Jumat, 26 Januari 2024
kriminologi 2
By tewasx.blogspot.com at Januari 26, 2024
kriminologi 2
Perancis dan Adolphe Quetelet dari belgia menyebut
mereka sebagai “bapak kriminologi modern”. Thomas dan
Hepburn mencerminkan dengan sangat bagus pandangan
penulis buku ini:86
“ Sulit memahami mengapa ada begitu banyak kriminolog
bekerja dalam keyakinan jelas mereka bahwa kriminologi
ilmiah belum ada hingaa kemunculan Lombroso… kendati
demikian, kekayaan analisis ilmiah oleh mereka yang bisa
digolongkan sebagai anggota mazhab statistik (ekologis)
umumnya diabaikan sementara karya Lombroso yang
sering absurd dan digarap dengan buruk dianggap sebagai
analisis kriminologi sejati yang pertama”.
Mazhab ekologis disebut juga dengan mazhab statistik,
geografi, atau kartografi. Ekologi yaitu cabang biologi
yang membahas hubungan timbale balik antara organism
dan lingkungan mereka. Ekologi manusia membicarakan
hubungan timbal balik antara organism manusia dan
lingkungan fisik. Disebut mazhab statistik sebab mazhab
inilah yang pertama kali berusaha menerapkan data resmi
dan statistik bagi problem dalam menjelaskan kriminalitas.
Label geografi dan kartografi disandangkan sebab para
penuli dalam kelompok ini cenderung bersandar pada peta
dan data foto udara dalam penelitian mereka.
III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEJAHATAN
Dalam menjelaskan sebab-musabab kejahatan maka
tepatlah untuk dibagi menjadi beberapa kelompok 89 :
1. Kejahatan yang dipicu oleh pengaruh-pengaruh dari
luar terhadap pelaku.
2. Kejahatan yaitu akibat dari sifat-sifat pelaku ditentukan
oleh bakatnya.
3. Kejahatan dipicu oleh pengaruh-pengaruh dari luar
maupun juga oleh sifat-sifat pelaku.
jika diperhatikan ketiga golongan itu maka diperoleh
gambaran sebagai berikut90:
A. Faktor Sosiologis
Kriminalitas dipicu oleh faktor-faktor yang berada di
luar pelaku. Menurut pendapat ini, lingkungan ditempatkan
dalam titik sentral. Kadang-kadang masih terjadi perbedaan
pendapat mengenai pengaruh milieu (lingkungan) yang
manakah yang penting bagi kriminologi. Hal ini dipicu
pengertian milieu meliputi banyak hal, mulai dari peran ibu
sampai seluruh jagad ini. Bagi semua pengikut aliran lingkungan,
memilih keadaan luar merupakan faktor yang menentukan,
bahkan sebagai satu-satunya faktor bagi timbulnya kriminalitas,
tanpa memandang hal lain. Ada yang berpendapat keadaan
ekonomilah yang sangat menentukan. Yang lain memandang
keluarga, tempat kediaman, bentuk kenegaraan, lingkungan
geografis (termasuk iklim) sebagai faktor terpenting. Bonger
memilih milieu yang berperan. Dia melihat kriminalitas sebagai
gejala warga, terutama dipicu fluktuasi ekonomi.
Memang Bonger berpendapat ada orang-orang, yang sebab
struktur kepribadiannya mempunyai kecenderungan kriminal.
Bagi Bonger bakat yaitu hal yang konstan; sedang milieu
(lingkungan) yaitu faktor yang variabel. Faktor yang variabel
itulah yang harus dipandang sebagai sebab. Bonger melihat
kejahatan pertama-tama sebagai suatu gejala massa dalam dalam
pergaulan hidup, dimana terutama fluktuasi mempunyai arti
penting. Disamping itu, meskipun Ia berpendapat bahwa ada
orang-orang yang sebab struktur kepribadiannya dapat menjadi
penjahat, namun jumlah prosentase mereka dalam suatu pergaulan
hidup selama satu tenggang waktu yang panjang ternyata tidak
berubah. Jika dalam jangka waktu itu dan dalam warga itu
terjadi juga fluktuasi dalam jumlah kejahatan yang terbagi dalam
jenis-jenis delik, maka hal ini tentu diakibatkan oleh faktor-faktor
yang terletak diluar individu itu; jadi dari faktor lingkungan.
Berkurangnya kejahatan merupakan suatu petunjuk bahwa
keadaan lingkungan telah bertambah baik, sehingga orang-orang
yang secara potensiil dapat menjadi jahat dalam jumlah yang lebih
besar, tidak melakukan kejahatan.
Sutherland dalam teorinya differencial association
menyatakan, “criminal behavior is learned through association
with other people, usually in the form of close group”91.perilaku
kriminal dipelajari melalui hubungan dengan orang lain,
biasanya dalam kelompok yang dekat.
B. Faktor Biologis dan Psikologis
Para penganut ajaran ini berpendapat bahwa kejahatan
merupakan akibat dari sifat-sifat si pelaku yang erat bertalian
dengan pembawaannya. Beberapa dari mereka melihat hal
ini lebih jauh lagi dan berpendapat bahwa kejahatan tidak
dapat tidak merupakan perwujudan dari bakat.92
Dalam bahasa lain, bahwa kriminalitas dipicu oleh
bakat. Pengikut-pengikut aliran ini menyatakan, bahwa
kriminalitas sebagai akibat sifat-sifat si pembuat, yang melekat
pada bakatnya. Mereka menyatakan bahwa kriminalitas
merupakan bentuk perujudan yang mutlak dari bakat. Dalam
kepustakaan Jerman bakat dipandang sebagai sesuatu yang
diwariskan. Dengan demikian kriminalitaspun dipandang
sebagai suatu yang turun temurun.
Ada pendapat lain yang mengatakan faktor bakat secara
individual, turun-temurun. Genotype turun temurun dimiliki
oleh individu. Ini meliputi semua sifat-sifat yang didapat oleh
individu sebagai warisan. Bakat mempunyai peranan dalam
menimbulkan kejahatan. Faktor keturunan bergantung pada
keadaan (milieu). Manakah di antara faktor keturunan ini
menjadi tetap dan mana yang berkembang, individu dalam
kemungkinannya yang maksimal bertumbuh (berkembang)
dibatasi oleh faktor keturunan (genotype) itulah sebabnya tidak
akan pernah melebihi bakat.
Ajaran Lombroso (penjahat sejak lahir = dilinquente nato)
yaitu berdasar ukuran-ukuran badan terhukum. Para
ahli kemudian menentang ajaran itu (terutama di Jerman dan
Inggris), dengan mengatakan adanya ketidaktelitian dalam
pengukuran. Tanda-tanda jasmani yang sejenis bagi penjahat
ditemukan pula pada yang tidak terhukum. Dasar pendirian
Lambroso merambat ke Hooton. Sungguhpun hasil pengukuran
Hooton lebih teliti tetapi ternyata pengikutnya tidak banyak.
Dia berpangkal pada phaenotype. Sheldon meneliti
tipe badan kriminal dan berpendapat bahwa tipe konstitusi
ini ditentukan oleh bakat. Sungguhpun ia mendasarkan
pendapatnya atas sejumlah besar pengukuran-pengukuran
tetapi sampai sekarang pendapatnya menuai banyak kritikan.
Kritik itu dilemparkan oleh Glueck dan Sutherland. Tokoh-
tokoh yang memandang sebab-sebab kriminalitas sebab
faktor bakat yang bersifat jasmaniah mempunyai pengikut yang
sedikit. Tidak demikian halnya dengan tokoh yang menganut
bahwa kriminalitas semata-mata akibat bakat yang psikis atau
akibat faktor psikis dan jasmaniah bersama-sama.
Jika pendapat yang melihat sebab musabab kejahatan dalam
faktor-faktor bakat jasmani memperoleh sedikit penganut, lain
pula halnya dengan pandangan yang melihat bahwa kejahatan
yaitu semata-mata akibat dari bakat psikis, atau dari faktor-
faktor psikis dan fisik bersama-sama.
Godrad berpangkal pada pendapat bahwa Zwakzinigheid
yaitu faktor bakat. Kondisi ini mesti menimbulkan
kriminalitas. Orang yang Zwakzinnig itu tidak mampu untuk
melihat jauh ke depan dan juga tidak mampu memahami
maksud Undang-undang. Pendapat ini (terutama di Amerika)
untuk beberapa lama mempunyai pengikut-pengikut, tetapi
kemudian ditinggalkan orang sama sekali. Selain pendapat itu
ada pendapat bahwa kriminalitas merupakan perwujudan dari
struktur pribadi yang ditentukan oleh bakat (aliran psikiatis).
Keadaan-keadaan milieu sama sekali tidak berpengaruh
atas perujudan ini . Struktur pribadi sebagai penyebab
timbulnya kriminalitas berujud dalam bentuk-bentuk penyakit
psychose epilepsi, moral insanity. Suatu penyakit di mana
seluruh kepribadian dalam proses sakit. Praktis semua fase
struktur pribadi rusak.
Pandangan lain yang oleh Sutherland dinamakan madzhab
psikiatris yaitu, kejahatan merupakan pengungkapan yang tidak
dapat dihindarkan dari struktur kepribadian tertentu, yang
ditentukan oleh bakat. Keadaan lingkungan boleh dikatakan
tidak berpengaruh terhadap pengungkapan itu.
Struktur kepribadian yang mendorong terjadinya
kejahatan, merupakan srtruktur yang memanifestasikan diri
dalam gambaran penyakit, psikose, epilepsi, dan moral insanity.
Penelitian pada tahun 1960 yang dilakukan oleh para
biologist menemukan adanya kelainan genetik pada seseorang.
Manusia alamaiah pada hakikatnya memiliki kromosom
kelamin dengan pengkodean XY untuk pria dan XX untuk
wanita. Dalam beberapa penelitian ternyata ditemukan bahwa
ada sebagian kecil pria yang memiliki kromosom kelamin
dengan kode XYY.
Konsekuensi dari penelitian ini ternyata memberikan
simpulan bahwa pria yang memiliki kromosom XYY, yang dalam
hal ini memiliki dua karakteristik Y ( pengkodean kromosom
Y menunujuk pada gender pria), ternyata memiliki perangai
yang lebih agresif dibandingkan dengan pria normal. Dalam hal
ini WItken berpendapat, “ In reality,later more comprehensive
research established that although XYY males were more likely
to be involved in violent crime, they were no more likely to be
involved in violent crime. Its happened as their low intelligence
rather than their XYY cromosom.”96
C. Faktor Sosio-Ekonomis dan Sosio-Politis
1. Faktor Sosio-Ekonomis
Ada satu rumus “menakutkan” yang selalu diingat
orang begitu menarik hubungan antara memburuk situasi
perekonomian sebuah warga dengan pertumbuhan
kejahatan. Menurut rumus itu, sekalipun tidak berbanding
lurus, ada hubungan positif antara makin memburuknya
perekonomian suatu warga dengan makin maraknya
kejahatan yang terjadi di dalamnya. Logikanya sederhana
saja. Memburuknya perekonomian warga biasanya
ditandai dengan meningkatnya pengangguran dan
naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Kalau biaya bagi
pemenuhan kebutuhan hidup makin meningkat sedang
sumber pendapatan sudah tidak lagi ada –setidaknya
menciut— biasanya ada sebagian kelompok tertentu
dari para penganggur ini yang kemudian nekad. Mereka
akan bersedia melakukan apa saja --termasuk pencurian,
perampokan, penculikan, pembunuhan, dan sebagainya—
untuk sesuap nasi, untuk sekedar bisa bertahan hidup
bersama keluarganya di hari berikutnya.
