Jumat, 26 Januari 2024
kriminologi 1
By tewasx.blogspot.com at Januari 26, 2024
kriminologi 1
Istilah Kriminologi pertama kali dikemukakan oleh ahli
anthropologi Perancis P.Topinard (1830-1911). Mulanya istilah
ini juga merangkum patologi sosial yang memperluas bidang
kajiannya. Namun, dalam pembahasan buku ini kriminologi
akan difokuskan pada pengertian sebagai ilmu pengetahuan yang
bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (biasa disebut
sebagai kriminologi teoritis atau murni). Kriminologi teoritis
yaitu ilmu pengetahuan yang berdasar pengalaman seperti
ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-
gejala dan mencoba menyelidiki sebab-sebab dari gejala ini
(etiologi) dengan cara-cara yang ada padanya. Selain kriminologi
teoritis ini , ada pula kriminologi praktis yang bertujuan untuk
mendapatkan manfaat praktis dalam setiap kajiannya.1
Berkembangnya studi yang dilakukan secara ilmiah mengenai
tingkah laku manusia memberikan dampak kepada berkurangnya
perhatian para pakar kriminologi terhadap hubungan antara
hukum dan organisasi kewargaan. Kemunculan aliran positif
mengarahkan para pakar kriminologi untuk lebih menaruh
perhatian kepada pemahaman tentang pelaku kejahatan (penjahat)
daripada sifat dan karakteristik kejahatan, asal mula hukum dan
dampak-dampaknya. Perhatian terhadap hubungan hukum dengan
organisasi kewargaan muncul kembali pada pertengahan
abad 20, sebab hukum mulai dianggap memiliki peranan penting
dalam menentukan sifat dan karaktersitik suatu kejahatan. Para
pakar kriminologi berkeyakinan bahwa pandangan atau perspektif
seseorang terhadap hubungan antara hukum dan warga
memberikan pengaruh yang penting dalam penyelidikan-
penyelidikan yang bersifat kriminologis.2
Kejahatan yaitu pokok penyelidikan dari kriminologi. Hal ini
berarti kejahatan yang dilakukan, orang-orang yang melakukannya,
dan segi yuridis dari persoalan ini yaitu perumusan dari pada
berbagai kejahatan itu tidak menjadi kajiannya atau setidaknya
secara tidak langsung bukan merupakan objek kajiannya.3
Kriminologi dalam arti sempit (yang dipergunakan dalam
buku ini) yaitu mempelajari kejahatan. sedang dalam
arti luas, Kriminologi mempelajari penologi dan metode-
metode yang berkaitan dengan kejahatan dan masalah prevensi
kejahatan dengan tindakan-tindakan yang bersifat non-punitif.
Secara tegas dapat dikatakan bahwa batasan kejahatan dalam
arti yuridis yaitu : tingkah laku manusia yang dapat dihukum
berdasar Hukum Pidana.4
Tingkah laku manusia dimaksud dapat dipelajari dengan
memakai tiga dasar bentuk pendekatan, yakni:
a. pelbagai bentuk tingkah laku kriminal
b. bagaimana kejahatan ini dilakukan
c. frekuensi kejahatan pada tempat dan waktu yang
berbeda-beda
d. usia, jenis kelamin dan ciri-ciri khas lainnya dari pelaku
kejahatan
e. perkembangan karir seseorang pelaku kejahatan
Apa yang telah diuraikan diatas dapat disebut:
fenomenologi atau simptomatologi kejahatan. Hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam mempergunakan pendekatan
secara deskriptif ini yaitu :
a) Fakta-fakta tidaklah dapat dikumpulkan secara random,
oleh sebab itu fakta-fakta yang akan diperoleh harus
dilakukan secara selektif yang dilandaskan kepada
hipotesa-hipotesa.
b) Fakta-fakta semata-mata tanpa suatu penafsiran,
evaluasi dan pengertian secara umum, tidaklah akan
berarti. Oleh sebab itu kita memerlukan pengetahuan
umum tentang kehidupan dan pengalaman dalam salah
satu sektor kehidupan, agar dapat diperoleh penafsiran
yang tepat6 atas fakta-fakta yang telah dikumpulkan
dengan observasi ini .7
2. Pendekatan secara sebab akibat (The causal approach)
Pendekatan terhadap kejahatan dapat dilakukan
secara sebab akibat. Ini berarti bahwa penafsiran terhadap
fakta-fakta dapat dipergunakan untuk mengetahui sebab-
akibat kejahatan, baik di dalam masalah -masalah yang bersifat
umum maupun yang bersifat individual. Usaha untuk
mengungkapkan atau menemukan sebab akibat daripada
suatu gejala dalam kejahatan, disebut: Etiologi Kriminil.
Penyelidikan atau penelitian sebab akibat dalam
kriminologi memiliki perbedaan-perbedaan fungsionial
daripada penyelidikan para ahli hukum (pidana) terutama
dalam usaha menemukan hubungan kausalitas (kaitan)
antara tingkah laku individu dan suatu kejahatan tertentu.
Agar dapat dilakukan suatu penuntutan (dalam hukum
pidana) haruslah dapat dibuktikan bahwa, antara suatu
tindakan atau perbuatan (dalam suatu situasi tertentu)
daripada tertuduh dengan akibat yang dilarang ada
suatu hubungan sebab akibat (causal-nexus)
3. Pendekatan secara normatif (The normative approach) 8
Kriminologi merupakan suatu idiographic discipline
dan nomothettic-discipline. Idiographic dicipline maksudnya
yaitu mempelajari fakta-fakta; sebab-akibat dan
kemungkinan-kemungkinan dalam masalah -masalah individuil.
sedang nomothetic discipline yaitu bertujuan untuk
menemukan atau mengungkapkan hukum-hukum umum
yang bersifat ilmiah yang diakui, dan keseragaman atau
kecenderungan-kecenderungan.
Hal ini berarti bahwa, kriminologi berkenaan dengan
penyelidikan sifat-sifat daripada “hukum-kriminologi”, dan
kecenderungan-kecenderungan.
Sehubungan dengan sifat daripada pengertian “yurisdical
laws”, pandangan secara tradisionil berkata bahwa
“hukum atau undang-undang” khususnya hukum pidana
yaitu bersifat imperatif, dan merupakan aturan-aturan,
norma-norma, yang memerintahkan warga untuk
berbuat sesuatu dan pendapat ini telah ditentang dari
pelbagai penjuru. Hal ini dipicu sebab:
a) telah sering dibedakan antara: suatu syarat-syarat
yang ditentukan hukum, seperti: “siapa mencuri akan
dihukum” yang merupakan fakta-fakta, dengan norma-
norma yang ada dibalik pernyataan fakta ini , yang
melarang suatu perbuatan
b) para ahli meragukan sifat imperatif daripada hukum
(undang-undang) sekalipun norma-norma hukum
itu sendiri berkenaan dengan atau memiliki karakter-
karakter yang normatif.
Kriminologi bukan disiplin ilmu yang bersifat normatif
melainkan merupakan disiplin yang bersifat faktuil dan
tidak dapat dapat dipungkiri bahwa keadaan kriminologi,
pada prinsipnya sama dengan sosiologi dan psikologi.9
Menurut Van Bemmelen (1959) kriminologi yaitu
layaknya “The King Without Countries” sebab daerah
kekuasaannya tidak pernah ditetapkan. Namun terlalu
berlebihan jika memandang kriminologi sebagai seorang
tamu tetap yang untuk kelangsungan hidupnya harus makan
di meja orang lain. Kriminologi mengambil konsep dasar
dan metodologinya dari ilmu tingkah laku manusia, biologi
dan lebih luas lagi dari nilai-nilai historis dan sosiologis dari
hukum pidana.
Beraneka ragam definisi kriminologi yang dikemukakan
oleh para ahli. Sutherland mengatakan kriminologi yaitu
keseluruhan ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan kejahatan sebagai gejala warga. Termasuk
terjadinya undang-undang dan pelanggaran atas ini.
Sedang Michael dan Adler merumuskan bahwa kriminologi
yaitu keseluruhan keterangan tentang perbuatan dan
sifat, lingkungan penjahat dan pejabat memperlakukan
penjahat dan reaksi warga terhadap penjahat. Dari
penglihatan lain maka Wood mengatakan kriminologi
mengikuti keseluruhan pengetahuan yang didasarkan pada
teori pengalaman yang berhubungan dengan kejahatan dan
penjahat, termasuk reaksi warga atas kejahatan dan
penjahat. Tanpa melihat aspek reaksi warga maka Seelig
merumuskan kriminologi sebagai ajaran dari gejala-gejala
nyata (gejala-gejala fisik dan psikis) dari kejahatan. Tidak
berbeda dari pengertian di atas maka Sauer mengatakan
kriminologi yaitu ilmu pengetahuan dari kejahatan
individu-individu dan bangsa-bangsa berbudaya.
Dengan perumusan sedikit berbeda Constant melihat
kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdasar
pengalaman yang bertujuan menentukan faktor-faktor
penyebab terjadinya kejahatan dan penjahat (aetologi).
Untuk itu diperhatikan baik faktor sosial dan ekonomis,
maupun faktor-faktor individu dan psikologis.11 Tidak jauh
berbeda juga Vrij merumuskan kriminologi sebagai ilmu
pengetahuan yang mempelajari kejahatan termasuk sebab-
sebab akibat kejahatan.
Secara luas kriminologi dapat diartikan sebagai:13
a. Normative Criminal Law (Hukum Pidana Materiil)
b. Criminal Procedure in the Science of Crime Investigation
(Hukum Acara Pidana/Formil)
c. Kriminologi
d. Penologi
Selain ilmu-ilmu ini di atas, sebelumnya telah
dijelaskan oleh para ahli bahwa dalam ilmu kriminologi
ada ilmu pendamping seperti sosiologi, biologi,
psikologi. berdasar definisi yang luas ini dapatlah
ditarik kesimpulan bahwa kriminologi terutama ditujukan
untuk menganalisa atau mencari sebab-sebab kejahatan
(etiology of crime), tetapi tidak terbatas pada bidang ini
saja, pun meliputi Phenomenology dan Politik Kriminal dan
juga tidak dapat dikesampingkan pula Victimology (ilmu
tentang korban tindak kejahatan/victim).14
Wilpang Savitz dan Johnston dan The Sociology of Crime
and Delinquency, memberikan definisi sebagai kumpulan
ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk
memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang fejala
kejahatan dengan jalan mempelahari dan menganalisa
secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-
keseragaman, pola-pola, dan faktor-faktor kausal yang
berhubungan dengan kejahatan dan reaksi warga
terhadap keduanya.
B. Ruang Lingkup Kriminologi
Kriminologi sebagai bidang pengetahuan ilmiah telah
mencapai usia lebih dari satu abad.16 Di Indonesia, kriminologi
sudah dikenal sejak sekitar setengah abad yang lalu dan kini
diajarkan hampir di setiap Fakultas Hukum negeri maupun
swasta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
Pemahaman mengenai ruang lingkup khususnya tentang
luas masalah yang menjadi sasaran perhatian kriminologi dapat
bertolak dari beberapa definisi dan perumusan mengenai
bidang cakupan kriminologi yang diketengahkan oleh sejumlah
ahli kriminologi yang diakui mempunyai pengaruh besar
terhadap bidang ilmiah ini.
