Rabu, 10 Januari 2024
kematian dalam tasawuf
By tewasx.blogspot.com at Januari 10, 2024
kematian dalam tasawuf
Kematian di dalam kebudayaan apapun hampir pasti
ada acara ritual. Ada berbagai alasan mengapa kematian harus
disikapi dengan acara ritual. warga Jawa memandang
kematian bukan sebagai peralihan status baru bagi orang yang
mati. Segala status yang disandang semasa hidup ditelanjangi
digantikan dengan citra kehidupan luhur. Dalam hal ini makna
kematian bagi orang Jawa mengacu kepada pengertian kembali
ke asal mula keberadaan (sangkan paraning dumadi). Kematian
dalam budaya Jawa selalu dilakukan acara ritual oleh yang
ditinggal mati. Setelah orang meninggal maka biasanya disertai
upacara doa, sesaji, selamatan, pembagian waris, pelunasan
hutang dan sebagainya .
Dalam sudut pandang Islam sesungguhnya Allah swt adalah
dzat yang menciptakan manusia yang memberikan kehidupan
dengan dilahirkannya ke dunia, kemudian menjemputnya
dengan kematian untuk mengahadapNya dan akan kembali
kepadaNya. Itulah garis yang telah ditentukan oleh Allah kepada
makhlukNya, tidak ada yang dilahirkan ke dunia ini lantas
hidup untuk selamanya. Roda dunia ini terus berputar dan silih
berganti kehidupan dan kematian di muka bumi ini, hukum ini
berlaku bagi siapapun tidak membedakan jenis kelamin laki-laki
atau perempuan, tua atau muda, miskin atau kaya, rakyat atau
pejabat. Pendeknya segala macam perbedaan kasta dan status
sosial semua harus tunduk kepada hukum alam yang telah
ditentukan Allah swt (sunnatullah).
Penulis mengatakan bahwa kematian adalah merupakan
sebuah fenomena, sebab kematian terus terjadi berulang-
ulang, dengan obyek yang sama yaitu manusia. Semua manusia
pasti akan dijemput oleh kematian. Saya dan anda tentu juga
manusia yang berarti bahwa saya dan juga anda akan menjumpai
kematian itu. Mungkin anda lebih dulu menjumpai kematian
dari pada saya, atau sebaliknya saya lebih akhir dijemput oleh
kematian dari pada anda. Yang pasti saat kematian itu sudah
datang menjemput maka tak seorangpun dapat menghindarinya.
Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Jum’ah ayat 8
yaitu sebagai berikut:
Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari
daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan
menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan
kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang
nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan”.
Sadar atau tidak sesungguhnya setiap hari kita sudah
diberikan gambaran dan pelajaran oleh Allah swt tentang
kelahiran dan kematian yang akan dialami oleh semua manusia.
Simak saja aktifitas manusia dari mulai bangun tidur kemudian
tidur kembali. Bangun dari tidur merupakan gambaran metaforis
akan kelahiran manusia, oleh sebab itu Rasulullah mengajarkan
doa kepada kita saat bangun tidur dengan mengatakan:
“Alhamdulillahi, alladzi ahyana ba’da ma amatana wa
ilaihinnusyur”
Artinya: “Segala puji bagimu ya Allah, yang telah
menghidupkan kembali diriku setelah kematianku, dan hanya
kepadaMu nantinya kami semua akan berpulang kepadaMu”.
Demikian indahnya untaian doa tersebut, dan begitu dalam
makna dan pesan doa tersebut. Bahwa setiap pagi adalah hari
kelahiran dan sebaliknya setiap malam adalah malam kematian sebab setiap malam saat seseorang
tidur sesungguhnya telah mengalami kematian sesaat sampai
orang tersebut bangun kembali. Hal ini pula tersirat dalam
doa menjelang tidur yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw,
sebagaimana berikut:
“Bismika Allahumma Ahya wa Amut”
Ya Allah dengan AsmaMu aku menjalani hidup dan
dengan AsmaMu pula aku menjalani kematian (malam
ini).
saat membahas tentang kematian maka secara psikologis
menimbulkan suatu pengaruh kejiwaan antara menerima dan
keterpaksaan dalam menghadapi kematian tersebut. Akan terasa
sedih saat manusia dijemput oleh kematiannya sedangkan ia
dalam keadaan terlena oleh kehidupan dunia sementara kematian
menjadi penghalangnya untuk mencintai dan menikmati segala
fasilitas yang menggiurkan dan menyenangkan berupa harta
benda, pangkat jabatan dan sebagainya.
Oleh sebab itu sering kali kesadaran tersebut
memunculkan sebuah protes psikologis berupa penolakan
terhadap kematian, bahwa masing-masing orang tidak mau
mengalami kematian. Setiap orang berusaha menghindari semua
jalan yang mendekatkan diri dari pintu kematian, mendambakan
dan membayangkan keabadian. Pemberontakan dan penolakan
terhadap kematian ini kemudian melahirkan dua madzhab
psikologi kematian, yaitu (Hidayat, 2005: xvi-xvii):
Madzhab relegius, yaitu mereka yang menjadikan agama 1.
sebagai rujukan bahwa keabadian setelah mati itu ada, dan
untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi seseorang yang
beragama menjadikan kehidupan akhirat sebagai obyek dan
target yang paling utama. Kehidupan dunia layak untuk
dinikmati, akan tetapi itu bukan tujuan akhir dari sebuah
proses kehidupan. Sehingga apapun yang dilakukan saat
hidup di dunia adalah merupakan inventaris seseorang
untuk dinikmati kelak di akhirat.