Gagasan serupa ini sebetulnya bukan hal baru. Marshall
B. Clinar dan J. Abbott dalam Crime and Developing
Countries (1973) melihat gejala peningkatan kejahatan yang
berhubungan dengan ketersisihan sekelompok warga
dalam proses industrialisasi sudah muncul sejak awal
abad 19, terutama di Inggris dan Amerika Serikat. Hal ini
pulalah yang belakangan ini menjadi salah satu agenda
kecemasan yang penting dalam warga. Krisis ekonomi
berkepanjangan selalu berujung pada makin bertumpuknya
anggota warga mendekati, bahkan hingga ke bawah
garis kemiskinan. Lihat saja angka-angka berikut ini. Dalam
keterangan pers akhir tahunnya, Kapolri menyebut bahwa
setahun terakhir crime rate tumbuh + 10%, dengan jumlah
nominal 157.180 tindak kejahatan. Itu artinya, kurang lebih
setiap 3 menit 20 detik sekali terjadi sebuah kejahatan.97
Dalam tahun-tahun sebelum masehi pujangga Plato
telah menyatakan bahwa kekayaan dan kemiskinan menjadi
bahaya besar bagi jiwa seseorang; yang miskin sukar
memenuhi kebutuhan hidupnya dan merasa rendah diri dan
timbul hasrat untuk melakukan kejahatan, sebaliknya juga
orang kaya hidup mewah untuk segala macam hiburanya.98
Pada abad pertengahan Thomas Van Aquino mengatakan
bahwa kemiskinan memberikan peluang untuk berbuat
jahat. Dalam hal ini berarti bahwa kemiskinan berpengaruh
terhadap kejahatan, dan jelas hubungannya antara
perekonomian dengan kejahatan.
Sesudah tahun 1830 sejak berkembangnya penggunaan
statistik sebagai sarana penyelidikan berbagai gejala yang
timbul dalam warga. Pada waktu itu para sarjana
ekonomi mulai mendasarkan pendapatnya pada angka-
angka statistik dari salah satu gejala terpenting, yang
diperoleh yaitu adanya kemiskinan dalam kehidupan
perekonomian, sehingga kemiskinan mengalami
persayaratan yang tajam dan dihubungkan dengan kejahatan
yang merajalela. Dengan diketahui kedua gejala itu yakni
kemiskinan dan banyak kejahatan maka orang mengambil
keputusan dalam arti kata, bahwa kemiskinan memudahkan
timbulnya kejahatan.
Kemudian seorang penyelidik bangsa Jerman bernama
G. Von Mayr berdasar angka-angka statistik di Beiren,
dari hasil investigasi dari tahun 1835 – 1861, mengkonstantir
turun naiknya harga gandum sejalan dengan turun naiknya
orang berimigrasi juga sejalan dengan turun naiknya jumlah
kejahatan terhadap harta benda dan pengemis.
Perubahan dan perbedaan dalam kesejahteraan
menimbulkan banyak konflik-konflik yang mendorong
orang melakukan kejahatan. Dalam masalah ini Prof. Noach
menganalisa sebagai berikut:
Bahwa perubahan kesejahteraan pada orang seorang
dapat berupa:
2. Suatu kemunduran dalam kesejahteraan
Suatu kemunduran yang menimpa secara mendadak
menimbulkan ketegangan antara pengeluaran dan pemasukan
uang belanja dan berbagai kewajiban membayar sewa rumah
dan belanja kebutuhan dapur, dan bayaran sekolah tidak
mungkin diberhentikan secara sekaligus sehingga kurangnya
menjadi kurang lagi. Orang menjadi kehilangan hubungan
dan pengaruh dari golongannya. Keadaan susah ditambah
dengan tekanan jiwa sebab perasaan tidak puas dan kepekaan
terhadap peraturan dan adat istiadat golongan yang mengikat
memudahkan timbulnya kejahatan, baik terhadap keselamatan
badan maupun terhadap harta benda. Penjahat macam ini
sebab mengalami krisis.
3. Suatu kenaikan kesejahteraan
Orang merasa serba susah untuk bergaul dengan teman.
Teman yang dahulu sejajar kedudukannya, merasa dirinya lebih
tinggi, sedang untuk mulai bergaul dengan orang-orang
yang sudah terlebih dahulu tinggi tingkatnya merasa canggung.
Perasaan yang serba tidak menentu inilah yang menimbulkan
konflik-konflik yang dapat menjadi sebab musabab kejahatan.
Untuk menjaga jangan sampai terjadi kemunduran hartanya
orang menjadi serakah dan lupa, orang berbuat kejahatan yang
bukan semestinya. Pernah juga terjadi sebab menang undian
nomor satu mendadak menjadi kaya raya dan lupa daratan
dan akhirnya malahan masuk penjara.
Namun satu hal yang patut pula untuk diperhatikan yaitu
bahwa dalam kongres PBB ke tujuh (1985), yang temanya
“Dimensi baru kejahatan dalam konteks pembangunan”,
menyatakan bahwa gejala kriminalitas merupakan suatu
kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi, seperti
misalnya pelanggaran hukum pajak, transfer modal yang
melanggar hukum, penipuan asuransi, pemalsuan invoice,
penyelundupan dan lain-lain. Pandangan ini memakai
pendekatan dengan hubungan positif (direct relationship).
Pandangan ini berbeda dengan pendapat lama (pendekatan
dengan hubungan negatif) yang melihat kejahatan sebagai
salah satu akibat dari buruknya keadaan ekonomi (yang
berarti pula bahwa bilamana keadaan ekonomi membaik,
kejahatan akan menurun).
Kejahatan-kejahatan (dalam perspektif pendekatan
direct relationship) ini mempunyai dampak yang
sangat negatif pada perekonomian nasional, sedang
pelaku-pelakunya berbentuk badan hukum atau pengusaha-
pengusaha yang sering mempunyai kedudukan yang
terhormat dalam warga. Kejahatannya jarang
dilakukan dengan kekerasan fisik (seperti penodongan
atau perampokan) tetapi lebih sering dilakukan berkedok
”legitimate economic activities”. Kejahatan ini dapat
dinamakan “kejahatan ekonomi”.
2. Faktor Sosio-Politis
Kejahatan-kejahatan kekerasan individual di negara-negara
berkembang sesungguhnya tidak bisa dilepaskan kaitannya
dengan kekerasan (kejahatan) struktural yang terwujud sebagai
pola-pola hubungan dalam warga yang mencerminkan
ketidakmerataan dan ketidakadilan dalam penguasaan dan
pengendalian sumber daya-sumber daya.
M. Dawam Raharjo secara menarik memberikan beberapa
uraian tentang kekerasan struktural ini, antara lain:
“Penggunaan senjata untuk persiapan perang atau perang itu
sendiri sudah tentu merupakan pemborosan sumber-sumber
daya alam dan manusia yang sangat diperlukan bagi perbaikan
kondisi umat manusia terutama di Dunia Ketiga. Kemiskinan
yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi eksploitatif itu sendiri
merupakan “perang” terhadap rakyat, setidak-tidaknya
merupakan “kekerasan struktural”. Ditambah lagi dengan
pemborosan sumber-sumber daya dan kerusakan yang
ditimbulkan oleh perang yang bersumber pada konservatisme
struktural, baik pada tingkat global maupun nasional,
kesemuanya membentuk sistem kekerasan yang meniadakan
dan menindas hak-hak asasi manusia.”
Pada bagian lain dikemukakan:
“....perang, kemiskinan, penindasan dan pencemaran
alam, kesemuanya merupakan gejala yang berkaitan dan
merupakan kesatuan sindrom kekerasan struktural. Di sini
pulalah maka sistem perang, sistem ekonomi eksploitatif,
dan perusakan lingkungan hidup merupakan gejala yang
bertautan, berada dalam kesatuan sindrom dan merupakan
bagian dari satu sosok struktural”.
David M. Gordon, secara kriminologi menunjukkan bahwa
struktur dasar dari pranata-pranata sosial dan ekonomi dalam
warga manapun secara mendasar membentuk perilaku
individu-individu dalam warga yang bersangkutan dan
oleh sebabnya tidak dapat dipahami tanpa pertama-tama
mengetahui secara cukup struktur-struktur kesempatan yang
dirumuskan secara melembaga di mana anggota-anggota
golongan-golongan ekonomi tertentu terkungkung.
Pada warga di mana bentuk persaingan mendasari
interaksi ekonomi dan sosial merupakan landasannya, maka
ada ketidakmerataan dalam alokasi sumber daya - sumber
daya sosial. Ketakutan atas ketidakamanan ekonomi dan dorongan
persaingan memperoleh harta yang didistribusikan secara tidak
merata, menghasilkan kejahatan yang merupakan respon rasional
atas struktur yang melandasi warga ini .
Disamping itu dapat pula dikemukakan bahwa:
“....struktur-struktur hegomoni dan penindasan politik
mengondisikan kekerasan-kekeran tertentu, seperti
misalnya kekerasan-kekerasan bersenjata yang sering
diwujudkan dalam bentuk terorisme, sementara pola-pola
hubungan sosial ekonomi yang menampilkan ciri dominasi
dan ketidakadilan__melalui proses-proses sosial yang
kompleks__dapat menimbulkan sikap dan perilaku yang
merupakan reaksi atas struktur-struktur demikian.”
Kekerasan-kekerasan yang dilembagakan atau yang
dilaksanakan dalam rangka bekerjanya lembaga-lembaga resmi
tentu akan berpengaruh terhadap terciptanya bentuk-bentuk
kekerasan lain dalam warga.
Dalam kepustakaan kriminologi ada pula beberapa
faktor yang amat sering dihubungkan dengan kejahatan. Faktor-
faktor ini perlu diperiksa dengan hati-hati, sebab faktor-faktor ini
belum sepenuhnya terbukti mempunyai hubungan sebab akibat
dengan kejahatan. Dan lagi pula, yang diterima oleh kriminologi
yang dicari hanyalah dalam batas kemungkinan faktor-faktor
yang “necessary but not sufficient” sebagai sebab kehajatan (yaitu
faktor-faktor yang selalu merupakan sebab dari suatu akibat/
kejahatan bersama-sama dengan faktor-faktor lain). Faktor-
faktor yang penting untuk diperhatikan yaitu misalnya:105
a. Dalam teori-teori ekologis (misalnya Shaw dan McKay):
kepadatan penduduk dan mobilitas sosial (horizontal dan
vertikal); kota dan pedesaan; urbanisasi dan urbanism;
delinquency areas dan perumahan; distribusi menurut
umur dan kelamin
b. Dalam teori-teori konflik dan kebudayaan (misalnya Sellin);
masalah suku, agama, kelompok minoritas
c. Dalam teori-teori ekonomis (misalnya Bonger): pengaruh
kemiskinan dan kemakmuran
d. Dalam teori differential association (misalnya Sutherland):
pengaruh media
e. Dalam teori anomie dan sub-culture (misalnya Merton,
Cohen, Cloward dan Ohlin): perbedaan nilai dan norma
antara middle class & lower class, ketegangan yang timbul
sebab terbatasnya kesempatan untuk mencapai tujuan.
