Jumat, 26 Januari 2024
kriminologi 3
By tewasx.blogspot.com at Januari 26, 2024
kriminologi 3
bert K. Merton
berorientasi pada kelas (“Merton is in exploring variations in
crime and deviance by social class”).
Konkritnya, unsur kultur melahirkan goals dan unsur struktural
melahirkan means. Secara sederhana, goals diartikan sebagai tujuan-
tujuan dan kepentingan membudaya meliputi kerangka aspirasi
dasar manusia. sedang means diartikan aturan dan cara kontrol
yang melembaga dan diterima sebagai sarana mencapai tujuan.
sebab itu, Robert K. Merton membagi norma sosial berupa tujuan
sosial (sociatae goals) dan sarana-sarana yang tersedia (acceptable
means) untuk mencapai tujuan ini .
Menurut Robert K. Merton, struktur sosial berbentuk kelas-
kelas sehingga menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan
kesempatan dalam mencapai tujuan.155 Misalnya, mereka yang
berasal dari kelas rendah (lower class) mempunyai kesempatan
lebih kecil dalam mencapai tujuan bila dibandingkan dengan
mereka yang berasal dari kelas tinggi (uper class).
Robert K. Merton mengemukakan lima cara mengatasi
anomie dalam setiap anggota kelompok warga dengan
tujuan (goals) dan sarana (means), seperti tampak pada
tabel Model of Adaptation berikut ini:
Penyesuaian/
bentuk adaptasi
Tujuan Budaya Cara Kontrol
1. Konformitas + +
2. Inovasi + -
3. Ritualisme - +
4. Penarikan Diri - -
5. Pemberontakan +/- +/-
Keterangan :
+ = Penerimaan
- = Penolakan
+/- = Penolakan dan penggantian dengan cara baru
Penjelasan table di atas menurut Merton yaitu sebagai
berikut
a. Konformitas : menerima tujuan kesuksesan dalam
warga dan juga cara-cara yang disepakati warga
untuk mencapai status ini , seperti melalui kerja keras,
pendidikan ,penundaan kesenangan, dan lain-lain yang
semacam itu. Penerimaan tujuan tidak mengindikasikan
bahwa semua orang benar-benar mencapai akhir
memuaskan, tetapi mereka meyakini sistem ini .
b. Inovasi : menerima tujuan kesuksesan, tetapu menolak atau
mencari alternatif tidak sah cara-cara untuk mencapai tujuan
itu. Aktivitas kriminal seperti pencurian dan kejahatan
terorganisasi bisa dijadikan contoh, walaupun aktivitas yang
disokong warga seperti penemuan bisa pula dijadikan
ilustrasi. Contoh menarik yaitu masalah Fred Demara, Jr.,
sangat dikenal lewat buku The Great Imposter (Crichton,
1959). Seorang lulusan sekolah mengah, demara kecewa
melihat orang menghabiskan begitu banyak waktu dalam
hidup mereka untuk menyiapkan satu profesi saja. Memalsu
ijazah dan identitas, dia meniti karier sebagai seorang
dosen, rahib Trappis, sipir, dan ahli bedah di Angkatan Laut
kanada, sekedar untuk menyebut beberapa.
c. Ritualis : diilustrasikan oleh “birokrat masa bodoh” yang
sedemiikian terjerat dalam aturan dan cara-cara mencapai
tujuan hingga dia cenderung melupakan atau tidak bisa
menempatkan signifikansi semestinya pada tujuan. Individu
ini akan didorong melakukan gerakan-gerakan dengan
harapan tipis berhasil mencapai tujuan.
d. Retreatist : merepresentasikan penolakan cara maupun
tujuan yang disepakati warga. Adaptasi ini bisa
diilustrasikan oleh nasihat Timothy Leary, nabi psikedelik
generasi enam puluhan, yang mengkhotbahkan “tune in,
turn on, drop out” (simak, aktifkan, lepas). Alkoholik kronis
dan pecandu narkoba mungkin akhirnya menolak standar-
standar warga tentang pekerjaan dan kesuksesan
dan memilih tujuan “melayang tinggi” dengan mengemis,
mengutang, atau mencuri.
e. Pemberontak : menolak cara maupun tujuan dan mencari
alternative pengganti yang dapat merepresentasikan
tujuan-tujuan warga baru, juga metode-metode baru
mencapainya, seperti melalui aktivitas revolusioner yang
bertujuan memperkenalkan perubahan dalam tatanan yang
ada di luar saluran normal yang disepakati warga.
Ketidaksamaan kondisi sosial yang ada di warga
(Amerika) yaitu dipicu sebab konstruksi sosial
warga di sana yang timpang. Menurut pandangan
Merton, struktur warga sedemikian yaitu anomistis.
Individu dalam warga yang anomistis selalu dihadapkan
kepada adanya tekanan (psikologis) atau strain sebab
ketidakmampuannya untuk mengadaptasi aspirasi sebaik-
baiknya, walaupun dalam kesempatan yang sangat terbatas.
Kritik terhadap konsep anomi
Traub dan Little (1975) memberikan kritiknya sebagai
berikut: teori anomi nampaknya beranggapan bahwa di setiap
warga ada nilai-nilai dan norma-norma yang dominan
yang diterima oleh sebagin besar warga,dan teori ini tidak
menjelaskan secara memadai mengapa hanya individu-individu
tertentu dari golongan warga bawah yang menyebabkan
penyimpangan-penyimpangan. Analisis Merton sama sekali
tidak mempertimbangkan aspek-aspek interaksi pribadi untuk
menjadi deviant, dan juga tidak memperhatikan hubungan erat
108 Kriminologi: Sebuah Pengantar108 Kriminologi: Sebuah Pengantar
Teori-Teori Kriminologi......
antara kekuatan sosial dengan kecenderungan bahwa seseorang
akan secara formal memperoleh cap sebagai deviant.
Cohen (1955) di dalam bukunya “Delinquent Boys”,
menolak analisis Merton sebab tidak dapat dipergunakan
untuk menjelaskan “Joevenile delinquent”. Menurut Cohen
teori anomi tidak dapat menjelaskan secara memadai tentang
kegiatan-kegiatan anak dan remaja delinquent. Di samping
mereka melibatkan diri mereka ke dalam cara-cara yang ilegal
untuk memperoleh sukses, juga mereka melakukan tindakan-
tindakan yang bersifat “non utilitarian”, kejam dan negatif.
Adapun Cullen (1983) menyampaikan kritiknya sebagai
berikut:
1) Bahwa Durkheim tidak secara jelas merinci sifat dari
keadaan sosial yang sedang terjadi. Sekalipun Durkheim
mengemukakan pengertian-pengertian umum dengan
menunjuk pada istilah common ideas, beliefs, customs,
tendencies, dan opinions, namun pengertian-pengertian
ini nampak berdiri sendiri dan bersifat eksternal
dari kesadaran individu. Di lain pihak, sekalipun dalam
kedudukan sedemikian, pengertian-pengertian dimaksud
tetap mampu mengarahkan atau membatasi kegiatan
individu.
2) Durkheim tidak konsisten dalam menjelaskan bagaimana
“Currents anomy” menyebabkan bunuh diri. Ia sekurang-
kurangnya telah menkaitkan “Current anomy” kepada
“bunuh diri” melalui dua cara yang terpisah. Pertama, logika
analisis Durkheim pada bab tentang “Anomic Suicide”,
mendukung hipotesis bahwa kejadian-kejadian yang tiba-
tiba seperti: perceraian dan kemakmuran yang mendadak
cenderung mengakibatkan bunuh diri.
Kedua, pernyataan Durkheim mengenai peran “social
current” menunjukkan adanya penyimpangan yang
mendasar dari pembahasannya tentang deregulasi.
Menurut Durkheim, “social currents” membawa pengaruh
sepenuhnya terhadap bunuh diri. Dari pernyataan ini jelas
bahwa usaha untuk memperluas skema sebab-sebab yang
ada dalam hipotesa deregulasi tidak nampak. Bahkan
ia menyampaikan penjelasan lain yang berbeda mengenai
bunuh diri.
3) Dalam seluruh tulisannya tentang “bunuh diri”, Durkheim
telah tidak berhasil membahas bagaimana kondisi
sosial dapat membentuk penyimpangan tingkah laku di
warga. Hal ini sebagian besar dipicu sebab
strategi metodologi yang dipergunakan Durkheim. Ia
pertama mempelajari bunuh diri, dan kemudian mulai
mengungkapkan penyebab-penyebabnya.
Studi masalah Anomie
Terjerat Utang Piutang
Lagi, Polisi Bunuh Diri
Kebumen – Aksi mengakhiri hidupnya sendiri kembali
terjadi di jajaran kepolisian. Setelah anggota brimob Polda
DIY, Bripka Iwan Rudiyanto, kini aksi itu juga dilakukan
Ipda Nyariman yang menjadi Kepala Kepolisian Sektor
(Kapolsek) Karangsambung Kabupaten Kebumen.
Nyariman ditemukan tewas gantung diri dengan seutas tali
di ruang kerjanya, Rabu (5/9) sekitar pukul 11.00.
Kepolisian Kepolisian Resor (Kapolres) Kebumen AKBP
Alpen yang dikonfirmasi waratawa membenarkan peristiwa
yang dilakukan anak buahnya. Keterangan Kapolres, Ipda
Nyariman masih memimpin apel pagi, dan ngobrol dengan
stafnya hingga pukul 09.00. setelah itu, masuk ruang
kerjanya. Selama dir yang kerja, tidak ada yang tahu apa
yang dilakukanny. Bahkan saat anak buah menghubungi
melalui telepon genggamnya, tidak ada jawaban. Khawatir
dengan kondisi Kapolsek, sekitar pukul 11.00, anggota
Polsek Karangsambung masuk paksa dan menemukan
Ipda Nyariman sudah tidak bernyawa dengan lilitan tali di
leher. “Dari visum et repertum luar, ditemukan ada jeratan
di leher pakai tali,” ungkap AKBP Alpen.
Terkait latar belakang bunuh diri Ipda Nyariman sudah
menjabat Kapolsek Karangsambung sekitar 6 bulan, AKBP
Alpen masih mendalami. Namun diakui Ipda Nyariman
sedang menghadapi masalah utang piutang.
Dari rumah duka di Jalan Sarbini Kebumen, jenazah
Ipda Nyariman dibawa ke tempat asalnya Blora untuk
dimakamkan. Hal itu sesuai dengan surat wasiat yang
ditemukan di lokasi kejadian. Sementara itu, Polda DIY
mendalami masalah tewasnya Bripka Iwan Rudiyanto (35)
anggota Detasemen Pelopor B Brimob Polda DIY. Dugaan
awa, Bripka Iwan sengaja bunuh diri dengan menembakkan
pistol ke kepalanya. Namun kemungkinan lain juga
didalami.
“jika bunuh diri mengapa harus dilakukan di depan teman-
temannya. Kalau memang bunuh diri bisa dilakukan di
kamar saar sendiri. Kami masih menyelidiki masalah ini ,
namun hingga saat ini diduga bunuh diri,” terang Kabid
Humas Polda DIY Kombes Pol Anny Pudjiastuti kepada
waertawan, Rabu (5/10).
Hasil pemeriksaaan, aksi Bripka Iwan harus dilakukan
memakai pistol jenis Taurus yang merupakan senjata
api dinas milik Bripka Iwan dari kesatuannya. Senjata api
ini , sudah disita oleh komandan di kesatuannya.
