Rabu, 10 Januari 2024

kematian dalam tasawuf



Kematian di dalam kebudayaan apapun hampir pasti 
ada acara ritual. Ada berbagai alasan mengapa kematian harus 
disikapi dengan acara ritual. warga  Jawa memandang 
kematian bukan sebagai peralihan status baru bagi orang yang 
mati. Segala status yang disandang semasa hidup ditelanjangi 
digantikan dengan citra kehidupan luhur. Dalam hal ini makna 
kematian bagi orang Jawa mengacu kepada pengertian kembali 
ke asal mula keberadaan (sangkan paraning dumadi). Kematian 
dalam budaya Jawa selalu dilakukan acara ritual oleh yang 
ditinggal mati. Setelah orang meninggal maka biasanya disertai 
upacara doa, sesaji, selamatan, pembagian waris, pelunasan 
hutang dan sebagainya .
Dalam sudut pandang Islam sesungguhnya Allah swt adalah 
dzat yang menciptakan manusia yang memberikan kehidupan 
dengan dilahirkannya ke dunia, kemudian menjemputnya 
dengan kematian untuk mengahadapNya dan akan kembali 
kepadaNya. Itulah garis yang telah ditentukan oleh Allah kepada 
makhlukNya, tidak ada yang dilahirkan ke dunia ini lantas 
hidup untuk selamanya. Roda dunia ini terus berputar dan silih 
berganti kehidupan dan kematian di muka bumi ini, hukum ini 
berlaku bagi siapapun tidak membedakan jenis kelamin laki-laki 
atau perempuan, tua atau muda, miskin atau kaya, rakyat atau 
pejabat. Pendeknya segala macam perbedaan kasta dan status 
sosial semua harus tunduk kepada hukum alam yang telah 
ditentukan Allah swt (sunnatullah).
Penulis mengatakan bahwa kematian adalah merupakan 
sebuah fenomena, sebab  kematian terus terjadi berulang-
ulang, dengan obyek yang sama yaitu manusia. Semua manusia 
pasti akan dijemput oleh kematian. Saya dan anda tentu juga 
manusia yang berarti bahwa saya dan juga anda akan menjumpai 
kematian itu. Mungkin anda lebih dulu menjumpai kematian 
dari pada saya, atau sebaliknya saya lebih akhir dijemput oleh 
kematian dari pada anda. Yang pasti saat  kematian itu sudah 
datang menjemput maka tak seorangpun dapat menghindarinya. 
Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Jum’ah ayat 8 
yaitu sebagai berikut:
Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari 
daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan 
menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan 
kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang 
nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu 
kerjakan”. 
Sadar atau tidak sesungguhnya setiap hari kita sudah 
diberikan gambaran dan pelajaran oleh Allah swt tentang 
kelahiran dan kematian yang akan dialami oleh semua manusia. 
Simak saja aktifitas manusia dari mulai bangun tidur kemudian 
tidur kembali. Bangun dari tidur merupakan gambaran metaforis 
akan kelahiran manusia, oleh sebab  itu Rasulullah mengajarkan 
doa kepada kita saat  bangun tidur dengan mengatakan:
“Alhamdulillahi, alladzi ahyana ba’da ma amatana wa 
ilaihinnusyur”
Artinya: “Segala puji bagimu ya Allah, yang telah 
menghidupkan kembali diriku setelah kematianku, dan hanya 
kepadaMu nantinya kami semua akan berpulang kepadaMu”. 
Demikian indahnya untaian doa tersebut, dan begitu dalam 
makna dan pesan doa tersebut. Bahwa setiap pagi adalah hari 
kelahiran dan sebaliknya setiap malam adalah malam kematian   sebab  setiap malam saat  seseorang 
tidur sesungguhnya  telah mengalami kematian sesaat sampai 
orang tersebut bangun kembali. Hal ini pula tersirat dalam 
doa menjelang tidur yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw, 
sebagaimana berikut:
“Bismika Allahumma Ahya wa Amut”
Ya Allah dengan AsmaMu aku menjalani hidup dan 
dengan AsmaMu pula aku menjalani kematian (malam 
ini).
saat  membahas tentang kematian maka secara psikologis 
menimbulkan suatu pengaruh kejiwaan antara menerima dan 
keterpaksaan dalam menghadapi kematian tersebut. Akan terasa 
sedih saat  manusia dijemput oleh kematiannya sedangkan ia 
dalam keadaan terlena oleh kehidupan dunia sementara kematian 
menjadi penghalangnya untuk mencintai dan menikmati segala 
fasilitas yang menggiurkan dan menyenangkan berupa harta 
benda, pangkat jabatan dan sebagainya. 
Oleh sebab  itu sering kali kesadaran tersebut 
memunculkan sebuah protes psikologis berupa penolakan 
terhadap kematian, bahwa masing-masing orang tidak mau 
mengalami kematian. Setiap orang berusaha menghindari semua 
jalan yang mendekatkan diri dari pintu kematian, mendambakan 
dan membayangkan keabadian. Pemberontakan dan penolakan 
terhadap kematian ini kemudian melahirkan dua madzhab 
psikologi kematian, yaitu (Hidayat, 2005: xvi-xvii):
Madzhab relegius, yaitu mereka yang menjadikan agama 1. 
sebagai rujukan bahwa keabadian setelah mati itu ada, dan 
untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi seseorang yang 
beragama menjadikan kehidupan akhirat sebagai obyek dan 
target yang paling utama. Kehidupan dunia layak untuk 
dinikmati, akan tetapi itu bukan tujuan akhir dari sebuah 
proses kehidupan. Sehingga apapun yang dilakukan saat  
hidup di dunia adalah merupakan inventaris seseorang 
untuk dinikmati kelak di akhirat.
Madzhab sekuler, yaitu mereka yang tidak peduli dan tidak. 
yakin akan adanya kehidupan setelah kematian. Namun 
secara psikologis keduanya memiliki kesamaan yaitu 
spirit heroisme yang mendambakan keabadian hidup agar 
dirinya dapat dikenang sepanjang masa. Untuk memenuhi 
keinginan itu seseorang ingin menyumbangkan sesuatu 
yang besar dalam hidupnya untuk keluarga, warga , 
bangsa dan dunia. Maka setiap orang berusaha untuk 
meninggalkan warisan bagi orang lain. 
saat  al-Qur’an berbicara tentang kematian, maka 
banyak perspektif yang bisa digunakan dalam memahami 
makna kematian itu sendiri. Kalau selama ini al-Qur’an lebih 
dipahami secara literal dan tekstual maka pemahaman akan 
kematian hanya sekedar kita dapatkan dari apa yang terdapat 
dalam bunyi teks itu sendiri. Jika kita pahami al-Qur’an secara 
kontekstual maka al-Qur’an akan banyak memberi pemahaman 
yang beragam mengenai hakekat kematian. Mungkin kita akan 
memperoleh banyak informasi tentang arti dari hidup dan mati 
baik yang tersirat maupun yang tersurat.
Ada korelasi antara upacara kematian dalam ajaran Islam 
yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah saw dengan ritual 
kematian yang berlaku di dalam warga  Jawa. Kehadiran 
Islam kemudian memberikan pengaruh sinergis antara upacara 
kematian dalam ajaran Islam dengan tradisi yang sudah ada 
pada masa Hindu-Budha. Di sinilah al-Qur’an dimaksudkan 
bukan bagaiman individu atau kelompok orang memahami al-
Qur’an (penafsiran), tetapi bagaimana al-Qur’an itu disikapi 
dan direspon oleh warga  muslim dalam realitas kehidupan 
sehari-hari menurut konteks budaya dan pergaulan sosial. 
Apa yang dilakukan adalah merupakan panggilan jiwa yang 
merupakan kewajiban moral untuk memberikan penghargaan, 
penghormatan dan cara memuliakan kitab suci yang diharapkan 
pahala dan berkah dari al-Qur’an sebagaimana keyakinan umat 
Islam terhadap fungsi al-Qur’an yang dinyatakan sendiri secara 
beragam. Oleh sebab  itu maksud yang dikandung bisa saja sama 
tetapi ekpresi dan ekspektasi warga  terhadap al-Qur’an 
antara kelompok, golongan, etnis dan antar bangsa satu dan yang 
lainnya bisa jadi berbeda .   