Kemudian, meminjam definisi dari William J. Chambliss
dalam Criminal Law in Action, kejahatan yaitu suatu gejala
hukum, politik, ekonomi, dan sosial yang benar-benar
kompleks. sebabnya butuh pendekatan yang sistematis dalam
mempelajarinya. Sebagai misal, suatu tindakan yang dalam
sebuah warga tidak dikategorikan sebagai kejahatan belum
tentu berlaku juga bagi warga lainnya. Begitu pula kenyataan
bahwa setiap warga secara sistematis mengingkari bentuk
kejahatan-kejahatan tertentu, meski menghukum berat jenis
kejahatan lainnya. Artinya, tindakan-tindakan yang dirumuskan
sebagai suatu bentuk kejahatan yaitu hasil konstruksi sosial.
Ia sebuah realitas konseptual, realitas fenomenal. Tidak ada
tindakan yang pada dasarnya yaitu kejahatan.
Contoh paling aktual yaitu betapa pada masanya kolusi,
korupsi, dan nepotisme diterima sebagai sebuah kelaziman
dan sangat jarang disentuh investigasi para aparat penegak
hukum. Namun, kini ia diperangi habis-habisan. Jelas, siapa
yang kemudian dirumuskan sebagai penjahat yaitu hasil proses
politik –di mana aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan
warga warga untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
disusun. Ketentuan mengenai tindakan-tindakan mana yang
tergolong sebagai kejahatan pastinya diciptakan oleh golongan
berkuasa dalam warga yang secara politis terorganisir. Mulai
dari pembuat undang-undang, polisi, jaksa, dan hakim, semuanya
mewakili segmen-segmen warga yang bertanggungjawab
dalam menentukan dan menegakkan hukum pidana.
Persoalan akan muncul bila konsepsi soal kejahatan ini
hadir dalam warga yang hegemonis dan memendam jurang
perbedaan kelas yang mendalam. Formulasi definisi kejahatan
di sana bisa menjadi salah satu bentuk manifestasi konflik kelas
dalam warga. Perumusan sistem hukum, mulai dari muatan
undang-undangnya hingga putusan pengadilan selalu dilakukan
agar tetap memungkinkan kelas yang berkuasa melindungi dan
mempertahankan kepentingan-kepentingannya. Melalui definisi
itu kelas yang lebih unggul secara ekonomis bisa mengontrol
perilaku anggota kelas yang lebih rendah. Nah, makin keras konflik
kelas itu terjadi, makin besar pula keinginan kelas berkuasa untuk
mempengaruhi perumusan definisi kejahatan.
Kejahatan semestinya tidak diukur dari imperatif
fungsional dari institusi sosial sebagai kriteria moral. Tapi
juga diukur dari nilai kerugian yang diakibat bagi keseluruhan
sistem warga. Ia bukan hanya rumusan hukum. Pasalnya,
golongan yang berkuasa yang mempunyai kekuatan untuk
memanipulasi pembuat dan pelaksana undang undang ini .
Makin besar sebuah tindakan merugikan warga, semakin
enggan pula mereka biasanya merumuskannya sebagai kejahatan
dengan memasukkannya ke dalam pasal-pasal undang-undang
pidana. Sementara kalau kita mengukur kejahatan dari hak-
hak golongan yang secara historis terbelakang dan terkalahkan
sehingga menjadi korban, imperialisme, rasisme, sektarianisme,
dan seksisme pun bisa diterjemahkan sebagai kejahatan. Dengan
begitu pemahaman kejahatan juga akan mencakup indetifikasi
pelanggar-pelanggar hak-hak azasi manusia
Begitulah, saat tafsiran sosio-historis ditemukan, kita pun
sadar bahwa menjelaskan kejahatan kembali pada kontroversi
baik-jahatnya hakikat manusia tidak lagi cukup. Hakikat manusia
pun mengalami perubahan seiring perubahan jaman, perubahan
ruang lingkup sosio-historis. Suatu ruang sosio-historis tertentu
menghasilkan energi sosial yang disebut karakter. Seperti KKN
yang dibangun Orde Baru, karakter ini sering tidak berdiri
sendiri tetapi mendapat rangsangan dari seluruh struktur sosial-
politik ekonomi di sekitarnya. Struktur sosial yang otoriter
dan opresif gampang merangsang sifat agresi dalam diri warga
warganya. Salah satu akibatnya yaitu kebosanan. Bosan
pada orang tertentu, orang yang membosankan, sesuatu yang
kronis, yang tidak merangsang kreativitas dan produktivitas.
Kebosanan kronis dalam diri semakin dipertinggi lagi oleh
suasana sosial-politik sekitar yang tidak mendukung. Akibatnya,
dalam warga bermunculan kegiatan-kegiatan tidak
produktif, bahkan sering sangat destruktif, semata-mata mencari
kompensasi, menuruti nafsu pribadi dan membiasakan diri dari
kebosanan . Inilah yang mereka temukan dalam pembunuhan,
pesta narkoba, penjarahan ataupun korupsi.
Jika kejahatan yaitu suatu gejala sosial yang lahir dari konteks
ketidakadilan atau perujudan kebinekaan perilaku manusia yang
merupakan reaksi-rekasi atas kondisi kelas sosialnya dalam
warga, pembahasan mengenai strategi penangkalannya jelas
tidak melulu bisa dilihat bisa selesai dengan menjebloskan semua
mereka ke dalam bui. Tapi, selayaknya berawal dari usaha untuk
memerdekaan warga dari penjara-penjara dalam bentuk
lain yang ada di dalam warga itu sendiri.
Faktor lain yang kiranya perlu mendapat perhatian juga
yaitu faktor keluarga, terutama untuk mesalah delinkuensi
anak. Peranan keluarga sebagai faktor dalam sebab-akibat
kejahatan tidaklah dapat dipungkiri. Akan tetapi mungkin tidak
ada faktor yang begitu banyak dimanipulir sehingga kehilangan
pengertiannya seperti faktor peranan keluarga ini. Misalnya
faktor brokken home (suatu konsep yang luas dan samar) sangat
terlampau sering dipergunakan sebagai suatu kapstok untuk
menggantungkan segala sesuatu yang buruk yang diperkirakan
menghasilkan hal yang buruk pula.
Adapun teori-teori sosiologis yang utama yang disusun untuk
mencoba menerangkan sebab-sebab kejahatan dan sekaligus
merupakan dasar pengumpulan data melalui penelitian yaitu
sebagai berikut:
a. Teori conflict of coduct norms dari Thosten Sellin 1928
b. Teori differential association dari Edwin H. Sutherland 1934
c. Teori cultural transmission dari Clifford R. Shaw dan Henry
D. McKay – 1942
D. Konvergensi Bakat dan Lingkungan
Di depan telah ditulis tiga pandangan penyebab timbulnya
kriminalitas baik yang menekankan lingkungan, maupun bakat
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Apakah ada pendapat
ketiga? Bakat dan lingkungan secara bersama-sama sebagai
penyebab timbulnya kriminalitas, merupakan penyelesaian
yang lebih memuaskan.
Pendapat ini tidak baru dalam kriminologi. Ini telah
dilakukan diutarakan Ferri dan Garofalo. Kriminalitas
diterangkan sebagai akibat bakat maupun lingkungan109.
Lingkungan dalam arti yang luas, meliputi baik faktor-faktor
fisis (geografis, klimatologis yang umum, temperatur) maupun
keadaan sosial dan ekonomis. Kemiskinan dn pengangguran
dipandang sebagai hal terpenting. Faktor bakat oleh Ferri
dan Garofalo (bersumber dari Lombroso) dianggap sebagai
sumber penyimpangan organis dan psikis. Penyimpangan-
penyimpangan ini tidaklah hanya bersifat keturunan (genotype)
tetapi juga dapat terjadi di kemudian hari. Pokok pikiran Ferri
dan Garofalo mereka dapat dirumuskan
a) Kelakuan kriminal yaitu akibat dari pengaruh-pengaruh
lingkungan akibat dari semakin intensifnya penyeledikan
maka semakin nyatalah peranan lingkungan sebagai
penyebab kejahatan. Faktor mobilitas sosial dan konflik
golongan menggeser faktor kemiskinan. Dan struktur
ekonomi warga menggeser faktor kesukaran ekonomis.
Dari psikologi sosial yang kebetulan pula mengalami
perkembangan dipinjam konsep-konsep yang menerangkan
bagaimana individu sebagai bagian dari suatu golongan
melakukan kejahatan.
b) Kejahatan sebagai akibat bakat tertentu ada orang yang
lebih dan ada pula yang kurang mempunyai bakat untuk
lahirnya kriminalitas. Kalau hidup dalam suatu lingkungan
yang cukup mengembangkan bakat, maka pstilah akan
melakukan kelakukan kriminal
Tetapi asumsi ini tidak memuaskan. Dalam keadaan
lingkungannya yang sangat jelek hanya sebagian saja yang
menjadi jahat, sedang sebaliknya dalam keadaan lingkungan
yang sangat baik selalu ada beberapa penjahat. Atas pendapat
ini maka Libdesmith dan Gunham mengutip teori EH.
Sutherland bahwa kriminalitas dapat 100 % sebagai akibat
faktor-faktor sosial. Memang dalam kebanyakan hal kejahatan
dipicu oleh resultante faktor-faktor pribadi dan sosial.
Kejahatan timbul sebab bakatnya, tidak peduli di lingkungan
mana hidup, akan menjadi jahat. Adapula pendapat lain bahwa
kejahatan timbul sebagai akibat pengaruh miliue semata-mata,
bakatnya tidak mempunyai peran sama sekali.
Adapun pendapat lain yaitu Seelig, melakukan pembagian
sebagai berikut:
1. Ada orang yang sebab bakatnya sudah sedemikian rupa
berbuat jahat walaupun pengaruh lingkungan yang kecil
saja sudah melakukan delik, antara lain delinquent agresif
dan mereka yang tidak dapat menguasai nafsunya. Jenis ini
sedikit sekali di antara penduduk (menurut Seelig 1 – 2%)
2. Ada orang yang sebab bakatnya sudah sedemikian rupa
tidak akan jahat walaupun pengaruh lingkungan sangat
jelek. Seelig menaksir jenis ini 30 – 40 %. Sebagai contoh
yaitu penjahat-penjahat dalam tahun-tahun pertama
sehabis peperangan.
3. Ada orang yang sebab pengaruh lingkungan yang biasa
saja, sudah melakukan delik. Pengaruh-pengaruh luar yang
dimaksud terutama fisik atau psikis seperti luka-luka pada
tengkorak, pernah korban penipuan, penyakit.
4. Ada orang yang sebab bakatnya sedemikian rupa tidak
melakukan kejahatan walaupun ada pengaruh lingkungan
sekalipun. Golongan ini meliputi lebih dari separoh penduduk.
