi makanan, minuinan, dan 
0bat~0batan yang tidak aman bagi konsumen (warga 
umum dan konsuman dimasukkan sebagai kategori individu 
atau para individu).
4. Individu terhadap pegawai.
Individu terhadap pegawai, kejahatan ini mungkin tidak 
termasuk kejahatan white-collar sebab tidak selalu terkait 
dengan pekerjaan atau organisasi.
5. Pegawai terhadap pegawai.
Pegawai terhadap pegawai, merupakan kejahlatan dari 
satu pegawai terhadap pegawai lainnya. Praktik nepotisme 
mungkin’dapat dijadikan contoh dalam tipe ini. 
6. Organisasi terhadap pegawai.
Organisasi terhadap pegawai, misalnya perusahaan 
yang tidak memerhatikan syarat-syarat kesehatan dan 
keselamatan kerja bagi pegawainya. 
7. Individu terhadap organisasi.
Individu terhadap organisasi, termasuk kejahatan yang 
dilakukan oleh seorang pedagang atau profesi terhadap suatu 
orgahisasi. Penipuan asuransi atau pajak dapat dijadikan 
contoh untuk tipe ini. Dalam kaitan penipuan pajak, negara 
merupakan organisasi yang menjadi korbannya.
8. Pegawai terhadap organisasi. 
Pegawai terhadap organisasi, merupakan situasi saat 
pegawai melanggar kepercayaan yang diberikan oleh 
organisasi tempat ia bekerja, misalnya penggelapan, inside 
trading.
9. Organisasi terhadap organisasi.
Organisasi terhadap organisasi, merupakan situasi saat 
suatu organisasi melakukan kegiatan yang merugikan 
organisasi lain, misalnya spionase industri, atau praktik 
perdagangan yang tidak jujur.
Clinard dan Yeager menyimpulkan adanya sepuluh 
kepercayaan di kalangan eksekutif yang merupakan dalih bagi 
usaha mengendalikan perusahaan melalui pembuatan undang-
undang dan penegakannya. Kesepuluh kepercayaan ini  
meliputi: 
1. Semua langkah-langkah hukum merupakan campur tangan 
pernerintah terhadap sistem bisnis yang bebas.
2. Peraturan-peraturan pemerintah tidak dapat dibenarkan 
sebab biaya tambahan untuk mengikuti peraturan 
dan prosedur birokrasi mengakibatkan berkurangnya 
keuntungan.
3. Peraturan yaitu  salah sebab semua peraturan pemerintah 
tidak komprehensif dan terlalu rumit.
4. Peraturan tidak diperlukan sebab hal-hal yang diatur 
merupakan masalah yang tidak penting.
5. Hanya ada  sedikit kesengajaan dalam pelanggaran-
pelanggaran oleh korporasi: kebanyakan merupakan 
kesalahan sebab tidak melakukan (omission) daripada 
melakukan (commission), dan banyak yang keliru.
6. Perhatian lain yang sejaIan dengan bisnis yaitu  pelanggaran 
hukum, dan bila pemerintah tidak dapat mensegahnya tidak 
ada alasan untuk menolak mengapa korporasi tidak boleh 
memperoleh keuntungan melalui tindakan tidak sah.
7. Meskipun benar, seperti daIam masalah  pengaturan harga 
(price- fixing), banyak pelanggaran korporasi bernilai 
miliaran dollar kerugian sangat terasa, namun bagi kelas 
konsumen individual hanya menderita kerugian keciI.
8. Bila tidak ada  peningkatan keuntungan korporasi, 
pelanggaran tidaklah salah.
9. Korporasi dalam kenyataannya dimiliki oleh rata-rata warga 
negara, sehjngga tuduhan bahwa bisnis besar mendominasi 
warga (Amerika) dan melanggar hukum dan 
memperoleh kekebalan hukurn yaitu  tuduhan palsu.