Madzhab sekuler, yaitu mereka yang tidak peduli dan tidak.
yakin akan adanya kehidupan setelah kematian. Namun
secara psikologis keduanya memiliki kesamaan yaitu
spirit heroisme yang mendambakan keabadian hidup agar
dirinya dapat dikenang sepanjang masa. Untuk memenuhi
keinginan itu seseorang ingin menyumbangkan sesuatu
yang besar dalam hidupnya untuk keluarga, warga ,
bangsa dan dunia. Maka setiap orang berusaha untuk
meninggalkan warisan bagi orang lain.
saat al-Qur’an berbicara tentang kematian, maka
banyak perspektif yang bisa digunakan dalam memahami
makna kematian itu sendiri. Kalau selama ini al-Qur’an lebih
dipahami secara literal dan tekstual maka pemahaman akan
kematian hanya sekedar kita dapatkan dari apa yang terdapat
dalam bunyi teks itu sendiri. Jika kita pahami al-Qur’an secara
kontekstual maka al-Qur’an akan banyak memberi pemahaman
yang beragam mengenai hakekat kematian. Mungkin kita akan
memperoleh banyak informasi tentang arti dari hidup dan mati
baik yang tersirat maupun yang tersurat.
Ada korelasi antara upacara kematian dalam ajaran Islam
yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah saw dengan ritual
kematian yang berlaku di dalam warga Jawa. Kehadiran
Islam kemudian memberikan pengaruh sinergis antara upacara
kematian dalam ajaran Islam dengan tradisi yang sudah ada
pada masa Hindu-Budha. Di sinilah al-Qur’an dimaksudkan
bukan bagaiman individu atau kelompok orang memahami al-
Qur’an (penafsiran), tetapi bagaimana al-Qur’an itu disikapi
dan direspon oleh warga muslim dalam realitas kehidupan
sehari-hari menurut konteks budaya dan pergaulan sosial.
Apa yang dilakukan adalah merupakan panggilan jiwa yang
merupakan kewajiban moral untuk memberikan penghargaan,
penghormatan dan cara memuliakan kitab suci yang diharapkan
pahala dan berkah dari al-Qur’an sebagaimana keyakinan umat
Islam terhadap fungsi al-Qur’an yang dinyatakan sendiri secara
beragam. Oleh sebab itu maksud yang dikandung bisa saja sama
tetapi ekpresi dan ekspektasi warga terhadap al-Qur’an
antara kelompok, golongan, etnis dan antar bangsa satu dan yang
lainnya bisa jadi berbeda .
Mati dalam bahasa jawa disebut dengan pejah. Konsepsi
orang jawa tentang kematian dapat dilihat dari konsepsi
mereka tentang kehidupan, sebab bagaimana cara orang
melihat kehidupan akan sangat terkait dengan bagaimana orang
mempersepsikan tentang kematian. Orang jawa seringkali
merumuskan konsep aksiologis orang jawa bahwa “urip iki mung
mampir ngombe” (hidup ini cuma sekedar mampir minum).
Atau dengan konsep yang lain, “urip iki mung sakdermo nglakoni”
(hidup ini cuma sekedar menjalani) atau “nrima ing pandhum”
(menerima apa yang menjadi pemberian-Nya). Menurut
pemahaman orang Jawa, kita sebenarnya hanya sekedar menjalani
hidup kita masing-masing sebagaimana telah digariskan oleh
takdir. Baik atau buruk, bahagia atau derita, kaya atau miskin
adalah buah dari ketentuan takdir kita sendiri-sendiri yang harus
kita terima dengan sikap legowo. Sedangkan sikap legawa adalah
situasi batin yang muncul sebab suatu sikap nrima ing pandhum
itu sendiri, kemampuan diri untuk menerima segala bentuk
kehidupan yang ada sebagaimana adanya .
Sedangkan secara etimologi/ harfiah mati itu terjemahan
dari bahasa Arab mata-yamutu-mautan. Yang memiliki beberapa
kemungkinan arti, di antaranya adalah berarti mati, menjadi
tenang, reda, menjadi usang, dan tak berpenghuni ,Dalam beberapan kamus bahasa Arab,
mendefinisikan kata al-maut adalah lawan dari al-hayah, dan
al-mayyit (yang mati) merupakan lawan kata dari al-hayy (yang
hidup). Asal arti kata al-maut dalam bahasa arab adalah as-
sukun (diam). Semua yang telah diam maka dia telah mati.