Namun Sauer berpendapat bahwa pertentangan “bakat–
lingkungan” dibesar-besarkan dan baik bakat maupun
lingkungan, maupun kebersamaan kedua-duanya, tidak dapat
menjelaskan secara memuaskan terjadinya kejahatan. Menurut
Sauer, tiap pelaku berbuat atas dasar bakat sumber biologis
dari semua kekuatannya (yaitu fisik dan psikis). Oleh sebab
itu, kekuatannya yaitu fluktuatif, yaitu bisa berlebih atau
kemudian berkurang sebab dipengaruhi oleh kekuatan lahiriah
(lingkungan dalam arti luas). Kekuatan lahiriyah berasal dari
alam atau dari oergaulan hidup. Ia menjai syarat pada atau dari
gejala yang menyertainya, dari perbuatanya. Sebagai faktor
ketiga untuk terjadinya kejahatan harus ada kehendak dari si
pelaku_setidaknya menurut Sauer__bebas dan otonom. Dalam
interaksi dari ketiga faktor ini: bakat, lingkungan dan kehendak,
maka bakat ataupun lingkungan tidak saling menguasai. Namun
kehendak dapat menguasai baik bakat maupun lingkungan.
Cukup menarik dengan dimasukkannya faktor kehendak oleh
Sauer. Dengan melihat kehendak sebagai bebas dan otonom, maka
problema bakat dan lingkungan lalu tidak diperhatikan lagi. Tetapi
bila dilihat kehendak sebagai determinan, maka permasalahan
bakat dan lingkungan tidak menjadi selesai, oleh sebab mengenai
kehendak masih harus dijawab, apakah kehendak ditentukan oleh
bakat, oleh lingkungan atau boleh kedua-duanya.
Dalam penjelasan diatas tentang bakat dan lingkungan
sebagai sebab musabab kejahatan, dapat dilihat bahwa terhadap
kedua faktor itu diakui pengaruh yang sama, yang berbeda,
atau penilaian yang berubah-rubah, tanpa disinggung tentang
kemungkinan pengaruh faktor yang satu terhadap yang lain.
Menurut Noach, hal ini harus dikaji sebelum dimungkinkan
menjawab pertanyaan, apakah satu faktor, dan jika demikian,
yang mana dari keduanya yang memainkan peranan terpenting
dalam terjadinya sebuah kejahatan.
1. Pengaruh dari bakat terhadap lignlkungan: berkali-kali telah
tampak bagaimana faktor-faktor bakat dapat mengerahkan
seseorang berada dalam suatu lingkungan yang tidak dapat
diharapkan, apakah itu berdasar asal susul dan kelahiran.
Hal ini berlaku baik untuk mobilitas vertikal maupun yang
horizontal dan dapat berakibat baik atau buruk terhadap
lingkungan semula.
Untuk sebagian, suatu perubahan lignkungan yang demikian
yaitu akibat dari suatu pilihan pekerjaan khusus. Pilihan
pekerjaan khusus itu dapat pula ditentukan oleh bakat,
terutama dalam masalah -masalah dimana pilihan pekerjaan
khusus itu dalam keluarga atau kelompok di mana si
individu berasal, terutama tidak lazim, dan di mana faktor
imitasi (meniru) atau pengaruh lingkungan tidak berperan.
Disamping dalam arti perubahan lingkungan yang aktif
terhadap bakat, dapat pula hal itu terjadi secara pasif. Hal ini
terutama terjadi jika si individu oleh sebab cacat bakat,
terutama yang bersifat psikis, tidak dapat mempertahankan
dirinya dalam lingkungan semula dan sebab itu “mengalami
kemunduran”.
2. Pengaruh dari lingkungan terhadap bakat. Dalam hal ini
perlu dibedakan:
a. pengaruh yang “tidak sebenarnya”, dimana akibat dari
lingkungan terhadap sifat-sifat yang ada dalam bakat:
1. tidak tampak ke luar atau tidak dapat berkembang
(misalnya dalam suatu lingkungan di mana setiap
orang buta aksara, maka bakat menulis tidak akan
tampak keluar)
2. dengan sengaja dikekang, terutama oleh seorang tua
atau para pendidik (misalnya sifat rasaseni dalam
suatu keluarga, di mana ada pendapat dominan,
bahwa semua seni yaitu asusila atau seniman
yaitu profesi yang melarat.
b. Pengaruh “yang sebenarnya”, dimana lingkungan
mempengaruhi bakat. Terutama para pengikut
“behaviorism” berpendapat bahwa bakat pada
hakikatnya tidak berbeda-beda, sehingga sangat
dipengaruhi oleh lingkungan melalui jalan
pembentukan kebiasaan. Sebagai salah satu bukti
dari pendapat ini diatas ditunjukkan gejala yang
dikemukakan oleh Newman dan yang lain-lain, bahwa
inteligensi dapat berkembang dalam suatu lingkungan
yang menguntungkan. Jika dilihat semua hal diatas dan
mengajukan kembali pertanyaan: bagaimana bakat dan
lingkungan mempengaruhi kejahatan? Hanya ada satu
jawaban yang mendekati kemungkinan sepanjang garis
ini. Kejahatan dari seseorang manusia normal yaitu
akibat kebersamaan dari bakat dan lingkungan, di mana
kali ini yang satu, kemudian faktor lain.
IV TEORI-TEORI KRIMINOLOGI MENURUT BERBAGAI ALIRAN
A. Teori “Differential Association”
Teori ini pada pokoknya mengetengahkan suatu penjelasan
sistematik mengenai penerimaan pola-pola kejahatan.
Kejahatan dipelajari melalui interaksi dengan orang-orang lain
dalam kelompok-kelompok pribadi yang intim. Proses belajar
itu menyangkut teknik-teknik untuk melakukan kejahatan dan
motif-motif, dorongan-dorongan, sikap-sikap dan pembenaran-
pembenaran yang mendukung dilakukannya kejahatan.
Postulat yang dikemukakan oleh Edwin H Sutherland
dan Donald Cressey dalam kerangka teori “Differential
Association” ini yaitu sebagai berikut:
1. Kejahatan dipelajari secara negatif ini berarti bahwa
kejahatan tidak diwariskan.
2. Kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang- orang
lain melalui proses komunikasi.
3. Bagian pokok proses belajar kejahatan berlangsung di dalam
kelompok- kelompok pribadi yang intim.
4. Proses belajar meliputi:
a. Teknik- teknik untuk melakukan kejahatan yang
kadangkala sangat rumit dan kadang- kadang sangat
sederhana;
b. Arah motif, dorongan, pembenaran dan sikap- sikap.
5. Arah khusus motif dan dorongan dipelajari dari definisi-
definisi tentang menguntungkan atau tidaknya aturan-
aturan hukum.
6. Seseorang menjadi delinkuen oleh sebab ia lebih mempunyai
definisi yang mendukung pelanggaran hukum dibandingkan
dengan definisi-definisi yang tidak mendukung pelanggaran
hukum.
7. Pengelompokan yang berbeda- beda mungkin beraneka
ragam dalam frekuensi, lamanya, prioritas dan intensitasnya.
8. Proses belajar kejahatan melalui pengelompokkan dengan
pola- pola kejahatan atau anti kejahatan menyangkut semua
mekanisme yang ada dalam proses belajar apa pun.
9. Walaupun kejahatan merupakan pencerminan kebutuhan-
kebutuhan dan nilai- nilai umum, akan tetapi tidak dijelaskan
oleh kebutuhan- kebutuhan dan nilai- nilai ini , oleh
sebab perilaku yang bukan kejahatan pun merupakan
pencerminan nilai- nilai dan kebutuhan- kebutuhan yang
sama
Teori-teori lain yang menekankan pada peranan faktor-
faktor interaksi, antara lain yaitu teori Daniel Glaser114
mengenai “differential Association and antisipation” yang pada
pokoknya menekankan bahwa seseorang menjadi jahat tidak
hanya oleh keterlibatannya secara langsung dengan penjahat-
penjahat, melainkan juga dengan mengacu pada eksistensi
kriminal mereka. Atau dengan perkataan lain orang ini
mengidentifikasikan diri dengan orang-orang lain baik yang
nyata-nyata ada maupun yang dalam khayalan yang menurut
pandangannya menerima perilaku jahat. Identifikasi kriminal
mungkin terjadi melalui acuan positif terhadap peranan-peranan
jahat yang digambarkan di dalam media massa maupun melalui
pengalaman langsung di dalam kelompok-kelompok pelanggar
hukum atau sebagai reaksi negatif terhadap kekuatan-kekuatan
yang melawan kejahatan.
Dalam hipotesanya, Daniel Glaser mengemukakan bahwa
jika ada kemungkinan untuk menampilkan baik
tindakan kriminal maupun tindakan non kriminal sebagai cara
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, atau jika hanya
ada kemungkinan untuk melakukan kejahatan atau untuk
mengabaikan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh kejahatan,
maka seseorang akan mengambil perangkat tindakan yang
diperkirakan lebih menguntungkan konsepsi dirinya.
Dua versi teori “Differential Association”
ada dua versi teori “asosiasi differential” yakni yang
dikemukakan pada tahun 1939 dan pada tahun 1947. Versi pertama
yang ada pada edisi ketiga dari bukunya, “Principles of
Criminology”, menunjuk pada ”systematic” criminal behavior, dan
memusatkan perhatian pada “cultural conflict” (konflik budaya) dan
“social disorganization” dan “differential association”. Namun pada
akhirnya ia tidak lagi memusatkan perhatiannya pada “systematic”
criminal behavior, melainkan ia membatasi uraiannya pada diskusi
mengenai “konflik budaya”.
Publikasi buku, “Principles of Criminology”. Edisi kedua
(1934), menegaskan tiga hal sebagai berikut :
a) any person can be trained to adopt and follow any pattern
of behavior which he is able to execute (setiap orang dapat
dilatih untuk mengadopsi dan mengikuti pola-pola dari
perilaku yang dapat dia lakukan)
b) Failure to follow a prescribed pattern of behavior is due to
the inconsistencies and lack of harmony in the influences
which direct the individual (kegagalan untuk mengikuti pola
yang telah ditentukan yaitu sebab adanya inkonsistensi
dan ketidakharmonisan dalam pengaruh langsung kepada
individu)
c) The conflict of cultures is therefore the fundamental principle
in the explanation of crime (oleh sebab itu konfilik budaya
merupakan prinsip fundamental dalam penjelasan terhadap
kejahatan)
Versi kedua dari teori ini yang dikemukakan pada tahun
1947 ada pada edisi keempat, menegaskan bahwa, semua
tingkah laku itu dipelajari dan ia mengganti pengertian istilah
social disorganization dengan differential social organization.