10. Pelanggaran dipicu  oleh kebutuhan ekonomi: tujuannya 
yaitu  untuk melindungi nilai saham, menjamin perolehan 
keuntungan bagi pemegang saham, dan melindungi 
keamanan kerja bagi pegawai dengan menjamin stabilitas 
keuangan korporasi 
2. Analisis Kriminologi terhadap Kejahatan Korporasi
Kejahatan dan ekses korporasi mulai memperoleh perhatian 
di ujung abad ke-19 dan abad ke- 20. Beberapa faktor penting 
yang mendukung tumbuhnya campur tangan pemerintah 
dalam bidang ekonomi dan korporasi mencakup antara lain205:
a. perubahan dari warga agraria ke warga industrial 
dan komersial
b. meningkatnya ketidakmerataan kekayaan dan penumpukan 
kemakmuran pada segelintir warga warga
c. tumbuhnya kebutuhan untuk menaruh kekayaan di tangan 
orang-orang lain
d. transformasi pemilikan dari kekayaan yang daoat dilihat 
kekuasaan-kekuasaan dan hak-hak yang tak dapat diraba 
seperti saham, termasuk sistem jaminan sosial dan 
pemilikan harta benda
e. pertukaran kekayaan dari pemilikan pribadi ke pemilikan 
korporasi.
Dalam kriminologi, studi yang berkaitan dengan kejahatan 
korporasi yang terkenal dilakukan oleh Edwin H. Sutherland 
(1961) mengenai “white collar crime” yang dirumuskannya 
sebagai suatu kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat 
dan berstatus sosial tinggi dalam warga dalam rangka 
kedudukan kerjanya.
“White collar crime” bersifat demokratik, kata divisi 
pidana Departemen Kehakiman Amerika Serikat, yakni dapat 
dilakukan oleh kasir bank atau direkturnya. Dapat pula si 
pelanggar seorang pejabat tinggi pemerintah dengan suatu 
konflik kepentingan. Ia dapat merupakan perampas keuntungan 
dari suatu program bagi golongan miskin yang menggaji suatu 
kelompok kerja dan membuat pekerja-epekerja fiktif dalam 
daftar gaji, susaha ia dapat mengeduk keuntungan dari sana. 
Ciri white collar crime harus ditempuh dalam modus operandi 
dan tujuan-tujuannya bukan pada sifat pelanggarnya.
Kejahatan-kejahatan korporasi seringkali tampil sebagai 
usaha bisnis yang sah, walaupun sesungguhhnya korporasi 
yang bersangkutan menekankan perubahan efisiensi teknologi 
menjadi usaha manipulasi warga melalui iklan, salesmanship, 
propaganda dan lobbying. Dalam perkembangan terakhir ini, 
menurut Sutherland, korporasi mengembangkan suatu kebijakan 
dan ideologi yang sungguh-sungguh machiavelian.
Kejahaatan-kejahatan oleh korporasi memang jarang 
menjadi sasaran penelitian kriminologi, demkian halnya 
sasaran perhatian birokrasi penegak hukum. Statistik kriminil 
yang ada jelas tidak memasukkan jenis kejahatan ini ke dalam 
perhitungan. Lebih sering lagi, kejahatan-kejahatan korporasi 
luput dari proses peradilan pidana. Mardjono Reksodiputro, 
SH, MA, mengemukakan bahwa menurut J.M. van Bemmelen, 
sejak pertengahan abad ke-19 telah dianut tiga sistem yang 
berbeda mengenai pembuat dan pertanggung jawaban hukum 
pidana dari korporasi. Sistem-sistem itu yaitu  :
1) membebankan “tugas mengurus” (zorgplicht) kepada para 
pengurus
2) mengakui korporasi sebagai pembuat, tetapi pengurus yang 
bertanggung jawab
3) korporasi dapat menjadi pembuat dan bertanggung jawab.
Yang menarik yaitu  sistem yang ketiga ini. Dikatakan, 
dalam sistem ketiga ada  ketentuan-ketentuan yang 
membuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan 
meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. 
