Jumat, 26 Januari 2024

kriminologi 2




 Perancis dan Adolphe Quetelet dari belgia menyebut 
mereka sebagai “bapak kriminologi modern”. Thomas dan 
Hepburn mencerminkan dengan sangat bagus pandangan 
penulis buku ini:86
“ Sulit memahami mengapa ada begitu banyak kriminolog 
bekerja dalam keyakinan jelas mereka bahwa kriminologi 
ilmiah belum ada hingaa kemunculan Lombroso… kendati 
demikian, kekayaan analisis ilmiah oleh mereka yang bisa 
digolongkan sebagai anggota mazhab statistik (ekologis)
umumnya diabaikan sementara karya Lombroso yang 
sering absurd dan digarap dengan buruk dianggap sebagai 
analisis kriminologi sejati yang pertama”.
Mazhab ekologis disebut juga dengan mazhab statistik, 
geografi, atau kartografi. Ekologi yaitu  cabang biologi 
yang membahas hubungan timbale balik antara organism 
dan lingkungan mereka. Ekologi manusia membicarakan 
hubungan timbal balik antara organism manusia dan 
lingkungan fisik. Disebut mazhab statistik sebab mazhab 
inilah yang pertama kali berusaha menerapkan data resmi 
dan statistik bagi problem dalam menjelaskan kriminalitas. 
Label geografi dan kartografi disandangkan sebab para 
penuli dalam kelompok ini cenderung bersandar pada peta 
dan data foto udara dalam penelitian mereka.
III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEJAHATAN
Dalam menjelaskan sebab-musabab kejahatan maka 
tepatlah untuk dibagi menjadi beberapa kelompok 89 :
1. Kejahatan yang dipicu  oleh pengaruh-pengaruh dari 
luar terhadap pelaku.
2. Kejahatan yaitu  akibat dari sifat-sifat pelaku ditentukan 
oleh bakatnya.
3. Kejahatan dipicu  oleh pengaruh-pengaruh dari luar 
maupun juga oleh sifat-sifat pelaku.
jika diperhatikan ketiga golongan itu maka diperoleh 
gambaran sebagai berikut90:
A. Faktor Sosiologis
Kriminalitas dipicu  oleh faktor-faktor yang berada di 
luar pelaku. Menurut pendapat ini, lingkungan ditempatkan 
dalam titik sentral. Kadang-kadang masih terjadi perbedaan 
pendapat mengenai pengaruh milieu (lingkungan) yang 
manakah yang penting bagi kriminologi. Hal ini dipicu  
pengertian milieu meliputi banyak hal, mulai dari peran ibu 
sampai seluruh jagad ini. Bagi semua pengikut aliran lingkungan, 
memilih keadaan luar merupakan faktor yang menentukan, 
bahkan sebagai satu-satunya faktor bagi timbulnya kriminalitas,
tanpa memandang hal lain. Ada yang berpendapat keadaan 
ekonomilah yang sangat menentukan. Yang lain memandang 
keluarga, tempat kediaman, bentuk kenegaraan, lingkungan 
geografis (termasuk iklim) sebagai faktor terpenting. Bonger 
memilih milieu yang berperan. Dia melihat kriminalitas sebagai 
gejala warga, terutama dipicu  fluktuasi ekonomi. 
Memang Bonger berpendapat ada orang-orang, yang sebab 
struktur kepribadiannya mempunyai kecenderungan kriminal. 
Bagi Bonger bakat yaitu  hal yang konstan; sedang  milieu 
(lingkungan) yaitu  faktor yang variabel. Faktor yang variabel 
itulah yang harus dipandang sebagai sebab. Bonger melihat 
kejahatan pertama-tama sebagai suatu gejala massa dalam dalam 
pergaulan hidup, dimana terutama fluktuasi mempunyai arti 
penting. Disamping itu, meskipun Ia berpendapat bahwa ada 
orang-orang yang sebab struktur kepribadiannya dapat menjadi 
penjahat, namun jumlah prosentase mereka dalam suatu pergaulan 
hidup selama satu tenggang waktu yang panjang ternyata tidak 
berubah. Jika dalam jangka waktu itu dan dalam warga itu 
terjadi juga fluktuasi dalam jumlah kejahatan yang terbagi dalam 
jenis-jenis delik, maka hal ini tentu diakibatkan oleh faktor-faktor 
yang terletak diluar individu itu; jadi dari faktor lingkungan. 
Berkurangnya kejahatan merupakan suatu petunjuk bahwa 
keadaan lingkungan telah bertambah baik, sehingga orang-orang 
yang secara potensiil dapat menjadi jahat dalam jumlah yang lebih 
besar, tidak melakukan kejahatan.
Sutherland dalam teorinya differencial association 
menyatakan, “criminal behavior is learned through association 
with other people, usually in the form of close group”91.perilaku 
kriminal dipelajari melalui hubungan dengan orang lain, 
biasanya dalam kelompok yang dekat. 
B. Faktor Biologis dan Psikologis
Para penganut ajaran ini berpendapat bahwa kejahatan 
merupakan akibat dari sifat-sifat si pelaku yang erat bertalian 
dengan pembawaannya. Beberapa dari mereka melihat hal 
ini  lebih jauh lagi dan berpendapat bahwa kejahatan tidak 
dapat tidak merupakan perwujudan dari bakat.92
Dalam bahasa lain, bahwa kriminalitas dipicu  oleh 
bakat. Pengikut-pengikut aliran ini menyatakan, bahwa 
kriminalitas sebagai akibat sifat-sifat si pembuat, yang melekat 
pada bakatnya. Mereka menyatakan bahwa kriminalitas 
merupakan bentuk perujudan yang mutlak dari bakat. Dalam 
kepustakaan Jerman bakat dipandang sebagai sesuatu yang 
diwariskan. Dengan demikian kriminalitaspun dipandang 
sebagai suatu yang turun temurun.
Ada pendapat lain yang mengatakan faktor bakat secara 
individual, turun-temurun. Genotype turun temurun dimiliki 
oleh individu. Ini meliputi semua sifat-sifat yang didapat oleh 
individu sebagai warisan. Bakat mempunyai peranan dalam 
menimbulkan kejahatan. Faktor keturunan bergantung pada 
keadaan (milieu). Manakah di antara faktor keturunan ini 
menjadi tetap dan mana yang berkembang, individu dalam 
kemungkinannya yang maksimal bertumbuh (berkembang) 
dibatasi oleh faktor keturunan (genotype) itulah sebabnya tidak 
akan pernah melebihi bakat.
Ajaran Lombroso (penjahat sejak lahir = dilinquente nato) 
yaitu  berdasar ukuran-ukuran badan terhukum. Para 
ahli kemudian menentang ajaran itu (terutama di Jerman dan 
Inggris), dengan mengatakan adanya ketidaktelitian dalam 
pengukuran. Tanda-tanda jasmani yang sejenis bagi penjahat 
ditemukan pula pada yang tidak terhukum. Dasar pendirian 
Lambroso merambat ke Hooton. Sungguhpun hasil pengukuran 
Hooton lebih teliti tetapi ternyata pengikutnya tidak banyak.
Dia berpangkal pada phaenotype. Sheldon meneliti 
tipe badan kriminal dan berpendapat bahwa tipe konstitusi 
ini ditentukan oleh bakat. Sungguhpun ia mendasarkan 
pendapatnya atas sejumlah besar pengukuran-pengukuran 
tetapi sampai sekarang pendapatnya menuai banyak kritikan. 
Kritik itu dilemparkan oleh Glueck dan Sutherland. Tokoh-
tokoh yang memandang sebab-sebab kriminalitas sebab 
faktor bakat yang bersifat jasmaniah mempunyai pengikut yang 
sedikit. Tidak demikian halnya dengan tokoh yang menganut 
bahwa kriminalitas semata-mata akibat bakat yang psikis atau 
akibat faktor psikis dan jasmaniah bersama-sama.
Jika pendapat yang melihat sebab musabab kejahatan dalam 
faktor-faktor bakat jasmani memperoleh sedikit penganut, lain 
pula halnya dengan pandangan yang melihat bahwa kejahatan 
yaitu  semata-mata akibat dari bakat psikis, atau dari faktor-
faktor psikis dan fisik bersama-sama.
Godrad berpangkal pada pendapat bahwa Zwakzinigheid 
yaitu  faktor bakat. Kondisi ini mesti menimbulkan 
kriminalitas. Orang yang Zwakzinnig itu tidak mampu untuk 
melihat jauh ke depan dan juga tidak mampu memahami 
maksud Undang-undang. Pendapat ini (terutama di Amerika) 
untuk beberapa lama mempunyai pengikut-pengikut, tetapi 
kemudian ditinggalkan orang sama sekali. Selain pendapat itu 
ada pendapat bahwa kriminalitas merupakan perwujudan dari 
struktur pribadi yang ditentukan oleh bakat (aliran psikiatis). 
Keadaan-keadaan milieu sama sekali tidak berpengaruh 
atas perujudan ini . Struktur pribadi sebagai penyebab 
timbulnya kriminalitas berujud dalam bentuk-bentuk penyakit 
psychose epilepsi, moral insanity. Suatu penyakit di mana 
seluruh kepribadian dalam proses sakit. Praktis semua fase 
struktur pribadi rusak.
Pandangan lain yang oleh Sutherland dinamakan madzhab 
psikiatris yaitu, kejahatan merupakan pengungkapan yang tidak 
dapat dihindarkan dari struktur kepribadian tertentu, yang 
ditentukan oleh bakat. Keadaan lingkungan boleh dikatakan 
tidak berpengaruh terhadap pengungkapan itu.
Struktur kepribadian yang mendorong terjadinya 
kejahatan, merupakan srtruktur yang memanifestasikan diri 
dalam gambaran penyakit, psikose, epilepsi, dan moral insanity.
Penelitian pada tahun 1960 yang dilakukan oleh para 
biologist menemukan adanya kelainan genetik pada seseorang. 
Manusia alamaiah pada hakikatnya memiliki kromosom 
kelamin dengan pengkodean XY untuk pria dan XX untuk 
wanita. Dalam beberapa penelitian ternyata ditemukan bahwa 
ada sebagian kecil pria yang memiliki kromosom kelamin 
dengan kode XYY.
Konsekuensi dari penelitian ini ternyata memberikan 
simpulan bahwa pria yang memiliki kromosom XYY, yang dalam 
hal ini memiliki dua karakteristik Y ( pengkodean kromosom 
Y menunujuk pada gender pria), ternyata memiliki perangai 
yang lebih agresif dibandingkan dengan pria normal. Dalam hal 
ini WItken berpendapat, “ In reality,later more comprehensive 
research established that although XYY males were more likely 
to be involved in violent crime, they were no more likely to be 
involved in violent crime. Its happened as their low intelligence 
rather than their XYY cromosom.”96
C. Faktor Sosio-Ekonomis dan Sosio-Politis
1. Faktor Sosio-Ekonomis
Ada satu rumus “menakutkan” yang selalu diingat 
orang begitu menarik hubungan antara memburuk situasi 
perekonomian sebuah warga dengan pertumbuhan 
kejahatan. Menurut rumus itu, sekalipun tidak berbanding 
lurus, ada  hubungan positif antara makin memburuknya 
perekonomian suatu warga dengan makin maraknya 
kejahatan yang terjadi di dalamnya. Logikanya sederhana 
saja. Memburuknya perekonomian warga biasanya 
ditandai dengan meningkatnya pengangguran dan 
naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Kalau biaya bagi 
pemenuhan kebutuhan hidup makin meningkat sedang  
sumber pendapatan sudah tidak lagi ada –setidaknya 
menciut— biasanya ada sebagian kelompok tertentu 
dari para penganggur ini yang kemudian nekad. Mereka 
akan bersedia melakukan apa saja --termasuk pencurian, 
perampokan, penculikan, pembunuhan, dan sebagainya— 
untuk sesuap nasi, untuk sekedar bisa bertahan hidup 
bersama keluarganya di hari berikutnya.