Mereka (orang-orang Arab) berkata: “matat an-nar mautan (api
itu benar-benar telah mati), jika abunya telah dingin dan tidak
tersisa sedikitpun dari baranya. “mata al-harr wa al-bard” (panas
dan dingin telah mati), jika ia telah lenyap. “matat ar-rih” (angin
itu telah mati), jika ia berhenti dan diam. “matat al-Khamr”
(khamr itu telah mati), jika telah berhenti gejolaknya, dan al-
maut adalah segala apa saja yang tidak bernyawa
Sedangkan dalam terminologi agama, mati adalah keluarnya
ruh dari jasad atas perintah Allah swt. Tidak seorang pun memilki
kewenangan tersebut, Allahlah yang memiliki otoritas untuk
mengambil ruh dari jasad dengan memerintahkan malaikat Izrail
untuk mencabutnya (Ash-Shufi, 2007: 3). Kematian adalah
berpisahnya ruh (nyawa) dengan tubuh (jasad) untuk sementara
waktu yang telah ditentukan, jadi mati itu adalah saat ruh
meninggalkan tubuh dan ke luar dari dalamnya yang telah dicabut
oleh malaikat Izrail (pencabut nyawa). Adapun terpisahnya
ruh dengan tubuh itu bukanlah untuk selama-lamanya, akan
tetapi perpisahan itu hanyalah dalam waktu sementara saja.
Sebab setelah manusia itu mati kemudian dimandikan, dikafani,
dishalati dan dikuburkan, maka ruh yang telah berpisah dengan
tubuh tersebut nanti akan kembali lagi memasuki tubuhnya.
Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa setelah manusia itu mati
dan dikuburkan maka ia akan dihidupkan kembali sebagaimana
firman Allah swt. Surat al-Baqarah ayat 28 dan 56, juga Qs. Al-
Hajj: 7.
Al-Qur’an berbicara tentang kematian dalam banyak
ayat, sementara para pakar memperkirakan tidak kurang dari tiga
ratusan ayat yang berbicara tentang berbagai aspek kematian
dan kehidupan sesudah kematian kedua
Berikut ini adalah di antara ayat-ayat tentang kematian dalam
Al-Qur’an sebagai berikut:
Qs. al-Baqarah: 19, 28, 94, 95, 132, 161, 180 dan 243. Sebagai 1.
berikut:
“atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat
dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka
menyumbat telinganya dengan anak jarinya, sebab
(mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan
Allah meliputi orang-orang yang kafir.” (Qs. Al-Baqarah:
19)
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu
tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian
kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” (Qs. Al-Baqarah:
28)
Katakanlah: «Jika kamu (menganggap bahwa) kampung
akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan
untuk orang lain, maka inginilah kematian (mu), jika
kamu memang benar.” (Qs. Al-Baqarah: 95)
“Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian
itu selama-lamanya, sebab kesalahan-kesalahan yang
telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah
Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya.” (Qs.
Al-Baqarah: 94).
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-
anaknya, demikian pula Ya`qub. (Ibrahim berkata): «Hai
anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama
ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam
memeluk agama Islam.” (Qs. Al-Baqarah: 132)
“Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam
keadaan kafir, mereka itu mendapat la`nat Allah, para
malaikat dan manusia seluruhnya.” (Qs. Al-Baqarah:
161)
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib
kerabatnya secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah: 180)
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang
keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka
beribu-ribu (jumlahnya) sebab takut mati; maka Allah
berfirman kepada mereka: «Matilah kamu», kemudian
Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah
mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan
manusia tidak bersyukur.” (Qs. Al-Baqarah: 243)
Qs. Ali Imran: 102, 145, 168, dan 185. Yaitu sebagai 2.
berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-
kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama
Islam.” (Qs. Ali Imran: 102)
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan
dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan
waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia,
niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan
barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan
(pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan
memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
(Qs. Ali Imran: 145)
“Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-
saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang:
“Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak
terbunuh”. Katakanlah: “Tolaklah kematian itu dari
dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.” (Qs. Ali
Imran: 168).
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan
sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan
pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah
beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah
kesenangan yang memperdayakan.” (Qs. Ali Imran:
185).
Qs. An-Nisaa: 78. Yaitu sebagai berikut:3.
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan
kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi
kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka
mengatakan: «Ini adalah dari sisi Allah», dan kalau
mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: «Ini
(datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)». Katakanlah:
«Semuanya (datang) dari sisi Allah». Maka mengapa
orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak
memahami pembicaraan sedikitpun?” (Qs. An-Nisaa: 78)
Qs. Al-An’am: 2, 61, 93, dan 122. Yaitu sebagai berikut:
“Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu
ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu
ajal yang ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada
sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian
kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).” (Qs. Al-
An’am: 2)
“Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas
semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-
malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian
kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh
malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami
itu tidak melalaikan kewajibannya.” (Qs. Al-An’am: 61)
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang
membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata:
«Telah diwahyukan kepada saya», padahal tidak ada
diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang
berkata: «Saya akan menurunkan seperti apa yang
diturunkan Allah». Alangkah dahsyatnya sekiranya
kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada)
dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para
malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata):
«Keluarkanlah nyawamu». Di hari ini kamu dibalas
dengan siksaan yang sangat menghinakan, sebab kamu
selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak
benar dan (sebab ) kamu selalu menyombongkan diri
terhadap ayat-ayat-Nya.” (Qs. Al-An’am: 93)
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami
hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang
terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di
tengah-tengah warga manusia, serupa dengan orang
yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-
kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami
jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang
telah mereka kerjakan.” (Qs. Al-An’am: 122)
Qs. Al-Mu’minun: 15, 99, dan 100. Yaitu sebagai berikut:5.
“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian
benar-benar akan mati.” (Qs. Al-Mu’minun: 15)
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga
apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka,
dia berkata: «Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia).”