Alasannya antara lain yaitu  sebab dalam delik-delik ekonomi 
dan fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian 
yang diderita warga dapat sedemikian besarnya sehingga 
tidak akan mungkin seimbang bilaman pidana hanya dijatuhkan 
kepada pengurud korporasi saja. Juga diajukan sebagai alasan, 
bahwa dengan hanya dengan memidana para pengurus, 
tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan 
lagi mengulangi delik ini . Dengan memidana korporasi 
dengan jenis dan berat yang sesuai dengan sifat korporasi itu, 
diharapkan dapat dipaksan korporasi untuk mentaati perarturan 
bersangkutan.
Tentang masalah, bilamanakah korporasi dapat 
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan-perbuatan 
terlarang, yang dilakukan oleh satu atau lebih anggota 
pengurusnya, atau oleh seorang pegawai korporasi tetapi 
mendapat kuasa berbuat untuk korporasi; Mardjono 
Reksodiputro mengutip bahwa menurut Bemmelen, persoalan 
ini akan timbil terutama pada delik-delik dengan unsur kealpaan 
ini (tetapi juga kesengajaan) dapat timbul dari perbuatan kerja 
sama (disadari maupun tidak) dari orang-orang ini  di atas.
Dalam hal “public welfare offences”, dikatakan bahwa 
Friedman berpendapat agar untuk memidana korporasi jangan 
terlalu ditekankan pada sendi kesalahan. Cukup bilamana 
korporasi itu telah memenuhi perbuatan yang sekiranya 
melawan  hukum. Selanjutnya, untuk Indonesia ini berarti 
bahwa bilamana korporasi dituduh berbuat suatu delik yang 
termasuk ke dalam “public welfare offences”, maka terhadap 
delik yang bersangkutan harus selalu dipergunakan ajaran “fait 
material” (dimana tidak diperlukan adanya kesalahan).
Tetapi bagaimanakah masalah pertanggung jawaban 
korporasi ini untuk delik-delik lainnya, demikian Mardjono, 
apakah di sini sendi kesalahan juga tetap harus diperhatikan 
seperti halnya bila yang dituntut yaitu  manusia? Dapatkah dan, 
bilamana jawabannya positif bagaimanakah korporasi dapat 
mengajukan alasan penghapusan pidana? Yang dimaksudkan 
disini tentu terutama yang tercantum dalam pasal 48 sampai 
dengan 51 KUHP. Apakah ini juga berarti bahwa alasan 
penghapusan pidana yang dapat diajukan oleh orang (pengurus, 
pegawai, kuasa) yang sebenarnya berbuat itu (untuk korporasi) 
dapat pula diajukan oleh korporasi dalam pembelaannya.
Sifat dari pidana yang dapat dijatuhkan menurut KUHP 
tentu akan membatasi pula kemungkinan delik-delik yang 
dapat dituduhkan kepada korporasi. Beberapa delik yang sangat 
pribadi tentu sudah harus di kecualikan sejak semula (misalnya 
pembunuhan atau perkosaan). Masalahnya yaitu  bagaimana 
bila delik-delik yang akan dituduhkan kepada korporasi 
tidak membuat ancaman denda misalnya pasal 263 KUHP 
(pemalsuan surat-surat ancaman pidana 6 tahun) ?
Pertanyaan terakhir yaitu  seperti dipertanyakan oleh 
Mardjono Reksodiputro, bagaimana bilamana korporasi ini 
yaitu  kepunyaan atau dikuasai negara? Dalam hal “publiek 
rechtelijk corporates” Remmelink tidak melihat keberatannya. 
Hanya dalam hal ini harus dicari titik pertautannya dengan 
hukum administrasi. 
Akan tetapi, oleh sebab perkembangan politik ekonomi 
dan sosial yang berlangsung cepat, di mana delik-delik yang 
dilakukan oleh korporasi akan mencerminkan juga kemajuan-
kemajuan teknologi, agaknya usaha hukum terhadap kejahatan-
kejahatan korporasi ini perlu dipertegas. Hal ini dapat dilakukan 
dengan melakukan tambahan dalam bidang perundang-
undangan yang menyangkut tindak pidana ekonomi.