W.A. Bonger memandang kriminologi sebagai ilmu
pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan
seluas-luasnya17, sedang Edwin H. Sutherland dan Donald
R. Cressey yang bertolak dari pandangan bahwa kriminologi
yaitu suatu kesatuan pengetahuan mengenai kejahatan sebagai
gejala sosial, mengemukakan bahwa ruang lingkup kriminologi
mencakup proses-proses pembentukan hukum, pelanggaran
hukum dan reaksi terhadap pelanggaran hukum.
Di dalam kaitan itu, Sutherland dan Cressey membagi
kriminologi dalam tiga bagian utama yaitu18:
1. Sosiologi hukum sebagai analisis sistematik atas kondisi-
kondisi berkembangnya Hukum Pidana dan penjelasan
mengenai kebijaksanaan dan prosedur administrasi
peradilan agama.
2. Etiologi kejahatan sebagai usaha untuk melakukan analisis
ilmiah atas sebab musabab kejahatan, dan
3. Penologi yang menaruh perhatian pada pengendalian
kejahatan.
Tujuan kriminologi yaitu untuk mengembangkan kesatuan
dasar-dasar umum dan terinci dan jenis-jenis pengetahuan lain
tentang proses hukum, kejahatan dan reaksi terhadap kejahatan.
Pengetahuan ini diharapkan akan memberikan sumbangan bagi
perkembangan ilmu-ilmu sosial guna memberikan sumbangan
bagi pemahaman yang lebih mendalam mengenai perilaku sosial.
Selain kedua rumusan ini di atas banyak diajukan
sejumlah definisi lain seiring dengan kian luasnya bidang
yang digarap kriminologi. W.H. Nagel20 dengan jelas
memperlihatkan bahwa setelah Perang Dunia II, bidang
kriminologi jelas melebar. Kriminologi modern tidak hanya
semata-mata etiologi kejahatan. Di lain pihak, viktimologi
secara cepat memperlebar bidang ini sejak tahun 1950. Kini,
telah diketahui bahwa kriminologi tak dapat lagi dipraktekkan
tanpa memperhitungkan hubungan antara penjahat dan orang
yang menjadi sasaran kejahatan baik itu merupakan korban
personal atau impersonal. Di lain pihak, sosiologi hukum
pidana juga memperluas ruang lingkup kriminologi.
jika dibandingkan perumusan-perumusan ini
diatas, maka tampak ada satu hal penting yang sama: semua
perumusan mempergunakan istilah perbuatan jahat dan atau
penjahat. Istilah perbuatan jahat dengan segera mengingatkan
kita pada hukum pidana, dimana pengertian perbuatan jahat
merupakan pusatnya. Apakah kriminologi harus mengambil alih
tanpa perubahan pengertian perbuatan jahat dari hukum pidana?
Lagi pula, jika ruang lingkup kriminologi ditentukan oleh
pembentuk undang-undang di suatu negara pada suatu waktu
tertentu, apakah juga bertalian dengan apa yang ditetapkan sebagai
perbuatan pidana? Atau secara singkat: apakah kriminologi harus
terikat pada pengertian perbuatan jahat secara yuridis?
Kebanyakan dari para penulis ini di atas tidak
mau menerima sepenuhnya konsekuensi yang demikian itu,
walaupun ada sarjana-sarjana lain yang tidak menolak untuk
menumbuhkan pengertian perbuatan jahat secara yuridis
dengan secara kriminologis. Bader, misalnya, jika untuk
kegunaan praktis dan untuk penerapan penelitian kriminologi
hendaknya berpedoman kepada hukum pidana, kendatipun
bila hal itu didasarkan pada “sistematik hukum pidana yang
berlaku, yang dalam banyak hal tidak sesuai.” Demikian pula
Von Hentig ingin membatasi pengertian perbuatan jahat
secara kriminologis pada perbuatan-perbuatan pidana yang
ditentukan oleh pembentuk undang-undang.22 Pendirian
Von Hentig ini menghadapkannya pada konsekuensi yang
tidak terduga. Misalnya, jika ia berbicara tentang bunuh
diri, maka ia mengharuskan untuk membedah bunuh diri
berdasar undang-undang, yaitu antara pembunuhan
berencana dan pembunuhan. Sebagai akibat dari pendiriannya
itu, maka bunuh diri tidak dibicarakan dalam karya kriminologi,
sedang para pembunuh yang setelah melakukan kejahatan
kemudian melakukan bunuh diri, tidak hendak ditentukannya
lebih lanjut, “oleh sebab para pembunuh ini bunuh diri,
sebelum mereka ditangkap dan diadili, dan dengan demikian
tidak dihadapkan pada hakim.”
Perdebatan mengenai apakah suatu perbuatan yang
dianggap kriminologi sebagai perbuatan yang anti sosial dan
harus didasarkan pada hukum pidana juga dialami oleh Vouin
dan Leaute. Mereka berpendapat bahwa Kriminologi tidak
terlepas dari pelaksanaan Hukum Pidana di mana kriminologi
memberikan hasil-hasil penyelidikannya untuk menunjang
Hukum Pidana dan membuktikan bahwa masalah -masalah yang tidak
diatur dalam Hukum Pidana sama sekali tidak dapat diabaikan.
Pendapat ini jika dikaitkan dengan asas hukum pidana “nullum
crimen sine lege” tidak dapat menjangkau konsepsi kejahatan
yang tidak dirumuskan dalam hukum pidana, yang mana di
setiap sistem hukum negara Eropa continental dan Amerika
menerapkan asas ini, termasuk Indonesia.
Menurut pengertian kejahatan yang dijelaskan sebelumnya
bahwa perbuatan jahat sejatinya melahirkan kerugian pada
orang lain hingga dalam institusi tertinggi yaitu negara, namun
kerugian ini tidaklah semerta-merta menjadi urgensi untuk
dimasukkan dalam lembaga hukum atau pengadilan. Oleh sebab
itu para kriminolog harus menerima prinsip “de minimis non
curat praetor” atau kerugian yang sangat kecil tidak bisa dipandang
sebagai dasar kepentingan. Hal ini mendasari pendapat penulis
bahwa tidak selamanya perbuatan yang tidak diatur dalam hukum
pidana sebuah negara tidak dapat dipelajari, contohnya yaitu
perbuatan yang didasarkan pada adat seperti yang dilakukan oleh
warga Papua Pegunungan Tengah dengan tradisi potong
tangan. jika salah satu anggota keluarga meninggal maka
anggota keluarga terdekat seperti ibu, ayah, istri atau suami wajib
dipotong salah satu jarinya untuk mewakili rasa kesedihan dari
keluarga dan jika luka dari potong jari ini telah sembuh maka
rasa sedih itu harus berakhir.Tindakan ini dilakukan secara
sadar dan sukarela oleh warganya, sehingga tidak ada niat untuk
menimbulkan perlukaan. Hal demikian tidaklah diatur dalam
hukum pidana, namun bukan berarti tidak dapat dipelajari oleh
kriminologi.
Kriminologi umum (general criminology) menempati
kedudukan sentral sebagai etimologi (pengetahuan mengenai
sebab musabab) kejahatan dan kebijaksanaan pidana
(pengetahuan tentang respons terhadap kejahatan) dan
didukung di satu pihak oleh disiplin-disiplin dan pengetahuan-
pengetahuan yang bertautan yang berdiri sendiri oleh sebab
melingkupi bidang-bidang khusus (penghukuman, persidangan
pidana, penyelidikan dan pers), sedang pada pihak lain
bidang-bidang penerapan memberikan bahan bagi ilmu
pengetahuan kriminologi.
Termasuk ke dalam disiplin ilmu ini yaitu :
a. Antropologi kejahatan (Criminal Anthropology) yang
merupakan pengetahuan mengenai ciri-ciri fisik penjahat.
Sebagai contoh yaitu studi Lombroso tentang L’uomo
Delinquente yang di zaman Nazi disalahgunakan untuk
menghubungkan ciri-ciri rasial dengan kriminalitas. Selanjutnya
berkat pengaruh antropologi eksistensial, antropologi kriminal
kemudian dipelajari dalam satu pengertian filosofis.
b. Psikologi kriminal yang mempelajari gejala kejiwaan
penjahat dan lingkungannya, sebab-sebab gejala itu dan apa
arti hukuman dan pembinaan pelangnar hukum terhadap
mereka. Psikologi kriminal juga meliputi deskripsi karier
individu penjahat, mencari kondisi-kondisi yang membuat
orang itu melakukan kejahatan, menemukan metode-
metode untuk mempengaruhinya. Di samping itu dipelajari
pula gejala kejiwaan dari mereka yang melakukan reaksi
sosial terhadap kejahatan.
e. Psikiatri kriminal mempelajari penjahat yang perkembangan
jiwanya terganggu, cacad atau tidak sehat. Bidang ini
mencakup studi mengenai psikosis, neurosis, dan psikopati.
Psikiatri kriminal dibagi menjadi dua bagian, yakni :
1. Psikopatologi yang mempelajari segala gangguan jiwa,
dan
2. Psikiatri klinis yang melakukan diagnosa dan
pengobatan terhadap gangguan jiwa.
d. Sosiologi kriminal mempelajari pengaruh warga
terhadap kejahatan dan penjahat dan hubungan antara
reaksi Hukum Pidana dan warga.
e. Viktimologi, ilmu ini merupakan sub ilmu dari kriminologi
yang khusus dalam mempelajari korban kejahatan. Para
ahli viktimologi mempelajari serangkaian kejadian yang
secara tipikal menunjukkan aksi viktimisasi dari berbagai
jenis percobaan untuk menciptakan teori umum viktimisasi
dan wawasan yang relevan mengenai bagaimana viktimisasi
dapat dihindari
Menurut Hoefnagels30, kriminologi umum (general
kriminologi) menempati kedudukan sentral sebagai etimologi
(ilmu pengetahuan tentang sebab-sebab) kejahatan dan
kebijakan pidana (ilmu pengetahuan tentang respons) yang
didukung di satu pihak oleh disiplin-disiplin ilmu pengetahuan
dan ilmu pengetahuan sekutu yang telah mandiri oleh sebab
mereka mencakup bidang khusus (hukum, peradilan pidana,
penyelidikan dan pers); di lain pihak bidang-bidang penerapan
memberikan bahan-bahan bagi ilmu pengetahuan kriminologi.
Disiplin-disiplin ilmu pengetahuan ini menunjukkan titik
pandang dan konsep-konsep yang dapat dipakai untuk
mengkaji kejahatan, hukuman dan juga dipakai dalam
penelitian.
Di bagian lain dikatakan bahwa dari gambaran ini
nampak bahwa pelbagai sup-bidang dalam kriminologi,
perluasan dan ciri multidisiplinernya, kesatuan dalam isi dan
cirinya sebagai keseluruhan tidak mudah ditegaskan.
C. Obyek Studi Kriminologi
Obyek kriminologi yaitu perbuatan jahat dan perilaku
tercela. Obyek hukum pidana juga sama yaitu perbuatan jahat,
namun jalan yang ditempuh oleh kriminologi yaitu berbeda.
Hukum pidana, demikian kata Vrij, mempelajari peraturan
hukum sedang kriminologi ingin mengetahui segala sesuatu
yang menyangkut perbuatan jahat.