Gagasan serupa ini sebetulnya bukan hal baru. Marshall 
B. Clinar dan J. Abbott dalam Crime and Developing 
Countries (1973) melihat gejala peningkatan kejahatan yang 
berhubungan dengan ketersisihan sekelompok warga 
dalam proses industrialisasi sudah muncul sejak awal 
abad 19, terutama di Inggris dan Amerika Serikat. Hal ini 
pulalah yang belakangan ini menjadi salah satu agenda 
kecemasan yang penting dalam warga. Krisis ekonomi 
berkepanjangan selalu berujung pada makin bertumpuknya 
anggota warga mendekati, bahkan hingga ke bawah 
garis kemiskinan. Lihat saja angka-angka berikut ini. Dalam 
keterangan pers akhir tahunnya, Kapolri menyebut bahwa 
setahun terakhir crime rate tumbuh + 10%, dengan jumlah 
nominal 157.180 tindak kejahatan. Itu artinya, kurang lebih 
setiap 3 menit 20 detik sekali terjadi sebuah kejahatan.97
Dalam tahun-tahun sebelum masehi pujangga Plato 
telah menyatakan bahwa kekayaan dan kemiskinan menjadi 
bahaya besar bagi jiwa seseorang; yang miskin sukar 
memenuhi kebutuhan hidupnya dan merasa rendah diri dan 
timbul hasrat untuk melakukan kejahatan, sebaliknya juga 
orang kaya hidup mewah untuk segala macam hiburanya.98
Pada abad pertengahan Thomas Van Aquino mengatakan 
bahwa kemiskinan  memberikan peluang untuk berbuat 
jahat. Dalam hal ini berarti bahwa kemiskinan berpengaruh 
terhadap kejahatan, dan jelas hubungannya antara 
perekonomian dengan kejahatan. 
Sesudah tahun 1830 sejak berkembangnya penggunaan 
statistik sebagai sarana penyelidikan berbagai gejala yang 
timbul dalam warga. Pada waktu itu para sarjana 
ekonomi mulai mendasarkan pendapatnya pada angka-
angka statistik dari salah satu gejala terpenting, yang 
diperoleh yaitu  adanya kemiskinan dalam kehidupan 
perekonomian, sehingga kemiskinan mengalami 
persayaratan yang tajam dan dihubungkan dengan kejahatan 
yang merajalela. Dengan diketahui kedua gejala itu yakni 
kemiskinan dan banyak kejahatan maka orang mengambil 
keputusan dalam arti kata, bahwa kemiskinan memudahkan 
timbulnya kejahatan. 
Kemudian seorang penyelidik bangsa Jerman bernama 
G. Von Mayr berdasar angka-angka statistik di Beiren, 
dari hasil investigasi dari tahun 1835 – 1861, mengkonstantir 
turun naiknya harga gandum sejalan dengan turun naiknya 
orang berimigrasi juga sejalan dengan turun naiknya jumlah 
kejahatan terhadap harta benda dan pengemis.
Perubahan dan perbedaan dalam kesejahteraan 
menimbulkan banyak konflik-konflik yang mendorong 
orang melakukan kejahatan. Dalam masalah ini Prof. Noach 
menganalisa sebagai berikut:
Bahwa perubahan kesejahteraan pada orang seorang 
dapat berupa:
2. Suatu kemunduran dalam kesejahteraan 
Suatu kemunduran yang menimpa secara mendadak 
menimbulkan ketegangan antara pengeluaran dan pemasukan 
uang belanja dan berbagai kewajiban membayar sewa rumah 
dan belanja kebutuhan dapur, dan bayaran sekolah tidak 
mungkin diberhentikan secara sekaligus sehingga kurangnya 
menjadi kurang lagi. Orang menjadi kehilangan hubungan 
dan pengaruh dari golongannya. Keadaan susah ditambah 
dengan tekanan jiwa sebab perasaan tidak puas dan kepekaan 
terhadap peraturan dan adat istiadat golongan yang mengikat 
memudahkan timbulnya kejahatan, baik terhadap keselamatan 
badan maupun terhadap harta benda. Penjahat macam ini 
sebab mengalami krisis.
3. Suatu kenaikan kesejahteraan 
Orang merasa serba susah untuk bergaul dengan teman. 
Teman yang dahulu sejajar kedudukannya, merasa dirinya lebih 
tinggi, sedang  untuk mulai bergaul dengan orang-orang 
yang sudah terlebih dahulu tinggi tingkatnya merasa canggung. 
Perasaan yang serba tidak menentu inilah yang menimbulkan 
konflik-konflik yang dapat menjadi sebab musabab kejahatan. 
Untuk menjaga jangan sampai terjadi kemunduran hartanya 
orang menjadi serakah dan lupa, orang berbuat kejahatan yang 
bukan semestinya. Pernah juga terjadi sebab menang undian 
nomor satu mendadak menjadi kaya raya dan lupa daratan 
dan akhirnya malahan masuk penjara. 
Namun satu hal yang patut pula untuk diperhatikan yaitu  
bahwa dalam kongres PBB ke tujuh (1985), yang temanya 
“Dimensi baru kejahatan dalam konteks pembangunan”, 
menyatakan bahwa gejala kriminalitas merupakan suatu 
kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi, seperti 
misalnya pelanggaran hukum pajak, transfer modal yang 
melanggar hukum, penipuan asuransi, pemalsuan invoice, 
penyelundupan dan lain-lain. Pandangan ini memakai  
pendekatan dengan hubungan positif (direct relationship). 
Pandangan ini berbeda dengan pendapat lama (pendekatan 
dengan hubungan negatif) yang melihat kejahatan sebagai 
salah satu akibat dari buruknya keadaan ekonomi (yang 
berarti pula bahwa bilamana keadaan ekonomi membaik, 
kejahatan akan menurun).
Kejahatan-kejahatan (dalam perspektif pendekatan 
direct relationship) ini  mempunyai dampak yang 
sangat negatif pada perekonomian nasional, sedang  
pelaku-pelakunya berbentuk badan hukum atau pengusaha-
pengusaha yang sering mempunyai kedudukan yang 
terhormat dalam warga. Kejahatannya  jarang 
dilakukan dengan kekerasan fisik (seperti penodongan 
atau perampokan) tetapi lebih sering dilakukan berkedok 
”legitimate economic activities”. Kejahatan ini dapat 
dinamakan “kejahatan ekonomi”.
2. Faktor Sosio-Politis
Kejahatan-kejahatan kekerasan individual di negara-negara 
berkembang sesungguhnya tidak bisa dilepaskan kaitannya 
dengan kekerasan (kejahatan) struktural yang terwujud sebagai 
pola-pola hubungan dalam warga yang mencerminkan 
ketidakmerataan dan ketidakadilan dalam penguasaan dan 
pengendalian sumber daya-sumber daya.
M. Dawam Raharjo secara menarik memberikan beberapa 
uraian tentang kekerasan struktural ini, antara lain:
“Penggunaan senjata untuk persiapan perang atau perang itu 
sendiri sudah tentu merupakan pemborosan sumber-sumber 
daya alam dan manusia yang sangat diperlukan bagi perbaikan 
kondisi umat manusia terutama di Dunia Ketiga. Kemiskinan 
yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi eksploitatif itu sendiri 
merupakan “perang” terhadap rakyat, setidak-tidaknya 
merupakan “kekerasan struktural”. Ditambah lagi dengan 
pemborosan sumber-sumber daya dan kerusakan yang 
ditimbulkan oleh perang yang bersumber pada konservatisme 
struktural, baik pada tingkat global maupun nasional, 
kesemuanya membentuk sistem kekerasan yang meniadakan 
dan menindas hak-hak asasi manusia.”
Pada bagian lain dikemukakan:
“....perang, kemiskinan, penindasan dan pencemaran 
alam, kesemuanya merupakan gejala yang berkaitan dan 
merupakan kesatuan sindrom kekerasan struktural. Di sini 
pulalah maka sistem perang, sistem ekonomi eksploitatif, 
dan perusakan lingkungan hidup merupakan gejala yang 
bertautan, berada dalam kesatuan sindrom dan merupakan 
bagian dari satu sosok struktural”.
David M. Gordon, secara kriminologi menunjukkan bahwa 
struktur dasar dari pranata-pranata sosial dan ekonomi dalam 
warga manapun secara mendasar membentuk perilaku 
individu-individu dalam warga yang bersangkutan dan 
oleh sebabnya tidak dapat dipahami tanpa pertama-tama 
mengetahui secara cukup struktur-struktur kesempatan yang 
dirumuskan secara melembaga di mana anggota-anggota 
golongan-golongan ekonomi tertentu terkungkung.
Pada warga di mana bentuk persaingan mendasari 
interaksi ekonomi dan sosial merupakan landasannya, maka 
ada  ketidakmerataan dalam alokasi sumber daya - sumber 
daya sosial. Ketakutan atas ketidakamanan ekonomi dan dorongan 
persaingan memperoleh harta yang didistribusikan secara tidak 
merata, menghasilkan kejahatan yang merupakan respon rasional 
atas struktur yang melandasi warga ini .
Disamping itu dapat pula dikemukakan bahwa:
“....struktur-struktur hegomoni dan penindasan politik 
mengondisikan kekerasan-kekeran tertentu, seperti 
misalnya kekerasan-kekerasan bersenjata yang sering 
diwujudkan dalam bentuk terorisme, sementara pola-pola 
hubungan sosial ekonomi yang menampilkan ciri dominasi 
dan ketidakadilan__melalui proses-proses sosial yang 
kompleks__dapat menimbulkan sikap dan perilaku yang 
merupakan reaksi atas struktur-struktur demikian.”
Kekerasan-kekerasan yang dilembagakan atau yang 
dilaksanakan dalam rangka bekerjanya lembaga-lembaga resmi 
tentu akan berpengaruh terhadap terciptanya bentuk-bentuk 
kekerasan lain dalam warga.
Dalam kepustakaan kriminologi ada  pula beberapa 
faktor yang amat sering dihubungkan dengan kejahatan. Faktor-
faktor ini perlu diperiksa dengan hati-hati, sebab faktor-faktor ini 
belum sepenuhnya terbukti mempunyai hubungan sebab akibat 
dengan kejahatan. Dan lagi pula, yang diterima oleh kriminologi 
yang dicari hanyalah dalam batas kemungkinan faktor-faktor 
yang “necessary but not sufficient” sebagai sebab kehajatan (yaitu 
faktor-faktor yang selalu merupakan sebab dari suatu akibat/
kejahatan bersama-sama dengan faktor-faktor lain). Faktor-
faktor yang penting untuk diperhatikan yaitu  misalnya:105
a. Dalam teori-teori ekologis (misalnya Shaw dan McKay): 
kepadatan penduduk dan mobilitas sosial (horizontal dan 
vertikal); kota dan pedesaan; urbanisasi dan urbanism; 
delinquency areas dan perumahan; distribusi menurut 
umur dan kelamin
b. Dalam teori-teori konflik dan kebudayaan (misalnya Sellin); 
masalah suku, agama, kelompok minoritas
c. Dalam teori-teori ekonomis (misalnya Bonger): pengaruh 
kemiskinan dan kemakmuran
d. Dalam teori differential association (misalnya Sutherland): 
pengaruh media
e. Dalam teori anomie dan sub-culture (misalnya Merton, 
Cohen, Cloward dan Ohlin): perbedaan nilai dan norma 
antara middle class & lower class, ketegangan yang timbul 
sebab terbatasnya kesempatan untuk mencapai tujuan.