Anny menambahkan, standar peluru senjata api jenis
Taurus ini ada 6 megazine. Dari enam ini ,
dua terisi peluru dan 4 terisi peluru hampa. Dikatakan,
hasil pemeriksaan saksi diperoleh keterangan sebelum
menembak kepalanya, Bripka Iwan menembakkan peluru
ke atas sebanyak dua kali. “Seharusnya senjata api itu tidak
boleh untuk mainan,” tandasnya.
Seperti dikatakan, Bripka Iwan menembal kepalanya
memakai senjata api saat bertamu di rumah Supriyono
(57) warga RT 03 RW 05 Kelurahan Sindurejan Purworejo,
Senin (4/10) sekitar pukul 23.00
Studi pertama mengenai sub-kultur kekerasan yang
mengehasilkan suatu teori yaitu dilakukan oleh Wolfgang dan
Ferraouti (1976) di Sardinia, Italia. Dalam konsep yang meraka
bangun mengenai sub kultur kekerasan ini, diungkapkan
bahwa tiap penduduk yang terdiri dari kelompok etnik tertentu
dan kelas-kelas sosial tertentu memiliki sikap yang berbeda-
beda tentang penggunaan kekerasan diwujudkan ke dalam
seperangkat norma yang sudah melembaga dalam kelompok
tertentu dalam warga. Dengan pemikiran ini ,
Wolfgang dan Ferraouti menegaskan bahwa “sub culture of
violence” represents values that stand apart from the dominant,
central, or parent culture of society”. (dikutip dari Clinard dan
Quinney, 1973: 29)
Dari hasil penelitian Wolfgang dan Ferracuti ini
telah dihasilkan sebuah bibliografi_dan teramat penting
bagi perkembangan studi kejahatan mengenai: psikologi
dari pembunuhan, karakteristik pelaku agresif dan kultur
yang mendukung kekerasan. Wolfgang dan Ferracuti juga
menemukan indikator sub-kultur kekerasan di tiap-tiap
kelompok dalam warga. Yakni:
1) Aksi kekerasan (violent acts) dan persiapan-persiapannya,
dan
2) Pembenaran secara verbal (Verbal Justification).
Clinard dan Quinney telah mengajukan tujuh proposisi
sebagai berikut:
1) Tidak ada sub-kultur yang secara mutlak berbeda ataupun
berkonflik dalam sebuah komunitas warga di mana
sebuah kultur ada. Sub kultur kekerasan sama sekali bukan
ekspresi dari kekerasan, di dalamnya pasti ada elemen nilai
yang sama dengan kultur yang dominan.
2) Untuk menyeimbangkan keadaan dengan adanya eksistensi
sub-kultur kekerasan tidaklah mempersyaratkan perlu
bagi para individu yang ada dalam warga yang
tentunya mempunyai nilai-nilai yang dipegangi, untuk
mengekspresikan nilai yang ia pegangi ini dengan
melakukan tindak kekerasan dalam segala situasi
3) Sebuah potensi menuju kepada terjadinya kekerasan yaitu
sebab adanya pemaksaan kehendak untuk menyatukan
sikap padahal nilai-nilai yang dianut dalam warga
yaitu berbeda.
4) Semangat sub-kultur kekerasan boleh jadi merata pada
semua umur yang ada di dalam sub-warga, tetapi
semangat ini paling mencolok pad umur-umur dan
kelompok tertentu, yakni dari umur remaja akhir sampai
paroh umur.
5) Norma yang berlawanan yaitu non-kekerasan
6) Perkembbangan atas sikap yang menyenangkan, dan
manfaat dari, kekerasan di dalam sub-kultur biasanya
meliputi pembelajaran perikeu dan proses belajar menyikapi
perbedaan, asosiasi dan identifikasi
7) Kekerasan dalam sub-kultur yaitu suatu hal yang tidak
ada manfaatnya dan tidak suatu hal yang tidak perlu sebagai
sebuah kelakuan yang haram dan sebabnya, para pelaku
tindak kekerasan yaitu mereka yang tidak mempunyai
kepekaan rasa (perasaan bersalah) tentang agresi mereka.
Kekerasan dapat menjadi bagian dari gaya hidup, intinya
yaitu bahwa solusi masalah yang cukup sulit yaitu
problem atas situasi.
Romli Kartasasmita berpendapat bahwa pengertian istilah
“sub-cultur of violence” berbeda secara prinsipil dengan apa yang
disebut dengan “violence as a subculture”. jika pengertian
“sub-culture of violence” menunjuk kepda suatu budaya
kelompok-kelompok dalam warga atau lebih tepat disebut
“life style” (bukan fashion) yang memiliki ciri khas kekerasan
yang bersifat tetap dan melembaga, nemun tetap mengakui
dan masih menerima nilai-nilai dari kultur yang dominan
(dari warga secara keseluruhan), maka pengertian istilah
“violence of a subculture” menunjuk kepaada budaya kekerasan
semata-mata yang dianut kelompok-kelompok tertentu dalam
warga. Sikap kelompok warga ini tidak memiliki
lagi toleransi terhadap nilai-nilai yang dianut oleh kultur
mayoritas. Bahkan bisa dikatakan bahwa mereka menolak sama
sekali eksistensi nilai-nilai dimaksud.
Hubungan antara kultur dan sub-kultur
Hubungan kedua unit ini erat sekali sebab sub-
kultur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu
kultur. Nampak ada perbedaan yang tidak begitu tajam antara
keduanya, dan hal itu secara tegas dilukiskan oleh Nettler (1984:
240) sebagai berikut:
“Eksistensi sub-kultur yaitu sejak adanya sebuah
komunitas dalam warga yang terdiri dari beberapa
kelompok dimana antara satu kelompok dengan kelompok
yang lain saling mempengaruhi”
Menarik inti dari pengertian sub-kultur diatas, namun
bahwa sub-kultur ini masih menerima dan mengakui
adanya kesamaan unsur-unsur budaya dengan apa yang
dinamakan “dominant culture” atau “parent culture” atau yang
dianut warga. Namun demikian, dari dan di dalam sub-
kultur dimaksud masih dipertahankan adanya “gaya hidup yang
sudah melembaga dalam warga.
Teori ini dianggap lanjutan dari teori Anomie. Sejarah singkat
mengenai berkembangnya teori sub-kultur ini yaitu saat pada
tahun 1950-an, waktu ini menandai dahsyatnya perutumbuhan
konsumerisme.162 Saat Soviet berhasil menerbangkan satelit
pertamanya ke luar angkasa, ini menjadi titik tolak bagi Amerika
untuk menciptakan dan mengembangkan dunia pendidikan
dan keilmuan.163 Sebelumnya, warga kelas menengah
menunjukkan kehebatan dan superioritasnya pada saat perang lalu
setelah perang muncullah hak pendidikan yang mana merupakan
hal yang dapat dibagikan ke semua lapisan warga. Hasilnya
para veteran yang dulu ikut berperang diberikan kesempatan
untuk mengenyam pendidikan, tingkat pendaftaran di sekolah
dan universitas meningkat pesat, lalu warga kelas menengah
menginginkan anak-anaknya agar mendapatkan pendidikan di
sekolah.
Fenomena pasca perang ini kemudian menimbulkan
urbanisasi yang begitu besar ke kota-kota, yang menjadi masalah
kemudian yaitu stigma bahwa warga kelas bawah selalu
memiliki persoalan dengan gang atau kelompok dan didukung
oleh sikap warga kelas menengah yang menunjukkan
bahwa mereka lebih superior dibanding kelas bawah dan juga
menyebutkan perbedaan “kami dan mereka”.
Keadaan yang (kita-mereka) senjang ini menimbulkan
beberapa orang merasa terasingkan atau terpisah dari budaya
yang lebih besar dan memaksakan dirinya untuk hidup berbeda
dari yang budaya umum yang biasa dijalani lalu terkadang
mereka merasa aneh.164 Cohen bersikukuh bahwa bahwa
perilaku kriminal di warga kelas bawah bukan merupakan
metode yang rasional untuk memperoleh asset finansial
seperti yang dikatakan oleh Merton, namun lebih kepada
ekspresi hedonisme sementara.165 Hedonisme sementara ini
didefinisikan bahwa aktornya mencari kepuasan yang instan
dari keinginannya tanpa memperhatikan konsekwensi jangka
panjangnya.
Akhirnya muncullah geng-geng atau kelompok ini, dimana
mereka identik dengan tindakan kekerasan.
Contoh masalah Teori Subkultur
Carok merupakan salah satu tradisi yang ada di warga
Madura. Tradisi merupakan tradisi yang mengandung
kekerasan, tindakan ini pada umumnya dilakukan oleh laki-
laki. Permasalahan yang menjadi akar persoalan biasanya ada
tiga: perselingkuhan, tanah dan irigasi. Latief A. Wiyata, seorang
Dosen di Universitas Jember menyatakan hal ini dalam
sebuah film dokumenter mengenai budaya carok. Perbuatan
ini akan dilakukan jika masalah ini dianggap sudah
menodai harga diri seorang laki-laki, terutama jika istrinya
berselingkuh dengan orang lain. Sebelum dilakukan, biasanya
ada diskusi yang melibatkan keluarga inti dari pihak-pihak
yang bermasalah. Mereka akan menentukan apakah diperlukan
tindakan carok atau tidak untuk menyelesaikan persoalan
ini . jika disepakati untuk carok maka kedua belah
pihak akan berjanji untuk bertemu di sebuah tempat, carok akan
dihentikan jika dalam pertarungan ini salah satunya
telah mati atau keduanya luka-luka berat. Setelah melakukan
carok dan membuat lawannya mati biasanya mereka akan
melaporkan diri mereka sendiri ke kantor polisi.
Prosentase penyebab terjadinya carok yang paling tinggi
yaitu perselingkuhan sebanyak enam puluh persen(60%),
diikuti persoalan tanah sejumlah 25 % dan irigasi sebanyak 15
%. Data ini didapat dari statistik kejahatan kepolisian daerah
Madura.
Penggambaran carok ini memenuhi unsur-unsur
kekerasan fisik, dan tindakan ini hidup dan tumbuh di warga
Madura sebagai pilihan terakhir untuk menyelesaikan masalah.
Esensi dari carok yaitu menghapuskan aib yang dirasakan oleh
seseorang, namun hingga hari ini pengertian ini bergeser.
Contohnya seorang bapak bernama Paidi dibunuh oleh seorang
kakek bernama Sutarjo, kemudian cucu dari Sutarjo meninggal
tiba-tiba sebab dibunuh. Hal ini terjadi sebab anak dari Paidi
menyimpan dendam kepada keluarga Sutarjo sejak lama dan
bertahun-tahun kemudian baru membalaskan dendamnya.
Alasan carok mewarnai perbuatan ini .
Pergeseran nilai ini jika dikaitkan dengan sub kultur
maka terbentuklah unsure-unsur yang cocok. Subkultur
memiliki cirri khas, bahwa kekerasan ini melembaga di
dalam warga. Indikator yang diciptakan oleh Wolfgang
dan Ferracuti pun terpenuhi, seperti adanya aksi kekerasan dan
pembenaran secara verbal.
V KEJAHATAN KEKERASAN DAN KEJAHATAN KORPORASI
A. Pengertian Kejahatan Kekerasan
Pengertian baku tentang istilah “kejahatan dengan
kekerasan” secara yuridis belum diatur secara jelas dan tuntas.