Tappan (1947), berpendapat bahwa obyek kriminologi
hanyalah kejahatan sebagaimana dirumuskan oleh undang-
undang, dan bahwa hanyalah mereka yang dinyatakan oleh
pengadilan sebagai penjahat. Ia menolak pengertian “white
collar crime” sebagaimana dirumuskan oleh Sutherland, kecuali
kalau dapat dibuktiakan bahwa “white collar crime” ini benar-
benar telah melanggar undang-undang.32
Elliot (1952) dan Sutherland (1960) menyetujui pendapat
bahwa penjahat yaitu dia yang melakukan kejahatan.
Sutherland mengakui pentingnya putusan pengadilan, akan
tetapi untuk tujuan-tujuan ilmu pengetahuan tidak boleh hal
ini mengikat. Cukup bilamana diketahui bahwa suatu
perbuatan yaitu kejahatan (menurut undang-undang) dan
bahwa ada seseorang yang telah melakukan perbuatan
ini . Orang inilah yang dinamakan penjahat, mungkin ia
diketahui mungkin juga tidak, mungkin ia ditangkap mungkin
pula tidak.
Dalam kenyataanya maka pengetahuan kriminologi
mengenai si penjahat sebagian besar diperoleh dari para
narapidana yang menghuni penjara-penjara (lembaga-lembaga
pewargaan). Masalah yang sering dikemukakan dalam
kriminologi yaitu bahwa para narapidana yang ada
didalam lembaga-lembaga pewargaan ini tidak merupakan
sampel yang representatif bagi semua penjahat.
Elliot mengakui bahwa pada umumnya pengetahuan
kita mengenai penjahat itu yaitu sebenarnya pengetahuan
mengenai macam penjahat yang kurang ahli yaitu mereka
yang tidak cukup pintar untuk melepaskan diri dari kejaran
polisi. Akan tetapi meskipun demikian Elliot membenarkan
bahwa narapidana yang ada dalam lembaga-lembaga
pewargaan sebenarnya cukup mencerminkan lapisan-
lapisan dalam warga. Sebagian yaitu mereka yang
benar-benar jahat, orang-orang yang berwatak keras, yang suka
menembak dan membunuh bila dirasa perlu. Sebagian lagi
yaitu mereka orang-orang yang lemah, yang tak sanggup untuk
menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang telah ditentukan
warga. Sebagian kecil yang lain yaitu bukan orang-orang
yang lemah atau bermusuhan dengan warga. Kelompok
kecil ini terdiri dari dari orang-orang yang dalam keadaan krisis
gagal untuk mentaati peraturan-peraturan atau undang-undang
yang sebenarnya meraka hormati juga.
jika kita mengartikan penjahat hanya sebagai “orang
yang telah melanggar undang-undang”, maka hampir semua
orang sebenarnya dapat dinamakan penjahat. Hampir semua
dari orang-orang yang telah mencapai usia dewasa mungkin
pernah melakukan pelanggaran (sengaja atau tidak) terhadap
undang-undang, meskipun untuk itu ia tidak pernah diajukan
ke meja pengadilan.
Menamakan semua “orang yang dipidana oleh pengadilan”
sebagai penjahat, pun tidak dapat diterima begitu saja. Elliot
menegaskan bahwa perlu ditambahkan ciri yang khas untuk
menamakan seorang narapidana sebagai penjahat, yaitu bahwa
narapidana ini telah “membuang atau tidak mau mengakui
lagi nilai-nilai warga”. Akan tetapi diakuinya bahwa diluar
penjara masih ada pula orang-orang yang demikian, yang
dalam kehidupan mereka hanya melihat keuntungan untuk diri
meraka sendiri saja dan sebab itu pada dasarnya sudah bersifat
anti-sosial. Kesimpulannya yaitu bahwa orang-orang yang
disebut terakhir ini, dan para pelanggar hukum “residivis” yang
tertangkap yaitu yang benar-benar dapat dinamakan penjahat.
Dengan bertitik tolak pada pendapat bahwa obyek
penelitian kriminologi yaitu kejahatan dalam arti undang-
undang dan perbuatan lain (diluar undang-undang) yang
tidak dapat dibiarkan dan merugikan warga, maka para
pelaku-pelakunya dengan sendirinya juga turut menjadi obyek
penelitian dalam kriminologi. Pada pelaku dari perbuatan
kejahatan yaitu mereka yang dinamakan penjahat. Dalam
kenyataannya maka pengadilanlah yang memutuskan apakah
seseorang itu telah melakukan suatu kejahatan atau tidak. Hal
yang akhir ini dapat kita terima dengan catatan selalu harus
diingat bahwa:
a. ada kemungkinan bahwa pengadilan telah salah
(eroneously) memutuskan seseorang sebagai pelanggar
hukum
b. tidak semua orang yang melakukan kejahatan sampai
diajukan ke pengadilan
c. mereka yang dengan tepat oleh pengadilan telah diputuskan
sebagai pelanggar hukum, umumnya hanya melanggar satu
atau dua peraturan hukum saja, dalam hal-hal yang lain
mereka taat kepada hukum.
Pada akhirnya masih ada pertanyaan yang perlu dijawab,
yaitu, apakah tidak cukup dengan menjadikan perilaku tercela
sebagai obyek dari kriminologi. Dirumuskan dengan cara lain,
apakah perilaku tercela tidak mencakup pengertian perbuatan
jahat dari hukum pidana. Noach menjawab bahwa pertanyaan
ini harus disangkal. Ruang lingkup hukum pidana
dibatasi oleh norma-norma yang telah diterima secara umum
dalam pergaulan hidup. Namun, hal ini tidak berarti bahwa
setiap kelompok dalam pergaulan hidup memandang semua
ketentuan hukum pidana sebagai aturan yang sudah tepat.
Dengan menerima perilaku tercela sebagai kriterium untuk
“melanggar norma kelompok” maka kriminologi yang hanya
menjadikan perilaku tercela sebagai obyek, akan menghadapi
konsekuensi, bahwa perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana
yang dilakukan oleh suatu kelompok, perbuatan-perbuatan
mana tidak dipandang sebagai pelanggaran norma, tidak dapat
dipergunakan untuk obyek penelitian.
Dua contoh yang dikemukakan oleh Noach. Ada beberapa
kelakuan seksual yang oleh KUHP di Indonesia dengan mengikuti
KUHP Belanda, diancam dengan pidana, menurut pendapat
kelompok-kelompok besar di Indonesia diperkenankan (misalnya
pasal 292 KUHP, yaitu pergaulan homoseksual dari orang dewasa
dengan yang belum dewasa, asal yang terakhir ini tidak terlalu
muda, dipandang tidak sebagai suatu perbuatan tercela). Tentang
frekuensi dimana perbuatan-perbuatan itu dilakukan, tidak
tersedia data yang cukup, oleh sebab baik lingkungan maupun
korban tidak melihat perbuatan itu sebagai suatau pelanggaran
norma, dan banyak penyidik yang kebetulan mengetahuinya dan
ingin menyelidikanya, akan berhadapan dengan tembok kebisuan.
Meskipun demikian, suatu penelitian kriminologis sangat
diperlukan untuk memperoleh bahan untuk suatu perundang-
undangan baru dimasa yang akan datang bertalian dengan delik
seksual.
D. Metode Penelitian Kriminologi
Data tentang gejala kejahatan di Indonesia dan
permasalahan penelitiannya masih sangat kurang. Penelitian
dapat dirumuskan sebagai “….the use standardized, systematic
procedures in the search of knowledge” (Manheim, 1965) yang
artinya: [penggunaan prosedur yang baku dan sistematis dalam
mencari pengetahuan].
Dalam wawasan yang lebih jauh kita dapat juga mencoba
menyusun ‘generalizations’ (kaidah-kaidah umum) atau teori-
teori. Tetapi ini hanya dapat terjadi kalau kita sudah mempunyai
cukup fakta tentang gejala kriminalitas di Indonesia. Kalau fakta
sudah ada maka mulailah dapat disusun ‘specific hypothesis’
yang berakar pada suatu teori umum untuk diuji melalui teknik
(metode) yang diakui secara universal. Hasilnya masih perlu
ditafsirkan dan diperiksa kesahihannya (validation) secara hati-
hati dan tanpa prasangka (kesahihan atau validitas menjawab
pertanyaan: apakah peneliti benar-benar mengukur apa yang
ingin diketahuinya; ini berbeda dengan masalah reabilitas yang
berhubungan dengan pertanyaan: apakah alat pengukur yang
dipakai sesuai untuk mengukur apa yang peneliti ingin ketahui;
W.G. Wolters, 1979). Dalam tahap penelitian berikutnya
(lanjutan) mungkin hipotesa asli kita perlu disempurnakan
(diubah) berdasar penemuan penelitian awal kita, dan proses
pengujian, penafsiran dan pemeriksaan kesahihannya diulangi
lagi. Proses semacam inilah yang diperlukan dalam penelitian
kriminologi di Indonesia.Keperluan penelitian kriminologi
ini yaitu antara lain untuk:
1. menghilangkan kepercayaan yang salah atau pandangan
yang keliru tentang sebab kejahatan maupun berlangsungnya
sistem peradilan pidana di Indonesia.
2. Membantu menyempurnakan pelaksanaan sistem peradilan
pidana Indonesia, dan
3. Memberi masukan kepada ilmu pengetahuan lain (misalnya:
hukum, sosiologi, psikologi dan ekonomi) bedasarkan hasil-
hasil penelitiannya (misalnya: dalam pelaksanaan hukum
pidana, masalah kenakalan remaja, masalah pengangguran
dan urbanisasi.)
Setidaknya ada kendala-kendala yang akan di hadapi
dalam melakukan penelitian kriminologi meliputi:
a. Konsep kejahatan dan tingkah laku menyimpang bersifat
relatif, padahal suatu penelitian ilmiah harus jelas batasan-
batasannya sehingga dapat dioperasionalisasikan. Peneliti
harus mampu merumuskan masalah panelitiannya secara
terang, tidak bermakna ganda dengan menyadari kenisbian
konsep, dan bersifat layak diproses.
b. Sumber data penelitian kriminologi tidak mudah didekati
sebab masalah kejahatan dan tingkah laku menyimpang
merupakan masalah yang mengandung konsekuensi hukum
dan moral. Padahal, suatu penelitian pasti membutuhkan
data. Pemilihan metode penelitian yang tepat merupakan
prasyarat agar susaha hasil penelitian yang diperoleh bersifat
benar-benar (valid) sesuai dengan kriteria yang dipakai
c. Data penelitian kriminologi yang valid tidak mudah
diperoleh dengan hanya memakai metode penelitian
sosial, padahal penelitian kriminologi melandaskan diri
pada metode penelitian sosial.
Sebagai studi mengenai kejahatan, penjahat dan reaksi
warga atas kejahatan dan penjahat, dengan bidang cakup
yang meliputi proses pembentukan hukum, pelanggaran hukum
dan penegakan hukum, maka kriminologi mempunyai banyak
pokok masalah yang menjadi sasaran penelitiannya.
Penelitian-penelitian yang berkisar pada proses pem bentukan
hukum, misalnya, menaruh perhatian utama pada asal usul atau
pertumbuhan perundang-undangan pidana, contohnya mengenai
pembentukan undang-undang tentang pencurian, gelandangan
dan sejumlah undang-undang pidana tertentu.