Kemudian, meminjam definisi dari William J. Chambliss 
dalam Criminal Law in Action, kejahatan yaitu  suatu gejala 
hukum, politik, ekonomi, dan sosial yang benar-benar 
kompleks. sebabnya butuh pendekatan yang sistematis dalam 
mempelajarinya. Sebagai misal, suatu tindakan yang dalam 
sebuah warga tidak dikategorikan sebagai kejahatan belum 
tentu berlaku juga bagi warga lainnya. Begitu pula kenyataan 
bahwa setiap warga secara sistematis mengingkari bentuk 
kejahatan-kejahatan tertentu, meski menghukum berat jenis 
kejahatan lainnya. Artinya, tindakan-tindakan yang dirumuskan 
sebagai suatu bentuk kejahatan yaitu  hasil konstruksi sosial. 
Ia sebuah realitas konseptual, realitas fenomenal. Tidak ada 
tindakan yang pada dasarnya yaitu  kejahatan. 
Contoh paling aktual yaitu  betapa pada masanya kolusi, 
korupsi, dan nepotisme diterima sebagai sebuah kelaziman 
dan sangat jarang disentuh investigasi para aparat penegak 
hukum. Namun, kini ia diperangi habis-habisan. Jelas, siapa 
yang kemudian dirumuskan sebagai penjahat yaitu  hasil proses 
politik –di mana aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan 
warga warga untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu 
disusun. Ketentuan mengenai tindakan-tindakan mana yang 
tergolong sebagai kejahatan pastinya diciptakan oleh golongan 
berkuasa dalam warga yang secara politis terorganisir. Mulai 
dari pembuat undang-undang, polisi, jaksa, dan hakim, semuanya 
mewakili segmen-segmen warga yang bertanggungjawab 
dalam menentukan dan menegakkan hukum pidana. 
Persoalan akan muncul bila konsepsi soal kejahatan ini 
hadir dalam warga yang hegemonis dan memendam jurang 
perbedaan kelas yang mendalam. Formulasi definisi kejahatan 
di sana bisa menjadi salah satu bentuk manifestasi konflik kelas 
dalam warga. Perumusan sistem hukum, mulai dari muatan 
undang-undangnya hingga putusan pengadilan selalu dilakukan 
agar tetap memungkinkan kelas yang berkuasa melindungi dan 
mempertahankan kepentingan-kepentingannya. Melalui definisi 
itu kelas yang lebih unggul secara ekonomis bisa mengontrol 
perilaku anggota kelas yang lebih rendah. Nah, makin keras konflik 
kelas itu terjadi, makin besar pula keinginan kelas berkuasa untuk 
mempengaruhi perumusan definisi kejahatan.
Kejahatan semestinya tidak diukur dari imperatif 
fungsional dari institusi sosial sebagai kriteria moral. Tapi 
juga diukur dari nilai kerugian yang diakibat bagi keseluruhan 
sistem warga. Ia bukan hanya rumusan hukum. Pasalnya, 
golongan yang berkuasa yang mempunyai kekuatan untuk 
memanipulasi pembuat dan pelaksana undang undang ini . 
Makin besar sebuah tindakan merugikan warga, semakin 
enggan pula mereka biasanya merumuskannya sebagai kejahatan 
dengan memasukkannya ke dalam pasal-pasal undang-undang 
pidana. Sementara kalau kita mengukur kejahatan dari hak-
hak golongan yang secara historis terbelakang dan terkalahkan 
sehingga menjadi korban, imperialisme, rasisme, sektarianisme, 
dan seksisme pun bisa diterjemahkan sebagai kejahatan. Dengan 
begitu pemahaman kejahatan juga akan mencakup indetifikasi 
pelanggar-pelanggar hak-hak azasi manusia
Begitulah, saat tafsiran sosio-historis ditemukan, kita pun 
sadar bahwa menjelaskan kejahatan kembali pada kontroversi 
baik-jahatnya hakikat manusia tidak lagi cukup. Hakikat manusia 
pun mengalami perubahan seiring perubahan jaman, perubahan 
ruang lingkup sosio-historis. Suatu ruang sosio-historis tertentu 
menghasilkan energi sosial yang disebut karakter. Seperti KKN 
yang dibangun Orde Baru, karakter ini sering tidak berdiri 
sendiri tetapi mendapat rangsangan dari seluruh struktur sosial-
politik ekonomi di sekitarnya. Struktur sosial yang otoriter 
dan opresif gampang merangsang sifat agresi dalam diri warga 
warganya. Salah satu akibatnya yaitu  kebosanan. Bosan 
pada orang tertentu, orang yang membosankan, sesuatu yang 
kronis, yang tidak merangsang kreativitas dan produktivitas. 
Kebosanan kronis dalam diri semakin dipertinggi lagi oleh 
suasana sosial-politik sekitar yang tidak mendukung. Akibatnya, 
dalam warga bermunculan kegiatan-kegiatan tidak 
produktif, bahkan sering sangat destruktif, semata-mata mencari 
kompensasi, menuruti nafsu pribadi dan membiasakan diri dari 
kebosanan . Inilah yang mereka temukan dalam pembunuhan, 
pesta narkoba, penjarahan ataupun korupsi.
Jika kejahatan yaitu  suatu gejala sosial yang lahir dari konteks 
ketidakadilan atau perujudan kebinekaan perilaku manusia yang 
merupakan reaksi-rekasi atas kondisi kelas sosialnya dalam 
warga, pembahasan mengenai strategi penangkalannya jelas 
tidak melulu bisa dilihat bisa selesai dengan menjebloskan semua 
mereka ke dalam bui. Tapi, selayaknya berawal dari usaha untuk 
memerdekaan warga dari penjara-penjara dalam bentuk 
lain yang ada di dalam warga itu sendiri.
Faktor lain yang kiranya perlu mendapat perhatian juga 
yaitu  faktor keluarga, terutama untuk mesalah delinkuensi 
anak. Peranan keluarga sebagai faktor dalam sebab-akibat 
kejahatan tidaklah dapat dipungkiri. Akan tetapi mungkin tidak 
ada faktor yang begitu banyak dimanipulir sehingga kehilangan 
pengertiannya seperti faktor peranan keluarga ini. Misalnya 
faktor brokken home (suatu konsep yang luas dan samar) sangat 
terlampau sering dipergunakan sebagai suatu kapstok untuk 
menggantungkan segala sesuatu yang buruk yang diperkirakan 
menghasilkan hal yang buruk pula.
Adapun teori-teori sosiologis yang utama yang disusun untuk 
mencoba menerangkan sebab-sebab kejahatan dan sekaligus 
merupakan dasar pengumpulan data melalui penelitian yaitu  
sebagai berikut:
a. Teori conflict of coduct norms dari Thosten Sellin 1928
b. Teori differential association dari Edwin H. Sutherland 1934
c. Teori cultural transmission dari Clifford R. Shaw dan Henry 
D. McKay – 1942


D. Konvergensi Bakat dan Lingkungan
Di depan telah ditulis tiga pandangan penyebab timbulnya 
kriminalitas baik yang menekankan lingkungan, maupun bakat 
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Apakah ada pendapat 
ketiga? Bakat dan lingkungan secara bersama-sama sebagai 
penyebab timbulnya kriminalitas, merupakan penyelesaian 
yang lebih memuaskan. 
Pendapat ini tidak baru dalam kriminologi. Ini telah 
dilakukan diutarakan Ferri dan Garofalo. Kriminalitas 
diterangkan sebagai akibat bakat maupun lingkungan109.
Lingkungan dalam arti yang luas, meliputi baik faktor-faktor 
fisis (geografis, klimatologis yang umum, temperatur) maupun 
keadaan sosial dan ekonomis. Kemiskinan dn pengangguran 
dipandang sebagai hal terpenting. Faktor bakat oleh Ferri 
dan Garofalo (bersumber dari Lombroso) dianggap sebagai 
sumber penyimpangan organis dan psikis. Penyimpangan-
penyimpangan ini tidaklah hanya bersifat keturunan (genotype) 
tetapi juga dapat terjadi di kemudian hari. Pokok pikiran Ferri 
dan Garofalo mereka dapat dirumuskan
a) Kelakuan kriminal yaitu  akibat dari pengaruh-pengaruh 
lingkungan akibat dari semakin intensifnya penyeledikan 
maka semakin nyatalah peranan lingkungan sebagai 
penyebab kejahatan. Faktor mobilitas sosial dan konflik 
golongan menggeser faktor kemiskinan. Dan struktur 
ekonomi warga menggeser faktor kesukaran ekonomis. 
Dari psikologi sosial yang kebetulan pula mengalami 
perkembangan dipinjam konsep-konsep yang menerangkan 
bagaimana individu sebagai bagian dari suatu golongan 
melakukan kejahatan. 
b) Kejahatan sebagai akibat bakat tertentu ada orang yang 
lebih dan ada pula yang kurang mempunyai bakat untuk 
lahirnya kriminalitas. Kalau hidup dalam suatu lingkungan 
yang cukup mengembangkan bakat, maka pstilah akan 
melakukan kelakukan kriminal 
Tetapi asumsi ini tidak memuaskan. Dalam keadaan 
lingkungannya yang sangat jelek hanya sebagian saja yang 
menjadi jahat, sedang  sebaliknya dalam keadaan lingkungan 
yang sangat baik selalu ada beberapa penjahat. Atas pendapat 
ini maka Libdesmith dan Gunham mengutip teori EH. 
Sutherland bahwa kriminalitas dapat 100 % sebagai akibat 
faktor-faktor sosial. Memang dalam kebanyakan hal kejahatan 
dipicu  oleh resultante faktor-faktor pribadi dan sosial. 
Kejahatan timbul sebab bakatnya, tidak peduli di lingkungan 
mana hidup, akan menjadi jahat. Adapula pendapat lain bahwa 
kejahatan timbul sebagai akibat pengaruh miliue semata-mata, 
bakatnya tidak mempunyai peran sama sekali.
Adapun pendapat lain yaitu Seelig, melakukan pembagian 
sebagai berikut:
1. Ada orang yang sebab bakatnya sudah sedemikian rupa 
berbuat jahat walaupun pengaruh lingkungan yang kecil 
saja sudah melakukan delik, antara lain delinquent agresif 
dan mereka yang tidak dapat menguasai nafsunya. Jenis ini 
sedikit sekali di antara penduduk (menurut Seelig 1 – 2%)
2. Ada orang yang sebab bakatnya sudah sedemikian rupa 
tidak akan jahat walaupun pengaruh lingkungan sangat 
jelek. Seelig menaksir jenis ini 30 – 40 %. Sebagai contoh 
yaitu  penjahat-penjahat dalam tahun-tahun pertama 
sehabis peperangan.
3. Ada orang yang sebab pengaruh lingkungan yang biasa 
saja, sudah melakukan delik. Pengaruh-pengaruh luar yang 
dimaksud terutama fisik atau psikis seperti luka-luka pada 
tengkorak, pernah korban penipuan, penyakit.
4. Ada orang yang sebab bakatnya sedemikian rupa tidak 
melakukan kejahatan walaupun ada pengaruh lingkungan 
sekalipun. Golongan ini meliputi lebih dari separoh penduduk.