Bentuk kejahatan yang dimaksud yaitu bentuk kejahatan yang
diatur didalam buku II KUHP, sedang pengertian “dengan
kekerasan” dalam BAN IX KUHP juga belum diatur secara jelas.
Pasal 89 KUHP hanya menerangkan bahwa yang dinamakan
“melakukan kekerasan” itu yaitu membuat orang menjadi
pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).
Pengertian “melakukan kekerasan” itu sendiri diartikan
sebagai “mempergunakan tenaga atas kekuatan jasmani tidak kecil
secara tidak sah”, misalnya memukul dengan tangan atau dengan
segala macam senjata, menendang, dan lain sebagainya.
Stephen Schafer dalam suatu studinya mengenai kejahatan-
kejahatan kekerasan di Florida mendasarkan rumusannya
rumusannya pada batasan kelompok internasional para ahli
PBB yang beranggapan bahwa kejahatan-kejahatan kekerasan
yang utama yaitu pembunuhan, penganiayaan berat, dan
perampokan dan pencurian berat.
sedang pelakunya yaitu mereka yang melakukan
kejahatan yang berakibat kematian maupun luka bagi sesama
manusia.
Mengenai pola-pola kekerasan, Martin R. Haskell dan
Lewis Yablonsky mengemukakan adanya empat kategori yang
mencakup hampir semua pola-pola kekerasan, yakni168:
1. Kekerasan legal
Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung
oleh hukum, misalnya tentara yang melakukan tugas dalam
peperangan, maupun kekerasan yang dibenarkan secara
legal, misalnya: sport-sport agresif tertentu dan tindakan-
tindakan tertentu untuk mempertahankan diri.
2. Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi
Suatu faktor penting dalam menganalisa kekerasan
yaitu tingkat dukungan atau sanksi sosial terhadapnya.
Misalnya: tindakan kekerasan seorang suami atas pezina
akan memperoleh dukungan sosial.
3. Kekerasan rasional
Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan
tetapi tak ada sanksi sosialnya yaitu kejahatan yang
dipandang rasional dalam konteks kejahatan. Misalnya:
pembunuhan dalam kerangka suatu kejahatan terorganisasi.
Mengutip Gilbert Geis tentang jenis kejahatan ini dikatakan
bahwa orang-orang yang terlibat dalam pekerjaanya pada
kejahatan terorganisasi yaitu dalam kegiatan-kegiatan
seperti perjudian, pelacuran dan lalu lintas narkotika,
secara tradisional memakai kekerasan untuk mencapai
hasil lebih daripada orang-orang yang ada di lingkungan
ini .
4. Kekerasan yang tidak berperasaan
Irrational violence yang terjadi tanpa adanya provokasi
terlebih dahulu, tanpa memperlihatkan motivasi tertentu dan
pada umumnya korban tidak dikenal oleh pelakunya. Dapat
digolongkan kedalamnya yaitu apa yang dinamakan “raw
violence” yang merupakan ekspresi langsung dari gangguan
psikis seseorang dalam saat tertentu kehidupannya.
Dalam hubungannya dengan pengertian kejahatan menurut
kriminologi, perlu disimak pendapat Rosa del Olmo yang
mengutarakan bahwa kekerasan mempunyai rumusan semantik,
rumusan hukum dan rumusan berdasar kenyataan. Di
dalam kriminologi ada empat macam kekerasan yang harus
diperhatikan yaitu: kekerasan individual, kekerasan institusional,
kekerasan struktural dan kekerasan revolusioner.169
B. Ruang Lingkup dan Bentuk Kejahatan Kekerasan
Bentuk dan akibat kejahatan yang dilakukan dengan
kekerasan yaitu seperti yang dimaksudkan di dalam
perumusan pasal 89 KUHP ini , sedang pada pasal-pasal
lain dalam buku II KUHP ini dirumuskan dalam bentuk
ancaman kekerasan”.
Adapun dalam pengertian kepolisian, apa yang termasuk
kejahatan dengan kekerasan yaitu dalam bentuk:
1) Pencurian
2) Pembunuhan
3) Penganiayaan berat
4) Pemerasan
5) Perkosaan dan penculikan
Adapun yang diartikan sebagai pembunuhan dalam buku
karangan Gresham M. Syikes dapat dikategorikan sebagai
berikut:
1. Intent to kill murder : in which the individual desire to kill
another and acts accordingly: or the individual knows that
the death of another is very likely to result from his actions,
whatever may be his desire concerning the matter.
2. Intent to do serious bodily harm murder : in which the
individual wishes to seriously injure another, short of
causing death, but where death is the result nonetheless.
3. Depraved-heart murder: in which the individual acts in
a manner so negligentthat another dies because of the
perpetrator’s actions, although there is no intent to kill or to
do serious bodily injury.
4. Felony murder, in which the individual, in the commission
of felony dangerous to life, causes the death of another.
Originally, any felony would do, but as number of felonies
grew to include a great number of minor offenses. The
harshness of the felony-murder rule was lessened by
restricting it to the commission of those felonies that could
be considerd by restricting it to the commission of those
felonies that could be considered dangerous, such as rape,
burglary, robbery, and arson.
sedang untuk penganiayaan dapat diartikan sebagai,
“infliction of physical harm.” Hal ini kemudian dalam hukum
pidana dipisahkan menjadi dua unsur yaitu:
a. Assault: attempt to injure someone
b. Battery: the actual wounding or hurting of the victim.
Dalam buku yang sama, pemerkosaan dirtikan sebagai,
“unlawful sexual intercourse with a woman without her consent”.
In general, its an act of sexual defilement or an attack on chastity.
There is an argument which said, sexual intercourse with a female
below a specified age, for example, is also categorized as rape which
called statutory rape. But this argument is irrelevant, because the
violation of sexual innocence that is declared a crime, not forcible
sexual intercourse.
Adapun yang diartikan pencurian dengan kekerasan dalam
istilah kepolisian yaitu :
1) Perampokan
Umumnya terjadi di luar kota, di tempat-tempat yang jauh
dari pengawasan petugas keamanan, walaupun kadang-
kadang juga terjadi di dalam kota.
2) Pembegalan
Umumnya terjadi di jalan-jalan di luar kota yang jauh dari
pengawasan petugas keamanan.
3) Penodongan
Umumnya terjadi di dalam kota terutama di tempat-tempat
yang sepi
4) Penjambretan
Umumnya terjadi di dalam kota tanpa memandang keadaan
di sekitar kejadian perkara
5) Perampasan
Umumnya terjadi di dalam kota, namun sekarang sudah
terjadi pula diluar kota tanpa memandang keadaan
disekitarnya kejadian perkara, dan biasanya dengan
ancaman dengan senjata tajam/api.
C. Faktor yang Menyebabkan Timbulnya Kejahatan Kekerasan
Pada dasarnya, masalah kejahatan merupakan hasil interaksi
antar manusia atau sekelompok manusia dengan lingkungannya
yang meilputi bidang keguatan: ideologi, politik, ekonomi, sosial
dan budaya. Hasil interaksi ini bermula dengan timbulnya
motivasi yang kemudian antara lain dapat berkembang menjadi
niat negatif (untuk berbuat jahat) dalam rangka memenuhi
kebutuhannya.
Dengan fasilitas sarana dan kesempatan, maka niat negatif
ini akan menyebabkan kejahatan menjadi manifest. Mulai
dari proses interaksi sampai timbulnya proses kejahatan, banyak
faktor yang dapat menunjang (faktor-faktor kriminogen) yang
umumnya dapat dikelompokkan dalam aspek psikologik,
sosiologik, yuridis dan keamanan. Meningkatnya kejahatan
dapat terjadi terutama sebab dipicu kurangnya usaha
pencegahan terhadap berkembangnya faktor kriminogen.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi meningkatnya
intensitas kejahatan,khususnya dengan kekerasan yang pada
umumnya kita sebut faktor-faktor kriminogen. Dalam garis
besarnya, faktor-faktor kriminogen dapat kita kelompokkan dalam
aspek: psikologik individu, sosial, yuridis, dan keamanan, meskipun
dalam kenyataannya aspek-aspek ini saling berkaitan.175
1. Aspek Psikologik Individu Pelaku.
Dari sudut pelaku kejahatan dalam penyorotan aspek
psiologik individu:
a. Kebanyakan pelaku kejahatan yaitu anak muda usia
16- 30 tahun. Mengenai hal ini diperkuat oleh data
nasional bahwa pelaku kejahatan terbanyak dilakukan
oleh anak muda. Dapat dijelaskan bahwa sisi psikologis
anak muda yaitu anti sosial.
b. Banyaknya residivis yang mengulangi lagi kejahatannya
dapat dipicu sebab:
c. Sebagai akibat tindakan pelaku yang sadistis terhadap
korban, maka dapat menimbulkan rasa takut pada
warga, yang kemudian merangsang bagi si pelaku
untuk lebih meningkatkan kejahatannya dengan tidak
memandang akibat, waktu dan tempat.
d. Sarana mobilitas yang semakin tinggi, membuat
pengaruh psikologis bagi si pelaku untuk lebih berani
dan optimis akan keberhasilannya.
e. Adanya sekelompok golongan muda yang merasa tidak
adanya kepastian di hari depan, dapat menyebabkan
terganggunya keseimbangan faktor libido dan potensi
sehingga dapat pula menyebabkan yang bersangkutan
melakukan perbuatan pidana.
2. Aspek Yuridis
Umumnya, keadaan warga menunjukkan kurangnya
pengetahuan dalam bidang hukum sehingga mengakibatkan
banyaknya anggota warga yang berbuat melanggar
hukum, peraturan-peraturan, ataupun norma-norma yang
berlaku di warga.
3. Aspek Sosiologik
Pengaruh aspek sosial terhadap masalah -masalah kejahatan
yaitu merupakan faktor yang perannya cukup besar sebab
seperti kita ketahui bahwa kejahatan merupakan produk
interaksi antar individu dengan lingkungannya.
Dalam hal ini akan diuraikan aspek sosial yang sifatnya
menonjol:
a. Adanya ketimpangan antara jumlah lapangan kerja yang
tersedia dan tenaga kerja yang ada. Sehingga muncullah
pengangguran yang jumlahnya sangat banyak, dan
disamping itu kebutuhan untuk bertahan hidup
tidak bisa dihindari sehingga merangsang kelompok
warga ini untuk mencari jalan pintas
(melakukan kejhatan) untuk memenuhi kebutuhan.
b. Meningkatnya jumlah lulusan sekolah yang tak
tertampung, sedang mereka sedang menginjak usia
remaja dengan perkembangan gejolak jiwa yang antara
lain dengan timbulnya ide-ide anti sosial, diperparah
dengan kenyataan bahwa lapangan kerja terbatas,
memberikan peluang atau kesempatan merealisasi
ide-ide anti sosialnya, khususnya bagi mereka dengan
innercontrol yang kurang. Tindakan penegak hukum
maupun warga yang kurang menekan realisasi
ide-ide ini akan menyuburkan dan meningkatkan
intensitas maupun kualitas kejahatannya.
c. Keberhasilan pembangunan ditambah dengan majunya
perkembangan teknologi modern meningkatkan
pola pikir kebutuhan, harapan dan keinginan hidup
warga sedemikian rupa sehingga bagi mereka
yang kurang dapat menyesuaikan dirinya akan mudah
terjebak untuk melakukan tindakan-tindakan kejahatan
d. Perkembangan sikap hidup yang mencolok di antara
kelompok srtata ekonomi dapat merangsang mereka
yang berstrata ekonomi rendah untuk bermotif dan
berniat negatif.