Macam penelitian lain dalam kriminologi seringkali
menyangkut masalah epidemiologi kejahatan. Penelitian-
penelitian ini berangkat dari konsep yang lebih luas mengenai
kriminalitas. Populasi penjahat di dalam warga bukan
hanya terdiri atas mereka yang telah tertangkap, tengah
diadili atau yang sudah dihukum saja, melainkan jauh lebih
banyak lagi. Di sini jelas diperlukan adanya gambaran yang
sesungguhnya mengenai kejahatan di dalam warga yang
dapat menjelaskan besarnya dan ciri-ciri aneka komponen
universum pelanggar hukum. Misalnya, dibutuhkan untuk
menentukan semua pelanggar hukum melalui orang-orang
yang dilaporkan kepada polisi. Sebagai tambahan, dikehendaki
untuk mengetahui apakah beberapa jenis pelanggar hukum lebih
mungkin untuk dilaporkan pada polisi dari pada pelanggar-
pelanggar hukum yang lain. Apakah variabel-variabel seperti
latar belakang kelas sosial, ciri-ciri ras dan hubungan-hubungan
pelaku dengan korban mempengaruhi diambilnya kebijakan-
kebijakan polisi tertentu.
Penelitian lain di dalam kriminologi bertujuan untuk
menemukan sebab musabab kejahatan yang seringkali
dipandang sebagai tugas utama seorang ahli kriminologi.
Tujuan utamanya yaitu untuk mengembangkan kesatuan
generalisasi-generalisasi atas proporsi yang menyangkut
kriminalitas. Sungguhpun tugas ini mempunyai banyak segi,
namun ada dua komponen utama tugas untuk memberikan
penjelasan: pengembangan penjelasan tentang jenis dan tingkat
kriminalitas yang dapat diamati dalam warga dan
penemuan proses yang tersangkut dalam penerimaan pola
kejahatan oleh individu-individu tertentu.
Melihat ruang lingkup kriminologi yang mencakup
proses pembentukan hukum, pelanggaran hukum, dan
penegakan hukum, jelas bahwa luas pokok masalah yang dapat
diteliti oleh kriminologi cukup banyak. Jenis kriminologi
dapat bergerak mulai dari persoalan sampai sejauh manakah
keputusan-keputusan pengadilan lalu lintas dapat mengurangi
pelanggaran-pelanggaran lalu lintas, atau masalah aspek-aspek
hukum visum et repertum sampai ke pandangan warga
mengenai beberapa jenis kejahatan yang sering terjadi dalam
kota tertentu, mulai dari usaha untuk mengidentifikasi kategori-
kategori permasalahan golongan miskin yang diarasakan dan
ditafsirkan sebagai permasalahan hukum sampai ke usaha
untuk memperoleh gambaran mengenai jenis-jenis kriminalitas
bedan kecenderungan-kecenderungannya.
Sebagai “administratif criminological research” penelitian-
penelitian kriminologi dapat didayagunakan untuk lebih
memperoleh pemahaman atas dasar cara berpikir yang
mengindahkan sistematika, pengontrolan, generalisasi dan
prediksi terhadap jenis-jenis kejahatan tertentu, sedang
penelitian-penelitian dasar masih terbuka luas untuk dilakukan
terutama guna pengembangan teori-teori kriminologi yang
dapat diterapkan di Indonesia di Indonesia atau pembentukan
teori-teori baru yang telah diuji dengan kenyataan-kenyataan
sosial di Indonesia.
Ada berbagai cara untuk menjabarkan metode penelitian
dalam kriminologi. Dalam hal ini yang dipakai di sini yaitu
dari Mannheim (Comparative Criminology, 1965) yang telah
melakukan survey yang sangat luas tentang penelitian-
penelitian terkenal (utama) dalam kriminologi (dan penologi)
dan metode penelitian yang dipergunakan masing-masing
penelitian ini . Atas dasar itu Mannheim membagi metode
yang dipakai dalam penelitian kriminologi menjadi metode
utama (principal methods) dan metode sekunder (secondary
method), yang terbagi lagi menjadi:
a. Metode utama : Statistikal/Tipologi/Studi masalah
individual (psikologi atau psikiatri
b. Metode sekunder : Sosiologis (berhubungan dengan
pranata, kelompok dan wilayah) atau (eksperimental /
ramalan) atau operasional (operasional research)
Menurut Mannheim, maka berdasar pengamatannya
atas penelitian-penelitian kriminologi yang berlangsung
dan dilaporkan, maka setiap penggunaan salah satu metode
sekunder harus dibarengi dengan pemakaian salah satu (atau
lebih) metode utama. Selanjutnya ia ingin menegaskan pula
bahwa dalam metode utama ini, metode tipologi berada di
antara dua metode yang berbeda yang sangat besar (ekstrem),
yaitu metode statistikal dan metode studi masalah individu. Yang
satu memfokuskan perhatiannya pada aspek massal kriminalitas
dan yang lainnya pada masalah kriminalitas individual (seringkali
pula dikaitkan dengan pendekatan kuantitatif dan pendekatan
kualitatif)
Beberapa metode penelitian lain yang belum masuk
kategori diatas, yang sebenarnya merupakan varian dari metode
statistikal dan metode sosiologis yaitu : Prediction tables, Survey
research, secondary analysis, participant observation techniques,
dan unobtrusive methods (Hagan, 1982).40
a. Prediction tables (penelitian prediksi) dilakukan untuk
menyusun table prediksi yang dapat menentukan
probabilitas suksesnya seseorang menjalani masa parole-nya
(kelepasan bersyarat) atau
b. kemungkinan seorang anak menjadi anak delinkuen.
Penelitian ini mempergunakan records masalah -masalah individual
dengan sejumlah faktor yang diambil dari arsip ini dan diolah
secara statistik. Penelitian prediksi antara lain mempergunakan
cara mempelajari perkembangan lebih lanjut kelompok-kelompok
pelanggar hukum khususnya mereka yang telah mengalami
berbagai cara pembinaan di penjara.
Penggunaan metode tipologi dalam penelitian kriminologi
sudah dimulai sejak Lombroso. Seringkali pula penelitian semacam
ini mencari hubungan antara tipe konstitusi (badan) dan faktor-
faktor laon, seperti faktor kepribadian dan faktor yang bersifat
sosio kultural. Tipologi ini sring dipergunakan sebagai dasar
penelitian misalnya tipologi Sheldon. Tetapi dipergunakan untuk
menjelaskan penemuan yang diperoleh dalam penelitian,seperti
Clinard (1957) yang membedakan antara individual criminal
pada satu pihak dan career criminal pada pihak lain. Atau Whyte
(1955) yang membedakan obyek penelitiannya antara corner boys
dan college boys. sedang Scharg (1961) dengan berdasar
teori sub-kebudayaannya mencoba membuat tipologi nara pidana
berdasar role alternative-nya sebagai : pro social, anti social,
pseude sosial dan asosial.
Metode eksperimen banyak dipergunakan dalam penelitian
ilmu kesehatan dan psikologi. Dalam kriminologi penggunaan
metode ini dapat dianggap bertentangan dengan rasa keadilan.
Namun demikian, ada dua buah proyek penelitian
besar yang sangat terkenal dalam pustaka kriminologi, yaitu:
Cambridge Somerville Youth Study (1951), dan Highfields
Experiment (1958). Pada penelitian pertama ingin diuji hipotesa
“bahwa delinkuensi anak dapat dicegah dengan cara membina
anak-anak yang telah menunjukkan kecenderungan ke arah itu,
melalui bantuan seorang pekerja sosial yang bertindak selaku
pembimbing dan teman”. sedang pada penelitian kedua
ingin diuji “apakah pidana penjara yang lama, dalam masalah -masalah
tertentu dapat diganti dengan probation (pidana bersyarat) yang
dengan dengan pidana penjara pendek dengan guided group
interaction (interaksi kelompok dengan pengarahan).
Namun, untuk melaksanakan penelitian dengan desain
eksperimental harus memenuhi kriteria sebagai berikut:41
a. ada dua atau lebih variabel independen yang
dibandingkan mana yang sungguh-sungguh memengaruhi
variabei dependen. Dari dua atau Iebih variabel independen,
ada yang dijadikan variabel eksperimental dan ada yang
Inerupakan variabel pengendali.
b. Variabel eksperimental yaitu variabel yang akan diukur
pengaruhnya terhadap variabel dependen. Variabel ini
juga disebut sebagai variabel treatment sebab variabel
ini diujicobakan (pengaruh variabel independen), sedang
variabel pengendali tidak.
c. Menetapkan anggota sampel ke dalam kelompok eksperimen
atau ke dalam kelompok pengendali harus memakai
asas pengacakan (randomisasi).
d. Setiap anggota sampel eksperimen harus mempunyai
pasangan yang sama cirinya dengan salah satu anggota
sampel pengendali (matching).
Penelitian operasional (action research) letaknya dekat dengan
penelitian eksperimen. Penelitian ini didesain agar ada
hubungan yang erat antara theoritical research dan practical action.
Dalam penelitian ini para peneliti bekerja erat dengan para praktisi.
Dalam penelitian semacam ini para peneliti tidak saja, misalnya
mempelajari hubungan broken homes dengan delinkuensi anak,
tetapi sekaligus misalnya, mendirikan perkumpulan remaja
dimana anak-anak ini dapat menjadi anggota. Sambil mempelajari
permasalahan hubungan tadi, dipelajari pula efek bimbingan dan
suasana perkumpulan ini pada kecenderungan anak untuk
tetap menjadi delinkuen.
Adapun sosiological method di sini yaitu metode yang
dipergunakan khususnya dalam sosiological criminology
untuk membedakannya dengan biological and psycological
criminolpgy, dan erat kaitannya dengan obyek studinya. Secara
garus besar obyek studi ini dapat dibedakan sehubungan dengan
permasalahanya yaitu mengenai:
a. pranata-pranata sosial, seperti kelas sosial, keluarga dsb
b. hubungan antar individu sebagai pribadi mauoun sebagai
anggoita kelomppok seperti : komunitas, sekolah, lembaga
pewargaan, organisasi masayarakat dll
c. wilayah geografi
Metode pengamatan (participant observation) termasuk
dalam metode sosiologis (metode pengamatan sangat
dianjurkan dalampenelitian yang masih angat bersifat awal atau
penjajakan). Begitu pula dengan unobstrusive method (metode
“tidak menyolok”) lainnya yaitu: penggunaan bahan dokumen
seperti: arsip,data yang telah tersaji, autobiografi, dan buku
harian. sedang survey research dan secondary analisis dapat
dikategorikan dalam metode statistikal, sebab dalam survey
banyak dipergunakan analisis statistik sedang secondary
analysis dapat dilakukan pada statistik kriminal resmi.
Survei korban kejahatan, sebagaimana makna dari kata
yang dipakai , yaitu suatu survei sosial yang bertujuan
mengetahui proporsi korban kejahatan di warga. Melalui
pengetahuan tentang proporsi korban kejahatan di warga,
maka secara langsung akan diketahui pula proporsi kejahatan di
warga. Dengan demikian, dalam survei korban kejahatan,
yang merupakan populasi penelitian yaitu populasi penduduk
dan bukan populasi korban kejahatan.
Survei pengakuan diri sering juga disebut sebagai studi
pengakuan diri. Ini yaitu salah satu bentuk dari survei yang
mencoba mencari informasi tentang proporsi tingkah laku
pelanggaran hukum yang pemah dilakukan oleh anggota
warga. Populasi dari survei ini yaitu populasi penduduk.
Namun demikian, ada juga survei pengakuan diri yang
membatasi populasinya pada populasi anak atau remaja yang
tindakan pelanggaran hukum dan penyimpangannya masih
dikategorikan sebagai kenakalan.