Versi terakhir dari teorinya telah mengetengahkan sembilan
pernyataan sebagai berikut:
a) Tingkah laku kriminal dipelajari
b) Tingkah laku kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi
dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi
c) Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal
terjadi dalam kelompok yang intim
d) Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya
teknik melakukan kejahatan dan motivasi/dorongan atau
alasan pembenar
e) Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas
peraturan perundangan: menyukai atau tidak warga
f) Seseorang menjadi delinquent sebab penghayatannya
terhadap peraturan perundangan: lebih suka melanggar
daripada mentaatinya.
g) Asosiasi diferential ini bervariasi tergantung dari frekuensi,
duration, priority dan intensity
h) Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan
dengan pola kriminal dan anti-kriminal melibatkan semua
mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar
i) Sekalipun tingkah laku kriminal merupakan pencerminan
dari kebutuhan-kebutuhan umum dan nilai-nilai, akan
tetapi tingkah laku kriminal ini tidak dapat dijelaskan
melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama
Konsep Differential Social Organization
Konsep lain yang dikemukakan Sutherland, disamping
Differential association yaitu konsep Differential social
organization. Bertitik tolak pada teori pluralis, teori dimaksud
mengakui keberadaan pelbagai ragam kondisi sosial, dengan nilai-
nilai internal dan tujuannya masing-masing dan mempergunakan
sarana-sarana yang berbeda untuk mencapai tujuan-tujuannya
ini . Dengan demikian sesungguhnya Sutherland menolak
pemikiran Merton yang mengemukakan bahwa, kejahatan dan
penyimpangan yang tingkah laku seseorang yaitu sebagai hasil
(out come) dari perbedaan-perbedaan kepentingan untuk mencapai
satu tujuan yang sama. Bahkan, dapat dikatakan bahwa, teori
differential social organization mengakui keberadaan pelbagai ragam
organisasi warga yang terpisah dan masing-masing bersaing
satu sama lain, dengan norma dan nilai-nilainya sendiri-sendiri. Di
lain pihak, teori Differential organization justru hendak mencari dan
menemukan bagaimana nilai-nilai dan norma-norma dimaksud
dapat dikomunikasikan atau dialihkan dari kelompok warga
yang satu kepada yang lainnya
Beberapa kritik terhadap teori Differential organization
Kritik terhadap teori Differential organization telah
dikemukakan oleh beberapa sarjana kriminologi, diantaranya
yaitu pendapat atau kritik dari Matza, Box, Nettler, Clinard
dan Cullen.
Matza berkata bahwaSutherland kurang peka
terhadap pembaharuan dan kewargaan yaitu antara
pelaku penyimpangan tingkah laku (deviant) dan dunia yang
konvensional. Selanjutnya Matza berkata bahwateori
Sutherland mengabaikan apa yang merupakan arti dan tujuan
hidup manusia. Bahkan dikatakannya bahwa pelaku kejahatan,
oleh teori ini dipandang sebagai pelaku pasif dalam
menghadapi pola tingkah laku kriminal dan non kriminal. Namun
demikian, jika diteliti teori Differential asociation, pernyataan
keenam tentang favorable and unfavorable to violation of law ;
nampak bahwa teori dimaksud tidak memandang pelaku sebagai
pelaku pasif , tetapi menurut Romli Kartasasmita; merupakan
pelaku aktif sekalipun pada pernyataan ketujuh dikatakan bahwa
teori diferential bervariasi tergantung dari frekuensi duration,
priority dan intensity. Sutherland masih memberikan peran yang
berarti kepada pelaku kejahatan untuk memilih alternatif pola
tingkah laku yang disukainya: mentaati undang-undang atau
melanggar undang-undang. Justru disinilah letak perbedaan
mendasar antara Sutherland dengan para penganut teori
lingkungan-madzhab Perancis yang bersifat deterministik.
Box (1981) di lain pihak, telah memberikan komentarnya
dengan berkata bahwateori differential association
merupakan peletak dasar bagi teori tentang pola hubungan
antara tingkah laku manusia. Namun demikian Box
memaparkan pandangannya; bahwa sayangnya dua realitas
prinsip teori Sutherland yaitu ambigu dan menimbulkan
interpretasi berbeda pada pemahaman mereka dengan berbagai
pendapat dan kritik. Prinsip Sutherland keenam; seseorang
menjadi delinquent sebab penghayatannya terhadap peraturan
perundangan: lebih suka melanggar daripada mentaatinya,
adapun prinsip ketujuh; bahwa teori diferential bervariasi
tergantung dari frekuensi duration, priority dan intensity.
Faktor-faktor kualitatif ini menjelaskan kenapa individu
melakukan perilaku menyimpang, yaitu tergantung pada arti
dan titik tekannya, Box memberikan satu kesimpulan bahwa
prinsip ini sama sekali saling bertentangan.
Nettler (1984) mengemukakan bahwa judul istilah
Differential Association yaitu menyesatkan, sebab ia seakan-
akan menunjuk kepada suatu hubungan pergaulan antar
individu, sebagaimana halnya teori bad companion yang
menghasilkan kejahatan. Hal ini sesungguhnya bukanlah
apa yang dimaksud oleh teori ini. Yang dimaksud dengan
differentially associated. Menurut Sutherland yaitu definitions
of situations.
Namun perlu disampaikan disini bahwa sekalipun banyak
pakar kriminologi telah memberikan pendapat, komentar
atau kritik sebgaimana telah diuraikan diatas, dapat dikatakan
bahwa teori differential association masih tetap merupakan
bahan perbincangan para pakar kriminologi dan masih relevan
dengan situasi dan kondisi kehidupan sosial sampai dengan
sekarang ini.
Clinard, sekalipun menyetujui hipotesa teori differential
association, menyatakan bahwa teori ini tidak dapat
menjelaskan secara memadai semua masalah pelanggaran hukum,
terutama terhadap transaksi yang terjadi di pasaran gelap, dan
tidak dapat diterapkan secara tepat terhadap adanya perbedaan-
perbedaan individual sepanjang yang menyangkut masalah
pentaatan terhadap undang-undang dalam kaitan dengan dunia
perdagangan. Clinard secara khusus menekankan pentingnya
certain personality traits dari seorang individu.
Adapun Cullen (1983) mengemukakan bahwa Sutherland
hanya semata-mata mengetengahkan eksistensi dan tranmisi
budaya kriminal, sedang ia mengabaikan masalah asal usul
budaya dimaksud. Sekalipun Sutherland sependapat dengan
Sellin (1938) mengenai adanya konflik budaya (culture conflict)
akan tetapi ia berpendapat bahwa suatu budaya menjadi “budaya
kriminal” dipicu sebab dibentuk oleh kelompok yang
kuat. Dengan lain perkataan bahwa Sutherland mengatakan;
“crime is conflict”. Namun demikian, Sutherland juga mengakui
kelemahan dari penjelasannya di mana di samping dapat
mengungkapkan budaya konflik ini , Sutherland tidak
dapat menjelaskan asal-usul dari konflik tadi.
B. Teori Kontrol Sosial
Pengertian teori kontrol atau control theory merujuk kepada
setiap perspektif yang membahas tentang hal pengendalian
tingkah laku manusia. Sementara itu, pengertian teori kontrol
sosial atau social control theory merujuk kepada pembahasan
delikuensi dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-
variabel yang bersifat sosiologis, anatara lain struktur keluarga,
pendidikan, dan kelompok dominan.
Ditinjau dari akibatnya, kemunculan teori kontrol dipicu
tiga ragam perkembangan dalam kriminologi. Pertama, adanya
reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik yang kembali
menyelidiki tingkah laku kriminal. Kriminologi konservatif
(sebagaimana teori ini berpijak) kurang menyukai “kriminologi
baru” atau “new criminology” dan hendak kembali kepada
subyek semula, yaitu penjahat (criminal). Kedua, munculnya
studi tentang “criminal justice” dimana sebagai suatu ilmu baru
telah mempengaruhi kriminologi menjadi lebih pragmatis dan
berorientasi pada sistem. Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan
dengan suatu teknik penelitian baru, khususnya bagi tingkah laku
anak/remaja, yakni self report survey.
Versi teori kontrol sosial yang paling handal dan sangat
populer telah dikemukakan oleh Travis Hirschi (1969).
Hirschi menjelaskan bahwa keterkaitan sosial meliputi empat
unsur, yaitu attachment, involvement, commitment, dan belief.
Attachment diartikan sebagai keterikatan seseorang pada orang
lain atau lembaga yang dapat menghambat atau mencegah
seseorang untuk melakukan bunuh diri. Involvement diartikan
sebagai frekuensi kegiatan seseorang yang akan memperkecil
kecenderungan sesorang untuk melakukan tindakan bunuh
diri. Commitment diartikan bahwa sebagai suatu investasi saat
seseorang memasuki suatu sistem dalam warga. Belief
diartikan sebagai sebuah unsur yang mewujudkan pengakuan
seseorang akan adanya norma-norma yang baik dan adil dalam
warga atau dalam bentuk kepercayaan.
Pengertian teori kontrol menunjuk kepada setiap perspektif
yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia.
sedang pengertian “teori kontrol sosial” menunjuk kepada
pembahasan delinkuensi dan kejahatan dikaitkan dengan variabel-
variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga,
pendidikan, kelompok dominan. Dengan demikian pendekatan
teori kontrol sosial ini berbeda dengan teori kontrol lainnya.
Pemunculan teori kontrol sosial ini diakibatkan oleh
tiga ragam perkembangan dalam kriminologi. Ketiga ragam
perkembangan dimaksud yaitu :
Pertama, adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan
konflik dan kembali kepada penyelidikan tentang tingkah
laku kriminal. Kriminologi konservatif kurang menyukai
“kriminologi baru” dan hendak hendak kembali kepada subyek
semula.
Kedua, Munculnya studi tentang “criminal justice” sebagai
suatu ilmu baru telah membawa pengaruh terhadap kriminologi
menjadi lebih pragmatis dan orientasi pada sistem
Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu
teknik riset baru khususnya bagi tingkah laku anak/remaja,
yakni; “selfreport survey” (William & McShane, 1988).
Perkembangan berikutnya, selama tahun 1950-an, beberapa
teoritisi telah mempergunakan pendekatan teori kontrol
terhadap anak/remaja. Konsep-konsep tentang kepribadian
dan sosialisasi sudah biasa dipergunakan di dalam penelitian-
penelitian sosiologis tentang deviance. Pada tahun 1951, Albert
J. Reiss telah menggabungkan konsep tentang kepribadian dan
sosialisasi ini dengan hasil penelitian dari aliran Chicago dan
telah menghasilkan teori kontrol sosial; teori mana dikemudian
hari telah memperoleh perhatian serius dari sejumlah pakar
kriminologi. Reiss mengemukakan bahwa ada tiga komponen
dari kontrol sosial di dalam menjelaskan kenakalan anak/
remaja. Ketiga komponen ini yaitu :
1. kurangnya kontrol internal yang wajar selama anak-anak
2. hilangnya kontrol ini
3. tidak adanya norma-norma sosial atau konflik antar norma-
norma dimaksud
Reiss membedakan dua macam kontrol, yaitu personal
control dan social control. Yang dimaksud dengan personal
control (kontrol internal) yaitu kemampuan seseorang untuk
menahan diri untuk tidak mencapai kebutuhannya dengan
cara melanggar norma-norma yang berlaku di warga.
sedang yang dimaksud dengan social control atau kontrol
eksternal yaitu kemampuan kelompok sosial atau lembaga-
lembaga di warga untuk melaksanakan norma-norma atau
perturan menjadi efektif.
Versi teori kontrol sosial yang cukup teruji dan paling andal
dan sangat populer telah dikemukakan oleh Travis Hirschi.