4. Aspek Keamanan
Aspek keamanan merupakan faktor mutlak yang diperlukan
untuk menekan atau mengurangi berkembangnya intensitas
dan kualitas kejahatan pada umumnya. Mengingat begitu
luas dan kompleksnya faktor-faktor kriminogen yang
tersebar dalam warga, maka pengaruh aspek keamanan
terhadap kejahatan bergantung sekali pada partisipasi
warga dalam menanggulangi kejahatan.
D. Analisis Kriminologi terhadap Kekerasan Kejahatan
Perspektif teori kriminologi untuk membahas masalah
kejahatan pada umumnya memiliki dimensi yang amat luas.
Keluasan dimensi dimaksud sangat tergantung dari sudut
pandang yang hendak dipergunakan dalam melakukan analisis
teoritis terhadap subyek pembahasan. ada tiga sudut
pandang dalam melakukan analisis terhadap masalah kejahatan,
yaitu Pertama, yang disebut titik pandang secara makro atau
“macrotheorities”, kedua, yang disebut dengan “microtheorities”,
dan ketiga, yang disebut “bridging theorities”.
Macrotheorities yaitu teori-teori yang menjelaskan kejahatan
dipandang dari segi struktur sosial dan dampaknya. Teori-teori ini
menitik beratkan rates of crime atau epidemiologi kejahatan dari
pada atas pelaku kejahatan. sedang microtheories yaitu teori-
teori yang menjelaskan mengapa seseorang atau kelompok orang
dalam warga melakukan kejahatan atau mengapa di dalam
warga ada orang-orang yang melakukan kejahatan dan
ada pula sekelompok orang yang tidak melakukan kejahatan.
Teori ini menitik beratkan pada pendekatan psikologis atau biologis
atau sosiologis. Sebagtai contoh teori kontrol dan social learning
theory. Adapun bridging theories yaitu teori-teori yang tidak atau
sulit untuk dikategorikan ke dalam baik “macro teories” maupun
“micro theories”. Teori-teori yang termasuk ke dalam kategori
ini menjelaskan struktur sosial dan juga menjelaskan bagaimana
seseorang atau sekelompok orang menjadi penjahat. Sebagai
contoh yaitu teori subkultur dan teori “deferential opportunity
Namun satu hal yang perlu diingat bahwa teori-teori barat
diatas, bukan berarti bisa begitu saja diterapkan (sepenuhnya)
terhadap dan di dalam kondisi warga Indonesia. Hal
ini tentu saja berkaitan dengan adanya perbedaan kultur
antara barat dan timur, sehingga dalam hal tertentu pasti ada
perbedaan. Kenapa kita mempelajari teori-teori barat diatas,
yaitu sebagai sebuah wacana untuk melihat perkembangan
kriminalitas di negara kita.
Dilihat dari sudut pandang bidang pengetahuan ilmiah
kriminologi, kejahatan-kejahatan dengan kekerasan dapat
dijelaskan dengan melihat pada kultur dan struktur-struktur
yang ada pada warga.
Sumber-sumber kultural dari kejahatan-kejahatan
dengan kekerasan terletak pada berseminya sub-kebudayaan
kekerasan yang antara lain merupakan nilai-nilai dan norma
yang mendukung pola perilaku kekerasan di mana respon-
respon yang secara fisik agresif diharapkan, bahkan dibutuhkan
oleh kelompok-kelompok sosial pendukung sub-kebudayaan
ini . (Marvin Wolfgang, “Violent Behaviour”, dalam
Abraham S. Blumberg, Current Perspectives on Criminal
Behaviour [1974]) 178
Sub-kultur ini pernah digambarkan di warga dalam
kehidupan di kawasan Sardinia dan Sisilia.179 Sub-kultur ini
yaitu Vendetta, atau tindakan menghakimi di luar hukum yang
berlaku, hal ini terjadi sebab ada perasaan untuk membalas
suatu perbuatan secara personal bagi kesalahan terhadap
seseorang atau kerabat. Sub-kultur kekerasan dalam konteks
bangsa Amerika dipakai oleh kalangan kelas bawah atau
etnis tertentu untuk menunjukkan sisi maskulinitas sehingga
diperlukan pembuktian. Brazil memiliki budaya Machismo,
yaitu kode perilaku yang menghendaki laki-laki membela
kehormatannya, contohnya dengan cara membunuh istri yang
berselingkuh.
Seringkali perkembangan sub-kebudayaan kekerasan ini
diperkuat oleh reaksi-reaksi terhadapnya, baik dari warga
maupun dari mereka yang mempunyai monopoli atas kekerasan
yang sah seperti pelaksana penegak hukum. Dalam beberapa
masalah -misalnya: perampokan dan bentuk-bentuk kejahatan
dengan kekerasan lain- tidak jarang terbetik berita mengenai mati
tertembaknya pelaku kejahatan oleh pelaksana penegak hukum.
Hal ini merupakan perwujudan reaksi kekerasan yang sah atas
kekerasan ilegal. Dan, kekerasan semakin dipandang sebagai
bagian gaya hidup, pemecah masalah kolektif secara cepat.
Mulyana W. Kusumah (1988: 22-30) telah memberikan
deskripsi singkat mengenai kejahatan kekerasan di DKI
selama peiode 1980-1984. dari deskripsi dimaksud diperoleh
kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:
a) Mengenai kejahatan dengan kekerasan, dapat diidentifikasi
enam jenis, yaitu: pencurian dengan kekerasan, pembunuhan,
perkosaan, penculikan, pemerasan dan penganiayaan.
b) Jumlah kejadian dari keenam jenis kejahatan kekerasan
ini menunjukkan keadaan yang relatif meningkat sejak
tahun 1980 sampai dengan tahun 1984.
c) Model kejahatan dengan kekerasan yang menonjol yaitu
pencurian kendaraan bermotor dan pemerasan dan
penculikan
d) Suatu keadaan yang bersifat kontroversial yaitu sementara
perkembangan keadaan kejahatan dengan kekerasan relatif
meningkat di DKI jakarta pada periode ini , justru
prosentase pengungkapan kejahatan keempat kejahatan
dengan kekerasan ini relatif rendah, yakni rata-rata di
bawah 50 %. Prosentase penyelesaian kejahatan pembunuhan
dan perkosaan (memiliki derajat keseriusan yang tinggi)
menunjukkan peningkatan rata-rata di atas 50 %.
e) Sekalipun kejahatan kekerasan ini pada umumnya
merupakan “monopoli” kaum pria, namun data yang ada di
DKI Jakarta menunjukkan pula peranan kaum wanita. Peran
kaum wanita sangat menonjol terutama dalam kejahatan
penjambretan, curanmor, pembunuhan, dan penganiayaan
berat.
f) Jumlah pelaku yang tidak memiliki pekerjaan ternyata dua
kali lipat dari jumlah pelaku yang memiliki kejahatan.
g) Usia pelaku terbanyak bervariasi antara usia terendah 15
tahun dan tertinggi
berdasar kesimpulan-kesimpulan mengenai kejahatan
dengan kekerasan di DKI Jakarta sebagaimana telah diuraikan
diatas, Romli Kartasasmita berpendapat bahwa kejahatan
kekerasan di Indonesia, khususnya di DKI Jakarta dan juga di
beberapa daerah kota besar, merupakan model kejahatan baru.
Salah satu perspektif teori kriminologi yang dapat
dipergunakan untuk menganalisis model kejahatan dengan
kekerasan di Indonesia yaitu teori yang dikembangkan oleh
Hoefnagels dalam bukunya “The Other Side of Criminology”.
Hoefnagels dalam bukunya telah mengungkapkan bahwa para
ahli kriminologi pada umumnya sering bertumpu pada teori
kausa kejahatan dan pelakunya, namun kurang memperhatikan
sisi lain dari suatu kejahatan. Ia menunjukkan bahwa sisi lain
dimaksud yaitu aspek stigma dan seriousness.
Menarik manfaat dari konsep kejahatan menurut
Hoefnagels sebagaimana telah diuraikan di atas, khususnya
dalam menghadapi kejahatan dengan kekerasan, Romli
Kartasasmita menarik kesimpulan sebagai berikut:182
a) Bahwa perkembangan kejahatan dengan kekerasan di
Indonesia (dengan mengacu pada data kejahatan kekerasan
di DKI Jakarta) pada dewasa ini masih dalam tahap
perkembangan awal, belum merupakan suatu “epidemi
kejahatan”. Bahkan dilihat dari prosentase kejahatan lainnya
(selain keenam kejahatan kekerasan), kejahatan kekerasan
belum “melembaga” di kalangan warga kita.
b) Bahwa kemungkinan ada nya aspek-aspek lain yang
terkandung dalam kejahatan kekerasan yang terjadi di
beberapa tempat di Indonesia (selain aspek stigma dan
seriousness), memerlukan pengamatan dan penelitian
yang lebih mendalam. Namun esensi yang dominan dari
kejahatan kekersan yang telah terjadi di beberapa tempat
di Indonesia menunjukkan kutanya kandungan aspek
stigma dan seriousness. Hal ini dipicu sebab kondisi
warga Indonesia baik secara sosio-struktural maupun
sosio-budaya masih menekankan sifat paternalistik dan
keterikatan perorangan dengan komunitas. Sikap dan tingkah
laku perorangan dalam kondisi dimaksud lebih banyak di
tentukan (oleh komunitas) dari pada ‘menentukan’ (pada
komunitas). Baik buruknya suatu tingkah laku perorangan
‘ditentukan’ (dipaksakan) oleh penilaian komunitas, bukan
dinilai oleh pelaku. Atau melalui perspektif kriminologi
kita dapat berkata bahwabaik buruknya tingkah laku
seseorang ditentukan oleh warga sebagai pengamat
Dengan demikian, dalam setiap masalah kejahatan kekerasan,
apapun yang merupakan motif pelaku (sebab cemburu,
harta, atau ketidakadilan perlakuan)
c) Memperhatikan prosentase penyelesaian perkara kejahatan
kekerasan tertentu seperti kejahatan pembunuhan dan
perkosaan yang relatif lebih tinggi (di atas rata-rata 50 %)
dibandingkan dengan prosentase penyelesaian kejahatan
kekerasan lainnya (penculikan, penganiayaan dan lain-
lain), dapat diduga bahwa pihak aparat penegak hukum
khususnya pihak kepolisian cenderung untuk memberikan
prioritas terhadap kejahatan dengan derajat keseriusan
yang tinggi dan dianggap paling meresahkan warga.
Kecenderungan di atas masih perlu dipersoalkan mengingat
penyelesaian perkara bagi setiap kejahatan seharusnya
memperoleh perlakuan yang sama dan bukan sebaliknya
sehingga ada kesan adanya diskriminasi perlakuan
dalam penyelesaian perkara. Hal terakhir berkaitan erat
dengan masalah perlindungan atas korban kejahatan. Jika
kecenderungan sebagaimana diuraikan diatas “melembaga”
dalam “criminal justice process” di Indonesia, tidaklah
dapat dielakkan terjadinya suatu keadaan yang bersifat
kontroversial, yakni sementara pihak kepolisian telah
berhasil mengungkapkan kejahatan-kejahatan tertentu di
tengah warga, sedang di lain pihak korban-korban
kejahatan tertentu lainnya tetap tidak terlindungi. Mungkin
keadaan sebagaimana digambarkan di atas merupakan sisi
negatif dari “community oriented policy” yang selama ini
dikembangkan oleh pihak penegak hukum di Indonesia,
khususnya pihak kepolisian.