Pengukuran keseriusan kejahatan yaitu suatu cara untuk
menetapkan tingkat keseriusan kriminalitas pada waktu atau
tempat tertentu dengan memperhitungkan perbedaan bobot
keseriusan dari masing-masing bentuk kejahatan. Cara yang
menurut pendapat warga. Model pengukuran ini ditempuh
dengan pertimbangan bahwa masing-masing bentuk kejahatan
mempunyai bobot keseriusan yang berbeda. dilakukan yaitu
menetapkan nilai (skor) untuk masing-masing bentuk kejahatan.
Pengukuran penggentarjeraan tadi tidak diterapkan pada
individu, tetapi pada warga. Dengan demikian, pengukuran
penggentarjeraan ini harus mencerminkan pola tingkah Iaku
warga. BiIa kita memerhatikan rumusan di atas, maka hukum
dan penghukuman pada dasamya yaitu suatu eksperimen.
Pembuatan undang-undang dan para hakim yang menjatuhi
hukuman dan yang menjatuhi hukuman secara tidak sadar
berasumsi bahwa ancaman hukuman yang dicantumkannya dan
hukuman yang dijatuhkan member dampak penggentarjeraan.45
Secara umum dapat dikatakan bahwa residivisme yaitu
suatu keadaan yang menunjukkan tingkat atau pengulangan
kejahatan di warga. Pola pengulangan kejahatan ini tidak
memedulikan apakah tindakan kejahatan yang dilakukan sama
atau tidak. Dengan pengertian umum seperti ini akan sulit
dicari metode penelitian yang tepat untuk mengukur tingkat
residivisme di warga. Sebab, meneliti pola pengulangan
kejahatan yang tidak pemah diketahui oleh pranata sistem
peradilan pidana akan Sulit untuk memperoleh data yang
akurat Penggunaan metode pengakuan diri, barangkaii, dapat
dipakai . Tetapi melalui metode pengakuan diri kita hanya
akan memperoleh informasi yang amat umum, yang niiai ilmiah
dan kegunaan untuk pembuatan kebijakan juga rendah.46
Studi peramalan ini sudah banyak dilakukan dalam dunia
kriminologi, khususnya yang berhubungan dengan pembinaan
terpidana penjara, atau mammal kemungkinankemungkinan
seseorang menjadi delinkuen. Dalam kehidupan praktis
pembinaan terpidana penjara, khususnya tentang anak,
dalam proses peradilan anak diperlukan adanya penelitian
kewargaan (social assessment) untuk memperkirakan
kemungkinan masa depan tingkah laku anak. Perkiraan ini
penting bagi sistem peradilan pidana anak, susaha hakim dapat
memberikan keputusan yang tepat tentang disposisi apa yang
akan diberikan bagi anak.
Karier kriminal dalam kriminologi diteliti dalam dua
dimensi. Pertama, penelitian karier kriminal diteliti sebagai
aspek individual yang berhubungan dengan proses seseorang
menjadi kriminal (penyimpang sekunder). Dalam penelitian
karier kriminal aspek individual ini, metode penelitian yang
dipakai yaitu studi masalah individual. Dimensi kedua,
mengukur proporsi orang dalam populasi yang menjalani karier
sebagai kriminal (pelaku penyimpangan sekunder).48
Tingkah laku kolektif yaitu salah satu dari tindakan
sosiai dalam bentuk yang sama yang dilakukan oleh orang
banyak dengan kepentingan dan tujuan yang sama sebagai satu
kesatuan. Orang banyak ini dalam melakukan tindakan
yang sama tadi tidak berada dalam bentuk organisasi yang
terstruktur dan terjadinya tindakan bersama tadi secara tiba-
tiba, tidak berlangsung lama, dan dapat berubah-ubah bentuk
secara cepat.
Tingkah laku kolektif dengan demikian berbeda dari
tingkah laku individual. Dalam tingkah laku kolektifini
setiap individu yang terlibat di dalamnya sekadar merupakan
salah satu unsur dari kolektifa. Karakter dari tingkah laku kolektif
sangat berbeda dari karakter individu yang mendukungnya
dalam arti apa yang dilakukan oleh individu saat melakukan
tingkah laku kolektif tidak sama dengan karakter asli pribadinya.
Dengan kata lain, tindakan sosial yang dilakukan dalam
kerangka tingkah laku kolektif bukan merupakan pola tingkah
laku dari individu ini .
Metode feminisme yaitu multiteknik, tetapi feminisme
mengkritik positivisme yang dikatakannya sebagai metode iaki-
laki yang menekankan pada kompetisi individual, dominasi dan
pengendalian. Sebaliknya, feminisme menekankan akomodasi dan
secara bertahap menghasilkan keterikatan makhluk manusia.
Posisi paradigmatik feminisme yaitu sebagai berikut:50
a. Penelitian feminisme menekankan subjektivitas, empati,
berorientasi pada proses dan kehidupan sosial inklusif.
b. Penelitian feminisme lebih merupakan bentuk penelitian
aksi.
c. Penelitian feminis, mengkritik semua metode penelitian
yang lain sebagai bias gender, sebagai akibat bekerjanya
struktur sosial yang didominasi laki-laki.
d. PeneIitian-peneiitian selain feminisme hanya menjadikan
laki-laki sebagai sampel, tetapi digeneralisasi sebagai fakta
tentang manusia.
e. Mengabaikan pembagian sosial berbasis gender, hanya
fokus pada masalah laki-laki dengan tradisi peran laki-laki.
f. Memahami masalah perempuan, peneliti harus menyadari
realitas gender.
Satu hal yang tidak boleh lupa bahwa untuk memahami
sebuah fenomena kejahatan dan melakukan penelitian dalam
bidang kriminologi, memerlukan pengungkapan atas:51
1. Akar yang lebih luas dari kejajahatan. Kejahatan dijelaskan
dengan melihat kondisi-kondisi struktural yang ada
dalam warga dan menempatkannya dalam konteks
ketidakmerataan dan ketidakadilan dan kaitannya dengan
perubahan-perubahan ekonomi dan politik dalam warga
2. Faktor-faktor pencetus langsung dari kejahatan, sebagai
akibat tanggapan, reaksi dan perwujudan tuntutan-tuntutan
struktural dan secara sadar kejahatan dipilih sebagai cara
pemecahan masalah-masalah eksistensial dalam warga
yang penuh kontradiksi
3. Dinamika sosial yang melatarbelakangi tindakan-tindakan
yakni hubungan antara keyakinan dengan tindakan
4. Reaksi sosial yang dilakukan oleh orang-orang lain, kelompok-
kelompok atau alat-alat pengendalian sosial terhadap kejahatan
dengan melihat bentuk, sifat dan luasnya reaksi sosial
5. Akar yang lebih luas dari pada reaksi sosial, oleh sebab pada
dasarnya reaksi sosial bersumber pada prakarsa-prakarsa
politis yang terikat pada struktur ekonomi dan politik
6. Reakasi pelaku atas penolakan atau stigmatisasi terhadapnya,
apakah reaksi itu dihayati atau ditolak, menyerahkan atau
tidak dalam hubungannya dengan akibat reaksi sosial atas
tindakan-tindakan selanjutnya pelaku kejahatan.
Menurut Ian Taylor dan kawan-kawannya, arah dan
persistensi kejahatan harus secara konstan dikaji dalam ruang
lingkup analisa teoritik ini diatas, seraya secara dialektis
dijelaskan satu sama lain.52
Selain metodologi yang dipakai , ada hal yang tak
kalah pentingnya yaitu Etika dalam penelitian kriminologi.
Menurut Hagan perilaku etis dalam penelitian yaitu tanggung
jawab moral yang terikat pada penilaian moral mendalam;
kepatuhan membuta pada daftar periksa (checklist) akan terlalu
menyederhanakan sebuah keputusan yang sangat kompleks.
Mulai tahun 1998 Akademi Ilmu Peradilan Pidana maupun
Perhimpunan Kriminologi Amerika mulai menyusun kode etik
dan kemudian mengadopsinya, diantaranya yaitu :
a. Peneliti harus mengusahakan standar teknis tertinggi dalam
penelitian
b. Mengerti keterbatasan penelitian
c. Melaporkan seluruh temuan
d. Menyampaikan dukungan keuangan dan sponsor lainnya
e. Menghormati komitmen
f. Menjadikan data tersedia bagi peneliti lain di masa depan
g. Tidak menyelahgunakan posisi sebagai dalih tidak jujur
untuk mengumpulkan informasi intelijen
h. Orang yang menjadi subyek penelitian berhak mendapat
penjelasan penuh tujuan penelitian
i. Subyek berhak atas kerahasiaan. Ini mewajibkan peneliti
untuk melindungi identitas subyek penelitiannya
j. Penelitian tidak boleh menghadapkan subyek melebihi
risiko minimal, jika risiko lebih besar dari risiko dalam
kehidupan sehari-hari diperlukan persetujuan untuk itu
k. Menghindari pelanggaran privasi dan melindungi populasi
yang rentan
l. Penelitian harus memenuhi persyaratan perlindungan
subyek manusia yang diberlakukan oleh lembaga-lembaga
pendidikan dan penyandang dana
m. Para peneliti harus mengakui dengan semestinya kerja-kerja
pihak lain
n. Kriminolog berkewajiban menjaga tidak timbulnya
ketidakadilan sosial seperti diskriminasi, penindasan atau
pelecehan dalam pekerjaan mereka
Salah satu persoalan etika yang ada di dalam penelitian
sosial yaitu Stanford Prison Experiment atau Eksperimen
Penjara Stanford yang dilakukan oleh Philip Zimbardo pada
tahun 1972, 1973 dan 1974. Kisah nyatanya ini diangkat
ke dalam sebuah film yang berjudul sama dengan nama
eksperimennya, dimana Philip Zimbardo sebagai professor di
bidang psikologi ingin mengetahui bagaimana efek kekuasaan
(power) yang dimiliki oleh petugas penjara atau sipir kepada
para narapidana. Dia mengiklankan lowongan ini di koran
dan sejumlah pemuda laki-laki bersedia ikut dalam eksperimen
ini dengan kontrak sejumlah uang per harinya. Mereka
disuruh memilih peran yang akan dimainkan, menjadi sipir
atau tahanan.
Di waktu yang sudah ditentukan bersama, mereka
dikondisikan seolah-olah telah melakukan perbuatan jahat atau
kriminal kemudian dijadikan tersangka oleh polisi. Beberapa
dari mereka bahkan ditangkap oleh polisi didepan anggota
keluarganya. Eksperimen ini berlokasi di sebuah lorong
di Universitas Stanford yang situasi ruangannya betul-betul
dibentuk semirip mungkin dengan penjara, lengkap dengan
peralatan dan makanan yang sering diberikan di penjara.
Penelitian ini menjadi bermasalah saat kondisi
psikologis dari subyek eksperimen yang menjadi tahanan merasa
dipermalukan, direndahkan sehingga muncul depresi dan
membuat para subyek ketakutan seakan-akan mereka benar-
benar bersalah. Hal ini menjadikan beberapa psikolog
yang lain menilai bahwa percobaan ini berlebihan.
Para subyek yang menjadi sipir atau petugas penjara
memberikan testimoni setelah dilakukannya percobaan ini ,
mereka tidak menyangka dengan role play yang demikian bisa
membuat perilaku mereka berubah drastis, semenjak itu subyek
menjadi sadar dengan kekuatan kekuasaan.