(Qs. Al-Mu’minun: 99)
“Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah
aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah
perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan
mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.”
(Qs. Al-Mu’minun: 100)
Qs. Al-Ahzaab: 16. Yaitu sebagai berikut:6.
Katakanlah: «Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu,
jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan,
dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga
akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” (Qs.
Al-Ahzaab: 16)
Qs. Ad-Dukhaan: 34-35. Yaitu sebagai berikut:
“Sesungguhnya mereka (kaum musyrik) itu benar-benar
berkata, “tidak ada kematian selain kematian di dunia
ini. Dan kami sekali-kali tidak akan dibangkitkan.” (Qs.
Ad-Dukhaan: 34-35)
Qs. Al-Waqi’ah: 60. Yaitu sebagai berikut:8.
“Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan
Kami sekali-kali, tidak dapat dikalahkan.” (Qs. Al-
Waqi’ah: 60)
Qs. Al-Jumu’ah: 7 dan 8. Yaitu sebagai berikut:.
Artinya: “Mereka tiada akan mengharapkan kematian itu
selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka
perbuat dengan tangan mereka sendiri. Dan Allah Maha
Mengetahui akan orang-orang yang zalim.” Katakanlah:
“Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya,
maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu,
kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah),
yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia
beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs.
Al-Jumu’ah: 7-8)
Qs. Al-Munafiqun: 10 dan 11. Yaitu sebagai berikut:
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami
berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah
seorang di antara kamu; lalu ia berkata: «Ya Tuhanku,
mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)
ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku
dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang
saleh?». “Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan
(kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya.
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(Qs. Al-Munafiqun: 10-11)
Qs. Al-Haqqah: 27. Yaitu sebagai berikut:
“Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan
segala sesuatu.” (Qs. Al-Haqqah: 27)
Qs. As-Sajdah: 11. Yaitu sebagai berikut:
Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk
(mencabut nyawa) mu akan mematikan kamu; kemudian
hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.”
(Qs. As-Sajdah: 11)
Qs. Muhammad: 20 dan 27. Yaitu sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang beriman berkata: «Mengapa tiada
diturunkan suatu surat?» Maka apabila diturunkan suatu
surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya
(perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada
penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti
pandangan orang yang pingsan sebab takut mati, dan
kecelakaanlah bagi mereka.” (Qs. Muhammad: 20)
“Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat
(maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka
mereka dan punggung mereka?” (Qs. Muhammad: 27)
Qs. Al-Anbiya’: 34 dan 35. Yaitu sebagai berikut:
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang
manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau
kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (Qs. Al-Anbiya’:
34)
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan
menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kamilah kamu dikembalikan.” (Qs. Al-Anbiya’: 34)
Qs. Al-Ankabut: 57. Yaitu sebagai berikut:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian
hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (Qs. Al-
Ankabut: 57)
Asal Usul Ritual Kematian Islam JawaC.
Asal usul ritual kematian dalam warga Islam Jawa
itu sudah ada sejak dulu sebelum Hindu dan Budha. Kemudian
masuknya agama Hindu dan Budha memberikan pengaruh dan
terbentuknya budaya baru yang merupakan ajaran Hindu dan
Budha. Ada beberapa tradisi yang berasal dari agama Hindu dan
Budha, di antaranya adalah sebagai berikut (https://efrialdy.
wordpress.com):
Pertama, Tentang doa selamatan kematian 7, 40, 100
dan 1000 hari. Kita mengenal sebuah ritual keagamaan di
dalam warga muslim saat terjadi kematian adalah
menyelenggarakan selamatan/kenduri kematian berupa doa-
doa, tahlilan, yasinan di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 harinya.
Dalam keyakinan Hindu ruh leluhur (orang mati) harus
dihormati sebab bisa menjadi dewa terdekat dari manusia.
Selain itu dikenal juga dalam Hindu adanya Samsara (menitis/
reinkarnasi). Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti
hal. 99, 192, 193 dalam (https://efrialdy.wordpress.com) yang
berbunyi :
“Termashurlah selamatan yang diadakan pada hari
pertama, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu”.
Dalam buku media Hindu yang berjudul : “Nilai-nilai
Hindu dalam budaya Jawa, serpihan yang tertinggal” dalam
(https://efrialdy.wordpress.com) karya : Ida Bedande Adi Suripto,
ia mengatakan : “Upacara selamatan untuk memperingati hari
kematian orang Jawa hari ke 1, 7, 40, 100, dan 1000 hari, adalah
tradisi dari ajaran Hindu”.
Sedangkan penyembelihan kurban untuk orang mati pada
hari (hari 1,7,4,….1000) terdapat pada kitab Panca Yadnya hal.
26, Bagawatgita hal. 5 no. 39 yang berbunyi:
“Tuhan telah menciptakan hewan untuk upacara korban,
upacara kurban telah diatur sedemikian rupa untuk
kebaikan dunia.”
Kedua, Tentang selamatan yang biasa disebut Genduri
(Kenduri atau Kenduren). Genduri merupakan upacara ajaran
Hindu. Masalah ini terdapat pada kitab Weda hal. 373 (no.10)
yang berbunyi:
“Sloka prastias mai pipisa tewikwani widuse bahra
aranggayimaya jekmayipatsiyada duweni narah”.