Berkembangnya norma-norma yang mengijinkan dan
mendukung kekerasan, yang merupakan bagian dari unsur-
unsur sub-kebudayaan kekerasan, nampaknya semakin bersemi
jika ditambah oleh pengondisian oleh struktur-struktur dalam
warga.
Struktur-struktur hegomoni dan penindasan politik
mengondisikan kekerasan tertentu seperti kekerasan bersenjata
yang sering diwujudkan dalam bentuk terorisme, sementara
pola-pola hubungan sosial ekonomi yang menampilkan ciri
dominasi dan ketidak adilan melalui proses-proses sosial
yang kompleks dapat menimbulkan sikap dan perilaku yang
merupakan reaksi atas struktur-struktur demikian. Jadi,
sesungguhnya pengkajian-pengkajian kejahatan dengan
kekerasan harus dilihat dalam kerangka pertumbuhan sub-
kebudayaan kekerasan dan kekerasan struktural.
Struktural yang kondusif atas timbulnya kejahatan atau
struktur-struktur kriminologik harus merupakan pusat
perhatian dalam program penanggulangan dan penangkalan
kejahatan-kejahatan dengan kekerasan, oleh sebab bertolak
dari kerangka pemikiran diatas, pelaku kejahatan dapat
pula merupakan korban dari suatu proses yang dinamakan
viktimisasi struktural yakni proses penimbulan korban oleh
struktur-struktur kriminogenik.
E. Pengertian Kejahatan Korporasi
Sejak akhir abad ke-19, kejahatan korporasi yang tumbuh
dan meluas sejalan dengan perkembangan industri mulai
menjadi sasaran studi kriminologi dan hukum pidana. Studi ini
diawali dari adanya pergeseran penggunaan doktrin universitas
delinquere non potest menjadi doktrin functioneel daderschap.
Pemikiran terhadap kejahatan korporasi diawali dari
keberadaan korporasi sebagai subjek hukum tersendiri.
Pemahaman mengenai korporasi hakikatnya muncul dari
ketentuan dalam hukum perdata yang melahirkan badan
hukum yang mampu melakukan perbuatan hukum layaknya
manusia biasa.
Konsep badan hukum sendiri memberi pemahaman
bahwa sebenarnya keberadaannya hanya sekedar diciptakan
oleh hukum saja yang kemudian diberikan status subjek
hukum. Pemberian status ini nantinya dapat berakibat pada
pembebanan tanggung jawab pada badan hukum itu sendiri
yang terlepas dari orang-orang di dalamnya.
Badan Hukum di Indonesia menurut Chidir Ali dapat
dipisahkan menjadi beberapa bentuk sebagai berikut:
1. Pembagian Badan Hukum menurut Macam-Macamnya
a. Badan Hukum Orisinil, yaitu Negara
b. Badan Hukum yang tidak murni, yaitu Badan Hukum
yang dibentuk berdasar Pasal 1653 KUHPerdata.
Pasal ini menjelaskan bahwa ada 4 jenis badan hukum
yaitu:
1) Badan Hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum
2) Badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum
3) Badan Hukum yang diperkenankan oleh kekuasaan
umum
4) Badan Hukum yang didirikan untuk suatu maksud
dan tujuan tertentu
2. Pembagian Badan Hukum menurut Jenis-Jenisnya
a. Badan hukum Publik, contohnya Perjan/Perum
b. Badan hukum Privat, contohnya PT, Koperasi, dan
Yayasan
Pada dasarnya pembagian badan hukum public dan badan
hukum privat dapat dibedakan dengan criteria sebagai berikut:
1) Dilihat dari cara pendiriannya, apakah memakai
kekuasaan Negara (peraturan perundang-undangan)
2) Lingkungan kerjanya, yaitu apakah dalam melaksanakan
tugasnya badan hukum itu pada umumnya dengan publik
melakukan perbuatan-perbuatan hukum perdata, artinya
bertindak dengan kedudukan yang sama dengan publik,
3) Mengenai wewenangnya, yaitu apakah badan hukum
ini didirikan oleh Negara diberi kewenangan dalam
kekuasaan penyelenggaraan Negara yang mengikat umum.
Pembagian badan hukum yang demikian hakikatnya akan
berakibat pada pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek
tindak pidana.
Secara konseptual, rumusan dan gagasan penanggulangan
kejahatan korporasi (perusahaan berbadan hukum)
dikembangkan dari hasil kajian E. Sutherland tentang kejahatan
kerah putih (1939), yang diperluas antara lain oleh Marshall
Clinard dan Peter Yaeger (1979), yang mengidentifikasinya
sebagai bentuk perbuatan melanggar hukum-- baik administrasi,
perdata, maupun pidana. Ruang lingkup yang demikian luas
dari kejahatan korporasi tampak mendorong Clinard menyusun
daftar contoh kejahatan korporasi, mulai dari price fixing dan
monopoli sampai ke sumbangan politik ilegal dan pencemaran
lingkungan. 188 kejahatan korporat dalam tipologi Edelhertz
terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
a. Kejahatan oleh Organisasi terhadap Individual (publik)
antara lain;
i. penyuapan multi nasional, Pada 1977 Kongres Amerika
Serikat mengesahkan Undang-Undang Praktik Korupsi
Luar Negeri yang mana pada saat itu terjadi peristiwa
yang memalukan. Perusahaan multinasional ketahuan
memberikan jutaan dollar terhadap pejabat luar negeri.
ii. kecurangan korporat, masalah yang cukup terkenal pada
1973 yaitu mengenai Equity Funding Corporation
of America. Perusahaan asuransi ini bangkrut sebab
ada kecurangan computer yang nilainya terbesar
sepanjang sejarah yaitu 2 miliar dollar AS. Motif para
Eksekutif Asuransi Jiwa Equity Funding memakai
computer perusahaan untuk membuat polis asuransi
“hantu” atau palsu/ fiktif sekitar (58 persen dari polis
perusahaan). Polis asuransi palsu ini bernilai jutaan
dollar, ini membuatpemegang saham rugi lebih dari
seratus juta dollar. Dengan memakai catatan di
computer ketimbang catatan kertas, eksekutif Equity
Funding mencampurkan polis asli dan palsu dalam file
master sehingga printout menunjukkan perusahaan
itu punya seratus ribu polis. saat auditor hendak
mengambil sampe untuk mengecek salinan cetaknya,
mereka sempat dihalang-halangi selama satu atau
dua hari, dan kesempatan itu dipakai utuk membuat
catatan hard-copy palsu (“Conning by Computer”,
1973). Namun akhirnya presiden perusahaan dan 24
karyawan perusahaan jadi tersangka. Pada akhirnya
presiden perusahaan dijatuhi hukuman 8 tahun penjara,
sedang karyawan lainnya menerima hukuman lebih
singkat (Blundell, 1978). Perusahaan lain yang terseret
masalah ini diperintahkan membayar ganti rugi sebesar
39 miliar dollar AS kepada para pemegang saham
(Ermann & Lundman, 1982). Contoh lainnya yaitu
pembelian kembali produk kendaraan yang diproduksi
oleh Chrysler Corporation pada 1993 yang kondisinya
cacat parah (lemons) kemudian dijual kembali ke
konsumen, pada masalah ini Chrysler Corporation dituduh
mengeluarkan uang sejumlah 1,3 miliar dollar AS.
iii. kecurangan harga,jika kita pergi ke suatu tempat
lalu memakai toilet umum atau jika berbelanja
kebutuhan toilet pasti sudah tidak asing dengan merek
publik berikut: American Standard,Borg Warner dan
Kohler. Ketiga pabrik penghasil pipa ledeng ini
dan tiga eksekutif lainnya digugat dengan gugatan
antitrust oleh Departemen Kehakiman AS . Pasalnya
ketiga korporasi ini dituduh melakukan kospirasi
untuk menentukan harga senilai satu miliar dollar
untuk perlengkapan kamar mandi. masalah ini mulai
pada 1996 dengan 17 perusahaan dan ko-konspirator
individual. Pihak terkait lainnya tidak mengajukan
bantahan, dihukum penjara dalam waktu sebentar dan
didenda dengan total 370.000 dollar AS (“U.S. Begins
Price-Fixing Prosecution”, 1975). Lalu apa ruginya jika
price-fixing terjadi?. Jika ketiga perusahaan ini
memiliki harga yang sama, bukan tidak mungkin jika
pesaing yang lainnya akan kalah dalam pasar. Biasanya
pengaturan harga ini akan diatur serendah-rendahnya,
agar pesaing yang lainnya mengalami kesulitan dalam
berusaha.
iv. pembuatan dan penjualan produk gagal atau tidak aman,
Pada 10 Agustus 1978, tiga remaja bersaudara Judy dan
Lyn Ulrich bedan sepupu mereka Donna sedang dalam
perjalanan sejauh 20 mil ke Goshen, Indiana dengan
memakai Ford Pinto mereka yang pada saat itu
ditabrak oleh mobil lain dari belakang. Akibatnya
bahan bakar bocor hingga ke jalan dan menyebabkan
kebakaran, ketiga gadis ini terjebak di dalam
mobil dan tewas sebab terbakar. Pintos yang dilengkapi
dengan tank bahan bakar yang sangat mudah pecah dan
meledak di tabrakan lebih dari 25 mil per jam. Masalah
ini dapat diselesaikan dengan perbaikan seharag
sebelas dollar AS per kendaraan, namun dengan 11 juta
Pintos dan 1,5 juta truk ringan dengan masalah, akuntan
Ford mengkalkulasi hal ini akan menghabiskan
biaya sebsar 137 juta dollar AS untuk memperbaikinya.
Kalkulasi ini juga memperkirakan akibat jika hal
ini tidak diperbaiki maka akan mengakibatkan 180
orang tewas sebab kebakaran, 180 orang dengan luka
bakar serius, dan 2100 kendaraan terbakar, yang menurut
hitungan mereka akan menghabiskan biaya sebesar 49,5
juta dollar AS dalam tuntutan hukum dan klaim lainnya.
membandingkan kedua hal ini akan menghemat
sejumlah 87.5 juta dollar AS dengan tidak memperbaiki
tangki bahan bakar, untuk memperbaikinya bisa jadi
tidak menguntungkan dan irasional. Nurani eksekutif
For tidak mengganggu mereka sebab dengan terbuka
mereka memakai hal ini untuk usaha lobi
terhadap standar kebocoran bahan bakar federal
untuk menunjukkan betapa tidak menguntungkannya
standar ini !. jika ini yaitu estimasi akurat
terhadap kematian yang dipicu oleh kecacatan,
eksekutif yang berkonspirasi untuk mengabaikannya
mungkin merupakan pembunuh terbesar dan terburuk
dalam sejarah AS. Meskipun sudah begitu, tidak ada
eksekutif yang dipenjarakan, dan banyak hal lain
berkembang menjadi lebih besar. Pepatah khas Lee
Iacocca “keamanan tidak dijual” tetap dalam bukti pada
1986 saat dia menentang air-bag atau kantong udara
menjadi wajib untuk moobil, menjadi presiden Chrysler
Corporation dan menduduki komite untuk peringatan
seratus tahun patung Liberty.
v. kecurangan pajak, masalah yang saat ini mencuat di
Indonesia yaitu mengenai perusahaan jasa internet
yang terkenal yaitu PT Google Indonesia yang
merupakan unit usaha Google Inc., Google dianggap
hanya membayar pajak 0,1 persen pada tahun 2015.