Mati dalam bahasa jawa disebut dengan pejah. Konsepsi 
orang jawa tentang kematian dapat dilihat dari konsepsi 
mereka tentang kehidupan, sebab  bagaimana cara orang 
melihat kehidupan akan sangat terkait dengan bagaimana orang 
mempersepsikan tentang kematian. Orang jawa seringkali 
merumuskan konsep aksiologis orang jawa bahwa “urip iki mung 
mampir ngombe” (hidup ini cuma sekedar mampir minum). 
Atau dengan konsep yang lain, “urip iki mung sakdermo nglakoni” 
(hidup ini cuma sekedar menjalani) atau “nrima ing pandhum” 
(menerima apa yang menjadi pemberian-Nya). Menurut 
pemahaman orang Jawa, kita sebenarnya hanya sekedar menjalani 
hidup kita masing-masing sebagaimana telah digariskan oleh 
takdir. Baik atau buruk, bahagia atau derita, kaya atau miskin 
adalah buah dari ketentuan takdir kita sendiri-sendiri yang harus 
kita terima dengan sikap legowo. Sedangkan sikap legawa adalah 
situasi batin yang muncul sebab  suatu sikap nrima ing pandhum 
itu sendiri, kemampuan diri untuk menerima segala bentuk 
kehidupan yang ada sebagaimana adanya .
Sedangkan secara etimologi/ harfiah mati itu terjemahan 
dari bahasa Arab mata-yamutu-mautan. Yang memiliki beberapa 
kemungkinan arti, di antaranya adalah berarti mati, menjadi 
tenang, reda, menjadi usang, dan tak berpenghuni ,Dalam beberapan kamus bahasa Arab, 
mendefinisikan kata al-maut adalah lawan dari al-hayah, dan   
al-mayyit (yang mati) merupakan lawan kata dari al-hayy (yang 
hidup). Asal arti kata al-maut dalam bahasa arab adalah as-
sukun (diam). Semua yang telah diam maka dia telah mati. 
Mereka (orang-orang Arab) berkata: “matat an-nar mautan (api 
itu benar-benar telah mati), jika abunya telah dingin dan tidak 
tersisa sedikitpun dari baranya. “mata al-harr wa al-bard” (panas 
dan dingin telah mati), jika ia telah lenyap. “matat ar-rih” (angin 
itu telah mati), jika ia berhenti dan diam. “matat al-Khamr” 
(khamr itu telah mati), jika telah berhenti gejolaknya, dan al-
maut adalah segala apa saja yang tidak bernyawa 
Sedangkan dalam terminologi agama, mati adalah keluarnya 
ruh dari jasad atas perintah Allah swt. Tidak seorang pun memilki 
kewenangan tersebut, Allahlah yang memiliki otoritas untuk 
mengambil ruh dari jasad dengan memerintahkan malaikat Izrail 
untuk mencabutnya (Ash-Shufi, 2007: 3). Kematian adalah 
berpisahnya ruh (nyawa) dengan tubuh (jasad) untuk sementara 
waktu yang telah ditentukan, jadi mati  itu adalah saat  ruh 
meninggalkan tubuh dan ke luar dari dalamnya yang telah dicabut 
oleh malaikat Izrail (pencabut nyawa). Adapun terpisahnya 
ruh dengan tubuh itu bukanlah untuk selama-lamanya, akan 
tetapi perpisahan itu hanyalah dalam waktu sementara saja. 
Sebab setelah manusia itu mati kemudian dimandikan, dikafani, 
dishalati dan dikuburkan, maka ruh yang telah berpisah dengan 
tubuh tersebut nanti akan kembali lagi memasuki tubuhnya. 
Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa setelah manusia itu mati 
dan dikuburkan maka ia akan dihidupkan kembali sebagaimana 
firman Allah swt. Surat al-Baqarah ayat 28 dan 56, juga Qs. Al-
Hajj: 7.
 Al-Qur’an  berbicara  tentang  kematian  dalam  banyak  
ayat, sementara para pakar memperkirakan tidak kurang dari tiga 
ratusan ayat yang berbicara  tentang  berbagai  aspek  kematian  
dan kehidupan sesudah kematian kedua 
Berikut ini adalah di antara ayat-ayat tentang kematian dalam 
Al-Qur’an sebagai berikut:
Qs. al-Baqarah: 19, 28, 94, 95, 132, 161, 180 dan 243. Sebagai 1. 
berikut:
     
“atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat 
dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka 
menyumbat telinganya dengan anak jarinya, sebab  
(mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan 
Allah meliputi orang-orang yang kafir.” (Qs. Al-Baqarah: 
19)
  
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu 
tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian 
kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian 
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” (Qs. Al-Baqarah: 
28)
  
Katakanlah: «Jika kamu (menganggap bahwa) kampung 
akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan 
untuk orang lain, maka inginilah kematian (mu), jika 
kamu memang benar.” (Qs. Al-Baqarah: 95)

“Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian 
itu selama-lamanya, sebab  kesalahan-kesalahan yang 
telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah 
Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya.” (Qs. 
Al-Baqarah: 94).
     
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-
anaknya, demikian pula Ya`qub. (Ibrahim berkata): «Hai 
anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama 
ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam 
memeluk agama Islam.” (Qs. Al-Baqarah: 132)
  
“Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam 
keadaan kafir, mereka itu mendapat la`nat Allah, para 
malaikat dan manusia seluruhnya.” (Qs. Al-Baqarah: 
161)
  
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu 
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan 
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib 
kerabatnya secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas 
orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah: 180)
   

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang 
keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka 
beribu-ribu (jumlahnya) sebab  takut mati; maka Allah 
berfirman kepada mereka: «Matilah kamu», kemudian 
Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah 
mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan 
manusia tidak bersyukur.” (Qs. Al-Baqarah: 243)
Qs. Ali Imran: 102, 145, 168, dan 185. Yaitu sebagai 2. 
berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah 
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-
kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama 
Islam.” (Qs. Ali Imran: 102)
 
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan 
dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan 
waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, 
niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan 
barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan 
(pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan 
memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” 
(Qs. Ali Imran: 145)
   
“Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-
saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: 
“Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak 
terbunuh”. Katakanlah: “Tolaklah kematian itu dari 
dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.” (Qs. Ali 
Imran: 168).
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan 
sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan 
pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan 
dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah 
beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah 
kesenangan yang memperdayakan.” (Qs. Ali Imran: 
185).
Qs. An-Nisaa: 78. Yaitu sebagai berikut:3. 
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan 
kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi 
kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka 
mengatakan: «Ini adalah dari sisi Allah», dan kalau 
mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: «Ini 
(datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)». Katakanlah: 
«Semuanya (datang) dari sisi Allah». Maka mengapa 
orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak 
memahami pembicaraan sedikitpun?” (Qs. An-Nisaa: 78)
Qs. Al-An’am: 2, 61, 93, dan 122. Yaitu sebagai berikut:
  
“Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu 
ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu 
ajal yang ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada 
sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian 
kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).” (Qs. Al-
An’am: 2)

“Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas 
semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-
malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian 
kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh 
malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami 
itu tidak melalaikan kewajibannya.” (Qs. Al-An’am: 61)

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang 
membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: 
«Telah diwahyukan kepada saya», padahal tidak ada 
diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang 
berkata: «Saya akan menurunkan seperti apa yang 
diturunkan Allah». Alangkah dahsyatnya sekiranya 
kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) 
dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para 
malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): 
«Keluarkanlah nyawamu». Di hari ini kamu dibalas 
dengan siksaan yang sangat menghinakan, sebab  kamu 
selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak 
benar dan (sebab ) kamu selalu menyombongkan diri 
terhadap ayat-ayat-Nya.” (Qs. Al-An’am: 93)
  
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami 
hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang 
terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di 
tengah-tengah warga  manusia, serupa dengan orang 

yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-
kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami 
jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang 
telah mereka kerjakan.” (Qs. Al-An’am: 122)
Qs. Al-Mu’minun: 15, 99, dan 100. Yaitu sebagai berikut:5. 
 