(Antarkanlah sesembahan itu pada Tuhanmu Yang Maha
Mengetahui).
Namun demikian tidak berarti bahwa ritual kematian
yang berlaku di warga Islam Jawa sebagai prilaku sesat.
sebab adat atau tradisi sejauh tidak bertentangan dengan nilai
dan ajaran agama Islam maka itu tidak ada larangan. Budaya
merupakan fitrah yang diberikan oleh Tuhan kepada seluruh
manusia yang hidup di muka bumi ini, dan Allah menciptakan
manusia memang dalam bentuk keragaman suku dan bangsa
yang memiliki keragaman budaya. Sehingga tidak ada alasan
sebuah budaya dijustifikasi sebagai sesuatu yang sesat. Budaya
merupakan khazanah dan aset bangsa, harus dilestarikan dan
dikembangkan bukan untuk digusur dan dimatikan.
Makna yang Terkandung dalam Ritual Kematian D.
warga Islam Jawa
Tradisi yang dilakukan oleh warga di desa penulis
(desa Bakalan Kalinyamatan Jepara) dan juga di warga Jawa
pada umumnya dalam menghadapi peristiwa kematian, hampir
sama persis dengan apa yang disampaikan oleh Clifford Geertz
dalam buku The Religion of Java, ia menjelaskan bahwa saat
terjadi kematian di suatu keluarga, maka hal pertama yang harus
dilakukan adalah memanggil modin, selanjutnya menyampaikan
berita kematian tersebut di daerah sekitar bahwa suatu kematian
telah terjadi. Kalau kematian itu terjadi sore atau malam hari,
mereka menunggu sampai pagi berikutnya untuk memeulai
proses pemakaman. Pemakaman orang Jawa dilaksanakan
secepat mungkin sesudah kematian. Segera setelah mendengar
berita kematian, para tetangga meninggalkan semua pekerjaan
yang sedang dilakukannnya untuk pergi ke rumah keluarga
yang tertimpa kematian tersebut. Setiap perempuan membawa
sebaki beras, yang setelah diambil sejumput oleh orang yang
sedang berduka cita untuk disebarkan ke luar pintu, kemudian
segera ditanak untuk slametan. Orang laki-laki membawa
alat-alat pembuat nisan , usungan untuk membawa mayat ke
makam, dan lembaran papan untuk diletakkan di liang lahad.
Dalam kenyataannya hanya sekitar setengah lusin orang yang
perlu membawa alat-alat itu; sebaliknya hanya sekedar datang
dan berdiri sambil ngobrol di sekitar halaman
Dalam tradisi warga Islam Jawa kematian seseorang
dalam ritual pemakamannya pertama terdapat ritual semacam
“pembekalan” bagi ruh dalam fase kehidupannya di alam yang
baru. sebab ruh itu tak pernah mati, oleh sebab itu pembekalan
terhadap ruh orang yang meninggal diyakini dapat ditangkap
dan dirasakan oleh ruh orang yang telah meninggal tersebut. Di
antarnya adalah dikumandangkannya adzan dan iqamah setelah
mayat diletakkan di liang lahat dan sebelum ditimbun dengan
tanah, setelah itu dibacakan telkin (talqin).
Modin membacakan telkin yang merupakan rangkaian
pidato pemakaman yang ditujukan kepada almarhum, pertama-
tama dalam bahasa Arab dan kemudian dalam bahasa Jawa
(Geertz, 1983: 95). Talqin dalam bahasa Arab maknanya adalah
mendikte. Jadi talqin adalah mendiktekan kata-kata atau kalimat
tertentu agar ditirukan oleh orang yang baru meninggal tersebut.
Yang dimaksudkan di sini adalah mengajarkan kepada ruh agar
dapat mengingat dan menjawab pertanyaan di alam kubur.
Tradisi ini di sandarkan pada kenyataan teologis bahwa saat
seseorang telah dikuburkan maka Allah akan mendatangkan dua
malaikat penanya si mayat di dalam kubur. Sehingga subtansi
talqin itu sesungguhnya mengingatkan pada ruh jenazah tentang
pertanyaan-pertanyaan di dalam kubur. Masyarkat umumnya
meyakini bahwa ruh orang yang di kubur dapat mendengar dan
merasakan kehadiran orang yang masih hidup, bahkan menjawab
salam orang yang mengunjunginya. Dengan demikian, saat
dibacakan talqin terhadapnya setelah dikuburkan maka ia dapat
mendengar nasihat dan memperoleh manfaat darinya
Situasi sosial budaya warga Islam Jawa dapat
dilihat dari kebiasaan (adat), baik yang berkaitan dengan
ritual keagamaan maupun tradisi lokal warga tersebut,
di antaranya: Selamatan orang yang telah meninggal. Tradisi
ini dilakukan setiap ada orang yang meninggal dunia dan
dilaksanakan oleh keluarga yang ditinggalkan. Adapun waktu
pelaksanaannya yaitu sebagai berikut
Bertepatan dengan kematian 1. (ngesur tanah) dengan
rumusan jisarji, maksudnya hari kesatu dan pasaran juga
kesatu
Nelung dina dengan rumus 2. lusaru, yaitu hari ketiga dan
pasaran ketiga
Tujuh hari setelah kematian (3. mitung dina) dengan rumusan
tusaro, yaitu hari ketujuh dan pasaran kedua
Empat puluh hari (4. metang puluh dina) dengan rumus
masarama, yaitu hari ke lima dan pasaran ke lima
Seratus hari (5. nyatus dina) dengan rumus rosarama yaitu
hari ke dua pasaran ke lima
Satu tahun setelah kematian (6. mendak pisan) dengan rumus
patsarpat, yaitu hari ke empat dan pasaran ke empat
Tahun ke dua (mendhak pindho), dengan rumus jisarly, 7.
yaitu hari satu dan pasaran ke tiga
Seribu hari setelah kematian (8. nyewu), dengan rumus
nemasarma, yaitu hari ke enam dan pasaran ke lima.