Seharusnya Google membayar sebesar 25 persen dari
laba kena pajak per tahun.191 Namun masalah ini masih
dalam tahap penyelidikan oleh Ditjen Pajak, di negara
lain seperti Inggris dan Prancis juga ada masalah serupa
yang melibatkan Google, perkaranya sama yaitu
perusahaan ini tidak membayar pajak sesuai dengan
prosentase yang seharusnya atau kurang dari prosentase.
vi. kejahatan lingkungan, jika pembaca pernah menonton
film yang berjudul Chernobyl Diaries maka akan
disajikan sebuah kota yang mati alias tidak pernah
ditempati oleh siapapun yang disebut Pripyat dan
tokoh utamanya dihadapkan pada makhluk mutan.
Kota Pripyat dianggap kota mati sebab pada saat itu
terjadi kecelakaan nuklir yang mengakibatkan tidak
ada waktu untuk mengumumkan kepada warga,
terlebih mengevakuasinya. Kecelakaan Chernobyl unit
4 dipicu oleh kejadian kritikalitas teras reactor yang
tidak terkendali dalam waktu sangat singkat.192 jika
bencana ini dipicu kesengajaan maka
korban jiwa yang ada pun tidak sedikit dan jika ada yang
bertahan hidup pun akan mengalami kecacatan atau
mutasi genetic akibat radiasi yang ditimbulkan. Contoh
lainnya yang relevan saat ini yaitu pembakaran hutan
yang dilakukan oleh beberapa perusahaan yang bergerak
di bidang pembuatan kertas membuka lahan di hutaan
dengan cara membakarnya, namun cara ini dielak oleh
pihak perusahaan dengan dalih bahwa kebakaran hutan
bisa terjadi sebab gesekan ranting kering kemudian
terjadi kebakaran yaitu hal yang biasa. Akibatnya
banyak warga di Riau dan Palembang mengalami infeksi
saluran pernapasan.
b. Kejahatan Korporasi (Organisasi) terhadap Organisasi,
bentuknya bisa bermacam-macam seperti kejahatan
oleh perusahaan swasta terhadap negara (pelanggaran,
perdagangan di masa perang, penipuan dalam menhalin
kontrak dengan pemerintah), dan kejahatan oleh korporasi
terhadap korporasi lain (misalnya spionase industry dan
praktik persaingan usaha yang tidak sehat)
Rumusan lain yang lebih mengarahkany pemahaman
tentang kejahatan korporasi dikemukakan oleh Mardjono
Reksodiputro (1994). Katanya, sebab pemahaman kita tentang
kejahatan korporasi timbul dari analisis tentang kejahatan kerah
putih, pelanggaran hukum (pidana) oleh perusahaan atau usaha
dagang yang berlingkup skala kecil atau terbatas (small business
offences) tidak termasuk ke dalam “kejahatan korporasi”
maupun “illegal corporate behavior”. Jadi, menurut Mardjono,
yaitu salah bila kita membahas kejahatan kerah putih dan
kejahatan korporasi dengan mengambil acuan “bisnis skala
kecil”. Yang harus dijadikan rujukan yaitu perbuatan melawan
hukum dari “bisnis besar”, sebab inilah yang dibicarakan dalam
forum-forum internasional sebab mempunyai dampak negatif
yang besar bagi perekonomian negara. Kerugian itu tak cuma
berujud kerugian finansial, fisik, degradasi, lingkungan, dan
sebagainya, juga berupa erosi sendi-sendi moral warga.
Pengaturan Korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak
pidana pada tataran pemikiran hakikatnya masih menuai
perdebatan dalam hal ini para pihak yang tidak setuju memberi
alasan sebagi berikut:
1. Masalah kejahatan sebenarnya kesengajaan dan kesalahan
hanya ada pada persona alami.
2. Tingkah laku materiil yang merupakan syarat dapat
dipidananya beberapa macam tindak pidana hanya dapat
dilaksanakan oleh persona alamiah
3. Pidana dan tindakan yang merampas kebebasan orang tidak
dapat diterapkan pada suatu korporasi
4. Tuntutan dan pemidanaaan terhadap korporasi dengan
sendiri nya mungkin menimpapada orang yang tidak bersalah
5. Pada tataran praktik tidak mudah untuk menentukan
norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, terbatas
pada hanya sekedar pengurus atau hanya korporasinya atau
kedua-duanya.
sedang pada tataran yang sepakat mengenai korporasi
sebagai subjek hukum tindak pidana, para pihak memberi
alasan sebagi berikut:
1. Ternyata dipidananya pengurus dalam suatu korporasi
tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-
delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi.
sebabnya mungkin perlu dipertimbangkan pemidanaan
bagi korporasi, pengurus atau sekaligus keduanya.
2. Mengingat dalam kehidupan social ekonomi korporasi
semakin memainkan peranan yang penting
3. Hukum pidana harus memiliki fungsi dalam warga yaitu
melindungi warga dan menegakkan norma-norma
atau ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarkat. Kalau
hukum pidana hanya ditentukan pada segi perorangan, yang
hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak efektif,
oleh sebab itu tidak ada alasan untuk selalu menekan dan
menentang dapat dipidananya suatu korporasi.
4. Dipidananya suatu korporasi merupakan salah satu usaha
untuk menghindarkan tindakan pemidanaan terhadap para
pegawai itu sendiri.
Oleh sebabnya terhadap pertanggungjawaban ini
harus diterapkan tergantung pada sistem perumusan
pertanggungjawaban pidana yang akan dipakai . Pada taraf
pemikiran ini, pertanggungjawaban ini dapat dipandang
dalam 3 cara sebagai berikut:
1. Pengurus Korporasi yang berbuat maka pengurus lah yang
harus bertanggungjawab195
Konteks ini memberi pemahaman bahwa jika terjadi
suatu tindak pidana dalam lingkungan korporasi, pada
hakikatnya tidak lain dan tidak bukan merupakan perbuatan
dari para pengurusnya.
2. Korporasi sebagai pembuat maka pengurus yang
bertanggung jawab196
Sistem pertanggungjawaban korporasi dalam doktrin ini
ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan
undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat
dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha, akan tetapi
pertanggungjawaban untuk itu menjadi beban dari para
pengurus badan hukum ini .
3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab
Sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini merupakan
permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari
korporasi. Dalam system ini dibuka kemungkinan menuntut
korporasi dan meminta pertanggung jawabannya menurut
hukum pidana.
Ruang lingkup kejahatan-kejahatan korporasi meliputi:
“pernal crimes”, seperti penggelapan pajak pendapatan; “abuses
of trust”, misalnya penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang;
“busines crime” seperti penipuan iklan; dan “con games”, dimana
kejahatan kejahatan-kejahatan white collar merupakan pusat
kegiatan bisnisnya, misalnya penipuan-penipan di bidang
medis, kesehatan dan tanah.
1. Kejahatan Korporasi sebagai White Collar Crime
Kejahatan korporasi harus dibedakan dari kejahatan lain
pada umumnya, sebab perilaku kejahatan ini termasuk apa
yang dikenal dengan “white collar crime” (konsepsi ini pertama
kali dipergunakan oleh Edwin H. Sutherland). Kedudukannya
sebagai white collar crime (WCC) inilah yang membuatnya
menjadi perhatian khusus, baik dari kalangan akademisi ahli
kriminologi dan ahli hukum pidana, maupun dari kalangan
praktisi penegak hukum. Membicarakan pertanggung jawaban
pidana korporasi pada umumnya memang tidaklah mudah,
apalagi kita tujukan secara khusus pada “kejahatan korporasi”
(corporate crime).199 Kejahatan korporasi ini perlu dibedakan
dengan kejahatan okupasional, yang mana kejahatan okupasional
ini dilakukan oleh individu terhadap lembaga. Istilah lainnya dapat
dikatakan bahwa saat seseorang bekerja di suatu perusahaan
atau instansi negara kemudian dia melakukan kejahatan dengan
mencuri, menggelapkan untuk tujuan menguntungkan diri
sendiri. Contohnya yaitu korupsi yang dilakukan oleh pejabat
publik, pada tahun 1998 di New York City pengawas kesehatan
memanfaatkan Departemen Kesehatan untuk memperkaya
diri sendiri dengan menaikkan gaji dua atau tiga kali lipat
dengan meminta pembayaran dari restoran, mengancam akan
menuntut mereka sebagai pelanggar aturan jika tidak mau
membayar. Indonesia juga memiliki contoh atas korupsi publik
yang dilakukan oleh pejabat publik demi menguntungkan diri
sendiri pada masalah pungli yang menjerat Direktur Utama Pelindo
III. Rahmat Satria diduga menerima hasil pungli yang dilakukan
oleh PT.AKM yang berwenang membuka segel container saat
produk pertanian yang diimpor sampai di Indonesia. Produk
pertanian yang sampai di Indonesia, sebelum dipasarkan harus
melalui tahap karantina terlebih dulu untuk diketahui apakah
ada virus atau bakteri yang dapat membahayakan konsumen.
Hal ini dimanfaatkan oleh pejabat yang tidak bertanggung jawab
untuk memperoleh laba lalu menyetorkannya kepada PT.TPS
yang merupakan perusahaan yang menaungi PT. AKM, dengan
menarik uang sejumlah Rp. 500.000,00 hingga Rp. 2.000.000,00
per container yang masuk ke Indonesia. Alasannya untuk
proses fumigasi dalam masa karantina, padahal dana ini tidak
diperlukan dan diduga Rahmat Satria turut menikmati uang
hasil pungli ini . tertanggal 1 November 2016 Rahmat Satria
ditangkap oleh Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber
Pungli)dengan alat bukti berupa uang yang ada di dalam rekening
Rahmat sejumlah sepuluh miliar rupiah. Keuntungan illegal yang
diperoleh PT. AKM selaku penyedia proses fumigasi per bulannya
mencapai 5-6 miliar rupiah.
Perbedaannya dengan kejahatan korporat yaitu , pihak
yang melakukan kejahatan ini mewakili perusahaan
tempat dia bekerja.
Sutherland berpendapat bahwa kejahatan korporasi
yaitu sebagian dari WCC. Marilah kita tengok terlebih
dahulu pengertian dari WCC. Dalam makalahnya , Sutherland
membatasi pengertian WCC sebagai “a violation of criminal law
by the person of the upper socio-ecnomic class in the course of his
occupational activities”. Dari rumusan ini terlihat bahwa pada
awalnya konsepsi WCC dibatasi pada perbuatan tindak pidana
(yang ada dalam hukum pidana). Namun selanjutnya, oleh para
ahli kriminologi, konsepsi WCC diperluas keluar dari batasan
hukum pidana. Perdebatan mengenai hal ini (antara lain oleh
Paul W. Tappan, “who is the criminal”, 1947) menyangkut
tulisan Sutherland: “Is ‘white collar crime’ crime?” (1945) dan
kemudian “crime of corporations” (1948). Dari perdebatan
inilah maka makin jelas bahwa pengertian “person” dalam
rumusan WCC, dikaitkan dengan mereka yang menjalankan
perusahaan (corporation). Kejahatan korporasi inilah yang
pada dasarnya merupakan fokus WCC, meskipun diluar hal ini
tetap termasuk didalamnya kejahatan oleh manusia (natuurlijke
persoon) yang mempunyai “high social status”. Pada akhirnya
perdebatan ini menyimpulkan pula bahwa pada rumusan
Sutherland di atas masih harus ditambahkan satu unsur lagi,
yaitu “violation of trust”. Unsur-unsur lain yaitu
a. it was a crime
b. commited by a person of respectability
c. commited by a person of high social status
d. in the course of his occupation
Unsur yang terakhir ini (unsur d, dalam melaksanakan
kedudukan/pekerjaanya), yaitu penting untuk membedakan
WCC dari “ordinary crimes commited by upper class people”.
sedang unsur “violation of trust” (melanggar kepercayaan
yang diberikan) penting dalam mengerti apa yang dimaksud
dengan “corporate crime” sebagai bagian dari WCC.
jika telah jelas apa yang dimaksudkan dengan kejahatan
korporasi sebagai bagian dari WCC, maka masih perlu dibedakan
lagi antara “corporate crime” dengan “small business offenses”
(kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan atau
usaha-usaha dagang yang berlingkup kegiatan dengan skala kecil
atau terbatas). Dengan perkataan lain, kejahatan konsepsi kejahatan
korporasi hanya ditujukan kepada kejahatan yang dilakukan oleh
warung atau toko di lingkungan pemukiman kita atau oleh bengkel
reparasi kendaraan bermotor dan lain sebagainya.