“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian 
benar-benar akan mati.” (Qs. Al-Mu’minun: 15)
  
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga 
apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, 
dia berkata: «Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia).” 
(Qs. Al-Mu’minun: 99)
    
“Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah 
aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah 
perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan 
mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” 
(Qs. Al-Mu’minun: 100)
Qs. Al-Ahzaab: 16. Yaitu sebagai berikut:6. 
 
Katakanlah: «Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, 
jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, 
dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga 
akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” (Qs. 
Al-Ahzaab: 16)

Qs. Ad-Dukhaan: 34-35. Yaitu sebagai berikut:
  
“Sesungguhnya mereka (kaum musyrik) itu benar-benar 
berkata, “tidak ada kematian selain kematian di dunia 
ini. Dan kami sekali-kali tidak akan dibangkitkan.” (Qs. 
Ad-Dukhaan: 34-35)
Qs. Al-Waqi’ah: 60. Yaitu sebagai berikut:8. 
  
“Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan 
Kami sekali-kali, tidak dapat dikalahkan.” (Qs. Al-
Waqi’ah: 60)
Qs. Al-Jumu’ah: 7 dan 8. Yaitu sebagai berikut:. 
  
Artinya: “Mereka tiada akan mengharapkan kematian itu 
selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka 
perbuat dengan tangan mereka sendiri. Dan Allah Maha 
Mengetahui akan orang-orang yang zalim.” Katakanlah: 
“Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, 
maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, 
kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), 
yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia 
beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. 
Al-Jumu’ah: 7-8)
Qs. Al-Munafiqun: 10 dan 11. Yaitu sebagai berikut: 
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami 
berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah 
seorang di antara kamu; lalu ia berkata: «Ya Tuhanku, 
mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) 
ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku 
dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang 
saleh?». “Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan 
(kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. 
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” 
(Qs. Al-Munafiqun: 10-11)
Qs. Al-Haqqah: 27. Yaitu sebagai berikut:
“Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan 
segala sesuatu.” (Qs. Al-Haqqah: 27)
Qs. As-Sajdah: 11. Yaitu sebagai berikut:
Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk 
(mencabut nyawa) mu akan mematikan kamu; kemudian 
hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.” 
(Qs. As-Sajdah: 11)
Qs. Muhammad: 20 dan 27. Yaitu sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang beriman berkata: «Mengapa tiada 
diturunkan suatu surat?» Maka apabila diturunkan suatu 
surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya 
(perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada 
penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti 
pandangan orang yang pingsan sebab  takut mati, dan 
kecelakaanlah bagi mereka.” (Qs. Muhammad: 20)
“Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat 
(maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka 
mereka dan punggung mereka?” (Qs. Muhammad: 27)
Qs. Al-Anbiya’: 34 dan 35. Yaitu sebagai berikut:
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang 
manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau 
kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (Qs. Al-Anbiya’: 
34)
    