II ALIRAN/MADZHAB YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN KRIMINOLOGI
Awal mula perkembangan kriminologi tidak dapat disangkal
yaitu berasal dari penelitian C. Lombroso (1876). Bahkan
menurut Pompe (dikutip dari Saleh, Roeslan: 1983), Lombroso
dipandang sebagi salah satu tokoh revolusi dalam sejarah hukum
pidana, di samping Cesare Beccaria (1764). Namun ada pendapat
lain yang mengemukakan bahwa penelitian ilmiah tentang
kejahatan justru bukan dari Lombroso melainkan dari Adolpe
Quetelet (1874), seorang Belgia yang memiliki keahlian dalam
bidang matematika. Bahkan darinyalah berasal “statistik kriminil”
yang kini dipergunakan terutama oleh pihak kepolisian di semua
negara dalam memberikan deskripsi tentang perkembangan
kejahatan.54 Banyak dari kriminolog awal yang banyak berprofesi
sebagai pengacara, doctor, filosof atau sosiolog yang memiliki
ketertarikan untuk memperbarui hukum pidana.
Hasil penyelidikan pionir-pionir kriminologi di atas
sesungguh nya dapat dikembalikan kepada pengaruh besar dari
aliran-aliran yang berkembang pada abad 18 dan 19 (Williams III
& Mcshane, 1988).
Aliran-aliran yang sering dikenal sebagai “schools” dalam
kriminologi menunjuk kepada proses perkembangan pemikiran
dasar dan konsep-konsep tentang kejahatan dan pelakunya.
Secara garis besar pemikir-pemikir kriminologi menurut Vold
dan Bernard (1979) terbagi menjadi tiga yaitu madzhab klasik,
madzhab positivis dan madzhab kritikal (critical criminology)
54 Romli Kartasasmita, Op. Cit. hal. 1
34 Kriminologi: Sebuah Pengantar34 Kriminologi: Sebuah Pengantar
Aliran/Madzhab yang......
A. Madzhab Klasik
Pelopornya : Cesare Bonesana, Marchese de Beccaria
(1738-1794), yang kemudian pemikirannya dimodifikasi oleh
madzhab neo-klasik melalui kode penal Prancis 181955.
a. Madzhab ini berkeyakinan bahwa perilaku manusia
ditentukan sebagian oleh faktor-faktor biologis, tetapi
sebagian besar merupakan pencerminan karakteristik dunia
sosial kultural di mana manusia hidup.
b. Pemidanaan sebagai cara untuk menanggulangi kejahatan
(control of crime) dapat dibenarkan ( merupakan
pembenaran pula untuk hukum pidana dan sistem peradilan
pidana yang berlaku di dunia saat ini).
Selain itu, mazhab ini juga mengajarkan mengenai hal-hal
berikut ini :
1. Perihal Asal Mula Hukuman
Hukuman hanya dapat dilakukan oleh Negara yang
didasari oleh adanya motif untuk mencegah tiap individu
kembali pada perangainya yang saling menjatuhkan satu
sama lain. Dalam hal ini, apa yang menjadi dasar hukuman
yaitu merupakan hukum yang mana pada hakikatnya
merupakan serangkaian kebebasan yang dikorbankan
oleh setiap individu dalam warga untuk mencapai
kedamaian.
2. Perihal hak untuk Menghukum
Hak untuk menghukum didasari dari pendapat
Monntesquieu yang menyatakan bahwa setiap tindakan
manusia kepada manusia lainnya tanpa kebutuhan
mendesak yaitu lalim. Dari cara pandang ini dapat ditarik
simpulan bahwa kebutuhan untuk menciptakan manusia
yang bebas dari kebiadaban yaitu sangat mendesak, dari
situlah muncul hak untuk menghukum ini.
3. Akibat Prinsip yang tadi disebutkan
sebab hukum merupakan ciptaan warga, maka
individu dalam warga akan terikat pada hukum
dalam warga ini begitu pula sebaliknya.
Pengkhianatan dari hukum ciptaan warga itu yaitu
asal mula munculnya potensi anarkis. saat hal itu terjadi,
baik Negara melalui pemerintah walaupun memiliki hak
utamanya untuk menjadi perwakilan dalam membuat
hukum dalam warga ini , tapi toh mereka tetap
tidak dimungkinkan untuk melakukan penilaian untuk
menilai apakah suatu individu dalam warga melakukan
pelanggaran atau tidak, sebab pada dasarnya para penguasa
ini juga merupakan individu yang merupakan bagian dari
warga itu pulalah. Pada titik inilah, maka hakim
dibutuhkan sebagai pihak ketiga yang akan memberikan
penilaian terhadap fakta yang bisa berupa penyangkalan
atau penegasan tentang adanya pelanggaran ini .
4. Perihal penafsiran hukum
Dalam konsep pidana, hakikatnya hakim tidak
diperkenankan untuk melakukan penafsiran hukum. Hal
ini dipicu sebab hakim bukanlah pembuat undang-
undang. Apa yang diperkenankan untuk dilakukan oleh
hakim yaitu penalaran terhadap suatu produk undang-
undang. Dalam hal ini tidak dapat dipungkiri akan
ditemukan beberapa hal kesalahan dalam undang-undang
yang mewajibakan pembuat undang-undang untuk
melakukan revisi terhadapnya. Namun, hal ini hanya
dianggap sebagai gangguan biasa. Sebenarnya yang paling
berbahaya yaitu menafsirkan hukum untuk kepentingan
kekuasaan penguasa.
5. Perihal ketidakjelasan hukum60
Ketidakjelasan hukum yaitu kejahatan yang tidak
kalah dibanding dengan penafsiran hukum yang salah.
Dalam hal ini untuk menghindari hal ini diperlukan
keberadaan hukum tertulis. Pada intinya agar menjadi
pedoman warga untuk memahami hukum itu sendiri.
6. Perihal Proporsi dan hukuman61
Hukuman harus diberikan dengan proporsi yang pas.
Hukuman yang sama pada suatu perbuatan yang berbeda
tingkat kejahatannya akan mengakibatkan terdorongnya
individu untuk melakukan kejahatan yang lebih berat
sebab keuntungan dalam melakukan kejahatan yang lebih
berat biasanya juga berat (besar).
7. Perihal memperkirakan tingkat kejahatan62
Tingkat kejahatan pada hakikatnya diukur berdasar
tingkat cedera yang dialami oleh warga. Dalam hal
ini diperlukan suatu hukum pidana untuk setiap kejahatan
sebagai tolak ukurnya. Hal ini dilakukan untuk mencegah
adanya kesewenangan pendapat liar warga yang akan
memberikan penilaian baik dan buruk tidak berdasar
suatu apapun melainkan diri mereka sendiri.
8. Perihal Divisi Hukuman63
ada tiga kelas dalam kejahatan yaitu kejahatan
dengan sesaat bersifat destruktif terhadap warga
dan wakilnya, kejahatan menyerang keamanan pribadi dari
kehidupan, property dan kehormatan individu, dan yang
terakhir kejahatan yang berhubungan dengan tindakan-
tindakan melawan hukum yang berhubungan dengan
kebaikan umum warga.
9. Perihal kehormatan64
Kehormatan pada dasarnya muncul setelah warga
terbentuk. Beberapa kelompok memakai kehormatan
sebagai dalih desain ambisiusnya, atau sebagai kesaksian
atas kebaikan orang-orang sombong, atau memang hak dari
orang-orang jujur. Pada dasarnya kehormatan toh hanya
berada pada Negara-negara yang tidak lalim. sedang
sebaliknya, kehormatan manusia dibeberapa Negara yang
lalim dianggap tidak ada.
10. Perihal berduel
Berduel di inisiasi pada zaman dahulu oleh orang-
orang yang membutuhkan penghargaan besar dari orang
lain. Dalam perkembangannya, pelanggaran dalam kaidah
ini langsung dijatuhkan melalui hukuman mati. Beberapa
orang kemudian mengubahnya menjadi hukuman isolasi
yang tujuannya menajdikan objek abadi yang hina.
11. Perihal kejahatan yang mengganggu kedamaian Publik66
Kejahatan yang menggnggu kedamaian public dan
ketenangan warga Negara seperti huru hara dan kerusuhan di
jalan-jalan publik yang dimaksudkan untuk perniagaan dan
jalan para penduduk wacana fanatik yang membangkitkan
hasrat orang banyak yang ingin tahu dan mendapatkan
kekuatan dari jumlah pendengar mereka yang antusias
mendengarnya tanpa alas an apapun.
12. Perihal Maksud Hukuman
Tujuan hukuman yaitu mencegah penjahat
mencederai lebih lanjut warga dan mencegah orang
lain melakukan perbuatan yang sama. Pada pokoknya
hukuman itu diciptakan bukan untuk menyiksa, namun
menjadikan suatu pengaruh pribadi dalam setiap individu
untuk mencegahnya melakukan kejahatan.
13. Perihal Kredibilitas Saksi
Pada dasarnya setiap saksi yaitu sama dan harus
didengarkan di depan hukum. Selama saksi itu berkal
sehat yang mampu menyusun pemikirannya dan memiliki
perasaan-perasaan yang sama dengan orang lain. Namun,
penilaian terhadap kredibilitas bukan terfokus pada saksinya
melainakan terhadap inti dari kesaksian yang diberikan.
Bahwa tingkat penghukuman harus disesuaikan dengan
tindak kejahatan yang dilakukan oleh individu. Penyesuaian
itu juga meliputi keadaan warga, yang mana jika
ditempatkan pada warga yang biadab yanga rtinya
memiliki potensi jahat baik secara kuantitas maupun kualitas
lebih tinggi maka tingkat penghukumannya haruslah lebih
kuat untuk menjaga kedamaian dalam warga ini ,
Rekan Beccaria dari Inggris, yaitu Jeremy Bentham meminjam
pemikiran Beccaria bahwa undang-undang harus menyediakan
“kemaslahatan terbesar bagi sebanyak-banyak manusia”. Bentham
juga disebut sebagai penganjur “ hedonism utilitarian” atau
“kalkulus kebahagiaan” atau “Farmasi pidana”. Utilitarianisme
yaitu sebuah pandangan filsafat praktis yang menyatakan bahwa
“kita harus sealalu bertindak untuk menghasilkan rasio sebesar
mungkin kebaikan dibanding keburukan bagi siapa saha yang
berkepentingan” (Hagan, 1996).70
Romli Kartasasmita menyimpulkan bahwa pemikiran
aliran klasik yaitu sebagai berikut:
a) Individu dilahirkan dengan kehendak bebas (free will) untuk
menentukan pilihannya sendiri
b) Individu memiliki hak asasi diantaranya hak untuk hidup,
hak kebebesan dan hak memiliki kekayaan
c) Pemerintah negara dibentuk untuk melindungi hak-hak
ini dan muncul sebagai hasil perjanjian sosial antara
yang diperintah dan yang memerintah
d) Setiap warga negara hanya menyerahkan sebagian dari hak
asasinya kepada negara sepanjang diperlukan oleh negara
untuk mengatur warga dan demi kepentingan sebagian
terbesar dari warga
e) Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap perjanjian sosial,
oleh sebab itu kejahatan merupakan kejahatan moral
f) Hukuman hanya dibenarkan selama hukuman itu ditujukan
untuk memelihara perjanjian sosial. Oleh sebab itu tujuan
hukuman yaitu untuk mencegah kejahatan di kemudian hari
g) Setiap orang dianggap sama di muka hukum, oleh sebab itu
seharusnya setiap orang diperlakukan sama.