3. Mengatasi Kejahatan Korporasi
Masalahnya, seberapa jauh proses penegakan hukum di 
Indonesia sudah mempunyai orientasi politik untuk menjaring 
dan menghukum para pelaku kejahatan koporasi? Dan, bagaimana 
dimensi pertanggungjawaban korporasi dalam hukum kita?
Menurut Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia, sebuah 
lembaga swadaya warga yang memperhatikan hak-hak buruh, 
antara lain, masalah  pelanggaran hak-hak asasi manusia di bidang 
perburuhan dari Juli 1994 sampai September 1996 mencapai 62 
persen. Angka itu demikian tinggi dibandingkan dengan masalah  
pelanggaran hak-hak asasi manusia menyangkut pencekalan dan 
pelanggaran (12,6 persen), pertanahan (25,4 persen), Jaminan 
Sosial Tenaga Kerja (48 persen), pemutusan hubungan kerja 
(25,4persen), dan kondisi kerja tidak layak (16,8 persen).
Dalam keadaan demikian, belum diperoleh data tentang 
sejauh mana langkah-langkah penegakan hukum berlangsung 
terhadap jenis-jenis kejahatan korporasi itu; dan sejauh mana pula 
pengendapan dimensi pertanggungjawaban korporasi terhadap 
peristiwa-peristiwa pelanggaran hak-hak asasi manusia itu.
Jawaban sementara untuk persoalan kedua itu, agaknya, 
telah diberikan Mardjono Reksodiputro. Katanya, dalam 
hukum pidana umum yang akan datang, korporasi seharusnya 
merupakan subyek tindak pidana (pasal 45 rancangan undang-
undang ketenagakerjaan). sebab itu, penuntutan dapat 
dilakukan dan pidananya dijatuhkan terhadap korporasi itu 
sendiri atau pengurusnya saja (pasal 46 rancangan undang-
undang ketenagakerjaan).
Di luar itu, mengingat keterbatasan-keterbatasan pelaksanaan 
fungsi hukum pidana, diperlukan juga usaha-usaha di bidang 
hukum perdata dan administrasi, juga usaha-usaha sosial untuk 
mencegah dan menanggulangi kejahatan korporasi--apalagi jika 
perbuatan itu mengandung muatan pelanggaran hak-hak individu 
atau kelompok.
Sekadar contoh, Russel Morkhiber mengusulkan 
butir program hukum dan ketertiban untuk mengatasi 
kejahatan korporasi. Antara lain: menyusun aturan bagi 
pertanggungjawaban eksekutif perusahaan terhadap publik; 
memperkuat standar kebijaksanaan penuntutan perusahaan; 
meredefinisi hak-hak korporasi; membangun pranata-
pranata sosial setempat untuk memantau kejahatan korporasi; 
mengubah standar-standar pembuktian; memberi fasilitas 
untuk class action; membatasi kontrol korporasi terhadap 
media massa; melarang korporasi kriminal untuk memperoleh 
fasilitas-fasilitas dari pemerintah.
Walhasil, di tengah situasi yang masih ditandai oleh 
lemahnya posisi tawar buruh secara terorganisasi, fungsi hukum 
pidana untuk melahirkan, setidaknya, “efek menjerakan” masih 
dibutuhkan.
Tanggung jawab korporasi ini  dalam perwujudannya 
harus mempunyai dampak penjeraan, dengan catatan:207
1. Penjeraan tidak diartikan bahwa hukuman harus diterapkan 
kepada orang-orang yang merupakan pelakunya. 
Ketidakpastian sebagai ciri dari tindakan korporasi tidak 
mempunyai implikasi pada kebijakan, bahwa hukuman 
yang berdampak penjeraan harus dibatasi pada orang-orang 
yang melakukan tetapi terhadap semua pihak yang selaras 
dengan kebijakan pemberian sanksi yang berpusat pada 
Orang-orang yang melakukan maupun korporasi.