Namun Sauer berpendapat bahwa pertentangan “bakat– 
lingkungan” dibesar-besarkan dan baik bakat maupun 
lingkungan, maupun kebersamaan kedua-duanya, tidak dapat 
menjelaskan secara memuaskan terjadinya kejahatan. Menurut 
Sauer, tiap pelaku berbuat atas dasar bakat sumber biologis 
dari semua kekuatannya (yaitu fisik dan psikis). Oleh sebab 
itu, kekuatannya yaitu  fluktuatif, yaitu bisa berlebih atau 
kemudian berkurang sebab dipengaruhi oleh kekuatan lahiriah 
(lingkungan dalam arti luas). Kekuatan lahiriyah berasal dari 
alam atau dari oergaulan hidup. Ia menjai syarat pada atau dari 
gejala yang menyertainya, dari perbuatanya. Sebagai faktor 
ketiga untuk terjadinya kejahatan harus ada kehendak dari si 
pelaku_setidaknya menurut Sauer__bebas dan otonom. Dalam 
interaksi dari ketiga faktor ini: bakat, lingkungan dan kehendak, 
maka bakat ataupun lingkungan tidak saling menguasai. Namun 
kehendak dapat menguasai baik bakat maupun lingkungan.
Cukup menarik dengan dimasukkannya faktor kehendak oleh 
Sauer. Dengan melihat kehendak sebagai bebas dan otonom, maka 
problema bakat dan lingkungan lalu tidak diperhatikan lagi. Tetapi 
bila dilihat kehendak sebagai determinan, maka permasalahan 
bakat dan lingkungan tidak menjadi selesai, oleh sebab mengenai 
kehendak masih harus dijawab, apakah kehendak ditentukan oleh 
bakat, oleh lingkungan atau boleh kedua-duanya.
Dalam penjelasan diatas tentang bakat dan lingkungan 
sebagai sebab musabab kejahatan, dapat dilihat bahwa terhadap 
kedua faktor itu diakui pengaruh yang sama, yang berbeda, 
atau penilaian yang berubah-rubah, tanpa disinggung tentang 
kemungkinan pengaruh faktor yang satu terhadap yang lain. 
Menurut Noach, hal ini harus dikaji sebelum dimungkinkan 
menjawab pertanyaan, apakah satu faktor, dan jika demikian, 
yang mana dari keduanya yang memainkan peranan terpenting 
dalam terjadinya sebuah kejahatan.
1. Pengaruh dari bakat terhadap lignlkungan: berkali-kali telah 
tampak bagaimana faktor-faktor bakat dapat mengerahkan 
seseorang berada dalam suatu lingkungan yang tidak dapat 
diharapkan, apakah itu berdasar asal susul dan kelahiran. 
Hal ini berlaku baik untuk mobilitas vertikal maupun yang 
horizontal dan dapat berakibat baik atau buruk terhadap 
lingkungan semula.
 Untuk sebagian, suatu perubahan lignkungan yang demikian 
yaitu  akibat dari suatu pilihan pekerjaan khusus. Pilihan 
pekerjaan khusus itu dapat pula ditentukan oleh bakat, 
terutama dalam masalah -masalah  dimana pilihan pekerjaan 
khusus itu dalam keluarga atau kelompok di mana si 
individu berasal, terutama tidak lazim, dan di mana faktor 
imitasi (meniru) atau pengaruh lingkungan tidak berperan.
 Disamping dalam arti perubahan lingkungan yang aktif 
terhadap bakat, dapat pula hal itu terjadi secara pasif. Hal ini 
terutama terjadi jika si individu oleh sebab cacat bakat, 
terutama yang bersifat psikis, tidak dapat mempertahankan 
dirinya dalam lingkungan semula dan sebab itu “mengalami 
kemunduran”.
2. Pengaruh dari lingkungan terhadap bakat. Dalam hal ini 
perlu dibedakan:
a. pengaruh yang “tidak sebenarnya”, dimana akibat dari 
lingkungan terhadap sifat-sifat yang ada dalam bakat:
1. tidak tampak ke luar atau tidak dapat berkembang 
(misalnya dalam suatu lingkungan di mana setiap 
orang buta aksara, maka bakat menulis tidak akan 
tampak keluar)
2. dengan sengaja dikekang, terutama oleh seorang tua 
atau para pendidik (misalnya sifat rasaseni dalam 
suatu keluarga, di mana ada pendapat dominan, 
bahwa semua seni yaitu  asusila atau seniman 
yaitu  profesi yang melarat.
b. Pengaruh “yang sebenarnya”, dimana lingkungan 
mempengaruhi bakat. Terutama para pengikut 
“behaviorism” berpendapat bahwa bakat pada 
hakikatnya tidak berbeda-beda, sehingga sangat 
dipengaruhi oleh lingkungan melalui jalan 
pembentukan kebiasaan. Sebagai salah satu bukti 
dari pendapat ini  diatas ditunjukkan gejala yang 
dikemukakan oleh Newman dan yang lain-lain, bahwa 
inteligensi dapat berkembang dalam suatu lingkungan 
yang menguntungkan. Jika dilihat semua hal diatas dan 
mengajukan kembali pertanyaan: bagaimana bakat dan 
lingkungan mempengaruhi kejahatan? Hanya ada satu 
jawaban yang mendekati kemungkinan sepanjang garis 
ini. Kejahatan dari seseorang manusia normal yaitu  
akibat kebersamaan dari bakat dan lingkungan, di mana 
kali ini yang satu, kemudian faktor lain.
 
IV TEORI-TEORI KRIMINOLOGI MENURUT BERBAGAI ALIRAN
A. Teori “Differential Association”
Teori ini pada pokoknya mengetengahkan suatu penjelasan 
sistematik mengenai penerimaan pola-pola kejahatan. 
Kejahatan dipelajari melalui interaksi dengan orang-orang lain 
dalam kelompok-kelompok pribadi yang intim. Proses belajar 
itu menyangkut teknik-teknik untuk melakukan kejahatan dan 
motif-motif, dorongan-dorongan, sikap-sikap dan pembenaran-
pembenaran yang mendukung dilakukannya kejahatan.
Postulat yang dikemukakan oleh Edwin H Sutherland 
dan Donald Cressey dalam kerangka teori “Differential 
Association” ini yaitu  sebagai berikut:
1. Kejahatan dipelajari secara negatif ini berarti bahwa 
kejahatan tidak diwariskan.
2. Kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang- orang 
lain melalui proses komunikasi.
3. Bagian pokok proses belajar kejahatan berlangsung di dalam 
kelompok- kelompok pribadi yang intim.
4. Proses belajar meliputi:
a. Teknik- teknik untuk melakukan kejahatan yang 
kadangkala sangat rumit dan kadang- kadang sangat 
sederhana;

b. Arah motif, dorongan, pembenaran dan sikap- sikap.
5. Arah khusus motif dan dorongan dipelajari dari definisi- 
definisi tentang menguntungkan atau tidaknya aturan- 
aturan hukum.
6. Seseorang menjadi delinkuen oleh sebab ia lebih mempunyai 
definisi yang mendukung pelanggaran hukum dibandingkan 
dengan definisi-definisi yang tidak mendukung pelanggaran 
hukum.
7. Pengelompokan yang berbeda- beda mungkin beraneka 
ragam dalam frekuensi, lamanya, prioritas dan intensitasnya.
8. Proses belajar kejahatan melalui pengelompokkan dengan 
pola- pola kejahatan atau anti kejahatan menyangkut semua 
mekanisme yang ada  dalam proses belajar apa pun.
9. Walaupun kejahatan merupakan pencerminan kebutuhan- 
kebutuhan dan nilai- nilai umum, akan tetapi tidak dijelaskan 
oleh kebutuhan- kebutuhan dan nilai- nilai ini , oleh 
sebab perilaku yang bukan kejahatan pun merupakan 
pencerminan nilai- nilai dan kebutuhan- kebutuhan yang 
sama
Teori-teori lain yang menekankan pada peranan faktor-
faktor interaksi, antara lain yaitu  teori Daniel Glaser114 
mengenai “differential Association and antisipation” yang pada 
pokoknya menekankan bahwa seseorang menjadi jahat tidak 
hanya oleh keterlibatannya secara langsung dengan penjahat-
penjahat, melainkan juga dengan mengacu pada eksistensi 
kriminal mereka. Atau dengan perkataan lain orang ini  
mengidentifikasikan diri dengan orang-orang lain baik yang 
nyata-nyata ada maupun yang dalam khayalan yang menurut 
pandangannya menerima perilaku jahat. Identifikasi kriminal 

mungkin terjadi melalui acuan positif terhadap peranan-peranan 
jahat yang digambarkan di dalam media massa maupun melalui 
pengalaman langsung di dalam kelompok-kelompok pelanggar 
hukum atau sebagai reaksi negatif terhadap kekuatan-kekuatan 
yang melawan kejahatan.
Dalam hipotesanya, Daniel Glaser mengemukakan bahwa 
jika ada  kemungkinan untuk menampilkan baik 
tindakan kriminal maupun tindakan non kriminal sebagai cara 
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, atau jika hanya 
ada  kemungkinan untuk melakukan kejahatan atau untuk 
mengabaikan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh kejahatan, 
maka seseorang akan mengambil perangkat tindakan yang 
diperkirakan lebih menguntungkan konsepsi dirinya.
Dua versi teori “Differential Association”
ada  dua versi teori “asosiasi differential” yakni yang 
dikemukakan pada tahun 1939 dan pada tahun 1947. Versi pertama 
yang ada  pada edisi ketiga dari bukunya, “Principles of 
Criminology”, menunjuk pada ”systematic” criminal behavior, dan 
memusatkan perhatian pada “cultural conflict” (konflik budaya) dan 
“social disorganization” dan “differential association”. Namun pada 
akhirnya ia tidak lagi memusatkan perhatiannya pada “systematic” 
criminal behavior, melainkan ia membatasi uraiannya pada diskusi 
mengenai “konflik budaya”.
Publikasi buku, “Principles of Criminology”. Edisi kedua 
(1934), menegaskan tiga hal sebagai berikut :
a) any person can be trained to adopt and follow any pattern 
of behavior which he is able to execute (setiap orang dapat 
dilatih untuk mengadopsi dan mengikuti pola-pola dari 
perilaku yang dapat dia lakukan)

b) Failure to follow a prescribed pattern of behavior is due to 
the inconsistencies and lack of harmony in the influences 
which direct the individual (kegagalan untuk mengikuti pola 
yang telah ditentukan yaitu  sebab adanya inkonsistensi 
dan ketidakharmonisan dalam pengaruh langsung kepada 
individu)
c) The conflict of cultures is therefore the fundamental principle 
in the explanation of crime (oleh sebab itu konfilik budaya 
merupakan prinsip fundamental dalam penjelasan terhadap 
kejahatan)
Versi kedua dari teori ini yang dikemukakan pada tahun 
1947 ada  pada edisi keempat, menegaskan bahwa, semua 
tingkah laku itu dipelajari dan ia mengganti pengertian istilah 
social disorganization dengan differential social organization. 