Teori kontrol sosial disistematisasi oleh Travis Hirschi (1972)
dan mendapat perhatian yang meningkat. Salah satu alasan
penting dalam hal ini yaitu kenyataan bahwa teori ini dapat diuji
secara empiris.122 Teori kontrol sosial pada asasnya menjelaskan
bahwa manusia yaitu makhluk amoral, atau setidak- tidaknya
beberapa pertanyaan moral untuk beberapa orang yaitu lebih
penting dari pada untuk orang lain. Moralitas dan nilai- nilai
susila merupakan variabel yang tersebar tidak merata diantara
manusia. Bagaimana hubungannya dengan pergaulan hidup?
Hirschi membedakan 4 elemen sebagai unsur pengikat:
1. “Attachment” atau ikatan sepanjang seseorang memiliki
hubungan erat dengan orang- orang tertentu dan mengambil
alih norma- norma yang berlaku dengan kemungkinan
terjadinya deviasi.
2. “Commitment” atau keterikatan dalam sub sistem
konvensional. Seseorang yang memiliki akal sehat
mempertimbangkan untung rugi dari perilaku konfirmistis.
Sekali dikaitkan dengan subsistem konvensional- seperti
sekolah, pekerjaan, organisasi di waktu senggang maka
orang akan memperoleh hadiah, uang, pengakuan, status,
bila semuanya berfungsi baik.
3. “Involvement” atau berfungsi aktif dalam subsistem
konvensional. jika orang makin aktif dalam dalam
berbagai organisasi konvensional, maka makin sedikit orang
yang berlaku deviant.
4. “Beliefs” atau percaya kepada nilai-nilai moral dari norma-
norma dan nilai- nilai pergaulan hidup.
Para pakar teori kontrol sosial juga menyatakan bahwa,
tiap manusia memiliki kebutuhan, keinginan dan aspirasi yang
masing-masing yaitu netral: cara bagaimana orang berusaha
mencapai kebutuhan, keinginan, dan aspirasi dapat saja melalui
cara kriminil. Hubungan individu terhadap pergaulan hidup
di mana ia menjadi bagian dari pergaulan hidup itu, sangat
menentukan bertalian dengan penghormatannya terhadap
peraturan-peraturan dan norma-norma dari pergaulan hidup
itu
Berikut contoh masalah nya:
Di sebuah kota tinggalah dua orang anak, satu anak
bernama Jatayu berada di Kabupaten D dan anak yang
bernama Andi berada di kabupaten B. Keluarga Jatayu dan
Andi memiliki jumlah kekayaan yang sama, mereka tinggal
pada lingkungan yang produktif dan strata pendidikannya
juga tinggi.
Di dalam kesehariannya Andi memiliki kegiatan yang padat,
mulai dari kuliah, menjadi relawan dan mempersiapkan
diri untuk jenjang pendidikan selanjutnya. Jatayu dalam
kesehariannya, lebih memiliki banyak waktu luang sehingga
dalam porsi waktu ini banyak dipakai untuk hal
yang lebih menyenangkan dirinya seperti kuliah, nongkrong
dengan teman-temannya di kafe hingga larut malam, sehingga
kegiatan pastinya setiap hari hanyalah kuliah.
Jatayu selalu ditantang untuk melakukan hal-hal yang belum
pernah dia lakukan untuk orang lain, seperti bagaimana
mengelola sampah di warga dan membiasakan
warga tidak membuang sampah sembarangan
lalu menimbulkan penyakit. Kebetulan Jatayu menjadi
relawan dalam salah satu organisasi pemberdayaan
lingkungan warga. Setiap konsep kebersihan Jatayu
selalu dilanggar warga, dia menuntut dirinya sendiri
berpikir lebih dan kawan-kawannya selalu menyemangati
setiap kali mengetahui Jatayu putus asa. Dengan begitu
Jatayu tidak pernah menyerah dan senantiasa memperbaiki
konsepnya dalam memperbaiki perilaku warga.
Peranan jurusan kuliahnya dalam ilmu lingkungan juga
membantunya dalam membuat konsep ini sehingga
soft skill Jatayu terus berkembang(Attachment). Tuntutan
untuk terus memperbaiki perilaku warga yang suka
buang sampah sembarangan ini dapat menyita
waktu Jatayu hingga 15 jam lamanya, dalam waktu itu
ada waktu kuliah, berorganisasi dan mengkonsep dan
beribadah. Hal ini berlangsung setiap hari selama
lima hari kerja, selebihnya dalam Sabtu dan Minggu Jatayu
mengisi waktunya dengan pengajian dan refreshing seperti
menonton serial televisi kesukaannya dan bermain dengan
teman-temannya (Involvement). Melalui organisasi dan
kuliah Jatayu yakin bahwa hal ini akan memberinya
banyak keuntungan seperti, memiliki pengalaman yang
lebih sebelum masuk ke dunia kerja, dapat menjadi
pertimbangan bagi dewan penerima di universitas saat
nanti Jatayu akan melanjutkan jenjang pendidikan magister
dan membantunya menjadi ahli dalam pengelolaan
lingkungan (Commitment). Jatayu sadar bahwa bermalas-
malasan hanya akan membuang waktunya selama berkuliah
dan dapat mengingkari janjinya kepada orang tua untuk
menjadi produktif dalam kuliahnya (Beliefs).
Bandingkan dengan kehidupan Andi berikut:
Andi berkuliah di jurusan yang sama dengan Jatayu, namun
Andi enggan mengikuti kegiatan organisasi yang ada di
kampus maupun di luar kampus. Dia lebih suka menyendiri
dan menghabiskan waktunya untuk tidur dan berdiam
diri di asramanya, baginya berorganisasi yaitu hal yang
membuang waktu. Dia selalu pulang kuliah lebih awal dan
jarang bersosialisasi dengan kawan-kawan sekampusnya
(Attachment). Andi senantiasa berkecil diri jika tugas-
tugasnya dinilai buruk oleh dosen dan sikapnya yang
pendiam selalu dipermasalahkan oleh teman-temannya
sehingga timbullah perpecahan dalam pertemanan
ini , oleh sebab itu Andi sering sekali bolos dan akibat
sikapnya itu dia mendapat letupan amarah dari orang
tuanya (Involvement). Andi tidak yakin bahwa kuliahnya
dapat melepaskan kesulitannya di masa depan sehingga
semakin lama dia terus membolos dan melakukan hal-hal
yang menyenangkan dirinya sendiri seperti berbohong
pada orang tua, mabuk-mabukan dan pergi ke tempat
hiburan malam setiap hari sebab dia merasa tidak dapat
menyelesaikan permasalahannya ini (Commitment).
Keluarga Andi semakin menekan Andi tanpa bertanya
apa kesulitannya dan selalu menganggap bahwa Andi
kekanak-kanakan, sebab setiap kali ada masalah dia akan
selalu berpaling ke hal lain untuk melupakan masalahnya
ini (Beliefs).
Keadaan ini yaitu hal yang dapat terjadi sehari-hari
dalam kehidupan, jika dianalisis maka Andi tidak tahan
terhadap tekanan yang semakin membuatnya berkecil diri
dan menjauh dari kehidupan sosial sedang Jatayu justru
menekan dirinya untuk terus belajar saat ada hambatan
sebab dia memiliki teman-teman yang mendukungnya,
sedang Andi selalu ditekan oleh orang tuanya dan tidak
memiliki teman.
C. Teori Labeling
Suatu teori pasti memiliki tokoh, baik itu tokoh
penemu ataupun tokoh pendukung atau pengembang. Tak
terkecuali dalam teori labelling. Teori labelling pertama kali
dicetuskan oleh Frank Tannenbaum pada 1938, namun dalam
perkembangannya dikembangkan oleh, Howard Becker (1963),
Edwin Lemert (1967), dan Erving Goffman (1968).125
Howard Becker
Tokoh asal Amerika Serikat kelahiran Chicago tahun 1928
ini lebih menekankan dua aspek dalam teori ini, yaitu:126
a. Penjelasan tentang mengapa dan bagaimana orang – orang
tertentu sampai diberi cap ataupun label sebagai pelaku
penyimpangan.
b. Pengaruh daripada label itu sendiri sebagai konsekuensi
penyimpangan tingkah laku, perilaku seseorang bisa
sungguh-sungguh menjadi menyimpang jika orang itu di
cap menyimpang.
Edwin Lemert
Pria kelahiran Cincinnati, Amerika Serikat tahun 1912 ini
menjadi tokoh yang terkenal lewat sumbangsihnya dalam teori
labelling. Beliau membedakan penyimpangan menjadi tiga
kategori, yaitu
a. Individual deviation, di mana timbulnya penyimpangan
diakibatkan oleh sebab tekanan psikis dari dalam.
b. Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari
keadaan.
c. Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku yang
terorganisir dalarn subsubkultur atau sistem tingkah laku.
Teori labelling merupakan sebuah teori yang mempelajari
tentang pemberian label terhadap suatu jenis objek tertentu.
Labelling yaitu sebuah definisi yang saat diberikan pada
seseorang akan menjadi identitas diri orang ini , dan
menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Teori
Labelling berkata bahwaterkadang proses labelling itu
berlebihan sebab sang korban salah interpretasi itu bahkan
tidak dapat melawan dampaknya terhadap dirinya.128
sedang menurut Frank Tannenbaum (1938),dengan
judulnya “Crime and the Community “,menyebutkan bahwa
kejahatan tidaklah merupakan hasil dari kekurangmampuan
seseorang untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya ,akan
tetapi didalamnya ,ia telah dipaksa untuk menyesuaikan dirinya
dengan kelompoknya.129
Teori Labeling sebenarnya sudah mulai dikenal sejak
lama. Yaitu saat membaca sajak dari seorang penyair terkenal
Wolfgang von Goethe (1749 – 1832). Bagian pertama dari sajak
diatas dapat diketahui apa yang disebut oleh Tannenbaum (1938)
sebagai “Dramatization of Evil”. Untuk Indonesia, jika kita boleh
merenung kembali tentang “Dramatization of Evil”, yaitu cara
yang diberlakukan terhadap orang-orang ex-PKI. Yang menjadi
pertanyaan dewasa ini, jika diingat lagi apa yang mereka telah
perbuat__ pembunuhan yang sedemikian kejam tanpa suatu proses
hukum__apakah ungkapan Tannenbaum masih tetap relevan.
Pada permulaan tahun enampuluhan, teori labeling ini
mulai mempersoalkan kejahatan dan penjahat dari suatu
perspektif yang berbeda. Jika teori-teori sebelumnya terlalu
menekankan pada soal watak atau perilaku, maka yang menjadi
persoalan dalam teori ini yaitu bagaimana reaksi warga
terhadap devian. Tidaklah mengherankan kalau teori labeling
ini lalu dikenal dengan nama “Societal reaction School”.
Dua macam Labeling
Pendekatan teori labeling dapat dibedakan dalam dua
bagian:
1) persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang
memperoleh cap atau label
Persoalan labeling ini, memperlakukan labeling sebagai
dependent variable atau variabel tidak bebas dan
keberadaannya memerlukan penjelasan. Labeling dalam arti
ini yaitu labeling sebagai akibat dari reaksi warga
2) efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya
Persoalan labeling kedua yaitu bagaimana labeling
mempengaruhi seseorang yang terkena label/cap.
Persoalan ini memperlakukan labeling sebagai variabel
yang independen atau variabel bebas/mempengaruhi.