Green (1990: 16) mengategorisasi pola umum dari
kejahatan white-collar menjadi:
1. Kejahatan untuk kepentingan organisasi/majikan
(organizational occupational crime).
2. Kejahatan oleh pejabat dalam melaksanakan otoritas
birokrasi pemerintahan (state authority occupational crime).
3. Kejahatan oleh profesional dalam rangka melakukan
pekerjaan profesionahlya (professional occupational crime).
4. Kejahatan oleh individu dalam rangka pekerjaan individu
ini (individual occupational crime).
Tipologi dari Edelhertz sebagai sering kali dikutip meliputi:202
1. Kejahatan oleh orang-orang yang bekerja secara individual
dan sementara (ad hoc), miisal pelanggaran pajak, penipuan
kartu kredit, penipuan kebangkrutan dan lain-lain;
2. Kejahatan yang dilakukan dalam rangka pekerjaan (yang
sah) oleh orang yang mengoperasikan bisnis interrial,
pemerintahan, atau lain-lain kemapanan, dalam bentuk
pelanggaran tugas atau loyalitas dan kesetiaan terhadap
majikan atau klien, misal penggelapan, pencurian oleh
pegawai, penggajian pegawai palsu;
3. Kejahatan yang sesekali dilakukan dalam rangka memajukan
kegiatan bisnis, tetapi bukan tujuan utama dari bisnis,
misal pelanggaran antimonopoli, penyuapan, peIanggaran
peraturan makanan, dan obat-obatan;
4. White-collar crime sebagai bisnis, atau sebagai aktivitas
utama. Konsep ini termasuk dalam bahasan “kejahatan
profesional”, misalnya penipuan layanan pengobatan dan
kesehatan, undian palsu, dan sebagainya.
5. White-collar crime sebagai bisnis, atau sebagai aktivitas
utama. Konsep ini termasuk dalam bahasan “kejahatan
profesional”, misalnya penipuan layanan pengobatan dan
kesehatan, undian palsu, dan sebagainya.
Menurut Hagan tipologi white-collar crime terbagi menjadi
sembilan tipe, yaitu:
1. Individu terhadap individu.
Individu terhadap individu hanya merupakan kejahatan
yang dilakukan dalam rangka pekerjaan seseorang, seperti
pedagang yang menipu konsumennya, atau seorang profesi
mengambil keuntungan dari kliennya.
2. Pegawai terhadap individu.
Pegawai terhadap individu, merupakan kejahatan yang
dilakukan oleh seorang pegawai terhadap individu dari luar
organisasi tempatnya ia bekerja, misalnya menerima suap,
atau Inenerima pembayaran untuk kepentingan pribadi
yang merugikan kepentingan umum atau orang perorang.
3. Organisasi terhadap individu.
Organisasi terhadap individu, merupakan kejahatan yang
dilakukan suatu organisasi yang merugikan orang, misalnya
iklan yang menyesatkan, produksi makanan, minuinan, dan
0bat~0batan yang tidak aman bagi konsumen (warga
umum dan konsuman dimasukkan sebagai kategori individu
atau para individu).
4. Individu terhadap pegawai.
Individu terhadap pegawai, kejahatan ini mungkin tidak
termasuk kejahatan white-collar sebab tidak selalu terkait
dengan pekerjaan atau organisasi.
5. Pegawai terhadap pegawai.
Pegawai terhadap pegawai, merupakan kejahlatan dari
satu pegawai terhadap pegawai lainnya. Praktik nepotisme
mungkin’dapat dijadikan contoh dalam tipe ini.
6. Organisasi terhadap pegawai.
Organisasi terhadap pegawai, misalnya perusahaan
yang tidak memerhatikan syarat-syarat kesehatan dan
keselamatan kerja bagi pegawainya.
7. Individu terhadap organisasi.
Individu terhadap organisasi, termasuk kejahatan yang
dilakukan oleh seorang pedagang atau profesi terhadap suatu
orgahisasi. Penipuan asuransi atau pajak dapat dijadikan
contoh untuk tipe ini. Dalam kaitan penipuan pajak, negara
merupakan organisasi yang menjadi korbannya.
8. Pegawai terhadap organisasi.
Pegawai terhadap organisasi, merupakan situasi saat
pegawai melanggar kepercayaan yang diberikan oleh
organisasi tempat ia bekerja, misalnya penggelapan, inside
trading.
9. Organisasi terhadap organisasi.
Organisasi terhadap organisasi, merupakan situasi saat
suatu organisasi melakukan kegiatan yang merugikan
organisasi lain, misalnya spionase industri, atau praktik
perdagangan yang tidak jujur.
Clinard dan Yeager menyimpulkan adanya sepuluh
kepercayaan di kalangan eksekutif yang merupakan dalih bagi
usaha mengendalikan perusahaan melalui pembuatan undang-
undang dan penegakannya. Kesepuluh kepercayaan ini
meliputi:
1. Semua langkah-langkah hukum merupakan campur tangan
pernerintah terhadap sistem bisnis yang bebas.
2. Peraturan-peraturan pemerintah tidak dapat dibenarkan
sebab biaya tambahan untuk mengikuti peraturan
dan prosedur birokrasi mengakibatkan berkurangnya
keuntungan.
3. Peraturan yaitu salah sebab semua peraturan pemerintah
tidak komprehensif dan terlalu rumit.
4. Peraturan tidak diperlukan sebab hal-hal yang diatur
merupakan masalah yang tidak penting.
5. Hanya ada sedikit kesengajaan dalam pelanggaran-
pelanggaran oleh korporasi: kebanyakan merupakan
kesalahan sebab tidak melakukan (omission) daripada
melakukan (commission), dan banyak yang keliru.
6. Perhatian lain yang sejaIan dengan bisnis yaitu pelanggaran
hukum, dan bila pemerintah tidak dapat mensegahnya tidak
ada alasan untuk menolak mengapa korporasi tidak boleh
memperoleh keuntungan melalui tindakan tidak sah.
7. Meskipun benar, seperti daIam masalah pengaturan harga
(price- fixing), banyak pelanggaran korporasi bernilai
miliaran dollar kerugian sangat terasa, namun bagi kelas
konsumen individual hanya menderita kerugian keciI.
8. Bila tidak ada peningkatan keuntungan korporasi,
pelanggaran tidaklah salah.
9. Korporasi dalam kenyataannya dimiliki oleh rata-rata warga
negara, sehjngga tuduhan bahwa bisnis besar mendominasi
warga (Amerika) dan melanggar hukum dan
memperoleh kekebalan hukurn yaitu tuduhan palsu.
10. Pelanggaran dipicu oleh kebutuhan ekonomi: tujuannya
yaitu untuk melindungi nilai saham, menjamin perolehan
keuntungan bagi pemegang saham, dan melindungi
keamanan kerja bagi pegawai dengan menjamin stabilitas
keuangan korporasi
2. Analisis Kriminologi terhadap Kejahatan Korporasi
Kejahatan dan ekses korporasi mulai memperoleh perhatian
di ujung abad ke-19 dan abad ke- 20. Beberapa faktor penting
yang mendukung tumbuhnya campur tangan pemerintah
dalam bidang ekonomi dan korporasi mencakup antara lain205:
a. perubahan dari warga agraria ke warga industrial
dan komersial
b. meningkatnya ketidakmerataan kekayaan dan penumpukan
kemakmuran pada segelintir warga warga
c. tumbuhnya kebutuhan untuk menaruh kekayaan di tangan
orang-orang lain
d. transformasi pemilikan dari kekayaan yang daoat dilihat
kekuasaan-kekuasaan dan hak-hak yang tak dapat diraba
seperti saham, termasuk sistem jaminan sosial dan
pemilikan harta benda
e. pertukaran kekayaan dari pemilikan pribadi ke pemilikan
korporasi.
Dalam kriminologi, studi yang berkaitan dengan kejahatan
korporasi yang terkenal dilakukan oleh Edwin H. Sutherland
(1961) mengenai “white collar crime” yang dirumuskannya
sebagai suatu kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat
dan berstatus sosial tinggi dalam warga dalam rangka
kedudukan kerjanya.
“White collar crime” bersifat demokratik, kata divisi
pidana Departemen Kehakiman Amerika Serikat, yakni dapat
dilakukan oleh kasir bank atau direkturnya. Dapat pula si
pelanggar seorang pejabat tinggi pemerintah dengan suatu
konflik kepentingan. Ia dapat merupakan perampas keuntungan
dari suatu program bagi golongan miskin yang menggaji suatu
kelompok kerja dan membuat pekerja-epekerja fiktif dalam
daftar gaji, susaha ia dapat mengeduk keuntungan dari sana.
Ciri white collar crime harus ditempuh dalam modus operandi
dan tujuan-tujuannya bukan pada sifat pelanggarnya.
Kejahatan-kejahatan korporasi seringkali tampil sebagai
usaha bisnis yang sah, walaupun sesungguhhnya korporasi
yang bersangkutan menekankan perubahan efisiensi teknologi
menjadi usaha manipulasi warga melalui iklan, salesmanship,
propaganda dan lobbying. Dalam perkembangan terakhir ini,
menurut Sutherland, korporasi mengembangkan suatu kebijakan
dan ideologi yang sungguh-sungguh machiavelian.
Kejahaatan-kejahatan oleh korporasi memang jarang
menjadi sasaran penelitian kriminologi, demkian halnya
sasaran perhatian birokrasi penegak hukum. Statistik kriminil
yang ada jelas tidak memasukkan jenis kejahatan ini ke dalam
perhitungan. Lebih sering lagi, kejahatan-kejahatan korporasi
luput dari proses peradilan pidana. Mardjono Reksodiputro,
SH, MA, mengemukakan bahwa menurut J.M. van Bemmelen,
sejak pertengahan abad ke-19 telah dianut tiga sistem yang
berbeda mengenai pembuat dan pertanggung jawaban hukum
pidana dari korporasi. Sistem-sistem itu yaitu :
1) membebankan “tugas mengurus” (zorgplicht) kepada para
pengurus
2) mengakui korporasi sebagai pembuat, tetapi pengurus yang
bertanggung jawab
3) korporasi dapat menjadi pembuat dan bertanggung jawab.