Versi terakhir dari teorinya telah mengetengahkan sembilan 
pernyataan sebagai berikut:
a) Tingkah laku kriminal dipelajari
b) Tingkah laku kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi 
dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi
c) Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal 
terjadi dalam kelompok yang intim
d) Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya 
teknik melakukan kejahatan dan motivasi/dorongan atau 
alasan pembenar
e) Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas 
peraturan perundangan: menyukai atau tidak warga
f) Seseorang menjadi delinquent sebab penghayatannya 
terhadap peraturan perundangan: lebih suka melanggar 
daripada mentaatinya.
g) Asosiasi diferential ini bervariasi tergantung dari frekuensi, 
duration, priority dan intensity
h) Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan 
dengan pola kriminal dan anti-kriminal melibatkan semua 
mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar
i) Sekalipun tingkah laku kriminal merupakan pencerminan 
dari kebutuhan-kebutuhan umum dan nilai-nilai, akan 
tetapi tingkah laku kriminal ini  tidak dapat dijelaskan 
melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama 
Konsep Differential Social Organization
Konsep lain yang dikemukakan Sutherland, disamping 
Differential association yaitu  konsep Differential social 
organization. Bertitik tolak pada teori pluralis, teori dimaksud 
mengakui keberadaan pelbagai ragam kondisi sosial, dengan nilai-
nilai internal dan tujuannya masing-masing dan mempergunakan 
sarana-sarana yang berbeda untuk mencapai tujuan-tujuannya 
ini . Dengan demikian sesungguhnya Sutherland menolak 
pemikiran Merton yang mengemukakan bahwa, kejahatan dan 
penyimpangan yang tingkah laku seseorang yaitu  sebagai hasil 
(out come) dari perbedaan-perbedaan kepentingan untuk mencapai 
satu tujuan yang sama. Bahkan, dapat dikatakan bahwa, teori 
differential social organization mengakui keberadaan pelbagai ragam 
organisasi warga yang terpisah dan masing-masing bersaing 
satu sama lain, dengan norma dan nilai-nilainya sendiri-sendiri. Di 
lain pihak, teori Differential organization justru hendak mencari dan 
menemukan bagaimana nilai-nilai dan norma-norma dimaksud 
dapat dikomunikasikan atau dialihkan dari kelompok warga 
yang satu kepada yang lainnya 
Beberapa kritik terhadap teori Differential organization
Kritik terhadap teori Differential organization telah 
dikemukakan oleh beberapa sarjana kriminologi, diantaranya 
yaitu  pendapat atau kritik dari Matza, Box, Nettler, Clinard 
dan Cullen.
Matza berkata bahwaSutherland kurang peka 
terhadap pembaharuan dan kewargaan yaitu antara 
pelaku penyimpangan tingkah laku (deviant) dan dunia yang 
konvensional. Selanjutnya Matza berkata bahwateori 
Sutherland mengabaikan apa yang merupakan arti dan tujuan 
hidup manusia. Bahkan dikatakannya bahwa pelaku kejahatan, 
oleh teori ini  dipandang sebagai pelaku pasif dalam 
menghadapi pola tingkah laku kriminal dan non kriminal. Namun 
demikian, jika diteliti teori Differential asociation, pernyataan 
keenam tentang favorable and unfavorable to violation of law ; 
nampak bahwa teori dimaksud tidak memandang pelaku sebagai 
pelaku pasif , tetapi menurut Romli Kartasasmita; merupakan 
pelaku aktif sekalipun pada pernyataan ketujuh dikatakan bahwa 
teori diferential bervariasi tergantung dari frekuensi duration, 
priority dan intensity. Sutherland masih memberikan peran yang 
berarti kepada pelaku kejahatan untuk memilih alternatif pola 
tingkah laku yang disukainya: mentaati undang-undang atau 
melanggar undang-undang. Justru disinilah letak perbedaan 
mendasar antara Sutherland dengan para penganut teori 
lingkungan-madzhab Perancis yang bersifat deterministik.
Box (1981) di lain pihak, telah memberikan komentarnya 
dengan berkata bahwateori differential association 
merupakan peletak dasar bagi teori tentang pola hubungan 
antara tingkah laku manusia. Namun demikian Box 
memaparkan pandangannya; bahwa sayangnya dua realitas 
prinsip teori Sutherland yaitu  ambigu dan menimbulkan 
interpretasi berbeda pada pemahaman mereka dengan berbagai 
pendapat dan kritik. Prinsip Sutherland keenam; seseorang 
menjadi delinquent sebab penghayatannya terhadap peraturan 
perundangan: lebih suka melanggar daripada mentaatinya, 
adapun prinsip ketujuh; bahwa teori diferential bervariasi 
tergantung dari frekuensi duration, priority dan intensity. 
Faktor-faktor kualitatif ini menjelaskan kenapa individu 
melakukan perilaku menyimpang, yaitu tergantung pada arti 
dan titik tekannya, Box memberikan satu kesimpulan  bahwa 
prinsip ini sama sekali saling bertentangan.  
Nettler (1984) mengemukakan bahwa judul istilah 
Differential Association yaitu  menyesatkan, sebab ia seakan-
akan menunjuk kepada suatu hubungan pergaulan antar 
individu, sebagaimana halnya teori bad companion yang 
menghasilkan kejahatan. Hal ini sesungguhnya bukanlah 
apa yang dimaksud oleh teori ini. Yang dimaksud dengan 
differentially associated. Menurut Sutherland yaitu  definitions 
of situations.
Namun perlu disampaikan disini bahwa sekalipun banyak 
pakar kriminologi telah memberikan pendapat, komentar 
atau kritik sebgaimana telah diuraikan diatas, dapat dikatakan 
bahwa teori differential association masih tetap merupakan 
bahan perbincangan para pakar kriminologi dan masih relevan 
dengan situasi dan kondisi kehidupan sosial sampai dengan 
sekarang ini.
Clinard, sekalipun menyetujui hipotesa teori differential 
association, menyatakan bahwa teori ini  tidak dapat 
menjelaskan secara memadai semua masalah  pelanggaran hukum, 
terutama terhadap transaksi yang terjadi di pasaran gelap, dan 
tidak dapat diterapkan secara tepat terhadap adanya perbedaan-
perbedaan individual sepanjang yang menyangkut masalah 
pentaatan terhadap undang-undang dalam kaitan dengan dunia 
perdagangan. Clinard secara khusus menekankan pentingnya 
certain personality traits dari seorang individu. 
Adapun Cullen (1983) mengemukakan bahwa Sutherland 
hanya semata-mata mengetengahkan eksistensi dan tranmisi 
budaya kriminal, sedang  ia mengabaikan masalah asal usul 
budaya dimaksud. Sekalipun Sutherland sependapat dengan 
Sellin (1938) mengenai adanya konflik budaya (culture conflict) 
akan tetapi ia berpendapat bahwa suatu budaya menjadi “budaya 
kriminal” dipicu  sebab dibentuk oleh kelompok yang 
kuat. Dengan lain perkataan bahwa Sutherland mengatakan; 
“crime is conflict”. Namun demikian, Sutherland juga mengakui 
kelemahan dari penjelasannya di mana di samping dapat 
mengungkapkan budaya konflik ini , Sutherland tidak 
dapat menjelaskan asal-usul dari konflik tadi.
B. Teori Kontrol Sosial
Pengertian teori kontrol atau control theory merujuk kepada 
setiap perspektif yang membahas tentang hal pengendalian 
tingkah laku manusia. Sementara itu, pengertian teori kontrol 
sosial atau social control theory merujuk kepada pembahasan 
delikuensi dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-
variabel yang bersifat sosiologis, anatara lain struktur keluarga, 
pendidikan, dan kelompok dominan.
Ditinjau dari akibatnya, kemunculan teori kontrol dipicu  
tiga ragam perkembangan dalam kriminologi. Pertama, adanya 
reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik yang kembali 
menyelidiki tingkah laku kriminal. Kriminologi konservatif 
(sebagaimana teori ini berpijak) kurang menyukai “kriminologi 
baru” atau “new criminology” dan hendak kembali kepada 
subyek semula, yaitu penjahat (criminal). Kedua, munculnya 
studi tentang “criminal justice” dimana sebagai suatu ilmu baru 
telah mempengaruhi kriminologi menjadi lebih pragmatis dan 
berorientasi pada sistem. Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan 
dengan suatu teknik penelitian baru, khususnya bagi tingkah laku 
anak/remaja, yakni self report survey. 
Versi teori kontrol sosial yang paling handal dan sangat 
populer telah dikemukakan oleh Travis Hirschi (1969). 
Hirschi menjelaskan bahwa keterkaitan sosial meliputi empat 
unsur, yaitu attachment, involvement, commitment, dan belief. 
Attachment diartikan sebagai keterikatan seseorang pada orang 
lain atau lembaga yang dapat menghambat atau mencegah 
seseorang untuk melakukan bunuh diri. Involvement diartikan 
sebagai frekuensi kegiatan seseorang yang akan memperkecil 
kecenderungan sesorang untuk melakukan tindakan bunuh 
diri. Commitment diartikan bahwa sebagai suatu investasi saat 
seseorang memasuki suatu sistem dalam warga. Belief 
diartikan sebagai sebuah unsur yang mewujudkan pengakuan 
seseorang akan adanya norma-norma yang baik dan adil dalam 
warga atau dalam bentuk kepercayaan.
Pengertian teori kontrol menunjuk kepada setiap perspektif 
yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. 
sedang  pengertian “teori kontrol sosial” menunjuk kepada 
pembahasan delinkuensi dan kejahatan dikaitkan dengan variabel-
variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, 
pendidikan, kelompok dominan. Dengan demikian pendekatan 
teori kontrol sosial ini berbeda dengan teori kontrol lainnya.
Pemunculan teori kontrol sosial ini diakibatkan oleh 
tiga ragam perkembangan dalam kriminologi. Ketiga ragam 
perkembangan dimaksud yaitu :
Pertama, adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan 
konflik dan kembali kepada penyelidikan tentang tingkah 
laku kriminal. Kriminologi konservatif kurang menyukai 
“kriminologi baru” dan hendak hendak kembali kepada subyek 
semula.
Kedua, Munculnya studi tentang “criminal justice” sebagai 
suatu ilmu baru telah membawa pengaruh terhadap kriminologi 
menjadi lebih pragmatis dan orientasi pada sistem
Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu 
teknik riset baru khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, 
yakni; “selfreport survey” (William & McShane, 1988).
Perkembangan berikutnya, selama tahun 1950-an, beberapa 
teoritisi telah mempergunakan pendekatan teori kontrol 
terhadap anak/remaja. Konsep-konsep tentang kepribadian 
dan sosialisasi sudah biasa dipergunakan di dalam penelitian-
penelitian sosiologis tentang deviance. Pada tahun 1951, Albert 
J. Reiss telah menggabungkan konsep tentang kepribadian dan 
sosialisasi ini dengan hasil penelitian dari aliran Chicago dan 
telah menghasilkan teori kontrol sosial; teori mana dikemudian 
hari telah memperoleh perhatian serius dari sejumlah pakar 
kriminologi. Reiss mengemukakan bahwa ada tiga komponen 
dari kontrol sosial di dalam menjelaskan kenakalan anak/
remaja. Ketiga komponen ini  yaitu : 
1. kurangnya kontrol internal yang wajar selama anak-anak
2. hilangnya kontrol ini 
3. tidak adanya norma-norma sosial atau konflik antar norma-
norma  dimaksud
Reiss membedakan dua macam kontrol, yaitu personal 
control dan social control. Yang dimaksud dengan personal 
control (kontrol internal) yaitu  kemampuan seseorang untuk 
menahan diri untuk tidak mencapai kebutuhannya dengan 
cara melanggar norma-norma yang berlaku di warga. 
sedang  yang dimaksud dengan social control atau kontrol 
eksternal yaitu  kemampuan kelompok sosial atau lembaga-
lembaga di warga untuk melaksanakan norma-norma atau 
perturan menjadi efektif.
 Versi teori kontrol sosial yang cukup teruji dan paling andal 
dan sangat populer telah dikemukakan oleh Travis Hirschi. 