Dalam kaitan ini, ada dua proses bagaimana labeling
mempengaruhi seseorang yang terkena label untuk
melakukan penyimpangan tingkah lakunya.
Pertama, cap/label ini menarik perhatian pengamat
dan mengakibatkan pengamat selalu memperhatikannya
dan kemudian seterusnya cap/label ini melekat pada
diri orang itu
Kedua, label atau cap ini sudah diadopsi oleh seseorang
dan membawa pengaruh pada dirinya sehingga ia mengakui
dengan sendirinya sebagaimana cap/label itu diberikan
kepadanya oleh si pengamat.
Teori labeling ini tidak terlalu menekankan pada penjahat
an sich, maka teori ini menjadi dekat dengan madzhab klasik.
Dapat pula dikatakan bahwa teori labeling ini merupakan
semacam anak dari “simbolik interactionism”, maka apa yang
dikemukakan pada dasarnya bukanlah sesuatu yang baru.
Meskipun ada perbedaan, namun perbedaan ini sangat
tipis sehingga seringkali orang bingung untuk membedakan
antara teori labeling dengan teori interaksionisme.
Scharg (1971) menyimpulkan asumsi dasar teori labeling
sebagai berikut:132
1) Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya
bersifat kriminil
2) Rumusan atau batasan tentang kejahatan dan penjahat
dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka yang
memiliki kekuasaan
3) Seseorang menjadi penjahat bukan sebab ia melanggar
undang-undang, melainkan sebab ia ditetapkan demikian
oleh penguasa
4) Sehubungan dengan kenyataan di mana setiap orang dapat
berbuat baik dan tidak baik, tidak berarti bahwa mereka
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: kelompok
kriminal dan non kriminal
5) Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling
6) Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam sistem
peradilan pidana yaitu fungsi dari pelaku atau penjahat
sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya
7) Usia, tingkatan sosial ekonomi, dan ras merupakan
karakteristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan
perbedaan pengambilan keputusan dalam sistem peradilan
pidana
8) Sistem peradilan pidana dibentuk berdasar perspektif
kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan
penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat
9) Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan
identifikasi dengan citra sebagai deviant dan sub-kultur
dan menghasilkan ”rejection of the rejector”
Dua konsep penting dalam teori labeling yaitu “primary
deviance” dan “secondary deviance”. Primary deviance ditujukan
kepada perbuatan penyimpangan tingkah laku awal, sedang
secondary deviance yaitu berkaitan dengan reorganisasi
psikologis dari pengalaman seseorang sebagai akibat dari
penangkapan dan cap sebagai penjahat. Sekali cap atau label
ini dilekatkan pada seseorang, maka sangat sulit orang yang
bersangkutan untuk selanjutnya melepaskan diri dari cap
dimaksud dan kemudian akan mengidentifikasikan dirinya
dengan cap yang telah diberikan warga terhadap dirinya.
Dalam kaitan dengan kriminologi radikal “....para
pendukung teori labeling lebih suka untuk mengedepankan
imajinasi, untuk memunculkan suatu kesadaran kritis yang
mana akan menuntun kepada visi dan realita baru”, demikian
Scheff (1974), sebagaimana dikutip oleh Nettler. Dengan
demikian gagasannya lebih provokatif daripada empirik. 133
Tidak dapat disangkal bahwa pengaruh dari teori labeling
ini cukup substansial terhadap kriminologi. Sebelum dijelaskan
segi-segi positif dari teori labeling ini, ada baiknya diungkapkan
dulu kelemahannya secara singkat sebagaimana dikemukakan
oleh Gwynn Nettler dalam bukunya Prof. J. E. Sahetapy sebagai
berikut:
1. “Labeling theory does not explain the behaviours that lead
to the aplication of labels”. Jadi dalam konteks ini teori
labeling merasa tidak penting untuk mempersoalkan
pentingnya faktor kausalitas dan nilai penjelasan yang
bertalian dengan dengan variabel personal. Bahkan mereka
berpendapat bahwa menelaah perbedaan kepribadian yang
mungkin dapat membedakan kategori seseorang bertalian
dengan persoalan kriminalitas yaitu hal yang sia-sia.
Lebih diutamakan suatu interpretasi politik daripada suatu
penafsiran psikologis. sebab teori labeling menaruh
perhatian terhadap warga lapisan bawah, golongan
minoritas dan sebagainya, maka lalu dipersoalkan tentang
kekuasaan yang diperoleh oleh mereka yang berkuasa yang
dapat menekankan labeling yang dikehendaki terhadap
kaum yang lemah ini.
2. “saat diaplikasikan terhadap pemahaman atas kelakuan
individu, hipotesa teori labeling yaitu lemah”. Dikatakan
demikian, sebab dalam teori labeling memang ada
kelemahan yaitu mengingkari perbedaan dalam kepribadian
atau personalitas. Menurut teori labeling, “psychosis is not in
her, but in her situation”. Katanya pula, “saat cermin dimana
seseorang melihat dirinya itu berubah, maka ia juga akan
berubah”. Apakah hal itu begitu mudah sebagaimana diucapkan,
yang akan membuktikan yaitu realita nyata kehidupan.
3. “The model of causation implict in the labeling hypothesis
is questionable”. Anehnya, teori ini menempatkan sebab
musabab itu pada suatu tempat yang tidak lazim, yaitu
ditempat mereka yang bereaksi. Dengan perkataan lain,
“tanggung jawab” perbuatan A diletakkan pada orang lain,
yaitu B. Bagi mereka yang awam mengenai teori ini, tampak
atau kedengarannya seperti orang tidak suka membela
dirinya terhadap, misalnya pencurian atau pembunuhan
dalam KUHP. Singkatnya dapat dikatakan bahwa teori
labeling seolah-olah hanya berpikir semata-mata tentang
interaksi saja, dan tidak memikirkan atau tidak mau tahu
tentang sebab akibat.
4. “Dalam tataran realita sosial, hipotesa teori labeling tidak
dapat menjawab pertanyaan abadi tentang kejahatan”. Ini
berarti, kalau kita menanyakan mengapa sampai orang
berbuat suatu kejahatan, dan apa yang menyebabkan
kejahatan makin bertambah atau makin berkurang, atau
bagaimana dapat dilakukan usaha pencegahan kejahatan,
maka hendaklah kita sadar bahwa kita tidak akan
memperoleh suatu jawaban dari para pakar teori labeling.
Setelah kita mengetahui beberapa kelemahan dari teori
labeling bedan kritik yang begitu tajam dan seakan tidak bisa
terjawab, maka kini marilah kita lihat beberapa segi positif
dari teori ini sebagaimana dikemukakan oleh Williams III dan
McShane (J.E. Sahetapy, 1991: 28) sebagai berikut:
1. warga yaitu dibentuk oleh nilai-nilai yang
berbenturan dalam waktu yang sama.
2. Kualitas dari perilaku individu yaitu ditentukan oleh
bagaimana individu-individu yang ada mengeplikasikan
nilai-nilai yang ada.
3. Penyimpangan terhadap norma yaitu sebab adanya
reaksi terhadap adanya perilaku. Tanpa adanya reaksi, maka
mustahil ada penyimpangan.
4. Sekali seseorang berperilaku, maka akan diperhatikan
oleh warga di sekitarnya, dan label bagi pelaku
penyimpangan, yaitu sebab orang ini pernah
melakukan perilaku menyimpang.
5. Orang yang memberikan reaksi (individu, kelompok sosial,
lembaga penegakan hukum) cenderung untuk mengamati
lebih dalam terhadap seseorang yang mana telah mereka
identifikasi sebagai seorang pelaku penyimpangan norma
dan oleh sebab itu mereka menemukan bahwa orang
ini pernah melakukan tindak penyimpangan .
6. Pandangan seseorang terhadap individu, sekali ia diberi label,
maka label itulah yang akan selalu menjadi identitas dirinya.
Seseorang yang diberi label sebagai pelaku kriminal yaitu
sebab ia pernah melakukan tindakan kriminal. Hal lain yang
mungkin tidak tercover pada dirinya mungkin akan terlupakan.
7. Pada tahapan “proses menjadi” seorang pelaku penyimpangan
norma bagi warga sekitarnya, seorang individu mungkin
akan menerima sebuah labeling sebuah identitas bagi dirinya
sendiri. Disandangnya label ini sangat tergantung pada
seberapa kuat pencitraan asli individu dalam proses labeling.
8. Perubahan atas pencitraan diri akan berakibat pada
internalisasi atas karakter pelaku penyimpangan norma,
dengan segala atribut atas dirinya.
9. Lebih lanjut, perilaku devian (tidak sepenting penyimpangan)
akan merupakan produk dari kehidupan dan perilaku
yang didalamnya ada peluang bagi label pelaku, dan
seringkali malah merupakan bagian dari subkultur devian.
Adapun Hagan menyampaikan kritik terhadap teori
labeling ini yaitu sebagai berikut:
1) Teori ini terlalu bersifat deterministik dan menolak
pertanggung jawaban individual. Penjahat bukanlah robot
yang pasif dari reaksi warga
2) Masih ada penyimpangan tingkah laku lainnya yang sudah
secara instrinsik merupakan kejahatan, seperti memperkosa
seorang perempuan, membunuh dan lain-lain, sehingga
teori ini tidak berlaku bagi semua jenis kejahatan
3) Jika penyimpangan tingkah laku hanya merupakan
persoalan reaksi warga, maka bagaimana dengan
bentuk penyimpangan tingkah laku yang tidak nampak atau
tidak terungkap/tertangkap pelakunya
4) Teori ini mengabaikan faktor penyebab awal dari munculnya
penyimpangan tingkah laku
5) Teori labeling selalu beranggapan bahwa setiap orang
melakukan kejahatan dan nampak bahwa argumentasinya
yaitu , cap dilekatkan secara random. Kenyataan bahwa
hanya kejahatan yang sangat serius memperoleh reaksi
warga atau cap.
Terlepas dari segala aspek positif dan negatif dari teori ini,
satu hal yang jelas yaitu : bahwa teori labeling ini telah merintis
suatu frase baru. Dengan demikian ia telah mempersiapkan
lahirnya suatu teori baru, yaitu teori konflik, yang ternyata
sangat radikal, bersifat politik praktis, dan dalam ideologinya
berkiblat kepada marxisme.
D. Teori Anomi
Secara global, aktual dan representatif teori Anomie
lahir, tumbuh, dan berkembang berdasar kondisi sosial.
Perkembangan warga dunia terutama setelah era depresi
besar yang melanda khususnya warga Eropa pada tahun
1930-an telah banyak menarik perhatian pakar sosiologi saat itu.
Perkembangan warga dunia terutama setelah era
depresi besar yang melanda khususnya warga Eropa pada
tahun 1930-an telah banyak menarik perhatian pakar-pakar
sosiologi pada waktu itu. Hal ini dipicu adanya perubahan
besar dalam struktur warga sebagai akibat dari depresi
ini .
Pakar sosiologi melihat peristiwa ini lebih jauh
lagi dan mengambil makna darinya sebagai suatu bukti atau
petunjuk bahwa ada hubungan erat antara struktur
warga dengan penyimpangan tingkah laku (deviant
behavior) individu.