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan 
menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai 
cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada 
Kamilah kamu dikembalikan.” (Qs. Al-Anbiya’: 34)
Qs. Al-Ankabut: 57. Yaitu sebagai berikut:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian 
hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (Qs. Al-
Ankabut: 57)
Asal Usul Ritual Kematian Islam JawaC. 
Asal usul ritual kematian dalam warga  Islam Jawa 
itu sudah ada sejak dulu sebelum Hindu dan Budha. Kemudian 
masuknya agama Hindu dan Budha memberikan pengaruh dan 
terbentuknya budaya baru yang merupakan ajaran Hindu dan 
Budha. Ada beberapa tradisi yang berasal dari agama Hindu dan 
Budha, di antaranya adalah sebagai berikut (https://efrialdy.
wordpress.com):
Pertama, Tentang doa selamatan kematian 7, 40, 100 
dan 1000 hari. Kita mengenal sebuah ritual keagamaan di 
dalam warga  muslim saat  terjadi kematian adalah 
menyelenggarakan selamatan/kenduri kematian berupa doa-
doa, tahlilan, yasinan di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 harinya. 
Dalam keyakinan Hindu ruh leluhur (orang mati) harus 
dihormati sebab  bisa menjadi dewa terdekat dari manusia. 
Selain itu dikenal juga dalam Hindu adanya Samsara (menitis/
reinkarnasi). Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti 
hal. 99, 192, 193 dalam (https://efrialdy.wordpress.com) yang 
berbunyi :
“Termashurlah selamatan yang diadakan pada hari 
pertama, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu”.
Dalam buku media Hindu yang berjudul : “Nilai-nilai 
Hindu dalam budaya Jawa, serpihan yang tertinggal” dalam 
(https://efrialdy.wordpress.com) karya : Ida Bedande Adi Suripto, 
ia mengatakan : “Upacara selamatan untuk memperingati hari 
kematian orang Jawa hari ke 1, 7, 40, 100, dan 1000 hari, adalah 
tradisi dari ajaran Hindu”.
Sedangkan penyembelihan kurban untuk orang mati pada 
hari (hari 1,7,4,….1000) terdapat pada kitab Panca Yadnya hal. 
26, Bagawatgita hal. 5 no. 39 yang berbunyi:
“Tuhan telah menciptakan hewan untuk upacara korban, 
upacara kurban telah diatur sedemikian rupa untuk 
kebaikan dunia.”
Kedua, Tentang selamatan yang biasa disebut Genduri 
(Kenduri atau Kenduren). Genduri merupakan upacara ajaran 
Hindu. Masalah ini terdapat pada kitab Weda hal. 373 (no.10) 
yang berbunyi:
“Sloka prastias mai pipisa tewikwani widuse bahra 
aranggayimaya jekmayipatsiyada duweni narah”. 
(Antarkanlah sesembahan itu pada Tuhanmu Yang Maha 
Mengetahui). 
Namun demikian tidak berarti bahwa ritual kematian 
yang berlaku di warga  Islam Jawa sebagai prilaku sesat. 
sebab  adat atau tradisi sejauh tidak bertentangan dengan nilai 
dan ajaran agama Islam maka itu tidak ada larangan. Budaya 
merupakan fitrah yang diberikan oleh Tuhan kepada seluruh 
manusia yang hidup di muka bumi ini, dan Allah menciptakan 
manusia memang dalam bentuk keragaman suku dan bangsa 
yang memiliki keragaman budaya. Sehingga tidak ada alasan 
sebuah budaya dijustifikasi sebagai sesuatu yang sesat. Budaya 
merupakan khazanah dan aset bangsa, harus dilestarikan dan 
dikembangkan bukan untuk digusur dan dimatikan.
Makna yang Terkandung dalam Ritual Kematian D. 
warga  Islam Jawa
Tradisi yang dilakukan oleh warga  di desa penulis 
(desa Bakalan Kalinyamatan Jepara) dan juga di warga  Jawa 
pada umumnya dalam menghadapi peristiwa kematian, hampir 
sama persis dengan apa yang disampaikan oleh Clifford Geertz 
dalam buku The Religion of Java, ia menjelaskan bahwa saat  
terjadi kematian di suatu keluarga, maka hal pertama yang harus 
dilakukan adalah memanggil modin, selanjutnya menyampaikan 
berita kematian tersebut di daerah sekitar bahwa suatu kematian 
telah terjadi. Kalau kematian itu terjadi sore atau malam hari, 
mereka menunggu sampai pagi berikutnya untuk memeulai 
proses pemakaman. Pemakaman orang Jawa dilaksanakan 
secepat mungkin sesudah kematian. Segera setelah mendengar 
berita kematian, para tetangga meninggalkan semua pekerjaan 
yang sedang dilakukannnya untuk pergi ke rumah keluarga 
yang tertimpa kematian tersebut. Setiap perempuan membawa 
sebaki beras, yang setelah diambil sejumput oleh orang yang 
sedang berduka cita untuk disebarkan ke luar pintu, kemudian 
segera ditanak untuk slametan. Orang laki-laki membawa 
alat-alat pembuat nisan , usungan untuk membawa mayat ke 
makam, dan lembaran papan untuk diletakkan di liang lahad. 
Dalam kenyataannya hanya sekitar setengah lusin orang yang 
perlu membawa alat-alat itu; sebaliknya hanya sekedar datang 
dan berdiri sambil ngobrol di sekitar halaman 
Dalam tradisi warga  Islam Jawa kematian seseorang 
dalam ritual pemakamannya pertama terdapat ritual semacam 
“pembekalan” bagi ruh dalam fase kehidupannya di alam yang 
baru. sebab  ruh itu tak pernah mati, oleh sebab  itu pembekalan 
terhadap ruh orang yang meninggal diyakini dapat ditangkap 
dan dirasakan oleh ruh orang yang telah meninggal tersebut. Di 
antarnya adalah dikumandangkannya adzan dan iqamah setelah 
mayat diletakkan di liang lahat dan sebelum ditimbun dengan 
tanah, setelah itu dibacakan telkin (talqin).
Modin membacakan telkin yang merupakan rangkaian 
pidato pemakaman yang ditujukan kepada almarhum, pertama-
tama dalam bahasa Arab dan kemudian dalam bahasa Jawa 
(Geertz, 1983: 95). Talqin dalam bahasa Arab maknanya adalah 
mendikte. Jadi talqin adalah mendiktekan kata-kata atau kalimat 
tertentu agar ditirukan oleh orang yang baru meninggal tersebut. 
Yang dimaksudkan di sini adalah mengajarkan kepada ruh agar 
dapat mengingat dan menjawab pertanyaan di alam kubur. 
Tradisi ini di sandarkan pada kenyataan teologis bahwa saat  
seseorang telah dikuburkan maka Allah akan mendatangkan dua 
malaikat penanya si mayat di dalam kubur. Sehingga  subtansi 
talqin itu sesungguhnya mengingatkan pada ruh jenazah tentang 
pertanyaan-pertanyaan di dalam kubur. Masyarkat umumnya 
meyakini bahwa ruh orang yang di kubur dapat mendengar dan 
merasakan kehadiran orang yang masih hidup, bahkan menjawab 
salam orang yang mengunjunginya. Dengan demikian, saat  
dibacakan talqin terhadapnya setelah dikuburkan maka ia dapat 
mendengar nasihat dan memperoleh manfaat darinya 
Situasi sosial budaya warga  Islam Jawa dapat 
dilihat dari kebiasaan (adat), baik yang berkaitan dengan 