Contoh pemikiran lainnya pada mazhab klasik yaitu
kutipan dari Virginia Bill of Rights, yang diadopsi pada 12 Juni
1776:72
Bagian 1. That all men are by nature equally free and
independent, and have vertain inherent eights, of which, when
they enter into a state of society, they cannot, by any compact
deprive or divest their posterity; namely, the enjoyment of
life and liberty, with the means of acquiring and possessing
property, and pursuing and obtaining happiness and safety.
Bagian 2. That all power is vested in, and consequently
derived from, the people; that magistrates are their trustees
and servants…
Bagian 3. That government is, or ought to be, instituted for
the common benefit, protection, and security of the people,
nation or community; of al the various modes and forms of
government, that is best which is capable of producing the
greatest degree of happiness and safety
Bagian 4. That no man, or set of men, are entitled to exclusive
or separate emoluments or privileges from the community
Bagian 8. That in all capital or criminal prosecutions a man hath
a right to demand the cause and nature of his accusation, to be
confronted with the accusers and witnesses, to call for evidence
in hisa favor , and to a speedy trial by an impartial jury of twelve
men of his vicinage, without whose unanimous consent he
cannot be found guilty; nor can he be compelled to give evidence
against himself; that no man be deprived if his liberty, except by
the law of the land or the judgement of his peers.
Kritik yang ditujukan terhadap mazhab ini yaitu tertuju
pada teori yang diciptakan Beccaria, terutama pada pernyataan
bahwa hukum tidak boleh menerapkan pidana kecuali yang
jelas mutlak dibutuhkan; dan tidak seorang pun boleh dihukum
kecuali dengan undang-undang yang disahkan sebelum delik
dilakukan, dan diberlakukan sesuai ketentuan hukum yang
sah. Pernyataan ini kita ketahui pula menjadi asas dasar yang
dipelajari dan diterapkan dalam hukum pidana Indonesia,
Beberapa analis mutahki mengemukakan bahwa pentingnya
karya Beccaria mungkin dibesar-besarkan dan sesungguhnya
dia kurang penting dibanding para reformis sosial lain abad
kedelapan belas seperti Voltaire dan Bentham.
Beirne menyatakan risalah terkenal Beccaria Tentang
Kejahatan dan Hukuman yaitu aplikasi kebijakan kejahatan,
buka rasionalitas dan humanism, melainkan “ilmu manusia”
yang diilhami Skotlandia, yang menekankan utilitarianisme
dan determinisme. Dia beranggapan bahwa Beccaria bukanlah
pengusung kehendak bebas seperti yang disangka orang dan
tulisan-tulisannya menunjukkan banyak sekali determinisme.74
B. Mazhab Positivisme
Pelopor teori ini yaitu Cesare Lombroso (1835-1909),
yang dianggap sebagai awal pemikiran ilmiah kriminologi
tentang sebab musabab kejahatan (crime causation).75
a) Madzhab ini menentang pendapat madzhab klasik / neo
klasik yang melihat manusia itu sebagai makhluk mempunyai
kebebasan memilih perilaku (free will) dan selalu bersikap
rasional dan hedonistik. Dengan pendekatan semacam
ini ‘kausa kejahatan’ ( dalam arti luas ) dilihat sebagai
tidak berimbangnya “cost” (hukuman) dan “benefit” (hasil
kejahatan). Ketidak seimbangan ini perlu diperbaiki melalui
sistem peradilan pidana (termasuk sistem pemidanaan)
yang akan dapat mengurangi kejahatan. Caranya antara lain
melalui studi tentang efektivitas hukum pidana (termasuk
efektivitas kerja penegak hukum dan beratnya pidana yang
diancamkan dan dijatuhkan).
b) Penanggulangan kejahatan tidak dapat dilakukan
melalui penjatuhan pidana saja. Menurut madzhab ini,
penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan
menyelesaikan kausa (sebab) terlebih dahulu.
Aliran positivisme dalam kriminologi dalam hubungannya
dengan perspektif konsensus menyatakan bahwa studi
kriminologi sebagian besar harus ditujukan pada usaha untuk
mengerti atau menghayati keunikan pelaku kejahatan.
Dasar-dasar pemikiran paradigma positivist dapat diung-
kap kan sebagai berikut:
1. Tingkah laku manusia yaitu merupakan hasil dari hukum
hubungan sebab dan akibat. Tingkah laku manusia dibentuk
oleh hubungan di maksud dan sebabnya secara relatif dapat
diprediksi, sekalipun hubungan ini dapat dimengerti.
2. Hubungan sebab-akibat ini di atas dapat diketahui
melalui metoda-metoda ilmiah yang sama dipergunakan
untuk mengetahui atau memahami lingkungan alam dan
fisik. Metode ilmiah ini menitikberatkan pada kejahatan
sebagai obyek yang relatif tetap, memperhatikan data yang
obyektif dan kuantitatif, dan dianggap “bebas-nilai”.
3. Pelaku kejahatan mewakili seperangkat hubungan sebab
akibat yang unik. Tingkah laku pelaku kejahatan secara
obyektif berbeda dengan tingkah laku non-kriminal dan
sebabnya harus mewakili suatu perangkat hubungan
sebab-akibat yang berbeda.
4. Sekali hubungan sebab-akibat yang membentuk tingkah
laku pelaku kejahatan dapat diketahui, tingkah laku kriminal
dapat diprediksi dan diawasi dan pelaku kejahatan ini
dapat diubah.
5. Masalah-masalah sosial, seperti kejahatan dapat diatasi
dengan melakukan studi secara sistematis mengenai tingkah
laku manusia
6. Tingkah laku kriminal yaitu hasil dari kondisi abnormalitas.
Abnormalitas ini mungkin terletak terletak pada diri individu
atau juga pada lingkungannya
7. Tanda-tanda abnormalitas ini dapat dibandingkan
dengan tanda-tanda yang normal
8. Abnormalitas ini dapat diperbaiki dan sebabnya
penjahat dapat diperbaiki
9. “Treatment” lebih menguntungkan bagi penyembuhan
penjahat; sehingga tujuan dari sanksi bukanlah menghukum
melainkan memperlakukan atau membina pelaku kejahatan.77
Aliran positif yang dipelopori oleh para ilmuwan lebih
mengutamakan keunggulan ilmu pengetahuan yang berkembang
dari kenyataan hidup dalam warga. Para ilmuwan ini tidak
cukup puas hanya dengan berpikir untuk menigkatkan dan
memodernisasi peradaban masayarakat, melainkan mereka
lebih banyak berkeinginan untuk menjelaskan semua gejala
kehidupan yang terjadi di warga.
Aliran ini mengakui bahwa manusia dengan akalnya
dengan kehendak bebas untuk menentukan pilihannya,
tetapi aliran ini berpendapat bahwa kehendak mereka itu
tidak terlepas dari faktor lingkungannya. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa aliran ini berpegang teguh kepada keyakinan;
kehidupan seseorang dikuasai oleh hukum sebab-akibat (cause
effect relationship).
Selanjutnya, Positivism mean an approach that studies
human behavior through the use of the traditional scientific
method. The focus is on systematic observation and the
accumulation of evidence and objective fact within a
deductive framework. Positivists, then, may study behavior
from biological. A pshycological, or a sociological perspective.
The point is not the perspective from which the study is done,
but the assumptions that underlie the methodology for going
the study.78 (positivism berarti pendekatan yang mempelajari
perilaku manusia memakai metode ilmiah tradisional.
Fokusnya yaitu penelitian sistematis dan akumulasi bukti
dan fakta yang obyektif di dalam kerangka kerja deduktif.
Positivistic, kemudian dimungkinkan mempelajari perilaku
secara biologis. Sebuah pandangan psikologis atau sosiologis.
Poinnya yaitu bukan pendapat dari studi mana yang
telah dilaksanakan, tetapi asumsi yang berada di bawah
metodologi untuk melaksanakan studi.).
jika dibandingkan, konsep-konsep berpikir dari
kedua aliran ini diatas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
a) Aliran klasik tidak dapat menjelaskan mengapa seseorang
melakukan kejahatan,sedang aliran positif justru
sebaliknya. Aliran klasik lebih banyak mempersoalkan
aturan yang seharusnya diberlakukan untuk memelihara
ketertiban dalam warga. sedang aliran positif
lebih menekankan kepada usaha yang bersifat ilmiah untuk
tujuan memelihara ketertiban melalui studi dan penelitian
tentang tingkah laku manusia.
b) Aliran klasik cenderung untuk menempatkan pidana
sebagai satu-satunya jalan keluar mengatasi pelanggaran-
pelanggaran terhadap apa yang telah disepakati warga
(perjanjian sosial). sedang aliran positif justru tidak
menghendaki cara ini diatas, oleh sebab aliran ini
berpendapat setiap pelanggaran terhadap perjanjian sosial
justru harus ditanggapi sebagai sesuatu yang abnormal
sehingga tanggung jawab atas pelanggaran ini bukan
sepenuhnya berada pada si pelanggar, tapi juga pada
warga secara keseluruhan. Dengan demikian aliran
positif menghendaki agar jalan keluar mengatasi terjadinya
pelanggaran yaitu bukan untuk membalas melainkan
untuk mencegah (seandainya tidak ada cara lain) terjadinya
pelanggaran di kemudian hari
c) Bila diperhatikan dengan seksama landasan pemikiran kedua
aliran ini, nampak bahwa konsep-konsep aliran klasik lebih
relevan dengan perkembangan hukum pidana, sedang
konsep-konsep aliran positif relevan bagi perkembangan
studi kejahatan (kriminologi)
Aliran klasik menerima sepenuhnya definisi kejahatan
dari segi hukum, sedang aliran positif menolak dan
menerima definisi kejahatan dari segi psikologi.
C. Mazhab Kritik
Madzhab ini dimulai dengan masuknya perspektif
interaksionis, misalnya oleh Howard S. Becker dengan “labeling
approach to crime” (1963) dan yang kemudian mengembangkan
pendekatan “sosiology of conflict” misalnya oleh Richard
Quinney (1970) dan William J Chambliss & Robert B.
Seidman (1971)80.
a) Tidak penting apakah manusia itu bebas memilih
perilakunya (madzhab klasik) ataukah manusia itu terikat
pada faktor-faktor biologis (fisik), sosial dan kultural.
Pendekatan madzhab ini ditujukan pada proses-proses sosial
yang mendasari dan membentuk dunia di mana manusia
ini hidup. Menurut mereka jumlah kejahatan yang terjadi
maupun karakteristik para pelaku kejahatannya ditentukan
terutama oleh bagaimana hukum pidana itu dirumuskan
dan dilaksanakan (pelaksanaan penegakan hukum).
b) Penanggulangan kejahatan bukan dilakukan melalui
penegakan hukum yang lebih efektif (madzhab klasik),
bukan pula dengan menetralisasi kausa yang diketemukan
melalui penelitian ilmiah (madzhab positivis), tetapi
penanggulangan kejahatan itu dapat dilakukan melalui
warga yang lebih demokratis (mengurangi proses
konflik kausa yang tidak wajar dan mengurangi proses
diskriminasi terhadap mereka yang kurang-kuasa) dan
dengan pendekatan yang lebih manusiawi pada pelanggar
hukum pemula “mengurangi labeling yang menimbulkan
krisis jati diri dan “secondary deviance”)
c) Pendekatan ini melengkapi pendekatan madzhab positivis
(sepanjang madzhab positivis mencoba menjelaskan
tentang “primary deviance”). Pendekatan interaksionis
mencoba memahami arti dari peristiwa kejahatan itu:
bagi alat penegak hukum (criminal justice personel), bagi
warga pada umumnya dan bagi kelompok-kelompok
tertentu dalam warga ini . Pemahaman yang
diperoleh ini akan memungkinkan kita menjelaskan reaksi
sosial terhadap peristiwa kejahatan ini . Reaksi sosial
dapat berupa yang diberikan oleh badan-badan resmi
(badan penegakan hukum), maupun yang diberikan oleh
kelompok-kelompok tertentu dalam warga.
a. Antropologi kejahatan (criminal anthropology) yang
merupakan pengetahuan mengenai ciri-ciri fisik penjahat.