Haul 9. (khol), peringatan kematian pada setiap tahun dari
meninggalnya seseorang.
Ngesur tanah memiliki makna bahwa jenazah yang
dikebumikan berarti perpindahan dari alam fana ke alam baka,
asal manusia dari tanah selanjutnya kembali ke tanah. Selamatan
ke tiga hari berfungsi untuk menyempurnakan empat perkara
yang disebut anasir hidup manusia, yaitu bumi, api, angin dan
air. Selamatan ke tujuh hari berfungsi untuk menyempurnakan
kulit dan kuku. Selamatan empat puluh hari berfungsi untuk
menyempurnakan pembawaan dari ayah dan ibu berupa darah,
daging, sum-sum, jeroan (isi perut), kuku, rambut, tulang dan
otot. Selamatan seratus hari berfungsi untuk menyempurnakan
semua hal yang bersifat badan wadag. Selamatan mendhak pisan
untuk menyempurnakan kulit, daging, dan jeroan. Selametan
mendhak pindho berfungsi untuk menyempurnakan semua
kulit, darah dan semacamnya yang tinggal hanyalah tulangnya
saja.
Upacara selamatan tiga hari memiliki arti memberi
penghormatan pada ruh yang meninggal. Orang Jawa
berkeyakinan bahwa orang yang meninggal itu masih berada di
dalam rumah. Ia sudah mulai berkeliaran mencari jalan untuk
meninggalkan rumah. Upacara selamatan hari ketujuh berarti
melakukan penghormatan terhadap ruh yang mulai akan ke luar
rumah. Dalam selamatan selama tujuh hari dibacakan tahlil,
yang berarti membaca kalimah la ilaha illa Allah, agar dosa-
dosa orang yang telah meninggal diampuni oleh-Nya. Upacara
selamatan empat puluh hari (matangpuluh dina), dimaksudkan
untuk memberi penghormatan ruh yang sudah mulai ke luar
dari pekarangan. Ruh sudah mulai bergerak menuju ke alam
kubur. Upacara seratus hari (nyatus dina), untuk memberikan
penghormatan terhadap ruh yang sudah berada di alam kubur.
Di alam kubur ini ruh masih sering pulang ke rumah keluarganya
sampai upacara selamatan tahun pertama dan peringatan tahun
ke dua. Ruh baru tidak akan kembali ke rumah dan benar-
benar meninggalkan keluarga setelah peringatan seribu hari
Salah satu ritual kematian warga Jawa adalah
ritual “Geblagan”. Geblag adalah salah satu ritual yang ada
dalam tradisi warga jawa sebagai sebuah ritual kecil yang
dilakukan pada hari peringatan kematian seseorang. Dalam ritual
tersebut ada simbolisme yang sebenarnya mengandung banyak
makna. Misalnya, seseorang meninggal dunia pada hari Rabu
Pon jam 10.00, maka setiap Rabu Pon jam 10.00, keluarga yang
ditinggalkan melaksanakan ritual kecil yang disebut geblagan,
sebagai bentuk peringatan dan penghormatan terhadap anggota
keluarga yang telah meninggal. Ritual tersebut sangat sederhana,
dalam pelaksanaannya dilengkapi dengan sesajen (sesaji) dan
disertai dengan pembakaran kemenyan atau dupa. Sesaji yang
dipersembahkan juga sangat sederhana, berupa apem, kolak,
ketan, gula kelapa, teh pahit atau kopi, sigaret, kembang telon,
dan tak lupa uang sebagai wajib.
Setelah semua uba rampe yang diperlukan sudah siap, sesaji
tersebut ditata di sebuah meja dilengkapi dengan penerang,
teplok atau senthir. Setelah segala sesuatunya sudah siap, sesaji
itu dipasrahke (dipersembahkan), dengan doa dan diakhiri
dengan pembakaran kemenyan atau dupa. Ritual ini selain
dimaksudkan sebagai peringatan hari kematian, penghormatan,
dan ritual pengiriman doa, dalam ritual gablagan juga terdapat
beberapa pemikiran dan pandangan warga Jawa, antara
lain mengenai metafisika, khhususnya antropologi metafisik dan
kosmologi ,
Sedangkan berkaitan dengan peringatan tahunan dari
kematian seseorang atau yang disebut dengan haul (khol) memiliki
arti untuk mengenang kembali memori perjalanan seseorang
yang telah meninggal untuk dijadikan suri tauladan dari aspek
kebaikan perilakunya. Sekaligus memberikan penghormatan dan
penghargaan atas jasa-jasanya terhadap keluarga, warga dan
agamanya. Hal ini tentunya akan memberikan spirit dan motivasi
tersendiri bagi keluarga yang ditinggalkannya. Ritual acara khol
ini biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang dari status sosial
tertentu. Seperti tokoh warga , para kyai kharismatik dan
orang-orang yang dianggap keluarganya sebagai seseorang yang
memberikan peran yang sangat berarti bagi keluarga.