ritual keagamaan maupun tradisi lokal warga  tersebut, 
di antaranya: Selamatan orang yang telah meninggal. Tradisi 
ini dilakukan setiap ada orang yang meninggal dunia dan 
dilaksanakan oleh keluarga yang ditinggalkan. Adapun waktu 
pelaksanaannya yaitu sebagai berikut 
Bertepatan dengan kematian 1. (ngesur tanah) dengan 
rumusan jisarji, maksudnya hari kesatu dan pasaran juga 
kesatu
Nelung dina dengan rumus 2. lusaru, yaitu hari ketiga dan 
pasaran ketiga
Tujuh hari setelah kematian (3. mitung dina) dengan rumusan 
tusaro, yaitu hari ketujuh dan pasaran kedua
Empat puluh hari (4. metang puluh dina) dengan rumus 
masarama, yaitu hari ke lima dan pasaran ke lima
Seratus  hari (5. nyatus dina) dengan rumus rosarama yaitu 
hari ke dua pasaran ke lima
Satu tahun setelah kematian (6. mendak pisan) dengan rumus 
patsarpat, yaitu hari ke empat dan pasaran ke empat
Tahun ke dua (mendhak pindho), dengan rumus jisarly, 7. 
yaitu hari satu dan pasaran ke tiga
Seribu hari setelah kematian (8. nyewu), dengan rumus 
nemasarma, yaitu hari ke enam dan pasaran ke lima.
Haul 9. (khol), peringatan kematian pada setiap tahun dari 
meninggalnya seseorang.
Ngesur tanah memiliki makna bahwa jenazah yang 
dikebumikan berarti perpindahan dari alam fana ke alam baka, 
asal manusia dari tanah selanjutnya kembali ke tanah. Selamatan 
ke tiga hari berfungsi untuk menyempurnakan empat perkara 
yang disebut anasir hidup manusia, yaitu bumi, api, angin dan 
air. Selamatan ke tujuh hari berfungsi untuk menyempurnakan 
kulit dan kuku. Selamatan empat puluh hari berfungsi untuk 
menyempurnakan pembawaan dari ayah dan ibu berupa darah, 
daging, sum-sum, jeroan (isi perut), kuku, rambut, tulang dan 
otot. Selamatan seratus hari berfungsi untuk menyempurnakan 
semua hal yang bersifat badan wadag. Selamatan mendhak pisan 
untuk menyempurnakan kulit, daging, dan jeroan. Selametan 
mendhak pindho berfungsi untuk menyempurnakan semua 
kulit, darah dan semacamnya yang tinggal hanyalah tulangnya 
saja.
Upacara selamatan tiga hari memiliki arti  memberi 
penghormatan pada ruh yang meninggal. Orang Jawa 
berkeyakinan bahwa orang yang meninggal itu masih berada di 
dalam rumah. Ia sudah mulai berkeliaran mencari jalan untuk 
meninggalkan rumah. Upacara selamatan hari ketujuh berarti 
melakukan penghormatan terhadap ruh yang mulai akan ke luar 
rumah. Dalam selamatan selama tujuh hari dibacakan tahlil, 
yang berarti membaca kalimah la ilaha illa Allah, agar dosa-
dosa orang yang telah meninggal diampuni oleh-Nya. Upacara 
selamatan empat puluh hari (matangpuluh dina), dimaksudkan 
untuk memberi penghormatan ruh yang sudah mulai ke luar 
dari pekarangan. Ruh sudah mulai bergerak menuju ke alam 
kubur. Upacara seratus hari (nyatus dina), untuk memberikan 
penghormatan terhadap ruh yang sudah berada di alam kubur. 
Di alam kubur ini ruh masih sering pulang ke rumah keluarganya 
sampai upacara selamatan tahun pertama dan peringatan tahun 
ke dua. Ruh baru tidak akan kembali ke rumah dan benar-
benar meninggalkan keluarga setelah peringatan seribu hari 
Salah satu ritual kematian warga  Jawa adalah 
ritual “Geblagan”. Geblag adalah salah satu ritual yang ada 
dalam tradisi warga  jawa sebagai sebuah ritual kecil yang 
dilakukan pada hari peringatan kematian seseorang. Dalam ritual 
tersebut ada simbolisme yang sebenarnya mengandung banyak 
makna. Misalnya, seseorang meninggal dunia pada hari Rabu 
Pon jam 10.00, maka setiap Rabu Pon jam 10.00, keluarga yang 
ditinggalkan melaksanakan ritual kecil yang disebut geblagan, 
sebagai bentuk peringatan dan penghormatan terhadap anggota 
keluarga yang telah meninggal. Ritual tersebut sangat sederhana, 
dalam pelaksanaannya dilengkapi dengan sesajen (sesaji) dan 
disertai dengan pembakaran kemenyan atau dupa. Sesaji yang 
dipersembahkan juga sangat sederhana, berupa apem, kolak, 
ketan, gula kelapa, teh pahit atau kopi, sigaret, kembang telon, 
dan tak lupa uang sebagai wajib.
Setelah semua uba rampe yang diperlukan sudah siap, sesaji 
tersebut ditata di sebuah meja dilengkapi dengan penerang, 
teplok atau senthir. Setelah segala sesuatunya sudah siap, sesaji 
itu dipasrahke (dipersembahkan), dengan doa dan diakhiri 
dengan pembakaran kemenyan atau dupa. Ritual ini selain 
dimaksudkan sebagai peringatan hari kematian, penghormatan, 
dan ritual pengiriman doa, dalam ritual gablagan juga terdapat 
beberapa pemikiran dan pandangan warga  Jawa, antara 
lain mengenai metafisika, khhususnya antropologi metafisik dan 
kosmologi ,
Sedangkan berkaitan dengan peringatan tahunan dari 
kematian seseorang atau yang disebut dengan haul (khol) memiliki 
arti untuk mengenang kembali memori perjalanan seseorang 
yang telah meninggal untuk dijadikan suri tauladan dari aspek 
kebaikan perilakunya. Sekaligus memberikan penghormatan dan 
penghargaan atas jasa-jasanya terhadap keluarga, warga  dan 
agamanya. Hal ini tentunya akan memberikan spirit dan motivasi 
tersendiri bagi keluarga yang ditinggalkannya. Ritual acara khol 
ini biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang dari status sosial 
tertentu. Seperti tokoh warga , para kyai kharismatik dan 
orang-orang yang dianggap keluarganya sebagai seseorang yang 
memberikan peran yang sangat berarti bagi keluarga.
Di samping tradisi tersebut di atas terdapat juga tradisi 
membaca surat Yasin setiap malam jum’at yang dikhususkan untuk 
ahli kubur/ orang-orang yang telah meninggal, dengan tujuan 
berdoa untuk memohonkan ampunan bagi arwah ahli kubur 
agar mendapatkan temapat yang baik di sisi-Nya yaitu masuk ke 
dalam surga-Nya. Kemudian ada juga tradisi menyelenggarakan 
acara arwahan pada bulan Sya’ban yaitu keluarga mengundang 
warga  sekitar untuk datang ke rumah setelah shalat magrib 
atau setelah shalat Isya’ dengan mengadakan acara membaca 
surah Yasin dan Tahlil yang pahalanya dikhususkan bagi arwah 
ahli kubur dari keluarganya.
Perlengkapan lain yang ada dalam upacara pemakaman 
jenasah, secara keseluruhan ada bermacam-macam 
Sawur. Sawur terdiri dari sejumlah uang logam, beras 1. 
kuning (beras yang dicampur dengan kunyit yang diparut) 
ditambah kembang telon (mawar, melati dan kenanga) 
serta sirih kinang dan beberapa gelintir rokok linting. 
Semuanya itu ditempatkan dalam bokor atau takir (wadah 