Teori kontrol sosial disistematisasi oleh Travis Hirschi (1972) 
dan mendapat perhatian yang meningkat. Salah satu alasan 
penting dalam hal ini yaitu kenyataan bahwa teori ini dapat diuji 
secara empiris.122 Teori kontrol sosial pada asasnya menjelaskan 
bahwa manusia yaitu  makhluk amoral, atau setidak- tidaknya 
beberapa pertanyaan moral untuk beberapa orang yaitu  lebih 
penting dari pada untuk orang lain. Moralitas dan nilai- nilai 
susila merupakan variabel yang tersebar tidak merata diantara 
manusia. Bagaimana hubungannya dengan pergaulan hidup? 
Hirschi membedakan 4 elemen sebagai unsur pengikat:
1. “Attachment” atau ikatan sepanjang seseorang memiliki 
hubungan erat dengan orang- orang tertentu dan mengambil 
alih norma- norma yang berlaku dengan kemungkinan 
terjadinya deviasi.
2. “Commitment” atau keterikatan dalam sub sistem 
konvensional. Seseorang yang memiliki akal sehat 
mempertimbangkan untung rugi dari perilaku konfirmistis. 
Sekali dikaitkan dengan subsistem konvensional- seperti 
sekolah, pekerjaan, organisasi di waktu senggang maka 
orang akan memperoleh hadiah, uang, pengakuan, status, 
bila semuanya berfungsi baik.
3. “Involvement” atau berfungsi aktif dalam subsistem 
konvensional. jika orang makin aktif dalam dalam 
berbagai organisasi konvensional, maka makin sedikit orang 
yang berlaku deviant.
4. “Beliefs” atau percaya kepada nilai-nilai moral dari norma- 
norma dan nilai- nilai pergaulan hidup.
Para pakar teori kontrol sosial juga menyatakan bahwa, 
tiap manusia memiliki kebutuhan, keinginan dan aspirasi yang 
masing-masing yaitu  netral: cara bagaimana orang berusaha 
mencapai kebutuhan, keinginan, dan aspirasi dapat saja melalui 
cara kriminil. Hubungan individu terhadap pergaulan hidup 
di mana ia menjadi bagian dari pergaulan hidup itu, sangat 
menentukan bertalian dengan penghormatannya terhadap 
peraturan-peraturan dan norma-norma dari pergaulan hidup 
itu 
Berikut contoh masalah nya:
Di sebuah kota tinggalah dua orang anak, satu anak 
bernama Jatayu berada di Kabupaten D dan anak yang 
bernama Andi berada di kabupaten B. Keluarga Jatayu dan 
Andi memiliki jumlah kekayaan yang sama, mereka tinggal 
pada lingkungan yang produktif dan strata pendidikannya 
juga tinggi. 
Di dalam kesehariannya Andi memiliki kegiatan yang padat, 
mulai dari kuliah, menjadi relawan dan mempersiapkan 
diri untuk jenjang pendidikan selanjutnya. Jatayu dalam 
kesehariannya, lebih memiliki banyak waktu luang sehingga 
dalam porsi waktu ini  banyak dipakai  untuk hal 
yang lebih menyenangkan dirinya seperti kuliah, nongkrong 
dengan teman-temannya di kafe hingga larut malam, sehingga 
kegiatan pastinya setiap hari hanyalah kuliah. 
Jatayu selalu ditantang untuk melakukan hal-hal yang belum 
pernah dia lakukan untuk orang lain, seperti bagaimana 
mengelola sampah di warga dan membiasakan 
warga tidak membuang sampah sembarangan 
lalu menimbulkan penyakit. Kebetulan Jatayu menjadi 
relawan dalam salah satu organisasi pemberdayaan 
lingkungan warga. Setiap konsep kebersihan Jatayu 
selalu dilanggar warga, dia menuntut dirinya sendiri 
berpikir lebih dan kawan-kawannya selalu menyemangati 
setiap kali mengetahui Jatayu putus asa. Dengan begitu 
Jatayu tidak pernah menyerah dan senantiasa memperbaiki 
konsepnya dalam memperbaiki perilaku warga. 
Peranan jurusan kuliahnya dalam ilmu lingkungan juga 
membantunya dalam membuat konsep ini  sehingga 
soft skill Jatayu terus berkembang(Attachment). Tuntutan 
untuk terus memperbaiki perilaku warga yang suka 
buang sampah sembarangan ini  dapat menyita 
waktu Jatayu hingga 15 jam lamanya, dalam waktu itu 
ada  waktu kuliah, berorganisasi dan mengkonsep dan 
beribadah. Hal ini  berlangsung setiap hari selama 
lima hari kerja, selebihnya dalam Sabtu dan Minggu Jatayu 
mengisi waktunya dengan pengajian dan refreshing seperti 
menonton serial televisi kesukaannya dan bermain dengan 
teman-temannya (Involvement). Melalui organisasi dan 
kuliah Jatayu yakin bahwa hal ini  akan memberinya 
banyak keuntungan seperti, memiliki pengalaman yang 
lebih sebelum masuk ke dunia kerja, dapat menjadi 
pertimbangan bagi dewan penerima di universitas saat 
nanti Jatayu akan melanjutkan jenjang pendidikan magister 
dan membantunya menjadi ahli dalam pengelolaan 
lingkungan (Commitment). Jatayu sadar bahwa bermalas-
malasan hanya akan membuang waktunya selama berkuliah 
dan dapat mengingkari janjinya kepada orang tua untuk 
menjadi produktif dalam kuliahnya (Beliefs).
Bandingkan dengan kehidupan Andi berikut:
Andi berkuliah di jurusan yang sama dengan Jatayu, namun 
Andi enggan mengikuti kegiatan organisasi yang ada di 
kampus maupun di luar kampus. Dia lebih suka menyendiri 
dan menghabiskan waktunya untuk tidur dan berdiam 
diri di asramanya, baginya berorganisasi yaitu  hal yang 
membuang waktu. Dia selalu pulang kuliah lebih awal dan 
jarang bersosialisasi dengan kawan-kawan sekampusnya 
(Attachment). Andi senantiasa berkecil diri jika tugas-
tugasnya dinilai buruk oleh dosen dan sikapnya yang 
pendiam selalu dipermasalahkan oleh teman-temannya 
sehingga timbullah perpecahan dalam pertemanan 
ini , oleh sebab itu Andi sering sekali bolos dan akibat 
sikapnya itu dia mendapat letupan amarah dari orang 
tuanya (Involvement). Andi tidak yakin bahwa kuliahnya 
dapat melepaskan kesulitannya di masa depan sehingga 
semakin lama dia terus membolos dan melakukan hal-hal 
yang menyenangkan dirinya sendiri seperti berbohong 
pada orang tua, mabuk-mabukan dan pergi ke tempat 
hiburan malam setiap hari sebab dia merasa tidak dapat 
menyelesaikan permasalahannya ini  (Commitment). 
Keluarga Andi semakin menekan Andi tanpa bertanya 
apa kesulitannya dan selalu menganggap bahwa Andi 
kekanak-kanakan, sebab setiap kali ada masalah dia akan 
selalu berpaling ke hal lain untuk melupakan masalahnya 
ini  (Beliefs).
Keadaan ini  yaitu  hal yang dapat terjadi sehari-hari 
dalam kehidupan, jika dianalisis maka Andi tidak tahan 
terhadap tekanan yang semakin membuatnya berkecil diri 
dan menjauh dari kehidupan sosial sedang  Jatayu justru 
menekan dirinya untuk terus belajar saat ada hambatan 
sebab dia memiliki teman-teman yang mendukungnya, 
sedang  Andi selalu ditekan oleh orang tuanya dan tidak 
memiliki teman.
C. Teori Labeling
Suatu teori pasti memiliki tokoh, baik itu tokoh 
penemu ataupun tokoh pendukung atau pengembang. Tak 
terkecuali dalam teori labelling. Teori labelling pertama kali 
dicetuskan oleh Frank Tannenbaum pada 1938, namun dalam 
perkembangannya dikembangkan oleh, Howard Becker (1963), 
Edwin Lemert (1967), dan Erving Goffman (1968).125
Howard Becker
Tokoh asal Amerika Serikat kelahiran Chicago tahun 1928 
ini lebih menekankan dua aspek dalam teori ini, yaitu:126
a. Penjelasan tentang mengapa dan bagaimana orang – orang 
tertentu sampai diberi cap ataupun label sebagai pelaku 
penyimpangan.
b. Pengaruh daripada label itu sendiri sebagai konsekuensi 
penyimpangan tingkah laku,  perilaku seseorang bisa 
sungguh-sungguh menjadi menyimpang jika orang itu di 
cap menyimpang.
Edwin Lemert
Pria kelahiran Cincinnati, Amerika Serikat tahun 1912 ini 
menjadi tokoh yang terkenal lewat sumbangsihnya dalam teori 
labelling. Beliau membedakan penyimpangan menjadi tiga 
kategori, yaitu
a. Individual deviation, di mana timbulnya penyimpangan 
diakibatkan oleh sebab tekanan psikis dari dalam.
b. Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari 
keadaan.
c. Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku yang 
terorganisir dalarn subsubkultur atau sistem tingkah laku.
Teori labelling merupakan sebuah teori yang mempelajari 
tentang pemberian label terhadap suatu jenis objek tertentu. 
Labelling yaitu  sebuah definisi yang saat diberikan pada 
seseorang akan menjadi identitas diri orang ini , dan 
menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Teori 
Labelling berkata bahwaterkadang proses labelling itu 
berlebihan sebab sang korban salah interpretasi itu bahkan 
tidak dapat melawan dampaknya terhadap dirinya.128
sedang  menurut Frank Tannenbaum (1938),dengan 
judulnya “Crime and the Community  “,menyebutkan bahwa 
kejahatan tidaklah merupakan hasil dari kekurangmampuan 
seseorang untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya ,akan 
tetapi didalamnya ,ia telah dipaksa untuk menyesuaikan dirinya 
dengan kelompoknya.129
Teori Labeling sebenarnya sudah mulai dikenal sejak 
lama. Yaitu saat membaca sajak dari seorang penyair terkenal 
Wolfgang von Goethe (1749 – 1832). Bagian pertama dari sajak 
diatas dapat diketahui apa yang disebut oleh Tannenbaum (1938) 
sebagai “Dramatization of Evil”. Untuk Indonesia, jika kita boleh 
merenung kembali tentang “Dramatization of Evil”, yaitu cara 
yang diberlakukan terhadap orang-orang ex-PKI. Yang menjadi 
pertanyaan dewasa ini, jika diingat lagi apa yang mereka telah 
perbuat__ pembunuhan yang sedemikian kejam tanpa suatu proses 
hukum__apakah ungkapan Tannenbaum masih tetap relevan. 
Pada permulaan tahun enampuluhan, teori labeling ini 
mulai mempersoalkan kejahatan dan penjahat dari suatu 
perspektif yang berbeda. Jika teori-teori sebelumnya terlalu 
menekankan pada soal watak atau perilaku, maka yang menjadi 
persoalan dalam teori ini yaitu  bagaimana reaksi warga 
terhadap devian. Tidaklah mengherankan kalau teori labeling 
ini lalu dikenal dengan nama “Societal reaction School”.
Dua macam Labeling
Pendekatan teori labeling dapat dibedakan dalam dua 
bagian:
1) persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang 
memperoleh cap atau label
Persoalan labeling ini, memperlakukan labeling sebagai 
dependent variable atau variabel tidak bebas dan 
keberadaannya memerlukan penjelasan. Labeling dalam arti 
ini yaitu  labeling sebagai akibat dari reaksi warga
2) efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya
Persoalan labeling kedua yaitu  bagaimana labeling 
mempengaruhi seseorang yang terkena label/cap. 
Persoalan ini memperlakukan labeling sebagai variabel 
yang independen atau variabel bebas/mempengaruhi. 