Yang menarik yaitu sistem yang ketiga ini. Dikatakan,
dalam sistem ketiga ada ketentuan-ketentuan yang
membuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan
meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.
Alasannya antara lain yaitu sebab dalam delik-delik ekonomi
dan fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian
yang diderita warga dapat sedemikian besarnya sehingga
tidak akan mungkin seimbang bilaman pidana hanya dijatuhkan
kepada pengurud korporasi saja. Juga diajukan sebagai alasan,
bahwa dengan hanya dengan memidana para pengurus,
tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan
lagi mengulangi delik ini . Dengan memidana korporasi
dengan jenis dan berat yang sesuai dengan sifat korporasi itu,
diharapkan dapat dipaksan korporasi untuk mentaati perarturan
bersangkutan.
Tentang masalah, bilamanakah korporasi dapat
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan-perbuatan
terlarang, yang dilakukan oleh satu atau lebih anggota
pengurusnya, atau oleh seorang pegawai korporasi tetapi
mendapat kuasa berbuat untuk korporasi; Mardjono
Reksodiputro mengutip bahwa menurut Bemmelen, persoalan
ini akan timbil terutama pada delik-delik dengan unsur kealpaan
ini (tetapi juga kesengajaan) dapat timbul dari perbuatan kerja
sama (disadari maupun tidak) dari orang-orang ini di atas.
Dalam hal “public welfare offences”, dikatakan bahwa
Friedman berpendapat agar untuk memidana korporasi jangan
terlalu ditekankan pada sendi kesalahan. Cukup bilamana
korporasi itu telah memenuhi perbuatan yang sekiranya
melawan hukum. Selanjutnya, untuk Indonesia ini berarti
bahwa bilamana korporasi dituduh berbuat suatu delik yang
termasuk ke dalam “public welfare offences”, maka terhadap
delik yang bersangkutan harus selalu dipergunakan ajaran “fait
material” (dimana tidak diperlukan adanya kesalahan).
Tetapi bagaimanakah masalah pertanggung jawaban
korporasi ini untuk delik-delik lainnya, demikian Mardjono,
apakah di sini sendi kesalahan juga tetap harus diperhatikan
seperti halnya bila yang dituntut yaitu manusia? Dapatkah dan,
bilamana jawabannya positif bagaimanakah korporasi dapat
mengajukan alasan penghapusan pidana? Yang dimaksudkan
disini tentu terutama yang tercantum dalam pasal 48 sampai
dengan 51 KUHP. Apakah ini juga berarti bahwa alasan
penghapusan pidana yang dapat diajukan oleh orang (pengurus,
pegawai, kuasa) yang sebenarnya berbuat itu (untuk korporasi)
dapat pula diajukan oleh korporasi dalam pembelaannya.
Sifat dari pidana yang dapat dijatuhkan menurut KUHP
tentu akan membatasi pula kemungkinan delik-delik yang
dapat dituduhkan kepada korporasi. Beberapa delik yang sangat
pribadi tentu sudah harus di kecualikan sejak semula (misalnya
pembunuhan atau perkosaan). Masalahnya yaitu bagaimana
bila delik-delik yang akan dituduhkan kepada korporasi
tidak membuat ancaman denda misalnya pasal 263 KUHP
(pemalsuan surat-surat ancaman pidana 6 tahun) ?
Pertanyaan terakhir yaitu seperti dipertanyakan oleh
Mardjono Reksodiputro, bagaimana bilamana korporasi ini
yaitu kepunyaan atau dikuasai negara? Dalam hal “publiek
rechtelijk corporates” Remmelink tidak melihat keberatannya.
Hanya dalam hal ini harus dicari titik pertautannya dengan
hukum administrasi.
Akan tetapi, oleh sebab perkembangan politik ekonomi
dan sosial yang berlangsung cepat, di mana delik-delik yang
dilakukan oleh korporasi akan mencerminkan juga kemajuan-
kemajuan teknologi, agaknya usaha hukum terhadap kejahatan-
kejahatan korporasi ini perlu dipertegas. Hal ini dapat dilakukan
dengan melakukan tambahan dalam bidang perundang-
undangan yang menyangkut tindak pidana ekonomi.
3. Mengatasi Kejahatan Korporasi
Masalahnya, seberapa jauh proses penegakan hukum di
Indonesia sudah mempunyai orientasi politik untuk menjaring
dan menghukum para pelaku kejahatan koporasi? Dan, bagaimana
dimensi pertanggungjawaban korporasi dalam hukum kita?
Menurut Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia, sebuah
lembaga swadaya warga yang memperhatikan hak-hak buruh,
antara lain, masalah pelanggaran hak-hak asasi manusia di bidang
perburuhan dari Juli 1994 sampai September 1996 mencapai 62
persen. Angka itu demikian tinggi dibandingkan dengan masalah
pelanggaran hak-hak asasi manusia menyangkut pencekalan dan
pelanggaran (12,6 persen), pertanahan (25,4 persen), Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (48 persen), pemutusan hubungan kerja
(25,4persen), dan kondisi kerja tidak layak (16,8 persen).
Dalam keadaan demikian, belum diperoleh data tentang
sejauh mana langkah-langkah penegakan hukum berlangsung
terhadap jenis-jenis kejahatan korporasi itu; dan sejauh mana pula
pengendapan dimensi pertanggungjawaban korporasi terhadap
peristiwa-peristiwa pelanggaran hak-hak asasi manusia itu.
Jawaban sementara untuk persoalan kedua itu, agaknya,
telah diberikan Mardjono Reksodiputro. Katanya, dalam
hukum pidana umum yang akan datang, korporasi seharusnya
merupakan subyek tindak pidana (pasal 45 rancangan undang-
undang ketenagakerjaan). sebab itu, penuntutan dapat
dilakukan dan pidananya dijatuhkan terhadap korporasi itu
sendiri atau pengurusnya saja (pasal 46 rancangan undang-
undang ketenagakerjaan).
Di luar itu, mengingat keterbatasan-keterbatasan pelaksanaan
fungsi hukum pidana, diperlukan juga usaha-usaha di bidang
hukum perdata dan administrasi, juga usaha-usaha sosial untuk
mencegah dan menanggulangi kejahatan korporasi--apalagi jika
perbuatan itu mengandung muatan pelanggaran hak-hak individu
atau kelompok.
Sekadar contoh, Russel Morkhiber mengusulkan
butir program hukum dan ketertiban untuk mengatasi
kejahatan korporasi. Antara lain: menyusun aturan bagi
pertanggungjawaban eksekutif perusahaan terhadap publik;
memperkuat standar kebijaksanaan penuntutan perusahaan;
meredefinisi hak-hak korporasi; membangun pranata-
pranata sosial setempat untuk memantau kejahatan korporasi;
mengubah standar-standar pembuktian; memberi fasilitas
untuk class action; membatasi kontrol korporasi terhadap
media massa; melarang korporasi kriminal untuk memperoleh
fasilitas-fasilitas dari pemerintah.
Walhasil, di tengah situasi yang masih ditandai oleh
lemahnya posisi tawar buruh secara terorganisasi, fungsi hukum
pidana untuk melahirkan, setidaknya, “efek menjerakan” masih
dibutuhkan.
Tanggung jawab korporasi ini dalam perwujudannya
harus mempunyai dampak penjeraan, dengan catatan:207
1. Penjeraan tidak diartikan bahwa hukuman harus diterapkan
kepada orang-orang yang merupakan pelakunya.
Ketidakpastian sebagai ciri dari tindakan korporasi tidak
mempunyai implikasi pada kebijakan, bahwa hukuman
yang berdampak penjeraan harus dibatasi pada orang-orang
yang melakukan tetapi terhadap semua pihak yang selaras
dengan kebijakan pemberian sanksi yang berpusat pada
Orang-orang yang melakukan maupun korporasi.
2. Penjeraan dan reformasi organisasi merupakan pelengkap
daripada sesuatu cara yang melekat dalam mengendalikan
tingkah laku korporasi.
3. Kemampuan penjeraan pada pertanggunganjawab dana
secara individual akan bervariasi tergantung pada sejumlah
faktor, misalnya: beban berlebih dalam penegakan; tidak
transparannya jalur internal akuntabilitas korporasi; dapat
dihilangkannya individu dalam organisasi; pemisahan
korporasi atas pihak yang bertanggung jawab atas tindakan
pelanggaran masa lalu dengan pihak ‘ yang’harus bertanggung
jawab untuk mencegah berulangnya pelanggaran di masa
depan; dan perlindungan diri dari individu-individu yang
dicurigai dalam korporasi
Pertanggungjawaban dalam WCC dapat dipandang dalam
3 cara sebagai berikut :
1. Pengurus Korporasi yang berbuat maka pengurus lah yang
harus bertanggungjawab208
Konteks ini memberi pemahaman bahwa jika terjadi
suatu tindak pidana dalam lingkungan korporasi, pada
hakikatnya tidak lain dan tidak bukan merupakan perbuatan
dari para pengurusnya. Dalam hal ini terjadi pembedaan
terhadap tugas mengurus dari pengurus.
Konsep dalam hukum pidana Indonesia sendiri yaitu
pada KUHP masih menganut paham bahwa hanya persona
alamiah lah yang mampu melakukan tindak pidana.
Ketentuan yang menunjuk bahwa tindak pidana hanya
dapat dilakukan oleh manusia yaitu Pasal 59 KUHP yang
berbunyi, “Dalam hal-hal di mana sebab pelanggaran
ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota
badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus,
anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris
yang ternyata tidak ikut campur melakukan tindak
pelanggaran tidak dipidana.”
Ketentuan ini memberikan pemahaman bahwa para
pembuat KUHP masih dipengaruhi dengan asas societas
delinquere non potest (badan-badan hukum tidak dapat
melakukan tindak pidana). Asas ini merupakan pemikiran
dogmatis pada Abad 19, dimana kesalahan menurut hukum
pidana selalu disyaratkan sebagai kesalahan manusia, sehingga
erat kaitannya dengan sifat individualis dalam KUHP.
2. Korporasi sebagai pembuat maka pengurus yang bertanggung
jawab
Sistem pertanggung jawaban korporasi dalam doktrin
ini ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam
perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana
dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha, akan
tetapi pertanggungjawaban untuk itu menjadi beban dari
para pengurus badan hukum ini .
3. Korporasi sebagi pembuat dan yang bertanggungjawab210
Sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini merupakan
permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari
korporasi. Dalam system ini dibuka kemungkinan menuntut
korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut
hukum pidana. Hal-Hal yang dapat dipakai sebagai dasar
pembenar atau alas an-alasan bahwa korporasi sebagai pembuat
dan sekaligus yang bertanggung jawab yaitu sebagi berikut.
Pertama, sebab dalam berbagai tindak pidana ekonomi dan
fiscal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang
diderita warga dapat sedemikian besarnya sehingga tidak
akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan
pada pengurus saja. Kedua, tidak atau belum ada jaminan
bahwa korporasi tidak akan mengulangi lagi tindak pidananya.
VI PENANGGULANGAN MASALAH KEJAHATAN
Masalah pencegahan kejahatan sangat kompleks sebab
bertautan satu sama lain, yaitu aspek pribadi dan aspek
lingkungan yang mempengaruhi individu ini . Sebelum
menguraikan masalah pencegahan kejahatan maka perlu
dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
A. Realitas Sosial Kejahatan
William J Chambliss berkata bahwakejahatan yaitu
suatu gejala hukum, politik, ekonomi dan sosial