yang terbuat dari daun pisang). Seperti disebutkan di 
atas, hal ini dimaksudkan sebagai bekal si mati agar selalu 
mendapatkan kemurahan dari Tuhan, di samping juga 
ditujukan terhadap keluarga yang ditinggalkan.
Payung. Payung yang digunakan dalam upacara 2. 
kematian sering disebut payung jenasah. Payung itu 
mempunyai tangkai yang panjang. Payung itu digunakan 
untuk memayungi jenasah sejak keluar dari rumah 
hingga di kuburan. Payung tersebut melambangkan 
perlindungan. Dalam upacara kematian, penggunaan 
payung melambangkan suatu maksud agar arwah si mati 
selalu mendapatkan perlindungan dari Tuhan atau sering 
disebut “diayom-ayomi”. Sebagai bekal dalam perjalanan 
jauh, payung itu juga dimaksudkan untuk mendapat 
perlindungan dari panas dan hujan.
Sepasang maejan. Biasa terbuat dari jenis kayu yang kuat . 
dan tahan air serta awet. Dibuat dengan ukuran panjang 
sekitar 60 cm, lebar 15 cm, tebal sekitar 5 cm. Pada bagian 
atas berbentuk runcing agak menumpul dengan ukiran 
bunga melati. Sepasang maejan yang terdiri 2 buah itu 
ditanam di atas kuburan, satu di bagian arah kepala dan 
satunya lagi di bagian arah kaki. Maejan tersebut sebagai 
tanda bahwa pada tempat tersebut telah dikuburkan 
seseorang. Maejan yang yang berada pada bagian arah kaki 
jenasah yang dikuburkan biasanya dituliskan nama orang 
yang dikuburkan di situ beserta hari, tanggal, bulan dan 
tahun kematiannya, dengan dasar tahun Jawa. Bentuknya 
yang runcing dari maejan tersebut sebagai lambang tombak 
raksasa. Sedangkan ukiran berbentuk/motif bunga melati 
sebagai lambang keharuman.
Sebuah tempayan kecil (klenting) atau kendi. Kendi atau 4. 
klenting digunakan untuk wadah air tawar yang dicampuri 
dengan serbuk atau minyak cendana dan kembang telon, 
yang nantinya akan disiramkan di atas kuburan dan 
maejan. Semua itu melambangkan kesucian, kesegaran 
dan keharuman nama si mati.
Degan krambil ijo (kelapa hijau yang masih muda). Kelapa . 
hijau yang masih muda itu nantinya, setelah jenasah 
dikuburkan, dibelah dan airnya disiramkan di atas kuburan. 
Sedangkan belahannya juga ditelungkupkan di atas 
kuburan itu pula. Maksudnya adalah sebagai air suci, juga 
air segar pelepas dahaga. Maksud yang lain ialah sebagai 
penolak bala dan keteguhan hati si mati. Dalam hal ini 
dikiaskan dari pohon kelapa adalah pohon yang teguh dan 
tidak mudah berombang-ambing angin atau lainnya.
Gegar mayang. Gegar mayang adalah semacam boket 6. 
atau rangkaian bunga, yang terbuat dari janur (daun 
kelapa muda) dan bunga, yang biasanya ditancapkan pada 
sepotong “guling”/batang pohon pisang, sepanjang kurang 
lebih 15 cm. Gagar mayang itu digunakan, bila orang yang 
mati adalah orang remaja atau dewasa tetapi belum kawin. 
Hal itu dimaksudkan agar arwah si mati tidak mengganggu 
para pemuda atau pemudi daria keluarga sendiri maupun 
dalam lingkungan desanya.
Hakekat KematianE. 
Dalam perspektif Jawa kematian hakekatnya adalah muleh 
(pulang ke asal mulanya). Orang Jawa memahami kehidupan 
dan kematian dalam filosofi “sangkan paraning dumadi” untuk 
mengetahui kemana tujuan kita setelah hidup berada di akhir 
hayat. Hal ini tersirat maknanya dalam kalimat tembang 
dhandanggula warisan para leluhur: “kawruhana sejatining urip 
ana jeruning alam donya/bebasane mampir ngombe/umpama 
manuk mabur/lunga saka kurungan niki/ pundi pencokan 
benjang/awja kongsi kaleru/njan sinanjan ora wurung bakal 
mulih/umpama lunga sesanja/ mulih mula mulanira.” (ketahuilah 
sejatinya hidup, hidup di alam dunia, ibarat perumpamaan 
mampir minum, ibarat burung terbang, pergi dari kurungannya, 
di mana hinggapnya besok, jangan sampai keliru, umpama orang 
pergi bertandang, saling bertandang, yang pasti bakal pulang, 
pulang ke asal mulanya) 
Berbicara tentang hakekat kematian adalah merupakan 
persoalan yang sangat rumit. sebab  persoalan hakekat itu adalah 
ranah ontologis dalam dimensi filsafat. Namun untuk masuk 
pada tahap awal mengetahui hakikat kematian itu sendiri, maka 
penulis berpendapat bahwa kematian adalah merupakan fase 
dari sebuah perjalanan mahluk hidup itu sendiri yang menjadi 
awal dari terlepasnya belunggu kehidupan di dunia. Rasulullah 
sendiri pernah mengatakan bahwa sesungguhnya dunia itu 
merupakan belenggu (penjara) bagi orang yang beriman.  Kalau 
analoginya dunia adalah bermakna kehidupan jasad seseorang 
dan keimanan adalah ruh yang besemayam di dalamnya, maka 
Artinya bahwa terlepasnya kehidupan di dunia ini merupakan 
kata kunci untuk menyibak hakikat dari kematian itu sendiri. 
Jika demikian maka sesungguhnya kehidupan adalah hakikat 
dari kematian itu sendiri. sebab  kematian itu sesungguhnya 
adalah proses untuk menuju suatu kehidupan yang lebih hakiki. 
Yaitu kehidupan akhirat yang kekal abadi. 
Persoalan kematian sebenarnya adalah persoalan materi 
dan bukan pada persoalan ruh. sebab  ruh itu yang membuat 
suatu materi itu menjadi hidup. Tanpa ruh segala hal yang 
berupa materi adalah mati. Dalam pemikiran Syekh Siti Jenar 
menyatakan bahwa “dunia ini adalah alam kematian”. Dunia 
adalah alam kubur dan raga adalah sebuah terali besi yang 
menahan jiwa berada di dunia dan merasakan kesusahan hidup 
di dunia, seperti rasa haus, lapar, dan sedih. Hidup sesungguhnya 
hanyalah sebuah persiapan untuk memasuki kehidupan yang 
sebenarnya. dan jika tidak siap, maka jiwa akan terperangkap ke 
dalam alam kematian kembali yang bersifat mayit atau bangkai. 
Hidup yang sebenarnya adalah hidup tanpa raga, sebab  raga 
telah banyak menimbulkan kesesatan. Raga adalah kerangkeng 
bagi diri atau jiwa yang menyebabkan manusia hidup dalam 
banyak penderitaan ,
Sesungguhnya hakikat hidup adalah kekal selamanya 
dan tak tertimpa kematian. Perputaran bumi pada porosnya, 
atau terjadinya siang dan malam adalah merupakan analogi 
yang menggambarkan tentang hal hidup dan mati. saat  
manusia lahir, dia sebenarnya “born to die” (Lahir untuk menuju 
kematiannya). Dunia bukan jalan hidup tetapi jalan menuju 
kematian. Hidup yang sebenarnya adalah tanpa raga, telanjang 
dalam wujud frekuensi murni. Kebutuhan kita di dunia akan 
makanan dan minuman atau sandang, pangan, papan (pakaian, 
makanan dan tempat tinggal) selama di dunia hanyalah sarana 
untuk menunda kematian, sedangkan kelahiran manusia tak lain 