Dalam kaitan ini, ada dua proses bagaimana labeling 
mempengaruhi seseorang yang terkena label untuk 
melakukan penyimpangan tingkah lakunya.
Pertama, cap/label ini  menarik perhatian pengamat 
dan mengakibatkan pengamat selalu memperhatikannya 
dan kemudian seterusnya cap/label ini  melekat pada 
diri orang itu
Kedua, label atau cap ini  sudah diadopsi oleh seseorang 
dan membawa pengaruh pada dirinya sehingga ia mengakui 
dengan sendirinya sebagaimana cap/label itu diberikan 
kepadanya oleh si pengamat.
Teori labeling ini tidak terlalu menekankan pada penjahat 
an sich, maka teori ini menjadi dekat dengan madzhab klasik. 
Dapat pula dikatakan bahwa teori labeling ini merupakan 
semacam anak dari “simbolik interactionism”, maka apa yang 
dikemukakan pada dasarnya bukanlah sesuatu yang baru. 
Meskipun ada perbedaan, namun perbedaan ini  sangat 
tipis sehingga seringkali orang bingung untuk membedakan 
antara teori labeling dengan teori interaksionisme. 
Scharg (1971) menyimpulkan asumsi dasar teori labeling 
sebagai berikut:132
1) Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya 
bersifat kriminil 
2) Rumusan atau batasan tentang kejahatan dan penjahat 
dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka yang 
memiliki kekuasaan
3) Seseorang menjadi penjahat bukan sebab ia melanggar 
undang-undang, melainkan sebab ia ditetapkan demikian 
oleh penguasa
4) Sehubungan dengan kenyataan di mana setiap orang dapat 
berbuat baik dan tidak baik, tidak berarti bahwa mereka 
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: kelompok 
kriminal dan non kriminal
5) Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling
6) Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam sistem 
peradilan pidana yaitu  fungsi dari pelaku atau penjahat 
sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya
7) Usia, tingkatan sosial ekonomi, dan ras merupakan 
karakteristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan 
perbedaan pengambilan keputusan dalam sistem peradilan 
pidana
8) Sistem peradilan pidana dibentuk berdasar perspektif 
kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan 
penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat
9) Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan 
identifikasi dengan citra sebagai deviant dan sub-kultur 
dan menghasilkan ”rejection of the rejector” 
Dua konsep penting dalam teori labeling yaitu  “primary 
deviance” dan “secondary deviance”. Primary deviance ditujukan 
kepada perbuatan penyimpangan tingkah laku awal, sedang  
secondary deviance yaitu  berkaitan dengan reorganisasi 
psikologis dari pengalaman seseorang sebagai akibat dari 
penangkapan dan cap sebagai penjahat. Sekali cap atau label 
ini dilekatkan pada seseorang, maka sangat sulit orang yang 
bersangkutan untuk selanjutnya melepaskan diri dari cap 
dimaksud dan kemudian akan mengidentifikasikan dirinya 
dengan cap yang telah diberikan warga terhadap dirinya. 
Dalam kaitan dengan kriminologi radikal “....para 
pendukung teori labeling lebih suka untuk mengedepankan 
imajinasi, untuk memunculkan suatu kesadaran kritis yang 
mana akan menuntun kepada visi dan realita baru”, demikian 
Scheff (1974), sebagaimana dikutip oleh Nettler. Dengan 
demikian gagasannya lebih provokatif daripada empirik. 133
Tidak dapat disangkal bahwa pengaruh dari teori labeling 
ini cukup substansial terhadap kriminologi. Sebelum dijelaskan 
segi-segi positif dari teori labeling ini, ada baiknya diungkapkan 
dulu kelemahannya secara singkat sebagaimana dikemukakan 
oleh Gwynn Nettler dalam bukunya Prof. J. E. Sahetapy sebagai 
berikut:
1. “Labeling theory does not explain the behaviours that lead 
to the aplication of labels”. Jadi dalam konteks ini teori 
labeling merasa tidak penting untuk mempersoalkan 
pentingnya faktor kausalitas dan nilai penjelasan yang 
bertalian dengan dengan variabel personal. Bahkan mereka 
berpendapat bahwa menelaah perbedaan kepribadian yang 
mungkin dapat membedakan kategori seseorang bertalian 
dengan persoalan kriminalitas yaitu  hal yang sia-sia. 
Lebih diutamakan suatu interpretasi politik daripada suatu 
penafsiran psikologis. sebab teori labeling menaruh 
perhatian terhadap warga lapisan bawah, golongan 
minoritas dan sebagainya, maka lalu dipersoalkan tentang 
kekuasaan yang diperoleh oleh mereka yang berkuasa yang 
dapat menekankan labeling yang dikehendaki terhadap 
kaum yang lemah ini. 
2. “saat diaplikasikan terhadap pemahaman atas kelakuan 
individu, hipotesa teori labeling yaitu  lemah”. Dikatakan 
demikian, sebab dalam teori labeling memang ada  
kelemahan yaitu mengingkari perbedaan dalam kepribadian 
atau personalitas. Menurut teori labeling, “psychosis is not in 
her, but in her situation”. Katanya pula, “saat cermin dimana 
seseorang melihat dirinya itu berubah, maka ia juga akan 
berubah”. Apakah hal itu begitu mudah sebagaimana diucapkan,
yang akan membuktikan yaitu  realita nyata kehidupan.
3. “The model of causation implict in the labeling hypothesis 
is questionable”. Anehnya, teori ini menempatkan sebab 
musabab itu pada suatu tempat yang tidak lazim, yaitu 
ditempat mereka yang bereaksi. Dengan perkataan lain, 
“tanggung jawab” perbuatan A diletakkan pada orang lain, 
yaitu B. Bagi mereka yang awam mengenai teori ini, tampak 
atau kedengarannya seperti orang tidak suka membela 
dirinya terhadap, misalnya pencurian atau pembunuhan 
dalam KUHP. Singkatnya dapat dikatakan bahwa teori 
labeling seolah-olah hanya berpikir semata-mata tentang 
interaksi saja, dan tidak memikirkan atau tidak mau tahu 
tentang sebab akibat.
4. “Dalam tataran realita sosial, hipotesa teori labeling tidak 
dapat menjawab pertanyaan abadi tentang kejahatan”. Ini 
berarti, kalau kita menanyakan mengapa sampai orang 
berbuat suatu kejahatan, dan apa yang menyebabkan 
kejahatan makin bertambah atau makin berkurang, atau 
bagaimana dapat dilakukan usaha pencegahan kejahatan, 
maka hendaklah kita sadar bahwa kita tidak akan 
memperoleh suatu jawaban dari para pakar teori labeling.
Setelah kita mengetahui beberapa kelemahan dari teori 
labeling bedan kritik yang begitu tajam dan seakan tidak bisa 
terjawab, maka kini marilah kita lihat beberapa segi positif 
dari teori ini sebagaimana dikemukakan oleh Williams III dan 
McShane (J.E. Sahetapy, 1991: 28) sebagai berikut:
1. warga yaitu  dibentuk oleh nilai-nilai yang 
berbenturan dalam waktu yang sama.
2. Kualitas dari perilaku individu yaitu  ditentukan oleh 
bagaimana individu-individu yang ada mengeplikasikan 
nilai-nilai yang ada.
3. Penyimpangan terhadap norma yaitu  sebab adanya 
reaksi terhadap adanya perilaku. Tanpa adanya reaksi, maka 
mustahil ada  penyimpangan.
4. Sekali seseorang berperilaku, maka akan diperhatikan 
oleh warga di sekitarnya, dan label bagi pelaku 
penyimpangan, yaitu  sebab orang ini  pernah 
melakukan perilaku menyimpang.
5. Orang yang memberikan reaksi (individu, kelompok sosial, 
lembaga penegakan hukum) cenderung untuk mengamati 
lebih dalam terhadap seseorang yang mana telah mereka 
identifikasi sebagai seorang pelaku penyimpangan norma 
dan oleh sebab itu mereka menemukan bahwa orang 
ini  pernah melakukan tindak penyimpangan .
6. Pandangan seseorang terhadap individu, sekali ia diberi label, 
maka label itulah yang akan selalu menjadi identitas dirinya. 
Seseorang yang diberi label sebagai pelaku kriminal yaitu  
sebab ia pernah melakukan tindakan kriminal. Hal lain yang 
mungkin tidak tercover pada dirinya mungkin akan terlupakan.
7. Pada tahapan “proses menjadi” seorang pelaku penyimpangan 
norma bagi warga sekitarnya, seorang individu mungkin 
akan menerima sebuah labeling sebuah identitas bagi dirinya 
sendiri. Disandangnya label ini  sangat tergantung pada 
seberapa kuat pencitraan asli individu dalam proses labeling.
8. Perubahan atas pencitraan diri akan berakibat pada 
internalisasi atas karakter pelaku penyimpangan norma, 
dengan segala atribut atas dirinya.
9. Lebih lanjut, perilaku devian (tidak sepenting penyimpangan) 
akan merupakan produk dari kehidupan dan perilaku 
yang didalamnya ada  peluang bagi label pelaku, dan 
seringkali malah merupakan bagian dari subkultur devian.
Adapun Hagan menyampaikan kritik terhadap teori 
labeling ini yaitu  sebagai berikut:
1) Teori ini terlalu bersifat deterministik dan menolak 
pertanggung jawaban individual. Penjahat bukanlah robot 
yang pasif dari reaksi warga
2) Masih ada penyimpangan tingkah laku lainnya yang sudah 
secara instrinsik merupakan kejahatan, seperti memperkosa 
seorang perempuan, membunuh dan lain-lain, sehingga 
teori ini tidak berlaku bagi semua jenis kejahatan
3) Jika penyimpangan tingkah laku hanya merupakan 
persoalan reaksi warga, maka bagaimana dengan 
bentuk penyimpangan tingkah laku yang tidak nampak atau 
tidak terungkap/tertangkap pelakunya
4) Teori ini mengabaikan faktor penyebab awal dari munculnya 
penyimpangan tingkah laku
5) Teori labeling selalu beranggapan bahwa setiap orang 
melakukan kejahatan dan nampak bahwa argumentasinya 
yaitu , cap dilekatkan secara random. Kenyataan bahwa 
hanya kejahatan yang sangat serius memperoleh reaksi 
warga atau cap.  
Terlepas dari segala aspek positif dan negatif dari teori ini, 
satu hal yang jelas yaitu : bahwa teori labeling ini telah merintis 
suatu frase baru. Dengan demikian ia telah mempersiapkan 
lahirnya suatu teori baru, yaitu teori konflik, yang ternyata 
sangat radikal, bersifat politik praktis, dan dalam ideologinya 
berkiblat kepada marxisme.
D. Teori Anomi
Secara global, aktual dan representatif teori Anomie 
lahir, tumbuh, dan berkembang berdasar kondisi sosial. 
Perkembangan warga dunia terutama setelah era depresi 
besar yang melanda khususnya warga Eropa pada tahun 
1930-an telah banyak menarik perhatian pakar sosiologi saat itu.
Perkembangan warga dunia terutama setelah era 
depresi besar yang melanda khususnya warga Eropa pada 
tahun 1930-an telah banyak menarik perhatian pakar-pakar 
sosiologi pada waktu itu. Hal ini dipicu  adanya perubahan 
besar dalam struktur warga sebagai akibat dari depresi 
ini .
Pakar sosiologi melihat peristiwa ini  lebih jauh 
lagi dan mengambil makna darinya sebagai suatu bukti atau 
petunjuk bahwa ada  hubungan erat antara struktur 
warga dengan penyimpangan tingkah laku (deviant 
behavior) individu.