Dalam konteks perkembangan ekonomi Indonesia yang
ditandai dengan perkembangan industrialisasi dan berbagai
fluktuasi yang kurang menentu dari kebijaksanaan pemerintah
di bidang perekonomian dan keuangan, terutama setelah pelita
II dan diikuti dengan perkembangan kejahatan yang semakin
canggih khususnya di bidang perekonomian dan perbankan,
tampaknya teori Anomie dapat dipakai sebagai pisau analisis
yang dapat mengungkapkan secara memadai berbagai kejahatan
dimaksud.
Konsep Durkheim dalam tentang anomie termasuk ke
dalam kelompok Undercontrol. Isu pokok dari kelompok
ini yaitu “mengapa warga mengabaikan hukum yang
diakui oleh warga kebanyakan?”. Riset Durkheim tentang
“suicide” dilandaskan pada asumsi bahwa rata-rata bunuh diri
merupakan puncak dari akumulasi anonim yang bervariasi
berdasar dua keadaan sosial, yaitu : Social Integration dan
Social Regulation.140 Durkheim kemudian mengidentifikasi
bunuh diri menjadi beberapa tipe yaitu: bunuh diri altruistic
(bunuh diri tak egois), bunuh diri egoistic ( bunuh diri terpusat
diri), dan anomik (bunuh diri sebab “anomi” atau keadaan
tanpa norma warga.
Perkembangan kondisi sosial warga Eropa seperti
yang dijelaskan di atas dipicu adanya perubahan besar
dalam struktur warga sebagai akibat dari depresi ini ,
yaitu tradisi yang telah menghilang dan telah tejadi “deregulasi”
di dalam warga. Keadaan inilah yang dinamakan sebagai
“Anomie” oleh Durkheim.
Menurut Durkheim, Anomie di artikan sebagai suatu
keadaan tanpa norma (the concept of Anomie referred to on absence
of social regulation normlessness). Kemudian dalam buku the
division of labor in society Emile Durkheim mempergunakan
istilah Anomie untuk mendeskripsikan keadaan “deregulation”
di dalam warga yang di artikan sebagai tidak di taatinya
aturan-aturan yang ada pada warga sehingga orang
tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain dan keadaan ini
menyebabkan deviasi.
Menurut Emile, teori Anomie terdiri dari tiga perspektif,
yaitu :
a. Manusia yaitu mahluk sosial;
b. Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial;
c. Manusia cenderung hidup dalam warga dan
keberadaannya sangat tergantung pada warga ini
sebagai koloni.
Dalam karyanya yang berjudul The Division of Labor in
Society, Emile memiliki pernyataan inti bahwa warga
berevolusi dari warga sederhana, kemudian menuju
bentuk non-spesialis (mekanikal) lalu menuju warga
yang kompleks atau bentuk spesialis yang lebih tinggi
(organic). Dalam kedua masalah , Emile menunjuk pada
bagaimana orang berinteraksi satu sama lain dan tenaga
kerja diperlakukan. Dalam warga mekanik, orang-
orang berperilaku dan berpikir sama, kecuali untuk divisi
pekerja dengan garis gender, lebih banyak menampilkan tugas
kerja yang sama dan memiliki tujuan yang berorientasi pada
kelompok. saat warga mulai kompleks, pekerjaanpun
semakin kompleks dan dikhususkan. warga modern
yang organic dikarakterkan sebagai hubungan interaktif
yang lebih tinggi, pekerjaan yang lebih khusus dan tujuan
individu. Sebagai contoh,kemampuan pekerjaan seseorang
cukup jarang untuk meyediakan segala sesuatu yang
dibutuhkan dalam kehidupan. Orang bergantung satu sama
lain untuk menghasilkan berbagai macam produk.
Teori anomie Robert K. Merton diperbaiki Cloward & Ohlin
(1959) dengan mengetengahkan teori differential opportunity.
Cloward & Ohlin berkata bahwasesungguhnya ada
cara-cara untuk mencapai sukses, yaitu cara yang disebutnya
“legitimate dan illegitimate”. sedang Robert K. Merton hanya
mengakui cara yang pertama.
Berikut beberapa indicator yang dikemukakan oleh Robert K.
Merton: Most member of society share a common system of values,
This common value system teaches us both the things we should strive
for cultural goals and the most appropriate ways to achieve goals.If
the goals and the mean of achieves them are not equally stressed, an
anomic condition are created. In disorganization society, different
degrees of access to these goals and means exist. Thus, the means are
not equally distributed within a disorganized society. Some society,
such as United States, may places too much stress on success goals.
Without reasoneable access the socially approved means, member of
society will attempt to find soe way to resolve the pressure to achieve.
The various reaction will : If facing the moral issues, the individual
continue to accept. IIf individual accept the goals but not the means,
the behavior will be deviant and innovative.If the individualsreject the
goals but accept the means the individual will be focus on the means
rather than the goal. If individual reject goals and the means, it will
choice the other ways of live. If both means and goals are rejected but
substituted, the individual become deviant and rebelling.147
Pada dasarnya kriminologi di Indonesia masih bertitik
tolak pada pengertian kausa kejahatan dalam arti sempit
(dalam arti madzhab positivis). Kalau dikatakan bahwa
pemikiran madzhab posistivis banyak mewarnai pemikiran
kriminologi Indonesia, hal ini tidak berarti bahwa pendekatan
madzhab klasik ditinggalkan. Dalam berbagai tulisan terlihat
jelas keprihatinan terhadap meningkatnya kejahatan dengan
tuntutan diberikannya ancaman pidana yang lebih berat
terhadap pelakunya. Keyakinan bahwa ancaman yang berat
dan tindakan yang tidak membeda-bedakan dan kepastian
dalam penyelenggaraan peradilan pidana dapat menanggulangi
meningkatnya kriminalitas, mencerminkan pemikiran madzhab
klasik yang lebih mengutamakan perbaikan ‘administration of
justice’ sebagai usaha penangkalan (deterence) kejahatan
Istilah “anomi” mengemuka pertama pada tahun 1893.
Waktu itu, Durkheim dalam bukunya berjudul “The Division
of Labor in Society” mempergunakan konsep anomi yang ia
artikan sebagai “a condition of deregulation” yang terjadi di
warga. Keadaan ini sering pula diartikan sebagai
keadaan warga tanpa norma. Dan keadaan ini sangat
mempermudah terjadinya penyimpangan tingkah laku. Istilah
anomi kemudian dikemukakan kembali oleh Durkheim dalam
bukunya “Suicide” (1897).
Perkembangan kondisi sosial warga Eropa seperti
yang dijelaskan di atas dipicu adanya perubahan besar
dalam struktur warga sebagai akibat dari depresi ini ,
yaitu tradisi yang telah menghilang dan telah tejadi “deregulasi”
di dalam warga. Keadaan inilah yang dinamakan sebagai
“Anomie” oleh Durkheim.
Menurut Durkheim, Anomie di artikan sebagai suatu
keadaan tanpa norma (the concept of Anomie referred to on absence
of social regulation normlessness). Kemudian dalam buku the
division of labor in society Emile Durkheim mempergunakan
istilah Anomie untuk mendeskripsikan keadaan “deregulation”
di dalam warga yang di artikan sebagai tidak di taatinya
aturan-aturan yang ada pada warga sehingga orang
tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain dan keadaan ini
menyebabkan deviasi.
Menurut Emile, teori Anomie terdiri dari tiga perspektif,
yaitu :
a. Manusia yaitu mahluk sosial;
b. Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial;
c. Manusia cenderung hidup dalam warga dan
keberadaannya sangat tergantung pada warga ini
sebagai koloni.
Konsep Durkheim tentang anomi (teori anomi) termasuk
kelompok teori Under Control. Isu pokok dari kelompok teori
ini yaitu “Why do people violate laws that most of us accept”? Di
lain pihak Box (1981) memasukkan teori di atas ke dalam teori
Strain (Strain Theory) dengan mengajukan isu “Kenapa seseorang
melanggar hukum?”. Namun pada dasarnya antara Box dan Strain
tidak ada perbedaan yang mendasar mengenai teori anomi ini.
Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri atau Suicide
berasal dari tiga kondisi sosial yang menekan (stres) yaitu :
1. deregulasi kebutuhan atau anonim
2. regulasi yang keterlaluan atau fatalisme
3. kurangnya integrasi struktural atau egoisme
Adapun Cullen dan Francis T (1983) menambahkan hipotesa
keempat, bahwa bunuh diri menunjuk kepada proses sosialisasi
dari seorang individu kepada suatu nilai budaya “altruistic” yang
mendorong yang bersangkutan untuk melaksanakan bunuh diri.
Hipotesa keempat ini tidak termasuk teori stres.
Yang menarik perhatian dari konsep anomi Durkheim yaitu
kegunaan konsep dimaksud lebih lanjut untuk menjelaskan
penyimpangan tingkah laku yang dipicu sebab kondisi
ekonomi di dalam warga. Secara gemilang, konsep ini
telah dikembangkan lebih jauh oleh Merton (1938) terhadap
penyimpangan tingkah laku yang terjadi di warga Amerika.
Merton menjelaskan bahwa di warga (Amerika) telah
melembaga suatu cita-cita untuk mengejar sukses semaksimal
mungkin, dan pada umumnya diukur dari harta kekayaan yang
dimiliki seseorang. Untuk mencapai sukses yang dimaksud,
warga sudah menetapkan cara tertentu yang diakui dan
dibenarkan yang harus ditempuh seseorang. Namun demikian dala
realitanya, tidak semua orang dapat mencapai cita-cita dimaksud
melalui cara-cara yang dibenarkan. Oleh sebab itu, ada
individu yang berusaha mencapai cita-cita dimaksud melalui
cara-cara yang tidak dibenarkan atau melanggar undang-undang
(peraturan). Pada umumnya mereka yang melakukan cara-cara
yang melanggar aturan (undang-undang) ini , berasal dari
warga kelas bawah dan golongan minoritas.
Pada tahun 1938, Merton mempergunakan konsep ini
untuk menjelaskan penyimpangan tingkah laku di Amerika
Serikat. Perbedaannya dengan konsep anmi Durkheim, ialah
bahwa Merton mengartikan anomi sebagai kesenjangan antara
sarana (means) dan tujuan atau cita-cita (goals) sebagai hasil
kondisi warga. Sehingga menurut Merton, penyimpangan
tingkah laku atau diviance yaitu merupakan gejala dari suatu
struktur warga di mana aspirasi budaya yang sudah terbentuk
terpisah dari sarana yng tersedia di warga
Pada tahun 1938, Robert K. Merton mengadopsi konsep
anomie Emile Durkheim untuk menjelaskan deviasi di
Amerika. Konsepsi Merton ini sebenarnya dipengaruhi
intelectual heritage Pitirin A. Sorokin (1928) dalam bukunya
Contemporary Sociological Theories dan Talcot Parsons (1937)
dalam buku The Structure of Social Action. Menurut Robert K.
Merton, konsep anomie diredefinisi sebagai ketidaksesuaian
atau timbulnya diskrepansi/perbedaan antara cultural goals
dan institutional means sebagai akibat cara warga diatur
(struktur warga) sebab adanya pembagian kelas. sebab
itu, menurut John Hagan, teori anomie Ro