Di samping tradisi tersebut di atas terdapat juga tradisi
membaca surat Yasin setiap malam jum’at yang dikhususkan untuk
ahli kubur/ orang-orang yang telah meninggal, dengan tujuan
berdoa untuk memohonkan ampunan bagi arwah ahli kubur
agar mendapatkan temapat yang baik di sisi-Nya yaitu masuk ke
dalam surga-Nya. Kemudian ada juga tradisi menyelenggarakan
acara arwahan pada bulan Sya’ban yaitu keluarga mengundang
warga sekitar untuk datang ke rumah setelah shalat magrib
atau setelah shalat Isya’ dengan mengadakan acara membaca
surah Yasin dan Tahlil yang pahalanya dikhususkan bagi arwah
ahli kubur dari keluarganya.
Perlengkapan lain yang ada dalam upacara pemakaman
jenasah, secara keseluruhan ada bermacam-macam
Sawur. Sawur terdiri dari sejumlah uang logam, beras 1.
kuning (beras yang dicampur dengan kunyit yang diparut)
ditambah kembang telon (mawar, melati dan kenanga)
serta sirih kinang dan beberapa gelintir rokok linting.
Semuanya itu ditempatkan dalam bokor atau takir (wadah
yang terbuat dari daun pisang). Seperti disebutkan di
atas, hal ini dimaksudkan sebagai bekal si mati agar selalu
mendapatkan kemurahan dari Tuhan, di samping juga
ditujukan terhadap keluarga yang ditinggalkan.
Payung. Payung yang digunakan dalam upacara 2.
kematian sering disebut payung jenasah. Payung itu
mempunyai tangkai yang panjang. Payung itu digunakan
untuk memayungi jenasah sejak keluar dari rumah
hingga di kuburan. Payung tersebut melambangkan
perlindungan. Dalam upacara kematian, penggunaan
payung melambangkan suatu maksud agar arwah si mati
selalu mendapatkan perlindungan dari Tuhan atau sering
disebut “diayom-ayomi”. Sebagai bekal dalam perjalanan
jauh, payung itu juga dimaksudkan untuk mendapat
perlindungan dari panas dan hujan.
Sepasang maejan. Biasa terbuat dari jenis kayu yang kuat .
dan tahan air serta awet. Dibuat dengan ukuran panjang
sekitar 60 cm, lebar 15 cm, tebal sekitar 5 cm. Pada bagian
atas berbentuk runcing agak menumpul dengan ukiran
bunga melati. Sepasang maejan yang terdiri 2 buah itu
ditanam di atas kuburan, satu di bagian arah kepala dan
satunya lagi di bagian arah kaki. Maejan tersebut sebagai
tanda bahwa pada tempat tersebut telah dikuburkan
seseorang. Maejan yang yang berada pada bagian arah kaki
jenasah yang dikuburkan biasanya dituliskan nama orang
yang dikuburkan di situ beserta hari, tanggal, bulan dan
tahun kematiannya, dengan dasar tahun Jawa. Bentuknya
yang runcing dari maejan tersebut sebagai lambang tombak
raksasa. Sedangkan ukiran berbentuk/motif bunga melati
sebagai lambang keharuman.
Sebuah tempayan kecil (klenting) atau kendi. Kendi atau 4.
klenting digunakan untuk wadah air tawar yang dicampuri
dengan serbuk atau minyak cendana dan kembang telon,
yang nantinya akan disiramkan di atas kuburan dan
maejan. Semua itu melambangkan kesucian, kesegaran
dan keharuman nama si mati.
Degan krambil ijo (kelapa hijau yang masih muda). Kelapa .
hijau yang masih muda itu nantinya, setelah jenasah
dikuburkan, dibelah dan airnya disiramkan di atas kuburan.
Sedangkan belahannya juga ditelungkupkan di atas
kuburan itu pula. Maksudnya adalah sebagai air suci, juga
air segar pelepas dahaga. Maksud yang lain ialah sebagai
penolak bala dan keteguhan hati si mati. Dalam hal ini
dikiaskan dari pohon kelapa adalah pohon yang teguh dan
tidak mudah berombang-ambing angin atau lainnya.
Gegar mayang. Gegar mayang adalah semacam boket 6.
atau rangkaian bunga, yang terbuat dari janur (daun
kelapa muda) dan bunga, yang biasanya ditancapkan pada
sepotong “guling”/batang pohon pisang, sepanjang kurang
lebih 15 cm. Gagar mayang itu digunakan, bila orang yang
mati adalah orang remaja atau dewasa tetapi belum kawin.
Hal itu dimaksudkan agar arwah si mati tidak mengganggu
para pemuda atau pemudi daria keluarga sendiri maupun
dalam lingkungan desanya.
Hakekat KematianE.