Sebagai contoh yaitu studi Lombroso tentang L’uorno’
Delinquents yang di zaman Nazi disalahgunakan untuk
menghubungkan ciri-ciri rasial dengan kriminalitas.
Selanjutnya, berkat pengaruh antropologi eksistaneisal,
antropologi kriminal, kemudian dipelajari dalam suatu
pengertian filosofis.
b. Psikologi kriminal yang mempelajari gejala kejiwaan
penjahat dan Iingkungannya, sebab—sebab gejala itu
dan apa arti hukuman dan pembinaan pelanggar hukum
terhadap mereka. Psikologi kriminal juga meliputi deskripsi
karir individu penjahat, mencari kondisi-kondisi yang
membuat orang itu melakukan kejahatan, menemukan
metode-metode untuk mempengaruhinya. Di samping itu
dipelajari pula gejala kejiwaan dari mereka yang melakukan
reaksi sosial terhaclap kejahatan.
c. Psikiatri kriminal mempelajari penjahat yang perkembangan
jiwanya terganggu, cacat atau tidak sehat. Bidang ini
mencakup studi mengenai psikosa,-neurosa dan psikopathi.
Psikiatri kriminal dibagi menjadi dua bagian yakni:
1. psikopathologi yang mempelajari segala gangguan jiwa,
dan
2. psikiatri klinis yang melakukan diagnosa dan
pengobatan terhadap gangguan jiwa;
d. Sosiologi kriminal mempelajari pengaruh warga
terhadap - kejahatan dan penjahat dan hubungan antara
reaksi Hukum Pidana dan warga.
81 Soerjono Soekanto, Henkie Liklikuwata, Mulyana W. Kusumah.
Kriminologi Suatu Pengantar. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1986.
Sementara itu mengenai “allied sciences” yang dikemukakan
dalam diagram, Hoefnagels memberi penjelasan secara ringkas
sebagai berikut:
a. Viktimologi yakni studi mengenai korban kejahatan dan
korban penghukuman.
b. Penologi mengembangkan teori umum tentang hukuman
dan akibatnya;
c. Teori umum peradilan pidana yang masih dalam’ tahap
awal perkembangannya melalui pendekatan sebagai studi
mengenai hukum acara pidana, melalui pendekatan ilmu
pengetahuan alam sebagai studi kriminalistik, dari melalui
pendekatan ilmu pengetahuan sosial yang meliputi studi
tujuan sosial pemidanaan, pameran dannya, fungsi dan
peranannya guna lebih jauh menyusun metode penanganan
masalah -masalah kejahatan,
d. Teori pekerjaan sosial yang merupakan pengetahuan terapan
untuk memberikan pertolongan pada individu-individu atau
kelompok-kelompok dalam suatu cara yang secara metodis
dibenarkan- Metode pekerjaan sosial antara lain:
1. “social casework” yakni cara untuk membantu individu
dengan melakukan diskusi-diskusi;
2. metode kerja kelompok dengan melakukan usaha agar
individu memperoleh manfaat optimal dari interaksi
kelompok;
3. ”Community Organization” yang direncanakan untuk
menyelenggarakan kesejahteraan warga dalam
daerah atau warga tertentu (merangsang kegiatan
swakarsa dan swadaya warga).
e. Jurnalisme yang khusus befkaitan dengan kejahatan dan
penghukuman.
Gambaran ini dikemukakan untuk menunjukkan
rumusan kriminologi yang diperluas, yakni sebagai suatu ilmu
pengetahuan empiris yang untuk sebagian dihubungkan dengan
norma hukum, yang mempelajari kejahatan dan proses-proses
dan informal dari kriminalisasi dan dekriminalisasi, situasi
kejahatan penjahat warga, sebab-sebab dan hubungan di
antara sebab-sebab kejahatan, dan reaksi-reaksi dan respons-
respons resmi dan tidak resmi terhadap penjahat dan warga
oleh pihak lain di luar penjahat.82
Adapun W.A. Bonger membagi mazhab-mazhab dalam
kriminologi sebagai berikut:
1. Mazhab Italia atau Mazhab Antropologi
Tokohnya yaitu C. Lombroso yang pada pokoknya
mengemukakan bahwa para penjahat dipandang dari sudut
antropologi mempunyai tanda-tanda tertentu. Tengkoraknya
mempunyai kelainan-kelainan. Roman muka juga lain daripada
orang biasa, tulang dahi melengkung kc belakang. Pokoknya
penjahat dipandang sebagai suatu jenis manusia tersendiri.
Lombroso juga mengemukakan hipotesa atavisme,
yakni bahwa seorang penjahat merupakan Suatu gejala
atavistis, artinya bahwa ia dengan sekonyong-konyong
mendapat kembali sifat-sifat yang sudah tidak dimiliki oleh
nenek moyangnya yang terdekat, tetapi nenek moyangnya
yang lebih jauh. Perri, seorang murid Lombroso, lebih
mengembangkan lagi teori ini. Dikatakannya bahwa rumus
timbulnya kejahatan yaitu hasil dari keadaan fisik, individu
dan sosial. Pada suatu waktu unsur individulah yang tetap
paling penting. ”Keadaan sosial memberi bentuk pada tetapi
ini berasal dari bakatnya yang biologis, anti sosial (organis
clan psikis)”.
2. Mazhab Prancis atau Mazhab Lingkungan
Mazhab ini pada dasarnya merupakan pengembangan
dari ajaran Ferri yakni bahwa tiap kejahatan yaitu hasil
dan unsur-unsur yang ada dalam individu, warga
dan keadaan fisik.
Mazhab Prancis atau Mazhab Lingkungan Tokoh
terkemukanya yaitu A. Lacassagne (1843 — 1924) dengan
ajarannya yang berkata bahwakeadaan sosial sekeliling
adaIah pembenihan untuk kejahatan. Gabriel Tarde, tokoh
penting lain ajaran ini, mengemukakan bahwa kejahatan
sebagai gejala sosiologis dikuasai oleh peniruan atau imitasi.
Dikatakannya bahwa semua perbuatan penting dalam
kehidupan sosial dilakukan di bawah kekuasaan contoh
(dalam suatu pemerintahan, jika salah satu orang yang paling
berpengaruh melakukan korupsi maka ini akan dijadikan
contoh bagi seluruh karyawan pemerintahan lainnya sebab
ada contoh yang dibiarkan tumbuh di sekitar lingkungannya
tanpa ada filter baik dan buruk.)
Pada bagian-bagian Iain buku ini dikupas pula beberapa
perkembangan pemikiran dalam Kriminologi, perspektif
dan paradigma. Di dalam Kriminologi dan arus pemikiran
mutakhir dalam Kriminologi terutama sejak tahun 1960-an.
3. Mazhab Spiritualis
M. De Baets mengajarkan bahwa makin meluasnya,
juga pada Iapisan pengasingan diri terhadap Tuhan dan
pandangan hidup dan pandangan dunia yang berdasar
pandangan ini, yang sama sekali kosong dalam hal
dorongan-dorongan moral, yaitu merupakan dasar yang
hitam di mana kebusukan dan kejahatan berkembang
dengan subur.
Mazhab positivistic
4. Aliran Chicago (Chicago School)
Di dalam aliran Chicago, dijelaskan bahwa :
Human are social creatures, and their behavior is a product of
their social environment, Social environments provide cultural
values and definitions that govern the behavior of those who
live within them, Urbanization and industrialization have
created communities that have a variety of competing cultures,
thus breaking down older and more cohesive pattern of values.
This breakdown, or disorganization, of urban life has resulted
in the basic institutions of family, friendship group, and social
group becoming more impersonal. As the values provided
by these institutions become fragmented, several opposing
definitions about proper behavior arise and come into conflict.
Continued disorganization makes the potential for conflict
even more likely. Deviant or criminal behavior generally
occurs when behaves according to definitions that conflict with
those of dominant culture. Social disorganization and social
pathology are most prevalent in the centre city area, decresing
with distance from that area. Crime and delinquency are
transmitted by frequent contact with criminal traditions that
have developed over time in disorganized areas of the city.84
Manusia yaitu makhluk soSial dan perilakunya yaitu
hasil dari lingkungan sosial mereka, Lingkungan sosial
menyediakan nilai-nilai budaya dan artinya yang mengatur
perilaku bagi siapa saja yang hidup dengan mereka , Urbanisasi
dan industrialisasi telah menciptakan banyak komunitas yang
memiliki beragam kultur kompetisi yang beragam, sehingga
memiliki kerusakan menjadi lebih tua dan nilai dari pola yang
lebih menyatu, Kerusakan atau disorganisasi dari kehidupan
urban telah menghasilkan institusi dasar keluarga, kelompok
pertemanan dan kelompok sosial menjadi lebih menyeluruh.
Sebagai nilai yang terbagi-bagi yang dihasilkan institusi-
institusi ini, beberapa definisi yang berlawanan tentang
perilaku yang baik timbul dan menjadi konflik. Dilanjutkan
dengan disorganisasi yang membuat konflik berpotensial
sama. Perilaku menyimpang atau kriminal secara umum
terjadi saat perbuataan berdasar pengertian bahwa
konflik bedan budaya-budaya yang dominan. Disorganisasi
sosial dan patologi sosial yaitu yang paling umum di pusat
area kota, berkurang dengan seiring jarak dari area ini
Kriminalitas dan kenakalan dipancarkan dari kontak frekuensi
dengan tradisi kriminal yang telah dikembangkan sepanjang
waktu dalam area disorganisasi atau kerusakan di kota.
5. Mazhab Ekonomi
Mazhab ini diilhami oleh para kriminolog Marxis
melalui teori Marxis yang terkenal dengan teori
kemunculan kapitalismenya. Willem Bonger merupakan
salah satu kriminolog yang mengadopsi pemikiran Marxis
tentang kapitalisme, menurutnya hukum pidana yang
berkembang ialah tidak lebih menguntungkan kaum yang
berpunya. Berkebalikan dengan warga prakapitalis
yang menurutnya dicirikan oleh consensus dan altruism,
warga kapitalistik menekankan egoism (mementingkan
diri sendiri).85 berdasar hal ini Bonger memandang
bahwa kapitalisme dapat merangsang kejahatan muncul
di warga dengan membuat kelas-kelas sehingga tiap
warga memiliki akses dalam memenuhi kebutuhan
yang berbeda-beda.
6. Mazhab Ekologis
Berkebalikan dengan teori Beccaria di karya keduanya
yang dianggap Abad Kegelapan Kriminologi, A. M.m Guerry
dari