adalah proses kematian itu sendiri, sebab  kematian itu tidak 
bisa dihentikan 
Ritual kematian yang dilakukan oleh warga  Islam 
Jawa sesungguhnya merupakan adat warga  jawa sebelum 
masuknya agama Islam, kemudian mengalami proses akulturasi 
budaya antara Islam dan Jawa, sehingga nampak tradisi tersebut 
adalah tradisi yang khas Islam Jawa yang ada di Indonesia dan 
tidak dimiliki oleh warga  yang ada di negara lainnya. 
Sinergi budaya Islam dan Jawa ternyata membentuk sebuah 
kebudayaan baru yang memiliki makna dan tujuan-tujuan 
tertentu sebagaimana penulis telah uraikan di atas.
Kematian adalah salah satu peristiwa yang benar-benar 
terjadi dalam realitas sosial. Semua orang bahkan semua makhluk 
yang memiki ruh atau jiwa akan menjumpai yang disebut 
kematian. Tidak ada yang abadi dan kekal di dunia ini, yang 
kekal abadi hanyalah Allah swt. sebab  Allah yang memberi 
kehidupan kepada setiap makhlukNya, demikian juga Allah pula 
yang memberikan akhir dari kehidupan tersebut yaitu kematian. 
Bagi makhluk selain manusia mungkin kematian menjadi suatu 
hal yang biasa sebab  hal itu merupakan hukum alam sebagai 
ketentuan Allah swt, namun bagi manusia akan menjadi 
persoalan yang berbeda saat  kematian itu bermakna awal dari 
fase sebuah kehidupan baru yaitu kehidupan di akhirat.