Dalam perspektif Jawa kematian hakekatnya adalah muleh
(pulang ke asal mulanya). Orang Jawa memahami kehidupan
dan kematian dalam filosofi “sangkan paraning dumadi” untuk
mengetahui kemana tujuan kita setelah hidup berada di akhir
hayat. Hal ini tersirat maknanya dalam kalimat tembang
dhandanggula warisan para leluhur: “kawruhana sejatining urip
ana jeruning alam donya/bebasane mampir ngombe/umpama
manuk mabur/lunga saka kurungan niki/ pundi pencokan
benjang/awja kongsi kaleru/njan sinanjan ora wurung bakal
mulih/umpama lunga sesanja/ mulih mula mulanira.” (ketahuilah
sejatinya hidup, hidup di alam dunia, ibarat perumpamaan
mampir minum, ibarat burung terbang, pergi dari kurungannya,
di mana hinggapnya besok, jangan sampai keliru, umpama orang
pergi bertandang, saling bertandang, yang pasti bakal pulang,
pulang ke asal mulanya)
Berbicara tentang hakekat kematian adalah merupakan
persoalan yang sangat rumit. sebab persoalan hakekat itu adalah
ranah ontologis dalam dimensi filsafat. Namun untuk masuk
pada tahap awal mengetahui hakikat kematian itu sendiri, maka
penulis berpendapat bahwa kematian adalah merupakan fase
dari sebuah perjalanan mahluk hidup itu sendiri yang menjadi
awal dari terlepasnya belunggu kehidupan di dunia. Rasulullah
sendiri pernah mengatakan bahwa sesungguhnya dunia itu
merupakan belenggu (penjara) bagi orang yang beriman. Kalau
analoginya dunia adalah bermakna kehidupan jasad seseorang
dan keimanan adalah ruh yang besemayam di dalamnya, maka
Artinya bahwa terlepasnya kehidupan di dunia ini merupakan
kata kunci untuk menyibak hakikat dari kematian itu sendiri.
Jika demikian maka sesungguhnya kehidupan adalah hakikat
dari kematian itu sendiri. sebab kematian itu sesungguhnya
adalah proses untuk menuju suatu kehidupan yang lebih hakiki.
Yaitu kehidupan akhirat yang kekal abadi.
Persoalan kematian sebenarnya adalah persoalan materi
dan bukan pada persoalan ruh. sebab ruh itu yang membuat
suatu materi itu menjadi hidup. Tanpa ruh segala hal yang
berupa materi adalah mati. Dalam pemikiran Syekh Siti Jenar
menyatakan bahwa “dunia ini adalah alam kematian”. Dunia
adalah alam kubur dan raga adalah sebuah terali besi yang
menahan jiwa berada di dunia dan merasakan kesusahan hidup
di dunia, seperti rasa haus, lapar, dan sedih. Hidup sesungguhnya
hanyalah sebuah persiapan untuk memasuki kehidupan yang
sebenarnya. dan jika tidak siap, maka jiwa akan terperangkap ke
dalam alam kematian kembali yang bersifat mayit atau bangkai.
Hidup yang sebenarnya adalah hidup tanpa raga, sebab raga
telah banyak menimbulkan kesesatan. Raga adalah kerangkeng
bagi diri atau jiwa yang menyebabkan manusia hidup dalam
banyak penderitaan ,
Sesungguhnya hakikat hidup adalah kekal selamanya
dan tak tertimpa kematian. Perputaran bumi pada porosnya,
atau terjadinya siang dan malam adalah merupakan analogi
yang menggambarkan tentang hal hidup dan mati. saat
manusia lahir, dia sebenarnya “born to die” (Lahir untuk menuju
kematiannya). Dunia bukan jalan hidup tetapi jalan menuju
kematian. Hidup yang sebenarnya adalah tanpa raga, telanjang
dalam wujud frekuensi murni. Kebutuhan kita di dunia akan
makanan dan minuman atau sandang, pangan, papan (pakaian,
makanan dan tempat tinggal) selama di dunia hanyalah sarana
untuk menunda kematian, sedangkan kelahiran manusia tak lain
adalah proses kematian itu sendiri, sebab kematian itu tidak
bisa dihentikan
Ritual kematian yang dilakukan oleh warga Islam
Jawa sesungguhnya merupakan adat warga jawa sebelum
masuknya agama Islam, kemudian mengalami proses akulturasi
budaya antara Islam dan Jawa, sehingga nampak tradisi tersebut
adalah tradisi yang khas Islam Jawa yang ada di Indonesia dan
tidak dimiliki oleh warga yang ada di negara lainnya.
Sinergi budaya Islam dan Jawa ternyata membentuk sebuah
kebudayaan baru yang memiliki makna dan tujuan-tujuan
tertentu sebagaimana penulis telah uraikan di atas.
Kematian adalah salah satu peristiwa yang benar-benar
terjadi dalam realitas sosial. Semua orang bahkan semua makhluk
yang memiki ruh atau jiwa akan menjumpai yang disebut
kematian. Tidak ada yang abadi dan kekal di dunia ini, yang
kekal abadi hanyalah Allah swt. sebab Allah yang memberi
kehidupan kepada setiap makhlukNya, demikian juga Allah pula
yang memberikan akhir dari kehidupan tersebut yaitu kematian.
Bagi makhluk selain manusia mungkin kematian menjadi suatu
hal yang biasa sebab hal itu merupakan hukum alam sebagai
ketentuan Allah swt, namun bagi manusia akan menjadi
persoalan yang berbeda saat kematian itu bermakna awal dari
fase sebuah kehidupan baru yaitu kehidupan di akhirat.