Dalam konteks perkembangan ekonomi Indonesia yang 
ditandai dengan perkembangan industrialisasi dan berbagai 
fluktuasi yang kurang menentu dari kebijaksanaan pemerintah 
di bidang perekonomian dan keuangan, terutama setelah pelita 
II dan diikuti dengan perkembangan kejahatan yang semakin 
canggih khususnya di bidang perekonomian dan perbankan, 
tampaknya teori Anomie dapat dipakai  sebagai pisau analisis 
yang dapat mengungkapkan secara memadai berbagai kejahatan 
dimaksud.
Konsep Durkheim dalam tentang anomie termasuk ke 
dalam kelompok Undercontrol. Isu pokok dari kelompok 
ini yaitu  “mengapa warga mengabaikan hukum yang 
diakui oleh warga kebanyakan?”. Riset Durkheim tentang 
“suicide” dilandaskan pada asumsi bahwa rata-rata bunuh diri 
merupakan puncak dari akumulasi anonim yang bervariasi 
berdasar dua keadaan sosial, yaitu : Social Integration dan 
Social Regulation.140 Durkheim kemudian mengidentifikasi 
bunuh diri menjadi beberapa tipe yaitu: bunuh diri altruistic 
(bunuh diri tak egois), bunuh diri egoistic ( bunuh diri terpusat 
diri), dan anomik (bunuh diri sebab “anomi” atau keadaan 
tanpa norma warga.
Perkembangan kondisi sosial warga Eropa seperti 
yang dijelaskan di atas dipicu  adanya perubahan besar 
dalam struktur warga sebagai akibat dari depresi ini , 
yaitu tradisi yang telah menghilang dan telah tejadi “deregulasi”  
di dalam warga. Keadaan inilah yang dinamakan sebagai 
“Anomie” oleh Durkheim.
Menurut Durkheim, Anomie di artikan sebagai suatu 
keadaan tanpa norma (the concept of Anomie referred to on absence 
of social regulation normlessness). Kemudian dalam buku the 
division of labor in society Emile Durkheim mempergunakan 
istilah Anomie untuk mendeskripsikan keadaan “deregulation” 
di dalam warga yang di artikan sebagai tidak di taatinya 
aturan-aturan yang ada  pada warga sehingga orang 
tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain dan keadaan ini 
menyebabkan deviasi.
Menurut Emile, teori Anomie terdiri dari tiga perspektif, 
yaitu :
a. Manusia yaitu  mahluk sosial;
b. Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial;
c. Manusia cenderung hidup dalam warga dan 
keberadaannya sangat tergantung pada warga ini  
sebagai koloni.
Dalam karyanya yang berjudul The Division of Labor in 
Society, Emile memiliki pernyataan inti bahwa warga 
berevolusi dari warga sederhana, kemudian menuju 


bentuk non-spesialis (mekanikal) lalu menuju warga 
yang kompleks atau bentuk spesialis yang lebih tinggi 
(organic). Dalam kedua masalah , Emile menunjuk pada 
bagaimana orang berinteraksi satu sama lain dan tenaga 
kerja diperlakukan. Dalam warga mekanik, orang-
orang berperilaku dan berpikir sama, kecuali untuk divisi 
pekerja dengan garis gender, lebih banyak menampilkan tugas 
kerja yang sama dan memiliki tujuan yang berorientasi pada 
kelompok. saat warga mulai kompleks, pekerjaanpun 
semakin kompleks dan dikhususkan. warga modern 
yang organic dikarakterkan sebagai hubungan interaktif 
yang lebih tinggi, pekerjaan yang lebih khusus dan tujuan 
individu. Sebagai contoh,kemampuan pekerjaan seseorang 
cukup jarang untuk meyediakan segala sesuatu yang 
dibutuhkan dalam kehidupan. Orang bergantung satu sama 
lain untuk menghasilkan berbagai macam produk.
Teori anomie Robert K. Merton diperbaiki Cloward & Ohlin 
(1959) dengan mengetengahkan teori  differential opportunity. 
Cloward & Ohlin berkata bahwasesungguhnya ada  
cara-cara untuk mencapai sukses, yaitu cara yang disebutnya 
“legitimate dan illegitimate”. sedang  Robert K. Merton hanya 
mengakui cara yang pertama.
Berikut beberapa indicator yang dikemukakan oleh Robert K. 
Merton: Most member of society share a common system of values, 
This common value system teaches us both the things we should strive 
for cultural goals and the most appropriate ways to achieve goals.If 
the goals and the mean of achieves them are not equally stressed, an 
anomic condition are created. In disorganization society, different 
degrees of access to these goals and means exist. Thus, the means are 
not equally distributed within a disorganized society. Some society, 
such as United States, may places too much stress on success goals. 
Without reasoneable access the socially approved means, member of 
society will attempt to find soe way to resolve the pressure to achieve. 
The various reaction will : If facing the moral issues, the individual 
continue to accept. IIf individual accept the goals but not the means, 
the behavior will be deviant and innovative.If the individualsreject the 
goals but accept the means the individual will be focus on the means 
rather than the goal. If individual reject goals and the means, it will 
choice the other ways of live. If both means and goals are rejected but 
substituted, the individual become deviant and rebelling.147
Pada dasarnya kriminologi di Indonesia masih bertitik 
tolak pada pengertian kausa kejahatan dalam arti sempit 
(dalam arti madzhab positivis). Kalau dikatakan bahwa 
pemikiran madzhab posistivis banyak mewarnai pemikiran 
kriminologi Indonesia, hal ini tidak berarti bahwa pendekatan 
madzhab klasik ditinggalkan. Dalam berbagai tulisan terlihat 
jelas keprihatinan terhadap meningkatnya kejahatan dengan 
tuntutan diberikannya ancaman pidana yang lebih berat 
terhadap pelakunya. Keyakinan bahwa ancaman yang berat 
dan tindakan yang tidak membeda-bedakan dan kepastian 
dalam penyelenggaraan peradilan pidana dapat menanggulangi 
meningkatnya kriminalitas, mencerminkan pemikiran madzhab 
klasik yang lebih mengutamakan perbaikan ‘administration of 
justice’ sebagai usaha penangkalan (deterence) kejahatan
Istilah “anomi” mengemuka pertama pada tahun 1893. 
Waktu itu, Durkheim dalam bukunya berjudul “The Division 
of Labor in Society” mempergunakan konsep anomi yang ia 
artikan sebagai “a condition of deregulation” yang terjadi di 
warga. Keadaan ini  sering pula diartikan sebagai 
keadaan warga tanpa norma. Dan keadaan ini sangat 
mempermudah terjadinya penyimpangan tingkah laku. Istilah 
anomi kemudian dikemukakan kembali oleh Durkheim dalam 
bukunya “Suicide” (1897).
Perkembangan kondisi sosial warga Eropa seperti 
yang dijelaskan di atas dipicu  adanya perubahan besar 
dalam struktur warga sebagai akibat dari depresi ini , 
yaitu tradisi yang telah menghilang dan telah tejadi “deregulasi”  
di dalam warga. Keadaan inilah yang dinamakan sebagai 
“Anomie” oleh Durkheim.
Menurut Durkheim, Anomie di artikan sebagai suatu 
keadaan tanpa norma (the concept of Anomie referred to on absence 
of social regulation normlessness). Kemudian dalam buku the 
division of labor in society Emile Durkheim mempergunakan 
istilah Anomie untuk mendeskripsikan keadaan “deregulation” 
di dalam warga yang di artikan sebagai tidak di taatinya 
aturan-aturan yang ada  pada warga sehingga orang 
tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain dan keadaan ini 
menyebabkan deviasi.
Menurut Emile, teori Anomie terdiri dari tiga perspektif, 
yaitu :
a. Manusia yaitu  mahluk sosial;
b. Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial;
c. Manusia cenderung hidup dalam warga dan 
keberadaannya sangat tergantung pada warga ini  
sebagai koloni.
Konsep Durkheim tentang anomi (teori anomi) termasuk 
kelompok teori Under Control. Isu pokok dari kelompok teori 


ini yaitu  “Why do people violate laws that most of us accept”? Di 
lain pihak Box (1981) memasukkan teori di atas ke dalam teori 
Strain (Strain Theory) dengan mengajukan isu “Kenapa seseorang 
melanggar hukum?”. Namun pada dasarnya antara Box dan Strain 
tidak ada perbedaan yang mendasar mengenai teori anomi ini.
Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri atau Suicide 
berasal dari tiga kondisi sosial yang menekan (stres) yaitu :
1. deregulasi kebutuhan atau anonim
2. regulasi yang keterlaluan atau fatalisme
3. kurangnya integrasi struktural atau egoisme
Adapun Cullen dan Francis T (1983) menambahkan hipotesa 
keempat, bahwa bunuh diri menunjuk kepada proses sosialisasi 
dari seorang individu kepada suatu nilai budaya “altruistic” yang 
mendorong yang bersangkutan untuk melaksanakan bunuh diri. 
Hipotesa keempat ini tidak termasuk teori stres.
Yang menarik perhatian dari konsep anomi Durkheim yaitu  
kegunaan konsep dimaksud lebih lanjut untuk menjelaskan 
penyimpangan tingkah laku yang dipicu  sebab kondisi 
ekonomi di dalam warga. Secara gemilang, konsep ini 
telah dikembangkan lebih jauh oleh Merton (1938) terhadap 
penyimpangan tingkah laku yang terjadi di warga Amerika. 
Merton menjelaskan bahwa di warga (Amerika) telah 
melembaga suatu cita-cita untuk mengejar sukses semaksimal 
mungkin, dan pada umumnya diukur dari harta kekayaan yang 
dimiliki seseorang. Untuk mencapai sukses yang dimaksud, 
warga sudah menetapkan cara tertentu yang diakui dan 
dibenarkan yang harus ditempuh  seseorang. Namun demikian dala 
realitanya, tidak semua orang dapat mencapai cita-cita dimaksud 
melalui cara-cara yang dibenarkan. Oleh sebab itu, ada  
individu yang berusaha mencapai cita-cita dimaksud melalui 
cara-cara yang tidak dibenarkan atau melanggar undang-undang 
(peraturan). Pada umumnya mereka yang melakukan cara-cara 
yang melanggar aturan (undang-undang) ini , berasal dari 
warga kelas bawah dan golongan minoritas.
Pada tahun 1938, Merton mempergunakan konsep ini  
untuk menjelaskan penyimpangan tingkah laku di Amerika 
Serikat. Perbedaannya dengan konsep anmi Durkheim, ialah 
bahwa Merton mengartikan anomi sebagai kesenjangan antara 
sarana (means) dan tujuan atau cita-cita (goals) sebagai hasil 
kondisi warga. Sehingga  menurut Merton, penyimpangan 
tingkah laku atau diviance yaitu  merupakan gejala dari suatu 
struktur warga di mana aspirasi budaya yang sudah terbentuk 
terpisah dari sarana yng tersedia di warga 
Pada tahun 1938, Robert K. Merton mengadopsi konsep 
anomie Emile Durkheim  untuk menjelaskan deviasi di 
Amerika. Konsepsi  Merton  ini sebenarnya dipengaruhi 
intelectual heritage Pitirin A. Sorokin  (1928) dalam bukunya 
Contemporary Sociological Theories  dan  Talcot Parsons (1937) 
dalam buku The Structure of Social Action. Menurut Robert K. 
Merton, konsep anomie diredefinisi sebagai ketidaksesuaian 
atau timbulnya diskrepansi/perbedaan antara cultural goals 
dan institutional means  sebagai akibat cara warga diatur 
(struktur warga) sebab adanya pembagian kelas. sebab 
itu, menurut  John Hagan, teori  anomie  Ro