2. Penjeraan dan reformasi organisasi merupakan pelengkap 
daripada sesuatu cara yang melekat dalam mengendalikan 
tingkah laku korporasi. 
3. Kemampuan penjeraan pada pertanggunganjawab dana 
secara individual akan bervariasi tergantung pada sejumlah 
faktor, misalnya: beban berlebih dalam penegakan; tidak 
transparannya jalur internal akuntabilitas korporasi; dapat 
dihilangkannya individu dalam organisasi; pemisahan 
korporasi atas pihak yang bertanggung jawab atas tindakan 
pelanggaran masa lalu dengan pihak ‘ yang’harus bertanggung 
jawab untuk mencegah berulangnya pelanggaran di masa 
depan; dan perlindungan diri dari individu-individu yang 
dicurigai dalam korporasi 
Pertanggungjawaban dalam WCC dapat dipandang dalam 
3 cara sebagai berikut :
1. Pengurus Korporasi yang berbuat maka pengurus lah yang 
harus bertanggungjawab208
Konteks ini memberi pemahaman bahwa jika terjadi 
suatu tindak pidana dalam lingkungan korporasi, pada 
hakikatnya tidak lain dan tidak bukan merupakan perbuatan 
dari para pengurusnya. Dalam hal ini terjadi pembedaan 
terhadap tugas mengurus dari pengurus. 
Konsep dalam hukum pidana Indonesia sendiri yaitu 
pada KUHP masih menganut paham bahwa hanya persona 
alamiah lah yang mampu melakukan tindak pidana.
Ketentuan yang menunjuk bahwa tindak pidana hanya 
dapat dilakukan oleh manusia yaitu  Pasal 59 KUHP yang 
berbunyi, “Dalam hal-hal di mana sebab pelanggaran 
ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota 
badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, 
anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris 
yang ternyata tidak ikut campur melakukan tindak 
pelanggaran tidak dipidana.”
Ketentuan ini  memberikan pemahaman bahwa para 
pembuat KUHP masih dipengaruhi dengan asas societas 
delinquere non potest (badan-badan hukum tidak dapat 
melakukan tindak pidana). Asas ini merupakan pemikiran 
dogmatis pada Abad 19, dimana kesalahan menurut hukum 
pidana selalu disyaratkan sebagai kesalahan manusia, sehingga 
erat kaitannya dengan sifat individualis dalam KUHP. 
2. Korporasi sebagai pembuat maka pengurus yang bertanggung 
jawab
Sistem pertanggung jawaban korporasi dalam doktrin 
ini ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam 
perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana 
dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha, akan 
tetapi pertanggungjawaban untuk itu menjadi beban dari 
para pengurus badan hukum ini .
3. Korporasi sebagi pembuat dan yang bertanggungjawab210
Sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini merupakan 
permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari 
korporasi. Dalam system ini dibuka kemungkinan menuntut 
korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut 
hukum pidana. Hal-Hal yang dapat dipakai sebagai dasar 
pembenar atau alas an-alasan bahwa korporasi sebagai pembuat 
dan sekaligus yang bertanggung jawab yaitu  sebagi berikut. 
Pertama, sebab dalam berbagai tindak pidana ekonomi dan 
fiscal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang 
diderita warga dapat sedemikian besarnya sehingga tidak 
akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan 
pada pengurus saja. Kedua, tidak atau belum ada jaminan 
bahwa korporasi tidak akan mengulangi lagi tindak pidananya.
VI PENANGGULANGAN MASALAH KEJAHATAN
Masalah pencegahan kejahatan sangat kompleks sebab 
bertautan satu sama lain, yaitu aspek pribadi dan aspek 
lingkungan yang mempengaruhi individu ini . Sebelum 
menguraikan masalah pencegahan kejahatan maka perlu 
dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
A. Realitas Sosial Kejahatan
William J Chambliss berkata bahwakejahatan yaitu  
suatu gejala hukum, politik, ekonomi dan sosial